Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 1
Seri 1 Pentalogi Wang Du Lu
Ho Keng Koen Loen
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun
Riwayat Kang Lam Hoo
Karya : Wang Du Lu
DJVU : TAH & BBSC
Editor : Raharga di Indozone
Final Edit & Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://ebook-dewikz.com
Jilid 01 Bab 1 DI LUAR KOTA TIN-PA, DI SIAMSAY SELATAN sebuah kota distrik yang seperti dirangkul oleh rentetan gunung, tinggal Hoo kauwsu Pauw Cin Hui, satu guru silat yang
dapat julukan Pauw Kun Lun, disebabkan
kepandaiannya menggunai golok Kun-lun-too. Itu ada
sebuah golok biasa, kecuali dalam hal beratnya, tapi
ditangannya guru silat ini, golok itu jadi sangat berbahaya.
Dalam usia mudanya, Pauw Cin Hui pernah masuk
dalam kalangan tentara dan telah berbuat jasa, kemudian ia undurkan diri dan masuk dalam kalangan Piauwsu dengan
membuka piauwtiam dibelasan tempat di Siamsay Selatan
dan Sucoan Utara, maka banyak piauwsu adalah orangorang sebawahannya. Sesudah berumur enam puluh,
dengan ada punya cukup harta benda, ia unduran diri, ia serahkan piauwtiam pada anak-anak dan muridnya, ia
sendiri berdiam saja di rumah lewati hari-hari yang tenang dan bahagia.
Dalam umur enam puluh empat, Cin Hui telah putih
semua kumisnya, tapi kesebatannya ada luar biasa,
tubuhnya jadi gemuk. Itulah ia tidak kehendaki, ia kuatir nanti dapat sakit, dan itu ia tidak berani alpakan ilmu silatnya, setiap pagi tentu ia berlatih golok dan tangan kosong, dan kalau magrib pergi menunggang kuda
menggitari dusunnya, ialah dusun Pauw-kee-cun.
Bagian depan dari Pauw-kee-cun ada bukit, di Timurnya
ada sebuah kali keci1 di Baratnya tegalan pegunungan, dan di Utaranya kota Tin-pa. Keindahannya pemandangan
alam disini mirip dengan Kanglam.
Sama sekali Pauw Cin Hui ada punya tiga-puluh lebih
murid, yang terpencar di berbagai tempat. Yang tetap ikuti
ia cuma ada enam. Ia ada terkenal di desanya tetapi
rumahnya tidak besar, dia tidak punya bujang atau budak, yang bantu ia adalah murid-muridnya saja. Bersama anak lelaki yang kedua ia bercocok tanam, meluku, potong padi, pelihara babi dan kuda dan lain-lainnya. Disebelah itu, semua muridnya tidak diwajibkan membayar uang belajar, mereka hanya dimestikan datang setiap hari. Temponya
belajar adalah lima tahun, dia tanggung sang murid akan sudah belajar sempurna dan lulus.
Untuk murid-muridnya, Pauw Cin Hui adakan sepuluh
aturan keras, yang mesti ditaati, antara lain ada enam larangan atau pantangan, ialah ke 1 dilarang melukai atau membunuh orang tanpa sebab, ke 2 dilarang kemaruk paras elok dan lakukan perjinaan. ke 3 dilarang mencuri atau merampok, ke 4 dilarang menghina atau mengganggu
orang-orang perempuan terutama janda, ke 5 dilarang
kurang ajar terhadap guru, dan ke 6 dilarang melanggar peri-keadilan. Diantara enam itu, pantangan paling hebat ialah berjina atau main perempuan, sebab Cin Hui anggap, dan seribu satu kejahatan, biangnya adalah jina.
Selama lebih dari empat-puluh tahun yang ia hidup
dalam kalangan kang-ouw atau Sungai Telaga, Pauw Kun
Lun pernah bunuh lebih dari tiga-puluh orang, dan semua korbannya
itu adalah tukang-tukang berjina atau pengganggu orang-orang perempuan lemah atau orang
perempuan yang cabul.
Murid pertama dan Cin Hui adalah Siang Cie Kho, dia
ini pernah gilai seorang perempuan penjual silat, atas perintah sang guru dia mesti kutungi sebelah lengannya.
Murid yang keempat Chio Cie Yauw, pernah ganggu
seorang perempuan selagi nonton wayang. ketika perbuatannya ketahuan, dia mesti cokel dengan segera biji matanya yang sebelah. Dan murid yang kedua puluh tiga,
Ouw Cie Khay, telah berlaku serong dengan salah satu enso angkatnya, perbuatannya
itu ketahuan, dia lantas dikirimkan surat oleh gurunya, surat mana tapinya tidak ada satu huruf-pun juga, melainkan ada tanda-tanda
gurunya yang Cie Khay mengerti maksudnya, yang hendak
menghukum padanya, dengan tidak bersangsi lagi ia jiret lehernya, sehingga mati.
Oleh karena aturan sangat keras itu, semua muridnya
jadi sangat tunduk dan berlaku sopan-santun, masuk dan keluar mereka biasa tunduk, dan kalau di tengah jalan
berpapasan dengan orang perenpuan, mereka tidak berani memandang mengawasi, hingga mereka mirip dengan
murid-murid sekolah kebathinan.
Pada suatu hari dan bulan Jie-gwee, selagi pemandangan alam nan indah permai, seperti biasanya Pauw Kauwsu
telah bangun dari tidurnya. Tempo ia lihat pintu kamarnya Cie Lim, anak kedua, masih belum dibuka, ia menjadi tidak puas.
Cie Lim menikah belum lama, baru dua bulan, tetapi
meski-pun demikian, isterinya sudah bikin dia sangat
berubah dari pada biasanya, sudah waktu demikian dia
masih belum bangun dan keluar dari kamarnya, dengan
begitu dia jadi telah sia-siakan pelajarannya silat yang telah diyakinkan kira-kira empat tahun lamanya.
Karena jengkel dan mendelu, Pauw Kauwsu pendengarkan elahan napas yang keras, supaya anaknya
didalam kamar dapat dengar suaranya itu, kemudian dia
sendiri terus bertindak keluar ke tanah lapang, akan lihat enam muridnya asyik berlatih dengan tangan kosong,
dengan gunai golok dan toya, ia bertindak terus dengan menggendong tangan. Ia menghampiri muridnya yang ke 2, Tan Cie Cun, siapa sedang mainkan pukulan terakhir dari
ilmu silat Thongpwee-kun dibagian "Liang-cie-yauw", atau
"Dua sayap bergoyang".
"Salah!" berkata guru ini.
"Mestinya begini!"
Lantas kauwsu tua ini pasang kuda-kuda dan angkat
kedua tangannya ke dada, lantas tangan kanan digeserkan terlebih dahulu, lempang ke depan, lalu ditarik pulang ke depan dada pula, lalu menyusul gerakan tangan kiri.
Gerakan itu diulangi sampai dua kali.
Pauw Kauwsu telah berlaku sungguh-sungguh, maka
tempo kemudian Ia berdiri disamping, napasnya memburu.
Ia suruh muridnya berlatih pula.
Tan Cie Cun turut penintah gurunya, ia berlatih terus, sampai empat atau lima kali, setelah itu barulah guru ini manggut-manggut, tandanya ia puas.
Kemudian guru ini menghampiri muridnya yang ke 14,
Lou Cie Tiong, yang sedang berlatih saling serang dengan golok dengan muridnya yang ke 25, Cin Cie Po.
Cie Tiong adalah murid paling disayang, permainan
goloknya sudah sempurna tidak demikian dengan Cie Po,
sebab sang guru mengawasi baru lima menit, muridnya ini sudah lakukan enam atau tujuh kesalahan. Lebih celaka, semakin gurunya awasi dia, Cie Po jadi semakin kusut
permainannya, karena hatinya goncang.
Menampak demikian, guru itu jadi gusar hingga ia maju
dan dupak golok muridnya itu, sampai senjata tajam itu terlepas dan terlempar dan tangannya si murid.
Mukanya Cie Po jadi sangat merah bahna malunya,
sedang tangannya yang kanan itu-pun dirasakan sangat
sakit, dan itu, ia jemput goloknya dengan tangan kiri, yang mana ia angsurkan pada gurunya itu.
Dengan tak melihat lagi muka muridnya, Pauw Kauwsu
sambuti golok itu, untuk ia terus serang Cie Tiong, untuk berlatih sungguh-sungguh dengan muridnya ini, hingga
sekejap saja sepasang golok jadi berkeredepan saling
samber. Tubuhnya sang guru ada gemuk dan besar ia sekarang
sudah kurang kegesitannya, akan tetapi permainan
goloknya tidak jadi kalut, ia bertempur sampai duapuluh jurus dan belum mau berhenti kalau tidak Cie Tiong yang mendahului lompat minggir, karena muridnya kuatir
gurunya tak sanggup kendalikan napasnya.
Pauw Kauwsu lempar goloknya pada Cie Po seraya
berkata: "Dengan permainan golokmu barusan, andaikata
di dunia kangouww kamu ketemu tandingan sebangsa Sun
Lay-cu, pasti sekali kau bakal dapat malu!"
Ce Po tunduk, ia merasa sangat malu, ia tidak ucapkan
sepatah kata juga.
Sang guru bertindak, untuk tengok muridnya yang ke 21, Ma Ce Han, yang sedang berlatih dengan siang-kauw,
sepasang gaetan, akan tetapi justeru itu, anaknya yang kedua, Cie Lim muncul. Anak ini telah julukan diri sendiri sebagai Siau Kun Lun, atau Kun Lun Kecil.
Melihat anaknya itu, Cin Hui jadi sebal dan masgul.
Mukanya anak ini perok dan kuning kulitnya seperti
berpenyakitan. Maka terus ia menghampiri Cie Hian dan
ajarkan murid yang ke 21 ini bagian-bagian latihannya yang kurang tepat.
Cie Lim telah lantas berlatih, sesudah mainkan habis
satu pelajaran, ia berdiri diam di pinggiran. Ciu Hui tidak
mendekati puteranya itu, hanya ia menghampiri Kang Cie Seng yang sedang mainkan pedang.
Murid she Kang itu ada murid yang ke 30, ia baru belajar belum cukup tiga tahun namun kemajuannya sudah
melebihi suhengnya, saudara seperguruan yang telah belajar lebih lama. Habis mainkan pedang ia tukar itu dengan
golok dan berlatih golok dua kali, tubuhnya enteng dan gesit gerakannya, goloknya bergerak dengan sebat, sama sekali tidak ada pukulannya yang salah dan sikapnya ada sempurna.
Menyaksikan kemajuannya murid itu, Pauw Kauwsu
diam-diam manggut-manggut dengan kekaguman, tetapi
dilain pihak ia-pun jelus.
"Kalau aku ada punya putera sebagai dia ini, bukankah
putera itu bakal bikin mukaku terang?" demikian ia
berpikir. "Dan aku punya ilmu golok Kun-lun-too tidaklah akan tak terwariskan ... "
Kapan guru ini awasi muridnya itu yang sedang
beristirahat, ia-pun jadi tidak senang, terus saja, sambil gendong tangan ia bertindak kepada anaknya yang ke 2.
Itu waktu Kang Cie Seng ada memakai pakaiau hijau,
tangan bajunya digariskan dengan gigi balang sutera putih.
Di kepalanya ada terlibat kuncir dari rambut panyang hitam mengkilap, sedang pada mukanya yang panjang ada
sepasang alis yang kecil dan dua biji mata yang bagus, hingga dia mirip dengan satu nyonya muda yang cantik
molek Inilah roman yang membangkitkan perasaan tidak puas
sang guru. Dengan sengaja, Cie Lim bersilat pula beberapa kali,
akan kemudian ia enjot tubuhnya meloncat tinggi, sebagai
juga ia sedang yakinkan pelajaran loncat tinggi dan jauh, untuk berlari-lari keras diatas genteng. Tapi menampak demikian, sang ayah justeru jadi semakin sebal, sampal ayah ini berniat rampas goloknya Cie Seng buat bacok
puteranya itu! Sukur disaat itu, ia teringat akan suatu kejadian tiga puluh tahun yang berselang, ia jadi tidak tega, lantas ia mendekati muridnya yang ke 2, Lauw Cie Wan,
yang sedang belajar ilmu tumbak. Setelah ini, guru ini lantas bertindak kembali ke rumah masuk kedalam.
Begitu lekas sang guru sudah tidak ada, suasana antara murid-murid itu tidak lagi "setegang" tadi, malah Cie Wan segera lemparkan tumbaknya, ia lari kesebuah pohon hoay akan loloskan tambatan kudanya, dengan binatang mana
terus lari pergi ke arah Selatan.
Kang Cie Seng taruh goloknya di para-para, pasang
omong dengan Tun Cie Cun.
Cie Lim-pun menghampiri Ma Cie Hian yang bersilat
dengan gaetan. "Eh aku lihat ikat pinggangmu itu bukankah ada
sulamannya isterimu?" ia kata sambil tertawa pada
kawannya itu. "Isteriku mana bisa menyulam seindah ini," sahut Cie
Hian sambil tertawa. "Ini adalah sulaman encie misannya isteriku."
"Sungguh sulaman yang indah!" Cie Lim memuji.
Ma Cie Hian bersenyum ia menjebi kearah Kang Cie
Seng. "Encie misan isteriku," kata ia pada Cie Lim, "ada
isterinya Cie Seng!"
"Oh kiranya kau berdua ada tang-mui!" kata Cie Lim,
yang baru tahu, "kau ada pernah ipar satu dengan lain."
"Suhu keluar pula," memperingatkan Cin Cie Po, yang
berdiri dekat dua kawan itu. Mukanya masih bersemu
merah, ia berbicara dengan berbisik.
Dengan lantas semua suara menjadi sirap, murid-murid
itu ada yang duduk beristirahat, ada yang berlatih terus.
Cie Lim lihat ayahnya muncul dengan tangan kanan
mencekal huncweenya yang panjang dan tangan yang lain
menuntun cucu perempuannya yang baru berumur sepuluh
tahun. Ayah ini mundar mandir di depan pintu dan sang
cucu bernyanyi-nyanyi, kelihatannya dia sangat gembira.
"Cie Tiong!" tiba-tiba Pauw Kun Tun memanggil seraya
ia berhenti bertindak.
Cie Tiong lantas letakkan goloknya, menghampiri
gurunya itu di depan siapa berdiri dengan sikap
menghormat. "Ada apa suhu?" ia tanya.
"Aku memikir untuk menitah kamu berangkat ke Hantiong besok," kata sang guru. "Aku ingin kau tengok
toakomu, sebab baru ini Liok-sukomu bilang, luka di kaki dari toakomu itu telah kumat, entah sekarang sudah
sembuh atau belum ... "
"Baik, suhu, besok aku pergi," kata Cie Tiong. "Aku
tidak percaya kakinya toako sampai membahayakan dia."
Guru itu manggut.
"Baik," ia bilang. "Nanti aku bekalkan kau uang, besok kau boleh berangkat."
Lantas guru ini jalan mundar mandir pula, antaranya ia tengok Cie Seng, siapa tertawa pada sang cucu. Ia ini
memang gemar memain kepala nona cilik itu. Kemudian
orang tua ini tuntun cucunya masuk kedalam.
Lantas setelah itu, murid-murid itu benahkan para-para senjata, yang mereka bawa masuk untuk disimpan.
kemudian Tan Cie Cun dan Ma Cie Hian pergi nyapu,
Lauw Cie Wan menggombong kuda. Cie Seng-pun cari lain
kerjaan, akan dilain saat, ia pulang.
Cie Lim jongkok sebentar, lantas ia masuk kedalam,
terus ke kamarnya.
Lou Cie Tiong masuk kedalam cari gurunya, guna ambil
uang bekal. Pauw Kausu berdiam di rumah Utara dimana ada tiga
buah kamar, ketika itu dia sedang bersantap bersama
cucunya dengan dilayani oleh nyonya mantunya yang
pertama. Putera pertama dan Cin Hui bernama Cie In umurnya
sudah empat puluh lebih, isterinya adalah Pui-sie, yang sudah berumur empat puluh lebih juga. Suami-isteri ini cuma dapat satu anak perempuan yang diberi nama Ah
Loan, ialah cucu perempuan yang engkongnya paling
sayang. Ketika itu Cie In tinggal di Han-tiong dimana, ia
usahakan Kun Lun Piauw-tiam yang berjalan dengan baik.
Pada tiga tahun yang sudah, selagi iring piauw kejalan Cin Nia, Cie In dicegat oleh Gin-piauw Ouw Lip yang rampas kereta piauw, hingga mereka jadi bertempur. Cie In ada dibantu oleh dua piauwsu pembantunya, tidak urung
mereka kena dikalahkan. Cie In terluka kena piauw,
keretanya kena dirampas, karena mana piauwsu ini mesti ganti kerugian seribu tail lebih. Lukanya di betis sudah sembuh, hanya setiap kali udara mendung dan turun hujan, bekas luka itu suka menerbitkan rasa sakit. Maka itu,
beberapa hari yang lalu, tempo ada orang datang dari Hantiong, dia ini menyampaikan kabar pada Pauw Kauwsu
tentang kumatnya luka dari kaki anaknya itu, sehingga
tidak bisa turun dari pembaringan. Maka itu Cin Hui
hendak utus Cie Tiong.
Demikianlah, Cin Hui berikankan uang pada muridnya,
sedang Pui-sie, atau nyonya Cie In, bekalkan obat luka, obat putih buatan Inlam untuk suaminya itu.
Ah Loan tarik tangannya Cie Tiong seraya kata: "Lou
Siok-hu, tolong kau bawa ini anak kecil untuk ayah buat main."
Ketika Cie Tiong sambuti barang yang si bocah
serahkan, Ia dapatkan itu anak-anakan terbuat dari cita buatan si nona cilik sendiri, mata dan hidungnya dicat dengan baik! Maka ia tertawa.
"Ayahmu sedang terganggu lukanya dan kesakitan,
mana dia bisa memain dengan anak-anakanmu ini!" kata
sang engkong. Ah Loan tidak mau mengerti, ia desak Cie Tiong bawa
itu. Sementara itu dengan tiba-tiba, Pauw
Kauwsu perlihatkan roman bengis.
"Kau mesti perintah cari tahu, Gin-piauw Ouw Lip
sekarang berada dimana!" ia pesan Cie Tiong. "Aku hendak cari dia untuk balas sakit hatinya toakomu. Dan kau-pun mesti peringatkan Wan Cie Gie untuk berlaku hati-hati, sebab aku dengar kelakuannya tidak benar, nanti aku pergi ke Han-tiong!"
Cie Tiong terima pesan itu, lantas dengan bawa uang,
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bungkusan obat dan anak-anakkannya Ah Loan, ia pamitan dari gurunya dan undurkan diri akan pulang ke rumahnya
didalam kota. Ia ada punya isteri serta dua anak
perempuan, ia ada melarat. Ia sudah boleh bekerja dipiauwtiam, apa mau karena ia pandai bekerja dan gurunya sayang ia, si guru suruh ia tetap membantu, hingga kemajuannya jadi terhalang, sekali-pun demikian ia tetap kandung niatan untuk kerja sendiri, karena sukar untuk ia andalkan guru dan saudara-saudaranya saja. Sebelumnya sampai di
rumah, ia mampir dahulu di tempat persewaan kereta,
untuk sewa sebuah kereta, setelah itu baru ia pulang. Pada isterinya ia beritahukan hal keberangkatannya besok, lantas ia minta isterinya keluarkan surat gadai buat dia tebus pakaiannya. Waktu ia mau keluar, satu orang datang
padanya. "Eh, sutee, kau hendak hantar aku?" ia tanya. "Besok
baru aku berangkat!"
Sutee itu adalah Kang Cie Seng, yang mukanya putih,
muka mana segera tersungging senyuman.
"Aku tahu suko hendak berangkat besok, dan itu aku
bawakan kau sedikit barang," kata dia sambil tertawa.
"Mari masuk!" Cie Tiong undang adik seperguruan itu.
Cie Seng masuk, paling dulu ia beri hormat pada
ensonya. "Duduk, sutee," Cie Tiong mempersilahkan. "Kau bawa
barang apa?"
"Bukan barang berharga," sahut Ce Seng sambil lertawa.
Terus ia rogoh sakunya akan keluarkan uang beberapa tail serta selembar kertas catatan untuk minta dibelikan barang-barang antaranya ada 10 elo sutera merah, empat doos
pupur Kiong hun dan duapuluh bungkus yancie.
"Suko," sutee ini pesan. "Kalau uangnya cukup, belilah lebihan, kalau kurang, beli sedapatnya saja, asal pupur dan
yancie jangan kau kurangi. Pupur dan yancie buatan sini jelek, buatan Han-tiong paling kesohor harumnya!"
Melihat catatan itu, Cie Tiong kerutkan dahi.
"Sutee, kau seharusnya ubah sedikit kelakuanmu," kata
ia dengan roman sungguh-sungguh. "Apakah kau tidak
tahu suhu justeru paling benci orang yang gemar akan
perempuan ?"
"Jangan kau curigai aku, suko," kata Cie Song sambil
goyangkan tangan. "Sama sekali aku tidak main gila
diluaran, semua ini ada untuk isteriku. Dialah yang pesan."
"Aku tahu tentang teehu!" kata Cie Tiong sambil tertawa tawar. "Dia sudah punya dua anak, dengan harus rawati
anak-anaknya apa benar dia masih gemar akan pupur dan
yancie?" Tapi juga Kang Cie Seng berlaku sungguh-sungguh.
"Jikalau kau tidak percaya, suko, pergilah ke rumahku
dan kau boleh tanya sendiri teehumu itu!"
Ditantang begitu, Cie Tiong goyang-goyang tangan, ia
simpan uang dan catatan itu.
"Sudah, sudah, aku nanti belikan semua!" kata ia. "Aku hanya minta kau berlakulah sedikit tahu diri. Orang muda dan cakap seperti kau gampang kena gangguan bunga
berjiwa, sedang lain-lain suheng dan sutee kita semua ada buntalan busuk, sedikit saja mereka mengadu kepada suhu, sementara suhu asal dengar ada muridnya main gila, lantas dia percaya dan pandang murid itu bagaikan musuh saja, sedikit juga ia tidak merasa kasihan!"
"Aku mengerti, suko," Cie Seng manggut berulangulang. "Suko jangan kuatir. Dengan suhu aku tinggal
sekampung, mustahil aku tidak ketahui adat suhu yang
aneh itu" Lain dari itu, aku sudah mempunyai isteri dan anak-anak, aku lekas juga akan masuk umur tiga puluh,
mustahil aku kemudian main perempuan diluaran" ... "
Lantas sambil tertwa sutee ini mengucap terima kasih
dan pamitan akan tetapi sesampainya diluar, ia merasa
hatinya tidak enak.
"Terang isteriku yang pesan pupur dan yancie kenapa
Cie Tiong curigai aku ada punya gula-gula di luaran?" kata ia dalam hatinya. "Umpama kata benar aku ada punya
gula-gula, siapa bisa larang aku" Suhu" Sekali-pun ayahku, dia masih tidak bisa cegah aku! Aku belajar silat kepada suhu, bukan belajar untuk jadi pendeta atau orang kebiri!"
Berpikir begini, pemuda menjadi sengit sendirinya,
hingga ia jadi masgul berbareng uring-uringan. Justeru begitu ia dengar orang panggil ia berulang-ulang: "Kang Toaya! Kang Toaya!" Ketika ia menoleh, ia kenali Tie Sam si tukang sewakan keledai.
Tie Sam ini ada sesama penduduk kampung Pauw-keecun, dia ada mempunyai seekor keledai yang belang,
perutnya putih, keledai itu adalah andalan hidupnya setiap hari, maka sesama penduduk biasa panggil dia Tie Louw-cu, atau Tie si Keledai.
"Kang Toaya," kata Tie Sam itu saraya menghampiri
sambil tuntun keledainya, "hari ini toaya senggang sekali pesiar kekota! Apa toaya tidak pergi pada Pauw Kauwsu
akan belajar silat?"
"Tentu saja!" sahut Cie Seng. "Mana bisa aku tidak pergi belajar!. Entah siap yang suruh aku kenal guru seperti biang kholera itu ... "
Tie Sam tertawa menyengir.
"Dasar toaya cari penyakit sendiri!" kata ia, "Kenapa
toaya cari guru semacam dia itu" Ada terlebih baik toaya cari satu hartawan untuk bekerja seumur hidup padanya!
Toaya pernah belajar surat, sayang toaya bercampur-gaul dengan guru-mu itu ?"
Ucapan ini bikin hatinya Cie Seng jadi semakin panas.
"Kau sedang bikin apa" Apa kau lagi cari penyewa ?" ia tanya.
"Bukan," sahut Tie Sam sambil tertawa. "Aku hendak
pergi ke Timur dan akan papak orang. Nyonya janda Louw Jie disana, pada tahun yang lalu telah nikahkan anaknya, nyonya mantunya itu adalah gadisnya Kiong Kee-cu si
Pincang dari desa Kiong-kee-chung. Nona itu, dalam umur delapan belas ada cantik sekali, hanya sayang menikah
belum sepuluh hari suaminya sudah pergi ke Hin-an untuk belajar dagang, hingga jadi ditinggal sendirian di rumah, mirip dengan janda saja, sedang dengan mertuanya nyata ia tidak akur. Sudah nyonya janda Louw Jie ada liehay, si nyonya mantu sendiri tidak boleh dibuat permainan. Nona itu sering pulang ke rumah ibunya, beginilah pada tanggal 17 yang lalu aku telah samper ia, sekarang belum tanggal 2
aku mesti hantar dia pulang. Kalau dia pulang pada ibunya, dia akan tinggal disana sedikitnya setengah bulan!"
Kang Cie Seng tertawa, ia anggap kejadian itu lucu.
"Dengan kau sebentar menyambut dan mengantarkan
lama-lamakan bisa bawa kabur orang punya mantu itu!" ia berjenaka.
"Hm, orang semacam aku!" kata si Keledai. "Biarnya
aku ingin bawa lari orang-orang niscaya tak kesudian
padaku! Lain lagi kalau aku ganteng seperti kau, toaya, nah, itu barulah bisa terjadi ! ... "
Cie Sang tertawa pula.
"Sudahlah, pergi kau papak nonamu itu!" kata ia.
"Jangan bikin orang tunggu kau terlalu lama!"
Lantas pemuda itu balik tubuhnya akan lanjutkan
perjalanannya. "Toaya, toaya!" Tie Sam memanggil pula sambil
memburu seraya betot keledainya.
"Ada apa, eh?" tanya Cie Seng, ia berhenti bertindak dan menoleh pula.
"Lagi dua hari, toaya, kau harus beri aku pinjam uang
untuk beberapa chie," kata si si tukang sewakan keledai sambil tertawa, dengan sikapnya ia memohon.
"Kerjaanmu begini bagus, kau masih hendak pinjam
uang?" menegor ia.
"Ah, toaya, mustahil toaya tidak ketahui hal rumahtanggaku?" kata si tukang sewakan keledai itu, yang toh tertawa. "Ayahku yang berumur delapan puluh lebih dan
ibu yang sudah berumur tujuh puluh lebih, keduanya hidup mengandalkan keledaiku ini. Dalam satu hari aku dapat
cuma beberapa puluh bun, mana cukup untuk ongkos hidup kita" Sekarang ini sudah mulai musim panas, bajuku yang tebal dan butut ini aku masih belum bisa buka karena belum ada gantinya. Kang Toaya, tolonglah, lagi dua hari,
pinjamkanlah aku uang beberapa renceng saja, untuk aku beli pakaian tipis ... "
"Nah, lagi dua hari kita bicara pula!" akhirnya Cie Seng kata, terus ia bertindak pergi.
Sesudah jalan lewati beberapa gang kecil, ia sampai di rumah seorang sahabat sekolahnya, yang bernama Hoan
Thian Keng yang telah lulus sebagai kiejin pada tahun yang
baru lewat. Sebaliknya ia sendiri tak mampu jadi siucay. Ia niat tengok orang punya isteri. Tapi ia hanya ketemu bujang tua, siapa beri tahu bahwa siauyanya baru berangkat ke Hoolam akan jadi tie-hu, dan nyonyanya diajak bersama.
"Sayang," pikir Cie Seng, yang masgul bukan main.
"Terang aku bertindak keliru. Selama dua tahun, kalau aku tidak belajar silat pada si tua bangka she Pauw, aku juga tentu sudah lulus sebagai kiejin dan menjadi tiehu.
Sekarang aku paling bisa bekerja didalam sebuah piauwtiam atau merantau dalam dunia kang-ouw.
Karena ini, Cie Seng dapat pikiran akan berhenti belajar silat, untuk lanjutkan. peryakinannya ilmu surat, selang lagi tiga atau lima tahun, pasti dia akan nanjak di tangga
kepangkatan. Tidakkah itu mulia"
Cie Seng berjalan sambil berpikir, tanpa merasa ia sudah keluar dari pintu kota, mengikuti jalan besar mentuju ke Selatan. Ia hendak pulang. Hanya jalan belum ada setengah lie, tiba-tiba ia dengar pula panggilan: "Kang Toaya!"
Itu ada suaranya si Tie Sam yang gam dikenali, maka
Cie Seng merandek, ia menoleh. Ketika itu Tie Sam sedang tuntun keledainya, diatas binatang tunggangan itu bercokol seorang perempuan, ialah nyonya Louw yang muda, yang
benar-benar manis romannya, bajunya merah, celananya
hijau, sepatunya bersulam bunga-bungaan, rambutnya
dibungkus dengan saputangan hijau. Sekali-pun rambutnya tidak kelihatan. pasti rambutnya ada hitam mengkilap,
sedang mukanya yang berpotongan bundar telur, ada
dipakaikan pupur dan yancie, teristimewa bibirnya, yang merah bagaikan buah engtoh. Bila dipandang, nyonya
muda ini tidak seberapa cantik, namun semangatnya Cie
Seng toh seperti lantas kena dibikin terbang.
Biasanya kalau Cie Seng berpapasan dengan orang
perempuan ia suka buang muka akan tetapi sekali ini ia justru mengawasi, mengawasi terus sedang si nyonya itupun mengawasi ia dengan tidak kalah galaknya!
Tie Sam menyambuk untuk bikin keledainya jalan terus.
"Kang Toaya, apa kau udah dahar pagi?" tanya si
Keledai sambil tertawa.
"Sehabisnya bersantap baru aku pergi ke kota." Cie Seng jawab.
"Enso Kang pandai sekali bekerja!" si tukang keledai
memuji. "Dia mesti rawat dua anak tetapi ia masih sanggup rawat suami dengan sempurna, pakaiannya rapi, barang
hidangan siap pagi-pagi!"
Cie Seng tertawa, ia tidak kata apa-apa, hanya ia
pandang si juwita.
"Ya, memang satu isteri harus dapatkan pasangannya
yang setimpal!" Tie Sam ngoceh pula. "Toaya ada bun-bu coan cay, cakap ganteng, perangaimu baik, kedudukanmu-pun bagus, dikalangan orang lelaki, jarang ada orang
sebagai kau, tidak heran kalau enso rawat kau dengan
sungguh-sungguh dan gembira!"
Cie Seng puas dengan pujian itu, ia tersenyum, ia lirik nyonya Louw.
"Orang gembira, tetapi aku tidak!" kata ia. Ia balik
tubuhnya, akan jalan bersama-sama Tie Sam, yang sudah
datang dekat padanya. Maka selanjutnya mereka jalan
berendeng sambil bercakap-cakap dengan asyik.
Mereka jalan belum banyak tindak, tiba-tiba si nyonya
Louw pandang Cie Seng, terus ia tertawa.
"Apakah tuan ada Kang Toaya dari kampung Timur
sana?" tanya ia dengan manis.
Inilah Cie Seng tidak nyana, ia jadi melengak, ia
menoleh tetapi ia tidak bisa ucapkan sepatah kata juga. Ia seperti terpesona dengan mendadakan.
"Tuan ini bukan Kang Toaya dan kampung Timur tetapi
dari Pauw-kee-cun," Tie Sam wakilkan orang menyahut.
"Oh, begitu!" kata si nyonya, ia tertawa, ia manggut.
Sementara itu, Cie Seng menghampiri.
"Enso Louw," kata ia, "keluarga suamimu aku tidak
kenal tetapi keluarga ibumu aku tahu, itu tuan yang kakinya sakit."
"Dia adalah ayahku!" kata si nyonya, yang mendahului
sambil ketawa. "Ketika dahulu ayahmu buka warung rokok di kota, aku
sering mampir padanya," Cie Seng bilang.
"Kalau begitu, kau keliru, toaya!" kata si nyonya yang tertawa tetapi ia tutupi mulutnya. "Dia itu ada Lie Kee-cu, ayahku tidak pincang hebat seperti dia itu ... "
Ia lantas tunduk tetapi Ia terus tertawa. Secara diamdiam, ia-pun melirik.
Oleh karena ia keliru, Cie Seng jengah, mukanya jadi
merah. Tie Sam segera datang sama tengah:
"Buat kita disekitar tigapuluh lie dari kota Tin-pa, bicara terus terang, kalau bukannya sanak, kita tentu ada sahabat-sahabat," kata dia.
"Itu benar!" kata si nyonya sembari tertawa. "Kalau
sebentar aku pulang dan aku sebut nama toaya, pasti
ayahku mendapat tahu. Kalau ada ketikanya, Kang Toaya
mampirlah ke rumahku. Rumahku letaknya di kaki bukit
Selatan, yang pekarangannya ditanam pohon kembang toh, diwaktu musim hujan, bunga itu pada mekar merah
semua." "Baik, baik," Cie Seng tertawa. "Lagi dua hari aku
hendak kunjungi ayahmu."
Mereka jalan terus, sampai mendekati Pauw-kee-cun,
Cie Seng merandek.
Si manis mengawasi, ia tertawa lantas ia ianjutkan
perjalanannya dengan ambil jalan cabang. Tie Sam
dibelakang keledainya masih menoleh pada Cie Seng sambil menggoda. Cie Seng masih mengawasi dengan bengong
pada si wanita itu, sampai orang sudah pergi jauh dan
lenyap, baru ia sadar, akan jalan masuk kedalam kampung.
Tapi sekarang ia berlainan dari pada biasanya, ia seperti kehilangan semangatnya, sampai ia seperti tidak kenali rumahnya.
Selagi Cie Seng bertindak masuk kedalam pekarangan
rumahnya, ia terkejut akan lihat suatu sinar putih berkelebat di sebelah depannya, hingga ia angkat kepalanya dan
memandangnya. Nyata Kang Siau Ho, anaknya yang baru berumur
duabelas tahun sedang bersilat, dan golok yang dipakai adalah goloknya ayah ini.
"Eh, eh, jangan !" mencegah orang main. "Golok itu ada golok tajam, nanti kau terluka. Jikalau kau gemar main golok, besok aku nanti bikinkan kau golok bambu."
Siau Ho masih saja putar-putar golok itu.
"Aku tidak sudi golok bambu, aku inginkan golok tulen!"
jawabnya. "Aku ingin punyakan kepandaian tinggi, aku
hendak rubuhkan guru ayah! Aku ingin, siapa juga tidak sanggup lawan aku !"
Kang Cie Seng tertawa melihat kejenakaan anaknya itu.
Sementara itu muncul Oei-sie, isterinya pemuda she
Kang ini, yang sedang empo anaknya yang kedua, yang
baru berumur satu bulan, yang diberi nama Siau Louw.
"Jangan kau membiarkannya." berkata isteri ini.
"Barusan aku teteki Siau Lauw, ia ambil kursi dan naik mengambil golokmu. Kalau dia jatuh, itulah hebat ... "
Cie Seng menghampiri anaknya buat ambil goloknya ia
mesti membujuki berbareng menggertak anak itu, baru ia berhasil, meski-pun demikian, Ia mesti carikan sebatang toya untuk gantinya golok itu.
Dengan toya itu Siau Hoo lantas bersilat pula, menurut caranya sendiri, lalu gerak kesana-sini, ia berteriak-teriak juga.
Cie Seng sendiri ikuti isterinya masuk kedalam.
"Kau pergi ke kota cari Lou Suko, apakah kau ketemu
dia," Oei-sie tanya. "Apakah dia suka tolong belikan
pesanan kita?"
Cie Seng manggut, ia agaknya sungkan bicara. Biasanya
ia pandang isterinya ada si juwita manis, tapi hari ini, sebaliknya. Di depan matanya sekarang ada satu juwita, lainnya, yang seperti membetot semangatnya. Sampai sore hatinya masih belum tetap kembali.
Sore itu Tie Sam datang buat pinjam uang.
Cie Seng beri pinjam satu tail perak, ia pasang omong
dengan tukang sewakan keledai ini dengan tertawa-tawa
hanya ketika orang pergi kembali ia jadi berpikir keras.
Oei-sie repot dengan bayinya, ia mesti masak nasi, Ia
mesti urus penjahitan juga, Ia tidak dapat kesempatan untuk ketahui sikap luar biasa dari suaminya.
Besoknya pagi, Cie Seng bangun sampai siang, dengan
lesu ia berangkat ke rumah gurunya, ketika ia sampai, ia lihat Tan Cie Cun, Ma Cie Hian, Cin Cie Po, Lauw Cie
Wan dan Pauw Cie Lun asyik berlatih, sedang gurunya
mundar-mandir melakukan penilikan.
"Ih, kenapa hari ini kau datang kesiangan," Pauw
Kauwsu tanya, sikapnya keren.
"Aku sakit," Cie Seng jawab. "Kepalaku pusing, kakiku
lemas." "Jika demikian, hari ini kau tak usah benlatih," kata sang guru. "Pergi pelihara itu tiga ekor kuda, setelah itu kau boleh pulang."
Cie Seng menyahuti dengan ogah-ogahan, lantas ia pergi kekandang kuda. Ia tidak bantah gurunya itu, tapinya Ia tidak puas. Ia-pun merasa tidak leluasa, karena saudara-saudara seperguruannya sering-sering melirik kepadanya, malah Ma Cie Hian kemudian tertawai ia.
"Apakah bisa jadi mereka ini ketahui lelakonku
kemarin?" Ia tanya dirinya sendiri. Ia bingung dan likat sendirinya, ia jengah, hingga ia mesti berpikir tidak keruan juntrungannya. "Kalau suhu ketahui ini, sungguh hebat!"
Dan Ia lantas bergidik sendirinya. Toh, selagi menggombong kuda, pikirannya tetap melayang pada si
juwita kemarin yang berbaju merah!
Orang begitu manis, lemah-lembut gerak gerakannya!
Habis memelihara kuda, Cie Seng menghampiri
lapangan akan saksikan saudara-saudaranya berlatih.
Dimatanya, semua saudara itu, yang terhitung suheng
(saudara seperguruan yang lebih tua tingkatannya) tidak ada harganya, tidak perduli mereka semua telah belajar lebih dahulu daripadanya. Mereka itu nampaknya sebagai
"paso-paso nasi" saja, berikut gurunya juga ... Sebab guru itu, walau-pun ilmunya lihay, usianya sudah tinggi,
tenaganya sudah kurang, dan tubuhnya terokmok.
Dan sikapnya nyata tegas Cie Seng memandang enteng
kepada mereka itu.
"Siapa bisa kendalikan aku?" kata ia dalam hatinya.
"Suhu-pun tidak terkecuali! Aku boleh bikin apa aku suka, paling juga suhu tidak mau akui aku sebagai muridnya! Itu ada terlebih baik pula, supaya aku bisa kembali ke
perguruan surat, supaya dibelakang hari aku bisa jadi kiejin dan memangku pangkat! Siapa tahu kalau si nyonya Louw
itu benar-benar bakal jadi isteriku " ... "
Itu waktu Pauw Kun Lun masuk kedalam, maka Cie
Seng-pun ngeloyor pulang.
Cie Wan dan Cie Lim segera menyusul.
"Ih, kenapa baru datang, kau sudah hendak pulang lagi
?" mereka ini tanya. "Apa kau sudah setesai lakukan
titahnya suhu ?"
"Ya, siapa itu nyonya yang kemarin di tengah jalan
bicara kepadamu sambil tertawa?" Cie
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wan-pun tambahkan. "Dia ada adiku," Cie Seng jawab. "Kemarin dia pulang
ke rumah ibunya. Kau jangan ganggu aku, aku lagi sakit, tadi suhu telah ijinkan aku beristirahat, aku telah pelihara kuda, sekurang aku hendak pulang."
Ia putar tubuhnya untuk berjalan terus.
Cie Lim memburu, ia cekal lengannya Cie Seng.
"Bocah, hati-hati batok kepalamu !" kata Suheng ini
dengan gusar. "Ayahku paling benci penjahat dan tukang mogor, jikalau kau ganggu anak-isteri orang dan ayah
ketahui itu, dia akan minta jiwamu !"
Cie Seng gusar mendengar ancaman itu.
"Ngaco !" Ia membentak. "Kau tuduh aku main gila
dengan orang punya anak isteri, kau ada punya bukti apa?"
Sambil kata begitu, Cie Seng kibaskan tangannya yang
dicekal, sampai tangannya Cie Lim terlepas dan tubuhnya terpelanting hampir terguling jatuh.
Cie Lim mundur dua-tiga tindak untuk perbaiki
imbangan tubuhnya, terus ia gulung tangan bajunya, karena ia jadi mendongkol, kemudian Ia bertindak maju akan
jambak sutee itu.
Menampak demikian, Cie Hian lempar gaetannya dan
cegah kawannya ini, yang ia terus bujuki.
Cie Lim tidak memaksa menerjang, tetapi ia lantas
menggerutu, ia ngaco belo.
Ce Seng tidak meladeni, tetapi ia berlaku dengan hati
panas, hingga Ia ambil putusan akan putuskan perhubungannya dengan Pauw Cin Hui sebagai murid dan
guru. "Mulai besok aku tidak akan datang belajar!" pikir ia.
"Selanjutnya, apa juga yang aku lakukan, mereka tak
berhak untuk mencampurinya."
Dengan terus mendongkol, pemuda ini berjalan pulang,
ketika ia sampai di depan rumahnya, Ia lihat dipohon ada ditambat seekor keledai, sedang di pojok tembok Tie Sam kelihatan lagi nongkrong seraya mengawasi ke arah
matahari. "Kang Toaya, kau sudah pulang !" menegur tukang
keledai ini seraya berbangkit bediri begitu lekas ia tampak orang she Kang itu. Ia bicara sambil tertawa.
"Sudah sehari tadi aku tunggui kau !"
Cie Seng lekas menghampiri.
"Ada apa?" tanya ia dengan pelahan.
Tie Sam menyahut dengan pelahan juga, mendengar
mana, air mukanya Cie Seng jadi bergembira.
"Baik kau pergi lebih dahulu, selekasnya aku susul kau !"
kata Cie Seng kemudian.
Tie Sam bersenyum pada pemuda ini, ia loloskan
tambatan keledainya, lantas ia ngeloyor pergi sambil tuntun binatang sewaannya itu. Ia cuma pesan sambil tersenyum:
"Lekasan sedikit Toaya, agar orang tidak terlalu lama
menunggui ... "
Atas itu Cie Seng manggut sambil tertawa, kemudian ia
lekas masuk kedalam rumah.
"Lekas sediakan nasi !" kata ia pada isterinya. Seraya ia terus buka teromol pakaian akan keluarkan seperangkat
pakaian yang indah. "Habis bersantap aku hendak pergi.
Dari See-an ada datang satu suheng kita, maka kita hendak undang dia berjamu di kota."
"Kalau kau hendak turut suhengmu benpesta di kota,
untuk apa kau suruh aku sediakan nasi ?" tanya Oei-sie.
Mukanya Cie Seng menjadi merah, tapi ia lekas jawab:
"Itu ada pesta di waktu sore tetapi sekarang juga aku mesti pergi ke kota. Katanya ada datang sekumpulan sandiwara baru yang jempol, maka kita hendak sekalian pergi nonton
... " Oei-sie tidak kata apa-apa lagi, ia lantas pergi ke dapur.
Cie Seng gunai temponya untuk salin pakaian. Ia pakai
baju dan celana hijau, dan diluarnya ia pakai baju lapisan ungu, yang kembali ditutup dengan mantel hijau. Juga
sepatunya ia tukar dengan sepatu sulam warna hijau.
Setelah dandan Ia lantas duduk dahar.
Siau Hu telah masuk kedalam, melihat ayahnya dandan,
ia heran. "Ayah mau kemana?" tanya Ia. "Apa ayah hendak
sambut pengantin?"
"Jangan kau campur urusanku?" Cie Seng kata sambil
goyangi tangan. Ia dahar dengan cepat. Setelah habisan, ia samber Ia punya kopiah batok.
"Barangkali aku akan pulang tidak sampai malam," kata
ia. Dan ia berIalu dengan roman gembira.
Oei-sie tidak kata apa-apa, terus ia bekerja pula seperti biasa, sama sekali ia tidak curiga yang suaminya salin pakaian baru.
Siau Hoo pergi pula keluar akan memain dengan
toyanya. Anak ini gemar sekali ilmu silat.
Kira-kira jam tiga, pintu pekarangan ada yang ketok.
"Siapa ?" Siau Hoo tanya seraya ia lintangi toyanya
dengan aksi bersiap.
"Buka pintu, aku mau ketemu ayahmu," sahut suara
diluar. Bocah itu lekas buka pintu dan ia lihat Ie thionya, Ma Cie Hian.
"Ayah keluar," ia lantas kata. "Ayah pakai pakaian baru, dia mau sambuti pengantin !"
Cie Hian ternganga.
"Cie Seng !" memanggil ia, yang tapinya terus bertindak masuk. Ia ada merdeka untuk keluar-masuk di rumahnya
sutee ini, karena ia dan Cie Seng ada bersanak satu dengan lain, isterinya adalah adik misannya Oei-sie.
"Kemana dia pergi ?" ia tanya begitu lekas ia temui Oei-sie.
"Oh, kau tidak tahu, moay-hu?" Oei-sie tanya. "Dia kata tadi bahwa ada datang satu suhengnya dari See-an. Kau
katanya hendak jamu suheng itu, tapi Ia mau pergi ke kota dahulu untuk nonton sandiwara, habis itu baru ia hendak hadiri pesta ... "
Cie Hian heran.
"Apakah artinya ini?" kata ia, seperti terhadap dirinya sendiri. Setelah itu, ia menyesal sendirinya, karena ia telah terlepasan bicara. Ia pikir : "Kalau Oei-sie tahu rahasia suaminya, berdua mereka bisa berselisih, inilah tidak baik ...
" Maka segera ia ubah kata-katanya, "Aku tidak tahu siapa yang datang dari See-an. Rupanya mereka tidak ajak aku.
Kapan ia Cie Seng pergi" Kapan Ia akan pulang ?"
"Ketika tadi ia pulang dari rumah gurunya, ia perintah aku lantas sediakan barang makanan," Oei-sie jawab. "ia sendiri terus dandan, sehabis bersantap ia pergi dengan lantas. Tadinya ia kata ia akan pulang malam tapi
kemudian Ia bilang barangkali ia akan pulang lebih siang."
Cie Hian berdiam, ia masih berpikir.
"Biarlah, sebentar aku datang lagi," kata ia kernudian.
"Aku hendak bicarakan satu urusan penting dengan Cie
Seng !" Ia pamitan dari Oei-sie. Ia pulang ke rumahnya di kota, karena ia ada buka bengkel besi dan mesti bekerja.
Sorenya, selagi cuaca mulai gelap, Cie Seng pulang
dengan air muka gembira. Ia ketemu isterinya dengan
sepasang matanya lantas memain.
"Apakah kau sudah dahar?" Oei-sie tanya suaminya.
"Belum," sahut sang suami, yang lantas jatuhkan diri di kursi, karena ia agaknya berpikir, sampai ia lupa akan lantas buka kopiahnya.
"Baik kau salin pakaian dahulu," Oei-sie kata, "Kalau
pakaian itu kotor, dengan apa kau akan tukarnya?"
"Apa sih artinya pakaian?" sahut sang suami, sambil
tertawa. "Kalau pakaian rusak, boleh bikin pula yang baru
!" Oei-sie menjadi heran, Ia tak mengerti dengan perubahan sikap secara mendadakkan demikian dari suaminya itu.
Tapi ia terus berdiam, ia lekas sajikan barang makanan.
Cie Seng terus bersantap, sambil berpikir, karena
beberapa kali ia menunda sumpitnya.
Oei-sie perhatikan suaminya itu, ia sudah pikir, kalau sebentar suaminya sudah dahar cukup, ia hendak minta
keterangan. Justeru itu diluar terdengar ketokan pada pintu.
"Tentulah Cie Hian yang datang," kata ia. "Tadi siang, setelah kau pergi, ia datang, katanya ada urusan penting yang hendak dibicarakan denganmu, barusan aku lupa
beritahukan itu padamu."
Setelah berkata, Oei-sie bertindak keluar, tetapi Siau Hoo, yang sedang berlatih dengan toyanya, sudah
mendahului membukakan pintu, maka Cie Hian sudah
lantas kelihatan masuk.
"Oh, kau sulah pulang !" Cie Hian menegur.
"Silahkan duduk !" Cie Seng mengundang seraya ia
minta isterinya pasang lampu. Ia-pun lantas buka
kopiahnya. "Ada apa kau cari aku, moayhu ?" kemudian ia tanya.
Oleh karena disitu ada Oei-sie, Cie Hian jadi tidak
leluasa untuk bicara.
"Tidak apa-apa," ia menyahut sambil tertawa, "hanya
tadi Kau toh tahu tabiatnya suhu bukan" Siapa bikin dia gusar, lantas dia tidak kenal kasihan ! Kita ada bersanak, kita-pun jadi suheng dan sutee, maka itu, aku suka bicara kepadamu. Kau tahu, untuk ini seharian aku bingung tidak keruan ... "
Cie Seng angkat mangkok nasinya, Ia bersikap sebagai
juga tidak ada urusan apa-apa mengenai dirinya.
"Aneh," kata ia seraya tertawa dingin, "ada urusan
apakah yang menyebabkan suhu tidak senang terhadap
aku?" "Sabar," Cie Hian bilang, seraya ia ulapkan tangan.
"Bagaimana duduknya hal, benar atau tidak, aku tidak
tahu, hanya tadi Lauw Cie Wan beramai bilang, katanya
kau kemarin ... "
Cie Seng segera merasa, tetapi ia kuatir isterinya dapat tahu dan jadi gusar, maka itu, ia mendahului banting
sumpitnya. "Dia ngaco!" kata ia dengan sengit. "Besok aku nanti
tegur padanya!"
"Tidak usah," Cie Hian beri nasihat. "Hanya baiklah kau sedikit kendalikan kelakuanmu. Makin tua tabiat suhu jadi makin luar biasa, apa pula sekarang, anaknya yang terluka piauw masih belum sembuh, sedang anaknya yang kedua
tak punya guna, hingga ia mendongkol dan masgul, karena mana ia jadi semakin gampang bergusar. Apa saja asal
sampai kekupingnya, itu pasti bukannya suatu perkara
main-main !"
"Sebenarnya ada terjadi apakah?" tanya Oei-sie, yang
heran. "Moayhu, coba kau beri keterangan padaku."
"Tidak apa-apa, piauwcie." jawab Cie Hian seraya
menggoyangkan tangannya.
"Perkara ini tidak ada sangkut pautnya denganmu, orang perempuan!" kata Cie Seng dengan sengit pada isterinya.
"Aku tidak akur kepadanya dan dia mengadu di depan
suhu, sebabnya tidak lain daripada mereka jelus, karena aku belajar silat belum lama tapi aku telah dapat lombai mereka!
Kawanan telur busuk itu, Cie Tiong diantaranya, aku tidak sudi kenal lagi! Malah si tua-bangka she Pauw aku juga tidak takuti ! Ada lebih baik pula si tua-bangka tidak sukai aku, sebab aku-pun justeru tidak ingin belajar silat terlebih jauh. Apakah mereka sangka aku sudi hidup dalam
kalangan kang-ouw?"
Dalam mendongkolnya, Cie Seng tolak mangkok
nasinya, terus ia bangkit.
Siau Hoo berada disamping ayahnya, Ia tampak
kegusarannya ayah itu.
"Siapa perhinakan kau, ayah?" tanya dia, seraya dia
lintangkan toyanya. "Apakah gurumu" Nanti aku cari dia untuk tempur padanya!"
Lalu sambil bawa toyanya itu, bocah ini bertindak
keluar. "Diam kau !" membentak Oei-sie, ia tarik anaknya itu
yang ia gaplok.
Cie Hian duduk tergugu, lalu ia menghela napas.
"Cie Seng, kau sungguh besar nyalimu!" kata ipar ini.
Jangankan dia ada guru kita yang harus dihormati, sekalipun dia ada orang lain, kita tidak harusnya undang
kemurkaannya. Coba pikir, dengan adatnya itu, dan selagi dia ada punya begitu banyak murid, siapakah berani main gila terhadap dia" Sungguh kalau dia memikir untuk
membinasakan satu atau dua jiwa, buat dia bukan main
gampangnya ... "
Mendengar disebutnya jiwa, Oei-sie jadi sangat
berkuatir. "Jangan kau bikin gurumu gusar," Ia kata pada
suaminya, "gurumu memang bisa bikin orang mati ... "
Cie Seng tertava meliliat kekuatirannya isteri itu.
"Aku tidak bermusuhan kepada suhu, cara bagaimana
buat satu urusan kecil saja ia binasakan aku," kata ia.
"Sudah, kau jangan sibuki tentang urusanku."
Setelah kata begitu, suami ini lantas hunjuk roman sabar dan tenang.
"Aku mau pulang sekarang, aku kuatir pintu kota keburu ditutup," kata Cie Hian kemudan ia pamitan.
Cie Seng tidak cegah itu kawan atau sanak, ia
mengantari keluar rumah, tetapi ketika ia kembali kedalam, ia duduk dengan bengong. Ia ingat, golok Kun-lun-too dari gurunya memang harus ditakuti. Tetapi ia tidak bisa lupai si nyonya Louw yang manis, kepada siapa tadi Tie Sam telah ajak ia bertemu, hingga semangatnya seperti sudah kena dibetot. Oleh karena pikirannya kalut, ia masuk tidur siang-siang.
Keesoknya pagi, seperti biasanya Cie Seng berangkat ke rumah gurunya. Ia berlatih dengan luar biasa sungguh-sungguh dan rajin. Ia sering lirik Cie Hian, ia dapatkan kawan seperguruan itu sering mengawasi ia dan tertawa, sedang Cie Lim suka pandang ia dengan sorot mata jelus. Ia berlaku sabar, ia tidak perdulikan sikap mereka itu. Hanya, ketika gurunya mendekati ia, hatinya goncang. Tampak
orang punya tubuh raksasa dan air muka suram, mau atau tidak ia jadi jerih dan takut. Ia dapat anggapan, guru ini benar-benar bisa bunuh ia.
"Aku mesti ubah kelakuanku," ia berpikir, "Apabila
perbuatanku ketahuan, benar-benar suhu bisa bunuh aku
..." Oleh karena ini sehabisnya belajar, Cie Seng lantas
kerjakan ini dan itu, kemudian tidak pasang omong dengan saudara-saudaranya seperti biasanya, ia terus ngeloyor pulang. Begitu lekas ia sudah keluar dari rumah gurunya lantas ia ingat pula si juwita, yang mencintai ia, hingga Ia merasa sukar untuk lupai dia itu.
Tempo Cie Seng sampai di rumahnya, ia dapati Tie Sam
beserta keledainya sudah asyik menunggui ia, hingga segera ia kembaIi seprti terpengaruh iblis, lantas ia menghampiri tukang sewakan keledai itu, akan pasang omong tertawa-tawa, kemudian dengan tidak masuk pula ke rumahnya,
melupai makan, tidak ingat salin pakaian, ia loncat naik atas keledai, pergi ke Selatan bersama si tukang keledai itu!
Adalah sesudah sore baru ia pulang. Dengan isterinya ia tidak kata apa ia dahar, lantas ia masuk tidur.
Kelakuannya Kang Cie Seng ini berulang sampai, empat
atau lima hari.
Pelahan-lahan kabar sampai di kupingnya Pauw Cin
Hui. Pada suatu hari Cie Seng tidak dapat belajar silat,
katanya ia sakit.
Itu han Pauw Cin Hui tunggu sampai Cie Hian berlima
sudah seleai belajar dan bekerja, ia kumpulkan mereka.
"Kabarnya Cie Seng berkenalan kepada seorang
perempuan di gunung Selatan, adakah itu benar?" guru ini tanya, dengan suara keras. "Aku larang kau dustakan aku!"
Pertanyaan ini bikin kaget lima murid itu, hingga mereka saling mengawasi, sedang Ma Cie Hian sudah lantas
keluarkan keringat dingin, karena ia sangat berkuatir bagi iparnya atau ciehu misannya.
"Kau bicaralah!" akhirnya Cie Lim kata pada Lauw Cie
Wan, tubuh siapa ia dorong. "Bukankah kau ketahui
semua?" Cie Wan ketakutan, mukanya sampai pucat. Tentu saja
Ia tidak berani berdusta.
"Aku juga cuma dengar ceritera orang," akhirnya ia
menyahut, "Katanya Cie Seng bekenalan kepada satu
nyonya Louw asal dari dalam kota, hal yang jelas aku tidak tahu. Nyonya itu beberapa hari yang lalu telah pulang ke rumah ibunya, belum sampai dua hari ia sudah pergi ke
rumahnya satu nyonya Kwee yang tua yang tinggal di
kakinya Lam San, bukit Selatan itu. Pihak ibunya suruh dia balik ke rumah mertuanya, dia tidak ladeni, sedang pihak mertuanya-pun tidak cari padanya. Kabarnya nyonya Kwee itu ada engkim dari Tie Sam, si tukang sewakan keledai. Tie Sam ini ada dibilang setiap hari bawa keledainya untuk papak Cie Seng yang ia hantar ke rumah nyona Kwee itu
dimana Cie Seng bikin pertemuan dengan si nyonya Louw
itu ... " Mendengar itu mukanya Pauw Cin Hui jadi merahpadam, karena gusarnya.
"Apakab artinya ini?" kata ia dengan nyaring. "Yang
paling dipantang bagi murid-muridku adalah berjina dan merampok! Dia ke tahui ini, mengapa dia justeru sengaja melanggarnya" Dan kenapa dia begitu bernyali besar justeru ganggu orang perempuan dari keluarga baik-baik" Ini
berarti dia hendak cemarkan nama baik dan Kun Lun Pay.
Sekarang pergi kau gusur Kang Cie Seng kemari!"
Perintah itu membikin semua muridnya bersangsi, akan
tetapi walau-pun demikian, tidak ada satu yang berani
membantah, tidak ada satu yang berani bujuki guru itu buat bersabar.
Cie Lim ini adalah yang paling dahulu ambil goloknya,
yang lain-lain-pun ambil masing-masing
senjatanya kemudian mereka pergi menuju ke Utara.
Mereka berjumlah berlima Pauw Cie Lim jadi pemuka,
Lauw Cie Wan, Tan Cie Cun dan Cin Cie Po ikuti dia.
Dipaling belakang mengintil Ma Cie Hian. Ia sangat masgul dan berkuatir. Ia inyaf, Cie Seng itu ada sanaknya, dan saudara angkat juga.
"Sutee," akhirnya Ia kata pada Cie Lim yang ia
mendekati. "sekali-pun suhu ada gusar, baik kau tangkap saja Cie Seng untuk dihadapkan pada suhu, sekali-sekali jangan kau serang dan lukai dia ... "
"Itu benar," Lauw Cie Wan turut berkata. "Perkara itu
ketahuan karena aku yang memberi keterangan pada suhu.
Cie Seng tentu benci aku, sebab dia saya cupat pikirannya, dia tentu akan mendendam dan akan membalas sakit hati
terhadap aku."
Tetapi Cie Lim tertawa dingin.
"Apakah yang kau takuti?" kata ia pada orang she Lauw
itu. "Ayahku terima murid dengan ada aturannya, siapa
lakukan perbuatan cabul atau jina, tak dapat tidak, dia mesti binasa! Bagaimana kematiannya Ouw Cie Khay"
Kenapa Siang Cie Kho hilang sebelah tangannya, Kenapa
Chio Cie Yauw dicungkil sebuah biji matanya?"
"Tetapi, sutee," kata Ce Hian, "didalam perkara
sekarang ini, aku minta bantuanmu. Aku minta kau mohon pada suhu supaya Cie Seng ditegur dan dihukum rangket
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja, jangan dilukai. Kita harus ingat, Cie Seng masih muda dan belum tahu apa-apa ... "
"Ah, jangan kau lindungi sanakmu!" kata Ci Lim seraya
tertawa dingin. "Dalam perkara ini tidak ada daya lain!
Umpama kata ayahku dapat diberi mengerti tetapi saudara-saudara kita dilain tempat mana sudi mengampuninya"
Jikalau Cie Seng diberi ampun, ini artinya kita betbuat tidak adil! Jikalau Cie Khay mesti binasa, kenapa dia mesti diberi ampun?"
Selagi mereka bicara, mereka sudah sampai di rumahnya
Cie Seng. Cie Hian sudah lantas keluarkan keringat dingin, apa pula ketika Cie Lim lantas saja menghampiri pintu dan mengetok-etok.
Tidak lama, pintu dibuka oleh Oei-sie. Nyonya ini
terperanjat dan heran melihat orang datang ramai-ramai dan sambil membawa senjata juga, sedang romannya Cie
Lim nampak dalam kegusaran.
"Ada apa?" tanya ia dengan tubuh gemetar. "Ada apa,
ciong-wie koko?"
"Kita cari Cie Seng," Cie Cun dan Cie Po mendahului
menjawab. "Suhu panggil Cie Seng buat bicarakan satu
urusan dengannya."
"Cie Seng keluar sejak tadi pagi-pagi," terangkan Oei-sie, yang bingung dan kuatir, tubuhnya masih bergemetar. "Dia pergi ke rumah gurunya untuk belajar sampai begini hari dia masih belum kembali."
"Ini hari dia tidak datang." Cie Po beri tahu.
"Buat apa sia-siakan omongan!" kata Cie Lim. "Mari
kila masuk dan periksa! Dia tentu umpatkan diri dan tidak berani menemui kita!"
Dan Cie Lim segera masuk terus kedalam untuk
menggeledah, diturut oleh saudara-saudaranya, tetapi Cie Hian diam-diam mengasih tanda pada Oei-sie, hingga
nyonya Cie Seng ini jadi semakin berkuatir.
Sia-sia saja Ce Lim mengeledah, itu menggeledah ini
kolong-kolong pembaringan, Cie Seng tidak kedapatan.
"Dia tentu pergi ke Lam San akan ketemui itu nyonya
manis," kata orang she Pauw ini kemudian kepada Cie
Wan. "Mari kita pergi kesana, lekas! Untuk tangkap orang berjina, kita mesti bekuk dua-duanya!"
Setelah kata begitu, Cie Lim ajak empat saudaranya
keluar. Justetu itu waktu, Siau Hoo berlari-lari dari luar dusun, ia ada bawa toyanya. Ia tidak tahu untuk apa orang datang ke rumahnya dengan bersenjata lengkap, ia anggap itu
menarik hati maka sambil putar toyanya, ia menghampiri mereka.
"Hayo, siapa berani piebu keadaku?" ia berteriak dengan tantangannya.
Tentu saja Cie Lim semua tidak ladeni bocah itu, mereka lanjutkan perjalanan mereka.
Perjalanan dari Pauw-kee-cun ke Lam San ada tujuh
atau delapan lie, di sepanjang jalan adalah sawah-sawah yang ditanami gandum, ada juga sebuah kali kecil dengan jembatannya dari papan. Dari kali itu penduduk ambil air untuk dialirkan ke sawah
Lima orang itu berjalan dengan cepat, tidak lama mereka sudah sampai di kaki bukit. Itu ada dusun Lam san-cun
dimana ada terdapat tiga atau empat puluh rumah
penduduk desa. Sampai disini, Cie Wan adalah yang maju di depan,
akan tetapi Cie Lim beramai. Ia tidak segera menghampiri rumah keluarga Kwee, hanya ia pergi pada Thio Loo-toa
sanaknya yang bekerja sebagal tukang cauwee, pembuat
sepatu rumput, karena adalah dari dia ini yang Cie Wan ketahui lelakon percintaannya Cie Seng dengan Si nyonya Louw.
"Itu dia rumahnya nonya Kwee," Thio Loo-toa
menunjuki dengan diam-diam ketika Cie Wan minta
pengunjukannya.
"Pergilah kau ketok pintu !" Cie Lim terus perintah Cie Wan, yang ia joroki.
Cie Wan sedikit jerih, akan tetapi, ingat kawannya ada banyak, ia maju juga. Ia mendekati pintu dan mengetok
sampai beberapa kali.
Sebentar kemudian pintu dibuka oleh seorang perempuan tua. "Apakah Kang Cie Seng ada disini ?"
Cie Lim menanya dengan suara ketus. Akan tetapi dia
berdiri dibelakangnya Cie Wan.
Nyonya itu kaget melihat orang semua bersenjata, ia
goyang-goyang tangan tetapi ia tidak bisa lantas buka
mulutnya. Ia-pun kaget akan dengar bentakannya Cie Lim.
Cie Lim tidak sabaran, Ia tolak tubuhnya Cie Wan, ini
ada tanda untuk menyerbu, maka berlima mereka lantas
menerobos kedalam rumah.
Rumahnya nyonya Kwee, yang ada rumah gubuk, terdiri
dari 2 kamar, kamar yang satu dia pakai sendiri bersama anaknya lelaki, yang satu pula dipakai oleh si nyonya Louw yang muda. Dan ketika itu Cie Seng justeru berada didalam kamar itu.
Cie Seng terkejut mendengar suara berisik dan banyak
kaki, Ia tolak pintu akan melihat, sedang kekasihnya
melongok dengan separuh tubuhnya.
"Ha-ha !" Cie Lim tertawa seraya ia angkat goloknya.
"Apakah sekarang kau masih mampu kelabui orang" Suhu
perintah kita gusur kau! Hayo jalan, mari turut kita
menghadap suhu !"
Mukanya Cie Seng menjadi pucat, ia takut, akan tetapi
sekali-pun demikian, ia tidak mau unjukkan sikap pengecut di depan kekasihnya. Maka ia berdaya akan tabahkan hati.
"Ada urusan apa?" ia tanya, dengan tenang.
"Apakah kau masih belum ketahui perbuatanmu
sendiri?" Cie Lim jawab dengan pertanyaannya, suaranya menyatakan kemurkaannya. "Kau sudah langgar aturan
kita! Kau sudah culik dan sembunyikan seorang perempuan yang mempunyai suami. Tahukah kedosaanmu dan
hukumannya" Potong kepala, korek biji mata !"
Nyonya Louw yang berada di belakang Cie Seng, kaget
sampai ia menjerit, saking takutnya ia pegangi keras
lengannya Cie Seng. Ia tidak mau beri pemuda itu pergi.
Cie Seng tolak nyonya itu.
"Kau jangan takut, tidak apa-apa!" kata ia sambil
tertawa dengan dingin. Kemudian ia hadapi Cie Lim, ia
kata sambil tertawa : "Benar, perempuan ini ada kekasihku!
Dia bukan perempuan permainanku, keluarga ibuku dan
keluarga mertuanya semua ketahui akan hal ini, malah aku sudah berdamai kepada pihak mertuanya. Lagi dua hari aku akan ganti kerugian buat lima puluh tail perak, untuk
mereka resmikan perceraian mereka suami-isteri, setelah itu dia akan diantar ke rumahku secara sah! Urusanku ini, lain orang siapa juga tidak berhak mencampurinya, tidak sekalipun tie-koan, apa pula suhu. Aku Kang Cie Seng tidak
bawa minggat nyonya mantu dari kamu keluarga Pauw"
Cie Lim gusar bukan kepalang, hingga ia banting-banting kaki.
"Bagus, kau berani mengucap begini?" ia berseru. "Kau
seperti juga damprat suhu dan mencaci aku ! Hanya jikalau kau berani, mari ikut kita !"
"Buat apa aku ikut kau ?" tanya Cie Seng sambil tertawa menghina.
Cie Lim angkat goloknya karena gusarnya, sedang Cie
Cun, Cie Wan dan Cie Po-pun maju, karena guru mereka
telah diupat-caci. Tapi Cie Hian segera lintangkan goloknya akan mencegah serangan mereka ini.
"Ingat, biar bagaimana dia adalah saudara kita," kata ia dengan sabar. "Dia helajar silat sudah hampir tiga tahun, maka kalau dia caci suhu, cukup bila sekarang kita ajak dia menghadap suhu, tidak usah kita hertempur satu dengan
lain ... Kemudian ia lanjutkan pada Cie Seng sikapnya
seperti memohon: "Cie Seng, jangan bersikap keras. Mari turut kita kita temui suhu. Aku nanti berlutut pada suhu akan mememohon keampunan bagimu"
Cie Seng tidak jawab iparnya itu, hanya justeru orang
lagi pada berdiam, sekonyong-konyong ia lompat maju
pada Cie Hian, kedua tangannya diberi kerja, hingga dilain saat ia telah dapat rampas orang punya golok.
"Moayhu, minggir!" ia berseru seraya Ia beraksi dengan golok rampasannya itu. Kemudian ia hadapi Cie Lim, ia
tepuk-tepuk dada. Ia kata : "Aku si orang she Kang tidak membutuhkan orang memohonkan ampun bagiku. Suhu
tidak berhak akan campur-tahu urusanku ini, oleh karena aku tidak langgar undang-undang negara. Siapa berniat
melukai atau membunuh aku, aku akan tempur padanya!"
Cie Po gusar, ia maju dengan goloknya.
"Baiklah, ini tandanya kau sudah tidak akui suhu !" ia berseru. Ia lantas membacok.
Cie Seng tidak menangkis, ia hanya kelit kesamping.
Cie Lim gusar luar biasa, ia membacok sambil berseru :
"Kau berani caci ayahku, baik, aku nanti mampusi kau !"
Cie Seng sudah mata gelap, ia tangkis bacokan itu, ia
balas menyerang. Tapi sekarang ia kena dikepung berdua.
Si nyonya Louw jadi ketakutan.
"Kwee Toa-nio, Kwee Toa-nio!" ia menjerit berulangulang. "Lekas panggil kepala kampung, beberapa penjahat ini hendak membunuh Kang Toaya!"
Cie Lim dengar jeritan itu, Ia mendongkol bukan main,
maka ia tinggalkan Cie Song untuk memburu ke dalam
kamar, pada si nyonya manis.
"Aku nanti bunuh kau lebih dahulu, pesempuan jahat!"
ia mengancam. Cie Seng terkejut Ia lompat, Ia lompat memburu,
goloknya diberi turun. Ia membacok dengan cepat,
senjatanya itu mengenai pundak kirinya Cie Lim, hingga dia ini menjerit berbareng sama muncratnya darah, sedetik saja, tubuhnya rubuh.
Cie Hian kaget bukan main, ia kuatir ipar itu bacok pula Cie Lim untuk kedua kalinya, ia lompat memburu untuk
mencegah. Itu waktu Cie Wan bersama Cie Cun dan Cie Po-pun
merangsek, maka Cie Seng putar tubuhnya akan
melayaninya, ia loncat-loncat lari keluar rumah, hingga segera ia berada di tempat yang lega.
Cie Wan bertiga menyusul keluar karena Cie Seng tidak
kabur, mereka jadi bisa menerjang, mengurung dan
mengepung. Disini Cie Seng bisa bersilat dengan leluasa. Tiga lawan itu yang belajar silat lebih lama dari pada ia, akan tetapi dalam hal main golok, ia ada terlebih lihay. Yang paling lemah adalab Cin Cie Po, dia yang paling kalut gerak-gerakan tangannya.
Cie Seng mendesak, baru beberapa jurus, lantas seorang menjerit keras. Itu ada suara hebat dan Cie Po yang
lengannya terluka, hingga ia mesti lari ke pingir.
Melihat musuh berkurang Cie Seng desak Cie Hian,
hingga dia ini lantas saja jadi repot.
Cie Hian muncul dengan goloknya Cie Lim, ia
merangsak buat tangkis goloknya Cie Seng, sedang dengan tangan kirinya ia mengulap-ulap kepada Cie Wan dan Cie Cun.
"Tahan, tahan!" ia berseru berulang-ulang. "Kita ada
murid-murid Kun Lun Pay, tidak seharusnya kita
bertempur diantara saudara-saudara sendiri !" Kemudian ia tambahkan pada iparnya : "Cie Seng, jangan terlalu turuti
adatmu! Urusan sebenarnya bisa didamaikan akan tetapi
kau telah bikin rusak!"
Ce Seng sedang panas. Ia-pun insaf bugeenya ternyata
sempurna, ia tidak mau dengar lagi nasihat.
"Inilah bukan urusan sukar !" ia berseru, ia tepuk-tepuk dada pula. "Jikalau Pauw Cin Hui tidak puas, suruh dia datang cari aku! Mulai hari ini aku Kang Cie Seng sudah putuskan perhubungan dengan dia! Dia tidak boleh campur pula urusanku !"
"Baik, baiklah," kata Cie Wan dan Cie Cun, yang telah
tarik pulang senjatanya masing-masing. "Dengan ucapanmu ini, kita tidak hendak ganggu kau terlebih jauh, sekarang juga kita hendak pulang untuk sampaikan itu pada suhu."
Mereka lantas masuk kedalam buat pepayang Cie Lim
yang terluka, kemudian dengan ajak Cie Po mereka berlalu.
Dengan mata merah dan mencorong, Cie Seng awasi
empat orang itu, goloknya ia masih pegang, dari mulutnya Ia perdengarkan ketawa menghina.
"Cie Seng, inilah aku tidak nyana!" kata Cie Hian pada ciehunya itu seraya ia banting-banting kaki. "Kau telah lakukan perbuatanmu, aku tidak berdaya lagi untuk
lindungi kau. Sekarang baik kau lekas angkat kaki
meninggalkan Han-tiong, kau pergi ke Kwan-tiong untuk
berdiam beberapa tahun disana. Jikalan kau tidak
menyingkir, pastilah kau bakal celaka!"
Tidak saja Cie Seng tidak sudi dengar nasihat itu bahkan ia jadi sengit, ia angkat goloknya.
"Kau jangan perdulikan aku !" kata ia dengan keras.
"Aku akan tanggung perbuatanku! Pembesar negeri tidak
kirim opas untuk tawan aku, kenapa aku mesti kabur"
Syukur jikalau Pauw Cin Hui tidak datang cari aku, akan tetapi andaikata ia lupai perhuhungan kita sebaga guru dan murid, aku juga tidak akan berlaku sungkan lagi terhadap dia !"
Cie Hian mendongkol melihat akan sikap kepala balu
itu, ia jadi sangat jengkel, hingga ia banting-banting kaki.
"Biar bagaimana aku telah lakukan kewajibanku
terhadapmu!" ia kata. "Kita ada bersanak, aku tidak tega melihat kau menghadapi ancaman bencana, tetapi sekarang aku tidak berdaya. Nah, semua terserah kepadamu !"
Sehabis berkata begitu, dengan menghela napas
berulang-ulang Cie Hian angkat kaki.
Cie Seng antap orang pergi, lantas ia hiburkan nyonya
tua itu, yang ketakutan bukan main.
"Tidak apa-apa," Ia-pun hiburkan kekasihnya ketika ia
masuk kedalam kamar. "Aku telah usir mereka itu, mereka tentu tidak akan berani datang pula !"
Nyonya Louw menangis, agaknya ia manja sekali.
"Sekarang pergi kau siapkan itu uang tigapuluh tail
perak," kata ia. "Kau mesti lekas serahkan uang itu pada keluarga Louw agar dia segera menikah pula, supaya kitapun bisa menjadi suami-isteri yang syah."
"Kau jangan kuatir, dalam satu atau dua hari aku akan
bereskan itu," kata Cie Seng.
Akan tetapi sekali-pun mulutnya mengucap demikian,
namun didalam hati ia sangsi, ia masgul. Dengan pelahan-lahan, lenyaplah amarahnya yang tadi dibangkitkan karena sikap garang dari Cie Lim bersama, hingga sekarang ia bisa berpikir dengan tenang
"Benar aku telah belajar silat tiga tahun dan Cie Cun
semua bukannya tandinganku," demikian ia pikir. "Akan
tetapi, kalau aku mesti layani Si tua-bangka she Pauw, itulah bukan main-main. Jangankan si tua-bangka sendiri, umpama kata Cie Tiong saja seorang yang datang, habislah aku ... "
Cie Seng-pun lantas pikirkan itu uang tiga puluh tail
perak untuk ganti kerugian pada keluarga Louw, sedang
untuk beri persen pada Tie Sam dan Si nyonya Kwee, ia
membutuhkan lagi sepuluh tail. Dari mana ia bisa garuk uang itu selagi ia bukan seorang hartawan" Ia ada punya belasan bahu sawah, namun semua itu ia hanya disewakan kepada orang lain, hasil mana ia pakai hidup bersama isteri dan anaknya.
Kadang-kadang ia masih alami ketekoran, tapi sekarang
ia perlu empat-puluh tail uang kontan. "Apakah aku mesti jual sawahku itu?" ia berpikir. "Tapi hari masih panjang dan kalau isteriku ketahui perbuatanku ini, tidakkah dia akan gusar dan kalap?"
-ooo0dw0ooo- Jilid 02 SEKARANG Cie Seng insyaf, ia masgul bukan main. Ia
berpikir untuk pulang, ia kuatir Pauw Kun Lun
mencegatnya di tengah jalan. Minggat" Ia benar-benar
merasa berat buat melakukannya. Syukur buat ia, dalam
kesulitan itu kekasihnya telah hiburkan ia.
Selama itu, sang tempo lewat tanpa dirasa.
Tiba-tiba dari luar ada terdengar suara yang nyaring dan garang, "Cie Seng, keluarlah!"
Bukan main terkejutnya Cie Seng karena ia kenali suara itu. Tapi ia samber goloknya.
"Siapa yang datang?" tanya nyonya Louw yang juga
kaget, hingga ia cekal orang punya lengan.
"Kau jangan tanya," jawab Cie Seng yang tolak tubuh
orang. Ia bertindak keluar, mukanya pucat, tangannya yang memegang golok bergemetar. Ketika ia muncul di pintu, ia lihat diluar ada berdiri gurunya, yang tubuhnya besar dan garang laksana pagoda besi! Air mukanya guru itu, dengan kumis dan jenggot yang putih, diliputi dengan hawa
kemurkaan. Di belakangnya guru ini ada Lauw Cie Wan,
Tan Cie Cun dan Ma Cie Hian.
Pauw Cin Hui lantas saja angkat goloknya.
"Cie Seng, apakah kau masih kenal padaku?" guru ini
menegur, suaranya angker.
Cie Seng rasai seperti guntur menyamber kepalanya,
hingga tubuhnya gemetar. Dalam keadaan mogok seperti
itu, ia dapat satu pikiran. Maka segera ia angkat tangannya, yang menyekal golok, untuk memberi hormat.
"Bagaimana aku boleh tidak kenal suhu?" kata ia.
"Kau masih kenal aku, bagus?" kata sang guru seraya
manggut-manggut. "Mari kau ikut aku!"
Cie Seng dengan terpaksa ikut gurunya itu. Di
belakangnya itu ada turut Cie Cun bertiga.
Mereka pergi keluar dusun, sampai di kaki bukit,
ditegalan. Disini Pauw Kauwsu hentikan tindakannya, ia berpaling menghadapi muridnya sambil menunjuk dengan
tangannya yang menyekal golok.
"Tapi kau telah lukai Cie Po dan bilang bahwa kau
hendak putuskan perhubungan diantara guru dan murid,
malah kaupun tantang aku datang kemari, adakah itu
benar" " guru ini tanya.
Cie Seng geleng kepala.
"Aku tidak mengucap demikan," ia menyangkal dengan
terpaksa. "Mana aku berani" Mengenai Pauw Suko dan Ciu Suko, aku lukai mereka karena terpaksa, karena mereka
hendak rampas jiwaku, dalam bingungku aku kesalahan
gunai golokku ... !"
"Dia mendusta, suhu!" Cie Cun dan Cie Wan berseru.
"Dia memang licin!"
"Diam kau!" kata sang guru, yang goyangi tangan
kepada dua muridnya itu. Ia hadapi pula muridnya yang
kepala besar, ia bersenyum dingin. "Kau jangan takut," ia bilang. "Kau telah lukai kedua suhengmu itu, tidak apa, itu malah menunjukkan bugeemu yang sempurna. Seumur
hidupku, aku paling gemar melihat orang punya bugee
liehay. Juga tidak keliru pembilanganmu bahwa kau ingin tempur aku. Selama tigapuluh tahun dikalangan kang-ouw, belum pernah ada seorang juga yang berani lawan aku,
tanganku jadi gatal, maka sekarang muncul seorang
muridku yang ingin main-main denganku, ini ada sangat
menggirangkan hatiku. Mari, kau boleh maju Aku tidak
perlu dengan bantuan siapa juga, mari kita adu golok
dengan golok, sampai sepuluh jurus. Aku tidak mestikan kau menangi aku, cukup asal kau sanggup menangkis, asal dalam sepuluh jurus kau sanggup lindungi jiwamu, aku
akan lempar golokku, aku rela patahkan tanganku, supaya selanjutnya, untuk selama-lamanya, aku tidak terima murid pula!"
Cie Seng tidak berani maju sekalipun ia sudah ditantang.
Keterangan dari sang guru, yang telah kendalikan
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
amarahnya, membikin ia takut, hingga giginya bercatrukan.
"Aku tidak berani lawan suhu, aku tidak menantang,"
kata ia. Pauw Kun Lun tertawa dingin.
"Pengecut!" kata ia sambil menuding, sikapnya keren.
Kemudian ia tambahkan, "Kau telah menyangkal, baiklah.
Tapi kau ganggu isteri orang, dengan itu kau telah langgar pantangan kita yang paling utama! Adakah itu benar?"
Giginya Cie Seng masih bercatrukan, ia manggut.
Melihat orang manggut, dengan sekonyong-konyong
amarahnya guru silat itu jadi meluap, hingga air mukanya jadi merah
padam, kedua biji matanya melotot, mengeluarkan sinar sangat tajam.
"Bagus!" berseru ia, yang angguk-anggukkan kepala.
"Kau telah berjina, itu artinya kematian! Hayo berlutut, supaya Sukomu bisa hukum mati padamu!"
Guru ini gapei Tan Cie Cun, maksudnya supaya murid
itu yang wakilkan ia jalankan hukuman itu.
Titah itu membikin tangannya Cie Cun sedikit
menggetar. Mukanya Cie Seng menjadi pucat, dalam takutnya itu, ia masih mau hidup, maka dengan tiba-tiba ia lari ke arah Selatan. Bukan alang-kepalang murkanya Pauw Kauwsu.
"Kau hendak mabur kemana?" ia berseru, terus ia
mengejar. Iapun serukan murid-muridnya akan ikuti ia.
Guru silat tua ini bisa lari keras, sebaliknya Cie Seng, yang ketakutan lari dengan pikiran kalut dan bingung, maka belum banyak tindak, ia sudah kecandak. Selagi jarak
mereka ada dua tindak, Cin Hui loncat seraya ayun
goloknya ke arah bebokong muridnya.
Dalam keadan sebagai itu, Cie Seng ada sebagai seekor
binatang mogok, karena iapun masih sayangi jiwanya, ia tak ingin binasa secara kecewa. Dengan tiba-tiba ia putar tubuhnya, ia ayun goloknya untuk menangkis.
Kapan kedua senjata bentrok satu pada lain, suara
nyaring dan keras segera terdengar. Hampir Cie Seng
menjerit karena ia rasakan tangannya sakit bukan main, goloknya terlepas dengan lantas. Tidak buang tempo lagi ia kabur keatas bukit.
Pauw Kun Lun gusar sangat, ia menguber pula tapi ia
mesti mendaki bukit, inilah hebat, sebab di sebelah sudah berusia lanjut, tubuhnya-pun ada gemuk sekali, ia tidak bisa geraki kedua kakinya seperti di tanah datar, baru beberapa tindak, napasnya sudah memburu.
Napasnya Pauw Kun Lun mendesak, mukanya dari
merah padan menjadi pucat, keninganyapun segera keluar, turun menetes.
"Jangan kau perduli akan aku!" ia berseru seraya banting kaki. "Pergi naik keatas bukit, gusur turun pada Cie Seng!"
Cie Hian tahu tabiat gurunya itu.
"Kau jaga suhu," ia kata pada Lauw Cie Wan, sedang
Ce Cun ia ajak mengejar ke atas bukit. Tatkala mereka
sampai di atas, mereka lihat Cie Seng sedang lari naik disebuah puncak. Tentu saja mereka tidak sanggup
menyusul, memang sebenarnya mereka tidak niat mengejar terus. Maka itu mereka berdiri mengawasi saja.
"Tak dapat kita susul dia," Cie han kata. "Lagi-pun
kalau kita dapat tangkap ia, apa kita hendak bikin" Apa benar-benar kita bisa serahkan dia pada suhu untuk suhu bunuh nanti" Apakah itu tidak akan menerbitkan
kesulitan."
"Aku lihat tabiat suhu jadi hebat sekali," Ci Cun jawab.
"Tubuh suhu sudah kurang kuat, lebih baik kita tengok
padanya buat diajak pulang dulu."
Cie Hian manggut.
Keduanya lantas berlari-lari turun. Mereka dapat
menbujuki guru mereka. Cie Hian tolong bawakan golok
gurunya, Kun-lun too. Cie Wan dan Cie Cun pepayang
guru ini akan turun gunung, setelah mana, mereka terus berjalan pulang.
Selama di tengah jalan, napasnya guru silat ini masih
mengorong, sesampainya di rumah, lantas saja ia rebahkan diri untuk beristirahat, maka itu, tidak lana berselang, napasnya telah kembali tenang seperti biasa.
Cie Lim yang terluka, yang lukanya tidak hebat,
hampirkan ayahnya, buat menghiburkan, tapi ia justru
menyebabkan kemurkaannya ayah itu terbangun pula.
"Dasar tahang nasi!" membenlak ayah ini sambil
banting-banting kakinya. "Kau tidak pernah belajar
sungguh-sungguh, sekarang kau kena dilukai oleh satu
murid yang belajar belum empat tahun! Kalau kejadian ini tersiar, apakah aku tidak malu! Pasti orang tertawakan aku, habislah nama baikku selama empat puluh tahun!"
"Cie Seng tentu tak dapat lari jauh," sang anak masih
coba menghibur. "Dia ada punya rumah tangga, lagi dua
hari dia mesti pulang ke rumahnya. Kalau dia tidak pulang, terlebih dahulu aku nanti labrak anak isterinya!"
"Telur busuk!" Pauw Kauwsu mendamprat. "Ucapaimn
adalah ucapan bangsat! Cie Seng yang langgar aturan, ada apa hubungannya dengan anak-isterinya" Lekas pergi!"
Dalam mendongkolnya Pauw Kauwu mendupak.
Cie Lim lari keluar.
Cie Han bertiga Cie Cun dan Cie Wan kembali
menghiburi dan membujuki guru mereka, tetapi sang guru ada terlalu mendongkol untuk bisa lekas dibikin sabar.
"Sekarang juga kau berangkat dengan tunggang kuda!"
guru ini titahkan Cie Hian. "Kau pergi ke Ci-yang panggil ke tiga Suhengmu! Mereka mesti segera berangkat!"
Cie Hian terima titah itu, tetapi hatinya takut bukan
main, diam-diam ia keluarkan keringat dingin. Ia keluar akan siapkan kuda, dengan itu ia pulang dahulu ke kota, ke rumahnya.
"Hebat," kata ia, yang ketemui isterinya kepada siapa ia tuturkan lelakonnya Cie Seng dan perintahnya gurunya.
"Sekarang lekas kau pergi pada encie misanmu, suruh dia pergi pada suhu akan mohon sambil berlutut, supaya suhu suka kasih ampun pada ciehu Cie Seng ... Kau tidak tahu,"
ia tambahkan, "di Cie-yang, jie suheng Liong Cie Teng, sam-suheng Liong Cie Khie, dan cit-suheng Kee Cie Beng, semua bugeenya tinggi dan hatinya telengas, jikalau mereka datang, jiwanya Cie Seng tidak dapat ditolong lagi. Nah, lekas kau pergi, kau minta enciemu empo anaknya pergi
pada suhu!"
Nyonya Ma, ialah Lie-sie, turut perkataan suaminya,
dengan sewa keledai ia lantas berangkat ke rumahnya Cie Seng.
Cie Hian taat pada gurunya, tidak ayal lagi ia berangkat ke Cie-yang.
Ketika itu Oei-sie di rumahnya sudah ketahui apa yang
terjadi dengan suaminya. Ia gusar dan benci suaminya
kalau dia ingat suaminya sudah main gila kepada
perempuan diluaran, tapi mengingat yang jiwa suaminya
terancam bahaya maut, ia jadi berduka dan bingung, hingga ia menangis. Selagi ia bersusah hati, datanglah Lie-sie, adik misannya. Ketika itu Siau Hoo pergi keluar dusun dengan bawa-bawa toyanya, dan Siau Louw sedang tidur.
"Oh, kau datang, adikku!" sambut saudara itu.
"Ya enci," sahut Lie-sie.
"Aku datang dengan kabar jelek."
Lie-sie lantas tuturkan halnya Cie Seng.
"Aku sudah ketahui, aku justeru sedang pikirkan urusan itu."
"Enci jangan bingung," kata Lie-sie, yang lantas
sampaikan pesan dari Cie Hian. "Enci mesti bertindak
cepat." Nasihat ini membikin Oei-sie bersangsi. "Bagaimana aku bisa lakukan itu?" kata ia. "Tidak biasanya aku pergi ke rumahnya Pauw Kausu, sedang sekarang aku mesti
memohon belas kasihannya ..."
"Tetapi daya lain tidak ada enci." Lie-sie bilang. "Aku nanti lihat anakmu, kau lekas pergi pada Pauw Kauwsu,
kau mesti berlutut di depannya dan mohonkan keampunan
bagi jiwa suamimu!"
Oei-sie kena didesak.
"Baiklah, aku akan pergi mencobanya," kata ia, yang
terus sisirkan rambutnya dan salin pakaian yang bersih. Ia pergi sambil berpikir. "Apakah tidak keterlaluan jikalau aku berlurut di depannya Pauw Kausu" " Ia masih sangsi ketika ia sampai di depan rumahnya Pauw Cin Hui. Kebetutan
sekali, seorang lelaki umur tigapuluh lebih yang tubuhnya kate, keluar dari pintu depan.
"Numpang tanya, apakah Pauw Kauwsu ada di rumah"
" ia tanya orang itu sambil memberi hormat. "Aku ada
isterinya Kang Cie Seng, aku hendak ketemui Pauw
Kauwsu untuk mohon ampun bagi Ci Seng ..."
Orang itu ada Lauw Cie Wan.
"Oh, kau teehu!" kata ia. "Kau lebih baik tidak usah
ketemui suhu. Sekarang suhu sedang gusar, dia tidak mau kenal siapa juga, diapun lagi pegang goloknya sampai aku sendiri tidak berani bicara kepadanya. Teehu ... " ia lantas bicara seperti berbisik, "lekas kau pulang, kalau Kang Sutee pulang, nasehatkan padanya untuk segera menyingkir jauh, kalau tidak, satu kali dia kena ditangkap, jiwanya mesti melayang! Kita tidak sanggup tolongi dia ..."
Dalam bingungnya, Oei-sie tidak berdaya, maka ia
pulang dengan pikiran kalut dengan air mata berlinanglinang. Ia ketemui Lie-sie untuk beritahukan kegagalannya.
Ia minta adik misan ini temani ia.
Itu hari lewat dengan tidak ada terjadi suatu apa, Kang Cie Seng pun tidak pulang sorenya, Ma Cie Hian pulang
dengan diikuti oleh Liong Cie Teng, Liong Cie Khie dan Kee Cie Beng.
Cie-yang ada kota dimana daun teh ada hasil tanaman
utama, disitu berkumpul saudagar-saudagar teh, karena
setiap hari, setiap waktu, tak putusnya orang angkut teh ke Kwan-tiong, Sucoan Utara dan daerah sungai Han. Dimana ada banyak saudagar, perusahaan piauw-tiam pun maju,
dan itu, sekalipun kotanya kecil, piauw tiam ada terdapat belasan, tetapi yang paling besar adalah Ceng Wan Piauwtiam dengan ketuanya Cie-yang Sam Kiat, tiga jago dari Cie-yang, ialah Coan-in-yan Liong Cie Teng si Walet
Awan, Cie-san hauw Liong Cie Khie si Harimau Gunung,
dan Po-long-kauw Kee Cie Beng si Ular Naga. Mereka ini
sangat terkenal untuk Siamsay, Hoo-lam dan Su-coan.
Mereka ada murid-muridnya Pauw Cin Hui, dan itu
mereka, atas panggilan mendesak, sudah datang dengan
segera. "Kang Cie Seng sudah langgar aturan kita," berkata
Pauwsu kepada tiga muridnya itu. "Tidak saja ia telah
ganggu orang punya istri iapun sudah lukai kedua
suhengnya, ia menghina gurunya sendiri."
"Ya, kita sudah dengar semua dari Cie Hian, suhu,"
sahut Long Cie Teng bertiga, dengan sikap sangat hormat.
"Bagus!" berkata guru itu. "Sekarang kau bertiga aku
kasih tempo sepuluh hari cari Cie Seng untuk dibawa
menghadap padaku. Umpamakan tidak bisa tangkap hidup,
kau boleh kutungi saja batang lehernya, bawa kepalanya buat beri lihat padaku!"
Liong Cie Teng bertiga terima perintah, dengan tidak
banyak omong lagi mereka undurkan diri, lantas dengan
bekal senjata, mereka pergi ke Lam San, akan mulai
mencani Cie Seng. Sampai sore baru mereka pulang dengan tangan kosong. Mereka ambil tempat di rumah guru
mereka. Besoknya pagi, sehabis bersantap, mereka keluar pula akan melanjutkan mencari Cie Seng. Demikian,
sampai lewat tiga empat hari mereka tidak mampu cari sang sutee yang apes.
Di kaki gunung, di rumahnya nyonya Kwee, Cie Seng
juga tidak kedapatan, sedang si nyonya Louw yang manis sudah pulang ke rumah orangtuanya di Kiong-kee-cung.
Kabarnya, pihak Louw dan Kiong telah berperkara dimuka tiekoan berhubung dengan kelakuannya si nyonya mantu
yang serong itu. Karena perkara ini, polisi telah datang dua kali ke rumah Cie Seng akan cari padanya yang tidak dapat diketemukan. Ada orang bilang, Cie Seng sudah buang diri
dan binasa di jurang yang curam, ada yang kata ia telah minggat ke Sucoan Utara, bahwa kecuali Pauw Kauwsu
tetah menutup mata, tidak nanti dia berani pulang.
Kabar perihal mati atau minggatnya Cie Seng itu tersiar luas di dusun. Oei-siepun dapat tahu. Nyonya ini menangis siang dan malam sampai karena Siau Houw, anaknya yang
kecil, jadi jatuh sakit, hingga ia repot mengobati. Dilain pihak, Siau Hoo, si anak sulung, belum tahu apa-apa setiap hari ia pergi memain sambil bawa-bawa toyanya, kalau
ketemu pohon, ia labrak pohon, kalau ketemu tembok, ia hajar tembok, hingga sekalipun semua anjing kampung
takuti ia dan ngacir begitu melihat ia.
Di Pauw-kee-cun ada empat atau lima puluh anak-anak,
ada sejumlah yang usianya terlebih tua daripada Siau Hoo, akan tetapi diantara mereka itu tidak ada satu yang tidak menyerah atau takuti dia.
Demikian pada suatu tengah hari, sehabisnya bersantap, Siau Hoo pergi ngelayap pula seperti biasanya, sesudah sore dan gelap baru ia pulang. Ia ada punya roman atau
potongan seperti ayahnya, malah terlebih cakap dan gagah, tapi itu sore ia pulang dengan seluruh tubuhnya penuh
lumpur, keringat dan darah, bajunyapun robek. Hanya
meskipun demikian, ia tidak menangis, ia berjalan masuk dengan tindakan gagah. Ia lempar toyanya ke pinggir, ia angkat kepalanya akan awasi golok ayahnya yang
digantung di tembok, kemudian ia buka pakaiannya yang
robek, ia ambil air akan cuci muka, akan susuti keringat dan darah. Dengan tidak berpakaian, kelihatan nyata tubuhnya yang montok.
"Ibu, ada punya makanan apa?" ia tanya ibunya.
Oei-sie awasi anaknya itu, ia bengong.
"Kau, kau berkelahi dengan siapakah?" tanya ibu ini.
Siau Hoo kelihatan pandang perkelahiannya ringan
sekali. "Aku berkelahi dengan Toa Ga dan Jie Gu dari Sie-kee-cun," jawab ia. Ia artikan si orang she Gu engko dan adik. "Bersama mereka berdua ada lagi tujuh atau delapan anak lainnya. Mereka beramai telah kepung aku tetapi
mereka tidak sanggup layani bugeeku yang tinggi aku hanya kalah kepada mereka, kalau aku toh berdarah, itu
disebabkan aku kena diserang dengan Hui piauw!"
"Apa" Mereka gunai piauw" " tanya Oei-sie dengan
kaget. "Bukankah piauw terbuat dari besi dan ujungnya
tajam?" Siau Hoo geleng kepala.
"Itu bukannya piauw besi, hanya batu," ia beri
keterangan . "Tidak apa, satu enghiong atau hoohan, kalau dia terkena piauw, tidak ada artinya! Ibu, aku ingin belajar kuntauw!"
Oei-sie kembali terkejut, tetapi berbareng ia gusar.
"Kau hendak belajar silat?" ia tegasi. "Apakah kau tidak tahu urusannya" Biarnya ayahmu bersalah, jikalau ia tidak belajar silat pada si orang tua she Pauw, tidak nanti sampai terjadi begini rupa terhadap dirinya! Sekarang dia kena didesak oleh pihak Pauw sampai tidak ketahuan dia masih hidup atau sudah mati! Dan kau masih hendak belajar
silat?" Setelah kata begitu, Oei-sie menangis dengan tak dapat dicegah lagi.
Siauw Hoo tidak dapat mengerti ibunya itu.
"Ayah sih bernyali kecil!" kata ia dengan sengit. "Kalau ayah pulang, mereka itu bisa bikin apa" Jikalau mereka kepung ayah, aku nanti bantu ayah lawan mereka!"
"Sudah, sudah!" Oei-sie kata seraya banting-banting
kaki. "Jangan kau terbitkan onar. Kau tentu belum tahu, tua bangka she Pauw itu sudah beri datang tiga harimau!"
Siau Hoo malah jadi semakin gusar.
"Aku nanti hajar mampus harimau itu!" ia berseru.
Oei-sie jadi berduka melihat puteranya demikian kepala besar, terus ia ambil nasi dan sayur, atas mana, anaknya itu segera dahar dengan cepat sekali, sesudah mana anak ini masuk kedalam, naik ke pembaringan dan tidur.
Oei-sie benahkan piring mangkok, anaknya yang kecil
nangis, maka ia bujuk bayi itu sampai anak itu tidur pulas, maka ia rebahkan anaknya disampingnya si anak sulung.
Siau Hoo tidur nyenyak, ia menggeros. kemudian
rupanya ia mimpi, ia geraki tangannya, ia mengepal-ngepal seperti orang hendak menyerang, maka ibunya segera geser tangan anak itu dimasukan kedalam selimut.
Tidak bisa Oei-sie turut tidur, ia pergi keluar, ia ambil penjahitan akan tambal pakaian yang robek dari anaknya.
Api ada kelak-kelik.
Berapa lama ia bergadang Oei-sie tidak tahu, tempo ia
terperanjat karena ada angin menyerang masuk dari depan, tempo ia angkat kepalanya dan menoleh, akan melihat, ia dapatkan pintu sudah terpentang dan satu orang bertindak masuk. Ia kaget hingga ia mau berteriak. Tapi ia urung menjerit, karena segera ia kenali suaminya.
"Eh, kenapa kau pulang?" tanya ia dalam kagetnya.
Pakaiannya Cie Seng sudah tidak keruan, kotor dan
robek disana-sini, rambutnya kusut awut-awutan, kumisnya panjang, malah tubuhnya kelihatan kurus, kulit mukunya kuning dan perok. Perubahan itu terjadi hanya dalam
beberapa hari. Ia bertindak masuk tetapi romannya ada
ketakutan sangat.
"Bukankah kita masih ada punya uang beberapa tail" "
kata ia pada isterinya, suaranya sangat pelahan. "Kau lekas keluarkan dan beri aku, aku hendak menyingkir dari sini!"
Oei-sie lantas saja menangis, air matanya meleleh.
"Kau hendak menyingkir kemana !" ia tanya.
Cie Seng goyangi tangan.
"Kau tidak usah tanya. Lekas ambil itu uang," kata ia.
Oei-sie menangis, ia masuk kedalam akan buka
terombolnya. Cie Seng sendiri jambret goloknya di tembok, kemudian
ia sendok semangkok nasi dingin yang ia cabak dan
masukkan kedalam mulutnya Oei-sie muncul dengan uang
di tangan ketika ia lihat kelakuan suaminya itu.
"Apakah tidak baik aku panasi dulu nasinya" " Tanya ia.
"Masih ada sisa sayur ..."
"Tidak usah," sahut Cie Seng, yang kembali goyangkan
tangannya. Ia dahar dengan cepat. "Aku mau pergi
sekarang juga!" ia tambahkan kemudian, dari tangan
isterinya, ia sambuti uangnya, yang ada lima atau enam tail, ia belesakkan kedalam sakunya. Ia cabak pula nasinya.
Ketika itu air matanya meleleh keluar, ia ulur tanganaya akan cekal tangan isterinya.
"Aku menyesal," kata ia, dengan suara pelahan dan
sukar. "Aku masih muda, aku lakukan satu kekeliruan.
Tetapi aku tidak sangka yang keluarga Pauw ada demikian kejam. Jikalau aku tidak menyingkir, umpama kata aku
kena ditawan mereka, habislah jiwaku. Aku hendak cari
satu sahabatku yang pangku pangkat, maka itu aku harap di
belakang hari aku nanti bisa sambut pada kau dan anakanak kita ..."
Oei sie menangis sesegukan hingga ia tak dapat bicara.
"Aku tidak barani diam lama-lama disini," Cie Seng
tambahkan, sekalipun romannya sangat berat. "Aku hendak berangkat sekarang! Tidak perduli kau ketemu siapa, jangan beri omong bahwa malam ini aku pulang!"
Setelah berkata begitu, ia bertindak keluar. Tapi tiba-tiba ia merendek, ia putar tubuhnya.
"Bagaimana dengan Siau Hoo?" tanya ia.
"Siau Hoo sudah tidur," sahut sang isteri, yang air
matanya masih meleleh.
Cie Seng agaknya niat tengok dahulu anaknya itu, tetapi sedetik saja, ia ubah pula pikirannya, maka ia terus
menghela napas. Ia buka pintu dan terus pergi keluar.
Oei-sie hendak hantar suaminya, tetapi daun pintu segera ditutup oleh suaminya. Dengan suara yang menyatakan
takutnya, suami ini kata, "Kau jangan turut keluar."
Mau atau tidak, Oei-sie merandek.
Dengan bawa goloknya, Cie Seng bertindak di sepanjang
tembok menuju ke Utara. Ia berindap-indap dan nyelusup mirip dengan seorang pencuri. Begitu lekas ia sudah sampai di mulut kampung, lantas saja ia lari sekeras-kerasnya, tetap menuju ke Utara.
Ketika itu kira-kira jam dua. Dilangit ada banyak
bintang, rembulan sedang bersisir. Angin musim Cun bikin Cie Seng berasa tubuhnya sangat dingin dan bergidik. Ia masih lari terus walaupun di jalan itu ia tidak ketemu seorangpun, hanya disana-sini terdengar gonggongan
anjing. Jalanan ada tidak rata, itu menyukarkan baginya,
dua-tiga kali ia terpeleset dan jatuh malah satu kali hampir ia tercebur ke air, ia jadi semakin ketakutan, ia seperti merasa ada orang kejar ia. Hampir ia putus asa dan hendak belesakkan saja kepalanya kedalam lumpur di sawah, agar ia mati kelelap seorang diri ... Atau dilain saat hampir ia berhenti berlari-lari, buat batalkan niatnya kabur untuk samperi saja Pauw Kun Lun buat adu jiwa! Akan tetapi
keinginannya untuk hidup ada terlebih keras, dari itu, melawan segala kesukaran, ia lari terus dalam gelap petang itu.
Lama-lama Cie Seng rasakan kakinya sakit.
Justeru itu cuaca fajar mulai tertampak.
Di sebelah depan, ia lihat bukit yang tinggi.
Ia tahu bahwa ia sudah lintasi batas kota Tin-pa. Ia
lantas berhenti berlari akan benarkan napasnya yang
mengorong. Setelah itu, dengan limbung ia lanjutkan
perjalanannya. Di Timur, cahaya matahari mulai tertampak.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cie Seng pandang tubuhnya, ia lihat bahwa ia telah jadi tidak keruan macam. Sudah begitu, ia juga bawa-bawa
golok terhunus.
"Siapa lihat aku, dia bisa curiga, dia pasti sangka aku ada orang jahat," pikir ia. Maka untuk jalan lebih jauh, ia lempar goloknya ke sawah. Ia jalan dengan lawan rasa sakit di kakinya.
Benar ketika langit terang, pemuda ini sudah lewati
mulut gunung. Itu ada salah satu cabang dari gunung Tay Pa San, yang tidak teralu tinggi, tapi jalanannya sulit dan sukar, banyak sekali pengkolannya dan tidak rata.
Sesudah jalan lebih jauh kira-kira seratus tindak, Cie Seng dengar burung-burung berkicau dan lihat beberapa
ekor elang terbang di atasan kepalanya. Ia memandang
kesekitarnya, ia tidak lihat orang, hatinya sedikit lega. Maka terus ia duduk di atas sebuah batu. Ia loloskan sepatunya yang sudah pecah, hingga pasir dan kolar halus masuk
kedalamnya. Inilah yang bikin ia sakit. Tempo ia buka kaos kakinya, ia lihat kakinya melepuh disana sini. Dengan
kertak gigi melawan rasa sakit, dengan kukunya ia
pecahkan semua melepuh itu, akan keluarkan airnya. Tentu saja ia tidak berani beristirahat lama-lama disitu, ia pakai pula
kaos kaki dan sepatunya akan lanjut lagi perjalanannya. Ia baru melalui beberapa tindak, ia sudah rasakan sakit bukan buatan, tempo ia paksa akan bertindak terus, hampir ia tak dapat injak tanah. Maka akhirnya ia numprah pula di tanah. Ia robek ujung bajunya buat bikin dua potong tali, sambil membungkuk ia ikat sepatunya
untuk ia bisa jalan pula.
"Sebenarnya aku lakukan kejahatan besar bagaimana
maka orang desak aku sampai begini?" ia berpikir selagi tangannya bekerja. "Di Lam San aku mesti mendekam
bermalam-malam dan sekarang di Utara sini aku mesti
bersengsara begini rupa" Bagaimana andaikata aku berhasil melewati gunung ini" Apakah aku bakal dapat hidup terus atau binasa?"
Cie Seng berjalan, pikirannya kusut. Ia gusar bercampur masgul dan berkuatir, ia merasa sangat lelah dan letih, kakinya sakit, perutnya berbunyi keruyukan karena
laparnya. Ia paksakan jalan terus, setindak dengan setindak, setiap tindak ia meringis akan tahan rasa sakitnya. Ia baru jalan beberapa puluh lie ketika ia dapat dengar di sebelah belakangnya ada suara congklangnya kuda, suara dari
beberapa ekor kuda yang berkumandang di lembah-lembah.
Ia kaget, hatinya goncang, tapi ia lekas berpaling ke
belakang, hingga ia tampak empat ekor kuda sedang
dikaburkan ke jurusannya. Selagi rombongan kuda itu
mendatangi lebih dekat, iapun jadi kaget tidak terkira. Di depan ada tiga penunggang kuda dengan tubuh yang besar, tapi yang keempat ada terlebih besar pula, mukanya
berkumis brewokan, mukanya merah bengis, dia itu adalah si guru silat tua, Pauw Cin Hui alias Pauw Kun Lun!
"Habislah aku!" berseru pemuda ini dalam hatinya,
semangatnya terbang. Lupa akan sakit pada kakinya dan
lupa akan letihnya, ia lompat berbangkit untuk terus lari ke bukit.
"Cie Seng! Kau masih memikir untuk lari?" demikian
suara seperti guntur dari Pauw Kun Lun.
Cie Seng sedang merayap naik ketika ia dengar suara itu mendadak kakinya jadi lemas hingga ia rubuh. Ia masih
mencoba gulingkan diri, buat bangun pula dan lari, apa mau, keempat kuda telah datang dekat, yang paling depan ada Coan in-yan Liong Cie Teng dengan mukanya yang
biru dan brewokan, yang romannya sangat bengis, dia ini sudah lantas ayun cambuknya pada orang punya kepala.
Cie Seng menjerit, kepalanya sakit dan pusing sekali,
tidak tempo lagi ia rubuh pula, akan tetapi walaupun
demikian, ia ingat dirinya, ia berbangkit untuk coba kabur.
Selagi berbangkit, iapun murka, maka ia mendamprat.
"Kawanan jahanam! ..."
Kata-kata itu belum habis dikeluarkan, akan Cie Seng
merasakan dadanya sangat sakit, kepalanya pusing,
tenaganya habis, hatinya hendak pertahankan diri, segera ia rubuh untuk tidak ingat apa-apa lagi, karena disaat itu ia telah terbinasa!
Pauw Kun Lun di atas kudanya hendak ulapkan
tangannya akan tetapi ia sudah terlambat, Liong Cie Khie sudah loucat turun dari atas kudanya, ia tubruk Cie Seng dengan membarengi satu tusukan hebat pada orang punya
dada, sesudah mana, ia cabut goloknya untuk terus disusuti bersih pada bajunya korban itu.
"Sudah selesai, suhu!" berkata murid ini. "Mari kita
pulang!" Pauw Kun Lun duduk melengak di atas kudanya,
matanya mengawasi kepada murid murtad itu, walaupun
romannya tetap bengis, akan tetapi sekarang air mukanya berubah sedikit, terang ia merasa terharu atau kasihan.
Po-long-kauw Kee Cie Beng loncat turun dari kudanya.
"Sam-suko, kau terburu napsu," ia sesalkan suheng itu.
"Seharusnya kita bicara dulu, akan tanya dia ..."
Muka hitam dari Liong Cie Khie nampaknya bersemu
gelap, tanda dari kemarahan.
"Buat apa tanya orang semacam dia?" ia menjawab
dengan ketus. "Jikalau dia dikasih hidup, lantas kita kaum Kun Lun Pay tidak ada muka untuk bertemu kepada lain
orang!" Liong Cie Teng beranggapan seperti Cie Beng.
"Suhu belum kata apa-apa, mengapa kau lantas
binasakan dia" " ia tegor adiknya itu.
Cie Khie sedang mendongkol, ia hendak bantah
engkonya itu, tapi Pauw Kun Lun sudah datang sama
tengah. "Kau jangan bikin banyak berisik!" demikian guru ini.
"Lemparkanlah mayatnya kedalam selokan."
Tiga saudara seperguruan itu lantas berhenti bicara. Cie Beng dan Cie Khie lantas hampirkan mayatnya Cie Seng
untuk diangkat.
Cie Beng rasai ada uang didalam saku bajunya Cie Seng, ia keluarkan itu, ia serahkan pada gurunya.
Pauw Kun Lun sambuti uang itu, yang enteng, diduga
beratnya cuma lima atau enam tail. Ia mengerti, tadi malam Cie Seng pulang untuk ambil uang, guna dipakai ongkos
kabur ... Cie Khie dan Cie Beng telah gotong mayatnya Cie Seng
yang mereka terus lempar keselokan, seperti titah gurunya.
"Mari kita pulang!" Kata Pauw Kun lun akhirnya.
Mereka larikan kudanya dengan pesat, maka mereka
lekas sampai di Pauw-ke-cun.
Begitu lekas ia sampai didalam rumahnya, tidak saja
amarahnya Pauw Cin Hui telah buyar anteronya, malah ia nampaknya lesu.
Cie Teng bertiga masuk kedalam buat terus bersantap.
Cie Lim muncul dengan tongkat di tangan, tubuhnya
bongkok-bongkok, ia hampirkan ketika saudara angkat itu.
"Bagaimana?" tanya ia dengan perlahan, seraya angkat
kepalanya. "Apakah Cie Seng dapat disusul?"
Cie Teng bertiga sedang repot pada nasi dan arak,
ketiganya tidak menjawab.
"Apakah Cie Seng berhasil dibinasakan?" Cie Lim tanya
pula "Kasi tahu padaku, tidak apa, aku tidak nanti kasih tahu itu pada lain orang ..."
Mendengar itu, Liong Cie Teng tepuk meja dengan
cawan araknya. "Sutee, mengapa kau mengucap begini?" ia menegur.
"Kita bukannya tukang bekerja di kalangan Rimba Hijau, cara bagaimana kita bisa sembarang bunuh orang" Kita
ikuti suhu akan kejar Cie Seng, kita hanya niat hajar dia sampai setengah mati, habis perkara, sayang kita tidak dapat candak padanya. Mungkin tadi malam kau telah
keliru melihat, orang yang keluar dari rumahnya bukannya dia."
Cie Lim nampaknya putus harapan kapan ia dengar
jawaban itu, ia jadi sengit.
"Lambat atau laun toh jahanam itu akan mampus juga!"
ia berseru. "Tunggu saja, lihat!"
Lantas ia samber dua cangkir arak, ditenggak habis
dengan bergantian. Dengan masih terbongkok-bongkok,
karena menahan sakit, ia ngeloyor keluar, tongkatnya ia pakai sebagai andalan. Ia berniat minta keterangan dari ayahnya. Ketika ia tarik daun pintu kamar ayahnya, ia
dapatkan sang ayah sedang empo Ah Loan, sang cucu
perempuan, yang asyik diajak bermain. Sekalipun demikian romannya ayah ini yang bengis sungguh tidak senang untuk dipandang. Ia tahu ayah itu sedang berduka, maka ia batal menanyakan, terus ia kembali akan ngeloyor ke kamarnya sendiri.
Diwaktu tengah hari, Liong Cie Teng, Liong Cie Khie
dan Kee Cie Beng pamitan dari gurunya untuk mereka
kembali dengan segera ke Cie-yang.
Ma Cie Hian semua melengak melihat keberangkatannya
ke tiga saudara angkat itu. Mereka itu pulang, teranglah sudah bahwa tugas mereka telah selesai.
Oleh karena Cie Seng ada ia punya sanak, Cie Hian jadi takut untuk pergi ke rumahnya sanaknya itu, ia kuatir Oei-sie nanti minta keterangannya.
Cie Wan dan Cie Cun turut terharu, meskipun
persahabatan mereka dengan Cie Seng tidak kekal, toh
mereka ada sesama kawan seperguruan. Pepatah ada
bilang, kalau "kelinci mati, rusa berduka". Mereka pun lantas merasa, sungguh sulit akan muridnya Pauw Kun Lun
... Pauw Cin Hui sendiri itu hari, kegembiraannya lenyap
anteronya. Ia lesu dan masgul nampaknya, sehingga lenyap juga napsu makannya. Di waktu tengah hari guru ini tidak dahar, hanya ia tidur.
Malamnya Pauw Cin Hui raba sakunya, disitu ia
dapatkan uangnya Cie Seng, lantas saja ia menarik napas panjang. Ketika ia toh duduk bersantap, ia kelihatan ada sangat masgul. Sehabis bersantap, ia bertindak keluar dari rumahnya.
Ketika itu langit sudah gelap, semua pintu rumah telah dikunci, semua ada sunyi kecuali tukang ronda dengan
kentongan atau gembrengnya.
Seorang diri Pauw Kauwsu bertindak ke rumahnya Cie
Seng. Dimuka pntu pekarangan ia merandek, akan
memandang ke dalam melewati pagar. Dan dalam rumah
muncul sinar suram, rumah itu ada sangat sunyi. Ia lantas rogoh sakunya akan keluarkan uangnya Cie Seng, terus ia lempar kedalam pekarangan.
"Inilah uang yang Cie Seng bekal untuk minggat,
sekarang uang ini tidak dapat dipakai, maka aku
kembalikan pada kau," kata ia dalam hatinya, "kau boleh pakai uang ini ..."
Guru silat ini balik tubuhnya untuk berlalu, atau segera kupingnya dengar tangisannya seorang bayi. Ia tahu Cie Seng ada punya satu anak yang dilahirkan belum lama.
Maka itu ia jadi sangat berduka. Ia menghela napas, terus ia pulang.
Di hari kedua, Pauw Kauwsu bangun pagi-pagi seperti
biasa, dengan roman tenang seperti biasanya ia pimpin
murid-muridnya meyakini ilmu silat, akan tetapi hatinya ada tidak tenteram.
Semua murid belajar dengan baik-baik mereka bisa lihat, gurunya tidak sehat segar seperti biasanya, sedang sekarang guru itu sering-sering kerutkan atau menhela napas.
Sebelumnya peristiwa ini terjali, mereka belum pernah lihat guru itu menarik napas.
Maka itu, mereka jaga supaya mereka jangan lakukan
kesalahan. Sehabis belajar mereka bekerja seperti biasa, pelihara kuda, meluku dan lain-lain. Tidak ada orang yang malas-malasan, tidak ada yang berani bersendaugurau.
Selang tujuh atau delapan hari kemudian, Lou Cie
Tiong, si murid kesayangan, pulang dari Han-tiong. Dia tiba sesudah malam, maka itu dia terus pulang ke
rumahnya, adalah keesokannya pagi, baru ia pergi pada
gurunya. Begitu memasuki pekarangan, ia sudah jadi heran sendirinya. Cuma ada tiga orang yang sedang berlatih, ialah Cie Hian, Cie Wan dan Cie Cun. Dan selagi ia bertindak ke pintu, ia pun lihat Cie Lim keluar dengan tubuh termiring-miring, mukanya pucat dan perok, seperti orang sakit berat.
Menampak suheng itu, Cie Lim segera berseru: "Oh,
suheng, kau baru pulang! Pasti kau telah pelesiran puas di Han-tiong."
Cie Tiong tidak gubris godaan itu.
"Kau kenapa, sutee?" ia balik tanya.
Pertanyaan ini membikin Cie Lim jadi mendongkol.
"Jangan kau tanya!" ia kata dengan ketus.
Cie Tiong heran, ia menoleh pada Cie Hian bertiga, akan tetapi mereka ini tetap berlatih silat, tidak ada yang berikan penyahutan. Maka keheranannya jadi bertambah. Tidak
tempo lagi ia cepatkan langkahnya, untuk masuk kedalam.
Pauw Cie Lim ikut masuk.
"Bagaimana dengan lukanya kandaku?" ia tanya.
"Ia sekarang sudah bisa jalan," Cie Tiong jawab.
Sebentar kemudian, murid she Lou ini telah sampai
didalam, ia dapati gurunya sudah bangun tidur dan sedang minum teh. Ia lantas maju memberi hormat.
"Mari duduk!" guru itu mempersilahkan, tangannya
menunjuk kursi di sisinya.
Ia pun terus menanya "Bagaimana dengan lukanya Cie
In?" "Ketika aku sampai di Han-tiong, luka di kakinya suko
sudah sembuh," Cie Tiong menyahut. "Untuk beberapa
hari aku tinggal disana, tempo aku pamitan pulang ia sudah bisa turun dari pembaringan dan bisa jalan tanpa orang pegangi lagi. Suko pesan supaya suhu jangan kuatir dia. Ia kata ia harap lain bulan ia bisa pulang buat tengok suhu."
Guru itu manggut-manggut, agaknya ia puas. Kemudian
ia tanyakan hal perusahaan Piauw di Han-tiong dan tentang murid-muridnya disana.
"Sekarang pergilah kau betistiahat," kata guru ini
akhirnya. Sesudah ia dapat jawaban dari muridnya itu.
Cie Tiong lihat gurunya kurang gembira, ia tidak berani banyak omong, lantas saja ia undurkan diri dan keluar. Tapi ia tidak terus pulang, ia tunggui Cie Hian semua selesai berlatih, segera ia hampirkan mereka itu.
"Mana Cie Po?" paling dahulu ia tanya.
Cie Hian tidak lantas menjawab, hanya sambil
mendekati ia kedipkan mata.
"Tak usah kau tanya," Cie Cun menyahuti. "Kalau nanti
ada ketikanya, kita beri keterangan padamu."
Itu waktu kelihalan Pauw Kauwsu muncul di pintu,
maka Cie Hin bertiga kembali berlatih, masing-masing
dengan tangan kosong, golok dan toya.
Cie Tiong berbangkit menghampiri gurunya, dengan
siapa ia lalu bicara dengan sikap sangat menghormat. Ia bicarakan hal-hal yang ia tampak di Han tiong. Ia tapinya omong tidak lama, terus pamitan pulang.
"Aneh." pikir murid ini di tengah jalan. "Selama aku
tidak ada disini, mesti ada terjadi sesuatu diantara
saudaraku ..." ia menduga-duga. "Mestinya ada perkara
hebat. Kenapa suhu beroman luar biasa" Kenapa Cie Hian semua tidak mau lantas bicara?"
Sesampainya di rumah, karena ia telah merasa heran Cie Tiong utarakan keheranannya itu pada isterinya.
"Sejak kau berangkat, tidak ada satu suteemu yang
datang kemari," sang isteri beri tahu. "Aku sama sekali tidak dengar apa-apa prihal kejadian diluaran."
Cie Tiong berdiam, hatinya berpikir. Matanya bentrok
dengan barang-barang pesanannya Cie Seng yang ia dapat beli, ialah pupur dan yancie dan rupa-rupa cita dan benang.
"Sebentar selagi hantar semua barang ini pada Cie Seng, aku hendak minta keterangan dari padanya," ia berpikir.
"Sebenarnya apakah sudah terjadi" Kenapa diapun tidak
datang belatih" Apakah ia sakit?"
Cie Tiong terus bersangsi, sampai saatnya ia bersantap tengah hari. Ia sedang dahar ketika Cie Hian muncul.
"Duduk, Sutee," ia mengundang. "Kebetulan aku
hendak cari kau! Kenapa tadi aku tidak lihat Cie Po dan Cie Seng?" Ia terus tunjuk barang-barang di atas meja. "Semua itu ada pesanannya Cie Seng yang aku telah belikan, aku niat antarkan ke rumahnya, kebetulan kau datang, tolong kau saja yang bawakan, dengan begitu aku jadi tak usah berabe lagi"
Cie Hian menoleh ke barang-barang yang dihunjuk itu,
air mukanya segera menjadi suram, ia berduka.
"Semua itu taruh saja dahulu disini," ia jawab. "Kita
justeru tak dapat cari Cie Seng ..."
Cie Tiong terperanjat dan heran, ia awasi sutee itu.
"Belum ada belasan hari sejak kau pergi, disini telah
terjadi peristiwa hebat," Cie Hian lanjutkan. "Ini adalah satu onar ... Cie Po dan Cie Lim telah terluka, suhu gusar bukan kepalang! Aku telah dititah suhu pergi ke Cie-yang akan panggil saudara-saudara Liong dan Kee ... Mereka itu baru saja beberapa hari yang lalu berangkat pulang lagi. Cie Seng ..."
Buat metanjutkan bicaranya, Cie Hian datang lebih dekat pada Cie Tiong, lantas dengan suara perlahan ia tuturkan apa yang sudah terjadi.
Cie Tiong kaget, air mukanya sampai berubah. Ia
melengak sekian lama.
"Jikalau begitu terang Cie Seng sudah binasa ... " kata ia kemudian,
"Jikalau dia belum binasa, cara bagaimana suhu bisa
antap Cie Teng semua pulang?" Cie Hian baliki.
"Cie Seng cari penyakit sendiri, kebinasaannya tidak
terlalu harus disedihkan, hanya kasihan isteri dan anak-anaknya. Isterinya belum berumur tigapuluh, dua anaknya, satu baru berumur duabelas tahun, yang satunya belum satu tahun ... Kau tahu sendiri, isterinya Cie Seng adalah encie misannya isteriku ... Kita ada bersanak dekat tetapi sudah sejak beberapa hari aku tidak berani pergi ke rumahnya Cie Seng, asal aku pergi kesana, mesti isterinya menangis ..."
Cie Tiong kerutkan dahi.
"Kenapa perkara jadi begini rupa" " kata ia. "Ketika aku hendak pergi, Cie Seng telah pesan semua barang ini,
tatkala itu aku suda curiga, aku sudah nasehatkan padanya, siapa sangka ... " Ia menghela napas pula.
"Aku lihat tadi suhu ada lesu, padaku ia tidak omong
sama sekali tentang perkaranya Cie Seng ini. Apa bisa jadi ia bunuh Cie Seng karena ia sedang sangat murka dan
sekarang ia menyesal?"
"Tidak bisa jadi," Cie Hian kata seraya ia goyang
tangan. "Suhu bertabiat keras, mana bisa jadi setelah
berbuat, ia menyesal" Aku peryaya suhu masih tidak puas sekalipun ia sudah binasakan Cie Seng, karena Cie Seng sudah langgar pantangan dan berani lawan suhu. Atau ia berkuatir kelak ada sanaknya Cie Seng yang ketahui
duduknya hal dan akan masukkan dakwaan kepada
pembesar negeri ..."
Cie Tiong berdiam, ia bersangsi, karena itu Cie Hian pun demikian, maka kesudahannya mereka berpisahan dengan
sama-sama dalam kemasgulan.
Di hari kedua, Cie Tiong juga datang ke rumah gurunya
untuk belajar silat seperti biasa. Ia belajar dengan rajin, ia bekerja dengan hati-hati. Pada gurunya ia tidak tanyakan tentang Cie Seng.
Selang beberapa hari, Cie Lim dan Cie Po sembuh,
mereka turut belajar seperti biasa.
Pauw Cin Hui juga mengajar seperti biasa, malah
sekarang ia tidak suka menghela napas lagi, ia nampaknya tidak lesu seperti beberapa hari yang lalu.
Demikianlah, guru dan murid berkumpul seperti biasa,
kecuali sang murid kurang satu. Sedang tidak jauh dari rumah perguruan ini, di rumah keluarga Kang, jumlah
anggota keluarga jadi terdiri dengan janda muda dan dua anak piatu ...
Siau Hoo ada anak kecil, ia tetap bawa caranya sendiri, setiap hari ia kelayapan dengan tidak pernah ketinggalan toyanya, kenyang makan, ia tidur, bangun tidur, ia memain.
Hanya dasar anak umur duabelas tahun, ia ingat juga
ayahnya, sesudah sekian lama ia tak tampak ayahnya itu.
Diapun heran melihat ibunya setiap hari kucurkan air mata, hingga kemudian ia juga jadi tidak gembira akan kelayapan pula.
"Eh, ibu kenapa ayah masih belum pulang juga?" suatu
hari ia tanya ibunya.
"Bukankah aku pernah beri kau tahu?" sang ibu balasi.
"Ayahmu pergi kelain propinsi untuk cari sahabatnya,
dalam satu atau dua tahun ini ia tidak akan pulang."
Siau Hoo kerutkan dahi.
"Itulah tidak benar," kata ia, "aku hendak pergi susul ayah!"
Entah kenapa, air matanya bocah ini lantas meleleh
turun. Kemudian anak ini lihat ibunya teteki adiknya, tetapi
diam-diam ibu itu menepas air matanya, hingga ia jadi
heran. "Mestinya ibunya dustakan aku," ia pikir. Ia lantas
menduga-duga. "Dalam hal ini perlu tanya lain orang ..."
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dilain harinya, pagi-pagi sekali, Siau Hoo keluar dan
rumahnya, ia tidak lupa bawa toyanya. Ia menuju ke
rumahnya Pauw Kun Lun. Ia berdiri diluar pintu
pekarangan, ia memandang ke dalam dimana orang asyik
belajar silat. Pauw Kun Lun sedang berikan pelajarannya.
Disitu pun ada ia punya Ie-thio, Ma Cie Hian.
"Dahulu ayah pun belajar di sini dan ia ada terlebih
pandai daripada yang lainnya." Pikir ini bocah, yang
ingatannya tajam.
Tiba-tiba dengan bawa toyanya, Siau Hoo lari masuk, ia hampirkan Cie Hian kaki siapa ia terus cekal.
"Ie-thio, kau mesti beri keterangan!" berkata ia dengan polos. "Sebenarnya kemana perginya ayahku?"
Cie Hian sibuk hingga ia tidak lantas jawab
keponakannya itu.
Melihat orang menggerecok, Cie Lim menghampiri.
"Pergi, pergi!" ia mengusir, seperti ia gebah anjing saja,
"Bocah dari mana datang kemari" Awas nanti kau terkena golok dan tombak! Pergi, hayo pergi!"
Siau Hoo tidak pergi, ia tidak takut, malah sekonyongkonyong dengan toyanya ia sodok perutnya si pengusir itu.
"Aduh!" berseru Cie Lim, yang terus pegangi perutnya.
"Anak kurang ajar, kau berani pukul aku?"
Apabila disitu tidak ada ayahnya, Cie Lim tentu sudah
gunai goloknya akan hajar bocah itu, siapa sekarang ia melainkan bentak seraya pelototkan kedua matanya.
Siau Hoo benar-benar tidak takut malah ia jadi gusar, ia berlompat seraya geraki pula toyanya, untuk ulangi
serangannya. Cie Hian lantas maju, ia cekal ujungnya toya.
Cie Tiong dan lain-lainnya berhenti berlatih, mereka
awasi tingkahnya bocah itu.
Pauw Kauwsu sudah lantas menghampiri, ia perlihatkan
roman yang bengis.
"Eh, bocah, kenapa kau datang-datang serang orang" " ia menegur. Ia memang lihat kelakuannya anak kepala besar itu.
Golok Yanci Pedang Pelangi 1 Lencana Pembunuh Naga Karya Khu Lung Pedang Ular Merah 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama