Ceritasilat Novel Online

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 2

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 2


Siau Hoo angkat kepalanya mengawasi jago tua itu. Ia
tidak jerih buat orang punya roman bengis, malah iapun delikkan matanya. Terang ia ada tidak senang, karena
orang tarik toyanya.
"Aku datang buat cari Ie-thioku akan menanyakan
kemana perginya ayahku, kenapa itu binatang usir aku?"
kata ia dengan sengit. "Aku justru hendak hajar pula
padanya!" Benar-benar ia angkat toyanya buat serang pula Cie Lim.
Cie Hian menyelak pula, ia pegang orang punya toya,
tetapi bocah itu bertenaga besar, ada sukar untuk rampas senjata itu dari tangannya.
"Anak ini kurang ajar!" kata Cie Lun dengan sengit.
"Masih sakit perutku bekas sodokannya. Eh, anak hutan, kau datang dari mana?"
Pauw Kun Lun tolak anaknya hingga Cie Lim mundur
beberapa tindak.
"Anak siapa dia ini?" guru ini tanya Cie Hian. "Kenapa dia cari ayahnya?"
Cie Hian tercengang atas pertanyaan itu.
"Dia adalah anak sulungaya Kang Cie Seng ... " ia
jawab. Guru itu terperanjat, hingga air mukanya berubah
dengan segera, lantas ia awasi Siau Hoo, roman siapa
benar-benar mirip dengan ayahnya, malah ada terlebih
cakap. Selagi Cie Hian bicara, Siau Hoo tarik pulang toyanya
untuk beraksi pula. Ia tidak menyerang pula tapi sikapnya ada gagah, ia mirip dengan satu enghiong cilik, ia tepuk-tepuk dadanya dan menantang:
"Hayo, siapa diantaranya yang berani maju buat
bertempur dengan aku?"
Melihat orang punya tingkah itu, Pauw Kun Lun
tertawa. Ia lantas menghampiri.
"Eh, anak, bukankah kau hendak cari ayahmu" " tanya
ia dengan manis. " Ayahmu itu, Kang Cie Seng, ada
muridku juga. Sudah sejak beberapa hari ia tidak datang kemari, aku justru sedang harap dia! Pergi kau pulang
tanyakan ibumu, barangkali ibumu dapat tahu ... ?"
Siau Hoo gelengkan kepala.
"Tidak!" ia sahuti. "Ibu juga tidak mau kasih keterangan padaku. Inilah sebabnya aku cari Ie-thio. Jikalau kau juga tidak sudi kasih keterangan padaku, aku tidak mau berlalu dari sini, kau semua jangan berlatih pula!"
Pauw Kausu tertawa pula, ia rogoh sakunya akan
keluarkan uang beberapa ratus chie, yang mana ia sodorkan pada bocah itu.
"Kau jangan ribut disini." kata ia sambil tertawa pula.
"Aku lihat kau ada anak baik, kau seharusnya dengar kata.
Ini uang beberapa ratus chie, pergi kau ambil untuk beli kembang gula!"
Siau Hoo sambuti uang itu tetapi segera ia lemparkan
pula pada si jago tua.
"Aku tidak kehendaki uang, aku inginkan ayahku!" ia
berseru. "Kau mesti beri tahu dimana adanya ayahku itu, nanti aku susul sendiri padanya!"
Mau atau tidak, Pauw Kun Lun perlihatkan roman
gusar, dengan sepasang matanya yang beringas ia awasi
bocah itu, yang ia anggap kurang ajar.
Cie Hian lihat gelagat tidak baik, lekas ia cekal
tangannya Siau Hoo ditarik untuk diajak pergi.
"Keponakanku yang baik, kau jangan bikin kacau
disini," ia membujuki. "Mari kita pulang ke rumahmu,
nanti aku beri tahu dimana adanya ayahmu ..."
Siau Hoo suka turut perkataan Ie-thio, itu, sebab itu
hendak dikasi tahu hal ayahnya, tetapi selagi ia hendak berlalu, ia angkat-angkat toyanya, ia ayun-ayun tinjunya kepada si jago tua.
"Anak itu lebih menjemukan daripada ayahnya." Cie
Lim berkata pada ayahnya. "Kenapa kita tidak mau hajar kepadanya?"
Ayah ini, yang sedang mendongkol, gaplok anaknya
sehingga terpelanting, setelah mana, ia menyusul dengan
satu dupakan, hingga Cie Lim rubuh terguling. Ini adalah jawaban ayah itu.
Cie Wan semua terkejut. Segera mereka maju, buat
cegah guru itu menyerang terlebih jauh.
Pauw Kauwsu sebenarnya ada gusar berbareng berduka.
"Kau bilang anaknya Cie Seng ini mirip ayahnya," ia
kata pada anaknya yang kedua itu.
"Tetapi kau, sayang kau tidak mirip dengan aku! Kalau
kau ada berani seperti bocah itu, sekarang tidak nanti aku jadi begini ..."
Cie Lim tidak berani sahuti ayahnya itu, ia malah pergi ke
samping dengan muka melengos, ia pegangi kempolannya. Cin Hui masih mendongkol, ia damprat terus anaknya
itu. Ketika itu Ah Loan muncul di pintu, ia lari
menghampiri. "Yaya, yaya, jangan gusar!" berseru anak ini, seraya ia pentang kedua tangannya. Yaya ada semacam panggilan
untuk engkong. Ketika ia sudah datang dekat, terus ia peluk engkongnya itu.
Pauw Kauwsu gusar hingga kumis dan jenggotnya
bergerak-gerak, tetapi ia usap-usap kuncir mungil dari cucunya itu.
"Semua anakku tiada gunanya," pikir ia, yang masgul
bukan main. "Bila nanti aku menutup mata, bukan saja
bugeeku tidak ada yang wariskan. Juga tidak akan ada yang sanggup tandingi musuhku. Muridku ada banyak tetapi
mereka tidak bisa terlalu diandalkan. Selagi sekarang aku
masih bernapas, baik aku didik Ah Loan, akan turunkan
semua ilmu kepandaianku kepadanya."
Pauw Kauwsu segera ambil ketetapan, akan didik
cucunya itu. Tidak antara lama, Cie Hian kembaIi sehabis antarkan
Siau Hoo. Cie Hui tanya muridnya itu perihal keluarga Kang,
kemudian ia pesan pada Cie Hian sebatang golok tautoo
yang kecil dan panjangnya satu kaki lebih untuk Ah Loan.
Sejak itu, Pauw Kauwsu suka kadang-kadang menghela
napas pula. Siau Hoo sebaliknya jadi semakin binal. Ia berhasil
mengumpulkan belasan anak-anak sepantaran yang semua
nakal, ia persenjatai mereka dengan bambu runcing dan
golok kayu, sering-sering ia pimpin mereka itu datangi rumahnya Pauw Kauwsu, akan bikin banyak berisik
dimuka pintu pekarangan. Ia anjurkan anak itu tantang
Pauw Cie Lim buat bertarung.
Cie Lim tidak takuti anak itu, tetapi ia jerih terhadap ayahnya, karena itu ia terpaksa sembunyikan diri, ia tulikan kuping.
Di hari ketiga, ketika Cin Cie Po datang untuk belajar silat tampak kepalanya borboran darah. Sebabnya ialah
diluar dusun ia sudah ditimpuki dengan batu oleh anaknya Cie Seng.
Kemudian muncul Lauw Cie Wan, dengan kepalanya
penuh debu. Ia kata barusan saja ia dikepung oleh Siau Hoo dan kawan-kawannya, yang telah atur barisan debu!
Mendengar itu semua, Pauw Kun Lun bersenyum ewa.
"Ah, itu anak!" ia perdengarkan suarannya.
Hatinya Cie Hian menjadi ciut kapan ia saksikan roman
bengis dari gurunya itu, ia bergidik akan dengar suara tertawa gurunya itu. Akan tetapi, hanya sebegitu saja sikap dari sang guru, dan hari itu, tidak ada terjadi suatu apa. Itu maghrib Pauw Kauwsu keluar seorang diri dari rumahnya, ia bekal sebilah pisau yang ujungnya lancip, ia menuju ke rumah Cie Seng yang ia lewati bagian depannya. Ia melirik ke arah rumah kemudian terus keluar dari dusun.
Cuaca ada bersinar layung ketika itu.
Cahaya merah tertampak di ujung langit di sebelah
Barat. Dan rumah-rumah orang kampung ada terlihat asap mengepul naik, tandanya orang sedang masak. Beberapa
gembala kambing kelihatan sedang pulang bersama-sama
binatang angonannya.
Kapan cuaca jadi semakin gelap, Pauw Kauwsu melihat
ke Timur dan ke Barat dengan mata bagaikan seekor
harimau kelaparan yang sedang cari mangsanya. Angin
musin Cun bikin kumis dan jenggotnya bergerak.
Tidak antara lama, dari arah Barat, dimana ada sawahsawah gandum, dari jalanan pematang, ada satu bocah
berlari-lari mendatangi, tangannya mencekal toya.
Menampak bocah itu, Pauw Kun Lun lantas memapaki.
Sebelum Siau Hoo demikian bocah itu melewati sawah,
jago tua itu sudah cegat ia. Ia kenali siapa orang yang bertubuh besar itu, ia lantas deliki matanya, ia siapkan toyanya.
"Eh, tua bangka, apakah kau hendak piebu dengan aku?"
ia menegur. Orang tua itu tidak kata apa-apa hanya ia hunus
pisaunya, hingga cahaya tajamnya jadi berkelebat bersinar.
Sepasang matanya juga perlihatkan sorot tajam bagaikan api menyala. Ia telah angkat pisaunya itu.
"Aku akan habiskan kau, makhluk cilik!" demikian
pikirnya. "Akar bencana di kemudian hari mesti dibasmi!"
Akan tetapi Siau Hoo tidak sangka yang jago tua itu niat membunuh ia, ia tetap tidak takut, menampak senjata tajam malah ia berjingkrak!
"Ha, kau keluarkan pisau tulen!" dia berseru.
Sikapnya yang polos itu, tiba-tiba membikin berubah
hatinya si jago tua. Ia jadi lemas sendirinya, hingga
senjatanya diturunkan dengan pelahan.
"Apakah kau penujui pisau ini?" ia tanya sambil tertawa.
"Aku memang tunggui kau, untuk beri persen pisau ini
kepadamu!"
Lantas orang tua itu angsurkan pisaunya.
Siau Hoo tertawa, ia sambuti senjata itu, terus ia bulak balik dibuat main.
Tiba-tiba pula berubah lagi pikiranya si orang tua,
mendadak ia ingin rampas pisau itu guna dipakai
membunuh bocah ini, tetapi sedetik kemudian pikirannya berubah pula, niatnya itu dapat ditindas.
"Kenapa aku mesti binasakan dia?" demikian pikirannya
yang baru itu. "Aku telah bunuh ayahnya, itu sudah cukup.
Apa benar-benar aku hendak babat rumput berikut akarnya sekalian" Bukankah pepatah ada bilang: permusuhan mesti disudahi dan bukan diperhebat" Laginya Thian ada
matanya, aku yang sudah berusia hampir tujuh puluh
tahun, aku tidak boleh berlaku kejam pula!"
Maka itu, dengan cara sangat menyayang ia terus usapusap kepala bocah itu, yang hampir saja rubuh sebagai
korbannya. "Sekarang pergilah kau pulang," kata ia dengan sabar.
"Kau jangan pikirkan pula ayahmu, dia sudah pergi kelain tempat, dimana tidak nanti ia bersengsara. Kau juga mesti bujuki ibumu supaya ia tidak bersusah hati terlebih jauh.
Akupun mau menasehatkan kau, selanjutnya jangan kau
musuhkan lagi muridku, jangan kau datang mengacau pula di depan rumahku ..."
Siau Hoo geleng-geleng kepalanya.
"Tidak aku tidak akan ribut pula!" ia jawab. "Kau telah memberi aku pisau yang bagus, selanjutnya aku tidak akan bikin ribut pula!"
Lalu, dengan sebelah tangan memegang toyanya dan
sebelah yang lain mencekal pisau itu, sambil berjingkrakan ia lari pulang, ia ada sangat gembira.
Pauw Cin Hui awasi anak itu sampai lenyap dari
pandangan mata, walaupun demikian, ia masih berdiri
bengong di pematang sawah itu, ketika ia sadar, ia lalu betindak pulang, hatinya puas, tidak lagi ia berduka.
Tatkala besoknya orang berkumpul di tempat belajar silat seperti basanya, tidak ada lagi murid yang dapat gangguan dari Siau Hoo dan rombongannya, dan Pauw Kun Lun
telah tilik murid-muridnya dengan sungguh-sungguh, ia
berikan pelajaran dengan bersemangat. Disitu pun ia suruh cucunya Ah Loan yang baru berumur sepuluh tahun turut
belajar bersama.
Setelah jam belajar, selagi lain murid pergi bekerja, Puaw Kauwsu panggil Cie Hian masuk kedalam, pada murid ini
ia serahkan beberapa potong perak hancur.
"Uang ini ada kira-kira sepuluh tail," ia kata, "Pergi kau bawa ke rumahnya Cie Seng dan serahkan pada isterinya.
Cie Seng telah belajar silat tiga tahun, karena ia langgar aturan kita, ia telah terdesak hingga ia buron. Aku percaya, sekalipun sampai sepuluh tahun, belum tentu ia bisa
pulang. Kasihan isterinya dan anak-anaknya. Nanti,
kadang-kadang aku akan menunjang pula pada mereka."
Cie Hian sambuti uang itu sambil manggut, ia terus
undurkan diri. Selagi ia keluar dari pintu, karena herannya ia jadi
curiga, hingga ia menduga-duga. "Apakah yang tua bangka ini pikir" Orang punya suami dan ayah ia telah binasakan sekarang ia tunjang janda dan anak piatu itu! Apakah
benar-benar ia telah menyesal" ... Beberapa hari Siau Hoo mengacau, ia antap saja, ia seperti tidak gusar. Inilah mencurigai ... Sebenarnya, apakah yang ia pikir?"
Sampai di rumahnya Cie Seng, Cie Hian masih berpikir
terus. Ia tolak pintu pekarangan dan masuk. Segera ia lihat Siau Hoo sedang buat main pisaunya yang tajam yang
panjangnya ada tujuh dim kira-kira, cahayanya mengkilap.
Melihat siapa yang datang Siau Hoo segera lari
menghampiri. "Ie-thio, Ie-thio!" ia berseru berulang-ulang. "Kau lihat pisauku yang bagus ini! Ini adalah golok mustika!"
"Ah, anak!" berkata Cie Hian, "tidak berhentinya kau
buat main senjata saja. Nanti pisau itu bisa melukai dirimu sendiri! Dari mana kau dapat ini?"
"Ini ada pisau pemberiannya gurumu, si tua bangka she
Pauw!" sahut keponakan itu. "Kemarin maghrib dia
tunggui aku di pematang sawah, dari tangan bajunya ia
keluarkan pisau ini dan ia memberi padaku ..."
Mendengar itu, dalam sesaat mukanya Cie Hian menjadi
pucat, hatinya mencelos. Segera ia ambil pisau itu dari tangan keponakannya.
"Inilah hebat," kata ia, yang terus bertindak kedalam
rumah dengan bawa terus pisau itu. Ia lantas cari Oei-sie.
"Encie, kau mesti lekas ajak anak ini pindah ke kota!"
kata ia. "Kalau tidak, kau akan terancam bahaya
kebinasaan Tua bangka she Pauw itu ada kejam melebihi
harimau, telengas melebihi ajag!"
Walaupun dia berkata demikian, tidak urung ipar ini
ketetesan air mata.
Oei-sie heran, hingga ia mengawasi iparnya itu dengan
tidak bisa lantas kata apa-apa sedang Siau Hoo yang ikuti Ie-thio itu, segera menghampiri untuk minta pulang golok mustikanya itu.
Cie Hian serahkan senjata yang diminta ini.
"Ambillah ini," ia kata. "Dengan senjata ini di belakang hari kau boleh ... Ah walaupun ayahmu sudah lakukan
kekeliruan, ia seharusnya tidak usah sampai mesti ..."
Oei-sie heran melihat sikap iparnya itu, yang melelehkan air mata dan suaranya tidak lancar, tanpa merasa tubuhnya sendiripun bergemetar.
"Moayhu," kata ia, seraya air matanya pun meleleh
keluar. "Sebenarnya apa sudah terjdi" Apa orang she Pauw itu ..."
Cie Hian angkat kepalanya, ia menggoyang-goyangkan
tangan. "Sekarang ini aku tidak bisa bicara jelas, piauwcie," kata ia. "Hari ini juga kau bertiga pindah ke kota, akan tinggal
bersama di rumahku. Jangan pulang kembali kemari atau
bencana hebat akan terjadi ..."
Oei-sie ketakutan, sekalipun ia belum tahu duduknya
hal. Firasat jelek membuat hatinya ciut. Ia lantas manggut-manggut.
"Baik, kita akan lantas pindah ke kota," sahut ia.
Selagi begitu, Siau Hoo cekal lengannya Ie-thio itu.
"Bencana apa itu Ie-thio?"
Cie Hian goyangkan tangan, ia menghela napas.
"Kau tidak usah tanya," ia kata. "Kau turut ibumu
pindah ke rumahku di kota, disana aku nanti ajaran kau ilmu silat, akupun akan ajarkan kau bekerja di bengkel, kalau nanti kau sudah bisa, golok semacam ini kau boleh bikin sendiri sesukamu, berapa banyak yang kau suka! Juga dengan kepandaian tukang besi di belakang hari kau bisa tuntut penghidupanmu."
Bukan main girangnya Siau Hoo mendengar Ie-thio itu,
sampai ia lompat berjingkrakan.
"Bagus! Bagus!" ia berseru berulang-ulang.
Benar-benar, itu hari juga Cie Hian ajak ipar ini pindah ke rumahnya. Ia cari satu sanak kepada siapa ia titipkan rumahnya Cie Seng itu. Untuk angkut itu ibu dan ajak
bertiga, dan barang-barang yang dirasa perlu, ia sewa
sebuah kereta. Ia berikan mereka ini kamar di bagian
belakang dari rumahnya, di belakang bengkel besi.
Sekarang Cie Hian insaf benar bahwa gurunya ada
seorang yang telengas sekali, bahwa tak usah disangsikan lagi Cie Seng mestinya sudah binasa di tangannya guru ini, dan itu ia percaya, jiwanya Siau Hoo dan adiknya di
belakang hari akan terancam sekali ini sebab selanjutnya ia
sangat berkuatir dan masgul. Tapi ia bungkam tentang
kemasgulan atau kekuatirannya itu, walaupun pada istrinya ia tutup rahasia.
Sejak itu, kapan Cie Hian ketemu gurunya, selagi belajar dan lainnya, ia berlaku sangat hormat dan hati-hati, begitu pula terhadap semua saudara angkatnya terutama terhadap Cie Lim, ia tidak ingin lakukan sesuatu kesalahan juga, untuk mencegah gurunya jadi tidak senang dan gusari dia, ia insaf, asal ia berbuat salah, juga jiwanya akan terancam bencana maut.
Oei-sie dan anaknya tinggal dengan baik di rumahnya
Cie Hian, hanya lama-lama setelah pikirkan dan sedihkan suaminya sekian lama, dengan si suami tetap belum
kembali pikirannya nyonya itu menjadi tawar, hatinya
lantas berubah-rubah. Pelahan dengan pelahan nyonya ini jadi gemar berhias seperti biasanya, ia suka pesiar atau pergi ke gereja, hingga ketika beberapa sanak suaminya ketahui tingkah lakunya itu, mereka itu lantas siarkan cerita jelek tentang nyonya janda yang bukannya janda itu ... Dengan cerita busuknya itu pun, sekalian sanak itu hendak cari alasan agar hartanya Cie Seng bisa dipecah diantara
mereka. Cie Seng memang ada mempunyai beberapa puluh
bahu sawah. Sang hari lewat dengan cepat, tanpa terasa satu tahun
telah berlalu. Sementara itu, entah keluar dari mulut siapa, lalu tersiar berita bahwa Kang Cie Seng sudah mati,
katanya dia telah ketemu berandal di gunung Cin Nia dan telah binasa di tangannya kawanan penyamun itu.
Malahpun ada dibilang, ada orang yang lihat mayatnya Cie Seng itu.
Oei-sie dengar cerita itu, ia bersangsi, ia separuh percaya separuh tidak. Cie Hian sendiri tetap tutup rahasia, sampai belakangan, pikirannya berubah. Ia menjadi tidak puas
ketika ia lihat kelakuannya si ipar mejadi centil, seperti juga nyonya itu tak sanggup menjadi janda muda.
"Apakah ini pembalasan?" tanya Cie Hian pada dirinya
sendiri. "Dahulu Cie Seng ganggu isteri orang, dia mati baru satu tahun, lantas isterinya ini niat menikah pula.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daripada kemudian ia cemarkan dirinya di rumahku ini,
lebih baik sekarang aku beritahukan dia yang suaminya
benar-benar sudah binasa, biarlah dia wujudkan niatnya akan menikah pula!"
Benar-benar Cie Hian tak bisa tahan sabar lagi. Itu hari, ia hampirkan Oei-sie dan beritahukan bahwa Cie Seng
benar sudah mati. Dengan rupa sangat sengit, ia kata pada iparnya itu. "Piauw-cie, sekarang aku omong terus terang padamu. Ciehu Cie Seng benar sudah binasa di tangannya tua bangka she Pauw itu. Tentang pembunuhan itu tidak
ada seorang juga yang lihat, namun itu adalah kejadian yang benar! Ciehu sudah mati, piauwcie, jikalau kau
hendak menikah pula, tidak ada orang yang akan halangi kau, hanya, apabila kau menikah, kau tidak boleh bawa
Siau Hoo. Siau Hoo ada anak sulungnya Cie Seng, dan Cie Seng, di sebelah ada sanakku, dia juga ada jadi suheng selama tiga tahun dari aku. Maka aku ingin ada turunan syah untuk Cie Seng!"
Keterangannya Cie Hian bikin Oei-sie kaget hingga ia
menangis, terus menerus sampai tiga hari, malah ia pakai pakaian berkabung. Namun baru berselang beberapa bulan, hati mudanya telah tergoda pula, ia tidak tahan akan hidup terus sebagai janda muda, ia telah menikah kepada Tang Toa, satu saudagar benang. Ia bawa Siau Louw, yang telah masuk umur dua tahun, dan Siau Hoo ia antap tinggal
bersama Cie Hian.
Tatkala itu Siau Hoo telah masuk usia empat belas
tahun. Ia tuntut ilmu silat dari Ma Cie Hian, pelajarannya
ia telah dapat kemajuan. Dimana iapun bekerja di bengkel besi kedua lengannya telah jadi keras dan kuat, tubuhnya kekar. Memangnya ia ada anak nakal dan bandal, sekarang ia hidup dengan pikiran terganggu, ia menjadi binal. Ia berduka karena lenyapnya ayahnya, ia menyesal karena
ibunya menikah pula, ia masgul karena ia mesti berpisah dari adiknya. Karenanya ia suka sekali minum mabok-mabokan di warung arak ia gemar membikin onar di tengah jalan, sedang pekerjaannya di bengkel jadi tak keruan.
Sudah begitu, ia tidak akur dengan Lie-sie, isterinya Cie Hian, ia sering bentrok dengan Ie-ie atau ipar itu, tak perduli Cie Hian sering datang sama tengah untuk
mengakuri atau mendamaikan. Akhirnya Cie Hian jadi
masgul ketika ia dapat kenyataan Siau Hoo ingin angkat kaki saja dari rumahnya.
Pada suatu tengah hari, Cie Hian pulang dari rumah
gurunya dengan pakaian tidak keruan, seluruh tubuhnya
penuh salju, kedua sepatunya penuh lumpur. Ketika itu
memang ada di musim dingin, hawa udara dingin luar
biasa, salju turun lebat sekali hingga semua rumah dan pohon-pohon tampak putih anteronya.
Lie-sie sambut suaminya dengan gerutunya.
-ooo0dw0ooo- Jilid 03 "BUKANNYA kau kerja benar-benar setiap hari, kau
justru pergi untuk belajar silat!" demikian isteri ini. "Hingga kini kau sudah belajar enam tahun lamanya, apakah yang kau peroleh sebagai hasilnya" Dan kepandaianmu itu, satu chie pun belum kau menghasilkan uang!"
"Kau tidak tahu." Cie Hian sahuti isterinya disertai
elahan napas. Ia memangnya ada masgul. "Sekarang ini
aku ada sebagai si penunggang harimau yang sukar turun dari bebokongnya binatang buas itu, tak dapat aku batalkan pelajaranku ... Ketika dahulu aku mulai belajar silat, pikiran mudaku berpendapat, kalau aku pandai silat dan mainkan senjata, bagaimana indahnya itu. Sekarang aku belum
sempurnakan pelajaranku, tetapi untuk merantau atau jadi piauwsu, sudah cukup syaratnya. Suhu juga sudah memikir akan kirim aku ke luar untuk jadi piauwsu hanya aku
sendiri pikir, dari pada jadi piauwsu perantauan lebih baik aku diam di rumah mengusahakan terus bengkel besi.
Begitulah beberapa kali aku telah lepaskan ketikaku.
Sekarang ketika baik itu belum datang, dilain pihak aku tidak berani tidak datang ke rumah suhu. Satu kali saja aku tidak datang tanpa sebab, suhu bisa gusar, akibatnya
berbahaya, jiwaku akan turut terancam ..."
"Kenapa kau jerih terhadap gurumu sampai demikian
rupa?" tanya Lie-sie. "Dia toh manusia, apa dia bisa bikin"
Umpama dia bunuh orang, apakah dia tak usah ganti jiwa orang itu dengan jiwanya sendiri?"
"Apa kau bilang" Ganti jiwa?" Cie Hian mendelong
mengwasi isterinya itu. "Dikalangan kang-ouw, siapa
bunuh orang, dimana dia bisa ganti jiwa" Kalau begitu, Kang Cie Seng ?"
Cie Hian tidak teruskan perkataannya itu, ia berhenti
dengan tiba-tiba, ia geleng-geleng kepala, ia menghela napas.
"Kau tidak tahu apa-apa, umpama aku beri keterangan
padamu, kau tetap tidak akan mengerti ... " kemudian ia tambahkan.
"Kau masih sebut-sebut Cie Seng!" berkata Lie-sie. "Dia ada sanak yang baik dari kita! Dia mati, tetapi mayatnya tiada orang dapat lihat, sebaliknya encie piauw nikah Tang Toa, dia sekarang hidup beruntung! Adalah Siau Hoo, itu bocah tak punya guna, setiap hari hanya membangkitkan
amarahku! Kenapa dahulu kau pikir untuk beri dia tinggal disini, buat jadi biang bencana" Bagaimana nanti akhirnya."
"Siau Hoo ada soal gampang," Cie Hian kata. "Lagi satu atau dua tahun, dia akan sudah dewasa, lantas kita lihat, umpama dia tidak bisa dididik, kita boleh suruh dia pergi dari sini, diluaran tidak nanti dia mati kelaparan ..."
"Sungguh bagus pikiranmu!"
Lie-sie menjengeki suaminya. Jengekan istri itu, Cie Hian bukan baru dengar ini satu kali, maka itu ia tulikan kuping. Ia tidak mau ladeni istri itu, untuk mencegah kemendongkolan istrinya terlebih jauh,
terus ia pergi ke tempat kerjanya.
Di musim dingin seperti itu, pekerjaan di bengkel ada
sepi, apa pula di hari-hari salju turun lebat. Cie Hian ada mempunyai dua pegawai, sejak beberapa bulan yang lalu ia sudah berhentikan mereka, maka sekarang di bengkelnya
tinggal Siau Hoo serta satu bocah yang kerja magang. Dan waktu itu, bocah itu sedang nyalakan api, Siau Hoo tidak kelihatan, entah kemana perginya anak binal itu.
"Benar-benar anak itu tidak dapat diajar!" kata Cie Hian, yang sedang mendongkol. "Ya, biarlah dia pergi ..."
Ia menghampiri magangnya itu, ia duduk di sebelahnya,
akan bantu si magang ketoki kuali besi yang mereka sedang kerjakan.
Satu kuali itu belum selesai dibikin, atau satu bocah
tetangga she Thio, yang pun buka bengkel besi, lari masuk dengan kepala dan pakaian penuh salju.
"Ma Ciangkui, lekas lihat, lekas!" kata bocah ini. "Siau Hoo sedang berkelahi di warung araknya Lauw Sam!"
Cie Hian terkejut.
"Dengan siapa dia berkelahi" " dia tanya.
"Dengan Tie Louw-cu." bocah itu jawab. "Dia telah
hajar kepalanya Tie Louw-cu sampai borboran darah!"
Kalau tadi dia kaget, setelah dengar namanya si orang
she Tie tukang sewakan keledai itu, hatinya Cie Hian jadi lega. Ia terus goyang-goyang kepala.
"Masa bodoh. Biar mereka berkelahi terus!" ia jawab.
"Siapa ada punya kepandaian, dia boleh hajar mampus
musuhnya!"
Mendengar demikian, bocah tetangga itu lantas ngeloyor pergi.
Tidak antara lama, kelihatan Siau Hoo muncul. Kecuali
badannya penuh salju, ia tidak terluka sedikit jua. Malah pada tampangnya tidak ada roman gusar, sama sekali ia
tidak menandakan seperti habis berkelahi. Ia ada jangkung, romannya cakap ganteng, hanya kulitnya agak hitam,
hingga ia tak mirip sebagai bocah umur empat belas tahun, dia seperti sudah dewasa saja. Hanya ketika ia lihat sang Ie-thio, ia agaknya malu, ia tundukan kepala.
"Ie-thio, pergilah beristirahat, nanti aku gantikan kau,"
kata ia ketika ia sudah datang dekat ipar ayahnya itu.
Cie Hian tidak kata apa-apa, ia berbangkit akan duduk di pinggiran. Dari sini ia awasi keponakannya bekerja, ia lihat orang punya kedua lengan yang kuat dan tubuh yang kekar.
Anak ini bekerja lebih sungguh-sungguh daripada hari-hari yang sudah.
Tidak terlalu lama, sebuah kuali itu telah selesai
dikerjakan, maka si kacung lantas saja berbangkit untuk pergi kedalam, guna seperti biasanya membantui Lie-sie masak nasi.
Setelah mereka berada berduaan, Ma Cie Hian barulah
hendak tanya keponakannya itu, kenapa tadi dia berkelahi di warung arak. Akan tetapi sebelum ia keburu buka
mulutnya, Siau Hoo, yang telah letaki martilnya, mendadak cekal lengannya. Matanya anak ini lantas saja mengucurkan air.
"Ie-thio, aku ingin kau bicara terus terang padamu," kata ia dengan sesengukan. "Pada dua tahun yang lewat,
bagaimana sebenarnya kematian ayahku" Sebenarnya ayah
terbunuh oleh siapa?"
Cie Hian terkejut mendengar pertanyaan itu yang ia
tidak sangka-sangka. Berbareng dengan itu, ia pun
mendadak jadi sedih. Hingga untuk beberapa detik, ia diam saja.
"Apa yang aku ketahui tentang ayahmu adalah aku
dengar dari ceritera orang," kemudan ia menjawab.
"Ayahmu itu sudah lakukan satu kesalahan, ia telah langgar aturan Pauw Kauwsu, sudah begitu ia tidak mau dengar
nasihat gurunya itu, malah sebaliknya dia sudah lukai
kedua suhengnya, Cie Lim dan Cie Po. Setelah itu, karena ia kuatir disatrukan oleh lain-lain murid dan gurunya itu, ia lalu minggat, ia tinggalkan rumahnya dengan tidak
terdengar pula kabar ceritanya. Adalah kemudian aku
dengar orang mengatakan bahwa dia telah ketemu begundal di gunung Cin Nia San dan kena dibinasakan oleh kawanan berandal itu ..."
Mendengar itu Siau Hoo goyang kepala air matanya
turun semakin deras.
"Bukan, Ie-thio!" kata ia. "Ie-thio dustakan aku! Tadi di warung araknya Lauw Sam aku kebentrok dengan Ti Sam
si tukang sewakan keledai, urusannya ada urusan kecil tapi kita jadi berkelahi. Dia tidak sanggup lawan aku, dia lantas caci aku. Diapun kata ..."
Siau Hoo tak dapat meneruskan kata-katanya, karena ia
menangis sangat sedih.
"Sudah, diam, diam ... " Cie Hian membujuki seraya
tepuk-tepuk orang punya pundak.
Siau Ho coba tahan kesedihannya.
"Tie Sam bilang ayahku telah dibinasakan oleh Pauw
Cin Hui, Liok Cie Teng, Liong Cie Khie dan Kee Cie Beng berempat," ia teruskan, "Persaudaraan Liong itu adalah Ie-thio sendiri yang undang dari Cie-yang. Maka itu, aku
percaya, tak bisa jadi jikalau Ie-thio tidak ketahui perihal ayahku itu!"
Cie Hian digedor oleh liang-simnya, hingga ia lantas
turut menangis.
"Sudah dua tahun aku simpan perkara ayahmu ini," ia
kata kemudian. "Cuma pada ibumu aku pernah omong
dengan samar-samar ... Siapa tahu sekarang, juga orang luar telah ketahui itu."
Siau Hoo diam mendengari.
Sampai disitu, Cie Hian lantas tuturkan semua apa yang ia tahu.
"Dalam perkara ini kau tidak boleh persalahkan Pauw
Kauwsu serta persaudaraan Liong itu," ia tambahkan,
sesudah ia habis menutur. "Ayahmu ada bersalah juga.
Pauw Kauwsu beradat keras, terhadap murid-muridnya ia
biasa bersikap kejam, semua orang ketahui itu. Katanya, semasa Pauw Kauwsu masih muda, ia dapatkan isterinya
main gila, ia sudah lantas bunuh isterinya itu, karena mana ia mesti mendekam dalam penjara. Dia sebenarnya telah
dijatuhkan hukuman mati, kemudian ia ketolongan sebab
kebelutan terbit huru-hara kaum Pek Lian Kauw, kota kena dirampas, itu waktu dia bisa minggat. Setelah itu, Pauw Kauwsu masuk dalam ketentaraan di mana ia berjasa.
Paling akhir baru ia masuk dalam kalangan perusahaan
piauw tiam, sampai sekarang ini. Cie In dan Cie Lim
adalah anak-anak dari isterinya yang dia binasakan itu.
Karena kebusukan isterinya ini, Pauw Kauwsu jadi benci orang yang suka mogor dan berjina, dalam aturan
penerimaan murid, pantangan itu ada yang nomor satu,
siapa berani langgar, hukumannya adalah hukuman mati."
"Ayahmu tahu pantangan itu, dia sengaja langgar, malah karena ia anggap gurunya sudah tua, diapun berani lawan, maka menuruti hawa amarahnya, Pauw Kauwsu sudah
titahkan aku pergi panggil persaudaraan Liong dari Cieyang. Bersama mereka itu ada datang suheng Kee Cie Beng.
Aku insyaf, kalau semua suheng itu datang, ayahmu pasti tidak tertolong lagi, akan tetapi aku jerih terhadap suhu, aku terpaksa turut titahnya itu ..."
Cie Hian hendak bercerita terus, Siau Hoo cegah dia.
"Cukup, Ie-thio, tidak usah kau menutur lebih jauh,"
kata bocah ini dengan air matanya mengucur deras. "Sudah dua tahun Ie-thio pelihara aku dan ajarkan juga aku ilmu silat, aku berterima beri padamu. Sekarang ini aku
bukannya satu anak kecil lagi, aku ingat budi kebaikan Ie-thio. Sekarang aku tidak benci siapa juga kecuali Pauw Cin Hui. Ayahku bersalah tapi dia tak mestinya sampai
dihukum mati! Kenapa dia justeru bunuh ayahku" Laginya
... " Bocah ini merogoh kedalam tangan bajunya dari mana ia keluarkan sebilah pisau tajam mengkilap. Ketika ia
melanjutkan, suaranya sedih dan sengit. "Ini adalah senjata yang si tua bangka she Pauw memberi padaku pada dua
tahun yang lalu. Ingat benar aku pada keadaan di waktu itu.
Waktu sudah magrib, sikapnya si tua bangka ada sangat
bengis, hanya entah kenapa, dia batal membunuh aku.
Selama dua tahun aku ada seperti terbenam, sampai tadi Tie Sam bicara dengan aku, dan barulah aku ingat,
sebenarnya tatkala itu si tua bangka berniat membinasaku!"
Siau Hoo jadi sengit luar biasa, matanya jadi mendelik, tangannya menyekal keras pisaunya itu, agaknya ia hendak cari Pauw Cin Hui untuk ditempurnya, untuk mencari
balas. "Sabar," kata Cie Hian dengan ia goyang-goyangkan
tangan. "Kau harus bicara dengan perlahan. Ketika itu hari aku lihat pisaumu ini dan ketahui, kau peroleh itu dari Pauw Kauwsu, hatiku bercekat, diam-diam aku bergidik
karena segera aku menduga dia sebenarnya hendak
binasakan kau, hanya aku tak mengerti kenapa dia boleh mendadak ubah niatnya itu. Tapi aku terus berkuatir. Inilah sebabnya mengapa aku segera minta ibumu ajak kau pindah ke rumahku ini, dan aku ajarkan kau ilmu silat. Bukan
maksudku kau gunai kepandaianmu untuk membalas saki
hati, aku hanya ingin kau pakai itu untuk menjaga diri.
Hanya selama dua tahun ini perangainya Pauw Kauwsu
telah berubah banyak. Dia tahu yang kau tinggal sama aku, ia sering-sering nenanyakan halnya kau. Melihat gerak-geriknya aku percaya dia bukan menanyakan untuk
menanya saja, tetapi ia benar-benar bermaksud baik.
Menurut aku, dendam sakit hati harus dikendorkan dan
dihabiskan daripada diperhebat, sedang juga kita tidak akan sanggup lawan dia. Umpama kau cari dia untuk membalas
dendam itu, sudah pasti tidak saja maksudmu tak akan
tercapai, sebaliknya kau bisa celaka sendiri, jiwamu bisa menghilang, sedangkan akupun bisa kerembet-rembet
karenanya."
Siau Hoo bengong, ia seka air matanya. Tiba-tiba ia
berlutut di depannya Cie Hian, bersoja-kui.
Cie Hian heran, ia lekas beri bangun keponakannya itu.
"Kau kenapa?" tanya ia dalam herannya.
Siau Hoo tunduk, air matanya meleleh pula. Ia masih
tidak berkata apa-apa.
"Nasi sudah matang!" tiba-tiba terdengar suara dari
dalam. Itulah suaranya Lie-sie, yang mengasih tahu barang
santapan sudah sedia.
Cie Hian lantas tepuk pundaknya anak tanggung itu.
"Marilah kita dahar!" kata ia. "Semua pembicaraan kita ini, kau jangan pikirkan pula, baiklah kau bekerja baik-baik dengan itupun sudah cukup untuk kau balas kebaikan
ayahmu." Cie Hian tarik tangannya Siau Hoo.
Siau Hoo berbangkit, ia ikut kedalam. Mereka dahar nasi dari beras kuning. Selagi ia sendok nasi, Lie-sie senantiasa mengawasi padanya. Pikirannya masih kusut, ia lupa tutup pula kuali nasi. Melihat demikian, nyonya itu lantas
menegur. "Kau tidak tutup pula kuali, apa kau hendak bikin nasi jadi dingin" Apakah kau memangnya makan sendirian
saja?" Biasanya, kapan ia ditegur, sekalipun ia tidak bikin
perlawanan, tapi air mukanya Siau Hoo berubah, akan
tetapi sekarang ia tunduk, tampangnya tetap saja, dengan cara hormat ia lekas angkat tutup kuali akan tutupi nasi itu.
"Sudah, sudah," kata Cie Hian, yang tak sampai hati
melihat keponakannya itu. "Ini ada urusan kecil, Siau Hoo, kau daharlah!"
Siau Hoo duduk atas bangku kecil, ia lantas mulai dahar.
Kalau biasanya ia gembul, sekarang, baru habis setengah mangkok, ia sudah letaki sumpit dan mangkoknya itu. Ia kata bahwa ia dahar cukup ... Ia berlalu lebih dahulu.
Cie Hian duga pikirannya ipar itu masih kusut.
Sehabisnya mereka bersantap, sang salju masih terus
turun. Melihat itu, Cie Hian kerutkan dahi.
"Hujan salju turun demikian besar dan besok pagi-pagi
aku mesti pergi ke rumah suhu," kata ia seorang diri.
Kemudian ia pergi ke tempat kerjanya, dimana
kacungnya lagi jongkok di pinggir dapur dan Siau Hoo
berdiri diam di satu pojokan, romannya sangat masgul. Ia merasa kasihan pada keponakan itu, ia lalu menghampiri.
"Kau jangan berduka saja," ia bilang seraya tepuk-tepuk orang punya pundak. "Terimalah ini beberapa ratus chie, untuk kau pergi ke warung arak buat minum disana untuk lenyapkan kedukaanmu. Arak bisa melenyapkan kedukaan
dan berbareng melawan hawa dingin ..."
Siau Hoo sambuti uang itu, sambil tunduk ia lantas
berlalu. Ketika itu salju sudah ada enam atau tujuh dim
tingginya, di jalan besar, kebanyakan warung atau toko sudah tutup pintu, hingga ketinggalan saja rumah-rumah
makan, yang kacanya berlepotan salju tetapi di sebelah dalam, ramai suara orang.
Dengan tindakannya yang berat, Siau Hoo bertindak
ditumpukan salju, telah raba pisaunya yang tajam, diam-diam ia telah ambil putusan buat pergi keluar kota ke Pauw-kee-cun, ke rumahnya Pauw Cin Hui, guna bunuh guru silat she Pauw itu, untuk mencari balas bagi ayahnya.
"Aku masih muda, Cin Hui sudah tua, mustahil aku
tidak sanggup lawan dia?" demikian pikirnya.
Oleh karena ini, lebih jauh ia berpendapat, bahwa untuk membinasakan Pauw Cin hui adalah gampang sekali.
"Sesudah bunuh musuh itu, aku mesti buron ke tempat
yang jauh sekali," demikian ia sudah pikir rencananya.
Umpama aku gagal dan tidak keburu minggat, aku toh akan kehilangan satu jiwa saja. Kalau aku binasa karena hendak membalas sakit hati ayah, orang akan tetap anggap aku ada seorang gagah berani ..."
Ia jalan terus keluar dari Lam-cun, dusun sebelah
Selatan. Ia lihat langit, ia anggap sang waktu masih siang.
Ia merasa dingin, karena ia hanya memakai baju pendek.
Maka ketika ia memasuki Kwan-siang, terus
ia menghampiri sebuah warung arak.
"Kau cari siapa?" tanya jogos yang datang adalah satu
bocah. "Aku tidak cari orang, aku hendak minum arak." Sahut
Siau Hoo ia menghampiri meja, terus ia jatuhkan diri atas sebuah kursi. Ia letaki lengannya di atas meja, lebih jauh ia letaki kepalanya di atas lengannya itu, hingga kelakuannya mirip dengan bocah gelandangan.
Melihat demikian, beberapa tetamu pada tertawa.
"Kau hendak minum berapa banyak?" tanya jongos yang
menghampiri sambil tertawa.
Siau Hoo rogoh sakunya, ia keluarkan uangnya yang ia
gabruki di atas meja.
"Kau hitung saja sendiri!" ia bilang. "Sebegitu ada uang, sebegitu kau berikan arak padaku!"
Jongos itu hitung uang tersebut.
"Dengan ini kau dapat empat kati arak." kata ia
kemudian. "Apa kau bisa minum habis demikian banyak?"
"Delapan tailpun aku bisa minum habis!" sahut Siau
Hoo. Mendengar itu, kembali semua tetamu tertawa, tak
terkecuali si jongos. Tapi dia ini segera sajikan empat tail arak yang dibeli itu.
Siau Hoo lantas saja angkat cawannya, minum seorang
diri. "Didalam kota warung arak Lauw Sam adalah
langgananku," kata ia kemudian pada beberapa tetamu
lainnya. "Setiap hari aku minum setengah kati arak atau duabelas tail, itupun tidak ada artinya. Aku hanya belum pernah datang kemari, dan itu kau tak kenal aku! ... "
"Saudara kecil, di kota kau tinggal dimana" " tanya
seorang, yang duduk dekat bocah itu. "Aku rasanya pernah lihat kau!"
"Aku ada dari bengkel besi saudara Ma," jawab Siau
Hoo, setelah mana, ia nampaknya menyesal. Ia ingat
budinya Ie-thio itu selama dua tahun, dan kalau ia bunuh Pauw Cin Hui, sedikitnya Ie-thio itu mesti nampak


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesulitan. Maka selanjutnya ia tidak banyak omong lagi, ia keringi cawannya berulang-ulang, lantas ia bangkit untuk
ngeloyor pergi. Ia terus terbenam dalam kemasgulan. Hawa sebenarnya dingin tetapi ia rasakan tubuhnya hangat,
sedikitpun ia tidak merasa sinting. Ia jalan membelakangi angin, kakinya menginjak salju, tujuannya arah Selatan.
Makin lama angin meniup-niup makin keras dan cuaca
makin suram dan gelap, sampai gunung Lam San di sebelah depan, tidak tertampak lagi. Dusun, pohon-pohon, juga
jembatan telah ketutupan salju. Disitu tidak ada seorang lain juga yang berlalu-lintas.
Itu ada satu jalanan yang dikenal baik oleh Siau Hoo,
maka sekalipun cuaca gelap, sebentar kemudian dia sudah sampai di Pauw-kee-cun. Kampung ada sepi sekali,
jangankan orang sekalipun anjing tidak ada yang
kelayapan. Siau Hoo lewat di depan rumahnya, ia lihat cahaya api
yang dipasang oleh pamannya, sanak yang menempati
rumahnya itu. Ia tidak mau mampir, ia jalan terus.
Sekarang hatinya mulai memukul.
Segera juga bocah ini sampai didalam kampung, di
depan rumahnya Pauw Kun Lun. Disini hatinya memukul
lebih keras, tetapi sekarang itu disebabkan karena panasnya hatinya itu, saking gusarnya ia lupa agaknya akan bahaya.
Ia menghampiri tembok, ia enjot tubuhnya akan loncat
naik. Ia gunai kedua tangannya menjambret tembok yang
kate, hingga salju kena tersampok jatuh melulahan.
Dengan, angkat ke dua kakinya, ia sampai di atas tembok.
Untuk masuk kedalam pekarangan, ia cuma tinggal loncat turun saja. Sama sekali ia tidak terbitkan suara apa-apa.
Dikedua ruangan Selatan dan Utara ada terdapat cahaya
api. Siau Hoo keluarkan "Golok mustika", dengan hati-hati
ia bertindak di atas salju menuju ke kamar Selatan, ia
mengintip di jendela. Ia lihat satu nyonya muda sedang menjahit.
"Ah, ini bukan kamarnya si tua bangka she Pauw ... "
Pikir ia, yang terus bertindak dengan cepat ke ruangan sebelah Utara. Disini, diluar kamar, ia dapati Pauw Cin Hui sedang bicara dengan satu bocah perempuan umur dua atau tigabelas tahun. Di samping mereka ada sebuah lampu
kecil. Rupanya orang tua itu sedang gembira sekali, karena mukanya tersungging dengan senyuman berseri-seri.
Tiba-tiba amarahnya Siau Hoo meluap, lupa akan segala
apa, ia tarik daun pintu, dengan pisaunya segera ia maju akan serang Pauw Cin Hui.
Si nona cilik kaget sehingga berteriak, tetapi ia segera samber sebatang golok, panjangnya satu kaki lebih yang berada di sampingnya, dengan apa ia mendahului
membacok si penyerang itu, yang ia papaki majunya.
Siau Hoo berkelit, ketika ia maju pula, ia tikam Pauw
Kun Lun. Jago tua ini tidak kaget, melihat sikap bocah itu, ia jadi mendongkol, maka tempo bocah itu datang dekat, ia angkat sebelah kakinya mendupak perutnya Siau Hoo yang rubuh
seketika. Segera Siau Hoo bangun berduduk, goloknya tidak
dilepaskan. Ia hendak segera berbangkit untuk menyerang pula. Ia benar tidak kenal takut.
Ketika itu, si nona cilik maju seraya membabat dengan
goloknya. "Jangan bunuh dia!" berseru Pauw Kauwsu yang
mencegah cucunya, Ah Loan. Dilain pihak, dengan sebat
sekali, sebelum Siau Hoo berbangkit, ia sudah rampas orang punya senjata.
Dengan satu tendangan, Pauw Cin Hui bikin orang
rubuh pula, malah sekali ini penyerang itu tidak segera bangun pula.
"Ah binatang kecil!" ia membentak, dengan sebelah
tangannya tahan cucunya, yang ia cegah menyerang lebih jauh. "Cara bagaimana kau berani datang membokong aku"
Jikalau aku tak lihat kau masih terlalu kecil, pasti aku sudah lantas bunuh padamu."
"Hm, kau berani coba celakai yaya?" Ah Loan pun
membentak. "Jangan kau kira sebab pamanku tidak ada di rumah, kau berani main gila! Kau harus ketahui, disini ada aku yang lindungi yaya!"
Siau Hoo berbangkit untuk duduk, ia lantas saja
menangis. "Biar bagaimana, aku mesti bunuh kau semua!" ia
menjerit. "Aku mesti balas sakit hati ayahku!" Ia terus lompat bangun, ia terjang Pauw Kun Lun dengan tinjunya.
Pauw Cin Hui angkat kedua tangannya menangkap
tangannya bocah itu, yang ia terus cekal dengan keras.
"Bilang, kau sebenarnya ada punya permusuhan apa
dengan aku?" ia tanya dengan sengit.
Tapi meskipun itu menanya demikian, ia toh awasi
orang punya muka, hingga di lain saat, ia jadi terkejut sampai air mukanya berubah, kedua tangannya bergemetar.
"Oh, kau!" ia tegasi, kedua matanya terbuka lebar.
Tiba-tiba datang keinginannya guru silat ini untuk
melakukan pembunuhan, sebelah tangannya diulur kepada
golok cucunya, tapi justeru ia lepaskan cekalannya yang sebelah, Siau Hoo gunai ketika itu akan jambak orang
punya jenggot. "Selama dua tahun, aku tidak tahu apa-apa, baru tadi
orang bilang kepadaku bahwa kau adalah pembunuh
ayahku!" Siau Hoo menjerit. "Aku mesti balas sakit hatinya ayahku!"
Sebenarnya Pauw Cin Hui sudah dapat rampas golok
cucunya, apa mau mendadak hatinya menjadi lemah,
hingga romannya yang bengis, berubah menjadi sabar pula.
"Ah, anak, orang telah permainkan kau!.. " berkata ia.
"Ayahmu itu bukannya aku yang binasakan ..."
Tapi Siau Hoo jambak keras orang punya jenggot,
matanya melotot.
"Semua orang bilang kaulah yang bunuh ayahku!" kata
ia dengan sengit. "Cara
bagaimana kau hendak menyangkal?"
Ah Loan gusar, dengan kepalannya ia hajar pinggangnya
Siau Hoo. Sementara itu muncul ibu dan encim-nya Ah Loan,
mereka itu dengar suara berisik.
"Tiada apa-apa, kembalilah kau ke kamarmu!" jago tua
itu kata kepada kedua nyonya mantunya.
Mereka ini tidak berani membantah, mereka lantas
mundur pula. "Sabar!" kemudian kata jago tua itu kepada Siau Hoo,
tubuh siapa ia tolak mundur. "Mari kita bicara dengan
pelahan-pelahan ..."
Cin Hui urut rapi kumis dan jenggotnya, iapun jemput
orang punya senjata, kemudian ia pandang itu diterangnya api, setelah mana, nampaknya ia ada sangat terharu. Ia pun segera kembalikan pisau tajam itu pada penyerangnya.
"Pisaumu ini." ia kata sambil bersenyum meringis,
"Adalah tahun yang lalu aku beri persen padamu. Aku
tidak nyana hari ini kau pakai senjata ini untuk mencari balas kepadaku. Sayang usiamu masih terlalu muda dan
bugeemu, kau masih mesti latih untuk banyak tahun!"
Siau Hoo mengawasi dengan bengis, hanya sekarang ia
tidak menerjang pula, meskipun ia telah sambuti senjatanya itu.
Pauw Cin Hui mendekati, ia usap usap orang punya
kepala. "Anak yang baik, belum pernah aku lihat bocah bandel
seperti kau," kata ia pula. "Sekarang kau hendak bunuh aku, tetapi aku tidak benci padamu. Baiklah aku beritahu kepadamu, orang yang bunuh ayahmu itu bukannya aku,
aku sama sekali tidak niat membinasakan dia, hanya Liong
... " ia berhenti sebentar, ia goyang-goyang tangannya.
"Aku tidak usah beritahukan namanya orang itu, dia ada liehay bugeenya, dia bukannya tandinganmu, jikalau kau cari dia, tidak saja kau tidak akan mampu balas sakit
hatimu, malah jiwamu sendiri bakal lenyap dengan sia-sia, karena dia itu tidak ada semulia hati sebagai aku ..."
Siau Hoo berdiam, hatinya berpikir. Kesabarannya jago
tua itu membikin ia dengan pelahan-lahan lenyap
kemurkaannya. "Barangkali benar pembunuh ayahku adalah itu
persaudaraan Liong dari Cie-yang ... " demikian ia mau berpikir.
Sampai disitu, cepat sekali bocah ini ubah pikirannya.
"Baiklah!" kata ia tiba-tiba, seraya ia banting kakinya.
"Aku tidak mau musuhkan pula padamu! Aku pergi
sekarang!"
Lantas ia balik badannya, dengan bawa pisaunya ia
bertindak keluar.
Pauw Cin Hui nampaknya ada sangat berduka.
"Pergi kau bukakan pintu, jangan cegah padanya," ia
suruh cucunya. Ah Loan menyahuti, dengan bawa goloknya ia menyusul
keluar, akan membukakan pintu pekarangan, akan beri si penyerang itu keluar dari situ.
Siau Hoo jalan keluar, tangannya masih pegangi
pisaunya, sekalipun ia ada kerutkan dahi, ia toh angkat dada dan kepala. Ia jalan di salju belum ada sepuluh tindak, ketika dari belakangnya dia dengar seruan tajam tapi halus:
"Eh, bangsat kecil, tahan!"
Bocah ini menoleh, ia lantas lihat Ah Loan, siapa lari menyusul padanya. Ia putar tubuhnya menantikan.
"Apa kau mau" " tanya ia secara menantang. "Si tua
bangka masih jerih kepadaku, apakah kau hendak tempur
aku?" "Mana yaya takut kepada kau?" sahut nona cilik itu
sambil tertawa dingin. "Dia lihat kau kecil, dia tidak tega membunuhnya. Selama ini perangai yaya telah berubah,
setiap hari dia liamkeng saja. Seandai kejadian ini terjadi pada beberapa tahun yang lalu, sekalipun orang yang
terlebih liehay daripada kau, tentu dia sudah bunuh mati!
Yaya suka beri ampun padamu tetapi aku tidak! Kenapa di waktu hujan salju seperti ini kau lancang memasuki
rumahku dengan loncat tembok untuk membunuh yaya?"
Sehabis kata begitu, si nona loncat maju berbareng
dengan bacokannya.
Siau Hoo mundur dua tindak, goloknya dilintangkan di
depan dadanya, sebelah tangannya yang lain, ia ulapulapkan. "Jangan, jangan kau serang aku!" ia berkata. "Seorang
laki-laki tidak layani orang perempuan berkelahi!"
Tapi Pauw Ah Loan tidak perdulikan, ia merangsek dan
membacok pula, malah terus berulang-ulang, maka
akhirnya, mau atau tidak, Siau Hoo toh bikin perlawanan juga.
Demikian, di atas salju mereka jadi bergebrak.
Mereka bertempur sampai belasan jurus tidak ada satu
yang kalah. "Tahan!" Siau Hoo kemudian berseru seraya loncat ke
samping. "Ini bukan namanya kepandaian! Golokmu
panjang, golokku pendek! Apa kau berani lawan aku
dengan tangan kosong?"
"Dengan tangan kosong juga aku tidak takut!" Berseru
Ah Loan, yang tetap gusar. Ia terus saja tancap goloknya di salju. Tidak buang tempo lagi ia menyerang lebih dulu.
Siau Hoo pun lepaskan pisaunya, ia sambut serangan itu.
Ia sudah perhatikan caranya orang bersilat, yang ada mirip dengan pelajaran yang ia peroleh di Cie Hian, dari itu ia tidak kuatir.
Pertempuran di salju tidak leluasa, tetapi keduanya
bertarung dengan seru. Dua-tiga kali Ah Loan bisa toyor Siouw Hoo, akan tetapi dia ini, yang tubuhnya kuat, tidak rasakan itu. Siau Hoo hanya cari ketika akan bikin si nona tidak berdaya.
Setelah empat atau lima jurus, Ah Loan lalu robah
caranya bersilat, tidak lagi ia arah badan, sekarang ia
menjujuh pada muka lawannya. Ini adalah keinginan Siau Hoo. Satu kali si nona loncat memukul, Siau Hoo
menangkis, ia tidak mundur, hanya sebelah kakinya
berbareng ia angkat, mendupak perut lawannya.
"Aduh!" Ah Loan menjerit dengan tubuhnya rubuh
celentang di salju.
Siau Hoo lompat maju, ia hendak berikan hajaran pada
nona itu ketika tiba-tiba di belakangnya ia dengar suara tertawa terbahak-bahak, suaranya Pauw Cin Hui hingga ia batalkan niatannya itu. Ia lekas cabut pula pisaunya.
Memang sedari tadi, Pauw Kauwsu telah tonton
pertempuran itu.
Ah Loan lompat bangun, ia ambil goloknya.
"Kau ada dua enghiong kecil, sudahlah jangan
bertempur pula!" kata Cin Hui yang dekati kedua bocah itu sambil tertawa pula.
"Yaya, dia menghina aku!" kata Ah Loan sambil
menagis. "Dia menghina! ..."
"Itulah penghinaan yang tidak berarti!" Pauw Kauwsu
jawab sambil goyang-goyang tangannya. Ia dekati Siau Hoo dan tarik tangannya, "kepandaian silatmu ada dari kita Kun Lun Pay, apakah kau dapat pelajarkan dari Cie Hian?" ia tanya.
Siau Hoo geleng kepala.
"Bukan," ia jawab, "aku pelajari ini dari ayahku."
Pauw Kauwsu angguk-anggukkan kepala.
"Kepandaian silat ayahmu tidak bisa dicela," ia bilang.
"Dia baru belajar tiga tahun kepadaku tetapi dia telah lombai saudara-saudaranya yang sudah belajar lima atau enam tahun. Sayang dia telah berbuat salah dan telah mati
siang-siang, kalau tidak, sekarang ini tentu dia sudah lulus dengan sempurna ..."
Mendengar orang sebut-sebut ayahnya, Siau Hoo
menangis pula, dengan lengan bajunya ia tepas air matanya.
Jago tua itu menghela napas.
"Sekarang sudah malam, pintu kota pasti sudah dikunci, kau tentu tidak bisa pulang ke kota," kata ia. "Baik kau balik ke rumahku akan tidur bersama kita, besok pagi,
setelah salju berhenti, baru kau pulang ..."
"Tidak," sahut Siau Hoo, "Aku masih mesti pergi ke lain tempat!"
"Kau hendak pergi kemana?" jago tua itu tanya.
"Aku hendak cari guru guna belajar silat lebih jauh!"
sang bocah jawab.
Pauw Cin Hui tersenyum.
"Dasar bocah!" ia bilang. "Kau ada anak tak ketahuan
asal-usulnya, pergi kemanapun tak nanti orang sudi terima kau. Apa pula untuk belajar silat, lebih-lebih lagi sukarnya!
Aku beri tahu padamu, di tiga propinsi Su Coan, Siam say dan Hoo-lam kecuali Lie Cin Hiap dari oa-ciu dan Kho
Keng Hian dari Kayhong-hu, melainkan ada aku sendiri
Pauw Kun Lun! Maka dari pada kau pergi kelain tempat
untuk belajar silat, lebih baik kau belajar kepadaku disini!"
Sehabis kata begitu, sembari tertawa Cui Hui tarik
tangannya si bocah buat diajak kembali ke rumahnya, dan sesampainya didalam, ia kembali membujuki, ia berlaku
manis budi. Dasar masih anak-anak, Siau Hoo kena dibujuk, ia lantas saja suka tinggal bersama guru silat ini.
Di ruangan selatan ada dua buah kamar, disini biasa
tidur murid-murid yang ada urusan dan bermalam, sebuah kamar dipakai oleh Cin Hui untuk murid ciliknya ini. Ia bawakan kasur dan selimut.
Ah Loan lantas disuruh masuk tidur di kamarnya sendiri.
Cie Lim telah berangkat ke Cie-yang atas titah ayahnya, maka itu Cin Hui jadi berada seorang diri di rumahnya itu.
Sebentar kemudian Cin Hui sudah berada sendirian
didalam kamarnya. Ia pikirkan halnya Siau Hoo, ia
merasakan soal ada sulit.
"Sudah empatpuluh tahun lebih aku merantau,"
demikian ia berpikir, "Aku pernah ketemui lawan-lawan
yang lebih gagah dan bandel, bukan seorang yang telah
binasa di ujung golokku, semua itu belum pernah aku
bersangsi atau jerih, mengapa sekarang aku dibikin pusing oleh bocah dari tiga atau empat belas tahun usianya" Dia bikin aku pusing dan sangsi benar-benar ... Jikalau aku tidak bunuh dia, bila nanti dia sudah dewasa, dia bisa jadi bahaya bagiku ... Jikalau aku bunuh dia, dengan sebenarnya aku suka dengan roman dan peranginya, aku tidak tega ..."
Lama jago tua ini bersangsi, lantas ia berbangkit keluar dari kamarnya, jalan diantara salju, ia pergi ke ruangan Selatan. Di muka jendela depan, ia berdiri, ia pasang
kuping. Ia lantas dengar suara menggeros yang pelahan, tandanya si bocah sudah tidur nyenyak.
"Aku terlalu berkuatir tak keruan ... " kemudian pikir jago tua ini, ia bersenyum sendirinya. "Dia ada satu bocah, apa dia bisa bikin terhadap aku" Baik, mulai besok, aku beri dia tinggal sama aku di rumahku ini, aku akan perlakukan dia dengan baik agar dia kerasan tinggal disini. Aku tidak akan ijinkan dia pergi belajar silat, aku akan suruh dia rawat babi dan bebek, dan aku nanti beri pelajaran silat secara
sembarangan saja, kemudian, selang dua tahun, aku nanti carikan isteri buat dia nikah. Secara demikian, aku harap dia kelak lupa akan niatnya membikin pembalasan, supaya dia merasa bahwa dia ada sebagai cucuku saja ..."
Setelah berpikir begini, hatinya Cin Hui jadi lega, hinga ia bisa masuk tidur.
Keesokan pagi. Salju berhenti turun. Selagi Cin Hui
duduk minum teh, Siau Hoo datang padanya.
"Aku hendak berangkat sekarang!" kata bocah ini, yang
sepasang alisya dikerutkan.
"Tunggu dulu!" Cin Hui lantas mencegah, "kau hendak
pergi kemana" Apa kau hendak kembali pada Ma Cie
Hian?" "Tidak!" bocah itu menyahut seraya menggeleng kepala.
"Kemarin aku dengar orang bilang bahwa kaulah yang
bunuh ayahku, maka aku datang cari kau untuk menuntut
balas, tetapi kau bilang bahwa musuhku adalah si orang she Liong, maka itu, aku sudah tidak bermusuh dengan kau
lagi, aku sekarang hendak pergi mencari guru untuk belajar silat, nanti dua atau tiga tahun kemudian, baru aku hendak cari orang she Liong itu buat bunuh padanya!"
Mendengar jawaban itu, didalam hatinya Pauw Kun Lun
jerih sendirinya, tetapi diluar ia perlihatkan muka manis, ia tertawa. Ia sengaja usap-usap orang punya kepala.
"Kau ada begini kecil, cara bagaimaia kau bisa pergi
merantau" " kata ia. "Lebih baik kau tinggal disini, akan lakukan pekerjaan-pekerjaan yang enteng, berbareng aku nanti wariskan semua kepandaian silatku kepadamu, aku
tanggung dalam tempo tiga tahun, kau akan sudah jadi
pandai, itu waktu aku nanti tunjukkan kau tentang
musuhmu itu, malah akupun bisa bantu kau melakukan
pembalasan ..."
Cin Hui awasi itu bocah, yang ia tidak beri ketika untuk bicara, karena ia lantas menambahkan. "Kau harus ketahui bahwa kau ada satu anak kecil, dan kau tidak punya uang dalam perantauan kau bisa mati kelaparan di kampung
orang. Lain dari pada itu, di tengah perjalanan, di
pegunungan, ada banyak berandal, apabila kau tidak dengar nasihatku ini, kejadian di dalam gunung orang bunuh kau sungguh tidak bisa tolong padamu!"
Ucapan yang terakhir ini dikeluarkan dengan sungguhsungguh, hingga sikapnya guru silat ini jadi keren dan bengis.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Hoo sekian lama tunduk dan berdiam.
"Tidak ada halangannya untuk aku berdiam disini,"
kemudian ia menyahut. "Tapi aku tidak mau dianggap yang aku ada muridmu, dan apa saja yang aku lakukan kau tidak berhak campur tahu!"
Pauw Kun Lun bersenyum, senyuman tawar.
"Biarnya kau ingin menjadi muridku, aku sendiri tak
nanti terima kau!" ia bilang.
Lantas jago tua ini pergi kedalam akan ambil sepotong
pipa besi, dengan kedua tangannya ia bikin pipa itu
bengkok melengkung, kemudian ketika ia bentur itu dengan dengkulnya, pipa itu lantas patah dua.
"Kau lihat, bukan?" kata ia pula sambil bersenyum.
"Kalau kau bisa punyakan kepandaian seperti ini, baru kau bisa mencari balas, jikalau tidak, kau akan buang jiwamu secara kecewa!" Lagi ia usap-usap orang punya kepala, tapi sekarang ia bicara dengan lemah lembut. "Sekarang, anak,
pergilah kau keluar membantui menyapu salju, sebentar kau pergi bersantap pagi ..."
Itu waktu Ah Loan muncul dengan bawa-bawa golok
tau-too, ia lihat Siau Hoo berdiri diam laksana patung, mukanya pucat, ia tidak perdulikan, ia cuma memandang
dengan sepasang matanya yang tajam dideliki, kemudian ia tarik tangan engkongnya.
"Yaya, pakailah baju tebal!" kata ia seraya dongak,
memandang engkong itu. "Hawa ada dingin sekali!"
Cin Hui bersenyum pada cucunya itu.
Siau Hoo tidak perdulikan itu engkong dan cucu, ia
lantas ngeloyor keluar. Ia inyaf sekarang bahwa bugeenya Si tua bangka she Pauw ada liehay dan ia tidak sanggup lawan dia itu. Tempo ia sampai diluar, beberapa muridnya guru silat itu sudah sapui pekarangan dan para-para senjata pun sudah dibawa keluar. Ma Cie Hian pun sudah datang, ia melengak, ketika dia lihat keponakannya itu, tetapi ia segera menghampiri.
"Tadi malam aku cari kau ubek-ubekan, kenapa kau ada
disini?" Ie-thio ini tanya.
Siau Hoo tidak menjawabnya, apa pula Pauw Kauwsu
sudah muncul bersama cucunya perempuan, hingga Cie
Hian juga tidak berani menegaskan.
"Oh, suhu sudah bangun?" ia kata pada gurunya itu.
Pauw Kauwsu manggut pada muridnya ini, ia bertindak
terus kepekarangan, lapangan untuk belajar silat. Disitu sudah berkumpul Lou Cie Tiong, Lan Cie Cun, Lauw Cie
Wan dan Cin Cie Po.
"Eh, kau kenal bocah ini atau tidak?" Pauw Kauwsu
tanya muridnya itu sambil tunjuk Siau Hoo. "Dia adalah
Kang Siau Hoo, anaknya Cie Seng. Entah dia dengar dari siapa, bahwa ayahnya adalah aku yang binasakan!" Selagi berkata begitu, guru ini lirik Cie Hian, hingga Cie Hian takut bukan main, tubuhnya sampai bergemetaran, segera murid ini menghampiri.
"Suhu," berkata dia, "Anak ini tinggal padaku sejak
ayahnya menutup mata, sedang ibunya kini telah menikah pula. Dia adalah sanakku, dan itu, sejak dua tahun aku ajak dia bantui aku bekerja di bengkel. Sampai sebegitu jauh tidak pernah aku bicara kepadanya tentang ayahnya, akan tetapi tadi malam ia menghilang aku tidak tahu bahwa dia telah datang kesini ..."
Guru silat itu bersenyum.
"Kau jangan kuatir, aku pun tidak tuduh kau yang suruh dia datang kemari untuk melakukan pembalasan," ia
berkata. "Aku berani sumpah terhadap Langit dan Bumi,
Cie Seng itu bukanlah aku yang bunuh. Dalam hal ini aku tidak berdosa. Di sebelah itu, aku suka sekali anak ini. Tadi malam ia satroni aku dengan loncati tembok pekarangan, dengan goloknya ia coba serang aku, walaupun demikian, sedikitpun aku tidak gusar. Mulai hari ini aku inginkan dia tinggal sama-sama aku di rumahku ini, aku suruh dia ikut belajar silat, tetapi meskipun demikian, dia tidak terhitung sebagai suteemu, aku anggap dia sebagai cucu angkatku
yang baru ..."
Setelah berkata demikian, jago tua ini tertawa gelak , hingga murid-muridnya turut tertawa juga, malah Cie Wan dan Cie Cun lantas beri selamat pada gurunya itu.
Cie Hian turut tertawa, tetapi didalam hati, ia berkuatir bukan main.
"Nah, sekarang kau semua boleh mulai berlatih," kata
sang guru kemudian.
Ah Loan sudah lantas turut pelajarankan ilmu goloknya.
Siau Hoo masih terus berdiri menjublek, cuma dengan
matanya ia awasi beberapa murid itu berlatih. Ia lihat bahwa semua orang itu ada jauh terlebih gagah
daripadanya, hinga ia tambah merasa, untuk mencari balas sungguh bukan pekerjaan gampang.
Sejak itu, setiap hari Siau Hoo menonton orang belajar silat, dan sehabisnya jam latihan, atas pengunjukannya murid-murid ini, ia bekerja membantui mereka. Ia dapat kenyataan, terhadap murid-muridnya, Pauw Cin Hui
bersikap keras, tetapi terhadap dia sendiri guru silat ini ada manis budi, sering ia diajak bicara orang tua itu suka usap kepalanya dan tertawa, hingga ia jadi merasa bersyukur kepada jago tua ini dan ia percaya, bahwa ayahnya pasti benar bukan terbinasa di tangannya guru ini.
Juga sikapnya Ah Loan berubah dengan lekas.
Sebelumnya, apabila dia lihat Siau Hoo, nona cilik itu mengawasi dengan main metotot, tetapi kini, ia suka
memandang dan tertawa, akan akhirnya mereka berdua jadi sahabat, suka main bersama-sama.
Sikapnya Pui-sie ada lain apabila ia lihat anaknya
perempuan suka main dengan Siau Hoo, terus saja ia
panggil masuk anaknya itu dan ditegur. Tidak demikian
sikapnya Pauw Kun Lun, ia tidak pernah menghalanghalangi. Kadang-kadang terjadi, sehabisnya bersantap malam,
setelah minum teh dan pasang tiga batang hio di muka
patung Buddha, yang ia puja, Cin Hui suka tuntun Ah Loan dan Siau Hoo buat diajak keluar, akan jalan-jalan diluar pekarangan. Bertiga mereka agaknya hidup manis sekali.
Ma Cie Hian tetap datang setiap hari akan berlatih dan bekerja, kalau dia lihat Siau Hoo, ia suka mengawasi saja,
agaknya ia hendak bicara banyak akan tetapi toh ia tidak berani dekati keponakannya itu. Ia datang, berlatih dan bekerja, lantas ia pulang.
Belasan hari sejak datangnya Siau Hoo, Cie Lim kembali dari Cie-yang, ketika ia ketemui ayahnya akan beritahukan apa-apa yang dilakukan, Cin Hui lantas tunjuk Siau Hoo, beritahukan ia bahwa bocah ini telah tinggal bersama-sama mereka.
Di depan ayahnya Cie Lim tidak kata apa-apa, akan
tetapi, setelah berada didalam kamarnya, dengan suara
menyesali, ia kata pada isterinya. "Lihat, ayah jadi semakin pikun. Binatang Cie Seng sudah ganggu isteri orang, dia sudah langgar aturan kita, dia pun sudah lukai aku dan Cie Po, hingga karena itu semua, ayah panggil Cie Teng, Cie Khie dan Cie Beng dari Cie-yang, sampai mereka ini
kepung Cie Seng di gunung Utara dimana dia itu
dibinasakan. Menurut aku, siapa babat rumput, dia mesti menggali sampai di akarnya, maka sudah seharusnya,
anaknya Cie Seng juga mesti disingkirkan dari dunia. Tapi ayah telah tidak berbuat demikian! Sekarang ayah justeru pelihara anaknya Cie Seng itu! Aku lihat anak itu mirip dengan seekor srigala kecil, kalau nanti dia sudah besar, tak dapat tidak, dia mesti gegares orang!"
"Buat apa kau perdulikan dia?" kata sang isteri, Lu-sie.
"Gakhu suka terima dia, apakah kau bisa cegah" Lagipun dia ada satu bocah cilik, disini dia dapat di suruh-suruh.
Kau selamanya suka bicara tentang membunuh orang.
Sudah ayahnya dibunuh, anaknya hendak dibunuh
sekalian! Kau jangan anggap pembesar negeri tak ketahui ini dan kau lantas percaya, perkara tidak akan terbongkar.
Ketahuilah, malaikat ada punya mata!"
Cie Lim ada begitu sengit mendengar ucapan isterinya,
hingga sebelah tangannya segera melayang kepada orang
punya muka. "Kalau semua orang punya hati sebagai kau, orangorang kang-ouw boleh mampus kelaparan!" ia berseru.
"Apakah kau tahu kenapa ayah kirim aku ke Cie-yang"
Disana sudah terjadi satu perkara besar! Saudara-saudara Liong yang antar piauw ke Su-coan Utara, di gunung Kiam Bun San telah dicegat oleh belasan penyamun, hingga
pertempuran tak dapat dicegah. Saudara-saudara Liong
berbugee tinggi, mereka berhasil melukai delapan atau
sembilan berandal, pun berhasil mengantar piauwnya
dengan selamat sampai di Seng-touw, hanya apa mau
dalam perjalanan pulang, mereka telah ketemu Liong tionghiap Cie Kie, seorang kenamaan di Su-coan Utara. Buat
urusan perebutan jalan, mereka kebentrok satu pada lain, mereka jadi bertempur. Saudara-saudara Liong tidak dapat melawan, semua kudanya kena ditahan, tetapi mereka
penasaran, kemudian mereka satroni rumahnya Cie Kie
buat rampas pulang kuda mereka. Mereka tidak berhasil
merampas pulang kuda itu, tapi mereka telah binasakan dua orangnya she Cie itu.
"Kau katai lain orang berandal, kau sendiri lebih jahat daripada penyamun!" berseru Lu-sie sambil menangis,
seraya ia tutupi mukanya. "Kau semua, di belakang hari tak akan dapat pembalasan baik!"
Cie Lim gusar sekali, ia hendak gaplok pula isterinya itu, tetapi kapan ia lihat muka itu merah dan bengkak, ia tarik pulang tangannya.
"Dasar orang celaka!" ia mendamprat, terus ia ngeloyor keluar.
Diluar pintu, Siau Hoo sedang pelihara kuda, ia dupak
kempolannya bocah itu hingga jatuh tengkurap. Sudah
begini, karena sedang mendongkol, iapun mendamprat,
katanya, "Anak celaka, kenapa kau pelihara kuda dengan rumput macam begini, apakah kau hendak bikin kuda
mampus karena barang makanannya mencugak perut?"
Siau Hoo gusar diperlakukan kasar demikian, ia hendak
melawan, tapi Cie Tiong dan Cie Cun segera datang sama tengah, sedang Cie Tiong tarik bocah itu pergi.
"Apa kabar, sutee?" Cie Cun tanya "Apa kau ketemu
Liong jiewie suheng" Mereka itu mendapat luka atau
tidak?" "Tidak, tidak sampai terluka." Sahut Cie Lim sambil
geleng kepala. "Kalau kita murid-murid Kun Lun Pay
keluar dan terluka itulah hebat sekali. Saudara Cie Liong dan Cie Khie telah pergi ke Sucoan Utara, benar mereka telah kehilangan dua ekor kuda, akan tetapi nama mereka jadi kesohor sekali, mereka sudah angkat naik derajat kita kaum Kun Lun Pay! Selama sepuluh hari aku berdiam di
Cie-yang, setiap hari kedua saudara Liong itu bicarakan secara gembira tentang pengalaman mereka. Mereka pun
kagumi Long-tiong-hiap Cie Kie. Kata mereka, syukur Cie Kie ketemu mereka berdua, kalau lain orang, pasti mereka mesti rubuh di tangannya Long-tiong-hiap ..."
Cie Lim bicara dengan gembira dan bernapsu, kakitangannya banyak digerak-geraki,
sepasang alisnya memain, Cie Cun bersama Cie Wan, Cie Pu dan Cie Hian
dengari ia, malah Cie Liong dan Siau Hoo pun turut pasang kuping.
"Dua saudara Liong sudah bunuh banyak orang, mereka
telah tandingi Long-tiong-hiap Cie Kie, dengan begitu
mereka telah tanam bibit permusuhan," Cie Lim berkata
lebih jauh, "maka itu, ketika aku berangkat pulang, suheng Cie Teng telah pesan aku akan sampaikan dan damaikan
kepada ayahku, supaya ayah kirim beberapa orang untuk
bantu dia. In percaya, kalau nanti dia antar pula piauw ke Sucoan Utara, musuh-musuhnya bakal ganggu ia."
Kelihatannya semua saudara itu gembira dengan kabar
itu. "Siapa yang suhu hendak kirim?" mereka tanya sambil
mereka kerumuni sute ini.
"Ayah belum bilang apa-apa," Cie Lim jawab sambil
geleng kepala. "Cie-yang ada satu tempat cari peruntungan yang baik, dengan menjadi piauwsu saja dalam satu tahun kita bisa kumpul beberapa ratus tail perak, tetapi siapa kepandaiannya tidak berarti, dia jangan mengharap banyak.
Mungkin ayah akan kirim aku. Sekarang ini aku telah
berusia tigapuluh tahun lebih tetapi aku belum pernah
merantau ..."
Semua murid itu tetap tertarik hatinya, mereka
senantiasa ingat itu dan mengharap-harap putusan gurunya agar mereka dikirim ke Cie-yang buat bantu persaudaraan Liong. Akan tetapi Pauw Kauwsu tidak pernah timbulkan
hal itu, terus sampai lewat beberapa hari, hingga datanglah bulan pertama dan musim Cun dengan hawa udaranya
yang mulai hangat dan sawah tergubah daun-daun hijau,
pohon-pohon mulai bersemi sedang air sungai mulai
berkericikan, karena air beku selama beberapa bulan
sekarang lumer dan mengalir pula seperti biasa. Salju di puncak gunung Lam San pun turut lumer, hingga
tertampaklah pohon-pohon dengan daun-daunnya yang
hijau dan segar.
Sementara itu, Siau Hoo setiap hari ada berduka.
Beberapa kali dalam sehari ia suka terima hinaan dari Cie
Lim, Cie Wan dan Cie Po juga perlakukan tidak patut. Lain dari itu, ia dapat kenyataan sikapnya Cin Hui menjadi
tawar dengan pelahan-lahan, sedang ilmu silat, sama sekali guru silat itu tidak ajarkan kepadanya.
Pada suatu hari, Siau Hoo bantui Cie Hian gosoki parapara senjata, dengan begitu ia jadi dapat ketika akan berada dekat atau berduaan dengan Ie-thio itu.
"Tidak sempurna untuk kau berdiam disini," kata Cie
Hian dengan diam-diam. "Si tua bangka sendiri belum
ambil tindakan apa-apa akan tetapi anaknya yang kedua
ada busuk sekali, pasti dia tidak akan antap kau lama-lama.
Lagi beberapa dua saudara Liong barangkali akan datang kemari, apabila mereka ketahui kau ada anaknya Ciehu Cie Seng, terang mereka tak akan beri kau hidup. Maka baiklah kau lekas angkat kaki! Untuk sementara kau boleh
sembunyi di rumahku, kemudian aku akan dayakan untuk
kau menyingkir lebih jauh. Aku akan cari sedikit uang
untuk kau bekal di jalan ..."
Tapi Siau Hoo kepal-kepal tangannya, mukanya menjadi
merah dengan tiba-tiba.
"Aku tidak mau pergi!" kata ia. "Aku tidak takut pada
mereka!" Cie Hian jadi kewalahan, ia tak dapat membujuknya.
Siau Hoo seperti sudah atur rencana. Di tempat sepi
sering ia gosok pisaunya. Ia pun suka gunai ketika, selagi murid-muridnya Pauw Cin Hui bubar, diam-diam ia
tunggang kuda putih, akan belajar menunggang kuda diluar desa. Dalam tempo beberapa hari saja, ia sudah lantas
pandai mengendalikan kuda.
Suatu hari selagi Siau Hoo tunggang kuda ketika ia
dengar orang nyanyikan nyanyian pegunungan, suaranya
halus dan meresap ke hatinya. Ia lantas menoleh, ia lihat tiga bocah perempuan mendatangi sambil bernyanyi,
tangannya menenteng naya bambu, mereka pun berpegang
tangan satu pada lain. Ia lantas kenalkan salah satu
antaranya adalah Ah Loan.
"Merdu, merdu!" ia lantas memuji dengan senyumannya. "Eh, kembali kau tunggang kuda!" Ah Loan menegur.
"Jikalau pamanku pergoki kau, tentu dia bakal hajar
padamu! Hayo lekas pulang!"
Siau Hoo geleng kepala.
"Aku tidak mau pulang!" jawabnya sambil tertawa.
"Aku baru mau pulang sesudah dengar cukup nyanyianmu
bertiga!" "Sudah, kita berhenti nyanyi!" kata Ah Loan, pada dua
kawannya, ialah anak-anak tetangganya.
Siau Hoo loncat turun dari kudanya, ia tuntun kuda itu hingga melintang di tengah jalan. Iapun pentang kedua
tangannya untuk menghalau.
"Jikalau kau tidak menyanyi sampai habis, aku tidak
mau pulang," ia kata. "Dan aku juga tidak akan ijinkan kau pulang!"
Ah Loan mengawasi dengan matanya dibuka lebar, tapi
karena itu ia nampaknya jadi terlebih manis.
"Kenapa kau tidak mau beri kita pulang?" ia menegur,
kedua tangannya menolak pinggang. "Apakah kau jadi
berandal?"
"Benar!" Siau Hoo mengangguk. "Aku penyamun dan
kau bangsa piauwsu, nyawamu adalah kereta piauw!
Tinggalkan kereta piauw itu, lantas aku ijinkan kau bertiga lewat!"
"Fui!" Ah Loan berludah. Tapi ia terus tertawa
cekikikan, lantas ia kata: "Siapa mau main-main dengan kau. Kita hendak pulang, untuk bekerja ... " Kemudian, dengan sabar ia tambahkan. "Siau Hoo, aku nasehatkan
padamu dengan maksud baik lekaslah kau pulang, jangan
kau timbulkan kemarahannya pamanku!"
Siau Hoo merasa si nona sangat menarik hatinya, ia
tertawa. "Aku suka beri kau lewat, asal kau bertiga bagi aku
semua rumput wangi yang terpilih!" kata ia.
Ketiga nona itu memang baru habis cari rumput wangi.
Dua nona, yang kecilan, mendelikkan mata.
"Hak apa kau punya?" mereka tanya.
Ah Loan kedipi mata kepada dua kawannya itu.
"Baik!" kata ia pada Siau Hoo. "Hanya paling banyak
kau cuma boleh dapatkan tiga! Sebenarnya buat apa kau
dengan rumput wangi?"
"Baik, tiga pun cukup," Siau Hoo bilang. "Nah, sekarang kau boleh lewat!"
Bocah ini tarik minggir kudanya, atas mana Ah Loan
bertiga lantas saja lari lewati dia, sembari lari mereka itu menoleh berulang-ulang dengan tertawanya, kemudian
mereka berseru : "Kita dustakan kau! Kita tidak akan bagi
..." "Ha, kau dustakan aku?" Siau Hoo berseru, terus ia
lompat naik atas kudanya untuk mengejar.
Tiga nona itu berlaku cerdik, mereka lari ke pematang
sawah, masih saja mereka tertawa-tawa, malah kemudian
ketiganya menyanyi pula. Ah Loan masih suka menoleh
untuk godai Siau Hoo.
Dalam mendelunya, Siau Hoo loncat turun dari
kudanya, ia hendak menguber ke gili-gili, ketika dengan sekonyong-konyong ia dengar bentakan : "Kembali!" ia
kaget ia terus berpaling. Segera ia tampak Pauw Cie Lim yang sedang mendatangi dari arah utara. Dengan masih
pegangi les kuda, Siau Hoo mengawasi dengan bengong.
Cie Lim lantas menghampiri, terang ia ada gusar, karena datang-datang ia lantas dupak beberapa kali pada bocah itu.
"Cucu kura-kura!" ia mendamprat. "Kembali kau curi
menunggang kuda?"
Siau Hoo gusar bukan main, akan tetapi ia ingat yang ia ada terlebih kecil, sukar untuk ia melawan, maka tempo ia ditendang pula, ia berkelit.
Cie Lim masih mendamprat beberapa kali, lantas ia
loncat naik ke atas kudanya dan pulang.
Dalam mendongkolnya, murkanya, tetapi tidak berdaya,
Siau Hoo lantas duduk numprah di tepi jalan, sembari
tunduk, dengan tangannya ia buat main tanah.
Selagi begitu, tiba-tiba Ah Loan menghampiri ia. Nona
cllik ini lihat apa yang terjadi ia kasihkan nayanya pada dua kawannya, ia lari pada Siau Hoo. Malah ia terus jongkok di sampingnya Siau Hoo.
"Bagaimana?" tanya ia dengan pelahan. "Berapa kali
kau telah didupak" Sakit atau tidak!"
Siau Hoo tidak menjawab, ia hanya tunduk terus.
Ah Loan pegang orang punya pundak. Ia dekati
kepalanya. "Bagaimana eh" Kau menangis?" tanya ia.
Siau Hoo tidak nangis tetapi pertanyaannya nona itu
bikin air matanya meleleh, mengetel jatuh ketanah.
Kelihatan Ah Loan berduka, ia tolong lepaskan orang
punya air mata.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pendapatku lebih baik kau angkat kaki," nona ini kata.
"Kalau kau terus tinggal disini, lama-lama mungkin kau bisa dipukul sampai mati oleh mereka ..."
Siau Hoo seka air matanya, ia manggut.
"Aku memang niat menyingkir," sahutnya. "Hanya
masih ada sesuatu yang aku belum selesaikan ..."
"Urusan apakah itu?" Ah Loan tanya. "Apakah karena
kau tidak mempunyai uang?"
"Aku memang tidak mempunyai uang, tetapi itu
bukanlah soalnya, hanya masih ada urusan ..."
Setelah kata begitu ia berbangkit.
Ah Loan pun turut bangun. Siau Hoo cekal orang punya
tangan dengan keras.
"Ingat, jangan beri tahu siapa juga yang aku hendak
singkirkan diri," ia pesan dengan wanti-wanti. "Asal kau buka rahasia aku bisa mati ..."
Ah Loan nampaknya takut.
"Tidak, aku tidak akan buka rahasia," ia berikan
janjinya. "Nah, pergilah pilih akar wangimu, aku sekarang hendak pulang," kata Siau Hoo. Ia terus bertindak pergi denan pelahan-lahan.
Ah Loan mengawasi, lantas ia kembali pada dua
kawannya. Beberapa hari telah lewat sejak kejadian di atas. Hawa udara telah menjadi bertambah hangat.
Setiap hari di waktu pagi, Ah Loan turut pamannya
berlatih silat, siangnya ia main layang-layang. Ia
mempunyai layang-layang kupu-kupu yang ia sayangi. Itu ada layang-layang yang ayahnya beli dari Han-tiong dan sengaja kirim padanya.
Ia ada hidup senang dan gembira. Tidak demikian
dengan Siau Hoo yang hidupnya makin sengsara. Cie Lim
tidak beri lain pekerjaan kecuali memelihara babi, yang pun mesti diangon, dan kalau malam dia disuruh tidur di gubuk rumput di samping kandang babi. Maka, baru lewat
beberapa hari iapun sudah mirip dengan binatang
rawatannya saja. Pakaiannya kotor, mukanya dekil. Ia
sering kerutkan dahi, namun semangatnya tetap berkobar, dan ketika ia dengar kabar persaudaraan Liong dari Cieyang bakal datang, ia menanti dengan semangat menyalanyala. Berbareng dengan itu, Cie Han juga berhasil
mengumpulkan lima tail perak, yang mana ia sudah
serahkan pada keponakannya itu siapa ia anjurkan segera angkat kaki.
Siau Hoo sudah ambil putusan untuk berangkat, akan
tetapi ia nampaknya ayal-ayalan. Orang tidak tahu ia
hendak tunggu apa. Selamanya ia sembunyikan pisaunya
yang sudah diasah tajam.
Itu hari selewatnya tengah hari, Siau Hoo giring belasan ekor babinya keluar dusun, ke empang, dimana semua
binatang itu diumbar, ia sendiri duduk numprah di tepi empang itu. Beberapa kali ia tertawa sendirinya, pun
kadang-kadang ia kertak gigi. Di tempat seperti itu pasti sekali tidak ada orang yang perhatikan dia. Hanya setelah berselang lama, kelihatan Ah Loan lari mendatangi dengan melintas jembatan dan terus menghampiri.
"Siau Hoo, Siau Hoo, layang-layangku nyangkut di
pohon!" kata si nona. "Tolong kau naik pohon itu dan
turunkan layang-layangku itu!"
"Ah, masa bodoh!" sahut si bocah dengan geleng kepala.
Tapi entah kenapa, asal Ah Loan dekati dia hatinya Siau Hoo terluka, segera lenyaplah semua penderitaannya. Nona itu seperti ada mempunyai ilmu untuk bikin hatinya
terbuka. Ah Loan datang lebih dekat.
"Siau Hoo, tolonglah," ia memohon. "Aku sayang betul
layang-layang kupu-kupu itu. Hayo, tolongah aku ..."
Nona ini lantas banting-banting kaki, ia campaknya
seperti mau mewek.
Siau Hoo berbangkit.
"Bagaimana kalau nanti aku sudah pergi dan sini?" tanya ia. "Kalau layang-layangmu nyangkut pula, siapa nanti
panjat pohon untuk menurunkannya?"
"Sesudah kau pergi, langit pun panas, aku tidak main
layang-layang pula," jawab si nona. "Mustahil kau pergi untuk tidak kembali lagi. Aku nanti tunggu sampai kau
sudah kembali, baru aku main layang-layang pula ..."
Siau Hoo tidak menjawab, tetapi didalam hatinya ia
kata: "Hm, aku kembali?" Ia terus ambil galanya yang
diperuntukkan menggiring babi, ia ikuti si nona. Belum jauh
sehabis melewati jembatan, sudah kelihatan sebuah pohon yang-liu yang besar di atas mana layang-layang kupu-kupu itu nyangkut.
"Hayo, Siau Hoo yang baik, tolong turunkan layanglayangku itu!" kata Ah Loan. Nyata bukan main sayangnya ia akan layang-layangnya itu. Ia pentang kedua tangannya, agaknya ia memohon dengan sangat.
Siau Hoo awasi nona ini, tiba-tiba ia berpikir: "Kalau nanti aku pergi, entah kapan aku kembali ... Bila kelak aku kembali, dia tentu sudah dewasa, atau barangkali dia sudah menikah, itu waktu pasti dia tak perdulikan lagi padaku ...
Apa ia akan ingat aku sudah panjat pohon akan tolong
turunkan layang-layangnya ini.
Ingat ini, ia lantas geleng-geleng kepala. "Tidak, aku tidak bisa panjat pohon ini!" kata ia.
Ah Loan terkejut, ia tarik oang punya tangan.
"Siau Hoo yang baik, kau tolongilah aku," ia memohon.
"Aku tahu kau sanggup panjat pohon itu ..."
Siau Hoo mengawasi, ia kerutkan dahi. Tiba-tiba ia
tertawa. "Tetapi aku panjat pohon tidak dengan percuma-cuma
saja," kemudian ia kata. "Kau mesti berikan suatu apa
padaku ..."
"Sebutkan saja, semua akan terima baik!" sahut si nona dengan cepat.
"Kau terima atau tidak kalau aku panggil "istriku"
padamu?" Mendengar ini, mukanya si nona menjadi merah, ia
malu berbareng mendongkol, hampir ia ulur tangannya
akan gaplok orang di depannya itu bila ia tidak kuatir Siau
Hoo benar-benar akan menolaknya menolongi dia, ia tidak berikan jawaban, cuma sambil gigit giginya, ia manggut.
Segera Siau Hoo jadi semangat ia lempar galahnya. Ia
lantas peluk pohon yang-liu itu akan memanjat naik, ia ada gesit seperti kera, sebentar saja ia sudah sampai di atas, akan turunkan layang-layang kupu-kupu itu.
"Lemparkan!" kata Ah Loan, yang dongak mengawasi,
kedua tangannya dipentang untuk menyanggapi.
"Hayo, kau lepaslah!"
Siau Hoo tidak mau melepaskan, ia turun dengan
pegangi layang-layang itu dengan tangannya yang sebelah, kira-kira lagi setumbak sampai di tanah, ia loncat turun terus ia tertawa.
"Sekarang waktunya aku panggil kau!" kata ia. Tapi
mukanya pun menjadi merah. Terus saja ia memanggil,
"Oh, istriku ..."
Mukanya Ah Loan jadi terlebih-lebih merah, ia ulur
tangannya akan sambuti layang-layangnya ini, ia melihat kesekitarnya dimana tidak ada lain orang. Ia gigit pula giginya tetapi ia terus menyahuti, "Ya ... " Suaranya ada sangat pelahan. Begitu lekas ia sudah cekal layang-layangnya, ia lari dengan segera, ngacir pulang.
Siau Hoo girang bukan main.
"Dia telah jadi istriku," kata ia dalam hatinya. "Nanti, sesudah belajar sempurna dan selesai menuntut balas, aku akan buka piauwtiam yang besar, dengan menunggang
kuda pilihan dan mengenakan pakaian mewah, aku nanti
lamar dia ini, aku mesti dapati padanya ..."
Ia pungut galahnya, ia bubat-babitkan itu, girangnya
bukan kepalang.
Hampir di saat itu, dan jurusan Timur selatan terlihat debu mengepul naik, diantara suara berketoprakan,
kelihatan dua ekor kuda besar dan hitam kabur mendatangi.
Dua penunggangnya yang berumur masing-masing tigapuluh tahun kurang lebih, ada bertubuh tinggi besar,
potongannya kekar, romannya bengis. Sebentar saja dua
penungang itu lewat di depannya bocah ini, terus masuk kedalam kampung.
Melihat orang memasuki Pauw-kee-cun, Siau Hoo kaget,
lantas saja ia giring semua babinya pulang. Di depan rumah Cin Hui ia lihat kedua kuda tadi sudah ditambat.
-ooo0dw0ooo- Bab 02 SIAU HOO GIRING BABINYA KE kandang, sehabis
itu ia lalu balik ke rumah besar. Di ruangan Selatan ia lihat ada orang-orang asyik bercakap-cakap. Ia bertindak
menghampiri, ia lihat Tan Cie Cun, Lauw Cie Wan dan
Pauw Cie Lim, yang sedang pasang omong dengan kedua
orang tadi, siapa dipanggil dengan panggilan Liong Jieko dan Liong Shako. Jadi mereka itu adalah kedua musuhnya yang telah bunuh ayahnya. Maka dengan tiba-tiba
amarahnya timbul, hingga kedua matanya mengeluarkan
cahaya. "Hayo pergi!" Cie Lim membentak begitu lekas ia lihat
bocah itu, ia perlihatkan sikap sangat congkak dan bengis.
"Bagaimana kau berani lancang masuk ke mari! Pergi bawa itu dua ekor kuda dan pelihara!"
Siau Hoo diam, tapi ia putar tubuhnya akan bertindak
pergi. Justru itu, Cie Lim lompat padanya, cekal ia dengan keras. Ia menyangka Cie Lim hendak aniaya padanya, ia
hendak cabut pisaunya untuk melawan. Tapi Cie Lim
sudah lepaskan tangannya dan tertawa.
"Jiewie koko tentu tidak kenal anak ini?" kata Cie Lim pada dua tetamunya seraya tunjuk Siau Hoo.
"Bocah ini ada anaknya Cie Seng. Koko semua tentu
ingat bagaimana cakapnya Cie Seng, tetapi anaknya ini ada begini macam, mirip dengan seekor anjing buduk! ..."
Dua saudara Liong itu tertawa terpingkal-pingkal.
"Nah, pergilah kau!" kata Cie lim, yang dorong bocah
itu. Kemudian ia tambahkan pada dua saudaranya itu,
"tadinya ayahku sangka bocah ini ada satu anak luar biasa, sekarang baru ayah ketahui dia ini ada satu anak tolol!"
Mendengar itu, kembali dua saudara Liong tertawa, juga yang lain-lain.
Siau Hoo berlalu dengan sangat memdongkoI, ia sampai
dipelatok penambat kuda, ketika ia hendak loloskan
kudanya kedua saudara Liong itu, mendadak ia lihat Ah
Loan muncul dari pintu luar, kapan si nona lihat bocah ini, mukanya jadi merah, segera ia lari terus kedalam. Tapi ia lari sesudah ia tertawa!
"Ah, Ah Loan, kau lihat nanti!" kata anak ini dalam
hatinya. "Aku nanti bikin kau kagumi aku!"
Lantas ia tuntun kedua kuda itu ke istal, yang berada
dekat kandang babi. Kandang babi ini menyambung dengan batas pekarangan rumah tinggal, untuk itu ada dibikinkan jalan tembusannya, kalau malam, pintunya ditutup dan
dikunci. Seorang diri Siau Hoo beri makan kedua kuda itu,
hatinya panas bukan main, seperti api membakar, hingga ia jadi serba salah, duduk salah, berdiri salah. Ia harap-harap
sang sore lekas datang, akan tetapi ia rasakan matahari jalannya seperti lambat sekali. Ia pergi ke depan pintu, disitu ia jongkok, pikirannya kusut.
Tidak antara lama Cie Tiong datang bersama Cie Po,
mereka masuk kedalam. Tidak lama kemudian, Cie Hian
pun muncul. Dengan sikap sangat sibuk, ia kata pada
keponakannya : "Ah, anak! Kemarin aku sudah beri uang
padamu untuk kau menyingkir, mengapa kau masih belum
pergi" Kau sudah berumur empat belas, kemana juga kau
pergi, tak akan kau tak dapat makan! Kenapa kau masih
diam disini" Lihat, dua saudara Liong sudah datang!
Mereka tinggal disini tidak lama, tetapi sedikitnya tentu untuk tujuh atau delapan hari. Selama itu apa kau kira mereka tak akan dapat tahu hal kau" Si tua bangka she
Pauw atau Cie Lim, pasti akan berbuat begitu juga! Mereka akan beri tahu kedua saudara itu bahwa kau hendak bikin pembalasan terhadapnya. Apa mereka berdua tidak akan
berdaya untuk binasakan kau" Maka, lekas kau angkat
kaki!" -ooo0dw0ooo- Jilid 04 CIE HIAN sibuk sampai ia hendak banting-banting kaki,
akan tetapi Siau Hoo jongkok terus di tempatnya.
"Aku tidak takut!" kata ia dengan berani.
Cie Hian sangat jengkel, tetapi ia tidak berani bicara lama-lama, terpaksa ia bertindak masuk.
Tidak lama, didalam terdengar suara orang ramai minum
arak. Siau Hoo terus numprah, dengan tangannya, ia coretcoret tanah. Tidak selang lama, Ah Loan muncul.
"Siau Hoo, kau tidak mau dahar?" tanya nona ini.
Siau Hoo berbangkit dengan malas-malasan, dengan
tidak kata apa-apa, ia ikuti si nona masuk, justeru itu ia berpapasan dengan Pauw Cin Hui, yang muncul dari kamar Utara, kedua matanya dibuka lebar, yang bercahaya hingga bocah itu tidak berani memandang padanya, sambil tunduk Siau Hoo jalan terus. Ia ambil semangkok nasi restan, ia bawa itu kepojok tembok dimana ia jongkok.
Pauw Kauwsu menghampiri bocah itu.
"Mengapa kau tidak makan didalam?" tanya orang tua
ini, dengan suaranya lemah lembut. "Diluar hawa udara
ada sangat dingin!"
Siau Hoo menggeleng kepala.
"Tidak apa aku dahar disini, disini pun sama saja." ia jawab.
Guru silat itu tertawa.
"Tubuhmu kuat, anak!" memuji ia.
Siau Hoo angkat kepalanya memandang guru silat itu,
mulut siapa ada berbau arak. Orang tua itu kemudian
kembali ke kamar Utara.
Dari kamar Selatan kembali terdengar suara ramai orang yang sedang bersantap, minum arak dan mengobrol dengan asyik.
Kemudian beruntun kelihatan Cie Hian, Cie Tiong dan
yang lainnya, keluar.
Sehabis dahar Siau Hoo, kembali ke istal, ia siapkan
sehelai sela, kemudian ia pergi ke gubuknya untuk rebahkan diri. Ia ada bersemangat, hatinya tegang.
Tidak terlalu lama cuaca mulai gelap.
Pelahan-lahan anak ini berbangkit, ia bertindak ke rumah besar. Dari pekarangan ia lihat api terang di kedua ruangan Selatan dan Utara, dan kupingnya dengar suara nyaring dan kedua saudara Liong, tapi lagu suaranya seperti orang-orang bertengkar.
"Liong-tiong-hiap Cie Kie si celaka duabelas itu ilmu
pedangnya tidak tercela, baiknya kita ada berdua, kalau sendirian, kita bisa rubuh di tangannya." demikian Siau Hoo dengar.
Kata-kata itu menggerakkan hatinya bocah itu.
"Kalau begitu, ilmu silat Cie Kie mesti ada lebih lihay daripada mereka ini!" demikian Siau Hoo pikir. Sambil
berpikir, ia kembali ke gubuknya, untuk pasang sela pada kuda putih, kemudian kuda itu ia tuntun keluar pekarangan kandang, yang pintunya ia buka dengan hati-hati. Begitu lekas ia sudah tutup rapat pintu itu, ia loncat naik atas kudanya yang segera ia beri lari keluar kampung. Ia belum lari jauh, ia tahan kudanya untuk melihat ke sekelilingnya.
Malam segelap itu, disitu tidak ada siapa jua kecuali ia sendiri. Maka ia loncat turun dari kudanya yang ia turun ke pinggir jalan dimana ia lalu tambat di sebuah pohon besar.
Ia perhatikan jurusan, kemudian ia perdengarkan tertawa ejekan yang pelahan. Lalu ia bertindak balik kedalam
kampung, ke rumahnya Cin Hui. Ia masuk dari pintu
pekarangan kandang, ia tidak palang dan ganjel lagi dengan batu seperti biasanya. Didalam gelap, ia jalan memutari istal kuda, ia dapati semua kuda sudah tidur. Dari situ ia
pergi ke gubuknya, hatinya tidak keruan rasa, karena
hatinya itu memukul keras.
Di sini Siau Hoo berdiam sampai ia dengar kentongan
kampung bersuara tiga kali.
"Ha, sudah tengah malam!" kata ia seorang diri. Terus ia berbangkit, ia cabut "Golok mustika"nya sambil bawa itu, ia jalan berindap-indap ke arah rumah besar. Ruangan
Selatan sudah gelap, dari kamar mana terdengar suara
menggeros. Tentu itu ada suara menggerosnya dua saudara Liong. Di ruangan Utara, kamar masih terang, terdengar suara batuk-batuk dari Si guru silat.
"Makhluk tua bangka itu masih belum tidur!" kata Siau
Hoo dalam hatinya, dengan mendongkol dan sengit.
Terpaksa ia kembali ke istal. Ia merasa sekujur badannya panas karena menahan amarahnya yang berkobar-kobar.
Lagi sesaat, kentongan terdengar berbunyi empat kali.
Siau Hoo lantas bertindak pula ke arah rumah, baru ia
sampai di pintu tembusan, atau ia dengar pula suara batuk-batuk dari kamar Utara, malah suara batuk itu seperti
pertandaan untuk membanguni orang.
"Kurang ajar tua bangka itu!" ia mendamprat dalam
hatinya. "Apa bisa jadi dia telah menduga atas niatku
malam ini?"
Karena memikir demikian. Siau Hoo jadi berkuatir,
hingga hatinya jadi goncang keras.
Lewat lagi sekian lama, sang fajar seperti sudah hendak menyingsing.
Siau Hoo berdebaran, hampir-hampir ia gunai pisaunya
akan tikam dadanya sendiri. Ia seperti habis sabar.
"Bagaimana sekarang" Sebentar orang-orang yang
belajar silat akan datang berkumpul! Sebentar kedua
saudara Liong juga akan bangun dari tidurnya! ... Ah,
biarlah!" Sebagai orang nekat, bocah ini bertindak pula
menghampiri kamar Selatan. Ia mendekam di pojok
tembok. Ia memasang mata dan kuping. Api di kamar
Utara sudah padam, suara menggeros di kamar Selatan
terdengar terus. Keadaan di sekitarnya gelap, sedang di langit hanya ada bintang yang berkelak-kelik. Kesunyian memerintah disitu.
Dengan tak berani berayal, Siau Hoo berbangkit akan
menghampiri pintu dan kamar yang dipakai kedua saudara Liong. Ia tolak daun pintu, yang tak dapat dibukanya tapi ia tidak mau mengerti, karena hatinya tegang bukan main. Ia jepit goloknya dengan kedua tangan ia tolak daun pintu.
Dilawan dengan kekerasan, pintu itu menjeblak, sampai
tubuhnya Siau Hoo jatuh kedalam, ia tersandung sebuah
kursi hingga ia terjerunuk ke pembaringan. Dua orang yang tidur disitu tersadar dengan kaget karena suara berisik itu, Siau Hoo kena raba seorang diantaranya, yang telah
berbangkit dan duduk. Ia tidak perduli siapa orang itu, dengan sengit ia menikam.
"Aduh!" demikian satu jeritan hebat, yang disusul
dengan rubuhnya satu tubuh.
Berbareng dengan itu, Siau Hoo lari keluar akan kabur.
"Ada orang jahat!" begitu terdengar, teriakannya Pauw
Kun Lun. Siau Hoo ketakutan, ia lari terus, mulanya ke istal, lantas keluar pekarangan. Ia kabur ke pohon dimana ia tambat
kudanya, ia loncat ke atas bebokongnya binatang itu, yang
ia terus beri kabur tanpa tujuan karena bingungnya. Disaat ia merasa telah lewati jembatan papan, dimana ada banyak pengkolannya, ia dengar riuh tindakan banyak kuda di
sebelah belakangnya.
"Celaka, mereka kejar aku!" ia menjerit seorang diri.
Maka dengan tinjunya ia hajar kepala kudanya, yang
perutnya pun dijepit, buat bikin kuda itu kabur pula. Ia tidak tahu berapa jauh ia sudah lari, ia hanya lihat cuaca fajar mulai tertampak, hingga ia dapatkan di kanan ia ada bukit, dikiri ada kali kecil. Jalanan ada jalanan kecil. Ia menoleh ke belakang, ia tidak tampak pengejarnya. Hatinya lantas saja menjadi lega. Ia lantas duduk diam di atas kudanya untuk melenyapkan lelah, sesudah mana, ia beri kudanya lari pula. Ia segera lihat cahaya merah terang di depannya, dan itu ia mengarti, di depan adalah jurusan Timur. Maka gunung di kanan ia tak salah lagi adalah Lam San.
Sesudah lari lebih dan tigapuluh lie, Siau Hoo lihat hari sudah terang betul. Kebetulan di sebelah kanan ia ada
jalanan gunung, ia ambil jalanan itu. Ia anggap dengan ambil jalan itu, pengejarnya tentu tak akan dapat cari atau candak padanya. Disini kaki kudanya menerbitkan suara
nyaring, hingga

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

burung-burung pada kaget dan berterbangan. Baru sekarang ia merasa letih, maka ia beri kudanya jalan pelahan, untuk ia ambil ketika akan
beristitahat. Sekarang Siau Hoa lihat pisaunya yang berlumuran
darah dan darahpun mengenai tangannya, ujung bajunya
juga. "Pasti dia mampus!" pikir ia yang merasa puas. "Sayang aku tidak tahu dia si Liong tua atau Liong muda! Tak
perduli siapa, aku toh telah dapat balas sedikit dan sakit hati
ayah! Sekarang si tua bangka she Pauw pasti sangat benci aku, tetapi aku tidak takut! Aku sudah sampai disini,
mereka tak akan mampu susul aku ..."
Ia jalan terus, tetap masih pelahan, ia lalui beberapa tikungan. Tapi jalanan sekarang semakin naik dan semakin kecil juga.
"Eh, bagaimana ini?" akhirnya ia tanya dirinya sendiri.
"Apakah aku salah jalan?"
Ia loncat turun dari kudanya, ia tambat binatang itu pada sebuah pohon tua, lantas ia jalan menanjak ke tempat yang tinggi, hingga ia lantas dapat kenyataan, ia benar-benar telah ambil jalan buntu.
"Celaka!" ia mengeluh seorang diri. "Kenapa aku
nyasar" ..."
Baru saja ia memikir untuk balik turun kepada kudanya, kupingnya lantas dengar kericikannya air.
"Disitu ada mata air," kata ia yang terus bertindak
menghampiri mata air ini, yang airnya berlegat-legot
bagaikan ular. Ia cuci pisau dan tangannya, dengan kedua tangannya ia ambil air buat diminum, hingga ia lantas
merasa segar. Setelah selipkan pisaunya di pinggang, ia turun kepada kudanya. Ia potes sebatang cabang pohon
untuk dia jadikan cambuk, kemudian ia loncat naik ke atas kudanya itu jalan balik menuruti jalan yang tadi.
Baru saja anak ini muncul di mulut jalan, ia lihat dari arah Barat kabur seekor kuda, yang penunggangnya melihat siapa bikin ia terkejut. Penunggang itu adalah Lou Cie Tiong! Ia segera kaburkan kudanya ke Timur, tetapi Cie Tiong yang telah dapat lihat padanya segera mengejar.
Sesudah saling kejar jauhnya tiga atau empat lie, Cie
Tiong hampir dapat candak padanya. Iapun jadi bingung
sekali, karena segera ia dapat kenyataan, jalanan di
depannya ada jalanan buntu. Terpaksa ia tahan kudanya, ia cabut pisaunya.
"Biar aku lawan dia!" pikirnya yang menjadi nekat. Ia
sudah pikir, kalau paman itu sampai, ia hendak lompat
turun dari kudanya buat berkelahi dengan mati-matian!
Ketika itu Cie Tiong sudah datang dekat, akan tetapi
untuk keheranannya, ia lihat orang tahan kudanya, sedang di tangan dan kudanya paman itu ia tidak lihat senjata apa juga. Malah dengan suara menyatakan sibuknya, paman itu segera serukan dia: "Kau bernyali besar! Kenapa kau tidak lari terus" Lari ke Timur sana apabila kau lihat gunung, lekas menuju ke Selatan, sekeluarnya dari sana, itulah jalanan ke Sucoan Utara! Lekas, lekas! Kau nanti terkejar mereka!"
Mendengar itu, Siau Hoo mengerti Cie Tiong ada
seorang baik hati, terus saja ia kaburkan kudanya ke Timur, sama sekali ia tidak berpaling-paling lagi. Di sebelah depan ia lihat jalanan gunung yang lebih lebar dan rata, ia lantas memasuki jalanan itu. Ia cambuki kudanya berulang-ulang.
Beberapa kali ia lintasi tikungan gunung sampai ia lihat tegalan belukar di depan matanya. Ia mengerti, ia sudah lintasi gunung Pa San, dan di depan ia adalah daerah
Sucoan utara. Tapi ia masih kuatir Pauw Kun Lun dan
murid-muridnya akan dapat susul padanya, ia larikan terus kudanya. Sekarang ia menuju ke selatan, yang jalanannya lebar dan rata.
Di sepanjang jalan ada kedapatan rumah-rumah orang
atau kampung, di jalanpun sudah mulai ada orang berlalu-lintas, maka itu, sekalipun masih kuatir Siau Hoo tidak ketakutan seperti tadi ia beranggapan, di tempat umum
seperti itu, umpama orang dapat susul dia, apa orang bisa bikin terhadapnya.
"Mustahil mereka berani bunuh aku?"
Maka ia beri kudanya jalan pelahan-lahan pula, dengan
begitu iapun jadi bisa menghilangkan lelah.
Setetah melalui lima puluh lie kira-kira, ketika itu sudah tengah hari, Siau Hoo merasa perutnya lapar, maka itu ia minta keterangan pada orang yang jalan didekatnya perihal tempat itu. Ia diberitahukan, belasan lie lagi di sebelah Selatan ada distrik Ban-goan.
Ban-goan ada sebuah tempat besar di Sucoan Utara,
letaknya di pesisir Timur dari sungai Houw-kang, sedang Houw-kang ini adalah aliran atas dari Pa-sui dan bisa
nyambung dengan sungai Kee-leng-kang, hanya sekalipun
ada dibagian udik, air sungai ada cetek, disitu tak ada perahu-perahu besar, hanya banyak perahu-perahu kecil
saja, yang angkut barang-barang dari Siamsay Selatan ke Selatan, dari itu, perhubungan jadi ramai, didarat dan di air berbareng.
Begitu ia memasuki kota, Siau Hoo dapat kenyaatan,
keadaan kota ada lebih ramai daripada kota Tin-pa, hingga ia jadi gembira.
"Benar lebih enak merantau!" pikirnya, "sekarang aku
telah jadi orang kang-ouw! Aku ada punya kuda, ada punya uang, tetapi sayang aku tidak punya senjata panjang, kalau aku menyoren golok atau menggantungkan pedang di
pinggangku, siapa bilang aku bukan satu kang-ouw
enghiong?"
Karena memikir begini, Siau Hoo hunjuk laga seperti
orang dewasa, hingga ia hampir kena tabrak satu orang, walaupun demikian ia mash tidak mau turun dari kudanya, ia jalan terus, sampai disebuah jalan perapatan. Disini ia tahan kudanya di depan sebuah restoran besar dimana ada beberapa kereta piauw yang berbendera putih persegi tiga.
Ia tidak tahu piauw siapa adanya itu, karena ia tidak kenal huruf. Ia loncat turun dari kudanya yang ia terus tambat di pelatok, setetah itu, ia bertindak masuk kedalam restoran, terus naik ke tangga, tindakan kakinya menerbitkan suara nyaring ia bawa aksi seperti seorang Kang-ouw tulen.
"Eh, eh, tahan!" satu jongos mencegah. "Kau cari
siapa?" Siau Hoo mengawasi dengan tajam, ia angkat dadanya.
"Aku hendak minum arak," ia jawab. Ia terus
menghampiri sebuah meja, ia jatuhkan diri di atas bangku.
"Mari bawakan aku satu poci!" ia berseru, aksinya baik.
"Apakah benar kau hendak minum?" si jongos menegasi.
Siau Hoo mendelik.
"Apakah kau menghina aku?" ia tegur. Ia rogoh sakunya
akan keluarkan uang lima tail pemberiannya Ma Cie Hian yang mana ia gabruki diatas meja, kemudian iapun tarik pisaunya, akan letaki di atas meja itu.
Jongos itu mengawasi, ia tertawa. Beberapa tetamu
lainnya pun turut tertawa.
"Apa kau anggap aku satu bocah" " Siau Hoo tanya.
"Hmm! Aku ada seorang ulung dalam kalangan kang-ouw,
di Siamsay Selatan dan Sucoan Utara, namaku terkenal!
Kau lihat uang itu, kau jangan kuatir aku akan anglap
padamu! Lekas ambil arak dan sayurnya, sehabis dahar aku hendak segera lanjutkan perjalananku! Diluar ada seekor kuda putihku, aku ingin supaya kudaku itu dipelihara baik-baik!"
Jongos itu menyahuti disertai tertawanya pula.
Beberapa tetamu lainnya juga turut tertawa lagi.
Siau Hoo tidak puas, ia awasi mereka ini dengan mata
melotot. meskipun ia tidak tegur mereka, dia toh mengomel seorang diri. Ia anggap orang kang-ouw tidak boleh terhina.
Semenara itu, sambil dahar dan minum, ia suka celingukan ke sekitarnya, maka sekarang ia lihat nyata semua tetamu lainnya ada berpakaian bersih dan rapih, kebanyakan
mereka mirip dengan piauwsu atau orang-orang kang-ouw, mereka nampaknya keren, tidak demikian dengan dia
sendiri yang pakaiannya tipis dan ada yang pecah juga, hingga kelihatan kulit dagingnya, pakaian itu juga kotor dengan tai babi, sedang kakinya, yang sepatunya bobrok, kotor juga. Iapun tidak memakal kaos kaki. Celananya,
sudah kotor, pakaiannyapun ada tumanya, yang membikin
ia gatal dan menggaruk-garuk ...
"Tidak, dengan pakaian begini macam aku tidak dapat
merantau!" pikir ia, yang sekarang insaf atas keadaan
dirinya. "Pantas semua orang tertawai aku. sebab aku ada kacung pengemis tukang piara babi, aku tak mirip-miripnya dengan orang kang-ouw!"
Untuk sesaat, bocah ini jadi bingung. Ia berniat membeli pakaian, ia kuatir uangnya tidak cukup. Untuk mencuri
saja, inilah ia tidak sanggup lakukan, ia lebih suka binasa kelaparan daripada jadi penjahat, sedang dia mau jadi satu hoohan orang gagah!
Selagi keringi cawannya, Siau Hoo lihat pisaunya.
Berbayanglah pada waktu Pauw Kun Lun dan caranya si
jago tua persen ia senjata itu pada dua tahun yang lalu di tengah sawah.
"Ya, si tua bangka she Pauw juga bukan makhluk yang
baik!" tiba-tiba ia berseru dan memukul meja. "Biar
bagaimana aku mesti bunuh padanya!"
Di meja sebelah barat ada beberapa tetamu lain, satu
diantara datang menghampiri.
"Eh, saudara kecil, kau datang dari mana?" tanya orang itu sambil tertawa dan menepuk-nepuk pundaknya.
Siau Hoo angkat kepalanya mengawasi. Orang itu ada
kurus, baju dan celananya hitam tetapi bersih, umurnya tiga puluh tahun lebih, mukanya kuning, matanya kecil, sedang bibirnya tebal. Kuncirnya yang kecil, dililit di kepalanya.
Dilihat seumumnya, dia mirip seorang kang-ouw.
Lantas Siau Hoo berbangkit, ia rangkap kedua tangannya memberi hormat. Ia bawa sikap orang dewasa, orang kangouw.
"Aku datang dari Tin-pa," ia menyahut.
Baru ia menyahut atau Siau Hoo sudah menyesal.
Dalam hatinya ia kata: "Benar aku sudah menyeberang lain propinsi tapi disini masih dekat dengan Tin-pa, apabila disini ada orang yang kenal baik dua saudara Liong atau si tua bangka she Pauw dan ia mengasi kabar dengan
menunggang kuda pasti mereka itu bisa susul aku, inilah berbahaya!"
"Aku datang dari See-an," ia lantas tambahkan. "Setelah jalan lima hari, aku sampai di Tin-pa dimana aku nginap satu malam, baru hari ini aku sampai disini ..."
Orang itu tertawa. Ia ketahui bahwa jawaban itu tak
cocok dengan kenyataan.
"Saudara kecil, apakah she dan namamu yang
terhormat?" ia tanya pula.
Kembali Siau Hoo rangkap kedua tangannya.
"Maafkan aku, aku Kang Siau Hoo, gelar ... " kata ia,
yang ingat, orang kang-ouw mesti mempunyai gelar, dan ia
hendak pakai gelar yang hebat! "Gelarku adalah Sam-tauw-houw!"
"Sam-tauw-houw" berarti "Harimau Kepala Tiga."
Orang itu tertawa terbahak-bahak, ia usap-usap
kepalanya Siau Hoo.
"Saudara-saudara lihat," kata ia pada orang banyak, "Ini saudara kecil gelarkan dirinya Sam-tauw-houw! Ha! ha ha!"
Suara tertawa itu disambut oleh tertawanya semua
tetamu lainnya.
Siau Hoo melotot, ia cekal tangannya orang itu.
"Kau telah tanya aku, sekarang ada giliranku untuk
tanya kau!" ia kata. "Kau she dan nama apa dan apa
gelarmu?" Orang itu menjawab sambil tertawa.
"Aku tak dapat beritahukan kau." katanya. "Aku tak
dapat dibandingkan dengan kau. Aku adalah It-ko-tauw!"
"It-ko-tauw" = satu kepala.
Siau Hoo ketahui bahwa ia sedang digodai, ia lantas saja kepal tangannya dan angkat itu.
"Apa, saudara kecil?" orang itu tanya tetap sambil
tertawa. "Apa benar-benar kau hendak bertanding dengan aku?"
Kata-kata itu belum habis diucapkan, sudah dipotong
dengan satu suara "Duk" yang nyaring. Kepalan yang kecil dari Siau Hoo sudah menyambar kepala. Kepalan itu kecil tetapi keras dan jatuhnya hebat! Orang itu menjerit.
"Aduh!" dibarengi rubuh tubuhnya, memimpa satu
kawannya. Semua orang lainnya jadi terperanjat, ada yang menjerit, ada juga yang berseru, "Bagus!" Beberapa orang sudah
gulung tangan baju, mereka berbangkit, hendak menghampiri bocah yang sejak tadi mereka tanggap ...
Siau Hoo lihat bahaya mengancam, dia tidak takut,
dengan sebat ia sambar pisaunya, sebelah kakinya dipakai menginjak bangku, sebelah tangannya segera menggebrak
meja, sedang matanya dibuka lebar-lebar!
"Kau berani permainkan aku?" ia tanya dengan nyaring.
"Ketahuilah bahwa Kang Siau-toaya mu sudah merantau
belasan tahun lamanya, di Tin-pa dia telah rubuhkan Pauw Kun Lun, dengan pisaunya ini dia sudah tikam
persaudaraan Liong dari Cie-yang! Dan sekarang dia datang ke Sucuan Utara ini untuk menemui Long Tiong Hiap! Kau berani main gila terhadap aku?"
Perkataan itu nyata besar pengaruhnya, semua orang
menjadi tercengang, sedang yang tadi berniat maju sudah lantas duduk pula.
Si jail, yang kepalanya telah dihajar, yang sekarang
mukanya menjadi pucat, menjadi kuncup, dia tidak berani mendekati pula.
Siau Hoo lihat orang jerih terhadapnya, dia merasa
sangat puas. Dengan aksinya, ia tancap pisaunya di atas meja, lantas ia hirup pula araknya. Tapi ia baru keringi dua cawan atau di tangga ia dengar tindakan kaki yang naik dengan cepat, hingga, dua orang segera tertampak di muka tangga, keduanya bersenjatakan golok-tautoo.
Dengan matanya yang celi, Siau Hoo segera lihat Cie
Tiong dan Cie Cun.
"Ha, anak yang baik, kau berada disini!" Cie Tiong
lantas saja berseru ketika ia kenali bocah itu, tangannya menuding. "Hayo kau lekas turut kita pulang!"
Akan tetapi sambil mengucap demikian, diam-diam Cie
Tiong beri tanda dengan matanya.
Adalah sebaliknya dengan Cie Cun ia segera lompat
maju, tangannya diulur untuk cekuk anaknya Cie Seng.
Siau Hoo samber goloknya, ia loncat akan memutari
meja. "Aku ingin lihat, siapa diantara kau yang berani bekuk aku" " ia menantang. Ia tidak takuti Cie Cun, siapa ia deliki. Akan tetapi berbareng dengan itu, di muka tangga muncul lagi satu orang, ialah Liong Cie Teng dengan
mukanya yang hitam dan sepasang matanya yang bengis.
Dia maju dengan sebuah golok besar.
Melihat orang yang ketiga ini, Siau Hoo barulah kaget, tetapi ia masih ingat untuk loncat dan lari ke jendela depan, yang daunnya ia segera tolak terpentang.
Cie Teng maju terus, selagi mendekati, ia ayun goloknya membacok.
Dalam keadaan terdesak seperti itu, Siau Hoo tidak
berdaya. Untuk lari ke tangga, ketikanya sudah tidak ada, jalananpun telah tertutup, maka ia jadi nekat, di saat goloknya Coan-in-yan terpisah hanya satu kaki dari
tubuhnya, ia sudah loncat melewati jendela, hingga di lain saat ia telah berada di jalan besar.
Sekejab saja, rumah nakan itu menjadi kacau.
Siau Hoo lari ke kuda ia tidak sempat buka tambatannya, ia babat les itu dengan pisaunya, ia loncat naik ke
bebokongnya kuda itu, yang terus ia beri kabur. Ia boleh bersyukur, tadi dari atas loteng, ia tidak jatuh ngusruk.
Pun di jalan besar keadaan segera menjadi kacau juga,
karena orang kaget dan lari serabutan agar tidak keterjang kuda yang seperti kalap itu.
Dengan kepalannya, Siau Hoo hajar kempolan kudanya
ia kabur keluar dari Lam-mui, pintu selatan, disitu ia kabur terus dengan ikuti jalan besar. Ia sudah lari sekian lama, baru ia tahan kudanya dan menoleh ke belakang. Ia tampak debu mengebul jauh di belakangnya, ia mengerti bahwa
orang kejar ia, tidak bersangsi lagi, ia keprak pula kudanya untuk diberi lari lagi.
Bagaikan seekor naga terbang, kuda itu kabur, empat
kakinya bagaikan tidak menginjak tanah, dan itu, dengan cepat bocah ini telah melalui lebih dari pada enampuluh lie.
Sekarang ia jadi sangat lelah, beberapa kali hampir saja ia tergelincir jatuh dari atas kudanya itu, karena ia tidak sanggup menahan larinya, ia paksa ia memeluki dengan
keras. Ditengah jalan, orang-orang pada kaget, ada yang
menjerit, tetapi tidak ada seorang juga yang mampu
menolongi dengan tahan kaburnya kuda itu.
Kuatir terjatuh dan terluka parah, kemudian Siau Hoo
dapat akal. Ia loloskan kedua kakinya dan injakan kaki, kemudian dengan tekan sela, ia gunai sisa tenaganya untuk buang diri ke samping kuda, dengan begitu, ia rubuh ke tanah dengan tengkurap. Ketika ia angkat kepalanya,
ternyata hidungnya mengeluarkan darah, rupanya entah
kabur kemana. Ia lantas berduduk, ia robek ujung bajunya, untuk sumpel kedua hidungnya, akan cegah darah keluar
terlebih jauh. Ia masih sengal-sengal tetapi ia berbangkit untuk berdiri. Ia kehilangan pisaunya.
"Apakah kau terluka" " tanya satu orang.
"Kau pandai menunggang kuda, anak," memuji yang
lain. "Baiknya kau buang diri nyamping, kau jadi cuma
luka sedikit di hidung, kalau kau tergelincir dan terinjak kuda sungguh celaka!"
Sedang begitu, seorang lain menuntun kembali kudanya
yang dapat dicegat dan ditahannya, hanya kuda itu bukan kuda putih, tetapi kuda hitam mulus dan gagah sekali.
Masih saja kuda itu seperti binal, tapi melihat binatang itu, Siau Hoo girang bukan main.
Beberapa orang membantui menahan kuda itu, Siau Hoo
cekal lesnya, dan ditarik ke pinggir jalan, untuk ditambat pada sebuah pohon besar, sekalipun demikian, kuda itu
masih berjingkrakan ke empat kakinya menggaruk-garuk
tanah, dan mulutnya keluar air liur yang berbusa.
Untuk menghilangkan lelah, Siau Hoo pun numprah di
tanah, hidungnya mengeluarkan darah pula, ia tutup itu dengan tangan bajunya. Ia sangat mendongkol, hingga ia mencaci seorang diri. Ia mandi keringat, ia buka bajunya.
Kudanyapun basah dengan keringat yang mengalir turun.
Tatkala itu, orang-orang yang tadi membantui dan
tonton ia sudah pada lanjutkan perjalanannya, hingga
sebentar saja ia jadi tertinggal sendirian. Ia membayangkan pengalamannya tadi, bagaimana ia beraksi di restoran,
sampai muncul Cie Tiong dan Cie Cun, dan terakhir Cie
Teng serang ia.
"Apakah yang tertikam olehku bukannya orang she
Liong itu?" demikian ia seperti melamun. Pengalaman itu bikin ia puas berbareng mendongkol.
Bentrok Rimba Persilatan 11 Duri Bunga Ju Karya Gu Long Rajawali Hitam 3

Cari Blog Ini