Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 2
belas tahun yang lalu, tatkala itu ia pun berpikir ingin bisa
terbang bebas di angkasa seperti burung, tetapi sampai kini
bukankah ia masih terkurung dalam sangkar yang sempit"
Dalam keadaan termenung dan tak sadar itu, mendadak
suara khim terputus, alunan suara khim yang terakhir itu tibatiba
diikuti dengan suara perkataan seorang gadis, "Sungguh
sajak bagus!"
Nilan Ming-hui dan Yong-yo terkejut sampai melompat
bangun. Maka terlihatlah seorang gadis berkedok dengan gaya
yang lemah lembut sudah berdiri di dalam kamar.
Sebenarnya ilmu silat Ming-hui tidak rendah, tetapi karena
tenggelam oleh alunan suara rebab tadi, kedatangan si gadis
itu sampai tak diketahuinya.
Demi melihat gadis ini, tiba-tiba Ming-hui ingat, dia bukan
lain adalah gadis yang siang tadi hendak membunuhnya.
"Siapa kau?" tanyanya segera.
"Aku adalah seorang yang berdosa," sahut gadis itu
sembari menggigit bibir.
Aneh, Nilan Ming-hui merasa suara orang seperti sudah
dikenalnya, perawakan gadis juga seperti sudah lama
dikenalnya. Tiba-tiba timbul semacam perasaan aneh
padanya, ia merasa seperti pernah berjumpa dengan orang
entah dalam mimpi atau dimana, ia merasa orang begitu rapat
hubungannya dengan dirinya, tetapi juga seperti begitu asing
baginya. Sementara itu Nilan Yong-yo juga sedang terheran-heran
begitu dilihatnya tingkah-laku dan perawakan si gadis begitu
mirip dengan bibinya.
"Kau berdosa apa?" tanpa terasa ia ikut bertanya.
"Entah, aku tak tahu dosa apa yang kulakukan?" jawab
gadis itu. "Sejak kecil aku ditinggal pergi ibuku. Maka pikirku,
tentu ini adalah dosaku pada jelmaan hidup yang lalu."
Karena kata-kata itu, Ok-ong-hui melompat bangun, ia
ingin memegang tangan si gadis itu, namun dengan cepat
gadis itu melangkah mundur, sorot matanya angkuh.
"Jangan kausentuh aku," katanya dingin. "Kau adalah
seorang Ong-hui yang agung, kau toh tak pernah membuang
anak kandungmu, apa kau tak kuatir bikin kotor tanganmu bila
memegang badanku?"
Ok-ong-hui jatuh lemas di atas kursinya, ia menutup
mukanya dengan kedua tangan, lama dan lama sekali, mereka
bertiga saling pandang, suasana sepi senyap.
"Maukah kau memberitahukan namamu padaku?"
mendadak Ong-hui bertanya lagi.
"Aku bernama Ie Lan-cu," sahut gadis itu.
"Kau bukan she Njo?" tanya pula Ong-hui sembari
menghela napas kecewa.
"Kenapa aku harus she Njo?" kata si gadis angkuh ini,
"Agaknya, Ong-hui tertarik oleh orang she Njo?"
Ok-ong-hui tak bisa menjawab, ia termenung, mulutnya
terlihat kemak-kemik, ia menggumam sendiri sambil
mengulangi nama orang, "Ie Lan-cu, Ie Lan-cu "
Tiba-tiba teringat olehnya bahwa Te' adalah setengah huruf
'Njo' dan 'Lan' adalah gabungan she sendiri, sedang anak
perempuan yang terlantar itu bernama kecil 'Po-cu'.
Kemudian Ong-hui berdiri pelahan, ia memegang kursi
erat-erat, pandangan matanya seakan-akan kabur, badannya
serasa lemas tak bertenaga.
Pada waktu itu juga di luar ada pelayan mengetuk pintu,
dan melapor, "Ongya telah bangun, ia minta Ong-hui datang
padanya." Mendengar ketukan itu, baru Ok-ong-hui seperti sadar dari
mimpi, ia teringat akan kedudukannya sebagai Ong-hui atau
permaisuri pangeran.
"Aku mengerti, pergilah melayani Ongya dahulu, segera
aku datang," pesannya pada pelayan di luar itu.
Sehabis itu ia lalu duduk kembali.
"Ada kesukaran apa yang kau perlu bantuanku?" tanyanya
pada Ie Lan-cu.
"Aku tidak mempunyai kesukaran apa-apa, segala
kesukaran, aku sendiri sanggup memikulnya," sahut Lan-cu
tertawa dingin.
"Kalau begitu, apakah tiada sesuatu tujuan kedatanganmu
ke sini?" tanya Ok-ong-hui pula.
"Kalau ada mengapa?" tanya Ie Lan-cu tiba-tiba, setelah
berpikir sebentar.
"Jika itu adalah urusanmu, aku sanggup membantu
menyelesaikannya untukmu!"
"Kalau begitu, aku minta dilepaskan dan serahkan padaku
pemuda yang hari ini tertangkap di depan kelenteng Jingliangsi itu," kata Ie Lan-cu sambil melangkah maju.
"Apakah pemuda yang hari ini hendak membunuhku itu?"
tanya Ok-ong-hui heran.
"Betul," sahut Lan-cu. "Apakah Ok-ong-hui tidak bersedia
melepas dia" Aku ingin memberitahukan padamu, ia pun
seorang anak piatu yang sudah tak berayah. Hari ini ia tidak
mengetahui bahwa yang berada di dalam joli adalah kau."
Ok-ong-hui berpikir sejenak.
"Baiklah, aku akan melepaskan dia!" katanya kemudian
dengan ikhlas. Sehabis berkata, ia bangkit pelahan dan berjalan masuk ke
ruang belakang.
Dengan mata membelalak Yong-yo memandang gadis yang
aneh ini, ia merasa sinar mata orang tajam dingin, ia menjadi
mengkirik dan berpaling ke arah lain.
"Nona, kalau sekiranya kami mempunyai sesuatu dosa, itu
pun rupanya sudah ditakdirkan," katanya. "Umpamanya aku,
aku sendiri merasa terlahir di keluarga kerajaan juga seakanakan
semacam dosa."
Selagi berbicara., di Luar terdengar ada langkah orang
mendatangi, Ok-ong-hui sudah membawa si pemuda yang
hendak membunuhnya hari ini.
Pemuda, ini adalah putera Tliio Hong-gian, panglima
ternama Loh-ong dari dinasti yang lalu, namanya Thio Huaciau.
Sesudah ia terkena piau Ok-ong-hui, walaupun tidak
berbahaya bagi jiwanya, tetapi juga tidak enteng lukanya.
Sesudah tertangkap, To Tok sebenarnya hendak membuka
sidang untuk memeriksa tawanan ini, tetapi karena luka To
Tok sendiri terlebih berat, maka terpaksa dia dikurung dahulu
di ruang belakang. Ok-ong-hui yang mengambil dia sendiri
sudah tentu dengan cepat sudah datang kembali.
Sebaliknya Hua-ciau yang dibawa keluar oleh orang yang
dipandang sebagai musuhnya, hatinya tidak habis mengerti,
tiba-tiba dilihatnya di dalam kamar itu duduk seorang gadis
berkedok yang dikenal sebagai orang yang mula-mula hendak
membunuh To Tok hari ini. Melihat orang duduk dengan
tenang di dalam ruangan itu, bahkan sedang bercakap-cakap
dengan seorang pemuda yang berdandan perlente, saking
herannya sampai ia tak bisa bersuara.
"Thio-kongcu, mari kita pergi!" ajak le Lan-cu segera sambil
berdiri. "Apakah kau masih dapat bergerak?"
"Aku masih dapat," sahut Thio Hua-ciau dengan memanggut
setelah sangsi sebentar.
Nilan Yong-yo yang duduk di samping dapat melihat muka
pemuda ini pucat kuning, tetapi masih tegak kepala dan
membusungkan dada berlagak kuat, namun jelas kelihatan
menahan sakit, ia menjadi tidak sampai hati.
"Dengan keadaanmu itu mungkin tak dapat berjalan,"
katanya kemudian. "Jika aku boleh usul, saudara ini
sementara boleh menyamar sebagai bujangku, tunggu nanti
sesudah baik lukanya barulah pergi, kiranya masih belum
terlambat."
"Betul, usulmu itu sangat bagus!" kata Ok-ong-hui memanggut.
"Terima kasih atas maksud baik Kongcu, asal kau tidak
membunuhku, rasanya aku sendiri bisa pergi!" kata Thio Huaciau
sambil memandang pada Ok-ong-hui, sikapnya sewaktu
bicara menunjukkan kekerasan dan ketabahan hatinya.
"Jika kau memaksa hendak pergi, aku pun tak bisa apaapa,"
kata Ok-ong-hui pada le Lan-cu setelah berpikir sejenak.
"Di sini ada satu 'lingci', boleh kaubawa pergi, mungkin bisa
mengurangi sedikit kesulitan di tengah jalan."
Sehabis berkata ia mengeluarkan sebatang anak panah
pendek yang terbuat dari batu pualam hijau, di atas anak
panah atau 'lingci' itu terukir beberapa huruf kecil yang
berbunyi 'Ok-jin-ong To Tok'.
le Lan-cu tidak menolak, ia menerima pemberian 'lingci' itu.
Hua-ciau mengunjuk rasa kurang senang, tetapi ia toh
mengikut pergi.
Ok-ong-hui meremas kedua tangannya, napasnya
memburu seperti seorang yang merasakan penderitaan batin,
beribu kali lebih sakit daripada penderitaan lahir. Tubuh le
Lan-cu agak gemetar, kedua matanya yang terbuka di luar
kudung muka kelihatan meneteskan air mata, Ok-ong-hui
melangkah maju, ia mengulur kedua tangannya. Akan tetapi
Thio Hua-ciau sudah tak sabar. "Hayo, kenapa tidak lekas
berangkat?" katanya.
Karena itu le Lan-cu seperti tersadar dari impian buruk,
melihat sikap Thio Hua-ciau yang begitu keras, tiba-tiba
semacam kekuatan kembali menguasai dirinya. Walaupun Okonghui masih gemetaran, tetapi Lan-cu sudah lantas
membalik tubuh dan mendahului di depan Thio Hua-ciau dan
melangkah pergi. Mendadak Ok-ong-hui membalikkan badan
sambil menutup mukanya dan berlutut di depan sebuah arca
Buddha di ruangan itu. Nilan Yong-yo yang berdiri di
sampingnya ikut terkesima, lapat-lapat ia mendengar suara
sesenggukan bibinya.
Setelah le Lan-cu dan Thio Hua-ciau berada di luar, terlihat
keadaan gelap gulita, sinar pelita pagoda tembaga dari jauh
menyorot menembus daun-daunan dan menjadi guram.
Sepanjang jalan kadang ada pasukan peronda yang mendekati
mereka, tetapi begitu le Lan-cu menunjukkan 'lingci' dan betul
saja pasukan peronda itu lantas tak bertanya lebih jauh.
Sesudah berjalan sebentar, sekonyong-konyong Thio Huaciau
tersungkur jatuh. Ie Lan-cu terkejut, lekas ia
menahannya. Ternyata jalanan batu di situ berlumut licin,
Hua-ciau terluka, karena kurang hati-hati ia -terpeleset.
Walaupun Ie Lan-cu keburu menahannya lebih jauh, tetapi
dadanya sudah tersodok tiang kayu yang menonjol di pinggir j
alan, lukanya jadi kesakitan, tak tertahan lagi ia menjerit,
"Aduuuh!"
"Bagaimana?" tanya Ie Lan-cu kuatir.
"Tidak apa-apa," jawabnya dengan menahan sakit dan
melepaskan tangan Lan-cu, dalam kegelapan mereka
menggeremet maju pula.
Waktu itu, beberapa serdadu penjaga yang berdekatan
telah mendengar ada suara orang, dengan cepat para penjaga
mendatangi. Lan-cu mengeluarkan lingci dan berharap bisa
lewat dengan aman, tak terduga di antara mereka ada
seorang bintara yang cukup cerdik, di bawah sinar pelita yang
remang-remang ia lihat muka le Lan-cu yang mencurigakan,
waktu ditegaskan lagi, dilihatnya baju di dada Thio Hua-ciau
merah berlumuran darah.
"Tangkap!" teriaknya tiba-tiba berbareng ia mengirim satu
serangan pada Thio Hua-ciau.
Walaupun Hua-ciau dalam keadaan terluka, tetapi dalam
keadaan yang berbahaya, tenaganya segera timbul dengan
sendirinya. Ia melompat mundur jauh ke belakang. Sementara
itu Ie Lan-cu sudah bertempur menghadapi bintara tadi.
Tiga serdadu lainnya maju hendak menangkap Thio Huaciau,
lekas Hua-ciau sambut mereka dengan senjata rahasia
'Thau-hong-piau', sekalipun tenaganya berkurang karena
terluka, tetapi incarannya tidak luput, segera ada dua orang
serdadu yang kena tertancap senjata piau itu dan yang lain
lari mundur ketakutan.
Dalam pada itu, terompet sudah berbunyi, bayangan orang
terlihat ramai mendatangi. Dalam keadaan bingung segera
Thio Hua-ciau angkat kaki dan keluar, tanpa terasa ia sudah
meninggalkan Ie Lan-cu dan melewati beberapa jalanan kecil
yang gelap, di belakang suara orang ribut masih terus
mendekat. Saking bingungnya, ia tidak berpikir panjang lagi,
ketika dilihatnya di depan ada sebuah rumah kecil mungil yang
terbangun dari batu merah dengan genteng hijau, ia
mendorong pintu dan segera masuk ke dalam, saat itu,
tenaganya sudah habis, tulang-tulang seperti retak, ia terjatuh
rubuh dan pingsan.
Sementara itu demi melihat Thio Hua-ciau berlari bingung,
Ie Lan-cu ikut menjadi gugup, ia hendak pergi menolongnya,
tetapi ia dikerubuti oleh para serdadu pengawal.
Tiba-tiba ia membentak nyaring, pedangnya diputar cepat,
segera sinar berkilauan. Kauthau atau pelatih serdadu
pengawal itu walaupun tidak lemah, tetapi silau oleh sinar
pedang Ie Lan-cu yang luar biasa, beruntun ia terdesak
mundur. Dengan cepat Lan-cu menggunakan jurus 'Ling-yancwanhu' atau burung walet menembus langit, ia melompat
keluar dari kalangan pertempuran dan berlari ke depan
dengan cepat, dari belakang telah mengejar serdadu-serdadu
yang datang dari berbagai jurusan.
Dan pada saat yang berbahaya itulah, ia telah bertemu Pho
Jing-cu dan Boh Wan-lian yang berada bersama Kaisar Sun-ti
dan Khong-hi serta sedang berdiri di samping kuburan tudung
Tang Siao-wan. Para pengawal yang mengejar itu, ketika tiba-tiba
mendapatkan Kaisar Khong-hi berdiri di situ, dan seorang
gadis lain dengan pelahan meneriaki gadis yang mereka kejar,
mereka segera meluruskan tangan dan berdiri tegak.
Sementara itu Hwesio tua telah berdiri dan berkata pada
Khong-hi Hongte, "Jangan mempersulit mereka, lepaskan
mereka turun gunung."
Khong-hi terdiam tidak menjawab.
Tiba-tiba Hwesio tua itu melambaikan tangan dan berkata
lagi, "Kamu sekalian boleh pergi!"
Sehabis itu, dari saku jubahnya ia merogoh keluar
serenceng mutiara yang bersinar gemerlapan dan diangsurkan
pada Boh Wan-lian.
"Ambillah, ini adalah barang peninggalan ibumu " katanya.
Melihat ini, rasa kejut Ie Lan-cu melebihi pengalamannya
tadi. Kejadian malam ini sungguh seperti mimpi belaka, ia lihat
Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian bahkan bisa berdiri berendeng
dengan Kaisar, sedang orang yang paling lihai, 'Yu-liong-kiam'
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Coh Ciau-lam dan seorang jagoan lainnya yang berbaju hitam,
dengan pedang terhunus berdiri di belakang.
"Masih ada seorang kawanku," kata Ie Lan-cu setelah dapat
menenangkan kembali pikirannya.
"Kalian boleh pergi semua," kata si Hwesio tua.
"Apakah juga harus kucarikan kawanmu sekalian?" kata
Khong-hi lengan gemasnya.
"Kawannya entah tertangkap oleh siapa, kelenteng ini pun
sangat besar, seketika susah dicari, biarlah Hongsiang
menyerahkan tugas ini pada hamba, bila sudah ketemu nanti
hamba akan mengantarnya turun gunung," sela Giam Tiongthian,
pengawal kepercayaan Khong-hi dengan memberanikan
diri. "Bagus, baiklah kalau begitu," sahut Khong-hi kemudian
sambil memberi tanda dengan kedipan matanya, dengan
suara keras lalu ia berpesan, "Kau boleh membawa seratus
pengawal kerajaan pergi memeriksa, harus periksa agak teliti
sedikit." Setelah mendapat titah itu, selagi Giam Tiong-thian hendak
pergi, tiba-tiba Khong-hi memanggil lagi.
"Nanti dulu! Kau boleh sampaikan perintahku ini kepada
Huthongling pasukan pengawal, Thio Sing-pin, setelah itu kau
masih harus kembali menemuiku," katanya.
Dengan menyebut "ca", Giam Tiong-thian pergi. "Ca"
adalah bahasa kaum Boan-jing pada tuannya.
Percakapan tadi didengar juga oleh Pho Jing-cu, ia tahu
tentu ada kepalsuan di balik perintah itu, akan tetapi ia tak
dapat berbuat apa-apa, ia pikir kalau tidak lantas pergi,
keadaan mungkin bisa berubah lagi.
"Mari, kita pergi!" ajaknya segera pada Wan-lian dan le
Lan-cu, kembali ia sedikit memanggut kepada Hwesio tua itu.
"Kau memang harus pergi," kata si Hwesio tua dengan
senyum pedih. Habis itu, kedua matanya menatap Khong-hi
dan berkata pula, "Berikan perintah, biarkan orang-orang ini
pergi!" Terpaksa Khong-hi menuruti perintah itu dan berkata,
"Biarkan orang-orang ini pergi!"
Dengan suara gemuruh, para serdadu pengawal
menyambut perintah itu juga dengan berteriak, "Biarkan
orang-orang ini pergi!"
Dan begitulah seterusnya, sambung menyambung perintah
itu diteruskan, Pho Jing-cu bertiga segera angkat kaki pergi
diiringi suara teriakan itu. Muka Khong-hi terlihat bersungut,
sedang Coh Ciau-lam dengan memegang pedangnya hanya
bisa menyaksikan orang pergi dari kelenteng itu dengan
sesukanya. Sementara Pho Jing-cu bertiga sudah turun gunung dengan
selamat, sebaliknya di dalam kelenteng Jing-liang-si telah
terjadi keributan yang ramai sekali. Huthongling atau wakil
kepala pasukan pengawal, Thio Sing-pin dengan membawa
seratus orang serdadu sedang menggeledah hendak
menangkap Thio Hua-ciau yang masih terkurung di dalam
kelenteng. Kembali mengenai Thio Hua-ciau tadi, sesudah ia jatuh
pingsan, dalam keadaan sadar tak sadar mendadak ia
merasakan hawa dingin yang berhembus di kepalanya, waktu
ia membuka mata, ia lihat seorang pemuda berpakaian
perlente memegang sebuah gelas air sedang menyemprot
dirinya, pemuda itu ternyata adalah Nilan Yong-yo. Waktu ia
menegasi lagi, dirinya ternyata berada dalam kamar tulis yang
rajin dan bersih sekali, bau wewangian meresap, buku dan
lukisan memenuhi seluruh tembok kamar. Ia ingin bangkit,
tetapi seluruh badannya lemah tak bertenaga.
"Baiklah, kau sudah sadar kembali, jangan banyak
bergerak, kau terlalu banyak mengeluarkan darah, baru saja
berhenti," kata Nilan Yong-yo tersenyum.
Hua-ciau memandang sekejap pada Nilan Yong-yo, ia
merasa aneh, terpaksa ia menghaturkan terima kasih.
Sementara itu, di luar pintu tiba-tiba sinar obor terang
benderang menembus masuk ke dalam kamar, suara orang
ribut ber-campur-aduk, Nilan Yong-yo menarik selembar
selimut dan menutupi seluruh tubuh Thio Hua-ciau. Kemudian
ia membuka pintu kamar dan membentak, "Ada apa?"
Ketika tiba-tiba Thio Sing-pin melihat yang tinggal di dalam
kamar baca ini adalah putera Perdana Menteri, Nilan Yong-yo,
lekas ia memberi hormat.
"Hamba mendapat titah untuk menggeledah dan
menangkap tahanan yang buron, dan tanpa sengaja telah
mengejutkan Kongcu," katanya dengan merendah.
"Silakan, silakan periksa, aku selalu menyembunyikan
tahanan yang lari ke sini, kau boleh lekas masuk
menggeledah!" kata Nilan Yong-yo dengan tertawa dingin
Mendengar begitu, Thio Hua-ciau yang bersembunyi di
dalam selimut menjadi ketakutan setengah mati hingga mandi
keringat dingin.
Sudah beberapa tahun Thio Sing-pin menjadi pengawal
kerajaan, ia mengetahui Nilan Yong-yo adalah kesayangan
Hong-siang, ditambah pula perkataan Nilan Yong-yo tadi,
bagaimana ia berani sembarangan masuk menggeledah"
"Mengapa kau tidak masuk" Bukankah yang rebah di atas
ranjangku sekarang adalah buronan itu!" kata Nilan Yong-yo
pula. Ada seorang serdadu yang mencoba melongok ke dalam
kamar, katanya, "Kongcu suruh kita periksa, marilah kita lekas
memeriksanya, kulihat di atas ranjang betul seperti ada
seseorang!"
Seketika Nilan Yong-yo berubah mukanya, sedang Thio
Sing-pin kontan memberi satu tamparan pada pengawal itu
dan membentak, "Kau berani kurangajar pada Nilan-kongcu"
Semua enyah dari sini!"
Saking sakitnya karena tempelengan itu, jago pengawal itu
memegangi kepala sambil meringis, tapi ia pun tak berani
membantah, walau menggerundel, namun ia pergi juga.
Tiba-tiba Nilan Yong-yo gabrukkan daun pintu, sedangkan
Thio Sing-pin di luar kamar masih terus minta maaf.
Sejenak kemudian Yong-yo menyingkap selimut yang
menutupi seluruh badan Thio Hua-ciau, nyata pemuda ini
sudah mandi keringat, tetapi karena keluar keringat, cahaya
mukanya jadi bersemu merah dan tampangnya lebih segar.
Di lain pihak karena tak mendapatkan apa-apa dari
penggeledahan itu, Thio Sing-pin terpaksa melaporkan
hasilnya pada Giam Tiong-thian untuk diteruskan pada
Hongsiang atau Sri Baginda. Tetapi waktu ia mencari Giam
Tiong-thian, ia diberitahu seorang Thaykam cilik bahwa Giam
Tiong-thian sedang dipanggil Hongsiang dan sampai cuaca
sudah terang tanah belum tampak kembali ke posnya. Dan
karena ada perintah Sri Baginda yang tak memperbolehkan
sembarangan masuk bila tiada panggilan, terpaksa Thio Singpin
menunda laporan itu.
Kembali mengenai Khong-hi dan si Hwesio tua tadi,
sesudah mereka kembali ke kamar dengan menahan dongkol.
Khong-hi menunggui si Hwesio tua yang terbatuk-batuk keras,
ia berlutut di hadapan ayah Bagindanya dan bertanya soal
kesehatannya. "Di atas gunung hawa terlalu dingin, sudah semalam
suntuk kau menemaniku, kini kau pun boleh pergi mengaso,"
ujar si Hwesio tua.
Khong-hi pura-pura mengunjuk senyuman, lalu ia
mengucapkan selamat pagi pada ayah Bagindanya dan
kemudian mengundurkan diri.
Namun Kaisar Khong-hi tidak lantas pergi tidur, ia masih
berjalan mondar-mandir dalam kamarnya, sebentar ia tertawa
dingin, lain saat ia menggoyang kepala sambil menghela
napas seperti orang gila, mendadak pula ia mengepal tinjunya
dan menghantam tembok, tetapi segera ia menjerit kesakitan.
Saat itulah terdengar ada orang mengetok pintu di luar.
"Apa Giam Tiong-thian adanya?" ia bertanya.
"Ya, hamba adanya," sahut jago pengawal itu dari luar.
Segera pula Khong-hi membuka pintu dan menarik masuk
Giam Tiong-thian, habis itu ia melongok dulu keluar pintu dan
kemudian baru ditutup kembali!
"Adakah orang lain di luar?" tanya Khong-hi kemudian.
"Tidak ada," sahut Tiong-thian. "Secara berani hamba
sudah perintahkan mereka menyingkir karena hamba tahu
Hongsiang suka akan ketenangan."
"Ya, kau sungguh pintar," puji Khong-hi dengan tersenyum
puas. "Sudah berapa lama kau tinggal dalam kerajaan?" tanya
Khong-hi dengan pandangan tajam pada Giam Tiong-thian
sesudah pintu kamar ditutup rapat.
"Sudah lima belas tahun," jawab Giam Tiong-thian sambil
menghitung dengan jarinya.
"Kalau begitu, kau pun pernah mengabdi pada Baginda
yang dulu selama tiga tahun," kata Khong-hi.
"Betul, Sri Baginda," jawab Giam Tiong-thian.
Tiba-tiba Khong-hi menarik muka, sikapnya menunjukkan
hasrat membunuh. Melihat itu, hati Giam Tiong-thian memuktil
keras. "Jika demikian, kenalkah kau pada Hwesio tua dalam Jingliangsi itu?"" tanya Khong-hi mendesak.
"Hamba tidak kenal," jawab Giam Tiong-thian dan segera
berlutut. "Kau dusta!" bentak Khiong-hi.
Giam Tiong-thian ketakutan, segera ia menjura tiada
hentinya. "Baginda suka ampuni hamba," jawabnya dengan
memberanikan diri, "Hwesio tua ini agak mirip dengan Sri
Baginda yang dulu hanya alis jenggotnya sudah putih, roman
mukanya sudah berubah, kalau tidak menegasi dengan jelas,
susah mengenalnya lagi."
"Bangunlah! Nyata kau masih jujur dan setia padaku," kata
Khong-hi sambil tertawa.
Dengan perasaan yang masih kebat-kebit Giam Tiong-thian
bangun berdiri, sinar mata Khong-hi terus memandang
padanya. "Hwesio tua ini memang betul adalah Baginda yang dulu,"
kata Khong-hi. "Setelah keributan malam ini, apakah harus
pengabdi yang lama baru bisa mengenalnya?"
Giam Tiong-thian berdiri tegak tak berani menjawab.
"Angkat kepalamu," perintah Khong-hi.
Terpaksa Giam Tiong-thian mendongak.
"Tahukah kau, cara bagaimana kematian Go Bwe-jwan
Haksu?" tanya Khong-hi mendadak.
"Hamba tidak tahu," jawab Giam Tiong-thian dengan
gemetar. "Matinya karena minum arak beracun yang kuberikan," kata
Khong-hi dengan dingin, "Ia telah menulis sebuah syair yang
isinya mengisyaratkan bahwa Baginda yang lalu berada di
Ngo-tai-san, bahkan pengacau itu bilang budak Tang Siao-wan
juga berada di atas gunung ini. Coba, budak yang begini
berani, kauhilang harus mampus atau tidak?"
Giam Tiong-thian ketakutan hingga berkeringat dingin, ia
menunduk lagi dan berulang-ulang menjura.
"Harus mampus, harus mampus!" katanya.
Khong-hi tertawa seram, lalu ia menarik bangun Giam
Tiong-thian. "Kau sangat baik, cukup cerdik, tahukah kau maksudku
malam ini memanggilmu?" tanyanya.
Giam Tiong-thian sudah mandi keringat, pikirnya, "Malam
ini Hongsiang membocorkan semua rahasianya kepadaku, di
dalamnya tentu mengandung maksud tertentu, ini adalah
suatu kesempatan baik, kalau aku bisa melakukan tugas
dengan baik, tentu bakal banyak mendapat kebaikan untuk
hari depan, sebaliknya kalau gagal tugas itu, mungkin pula
aku seperti Go Bwe-jwan yang mati penasaran tanpa
mengetahui sebab-sebabnya."
"Hamba hanya setia pada Baginda seorang, apa yang
Baginda perintahkan, sekalipun harus mati hamba tidak akan
menolak," katanya kemudian dengan memberanikan diri.
"Apakah ini masih perlu kuperintahkan?" kata Khong-hi
penuh mengunjuk napsu membunuh.
Waktu itu. Hwesio yang ada di kamar sebelah kembali
batuk-batuk keras.
"Hian-hua, kau sedang bicara dengan siapa, sudah begini
malam, mengapa masih belum tidur?" tanyanya dengan
mengetuk tembok.
"Apakah badan Hu-ong (ayah Baginda) merasa tidak enak"
Anak segera datang melihatnya," kata Khong-hi dengan suara
halus. "Kau anak yang sangat berbakti, tidak usah kau memikirkan
aku, tidur sajalah kau!" kata si Hwesio tua pula dengan suara
serak. Khong-hi tak menjawab, ia segera menarik tangan Giam
Tiong-thian. "Mari, kita pergi melihatnya, kau harus melayaninya baikbaik,"
katanya pada jago pengawal itu.
Melihat Khong-hi datang bersama Giam Tiong-thian,
Hwesio tua itu agak curiga.
Walaupun Khong-hi beberapa kali pernah datang menemui
dia di Ngo-tai-san, kadang juga membawa pengawal
kepercayaannya, akan tetapi tidak pernah di depan orang lain
mengaku ayah Baginda padanya, malam ini kelakuannya
betulbetul agak aneh.
Sementara itu, muka Giam Tiong-thian putih pucat, kedua
tangannya agak gemetar. Hwesio tua itu memandang sekejap
padanya. "Hu-ong, dia adalah pengawalmu yang lama, anak sengaja
membawanya buat melayani ayah," kata Khong-hi.
"Siapa namamu?" tanya Hwesio tua sambil batuk-batuk dan
memalingkan mukanya.
"Hamba bernama Giam Tiong-thian, pernah melayani yang
Mulia selama tiga tahun,'" sahut Giam Tiong-thian.
Hwesio tua agaknya seperti masih ingat.
"Bagus, bagus! Angkatlah, aku hendak duduk!" katanya
tersenyum. Dengan pelahan Giam Tiong-thian mendekati, kedua
tangannya menyangga ketiak si Hwesio tua, dan waktu
Hwesio ini mendongak, tiba-tiba dilihatnya mata Giam Tiongthian
merah penuh napsu membunuh, ia terperanjat sekali.
"Apa yang hendak kauperbuat?" bentak Hwesio tua itu tibatiba.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagaimanapun Sun-ti adalah orang yang pernah menjadi
Kaisar, walaupun kini sudah menjadi Hwesio, tetapi bekasbekas
kewibawaannya masih ada. Karena bentakan itu, kedua
tangan Giam Tiong-thian tiba-tiba menjadi lemah, seluruh
tubuhnya seperti kena penyakit demam, tidak hentinya
bergetar. Dan Hwesio tua yang kehilangan penahan, segera
jatuh kembali ke atas ranjang.
"Kau, kau kenapa tidak melayani Hu-ong dengan baik?"
bentak Khong-hi dengan suara bengis.
Lekas Giam Tiong-tian menenangkan kembali
semangatnya, cepat ia berjongkok dan mengempit lebih keras,
menyusul terdengarlah jeritan ngeri Hwesio tua.
"Hian-hua, bagus kau!" begitulah kata-kata terakhir si
Hwesio tua yang malang itu. Kaisar pertama dinasti Boan-jing
itu ternyata tidak tewas di tangan musuh tetapi tewas di
tangan anaknya sendiri.
Waktu Giam Tiong-thian berdiri kembali, ia merasa seluruh
tubuhnya kaku kejang, ia pandang kaisar Khong-hi, kelihatan
Khong-hi juga seperti baru sembuh dari sakit berat, mukanya
pucat seperti mayat.
"Bagus sekali pekerjaanmu," puji Khong-hi kemudian sambil
menghela napas lega. "Mari kau ikut aku!"
Giam Tiong-thian mengikuti Khong-hi masuk ke kamar
sebelah, tanpa memilih lagi Khong-hi mengangkat satu poci
arak yang terbuat dari batu giok putih dan menuang secawan
arak yang berwarna hijau muda.
"Kau minum arak ini dulu untuk menahan rasa takutmu,"
katanya sambil mengangsurkan cawan arak itu.
Tiba-tiba Giam Tiong-thian teringat pada nasib Go Bwejwan,
keringat dinginnya seketika bercucuran, ia merandek
sejenak dan sangsi, ia tidak berani menerimanya.
"Urusan besar kini sudah selesai, kita harus bersama-sama
mengeringkan secawan arak," kata Khong-hi dengan tertawa.
Sehabis itu, ia mendahului minum arak itu sampai kering
dan membalik cawan untuk diperlihatkan pada Giam Tiongthian,
lalu ia menuang pula cawan itu.
"Sejak kini kau adalah orang kepercayaanku yang paling
rapat, mulai besok kau naik pangkat menjadi kepala pasukan
pengawal, kau harus melakukan tugasmu baik-baik!" katanya
pula dengan tertawa.
Mendengar itu, Giam Tiong-thian menjadi girang sekali,
semangatnya segera timbul kembali, ia berjongkok menjura
dan sesudah bangkit lantas menerima cawan arak itu, ia pun
minum arak itu. Dalam ruangan yang agak gelap, kedua orang
itu saling pandang sambil tertawa.
Pada waktu itu juga, tiba-tiba di luar jendela ada suara
tertawa dingin seseorang, seketika muka Khong-hi berubah
hebat, Giam Tiong-thian segera melompat keluar, ia melihat di
atas genteng ada sesosok bayangan orang melayang pergi
dengan cepat laksana burung terbang. Di antara pengawalpengawal
kerajaan, Giam Tiong-thian terhitung jago istimewa,
ilmu silatnya tidak di bawah Coh Ciau-lam, segera ia ikat
bajunya dan segera melayang naik ke atas genteng, dengan
kecepatan luar biasa ia mengejar orang itu.
Mendadak orang itu melambatkan langkahnya seperti
sengaja menunggu kedatangan Giam Tiong-thian.
Tentu saja Giam Tiong-thian tidak ayal, secepat terbang ia
menubruk maju, sekali jambret segera orang hendak
dicengkeram dengan jarinya yang seperti catok besi. Tetapi
orang itu bukan orang lemah, ia sambut tangan orang dengan
tangan juga, berbareng ia masih membetot, seketika terasa
oleh Giam Tiong-thian tangannya sendiri seakan-akan terjepit
oleh tanggam, ia terkejut, ternyata ilmu silat 'Eng-jiau-kang'
atau ilmu cakar elang yang sudah dilatihnya puluhan tahun
masih kalah dengan tenaga tangan orang ini.
Ia tak berani ayal lagi, segera tangan yang lain ikut diulur,
namun orang itu sebaliknya lantas melepas tangan terus
melompat pergi sejauh beberapa tindak.
Dengan sendirinya, Giam Tiong-thian tak mau berhenti,
secepat kilat ia menubruk pula, dengan cepat ia menyerang
pula secara bertubi-tubi.
Setelah orang itu menangkis lagi beberapa kali serangan,
mendadak ia membentak, "Giam Tiong-thian, ajalmu sudah di
depan mata, kau masih belum insaf dan berani menempurku"
Tahu tidak bahwa tadi kau sudah minum arak berbisa! Lekas
berhenti, biar aku memeriksa keadaanmu, masih bisa ditolong
atau tidak?"
Dan karena bentakan itu, Giam Tiong-thian terperanjat,
betul juga segera ia merasa matanya berkunang-kunang dan
kepala puyeng, bumi dan langit seakan-akan berputar.
Tiong-thian terhuyung-huyung, ia tak tahan lagi dan akan
jatuh menggelosor ke tanah kalau orang itu tidak keburu
melompat maju menahannya.
Dengan cepat orang itu mengeluarkan sebuah jarum perak,
tanpa berkata lagi ia menusuk punggung Giam Tiong-thian
hingga ia menjerit kesakitan.
Tetapi orang berbaju kelabu ini tiba-tiba mendekap mulut
Tiong-thian, dan belum sampai orang buka suara tiga butir
obat pil sudah ia jejalkan ke mulut Tiong-thian.
"Bagaimana sekarang?" tanya orang itu.
Tiong-thian mengangguk tanda sudah agak baik. "Terima
kasih," katanya kemudian.
Walaupun badannya masih terasa kaku pegal, namun
semangatnya sudah banyak pulih dan segar.
Obat pil yang diberi orang baju kelabu tadi terbikin dari
'Swat-lian' atau teratai salju yang hanya tumbuh di Thian-san
atau gunung Thian di daerah Sinkiang dan dicampur dengan
racikan obat lain, khusus untuk memunahkan racun. Kini
setelah Giam Tiong-thian minum pil itu ditambah ilmu silatnya
yang sudah terlatih tinggi, walaupun racun dalam arak yang
diminumnya itu sangat lihai, namun untuk sementara ia masih
bisa bertahan. Dalam pada itu jago-jago pengawal lain yang terkaget oleh
suara mereka, beramai-ramai sudah mendatangi.
"Lekas kau ikut aku turun gunung agar aku bisa
mengobatimu lagi, jika tidak jiwamu tak nanti tertolong," kata
orang baju kelabu itu.
Giam Tiong-thian tidak ragu-ragu lagi, ia terima ajakan itu
dan segera melompat turun ke bawah bersama, lebih dulu ia
memapak datangnya para penjaga.
"Kamu ribut apa" Musuh sudah lari sejak tadi baru kaucari!"
demikian ia membentak. "Sekarang juga aku akan mencari
buronan itu ke bawah gunung."
Giam Tiong-thian dikenal oleh pengawal-pengawal itu
sebagai jago kepercayaan Sri Baginda, pangkatnya di dalam
kerajaan masih lebih tinggi dari Thio Sing-pin yang menjadi
komandan mereka. Dan walaupun merasa heran ada seorang
berbaju kelabu berjalan bersama dengannya, namun mereka
hanya mengira ada orang kosen yang baru diundangnya untuk
membantu, maka tanpa bertanya lagi mereka membiarkan
Tiong-thian berdua berlalu.
Malahan sebelum melangkah pergi sengaja Giam Tiongthian
perintahkan mereka jangan melapor pada Sri Baginda
yang lagi mengaso itu.
Kembali pada para pahlawan yang berada di Bu-keh-ceng.
Sejak Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian pergi menyelidiki gunung,
semuanya menunggu semalam suntuk dengan hati kuatir.
Malahan kemudian diketahui si gadis berkedok, le Lan-cu, juga
menghilang pergi, mereka menjadi lebih tidak tenteram, dan
meski fajar sudah menyingsing, toh yang ditunggu masih
belum tampak kembali.
Segtra Bu-cengcu memerintahkan beberapa centingnya
menyamar sebagai petani pergi meronda.
Kalau semua orang di Bu-keh-ceng itu kuatir dan bingung,
sebaliknya ada seorang bocah, si Bu Sing-hua yang tak kenal
sedih, dasar anak yang riang gembira, pagi-pagi sekali ia
sudah merecoki sang Tari agar pergi menemaninya ke bukit di
belakang rumah mereka untuk mencari bunga pegunungan.
Bu Ging-yao sendiri baru belasan tahun umurnya, ia lincah
dan nakal, sudah tentu ia menerima ajakan adiknya itu.
Pagi hari itu cuaca cerah, hawa segar di bawah desiran
angin yang silir membawa bau wangi bunga pegunungan yang
indah. Maka berangkatlah kakak-beradik itu ke lembah gunung
dari pintu belakang, gembira sekali Bu Ging-yao oleh suasana
pagi yang menarik itu, ia memetik bunga untuk sang adik
berbareng ia bernyanyi dengan suara merdu.
Belum habis satu lagu dinyanyikan, sekonyong-konyong
Sing-hua berteriak, "Cici!"
Waktu Ging-yao menoleh, ia lihat dari tikungan jalan sana
sedang mendatangi seorang Lamma yang memakai jubah
merah, mukanya hitam mirip pantat kuali, lubang hidungnya
menghadap ke atas, wajahnya jelek sekali.
"Sing-hua, jangan urus dia," kata Ging-yao kemudian,
tetapi tidak urung ia sendiri tertawa ngikik geli. Selamanya ia
belum pernah melihat orang berwajah begitu aneh,
kelihatannya agak layu.
Lamma berjubah merah itu melihat seorang nona cilik
cantik memandangi dirinya dengan tertawa, maka dengan
langkah lebar segera ia mendekati si gadis, dari mulutnya
tercetus beberapa perkataan, akan tetapi Ging-yao tidak
paham bahasa Tibet, ia hanya menggoyang kepala. Tiba-tiba
Lamma itu menuding ke depan, Ging-yao menyangka orang
hendak memukul, cepat ia meloncat ke samping. Lamma itu
tertawa lebar dan menggoyang tangan, lalu ia memburu maju
lagi. Melihat Tacinya dikejar, Sing-hua menjadi mendongkol, ia
meraup segenggam tanah dan dilemparkan. "Plokl", Lamma
itu tertimpuk mukanya, ia berteriak, akan tetapi Sing-hua tidak
berhenti begitu saja, mendadak ia meloncat ke atas dan
berjumpalitan, ia tunggangi kepala Lamma itu dan menarik
leher bajunya. Lamma itu berteriak gusar, kepala membentur
ke belakang, akan tetapi Sing-hua lebih dulu sudah melepas
tangan dan melompat turun.
Lamma itu merentangkan kedua tangannya yang lebar dan
dengan membungkuk ia meraup. Tetapi Sing-hua cukup gesit,
ia melompat ke sana kemari selicin ikan, Lamma itu menjadi
tak berdaya menangkapnya. Bu Ging-yao kuatir adiknya
dicelakai, ia pun segera maju membantu, begitu kedua
tangannya bergerak, segera ia menyerang dengan 'Yu-sin-ciohoat',
ilmu pukulan dari Cong-lam-pay, bagai kupu-kupu ia
menerobos ke sana sini, kepalannya berulang menghantam
tubuh Lamma itu.
Tubuh Lamma itu kuat seperti otot tembaga tulang besi, ia
telah terkena banyak pukulan, walaupun tak merasa sakit, tapi
ia menjadi mendongkol dan marah.
Ging-yao berdua makin lama makin bersemangat, dalam
keadaan yang tak terhentikan itu, tiba-tiba terdengar suara
orang tua membentak, "Sing-hua, jangan nakal!"
Sing-hua berpaling, ia lihat Pho Jing-cu bersama Boh Wanlian
dan Ie Lan-cu sedang mendatangi, ia menjadi girang, ia
memanggil Cicinya dan bersama melompat pergi.
Lamma itu masih mengejar, akan tetapi sekali cekal ia kena
dipegang kedua tangannya oleh Pho Jing-cu hingga tak
berkutik. Tentu saja Lamma itu menggerutu kalang-kabut, tetapi Ie
Lan-cu sudah datang mendekat, ia mengajak bicara beberapa
kata padanya, segera Lamma itu berubah menjadi gembira.
Waktu Pho Jing cu melepaskan cekatannya, Lamma itu
memanggul dan berkata dalam bahasa Han dengan tak lancar
dan kaku, "Aku mencari Bu-keh-ceng."
Kiranya, Ie Lan-cu dibesarkan di daerah padang pasir, ia
sedikit paham bahasa Tibet. Tadi ia lihat Lamma itu di
samping berkelahi juga menggerutu pada Bu Ging-yao berdua
kakak-beradik, "Kamu dua anak-anak ini mengapa begini tak
tahu aturan" Aku bermaksud bertanya jalan, kamu malahan
memukulku, apakah bangsa Han memang begini tidak sopan?"
Maka le Lan-cu merrtberitahu apa yang didengarnya pada
Pho Jing-cu. Jing-cu mengenali Lamma ini adalah orang yang
kemarin bersama Coh Ciau-lam ikut datang meninjau Ngo-taisan.
Setelah mendengar dari le Lan-cu, ia menduga o-rang
tidak mempunyai maksud jahat, cuma belum tahu kawan atau
lawan, hatinya curiga juga, maka ia lantas maju menangkap
orang lebih dahulu. Kini setelah ada le Lan-cu yang menjadi
juru bahasa, kelihatan Lamma itu menuding Pho Jing-cu.
"Kemarin Coh Ciau-lam terpukul jatuh ke dalam jurang oleh
Tuan ini, aku telah turun ke bawah mencarinya, siapa duga
malah hampir terbunuh oleh Coh Ciau-lam," demikian ia
menutur. "Beruntung aku telah ditolong seorang Han, hanya
dalam beberapa gebrakan saja. Coh Ciau-lam sudah dipukul
lari. O-rang Han itu menyuruh aku mencari Bu-keh-ceng, tak
tahunya malah bertemu dua anak nakal ini."
Mendengar penuturan itu, Pho Jing-cu merasa heran sekali.
Pertama, Coh Ciau-lam sejalan dengan Lamma ini, tetapi
kenapa malah menghajarnya" Kedua, dalam kalangan silat
waktu ini setahu dirinya termasuk juga Hui-bing Siansu.
Barangkali tiada lagi yang berkepandaian begitu tinggi yang
hanya dalam beberapa gebrakan sudah bisa memukul lari Coh
Ciau-lam, siapakah sebenarnya gerangan orang bangsa Han
yang disebutnya itu?"
Dalam herannya segera Pho Jing-cu minta Lan-cu bertanya
pada Lamma itu, bagaimana rupa orang Han yang bersua
dengannya itu" Tetapi Lamma ini tidak bisa menerangkan
dengan jelas, tiba-tiba ia menuding, dan berkata pada le Lancu,
"Kau tak usah bertanya lagi, lihat, itu dia orangnya telah
datang!" Belum habis perkataannya, dari tikungan jalan gunung sana
telah muncul dua orang laki-laki yang berdandan tidak sama,
seorang mengenakan pakaian malam berwarna abu-abu,
sedang yang lain berdandan sebagai pengawal kerajaan.
Begitu melihat orang itu, mendadak le Lan-cu berseru
memanggil dan dengan muka berseri-seri ia berlari memapak
orang seperti bertemu sanak keluarga sendiri.
Kalau dengan cepat le Lan-cu berlari memapak orang,
tetapi Pho Jing-cu terlebih cepat lagi. Ia telah mengenali
pengawal kerajaan yang datang bersama orang berbaju abuabu
itu bukan lain daripada Giam Tiong-thian yang tadi malam
dengan pedang terhunus menjaga rapat Kaisar Khong-hi itu.
Begitu mengebut lengan bajunya dan dengan sekali melayang
ia sudah mendahului le Lan-cu, lalu dengan enteng turun di
depan kedua orang itu, tangannya diulur terus menjambret
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Giam Tiong-thian, sambil membentak, "Ha, kau pun sudah
datang?" Tiba-tiba orang berbaju abu-abu itu menyela ke depan, ia
mengulur tangan menangkis.
"Jangan serang, jangan serang!" demikian sambutnya.
Seketika Pho Jing-cu merasa tangannya seperti beradu
dengan kayu kering. Mendadak jarinya yang tajam menotok
pula ke pundak kiri orang itu. Orang berbaju abu-abu tidak
berkelit dan juga tidak menghindari serangan, ia malah
menyambut dengan diam, totokan Pho Jing-cu dengan tepat
kena di tempatnya, akan tetapi orang itu seperti tidak merasa
apa-apa sebaliknya dengan acuh tak acuh ia tertawa dan
berkata, "Ah, Locianpwe jangan bercanda!"
Habis itu, ia mundur sedikit dan merangkap kedua telapak
tangan memberi hormat, "Terimalah hormat Wanpwe!"
Pho Jing-cu tidak berani ayal, ia pun merangkap tangan
dan balas memberi hormat, maka dari kedua belah pihak
menyambar keluar angin pukulan yang tak kelihatan dan telah
saling berbenturan. Pho Jing-cu terpental mundur tiga-empat
tindak, sedang orang berbaju abu-abu itu sempoyongan
hampir roboh. Sementara le Lan-cu pun sudah datang mendekat, ia
berdiri menghadang di tengah kedua orang yang sedang
saling menjajal itu.
"Pho-pepek, dia adalah Thian-san-sin-bong Leng Bwehong!"
katanya pada Pho Jing-cu, ia berkata pula kepada Leng
Bwe-hong, "Dan ini adalah Locianpwe dari Bu-kek-pay, Pho
Jing-cu!" "Haya, kiranya 'Sin-ih-kok-jiu' Pho-losiansing yang berada di
sini. Maafkan, maafkan!" kata Leng Bwe-hong dan lekas
mengulangi memberi hormat. Tetapi kali ini betul-betul ia
memberi hormat, tiada, sambaran angin lagi dari tangannya.
Pho Jing-cu mendengar orang menyebut dirinya 'Sin-ih'
atau tabib sakti, terang dia hanya mengagumi ilmu tabibnya
dan bukan mengagumi ilrnu silatnya, ia menjadi tersenyum.
Pikirnya dalam hati, "Ilmu silatmu betul sedikit lebih unggul
dariku, tetapi kalau bilang hanya beberapa gebrakan lantas
bisa mengalahkan Coh Ciau-lam, inilah yang susah bikin orang
percaya." Nyata, ia tidak tahu bahwa Leng Bwe-hong dengan Coh
Ciau-lam masih ada hubungan urusan yang lain. Coh Ciau-lam
begitu terbentur dengan pukulan Leng Bwe-hong segera
menjadi terkejut, karena gugupnya lantas terkena satu
pukulan, lalu secepatnya buron. Oleh karena itu juga, tadi
malam waktu Pho Jing-cu menyelidiki ke Ngo-tai-san dan
bertemu dengan Coh Ciau-lam, kelihatannya tenaganya
berkurang banyak, sebabnya baru saja Coh Ciau-lam terkena
satu pukulan Leng Bwe-hong.
Begitulah segera Jing-cu mengulangi memberi hormat, ia
memandang, menegasi Leng Bwe-hong, tokoh aneh yang
terkenal ini, tinggi tubuhnya hanya sedang saja dan kurang
tegap, yang paling istimewa ialah di mukanya ada dua
goresan bekas luka senjata tajam hingga romannya jelek
sekali. "Pho-losiansing, paling baik mohon memeriksa dulu
sahabatku ini!" kata Leng Bwe-hong dengan tertawa, waktu
melihat Pho Jing-cu hanya mengamat-amati dirinya saja.
Pho Jing-cu memandang muka Giam Tiong-thian, tak
tercegah lagi ia menjerit, dengan cepat ia tarik Giam Tiongthian
dan lantas dibawa lari, Leng Bwe-hong dengan rasa tak
mengerti mengikut di belakang.
Setelah ia menarik Giam Tiong-thian sampai di tepi sebuah
selokan gunung, Pho Jing-cu berkata pada Giam Tiong-thian,
"Kau boleh minum beberapa teguk air, kemudian
menyemprotkan ke bunga itu."
Giam Tiong-thian menurut, maka terlihatlah bunga yang
tadinya segar bugar, bagitu terkena semprotan air segera
menjadi layu dan rontok.
"Racun apakah ini, begitu lihai?" tanya Leng Bwe-hong
sambil melelehkan lidahnya.
"Khong-hi betul-betul kejam sekali," kata Pho Jing-cu
dengan heran melihat bunga yang tersemprot air itu dari
warna merah sudah menjadi putih. "Ini adalah racun yang
dibuat dari kotoran merak Tibet dicampur dengan jengger
bangau. Orang yang memakan racun itu tidak usah setengah
jam pasti remuk hancur, bagaimana kau bisa tahan sekian
lama?" "Aku telah memberinya Pik-ling-tan yang terbikin dari
Thian-san-swat-lian," kata Leng Bwe-hong.
Pho Jing-cu manggut-manggut, ia diam tidak berkata,
hanya Giam Tiong-thian ditariknya pergi, akan tetapi pelahan
sekali jalannya.
Dengan mata sendiri menyaksikan perubahan warna bunga
tadi, Giam Tiong-thian menjadi kuatir.
"Apakah bisa tertolong"'" tanyanya pada Pho Jing-cu.
"Aku akan berikhtiar sekuat tenaga," kata Pho Jing-cu.
"Arak racun yang begini lihai, tetapi mengapa Khong-hi
telah minum dahulu secangkir?" tanya Leng Bwe-hong.
"Untuk memunahkan racun ini harus dipakai jinsom dari
Tiang-pek-san, Thian-san-swat-lian dan bunga mandolo serta
beberapa obat-obatan lain yang dihancurkan dan dicampur
lagi dengan remukan batu giok, kemudian direndam dengan
lendir bangau untuk obat pemunahnya, lagi pula harus segera
diminum," kata Pho Jing-cu menjelaskan. "Thian-san-swat-lian
yang kauberikan padanya, hanya satu di antara racikan obat
pemunah itu. Khong-hi berani meminum arak beracun lebih
dulu, tentu sebelumnya ia sudah minum obat pemunah."
"Beberapa macam obat itu, semua adalah barang mestika
di dunia ini, selain dalam kerajaan, kemana harus kita cari?"
kata Giam Tiong-thian lebih kuatir.
"Kalau orang lain yang minum arak beracun semacam ini,
pasti tak dapat ditolong, tapi karena kau, mungkin masih bisa
berdaya," kata Pho Jing-cu tertawa. "Kau tak usah bertanya,
mari ikutlah aku."
Dengan pelahan mereka lalu berjalan kembali ke Bu-kehceng.
Sesudah Bu Ging-yao kakak-beradik mengetahui Lamma
berbaju merah itu bukan orang jahat, mereka lantas datang
minta maaf padanya, dengan tertawa haha-hihi Bu Sing-hua
menuding lamma itu, kemudian menuding hidung sendiri,
dengan gerakan tangan ia berkata, "Tadi aku telah
memukulmu, harap kau jangan marah, lain kali kalau berkelahi
dengan orang lain, aku pasti membantumu!"
Walaupun Lamma itu tidak paham sama sekali apa yang
dikatakannya, tapi dapat juga meraba maksudnya maka ia
tertawa lebar. Dari jauh centing Bu-keh-ceng sudah melihat Pho Jing-cu
sekalian telah kembali, dengan cepat Bu-cengcu dan Han Cipang
menyambut keluar. Demi melihat Leng Bwe-hong, Han
Ci-pang menjadi girang sekali melebihi harapannya, ia
langsung berteriak, "Tamu agung, tamu agung!"
"Han-congthocu, kau pernah menyuruh orang mencariku,
semua itu aku sudah tahu, kini mereka belum menemukanku,
malahan aku sudah bertemu kau lebih dahulu," kata Leng
Bwe-hong. Dengan tertawa gembira Han Ci-pang menarik tangan Bwehong.
"Aku sudah bukan Congthocu lagi, kau harus bertemu
dengan Thocu yang baru," katanya kemudian.
Sambil omong ia menarik Leng Bwe-hong ke dalam sambil
berteriak, "Lauw-toaci, Thian-san-sin-bong pun sudah
kuundang datang, lekas kau keluar menemuinya!"
Habis berteriak, ia berkata pula pada Leng Bwe-hong,
"Thocu kami yang baru ini adalah seorang pahlawan wanita, ia
adalah orang yang kukagumi selama hidupku ini, di samping
Heng-tiang (saudara) sendiri."
Belum habis ia berkata, Lauw Yu-hong sudah keluar dari
dalam didampingi Thong-bing Hwesio.
"Yang mana adalah Thian-san-sin-bong, biarlah aku
berkenalan lebih dahulu," teriak Thong-bing.
Maka dengan tertawa Leng Bwe-hong mengulurkan tangan
terus dijabat Thong-bing dengan sekuat tenaga, pikirnya, "Biar
aku coba-coba dulu kekuatan Thian-san-sin-bong?"
"Haya, jangan keras-keras," kata Leng Bwe-hong dengan
tertawa setelah mengetahui maksud orang.
Thong-bing Hwesio yang menggenggam kencang tangan
Leng Bwe-hong tiba-tiba merasa tangan orang begitu lemas
laksana tak bertulang, seperti menggenggam kapas saja dan
ia tak dapat mengeluarkan tenaga lebih jauh. Ia menjadi
heran, tiba-tiba tangan Leng Bwe-hong bergerak, sekonyongkonyong
Thong-bing Hwesio merasakan 'kapas' tadi telah
berubah keras seperti 'lonjoran besi'. Waktu itu ia sedang
mengerahkan tenaga jarinya sehingga ia sendiri merasa
kesakitan, lekas ia melepas tangannya dan berkata, "Hebat
sekali, hebat, aku betul-betul tunduk padamu!"
Sementara itu Lauw Yu-hong sudah mendekati mereka.
"Thong-bing jangan bikin ribut!" katanya tersenyum.
Tiba-tiba Leng Bwe-hong tergetar hatinya, suara Lauw Yuhong
itu seperti sebutir batu kerikil yang mengganjal dalam
hati sanubarinya.
Setelah gemetar sedikit, segera ia dapat menenangkan diri
kembali, dengan sikap acuh tak acuh lalu ia berkata, "Inikah
kiranya yang dipanggil orang-orang Kangouw sebagai 'Hunkimkiam' Lauw Yu-hong" Selamat! Kau sudah menjabat
Congthocu." Sejenak kemudian ia menyambung pula, "Bulan
tiga di musim semi ini, adalah suasana yang baik di daerah
Kanglam, sebaliknya Lauw-congthocu malahan dari Kanglam
datang ke sini, apakah hanya untuk seorang jahanam To Tok
saja?" Lauw Yu-hong terkejut, pikirnya, orang ini kenapa begitu
tak sopan perkataannya.
"Maksud Leng-enghiong, apakah seharusnya kami jangan
datang?" sahutnya dengan tertawa dibuat-buat.
"Aku mana berani bilang begitu," kata Leng Bwe-hong pula.
"Cuma kalau soal To Tok seorang, rasanya tidaklah perlu
mengerahkan tenaga begini banyak. Hendak menegakkan
kembali tanah air kita juga bukan soal yang bisa diselesaikan
dengan membunuh seorang dua orang saja."
"Kami bekas bawahan Loh-ong tidak bisa tinggal lari ke
daerah Kanglam karena kepungan pasukan pemerintah, maka
baru datang ke sini untuk memperkokoh kedudukan di baratlaut,
mengenai To Tok hanya secara kebetulan saja bertemu,
apakah karena itu Leng-enghiong lantas menertawai kami,"
sela Thong-bing Hwesio agak kurang senang.
"Mana aku berani," sahut Leng Bwe-hong tertawa sambil
bersedakep. "Hanya kalau hendak membuat pergerakan
besar, menurut pandanganku masih harus kembali ke selatan
sana." Mendengar perkataan orang yang mengandung maksud
tertentu, Pho Jing-cu lantas bertanya, "Apa maksudmu ini?"
"Ia telah membawa kabar yang maha rahasia, kita boleh
bicarakan di dalam, tetapi harus minta kau mengobati dahulu
sobat ini," kata Leng Bwe-hong sambil menuding pada Lamma
berjubah merah dan kemudian menuding pula pada Giam
Tiong-thian. Lauw Yu-hong melihat Leng Bwe-hong bersedakep, tibatiba
ia terkenang pada masa yang lalu, lagak-lagu orang ini
mirip benar dengan sahabatnya waktu muda, tetapi wajahnya
sama sekali tidak mirip.
Sahabatnya adalah seorang pemuda cakap, tetapi muka
Leng Bwe-hong begini jelek. Tanpa terasa berulang kali ia
memandang Leng Bwe-hong.
Setelah semua orang masuk ruang dalam, sendirian Pho
Jing-cu membawa Giam Tiong-thian ke suatu kamar yang
sunyi, di sini ia berkata padanya, "Orang lain minum arak
beracun, pasti tiada penolongnya, beruntung kau telah
mendapatkan Pik-ling-tan dari Leng Bwe-hong, maka
sementara ini kau masih bisa bertahan, pula kau adalah orang
yang sudah meyakinkan Lwekang, boleh coba dengan 'Gikanglian-hoat'. Untuk menenteramkan pikiran, hendaklah kau
menjaga diri baik-baik, duduk tenang dalam ruangan ini
selama tiga puluh enam jam, agar semua racun terdesak pada
satu pojok dalam perutmu, kemudian akan kuberi obat
pencuci perut untuk mengeluarkan racun, sesudah itu akan
kuberikan obat lain untuk menguatkan badan, mungkin tak
akan terjadi apa-apa lagi yang berbahaya."
Giam Tiong-thian bergirang dan menghaturkan terima
kasih, ia bertanya pada Pho Jing-cu bagaimana cara
melakukan 'Gi-kang-lian-hoat'. Ternyata caranya tidak banyak
berbeda dengan 'ilmu duduk' (semedi) yang pernah ia pelajari,
segera ia bersila dan memejamkan mata, dengan tenang ia
duduk dalam ruangan itu.
Setelah selesai, Pho Jing-cu lalu keluar, ia lihat di ruang
pendopo semua orang dalam keadaan diam tak bersuara,
sikap mereka agak tegang.
"Pho-locianpwe telah datang, kita boleh berunding lebih
jauh dengannya," kata Leng Bwe-hong tertawa.
"Urusan apa?" tanya Pho Jing-cu.
"Pho-siansing tadi malam telah menyelidiki gunung
bersama Boh-siocia, apakah mendengar Coh Ciau-lam berkata
sesuatu pada Hongte?" tanya Leng Bwe-hong.
"Ya, sepertinya mereka mempercakapkan Go Sam-kui,
tampak Khong-hi seperti agak marah," kata Pho Jing-cu
setelah berpikir sejenak.
Sehabis omong begitu, Pho Jing-cu tiba-tiba ingat sesuatu,
kata kemudian, "Ha, orang yang tadi malam memadamkan
pelita-pelita di pagoda, kiranya adalah kau!"
"Betul!" sahut Leng Bwe-hong mengangguk.
"Kau berbicara tentang Go Sam-kui, ada hubungan apa Go
Sam-kui dengan kita?" tanya pula Pho Jing-cu.
"Besar sekali hubungannya," sahut Leng Bwe-hong tertawa,
"Go Sam-kui selekasnya akan memberontak pada pemerintah
Boan-jing."
Pho Jing-cu terperanjat, ia setengah percaya setengah
tidak. Go Sam-kui adalah pengkhianat besar yang memasukkan
pasukan Boan ke Kwanlwe (Tiongkok), waktu itu ia sudah
berpangkat 'Ping-se-ong' dan berkedudukan di Kun-bing,
kekuasaannya meliputi Hun-lam dan Su-cwan, ia adalah
gubernur yang paling diandalkan oleh pemerintah Boan. Leng
Bwe-hong mengatakan ia hendak memberontak pada
pemerintah Boan, kabar ini datangnya betul-betul di luar
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dugaan. Melihat Pho Jing-cu setengah percaya setengah tidak, Leng
Bwe-hong tertawa dan berkata pula, "Lamma berjubah merah
itu dan Giam Tiong-thian adalah saksi kuat yang mengetahui
hal tersebut."
Ternyata waktu pasukan Boan masuk Kwanlwe, telah
memperoleh bantuan tenaga yang besar dari Go Sam-kui,
Siang Go-hi dan Kheng Tiong-bing, tiga pengkhianat dari
pemerintah Beng, lebih-lebih pahala Go Sam-kui yang paling
besar. Sesudah Boan-jing masuk Tiongkok, selain memberi
pangkat 'Ping-se-ong' pada Go Saro-kai, juga mengangkat
Siang Go-hi sebagai 'Puig-lantong' dan Kheng Tiong-bing
sebagai 'Cing-lam-ong' masing-masing sebagai gubernur
Kwitang dan Hokkian, mereka bertiga disebut sebagai 'Sam
Hwan' atau tiga raja muda.
Setelah kaisar Khong-hi naik takhta, kedudukannya sudah
semakin kukuh, kekuasaan pemerintahan Boan-jing sudah
kuat. Khong-hi adalah orang yang berbakat, pandai dan
berkeinginan hati yang keras, mana bisa ia mengandalkan
'Sam Hwan' untuk memperkuat dirinya, maka ia membentuk
pasukan sendiri raja-raja muda daerah (warlord). Oleh karena
itu, diam-diam ia memberi isyarat supaya 'Sam Hwan' suka
mengundurkan diri. Akan tetapi Go Sam-kui dan Kheng Cintiong
(cucu Kheng Tiong-bing yang menuruni pangkat
kakeknya) tidak menggubris, mereka masih belum percaya itu
adalah maksud sesungguhnya dari pemerintah.
Sebaliknya, Siang Go-hi lebih licin, pada waktu Khong-hi
bertakhta sepuluh tahun ia sudah mengusulkan pangkat
'gubernur' akan diteruskan anaknya, Siang Ci-sin. Tidak
disangka begitu usulnya disampaikan, Khong-hi segera
membalas usul itu, tidak saja ia setuju atas usul itu, bahkan
Siang Go-hi serta bawahannya diberi 'cuti' ke daerah Liautang.
Karena itu, Go Sam-kui segera merasa tidak enak sekali, ia
takut 'pelepasannya' betul-betul akan menjadi kenyataan, oleh
karena itu lantas timbul niatnya hendak memberontak pada
pemerintah Boan-jing.
Waktu itu pengaruh pemerintah Boan-jing belum sampai di
seluruh Mongol dan Tibet. Go Sam-kui lantas menyuruh orang
kepercayaannya, Coh Ciau-lam, pergi ke Tibet untuk menemui
'Buddha Hidup' dan mengadakan perserikatan dengannya,
apabila setelah melakukan pemberontakan dan Go Sam-kui
memperoleh keunggulan, segera Tibet dan sekitarnya
berbareng akan menyokong pergerakannya, tetapi jika Go
Sam-kui berada di bawah angin, 'Buddha Hidup' Dalai Lamma
lantas diminta maju mendamaikan. Ini merupakan satu cara
buat mundur teratur bagi Go Sam-kui.
Hakikatnya Go Sam-kui memang bukan bertujuan hendak
menegakkan kembali tanah air bangsa Han saja, tetapi juga
untuk keuntungan dan kebahagiaannya sendiri. Selain
berhubungan dengan Buddha Hidup Dalai Lamma, ia pun
menyuruh orang berhubungan dengan Siang Go-hi dan Kheng
Cin-tiong. Begitulah, maka sesudah Coh Ciau-lam dapat menemui
Dalai Lamma, urusan dengan sangat lancar lantas cocok. Dalai
Lamma memerintahkan Lamma jubah merah ikut Ciau-lam
kembali ke Hun-lam dan waktu lewat daerah Soa-say, sekalian
mereka lantas naik ke Ngo-tai-san menonton keramaian yang
sedang dirayakan itu.
Tidak nyana Coh Ciau-lam, manusia angkara murka ini,
karena pintar melihat gelagat, ia tahu gerakan Go Sam-kui
pasti akan gagal, maka timbul pikirannya buat mengkhianati
Go Sam-kui dan mengabdi pada pemerintah Boan-jing. Karena
itu juga maka di atas Ngo-tai-san, ia. tidak segan bertempur
dengan para pahlawan dan kebetulan berhasil menolong To
Tok. Lamma jubah merah yang melihat Coh Ciau-lam tiba-tiba
turun tangan, ia pun sudah dapat merasa beberapa bagian
maksud tujuannya, belakangan Coh Ciau-lam bersama Pho
Jing-cu terjatuh ke jurang, tanpa pikir Lamma jubah merah
turun ke bawah mencarinya, tetapi Coh Ciau-lam yang tahu
dirinya sudah dicurigai, akhirnya mereka bertengkar, walaupun
Lamma ini mempunyai latihan ilmu 'Tiat-poh-san' yang kebal,
akan tetapi ia tak dapat menandingi Coh Ciau-lam yang sudah
matang betul ilmu Lwekangnya, kalau tidak kebetulan
dipergoki Leng Bwe-hong hampir saja jiwanya melayang di
bawah tangan Coh Ciau-lam.
Sesudah Leng Bwe-hong menceritakan pengalamannya
menolong Lamma jubah merah, semua orang menjadi
bungkam tidak bisa berkata apa-apa.
"Kalau begitu, soal Go Sam-kui yang dibicarakan tadi
malam oleh Khong-hi dan Coh Ciau-lam, tentunya adalah
urusan ini," tanya Pho Jing-cu.
"Betul," sahut Leng Bwe-hong. "Aku dengar dari Giam
Tiong-thian kabar Khong-hi telah siap hendak menyuruh orang
kepercayaannya pergi ke Hokkian dan Kwitang untuk
mengawasi gerak-gerik Siang Go-hi dan Kheng Cin-tiong,
selain itu ia juga telah memerintahkan orang ke Su-cwan
untuk menyuruh CongtokTio Liang-tong berjaga-jaga atas diri
Go Sam-kui."
?"'Kalau begitu, kita harus mendahului orang suruhan
Khong-hi," ujar Yu-hong pelahan sesudah berpikir agak lama.
Selagi mereka berbicara, tiba-tiba terdengar di luar
kampung suara ribut riuh bercampur dengan derapan kaki
kuda yang ramai.
Kiranya sesudah To Tok dapat dikalahkan oleh para
pahlawan di Ngo-tai-san, ia menjadi gusar sekali, ditambah
malam itu Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian menyelidiki gunung
dan kembali telah membikin huru-hara di dalam Jing-liang-si,
malam itu begitu To Tok mendengar kabar, ia menjadi tambah
marah, namun ia tak bisa berbuat apa-apa, tubuhnya terluka
dan tak dapat bangun, terpaksa hanya memanggil dan
bertanya sang permaisuri, Nilan-ong-hui. Tak terduga sesudah
ditunggu agak lama, Ong-hui baru datang. Malahan begitu
datang lantas melaporkan pula bahwa Thio Hua-ciau yang
dapat ditangkap itu sudah lolos ditolong orang.
To Tok menjadi curiga, ia tahu Thio Hua-ciau dikurung di
ruang belakang, bila lolos ditolong orang, mengapa ia sendiri
tidak mendengar suara apa pun. Melihat sikap suaminya ini,
Nilan-ong-hui tahu tentu orang sudah timbul curiga.
"Coba, sedikit soal kecil saja kau masih hendak melelahkan
diri mengurusinya, kini kau harus mengaso dengan tenang
dulu!" katanya dengan tersenyum. "Walaupun orang yang
datang adalah orang pandai, tetapi di kelenteng penuh
dengan pengawal, kiranya mereka pun tak akan lolos, kalau
karena lolosnya pembunuh itu kau hendak mengerahkan
bawahanmu, sebaiknya kau salahkan aku saja, pembunuh itu
adalah aku yang menjaga bersama pengawal lainnya!"
Melihat isterinya tersenyum dan bicara begitu, mana bisa
To Tok marah lagi, bahkan pengawal yang menjaga Thio Huaciau
pun tidak dipanggil, hakikatnya dipanggil dan ditanya pun
tak akan berhasil, karena serdadu pengawal putera Pangeran
itu takut pada Ong-hui melebihi takutnya pada Ongya, yang
melepas orang adalah Ong-hui, pengawal-pengawal tentu tak
berani membocorkannya.
Akan tetapi To Tok mempunyai perhitungannya sendiri,
pagi hari kedua segera Thio Sing-pin dipanggil menghadap,
komandan pasukan pengawal ini diperintahkan membawa tiga
ribu pasukan menggeledah ke seluruh pelosok kampung
sekitar gunung. Dengan kedudukannya sebagai Pangeran, To
Tok memberi perintah, tentu saja Thio Sing-pin hanya
menurut. Bu-keh-ceng adalah suatu kampung yang besar di kaki
gunung, Bu-keh-ceng pun terkenal di kalangan Kangouw, Thio
Sing-pin juga bekas orang Kangouw, dengan Bu-cengcu
pernah bertemu sekali, maka begitu turun gunung yang dituju
lantas adalah Bu-keh-ceng, tetapi centing-centing yang
menyamar sebagai petani di sawah ladang, karena sikapnya
yang gugup telah dapat ditangkap dan ditanyai oleh serdadu
pengawal, ada yang tak tahan pukulan lantas mengaku bahwa
di dalam kampung telah datang tidak sedikit tamu.
Mendengar pengakuan itu, Thio Sing-pin sangat girang,
segera ia perintahkan beberapa ribu serdadu mengepung
rapat kampung itu.
Para pahlawan yang berada dalam kampung itu waktu
mendapat laporan menjadi terkejut.
"Kita lekas menerjang keluar!" kata Thong-bing Hwesio
sambil mencabut goloknya.
Bu Guan-ing sendiri mengelus jenggotnya tak berkata apaapa.
Sedang Lauw Yu-hong hanya memandang sekejap pada
Thong-bing Hwesio.
"Bagaimana harus bertindak, harus minta Bu-loenghiong
yang memutuskan," kata Yu-hong kemudian.
Ia tahu urusan hari ini, tidak bisa disamakan dengan
kemarin waktu membikin ribut di Ngo-tai-san, hari ini
dikepung, wanita dan anak-anak, tua muda semua yang ada
di dalam Bu-keh-ceng tersangkut di dalamnya, bagaimana
boleh berbuat se-maunya.
"Biar kulihat dulu ke pagar tembok, saudara-saudara
jangan menampakkan diri dahulu," kata Bu Guan-ing.
Dari atas pagar tembok, Guan-ing melihat di luar kampung
sinar senjata gemerlapan, tiga ribu serdadu siap sedia dengan
panah di tangan.
"Hari ini kami sengaja datang dari jauh, bolehkah Bucengcu
membiarkan kami masuk ke dalam?" kata Thio Singpin
dengan suara keras setelah melihat Bu Guan-ing muncul.
"Kampung pegunungan yang sederhana, bagaimana bisa
menyambut pastikan sebesar ini," jawab Bu Guan-ing dengan
suara nyaring dan romannya tetap seperti tak terjadi sesuatu
apa pun. "Tetapi ada pembesar datang, baiklah aku menerima
beberapa Tuan pembesar saja untuk minum teh."
Thio Sing-pin selamanya selalu berhati-hati, melihat wajah
orang yang begitu, ia menjadi ragu-ragu. Pikirnya, "Bu Guaning
terhitung seorang hartawan, ia pun seorang Cianpwe
(angkatan tua) dari dunia persilatan, kalau tidak mendapatkan
orang yang dicari, aku sendiri tentu akan dibuat tertawaan
orang-orang Kangouw."
Pikirnya begitu, akan tetapi keadaan tak dapat dibiarkan
begitu saja. "Kalau kau takut menyambut pasukan yang besar,
biarlah aku menyuruh pembantuku saja masuk ke dalam
dengan membawa tiga ratus serdadu. Bu-cengcu adalah Bulim
Cianpwe, kiranya tak nanti memakai tipuan."
Lalu ia mengayun bendera perintah, barisan pengawal tibatiba
membelah terbuka, dari tengah tahu-tahu didorong keluar
sepuluh meriam. Bu Guan-ing sebenarnya hendak memancing
Thio Sing-pin masuk ke dalam, kemudian menangkapnya
sebagai barang jaminan. Kini melihat keadaan berubah lain, ia
tahu tipuannya telah gagal, bahkan nasib seluruh kampungnya
pasti akan hancur lebur. Kalau di luar Bu-cengcu sedang
berdebar-debar, maka di dalam, para pahlawan pun lagi
bingung sekali.
"Urusan sudah begini, tampaknya tidak bisa tidak harus
mengadu jiwa," kata Lauw Yu-hong.
Ia berdiri dan selagi hendak memberi perintah, ternyata
kedua orang pembantu Han Ci-pang, yaitu Hua Ci-san dan Njo
It-wi telah menghilang, ia mengerut kening dan bertanya pada
Han Ci-pang, tetapi Ci-pang sendiri tidak mengetahui kemana
mereka telah pergi.
Sementara itu Giam Tiong-thian yang berada dalam
ruangan sunyi dan sedang menjalankan 'Gi-kang-lian-hoat'
yang diajarkan oleh Pho Jing-cu, sesudah berduduk tak lama,
dadanya sudah agak lega dan segar.
Separoh dari masa hidup Giam Tiong-thian selamanya
hanya digunakan untuk mengejar kejayaan dan pangkat,
belum pernah ia mencoba duduk tenang begini dan berpikir
baik-baik. Kini duduk bersila dalam ruangan itu, semula dalam
otaknya seperti kosong bagai tak berisi, tetapi tiba-tiba
pikirannya bergolak, banyak hal memenuhi otaknya, teringat
olehnya bagaimana perlakuan yang ia dapat dari keluarga
kerajaan dan bagaimana dengan rasa setia kawan dari orangorang
Kangouw, ia ke-nangkan pula perbuatan sendiri yang
dulu, tak terasa hati tulusnya timbul kembali, makin dipikir
semakin merasa malu, hidupnya selama ini seperti menjadi
elang dan anjing pemburu keluarga kerajaan, menangkap dan
menyaniaya rakyat tak berdosa, tetapi kini orang tanpa
menghiraukan bahaya malah menolong jiwanya.
Begitulah perasaan Giam Tiong-thian waktu itu seperti satu
gelombang mendampar gelombang yang lain. Pho Jing-cu
minta dia supaya duduk tenang, tetapi perasaannya justru
bergolak seperti medan perang.
Selagi Giam Tiong-thian berpikir termangu-mangu, di
kamar sebelah tiba-tiba terdengar bisikan orang, suaranya
meski rendah, lapat-lapat terdengar cukup jelas dalam kamar
sunyi itu. Ia mendengar ada dua orang yang sedang
bercakap-cakap, yang seorang bilang, "Di luar serdadu telah
mengepung rapat kampung ini, Njo-toako, bagaimana
baiknya?" Lalu yang seorang menjawab, "Apa yang bisa kita lakukan"
Bukankah hanya duduk saja menunggu kematian! Hui-toako,
mati ya mati, tetapi aku sangat menyesalkanmu, mengapa
hanya memikirkan kepentingan diri sendiri saja, yang kukuatirkan
ialah ribuan tua-muda, laki perempuan dalam Bu-kehceng
ini, hari ini mungkin tak dapat menghindarkan
malapetaka."
"Bu-cengcu adalah orang baik selama hidupnya, tidak
nyana harus mengalami akibat sedemikian ini!" kata orang
yang disebut Hui-toako tadi dengan menghela napas.
Tiap perkataan itu dapat didengar oleh Giam Tiong-thian
dengan jelas, lebih-lebih pada waktu mendengar kata-kata,
"Jangan lanya. memikirkan diri sendiri saja", sekonyongkonyong
seperti rifciian anak panah menancap di hulu hatinya,
ia merasa tertusuk sekali.
Mendadak ia mengertak kencang giginya, ia tidak
memperhatikan pula pesan Pho Jing-cu yang menyuruh dia
duduk tenang sehari semalam, dengan cepat ia membuka
pintu kamar dan menuju keluar kampung. Waktu itu centingcenting
sedang masuk keluar dengan sibuk, siapa pun tiada
yang memperhatikannya.
Dalam pada itu, di luar kampung Bu Guan-ing sedang
menghadapi kesulitan, ia tak berdaya menolak masuk wakil
Thio Sing-pin. Sesudah berpikir, terpaksa ia membuka pintu.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perwira pembantu Thio Sing-pin itu dengan langkah lebar
dan memandang ke depan membawa tiga ratus serdadu
menerobos masuk, tidak diduga baru memasuki pintu
kampung, tiba-tiba ia dipapak satu suara bentakan yang
keras, "Ada apa kamu masuk ke sini" Apakah Thio Sing-pin
telah datang" Suruh dia menemuiku!"
Waktu perwira itu mendongak, ternyata yang berada di
hadapannya adalah orang kepercayaan Hongte yang
menguasai pengawal-pengawal di kerajaan, Giam Tiong-thian
adanya. Terkejutnya bukan buatan, lekas ia menjawab,
"Hamba tidak tahu kau orang tua berada di sini, Thio Sing-pin
memang berada di luar?"
"Kamu semua mundur keluar, suruh dia masuk!" perintah
Giam Tiong-thian.
Perwira itu dengan tunduk menerima perintah itu.
Thio Sing-pin melihat perwira itu masuk dan lantas keluar
kembali, ia merasa heran. Ia keprak kudanya maju. Tak
terduga tiba-tiba di atas tembok muncul seorang dengan
tersenyum berkata, "Thio Sing-pin tadi malam perintah
Hongsiang yang kusampaikan padamu itu, bagaimana
hasilnya" Kau masih belum melaporkan padaku!"
Melihat Giam Tiong-thian berada di situ, Thio Sing-pin juga
sangat terkejut. Dan karena ditegur, terpaksa dengan hormat
ia menjawab, "Hamba tadi malam sudah menggeledah
tawanan yang lolos, tetapi tidak bisa diketemukan, hendak
menghadap Hongsiang, Hongsiang tiada tempo untuk
menerima, dan hari ini pagi-pagi betul Ok-jin-ong lantas
memerintahkan hamba ke sini."
"Hongsiang sekarang sedang mencarimu!" kata Giam
Tiong-thian tertawa. "Aku sedang menemui seorang sahabat
di perkampungan ini, kau tak usah masuk, lebih baik kau lekas
kembali saja!"
Di dalam kerajaan, Giam Tiong-thian tidak beda adalah
atasan Thio Sin-pin, yang disampaikan adalah perintah Kaisar
pula. Karena itu terpaksa Thio Sing-pin mengesampingkan
dahulu perintah Ok-jin-ong, dengan sekali bersuara, segera ia
tarik kembali pasukannya dan mundur pergi.
Giam Tiong-thian masih terus berdiri di atas tembok, ia
menyaksikan serdadu-serdadu sudah pergi habis bersih, baru
ia turun dengan pelahan. Pho Jing-cu maju menyambutnya,
tapi ketika ia memandang muka orang, cepat ia memayang
tubuh Giam Tiong-thian.
Ternyata muka Giam Tiong-thian sudah putih pucat seperti
kertas, ia sempoyongan hendak roboh.
"Terima kasih, aku sudah tidak berguna lagi!" katanya
lemah. Saat itu ia merasa di seluruh tubuhnya seperti digigit ribuan
ular kecil. Tadi dengan sekuat tenaganya ia bertahan, tetapi
kini bagaimana pun ia sudah tak kuat lagi.
Melihat demikian, Bu Guan-ing terkejut sekali, ia datang
dan memegangi tangan Giam Tiong-thian.
"Giam-toako, kami semua sangat berterima kasih padamu!"
katanya dengan mata basah.
Giam Tiong-thian tersenyum.
"Ini adalah satu-satunya perbuatan baik yang pernah
kulakukan selama hidupku, sesudah berbuat tadi, mati pun
aku bisa meram!" demikian katanya.
Habis berkata, betul saja kedua matanya lantas meram.
Waktu Pho Jing-cu memijit urat nadinya, terasa olehnya
denyutan nadi sudah berhenti, ia menghela napas, dengan
diam-diam tanpa berkata ia menggendong mayat itu.
Han Ci-pang masih belum tahu bahwa Giam Tiong-thian
sudal berhenti bernapas, ia datang dan bertanya, "Apa masih
dapat tertolong?"
"Walaupun mempunyai keahlian bagaimana pun hebatnya,
sudah tak mungkin bisa menolongnya!" sahut Pho Jing-cu
sedih. "Ia telah makan racun yang paling jahat, malam itu ia
berlari pula setengah malaman, walaupun ada Thian-sanswatlian yang menahan, namun kini racun sudah menyebar
ke seluruh badan. Aku menyuruhnya berobat dengan cara 'GtTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kang-lian-hoat', sedikitnya harus duduk dengan tenang selama
sehari semalam, tetapi dengan keributan tadi, tenaga dan
semangatnya sudah habis ludes!"
"Siapa yang memberitahu padanya?" tanya Han Ci-pang
berkerut kening.
Hua Ci-san dan Njo It-wi saling pandang sekejap, mereka
tak berani bersuara. Mereka telah berhasil memancing keluar
Giam Tiong-thian, tetapi mereka tidak menduga racun di
tubuhnya bisa begitu lihai.
Lauw Yu-hong dapat melihat kelakuan kedua orang itu, ia
diam tak berkata. Pikirnya, "Kedua orang ini walaupun
berwatak kurang jujur, tetapi bagaimana pun tujuannya
adalah untuk menolong keselamatan orang banyak." Oleh
karena itu, maka ia tidak membongkar rahasia mereka yang
tentu akan menimbulkan amarah orang banyak.
"Kematian Giam Thiong-thian boleh dikata berharga,"
katanya kemudian. "Hanya saja pasukan musuh walaupun
dapat digertak mundur olehnya, tetapi juga hanya untuk
sementara saja, sesudah mereka mendapat keterangan jelas,
pasti akan datang pula secara besar-besaran. Urusan ini tidak
bisa lambat lagi, kita harus lekas mengambil keputusan."
Maka cepat sesudah berunding sebentar, segera mereka
memutuskan pergi meninggalkan kampung keluarga Bu itu,
ayah-beranak dan semua centing ikut, Hua Ci-san dan Njo Itwi
ditinggal di Soa-say untuk mengurus Thian-te-hwe di
daerah barat-laut, sedang Lauw Yu-hong bersama Han Cipang
dan Leng Bwe-hong pergi ke Hun-lam memantau
pergerakan Go Sam-kui. Mereka tahu jelas bahwa Go Sam-kui
hanya memikirkan keuntungan dirLsendiri, tetapi mereka
hendak mempergunakan kesempatan bentroknya dengan
pasukan pemerintah Boan-jing untuk membangun kembali
negerinya. Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian pergi ke Su-cwan menyelidiki
keadaan di sana, Thong-bing Hwesio dengan Siang Ing dan
Thia Thong menuju ke Kwitang mencegat kurir pemerintah.
Sedang le Lan-cu, atas kemauan sendiri hendak masuk ke
kota-raja seorang diri, ia hendak berdaya menolong Thiokongcu. Semua orang merasa tugasnya itu agak berbahaya
dan hendak mencegah namun sesudah Pho Jing-cu
memandang sekejap pada gadis itu, teringat olehnya hal-hal
aneh yang dilihatnya tadi malam, maka ia lalu berkata,
"Biarlah dia pergi, tugas ini memang paling cocok baginya."
Dengan begitu para pahlawan itu sementara berpisah.
-O-oooOooo-ODi sekitar kota Tai-tong di propinsi Soa-say, sungai Songkangho menyusur panjang mengalirkan air kekuningan
menuju ke timur.
Di kedua tepi sungai, bukit-bukit menjulang tinggi naikturun,
yang paling aneh ialah sepanjang tebing sungai yang
berbahaya itu penuh terdapat goa-goa, semua goa ini adalah
peninggalan penganut Buddha zaman dulu.
Di antara goa-goa di dekat Tai-tong ini ada sebuah goa
yang disebut goa 'Hun-kang'. Goa besar kecil ini jumlahnya
lebih dari seratus, di dalam goa-goa banyak terdapat ukirukiran
Buddha yang sangat tersohor.
Hari itu, cuaca cerah. Di antara bukit-bukit itu ada dua
orang laki-laki dan seorang wanita yang sedang berjalan.
Dua orang laki-laki itu adalah Thian-san-sin-bong, Leng
Bwe-hong dan wakil ketua dari Thian-te-hwe, Han Ci-pang,
sedang yang wanita adalah Cong-thocu atau ketua dari Thiantehwe, Lauw Yu-hong.
Sejak mereka berpisah dengan kawan-kawan
seperjuangannya, mereka lantas memutar jalan ke barat
untuk kemudian ke Hun-lam. Setelah berjalan tiga hari mereka
baru sampai di Hun-kang. Di antara bukit-bukit yang curam
dan sepi ini, seorang penduduk saja susah diketemukan, tidak
usah ditanya lagi tentang rumah penginapan.
"Agaknya malam ini terpaksa harus tinggal di dalam goa!"
kata Lauw Yu-hong tertawa.
"Bukankah kau paling suka tempat terbuka, mana bisa kau
tinggal di goa?" ujar Leng Bwe-hong.
"Darimana kau bisa tahu kesukaanku?" tanya Lauw Yuhong
heran. Kiranya LauwYu-hong waktu kecilnya tinggal di Hang-ciu,
rumahnya banyak jendela. Anak perempuan umumnya tak
berani membuka daun jendela, tapi kamar Yu-hong kerai
jendelanya justru selalu digantung, sebab ia suka sinar terang
dan membenci kegelapan.
"Aku hanya menerka sekenanya saja, karena umumnya
kaum siocia tentu suka akan kebersihan," sahut Leng Bwehong
dengan tertawa pula.
"Waktu kecil memang begitu kesukaanku, tetapi kini
setelah berkelana di Kangouw, tempat seperti apa pun juga
aku bisa tinggal," kata Lauw Yu-hong.
Kedua orang itu asyik mengobrol, sebaliknya Han Ci-pang
hanya bungkam, waktu itu dalam hatinya timbul perasaan
aneh. Sudah sepuluh tahun ia menaruh hati pada Yu-hong tapi
yang disebut belakangan ini agaknya seperti tak merasa. Kini
terhadap Leng Bwe-hong begitu bertemu lantas seperti
kenalan lama. Walaupun Leng Bwe-hong bersikap dingin,
bahkan kadang sengaja mengolok-olok padanya, namun Lauw
Yu-hong sama sekali tidak ambil perhatian.
Akhirnya Lauw Yu-hong dapat mengetahui juga sikap Han
Ci-pang itu. "Han-toako," tegurnya kemudian dengan tertawa,
"Mengapa dalam beberapa hari ini kau jarang berbicara"
Hayolah, kita lekas mencari sebuah goa!"
Han Ci-pang menyahut sambil memungut beberapa kayu
kering untuk obor, ia menuding sebuah goa yang besar dan
berkata, "Ini goa yang paling baik."
Waktu Lauw Yu-hong menegasi, ia melihat di mulut goa itu
tertatah tiga huruf besar 'Hut-coan-tong'.
"Beberapa tahun, aku berada di daerah barat-laut dan
seringkah mendengar pemuja Buddha berkata tentang goa ini,
katanya di dalamnya terdapat ukir-ukiran Buddha yang sangat
bagus, sungguh sayang aku adalah orang kasar, sedikitpun
tak paham seni pahat," kata Han Ci-pang.
Sambil bercakap, ketiga orang itu memasuki goa. Goa itu
ternyata memang amat besar, arca Buddha yang di tengah
tingginya luar biasa, satu jarinya saja lebih panjang daripada
tubuh orang. Di empat penjuru tembok penuh dengan ukiran
yang aneh, gayanya tidak sama dengan daerah pedalaman.
Lauw Yu-hong dan Leng Bwe-hong sama-sama kagum melihat
gambar dan ukir-ukiran yang bagus itu.
"Beberapa tahun aku tinggal di daerah barat-laut, tetapi
belum pernah juga melihat ukiran tembok yang demikian
bagusnya," kata Bwe-hong memuji.
Tergetar hati Yu-hong, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Sudah berapa lama kau berada di daerah barat-laut?"
katanya kemudian.
"Sudah ada enam belas tahun!" jawab Leng Bwe-hong.
Muka Lauw Yu-hong berubah, mendadak ia mengeluarkan
segulungan lukisan dari buntalannya.
"Kaulihatlah gambar ini," katanya.
Waktu gulungan itu dibuka, ternyata di dalamnya terlukis
seorang pemuda yang cakap tampan.
Pada waktu Leng Bwe-hong membuka dan melihat gambar,
dengan mata tajam Lauw Yu-hong memandang padanya.
Akan tetapi dengan menguatkan hati Leng Bwe-hong
menahan goncangan perasaannya.
"Gambar ini tidak jelek! Roman bergaya remaja yang hidup
dapat dilukiskan dengan tepat, pemuda dalam gambar ini
barangkali baru berumur lima-enam belas tahun saja," ujar
Leng Bwe-hong dengan tertawa tawar.
"Kau tidak kenal orang dalam gambar ini?" tanya Lauw Yuhong
dengan pandangan mata tajam.
"Bagaimana aku bisa kenal?" jawab Leng Bwe-hong
berlagak heran.
Melihat sikap Lauw Yu-hong, Han Ci-pang merasa sangat
aneh, ia piui menimbrung dan bertanya, "Siapakah orang ini"
Mengapa Lauw-toaci membawa gambarnya" Apakah dia
saudaramu atau sanak keluargamu yang hilang?"
Tiba-tiba Lauw Yu-hong berdiri di bawah sinar api obor,
Han Ci-pang melihat dia agak gemetar.
"Kenapakah kau?" tanya Ci-pang kuatir.
Waktu itu di luar arus sungai Song-kang-ho sedang mendampar
dengan hebatnya ke tebing sungai, balikan suara
gelombang yang memukul lubang-lubang goa berkumandang
gemuruh mirip genderang perang yang berbunyi di angkasa
pegunungan itu.
"Mendengar suara ini hampir sama seperti mendengar arus
gelombang di Ci-tong-kang," kata Lauw Yu-hong dengan
pelahan. Ia menarik napas dan bersandar pada tembok batu,
wajahnya lesu sekali. Han Ci-pang merasa pedih hatinya, ia
maju hendak memegangnya. Tetapi Yu-hong menggoyang
kepala menolaknya.
"Tak usah kau memegangku," katanya dan sejenak
kemudian ia menyambung sambil menuding lukisan itu, "Hantoako,
hal ini sebenarnya sejak dulu sudah harus kukatakan
padamu. Gambar ini adalah lukisanku sendiri."
"Anak muda dalam gambar ini adalah sahabat baikku di
waktu kanak-kanak. Di malam gelombang pasang Ci-tongkang,
aku telah menampar sekali padanya, dan ia telah
melompat ke Ci-tong-kang dan meninggal."
"Kalau sahabat baik, mengapa kau menamparnya?" tanya
Han Ci-pang. "Itulah salahku!" ujar Lauw Yu-hong dengan suara serak,
mukanya putih pucat. "Waktu itu, ayah kami semua adalah
bawahan Loh-ong dan tewas dalam pertempuran, kami
bersama bekas bawahan Loh-ong bersembunyi di Hang-ciu.
Pada suatu hari, orang-orang kami ada yang tertangkap oleh
Nilan-congping yang waktu itu berkedudukan di sana,
sahabatku itupun termasuk di antara yang tertangkap. Ia
bilang bahwa dialah yang membocorkan tempat sembunyi
bekas pengikut Loh-ong, maka dengan sekali gebrak saja
semuanya tertangkap."
Sampai di sini, mendadak Han Ci-pang mengepal terus
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghantam dinding hingga mengeluarkan suara keras.
"Manusia macam itu, jangan kata menamparnya, sekali pun
dibunuh juga pantas!" demikian teriaknya sengit.
Di luar dugaan, Yu-hong ternyata goyang-goyang kepala
atas perkataannya itu.
"Sebenarnya dia yang membocorkan atau bukan?" Ci-pang
coba menegas. "Pada malam orang-orang kami menyerbu penjara, ia juga
berhasil ikut lari keluar, waktu aku bertanya kepadanya, ia
jawab, 'Ya, betul! Aku yang mengatakannya.'!" kata Yu-hong.
"Lauw-toaci," ujar Ci-pang, "Selamanya aku kagum
terhadapmu, tetapi manusia semacam itu tidak kaubunuh,
sebaliknya kenapa kau malah merindukannya?"
"Sesuatu urusan terkadang memang sangat ruwet," sahut
Yu-hong. "Mengambil sesuatu keputusan pada soal yang
belum terang, mungkin kau akan melakukan suatu kesalahan
besar. Dan ketahuilah bahwa sahabatku itu sejak kecil
memang berhati keras dan berwatak berani, pada waktu ia
ditangkap, usianya baru menginjak enam belas tahun!"
"Walaupun masih anak-anak juga tak bisa diampuni
dosanya itu!" sela Ci-pang.
"Dan sesudah ia tertangkap, tidak sedikit siksaan yang
dideritanya, tetapi sepatah katapun ia tak mau bicara.
Kemudian musuh telah menggunakan akal licik, seorang
disuruh menyamar sebagai pahlawan yang tertawan dan
dikurung sekamar dengannya, waktu diperiksa dan disiksa,
orang itu bahkan disiksa terlebih berat, dengan demikian hati
mudanya lantas percaya orang itu sebagai kawan
seperjuangannya. Maka waktu orang itu membicarakan
tentang usaha melarikan diri dan kuatir tak punya tempat
sembunyi. kawanku itu lantas memberitahukan tempat dimana
markas kami. Hal ini kami ketahui sesudah kawan kami lolos
dari penjara dan berhasil menangkap sipir bui, barulah kami
tahu duduknya perkara!"
Ci-pang terkesima oleh penuturan itu, ia terharu pula.
"O, Lauw-toaci, maafkanlah kata-kataku tadi," demikian
katanya kemudian setengah meratap. "Lauw-toaci,
sebenarnya aku ingin bertanya sesuatu padamu."
"Aku sudah tahu apa yang hendak kautanyakan," tiba-tiba
Yu-hong memotong sembari membetulkan rambutnya. "Sudah
sepuluh tahun ini lukisannya selalu mendampingiku, maka soal
menikah, hakikatnya tidak pernah kupikirkan!"
Ci-pang terdiam oleh jawaban itu. Lama sekali baru ia
berkata lagi, "Tetapi, jalan pikiranmu itu menakutkan sekali."
Namun Yu-hong hanya menggeleng kepala.
"Jika waktu itu kau menyaksikan mukanya yang kutampar,
pasti kau tak akan bilang jalan pikiranku menakutkan,"
katanya kemudian, "Sungguh aku menyesal, begitu mataku
meram, segera wajahnya terbayang olehku, wajahnya yang
masih kekanak-kanakan, perbuatanku yang salah itu tak dapat
ditarik kembali."
Sejak tadi Leng Bwe-hong hanya bersedakep saja,
wajahnya yang codet itu kaku dingin sedikitpun tak
berperasaan. Ketika Yu-hong berpaling padanya, mendadak ia
menjerit, ia menutup muka dengan kedua tangannya, "O, aku
seperti melihatnya lagi"
Dengan cepat Ci-pang mendekatinya, ia pegang tangan Yuhong
pelahan dan menghiburnya, "Congthocu, kau terlalu
banyak berpikir, itu hanya khayalanmu saja"
Tetapi ketika sinar matanya beradu dengan sorot mata
Leng Bwe-hong sebagai 'Thian-san-sin-bong' yang tajam,
tanpa terasa Ci-pang ikut mengkirik.
"Leng-toako, ja janganlah kaupandang orang begitu rupa,
sungguh sa sangat menakutkan!" demikian pintanya
kemudian. "Ha, percuma saja kau menjadi ketua Thian-te-hwe,
kenapa begitu kecil nyalimu?" sahut Leng Bwe-hong
mengejek. "Baiklah, jangan kalian terus membayangkan yang
bukan-bukan. Dengarkan itu, di luar seperti ada suara orang."
Betul saja, dari luar goa itu terdengar suara beberapa
orang yang membawa api obor lambat-laun mulai mendekat.
Waktu Leng Bwe-hong melongok keluar, dilihatnya ada empat
orang Lamma dan seorang Han yang berdandan sebagai
perwira sedang melangkah masuk ke dalam goa.
Bwe-hong dan Ci-pang paham bahasa Tibet, maka begitu
mendengar mereka berbicara segera diketahui mereka ingin
bermalam juga dalam goa ini.
Empat orang Lamma itu cukup ramah, hanya perwira itu
yang lagaknya congkak, dari gambar garuda yang tersulam di
leher baju seragamnya, lantas Bwe-hong tahu tentu perwira
ini adalah orang Go Sam-kui, karena itu beberapa kali ia
memandangnya. Perwira itu tidak suka banyak bicara, maka Bwe-hong dan
kawannya juga tak menggubris padanya, mereka mengaso
sendiri di belakang arca Buddha yang tinggi besar itu hingga
seperti garis pemisah bagi kedua belah pihak.
Para Lamma itu tampaknya sedang riang gembira, mereka
menyalakan api unggun di depan arca, terus menari dan
bernyanyi dengan senangnya.
Akhirnya perwira itu menjadi jemu terhadap suara mereka
yang berisik, maka ia membentak mereka dengan bahasa
Tibet agar berhenti dan lekas tidur saja.
"Besok kita masih harus menempuh perjalanan jauh,"
katanya kemudian.
"Tak perlu lagi menempuh perjalanan jauh," mendadak ada
suara orang menyambung dengan tertawa dingin. "Sudah
tiada besok lagi buat kalian!"
Sungguh tak kepalang kagetnya para Lamma dan perwira
itu, bahkan Bwe-hong juga kaget, nyata Lwekang atau tenaga
dalam orang ini kuat luar biasa, belum tampak orangnya,
namun suaranya sudah mendenging di telinga semua orang.
Mendadak dua orang Lamma telah menerjang keluar, lalu
terdengar suara gedebukan yang riuh, disusul pula suara
robohnya barang yang berat.
Mata Leng Bwe-hong cukup tajam, dari tempat rebahnya ia
dapat melihat dua sosok bayangan telah terlempar masuk,
ternyata dua orang Lamma itu telah dirobohkan si pendatang
dengan sekali gebrakan saja.
Sudah tentu perwira itu dan Lamma yang lain menjadi
gusar, segera senjata mereka dilolos terus mengeroyok maju,
tetapi terdengar lagi suara tertawa orang, bagaikan burung
saja tahu-tahu sudah melayang masuk beberapa orang yang
berbaju hitam mulus.
Dengan cepat Ci-pang sudah siap akan melabrak orang,
tetapi ia keburu ditahan Leng Bwe-hong.
"Tahan dulu, coba siapakah mereka ini?" demikian ia
membisiki. Begitu sudah dekat orang-orang itu, hampir saja Leng Bwehong
berteriak kaget. Kiranya ketiga orang berbaju hitam ini
bukan lain adalah Si-wi atau jago pengawal dan satu di
antaranya yang mengepalai adalah 'Yu-liong-kiam' Coh Ciaulam
adanya. Kalau Bwe-hong terkejut, perwira tadi malah berseru dan
juga bercampur girang, kiranya perwira itu bernama Thio
Thian-bong, mereka adalah orang kepercayaan Go Sam-kui.
Dan karena melihat kedua Lamma tadi kena dilempar
masuk lagi, lekas Thian-bong berteriak, "Coh-toako, tahan
dulu, orang sendiri!"
Tak terduga kata-katanya tak diindahkan Coh Ciau-lam,
bahkan ia mendesak maju dan membentak, "Thian-bong,
lekas kauperintahkan mereka menyerahkan 'Sik-li-ci', jika jiwa
mereka ingin selamat!"
Sik-li-ci yang disebut itu adalah pusaka agama Buddha,
menurut ceritera, sesudah Buddha meninggal dan mayatnya
dibakar, lalu dari tulangnya diperoleh sepotong kristal yang
mirip mutiara, meskipun dibakar dan dipalu ternyata tidak bisa
pecah, maka lantas disebut Sik-li-ci.
Waktu Kwi Ong (salah satu putera kerajaan Beng) dikejar
Go Sam-kui sampai negara Birma, pusaka kelenteng Ci-kong-si
di negeri itu, yaitu Sik-li-ci, peninggalan Liong-jiu Siansu telah
dirampas pula olehnya.
Liong-jiu Siansu adalah murid pertama Sakyamuni dan
terhitung juga pendiri agama Buddha. Menurut kepercayaan,
barang suci agama Buddha pertama yang dianggap keramat
ialah 'Hud-ge' yakni abu peninggalan Sakyamuni dan yang
kedua ialah Sik-li-ci peninggalan Liong-jiu Siansu itu.
Karena itulah, guna memupuk hubungan baik dengan Dalai
Lamma, Go Sam-kui telah mengutus Thio Thian-bong
mengawal Sik-li-ci itu ke Tibet, sedang empat orang Lamma
itu adalah orang Dalai yang dikirim khusus untuk menyambut
kedatangan Sik-li-ci.
Rupanya hal ini oleh Coh Ciau-lam telah dilaporkan pada
Kaisar Khong-hi, maka maharaja ini telah mengirim pula dua
jago pengawalnya bersama Ciau-lam pergi menghadang
pengiriman pusaka Buddha ini.
Dan justru karena terpencarnya perhatian Khong-hi
terhadap pemberontakan Go Sam-kui ini, barulah para
pahlawan di Bu-keh-ceng dengan lancar bisa bubar tanpa
mengalami sesuatu halangan.
Begitulah, maka demi mendengar Coh Ciau-lam datangdatang
lantas minta Sik-li-ci diserahkan padanya, akhirnya
Thio Thian-bong menjadi heran.
"Coh-toako, apakah kau baru kembali dari Tibet?" demikian
ia bertanya. "Sik-li-ci ini dikirim Ping-se-ong kepada Dalai
Lamma dan aku diperintahkan mengawalnya, mana berani
kubi-kin repot tenaga Toako (saudara)."
"Hm, Ping-se-ong apa?" tukas Ciau-lam tiba-tiba. "Aku
diperintahkan mengambil Sik-li-ci itu oleh Kaisar yang
bertakhta sekarang ini, tahu!"
Terperanjat sekali Thian-bong oleh jawaban itu.
"Kau telah memberontak?" demikian ia bertanya.
"Go Sam-kui boleh memberontak, mengapa aku tak boleh?"
sahut Ciau-lam. "Aku ingin tanya padamu, kau ingin ikut
Hongsiang sekarang atau ingin ikut Go Sam-kui."
Di tempat Go Sam-kui, kedudukan Thio Thian-bong hanya
sedikit di bawah Coh Ciau-lam, soal Go Sam-kui
merencanakan memberontak sama sekali tidak diketahuinya.
Kini mendadak didengarnya dari mulut Coh Ciau-lam yang
dirasakannya seperti bunyi guntur di siang hari, maka seketika
ia ternganga tanpa dapat menjawab.
"Bagaimana lekas katakan!" demikian Ciau-lam telah
mendesak pula. Tetapi Thian-bong masih bingung dan ragu-ragu, ia tak
mengerti cara bagaimana harus mengambil keputusan.
Adalah kedua Lamma yang lain ketika dilihatnya Coh Ciaulam
membentak dalam bahasa Han pada Thian-bong, meski
apa maksudnya mereka tak paham, tetapi melihat sikap
Thian-bong seperti terdesak, para Lamma itu menjadi gusar,
berbareng mereka merangsek maju, dengan 'Tay-lik-jian-kinkun'
atau pukulan tenaga raksasa, dari kanan dan kiri mereka
memukul. Tetapi Ciau-lam pura-pura tidak tahu, tak dihindarinya
pukulan itu, bahkan ia terima dipukul mentah-mentah kepalan
tangan kedua Lamma itu.
Maka terdengarlah suara "bluk-bluk" dua kali, dengan tepat
dada Ciau-lam kena dipukul, namun kedua Lamma itu
merasakan kepalan mereka seperti mengenai kulit rusa saja,
malahan mereka sendiri yang terpental mundur.
Namun tidak urung Coh Ciau-lam merasa kesakitan juga, ia
terkejut, nyata tenaga kedua Lamma ini tidak dapat dipandang
enteng. Ia tak berani ayal lagi, sekali meloncat dengan gerak tipu
'Ngo-eng-bok-tho' atau elang lapar menyambar kelinci, dari
atas ia mencengkeram kedua lawannya, begitu cepat
serangan ini, maka kedua Lamma itu tak sanggup
menghindarkan diri lagi.
Tetapi pada saat itu juga dari belakang arca mendadak
terdengar suara bentakan, menyusul sebutir 'Thi-cit-le' atau
pelor besi berduri secepat kilat telah menyambar. Namun
Ciau-lam memang jagoan, tiba-tiba ia membalik tubuh di
udara dan meluncur ke samping, berbareng itu sebelah
kakinya menjejak hingga senjata rahasia itu kena ditendang
jatuh. Tatkala itu Han Ci-pang sudah melompat keluar dari tempat
persembunyiannya, ia terperanjat oleh ketangkasan Ciau-lam
yang lihai itu.
Dan selagi Ci-pang termangu, dengan cepat Ciau-lam
sudah turun kembali terus menubruk maju, lekas Ci-pang
mengayun goloknya. Dengan enteng dan gesit luar biasa Ciaulam
berkelit untuk kemudian memutar sampai di belakang
orang. Ci-pang sudah cukup berpengalaman, sekali
serangannya luput, dengan cepat ia putar goloknya sambil
memiringkan tubuh, segera menyabet kedua kaki lawan.
Tak terduga mendadak Ciau-lam membentak nyaring,
"Lepas"
Sebelah tangannya terus menghantam muka Ci-pang,
sedang jari tangannya yang lain menotok urat nadi 'Sam-lihiat'
di tangan kanan Han Ci-pang yang memegang golok itu.
Maka tidak ampun lagi, segera Ci-pang merasakan
tangannya kaku, goloknya jatuh dan Ci-pang roboh.
Serangan Ciau-lam tadi dilakukan secara kilat hingga kedua
jago pengawal kawannya itu baru sekarang bisa melihat jelas
wajah Ci-pang. "Jangan lepaskan dia, orang ini Congthocu Thian-te-hwe!"
teriak mereka berbareng demi mengenali orang.
Karena itu dengan tertawa dingin segera Ciau-lam
memburu maju untuk membekuk pecundangnya itu. Tapi
pada saat itu juga, tiba-tiba dari belakang arca telah
menyambar keluar sinar hitam keemasan, tanpa pikir Ciau-lam
mengebas sekuatnya dengan lengan jubahnya, tak terduga
am-gi atau senjata rahasia itu ternyata tak tersampuk jatuh,
sebaliknya lengan jubahnya yang tertembus, am-gi itu masih
menyerempet lewat dengan kekuatan yang masih sangat
besar, kemudian terdengar suara gemerincing yang nyaring,
nyata semacam benda mirip anak panah kecil telah menancap
masuk ke dinding batu.
Dalam pada itu dari belakang arca menyusul melompat
keluar dua orang lagi, yang seorang perempuan dan satunya
lelaki, mereka langsung menghadang di depan Coh Ciau-lam.
Keruan saja ia terkejut, sembari mencabut pedangnya, lekas
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ciau-lam melompat mundur.
"Kau ada hubungan apa dengan Hui-bing Siansu?" tegurnya
kemudian setelah mengenali orang. "Beberapa kali kau
merecoki aku, apa kaukira aku gentar padamu?"
Tetapi Leng Bwe-hong tak menjawab. Sementara itu Cipang
sudah dibangunkan oleh Yu-hong.
"Kalian boleh berdiri di sebelah sini, jangan sampai Sik-li-ci
kena direbut oleh mereka," demikian kata Bwe-hong pada
para Lamma dengan bahasa mereka.
Para Lamma itu menurut, segera mereka mundur ke pihak
Leng Bwe-hong, semua jago pengawal Coh Ciau-lam coba
mengejarnya, tanpa pikir lagi Bwe-hong mengayun tangannya,
kembali sinar hitam-emas menyambar pula, tetapi kedua jago
pengawal itupun tidak lemah, yang seorang telah angkat golok
'Kui-thau-to', golek dengan ujung berbentuk kepala setan, ia
menyampuk sekuatnya, maka terdengar suara "trang" yang
keras, lalu api meletik, ternyata golok itu sendiri yang
berlubang. Sedangkan yang lain melompat ke atas dengan gaya Tt-hociongthiaji' atau burung bangau menjulang ke langit, ia
melambung naik setinggi tiga-empat tombak, sungguhpun
cukup cepat ia berkelit, namun tidak urung senjata rahasia itu
masih menyerempet hingga sepatunya copot terkena bidikan.
Tentu saja kedua orang itu terkejut hingga berkeringat
dingin. "Tak perlu urus Lamma itu, tak nanti mereka lolos!"
demikian Ciau-lam membentak.
Karena itu, kedua jago pengawal itu mundur ke samping
Ciau-lam sedang Thio Thian-bong tidak ikut campur, ia
bersandar ke dinding berdekatan dengan Lamma tadi.
Setelah itu, barulah Leng Bwe-hong membuka suara
dengan tertawa dingin.
"Kalau membicarakan perguruan, maka kupanggil kau Suheng,"
demikian katanya pada Ciau-lam. "Tetapi kalau bicara
peraturan Kangouw maka aku harus mencaci-makimu sebagai
pengkhianat! Nah sekarang kau tinggal pilih, kau ingin
kupanggil Suheng atau minta disebut pengkhianat" Hal ini
perlu dipisahkan dengan tegas, manusia dengan setan
berlainan tempatnya!"
Kiranya kepergian Leng Bwe-hong ke Thian-san untuk
belajar silat pada Hui-bing Siansu sepuluh tahun yang lalu
ternyata sangat dirahasiakan, jangankan orang Bu-lim atau
dunia persilatan, bahkan Ciau-lam yang juga anak murid Huibing
Siansu tak mengetahui akan hal itu.
Dalam anggapan Ciau-lam, satu-satunya calon ahli waris
Hui-bing Siansu adalah Njo Hun-cong yang sudah tewas di
tepi sungai Ci-tong-kang itu (kisah tentang Njo Hun-cong,
bacalah PAHLAWAN PADANG RUMPUT, sudah terbit) dan
dengan sendirinya sebagai anak murid kedua Hui-bing Siansu,
tentu dapatlah ia menjagoi kolong langit ini, siapa tahu
sewaktu ia terjerumus ke dalam jurang dalam pertarungan
mati-matian melawan Pho Jing-cu di sana, tiba-tiba muncul
seorang Leng Bwe-hong yang telah menunjukkan kepandaian
hebat dari Thian-san-cio-hoat atau ilmu pukulan aliran Thiansan
dari perguruannya sendiri, keruan saja ia sangat
terperanjat hingga sedikit meleng, maka ia telah kena
dihantam sekali terus ngacir.
Kini secara terang-terangan orang menyebut Suheng
padanya, seketika Ciau-lam menjadi tertegun, tetapi ia lantas
berpikir, "Ya, sekalipun ia adalah murid guruku terakhir yang
tak kukenal, melihat umurnya yang baru tiga puluhan tahun,
betapapun tinggi kepandaiannya masih kalah ulet denganku,
kenapa aku harus takut padanya?"
Setelah mengambil keputusan, maka Ciau-lam lantas
mendelik dan menjawab dengan angkuhnya, "Siapa sudi
kaupanggil sebagai Suheng" Jika kau mau mengakuiku
sebagai Suheng! Nah majulah, biar aku belajar kenal dulu
dengan ilmu pukul-anmu!"
Nyata, karena sudah pernah merasakan sekali pukulan orang,
maka ia masih penasaran dan hendak membalas rasa
malunya itu. Bwe-hong tertawa dingin, ia tidak lantas maju, melainkan
lantas pasang kuda-kuda dan menanti musuh. Karena itu,
segera Coh Ciau-lam merangsek maju, tetapi mendadak salah
seorang pengawal di sampingnya telah mendahului menerjang
Leng Bwe-hong. "Potong ayam tak perlu pakai golok, biar aku
menghadapinya dahulu." demikian seru pengawal itu.
Jago pengawal ini bernama Ku Guan-liang, ahli Tiam-hiat
atau menotok jalan darah dari Holam, lihainya ilmu totokannya
itu karena dikombinasikan dengan ilmu pukulan, maka
tingkatannya dalam pengawal kerajaan tergolong kelas satu.
Ciau-lam tak mencegah, ia pikir majunya Ku Guan-liang
kebetulan baginya sebagai umpan untuk menjajal sampai
dimana kepandaian Leng Bwe-hong.
Ku Guan-liang memang lagi gusar karena sepatunya tadi
kena terbidik senjata rahasia Leng Bwe-hong, maka begitu
maju segera ia menantang, "Aku hanya mau belajar kenal Ciohoat
denganmu, kalau kau mau bertanding am-gi sebentar
lagi aku pun bersedia melayani!"
Dari suaranya, Leng Bwe-hong tahu orang jeri terhadap
am-gi miliknya, maka orang sengaja menonjolkan peraturan
Kangouw supaya pertandingan itu menggunakan ilmu pukulan
saja dan bila perlu kemudian baru ganti ilmu kepandaian yang
lain. "Tanpa am-gi aku pun bisa membikin kau melompat-lompat
seperti monyet," ejek Bwe-hong.
Tentu saja Ku Guan-liang gusar, dibarengi suara geraman,
segera ia menerjang, sekali pukul mengarah muka Leng Bwehong.
Melihat serangan itu cukup hebat dan tepat juga
berbahaya, Bwe-hong tak berani ayal, dengan cepat ia
melangkah minggir, berbareng tangannya lantas memotong
pergelangan tangan Ku Guan-liang.
Tetapi Ku Guan-liang melompat pergi agar tangannya tidak
terpotong patah, namun dengan cepat sekali Bwe-hong sudah
menyusul sampai di belakangnya terus mencengkeram bagian
punggung musuh. Tetapi Guan-liang tidak menyerah mentahmentah,
mendadak ia merendah ke bawah terus memutar
balik secepat roda, berbareng kedua telapak tangannya terus
memukul urat nadi 'Ling-coan-hiat' di pinggang lawan, nyata
ia sudah kepepet dan menjadi nekad.
Melihat serangan ini, dalam kagetnya sampai Ci-pang
menjerit, sebaliknya terdengar Coh Ciau-lam malahan berseru.
"Awas !"
Dan sebelum Ci-pang bisa melihat jelas, tahu-tahu Ku
Guan-liang malah sudah terguling pergi beberapa tombak
jauhnya dengan wajah pucat.
"Kau sudah kalah kenapa masih di situ?" bentak Ciau-lam
demi dilihatnya Ku Guan-liang masih terpaku di tempatnya itu.
Akan tetapi Ku Guan-liang masih belum mau menerima.
Bagai seekor kerbau gila saja, kembali ia menyerang maju
dengan serangan gencar yang mematikan dan berbahaya,
terutama ilmu menotoknya yang di kalangan persilatan di
daerah Holam sangat dipuji, siapa tahu baru sekali gebrak
sudah kena digulingkan Leng Bwe-hong, tentu saja ia menjadi
kalap, ia gunakan ilmu menotok bersama ilmu pukulannya
secara bertubi-tubi mengarah ke tiga puluh enam urat nadi
penting di tubuh lawannya.
Namun Leng Bwe-hong masih terlalu kuat baginya, setiap
serangannya selalu dipatahkan dengan mudah saja, meski
sudah sekian lama serangan Ku Guan-liang tetap tak berhasil
mengenai sasarannya.
Akhirnya, mendadak Leng Bwe-hong membentak dan ia
merubah cara bersilatnya, tangan kanan ia gunakan 'Cat-jiuhoat'
atau ilmu memotong tangan yang paling lihai untuk
menghadapi setiap totokan lawan, sedang tangan kiri
membalas serangan orang dengan ilmu Tiam-hiat juga yang
tidak kalah lihainya.
Keruan saja Ku Guan-liang ketemu batunya, ia betul-betul
mati kutu, ilmu totokannya telah ditandingi ilmu totokan juga,
sedangkan lawannya masih terus menyelingi dengan serangan
'Cat-jiu-hoat' yang sangat lihai, asal sedikit meleng saja, dapat
dipastikan ia sendiri bisa termakan oleh totokan jari Leng Bwehong,
dan justru karena Ku Guan-liang adalah ahli menotok,
maka ia pun lebih tahu bahayanya ilmu itu, ia menjadi
kelabakan dan tak bisa berkutik, saking terkejutnya hingga ia
mandi keringat dingin.
Leng Bwe-hong juga sangat jahil, setiap kali ia hendak
menotok, pasti ia sebutkan nama tempatnya seperti 'Sam-lihiat',
'Yong-coan-hiat', 'Thian-guan-hiat' dan lain lagi terus
menerus, hingga Ku Guan-liang dibikin kelabakan dan
terpaksa harus melompat ke sana kemari dan berjingkrak
seperti monyet kena terasi.
Nampak keadaan Guan-liang yang mengegos lucu itu, para
penonton yang lain menjadi tertawa geli.
Melihat keadaan yang makin lama makin konyol itu, Coh
Ciau-lam berkerut kening.
"Hayo, sudahlah lekas mundur!" segera ia meneriaki
kawannya, habis itu ia bergegas maju.
Tetapi sudah terlambat, tiba-tiba terdengar Leng Bwe-hong
membentak, dengan kecepatan luar biasa tahu-tahu ia sudah
memutar sampai di belakang Ku Guan-liang, ketika tangannya
mencengkeram, sebelah lengan musuh telah kena dipegang,
berbareng tangan Bwe-hong yang lain telah menyodok ke
pinggang lawan.
Tanpa ampun lagi seketika Ku Guan-liang kaku lumpuh, lalu
Bwe-hong membentak lagi, tubuh pecundangnya ini
dilemparkannya.
Lekas; Ciau-lam menangkap tubuh sang kawan, waktu ia
periksa, ia lihat kedua mata Guan-liang meram rapat,
tubuhnya kaku, maka lekas Ciau-lam menotok nadi 'Hok-thohiat'
di punggungnya, dan terdengarlah Guan-liang menjerit
dibarengi darah kental hitam menyembur dari mulutnya, lalu
dengan lemas ia roboh terkulai tak bisa berkutik.
Nyata tadi 'Yi-gi-hiat' di pinggangnya telah kena ditotok
Leng B-v^e-hong dan kini walaupun sudah tertolong, namun
untuk selamanya ia akan cacat.
Ciau-lam tak tahan lagi, begitu bergerak segera Leng Bwehong
ditubruknya, namun secara gampang saja Bwe-hong
berkelit. Segera Ciau-lam melontarkan serangan kedua, telapak
tangan kanan cepat membelah ke depan, tetap Bwe-hong tak
menyambut pukulan itu, ia hanya sedikit menurunkan badan
terus menerobos lewat di bawah tangan orang.
Tentu saja Ciau-lam semakin sengit, sambil membentak ia
memutar tubuh terus menjambret lawan, tetapi lagi-lagi Bwehong
tak menyambut serangan orang, ia melompat lagi ke
samping dengan ringannya.
"Lari kemana?" Ciau-lam membentak sambil mengejar,
dirasakannya Bwe-hong hendak melarikan diri.
Tak tahunya mendadak Leng Bwe-hong berhenti, dengan
sorot matanya yang tajam segera ia pun berseru, "Tahan
dulu! Aku menghormatimu sebagai Suheng, maka telah
mengalah tiga kali serangan padamu. Jika kau masih belum
kenal adat, terpaksa aku harus menghajarmu. Kalau aku
kalah, sekarang juga aku kembali ke Thian-san, tetapi bila kau
yang kalah, apa janjimu?"
"Sik-li-ci ini boleh kau ambil sesukamu," sahut Ciau-lam.
"Baik, dan sekarang seranglah!" kata Bwe-hong lagi.
Segera Ciau-lam pasang kuda-kuda dengan kuat,
mendadak kedua telapak tangan memukul lawan sekaligus
dengan membawa sambaran angin keras.
Namun Leng Bwe-hong telah menangkisnya dengan cepat
sekali. Dan begitulah seterusnya, pertarungan itu dilakukan secara
hebat dan cepat luar biasa, dimana pukulan tiba, di situ
segera menyambar angin keras hingga debu yang tertimbun
bertahun-tahun dalam goa itu kini bertambah debu yang
menyambar dan menghambur seperti kabut, keadaannya
menjadi remang-remang dan seram.
Api unggun yang berkobar di jalan lorong goa itu
bergoyang-goyang juga terkena sambaran angin hingga
sebentar menyala dan lain saat gelap akan padam, suasana
seram itu jadi menambah tegang.
Selang tak lama, tiba-tiba kedua orang sama-sama mundur
beberapa tindak ke belakang. Semua heran ketika melihat
kedua orang saling melotot bagai ayam jago aduan saja.
Sekonyong-konyong Ciau-lam membentak dari jauh,
berbareng telapak tangannya memukul ke depan dan segera
Leng Bwe-hong menangkis juga dari jauh, mereka saling
serang dari jarak jauh, pukulan-pukulan mereka tiada yang
menyenggol ujung baju lawan, lebih mirip saudara
seperguruan yang sedang berlatih.
Yu-hong dan Ci-pang tergolong ahli, mereka tahu setiap
pukulan Leng Bwe-hong dan Coh Ciau-lam itu selalu
membawa perubahan, meski jarak mereka terpisah beberapa
tindak, tetapi setiap gerakan senantiasa menyerang sembari
menjaga diri, siapa yang sedikit meleng, pasti akan memberi
kesempatan kepada lawannya untuk merangsek maju.
Pertandingan demikian tidak hanya mengadu kebagusan
ilmu pukulan masing-masing, tetapi juga mengadu Lwekang
atau tenaga dalam, karena saling hantam dari jarak jauh,
pukulannya lebih berat dan tajam.
Sesudah beratus jurus masih tiada tanda siapa bakal
unggul atau asor.
Dan selagi semua orang menjadi bingung oleh
pertandingan mereka itu, mendadak terdengar Leng Bwehong
menggertak, sedang Coh Ciau-lam kelihatan mundur ke
belakang, dengan cepat Bve-lwMLg mendesak maju pula terus
memukul dada lawan.
Karena tak sempat menangkis lagi, lekas Ciau-lam
melompat ke atas, dengan tepat ia singgah di atas tangan
arca Buddha yang sangat besar itu, dari situ secepat kilat
bagai elang ia menyambar ke bawah, kedua tangannya
memukul kepala Leng Bwe-hong sekuat tenaga.
Terpaksa Leng Bwe-hong menyambut hantaman itu dengan
kedua tangannya, keras lawan keras, maka terdengarlah suara
"plak-plak" yang keras dua kali, menyusul kedua orang itu
terpental pergi setombak jauhnya.
Kalau membandingkan masa belajar, Ciau-lam memang
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jauh lebih lama daripada Leng Bwe-hong, tetapi yang dilatih
Leng Bwe-hong adalah 'Tong-cu-kang', yakni ilmu dasar
kanak-kanak, sejak kecil fondamennya sudah terpupuk kuat.
Sebaliknya waktu muda Coh Ciau-lam banyak berfoya-foya
hingga tenaganya banyak terganggu, ditambah lagi Coh Ciaulam
terlalu puas dengan kedudukannya dan menelantarkan
latihan, maka kini demi berhadapan dengan lawan tangguh,
walaupun kekuatan kedua belah pihak sebenarnya seimbang,
namun ia malah kena terdesak di bawah angin.
Sebenarnya Leng Bwe-hong mendapat kesempatan untuk
menghantam dengan pukulan berat yang paling lihai dari ilmu
pukulan Thian-san-pay, tak terduga Coh Ciau-lam dapat
meloncat ke atas, kalau pukulannya itu diteruskan, tentu
patung Buddha itu akan hancur dipukulnya, hal mana bukan
tujuan Bwe-hong hendak merusak barang peninggalan kuno di
dalam goa Hun-kang itu, maka gaya pukulannya itu telah
ditariknya kembali, tetapi karena itu juga Coh Ciau-lam
mendapat kesempatan untuk menyerangnya dari atas hingga
kedua belah pihak kelihatannya seperti sama kuatnya.
Coh Ciau-lam sendiri cukup tahu bahwa Sute atau adik
seperguruan yang baru dikenalnya ini sebenarnya masih lebih
tangguh dari dirinya. Tentu saja ia menjadi gusar dan gugup
pula, tetapi rasa angkara murkanya sudah menggelapkan
pikirannya, ia tak rela menyerah begitu saja. Maka ia
merangsek maju lagi, segera pedang 'Yu-liong-kiam' pun
dilolosnya. Yu-liong-kiam adalah satu di antara dua pedang pusaka
Thian-san-pay, satu lainnya disebut 'Toan-giok-kiam' yang
biasa dipakai Njo Hun-cong, dan sesudah Hun-cong
meninggal, ia menyerahkan pedang itu pada si pemuda Leng
Bwe-hong di tepi Ci-tong-kang bersama puterinya agar dibawa
ke Thian-san. Maka kemudian pedang pusaka itu telah dipakai
puterinya, le Lan-cu.
Dalam hal ilmu pedang Ciau-lam paling dalam
mempelajarinya, ditambah lagi dia menggunakan pedang
pusaka, maka ia ingin bertanding lagi dengan Leng Bwe-hong
untuk merebut kembali keasorannya tadi.
"He, Pokiam (pedang pusaka) bagus!" seru Lauw Yu-hong
kaget demi nampak pedang Coh Ciau-lam bersinar tajam
mengkilap. Namun Leng Bwe-hong tak gentar, ia pun segera mencabut
pedangnya, ia serang dulu pundak musuh, tetapi Ciau-lam
mengegos pergi, berbareng ia balas menyerang tiga kali susul
menyusul ke bagian bawah Bwe-hong, ia mengandalkan
pedang pusakanya yang tajam, maka ia berani mengeluarkan
tipu serangan yang sangat berbahaya.
Namun Bwe-hong menandinginya dengan gesit sekali
hingga setiap serangan Coh Ciau-lam dapat dihindari. Dan
Istana Pulau Es 14 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Dan Naga Siluman 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama