Ceritasilat Novel Online

Bu Kek Kang Sinkang 6

Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Bagian 6


"Apa yang harus kau lakukan?" tanya Buyung Hong tertarik.
"Bertemu dengan gadis itu disebuah tempat"
"Dimana?"
"Aku tidak dapat menyebutnya. Karena hal itu menyangkut nama baikku"
Buyung Hong kembali terdiam. Nama baik merupakan hal yang sangat peka bagi
kalangan persilatan. Ia enggan mendesak.
Setelah termenung sejenak, ia bertanya lagi:
"Apa yang bakal terjadi, jika kau tidak melakukan perintah surat itu?"
"Seribu tahil emas itu tetap milikku. Perintah itu tidak bersifat paksaan, aku bebas menentukan pilihan"
Buyung Hong menghela napas. Timbul juga rasa kagumnya kepada otak
perencana yang misterius itu.Dengan seribu tahil emas, orang itu memancing
perhatian Khu Pek Sim.Tentu saja cara ini jauh lebih efektif dibanding dengan cara paksaan.
Walau surat itu menyatakan bebas menentukan pilihan, tapi sebenarnya isi surat itu sudah memperhitungkan, Khu Pek Sim pasti akan melakukan perintah itu.
Bukan dikarenakan uangnya melainkan disebabkan rasa ingin tahunya. Nampak
sekali orang misterius itu, paham sekali sifat sifat manusia. Terutama sifat yang mirip mirip keledai. Dipaksa enggan, jika dibiarkan malah bergerak sendiri.
Selain kuatir, timbul juga rasa cemas dihati Buyung Hong atas kehebatan lawan.
"Siapa nama gadis itu?" tanya Buyung Hong memecah kesunyian.
"Aku tidak tahu namanya. Aku tidak bertanya padanya, dan ia juga tidak menerangkan"
Buyung Hong mengerutkan keningnya. Jawaban seperti ini tidak bisa dianggap
sebuah jawaban.
"Apakah gadis itu mempunyai sebuah ciri?"
"Gadis itu boleh dibilang cantik sekali"
Buyung Hong menghela napas,
"Memang sedikit gadis yang bisa dibilang cantik. Tapi jumlahnya bisa mencapai ribuan banyaknya" katanya sambil tersenyum pahit.
Khu Pek Sim termenung sebentar. Katanya kemudian:
"Ketika gadis itu menyerahkan kotak yang berisi benda itu. Sempat kuperhatikan, di punggung tangan kirinya terdapat tiga tahi lalat yang berbentuk segi tiga"
"Aku tidak akan bertanya padamu tempat dimana kau bertemu dengannya. Tapi sedikitnya kuperlu tahu, apakah kau bertemu gadis itu disekitar kota Lok Yang?"
Khu Pek Sim berpikir sejenak sebelum menjawab:
"Tidak disekitar melainkan dikota Lok Yang"
"Kau setuju mengantar benda itu, apakah disebabkan oleh lima ribu tahil emas?"
Khu Pek Sim menatap Buyung Hong dengan tatapan aneh, katanya:
"Lima ribu tahil emas dibayar hanya jika aku bertemu dengan gadis itu. Untuk pengawalan benda itu, aku menerima sebuah gin-bio bernilai dua laksa tahil
emas" Buyung Hong bersiul,
"Jumlah uang yang tidak sedikit!"
"Benar! Aku memang berniat untuk berpensiun setelah selesai menghantar benda itu. Hanya satu hal yang diluar dugaanku"
"Apa yang diluar dugaanmu?" tanya Buyung Hong cepat.
"Kepalaku menjadi pusing. Dunia seperti berputar, dirimu kulihat seperti menjadi dua orang"
Bingung juga Buyung Hong mendengar ucapan Khu Pek Sim yang tidak karuan.
"Aku tidak paham perkataanmu. Kenapa kau berbicara seperti seorang yang terkena gejala racun Ngo Tok Kauw?"
"Sebab sekarang kepalaku memang keleyengan, dirimu sekarang malah kulihat menjadi empat orang" kata Khu Pek Sim dengan suara melemah.
Pandangan mata Khu Pek Sim menjadi gelap, ia seperti mendengar teriakkan
Buyung Hong yang seperti memanggil namanya.
Butiran keringat sebesar jagung, keluar deras dari wajah Tan Leng Ko yang
sedang berkutet mengerahkan tenaga dalam.
Matanya terpejam, tangannya menempel di nadi penting tubuh Mo Tian Siansu
yang sedang bersila didepannya. Dibantu oleh Tan Leng Ko, bhiksu itu sedang mengatur pernafasan mencoba menyembuhkan luka dalamnya.
Luka Mo Tian Siansu nampak tidak ringan! Darah kental masih menetes dari
ujung bibirnya. Sukar bagi bhiksu itu untuk memusatkan perhatiannya. Beberapa nadi pentingnya tersumbat, pusat pengendalian tenaga saktinya macet, tidak
dapat digerakkan. Walau sudah dibantu oleh Tan Leng Ko tapi usahanya seperti sia sia. Tenaga dalamnya seperti masuk ke dalam jurang, tenggelam begitu saja tidak berbekas.
"Hen...hentikan!" ucap Mo Tian Siansu lemah.
Perlahan Tan Leng Ko membuka matanya, ia melihat bhiksu itu menggeleng
kepalanya satu kali. Tan Leng Ko memaklumi maksud Mo Tian Siansu agar ia
tidak memghamburkan tenaga dalamnya dengan percuma.
Dengan menggigit bibir, Tan Leng Ko mengempos semangat mengerahkan
sembilan bagian tenaganya hingga tangannya gemetaran menahan arus tenaga
yang dahsyat tapi juga terkontrol alirannya.
Mo Tian Siansu mengerut alisnya menahan sakit, segulung tenaga panas keluar dari tangan kiri pemuda itu sedangkan tangan kanannya keluar hawa sedingin
es. Bagian kanan tubuh Mo Tian Siansu menggigil kedinginan sedangkan
sebagian lain melepuh kepanasan. Tubuhnya tersiksa bukan main!
Tanpa disadarinya, Mo TIan Siansu mengeluh perlahan, perutnya bergejolak,
darah merah kehitaman muntah dari mulutnya menyiram sebagian wajah Tan
Leng Ko. Disusul bhiksu itu terkulai tak sadar diri.
Khu Han Beng yang sedari tadi berdiri diam dikamar Mo Tian Siansu cepat
bergerak, menotok kaku tubuh bhiksu itu yang masih dalam posisi bersila hingga tidak terjatuh dari tempat tidur.
"Jika tidak lekas ditolong, ia akan tewas" gumam Tan Leng Ko sedih.
"Haruskah kita menolongnya?" tanya Khu Han Beng perlahan.
Terkejut bukan main Tan Leng Ko mendengar ucapan itu.
"Tidakkah kau ingin menolong susiokmu?" bentaknya marah.
Melihat toakonya melotot dengan geram, Khu Han Beng menunduk kepala.
Sahutnya perlahan:
"Jika ia tidak tertolong, aku hanya melihat dari segi baiknya"
"Mana ada segi baiknya jika susiokmu tewas!"
"Aku tidak usah ikut dengannya. Kuingin lekas pergi mencari yaya"
Tan Leng Ko menarik nafas sambil termenung. Bocah ini tidak ingin sekarang
pergi ke Siaulimsi, ingin cepat pergi menolong kakeknya. Jika disuruh memilih jiwa siapa yang lebih penting baginya, tentu mudah ia menentukan pilihannya.
Bagaimanapun juga, Khu Han Beng masih seorang bocah yang cenderung
mementingkan diri sendiri, ketimbang memperhatikan keselamatan orang lain.
Walau Mo Tian Siansu adalah paman gurunya, tapi diantara mereka belum
terjalin ikatan batin, malah baru saja kenal.
Dengan muka serius, Tan Leng Ko menatap tajam Khu Han Beng.
"Sebelum kau dilahirkan, yayamu telah berkelana di dunia kangouw puluhan tahun, beliau dapat menjaga dirinya sendiri. Kau tidak harus menjadi seorang pendekar, tapi kau juga tidak boleh membiarkan seseorang tewas tanpa
memberi pertolongan, mengerti!"
Khu Han Beng kembali menundukkan kepala, mengiakan. Diam diam Tan Leng
Ko menghembuskan nafas lega bercampur heran. Baru pertama kali, tak terasa
ia telah menghardik bocah ini. Diluar dugaannya, bocah sakti yang beradat aneh yang tidak gemar mendengar nasehat, seperti dapat menerima ucapannya.
Lama mereka berdua terdiam. Akhirnya Khu Han Beng memecahkan
keheningan. "Aku tidak paham ilmu pengobatan, tapi dapat kulihat luka dalamnya parah sekali, beberapa urat nadinya tersumbat. Kita mungkin tidak mampu
menolongnya"
Mendengar ucapan Khu Han Beng, mata Tan Leng Ko seperti mencorong
terang. Serunya tak terasa:
"Ada yang mampu menolongnya"
"Siapa?"
Tan Leng Ko tidak lekas menjawab, tanyanya perlahan:
"Dimana suhumu?"
"Aku tidak tahu"
"Kau tidak tahu?" tanya Tan Leng Ko heran.
"Kuterlambat menyambut orang Bwe Hoa Pang, justru karena pergi mencari suhu di goa bukit belakang. Beliau tidak berada disana"
"Bagaimana caramu berhubungan dengannya?"
"Apakah ini pertanyaan toako yang keenam"
Pertanyaan Khu Han Beng menyudutkan Tan Leng Ko. Selagi ia menimbang
apakah sekarang saat untuk menggunakan jatah bertanyanya yang terakhir,
untung Khu Han Beng kembali bertanya:
"Tahukah toako, kenapa pertanyaanmu dibatasi?"
"Aku memang sedang heran soal itu" gumam Tan Leng Ko perlahan.
"Guruku beranggapan, jika toako tidak diberi kesempatan bertanya, tentu akan mencoba menyelidiki sendiri dan bisa mengacaukan urusan. Sedangkan jika
dibolehkan bertanya, sebagai lelaki sejati, tentu akan menepati janji dan dapat menahan rasa ingin tahu"
Tan Leng Ko hanya dapat menyengir, sambil menyeka mukanya yang kotor, ia
berujar: "Gurumu paham sekali sifat manusia. Beliau dapat menerka dengan tepat"
Khu Han Ben tertawa perlahan, katanya:
"Beliau juga telah menerka, toako akan memilih enam pertanyaan"
"Darimana beliau bisa menerka dengan tepat?" seru Tan Leng Ko tak percaya.
"Sebab beliau tahu, toako ditolong oleh yaya pada bulan keenam, juga toako
lama menguasai enam jurus Ouw Yang Ci To. Sebagai seorang yang percaya
dengan nasib mujur. Oleh suhu, toako dianggap percaya dengan angka
kemujuran. Dan angka enam beberapa kali muncul dikehidupan toako"
Tan Leng Ko menggerutu "guru Khu Han Beng benar benar bukan seorang
manusia" omelnya dalam hati.
"Bagaimanapun juga urusan ini urusan rumah tangga guruku, janggal rasanya jika toako hendak mencampuri" lanjut Khu Han Beng.
"Aku harus mencampuri karena aku benar benar menganggapmu sebagai
adikku. Aku tidak ingin ia mengajarmu untuk mencuri"
"Mencuri" Aku belum pernah mencuri" seru Khu Han Beng heran.
"Kau memang hanya membantunya menyalin, tapi gimanapun juga kitab kitab aslinya merupakan hasil curian gurumu"
"Guruku tidak mencuri, beliau hanya meminjamnya sebentar"
"Kata lain dari mencuri adalah meminjam dengan tidak berniat mengembalikan"
kata Tan Leng Ko seraya tertawa pahit.
"Justru guruku berniat mengembalikan dan telah mengembalikan dengan tepat waktu. Malah telah mengembalikan kitab lain yang bernilai lebih hebat dari apa yang diambilnya" bantah Khu Han Beng.
Kembali Tan Leng Ko merasa dirinya terpojok. Tanyanya kemudian:
"Kenapa suhumu melakukan hal itu?"
"Aku pernah bertanya, dan suhu enggan menjawab"
Tan Leng Ko menarik napas dalam dalam.
"Sudahlah. Aku hendak mencari suhumu bukan untuk membicarakan hal ini, melainkan kuyakin belau mampu menyembuhkan susiokmu"
"Setahuku, suhu tidak begitu paham ilmu pengobatan"
"Darimana kau tahu?"
"Sebab aku tidak pernah diajari"
"Salinan kitab sebanyak itu dikamarmu?"
"Hanya menyinggung ilmu silat, tidak ada satupun yang mengandung ilmu
pengobatan... Aku akan minta ijin pada suhu agar toako diperkenankan untuk
mempelajari kitab kitab itu"
Setelah tertawa senang, Khu Han Beng kembali berkata:
"Kuyakin suhu akan mengijinkan"
"Kenapa?" tanya Tan Leng Ko tak tahan.
"Karena suhu sangat sayang padaku dan jarang menolak keinginanku. Setelah aku mengutungi tangan gadis Bwe Hoa Pang tempo hari, suhu menegur dan
melarangku ikut campur. Aku ngotot dan memaksanya. Urusan Lok Yang
Piaukiok juga urusanku, tidak mungkin aku tinggal diam. Akhirnya suhu
mengalah, hanya aku dilarang menunjukkan diri jika tidak terpaksa"
Sudah dua kali, Tan Leng Ko mendengar bocah itu mengatakan suhunya yang
bagaikan naga sakti bersembunyi sangat sayang dan jarang menolak
keinginannya. Tan Leng Ko percaya. Yang ia diam diam heran, biasanya
seorang murid patuh terhadap gurunya, kenapa kedengarannya seperti guru
yang patuh pada muridnya"
Pikirannya melayang mengingat pengalamannya bercakap cakap dengan guru
Khu Han Beng. Bukankah menurut beliau, hanya dua orang yang mampu mengalirkan tenaga
sakti yang tidak putus di dua belas jalan darah" Bahkan Goan Kim Taysu pun
masih belum mempunyai kemampuan itu. Siapa di dunia persilatan dewasa ini
yang mempunyai kemampuan lebih dari Goan Kim Taysu"
Tiba tiba Tan Leng Ko memandang Khu Han Beng dengan pancaran sinar mata
yang aneh. Dipandang sedemikian rupa oleh toakonya, Khu Han Beng menggaruk
kepalanya yang tidak gatal.
Mendadak Tan Leng Ko bertanya:
"Ilmu Bu Kek Kang Sinkang yang kau pelajari, adakah sebuah cara untuk
mengalirkan tenaga sakti yang tidak putus, yang dapat meliuk dari daya lurus untuk mencapai dua belas jalah darah di lengan, dada, punggung dan
sebagainya"
Khu Han Beng terpekur sejenak sebelum menjawab:
"Yaa, memang ada"
Sambil menghela napas lega, Tan Leng Ko berkata:
"Kuyakin kau mampu menyembuhkan susiokmu"
Giliran Khu Han Beng menatap Tan Leng Ko dengan bengong:
"Aku tidak tahu caranya"
"Lakukan saja seperti apa yang kupinta. Kujamin tidak bakal salah"
Khu Han Beng menghela napas dalam dalam, akhirnya mengangguk:
"Aku memerlukan sesuatu, sebentar kupergi" selesai berkata tubuhnya berkelebat.
Tak lama kemudian, ia kembali dengan tangan memegang sebuah dahan kecil
yang diujung ujung rantingnya terdapat banyak daun daun segar.
Khu Han Beng meletakkan dahan itu ke lantai setelah memetik dua belas helai daun, dan seperti bermain sulap, ia menggerakkan kedua tangannya dalam
bentuk lingkaran.
Dua belas helai daun tersebut seperti digerakkan tenaga yang tak berwujud,
bergerak gerak, menari di udara kemudian melayang, hinggap di tubuh Mo Tian Siansu tepat di dua belas jalan darah.
Tan Leng Ko terkesima melihat pemandangan yang luar biasa. Aliran udara yang bergetar halus seperti ditengah terik matahari, keluar dari tangan Khu Han Beng, meliuk dan mengalir tidak putus ke daun daun yang menempel ditubuh Mo Tian
Siansu. Entah berapa lama hal ini telah berlangsung, Tan Leng Ko tidak tahu, hanya
suasana kamar menjadi gelap, tanpa melirik keluar jendela kamar, iapun tahu malam telah menjelang tiba.
****************************
Beberapa hari telah lewat tanpa terasa, angin utara bertiup makin kencang dan
semakin dingin.
Hanya dalam hitungan hari, cuaca berubah secara drastis. Awan mendung
menutup matahari hampir setiap hari, pepohonan meranggas tanpa daun seperti mati tanpa kehidupan.
Sudah tidak terdengar lagi kicauan burung, hanya suara sumbang burung gagak yang berkaok dengan suara seraknya yang nyaring. Ciri musim dingin sudah
hampir tiba. Tidak banyak yang dilakukan oleh Tan Leng Ko selama beberapa hari ini. Selain berlatih 13 jurus Ouw Yang Ci To, ia juga menemani Khu Han Beng mengobati
Mo Tian Siansu tanpa sepengetahuan bhiksu itu.
Ketika Mo Tian Siansu sadar dari pingsannya, keadaannya sudah tidak terlalu gawat. Perawatan atas dirinya diserahkan kepada tabib di Lok yang Piaukiok.
Walau kesehatan Mo Tian Siansu belum sembuh benar, pagi hari ini ia bertekad dirinya dan Khu Han Beng harus segera berangkat. Segala usaha untuk
merubah niat bhiksu itu ternyata sia sia. Hanya satu hal yang ia setuju, Mo Tian Siansu yang gemar berjalan kaki, akhirnya dapat dibujuk untuk mengendarai
kuda dengan alasan agar lekas sampai di Siaulimsi.
Dua kuda segar dan gagah sudah disiapkan, bahkan Khu Han Beng telah duduk
dengan tenang diatas kudanya. Tan Leng Ko yang berdiri disamping bocah itu
berkata perlahan:
"Kutahu kau tidak gemar nasehat, tapi sebagai toakomu, ingin kukatakan satu hal padamu"
Khu Han Beng menatapnya sambil tersenyum.
"Kau belajar baik baik disana"
"Jangan kuatir, aku akan belajar baik baik disana. Sebaik apa yang telah kubelajar dari toako" sahut Khu Han Beng sambil mengedip mata.
"Kau terbalik mengatakannya, selama ini aku yang belajar darimu" kata Tan Leng Ko heran. Ia merasa tidak pernah mengajari sesuatu pada bocah ini.
Khu Han Beng kembali tersenyum, bahkan rada misterius,
"Kau jaga dirimu baik baik Tan toako. Terutama kepalamu... Jangan sampai dikerjain orang lagi" kata Khu Han Beng sambil mengedipkan mata.
Bingungnya juga Tan Leng Ko dengan kelakuan Khu Han Beng. Terakhir kali ia
melihat bocah ini berlaku begitu, botak kepala Giok Hui Yan digunduli olehnya.
Nampaknya bocah ini mempunyai kebiasaan. Setiap kali ia mengedipkan mata,
tentu ada perbuatan jahil yang telah ia kerjakan, hanya Tan Leng Ko tidak dapat menerka.
Baru saja ia mau bertanya, Hong Naynay datang dengan tergopoh gopoh
menghampiri Beng-Sauyanya. Lekas Tan Leng Ko menyingkir ke samping, ia
tidak ingin ditabrak oleh perempuan gembrot itu yang berjalan kearahnya sambil melotot.
Khu Han Beng menerima bungkusan makanan dari tangan Hong Naynay dan
memasukkannya ke dalam tas.
"Kau jaga dirimu baik baik, nak. Kau belajar hingga menjadi orang baik dan pandai, tidak licik seperti dia" jari Hong Naynay yang gemuk, pendek menunding ke hidung Tan Leng Ko.
Yang ditunding hanya menyengir, seperti biasa, enggan meladeni Hong Naynay.
Hanya terbesit sebuah perasaan dihati Tan Leng Ko mendengar ucapan Hong
Naynay yang bagi pendengarannya bermakna dalam.
Mendadak Tan Leng Ko melenggong. Ia sudah tidak mendengar lagi percakapan
Hong Naynay dengan Khu Han Beng yang membungkuk badan dari kudanya,
seperti membisikkan sesuatu ke telinga Hong Naynya.
Ada semacam pikiran aneh dibenak Tan Leng Ko. Tiba tiba ia mengerti kenapa
Khu Han Beng disuruh oleh suhunya belajar ke Siaulimsi walau bocah itu
memiliki kesaktian yang lebih tinggi tingkatannya dari Goan Kim Taysu!
Tak terasa Tan Leng Ko tertawa terbahak bahak, suara tertawa yang langsung
dipotong dengan bentakkan Hong Naynay yang menatap dirinya dengan wajah
menakutkan. Tan Leng Ko langsung menghentikan ketawanya, ia menatap Hong Naynay
sambil mencoba, memasang senyum yang paling keren.
Hong Naynay meludah, dengusnya:
"Cengar cengir kayak monyet, kuda ini jauh lebih tampan dari mukamu!"
Tan Leng Ko menyengir. Mujur baginya, Mo Tian Siansu telah muncul. Walau
dengan wajah masih pucat pasi, tapi dengan sigap bhiksu itu menaikki kudanya.
Hong Naynay menyerahkan juga sebungkus makanan padanya.
"Telah kumasakkan kesukaan Siansu, seratus persen mengandung sayuran"
"Apakah kau juga menyertakan teh kesukaan Siansu?" tanya Tan Leng Ko.
"Teh apa?" tanya Hong Naynay galak.
"Teh dari Po-Ting yang waktu itu kau suguhkan" jawab Tan Leng Ko heran.
"Aku tidak pernah menyuguhkan teh Po-Ting segala" dengus Hong Naynay marah.
"Omitohud! Sudahlah, tidak usah diributkan. Sudah waktunya kami pergi" sela Mo Tian Siansu menengahi.
Setelah mengucapkan kata kata kata perpisahan, Mo Tian Siansu dan Khu Han
Beng menggebrak kudanya pergi meninggalkan Lok Yang Piaukiok. Di ringi
padangan mata sedih dari Hong Naynay dan Tan Leng Ko yang memandang
mereka hingga hilang ditikungan jalan.
"Tidakkah ada sesuatu yang harus kau lakukan, daripada bengong bengong begitu?" hardik Hong Naynay.


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yaaa...yaa, kupergi sekarang" ujar Tan Leng Ko bergegas pergi dari situ.
Memang ada dua hal yang ingin dia lakukan, hanya ia lebih suka
mengerjakannya setelah kepergian Khu Han Beng. Lekas ia mengayun langkah
masuk kedalam ruang kerja Khu Pek Sim. ia meraih buku jurnal kerja, menarik sebuah kursi, duduk dan membalik balik beberapa halaman.
Entah berapa lama Tan Leng Ko membaca buku itu dengan cermat. Hanya
mendadak, wajahnya tercermin rasa gembira. Diujung bibirnya tersungging
sebuah senyum. Sebuah senyum yang misterius sekali!
Setelah yakin dengan dugaannya, Tan Leng Ko mengembalikan buku jurnal
tersebut ketempatnya. Dia merasa puas dengan hasil kerjanya, sudah
sepatutnya dirinya diberi hadiah. Mendadak timbul keinginannya minum arak.
Matanya bercahaya membayangkan arak Tiok Yap Jing milik Hong Naynay.
Bukan saja arak itu jenis arak yang mahal dan enak. Konon katanya, arak curian rasanya jauh lebih nikmat. Dan yang lebih nikmat lagi, ia sudah tahu tempat penyembunyiannya. Sebuah tertawa rase keluar dari mulut Tan Leng Ko.
Ketika tempo hari ia berlatih Ouw Yang Ci To, Khu Han Beng menghilang cukup lama bukan untuk mengaduk aduk dapur mencari arak, melainkan pergi untuk
menggunduli Giok Hui Yan, karena arak Hong Naynay memang tidak disimpan di
dapur. Pantas berkali kali ia mencari tapi tidak pernah berhasil.
Setelah yakin tidak ada orang yang memerhatikannya, Tan Leng Ko meloncat ke wuwungan atap rumah.
Memilih jalan pintas menuju halaman belakang. Ia melompat turun, dan
mengindap perlahan dideretan kereta usang menuju sebuah kereta barang
bewarna hijau yang sudah lama tidak digunakan.
"Bocah itu tidak berbohong" gumam Tan Leng Ko melihat pintu kereta tua dan terbengkalai itu, ternyata malah dikunci oleh gembok besi besar.
Anehnya, Tan Leng Ko tidak terlihat kecewa, ia malah berjongkok kesalah satu roda dan meraih sebuah kawat kecil yang cukup panjang. Kemudian tubuhnya
menghilang kesebelah kiri memasukki kereta tua bewarna biru yang sudah luntur aus tertimpa hujan. Hanya sebentar, tangannya menenteng dua buah guci yang
walau masih bersegel dan berat, tapi Tan Leng Ko yakin dalamnya berisi air.
"Bocah itu memang bukan anak baik baik" keluh Tan Leng Ko.
Ia mengomeli Khu Han Beng yang menurutnya, telah menyiapkan alat yang
diperlukan untuk mencuri arak dengan sempurna dan ia menganggap bocah itu
bukan anak baik baik.
Tan Leng Ko seperti lupa, dirinya juga melakukan hal yang sama.
"Klik!" dengan senyum kemenangan Tan Leng Ko yang berhasil membuka gembok dan dengan segera membuka pintu kereta hijau. Seperti telah
menemukan harta karun, matanya berbinar binar, menyaksikan tumpukkan guci
arak Tiok Yap Jing, puluhan banyaknya memenuhi ruang kereta tersebut.
Bau apek dan bau arak yang menusuk tidak menganggu Tan Leng Ko. Sambil
bersenandung kecil, ia masuk kedalam kereta yang menjadi sempit terhalang
oleh guci guci arak.
Sekali memandang, Tan Leng Ko segera dapat membedakan guci mana yang
berisi arak dan guci mana yang bukan. Khu Han Beng telah berbisik padanya,
guci yang digoresi bata merah adalah guci yang telah ditukar oleh bocah itu.
Gesit sekali tangannya bekerja menukar guci guci ditumpukkan bagian tengah, bagian yang guci gucinya masih bersih dari goresan bata. Dengan mengempit
dua buah guci dilengan kanan kiri, ia membalikkan badan. Mulutnya masih
monyong kedepan, hanya siulannya mendadak berhenti!
Tubuh Hong Naynay yang gemuk telah menutupi pintu masuk, sialnya pintu itu
juga pintu satu satunya untuk keluar dari dalam kereta. Tan Leng Ko mengutuk dirinya, kenapa barusan ia tidak mempersoalkan ruang kereta yang mendadak
menjadi redup rada gelap.
Tan Leng Ko mengeluh dalam hati. Seperti seekor domba yang terperangkap
disarang srigala, ia tertangkap basah dengan bukti yang ada dipelukkannya.
Hong Naynay berdiri kaku, menatap dingin Tan Leng Ko dengan wajah yang
mengerikan! Tan Leng Ko memahami, kali ini sukar baginya untuk meloloskan diri. Jika
senyumannya yang paling keren tadi saja tidak mempan, apalagi sekarang.
Akhirnya ia memutuskan untuk menyengir.
Cengirannya dibalas oleh Hong Naynay dengan suara geraman mirip gerengan
seekor binatang buas yang kelaparan.
"Sudah berapa lama kau tahu urusan?" tanya Tan Leng Ko dengan suara parau.
"Hmm! Jika tidak diceritakan oleh Beng-Sauya. Tentu sudah ludes arakku dicuri tikus semacammu" geram Hong Naynay, dengan perlahan tangannya mencabut sendok kayu yang panjang dari tali pinggangnya.
Tan Leng Ko tertegun bodoh!
Sekarang ia paham makna kedipan mata Khu Han Beng. Sungguh tolol dirinya!
Bukankah bocah itu pernah mengatakan isi guci arak banyak yang sudah isi air...
Bukankah dari jumlah guci yang tergores, memang sudah banyak sekali guci
guci yang tertukar... Bukankah bocah itu pernah mengatakan Hong Naynay tidak lekas menyadari...Berarti lambat laun Hong Naynay akan mengetahui araknya
banyak yang hilang...
Khu Han Beng memerlukan kambing hitam untuk menampung semua
perbuatannya... dan dirinya yang paling cocok dan paling sial untuk menjadi seekor kambing!
Bocah itu rupanya sudah memperhitungkan, dirinya pasti akan mengunjungi
tempat penyembunyian arak. Jika kepergok, bukan saja dirinya yang makan sial menanggung semua dosa, sedangkan bocah itu malah bersih dari kesalahan!
Bahkan Ketika ia bertanya, bocah itu berlagak enggan memberi tahu padahal
memang kebetulan baginya. Apa bocah itu memang sengaja memancingnya"
Bukankah Khu Han Beng memerlukan seseorang untuk menalangi dosanya"
Tan Leng Ko mengutuki dirinya. Bukan saja secara bodoh ia menyodorkan diri, malah ia harus membujuk untuk dijebak, lagipula harus mengorbankan jatah
bertanyanya yang menjadi berkurang!
Tan Leng Ko mengeluh, dia telah dikerjain oleh bocah kecil! Pantas, bocah itu mengatakan telah belajar sesuatu darinya. Dasar anak setan, bukan belajar hal yang baik, bocah itu malah belajar kelicikan darinya. Tiba tiba Tan Leng Ko menyadari, setiap kali berhubungan dengan Khu Han Beng atau dengan guru
bocah itu, nasibnya seperti tidak mujur!
Khu Han Beng pernah memperingatkan dirinya:
"Awas kepalamu, toako! Jangan sampai dikerjain orang lagi!"
Benar saja! Sendok kayu Hong Naynay tepat mengenai ubun ubunnya dengan telak! Kepala
Tan Leng Ko langsung sakit luar biasa, pandangan matanya berkunang kunang,
akhirnya. ia rubuh tidak sadarkan diri!
Entah berapa lama ia telah pingsan tak sadar diri, ia hanya tahu hari telah menjelang sore. Diujung musim dingin, senja biasanya memang lebih cepat
menyelimuti hari.
Bau busuk yang menyengat menyadarkan Tan Leng Ko, dirinya ternyata telah
dibuang di onggokkan sampah! Tentu Hong Naynay menyuruh anak buahnya
untuk menggotong tubuhnya kesini.
Tidak ada yang berani menolak permintaan Hong Naynay, anak buahnya juga
tidak. Terpaksa ramai ramai mereka menggotong kausu mereka ke tempat
pembuangan sampah yang terletak dibelakang tembok perkarangan Lok Yang
Piaukiok. Tan Leng Ko menyengir sambil meludah kotoran yang masuk ke mulutnya.
Kepalanya masih berdenyut sakit. Tapi ia tidak terlalu menghiraukan, masih ada satu pekerjaan lain yang harus dilakukannya. Lekas ia menuju kamarnya untuk mandi, membersihkan diri.
********************************
"Sepanjang jalan, pinceng perhatikan banyak sekali kau tersenyum" kata Mo Tian Siansu seraya tersenyum.
"Aku hanya membayangkan satu hal yang lucu" jawab Khu Han Beng ikut tersenyum.
"Jika kau ceritakan, belum tentu hal itu masih lucu"
"Benar!"
"Makanya kau tidak menceritakan hal itu padaku"
Khu Han Beng mengangguk sambil tertawa kecil. Belum tentu perbuatan binal
pada Tan toakonya dapat dianggap lucu oleh susioknya.
Mo Tian Siansu tertawa, dari pagi hingga sore mereka berkuda tidak berhenti kecuali istirahat makan siang.
Dirinya yang sudah kenyang makan asam garam, sedikit banyak ia dapat
meraba watak bocah ini yang tidak gemar berbicara kecuali jika ditanya.
Segera ia mengalihkan pembicaraan:
"Kudengar riak air yang tidak jauh dari sini"
"Yaa, kutahu sungai itu berada disana" ujar Khu Han Beng, jarinya menunjuk dataran menurun yang ditumbuhi semak belukar disebelah kirinya.
"Darimana kau tahu?" tanya Mo Tian Siansu heran sambil menarik tali kendali menghentikan kudanya.
Hati Khu Han Beng terkesiap, ia kelepasan bicara. Tidak seharusnya ia juga
dapat mendengar suara riak air yang tidak mungkin dapat didengar oleh orang yang tidak bisa silat. Khu Han Beng tidak segera menjawab melainkan ikut
menghentikan lari kudanya, ia harus berpikir cepat.
"Apakah kau juga dapat mendengar riak air sungai itu?" desak Mo Tian Siansu.
"Riak hanya dapat ditimbulkan oleh air yang bergerak. Makanya kutahu suara itu berasal dari aliran air sebuah sungai bukan telaga"
"Darimana kau tahu sungai itu berada disana?"
"Sebab kutahu sifat air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Disekitar tempat ini, hanya dataran semak itu yang menurun kebawah"
jawab Khu Han Beng tenang.
Mo Tian Siansu tertegun sedetik, kemudian tertawa gembira. Hatinya senang
bukan main, bocah ini bukan saja memiliki susunan tulang yang baik untuk
beljara silat bahkan nampak cerdik sekali.
"Sesaat, sempat pinceng pikir hal yang tidak wajar. Kupikir kau telah memiliki sinkang tingkat tinggi hingga dapat mendengar suara riak sungai itu"
"Siapa tahu aku memang telah memiliki sinkang yang cukup tinggi" kata Khu Han Beng perlahan sambil mengedipkan mata.
"Kau memang pintar bergurau. Jika kau sudah mempunyai tenaga sakti,
masakkan pinceng tidak dapat melihatnya"
Mo Tian Siansu turun dan menambatkan kudanya dipinggir jalan.
"Kita bermalam dipinggir sungai itu saja" ajaknya.
"Kukuatir jika kuda kita tinggalkan disini, bakal dicuri orang"
"Jangan kuatir! Sungai itu tidak jauh, jika ada orang yang mendekat tentu dapat kudengar"
Khu Han Beng diam saja ketika Mo Tian Siansu meraih pinggangnya kemudian
menggendongnya berlari diatas semak semak menuju sumber air tersebut.
Setelah melihat semak semak itu tumbuh rapat sekali sehingga tidak
memungkinkan membawa turun kudanya baru Khu Han Beng memaklumi
kenapa susioknya meninggalkan kuda mereka dipinggir jalan.
Timbul rasa kagum dihatinya terhadap Mo Tian Siansu yang menurutnya
mempunyai pengalaman luas sekali.
Sungai itu tidak terlalu lebar, airnya cukup dalam malah terlihat jernih sekali.
Terpancing juga minat Mo Tian Siansu untuk berenang.
"Mari kita mandi disini"
"Airnya nampak dingin sekali" kata Khu Han Beng ragu. Sebetulnya dingin tidak masalah bagi dirinya, hanya ada satu hal yang mengganggunya.
"Berenang di air dingin dapat mengagetkan syaraf, dan mempercepat aliran darah. Sangat baik untuk tubuh jika tidak terlampau lama. Apakiah kau bisa
berenang?" tanya Mo Tian Siansu.
Khu Han Beng menggigit bibirnya, ia berkata lirih:
"Tiada yang pernah mengajariku"
Dengan hanya mengenakan celana panjang, Mo Tian Siansu menceburkan diri
ke pinggiran sungai yang tidak terlalu dalam. Tinggi air mencapai pundak bhiksu itu, sambil tersenyum ia memanggil Khu Han Beng untuk meniru dirinya. Ajakan yang cepat ditolak oleh bocah itu.
"Apakah kau merasa takut?" tanya Mo Tian Siansu dengan lembut.
Khu Han Beng menggeleng, kemudian mengangguk perlahan.
"Selama susiokmu berada disini, tidak mungkin kuingin terjadi sesuatu buruk padamu. Hanya ada satu hal yang kuingin kau perlu ketahui"
"Hal apa?" tanya Khu Han Beng ingin tahu.
"Seringkali jika kau ingin belajar sesuatu, kau harus mengerjakan hal yang tidak kau sukai. Inginkah kau belajar cara berenang?"
Khu Han Beng termenung sejenak. Kemudian melepaskan pakaiannya. Meniru
susioknya, hanya dengan mengenakan celana panjang, dengan nekad ia
meloncat di belakang Mo Tian Siansu.
Disertai percikan yang muncrat kemana mana, tubuh Khu han Beng diselimuti air sungai dengan lembut. Perasaan mengambang yang ditimbulkan dari tenaga air
membuatnya sedikit gelagapan. Cepat ia menjinjitkan kakinya, ternyata tinggi air hanya mencapai lehernya.
Hanya satu hal yang diluar dugaannya. Air yang menerpa tubuhnya, ternyata
dingin sekali, sehingga sinkangnya bereaksi secara naluri. Tenaga saktinya
cepat berputar mengelilingi tubuhnya. Air disekitar tubuhnya bergejolak,
menimbulkan gelembung gelembung besar disertai asap putih yang mendesis.
Seperti sebuah benda panas yang tiba tiba dicelupkan kedalam air dingin.
Menyaksikan pemandang ini, alis Mo Tian Siansu berkerut. Ia berdiri dihulu
bagian sungai hingga tidak merasakan air dingin yang tiba tiba berubah menjadi panas.
"Apakah kau mengentut?" tanyanya sambil tersenyum.
Lekas Khu Han Beng menghentikan aliran sinkangnya. Mukanya sedikit
memerah. Mo Tian Siansu tidak mengetahui merahnnya wajah bocah itu bukan
disebabkan oleh rasa malu melainkan akibat pengerahan sinkang diluar kontrol.
"Mari kuajari kau berenang" ujar Mo Tian Siansu lembut.
Tangan dan kakinya bergerak bergantian seperti seekor katak, memberi contoh apa yang harus dilakukan Khu Han Beng.
"Setiap kali tanganmu diayuh, daya tolak air mengangkat tubuhmu secara otomatis, kesempatan itu kau gunakan untuk berganti napas"
Khu Han Beng menggerakkan kedua tangannya meniru susioknya, tapi ia masih
ragu untuk membiarkan dirinya mengambang.
"Jika kau kuatir tenggelam, kau jejakkan kakimu ke dasar sungai dan berdiri mengikuti aliran air" dengan sabar dan tekun, Mo Tian Siansu membimbing Khu Han Beng belajar berenang.
Walau masih agak kaku, dalam sebentar saja boleh dibilang Khu Han Beng
sudah dapat berenang. Hatinya senang bukan main. Tak lama kemudian, hari
sudah benar benar gelap, tapi mereka tidak perduli. Yang terdengar hanya
teriakkan kegembiraan seorang bocah diselingi suara tertawa lembut seorang
tua disela sela suara percikkan air sungai.
****************************
Bayangan pepohonan tanpa daun seperti bayangan beberapa tangan raksasa
yang bergerak mengancam, ditiup angin kencang.
Malam ini suasana di Lok Yang Piaukiok sepi sekali. Selain absennya penjaga malam yang biasanya terlihat, suasana juga gelap sekali.
Keadaan seperti ini biasanya cocok untuk mengundang tamu yang tidak
diundang. Entah datang dari mana, sesosok tubuh mengenakan pakaian malam,
hanya matanya yang terlihat sedangkan kepalanya dibungkus kain hitam,
melayang ringan dari atap rumah.
Tamu yang tidak pernah diundang itu turun ke pelataran pekarangan, dan
mengindap perlahan, berhenti tepat di depan pintu kamar Khu Han Beng.
Gerakkan tangan orang itu ternyata cekatan sekali, kamar yang terkunci itu tiba tiba terbuka, dengan sigap tanpa mengeluarkan suara, ia memasukki pintu
kamar. Seperti hapal dengan keadaan kamar Khu Han Beng, orang itu menjentikkan
batu api menyalakan lampu yang menerangi ruangan. Perlahan ia menuju ke rak rak buku yang berisi salinan kitab kitab pusaka. tiba tiba terdengar suara
bernada dingin menegur dibelakangnya:
"Jika engkau hendak membaca kitab kitab itu, sebetulnya tidak perlu kau mencuri curi atau bertingkah mencurigakan seperti itu"
Tubuh orang berkedok terlihat bergetar, tapi ia tidak menjawab, malah
mengayunkan tangannya menyerang. Angin panas dahsyat keluar dari
tangannya menghantam!...Anehnya, yang diserang olehnya bukan orang yang
menegurnya! Orang berkedok hitam itu malah menyerang ke depan ke arah rak berisi kitab
tersebut. Serangannya selain gesit juga mengandung kekuatan penuh!
Sayang walau perbuatannya cepat dan diluar dugaan siapapun, ternyata tidak
membuahkan hasil. Angin pukulan, dan tubuh orang berkedok itu seperti
tertahan, kejang kaku dibungkus sebuah tembok tenaga yang tak terbentuk dan tak nampak!
Tubuh orang itu tiba tiba terpental, terbanting keatas tempat tidur Khu Han Beng.
Secara serabutan, orang itu menarik panjang keras keras. Tubuhnya sudah
dapat bergerak, yang pertama kali ia lakukan adalah mencabut kedok mukanya.
Seraut wajah muncul, Tan Leng Ko nampak tersenyum puas. Anehnya, ia tidak
terlihat tercengang seperti hal ini sudah didalam perhitungannya.
Nada dingin yang tadi menegurnya, kembali berkata:
"Tak kusangka, kau secerdik ini"
"Cerdik?"
"Kau tidak menyerang aku, malah menyerang kitab kitab itu"
"Soalnya kutahu tiada gunaya menyerang dirimu. Sudah kuperhitungkan kau tentu tidak menduga perbuatanku dan akan berusaha menyelematkan kitab kitab itu"
Sambil menatap tajam kepada orang yang menegurnya, yang berdiri dibayangan
gelap sebuah lemari besar. Tan Leng Ko berkata sekata demi sekata:
"Hanya dengan cara ini, aku dapat memaksamu menunjukkan diri"
Orang itu seperti menghela napas, kemudian melangkah perlahan maju dua
tindak. Tubuhnya dibanjiri cahaya terang dari lampu yang tadi dinyalakan.
Tan Leng Ko menatap orang itu lamaa sekali. Setelah menghela napas akhirnya ia berkata perlahan:
"Rupanya memang kau"
"Kau nampak tidak terkejut" ujar orang itu kalem. "Rupanya tidak sedikit yang kau ketahui" lanjutnya.
Tan Leng Ko tertawa senang sambil membetulkan posisi tubuhnya. Dengan
santai ia duduk diatas tempat tidur. Katanya kemudian:
"Dengan kemampuanmu, sebetulnya kau mampu melarikan diri. Kutahu
sebabnya kau memilih menampakkan diri"
"Apa sebabnya?"
"Sebab kau tidak mungkin melindungi kitab ini terus menerus tanpa terlihat olehku, kitab kitab inilah titik kelemahanmu"
"Aku dapat saja membunuhmu" jengek orang itu dengan dingin.
"Kau sangat mampu untuk membunuhku, hanya kau tidak dapat membunuhku"
jawab Tan Leng Ko terdengar rada aneh.
Anehnya, orang itu tidak menyangkal. Ia meraih sebuah kursi dan duduk
dihadapan Tan Leng Ko yang tanpa berkedip terus menatap wajahnya. Wajah
yang biasanya terlihat sering terpengaruh arak, tapi tidak kali ini!
Wajah Lo Tong terlihat tanpa ekspresi, bahkan membawa perbawa yang sukar
dilukiskan. Semacam pengaruh yang dapat membuat orang segan dengan
mudah. "Sejak kapan kau mengerti urusan?" tanya Lo Tong tiba tiba.
Sambil tersenyum Tan Leng Ko menjawab:
"Sejak aku tidak mengerti sebuah urusan"
"Semenjak kau tidak mengerti sebuah urusan?" tanya Lo Tong heran.
"Kutahu Khu Han Beng yang mencukur rambut Giok Hui Yan, hanya yang tidak kumengerti, siapa yang menggunduli Su-lopeh bertiga?"
"Siapa yang melakukan?"
"Kau sendiri yang melakukan!"
"Kenapa aku harus melakukan hal itu?"
"Sebab engkaulah penjaga sebenarnya dari kitab kitab itu. Kau tidak senang Lok Yang Piaukiok sesak dengan kunjungan orang luar. Kau membiarkan Giok Hui
Yan tinggal disini karena sebagai Lo Tong, kau bisa mencopot celana untuk
mengatasinya. Tapi caramu jelas tidak manjur jika dipergunakan pada Su-lopeh bertiga. karena itu kau menggunduli mereka agar lekas pergi dari sini. Sebagai ahli silat yang tiba tiba dipecundangi orang, tentu saja mereka tidak tahan dan ingin lekas pergi."
"Kenapa aku tidak menggunakan cara lain?"
"Karena kau telah menyaksikan perbuatan Khu Han Beng terhadap Giok Hui Yan, dan timbul niatmu melakukan hal yang sama. Kau tidak begitu peduli Su-lopeh bertiga curiga karena tidak banyak yang dapat mereka lakukan, tapi kau tidak ingin aku curiga. Menurut perhitunganmu, aku sudah mengetahui
kemampuan Khu Han Beng. Jika botaknya kepala Giok Hui Yan disebabkan
olehnya, kenapa tidak sekalian botaknya Su-lopeh bertiga. Kau anggap
perbuatanmu cukup aman dan tidak akan membongkar rahasiamu.Hanya
mungkin kau sedang mabuk sehingga lalai memberitahu bocah itu. Keheranan
Khu Han Beng justru membangkitkan kecurigaanku. Kecurigaan adanya seorang
sakti yang tinggal disini"
"Yang kutidak habis mengerti, kenapa curigamu kau tujukan padaku?"


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena disebabkan petunjuk beberapa helai daun"
"Petunjuk beberapa helai daun?" seru Lo Tong dengan nada heran.
Dengan perlahan Tan Leng Ko menyahut:
"kau gemar menggunakan daun sebagai ciri, justru ciri itu yang telah
membongkar asal usulmu"
Lo Tong memandang Tan Leng Ko dengan pandang tidak mengerti.
"Ketika terjadi penyerbuan, Kwee bersaudara membantu Lok Yang Piaukiok karena memandangku sebagai sahabat. Sedangkan alasan pemuda yang
bernama Bok Siang Gak, tentu disebabkan ia sudah jatuh hati kepada Giok Hui Yan. Yang tidak kumengerti, kenapa Hek I Houw berubah pikiran membantu
pihak kita?"
"Mungkin dia tertarik pada kegagahanmu" jengek Lo Tong.
Tanpa memperdulikan ucapan Lo Tong, Tan Leng Ko melanjutkan:
"Yang juga tadinya tidak kumengerti, kenapa Hek I Houw yang sudah lama berkecimpungan di dunia kang-ouw, untuk kedua kalinya kulihat pucat
terperanjat?"
Sambil menatap tajam Lo Tong, Tan Leng Ko berkata sekata demi sekata:
"Karena dia melihat apa yang juga kulihat"
"Sebenarnya apa yang kau lihat?"
"Suasana malam penyerbuan itu tegang sekali. Tanpa kau sadari, kau telah mengerahkan tenaga saktimu. Justru karena hal itu, rahasiamu dapat kuketahui"
Lo Tong kembali memandang Tan Leng Ko dengan pandangan bertanya.
"Malam itu, angin bertiup sangat kencang. Karena perhatianmu terpusat pada penyerbuan itu, tanpa sepengetahuanmu, beberapa helai daun jatuh menimpa
tubuhmu dan Hong Naynay. Yang luar biasa, sebelum menyentuh tubuhmu,
daun daun itu seperti mental menepis kesamping sebagian daun malah ada
yang berbalik arah!"
Lo Tong tertawa cukup keras seperti mendengar sesuatu yang lucu, tapi sinar matanya tidak terlihat tertawa, malah jengeknya:
"Seperti yang telah kau katakan, malam itu angin bertiup kencang sekali.
Peristiwa itu bisa saja sebuah kebetulan"
"Benar! Akupun tadinya menganggap hanya sebuah peristiwa kebetulan.
Sayangnya, pemandangan yang mirip terulang kembali ketika bedak nenek
bongkok beterbangan tanpa menyentuh tubuh Khu Han Beng"
Dengan muka serius, Tan Leng Ko berkata perlahan:
"Hanya ilmu Bu Kek Kang Sinkang yang memiliki tenaga khikang yang begitu tebal sehingga dapat mementalkan benda sebelum menyentuh orangnya. Hanya
ilmu Bu Kek Kang Sinkang yang dapat mencegah hancurnya kitab dari
seranganku barusan!"
Setelah menelan ludah, Tan Leng Ko kembali melanjutkan:
"Ilmu yang baru saja kau gunakan, ilmu yang juga dimiliki oleh Khu Han Beng!
Hek I Houw mengenali ilmu itu, ia tidak mau menyalahi dirimu makanya ia
berbalik membantu kita"
Cukup lama Lo Tong termenung, kemudian tanyanya:
"Makanya kau yakin aku mempunyai hubungan dengan bocah itu?"
"Ditilik dari usia kalian, tidak mungkin kau menjadi muridnya. Kau adalah suhu Khu Han Beng yang sebenarnya!"
Diluar dugaan Tan Leng Ko, Lo Tong berreaksi kembali dengan tertawa, suara
tawa yang terdengar rada janggal!
Setelah puas tertawa, Lo Tong bertanya menegaskan:
"Jadi kau menganggap aku suhunya Khu Han Beng?"
"Kau bukan saja suhu Khu Han Beng, kau juga sipencuri sakti yang telah menggegerkan tujuh perguruan besar!"
"Karena kau telah melihat salinan kitab kitab itu"
"Aku juga sudah memeriksa cutimu. Tahun ini, kau telah mengambil jatah liburmu lebih dari satu kali"
"Mengambil cuti merupakan hak ku"
"Benar! Hanya Giok Hui Yan pernah menyebut tempo hilangnya kitab kitab itu padaku. Tempo yang berdekatan dengan jadwal cutimu"
"Gadis Mi Tiong Bun itu menyebutkan hal ini padamu ketika kalian berbicara di ruang kerja Khu Congpiauthau?"
Sambil tertawa Tan Leng Ko berkata:
"Kau kelepasan bicara. Tidak seharusnya kau mengetahui kami membicarakan hal itu ketika berada di ruang kerja Khu Congpiauthau. Sekarang tambah tinggi keyakinanku, kau juga sekaligus locianpwee pemelihara Hek Pek Coa"
"Siapa locianpwee yang kau maksud?"
"He...he...he, kau tidak usah berlagak pilon. Ketika berada di pekarangan belakang toko buku, kusempat heran. Walau sakti tidak mungkin beliau tahu
segala percakapanku dengan Giok Hui Yan, kecuali... kecuali saat itu beliau juga berada disini. "
"Jadi kau menganggap aku adalah 'dia' dan mencuri dengar percakapanmu?"
"Tidak dapat kau mungkir bahwa kau memang tinggal disini dan kau tidak perlu mencuri dengar. Karena seperti Khu Han Beng, kau memiliki kemampuan
mendengar hingga mencapai puluhan tombak jauhnya. Dan akupun mempunyai
pertimbangan lain"
"Pertimbangan apa?"
"Tidak mudah untuk menggertak kabur Hek I Houw"
"Yaa, memang tidak mudah"
"Ketika ia bertarung dengan Bok Siang Gak, Sempat kusaksikan wajahnya
menjadi pucat ketika melihat daun yang menutupi kipas pemuda itu. Daun yang kuyakin dipetik dari pohon yang tumbuh dipekarangan belakang toko Gu-Suko"
Setelah menjilati bibirnya yang kering, Tan Leng Ko berkata dengan lambat:
"Pada malam penyerbuan, kembali kusaksikan wajahnya menjadi pucat ketika melihat daun yang terpental sebelum menyentuh dirimu. Hanya seorang tokoh
sakti yang dapat membuatnya pucat hingga dua kali yaitu dirimu!
"Kenapa kau menganggap hanya seorang, tidak lebih?"
Tan Leng Ko termenung sejenak sebelum menjawab:
"Ketika locianpwee itu menggunakan istilah kami hingga tiga kali, aku kurang percaya jika dia kelepasan bicara. Kupikir beliau memang sengaja menyesatkan agar aku berkeyakinan kelompok kalian terdiri lebih dari satu orang"
"Apa alasannya?"
"Sebab sukar sekali berhubungan jika harus terus terusan main kucing kucingan, seperti yang kau lakukan dengan Khu Han Beng. Locianpwee itu memerlukan
cara langsung untuk berkomunikasi denganku tapi juga tidak ingin kuketahui dia dan dirimu sebenarnya adalah satu orang. Kau tidak ingin aku mencurigaimu
sebagai locianpwee itu. Kau akan tampil sebagai Lo Tong yang mendapat titipan pesan"
"Sehingga memerlukan penekanan di istilah kami agar kau berpikiran kelompok kami lebih dari satu orang dan aku dapat berperan sebagai perantara"
"Benar!" tegas Tan Leng Ko.
Kembali Tan Leng Ko mendengar Lo Tong tertawa. Tertawa bernada mengejek,
yang membuat Tan Leng Ko tidak habis mengerti.
"Jika aku adalah dia, kenapa aku harus berhubungan langsung denganmu?"
Tan Leng Ko tidak langsung menjawab, ia mencoba menyusun perkataannya:
"Tadinya kuheran, tidak sedikit budi yang kau tanam padaku. Giok Hui Yan telah kau sembuhkan. Tenaga dalamku tidak sedikit kau tingkatkan bahkan
memberikan salinan kitab Ouw Yang Ci To dan memberi peluang padaku untuk
mempelajari kitab kitab itu. Kupikir tadinya seperti yang kau katakan, kau
menginginkan aku memilki kemampuan yang cukup untuk menjaga ruangan ini.
Hanya ada satu hal yang kurasakan janggal"
"Hal apa?"
"Ketika aku menolak mempelajari ilmu curian, kau seperti tidak acuh, seperti tidak peduli cukup atau tidak kepandaianku untuk menjadi penjaga ruang kitab.
Benar, kemudian melalui Khu Han Beng kau berhasil memaksaku untuk
mempelajari Ouw Yang Ci To. Tapi setelah kuketahui kau adalah penjaga kitab itu yang sebenarnya, dan dengan kepandaianku yang tidak nempil dibanding
dirimu, lalu untuk apa kau tetap menarikku ke dalam lingkaran kalian" Begitu banyak yang telah kau lakukan untukku, sedangkan sebagai imbalan kau hanya
ingin aku menjaga ruang pustaka ini. Sulit bagiku untuk percaya! Mustahil
rasanya manfaat diriku hanya untuk itu bagimu.
"Keteranganmu terdengar saling bertentangan"
"Benar! Kepalaku sampai sakit memikirkannya. Tapi setelah kusaksikan
kedahysatan Bu Kek Kang Sinkang, tiba tiba terpikir olehku"
"Apa yang kau pikirkan?"
"Aku kau tugaskan untuk menjaga kamar pustaka ini tentu dikarenakan pusaka didalamnya. Kitab kitab itu bernilai penting bagimu sebab kalau tidak, tidak mungkin kau mau menjaga seketat itu. Tapi walau penting bagimu, kitab kitab itu sebenarnya tidak juga kau pandang sebagai pusaka seperti kebanyakkan orang.
Sebab jika kau anggap sebagai pusaka, tidak mungkin kitab kitab yang lebih
sakti malah kau kembalikan! Lagipula, kedahsyatan Buk Kek Kang Sinkang jauh lebih unggul daripada kitab kitab itu."
Dengan nada berat, Tan Leng Ko berkata sekata demi sekata:
Yang benar benar kau anggap pusaka di dalam kamar itu, bukan lain adalah Khu Han Beng sendiri!"
Tan Leng Ko bersorak dalam hati ketika melihat perubahan diwajah Lo Tong.
Cepat ia bertukas:
"Kau menarik diriku kedalam lingkaranmu karena kau benar benar membutuhkan bantuanku untuk menjaga atau membimbing Khu Han Beng"
"Kenapa bantuanmu diperlukan untuk membimbing bocah itu?"
?"Dengan caramu yang main sembunyi dan komunikasi yang minim, sukar sekali bagimu untuk membimbing bocah itu. Apalagi aku mempunyai sebuah benang
yang tidak kau punyai"
"Benang apa?"
"Ikatan batin dengan Khu Han Beng!"
"Jangan lupa, kau baru saja mengenal bocah itu" jengek Lo Tong.
"Benar! Sekian tahun lamanya kau dan aku berada di Lok Yang Piaukiok,
kenapa baru sekarang terjadi hal hal ini" Karena peristiwa terkutungnya gadis dari Bwe Hoa Pang memang baru baru saja terjadi. Setelah kau saksikan
seorang bocah secara kejam menguntungi tangan seorang gadis muda tanpa
perasaan. Baru kau menyadari telah berbuat kesalahan. Kau tidak begitu kenal dengan tabiatnya. Caramu mendidik Khu Han Beng dengan kucing kucingan
ternyata berakibat hebat!"
Lo Tong terlihat murung, setelah termenung sejenak, akhirnya ia mengakui:
"Yaa, aku tidak menyangka ia begitu tega menguntungi tangan seorang gadis"
Melihat sikap Lo Tong yang mulai lunak, cepat Tan Leng Ko menukas:
"Kau mengira kejadian itu hanya peristiwa kebetulan disebabkan ia tidak tahu kemampuannya. Hanya kejadian barusan dengan nenek bongkok dan sihidung
betet, jelas bukan kebetulan. Mau tidak mau timbul kekuatiran dihatimu"
Lo Tong menarik napas panjang sebelum bertanya:
"Apa yang kukuatirkan?"
"Kau ragu dengan watak bocah itu. Dengan kepandaiannya yang hebat dan
hatinya yang tega, kau kuatir telah membesarkan seorang iblis yang jarang
tandingannya. Baru tadi siang kumengerti kenapa kau mengirimnya ke siaulimsi"
"Kenapa ia harus dikirim ke Siaulimsi?"
"Ketika sihidung betet mengatakan bocah itu memiliki Bu Kek Kang Sinkang tingkat lima bahkan lebih tinggi dari tingkatan Goan Kim Taysu, lalu untuk apa kau mengirimnya ke siaulimsi" Mustahil untuk belajar silat"
"Menurutmu, untuk apa ia kesana?"
"Kau mengirimnya memang untuk belajar. Tapi bukan untuk belajar silat, melainkan untuk belajar ahlak budi pekerti yang tidak pernah ia pelajari"
Tan Leng Ko menghentikan perkataannya sesaat, kemudian lanjutnya:
"Seperti yang diucapkan oleh Hong Naynay, Khu Han Beng pergi ke Siaulimsi untuk belajar menjadi orang baik. Siapa lagi yang paling tepat untuk
membimbingnya selain Goan Kim Taysu!"
"Bukankah bocah itu dapat mempelajari budi pekerti dari buku yang banyak dibaca olehnya?"
"Banyak sekali contoh seorang murid jahat yang mempunyai guru yang baik.
Mempunyai seorang guru yang baik, bukan berarti seorang murid dapat
berkepribadian baik, apalagi hanya membaca dari buku!"
Timbul juga rasa kagum di hati Lo Tong, tanyanya kemudian:
"Jika sudah ada Goan Kim Taysu, buat apa kau diperlukan?"
"Karena kau kurang yakin. Gimanapun juga hubungan Goan Kim Taysu dengan Khu Han beng tidak banyak beda seperti hubungan bocah itu denganmu,
hubungan seorang guru dan murid yang mempunyai jarak tertentu. Apalagi
Siaulimsi terkenal dengan banyaknya nasehat dan peraturan yang kaku, belum
tentu bocah yang tidak gemar nasehat itu betah"
"Kau melupakan hubungan Khu Congpiauthau dengan cucunya"
"Walau terlibat pertalian darah, tapi dengan kesibukkannya, kita sama sama tahu, jarang sekali Khu Congpiauthau ada waktu luang untuk cucunya. Setelah peristiwa buntungnya lengan gadis itu, kau mengetahui hubungan kami menjadi dekat. Apalagi kau tentu telah mendengar percakapan kami di kamar Mo Tian
Siansu. Kau telah menyadari, bocah yang haus kasih sayang, telah memperoleh perhatian dan menjalin ikatan benang merah dengan seorang sahabat yang
bersifat kakak dan adik. Kau lebih yakin aku mempunyai kemampuan untuk
mengarah dan mempengaruhi Khu Han Beng. Bukankah usia selikuran bocah itu
lebih mendengar perkataan sahabatnya dibanding keluarga atau gurunya"
Karena itulah, kau memerlukan untuk berhubungan langsung denganku. Itulah
sebabnya kuyakin kau tidak dapat membunuhku"
Setelah terdiam sejenak, Tan Leng Ko kembali berkata:
"Menurutmu yang diperlukan Khu Han Beng adalah seorang yang bisa dijadikan contoh olehnya. dan ditinjau dari penolakkanku untuk mempelajari ilmu curian, dan dari bertahun tahun kita hidup bersama sedikit banyak kau mengetahui
pribadiku. Kuyakin kau telah memilih aku"
"Apa dasar keyakinanmu?"
"Sekian tahun kemampuan Khu Han Beng berhasil kalian sembunyikan, kenapa malam itu dibukit belakang tiba tiba aku dapat menyaksikannya" Karena kau
telah memutuskan untuk memasukkan diriku didalam lingkaranmu "
Lo Tong terdiam, Tan Leng Ko juga berhenti bicara. Lama mereka berdua tidak berbicara. Akhirnya setelah menghela napas, Lo Tong berkata:
"Satu hal yang tidak kau ketahui, kepergian Khu Han Beng ke Siaulimsi memang sudah lama direncanakan, jauh sebelum ia mengutungi tangan gadis itu"
"Walau sudah lama kau rencanakan, toh kau merasa terlambat selangkah.
Bunga yang baru mau mekar mulai menampakkan warna aslinya"
"Yaa, cara bocah itu menguntungi kelima lengan orang itu ganas sekali" ujar Lo Tong sedih.
Tan Leng Ko dapat merasakan kepedihan hati Lo Tong.
"Mungkin sifat ganasnya hanya sementara" hiburnya perlahan.
Tiba tiba mata Lo Tong seperti kilat mencorong tajam, memandang Tan Leng Ko yang menjadi terkejut. Tapi kemudian perlahan mata Lo Tong meredup. ujarnya:
"Pernahkah kau mendengar seseorang mendadak memiliki sinkang tangguh
dalam tempo yang singkat?"
"Yaa, kutahu selain Hek Pek Coa, melalui operan sinkang tenaga seseorang juga dapat bertambah dengan cepat"
"Untuk perubahan itu, berapa lama tempo yang diperlukan?"
"Dalam hitungan jam, atau mungkin paling lama dalam satu hari" jawab Tan Leng Ko bingung. Ia tidak begitu mengikuti tujuan pertanyaan Lo Tong.
"Jika seseorang mendapat operan sinkang bertahun tahun lamanya, lalu apa jadinya"
"Menjadi seorang Khu Han Beng" jawab Tan Leng Ko ragu.
"Benar! Seorang manusia yang belum pernah ada, dan mungkin tidak pernah akan ada lagi"
"Maksudmu?" tanya Tan Leng Ko semaking tidak mengerti.
"Ketika kau muncul malam itu digua dibukit belakang, bocah itu sedang
diperiksa. Pengoperan sinkang yang berlangsung lama, nampaknya mempunyai
efek samping yang tidak di nginkan. Peredaran darah diotak kiri Khu Han Beng seperti mengalami kegangguan yang diduga mempengaruhi kemampuannya
untuk menilai hal yang baik dan yang tidak"
"Apa yang kau katakan?" tanya Tan Leng Ko dengan terkejut. Hal ini benar benar diluar dugaannya.
Dengan sedih Lo Tong berkata perlahan:
"Jika dibiarkan, kukuatir tidak kecil kemungkinannya bocah itu menjadi seorang iblis!"
"Kenapa pengoperan sinkang tidak dihentikan jauh jauh hari?"
"Sebab hal itu baru baru saja diketahui"
Hati Tan Leng Ko tenggelam. Ia benar benar tidak menyangka urusan Khu Han
Beng akan berkembang seperti ini!
Cukup lama ia berpikir sebelum berujar:
"Kau sendiri seperti tidak yakin dengan pendapatmu ini. Kudengar sendiri ia enggan melawan orang Pak Sian Gin Siauw. Kuyakin dia masih mampu
membedakan"
"Justru karena hal itu, gangguan otaknya diperhitungkan masih menunjukkan gejala awal. Dan bocah itu tidak pernah mengeluh sakit, diharapkan masih ada waktu untuk menyembuhkannya"
Setelah termenung sejenak, Tan Leng Ko berkata perlahan:
"Ada satu hal yang aku kurang paham, menurut Khu Han Beng, bukankah kau tidak begitu menguasai ilmu pengobatan?"
"Aku menguasai ilmu peredaran darah manusia, apakah kau meragukan
kemampuanku?" jengek Lo Tong.
Tan Leng Ko terdiam. Tidak mungkin baginya untuk meragukan kemampuan
suhu Khu Han Beng yang berkepandaian seperti setan. Lagipula ia cukup tahu, ilmu pengobatan sangat erat dengan peredaran darah manusia. Tapi perkataan
Lo Tong kemudian, cukup membuatnya tercengang.
"Kau tidak salah! Sebetulnya keyakinanku juga tidak terlalu tinggi" kata Lo Tong setelah menghela napas.
"Keyakinan yang mana?"
"Kuyakin peredaran darah diotak kirinya tidak lancar, terganggu sesuatu. Tapi apakah karena hal ini yang membuatnya bersikap sadis" Aku sendiri tidak yakin, hanya..."
"Hanya apa?" tanya Tan Leng Ko tertarik.
"Bu Kek Kang Sinkang berasal dari kaum Buddha. Tidak seharusnya
menunjukkan perbawa kejam dan dingin seperti itu" jawab Lo Tong perlahan.
Mendengar ucapan Lo Tong, Tan Leng Ko hanya dapat menyengir. Sekian
tahun, setahunya orang tua ini lebih banyak mabuk ketimbang sadarnya.
Peranan Lo Tong sebagai locianpwee sakti itu, selain misterius juga terkesan licik, pandai memahami dan memanfaatkan kelemahan sifat manusia.
Sebagai seorang ahli ilmu aliran Mahayana, kelakuan Lo Tong sukar bagi Tan
Leng Ko untuk mengatakan, telah mengikuti ajaran Buddha secara baik dan
benar. Baginya, kelakuan Lo Tong tidak suci suci amat!
Tapi Tan Leng Ko tidak berkata apa apa, ia hanya menyimpan pendapatnya
dalam hati. Ia malah bertanya:
"Aku tidak begitu paham ilmu pengobatan, apa yang kau ingin aku lakukan?"
"Kau cerdik dan banyak akal, apa yang bisa kau lakukan?"
Setelah berpikir sebentar, Tan Leng Ko berkata:
"Aku dapat mengunjungi sepasang tabib di gunung Pek Hoa San"
Lo Tong termenung sejenak, sahutnya kemudian:
"Kau berniat sekalian mencari kitab Hay Thian Sin Kiamboh dalam
pengembaraanmu?"
"Benar! Hal ini kulakukan juga demi kepentinganmu"
Lo Tong berpikir sebentar, kemudian jawabnya:
"Yaa, sebaiknya kau mengunjungi Mi Tiong Bun. Bukankah kau sudah
mengetahui pusat perkumpulan mereka"
Tan Leng Ko mengangguk. Dia memang telah diberitahu oleh Giok Hui Yan.
"Kuingin bertemu denganmu disebabkan ada beberapa hal yang ingin kutanya padamu"
"Apakah kau hendak menanyakan soal pencurian kitab itu?"
"Benar! Kutahu aku tidak bodoh. Giok Hui Yan juga seorang gadis pintar. Tapi kami tidak berhasil menerka kenapa kau mencuri dan kemudian mengembalikan
kitab kitab itu"
"Dan kau ingin mengetahuinya?"
Sambil tersenyum pahit, Tan Leng Ko menjawab:
"Kepalaku sering sakit memikirkan hal itu. Bahkan tidak jarang sukar tidur nyenyak"
Lo Tong nampak terlihat ragu.Lama ia termenung.
"Kujamin, rahasiamu akan kujaga. Kuharap kau mau menerangkannya" pinta Tan Leng Ko, matanya nampak memelas sekali. Belum pernah seumur hidupnya
ia memohon dengan cara demikian.
"Goan Kim Taysu mengetahui urusan ini. Kau boleh bertanya padanya" akhirnya Lo Tong menjawab dengan tegas.
Tan Leng Ko menghela napas, perasaannya kecewa bukan main. Seorang naga
sakti memang sukar dianggap berhutang jawaban pada orang lain, tapi ia masih ingin mencoba:
"Tidak banyak guru yang begitu mengalah pada muridnya. Dapat kurasakan kau sayang pada Khu han Beng. Tapi anehnya, kau malah bermain kucing kucingan
dengannya bahkan tidak mengijinkan dia bertemu muka denganmu. Apa
sebenarnya hubunganmu dengan dia?"
Biji mata Lo Tong seperti mendelik keluar. Ujarnya dengan dingin:
"Apakah kau lupa dengan laranganmu?"
"Bukankah aku dijinkan untuk bertanya sebanyak enam kali. Nah, sekarang kugunakan jatah bertanyaku yang terakhir"
"Jatahmu hanya berlaku untuk bertanya padanya. Kau tidak mempunyai jatah bertanya padaku"
"Jangan kau lupa, kau sangat memerlukanku" jengek Tan Leng Ko kesal.
"Walau kau diperlukan, bukan berarti semua urusan kau bisa seenaknya banyak bertanya, mengerti kau!"
Tan Leng Ko menyengir. Orang luar biasa ini, tidak doyan harta, perempuan,
nama. Tidak tertarik kepada hal hal yang menarik bagi orang awam umumnya.
Selain doyan arak, naga sakti ini hanya gemar memberi larangan.
"Tapi ada satu persoalan yang harus kubicarakan padamu" ujar Tan Leng Ko mendadak dengan muka serius.
"Persoalan apa?"
"Sudah banyak tahun kau ikut makan nasi di Lok Yang Piaukiok. Sungguh
mengecewakan, kau yang berkepandaian tinggi tidak berusaha mencegah
bencana"

Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk ke sekian kalinya, Tan Leng Ko menangkap sinar kepedihan yang
terpancar dari mata Lo Tong.
"Yaa, kejadian itu memang kusesalkan" ujar Lo Tong perlahan.
"Kenapa kau tidak membantu ketika Lok Yang Piaukiok diserbu?"
Cukup lama Tan Leng Ko menunggu jawaban dari Lo Tong. Sayang, tidak
terlihat usaha Lo Tong untuk menjawab. Ia malah termenung diam.
"Puluhan piausu tidak perlu tewas, jika kau ikut turun tangan" ujar Tan Leng Ko perlahan.
Tiba tiba Lo Tong tertawa aneh.Tan Leng Ko dapat merasakan kedukaan yang
terkandung dari suara tawanya.
"Keadaan waktu itu belum terlampau genting. Belum saatnya aku turun tangan"
"Haruskah menunggu terbantai semua, baru kau mau turun tangan?" jengek Tan Leng Ko.
Lo Tong tidak menjawab, ia hanya menghela napas. Kemudian melangkah pergi.
Melihat kelakuan Lo Tong yang rada janggal seperti menyesal, Tan Leng Ko
tidak mendesak lebih jauh. Ia hanya berseru:
"Tunggu sebentar!"
Lo Tong menghentikan langkahnya, kemudian menoleh.
"Benarkah kau buta huruf?"
Ujung bibir Lo Tong seperti menyungging senyuman. Sebuah senyuman yang
terlihat misterius sekali.
******************************
Besok paginya, kendati udara mendung dan udara lebih dingin dari biasanya.
Jenis udara yang membuat malas bangun dari tidur. Bukan saja dia sudah
bangun dan mandi, bahkan sudah mundar mandir kesana kemari mencari Lo
Tong. Semalam dia tidur dikamar Khu Han Beng untuk pertama kalinya. Ketika ia
membuka mata, untuk pertama kalinya ia merasakan ruangan kamar itu
mendadak terasa lebih luas dari biasanya.
Kitab kitab yang memenuhi rak rak kamar Khu Han Beng mendadak lenyap.
Yang menghilang bukan saja kitab kitab salinan itu, bahkan Lo Tong juga tidak terlihat batang hidungnya.
Ketika Tan Leng Ko bertanya pada piasu penjaga, ia mendapat keterangan
bahwa Lo Tong pagi pagi sekali sudah mengendarai kereta barang katanya
sedang melakukan tugas atau pesanan terakhir dari Beng-Sauya untuk
memindahkan kitab kitabnya.
Tentu Lo Tong telah menotok urat nadi pulasnya ketika ia tidur sehingga ia tidak menyadari perbuatan orang tua itu. Kuat dugaan Tan Leng Ko, Lo Tong tentu
membawa kitab kitab itu ke toko buku Gu-Suko.
Apakah Lo Tong memindahkan kitab kitab itu karena ia menolak untuk
mempelajarinya atau dikarenakan kamar Khu Han Beng sudah dianggap tidak
aman lagi"
Tan Leng Ko sedang menimbang apa sebaiknya menunggu Lo Tong pulang atau
mencarinya ke toko buku. Sambil merenung ia berjalan menuju ruang makan,
mendadak ia dihadang oleh Hong Naynay.
Tan Leng Ko menghela napas panjang. Lo Tong yang ia cari tidak ketemu, yang dia tidak cari malah sedang melotot padanya.
"Jika kau kehilangan arak, aku sudah kapok mencurinya" kata Tan Leng Ko seraya menyengir.
Sebetulnya ia baru mau mencuri, dan belum bisa dibilang berhasil tapi malah sudah memetik getahnya.
Hong Naynay menggeram dan mulai menggenggam ujung sendok kayunya yang
menyorong ke kanan di tali ikat pinggangnya.
Melihat perbuatan Hong Naynay, lekas Tan Leng Ko menukas:
"Masih berdenyut sakit kepalaku kau pukul kemarin. Aku sudah tidak mau kau pukul lagi. Kali ini aku akan menghindar!"
Hong Naynay melotot sejenak, kemudian katanya dengan tenang:
"Kau sudah tidak mau kupukul lagi?"
"Kepalaku berubah bentuk karena sudah terlampau sering kau ketok. Seperti kukatakan barusan, aku sudah tidak mau kau pukul lagi"
Tiba tiba Hong Naynay mengeluarkan pertanyaan yang terdengar janggal:
"Yakinkah kau dapat menghindari seranganku?"
"Tentu saja yakin! Memangnya kau menguasai kepandaian tinggi?" tanya Tan Leng Ko heran.
Selesai bertanya mendadak raut muka Tan Leng Ko berubah. Hatinya terkesiap.
Jika Lo Tong yang bertahun tahun ia kenal ternyata memilki kepandaian sakti, apakah Hong Naynay seperti Lo Tong" Seekor naga yang bersembunyi"
Tiba tiba Tan Leng Ko memandang Hong Naynay dengan penuh perhatian.
Biasanya jarang sekali ia memerhatikan Hong Naynay. Boleh dibilang belum
pernah ia memandangnya selama dan seteliti sekarang.
Muka Hong Naynay yang cemong asap dapur masih terlihat menakutkan.
Rambutnya yang kasar, mengejang kaku terurai kebelakang. Mirip buntut seekor kuda yang diberi tali pengikat. Bajunya yang belepotan, ternoda percikkan
minyak dan kotoran makanan tidak terkesan luar biasa.
Yang luar biasa adalah sepasang tangannya, bagaikan bumi dan langit
menyolok sekali bedanya! Tangannya terlampau bersih, bersih dari segala
kotoran dapur bahkan kuku sepuluh jarinya juga dipotong pendek pendek.
Tangan Hong Naynay mirip dengan keadaan tangannya.
Sebagai seorang ahli golok, Tan Leng Ko juga mempunyai kebiasaan itu!
Kebiasaan bertahun tahun yang hanya dimiliki seorang ahli golok yang
menghormati dan tidak mau mengotori senjatanya.
Kebiasaan yang juga dipunyai seorang ahli pedang yang tidak membiarkan kuku jarinya menghalangi gerakkan mencabut senjatanya. Apakah Hong Naynay
seorang ahli pedang"
Hong Naynay mendengus, perlahan tangannya menggeser menjauhi sendok
kayunya. Kemudian membalikkan tubuh meninggalkan Tan Leng Ko.
"Kenapa kau batal memukulku?" seru Tan Leng Ko tanpa ia sadari.
Yang ditanya menghentikan langkahnya, kemudian memutar tubuh sambil
mendelik ia berkata perlahan:
"Pernah kau melihat aku gagal menggetok kepala orang?"
Tan Leng Ko terhenyak mendengar pertanyaan ini. Benar juga! Bertahun tahun
ia berada disini, seingatnya tidak ada yang pernah berhasil menghindar
serangan getokkan sendok kayu Hong Naynay.
"Tidak pernah!" jawab Tan Leng Ko dengan jantung berdegup.
"Tahukah kau sebabnya?" desak Hong Naynay.
"Apakah karena kau memiliki kepandaian tinggi?" tanya Tan Leng Ko dengan hati tegang.
"Diatas langit ada langit, jika kepandaianku tinggi tentu ada yang berkepandaian lebih tinggi dariku. Makanya aku tidak mau mengatakan kepandaianku tinggi.
Aku lebih suka mengatakan kepandaianku tidak ada lawannya"
Mendengar pembicaraan Hong Naynay yang ngelantur gak karuan, Tan Leng Ko
justru berlega hati. Tidak ada seorang jago silat yang mengakui dirinya sudah mencapai tanpa tandingan. Sekenanya Tan Leng Ko bertanya:
"Sebab apa"'
"Sebab aku hanya memukul jika memiliki keyakinan akan berhasil. Makanya sendok kayuku tidak pernah meleset" ujar Hong Naynay tawar.
"Jika tidak memiliki keyakinan itu, kau tidak mau memukul?"
"Benar!"
"Barusan kau urung memukulku karena tidak yakin berhasil?"
"Benar!"
"Jika aku terus menghindar sehingga kau selalu tidak yakin. Bukankah kepalaku akan bebas dari pukulanmu!" ujar Tan Leng Ko sambil menyeringai senang.
Mendengar uraian Tan Leng Ko, Hong Naynay seperti tertarik. Tanyanya dengan perlahan:
"Apakah kau mengajak aku bertaruh?"
"Bertaruh apa?"
"Sebelum siang hari, kujamin kepalamu sedikitnya telah kupukul satu kali!"
Hong Naynay mengucapkannya dengan kalem, tidak mengandung kemarahan
maupun ancaman. Justru hati Tan Leng Ko menjadi berdebar sebab cara
berbicara Hong Naynay seperti di ringi kepercayaan diri yang tinggi!
Cara berbicara Hong Naynay, seperti disertai semacam pengaruh kuat yang
memaksa Tan Leng Ko mau tidak mau percaya atas kemampuan wanita gemuk
itu. Dengan hati bingung dan masih berdebar, Tan Leng Ko menjawab ragu:
"Aku tidak mau bertaruh"
"Kau tidak berani!" jengek Hong Naynay.
"Aku bukan tidak berani,hanya tidak ingin bertaruh"
"Lalu apa yang kau inginkan?"
"Yang kuinginkan hanya sarapan pagi. Lekas kau siapkan bubur ayam
kesukaanku"
"oOo, kau ingin sarapan. Baik! Kau boleh tunggu di ruang makan, akan kuhantar sarapanmu kesana"
Tan Leng Ko mengangguk. Kemudian melangkah keruang makan. Begitu tiba, ia
langsung menarik kursi, dan duduk merenung.
Apa yang diandalkan Hong Naynay hingga memiliki keyakinan begitu tinggi
hingga berani bertaruh dengannya" Apakah ia memiliki kepandaian hebat seperti Lo Tong" Benarkah ia sudah mencapai tingkatan tanpa lawan"
Selagi ia asyik termenung, tak lama kemudian, Hong Naynay datang dengan
membawa dua baki besar yang ditutup rapat oleh tudung saji sehingga makanan panas tidak lekas mendingin.
Hong Naynay menyusun kedua baki besar itu seperti sebuah barisan. berjejer di depan Tan Leng Ko yang kemudian membuka tudung saji baki pertama.
"Apa ini!" teriaknya melihat beras, minyak, sepotong daging ayam mentah dan bahan bahan mentah lain.
"Masakkan kau tidak dapat menerka, ini adalah bahan bahan yang diperlukan untuk memasak bubur ayam" ujar Hong Naynay dengan tenang.
"Apakah kau sudah tidak mau memasak untukku?" tanya Tan Leng Ko gelisah.
Hong Naynay tidak menjawab, melainkan menatap Tan Leng Ko dengan dingin.
Melihat Hong naynay merajuk. Tan Leng Ko lekas berdiri mencoba merayunya:
"Masakkan kau hendak membikin susah padaku. Kau tahu aku sangat
menggemari masakkanmu. Apa kesalahanku coba kau katakan..."
Tidak ada reaksi dari Hong Naynay. Wajahnya tidak menunjukkan suatu
perubahan, tetap menatap Tan Leng Ko dengan dingin.
"Apa yang kau inginkan kau boleh...boleh sebutkan" bujuk Tan Leng Ko.
Mendadak Hong naynay menengok keluar sambil menggumam pelan:
"Sebentar lagi, hari tentu sudah siang!"
Tan Leng Ko mengeluh dalam hati, tiba tiba ia paham apa yang di ngini Hong
Naynay. "Jika kau hendak mengetuk kepalaku, tentu saja aku tidak berani menghindar"
katanya perlahan.
Mata Hong Naynay seperti berkeredip senang dengusnya dengan dingin:
"Apakah kau sedang bilang padaku, mendadak kau ingin diketuk kepalanya?"
"Yaa, aku memang bilang demikian" kata Tan Leng Ko tersenyum pahit.
"Dan tidak ada yang memaksamu. Kau sendiri yang senang dipukul?"
"Entah kenapa, tiba tiba aku rindu dipukul olehmu" ujar Tan Leng Ko menyengir.
"Dan kau tidak akan menghindar?"
"Dan Aku tidak ingin menghindar"
Dalam gerakkan yang seperti sudah terlatih ribuan kali, Hong Naynay mencabut sendok kayunya dan mengetok kepala Tan Leng Ko dengan keras.
"Tok!" Tan Leng Ko menyeringai kesakitan. Benjol kemarin yang baru mengempis, kembali membengkak, tapi ia tidak berani mengeluh.
Hong Naynay menatapnya dengan tajam sambil berkata sekata demi sekata
"Bukankah pernah kukatakan, sendok kayuku tidak pernah meleset!"
Sambil menyengir, Tan Leng Ko menjawab:
"Pendekar budiman, Li Sun Hoan terkenal pisaunya tidak pernah meleset. Konon katanya, Seratus kali timpuk seratus kali kena! Tapi, kuyakin pisaunya belum tentu dapat menyaingi sendok kayumu"
sambil mengelus perlahan sendok kayunya, Hong Naynay bertanya dengan
acuh: "Pisaunya lebih hebat atau sendok kayuku yang lebih hebat!"
"Sudah pasti, sendok kayumu!"
"Apakah kau sedang menjilat pantatku?"
Tan Leng Ko berusaha sekuat tenaga untuk tidak melirik pantat Hong Naynay
yang sebesar tampah! Apalagi membayangkan menjilati bagian itu, bisa muntah muntah dia.
Dengan wajah serius Tan Leng Ko berkata:
"Aku tidak sedang mengumpak. Kuyakin sendok kayumu lebih hebat!"
"Kenapa sendok kayuku lebih hebat?"
"Sebab sendok kayumu telah menggetok kepalaku sedikitnya seribu kali. Seribu kali getok, seribu kali kena! Sedikitnya, kau sepuluh kali lipat lebih hebat dari pada Li Tamhoa!"
"Hm...lumayan juga ucapanmu, dan mujur juga nasibmu"
Tan Leng Ko meringis. Kemarin kepalanya digetok hingga pingsan, tubuhnya
dibuang ke tempat sampah. Sekarang kepalanya kena sial lagi digetok tanpa ia dapat menghindar. Dan nasibnya dibilang lagi mujur!"
"Jika kau tadi berani bertaruh denganku..."
"Sekarang aku sudah kalah!"
"Kau tidak mau bertaruh denganku. Selain nasibmu mujur, boleh dibilang kau cerdik juga!"
Tiba tiba sendok kayunya melayang mengetuk kepala Tan Leng Ko satu kali lagi.
"Auw! Kenapa kau ketuk kepalaku lagi?" protes Tan Leng Ko sambil mengelus kepalanya yang benjol.
"Bukankah pernah kukatakan, sebelum siang sedikitnya kepalamu kupukul satu kali. Lagipula kali yang kedua, anggap saja sebagai hukuman!"
"Hukuman apa?" tanya Tan Leng Ko kesal sambil mengelus kepalanya.
"Walau kadang kau cerdik, tapi lebih sering tetap bodoh!"
"Maksudmu?"
Dengan raut muka mencemohkan, Hong Naynay berkata perlahan:
"Aku tidak pernah bilang, aku tidak mau memasak bagimu lagi"
"Tapi barusan kau ...?" Tan Leng Ko menghentikan perkataannya. Baru ia ingat, Hong Naynay memang tidak pernah mengatakan tidak akan memasak baginya
lagi. "Yang kulakukan hanya menunjukkan bahan bahan yang diperlukan untuk
memasak bubur. Semuanya merupakan buah pemikiranmu yang sok cerdik!"
kata Hong Naynay dengan acuh.
Tan Leng Ko memandang Hong Naynay dengan bengong.
"Kau sendiri yang terlampau cepat menarik kesimpulan" lanjut Hong Naynay dengan tawar.
Tanpa memperdulikan Tan Leng Ko yang melongo, Hong Naynay membuka
tudung saji dari baki makanan yang kedua. Nampak bubur ayam yang berkuah
kuning, lezat. Baunya yang gurih sungguh mengundang dan membangkitkan
selera makan. "Jika kau langsung membuka kedua tudung itu. Kepalamu tidak perlu
dikorbankan. Soalnya, kau memang sok pintar!" dengus Hong Naynay sambil nyelonong pergi kedapur meninggalkan Tan Leng Ko yang ngejublak berdiri
bodoh. Sungguh ia tidak menyangka dirinya bisa dikerjai Hong Naynay!
Tiba tiba Tan Leng Ko tertawa terbahak bahak. Ia sedang menertawai dirinya
yang sempat mencurigai Hong Naynay.
Benar! Hong Naynay memang memiliki kepandaian. Kepandaian sakti yang lebih
hebat dari ilmu silat sehingga dapat menimbulkan kepercayaan diri yang begitu tinggi. Kepercayaan diri yang tinggi bukan saja ditimbulkan dari kepandaian mengolah masakkan, juga mengetahui kebiasaannya yang gemar memakan
bubur ayam terutama sebagai sarapan pagi. Pantas perempuan gemuk itu
berani menjamin sebelum siang dapat menggetok kepalanya.
Tidak salah ucapan pepatah kuno. Konon kelemahan lelaki terletak disekitar
perutnya. Jika kepandaian masakmu tidak mampu menjinakkan lelaki, maka kau
harus menguasai kepandaian lain yang berkisar beberapa inci lebih rendah dari perutnya. Untung kebanyakkan perempuan, hanya menguasai satu dari dua
kepandaian ini.
Teringat soal perut, timbul kembali rasa laparnya. Segera Tan Leng Ko duduk menikmati sarapannya. Baru ia makan satu dua suap, seorang piasu masuk
dengan tergesa gesa. Melihat anak buahnya berwajah tegang, Tan Leng Ko
menghela napas. Kembali Lok Yang Piaukiok kedatangan tamu yang tidak
diundang. Segera ia melangkah keluar. Raut mukanya ikut menjadi tegang ketika melihat sebuah tandu yang digotong oleh empat tukang pikul. Apakah suheng sihidung
betet telah datang"
Selain keempat tukang pikul itu, Tan Leng Ko tidak melihat yang lain. Ia
mengawasi mereka dengan seksama. Peluh yang mengucur dan kepenatan
yang terpancardi wajah mereka, tidak berciri seorang ahli silat. Tan Leng Ko menarik napas lega, ia berkesimpulan keempat orang itu benar benar kuli
pekerja. Perlahan tandu itu diturunkan. Tan Leng Ko yakin, tentu seorang perempuan
yang berada di dalamnya. Tandu itu berkain merah jambu, dihiasi beberapa
lampiun kecil yang juga bewarna merah, Tidak mungkin suheng sihidung betet
seorang perempuan. Siapa perempuan ini dan untuk apa ia kemari"
Tiba tiba suara merdu berkumandang halus dari dalam tandu.
"Kudatang kemari untuk mencari seseorang"
"Siapa yang kau cari?"
"Seorang piasu"
"Ada puluhan piasu disini. Lebih mudah, jika kau menyebut namanya"
"Aku tidak tahu namanya. Hanya kutahu dia mempunyai ciri"
"Apa cirinya?"
"Kepalanya tidak berambut"
"Walau sekarang lebih mudah, tapi sedikitnya masih lima enam orang piasu yang berkepala gundul"
"Konon setengah wajahnya bewarna putih, dan setengah lagi bewarna hitam"
Hanya satu orang piasu yang mempunyai ciri demikian.
"Akulah orang yang kau cari" ujar Tan Leng Ko setelah menghembuskan napas, ia mengerahkan tenaga dalamnya.
Sebuah tangan kanan berjari lentik dan berkulit halus, membuka tirai tandu.
Seorang perempuan berusia muda, berhidung mancung dengan rambut hitam
yang menutupi sebagian raut wajahnya yang cantik. Rambut indah yang
panjang, yang dibiarkan tergerai di dadanya
Sayang matanya yang indah berkaca kaca digenangi oleh air mata. Disekitar
kedua matanya sembab memerah, nampak sekali tidak sebentar perempuan ini
menangis dan tidak sedikit ia telah menangis.
Perempuan itu menatap Tan Leng Ko sekejap. katanya kemudian:
"Kulihat mukamu tidak berbeda dengan yang lain"
Terkejut juga Tan Leng Ko mendengarnya, lekas ia melirik kedua tangannya.
Timbul rasa herannya, kedua pergelangan tangannya terlihat normal, tidak
belang belang seperti biasanya. Baru ia sadar, sudah lama ia tidak merasakan hawa liar itu, apakah ia telah berhasil melebur Hek Yang Pek Im Sinkang dengan racun Hek Pek Coa"
Tan Leng Ko cukup menyadari bukan saatnya memikirkan hal itu sekarang,
katanya setelah menghela napas:
"Aku sendiri juga tidak tahu kenapa mukaku tidak belang belang, tapi akulah orang yang kau cari"
Kembali perempuan itu menatap Tan Leng Ko tanpa berkedip bahkan cukup
lama. Tentu saja Tan Leng Ko menjadi risih berbareng heran.
Dia dapat merasakan sorotan mata perempuan itu selain mengandung
kesedihan juga rasa penasaran yang dalam.
"Untuk apa kau mencariku?" tanyanya perlahan.
"Pernahkah kita bertemu?" perempuan itu balas bertanya.
"Tidak pernah!"
"Cantikkah aku?" tanyanya tiba tiba.
Bingung juga Tan Leng Ko ditanya demikian. Sahutnya dengan heran:
"Kita tidak saling kenal. Kau tidak tahu namaku, akupun tidak kenal denganmu.
Apa hubungannya kau cantik apa tidak?"


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cantikkah aku"!" bentak perempuan itu disertai isak tangis yang memilukan.
Tan Leng Ko tidak tega.
"Yaa, kau cantik, sangat cantik malah" hiburnya dengan suara lembut.
"Masih cantikkah aku?" tanya perempuan itu dengan suara parau.
"Kau..."!" ucapan Tan Leng Ko terhenti ketika melihat kedua tangan perempuan itu digerakkan untuk menyisir rambutnya kebelakang.
Berubah hebat wajah Tan Leng Ko melihat wajah cantik perempuan itu menjadi
mengerikan. Kedua daun telinganya lenyap, darah masih menetes dari luka yang belum mengering. Tangan kirinya yang selama ini disembunyikan di balik
selimut, nampak dibalut kain putih dengan bercak darah merah yang masih
basah. Kelima jari tangan kirinya terkutung putus tersayat pedang. Dari tabasannya yang tidak rata, Tan Leng Ko paham, kelima jari tangan kiri perempuan itu tidak dipotong dalam satu kali tabas melainkan dipotong satu per satu!
Siapapun yang melakukan bukan saja kejam bukan main, nampaknya juga
gemar menyiksa orang.
Dengan tatapan berlinang air mata, gadis itu berkata dengan sedih:
"Aku tidak kenal dirimu, dan kau tidak kenal denganku. Tapi aku menjadi begini justru karena ulahmu. Jika kita tidak saling kenal, kenapa kau melibatkan aku dalam urusanmu"
"Urusanku yang mana?" tanya Tan Leng Ko makin tidak mengerti.
"Aku tidak tahu urusanmu, yang kutahu hanya urusan memijat dan menemani pria kesepian. Apa salahku hingga nasibku menjadi begini?" gadis itu kembali menangis tersedu sedu.
Mendadak, terlintas sebuah nama dibenak Tan Leng Ko, katanya dengan
tercekat: "Apakah orang she Pek yang membuat cacad dirimu?"
Disela sela isak tangisnya, gadis itu menjawab:
"Benar! katanya aku mengucapkan perkataan yang seharusnya tidak kukatakan"
Leher Tan Leng Ko seperti tercekik menahan emosinya, dia telah berbuat salah!
Kesalahan fatal yang dibayar oleh orang lain. Orang yang tidak tahu menahu dan sama sekali tidak bersalah!
"Giok Si!" ucap Tan Leng Ko lirih.
"Benar! Akulah Giok Si yang bernasib malang!"
Otot dirahang Tan Leng Ko bergerak gerak, matanya memancarkan sinar
kegusaran. Belum pernah ia semarah ini! Hatinya selain marah juga menyesal
bukan main. Tidak seharusnya nama gadis ini dibuat permainan olehnya. Karena perbuatannya, gadis ini menanggung penderitaan hebat!
Walau ia tahu Pek Kian Si bukan bukan jenis manusia baik baik, tapi Tan Leng Ko benar benar tidak menyangka wataknya bisa sekejam ini. Percuma orang she Pek itu menggunakan gelar pendekar!
Tan Leng Ko bersumpah dalam hatinya. Kelak jika ia bertemu dengan Pek Kian
Si bukan hanya telinga dan jari tangannya yang ia ingin tebas, bahkan bagian menonjol yang membedakan kelamin pria dan wanita, ingin ia tebas putus!
"Yaa, tidak seharusnya aku melibatkan kau dalam urusanku. Kutahu permintaan maaf saja tidak akan cukup, apa yang kau inginkan dariku?" tanya Tan Leng Ko setelah menghela napas.
Tangisan Giok Si perlahan mulai mereda, ujarnya dengan sedih:
"Kondisiku sekarang tidak memungkinkan aku untuk bekerja. aku pun telah diusir dari tempat kerjaku yang sekaligus tempat tinggalku. Selain tidak punya sanak keluarga juga tidak punya rumah, aku juga tidak memiliki banyak uang"
Mengingat nasibnya yang buruk, Giok Si kembali mengeluarkan air mata:
"Nasibku menjadi begini gara garamu. Justru hal ini yang ingin kutanya padamu.
apa yang ingin kau lakukan"
Tan Leng Ko tertegun. Benar yg diucapkan gadis itu, nasibnya menjadi begitu gara gara dia. Tidak mungkin dirinya mengelak tanggung jawab, hanya dia
sendiri juga bingung harus berbuat apa.
Dengan ragu Tan Leng Ko berujar:
"Kutahu harus bertanggung jawab, sayangnya aku sendiripun tidak tahu apa yang harus kulakukan"
Giok Si menghentikan tangisnya, kemudian berkata hambar:
"Kau bunuh saja diriku"
Berdesir hati Tan Leng Ko mendengarnya, cepat ia menukas:
"Tidak mungkin aku melakukan itu. Kau tidak perlu mati, yang salah adalah diriku bukan dirimu"
Dengan pandangan nanar, Giok Si menatap Tan Leng Ko, ujarnya perlahan:
"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menyambung hidup"
Tan Leng Ko termenung sejenak, kemudian katanya dengan lembut:
"Jika kau mau, kau sebaiknya tinggal disini dulu"
"Sungguhkah perkataanmu?"
"Yaa, sedikitnya, kau harus mengijinkan aku berbuat sesuatu untukmu"
Melihat Giok Si seperti menerima permintaannya, diam diam Tan Leng Ko
menarik napas, dia menyadari bahunya telah menanggung sebuah beban yang
berat. Tanpa banyak bicara ia segera membayar ongkos kepada pemikul tandu
yang kemudian segera berlalu dari situ.
Sambil memandang gadis itu sekejap, dengan likat Tan Leng Ko
memperkenalkan diri:
"Aku she Tan, bernama Leng Ko"
Giok Si mengangguk sambil tertawa halus. Sungguh cepat perubahan perasaan
gadis itu. Tangisnya memilukan, suara tertawanya juga renyah, enak didengar.
Tidak tahu apa yang mesti ia perbuat kepada gadis itu, dengan ragu Tan Leng Ko berkata:
"Aku sedang sarapan pagi. apakah kau sudah makan?"
"Aku menemanimu makan saja" ujar Giok Si dengan lembut.
Bertahun tahun bekerja di rumah pelacuran Lampiun Merah, tentu tidak sedikit pengalaman Giok Si bermasyarakat, khususnya cara menghadapi kaum pria. Dia
tahu kebanyakkan kaum pria lebih menyukai kelembutan, terutama kelembutan
dari seorang wanita.
Beriringan mereka berjalan menuju ruang makan.
"Jika kau coba bubur ayam Hong Naynay, kujamin kau akan ketagihan"
Giok Si menolak secara halus. Sambil meracik, menambah serat daging ayam di mangkuk Tan Leng Ko ia berkata:
"Kuyakin tentu enak, hanya aku sarapan pagi biasanya sekitar jam tujuh.
Sekarang terlalu siang untuk sarapan, juga terlalu pagi untuk makan siang"
Tertawa juga Tan Leng Ko mendengar ucapan itu, katanya sambil menyuap
buburnya: "Apa yang biasa kau makan?"
"Aku gemar sarapan buah buahan. Segala macam buah aku suka"
"Hanya buah" Kau tidak memakan yang lain?"
Sambil tertawa halus Giok Si berkata:
"Bertahun tahun aku terbiasa sarapan hanya dengan buah buahan. sukar bagiku untuk memakan yang lain"
Tan Leng Ko mengangguk.
"Yaa, ucapanmu tidak salah. aku pun sarapan hanya dengan bubur ayam. Suatu kebiasaan yang sukar kurubah"
"Trang!!!" Giok Si terkejut melihat mangkuk penuh bubur yang dipegang Tan Leng Ko jatuh ke lantai, isinya tumpah bertebaran kemana mana!
Dengan pandangan heran, ia menatap Tan Leng Ko yang terlihat termangu
dengan wajah pucat.
Dengan tegang, mendadak Tan Leng Ko bertanya:
"Jika setiap pagi kau mempunyai kebiasaan menyantap lima butir telur..."
Mendengar pertanyaan yang lucu, tidak tahan Giok Si tertawa,
"Aku tidak akan memakan hanya empat butir. Akupun tidak mau memakan enam butir telur" jawabnya halus.
"Kenapa?" desak Tan Leng Ko.
Giosk si mengangkat bahu
"Entah. Seperti yang kau katakan barusan, sukar untuk merubah sebuah
kebiasaan"
"Dan kebiasaan orang yang tidak pintar, jarang sekali tiba tiba pintar?" tanya Tan Leng Ko dengan bodoh.
"Benar!" jawab Giok Si yang semakin heran.
Tanpa mempedulikan Giok Si yang bengong melihat kelakuannya yang aneh,
Tan Leng Ko bergegas menujur ruang kerja Khu Congpiauthau. Hampir ia
menabrak patung kayu Mik Lik Bud atau patung Buddha tersenyum yang cukup
besar, yang terletak disebelah rak lemari buku.
Dengan kasar, Tan Leng Ko meraih buku jurnal kerja, menarik sebuah kursi,
duduk dan membalik balik beberapa halaman. Setelah yakin dengan apa yang
dibacanya, Tan Leng Ko termenung.
Cukup lama ia mengenal Lo Tong, belum pernah sekalipun ia lihat Lo Tong
memakan telur rebus. Begitu bangun tidur, yang merupakan sarapan orang tua
itu adalah arak, sedikitnya lima cangkir!
Benar jadwal cuti Lo Tong berdekatan dengan kejadian pencurian kitab, tapi
paling lama ia hanya mengambil cuti sebulan. Tidak peduli bagaimana hebatnya kepandaiannya, perjalanan ke Kun Lun San terlampau jauh, sedikitnya
memerlukan tiga bulan untuk pulang pergi.
Bukankah ketika malam penyerbuan, Khu Han Beng pernah mengatakan dia
berlatih sedari pagi dengan gurunya diatas bukit sedangkan Lo Tong jelas
berada di Lok Yang Piaukiok.
Bocah itu juga bilang jika tidak terpaksa dia dilarang menunjukkan
kepandaiannya, mirip dengan ucapan Lo Tong yang merasa belum saatnya ia
turun tangan ketika terjadi penyerbuan. Seperti Khu Han Beng, Lo Tong juga
terikat oleh larangan itu.
Caranya membotakki Su-lopeh bertiga terlalu kasar, terlampau iseng dan tidak pintar. Cara yang lebih mirip orang mabuk ketimbang cara kerja locianpwee itu yang ia kenal sangat licik dan cerdik.
Juga dalam percakapan dengan dirinya semalam, Lo Tong sering menggunakan
kata pasif, direncanakan, diperiksa, diduga, diharapkan dan yang lain. Suara tertawanya juga terdengar janggal ketika ditunding sebagai guru Khu Han Beng.
Napas Tan Leng Ko seperti terhenti. Dia telah salah menarik kesimpulan.
Sekarang ia lebih yakin:
Lo Tong bukan suhu Khu Han Beng yang sebenarnya!
Tamat Kekaisaran Rajawali Emas 3 Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Peristiwa Bulu Merak 6

Cari Blog Ini