Ceritasilat Novel Online

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 1

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 1


"Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San
( THIAN SAN CIT KIAM )
Karya : Liang Ie Shen
Saduran : Gan KL
NGO-TAI-SAN adalah sebuah gunung yang tersohor di
propinsi Soa-say, bukan karena keindahan alamnya yang
permai, tetapi gunung ini lebih dikenal sebagai 'tanah suci'
bagi pemeluk Buddha pada zaman itu. Kelenteng Jing-liang-si
yang terdapat di atas gunung konon menurut cerita didirikan
pada masa dinasti Han. Selama ribuan tahun kelenteng ini
dianggap sebagai tempat keramat dan selalu dikunjungi oleh
para pemuja Buddha.
Sampai pada waktu Kaisar Khong-hi dari dinasti Boan-jing
naik takhta, maharaja ini sendiri sudah beberapa kali
berkunjung ke Ngo-tai-san ini, entah ada sesuatu rahasia apa
di balik kunjungannya itu, yang nyata berkat kunjungannya itu
tidak sedikit kerusakan dan patung-patung Buddha dalam
kelenteng Jing-liang-si itu telah diperbaharui. Dan karena itu
pula, penyebaran agama Buddha di masa itu menjadi makin
luas sehingga gunung itu, terutama puncak Leng-ci-hong yang
indah selalu menjadi tempat wisata.
Pada tahun ketiga belas Kaisar Khong-hi naik takhta,
kebetulan tahun itu dilakukan upacara peresmian patung
Buddha Bu-cu Po-sat di kelenteng Jing-liang-si. Menurut
perayaan tradisional, upacara itu dilakukan pada tanggal 29
bulan 3. Akan tetapi baru menginjak bulan pertama tahun
baru, para pengunjung sudah berduyun-duyun datang dari
berbagai penjuru.
Di atas gunung itu sendiri, ada lima buah pagoda perunggu
yang berdiri dengan megahnya, pada tiap tingkat pagoda
sudah dipasang lampu-lampu yang beraneka warna dan
menyala terus menerus siang malam sejak mulai hari Sincia
atau tahun baru Imlek. Karena itu, pemandangan pegunungan
yang sudah indah itu bertambah lebih indah dan semarak.
Ketika tiba hari perayaan itu, maka arus manusia semakin
membanjir hingga ramainya susah dilukiskan. Sejak pagi jalan
yang menuju ke atas gunung itu penuh sesak dengan
manusia, baik pemuja agama Buddha maupun pengunjung
biasa yang melulu datang untuk menonton keramaian saja.
Di antara pengunjung yang berjubel itu ada seorang tua
berjenggot panjang bersilang tiga, mukanya merah bercahaya
dan berdandan seorang cendekiawan. Orang yang berjalan di
sampingnya adalah seorang pemuda cakap bermuka putih,
hanya suara pemuda ini lebih mirip kaum wanita.
Orang tua itu bernama Pho Jing-cu, tidak saja terkenal
karena ilmu pertabibannya yang tinggi tiada bandingannya,
malahan ilmu silatnya, terutama ilmu pedangnya yang disebut
'Bu-kek-kiam-hoat' sudah berada di tingkat yang tiada
taranya. Selain itu, ia pun tersohor karena kemahirannya
dalam seni lukis dan kesusastraan, ia terhitung salah seorang
kosen yang tersohor pa-da masa peralihan antara dinasti Beng
dan dinasti Jing.
Sedang pemuda ganteng itu sebenarnya adalah seorang
gadis jelita yang sedang menyamar sebagai lelaki. Ia bernama
Boh Wan-lian. Ayahnya bernama Boh Pi-kiang, juga seorang
seniman terkenal pada permulaan zaman dinasti Jing, begitu
dikagumi sehingga seorang seniwati pada zaman itu juga,
yaitu Tang Siao-wan, jatuh hati padanya.
Tang Siao-wan juga tergolong seniwati yang pandai, baik
ilmu sastra maupun seni sulam dan lain-lain. Rupanya di
antara jiwa kedua muda-mudi ini terdapat persamaan yang
begitu cocok, maka mereka telah saling jatuh cinta dan
mengikat janji sehidup semati.
Akan tetapi sayang, bulan tidak selalu bundar, cinta pun
tidak selamanya kekal. Karena nama Tang Siao-wan terlalu
terkenal, akhirnya oleh seorang pembesar yang bernama Ang
Seng-toh, Tang Siao-wan telah 'diambil' dan dipaksa dijadikan
barang upeti untuk Kaisar Sun Ti, maharaja pertama dinasti
Jing. Dan karena Tang Siao-wan sangat disayangi maharaja
itu, lalu ia dianugerahi gelar 'Kui-hui' atau selir agung
kesayangan Kaisar.
Tentu saja Boh Pi-kiang yang kehilangan Tang Siao-wan
menjadi merana, ia merasa hidupnya menjadi tak berguna
lagi, maka akhirnya ia meninggal dalam keadaan yang sangat
mengenaskan. Pho Jing-cu adalah sahabat Boh Pi-kiang, waktu mendengar
sahabatnya ini meninggal, dari tempat jauh ia menyempatkan
datang untuk melayat.
Tatkala itu Boh Wan-lian baru berumur tiga tahun, demi
melihat rumah tangga sahabatnya berantakan dan bocah itu
sebatang kara, ia merasa kasihan dan akhirnya Jing-cu
membawanya pergi. Jadi sejak kecil Wan-lian sudah ikut sang
paman ini dan mendapatkan pelajaran ilmu silat maupun ilmu
surat yang cukup tinggi.
Pada hari itu, bersama para pengunjung lain, mereka pesiar
ke Ngo-tai-san. Dengan gembira Pho Jing-cu memandang ke
kanan dan melihat ke kiri, sebaliknya Boh Wan-lian bermuka
muram seperti ada sesuatu perasaan sedih yang
disembunyikan. Tengah Pho Jing-cu terpesona oleh keramaian di
pegunungan itu, tiba-tiba ia berseru heran pada si gadis,
"Lian-ji, coba lihatlah kedua orang itu!"
Waktu Wan-lian memandang ke arah yang ditunjuk,
seketika ia menjadi kaget.
Ternyata kedua orang yang dimaksudkan itu, yang seorang
mirip setan gantung, badannya tinggi kurus bagai tiang
bambu, mukanya pucat-pasi seperti mayat, sehingga
menakutkan orang. Seorang lagi sebaliknya berperawakan
pendek buntek, kepalanya botak sebesar gantang.
Sebenarnya, Boh Wan-lian sedang masgul, tetapi demi
melihat wajah kedua orang yang aneh ini, mula-mula ia
terkejut, tapi kemudian ia tertawa geli pula oleh orang pendek
buntek tadi. Rupanya suara tawanya dapat didengar oleh kedua orang
itu, dan tiba-tiba mereka berpaling dengan mata melotot
seperti lagi mencari siapa orang yang tertawa. Karena itu,
lekas Pho Jing-cu menarik Wan-Iian dan menerobos pergi
mencampurkan diri dengan orang banyak.
"Kedua orang ini adalah tokoh-tokoh terkenal di kalangan
Kangouw," kata Pho Jing-cu kemudian, "Yang tinggi itu
bernama Siang Ing dan berjuluk Song-bun-sin (malaikat pintu
gerbang maut) dan yang pendek bernama Thia Thong,
berjuluk Thi-tah (pagoda baja). Kita masih ada tugas penting,
maka sebaiknya jangan bentrok dengan kedua manusia aneh
ini." Belum begitu jauh mereka melanjutkan perjalanan,
sekonyong-konyong Boh Wan-lian melihat sesuatu. "Lihatlah
Hwe-sio itu, Pepek!" katanya dengan penuh keheranan pada
sang paman. Ketika Jing-cu memandang ke tempat yang ditunjuk, maka
tertampak olehnya seorang Hwesio yang bermuka lebar,
berkuping besar, sedang berdiri tegak di antara orang banyak
yang berjubel itu, walaupun didesak dan didorong orang di
sekitarnya, namun sedikitpun orang lain tak bisa menyenggol
tubuhnya. Sebaliknya ketika ia melangkah, orang-orang di
sekitarnya lantas menyingkir dengan sendirinya untuk
memberi jalan padanya.
"Eh, kenapa Hwesio liar inipun datang ke sini?" kata Pho
Jing-cu heran sesudah mengenali padri itu. "Hwesio ini
selamanya tak pernah membaca kitab suci maupun
sembahyang, ia pun tidak pernah pantang makanan seperti
Hwesio lainnya, sebaliknya paling suka ikut campur urusan
orang. Orang Kangouw memanggilnya Kuai-tau-to Thong-bing
Hwesio." Sementara itu, dari tikungan jalan sebelah timur telah
datang pula serombongan orang. Beberapa lelaki di antaranya
menuntun kera, sedang di punggung mereka menggendong
golok dan tombak, ada tambur dan gembreng, agaknya
seperti pemain komidi. Yang mengepalai adalah seorang
wanita, walaupun kain bajunya agak kasar, akan tetapi
langkahnya kuat dan sikapnya agung.
Diam-diam Pho Jing-cu berkata pada Boh Wan-lian,
"Wanita ini bukan pemain komidi sembarangan, melihat sinar
matanya, sedikitnya sudah latihan dua-tiga puluh tahun."
Mereka berdua berjalan sambil bercakap, tidak terasa
sudah melewati beberapa rombongan orang lagi. Sementara
itu Hwesio aneh tadi yang berjalan di depan ternyata juga
sedang memandang ke sana kemari seperti lagi mencari
sesuatu. Pho Jing-cu tidak ingin bertemu muka dengan Hwesio itu,
segera ia menarik Boh Wan-lian jalan ke arah lain, tiba-tiba
dilihatnya seorang pemuda yang rupanya dapat melihat juga
kelakuan si Hwesio yang aneh itu, pemuda ini seperti kurang
percaya, maka dengan sengaja ia menubruk ke depan.
Melihat itu diam-diam Pho Jing-cu berkata, "Wah, bisa
celaka dia!" Dan betul saja, hanya terlihat Hwesio itu sedikit
mengangkat pundaknya, kontan pemuda itu terhuyung tak
dapat menahan diri lagi dan beruntun menabrak beberapa
orang terus menubruk pula ke arah Boh Wan-lian.
Pemuda itu agaknya menjadi gugup karena benturan itu,
tanpa pikir panjang lagi tangannya lantas menjambret Boh
Wan-lian dengan maksud untuk menahan dirinya, tidak
terduga jambretan itu justru menuju ke dada Boh Wan-lian,
keruan saja muka Boh Wan-lian menjadi merah, segera ia
mengulur tangan menangkis. Waktu kedua tangan saling
beradu, segera Wan-lian merasa kekuatan pemuda ini sangat
besar. Sebenarnya ia hendak menggunakan Kim-na-jiu-hoat
atau ilmu mencekal dari Bu-kek-cio untuk merobohkan orang,
siapa tahu tangannya malah terpegang oleh balikan tangan
pemuda tadi, ia menjadi malu sekali, segera ia sengkelit
dengan keras tangan orang dan dengan menggunakan tenaga
dalamnya ia memaksa pemuda itu pergi.
Dengan tenaga jambretannya tadi, pemuda itu dapat
menahan dirinya, walaupun ia terdesak mundur oleh Boh
Wan-lian tetapi sudah tidak tergopoh-gopoh sempoyongan
lagi. Hanya tadi waktu menjambret tangan Boh Wan-lian, ia
merasakan kulit badan orang licin empuk seperti seorang
wanita, ia menjadi terkejut dan sesudah dapat menahan
tubuhnya, lekas ia menengok ke belakang untuk meminta
maaf, dan ketika ia melihat Boh Wan-lian adalah seorang
pemuda, barulah hatinya merasa lega.
Sementara itu Boh Wan-lian sudah jelas juga melihat
pemuda tadi yang bermuka putih bersih, di antara sifat
halusnya mengandung semangat yang gagah, tidak, lerasa
kembali mukanya berubah merah pula, dan waktu pemuda itu
menyatakan penyesalannya, terpaksa ia pun membalas
hormatnya juga.
Dalam pada itu Hwesio tadi telah menoleh ke belakang dan
tiba-tiba tertawa terbahak pada pemuda itu.
"Kubentur kau dan ternyata tidak roboh, hitung-hitung kau
ada sedikit kepandaian, sampai bertemu di belakang hari,"
demikian katanya.
Pada saat Hwesio itu menoleh ke belakang tadi, Pho Jingcu
memalingkan muka ke jurusan lain, maka tidak ketahuan olehnya.
Sesudah kejadian itu, Jing-cu dan Boh Wan-lian berjalan
pula sambil bercakap-cakap. Tidak lama kemudian mereka
sudah sampai di atas gunung. Mereka melihat ada satu regu
serdadu Boan yang berbaris di kanan-kiri, kelenteng itu
sebaliknya kosong sepi tanpa seorang pun.
Ketika Boh Wan-lian merasa heran dan ganjil, tiba-tiba
terdengar percakapan pengunjung di sampingnya. Kata
seorang tua, "Agaknya sekali ini Hongsiang (Kaisar) tidak bisa
datang sendiri, lihat tak ada kain beludru yang menggelari
pelataran di luar sana, tiada pula barisan kehormatan, sampai
pun penjaga di depan pintu kelenteng juga hanya beberapa
puluh orang saja."
Seorang lagi yang seperti hartawan kampungan menjengek
dan berkata, "Hal ini kau harus tanya kami baru bisa
tahu, Hongsiang dulu pernah beberapa kali datang
sembahyang, dan tiap kali kami yang membuat penyambutan.
Kali ini Ok-jin-ong To Tok yang datang mewakili Hongsiang.
Ok-jin-ong memang tidak suka dengan penyambutan yang
berlebihan, waktu ia berkeliling, tempo-tempo hanya
membawa beberapa orang pengawal saja!"
Menyusul seorang berdandan saudagar berdialek Ciat-kang
atau Kang-souw tiba-tiba bertanya, "Ok-jin-ong yang kau
sebut tadi, apakah bukan belasan tahun yang lalu pernah
menjabat Liang-kang Te-tok dan bernama To Tok itu" Aku
masih ingat waktu ia menikah di Hang-ciu, dimana perayaan
dibikin besar-besaran. Hanya saja, pada malam sebelum hari
pernikahan, bekas pengikut Loh-ong dari dinasti yang lain
telah menyerbu penjara dan membikin geger seluruh kota,
hari berikutnya waktu upacara pernikahan, sampai tiada orang
yang berani pergi menonton."
"Laukoh, obrolanmu telah melantur, kau bilang tiada yang
berani pergi menonton, tetapi bagaimana kau bisa mengetahui
upacara pernikahannya ramai sekali?" kata hartawan
kampungan tadi dengan tertawa. "Eh, tentang perampokan
penjara pada malam sebelum hari pernikahannya itu
bagaimana jadinya" Coba ceritakanlah!"
Tadinya saudagar itu menjadi merah mukanya karena
debatan orang, tetapi kemudian setelah mengetahui hartawan
kampungan itu ternyata begitu tertarik oleh cerita tentang
penyerbuan penjara, lantas saja ia mengobrol lagi dengan
berseri-seri. Melihat mereka mengobrol urusan yang tiada sangkutpautnya,
Boh Wan-lian tidak menaruh perhatian lagi.
Sementara itu terdengar pula percakapan antara dua orang
Siucai (pelajar) di samping sana, kata seorang di antaranya,
"Tidak diketahui mengapa Kaisar yang sekarang seperti begitu
tertarik pada Ngo-tai-san, tidak lama naik takhta, beruntun
sudah datang beberapa kali. Kali ini adalah hari pembukaan
arca Buddha yang baru, sebaliknya malahan tidak datang. Eh,
katanya penyair besar Go Bwe-joan menciptakan sebuah syair
yang berhubungan dengan kedatangan Hongsiang
sembahyang ke Ngo-tai-san. tahukah kau?"
"Aku datang dari kota-raja, bagaimana bisa tidak
mengetahui," sahut kawannya. "Di kota-raja syair ini tersebar
luas dimana-mana, cuma tiada orang yang paham maksud isi


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

syair yang aneh itu, tetapi Go Bwe-joan adalah sastrawan
kesayangan Kaisar yang dahulu, syair ini sedikitnya
mengandung maksud tertentu."
Mendengar percakapan mereka, hati Boh Wan-lian
tergerak, tanpa terasa ia memandang mereka sekejap, karena
itu kedua Siucai itupun tersenyum dan balas memandang.
"Mengapa gerbang kelenteng sampai kini masih terus
tertutup rapat, bahkan tanah lapang di depan kosong
melompong tiada satu orang pun?" tanya Wan-lian
menimbrung. "Engkoh cilik ini mungkin baru pertama kali ini datang
mengunjungi keramaian ini dan tak mengetahui
peraturannya," kata seorang tua lain menyela dari samping.
"Pintu gerbang itu harus menunggu dupa pertama yang
disulut oleh Ok-jin-ong, kemudian haru dibuka dan Ok-Jin-ong
menancapkan dupa itu di hio-io pertama Buddha, habis itu
upacara sembahyang mulai diteruskan pengunjung yang
datang." Selagi bercerita, tiba-tiba dari bawah gunung terdengar
suara gembreng yang riuh, bendera melambai-lambai,
sepasukan tentara yang mengapit sebuah tandu yang dipikul
delapan orang telah naik ke atas gunung. Tidak lama
kemudian tandu itu sudah sampai di depan kelenteng, di
depan tandu ada dua buah lampion besar yang tertuliskan
empat huruf besar, "Ok-jin-ong-hu" (dari istana Ok-jin-ong).
Sementara itu, di tengah jalan ke atas gunung itu kembali
terjadi suara ribut. Waktu Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian
berpaling ke belakang, terlihat seorang perwira sedang
menerobos di antara orang banyak dan mendesak maju
dengan paksa. Ia naik ke atas gunung dengan langkah lebar,
malahan di belakangnya mengikut seorang Lamma yang
mengenakan jubah merah. Melihat perwira itu, Pho Jing-cu
mengkerutkan kening.
"Mengapa iblis ini pun jauh-jauh datang menonton
keramaian," demikian katanya dalam hati.
Melihat Pho Jing-cu memandang orang dengan penuh
heran. Boh Wan-lian lantas bertanya, "Siapakah dia ini"
Apakah ia lebih lihai dari Thong-bing Hwesio."
"Kau sekarang tak usah bertanya dulu, lain waktu akan
kuberi tahu padamu, hari ini pasti akan ada tontonan yang
menggemparkan!" sahut Pho Jing-cu.
Waktu itu sang surya mulai memancarkan sinarnya, kabut
di angkasa Ngo-tai-san sudah tersapu bersih, bola matahari
pagi yang merah membara menyinari seluruh lembah gunung
menyemarakkan suasana musim semi.
Sementara itu, tandu Ok-jin-ong sudah berhenti di tengah
tanah lapang dekat kelenteng, di bawah sinar matahari, joli
yang berlapis beludru hijau dengan hiasan batu pualam hijau
menyorotkan warna-warni yang menarik.
Semua orang dengan tenang menantikan Ok-jin-ong
menyulut dupa yang pertama, tiba-tiba dari samping
kelenteng Jing-liang-si muncul seorang gadis dengan
langkahnya yang lemah gemulai, muka si gadis itu berkedok
selembar sutra tipis, ia membawa segenggam dupa dan
menancapkan hio itu di depan pintu kelenteng, lalu ia
bersembahyang sendiri bagaikan di sekitarnya tak ada
manusia lain lagi.
Peristiwa yang tiba-tiba itu telah membikin terkejut dan
kalang-kabut para pengawal yang berada di situ. Mereka
membentak dan memburu maju terus menangkap kedua
tangan si gadis, gadis itu tidak melawan, ia membiarkan
dirinya ditangkap bagai seekor anak ayam dan digusur ke
depan joli Ok-jin-ong. Agaknya serdadu-serdadu itu hendak
meminta keputusan Ok-jin-ong sendiri.
Kejadian aneh dan mendadak itu pun membuat Pho Jing-cu
terperanjat. Dan ketika ia ragu-ragu apakah harus turun
tangan untuk menolong atau tidak, sekonyong-konyong
dilihatnya gadis itu telah mengangkat kedua tangannya,
seketika dua orang pengawal yang memegang tangannya
terbanting pergi lebih setombak jauhnya.
Dengan kecepatan luar biasa, gadis itu melolos sebatang
pedang pendek mengkilap, sekali tangan kirinya memukul, ia
membuat pintu joli yang berbatu permata itu hancur, pedang
di tangan kanan segera ditusukkan ke dalam dibarengi dengan
suara bentakan, "To Tok, inilah hari kematianmu!"
Tiba-tiba orang yang berada di dalam joli itu berseru
terkejut, dengan cepat tangannya bergerak hendak mencekal
lengan si gadis. Waktu itu si gadis hendak menusuk pula
dengan sekuat tenaga, dengan mata melotot ia pandang
orang, mendadak ia malah berseru kaget, cepat ia menarik
kembali pedangnya dan segera mundur ke belakang.
Pada saat itulah, tiba-tiba datang seorang pemuda
melompat di antara orang banyak, hanya dengan tiga kati naik
turun, bagai burung terbang cepatnya, belum sampai
orangnya, senjata piau sudah dilepaskan lebih dahulu, sekali
gerak beruntun tiga piau telah melaju ke dalam joli.
Gadis tadi belum hilang kagetnya, ketika mendadak melihat
senjata rahasia menyambar, dengan cepat ia melompat dan
menyampuk senjata rahasia itu. Dengan kepandaiannya,
sebenarnya beberapa senjata rahasia itu tidak sulit untuk
disampuk jatuh semua, hanya karena perasaannya terguncang
dan belum tenang kembali, maka sampirannya itu hanya
berhasil mengenai dua buah piau saja, piau yang ketiga masih
terus menerobos masuk ke dalam joli.
Melihat si gadis dari kawan mendadak berbalik menjadi
lawan dan malah menolong To Tok, tentu saja semua orang
ter-heran-heran tak mengerti, sedang piau ketiga yang
menembus ke dalam joli ternyata juga tidak menimbulkan
reaksi apa-apa bagaikan batu kecemplung laut.
Dalam pada itu, Thong-bing Hwesio telah tampil ke depan
orang banyak, mendadak ia mengangkat tangan dan berseru,
"Jangan lepaskan To Tok!"
Orang-orang yang berdandan sebagai pemain komidi tadi,
Song Bun-sin Siang Ing, Thi-tah Thia Thong dan lainnya
berbareng melompat dari gerombolan orang banyak.
Dalam pada itu, pemuda yang melepaskan senjata rahasia
tadi pun sudah berlari ke depan joli. Tak terduga, kerai joli
tersingkap dan menyusul dari dalam joli menyambar keluar
sebuah piau secepat kilat, maka segera terdengarlah pemuda
itu menjerit karena terkena piau tersebut. Sementara itu
beberapa ratus pengawal yang separoh mengelilingi joli,
separah lainnya beramai melawan penyerbu-penyerbu itu, di
samping itu beberapa perwira lain yang memiliki sedikit
kepandaian silat segera maju hendak menangkap pemuda
yang sudah roboh itu.
Boh Wan-lian dapat melihat dengan jelas bahwa pemuda
yang melepas piau itu bukan lain adalah pemuda yang tadi
menumbuk dirinya itu. Waktu ia pandang lagi, ia lihat gadis
yang berkedok tadi sedang memainkan pedangnya secepat
angin hendak menerobos keluar dari kepungan, sekali cekal ia
terus menyeret si pemuda. Pemuda itu bahu kirinya terkena
piau dan mengucurkan darah, beruntung tidak terkena tempat
yang berbahaya, maka ia masih dapat bertahan.
Saat itu, di depan Jing-liang-si sudah merupakan medan
pertempuran yang gaduh, pengunjung yang datang hendak
menonton keramaian lari tunggang-langgang. Thong-bing
Hwesio memainkan golok tunggalnya dengan kencang sekali
dan susah ditahan, tetapi serdadu-serdadu itu sudah
berpengalaman banyak dalam peperangan, walaupun telah
diterjang dulu oleh mereka, tapi tidak menjadi kacau dan
gugup. Song Bun-sin Siang Ing atau si malaikat gerbang maut dan
Thi-tah Thia Thong, si pagoda besi, berdua dengan toya dan
kapaknya, mereka bertempur sambil berteriak, "Hai, jahanam
To Tok mengapa kau masih belum keluar untuk menerima
kemati-an!"
Tetapi belum hilang suara teriakan mereka, kerai joli itu
tiba-tiba tersingkap dari dalam dan keluarlah seorang wanita
yang anggun dan berparas elok walau sudah setengah umur,
ia berjalan pelahan dengan sikap tenang, sejenak kemudian
baru ia bertanya, "Kau mencari Ok-jin-ong ada keperluan
apa?" Kejadian tak terduga ini seketika membikin keributan di
depan kelenteng jadi terhenti. Siang Ing dan Thia Thong tidak
membentak dan berteriak lagi, Thong-bing Hwesio
menurunkan goloknya, para pengawal pun tertegun dengan
senjata masih terhunus, untuk sementara pertempuran
terhenti. Kiranya Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan ini adalah
bekas pengikut Loh-ong, kedatangan mereka kali ini ialah
hendak menuntut balas pada To Tok.
Waktu bangsa Boan-jing masuk ke daerah selatan,
pemerintahan Beng di selatan masih dapat meneruskan
perlawanan sedikit lama, berturut-turut diangkat raja-raja
Hok-ong, Loh-ong dan Kwi-ong dari keturunan lurus kerajaan
Beng. Loh-ong adalah angkatan pahlawan terkenal Thio Honggian
dan Thio Bing-cin.
Loh-ong yang beribu-kota Siaohin di propinsi Ciat-kang
menamakan dirinya 'Mangkubumi' dan bisa bertahan limaenam
tahun atas kerajaan kecilnya ini. Belakangan ia dapat
ditaklukkan oleh jenderal bawahan To Tok yang bernama Tan
Kim. Karena itu sisa-sisa pengikut Loh-ong yang bergerak di
bawah tanah bermaksud menegakkan kembali kekuasaan
mereka, tetapi karena rahasianya bocor, beberapa ratus orang
telah tertangkap dan dipenjarakan oleh Hang-ciu Cong-ping.
Lalu pada malam sebelum hari pernikahan To Tok, mereka
dapat membobol dan melarikan diri dari penjara. Dalam
pertempuran yang ribut itu tidak sedikit kawan-kawan mereka
yang menjadi korban. Oleh karena itu, bekas pengikut Lohong
dengan To Tok boleh dikata musuh bebuyutan. {Bagian
ini bisa dibaca dalam Chau Guan EngHiong, Pahlawan Padang
Rumput) Peristiwa itu sudah lewat enam belas tahun, tetapi mereka
masih mencoba lagi datang ke Ngo-tai-san dengan tujuan
hendak menangkap To Tok dan dibuat sesajen sembahyang
bagi kawan mereka yang sudah menjadi korban.
Mereka semua adalah orang-orang gagah dan ksatria
sejati, mereka hanya ingin To Tok yang menjadi sasaran
mereka, sanak keluarganya tidak akan mereka ganggu. Kini
melihat dari joli besar To Tok itu mendadak keluar seorang
wanita yang agung, walaupun dapat diduga itu pasti adalah
isteri To Tok atau Ong-hui, namun seketika itu mereka
menjadi tercengang.
Begitulah kedua belah pihak merandek sebentar, keadaan
menjadi sangat canggung.
Tiba-tiba Ok-ong-hui tersenyum dan kemudian berkata,
"Jika tidak ada apa-apa, bolehlah kalian bubar."
Habis berkata ia mendorong pintu gerbang kelenteng dan
hendak masuk ke dalam.
Mendadak Song Bun-sin Siang Ing mengangkat toyanya
dan berteriak, "Yang melukai Thio-kongcu dengan piau adalah
perempuan keparat ini, kalau ia sudah bermusuhan dengan
kita, masa saudara-saudara akan melepaskan dia?"
Habis berkata begitu, tangannya bergerak maka segera
beberapa jarum 'Song-bun-ciam' menyambar ke belakang
kepala orang. Ok-ong-hui seperti tidak menggubris orang,
waktu ia mendengar dari belakang ada suara sambaran angin,
lekas ia membalikkan tangannya terus meraup hingga
beberapa jarum itu dengan tepat kena ditangkapnya. Cara ia
menangkap senjata rahasia ternyata sudah terlatih betul.
Thong-bing Hwesio dan kawan-kawannya menjadi gusar
sekali, segera mereka menggerakkan senjata dan menyerang
maju lagi, namun dalam suasana yang ribut itu, Ok-ong-hui
sudah masuk ke dalam Jing-liang-si.
Ketika itu, dari bawah gunung kembali terdengar pula suara
tambur dan terompet yang riuh sekali, satu pasukan berkuda
dengan cepat telah memburu naik, dan barisan depan
pasukan ini telah sampai di Leng-ci-hong, di depan kelenteng
Jing-liang-si. Pasukan ini berseragam lengkap, tangan kanan mencekal
golok dan tangan kiri memegang tameng, jika diserang
senjata musuh mereka tangkis dengan tameng, sedang
goloknya segera balas membacok.
Maka terdengarlah suara "trang-trang" beradunya senjata
dengan tameng, tidak lama kemudian seluruh kelenteng Jingliangsi sudah dapat dikepung dengan rapat. Pasukan ini
adalah pasukan penjaga istimewa pemerintah Boan, khusus
bertugas menjaga istana dan kediaman pangeran-pangeran,
pasukan serba guna ini jauh lebih kuat daripada pasukan
kerajaan lainnya.
Sementara itu, gadis berkedok tadi dengan pedang di
tangan sedang melindungi pemuda yang terluka itu, ia masih
berusaha menerjang keluar dari kepungan, ia maju dan
mundur, hantam kanan dan kiri, yang jauh ditimpuk dengan
senjata rahasia, yang dekat diserang dengan pedang,
kecepatan dan kegesitannya luar biasa, tiap kali ia berhasil
menerobos pergi dimana ada kesempatan dan tempat luang.
Dan selagi gadis itu sudah hampir lolos dari kepungan,
mendadak dari depan telah mengadang pasukan berkuda tadi.
Dan ketika ia hendak mencari jalan lain, tiba-tiba terdengar
olehnya suara bentakan, "Hendak lari kema-na!" Menyusul
pedang orang sudah menyerang secepat kilat.
Lekas gadis berkedok itu menarik tubuhnya ke bawah,
maka pedang musuh menyambar lewat di atas kepalanya
dengan membawa sambaran angin yang keras. Habis ini
mendadak ia menegakkan tubuh, pedang pendeknya
dibalikkan ke atas untuk memotong pergelangan tangan
musuh. Gerakannya ini benar-benar berbahaya sekali. Tidak
nyana musuh pun bukan lawan lemah, ia tidak menarik
kembali pedangnya, tetapi hanya pergelangan tangan sedikit
memutar, segera ia pun mengetok pergelangan tangan si
gadis dengan gagang pedangnya. Karenanya, masing-masing
begitu bergerak lantas menarik kembali serangannya, mereka
sama-sama menghindarkan serangan lawan yang berbahaya.
Keduanya terkejut.
Gadis itu mengangkat kepalanya memandang, ia lihat
musuh yang bertanding dengan dirinya berperawakan kekar
gagah dan keren, ia mengerti pasti bukan orang
sembarangan. Tengah ia merasa sangsi, mendadak
didengarnya suara bentakan, "Itu dia si keparat To Tok!"


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis itu terkejut sekali, sementara itu ia mendengar
lawannya telah menjawab dengan suara angkuh, "Ya, betul,
aku adalah To Tok adanya, mau apa kau?"
Yang mengenali To Tok dan membentak tadi adalah Songbunsin Siang Ing dan Thi-tah Thia Thong. Mereka berdua
lebih dekat dengan To Tok, maka dengan mati-matian mereka
menerjang maju. Pedang pendek si gadis tadi pun sudah
menyerang semakin kencang, akan tetapi tenaga To Tok
besar dan kuat, bila terbentur pedangnya, si gadis lantas
merasa tangannya pedas kesemutan. Karena itulah pemuda
terluka yang berada di sampingnya menjadi kehilangan
pelindung, ia telah kena dipukul roboh oleh bawahan To Tok
dan tertangkap hidup-hidup.
Sementara itu. Siang Ing dan Thia Thong sudah datang
mendekat. "Nona boleh mundur dulu!" demikian seru mereka hampir
serentak. Dengan gemas gadis berkedok memandang sekali lagi pada
To Tok, ia mengerti dalam keadaan begitu, sukar baginya
untuk bisa memperoleh kemenangan. Maka ia menurut, ia
tarik pedangnya dan mengundurkan diri lebih dulu, kemudian
ia berusaha menolong pemuda tadi.
Di samping sana rangsekan Siang Ing dan Thia Thong
ternyata sangat kuat sekali, berturut-turut mereka dapat
memukul roboh belasan serdadu pasukan istimewa itu. To Tok
menjadi gusar, ia membentak, "Semua mundur, biar aku
menangkap kedua penjahat itu!"
Pedangnya mendadak ditangkiskan, api meletik, tahu-tahu
toya Siang Ing sudah terkutung pucuknya. Sebaliknya tameng
To Tok terpecah belah oleh kapak Thia Thong. To Tok
melempar tameng yang sudah pecah itu, ia menempur kedua
lawannya dengan memainkan Hong-lui-kiam-hoat dari aliran
Tiang-pek-san di Kwan-gwe dengan dahsyat.
Setelah To Tok muncul keadaan lantas berubah banyak.
Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan berduyun-duyun
lantas menerjang ke tempat To Tok berada, pasukan istimewa
itu walaupun cukup lihai, tetapi karena di pegunungan yang
dekak-dekuk ini, maka susah untuk mengadang dan
mencegat, akhirnya dengan pelahan-lahan para pahlawan itu
dapat menerjang maju lebih dekat.
Thia Thong dan Siang Ing adalah orang gagah yang
ternama di kalangan Kangouw, senjata mereka berat, tenaga
pun besar, bertanding melawan To Tok boleh dikata setengah
kati delapan tail alias sama kuat. Dalam pertarungan seru itu,
toya Siang Ing menyapu, menerjang seperti seekor naga
hidup, sedang kedua kapak Thia Thong pun menyambar,
membacok seperti gunung yang menindih dari atas.
To Tok bukan lawan yang lemah, pedang panjangnya
begitu hebat dimainkan hingga membawa suara menderu, ia
menusuk, memotong dan membabat, sinar pedangnya selalu
mengitar di antara dua macam senjata lawan, sedikitpun tidak
memberi kesempatan. Nyata kekuatan kedua pihak sama
kuat. Dalam pertarungan seru itu, Thia Thong membentak dan
kedua kapaknya membacok dari samping. To Tok bersiul
panjang, ia angkat pedang dan melompat serta menikam
kepala Thia Thong. Nampak kawannya terancam, Siang Ing
lekas memutar toyanya, dengan jurus 'Ciang-liong-seng-thian'
atau ular naga membubung ke langit, ia tegakkan toyanya dan
sedikit diangkat miring ke atas terus menyodok perut To Tok.
To Tok berjumpalitan di udara dan dengan suara aneh
pedangnya tiba-tiba ditimpukkan ke muka Siang Ing.
Belum pernah Siang Ing melihat serangan semacam itu,
lekas ia melompat berkelit, karena itu secepat kilat pedang itu
menembus tubuh seorang pengawal hingga tembus.
Waktu itu, Thi-tah Thia Thong baru mengangkat kapaknya,
ia mengincar dengan tepat terus membacok dengan kapak.
Tak terduga To Tok bisa bergerak cepat sekali, ditambah pula
Siang Ing tadi sudah mundur karena kaget, tekanan yang lain
sudah berkurang, tiba-tiba ia memutar tubuh terus
mementang tangan dan mencengkeram lengan kanan Thia
Thong lalu diangkatnya. Tubuh Thia Thong yang sebesar
kerbau diputar dengan cepat, kemudian dengan tertawa ia
lemparkan ke udara seperti melempar bola saja.
Thia Thong ternyata juga tidak lemah, kena diputar dan
dilempar begitu, kedua kapaknya masih belum terlepas dari
tangan, dengan gerak 'Le-hi-ting-sin' atau ikan lele meletikkan
tubuh, ia menjejak sekali di udara untuk kemudian menukik
turun ke bawah.
Nampak kawannya kena dipermainkan musuh, Thong-bing
Hwesio menjadi gusar, dengan golok terhunus segera ia
menubruk maju. Sementara itu, bawahan To Tok telah
menjemput dan menyerahkan kembali pedang To Tok yang
ditimpukkan tadi. Kini To Tok mulai naik darah, segera ia
membacok. Dengan kalap Thong-bing menangkis dan dengan
satu bentakan ia pun balas membabat dengan goloknya, maka
terjadilah pertarungan yang seru.
Bagaimana pun To Tok adalah Pangeran, Thong-bing
Hwesio berani mengadu jiwa dengan serangan yang
berbahaya, sebaliknya ia sendiri tidak berani. Karena itu ia
menjadi jeri menghadapi orang kalap.
Suatu waktu Thong-bing Hwesio mengangkat goloknya
hendak menubruk pula, To Tok tak ingin terlibat lebih lama
lagi, mendadak pedangnya diacungkan, pengawal di
sampingnya segera maju membanjir menggantikan To Tok
menahan serangan lawan. Waktu itu pasukan yang To Tok
bawa beruntun sudah naik gunung semua, mulai dari kaki
gunung sampai tengah gunung pasukan itu berbaris panjang
seperti ular naga, sedikitnya ada dua-tiga ribu orang,
genderang berbunyi, seluruh gunung menjadi bergemuruh
hingga menambah tegangnya suasana.
Saat itu, wanita dari rombongan pemain komidi tiba-tiba
melepaskan sebuah anak panah bersuara, dengan
mengeluarkan sinar api biru anak panah itu menjulang naik ke
angkasa. Panah berapi ini nyata adalah suatu tanda rahasia,
begitu dilepaskan, bekas pengikut Loh-ong lantas berteriak
sambil mundur, mereka berpencar menjadi dua jurusan dan
memanjat ke atas gunung.
Waktu To Tok berpaling, dengan cepat ia beradu pandang
dengan wanita pemain komidi itu. Sebenarnya ia hendak
mencegat Thong-bing Hwesio, kini ia berubah pikiran dan
dengan cepat ia mengejar wanita itu.
Wanita itu melangkah dengan enteng dan gesit, tetapi To
Tok tidak kalah cepatnya, ia mengudak dengan kencang. Dan
karena kejar mengejar ini, tanpa terasa ia telah terpancing ke
tempat yang paling berbahaya di atas puncak Leng-ci-hong.
To Tok memeriksa tempat sekitarnya, ia lihat batu-batu
cadas dan tebing-tebing curam bersandingkan puncak-puncak
yang terjal, jalan yang ia tempuh ini berliku-liku tak rata. Di
bawah sana, pasukan pengawalnya sedang menguber bekas
pengikut Loh-ong, sedang di atas puncak yang tinggi ini hanya
ada dia sendiri dengan wanita tadi.
Tiba-tiba pikirannya tergerak, ia menjadi ragu harus
mengejar terus atau tidak"
Di lain pihak si wanita itu seperti tahu apa yang dia
pikirkan, ia menoleh dan tersenyum dingin, segera tangannya
bergerak, sebuah panah berapi telah menyambar mukanya.
Lekas To Tok berkelit hingga panah berapi itu menyambar
lewat masuk ke jurang.
Sementara itu si wanita sudah berhenti di tempatnya,
dengan pedang terhunus ia pandang To Tok dengan sikap
tem-berang dan menantang.
Begitu To Tok melihat sikap orang ini, ia menjadi sangat
mendongkol, ia pikir dirinya sudah beratus kali mengalami
pertempuran besar maupun kecil, masakah harus jeri terhadap
seorang perempuan, apalagi wanita ini nampaknya rada mirip
dengan 'pemimpin penyamun wanita' dari Ciat-kang yang
bernama Lauw Yu-hong. Jika betul dia adanya dan bisa
membinasa-kannya di sini, hal ini besar artinya bagi dirinya
dan juga bagi kerajaan.
Kiranya di atas meja kerja To Tok bertumpuk dengan
laporan yang disebut 'sisa-sisa penyamun Ciat-kang selatan',
yakni bekas pengikut Loh-ong yang telah berhasil ditumpasnya
sewaktu To Tok menjabat Liang-kang Te-tok (gubernur militer
Ciat-kang dan Kang-souw). Walaupun belakangan ia tak
memegang jabatan itu lagi, tapi segala sesuatu yang
berhubungan dengan gerak-gerik bekas pengikut Loh-ong
selalu masih dilaporkan juga padanya oleh pembesarpembesar
negeri yang bersangkutan.
Lauw Yu-hong yang disebut sebagai 'pemimpin penyamun
wanita' ini belum lama bani dikenal, ia adalah puteri Lauw
Cing-it, bekas perwira yang gagah perkasa di bawah Loh-ong,
dai dia telah meneruskan perjuangan sesudah Loh-ong tewas.
Setelah Lauw Cing-it meninggal, beramai-ramai pengikut Lohong
yang lain lantas mengangkat Lauw Yu-hong sebagai
pemimpin mereka, waktu itu. Lauw Yu-hong belum ada tiga
puluh tahun. Walaupun usianya masih muda, namun bekas
pengikut Loh-ong itu ternyata sangat tunduk padanya.
Dalam laporan dinas yang pernah disampaikan pada To Tok
tersebut, ada pula yang disertai dengan gambar Lauw Yuhong,
sebab itulah, begitu bertemu, lapat-lapat ia seperti
sudah kenal rupanya.
Kini secara terang-terangan To Tok diejek dan ditantang,
keruan saja ia gusar, tanpa pikir lagi ia mengudak pula.
Namun Lauw Yu-hong sudah menanti, ketika To Tok
membacok, dengan gesitnya Yu-hong berkelit, berbareng
pedangnya menyampuk ke kanan.
Sekali menyerang tak berhasil, segera To Tok merangsek
maju pula, kembali ia membabat dengan gemasnya. Tak ia
duga, tiba-tiba Lauw Yu-hong memotong dari atas dengan
pedangnya, dan begitu kedua senjata menempel, dengan
sedikit memuntir terus menarik, tahu-tahu To Tok sendiri
malah terbawa melangkah maju dengan terhuyung. Beruntung
To Tok juga bukan orang lemah, pada saat tubuhnya
menubruk ke depan, dengan cepat ia putar pedang sekuatnya
untuk melepaskan diri dari pengaruh tenaga dalam Lauw Yuhong,
dengan pedangnya yang diputar cepat itu ia balas
menyerang pula.
Namun Yu-hong cukup cerdik, ilmu pedang 'Bu-kek-kiamhoat'
adalah kombinasi kumpulan inti sari aliran Thay-kek-pay
dan Bu-tong-pay. Pada waktu To Tok memutar pedang tadi,
berbareng ia pun memutar pedangnya juga, maka
terdengarlah suara "trang" yang nyaring, kembali dua senjata
saling beradu. Habis itu Yu-hong menarik senjatanya terus
mundur walaupun belum terkalahkan.
To Tok menjadi makin sengit, ia menguber pula dengan
kencang. Saat itu mereka sudah berada di ujung suatu puncak
gunung yang curam.
Mendadak Yu-hong melompat ke depan lagi seperti burung
terbang cepatnya, tahu-tahu ia sudah berdiri di atas sebuah
jembatan batu yang melintang menghubungkan dua puncak.
Jembatan batu ciptaan alam ini lebarnya hanya satu kaki saja
dan panjangnya beberapa tombak, kedua sampingnya ada
pula puncak gunung lain yang terjal dan di bawahnya adalah
jurang yang dalamnya beribu tombak.
Saking kencangnya To Tok mengejar, ia menjadi tak
keburu menahan dirinya, tanpa pikir ia pun melompat ke
jembatan batu itu.
Di sinilah mendadak Lauw Yu-hong membalikkan tubuh,
alisnya menegak, mukanya kereng, pedangnya diputar pula,
kembali ia menggempur To Tok dengan sengit di atas
jembatan alam itu.
Jika Yu-hong menang dalam hal kegesitan dan ilmu
mengentengkan tubuh, sedangkan To Tok lebih tenang dan
ulet. Pertarungan ini sungguh seru luar biasa, kedua orang
sama-sama memutar pedang mereka begitu rapat dan
kencang hingga berwujud dua gulung sinar putih yang
mengurung tubuh mereka masing-masing, dan meski sudah
berlangsung ratusan jurus masih belum tahu siapa yang
unggul atau terdesak.
Sementara" itu Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan yang
diuber pasukan pengawal tadi, kini pun sudah sampai di atas
puncak Leng-ci-hong. Ketika mereka tahu To Tok yang lagi
bertempur dengan Yu-hong di tempat yang sangat berbahaya
itu, tanpa terasa mereka ternganga. Baik serdadu-serdadu
maupun Thong-bing dan kawan-kawan seketika menjadi lupa,
mereka sama melihat pertarungan mati-matian To Tok
melawan Lauw Yu-hong di atas jembatan alam itu.
Dalam pada itu, Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian sudah
berada juga di atas suatu puncak gunung dan menyaksikan
pertarungan sengit ini.
"Pho-pepek, lihatlah ilmu pedang yang dimainkan wanita
itu apakah sama dengan Bu-kek-kiam-hoat kita?" tiba-tiba
Wan-lian bertanya sesudah melihat sebentar.
Waktu itu Pho Jing-cu seperti lagi berpikir, maka sejurus
kemudian barulah ia menjawab.
"Ya, kini aku sudah ingat. Kalau diurut, kau harus
memanggilnya Suci (kakak)," demikian sahutnya. "Dua puluh
tahun yang lalu, Suhengku Tan Su-lan bersahabat kental
dengan seorang perwira Loh-ong yang bernama Lauw Cing-it,
puteri Lauw Cing-it malah dia akui sebagai anak angkat. Dari
mulai umur lima-enarn tahub, gadis cilik itu sudah diajarkan
ilmu silat. Kini melihat kiam-hoat yang dia mainkan, tak salah
lagi tentu dia adalah puteri Lauw Cing-it itu. Sayang, ia kalah
ulet dari To Tok, kalau soal ilmu pedang ia lebih unggul."
Sementara mereka berbicara, pertarungan sudah tambah
tegang lagi. Suatu saat, tiba-tiba Yu-hong memindahkan
pedang ke tangan kiri, sesudah melancarkan satu serangan
pura-pura, dengan cepat pula ia lantas melompat mundur.
Kemudian tangan kanannya bergerak, tahu-tahu semacam
benda kehitam-hitaman telah menutup ke atas kepala To Tok.
Benda itu adalah senjata rahasia tunggal Lauw Yu-hong
yang disebut 'Kim-hun-tau' atau jaring sulam, terbuat dari
kawat baja halus, di sekitar jaring penuh terpasang kaitan
yang lembut. Karena tak keburu berkelit, pundak To Tok telah tertutup
oleh jaring itu hingga kena tercengkeram, waktu Lauw Yuhong
menarik kembali sekuatnya senjata rahasia ini, maka
mengucurlah darah segar dari pundak To Tok karena kaitankaitan


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tajam dari jaring yang menempel di pundaknya.
To Tok sedikit merintih karena sakit, tapi ia masih cukup
gagah, kembali ia mainkan pedangnya hingga terbitlah angin
kencang dan rapat untuk menjaga diri. Begitu pula Lauw Yuhong,
sekali senjata rahasianya berhasil, kembali ia
merangsek, ia mencecar lawan dengan tipu serangan yang
mematikan, mau tak mau To Tok mulai kewalahan, apalagi
jaring yang masih menempel di pundaknya itu tak bisa
dilepaskan. Selagi To Tok terancam bahaya, mendadak dari puncak
sebelah kiri yang terjal ada orang berteriak, "Aku datang!"
Dan menyusul pula suara teriakan orang lain lagi, "Hai, Coh
Ciau-lam apa yang hendak kaulakukan?"
Sebelum lenyap suara teriakan itu, tahu-tahu dari atas
telah terjun seorang ke atas jembatan alam itu, sebelum
kakinya menancap di atas jembatan, dengan cepat sekali
orang itu sudah membabat dengan pedangnya hingga tali
jaring 'Kim-hun-tau' yang mencengkeram pundak To Tok pun
putus. Lalu orang ini mengadang di depan To Tok dan
menggantikannya menempur Lauw Yu-hong.
Kesempatan itu dipergunakan To Tok untuk mengeluarkan
kaitan-kaitan yang masih menancap di kulit dagingnya, habis
itu ia bermaksud mundur ke belakang, tiba-tiba ia melihat di
ujung jembatan sana seorang Hwesio telah mengadang pula
dengan tertawa.
"Celaka tiga belas!" pikirnya begitu ia mengenali yang
mengadang adalah Kuai-tau-to Thong-bing Hwesio, ia menjadi
kuatir. Tetapi segera ia menjadi gusar, daripada mati konyol,
tiada jalan lain harus bertahan mati-matian, maka pedangnya
diputar, segera Thong-bing dirangsek dengan kalap.
Sementara itu dengan munculnya orang yang diteriaki
sebagai 'Coh Ciau-lam' itu, semua orang yang hadir di situ
terkejut. Pho Jing-cu sendiri pun mengkerutkan kening.
"Inilah orangnya si iblis yang kukatakan tadi," katanya pada
Boh Wan-lian. "Ia bernama Coh Ciau-lam dan orang Kangouw
menjulukinya 'Yu-Iiong-kiam', ia adalah murid Hui-bing Siansu.
Pada dua puluh tahun yang lalu, bersama Njo Hun-cong,
mereka berdua disebut sebagai Thian-san-ji-kiam (dua
pendekar pedang dari Thian-san). Cuma sayang jiwa mereka
berdua sama sekali berlainan, Njo Hun-cong jujur dan setia,
selama hidupnya berjuang untuk nusa dan bangsa, sebaliknya
Coh Ciau-lam gila pangkat dan kemaruk harta, akhirnya ia
kena dipelet pengkhianat besar Go Sam-kui dan diangkat
menjadi pelatih pasukannya. Dan sesudah Njo Hun-cong
tewas secara aneh di tepi Ci-tong-kang di Hang-ciu, anak
murid Thian-san yang mewariskan Thian-san-kiam-hoat boleh
dikata hanya tinggal dia seorang, tak heran kalau dia menjadi
berani berbuat sewenang-wenang."
Dalam pada itu, empat orang yang bertempur di atas
jembatan alam itu tampaknya makin memuncak tegangnya. Di
atas jembatan sesempit itu, untuk membalik badan saja
rasanya susah, apalagi kini untuk bergebrak.
Kiarn-Iioat atau ilmu pedang Coh Ciau-lam benar-benar
hebat dan liliai. Tiap kali Yu-hong menyerang dengan tipu
mematikan dan bagi penonton tampaknya pasti akan
mengenai sasarannya, siapa tahu Ciau-lam selalu dapat
mematahkan serangan itu dengan gerak yang manis yang
susah dimengerti, dan malahan bisa pula balas menyerang.
"Agaknya sudah tiba waktunya bagiku untuk turun tangan,"
kata Pho Jing-cu pada Boh Wan-lian setelah keadaan cukup
genting. Saat itulah, ia melihat Coh Ciau-lam telah mendesak Yuhong
lebih gencar lagi hingga si gadis ini tampak kewalahan
dan tak berdaya.
Karena itu, Jing-cu tak berani ayal, setelah memberi pesan
pada Boh Wan-lian supaya jangan sembarangan bertindak,
segera ia pun terjun ke atas jembatan itu seperti burung
menyambar. Waktu itu justru Coh Ciau-lam sedang melontarkan sebuah
tipu serangan menusuk ke dada Lauw Yu-hong yang tak bisa
dielakkannya. Maka kedatangan Pho Jing-cu persis tepat pada
waktunya, dengan pedang Bu-kek-kiam, ia menikam dari atas,
sedang tangan yang lain menjambret bahu Yu-hong dan
dilemparkannya ke belakang dengan tenaga dalam yang maha
besar. Dengan meminjam tenaga lemparan itulah, sekali
jumpalitan, enteng sekali Yu-hong dapat menancapkan
kakinya di atas puncak terjal di sebelah sana.
Coh Ciau-lam menangkis tikaman itu, segera ia merasa
tenaga dalam orang yang datang itu terlalu besar. Sebenarnya
ia bermaksud menyengkelit dan menjerumuskan orang ke
dalam jurang selagi orang masih terapung di udara. Tak
diduganya, begitu kedua senjata beradu, ia merasa ditekan
oleh suatu kekuatan yang maha besar hingga ia sendiri
tergetar mundur dua tindak. Keruan saja ia terkejut dan dalam
hati bertanya dari-manakah mendadak muncul seorang lawan
setangguh ini"
Tetapi ia berpikir pula, dengan ilmu pedang Thian-sankiamhoat yang tiada bandingannya, meski orang memiliki
kepandaian tinggi dan ulet, tidak nanti bakalan lolos di bawah
senjatanya. Maka tanpa pikir lagi segera ia merangsek maju
pula, ia menyerang dengan kuat dan mengarah tubuh musuh
yang berbahaya.
Dengan kepandaian Pho Jing-cu yang berpuluh tahun
terlatih, sekali tikam dari atas tadi luput merobohkan
lawannya, betapapun juga, diam-diam Pho Jing-cu pun
terkejut. Dalam sekejap saja, kedua orang itu sudah saling gebrak
hingga lima-enam puluh jurus, kedua orang sama-sama tidak
memberi kesempatan sedikitpun pada pihak lawan, pedang
mereka gemerlapan menyilaukan mata, makin lama makin
kencang hingga akhirnya dari jauh hanya tampak dua gumpal
sinar membungkus dua bayangan hitam yang naik turun.
Sekalipun Siang Ing dan Thia Thong sekalian terhitung jagoan
juga, tidak urung mereka memandang dengan rasa kuatir, hati
berdebar-debar dan menahan napas.
Makin lama Coh Ciau-lam semakin gagah, serangannya pun
tambah cepat. Sebaliknya Pho Jing-cu tiba-tiba merubah ilmu
pedangnya, gerakannya makin pelahan, walaupun demikian,
betapa pun cepatnya pedang Ciau-lam tetap tak dapat
mendekatinya, kemana pedang Ciau-lam mengarah, selalu
terbentur balik oleh suatu kekuatan besar, penjagaan Pho
Jing-cu begitu rapat bagai dilingkari selapis tembok baja yang
kukuh. Sebagai seorang jagoan, Coh Ciau-lam mengenal itu adalah
ilmu pedang dari kelas berat, tanpa terasa hatinya terkesiap.
Begitulah, maka keadaan menjadi sama kuat, Coh Ciau-lam
tak mampu menembus pertahanan orang, sebaliknya Pho
Jing-cu juga tak bisa lolos dari rangsekan Ciau-lam, lambat
laun keduanya mulai tak sabar dan gelisah.
Sampailah pada suatu saat yang menentukan, sekonyongkonyong
Pho Jing-cu menarik senjatanya dan sengaja
memberi kesempatan pihak lawan. Betul saja Coh Ciau-lam
lantas menusuk, siapa tahu secepat kilat Pho Jing-cu
mengegos sambil pedangnya menyampuk keras ke samping,
berbareng sebelah tangannya ikut menghantam pula ke batok
kepala musuh. Karena tidak berjaga-jaga atas serangan itu, dalam
kagetnya lekas Coh Ciau-lam menahan pedangnya yang
disampuk, berbareng hantaman orang itu ia sambut dengan
telapak tangan kirinya, maka terdengarlah suara "plok" yang
keras disusul dengan suara jeritan orang ramai.
Karena beradunya kedua tangan itu, ternyata baik Coh
Ciau-lam maupun Pho Jing-cu keduanya terjungkal ke dalam
jurang bagai layang-layang putus benangnya.
Mujur bagi Pho Jing-cu, sebab sesampainya di tengah
jurang ia tersangkut sebatang pohon Siong tua yang tumbuh
di tebing gunung, dengan cepat Jing-cu merangkul erat
batang pohon itu untuk menahan terjerumus lebih jauh.
Sebaliknya malang bagi Coh Ciau-lam, di udara terbuka itu ia
berjumpalitan beberapa kali tetapi tetap terjerumus ke jurang
yang sangat dalam.
Di lain pihak, waktu itu To Tok juga lagi terdesak oleh
Thong-bing Hwesio hingga terus main mundur, akan tetapi di
ujung jembatan yang lain, di sana sudah menunggu Lauw Yuhong
dengan pedang terhunus dan mata berapi.
Dalam pada itu pasukan yang dibawa To Tok itupun sudah
mengepung rapat seluruh gunung hingga suasana ramai riuh
dengan suara jerit tangis rakyat pengunjung, banyak pula
bekas pengikut Loh-ong yang ikut terkepung tak sempat
meloloskan diri. Sedangkan barisan pemanah dari pasukan To
Tok sudah berdiri di atas puncak-puncak gunung dengan
busur terpentang sedang menghujani orang banyak itu
dengan panah, sungguhpun banyak batu-batu cadas dan
teraling-aling oleh puncak gunung yang menonjol di sana-sini
namun keadaan cukup gawat dan berbahaya.
Dalam keadaan begitu, Lauw Yu-hong harus mengambil
keputusan. To Tok yang mereka arah sudah di depan mata
dan tinggal dibekuk saja, tetapi di samping itu ia mendengar
suara jeritan dan tangisan rakyat yang tak berdosa karena
hujan panah itu. Tiba-tiba ia mengeluarkan lagi anak panah
berapi dan dibi-dikkan ke angkasa untuk memerintahkan
Thong-bing Hwesio sekalian menghentikan pertempuran.
Melihat isyarat itu, dengan heran Thong-bing Hwesio
segera berhenti mendesak To Tok lebih jauh. Ia tidak habis
mengerti, To Tok yang di depan mata tinggal dibekuk ini
kenapa mendadak Yu-hong memberi perintah 'gencatan
senjata'" Tengah ia merasa heran dan bingung, terdengar Lauw Yuhong
sudah buka suara.
"Hai, To Tok, kau masih ingin hidup tidak"!" demikian
bentak pemimpin wanita itu.
Namun To Tok menyambut orang dengan sikap angkuh
dan dingin. "Hm, kalau masih, mau apa" Dan kalau tidak, bagaimana?"
sahutnya. "Bila ingin hidup, lekas kau perintahkan tentaramu berhenti
bertempur," kata Yu-hong. "Hari ini anggap saja kami tidak
bermusuhan denganmu, sebaliknya tak boleh kau menangkap
rakyat yang tak berdosa."
"Tetapi bagaimana di kemudian hari?" tanya To Tok setelah
berpikir. "Kemudian hari adalah urusan kemudian hari, kau tentu tak
mau melewatkan kami, sebaliknya kami pun tak nanti
mengampunimu," sahut Yu-hong.
"Kalau begitu masih cukup adil. Baiklah, akur!" kata To Tok
dengan gelak tertawa.
Habis itu, pedangnya diacungkan ke atas dan memberi
tanda sekali. Sungguh disiplin militer memang sangat keras,
begitu perintah diberikan dan diteruskan pula berturut-turut
dalam waktu sekejap saja, senjata-senjata sudah kembali ke
sarungnya dan bekas pengikut Loh-ong pun bebas keluar dari
kepungan, sedang rakyat pengunjung itupun berduyun-duyun
turun gunung. Dengan golok masih terhunus Thong-bing Hwesio terpaku
di tempatnya sambil mengawasi To Tok yang berjalan lewat di
sampingnya, saking gemasnya ia mengertak gigi, musuh yang
sudah berada dalam sangkar harus dilepaskan begitu saja.
Bukan saja Thong-bing yang mengertak gigi, malah ada
lagi seorang yang jauh lebih gemas dari dia, dia bukan lain
adalah si gadis berkedok itu. Waktu itu ia sedang bersandar
pada sebuah batu cadas, demi melihat To Tok bebas begitu
saja, diam-diam tangannya merogoh baju seperti mengambil
senjata rahasia.
Kelakuan si gadis ini dapat dilihat Siang Ing yang berdiri
tidak jauh, lekas ia maju mencegah, "Jangan, nona! Pemimpin
kami sudah mengeluarkan perintah, soal kepercayaan harus
kita pegang teguh!" demikian katanya.
Gadis itui terdiam oleh teguran orang, ia heran mengapa
orang gagah seperti Siang Ing yang menjadi musuh kawakan
To Tok bisa begitu tunduk terhadap perintah seorang wanita"
Dalam pada' itu, Pho Jing-cu sudah memanjat naik lagi.
Lauw Yu-hong dan kawan-kawan merubung memberi hormat
padanya dan menghaturkan terima kasih atas pertolongan
sang Susiok (paman guru) yang sudah lama tak bersua itu.
Sesudah To Tok menghilang, kemudian Yu-hong memimpin
pengikutnya melintasi puncak Leng-ci-hong dan turun gunung
melalui jurusan lain. Gadis berkedok yang datangnya tidak
bersama mereka, kinipun diajaknya ikut serta.
Sepanjang jalan mereka hanya bungkam saja dan lesu. Ya,
usaha gagal, tidak heran kalau mereka menjadi lemas dan
gege-tun. Akan tetapi semua orang dapat memahami tindakan Lauw
Yu-hong, adalah bijaksana jiwa orang banyak yang tak
berdosa ditukar dengan jiwa seorang To Tok.
Melihat paras Wan-lian yang cantik molek, Yu-hong
menjadi tertarik oleh gadis ini, sepanjang jalan ia selalu
mengajak bicara padanya, tetapi tidak demikian dengan Boh
Wan-lian, hatinya seperti berduka, ia bicara dengan kurang
bersemangat. Begitulah mereka berjalan dengan cepat, maka sesudah
menyusuri lembah dan melintasi sebuah bukit, setelah
puluhan li dilalui dalam waktu singkat, akhirnya tibalah mereka
di suatu perkampungan, di depan kampung itu sudah
menunggu banyak orang.
"Ini adalah perkampungan Kangouw-cianpwe (angkatan tua
kalangan persilatan) Bu Guan-ing," demikian kata Yu-hong
pada Jing-cu. "Di sinilah kami menumpang mondok."
"Apa maksudmu Bu Guan-ing dari Cong-lam-pay yang
tersohor itu?" tanya Jing-cu. "Kami adalah sahabat lama."
"Ya, betul," sahut Yu-hong.
Baru saja mereka berbicara, dari dalam kampung telah
keluar seorang memberi laporan pada Lauw Yu-hong. Orang
itu adalah pengikut Loh-ong yang ditinggalkan di
perkampungan ini. Orang itu berbisik pada Yu-hong beberapa
patah kata, lalu terlihat pemimpin wanita ini mengkerutkan
kening. "Baiklah, tahulah aku," katanya kemudian. "Beritahukan
Cengcu (kepala kampung) bahwa kami akan mengaso dulu ke
ruangan lain untuk membereskan sesuatu urusan, sesudah itu


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan kami temui Cengcu dan Han-congthocu."
"Apakah Congthocu Thian-te-hwe, Han Ci-pang, telah
datang?" tanya Thong-bing Hwesio.
"Betul," sahut Yu-hong.
Lalu Yu-hong membawa semua orang masuk ke dalam.
Setelah masing-masing mengambil tempat duduk, kemudian ia
buka suara lagi.
"Nona," demikian ia berkata pada gadis berkedok,
"Hendaklah jangan kausesalkan kami, kita cukup tegas
membedakan antara budi dan dendam, tadi kau telah
melindungi permaisuri To Tok, tetapi kemudian kaubela Thiokongcu
pula sekuat tenaga, hal ini sungguh membikin kami
menjadi bingung. Nona, jika tak keberatan, sudilah kiranya
kau memberitahu maksud kedatanganmu ini dan
memperkenalkan muka aslimu pada kami?"
Mula-mula gadis berkedok itu ragu-ragu, ia diam saja,
tetapi kemudian pelahan-lahan ia pun menarik kain kedoknya.
Pandangan semua orang terbeliak, bahkan ada yang
bersuara heran.
Setelah kedok si gadis dibuka, seketika itu semua orang
terkesima. Ternyata wajah si gadis mirip benar dengan
permaisuri To Tok, hanya dandanannya saja yang tidak secara
bangsa Boan. "Kau bangsa Han atau bangsa apa?" tanya Thong-bing
Hwesio dalam herannya.
"Tentu saja aku bangsa Han," sahut gadis itu sambil meliriki
orang. "Sudikah nona memberitahu nama dan siapakah guru
nona?" Thia Thong ikut bertanya.
"Sudah tentu tiap orang punya nama sebagai tanda
pengenal. Agar memudahkan, kalian boleh panggil aku Ie Lancu,"
demikian sahut gadis itu dengan tertawa. "Mengenai
perguruan, seorang gadis tak berguna seperti aku ini tak
berani mencemarkan nama baiknya, maka lebih baik tak
kukatakan."
Apabila si gadis atau le Lan-cu memandang sikap ragu-ragu
semua orang yang ada di situ, ia pun tahu tentu orang masih
curiga atas dirinya. Oleh karena itu, dengan suara keras ia pun
menjelaskan lebih lanjut.
"Dan mengenai pertanyaan mengapa aku melindungi Onghui
(permaisuri) To Tok, kalian semuanya adalah ksatria yang
kiranya tak perlu diberi penjelasan panjang lebar, tentu kalian
tahu bahwa tujuanku ialah membunuh To Tok, siapa tahu
yang berada dalam joli adalah isterinya. Tentu saja aku tak
bisa membunuh seorang wanita yang tak bersenjata. Dan soal
Thio-kong-cu luka terkena piaunya, itu adalah kejadian
sesudahnya."
Tengah le Lan-cu berbicara, Pho Jing-cu yang sejak tadi
mengawasi wajah orang, diam-diam ia menulis di secarik
kertas dan menyuruh Boh Wan-lian menyodorkan pada Lauw
Yu-hong. Waktu Yu-hong membaca, ia melihat di kertas itu
tertulis, "Sinar mata gadis ini guram buyar, semangatnya lesu,
pasti ia sedang menderita batin."
Yu-hong cukup mengenal sang Susiok ini sangat pandai
dalam ilmu pertabiban, nyata apa yang ditulisnya itu cocok
dengan pendapatnya. Maka sehabis si gadis itu bicara, dengan
ramah ia pun menghiburnya, "Nona, jangan kau curiga,
pertanyaan kami tadi tidak lain hanya ingin mengikat
persahabatan dengan orang seperti nona ini. Maka jika nona
tidak menampik, aku yang beruntung lebih tua beberapa
tahun, bolehlah aku memanggilmu sebagai Moy-moy (adik)!"
Habis berkata ia pun mendekati le Lan-cu, ia tarik si gadis
duduk lebih dekat padanya.
Gadis ini menjadi amat terharu hingga matanya tampak
merah basah, dengan suara pelahan ia pun balas memanggil,
"Cici (kakak)!"
Perkenalan yang mesra ini membuat Thong-bing Hwesio
dan yang lain-lain ikut merasa terharu.
Dalam pada itu demi mengetahui kedatangan Pho Jing-cu,
Bu-cengcu, Bu Guan-ing senang sekali, khusus ia mengutus
orang mengundang Pho Jing-cu bertemu dengannya.
Karena memang sudah belasan tahun tak bertemu, tentu
saja kedua orang tua ini saling rangkul. Mereka bercakap
dengan asyiknya menceritakan pengalaman masing-masing
selama ini. "Pho-toako," demikian kata Bu Guan-ing sesudah lama
bicara, "Aku ada urusan, rasanya harus minta bantuanmu!"
"Soal apakah, silakan berkata," sahut Jing-cu.
"Aku minta kau menjadi comblang," kata Bu Guan-ing.
"Aneh, tiada anak gadis yang kukenal, darimana aku bisa
menjadi comblang?" ujar Jing-cu. "Jika kau maksudkan nona
Boh yang ikut datang bersamaku itu, maka dapat kukatakan
bahwa usianya masih terlalu muda untuk membicarakan
perjodohannya."
"Aku bukan maksudkan Boh-siocia," kata Bu Guan-ing pula
dengan tertawa. "Tetapi yang kumaksudkan adalah keponakan
perempuanmu si nona Lauw Yu-hong. Ia sudah piatu, juga
tiada guru, kau adalah Susioknya, maka sedikitnya kau pun
bisa ikut memutuskannya."
"Siapakah yang minta jasa baikmu ini?" tanya Jing-cu.
"Toako, kalau disebut, orang inipun kiranya tidak terlalu
merendahkan diri nona Lauw," sahut Guan-ing sambil
mengelus jenggot. "Dia adalah Congthocu dari Thian-te-hwe,
Han Ci-pang. Orang ini berhati jujur, setia dan berbudi.
Sebenarnya ia punya peternakan kuda, setelah tentara Boan
menyerbu masuk, ia lantas meninggalkan usahanya itu dan
menghimpun kekuatan serta mendirikan Thian-te-hwe. Oleh
karena selama hidup selalu merantau kian kemari, maka
sampai kini walau sudah menginjak umur empat puluh tahun
masih belum berkeluarga."
"Kita adalah orang-orang tua, kita tak tahu lagi bagaimana
pikiran orang muda sekarang," demikian Bu Guan-ing
meneruskan dengan menghela napas. "Nona Lauw baik dalam
segala hal, hanya ada sifatnya yang aneh, ialah bila orang
mempersoalkan perjodohannya, segera ia menjadi tidak
senang. Dahulu Han Ci-pang tidak sedikit memberi bantuan
bagi pergerakannya, pernah ia mengutus kawannya mencoba
untuk meminang nona Lauw, siapa tahu lamaran itu
sedikitpun tak digubrisnya, padahal dengan kepandaiannya
yang tinggi dan umurnya yang sudah lewat tiga puluhan,
tetapi masih belum menikah dan malahan seperti tak mau
menikah buat selamanya. Coba kaukatakan, bukankah ini
sangat aneh?"
Mendengar cerita iri, Pho Jing-cu berpikir.
"Baiklah, aku boleh coba bertanya pada Yu-hong, tetapi dia
mau atau tidak, itu adalah urusannya sendiri," katanya
kemudian. Setelah dua sahabat lama ini mengobrol lagi ke timur dan
ke barat, tak lama kemudian Bu Guan-ing mengajak, "Marilah
sekarang kita pergi menemui Han-congthocu."
"Baiklah," sahut Jing-cu.
Dan sewaktu mereka sampai di depan sebuah kamar, tibatiba
terdengar di dalam ada suara ngikik tertawa anak kecil,
habis itu terdengar bocah itu berkata, "Ayo, Han-sioksiok
(paman Han), kau kalah, jangan kau ingkar janji, sekarang
aku akan naik kuda."
Waktu Guan-ing mendorong daun pintu kamar dan
melangkah masuk, maka tertampak seorang laki-laki tegap
sedang merangkak di lantai, bermain kuda-kudaan dan di
punggungnya menunggang seorang anak kecil belasan tahun
sedang tertawa sambil bertepuk tangan.
"Sing-hua, jangan nakal!" lekas Guan-ing membentak.
Dengan cepat bocah itu melompat turun dari punggung
orang, sedang laki-laki itupun berdiri, mukanya menjadi merah
jengah dan menyengir, sikapnya gagah tapi rada malu-malu.
"He, Han-toako makin lama makin kekanak-kanakan, tentu
saja Sing-hua si bocah ini bertambah manja," kata Bu Guaning
dengan tertawa demi melihat kelakuan orang tadi.
Habis itu ia pun memperkenalkan mereka pada Jing-cu.
"Ini adalah Congthocu Thian-te-hwe, Han Ci-pang, Hantoako,
dan bocah ini adalah Sing-hua, puteraku satu-satunya
yang kecil. Hayo, Sing-hua, lekas memberi hormat pada Phopepek
dan minta sedikit hadiah perkenalannya."
Umur Bu Sing-hua baru menginjak sebelas tahun, ia
dilahirkan pada waktu Bu Guan-ing merayakan ulang tahun ke
lima puluh, maka bocah ini sangat dimanjakan ayahnya.
Tatkala itu dengan melompat-lompat ia hendak berlari pergi,
ketika mendengar teriakan ayahnya itu, dengan cepat ia
berlari balik dengan tangan membawa biji-biji catur.
"Han-sioksiok main catur denganku dan beruntun telah
kalah tiga babak," tutur bocah itu dengan tertawa.
"Ya, si Sing-hua ini betul lihai," sela Han Ci-pang dengan
bergelak tertawa pula. "Aku baru saja belajar main dari buku
petunjuk catur, siapa tahu bocah ini sama sekali tidak menurut
teori, ia jalan sesukanya dan main caplok hingga aku
kewalahan."
"Ini namanya kapal besar terbalik di sungai," ujar Pho Jingcu
ikut tertawa. "Makanya janganlah sekali-kali berpikir
menurut buku pelajaran, teori demikian ini sudah ketinggalan
zaman." Habis itu ia memanggil Sing-hua dan berkata padanya,
"Coba, sekarang kau boleh timpukkan semua biji catur di
tanganmu itu padaku, biar Pepek (paman) mengajarkan main
sulap padamu."
Sing-hua menjadi ragu-ragu, ia pandang ayahnya.
"Pepek suruh kau menimpuknya, maka boleh kau timpuk
saja," kata Guan-ing sambil tersenyum.
"Ya, timpuk saja, bahkan harus menimpuk dengan segenap
tenaga dan seluruh kepandaianmu memakai senjata rahasia,
agar aku bisa mengukur kepandaianmu," ujar Jing-cu lagi.
Melihat sang ayah tidak mengomelinya, bahkan
mendorongnya agar menimpuk, Sing-hua menjadi girang, ia
mendapat hati. Maka sekali raup, kedua tangannya penuh
menggenggam biji-biji catur itu terus diayunkan, ia
menggunakan gerakan 'Boan-thian-hUa-uh' atau hujan gerimis
memenuhi langit, satu gerakan tipu menimpukkan senjata
rahasia piau, ia hujani Pho Jing-cu dengan biji-biji caturnya
itu. "Bagus!" seru Jing-cu sambil tertawa. Tiba-tiba ia pentang
tangan, ia kebas lengan bajunya yang lebar itu dengan pelahan
seperti penari, tahu-tahu biji catur sebanyak itu lenyap
semua tanpa bekas. Dan ketika Jing-cu membuka lengan
bajunya, maka menggelindinglah biji-biji catur itu ke lantai
dari lengan bajunya itu.
Semua orang tidak kepalang terkejutnya oleh kepandaian
jago Bu-kek-pay ini, nyata dengan sekali kebas lengan
bajunya seperti pemain opera saja, semua biji-biji catur tadi
sudah digulung masuk. Cara menangkap senjata rahasia ini
betul-betul belum pernah mereka lihat.
Dan rasanya yang pating girang adalah si Sing-hua, tanpa
disuruh lagi ia mendekati Pho Jing-cu dan memohon agar
diajarkan kepandaian itu padanya.
"Baiklah aku turunkan kepandaian ini pada Sing-hua
sekedar hadiah perkenalanku, bagaimana menurut
pendapatmu?" kata Jing-cu kemudian pada Bu Guan-ing.
Tentu saja berulang-ulang Bu Guan-ing menyatakan terima
kasih, lekas ia perintahkan Sing-hua menjura pada orang tua
ini. Dalam pada itu, seorang pelayan kelihatan masuk memberi
laporan pada sang majikan.
"Baiklah kalau nona Lauw sudah siap, silakan antar mereka
ke sini!" perintah Guan-ing kemudian.
Maka tidak lama terdengarlah di luar kamar riuh ramai
dengan suara orang banyak. Belum masuk kamar sudah
terdengar Thong-bing Hwesio, Siang Ing dan Thia Thong
berteriak, "Kau sudah datang, Han-toako, sungguh kami
sudah kangen padamu!"
Sembari menggembor, mereka pun masuk terus merubung
Han Ci-pang. Di belakang Thong-bing, menyusul pemimpin wanita
mereka, Lauw Yu-hong. Wajahnya tersenyum simpul, sikapnya
tegas dan agung.
Di samping sana diam-diam Pho Jing-cu merasa serba
susah, ia pikir urusan perjodohan memang aneh, dalam
pandangannya, Han Ci-pang boleh dikata seorang laki-laki
sejati, jujur dan setia kawan, seperti sekarang ini, karena tahu
Yu-hong ada urusan di Ngo-tai-san, dari jauh ia sengaja
datang hendak membantu, kebaikan ini tentu tidak bisa
dilakukan sembarang orang. Akan tetapi melihat sikap Yuhong,
tampaknya ia adem saja terhadap orang, rasanya
urusan perjodohan ini susah dirangkap.
Sedang Pho Jing-cu berpikir sendiri, menyusul dari luar
telah masuk lagi dua orang. Yang seorang pendek kecil, tetapi
sorot matanya tajam, sedang yang lain bermuka hitam,
sikapnya kereng dan gagah.
Sesudah Han Ci-pang memperkenalkan mereka, barulah
diketahui bahwa yang pendek kecil itu bernama Njo It-wi, ia
merupakan 'otak', juru pikir dari Thian-te-hwe. Dan yang
gagah itu bernama Hua Ci-san, menjabat Huthocu atau wakil
ketua Thian-te-hwe. Dari wajah kedua orang ini, tampaknya
mereka agak tegang seperti ada sesuatu yang mereka hadapi.
"Maaf, sekarang marilah kita bicarakan urusan pokok," kata
Lauw Yu-hong memulai sesudah semua orang duduk. "Dahulu
Han-congthocu pernah merundingkan soal penggabungan
denganku. Kini aku berpendapat memang pokok tujuan kita
sama, maksudnya kita menegakkan negeri leluhur dengan
tiada perbedaan. Maka kami bekas pengikut Loh-ong bersedia
masuk ke dalam perkumpulan kalian, Thian-te-hwe."
"Itu bagus sekali," tiba-tiba Njo lt-wi menyela. "Cong-thocu
dan kami akan menerima dengan segala senang hati."
"It-wi," kata Ci-pang cepat, "Bukan begitu caranya!"
Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan menjadi heran,
segera mereka pun bertanya, "Apakah Congthocu maksudkan"
"Maksudku, soalnya bukan kami menerima kalian atau
kalian yang menerima kami," sahut Ci-pang. "Apabila kita
sudah bergabung, maka tidak perlu harus membedakan siapa
tuan rumah dan siapa tetamu. Maksudku ialah sudah
sepantasnya nona Lauw yang menjadi Congthocu (ketua
umum), bukankah aku ini hanya seorang kasar" Haha!"
Begitulah Ci-pang mengakhiri pembicaraannya dengan


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa, dan selagi hendak disambungnya, tiba-tiba Lauw Yuhong
sudah menyela. "Terima kasih atas maksud baik Han-congthocu itu, tapi
aku berpendapat lebih baik jabatan itu dipangku Hancongthocu
terus, Thian-te-hwe sudah mempunyai dasar yang
kuat di daerah barat-Iaut, jumlah kami hanya sedikit,"
demikian kata Yu-hong.
"Betul itu," kata Njo It-wi. "Memang sudah lama kami
mengagumi kebijaksanaan nona Lauw, dan apa yang nona
Lauw ucapkan tadi ternyata sangat tepat."
Tak ia duga, mendadak Han Ci-pang memandang padanya
dengan mata melotot.
"Kauhilang kagum, jika begitu, bukankah lebih-lebih harus
mengangkat dia sebagai Congthocu?" demikian katanya
dengan suara rendah pada pembantunya ini.
Njo It-wi menjadi kikuk, mau tak mau ia membenarkan,
walaupun dalam hati ia mengharap Lauw Yu-hong menolak
pengangkatan itu.
Di luar dugaan, Yu-hong ternyata mempunyai perhitungan
sendiri, ia tak menolak, bahkan menerima tawaran itu.
"Kalau Han-thocu begitu percaya padaku, terpaksa aku
tidak dapat menolaknya," demikian katanya.
Tentu saja Han Ci-pang girang sekali. Thong-bing Hwesio
sekalian pun ikut bergembira. Hanya Njo It-wi saja yang diamdiam
tidak senang. Setelah itu lantas dirundingkan pemilihan hari baik untuk
menetapkan upacara 'pembukaan gunung dan pengangkatan
pengemudi'. Malahan sebelum ada upacara tersebut atas
permintaan Han Ci-pang sendiri, telah memerintahkan semua
cabang-cabang dan pengikut-pengikut Thian-te-hwe supaya
tunduk pada perintah Lauw Yu-hong, Congthocu yang baru.
Seterusnya mereka lantas membicarakan pertempuran seru
dengan To Tok dan Coh Ciau-lam di Ngo-tai-san itu.
"Si iblis ini sungguh sukar dilawan, selain Pho-susiok, kita
semua bukan tandingannya," kata Lauw Yu-hong. "Sekali ini ia
dapat terpukul jatuh ke dalam jurang oleh Pho-susiok, aku
harap jiwanya melayang."
"Aku pun tak dapat menundukkan dia., kukira kalian jangan
bergirang dahulu, dengan kepandaian silatnya itu belum tentu
ia tewas terjatuh," kata Pho Jing-cu.
Han Ci-pang mendengarkan percakapan itu dengan penuh
perhatian, tiba-tiba ia menepuk tangan dan berkata, "Aku jadi
teringat pada seseorang yang mungkin dapat menundukkan si
iblis ini."
"Siapakah dia?" tanya Thong-bing Hwesio.
"Aku pun belum pernah kenal dia, aku hanya tahu ia
dipanggil 'Thian-san-sin-bong' Leng Bwe-hong," sahut Han Cipang.
"Aneh sekali julukannya ini," kata Lauw Yu-hong.
"Ya, sebab di atas Thian-san ada tumbuh semacam
tumbuhan berduri 'bong' yang tajamnya luar biasa, benda
inilah yang ia gunakan sebagai senjata rahasia," kata Han Cipang
pula. "Ia mempunyai ilmu pedang tinggi sekali, tindaktanduknya
tegas, oleh karena itu ia mendapatkan julukan itu.
Malahan di daerah barat-daya sana, namanya sangat
berpengaruh, sampai-sampai suku bangsa di Tibet, Mongol
dan Sinkiang pun mengaguminya, rakyat penggembala
dengan dia pun mempunyai hubungan yang baik, hanya ia
selalu pergi datang sendirian, la menggabungkan diri dengan
rakyat penggembala, untuk mencarinya tidaklah mudah.
Sebelum aku datang di Soa-say sini, telah kuperintahkan
beberapa saudara kita pergi mencari dia."
Mendengar ada orang yang begitu hebat dan luar biasa,
semua orang menjadi kagum dan heran sekali.
"Ilmu pedang orang ini begitu lihai, apakah dia ahli waris
dari Hui-bing Siansu" Mengapa aku tidak pernah
mendengarnya," tanya Pho Jing-cu.
"Entahlah, tapi ada juga yang menyebut dia 'Thian-sankiam',
itu disebabkan ia selalu pergi-datang di daerah sekitar
Thian-san," tutur Han Ci-pang pula. "Tentang Hui-bing Siansu,
ia sudah beberapa puluh tahun tak pernah turun gunung,
maka tidak pernah terdengar apakah ia telah menerima murid
baru lagi"
"Sementara tak usah pedulikan Thian-san-sin-bong apa
segala, sebaiknya kita membicarakan hal-hal yang penting
dulu," kata Lauw Yu-hong menepuk tangan pelahan untuk
memutus percakapan orang. "Pertama, mengenai Thio-kongcu
yang telah terjebak di Ngo-tai-san, kalau tidak lekas ditolong
keluar, itulah tidak enak terhadap ayahnya. Kedua, ialah To
Tok yang datang hari ini dengan membawa begitu banyak
pasukan, tidak sesuai dengan tindakannya sehari-hari, di
dalamnya tentu ada sesuatu yang tersembunyi. Setelah
bangsa Boan memasuki Kwanlwe sampai kini sudah tiga puluh
satu tahun. Di daerah tengah sudah aman dan tinggal Taiwan,
Mongolia, Sinkiang dan Tibet yang belum masuk dalam
petanya. Taiwan terpencil di luar lautan takkan banyak
gunanya dalam pergerakan, tetapi daerah barat-laut dan
sekitarnya, kalau suku-suku bangsa di sana bisa bersekutu
melawan pemerintah Boan dan bekerja-sama dengan Taiwan,
mungkin masih ada harapan. Aku mendengar kabar
pemerintah Boan berniat menjajah ke barat-laut, kedatangan
To Tok ini boleh jadi ada hubungannya dengan ini. Kita tidak
bisa tidak harus menyelidikinya."
"Thio-kcngcu, siapakah dia?" tanya Jing-cu tiba-tiba. "Dia
adalah anak Tayciangkun Thio Hong-gian almarhum, murid
angkatan ketiga dari Cong-lam-pay," sahut Lauw Yu-hong. "Ia
baru saja keluar pintu perguruan lantas terjebak di tangan
musuh, tidak boleh tidak kita harus mencari daya upaya buat
menolongnya."
Thio Hong-gian adalah panglima perkasa yang melawan
pemerintah Boan, juga panglima tertinggi dari seluruh
pasukan Loh-ong dulu. Karena itu, semua orang menjadi
bingung. "Kalau para saudara tak mencerca diriku yang tua bangka
Ini, malam ini biar aku bersama Boh-siocia pergi menyelidiki
ke atas gunung!" kata Pho Jing-cu sambil berdiri.
Ilmu silat Pho Jing-cu sudah mencapai puncaknya, sudah
tentu adalah pilihan yang paling cocok hanya semua orang
belum mengetahui bagaimana dengan kepandaian Boh Wanlian,
maka seketika semua terdiam.
"Lebih baik aku yang ikut pergi dengan Pho-cianpwe?" seru
Thong-Bing Hwesio tiba-tiba.
"Kepandaianku walaupun belum sempurna, tetapi kalau
pergi bersama Pho-pepek, kukira tidak sampai terjadi apaapa,"
kata Boh Wan-lian dengan tersenyum.
Waktu itu kebetulan terdengar di luar ruangan ada berisik
suara burung gagak
"Di atas pohon di luar sana ada seekor burung gagak,
berisik suaranya membikin orang sebel," kata Pho Jing-cu
tertawa. "Wan-lian, coba kautangkap burung itu!"
Wan-lian menurut, ia berdiri, tiba-tiba ia pentang kedua
tangannya dan tahu-tahu orangnya sudah berada di tengah
pelataran, bahkan tanpa beraksi lagi, tubuhnya lurus menaik,
dengan enteng ia meloncat ke pucuk pohon di luar itu, maka
terdengarlah suara, "Gaok!". Gagak itu baru saja hendak
kabur sudah keburu disambar Boh Wan-lian yang lantas
melompat turun kembali. Semua orang terpesona oleh
kegesitan dan kecepatan si gadis.
"Ilmu mengentengkan tubuh sebagus ini, tentu saja dapat
pergi!'' seru Thong-bing Hwesio sambil mengacungkan
jempolnya. Dan semua orang tertawa.
Malam itu, Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian telah bertukar
pakaian berjalan malam, dalam keadaan gelap dan bintang
suram mereka naik ke Ngo-tai-san dari jurusan utara.
Ngo-tai-san adalah gunung tinggi yang tersohor, beberapa
ribu pasukan pengawal yang To Tok bawa hanya dapat
berjaga mengelilingi Jing-liang-si, dan tidak mungkin bisa
merata di seluruh gunung. Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian
dengan kecepatan laksana burung terbang di malam yang
gelap gulita merayap naik, tiada seorang pun yang dapat
memergoki mereka.
Dan sebelum sampai di tengah gunung, mendadak Pho
Jing-cu berkata pada Boh Wan-lian dengan suara tertahan,
"Awas!" Berbareng itu tubuhnya telah melayang jauh ke
depan beberapa tombak, Boh Wan-lian pun segera menyusul.
Tiba-tiba mereka melihat sesosok bayangan orang yang
memakai kedok berada tidak jauh di depan, sekonyongkonyong
orang ini pun berpaling kepada mereka.
Dalam kegelapan Wan-lian dapat melihat yang memakai
kedok itu adalah seorang gadis. Sepasang matanya yang tak
tertutup kedok itu bersinar seperti bintang yang berkelap-kelip
di langit yang gelap.
Melihat Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian berdua dapat
menyusul dirinya, gadis itu tersenyum, katanya, "Kita masingmasing
menempuh jalan sendiri saja!" Lalu ia merangkap
tangan memberi hormat dan segera berlari pergi pula melalui
jalan yang lain.
Suara gadis ini begitu dikenal, dan ketika Boh Wan-lian
hendak mengejar lagi untuk melihat siapa sebenarnya orang
ini, Pho Jing-cu keburu menariknya.
"Tak usah kejar dia," kata Pho Jing-cu, "Ia adalah gadis
berkedok sutra itu, Ie Lan-cu, tentu ia ada urusan lain, maka
tidak bersedia jalan bersama kita."
"Mengapa tindakan gadis ini begitu aneh?" pikir Boh Wanlian
diam-diam. Maka cepat mereka melanjutkan perjalanan dengan
menggunakan ilmu mengentengkan tubuh yang tinggi, dalam
sekejap mereka sudah sampai di depan Jing-liang-si. Waktu
itu malam geiap gulita, lima buah pagoda tembaga mengitari
Jing-liang-si, tiap pagoda, tingginya tiga belas tingkat, tiap
tingkat di luarnya tergantung delapan belas pelita gelas,
sehingga sekitar kelenteng itu tersorot terang. Barisan
pengawal meronda kian kemari, menunjukkan penjagaan
dilakukan ketat dan rapi sekali, ditambah di depan pagoda
yang tengah, berbaris pula pasukan pemanah yang siap
dengan anak panah terpasang di busurnya, suasana
kelihatannya menjadi tegang sekali.
Jing-cu dan Wan-lian mendekam di belakang batu besar,
seketika tak punya akal bagaimana bisa masuk ke dalam.
Tengah mereka berpikir, tiba-tiba angin menderu keras, batu
pasir beterbangan, dan pada saat itu, tiga pelita di tingkat tiga
pada pagoda tembaga yang sebelah kiri mendadak padam,
dalam keadaan remang-remang ada sesosok bayangan orang
berkelebat melayang naik. Pasukan pengawal mendadak
berteriak, anak panah pun beterbangan seperti hujan. Dalam
keributan itu, kembali menderu pula angin keras, tiga pelita di
muka tingkat tiga pagoda yang tengah ikut padam juga.
Melihat kesempatan baik itu, lekas Pho Jing-cu menarik Boh
Wan-lian dan berseru tertahan, "Lekas naik!"
Dalam keributan dan kegelapan itu mereka meloncat
keluar, dengan enteng mereka melayang naik ke tingkat
pertama pagoda yang tengah, yang merupakan pagoda induk,
segera mereka merayap naik pula ke tingkat dua dan tiga,
hanya sekejap saja mereka berdua sudah berada di atas
pagoda. "Malam ini ada jagoan berilmu tinggi dari kalangan
persilatan yang datang, pelita tadi terang dipadamkan dengan
timpukan senjata rahasia sebangsa batu dengan
menggunakan tenaga berat!" demikian kata Pho Jing-cu pada
Boh Wan-lian. Sementara itu, barisan pengawal di luar setelah ribut
sebentar dan tak melihat ada orang, mereka sangsi mungkin
burung malam yang telah melayang lewat, dan menduga
pelita gelas itu padam oleh batu pasir yang terbawa angin
keras tadi, mereka bahkan menyalakan obor terus berjaga lagi
dan tidak mengusut lebih jauh.
Di dalam pagoda induk itu tiap-tiap tingkat ternyata sangat
luas, selain ruangan tengah yang besar, masih ada pula
beberapa kamar. Setelah masuk ke dalam, segera Pho Jing-cu
dan Boh Wan-lian pun memadamkan beberapa pelita yang
ada di dalam dengan senjata rahasia mereka.
Tidak lama kemudian, ada dua orang yang membawa
lentera sedang mendatangi sambil sepanjang jalan mereka terus
menggerundel, "Malam ini mengapa angin begini kencang,
pelita gelas di luar sirap, malahan yang di dalam pun
tertiup padam juga, betul-betul ajaib!"
Jing-cu dan Wan-lian tidak ayal lagi, sekali lompat,
bagaikan kilat mereka sudah berada di depan kedua orang itu,
sekali jari menotok, berteriak saja belum kedua orang itu sudah
tertotok urat nadi gagu mereka.
Setelah kedua orang itu dibikin tak berdaya, segera mereka
diseret keluar serambi pagoda di bawah pelita yang menyorot
dari tingkat empat. Jing-cu segera memeriksa orang, hampir
saja ia berseru heran setelah jelas melihatnya.
Kedua tawanan ini ternyata bukan serdadu pengawal, juga
bukan orang biasa, dari dandanan mereka terlihat jelas adalah
dua orang Thaykam atau orang kebiri, dayang kerajaan.
Pho Jing-cu masih kurang percaya, ia sengaja mengulur
tangannya dan merogoh ke bagian bawah orang.
"Ya, tidak salah lagi!" katanya.
Melihat perbuatan sang paman, Boh Wan-lian memalingkan
muka ke jurusan lain karena malunya. Mendadak Jing-cu
sadar bahwa Boh Wan-lian adalah seorang gadis, ia menjadi
jengah. Waktu mengulur tangan lagi, ia melepaskan totokan
kedua orang tadi, lalu ia cengkeram mereka dan bertanya,
"Lekas jawab, apakah Hongsiang telah datang" Di mana dia
sekarang" Jika berani berdusta, segera kudorong kau ke
bawah pagoda!"
Pagoda tembaga itu tingginya berpuluh meter, dan karena
ancaman itu, kedua orang Thaykam itu menjadi ketakutan.
"Hongsiang Hongsiang berada di tingkat enam," demikian
sahut mereka dengan tak lancar.
Segera Pho Jing-cu menggusur kedua Thaykam itu ke
dalam pagoda lagi dan bersama Boh Wan-lian meloncat ke
atas, beruntun mereka melewati tingkat empat dan lima.
Sesampainya di luar tingkat enam, mereka mengintip ke
dalam, betul saja terlihat ada beberapa Thaykam lain sedang
mengantuk, di tengah ruangan ada satu tempat tidur besar
yang tertutup kelambu sutra kuning.
Yang tidur di dalam kelambu itu tentunya adalah Kaisar,
demikian pikir mereka berdua.


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian menyerbu ke dalam.
Thaykam yang ada di dalam menjadi ribut, tetapi dengan
cepat Boh Wan-lian telah menyingkap kelambu terus
menjambret. Tak terduga, orang dalam kelambu itu ternyata
tidak lemah, sekali badan membalik, dengan cepat orangnya
sudah melompat bangun, sebuah belati mengkilap tahu-tahu
malah menusuk ke hulu hati Boh Wan-lian. Namun Wan-lian
cukup cepat dan gesit, waktu tangannya membalik, ia dapat
menahan tusukan orang itu yang hanya tinggal beberapa dim
dari tubuhnya. Ilmu silat orang itu ternyata tidak rendah, tiba-tiba
tangannya ditarik ke bawah, walaupun belatinya terlepas,
tetapi tangannya juga lepas dari cekalan musuh, menyusul
dengan cepat telapak tangan kirinya memukul ke iga kiri Boh
Wan-lian. Lekas Wan-lian menangkis, ia menjadi terdesak
mundur beberapa tindak.
Orang itu menggeram kalap, segera ia menubruk maju.
Tetapi ia lupa bahwa masih ada Pho Jing-cu. Secepat kilat
orang tua ini memburu maju, begitu tangannya bergerak, ia
tempeleng orang beberapa kali.
Ketika orang itu bermaksud balas menghantam, namun Pho
Jing-cu tak memberi kesempatan padanya, sekali cekal,
dengan gerakan 'Kim-na-jiu-hoat' atau ilmu cara memegang
dan menangkap, tahu-tahu pergelangan tangannya telah
terpegang erat-erat terus dipencet, keruan orang itu menjadi
lemas dan tak berkutik lagi.
Kiranya Jing-cu tahu, waktu Kaisar Khong-hi naik takhta
umurnya tidak lebih belasan tahun, dan kini paling banyak pun
baru berwujud pemuda dua puluhan tahun, padahal orang ini
sudah setengah umur.
Maka dengan pandangan mata tajam segera Jing-cu
mengancam para Thaykam yang berada di situ untuk
mengaku di-mana Kaisar Khong-hi berada.
Dalam takutnya karena ancaman itu, semua Thaykam
menatap seorang Thaykam tua yang rupanya menjadi
pemimpin mereka.
Segera Thaykam tua itu didekati Pho Jing-cu, tiba-tiba ia
sodok pelahan punggung dayang kebiri itu hingga ia merasa
kesakitan yang meresap tulang. Thaykam itu merintih
kesakitan dan berulang berteriak, "Baiklah, akan kukatakan!"
"Kaisar tidak berada di kamar ini," demikian ia memulai,
rupanya dayang ini adalah dayang pribadi sang maharaja.
"Betul ia tadi tinggal di tingkat ini, tetapi di bawah pagoda ini
terdapat jalan bawah tanah yang menembus ke kamar Hwesio
tua, Hwesio pengawas kelenteng Jing-liang-si ini, maka sejak
tadi ia sudah pergi menemui Hwesio itu melalui jalan itu."
"Dan siapa dia?" tanya Jing-cu sambil menuding orang
yang tiduran di dalam kelambu tadi.
"Dia hanya seorang 'padulu' dari kerajaan," sahut Thaykam
tua itu. Padulu adalah gelar kebesaran pemerintah Boan yang
berarti perwira.
"Baiklah, sekarang kau boleh pilih, jika kau masih ingin
hidup, maka semua harus menurut apa yang kuperintahkan,"
kata Jing-cu kemudian sesudah berpikir sejenak.
Lekas Thaykam tua itu mengangguk tanda tunduk. Meski
padulu itu bermaksud membangkang, namun di bawah
cengkeraman Jing-cu, ia paham kalau tidak menyerah,
sekalipun jiwanya diampuni, sedikitnya akan menjadi cacat
juga, maka terpaksa ia pun takluk.
Segera Pho Jing-cu melucuti pakaian dayang itu, dan
menyuruh Boh Wan-lian menyamar sebagai Thaykam. Tingkah
laku Thaykam memang mirip perempuan, tentu saja
penyamaran Wan-lian menjadi sangat cocok.
"Bawa kami ke sana melalui jalan bawah tanah itu, apabila
di terowongan ada penjaga yang bertanya, katakan bahwa
aku adalah tabib yang diundang oleh Hongsiang," perintah
Pho Jing-cu pada Thaykam tua itu.
Segera pula Pho Jing-cu totok Thaykam lain yang
sedikitnya harus enam jam lagi baru bisa pulih sendiri.
Sehabis itu Pho Jing-cu menggandeng padulu dan Boh
Wan-lian menggandeng Thaykam tua, masing-masing
menjaga seorang dan segera diperintahkan jalan. Thaykam
tua diam saja tak bersuara, mau tak mau ia mengulur tangan
menekan ke tembok, maka pada tembok itu segera terbuka
satu pintu hidup, di balik tembok ternyata ada tangga beratus
undakan yang menghubungkan terowongan di bawah tanah.
Jalan bawah tanah itu ternyata dijaga dengan ketat, tiap
jarak puluhun tindak tentu ada seorang pengawal. Thaykam
tua itu boleh jadi sudah pernah mengikuti Hongsiang keluar
masuk jalan bawah tanah ini, maka pengawal-pengawal itu
sedikitpun tak curiga, bahkan bertanya pun tidak dan lantas
memberi jalan pada mereka.
Tidak lama, sampailah mereka di ujung jalan itu. Jing-cu
dan Wan-lian memerintahkan padulu dan Thay-kam tua itu
berhenti. Tiba-tiba terdengar ada suara orang di atas yang
menembus ke bawah, walaupun tidak begitu jelas, tetapi toh
dikenal bahwa itu adalah suara 'Yu-Iiong-kiam' Coh Ciau-lam.
Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian terperanjat, ternyata iblis ini
betul tidak mampus terjatuh ke dalam jurang.
Orang yang di atas agaknya sangat asyik sekali sehingga
makin keras suaranya. Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian berdua
mendengar suara seorang pemuda sedang membentak dan
bertanya dengan kereng, "Betulkah Go Sam-kui berani berbuat
demikian?"
"Hamba tak berani berdusta," terdengar jawaban Coh Ciaulam
seperti rada gemetar.
Sehabis berkata, di atas mendadak sunyi, selagi Pho Jingcu
dan Boh Wan-lian merasa heran, tiba-tiba terdengar suara
gemuruh, dari kedua sisi tembok jalan terowongan itu
mendadak terdorong keluar satu pintu besi, waktu Pho Jing-cu
dan Boh Wan-lian berpaling, mereka terkejut, nyata mereka
sudah terkurung di dalam pintu besi di suatu ujung dan ujung
lain dua jago pengawal sudah mencegat.
"Siapa yang berani mencuri dengar?" tanya Coh Ciau-lam
dari atas dengan suara keras.
Ternyata Coh Ciau-lam yang sudah tinggi dan matang ilmu
silatnya, kupingnya tajam dan mata jeli. Waktu Jing-cu
datang, walau dengan langkah pelan akan tetapi toh
menerbitkan suara juga, lebih-lebih suara langkah Thaykam
tua itu. Ketika Coh Ciau-lam mendengar ada suara langkah orang
mendekat, lalu mendadak berhenti, dan lama tak terdengar
bergerak lagi, ia menjadi curiga, maka dengan diam-diam ia
melaporkan hal itu pada Kaisar.
Pikir Kaisar, pengawal di bawah yang terdekat jauhnya ada
sepuluh tombak lebih dengan pintu masuk dan tidak mungkin
berani sembarangan bergerak, apalagi Thaykam di pagoda
induk sana, tanpa perintah rasanya pun tidak berani,
andaikata datang juga berhenti di depan pintu untuk
melaporkan diri. Begitulah maka ia menjadi curiga dan segera
tangannya menekan alat rahasia, menyusul pintu penghalang
besi di jalan bawah tanah terdorong keluar dan mencegat di
belakang orang.
"Lekas tangkap orang yang berani mencuri dengar itu ke
sini," perintah Kaisar pada Ciau-lam.
Tetapi Pho Jing-cu cukup cerdik, begitu pintu besi menjeplak
keluar, segera ia menotok padulu dan Thaykam tua
tadi, pedangnya segera dilolos keluar. Waktu itu kedua
penjaga pun sudah sadar dan tentu saja mereka menjadi
terkejut berbareng mereka menubruk maju. Tetapi mana bisa
mereka menahan Pho Jing-cu dengan ilmu silatnya yang
menakjubkan itu, cukup dua-tiga gebrakan lengan mereka
sudah terkutung putus. Berbareng pintu besi di jalan bawah
tanah itu mendadak terbuka.
"Awas, hati-hati!" teriak Pho Jing-cu dan tahu-tahu dari luar
senjata rahasia sudah beterbangan menyambar masuk ke
dalam. Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian memainkan ilmu pedang
mereka, dan memutar kencang senjata mereka hingga
berwujud sinar putih, senjata rahasia yang berhamburan
semua terpental dan mengeluarkan suara nyaring berisik
karena berbenturan dengan tembok batu di samping.
"Terjang keluar!" seru Pho Jing-cu.
Di bawah hujan senjata rahasia segera mereka menerobos
keluar dengan paksa, Bu-kek-kiam Pho Jing-cu menyambar ke
depan, tubuhnya mengikuti majunya pedang, hanya terlihat
gulungan sinar putih yang menggelundung keluar, lalu Boh
Wan-liara pun menyusul dengan cepat meloncat keluar dari
jalan bawah tanah itu.
Sedari tadi Coh Ciau-lam sudah menanti di mulut goa,
begitu ia melihat ada orang keluar, pedangnya segera
membacok, lekas Pho Jing-cu menangkis, maka terdengarlah
suara beradunya senjata yang nyaring, kedua pihak samasama
terbentur pergi.
Setelah Coh Ciau-lam menegasi dan mengetahui yang
datang adalah lawan kerasnya, Pho Jing-cu, ia menjadi
mendongkol dan gusaT, "Tua bangka, hari ini biar aku
tentukan mati-hidup denganmu!" bentaknya dan segera
pedangnya menusuk dengan gemas.
Berada di sarang harimau, mau tak mau Pho Jing-cu pun
menempur orang dengan mengadu jiwa, waktu itu Boh Wanlian
pun sudah meloncat keluar, ia melihat dalam ruangan itu
ada seorang pemuda sedang hendak kabur, segera ia
melompat maju dan menjambret.
Sementara itu, pengawal yang berjaga di luar waktu
mendengar bentakan Coh Ciau-lam, berduyun-duyun
menerobos masuk, mana bisa mereka menghalangi Boh Wanlian
menjambret Kaisar si pemuda, sekejap saja beberapa
senjata mereka sudah menerjang. Terpaksa Wan-lian balik
menangkis, maka kesempatan itu digunakan Kaisar Khong-hi
untuk lari masuk ke kamar lain.
Pho Jing-cu mengeluarkan seluruh kemahirannya,
serangannya cepat dan tangkas. Beberapa kali Coh Ciau-lam
menyerang dan merangsek dengan pukulan-pukulan lihai,
tetapi selalu gagal, bahkan beberapa kali dua pedang beradu,
pedang Coh Ciau-lam sendiri terpental balik.
Diam-diam Pho Jing-cu merasa heran, tetapi juga terkejut,
kalau melihat keuletan dan kematangan Coh Ciau-lam adalah
sebanding dengan dirinya, tetapi mengapa pada pertempuran
kali ini tenaganya seperti sudah berkurang banyak" Walaupun
ia dapat menahan Coh Ciau-lam, namun ia kepayahan juga
karena sendirian harus menandingi orang banyak, sedang di
antara jago pengawal kerajaan tidak kurang yang pandai.
Dalam kegugupannya ia mendapatkan akal, tiba-tiba ia
mengincar seorang di depannya dan mendadak pedangnya
membabat secepat kilat, karena tak sempat menghindarkan
diri, pengawal itu terkutung tangannya.
Orang itu menjerit dan jatuh terguling, Pho Jing-cu tidak
ayal lagi, begitu musuh roboh segera ia melompat keluar dari
kepungan itu dan dengan sekali loncat ke atas panggung arca
Buddha yang berada di tengah ruangan kelenteng itu.
Panggung arca itu luas sekali, di atasnya ada enam patung
Cun-cia dan Cap-pek-lohan. Arca Buddha besar itu semuanya
terbuat dari besi mentah yang berjajar tidak rata.
Pho Jing-cu berlari kian kemari menggunakan arca-arca
Buddha itu sebagai tameng, seketika Coh Ciau-lam dan para
pengawal ternyata tidak berdaya untuk mengepungnya lagi,
terpaksa mereka hanya mengejar ke sana-sini seperti anak
kecil bermain kucing-kucingan.
Dalam pada itu, di sebelah sana Boh Wan-lian juga sedang
dikejar oleh para pengawal dengan gemas. Beruntung jagojago
yang lebih kuat di antaranya sudah pergi membantu Coh
Ciau-lam menghadapi Pho Jing-cu, sebaliknya Boh Wan-lian
justru paling mahir ilmu mengentengkan tubuh, ia berlari
cepat menerobos ke sana kemari, dengan licin laksana ikan,
para pengawal kelabakan sendiri dipermainkan si gadis.
Ketika keadaan mulai gawat, tiba-tiba Pho Jing-cu yang
berada di atas panggung arca berseru, "Lian-ji, serang mereka
dengan 'Tok-soa-ci'!"
Tok-soa-ci artinya pasir beracun. Kiranya Pho Jing-cu yang
paham tentang ilmu tabib walaupun ia sendiri tidak suka
menggunakan senjata rahasia, tetapi ia telah mengajarkan
pada Boh Wan-lian semacam senjata rahasia, Toat-beng-sinsoa
atau pasir sakti pencabut nyawa, pasir terbuat dari besi.
Pasir besi ini terbagi pula dua macam, yang direndam dengan
racun dan yang lain tidak berbisa.
Waktu Pho Jing-cu menurunkan ilmu senjata rahasia itu, ia
telah memperingatkan Boh Wan-lian kalau bukan pada saat
yang paling berbahaya, ia tidak diperkenankan memakai pasir
beracun itu. Kini perintah itu datang dari Pho Jing-cu sendiri,
mata boleh dikata inilali untuk pertama kalinya ia
menggunakan senjata rahasia itu.
Begitu pula haru pertama kali ini Boh Wan-lian mengalami
pertempuran dahsyat, dalam tegangnya ia sampai lupa bahwa
ia masih membekal senjata rahasia yang lihai, dan kini
sesudah diingatkan oleh Pho Jing-cu, ia menjadi girang sekali,
tangan kiri segera memakai sarung kulit menjangan, ia
merogoh kantong yang berisi senjata rahasia itu, ia meraup
segenggam pasir beracun Toat-beng-sin-soa dan lantas
dihamburkan ke pihak musuh. Pasir sakti itu seketika tersebar
menjadi beberapa garis hitam dan menuju ke arah musuh
yang datang mengejar, tidak ampun lagi, segera beberapa
orang terkena muka dan kepala mereka, walaupun tidak
merasa sakit, akan tetapi tidak lama lantas merasa seluruh
badan gatal pegal.
Pengawal-pengawal itu semua sudah berpengalaman di
kalangan Kangouw, waktu mendengar Pho Jing-cu berkata
"Tok-soa-ci" mereka sudah berhati-hati, kini sewaktu
merasakan senjata rahasia yang aneh itu, tentu saja mereka
menjadi gugup dan jeri. Mereka tak berani lagi terlalu
mendesak si gadis.
Sin-soa atau pasir sakti itu hanya bisa menyerang jarak
dekat, jika jauh tiada gunanya lagi.
Maka sesudah para pengawal itu berada di luar jarak
serangan Sin-soa, kembali mereka balas menyerang dengan
senjata rahasia pada Boh Wan-lian. Dan karena si gadis hanya
sendirian, ia menjadi sulit melayani serangan itu.
"Kau tak usah kuatirkan aku, kau terjang keluar dahulu!"
tiba-tiba terdengar teriakan Pho Jing-cu.


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembali Boh Wan-lian mengayun tangan dan
menghamburkan dua genggam Toat-beng-sin-soa, sebagian
pengawal itu menghindar, dengan cepat ia membalik badan
terus berlari, secepat anak panah ia menerobos keluar melalui
jendela dan dengan menggunakan ilmu memanjat Pia-hou-yujio
atau cecak merambat tembok, dengan kecepatan luar biasa
Wan-lian memanjat ke atas genteng kelenteng besar itu.
Genteng ruangan besar Jing-liang-si terbuat dari genteng
gelas keluaran Peking, permukaan genteng halus licin, susah
untuk menancapkan kaki di atasnya. Terpaksa Wan-lian
berganti gaya, ia tidak berjalan lagi tapi meluncur di atas
genting, sekejap saja ia sudah sampai di tengah wuwungan.
Waktu itu pelita dan lampion di sekitar Jing-liang-si terang
benderang seperti siang hari, maka Boh Wan-lian yang
meluncur di atas genteng, dengan jelas dapat dilihat oleh
penjaga di bawah, keruan seketika senjata rahasia bagaikan
hujan menghambur pula ke arah dirinya, dalam keadaan
begitu lebih sulit berkelit daripada waktu di dalam ruangan
kelenteng, Boh Wan-lian menjadi repot berkelit, dalam
gugupnya tudung angin yang ia pakai tiba-tiba terkena satu
anak panah dan jatuh, segera rambutnya yang panjang
terurai, ia menjadi tambah gugup.
Dalam keadaan begitu, tiba-tiba dari bawah menyambar
pula sebuah senjata rahasia yang bundar bulat dan
mengeluarkan suara mendenging, lekas Wan-lian meluncur
pergi, siapa tahu genteng di depannya mendadak pecah
berantakan karena kejatuhan senjata rahasia yang berat itu,
kiranya senjata rahasia tadi bukan lain adalah sebuah bola
besi. Dan karena Boh Wan-lian tak keburu menahan diri, ia
terjeblos ke bawah.
Dengan jatuhnya itu, kebetulan ia menimpa salah satu arca
Buddha besar di ruangan kelenteng yang lain, sekuat tenaga
Boh Wan-lian menarik tangan arca Buddha itu dengan maksud
menghentikan laju jatuhnya. Tak terduga, arca itu ternyata
dapat bergerak, waktu Boh Wan-lian menarik lagi sekuat
tenaga, dengan mengeluarkan suara bercit-cit arca itu
berputar setengah lingkaran, tiba-tiba di belakang arca itu
tampak sebuah pintu. Untuk menghindarkan pengejaran,
tanpa pikir panjang lagi Boh Wan-lian segera masuk ke dalam
pintu itu. Tapi begitu ia masuk, ia menjadi terperanjat sekali. Kiranya
itu adalah kamar yang terawat rajin bersih, di tengah duduk
seorang Hwesio tua berjenggot putih, di sampingnya berdiri
seorang pemuda dengan kedua tangan lurus ke bawah. Tidak
salah lagi pemuda itu adalah Khong-hi yang tadi hampir
tertangkap olehnya di ruang depan.
Hwesio tua itu duduk bersila dengan mata terpejam dan
diam saja tak bersuara, sedang Kaisar Khong-hi mulurnya kemakkemik seperti sedang memohon sesuatu.
Perasaan Wan-lian tiba-tiba tergerak, ia pikir, apakah kabar
yang pernah didengarnya adalah sesungguhnya"
Pada saat itu juga, dari belakang mendadak ada sambaran
angin, dalam keadaan tak sadar. Boh Wan-lian tak sempat
berkelit, lengannya tahu-tahu terpegang kencang oleh tangan
seorang, kelima jari orang itu begitu kuat serupa kaitan besi
hingga Boh Wan-lian tak bisa berkutik.
Orang itu menyeret Boh Wan-lian ke depan Hongte atau
Kaisar, waktu Khong-hi mengenali Wan-lian adalah orang yang
tadi mengejar dan hendak menangkap dirinya itu, ia menjadi
gusar sekali. Dan ketika dilihatnya rambut orang panjang
terurai memenuhi kepala, jelas adalah seorang gadis, tapi
pakaian yang dipakai sebaliknya adalah pakaian Thay-kam,
dalam hati ia menjadi heran.
"Siapa kau sebenarnya?" segera ia membentak.
Sementara Hwesio tua itu telah membuka kedua matanya,
sekonyong-konyong ia seperti menemukan sesuatu, mukanya
tiba-tiba berubah seperti merasa girang bercampur heran,
kedua matanya bersinar.
"Likisu (wanita budiman) ini kukenal!" katanya tiba-tiba.
Dengan termenung ia pandang Boh Wan-lian sampai lama,
kemudian ia kemak-kemik seperti menggumam, "Kau
sebenarnya manusia atau arwah halus" Ai, mukamu persis
seperti dia! Kalau kau bukan arwah halusnya, tentu adalah
jelmaannya!"
Sesaat itu, Boh Wan-lian menjadi jelas, sedih dan juga
benci. "Kau tentunya adalah Sun-ti Hongte, dan bagaimana
dengan ibuku" Sebetulnya ia masih hidup atau sudah
meninggal" Berada di sini atau dalam istana" Hendaklah
kausampaikan bahwa Lian-ji (anak Lian) telah datang
mencarinya!" tanya Wan-lian dengan perasaan bergolak.
Sementara itu karena pengacauan Boh Wan-lian yang tibatiba,
Kaisar Khong-hi tak tahan amarah lagi, tiba-tiba ia
membentak gusar, "Dia adalah perempuan gila. Giam Tiongthian,
seret pergi dia!"
Giam Tiong-thian adalah pengawal yang tadi menangkap
Boh Wan-lian itu, ia adalah pengawal pribadi Khong-hi yang
perkasa, pada waktu Hwesio tua berbicara tadi ia telah
menyingkir pergi diam-diam, hanya tangannya siap dengan
senjata rahasia dan berdiri jauh, maksudnya menghindarkan
kecurigaan. Kini demi melihat Khong-hi marah, dengan
perasaan kebat-kebit ia mendekat, di luar dugaan ia telah
dapat mengetahui rahasia kerajaan itu, ia tidak mengerti hal
ini bakal beruntung atau celaka baginya.
"Kau jangan menakuti dan menggertak dia, waktu kau
masih kecil, ibumu pun pernah menggendong dia," kata
Hwesio tua itu pada Khong-hi.
Setelah itu, dengan pelahan ia tarik Boh Wan-lian, lalu
katanya lagi dengan menghela napas, "Ayahmu kehilangan
dia, aku pun tidak mendapatkannya. Memang ia bukan
manusia dari dunia fana ini. bagaimana aku bisa
menyampaikan pesanmu itu?"
"Kalau begitu, jadi ibuku sudah meninggal?" tanya Boh
Wan-lian dengan mata membelalak.
"Hidup manusia seperti mimpi, Tang-ok-hui (ibu Wan-lian,
selir Sun-ti) kebetulan meninggalkan bekas kecantikannya, kini
semua sudah lenyap dilupakan orang, apa gunanya kau begitu
kukuh pada pendirianmu?" kata Hwesio tua lagi seperti sabda
Buddha. "Aku tidak mengerti kata-katamu yang berfilsafat tinggi ini,
aku hanya ingin lekas kauberitahukan padaku bagaimana
keadaan sebenarnya ibuku?" kata Wan-lian tak sabar.
"Baiklah," kata Hwesio tua itu akhirnya. "Kalau kau begitu
terkenang pada ibumu, biar kubawa kau pergi melihatnya!"
Sesudah itu, ia pelahan bangkit, ia gandeng tangan Boh
Wan-lian dan berjalan keluar. Mau tak mau Khong-hi dan
Giam liong-thian mengikuti dari belakang, perasaan mereka
mendongkol. Hwesio tua itu membawa Boh Wan-lian keluar dari pintu
pojok, waktu lewat ruangan besar, terdengar di dalam sana
masih ada suara beradunya senjata dan bentakan. Suara itu
berasal dari Pho Jing-cu yang sedang main kucing-kucingan di
antara patung sembari menempur para pangawal.
"Siapa dia, apakah ia datang bersamamu?" tanya si Hwesio
tua pada Boh Wan-lian.
"Ia ternama Pho Jing-cu, betul ia datang bersamaku,"
jawab si gadis.
"Hian-hua, perintahkan mereka untuk berhenti. Pho Jing-cu
adalah sahabat karib Boh-siansing, ia juga terhitung orang
ternama, jangan persulit dia," kata Hwesio tua pada Khong-hi.
Hian-hua ialah nama kecil Kaisar Khong-hi. Walaupun
dalam hati ia tidak suka, tetapi ia tidak berani membantah
permintaan itu, terpaksa ia mengeluarkan perintah.
Sesudah Pho Jing-cu menyimpan kembali pedangnya, ia
kebut debu di tubuhnya dan melompat turun dari panggung
arca, ia manggut pada Hwesio tua itu, tetapi tidak
menghaturkan terima kasih dan tak berkata apa pun.
Dengan tangan kiri menggandeng Boh Wan-lian dan tangan
kanan menggandeng Khong-hi, dan diikuti oleh Pho Jing-cu
dan Giam Tiong-thian, dengan pelahan si Hwesio tua
melanjutkan langkahnya pula. Semua pengawal merasa heran
tetapi tiada seorang pun yang berani bersuara dan mengikuti,
hanya Coh Ciau-lam saja dengan pedang terhunus mengikuti
dari jauh. Tempat dimana mereka lewat, semua pengawal maupun
Thaykam pada membungkuk dan menyingkir minggir, Hwesio
tua tak mempedulikan dan terus berjalan tanpa berkata.
Tak lama kemudian, tibalah mereka di suatu taman, Hwesio
tua itu menuding sebuah kuburan yang di atasnya penuh
tumbuh rumput alang-alang, lalu ia berkata pada Boh Wanlian,
"Di dalamnya bersemayam tudung dan baju ibumu,
mengenai diri ibumu, ia sudah meninggal."
Ternyata Hwesio tua ini memang betul adalah Kaisar Sun-ti.
Setelah ia mendapatkan Tang Siao-wan, ia sangat
mencintainya, dan menganugerahinya sebagai Tang-ok-hui.
Sebaliknya Tang Siao-wan merindukan Boh Pi-kiang, dan
terutama mengenang anak perempuannya, Wan-lian, yang
ditinggalkannya itu, hatinya sangat sedih, setiap hari selalu
muram, karena itu, Kaisar Sun-ti sangat kecewa dan merasa
hampa. Waktu Ibu suri mengetahui bahwa ada seorang wanita
suku Han menjadi kesayangan Kaisar, ia menjadi kurang
senang, apalagi mengetahui pula cinta Sun-ti tidak terbalas, ia
menjadi gusar sekali, diam-diam ia memerintahkan kiongli
atau dayang istana memukul Tang Siao-wan hingga tewas,
mayatnya dibuang ke sungai dalam taman istana.
Setelah Sun-ti mengetahuinya, ia sedih luar biasa, bahkan
diam-diam ia meninggalkan istana dan pergi menjadi Hwesio
di Ngo-tai-san, dan mendirikan sebuah kuburan tudung dan
baju Tang Siao-wan.
Begitulah, maka demi melihat kuburan itu, Wan-lian amat
berduka, tak dihiraukannya lagi malam dingin dan embun
membasahi tanah, ia lantas berlutut di depan kuburan itu.
Sesudah bersembahyang beberapa kali, ia berdiri pula,
dengan meraba pedangnya ia pandang Sun-ti. Ia melihat
Hwesio tua ini laksana patung saja duduk di atas tanah,
hatinya terasa pedih, tangannya pun terasa lemas.
"Wan-lian, marilah kita pergi!" ajak Pho Jing-cu tiba-tiba
dengan menghela napas.
Dan pada saat itulah, dari jauh tiba-tiba terdengar
serentetan suara ribut, belasan pengawal sedang mengejar
seorang gadis berkedok, makin dikejar makin dekat.
Waktu Wan-lian menegasi, tak tertahan lagi ia berseru,
"He, bukankah itu Ie Lan-cu Cici?"
Kiranya waktu Boh Wan-lian bertemu dengan si Hwesio tua
itu, Ie Lan-cu pun mengalami suatu penemuan aneh. Untuk ini
harus diceritakan mulai dari suami isteri To Tok.
Sesudah To Tok bertempur melawan para pahlawan di
Ngo-tai-san dan terluka oleh Kim-hun-tau, senjata rahasia
Lauw Yu-hong, walau pun tidak membahayakan jiwanya,
tetapi karena terlalu banyak mengeluarkan darah,
sekembalinya di kelenteng Jing-liang-si, ia lantas merawat
lukanya itu. Melihat luka suaminya cukup parah, permaisuri To Tok, Okonghui Nilan Ming-hui, menjadi kuatir dan kasihan, segera ia
membubuhi obat dan menjaga sang suami tidur.
Selama enam belas tahun To Tok menikah dengan isterinya,
Nilan Ming-hui, selama itu sang isteri selalu dingin
terhadap To Tok. Kini demi dilihatnya sang isteri mau
meladeni sendiri, seketika tekanan perasaannya selama ini
seakan-akan menjadi lega, maka tak berapa lama ia pun
tertidur pulas.
Sesudah To Tok tidur, Ok-ong-hui sendiri menjadi kesepian,
ia termenung dan mengenang masa lalu, semakin ia berpikir
rasanya semakin kusut.
Pada saat itulah datang seorang pelayan memberitahu
bahwa Nilan-konzcu (Tuan muda Nilan) telah datang dan
mohon bertemu. "Sudah jauh malam begini, dia masih belum tidur?" de-m
ikian kata Ok-ong-hui.
Lalu ia pun mempersilakan orang masuk. Waktu pintu
dibuka, masuklah seorang pemuda dengan muka berseri-seri
dan memakai mantel tebal.
"Kohbo (bibi), aku telah berhasil menyusun sebuah sajak
baru," kata pemuda itu senang begitu melangkah masuk.
Kiranya pemuda ini adalah kemenakan Ok-ong-hui Nilan
Ming-hui, namanya Nilan Yong-yo, pemuda itu terhitung
seorang ahli sajak pertama dari dinasti Boan-jing pada waktu
itu. Ayahnya bernama Nilan Ming-cu, yakni kakak Ok-ong-hui,
tatkala itu menjabat sebagai Perdana Menteri kerajaan.
Nilan Yong-yo orangnya rupawan dan berbakat, meski
usianya masih muda, tetapi namanya sudah tersohor di
seluruh negeri, Kaisar Khong-hi sendiri pun sangat cocok dan
suka padanya, karena itu, kemana saja Khong-hi pergi selalu
Yong-yo dibawanya serta. Cuma anehnya, meski Nilan Yongyo
dilahirkan di keluarga bangsawan, namun watak dan
tindak-tanduknya tiada sedikitpun lagak orang kalangan atas,,
sebaliknya ia suka bergaul dengan khalayak ramai dan benci
pada kehidupan yang sunyi di lingkungan keluarga kerajaan,
ia pun tak bisa melepaskan diri dari ikatan kekeluargaan itu,
sebab itulah ia selalu mas-gul, dalam darah ningratnya itu
ternyata sudah mengalirkan darah khianat terhadap keluarga
kerajaan sendiri.
Di kalangan kerajaan dan di antara sanak familinya, satusatunya
orang yang paling cocok dengan Nilan Yong-yo adalah
bibinya ini, Nilan Ming-hui, permaisuri To Tok.
Bibinya ini sudah mengenal watak kemenakannya, maka
mendengar kata-kata orang tadi, dengan tersenyum ia pun
bertanya, "Sajak baru apakah itu yang telah kauciptakan?"
"Nih, biar kuperdengarkan pada Kokoh (bibi)," kata Yongyo.
Lalu pemuda ini mengambil sebuah 'Be-tau-kim' atau rebab
dengan ujung berbentuk kepala kuda, semacam alat musik
yang umum dipakai bangsa Mongol. Ia setel alat musik itu,
lalu mulai menabuhnya untuk mengiringi sajaknya itu.
Suara khim itu mula-mula sangat kalem dan merdu, lalu
berubah dengan nada yang sangat mengharukan seperti suara
sesambatan orang sedang menuntut keadilan dan kebebasan.
Ok-ong-hui Nilan Ming-hui termangu oleh suara khim
dengan lagunya yang meluluhkan hati itu, tanpa terasa air
matanya membasahi pipi. Kiranya ia terkenang pada bayangan


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Njo Hun-cong, kekasih pada cinta pertamanya, teringat pada
malam menjelang hari pernikahannya dengan To Tok enam
Pendekar Pemetik Harpa 21 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Dendam Iblis Seribu Wajah 4

Cari Blog Ini