Ceritasilat Novel Online

Tiga Mutiara Mustika 5

Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Bagian 5


dari tengah hingga kedua pedang musuh terbentur pergi.
Akan tetapi pada saat itu juga Tjhi Djin-ho menusuk lagi
dari belakang, beruntung ia cukup waspada dan sempat
melompat naik ke atas hingga senjata lawan menyambar
lewat di bawah kakinya. Sudah itu ia memutar pedangnya
dengan cepat luar biasa hingga seluruh badannya diselubungi
dengan segulungan sinar putih.
Meski ilmu silat Boan-liong cukup tinggi, tetapi menghadapi
tiga lawan kelas berat, empat puluh jurus kemudian ia pun
merasa sudah payah. Diam-diam ia memikirkan daya buat
angkat langkah seribu.
Pada suatu kesempatan, ia lantas memutar tubuhnya
hendak kabur, mendadak ia meloncat naik. Tak ia duga baru
saja ia bergerak, sekonyong-konyong di belakangnya
menyusul pula bayangan orang, ternyata Hian-hong yang
mementang kedua belah lengan bajunya menubruk maju
seperti burung yang mementang sayap.
Lekas Boan-liong mengayun pedangnya ke belakang,
namun Hian-hong sudah mengibaskan lengan bajunya yang
cukup lebar, ia menyampuk senjata lawan ke bawah,
berbareng itu angin telapak tangannya pun menyambar,
dengan tipu 'Hun-liong-tam-djiau, atau naga di awan
mengulur cakar, ia dapat meraup baju tepat di tengguk Boanliong.
Karena itu Boan-liong tak bisa berkutik lagi, ia masih
berusaha membaliki pedangnya buat memotong, tetapi Tjhi
Djin-ho mendahului maju, pedangnya disampuk jatuh, karena
itu Boan-liong dan Hian-hong bersama-sama lantas bergumul
ke bawah, tetapi setelah Hian-thian dan Hian-ang maju lagi,
segera Boan-liong kena dibekuk batang lehernya.
Li Ngo tadi dipecundangi Boan-liong, ia sangat gemas dan
ingin membalas, maka ia maju buat meringkus Boan-liong,
bahkan ia menendang beberapa kali hingga Boan-liong
menjerit kesakitan.
"Li-si-wi jangan melukai dia, kami harus menggiring dia
kembali menghadap pada ketua perguruan kami untuk diambil
sesuatu keputusan," lekas Hian-hong mencegah lebih lanjut
penganiayaan itu.
Sedang mereka berbicara, tiba-tiba tertampak di bawah
gunung sana mendatangi satu pasukan bala tentara yang
memakai tanda bendera naga kuning.
"Yang tiba ini adalah pasukan Limtjing-tjongtin, coba kita
nantikan ada perintah apa lagi." ujar Tjhi Djin-ho gugup waktu
melihat datangnya pasukan tentara itu.
Ketika mereka sampai di bawah gunung, segera tertampak
: eorang pembesar maju hendak menemui Tjhi Djin-ho.
Kiranya berita tentang terbunuhnya Kui Ping-boan telah
dilaporkan ke kotaraja, karena itu Kaisar Khong-hi gusar
sekali, segera ia mengutus putera Perdana Menteri Nilan,
bernama Nilan Yong-yo, membawa pula perintah rahasia dari
Perdana Menteri itu agar dalam sebulan Tjhi Djin-ho harus
membantu utusan Kaisar itu menemukan kembali ketiga butir
mutiara mes-tika dan Tjhi Djin-ho diperintahkan pula segera
pergi menghadap Nilan Yong-yo.
Nilan-kongtju adalah seorang pujangga pada zaman itu.
Bahkan ia pandai pula ilmu silat, di antara pembesar Boan-tjiu
kiranya tiada orang lain lagi yang 'Bun-bu-tjoan-tjay' seperti
dia ini. Ketika itu Nian Yong-yo masih belum genap berumur dua
puluh lima, namun Kaisar Khong-hi sangat sayang padanya
dan menganggap dia sebagai orang kepercayaannya.
Ketika Tjhi Djin-ho menerima surat perintah itu, maka ia
harus segera berangkat ke Limtjmg dan tak sempat mengejar
Teng Hong-ko lagi.
Begitulah lantas ia memberitahukan tugas yang harus
dilakukan itu kepada imam-imam dari Khong-tong-pay dan
minta bantuan mereka agar membantu menemukan kembali
ketiga butir mutiara mestika yang telah hilang, sudah tentu
Hian-hong dan kawan-kawan menjanjikan bantuan mereka
dan setelah itu mereka berpisah menuju ke jurusan masingmasing,
Tjhi Djin-ho menggiring Boan-liong menuju ke
Limtjing bersama Li Ngo.
Kembali pada Teng Hong-ko, dengan menggendong Bun
Sui-le, mereka akhirnya tiba kembali di Pek-lian-am dengan
selamat. Demi menampak Bun Sui-le terluka parah dan hilang
sebelah tangannya, Liok-dji Nikoh menjadi terkejut sekali dan
lekas ia memberikan obat luka dan memperbaharui
pembalutannya, ia pun bertanya dimana adanya Boan-liong
Tayhiap. Secara singkat Hong-ko menceritakan pengalamannya
semalam. "Kini tempat persembunyianmu sudah diketahui orang,
lekas kau ikut aku menyingkir ke tempat lain dulu!" ujar Liok
dji Nikoh. Hong-ko tak sempat bertanya lebih lanjut lagi, bergegas ia
lantas berangkat, Liok-dji Nikoh memondong Bun Sui-le ke
atas seekor keledai, bersama Hong-ko mereka meninggalkan
Pek-lian-am. Sesudah melintasi sebuah bukit dan melalui hutan belukar,
tidak lama kemudian mereka nampak sebuah rumah biara di
depan mata mereka, rumah biara itu adalah King-thay-si.
Sesudah mereka masuk ke dalam kuil itu, mereka segera
disambut oleh seorang Hwesio setengah umur.
"Angin apakah yang meniup Sutji datang kemari!" sapa
Hwesio itu kepada Liok-dji dengan merangkap kedua
tangannya. "Ya, kalau tiada kepentingan tentu tidak mengunjungi Sute,"
sahut Liok-dji. "Ini ada dua orang sahabat yang ingin
mon-dok sementara di tempatmu ini, entah sudikah Sute
menerima?"
Hwesio ini bernama Un-sian, adalah saudara seperguruan
Liok-dji, sudah tentu atas permohonan orang, tidak nanti ia
menolak, maka sesudah saling diperkenalkan, lantas ia
menyambut Hong-ko dan Bun Sui-le ke dalam, sedang Liok-dji
sendiri berangkat kembali ke Pek-lian-am sambil mencari
berita mengenai Boan-liong.
Lewat beberapa hari kemudian, luka Giok-bin-yao-hou
mulai sembuh, siang malam tanpa mengenal letih Hong-ko
selalu merawat di sampingnya dan menghiburnya dengan
berbagai jalan.
Melihat Hong-ko begitu telaten dan sabar merawatnya,
makin bertambahlah rasa terima kasih Bun Sui-le.
Pada suatu malam, Hong-ko yang tidur di kamar sebelah
t;ba-tiba terkejut oleh suara tangisan, lekas pemuda ini
menilik ke kamar Bun Sui-le, ia melihat muka kekasihnya ini
basah dengan air mata dan sedang menangis dengan sedih
sekali. "Soal apakah yang menjadi Tjitji menangis?" tanya Hong-ko
sembari duduk di sampingnya. "Dalam beberapa hari ini kau
sudah hampir sembuh seluruhnya, aku merasa gembira
karenanya!"
Akan tetapi Bun Sui-le ternyata makin berduka mendengar
ucapannya itu. "Aku kini sudah menjadi cacad, tak tega aku mengganggu
keberuntungan hidup adik selanjutnya," ujarnya dengan
tersedu-sedan. "Jangan Tjitji berkata demikian," sahut Hong-ko dengan
cepat. "Perasaanmu terhadap diriku yang begitu dalam dan
budimu pun tidak nanti aku lupakan, aku bukan manusia yang
tidak mengenal balas budi, meski kau terkurung lagi sebelah
tanganmu yang lain, pasti aku akan tetap cinta padamu."
Mendengar kata orang yang begitu sungguh-sungguh dan
teguh hati, dari berduka Bun Sui-le kemudian berubah menjadi
senang. "Apakah Dian-tayhiap sudah ada kabar?" tanyanya.
"Belum," sahut Hong-ko sambil menggeleng kepala. "Hari
ini Liok-dji Taysu telah mengirim kabar, katanya Hian-hong
bertiga dan Tjhi Djin-ho serta kawan-kawan yang lain sudah
meninggalkan Tjui-hun-kiong."
"Kalau begitu hendaklah Hiante besok pergi keluar buat
mencari kabar, kalau Dian-tayhiap mengalami malapetaka,
kita harus berdaya menolongnya," ujar Bun Sui-le.
Sedang mereka bercakap-cakap, waktu itu sudah lewat
tengah malam, tiba-tiba di atas wuwungan rumah seperti ada
bunyi keresekan.
Bun Sui-le yang sudah banyak berpengalaman, segera ia
menyirapkan api lilin.
"Ada orang datang!" kemudian ia berbisik di tepi telinga
Hong-ko. Sebelum mereka bertindak lebih jauh, tiba-tiba mereka
mendengar di atas atap rumah ada orang berkata, "Hong-ko
kau keluarlah, Pin-to ingin bicara padamu!"
Mendengar suara perkataan orang, mendadak muka Hongko
berubah, ia mengenali itu adalah suara gurunya. Oei-bai
Tjin-djin dari Liong-hou-san. Ia menjadi heran mengapa orang
tua ini bisa mendadak datang kemari.
Imam tua Oei-bai Tjindjin adalah guru Hong-ko sebelum
pemuda ini belajar ke Go-bi-san, mereka sudah lama sekali tak
pernah berjumpa. Maka Hong-ko tak berani ayal lagi, segera
ia melompat keluar ke pelataran di luar, ketika ia mendongak
memandang, betul juga di atas atap rumah itu berdiri seorang
imam dengan jubahnya yang melambai-lambai tertiup angin
malam. Mengenali memang Oei-bai Tjindjin adanya, lekas Hong-ko
maju menjura. "Hong-ko," Oei-bai Tjindjin berkata, "Pin-to ditugaskan oleh
ketua Go-bi-pay, Bu-tun Tjindjin, kau diperintahkan segera
mengantarkan Pi-hwe-tju ke Tjiongkoan (Limtjing) dan
menghadap pada Nilan-kongtju."
Mendapat perintah dari gurunya itu, keruan saja Hong-ko
terperanjat sekali.
"Nilan Yong-yo adalah orang kepercayaan Khong-hi,
dengan demikian apa bukan mengantar kambing ke mulut
macan?" begitu ia berpikir dalam hatinya.
Nampak pemuda ini tertegun dan sangsi, Oei-bai
mengeluarkan sepucuk surat dari baju terus diserahkan pada
Hong-ko. "Ini adalah petunjuk penting dari Tjiangkau (ketua), kau
diharuskan menjalankan tugas ini menurut rencana, tidak
boleh gagal!" pesannya lagi.
Berulang kali Hong-ko menyahut, sudah itu Oei-bai Tjindjin
melayang pergi, dalam sekejap saja ia sudah menghilang di
dalam kegelapan.
Esok paginya, di gerbang markas komando militer
Tjiongkoan terlihat berkibar bendera segi dua belas dari sutera
kuning berlukiskan naga emas, pembesar-pembesar negeri
yang melihatnya segera akan mengerti bahwa utusan Kaisar
sudah tiba, maka siapa saja yang sampai di luar gerbang
harus berlutut menyembah.
Pada waktu lohor hari itu, di luar gerbang markas itu
datang seorang pemuda, dari dandanannya seperti seorang
tukang kawal perantauan, di punggungnya menggemblok
sebatang pedang pula.
Ketika para penjaga melihat pemuda ini tidak berlutut
menyembah seperti lazimnya, mereka membentak-bentak,
mereka segera mengayun cambuk menyabet.
Dengan sehatnya dihentakkannya pecut itu hingga kedua
penjaga itu jatuh terpelanting.
Akan tetapi, begitu pemuda itu mengangkat kedua
tangannya, beberapa cambuk penjaga itu kena dirampas terus
ditarik hingga beberapa penjaga segera terpelanting, lalu
dengan langkah lebar, seperti tidak terjadi sesuatu pemuda itu
lantas berjalan ke dalam.
Namun ia segera dipapak lagi oleh dua orang penjaga pintu
kedua dengan golok melintang.
Sementara itu dari dalam, beberapa bayangkara yang
datang dari koraraja menyaksikan kejadian tadi, mereka yang
sudah banyak merasakan asam garam, dengan cepat mereka
melaporkan kejadian itu ke dalam.
Segera Nilan Yong-yo memberi perintah mempersilakan
orang menghadap, maka tak berani ayal lagi, pemuda itu
lantas disongsong masuk ke dalam.
Yang datang ini bukan lain ialah Teng Hong-ko, pagi-pagi
sekali ia kembali ke Pek-lian-am dan mengambil kembali
'pedang perjalanan' dari perguruannya itu yang masih
tertinggal di kuil Liok-dji Nikoh, sudah mana secepat terbang
ia menuju ke Tjiongkoan.
Waktu itu dengan angkernya Nilan Yong-yo duduk di
ruangan kebesarannya, tampak seorang pemuda dengan
langkah lebar dan sikap gagah berjalan masuk, ternyata
pemuda ini hanya membungkuk tetapi tidak menjura padanya.
Ketika ia menegasi pedang di atas punggung orang, ia lihat
pedang kuno itu bersarung belang penuh ukiran-ukiran aneh,
segera ia mengenali itu adalah tanda dari Go-bi-pay.
Nilan Yong-yo adalah seorang pandai yang aneh, tidak
sedikit tokoh dan pendekar dari dunia persilatan yang
bersahabat dengan dia, oleh sebab itu, pedang ini tidak
mungkin bisa mengelabui matanya.
"Harap dimaafkan tidak mengetahui kalau yang datang ini
adalah tokoh dari Go-bi-pay!" ia menyapa dengan membalas
hormat orang sambil meninggalkan tempat duduknya.
"Pantas orang Kangouw begitu menghormat kepadanya,
ternyata ia memang suka merendah, kali ini Suhu
memerintahkan aku ke sini, tentu ia punya tujuan tertentu!"
demikian ia berpikir demi menampak cara orang merendahkan
diri. Maka segera ia menghormat lagi sembari menutur, "Hamba
Teng Hong-ko, mendapat perintah dari guruku Bu-tun Todjin
untuk menghadap Kongtju dan menghaturkan sebutir
mutiara!" Mendengar penuturan itu. Nilan Yong-yo tercengang
seketika, lekas ia mempersilakan Hong-ko menuju ke taman di
belakang. Pemandangan di situ indah sekali dan hawa pun sejuk,
segera para pelayan menyediakan meja perjamuan. Sesudah
Nilan Yong-yo menghalau pengiring-pengiringnya, kemudian
Hong-ko menerangkan maksud kedatangannya dan dari dalam
bajunya ia mengeluarkan sebuah bumbung perak kecil, waktu
ia menuang bumbung itu, segera tertampaklah segelintir


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benda yang berkilau menyilaukan mata, yang bukan lain
adalah Pi-hwe tju atau mutiara anti api yang jarang terdapat
di jagad ini. "Betul-betul mutiara bagus!" puji Nilan Yong-yo sesudah ia
menyambut benda mestika itu ke dalam tangannya. Sudah itu
ia bertanya pula, "Apa ada petunjuk lain dari gurumu, Bu-tun
Todjin, tiada halangannya Teng-heng memberitahukan terus
terang!" "Soal ini berhubungan dengan kepentingan berjuta jiwa
manusia, kalau mendadak kabar ini menjadi bocor, mungkin
beberapa tempat di daerah tengah tidak akan terhindar dari
malapetaka peperangan!" lapor Hong-ko kemudian.
Mendengar penuturan itu, Nilan-kongtju memandang tajam
pada Hong-ko. "Teng-heng sementara jangan mengatakan dahulu, soal ini
mungkin aku bisa menebak beberapa bagian," ujarnya.
"Marilah kita coba masing-masing menulisnya di dalam telapak
tangan?" "Kongtju yang pandai berpikir, mungkin ada persamaan
pandangan juga, baiklah hamba menurut!" sahut Hong-ko.
Sudah itu Nilan Yong-yo menuju ke meja tulisnya, ia
mengambil pit terus dituliskannya beberapa huruf dalam
telapak tangannya, menyusul Hong-ko pun meniru juga.
Apabila kemudian mereka berhadapan dan saling membuka
telapak tangan mereka, maka tertampaklah apa yang mereka
tulis di tengah telapak tangan ternyata sama-sama berbunyi
'Pek-lian-kau' tiga huruf, tak tertahan mereka jadi saling
pandang sambil tertawa lebar.
"Terus terang saja, waktu aku berangkat dari kotaraja,
Hongsiang (Kaisar) diam-diam telah memberi perintah rahasia
bahwa menurut laporan para gubernur paling belakang ini,
manusia siluman Ong Bing yang lolos sepuluh tahun yang lalu
di Kangsay, kembali mempergunakan ajaran Pek-lian-kau buat
mengelabui mata rakyat, dan anggota-anggotanya menyebar
di semua propinsi, melulu Siangsay dan Holam dua tempat itu
saja pengikutnya ada lima atau enam puluh ribu, kini Ong Bing
telah mengganti namanya menjadi Thong-thian-kiu-tju,
tujuannya hendak merambah ke Kafnsiok, apabila dia berhasil
bersekongkol dengan imam-imam dari Khong-tong-pay, maka
hal ini akan makin menyulitkan," tutur Nilan Yong-yo. "Oleh
sebab itu, kali ini aku melawat kematian Kui-tjongtin, tetapi
sebenarnya bertujuan membekuk Ong Bing beserta begundalbegundalnya.
Jikalau Teng-heng tidak menampik, sukalah
tinggal dulu di samping untuk membantu, entah bagaimana
pikiranmu?"
Atas permintaan orang itu, Hong-ko semula ragu-ragu,
tetapi segera ia teringat pada petunjuk gurunya dalam sampul
rahasia itu. "Kalau Kongtju minta, pasti hamba tidak nanti menolak,"
katanya kemudian. "Cuma perkara perampasan 'Tjin-tju-goan'
itu. apa masih hendak diusut terus?"
"Teng-heng," sahut Nilan-kongtju. "Bukan aku omong
besar, kalau hanya urusan ketiga mutiara itu saja, tidak
kurang barang-barang mestika dalam kerajaan yang jauh lebih
ajaib dan berharga, apa gunanya harus bersusah payah
banyak membuang tenaga untuk mencarinya, aku tidak nanti
tamak pada benda- benda itu dan mengangkangi untuk diri
sendiri, kelak apabila urusan sudah beres, mutiara Pi-hwe-tju
itupun boleh dihadiahkan pada gurumu untuk pusaka
gunungmu, sedang kedua butir lainnya tentu dapat
dihadiahkan juga kepada orang yang banyak berjasa, dengan
kebijaksanaan ini, entah betul tidak pendapat Teng-heng?"
Mendengar penuturan ini, Hong-ko merasa kagum sekali
atas keadilan putera bangsawan ini.
Begitulah, rupanya mereka berdua cocok hingga mereka
minum sepuasnya sampai jauh malam, Nilan-kongtju
memerintahkan supaya disediakan sebuah kamar guna tempat
tinggal Hong-ko.
Esok paginya, penjaga melaporkan bahwa Hu Kak Tayhiap
datang, lekas Nilan-kongtju bergegas menyambut keluar,
Hong-ko pun ikut mendampinginya.
Ia lihat dari luar masuk seorang tua memakai caping dan
mengenakan baju terbuat dari lidi, semangatnya gagah dan
mukanya bercahaya, di belakangnya menyusul seorang
bongkok, mereka duduk bersama.
Ketika Hong-ko oleh Nilan-kongtju diperkenalkan, baru ia
mengetahui bahwa orang tua bercaping ini bukan lain adalah
pendekar aneh yang dikenal tua dan muda di kalangan Kangouw.
Hu Kak Tay-ong, sedang yang bongkok itu ialah
pendekar bongkok yang tersohor di gurun pasir, Toh-hiap,
diam-diam Hong-ko terkejut dan heran atas kedatangan kedua
tokoh dunia persilatan yang hebat ini, ia menduga pasti Nilankongtju
akan melakukan sesuatu dalam waktu singkat ini.
Pada suatu hari, dilaporkan bahwa Tjhi Djin-ho minta
menghadap, ia hanyalah seorang kepala opas pada Soatang
Sun-bu, pangkatnya tidak tinggi, maka kalau hendak
menghadap utusan raja harus mencatatkan namanya terlebih
dulu. Ia sudah tiga hari mencatatkan namanya barulah dipanggil
menghadap, maka dengan pakaian kebesarannya, secara
membungkuk ia memasuki ruangan kebesaran, ia berlutut di
depan undak-undakan ruangan itu terus menjura.
"Hamba Tjhi Djin-ho menyembah, semoga Baginda Raja
hidup bahagia!" begitu ia memuja.
Habis berkata ia melakukan penghormatan 'Sam-kui-kauhau'
atau tiga kali berlutut dan sembilan kali menjura.
"Untuk apa kedatanganmu ini?" tanya Nilan-kongtju.
"Lapor Kongtju, hamba mendapat surat perintah dari Tamtaydjin,
atas titah paduka Perdana Menteri, hamba
diperintahkan bertugas di sini!" lapor Tjhi Djin-ho lagi.
"Baiklah, kau boleh berbangkit!" perintah Nilan Yong-yo.
Laksana mendapatkan pengampunan saja Tjhi Djin-ho
berdiri kembali, waktu ia melirik keadaan dalam paseban, ia
lihat selain Nilan-kongtju yang duduk di tengah, kedua
sampingnya terdapat pula tiga orang, yang seorang memakai
baju tua jembel, seorang lagi adalah seorang kakek bongkok,
sedang di sudut paling ping-gir duduk seorang jago muda.
Tetapi demi nampak siapa orang itu seketika ia menjadi
terperanjat dan tubuhnya bergemetaran.
Dalam hati ia berpikir, "Aneh, bukankah pemuda ini she
Teng yang disebut Siau Kim-kong" Mengapa kini ia bisa
menjadi tetamu dari Kim-tjhe-taydjin?"
Agaknya Nilan-kongtju mengetahui pikiran orang, ia
berkata dengan tertawa. "Tjhi Djin-ho, apa kau merasa aneh?"
ujarnya. "Saudara ini adalah jago muda dari Go-bi-pay Teng
Hong-ko Hengte bukannya Siau Kim-kong segala, marilah
kamu berdua boleh mengikat persahabatan "
Sampai di sini, insyaflah Tjhi Djin-ho bahwa pemuda she
Teng ini tentu bukan orang sembarangan, maka ia tak berani
berlagak lagi seperti semula, lekas ia maju memberi hormat
pada Hong-ko. "Teng Kongtju tempo hari Tjayhe telah banyak membikin
susah, harap dimaafkan," katanya.
Hong-ko balas menghormat sambil berdiri.
Habis mana Nilan Yong-yo lantas memerintahkan Tjhi Djinho
maju lagi untuk diberi tugas seperlunya, ia diperintahkan
untuk menyelidiki dan segera melaporkan jejak Ang-koh dan
kaum imam dari Khong-tong-pay.
Malam itu, Hong-ko disokong Hu Kak Tayhiap mengajukan
permohonan agar Boan-liong Kiam-khek dapat dilepaskan.
Setelah mengetahui bahwa Boan-liong adalah pendekar dari
Djing-liong-hwe yang berlainan dengan kaum Liok-lim
umumnya, mengingat pula bahwa saat ini sedang
membutuhkan tenaga, maka Nilan Yong-yo dengan senang
meluluskannya. Begitulah dari tawanan segera Boan-liong berubah menjadi
tamu terhormat, sungguh tidak pernah diduganya lebih dulu,
ia menghaturkan terima kasih pada Nilan Yong-yo, sudah
mana beramah-tamah pula dengan Hong-ko yang sudah
berpisah sekian lamanya.
Kembali pada Ang-koh. Kedatangannya ke Hoa-san tempo
hari, tujuannya pertama-tama ialah ingin menemukan kembali
'Thian-hu' yang kena digondol oleh Giok-bin-yao-hou, kecuali
itu ia mendapat juga surat rahasia dari ayahnya, yang
mengabarkan bahwa Thong-thian-kiu-tju Ong Bing dalam
beberapa hari ini akan merambah ke daerah Kamsiok untuk
membikin pergerakan, dan gadis ini dipesan sepanjang jalan
ikut melindunginya.
Waktu itu pengaruh Pek-lian-kau sudah menjalar sampai di
daerah barat laut. banyak di antaranya tokoh-tokoh kalangan
Hek-to yang menggabungkan diri, dimana-mana sudah dibuka
cabang dari Pek-lian-kau, begitulah dengan ilmu silumannya
Ong Bing mengelabui rakyat, dengan menyuruh rakyat
memuja Pek-lian Tjosu, ia berniat merebut dunia dengan
bantuan tenaga dukungan rakyat itu.
Kala Ang-koh tanpa sengaja berjumpa dengannya dan kena
digertak di Tjui-hun-kiong. gadis ini telah kembali pada
perangai aslinya dan melepaskan pergi Giok-bin-yao-hou
bersama Hong-ko. Tetapi saking sengitnya, malam itu juga ia
lantas meninggalkan Hoa-san. Ia mengerti ketua mereka Ong
Bing menuju ke Khong-tong-san, sepanjang jalan tentu sudah
banyak orang-orang pandai dari sesama agama mereka yang
melindunginya, jalan-jalan yang dilalui tentu banyak pula
ditinggalkan tanda, karenanya ia pikir akan menanti saja di
antara perjalanan ke Ham-yang, dari sini ia hendak
menggabungkan diri dengan Ong Bing.
Sekeluarnya Ang-koh dari Hoa-san, begitu menyelidik,
segera ia mendapat tahu bahwa Nilan-kongtju telah tiba di
Tjiong-koan, ia menduga Ong Bing tidak nanti lewat jalan ini,
maka ia lantas memutar ke selatan melalui Lo-lok-koan.
Perjalanan ini melalui pegunungan Hok-gu-san yang jauh dari
khalayak ramai, ia pikir Ong Bing yang datang dari Ouwpak,
kebanyakan tentu lewat jalanan ini. maka ia menyamar
sebagai seorang nona desa yang memakai sebuah topi yang
berpinggiran lebar untuk menutupi setengah mukanya, ia
melanjutkan perjalanannya dengan menunggang keledai.
Di tengah jalan tiba-tiba ia disusul dua orang penunggang
kuda yang berdandan sebagai pembesar negeri, dari
tampangnya yang gagah dan pakaiannya yang cukup
mentereng, sedikitnya berpangkat Tjhian-tjong (setingkat
kapten). "Nona cilik di kedai depan sana ada arak segar, di sanalah
kami menantikanmu!" dengan tertawa seorang di antaranya
berkata waktu nampak Angkoh yang berparas cantik berjalan
sendirian. Habis mana dengan cepat sekali mereka sudah
menge-prak kudanya dan menghilang dalam sekejap saja.
Betul juga, tidak lama kemudian Ang-koh sudah sampai di
suatu kota kecil yang terdapat belasan toko. di antaranya
terdapat juga kedai arak, Ang-koh melihat pula kedua kuda
tadi ditambat di luar kedai itu.
Sepanjang jalan tiap ada kedai, selalu Ang-koh masuk
untuk memeriksanya, mungkin terdapat rahasia dari
agamanya. Oleh sebab itu, ia lantas menambat keledainya. Ketika
nampak tetamunya ini adalah seorang gadis desa, pelayan
kedai ternyata sungkan menerimanya.
"Siaudjiko, apa ada menyedia tempat dengan rumput
padi?" tanya Ang-koh pada si pelayan.
Kiranya kedai yang merangkap penginapan rendahan kalau
menginap hanya dihitung uang makan saja, sedang tempat
tidur adalah lantai beralaskan jerami.
Atas pertanyaan orang tadi. Siaudji atau pelayan kedai
menjawab dengan tidak senang, "Kedai kami ini adalah
tempat golongan atasan, tempat yang paling sederhana
sedikitnya dua renteng uang, lebih baik kau mencari tempat
lain saja!"
"Ai, dua renteng uang terlalu mahal, apa ada yang lebih
murah?" sengaja Ang-koh bertanya lagi. Namun pelayan itu
sudah malas buat beromong lagi. ia melengos terus masuk ke
dalam tanpa menoleh. Waktu Ang-koh melongok ke dalam
kedai, ia lihat dua orang perwira tadi tengah asyik minum arak
di dalam, ia tidak bermaksud masuk, maka segera ia memutar
tubuh dan mondar-mandir di luar.
Di bawah sebuah pohon di pinggir jalan terdapat seorang
pengemis yang berpakaian compang-camping dan kotor,
waktu melihat si gadis, ia mendekati buat minta sedekah.
"Kasihan nona, tolonglah pada orang tua yang tak bertuan
ini!" ratapnya.
Ang-koh tertegun demi mendengar ratapan pengemis itu.
Kiranya dalam ratapan pengemis tadi mengandung dua
suku kata 'Kiu-tju' atau tuan penolong yang menjadi kode
dalam Pek-lian-kau bila mengadakan hubungan di antara
sesama anggota. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia merogoh
sekeping mata uang terus ia lontarkan ke dalam tempurung si
pengemis. Tetapi tiba-tiba ia lihat di dalam tempurung yang
terdapat beberapa mata uang lainnya terselip pula sebuah
benda yang berbentuk persegi, waktu ia menegasi, ternyata
benda itu adalah 'Thian-hu' dari Pek-lian-kau, tak tahan lagi ia
menjadi terkejut.
Ang-koh melangkah masuk ke dalam rumah gubuk Uu dan
alangkah terperanjatnya demi dilihatnya.....
Sementara itu, si pengemis ketika nampak di sekitarnya
tiada seorang pun, sembari meraup mata uang dalam
tempurung dengan suara pelahan ia berkata, "Kedai beratap
rumput di depan sana, di depan pintunya tertambat seekor
anjing!" Ang-koh menuntun kembali keledainya, ia mencari suatu
kedai lain untuk bermalam. Kedai itu tidak banyak tamu, maka
keadaannya rada sepi, apabila hari sudah malam Ang-koh
lantas meringkasi pakaiannya, melalui jendela kamarnya
dengan enteng sekali ia keluar dari kedai itu, ia berlari menuju
tempat ke jurusan dimana si pengemis memberitahunya tadi.
Kira-kira tiga atau empat li setelah ia tempuh, terdengar
olehnya suara menggonggongnya anjing, ternyata di antara
sawah gandum yang tumbuh lebat terdapat sebuah rumah
beratap rumput alang-alang kering. Sampai di sini Ang-koh
memperlambat langkahnya, ia maju dengan hati-hati.
Sementara itu tiba-tiba dari tempat gelap meloncat keluar
seorang. "Bulan ada dimana?" orang itu menegur.


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Matahari terbenam segera ia muncul" jawab Ang-koh.
Dalam tanya jawab ini kiranya suku-suku katanya
mengandung juga satu huruf "Bing" yang terdiri dari
gabungan huruf bulan dan matahari. Maka tanpa ragu-ragu
lagi orang itu mempersilakan Ang-koh masuk ke rumah
beratap rumput itu, pada sebuah balai-balai di dalam rumah
duduk seorang, begitu melihat dengan cepat sekali Ang-koh
berlari maju terus merangkulnya dengan kencang.
Orang ini bukan lain ialah ayahnya, Pek Ting-djoan.
"Darimana ayah mengetahui aku telah sampai di sini?"
tanya Ang-koh. "Pengemis yang kau jumpai itu adalah Go-mo Li, mengapa
kau tidak mengenali dia?" ujar Pek Ting-djoan.
"Hebat sekali cara ia menyamar, sampai aku kena
dikelabui!" sahutnya kemudian
"Anakku, Kiutju besok akan datang, malam ini kau harus
menyelesaikan suatu tugas!" Pek Ting-djoan berkata pula.
"Urusan penting apakah itu, ayah?" tanya Ang-koh heran.
Maka Pek Ting-djoan lantas membisikkan ke telinga
putrinya itu untuk memberi petunjuk-petunjuk yang
diperlukan. Habis mana ia mengeluarkan pula obat poles
dengan peralatannya dan diserahkan pada Ang-koh.
"Urusannya cukup penting, hendaklah kau selesaikan
dengan baik, sudah itu Go-mo Li masih hendak membawanya
berangkat!" orang tua itu berpesan lagi.
Tidak lama kemudian, di atas rumah penginapan yang
pertama dimana Ang-koh mampir siang tadi telah kedatangan
tamu, Ang-koh berjongkok di luar jendela, ia mengeluarkan
seekor burung-burungan bangau yang terbuat dari tembaga,
dengan patuknya yang lancip ia menusuk pecah kertas daun
jendela, menyusul mana dari mulut burung-burungan itu
menyembur keluar asap tebal.
Tanpa ayal lagi segera Ang-koh masuk ke dalam kamar dan
mengobrak-abrik buntalan yang mereka bawa, ia berhasil
menggeledah sepucuk surat, habis itu malam-malam ia
kembali ke rumah beratap rumput tadi.
Melihat surat yang dapat dirampasnya itu. Pek Ting-djoan
tersenyum sambil mengelus jenggotnya.
"Surat apakah ini, ayah?" tanya Ang-koh yang kurang
mengerti. "Nyata kau belum tahu, surat ini adalah surat penting yang
dikirim oleh To Tok Goanswe kepada Nilan-kongtju, sepanjang
jalan kami menguntit dan baru berhasil sekarang," sahut Pek
Ting-djoan menerangkan.
Tatkala itu, pemerintah Djing mendapat berita laporan
bahwa Pek-lian-kautju telah merambah masuk ke daerah
Holam dan sekitarnya, maka sepanjang jalan dijaga dengan
keras, mereka ingin meringkus pemimpin agama liar ini.
Hari itu di jalan raya ada dua penunggang kuda berdandan
sebagai perwira sedang melarikan kuda mereka laksana
terbang. Seorang di antaranya matanya bersinar, itulah Pek-liankautju
Ong Bing, usia ketua agama ini sudah mendekati enam
puluhan, tetapi karena pandainya ia melatih diri, parasnya
masih belum tampak setua usianya.
Kawan seperjalanannya berusia belum ada tiga puluh,
tampaknya gagah, alisnya tebal dan wajahnya bengis. Ia
adalah murid pertama dari Bu-tun Todjin di Go-bi-san,
namanya yang asli adalah Hoat Ang, kepandaiannya yang
diperoleh dari Go-bi-pay sudah boleh dikatakan di tingkat
kesempurnaan. Sejak ia turun gunung ia menukar namanya
dengan Ie Hong, karenanya jarang orang luar yang
mengetahui asal-usulnya, terhadap dia ini Ong Bing cukup
menghargainya dan dianggap sebagai salah seorang
kepercayaannya, bahkan ia diangkat sebagai panglimanya.
Begitulah di bawah tipu yang diatur Pek Ting-djoan,
mereka berdua telah menyamar sebagai perwira bawahan To
Tok, dengan membawa surat perintah rahasia dari To Tok
untuk Tjiongkoan, sepanjang jalan masih diberi pula surat ijin
perjalanan, maka dengan aman tiada yang berani merintangi
mereka, beberapa hari kemudian mereka sudah sampai di
Lengpo. Karena begundalnya yang cukup banyak di tempat-tempat
yang mereka lalui, ditambah lagi perlindungan dari pemimpinpemimpin
lainnya yang mengikut di belakang mereka, maka
mereka menduga setelah lewat Tjing-tjoan, tentu ada Kiamkhek
dari Khong-tong-pay yang akan menyambut mereka.
Meski tipu daya Pek Ting-djoan sudah cukup rapi tetapi
hidung mata-mata pemerintah Djing ternyata tidak kalah
tajamnya, jagoan-jagoan di bawah Nilan Yong-yo pun sudah
mencium bau bahwa Ong Bing sudah lewat Hok-gu-san, yang
tidak mereka ketahui ialah dengan cara bagaimana ketua
agama liar ini bisa mengelabui petugas-petugas penjaga pada
pos-pos sepanjang jalan. Namun sia-sia saja mereka berusaha
mencegat dan menghadangnya. Akhirnya sejumlah jagoan
dari kerajaan ditugaskan juga bantu menjaga.
Pada waktu lohor, terdengar suara kelenengan yang
menggema bercampur dengan suara derapan kaki kuda yang
cepat, kedua penunggangnya laksana terbang sedang
mendatangi. Sesudah penjaga memeriksa izin perjalanan yang
menunjukkan tugas perintah To Tok Goanswe, tanpa dipersulit
lagi kedua penunggang kuda itu lantas dilepaskan untuk
meneruskan perjalanan.
Akan tetapi Tjhi Djin-ho yang sedang meronda di atas
benteng melihat wajah perwira yang rada tua itu seperti sudah
pernah ia kenal, maka segera ia turun ke bawah buat
bertanya. Karena pemeriksaan ulangan ini, perwira muda tadi
menjadi marah. "Kami ada tugas penting, mengapa sudah diperiksa masih
diulangi lagi, kalau terhambat, siapa yang harus bertanggung
jawab?" debarnya kurang puas sambil menyerahkan surat izin
jalannya. Tjhi Djin-ho sudah lama dinas dalam pemerintahan, maka
sesudah melihat surat jalan itu tiada sesuatu yang
mencurigakan, ia pun berkata, "Aku yang rendah juga petugas
dari markas besar, kalau kamu berdua ingin menghadap Nilankongtju,
biarlah aku mengiringi ke sana!"
"Tak usah saudara melelahkan diri, waktu kami terlalu
sempit dan harus segera berangkat," ujar perwira yang tua
itu. Habis berkata ia memecut kudanya terus dilarikan keluar
pintu benteng, sedang perwira yang muda menyusul di
belakangnya segera menjambret kembali surat jalan yang
diserahkan orang tadi.
Karena sedikit terbentur dengan tangan orang, Tjhi Djin-ho
menjadi terkejut, diam-diam ia merasa tangan orang ini begitu
hebat, pasti bukan perwira pengantar surat dinas
sembarangan. Sebelah utara dari Ham-kok-koan berdekatan dengan
sungai kuning atau Hong-ho, apabila keluar dari benteng itu
dan mengikuti jalanan besar yang menuju ke Tjiongkoan,
untuk kuda yang cepat larinya cukup sehari semalam sudah
bisa sampai. Begitulah Tjhi Djin-ho dan Li Ngo berdua terus
menguntit sambil mencari berita sepanjang jalan. Pada waktu
magrib mereka sudah sampai di muara sungai Sinleng, di
depan mereka melintang sungai Heng-long-ho.
Ketika Tjhi Djin-ho bertanya kepada penjaga muara sungai
ini, ia mendapat keterangan bahwa belum ada dua
penunggang kuda yang menyeberang sungai, diam-diam Tjhi
Djin-ho merasa aneh, di sekitarnya sini tiada tempat
penyeberangan lain lagi yang bisa dipergunakan untuk
melintasi sungai ini.
Mereka berdua membagi dua jurusan buat mencari.
Sebelah mereka adalah hutan lebat, dan sebelah yang lain
adalah sawah yang penuh tumbuh jawawut yang menguning
hingga sampai ke tepi sungai.
Kata Tjhi Djin-ho pada Li Ngo, "Kini hari sudah gelap, coba
kau memutar ke dalam rimba untuk memeriksanya, biar aku
mencari ke tepi sungai, sebelum tengah malam kita kembali
bertemu di sini."
Li Ngo memisahkan diri ke jurusannya sendiri, sedang Tjhi
Djin-ho pun menerobos di antara sawah jawawut yang
tingginya melebihi orang, justru ini merupakan penghalang
baginya, maka ia terus maju menuju ke tepi sungai.
Tengah asyik ia menyusur dalam sawah jawawut lebat itu,
tiba-tiba ia melihat ada sinar api yang berkelebat di seberang
sungai, tidak lama kemudian, di dalam semak alang-alang di
seberang sana terlihat ada orang yang melepaskan bola api,
hanya sekejap saja sinar api itu berkelebat di angkasa,
kemudian lantas lenyap kembali.
Tjhi Djin-ho mengerti tanda pemberitahuan di kalangan
Kangouw, betul juga segera ia nampak dari seberang sungai
sana dengan pelahan-lahan mendatangi dua buah kapal layar
besar, ketika sampai di tengah sungai, mendadak kapal layar
itu menurunkan sebuah sampan kecil yang dibuang ke semak
alang-alang tadi, menyusul mana secara remang-remang
tertampak dua sosok bayangan orang naik ke atas kapal layar
itu. Tjhi Djin-ho lebih curiga lagi, ia merangkak mendekati tepi
alang-alang tadi, dari sini ia mengikat segebung batang
jawawut dan diapungkan di atas air sungai, dengan
menggunakan gebungan jawawut ini, ia berenang menuju ke
kapal layar. Dari jauh ia lihat tiada sinar api dalam kapal itu,
tetapi sesudah dekat baru ia ketahui bahwa semua jendela
kapal sudah diselubungi dengan kain hitam, karena itu sinar
lampu tidak dapat menembus keluar.
Tjhi Djin-ho menyembunyikan dirinya di antara gebungan
jawawut, kedua kakinya mendayung, dengan demikian secara
pelahan dapatlah ia merembet naik ke dinding kapal, dengan
menggemblok pada dinding kapal ia mengintai ke dalam.
Dalam ruangan kapal ternyata terang benderang, di tengah
ruangan terdapat sebuah kursi besar berlapis kulit macan,
seorang dengan tangan mencekal kipas dari bulu dan
berdandan sebagai orang pertapaan sedang duduk di sana, di
sampingnya banyak berdiri pengawal bersenjata. Tjhi Djin-ho
kenal orang ini bukan lain ialah orang yang menyamar sebagai
perwira siang tadi.
Sementara itu dari luar masuk pula belasan laki-laki gagah
dan bergantian maju memberi hormat. Tjhi Djin-ho menjadi
makin heran dan terkejut karena laki-laki yang masuk
belakangan ini kebanyakan adalah pemimpin dari kalangan
Liok-lim di daerah Siamsay dan Holam.
Tidak lama kemudian, dari luar terdengar laporan bahwa Litjiangkun
telah kembali dengan cakar alap-alap yang berhasil
ditangkapnya. Apabila tirai kuning tersingkap, maka masuklah seorang
kakek dengan tangannya mengempit seorang, setelah berada
di dalam ruangan segera ia membanting tawanannya itu ke
geladak kapal. Waktu Tjhi Djin-ho menegasi, orang yang menggeletak di
depan Ong Bing itu ternyata bukan lain adalah kawannya
sendiri yaitu 'Siau-song-sin' Li Ngo. Keruan saja ia menjadi
kaget hingga mengeluarkan keringat dingin.
Dalam pada itu terdengar pula dari belakang suara air
didayung, waktu ia berpaling, maka tertampaklah di atas
sungai sebuah sampan sempit sedang mendatangi dengan
cepat, di atas sampan berdiri seorang imam tua yang
memakai jubah bergambar Pat-kwa dari sulaman benang
emas, dalam sekejap saja imam itu sudah berada di atas kapal
layar besar itu.
Sampai di sini Tjhi Djin-ho tak berani mengintai lebih lanjut,
ia meloncat ke dalam air lagi dengan maksud kembali. Tak ia
duga, baru saja ia hendak kabur, mendadak jendela kapal
terbuka dan si imam tua tadi telah muncul sambil membentak,
"Hendak lari kemana kau, Tjhi Djin-ho!"
Berbareng itu sebelah tangannya diulur, maka segera Tjhi
Djin-ho merasakan sambaran angin di belakang kepalanya,
seketika rambutnya kena dijambak orang, matanya
berkunang-kunang dan pandangannya kabur, maka tak sadar
lagi ingatannya.
Kembali pada Giok-bin-yao-hou. Sesudah Hong-ko
berangkat hingga dua hari masih belum nampak kembali, hati
gadis ini menjadi kuatir, ia tidak tahu apakah Hong-ko selamat
atau celaka akibat menemui Nilan Yong-yo itu. Sementara itu
lukanya sudah pulih kembali, dari tuan rumah ia meminjam
sebatang pedang dan dicobanya memainkan dengan sebelah
tangannnya, ia merasa keadaan dirinya saat ini tidak
mengurangi kegesit-annya dibandingkan pada waktu
tangannya masih utuh. Maka sekembalinya ke dalam kuil
segera ia mengutarakan keinginannya turun gunung buat
mencari Hong-ko.
Pada malam itu juga ia lantas meninggalkan King-thay-si, ia
kembali ke Pek-lian-am. Nampak lukanya sudah sembuh,
sudah tentu Liok-dji Nikoh girang sekali. Lalu ia memberitahu
juga pada Bun Sui-le bahwa Hong-ko pernah datang padanya
buat mengambil senjatanya dan hendak pergi menghadap
Nilan Yong-yo. Bun Sui-le memberitahu pula maksudnya
hendak menuju ke Tjiongkoan buat mencari kabar Hong-ko
dan Boan-liong berdua.
"Aku pun rada menguatirkan keselamatan Boan-liong Tay
hiap, kalau begitu, sebaiknya kau juga menyamar sebagai
Nikoh saja, dengan demikian kita berangkat bersama untuk
mencari kabar mereka" kata Liok-dji Nikoh.
Begitulah, sesudah dua hari mereka berangkat, sampailah
mereka pada suatu lembah pegunungan, dari sini hanya
beberapa puluh li saja dengan Tjiongkoan yang menjadi
tempat tujuan mereka. Lembah pegunungan ini cukup
berbahaya, tetapi merupakan jalan yang harus dilalui.
"Di depan sana ada sebuah kuil, Pek-ie-am, ketua
pengurusnya Sim-dji Nikoh, pernah kawan karibku, marilah
kita menuju ke sana buat menumpang barang semalam," ajak
Liok-dji Nikoh.
Bun Sui-le tidak membantah, ia menuruti kemauan
kawannya ini. Mereka membelok ke suatu jalan kecil yang
menyusur sebuah sungai pegunungan kecil di samping rimba
lebat, di sekitarnya sepi tiada seorang penduduk. Tengah
mereka berjalan, tiba-tiba dari depan mendatangi seorang
dengan tergesa-gesa, orang ini adalah laki-laki setengah


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

umur, di punggungnya meng gemblok sebilah golok,
kepalanya memakai ikat kepala dan terselip setangkai bunga
merah. Waktu Bun Sui-le menegasi, ia mengenali orang itu
ternyata bukan lain ialah Totju dari Ang-hoa-hwe, Liu Ut, yang
dulu pernah merencanakan menjebak dirinya karena kena
dihasut oleh Ang-koh, yaitu dengan tujuan hendak merebut
kembali 'Thian-hu' yang jatuh di tangannya ini
Tanpa sengaja musuh ini kini bertemu, sudah tentu Giokbinyao-hou tidak nanti melepaskannya begitu saja. ia
menunggu setelah orang berjalan dekat sekali, mendadak ia
lantas hendak membekuknya sambil membentak, "Liu ut,
masih kenalkah kau padaku?"
Keruan saja Liu Ut terperanjat, sedetik kemudian baru ia
mengenali bahwa yang berada di hadapannya ini ialah Giokbin
yao-hou. Namun tidak mau ia menyerah mentah-mentah, dengan
sedikit membungkuk, kemudian sebelah tangannya segera
ditang-kiskan ke atas dan sebelah tangan yang lain menjojoh
ke arah dada Bun Sui-le.
Tetapi Bun Sui-le pun tidak gampang di arah, ketika
mendadak ia melihat kedua tangan orang menghantam,
segera juga ia mengegos ke samping, habis itu ia lantas
mencekal tangan orang terus dipuntir, dalam sekejap saja Liu
Ut ternyata sudah kena diangkat seluruh tubuhnya terus
diputar beberapa kali dan kemudian dibanting ke tanah.
Begitu keras bantingan itu hingga Liu Ut roboh setengah
semaput yang disusul oleh Giok-bin-yao-hou, terus menginjak
dengan kakinya, karena pada bawah sepatu gadis ini terdapat
kaitan baja, keruan saja Liu Ut berguling-guling di tanah
saking kesakitan karena tulang punggungnya beradu dengan
kaitan baja sepatu orang.
"Manusia rendah, apa yang bisa kau katakan lagi dengan
perbuatanmu yang kotor hendak membokong nonamu
dahulu?" damprat Giok-bin-yao-hou.
Habis mana ia mengayun senjatanya lantas hendak
dibacokkan. Namun Liu Ut cukup tahu gelagat, ia memohon
ampun dengan sangat walaupun tubuhnya masih terinjak di
bawah kaki orang, ia membantah keras perbuatannya dengan
alasan fitnahan orang belaka. Sementara itu belum sampai
senjata Giok-bin-yao-hou bekerja, Liok-dji Nikoh pun sudah
maju ke tengah buat mencegah.
"Mohon nona mengampuni dia!" bujuk padri perempuan ini.
Setelah dipikir bahwa apa yang ia dengar dahulu tidak lebih
diperoleh dari perkataan Ang-koh, ia kuatir salah membunuh
orang yang sebenarnya tak berdosa hingga kelak bisa dicela
sesama kaum Kangouw.
"Baiklah, kubiarkan kau hidup lagi beberapa lama, tetapi
kalau aku mendapatkan bukti-bukti yang nyata, jangan harap
kau bisa lolos pula dari tanganku!" bentaknya kemudian
sambil menarik kembali pedangnya.
Dengan mendekam di tanah Liu Ut menjura berulang-ulang
atas kemurahan hati orang, ia menunggu sesudah mereka
berdua berlalu baru berani berbangkit terus mengeluyur keluar
dari lembah gunung itu.
Waktu kemudian Giok-bin-yao-hou bersama Liok-dji sampai
di depan Pek-ie-am, mereka baru mengetahui bahwa rumah
berhala itu sudah tidak ditinggali lagi, pintu terkunci,
keadaannya kotor tak terawat, jelas sudah lama tidak
dikunjungi orang.
"Beberapa tahun tidak kemari, siapa tahu keadaan sudah
berubah, marilah kita berlalu!" ujar Liok-dji Nikoh.
Ketika mereka kembali melalui rimba tadi, tatkala itu cuaca
sudah mulai gelap, sekonyong-konyong berkelebat bayangan
orang, berbareng itu dari dalam rimba itu meloncat keluar dua
orang, yang seorang laki-laki dan yang lain wanita. Waktu
mengetahui siapa yang berada di hadapannya ini, Bun Sui-le
jadi berubah wajahnya, tidak ia sangka bahwa yang berdiri di
depannya itu adalah Ang-koh dan Liu Ut berdua.
"Liu-totju bilang kau perempuan siluman ini telah datang,
semula aku masih sangsi, tak tahunya memang betul kau meigantarkan
nyawamu, maka jangan kau sesalkan senjataku
yang tak kena! kasihan ini!" bentak Ang-koh dengan mata
melotot dan pedang terhunus.
Kiranya rimba ini bukan lain adalah tempat dimana Tjhi
Djin-ho memburu kemari.
Setelah ketua agama Teratai Putih Ong Bing sampai di
tempat ini, segera banyak di antara pemimpin dari kalangan
Liok-lim yang menyumpahi dia. Kemudian menyusul Pek Tingdjoan
beserta puterinya, Ang-koh pun datang. Berbareng
mereka terdapat pula Go-mo Li dan Hun-tiong-tju serta
kawan-kawan yang lain.
Dengan memilih rimba ini sebagai tempat pertemuan
mereka, Totju atau ketua dari Ang-hoa-hwe, Liu Ut, pun
datang hendak menyumpahi mereka, tak tersangka di tengah
jalan ia kepergok dengan Giok-bin-yao-hou, beruntung
jiwanya diampuni orang, tetapi karena itu ia lantas
melaporkan kejadian mana pada Ong Bing.
Kuatir kalau jejaknya ketahuan orang, segera Ang-koh
diutus menyertai Liu Ut pergi menangkap Giok-bin-yao-hou, di
samping itu Go-mo Li diperintahkan membantu bila perlu.
Begitulah demi nampak Ang-koh, Bun Sui-le menjadi
murka, darahnya mendidih dan amarahnya meluap-luap
terhadap musuh besarnya ini. Ia tidak menunggu sampai
bentakan orang tadi habis diucapkan, segera ia sudah
menerjang maju menikam dengan pedangnya.
Melihat orang menyerang dengan kalap, Ang-koh mengerti
lawannya ini bersedia mengadu jiwa, maka ia sengaja berlaku
tenang, dengan cepat ia memutar ke samping, berbareng
mana ia angkat senjatanya juga menyampuk pergi pedang
lawan dan kemudian mengambil kedudukan bersiap lagi.
Karena serangan pertamanya gagal, Giok-bin-yao-hou
menjadi semakin murka, segera ia mengirim serangan kedua,
secepat angin ia lantas membabat sambil merangsek maju.
Cara menyerangnya ini memang berbahaya, tetapi ia sudah
berniat berkorban asal Ang-koh dapat ia binasakan.
Dengan cepat Ang-koh melompat ke atas setinggi beberapa
kaki, ia berjumpalitan di atas untuk kemudian menancapkan
kakinya kembali di sebelah Liok-dji Nikoh dan berbareng padri
ini sudah kena ia dorong ke depan untuk diumpankan pada
senjata Bun Sui-le. Liok-dji yang tidak pernah menyangka
akan perbuatan orang itu seketika tak berdaya, Bun Sui-le pun
tidak menduga bahwa orang bisa menyorongkan Liok-dji
sebagai tameng, maka lekas ia menarik kembali senjatanya
sambil mengumpat caci.
Karena caci maki orang yang berulang kali itu, rupanya
Ang-koh pun tak tahan lagi dan naik darah juga, dengan cepat
sekali segera ia balas membacok. Bun Sui-le sedikit
berjongkok sambil menang-kis, tak ia sangka Ang-koh masih
terus mendorong senjatanya ke depan, karena itu, terpaksa
Bun Sui-le harus mendoyong ke belakang. Ang-koh ternyata
tidak menyia-nyia-kan kesempatan ini, secepat kilat ia
melompat maju terus membelah lagi dengan tipu serangan
'Pek-tjoa-tho-sin' atau ular putih melelet lidah.
Nampak kawannya terancam bahaya, saking terkejutnya
hampir-hampir Liok-dji berseru kaget. Namun sebelum ia
bersuara, mendadak terdengar Ang-koh menjerit kesakitan,
habis mana pedangnya terlihat jatuh ke tanah.
Kiranya dalam keadaan yang berbahaya tadi, sekonyongkonyong
Bun Sui-le menggunakan senjata rahasia seadanya,
ia menimpukkan 'Thian-hu', kepingan pening tanda pengenal
dari Pek-lian-kau, dan dengan tepat mengenai pundak Angkoh
hingga masuk ke dalam daging.
Karena menderita luka, Ang-koh melompat keluar dari
kalangan pertempuran terus berbalik hendak lari.
"Jangan lari!" bentak Bun Sui-le sambil mengudak dengan
senjata terhunus.
Tetapi dengan cepat Ang-koh terus kabur ke dalam rimba,
Bun Sui-le tetap mengejar dengan kencang, pada waktu sudah
hampir menyandak, sebelum ia sempat melakukan serangan,
mendadak dari dalam rimba mencelat keluar seorang lagi, di
antara sambaran lengan baju orang ini, seketika pedang Bun
Sui-le sudah kena terkancing terus tertarik lepas dari
tangannya. Untuk menolong dirinya, dengan cepat Giok-binyaohou mengayunkan sebelah kakinya buat menendang,
tetapi dengan sedikit bergerak, orang tadi menyambut kakinya
dengan kain baju lagi, seketika itu juga Bun Sui-le merasakan
sakit yang meresap tulang terus roboh terguling sambil
menjerit. Orang itu tertawa mengikik, menyusul mana gaya Kim-nadjiu
yang hebat menyambar, dalam sekejap saja Bun Sui-le
hanya merasakan belakang kepalanya telah kena ditotok
orang, habis itu seluruh badannya terasa kaku linu tak
bertenaga lagi. Bila kemudian ia dapat melihat orang dengan
jelas, kiranya orang ini ialah Go-mo Li yang terkenal lihai
dengan ilmu 'Yu-bun-tiat-pan-siu', yakni kepandaiannya
mengibaskan lengan baju sekuat lempengan baja.
Mendengar rekannya menjerit, Liok-dji Nikoh dengan cepat
memburu ke dalam rimba, tetapi kasihan baginya, tak ia
sangka Liu Ut telah berada di belakangnya, tanpa terasa ia
kena dibacok dari belakang hingga padri wanita ini jatuh
tersungkur dengan memuncratkan darah segar, padri ini
kempas-kempis tinggal menunggu ajalnya saja.
tw 31 es Kembali pada diri Teng Hong-ko, waktu itu pemuda ini
tengah berada dalam markas di Tjiongkoan, tiba-tiba ia
merasakan pikirannya tidak tenteram, hatinya senantiasa
teringat pada Bun Sui-le. Karena itu lantas ia mengemukakan
maksudnya itu pada Nilan-kongtju agar diperbolehkan kembali
ke King-thay-si untuk menjumpai kekasihnya itu. Nilan Yongyo
tidak keberatan atas permintaan itu, ia hanya berpesan
agar berlaku waspada karena sudah diperoleh kabar bahwa
Ong Bing yang mereka incar telah sampai di sekitar
Tjiongkoan, maka pemuda ini diharapkan jangan terlalu lama
meninggalkan tugasnya.
Waktu Hong-ko hendak berangkat, di luar pintu ia
berpapasan dengan Hu Kak dan Boan-liong berdua yang
bertanya kemana pemuda ini hendak pergi. Hong-ko dengan
terus terang menceritakan isi hatinya.
"Bila kau bertemu dengan Ang-koh lagi, apakah kau masih
hendak menyambung urusan lama?" tiba-tiba Boan-liong
bertanya pula. "Meski sejak kecil kami pernah dipertunangkan, tetapi kini
ia sudah tersesat ke dalam agama liar, hubungan kami sudah
putus!" sahut Hong-ko dengan tegas.
"Teng-heng bisa membedakan yang benar dan yang sesat,
sungguh tidak malu sebagai seorang Enghiong sejati!" puji Hu
Kak. Begitulah kemudian Hong-ko berangkat menuju ke Kingthaysi. Tetapi baru setengah hari ia menempuh, tiba-tiba
turun hujan lebat dengan petir menyambar..
Dengan menghadapi hujan lebat Hong-ko tetap
melanjutkan pula perjalanannya, kemudian sampailah dia
pada sebuah jembatan yang telah putus, ketika mendadak
sinar kilat berkelebat, kuda tunggangannya menjadi kaget
hingga berjingkrak, karena itu binatang itu terjerumus ke
bawah jembatan, beruntung Hong-ko bisa menyelamatkan
dirinya dengan sekali lompatan hingga tidak sampai tergelincir
masuk ke bawah jembatan juga, namun demikian, seluruh
tubuhnya sudah basah kuyup dengan air lumpur.
Waktu ia memandang sekitarnya, dari kejauhan ia lihat
pada lekukan gunung sebelah sana terdapat sebuah rumah
biara kuno yang dikitari dengan pagar tembok, ia segera
mengambil keputusan untuk berteduh di sana.
Ketika ia sudah berada di depan rumah biara itu, ia lihat
rumah biara ini sudah bobrok tak terawat, dari papan nama
rumah biara yang masih tergantung miring di atas pintu itu,
lapat-lapat masih dapat terbaca 'Pek-ie-am' tiga huruf.
Setelah ia masuk ke dalam pagar tembok, tampak olehnya
pintu besar dalam rumah biara itu terkunci rapat, ia berteriak
memanggil beberapa kali, namun tiada sesuatu sahutan, ia
menduga tentu tiada seorang manusia pun yang tinggal di
dalam rumah biara ini.
Sementara itu hujan masih belum reda, sedang cuaca
sudah gelap gulita, ia menaksir hari ini sudah tidak mungkin
melanjutkan perjalanan lagi, lantas ia mengitar ke belakang
rumah biara, di sini baru ia ketahui masih terdapat pula jalan
kecil yang menembus ke hutan rimba, di jalanan berlumpur itu
masih tertampak juga bekas tapak kuda, rupanya pernah ada
orang yang datang ke tempat ini dan belum lama baru
berangkat. Hong-ko menjadi curiga, tiba-tiba ia melihat pada pojok
pagar tembok itu masih terdapat pula sebuah pintu samping,
ia mencoba mendorong pintu itu, ternyata pintu ini memang
tidak dikunci. Pintu itu ternyata menembus ke sebuah ruangan tersendiri,
pada pelataran rumah ini penuh dengan kotoran burung dan
berlumut, bahkan di atas tanah ini tertampak pula bekas tapak
kaki orang yang bercampur-baur antara pria dan wanita.
Hong-ko menjadi semakin sangsi, ia berjalan terus ke
belakang biara, pada suatu kamar yang sudah rusak ia melihat
ada lima atau enam buah peti mati, karena keadaan rada
gelap, maka Hong-ko tak bisa melihat dengan jelas, hanya ia
merasakan bau busuk yang menyesakkan hidung dan
menambah seram keadaan dalam kamar tadi.
Dengan menabahkan diri, Hong-ko maju terus ke depan. Di
kamar samping itu ternyata terdapat sebuah pintu yang
menembus ke ruangan dalam yang merupakan paseban dari
rumah biara ini, namun keadaan serupa saja sunyi senyap.
Di sini tiba-tiba ia mendengar ada suara seperti orang
sedang merintih yang lapat-lapat berkumandang dari paseban
di sebelah dalam. Tanpa ayal lagi segera Hong-ko memburu
ke tempat datangnya suara itu. Dalam kegelapan ia nampak
seperti ada seseorang meringkuk di pojokan ruangan itu.
Apabila ia menegasi lebih dekat lagi, kiranya orang ini
adalah seorang Nikoh yang berlumuran darah, ternyata
punggungnya kena dibacok orang hingga tulangnya menonjol
kelihatan dengan kedua tangannya diikat ke belakang. Nikoh
ini sudah kempas-kempis mendekati ajalnya.
Waktu Hong-ko berjongkok mengangkat naik kepala Nikoh
itu, mendadak ia berseru kaget, sama sekali tidak ia duga


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa Nikoh ini adalah Liok-dji Nikoh. Tampaknya padri ini
hanya bisa membuka matanya, bibirnya sedikit bergerak,
tetapi seperti tak sanggup buka suara.
Ternyata Bun Sui-le rebah di dalam peti mati itu dengan
mulut tersumbat.
Lekas Hong-ko merogoh keluar dua butir 'Go-bi-hoan-huntan',
semacam obat pil ciptaan golongan Go-bi-pay, ia
mengambil pula semangkok air yang ia cari di dalam rumah
biara itu, kemudian ia cekokkan pil itu kepada Liok-dji Nikoh.
Lewat tak lama kemudian baru padri perempuan ini bisa
sadar. "Taysu mengapa bisa sampai di sini" Siapakah yang telah
mencelakai kau?" tanya Hong-ko tak sabar lagi demi nampak
orang sudah sadar.
"Aku telah kena dibacok oleh Liu Ut, melihat aku masih
belum binasa, Ang-koh kemudian mengurung aku di sini!"
Liok-dji menerangkan dengan suara terputus-putus.
Kemudian Hong-ko berniat membalut luka orang, namun
Liok-dji hanya menggeleng-geleng kepala.
"Aku sudah tak berguna lagi, sebaiknya lekas kau pergi
melihat keadaan Bun-kohnio!" ujar padri itu.
Mendengar penuturan ini Hong-ko menjadi terperanjat
seakan-akan semangatnya melayang.
"Apa katamu" Bun-tjitji ada dimana?" tanyanya cepat.
"Dia......dia telah kena dirobohkan, Ang-koh telah
memasukkan dia ke dalam peti mati," tutur Liok-dji
selanjurnya sambil mengangkat tangannya yang tak bertenaga
menuding ke belakang rumah biara itu.
Tanpa menunggu orang berkata lagi, segera Hong-ko
berari ke kamar bobrok dimana terletak peti-peti mati tadi
sembari berteriak, "Bun-tjitji!"
Tetapi ia tidak mendengar ada suara sahutan, lapat-lapat ia
hanya mendengar ada suara keresekan yang keluar dari dalam
salah satu peti mati itu. Secara meraba-raba segera ia
mendekati peti yang mengeluarkan suara itu dan dengan
segera ia mendongkrak tutup peti itu, dengan demikian ia
sudah terlupa oleh suasana seram tadi. dalam sekejap saja
tutup peti itu sudah kena ia bongkar.
Dalam kegelapan ia hanya bisa melihat di dalam peti
merebah seseorang yang mengeluarkan suara lemah sekali.
Waktu Hong-ko mengulur tangannya meraba, ia mendapatkan
orang ini masih bisa bergerak dan masih hangat, bukan
buatan rasa girangnya, segera ia mengetahui bahwa mulut
orang tersumbat dengan kain dan kaki tangannya
terbelenggu. Lekas Hong-ko menghilangkan semua siksaan itu
dan sesudah itu terdengarlah Bun Sui-le berteriak sambil
merangkul Hong-ko. Saking terharunya pemuda inipun balas
merangkul orang dengan air matanya yang bercucuran.
"Tjitji, siapakah yang telah membikin kau sampai begini?"
tanya pemuda ini dengan pilu.
Atas pertanyaan ini ternyata Bun Sui-le hanya menunduk
saja. "Aku telah kena dijatuhkan oleh Go-mo Li." sahurnya
kemudian dengan suara sesenggukkan. "Kemudian Ong Bing
telah menutup aku di dalam peti mati ini, mereka masih
membicarakan di sini juga bahwa setelah terang tanah,
dengan segera Ong Bing akan memalsu sebagai perwira
utusan To Tok dan menyampaikan surat perintah, dengan
demikian ia hendak menawan Nilan-kongtju sebagai orang
tahanan....."
"Betulkah perkataanmu itu?" Hong-ko bertanya dengan
kaget demi mendengar penuturan gadis ini. "Kini sudah lewat
tengah malam, jika tipu muslihat mereka berhasil, Nilankongtju
tentu akan jatuh ke tangan mereka, aku harus lekas
kembali buat melaporkan rencana mereka itu!"
"Kau betul, lekaslah kau berangkat sekarang!" ujar Bun Suile,
tetap ia menundukkan kepalanya.
Tiba-tiba Hong-ko teringat bahwa Liok-dji Nikoh masih
menggeletak dengan bermandikan darah di sana, segera ia
meletakkan Bun Sui-le buat melihat padri wanita itu, namun ia
dapatkan padri ini sudah sejak tadi menghembuskan napasnya
yang penghabisan.
Dalam terharunya, tak tertahan lagi Hong-ko mengucurkan
air mata kesedihan, kemudian buru-buru ia kembali ke tempat
Bun Sui-le tadi, ia lihat kekasihnya ini sedang membalut
mukanya dengan sepotong kain robekan dari bajunya.
"Apakah yang kau lakukan?" tanyanya heran.
"Mukaku sedikit terluka, tak usah kau mengurus aku, lekas
kau kembali ke Tjiongkoan saja," sahut Bun Sui-le.
Hong-ko menjadi serba susah, hendak meninggalkan Bun
Sui-le ia tidak tega, sebaliknya ia kuatir pula Nilan-kongtju
terjebak oleh tipu muslihat Ong Bing.
Tengah ia merasa ragu-ragu, sekonyong-konyong Bun Suile
meloncat keluar dari rumah biara itu melalui pagar tembok
terus menuju ke rimba di depan, sudah tentu perbuatan mana
segera diikuti oleh Hong-ko.
"Adik lekas berangkat, aku menanti di rimba sini!"
terdengar Bun Sui-le meneriakinya. Habis itu dengan beberapa
kali lompatan ia sudah menghilang masuk ke dalam hutan.
Kiranya sesudah Bun Sui-le kena dirobohkan oleh Go-mo Li
seperti diceritakan di depan, seketika ia jadi tak bisa berkutik
dan tertawan. Dalam pada itu dari dalam rimba menyusul
datang pula beberapa orang yang bukan lain ialah Ong Bing
dan le Hong. "Aku telah berjanji dengan Hun-tiong-tju untuk bertemu
dalam rumah biara di depan sana, bolehlah kamu membawa
perempuan siluman ini ke sana untuk diputuskan lebih lanjut,"
perintah Ong Bing setelah mendapat laporan bahwa telah
ditawan seorang musuh wanita.
Waktu nampak Liok-dji Nikoh masih belum putus napasnya,
niat Liu Ut masih hendak menambahi lagi dengan sekali
bacokan, namun ia keburu dicegah oleh Ong Bing.
"Hal ini tidak boleh terjadi, perjalanan kita ini harus
dirahasiakan, kalau mayatnya ditemukan teman mereka,
bukankah jejak kita bisa ketahuan?" ujar pemimpin mereka ini.
"Sebaiknya dibawa saja sekalian dan ditutup dalam rumah
biara itu, biarkan dia mampus dengan sendirinya."
Begitulah maka akhirnya Liok-dji dapat diketemukan
tergeletak dalam paseban kuil itu.
Kemudian sesampainya Ong Bing dengan pengikutnya di
kuil itu, mereka sudah ditunggu oleh seorang imam yang
berusia setengah umur, nama gelarnya dikenal sebagai Huntiongtju, imam ini mempunyai ikatan janji sehidup semati
dengan Ong Bing, pemimpin gerakan Pek-lian-kau ini.
Pada waktu Tjhi Djin-ho malam-malam mengintai kapal
layar dan tertawan, imam yang mencekalnya bukan lain
adalah Hun-tiong-tju ini.
Hun-tiong-tju adalah Tjiang-tian Tjindjin atau pejabat
istana dari Khong-tong-san, kedudukannya hanya setingkat di
bawah Tjiang-tong Tjindjin atau pejabat ketua dari semua
goa-goa di gunung itu.
Kiranya Khong-tong-san ada tujuh puncak gunung dan
terbagi menjadi 'Tjhit-tong' atau tujuh goa yang masingmasing
dijabat oleh tujuh orang imam yang disebut Tjindjin.
Di bawah ketujuh Tjindjin ini terdapat pula apa yang disebut
Tjiang-tian Tjindjin.
Tjindjin dari Sui-djin-tong, seorang di antara Tjhit-tong itu
adalah Leng-khong-tju. Dia termasuk Tjindjin yang usianya
paling muda di antara ketujuh rekannya. Pada dua belas tahun
yang lalu, Leng-khong-tju pergi merantau, tetapi sejak itu pula
belum pernah kembali, sebab inilah Sui-djin-tong lantas diurus
oleh Hun-tiong-tju.
Tujuh atau delapan tahun yang lampau, pernah Ong Bing
mengutus Pek Ting-djoan ke Khong-tong-tju untuk
menghubungi Hun-tiong-tju, belakangan Pek Ting-djoan
mengirimkan pula puterinya, Ang-koh, untuk belajar pada
Hun-tiong-tju. Kali ini, perjalanan Ong Bing yang dirahasiakan itu, sejak
mula memang sudah berjanji untuk saling berjumpa dengan
Hun-tiong-tju di tengah jalan.. Di dalam Pek-ie-am itulah
mereka bertemu dan berunding.
Pada kesempatan mana Pek Ting-djoan melaporkan
tentang diri Bun Sui-le yang mereka tawan, ia menerangkan
juga bahwa Bun Sui-le adalah kekasih Teng Hong-ko, padahal
waktu kecilnya pemuda she Teng ini pernah dipertunangkan
pada pu-terinya, maka ia minta pertimbangan sang pemimpin
itu. "Jahanam Teng Hong-ko yang kau sebut itu tempo hari
Pek-lian Tjosu sudah memutuskan hukuman mati baginya,
tidak lama lagi tentu akan dijalankan hukuman itu," kata Ong
Bing. "Puterimu Ang-koh memegang tugas sebagai Sian-koh
dalam agama, mana bisa dijodohkan lagi dengan penjahat itu,
biarlah kelak aku mencarikan calon yang tepat baginya, dan
selanjutnya tak usah kau pikirkan soal ini lagi."
Sudah tentu Pek Ting-djoan tak berani membantah
perintah ini. Adalah Ang-koh yang mendengar keputusan itu,
ia menjadi sedikit kurang mengerti pada Pek-lian Tjosu, kalau
sudah memutuskan hukuman mati bagi seseorang, maka tidak
lama tentu ia akan memerintahkan orang buat melaksanakan
hukuman itu, karenanya ia jadi menguatirkan diri Hong-ko.
Apabila ia berpikir pula bahwa biangkeladi daripada
semuanya itu adalah karena Bun Sui-le, hingga pemuda itu
berpindah kasih padanya. Karena pikiran ini Ang-koh menjadi
gemas, ia gegetun mengapa tempo hari tidak sekalian
membinasakan perempuan busuk itu. Kemudian ia lantas
menabahkan hati, ia berlutut memohon pada Ong Bing agar
suka menghukum Bun Sui-le 'menjadi setan' agar perempuan
ini tersisih selama hidupnya.
Istilah 'menjadi setan' dalam Pek-lian-kau ialah dengan
mencekoki terhukum semacam obat racun yang akan
merubah bentuk paras muka orang itu menjadi jelek dan buas
serupa genderuwo. Kemudian ditambah lagi dengan sedikit
permainan ilmu hitam mereka dan orangnya dimasukkan ke
dalam peti mati, dengan demikian setelah lewat beberapa
hari, meski orangnya belum binasa, namun sudah tentu akan
menjadi kurus kering laksana mayat hidup saja.
Agaknya Bun Sui-le belum tiba ajalnya hingga ia dapat
tertolong oleh Hong-ko. Dalam kegelapan itu Hong-ko tidak
bisa melihat dengan jelas paras mukanya yang sudah berubah
hingga menakutkan, ketika Hong-ko menilik Liok-dji Nikoh,
segera Bun Sui-le merobek kain bajunya buat membalut
mukanya, oleh sebab itulah Hong-ko masih mengira parasnya
tetap secantik dewi kayangan seperti sediakala.
Kembali mengenai diri Hong-ko, sesudah ia meninggalkan
rimba itu, segera ia mengeluarkan kepandaiannya berlari
cepat kembali ke Tjiongkoan. Karena jaraknya hanya sekitar
dua puluhan li saja, maka waktu sebelum fajar menyinsing ia
sudah tiba di markas Nilan Yong-yo.
Mendengar bahwa pemuda ini ada laporan penting,
seketika Nilan-kongtju menemuinya di dalam kamar tidurnya.
"Berkat kejayaan Hongsiang, kalau tidak, hampir saja aku
terjebak oleh tipu muslihat musuh," ujar Nilan dengan girang
setelah mendengar laporan singkat dari Hong-ko. Sudah tentu
ia tidak habis-habisnya memuji jasa Hong-ko itu. Kemudian
lantas ia memerintahkan bawahannya untuk mengundang
Boan-liong Kiamkhek dan Toh-hiap, si pendekar bongkok dari
padang pasir untuk diajak berunding.
Melihat Hu Kak tak termasuk dalam undangan itu, Hong-ko
menjadi heran, tetapi Nilan-kongtju lantas menerangkan
padanya dengan membisiki di telinganya, maka Hong-ko
mengangguk-angguk.
Begitulah menjelang pagi, dari luar dilaporkan bahwa ada
surat penting yang dikirim oleh To Tok. Segera Nilan-kongtju
memerintahkan supaya mempersilakan utusan itu menghadap,
sambil ia berpesan pada Boan-liong dan kawan-kawan untuk
bertindak menurut rencana.
Waktu itu di tengah paseban sudah berduduk seorang
putra bangsawan yang rupanya mirip Nilan Yong-yo. Tak lama
kemudian masuklah dua perwira utusan dengan langkah lebar.
Kedua orang itu matanya bersinar tajam dan perawakannya
gagah, tatkala kedua perwira ini sudah maju ke dekat undakundakan
dimana Nilan-kongtju berduduk, segera bawahannya
memberi tanda agar orang berhenti. Habis mana seorang di
antaranya lantas mempersembahkan sepucuk surat dengan
diangkat tinggi kedua tangannya. Selagi sang bawahan
hendak menerima surat itu untuk diteruskan pada Nilan Yongyo,
sekonyong-konyong orang itu menggeraki surat yang
dipegangnya, berbareng mana terhembus keluar segulung
asap tebal, empat pengawal yang berdiri di kanan Nilan Yongyo
terkena asap itu, seketika itu juga lantas jatuh pingsan.
Perwira yang mempersembahkan surat ini usianya lebih
muda dari yang lain, begitu menyemburkan asap segera juga
ia melompat maju terus menyambret ke dada Nilan-kongcu
hingga putera bangsawan ini kena dicekal tak berkutik.
Perwira lain yang agak berumur pun tidak tinggal diam,
dengan cepat ia pun melolos pedangnya, habis mana ia
membaliki tubuhnya terus membentak pengawal-pengawal di
bagian bawah yang sementara itu hendak mengembut maju,
"Begitu kamu berani bergerak, segera juga aku habisi nyawa
tuanmu!" Dan selagi mereka hendak melompat buat kabur, tiba-tiba
dari atas emperan rumah melayang turun Boan-liong Kiamkhek,
begitu datang, senjatanya pun segera menyambar.
Dengan mengempit Nilan-kongcu, perwira yang rada muda
tadi melompat ke belakang, sudah mana ia membentak lagi.
"Tuanmu sudah jatuh di tangan kami, apa betul kamu tidak
menghiraukan keselamatan jiwanya lagi?" ia mengancam pula.
Akan tetapi ancaman itu dijawab dengan suara tertawa
terbahak-bahak, habis itu terdengar ada orang berkata,
"Tuanmu ada di sini!"
Menyusul itu dari belakang pintu angin keluar seseorang
dengan dandanan bangsawan Boan-tjiu asli, sikapnya tampan,
ternyata bukan lain ialah Nilan Yong-yo yang diapit oleh Teng
Hong-ko dan Toh-hiap.
Nampak kejadian ini, perwira yang berumur tadi terkejut, ia
mengayun pedangnya dengan cepat menusuk tawanannya
tadi hingga topi kebesarannya jatuh, nyata orang ini adalah
prajurit yang menyamar sebagai putera bangsawan itu.
Kiranya kedua orang yang menyamar sebagai perwira
pengantar surat perintah dari To Tok memang bukan lain ialah
Ong Bing dan le Hong adanya. Maka begitu nampak gelagat


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelek, segera juga Ie Hong membikin terjungkal tawanan palsu
mereka, habis mana lantas ia memapaki Boan-liong.
Di sebelah sana Ong Bing pun lantas bergerak, dengan
sekali enjotan ia meloncat ke atas dengan niat untuk kabur,
namun Toh-hiap, si pendekar bongkok ini sudah menantikan
kedatangannya, ia memapaki orang dengan sekali pukulannya
yang terkenal dengan nama 'Sin-kong-kim-soa-tjio'. Begitu
hebat pukulannya hingga membawa sambaran angin tajam
seperti irisan pisau, orang biasa yang terkena sambaran angin
pukulan dalam jarak beberapa tombak saja pasti akan
terguling. Oleh sebab itulah, begitu terkena sapuan angin
pukulan itu, Ong Bing terpaksa harus menancapkan kaki
kembali ke bawah. Dalam hati ia harus mengakui juga
kelihaian pukulan tadi. Namun segera ia pun mengunjukkan
gigi juga, ia mengayun tangannya, menyusul enam pisau
terbang 'Tui-hun-to' menyambar ke jurusan dimana Nilan
Yong-yo berada. Tetapi Toh-hiap keburu melompat ke atas,
dengan angin pukulannya yang santar itu ia memapaki pisau
'Tui-hun-to' itu hingga senjata-senjata itu kena tersampuk
jatuh semua. Kemudian Toh-hiap menubruk maju lagi dengan
Kim-na-jiu, ilmu cara mencekal dan menawan yang terkenal
dalam Bu-lim, segera ia merangsek pada Ong Bing sambil
membentak, "Jangan coba lari!"
Agaknya Ong Bing sudah kenal kelihaian pendekar bongkok
ini, segera ia mengeluarkan ilmu silumannya, dalam kelebatan
bayangannya, ia melepaskan tabir asap, terus orangnya
menghilang. Demikianlah cara ajaran Pek-lian-kau yang
katanya bisa menghilang, sebenarnya tidak lebih hanya
dengan menggunakan tabir asap saja dan pada kesempatan
lawan tidak bisa lihat dengan jelas, orangnya lantas kabur.
Di sebelah sana, Ie Hong pun sedang bertarung sengit
dengan Boan-liong. Pada suatu ketika ia pura-pura menikam
dengan ganas, terpaksa Boan-liong harus mundur selangkah
untuk menghindari serangan itu, akan tetapi pada kesempatan
itu dipergunakan oleh Fe Hong untuk kabur, rupanya ia tahu
dirinya tidak bakalan unggul berhadapan dengan lawan yang
tangguh, lagi pula berjumlah lebih banyak.
Dengan sekali melompat ia berniat melayang naik ke atas
wuwungan untuk kabur. Tak ia duga, kembali Toh-hiap sudah
bersiap menunggu dirinya, waktu mendadak dilihatnya Ie
Hong hendak merat, segera juga pendekar bongkok ini
menghamburkan segenggam senjata rahasianya 'Kim-soa'
atau pasir emas yang membawa sinar gemerlapan
menyilaukan mata.
Dalam keadaan tak tersangka-sangka, seumpama
kepandaian Ie Hong lebih tinggi lagi pun susah untuk
menghindarkan diri, maka tanpa ampun lagi pasir itu meresap
ke dalam dagingnya hingga ia terguling ke bawah kembali.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Boan-liong dengan baik, ia
memburu maju, terus memberi lawannya ini sekali totokan,
maka menggeletaklah Ie Hong di lantai tanpa bisa berkutik
lagi. Sementara itu Ong Bing yang berhasil lolos dari maut,
kabur dengan cepat menuju jurusan barat, ia menaksir
sedikitnya sudah lebih lima puluh li dari Tjiongkoan, baru
kemudian ia berani berhenti. Di suatu bukit ia lantas
mengeluarkan api buat melepaskan asap pertanda dari
golongan Pek-lian-kau, asap itu bergulung-gulung
membubung tinggi ke angkasa hingga lama tidak buyar.
Lewat setengah hari, akhirnya ia melihat dari jauh
mendatangi serombongan orang yang ia kenali di antaranya
terdapat Pek Ting-djoan dan puterinya. ada pula Hun-tiongtju,
Go-mo Li, Liok-ni Tjindjin dan beberapa panglimanya,
kecuali itu masih diiringi pula beberapa pemimpin golongan
Liok-lim di daerah barat-laut. Melihat kedatangan kawankawannya
ini baru Ong Bing merasa agak lega, maka malam
itu juga mereka lantas berunding, Go-mo Li ditugaskan
mencari kabar dan akhirnya diperoleh berita bahwa Ie Hong
sudah tertawan. Hal ini mendorong Ong Bing secepatnya
harus menuju ke Khong-tong-san untuk bertemu dengan para
Tjindjin di atas gunung itu.
Dalam pada itu di pihak Nilan Yong-yo, sesudah mereka
berhasil menawan Ie Hong, mereka pun tidak mengejar lebih
jauh. Malam itu juga segera mereka berangkat dengan
menyamar sebagai saudagar. Mereka memilih jalan kecil terus
mendahului ke Khong-tong-san, dengan demikian menghindari
bentrokan dengan rombongan Ong Bing di tengah jalan.
Setengah bulan kemudian, rombongan Pek-lian-kautju Ong
Bing sudah tiba di daerah propinsi Kamsiok. Hun-tiong-tju
berangkat mendahului untuk kembali ke tempat tinggalnya
dan melaporkan kepada Liok-tong Tjindjin atau enam Tjindjin
dari enam goa. Keenam Tjindjin ini masing-masing bernama :
Dji-he-tju, Kui-ie-tju, Ling-kok-tju, Djiak-siong-tju, Ko-hui-tju
dan Djing-si-tju itu, masih ada pula Leng-khong-tju dari goa
ketujuh yang sudah lama menghilang oleh sebab itu hanya
tinggal enam Tjindjin yang tinggal di gunung.
Dji-he-tju, Tjiangkau dari Khong-tong-pay, waktu mendapat
laporan, segera ia mengirimkan anak muridnya, Hian-hong,
Hian-thian dan Hian-ang bertiga untuk ikut Hun-tiong-tju
turun gunung buat menyambut kedatangan Ong Bing.
Melihat sambutan orang yang meriah dan penuh
kehormatan, Ong Bing merasa gembira sekali. "Sudah lama
aku meninggalkan gunung, hari ini bisa kembali, hatiku
sungguh girang sekali," diam-diam ia berkata pada Pek Tingdjoan.
"Harap Tjiangkau berlaku hati-hati dalam segala
percakapan," pesan Kunsu ini.
Sementara itu dari kejauhan suara genta terdengar
berbunyi nyaring, sepanjang jalan yang menuju ke atas
gunung telah di pajang dengan meriah sekali, di depan istana
kaum Khong-tong-pay menanti enam Tjindjin yang berbaris
sejajar. Setelah Ong Bing disambut masuk ke dalam istana
pemujaan Khong-tong-pay, di tengah ruangan sudah lama
dipersiapkan perjamuan yang sangat mewah. Ong Bing
dipersilakan duduk pada tempat tamu yang terhormat
didampingi semua pengiringnya, sedang di baris lain tuan
rumah beserta pengikut-pengikutnya mengawani juga.
Setelah beberapa kali cawan arak menjadi kering, Dji-he-tju
berkata pada To-tong atau imam cilik di belakangnya,
"Berhubung kedatangan Tjiangkau hari ini, sampaikan
perintahku agar menarikan 'Thian-mo-bu'!"
Kemudian perintah itu diteruskan, tak lama kemudian
lantas terdengar suara musik berbunyi dari belakang istana,
menyusul duabelas gadis cantik molek laksana dewi kayangan
dengan mengenakan pakaian yang menggiurkan menari-nari
di depan meja perjamuan, karena pakaian penari-penari yang
menggairahkan itu, keruan saja begundal Ong Bing semua
terombang-ambing di antara irama musik dan tarian yang
menimbulkan selera itu.
Sebagai satu-satunya tamu wanita, muka Ang-koh menjadi
jengah melihat tingkah laku penari-penari yang
menggairahkan itu, maka dengan alasan badannya kurang
sehat lantas ia meninggalkan meja perjamuan itu dan menuju
ke belakang istana. Tetapi segera ia disusul oleh seorang
imam wanita yang lantas memberitahukan, "Sian-koh, Tjindjin
menyilakan Sian-koh mengaso di kamar belakang."
Ang-koh lantas diantar ke suatu kamar yang terpajang
dengan mewah sekali. Waktu imam wanita itu sudah berlalu,
Ang-koh lantas merebahkan diri ke pembaringan.
Selang tak lama, ia mendengar ada suara ketukan pintu.
"Sian-koh, Siauto mengantarkan teh untuk Sian-koh,"
terdengar suara di luar.
"Masuk!" sahut Ang-koh.
Habis itu pintu kamar didorong, seorang imam muda
dengan membawa nampan berwadah ceret teh masuk dan
ditaruh di atas meja.
Ang-koh menuang dan minum teh yang dibawakan itu
untuk menghilangkan dahaganya, dalam pada itu mendadak
imam itu menggabrukkan pintu kamar dan terus ditutup.
Keruan saja Ang-koh terkejut, waktu ia menegasi, barulah ia
tahu bahwa yang menyamar sebagai imam ini adalah Teng
Hong-ko. Dengan cepat segera ia meloncat bangun.
"Siapa yang minta kau kemari?" bentaknya.
Namun sikap Hong-ko ternyata tenang-tenang saja. "Engdji,
maut sudah berada di pelupuk matamu masih kau tidak
sadar, aku sengaja datang melihat kau," sahut Hong-ko.
Akan tetapi mana Ang-koh mau percaya. "Bohong kau!"
dampratnya kemudian.
"Ong Bing dan ayahmu terjebak, kau masih belum mendusin,
lekas kau ikut aku pergi minta ampun pada Khimtjhe Taydjin,
mungkin kau masih bisa luput dari hukuman mati," kata
Hong-ko dengan sungguh-sungguh.
Tak ia duga, karena perkataannya ini Ang-koh berbalik
menjadi lupa daratan, mendadak ia mencabut pedangnya
terus menusuk. Hampir saja Hong-ko terkena tusukan itu
apabila kurang cepat ia mengegos ke samping. Waktu Angkoh
mengirim serangan kedua, sementara itu Hong-ko sudah
mundur sampai di belakang pintu, dengan tangan kosong
terpaksa pemuda ini harus menghadapi senjata orang, pada
saat lain ia pun menyeram-pangkan kakinya balas menyerang,
tetapi di luar perhitungannya, ia membikin terguling meja api
lilin, keruan saja api lantas menjilat-jilat hingga kemudian
berkobar. Dalam pada itu mendadak Pek Eng-dji atau Ang-koh tanpa
sebab roboh tersungkur, kiranya arak yang diminumnya dalam
perjamuan tadi sudah dicampur dengan obat tidur. Waktu api
sudah semakin besar hingga seluruh kamar sudah terjilat,
tetapi api dan asap tak dapat menjilat tubuh Eng-dji, Hong-ko
yang bisa berpikir cepat segera mengerti tentu dalam tubuh
Eng-dji mem-bekal sebutir mutiara mestika. Maka tanpa ayal
lagi segera ia menyambar tubuh gadis itu terus menerjang
keluar dari kamar yang sudah hampir terkurung api.
Sementara itu perjamuan juga sedang berlangsung dengan
meriah tadi, suasana pesta menjadi lebih memuncak ketika
kedua belas penari berulang-ulang menuang arak ke hadapan
para tetamu dengan gaya mereka yang menggiurkan.
Menyusul mana Dji-he-tju menepuk tangan memberi tanda,
lalu dari ruangan belakang muncul delapan jago silat dengan
pedang terhunus, tubuh mereka semua gagah tegap dan terus
berjajar ke tengah.
Nampak ini Ong Bing rada bingung dan sangsi, ia bertanya
kepada Dji-he-tju apa artinya itu"
"Mereka hanya penari pedang biasa saja, pedang mereka
semua buatan dari kayu, Pin-to sengaja memanggil mereka
menari untuk Tjiangkau!" ujar Dji-he-tju.
Meski dalam hati Ong Bing masih ragu-ragu tetapi tak bisa
ia menampik. Kemudian ketika musik berganti lagi, maka kedelapan
penari pedang itupun terjun ke kalangan, pedang mereka
terayun dengan membawa angin santar dan cepat.
"Ini bukan penari pedang, harap Kautju waspada!" Go-mo
Li membisiki Ong Bing demi melihat cara permainan pedang
penari-penari itu.
Rupanya Ong Bing pun sudah dapat melihat bahwa penaripenari
itu bukan sembarang penari. "Kamu ikut aku
menerjang!" serunya tiba-tiba, sesudah itu lantas ia hendak
meninggalkan tempatnya. Namun sudah terlambat, dalam
sekejap saja kedelapan penari pedang itu ternyata sudah
melompat maju ke depan mereka.
"Jangan bergerak!" bentak mereka sambil ujung senjatanya
diarahkan ke dada orang. Waktu Go-mo Li mencoba memukul,
namun ia merasakan seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga.
Ong Bing pun berusaha meloloskan diri dengan
kepandaiannya, tetapi segera ia juga merasakan kepalanya
pusing tujuh keliling, ia insyaf dirinya telah terjebak, keruan
saja dalam sekejap bersama pengiringnya yang lain ia roboh
tak sadarkan diri lagi. Kiranya arak yang mereka minum tadi
sudah banyak dicampur dengan obat tidur.
Apabila kemudian kedelapan penari pedang itu mencopot
rambut palsu mereka, ternyata mereka adalah Hu Kak
Tayhiap, Boan-liong dan kawan-kawan. Begitulah maka
kawanan Pek-lian-kau itu satu persatu kena mereka ringkus
dengan gampang.
Kemudian dari ruangan belakang datanglah Nilan Yong-yo,
melihat Ong Bing sudah kena diringkus, tentu saja ia girang
sekali, berulang-ulang ia menghaturkan terima kasih atas
bantuan para Tjintjin dari Khong-tong-pay itu.
Pada saat yang lain Hong-ko melaporkan pula dengan hasil
tawanannya Pek Eng-dji alias Ang-koh, namun Hong-ko
mencoba memohonkan pengampunan bagi Eng-dji.
Tetapi kata Nilan Yong-yo, "Ang-koh sudah tersesat,
dapatkah ia diampuni kematiannya, biarlah kelak aku
menyampaikan permohonanmu ini kepada Hongsiang untuk
diputuskan selanjutnya."
Hong-ko tak berani usil lagi, ia mengeluarkan sebutir
mutiara mestika 'Ting-hong-tju', mutiara anti angin yang ia
peroleh dari Ang-koh terus dipersembahkan. Setelah
menerima dengan baik mestika itu, Nilan Yong-yo
memerintahkan semua tawanan itu diborgol dan dimasukkan
ke dalam kereta tawanan untuk digiring ke kotaraja.
Kiranya sesudah Nilan Yong-yo membaca surat dari Bu-tun
Todjin dalam kantong rahasia yang disampaikan oleh Hongko,
ternyata imam berilmu itu telah menasehati imam-imam
dari Khong-tong-pay agar jangan ikut mengacau bersama
dengan kawanan Pek-lian-kau. Ia menyayangkan apabila
Khong-tong-pay akan ikut termusnahkan. Karena nasehat ini,
keenam Tjindjin dari Khong-tong-pay telah berunding yang
disusul dengan kedatangan Toh-hiap, pendekar bongkok juga
telah meminta agar suka bekerja sama dengan Nilan-kongtju
menurut rencana yang telah diatur, karena itu terjebak dan
tertawanlah Ong Bing beserta pengiring-pengiringnya.
Waktu itu sarang Pek-lian-kau di Kangsay pun sedang
mengalami penggempuran hebat dari pasukan pemerintah,
karena ular tanpa kepala, sudah tentu sisa-sisa kawanan
agama liar itu kena dihancurkan. Kemudian Nilan Yong-yo
dapat mengetahui tempat dimana Tjhi Djin-ho berdua
dikeram, maka tidak selang berapa lama kedua orang ini pun
dapat tertolong. Dengan pahala inilah kemudian Nilan Yong-yo
pulang ke kotaraja untuk melaporkan tugasnya.
Di pihak lain, Hong-ko yang sudah mengenangkan Bun Suile,


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan cepat segera ia kembali ke Tjiongkoan terus
menuju ke hutan dimana kekasihnya itu pernah tinggal. Tetapi
ia tidak berhasil menemukan dia, ia tidak putus asa, pada
malamnya ia lihat di dalam hutan itu seperti menembus sinar
api yang kelap-kelip, ia mencari ke sana menuju ke arah sinar
api itu dan akhirnya ia mendapatkan di tepi sebuah sungai
kecil ada sebuah gubuk.
Ia berseru memanggil beberapa kali dari luar, sayup-sayup
terdengar ada suara sahutan pelahan dari dalam rumah gubuk
itu yang tidak salah lagi adalah suara Bun Sui-le. Bukan main
rasa girang Hong-ko, namun pintu rumah ternyata lama sekali
masih belum dibuka.
"Adikku, tak mungkin aku menemui kau, terkecuali bila kau
miliki ilmu merubah wajahku," terdengar Bun Sui-le berkata
dari dalam. Habis berkata terdengar ia menangis sedih sekali.
Tetapi Hong-ko memohon dengan sangat agar dibukakan
pintu, namun Bun Sui-le tetap tidak menuruti keinginan itu.
Hong-ko tidak putus asa, sampai jauh malam ia masih
berusaha memohon di luar pintu, sampai akhirnya Bun Sui-le
menjadi tidak tega sendiri, ia membuka kunci pintu, tetapi
begitu pintu terpentang ia pun lantas jatuh pingsan.
Setelah masuk ke dalam, Hong-ko segera merangkul
bangun kekasihnya itu, tetapi demi ia menegasi di bawah sinar
pelita, terkejutlah dia. Ternyata orang yang berada dalam
pelukannya ini parasnya lebih mirip setan genderuwo daripada
manusia. Ia coba menenangkan semangatnya dan tetap
memeluknya tak terlepaskan.
Waktu kemudian Bun Sui-le sadar tembali, ia meronta agar
terlepas dari pelukan Hong-ko. "Rupanya jodoh kita hanya
sampai di sini saja, hari ini aku bisa melihat kau lagi, aku
sudah merasa puas, selanjutnya harap adik tak usah
memikirkan diriku lagi," katanya dengan penuh kesedihan.
Hancur lebur rasa hati Hong-ko seperti diiris. "Aku
mencintai jiwamu dan bukan ragamu, meski parasmu dibikin
sedemikian rupa oleh musuh siluman itu pun tidak membikin
goyah rasa cintaku padamu," kata Hong-ko pasti. "Marilah kita
pergi ke tempat jauh, jauh dari keramaian untuk menyambung
sisa hidup kita."
Karena terharu oleh kesungguhan hati pemuda ini, terpaksa
Bun Sui-le membiarkan dia bermalam, ternyata Hong-ko masih
tetap seperti dulu kala, sekali-kali tidak berubah karena
parasnya yang sudah berubah begitu jelek, hal ini membikin
Bun Sui-le lebih terharu lagi. Tetapi setelah ia berpikir
semalam suntuk, akhirnya ia mengambil keputusan buat
berpisah juga. Begitulah maka pada esok paginya ketika Hong-ko bangun,
pemuda ini sudah tidak melihat lagi bayangan Bun Sui-le,
hanya di bawah bantalnya ditinggalkan secarik surat yang
menyatakan bahwa kecuali kalau paras mukanya sudah pulih
seperti semula baru ada harapan untuk mengikat diri sampai
hari tua. kalau sebaliknya maka susah untuk bersua pula
selanjutnya. Pedih sekali rasa hati Hong-ko waktu mengetahui dirinya
sudah ditinggalkan, ia mencari lagi hingga setengah bulan,
tetapi percuma saja.
Kemudian Boan-liong Kiamkhek menganjurkan padanya
buat berangkat ke kotaraja untuk melihat perkara Ong Bing
cara bagaimana diputuskan.
Begitulah maka tidak selang lama Hong-ko sampai di
kotaraja, sementara itu perkara Pek-lian-kau ternyata sudah
diperiksa selesai bahkan sudah diumumkan hasil
pemeriksaannya itu.
Maklumat itu berbunyi:
"Dari pemeriksaan ternyata bahwa manusia siluman Ong
Bing asalnya adalah Leng-khong-tju dari Khong-tong-san.
Soalnya karena hartawan Ong Bing di dusun Tiang-sing-si,
propinsi Kangsay, memiliki harta kekayaan luar biasa pada
tahun itu telah mengundang Pek Ting-djoan dari Tjiok-ge-tjun
untuk menjabat sebagai guru di rumahnya, kebetulan Lengkhongtju mengembara sampai di situ, di tengah jalan ia dapat
mengelabui Pek Ting-djoan dengan berbagai ancaman
pancingan, akhirnya mereka bersama-sama menuju ke rumah
Ong Bing dan kemudian hartawan ini mereka binasakan
secara diam-diam. Sejak itu Leng-khong-tju lantas menyamar
sebagai Ong Bing, dengan menggunakan nama Pek-lian-tjosu
yang telah menjelma ke bumi ini untuk menolong sesamanya,
dan dengan kepandaiannya dalam berbagai ilmu, ia membikin
pengikutnya percaya. Hanya Pek Ting-djoan seorang saja
yang mengetahui rahasianya, sejak itu pula ia lantas
menggunakan harta kekayaan Ong Bing dan secara diam-diam
memperluas pengaruh ajaran Pek-lian-kau, rakyat yang kena
dikelabuinya tidak kurang dari beberapa juta orang.
Kini berkat Thian yang maha murah dan di bawah
perlindungan arwah leluhur, akhirnya penjahat utama dari
Pek-lian-kau, Leng-khong-tju beserta begundal-begundalnya
sudah kena diringkus semua sekaligus, dalam pemeriksaan
terdakwa sudah mengakui dengan terus terang. Oleh karena
itu Ong Bing alias Leng-khong-tju segera dihukum mati, ayah
dan anak Pek Ting-djoan dan pengikut-pengikut yang lain
terbukti melakukan kesalahan, karena itu dijatuhi hukuman
mati juga dan selekasnya dilaksanakan." Melihat Pek Eng-ji
ternyata tidak mendapat pengampunan, seketika Hong-ko
merasa tidak enak sekali. Waktu ia kembali ke kediaman Nilan
Yong-yo, baru Hong-ko mendapat tahu bahwa Hongte telah
mengeluarkan firman juga yang banyak memuji jasa para
imam dari Khong-tong-san dan dari kas negara dikeluarkan
pula seratus ribu tail perak untuk memelihara rumah biara di
gunung itu. Sedang Boan-liong Kiamkhek dan lain-lain yang
berjasa juga, semuanya tidak diusut perkara mereka yang
dahulu dan dihapuskan dari tuntutan. Kecuali itu Soatang
Sunbu diperintahkan juga agar segera membebaskan Giam
Tje-tjoan, kepada orang tua ini dibebaskan dari pajak selama
sepuluh tahun sebagai tanda penyesalan kesalahan
menangkap. Kemudian diperintahkan pula agar 'Tjin-tju-goan', topi
bertabur mutiara yang masih dalam simpanan Tam Ting-siang,
pembesar ini sebenarnya tidak boleh memiliki harta benda asal
rampasan dari Go Sam-kui, maka segera pembesar ini dipecat
dari jabatannya dan selanjutnya akan dituntut.
Sedang mengenai ketiga mutiara mestika, di antaranya Pihwetju dihadiahkan kepada Go-bi-pay sebagai pusaka, Tinghongtju diberikan pada Toh-hiap, dan yang terakhir Gi-hantju
menjadi milik Teng Hong-ko.
Akhirnya tiba pada hari menjalankan hukuman mati bagi
Pek Eng-dji, Hong-ko menemui gadis ini di tempat tahanan
untuk penghabisan kalinya. Pemuda ini menangis terharu
sekali, sebaliknya Pek Eng-dji ternyata bersikap lain, mukanya
sedikit-pun tidak berubah. Sebelum Eng-dji digiring menuju ke
lapangan untuk menjalankan hukuman penggal kepala, ia
masih sempat memanggil Hong-ko.
"Kelak bila pemerintah menggeledah markas besar Pekliankau, di dalam perut patung Tjosu terdapat sebuah kitab
yang penuh berisi berbagai ilmu, dari sana kelak kau bisa
mengembalikan paras muka Bun Sui-le ke asalnya, tetapi kitab
itu telah banyak mengorbankan orang, hendaklah jangan kau
simpan, tetapi bakarlah!"
Begitulah sehabis ia memberi pesan terakhirnya itu, digusurlah
ia menuju ke lapangan dan dipenggal kepalanya, maka
tamatlah riwayat gadis jelita ini. Kemudian Hong-ko
melaporkan apa yang Eng-dji katakan itu kepada Nilan Yongyo,
ia minta diperbolehkan ikut utusan pemerintah melakukan
penggeledahan ke pusat Pek-lian-kau di Kangsay.
Belakangan, betul juga Hong-ko berhasil menemukan kitab
yang dimaksudkan Eng-dji, dalam kitab ini banyak berisi ilmu
ajaran yang menyesatkan, Hong-ko hanya menyalin resep
yang bisa menyembuhkan muka Bun Sui-le, habis itu ia lantas
membakar kitab itu.
Dengan cintanya yang murni dan ditambah pula bantuan
dari para pendekar kalangan Kangouw, akhirnya Hong-ko
berhasil menemukan kembali Bun Sui-le di Hoa-san. Pemuda
ini mengobati kekasihnya ini menurut resep yang ia peroleh,
ternyata resep itu sangat mustajab, pelahan demi pelahan,
tidak sampai setengah tahun paras muka Bun Sui-le telah
kembali seperti sediakala yang cantik molek.
Akhirnya ayah Hong-ko, Teng Ling pun dapat berkumpul
kembali dengan puteranya ini. Waktu nampak menantunya
begitu elok menarik, orang tua inipun merasa gembira, maka
berkumpul mereka sekeluarga dan hidup berbahagia!
TAMAT Pendekar Riang 7 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Pendekar Satu Jurus 2

Cari Blog Ini