Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 9
"Kudaku tentu tak akan hilang disini, maka baiklah aku naik terus, akan lihat diatas gunung ini ada imam-imam dengan bugee bagaimana liehay," akhirnya ia pikir.
Dengan tetap bawa pedangnya, ia mendaki.
Disekitar situ ada banyak pohon siong dan pek dan
rumput juga, keadaan tenang sekali, hanya manusia tidak kelihatan seorang-pun juga.
Setelah naik sebuah puncak pula, Kie Kong Kiat lihat
sebuah tembok merah yang muncul dari antara rimba
cemara. Ia lantas cepatkan tindakannya menuju kekuil atau kelenteng itu, yang tidak besar. Sesampai di depan pintu, ia lihat merek "Hian Bie Koan". Pintunya tertutup. Diatas pepohonan burung asyik berkicau. Tempat itu merupakan
suatu tempat suci-murni.
Dengan ujung pedangnya, Kong Kiat mengetok pintu
kelenteng. Ia mesti mengulangi sampai beberapa kali, tetap tidak dapat penyahutan, tidak ada orang yang membukakan pintu. Ia jadi tidak senang. Tidak sabar lagi ia enjot tubuhnya, loncat naik keatas ternbok, dari situ ia
memandang kesebelah dalam. Pekarangan ada tersapu
bersih tetapi disitupun tidak nampak ada orang. Maka
pemuda ini terus lompat turun kedalam pekarangan itu
untuk menghampiri pendopo yang sebelah Timur.
"Ada orang atau tidak didalam?" ia menanya, ia
memanggil-manggil.
Dan dalam tidak ada jawaban, hanya dari belakangnya,
ia dengar tindakan kaki pelahan-lahan. Ia segera menoleh.
Ia lihat imam tadi, yang kumis jenggotnya hitam, bertindak ke arahnya. Imam ini mengenakan pakaian ringkas, sebelah tangannya mencekal pedang. Dengan tidak kata suatu apa ia ulur tangannya yang kosong, dua jari kedepan untuk
menotok bebokong, gerakannya sangat sebat untuk
melakukan penyerangan gelap.
Sambil putar tubuhnya dengan gesit sekali, Kong Kiat
menangkis dengan pedangnya. Tapi tangkisan ini bentrok dengan pedangnya si imam, yang telah tarik pulang
tangannya yang kosong, untuk ditukar dengan tangan yang bergenggam. Satu suara nyaring.
"Bagus benar!" dia berseru.
"Oh, toosu, kau bokong aku?"
Imam itu maju pula, dengan tusukannya.
"Lihat pedangku!" dia berseru, dengan suara yang
menyatakan amarah besar. "Sudah dua ratus tahun tidak
ada orang berani naik kesini dengan bawa pedang, maka
siapakah kau yang demikian kurang ajar" Kau ada penjahat dari mana berani aku diri sebagai orang Bu Tong Pay?"
Kong Kiat tangkis serangan itu, menyusul mana ia
dengar suara pintu dibuka, lalu dari pendopo Timur itu loncat keluar satu imam muda, tangannya memegang
pedang. "Pergi keluar!" imam muda ini mengusir.
Cucunya Liong Bun Hiap tidak gubris usiran itu, ia
layani si imam jenggotan, ia layani juga imain muda ini, yang terus serang ia, hingga ia jadi dikepung berdua.
Satu kali aku sudah naik kegunung ini, tidak nanti aku turun pula!" kata ia dengan jumawa. Ia tertawa. "Bu Tong San adalah rumah tuaku dari pihak ibu! Disini aku hendak perlihatkan kepandaianku untuk kau sekalian iparku, lihat!"
Benar-benar pemuda ini tak jerih sedikit juga, ia mainkan pedangnya dengan gesit dan sempurna, ia tak berikan ketika akan kedua imam desak ia, tidak perduli bugeenya kedua imam itu-pun liehay, permainan pedangnya gagah. Dengan lekas ia mendesak hingga kedua lawannya main mundur.
Itu waktu dari arah belakang ada muncul lagi tiga imam, semua membekal pedang, mereka maju menerjang,
membantui dua kawannya mengepung. Maka lima batang
pedang sekarang mengurung pemuda itu.
Cucunya Liong Bun Hiap mainkan pedangnya dengan
gesit, ke depan, kebelakaug, kekiri dan kanan, untuk halau sesuatu tikaman atau sabetan, dilain pihak ia-pun setiap kali membalas menyerang, hingga sering sekali terdengar suara nyaring dari beradunya senjata-senjata tajam itu.
Sesudah melayani kira-kira dua puluhjurus, Kong Kiat
robah caranya bersilat. Ia sekarang main mundur, apabila ia sudah menmendekati pintu pekarangap, dengan tiba-tiba ia loncat mencelat keatas tembok.
Si imam muda loncat naik akan menyusul, pedangnya
menikam. Kong Kiat menangis, selagi suara kedua pedang
terdengar nyaring, ia terus loncat turun keluar pekarangan, menuju keatas gunung.
Si iman muda menyusul terus, di belakangnya menyusul
empat kawannya.
"Mari!" menantang Kong Kiat, setelah ia sampai
ditempat tinggi. Disini ia berdiam. "Apakah kau berani naik kemari?"
Ia perithatkan senyuman mengejek.
Si imam jenggotan dan si imam muda merangsak
dimuka, setiap kali sambil meronjang mereka menyerang.
Kong Kiat melayani dengan ia senantiasa membungkuk
tubuh, walau-pun ia tetap dikepung, orang tak bisa berbuat suatu apa terhadapnya. Dua imam itu dan tiga kawannya
tidak dapat ketika untuk menerjang naik.
Kemudian sambil menjaga diri, Kong Kiat naik lebih
tinggi. "Asal kau melemparkan pedangmu, kita akan antap kau
pergi dengan merdeka!" lima imam berseru sambil
mendesak. Itu memang maksudnya mereka, sebab mereka
mesti bertahan aturan digunung.
Kong Kiat jawab seruan itu dengan tertawanya terbahakbahak, ia naik terus, setiap kali ia sampok ujung pedang lawannya, hingga ia menyebakan kelima imam itu jadi
sangat mendongkol dan guar.
Di tempat yang sedikit rata, lima imam itu mendesak,
dan Kong Kiat berbenti di situ untuk melayani bentempur.
Ia tidak takut, ia berkelahi dengan gembira. Ia merintang dijalan naik itu, ia tidak beri satu musuh juga melewati ia.
Ketika itu, dari arah belakangnya Kong Kiat dengar
bunyinya genta, seperti tiga buah genta berbunyi dengan berbareng, suaranya mengaung nyaring sekali, dan gencar juga. Ia mengarti, itu mesti ada suatu tanda, bahwa tidak
lama lawan bakal dapat bala bantuan. Karena ini, ia lompat ke belakang akan lari naik lebih jauh, hingga ia berada diatas bukit yang terlebih tinggi, yang tanahnya tidak rata, disana sini batu melulu.
Di belakang bukit itu ada satu kuil, yang wuwungannya
hampir rata dengan pepohonan -pohon cemara - dimanapun ada kabut bergumpal. Suara genta terdengar datang
dari kuil itu. Malah sekarang dari sana muncul dua imam, yang duanya bawa pedang. Yang satu umurnya empat
puluh lebih, dan yang lainnya, kumis jenggotnya sudah
ubanan. Imam yang beruban ini mendahului datang dekat
Kong Kiat, sambil lintangkan pedangnya, dia membentak :
"Jangan maju lebih jauh!"
Berbareng dengan itu, lima pengejarpun telah menyandak. Kapan mereka ini lihat imam tua itu,
semuanya segera berunjuk sikap menghormat, mereka
berdiri diam dan menjura.
Segera juga, si imam kumis hitam tuding Kong Kiat.
"Dia ini ada sangat menjemuan!" berkata dia kepada
imam tua dan ubanan itu. "Dia perkenalkan diri sebagai cucunya Liong Bun Hiap, tetapi sesampainya di Kay Kiam Hoan, dia tidak mau letaki pedangnya, ketika aku beri
nasehat padanya, dia justeru berlaku kasar, malah dia
berani juga keluarkan kata-kata tak menghormati Cou-su-ya. Kita beramai coba mengusirnya tetapi tidak berhasil, dia malah naik kemari!"
Mendengar demikian, si imam tua pandang pemuda itu
dari atas kebawah, kemudian ia bersenyum.
"Aku tidak sangka bahwa Kie Kun Ie ada punya cucu
seperti ini, " katanya. "Karena kau ada orang Bu Tong Pay juga, sudah selayaknya tak dapat kau semakin tak
menghormati aturan digunung ini. Lekas lempar pedangmu
kedalam selokan, nanti aku pimpin kau kehadapan Cousu
buat pasang hio, untuk mohonkan keampunan bagimu!"
Kie Kong Kiat lintangkan pedangnya,
"Terlebih dahulu kau meski beri keterangan padaku, "
berkaia ia. "Cousumu itu siapa adanya?"
Tampangnya imam tua itu menjadi berobah dengan
segera, ia gusar.
"Cousu dari Bu Tong Pay ada Tong Bie Hian Hoa
Cinjin!" jawab ia. "Mustahil engkongmu tidak pernah
memberi tahukannya?"
Kong Kiat tetap hunjuk kejumawaannya.
"Apakah Thio Cinjin itu masih hidup sekarang?" dia
tanya. "Pergi kau minta dia keluar menemui aku!"
Semua imam disamping si imam tua jadi sangat gusar.
"Dia kurang ajar sekali," mereka berseru. Mereka-pun
geraki tangan mereka.
Imam tua itu tertawa dingin.
"Sejak sepuluh tahun yang lalu Tiat Tiang Ceng datang
mengacau kemari tetapi dengan mengandalkan pengaruh
Cousu aku bisa hajar dia turun gunung, belum pernah ada lain orang yang berani datang kemari untuk main gila!"
berkata ia. "Maka aku tidak nyana kau, bocah yang baru terlahir, berani banyak tingkah disini! Kau ada cucunya Liong Bun Hiap pernah atau tidak dengar engkongmu
membicarakan tentang Cit Toa-kiam-sian dari Bu Tong
San?" Kie Kong Kiat bersenyum, ia menggeleng kepala.
"Aku belum pernah dengar," jawabnya lantas. "Aku
tiduk percaya di dunia ini masih ada kiam-sian! Atau
umpama benar ada, aku toh ingin coba-coba bertanding
dengan mereka itu!"
Kiam-sian berarti "dewa pedang," dan Toa-kiam sian
adalah "dewa pedang yang maha suci."
Imam tua itu tertawa pula, tertawa mengejek.
"Oh, bocah yang tak mengarti tinggi dan rendah!"
berkata ia. "Hari ini aku mesti wakilkan Liong Bun Hiap mengajar cucunya! Tapi lebih dahulu aku perlu perkenalkan diri. Aku adalah Cou Kiam Hiong, yang kedua antara Cit Toa kiam sian dari Bu Tong San!"
Kie Kong Kiat tidak perdulikan siapa adanya "Toa-kiamsian" ini, malah ia menghina.
"Aku tidak perduli kau biruang macam apa!" ia berseru.
"Mari kita bertempur."
Nama "Hiong" dari Cou Kiam Hiong, yang berarti
"jago", mirip suara huruf "biruang," maka itu, Kong Kiat sengaja menghina dengan sarui nama itu. Pemuda inipun
segera mendahului menerjang. Maka tidak heran kalau si imam tua, walau dia ada sangat sabar, amarahnya toh
meluap juga. Cepat sekali imam tua ini angkat pedangnya menangkis,
yang segera di tarik pulang untuk balas menyerang akan memapas lengan kanan lawannya.
Kong Kiat lekas tarik tangannya, lalu dengan memutar
sedikit, ia menyontek untuk elakkan serangan lawan. Akan tetapi dengan amat sebatnya imam tua itu memutar pula
tangannya, untuk kali ini membacok kepalanya Kong Kiat.
Sebat luar biasa Kong Kiat tangkis bacokan itu, hingga kedua pedang bentrok dengan keras, menerbitkan suara
nyaring. Akan tetapi tenaganya Cou Kiam Hiong ada
sangat besar, pedangnya tak dapat disampok terpental.
Melihat demikian, Kong Kiat lantas mundur, akan tukar
sikap untuk mendesaknya.
Cou Kiam Hiong tidak hendak beri ketika pada lawan
yang garang dan kurang ajar itu, setelah bacokan yang
pertarna, ia menyusul dengan yang kedua dan ketiga.
Rangsakan ini membuat Kong Kiat repot, hingga ia
mesti mundur terpaksa, ia mesti menangkis berulang
sebelum ia mampu buat pembalasan. Malah akhirnya ia
putar tubuhnya untuk lari menyingkir.
Cou Kiam Hiong-pun berlari-lari akan mengejar.
Kie Kong Kiat tidak lari terus, ketika orang hampir
menyandak, dengan sekonyong-konyong ia berhenti
bertindak, ia berlompat seraya putar diri akan membarengi membabat batang leher musuhnya.
Cou Kiam Hiong lihat gerakan liehay dari musuh, sambil mendek ia berkelit, sedang dengan pedangnya ia juga
sampok senjata musuh itu, membarergi mana, ia maju
setindak, akan dengan pedangnya itu menembuskan
menikam iga kanan musuh.
Untuk menyelamatkan diri Kong Kiat mencelat keatas
sebuah batu tinggi dan besar, hingga sekarang ia berada disebelah atas musuhnya. Dengan kedudukannya ini, ia
setiap kali tangkis ujung-ujung pedang yung menusuk atau membabat ia.
Walau-pun terdesak, tidak pernah cucunya Liong Bun
Hiap merasa jerih. Sebaliknya tetap ia berkepala batu.
"Kawanan imam!" ia berseru, dengan menantang atau
mengejek. "Asalkan kau mampu naik kebatu ini aku nanti lemparkan pedangku dan angkat kau menjadi guruku!"
"Siapa kesudian terima murid semacam kau!" Cou Kiam
Hiong membentak. Ia ada mendongkol, ia menyerang
kekiri dan kanan, ada kalanya ia mencelat ke belakang, untuk menyerang juga dari arah ini. Setiap kali ia-pun loncat tinggi untuk bisa sampaikan lawan itu.
Ringkasnya, Kong Kiat dikepung disekitarnya. Maka itu
ia-pun berkelahi sambil sering-sering berputar diri diatas batu besar itu. Ia sapu setiap serangan, terutama ia
merintangi akan orang hendak berlompat naik. Batu besar itu merupakan benteng kuat melindungi padanya. Setiap
kali ia-pun ketawa mengejek, hingga ia buat semua
musuhnya mendelu sekali.
Memperhatikan caranya berkelahi musuhnya itu, Cou
Kam Hiong lantas menggunai daya. Dengan satu tanda ia
penintah enam kawannya memutari batu besar itu,
kemudian dengan satu tanda juga mereka lompat dengan
berbareng, loncat sambil menyerang musuh.
Inilah ancaman hebat untuk Kong Kiat, tak dapat ia
menangkis berbareng pada ke tujuh musuh itu, terpaksa ia menangkis serangan di depan sambil membarengi lompat
turun, hingga sekarang ia berada dibawah pula.
Tujuh musuh sudah lantas meluruk, tujuh buah pedang
menusuk dan menikam. Dengan tidak kurang gagahnya, Kong Kiat layani semua
musuh itu, malah selang sepuluh jurus ia berhasil
merubuhkan imam berkumis jenggot hitam.
Selagi imam itu rubuh, dan dalam kuil kembali terdengar suara genta, yang disusul dengan munculnya lagi empat
imam, juga semuanya menyekal pedang. Mereka ini datang untuk memberi bantuan.
Kong Kiat insyaf dirinya terancam bahaya karena musuh
yang berjumlah besar itu, apa pula pedangnya Cou Kiam
Hiong harus dimalui. Imam tua ini sudah coba desak ia.
Sekarang ia memikir untuk jauhkan diri. Meski begitu,
sebeum mundur, ia rubuhkan lagi satu imam. Ia lari ke arah tepi jurang. Disini ia tidak dapati jalanan, di depannya ada jurang yang dalam, didalam situ ada bergumpal kabut,
hingga tak ketahuan dasarnya jurang - air atau batu.
Terpaksa ia balik pula, ia berkerot gigi, dengan putar pedangnya ia lindungkan diri dari berbagai serangan.
Tanpa merasa ia sudah berkelahi terlalu lama, ia sudah gunakan tenaga terlalu banyak. Ia baru kaget sesudah tahu-tahu tenaganya berkurang. Ia repot menangkis kekiri dan kanan. Selagi ia terdesak pula ketepi jurang, mendadak ia rasakan matanya gelap, kedua kakinya lemas. Hampir
tanpa merasa tubuhnya melayang, segera kupingnya dengar suara nyaring, tubuhnya berasa sakit luar biasa. Sampai disitu ia tak sadar akan dirinya. Selang tak lama ia merasa ada orang pondong tubuhnya, kepalanya dikucuri air
dingin, kemudian ia buka matanya. Ia lihat satu pemuda dengan pakaian biru, roman siapa ia seperti kenal, mirip dengan pemuda yang telah tantang ia berkelahi di Bu Tong San, juga orang yang puji syairnya ketika ia menulis syair dirumah makan.
Sementara itu Kong Kiat rasakan tidak terluka parah.
Kecuali dilengan kiri dan muka, ia tidak rasakan sakit pada anggota tubuh lainnya. Tenaganya telah kembali pikirannya sadar, maka ia loncat bangun dengan tiba-tiba terus ia jambak pemuda itu.
"Manusia rendah!" ia berseru. "Kau pancing aku
kegunung ini, disini kau umpatkan diri, kau antap aku
tempur kawanan imam itu sampai setengah harian! Dan
Sekarang kau pegang peranan sebagai orang baik hati! Oh, bagus benar perbuatanmu!"
Ucapan itu ditutup dengan satu tonjokan.
Pemuda itu menyampok hingga kepalan musuh
terangkat naik, kakinya bekerja, maka tidak tempo lagi Kie Kong Kiat rubuh teruling, tubuhnya kecebur keair selokan hingga menerbitkan suara, air-pun muncrat. Air ada dalam dan deras, Kong Kiat tidak panlai berenang, dua kali ia tenggelam dan timbul.
Sampai disitu pemuda itu, ialah Kang Siau Hoo, terjun
keair, untuk samber tubuhnya Kong Kiat, buat seret ketepi.
Siau Hoo pandai sekali berenang, dia geraki kaki dan
tangannya bagaikan ikan. Ia dapat menolongnya dengan
cepat. Sesudah beberapa kali muntahkan air, Kong Kiat sadar
pula. Ia dapatkan telah kuyup seluruh pakaiannya.
Sekarang ia seperti kehabisan tenaganya, ia rebah diam saja diatas batu dimana ia diletaki.
"Kau siapa" Bicaralah dengan sebenarnya!" kata ia
dengan pertanyaannya pada pemuda kita yang ia awasi.
Siau Hoo bersenyum.
"Aku Kho Kiu Hoa", ia menyahut. Tentu saja ia sedang
bersandiwara, karena nama itu ada nama palsu dan tidak berarti lain dari pada "gunung Kiu Hoa San yang tinggi."
Kong Kiat tertawa menghina.
"Namanya satu bu beng Siau cut!" berkata ia. Ia
umpamakan orang dengan satu "serdadu tak dikenal."
Kemudian ia tambahkan : "Aku tadinya sangka bahwa kau
adalah Kang Siau Hoo."
Siau Hoo tertawa.
"Kalau aku Kang Siau Hoo adanya, apa kau kira aku
sudi tolongi kau?" ia kata, "Kau niscaya kini masih
nyangkut diatas pohon!"
Kong Kiat dongak, maka ia lihat lamping gunung
tingginya seratus tumbak lebih di mana ada tumbuh banyak pepohonan dimana-pun awan putih bergumpal-gumpal.
Diam-diam ia jadi kaget.
"Jadinya aku terjatuh dari atas yang demikian tinggi dan nyangsang dipohon," kata ia dalam hati. "Pohon itu-pun ada tinggi sekali tetapi orang ini bisa tolong turunkan aku, pekerjaan itu tidaklah gampang. Kelihaannya dia pandai silat, tenaganya besar luar biasa, dan ia pandai berenang juga, ia mestinya ada satu enghiong yang namanya tidak dikenal ... "
Lantas ia tertawa.
"Aku Kie Kong Kiat belum pernah ketemu orang
semacam kau!" ia kata. "Kau mirip dengan golongan keebeng kau-to!"
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa itu kee-beng kau-to?" tanya Siau Hoo sambil
tertawa. "Kau jangan main bahasa dengan aku, aku tidak kenal mata surat! ...
Kong Kiat heran yang orang itu tidak mengarti surat.
Kee-beng kau-to-pun berarti "penjahat anjing yang biasa bekerja diwaktu ayam berkokok."
"Jadinya kau bukannya orang yang menulis syair di
belakang syairku?" ia tegaskan, "Dan tadi malam ... apakah itu juga bukannya kau?"
Siau Hoo tertawa pula.
"Segala apa yang kau timpakan atas diriku?" katanya,
"Baiklah aku beri keterangan padamu! Aku telah kuntit kau sejak di Ceng-yang, maksudku adalah ingin adu kepandaian dengan kau, aku ingin sekali ketahui berapa tinggi adanya kepandalanmu yang berniat menawan Kang Siau Hoo. Aku
tahu, siapa mendaki gunung Bu Tong San, ia dilarang
membawa-bawa pedang, siapa yang memaksa bawa itu, diri bakal hadapi kejadian yang memusingkan kepala, aku
pancing kaudatang kemari, untuk buat aku bentrok dengan sekalian toosu itu! Sekarang, buktinya kau nyata tiada punya guna!"
Dengan gusar Kie Kong Kiat berbangkit untuk duduk.
"Orang she Kho, tutup mulutmu," ia berseru. "Kau
berani lihat tidak mata kepadaku" Tadi diatas gunung aku mendapat malu disebabkan aku bersendirian dikepung
banyak orang, sebatang pedangku tidak dapat melayani
belasan pedang mereka, sekali-pun demikian, tubuhku tidak terluka, sebaliknya aku sudah rubuhkan beberapa di antara mereka! Maka dapat dibilang yang kalah adalah mereka itu, bukannya aku!"
"Semua toh dasar bugeemu tidak tinggi!" Siau Hoo
bilang sambil bersenyum. "Kalau aku, didalam tanganku
tak usah ada gegaman, walau-pun belasan pedang mereka
serbu aku, aku tidak takut sedikit juga! Aku berani pastikan bahwa aku dapat takluki mereka."
Kong Kiat tertawa dingin.
"Kau jangan ngaco belo!" ia menegor. "Apakah benar
kau berani mendaki gnung ini akan tempur kawanan imam
itu?" "Akan tetapi mereka tidak ganggu aku," Siau Hoo
bilang. "Lagi-pun Bu Tong San adalah tanah suci dan kita kaum Lwee-kee, dihadapannya Thio Sam Hong Cousu, aku
tidak berani berlaku kurang ajar."
Kie Kong Kiat tertawa terbahak-bahak.
"Tidakkah kata-katamu ini akan buat orang tertawa
hingga mampus?" kata ia yang menjeleki.
Air mukanya Siau Hoo berubah sedikit, ia tidak senang.
"Sebaliknya kaulah yang harus ditertawai!" ia bilang.
"Dengan macam bugeemu ini, cara bagaimana kau berani
hendak menawan Kang Siau Hoo hingga di mana-mana
kau berani mencorat-coret" Kang Siau Hoo karena
memandang mukanya Liong Bun Hiap, maka dia tak ingin
buat kau mendapat malu dimuka umum! Tidak demikian,
umpama dia cari kau, hanya dengan dua atau tiga tikaman pedang, kau pasti akan dibuat terluka hebat atau mampus!"
Kong Kiat gusar hingga ia berlomat turun, kedua
tangannya dikepal keras, dengan mata melotot ia lawan
orang dihadapannya.
Siau Hoo antap orang umbar amarahnya, ia mengawasi
sambil tersenyum.
Tiba-tiba cucunya Liong Bun Hiap tunduk, ia
memandang keair yang jernih dimana ia berkaca, hingga
sekaranga lihat samar-samar yang mukanya berlepotan
darah, rupanya tadi diwaktu terjatuh, ia sudah jadi
korbannya cabang-cabang pohon. Ketika ia meraba
mukanya, ia merasakan sakit, dan kedua tangannya itu
segera penuh darah.
Tapi ia berkepala besar, ia pandang pula Siau Hoo si
orang she Kho itu, dan tertawa dingin! Tetapi sekarang ia tidak kata apa-apa lagi, ia sobek baju dalamnya yang sudah basah, untuk pakai itu sebagai saputangan buat cuci dan sekai mukanya. Ia berjongkok dimuka air. Setelah itu ia pandang pula pemuda kita, dengan tertawa dibuat-buat ia kata: "Sudah, sahabat, kita jangan adu mulut pula, kita jangan berselisih. Di Cenyang kau telah mencuri uang, kau bantu aku menderma pada orang banyak, dan tadi kau telah tolong aku, dari itu kita berdua seharusnya menjadi
sahabat-sahabat kekal. Tentang bugee kita, siapa lebih tinggi
dan siapa lebih rendah, biarlah kita tunda sampai dilain hari, diwaktu mana kita boleh coba-coba. Sekarang kau
tunggulah disini, aku hendak pergi naik mengambil kudaku, kemudian kita sama-sama pulang kekota dimana kita boleh bercakap-cakap didalam hotelku."
Siau Hoo manggut.
"Baik," menyahut ia. "Pergilah kau ambil kudamu, aku
menantikan kau di kaki gunung. Dan sekarang aku hendak ambilkan pedangmu."
Setelah berkata begitu, Siau Hoo jambret cabang pohon, terus ia naik dengan melapay, tubuhnya enteng sekali,
geraknnya gesit bagaikan kera, maka sebentar saja ia sudah sampai dipohon dimana pedangnya orang she Kie itu
nyangkut. "Awas! Sambuti!" kata ia, lalu ia lemparkan pedang itu.
Kie Kong Kiat, yang mengawasi saja, ulur sebelah
tangannya akan menyanggapi pedangnya itu.
Siau Hoo bersenyum,
"Nah, sekarang aku akan tungu kau di kaki gunung,"
kata ia. Ia tidak turun pula, ia terus melapay diatas pohon, antara akar-akar juga akan berlalu dari situ. Ia naik tinggi dan lenyap.
Kong Kiat mengawasi dengan kagum, ia menghela
napas. "Dia sungguh kuat, ulet dan gesit," pikirannya. "Ia benar ada terlebih liehay daripada aku, apabila dia betul-betul ada Kang Siau Hoo, aku boleh putus daya."
Lantas, dengan soren pedangnya, cucunya Liong Bun
Hiap ini berlalu dari situ. Ia manjat dilain jurusan, tetapi baru naik dua tumbak lebih, ia sudah merandak. Disini
tidak ada tempat naik lagi, karena tidak adanya pepohonan atau akar.
"Jikalau aku tidak mampu naik, apa bukan berarti aku
akan mati kelaparan disini?" kata ia seorang diri. "Pasti sekali orang she Kho itu akan mentertawai aku."
Kong Kiat turun pula, ia sekarang jalan ditepi jurang
akan cari tempat dimana ia bisa manjat. Diakhirnya ia
dapati yang tempat naik, untuk mana ia mesti kerahkan
antero tenagnya. Ketika ia sampai diatas, disitu adalah tempat dekat kudanya berada. Hatinya jadi panas pula, ia niat hunus kembali pedangnya untuk cari kawanan imam
tadi, tetapi ia rasakan tubuhnya lelah, luka-lukanya juga menerbitkan rasa sakit, maka akhirnya ia cuma bisa melotot mengawasi ke arah atas.
"Ciau Kiam Hong! Kawanan toosu!" ia kata dalam
hatinya. "Tunggu dua hari lagi aku akan datang pula, untuk kita bertempur sampai ada keputusan, siapa jantan siapa betina!"
Setelah pikir demikian, ia masukkan pedangnya kedalam
sarung, ia tuntun kudanya akan berjalan turun. Hampir
sampai di kaki bukit, ia loncat naik atas kudanya itu.
Tidak jauh di kaki gunung ada serombongan dari duaratus ekor lebih kambing, yang sedang cari makan, hingga semuanya kelihatan bagai salju putih saja, diantara itu ada Kang Siau Hoo atau Kho Kyu Hoa yang asyik tuntun
kudanya bulu hitam. Pemuda itu berdiri dengan pasang
omong kepada dua bocah angon.
"Sahabat, mari!" Kong Kiat berseru sambil menggapekan. Siau Hoo menoleh, lantas
ia tuntun kudanya meninggalkan bocah angon, kemudian dengan naik
kudanya itu ia menghampiri cucunya Liong Bun Hiap.
Kong Kiat perhatikan pedang dan cau-ee-nya Siau Hoo,
ia bersenyum. "Mari!" mengajak ia. "Kita pergi ke hotelku dimana kita bisa bercakap-cakap. Disana-pun aku ada punya dua
sahabat!" "Baik!" jawab Siau Hoo sambil manggut.
Segera juga kedua kuda dilarikan ke arah Lam-kwan.
Ketika itu di tempat penginapan, Lau Cie Wan dan Cie
Yau tidak pergi ke mana-mana. Berdua mereka berangin
dipekarangan. Cie Wan duduk diam dengan sepasang alis
mengkerut, Cie Yau sedang pasang omong kepada kuasa
hotel. Justeru itu dua penunggang kuda, yang masingmasing kudanya hitam dan putih, sampai di depan botel, dengan tuntun kudanya itu mereka bertindak kedalam
pekarangan. Pakaiannya kedua penunggang kuda basah
dan kotor dengan lumpur, terutama menyolok ada si orang she Kie, yang tadinya pakaian sangat mewah tapi sekarang, bajunya tidak dipakai, muka, lengan dan pahanya pada
berdarah mengucur.
"Ha, apa yang telah terjadi atas dirimu?" menegor Cie
Yau yang bermata satu, ia mengawasi dengan heran.
Cie Wan tercengang, karena ia kenali Siau Hoo.
Kong Kiat segera ajar kenal Siau Hoo pada Cie Wan. Ia
kata : "Ini Lau Cie Wan gelar Thay swee Too, murid Kun Lun Pay. Ini Kho Kiu Hoa, sahabat yang baru aku kenal
diatas gunung."
Siau Hoo tertawa, ia angkat kedua tangannya, untuk
memberi hormat: Ia-pun ucapkan kata-kata akan puji orang she Lau itu.
Lau Cie Wan tidak berani tidak main sandiwara juga.
Begitulah ia membalas hormat sambil menghaturkan terima kasih untuk pujian itu.
Sementara itu, Kong Kiat merasa sangat kecele, hingga
ia hilang kegembiraannya.
"Aku tadinya sangka Kho Kiu Hoa ini adalah Kang Siau
Hoo, kiranya bukan." pikir ia.
Lantas ia ajar kenal Cie Yau.
Cie Yau mengawasi dengan matanya sebelah, ia
memberi hormat.
"Kita duduk disini saja, didalam kamar hawa ada panas
sekali," katanya. Malah ia segera tarik bangku buat mereka berduduk.
"Aku hendak masuk kedalam untuk salin," Kong Kiat
bilang. Cie Wan hendak turut pemuda itu masuk kedalam, tapi
Siau Hoo tarik ia.
"Saudara Lau, duduk disini, mari kita bicara!" kata
pemuda ini, yang sengaja menyekal dengan keras, hingga orang she Lau itu merasakan sakit, kepalanya pusing.
"Baik, baik," sahut ia, yang tidak berani berteriak, hingga ia mesti menahan sakit, sekarang tubuhnya hampir
sempoyongan saking tertarik keras. Ketika ia duduk di
bangku, Siau Hoo-pun tekan ia dengan keras, hingga ia
keluarkan keringat dingin sebesar-besar kacang karena
menahan sakit. "Hawa udara keliwat panas, bukan?" Siau Hoo sengaja
tanya. "Ya, panas sekali," Cie Wan jawab dengan mulut
separuh mewek. Siau Hoo buka baju dalamnya, hingga kelihatan
tubuhnya yang kekar, dengan otot-ototnya yang besar.
"Saudara Kho datang dari mana?" kemudian Cie Yau
tanya. "Saudara kerja apa!"
"Aku datang dan Tie-ciu, Kanglam," Siau Hoo jawab.
"Aku tidak punya pekerjaan yang tetap, sewaktu aku pergi merantau sebagai piausu, ada kalanya aku mengajar silat untuk satu-dua bulan. Atau kalau aku sedang merantau,
dimana saja aku sampai, disitu aku membuat kalangan
untuk menjual silat. Buat belasan tahun aku berkelana di Selatan dan Utara, belum pernah ada satu hari yang aku kekurangan arak atau nasi atau kudaku tak dapat rumput.
Sekarang ini aku tengah berkunjung ke Bu Tong San,
kebetulan sekali aku saksikan saudara Kie Kong Kiat
sedang bertempur dengan beberapa toosu. Kie Kong Kiat
kena di desak hingga ia jatuh terpelanting kedalam jurang.
Aku telah tolongi dia, hingga kita jadi sahabat satu dengan lain ..."
Ketika itu Kie Kong Kiat berjalan keluar dengan sudah
sali pakaian yang baru, ia dengar juga perkataannya Siau Hoo, mukanya menjadi merah dengan sendirinya, ia jadi
sangat mendongkol.
"Saudara Kho," berkata ia, "umpama kau tidak ada
punya urusan penting, aku hendak minta kau berdiam dua hari disini, supaya kau bisa lihat bagaimana aku pergi pula ke Bu Tong San! Bukan saja aku akan buat Cou Kiaiu
Hiong dan kawan-kawannya itu menakluk, juga aku akan
buat tujuh toa-kiam-sian bertutut di depan ku!"
Siau Hoo bersenyum.
"Aku kuatir sukarlah untuk terjadi demikian," kata ia.
"Bu Tong San adalah Cou-su-san, gunung suci dari kaum
Lwee kee, maka mustahil disana tidak ada imam-imam
yang mewariskan ilmu silat sejati dari Thio Sam Hong Cinjin" Aku tidak tahu nama-namanya tujuh Toa-kiam-sian itu, akan tetapi aku percaya mereka bukannya seperti itu orang-orang kangouw yang kesohor namanya belaka, yang
jumawa tak keruan!"
Kong Kiat merasa tersinggung, tampangnya berobah.
"Saudara Kho!" berkata ia dengan nyaring, "Dapatkah
sekarang kau turut aku pergi pula ke Bu Tong San untuk lihat aku tempur pula kawanan toosu itu!"
Kong Kiat hendak masuk kedalam, mengambil
pedangnya, tetapi Cie Yau sudah lantas mencegahnya.
"Baiklah kita berdamai dahulu dengan sabar," kata
orang mata satu ini. "Toosu diatas gunung berjumlah
banyak, walau-pun kita bagaimana gagahpun, ada sulit
untuk kita layani mereka!"
Kong Kiat jatuhkan dirinya dikursi dengan masih sangat mendongkol.
Siau Hoo ambil cangkir tehnya, ia minum itu sambil
bersenyum. Kong Kiat masih saja mendongkol sekali-pun ia coba
sabarkan diri. "Saudara Kho, kau berniat pergi kemana?" kemudian ia
tanya. "Aku berniat pergi ke Tiang-an," jawab Siau Hoo.
Jawaban ini membuat Cie Wan kaget bukan main tapi ia
coba tenangkan diri.
"Ada urusan apa di Tiang-an, saudara Kho?" Kong Kiat
tanya pula. "Disana aku ada punya beberapa sahabat dengan siapa
sudah belasan tahun aku belum pernah bertemu pula,"
sahut Siau Hoo. "Mereka itu ada berhutang sedikit
kepadaku, kini aku hendak menagihnya."
Saking kaget dan kuatir, Cie Wan tak dapat cegah
berobahnya air mukanya, hingga keringatnya menetes.
Cie Yau heran atas pengutaran itu.
"Saudara Khu, apa kerjaannya sababatmu di Tiang-an
itu?" ia tanya.
"Mereka semua adalah pedagang-pedagang kecil, akan
tetapi hutangnya mereka kepadaku bukannya sedikit," Siau Hoo bilang. "Tak dapat tidak aku mesti menagihnya hingga lunas!"
Keringatnya Cie Wan mengucur terus, tubuhnya
menggigil. Kong Kiat, sambil gigit bibir dan mata dibuka lebar juga pikirkan kata-kata dan sikap luar biasa itu.
"Kau hendak pergi ke Ting-an, apa tak baik kita pergi
bersama?" tanya ia. "Aku juga ada punya beberapa sahabat disana, malah keluargaku berada disana juga. Saudara Kho, apakah kau kenal Loo-kausu Pau Kun Lun" Dia sekarang
kebetulan berada di Tiang-an. Disana-pun kebetulan berada Siau-Kun-lun Pau Cie In, Twie-san-hou Liong Ci Khie,
Kim-too Gin-plan Tiat-Pa-Ong Kat Cie Kiang, Lou Cie
Liong, Wan Cie Hiap, Kie Cie Yong dan Tio Cie Liong,
sekalian enghiong. Aku nanti ajar kau kenal dengan mereka itu, umpama kau berniat adu kepandaian dengan mereka
itu-pun boleh: Aku rasa, kecuali Pau Loo-kunsu sendiri yang kepandaiannya tinggi, yang kau tak bakal dapat
tandingi, dengan yang lain-lainnya mungkin kau berimbang!"
Kang Siau Hoo bersenyum.
"Jikalau aku hendak adu kepandaian, pasti sekali aku
akan cari Pau Kun Lun sendiri," kata ia. "Akan tetapi dia sudah berusia lanjut, apabila aku dapat kalahkan dia, aku tidak akan dipandang sebagai enghiong. Maka itu aku
hendak bertempur dengan tangan kosong, sebaliknya dia
boleh pakal goloknya, Kun-lun-too! Bila dalam tempo tiga jurus aku mampu rampas goloknya itu dan tak pukul rubuh padanya, aku tak akan sebut lagi diriku satu hoo-han!"
Kie Kong Kiat tertawa menyindir.
"Saudara Kho, kau terlalu tekebur!" katanya. "Jangankan Pau Loo-kausu sendiri, walau puterinya ialah Nona
Ah Loan, barangkali kau tidak sanggup mengalahkannya."
Siau Hoo tersinggung mendengar disebutnya Ah Loan,
ia mendongkol berbareng berduka.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah Nona Ah Loan juga ada di Tiang-an
sekarang?" tanya ia.
"Ya." Kong Kiat jawab.
"Bagaimana kepandaiannya bila dibandingkan dengan
kau?" "Aku belum pernah bertanding kepadanya tetapi dia
barangkali lebih rendah sedikit," sahut Kong Kiat. "Dia mungkin berimbang dengan muridnya Siok Tiong Liong
yang bernana Lie Hong Kiat!"
Siau Hoo berdiam, tampangnya berduka.
"Apakah nona itu sudah ditunangkan?" kemujan ia
tanya pula. "Ya, sudah!" sahut Kie Kong Kiat dengan bergembira.
Siau Hoo terkejut, hingga ia buka lebar matanya.
"Dia telah dijodokan kepada siapa" Mereka sudah nikah
atau belum?"
Tapi tiba-tiba Lie Kong Kiat gebrak meja.
"Buat apakah kau tanyakan itu?" ia berseru. "Dia adalah bakal isteriku! Dimusim rontok nanti aku akan sambut dia sebagal pengantinku."
Siau Hoo gusar hingga ia tak dapat kendalikan diri, tahu-tahu tangannya telah diulur kepada iganya Kie Kong Kiat tanpa Kong Kiat sempat berkelit atau menangkis, hingga cucunya Liong Bun Hiap rubuh seketika, tubuhnya
terbanting keras.
Lau Cie Wan dan Chio Ce Yau menjadi sangat kaget,
sampai mereka mencelat kepinggir.
Disitu berada tuan rumah penginapan, jongos-jongos dan beberapa tamu lainnya, mereka semua juga kaget sekali.
Siau Hoo berdiri diam, mukanya merah padam,
tangannya mengepal keras, giginya berkerot. Ia ada gusar dan sengit, hingga ia berniat hajar mampus pada orang she Kie itu, yang rebah tidak berdaya bagaikan mayat.
"Percuma aku binasakan padanya," akhirnya ia pkir.
"Untuk seorang perempuan aku bunuh orang, itu bukannya perbuatan satu enghioug. Lagi-pun suhu larang aku
sembarang gunakan Tiam-hiat-hoat, sekarang karena
kegusaranku aku telah gunakan itu, inilah tidak selayaknya.
Sekarang-pun aku terpeugaruh oleh kejelusan ... "
Cepat sekali Siau Hoo insaf, hingga ia segera hunjuk
roman menyesal.
"Apakah benar Pau Kun Lun, Liong Cie Khie dan Pau
Ah Loan berada di Tiang-an sekarang?" ia tanya Cie Wan.
"Ya, mereka semua ada di Tiang-an," sahut orang yang
ditanya dengan anggukan.
"Baik, aku segera cari mereka!" kata Siau Hoo, yang
segera dupak Kie Kong Kiat setelah mana cepat luar biasa, dengan mendongkol, ia bertindak keluar. Ia pulang
kehotelnya akan ambil pauhoknya dan membayar uang,
sesudah itu, dengan lantas ia kaburkan kudanya. Ia mau menuju langsung ke Tiang-an, akan tetapi entah kenapa, kemudian ia beri kudanya jalan dengan pelahan. Baru ia melalui tiga atau empat lie, dari arah belakangnya ada seekor kuda putih yang datang mengejar padanya.
Itulah Kie Kong Kiat yang menyusul, pedangnya
dibulang-balingkan.
"Kang Siau Hoo!" berteriak-teriak cucu Liong Bun Hiap
itu. "Hai, manusia rendah yang tak betani perkenalkan she dan nama, jangan lari! Kau totok orang dengan Tiam-hiat-hoat itu bukan perbuatannya satu enghiong! Beranikah kau pibu dengan pedang kepadaku?"
Siau Hoo tahan kudanya, yang ia putar balik! Ia
lintangkan pedangnya dihadapannya.
"Kie Kong Kiat!" kata ia dengan bersenyum tawar. "Kau
juga ada orang Bu Tong Pay kenapa kita mesti bertempur mati-matian" Adalah mudah sekali untuk aku binasakan
kau, akan tetapi aku tidak ingin lakukan itu. Sama sekali kita tidak bermusuhan. Yang aku cari adalah Pau Cin Hui serta persaudaraan Liong!"
Tapi Kie Kong Kiat sedang gusar.
"Dengan adanya aku Kie Kong Kiat jangan kau harap
bisa ganggu siapa juga orang-orang Kun Lun Pay!" kata ia
dengan jumawa. "Tidak sekali-pun selembar rambut
mereka! Lihat pedang!"
Kie Kong Kiat membacok dengan sengit sekali.
Siau Hoo tangkis serangan itu dengan keras, hingga
kedua senjata perdengarkan suara nyaring, dan pedangnya Kong Kiat tersampok hingga terpental, beruntung tidak
sampai terlepas dari cekaannya. Kong Kiat majukan
kudanya untuk lewati, sesudah mana ia berbalik akan
kembali kirim serangan yang kedua.
Siau Hoo menangkis sambil serodotkan pedangnya,
hingga ujungnya menyambar lengan musuh, berhubung
dengan mana Kong Kiat segera tarik pulang lengannya dan mundurkan kudanya, untuk ia segera loncat turun dari
kudanya. Adalah diatas tanah ia hendak melayani.
Dari atas kuda Siau Hoo menikam dalam gerakan "Tan
hong tiau yang," atau Burung hong hadapi matahari."
Karena serangan berbahaya itu, Kong Kiat loncat
mundur. Ketika ini digunai oleh orang she Kang itu untuk turut loncat turun dari kudanya, untuk segera menyerang pula."
Lagi-lagi Kong Kiat mundur, malah ia terus lari ke arah Utara sampai beberapa tindak, ketika Siau Hoo hampir
menyandak, tiba-tiba ia putar tubuhnya mendahului
menyerang. Siau Hoo tidak beri dirinya di "loh-bee" oleh musuh, ia ada cukup awas dan gesit gerakannya, ia berkelit
kesamping, pedangnya dipakai menyampok, maka untuk
kesekian kalinya kedua seujata beradu pula dengan keras.
Kong Kiat penasaran, dalam sengitnya ia berlompat
maju menyerang pula, inipun dapat dielakkan, ia menikam
pula beruntun sampai dua kali untuk mendesak terus.
Semua serangannya itu ada berbahaya sekali.
Siau Hoo hunjuk kesebatannya. dengan leluasa ia
senantiasa kelit tubuh, tetapi ketika Kong Kiat tidak kenal puas dan merangsek pula, ia lalu hunjuk ketangkasannya, ia hadapi musuh. Pedangnya dengan hebat menusuk
kebawah, dalam gerakan "Niau coan eng hoan" atau
"Burung berputar, garuda jumpalitan."
Kong Kiat menjadi terperanjat, ia terdesak, sehingga
repot, tetapi justeru ia sudah hampir tidak berdaya, Siau Hoo tidak mau turunkan tangan jahat.
Pemuda she Kang ini kirim satu tusukan sebat,
Lawannya coba menangkis, akan tetapi tangkisan itu
justeru disampok, selagi pedang musuh terpental, Siau Hoo maju dua tindak, lalu sebelah kakinya terangkat naik dan mampir diperutnya Kong Kiat.
Semua itu terjadi dengan luar biasa cepat, Kong Kiat
telah rubuh terjengkang dan duduk tetapi karena ia bandel dan gusar, ia segera lompat bangun pula, dengan
menggunakan kedua tangannya lagi-lagi ia menikam.
Siau Hoo menyampoknya dengan keras.
"Blam-blam." Kong Kat terperanjat. Ia telah merasakan
orang punya tenaga yang besar sekali, kedua tangannya
sampai tergetar.
Siau Hoo tertawa mengejek.
"Jikalau aku tidak kuatir kau celaka, sudah sejak siang-siang jiwamu melayang!"
Meski-pun ia berkata demikian, Siau Hoo toh maju
menyerang pada dada musuh.
Dengan cepat Kong Kiat angkat pedangnya untuk
menangkis, namun ia kalah sebat, ujung pedang telah
mendahului mampir didadanya, tapi baru saja ujung
pedang itu nempel didadanya, Siau Hoo sudah tarik
kembali. "Pergilah kau pulang!" Siau Hoo bilang sambil tertawa
dingin. "Pergi kau nelusup masuk kelobang kuburan dari engkongmu Liong Bun Hiap, untuk helajar ilmu pedang
pula beberapa puluh tahun lamanya!"
Setelah kata begitu, Siau Hoo lari kekudanya yang ia
segera tunggangi. Ia menoleh dan tertawa, lalu ia kaburkan kudanya ke Utara.
Kong Kiat berdiri tertegun sekian lama, ketika ia tunduk, ia lihat darah mengalir didadanya, segera ia merasakan sakit sedikit. Nyata ia telah dilukai secara sangat enteng, hanya lecet saja. Maka diakhirnya Ia menghela napas, lalu ia banting-banting kaki. Ia naik atas kudanya untuk pulang ke hotel.
Cie Wan dan Cie Yau sedang menantikan, begitu
berhadapan sekonyong-konyong Kong Kiat serang Cie Wan
sehingga sempoyongan rubuh hampir pingsan.
Kong Kiat masih menyerang tetapi Cie Wan bisa
menangkis, ketika pemuda itu hendak memukul untuk
ketiga kalinya, Cie Yau segera menghalau untuk
mencegahnya. Dalam sengitnya Kong Kiat masih hendak
mendupak. "Karera kau kenal Kang Siau Hoo maka aku ajak kau!"
ia berseru. "Tak aku sangka, melihat Kang Siau Hoo kau berpura-pura tak kenal, hingga hampir saja aku kena
dipermainkan! Apakah kau hendak mencelakakan aku?"
Cie Wan gusar juga, akan tetapi ia tahu ia ada dipihak bersalah, ia tidak bisa melawan, maka itu, dengan muka merah ia ngeloyor keluar.
Cie Yau bujuki Kong Kiat duduk.
"Dalam hal ini tak dapat Lau Sutee terlalu
dipersalahkan," kata ia. "Coba kau pikir. Kang Siau Hoo itu ada anaknya Kang Cie Seng, ketika dahulu mereka
tinggal sama-sama, dia masih terlalu kecil, tapi sekarang telah berselang belasan tahun, bagaimana ia masih ingat akan romannya orang?"
Kie Kong Kiat tertawa dingin.
"Jangan kau belai dia!" kata ia dengan nyaring. "Aku
tahu kau semua takut pada Kang Siau Hoo seperti orang
takuti harimau, hingga karenanya, sekali-pun berbadapan muka, kau telah membungkam! Kau kaum Kun Lun Pay,
mulai dari gurumu memang sudah ketakutan! Kalau orang
Kun Lun Pay dengar namanya Kang Siau Hoo,
semangatnya seperti sudah putus saja! Sungguh malu untuk kekecilan nyalimu sekalian. Kalau tidak karena Nona Ah Loan, sungguh aku tidak sudi bantui kau kaum Kun Lun
Pay yang sangat tak punya guna!"
Chio Cie Yau melengak. Kata-kata itu ada hebat sekali.
kemudian matanya yang sebelah, yang tinggal satu-satunya, terputar:, "Kie Kouya, jangan kau bicara demikian kepada lain orang," kata ia dengan masgul. "Kau sendiri-pun akan turut malu. Memang suhu jerih terhadap Kang Siau Hoo.
Sudah selayaknya, siapa kepandaiannya makin tinggi dan usianya-pun makin lanjut, nyalinya jadi makin kecil. Hal ini-pun terjadi dengan Cie Wan. Terang dia telah ketahui dan siang-siang akan bugeenya Kang Siau Hoo yang liehay dan kita bertiga tidak akan sanggup lawan padanya, maka
dia sengaja tidak mau beritahukan kau hal orang she Kang itu."
Kong Kiat gusar, hingga ia gebrak meja.
"Tutup mulut!" ia membertak. "Kau orang-orang Kun
Lun Pay boleh takuti Kang Siau Hoo, aku sendiri tidak!
Tadi aku kejar dia, kalau aku dapat menyandaknya, aku
tentu sudah gantung balik kepalanya diujung pedangku
untuk dipertontonkan kepada kau berdua ..."
Kong Kiat gunai banyak tenaga, dadanya yang terluka
bergerak-gerak dan menerbitkan rasa sakit, hinga dengan sendirinya hawa amarahnya menjadi reda, lambat laun ia menjadi sabar dan tenang, sambil kerutkan dahi ia diam saja.
"Kie Kouya, bagaimana sekarang?" Cie Yau tanya
kemudian. "Apa tetap kau masih hendak bekuk Kang Siau
Hoo?" "Sudah berhadapan, Lau Cie Wan berpura-pura tidak
kenal Siau Hoo, sekarang ke mana kita hendak pergi
membekuk padanya" Mungkin sekarang dia menuju ke
Utara dan memasuki Tong-kwan, akan pergi ke Tiang-an,
maka baiklah kita segera berangkat ke Cie-keng-kwan. Tapi lebih dahulu kita tengok loosuhu di Tay-san-kwan, karena suhu jerih terhadap Kang Siau Hoo, kita boleh minta suhu menyingkir jauh. Kemudian, dari sana barulah kita pergi ke Tiang-an akan papaki orang she Kang itu untuk binasakan padanya. Kita harus pergi lekas, kalau tidak pasti Kang Siau Hoo akan mendahului kita sampai di Tiang-an."
"Baiklah," Cie Yau nyatakan setuju. "Mari kita
berangkat sekarang juga."
Orang she Chio ini segera masuk kedalam kamarnya
dimana ia dapati Cie Wan sedang duduk dipembaringan,
tampangnya menyatakan kegusaran atau kemendungkolan.
"Kie Kong Kiat hendak ajak pergi ke Tay-san-kwan akan
tengok suhu," kata si mata sebelah pada saudara
seperguruan ini. "dari sana dia mau segera menuju Tiangan guna papaki dan tempur Kang Siau Hoo. Kita hendak
berangkat sekarang juga."
Cie You bicara dengan pelahan, seperti berbisik.
Cie Wan tertawa menghina.
"Tempur Kang Siau Hoo" Hm!" dia kata dengan jemu.
"Apakah kau tidak lihat darah didadanya Kie Kong Kiat"
Itulah pasti luka tusukan Kang Siau Hoo. Terang sekali Kang Siau Hoo tidak niat celakai padanya, kalau tidak, sejak tadi malam kepalanya pastilah sudah lenyap."
Cie Yau tidak tahu banyak seperti Cie Wan, ia terkejut, mukanya jadi pucat
"Semua-mua adalah salahnya suhu," Cie Wan kata pula.
"Seumur hidupnya suhu bersikap terlalu ganas, dia telah bunuh terlalu banyak orang, hingga ia undang musuhnya
sekarang ini! Entah bagaimaa di hari-hari yang mendatang
... Bukan melainkan kita Kun Lun Pay bakal termusnah
malah suhu sendiri, yang usianya sudah lanjut, barangkali dia tak akan luput dari bencana ..."
Cie Wan ada sangat berduka dan kuatir hampir saja ia
alirkan air mata.
-ooo0dw0ooo- Jilid 16 "SUDAHLAH, lekas siap!" kata Cie Yau kemudian.
"Mari kita lekas pergi ke Tay-san-kwan!" Apa yang Kong Kiat bilang tidak salah, dia hendak minta suhu singkirkan diri. Aku-pun anggap tempatnya Cie Tiong tidak terlalu aman, paling baik suhu pergi menyingkir ke Sucoan Utara."
"Tetapi di Sucoan Utara ada Long Tiong hiap!" Cie
Wan peringatkan.
Cie Yau bungkam tetapi ia bebenah, maka sadaranya
turut juga. Kong Kiat sementara itu sudah bayar uang hotel dan
telah perintah jongos siapkan tiga ekor kuda mereka.
"Lekas, lekas!" demikian ia memanggil-manggil. "Kita
berangkat sekarang!"
Dengan tengteng masing-masing Pauhoknya Cie Yau
dan Cie Wan bertindak keluar, bungkusan itu mereka ikat dipelana kuda. Mereka mulai perjalanan mereka ke Utara.
Kong Kiat ada tidak sabaran, Cie Wan sebaliknya
jalankan kudanya pelahan-lahan, maka Kong Kiat cela
kawan itu, dan mencari juga, sampai ia hendak hunus
pedangnya untuk paksa orang she Lau itu larikan binatang tunggangannya!
Cie Wan bukannya tidak mau larikan kudanya dengan
keras, ini dikarenakan ia jerih terhadap Kang Siau Hoo, yang ia percaya belum pergi jauh. Kalau pemuda itu dapat dicandak, apa itu bukan kembali suatu pertempuran hebat"
Ia sendiri tidak kuatir akan dirinya, tetapi apabila Kie Kong Kiat keok, apa boleh ia tidak membantu" Apa bisa ia
menonton sambil peluk tangan saja" Dan kalau ia
membantu, bagaimana nanti jadinya dengan dirinya
sendiri" Mereka sudah melalui perjalanan empat atau lima puluh
lie, tiba di belakang mereka ada berlari-lari datang empat penunggang
kuda, yang kemudian ternyata, dua diantaranya ada orang-orang polisi, dua yang lain berpakain preman. Dua yang belakangan ini kemudiaan dikenali
adalah cinteng-cintengnya hartawan she Ku dan Ceng-yang dengan siapa mereka malam-malam pernah bertempur serta belakangan dapat diketahui, keduanya adalah Liu-cu-hiap Yo Kong Kiu dan Hoa Lian Pacu Lau Eng.
Kie Kong Kiat tahan kudanya untuk diputar balik,
pedangnya sudah lantas disiapkan.
"Hati?" ia pesan Cie Wan dan Cie Yau. "Dua cinteng
dari Kau-kee-chung itu ada punya bugee yang tidak
tercela." Sementara itu, Yo Kong Kiu berempat sudah datang
dekat, mereka telah siap dengan senjatanya.
"Kie Kong Kiat!" orang she Yo itu bentak Kong Kiat
sambil menuding dengan goloknya.
"Letaki pedangmu dan turun dari kudamu, supaya kita
bisa belenggu kau untuk diserahkan pada pembesar negeri!"
"Belenggu aku dan pergi pada pembesar negeri?" sahut
Kong Kiat sambil tertawa. Dan tiba-tiba ia segera
menerjang. Walau-pun separuh dibokong, namun Yo Kong Kiu bisa
gunai goloknya menangkis pedang musuh.
Lau Eng segera maju menyerang, maka Kong Kiat jadi
dikepung berdua.
Bertempur diatas kuda ada tidak leluasa, tidak lama
bertiga pada loncat turun dari kudanya untuk lanjutkan pertempuran di atas tanah.
Lau Cie Wan dan Cie Yau lihat ada orang-orang polisi,
mereka tidak berani turun tangan untuk bantui pihaknya.
Kie Kong Kiat telah perlihatkan kepandaiannya mainkan
pedang, selang sepuluh jurus ia buat Lau Eng rubuh.
Sementara itu ia lihat Cie Yau dan Cie Wan diam tidak
membantui, ia jadi mendongkol. Ia segan melayani Yo
Kong Kin lebih jauh ia lari pada kudanya, dan terus kabur dengan binatang tunggangannya itu. Setelah lari cukup
jauh, ia menoleh ke belakang, ia dapatkan Yo Kong Kiu
bersama dua opas telah kurung Cie Yau dan Cie Wan, yang kemudian dibawa pergi. Menampak itu, Kong Kiat
menyengir puas. Sama sekali ia tidak pikir untuk menolongi kedua kawan itu, sebaliknya, ia kaburkan kudanya ke Keng-cie-kwan. Demikian ia lintasi Keng cie kwam, lewati
gunung Siang San, terus menuju ke Cin Nia. Ia lakukan
perjalanan cepat sekali, siang dan malam, di antara
terangnya rembulan dan bintang-bintang dan itu tidak
sampai tiga hari, ia sudah di Tay san kwan. Terang sekali ia ada lelah dan letih, maka sesampainya di Kun Lun Piau
Tiam, ia segera loncat turun dari kudanya, ia letaki
cambuknya terus, ia jatuhkan diri atas pembaringan, untuk beristirahat.
Lou Cie Tiong sedang duduk dikantoran ketika ia lihat
orang pulang sendirian saja ia jadi heran, tetapi ia tunggu dulu sampai orang sudah hilang lelahnya, baru ia
menghampirinya.
"Kie Kouya, kau dari mana?" tanya ia, "Apa kau
berhasil mencari Kang Siau Hoo" Mana Cie Wan dan Cie
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yau, kenapa mereka tak pulang bersama?"
Kong Kiat tidak menjawab, hanya ia mencelat bangun:
"Loo-ya-cu dan Nona Ah Loan ada di mana?" ia balik
menanya. "Mereka berada di belakang," sahut Cie Tiong.
Kong Kiat segera bertindak keluar, separuh berlari ia
menuju ke belakang, ketika ia telah masuki sebuah pintu kecil ia lantas dapat tampak Ah Loan dengan bajunya
warna dadu sedang bersilat dengan golok Kun Lun-too,
berlatih jurus "Twie-hong-liang-tian" atau "Mengejar angin menyamber kilat" dan "Hok hou cian Liong" atau
"Harimau mendekam naga sembunyi."
"Kou nio!" ia segera berseru, sambil tertawa.
Nampaknya ia ada sangat niang.
"Aku telah dapat carikan Kang Siau Hoo di Bu Tong
San, aku telah bertarung sampai empat ratus jurus, jikalau dia tidak sipat kuping dengan ceburkan diri ke dalam
selokan gunung pastilah hari itu aku bisa bawa kepalanya untuk kau cingcang lebih jauh dengan golokmu!"
Ah Loan berhenti bersilat dengan segera, air mukanya
berubah ketika ia awasi Kong Kiat.
Kong Kiat awasi tunangannya sambil terus bersenyumsenyum. Ketika itu Pau Cin Hui muncul dari dalam, dia tidak
puas melihat sikapnya sepasang tunangan itu yang ia
anggap ada centil, tidak kepantasan, sedang diain pihak ia heran menampak pakaiannya Kong Kiat yang tak karuan,
penuh debu dan basah dengan keringat, demikian pula
mukanya. "Bagaimana caranya kau ketemu Kang Siau Hoo?" ia
tanya. Ketika ia sebut namanya Siau Hoo, mukanya pucat mendadak.
"Sekeluarnya dan Han-kok-kwan," jawab Kong Kiat,
yang terus karang cenitera bohong, "dimana aku sampai, aku tulis pemberitahuan untuk bekuk Kang Siau Hoo. Dia
jerih, dia senantiasa menyingkir dari aku. Diluar dugaan aku berhimpasan dijalan besar di Kok-shia-koan di Siang yang Utara. Dia aku diri sebagal Kho Kiu Hoa, terhadap aku dia bersikap sangat manis budi dan menghormat,
agaknya dia sangat ingin bersabahat. Aku bisa juga akal muslihatnya itu, lalu aku desak dia sampai di Bu Tong San.
Diatas gunung, Siau Hoo minta bantuan sekalian imam,
hingga aku kena dikepung. Sesudah bertarung tiga atau
empat ratus jurus, aku paksa Siau Hoo memepet ketepi
jurang, disini aku bacok dia hingga ia terjun kedalam jurang yang dasarnya merupaka selokan dia lalu berenang untuk menyingkir. Dadaku pun mendapat sedikit luka. Ketika aku turun gunung, aku tegor Lau Cie Wan, hingga dia hampir bertengkar. Setelah meninggalkan Kok-shia-kwan lima
putuh lie jauhnya, aku ditinggalkan oleh Cie Wan dan Cie Yau, entah kemana perginya mereka. Selama aku tempur
Siau Hoo, dia pernah pentang bacot bahwa dia hendak
pergi ke Tiang-an untuk cari Loo ya-cu untuk mencari balas bagi ayahnya. Lantaran aku kuatir, aku berangkat malam-malam pulang kemari. Pikirku baiklah Loo-ya-cu cari satu tempat dimana Loo-ya-cu bisa menyingkir untuk beberapa hari, aku sendiri bersama Ah Loan hendak pergi ke Tiangan guna papaki padanya."
Kong Kiat sebut ia dan Ah Loan sebagai suami isteri.
Ketika itu Cie Tiong masuk kedalam, ia dengar
ocehannya Kong Kiat, ia kaget hingga air mukanya berobah saking kuatir.
Pau Kun lun menggigil akan tetapi dia memaksanya
bersenyum. "Kemana lagi aku mesti pergi menyingkir?" kata ia
dengan sengit. "Tidak ada tempat lagi kecuali lobang kubur!
Setelah keadaan jadi begini rupa, tidak ada lain jalan, aku
mesti pergi ke Tiang-an untuk sambut dia, untuk serahkan jiwa tuaku ini!"
Sambil melotot jago tua ini titahkan Lou Cie Tiong
untuk siapkan kudanya, karena dia hendak berangkat
dengan segera. "Tidak, ya-ya," Ah Loan mencegah. "Ya-ya tidak boleh
temui Siau Hoo. Paling benar aku yang pergi cari dan
bunuh padanya, hanya sebelum bunuh dia, lebih dahulu
aku mesti tanya padanya ..."
Dengan tiba-tiba air mukanya nona ini berobah, ia
kelihatan berduka berbareng gusar, air matanya-pun segera turun menetes. Ia lantas menangis dengan membanting-bantingkan kaki.
"Ya, ya-ya jangan cegah aku," dia tambahkan. "Aku
hendak pergi sendirian untuk ketemui dia! Sekarang juga aku pergi! ... "
Benar-benar dengan bawa goloknya nona ini lari keluar
untuk pergi keistal akan siapkan kudanya.
Kong Kiat lari menyusul, ia cekal lengan tunangannya,
tetapi Ah Loan putar tubuhnya sambil membabat dengan
goloknya, hingga Kong Kiat mesti lompat berkelit.
Si nona jadi sengit atau kalap, ia ulangkan bacokannya, matanya mendelik.
Kong Kiat geser kaki kekiri, tubuhya mendek, tangannya menahan orang punya bahu dan cekal pergelangan tangan
guna rampas golok itu.
Ah Loan tidak mau mengarti, ia loloskan tangannya, ia
membacok pula. Disaat itu ia hendak bunuh tunangannya
ini. Lou Cie Tiong lihat keadan yang hebat, ia ambil
goloknya dengan apa ia tangkis bacokannya si nona.
Pau Kun Lun-pun jadi gusar.
"Ah Loan, tahan!" ia bereru ... "Dia adalah suamimu!"
Mendengar tegoran engkongnya, Ah Loan lempar
goloknya, lalu sambil tekap mukanya dan menangis, ia lari kedalam kamarnya.
Pau Kun Lun tertawa gelak-gelak.
"Lihat, Cie Tiong!" ia kata pada muridnya she Lou itu.
"Aku ada punya cucu dan cucu mantu yang pandai ilmu
silat, mustahil aku benar-benar jerih terhadap Kang Siau Hoo!"
Cie Tiong berdiam, untuk berpikir.
"Kalau begitu, suhu," kata ia kemudian, "Sekarang baik suhu tetap diam disini, kita minta Kong Kiat saja pergi ke Tiangan supaya disana ia bisa berdamai kepada Kat Suheng bagaimana caranya untuk hadapi Kang Siau Hoo. Aku-pun
akan berdiam disini, umpama benar Kang Siau Hoo datang, biar aku sendiri yang menemui padanya."
Kong Kiat berdiam sejak tadi, mukanya merah karena
sikap tunangannya itu, tetapi mendengar pengutaraannya Cie Tiong, ia lalu campur bicara.
"Tidak, itulah tidak sempurna!" kata ia sambil bertindak menghampiri guru dan murid itu. "Kita tidak takut jikalau Kang Siau Hao datang secara berterang, kita hanya kuatir ia bekerja
secara menggelap. Aku pernah bertempur kepadanya, dalam limu pedang dia tak dapat lawan aku,
tetapi kepandaiannya entengkan tubuh ada melebihi aku.
Ditengah jalan aku dengar orang cerita bahwa Kang Siau Hoo
ada satu hui-cat, penjahat terbang, karena kepandaiannya jalan malam yang istimewa liehay. Disini letaknya dekat Tiangan, umpama dia ketahui Loo-ya-cu
tinggal disini, dia bisa datang diwaktu malam akan bunuh Loo-ya-cu dengan cara menggelap. Mengenai ini kita tak dapat tidak berjaga-jaga! Loo-ya-cu kesohor didunia
kangouw apabila kejadian Loo-yacu binasa terbokong, apa itu tidak penasaran dan memalukan" Maka pikirku lebih
baik Loo-yacu cari satu tempat yang lain orang tak dapat ketahui, untuk menyingkir untuk sedikit hari saja, aku bersama Ah Loan nanti pergi ke Tang-an. Pasti aku berdua sanggup binasakan padanya!"
Mendengar halnya Kang Siau Hoo pandai entengkan
tubuh dan lari diwaktu malam, kembali tubuhnya Pau Kun Lun mengigil, bulu romanya berdiri.
"Baiklah suhu turut pikirannya Kie Kouya," kata Cie
Tiong kemudian, setelah ia berpikir sekian lama. "Biar aku temani suhu pergi ke Sun Im Kok di Lok yang, kerumahnya Ho Tiat Siong. Dulu suhu pernah tolong jiwanya, duapuluh tahun lamanya ia tinggal menyendiri di lembah yang sangat sunyi itu, sedang keadaan keuangannya ada kuat.
Kita menumpang tinggal dua atau tiga bulan, apabila tidak ada orang yang mengasi tahu, walan bagaimana-pun Kang
Siau Hoo tidak akan dapat cari kita!"
Mendengar murdnya menyebut nama Ho Tiat Siong,
mengingatkan Pau Kun Lun pada sahabatnya lama itu
dengan siapa sudah belasan tahun dia tidak pernah surat menyurat, kelihatannya ia ketarik dengnn usul itu, akan tetapi kemudian ia menggeleng kepala.
"Tidak, aku tidak bisa pergi kesana," kata ia. "Jikalau aku pergi, pastilah murid-muridku bakal dibinasakan oleh Kang Siau Hoo. Apa artinya aku hidup sendiri" Tak tega aku kepada murid-muridku semua ..."
"Asal Loo-ya-cu pergi, segala apa gampang diurus," Kie Kong Kiat bilang. "Ketika aku tempur Kang Siau Hoo di
Bu Tong San, dia pernah bilang padaku, bahwa dia tidak akan bunuh habis orang-orang Kun Lun Pay, karena yang
dimaui ialah Loo-ya cu sendiri serta persaudaraan Liong
..." Pau Cin Hui menghela napas. Segera berbayang di depan
matanya itu kejadian pada belasan tahun yang lalu di Pak San, (gunung Utara) dimana dengan mengepalai murid-muridnya. persaudaraan Liong ia telah kejar Kang Cie Seng hingga murid murtad ini terima kebinaaannya secara
menyedihkan. Cie Seng sudah tinggalkan anak isterinya, rumah tangganya, akan tetapi kenapa ia desak dan
binasakan padanya secara ganas" Kenapa ia tidak antap Cie Seng menyingkirkan diri" Maka kalau sekarang Kang Siau Hoo datang mencari balas apakah itu tidak selayaknya saja"
Kembali jago tua ini menghela napas, kedua matanya
menjadi merah, hampir ia keluarkan air mata. Diakhirnya, ia manggut-manggut.
"Baiklah," kata ia kemudian, "biar aku dan Cie Tiong
pergi cari tempat untuk menyinggir. Dan kau Kong Kiat, lekas pergi ke Tiang-an cari Cie Khie, kisiki dia ajak pulang ke Ci yang, supaya dia ajak engkongnya dan Kee Cie Beng pergi umpatkan diri juga. Kau-pun pesan semua muridku, tidak perduli siapa, bila mereka ketemu Kang Siau Hoo, jangan ia semberono lawan Siau Hoo bertempur, kecuali
sudah sangat terpaksa, baru mereka boleh adu jiwa. Di
Hoaciu ada Lie Cin Hiap, dia adalah sahabat baikku, dan bugeenya tidak disebelah bawahku dia boleh diminta kirim murid-muridnya buat bantu mereka ... "
Habis berkata jago tua ini jadi lesu, seperti juga ajalnya tinggal tunggu waktu, lenyap semangatnya laki-laki.
Kong Kiat manggut.
"Satu hal aku ingin terangkan," kata ia kemudian.
"Kalau aku pergi ke Tiang-an, walau-pun dalam
pertempuran dengan Kang Siau Hoo aku merasa pasti aku
bakal mendapat kemenangan, namun suatu kekuatiran tak
dapat dielakan. Aku kuatir Lie Hong Kiat nanti datang
mengacau, apabila dia datang membantu Kang Siau Hoo,
aku bakal repot dan sukar berdaya. Bukannya aku tak
padang mata murid-muridmu, Loo-ya-cu, tetapi aku merasa Kat-cie Kiang semua tak punya guna. Dan itu aku anggap perlu akan ajak Ah Loan pergi bersama, dengan dia bantu aku, aku boleh tak kuatirkan apa jua!"
"Sudah seharusnya aku perintah Ah Loan pergi bersama
kau," kata Pau Kun Lun, yang setujui saran itu, "melainkan
... " Ia merandak sebentar, ia berpikir. Kemudian dengan suara sungguh-sungguh ia lanjutkan : "Kau tentunya
ketahui, walau-pun keluarga kita hidup dalam kalangan
kangouw, kita tetap ada orang-orang terhormat maka itu, selama cucuku belum syah jadi isterimu, tak dapat aku
suruh jalan bersama-sama kau dan tidur dalam satu rumah atau satu kamar. Itulah akan mencemarkan kehormatan
kita! Tapi baiklah diatur begini saja: Justeru sekarang aku berada disini, kau berdua boleh jalankan upacara nikah, kalau besok aku kerangkat ke Lokyang, kau berdua sebagai suami isteri boleh pergi ke Tiang-an ... "
Kong Kiat girang mendengar kata-kata jago tua itu.
Lantas saja ia menyatakan akur.
Pau Kun Lun perintah Lou Ce Tiong segera siapkan
kamar pengantin dan atur juga ruangan upacara nikah,
kemudian ia kembali kedalam, kepada cucunya yang
sedang menangis sedih.
"Kau jangan berduka, anak, kau jangan sesali aku,"
engkong ini segera menghibur. "Semua adalah salahku,
yang dulu sudah bertindak terlalu kejam, hingga sekarang aku mesti terima pembalasan, juga rembet-rembet anak
cucu dan murid-murid sekalian, hingga semua turut
mendapat malu! Walan-pun Kang Siau Hoo mendesak
untuk binasakan aku, aku toh kagumi dia! Dia adalah satu laki-laki sejati! Aku telah berumur tujuh puluh tahun, akan tetapi belum pernah aku dapatkan lain orang yang keras hati sebagai dia, yang semangatnya besar. Besok aku
hendak pergi ke Lokyang kerumahnya sahahatku. Ho Tiat
Siong di Sun Im Kok untuk singkirkan diri sementara
waktu," ia tambahkan, "apabila aku berhasil menyelamatkan diriku, kita engkong dan cucu pasti akan bersua pula satu dengan lain. Umpama aku tak dapat lolos, dari kematian, binasa ditangannya Kang Siau Hoo, aku
tidak penasaran. Aku tetap kagumi dan puji Kang Siau
Hoo!" Ah Loan menangis, ia berbangkit akan cekal tangan
engkongnya. "Aku hendak ikut ya-ya," kata ia.
"Kau tak dapat ikut aku," kata Pau Cin Hui sambil
goyangkan tangan "Sudah cukup Cie Tiong seorang yang
turut aku. Kau harus bantu Kie Kong Kiat pergi ke Tiang-an untuk Lindungi Kat Susiokmu beramai. Hanya untuk
buat kau dan Kong Kiat merdeka dalam perjalanan,
sekarang juga aku hendak nikahkan kau satu pada lain,
supaya menjadi pasangan yang syah ... "
Ah Loan terkejut mendengar kabar itu.
"Tidak, engkong . ... " kata ia dengan menggelenggelengkan kepala.
"Biar bagaimana kau mesti turut pengaturanku," kata
sang engkong, "Dengan perlekaskan pernikahanmu, hatiku akan menjadi tetap, umpama aku mesti binasa, aku akan
meninggal dunia dengan, mata tertutup ..."
Tanpa tunggu jawaban lagi Pau Kun Lun lantas pergi
pula keluar, akan lihat berbagai pegawai piau-tiam sedang bekerja dengan repot. Kong Kiat pun, dengan gembira turut bekerja atau atur ini itu, lenyap keletihan dan ngantuknya.
Cie Tiong tidak punya anggauta keluarga, tetapi didalam perlu ada orang-orang perempuan, terpaksa ia undang isteri-isterinya beberapa pegawai negeri yang ia kenal untuk
mohon bantuannya, begitupun bantuannya isteri-isteri dari sekalian pegawainya. Mereka inilah yang menghiasi kamar penganten.
Segala apa disiapkan secara kilat, tidak kecuali pakaian pengantin.
Ah loan biarkan dirinya dihiasi, beberapa nyonya
pujikan keberuntungannya tetapi ia ada sangat berduka, air matanya mengalir saja.
"Jangan nangis, nona! Ini ada
kejadian yang menggirangkan,"
orang membujuk dan menghibur. "Memang satu nona yang mau menikah dia mesti
menangis, karena dia tidak tega berpisah dari ayahbundanya, akan tetapi orang-tuamu tidak ada disini,
sedangkan-pun kau menikah bukannya untuk dibawa pergi.
Kenapa mesti berduka" Jikalau kau menangis matamu akan jadi merah dan bengal, melihat mana baba pengantin
mungkin akan berduka ..."
Ah Loan mendongkol mendengar ocehan itu, ia lompat
bangun, ia banting cermin, ia patahkan sisir, ia lemparkan kun, sedang kondenya, ia betot terbuka, hingga rambutnya
jadi awut-awutan, kemudian
ia lempar diri atas
pembaringan dan menangis.
Semua orang perempuan menjadi kaget, mereka pada
lari keluar. Agaknya mereka kuatir diamuk oleh nona yang kosen itu.
Pau Kun Lun dengar suara berisik, kapan ia ketahui
duduknya hal, ia menghela nafas. Ia masuk kedalam.
"Ah Loan," kata ia pada cucunya. "Kau kenapa"
Kenapa kau gusar" Bangun anak, jangan kau buat susah
pada engkongmu yang harus dikasihani ..."
Ah Loan dengar suara berduka dari engkongnya, ia
menangis semakin sedih. Ia menyesal.
"Tidak apa-apa, engkong, aku hanya berduka," kata ia
seraya angkat kepalanya, mukanya basah dengan air mata.
"Aku sebal dengar ocehannya mereka itu ... "
"Apa boleh buat, anak," egkong itu membujuk. "Dalam
hidupnya seorang anak perempuan mesti menikah, dari itu biarlah untuk segala upacara yang memusingkan, apapula pernikahanmu ini yang dilakukan secara kesusu. Segala apa sangat terpaksa, aku-pun tidak sudi berbuat begini macam.
Meski demikian, kita toh tidak boleh abaikan upacara kau harus jadi nona pengantin, kau tak boleh jadi itu macam nona kangouw yang menikah, tapi pakaian pengantinpun
tidak dipakainya, terus saja ikuti si lelaki ... "
Jago tua ini sedang berduka, akan tetapi kata-katanya
yang terakhir diucapkan dengan keras, menandakan ia tidak sukai orang perempuan binal. Kemudian ia pergi keluar, ia menjura kepada nyonya-nyonya tadi.
"Maafkan cucuku," kata ia. "Ia kurang pikir. Sekarang
tolong kau hiasi pula padanya ..."
Nyonya-nyonya itu kehilangan kegembiraannya, akan
tetapi terpaksa mereka masuk pula ke dalam, sekali ini mereka tidak ngoceh lagi, sedang Ah Loan-pun jinak ...
Pau Kun Lun masuk pula, hatinya lega melihat cucunya
itu diam dihiasi orang. Tetapi ketika ia pergi keluar, alisnya tetap mengkerut, beberapa kali ia menghela napas.
Kong Kiat sebaliknya terus bergembira, apa pula kapan
kemudian Cie Tiong pulang dengan bawa bungkusan yang
terisi pakaian pengantin, pakaian mana kemunian ia pakai: Syukur pakaian itu cocok bagi tubuhnya.
Mulai jam empat, tetamu sudah mulai datang. Mereka
ada bangsa piausu, pegawai negeri sebawahan dan pemilik-pemilik perusahaan kereta, yang semua ada sahabat atau kenalannya Cie Tiong, yang datang untuk sekalian
berkenalan kepada Pau Kun Lun.
Cie Tiong dan beberapa pegawainya, dengan dandanan
rapi menyambut dan melayani semua tetamu, yang pun ia
ajar kenal dengan taba pengantin dan gurunya juga.
Lucu ada romannya si jago tua, yang seumurnya tak
pernah pakai thungsha, Selagi ia bertubuh besar dan gemuk, ia beli baju-jadi yang terlalu kecil untuknya terlalu pendek juga! Dengan cekal kipas bulu angsa, ia sambut semua
tetamu dengan tertawa atau senyum paksaan.
Cie Tiong tahu benar gurunya bergirang dengan
terpaksa, sedang hatinya guru ini senantiasa tidak tenteram, setiap kali ada tetamu muda, guru ini selalu tanya muridnya tentang she dan nama serta pekerjannya tetamu itu. Guru ini selalu curiga nanti dia orang jahat yang nyelip antara tetamu-tetamu, untuk bokong padanya.
Kie Kong Kiat tetap bergembira, ia bicara banyak kepada sekalian tetamu, ia menceriterakan tentang engkongnya,
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liong Bun Hiap, dan perihal pengalamannya sendiri juga, terutama halnya sekarang ia hendak bekuk Kang Siau Hoo.
Iapun tak lupa obrolkan hal ia sudah desak Siau Hoo di jurang di Bu Tong San ...
Sekalian tetamu percaya obrolannya baba pengantin ini, terutama karena orang ketahui baik tentang Liong Bun
Hiap yang kenamaan. Melainkan Cie Tiong tetap sangsikan hal kekalahannya Kang Siau Hoo, apapula sampai itu
waktu Cie Wan dan Cie Yauw tidak ada kabar ceriteranya.
Hanya dalam keadaan seperti itu, orang she Lou ini belum sempat pikir banyak-banyak.
Selama itu, Cin Hui duduk seorang diri disuatu pojok,
dahinya tetap mengkerut, ia rupanya tidak mampu
kesampingkan ke dukaan, kemendongkolan dan kekuatirannya. Kapan sebentar sampai saatnya upacara, Kong Kiat
sudah siap, sedang Ah Loan dipimpin keluar oleh dua
nyonya untuk langsungkan upacara nikah itu. Satu juru
upacara setiap kali sebutkan apa yang sepasang mempelal mesti lakukan, terutama untuk menghormati Langit dan
Bumi, leluhur dan engkong. Setelah dentuman petasan,
sejumlah bocah pengemis merubul masuk akan perdengarkan nyanyian keselamatan dan kegirangan.
Perjamuan sudah lantas dimulai.
Ah Loan diantar masuk ke kamar pengantin, sedang Pau
Cin Hui lantas beristirahat dalam sebuah kamar yang
tenteram. Cie Tiong dan beberapa pegawainya layani semua
tetamu. Kong Kiat tidak beri dirinya diloloh arak, ia ingin lekas masuk ke kamar pengantin tidak urung ia toh menenggak
banyak juga, hingga ia merasa sedikit pusing. Ia ingin supaya semua tetamu lekas bubar. Tapi selagi sang malam mendatangi, sesudah bersantap dan minum, sang tetamu
pada berjudi. Cie Tiong masgul karena orang terus berkumpul akan
adu peruntungan, tetapi ia dapat akal, ia minta satu
sahabatnya, seorang she Nio. ajak mereka itu berjudi dilain tempat, maka ia bisa sudahi pesta dan tutup pintu. Ia-pun larang orang "mengacau" kamar pengantin, untuk godai
sepasang mempelai.
Jam dua telah menjelang, Pau Cin Hui tidur dikantoran.
Kecuali diruangan upacara tadi, dimana sepasang lilin
maih menyala, penerangan satu-satunya adalah yang
menembus keluar dari kamar pengantin yang punyai kain
jendela warna merah, karena didalam kamar itu dinyalakan terus "tiang beng teng," lampu panjang umur, yang
menurut aturan, tak boleh padam seantero malam itu.
Kie Kong Kiat telah loloskan pakaian pengantinnya
sedari siang-siang, sekarang ia mengenakan pakaian mewah dari sutera, kaos kaki putih, sepatu hijau, wajahnya berseri-seri. Malam ini, adalah malam kegirangan yang ia belum pernah alami seumurnya.
Setelah selesai salin dengan tindakan berat, Kong Kiat bertindak
kejendela. Dengan perdengarkan suara tindakannya itu ia mau beri tanda pada si nona pengantin bahwa ia telah datang. Ia-pun bertindak dengan lambat-lambatan. Akan tetapi ketika ia sampai di depan jendela, mendadak tiang-beng-leng padam, ia terkejut. Tapi
kemudian ia bersenyum.
"Dia pada sntu nona kangouw, dia bukannya belum
pernah ketemu dengan aku, malah kita telah sama-sama
kepung Lie Hong Kiat, kenapa sekarang dia jadi likat?"
pikir ia. "Inilah lucu ..."
Ia menghampiri pintu, ia batuk-batuk dengan pelahan
selagai bertindak masuk. Kamar ada gelap petang, sebuah kursi memanjang di tengah, Kong Kiat kena terjang itu
hingga ia hampir kenyunyuk.
"Ah, kau godai aku?" kata ia sambil tertawa. Ia maju
pula baru dua tindak, ia sudah injak paso air. hingga paso itu, yang terbuat dari tembaga, jadi terbalik dan airnya muncrat, sepatu dan kaos kakinya baba pengantin menjadi basah.
"Ah ..." ia menghela, tapi ia maju terus, hingga ia
sekarang sampai di muka pintu kamar tidur. Ketika ia raba dan menolak, ternyata pintu dikunci.
"Buka pintu!" ia segera perdengarkan suaranya. "Buka
pintu!" Tidak ada jawaban.
"Buka pintu!" ia kata pula sambil mengetok-ngetok pintu dengan pelahan. "Jangan malu-malu nona pengantinku ..."
Kembali tidak ada jawaban.
Kong Kiat jadi tertawa.
"Buka pintu!" ia kata pula, seraya tolak pintu. Jangan main-main eh, kini sudah jauh malam!"
Tiba-tiba datang jawaban, yang tdak disangka-sangka.
"Pergi! Jangan datang kemari!" demikian jawaban itu,
yang keras. "Pergi! Jangan kau tolak pintu!"
Kong Kiat tertawa.
"Oh, nona yang liehay!" kata ia. "Bagaimana baba
pengantin bisa diusir pergi" Oh, Ah Loan, isteriku yang manis malam ini ada malam kita yang indah ..."
"Pergi!" kembali ada usiran dari dalam.
Kong Kiat tertawa makin geli. Tapi ia tidak tolak pintu pula, ia terus berpikir. Kemudian ia berdongko, dengan pelahan-lahan ia angkat kedua daun pintu yang sesaat
kemudian menjeblak, rubuh menimpa bangku yang dipakai
menganjal dari sebelah dalam. Menyusul itu, baba
pengantin berbangkit untuk lompat masuk kedalam, akan
tetapi berbareng dengan itu juga, dan dalam berkelebat menyamber sinar putih. Saking kaget, baba pengantin ini lompat berkelit, hingga kursilah yang telah terbacok!
"Ha!" seru Kong Kiat. "Hendak piebu dahulu baru
menikah?" kata ia. Ia ulur tangannya akan merampas
golok. Nona Pau tarik pulang tangannya, berbareng dengan itu, sebelah kakinya mampir pada orang punya perut, hingga
sambil keluarkan seruan tertahan, Kong Kiat rubuh ke
belakang. Apa celaka kepalanya membentur lemari!
Ah Loan masih gusar, ia maju bersama babatan lain.
Dalam gugupnya Kong Kiat gulingkan tubuh, dua
tangannya digeraki untuk peluk orang punya kedua kaki, tetapi Si nona mendahului menendang dan mengenai mata
kirinya, atas mana pemuda itu hampir menjerit kesakitan, tapi segera ia berguling pula.
Untuk kesekian kalinya Ah Loan membacok lagi, tetapi
sekarang suaminya itu bisa loncat keluar kamar, hanya
karena satu bacokan susulan, belakang golok telah
mengenai bahunya, sedang pinggangnya sebelah belakang
kena tertendang, hingga ia jatuh ngusruk. Ia lekas
berbangkit, napasnya sengal-sengal.
"Ah Loan, apa artinya ini?" ia menegor. "Apakah kau
hendak bunuh aku. Aku toh suamimu" Toh engkongmu
yang nikahkan kau padaku?"
"Pergi! Pergi!" ada jawabannya Ah Loan, yang geraki
pula golokuya. Aku tidak kenal kau!"
Kong Kiat gusar, tetapi sedetik saja, ia tertawa.
"Dasar anaknya satu piausu ... " pikir dia. "Tidak heran kalau dia jadi sangat manja! Kalau aku tidak gunakan
kekerasan, mana dia takluk kepadaku dan rela nikah aku"
Baik, biar kita bertempur dulu, barulah saling menyinta ... "
Lantas ia pergi ke kamarnya, untuk ambil pedang. Iapun nyalakan sebuah lentera. Ia kembali ke kamar pengantin.
Pintu sudah dikuci pula. Ia letaki penerangannya dilantai.
Tadinya ia niat bongkar pintu tapi ia sangsi. Untuk sesaat, ia berdri diam, ia pasang kuping. Ia dengar suara tangisan, hatinya jadi lemah. Kembali ia berdiri bengong.
Itu waktu seorang kelihatan masuk Kong Kat lihat orang itu adalah Cie Tiong. Cie Tiong rupanya ketahui hal
pertarungan tadi, maka ia menghampiri seraya goyanggoyangkan tangan.
"Kie Kouya, sabarlah," kata piausu itu dengan pelahan, suaranya berduka. "Memang sejak masih kecil adatnya
nona Loan ada keras, benar hari ini ada hari kegirangan akan tetapi dia memang sedang bersusah hati. Bukankah
besok engkong dan cucu bakal berpisah" Bukankah sang
engkong, dalam usia lanjut, hendak pergi jauh, untuk
menjauhkan diri dan ancaman bahaya, guna sembunyi
ditanah pegunungan" Bagaimana hati si nona bisa lega"
Maka dengan kouya gusari padanya, lagi beberapa hari dia
akan jadi baik sendirinya. Selama Kang Siau Hoo belum
dikalahkan, selama engkong dan cucu belum tinggal
berkumpul pula, tidak nanti si nona bisa bergembira ... Baik kouya bersabar ..."
Kong Kiat manggut, tetapi sepasang alisnya mengkerut.
"Tidak apa ... " sahut ia, sedang dalam hatinya ia niat bilang bahwa si nona pengantin sudah berlaku keterlaluan, bahwa goloknya ada berbahaya. Kalau ia utarakan
kemendongkolannya itu, piausu ini bisa katakan ia cupat pikiran. Maka ia tambahkan saja! "Pergilah beristirahat, susiok, aku tidak gusar. Aku tahu dia memang sedang
uring-uringan ..."
Cie Tiong mengawasi, hingga ia lihat pakaiannya Kong
Kiat sudah lecek dan basah, rambutnya kusut, sedang
matanya yang kiri, biru. Ia tidak berani menggodai, ia putar tubuhnya dan pergi.
Kong Kiat masih berdri diam sekian lama, kemudian ia
menghampiri pintu, buat ditolak. Ia tidak dengar cacian hanya tangisan pelahan.
"Ah Loan, jangan berduka," kata ia dibalik pintu. "Aku tidak gusar terhadap kau. Kau nikah aku karena
engkongmu yang jodohkan, bukan aku yang lamar, walaupun demikian, kau tolak aku, tidak apa. Aku mengarti
kedukaanmu karena keluarga Pau sangat di desak oleh
Kang Siau Hoo, sampai tak ada jalan lain. Aku suka
maafkan kau. Hanya kau harus percaya aku, aku tanggung tak sampai sepuluh hari, pasti aku akan berhasil
membinasakan Kang Siau Hoo. Lihat saja nanti! Sekarang aku
tidak mau bicara banyak ..." Rupanya Ah Loan jadi semakin berduka, tangisannya jadi semakin sedih.
Kong Kiat mendongkol berbareng berduka, maka ia seret
kursi diatas mana ia jatuhkan diri. Ia senderkan tubuh dengan pikiran kusut, tubuhnya letih dan ngantuk, hingga tak lama kemudian ia tertidur.
Secara demikan malam pengantin dibiarkan lewat begitu
saja ... Keesoknya pagi Kong Kiat tersedar dengan tampang
tidak gembira, ia lihat Ah Loan buka pintu dan bertindak keluar, kedua matanya merah, tanpa menoleh padanya
isteri itu bertindak terus ke belakang! Nona itu ada pakai baju merah.
Suami ini jadi sangat tidak puas.
Ketika itu ada satu bujang, yang muncul diruangan itu.
"Kie Kouya, semalam ada ribut-ribut apa dalam
kamarmu?" tanya dia sambil tertawa. "Samar-samar aku
dengar suara gedubrakan ... Kouya sungguh senang! Eh,"
tambahkan ia apabila ia lihat orang punya mata, yang ia terus tunjuk. "Matamu itu biru! Apa kau sakit" Itulah
berbahaya, nanti aku belikan obat mata!"
Kong Kiat gusar karena ucapannya orang itu, ia
menyangka ia sedang digodai. Tinjunya segera melayang, atas mana bujang itu menjerit keras.
Justru itu, Cie Tiong muncul. Ia tahu apa sebabnya
kejadian itu. "Suhu menanyakan jam berapa kouya hendak berangkat?" kata ia dengan sabar. "Ia hendak suruh Nona Ah Loan siap sedia"
"Sekarang juga!" ada jawaban ringkas dari orang she Kie itu. "Aku menyesal tidak bisa di ini detik menemui Kang
Siau Hoo, supaya bisa didapat keputusan, dia mampus atau aku hidup!"
Tanpa bilang apa-apa lagi Cie Tiong kembali pada
gurunya. Kie Kong Kiat lantas suruh orang siapkan kudanya ia
sendiri masuk kekamarnya akan siapkan pauhoknya, ketika ia sudah selesai, Ah Loan juga sudah siap, dengan
pakaiannya yang berwarna merah, nona itu menantikan
sambil duduk dipekarangan dalam.
Suami itu menjadi sabar pula, lenyap kemendongkolannya apabila ia lihat orang punya roman
yang elok, kemudian ia bisa bersenyum.
Pau Kun Lun tengok cucunya itu, juga cucu mantunya.
"Bagus!" ia berkata. "Kau berdua bakal jadi wakilku
untuk hadapi musuhku! Tapi senjata tajam tidak ada
matanya, belum tahu bagaimana akan jadinya, dari itu,
walau-pun hatiku tidak tetap, apa boleh buat. Kenapa kau ada demikian tak beruntung sudah menjadi cucuku dan
cucu mantu" Begitu lekas kau berdua berangkat juga untuk menyingkir ke rumah sahabatku. Aku sudah begini tua,
siapa tahu sebelum aku sampai disana, ditengah jalan aku akan sudah menutup mata ..."
Selagi berkata begitn, jago tua ini lihat cucunya
menangis. Tapi Kong Kiat angkat dadanya.
"Loo-ya-cu, jangan kau ucapkan kata-kata demikian!"
kata ia dengan jumawa. "Sekarang ini mungkin Kang Siau Hoo sudah sampai di Tiang-an, aku berdua rasanya pasti akan dapat bunuh padanya. Kepergianmu ke Barat ini
hanya sebagai pesiar saja, dan itu tak usah kau bersusah hati, terutama tidak perlu akan kau kuatirkan aku berdua."
Pau Kun Lun bersenyum meringis, dari sakunya ia
keluarkan dua pucuk surat.
"Dua pucuk surat ini kau boleh bawa ke Tiang-an." ia
kata. "Yang satu untuk Cie Kiang, yang kedua ini kau mesti simpan sampai keadaan sudah sangat terpaksa. apabila kau telah kewalahan melayani Kang Siau Hoo. baru kau
serahkan padanya ..."
Kong Kiat menyambuti. Ia dapatkan surat unuk Cie
Kiang ada luar biasa tebal. Dua-dua surat ada tertutup rapat. Ia lantas simpan itu.
"Loo-ya-cu. tak usah kau banyak memesannya,"
katanya. "Aku tahu apa yang aku mesti lakukan, Aku
hendak berangkat sekarang juga, nah, sampai ketemu pula!"
Cucu mantu ini lantas hunjuk hormatnya.
Ah Loan menangis, ia beri hormat pada engkongnya,
kemudian ia ikuti suaminya, yang bertindak keluar dengan sikap gagah.
Dimuka piau-tiam sudah siap dua ekor kuda. Ah Loan
loncat naik atas kuda merah, menghadapi Pau Kun Lun
dan Cie Tiong sekalian, air matanya lantas meleleh.
"Ya-ya dan susiok, silahkan masuk!" ia minta.
Kong Kiat gantung pedangnya dipelana, dengan gesit ia
loncat naik atas kudanya.
"Semua silahkan masuk! Sampai ketemu, sampai ketemu
pula," kata ia dengan angkat kedua tangannya memberi
hormat. Semua orang memandang dengan kagum pada sepasang
mempelai yang cantik dan cakap itu, yang sama-sama
gagah, mereka mengawasi sampai orang sudah pergi jauh
diarah Utara. Ah Loan sering-sering menoleh, ia masih menangis,
beberapa kali terdengar suaranya: "Ya-ya, silahkan masuk!"
Kong Kiat larikan kudanya disebelah depan.
Bab 12 BEGITU LEKAS IA TELAH LEWATI Tay-san-kwan,
Ah Loan segera ingat akan dirinya sendiri pada sebulan yang lalu sudah lakukan perjalanan seorang diri ke Tiangan, Seean. Ia ingat bagaimana bersemangatnya ia ketika itu.
Tapi sekarang, ia ada berduka. Air matanya meleleh pula tempo ia dengarkan goloknya terumbang-ambing dengan
menerbitkan suara. Ia mencoba empos semangatnya.
"Aku mesti lekas sampai di Tiang-an! Aku mesti bunuh
Siau Hoo begitu lekas aku ketemui ia, kemudian aku akan bunuh diri! Atau, biarlah dia yang bunuh aku! Aku tidak mau jikalau dia tidak bunuh aku, aku nanti tubrukkan
tubuhku kepada pedangnya! tetapi sebelum aku binasa aku mesti bicara padanya, aku mesti jelaskan tentang hal ikhwal kita pada sepuluh tahun yang berselang. Dia mati, aku mati, tapi sebelumnya mati, kita mesti jelas duduknya hal ...
Ngelamun begitu air matanya nona pengantin ini jadi
bercucuran. Kong Kiat menoleh, melihat orang menangis, ia tertawa.
"Ah Loan!" berkata ia. "Tadinya aku sangka kau ada
satu nona gagah luar biasa dari jaman ini, bahwa kau ada keras hati bagaikan jantan, siapa tahu sekarang kau ada lemah sekali, kau mirip dengan nona-nona yang
kebanyakan. Kau kaum Kun Lun Pay, sudah takut takuti
diri sendiri, sedang Kang Siau Hoo bukannya seorang
terlalu luar biasa! Kau tunggu, sesampai kita di Tiang-an tak seberapa hari Kang Siau Hoo pasti akan datang juga, maka kau akan saksikan, bagaimana aku akan buat dia tunduk!"
Ah Loan tidak meojawab, air matanya masih meleleh
dikedua pipinya.
"Kemarin ada hari paling baik bagi kita berdua," Kong
Kiat melanjutkan, "tetapi kau sudah berlaku keterlaluan sekali kepadaku. Kalau aku tidak bisa menahan sabar,
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentulah kita suami isteri telah berubab menjadi musuh-musuh besar. Aku bukan takut padamu, malah aku cinta
padamu. Sekarang kita keluar bersama-sama, diwaktu
berjalan dan bermalam kita akan bersama pula. Kita
sekarang tidak berangan-angan lain, sudah seharusnya kita bersikap seperti dahulu diwaktu kita sama-sama tempur Lie Hong Kiat dijembatan sungai Wie Sui. Kita mesti bersatu hati akan lawan Kang Siau Hoo. Setelah itu, aku ingin ajak kau pulang ke Liong-bun untuk menemui keluargaku,
kemudian kita berangkat pula untuk merantau. Paling akhir aku berniat pergi ke Pakkhia untuk turut dalam ujian
kemeliteran. Dengan sepenuh tenaga aku hendak peroleh
kemajuan, supaya di belakang hari kau bisa menjadi satu itpin hujin!"
Tapi Ah Loan angkat kepala, ia mengawasi dengan
melotot. "Sudah jangaa ngoceh saja, jalan!" ia membentak.
"Lekas!"
Kong Kiat pandang isterinya, ia tertawa. Ia tidak merasa terhina dengan bentakan itu. Sebaliknya kata-kata "kau"
dari Ah Loan membuat urat-uratnya jadi lemas. Bentakan itu ditelinganya agaknya terdengar sangat merdu ...
Lantas suami ini beri kudanya lari. Ia hendak
membanggakan kepandaiannya menunggang kuda.
Ah Loan-pun cambuk kudanya buat beri lari juga.
Dengan begitu, dengan tidak bicara satu pada lain,
suami-isteri itu seperti sedang berpacu. Tujuan mereka ke Timur. Diwaktu sore mereka sampai didistrik Hinpeng. Ah Loan ingin jalan terus, agar diitu hari juga mereka sampai di Tiangan, tetapi Kong Kiat mencegahnya.
"Tak dapat kita jalan terus sekarang," suami ini beri
keterangan. "Kalau sebentar kita sampai di Ham-yang,
disungai Wie Sui sudah tidak ada perahu penyeberangan, atau umpama kita paksa dapatkan itu, pintu kota sendiri sudah ditutup."
Terpaksa, dengan terus bungkam Ah Loan ikuti suami
itu, yang ajak ia akan cari rumah penginapan. Kong Kiat sengaja minta satu kamar dalam mana hanya ada sebuah
pembaringan, meja juga tidak ada.
Begitu masuk dalam kamar, Ah Loan bercokol diatas
pembaringan dengan tidak buka sepatu lagi, goloknya
diletak. disampingnya.
Kong Kiat tertawa melihat tingkah istrinya itu, pada
jongos ia minta barang nakanan serta arak.
Jongos siapkan makanan yang dipesannya serta sepasang
cawan arak. Kong Kiat segera isikan kedua cawan, cawan arak yang
lain ia angsurkan pada isterinya.
"Malam ini kita minum pula arak pengantin!" berkata ia sambil tertawa. "Aku harap kau bisa legakan hatimu!"
Tapi Ah Loan sampok cawan itu sampai terlepas jatuh
kepembaringan, isinya menyiram celana sutera dari
suaminya. Mau tidak mau Kong Kiat toh mendelu juga.
"Apa artinya ini?" tanya ia. "Kalau kau tidak hendak
minum, sudah saja, kenapa kau sampok arak ini" Sejak kita menikah kemarin, kecuali mencaci aku, belum pernah kau mengucap lain! Apakah kau tidak hargai aku Kie Kong
Kiat" Apakah kau tidak sudi jadi isteriku?"
Ah Loan angkat kepalanya, matanya mendelik,
tangannya meraba gagang goloknya.
"Siapa isterimu?" ia berseru.
Kong Kiat tertawa.
"Kau, kan adalah isteriku!" jawabnya. "Kemarin kita
berdua sudah jalankan upacara nikah, sekarang kau ikut aku buat perjalanan, kau adalah orangku dari Keluarga Kie.
Kau ada isteriku, isteriku!"
Kata-katanya Kong Kiat ini, disusul dengan terhunusnya Kun-luntoo, maka lekas ia berkelit dengan lewati
pembaringan, ketika golok itu sudah menyambar lewat, ia terus loncat keluar kamar. Isterinya tidak menyusul, tetapi ia ada sangat gusar.
"Benar gila! Isteri siapakah yang perlakukan suaminya
demikian macam?" kata ia dalam hatinya. "Jikalau ia tidak suka kepadaku kenapa ia sudi jalankan upacara nikah?"
Dalam sengitnya pemuda ini pikir buat siapkan kudanya
akan pulang ke Tay-sankwan atau susul Pau Cin Hui di
Lokyang, untuk tanya mertua itu, atau minta simertua
tanyakan maksud cucunya. Tetapi sesampainya diistal, baru saja ia pasang pelana, pikirannya jadi sangsi, ia turunkan pula pelana itu.
"Kalau aku pergi pada mertuaku, perkara jadi besar,
Suami-isteri tak akan dapat akur pula," demikian ia berpkir.
"Di kolong langit ini mesti ada nona-nona yang mengerti silat, akan tetapi dimana dapat cari nona seelok Ah Loan?"
Kecantikannya nona Pau berbayang didepan matanya
pemuda ini, yang hatinya terus jadi lemah pula. Maka ia lantas kembali kedalam, ia tarik daun pintu dengan
pelahan, ia mengintai, ia dapati isterinya sedang menangis, goloknya si nona berada disampingnya. Ia menghela napas, ia bertindak masuk, tetapi ia tidak berani mendekati.
"Jangan kau berduka," ia kata. "Aku tahu kau tidak suka aku, tetapi aku ada satu laki-laki sejati, maka apakah kau kira, tidak boleh tidak, aku tentu dapatkan cintanya seorang perempuan" Baik kau ketahui, aku bantu pihakmu melawan Kang Siau Hoo bukan karena aku kemaruk oleh parasmu
yang elok, aku hanya belai keadilan, aku tidak dapat
antapkan satu anak muda perhinakan engkongmu, satu
guru silat yang sudah lanjut usianya! Baik aku jelaskan padamu, di Bu Tong San aku sudah tempur Kang Siau
Hoo, ilmu silat pedangnya ia tak dapat layani aku, tetapi tiam hiat-hoatnya benar-benar liehay, maka kalau nanti kita bertemu pula di Tiang-an, entah siapa binasa atau siapa hidup! Umpama aku terbinasa, aku jadi sudah berkorban
untuk Kun Lun Pay, untuk lookausu, aku tidak penasaran atau menyesal. Andaikata aku berhasil membinasakan
Kang Siau Hoo, aku akan angkat kaki, untuk selamanya
aku tidak akan kembali ke Kwan-tiong, kau ada merdeka
untuk nikah pula atau jadi janda tua, aku sendiri tidak akan menikah lagi, aku akan merantau, merantau terus, bila
usiaku sudah lanjut, bisa jadi aku akan sucikan diri, atau hidup menyendiri ..."
Kong Kiat bicara dengan sikap gagah, setelah itu ia
duduk disamping pembaringan akan bersantap seorang diri, tidak akan perdulikan isterinya itu.
Ah Loan menangis.
"Siapa yang kau suruh bunuh Kang Siau Hoo," kata ia.
"Kau tidak boleh bunuh padanya! Dia ada musuh dari
keluargaku, tidak perlu kau yang binasakan dia. Jikalau kau bunuh dia, aku nanti bunuh padamu!"
Dengan terpaksa Kong Kiat tertawa, tetapi lantas ia
menghela napas.
"Sudahlah, kau jangan bicara lebih jauh," katanya.
"Bukankah kau tidak sudi bicara kepadaku" Namanya kita menjadi suami-isteri, benarnya kita ada orang-orang
ditengah jalan! Sekarang kau tidak ketahui aku Kie Kong Kiat ada orang macam apa, kelak barulah kau akan ketahui itu."
Ia terus dahar dan minum, kemudian ia teriaki jongos
akan singkirkan bekas bersantap itu, kemudian lagi, ia tutup pintu. Ia cabut pedangnya, ia duduk menyender disudut
tembok untuk tidur. Ia pisahkan diri jauh-jauh dari Ah Loan, ia picingakan mata, ia tidur sambi cekal pedang itu.
Kira-kira tengah malam, Kong Kiat pentang matanya.
Api masih belum padam hanya minyaknya yang sudah
mulai kering. Ah Loan, dengan tidak salin pakaian, tidur sambil duduk diatas pembaringan, goloknya melintang
dipahanya, nampaknya ia tenang sekali, dan kondenya
yang baru disisir, meroyot turun di depannya dua tabung rambut bagus didahinya. Dia tidur dengan napasnya yang halus. Dengan pakaian serba merah, dengan sepatunya
yang indah, dia menarik sangat hatinya sang suami.
Hatinya Kong Kiat memukul, ia dapat ingatan akan
singkirkan golok itu, untuk menakluknya si isteri dengan paksa. Ketika ia coba ulur sebelah tangannya, matanya Ah Loan dibuka, hingga ia batalkan niatnya, ia lantas duduk dipinggir pembaringan menyender akan berpura-pura tidur.
Sekarang kepalanya berada dekat kakinya si nona. Sebentar kemudian, ia ulur pula tangannya ke arah golok, tapi
mendahului ia, Ah Loan geser goloknya, dan tubuhnya
juga, lalu dia padamkan api.
Kong Kiat lalu berpura-pura tidur dan ngingo, ia tumbak pembaringan, ia damprat Kang Siau Hoo. Tapi lama ia
menantikan, sampai akhirna ia tertidur sendirinya. Ia
tersadar besoknya pagi mendapatkan Ah Loan sedang
duduk dimuka jendela dimana, menghadapi kaca kecil yang dia bawa, isteri itu asyik sisir rambutnya ia tidak tanya isteri itu, ia-pun kepang sendiri kuncirnya, sesudah mana,
sendirian juga ia bersantap, hanya setiap kali ia melirik dari arah belakangnya Ah Loan.
Ah Loan juga kemudian dahar.
Kong Kiat keluar akan suruh siapkan kudanya begitu
lekas isterinya sudah selesai dahar, ia-pun bayar uang sewa kamar dan makanan, lalu mereka lanjutkan perjalanan.
Tidak lama mereka sampai ditepi sungai Wie Sui di Hamyang, disini mereka naik perahu menyebrang, sesudah
mana mereka teruskan perjalanan didarat ke arah selatan.
Mendekati tengah hari mereka tiba didaerah See-an,
memasuki koa Tiang-an.
Selama diperjalanan, tidak pernah Kong Kiat bicara
sama isterinya itu, ia hanya sering-sering melirik dengan otak bekerja, memikirkan daya untuk buat nona
pengantinnya itu tunduk kepadanya.
Mereka menuju langsung ke Lie Sun Piau Tiam.
Beberapa piausu, yang berada di depan piau-tiam
nampaknya heran melihat pemuda ini yang bersama Ah
Loan, apabila si nona telah berkonde dan dandan sebagai pengantin baru.
Kong Kiat loncat turun dari kudanya, ia serahkan
kudanya pada jongos, ia memberi hormat pada piausu itu, kemudian ia ajak isterinya bertindak masuk.
Dikantoran. Kat Cie Kiang ada bersama Wan Cie Hiap,
Tan Cie Cun, Yo Cie Kin, Tio Cie Liong dan Kim Cie
Yong, mereka asyik bicara, rupanya urusan penting, tapi melihat Kong Kiat berdua, mereka lekas berbangkit untuk menyambut.
"Oh, Kie Kouya, pernikahanmu dengan Loan Kou-nio
sudah disyahkan?" Cie Kiang tanya, "Mari masuk."
Mukanya Ah Loan jadi kemerahan, dengan likat ia ikut
kedalam. "Mana Cie Yau dan Cie Wan?" Cie Liong tanya Kong
Kiat, "Kenapa mereka tidak turut pulang?"
Kong Kiat tidak menjawab, ia jatuhkan diri dikursi
dengan napas memburu, ia diam saja, sesaat berselang
barulah ia tuturkan bagaimana Pau Kun Lun telah
nikahkan ia dengan Ah Loan. Ia-pun tuturkan hal
pertempurannya denan Kang Siau Hoo di Bu Tong San
dimana katanya ia dapat kalahkan orang she Kang itu.
"Dengan Cie Wan dan Cie Yau aku berpisahan ditengah
jalan," ia cerita lebih jauh. "Rupanya mereka tahu Kang Siau Hoo bakal darang ke Tiang-an, mereka sengaja
umpatkan diri akan melihat gelagat ... "
Ia keluarkan dan serahkan suratnya Pau Cin Hui untuk
Cie Kiang. Surat untuk Siau Hoo ia simpan terus.
Cie Kiang lihat, kecuali surat untuk dia sendiri, didalam sampul itu ada dilampirkan seucuk surat lain, yang
alamatnya ada. untuk Kang Siau Hoo. Ia lantas serahkam surat untuknya kepada Cie Liong, untuk saudara angkat ini yang bacakan. Dan Cie Liong lalu membacanya dengan
keras sambil kalau perlu menambahi dengan keterangannya. Pau Kun Lun memberitakan pernikahannya Ah Loan
dengan Kong Kiat di Tay-san kwan,yang dirayakan dengan kesusu, maksudnya adalah setelah menikah, mereka berdua
merdeka melakukan perjalanan ke Tiang-an, bahwa ia telah menyingkir, bukan karena takut tetapi lantaran menuruti saran dari Cie Tiong dan cucu perempuannya.
Cie Liong-pun bacakan surat untuk Siau Hoo, bunyinya
antaranya: " ... Apa yang rerjadi pada sepuluh tahun yang lalu itu, aku sangat menyesal. Tapi Cie Seng pantas terima ke
binasaannya itu, karena ia sudah pincuk dan sembunyikan orang punya isteri. Maka itu, apabila kau mengarti
duduknya hal dan suka menghabiskannya, kita ke dua
pihak boleh tetap menjadi sahabat-sahabat satu dengan lain, selanjutnya kita tak usah timbul-timbulkan pula perkara itu.
Umpama kau tetap hendak menuntut balas, inilah
gampang. Silahkankan jelaskan bahwa kau tidak akan
ganggu murid-muridku, aku nanti serahkan jiwaku
padamu." Mendengar itu, sekalian murid itu menjadi kaget, ada
yang berduka ada yang gusar.
"Surat ini tak boleh diserahkan pada Kang Siau Hoo!"
ada antaranya yang berseru, "Kalau kita ketemu Kang Siau Hoo, kita mesti tempur padanya, kita mesti adu jiwa!"
Ah Loan berdiam, ia keluarkan saputangan akan seka air matanya.
Kong Kiat-pun berdiam, tetapi ia cekal gagang
pedangnya sambil tertawa.
Cie Kiang simpan surat-urat itu.
"Kelihatannya urusan gampang untuk diurus," kata ia.
"Umpama benar Kang Siau Hoo datang kemari, kita tidak
boleh lancang turun tangan ..."
"Apakah kita mesti antap suhu muncul serahkan
jiwanya?" tanya Cie kie dengan sengit.
"Pasti tidak," jawab Cie Kiang sambil geleng kepala,
"Walau-pun kita semua binasa, tidak nanti kita bisa biarkan suhu cut tau sendiri."
"Habis bagaimana?" Yo Cie Kin tanya pula, "Apa kita
hendak serahkan surat suhu ini kepadanya?"
Cie Kiang manggut.
"Surat ini mesti diserahkan pada Kang Siau Hoo,"
katanya. "Inilah pesan suhu. dan kita mesti turut pesan itu.
Kalau Kang Siau Hoo datang, kita undang dia kepiau-tiam, disini kita sampaikan surat suhu ini, berbareng dengan itu; Tan Sutee mesti tuturkan padanya perihal kejadian sepuluh tahun yang lampau itu, tentang perbutan busuk dari Kang Cie Seng, begitu-pun tentang aturan keras dari kaum kita Kun Lun Pay. Kita jelaskan bagaimana suhu dengan ajak
saudara-saudara Liong, sudah kejar Cie Seng sampai
didalam gunung dimana dia dibinasakan. Aku percaya
Kang Siau Hoo, yang-pun pernah merantau lama, tidak
nanti tidak pakai aturan yang pantas."
"Mana bocah itu mau pakai aturan?" kata Cie Cun
dengan nyaring, matanya mendelik. "Jikalau dia mau pakai aturan, sedari siang-siang dia seharusnya sudah bisa
berpikir. Dia mesti ingat, meskipun benar ayahnya binasa ditangan suhu namun dia sendiri untuk banyak hari pernah menumpang pada suhu, yang perlakukau dia dengan baik
..." "Cukup!" tiba Ah Loan menyela. "Apabila Kang Siau
Hoo datang, kau semua jangan ketemui dia, biar aku yang menemuinya sendiri. Tidak saja aku hendak omong tentang cenglie kepadanya, aku juga hendak tanyakan dia banyak hal lainnya, aku hendak lihat bagaimana dia jawab aku!"
Setelah berkata begitu, nona ini tapinya menangis pula.
Kong Kiat tarik mundur isterinya itu, akan tetapi sang isteri berpaling dengan mata melotot, tetapi karena
didepannya ada banyak su-siok itu, nona ini tidak
hunjukkan kegusaraunya lebih jauh.
"Untuk sementara ini baik kita jangan terlalu sibuk," Cie Kiang lalu berkata dengan goyangkan tangan pada semua
saudaranya itu. "Urusan sebenanya tidak terlalu sukar.
Kabarnya sekarang Kang Siau Hoo telah memasuki Tongkwan, tapi kita-pun sudah siap-sedia. Para sahabat
diberbagai tempat, aku telah kirim pemberitahuan.
Dikantor sunbu, kantor ciang-kun, kedua kantor hoantay dan kotay, begitu-pun dikantor tiekoan Tiang-an dan Seean, aku sudah minta bantuan berbagai kenalanku. Apabila Kang Siau Hoo datang, dia mirip dengan lempar diri
kedalam jaring!"
Ah Loan tiak setujui sikapnya paman ini.
"Kenapa kita mesti gunakan pengaruhnya pembesar
negeri?" ia bereru.
"Kita tidak niat tangkap dia," cie Kiang terangkan,
"Kalau dia datang, kita hendak bicara dengan baik
kepadanya, tapi jikalau dia tidak mau pakai aturan, nah, apa boleh buat! Aku Kat Cie Kiang ada satu hoohan,
selama hidupku belum pernah aku tindih orang dengan
pengaruhnya pembesar negeri, hanya bila Kang Siau Hoo
terlalu menghina kita kaum Kun Lun Pay, aku tidak dapat berlaku sungkan-sungkan lagi kepadanya! Dan terpaksa,
aku nanti gunakan kepandaianku untuk buat dia mendekam dalam peujara, sedikitnya dia mesti dapat ganjaran seumur hidup!"
Selagi berkata demikian, Cie Kiang berbangkit dengan
tegak, hingga kelihatanlah tubuhnya yang kekar, sedang
sepasang matanya terbuka lebar. Nampaknya ia tidak lagi tak berdaya seperti ketika menghadapi Lie Hong Kiat.
"Sekarang baik kita kesampingkan dulu lainnya hal, mari kita beri selamat pada Kie Kouya dan Loan Kounio!"
kemudian ia tambahkan. "Kita kaum Kun Lun Pay, selama
dua-puluh tahun belum pernah mengalami kejadian girang sebagai ini! Maka kita tidak usah perdulikan segala Kang Siau Hoo!"
Suaranya saudara ini ada berpengaruh, dalam sekejab
semua saudara angkatnya jadi bersemangat dan gembira.
Mereka itu lantas kerumuni Kong Kiat dan Ah Loan untuk menghaturkan selamat, hingga sepasang pengantin baru itu jadi repot.
Air matanya Ah Loan masih belum kering, pipinya telah
menjadi merah, segera ia lari keperdalaman, mencari
isterinya Cie Kang, Ciesie.
Kong Kiat ada girang luar biasa, ia sekarang seperti tidak pikirkan apa juga, ia bisa kongkou dengan gembira. Ia-pun pergi tengok Siau Kong, puteranya Cie Kiang, yang terluka, kemudian ia beritahukan bahwa ia mau sambangi ia punya bouku Tio Po Hok dikantor banknya paman itu.
Sebenarnya ia tidak cari pamannya, ia hanya mundarmandir didua jalan besar Timur dan Utara, akan paling
akhir ia pergi kesebuah bengkel besi yang biasa membuat alat-senjata untuk berbagai piausu dikota Tiang-an itu.
Disitu ada tersedia banyak macam senjata tajam.
"Ciang-kui-cu, apa disini ada sedia hui-piau?" ia tanya pemilik bengkel.
"Buat hui-piau mesti dipesan dahulu," tuan rumah
jawab. "Tuan dari piau-tiam mana?"
"Aku dan Lie Sun Piau Tiam di Lamtoa-kay," Kong
Kiat beri tahu.
Ciang-kui itu mengawasi, agaknya ia kurang percaya,
karena ia belum pernah lihat piausu ini, sedang piau-tiam itu ia kenal baik. Ketika Kong Kiat perkenalkan namanya, barulah orang jadi terkejut.
"Oh, Kie Toaya!" berseru ia. "Bukankah Toaya telah
pergi ke Tong-kwan untuk bekuk Kang Siau Hoo?"
"Aku sudah pulang," Kong Kiat bilang. "Sudah, kalau
kau tidak sedia piau, aku hendak pergi kelain bengkel!"
"Oh, ada, ada, Toa-ya!" kata tuan rumah itu, yang ubah sikapnya, malah ia terus masuk kekantornya, ia keluar
kembali bersama satu peti kayu dalam mana ada beberapa buah hui-piau mirip dengan kepala tumbak.
Kong Kiat lihat piau itu terlalu tebal dan berat.
"Piau ini dibuat pada beberapa tahun yang lalu," kata
tuan rumah, yang lihat tetamunya agak kurang penujui.
"Itu waktu Siau Kun Lun Toa-piau-tau serta Wa Moong
Sun Pa telah kena dilukai Gin-piau Ou Lip dari Cin Nia, orang sangka piau dari Ou Lip itu ada buatan Seean-hu, maka
pembesar disini dengan
resmi dan
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
secara persahabatan sudah larang semua bengkel besi membuat
piau, siapa yang langgar larangan itu, dia bakal dihukum, maka itu kita tidak buat piau lagi dan piau ini kita simpan.
Kalau bukannya Lie Toaya yang datang, pasti kita tidak berani keluarkan ini."
"Jikalau tidak sangat perlu, aku juga tidak akan datang membeli padamu disini," Kong Kiat bilang. "Engkongku
Liong Bun Hiap, selain pedangnya liehay, juga piau nyapun tidak pernah meleset, hanya piau kita tidak setebal dan
seberat ini. Sayang diwaktu berangkat dari rumah aku
sudah tidak bekal itu."
"Kalau begitu gampang, Toaya," kata tuan rumah.
"Coba Toaya buatkan contohnya, nanti aku membuatnya
menurut contoh itu, aku tanggung akan mirip benar
bentuknya."
"Baik," jawab Kong Kiat.
Tuan rumah itu segera sediakan pit dan kertas, maka
Kong Kiat lantas lukiskan gambarnya piau yang ia
inginkan, untuk mana ia berikan ukurannya juga ia pesan dua-puluh batang, ia pastikan harganya, malah ia berikan persekotnya. Kemudian ia tanya shenya tuan rumah.
"Aku orang she Hwie," sahut tuan rumah itu. "Toaya
tanya saja Kat Liok-ya tentang Hwie Toa dari bengkel besi Tek Hok di See Toa-kay, dia tentu kenal baik. Kat Liok-ya itu ada langgananku lama, semua golok Kun lun-too dari Lie Sun Piau Tiam ada buatanku disini."
Kong Kiat manggut, tetapi sebelumnya pergi, ia ambil
lima batang piau yang sudah jadi itu untuk persiapan saja.
Dalam perjalanan pulang ke piau-tiam, ditengah jalan ia beli kantong piau. Tidak jauh dan Lie Sun Piau Tiam ada sebuah tugu diujung tembok dimana ada ukiran lima huruf
"Tay San Sek Kam Tong," huruf "Tong"nya telah gugus
bagian atasnya hingga lima hurul itu jadi berbunyi "Tay San Sek Kam Siang." Melihat tugu itu, Kong Kiat ingat
suatu apa, maka ia mundur beberapa puluh tindak, ia
jemput dua potong batu, terus ia menimpuk, yang mengenai huruf "Tay." Ia jadi girang. Ia menimpuk ke dua kalinya ke arah huruf "San." Kembali mengenai sasarannya, ia jadi girang bukan main, hingga ia tertawa sendirinya.
Banyak orang yang saksikan pertunjukan perdio itu,
mereka mengharap pertunjukan dilanjutkan, akan tetapi
Kong Kiat sudah merasa puas, ia terus masuk kedalam
piau-tiam. Tidak lama datang saatnya bersantap, semun orang piautiam duduk bersama, Kong Kiat dan Ah Loan duduk
berendeng di kepala meja. Cie Kiang semua angkat cawan arak akan beri selamat pada sepasang mempelai baru itu.
Diam-diam Kong Kiat lirik isterinya, segera ia menjadi tidak puas. Ah Loan diam saja, ia tidak minum arak, dan tidak bicara juga. Ia bukannya lihat, ini disebabkan ia berduka.
Beruntung bagi Kong Kiat, beberap orang ada bicarakan
halnya Kang Siau Hoo, ia jadi gembira, bangkit pula
kejumawaannya. Dengan sudah siap piau, ia tidak jerih lagi terhadap musuh yang liehay itu. Karena bernapsu atau
mendongkol, pernah ia hajar meja dengan kepalannya.
Ah Loan sendiri sudah lantas meninggalkan meja pesta,
akan masuk kedalam. Ia masuk kekamar sebelah Timur,
yang Cie Kiang sediakan untuk ia dan suaminya. Ia duduk dipembaringan, ia masgul sekali, air matanya sudah lantas meleleh turun.
Belum terlalu lama, daun piatu terbuka dan Kong Kiat
bertindak masuk. Suami ini tidak tegur isterinya, tetapi ia bersenyum sebagai tanda menyinta.
Ah Loan tidak angkat kepalanya uutuk pandang suami
itu, ia hanya berbangkit dan turun dari pembaringan, terus bertindak keluar. Ia cari isterinya Siau Kong.
Ciesie, isterinya Ce Kiang, sedang sakit. Dua bujang
perempuan siap sedia merawati nyonya ini. Walau-pun
demikian, ia masih membutuhkan pelayanannya nyonya
mantunya, Thia Giok Go atau Thia sie. Maka sejak dua
bulan, Giok Go senantiasa repot saja. Ia telah mesti rawat
suaminya, yang dilukai Lie Hong Kiat hampir binasa, baru suaminya mendingan, sekarang ia mesti rawati mertuanya.
Ia ada kurus dan kucel, maka itu, ia iri hati melihat Ah Loan dengan kondenya si juita,. Baju dan celana mewah
terutama sepatu sulamnya yang indah, hingga ia jadi sangat kagum.
"Adiku, mari duduk disini," kata Giok Go dengan
ramah tamah. "Kenapa jadi pengantin kau jadi terlebih seeji dari pada dulu-dulu."
Mukanya Ah Loan kemerah-merahan, akan bersenyum.
Ia-pun duduk. Thia Giok Go mendekati tetamunya itu.
"Bagaimana sikapnya baba pengantin terhadap kau?"
tanya ia dengan pelahan ... "Pasti kau berdua saling
menyinta. Kau harus berdaya akan cari tahu tabiatnya
suamimu itu, untuk bisa kendalikan padanya, atau kau
nanti tidak berdaya. Suamimu itu gagah dan cakap,
namanya kesohor, di belakang hari dia bisa main gila diluar tahumu!"
Mukanya Ah Loan jadi semakin merah, tetapi ia-pun
mendongkol. "Enso, jangan kau godai aku!" kata ia dengan sungguhsungguh. "Adalah engkongku yang atur pernikahan dan
aku tidak berdaya ... " ia berhenti, hatinya sangat pepat, hampir air matanya mengalir turun. "Pernikahanku
dilangsungkan untuk menghadapi Kang Siau Hoo, supaya
merdeka, aku berdua melakukan perjalanan."
Giok Go tertawa, ia tetap beriri hati.
"Ya, sekarang kau merdeka," kata ia dengan tertawanya
sambil ia tepuk pundaknya Ah Loan. "Nanti datang
saatnya akan lenyapnya kemerdekaanmu. Kita orang-orang
perempuan ada banyak tidak merdekanya, tidak sebagai
orang lelaki, yang bisa selamanya merantau dalam dunia kangouw!"
Ah Loan tidak perhatikan itu, ia sedang mendongkol dan uring-uringan. Ia sebenarnya hendak menyingkir dari Thia-sie ini, akan kembali ke kamarnya, apamau dikamar itu ada Kie Kong Kiat yang lebih membangkitkan kejemuannya.
Tiba-tiba ia jadi sangat bersedih, ia tak dapat cegah lagi menetesnya air matanya.
Thia Giok Go terperanjat, hingga air mukanya berubah.
"Eh, kau kenapa adikku," tanya ia. "Apa kau gusar
kepadaku" Adikku, tadi aku gaukun saja ..."
Ah Loan seka air matanya sambil sebelah tangannya ia
goyang-goyang selagi ia hendak buka mulutnya, kesitu ada datang satu bujang perempuan, yang terus kata padanya:
"Nona Pau, Kie Kouya beri tahu dia hendak pergi
kerumah boukunya, ia suruh tanya nona hendatk turut atau tidak. Kereta sudah siap."
"Tentu saja nona akan turut!" berkata Thia-sie, yang
mendului tetamunya itu ... "Cucu mantu mana boleh tak
ketemui ku-kongnya"
Mendengar begitu, Ah Loan tepas air matanya, ia
manggut segera ia berbangkit akan ikuti bujang itu keluar.
Kong Kiat sudah siap, rambutnya yang hitam telah
disisiri dan dikepang rapi hingga jadi mengkilap, mukanya telah dicukur licin, bajunya thunghsa hijau tua, sepatunya dasar putih, tangannya mencekal kipas, hingga ia mirip dengan satu kongcu.
Ah Loan masuk ke kamarnya, untuk berpupur.
Kong Kiat awasi isteri itu berhias dengan ia berdiri di belakangnya.
"Aku telah bilang bahwa kau tidak perdulikan aku, aku
juga tidak mau perdulikan kau," kata ia dengin pelahan, sambil tertawa, "akan tetapi dikota Tiang-an ini. sanakku cuma satu, ialah bouku itu, maka selagi kau sudah menikah dengan aku, kau hargai aku atau tidak, sudah selayaknya kau tengok sanakku itu. Didalam, kita ada seperti orang-orang ditengah jalan, tetapi diluar kita mesti hunjuk bahwa kita ada suami-isteri yang saling menyinta, atau nanti orang curigai kita, apa bila hal kita ini sampai dikupingnya loo-ya-cu, pasti sekali dia akan jadi sangat bersusah hati ... "
Bukan main dukanya Ah Loan akan dengar perkataan
itu, tetapi ia masih tidak bilang sesuatu apa, begitu lekas sudah selesai, ia ikuti suami itu pergi keluar, terus ia naik kereta.
Kong Kiat duduk di depan, selagi kereta berjalan, ia
melihat kekiri dan kekanan, ke belakang juga, ia seperti sedang cari sesuatu. Ia-pun bekal pedang, yang ia letaki diatas kereta.
Tidak lama sampailah mereka di Yam-tiam-kay. dimuka
Kong Ek-Hok Cian-cong. Keduanya lantas turun dari
kereta, akan masuk kedalam cia-cong itu dimana segera
mereka bertemu kepada sanaknya. Tapi sepasang mempelal ini melainkan hendak hunjuk hormat, mereka tidak berdiam lama, lantas pamitan pulang.
Kembali Ah Loan bercokol dengan pikiran pepat dalam
kamarnya, sepasang alisnya seperti nempel satu dengan
lain, tidak pernah ia mau pandang suaminya.
Kong Kiat ada sangat tidak puas, hingga ia tidak betah berdiam didalam kamarnya itu. Ia pergi keluar, ia
berkeliaran akan cari Kang Siau Hoo. Ia telah pergikan
sesuatu rumah makan dan rumah teh, namun ia tak dapat
ketemukan orang yang ia cari itu. Ketika kemudian ia
pulang, ia lihat dimuka piau-tiam ada sebuah kereta besar dan tempo ia bertindak kekantoran, ia tampak Kat Cie
Kang asyik bicara kepada dua orang dengan dandanan
pembesar negeri.
Cie Kiang segera ajar kenal dua tetamunya itu pada
pemuda ini. Nyata mereka ada Heng-pong Sinshe Liu Jieya dari bagian kepolisian. Mereka itu girang bisa dikenalkan kepada cucunya Liong Bun Hiap atau cucu-mantu dari Pau Kun Lun, sikap mereka ada ramah-tamah.
Pendekar Panji Sakti 17 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 24
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama