Ceritasilat Novel Online

Sang Penerus 6

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Bagian 6


Winih tanggap akan perasaanku. Karena itu, maka tidak
seorangpun yang dapat menghalangi hubungan kami. Kami
berdua telah sama-sama dewasa, sehingga kami dapat
menentukan jalan hidup kami sendiri."
"Angger Darpati bukan saja telah dewasa. Tetapi angger
sudah terlalu matang serta berpengalaman berhubungan
dengan bukan saja gadis-gadis, tetapi juga perempuan
macam apapun." jawab Kia i Gumrah diluar dugaan.
Telinga Darpati bagaikan disentuh bara api. Wajahnya
menjadi merah menyala. Dipandanginya Kiai Gumrah
dengan matanya yang seolah-olah akan meloncat dari
pelupuknya. Sedangkan Winih bergeser selangkah maju
sambil berdesis "Kakek. Kenapa kakek berkata seperti itu?"
"Aku sudah memikirkan dengan baik apa yang aku
katakan Winih" jawab Kiai Gumrah.
"Tetapi kata-kata kakek itu dapat menyakiti hatinya"
berkata Winih dengan suara bergetar. Dimatanya mulai
nampak air matanya mengembun.
"Mungkin kata-kataku menyakiti hatinya. Tetapi jika aku
yakin bahwa apa yang aku katakan itu satu kebenaran,
maka apakah salahnya jika aku mengucapkannya?" sahut
Kiai Gumrah. Darpati memang menahan kemarahan yang
menghentak-hentak
didadanya. Tetapi bagaimanapun juga Darpati
mengetahui, bahwa Kiai
Gumrah adalah seorang
yang berilmu tinggi. Karena
itu, betapa hatinya bergelora, namun Darpati
harus menahan diri. Jika ia
memaksakan kehendaknya,
maka orang tua itupun
agaknya tidak mau lagi
melangkah surut.
Karena itu, maka Darpati itupun kemudian menggeram
"Hanya karena aku mengingat hubunganku dengan Winih,
aku tidak berbuat apa-apa sekarang ini. Tetapi kesabaran
seseorang memang ada batasnya. Jika aku sekarang pergi,
bukan berarti bahwa persoalan kita sudah selesai."
Darpati tidak menunggu jawaban. Iapun segera
melangkah pergi meninggalkan rumah Kiai Gumrah.
Demikian Darpati pergi, maka Winihpun berkata diselasela isaknya yang tertahan "Kakek telah menyakiti hatinya.
Seharusnya kakek tidak berkata seperti itu. Ia adalah
seseorang yang mempunyai perasaan, sehingga ia telah
tersinggung karenanya."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
ayah dan ibu Winih telah mendekatinya pula. Manggada
dan Laksana sebenarnya juga ingin mendekat, tetapi
mereka masih menjaga jarak, karena mereka merasa bahwa
sebenarnya mereka tidak termasuk keluarga Ki Gumrah.
Sementara itu Kiai Gumrahpun berkata "Winih, Aku
memang sengaja menyinggung perasaannya. Aku ingin
tahu, apakah yang akan dilakukan oleh, Darpati jika ia
marah." "Karena kakek adalah kakekku, maka Darpati tentu tidak
akan berbuat sesuatu."jawab Winih.
"Bukan itu alasannya, Winih. Darpati bukan jenis orang
yang mempunyai pertimbangan unggah-ungguh atau
berusaha untuk menjaga perasaan orang lain. Kau tahu,
bagaimana sikapnya, terhadap aku, ayah dan ibumu sejak ia
datang untuk pertama kalinya kerumah ini beberapa saat
yang lalu. Kau tahu bagaimana sikap Darpati terhadap
Manggada dan Laksana yang seharusnya dihormatinya
sebagai saudara tua. Tetapi ia tidak bersikap seperti itu.
Karena itu, jika ia marah, ia tidak akan mempedulikan
apakah aku kakeknya atau bukan. Bahkan terhadap kedua
orang tuamupun ia tidak akan menghiraukannya. Apalagi
Manggada dan Laksana."
"Tetapi nyatanya, Darpati tidak berbuat apa-apa kek.
meskipun ia merasa sangat tersinggung. Bukankah ia
berkata bahwa karena hubunganku dengan Darpati, maka
Darpati tidak berbuat apa-apa sekarang ini." nada suara
Winih menjadi semakin tinggi.
Tetapi Kiai Gumrah menggeleng. Katanya "Tidak
Winih. Ia tidak berbuat apa-apa bukan karena hubungannya
denganmu. Sudah aku katakan, ia tidak akan menghormati
aku, kakekmu, juga ayah dan ibumu."
"Jadi kenapa Darpati tidak berbuat sesuatu dalam
keadaan marah seperti itu?" bertanya Winih disela-sela
isaknya. " Ia tidak berbuat sesuatu karena ia tahu, bahwa ia tidak
akan dapat mengalahkan aku atau ayahmu. Ia tahu bahwa
dalam keadaan yang memaksa aku dapat membunuhnya."
jawab Kiai Gumrah.
Kening Winih berkerut mendengar jawaban kakeknya.
Tiba-tiba saja isaknya berhenti. Dengan nada dalam ia
bertanya "Maksud kakek?"
"Ia mengenali keluarga kita dengan baik. Ia tahu pasti
bahwa aku sedang melindungi pusaka-pusaka itu, dan ia
termasuk bagian dari mereka yarig menginginkan pusaka
itu." Wajah Winih menegang. Namun tiba-tiba saja ia berkata
"Prasangka kakek selalu lari kesana. Kecurigaan
terhadap siapapun karena ayah sedang melindungi pusakapusaka itu. Mungkin kakek benar bahwa Darpati telah
banyak berhubungan dengan perempuan. Mungkin benar
Darpati mengetahui bahwa kekek dan ayah memiliki ilmu
yang tinggi. Tetapi apakah hal itu selalu berhubungan
dengan niat untuk mengambil pusaka-pusaka itu" Apakah
kakek menganggap bahwa Darpati bersikap baik kepadaku
karena ia mendapat tugas untuk mengambil pusaka-pusaka
itu?" "Bahkan kedua-duanya Winih. Darpati memang
menghendaki kau dan pusaka-pusaka itu." jawab Kiai
Gumrah. "Kakek" potong Winih "kakek sudah berprasangka buruk
terhadap seseorang."
"Dengar Winih. Ia tentu sudah mendengar dari
lingkungannya bahwa aku tidak akan dapat dikalahkannya.
Karena itu ia tidak berbuat apa-apa meskipun ia
tersinggung. Karena itu, maka pertimbangkan baik-baik.
Penalaranmu jangan menjadi buram karena kau sudah
menjadi silau melihat ujud lahiriahnya. Darpati akan
merasa berhasil jika ia dapat menangkapmu dalam
perangkapnya sekaligus mendapat jalan untuk mengambil
pusaka-pusaka itu. Sementara nasibmu tentu akan menjadi
seperti banyak perempuan yang sebelumnya pernah singgah
dalam kehidupan Darpati."
"Tidak. Tidak" Winih hampir berteriak. Ia pun kemudian
berlari masuk kedalam biliknya.
Sambil terisak Winih menelungkupkan wajahnya dlpembaringan. Air matanya mengalir tanpa terbendung lagi.
Sementara itu ibunyalah yang datang mendekatinya dan
duduk dibibir pembaringan. Sambil mengusap rambut
anaknya ibunya berkata "Winih, agaknya kau memang
harus menghadapi kenyataan, yang pahit."
"Apakah ibu juga mempunyai prasangka buruk terhadap
Darpati sebagaimana kakek dan ayah?" bertanya Winih
meskipun sebenarnya Winihpun tahu, bahwa ibunyapun
bersikap demikian sebagaimana pernah dikatakannya.
Tetapi rasa-rasanya Winih masih ingin meyaldnkarinya.
Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya masih dengan lembut "Winih. Ternyata aku tidak
dapat bersikap lain. Aku juga mencurigai Darpati. Mungkin
kau pernah mendengar atau membaca kesan sikap ibu
seperti itu sebelumnya."
Winih masih saja terisak Namun jawabnya tidak diduga
oleh ibunya. Katanya "Ibu, aku akan mencoba untuk
memikirkannya dengan sebaik-baiknya. Aku akan mencoba
mempergunakan penalaran dan perasaanku serta mencoba
untuk berbincang dengan firasat yang aku tangkap selama
ini." Ibunya tiba-tiba saja memeluk Winih yang memang
kemudian bangkit dan duduk disamping ibunya "Kau
memberi harapan baru bagi kami sekeluarga Winih. Ayah
dan ibumu merasa sangat sedih atas sikapmu akhir-akhir
ini. Bahkan kakek sudah memutuskan untuk bertindak lebih
keras lagi sebagaimana dilakukannya itu."
Winih mengangguk kecil. Katanya "Aku mohon maaf
ibu. Tetapi jika aku boleh berterus-terang, sebenarnya sulit
bagiku untuk mengerti sikap dan pendapat kakek, ayah dan
ibu. Namun aku akan mencoba melihat kenyataan itu
betapapun pahitnya. Tetapi jika ternyata prasangka kakek,
ayah dan ibu tidak terbukti?"
"Kakek, ayah dan ibu tidak bermaksud menyakiti hatimu
Winih. Karena itu, jika ternyata dugaan kami salah, sudah
tentu kami tidak akan berkeras untuk memisahkanmu dari
padanya." Winih mengangguk kecil. Ia mengerti bahwa kakek,
ayah dan ibunya berniat baik, meskipun Winih masih ingin,
membuktikan kebenaran dugaan mereka terhadap Darpati.
Sementara itu, Manggada dan Laksanapun telah,
dipanggil oleh Kiai Gumrah. Kepada kedua anak muda itu,
Kiai Gumrah telah memberitahukan sikapnya terhadap
Darpati. Dengan nada berat Kiai Gumrah itupun kemudian
berpesan "Karena itu ngger. Kalian berdua harus menjadi
semakin berhati-hati. Aku menjadi semakin yakin, bahwa
Darpati memang ingin menyingkirkan kalian berdua,
apapun alasannya. Mungkin Darpati tahu pasti, bahwa kau
dengan Winih sama sekali tidak mempunyai hubungan
darah, sehingga Darpati ingin menyingkirkan kalian karena
kalian terlalu dekat dengan Winih."
"Tetapi mungkin Darpati juga berniat mengurangi
kekuatan yang ada dirumah ini " desis Ki Prawara.
"Manggada dan Laksana tidak terlalu diperhitungkan,
karena kemampuan mereka masih dianggap tidak terlalu
mengganggu." jawab Kiai Gumrah.
Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Agaknya
memang demikian. Karena itu, nanti sore jika kalian akan
membersihkan dan menyalakan lampu di banjar tua itu,
biarlah aku menyertai kalian karena persoalannya agaknya
menjadi semakin bersungguh-sungguh."
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Dengan dahi
yang berkerut mereka mengangguk-angguk mengiakan.
Sementara itu Kiai Gumrahpun berkata "Waktu memang
menjadi semakin mendesak. Orang yang disebut Panembahan itu tidak akan bermain-main dengan setiap
kesempatan karena orang itu mempunyai batas waktu yang
semakin mendekat"
Manggada dan Laksana masih saja mengangguk-angguk.
Tetapi mereka memang dapat mengerti, bahwa udara di
rumah tua itu menjadi semakin hari semakin panas.
Hari itu Manggada dan Laksana memang tidak keluar
dari halaman rumah Kiai Gumrah. Sementara Kiai
Gumrah sendiri telah pergi kerumah pedagang gula untuk
menyerahkan gulanya yang masih hangat. Namun seisi
rumah itu tahu, bahwa Kiai Gumrah tidak sekedar
menyerahkan gulanya. Tetapi ia telah memberitahukan
persoalan yang terjadi dirumahnya kepada pedagang gula
itu. Dengan demikian maka kawan-kawan Kiai Gumrahpun akan segera mendengarnya pula.
Sementara itu dirumah, Ki Prawara, Manggada dan
Laksana tetap saja berhati-hati. Kemarahan Darpati akan
dapat menimbulkan persoalan khusus disamping usaha
sekelompok orang untuk mendapatkan pusaka-pusaka yang
tersimpan dirumah Kiai Gumrah.
Seperti biasanya Kiai Gumrah tidak terlalu lama pergi
meninggalkan rumahnya. Ketika ia kemudian kembali,
maka Kiai Gumrah seperti biasanya membawa uang harga
gulanya yang diserahkannya kepada juragan gula yang
menampungnya. Menjelang sore hari, maka juragan gula itu bersama
seorang kawannya telah datang pula kerumah Kiai
Gumrah. Seperti biasa mereka berbicara kesana-kemari.
Berkelakar dan sekali-sekali terdengar mereka tertawa
serentak. Ki Prawarapun telah ikut pula berbincang
diantara mereka.
Namun disela-sela kelakar mereka itu, terselip juga
pembicaraan yang berarti. Juragan gula dan kawannya itu
minta keterangan lebih terperinci tentang peristiwa yang
menimpa Manggada dan Laksana di banjar, serta sikap
Darpati yang marah itu.
Manggada dan Laksana yang menghidangkan suguhan
bagi mereka, sedikit-sedikit ikut mendengar pembicaraan
mereka itu. Apalagi Kiai Gumrah memang tidak berniat
untuk merahasiakan pembicaraan itu terhadap Manggada
dan Laksana. Namun dalam pada itu, selagi mereka sibuk berbincang
dan sekali-sekali terdengar suara tertawa meledak, tiba-tiba
saja seorang anak muda telah datang mengetuk pintu


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah itu. Manggadalah yang kemudian membukakan pintu. Ia
melihat seorang anak muda yang telah begitu sajamenyusup masuk.
"Kau?"
desis Manggada yang mengenal anak muda itu.
"Dengar" berkata anak
muda itu serta merta
dengan suara bergetar
disela-sela nafasnya yang
terengah-engah "nanti setelah senja atau disaat
malam mulai turun, Ki
Bekel dan beberapa orang
bebahu akan datang kemari." "Untuk apa?" bertanya
Manggada yang terkejut
"apakah masih ada hubungannya dengan persoalan
Rambatan?"
"Ya. Alasannya memang demikian. Tetapi justru
Rambatan setuju aku datang memberitahukan hal ini
kepadamu atau bahkan kepada kakekmu." jawab anak
muda itu. "Sikap Rambatan tidak aku mengerti" berkata Manggada. "Peristiwa yang terjadi kemarin telah mengguncang
perasaan dan penalarannya. Nampaknya ia akan berubah.
Karena itu, ia justru menganjurkan aku datang kemari."
jawab anak muda itu.
"Jadi, apa yang akan terjadi?" bertanya Manggada.
"Ki Bekel telah dihasut oleh orang-orang yang tidak
dikenal " jawab anak muda itu.
Manggada mengerutkan keningnya. Keterangan itu
agaknya cukup penting, sehingga Manggadapun berkata
"Marilah. Bicarakan dengan kakek."
Anak muda itupun kemudian telah dibawa keruang
dalam untuk bertema dengan Kiai Gumrah yang sedang
menemui tamu-tamunya. Tetapi Kiai Gumrah tidak
mengajak anak muda itu untuk berbicara diantara mereka.
Bahkan katanya "Biarlah tamu-tamuku mendengarnya.
Mungkin keterangan ini penting bukan saja bagi kami
sekeluarga. Tetapi juga bagi tamu-tamuku."
Anak muda itu memang termangu-mangu. Namun
kemudian katanya "Seseoprang telah menghasut Ki Bekel
sebagaimana seseorang telah menghasut Rambatan
kemarin." "Apa saja yang dikatakannya?" bertanya Kiai Gumrah.
"Orang itu mengatakan kepada Ki Bekel bahwa Kia i dan
keluarga Kiai sangat membahayakan bagi penghuni
padukuhan ini. Kiai dan keluarga Kiai dianggep bertindak
sewenang-wenang terhadap anak-anak muda di padukuhan
ini, meskipun anak muda itu bersalah. Jika kemarin
Rambatan berhasil dibujuknya. mereka sekarang telah
membujuk Ki Bekel meskipun orangnya lain. Tetapi aku
yakin, bahwa orang yang membujuk Rambatan dan orang
yang mempunyai kepentingan yang sama."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dengan nada berat
iapun bertanya "Bagaimana sikap Ki Bekel serta sikap
Rambatan?"
"Setelah peristiwa kemarin, Rambatan justru berubah. Ia
merasa diperalat oleh orang yang tidak dikenal dengan
memanfaatkan sikap serta namanya yang sudah cacat.
Sedangkan Ki Bekel nampaknya bukan saja sekedar
dibujuk. Tetapi dengan janji-janji yang tidak kami ketahui.
Bahkan mungkin uang. Rambatan yang justru berubah
sikap tidak setuju dengan sikap Ki Bekel itu. Apalagi anakanakmuda yang lain."
"Lalu tindakan apa yang akan diambil oleh Ki Bekel?"
bertanya Kai Gumrah.
"Kiai dan seisi rumah ini akan diusir. Bahkan orangyang membujuk Ki Bekel itu menganjurkan agar Kiai tidak
diperkenankan membawa apapun juga, karena segala milik
Kiai Gumrah itu adalah hasil yang diperoleh selama Kiai
tinggal di padukuhan ini. Karena Kiai dianggap berkhianat
terhadap padukuhan ini, maka apa yang Kiai peroleh
dipadukuhan ini harus kembali kepada padukuhan ini
pula." Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengan agak
ragu Kiai Gumrah bertanya
"Bagaimana
menurut pendapatmu?"
Anak muda itu dengan serta-merta menjawab "Itu tidak
masuk akal. Karena itu, anak-anak muda yang mengenal
Kiai Gumrah dengan baik serta yang pada akhir-akhir ini
bergaul dengan Manggada dan Laksana, menganggap hal
itu tidak dapat diterima begitu saja. Bahkan Rambatan yang
juga merasa pernah diperalat, juga menganggap bahwa Ki
Bekel telah diperalat. Apalagi setelah ada keterangan yang
bocor dari salah seorang bebahu, bahwa orang yang
menghasut Ki Bekel itu telah memberikan uang serta janjijanji." "Jadi apa yang terjadi ini merupakan kelanjutan dari
peristiwa yang terjadi kemarin di banjar tua?" bertanya Kiai
Gumrah. "Agaknya memang demikian" jawab anak muda itu.
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Terima
kasih anak muda. Kami akan berhati-hati menghadapi
persoalan ini"
"Kiai" berkata anak muda itu "jika ada sesuatu yang
berharga dirumah Kiai, sebaiknya Kiai menyingkirkan lebih
dahulu karena agaknya Ki Bekel benar-benar telah terhasut
dan bahkan dengan sungguh-sungguh
berniat melaksanakannya."
Kiai Gumrah itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Ngger. Tidak ada yang pantas aku singkirkan dari rumah
ini. Aku tidak mempunyai apa-apa selain beberapa buah
amben bambu dan gledeg bambu. Tetapi apakah aku akan
dengan suka-rela meninggalkan rumah ini, itulah yang
sedang aku pikirkan."
"Kiai" berkata anak muda itu "ada beberapa orang
bebahu yang juga terhasut.-Ada beberapa orang anak muda
penjilat yang akan mendukung Ki Bekel yang merasa
berhak mempergunakan kuasanya sewenang-wenang yang
tentu juga karena ada janji. Bukankah dengan demikian
sebaiknya Kiai tidak melawan mereka"
"Angger" berkata Kiai Gumrah "kami seisi rumah ini
memang tidak akan mampu melawan mereka. Tetapi
bukankah kami wajib mempertahankan hak kami ?"
"Kiai, Manggada dan Laksana memiliki kemampuan
untuk berkelahi sebagaimana terjadi di banjar kemarin.
Tetapi jika yang bakal datang itu adalah Ki Bekel sendiri
serta beberapa orang bebahu yang juga termasuk Ki
Jagabaya dan beberapa orang anak muda, apa yang dapat
dilakukan oleh Manggada dan Laksana?"
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Kami akan
memikirkannya ngger. Aku menyatakan sangat berterimakasih atas kesediaanmu memberitahukan hal ini kepadaku."
"Kiai. hal ini aku lakukan, karena kami tahu, Kiai tidak
bersalah. Bahkan Rambatanpun menganggap demikian
pula." jawab anak muda itu bersungguh-sungguh "tetapi
sekali lagi kami minta, Kiai jangan mencoba untuk
mempertahankan hak Kiai atas tanah ini, karena agaknya
hal itulah yang mereka harapkan."
"Kenapa mereka mengharapkan hal itu?" bertanya Kiai
Gumrah dengan heran.
"Mereka mempunyai alasan untuk berbuat kasar. Mereka
akan mengusir Kiai dengan kekerasan." jawab anak muda
itu. Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Terima kasih ngger atas keteranganmu. Ternyata masih
adat juga anak-anak muda yang berbicara dengan hati
nuraninya"
"Baiklah, Kiai. Aku minta diri. Jika Ki Bekel dan orangorang yang sejalan dengan sikapnya mengetahui aku ada
disini, mereka tentu akan marah kepadaku," jawab anak
muda itu.. Dengan demikian, maka anak muda itupun segera
meninggalkan rumah Kiai Gumrah. Dengan hati-hati anak
muda itupun segera menghilang ditikungan jalan sempit
disebelah halaman rumah Kiai Gumrah itu.
Sepeninggal anak muda itu, Kiai Gumrahpun bertanya
kepada Manggada dan Laksana yang ikut mendengarkan
pembicaraan itu "Apakah anak muda itu juga yang kemarin
datang memberitahukan niat Rambatan untuk membalas
dendam?" "Bukan kek. Tetapi anak muda ini adalah sahabat dari
anak muda yang datang kemarin. Mereka selalu bersamasama pergi ke sawah dan bahkan meronda dimalam hari.
Merekalah yang sering duduk berlama-lama di banjar tua
itu bersama kami berdu".."
"Baiklah" berkata Kiai Gumrah "aku justru menganggap
bahwa persoalannya menjadi semakin jelas. Tentu ada
hubungannya dengan sikap Darpati."
"Jika demikian, kita harus semakin berhati-hati" berkata
juragan gula itu.
"Aku memang menjadi agak bingung" desis Kiai
Gumrah "bagaimana cara kami menghadapi orang-orang
padukuhan ini. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahu
menahu, apa yang sebenarnya mereka lakukan. Tetapi
sudah tentu bahwa kami tidak dapat begitu saja mengungsi
dari tempat ini sambd membawa pusaka-pusaka itu."
"Satu langkah yang cerdik dari para pengikut Kiai Windu
Kusuma" berkata juragan juragan gula itu "tetapi juga tidak
mustahil bahwa diantara para bebahu itu terdapat para
pengikut Kiai Windu Kusuma atau orang yang disebut
Panembahan itu."
"Jadi, apa yang sebaiknya kita lakukan?" bertanya Kiai
Gumrah. "Aku akan memanggil beberapa orang kita. Mungkin
kita memang harus berkelahi meskipun kita harus
menyesuaikan diri dengan siapa kita berhadapan. Jika ada
diantara mereka orang-orang Kiai Windu Kusuma atau
bahkan para pengikut orang yang disebut Panembahan itu,
apaboleh buat. Kita tidak sekedar bermain-main. Tetapi jika
yang datang benar-benar hanya orang-orang padukuhan ini,
tentu kita akan berbuat lain, meskipun akhirnya kita
tidakakan keluar dari rumah ini."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Beritahukan beberapa kawan kita."
Kedua orang tamu Kiai Gumrah itupun segera minta
diri. Juragan gula itupun berkata "Aku akan sampai kemari
lagi sebelum senja bersama beberapa orang kawan"
"Jangan datang bersama-sama" pesan Kiai Gumrah
"datanglah seorang demi seorang."
Juragan gula itu tersenyum. Katanya "Kau kira aku
sudah menjadi demikian dungu sehingga kau perlu
berpesan seperti itu?"
"Siapa yang mengatakan bahwa aku menganggapmu
semakin dungu sekarang ini" Dengar, aku menganggapmu
dungu sejak dahulu."
"Setan kau. Jika demikian, aku akan duduk disini saja
sambil menghirup minuman hangat." jawab juragan gula
itu. Tetapi kawannya menariknya sambil berkata "Kau
bukan saja menjadi semakin dungu. Tetapi, kau juga
menjadi cengeng dan perajuk sekarang."
Juragan gula itu tertawa sambil bangkit berdiri sementara
kawannya berkata "Kita tidak mempunyai waktu lagi."
Demikianlah, maka kedua orang tamu itupun telah
meninggalkan rumah Kiai Gumrah untuk memberitahukan
beberapa orang kawan mereka tentang peristiwa yang akan
terjadi dirumah Kiai Gumrah,
Dalam pada itu, Kiai Gumrahpun telah menjadi semakin
berhati-hati. Manggada dan Laksana harus mengawasi
halaman belakang rumah Kiai Gumrah. Mungkin ada
sesuatu yang mencurigakan.
Kepada mereka berdua Kiai Gumrah berpesan, agar
mereka tidak usah pergi ke banjar.
Menjelang senja, seperti yang dijanjikan, juragan gula itu
telah datang. Kemudian disusul seorang demi seorang para
pembuat dan penjual gula. Sebagian dari mereka telah
dikenal oleh Manggada dan Laksana. Tetapi yang lain
terhitung orang-orang baru bagi kedua orang anak muda
itu, Ketika mereka sudah berkumpul diruang dalam, maka
rasa-rasanya ruangannya menjadi terlalu sempit. Sementara
Nyi Prawara. Winih, Manggada dan Laksana menjadi
sibuk membuat dan menghidangkan minuman dan ketela
rebus.

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berapa orang?" bertanya Nyi Prawara yang menyiapkan
hidangan bagi tamu-tamu Kiai Gumrah.
"Enam orang " jawab Manggada.
"Jadi semuanya ada delapan termasuk kakek dan paman
Prawara " berkata Laksana kemudian.
Nyi Prawara mengangguk-angguk. Tetapi hidangan yang
disediakan akan lebih dari mencukupi bagi keenam tamu
itu. Sejenak kemudian, maka pembicaraan yang riuh telah
terjadi di ruang dalam. Seperti biasanya, jika kawan-kawan
Kiai Gumrah yang pada umumnya memang sudah
setengah baya dan bahkan lewat setengah abad itu
berkumpul, maka suasana menjadi ramai. Mereka berbicara
apa saja. Kadang-kadang mereka tidak menahan diri untuk
berbicara semakin lama semakin keras. Suara tertawa yang
kadang-kadang meledak mewarnai pembicaraan mereka.
Namun dalam pada itu, setelah mereka minum beberapa
teguk serta menelan sepotong-sepotong ketela rebus, mereka
bertanya "kenapa kami diundang untuk datang-kerumah
ini." Sebelum Kiai Gumrah menjawab, seorang diantara para
tamu itu menyahut "Biasanya Kiai Gumrah memperingati
hari kelahirannya. Bahkan tumbuk ageng."
"Kenapa biasanya?" bertanya yang lain "bukankah
tumbuk ageng itu hanya terjadi sekali dalam hidup
seseorang?"
"Tetapi Kiai Gumrah tidak. Ia memperingati hari apapun
dengan istilah tumbuk ageng. Juga jika ia ingin bermain
dadu dengan mengundang beberapa orang kawan. Iapun
menyebutnya memperingati hari tumbuk agengnya."
"Sekarang kita memang akan memperingati tumbuk
ageng" berkata Kiai Gumrah "tetapi juragan kita itu tentu
sudah mengatakan kenapa kalian diminta datang."
"Katakanlah" berkata juragan gula itu "itu penting,
karena kau yang menjadi tuan rumah sekarang ini."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun
kemudian mengatakan, kenapa ia mengharap kawankawannya yang sempat dihubungi untuk datang.
"Jadi Ki Bekel malam ini akan datang kemari?" bertanya
seseorang. "Ya" jawab Kiai Gumrah "seperti pendapat anak-anak
muda padukuhan ini, niat Ki Bekel itu memang tidak
masuk akal jika tidak ada seseorang yang membujuknya,
menghasutnya atau menyuapnya. Orang-orang itu agaknya
ingin mempergunakan semua cara yang mungkin ditempuh
untuk mencapai maksudnya. Bahkan juga membenturkan
kekuasaan Ki Bekel dengan kekuatan kita yang tentu sudah
mereka ketahui."
"Apakah mereka tidak memperhitungkan bahwa langkah
yang mereka ambil itu akan sia-sia saja?" desis seorang yang
lain. "Aku tidak tahu apa maksud mereka sebenarnya dengan
langkah yang diambilnya kali ini" berkata Kia i Gumrah
kemudian. "Baiklah" berkata juragan gula itu "kita akan menunggu,
apa yang nanti akan terjadi."
"Tetapi jika Kiai Windu Kusuma datang dengan seluruh
kekuatannya, menumpang gejolak yang telah dibuatnya,
maka kita akan mengalami kesulitan." berkata Kiai
Gumrah. "Aku belum yakin, kalau Kiai Windu Kusuma memakai
cara ini untuk tujuan akhir. Mungkin ia sekedar memancing
satu pergolakan untuk rencananya yang lebih besar" sahut
juragan gula itu.
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya "Sudahlah, Kita menunggu apa yang terjadi. Aku
akan pergi ke dapur lebih dahulu."
Didapur Kiai Gumrah telah memberikan beberapa pesan
kepada Nyi Prawara dan kepada Winih. Agaknya Kiai
Gumrah menanggapi peristiwa yang akan terjadi itu dengan
bersungguh-sungguh.
Ketika senja mulai turun, Manggada dan Laksana
diperingatkan oleh Kiai Gumrah untuk tidak pergi ke banjar
lama karena kemungkinan-kemungkinan buruk akan dapat
terjadi. "Kita akan menunggu disini" berkata Kiai Gumrah.
"Tetapi banjar itu akan tetap gelap" desis Manggada.
"Biar sajalah untuk malam ini. Atau mungkin malammalam berikutnya. Jika Ki Bekel nanti benar-benar datang,
mungkin akan ada perubahan-perubahan terjadi di
padukuhan ini."
Manggada hanya dapat mengangguk-angguk saja.
Sementara Kiai Gumrah berkata "Hari-harilah, Perhatikan
halaman belakang rumah ini. Tetapi kau tidak perlu keluar
dan turun ke halaman belakang karena hal itu juga
berbahaya bagi kalian berdua."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil.
Mereka memang dapat menyadari, bahwa bahaya akan
mengintip mereka setiap saat.
Sementara itu, lampupun telah dinyalakan dirumah Kiai
Gumrah. Bahkan oncor diregolpun telah menyala pula.
Tetapi banjar, lama padukuhan itu masih tetap gelap karena
Manggada dan Laksana tidak, datang kebanjar untuk
membersihkan banjar dan menyalakan lampu-lampu
minyak sebagaimana dilakukannya setiap hari.
Ketika malam mulai turun, maka pembicaraan diantara
orang-orang tua diruang tengah itupun menjadi semakin
mereda. Bagaimanapun juga terasa bahwa mereka mulai
diusik oleh ketegangan. Menurut keterangan anak muda
yang datang kerumah itu, Ki Bekel akan datang lepas senja
atau saat malam mulai turun.
Ketika diruang dalam itu tidak lagi terdengar suara gurau
dan tawa, maka seperti yang mereka tunggu, maka Ki Bekel
benar-benar telah datang kerumah itu. Ternyata bukan
sekedar Ki Bekel dan beberapa orang bebahu, tetapi
berpuluh-puluh orang padukuhan itu dengan membawa
obor ditangan telah memasuki halaman rumah Kiai
Gumrah. Suara riuh di halaman memang membuat orang-orang
yang ada didalam rumah itu terkejut. Mereka memang
sudah menunggu kedatangan Ki Bekel. Tetapi ternyata
bahwa Ki Bekel telah membawa banyak orang datang
kehalaman rumah itu.
"Apa pula yang dilakukan Ki Bekel itu?" desis Kiai
Gumrah. Kawan-kawannya tidak menyahut. Namun merekapun
mendengar bahwa di halaman rumahnya itu telah
berkumpul orang-orang yang membawa obor sambil
berteriak memanggil-manggil "Kiai Gumrah, keluarlah."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Iapun
kemudian memanggil Nyi Prawara, Winih, Manggada dan
Laksana. Kepada mereka Kiai Gumrah berkata. "Jangan
keluar. Kalian sebaiknya tetap berada didalam. Selain
untuk, kepentingan kalian, awasi pusaka-pusaka ini.
Mungkin Ki Bekel telah diperalat oleh orang-orang yang
menginginkan pusaka-pusaka itu. Dalam kekisruhan ini,
mereka dapat memanfaatkannya untuk mengambil pusakapusaka itu. Berhati-hatilah."
"Baik kakek" jawab Manggada dan Laksana hampir
berbareng. Demikianlah, maka Kiai Gumrahpun telah melangkah
ke pintu. Sebelum ia membuka pintu itu, maka terdengarpintu itu diketuk keras-keras dari luar. Terdengar suara Ki
Bekel memanggil-manggil
"Kiai Gumrah. Keluarlah. Cepat, sebelum kami menjadi
semakin marah."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian iapun segera membuka pintu.
Ki Bekel memang berdiri didepan pintu. Ketika pintu itu
terbuka, maka Ki Bekelpun segera melangkah surut.
Beberapa orangpun telah ikut melangkah surut pula.
Ki Bekel itu mengerutkan dahinya ketika ia melihat
beberapa orang lain telah keluar pula dan rumah Kiai
Gumrah. "Jadi kalian sudah bersiapsiap menyambut kedatangan
kami, he?" berteriak Ki Bekel.
"Ki Bekel" berkata Kiai
Gumrah "aku tidak tahu apa
yang telah terjadi. Tetapi perkenankan aku mengucapkan
selamat datang kepada Ki
Bekel dan beberapa puluh
orang saudara-saudaraku yang
malam ini datang kerumahku."
"Kiai Gumrah" berkata Ki
Bekel "aku akan langsung
kepersoalannya saja. Aku datang untuk menjatuhkan
keputusan bahwa kau harus meninggalkan rumah ini.
Rumah dan halaman yang kami sediakan bagimu dan
keluargamu ternyata tidak berarti sama sekali bagi
padukuhan ini. Justru sebaliknya, kehadiranmu dirumah ini
telah membuat persoalan yang sangat merugikan padukuhan ini."
Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Ki Bekel. Aku tidak tahu apa maksud
Ki Bekel sebenarnya."
"Jangan berpura-pura. Aku sudah memperingatkanmu,
jika kau berbuat kesalahan lagi, maka kau akan kami usir
dari padukuhan ini. Ternyata kau tidak mendengarkan
peringatanku itu. Dan kau benar-benar telah melakukan
kesalahan lagi. Bahkan nampaknya kau sengaja bersama
cucu-cucumu. Karena itu, maka kami sudah kehabisan
kesabaran. Kalian, seisi rumah ini harus pergi. Tetapi
karena segala milikmu adalah hasil dari tanah dan
ladangmu, termasuk kebun kelapamu, maka kau tidak
berhak membawanya. Semuanya harus kau tinggalkan.
Yang dapat kau bawa hanyalah pakaian yang sekarang
melekat ditubuhmu itu saja."
"Ah" desah Kiai Gumrah "Ki Bekel jangan bergurau."
"Setan kau. Aku tidak bergurau. Aku bersungguhsungguh. Kalian kami usir dari padukuhan ini. Kalian tidak
perlu bertanya lagi. Kalian tentu sudah tahu akan kesalahan
kalian," "Ki Bekel" berkata Kiai Gumrah "ketika aku menerima
peringatan dari Ki Bekel kemarin, maka akupun telah
mengingatnya dengan baik. Aku sudah menasehati cucucucuku agar mereka tidak melakukan kesalahan lagi."
-"Omong kosong" geram Ki Bekel "kau lihat, malam ini
banjar lama itu gelap gulita. Halamannya kotor seperti
rumah yang sudah bertahun-tahun tidak berpenghuni."
"O" Kiai Gumrah mengangguk-angguk "tetapi bukankah
itu kesalahan yang tidak mendasar" Tidak sebagaimana
dilakukannya kemarin. Sehari ini aku marahi cucu-cucuku,
sehingga mereka dan juga aku, justru lupa menyalakan
lampu. Sementara itu, kesalahan kecil itu apakah seimbang
dengan keputusan yang Ki Bekel ambil untuk mengusir
kami dari rumah ini?"
"Jangan banyak bicara" berkata Ki Bekel "kami tidak
ingin berbantah tentang apapun juga. Tetapi keputusan
kami sudah bulat. Kalian harus pergi." Bahkan Ki Bekel itu
tiba-tiba saja menghadap kepada orang-orang yang
mengikutinya sambil bertanya "He, apakah pendapat kalian
tentang kakek tua yang keras kepala ini?"
"Usir saja. Usir saja" terdengar teriakan gemuruh.
Bahkan seseorang diantara mereka berteriak "Jika perlu,
bunuh saja."
Celakanya beberapa orang menyahut "Bunuh saja.
Bunuh saja."
Kiai Gumrah memang menjadi tegang. Bukan karena ia
ketakutan menghadapi orang banyak. Tetapi Kiai Gumrah
memang bingung, apa yang harus dilakukan terhadap
orang-orang itu.
Ketika teriakan orang-orang itu menjadi semakin keras,
maka Ki Bekel berkata "Nah, kau dengar tuntutan mereka
atas kalian" Karena itu, sekarang kalian dan orang-orang
yang kalian kumpulkan dirumah ini harus pergi tanpa
membawa apapun juga."
"Ki Bekel" sahut Kiai Gumrah "ternyata Ki Bekel tidak
adil. Beritahu kesalahanku. Beri aku kesempatan untuk
membela diri. Jika ternyata aku benar-benar bersalah, maka
aku tidak akan berkeberatan untuk pergi."
"Jangan -banyak bicara" geram Ki Bekel "aku masih
dapat menahan kemarahan orang-orang yang sebagaimana
kau dengar sendiri ingin membunuhmu."
"Tetapi Ki Bekel harus memberikan penjelasan" sahut
Kiai Gumrah "Ki Bekel tidak dapat berlaku sewenangwenang. Ki Bekel harus menenangkan orang-orang itu.
Atau Ki Bekel dapat menunjuk salah seorang diantara
mereka untuk mengatakan apa kesalahanku sehingga
mereka ingin mengusirku, bahkan membunuhku."
"Cukup" teriak Ki Bekel "aku tidak sedang berbantah.
Tetapi aku sedang memerintahkan kau pergi dari
padukuhan ini."
"Itu tidak cukup" tiba-tiba saja Kiai Gumrah juga
berteriak "aku tidak menerima perlakuan yang tidak adil
ini." Teriakan Kiai Gumrah justru mengejutkan sehingga Ki


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bekel dan orang-orang yang berkumpul di halaman Kiai
Gumrah itu terdiam. Kesempatan itu dipergunakan oleh
Kiai Gumrah untuk berbicara selanjutnya "Nah, siapa yang
dapat menunjukkan kesalahanku atau kesalahan cucucucuku. Maksudku tentu kesalahan yang mendasar. Yang
berarti, sehingga pantas dijadikan alasan untuk mengusir
aku dari padukuhan ini. Katakan. Siapa yang akan
mengatakannya?"
Orang-orang itu justru terdiam "atau sekedar prasangka
buruk" Atau lebih buruk dari itu" Fitnah, hasutan orang lain
karena iri, dengki atau kepentingan-kepentingan yang lain"
Ki Bekel yang tidak siap menerima pertanyaan, yang
beruntun itu justru terdiam. Meskipun wajahnya menjadi
tegang, tetapi mulutnya justru terbungkam. Ia tidak dapat
langsung menjawab. Apalagi orang-orang lain yang
mengikutinya sambil membawa obor itu. Mereka benarbenar menjadi bingung. Sementara beberapa orang diantara
mereka sebelumnya sama sekali tidak mempunyai
persoalan apapun dengan Kiai Gumrah yang mereka kenal
sebagai seorang penyadap legen kelapa untuk dibuat gula.
Bahkan ada diantara mereka yang menganggap bahwa Kiai
Gumrah adalah seorang tua yang baik dan ramah
Untuk Sesaat halaman rumah Kiai Gumrah itu menjadi
hening. Ki Bekel hanya berdiri tennangu-mangu saja.
Sementara orang-orang yang membawa obor di halaman itu
menjadi bingung.
Namun tiba-tiba dalam keheningan itu terdengar
seseorang berteriak "Kiai Gumrah. Jangan berpura-pura
tidak tahu akan kesalahanmu sendiri. Memang bukan
sekedar lampu banjar tua atau halaman banjar itu yang
kotor. Juga bukan sekedar karena cucu-cucumu yang
berkelahi dan memukuli Rambatan yang tidak bersalah
meskipun Rambatan kami anggap anak nakal disini. Tetapi
yang lebih mendasar dari kesalahanmu adalah, bahwa kau
adalah seorang tukang tenung. Kau mempunyai kemampuan ilmu sihir yang kau pergunakan untuk tujuan
yang buruk. Kau sudah membunuh beberapa orang dengan
tenungmu atas upah orang lain."
Kiai Gumrahlah yang kemudian terkejut mendengar
jawaban itu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa
tuduhan yang dilemparkannya adalah pekerjaan yang sama
sekali tidak dimengertinya. Tenung.
Karena itu, maka Kiai Gumrahpun langsung mengerti,
bahwa orang yang menghasut Ki Bekel adalah orang yang
benar-benar menghendaki kehancurannya.
Dengan demikian, maka hampir diluar kesadarannya
iapun berdesis kepada kawan-kawannya "Kita benar-benar
berhadapan dengan mereka. Tetapi kita belum tahu,
sejauhmana sasaran yang mereka kehendaki dengan
permainan yang kotor ini."
Kawan-kawannyapun mengangguk-angguk. Merekapun
melihat permainan yang kotor dan licik itu. Bahkan orangorang yang berniat mengambil pusaka-pusaka itu sampai
hati mengumpankan orang-orang yang tidak tahu apa yang
sebenarnya mereka lakukan itu.
Dalam pada itu, maka terdengar suara itu lagi "Jika kita
ingin padukuhan kita bersih, maka orang tua itu harus
diusir dari padukuhan ini."
"Jika perlu bunuh saja" suara itu terdengar lagi.
Tetapi tidak terdengar sahutan yang serta-merta. Orangorang yang membawa obor itu tidak lagi berteriak-teriak.
Namun dalam pada itu, Ki Bekel yang seakan-akan
sudah terbangun dari mimpinya itu tiba-tiba saja telah
berteriak pula "Nah, apa katamu Kiai Gumrah. Berapa
orang yang telah kau bunuh dengan tenagamu dengan upah
orang lain" Orang-orang yang tidak pernah bersalah
kepadamu dan bahkan belum pernah mengenalmu, harus
mati karena ilmu hitammu."
Dan suara itu terdengar lagi "Bunuh saja. Bunuh saja."
Karena tidak ada sahutan yang gemuruh, maka Ki
Bekelpun kemudian berteriak "He, saudara-saudaraku. Jika
kemarin kiai Gumrah teiah membunuh orang yang tidak
kalian kenal, apa kata kalian jika besok atau lusa kalian
sendiri yang akan dibunuhnya" Apalagi setelah Kiai
Gumrah melihat kalian datang malam ini bersamaku untuk
mengusirnya.."
Beberapa orang memang mulai terpengaruh lagi. Tetapi
tidak menghentak dan bahkan ada orang yang sempat
berpikir apa yang sebenarnya dilakukannya.
Dalam pada itu Kiai Gumrahpun berkata "Saudara
saudaraku. Satu perbuatan yang keji telah dilakukan oleh
sekelompok orang yang datang untuk menghasut Ki Bekel
dan bahkan menghasut kalian semuanya. Jika aku pernah
membunuh seorangpun dengan tenung, nah, katakan
siapakah yang telah aku bunuh itu. Apa pula tandatandanya bahwa akulah yang telah membunuhnya"
Sebelum kalian datang kerumahku hari ini, apakah kalian
pernah mendengar sepatah katapun dari siapapun yang
mengatakan bahwa aku memiliki ilmu tenung" Tidak
saudara-saudaraku. Baru-saat ini orang yang menuduhku
mempunyai ilmu tenung itu ingat, tuduhan apakah yang
terbaik dikatakan untuk memperkuat niatnya mengusir aku,
meskipun aku tidak tahu apakah tujuannya yang
sebenarnya."
"Jangan dengarkan ia membual" terdengar suara dari
antara orang-orang yang membawa obor itu "orang tua
tukang tenung itu harus diusir dari padukuhan ini."
Dan suara yang itu-itu juga terdengar lagi "Bunuh saja
orang tua tukang tenung itu."
Tetapi dengan cepat Kiai Gumrah berkata "Saudarasaudaraku. Kalian tidak usah bersusah payah membunuh
aku. Jika kalian dapat membuktikan bahwa aku tukang
tenung, maka aku akan membunuh diri dihadapan saudarasaudaraku malam ini juga."
"Bohong. Omong kosong" teriak seseorang "selama ini
orang yang kau bunuh adalah orang-orang yang tidak
tinggal dipadukuhan ini. Tetapi besok, lusa dan kesempatan
berikutnya?"
Ki Bekelpun berteriak pula "Orang itu memang licik.
Sekarang kita harus segera bertindak. Usir orang itu. Usir
juga kawan-kawannya. Mereka tentu juga tukang tenung
atau pembantu-pembantu Kiai Gumrah."
Tetapi juragan gula itulah yang kemudian melangkah
maju sambil berkata "Ki Sanak. Apakah kalian lupa
kepadaku" Apakah kalian belum mengenal aku" Sebagian
besar dari Ki Sanak tentu pernah berhubungan dengan aku.
Mungkin dipasar atau dirumah atau dimana saja. Demikian
pula kawan-kawanku yang hari ini sengaja datang untuk
sekedar berbincang dirumah ini. Bukankah gula kami tetap
manis" Nah, kenapa tiba-tiba saja kalian seperti orang
bermimpi dan berbicara tentang tenung?"
"Cukup. Cukup" Ki Bekel berteriak. Lalu katanya
kepada orang-orang yang datang bersamanya "Nah, kalian
sudah mulai merasakan, betapa tajamnya pengaruh sihirnya
atas kalian. Kalian yang datang dengan tekad yang bulat,
kini kalian seakan-akan telah kehilangan diri kalian,
masing-masing. Karena itu, maka kalian harus cepat
bertindak sebelum kalian akan menjadi lemas dan jatuh
pingsan dihalaman rumah ini. Padukuhan ini mulai besok
akan dimakan page-blug Pagi sakit, sore mati dan sore
mulai sakit, paginya sudah mati."
Beberapa orang mulai tergerak lagi. Para bebahu yang
sudah terbius oleh
janji-janji yang
muluk tanpa menghiraukan kebenaran telah berteriak pula "Usir orang
itu." Dan suara itu terdengar lagi "Bunuh saja. Bunuh saja."
Orang-orang yang membawa obor itu menjadi semakin
kebingungan. Tetapi ketika Ki Bekel dan para bebahu mulai
bergerak dan berteriak-teriak, maka beberapa orangpun
telah mulai melakukannya pula.
Namun dalam sekilas Kiai Gumrah dan kawankawannya sempat melihat beberapa orang yang tidak
dikenalnya diantara mereka yang membawa obor itu.
Karena itu, maka Kiai Gumrahpun berteriak keras-keras
"He, lihat. Siapakah yang berteriak paling keras diantara
kalian" Selain Ki Bekel, lihat, apakah kalian, orang-orang
padukuhan ini, mengenali beberapa orang diantara kalian"
Orang yang justru berusaha mempengaruhi kesadaran
kalian" Ingat, kita adalah sama-sama penghuni padukuhan
ini. Kita sudah mengenal masing-masing lahir dan
batinnya. Tetapi kalian lihat, siapakah orang-orang yang
paling gigih mengajukan tuntunan terhadap kami malam
ini?" Tetapi Ki Bekel tidak memberi kesempatan berpikir
kepada orang-orangnya. Iapun kemudian berteriak "Cepat,
usir orang itu. Semakin cepat semakin baik."
Tetapi Ki Bekel tidak mampu menggerakkan semua
orang yang datang kehalaman rumah Kiai Gumrah.
Memang beberapa orang yang melihat beberapa orang
bebahu mendesak maju, merekapun ikut-ikutan pula.
Bahkan beberapa orang telah mendorong mereka dari
belakang. Ketika seorang diantara mereka berpaling,
ternyata yang mendorongnya adalah orang yang tidak
dikenalnya. Bukan penghuni padukuhan itu.
Sementara itu, Kiai Gumrah sesaat menjadi bingung. Ia
tidak ingin berkelahi melawan tetangga-tetangganya sendiri.
Tetapi iapun tidak mau menjadi bulan-bulanan oleh Ki
Bekel yang telah dihasut oleh orang-orang yang tidak
dikenal itu. Karena itu, ketika sebagian dari orang-orang yang datang
kehalaman rumah Kiai Gumrah itu mulai bergerak, maka
Kiai Gumrahpun berdesis kepada
kawan-kawannya "Apaboleh buat. Kita tidak akan mengumpankan diri
dimakan api obor-obor itu. Tetapi kita harus tahu diri,
siapapun yang kita hadapi."
Kawan-kawan Kiai Gumrah itupun menyadari, bahwa
yang akan mereka hadapi bukan orang-orang padukuhan
itu. Tetapi orang-orang yang justru tidak dikenal yang
berteriak-teriak paling keras untuk memacu kemarahan
orang-orang padukuhan itu.
Namun Kiai Gumrah kemudian telah membuat rencana
tersendiri. Ketika orang-orang itu mendesak maju, maka
iapun meloncat dengan cepatnya. Jauh melampaui
kecepatan yang dapat dibayangkan oleh orang-orang
padukuhan itu, yang tidak mengetahui kemampuan Kiai
Gumrah yang sebenarnya.
Sebelum orang-orang yang datang kerumahnya itu
menyadari, maka Kiai Gumrah telah menangkap Ki Bekel.
Diputarnya tangan Ki Bekel itu setelah ditarik beberapa
langkah surut menjauhi orang-orang yang bergerak itu.
Adalah diluar kemampuan pengamatan orang-orang
yang mengikutinya termasuk para bebahu, maka Kiai
Gumrah itu telah menarik keris Ki Bekel itu sendiri. Sambil
mengacukan ujung keris itu ke leher Ki Bekel, maka Kiai
Gumrahpun berteriak
"Berhenti. Atau Ki Bekel ini akan menjadi mayat."
Orang-orang yang mengikuti Ki Bekel itu terkejut.
Mereka memang berhenti bergerak. Dihadapan mereka,
diterangi oleh cahaya obor, maka mereka melihat ujung
keris Ki Bekel itu sendiri telah melekat dilehernya.
"Apaboleh buat ?" berkata Kiai Gumrah keras-keras
"kalian tidak akan dapat membunuh aku dua kali. Jika
kalian benar-benar ingin membunuhku, maka Ki Bekel ini
akan mati juga bersamaku."
Para bebahu padukuhan itu menjadi tegang. Sementara
itu Ki Bekel sendiri sudah tidak berdaya. Tangannya yang
sebelah terpilin dibelakang tubuhnya, sementara ujung
kerisnya sendiri melekat dilehernya.
"Ki Bekel" berkata Kiai Gumrah "perintahkan orangorangmu untuk mundur."
Karena Ki Bekel masih berdiam diri, maka ujung keris
itu mulai menekan kulitnya. Kiai Gumrah itupun berkata
lagi "Cepat, atau Ki Bekel akan mati bersamaku."
Ki Bekel memang tidak dapat berbuat lagi. Dengan,
suara parau ia berkata "Mundurlah. Mundurlah."
Suasana benar-benar menjadi tegang. Para bebahu dan
orang-orang yang membawa obor itu tidak mempunyai
pilihan lain. Setapak demi setapak mereka melangkah surut.
Ternyata hal itu tidak mereka perhitungkan sebelumnya.
Juga orang-orang yang tidak dikenal oleh orang-orang
padukuhan itu tidak memperhitungkannya. Karena itu,
ketika hal itu terjadi, mereka harus berpikir untuk mencari
jalan keluar. Namun satu hal harus terjadi, keributan di halaman
rumah itu. Karena itu, ketika Ki Bekel yang tidak berdaya itu
memerintahkan orang-orangnya untuk melangkah surut,
maka beberapa orang tiba-tiba telah bergerak sambil
berteriak "Bunuh tukang tenung itu. Jangan hiraukan Ki
Bekel. Untuk mencapai satu tujuan yang besar, kita harus
berani memberikan pengorbanan."
Para bebahu dan orang-orang padukuhan itu semakin
menjadi bingung. Sementara beberapa orang mulai bergerak
sambil mendorong orang-orang padukuhan itu untuk
bergerak maju. "Marilah, jangan hiraukan Ki Bekel" teriak seseorang.
Tetapi Ki Bekel memberikan isyarat dengan tangannya
yang sebelah, yang sengaja dilonggarkan oleh Kiai Gumrah
sambil berteriak "Jangan. Mundurlah."
Tetapi orang-orang itu berteriak "Kita selesaikan orang


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu sekarang. Jangan menunda lagi."
Kiai Gumrahlah yang kemudian bergumam "Ki Bekel.
Orang-orang itu tidak menghiraukan lagi nyawamu.
Mereka membiarkan kau mati bersamaku."
"Tidak. Jangan lakukan itu. Aku masih ingin hidup"
teriak Ki Bekel sambil meronta.
Kiai Gumrah terpaksa melonggarkan tekanan kerisnya
agar tidak melukai leher Ki Bekel Dengan nada berat ia
berkata "Kau lihat Ki Bekel, bahwa ternyata kau juga tidak
berharga. Harga nyawamu sama dengan harga nyawaku."
"Terkutuklah kalian. Jangan biarkan aku mati." Tetapi
teriakan Ki Bekel benar-benar tidak berarti. Seseorang
diantara orang-orang yang menyusup itu berteriak "Relakan
Ki Bekel. Kita akan segera memilih orang baru. Mungkin
salah seorang dari para bebahu yang ada disini akan dipilih
menjadi Bekel di padukuhan ini."
"Setan kau" geram Ki Bekel "ternyata kalian adalah
pengkhianat."
"Jangan dengarkan Ki Bekel yang cengeng dan sedang
merajuk itu, Ia harus rela menjadi korban bagi kepentingan
padukuhan ini. Jika ia memang seorang pemimpin yang
baik, maka seharusnya tidak memikirkan diri sendiri.
Seandainya ia harus mati, maka kematiannya akan menjadi
pupuk mensejahteraan rakyat padukuhan ini. Dengan
demikian, maka Ki Bekel akan mati sebagai seorang
pahlawan. Berbahagialah kalian mempunyai seorang
pemimpin yang bersedia mengorbankan dirinya. Kalianpun
selanjutnya akan memiliki seorang pahlawan yang akan
dapat kalian ceriterakan kepada anak cucu kalian."
Jantung orang-orang padukuhan itu, terutama para
bebahu, menjadi semakin terguncang. Kata-kata itu
memang sangat mempengaruhinya, sehingga merekapun
mulai bergerak lagi.
Namun yang mereka hadapi kemudian seakan-akan
bukan lagi Kiai Gumrah yang mereka kenal sehari-hari.
Orang yang memilih tangan Ki. Bekel dan mengacukan
ujung keris kelehemya itu seolah-olah adalah orang lain.
Seorang yang sangat garang dengan pandangan mata yang
menyala bagaikan bara api.
Ketika orang-orang yang tidak dikenal itu mendorong
beberapa orang maju, maka Kiai Gumrahpun berkata "Ki
Bekel. Sekarang kau dapat menilai sendiri. Bukankah,kau
sekedar diumpankan untuk memancing kerusuhan disini.
Aku akan melepaskanmu. Terserah, apa yang. akan kau
lakukan. Tetapi aku akan melawan habis-habisan
menghadapi orang-orang yang tidak dikenal itu"
Ki Bekel, tidak menjawab. Namun seperti yang
dikatakan, ketika sekelompok orang benar-benar menyerang, maka Ki Bekel itu telah dilepaskannya.
Didorongnya Ki Bekel ke-samping, sementara Kiai
Gumrahpun telah meloncat menghadapi orang-orang yang
memang menyerangnya. Justru bukan orang-orang padukuhan itu. Demikianlah, maka pertempuranpun telah terjadi.
Kawan-kawan Kiai Gumrah dan Ki Prawara telah
bertempur menghadapi beberapa orang yang ikut serta
menyelinap diantara berpuluh orang yang datang ke
halaman rumah itu.
Beberapa saat kemudian, pertempuranpun menjadi
semakin sengit dan keras. Para pembuat gula itu benarbenar telah berubah. Mereka bukan orang-orang tua yang
ramah, yang menerima uang keping demi keping ketika
mereka menjual gulanya. Tetapi mereka telah menjadi
orang-orang yang garang dan bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka.
Dalam pertempuran yang tegang itu terdengar Kiai
Gumrah berkata "Kalian tidak akan dapat ingkar lagi.
Kalian adalah para pengikat Kiai Windu Kusuma."
"Persetan dengan igauanmu" geram lawan Kiai Gumrah.
"Ki Bekel" teriak Kiai Gumrah "perhatikan mereka.
Mereka adalah orang-orang jahat yang telah menghasut dan
memperalat Ki Bekel untuk memusuhi kami."
Ki Bekel berdiri termangu-mangu. Para bebahupun telah
berloncatan menepi. Mereka tidak lagi mengerti apa yang
telah terjadi di halaman rumah Kiai Gumrah itu. Yang
mereka lihat adalah pertempuran yang menjadi semakin
sengit. Orang-orang yang datang sambil membawa obor itu
mulai sempat menilai apa yang telah mereka lakukan.
Demikian pula beberapa orang bebahu. Bahkan Ki Bekel
sendiri yang merasa dikhianati. Apalagi setelah ternyata
Kiai Gumrah telah melepaskannya tanpa menyakitinya.
"Jika saja ia ingin membunuhku, maka ia tidak akan
mengalami kesulitan." berkata Ki Bekel didalam hatinya.
Dalam pada itu, pertempuranpun menjadi semakin
cepat. Ternyata orang-orang yang menyusupi diantara
berpuluh orang padukuhan itupun cukup banyak, sehingga
Kiat Gumrah, enam tamunya dan Ki Prawara harus bekerja
keras untuk bertahan.
Namun merekapun segera menyadari, bahwa yang
dikirim oleh Kiai Windu-Kusuma saat itu bukanlah orang
yang terbaik. Kiai Gumrahpun segera teringat akan Darpati yang hari
itu menjadi sangat marah karena ia gagal membawa Winih,
Manggada dan Laksana. Agaknya Darpati termasuk salah
seorang yang menggerakkan orang-orang Kiai Windu
Kusuma itu. Sebenarnyalah bahwa Darpati memang ikut bergerak
malam itu. Manggada dan Laksana yang ada diruang
belakang telah mendengar pintu diketuk orang perlahanlahan. Namun keduanya tidak segera membukakannya.
Dalam keragu-raguan itu Winihpun telah datang pula
sambil berdesis "Aku mendengar pintu diketuk orang."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun
dengan berdesis Manggada.berkata "Kita tidak dapat
membukakannya."
Winih memang tidak memaksa, tetapi tiba-tiba saja
terdengar desis dipintu "Winih. Apakah kau mengalami
kesulitan?"
Winih terkejut mendengar suara itu. Suara itu adalah
suaral Darpati.
Namun ketika ia melangkah kepintu, Manggada
memperingatkannya "Winih. Jangan kau buka pintu itu."
Winih memang menjadi, ragu-ragu. Namun terdengar
lagi suara itu "Winih. Sebenarnya aku ingin tidak
mempedulikan apa yang terjadi karena kakekmu telah
menyakiti hatiku. Tetapi ternyata aku tidak sampai hati
membiarkan kau terlindas oleh kerusuhan yang terjadi itu.
Kakekmu, ayahmu dan kawan-kawannya agaknya mengalami kesulitan karena, yang datang bukan hanya
orang-orang padukuhan ini. Tetapi juga beberapa orang
yang tidak dikenal."
Manggadalah yang menyahut "Terima kasih atas
kesediaanmu Darpati. Jika kakek mengalami kesulitan,
turunlah ke medan pertempuran itu. Selamatkan kakek dan
paman Prawara serta kawan-kawannya."
Sejenak tidak terdengar jawaban Darpati. Namun
kemudian suara itu terdengar lagi "Manggada. Aku tidak
dapat melakukannya karena hanya akan sia-sia saja. Orangorang yang datang itu terlalu banyak. Bahkan diantara
mereka terdapat orang-orang berilmu tinggi. Karena jalan
yang terbaik bagi kalian adalah meninggalkan tempat ini
meskipun hanya untuk sementara sebelum kita menemukan
jalan lain."
"Tidak Darpati. Aku tidak dapat membuka pintu itu."
jawab Manggada.
Namun dalam pada itu, Winih berdiri dengan tegang.
Keringatnya mengalir membasahi keningnya. Dipandanginya pintu yang bergetar diketuk-ketuk dari luar.
Sementara Manggada dan Laksana tidak mau membuka
pintu itu. Ketegangan yang sangat ternyata telah mencengkam
jantung Winih. Ada sesuatu yang bergejolak didadanya.
Namun tiba-tiba diluar dugaan Manggada dan Laksana,
Winih itupun dengan serta merta berlari menuju kepintu.
Tanpa minta pertimbangan siapapun juga, Winih telah
mengangkat selarak pintu itu dan membukanya.
"Winih" Manggada dan Laksana yang terkejut itu
berteriak. Tetapi pintu itu sudah
terbuka. Darpati yang berdiri diluar
pintu itu juga terkejut. Ia
memang tidak mengira bahwa pintu akan segera
dibuka. Namun demikian ia
melihat Winih berdiri dimuka
pintu, maka iapun segera
menangkap tangannya dan
menariknya keluar.
"Marilah Winih. Waktu
kita sangat sempit."
Sementara itu Nyi Prawara
yang mendengar teriakan Manggada dan Laksana telah
datang pula sambil bertanya "Kenapa dengan Winih?"
Manggada tidak sempat menjawab, karena ia telah
berlari menyusul. Laksana yang sedang melangkah itupun
terhenti sambil menjawab "Winih telah membuka pintu. Ia
sedang ditarik Darpati keluar."
Laksana tidak memberikan penjelasan lebih panjang.
Tetapi iapun segera berlari menyusul.
Diluar pintu ternyata Winih tidak begitu saja mengikuti
Darpati yang berusaha menariknya. Sambil menahan
dirinya Winih bertanya "Darpati. Kita, akan pergi ke
mana?": "Marilah Winih" sahut Darpati "jangan bertanya
sekarang. Kita menyelamatkan diri lebih dahulu. Baru nanti
kita berbincang."
Namun dalam pada itu, Manggada dan kemudian
disusul oleh Laksanapun telah berdiri disebelah Winih.
Dengan nada berat Manggada bertanya "Apa yang akan
kau lakukan Darpati"
"Sudah aku katakan. Aku akan menyelamatkan Winih."
jawab Darpati. "Tidak. Kau tidak dapat membawanya pergi" jawab
Manggada. "Manggada" desis Darpati "apakah kau tidak sayang
kepada adikmu" Bukankah seharusnya kau ikut membantuku, menyelamatkan adikmu. Kenapa justru kau
berniat menghalanginya" Apakah dengan demikian bukan
berarti bahwa kau. ikut menjerumuskan adikmu dalam
kesulitan?"
"Apapun yang kau katakan, tetapi kami tidak dapat
melepaskan Winih pergi." geram Laksana.
"Laksana. Aku mencintai, Winih. Barangkah kata-kata
itu belum pernah aku katakan. Bahkan kepada Winih
sendiri. Tetapi sikapku dan perbuatanku telah menyiratkan
nilai dari sikapku itu. Karena itu, maka akupun ingin
menyelamatkannya."
"Terima kasih atas niatmu Tetapi kami tidak setuju
dengan cara yang kau tempuh." Jawab Laksana.
"Jika demikian, apaboleh buat. Aku akan mempergunakan caraku yang mungkin tidak sesuai dengan
maksudmu " berkataDarpati.
"Aku akan membawa Winih kembali masuk keruang
dalam" berkata Manggada.
"Tidak. Aku akan membawa Winih pergi" geram
Darpati. Ketika Darpati akan menarik Winih semakin jauh,
Manggada dan Laksana telah bergerak untuk menghalanginya. Namun Darpatipun tertawa pendek.


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Katanya "Manggada dan Laksana. Kita sudah saling
mengetahui kemampuan kita masing-masing. Nah, apakah
kau akan berani melawan aku?"
"Apapun yang terjadi, kami tidak akan melepaskan
Winih" jawab Manggada.
Darpati memang menjadi kehilangan kesabarannya.
Sambil mendorong Winih kesamping ia berkata "Aku
terpaksa melakukannya, Winih. Waktu kita tidak banyak,
sementara orang-orang itu menjadi semakin buas. Jika
mereka berhasil mengalahkan kakek, ayahmu dan kawankawannya, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk."
Manggada dan Laksana tidak mempedulikannya lagi.
Merekapun segera melangkah mendekati Darpati yang telah
siap pula menghadapinya.
Sejenak kemudian, maka Manggada dan Laksana itu
telah bertempur melawan Darpati. Sejak semula Manggada
dan Laksana telah menyadari, bahwa ilmu mereka tidak
akan mampu melawan Darpati. Namun keduanya, tidak
mempunyai pilihan lain karena mereka tidak akan dapat
membiarkan Winih dibawa oleh Darpati yang memang
mencurigakan sejak semula.
Namun Manggada dan Laksana bukannya tidak
berkemampuan sama sekali. Keduanya pernah menerima
ajaran tentang olah kanuragan. Keduanya pernah
berhubungan dengan seorang Ajar yang telah membantunya meningkatkan landasan ilmu mereka.
Merekapun memiliki pengalaman yang cukup banyak
selama pengembaraan mereka. Karena itu, meskipun pada
dasarnya Darpati adalah seorang yang berilmu tinggi,
namun Darpati tidak dapat serta-merta menghentikan
perlawanan Manggada dan Laksana.
Dengan demikian maka Darpatipun menjadi semakin
marah. Sambil menghentakkan kemampuannya, maka
Darpatipun berkata "Kalian memang harus dibunuh.
Jangan menyesal bahwa aku akan benar-benar melakukannya."
Manggada dan Laksana menyadari, bahwa Darpati tidak
main-main dengan ancamannya. Ketika Darpati sampai
kepuncak ilmunya yang tinggi, maka Manggada dan
Laksana mulai mengalami kesulitan. Tetapi karena mereka
pemah ditempa selama mereka berguru serta pengalamannya yang luas, maka keduanya tidak segera
menjadi gentar. Betapapun Darpati mengancam, menggertak dan menghentakkan ilmunya, namun Manggada dan Laksana sama sekali tidak beranjak dari
arena. Sementara itu Darpatilah yang menjadi cemas. Meskipun setiap kali ia berhasil mendesak kedua orang
anak muda itu, namun keduanya ternyata cukup kuat untuk
mengatasinya. Dalam keadaan yang semakin gawat, karena Darpati
memperhitungkan perlawanan yang diberikan oleh Kiai
Gumrah dan kawan-kawannya, maka tiba-tiba saja Darpati
itu bersuit nyaring.
Adalah sangat mengejutkan bahwa beberapa orang telah
muncul dari dalam kegelapan. Dengan serta merta mereka
teiah mengepung Manggada dan Laksana.
Manggada dan Laksana meloncat surut. Jantung mereka
memang menjadi berdebaran. Ampat orang yang garang
dengan senjata ditangan itu nampaknya benar-benar
pembunuh yang tidak berjantung.
Winih yang juga terkejut melihat kehadiran mereka tibatiba saja melangkah maju sambil bertanya "Apa artinya ini
Darpati " Siapakah mereka dan untuk apa mereka datang
kemari?" "Waktu kita sangat sempit, Winih.. Aku terpaksa minta
bantuan mereka. Mereka tidak akan berbuat apa-apa.
Mereka hanya akan menahan Manggada dan Laksana yang
mencoba menghalangimu. Sementara itu kita akan pergi
menyelamatkan diri"
"Tetapi apa yang kau lakukan ini sudah berlebihan
Darpati" berkata Winih "aku mengenali keempat orang itu
sebagaimana ampat orang yang ada di pancuran itu.
Meskipun keempat orang yang ada dipancuran itu sudah
mati, tetapi rasa-rasanya mereka telah muncul kembali saat
ini " "Winih" kata Darpati "Kau jangan membayangkan yang
bukan-bukan seperti itu. Kita tidak mempunyai waktu. Jika
saja Manggada dan Laksana tidak mengganggu rencana ini,
maka aku tidak akan memanggil mereka, karena
sebenarnyalah mereka adalah orang-orang yang aku minta
membantuku menyelamatkanmu."
"Darpati" desis Winih kemudian "aku menjadi semakin
tidak mengerti akan sikapmu. Kenapa kau dengan orangorangmu tidak turun kemedan membantu kakek dan ayah?"
"Tidak ada gunanya Winih" jawab Darpati "orang yang
datang itu terlalu kuat."
"Tetapi kau dan ampat orang itu tentu akan sangat
berarti bagi kakek, ayah serta kawan-kawan mereka." jawab
Winih. "Sudahlah" berkata Darpati "kita tidak usah berbantah
sekarang. Marilah, kita tinggalkan tempat ini."
Namun jawab Winih kemudian justru tidak ragu-ragu
lagi "Tidak Darpati. Aku tidak dapat meninggalkan kakek,
ayah, ibu serta kakang Manggada dan Laksana dalam
kesulitan."
"Apa maksudmu Winih" suara Darpati menjadi
meninggi "Aku akan tetap tinggal bersama mereka apapun yang
akan terjadi dirumah ini." jawab Winih.
"Winih, kau jangan bodoh."
"Tidak Darpati. Aku tidak dapat pergi."
"Jika semua orang terbunuh di rumah ini, siapakah yang
akan meneruskan keturunan mereka" Keluarga ini akan
terputus tanpa anak turun yang dapat melanjutkan
kesinambungan hidup mereka." berkata Darpati.
"Itu lebih baik daripada aku hidup dalam siksaan
kenangan karena aku kehilangan segala-galanya" jawab
Winih. "Kau tidak akan kehilangan aku, Winih" berkata Darpati
bersungguh-sungguh.
"Tetapi kau orang baru bagiku, Darpati. Aku tidak ingin
berpisah dari apa yang pernah aku miliki sebelumnya,
sedangkan kau bagiku masih merupakan seseorang yang
berdiri diluar pintu."
"Winih" berkata Darpati yang menjadi tidak sabar lagi
"kita tidak mempunyai waktu untuk berbicara sekarang."
"Tinggalkan aku Darpati. Terima kasih atas segala
kebaikanmu sampai saat ini." berkata Winih.
"Tidak. Aku akan pergi bersamamu" sahut Darpati.
"Aku akan tetap berada bersama kakang Manggada dan
Laksana apapun yang terjadi." berkata Winih kemudian.
Wajah Darpati menjadi merah. Kesabaran telah sampai
ke batas, sehingga iapun berkata "Jika demikian, aku akan
membawamu. Maaf jika aku bersikap agak keras, sematamata demi keselamatanmu."
Tetapi ketika Darpati akan menarik tangan Winih, tibatiba saja terdengar suara seorang perempuan "Akhirnya
kami yakin ngger, bahwa kami memang tidak dapat
mempercayaimu."
"Bibi" Manggada dan Laksana hampir berbareng berdesis
"berbahaya bagi bibi untuk turun sekarang."
"Apaboleh buat. Aku tentu tidak akan membiarkan
anakku dibawa orang yang meragukan." jawab Nyi
Prawara. "Nyi Prawara" berkata Darpati "aku sedang menyelamatkan Winih."
"Tidak. Kau tidak menyelamatkan Winih. Tetapi kau
sedang menculik Winih." jawab Nyi Prawara.
Ternyata Darpati memang tidak dapat ingkar lagi.
Dengan geram iapun kemudian menjawab "Baik. Baik.
Katakanlah aku sedang menculik Winih. Nah, apa yang
akan kalian perbuat."
Suasana menjadi tegang. Darpati telah memegangi
pergelangan tangan. Winih kuat-kuat dan siap untuk
menyeretnya. Katanya kemudian, kepada keempat orang
yang mengepung Manggada dan Laksana "Selesaikan saja
mereka. Aku tidak memerlukannya lagi. Manggada dan
Laksana memang harus dibunuh. Terserah kau apakan
perempuan itu. Sementara aku akan membawa gadis ini
pergi." "Darpati" berkata Nyi Prawa ra "ternyata kau memang
tidak dapat dicegah lagi. Niatmu membawa Winih sudah
bulat. Tetapi katakan, apa yang sebenarnya sedang kau
lakukan" Apakah kau mengambil Winih karena Winih
seorang gadis yang berkenan dihatimu atau kau mempunyai
kepentingan yang lain?"
"Kau berusaha mengulur waktu, Nyai. Tetapi baiklah
aku menjawab. Aku memerlukan Winih untuk banyak
keperluan. Aku mengambilnya karena ia seorang gadis yang
cantik. Tetapi juga akan dapat aku pergunakan sebagai
umpan untuk memancing pusaka-pusaka itu. Kelak, aku
akan menukarkan Winih dengan pusaka-pusaka itu jika aku
sudah menjadi jemu padanya. Jika Kiai Gumrah menolak,
maka gadis ini akan mau."
"Licik kau Darpati" desis Winih.
"Jangan menyesal Winih. Nah, sekarang sudah sampai
saatnya kita pergi. Ucapkan selamat tinggal kepada ibumu.
Mungkin kau masih akan bertemu lagi kelak, jika kakekmu
menyerahkan pusaka-pusaka itu. Tetapi yang pasti, kau
tidak akan bertemu lagi dengan Manggada dan Laksana
yang akan mati malam ini."
Tetapi ketika Darpati menariknya, maka Winih telah
mengibaskan tangan Darpati sehingga genggaman terlepas.
Dengan cepat Winih berusaha berlari menjauhi Darpati.
Namun Darpati sudah tentu tidak melepaskannya. Dengan
kecepatan yang tinggi Darpati meloncat sambil menjulurkan tangannya untuk menggapai pundak Winih.
Tetapi yang tidak pernah diduga sebelumnya telah
terjadi. Demikian tangan Darpati terjulur, maka Winih
justru berhenti sambil merendahkan dirinya. Dengan
merendah Winih menarik Darpati lewat diatas pundaknya.
Dengan ayunan tubuh Darpati sendiri, maka Darpati itu
telah terlempar lewat diatas pundak Winih.
Darpati adalah seorang yang berilmu tinggi. Tetapi
karena yang dihadapinya itu sama sekali tidak diduganya,
maka ia memang menjadi lengah.,
Meskipun demikian, kelihaian tubuhnya telah menolongnya. Darpati jatuh dengan mapan. Ia sempat
berguling dua kali ditanah, kemudian meloncat bangkit
dengan wajah yang merah menyala.
"Winih" Darpati menggeram.
Ternyata Winih sudah berubah. Ia bukan lagi gadis yang
lembut yang mulai meningkat dewasa. Wajahnya memang
masih tetap cantik, tetapi sorot matanya yang tajam
bagaikan menusuk langsung kepusat jantung Darpati.
Ketika Darpati melangkah mendekat, maka Winih telah
menyingsingkan kain panjangnya. Ternyata Winih memang
sudah mengenakan
pakaian khusus dibawah kain panjangnya itu.
Darpati berdiri termangu-mangu. Bahkan orang-orang
yang ada disekitarnyapun bagaikan membeku Manggada
dan Laksana justru menjadi bingung. Bahkan ampat orang
yang muncul dari kegelapan itupun berdiri mematung pula.
"Darpati" terdengar suara Winih yang bergetar "aku


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata hampir saja menjadi korbanmu. Aku tidak mengira
bahwa kau dapat berlaku sedemikian liciknya, sehingga aku
hampir saja terjerumus kedalam kesulitan."
"Winih" geram Darpati "kau ternyata juga tidak jujur.
Kau tidak pernah menunjukkan kesan, bahwa kau memiliki
kelebihan dari kebanyakan perempuan. Sehingga seandainya aku tidak berniat memanfaatkan hubungan kita,
kaupun tidak mempercayai aku sepenuhnya. Dengan
demikian maka kita ternyata berdiri pada sikap yang sama."
"Tidak Darpati" jawab Winih "jika aku tidak
menunjukkan pribadiku seutuhnya, justru aku ingin
menjaga wibawamu sebagai seorang laki-laki. Aku tidak
mau menyinggung perasaanmu, karena aku menduga
bahwa apa yang kau perbuat terhadapku, termasuk
perlindunganmu itu kau lakukan karena kau merasa sebagai
seorang laki-laki. Jika kau sadari bahwa apa yang kau
lakukan itu sia-sia, maka kau tentu akan kecewa."
"Sekarang kita sudah tidak berpura-pura lagi Winih. Aku
tidak dan kaupun tidak." geram Darpati kemudian.
"Bagus Darpati, aku-sudah melihat bagaimana kau
bertempur. Aku sadar, bahwa apa yang aku lihat itu tentu
belum seluruhnya. Apalagi ketika kau bertempur melawan
dua orang di pancuran itu. Tetapi waktu itu keraguanku
agaknya telah disaput asap yang telah mengaburkan mata
hatiku memandang bentuk lahiriahmu. Bahkan aku telah
mengabaikan nasehat ayah, ibu dan kakekku yang
mempunyai pandangan yang lebih wajar karena mereka
tidak terlihat dalam perasaan yang lain." sahut Winih.
"Bersiaplah Winih, kita akan benar-benar bertempur.
Aku tidak akan sekedar bermain-main atau karena aku kau
anggap mencintaimu, maka aku akan menahan diri dalam
keadaan-keadaan yang menentukan." geram Darpati. . .
"Aku mengerti Darpati. Akupun tidak akan menahan
diri meskipun aku tidak ingkar, bahwa aku memang pernah
tertarik kepadamu." jawab Winih.
"Tetapi ingat, Manggada dan Laksana akan mati malam
ini. Jika kau berkeras melawan betapapun tinggi ilmumu,
namun kau tentu akan tunduk kepadaku, jika kau tidak
ingin ibumu menjadi korban pula." ancam Darpati.
Tetapi Nyi Prawara yang melihat anak perempuannya
telah bangkit itupun berkata "Jangan hiraukan aku Winih.
Aku tidak apa-apa. Tidak pula akan terjadi apa-apa atasku."
Darpati termangu-maugu sejenak. Suara itu bukan suara
seorang perempuan yang cemas dan ketakutan. Tetapi suara
itu justru merupakan suara seorang yang penuh akan
kepercayaan dan keyakinan atas kemampuannya.
Karena itu, maka Darpati tidak mau menunggu lebih
lama lagi. Iapun segera berteriak kepada orang-orangnya
"Selesaikan kedua orang anak muda itu. Mereka harus
mati. Tangkap perempuan tua yang sombong itu. Kita akan
dapat memanfaatkannya. Jika ternyata tidak, kita akan
dapat membunuhnya kelak. Biarlah aku mengurus gadis
manis ini. Bagaimanapun juga aku memerlukannya.
Setidak-tidaknya untuk beberapa bulanl"
Winih yang mendengar
kata-kata Darpati itu jantungnya bagaikan tersentuh api. Karena itu,
maka iapun segera meloncat
menyerang. Namun Darpati
berhasil menghindarinya dengan bergeser selangkah
kesamping. Dengan demikian, maka
pertempuranpun segera telah
mulai. Ternyata Nyi Prawara
bukan sekedar seorang perempuan yang pandai menunggui perapian menanak nasi dan membuat wedang jahe yang manis.
Bukan pula sekedar memiliki kemampuan tentang obatobatan, tetapi juga seorang perempuan yang memiliki
kelebihan. Dalam keadaan yang gawat itu, Nyi Prawara
sebagaimana juga Winih telah menyingsingkan kain
panjangnya. Nyi Prawarapun telah mengenakan pakaian
khusus pula untuk menghadapi orang-orang yang telah siap
menyerangnya. Bahkan Nyi Prawara itu sempat berkata "Angger
Manggada dan Laksana. Pertahankan dirimu. Bertempurlah berpasangan."
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Tetapi
keduanya telah merapat. Mereka sadar, bahwa kemampuan
mereka masih dibawah kemampuan Darpati dan bahkan
mungkin juga dibawah kemampuan orang-orang Darpati
itu. Dalam pada itu, maka dua orang kawan Darpati itu
segera bersiap melawan Manggada dan Laksana. Sementara
dua orang lagi telah beriap untuk menangkap hidup-hidup
Nyi Prawara. Namun baik Manggada dan Laksana, maupun Nyi
Prawara, telah bersiap pula menghadapi mereka.
Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah berlangsung dengan cepat. Manggada dan Laksana telah
berusaha mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Namun dalam waktu yang pendek, maka kedua orang
lawan merekapun telah mampu menekan kedua orang anak
muda itu. Namun Manggada dan Laksana tidak mudah berputus
asa. Keduanya telah mengerahkan kemampuan mereka.
Namun ternyata lawan-lawan mereka adalah orang-orang
yang berilmu tinggi, sehingga sejenak kemudian Manggada
dan Laksana telah terdesak, semakin lama semakin jauh
memasuki kebun rumah Kiai Gumrah.
Nyi Prawara yang bertempur melawan kedua orang
lawannya ternyata masih mampu bertahan. Kedua orang
lawannya yang berumu tinggi itu telah membentur
perlawanan yang keras dari seorang perempuan. Namun
semakin lama Nyi Prawarapun mulai mengalami kesulitan
pula. Meskipun ternyata ilmu Nyi Prawara berada pada
tataran yang lebih tinggi dari dugaan kedua orang
lawannya. Meskipun demikian, Nyi Prawara masih.berusaha untuk,
memperpanjang waktu perlawanannya. Nyi Prawara masih
berharap bahwa suami dan mertuanya akan dapat lebih
cepat menyelesaikan lawan-lawannya di halaman depan
sebelum Nyi Prawara kehabisan kesempatan mempertahankan diri.
Namun Nyi Prawara itu mulai menjadi cemas melihat
kesulitan yang dialami oleh Manggada dan Laksana. Tetapi
Nyi Prawara masih belum mendapat kesempatan untuk
membantu mereka.
Sementara itu, Winih benar-benar sudah bertempur
dengan Darpati. Keduanya telah meningkatkan ilmu
mereka semakin tinggi.. Darpati memang menjadi heran,
bahwa Winih ternyata mampu mengimbangi kemampuannya. Bahkan kadang-kadang. gadis itu telah
mengejutkannya..
Ketika serangan Winih sempat menyusup disela-sela
pertahanan Darpati dan mengenai bahunya, maka Darpati
itu telah meloncat surut. Serangan Winih terasa sakit di
bahunya. Keempat jari-jari tangan Winih yang terbuka dan
merapat, rasa-rasanya bagaikan meretakkan tulangnya.
"Ternyata gadis ini memiliki ilmu iblis" geram Darpati
didalam hatinya "sikapnya yang seakan-akan tidak tahu apa
apa itu ternyata justru ungkapan dari kepercayaannya akan
kemampuannya, sehingga ia tidak merasa gentar sama
sekali." Sebenarnyalah Winih sama sekali tidak terguncang oleh
serangan-serangan Darpati yang datang beruntun bagaikan
arus ombak yang menepis tebing. Seperti kokohnya batu
karang ia menghalau setiap serangan. Bahkan benturanbenturan yang terjadi memperingatkan Darpati, bahwa
Winih memiliki tenaga dalam yang sangat besar.
"Gadis itu masih muda" berkata Darpati kepada diri
sendiri "apakah sejak didalam kandungan ibunya ia sudah
belajar olah kanuragan?"
Namun Nyi Prawara juga seorang perempuan yang
berilmu tinggi. Melawan dua orang kawan Darpati yang
dianggap akan dengan mudah menyelesaikan tugas mereka,
ternyata Nyi Prawara masih mampu bertahan, betapa ia
sekali-sekali harus berloncatan surut.
Yang mencemaskan adalah Manggada dan Laksana.
Darpati yang mulai gelisah menahan kemampuan Winih
yang ternyata tidak kalah dari ilmunya, telah berusaha
mempengaruhi ketahanan jiwani Winih dengan katakatanya. Dengan lantang Darpati berteriak "Jangan
menunggu apa-apa. Bunuh kedua orang kelinci kecil itu."
Kedua orang yang melawan Manggada dan Laksana
memang tidak akan mendapat banyak kesulitan. Meskipun
Manggada dan Laksana pernah
berguru sehingga
menguasai landasan kemampuan dasar dari perguruan
kecilnya, namun menghadapi dua orang berilmu tinggi,
keduanya memang mengalami kesulitan. Tataran ilmu
Manggada dan Laksana masih belum setingkat dengan
kedua orang lawannya itu.
Teriakan itu memang mempengaruhi perasaan Winih.
Winih memang menjadi gelisah melihat. Manggada dan
Laksana. Meskipun keduanya baru dikenalnya dirumah
kakeknya, tetapi justru karena keduanya diaku sebagai cucu
oleh Kiai Gumrah, maka rasa-rasanya mereka sudah
menjadi seperti sanak kadang sendiri.
Karena itu, bagaimanapun juga Winih tidak dapat
bertempur tanpa mempedulikan keadaan Manggada dan
Laksana. Tetapi Winih sendiri menghadapi Darpati yang berilmu
tinggi, sehingga karena itu, maka Winih memang menjadi
gelisah sebagaimana dikehendaki oleh Darpati
Dalam kegelisahan itu, maka Winih menjadi kurang
dapat memusatkan perhatiannya kepada lawannya. Sekalisekali Winih masih juga berusaha berpaling kearah
Manggada dan Laksana.
Tetapi Manggada dan Laksana menjadi semakin
terdesak kedalam kegelapan. Sementara itu, Nyi Prawara
juga masih belum dapat mengatasi lawannya. Bahkan
sekali-sekali Nyi Prawara memang harus mengambil jarak
untuk memperbaiki keadaannya.
Dalam pada itu, karena kedua lawannya bersenjata,
maka Nyi Prawarapun telah mengurai senjatanya pula.
Seutas rantai baja yang tidak terlalu panjang dan tidak
terlalu besar. Namun di tangan Nyi Prawara rantai itu
menjadi sangat berbahaya. Ujungnya bergerak menyambarnyambar. Kemudian terayun menebas keatas dada. Tetapi
tiba-tiba mematuk kearah kerung lawan-lawannya.
Meskipun kedua lawan Nyi Prawara itu bersenjata
parang yang panjang dan besar, namun putaran rantai itu
merupakan perisai yang sangat rapat bagi Nyi Prawara.
Sementara itu, Darpati masih saja berusaha untuk
mempengaruhi perasaan Winih. Ia masih saja berterik abaaba kepada kedua orang kawannya yang bertempur
melawan Manggada dan Laksana, Bahkan kemudian iapun
berteriak pula "Jika perempuan itu tidak mau menyerah
sehingga kalian tidak dapat menawannya hidup-hidup,
maka iapun pantas dibunuh."
"Jika demikian, maka tugas kami menjadi lebih ringan"
teriak salah seorang diantara kedua orang yang bertempur
melawan Nyi Prawara itu.
Tetapi demikian mulutnya terkatup, maka ia harus
mengaduh tertahan. Ternyata ujung rantai Nyi Prawara
telah menyambarnya. Dengan tergesa-gesa orang itu
bergeser kesamping untuk menghindar. Namun ujung
rantai itu masih juga menyentuh lengan orang itu sehingga
terluka. Orang itu mengumpat kasar dan kotor sehingga telinga
Nyi Prawara menjadi panas.
"Kita sedang bertempur. Bukan mengumpat-umpat.
Apalagi dengan kata-kata kotor dan kasar" berkata Nyi
Prawara dengan lantang.
Tetapi lawannya justru mengetahui, bahwa kata-kata
kotor dan kasar itu dapat mempengaruhi perasaan Nyi


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prawara. Karena itu, maka orang itu justru mengulangi lagi.
Mengumpat dengan kata-kata yang bahkan lebih kotor dan
kasar. Telinga Nyi Prawara terasa bagaikan disentuh bara.
Kata-kata itu sangat menyakitkan hatinya sebagai seorang
perempuan. Apalagi didengar pula oleh anak gadisnya yang
sudah dewasa. Namun berbeda dengan perhitungan lawannya. Mereka
menganggap bahwa Nyi Prawara akan menjadi bingung
dan tidak dapat memusatkan nalar budinya menghadapi
kedua orang lawannya. Tetapi Nyi Prawara justru berbuat
sebaliknya. Ia justru mengerahkan segenap kemampuannya
dengan pemusatan nalar budinya untuk
berusaha membungkam mulut orang yang berteriak-teriak dengan
kata-kata kotor dan kasar itu.
Tetapi ternyata kemampuan Nyi Prawara memang tidak
cukup tinggi untuk mengalahkah kedua orang lawannya.
Sehingga dengan demikian, maka beberapa saat kemudian,
Nyi Prawara memang hanya dapat bertahan sambil
menanti pertolongan suami dan ayah mertuanya yang
bertempur di halaman depan.
Dalam pada itu keadaan Manggada dan Laksana
menjadi semakin sulit. Bahu Manggada telah terluka.
Demikian pula lambung Laksana. Meskipun lukanya tidak
terlalu dalam, tetapi darah sudah mengalir dari luka-luka
itu. "Sudah tiba saatnya kami mengakhiri pertempuran yang
menjemukan ini" berkata lawan Laksana "kalian sudah
mendapat kesempatan untuk memperpanjang hidup kalian
beberapa saat. Sekarang, maka bersiaplah untuk mati."
Manggada dan Laksana memang menjadi gelisah.
Pedang mereka segera teracu kearah lawan-lawan mereka
yang nampaknya benar-benar akan.segera mengakhiri
pertempuran itu.
Namun sekali lagi yang tidak terduga itu terjadi. Tibatiba saja tanpa terdengar desah langkah kakinya, dua ekor
Harimau yang sudah merunduk itupun meloncat Keluar
dari persembunyiannya menyerang kedua orang lawan
Manggada dan Laksana
Kedua orang itu terkejut. Tetapi mereka tidak
mempunyai banyak waktu. Merekapun dengan serta merta
telah berloncatan mengambil jarak dari Manggada dan
Laksana untuk menghadapi kedua ekor harimau itu.
Namun Manggada dan Laksana yang seakan-akan telah
mengenal kedua ekor harimau itu tidak melepaskan lawanlawan mereka. Meskipun mereka juga terkejut, namun
merekapun segera mampu mengendalikan dirinya. Bahkan
merekapun segera menempatkan diri bertempur bersama
kedua ekor harimau yang seakan-akan menguasai olah
kanuragan itu. Kedua orang lawan Manggada dan Laksana itu menjadi
sangat gelisah. Ketika mereka hampir sampai pada saat-saat
terakhir untuk menyelesaikan kedua anak muda itu, maka
dua ekor harimau telah muncul dengan tiba-tiba.
Dengan demikian, maka pertempuranpun menjadi
semakin sengit. Kedua orang kawan Darpati itu sudah
mengetahui bahwa ada. dua ekor harimau, yang kadangkadang ikut campur, jika terjadi pertempuran. Ada diantara
kawan mereka yang pernah terbunuh di halaman rumah
Kiai Gumrah itu. Tetapi yang lain mati di dekat air terjun
kecil justru disaat mereka berusaha menjebak Manggada
dan Laksana. Sehingga dengan demikian maka kehadiran
kedua ekor harimau itu benar-benar telah menggelisahkan
kedua orang itu.
Sementara itu, Manggada dan Laksana ternyata masih
juga terus menyerang mereka. Pada saat-saat mereka
bertempur melawan kedua ekor harimau itu, maka
Manggada dan Laksana justru ikut menyerang mereka pula.
Ternyata kedua ekor harimau itu seakan-akan mampu
menyesuaikan diri dengan serangan-serangan Manggada
serta Laksana. Kedua ekor harimau itu tidak sebagaimana
kebanyakan harimau, merunduk dan kemudian meloncat
menerkam sasarannya. Tetapi kedua ekor harimau itu justru
mendekati lawannya, menyerang dengan kedua kaki
depannya yang-berkuku tajam. Bahkan gigi serta taringnya
yang tajam siap pula mengoyak kulit lawannya.
Jika kedua orang yang diserangnya itu sempat
mengayunkan atau menusukkan pedang, maka harimau itu
bergeser surut. Namun dalam pada itu, Manggada dan
Laksanalah yang mendapat kesempatan untuk menyerangDemikianlah, maka yang terjadi adalah sebagaimana
yang pernah terjadi di pancuran itu. Kedua orang lawan
Manggada dan Laksana itu tidak banyak mempunyai
kesempatan. Beberapa kali keduanya berteriak memanggil
Darpati. Tetapi ternyata Darpati tidak dapat berbuat
banyak. Winih, gadis yang ingin diculiknya itu ternyata
adalah seorang gadis yang bejrilmu tinggi pada usianya
yang baru menginjak dewasa.
Kedua orang yang bertempur melawan Nyi Prawarapun
menjadi gelisah. Mereka memang mendengar harimau itu
menggeram. Apalagi kedua orang kawannya memang
berteriak-teriak tentang kedua ekor harimau itu. Tetapi
keduanya masih terikat dalam pertempuran melawan Nyi
Prawara. Namun teriakan-teriakan kawannya yang telah mulai
dilukai oleh kuku-kuku harimau serta senjata Manggada
dan Laksana itu, telah menggelitik kedua orang itu. Karena
itu, maka salah seorang dari merekapun telah meninggalkan
Nyi Prawara untuk melihat keadaan kedua orang
kawannya. Tetapi usaha itu sama sekali tidak menolong. Seorang
yang harus bertempur melawan Nyi Prawara itupun telah
mengalami kesulitan pula. Rantai Nyi Prawara telah
menyentuh tubuhnya lagi. Bahkan hampir saja mata orang
itu dipatuk oleh ujung rantai Nyi Prawara yang menjadi
semakin garang.
Darpati menyadari bahwa keadaannya serta kawankawannya menjadi semakin sulit. Karena itu, maka Darpati
tidak dapat berpegang pada keinginannya saja. Ia harus
menentukan sikap dalam keadaan yang sulit itu.
Karena itu, maka niatnya untuk mengambil Winih
dalam keadaan yang utuhpun telah ditinggalkannya.
Ternyata Winih bukan lagi sebuah golek kencana yang
manis, yang hanya mampu tersenyum luruh dalam keadaan
apapun serta diperlukan bagaimanapun. Juga bukan
sekuntum kembang melati yang putih bersih dengan baunya
yang wangi. Tetapi Winih adalah sekuntum kembang
mawar yang meskipun semerbak tetapi berduri tajam.
Karena itu, maka Darpatipun telah menarik senjatanya.
Sehelai pedang yang berkilat-kilat memantulkan cahaya
oncor diserambi rumah Kiai Gumrah.
"Aku memang harus bersungguh-sungguh Winih" geram
Darpati "kau sama sekali bukan lagi gadis yang menarik
buatku. Bagiku sekarang, kau tidak lebih dari sesosok peri
yang cantik, berbau wangi, tetapi pada suatu saat akan
dapat menghisap darahku sampai kering."
"Bukan pada suatu saat Darpati. Tetapi sekarang" jawah
Winih yang juga mengurai senjatanya. Seperti senjata
ibunya. Seutas rantai baja putih yang mengkilap.
"Jangan menyesali diri Darpati" desis Winih "kawankawanmu akan mati. Harimau-harimau itu ternyata
memiliki kepandaian yang lebih dari sejenisnya. Mereka
seakan-akan mengerti, kapan mereka harus mengaum
menggetarkan jantung, dan kapan mereka harus menyerang
dengan diam-diam. Tetapi jangan menangisi kematian
kawan-kawanmu itu."
Darpati memang menjadi semakin garang. Dengan ilmu
pedangnya yang tinggi, ia menyerang Winih dengan cepat.
Pedangnya berputaran terayun, mematuk dn menebas
dengan cepatnya. Sehelai pedang Darpati itu seakan-akan
telah berubah menjadi beberapa helai pedang yang tajam
berkilauan. Tetapi rantai Winih yang berputaran itu bagaikan kabut
putih yang melindungi seluruh tubuhnya, sehingga
berapapun banyak ujung pedang yang menyerang dari
segala arah, akan membentur perisai kabut yang putih itu.
Demikianlah maka pertempuran diantara keduanya
menjadi semakin sengit. Beberapa kali terdengar benturan
antara daun pedang Darpati dengan rantai baja Winih,
sehipgga bunga apipun nampak berhamburan.
Sementara itu, ketiga orang yang bertempur melawan
Manggada dan Laksana benar-benar tidak dapat tertolong
lagi. Kedua ekor harimau itu dengan garangnya telah
mengoyak kulit mereka dengari kuku-kukunya yang tajam.
Sementara itu, seorang diantara ketiganya yang berusaha
melarikan diri, justru telah diterkam oleh salah satu dari
antara kedua ekor harimau itu dipunggungnya. Agaknya
harimau itu tidak memperhitungkan apakah ia menyerang
dari depan atau dari belakang. Sementara itu dua orang
yang lainpun telah terkapar tanpa dapat bergerak lagi.
Dalam pada itu, lawan Nyi Prawara itupun tidak lagi
dapat mengimbangi kemampuan perempuan yang semula
tidak diperhitungkan itu. Setelah seorang kawahnya
berusaha membantu kedua lawan Mangagada dan Laksana,
maka orang itupun segera mengalami kesulitan. Seranganserangan Nyi Prawara datang membadai. Rantai bajanya
seakan-akan mempunyai mata di-ujungnya. Kemanapun ia
menghindar, maka ujung rantai itu rasa-rasanya selalu
memburunya, Sehingga setiap kali terasa ujung rantai itu
menyengat tubuhnya, sehingga luka-lukapun telah hinggap
pula dimana-mana ditubuhnya.
Akhirnya orang itu tidak mampu lagi bertahan.
Tubuhnya menjadi semakin lemah, sementara darahnya
menjadi semakin banyak mengalir.
Nyi Prawara yang melihat lawannya tidak berdaya lagi,
telah menghentikan serangan-serangannya. Sambil melipat
rantainya ia bertanya "Apakah kau masih akan melawan?"
"Tidak" suara itu bergetar. Kekuatannya seakan-akan
telah terhisap habis.
"Pengecut kau" teriak Darpati yang mendengar suaranya
"jika kau menyerah, maka akulah nanti yang akan
membunuhmu."
Tetapi Winihlah yang menyahut "Kau tidak akan dapat,
membunuhnya, Darpati. Kita masih belum tahu, siapa
diantara kita yang akan menang."
Darpati menggeram. Namun rantai baja Winih hampir
saja menyambar keningnya.
Dengan demikian, maka pertempuranpun telah berakhir
kecuali antara Darpati dan Winih. Ketiga orang yang
bertempur melawan Manggada dan Laksana telah terbunuh
dengan luka luka yang segera dapat diketahui bahwa luka
itu bukan luka oleh ujung-ujung pedang Manggada dan
Laksana. Seorang lagi yang ditinggalkan kawannya bertempur
melawan Nyi Prawara telah menjadi tidak berdaya.
Sementara itu Darpati tidak dapat mengingkari
kenyataan. Tetapi iapun merasa bahwa ia tidak mungkin
dapat melarikan diri. Dua ekor harimau yang masih
berkeliaran dihalaman itu tentu akan membantu mengejarnya. Karena itu, maka satu-satunya cara yang dapat ditempuh
adalah menangkap Winih dan mempergunakannya sebagai
perisai untuk keluar dari halaman rumah itu.
Tetapi untuk mengalahkan Winih itupun masih
merupakan teka-teki baginya, apakah ia dapat melakukannya Tetapi Darpati adalah orang yang memiliki ilmu yang
tinggi dan pengalaman yang luas. Bagaimanapun juga ia
mempunyai cara-cara yang licik untuk mempengaruhi
lawannya. Ketika rantai baja Winih rasa-rasanya semakin
berbahaya baginya, bahkan rasa-rasanya ujung-ujung rantai
itu sudah mulai menyentuh pakaiannya, maka Darpati
justru telah berdesis "Winih, pertempuran diantara kita
adalah pertempuran yang tidak adil."
"Kenapa?" bertanya Winih yang tetap berhati-hati. Ia
sudah memperhitungkan bahwa Darpati ingin memecah
perhatiannya "Kau nampaknya bersungguh-sungguh
ingin membunuhku" desis Darpati.
"Jika kau menyerah, aku tidak akan membunuhmu"
Jawab Winih sambil meloncat memutar rantainya. Ketika
ia kemudian menggeliat, maka rantainya itupun seakanakan ikut menggeliat pula. Tiba-tiba saja ujung rantai itu
seolah-olah terjulur lurus menusuk kearah jantung.
Darpati dengan tergesa-gesa meloncat surut. Ujung
rantai Winih memang belum berhasil menggapai sasaran.
Dalam pada itu Darpati berdesis "Winih. Sebenarnyalah
jika aku ingin membunuhmu, maka kau memang sudah
mati. Aku sebenarnya memang berniat

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk melakukannya. Tetapi setiap kali aku memandang
wajahnya yang cantik, aku menjadi ragu-ragu. Bagaimanapun juga aku harus mengakui bahwa aku
mencintaimu."
"Cukup" bentak Winih sambil menyerang. Sementara
Darpatipun telah bergeser lagi beberapa langkah surut.
"Winih. Kenapa kita harus berdiri berseberangan"
Apakah kita tidak dapat memilih jalan kita sendiri" Kita
masing-masing meninggalkan landasan tempat kita berdiri.
Kita menjadi orang lain sama sekali. Tidak dipihakmu,
tetapi juga tidak dipihakku. Bukankah dengan demikian
kita akan dapat hidup bersama tanpa dibayangi oleh rasa
permusuhan."
"Tutup mulutmu" serangan Winih justru mengejutkan
Darpati. Ternyata serangan itu udak sempat dihindarinya
dengan baik. Karena itu, maka ujung rantai Winih telah
menyentuh lambung Darpati, Meskipun tidak dalam, tetapi
luka itu ternyata telah menitikkan darah.
"Winih" desis Darpati "kau bersungguh-sungguh."
"Sebagaimana
kau katakan, kaupun bersungguhsungguh. Maka akupun bersungguh-sungguh." jawab
Winih. "Aku memang berniat demikian Winih. Tetapi ternyata
aku tidak dapat melakukannya. Kau teriaki cantik untuk
dimusuhi. Dan kulitmu terlalu lembut untuk dilukai.
Bagaimanapun juga aku berusaha membuat diriku sendiri
membencimu, tetapi aku tidak dapat ingkar, bahwa aku
ternyata tetap mencintaimu."
"Kau jangan mengigau. Bersiaplah. Aku bersungguhsungguh. Aku akan membunuhmu." geram Winih.
"Dihadapanmu, maka nalar dan perasaanku tidak dapat
menyatu. Bahkan tiba-tiba saja aku ingin melihat kau
tersenyum lagi." desis Darpati.
"Tidak. Tidak" Winih berteriak, ia tidak ingin mendengar
lagi kata-kata Darpati yang dapat mengganggu perasaannya
itu. Sebenarnyalah bahwa pemusatan.nalar budi Winih telah
terganggu. Ketika ujung pedang Darpati kemudian terjulur
maka Darpati benar-benar telah mampu menembus perisai
putaran rantai Winih.
Terdengar Winih berdesah tertahan. Selangkah ia
meloncat surut. Ternyata lengannya telah benar-benar
tergores ujung pedang Darpati.
Nyi Prawara yang berdiri beberapa langkah dari arena
pertempuran itu melihat dalam keremangan malam Winih
tergores senjata. Karena itu, diluar sadarnya Nyi Prawara
itu telah berloncatan mendekat. Demikian pula Manggada
dan Laksana yang telah kehilangan lawannya, bahkan
kedua ekor harimau yang ternyata masih berada di kebon
dibelakang rumah Kiai Gumrah itu sekali-sekali nampak
hilir mudik tanpa memperdengarkan suaranya sama sekali.
Dalam pada itu, Darpatipun berdesis "Winih. Kau
terluka" Aku benar-benar tidak sengaja Winih. Aku benarbenar tidak sampai hati menyentuh kulitmu yang lembut."
"Tidak. Jangan katakan itu" Winih berteriak lagi.
Sementara itu Darpati melihat kesempatan terbuka. Ia
memang tidak mau membunuh Winih. Ia ingin
menangkapnya hidup-hidup dan menjadikannya perisai
untuk meninggalkan halaman itu. Jika ia berhasil maka ia
akan dapat memancing pusaka pusaka itu sebagaimana
direncanakan sejak kedatangannya jika ia tidak dapat
langsung mengambil pusaka-pusaka itu.
Dalam kesempatan itu, maka Darpati telah meloncat
mendekati Winih sambil menjulurkan pedangnya. Ia ingin
menekan tubuh Winih dengan pedang itu dan mengancamnya, sementara tangannya yang lain akan
berusaha menangkap pergelangan Winih pada tangan yang
memegangi senjatanya. Kesempatan itu memang hanya
diperolehnya sekejap, saat Winih dihempaskan kedalam
hentakan perasaannya sebagai seorang gadis yang tumbuh
dewasa. Jika keperkasaan
gadis itu kembali lagi menguasainya serta kesadaran ilmunya yang tinggi
menghentaknya, maka kecil sekali harapan Dar pati dapat
melindungi dirinya sendiri, karena sebenarnyalah bahwa
Darpati harus mengakui, bahwa sulit baginya untuk dapat
mengalahkan Winih.
Dalam sekejap, perasaan Winih memang terguncang.
Bagaimanapun juga ia memang pernah tertarik kepada
orang yang bernama Darpati itu. Karena itu kata-katanya
yang lembut seperti hembusan semilirnya angin, rasarasanya sempat mengasah pemusatan nalar budinya.
Namun ibunya yang berdiri semakin dekat, mendengar
dan mengetahui kelicikan cara yang dipergunakan oleh
Darpati yang agaknya memang sudah mempunyai
pengalaman yang sangat luas dalam hubungannya dengan
banyak macam perempuan.
Karena itu, maka bersamaan dengan saat Darpati
meloncat, Nyi Prawara berteriak "Winih. Hati-hati."
Winih tersentak. Tetapi Darpati telah meloncat sambil
mengacukan pedangnya.
Kesempatan Winih memang terlalu sempit. Yang dapat
dilakukannya kemudian untuk menghindari ujung pedang
yang hampir menggapai tubuhnya itu adalah dengan
menjatuhkan dirinya, ia berharap bahwa lontaran tubuh
Darpati yang kuat akan dapat melemparkan Darpati itu
melampauinya tanpa melukainya.
Tetapi Darpati tidak menyerangnya dengan sepenuh
tenaga. Darpati hanya ingin mengancamnya. Karena itu,
ketika Winih menjatuhkan dirinya untuk menghindar,
maka daya dorong tubuh Darpati tidak cukup melontarkan
tubuhnya melewati tubuh Winih yang sudah siap
melemparkannya semakin jauh dengan kedua kakinya,
justru karena itu, maka tubuh Darpati itu memang telah
terlempar, tetapi tidak cukup jauh. Bahkan tubuh itu telah
terhempas jatuh dekat disebelah tubuh Winih.
Tetapi tendangan kaki Winih yang mengenai perut
Darpati telah membuat orang itu kesakitan.
Dalam pada itu, maka hampir serentak keduanya telah
berusaha untuk bangkit. Ketika Darpati sempat berdiri
tegak, maka Winihlah yang justru telah mendapat
kesempatan. Dengan kecepatan yang sangat tinggi serta
kemarahan yang menghentak-hentak didadanya, Winih
telah mengayunkan rantai bajanya menyerang Darpati yang
baru berusaha mempersiapkan dirinya menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
Yang terjadi kemudian ternyata telah mengejutkan
orang-orang yang ada di kebun Kiai Gumrah itu. Rantai
baja Winih yang diayunkannya dengan kecepatan yang
tinggi serta sepenuh tenaga itu telah mengenai tubuh
Darpati yang berusaha menangkis tetapi terlambat.
Terdengar Darpati memekik kesakitan. Tubuhnya
terdorong surut. Sebuah luka yang panjang telah menyilang
didadanya. Sesaat ia berdiri termangu-mangu. Namun wajahnya
seakan-akan telah berubah. Matanya menjadi merah
menyala. Giginya gemeretak. Berlahan-lahan Darpati
mengangkat pedangnya dan mengacukannya kepada Winih
sambil berkata "Kau adalah perempuan cantik yang paling
garang yang pernah aku temui. Lebih dari seratus
perempuan yang pernah aku miliki. Dan sekarang kau akan
menjadi satu diantara mereka. Tidak seorangpun diantara
mereka yang berkesempatan memilih apa yang dapat
mereka lakukan selain menjalankan segala perintahku dan
memenuhi segala keinginanku sampai aku menjadi jemu
dan mencampakkannya."
Winih menjadi gemetar. Ia melihat sesosok iblis yang
menjadi merah oleh darahnya sendiri. Namun selangkah
demi selangkah Darpati masih bergerak maju dengan
pedang yang terjulur.
Jantung Winih rasa-rasanya berdetak semakin cepat.
Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, Winih
dibekali oleh ketahanan jiwani yang kokoh. Namun Winih
memang belum mempunyai cukup banyak pengalaman.
Karena itu, ketika ia melihat Darpati yang bersimbah darah
itu melangkah mendekatinya, jiwanya seakan-akan telah
terguncang. Tetapi ia tidak mau membiarkan dirinya diterkam oleh
iblis itu. Ketika sosok yang menjadi menakutkan itu
mendekatinya sambil mengacukan pedangnya, maka Winih
seakan-akan telah kehilangan pengendalian diri. Begitu
kerasnya jiwanya terguncang, sehingga Winih seakan-akan
tidak tahu lagi apa yang dilakukannya.
Winih baru sadar, ketika ia mendengar ibunya menjerit
memanggil namanya. Bahkan kemudian ibunya itu telah
memeluknya dari belakang dan menariknya menjauhi sosok
tubuh yang kemudian terhuyung-huyung dan jatuh
terjerembab ditanah
"Winih, Winih. Hentikan " teriak ibunya.
Winih yang masih saja gemetar bagaikan terbangun dari
mimpi yang sangat buruk. Ketika ibunya kemudian
mengguncang tubuhnya, maka Winihpun melihat sosok
tubuh yang terbaring itu.
Darpati telah terbunuh dengan luka arang keranjang.
Winihlah yang kemudian menjerit tinggi. Sambil
memejamkan matanya ia memeluk ibunya erat-erat seakanakan tidak mau melepaskannya lagi.
Jerit Nyi Prawara dan Winih ternyata terdengar dari
halaman didepan. Sejenak kemudian, maka beberapa orang
telah berlari-larian mendekati mereka. Kiai Gumrah, Ki
Prawara serta juragan gula yang semula ikut bertempur di
halaman melawan orang-orang yang ternyata cukup liat dan
berilmu tinggi, sehingga memerlukan waktu yang cukup
lama. "Apa yang terjadi?" bertanya Kiai Gumrah. Namun
ketika ia melihat sosok tubuh yang arang keranjang serta
rantai yang masih ada ditangan Winih, maka Kiai Gumrahitupun bertanya "Apa yang telah kau lakukan, Winih?"
Winih masih berada didalam pelukan ibunya. Bahkan
sifat kegadisannya tiba-tiba telah muncul. Winih itu
menangis terisak-isak. Sekan-akan ia ingin menyembunyikan wajahnya dari bayangan yang mengerikan itu didada ibunya.
"Nyi, bukankah kau ada disini?" bertanya Ki Prawara
"Nanti aku ceriterakan apa yang terjadi. Tetapi Winih
tidak dapat berbuat lain. " jawab Nyi Prawara.
Kiai Gumrah dan Ki Prawara saling berpandangan
sejenak. Kemudian merekapun melihat Manggada dan
Laksana yang sudah terluka dan berdarah, berdiri
termangu-mangu. Namun orang-orang
yang datang kemudian itu tidak lagi melihat kedua ekor harimau itu lagi.
Namun ketika mereka melihat luka-luka ditubuh ketiga
orang yang terbunuh itu, maka merekapun segera
mengenali bahwa dua ekor harimau itu telah ikut campur
pula. Diantara mereka terdapat seorang yang terduduk lemas.
Orang itu tidak lagi mampu berbuat sesuatu. Bahkan tidak
lagi dapat melarikan dirinya. Kepada Kiai Gumrah, Nyi
Prawara yang masih memeluk anaknya itu berkata "Orang
itu salah seorang dari mereka yang datang menyerang
kami." Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Ternyata
Darpatilah yang mengatur segala-galanya. Aku sudah
berbicara dengan Ki Bekel dan seorang diantara orangorang Darpati yang dapat kami tangkap hidup-hidup."
"Apakah Ki Bekel masih ada dihalaman?" bertanya Nyi
Prawara. "Semuanya masih lengkap Memang ada orang-orang
berilmu yang dapat melarikan diri. Tetapi ada yang berhasil
kami tangkap." jawab Kiai Gumrah. Lalu katanya pula
"Tetapi aku akan membawa Ki Bekel kemari. Aku akan
menunjukkan kepadanya, apa yang telah terjadi disini."
Nyi Prawara mengangguk kecil. Namun katanya."Aku
akan membawa Winih masuk. Biarlah Manggada dan
Laksana berceritera."
"Mereka juga terluka?" bertanya-Kiai Gumrah.
"Ya. Aku akan menyiapkan obat bagi semuanya,
termasuk Winih yang juga terluka." jawab-Nyi Prawara.
Nyi Prawarapun kemudian telah mengajak Winih masuk


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keruang dalam. Dihiburnya anaknya sebagaimana seorang
ibu. yang dengan penuh kasih membesarkan hati anaknya
yang terguncang perasaannya. Dibelainya rambutnya dan
diusapnya air mata yang meleleh dipipi.
"Aku telah membunuhnya ibu. Bukan sekedar membunuh, tetapi aku telah berbuat lebih dari membunuh"
desis Winih. "Bukan salahmu, Winin. Orang itu telah membuatmu
kehilangan kendali. Ia bermaksud mempengaruhi pemusatan nalar budimu karena ilmunya yang berada
dibawah ilmumu. Tetapi ia benar-benar
memiliki pengalaman yang sangat luas. Baik dalam, olah kanuragan,
maupun dalam hubungannya dengan perempuan, sehingga
ia mampu mengusik kelemahan-kelemahan yang ada pada
perasaan seorang perempuan" berkata ibunya. Setelah
berhenti sejenak, iapun berkata "Tetapi perbuatannya itu
justru telah menjerumuskannya kedalam satu keadaan yang
sangat pahit. Meskipun demikian, orang itu sendirilah yang
bersalah, sehingga ia mendapat perlakuan yang sangat
buruk." Winih tidak menjawab. Tetapi sikap ibunya, belaian
tangannya serta kata-katanya yang lembut membuat
perasaan Winih yang terguncang menjadi sedikit tenang.
Sementara itu Manggada dan Laksana telah berceritera
tentang peristiwa yang mereka alami bersama Nyi Prawara
dan Winih. Kemudian munculnya kedua ekor harimau
yang memang sering datang justru pada saat-saat yang
sangat diperlukan.
"Aku percaya bahwa kedua ekor harimau itu milik Setan
Bongkok, itu" desis Kiai Gumrah.
"Ki Pandi yang kakek maksud?" bertanya Manggada.
"Ya. Orang aneh itu" jawab Kiai Gumrah.
Manggada mengerutkan dahinya. Namun dihatinya
iapun berkata "Kakek juga seorang yang aneh."
Seperti yang dikatakannya, maka Kiai Gumrahpun telah
memanggil Ki Bekel untuk melihat apa yang terjadi di
kebun belakang rumahnya. Dua orang bebahu dan beberapa
orang yang lain diminta pula oleh Kiai Gumrah untuk
melihat sendiri, apa yang baru saja terjadi. Mereka juga
dipersilahkan untuk melihat tiga sosok tubuh yang dikoyakkoyak oleh kuku dan taring binatang buas.
"Nah, aku minta Ki Bekel berbicara dengan seorang
diantara mereka yang masih hidup itu" berkata Kiai
Gumrah "agar Ki Bekel akan mendapat gambaran yang
lebih lelas, apa terjadi di rumah ini"
Sikap Ki Bekel sudah jauh berubah, ia tidak lagi
menganggap Kiai Gumrah sebagai seorang penyadap legen
dan pembuat gula kelapa saja. Tetapi dengan mata kepala
sendiri ia melihat apa yang telah dilakukan oleh Kiai
Gumrah itu, sehingga Ki Bekel tidak lagi mempunyai
penilaian yang salah.
Meskipun demikian ia tetap saja merasa heran atas
kedunguannya, kenapa selama ini ia menganggap bahwa
Kiai Gumrah adalah seorang yang tidak berharga di
padukuhannya kecuali sekedar seorang penunggu banjar
lama. Demikian pula atas beberapa orang kawan Kiai
Gumrah yang ternyata memiliki kemampuan yang sangat
tinggi. "Seandainya mereka tidak dapat mengendalikan diri dan
memusuhi kami, maka orang-orang sepadukuhan tentu
tidak akan dapat melawan mereka" berkata Ki Bekel
didalam hatinya.
Apalagi ketika Kia i Gumrah yang berhasil menguasainya
untuk menghindari benturan kekerasan, namun yang sama
sekali tidak dihiraukan oleh sekelompok orang yang
menghasutnya, membuatnya merasa berhutang budi.
Seandainya Kiai Gumrah memang bermaksud buruk, maka
ia tentu sudah mati dihalaman rumah itu.
Pendekar Sakti Suling Pualam 5 Lencana Pembunuh Naga Karya Khu Lung Pendekar Satu Jurus 1

Cari Blog Ini