Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Bagian 4
lebih gawat daripada apa yang dibayangkan semula. Senyuman yang semula menghiasi
bibirnya kinipun lenyap.
Baru tiba di pintu rumah makan itu, di ujung jalan sama terjadi kegaduhan. Ketika semua
orang berpaling, tertampaklah belasan orang sedang berjalan mendekat.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dipandang dari kejauhan, terlihat rombongan itu semuanya mengenakan jubah kasa yang
longgar dan berkepala gundul kelimis, ternyata serombongan hwesio.
Air muka Thi-jiu-sian-wan berubah semakin tak sedap dipandang, agaknya urusan
bertambah gawat.
Setelah masuk ke jalan itu, tiba-tiba kawanan hwesio itu berhenti. Hanya tiga orang
diantaranya yang melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar.
Sepintas lalu Ko Bun seolah-olah tidak tertarik oleh persoalan itu, padahal ia mengamati
semua itu dengan seksama. Dilihatnya meski ketiga orang hwesia itu bertubuh ceking, namun
langkahnya tegap, sekilas pandang saja dapat diketahui asal-usul mereka pasti tidak
sembarangan. Bun-ki juga kelihatan terkejut, cepat ia bergeser ke samping dan berdiri di sisi Ko Bun untuk
melindungi 'sastrawan yang lemah' itu.
"Omitohud!" terdengar pujian kepada sang Budha berkumandang.
Hwesio yang berjalan paling depan sudah amat tua, mukanya kering dan berkeriput, alis
matanya melambai ke bawah dan berwarna putih.
Setelah memuji keagungan Budha tadi, ia membuka matanya. Segera Ko Bun merasa wajah
paderi yang kurus kering ini seakan-akan bercahaya terang.
Dengan tangan terangkap di depan dada, ia berkata dengan lantang, "Aku Bak-it, datang dari
Siong-san, sesungguhnya adalah tamu yang tak diundang. Tapi berhubung tindakan Ho-sicu
menyangkut kepentingan dunia persilatan, maka Siau-lim-pai sebagai salah satu aliran
persilatan merasa wajib turut menghadirinya. Kurasa Ho-sicu pasti tak akan menolak
kedatangan kami bukan?"
Begitu mendengar nama "Bak-it" dari Siong-san, air muka Thi-jiu-sian-wan dan ketiga orang
lelaki lain segera berubah hebat.
Ko Bun juga memandang pendeta tua Siau-lim-pai itu dengan lebih seksama.
Terdengar Thi-jiu-sian-wan tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata, "Ho Lim sudah lama
mendengar nama besar Sinceng (paderi sakti), karena mengira para Sinceng sudah jauh dari
keramaian dunia, maka tak berani mengganggu ketenangan kalian. Kini Siangjin datang, sudah
barang tentu kami sambut dengan senang hati."
Sekalipun ucapan itu diiringi gelak tertawa, tapi orang dapat menangkap tertawanya itu
terlalu dipaksakan.
Perlahan Bak-it Siangjin memejamkan mata lagi sambil merangkap tangan di depan dada, ia
tidak menggubris ucapan Ho Lim lagi dan bersama kedua orang lainnya menuju ke dalam
rumah makan. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Bun-ki tambah heran dan tidak tahu perkara apakah yang telah dibuat Thi-jiu-sian-wan
sehingga pihak Siau-lim-pai yang sudah hampir sepuluh tahun tak pernah mencampuri urusan
dunai persilatan ikut menghadirinya. Tapi dari sini dapatlah diduga bahwa ayahnya belum
mengetahui kejadian ini. Jadi urusan ini adalah perbuatan Thi-jiu-sian-wan sendiri.
Tanpa terasa ia melirik sekejap ke arah Ho Lim dengan sinar mata menegur.
Walaupun selama beberapa tahun belakangan ini "Leng-coa" Mao Kau berhasil merajai
dunia persilatan, namun hal tersebut hanya terbatas pada kalangan kaum Lok-lim saja.
Sedangkan terhadap perguruan besar dalam dunia persilatan seperti Siau-lim-pai, Bu-tong-pai,
Kun-lun-pai dan lain-lain boleh dibilang ia tak berani mengusiknya.
Sebagian besar para Tianglo (sesepuh) perguruan besar itu telah mengundurkan diri dari
keramaian dunia. Murid yang berkelanapun tak pernah mencampuri urusan Leng-coa Mao Kau.
Tentu saja hal ini disebabkan kelicikannya yang selalu memasang merek pendekar besar.
Beberapa tahun belakangan ini ia lebih hati-hati dan banyak mengurangi perbuatan
terkutuknya. Ini semua lantaran dia kuatir kalau perbuatannya itu akan memancing tindakan
perguruan besar itu sehingga mengancurkan hasil usahanya selama ini.
Diam-diam Mao Bun-ki merasa tidak enak setelah menyaksikan semua ini. Cukup jago-jago
Kai-pang dan Siau-lim-si saja membuatnya pusing, apalagi dari sekian banyak jago yang hadir
dalam rumah makan, entah jago dari mana pula. Diam-diam ia menyesali Thi-jiu-sian-wan yang
menimbulkan gara-gara bagi ayahnya.
Thi-jiu-sian-wan sendiripun tampak sedih, sambil menghela napas dia masuk dulu ke rumah
makan. Bun-ki segera menarik Ko Bun dan ikut masuk. Pemuda itu merasa telapak tangan si nona
basah oleh keringat, jelas hatinya tegang bercampur kuatir. Tanpa terasa ia tersenyum.
Di luar dugaan Bun-ki, dalam ruangan rumah makan yang luas dengan puluhan meja
perjamuan itu, hanya dua-tiga puluh orang yang hadir. Diantaranya ada seorang lelaki gemuk
berduduk di dekat tangga loteng.
Ketika melihat kedatangan Thi-jiu-sian-wan, ia lantas menggebrak meja sambil berteriak,
"Sungguh besar lagakmu, hampir satu jam lamanya aku si Gui gemuk menunggu disini!"
Thi-jiu-sian-wan melotot seperti mau mengumbar amarahnya, tapi urung. Ia menjura ke
empat penjuru sambil tertawa getir, katanya, "Bila kedatanganku yang terlambat ini membuat
para Bu-lim-cianpwe harus menunggu lama, dengan ini aku mohon maaf."
Bun-ki berkerut kening. Ia tahu paman Ho ini amat berangasan, tapi aneh, sekarang ia dapat
mengendalikan diri dan bersikap hormat kepada orang lain.
Padahal ia tahu kepandaian paman Ho ini cukup lihai, bukan saja seorang pembantu
andalan ayahnya, sesungguhnya dia pula komandan barisan ruyung Thi-ki-sin-pian yang
tersohor itu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tanpa terasa ia melirik beberapa kejap ke arah si gemuk itu, tapi tak dikenalinya. Maka sorot
matanya beralih pula ke sekeliling ruangan itu.
Dari dua puluhan orang yang hadir, ketika Thi-jiu-sian-wan muncul, ada diantaranya yang
berdiri memberi hormat, ada pula yang menjura sambil tetap duduk, tapi ada pula yang sama
sekali tidak beranjak dari tempatnya, seakan-akan mereka sama sekali tak pandang sebelah
mata terhadap saudara angkat pentolan Bu-lim yang disegani, tokoh Eng-jiau-pai (aliran cakar
elang) dan komandan Thi-ki-sin-pian itu.
Keadaan ini berbeda dengan hari-hari biasa. Tanpa terasa hati Bun-ki tergerak, pikirnya,
"Jangan-jangan mereka ini adalah tokoh perguruan terkemuka."
Sekali lagi ia memperhatikan orang-orang itu sekejap. Meski perawakan mereka berbeda
namun semuanya memiliki ciri yang sama yakni sorot mata setajam sembilu.
Diam-diam Bun-ki tercengang, maklumlah, usianya muda dan kungfunya lihai, tentu saja dia
tidak jeri menghadapi jago-jago tersebut. Ia hanya heran mengapa Thi-jiu-sian-wan yang
biasanya prihatin ini bisa berbuat perkara tanpa mendapat persetujuan ayahnya"
Ia tidak tahu Thi-jiu-sian-wan sendiripun sedang mengeluh"
Kemudian sambil menunjuk Mao Bun-ki, Thi-jiu-sian-wan memperkenalkan, "Nona ini adalah
putri kesayangan Mao-toako, secara kebetulan iapun datang kemari."
Bun-ki merasa berpuluh pasang mata sama menatapnya, tapi nona itu segera balas menatap
semua orang secara wajar. Hal ini membuat Ko Bun yang berada di sampingnya diam-diam
memuji ketabahannya.
Kedua puluhan orang itu tidak duduk berkelompok, setiap meja paling banter hanya berisi
tiga sampai lima orang saja. Diantaranya malah ada tiga buah meja yang kosong. Thi-jiu-sianwan
langsung menuju ke meja utama di tengah dan berduduk disana. Secara kebetulan ia
duduk di samping si "Gui gemuk" yang menggebrak meja tadi.
Ko Bun merasa serba asing di tempat begini. Dengan dandanannya yang sederhana sebagai
seorang sastrawan, perawakannya yang tidak tinggi, tapi berwajah cerah, tentu saja segera
memancing perhatian orang banyak.
Dengan tersenyum ia duduk di sisi Ho Lim tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Beberapa saat kemudian, Thi-jiu-sian-wan berdehem beberapa kali, agaknya ia hendak
menarik perhatian orang ke arahnya. Ia menjura, lalu katanya, "Walaupun siaute ada nama
sedikit dalam dunia persilatan, tapi cukup kutahu diri. Dengan sedikit namaku ini masih belum
sanggup mengundang kehadiran Saudara sekalian . . . ."
Berbicara sampai disini, mendadak si Gui gemuk mendengus dan menukas, "Tepat sekali,
memang betul!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tapi Ho Lim belagak tidak mendengar, ia berkata lebih jauh, "Terutama sekali bagi Bak-it
Siangjing dari Siau-lim-pai, Cing-hong-kiam Cu-tayhiap dari Bu-tong-pai, para Tianglo dari Kaipang
dan Locianpwe yang telah mengasingkan diri, Hwe-gan-kim-tiau (elang emas bermata api)
Sian-jiya yang pernah menguasai tiga puluh enam perairan di dunia. Mereka semua boleh
dikatakan adalah Bu-lim cianpwe yang terhormat . . . ."
Si Gui gemuk kembali mendengus dengan wajah tak senang, sengaja ia membanting cawan
keras-keras di atas meja.
Rupanya Thi-jiu-sian-wan sengaja hendak membuatnya k ki, maka namanya sama sekali
tidak disinggung.
Ho Lim melirik sekejap ke arahnya, kemudian melanjutkan, "Walaupun demikian, kutahu
kehadiran kalian adalah lantaran persoalan itu. Cuma sayang aku sendiri pun tak dapat
mengambil keputusan atas masalah itu."
Baru saja ia berbicara, Gui gemuk kembali menggebrak meja sambil berteriak, "Kau si
monyet tua yang tak tahu diri, jika kau tak dapat mengambil keputusan, lantas siapa yang akan
mengambil keputusan?"
Air muka Thi-jiu-sian-wan kontan berubah. Belum lagi ia sempat mengumbar amarahnya,
dari arah tangga terdengar seorang berseru dengan suara tinggi melengking, "Gui gemuk,
belagak apa disini" Kau kan tahu juga bahwa si monyet memang tak dapat mengambil
keputusan?"
Meskipun suara itu tidak keras, tapi cukup memekakkan telinga setiap orang.
Gui gemuk segera melompat bangun, dengan gusar teriaknya, "Siapa yang berani
memanggil aku sebagai si Gui gemuk" Aku si gemuk ingin lihat macam apakah tampangmu
itu!" Bun-ki dan Ko Bun saling pandang dengan tertawa, pikir mereka, "si gemuk ini menyebut diri
sendiri sebagai Gui si gemuk, tapi melarang orang lain memanggilnya si gemuk. Orang ini
benar-benar lucu sekali."
Dari tangga perlahan naik seorang, katanya dengan tertawa, "Wah celaka! Rupanya Guitayhiap
kita jadi kalap. Beberapa kerat tulangku yang lapuk ini jelas tak tahan menghadapi
pukulan Lak-yang-jiu Gui-tayhiap. Baiklah Gui-tayhiap, biar aku si tua bangka minta maaf
padamu!" Sambil tertawa ia lantas menghampiri Gui gemuk.
Begitu orang ini muncul, suasana dalam ruangan menjadi gempar, sedangkan si Gui gemuk
meski masih marah, hanya berduduk saja di kursinya.
"Ku kira siapa yang datang, rupanya kau si pengemis tua!" katanya.
Ko Bun berpaling ke sana, dilihatnya orang ini bertubuh ceking seperti bambu. Pakaiannya
penuh tambalan, tapi bersih. Kulitnya putih halus bagaikan kulit badan anak gadis, waktu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
tertawa di bawah matanya muncul keriput. Tapi sekilas pandang paling-paling usianya baru
empat puluhan. Pengemis itu tergelak, lalu berkata pula kepada si gemuk, "Gui-tayhiap, si pengemis ingin
menasehatimu. Kulihat usiamu juga sudah lanjut, badanmu gemuk lagi, ada baiknya kau jangan
cepat naik darah. Kalau sampai terserang angin duduk, bisa berabe jadinya."
Selama disindir dan dicemooh, si gemuk yang berangasan itu cuma duduk saja dengan
wajah hijau pucat. Tapi sekarang dia tak tahan, sambil melompat bangun teriaknya, "Leng-huacu,
Gui gemuk merasa berutang budi padamu. Aku tak dapat bertengkar denganmu. Tapi
janganlah membuat kumarah, kalau tidak, anak muridmu yang bakal celaka."
"Hahaha, baik, aku tak mengusikmu lagi, "seru Leng-hua-cu sambil tertawa. Tanpa
menggubris Thi-jiu-sian-wan yang sedang menjura ke arahnya, dia berjalan menuju ke meja
yang ditempati orang Kai-pang.
Beberapa pentolan Kai-pang yang hadir disitu buru-buru berdiri dan menjura kepadanya.
Thi-jiu-sian-wan menghela napas dan duduk kembali. Bun-ki menarik ujung bajunya dan
berbisik, "Apakah orang itu adalah Kiong-sin Leng Liong yang paling sukar dihadapi pada dua
puluh tahun yang lalu" Sedang si gemuk itu mungkin adalah Gui Leng-ciu, salah seorang dari
Kun-lun-ngo-lo (lima dedengkot dari Kun-lun)" Paman Ho, aku benar-benar tidak mengerti, baik
hwesio Siau-lim-si, si kakek Siau dan Cu Pek-gi dari Bu-tong-pai, mereka kan tiada sangkut
pautnya denganmu, mengapa kau mengusik mereka hingga semuanya datang kemari?"
Thi-jiu-sian-wan cuma menggeleng kepala sambil menghela napas, gumamnya, "Ai, anggap
saja aku lagi sial!"
Sesungguhnya dia memang lagi sial. Sekalipun kedatangan jago-jago tua yang termashur di
dunia persilatan itu bukan dia sasarannya, tapi dia terpaksa menghadapinya.
Tak lama hidanganpun disajikan. Ada yang bersantap dengan lahap seperti tak ada orang
lain, tapi ada pula yang tidak makan sama sekali.
"Sesungguhnya apa yang terjadi?" kembali Bun-ki berpikir dengan heran. "Sudah hampir
setengah hari paman Ho berbicara, tapi pokok persoalannya belum juga diutarakan. Orangorang
itupun tidak gelisah, kenapa bisa begini?"
Meskipun gelisah, tapi ia tak berani bertanya, setelah melihat wajah murung Ho Lim, ia
menjadi kesal. Otomatis tiada nafsu makan.
Hidangan terus disajikan, arakpun dihidangkan tak berhenti, waktupun berlalu. Tanpa terasa
wajah Thi-jiu-sian-wan semakin gelisah. Agaknya ia sedang menantikan kedatangan
seseorang. Ko Bun masih tetap tersenyum sambil bersantap. Ketika santapan manis mulai dihidangkan,
ia bangkit berdiri dan berjalan ke tepi jendela, kemudian samil memandang bintang yang
bertaburan di angkasa, ia menarik napas dalam-dalam.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tiba-tiba seorang berbangkit dan berjalan pula ke tepi jendela. Dari dalam sakunya ia
mengeluarkan sesuatu benda, lalu ditiup dua kali dan mengeluarkan suara tinggi melengking.
Berbareng dengan bunyi sempritan itu, beratus orang lelaki kekar tiba-tiba bermunculan dari
dua rumah makan di seberang jalan. Mereka semua memakai baju ringkas berwarna hitam
dengan gagang golok menongol di balik bahu masing-masing.
Orang yang membunyikan sempritan itu adalah seorang lelaki bertubuh kekar. Sambil berdiri
di depan jendela, dengan suara nyaring serunya kepada beratus orang berbaju hitam itu,
"Tempat ini sudah tidak membutuhkan kalian lagi, lebih baik Saudara sekalian membagi diri
menjadi tujuh kelompok. Malam ini juga berangkat pulang ke gunung."
Para lelaki berbaju hitam itu segera mengiakan. Serentak mereka membalik badan dan
menyusuri jalan raya menuju ke selatan.
Ko Bun berdiri tak bergerak disitu. Tiba-tiba ia merasa ada sesosok tubuh yang halus
menghampirinya. Tanpa berpalingpun ia tahu orang ini ialah Mao Bun-ki, sebab ia dapat
mengendus bau harum dari tubuhnya.
Sambil menunjuk ke arah bayangan punggung orang-orang itu, Bun-ki berkata dengan lirih,
"Mereka adalah anggota Koai-to-hwe (perkumpulan golok cepat) yang bermarkas di Tay-hengsan
dalam bilangan propinsi Soasay. Sedang lelaki ini mungkin adalah salah seorang dari Tayhengsiang-gi (sepasang pendekar dari Tay-heng). Sebenarnya ayahku ingin sekali menarik
Koai-to-hwe ini ke pihaknya. Setelah menyaksikan kehebatan mereka sekarang, baru kutahu
bahwa Koai-to-hwe memang hebat, tak heran kalau ayah merasa cemas."
Ko Bun hanya mengiakan saja tanpa memberi komentar apa-apa.
Sementara itu seorang kakek berambut putih di meja tengah sedang berbisik sesuatu ke
telinga seorang pemuda. Pemuda itu segera menuju ke tepi jendela, kemudian iapun berpekik
nyaring. Dengan berkumandangnya suara pekikan itu, dari tepi jalan kembali bermunculan beberapa
ratus orang. Tanpa menantikan seruan pemuda itu, mereka sama membentuk kelompok sendiri
dan secara teratur berjalan pergi.
Dengan suara lirih, Bun-ki kembali berkata, "Orang itu duduk di samping Siau Lo-tiau,
mungkin mereka adalah jago-jago perairan. Selamanya mereka jarang sekali naik ke darat,
entah mengapa merekapun datang kemari. Sungguh aku tidak mengerti."
Belum lagi Ko Bun menjawab, Kiong-sin Leng Liong telah bergerak. Entah dengan cara apa
tahu-tahu ia sudah berteriak di tepi jendela, "Anak2 semua, orang lain sudah menarik diri,
kalianpun boleh pergi."
Dari dalam sebuah rumah makan di sudut barat segera muncul segerombol besar kaum
pengemis, entah berapa banyak jumlah mereka, sambil saling dorong merekapun berjalan
meninggalkan jalan ini.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Setelah kepergian orang-orang itu, suasana di jalan rayapun agak lengang, sedang yang
masih berada disitu mungkin tinggal anak buah Leng-coa Mao Kau.
Ko Bun lantas berpaling ke arah Bun-ki dan berkata dengan tertawa, "Aku suka melihat
keramaian, hari ini aku benar-benar sangat mujur, bisa menyaksikan pertemuan besar ini."
"Huh, masa kau merasa senang?" omel Bun-ki, "Betapa gelisahnya aku, mana tak tahu pula
duduknya persoalan, ayah juga tidak datang, paman Ho macam orang bisu saja, sepatah
katapun enggan menjelaskan."
"Adik Ki, kenapa kau pusing sendiri?" kata Ko Bun sambil tertawa, "Dengan kedudukan dan
nama besar ayahmu dalam dunia persilatan, mana ada persoalan yang tak bisa diselesaikan"
Kenapa kau gelisah?"
Setelah hidangan manis, sayur utama segera dihidangkan. Yang susah adalah ketiga
pendeta dari Siau-lim-si. Memandang hidangan yang berupa daging, ikan, Hi-sit, Hai-som dan
hidangan lezat lainnya itu, mereka hanya memandang belaka tanpa berani mencicipinya.
Waktu berlalu dalam keheningan, tak seorangpun buka suara.
Ketika Ko Bun melongok cuaca di luar jendela, ternyata waktu telah menunjukkan tengah
malam. Mendadak Gui Leng-hong menggebrak meja lagi, dengan suara keras teriaknya, "Aku Gui
gemuk tak tahan berdiam terus menerus. Hai, monyet cilik, ingin kutanya padamu. Aku minta
kau bicara sejujurnya."
Thi-jiu-sian-wan mendengus, "Hmm! Apa dasarmu?"
Bagaimanapun dia adalah jago kenamaan dalam dunia persilatan, tentu saja ia tak tahan
menerima sikap kasar orang di hadapan sekian banyak jago persilatan lainnya. Maka dalam
mendongkolnya dia menjawab dengan kata-kata kasar dan bernada menantang.
Betul juga, Gui Leng-hong segera naik pitam, teriaknya, "Kau berani berbicara kasar
kepadaku" Baik, akan kulihat sampai dimanakah kepandaian monyet kecil seperti kau!"
Begitu selesai berkata, tubuhnya yang gemuk itu terus meluncur ke depan secepat terbang.
Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jarak tempat duduknya memang berdekatan dengan Thi-jiu-sian-wan, sekali berkelebat saja
ia sudah berada di samping Ho Lim. Segera ia menepuk bahu Thi-jiu-sian-wan Ho Lim.
Thi-jiu-sian-wan tahu kelihaian Gui Leng-hong, apalagi ketika dilihatnya tangan orang
berwarna merah. Ia sadar bila tubuhnya sampai terhajar akibatnya dapat dibayangkan.
Ilmu pukulan Lak-yang-jiu dari Kun-lun-pai sudah puluhan tahun terkenal di dunia persilatan,
hingga kini belum ada ilmu pukulan lain yang lebih hebat daripada pukulan maut tersebut.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sebagai seorang jago yang berpengalaman dan berpengetahuan luas, cepat Thi-jiu-sianwan
menekan telapak tangan kanan ke atas permukaan meja, kemudian tubuhnya melayang
mundur sejauh tiga tombak lebih.
Kendatipun Tay-lik-eng-jiau-jiu terhitung pula kungfu keras dan dahsyat, namun ia tak berani
menyambut serangan Lak-yang-jiu dengan keras lawan keras.
Cepat ia berkelit, kemudian bentaknya, "Orang she Gui, tempat ini bukan arena
pertandingan. Kaupun seorang jago kenamaan, mengapa pakai cara kasar begini" Sedikit
urusan lantas mencaci maki dan main hantam, macam apa . . . "
Sambil bicara beruntun ia menggunakan tiga macam gerak tubuh untuk menghindarkan
serangan Gui Leng-hong.
Mendengar sindiran tajam itu, Gui Leng-hong mendengus. Kedua telapak tangannya
menyodok ke depan, "blang!" diiringi bunyi gemuruh yang keras, mangkuk cawan yang berada
di atas meja di belakang Ho Lim terpental ke udara.
Tergetar oleh pukulan dahsyat itu, terpotong ucapan Ho Lim. Belum serangan itu tiba, sudah
timbul perasaan yang tidak nyaman, pernapasan seperti mau putus.
Sekarang ia baru sadar kungfunya masih ketinggalan jauh bila dibandingkan kepandaian
orang, tapi tempat dimana ia berada sekarang amat sempit, lagipula penuh meja di sekitar situ.
Tertekan oleh hawa pukulan yang kuat itu, terasa tiada jalan lain untuk menghindar lagi.
Gui Leng-hong tertawa dingin, baru saja dia akan melancarkan serangan susulan sepenuh
tenaga untuk memaksa 'monyet' itu mencium tanah, tahu-tahu jalan darah Cong-ngo-hiat di
punggungnya terancam. Dalam kagetnya buru-buru dia mengegos ke samping.
Siapa tahu di antara cahaya tajam, ujung pedang tahu-tahu bergeser ke bawah dan
mengancam jalan darah Cian-cin-hiat. Sungguh cepat dan tepat serangan ini dan sangat
mengejutkan. Cepat-cepat ia mengegos pula, siapa tahu dengan cepat ujung pedang itu turut menyambar
ke sana dan mengancam Thian-tu-hiat dan Gin-kay-hiat di antara tenggorokan. Cahaya pedang
merah membara seperti api, tajam menyilaukan mata.
Beberapa jurus serangan itu dilancarkan pada saat yang hampir sama, tak sempat berpikir
kembali ia menyurut mundur. Di luar dugaan punggungnya sudah menempel dinding, padahal
cahaya pedang lawan masih menyambar tiba.
Dengan Lak-yang-jiu sudah puluhan tahun Gui Leng-hong menjagoi dunia persilatan,
walaupun usianya sudah tua, tapi tabiatnya justru pemberang.
Sebagai orang kedua dalam Kun-lun-ngo-lo, kungfunya memang jarang ada tandingannya,
tentu saja hal inipun disebabkan ia jarang berkelana dalam dunia persilatan. Tapi sekarang ia
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
terdesak mundur berulang kali oleh beberapa serangan pedang lawan yang sama sekali tak
sempat terlihat jelas, dalam marahnya mendadak ia membentak.
Telapak tangan kirinya menabas miring ke samping, sementara telapak tangan kanan diayun
kemuka, melancarkan sebuah pukulan. Dia ingin menggetar patah pedang musuh dengan
tenaga dalamnya yang sudah terlatih selama puluhan tahun.
Jurus serangan ini diluncurkan dengan indah dan juga berbahaya. Tanpa terasa para jago
yang hadir sama memuji ilmu pukulan Lak-yang-jiu Kun-lun-pai memang tidak bernama kosong
belaka. Siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba Gui Leng-hong menjerit kesakitan dan melompat ke
udara. Ketika tiba kembali ke bawah, sekujur badan yang gemuk itu gemetar keras. Dengan
sorot mata ngeri bercampur takut dia mengawasi seorang gadis bersenjata pedang berwarna
merah berdiri di hadapannya sambil tersenyum. Gadis ini bukan lain adalah Mao Bun-ki.
Para jago sama menatap ke arah putri kesayangan Leng-coa Mao Kau ini dengan bingung.
Mereka tidak menduga gadis secantik bidadari ini memiliki ilmu silat begini hebat.
Merekapun heran mengapa Gui Leng-hong sebagai salah seorang tokoh Kun-lun-ngo-lo bisa
kecundang di tangan lawan hanya dalam beberapa gebrakan saja"
Jangankan para jago yang hadir ini, sampai Gui Leng-hong sendiri juga tidak jelas terjadinya
peristiwa ini. Ternyata ketika ujung telapak tangannya menyentuh pedang lawan, tiba-tiba dirasakan
semacam getaran tenaga yang belum pernah dijumpai sebelum ini, membuat semua tenaganya
tak sanggup dikendalikan dan menggigilkan sekujur tubuhnya.
Ia kecundang, namun kalah secara membingungkan.
Ditatapnya sekejap lawan yang masih muda dan berwajah cantik itu, kemudian diliriknya
pedang merah orang, pikirnya, "Tenaga aneh ini entah lwekang dari aliran perguruan mana"
Masakah gadis muda ini mampu menyalurkan tenaga dalamnya pada pedangnya?"
Sejak berumur sebelas masuk perguruan hingga kini Gui Leng-hong sudah lima puluh tahun
lebih belajar ilmu silat. Sekalipun bakatnya terbatas sehingga tak mampu mencapai tingkatan
yang paling tinggi, akan tetapi bagaimanapun ia terhitung salah seorang tokoh dunia persilatan.
Tapi kenyataannya sekarang ia tak mampu mengetahui aliran manakah ilmu pedang yang
digunakan gadis itu.
Sementara pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, Mao Bun-ki masih berdiri tegak
dihadapannya. Thi-jiu-sian-wan terbelalak mengawasi gadis itu, sedangkan Ko Bun mengawasi pedang di
tangan si nona seakan-akan tenggelam dalam suatu pemikiran yang dalam dengan senyuman
tetap menghiasi wajahnya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Kiong-sin Leng Liong segera berdiri, sambil tertawa terbahak-bahak dia berjalan ke depan
Bun-ki, kemudian berkata, "Ombak dari belakang selalu mendorong ombak di depan, hahaha
anak perempuan, kepandaianmu sungguh membuat mataku terbuka lebih lebar . . . ."
Belum habis dia berkata, Gui Leng-hong menghela napas panjang, tanpa mengucapkan
sepatah katapun ia melompat pergi meninggalkan tempat itu. Dalam waktu singkat
bayangannya sudah lenyap di balik kegelapan.
Kiong-sin (si dewa rudin) Leng Liong juga menghela napas, katanya, "Sekalipun Gui-loji
seorang berangasan, tapi ia cukup jujur dan lurus, pula bisa membedakan antara budi dan
dendam secara jelas. Ia boleh dibilang seorang lelaki sejati, tak nyana setelah turun gunung kali
ini, dalam waktu singkat dia harus pulang lagi."
Setelah mengebaskan ujung bajunya yang penuh tambalan, katanya kepada Thi-jiu-sian-wan
dengan serius, "Sobat kecil, walaupun kau tidak menyangka kami sekawanan tua bangka yang
menjemukan akan datang kesini, sedikitnya kau tahu apa sebabnya kami datang kemari?"
Walaupun ia menyebut Thi-jiu-sian-wan yang sudah setengah umur itu sebagai 'sahabat
kecil', namun Ho Lim tidak merasa tersinggung, bahkan dia segera menjawab, "Sesungguhnya
wanpwe sama sekali tidak berniat mengusik para Locianpwe. Wanpwe hanya mendapat
perintah dari Mao-toako untuk mengundang kawan-kawan dari Koai-to-hwe dan para enghiong
yang bergerak di perairan untuk berkumpul disini. Bahkan para Tianglo dari Kai-pang tidak
berani kami ganggu . . . ."
"Hm, soal ini aku si tua sudah tahu," tukas Kiong-sin Leng Liong dengan mendengus.
Setelah berdehem beberapa kali, Thi-jiu-sian-wan berkata lebih lanjut, "Sungguh tak nyana
wanpwe menemui sesuatu hal secara kebetulan sehingga persoalan ini mengakibatkan
kedatangan para Locianpwe."
Walaupun di luar dia menyebut menemui suatu 'secara kebetulan', namun dalam hati ia
mengeluh dan menyesal.
"Para Locianpwe adalah orang-orang yang berbudi luhur, sudah barang tentu dapat
memahami pula kesulitan yang wanpwe alami," katanya lebih jauh, "cuma saja . . . "
Setelah termenung sejenak, ia melanjutkan, "Cuma saja, ada satu hal wanpwe merasa
kurang mengerti . . ."
Kiong-sin Leng Liong bergelak tertawa, sambungnya, "Bukankah aku tidak habis mengerti
kenapa secara tiba-tiba kami bisa mengetahui persoalan ini?"
Ia sengaja berhenti sejenak. Setelah dilihatnya Thi-jiu-sian-wan manggut-manggut, baru
disambungnya, "Anggap saja kalian lagi sial sehingga seorang musuhmu mengetahui soal ini . .
. ." Dia mengulapkan tangannya mencegah Thi-jiu-sian-wan yang hendak bertanya, lalu
sambungnya, "Hal ini tak perlu kautanya, karena sekalipun kau tanyakan juga tak akan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kujawab. Padahal aku sudah terlalu banyak omong. Bila ditilik dari tingkah laku kalian selama
belasan tahun dalam dunia persilatan, sewajarnya kalau aku turun tangan sejak dulu."
Setelah melirik sejenak ke arah Bun-ki, tiba-tiba ia tersenyum dan menambahkan, "Cuma
lantaran kulihat pedang di tangan anak perempuan itu mirip sekali dengan benda milik seorang
sahabatku, maka terpaksa aku mesti banyak bicara."
Walaupun ia sudah berbicara sedari tadi, tapi semuanya tetap merupakan teka-teki, makin
mendengar Bun-ki merasa makin bingung. Dia benar-benar tidak mengerti apa sesungguhnya
yang terjadi. Padahal sedemikian rumitnya persoalan ini sehingga mereka yang terlibatpun kurang jelas
persoalannya, bahkan kecuali Bak-it Siangjin dan Tui-hong-kiam Cu Pek-ih yang sekadar tahu
masalahnya, yang lain seperti orang kedua dari Tay-beng-siang-kiat, Kim Ciau-kiat, Tay-oh-lotiau
Siau Ci dan sekalian jago yang hadir hanya melongo belaka.
Suara berisik mulai terdengar dalam ruangan itu. Sebagian besar yang mereka bicarakan
adalah kelihaian putri kesayangan Leng-coa Mao Kau.
Bun-ki menyimpan kembali pedang ke sarungnya, sedang Kiong-siu Leng Liong tersenyum
sekejap ke arah gadis itu lalu juga kembali ke tempat duduknya. Sedangkan Ko Bun hanya
mengawasi bayangan punggung nya yang ramping itu dengan termangu.
Sementara itu Thi-jiu-sian-wan masih berdiri tertegun di tempat. Bun-ki menghampirinya
sambil berbisik, "Paman Ho, sebetulnya apa yang terjadi" Kalau kau tidak memberitahukan
kepadaku lagi, aku bisa mati kesal."
Thi-jiu-sian-wan menghela napas panjang, katanya, "Nona, pernahkah kau dengar ayahmu
membicarakan . . . "
Belum habis dia berkata, suara derap kaki kuda terdengar berkumandang dari ujung jalan,
agaknya bukan cuma seekor. Dengan wajah berseri Thi-jiu-sian-wan melongok keluar jendela.
Tampak empat ekor kuda telah berhenti di depan rumah makan, ada dua orang lelaki berbaju
emas sedang memegangi keempat ekor kuda itu. Agaknya si penunggang kudanya sudah
masuk ke dalam.
Menyusul terdengar suara orang naik tangga dan muncul empat orang lelaki di ujung tangga.
Begitu melihat siapa pendatang ini, Thi-jiu-sian-wan segera berteriak kegirangan, "Hah,
toako, engkau baru datang . . . ."
Bun-ki juga cepat berlari menyongsong kesana.
Diantara keempat orang itu, yang berjalan paling depan adalah seorang yang bertubuh
jangkung, bermata tajam seperti mata elang. Begitu melihat Bun-ki berada disitu, wajahnya
lantas berseri.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Rupanya kau juga berada disini?" serunya.
Tak perlu diterangkan lagi, orang ini bukan lain adalah pentolan Lok-lim selama belasan
tahun bekalangan ini, Leng-coa Mao Kau.
Orang kedua berbahu lebar, berpinggang sempit dan berpunggung tegak. Sekalipun berusia
lima puluhan tapi mukanya tampak segar dan sebilah pedang bergagang kuning tersandang di
bahu kiri. Dari dandanan orang bisa diketahui bahwa dia adalah Co-jiu-sin-kiam Ting-hi dari Jit-kiamsampian. Orang ketiga adalah seorang perempuan, pinggangnya ramping dengan wajah yang putih,
matanya bulat besar, ketika tertawa kelihatan dekik pipinya yang dalam. Meski di bawah
kelopak matanya sudah muncul garis keriput, tapi di bawah dandanannya yang rapi, keriput
tersebut tidak nampak jelas.
Perempuan yang tak bisa diduga usianya ini adalah murid kesayangan adik ketua Tiamcongpay yang dulu, adik seperguruan ketua Thiam-cong-pay yang sekarang, Pek-poh-hui-hoa
Lim Ki-cing. Sinar mata Ko Bun hanya melintas sekejap pada wajah ketiga orang itu, tapi akhirnya
berhenti pada wajah orang ke empat, ia tersenyum.
Kiranya orang yang mengikut di belakang Lim Ki-cing ini bukan lain adalah Pat-bin-ling-long
Oh Ci-hui adanya.
Leng-coa Mao Kau berbicara beberapa patah kata dengan Bun-ki secara terburu-buru,
kemudian dengan sorot mata tajam dia memandang sekeliling ruangan. Sikapnya kereng dan
tak malu sebagai seorang pentolan Lok-lim.
Tidak lagi seperti bertemu dengan Thi-jiu-sian-wan tadi, kecuali Kiong-sin Leng Liong dan
Bak-it Siangjin beberapa orang, hampir semua jago yang hadir itu sama berdiri dan memberi
hormat. Sebagaimana diketahui, nama besar Jit-kiam-sam-pian atau Tujuh Pedang Tiga Ruyung
sudah tersohor berpuluh tahun lamanya. Apalagi kedudukan Mao Kau dewasa inipun sudah
berbeda. Maka biarpun Thi-jiu-sian-wan juga orang kenamaan, sudah barang tentu selisih jauh
bila dibandingkan dengan kedudukan maupun nama besar Leng-coa Mao Kau.
Kembali Mao Kau memandang sekeliling ruangan, dahi berkerut, tampaknya dia tidak
menyangka disinipun hadir beberapa tokoh tangguh. Tapi ia lantas tertawa.
"Hahaha, bila kedatangan Mao Kau yang terlambat ini membuat sobat sekalian dan para
Cianpwe menunggu agak lama, mohon sudi dimaafkan."
Setelah memandang sekejap ke arah Ho Lim, katanya pula, "Losi, mengapa kau tidak
mengabarkan kepadaku bahwa selain Siau, Leng berdua Locianpwe, dari Siau-lim-si pun
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
datang seorang pendeta sakti" Tahu begini, sekalipun Mao Kau bernyali besar juga tak berani
membiarkan para Locianpwe menunggu sekian lama."
Si ular Mao Kau memang licin, sekilas pandang saja ia dapat mengenali beberapa orang itu.
Si dewa rudin Leng Liong tergelak, katanya, "Siau-mao-cu (si Mao kecil), kami bukan
menunggu kau, jadi tak perlu kau menyesal."
Kemudian dengan sinar mata mencorong tajam, terusnya, "Apa yang kami nantikan rasanya
tanpa disebut pun kau tahu bukan?"
Mao Kau tertawa, ia maju ke depan dan mengambil cawan arak di depan Ko Bun, kemudian
membalik badan, katanya, "Urusan lain boleh kita bicarakan nanti saja, sekarang Mao Kau
menghormati kalian dulu secawan arak."
Ketika sorot matanya menyapu pandang sekeliling ruangan, dilihatnya Hwe-gan-kim-tiau
(elang emas bermata api) Siau Ci pun turut berdiri, Mao Kau tertawa senang. Sekali tenggak ia
menghabiskan isi cawan.
Bun-ki merasa bangga, sebab bagaimanapun ternyata semua orang sangat menaruh hormat
kepada ayahnya, tiba-tiba ia melihat Ko Bun tetap berduduk di tempatnya tanpa bergerak.
Ia menghampiri anak muda itu, bisiknya, "Ayah mengajak minum, mengapa kau tidak ikut?"
Nadanya menyesal dan setengah mengomel juga sedikit curiga.
Ko Bun mengangkat bahu dan tertawa, "Cawan arakku diambil ayahmu, kausuruh aku
minum dengan apa?"
Bun-ki tertawa, dia serahkan sebuah cawan yang diambilnya dari meja kosong sebelah dan
diberikan kepada Ko Bun.
Tapi waktu itu para jago sudah duduk kembali, arakpun habis ditenggak Mao Kau, maka Ko
Bun minum sendiri araknya, padahal cawannya masih kosong.
Namun Bun-ki tidak memperhatikan hal itu dan juga tidak memikirkannya.
Leng-coa Mao Kau mengerling sekejap ke sekeliling, lalu katanya lagi dengan lantang, "Di
dalam perjamuan ini, aku Mao Kau adalah tuan rumah."
Diliriknya sekejap ke arah si dewa rudin Leng Liong sambil tertawa, kemudian melanjutkan,
"Terlepas dari apakah alasan kedatangan kalian, yang jelas aku merasa gembira sekali."
Sesudah berhenti sejenak, ia berkata pula, "Kemarin Ho-site mengirim surat ke Hang-ciu dan
mengabarkan bahwa Tay-heng-siang-gi dari Tay-heng-san dan pemimpin besar tujuh belas
perairan, Kim-li (ikan emas) Siau-siauhiap telah diundang datang. Baru saja Mao Kau merasa
senang, siapa tahu keesokan harinya aku menerima laporan kilat lagi dari Ho-site yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
mengabarkan bahwa diantara kedua telaga Hongtik dan Ko-yu telah ditemukan suatu rahasia
besar yang sudah terpendam selama beberapa ratus tahun."
Sekali lagi dia mengerling sekejap ke sekeliling ruangan, lalu terusnya, "Kalian semua adalah
orang pintar. Beberapa orang Locianpwe mungkin lebih jelas tentang soal itu daripadaku.
Sebagaimana diketahui, setiap orang tentu ingin mendapatkan mestika tersebut termasuk aku
sendiri. Tapi kalau dibilang aku bersekutu dengan Siau-siauhiap hanya lantaran barang itu, aku
betul-betul merasa penasaran. Buktinya Kim-jihiap dari Thay-heng, Si-tayhiap dari Huai-yang,
Lam-siau-kiam-kek dari Hok-gu-san dan Pui-sia-tayhiap, di wilayah kekuasaan mereka tiada
sesuatu harta karun, toh mereka ku undang juga kehadirannya?"
Kiong-sin Leng Liong seperti mendengus sekali, Bak-it Siangjin tak bergerak sama sekali,
maka Mao Kau berkata pula, "Setelah mendapat kabar itu, aku bersama Co-jiu-sin-kiam Tingtayhiap,
Pek-poh-hui-hoa Lim Lihiap dan Oh-samte segera berangkat kesini. Sebab kutahu bila
kabar ini sampai bocor, akibatnya bisa mengganggu ketenangan umum. Tapi buktinya
secermatnya Ho-site bekerja, rupanya para Locianpwe toh mendapat tahu juga."
Tiba-tiba Kiong-sin Leng Liong tertawa nyaring, suaranya keras menggetar mangkuk dan
cawan di atas meja.
Pek-poh-hui-hoa Lim Ki-cing tertawa ringan, tegurnya, "Locianpwe, kalau tertawa jangan
keras-keras, bikin sakit telinga."
Kiong-sin Leng Liong berhenti tertawa, dia melotot sekejap ke arah Lim Ki-cing, tapi
perempuan itu seakan-akan tidak melihatnya. Sambil membetulkan rambutnya ia berkata lagi,
"Kun-goan-it ginkang Locianpwe memang lihai. Sewaktu kecil dulu akupun pernah
mendengarnya. Sekalipun engkau tidak tertawa sekeras ini orang juga tahu kelihaianmu."
Kiong-sin Leng Liong tersohor karena ketajaman mulutnya, ia tak pernah kalah beradu lidah
dengan siapa pun. Sungguh tak nyana hari ini ia ketanggor seorang perempuan.
Bun-ki menjadi geli, apalagi bila teringat bagaimana cara pengemis tua itu mempermainkan
Gui Leng-hong tadi, pikirnya, "Inilah pembalasan yang setimpal."
Agaknya Lim Ki-cing juga tahu orang tak sampai berkelahi dengannya mengingat kedudukan
orang yang terhormat itu, maka setelah berkata ia sempat mengerling sekejap ke arah Ko Bun
dengan tertawa.
Ko Bun juga tertawa, tapi Bun-ki yang menyaksikan itu jadi mendongkol. Dengan wajah
dingin ia memaki di dalam hati, "Rase tua, siluman tua, benar-benar tak tahu malu."
Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah diganggu oleh Lim Ki-cing, kata-kata Kiong-sin Leng Liong tak jadi dilanjutkan lagi.
Pada kesempatan itu Leng-coa Mao Kau berkata pula, "Setelah para Locianpwe bertemu
denganku sekarang, terasa legalah hatiku, sebab dengan nama baik Locianpwe, tentunya
kalian takkan mengincar barang kami . . . ."
Belum habis ia berkata, kembali terdengar gelak tertawa nyaring. Yang tertawa ini adalah
Hwe-gan-kim-tiau.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sejak awal dia tidak buka suara, tapi sekarang sambil mengelus jenggot ia berkata, "Maotayhiap,
aku rada kurang paham pada perkataanmu itu. Ketika Thi-jiu-sian-wan Ho-sihiap
berkunjung ke tempat putraku Siau Peng, dikatakannya bahwa pemisahan wilayah antara air
dan darat yang terjadi dalam dunia persilatan telah mengurangi arti persatuan dalam dunia
persilatan. Dikatakan bahwa wilayah pengairan dan daratan sepantasnya bersekutu. Dianjurkan
agar putraku bersekutu denganmu setelah mempertimbangkan, pertama berhubung Maotayhiap
adalah seorang tokoh besar, kedua, ucapan Ho-sihiap cukup meyankinkan, maka
permintaannya dikabulkan. Kemudian Ho-sihiap minta Tay-heng-siang-gi yang merupakan
saudara angkat putraku itu juga diajak bersekutu, inipun disanggupi putraku . . . ."
Setelah melirik sekejap ke arah Thi-jiu-sian-wan sambil tertawa dingin, ia melanjutkan,
"Tentu saja semua ini berkat kepandaian Ho-sihiap bermain lidah sehingga putraku benar-benar
menyerah pula . . ."
Kembali ia tertawa dingin, lalu menyambung, "Tentu saja keberhasilan itu dikarenakan usia
putraku yang masih muda, kurang pengalaman, tak bisa membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk, kebetulan lagi aku tak ada di rumah. Ketika aku pulang, Ho-sihiap sudah
keburu pergi. Baiklah soal ini tak perlu diungkit lagi, tapi meskipun aku sudah hidup sekian
puluh tahun, sudah banyak orang yang kujumpai, sungguh tak kusangka Ho-sihiap adalah
manusia yang begitu lihai. Coba kalau tidak diberitahu oleh seorang tokoh sakti, aku si tua tentu
tidak tahu Ho-sihiap yang merupakan komandan Thi-ki-sian-pian yang mengibarkan panji demi
keadilan dan kebenaran bagi umat persilatan ini ternyata telah memanfaatkan kedudukannya
sebagai tamu Congtocu danau Ko-yu dan Hongtik untuk menyelidiki rahasia terpendam di
danau kami."
Jahe semakin tua semakin pedas, beberapa patah kata jago tua ini kontan saja membuat air
muka Thi-jiu-sian-wan sebentar pucat sebentar hijau. Wajahnya yang memang buruk semakin
buruk lagi sehingga persis seperti kulit jeruk yang sudah dikeringkan kemudian dimasukkan ke
dalam cuka. Air muka Leng-coa Mao Kau juga agak berubah, selagi ia hendak bicara, Sian Lo-tiau
berkata pula lebih dulu, "Adapun kedatanganku ini adalah ingin memberitahukan kepada Maotayhiap,
sekalipun Mao-tayhiap bersaudara sudah mengetahui letak harta karun dalam telaga
Ko dan Hong tersebut, sedangkan aku si tua bangka belum lagi tahu, namun jika Mao-tayhiap
ingin menggunakan kedudukan sebagai 'taman sekutu' untuk melakukan penyelidikan lagi ke
pangkalan kami, maka kendatipun Mao-tayhiap adalah Bu-lim Bengcu dari daratan Tionggoan,
aku si tua juga akan mengandalkan sedikit kekuatan kami sekeluarga Siau turun temurun di
perairan untuk menghadapi kalian. Berada di hadapan Siau-lim-sinceng dan Bu-lim-sin-kai, aku
tak berani takabur. Itulah sebabnya telah kuperintahkan kepada beberapa ratus saudara dari
Koai-to-hwa dan saudara dari perairan untuk pulang lebih dulu. Nah, perkataanku hingga
sampai disini saja, maaf aku si tua mohon diri lebih dulu."
Sampai disini sedikit banyak Mao Bun-ki baru tahu duduk perkara yang terjadi hari ini.
Kendatipun tak tahu sebetulnya harta mestika apa yang terdapat di dalam telaga Hontik dan Koyu
tersebut, lebih-lebih ia tak mengerti dengan cara bagaimana Thi-jiu-sian-wan berhasil
mengetahui rahasia harta karun itu.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Baru saja ia hendak bertanya, sambil tertawa Pek-poh-hui-hoa Lim Ki-cing telah berkata,
"Siau-loyacu, engkau boleh dibilang seorang tua yang berbudi luhur. Tapi aku kurang begitu
mengerti dengan perkataanmu tadi. Menurut perkataanmu tadi seolah-olah telaga Hongtik dan
Ko-yu adalah daerah warisan keluarga Siau, sedang barang dalam telagapun merupakan harta
pusaka keluargamu. Aku jadi ingin bertanya, kecuali orang-orang keluarga Siau, apakah orang
lain tak boleh mengusiknya?"
Siau Lo-tiau melotot gusar, alis matanya yang panjang menegak. Dengan geram ia
menjawab, "Kalau benar lantas bagaimana" Kalau tidak kau mau apa" Kau ingin berlagak
dihadapanku" Hm, masih selisih jauh. Pergi, pergi! Disini tak ada tempat bicara bagi
perempuan macam kau."
Sekasar-kasarnya Kiong-sin Leng Liong, dia masih terhitung seorang Tianglo dari golongan
yang terhormat, maka terhadap Lim Ki-cing ucapannya tidak terlalu kasar dan tajam.
Berbeda dengan Siau Lo-tiau, sekalipun dia terhitung pula seorang Bu-lim-cianpwe, tapi
asalnya dari golongan hitam. Sebab itulah melotot dan mendamprat kaum wanita sama sekali
bukan soal baginya.
Lim Ki-cing merasa kehilangan muka, apalagi setelah melihat Ko Bun memandangnya
dengan senyum tak senyum itu, hatinya tambah panas.
Sesungguhnya harta karun apakah yang dipersoalkan gembong-gembong dunia persilatan
yang berkumpul ini "
Cara bagaimana Mao kau akan menyelamatkan sengketa ini dan apa pula yang akan
dilakukan Ko Bun, pemuda yang alim itu "
- Bacalah jilid ke 6 Jilid 06 Sekalipun usia dan tingkatannya selisih jauh daripada Lo-tiau, namun bicara soal kedudukan
di dunia persilatan, belum tentu ia lebih rendah dari pihak lawan.
Maka sambil tertawa dingin katanya, "Benda yang berada di alam semesta ini diperuntukkan
setiap manusia, sampai waktunya bila Mao-toako tidak pergi mengambil, aku orang she Lim
justru akan mengambilnya. Akan kulihat betapa hebat kau si elang tua (lo-tiau) ini."
Dengan gusar Siau Lo-tiau menggebrak meja, seorang lelaki berusia tiga puluhan yang
duduk di sampingnya segera melompat bangun dengan wajah marah.
Dia bukan lain adalah Congtoacu dari tujuh belas benteng perairan di telaga Ko-yu dan
Hongtik, keturunan ke empat keluarga Siau, Kim-li (si ikan emas) Siau Peng.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dengan kemunculan itu, sudah terang bermaksud mewakili ayahnya untuk bertarung.
Tapi Kiong-sin Leng Liong segera berkata sambil tertawa, "Setelah Siau Lo-tiau berkata
demikian, aku si pengemis tua baru tahu hubungan antara kalian sesungguhnya penuh lika-liku.
Tapi bicara pulang-pergi, tahukah kalian sesungguhnya apa persoalannya?"
Sinar matanya beralih ke wajah Mao Kau, kemudian katanya lagi, "Tadi si monyet kecil
bilang dia tak bisa mengambil keputusan, sekarang tentu dapat kauputuskan bukan" Nah, aku
ingin bertanya padamu, bukankah kau telah mendapatkan rahasia tentang letak harta karun itu
dari orang Kai-pang" Seandainya perbuatan kalian tidak diketahui siapapun tentu tak menjadi
soal. Kini aku si pengemis tuapun sudah tahu. Bila aku bersama kawanan pengemis cilik
lainnya bersama-sama datang menegurmu, coba apa yang akan kaulakukan?"
Dari pembicaraan ini, suatu rahasia yang selama ini tertutuppun segera terungkap.
"O, rupanya persoalan ini ada sangkut pautnya dengan pihak Kai-pang?" demikian semua
orang berpikir.
Meski begitu mereka tetap belum tahu barang apakah yang sebenarnya tersimpan di telaga
Hongtik dan Ko-yu itu sehingga Leng-coa Mao Kau yang enggan bermusuhan dengan orang itu
kini harus bersitegang dengan pihak Kai-pang"
Sekali lagi Siau Lo-tiau mengerutkan dahi. Ia tahu persoalan yang menyangkut yang
menyangkut orang Kay-pang memang sukar diselesaikan.
Dilihatnya Leng-coa Mao Kau memang tak malu sebagai pentolan Lok-lim. Dalam keadaan
begini wajahnya tetap tidak berubah sama sekali.
Terdengar Mao Kau berkata sambil tertawa, "Mestika yang ada di dunia ini akan diperoleh
mereka yang bijaksana. Sekalipun aku Mao Kau seorang yang tak becus juga tak berani
menantang takdir. Karena itu, setelah kutahu rahasia ini akupun akan berusaha
mendapatkannya. Sedang mengenai soal lain, sayang Mao Kau terlalu bodoh sehingga tak tahu
bagaimana mesti menjawab."
Lebih dulu ia menyebut 'takdir', kemudian mengatakan dirinya 'bodoh', pokoknya dia tak
peduli soal lain. Maksudnya bila kalian punya kepandaian, silakan berebut dengan aku.
Sudah barang tentu Kiong-sin Leng Liong dapat menangkap arti perkataannya. Dengan
gusar ia berkata, "Kalau begitu, aku si pengemis tua akan mohon petunjuk lebih dulu dengan
kau si pentolan Lok-lim ini!"
Selama kejadian itu berlangsung, Ko Bun cuma diam saja, terkadang ia bicara dengan Mao
Bun-ki. Tapi sekalipun sedang berbicara, ia tetap mengikuti setiap kata pembicaraan yang
sedang berlangsung.
Maka ketika didengarnya Kiong-sin Leng Liong hendak turun tangan sendiri menghadapi
Leng-coa Mao Kau, air mukanya segera berubah, seakan-akan kuatir Leng-coa Mao Kau kalah
di tangan orang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Melihat pemuda itu menguatirkan keselamatan ayahnya, hati Bun-ki terhibur, pikirnya,
"Semula aku mengira ia kurang senang kepada ayah, ternyata dugaanku salah."
Dalam pada itu air muka Leng-coa Mao Kau juga berubah, sorot mata semua orang juga
tertuju ke arahnya.
Di tengah suasana yang kritis inilah, suara pujian kepada sang Budha mendadak
berkumandang. Setelah memuji keagungan Budha, Bak-it Siangjin dari Siau-lim-pai memandang sekejap
wajah para jago di sekeliling ruangan, kemudian berkata, "Sicu sekalian adalah jago kenamaan
dunia persilatan dewasa ini, sekalipun sudah lama kuhidup terpencil di atas gunung, namun
selalu merasa kagum terhadap nama2 besar kalian . . . ."
Kiong-sin Leng Liong tertawa, serunya, "Taysu terlalu merendahkan diri, padahal kami cuma
kamu silat kasaran. Mana bisa dibandingkan dengan Taysu yang hidup bebas menyenangkan."
Sesudah tertawa nyaring, dia melanjutkan, "Apalagi kungfu Siau-lim-pai sudah termashur.
Bila Taysu menganggap kami sebagai tokoh persilatan, entah orang lain, tapi aku si pengemis
tua merasa malu sendiri, cuma . . . ."
Setelah menatap sekejap sekitar tempat itu, lalu sambungnya, "Sudah lama Taysu tidak
mencampuri urusan duniawi, apakah kedatangan Taysu kali ini juga disebabkan harta karun
ini?" Selama puluhan tahun menjagoi dunia persilatan, Kiong-sin Leng Liong termashur sebagai
manusia yang sukar dihadapi, tak heran ucapannya kedengaran tajam dan bernada menyindir.
Bak-it Siangjin segera menukas, "Siancai, meski tak becus, kehidupanku di pegunungan
telah membuat sifat kerakusan lenyap dari hatiku. Meski harta mestika yang kalian maksudkan
adalah "Sam-cai-po-cong" yang diidamkan setiap umat persilatan, namun mestika itu belum
membuatku kemaruk untuk mengangkanginya sendiri. Jadi sicupun tak perlu sangsi dan
curiga." Terkerut kening Mao Kau, lalu tertawa nyaring, "Hahaha, Siangjin tak usah memberi
penjelasan, akupun tahu seorang Bu-lim-cianpwe seperti Siangjin takkan berebut barang
sampingan dengan wanpwe sekalian. Sebab kalau sampai berbuat begitu bukan lagi Bu-limcianpwe
namanya." Selesai berkata ia lantas tertawa nyaring pula, sementara matanya melirik sekejap ke arah
Kiong-sin Leng Liong. Jelas ucapan itu bernada menyindir seakan-akan mengatakan mereka
yang turut ambil bagian dalam perebutan itu bukan Bu-lim-cianpwe.
Kiong-sin Leng Liong mendongakkan kepala dan tertawa keras, suaranya lantang mengatasi
gelak tertawa Leng-coa Mao Kau, berhenti tertawa matanya lantas melotot.
"Cara kerja pengemis tua selamanya terang-terangan, "serunya lantang, "orang she Mao,
kalau bicara hendaknya jelas sedikit. Meski aku pengemis tua terkenal miskin, namun bukan
orang yang suka menganiaya kaum muda, apalagi berebut barang dengan orang muda macam
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kau. Cuma peta Sam-cai-po-cong diperoleh kaum pengemis dengan susah payah, jika ada
yang ingin merebutnya, tentu saja aku pengemis tua takkan tinggal diam."
"Betul, peta mestika itu diperoleh Ho-sute dari anggota pengemis kalian. Tapi waktu itu anak
buah kalian terluka oleh bidikan panah penjaga benteng perairan. Ho-sute telah menolong
jiwanya, mungkin lantaran berterima kasih atas budi pertolongannya, maka peta itu diberikan
kepadanya."
Setelah berhenti sebentar, sambil tertawa dingin sambungnya lagi, "Apakah kejadian
semacam inipun dianggap suatu perampasan?"
"Orang she Mao, sekalipun kau putar balik persoalan juga tak ada gunanya, "bentak Kiongsin
Leng Liong, "walaupun murid kami terluka oleh bidikan panah, andaikata tiada 'pertolongan'
Ho-sutemu, kurasa jiwanya juga tak sampai melayang."
Setelah mendengus, katanya lagi, "Hmm, bila kau anggap peristiwa ini akan berlangsung
tanpa diketahui orang, maka keliru besar dugaanmu itu. Ketahuilah, bila tak ingin diketahui
orang, kecuali kau sendiri tidak berbuat."
Seraya berkata, tokoh yang termashur karena ilmu Kun-goan-it-khi-tong-cu-kang itu
mengambil dua buah poci di atas meja, lalu diremasnya sehingga berubah menjadi sepotong
toya timah. Para jago yang hadir ini rata2 berilmu silat tinggi, namun mereka dibuat kagum juga oleh
kelihaian tenaga dalam orang.
"Blang", Kiong-sin Leng Liong menggetukkan toya timah itu ke meja, lalu katanya lagi, "Nah,
orang she Mao, bila kau tahu diri, cepat kau kembalikan peta mestika itu kepadaku. Mengingat
suhumu si hwesio dari Ngo-tai-san yang sudah tiada, bukan saja soal ini takkan kusinggung
lagi, bahkan apapun yang hendak kau lakukan dalam dunia persilatan juga tak akan kucampuri.
Kalau tidak, jerih payahmu yang kaupupuk selama ini akan mulai goyah."
Baru saja Leng-coa Mao Kau hendak menjawab, Kim-gan-tiau (si Rajawali bermata emas)
Siau Ti telah berdiri dan menimbrung, "Aku si orang tua tidak peduli siapa yang mendapatkan
peta mestika itu. Aku hanya tahu benda itu milik orang-orang di telaga Ko dan Hong, berarti
milik benteng perairan keluarga Siau kami. Bila kalian sobat dari daratan ingin mengincar
barang kami, kecuali membantai semua Saudara dari tiga puluh enam benteng perairan, jangan
harap keinginan tersebut dapat tercapai!"
Pada dasarnya dia memang berperawakan kereng dan gagah, apalagi dalam keadaan
gusar. Alis matanya menegak, sinar matanya setajam sembilu, ditambah suaranya lantang
seperti bunyi genta, sungguh ia tak malu disebut seorang pentolan 39 buah benteng perairan.
Ko Bun menggunakan sumpitnya menjepit sepotong daging iga dan dikunyahnya pelahan.
Melihat ketiga pihak itu saling ngotot, dengan berpeluk tangan ia saksikan mereka cakarcakaran
sendiri. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Leng-coa Mao Kau dengan kedudukannya sebagai Lok-lim-pangcu berdiri diantara Kiong-sin
Leng Liong dan Kim-gan-lo-tiau. Dia sama sekali tidak gentar. Masing-masing saling menatap
dengan tajam. Persoalan mereka sedemikian rumitnya sehingga boleh dibilang tiada satu pihak
yang menduduki posisi di atas angin.
Itulah sebabnya saat itu tiada yang berbicara lagi. Masing-masing sibuk merancang
bagaimana caranya mengadu domba pihak yang lain, dan dia sendiri tinggal meraih
keuntungan. Para jago yang hadir waktu itu rata-rata merupakan jago kenamaan, tapi tiada seorangpun
buka suara, sebab mereka tahu ketiga orang itu sama-sama sukar dihadapi. Meski diantara
mereka ada yang lebih erat hubungannya dengan salah satu pihak, tapi juga enggan ikut terjun
ke dalam air keruh.
Selama ribut2 Bak-it Siangjin hanya diam saja, wajahnya tanpa emosi, tapi begitu semua
jago membungkam dengan kening berkerut ia baru berbicara, "Omitohud!" serunya, "sudah
setengah harian sicu sekalian ribut tanpa hasil, sebab siapa pemilik Sam-cai-po-cong tak bisa
diselesaikan dengan pertentangan antara kalian bertiga saja."
Mendengar ucapan itu, serentak para jago mengalihkan sorot matanya ke wajah pendeta ini.
"Taysu, apa maksud ucapanmu ini" Aku si pengemis tua tidak mengerti, "seru Kiong-sin
Leng Liong. "Apakah Siangjin pun berminat atas benda itu?" sambung Leng-coa Mao Kau pula.
Sedangkan Kim-gan-lo-tiau menggebrak meja sambil tertawa terbahak-bahak, "Hahaha,
bagus sekali, bagus sekali. Lebih baik pendeta sakti dari Siau-lim-si saja yang memberikan
keadilan."
Tangannya yang besar segera menepuk bahu Kim-li Siau Peng yang duduk di sampingnya,
kemudian menambahkan, "Peng-ji, masih ingatkah kau apa yang sering kukatakan" Hanya
Siau-lim-pai saja yang bisa dianggap perguruan baik dalam dunia persilatan, sekarang coba
kaulihat, para jago sudah melupakan peraturan terpenting yang ditetapkan jago-jago darat dan
perairan di Cin-nia dulu yang menetapkan bahwa 'pihak perairan dan daratan terpisah pada
wilayah masing-masing, pihak satu tak boleh menjajah pihak yang lain', syukur pendeta suci
Siau-lim-pai telah muncul untuk memberi keadilan."
Diam-diam Ko Bun tertawa geli, pikirnya, "Tua bangka ini memang lihai, dia telah
melemparkan abu hangat ke tangan si hwesio."
Perlu diketahui, persoalannya sekarang telah menjadi masalah pelik, siapapun tak dapat
menyelesaikan masalah ini. Maka setelah Kim-gan-lo-tiau melemparkan soal ini ke tangan Bakit
Siangjin, tanpa terasa Ko Bun ikut mengalihkan sorot matanya kepada si pendeta dari Siaulimsi ini. Dia ingin tahu bagaimana caranya pendeta ini menyelesaikan masalah tersebut.
Semua jagopun merasa kagum atas kelicikan si rajawali tua. Semua orang bukan orang
bodoh, tentu saja mereka tahu apa maksud yang sebenarnya dari perkataannya itu.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Bak-it Siangjin tetap tenang, ujarnya dengan perlahan, "Sicu, kalau dilihat dari napsu kalian
untuk memperebutkan harta karun Sam-cai-po-cong tanpa segan mengorbankan kehormatan
masing-masing, kukira selain emas intan, mungkin dalam Sam-cai-po-cong terdapat pula
senjata mestika atau obat mujarab yang bisa menghidupkan lagi orang mati. Tapi tahukah
kalian akan asal-usul yang sebenarnya dari Sam-cai-po-cong tersebut?"
Pertanyaan ini membuat para jago sama melengak. Semula mereka memang heran apa
sebabnya orang-orang itu getol memperebutkan mestika tersebut, benda apakah yang
membuat jago-jago lihai itu menjadi bernafsu untuk mendapatkannya"
Kemudian setelah mendengar nama "Sam-cai-po-cong", mereka baru tahu mestika ini
menyangkut sejumlah harta karun yang sudah berusia ratusan tahun. Meski begitu mereka tidak
tahu benda apa saja yang terdapat di balik harta karun itu, apalagi asal-usulnya.
Tak heran suasana menjadi gempar setelah mendengar pertanyaan pendeta Saiu-lim itu,
sebab baik soal senjata mestika, obat mujarab atau harta karun berupa emas intan, semuanya
menimbulkan rangsangan bagi setiap orang yang hadir.
Mao Bun-ki yang masih muda dengan rasa ingin tahunya yang besar, kontan terbelalak
matanya demi mendengar kisah tersebut.
Ia melirik sekejap ke arah Ko Bun, melihat pemuda itu asyik makan, sambil tertawa geli dia
menarik ujung bajunya dan menegur lirih, "Eh, bagus amat nafsu makanmu, masa dalam
Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keadaan beginipun masih bisa makan?"
Berada dalam keadaan begini, kecuali Ko Bun seorang, memang tiada orang lain yang
bernafsu untuk bersantap.
Kiong-sin Leng Liong memandang sekejap ke sekeliling tempat itu. Melihat semua orang
membungkam, dia lantas tergelak, "Hahaha, pertanyaan Taysu memang sangat bagus. Kutahu
serba sedikit tentang asal-usul Sam-cai-po-cong tersebut."
Leng-cao Mao Kau segera mendengus.
Kiong-sin Leng Liong tidak menghiraukannya, ujarnya lebih jauh, "Seratus tahun yang
lampau, dalam dunia persilatan terdapat tiga orang cianpwe persilatan dengan nama Sam-cailianbeng (persekutuan tiga unsur) yang menguasai 'jual-beli' kalangan Lok-lim . . . ."
Belum habis dia bicara, Kim-gan-lo-tiau segera menimbrung, "Thian-ih (tabib langit), Te-sat
(malaikat bumi) dan Jin-mo (manusia iblis) merajai dunia persilatan masa itu dengan
kepandaian yang tinggi. Setiap jual beli yang terjadi dalam kalangan Lok-lim harus
menyumbangkan tiga bagian sebagai upeti untuk mereka. Meski aku si tua bangka
berpengetahuan cetek, namun kalau Cuma soal ini sedikit banyak akupun tahu."
Berbicara sampai disini, dia melirik sekejap ke arah Kiong-sin Leng Liong dengan sikap
bangga. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Diam-diam Mao Bun-ki tertawa geli, bisiknya kepada Ko Bun, "Rupanya mestika tersebut
peninggalan tiga gembong penyamun."
Ko Bun tidak berkata apa-apa kecuali tersenyum.
Sementara itu Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui juga sedang berbisik kepada Thi-jiu-sian-wan,
"Losi, coba kau lihat Cing-hong-kiam Cu Pek-ih, mengapa duduk melulu disitu tanpa bergerak
macam orang mati saja?"
Thi-jiu-sian-wan berseru tertahan, agaknya iapun merasa heran.
Tapi sebelum ia bicara, Bak-it Siangjin telah berkata lagi dengan lantang, "Sudah lama
kudengar Siau-losicu berpengetahuan luas dan seorang ahli sejarah. Dan setelah berjumpa hari
ini, terbukti kabar itu memang betul."
Perkataan pendeta Siau-lim-pai ini hampir saja membuat Siau Ti tertawa bangga. Baru saja
dia akan bicara lagi, Bak-it Siangjin telah mendahului, "Walaupun Thian, Te dan Jin bertiga
sekutu itu mendapat upeti, namun tindakan ketiga orang Bu-lim-cianpwe ini justru telah
mengurangi banyak masalah dalam dunia persilatan dan menciptakan banyak pahala. Siaulosicu,
walaupun kautahu tentang soal ini, tapi apakah kau tahu mestika apa saja yang
ditinggalkan ketiga orang cianpwe itu?"
Tanpa terasa para jago memasang telinga baik-baik untuk mendengar jawaban itu.
Siapa tahu Siau-lo-tiau hanya bersuara "oo" dan tak mampu meneruskan, rupanya iapun tak
tahu mestika apa saja yang ditinggalkan itu.
Leng-coa Mao Kau tertawa nyaring, serunya cepat, "Tiga puluh tahun lamanya Thian-ih, Tesat
dan Jin-mo merajai dunia persilatan, kemudian entah apa sebabnya mereka sama-sama
lenyap tak berbekas. Sejak itulah harta kekayaan yang berhasil dikumpulkan ketiga orang Bulimcianpwe itu ditambah sebilah pedang pusaka milik Te-sat Siang-locianpwe, jarum Pat-to-jitsingciam, senjata rahasia ampuh milik Jin-mo Sugong-locianpwe serta pil-pil penyambung
nyawa tinggalan Thian-ih Go-locianpwe, semua itu menjadi mestika yang diinginkan setiap umat
persilatan dalam dunia Kangouw."
Setelah memandang sekejap sekitarnya dengan bangga, dia melanjutkan lagi, "Hanya saja
selama ratusan tahun ini, seperti juga ketiga orang Bu-lim-cianpwe itu, harta pusaka itu tak
pernah muncul kembali dalam dunia persilatan. Sam-cai-po-cong pun menjadi rahasia besar.
Beruntung sekali empat puluh tahun berselang pernah kudengar hal ini dari guruku, siapa tahu .
. . " Sengaja dia berhenti berbicara, tentu saja ia hendak bilang tak menyangka kalau rahasia
tersebut bisa terjatuh ke tangannya.
"Omitohud!" seru Bak-it Siangjin kemudian sambil mendongak kepala, "tak kusangka Maosicu
yang berusia muda ternyata memiliki pengetahuan yang amat luas. Hanya saja tahukah
sicu mengapa ketiga orang Bu-lim-cianpwe itu bisa lenyap secara tiba-tiba dan mengapa
mestika tinggalan mereka bisa lenyap pula selama ini?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Pendeta suci Siau-lim-pai ini memang sangat sabar. Uraiannya lamban, membuat para jago
gelisah dan ingin mencengkeram leher bajunya dan memaksanya berbicara cepat dan jelas.
Tapi Bak-it Siangjin adalah seorang yang berkedudukan tinggi dalam dunia persilatan.
Meskipun sikap jual mahalnya membuat semua orang mendongkol, namun mereka hanya bisa
memandangnya dengan melotot saja.
Diantara mereka, hanya Kiong-sin Leng Liong saja yang tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, soal ini, bila kumati, akan kutanyakan sendiri kepada ketiga orang cianpwe itu di
neraka nanti."
Selesai berkata, kembali ia bergelak tertawa, membuat para jago lain turut tertawa geli.
Bak-it Siangjin seperti tidak mengerti akan sindiran itu, kembali ia berkata perlahan,
"Sebenarnya persoalan ini merupakan rahasia besar dalam dunia persilatan. Baiklah, mau tak
mau agaknya harus kuceritakan sekarang."
Setelah berhenti sebentar, dia seperti lagi menyusun kembali daya ingatannya, kemudian
baru melanjutkan ceritanya.
"Meski Thian-ih, Te-sat dan Jin-mo bersekutu, namun watak mereka berbeda. Walau Thianih
Go Put-ko terjun ke kalangan Lok-lim, namun ada tujuan lain. Dia cuma ingin mengatur dunia
Lok-lim yang banyak pertikaian itu. Sedang Te-sat Siang Si-lik dan Jin-mo Sugong adalah
gembong-gembong iblis dunia persilatan. Justru karena terpengaruh oleh budi kebaikan Thianih
serta takut pada kungfunya yang lihai, maka selama sekian tahun persekutuan tiga serangkai
dapat menjagoi persilatan dengan nama harum."
Setelah berhenti sejenak, lalu dia melanjutkan, "Oleh karena itu, meski diluar Te-sat dan Jinmo
amat menurut, padahal diam-diam merasa sirik terhadap Thian-ih Go-locianpwe. Akhirnya
ketika Go-locianpwe tidak waspada, mereka menutuk Thian-jian-hiatnya. Hanya saja cara kerja
mereka amat rahasia sehingga tiada umat persilatan yang tahu.
Setelah jalan darah Thian-jian-hiat tertutuk, ilmu silat Go-locianpwe punah dan ditahan
secara halus. Dalam keadaan begini, Te-sat dan Jin-mo tidak takut kepada siapa-siapa lagi.
Ulah mereka makin menjadi. Dalam sedihnya Go-locianpwe lantas memutuskan untuk berbakti
kepada Budha. Pada dasarnya locianpwe ini memang seorang berhati mulia. Sejak mengabdi
kepada agama, lalu dengan kesabaran yang luar biasa, tiap hari dia selalu berusaha memberi
khotbah dan membawa kedua saudaranya kembali ke jalan yang benar. Ternyata perjuangan
tidak sia-sia. Akhirnya kedua orang gembong iblis itupun bersedia meletakkan golok pembunuh
dan kembali ke jalan yang benar."
Berbicara sampai disini, pendeta agung ini berseru memuji keagungan Budha, kemudian
sambil membuka matanya dia berkata lagi, "Setelah tiga orang Bu-lim-cianpwe ini kembali ke
jalan yang benar, semua harta kekayaan serta senjata mestika milik mereka ditenggelamkan ke
dasar telaga. Setelah itu mereka pun berangkat ke Siau-lim-si, dimana oleh Ciangbun-cosu
kami waktu itu rambut mereka dicukur dan jadilah ke tiga orang itu sebagai pendeta Siau-lim-si."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Mendengar kisah yang menyangkut rahasia dunia persilatan itu, para jago sama melongo.
Setelah berhenti sebentar, kembali Bak-it Siangjin berkata lebih lanjut, "Setelah menjadi
pendeta Siau-lim-si, mereka laporkan tempat penyimpanan harta karun itu kepada Ciangbuncosu
dengan harapan Ciangbun-cosu dapat menyerahkan rahasia ini kepada orang yang betulbetul
berjiwa kesatria sehingga harta karun itu bisa digunakan bagi kesejahteraan orang
banyak. Tapi Ciangbun-cosu kami sudah tidak mencampuri urusan duniawi lagi, itulah
sebabnya peta harta karun itu dibagi menjadi tiga. Satu diberikan kepada Pek Ciong-cosu dari
Bu-tong-pay, satu lagi diserahkan kepada Teng-khong Cousu dari kuil kami dan satu lagi
diberikan kepada sobat karib yang paling dihormatinya waktu itu, Hai-thian-ko-yan yang amat
tersohor itu."
Begitu mendengar nama terakhir ini, serentak para jago sama bersuara tertahan.
Ko Bun pun mengangkat cawan air teh dan minum seteguk, dia berpaling ke arah Mao Bunki
sambil bergumam, "Adik Ki, coba lihat, fajar telah menyingsing!"
Bun-ki berpaling keluar jendela. Betul juga, fajar telah menyingsing di langit sebelah timur.
Rupanya saking asyiknya para jago membicarakan soal mestika dunia persilatan itu sampai
lupa matahari sudah hampir terbit.
Bak-it Siangjin berdehem perlahan, kemudian berkata lagi, "Kalau menuruti keinginan
Ciangbujin-cousu kami, tentu saja beliau berharap ketiga orang cianpwe itu bisa memanfaatkan
harta karun itu demi kesejahteraan umat manusia. Tapi waktu itu ketiga orang cianpwe itu
sudah menyerahkan diri ke dalam agama, maka peta harta karun itu turun temurun diwariskan
hingga sekarang. Sedang mengenai kedua bagian peta lainnya, kurasa mungkin disebabkan
tak menemukan orang yang sesuai, maka selama ratusan tahun ini harta karun tersebut tetap
terpendam."
Baru sekarang semua orang mengembus napas lega. Sedikit banyak merekapun
memperoleh gambaran yang sesungguhnya.
"Tapi sekarang mendadak ada berita yang mengatakan peta harta karun itu telah muncul
kembali dalam dunia persilatan, "kata Bak-it Siangjin lebih jauh, "mendapat kabar ini, segera
kuturun gunung. Sebab harta karun itu besar sekali pengaruhnya. Mendingan kalau terjatuh ke
tangan orang budiman, bila diperoleh manusia berhati busuk, apakah takkan menimbulkan
bencana" Itulah sebabnya tujuanku turun gunung adalah untuk mencari tahu orang yang
mendapat peta itu serta duduk persoalan yang sebetulnya . . . "
Dengan sorot mata setajam sembilu dia awasi sekejap wajah Mao Kau bertiga, kemudian
melanjutkna, "Jika orang mendapatkan peta harta karun itu dari Bu-tong-pai atau dari Hai-thiankoyan, tentu saja aku tak perlu kuatir. Sebaliknya jika orang itu memperoleh peta secara tidak
jelas, terpaksa aku ikut bertanggung jawab."
Berbicara sampai disini, dengan sorot mata yang tajam dia awasi wajah Leng-coa Mao Kau,
Kiong-sin Leng Liong dan Kim-gan-lo-tiau.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Walaupun Bak-it Siangjin tidak berbicara blak-blakan, namun setiap jago sudah paham arti
kata-katanya itu, yakni menuduh Mao Kau memperoleh peta itu secara mencurigakan serta
menyatakan dia tak berhak mengusik harta karun itu.
Meski tindak tanduk Kiong-sin Leng Liong antara lurus dan sesat, bagaimanapun dia
terhitung seorang tokoh dunia persilatan, maka setelah mendengar perkataan paderi agung itu,
rasa tak puas yang semula menghiasi wajahnya kontan lenyap.
Air muka Kim-gan-tiau Siau Ti juga berubah. Ia tak sanggup berkata apa-apa lagi.
Hanya Leng-coa Mao Kau saja tetap tenang, seakan-akan dia sudah mempunyai suatu
rencana yang matang. Senyuman licik tampak menghiasi bibirnya.
Kiong-sin Leng Liong termenung sejenak, setelah menghela napas, katanya, "Aku si
pengemis tua tak tahu di balik urusan ini terdapat banyak seluk-beluknya. Kutahu urusan ini
karena muridku mendadak menerima sepucuk surat kaleng, tapi murid yang menerima peta
rahasia tersebut kini sudah mati di telaga Hongtik sehingga dari mana asalnya peta rahasia itu
tidak kuketahui."
Bak-it Siangjin mengalihkan sorot matanya ke wajah Cing-hong-kiam Cu Pek-ih yang selama
ini membungkam.
"Cu-tayhiap!" tegurnya, "jauh-jauh kau datang kemari, tentunya juga disebabkan persoalan
ini bukan" Aku ingin tanya apakah peta rahasia itu berasal dari tanganmu yang kauserahkan
kepada murid Kay-pang?"
Selama ini Cing-hong-kiam Cu Pek-ih cuma duduk membungkam, kecuali wajahnya agak
berubah sewaktu mendengar pembicaraan Bak-it Siangjin tadi. Keadaannya tak berbeda jauh
dengan 'orang mati' seperti dikatakan Pat-bin-ling-long.
Mendadak jago pedang Bu-tong-pai ini bangkit berdiri, ia mengitari sebuah meja dan menuju
ke sisi Bak-it Siangjin, kemudian membisikkan sesuatu ke telinganya.
Puluhan pasang mata serentak tertuju pada kedua orang itu. Terlihat senyuman yang sukar
dicernakan artinya tersungging di ujung bibir mereka berdua.
Kemudian Cing-hong-kiam Cu Pek-ih bangkit berdiri, ia menjura ke empat penjuru dan tanpa
mengucapkan sepatah katapun lantas menuju ke mulut tangga dan turun ke bawah.
Semua orang menjadi tercengang, begitu juga Mao Bun-ki. Dengan kening berkerut ia
membisiki Ko Bun, "Aneh, apa yang terjadi" Sungguh aku tidak mengerti."
Ko Bun menggeliat sambil menguap, iapun tersenyum seperti apa yang terlihat pada wajah
Bak-it Siangjin dan Cu Pek-ih, kemudian ia membisiki Mao Bun-ki, "Persoalan yang sukar
dimengerti suatu ketika pasti akan diketahui juga, buat apa gelisah?"
"Aku tak tahan . . . "seri Bun-ki sambil mencibir.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Belum habis dia berkata, Bak-it Siangjin telah berbangkit dan berseru, "Omitohud, sesuai
peredaran alam semesta, hukum karma selalu berjalan. Siapa berjasa dan siapa berdosa,
semuanya tercatat. Takdir telah menentukan segala-galanya. Benda yang bukan miliknya,
diperebutkan juga tak ada gunanya. Semoga sicu sekalian bisa memahami ajaran Thian dan
baik-baik menjaga diri."
Selesai mengucapkan kata-kata yang entah ditujukan kepada siapa, pendeta agung itu
mengebas lengan bajunya dan melayang pergi. Terhadap Sam-cai-po-cong hakikatnya tak
ambil peduli lagi.
Semua jago dibikin bingung dan saling pandang tanpa berkata. Persoalan ini ibaratnya
sebuah jalan sempit pegunungan yang makin melebar, siapa tahu mendadak muncul puncak
tinggi mengadang di depan, sehingga meski gelisah juga tak dapat melihat apa yang terdapat di
depan sana. Setelah kepergian kedua orang itu, Kiong-sin Leng Liong menunduk dan termangu sejenak,
mendadak ia mengentak kaki dan menghela napas.
"Kita orang Kai-pang memang ditakdirkan miskin, mungkin kita tak berjodoh dengan harta
karun itu, "katanya kemudian dengan tergelak sambil memberi tanda, "ayo, mari kita pergi.
Sudah kenyang bersantap, apalagi yang perlu ditunggu disini?"
Seorang pengemis jangkung berbangkit sambil melotot ke arah Leng-coa Mao Kau, dia
seperti ingin mengucapkan sesuatu. Tapi melihat ketuanya sudah memberi tanda, tanpa bicara
lagi dia lantas mengikuti rekan-rekannya berlalu dari situ.
Tapi semenjak itulah hubungan Leng-coa Mao Kau dengan pihak Kai-pang menjadi
renggang. Memandangi bayangan punggung para pengemis yang menjauh, Ko Bun manggut-manggut
sambil bergumam, "Memang orang pintar, memang bijaksana!"
"Hei, apa kau bilang?" Bun-ki berpaling dan menegur.
Ko Bun tertawa, dia berpaling ke arah Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui yang duduk di sebelah
sana dan berkata, "Ingin kutanya kepada Saudara Oh, Mao-tayhiap dan Saudara Oh telah
datang kemari, lantas siapa pula yang mencari harta karun di Hongtik-oh sesuai dengan apa
yang tertulis dalam peta?"
Mula-mula Oh Ci-hui melenggong, kemudian katanya sambil tertawa, "Ko-lote, memang
orang pintar, memang orang pintar . . . "
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan dengan suara tertahan, "Kalau kau dapat
menebaknya, tak ada salahnya kuberitahukan kepadamu, orang yang pergi ke Hongtik-oh untuk
mencari harta adalah Ki-jikoku. Kau memang belum pernah berjumpa dengan dia."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tentu saja Bun-ki yang duduk di tengahpun mendengar pembicaraan mereka, serunya, "Ah,
kiranya Ki-jisiok pergi ke Hongtik-oh lebih dulu!"
Sebenarnya waktu itu Kim-gan-tiau Siau Ti sedang termenung setelah kepergian Cing-hongkiam
Cu Pek-ih, Bak-it Siangjin dan Kiong-sin Leng Liong secara mendadak. Maka begitu
mendengar perkataan Mao Bun-ki, dia tersadar dari lamunannya.
Dia berhasil memahami rahasia di balik persoalan ini dan diam-diam dia memaki, "Hari ini
aku si tua betul-betul dipecundangi orang. Tak nyana aku keno dibodohi keparat she Mao itu.
Dengan susah payah kuhimpun segenap kekuatan perairan dan bersiap siaga disini, tak
tahunya orang lain lantas menerobos ke telaga Hongtik-oh untuk mencari harta."
Berpikir sampai disini, dia naik pitam. Mendadak ia menggebrak meja sambil bangkit berdiri
dan memandang sekejap ke sekeliling tempat itu dengan sorot mata tajam.
"Orang she Mao, "bentaknya, "Kukira kau seorang jagoan, tapi terbukti permainanmu kurang
gemilang. Sekalipun kau dapat menipuku, apakah tak malu ditertawakan orang persilatan
sebagai manusia rendah dan tak tahu malu" Hmm, sudah 70 tahun kuhidup di dunia ini, baru
hari ini kutahu dalam dunia persilatan terdapat seorang kotor, seorang munafik dan berjiwa
pencoleng!"
Diantara empat saudara angkat Leng-coa Mao Kau, hanya Thi-soan-cu (si suipoa baja) yang
paling banyak tipu muslihatnya, kelicikannya jauh di atas Mao Kau sendiri.
Sejak Thi-jiu-sian-wan (monyet dewa bertangan baja) Ho Lim berhasil merampas peta
rahasia Sam-cai-po-cong dari murid Kai-pang, benda tersebut segera dikirim kepada Mao Kau
dengan cepat. Sudah barang tentu harta karun yang luar biasa itu segera membangkitkan
kerakusan Mao Kau untuk mendapatkannya.
Tapi iapun sadar, bila kabar ini sampai bocor, suatu badai mengerikan pasti akan terjadi
dalam dunia persilatan. Meski belakangan ini dia berkedudukan tinggi, rasanya juga sulit
memperoleh harta karun itu dengan aman.
Maka si 'suipoa baja' Ki Mo segera menyusun rencana. Mula-mula dia membocorkan rahasia
itu lebih dulu agar perhatian jago persilatan tertuju pada pertemuan yang akan diselenggarakan
Thi-jiu-sian-wan, sedang dia sendiri dengan membawa murid kedua dan ketiga dari Giok-kut-sucia
segera berangkat ke Hongtik-oh diiringi barisan penyelam dari pasukan Thi-ki-sin-pian-tui.
Maksudnya harta karun itu hendak diangkat tanpa sepengetahuan orang lain.
Rencana ini berhasil juga mengelabui orang persilatan. Bukan cuma Bak-it Siangjin dari
Siau-lim-pai dan Kiong-sin Leng Liong saja yang tertipu. Bahkan Hwe-gan-kim-tiau Siau Ti yang
berpengalamanpun kena dikibuli siasat itu.
Tentu saja hal ini disebabkan semua orang tak menyangka dengan kedudukan Leng-coa
Mao Kau ternyata dapat melakukan perbuatan rendah semacam ini.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sekarang Sam-cai-po-cong bagaikan seekor ikan segar yang besar daya pikatnya untuk
memancing kucing rakus guna melakukan perbuatan apapun. Orang persilatan yang menilai
Mao Kau sebagai seorang pendekar sejati tentu saja banyak yang terkecoh.
Sedang Mao Kau sendiri sudah barang tentu diam-diam merasa senang.
Siapa sangka intrik yang tak diketahui oleh orang itu, akhirnya berhasil dibongkar oleh
seorang pelajar.
Setelah pertanyaan Ko Bun tadi, diam-diam Pat-bin-ling-long dapat menangkap apa artinya.
Tentu saja ia merasa terkejut. Tapi demi mengambil hati Ko Bun, iapun memberitahukan
persoalan ini kepadanya.
Mao Bun-ki kurang pengalaman. Ia tak tahu urusan dan mengutarakan persoalan itu tanpa
sengaja, akibatnya urusan jadi runyam.
Leng-coa Mao Kau tahu Siau Lo-tiau adalah seorang berpengalaman, tentu saja dia
Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengerti keadaan yang sebenarnya setelah mendengar perkataan itu. Maka diam-diam iapun
melakukan persiapan untuk menghadapi badai yang akan meledak itu.
Disamping itu, diam-diam iapun merasa lega hati karena jago-jago lihai seperti Bak-it
Siangjin, Cin-hong-kiam Cu Pek-ih dan Kiong-sin Leng Liong sekalian telah pergi semua, meski
kini masih hadir seorang Hwe-gan-kim-tiau, namun ia tak memandang sebelah mata terhadap
orang tua tersebut.
Tapi sayang, pintar selama hidup bodoh sesaat. Bayangkan saja, kawanan jago itu
berdatangan demi peristiwa harta karun, sebelum memperoleh sesuatu keputusan, mana
mungkin orang-orang itu pergi begitu saja"
Sebab itulah begitu Siau Lo-tiau menggebrak meja dan mencaci maki, sekalipun ada
diantaranya belum tahu persoalan itu, akhirnyapun jadi tahu.
Hanya saja mereka adalah jago kawakan Kang-ouw, meski mengincar harta karun namun
mereka tak berani memusuhi Mao-toaya. Maka semua orang pun belagak tuli dan berpeluk
tangan, seakan-akan sedang menonton pertunjukkan sandiwara di bawah panggung saja.
Mao Kau hanya tersenyum dan sengaja bersikap menghina untuk menunjukkan
kedudukannya berbeda dengan yang lain, padahal dia mengandalkan begundal yang banyak
jumlahnya. Tentu saja dengan kekuatannya ia tak perlu kuatir.
Sementara dia masih duduk sambil memandang hina terhadap lawannya, mendadak "blang",
seorang muncul dari belakang.
Orang ini menggunakan jubah panjang berwarna hijau. Pedangnya tersandang di punggung.
Dia tak lain adalah Co-jiu-sin-kiam (jago pedang tangan kiri) Ting Ih.
Sambil melompat ke depan Mao Kau dia membentak, "Orang she Siau, kami bersaudara
menganggap kau sebagai seorang tua bangka, maka selama ini selalu mengalah padamu,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
siapa tahu kau sok belagak dan tak tahu diri. Sekarang jangan menyesal jika kami tak mau
sungkan-sungkan lagi padamu."
Air muka Siau Lo-tiau berubah hebat saking gusarnya, dia mendongakkan kepala dan
tertawa seram. Pek-poh-hui-hoa Lim Ki-cing yang berada di sisinya segera berkata dengan suara dingin,
"Siau-lotaucu, bila kau tahu diri, cepatlah mencawat ekor dan merat dari sini. Bila sampai
menunggu Ting-toako turun tangan, sudah pasti untuk menggelinding pergi saja tak sempat
lagi." Tadi ia kecundang di tangan si rajawali tua she Siau ini, maka kesempatan yang baik ini
segera dimanfaatkan untuk balas mengejek lawannya.
Bagaimanapun sabar Siau Ti, akhirnya meledak juga kemarahannya. Sekujur tubuhnya
gemetar menahan emosi.
Semua orang sama menahan napas, semua tahu suatu bentrokan akan segera berlangsung.
Ko Bun berpaling ke arah Bun-ki sambil tersenyum.
Belum lagi lenyap senyumannya, suara bentakan telah menggelegar, "Hari ini harus kuberi
pelajaran kepada kalian yang tak tahu aturan."
Dalam gusarnya, si rajawali tua she Siau itu tak peduli posisinya yang terjepit lagi. Sambil
membentak segera ia menerjang dan melancarkan serangan.
Jangan kira usianya telah lanjut, ternyata ilmu silatnya sama sekali tidak lemah, begitu
menerjang ke muka, segera ia menghantam Co-jiu-sin-kiam.
Co-jiu-sin-kiam tertawa dingin, ia mengegos ke samping. Siapa tahu, Hwe-gan-kim-tiau yang
termashur di air ini juga sempurna dalam permainan telapak tangan. Serangan tadi menderu
dan hanya serangan tipuan belaka. Ketika sampai setengah jalan, mendadak tangannya ditarik
ke samping dan secara tiba-tiba menebas lambung Ting- Ih.
Buru-buru Co-jiu-sin-kiam Ting Ih menarik perut dan menghindar, siapa tahu bayangan
telapak tangan berkelebat lagi. Jari tangan Siau Ti sebelah kiri menyambar tiba pula dengan
cepat. Baru sekarang Ting Ih kaget. Ia berusaha menangkis dan menghindar, namun sekali salah
langkah, segera dia didahului musuh dan terdesak di bawah angin. Terasa olehnya pukulan
Siau Lo-tiau menabas pula dari depan, belakang, kiri maupun kanan. Sebaliknya ia sendiri
sama sekali tak sempat melakukan serangan balasan.
Suasana dalam ruangan rumah makan menjadi kacau, para jago sama meninggalkan tempat
duduknya dan menyingkir, terutama Ko Bun. Dia menyingkir jauh di tepi jendela sana, seakanakan
kuatir tersambar pukulan dan mengakibatkan terluka.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sebaliknya Bun-ki meraba gagang pedangnya dan berdiri di depannya, matanya melotot,
kalau bisa dia ingin menyuruh Co-jiu-sin-kiam mundur agar dirinya bisa mendemontrasikan
beberapa jurus di depan kekasih ini.
Lim Ki-cing pun tersenyum licik sambil mengerling ke arah Leng-coa Mao Kau. Tampak
olehnya gembong persilatan itu sedang menyeringai. Rupanya nafsu telah menggelora dan
bertekad membunuh si rajawali tua she Siau itu.
Sebaliknya Kim-li Siau Peng berdiri tegak di pinggir arena sambil berjaga-jaga menghadapi
segala kemungkinan, terutama yang menyangkut keselamatan ayahnya.
Dalam pada itu, Co-jiu-sin-kiam telah keteter hebat, kini dia hanya bisa berkelit dan
menangkis saja. Jelas sudah terdesak di bawah angin.
Menyaksikan ini, para jago mulai berbisik-bisik, "Padahal Co-jiu-sin-kiam terhitung jago lihai
yang ternama dalam dunia persilatan, mengapa hari ini dia begitu tak becus" Apakah namanya
yang termashur selama ini hanya nama kosong belaka?"
Ada pula yang berkata begini, "Lebih baik jangan sembarang bicara, kungfu andalan Cu-bosianghui mungkin belum dikeluarkan."
Semua pembicaraan itu sangat didengar oleh Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui. Dia lantas menarik
Ko Bun sambil membisikinya, "Ko-lote, kau sering mengatakan belum pernah melihat
kehebatan jago persilatan. Sebentar dapat kau lihat semua. Tahukah kau diantara tujuh pedang
tiga ruyung, bicara soal keganasan adalah Mao-toako kami, dan kedudukan kedua ditempati
oleh Co-jiu-sin-kiam Ting-toaya."
Ko Bun tersenyum pula. Meski dia menunjukkan sikap seperti takut urusan, namun sorot
matanya memperhatikan jalannya pertarungan antara Ting Ih melawan Siau Lo-tiau.
Tampak kedua orang itu masih bergebrak, dengan sendirinya meja kursi terjungkir balik,
mangkuk piringpun berantakan.
Puluhan gebrak kembali lewat. Tiba-tiba terdengar Siau Lo-tiau tertawa seram. Kedua
telapak tangannya terentangkan, diputar dan dirapatkan kembali. Dia hendak menggunakan Imyangjin untuk menarik pergelangan tangan kanan Co-jiu-sin-kiam.
Tampaknya lengan kanan Ting Ih segera bisa cacat, tanpa terasa semua orang menjerit
kaget. Juga Mao Kau berubah air mukanya.
Namun Cu-bo-siang-hui Ting Ih menjagoi dunia persilatan sekian tahun bukan secara
kebetulan. Meski pergelangan tangan kanan terancam namun ia tidak gugup dalam bahaya.
Sementara Mao Kau sekalian siap memberikan pertolongan, mendadak ia mendengus, sebuah
tendangan kilat segera dilontarkan ke depan.
Ting Ih termashur di wilayah Kwitang dan Kwisai. Tendangan yang digunakan itu merupakan
kungfu aliran selatan, cepat dan tepat. Yang diancam adalah hulu hati, tempat mematikan yang
harus dijaga oleh setiap orang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Kalau Hwe-gan-kim-tiau berhasil dengan serangannya, bila dia puntir pergelangan tangan
orang lebih keras, niscaya tulang pergelangan tangan Co-jiu-sian-wan akan patah.
Siapa tahu pada saat yang kritis itulah pihak lawan melancarkan tendangan kilat ke hulu
hatinya. Dalam keadaan begini, jika ia tidak batalkan ancamannya meski Ting Ih bakal dilukai,
namun ia sendiripun akan celaka.
Terpaksa sambil merentangkan sepasang tangannya ia melompat mundur ke tempat
semula. Sekarang Thi-jiu-sian-wan, Pat-bin-ling-long dan Pek-poh-hui-hoa sekalian baru bisa
menghembuskan napas lega.
Thi-jiu-sian-wan segera berebut maju ke depan, sambil menggulung lengan baju dan
mengencangkan ikat pinggang ia berseru, "Ting-toako, beristirahatlah lebih dulu. Biar siaute
yang mewakili Ting-toako bergebrak beberapa jurus dengan dia."
Hwe-gan-kim-tiau terbahak-bahak, serunya lantang, "Orang she Ho, silakan maju. Sekalipun
kalian hendak maju kerubut akupun tak gentar!"
Air muka Co-jiu-sin-kiam Ting Ih sedingin es. Tanpa mengucapkan sepatah kata dia angkat
tangan kanan. Belasan kancing jubah hijaunya itu seketika terlepas dan pakaian pun terbuka.
Ia lantas mengebaskan tangannya dan jubah panjang itu lantas tertanggal. Pakaian ringkas
bagian dalam berwarna hijau dengan tujuh bilah pedang pendek beronce kuning yang terselip di
pinggangnya. Hal ini membuat jantung para jago berdebar tegang.
Leng-coa Mao Kau pun menyeringai, kepada Bun-ki katanya, "Anak Ki, Ting-toasiokmu
sudah gusar. Bisa kau manfaatkan kesempatan ini untuk menyaksikan kelihaian Cu-bo-sianghui
paman Ting itu. Awas jangan sampai kena sasaran pedang!"
Bun-ki mencibir sambil mengiakan, dalam hati merasa tidak puas. Selama beberapa hari ini
beruntun dia pernah merobohkan beberapa jagoan. Jangankan Ting Ih, bahkan ayahnya
sendiripun tak dipandang sebelah mata olehnya.
Ting Ih memang lihai, entah bagaimana tentang kungfu yang sesungguhnya, tapi cukup
dilihat dari gerakan membuang jubahnya yang begitu cekatan terbukti dia bukan jago
sembarangan. "Orang she Siau," terdengar ia berkata sambil tertawa dingin. "Keluarkan senjatamu dan
bersiaplah menghadapi kematian!"
Air muka Siau Ti maupun Siau Peng berubah menjadi amat tak sedap dipandang. Si Ikan
Emas Siau Peng segera melompat ke depan ayahnya sambil berbisik, "Ayah, biar ananda yang
menghadapi dia!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ia kuatir ayahnya tak tahan sehingga nama baiknya selama puluhan tahun pudar, maka dia
mengutarakan niatnya itu.
"Hei anak muda, mengapa terburu nafsu?" jengek Pek-poh-hui-hoa tiba-tiba, "biarpun ingin
cepat mampus juga tak perlu tergesa-gesa, cuma . . . "
Setelah tertawa dingin, lanjutnya, "Tua bangka she Siau, bila kau merasa tenagamu telah
loyo, memang ada baiknya jika beristirahat lebih dulu."
Hwe-gan-kim-tiau adalah seorang jago kenamaan dunia persilatan, sekalipun ada golok
dipalangkan di atas tengkuknyapun dia tak akan mengerutkan dahi. Mana dia tahan
menghadapi sindiran tersebut"
Tanpa bicara dia segera melolos sepasang senjatanya dari balik baju, itulah Hun-sui-go-bi-ci,
semacam cundrik yang panjangnya satu kaki lebih.
Begitu Siau Lo-tiau keluarkan senjatanya, kembali para jago berseru kaget. Mereka tahu
kepandaian jagoan perairan ini sangat hebat.
Maklumlah kawanan jago itu cukup berpengalaman dan memiliki ketajaman mata yang luar
biasa. Begitu melihat senjata yang digunakan, mereka segera tahu bila tiada kepandaian yang
hebat tentu tak akan berani mempergunakan senjata semacam itu.
Tapi Co-jiu-sin-kiam tetap tertawa dingin dan acuh tak acuh. Sekali pergelangan tangan
berputar, cahaya hijau segera memancar, tahu-tahu pedang yang tersandang di punggung telah
dilolosnya. Sebagai seorang kidal ia memegang pedangnya dengan tangan kiri.
Kemudian dia angkat pedang dari bawah ke atas dan diayunkan beberapa kali, lalu
bentaknya, "Lihat serangan!"
Sinar pedang berkelebat, mendadak ia menusuk hulu hati Siau Ti.
"Trang!" bayangan orang segera berpisah.
Rupanya ketika Ting Ih melepaskan tusukan tadi, Siau Lo-tiau segera membendung dengan
sepasang senjata cundrik. Dia gunakan senjata pendek yang enteng itu untuk menyambut
serangan lawan dengan keras lawan keras.
Pedang yang dipakai Co-jiu-sin-kiam diperoleh dari gurunya dan terbuat dari baja asli, tentu
saja bentrokan mana tidak mengakibatkan kerusakan apa-apa. Sedangkan Siau Lo-tiau
mengangkat cundrik kanan sebatas alis mata, sementara cundrik di tangan kiri siap di depan
dada. Ia berdiri tak bergerak.
Bagaikan dua ekor ayam jago yang siap bertarung, kedua pihak saling melotot.
Mendadak Co-jiu-sin-kiam Ting Ih menggeser ke samping. Cahaya pedang di tangan kiri
berputar membentuk sekuntum bunga cahaya, kemudian pedangnya berputar pula menusuk ke
depan. Sret, sret ... beruntun ia lancarkan dua kali serangan kilat.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Hwe-gan-kim-tiau membentak gusar. Dengan cundrik kanan ia tangkis pedang lawan,
cundrik kiri menyerang jalan darah Seng-hiang-hiat di muka lawan dengan jurus Cing-liong-jutin
(naga hijau muncul dari mega).
Sebagai jago berpengalaman puluhan tahun, Co-jiu-sin-kiam tidak gampang terkecoh.
Dengan gerakan lincah dia berputar. Pedang balas menyerang dengan jurus To-coan-im-yang
(memutar balikkan im dan yang). Pedangnya merendah lalu menyambar ke atas, dengan cepat
menyambar perut musuh.
Ilmu pedang tangan kiri selalu bergerak terbalik dan jarang dijumpai dalam dunia persilatan.
Si Ikan Emas Siau Peng terbelalak lebar, telapak tangan basah oleh keringat dingin. Dia sangat
menguatirkan keselamatan ayahnya.
Siau Ti pantang menyerah. Dengan taktik menangkis, menjebat dan menusuk, kedua cundrik
menyambar kian kemari secara gencar.
Kakek yang sudah lanjut usia ini ternyata berani menyerempet bahaya dengan
mengandalkan sepasang senjatanya yang pendek. Perawakan tubuhnya yang tinggi besar
berputar kian kemari mengitari ruangan rumah makan yang sempit ini. Jenggot yang putih
berkibar, namun langkahnya sama sekali tidak bersuara.
Cahaya tajam menyilaukan mata memenuhi ruangan, namun suasana justru hening.
Mendadak Hwe-gan-kim-tiau melejit dengan gaya Koai-bong-huan-siu (ular aneh membalik
badan), lalu sepasang cundriknya disertai desing angin tajam menusuk dari kiri dan kanan.
Co-jiu-sin-kiam tertawa dingin, pedangnya berputar membabat pergelangan tangan kiri Siau
Lo-tiau, lalu dengan jurus Siu-sa-lan-huan (kebaskan baju berulang kali), menyusul pedang
menusuk pula ke muka, satu jurus dua gerakan.
Siau Lo-tiau mengegos ke samping, cundrik di tangan kiri membentur senjata lawan dengan
cepat. "Trang!" sekali lagi terjadi benturan nyaring.
Co-jiu-sin-kiam segera menggeser dengan gaya Hi-gwat-liong-bun (ikan melompati pintu
naga), cahaya pedang berkelebat lewat secepat kilat dan menusuk jalan darah Lip-cu-hiat di sisi
telinga Siau Ti.
Dalam dua kali bentrokan kekerasan yang terjadi, Hwe-gan-kim-tiau sudah mengetahui
tenaga lawan tidak melebihi dirinya. Sebagai jago yang banyak pengalaman tempur, begitu
menemukan titik kelemahan lawan, tentu saja ia tidak melepaskannya dengan begitu saja.
Sambil mundur selangkah, dengan jurus Heng-ka-kim-liang (tiang emas malang melintang),
kedua cundrik sekaligus menusuk ke depan, maksudnya hendak mengunci gerak pedang Ting
Ih. Siapa tahu, ketika serangan pedang Co-jiu-sin-kiam mencapai setengah jalan, tiba-tiba
serangan ditarik kembali, badan bergerak mengikuti gerak pedang dan mundur.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dengan cepat tangan kanan meraba pinggang, menyusul ayunan tangannya
menghamburkan cahaya hijau.
Buru-buru Hwe-gan-kim-tiau menghentikan geraknya, sementara itu cahaya tajam berkilau
secepat kilat menyerang tiba. Cepat kedua cundriknya menangkis.
"Sret, sret!" mendadak terdengar desing tajam menyambar tiba menyergap kedua matanya.
Dalam kejutnya buru-buru dia menjatuhkan diri ke belakang, jenggotnya berkibar terembus
angin, badannya yang tinggi besarpun rebah ke belakang dengan gaya jembatan gantung.
Kawanan jago sama terbelalak. Tiba-tiba ada yang berteriak tertahan, "Cu-bo-sing-hui ! . . ."
Senjata andalan tokoh selatan ini betul-betul luar biasa, dimana cahaya tajam menyambar,
ketiga bilah pedang kecil juga disambitkan.
Waktu Siau Lo-tiau menjatuhkan diri ke belakang itulah, segera Co-jiu-sin-kiam menubruk
maju. Pedang di tangan kiri langsung membabat kaki Siau Lo-tiau yang memantek di tanah
seperti batu karang itu, sementara tangan kanan tetap siap menarik pedang kecil yang terselip
di pinggangnya.
Terkesiap para jgao menyaksikan kejadian itu. Mereka tahu walaupun Siau Lo-tiau dapat
meloloskan diri dari serangan Bo-kiam (pedang induk) yang berada di tangan kirinya, jangan
harap dapat lolos dari serangan "Cu-kiam" (pedang anak) yang siap dihamburkan lagi dengan
tangan kanan. Cu-bo-siang-hui (pedang terbang induk dan anak) memang merupakan kepandaian andalan
Co-jiu-sin-kiam Ting Ih. Tampaknya Hwe-gan-kim-tiau Siau Ti segera akan tewas di ujung
senjata Cu-bo-siang-hui nya.
Pada detik krisis yang menentukan mati hidup seorang ini, mimik wajah yang diperlihatkan
setiap orang berbeda satu sama lain. Ini menunjukkan apa yang dibayangkan masing-masing
orangpun berbeda-beda.
Leng-coa Mao Kau menyeringai, Pek-poh-hui-hoa berseri, Thi-jiu-sian-wan berkilat matanya,
Pat-bin-ling-long melongo lebar, sedang Mao Bun-ki berpikir dalam hati, "Jurus serangan ini
tidak seberapa hebat, coba menghadapi diriku, pasti dia akan mati kutu!"
Bagaimana dengan Ko Bun" Ia tetap tersenyum, hanya sekali ini senyum yang sukar
dilukiskan itu seakan-akan lantaran merasa kasihan, maka senyuman itu menjadi lebih
berperasaan. Kedua mata si Ikan Emas Siau Peng merah membara, sambil membentak ia menerjang
maju. Terasa angin tajam mendesir di depan, ternyata tiga bilah pedang kecil tadi menyambar
lewat di depannya dengan membawa sisa kekuatan yang cukup keras.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Cret. Cret, cret!" ketiga bilah pedang kecil itu menancap di atas tiang besar ruangan makan
itu. Hanya gagang pedang spanjang tiga inci dengan ronce kuning yang bergetar tiada hentinya.
Untuk diceritakan agak lambat, namun kejadian berlangsung terlalu cepat. Baru saja Hwegankim-tiau berpaling, cahaya hijau telah menyambar pula ke tubuhnya.
Baru saja dia menghela napas dengan perasaan sedih, siapa tahu cahaya hijau yang
sebenarnya sudah hampir membacok tubuhnya itu tahu-tahu menyambar balik kesana.
Baru saja ia tenangkan diri, terdengar 'cret' pula, sebatang senjata rahasia telah menancap di
atas dinding ruangan.
Peristiwa yang terjadi mendadak ini kontan saja membuat suasana dalam ruangan menjadi
gempar pula. Rupanya sewaktu Co-jiu-sin-kiam mengayunkan pedangnya sambil tertawa dingin tadi,
mendadak dari sisi tubuhnya menyambar datang desing angin tajam. Dia segera sadar ada
senjata rahasia sedang mengancam iganya.
Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebagai seorang tokoh silat lihai, meski berada dalam keadaan begini, kewaspadaannya
tetap tinggi. Setiap saat ia selalu berjaga terhadap datangnya ancaman.
Tentu saja menyelamatkan diri lebih utama daripada melukai musuh, apalagi dari desing
angin serangan tersebut dia menyadari betapa dahsyatnya. Bila dia melanjutkan bacokannya
terhadap Siau Ti, niscaya iganya akan berlubang lebih dulu.
Terpaksa ia menarik kembali serangannya sambil membalikkan badan dan berkelit ke
samping. Tampak sekilas cahaya emas menyambar lewat di depan tubuhnya dengan cepat luar biasa.
Sebagai seorang ahli senjata rahasia tak urung hatinya terkesiap juga oleh kecepatan serangan
tersebut. Dalam kejutnya dia celingukan ke sekeliling arena dengan sorot mata tajam.
Terlihat olehnya Leng-coa Mao Kau sekalian memperlihatkan wajah keheranan, kawanan
jago sama berseru kaget.
Ia coba menakar arah datangnya cahaya emas, jelas datang dari luar jendela. Sementara itu
Leng-coa Mao Kau dengan cepat telah membalik tubuh dan melongok ke luar jendela.
Angin berembus sepoi di luar, namun tak ada bayangan apapun. Keadaan di bawah
lotengpun sunyi senyap tiada suara, kawanan lelaki berbaju emas yang semula berjaga disitu
kini tertidur di bawah emper rumah karena mengantuk.
Fajar telah menyingsing dan menyinari sederetan bangunan rumah di seberang jalan, tapi
disitupun tak tampak ada orang kecuali cahaya matahari pagi yang keemasan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sekalipun banyak akalnya, tak urung berubah juga air muka gembong persilatan ini,
bentaknya, "Losi, cepat keluar dan periksa dengan seksama!"
Thi-jiu-sian-wan segera mengiakan dan menerobos keluar jendela.
Sebaliknya Leng-coa Mao Kau melompat kesana dan mencabut senjata rahasia yang
menancap di dinding itu. Ternyata benda itu adalah sebilah pedang kecil berwarna emas.
Suasana dalam ruangan kembali gempar, perhatian semua orang tadi hanya tertuju pada
pedang Ting Ih. Siapapun tidak memperhatikan dari mana datangnya senjata rahasia ini.
Bahkan Leng-coa Mao Kau sendiripun menganggap senjata rahasia ini berasal dari luar
jendela, tapi ketika dia berpaling, di luar jendela sudah tiada bayangan orang lagi.
Dengan kening berkerut Leng-coa Mao Kau mempermainkan pedang kecil berwarna emas
yang belakangan ini banyak menimbulkan kesulitan baginya ini.
Dalam pada itu, Co-jiu-sin-kiam Ting Ih juga telah meninggalkan Hwe-gan-kim-tiau dan
mendekati Mao Kau. Setelah memperhatikan pedang kecil berwarna emas itu sekejap, serunya,
"Lagi-lagi dia?"
Mao Kau mengangguk. Sorot matanya yang serupa mata elang memperhatikan orang yang
berdiri di tepi jendela.
Mula-mula yang dilihatnya adalah Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui. Waktu itu dia berdiri disana
sambil sebentar melongok keluar jendela, sebentar lagi memandang pedang emas.
Disamping Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui adalah putri Mao Kau sendiri. Iapun sedang melongok
keluar jendela, sedang di samping putrinya adalah kongcu kaya yang royal itu.
Lebih kesana adalah tempat dimana ia berdiri tadi. Pelbagai ingatan segera berputar dalam
benak tokoh Lok-lim ini, pikirnya, "Pedang emas ini meluncur masuk lewat sebelah kiriku. Jika
bukan meluncur masuk dari luar jendela berarti dilepaskan orang yang berada di sebelah kiri . . .
." Sorot matanya kembali mengawasi orang-orang itu dengan seksama. Alisnya berkernyit,
kemudian pikirnya lagi, "Oh-losam dan anak Ki tentu saja tak akan berbuat demikian. Satusatunya
kemungkinan adalah bocah she Ko itu. Hmm, dia bilang tak mengerti ilmu silat, tapi aku
tidak percaya, tapi . . . jika dibilang dia Kim-kiam-hiap, hal inipun mustahil . . . . Jika demikian,
berarti pedang emas itu berasal dari luar jendela. Tapi inipun tak mungkin?"
Pikir punya pikir, ia merasa di balik persoalan ini pasti ada hal-hal yang tidak beres.
Akhirnya dengan kening berkerut, jago Lok-lim ini segera mendekati Ko Bun dan menepuk
tubuhnya. Ia sengaja hendak mencoba kemampuan anak muda itu, maka tepukan mana secara diamdiam
disertai tenaga yang cukup kuat.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Kebetulan Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui sedang berpaling, melihat apa yang terjadi ia
terperanjat, teriaknya, "Toako, apa yang kaulakukan?"
Leng-coa Mao Kau berpikir cepat, sambil tertawa ia tarik kembali tenaganya. Ia tepuk
perlahan bahu Ko Bun, pikirnya, "Tampaknya Ko Bun dan Oh-samte sudah berkenalan lama.
Rasanya tak mungkin dia adalah orang kucurigai?"
Kebetulan Ko Bun juga berpaling, kedua orang beradu pandang.
Leng-coa Mao Kau bertanya dengan tertawa, "Ko-lote, barusan kau berdiri disini, apakah kau
rasakan sesuatu yang tak beres dari belakangmu?"
Ko Bun tersenyum dan menggeleng.
Bun-ki lantas menimbrung, "Ayah, kau ini terlalu. Masa kau tanyakan soal ini kepadanya. Dia
kan seorang kutu buku, sekalipun ada orang hendak membacoknya dari belakangpun tak akan
diketahuinya."
Mao Kau tersenyum, memperhatikan lagi wajah Ko Bun beberapa saat, dia berpaling ke arah
lain. Waktu itu Siau Lo-tiau berdiri di sisi anaknya sambil berbicara dengan suara lirih.
Mendadak terdengar angin berembus di luar jendela, cepat Mao Kau berpaling, ternyata
yang datang adalah Thi-jiu-sian-wan Ho Lim.
Sambil menggelengkan kepala Ho Lim berkata, "Tak ada bayangan manusia yang nampak di
luar. Sudah kutanyakan hal ini kepada penjaga di luar, tak seorangpun melihat apa-apa. Kukira
kejadian ini agak aneh, memangnya Kim-kiam-hiap bisa menghilang?"
Leng-coa Mao Kau mendengus, "Hmm, tampaknya anak buahmu makin lama makin tak
becus. Kalau tak ada urusan masih mendingan. Begitu terjadi peristiwa, segera terasa orangorang
yang kita pelihara selama ini sesungguhnya cuma sekumpulan manusia tukang gegares
belaka. Sama sekali tak berguna."
Jelas maksudnya, Kim-kiam-hiap bukannya bisa terbang melainkan orang-orang di luar
kelewat tak becus sehingga tidak melihat kehadirannya.
Merah padam wajah Thi-jiu-sian-wan, sahutnya kemudian dengan cepat, "Perkataan Toako
memang benar. Orang-orang itu sudah biasa malas, selanjutnya siaute pasti akan mendidik
mereka lebih berdisiplin."
Sekali lagi Leng-coa Mao Kau mendengus, kemudian membalik badan dan perlahan
menghampiri Siau Peng.
Co-jiu-sin-kiam segera mengiring di sisinya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Thi-jiu-sian-wan lantas memberi tanda kepada anak buahnya, kemudian mengikuti pula di
belakang Mao Kau berdua.
Bergidik hati para jago menyaksikan itu, mereka menduga keadaan Siau Ti berdua amat
bahaya, lebih banyak celaka daripada selamat.
Hwe-gan-kim-tiau berdua bukan orang bodoh. Sudah barang tentu mereka menyadari posisi
mereka yang terjepit waktu itu. Tapi dengan kedudukan mereka dalam dunia persilatan,
mustahil melarikan diri begitu saja.
Mendadak Hwe-gan-kim-tiau tertawa terbahak-bahak, lalu bentaknya, "Orang she Mao, ada
Pendekar Cacad 10 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Kisah Pedang Bersatu Padu 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama