Ceritasilat Novel Online

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 12

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 12


baru saja injak kota Tiang-an yang besar, sekarang Siau Hoo lihat kampung halamannya sendiri menjadi jauh
terlebih kecil dan buruk.
Disini Siau Hoo tak ingin tarik perhatian orang banyak, sudah sejak diluar kota ia telah turun dari kudanya, ia berjalan sambil tuntun binatang tunggangan itu, tetapi begitu lekas berada didalam kota, mendadak ia seperti
rasakan kedua kakinya jadi berat dan dadanya seperti
tertindih benda, hatinya bagaikan diiris-iris, kedua matanya-pun pedih.
Dijalan besar dimana ada banyak orang berhilir mudik,
Siau Hoo kenali beberapa orang antara siapa ada yang
tubuhnya jadi kurus atau pakaiannya compang camping
tanda dari kemelaratan, mereka itu sebaliknya sudah tidak kenali padanya, sebab sekarang ia sudah jadi tinggi dan besar. Ia tidak mau tegur mereka itu.
Dengan menahankan kesedihan hatinya Siau Hoo
bertindak kearah bengkel besi Ie-thionya, Ma Cie Hian. Apa mau, begitu lekas sudah sampai di depan pintu pekarangan,
air matanya bercucuran dengan tidak dapat dicegah lagi.
segera ia tambat kudanya ditiang papan merek, ia
memandang kedalam rumah, yang gelap dan sunyi
bagaikan gua saja. Ia tidak dengar suara tingting-tongtong yang berisik, juga di kantoran ia tidak lihat seorang-pun juga, hingga ia jadi heran. Dengan tindakan berat ia
bertindak masuk.
"Ie-thiok! Ie-thiok" ... ia memanggil-manggil, suaranya serak, saking ia tahan kesedihannya.
Dari sudut tembok lantas muncul satu bocah umur
sebelac dan dua belas tahun, matanya kesap-kesip, karena ia sedang ngelenggut. Siau Hoo ingat, dulu ia-pun ada sebesar bocah ini.
"Mau beli apa?" bocah itu tanya.
"Aku tidak mau belanja aku hendak cari Ma Ciang-kui,"
Siau Hoo jawab.
Bocah itu, sambil berdiri dimuka pintu, lantas
memanggil kedalam: "Ciang-kui, ada tamu!"
Dari dalam, samar-samar ada terdengar suara jawaban.
Selagi berdiri menantikan, Siau Hoo melihat kesekitarnya. Barang-barang dibengkel itu sedikit sekali.
Ditembok ada tergantung tiga buah kwali yang penuh debu.
Ditanah ada bergeletakan beberapa buah kepala pacul.
Semua itu menandakan sudah lama tak ada pembeli datang kebengkel itu. Ini-pun ada tanda yang hidupnya Ma Cie han tidak berbahagia, maka itu keponakan ini jadi makin
berduka. Sebentar kemudian dari dalam kelihatan berjalan keluar satu orang tubuh siapa ada kurus dan mukanya kuning,
pakaiannya sudah ada tambalannya, dan kuncirnya, yang
dililit diatas kepalanya, kotor dengan debu. Hampir saja Siau Hoo tidak dapat mengenali Ie-thionya itu.
"Ie-thio!" ia memanggil dengan suara susah sesudah ia
mengawasi sekian lama, air matanya bercucuran. Ia-pun
maju untuk memberi hormat sambil menjura.
Ma Cie Hian heran, ia mengawasi dengan kedua mata
dibuka lebar. "Apakah kau Siau Hoo?" akhirnya ia tanya.
"Ya, Ie-thio," jawab Siau Hoo. "Sudah sepuluh tahun
kita berpisah ... "
Suaranya pemuda ini tidak tegas, nyata ia ada sangat
berduka. Ma Cie Hian jadi girang bukan main, kedua tangannya
diulur untuk samber orang punya tangan yang besar dan
kuat. "Oho, kau pulang, anak yang baik!" ia berseru. "Kau
benar-benar bersemangat, aku kagum terhadapmu! Mari,
mari masuk kita bicara didalam!"
Dan ia tarik keponakan itu.
Siau Hoo mengikuti, hatinya tegang. Ia diajak kedalam
dimana Lie-sie, isterinya Cie Hian, sedang masak nasi.
Nyonya ini, setelah lewat sepuluh tahun, jadi jauh terlebih tua. Dulu, dimasa muda, ia gemar pakai pupur dan yancie, akan tetapi sekarang, ia ada kurus, perok dan kuning
mukanya, pakaiannya-pun buruk. Ia heran ketika ia tampak suaminya masuk bersama satu pemuda tinggi besar, yang
kulitnya hitam.
"Kenalkah kau siapa pemuda ini?" tanya Cie Hian pada
isterinya, sambil tertawa.
Lie-sie segera mengenali, akan tetapi ia agak ragu-ragu.
"Apakah dia Siau Hoo?" ia tegaskan.
"Ie!" memanggil Siau Hoo, yang memberi hormat
dengan menjura pada bibi itu.
"Siapa lagi jikalau bukannya dia!" Cie Hian sahuti
isterinya itu. "Kau lihat, dia betul-betul satu laki-laki! Aku tidak sangka bahwa misanku ada punya putera demikian
jempol." Walau-pun ia bergirang dan bergembira, tidak urung,
selagi mengucap demikian, matanya Cie Hian mengembeng
air dan air mata suci itu terus meleleh turun.
"Duduk, duduklah," ia persilahkan keponakannya itu.
Siau Hoo duduk atas tikar rombeng diatas pembaringan.
"Ie-thio, bagaimana keadaanmu selama belakangan ini?"
ia tanya, air matanya masih saja mengalir.
"Sudah, jangan sebut-sebut itu," sahut Cie Hian sambil goyangkan tangan dan menghela napas. "Selama beberapa
tahun ini panen gagal, kalau tidak kering, tentu kebanyakan air, sedang perdagangan didalam kota ada buruk. Sudah
berjalan dua-tiga bulan dapurku belum pernah dinyalakan, hingga aku tidak sanggup pakai pegawai lagi, kecuali satu muridku, yang menjaga rumah. Diwaktu siang aku berdiam dirumah, diwaktu malam sehabisnya dahar, aku pergi
keluar kota akan bantui Khiong Kee jin di Khiong-keechung menjaga rumah. Dengan begini barulah aku bisa
peroleh semangkok rangsum kasar dan tidaklah sampai
kelaparan. Hanya dalam beberapa tahun ini aku sering
diganggu penyakit, bukan sedikit uang aku mesti keluarkan untuk berobat. Ah ... "
Baru ia menghela napas, atau Cie Hian sudah bicara
pula, tapi sekarang dengan berbisik.
"Sebenarnya siapakah gurumu?" demikian ia tanya.
"Kau datang dari mana" Apakah kau tidak pernah ketemu
Kie Kong Kiat, si tua bangka she Pau dan Ah Loan
semua?" "Aku telah ketemukan mereka kecuali Pau Kun Lun,"
sahut Siau Hoo sambil manggut. Terus ia tuturkan
pengalamanna sejak kabur dari dusunnya itu.
Cie Hian girang hinga alisnya berdiri, ia unjukkin
jempolnya. "Sekarang ini kaulah yang jadi enghiong nomor satu
dalam dunia kangouw!" memuji ia. "Sejak itu hari kau
ketemu gurumu di Cin Nia dan ia ajak kau pergi, si tuabangka she Pau dan semua orang Kun Lun Pay lantas
ketakutan sendirinya, semua kuatir kau nanti datang
sesudah kau belajar sempurna. Si tua-bangka she Pau
nikahkan Ah Loan dengan Kie Kong Kiat-pun karena ia
harap tenaganya cucunya Liong Bun Hiap itu bisa
digunakan untuk rintangi kau!"
Siau Hoo menghela napas.
"Sekarang aku tidak terlalu kesusu lagi." ia terangkan.
"Aku percaya Pau Cin Hai, dua saudara Liong serta Kee
Cie Beng tidak bakal lolos diri ujung pedangku. Aku akan bekerja pelahan-lahan."
"Hanya aku harap kau jangan bertindak keterlaluan,"
Cie Hian beri nasehat.
"Kedatanganku sekarang itu adalah untuk menengoki Iethio berdua serta juga ibu dan adikku, Siau Loan ... "
Selagi mengucap demikian, pemuda ini kembali teteskan
air mata. Cie Hian menghela napas pula.
"Kemarin kau tengok encie misan, bagaimana
keadaannya?" ia tanya isterinya.
"Ia belum sembuh," sahut Lie-sie yang kerutkan dahi.
"Batuknya jadi bertambah-tambah. Tentang Siau Loan,
belum ada kabarnya. Perusahaannya Tang Toa ada buruk,
higga si Hok dan si Siu jadi kurus dan mukanya kekuning-kuningan."
Lagi-lagi Cie Hian menghela napas.
"Siau Hoo, jangan kau bersusah hati," ia menghiburkan.
"Ibumu menikah pula dengan Tang Toa karena sangat
terpaksa. Ayahmu dahulu ada wariskan beberapa bau
sawah serta sebuah rumah tetapi semua itu telah dirampas oleh sanakmu dan dijual. Umpama ibumu tidak menikah
pula, tidak nanti ia sanggup derita hidup sengsara selama sepuluh tahun, dan kau niscaya tak tenteran hatimu
menuntut pelajaran."
Siau Hoo manggut-manggut, air matanya masih saja
mengalir. "Tokonya Tang Toa telah ditutup sejak lima atau enam
tahun yang lalu," Cie Hian beri keterangan lebih jauh. "Ia tidak mampu tukar lain macam penghidupan, terpaksa
setiap hari ia keluar masuk gang sambil menabuh tiktok menjadi tukang kelontong. Dengan begitu bisa jugalah ia lewatkan hari. Tentang adikmu, Siau Loan, ia sekarang
sudah berusia dua atau tiga belas tahun sejak tahun yang baru selam, ia diajak oleh seorang Shoasay pergi ke Ie-sie di Hoo-tong, untuk belajar dagang. Kabarnya saudagar itu, orang she Kut, ada berdagang beras. Sekali Siau Loan ada menulis surat kepada ibunya, sesudah itu ia tidak pernah menulis lagi. Sedari masuk dalam rumah keluarga Tang,
ibumu telah melahirkan pula tiga anak, yang satu sudah menutup mata, dan yang lain yang besaran, si Hok
namanya, ada anak perempuan, sekarang sudah berumur
delapan atau sembilan tahun. Tabiatnya Tang Toa sangat jelek. Oleh karena setiap hari berduka, sejak dua tahun yang lalu ibumu dapat sakit peparu. Kalau nanti kau tengok
ibumu, kau pasti tidak akan kenali dia. Pada setengah bulan yang lalu. ia masih suka datang kemari. Aku telah
beritahukan ibumu bahwa kau sudah selesai dengan
pelajaran silatmu dan bahwa kau bakal lekas kembali,
mendengar itu ibumu menangis. Ia bilang ia ingin sekali melihat kau."
Mendengar keterangannya Ie-thionya itu, air matanya
Siau Hoo mengucur deras, hingga kedua tangan bajunya
menjadi basah. Lie-sie turut menangis.
"Ibumu harus sangat dikasihani," kata nyonya Ma ini,
sang ie-ie. "Janganlah kau benci ibumu karena selama
sepuluh tahun ia tak perdulikan kepadamu, itu bukan
disebabkan ia tidak mau hanya karena ia tidak mampu.
Semua adalah si tua bangka she Pau yang telah buat celaka kau serumah tangga! Ibumu telah nikah dengan Tang Toa
akan tetapi ia senantiasa ingat padamu, sering-sering ia mimpikan ayahmu. Ibumu bilang, roh ayahmu masih
berada digunung Selatan. Roh itu belum menitis pula.
Dalam impian, ayahmu sering cari ibumu, untuk minta
diberikan nasi dingin untuk ia dahar ... "
Siau Hoo bersedih bukan main hingga ia menangis
menggerung-gerung, ia menjejak tanah saking meluapnya
hawa amarahnya.
Cie Hian, yang turut menangis dengan sedih, goyangkan
tangan. "Itulah tak dapat dipercaya!" kata ia, dengan maksud
mengbibur. "bisa menjadi. setelah menutup mata dua belas
tahun, roh orang masih belum menitis pula" Impian adalah karena pikiran. Ibumu tak dapat lupai peristiwa ketika ayahmu pulang dan terus saja cabak nasi dingin untuk
dimakan, maka itu, ia sering mimpikan itu ... "
Siau Hoo menahan kesedihannya.
"Ie-thio, tolong kau cari ibuku itu," berkata ia. "Biarlah kita, ibu dan anak, dapat bertemu muka ... "
Cie Hian berpaling kepada isterinya.
"Kau pergilah lekas," katanya. "Justeru Tong Toa tidak ada dirumah, pergi kau ajak encie misanmu datang
kemari." Lie-sie menurut, ia segera berbangkit, setelah seka air matanya dan rapikan pakaiannya. Terus saja ia bertindak keluar.
Setelah isterinya pergi, dari kolong meja Cie Hian tarik keluar satu gendul arak.
"Siau Hoo, kau tunggu sebentar," ber kata ia, "aku
hendak pergi kewarung, araknya si Lou untuk ambil sedikit arak, untuk kau minum bersama!"
Siau Hoo lantas saja rogoh sakunya, untuk keluarkan
sepotong perak.
"Aku ada punya uang, ie-thio, pergilah kau beli!" ia
bilang sambil ia angsurkan uang itu. Cie Hian sambuti uang perak itu, terus ia ngeloyor keluar.
Siau Hoo turut keluar akan tuntun kudanya kebelakang
untuk ditambat, pauhoknya ia tinggalkan dipelana, hanya dari buntalannya itu ia keluarkan beberapa lembar uang kertas atau gin-pio, ialah uang simpanannya yang ia
dapatkan dari menang berjudi pada sepuluh tahun yang
lampau. Uang kertas itu ada kepunyaan Lie Thong Cianchong dan berlaku dikampungnya ini.
Tidak lama Cie hian telah kembali bersama arak dan
daging dan phi juga, ia letaki itu diatas pembaringan.
"Siau Hoo, mari minum," berkata ia, "mari dahar!"
Siau Hoo manggut. Akan tetapi ia tidak ada napsu ontuk minum dan dahar, karena hatinya yang keras akan
menemui ibunya.
Mereka duduk belum terlalu lama atau segera diluar di
jendela mereka dengar tangisnya seorang perempuan,
kemudian Liesie muncul bersama Ui-sie, ialah ibunya Siau Hoo.
Begitu lekas Ui-sie lihat Siau Hoo yang ia kenali dengan segera, ia tubruk puteranya itu dan dirangkulnya, ia
menangis menjerit sehingga hampir pingsan, kemudian
sambil batuk-batuk dengan menangis terus, ia berkata :
"Oh, anak, aku tidak sangka aku masih mampu melihat
pula padamu ... Anak, aku telah berlaku tidak pantas
kepadamu ... Baiklah kau jangan aku pula ibumu ini, baik kau pergi membalas dendam saja untuk ayahmu! Tua
bangka she Pau yang kejam itu secara hebat dan
mengenaskan sekali telah binasakan ayahmu, sampai
sekarang roh ayahmu masih bergelandangan didalam
gunung ... Sering-sering ayahmu datang mimpikan aku ...
Pergi lekas kau menuntut balas, sesudah ia tua bangka
dimampusi, baru roh ayahmu bisa menjelma pula! Adikmu
ada di Hoo-tong belajar dagang, ia-pun harus dikasihani, ia tahu yang ia ada punya engko yang gagah, maka setelah
kau membalas sakit hati, pergi kau susul ia di Hoo-tong tengok padanya ... Tentang aku kau tak usah perdulikan pula, aku bukannya ibumu! ... Aku Sakit, aku bakal mati
karenanya. Tetapi sekarang aku bisa lihat kau, aku akan mati dengan mata meram ... "
Ui-sie batuk-batuk, lalu ia muntahkan lendir beberapa
kali, napasnya memburu.
Hampir Siau Hoo tidak berani awasi ibunya itu
menangis sesegukkan, baru ia keraskan hati.
"Ibu, jangan menangis," ia minta sambil mewek. "Aku
ada punya uang lima puluh tail perak, aku nanti serahkan untuk ibu berobat ... Jangan ibu mati, kau harus tunggu sampai aku dan adik Loan nanti rawati kau ... Tentang
musuh kita, ibu jangan buat pikiran, pasti aku akan
menuntut balas!"
Siau Hoo berkerot gigi saking gemas hatinya, kemudian
ia keluarkan uangnya lima-puluh tail, yang ia serahkan pada Ma Cie Hian, habis itu ia berlutut, akan paykui pada ibu dan ie-thionya pada ie-nya juga. Kemudian, ketika ia berbangkit, ia lantas saja ngeloyor keluar.
Cie Hian terkejut. Ia memburu.
"Siau Hoo, tunggu dulu!" katanya. "Kenapa begini
tergesa-gesa" Apakah kau tidak hendak bicara pula kepada ibumu?"
Tapi pemuda itu menggeleng kepala.
"Tidak!" ia menjawab. "Tidak lama juga aku akan
kembali!" terus ia tuntun kudanya keluar.
Cie Hian memburu pula.
"Tunggu, Siau Hoo!" ia memanggil-manggil. "Aku
hendak bicara sedikit ... "
Siau Hoo sudah lantas loncat naik atas kudanya, dengan tidak menoleh lagi ia kaburkan binatang tunggangan itu,
yang ia cambuki berulang-ulang. Ia menuju ke Lam-mui,
pintu kota Selatan, untuk terus kearah Pau-keecun.
Untuk sementara itu lenyap kedukaannya pemuda ini,
hatinya menjadi tegang.
"Bisa jadi si tua-bangka tidak ada di rumah akan tetapi dua puteranya tentu tidak lari jauh," ia berpikir. "Dulu Pau Cie Lim hinakan aku secara keterlaluan kalau sebenar aku ketemu dia, aku mesti bunuh padanya!"
Kudanya pemuda ini lari keras sekali, tanpa terasa ia
sudah memasuki Pau-keecun. Maka segera teringatlah ia
pada kampung halamannya itu, yang ia telah tinggalkan
buat dua-belas tahun. Rumah-rumah disini sudah banyak
yang gugur temboknya,
banyak tumbuh rumput, menandakan kemelaratan.
Di depan rumahnya, Siau Hoo lihat dua orang tua asyik
ngobrol, mereka itu tidak kenali ia, maka iapun tidak mau ketemui mereka. Ia hanya menuju langsung kedepan
rumahnya keluarga Pau. Disini-pun

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada terdapat perubahan. Lapangan untuk belajar silat sudah tidak terurus lagi, tanahya banyak berlobang sedang pintu samping yang menembus kekandang babi, telah ditutup dengn tembok
tinggi. Kedua daun pintu tertutup rapat.
Tiba-tiba hatinya Siau Hoo menjadi panas meluap. Ia
loncat turun dari kudanya, pedangnya lantas dihunus. Ia lompat pada pintu, ia hajar itu dengan gedoran kepalan, sampai beberapa kali.
"Siapa?" tanya suara seorang lelaki dari dalam.
"Aku!" sahut Siau Hoo.
"Kau siapa" Kau she apa?" tanya pula suara dari dalam.
"Aku she Kang! Lekas buka pintu !"
Sengaja Siau Hoo perkenalkan shenya.
Suara didalam itu tidak terdengar pula, dan pintu juga tidak dibuka.
Siau Hoo mundur dua tindak, lalu dengan cekal keras
pedangnya. Ia berdiri menantikan.
Segera juga dari dalam ada orang yang umurnya kirakira tiga-puluh empat atau lima tahun, mukanya kuning, pakaiannya putih, tangannya menyekal golok kun-luntoo, loncat naik ketembok diatas mana dia berdiri.
"Mau apa kau datang kemari?" orang itu tanya.
"Aku Kang Siauw Hoo!" jawab pemuda kita. "Lekas
suruh Pau Cin Hui keluar ketemui aku!"
Orang itu kaget, mukanya pucat.
"Rumah keluarga Pau ini tidak ada orangnya," berkata
ia. "Loo-suhu sudah pergi dari sini pada dua bulan yang lalu!"
"Kau siapa dan kerja apa disini?"
"Aku ada Thio Cie Cay murid kedelapan-belas dari Pau
Kun Lun. Loo suhu perintah aku jaga rumah," jawabnya
orang itu. Siau Hoo lihat orang bernyali cukup besar, ia kagum.
"Baik," kata ia. "Karena kau ada penunggu rumah, kau
tidak ada sangkutannya dengan aku. Coba kau buka pintu, untuk aku masuk ke dalam untuk melihat-lihat."
Cie Cay berdiri dengan lintangkan goloknya, ia
bersenyum dingin.
"Kang Siau Hoo, jangan kau berbuat seperti tidak ada
undang-undang raja," kata ia. "Dengan bawa-bawa pedang kau datang mencari orang, sudah terang kau kandung
maksud tidak baik, maka jikalau aku panggil polisi, pasti kau bakal lantas dicekuk dan digelandang ke kantor
pembesar negeri. Lekas kau pergi dari sini. Disini ada Thie Cie Cay, jangan kau harap bisa memasuki rumahnya
keluarga Pau ini!"
Siau Hoo jadi mendongkol dengan kata-kata yang
terakhir itu, tak berlambat lagi ia segera loncat naik ketembok.
Thio Cie Cay ayun goloknya membacok.
Siau Hoo menangkis dengan pedangnya, dibarengi
sebelah kakinya menendang.
Sekejab saja tubuhnya Thio Cie Cay terpelanting dan
jatuh terbanting, goloknya terlepas dan terlempar.
Siau Hoo loncat turun kedalam, sebelum ia hampirkan
orang she Thio ini, dari kamar rumah sebelah Utara ia
dengar jeritan dari seorang perempuan. Ia lantas berhenti bertindak.
"Pau Cie Lim, kau keluar!" ia berseru. "Kang Siauthayya sudah datang!"
Baru pemuda ini tutup mulutnya atau dari belakang ia
ada angin menyambar, maka ia lekas putar tubuh sambil
menangkis, hingga kedua senjata beradu dengan menerbitkan suara keras dan nyaring. Itulah serangannya Thio Cie Cay yang telah berbangkit dan sambar goloknya.
Ia ada angkatan muda dari perguruan she Pau, selama yang belakangan ini ia telah belajar dengan rajin sekali, hingga ia dapatkan kepandaian melebihi Kat Cie Kiang dan dua
saudara Liong, tidak heran ia jadi berani, malah ia berkelahi dengan sengit, karena ia berniat dapat binasakan orang she Kang ini.
Siau Hoo buat perlawanan dengan tidak hendak buat
celaka lawan ini, ia hanya mencoba akan menendang rubuh dan merampas goloknya lawan, akan tetapi karena ini
mereka jadi bertempur seru, sebab Thio Cie Cay sebaliknya bersungguh-sungguh. Maka selang lima atau enam jurus,
barulah ia jadi habis sabar sendirinya. Begitulah ia
mendesak, pertama ia tekan goloknya lawan, lalu ia
teruskan membabat kearah bawah.
Thio Ce Cay kalah sebat, ia pun tidak sempat berkelit, ujung pedang mengenai pahanya, darahnya segera muncrat, disusul dengan rubuh tubuhnya.
"Jangan sesalkan aku, kau cari penyakitmu sendiri!" Siau Hoo bilang.
Cie Cay kertek gigi, ia mencoba berbangkit untuk
menyerang pula, melihat demikian Siau Hoo dului dupak
padanya terpental dan tersungkur jatuh, goloknya terlepas.
Siau Hoo ambil goloknya itu. Dan melemparkan keatas
genteng. Setelah itu, Siau Hoo lari kearah kamarnya Cie Lim.
"Cie Lim, kau keluar!" ia membentak.
Kembali jeritan orang perempuan di dalam kamar,
jeritan dalam ketakutan.
Mendengar itu Siau Hoo berhenti berlari.
"Jangan takut, aku tidak nanti bunuh kau perempuan,"
ia kata. "Suruhlah Pau Cie Lim lekas keluar! Cie Lim,
ingatkah kau bagaimana kau perhina aku! Hayo, kau
keluar!" Sebagai jawaban, dari dalam terdengar tangisan
perempuan. "Siau Hoo, ampunilah padanya." perempuan itu
meratap. "Semua bisa diberi ampun kecuali dia!" Siau Hoo jawab,
"Dimasa kecil aku tidak dipandang sebagai manusia, tidak juga sebagai babi, sebagai anjing! Maka hari itu aku mesti bunuh padanya!"
Dalam murkanya Siau Hoo mendupak pintu hingga
terpentang, sesuah mana ia nerobos masuk.
Perempuan itu kaget dan ketakutan, ia lari naik keatas pembaringan, ia pentang kedua tangannya, ia menangis.
Dari kolong pembaringan nongol sebelah kaki, Siau Hoo
lihat itu, ia sambar kaki itu untuk dibetot keluar. Dia ketakuan mukanya pucat, tubuhnya menggigil, giginya
bercatrukan. "Siau Hoo, ampuni aku ... " ia lantas memohon. "Dulu
aku ada satu telor busuk, aku memang harus dibunuh mati
... Ampun. Siau Hoo, aku tidak berani lagi menghina kau ...
" Siau Hoo sudah ayun pedangnya ketika ia lihat tubuh
yang bebokongnya melengkung naik, meskipun
ia merangkang, dia mirip dengan seeekor onta. Melihat
seorang bercacat seperti tiba-tiba hatinya berubah. Tapi toh ia mendupak juga.
"Dengan bunuh kau, aku buat kotor pedangku!" Ia
berseru. Cie Lim menjerit, ia usap-usap kempolannya, ia teraduh-aduh.
Lu-sie, sang isteri turun dari pembaringan, untuk berlutut didepan Siau Hoo, ia meratap memohon ampun.
"Kau jangan takut," Siau Hoo bilang. "Aku bukannya
seorang kejam. Kau tahu sendiri apa yang terjadi pada
sepuluh tahun yang lalu atas diriku. Keluarga Pau ini, ayah dan anak, perlakukan aku secara kejam dan hina sekali! ... "
Disebelah luar masih terdengar caciannya Thia Cie Cay.
Ia sudah tidak mampu bergerak tetapi ia masih gusar dan berani, caciannya itu membuat Siau Hoo panas, hingga
Siau Hoo segera bertindak keluar.
Baru pemuda kita sampai dipintu, atau dari tembok ada
orang loncat turun.
Itulah Ma Cie hian yang datang menyusul, napasnya
memburu, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.
"Siau Hoo, jangan keterlaluan " kata ie-thio ini. "Orang yang binasakan ayahmu adalah Pau Cin Hui, anggauta-anggauta keluarganya tidak punya sangkutan apa-apa,
maka janganlah kau membunuh terlalu banyak."
"Pasti sekali aku tidak akan membunuh orang secara
membabi-buta," kata Siau Hoo dengan masih sengit. "Thio Cie Cay ini jikalau ia tidak rintangi aku dan membacok terlebih dulu padaku, tidak nanti aku lukai padanya."
Cie Hian percaya akan kata-katanya ponakannya ini.
"Sudah, kan diam," ia peringatkan Cie Cay, sudah
mana, ia bertindak kedalam.
Pau Cie Lim merangkang menghampirkan saudaranya
seperguruan itu.
"Ma Su-ko, tolong kau mintakan keampunan untukku."
ia mohon. "Supaya keponakanmu tidak bunuh aku ... Dulu aku bersilab, aku memang harus mati ... Aku janji tidak akan berani pula menghinakan keponakanmu itu ... "
Dengan mengancam dengan pedangnya Siau Hoo
tertawa dingin.
"Jikalau aku binasakan orang semacam kau, apakah
sendirinya aku tidak malu?" katanya. "Tetapi kau mesti beritahukan aku sebenar-benarnya, siapakah dulu yang
bunuh ayahku?"
"Tentang itu aku tidak ketahui jelas," sahut Cie Lim.
"Ada yang bilang Liong Cie Khie, tetapi kemudian Cie
Khie katakan bahwa Cie Seng dibunuh oleh ayahku."
"Inilah aku sangsi," Ma Cie Hian bilang. "Belakangan
ini suhu ada berhati dermawan, dia pasti tidak bisa bunuh orang."
Siau Hoo berkerot gigi, saking gusar.
"Biar bagaimana kedua-duanya tak nanti aku beri
hidup!" ia berseru. Ia terus dupak Ce Lim dengan bengis, lantas dengan menahan mendongkolnya hati, ia bertindak keluar.
Dipekarangan, Thio Cie Cay yang terluka masih duduk
bercokol, ia hanya mengawasi berlalunya pemuda kita
tetapi ia mengancam.
"Orang she Kang, jangan kau berlaku keterlaluan," kata ia dengan berani. "Jikalau kau bunuh guruku, di belakang hari mesti ada orang yang akan balaskan dengan bunuh
mati kau juga!"
Ce Hian nemburu akan susul keponakannya.
"Siau Hoo, tunggu! " ia memanggil. "Jikalau kau ketemu guruku, kau boleh tanyakan keteranganya tetapi jangan kau
... "Jangan perdulikan aku, ie-thio!" Siau Hoo putuskan
pembicaran. "Ini bukannya urusanmu!"
Dengan tak gubris Thio Cie Cay, Siau Hoo loncat ke
tembok akan terus keluar, setelah simpan pedanng dalam sarungnya segera loncat naik pada kudanya yang ia beri lari meningalkan Pau-kee-cun, menuju ke Selatan. Ia belum
kabur jauh ketika ia dengar suara yang nyaring tetapi halus, ia tahan kudanya untuk lihat ke sekelilingnya. Di tengah sawah antara gili-gili, ia tampak beberapa anak perempuan, yang sedang bernyanyi-nyanyi.
Itulah ada nyanyian umum didesa yang ia kenal.
Anak yang paling besar usianya belum lebih dari dua
atau tiga belas tahun, pakaian mereka banyak tambalannya dan di lengannya masing-masing ada tergantung sebuah
rantang bambu. Pada matanya Siua Hoo seperti berbayang Ah Loan, hingga ia awasi terus mereka itu.
Dari gili-gili lima bocah itu naik kejembatan, mereka
bernyanyi terus, mereka tertawa dan berpegangan tangan, nampaknya mereka sangat gembira, hingga mereka tidak
perhatikan si penunggang kuda yang awasi mereka.
Siau Hoo lompat turun dari kudanya, akan papaki
mereka itu. "Nyanyian merdu!" ia memuji.
Baru sekarang semua nona-nona cilik itu kaget,
semuanya berdiri diam.
Siau Hoo tertawa, ia mendekati mereka itu.
Dua bocah yang paling kecil kaget dan lari, yang tiga
berdiri diam, namun dengan wajah ke pucatan.
"Jangan takut, nona-nona," kata Siau Hoo pada mereka,
suaranya pelahan dan manis budi. "Aku juga asalnya
penduduk sini."
"Kau bukannya penduduk sini, aku tidak kenal kau,"
kata satu di antara nona cilik itu.
"Aku asal penduduk Pau-kee-cun." Siau Hoo pastikan
"hanya sudah sepuluh tahun aku pergi dari sini dan baru sekarang aku kembali. Aku mau minta keterangan darimu
tentang si orang tua ubanan ialah Pau Kun Lun, dia itu sekarang masih ada dirumahnya atau dia sudah pergi kelain tempat?"
"Sudah lama Pau Kun Lun pergi dari sini," sahut nona
yang besaran, "malah cucu perempuannya juga telah pergi.
Dia bukannya orang baik, tetapi cucu perempuanya benar-benar baik."
Dua nona yang lainnya katik kawan ini, rupanya mereka
hendak cegah kawannya bicara jelek tentang Pau Kun Lun, agaknya mereka takut terancam bahaya.
Siau Hoo dapat lihat sikapnya kedua nona cilik itu, ia jadi gusar.
"Selama sepuluh tahun ini tentunya Pau Kun Lun jadi
galak dan murid-muridnya galak juga," pikir ia. Dilain pihak ia berduka mendengar disebutnya Ah Loan.
"Cucu perempuannya Pau Kun Lun itu apakah
bukannya Ah Loan?" ia tanya."Sebab apa kau bilang ia
oran baik" Coba terangkan."
Siau Hoo bicara sambil tersenyum.
Nona-nona itu rapatkan diri, mereka saling cakal tangan dan mengawasi, agaknya mereka masih curiga. Semua
mereka diam saja.
Diam-diam Siau Hoo menghela napas. Ia melihat
kesekitarnya. Ia tampak, setelah lewat sepuluh tahun, segala apa telah berubah, penduduk situ agaknya telah jadi terlebih
miskin. Kemudain baru ia dapat lihat pohon liu besar
disebelah Utara, dekat jalan besar, yang daunnya jarang, ia lihat banyak bekasnya kampakan. Itu adalah pohon liu yang dulu ia naiki untuk ambil layang-layang di atasnya. Pohon itu jadi tua. Hanya yang buat ia heran, ia lihat bekas beberapa bacokan pada batang bawah dari pohon itu. Itu bukan bekas kampakan, hanya bekas bacokan pedang atau
golok. Lima bocah itu, sambil berpegangan tangan sudah
berjalan dipinggiran, tapi sering-sering mereka menoleh akan lirik pemuda ini, agaknya merasa sangsikan orang
baik-baik. Menampak kelakuannya anak-anak itu, Siau Hoo
tersenyum. "Kau jangan takut," ia kata pula. "Aku betul dimasa
kanak-kanak berasal dari desa ini. Namaku Kang Siau Hoo.
Sebentar kalau kau pulang, kau tanya orang tuamu tentang halku, mereka tentu kenal aku."
Mendengar nama Kang Siau Hoo, anak-anak itu
nampaknya heran, lantas saja mereka mengawasi dengan
terlebih teliti, tetapi sekarang nampaknya mereka tidak lagi takut seperti tadi, bahkan mereka mendekati.
"Apakah benar kau Kang Siau Hoo?" tanya satu
diantaranya. "Benar," Siau Hoo pastikan dengan anggukkan kepala.
"Sudah duabelas tahun aku meninggalkan rumah-tanggaku, baru sekarang aku kembali. Orang tuamu mungkin ada
sahabat-sahabat dan teman-temanku memain dimasa
kanak-kanak."
"Seluruh desa ketahui halmu!" kata satu anak sambil
berjingkrak. "Katanya kau pergi untuk belajar silat, untuk
membalaskan sakit hati ayahmu. Si tua bangka she Pau dan anak murid-muridnya semua takut padamu, itulah
sebabnya kenapa si Pau tua bangka singkirkan diri!"
Siau Hao terharu mendengar keterangan itu.
"Apa katanya penduduk sini tentang aku?" ia tanya pula.
"Semua bilang kau baik!" sahut semua bocah itu.
"Mereka itu justeru harapkan kau lekas kembali! Tua
bangka she Pau itu serta anaknya dan murid-muridnya jahat semua! Mereka sering menghina dan ganggu orang!"
Gusar Siau Hoo mendengar keterangan ini.
"Benar-benar keluarga Pau ayah anak jahat," pikir ia.
"jadi bukan hanya keluargaku saja yang telah jadi korban kejahatannya itu. Benar-benar aku harus basmi keluarga ini untuk singkirkan bencana seluruh desa! ... "
Siau Hoo lantas saja ingin kembali ke Pau-kee-cun untuk binasakan Pau Cie Lim serumah tangga.
"Yang paling jahat adalah si orang she Liong yang hitam dan gemuk, yang bergelar Twie-san-hou, si Harimau
Gunung!" kata satu bocah. "Dia sering datang kemari
dengan menunggang kuda, kudanya sengaja suka ditubrukkan pada orang! Pada tahun yang lalu, karena
urusan beli tanah, ia hajar Tan Tek Cay hingga patah
kakinya tentang itu dengan ancaman dia larang penduduk menguwarkannya!"
"Ayahku juga kena dihajar kakinya oleh si orang she
Liong yang kedua sehingga pincang," kata satu bocah yang kedua sambil meringis! "Belakangan si tua bangka she Pau tanya ayah, kenapa kaki ayah tercacat, ayah kata bahwa ia jatuh dari keledai, ia tidak berani terangkan hal yang sebenarnya!"
Siau Hoo bertambah-tambah gusar. Sekian lama ia
berdiri diam. Akhirnya sambil angguk-anggukkan kepala ia kata, "Sekarang pergilah pulang dan beritahukan ayah dan ibumu bahwa pasti aku nanti bunuh tua bangka she Pau itu serta dua saudara Liong, untuk singkirkan ancaman
bencana bagi kau sekalian!" Kemudian ia tunjuk pohon liu dan tanya. "Siapa yang bacoki pohon ini" Pohon ini toh ada baiknya untuk berikan tempat meneduh bagi orang-orang, kenapa dibacok sana dan bacok sini?"
"Bacokan itu ada bacokan Ah Loan," sahut satu bocah.
"Setiap hari dia naik kuda dan mundar-niandir disini, setiap kali kali lewat dibawak pohon itu dia tentu membacok dua atau tiga kali, agaknya dia membenci sangat pohon ini!"
Siau Hoo melengak.
"Ha, kiranya Ah Loan benci aku!" kata ia dalam
hatinya. "Ia bukan hanya membenci aku tetapi juga pohon ini! Terang dia membenci aku karena urusan dimasa kanak-kanak itu. Kalau begini, buat apa aku memikiri adanya"
Biar dia mati atau hidup di Cin Nia, tidak perlu aku ambil tahu lagi halnya ... "
Sendirinya Siau Hoo lantas tertawa dingin. Ia loncat naik atas kudanya, ia manggut pada kelima bocah itu, lalu ia cambuk kudanya buat diberi lari kearah Selatan.
+dw+ XV

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SIAU HOO PERGI MAKIN LAMA makin jauh,
hatinya panas. Sinar layung dan matahari telah menyoroti ia, sampai ia menikung di pengkolan bukit, darimana ia ambil jalanan untuk Cie-yang. Untuk ini, dari Tin-pa ia mesti lintasi bukit Pa San. Perjalanan ke Cie-yang ada sejauh tujuh-puluh lie, dengan kaburkan kudanya dia akan
bisa sampai dengan cepat, akan tetapi itu sudah jauh lohor, juga ia sedang sangat berduka dan mendongkol, hingga ia rasakan kepalanya pusing, perutnya panas.
"Biarlah aku bersabar hari ini, aku harus cari tempat
mondok," pikir ia, "besok pagi aku lanjutkan perjalananku ke Cie-yang, untuk bunuh Liong Cie Khie, Liong Cie Teng dan Kee Cie Beng bertiga, kemudian baru aku cari Pau Kun Lun ... "
Ia cari satu dusun kecil dimana ia telah singgah. Ia
serahkan kudanya pada jongos untuk dirawat, ia sendiri bawa pauhok dan pedangnya masuk ke kamar yang diunjuk
untuknya. Kemudian datang jongos mengantarkan makanan dan
nyalakan penerangan.
Siau Hoo terus dahar, setelah itu, karena hawa dalam
kamar panas, ia buka bajunya, dan bajunya itu ada jatuh suatu barang, ialah sebelah sepatu yang ia dapatkan
didalam selokan gunung. Ia jadi mendongkol, ia jemput itu untuk dibanting!
"Ah Loan, perempuan tak punya liangsim!" ia mencaci
dalam hatinya. Dengan mendongkol ia duduk diatas pembaringan.
Masih saja ia berpikir.
"Dia ada satu auggauta keluarga dari musuhku, dia-pun
tidak punya liangsim terhadap aku, apakah mesti aku benci dia?" ia tanya dirinya sendiri. "Laginya ... "
Ia lantas ingat pertemuannya paling belakang ini, di Pa Kio, di Tiang an dan di Cin Nia, terutama pertemuan
paling belakang itu ketika malam-malam ia tolong si nona dari penjara gua, ia sendiri yang bilang, "Ah Loan, hayo lekas turut aku!" tapi Si nona dengan suara sedih menyabut:
"Kemana aku turut kau" Jikalau tidak karena kau, aku tidak akan alami peristiwa sebagai ini ... " Kemudian ketika ia kempit si nona untuk dibawa pergi, Si nona menurut saja, sampai ke batu besar dimana si nona ditinggalkan. Adakah itu tanda bahwa si nona tidak punya liangsim?"
"Bukankah itu ada tanda bahwa dia tidak lupai aku,
tentang persahabatan kita?" ia ngelamun lebih jauh. "Apa yang terjadi atas dirinya, semua karena ia tidak berdaya, karena terpaksa ... "
Ingat semua itu, sekejap saja lenyap kebenciannya Siau Hoo pada si nona. Ia-pun segera sangsikan nona itu
terbinasa atau jadi korbannya binatang buas, hingga ia menyesal tidak bisa segera berada di Cin Nia, untuk
mencari terlebih jauh.
Siau Ho, duduk termangu, matanya mengawasi tembok
kamar. "Rupanya aku tidak berjodoh dengan dia ... " pikir ia
pula, dengan duka. "Baiklah aku tidak pikirkan dia terlebih lama, meski ia masih hiduppun, untuk seumurku aku baik jangan menikah dengan dia ... "
Ia turun dari pembaringan, ia jemput sepatu sulam itu, yang ia pandang diantara cahaya api. Itu ada sepatu
sulaman yang halus dan indah, pasti ada buatannya Ah
Loan sendiri. kembali hatinya ketarik.
"Tidak, tidak, aku ada satu laki-laki, putusanku mesti tetap putusanku!" kata ia dalam hatinya ... Dia-pun sudah menikah dengan Kie Kong Kiat, umpama dia benar tidak
mati, aku tidak boleh paksa rampas dia! Umpama dia telah binasa, sepatu ini aku harus kembalikan pada Kong Kiat ...
" Siau Hao masukkan sepatu itu dalam buntalannya,
lantas buntalan itu dijadikan bantal kepala atas mana ia rebahkan kepalanya. Ketika esoknya pagi ia bangun, ia
merasakan tubuhnya segar dan bersemangat, karena
kembali berkobar ingatannya akan musuh-musuhnya. Ia
lantas minta makanan, dan minta kudanya juga disediakan.
maka setelah dahar dan melakukan pembayaran, ia bisa
lantas mulai perjalannya.
Jalanan disini ada dikenal baik oleh Siau Hoo. Dulu-pun ia pernah ikut Long Tiong hiap pergi ke Cie-yang. Ia larikan kudanya dengan keras, maka belum ada tiga jam, ia sudah sampai ditempat tujuannya. Ia tahu Ceng Wan Piau Kiok
dari Keluarga Liong letaknya di Say-kwan kota Barat, tetapi ia lebih dahulu pergi ke Lam-kwan kota Selatan, dimana dia cari sebuah rumah penginapan untuk titipkan kudanya buat digombong tetapi ia buang pelananya dibuka, dengan bilang ia ada punya urusan dan akan kembali dengan cepat.
Ia lantas pergi pula dengan tak lupa bawa pedangnya.
Tuan rumah perhatikan tamunya ini tetapi tiada tanda
yang mencurigai, karena ia tampak orang punya roman
yang tenang. Tidak seperti sedang hadapi urusan sangat penting.
Dengan jalan kaki Siau Hoo menuju ke Say-kwan,
langsung ke Ceng Wan Piau Tiam. Dimuka pintu ia lihat
keadaan ada ramai. Disitu ada berhenti beberapa buah
kereta, dan sejumlah piausu atau pegawai kelihatan keluar dan masuk. Dengan langsung ia bertindak masuk, sampai
beberapa orang segera cegah padanya.
"Eh, kau ada urusan apa" Kau mau apa?" mereka itu
tanya. Siau Hoo tidak menjawab, hanya dengan satu gerakan
tangan ia tolak mereka mundur, ia jalan terus akan masuk kedalam.
Dari kantoran kebetulan keluar satu orang siapa Siau
Hoo kenali sebagai Po-long-kiau Kee Cie Beng si Ular
Naga, ialah satu diantara musuh-musuh pembunuh
ayahnya. Dia ini dulu pernah dilukai oleh Long Tiong
Hiap, sekarang rupanya dia sudah sembuh. Dengan tibatiba amarahnya Siau Hoo meluap. Dengan satu loncatan ia maju akan jambak si Ular Naga itu.
"Orang she Kee, apa kau masih kenali aku?" ia tanya
sambil membentak.
Kee Cie Beng terkejut untuk perlakuan itu, hingga ia
awasi pemuda kita dengan mata terbuka lebar.
"Aha, Kang Siau Hoo!" berseru ia dengan suara separuh
tertahan. Ketika itu, orang yang tadi ditolak mundur, sudah lantas siapkan senjata mereka. Melihat sikap mereka itu, Cie Beng lekas goyang-goyangkan tangan, mukanya menjadi pucat
sekali. Siau Hoo angkat pedangnya, ia pandang semua orang
dengan tertawa menghina.
"Tidak perduli kau ada berjumlah berapa banyak,
majulah semua!" ia kata secara menantang. "Aku Kang
Siau Hoo tidak takut! Jikalau aku datang diwaktu malam, aku bukannya satu laki-laki, dan itu sengaja aku datang siang, semua kau ada merdeka untuk tempur aku! Namun
baiklah kau ketahui, aku datang melulu untuk cari Liong Cie Teng, Liong Cie Khie dan Kee Ce Beng, dengan yang
lain-lainnya aku tidak punya sangkutan apa juga, pasti sekali aku tidak sudi lukai mereka yang bukannya
musuhku! Akan tetapi kalau kau tidak tahu gelagat, mau juga angkat senjata akan layani pedangku ini, itu artinya kau cari mampus sendiri!"
Orang-orang itu ada murid-murid atau cucu-cucu murid
Kun Lun Pay, namun mereka belum kenal siapa orang yang datang ini, setelah mengetahui bahwa pemuda ini Kang
Siau Hoo adanya, tidak ada satu yang berani maju terlebih jauh.
Cie Beng sementara itu, dengan pelahan-lahan mulai
lenyap pucatnya.
"Tuan ... Kang, sabarlah," berkata ia, suaranya tidak
lancar. "Taruh kata kau hendak menuntut balas kau mesti bicara dahulu secara aturan. Sejak beberapa hari yang lalu aku sudah ketahui bahwa kau bakal datang kemari, lain-lain orang telah pada angkat kaki, aku sendiri tidak. Aku tahu aku tidak bersalah, aku tidak harus malu terhadap siapapun.
Ayahmu, ketika ia langgar aturan, suhu perintah Ma Cie Hian datang panggil kita bertiga. Titahnya suhu itu aku tak berani menentangnya tetapi hatiku sendiri tidak tega. Aku bertiga mengejar sampai digunung Utara, aku berhasil
candak Cie Seng. Aku berani sumpah terhadap Thian, aku tidak hajar padanya sekali-pun dengan satu cambukan.
Tetapi ia terbinasa, aku masih sesalkan Cie Khie, karena mana, hampir Cie Khie serang aku."
Matanya Siau Hoo mendelik.
"Jadi yang bunuh ayahku adalah tangannya Cie Khie?"
ia menegasi. "Setelah urusan jadi demikian rupa, tidak ada
halangannya aku tuturkan hal yang sebenarnya." Cie Beng bilang. "Dalam hal ini janganlah kau sembarangan celakai orang. Ketika itu ... " ia berdiam sebentar, "waktu suhu pangil kita bertiga, ia perintah kita cari saudara Cie Seng
untuk segera dibinasakan. Walau-pun demikian, benarbenar aku tidak tega. Buat beberapa hari kita mencari
digunung Selatan dengan sia-sia saja. Pada suatu malam Pau Cie Lim beri kisikan, bahwa saudara Cie Seng pulang dengan diam-diam tapi segera ia menghilang pula. Aku cari ia dibeberapa kampung, namun tetap tidak peroleh hasil.
Keesokannya suhu ajak kita mencari terlebih jauh, kita ketemukan ia digunung Utara. Sebelum suhu bilang apa-apa dan sedangnya Cie Teng cambuki ayahmu, Cie Khie
yang tidak sabaran sudah bacok ia satu kali ... "
Sebelum Cie Beng dapat bicara terus, tiba-tiba Cie Teng muncul bersama rombongan orang. Orang she Liong ini,
yang berkumis dan berewokan, yang mukanya merah
padam, ada menyekal Kun-lun-too, begitu lekas ia sampai, ia tuding Cie Beng sambil kata dengan nyaring : "Kee Cie Beng, orang yang tak mempunyai liangsim! Karena kau
takut terhadap Kang Siau Hoo, kau hendak cuci diri hingga bersih ... "
Siau Hoo kenali orang she Liong itu, dalam murkanya,
ia lepaskan Cie Beng, ia segera menerjang kepada Cie Teng.
Cie Teng tangkis serangan itu, terus ia buat perlawanan.
Kawan-kawannya-pun lantas maju membantui.
"Jangan! Jangan!" Cie Beng berteriak-teriak untuk
mencegah. "Kang Siau Hoo, pergilah kau ke Su-coan Utara cari Cie Khie! Dialah yang bunuh ayahmu! Kau carilah
musuhmu itu!"
Cie Beng berseru dengan sia-sia karena Siau Hoo sudah
layani semua penyerangannya. Ia memang sedang gusar, ia jadi semakin panas hati karena dikepung. Ia ada bagaikan seekor harimau galak diantara sekawanan kambing,
sebentar saja ia telah rubuhkan beberapa musuh, pedangnya terus menyamber-nyamber.
Liong Cie Teng bertubuh besar dan kuat seperti seekor
biruang, ilmu goloknya-pun liehay, akan tetapi baru
melawan sepuluh jurus ia segera kena ditikam rubuh!
Menyusul itu, orang banyak itu berseru-seru:
"Pembunuhan! Jangan beri dia lari!"
Sesudah rubuhkan musuhnya Siau Hoo buka jalan untuk
keluar dari kepungan, terus sampai keluar, kejalan besar, sedang keadaan jadi kalut sekali.
Orang-orang dan lain-lain piautiam, juga orang-orang
polisi, sudah lantas datang, akan serang pemuda kita, yang mereka coba kurung.
Dengan leluasa Siau Hoo bisa terjang semua musuh itu,
akan tetapi ia tidak kehendaki lain-lain korban lagi. maka itu, selagi dikurung, ia loncat naik keatas sebuah kereta, terus keatas tendanya. Disini orang kembali kurung
padanya, berbagai senjata panjang dipakai menyerang ia.
Dengan pedangnya ia tangkis semua serangan, ia lalu
loncat pula melewati kepala sejumlah orang, akan lompat keatas genteng rumah yang paling dekat.
Beberapa orang yang pandai locat ke atas genteng-pun
segera menyusul, akan tetapi setelah menyandak Siau Hoo, begitu lekas senjata mereka kena disampok, tubuh mereka terus ditendang, hingga mereka rubuh ketanah. Empat atau lima orang yang rubuh itu sampaikan tak mampu segera
merayap bangun pula.
Bagaikan seekor harimau tutul, Siau Hoo berlari-lari dan berlompatan diatas genteng untuk jauhkan diri dari orang banyak itu. Karena ia lari diatas genteng, orang tidak sanggup susul padanya. Dilain saat ia sudah sampai di
Lam-kwan, disini ia loncat turun ketanah, untuk segera ambil kudanya, yang ia loloskan dari tambatannya.
Tuan rumah kaget melihat tahu-tahu ada orang loncat
turun dari genteng.
"Eh, bagaimana ini?" tanya ia apabila ia kenali tamunya itu.
Kang Siau Hoo tidak menjawab, ia hanya lemparkan
beberapa ratus chio uang, kemudian setelah simpan
pedangnya, ia tuntun kudanya keluar sampai dimuka pintu, ia loncat naik atas kudanya, yang segera ia kaburkan kearah Selatan. Ia lari belum seberapa jauh, lantas ia dengar suara berlarinya banyak kuda, ketika ia menoleh ke belakang, ia tampak mendatanginya belasan penunggang kuda. Ia
cambuki kudanya untuk buat kudanya itu lari kabur.
Setelah lari belasan lie, semua pengejarnya telah
ketinggalan jauh. Di depan ia ada sebuah kali kecil, dimana tidak ada jembatan, maka ia kasih kudanya turun kekali untuk menyeberang sambil ngerobok. Diseberang ia lalu
turun dari kudanya, akan antap binatang itu minum air, ia sendiri berdiri ditepi, matanya memandang keseberang
mengawasi sekalian pengejarnya, yang makin lama kelihan makin nyata.
Diantara mereka itu terdapat orang-orang polisi,
sebagaimana tudung mereka ada berunce merah. Ia lantas naik pula kudanya buat diberi lari lagi. Ia ambil jalan kecil, yang kiri dan kanannya ada sawah-sawah yang berair.
-ooo0dw0ooo- Jilid 21 TIGA atau empat lie telah dilewati Siaw Hoo, segera ia berada di depannya gunug Pa San yang hijau seluruhnya. Ia memasuki gunung itu, ia jalan terus sampai ia keluar di mulut gunung di lain ujung. Sekarang ia berada didalam
daerah Sucoan Utara. Ini ada tempat yang ia kenal baik pada sepuluh tahun yang lalu. Disini ia ada punya beberapa sahabat. Ketika dulu ia datang disini, ia ada satu bocah pemburon, tapi sekarang ia ada satu pemuda yang gagah.
Ia jalankan kudanya dengan perlahan-lahan, tujuan yang pertama adalah Long Tiong Hiap di Long-tiong-hu, tetapi ia mengharap di tengah jalan itu nanti bertemu dengan satu atau dua sahabat, buat minta keterangannya tentang Pau Kun Lun dan Liong Cie Khie.
Ia ambil jalan langsung ke Barat, setiap melintasi
gunung, ia pasang kelenengannya yang dulu ia dapat dari Long Tiong hiap. Tidak ada lagi berandal yang turun dari gunung menyambut dan suguhkan arak, tetapi juga tidak
ada yang turun buat mencegat, agaknya mereka jerih lihat pemuda yang gagah ini, Walau-pun dia bersendirian saja.
Keika itu ada di akhir musim panas atan permulaan
musim rontok, hawa udara sangat panas, akan tetapi di
jalanan pegunungan ini pepohonan masih belum rontok
semua daunnya. Sejak Long Tiong Hiap undurkan diri, kawanan berandal
jadi tambah jumlahnya dan kegalakannya bertambahtambah, akan tetapi diantara mereka tidak ada yang berarti ilmu silatnya, antaranya yang galak adalah Thio Hek Hou si harimau hitam. Dia bermula belajar silat pada Pwee-ciu hou Kho Liong, satu hiap-kek yang kenamaan di Su-cuan
Selatan, kemudian ia ketemu Koay-hiap Tat Tiang Ceng si Pendeta Aneh dan belajar ilmu toya besi untuk beberapa hari. Ia malang melintang didalam kalangan kangouw. Ia bersahabat dengan segala berandal dan buaya darat, hingga selama enam atau tujuh tahun, ia bisa menjagoi di Su-coan Utara.
Di sebelahnya Thio Hek Hou, ada lagi satu jago galak,
ialah satu dari Cie Yang Sam Kiat, tiga jago Cieyang. Dia adalah Twie-san-hou Liong Cie Khie si harimau Gunung.
Dia usahakan Ceng Wan Piau Tiam bersama kandanya
Liong CieTeng, dan Kee Cie Beng. Selama dua puluh tahun tidak saja ia angat pamornya Cie-yang Sam Kiat, merekapun berhasil mengumpul harta. Cie Khie sangat cerdik, ia berpisah rumah dari kandanya, ia mempunyi milik di Tin pa, Kan-tiong dan Cie-yang. Sebagai harta-gundik, yang ia pisahkan satu pada lainnya, antaranya ada yang baru
berumur enambelas tahun. Tentang rahasia ini melainkan Kee Cie Beng yang kelahui, tapi ia pernah ancam Cie Beng dengan goloknya, katanya, "Asal kau bocorkan ini kepada suhu, aku nanti ambil jiwamu!" Inilah sebabnya yang
membuat ia tidak akur dengan Cie Beng. Tapi ia terdesak oleh Siau Hoo, ia lantas bertempat di Sucoan Utara,
berbareng dengan kepindahannya, ia bawa uang kas Ceng
Wan Piau Tiam sejumlah tujuh atau delapan ratus tail. Ia tidak pikir untuk kembali ke cie-yang, ia sampai lupakan gundik-gundiknya. Ia anggap gampang untuk cari gantinya yang baru. Untuk tancap kaki di Su-coan Utara, ia coba tempel Thio Hek Hou, ia ada punya uang, ia percaya ia bisa bersahabat dengan siapa juga.
Cie Khie datang ke Su-coan Utara lebih dahulu setengah bulan dari pada Kang Siau Hoo. Ia naik kuda hitam,
dandanannya mewah, karena baju dan celananya ada dari
bahan sutera biru, kepalanya dibungkus dengan pelangi
sutera hitam. Kumis dan jengotnya ia cukur licin. Kadang-kadang saja tampangnya muram setiap ia ingat Kang Siau Hoo. Sering-sering ia kata dalam hatinya: "Celaka betul Kang Siau Hoo ini! Kau tahu aku tahu akan terjadi begini, dulu digunung Utara aku mesti bacok Cie Seng berulang-ulang!"
Selama diperjalanan, Liong Cie Khie hiburkan diri
dengan minum arak, mogor dan berjudi, setiap kali ketemu perempuan elok, tentu ia bermain mata dan ngoce tidak
keruan, laganya mirip seperti seorang berotak miring.
Karena tingkah polanya ini pada suatu hari, digunung Lo So Nia ia dapat satu pengalaman.
Jalanan gunung itu jelek dan berbahaya banyak
tikungannya, banyak jurangnya yang curam ia berhimpasan dengan sebuah kereta keledai yang diikuti oleh dua
penunggang kuda. Ketika itu, karena hawa panas jendela kereta tidak diturunkan" Didalam itu ada duduk dua
nyonya, yang duduk di luar berumur empatpuluh lebih,
yang muda duduk didalam, romannya cantik, pakaiannya
mentereng, rambutnya digelung "konde awan", sepasang
anting-anting emas menggantung dikedua kupingnya.
Melihat kereta itu, atau lebih benar si nyonya manis,
Long cie Khie segra tahan kudanya.
Dua penunggang kuda yang mengiringi ada dua orang
polisi, satu diantaranya sambil menghisap huncwee.
Mereka tidak menyangka jelek pada orang she Liong itu, yang mereka tidak perhatikan. Adalah si nyonya didalam kereta yang perintah kusir lekas turunkan tenda. Walau-pun demikian dengan mata tajam Chie Khie terus mengawasi.
Begitu lekas kereta sudah datang dekat, Cie Khie
mendekati kedua polisi itu, ia memberi hormat seraya
berkata: "Jiwie toako aku kesasar dalam perjalanan ke Pationg, apa boleh aku ambil jalanan ini?"
Dua pengiring itu lantas saja mengawasi dengan tajam.
"Boleh," sahut yang mengisap huncwee, yang umurnya
sudah empat puluh lebih, "hanya jalanan ini ada sedikit lebih jauh. Kau kerja apa, apa kau iringi piau?"
Cie Khie anggukkan kepalanya yang besar sambil
mengkerutkan dahi yang dibuat-buat.
"Aku lacur," kata ia "Berlima aku antar piau dari See an ke Seng-tou, sampai ditengah jalan aku sakit, aku
ditinggalkan sendirian di Ban-goan, belasan hari aku rebah disana, sekarang aku pulang kembali, mangkok nasiku bisa terbalik."
Polisi yang satunya, berumur tiga puluh lebih, tubuhnya kurus, mukanya kuning tertawa.
"Kau benar lacur," kata ia. "Tahun ini hawa udara di Sucoan Utara ada buruk. Dimusim panas, siapa buat
perjalanan dia mudah terkena penyakit. Selama perjalanan beberapa ratus lie, di beberapa tempat aku lihat orang gotong peti mati dari beberapa rumah penginapan ... "
"Benar lacur!" kata Cie Khie sambil membuang ludah.
Terus ia jalankan kudanya berendeng dengan kedua orang polisi itu yang ia ajak bicara, hingga kemudian ia dapat tahu, nyonya didalam kereta itu adalah nyonya tiekoan dari Hong-an, nyonya itu baru disambut dari Hin-an. Mereka
seperti sudah biasa buat perjalanan, mereka kenal baik keletakan tempat, dan walau-pun Cie Khie beroman bengis, mereka tidak takut, bahkan mereka tanya she dan namanya Cie Khie.
"Aku ada piausu dari Ie Sun Piau Tiam di See-an," Cie
Khie beritahu. "Lie Sun Piau Tiam di See-an apa bukan dibuka oleh
Kim-too Gin pian Tiat-Pa-Ong Kat Cie Kian?" menegasi
opas yang tuaan. "Lauko kau jadinya ada orang Kun Lun
Pay?" Kaget juga Cie Khie mengetahui orang tahu ia Kun Lun
Pay. "Benar, tetapi aku sendiri bukan dari Ku Lun Pay," ia
lekas menjawab. "Kalau aku orang Kun Lun Pay, itu ada
terlebih baik, tidak nanti orang sampai orang tinggalkan aku
... " "Namamu, lauko?" tanya opas yang mudaan.
"Aku Kang Siau Hoo," Cie Khie jawab.
Dua orang polisi itu tidak menunjukkan perobahan apaapa pada wajahnya, mereka jalan terus, setelah lewati
jalanan di tikungan, kereta lantas diberi jalan lebih cepat, kedua pengiring-pun larikan kuda mereka, hingga Cie Khie ketinggalan.
Jalanan di depan sangat sempit, dengan disebelahnya
lamping gunung, dan dilain sebelah jurang yang curam,
penunggang kuda melarikan bisa jalan berendeng berdua.
Kedua opas agaknya curigai juga Cie Khie, mereka suruh kereta dikasi lari. Selewatnya itu mereka akan keluar dari jalanan gunung yang sukar dan berbahaya itu.
Justeru itu, dengan mendadak Cie Khie larikan kudanya
menyusul. Dengan lekas ia dapat menyandak.
"Jiwie koko, tunggui aku!" kata ia. "Aku tidak kenal
jalan, mari kita jalan sama-sama."
Opas yang muda segera larikan kudanya, dengan begitu,
kawannya jadi jalan berendeng dengan Cie Khie. Opas ini sekarang merasa jerih, hingga ia tidak berani pandang muka bengis dari orang she Liong itu, yang ia kenal sebagai Kang Siau Hoo. Dengan paksakan tertawa ia bicara dan
menawarkan hun cwee kepada Cie Khie.
"Hisap ini,
lauko!" kata ia seraya angsurkan huncweenya. Cie Khie mengawasi dengan matanya yang gede, ia
angkat tangannya tetapi bukan untuk sambuti huncwee,
sebaliknya ia tolak tubuhnya opas itu.
Opas itu kaget dan menjerit, akan tetapi sudah kasep,
tubuhnya telah rubuh dari kuda dan jatuh kedalam jurang, dan kudanya, saking kaget, sudah lantas kabur. Karena
kaburnya kuda itu, kudanya Cie Khie turut kaget dan
berjingkrak dan kabur juga, hampir saja ia terlempar dari atas kudanya nyemplung kedalam jurang, syukur ia bisa
mendahului lompat turun. Setelah itu, bukan ia urus


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kudanya lebih dahulu, ia hanya segera cabut goloknya laku kejar kereta disebelah depan.
Melihat apa yang terjadi, si opas muda menjadi gusar,
dia loncat turun dari kudanya, dia hunus goloknya seraya segera menegur, "Oh berandal! Kau berani begal keluarga pembesar negeri?"
"Keluarga pembesar negeri?" Cie Khie mengejek sambil
mendelik. "Dia adalah isteriku!"
Dalam murkanya, opas itu sudah lantas menyerang,
sedang Cie Khie, yang memang sudah berniat, segera
menangkis, malah ia lantas menyerang dengan hebat.
Nyata opas itu ada punya kepandaian yang berarti, ia
dapat melayani dengan gagah. Maka keduanya jadi
bertempur dengan seru. Jalanan yang sukar membuat
mereka sama-sama menghadapi sedikit kesulitan.
Setelah bertempur sepuluh jurus lebih, bahunya Cie Khie yang kiri kena dibacok terluka, karena mana, ia meujadi sangat gusar, ia kerahkan seantero kepandaiannya, maka selang beberapa jurus, ia-pun dapat membacok musuhnya
terjungkal jatuh ke dalam jurang. Ketika itu kereta sudah kabur jauh.
"Kurang ajar!" ia mengutuk, sedang darah dari bahunya
masih mengucur terus.
Segera Cie Khie cari kudanya, dengan menunggang
kudanya itu ia mengejar. Ia pun terus berteriak-teriak :
"Hei,kusir, berhenti! Kau tidak sayang jiwamu?"
Kusir yang dengar teriakan itu lantas berhentikan
keretanya, malah ia-pun lantas loncat turun dari keretanya itu.
Cie Khie sudah lantas menyandak, karena ia sedang
gusar. Dengap tidak kata apa-apa, ia pukul dengan belakang golok dua kali beruntun pada kusir kereta itu, yang lantas menjerit teraduh-aduh.
Cie Khie menghampiri kereta, yang tendanya segera ia
singkap. Kedua perempuan didalam kereta sangat ketakutan,
muka mereka pucat.
Cie Khie memandang sebentar, akan terus ulur
tangannya yang besar dan kasar. Ia tarik si bujang
perempuan hingga jatuh dari atas kereta. Sesudah itu ia jambak rambutnya si nyonya muda.
"Enso kecil, kau turutlah aku!" kata ia sambil menyengir.
Bahna takutnya, nyonya itu lantas menangis.
Cie Khie mendongkol, dari atas kudanya ia pindah
kedalam kereta, maka sekarang ia bisa cekal nyonya muda itu, ia berikan satu bogem mentah.
"Perempuan hina, kau berani buat berisik?" ia menegor.
"Aku adalah Kang Siau Hoo yang namanya kesohor
diempat penjuru negara! Jikalau kau turut aku, aku akan perlakukan baik padamu, jikalau kau menjerit, aku akan ambil jiwamu!"
Cie Khie pindah pula kudanya akan ambil puwhoknya
dan lempar itu kedalam kereta, setelah itu, ia pindah lagi buat buka bungkusannya yang didalamnya ada beberapa
bungkus uang perak.
"Kau lihat ini, perempuan hina!" ia berkata dengan
keras. "Aku ada punya uang, apa yang kau kehendaki bisa lantas tersedia! Kau akan hidup terlebih senang dari pada menjadi thay-thay dari satu tikoan!"
Setelah kata begitu, dengan tidak tunggu jawaban, Cie
Khie loncat turun ketanah menghampiri bujang perempuan yang berlutut meminta-minta ampun, dengan kejam ia
berikan satu bacokan, sesudah mana ia samber kupingnya kusir kereta dan ditariknya.
"Lekas naik atas keretamu!" ia menitah, seraya angkat
goloknya mengancam. "Jalankan keretamu! Kau mesti
turuti perkataanku! Jikalau kau berani banyak suara, aku segera bunuh padamu!"
Kusir kereta itu menurut karena takut, tetapi sambil naik kekeretanya ia masih mengeluh teraduh-aduh.
Cie Kie jemput pita pauhoknya akan digantung pula
dikudanya, kemudian ia sobek sepotong kain untuk
bungkus lukanya, lalu ia ambil sepotong baju untuk
keredongi diri.
"Nah, lekas jalan!" ia perintah sang kusir, ia mengikuti di belakangnya kereta.
Didalam kereta, si nyonya muda menangis sesengukan,
mendengar mana Cie Khie mendelu, ia mendekati kereta
dan goloknya ia ketok jendela kereta, ia mengancam :
"Jangan nangis! Sekeluarnya dari gunung ini kita nanti cari pondokan, disana kita berdua boleh menikah! ... "
Karena kegirangannya itu Cie Khie agaknya lupa akan
sakit pada bahunya. Ia beranggapan, benar-benar lebih
gembira pergi mengembara! Ditempatnya sendiri untuk
main perempuan ia sangat takuti gurunya. Sedang juga
terhadap Kang Siau Hoo ia mesti berjaga untuk
pembalasannya. Ingat Kang Siau Hoo, Ce Khie jadi sangat mendongkol,
terus saja ia mendampat kalang kabut pada pemuda kita, hingga ia lupa bahwa baru saja ia aku dirinya sebagai orang she Kang itu! Ia mendamprat sekian lama. Walau-pun
demikian, namun ia memandang kekiri dan kanan,
kebelakang, ia agaknya kuatir akan perbuatannya itu ada orang yang melihatnya. Tentu saja ditengah gunung seperti itu, tidak ada lain orang.
Diatas kereta Cie Khie lihat sebuah peti serta dua
bungkusan, diam-diam dalam hatinya memikir, "Hari ini
aku beruntung sekali, aku peroleh orang perempuan
berbareng dengan harta juga! Dia ada isterinya tiekoan dari Hong-an, mustahil dalam peti itu bukan berisikan uang" Oh Kang Siau Hoo yang dipelihara biang anjing, dia buat aku jadi berbahagia. Kalau tidak karena dia, tidak nanti aku lakukan perjalanan ke Sucoan Utara ini ... "
Cie Khie ada girang luar biasa, terutama didalam kereta si nyonya muda sudah tidak menangis pula.
Tukang kereta jalankan keretanya dengan mulut
membungkam, kecuali selagi ia cambuki kudanya, kadangkadang saja ia curi melirik pada begal itu.
Oleh karena hatinya lega, Cie Khie masukkan goloknya
kedalam serangkanya. Tapi sekarang ia rasakan sakit pada lukanya, sedang darahnya yang telah merembes membasahi baju mengucur keluar, hingga di lain saat muncul pula
kemendongkolannya, hingga ia lantas caci maki si opas
yang telah lukai ia, sesudah mana ia juga terus umpat-caci pada Kang Siau Hoo "
Kereta berjalan terus, rodanya berbunyi bercampuran
dengan suara tindakan kaki kuda. Sesudah jalanan yang
merupakan keong dilewati, mereka sampai dibagian yang
lebih lebar. Disini, dengan matanya melotot, hingga
romannya jadi terlebih hengis, Chie Khie ancam pula si nyonya dan kusir kereta, untuk cegah mereka berteriak
minta tolong atau mencoba kabur.
Setelah jalan pula sekian lama, disebelah depan kelihaan serombongan kereta dan orang-orang yang menunggang
kuda. Cie Khie jadi berkuatir. Segera ia dekati kusir kereta dan si nyonya, dengan bengis ia kata pada mereka : "Awas!
Jaga baik-baik jiwamu! Kalau kau berteriak, aku akan lantas bunuh padamu! Sekarang lekas berhenti di pinggiran!"
Kusir itu lantas berhentikan keretanya, bersama si
nyonya ia diam saja.
Cie Khie mengawasi rombongan di depan. Ia lantas
kenali serombongan pengiring piau, yang membawa
bendera tiga huruf "Long Tiong Hu". Ia terkejut.
"Celaka kalau disini aku ketemu kepada Long Tiong
Hiap ... " ia berpikir.
Diam-diam ia mengawasi dengan tajam, tetapi diantara
piausu itu, tidak ada yang ia kenal, maka hatinya jadi lega pula. Dengan tiba-tiba, ia dapat akal. Ia terus hampirkan beberapa piausu itu, dengan muka meringis ia kata "Tuan-tuan, jangan maju lebih jauh! Disebelah depan ada
berandal, mereka telah lukai pundakku ini, syukur aku
masih keburu menyingkir! ... "
Beberapa piausu itu terperanjat.
"Ada berandal?" mereka menegasi. "Berapa jumlahnya
mereka itu?"
"Berandal itu bersendirian saja tetapi dia gagah luar
biasa," sahut Cie Khie. "Dia telah sebut dirinya Kang Siau Hoo!"
Beberapa piausu itu heran kecuali satu, yang mukanya
hitam dan berewokan dan tubuhnya terlebih besar daripada Cie Khie, ia agaknya pemimpin rombongan itu, sambil
goyang-goyang tangan ia terus kata pada kawan-kawannya.
"Jangan takut, Kang Siau Hoo itu adalah saudaraku! Sudah sepuluh tahun aku tidak ketemu padanya, apabila sebentar dia lihat aku, ia mesti beri kita lewat. Dulu hari aku telah berbuat baik terhadapnya."
Habis kata begitu, piausu ini ajak rombongannya jalan
terus. Cie Khie tidak bilang apa-apa lagi tetapi sekarang ia lihat nyata bendera piau, bahwa mereka itu ada dari Hok Lip
Piau Tiam di Long-tiong. Diam-diam ia melepaskan napas lega.
"Inilah hebat," pikir ia. "Di Su-cuan Utara ini Kang Siau Hoo ada tersohor sekali, sahabatnya pun banyak, tak dapat aku palsukan pula namanya."
Kembali ia pelototi kusir kereta, yang ia suruh jalan pula.
"Lekasan!" demikian perintahnya lebih jauh.
Kereta lantas dilarikan keras, sampai sebentar kemudian mereka sudah keluar dari jalanan gunung.
"Looya, kita menuju kemana?" tanya sang kusir dengan
meringis karena takut, ia menanya bahna terpaksa.
Cie Khie tidak lantas menyahut, ia bersangsi. Jalanan
sekarang ada lebar, dikiri dan kanan ada sawah-ladang.
Jalan besar pun terpecah dua, dan dikeduanya ada bayak orang-orang yang belalu-lintas. Ia singkap tenda kereta, ia melongok kedalam. Si cantik manis sedang duduk sambil
tunduk dan menangs. Ia jadi tawar hatinya. Ia anggap tadi didalam gunung ia sudah lakukan perbuatan gelo. Tetapi sekarang, ia penasaran kalau ia berhenti setengah jalan.
Sedikitnya ia mesti kangkangi si manis ini untuk satu
malam ... "Kesana! Terus!" akhirnya ia jawab tukang kereta. Ia
menunjuk dengan tangan kiri. Tetapi berbareng dengan itu, ia merasakan sakit pada bahunya yang terluka. Karena
mana kegusarannya segera bangkit pula. Ia ayun
cambuknya dan hajar si kusir kereta dengan dua cambukan.
"Lekas!" ia tambahkan. "Jikalau kau berani main gila.
Liong Jie-thayya akan tebas lehermu."
Dalam ketakutannya kusir ini-pun bingung akan dirinya
berandal itu, yang sebut dirinya Kang Siau Hoo tetapi suatu waktu ia maki-maki Kang Siau Hoo tidak hentinya, dan
sekarang dia sebut dirinya "Liong Jie-thayya." Mana yang benar"
Kereta dilarikan terus ke arah Selatan, sesudah jalan tiga-atau empat-puluh lie jauhnya, disebelah depan Cie Khie tampak tembok kota.
"Tahan!" ia berseru, suaranya nyaring. Ia ayun pula
cambuknya kepada si kusir kereta. "Kau mempunyai
maksud apa dengan tujukan keretamu ke kota" Apa kau
hendak pergi pada pembesar negeri?"
Tukang kereta itu kesakitan dan ketakutan, tubuhnya
gemetaran, ia mewek.
"Looya, bukankah kau yang perintah aku jalan terus?"
katanya. "Jalanan ini menuju langsung ke Kang-kau-tin."
Belum Cie Khie menyahuti, atau kupingnya dengar
suara kereta disebelah belakang, maka segera ia menoleh. Ia lihat tiga buah kereta sedang mendatangi. Ia gigit giginya.
"Pelahan, pelahan," kata ia ... "Lekas jalan!"
Kusir kerera itu menurut, karena larinya keras sebentar kemudian kereta itu sudah sampai di Kang-kau-tin, suatu dusun yang tidak kecil, keadaannya ramai, mirip dengan sebuah kota distrik kecil.
Cie Khie lantas saja cari rumah panginapan, ia perintah kereta segera diberi masuk kedalam pekarangan. Ia sendiri yang buka tenda buat suruh si nyonya turun.
Dengan pelahan-lahan dan kepala tunduk si nyonya
muda turun dari kereta, air matanya masih beluin kering.
Baru sekarang Cie Khie lihat nyata orang pakai baju dadu dengan kun hijau, kakinya yang kecil memakai sepatu
sulam. Ia jadi sangat girang hingga ia lupa sakit pada bahunya. Ia ulur tangannya buat pegangi nyonya itu. Tapi nyonya menolak dengan tangannya. Cie Khie kuatir orang lihat laganya, ia lantas minggir.
Tuan rumah, yang sudah lantas muncul, lantas
tunjukkan sebuah kamar diperdalaman. Si nyonya lantas
mendahului masuk kedalam kamar itu.
Cie Khie perinah kusir kereta angkut peti dan dua
bungkusan kedalam kamarnya si nyonya, ia-pun bawa
masuk bungkusan dan goloknya, justeru si kusir, yang telah letaki peti dan bungkusan sedang bertindak keluar. Dengan mendelik ia ancam sekali lagi pada si kusir itu.
Si nyonya muda duduk diatas pembaringan, dengan air
mata meleleh ia kata pada si begal yang baru masuk itu:
"Lekas kau antar aku ke distrik Hong-an! Jangan kuatir disana aku tidak akan bilang suatu apa. Jikalau tidak, aku
pasti akan berteriak minta tolong, kau pasti akan ditangkap dan dihukum mati!"
Cie Khie tertawa dengan buka mulutnya lebar-lebar.
"Enso kecil, kau gertak aku?" kata ia tapinya dengan
pelahan. "Aku sudah ketahui bahwa kau bukannya orang
baik! Jangan kan berpura-pura, jangan kau sangka Liong Jie Thayya ada satu berandal! Di tempatku aku ada punya dua-tiga perusahaan, yang setiap tahun memberi hasil tiga
sampai empat ribu tail perak, sedang sawahku ada lebih daripada lima bau, dan isteriku ada lima atau enam!
Sekarang ini Liong Jie-Thayya sedang pesiar untuk
hiburkan diri. Orang semacam kau, seratus juga aku
mampu beli, tetapi itulah aku tidak pikir. Hari ini kita kebetulan bertemu ditengah gunung dimana tidak ada lain orang, aku anggap kita ada berjodo, dengan ikut Liong Jie-Thayya, kau akan hidup senang seumur hidupmu! Apabila
kau tak dapat lupakan tiekoan tolol, itulah lain! Kau harus ketahui, aku pribadi boleh dipermainkan, tetapi tidak
golokku!" Cie Khie tertawa, ia ulur tangannya akan raba mukanya
si nyonya. Nyonya itu hendak menjerit, tapi orang she Liong ini
segera mendahului mendelik, hingga kelihatanlah romannya sangat bengis dan menakutkan. Justeru Cie Khie hendak bertindak lebib jauh, tiba-tiba ia ingat suatu apa, ia segera lari keluar. Ia ingat pada si kusir kereta, yang sikapnya mencurigai. Kereta masih berada didalam
pekarangan tetapi kusirnya tak tertampak bayangannya. Ia menjadi kaget.
"Anak anjing!" ia mencaci didalam hatinya. "Mungkinkah dia pergi memberi laporan pada pembesar
negeri?" Ia lari sampai kejalan besar, matanya celingukan kekiri dan kanan, tapi belum lama ia lantas lihat orang lari
serabutan, disusul dengan munculnya sejumlah polisi,
tangan mereka menyekal golok dan toya, semua berlari-lari kearah hotel.
Bukan main kagetnya Cie Khie, segera ia lari kedalam
untuk sembat goloknya, tapi begitu lekas ia tarik daun pintu,
ia tampak kejadian yang mengejutkan. Bergelantungan ditempok, si nyonya tiekoan sudah gantung diri, kaki tangannya masih berkelejetan!
Tanpa perdulikan apa juga, Cie Khie ambil goloknya
seraya sembat bungkusan yang besar, yang lantas ia gendol dibebokongnya, kembali ia lari keluar, baru ia sampai
dipekarangan, orang-orang polisi telah sampai, diantaranya ada si kusir kereta yang segera tuding orang she Liong itu:
"Itu lah dia!"
Tidak tempo lagi orang-orang polisi lantas maju
menyerang. Untuk buat perlawanan, Cie Khie mesti lemparkan
bungkusannya, lalu dengan goloknya ia terjang polisi-polisi itu. Dalam tempo pendek ia berhasil melukai dua tiga
orang, akan tetapi beberapa pentungan toya-pun banyak
yang nyasar kekepalanya. Dengan tak pedulikan itu ia buka jalan untuk keluar di pintu pekarangan, sesampainya di pintu. Ia buka tindakan lebar untuk melarikan diri.
Orang-orang polisi mengejar sambil berteriak-teriak:
"Tangkap! Tangkap!"
Bagaikan biruang kalap Cie Khie kabur terus. Dimana
saja, asal ketemu orang. Ia membacok. Ia terus lari sampai ditepi jalan disana ada sawah yang berair, disitu ia jatuhkan diri untuk minum air sawah yang kotor, karena ia sangat haus, setelah mana ia lalu lari lebih jauh. Sekian lama ia lari
sampai ia tidak dengar apa, lantas ia berhentikan
tindakannya untuk menoleh kebelakang. Ia tidak lihat
pengejarnya, hatinya jadi lega, ia berhenti untuk perbaiki napasnya. Tapi sekarang ia ada gusar dan mendongkol
sekali. "Uangku, pakaian dan kudaku, semua itu ketinggalan di
rumah penginapan," kata ia dalam hatinya. "Apa aku mesti sudah dengan begini saja" Tidak!"
Dalam sesaat Cie Khie niat balik kehotel, buat ambil
semua uangnya, pakaian dan kudanya, akan teapi dilain
saat ia bersangsi. Disana ada banyak orang dan orang-orang polisi! Disana tentu ada kantor pembesar negeri, tentaranya tentu jumlahnya besar juga. dari itu, cara bagaimana ia sanggup lawan mereka" Kalau ia kena ditawan, apa itu
bukan berarti lehernnya akan berpisah dari tubuhnya"
Maka lantas ia buka tindakannya akan jalan terus dengan cepat, sama sekali ia tidak menoleh-noleh pula. Ia jalan di gili-gili ia lewati kampung, hingga ada beberapa ekor anjing yang gonggong ia, sedang orang-orang perempuan yang
lihat ia beroman bengis, muka dan pakaian kotor, jadi
kaget, ketakutan dan menjerit. Ada orang lelaki yang kejar ia, ia hendak menyerang dan membacok, tapi kapan ia
rasakan pundaknya sakit, ia urungkan niatnya itu, ia lari dengan tubuh limbung.
Maju lebih jauh, dengan jalan separuh lari, sedang ia-pun tak ketahui berapa jauh ia sudah berjalan, lalu disebelah depannya Cie Khie tampak sebuah bukit yang tinggi. Ia
merayap naik atas bukit itu sampai ia dapatkan suatu tenpat yang ia anggap aman. disitu ia lepaskan goloknya tubuhnya terus rubuh.
"Sungguh celaka!" ia ngoceh seorang diri. "Semua ini
disebabkan Kang Siau Hoo, anak yang dipelihara biang
anjing!" Cie Khie rebah untuk beristirahat. Ia segera diganggu
beberapa ekor semut, yang gigit ia hinga ia merasa sakit dan gatal, ia geraki tangannya akan penyet dan halau binatang pengganggu itu. Unruk ini beberapa kali ia bersengit, sebab sewaktu ia geraki tangan kirinya, ia merasakan sakit
dipundaknya bukan kepalang! Hingga
kembali ia menggerutu dan mengutuk.
"Kalau aku berada di rumah, aku ada obat dan ada
isteriku yang rawati aku ... " ia ngelamun. "Luka semacam ini, dalam tempo tiga atau lima hari akan sudah sembuh, akan tetapi sekarang, bisa-bisa aku akan mampus disini.
Semua ini adalah gara-gara Kang Siau Hoo, yang buat aku celaka!"
Setelah ngelamun demikian, Cie Khie jadi ingat gurunya.
"Dasar si tua bangka!" kemudian ia ngoceh terlebih jauh dalam hatinya. "Niat membinasakan Kang Cie Seng adalah niatmu, tapi sekarang setelah anaknya menjadi besar dan hendak menuntut balas, kau ketakutan, kau pergi
sembunyikan diri dengan tak perdulikan aku lagi ... "
Setelah kutuk gurunya, di depan matanya orang she
Liong ini seperti berbayang si nyonya tiekoan didalam
hotel, yang gantung diri. Ia mau percaya bahwa nyonya itu tidak sampai binasa. Sesudah ini, ia segera ingat kepada bungkusan uang.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dasar si kusir kereta!" ia mengutuk pula, sekarang
kepada si kusir. "Tentu ia sudah pergi mengadu pada polisi hingga aku digerebek."
"Aku mesti kembali ke hotel," pikir ia ... "Untuk ini aku mesti lompat naik keatas genteng rumah, tetapi sekarang tubuhku sudah jadi gemuk karena lama tidak berlatih pula, aku sudah biasa hidup mewah. Kini tak mungkin aku bisa loncat keatas rumah pula."
Memikir demikian, Cie Khie jadi mendongkol dan gusar
sendirinya. Kapan sang sore mendatangi, si Harimau Gunung ini
juga merasakan perutnya lapar.
"Aku perlu dapat uang, aku mesti dapat barang
makanan," berpikir ia. "Aku juga membutuhkan seekor
kuda ... Untuk dapatkan semua itu, akan mesti merampas
... " Dengan pelahan-lahan Cie Khie berbangkit, lalu ia
bertindak turun. Ia sekarang berjalan diwaktu malam, yang telah datang dengan cepat, cahaya lemah dari sang bulan dan bintang-bintang ada menolong juga padanya.
Dibawah gunung Cie Khie lintasi beberapa kampung, ia
lihat beberapa tembok pekarangan yang tinggi, yang
menandakan penghuninya tentunya orang-orang berharta.
Ia seperti putus asa, karena ia tidak punya daya untuk dapat loncati tembok tinggi itu. Ada beberapa rumah gubuk, apa mau rumah-rumah itu bertetangga dengan rumah-rumah
besar, yang ada anjing-anjing penjaganya sebelum ia datang mendekati rumah itu, anjing penjaga sudah perdenarkan
suaranya satu kali seekor anjing berbunyi, yang lainnya, lari rumah-rumah tetangga, lantas saling sahutan. Maka
terpaksa Cie Khie menyingkir jauh-jauh "
Satu malam Cie Khie "putar kayun" dengan tidak ada
hasilnya, diwaktu fajar ia nampak sebuah bukit tinggi
kemana ia bertindak terus. Jalanan ada sempit. Ia cari satu bagian yang datar dan sepi, di situ ia rebahkan diri, karena
sangal letihnya, ia tertidur dengan cepat. Kemudian ketika ia bangyn dari tidurnya, ia rasakan lukanya tak terlalu sakit.
Ia berdiri disitu tempat yang tinggi untuk memandang
kebawah. Ia berniat cari kurban untuk dirampas uang atau barangnya. Sejak itu, ia menjadi begal dibukit itu. Dengan cepat tiga hari lebih berselang. Selama ini ia berhasil menganggu beberapa orang. Dengan hasil itu ia pergi
kekampung untuk membeli nasi dan arak, akan kemudian
kembali ke bukit.
Dihari keempat, selagi berjaga-jaga, Cie Khie lihat satu anak sekolah serta satu kacungnya, mereka ini menungang kuda di atas mana-pun ada buntalan yang terisi buku-buku ia lantas saja keluar mencegatnya.
Melihat ada begal anak sekolah itu dan kacungnya lantas jadi jinak bagaikan kambing. Mereka turun dari kuda dan berlutut di tanah seraya minta-minta ampun. Roman bengis dari begal itu membuat mereka takut bukan main.
Cie Khie berlaku telengas, ia bacok mereka itu masingmasing satu kali, lalu ia tinggalkan mereka dengan tak pedulikan orang hidup atau mampus, ia sambar bungkusan serta rampas juga seekor kuda untuk ia kabur. Selagi
hendak keluar dari mulut gunung, ia turun dulu dari kuda rampasas itu, ia turunkan dan buka bungkusannya, yang
berisikan buku-buku, dua potong pakaian serta uang
belasan tail. Buku-buku mana ia segera buang.
"Sial!" kata ia seorang diri. Ia buka bajunya yang kotor dan robek, ia tukar dengan baju rampasannya. Nyata baju ini terlalu kecil dan pendek, tapi ia paksa pakai itu tanpa dikancingnya, hingga kelihatan dadanya yang hitam
berbulu. Sesudah bungkusan goloknya ia naik pula atas
kuda itu. Cie Khie pergi tanpa tujuan, karena ia tidak kenal
jalanan, untuk ia yang penting adalah jalanan kecil, jalanan kampung, karena ia selala hendak menyingkir dari kota
atau kota besar.
Di waktu senja ia sampai disuatu tempat, di depan mana ia lihat desa. Cuaca sudah gelap. Ia jalan disebuh jalan dengan di kiri dan di kanannya ada sawah-sawah, jalanan itu-pun sempit.
Tiba-tiba ia dengar suara kelenengan, ia kaget bukan
kepalang. "Apakah itu bukannya Long Tiong Hiap serta kudanya?"
pikirnya. "Jikalau benar dia, habislah aku ?"
Segera juga suara kelenengan terdengar makin dekat,
sampai kemudian tertampak dua ekor keledai, yang di
depan berbulu kelabu, yang di belakang berbulu hitam,
masing-masing penunggangnya ada orang-orang perempuan. Cie Khie tahan kudanya. Ketka orang sudah datang
dekat, ia minggir mengasi jalan.
Dua penunggng keledai itu lewat dengan lantas.
Cie Khie lihat, perempuan yang jalan dimuka ada satu
nyonya tua umur enam atau tujuh puluh tahun, dan yang
belakangan masih muda, bajunya hijau. Dia ini ada terlebih muda dari pada nyonya Tiekoan yang gantung diri, dan
romanuya-pun terlebih cantik.
Lantas timbul pikiran jahat dari muridnya Pau Kun Lun
ini. Bukankah jalanan itu ada sunyi dan waktu itu sudah sore"
Selagi Cie Khie berpikir demikian, si nyonya tua
pandang ia dengan sekelebatan. Si nyonya muda sebaliknya
jalan terus, menolehpun tidak. Dia ada bertubuh langsing dan nampaknya gesit. Dia rada mirip dengan Ah Loan.
Cie Khie jalankan kudanya mengikuti kedua nyonya itu,
jarak diantara mereka lebih dari pada dua puluh tindak.
Lantas saja ia bersiul, lagu mana lalu disambung dengan ucapan-ucapan ngaco beo.
Kedua perempuan itu jalan terus, mereka seperti juga
tidak dengar itu, sama sekali mereka tak pernah menoleh kebelakang, melihat demikian Cie Kie ngoceh lebih jauh :
"Aku Kang Siau Hoo sekarang ini aku pulang ke Su-cuan
Utara untuk mencari isteri, hanya sial, aku belum pernah dapatkan yang cantik manis."
Masih saja kedua nyonya tidak memperdulikannya,
malah keledainya dilarikan semakin keras, atas mana Cie Khe menyusul sambil beri lari juga kudanya. Kedua keledai diberi lari maki keras, ketika Cie Khie coba menyusul, ia hanpir tak dapat menyandak, kedua keledai bisa lari cepat sekali.
Tidak lama mereka sampai disebuah dusun dimana ada
satu pekarangan bertembok batu, rumahnya adalah
beberapa buah. Kedua nyonya memasuki kampung itu dari
mana lantas terdengar gonggongannya seekor anjing,
sebagai menyambut majikannya. Gonggongan itu-pun
lantas disusul oleh tegorannya satu bocah : "Encie! Ema!
Baru pulang?"
Kedua nyonya tua dan muda itu mengucapkan apa-apa
akan tetapi Cie Khie tidak dengar nyata, ia tahan kudanya dimuka kampung, ia cari sebuah pohon buat tambat
kudanya, kemudian dengan golok terhunus ia bertindak
menuju kedalam kampung itu, tindakannya dibuat pelahan dan hati-hati.
Kampung ada gelap, dan beberapa pohon ada terdengar
suara dedaunan tertiup oleh angin.
Kedua keledai bersama anjing yang menyambut dibawa
mauk kedalam pekarangan tembok yang kate. Cie Khie
yang berdiri diluar tembok bisa memandang kedalam
pekarangan. Dari beberapa kamar tertampak cahaya api, dari dalam
mana pun terdengar suara berisik, seperti orang bicara sambil tertawa.
Cie Khie berniat mehhat lebih nyata, ia menekan tembok dengan kedua tangannya. Baru saja tubuhnya terangkat
naik, sang anjing didalam terus menggonggong berulangulang, menyusul mana api lantas dipadamkan.
Heran dan kaget, Ce Khie tarik pulang tubuhnya, terus ia memutar diri, akan telapi belum sempat ia berbalik, atau tiba-tiba sebatang toya menyamber pinggangnya hingga ia menjerit kesakitan. Ia putar terus tubuhnya seraya
menyamber dengan goloknya. Maka sekarang ia tampak
bayangan penyerangnya bertubuh kate dan kecil. Seperti satu bocah. Ia jadi sangat sengit, ia ayun goloknya balik menyerang bocah itu. Tapi si bocah bisa lompat berkelit!
Gusar dan penasaran, si Harimau Gunung mendesak,
tetapi selagi begitu, dari tembok loncat turun seorang lain, tangannya seperti mencekal pedang dengan apa dia itu
menyerang. Ia lantas langkis tikaman itu, hingga senjata mereka bentrok dengan keras menerbitkan suara nyaring.
Pedang lawan itu kena ditangkis terpental, tetapi meskipun demikian, si penyerang bukannya mundur, ia justeru merangsek, pedangnya lagi menikam.
Dalam kagetnya Cie Khie gerakan goloknya menangkis
pula, apa mau, lawan ada gesit luar biasa, sebelum golok
bisa bekerja, muridnya Pau Kun Lun rasakan lengannya
yang kanan sakit, goloknya terlepas dari cekalan dan jatuh ke tanah, ketika mana-pun kembali pedang menyamber
pinggangnya, hingga ia berkaok dan terus rubuh, rebah di tanah.
Si bocah tadi menyerang selagi orang rubuh, toyanya
berulang-ulang membeletak-membeletak pada kepalanya
Cie Khie, yang menjerit berulang-ulang, atas mana segera terdengar suaranya si pemegang pedang, yang ternyata ada si nyonya muda tadi. Selagi ia hampir tidak ingat apa-apa, Cie Khie dengar si nyonya : "Sudahlah, adikku, jangan
hajar dia lebih jauh! Hayo pulang!"
Sebentar kemudian seperginya itu encie dan adik, dari
dalam rumah keluar seorang lelaki siapa samber dan tarik sebelah kakinya Twie sanhou, hingga tubuh yang besar dari harimau gunung itu kena terseret-seret bagaikan bangkai anjing! Dia diseret terus sampai diluar kampung dimana dia terus digeletaki dan ditingal pergi.
Cie Khe telah jatuh pingsan, sampai selang sekian lama baru ia tersadar sendirinya, ia dapatkan dirinya sedang rebah diatas tanah dibawah udara terbuka. Yang hebat
adalah rasa sakit pada lengan dan pinggangnya.
"Dasar aku buta!" ia caci dirinya sendiri. "Kenapa aku main gila terhadap perempuan galak" Dan bagaimana bila datang terang tanah ada polisi datang untuk bekuk aku" Bila terjadi demikian, sungguh penasaran. Oh, dasar kau Kang Siau Hoo, yang dipelihara biang anjing!"
Dengan menahan sakit, Cie Khie mencoba merayap
bangun, ia bisa angkat kakinya beberapa tindak, berbareng dengan mana, ia dengar suara berbengernya kuda, hingga ia ingat pada kuda rampasananya yang ia tambat di pobon,
Dengan separoh merayap ia menghampiri kudanya itu.
Berpegangan pada pohon ia berbangkit, dengan tangannya yang terluka, ia buka tambatan kuda. Selama itu, berulang ia teraduh-aduh menahan sakit dengan meringis. Dengan
susah payah ia bisa naik atas kudanya, tetapi ia tidak bisa menunggangnya seperti biasa, ia rebah tengkurap dengan memeluki leher kuda. Ia antap kuda itu jalan sejalannya sendiri.
Dengan jalannya kuda itu menyebabkan tubuhnya si
Harimau Gunung jadi tergoncang, maka itu ia merasakan
sakit bertambah-tambah, kepalanya-pun pusing hingga
hampir saja ia pingsan pula. Akan tetapi ia perlu
menyingkirkan diri, maka ia kuatkan hati sebisa-bisa
menahan penderitaannya. Namun disepanjang jalan tak
dapat tidak ia merintih teraduh-aduh.
Berapa lama ia telah dibawa kudanya Cie Khie tidak
tahu, hanya tahu-tahu ia sudah sampai disebuah dusun
yang besar dan banyak rumahnya. Hatinya Cie Khie kebat kebit, ia kuatir nanti ditangkap polisi, akan tetapi karena terpaksa, ia memberanikan diri. Kebetulan waktu itu ada orang ronda bunyikan kentongan tiga kali, ia lantas saja berteriak-teriak minta tolong.
"Kau kenapa?" menegur seorang ronda yang datang
menghamprkan. Cie Khie merintih.
"Aku dibegal! ... " sahutnya. "Aduh! Tubuhku mendapat
beberapa luka " Tolong ... tolong carikan aku rumah
penginapan ... Aku tidak sanggup turun dari kudaku ... "
Hari sudah malam, jalan besar-pun sudah sunyi, akan
tetapi masih ada orang yang belum menutup pintu,
demikian ada orang yang muncul dengan lentera akan
melihat sambil menyuluhi.
"Tolong!" Cie Khie ulangi permohonannya. "Aku
dibegal ... oleh begal perempuan ?"
"Dimana dibegalnya?" orang tanya.
Cie Khie geleng kepala, ia tidak dapat menerangkannya.
Diwaktu tengah malam seperti itu, suaranya Cie Khie
menerbitkan suara berisik, maka ada datang orang yang
ingin mengetahui, hingga kemudian ada datang juga
beberapa orang polisi.
Melihat orang polisi, Cie Khie mengerti bahaya, tetapi ia ada punya akal. Ia lantas saja dengan berpura-pura sangat kesakitan, tidak mau bicara, seperti ia sudah tidak sanggup buka mulut, ia hanya merintih saja. Maka itu orang polisi usulkan akan antar ia ke sebuah hotel, sedang orang-orang yang baik hati lantas bawakan ia obat luka.
"Di dekat-dekat sini toh tidak ada begal?" kata beberapa orang, yang membicarakan halnya pembegalan itu. "Yang
heran begalnyapun ada seorang perempuan!"
Cie Khie terus rebah dan merintih, ia rebah miring
supaya orang tidak lihat tegas mukanya, agar tidak ada orang bisa kenali padanya. Ia sebal orang banyak itu masih saja bicara satu pada lain. Adalah setelah lewat lagi sekian lama, baru mereka bubaran.
Sekarang ditinggal sendirian, Cie Khie benar-benar bisa mengaso. Sekarang ia bisa pikirkan pengalamannya,
terutama bagian yang terakhir, hampir-hampir ia menghadapi bahaya maut.
"Kelihatannya tidak aman untuk aku berdiam lama-lama
disini," Twiesan hou berpikir. "Kesatu, tempat ini ada besar dan penduduknya banyak, kedua tempat ke jadian tidak
terlalu jauh dari ini, bila orang polisi dapat mencium bau
kejadian, pasti aku bakal digusur kekantor pembesar negeri
?" Ingat ini, Cie Khie jadi berkuatir. Namun masih saja ia tidak insaf akan kesalahannya, dalam hatinya ia caci maki pada Kang Siau Hoo, yang ia anggap ada biang
kecelakaannya ini dan ia sumpahi supaya Siau Hoo juga
mendapat luka-luka parah seperti ia sendiri "
Dengan lewatnya waktu, hatinya Cie Khie menjadi lega
juga. Sudah lima hari orang polisi masih belum curigai ia, hingga ia bisa berisrirahat dengan selamat di penginapan itu sambil merawat lukanya.
Hari itu Cie Khie minta jongos panggilkan seorang yang bisa
menulis surat, untuk
diminta pertolongannya menuliskan surat untuk Ceng Wan Piau Tiam di Cie yang.
Ketika surat sudah ditulis selesai, ia serahkan itu pada si jongos seraya bilang : "Surat ini kau tolong titipkan pada siapa saja yang hendak pergi ke Cie yang untuk
disampaikan pada Ceng Wan Piau Tiam, aku ingin dari
sana dikirim orangku sambil bawa uang untuk sambut aku.
Kalau pembawa surat itu sampai di Cie yang, dia akan
dipresen tiga puluh tail perak. Setengah bulan kemudian, apabila orangku itu sudah datang kemari, kecuali aku akan bayar semua uang penginapan dan makan, aku akan beri
persen juga padamu. Hanya pada pembawa surat itu mesti dipesan, selama di tengah jalan surat ini tidak boleh
diperlihatkan kepada siapa juga dan jangan sebut-sebut bahwa aku berada disini. Aku punya musuh seorang
penjahat, jikalau dia ketahui aku beristirahat disini, dia bisa datang cari aku bisa celaka ?"
Tuan rumah berikan janjinya. Selang tiga hari, ia
dapatkan orang yang hendak pergi ke Selatan, ia lantas titipkan suratnya Twie-san-hou itu.
Cie Khie tetap berdiam dirumah penginap itu, uang
rampasannya dan kudanya, telah dijadikan barang
tanggungan, hingga tuan rumuh penginapan tidak kuatir
akan ditangkap. Setiap waktu Cie khie diberikan makanan dan lain keperluan dengan baik. Melainkan, hatinya Cie Khie sendiri yang kurang tentram, ia kuatir polisi nanti datang bekuk padanya, ia takut si nyonya muda datang
bunuh ia, terutama ia kuatir Siau Hoo berhasil menyusul kepadanya. Maka setiap ia dengar suara di jendela, ia kaget.
Sehabisnya bersantap siang Cie Khie berebahan diri. Ia jengkel kepada lukanya yang masih belum sembuh sedang
disitu ia mesti umpatkan diri, ia takut menemui orang, ia menarik napas panjang pendek. Tiba-tiba dari luar jendela, ia dengar suara memangil : Cie Khie!" Ia kaget sampai
bergidikan sendirinya. Ia berkuatir orang hendak cekuk ia, ia ulur tangannya untuk sembat goloknya, akan tetapi ia tak dapat raba suatu apa, ia lupa bahwa ia tidak punya senjata lagi.
Ia dengar orang itu bicara kepada jongos atau tuau
rumah. Ia lantas berbangkit ia pasang kuping untuk
mendengari. Segera ia rasa bahwa ia kenali akan suara itu, tapi untuk dapat kepastian ia membuat lobang kecil pala kertas jendela untuk mengintai keluar.
Dipekarangan, sambil berdiri memegangi les kuda, ada
seorang yang bertubuh tinggi dan besar, kumisnya putih dan panjang. Orang itu adalah Pau Kun Lun atau Pau Cin Hui, Cie Khie jadi girang bukan main.
"Dengan ada suhu, aku jadi tak usah takut siapa juga!"
pikir ia. Tapi sedetik kemudian, hatinya menjadi ciut. Ia segera
ingat kepada perbuatan-perbuatannya
paling belakangan ini. Semua itu ada pelanggaran pada aturanaturan dari Kun Lun Pay. Mungkin gurunya telah dengar
itu dan sekarang gurunya datang untuk kutungi batang
lehernya" Maka ia rebah pula, hatinya kebat-kebit,
tubuhnya gemetaran. Ia berdiam ia tutup rapat kedua
matanya. Sementara itu Pau Kun Lun telah dapat kepastian,
penghuni kamar itu ada seorang she Liong yang terluka dan sudah beberapa hari rawat diri dirumah penginapan ini
selama mana dia rebah saja dipembaringan. Maka dilain
saat, guru ini telah tolak daun pintu kamar dan bertindak masuk tanpa ragu-ragu.
"Cie Kie!" kembali gurunya memanggil.
Jantungnya murid ini memukul keras, hampir ia
mengelinding turun dari pembaringan untuk segera berlulut didepan gurunya itu, guna memohon ampun, supaya
jiwanya tidak diambil!
"Cie Khie bangun," demikian ia dengar gurunya berkata
pula, selagi ia bingung dan berkuatir. "Aku datang! Mari aku periksa lukamu ?"
Suaranya guru itu ada perlahan dan sabar, dari itu Cie Khie menduga, bahwa gurunya datang bukan untuk
menghukun padanya. Ia lantas buka matanya, segera ia
berpura-pura merintih, ia unjukkan roman sebagai orang yang kaget.
"Oh, suhu!" ia berseru dengan berpura-pura terperanjat.
Ia lantas buat gerakan untuk berbangkit, akan tetapi
gurunya segera mencegahnya.
"Jangan bergerak ?" demikian guru itu. "Kau rebah
saja, nanti aku periksa lukamu!"
Cie Khie menurut, sambil tetap rebah ia kasi lihat luka-lukanya di lengan, pundak dan pinggang, kemudian
sembari mewek ia kata: "Suhu, habislah kita kaum Kun
Lun Pay ... Orang telah desak kita hingga kita punya rumah
tidak bisa pulang ... Aku datang ke Su coan Utara ini
dengan maksud melindungi jiwaku siapa sangka oh ... " dia berniat damprat Siau Hoo tetapi lantas ia robah itu:
"Hampir saja kita guru dan murid, tidak dapat bertemu
pula! ?" Pau Kun Lun menghela napas, ia berdiri diam tegak,
kelihatan tubuhnya yang kekar. Air mukanya merah
padam, kumis dan jenggotnya seperti pada berdiri. Ia
berdiam sekian lama, lalu tiba-tiba ia tertawa dingin.
Cie Khie kaget hingga ia bergemetar, suara guru itu
seram sekali. "Begal macam apa buat kau terluka begini rupa?" tanya
guru ini kemudian. "Kau telah banyak tahun, kau ada salah satu muridku yang terpandai, kenapa sekarang kau antap orang lukakan kau sampai begini" Kemana kepandalan
ilmu silat yang kau telah pelajarinya?"
Cie Khie berdiam, ia benar-benar tidak tahu bagaimana
harus jawb gurunya itu. Tapi ia kata dalam hatinya: "Tidak sempurna untuk aku berdiam lama-lama disini, mungkin


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelum aku sembuh, rahasiaku akan terbuka sendirinya, umpama orang polisi tidak datang menangkap aku, namun
suhu sendiri pasti akan ambil jiwaku dari itu perlu aku lekas-lekas angkat kaki ... " Karena berpikir begini, ia lalu sahut gurunya.
"Suhu, baiklah suhu ajak menyingkir jauh-jauh,"
demikian katanya. "Paling baik kita pergi ke Su-coan
Selatan atau ke Oupak, tak dapat kita berdian lama di sini, pasti sekali Kang Siau Hoo akan dapat candak kita. Semua lukaku ini adalah perbuatannya binatang itu!"
Walau-pun terluka demikian rupa, aku tidak berani
banyak omong, aku bilang saja aku dilukai begal. Kita tak dapat main gila terhadap Kang Siau Hoo, di Su-coan Utara
ini, dia punyakan banyak sahabat! Suhu, benar-benar kita mesti menyingkir jauh ?"
Pau Cin Hui gusar hingga ia banting kakinya, kaki itu
bagaikan tiang-tiang besi dipakai menggedruk tanah,
tinjunya yang keras juga ditumbukkan pada dadanya.
Mukanya menjadi merah, kedua matanya dipentang lebar.
"Kang Siau Hoo terlalu menghina sangat!" kata ia
separuh berseru. "Aku menyingkir ke Su-coan Utara, dia menyusul! Apakah ia sangka aku benar-benar takut
padanya" Aku belum tua, aku tidak takut! Suruhlah dia
datang kemari!"
Adalah maksudnya Ci Khie buat gertak gurunya, supaya
guru itu ajak dia menyingkir bersama tetapi dugaannya ini meleset, sekarang gurunya beda daripada dulu, ketika
dengar namanya Kang Siau Hoo, guru itu justeru menjadi murka sekali.
"Apakah Kang Siau Hoo tidak sebut-sebut aku?" guru ini tanya dengan mata mendelik.
"Dia tidak sebut-sebut suhu, melainkan mengumpat
caci," sahut Cie Khie. "Dia katakan apabila dia dapat cari suhu, dia bakal! ... "
Cie Khie bingung juga, ia tak mengerti gurunya itu. Ia berbangkit untuk berduduk.
"Suhu, jangan kau bergusar ... " ia membujuk.
Pau Kun Lun menggoyang-goyangkan
tangan nampaknya ia lantas jadi lebih sabar, tetapi napasnya masih memburu.
"Cie Khie, kau tidak tahu!" katanya "Ayahnya Kang
Siau Hoo meski benar aku yang membinasakannya namun
perlakuanku kepada Siau Hoo tidak dapat dicela, kalau
tidak, selagi dia tinggal menumpang kepadaku, sepuluh
tahun yang lalu dengan gampang sekali aku bisa singkirkan rumput berikut akarnya, mustahil dia bisa hidup, sehingga sekarang ini" Ketika itu aku telah berpikir untuk jadi orang baik, aku tidak hendak berbuat sesukanya seperti diwaktu masih muda, tetapi tak kusangka, justeru karena sikapku itu aku jadi pelihara bibit bencana ... Dia sekarang desak aku, sampai aku menyingkir, hingga antara engkong dan cucu
perempuan jadi berpencaran, sampai aku nikahkan Ah
Loan secara sembarangan dengan Kie Kong Kiat. Dan,
sehingga sekarang ini, aku masih belum tahu tentang suami isteri itu, entah mati atau masih hidup, sedangkan aku sendiri-pun jadi terlunta-lunta ... Dirumahnya Ho Tiat Song di San-im, aku dibuat mendongkol oleh segala bocah,
hingga aku tak bisa berdiam lebih lama disana dan
barangkali ke Su-coan ini " Kau barang kali tidak tahu, ketika aku berangkat, Cie Tiong telah antar aku sampai ditengah perjalanan, dia sebenarnya niat ikuti aku, untuk rawati aku, tetapi aku telah suruh dia pulang, aku telah tegur padanya " Ah, sesudah dia pergi, aku sampai
kucurkan air mata " Aku ada satu orang gagah, usiaku-pun sudah lanjut, tetapi beginilah keadaanku sekarang, sungguh terlalu menyedihkan! ?"
Sampai disini, dengan mendadak berubahlah sikapnya
jago tua ini. "Akan tetapi sekarang!" demikian ia berkata pula,
setelah berhenti sedetik. "Sesampainya di Su-coan Utara ini, aku merasa bahwa aku belum tua! Ketika atu sampai di Kim Gu Giap, tiga puluh lebih begal yang masih muda-muda telah cegat aku, mereka tidak mau mengerri.
Mulanya aku bicara secara baik dengan mereka tetapi
mereka tidak mau mengerti, karena mana aku jadi gusar, aku tempur mereka, hingga kesudahannya, aku lukai
belasan diantaranya, mereka semua dapat kekalahan besar!
Di Pak kok-kwan aku ketemu lain rombongan pula, yang
terdiri dari lima atau enam puluh orang, pemimpinnya ada satu pemudia yang bersenjatakan sebatang tumbak panjang.
Dia ini bertubuh tinggi dan tenaganya besar, dia sebut dirinya Hek Kim Kong. Ketika aku perkenalkan siapa
adanya diriku, dia telah tertawakan aku, dia katakan aku telah dibuat takut oleh Kang Siau Hoo. Aku jadi gusar, aku serang berandal itu, dalam empat-lima jurus saja aku telah binasakan padanya, lalu aku labrak orang-orangnya, hingga aku bebas dari kepungan mereka. Ketika itu, tenagaku
belum semua aku keluarkan hingga aku dapat kenyataan.
Pau Kun Lun masih belum tua, bahwa bugeeku belum
menjadi lemah!"
Cie Khie awasi gurunya itu, yang demikian bersemangat, hingga nampaknya seperti menjadi muda pula tiga-puluh
tahun! "Aku mengerti bagaimana selama sepuluh tahun ini
hatiku kebat-kebit saja." Pau Kun Lun berkata terlebih jauh.
"Yang aku takuti bukanlah Kang Siau Hoo tetapi gurunya, maka kalau sekarang benar-benar Kang Siau Hoo cari aku, aku nanti hadapi dan lawan padanya! Aku memang harus
muncul, aku mesti cut-tau! Dengan demikian diantara kau tidak nanti ada yang bisa terperhina pula! Tatkala aku sampai di Thong-kang, aku telah memikir hendak kembali ke Tiangan guna cari Kang Siau Hoo, apa mau aku ketemu dengan satu saudagar yang hendak pergi ke Han-tiong, dari dia aku peroleh keterangan bahwa kau sedang sakit disini, dari itu aku lantas datang kemari. Inilah kebetulan, dengan Kang Siau Hoo sudah datang ke Sucoan Utara ini, aku
mesti tunggui padanya disini untuk lakukau satu
pertempuran hidup atau mati."
Pau Kun Lun lantas tertawa gelak-gelak.
"Kau tetapkan hatimu, kau rawat dirimu baik-baik!" ia
tambahkan pada Cie Khie, suaranya sangat gembira. "Kau boleh saksikan gurumu ini, walau-pun aku sudah tua, aku hendak lakukan suatu apa yang akan mengejutkan khalayak ramai, supaya dunia kangouw dapat tahu bahwa Kun Lun
Pay masih belum musnah!"
Jago tua ini pergi keluar kamar dengan tindakannya yang lebar dan pesat, ia teriaki jongos untuk siapkan sebuah kamar untuk ia sendiri, juga ia minta jongos rawat kudanya yang besar dan berbulu kuning, buntalannya yang besar dan goloknya ia bawa sendiri kedalam kamarnya, ia gabruki
buntalan dan goloknya keatas pembaringan, ia berdiri diam sebentaran sambil mengurut-urut kumis, setelah itu sambil tepuk-tepuk dada ia bertindak pula keluar. Ia jalan dijalan besar dengan sikapnya yang gagah, hingga ia mirip dengan seekor harimau galak! Ada kalanya ia sengaja labrak orang!
Setelah berputaran sebentar, ia masuk kesebuah rumah
makan, sambil pentang dadanya, ia minta arak.
Sikapnya Pau Kun Lun sekarang mirip dengan sikapnya
pada empat-puluh tahun berselang ketika ia masih biasa mengembara, ketika itu dengan gampang ia deliki mata
atau geraki goloknya, untuk bertempur atau membunuh
orang. Sekarang ia jadi seperti muda kembali!
Setelah minum arak, Pau Kun Lun putar-kayun seantero
hari untuk cari Kang Siau Hoo.
Sementara itu Liong Cie Khie, didalam kamarnya,
hatinya terus goncang. Dia pikirkan segala perbuatannya membegal keluarga pembesar negeri, sehingga isterinya
pembesar itu gantung diri dan sudah permainkan si nyonya muda, hingga kesudahannya ia terluka parah. Semua itu
terjadi ditempat yang berdekatan, kalau gurunya dapat
dengar perihal itu, hebatlah akan akibatnya. Gurunya itu ada sangat galak, lebih-lebih sekarang selagi gurunya jadi
sangat bersemanat. Maka itu setiap hari ia ajaki gurunya meninggalkan tempat itu. Tapi sang guru tidak ladeni
ajakannya itu. Empat hari lewat dengan cepat, Pau Cin Hui tak dapat
cari Kang Siau Hoo, ia jadi uring-uringan. Demikan sudah terjadi, dirumah makan dua kali ia berkelahi dengan
beberapa buaya darat setempat. Dengan sekali toyor dan sekali dupak, ia buat mereka rubuh sampai tidak lantas dapat bangun pula, senjata mereka-pun ada yang
dipatahkan! Setelah itu, sambil tepuk dada, jago tua ini perkenalkan dirinya, hingga ia buat orang terperanjat, heran dan kagum.
Ditempat itu ada beberapa piautiam, ketika piausupiausunya ketahui orang tua ini adalah Pau kun Lun yang kesohor, yang telah rubuhkan Long Tiong hiap pada
sepuluh tahun yang berselang, mereka lantas datang
mengunjungi untuk belajar kenal.
Terhadap sekalian piausu ini, Cin Hui bersikap ramah
tamah. "Sudah dua-puluh tahun lamanya aku tidak pernah
datang ke Su-coan ini," menerangkan ia. "Sekarang aku
datang untuk cari Kang Siau Hoo yang sudah terlalu
menghina aku, hingga aku tak dapat menahan sabar lagi.
Apabila aku dapat ketemui padanya, pasti aku nanti lawan padanya untuk salah satu mati atau hidup!"
Beberapa piausu itu nyatakan, walaupun mereka pernah
dengar namanya Kang Siau Hoo akan tetapi mereka belum
pernah dengar orang she Kang itu datang atau mau datang ke Su-coan.
"Dia itu kenal Long Tiong Hiap, lambat atau laun, dia
pasti akan datang kemari," berkata jago tua itu dengan tertawa dingin, "maka itu, aku hendak tunggui padanya
disini! Muridku Twie-an-hou Liong Cie Khie telah dilukai Kang Siau Hoo di Lo Su Nia, tetapi lukanya tidak
berbahaya, maka lagi beberapa hari dia tentu akan sudah sembuh, maka akupun boleh sekalian tunggui muridku ini."
Mendengar demikian, bebetapa piausu itu lantas pergi
sambangi Liong Cie Khie.
Si Hariman Gunung ketemui sekalian tamu itu dengan
miringkan mukanya, agar orang tidak dapat lihat ia dengan tegas, karena ia kuatir orang dapat mengenali bahwa dia adalah si penjahat yang sekarang sedang dicari pembesar negeri karena beberapa kejahatanya. Walau-pun semua
tamu sudah pulang, ia masih beruatir, hingga tubuhnya
gemetaran. "Suhu, apa masih belum dengar Kang Siau Hoo telah
pergi?" tanya ia pada gurunya.
Pau Kim Lun mnggeleng kepala.
"Kang Siau Hoo ada satu bu beng siau pwee, jarang ada
orang kenal dia!" berkata guru ini dengan jumawa. "Aku Sekarang pikir hendak menemui Long Tiong Hiap, ke satu untuk tanya dia perihal Kang Siau Hoo ke dua buat jelaskan supaya dia jangan bantu orang she Kang!"
Mendengar itu, Cie Khie jadi girang.
"Benar, suhu, benar!" berkata ia. "Aku juga mau percaya sekarang ini Kang Siau Hoo berada di Long-tiong. Mari
kita berangkat besok pagi saja!"
"Tapi kau masih belum sembuh!" kata sang guru.
Cie Khie merayap, ia turun dari pembaringan.
"Luka dipinggangku sudah sembuh, tinggal lukaku
dibahu dan lengan, namun tidak menjadi rintangan bagiku.
Suhu, aku benar-benar tidak ingin berdiam lama-lama disini
... " Pau Kun Lun awasi muridnya itu, akhirnya ia manggutmanggut. "Baiklah," kata ia akhirnya, "kalau kau sudah bisa jalan, besok kita berangkat. Sekarang pergilah kau mengaso!"
Cie Kie jadi girang sekali.
Pau Kun Lun balik kekamarnya, menghadapi api ia
berdiri termangu sekian lama, kemudian setelah menghela napas, ia naik atas pembaringannya.
Esoknya Cie Khie bangun diwaktu langit masih gelap,
lantas ia perintah jongos siapkan kuda, ia sendiri pergi membangunkan gurunya.
Pau Kun Lun bangun untuk terus pergi kepekarangan
untuk berlatih silat.
Cie Khie awasi gurunya itu, meski benar tubuh gurunya
ada sangat gemuk dan pinggangnya bergerak kurang gesit, akan tetapi kaki-tangannya ada berat dan gerakannya pun sempurna. Diam-diam ia jadi gatal.
"Benar aku ikuti suhu dan suhu bisa lindungi aku, tetapi bila aku sendiri tidak bersenjata, itulah tak bisa jadi," pikir ia kemudian. Lantas saja ia dapat akal, maka terus ia kata pada gurunya : "Suhu, sayang golokku-pun lenyap. Juga
lihat pakaianku ini yang terlalu, kecil dan pendek, ini bukan pukaianku, aku dapatkan ini di tengah jalan pemberian satu anak sekolah yang kasihani aku. Pakaianku sendiri telah berlumuran darah dan penuh lumpur hingga tidak keruan
macam ... Ketika aku berangkat dari Cie yang, aku ada
bekal belasan potong pakaian, juga uang lima ratus tail, tetapi semua itu sudah di rampas Kang Siau Hoo ... "
Pau Kun Lun bersenyum ewa.
"Tidaklah kecewa Kang Siau Hoo menjadi anaknya
Kang Cie Seng!" kata ia secara menghina. "Ayahnya ada
satu manusia cabul, dia sendiri menjadi bandit! Maka
mereka semua pantas dbinasakan dengan golokku Kun-lunto ini!" Melihat gurunya jadi sengit, Chi Khie bergidik
sendirinya, mukanya-pun berubah pucat.
"Kita berangkat dulu," kata sang guru kemudian.
"Ditengah jalan kita nanti cari toko buat beli golok dan beberapa potong pakaian. Kecuali Kun-lun too, lain golok pasti kau tak dapat menggunainya."
Sebentar kemudian jongos telah datang wartakan bahwa
kuda sudah siap, buntalan juga sudah digantungkan
dipelana, maka Pau Kun Lun lantas buat perhitungan,
kemudian dengan menuntun kuda berdua mereka keluar
dari rumah penginapan itu.
Cie Khie melihat kekiri-kanan, ia berkuatir, pikirannyapun bingung. Sudah banyak hari ia rebah saja didalam
kamar, untuk naik kuda-pun sekarang ia tidak mampu.
Pau Kun Lun lihat keadaan muridnya itu, ia merasa
kasihan, ia membantui angkat tubuh muridnya, dengan
begitu barulah sang murid bisa bercokol diatas kudanya.
Mereka menuju ke Barat, ke Gie-liong, sebab selewatnya tempat ini adalah Long-tiong. Pau Kun Lun tidak ingin
jalan cepat-cepat karena perjalanan cuma seratus sepuluh lie lebih. Tidak demikian dengan Cie Khie. Murid ini ingin jalan lekas-lekas. Jalanan disitu ada ramai, dia terus celingukan.
Pau Kun Lun tidak puas akan sikapnya muridnya itu.
"Eh, Cie Khie, kenapa kau tergesa-gesa tak keruan?"
guru ini menegur. "Di Long tiong toh tidak ada urusan
penting, buat apa terburu-buru" Bukankah ada menarik hati kita jalan sambil pandang keindahan alam disini" Aku telah jadi seperti muda pula! Untuk banyak tahun aku berdiam saja didalam rumah, sampai aku tidak punyakan semangat, selainnya liamkeng, aku senantiasa berduka ... Tetapi, kau lihat disini, suasana musim rontok ini bagaimaa indah"
Gunung ada demikian hijau, air ada demikian menarik hati.
Lihatlah itu kawanan kambing dikaki bukit! Pemandangan disini mirip dengan gambar lukisan saja! Pada tiga empat puluh tahun dulu, ketika aku masih gemar mengembara,
sering-sering aku mendaki bukit untuk tidur dipuncaknya dan terjun ke air untuk bermandi!"
Pau Cin Hui bicara secara sangat gembira, suaranya-pun nyaring.
Orang-orang yang sedang berlalu-lintas sama mengawasi
jago tua ini, yang tubuhnya besar, romannya keren,
diantaranya ada yang mendekati untuk bercakap-cakap,
malah satu diantaranya isikan huncweenya dan menawarkannya. "Aku tidak menghisap," Cin Hui menampik. "Aku
memang sebenarnya tidak merokok, sedang arak aku tidak minum banyak. Itu-pun sebabnya mengapa kesehatanku
ada baik sekali, sekarang dalam usia tujuh-puluh lebih aku masih seperti orang berumur dua-puluh tahun saja!"
"Empe, tubuhmu
benar kekar, kau-pun
sangat bersemangat," berkata beberapa orang. "Kau biasa kerja apa dan sekarang kau hendak pergi kemana?"
Guru silat yang tua ini tertawa.
"Buat bicara terus terang" berkaa ia, "aku adalah Pau
Kun Lun dari Tin-pa. Tuan-tuan tentunya telah ketahui
namaku. Sekarang ini aku tengah dalam perjalanan
bersama muridku itu. Liong Ce Khie ... "
Dengan cambuknya, guru silat ini tunjuk muridnya.
Semua mata lantas berpaling pada Cie Khie, siapa, kalau bisa, ingin sembunyi kedalam perut kuda!
"Aku berdua hendak pergi ke Long-tiong," melanjutkan
Pau Cin Hui. "Aku tidak punya maksud apa-apa kecuali
untuk menyambangi satu sahabat baik!"
Adalah pengharapannya Pau Kun Lun, dengan
perkenalkan nama dan muridnya, orang nanti menjadi
kagum, akan tetapi ia kecele karena, kecuali orang awasi Liong Cie Khie, semua bersikap tawar saja, sebagai juga mereka belum pernah dengar nama "Pau Kun Lun." Hanya
Seorang saja yang romannya sebagai saudagar, berkata :
"Kalau begitu, lauko adalah seorang kangouw yang ulung
.." "Empe, apakah kau ada dari kalangan piautiam?"
seorang lain tanya. "Apakah kau pergi ke Long-tiong untuk kunjungi Kim-kah-sin Ciau Tek Cun?"
Pertanyaan ini membuat jago tua itu tidak senang.
"Kim-kah-sin Ciau Tek Cun itu orang macam apa?"
tanya ia. "Mustahil dia ada harganya untuk aku kunjungi?"
Meski ia berkata demikian, didalam hatinya Pau Kun
Lun menghela napas dan kata: "Tidak heran selama ini
Kun Lun Pay terima penghinaan dari segala anak nuda,
sampai namaku Pau Kun Lun hampir tak ada orang yang
mengetahuinya " Kasihan sekalian muridku, mereka tidak peroleh kebaikan apa juga dariku, bahkan sebaliknya
mereka kena aku rembet-rembet ... "
Jago tua ini menjadi mendongkol sendirinya, dadanya
sampai berombak, tapi justeru karena ini, dengan agak
jumawa ia pikir: "Tidak bisa tidak, aku mesti tempur Kang Siau Hoo. Aku musti bangunkan pula pamornya Kun Lun
Pay!" Pau Cin Hui duduk atas kudanya dengan hati panas.
Maka itu, ketika orang ajak ia bicara pula ia kurang mau memperdulikannya.
Mereka berjalan terus sampai lagi kira-kira tiga-puluh lie, diwaktu mana dan jalanan cabang, dengan tiba-tiba ada
muncul selorotan dari enam buah kereta serta sepuluh lebih penunggang kuda, melihat mana, orang-orang yang berlalu-lintas lantas pada tahan kereta mereka.
Menampak demikian, Pau Cin Hui nenjadi heran, ketika
ia hendak jalan terus, lantas ada orang yang berkata
padanya: "Orang tua, jangan maju terus! Bagilah jalan!"
"Inilah heran!" kata Cin Hui. "Mereka datang dari Utara hendak pergi ke Barat, mereka tidak akan ambil jalanan disini, kenapa kita mesti mengalah?"
Sebelumnya menjawab, datang seorang mendekati jago
tua ini, untuk pegang lengannya.
"Orang tua, usiamu sudah begini lanjut, mengapa kau
masih belum tahu urusan?" tanya orang itu, "Apakah kau tidak lihat itu bendera hitam dengan huruf-hurufnya putih diatas rombongan kereta" Itulah kereta-keretanya Thio Toa-thay-ya dari Pa-tiong! Siapa saja yang menemui rombongan itu ditengah jalan, dia mesti mengalah untuk membagi
jalan! Jikalau kau paksa jalan terus, hingga kau dapat candak mereka, katu bakal cari hajaran! ?"
Jago tua itu benar-benar tidak mengenti, ia heran sekali.
"Siapa itu Thio Ta-thayya di Su-coan Utara ini?" ia
tanya. "Kenapa pengaruhnya demikian besar?"
Sementara itu Cie Khie, dalam kekuatirannya, menjadi
girang, ia menoleh kepada gurunya, terus ia berkata: "Suhu, Thio Toa-thayya itu adalah Thio Hek Hou, dia ada punya banyak uang, bugeenya ia peroleh dari wee Ciu Hou dan
Tiat Tiang Ceng berdua. Selama sepuluh tahun Long Tiong Hiap undurkan diri, untuk di Sucoan Utara ini, dia adalah orang gagah nomor satu! Suhu, kita harus bersahabat
Tiga Mutiara Mustika 1 Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Pendekar Remaja 4

Cari Blog Ini