Ceritasilat Novel Online

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 10

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 10


sebagai kenang-kenangan. Karena merasa sayang akan
barang peninggalan orang tua, Wan-lian memasukkan kitab
itu ke dalam bajunya. Dan selagi ia hendak menanggalkan
lukisan sang ibu di dinding itu, tiba-tiba didengarnya suara
pintu luar didorong disusul dengan suara tindakan orang, ia
terkejut, lekas ia bersembunyi di belakang almari buku tadi.
Tak lama, masuklah dua orang laki-laki. Terkejut sekali Boh
Wan-lian setelah mengenali orang-orang itu dari belakang
almari. Kiranya kedua orang itu seorang dikenalnya ialah Kaisar
Khong-hi, dan yang lain kelihatan tulang pilingannya menonjol
tinggi, matanya dekuk, sebaliknya biji matanya melotot
kekuning-kuningan, terang sekali seorang jago Lwekeh yang
hebat. Tentunya ia ini adalah pengawal pribadi Kaisar Khonghi.
Wan-lian coba menenangkan diri, ia menyiapkan pedang
pusaka hadiah dari Nilan Yong-yo.
Sementara pengawal itu telah membersihkan debu meja
kursi, lalu Khong-hi duduk di atas sebuah kursi goyang di
samping meja baca dan menghadap dinding yang terdapat
lukisan tadi. Maharaja ini tertawa dingin ketika nampak lukisan
itu. Tapi setelah melihat dan meneliti lagi, tiba-tiba ia heran.
"Aneh, kamar ini sudah ditutup hampir 20 tahun, mengapa
lukisan ini masih begini bersih?" demikian katanya.
Segera pengawal itu memandang sekeliling kamar itu.
Dengan menahan napas Boh Wan-lian mengkerut di tempat
persembunyiannya.
"Hongsiang," kata pengawal itu kemudian, "Hamba kuatir
kamar ini pernah dimasuki orang."
"Siapa berani?" ujar Khong-hi tertawa. "Sejak budak hinadina
itu mati dihajar Thayhou (ibu-suri), lalu ayah baginda
memantek pintu kamar ini untuk melarang orang lain
memasukinya sampai sekarang ini. Sekalipun kedatanganku
inipun aku harus minta perkenan Thayhou dahulu." Habis itu,
kembali ia tertawa dingin dan menjengeki lukisan itu dan
lanjutnya, "Sesungguhnya ayah Baginda juga agak terlalu
sayang padanya. Menurut cerita Thayhou, ketika kamar ini
dipantek, seluruh isinya tiada satupun boleh dipindah, bendabenda
berharga tak satu pun boleh dikeluarkan."
Mendengar itu, diam-diam Wan-lian makin berduka dan
pilu. "Apa ada sesuatu yang hendak Hongsiang ambil dari sini?"
terdengar pengawal tadi bertanya.
"Aku tak ingin barang-barang berharga ini ada di dalam
sini," sahut Khong-hi. "Kedatanganku ini pertama-tama hanya
ingin tahu apa ada benda peninggalan ayah Baginda atau
tidak. Kecuali itu hanya ingin melihat almari buku yang
katanya terbuat dari kayu wangi, pula coba mencari bila
terdapat kitab-kitab kuno yang susah didapat."
Kiranya Kaisar Khong-hi yang terkenal kejam mempunyai
hobi membaca. Setelah menganiaya hingga ayah Bagindanya
tewas (si Hwesio tua di Ngo-tai-san), karena ciri inilah
sebenarnya ia tak berani masuk ke kamar bekas Tang Siaowan
ini. Tapi belakangan ia mendengar dari Thaykam tua
bahwa di dalam kamar masih banyak tersimpan kitab-kitab
kuno dengan almari bukunya yang berharga, ia menjadi
tertarik. Dan beberapa hari ini ia justru sedang kesal hati
karena terbunuhnya To Tok, maka iseng-iseng ia hendak
mencari beberapa kitab berharga untuk melewatkan tempo
senggang. Tapi di samping itu, ia pun kuatir mendiang ayah Bagindanya
meninggalkan testamen atau surat wasiat dalam kamar
itu, maka ia berharap bisa menemukannya. Maka cepat ia
membuka laci-laci meja dan almari serta mengobrak-abrik
isinya, namun tiada sesuatu yang diperolehnya.
"Kata orang almari buku ini sangat bagus, coba aku mau
tahu betul tidak kebenarannya," kata Khong-hi kemudian
sembari bangkit.
"Bila ia mendekat ke sini, segera akan kupersen dia sekal i
tusukan," diam-diam Wan-lian membatin di belakang almari
buku. Tapi baru saja Khong-hi berdiri, tiba-tiba dilihatnya lukisan
Tang Siao-wan yang tergantung di dinding itu seakan-akan
tersenyum mengejek dan matanya mengerling hina padanya.
Seketika ia rada mengkirik dan tak jadi melangkah maju.
"Tanggalkan lukisan itu dan sobek saja," perintahnya pada
sang pengawal itu.
Hati Wan-lian menjadi panas, tak nanti ia antapi lukisan
ibundanya dirusak orang. Ketika tangan pengawal itu hampir
menyentuh lukisan itu, cepat sekali mendadak Wan-lian
melompat keluar dari tempat persembunyiannya sambil
menggertak keras dan pedang terus menusuk.
Namun jago pengawal itupun tidak lemah, ketika
didengarnya angin tajam menyambar dari belakang, segera ia
bergeser ke samping berbareng menyambar sebuah kursi
terus menangkis ke belakang. Maka terdengarlah suara
"kraak," empat kaki kursi itu terkuning semua oleh pedang
Boh Wan-lian. Mendadak kursi buntung itu ditimpukkan ke depan oleh
pengawal itu sembari membentak. Tentu saja pedang Wanlian
membuat kursi buntung itu terbelah menjadi dua, dengan
membalikkan pedangnya segera ia menusuk sekalian. Karena
itu lekas pengawal itu mengkeret mundur, tapi karena sedikit
lambat pergelangan tangannya sudah berkenalan dengan
ujung pedang Boh Wan-lian.
Keruan saja bayangkara itu menjadi gusar, Wan-lian ditubruknya
dengan nekad terus dihantam kedua belah
pilingannya. Karena serangan hebat ini, mendadak Wan-lian
melompat ke samping, secepat kilat tahu-tahu Khong-hi yang
diincar. Tentu saja Khong-hi menjerit kaget terus merebahkan diri
ke lantai dan menyelusup ke bawah meja.
Dalam pada itu pengawal tadipun amat terperanjat, ketika
mendadak dilihatnya Wan-lian melompat ke samping, segera
ia tahu gelagat jelek, maka cepat ia memburu maju dan waktu
mendengar Khong-hi menjerit, ia sangka maharaja itu sudah
terluka. Dalam kuatirnya, jiwa sendiri tak terpikir lagi olehnya,
ia pentang kedua tangannya terus menubruk maju.
Namun sekali mengegos Wan-lian telah menyingkir ke
samping. Karena menguatirkan keselamatan junjungannya,
maka pengawal itu sebelah tangannya melindungi Khong-hi
dan tangan yang lain membalik menjambret musuh. Tak ia
duga jambretannya mengenai tempat kosong, sebaliknya
lantas terasa sakit tidak kepalang, tahu-tahu tangannya sudah
tertabas kutung oleh senjata Boh Wan-lian.
Sebenarnya jago pengawal itu tidak nanti kalah tangguh
daripada Wan-lian, cuma gadis ini memakai pedang pusaka,
pula ia harus menjaga keselamatan Kaisar. Kini setelah
tangannya terkutung, ia menjadi lebih payah. Namun
pengawal ini tidak menyerah mentah-mentah, ia menjadi
kalap dan menyerang se-abutan. Tapi dengan kesehatan luar
biasa, sejurus kemudian Wan-lian telah berhasil menambahi
sekali tikaman lagi di atas punggung pengawal itu hingga
menembus dada. Pelahan-lahan Wan-lian membersihkan pedangnya, lalu
lukisan sang ibu ia gulung dengan hati-hati dan penuh rasa
sayang. "Keluar!" bentaknya kemudian pada Khong-hi yang
masih meringkuk di kolong meja.
Maharaja itu gemetar ketakutan ketika melihat
pengawalnya terbunuh, ia pikir hari ini jiwanya pasti akan
melayang juga. Dan karena pikiran ini ia menjadi lebih tenang
daripada tadi, pelahan ia pun merangkak keluar. "Berani kau
menganiaya Kaisar?" demikian ia masih coba menggertak.
"Hm," jengek Wan-lian sembari pedangnya berkelebat di
muka Khong-hi. "Membunuhmu sama saja menyembelih babi,
apa susahnya?"
"Tapi kau pun jangan harap bisa keluar istana dengan
selamat," Khong-hi masih menggertak.
Tiba-tiba hati Wan-lian tergerak, teringat olehnya Ie Lan-cu
yang masih meringkuk dalam penjara itu. "Kau masih ingin
hidup tidak?" gertaknya dengan pedang mengancam.
"Mau apa kau?" sahut Khong-hi.
"Harus kaubebaskan dulu 'penyamun wanita' itu, lalu aku
dihantar keluar istana," kata Wan-lian dengan syaratsyaratnya.
Diam-diam Khong-hi geli oleh permintaan si gadis. Pikirnya,
penjahat wanita ini benar-benar masih hijau, kalau aku
menerima syaratmu, apakah kau bisa mengawasiku sungguhsungguh
membebaskan gadis pembunuh itu" Pula bila aku
sudah terlepas dari genggamanmu, segera jago-jago
pengawalku akan segera membereskanmu.
Namun demikian ia pura-pura berpikir sejenak. "Baiklah,
sebagai Kaisar tak nanti berdusta," demikian katanya
kemudian. "Segera aku perintahkan orang membebaskan dia."
"Hm, aku tahu musiihat apa yang sedang kaupikir," ujar
Wan-lian menjengek. "Tapi kalau aku mati dalam istana sini,
tentu si Hwesio tua dari Jing-liang-si itu akan membacakan
kitab suci untukku."
"Hwesio tua apa katamu?" bentak Khong-hi mendadak dan
mukanya berubah hebat.
"O, ya, Hwesio tua apa ya?" sahut Wan-lian mengolok-olok.
"Ya, aku benar-benar sudah pikun, Hwesio tua itu siang-siang
sudah mati, sudah tak bisa lagi membacakan kitab suci
untukku." Habis itu dari bajunya ia keluarkan serenceng mutiara, ia
mengebas mutiara itu hingga bersinar mengkilap, lalu katanya
lagi, "Mutiara ini adalah milik bekas penghuni kamar ini.
Hwesio tua itu masih terhitung baik hati, sebelum ajalnya ia
telah menyerahkan kembali padaku. Ai, sungguh kematiannya
itu sangat mengenaskan!"
Seperti diketahui di permulaan cerita ini, ketika malammalam
Boh Wan-lian menyelidiki Ngo-tai-san, dimana tanpa
sengaja ia menemukan Kaisar Sun-ti yang sudah menjadi
Hwesio. Dengan sebelah tangan menggandeng dirinya dan
tangan lain menggandeng Khong-hi, Kaisar Sun-ti mengajak
mereka berziarah ke makam sandang-kudung Tang Siao-wan.
Dan serenceng mutiara ini adalah pemberian Sun-ti tatkala itu.
Dalam pada itu barulah Khong-hi tahu dengan siapa ia
berhadapan sekarang, keruan ia mati kutu.
"Kematian pengawal ini sungguh tak berharga, jauh sekali
bila dibanding Giam Tiong-thian," tiba-tiba Wan-lian berkata
pula sambil menunjuk mayat jago pengawal tadi.
Muka Khong-hi semakin pucat dan tubuh agak gemetar.
"Jika sedikit saja kau mencelakai aku, segera kubeberkan
kejadian-kejadian itu dalam kerajaan sini," ancam Wan-lian
tertawa. Khong-hi menjadi semakin takut, memangnya ia sangat
kuatir rahasianya diketahui orang-orang dalam kerajaan.
"Sudahlah, aku terima syaratmu dan akan kuantar kau keluar
istana, kenapa kau masih tak percaya?" katanya kemudian, ia
benar-benar tak berkutik.
"Lekas tulis kalau begitu," perintah Wan-lian dengan sorot
mata tajam. "Lekas tulis surat perintah pembebasan si gadis
pembunuh To Tok itu."
Terpaksa Khong-hi menggosok bak dan angkat mopit serta
mulai menulis. Tapi dalam hati ia pun terus memikirkan dayaupaya
untuk bisa lolos dari cengkeraman orang.
Tiba-tiba terdengar di luar ada suara tindakan orang ramai
mendatangi. "Apakah Hongsiang berada di dalam?" terdengar
segera seorang berteriak di luar kamar. Nyata itulah suara Coh
Ciau-lam. "Ya, aku di sini," sahut Khong-hi cepat.
"Larang dia masuk!" bentak Wan-lian tertahan sembari
pedangnya mengancam tenggorokan Khong-hi.
Dalam pada itu suara tindakan Ciau-lam sudah sampai di
depan pintu. "Tunggu saja di luar, sebentar segera aku keluar!" seru
Khong-hi terpaksa.
"Ok-onghui mohon menghadap Sri Baginda, ia menunggu
di luar sana," lapor Ciau-lam.
Tiba-tiba Khong-hi meremas surat yang belum selesai
ditulisnya itu terus dibuang ke lantai.
"Apa yang hendak kaulakukan?" bentak Wan-lian tertahan.
"Pikiranku tak bisa bekerja lagi," sahut Khong-hi.
Dan ketika Wan-lian hendak mengancam orang pula, tibatiba
didengarnya seorang Thaykam melapor lagi di luar,
"Paduka yang Mulia, Thayhou (ibu-suri) datang."
"Nah, bila Thayhou datang, tak mungkin aku bisa
melarangnya masuk ke sini," kata Khong-hi dengan senyum
getir. Wan-lian mengkerut kening, tapi segera ia pun
mendapatkan akal, ia masukkan pedangnya sembari
menggusur Khong-hi, "Keluar!" bentaknya tertahan.
Ketika Khong-hi membuka pintu dan melangkah keluar,
Coh Ciau-lam melihat di belakang sang maharaja ini mengikut
seorang Kiongli (dayang) yang paras mukanya seperti sudah
dikenalnya. Namun ia tak berani mengamati lebih lama.
Sementara itu, begitu melangkah keluar, dengan cepat Boh
Wan-lian merapatkan pintu kamar lagi, dan segera ia pun
berbisik mengancam Khong-hi, "Ingat si Hwesio tua itu!"
"Ada apa kalian datang ke sini" Ayo, semua ikut aku
keluar!" Khong-hi mengomel sembari memberi tanda pada
Coh Ciau-lam dan bawahan lainnya. Habis itu ia pun berjalan
keluar dengan cepat diikuti Boh Wan-lian.
Dalam pada itu Coh Ciau-lam telah dapat mengenali siapa
adanya Wan-lian, keruan ia amat terkejut.
Setelah keluar dari rumah itu, betul saja Thayhou sudah
sampai juga di depan rumah bobrok ini. "Kerja apa kau di
sini?" tegurnya segera pada Khong-hi.
"Ananda coba mencari sedikit kitab-kitab kuno," sahut
Khong-hi. "Itukah yang diambil dari dalam sana?" tanya Thayhou pula
ketika dilihatnya Wan-lian membawa segulungan lukisan.
Khong-hi mengangguk. Tapi sebelum Thayhou memberi
perintah hendak melihat lukisan itu. Tiba-tiba Ok-onghui telah
datang juga hendak menghadap Khong-hi.
"Ia sudah tak sabar menunggu," kata Thayhou tersenyum.
"Ia bilang sakitnya sudah baikan, maka ia bermaksud
mendatangi penjara buat memeriksa pembunuh itu!"
"Baiklah, boleh dia ke sana," kata Khong-hi. Segera Okonghui
menghaturkan terima kasih atas firman itu.


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku hendak keluar bersama Ok-onghui," tiba-tiba Wan-lian
berbisik di telinga Khong-hi.
Nyata gadis ini berpikir akan lebih aman bila ikut pergi
bersama Ok-onghui, ia kuatir akan timbul kesukaran lagi bila
tinggal lebih lama dalam istana, mungkin malah akan
membuat susah juga pada Nilan Yong-yo dan Sam-kiongcu.
"Sungguh aku ikut berduka atas tewasnya Ok-jin-ong
secara menyedihkan itu," demikian lantas Khong-hi berkata
lagi. "Di sini ada seorang Kiongli yang cerdik lagi pandai,
biarlah aku hadiahkan kepada Onghui sebagai pelipur duka."
Tanpa menunggu perintah, segera Wan-lian maju menjura
ke hadapan Ok-onghui dengan penuh sopan dan hormat.
Lekas Onghui menghaturkan terima kasih pula pada Sri
Baginda, kemudian ia menarik bangun Wan-lian. Dalam hati ia
pun heran, mengapa mendadak hari ini Sri Baginda bisa
menghadiahi seorang Kiongli padaku"
Sebenarnya Kaisar menghadiahi dayang pada kaum
Pangeran dan Permaisurinya adalah hal biasa dalam kerajaan,
cuma biasanya dihantar secara penuh kehormatan dan diiringi
Thaykam dengan kereta agung ke kediaman Pangeran yang
bersangkutan. Kini meski agak luar biasa dan mengherankan,
namun Onghui menganggap juga tidak terlalu aneh.
"He, kenapa Sam-moaymoay (adik ketiga) juga datang,"
kata Khong-hi tiba-tiba sambil menunjuk ke depan.
Betul saja, baru beberapa langkah Wan-lian mengikut
Onghui berjalan pergi, tertampak Sam-kiongcu mendatangi
dari depan. Lekas Wan-lian mengedipi memberi tanda
padanya. "Pagi-pagi Onghui sudah masuk istana?" terdengar Samkiongcu
menyapa Ok-onghui sembari melirik Wan-lian.
Onghui mengangguk pelahan. "Apakah Sam-kiongcu
mengenal dia?" tanyanya kemudian sambil menunjuk Wanlian.
"Hongsiang bilang dia cerdik dan pandai, tentu
selanjurnya aku bakal punya teman baik."
"O, jadi Hongsiang telah menghadiahkan dia padamu?"
tanya Sam-kiongcu terus menarik tangan Wan-lian,dan purapura
menggoda, "Marilah coba aku melihatnya. Wah, sungguh
cantik! Siapa namamu" Mengapa tadinya tak pernah aku
melihatmu?"
Begitulah puteri itu pura-pura mengajak bicara, tapi diamdiam
sesuatu benda telah berpindah dari tangannya ke tangan
Wan-lian dengan cepat. Wan-lian cukup cerdik, ia pura-pura
me-ngebas sedikit lengan bajunya dan benda itu sudah masuk
ke dalam bajunya.
Di sebelah sana Thayhou rupanya tak sabar menunggu, ia
memanggil Sam-kiongcu.
"Bila ada yang belum paham, tanyalah pada Ok-onghui,"
demikian Sam-kiongcu masih berpesan dengan senyuman
manis. Wan-lian dapat menangkap maksud kata-kata orang paling
akhir ini. Ia mengikuti Onghui naik ke atas kereta
kebesarannya dan secara gampang ia telah keluar dari daerah
terlarang itu. Duduk berendeng dengan Ok-onghui dalam kereta, Wanlian
bisa melihat wajah orang lebih jelas, ia merasa paras
Onghui tidak saja serupa dengan Ie Lan-cu, bahkan lagaklagunya
di waktu bicarapun amat mirip. Lebih-lebih bila
teringat olehnya peristiwa di Ngo-tai-san dahulu, dimana le
Lan-cu bermaksud membunuh To Tok, tapi kemudian malah
menangkis piau yang mengarah ke dalam joli Onghui. Maka ia
pun makin mengerti ada hubungan apa di antara mereka itu.
Nampak Wan-lian memandang dirinya dengan terkesima
tanpa merasa takut seperti Kiongli biasanya, mau tak mau Okonghui
menjadi heran juga.
"Berapa lama sudah kau masuk istana" Di bagian mana kau
ditugaskan Hongsiang?" tanyanya sesudah berada dalam
kamar di istananya sendiri.
"Dua hari saja belum ada aku masuk istana," sahut Wanlian
tertawa. "Ah, kau memang bukan Kiongli?" tanya Onghui kaget.
Wan-lian mengangguk.
"Bila begitu, untuk apa kau masuk istana?" tanya Onghui
pula. "Sama tujuannya denganmu," sahut Wan-lian singkat.
Berubah hebat wajah Onghui seketika.
"Untuk menolong seseorang," sambung Wan-lian pula.
"Si siapa kau sebenarnya?" bentak Onghui tak lancer dan
mata melotot gusar.
"Aku adalah kawan Ie Lan-cu," sahut si gadis tawar
sembari maju mendekat.
"la ia telah memberi memberi tahu segalanya padamu?"
tanya Onghui cepat dengan terputus-putus dan wajah pucat
lesu. Wan-lian mengelak menjawab pertanyaan orang. "Onghui,
apa betul kau akan membunuhnya untuk membalas dendam
kematian suamimu itu?" ia berbal ik bertanya.
Remuk rendam hati Onghui. "Janganlah kau terlalu
mendesakku!" serunya sambil mendekap muka.
"Maafkan bila aku salah omong, Onghui," kata Wan-lian
pula. "Ia dipenjarakan, tentu kau lebih kuatir daripada kami
dan lebih giat berusaha menolongnya, bukan?"
"Tapi apa yang aku bisa perbuat?" tangis Onghui terisak.
Wan-lian mengeluarkan benda yang diterimanya dari Samkiongcu
tadi, waktu bungkusan kain dibuka, ia lihat isinya
berupa dua tangkup buah-buahan yang berwarna kemerahan
terbuat dari batu giok bening, di atas benda itu berukir naga
yang indah sekali, ia tak mengerti apakah benda ini.
Tapi mata Onghui tiba-tiba terbeliak bersinar demi nampak
benda itu. "Apakah benda ini pemberian Hongsiang?"
tanyanya cepat.
Wan-lian menggeleng.
"Aku sangka inilah maksud Hongsiang, tak tahunya kau
dapat mencurinya," kata Onghui agak kecewa.
"Jangan kau urus dulu darimana aku mendapatkan benda
ini, tapi sukalah kau lekas menerangkan padaku benda apakah
ini?" kata Wan-lian kemudian.
Benda itu diambil Onghui, ia periksa sekitar benda yang
berbentuk buah ini, ia tekan pinggirannya, tiba-tiba benda itu
terbelah menjadi dua, di dalamnya ternyata ada biji buahnya
dan ketika Onghui mengetok ujung biji buah pada secarik
kertas, maka tampak timbul huruf cetak yang tak dikenal
Wan-lian, nyata itu huruf Boan. Dan ketika Onghui
melepaskan jarinya yang menekan buah itu, segera kedua
belah buah tadi menjeplak rapat kembali.
"Ya, memang tulen," kata Onghui kemudian. "Cuma
percuma saja meski bisa mendapatkan benda ini. Benda ini
disebut "Cu-ko-kim-hu' (jimat pusaka berbentuk buah merah)
dan adalah pusaka pujaan kerajaan, biasanya hanya dipakai
bila Kaisar memberi perintah rahasia, lalu benda ini digunakan
sebagai bukti tugas kepada salah seorang pembesar atau jago
pengawal kepercayaannya."
"Ha, kalau begitu, dengan benda ini bukankah kita dapat
menolong keluar Ie-cici dengan mudah," seru Wan-lian girang.
"Percuma," kata Onghui menggeleng kepala. "Tidakkah
kaudengar aku bilang benda ini hanya diserahkan pada
pembesar atau jago pengawal kepercayaan Kaisar. Bahkan
kadang di samping bukti benda ini oleh Kaisar masih
ditambahi lagi surat keterangan atas diri pembawa Cu-ko-kimhu."
"Ya, pahamlah aku kini," kata Wan-lian setelah berpikir.
"Maksudmu tentunya kita tak nanti bisa berbuat karena bukan
pembesar negara juga bukan jago pengawal, lebih-lebih tak
punya surat keterangan tanda pemegang benda ini dari
Kaisar, bukan?"
"Begitulah memang," sahut Onghui lesu.
"Pembesar negeri memang kita tak bisa memalsu," kata
Wan-lian pula. "Tapi apakah jago pengawal kita juga tak bisa
memalsukannya?"
"Ha, betul, kau sungguh cerdik," seru Onghui girang.
"Memang, pembesar kepercayaan yang terbatas beberapa
orang saja tentu susah dipalsukan, tapi jago pengawal
kerajaan memang seringkali tak pernah dikenal orang luar,
maka untuk memalsukannya dengan sendirinya tidaklah
susah!" la terdiam sejenak, kemudian ia berkata lagi, "Tapi nyali
siapakah yang begitu besar berani melakukannya?"
"Siapa begitu berani!" mendadak terdengar bentakan orang
di luar sana dengan kerasnya.
Waktu Onghui dan Wan-lian melongok keluar melalui jendc
la. terlihat seorang wanita berbaju hijau dengan pedang diputar
kencang sedang merangsek empat jago pengawal yang
berjaga di bawah gedung Nilan-onghui sana. Meski seorang
diri melawan empat orang, namun pengawal itu ternyata
kewalahan oleh rangsekan pedang wanita itu hingga terpaksa
mereka mundur ke atas undakan istana setindak demi
setindak sembari membentak. Tapi wanita itu tak menggubris
kaokan mereka, ia mendesak terlebih keji dengan ilmu pedang
yang lihai sekali.
Sejurus kemudian, dibarengi suara jeritan ngeri, seorang
pengawal tahu-tahu sudah terjungkal ke bawah. Begitu cepat
kejadian itu hingga Boh Wan-lian tidak jelas cara bagaimana
wanita baju hijau itu merobohkan pengawal itu.
Dan ketika Wan-lian tercengang, ia lihat wanita itu sudah
menubruk maju lagi tanpa menghiraukan senjata ketiga
lawannya yang diayun begitu cepat. Ketika seorang pengawal
dengan toya menyabet ke bawahnya, wanita itu meloncat ke
atas, dengan gerak tipu 'Hong-kui-lok-hua' atau angin badai
merontokkan bunga, didahului pedangnya mendesak kedua
musuh yang lain dari atas, mendadak sebelah kakinya terus
mendepak ke bawah, baru saja toya pengawal itu menyambar
lewat di bawah kaki orang, tahu-tahu ia sendiri telah terdepak
terguling juga.
Empat jago pengawal itu kini sudah tinggal separah, keruan
dua orang yang masih ketinggalan ini menjadi gugup, segera
mereka melompat ke atas sembari berteriak, "Onghui, lekas
bersembunyi!"
Tapi belum sempat mereka berteriak lebih jauh, tahu-tahu
wanita baju hijau itu sudah menyusul sampai di belakang
mereka, ketika kedua tangannya menjambret, satu tangan
satu orang, kedua pengawal itu telah dibanting mampus ke
bawah loteng. Sudah banyak jago kelas tinggi yang dilihat Boh Wan-lian
sejak ia mengembara ikut Pho Jing-cu. Tapi menyaksikan
betapa cepat dan lihai kepandaian wanita baju hijau ini, mau
tak mau ia sangat terkejut. Nyata ilmu pedang wanita ini
sekali-kali tidak di bawah Leng Bwe-hong dan masih di atas
Kui Tiong-bing. Namun heran, belum pernah ia mendengar
bahwa di kalangan Kangouw masih terdapat seorang kosen
seperti dia ini.
Begitulah, maka diam-diam Wan-lian melolos pedang
pusaka 'Thian-hong-kiam' hadiah Nilan Yong-yo itu untuk
menjaga segala kemungkinan.
Sementara itu sesudah membereskan keempat lawannya,
wanita baju hijau tadi bersiul panjang, cepat sekali ia pun
melompat ke atas loteng dan masuk ke kamar Nilan-onghui.
Lekas Wan-lian menarik mundur Onghui dan ia sendiri
lantas menghadang di depannya dengan pedang terhunus.
"Cian-pwe siapakah yang datang ini?" tegurnya segera.
Siapa duga wanita itu sama sekali tak menggubrisnya. "Kau
inikah Nilan Ming-hui?" tanyanya malah terhadap Onghui.
Onghui menyahut sekali. Samar-samar ia seperti teringat
bahwa wanita ini pernah dilihatnya lama berselang.
Dalam pada itu demi tahu pasti Nilan Ming-hui yang
berhadapan dengannya, wanita itu mendadak mengayun
tangannya, ternyata sebuah cambuk panjang telah
menyambar. Lekas Wan-lian mewakilkan menangkis, dan
walaupun pucuk cambuk wanita itu kena tertabas putus
sebagian, namun tidak urung ia sendiri kena diseret maju
beberapa tindak hingga hampir jatuh menubruk.
Dan karena itu, cepat luar biasa wanita baju hijau itu sudah
menyelinap lewat sembari sedikit menyontek Wan-lian ke
samping, menyusul pedang di tangan yang lain segera
menusuk Nilan-onghui.
Sesungguhnya Onghui bukan orang lemah, cepat sekali ia
berkelit, bahkan berbareng itu dengan tipu 'Liong-thing-houyao',
atau naga meluncur dan macan melompat, sebelah
tangannya menepuk pergelangan tangan lawan, sedang
tangan yang lain balas menghantam ke atas buat merebut
pedang lawan. Wanita itu bersuara heran oleh serangan balasan Onghui,
namun begitu ia tarik pedangnya, segera ia merangsek lebih
hebat lagi, kedua macam senjatanya, cambuk dan pedang,
bekerja berbareng menyabet dan menusuk bertubi-tubi hingga
Onghui terdesak mundur terus, kedudukannya sangat
berbahaya. Nampak itu, lekas Wan-lian maju mengeroyok, ia menusuk
orang dari belakang.
"Kau cari mampus?" damprat wanita itu. Dan ketika sedikit
mengegos mengelakkan tusukan Wan-lian, kemudian dengan
pedang dan pecutnya ia mengurung kedua lawannya di suatu
sudut kamar. Sungguhpun Wan-lian memakai Pokiam atau pedang
pusaka, tapi lawan terlalu tangguh baginya, jangan kata
hendak menyerang, untuk menjaga diri saja sekarang ia
merasa repot. Sebaliknya Nilan-onghui malahan bisa bertahan
dengan Cio-hoat atau ilmu pukulan yang dipelajarinya dari Njo
Hun-cong, bekas kekasihnya itu.
"Siapa kau" Apa keinginanmu lekas katakan dulu!" teriak
Nilan-onghui berulang-ulang.
"Hm, sudah tentu kau tak ingat lagi padaku, Onghui Yang
Agung," jengek wanita itu sengit sembari merangsek lebih
kencang dengan kedua macam senjatanya.
Di lain pihak Boh Wan-lian sudah kewalahan menghadapi
pecut lawan yang menyambar hebat. Dengan tanpa berdaya
ia menyaksikan Onghui tercecar dan tampaknya segera akan
tewas di bawah pedang musuh.
Dalam keadaan kepepet itu, sekonyong-konyong Onghui
mengeluarkan tipu serangan berbahaya yang disebut "Kimsianhi-long" atau katak emas bermain ombak, ia melompat
naik terus mencengkeram dari atas hendak mencolok kedua
mata wanita baju hijau itu.


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau cari mampus!" bentak wanita itu dingin, berbareng
pecutnya menyabet membuat Wan-lian terpaksa mundur,
habis itu tangannya segera membalik menangkis jari Onghui
yang hendak mencengkeram itu, sedang tangan lain dengan
pedang tahu-tahu menyusul menusuk tenggorokan orang.
Terperanjat sekali Onghui oleh perubahan tipu lawan yang
luar biasa ini, tak mungkin lagi ia bisa menghindarkan diri dari
tusukan itu, ia sudah memejamkan mata terima nasib ketika
mendadak ia merasa ada suatu tenaga yang maha besar
mendorong dirinya ke belakang hingga dengan begitu ia
lantas bisa berjumpalitan untuk kemudian menancapkan kaki
kembali, dan karena itu juga bisa lolos dari ancaman maut
tadi. Dalam pada itu ia pun sudah mendengar suara nyaring
beradunya senjata dibarengi suara wanita baju hijau itu yang
sedang memaki-maki.
Kejadian hebat itu dapat disaksikan Boh Wan-lian dengan
jelas karena ia berdiri di samping, ia lihat orang yang
menolong jiwa Onghui itu melayang turun dari belakang suatu
papan merek yang tergantung di atas kamar loteng itu, ia
terkejut luar biasa. Sungguh tak pernah diduganya bahwa di
atas sana, di jarak yang begitu dekat, ternyata bersembunyi
seseorang. Dan bila orang ini adalah musuh, bukankah
keadaan bisa berabe"
Tapi sesudah ia mengamat-amati lebih jauh, seketika
hatinya berdegup, dari terkejut tadi ia menjadi girang.
Sekalipun orang itu memakai kedok di mukanya, tetapi dari
perawakannya dapatlah Wan-lian mengenali dengan baik,
siapakah dia kalau bukan Leng Bwe-hong"
"Leng-tayhiap!" serunya girang sambil berlari maju.
Tapi tiba-tiba pecut wanita tadi berkelebat dari depan
hingga Wan-lian dipaksa mundur kembali ke tempatnya
semula. "Wan-lian, jangan kau maju!" seru orang berkedok itu.
Nyata memang benar suara Leng Bwe-hong.
Begitulah, dengan ilmu silat yang tinggi Leng Bwe-hong
menempur wanita baju hijau itu yang tidak kalah tangguh dan
sama cepatnya hingga pandangan Wan-lian kabur dibuatnya.
Suatu ketika tiba-tiba pecut wanita itu melilit pedang Bwehong,
sedang pedang di tangan yang lain melintang di dada
untuk menjaga diri, cepat ia mundur setindak terus
membentak, "Apakah kau 'Thian-san-sin-bong'?"
"Betul, dan tolong tanya siapakah Cianpwe (angkatan tua)
ini?" sahut Bwe-hong sembari menarik senjatanya, ia
menduga setelah wanita itu mendengar namanya yang
tersohor tentu akan menghentikan pertarungan ini, siapa tahu
dugaannya meleset.
"Ehm, Thian-san-sin-bong, memang nyata bukan omong
kosong, biar aku menjajal kau beberapa jurus lagi," kata
wanita itu sembari mengangguk-angguk dan tertawa. Lalu
pecutnya menyabet pula dan pedangnya ikut menusuk cepat,
ia merangsek pula dengan ilmu silatnya yang ternyata dari
suatu aliran tersendiri.
"Aneh, kenapa orang ini begini tak kenal aturan?" diamdiam
Bwe-hong membatin dan mendongkol juga. Namun
sedikitpun ia tak berani ayal, pedangnya berputar cepat, ia
layani lawan dengan sama hebatnya.
Wanita baju hijau ini sungguh luar biasa, kedua tangannya
bisa memainkan dua macam senjata sekaligus dengan tiputipu
yang berlainan tapi bisa bekerja sama dengan sangat
rapatnya. Selamanya Leng Bwe-hong hanya pernah menemukan
seorang yang bisa memainkan dua macam senjata berbareng,
yaitu Khu Tong-lok yang menggunakan golok dan pedang
sekaligus dan yang dianggapnya luar biasa. Tapi kini kalau
dibandingkan wanita baju hijau ini, Khu Tong-lok boleh
dibilang belum masuk hitungan.
Meski 'Thian-san-kiam-hoat' atau ilmu pedang dari Thiansan
milik Leng Bwe-hong luar biasa hebatnya, namun kini
hanya cukup untuk menempur orang dengan sama kuatnya
saja. Diam-diam Bwe-hong terkejut dan heran. Dan karena
menemukan tandingan sembabat, Bwe-hong menjadi
bersemangat juga, segera pedangnya dimainkan sedemikian
rupa hingga gemerlapan menyilaukan dan kemudian sinarnya
bergulung-gulung memenuhi seluruh kamar mengurung kedua
sosok bayangan tubuh yang saling labrak.
"Bagus!" seru wanita itu, ia pun tak mau kalah, pecut di
tangan kiri dan pedang di tangan kanan menyambut setiap
serangan Bwe-hong dengan sebat sekali.
Sejak Leng Bwe-hong merantau Kangouw, belum pernah ia
bertemu orang kosen setangguh dan seulet wanita ini. Mulamula
ia heran, tapi kemudian tiba-tiba teringat olehnya diri
seseorang. "Apakah mungkin ia masih hidup di dunia ini?"
demikian pikirnya terkejut.
Tanpa berkata mendadak ia perkencang pedangnya, suatu
ketika cepat sekali ia memukul miring ke samping, dan karena
angin pukulannya yang hebat ini, kain ikat kepala wanita itu
tersingkap ke bawah.
Kembali Wan-lian terperanjat, ia lihat wanita baju hijau
yang berparas elok ini ternyata berambut ubanan semua, di
bawah ikat kepalanya itu ternyata ada pula sehelai selendang
merah yang melambai menggontai kena angin.
Dan karena tersingkapnya ikat kepala wanita itu, mendadak
Leng Bwe-hong melompat keluar kalangan pertempuran dan
cepat ia memberi hormat sambil pedang melintang di dada.
"Maaf, maaf, kiranya adalah Hui-ang-kin Lihiap!" demikian ia
menegur orang. Dan karena itulah wanita baju hijau cepat menarik kembali
senjatanya sembari bergelak tertawa. "Memang hebat, tidak
malu kau sebagai Sute Njo-tayhiap. Melihatmu, sama seperti
bertemu dengan dia lagi!" demikian katanya.
Tapi habis berkata, mendadak wajahnya yang tertawa tadi
seketika berubah guram dan tampak berduka sekali.
Kiranya 20 tahun yang lalu nama Hui-ang-kin tersohor dan
dikenal tua dan muda di padang rumput sekitar Thian-san.
Bersama Njo Hun-cong (ayah Ie Lan-cu), dua sejoli, mereka
disebut rakyat penggembala sebagai sepasang pendekar dari
padang rumput. Sesudah perlawanan suku bangsa daerah
Sinkiang yang patriotik dilumpuhkan pemerintah Boan, segera
Njo Hun-cong menyusul Nilan Ming-hui yang sementara itu
telah ikut ayannya berpindah ke kota Hangciu dan kemudian
Hun-cong gugur bersama Nikulo secara mengenaskan di tepi
Ci-tong-kang (cerita ini dapat dibaca dalam Cau Guan Eng
Hiong). Dan semenjak itu Hui-ang-kin mendadak lenyap juga dari
padang rumput, tiada seorangpun yang tahu kemana ia telah
pergi. Namun begitu, selama ini kisah kepahlawanannya masih
tetap hidup dan dipuja oleh rakyat penggembala di padang
rumput. Waktu Leng Bwe-hong datang ke Thian-san, ia pun
banyak mendengar nama Hui-ang-kin yang besar dan dipuja
itu. "Baikkah kau!" kata Hui-ang-kin tiba-tiba setengah
mengejek terhadap Nilan-onghui.
Pedih sekali rasa Nilan-onghui, kedua matanya tak
bersemangat. "Sudah 18 tahun Hun-cong meninggal, apa
yang masih kaukehendaki lagi?" katanya kemudian pilu.
"Baiklah, bila kau mau membunuhku, lekaslah bunuh,
memangnya aku pun tak ingin hidup lebih lama lagi."
"Fui," damprat Hui-ang-kin gusar. "Apa kaukira aku berebut
lelaki denganmu" Hm, aku justru hendak membunuhmu!"
Habis itu, segera pedang bergerak dan orangnya hendak
menubruk maju kalau tidak keburu dicegah Leng Bwe-hong.
"Onghui sendiri tidak bermusuhan apa-apa dengan kita,"
kata Bwe-hong. Namun Hui-ang-kin tak menghiraukannya, ia berkata lagi
pada Onghui, "Dimana puteri Hun-cong" Lekas serahkan dia
padaku!" "Serahkan padamu?" Onghui menegas dengan tertawa
dingin. "Sangkut-paut apa kau dengannya" Kenapa harus
diserahkan padamu?"
"Ya, ya, aku tahu kaulah ibunya, tapi ibu semacam kau ini
justru tak pernah mengurus dirinya," damprat Hui-ang-kin
gusar. "Hm, kiramu aku tak tahu" Ia telah membunuh
suamimu yang tercinta itu, bukan" Lalu kau menggusurnya ke
dalam penjara, bukan" Kau ingin menyiksanya pelahan-lahan,
bukan?" Hancur luluh hati Onghui oleh nista itu, ia menangis sedih,
mendadak ia menumbukkan kepalanya ke dinding. Syukur
keburu ditarik Leng Bwe-hong.
"Lihiap, dari manakah kau mendapat keterangan itu?" kata
Bwe-hong kemudian. "Sekali-kali bukan Onghui tidak mau
menolongnya, soalnya karena belum mendapat jalannya."
"Apa sungguh-sungguh katamu itu?" tanya Hui-ang-kin
sangsi. "Anak dara itu aku sendiri yang membesarkannya,
mengapa aku harus berdusta?" sahut Bwe-hong pasti.
Dan karena penegasan Bwe-hong ini barulah Hui-ang-kin
mau percaya, ia masukkan pedangnya dan pelahan ia pun
hendak berjalan pergi sambil berkata, "Ming-hui, kalau begitu,
akulah yang telah salah menduga jelek atas dirimu!" Tapi baru
beberapa tindak ia berjalan, sekonyong-konyong ia berhenti
dan berseru tertahan, "Di luar ada musuh datang!"
Tanpa bertanya lagi, secepat kilat Bwe-hong telah
mendahului melompat keluar melalui jendela.
Kiranya sesudah kaisar Khong-hi diancam oleh Wan-lian
hingga gadis ini kemudian kabur keluar istana, dalam hati
maharaja itu amat gusar. Begitu ia berpisah dari Thayhou,
segera juga ia mengumpulkan jago-jago pengawalnya dan
memilih delapan orang di antaranya yang paling kuat untuk
memburu Boh Wan-lian dengan perintah gadis itu segera
dibunuh tanpa perkara.
Ketika para pengawal itu sampai di depan istana Ok-jinong,
mendadak mereka mendapatkan empat mayat sudah
menggeletak di situ dengan anggota badan tak lengkap.
Keruan saja mereka terkejut. Dan pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara bentakan dari atas, menyusul mana seorang
berkedok aneh bagai burung cepatnya menubruk dari atas
loteng, belum tiba orangnya, tahu-tahu senjata rahasia sudah
berhamburan lebih dulu, dan karena itu dua jago pengawal
telah tertembus oleh dua sinar hitam keemasan dan terguling
mampus. Tentu saja jago-jago pengawal lain menjadi kacau, tapi
segera mereka pun maju lagi mengembut.
Sejurus kemudian, dari atas loteng sesosok bayangan hijau
berkelebat juga, Hui-ang-kin sudah menyusul datang dengan
cepat, begitu pedangnya menyambar, kontan pergelangan
tangan seorang jago pengawal yang hendak memapaknya
sudah tertabas kutung.
"Leng-tayhiap, marilah kita berlomba siapa bisa membunuh
lebih banyak!" demikian sem Hui-ang-kin pada Leng Bwe
hong. "Baik," sahut Bwe-hong. Habis ini, cepat Sekali pedangnya
bergerak, sekaligus ia tangkis semua senjata lawan yang
menyerang, berbareng itu sebelah tangannya balas
menggablok musuh yang mencoba mendekat.
Tak terduga musuh itu ternyata bukan sembarangan, ia
bisa berkelit terus menangkis. Keruan Bwe-hong heran, segera
ia putar pedangnya menusuk lagi.
"Bagi tiga orang menempur perempuan keparat itu dan
The-hiante bersamaku melayani yang ini," kata pengawal itu
pada kawan-kawannya.
Sementara itu tusukan Bwe-hong tadi telah dekat
tubuhnya, namun pengawal itu ternyata tidak gugup, senjata
Boan-koan-pit atau potlot jaksa terbikin dari baja dapat
menangkis terus balas menyerang malah.
Kiranya pengawal ini bernama Seng Thian-ting berjuluk
Thi-pit-boan-koan atau jaksa potlot baja, kepandaiannya tidak
di bawah Coh Ciau-lam terutama ilmu menotoknya yang lihai.
Ialah salah seorang pengawal yang diperintahkan untuk
menangkap ' penyamun wanita' oleh kaisar Khong-hi itu.
Mula-mula Thian-ting menertawai sang Kaisar yang menjadi
geger karena seorang penjahat wanita kecil yang tak berarti.
Siapa duga, penjahat wanitanya belum diketemukan tahu-tahu
dua orang kawannya sudah terbinasa dulu oleh Thian-san-sinbong
senjata rahasia Leng Bwe-hong. Dan karena senjata
rahasia inilah segera Thian-ting insyaf telah menemukan
tandingan tangguh yang namanya menggetarkan Kangouw
itu. Begitulah, maka ia menjadi jeri, apalagi kemudian Hui-angkin
datang pula dan sekali gebrak pergelangan tangan seorang
kawannya tertabas putus, keruan Thian-ting semakin gugup.
Namun keadaan sudah terpaksa, dengan jumlah yang lebih
banyak di pihaknya, ia mencoba membagi tiga kawannya pergi
mengembut Hui-ang-kin dan ia sendiri bersama seorang
pengawal she The mengeroyok Leng Bwe-hong. Sekalipun
nama Leng Bwe-hong yang tersohor membikin nyalinya rada
ciut, namun Thian-ting tergolong jago pengawal kelas utama
dalam kerajaan, dengan sendirinya ia pun ingin berjasa, maka
sekuat tenaga ia menempur musuh, susul-menyusul ia
melontarkan serangan-serangan lihai.
Waktu beruntun Bwe-hong membalas tiga kali serangan
dan tidak berhasil mendesak mundur Seng Thian-ting, diamdiam
ia pun naik darah. Mendadak ia menepuk potlot orang
yang sedang menotol datang hingga menceng ke samping,
menyusul pedang di tangan lain tems menusuk cepat ke leher
musuh dengan tipu 'Liong-ting-ti-cu' atau menyambar mutiara
di atas kepala naga.
Serangan berbahaya ini memaksa Seng Thian-ting lekas
melompat ke samping. Tapi menyusul potlot bajanya tems
menyabet lagi dengan gerakan 'Hing-sau-cian-kun' atau
menyapu bersih seribu serdadu, pedang Bwe-hong hendak
dibenturnya. Namun Leng Bwe-hong terlebih cepat lagi, begitu senjata
ditarik kembali, segera ia menusuk pula iga musuh dengan
gerak serangan 'Liong-kui-tay-hai' atau ular naga kembali ke
laut. Serangan ini adalah tipu lihai dari Thian-san-kiam-hoat
hingga tiada jalan lain bagi Thian-ting kecuali melangkah
mundur menghindarkan diri.
Sementara itu jago pengawal she The juga tidak tinggal
diam, ia memakai dua perisai besi yang berat. Dengan senjata


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengawal ini Seng' Thian-ting berpikir bisa digunakan sebagai
tameng dan ia sendiri bisa melontarkan serangan-serangan
lebih leluasa. Siapa duga gerakan Leng Bwe-hong bisa
berubah cepat dan susah diraba. Perisai orang yang
menghantam dari samping tak dihiraukan Bwe-hong,
sebaliknya ia terus mencecar Thian-ting seorang, sungguhpun
beberapa kali hantaman perisai dari samping cukup keji, tapi
entah cara bagaimana dengan gampang saja ia bisa berkelit,
sedang pedangnya masih terus merangsek terlebih kencang
mengincar Seng Thian-ting, keruan saja Thian-ting dibikin
kalang kabut tak tahan.
"The Thi-pay, kau bergeser ke sini dan menghadapinya dari
depan," seru Seng Thian-ting pada kawannya itu, yang
ternyata bernama Thi-pay atau perisai besi, sesuai dengan
senjata yang dipakainya.
Dalam pada itu Leng Bwe-hong telah menyerang pula
terlebih hebat sedang Thian-ting bertahan sekuat mungkin.
Kini ia tidak mengharap bisa menyerang lawan lagi, ia sudah
bersyukur bila sanggup bertahan bersama The Thi-pay.
Dan karena perubahan kedudukan mereka, yakni The Thipay
berjajar bersama Seng Thian-ting menghadapi Leng Bwehong
dari depan dengan kerja-sama lebih rapat, keadaan
mereka baru membaik dan mampu mengimbangi rangsekan
Bwe-hong. Bwe-hong tak sabar lagi setelah beberapa jurus kemudian
masih belum bisa merobohkan musuh, apalagi didengarnya
dari jauh ada suara ramai tindakan orang banyak, ia pikir
tentu penjaga istana Pangeran telah datang setelah terjadi
ribut-ribut ini. Mendadak ia menusuk Seng Thian-ting hinggi
lawan ini dipaksa mundur, menyusul ia mengumpulkan tenaga
pada telapak tangan kiri terus menggablok perisai The Thi-pay
yang sementara itu telah menghantam dari samping sembari
menggertak keras, begitu hebat tenaga yang dikeluarkannya
hingga perisai orang kena dihantam mencelat, tanpa ayal
pula, ketika telapak tangannya membalik, batok kepala The
Thi-pay kena digablok hingga remuk berantakan.
"Leng Bwe-hong, apa kau baru berhasil satu?" tiba-tiba
didengarnya seruan Hui-ang-kin sembari tertawa.
Ternyata ketangkasan Hui-ang-kin tidak menjadi berkurang
meski kini usianya sudah bertambah 20-an tahun. Tadi ketika
tiga jago pengawal maju mengembunnya, karena memandang
rendah Hui-ang-kin hanya seorang wanita, maka dengan
berani mereka terus menerjang dari tiga jurusan.
Tak terduga Hui-ang-kin menanti dengan tenang saja, ia
menunggu sampai musuh sudah dekat, mendadak pecutnya
menyabet cepat hingga seorang pengawal segera kena terbelit
oleh pecutnya yang panjang itu dan terangkat ke udara, sekali
Hui-ang-kin mengayun pecutnya, tahu-tahu pengawal itu kena
dilempar pergi jauh dan mampus karena kepalanya tertumbuk
batu dan otaknya hancur berantakan.
Menyusul kemudian pecutnya menyambar dan pedangnya
berkelebat cepat pula, kedua jago pengawal yang lain menjadi
silau dan bingung oleh senjata Hui-ang-kin yang berlainan itu.
Meski kedua jago pengawal ini tidak lemah, namun
kepandaian mereka masih di bawah Seng Thian-ting, apalagi
begitu maju seorang kawannya sudah terbanting mampus
oleh pecut Hui-ang-kin, keruan mereka tambah kalang kabut
kena dicecar. Sejurus kemudian, ketika pedang Hui-ang-kin menyampuk
cepat, golok salah seorang pengawal itu tahu-tahu dibentur
terbang, berbareng itu pecut Hui-ang-kin telah menyabet juga
dan dapat menahan pengawal lain yang sedang menyerang,
ketika balikan pedangnya berkelebat pula, tanpa ampun lagi
kepala pengawal yang goloknya terpental tadi sudah berpisah
dengan tuannya. Waktu Hui-ang-kin sedikit mencukit dengan
kakinya, kepala musuh yang menggelinding ke tanah itu
mencelat naik pula terus disambut mulurnya dan digigit kuncir
kepalanya sembari berteriak menghitung, "Nah, inilah satu!"
Keruan saja semangat jago pengawal yang masih
ketinggalan itu serasa terbang ke awang-awang, dalam
takutnya ia memutar tubuh bermaksud hendak angkat langkah
seribu. Namun sudah telat, menyusul pecut Hui-ang-kin telah
menyambar pula hingga tubuhnya kena terlilit dan terseret
kembali, dan ketika pedang Hui-ang-kin berkelebat lagi,
sebuah kepala telah tertabas pula. "Ini, satu lagi!" teriak Huiangkin menghitung lagi.
Habis itu Hui-ang-kin menyimpan kembali pedangnya, La
ikat kuncir kedua buah kepala manusia itu menjadi satu
gandeng, ia ayun-ayun pecutnya hingga mengeluarkan suara
petasan dibarengi suara tertawanya yang nyaring panjang.
Dan pada saat itulah ia melihat The Thi-pay baru dibinasakan
Leng Bwe-hong. "Lihiap memang sangat hebat, perlombaan kita telah
dimenangkan olehmu," kata Bwe-hong demi dilihatnya Huiangkin sudah berdiri menganggur dengan menjinjing dua
buah kepala. Dan pada saat Leng Bwe-hong berbicara, mendadak Seng
Thian-ting pura-pura menyerang sekali, habis ini segera ia
melompat pergi jauh untuk melarikan diri.
Melihat musuh hendak kabur, Hui-ang-kin tidak tinggal
diam, cepat ia melesat menyusul orang, segera pecutnya
menyabet dari belakang. Namun Seng Thian-ting
berjumpalitan di atas terus memutar balik, ujung pecut Hui
ang-kin kena dipegangnya.
Mendongkol Hui-ang-kin karena serangannya luput, apalagi
senjatanya dipakai orang sebagai batu loncatan untuk putar
balik. Tapi ketika ia hendak melontarkan serangan lagi, tahutahu
Seng Thian-ting yang membalik itu telah menotok ke
pundak Hui-ang-kin dengan senjata pot lotnya. Baiknya Huiangkin tidak kalah sebalnya, sebelah kakinya sudah
mendahului menendang. Terpaksa Thian-ting mengegos,
namun tidak urung tangannya kesrempet sepatu orang hingga
luka dan darah mengucur. Sebaliknya Hui-ang-kin pun
merasakan angin tajam senjata lawan yang menyambar lewat
di tepi telinganya.
Dan pada kesempatan saling gebrak itulah, segera Seng
Thian-ting melesat pergi lagi dengan cepat untuk kemudian
menggabungkan diri dengan pengawal-pengawal istana
Pangeran yang sementara itupun sudah membanjir datang.
"Mari kita pergi!" seru Leng Bwe-hong ketika dilihatnya Huiangkin masih hendak mengejar.
Sementara itu Boh Wan-lian juga sudah turun dari loteng
kamar Onghui dan menyaksikan pertarungan sengit tadi
dengan segenggam pasir berbisa siap di tangannya. Ketika
pengawal-pengawal istana sudah membanjir dekat, tanpa pikir
lagi pasir beracun itu lantas dihamburkannya. Begitu pula
susul-menyusul Leng Bwe-hong menyambitkan tiga buah
Thian-san-sin-bong hingga tiga orang musuh tertembus
tenggorokannya.
Karena serangan senjata rahasia ini, keruan para pengawal
istana Pangeran itu menjadi kacau. Di lain pihak Hui-ang-kin
juga telah menimpakan kedua buah kepala yang dipenggalnya
tadi ke arah musuh sembari tertawa terbahak-bahak.
Kemudian bersama Leng Bwe-hong dan Boh Wan-lian, mereka
pun melayang cepat keluar dari istana Pangeran itu.
"Sampai bertemu lagi, Leng-tayhiap!" kata Hui-ang-kin
memberi salam sesudah tiba di suatu tempat sepi terus
hendak berlari pergi ke arahnya sendiri.
"Nanti dulu," seru Bwe-hong tiba-tiba.
"Apa yang hendak kaubicarakan lagi?" tanya Hui-ang-kin
menoleh. "Jauh-jauh Cianpwe datang kemari untuk menolong anak
piatu almarhum pendekar, maka sukalah bekerja-sama
dengan kami saja?" kata Bwe-hong.
Mendadak muka Hui-ang-kin berubah oleh ajakan itu. "Kau
adalah Sute Njo Hun-cong, kenapa sudah tahu sengaja
bertanya?" demikian sahurnya marah-marah. "Kau boleh
menolong dengan caramu sendiri dan aku menolong dengan
caraku, tak perlu banyak omong!"
Habis berkata, secepat terbang ia melesat pergi dan
sekejap saja sudah menghilang dari pandangan.
Sesaat itu Leng Bwe-hong masih bingung karena didamprat
orang tanpa mengerti sebabnya.
Nyata meski Leng Bwe-hong adalah Sute (adik
seperguruan) Njo Hun-cong, namun pada hari mereka
bertemu untuk pertama kalinya juga merupakan saat terakhir
hidup Njo Hun-cong. Sedang Hui-ang-kin sendiri sejak lama
sudah mengasingkan diri. Karena itu, suka-duka antara Njo
Hun-cong dan Hui-ang-kin dengan sendirinya tak diketahui
Leng Bwe-hong. "Ilmu silat Hui-ang-kin sungguh sudah tiada tara dan tiada
bandingannya di kalangan sesama pendekar wanita, cuma
tabiatnya mengapa begitu aneh?" demikian sesal Bwe-hong.
Wan-lian memang tidak kenal orang macam apakah Huiangkin itu, maka ia tak berani ikut campur bicara.
"Mana 'Cu-ko-kim-hu' itu?" tanya Bwe-hong tiba-tiba pada
si gadis itu. "Coba serahkan padaku saja."
Segera Wan-lian menyerahkan benda yang diminta itu.
"Biarlah malam ini aku menyelidiki penjara kerajaan," kata
Bwe-hong pula. "Apakah Leng-tayhiap tak perlu pembantu?" tanya Wanlian.
"Tak perlu," sahut Bwe-hong. "Terlalu banyak orang malah
kurang leluasa."
Habis itu mereka pun saling menceritakan keadaan masingmasing
sesudah berpisah sekian lama. Karena itu barulah si
gadis bernapas lega setelah mengetahui keselamatan dan diri
Kui Tiong-bing yang tiada kabar beritanya setelah berangkat
ke kota-raja, maka Li Lay-hing dan Pho Jing-cu meminta Leng
Bwe-hong menyusul mereka untuk mencari kabar.
Nama Leng Bwe-hong terlalu dikenal kalangan Kangouw,
pula mudah dikenali karena mukanya yang codet, maka ia
selalu berjalan di waktu malam dan siang hari malah
mengaso. Sepanjang jalan tiada sesuatu yang dia dengar, tapi
begitu masuk kota-raja segera didengarnya Ie Lan-cu sudah
berhasil membunuh To Tok dan dipenjarakan.
Sejak kecil Ie Lan-cu dibesarkan Leng Bwe-hong, hubungan
mereka boleh dikata bagai saudara dan mirip juga ayah dan
anak. Keruan ketika didengarnya Lan-cu tertangkap musuh
dan dipenjarakan, ia menjadi kuatir dan ikut menderita batin
bagai ditusuk ribuan anak panah. Suhengnya telah tewas
secara mengenaskan dan hanya punya seorang puteri tunggal
ini saja, betapapun juga jadinya, tak boleh kubiarkan anak
dara itu tamat nyawanya di tangan musuh, demikian pikirnya.
Ada hubungan apa antara Lan-cu dan Nilan-onghui dengan
sendirinya Leng Bwe-hong mengetahui. Maka urusan mencari
Tiong-bing dan Wan-lian sementara ia tinggalkan, lebih dulu ia
menyelidiki istana Pangeran To Tok, dengan ilmu
mengentengkan tubuhnya yang tiada bandingan ia berhasil
menyelundup ke atas loteng kamar Onghui tanpa dipergoki.
Dan di situlah secara kebetulan telah menemukan Boh Wanlian
dan Hui-ang-kin tadi. "Orang macam apakah Hui-ang-kin
itu?" demikian Tanya Wan-lian kemudian. "Tampaknya
perhatiannya terhadap Ie Lan-cu tidak kurang daripada kita."
"Ya, agaknya itu memang nasib," sahut Bwe-hong
menghela napas. "Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi
sebenarnya, cuma sewaktu tinggal di Sinkiang, pernah
kudengar cerita rakyat penggembala sedikit tentang mereka
dan barulah aku tahu bahwa Hui-ang-kin sebenarnya bernama
Hamaya, di masa muda namanya menggemparkan seluruh
daerah selatan Sinkiang, ia adalah puteri tunggal pahlawan
suku bangsa Lopu yang bernama Danu. Konon menurut cerita
di waktu Coh Ciau-lam mula-mula turun gunung pernah juga
membantu di bawah pimpinan pahlawan tua Danu dan
bersama-sama melawan pasukan Boan. Tapi tak seberapa
lama Coh Ciau-lam lantas mengkhianati Danu dan takluk pada
pasukan Boan." (Baca Pahlawan Padang Rumput)
"Sayang, sungguh sayang," ujar Wan-lian gegetun.
"Tatkala itu nama Suhengku Njo Hun-cong juga tersohor di
utara Sinkiang, ia membantu suku bangsa Kazak melawan
pasukan Boan dan kemudian malah merupakan jiwa daripada
laskar rakyat Kazak. Sayang akhirnya bangsa Kazak telah
dihancurkan dan Njo-suheng terpaksa melintasi gurun
Taklamakan dan menggabungkan diri dengan Hui-ang-kin di
selatan Sinkiang."
"Mereka berdua melawan pasukan Boan bersama-sama,
pula sama gagah perkasa, mengapa mereka tidak mengikat
perjodohan yang sangat setimpal itu?" kata Wan-lian tertarik
oleh cerita itu.
"Wan-lian, tidak semua orang beruntung seperti kau dan
Tiong-bing," ujar Bwe-hong menghela napas. "Soal asmara
memang sangat aneh, bila kesempatan kaulewatkan sedikit
saja, mungkin orang itu akan menyesal untuk selamanya. Dan
kenapa mereka tidak mengikat jodoh, itulah yang aku tidak
tahu. Cuma kabarnya sebelum Hui-ang-kin bertemu dengan
Njo-suheng, ia sudah pernah jatuh cinta pada seorang
seniman suku bangsanya sendiri yang bernama Abu. Suara
emas Abu sangat dipuja di padang rumput mereka dan
menggoncangkan hati setiap gadis. Tapi sayang seniman
terpuja itu sebaliknya berjiwa kotor dan rendah, ia telah
bersekongkol dengan pihak musuh hingga pahlawan Danu
gugur. Belakangan ia tertangkap oleh Hui-ang-kin dan disodet
perutnya di depan abu sembahyang ayahnya."
Wan-lian terharu dan menghela napas pula oleh cerita itu.
"Menurut dugaanmu, apakah Njo-tayhiap menampik Hui-angkin
karena sebelumnya ia sudah mencintai seniman Abu itu?"
tanyanya. "Kukira tidak," sahut Bwe-hong. "Mungkin sebelum mereka
berkenalan, Njo-suheng sudah mencintai dulu seorang lain,
yaitu yang sekarang kita kenal sebagai Ok-onghui."
Lagi-lagi Wan-lian gegetun dan menghela napas. Tapi tibatiba
dilihatnya wajah Leng Bwe-hong menjadi muram dan
mata berkaca-kaca, ia menjadi terkejut. "Apakah mungkin
Leng-tayhiap sendiri juga mempunyai kisah cinta yang
menyedihkan?" demikian ia membatin. Maka ia pun tak berani
bertanya lebih lanjut.
"Malam ini aku ingin menyelidiki penjara, kalau berhasil
menolong keluar Lan-cu, segera aku membawanya mencari
kalian," kata Bwe-hong setelah bertanya tempat tinggal Wanlian.
Dalam pada itu, di kala Leng Bwe-hong memikirkan diri le
Lan-cu, di lain pihak gadis itupun sedang mengenangkan Leng


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bwe-hong di dalam penjara yang gelap gulita tak tertembus
sinar matahari maupun rembulan, dalam penjara itu hanya
disinari dua pelita kecil yang berkelip-kelip di pojokan. Secara
tak sadar Lan-cu meringkuk dalam penjara itu dan entah
sudah berapa kali siang telah berganti malam dan malam
berganti siang, terasa olehnya semacam perasaan kesunyian
yang aneh. "Aku adalah puteri ayahku!" demikian ia menghibur diri
sendiri, ia merasa tidak mengecewakan harapan sang ayah.
Surat darah ayahnya masih tersimpan baik dalam bajunya,
tapi kini tekanan jiwa yang ditimbulkan surat darah itu sudah
lenyap sama sekali, ia merasa puas, ia ingin menari, ingin
menyanyi atas kemenangannya itu.
"Marilah maju, tak nanti aku takut padamu," demikian
tantangnya pada malaikat elmaut yang dihadapinya dalam
kegelapan itu. Tapi benarkah sedikitpun ia tak gentar mati" Mungkin
betul. Namun kadang ia pun merasa takut menghadapi malam
yang gelap dan panjang itu, ia bukan takut mati, melainkan
sayang pada jiwa sendiri yang masih muda-belia. Bukankah ia
baru gadis remaja berusia belum genap 20 tahun" Tapi segera
ia akan berpisah untuk selamanya dengan sanak-kadang yang
dicintainya. Ia tak mempunyai sanak-kadang sebenarnya, tapi dalam
keadaan demikian ini ia justru terkenang pada sanak-kadang.
Onghui adalah ibu kandungnya. Terhadap ibunya selama ini
perasaannya selalu bertentangan di antara cinta dan benci,
dalam hati si gadis yang lemah tapi juga keras ini hakikatnya
sudah tak pandang sang ibu sebagai sanak-kadang lagi,
namun kini, di saat menghadapi elmaut yang akan
menamatkan kehidupannya ini, ia justru terkenang pada sang
ibunda, ia mempunyai suatu harapan, ya, bahkan sangat
mengharap agar bisa menguras air matanya yang sudah
tertimbun sekian lamanya di hadapan sang ibu, ia ingin
menyatakan betapa merindukan kasih ibu dan juga betapa ia
benci padanya. Dan 'sanak' kedua yang ia kenangkan ialah Leng Bwe-hong.
Sebenarnya Bwe-hong bukan sanak juga bukan kadang-nya,
tapi baginya rasanya malah lebih dekat dan lebih rapat
daripada sanak-kadang yang lain.
la masih ingat betapa susah payah Leng Bwe-hong
membawanya ke Thian-san jauh dari daerah selatan, melintasi
gurun luas dan pergi ke daerah perbatasan itu, masa itu ia
baru seorang anak bayi yang sedang belajar omong. Budi
kebaikan itu boleh dikata melebihi hubungan ayah dan anak.
"Dimanakah ada seorang ayah pernah menderita dan
berkorban begitu banyak untuk anaknya?" demikian pikirnya.
Bila terkenang pada Leng Bwe-hong sungguh ia ingin
memanggilnya sebagai 'ayah', tetapi usia Leng Bwe-hong
hanya belasan tahun lebih tua darinya, apakah ia akan suka
dipanggil ayah. Bila ingat sampai di sini, kadang Lan-cu lantas
tertawa sendiri.
'Sanak' ketiga yang ia kenangkan ialah Thio Hua-ciau.
Belum ada dua tahun ia mengenal pemuda itu, tapi aneh,
perasaannya terhadap Hua-ciau sudah begitu mendalam dan
jauh berlainan sekali dengan perasaannya terhadap Leng Bwehong.
Ia ingat benar sinar mata pemuda yang begitu simpati dan
penuh terima kasih waktu ia menolongnya di Jing-liang-si di
atas Ngo-tai-san dahulu dan perpisahan yang berkesan
sewaktu ia akan melakukan. 'tugas suci' pesan ayahnya, di
rumah Ciok Cin-hui tempo hari.
"Setelah aku mati, sungguhkah ia akan memetik sekuntum
bunga cempaka dan menancapkannya di depan kuburanku?"
demikian ia berpikir. "Ah, semua ini hanya khayalan belaka,
bila aku mati, mungkin kuburan saja tiada terdapat!" Karena
pikiran ini, tak tahan lagi air matanya berlinang.
"Tidak, puteri Njo-tayhiap tak pernah mengalirkan air
mata!" tiba-tiba ia mencela diri sendiri.
Begitulah ia termenung mengenangkan ketiga orang 'sanakkadang' itu, namun gabungan dari semua rasa rindunya
itu masih belum melebihi rasa cintanya pada sang ayah. "Aku
mati karena melaksanakan tugas dan cita-cita ayah!" demikian
ia berpikir. Dan karena pikiran terakhir ini, seketika ia
bersemangat, ia merasa jiwanya sendiri kenapa harus
disayangkan" "Hayo, majulah, tak nanti aku takut padamu!"
teriaknya tiba-tiba sambil mementang kedua tangannya
menantang kegelapan yang bagaikan malaikat elmaut hendak
menerkam padanya itu.
Jiwa Lan-cu tergoncang hebat, ia pejamkan matanya dan
menggumam sendiri, "O, ayah, tunggulah daku, segera
puterimu ini akan berjumpa denganmu!"
Dan pada saat itulah, pintu penjara terbuka, sesosok
bayangan pelahan berjalan ke arahnya.
Sejak Lan-cu digusur ke dalam penjara belum pernah ia
didatangi orang, santapan sehari dua kali juga disodorkan dari
luar oleh sipir bui, maka ia menyangsikan bayangan ini kalau
bukan malaikat elmaut, tentunya algojo yang datang hendak
menghabisi nyawanya" Karena itu, seketika perasaannya
seperti kosong melompong, lapat-lapat ia merasa keadaan
seakan beku dan tak berperasaan lagi.
Dalam keadaan setengah sadar itu, tiba-tiba terasa olehnya
sebuah tangan pelahan mengelus rambutnya. "Lan-cu,"
terdengar suatu suara rendah, "Akulah yang telah datang!"
"O, betul-betul ayahkah?" seru Lan-cu.
Orang itu menghela napas, lalu ia memanggil lagi, "Lan-cu,
sadarlah! Aku yang telah datang buat mengeluarkanmu!"
Habis berkata, cepat sekali orang itu memegang beberapa
kali ke sekitar tangan dan kaki Lan-cu, seketika gadis ini
merasa tubuhnya menjadi enteng, ternyata belenggu kaki dan
tangannya sudah dipatahkan orang itu.
"Kau bukan ayah" Apakah kau algojo?" mendadak Lan-cu
menubruk maju terus menarik tangan orang itu.
Namun segera terasa olehnya ada setetes air hangat yang
jatuh di mukanya, menyusul suatu suara yang sudah sangat
dikenal berbisik di telinganya, "Sadarlah, Lan-cu! Tak kenalkah
kau padaku?"
Dan baru kini Lan-cu mengenali siapa orang itu, air mata
tak tertahan lagi bercucuran, ia mendeprok ke bawah terus
merangkul kedua kaki orang. "O, Leng-sioksiok, apakah ini
bukan di alam mimpi?" ia meratap.
Ternyata orang ini memang betul Leng Bwe-hong adanya.
Sesudah ia menerima 'Cu-ko-kim-hu' dari Boh Wan-lian,
lalu ia menyamar sebagai bayangkara istimewa dari kerajaan
dan dengan kedok di mukanya malam itu juga ia mendatangi
sipir bui. Kepala penjara kerajaan ini ternyata seorang Pwelek
(gelar bangsawan Boanciu), ketika dilihatnya datang seorang
jago pengawal dan menunjukkan 'Cu-ko-kim-hu' yang bertulis
dua huruf 'Tay Jing' (Jing Raya) di atas kertas, Pwelek ini
menjadi amat terkejut. "Apakah kau bayangkara kerajaan?"
tanyanya cepat dan curiga.
Bwe-hong tak menyahut, ia mengangguk angkuh saja.
"Apakah masih ada pesan lain dari Hongsiang?" tanya
Pwelek itu lagi.
"Hongsiang memerintahkan aku segera membawa gadis
pembunuh To Tok itu ke dalam istana dan hal ini harus
dirahasiakan, maka lekas kausingkirkan dahulu penjagapenjaga
lain yang ada di sini," kata Bwe-hong kemudian.
Pwelek itu menjadi tambah heran dan terkejut, sebab siang
harinya Kaisar sendiri memerintahkan agar penjahat wanita itu
dijaga sekerasnya jangan sampai dirampas orang dari penjara,
kenapa sekarang mendadak bisa mengirim orang lagi hendak
membawa pesakitan itu ke dalam istana"
Tetapi pusaka 'Cu-ko-kim-hu' bukanlah benda sembarangan,
siapa yang membawanya sama dengan utusan Kaisar yang
berkuasa penuh, maka perkataannya tidak mungkin bisa
dibantah. Dan sesudah ragu-ragu sejenak, tiba-tiba Pwelek inipun
mendapatkan akal. "Apakah kau bayangkara istimewa?" ia
coba menegasi lagi. "Kau berada di bawah pimpinan siapa?"
Dan karena pertanyaan ini, Bwe-Hong tahu orang telah
timbul curiga dan sengaja hendak menguji dirinya. Diam-diam
ia mengeluh. Di lain pihak dengan mata terpentang lebar Pwelek itu
mengawasi Bwe-hong terus dan menanti jawabannya.
Namun Bwe-hong cukup cerdik, segera ia pun
mendapatkan pikiran baik. "Kau berhak menanyai aku?"
demikian bentaknya sembari tertawa dingin. Berbareng itu ia
sengaja menggebrak meja dengan sebelah tangan hingga
seketika ujung meja itu sempal.
Keruan saja Pwelek itu ketakutan hingga mandi keringat
dingin demi nampak Bwe-hong mengunjuk kepandaiannya
yang hebat ini. Dan baru sekarang ia mau percaya orang
benar-benar jago pengawal, maka ia tak berani bertanya lagi.
Segera ia perintahkan penjaga lain menyingkir hingga dengan
leluasa Leng Bwe-hong bisa masuk ke dalam penjara dan
membebaskan Ie Lan-cu dari belenggu.
"Betul-betul ini bukan di alam mimpi, Leng-tayhiap?"
demikian Lan-cu mengulangi lagi sembari tersedu-sedan.
"Jangan kuatir kau, hayolah ikut aku keluar, para kawan
sedang merindukanmu dan menantikan kedatanganmu," kata
Bwe-hong kemudian.
"Tidak, aku tidak dapat keluar!" kata Lan-cu tiba-tiba.
Tentu saja Bwe-hong heran. "Sebab apa?" tanyanya cepat.
"Aku sudah tak bertenaga," demikian tutur Lan-cu, "Sampai
di luar tentu akan dicegat oleh penjaga, sedang aku tak
sanggup meloncat tinggi dan berlari cepat sepertimu, pula tak
bisa membantumu menempur musuh, bukankah nanti berbalik
membikin susah kau belaka" Dan akhirnya kita toh akan
terpaksa terkurung lagi dalam penjara malah."
"Lan-cu," kata Bwe-hong pelahan sambil menunjukkan
jimatnya. "Aku memegang 'Kim-hu' kerajaan, tak nanti
penjaga di luar berani merintangi. Marilah jangan kuatir, lekas
ikut aku keluar."
Dan karena itulah Lan-cu menjadi girang. "Leng-tayhiap,
sungguh aku tak tahu cara bagaimana harus berterima kasih
padamu," katanya terharu.
Habis itu, cepat Leng Bwe-hong menarik tangan si gadis
dan membimbingnya pelahan keluar penjara.
Sementara itu Pwelek Kepala penjara yang kena digertak
oleh ilmu kepandaian Leng Bwe-hong, pula ada bukti 'Cu-kokimhu', betul juga sudah menyingkirkan jauh-jauh para
penjaga penjara dan memberi perintah agar jangan
merintangi bila melihat tawanan mereka dibawa keluar orang.
Tapi karena itu juga, rasanya yang paling gelisah ialah Coh
Ciau-lam. Kiranya sesudah Khong-hi kena diselomoti Boh Wan-lian
hingga gadis ini bisa lolos keluar istana dengan selamat,
maharaja itu luar biasa gusarnya dan segera mengirim
delapan jago bayangkara menguber ke istana Pangeran To
Tok dan seperti diketahui kemudian jago-jago pengawal itu
telah kocar-kacir dilabrak Leng Bwe-hong dan Hui-ang-kin.
Di samping itu Khong-hi sangat kuatir juga karena
rahasianya tergenggam di tangan Boh Wan-lian. Ia pun
memerintahkan Coh Ciau-lam membawa jago-jago pengawal
lain pergi memperkuat penjagaan Ie Lan-cu dalam penjara.
Dan ketika Ciau-lam mendengar perintah Pwelek kepala
penjara agar menyingkir karena tawanan hendak dibawa
masuk istana itu, ia menjadi heran dan curiga. "Apakah titah
Hongsiang siang tadi sudah dilupakan Pwelek?" demikian ia
mencoba memperingatkan orang.
Tak ia duga Pwelek itu menjadi kurang senang. "Jika terjadi
apa-apa, biar aku sendiri yang bertanggung-jawab," demikian
sahut si Pwelek dengan muka masam. Ia tak mau
menerangkan tentang 'Cu-ko-kim-hu' sebab menurut
peraturan kerajaan Boan, perintah dengan bukti 'Cu-ko-kimhu'
hanya dilakukan pada tugas-tugas yang harus
dirahasiakan, sekalipun diketahuinya Coh Ciau-lam adalah
komandan pasukan pengawal, namun Pwelek itupun tak
berani berkata terus terang.
Karena jawaban itulah Coh Ciau-lam menjadi bungkam,
tanpa berkata lagi ia mengeloyor pergi. Tapi ia masih curiga,
ia pun punya perhitungan sendiri, diam-diam ia
mengumpulkan bawahannya dan bersiap di sekitar kamar
penjara itu untuk melihat gelagat.
Sementara itu Lan-cu telah dibimbing keluar oleh Leng
Bwe-hong. Melihat jalanan di luar kamar tahanan itu sunyisenyap
tiada seorang pun, diam-diam Bwe-hong girang, maka
dengan langkah lebar dan bersitegang ia pun makin berlagak
sebagai utusan rahasia Kaisar tulen.
Di lain pihak Coh Ciau-lam yang bersembunyi di suatu
pojok yang gelap sedang mengintai. Betul juga kemudian
dilihatnya dari kamar tahanan seorang berkedok telah
menyeret keluar Ie Lan-cu yang terseok-seok, ia menjadi
tegang dan ragu-ragu, seketika ia tak berani mengambil
keputusan apakah harus mencegat atau membiarkan mereka
pergi begitu saja"
Tiba-tiba tergerak hatinya, ia tertarik oleh perawakan orang
berkedok ini seperti sudah dikenalnya. Segera ia teringat
pada diri seorang ia terkejut bercampur kuatir. Namun suatu
pikiran timbul juga, bila benar orang ini adalah orang yang
diduganya itu, kenapa ia begitu berani masuk ke rumah
penjara ini untuk menemui Pwelek dan kenapa Pwelek lantas
percaya begitu saja padanya"
Dan selagi Ciau-lam ragu-ragu, orang berkedok dan Ie Lancu
sudah berada di dekatnya.
Tiba-tiba Ciau-lam mendapat suatu akal. Sekonyongkonyong
ia melompat keluar dari tempat persembunyiannya
yang gelap itu terus memukul cepat.
Leng Bwe-hong sudah banyak berpengalaman, telinganya
tajam dan matanya jeli. Sudah tentu sejak tadi ia pun tahu
dirinya lagi diintai dan ada orang bersembunyi di tempat
gelap. Tapi mengandalkan pusaka 'Cu-ko-kim-hu' yang ia
bawa, maka di samping bersiap-siap juga ia tetap berlagak
seperti tiada terjadi apa-apa.
Mendadak dilihatnya Coh Ciau-lam menubruk dari samping
terus menyerang dengan tipu 'Swat-yong-lam-kwan' atau salju
memenuhi benteng selatan, dagunya hendak diarah, maka
cepat ia berkelit sembari sebelah tangan lain melindungi Ie
Lan-cu, habis itu tangan kanan cepat sekali balas menotok
dada Ciau-lam di tempat 'Hian-ki-hiat'.


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa tahu serangan Coh Ciau-lam itu hanya pancingan
belaka, yakni sengaja hendak menjajal saja, ia tahu Leng
Bwe-hong terlalu lihai, maka begitu menyerang segera ia
menarik kembali untuk kemudian dengan cepat ia pun
melompat mundur sambil berteriak, "Orang ini adalah buronan
kerajaan, lekas tangkap! Bunuh saja habis perkara!"
Dan karena teriakannya, segera dari tempat gelap, dari
atas atap dan dari pojokan lain berbondong-bondong
mengembut maju jago-jago pengawal yang tidak sedikit
jumlahnya. Kiranya setelah serangan pancingannya tadi berhasil,
segera Ciau-lam yakin dugaannya tidak meleset, yakni Leng
Bwe-hong yang disangkanya itu. Maka bersama para
begundalnya segera mereka mengurung rapat dari semua
jurusan. Tapi ketika Bwe-hong sekali menggertak, ia berputar cepat,
kontan dua pengawal yang coba mendekat telah kena terpukul
roboh. Habis itu pedangnya segera dilolos dan kembali
seorang pengawal lain tertusuk tembus olehnya. Menyusul
tangan Lan-cu ditariknya, segera mereka menerjang keluar
garis kepungan musuh yang sedikit bobol itu.
Namun Ciau-lam lantas maju mencegat, cepat sekali ia
sudah melontarkan serangan beruntun ke iga Leng Bwe-hong.
Ilmu pedang Coh Ciau-lam tidak banyak selisih dari Leng
Bwe-hong, hanya tenaganya sedikit kalah, namun dua kali
serangan itu tidak kurang bahayanya. Terpaksa Bwe-hong
sedikit mengegos sambil menangkis. Dalam pada itu
didengarnya dari belakang angin tajam menyambar juga,
sebuah ruyung musuh telah datang menghantam.
Namun Bwe-hong sangat tenang, begitu pedang Ciau-lam
tertangkis, segera tangan kiri meraup ke belakang hingga
ujung ruyung musuh yang membokong itu kena dicekalnya.
"Naik!" gertaknya keras sembari mengayun tangannya.
Belum sempat pembokong itu melepaskan senjatanya tahutahu
orangnya sudah terbanting pergi jauh.
Tapi karena harus menggunakan kedua tangannya, Ie Lancu
yang digandeng Bwe-hong tadi kini terpaksa terpotong di
belakang. Dengan sekali geraman, lekas Bwe-hong berbalik
hendak menolong, namun berbagai macam senjata musuh
lantas me-ngerubutnya lagi.
Karena kuatirnya, Leng Bwe-hong mengamuk, pedangnya
berputar cepat dan menerobos lewat di bawah senjata-senjata
musuh, namun sudah terlambat, ia lihat Lan-cu sudah ditawan
musuh kembali dan sedang berteriak memanggil, "Leng-sioksiok,
jangan pikirkan diriku, lekas kauterjang keluar!"
Sementara itu dari empat penjuru para jago pengawal telah
mengembut maju lagi. Terpaksa Bwe-hong melawan mereka
mati-matian, dengan tangkas ia menusuk dan menikam cepat,
sedang telapak tangan yang lainpun menghantam hingga
sekejap beberapa musuh kena dilukai atau dibinasakan pula.
Nampak gelagat jelek bagi pihaknya, segera Coh Ciaulam'merangsek
maju lagi, dengan gerak tipu 'Giok-li-coanciam'
atau gadis ayu menyusup benang, dari belakang
mendadak ia tusuk bahu Leng Bwe-hong di 'Hong-hu-hiat'.
Namun dengan cepat Bwe-hong mengegos pergi dan pada
saat itulah kebetulan seorang jago pengawal lagi menubmk
maju, segera ia kena dicengkeram Leng Bwe-hong terus
diangkat ke atas, dengan pedangnya lebih dulu Bwe-hong
menangkis pergi semua senjata musuh yang sementara itu
sudah tiba pula dengan gerakan 'Hui-eng-hwe-soan' atau
elang terbang mengitar, habis itu pengawal yang dipegangnya
itu tems diayun dan menyapu ke belakang.
Saking cepat gerakan Leng Bwe-hong itu hingga pedang
Ciau-lam yang saat itu telah menusuk lagi dari samping segera
menembus tubuh pengawal itu sendiri, dan waktu ia hendak
menarik kembali senjatanya, tahu-tahu Bwe-hong sekalian
mendorong mayat pengawal itu ke arahnya. Lekas Ciau-lam
melompat mundur dan kesempatan itu telah digunakan Leng
Bwe-hong menerjang ke depan keluar dari kepungan.
Sementara itu Ie Lan-cu telah digusur kembali ke dalam
penjara. Melihat Bwe-hong akan lolos begitu saja, mata Coh Ciaulam
seakan-akan berapi, secepat terbang segera ia menubruk ke
depan lagi tems menikam. Namun Bwe-hong tak ingin terlibat
lebih lama, dengan gerakan 'Yan-cu-coan-lim' atau burung
walet menerobos hutan, cepat sekali ia melayang ke depan
sembari tangannya menjambret seorang jago pengawal lagi
dengan ilmu Kim-na-jiu-hoat atau ilmu cara menawan dan
memegang, segera ia lemparkan tubuh pengawal itu ke
belakang, dengan cara demikianlah beruntun tiga kali
lompatan, tiga pengawal kena di-timpukkan ke belakang
hingga rangsekan Coh Ciau-lam terhalang. Pengawal lain
menjadi jeri melihat ketangkasan Leng Bwe-hong, karena itu
dengan cepat Bwe-hong sudah bisa lari sampai di bawah
suatu pagar tembok.
Dinding pagar ini ternyata 5-6 tombak tingginya hingga tak
bisa dicapai dengan sekali lompat, kecuali dengan ilmu 'Sia-pihoanciang' atau merayap di dinding dengan bergantian
tangan, atau ilmu 'Pia-hou-yu-jiang' atau cecak merayap di
dinding. Dalam keadaan begitu ia menjadi serba susah, musuh
sudah mendekat, bila ia menggunakan ilmu merayap di
dinding, tentunya tak bisa menjaga diri bila diserang dengan
senjata rahasia.
Dan ketika ia ragu, betul saja segera ia dihujani musuh
dengan berbagai senjata rahasia. Terpaksa Bwe-hong berkelit
ke sana sini sambil tangannya ikut menyampuk dan lengan
bajunya mengebas hingga senjata rahasia musuh dapat
dihindarkannya.
"Kepung dia, asal dia sudah lelah tentu tak akan bisa lolos
lagi," sem Ciau-lam pada begundalnya. Berbareng itu ia pun
memimpin orang-orangnya mengepung maju.
Karena tiada jalan lain, Bwe-hong terdesak hingga mepet
dinding pagar itu, tapi dengan mati-matian ia masih terus
bertahan sekuatnya. Sekalipun jumlah lawan jauh lebih
banyak, tapi mereka hanya bisa mengembut dari tiga jurusan,
karena sisi belakang Leng Bwe-hong adalah dinding. Maka
Coh Ciau-lam hanya mengembut bersama tiga jago pengawal
terpilih dan berulang kali merangsek sengit.
Namun Thian-san-kiam-hoat yang dimainkan Leng Bwehong
sedemikian mpa hebatnya bagai kilat menyambar.
Dalam pertarungan sengit itu, dua pengawal kawan Coh CiauTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lam roboh tertusuk olehnya. Tapi dua roboh, segera maju lagi
dua o-rang untuk menggantikannya, dan begitu seterusnya.
"Leng Bwe-hong, jika kau tak meletakkan senjatamu dan
menyerahkan diri, maka hari ini juga adalah hari ajalmu!"
bentak Ciau-lam mengejek.
Tapi kontan Leng Bwe-hong menjawabnya dulu dengan
sekali tusukan. "Bangsat," dampratnya kemudian. "Manusia
tak kenal malu. Apa kau mengmginkan kepalaku" Ha, boleh
tukar dulu dengan 10 buah kepalamu!"
Karena sudah lama masih belum bisa mengalahkan lawan,
Ciau-lam berganti siasat, ia memberi tanda dan empat
kawannya lantas menyerang serentak, ia sendiri berdiri di
tengah menunggu lubang untuk mengirim serangan tambahan
yang mematikan.
Ilmu silat Coh Ciau-lam memangnya tidak banyak selisih
dengan Leng Bwe-hong, kini ia dibantu lagi empat jago
pengawal kelas tinggi, betapapun tinggi kiam-hoat Bwe-hong
akhirnya ia kerepotan juga, apalagi Ciau-lam tidak perlu
memikirkan serangan musuh karena empat kawannya cukup
bisa mewakilkan menangkis, ia hanya tinggal menunggu
kesempatan untuk menambahi serangan hebat yang
mematikan. Karena itu, daya tekanan mereka dengan
sendirinya sekali lipat bertambah hebat
Dan karena tusukan Ciau-lam yang gencar pada setiap ada
kesempatan itu, tampaknya suatu saat pasti Leng Bwe-hong
akan tertancap di tembok oleh pedangnya. Tiba-tiba seorang
jago pengawal di antaranya ingin berjasa dulu, mendadak ia
merangsek maju dengan senjatanya sepasang 'Hou-jiu-kau'
atau gaetan dengan pelindung tangan, mendadak ia mengait
pinggang lawan. Namun mendadak Bwe-hong menggeram,
berbareng tangannya meraup dan dapat memegang gaetan
musuh terus ditarik sekuatnya, dengan tipu 'Sin-liong-tiaubwe'
atau naga sakti membalik ekor, dengan tenaga dalamnya
yang hebat berbareng ia membikin pedang Ciau-lam yang
sementara itu juga menyerang tiba tergetar pergi, lalu tubuh
pengawal yang kena ditariknya tadi terus diayun ke depan
hingga pengawal yang lain terpaksa melompat mundur.
Dalam gusarnya Ciau-lam tak memikirkan lagi kawan atau
lawan, mendadak ia menghantam ke depan hingga tubuh
pengawal yang dipegang Leng Bwe-hong itu mencelat kena
pukulannya. Menyusul pedangnya segera menusuk pula dan
menyerang lebih sengit.
Menyaksikan Coh Ciau-lam begitu kejam, hanya
memikirkan jasa sendiri tanpa memikirkan keselamatan
kawan, pengawal yang lain menjadi keder dan dingin hati.
Karena itu mereka pun tak bersemangat hingga seketika tiada
yang maju membantu Ciau-lam. Dan karena itulah Leng Bwehong
sempat melontarkan serangan balasan beberapa kali
hingga Ciau-lam berbal ik dibikin kalang-kabut.
"Mengapa diam saja" Hayo maju! Apakah perlu Hongsiang
sendiri yang memberi perintah!" bentak Ciau-lam mengkal
melihat kawannya yang berpeluk tangan itu.
Dan karena digertak dengan nama Hongsiang atau Kaisar,
pengawal-pengawal itu menjadi jeri bila sikap mereka ini
dilaporkan Coh Ciau-lam, tentu mereka bisa celaka. Karena
itulah, segera ada beberapa jagoan lain menggantikan
lowongan yang masih belum terisi itu dan mendesak Bwehong
mepet ke tembok lagi. Cuma jeri menyaksikan kejadian
ngeri, maka mereka tak berani sembarangan menubruk maju
lagi. Dengan begitu keadaan Leng Bwe-hong menjadi ringan,
meski masih belum bisa lolos dari kepungan.
Dan karena masih belum juga bisa merobohkan lawannya
ini, tiba-tiba Ciau-lam menunjuk dua jago pengawal lain lagi
yang merupakan orang kepercayaannya agar maju
menggantikan jago pengawal yang kelihatan ragu-ragu dan
kurang sungguh-sungguh itu.
"Lakukan sebisanya, tangkap penjahat ini hidup ataupun
mati, asal keluar tenaga sekuatnya, pasti aku akan
melaporkan jasa kalian pada Hongsiang," demikian Ciau-lam
coba memberi semangat.
Karena dorongan ini, segera para pengawal itu bertempur
mati-matian, sedang yang lain berteriak dari samping memberi
sokongan moril pada kawan mereka. Sebaliknya sudah
semalam suntuk Bwe-hong bertempur, ia menjadi payah,
keningnya mulai berkeringat, tenaganya mulai habis dan tak
tahan lagi. "Ada kebakaran di sebelah barat!" tiba-tiba seorang
pengawal berteriak kaget. Dan waktu Ciau-lam menoleh, betul
saja dilihatnya api berkobar menjulang tinggi di pendopo
sebelah barat. "Jangan ribut," bentaknya cepat. "Sekalipun kedatangan
musuh lagi, di sana ada juga kawan kita yang menahannya.
Lekas binasakan keparat ini dulu!"
Tapi belum hilang suara bentakannya, tiba-tiba dari atas
dinding sana muncul seorang wanita berbaju hijau dan sehelai
selendang merah melambai tertiup angin menyelip di atas ikat
kepalanya. Di belakang wanita ini terlihat mengejar beberapa
jago pengawal dengan kencang.
Tangan kiri wanita baju hijau itu membawa pecut panjang
dan tangan kanan memegang pedang terhunus. Setelah
mendekat, dilihatnya Leng Bwe-hong sedang dikeroyok di
sebelah bawah, segera ia berseru, "Jangan kuatir Leng Bwehong,
aku datang menolongmu!"
Habis itu mendadak pecutnya menyabet ke belakang, tahutahu
seorang pengawal yang mengubernya telah terguling ke
bawah sewaktu wanita itu melompat turun, berbareng
pecutnya diputar-putar hingga menerbitkan suara petasan
telah menyabet juga ke arah Coh Ciau-lam sembari
membentak, "Jahanam, apakah masih kenal padaku?"
Terkejut luar biasa Ciau-lam demi mengenali siapa wanita
ini. "Hui..,.. Hui-ang-kin, kau kau" teriaknya terputus-putus
sambil mundur ke belakang.
Sementara itu cepat sekali Leng Bwe-hong telah
menyerang lagi hingga seorang lawannya kena dirobohkan
pula. Sebenarnya kalau soal ilmu silat, meski Ciau-lam tak bisa
mengalahkan Hui-ang-kin, tapi tak mungkin juga bisa
dikalahkan orang. Tapi karena ganjalan hati hubungan mereka
di masa lalu, walau sudah sekian lamanya, namun ia masih
merasa malu dan risih kalau bertemu muka dengan Hui-angkin.
Ia masih ingat betapa kagumnya hingga jatuh hati pada
Hui-ang-kin dulu di waktu ia baru tamat belajar dan turun dari
Thian-san. Tapi belakangan karena jiwanya yang rendah
lambat-laun dapat diketahui Hui-ang-kin hingga gadis ini dari
menghormat menjadi benci dan menjauhi dirinya. Kemudian ia
lantas takluk pada pasukan Boan dan bersekongkol dengan
Abu, kekasih Hui-ang-kin yang berkhianat itu dan dengan tipu
muslihat akhirnya menewaskan pahlawan Dan u, ayah Huiangkin. Karena peristiwa itulah, Ciau-lam menjadi risih terhadap
Hui-ang-kin, dalam hati selalu merasa jeri untuk berhadapan
dengan gadis ini.
Kini setelah berulang kali ia hampir tersabet oleh pecut Huiangkin, akhirnya baru ia bisa menenangkan diri.
Para jago pengawal kini sudah berkumpul hampir 50 orang,
meski pecut Hui-ang-kin bisa menyabet jauh dan
pedangnya juga menusuk cepat serta bisa melukai beberapa
orang, namun tidak urung kemudian ia pun terjeblos dalam
kepungan musuh. Malahan di atas dinding pagar itu masih ada
beberapa pengawal yang mengejar Hui-ang-kin tadi, dari atas
kadang mereka pun membokong dengan senjata rahasia.
Pada suatu ketika, mendadak Bwe-hong membentak,
secepat kilat dua jago pengawal kena dilukainya lagi, habis itu
segera ia menerjang ke depan menggabungkan diri dengan
Hui-ang-kin yang sementara itu sedang dikeroyok juga, lalu
mereka berdua mengundurkan diri lagi ke pinggir tembok.


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bwe-hong memindahkan pedang ke tangan kiri, dengan
tangan kanan ia menyiapkan tiga buah Thian-san-sin-bong,
senjata rahasianya yang tunggal. Kemudian mendadak ia
sambitkan ke atas tembok sambil menggertak, "Kena!"
Dan secepat kilat tiga sinar hitam emas menyambar,
menyusul segera terdengarlah suara jeritan beberapa kali.
Nyata tiga jago pengawal yang berdiri di atas itu telah
terjungkal ke bawah tertembus oleh senjata rahasia Leng
Bwe-hong. "Hui-ang-kin, kau gantikan aku menahan sementara, dari
atas aku nanti melindungimu meloloskan diri!" teriak Bwehong.
Habis itu, dengan ilmu kepandaian 'Pia-hou-yu-jiang' atau
cecak merayap di dinding, cepat sekali ia merayap ke atas.
Tentu saja ia dihujani senjata rahasia musuh, tapi semuanya
kena disapu bersih oleh pecut Hui-ang-kin yang melindunginya
dari bawah. Maka sekejap saja Leng Bwe-hong sudah bisa mencapai
atas dinding pagar itu, dua jago pengawal lain yang masih
ketinggalan di situ mencoba hendak mengerucutnya, tapi
dengan mudah telah dibereskan semua oleh Leng Bwe-hong.
Sementara itu dilihatnya Hui-ang-kin rada kewalahan
karena sendirian dikerubut musuh yang banyak.
"Hui-ang-kin naiklah ke atas sini!" segera Bwe-hong
berteriak. Berbareng itu dari atas susul-menyusul ia
menghujani musuh dengan senjata rahasia hingga banyak
musuh kena dibinasa-kannya dan banyak yang terluka pula,
keruan keadaan musuh seketika menjadi kacau-balau.
Dan pada kesempatan itulah tiba-tiba Hui-ang-kin bersiul
panjang, ia meloncat tinggi sambil mengayun pecutnya ke
atas yang ujungnya segera ditarik oleh Leng Bwe-hong dan
disendai, maka dengan enteng sekali Hui-ang-kin
berjumpalitan di udara untuk kemudian menancapkan kakinya
di atas tembok.
Segera senjata rahasia musuh berhamburan lagi dari
bawah, tapi mudah saja Leng Bwe-hong dan Hui-ang-kin
mengelakkan semua serangan itu, lalu dengan Ginkang yang
tinggi dalam sekejap saja mereka sudah kabur keluar
lingkungan penjara kerajaan itu. Waktu Coh Ciau-lam dan
begundalnya mengejar lagi, mereka tak bisa mendapatkan
bayangan Leng Bwe-hong dan Hui-ang-kin.
Keruan saja Coh Ciau-lam marah-marah. Musuh hanya
datang dua orang, tapi pihaknya yang berjumlah jauh lebih
banyak malah ada belasan orang yang tewas dan terluka.
Namun apa daya, baiknya Ie Lan-cu berhasil dirampas
kembali, kalau tidak, pasti persoalan akan lebih runyam bagi
mereka. Memang Leng Bwe-hong dan Hui-ang-kin adalah 'bin-tangbencana'
bagi Coh Ciau-lam, maka ia menjadi mati kutu dan
tak berani temberang lagi, lekas ia menghadap Khong-hi dan
menerima dampratan, ia pun mohon agar diberi pembantu
jago pengawal lain yang lebih tangguh.
Tentu saja Khong-hi amat terkejut oleh laporan itu.
Pikirnya, mengapa jago pengawalnya begini tak becus"
Namun sesungguhnya mereka pun sudah berusaha sekuat
tenaga untuk melawan musuh hingga banyak yang tewas dan
terluka, kalau ia menambahi dampratan lagi mungkin akan
membuat jago pengawalnya sakit hati malah. Karena itulah ia
hanya mengomeli Ciau-lam saja, "Sudahlah, asal kelak berlaku
lebih hati-hati." Habis itu segera ia pun memanggil Ok-onghui
Nilan Ming-hui menghadap.
Tentang kejadian Leng Bwe-hong mengobrak-abrik penjara
memang Ok-onghui sudah menerima kabar juga, ia girang
bercampur kuatir, ia tak tahu apakah Lan-cu berhasil ditolong
atau tidak, dan sementara itu ia lantas dipanggil menghadap
Kaisar Khong-hi.
"Apakah kau sudah sembuh?" tanya Khong-hi kurang
senang segera sesudah berhadapan dengan Onghui.
Hati Onghui kebat-kebit hingga berkeringat dingin, namun
ia coba menenangkan diri dan menjawab, "Terima kasih atas
perhatian Sri Baginda, keadaan hamba sudah baikan!"
"Ok-jin-ong amat besar jasanya terhadap negara dan kini
harus terbunuh secara begitu mengenaskan, tentunya kau
sangat gemas terhadap pembunuhnya, bukan?" tanya Khonghi
pula. "Ya, hamba memang sakit hati sekali," sahut Onghui sambil
melelehkan air mata.
Apa yang dikatakan ini memang benar terasa dalam
hatinya. Dan karena nampak Onghui begitu sedih, Khong-hi
menyangka orang terlalu berduka atas tewasnya sang suami,
maka ia pun tidak mendesak lebih jauh, hanya dengan dingin
dikatakannya pula, "Tempo hari kaukatakan pada Thayhou
bahwa kau ingin memeriksa sendiri si gadis pembunuh itu, kini
kau sudah sembuh, maka besok bolehlah kaulakukan tugasmu
itu di penjara sana."
Mendengar firman itu, seketika Onghui merasa seakanakan
disambar petir di siang bolong, matanya pun berkunangkunang.
"Jangan beri waktu hidup lebih lama lagi bagi pembunuh
itu," demikian Khong-hi berkata pula. "Sangat banyak
komplotannya, bila sampai lolos, maka sakit hati suamimu
mungkin tak bisa dibalas lagi."
Tak tahan lagi Onghui oleh pukulan batin itu, ia menjerit
ngeri dan roboh tak sadarkan diri.
Khong-hi memerintahkan dayang istana membawa Onghui
mengaso ke kamar Thayhou, sebelum pergi ia masih berpesan
lagi pada pelayan kepercayaannya itu, "Kalau Onghui belum
juga jernih pikirannya dan besok tak bisa memeriksa pesakitan
sendiri, boleh lantas kau titahkan Pwelek agar pembunuh itu
diserahkan pengadilan untuk segera dihukum mati!"
Saat itu baru saja lapat-lapat Onghui sadar, dan demi
mendengar perintah Khong-hi itu, tak tahan lagi kembali ia
pingsan. Di lain pihak, sesudah Ie Lan-cu dirampas kembali ke dalam
penjara, anak dara ini benar-benar putus asa. Namun ia
menjadi bisa lebih tenang juga, sambil menantikan datangnya
malaikat maut dalam penjara yang gelap itu. Dalam kegelapan
itu entah berapa lama sudah ketika mendadak pintu penjara
dibuka pelahan, sesosok bayangan tampak menyelinap masuk.
Lan-cu tak bergerak sama sekali, dengan suara keras ia
malah berteriak, "Marilah, bawalah aku keluar, mau bunuh,
mau gantung atau dipotong boleh sesukamu. Tapi bangsa Han
kami tidak mungkin bisa habis kamu bunuh!"
Tiba-tiba pintu penjara itu terdengar digabrukkan bayangan
orang itu. Tahu-tahu keadaan menjadi terang, kiranya orang
itu telah menyulut sebatang lilin besar, kemudian pelahan Lancu
didekatinya. "Po-cu, O, Po-cu, apakah kau tak kenal lagi padaku"
Angkatlah kepalamu dan lihatlah siapakah aku ini!" demikian
orang itu berkata setengah meratap.
Tetapi Lan-cu tidak mengangkat kepalanya, dengan dingin
ia menjawab, "Siapa adalah Po-cu" Hm, Onghui yang mulia,
akulah pembunuh suamimu itu!"
Sesaat itu sebuah tangan yang hangat telah meraba
mukanya, lalu mengelus rambutnya.-Ingin Lan-cu berteriak,
meronta, tapi sedikit tenaga pun rasanya tiada!
"O, mereka telah menyiksamu sedemikian rupa!" ratap orang
itu yang memang Ok-onghui Nilan Ming-hui adanya.
Pada leher Ie Lan-cu dipasang belenggu besar hingga
kulitnya tergesek dan menimbulkan bengkak berdarah, begitu
pula kedua pergelangan kakinya mengalirkan darah hitam
kental. Onghui mengeluarkan saputangan suteranya dan pelahan
membersihkan luka Ie Lan-cu itu hingga darah membasahi
saputangan itu, tapi dengan hati-hati Onghui lempit
saputangan itu dan dimasukkan kembali ke bajunya.
Mendadak Lan-cu mementang matanya lebar-lebar dan
tiba-tiba berteriak tajam, "Jangan kau pura-pura berbelaskasihan,
Onghui! Yang menyiksa aku bukan mereka, tetapi
kau!" Onghui menggigil dan tanpa terasa melangkah mundur.
"Hm, 18 tahun yang lalu aku dibuang dan kini kau datang
hendak membunuhku lagi!" kata Lan-cu pula dengan tertawa
dingin sambil melirik.
Remuk rendam hati Onghui, tak tahan lagi ia menangis
sedih, tiba-tiba Lan-cu dirangkulnya erat-erat sembari
menjerit, "O, Po-cu, nyata sedikitpun kau tak tahu betapa rasa
cintaku padamu!"
"Cinta padaku" Haha! Kau cinta padaku?" seru Lan-cu
mengejek dan mendorong pergi orang pelahan. "Untuk bisa
menjadi Onghui, kau membiarkan ayahku dibunuh mati
suamimu, karena ingin menjadi Onghui, kau tega membuang
diriku dan membiarkanku kedinginan terombang-ambing di
tanah asing selama 18 tahun!"
"Po-cu, kau menistaku?" seru Onghui pilu. "Baiklah,
teruskanlah kau menista! Senang sekali aku, kini kau sudah
tahu bahwa akulah ibumu!"
"Tidak, aku tak beribu lagi, ibuku sudah mati 18 tahun yang
lalu," kata Lan-cu.
"O, Po-cu," ratap Onghui sambil memeluk Lan-cu dan
duduk di lantai, "Memang ibumu telah berbuat salah, tetapi
percayalah ia bukan perempuan sebagaimana kaukatakan!
Boleh kau percaya atau tidak, pendeknya ia bukan manusia
semacam itu. Aku ingin menceritakan padamu, namun pasti
susah dijelaskan. Po-cu, aku hanya minta kau coba meraba
hatiku ini! Dari denyutan hatiku pasti kau akan tahu betapa
rasa cintaku padamu. Ya, selama 18 tahun ini, siang dan
malam senantiasa aku terkenang padamu, aku
merindukanmu. Aku masih ingat betapa Jenakanya kau pada
waktu mulai belajar berjalan dan betapa senangku ketika
untuk pertama kalinya kau memanggil ibu. Selalu terpikir
olehku entah dimana kau telah dibesarkan, entah wajahmu
serupa ayahmu atau mirip ibumu. Tapi tampaknya kini kau
mirip sekali dengan ayahmu. Ya, berhati sekeras dia!"
Kepala Lan-cu bersandar pada dada Onghui, dua jantung
sama-sama berdetak keras. Lan-cu jatuh ke dalam pangkuan
Onghui dan menangis terisak-isak. "O, ibu, sesungguhnya aku
pun cinta padamu!" ratapnya tak lancar.
Cahaya lilin telah menghalau kegelapan, ibu dan anak yang
sudah berpisah selama 18 tahun itu saling rangkul kencang,
air mata ibu menetes di muka anaknya dan air mata anaknya
membasahi dada sang ibu.
Lama dan lama sekali tiada yang berkata sekecappun. Tibatiba
di luar pintu penjara terdengar ada suara tindakan orang
yang mondar-mandir. Onghui mengkerut kening, segera ia
pun ingat, lekas ia menyeka air matanya lalu membentak,
"Siapa itu" Pelahan sedikit berjalan, jangan mengacau, aku
sedang memeriksa pesakitan ini."
Kiranya suara tindakan itu adalah penjaga-penjaga yang
sedang meronda atas perintah Pwelek kepala penjara untuk
keselamatan Onghui.
Dan sehabis membentak pergi penjaga-penjaga itu, dengan
kencang kembali Onghui merangkul Lan-cu lagi. "O, anakku,
kini kau adalah milikku sudah!" demikian katanya berbisik.
Tapi karena mendengar suara tindakan orang di luar tadi,
mendadak dalam hati Lan-cu timbul semacam rasa benci.
"Tidak, ibuku adalah orang pihak sana dan mereka tunduk
pada perintah ibuku!" demikian pikiran semacam ini seperti
membakar jiwanya.
Mendadak ia meronta keluar dari pelukan sang ibu dan
dengan keras berkata, "Onghui, kau bilang mau memeriksaku,
nah, kenapa tak kauperiksa?"
Pedih sekali hati Onghui bagai disayat-sayat "O, Po-cu,"
ratapnya terputus-putus. "Dengan cara bagaimanakah baru
kau mau percaya padaku" Percaya pada ibumu" Katakanlah,
asal aku bisa melakukannya, pasti akan kulakukan untukmu!"
"Hm, mungkin besok atau bisa jadi tidak sampai besok
mereka sudah akan menggantung buah kepalaku di atas tiang
bendera pintu gerbang kota dan mengambil hatiku untuk
sembahyang suamimu. Lantas apa urusanku yang harus
dilakukan olehmu?" sahut Lan-cu tertawa dingin.
Tiba-tiba Onghui mencium sekali puterinya ini. "Baiklah, Pocu,"
katanya kemudian dengan pasti, "Biar aku membawamu
keluar penjara dan membebaskanmu secara diam-diam, habis
itu aku lantas minum racun yang paling jahat menyusul
ayahmu, dengan demikian dapatkah memuaskanmu?"
Karena itu Lan-cu menjerit tajam dan kembali memeluk
erat sang ibu. "O, kenapa kau berkata demikian?" ratapnya pula. "Kau
anggap aku sebagai puterimu atau pandang aku sebagai
musuhmu" Caramu bicara seakan-akan aku hendak menuntut
balas padamu dan supaya kau menemui ajalmu!"
Onghui memandang puterinya ini dengan mata tak
berkedip, tiba-tiba ia berseru, "Matamu, sungguh matamu ini
sangat mirip ayahmu!"
Mendadak Lan-cu menyobek baju dalamnya dan
mengeluarkan surat berdarah yang sudah disimpannya sekian
tahun terus disodorkan pada Onghui. "Ini adalah surat ayah
yang ditujukan padaku dan padamu, memangnya ayah
menghendaki aku serupa dia!"
Tergetar seketika tubuh Onghui melihat surat darah itu,
perasaannya bergolak bagai ombak mendampar, dengan
gemetar ia membuka sampul surat itu dan membaca, ia lihat
surat itu tertulis :
Po-cu pu teriku,
Di kala surat ini kau baca, tentu kau sudah dewasa.
Ayahmu bernama Njo Hun-cong dan ibumu bernama Nilan
Ming-hui. Ayahmu adalah pejuang melawan pemerintah Jing,
sedang ibumu adalah permaisuri Pangeran musuh. Hari ajal
ayahmu justru adalah hari ibumu menikah lagi. Ibumu adalah
bangsawan kerajaan, ia menikah lagi atas desakan orang tua,
hal ini tak bisa menyalahkan dia. Tapi yang dinikahinya itu
adalah musuh bangsa kita, algojo kaum penjajah. Kalau kau
sudah tamat belajar ilmu pedang kita, harus dengan
tanganmu sendiri kau bunuh binatang itu untuk membalas
sakit hati ayahmu dan membasmi musuh negara.
Bila bertemu ibumu, serahkanlah surat ini agar dia tahu
bahwa ayahmu bukan tidak ingin dia menikmati kesenangan di
hari tua, tetapi soal sakit hati bangsa dan dendam keluarga
tidak bisa dibiarkan.
Hal lain yang kau tidak paham boleh kau tanya Suco (kakek
guru) dan paman yang membawa kau ke atas gunung ini.


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ayahmu, pada sebelu ajalnya.
Tak tertahankan lagi Onghui menangis sedih. "O, Po-cu aku
toh tidak menyalahkan ayahmu menyuruh kau
membunuhnya!" demikian ratapnya.
Karena kata-kata Onghui ini, tiba-tiba mata Lan-cu
bersinar. "Betulkah, ibu, betulkah kau tidak menyalahkanku?"
tanyanya cepat.
Seketika Onghui merasa ngeri, bayangan To Tok yang
bermandi darah dan tertawa seram sebelum menghembuskan
napas penghabisan itu seakan-akan terlihat di antara kaca air
matanya. Segera ia pun teringat pada janjinya yang pernah
dikatakan pada To Tok, "Jangan kau celakai dia dan aku pun
menyuruh dia jangan mencelakaimu!" Ya, ia memang tidak
menyalahkan puterinya tetapi sedikitnya ia pun menyesalkan
cara mereka saling bunuh.
"Ya, anakku, mana bisa aku menyalahkanmu?" katanya
kemudian lirih. "Tetapi sudah cukup banyak darah mengalir,
sungguh aku tidak ingin darah mengalir lebih banyak lagi."
"Darah sudah cukup mengalir?" sambung Lan-cu tertawa
dingin. "Berapa banyak darah bangsa Han kami telah
mengalir" Tapi Rajamu dan Panglimamu masih akan membikin
darah kami mengalir terus! Namun darah kami pun tak nanti
mengalir percuma. Darah ayahku membasahi tanah Hangciu,
darah suamimu lantas menyirami Se-san. Besok, darahku
mengalir dalam penjara ini, lusa, darah orang Boanciu yang
lebih banyak pasti akan membasahi tanah ibu-kota ini!"
Sungguh kata-kata Ie Lan-cu yang bersemangat ini seakanakan
suatu kemplangan bagi Onghui, dengan terperanjat ia
memandang puterinya ini. Puteri yang dirindukannya siang
dan malam selama 18 tahun dan kini sudah berada di
hadapannya ini, rasanya begitu mesra, tapi seperti begitu
asing juga baginya! Tempat mereka seperti berada dalam
dunia yang berlainan, ia tak memahaminya, di antara jiwa
mereka pun seakan-akan terpisah oleh selapis tirai!
Ia mendengarkan isi hati puterinya yang penuh sesal dan
benci itu dituang keluar bagai air terjun yang menggerujuk, ia
terperanjat dan pedih pula, pikirannya rada pening dan tubuh
sedikit gemetar, mendadak ia memeluk puterinya lagi terlebih
erat dan meratap, "Kau adalah anakku, kenapa kau
membedakan antara 'kami' dan 'kamu', kau adalah darah
dalam darahku, daging dari dagingku, kau dan aku adalah
satu tubuh jua!"
Tiba-tiba Lan-cu tertawa, bukan tertawa dingin, tapi
tertawa girang, tertawa sesungguhnya, ia menempelkan
mukanya ke dada sang ibu dan berkata, "Sungguhkah kau
begini cinta padaku, ibu" Bersediakah kau menjadi orang
kami?" Dan sebelum Onghui paham maksud kata-kata Lan-cu,
dengan cepat ia sudah berkata, "Ya, sudah tentu, apalagi yang
kau ragukan atas diriku?"
"Kalau begitu, marilah kau pergi ikut aku!" kata Lan-cu
cepat. "Bukan kau membawa aku pergi, ibu, tapi kau ikut
pergi denganku, pahamkah ibu" Sekarang Leng-tayhiap dan
kawan-kawan pasti sedang berdaya untuk menolongku, maka
lekas kau pergi ke sana, aku nanti akan memberitahukan
tempat tinggal mereka, dengan bantuanmu pasti mereka
dapat menolongku lolos. Kecuali kalau aku tak bisa
melewatkan esok, bila tidak, kau masih ada kesempatan buat
menolongku lolos!"
Sesaat itu Onghui serasa berkunang-kunang. "Ikut pergi
denganmu?" tanyanya kemak-kemik. Sungguh tak pernah
terlintas dalam pikirannya tentang soal ini, ia adalah seorang
Onghui, mana bisa ia menggabungkan diri dengan bangsa Han
yang asing baginya untuk melawan bangsa sendiri"
Dan karena ragunya itu, cepat Ie Lan-cu sudah berubah
lagi wajahnya. "Sedikitpun aku tidak memaksamu, ibu.
Memang akulah yang terlalu, pikiranku tadi yang masih
kekanak-kanakan! Memang, kalau kau bersedia ikut pergi
denganku, 18 tahun yang lalu kau sudah ikut pergi dengan
ayahku. Aku tak menyalarikanmu, ibu! Dan kau pun sukalah
jangan menyesalkan aku! Kini sedikit, sectikpun aku tak
memerlukan bantuanmu lagi. Nah, lekaslah kau pergi saja!
Kamar penjara ini terlalu kotor bagimu!" Habis ini, ia pun
membisu dalam seribu basa. Keadaan menjadi sunyi.
Akhirnya terdengar Onghui terisak pelahan, banyak sekali
yang ingin dia katakan lagi, bahkan disanggupinya bersedia
ikut pergi bersama puterinya ini, namun Lan-cu sudah seperti
gagu, sepatah kata pun tak menjawabnya!
Sesaat itu perasaan Onghui lebih menderita daripada mati,
sungguh sama sekali tak diduganya bahwa hati puterinya ini
bisa begitu keras melebihi ayahnya. Tiba-tiba tangannya
menyentuh sesuatu, cepat ia berseru, "Po-cu, nih, ada sesuatu
ingin kuberikan padamu!"
Tapi sikap Ie Lan-cu masih tetap serupa, ia menutup muka
dengan tangannya, tiba-tiba dari sela-sela jarinya tampak
sorotan cahaya berdarah, ternyata tangan Onghui memegang
sebilah pedang pendek yang mengkilap dan noda darah To
Tok yang masih melengket di atas mata pedang itu belum
dilap bersih. "Ini adalah pedang ayah," teriak Lan-cu mendadak
meloncat. "Ya, memang inilah pedangnya," kata Onghui sedih. "Ketika
untuk pertama kalinya aku bertemu dia, ia jatuh pingsan di
luar kemahku karena serangan angin puyuh, dan justru karena
pedang inilah aku telah menolongnya. Tempo hari kau
melakukan pembunuhan di atas Ngo-tai-san, begitu
pedangmu kau tusukkan ke dalam joli, sekilas segera aku
mengenali dan menduga pasti kau adalah anakku!"
Ya, Pokiam atau pedang pusaka 'Toan-giok-kiam' itu
seakan-akan merupakan saksi bagi segala suka-duka dan
mati-hi-dup sekeluarga Ie Lan-cu yang semuanya ada
hubungannya dengan pedang itu, ia pernah mendampingi Njo
Hun-cong berjanji setia dengan Nilan Ming-hui di padang
rumput, ia pernah melindungi Njo Hun-cong sampai detik
terakhir dan Leng Bwe-hong telah menggunakannya sebagai
tanda bukti untuk membawa Ie Lan-cu ke Thian-san dan
paling akhir Lan-cu menggunakannya mengakhiri nyawa To
Tok. Justru pada hari To Tok dibunuhnya itu, karena Lan-cii
melihat ibunya hingga tanpa terasa pedangnya terjatuh ke
tanah Ketika ia mengenangkan semua sanak-kadang dalam
penjara, pernah juga terpikir olehnya akan pedang pusaka ini.
Tetapi kini. ibunya telah menyerahkan kembali pedang itu
padanya, hal ini malah membikin dia menjadi ragu.
"Simpanlah pedrng ini, mungkin ada gunanya bagimu,"
demikian kata Onghui pelahan. "Kalau Leng-tayhiap dan
rekan-rekannya datang lagi menolongmu, dengan pedang ini
akan lebih gampang juga buat meloloskan diri."
Lan-cu paling cinta pada ayahnya, oleh sebab sangat cinta
pula pada pedang pusaka ini. Tapi saat ini, mendadak ia
malah merasa benci, bukan benci pedang ini, tapi benci
ibunya. "Ia menyuruhku menyimpan pedang ini dan
menunggu Leng-tayhiap datang menolongku, ini berarti bukan
saja ia tak bersedia ikut aku pergi, bahkan tak sudi lagi
berdaya menolong diriku," demikian ia berpikir. Ia tidak
mengharapkan pertolongan ibunya ini, cuma lubuk hatinya
yang dalam itu sesungguhnya sangat haus akan cinta-kasih
ibu, ia merasa penderitaan selama 18 tahun ini seharusnya
bisa memenangkan cinta ibu keseluruhannya.
Tetapi harapan yang terlalu muluk, kecewanya pun lebih
mudah. Memang itu adalah semacam perasaan yang luar
biasa ruwet dan campur-aduk. Namun ia tak tahu, bahwa
pada waktu ibunya mengucapkan kata-katanya tadi, dalam
hatinya sudah mengambil suatu keputusan yang pasti.
"Aku tak mau. Setiap orang kami adalah sebilah pedang
pendek semua, pedang pendek yang membikin keder bangsa
Boanciu kalian!" demikian teriak Lan-cu kemudian. "Pedang ini
biarlah kausimpan sendiri saja, agar bila kau melihatnya akan
lebih ingat pada ayah." Habis itu kedua tangannya menutup
kepalanya lagi dan tersedu-sedan, kembali ia tak menggubris
sang ibu lagi. Sementara itu suara tindakan orang di luar berkumandang
pula, ada orang sedang mendesak, "Pwelek menanyakan
keadaan Onghui, Hongsiang juga mengirim orang
menanyakan apakah Ong-hui sudah selesai memeriksa?"
Lekas Onghui menyahut sekali, lalu dikeluarkannya
saputangan lain yang kering dan mengusap air mata puterinya
pelahan. Ketika ia bangkit berdiri, saputangannya jatuh ke
lantai tanpa terasa olehnya. "Po-cu, jagalah dirimu baik-baik,
pahamkah kau?" demikian pesannya paling akhir.
Sesaat itu hati Lan-cu bagai disayat-sayat, hancur luluh!
Api lilin pelahan mulai guram, lilin besar yang dibawa
Onghui itu hanya tinggal beberapa senti saja dan sedang
memancarkan sinarnya yang lemah, lilin yang lumer di lantai
men-ciptakan peta bumi lorang-loreng yang tak beraturan,
Onghui berhenti menangis, ia memandang Lan-cu sekejap
untuk yang penghabisan kalinya, lalu dengan kaku ia
membalik tubuh dan berjalan menuju pintu kamar penjara.
"Aku paham, ibu, ini bukan salahmu!" demikian dengan
lembut Lan-cu berkata sambil menghela napas. Tapi terlalu
lirih suaranya hingga hakikatnya tak terdengar oleh Onghui.
Api lilin itu sudah habis terbakar, sinar lilin mendadak sirap,
dan pada saat itulah Onghui pun sudah melangkah keluar
pintu penjara, dalam penjara hanya ketinggalan kegelapan
yang sunyi dan hampa.
Mendadak Lan-cu meloncat bangun. "Ibu, marilah kita
saling memaafkan! Ibu, kembalilah, ibu! Ibu ibu!"
Tapi pintu penjara sudah tertutup rapat, ibunya tak akan
kembali lagi! Dengan perasaan kosong Lan-cu memandang
sekitarnya, dalam kegelapan itu dirasakannya seakan ada
berbagai setan buas yang lagi menubruk ke arahnya, ia
menjerit dan roboh, dalam hati ia paham, tamatlah segalanya.
"Tamatlah segalanya!" demikian jerit hati Onghui, tatkala
itu ia sudah berada di rumahnya dan lagi mondar-mandir di
dalam kamarnya dan sedang mengeluarkan jeritan hatinya
yang putus asa!
Di tengah kamar tergantung lukisan To Tok, sepasang mata
To Tok itu seakan sedang memandang padanya, ia melolos
pedang pendek itu, bayangan Njo Hun-cong seakan muncul
juga di antara sinar pedang itu dan seperti juga sedang
melotot padanya. Onghui menjerit, ia mendekap mukanya.
Dalam kegelapan, bayangan puterinya itu seakan muncul juga
di kelopak matanya dan juga seperti lagi mendelik padanya.
Tiba-tiba ia mementang kedua tangannya, pedang pendek
itu pelahan diangkatnya mendadak terdengar gedoran pintu
yang riuh, ada pelayan sedang melapor di luar, "Nilan-kongcu
mohon bertemu Onghui!"
"Dia" Kenapa pada saat demikian ini minta bertemu?"
demikian Onghui membatin.
Nilan Yong-yo adalah keponakan Onghui yang paling
disayang dan merupakan orang yang paling cocok pula
dengannya. Sebenarnya tak ingin ditemuinya siapa-siapa lagi,
tapi Nilan Yong-yo di luar pembatasan ini. "Baiklah, biar aku
bertemu sekali lagi dengannya," kata Onghui akhirnya
menghela napas.
Waktu pintu kamar dibuka, ia lihat Nilan Yong-yo sedang
naik ke atas loteng dengan pelahan dan kacung pelayannya
menunggu di bawah.
Sesudah duduk berhadapan, keduanya sama-sama terkejut
sekali. Yong-yo terkejut karena bibinya yang merupakan
wanita tercantik bangsanya kini mendadak sudah bertambah
tua beberapa puluh tahun, pula kedua matanya merah bendul,
terang tidak sedikit orang telah mencucurkan air mata.
Sebaliknya yang membikin Onghui terkejut ialah
keponakannya yang namanya tersohor di seluruh negeri ini
tahu-tahu sudah kehilangan sikapnya yang tenang ganteng
itu, sebaliknya wajahnya putih pucat, di waktu mengangkat
cangkir teh tangannya pun rada gemetar.
"Baikkah kau, Yong-yo" Ada urusan apakah?" tanya Onghui
pula. "Sam-moaymoay telah mati!" kata Yong-yo berbangkit
mendadak hingga air teh menciprat ke lantai. Dengan suara
gemetar dan tergoncang ia memberitahukan berita buruk ini.
"Sam-kiongcu telah mati?" dengan kaku Onghui menegasi,
dengan sinar matanya yang terpaku ia memandang keluar
jendela. Ya. berita ini datangnya terlalu mendadak, memang
tekanan batinnya sudah cukup berat, kini ditambah lebih
antap lagi juga tak begitu kelihatan.
"Sam-moaymoay mati gantung diri," dengan suara berat
Yong-yo menyambung lagi.
"Mati gantung diri?" Onghui mengulangi pula, suaranya tak
lancar. "Tapi kenapa Sam-kiongcu membunuh diri?"
"Bukan bunuh diri, tapi dipaksa mati oleh Hongsiang!" kata
Yong-yo cepat. "Aku menduga, soalnya ada hubungannya
dengan 'penyamun wanita' dari Thian-san itu!" ketika ia
berkata sampai 'penyamun wanita' mendadak Onghui menjerit
hingga Yong-yo memandang sang bibi ini dengan heran dan
terkejut, lalu ia pun menyambung pula, "Apakah kau tak tahu"
Pada hari kau menghadap Hongsiang itulah dalam istana telah
dibikin geger oleh seorang Lihiap (pendekar wanita), seorang
pengawal pribadi Hongsiang malahan terbunuh dan ada lagi
dua orang yang semaput kena pasir beracun, dan karena
terlambat ditolong, kemudian pun mati." Dalam hati Onghui
cukup terang, ia tahu 'Lihiap' itu pasti 'Kiongli' yang ikut keluar
istana atas hadiah Khong-hi dan menjadi kawan puterinya itu.
Ia pun sangat heran, mengapa Yong-yo menyebut 'Lihiap'
padanya, sebaliknya menyebut puterinya itu sebagai
'penyamun wanita'. Karena itu, ia lantas bertanya, "Darimana
kau bisa tahu ia adalah wanita?" Dengan pedih Yong-yo
memandang Onghui, mendadak dengan lagu suara yang cepat
sekali ia menjawab, "Kokoh (bibi) kita adalah orang sendiri
dan segalanya serba terus terang, biarlah kuceritakan,
pendekar wanita itu akulah yang membawanya masuk istana,
ia bernama Boh Wan-lian, malahan katanya puteri Tang-okhui
almarhum. Siapa nyana aku membawanya masuk istana
sebaliknya telah membuat celaka Sam-moaymoay! Kokoh,
maafkan kalau aku boleh bertanya 'penyamun wanita' yang
dikerangkeng di penjara itu apa bukan orang terdekat dan
terapat denganmu?" Seketika tubuh Onghui seakan-akan kaku
kejang, lama dan lama sekali baru ia mendongak. "Baiklah,


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kini aku pun tak perlu membohongi kau, ia adalah puteriku!"
sahurnya kemudian pelahan. "Aku sudah bisa menerkanya!"
Pendekar Sadis 20 Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Duri Bunga Ju 7

Cari Blog Ini