Ceritasilat Novel Online

Golok Naga Kembar 4

Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Bagian 4


menabas kepalanya sedemikian dahsyatnya hingga pada detik itu juga ia jatuh roboh
di tanah tanpa sadarkan diri.
Sementara orang banyak yang menyaksikan kelihayan Sun Giok Hong yang begitu
mengejutkan hati, sudah barang tentu jadi sangat kagum dan menyambut
kemenangannya atas si orang she Lie dengan tepuk sorak yang riuh sekali.
Giok Hong kemudian menyuruh seorang pegawai mengambil setimba air, yang lalu
disiramkan pada kepala Lie Kiam Hong yang jatuh pingsan itu. Sesaat kemudian ia
siuman dan mendapatkan dirinya telah basah kuyup disiram air. Pada waktu ia
memeriksa kepalanya, dengan tangannya yang merabah kepalanya itu, ternyata di
situ tak kedapatan darah barang sedikit juga, hingga Kiam Hong yang melihat begitu
lantas paham bahwa Giok Hong tidak berniat mencelakainya. Diam-diam ia merasa
berterima kasih atas kebaikan lawannya, kalau tidak niscaya disaat itu juga jiwanya
telah berpulang ke alam baka.
Melihat Kiam Hong telah siuman, Giok Hong buru-buru mengangkatnya bangun
sambil meminta maaf bahwa ia barusan telah kelepasan tangan tanpa ia sendiri dapat
mencegahnya. Kiam Hong yang semula hendak melanjutkan pertempuran itu, ketika melihat sikap
Giok Hong yang begitu rendah hati dan hormat, hatinya jadi girang dan lalu berkata,
"Lo-tee, ternyata engkau adalah seorang yang bijaksana. Aku harus merasa malu atas
perbuatanku yang semberono itu. Bersamaan dengan itu aku bersumpah
dihadapanmu bahwa semenjak hari ini dan selanjutnya, aku Lie Kiam Hong yang
semula telah bersumpah untuk mengalahkan Thio Ciam Kui sehingga aku memperoleh
kemenangan, kini aku sudahi persoalan ini sampai disini, berhubung engkau telah
berlaku baik hati mengampuni nyawaku. Selamat tinggal Siauw-eng-hiong, semoga
engkau memperoleh kemajuan pesat dalam usahamu dikemudian hari".
Giok Hong mengantarnya sampai di luar pekarangan kantor Gie Cee Pio Kiok,
dimana Kiam Hong memberi salam perpisahan kepadanya dan meninggalkan tempat
itu dengan langkah yang lebar.
Thio Ciam Kui jadi sangat girang atas kemenangan muridnya itu, hingga ia
perintahkan orang-orang bawahannya untuk menyediakan sebuah meja perjamuan
sebagai tanda pemberian selamat menang perang kepada Giok Hong, kepada siapa ia
memuji, "Muridku, ternyata engkau dapat berlaku keras dan lemah lembut dengan
sekaligus. Ini sesungguhnya tidak kuduga sama sekali. Jika selanjutnya engkau bisa
berbuat demikian, sudah jelaslah bahwa engkau akan dapat
mempertahankan namamu sebagai salah seorang tokoh silat yang terbesar dalam
Rimba Persilatan di Tiongkok Utara".
Sun Giok Hong tidak menjadi sombong atau kepala besar karena pujian gurunya
yang begitu muluk, malah sebaliknya merendah dan mengatakan, bahwa semua itu
adalah merupakan jasa daripada orang yang menjadi gurunya juga. Kalau tidak,
bagaimana caranya ia dapat berbuat demikian dan mengenal tatakrama dalam dunia
persilatan".
Thio Ciam Kui jadi gembira sekali mendengar jawaban sang murid dan ia menahan
Giok Hong, Giok Tien dan para kusirnya berdiam di kota Cee-lam hingga 3 atau 4 hari
lamanya, kemudian baru pulang ke kota Thian-cin dengan perasaan hati lega dan
bangga atas kemenangan-kemenangan yang diperolehnya selama itu.
0oo0 SESAMPAINYA di kota Thian-cin, musim semi sudah hampir berganti dengan musim
kemarau, sedang tahun kerajaan Kong-sie telah hampir berakhir. Karena pemerintah
Boan-ciu yang memerintah di Tiongkok pada masa itu kian hari kian bertambah
buruk, maka negeri-negeri lain yang kuat dan berpengaruh, sehari demi sehari telah
berani menunjukan tingkah laku yang sombong dan menganggap remeh.
Diantaranya, terhitung bangsa Jepang yang paling brutal dan tidak mengenal
aturan. Para gelandangan bangsa Jepang yang mendapat bimbingan dari pemerintah
mereka untuk memata-matai dan merongrong negeri Tiongkok, mengacau dengan
seenaknya di pelabuhan-pelabuhan dalam wilayah Tiongkok Utara.
Berjual beli dengan paksa, dengan jalan kekerasan dan dengan gertakan,
memperkosa kaum wanita baik-baik serta memperdayakan anak negeri yang bodoh,
merupakan keistimewaan mereka di negeri orang. Lebih-lebih dalam hal
memperdagangkan obat bius seperti madat, morfin, dan lain sebagainya.
Setiap kali mereka melakukan kejahatan, mereka segera kabur ke konsesi asing,
sehingga polisi Boan-ciu tidak mudah dapat menangkap atau menghukum mereka.
Sedangkan pemerintahan Boan-ciu yang memang mereka takuti, seolah-olah
membutakan mata dan menulikan kuping atas segala perbuatan gila-gilaan yang telah
diperbuat oleh kawanan manusia-manusia gelandangan itu.
Di antara tempat-tempat yang pernah dikacaukan mereka, kota Thian-cin terhitung
sebagai kota yang paling malang. Selain kota Thian-cin terletak dekat dengan kota
Pakkhia, kedudukannya pun tergolong sebagai salah sebuah pelabuhan dagang yang
ramai dan besar di tepi lautan Pak-hay, yang juga merupakan pelabuhan yang
terdekat dengan beberapa propinsi timur, Cin-huang-tao, Cing-tao, dan lain
sebagainya, dimana bangsa Jepang mempunyai konsesi-konsesi.
Waktu Sun Giok Hong dan adik sepupunya Giok Tien pulang ke Thian Cin dan
mengurus kantor angkutan Hin Liong Pio Kiok, mereka kerap menerima laporan
tentang pelbagai macam kejahatan dan perbuatan yang sangat menantang terhadap
bangsa Tionghoa yang menjadi tuan rumah dalam negaranya sendiri. Ternyata di
sana tidak terdapat orang yang suka menghiraukan tantangan-tantangan itu, hingga
Giok Hong dan adik sepupunya gusar bukan main mendengar kabar tersebut.
Diantara rombongan para gelandangan bangsa Jepang itu, terdapat seorang yang
bernama Kimura Shiro, seorang ahli Judo yang baru berusia antara 27 atau 28 tahun,
berperawakan gemuk katai dan kuat sekali tenaganya. Ketika itu, Kimura Shiro
bertugas sebagai pejabat dinas istimewa berkedudukan di kota Thian Cin. Disamping
memata-matai soal-soal ketentaraan, iapun turut campur dalam penyelundupan
barang-barang gelap dan obat bius ke seluruh Tiongkok, dengan Konsul mereka selalu
melindungi segala perbuatan dan usaha rakyatnya yang tidak baik itu.
Kaki tangan Kimura Shiro selain terdiri dari beberapa belas orang bangsanya, iapun
punya begundal-begundal bangsa Korea dan para buaya darat Tionghoa yang
moralnya sudah terlampau bejat dan tak mungkin dapat diperbaiki lagi.
Mengambil barang-barang atau makan makanan orang tanpa mau membayarnya,
sudah menjadi kebiasaan kawanan bajingan ini. Bahkan karena tak ada orang yang
berani menentang atau melawan atas perbuatan mereka yang tak punya malu itu,
banyak macam lagi kegaduhan yang telah mereka timbulkan tanpa mengindahkan di
tanah siapa mereka sekarang berada.
Begitulah, jika mereka sudah kenyang makan dan mabuk-mabukan di kedai-kedai
yang pemiliknya selalu mandah tanpa berani menentang apa-apa, Kimura Shiro lalu
mengajak begundal-begundalnya memasuki rumah-rumah penduduk yang terdapat
banyak kaum wanita yang berparas cantik, yang lalu digertak dan diperkosa
sesukanya. Seolah-olah rumah penduduk itu adalah rumah pelacuran, dimana
sembarang orang boleh keluar masuk tanpa merasa segan-segan lagi. Semakin para
penghuninya ketakutan, semakin berani dan semakin kurang ajar pula kelakuan
mereka semua. Pada suatu ketika, ada seorang anak dara yang waktu berpapasan dengan si
Kimura telah diganggu dan hendak dijadikan korbannya. Nona itu telah mencoba
melawan, hingga saking gusarnya jago Judo ini telah menyekal nona itu dan lalu
dibantingnya sehingga tulang iganya patah dan meninggal saat itu juga. Demikian
juga seorang laki-laki yang hendak maju menolongnya, telah dikeroyok oleh kawanan
buaya darat itu dan kemudian diceburkan ke dalam laut. Setelah itu, mereka
bersorak-sorai kegirangan.
Kabar-kabar yang memanaskan hati orang itu telah sampai ke telinga Sun Giok
Hong setelah ia pulang dari Cee-lam. Giok Hong marah bukan kepalang dan
menggebrak meja sambil berseru, "Hai, sungguh kurang ajar sekali perbuatanperbuatan
iblis katai itu!. Jika di negeri orang mereka berani melakukan segala
perbuatan yang gila-gilaan serupa itu, entahlah bagaimana jadinya jika kita berada di
tanah air mereka sendiri!. Orang lain boleh gentar dengan mereka, tapi aku Sun Giok
Hong bukanlah orang yang bisa diperlakukan dengan seenaknya saja!. Jika rakyatnya
dihinakan, negaranya pun pasti akan diinjak-injak orang!. Aku bersumpah akan
melabrak kawanan bajingan asing itu sehingga mereka kapok akan perbuatan mereka
itu!". Pada petang hari itu juga Sun Giok Hong sengaja menuju ke kedai minum di sisi
pelabuhan, dimana Kimura dan para begundalnya kerap bergelandangan mencari
mangsa di petang hari.
Selagi asyik berjalan-jalan dengan langkah perlahan-lahan, tiba-tiba Giok Hong
melihat orang-orang yang semula lalu lalang di jalanan dengan tenang, jadi bingung
dan berjalan separuh berlari sambil berkata-kata, "Lekas menyingkir, Kimura dan
begundal-begundalnya tengah datang menuju ke sini!".
Mendengar kata-kata yang diucapkan orang itu dengan rupa ketakutan seperti itu,
Giok Hong justru telah berkata pada dirinya sendiri, "Sungguh kebetulan sekali.
Sekarang hendak kutengok bagaimana tampangnya si pengacau katai itu!".
Diwaktu orang-orang di jalan menyingkir secepat mungkin, adalah si pemuda she
Sun yang tetap tinggal berjalan-jalan dengan tenang, meski di dalam hati ia selalu
bersiap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan.
Beberapa orang yang tidak kenal dan mengira Giok Hong seorang desa yang baru
pernah berkunjung ke dalam kota, diam-diam merasa khawatir akan keselamatan
dirinya, tapi tidak berani memberitahukan peristiwa apa yang akan terjadi
selanjutnya. Karena rasa takut kepada kaki tangan Kimura yang kadang-kadang suka
menyamar sebagai rakyat biasa, membuat orang-orang yang berhati kecil semakin
khawatir kalau-kalau mereka nanti dianiaya oleh para begundalnya si iblis katai yang
keji dan tak mengenal perikemanusiaan itu.
Dari kejauhan, Sun Giok Hong melihat seorang Jepang yang bertubuh gemuk katai
tengah berjalan mendatangi dengan diiringi oleh beberapa orang begundalnya bangsa
Korea dan Tionghoa di kiri kanannya. Beberapa begundal yang lainnya mengikuti
mereka dari arah belakang.
Selama berjalan di jalan raya, tidak sedikit orang laki-laki atau perempuan yang
berpapasan dengan Kimura dan begundal-begundalnya ditempiling atau ditendang,
tanpa diketahui apa salah atau dosanya. Setelah itu, mereka tertawa terbahak-bahak
dan bersorak sorai. seolah-olah semua itu merupakan suatu permainan yang sangat
menyenangkan hati.
Kian lama mereka kian mendekat ke arah Sun Giok Hong, yang masih saja berjalan
dengan tenang tanpa menghiraukan para bajingan yang tampaknya sudah agak
mabuk itu. "Sungguh besar sekali nyalinya bocah itu!" kata Kimura ketika dengan sekonyongkonyong
ia melihat Sun Giok Hong tengah berjalan mendatangi ke arahnya. "Ayoh,
lekas seret dia dan hantam hingga setengah mati!".
Dua orang begundal bangsa Korea dan Tionghoa yang hendak mencari muka
dihadapan induk semangnya, tanpa ayal lagi segera hendak mencekal Sun Giok Hong.
Sebelum keburu turun tangan, mereka jadi terkesiap waktu menyaksikan "sang
mangsa" merandek dan menatap wajah mereka dengan angker sambil dengan cepat
menggerakkan kakinya untuk melibat mereka. Disaat itu juga, begundal-begundal
Kimura merasakan terjangan dua tangan yang keras ke arah dada mereka
dan.......Beeek! ........Beeeek!, mereka jatuh terlentang dan menjerit kesakitan
karena diri mereka terbanting ke tengah jalan raya!.
Itulah siasat Tui-cong-bong-goat atau menolak jendela untuk menjenguk rembulan
yang telah dilancarkan Giok Hong.
"Hai, engkau berani melawan anak-anak Dewa Matahari?" teriak Kimura dengan biji
mata seakan-akan hampir meloncat keluar karena amat marahnya. "Ayoh, keroyok
dia, hantam habis-habisan!".
Tanpa diperintah sampai dua kali, para pengiring Kimura yang semua paham ilmu
Judo, segera maju dengan serentak untuk menyekal Sun Giok Hong.
Giok Hong yang sudah pernah mendengar cerita orang tentang kelihayan Judo
Jepang, sudah barang tentu tidak berani menganggap enteng lawan-lawannya itu.
Giok Hong segera bersiap melakukan perlawanan kilat. Begitu melihat beberapa orang
begundal Kimura menghampiri dirinya untuk mengepungnya, Giok Hong lekas
mengambil posisi dengan membelakangi pagar tembok, kaki tangannya segera
dikasih bekerja untuk menumbuk, menyabet, menyodok atau menendang musuhmusuh
itu. Dengan gerakan secepat angin, dalam sedikit waktu saja Giok Hong telah
membuat beberapa orang begundal begundal itu jatuh terlentang, tengkurup dengan
kepala benjut atau badan babak belur. Kimura jadi sangat penasaran dan segera
melompat maju dengan maksud membanting mampus si pemuda, yang berlaku
berani mati itu dengan melukai anak-anak Dewa Matahari.
Kalangan pertempuran menjadi sunyi dan tegang, hanya terdengar tindakantindakan
kaki anak buah Kimura saja yang lari serabutan keluar kalangan
pertempuran. Mereka melihat induk semangnya maju perlahan-lahan sambil kedua
lengannya diangkat kemuka, jari-jarinya terbuka lebar, dengan sikapnya yang
garang. Kimura telah siap untuk menyerang Giok Hong, yang semula dianggap begitu
gampang untuk dibanting, seperti ia membanting anak dara beberapa waktu yang
lampau. Giok Hong tetap berdiri, ia tidak menyerang, tapi matanya dengan tajam
mengawasi si ahli Judo yang berpangkat Dan II itu. Dengan sikap ini, ia ingin
menjajal sampai dimana kelihayan cekalan Kimura, yang dengan perlahan tapi tetap,
maju menghampirinya. Ketika Kimura berhasil mencekal dada dan lengan baju Giok
Hong, terdengarlah teriakan-teriakan begundal-begundalnya si Jepang itu, "Banting
dia!. Patahkan batang lehernya!". Sementara Kimura yang hendak membanting
lawannya dengan tidak kepalang tanggung, segera menggoncang-goncangkan tubuh
Giok Hong dengan keras, untuk mencari-cari saat yang baik
dan............"Ciaaaat........!". Kimura Shiro telah menyerang sambil memekik keras
dengan siasat Tomoi-nage atau membuang lawan sambil menjatuhkan diri. Tapi
sayang, hasil dari bantingannya itu sungguh diluar dugaan si ahli Judo dan para
begundalnya. Begitu Giok Hong dilempar oleh musuhnya, dengan segera ia membarengi
memutarkan tubuhnya dalam siasat Yauw-cu-hoan-sin atau alap-alap membalikkan
badan, berputar di udara dan jatuh di suatu tempat yang terpisah beberapa belas kaki
jauhnya dengan kedua kakinya mendahului turun ke muka bumi!. Maksud Kimura
Shiro dengan siasat Tomoi-nage itu ialah untuk membenturkan kepala lawannya ke
tembok. Jelas dapat dilihat dari caranya ia membanting, yakni semula digoncanggoncangkan
dahulu tubuh sang lawan, lalu dengan cepat sekali ia menarik sambil kaki
kanannya ditunjangkan di perut lawan, lalu sambil terlentang di tanah ia lepaskan
tubuh lawannya di udara!. Sungguh diluar dugaannya, Giok Hong mendarat tepat
beberapa tindak lagi dari tembok, malah mendaratnya dengan kedua kaki terlebih
dahulu. "Bagero!" memaki Kimura dengan amat sengitnya. Ia merasa sangat kecewa
dengan bantingannya yang pertama itu, yang belum pernah gagal meminta korban
pada waktu-waktu yang lampau. Setelah itu, ia maju lagi menghampiri Giok Hong.
Kali ini Giok Hong tidak menunggu sampai Kimura menyerang, dengan cepat ia
mendahului menerjang dengan siasat Hek-houw-tauw-sim atau harimau hitam
mencuri hati, tinjunya meluncur ke arah ulu hati si Jepang. Kimura cukup gesit untuk
mengelakkan serangan itu, sambil mengegos ia balas menyerang dengan siasat Kataguruma
atau membanting dengan putaran pundak. Tangan kirinya hendak memegang
lengan kanan Giok Hong yang sedang menerjang ulu hati, sedang tangan kanannya
menyamber ke arah dada. Melihat demikian, Giok Hong batal menyerang, sebaliknya
ia berkelit dan menyekal tangan Kimura yang hendak mencengkeram dadanya.
Kimura kaget sekali dengan perobahan siasat itu, karena ia tidak menduga Giok
Hong dapat membatalkan serangannya demikian cepat dan berbalik hendak
menangkap tangannya. Tidaklah percuma ia diberi pangkat Dan II oleh perguruan
Judo di Jepang dahulu karena iapun segera dapat mengambil putusan dengan
melompat ke belakang untuk memperbaiki posisinya, lalu sambil menggeram ia
membabat dengan tangan yang jari-jarinya tegang lurus ke arah batang leher Giok
Hong. Terdengarlah suara bentrokan yang keras di tengah-tengah lapangan pertempuran
itu dan Kimura tampak tergoncang kuda-kudanya karena Giok Hong telah menangkis
dan sekaligus berhasil menangkap tangan itu. Sambil memperberat tubuhnya dengan
ilmu Cian-kin-tui atau terpendam karena berat ribuan kati, dengan ilmu ini ia seolaholah
nancap di tanah sehingga kedua kakinya itu tak bergerak sedikitpun. Dengan
demikian, sia-sia saja Kimura menarik untuk membanting atau melepaskan
tangannya yang dicekal si pemuda.
Kimura salurkan tenaga ke arah lengannya, dengan itu ia berniat untuk mendesak
serta memutuskan tenaga dalam Sun Giok Hong. Sayang, si orang she Sun pun tidak
tinggal diam saja lalu semakin mempererat cekalannya dengan ilmu Thiat-see-ciang.
Tampak tangan Kimura gemetar, mukanya meringis menakutkan dan akhirnya
berteriak, "Ampun...........!". Bersamaan dengan suara itu, Giok Hong tiba-tiba
melepaskan kedua cekalannya sambil membetot. Kimura terhuyung ke depan, tapi
mendadak ia jadi berdiri tegak dengan mata melotot, bagian depan celananya yang
bagaikan kedodoran karena kebesaran, kontan basah dengan air...........seninya!, lalu
roboh bercokol ke belakang. Karena Giok Hong telah menyerang selagi lawannya
terhuyung dengan siasat Thian-su-kay-in atau raja langit membubuhi stempel,
kepalannya menumbuk ubun-ubun Kimura dengan keras.
Giok Hong menantikan di tengah kalangan pertempuran sambil memasang mata ke
arah gundal-gundal musuhnya. Suasananya jadi tambah tegang, waktu tampak
Kimura merayap bangun dan berkata kepada anak buahnya dengan gusar, "Hai, tong
nasi, bantulah aku menangkap orang Cina celaka itu!". Lalu dengan tindakan
sempoyongan ia hampiri si pemuda, yang diam-diam merasa kagum juga akan
semangat banteng orang Jepang itu.


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi, Giok Hong tidak lagi ingin memberi hati untuk orang yang mengeroyok
dirinya. Waktu Kimura menerkam, ia telah putar tubuhnya, yang hanya terpisah
sedikit saja dari lawan. Dengan demikian ia dapat mengelakkan serangan itu dengan
manis sekali, berbareng dengan itu ia lantas ulur kedua tangannya menangkap kedua
tangan Kimura. Anak buah si Jepang yang melihat demikian, segera melancarkan pukulan-pukulan
dan tendangan-tendangan yang tidak mengenal ampun ke arah Giok Hong. Sesaat
kemudian mereka baru sadar, ternyata yang berteriak-teriak justeru Kimura sendiri,
karena sewaktu mereka menyerang serentak. Giok Hong yang bermata jeli telah
dapat melihat dan segera membetot sambil mendorong tubuh lawannya untuk
mewakilkan ia menerima "hadiah" itu.
Hal mana, sudah tentu telah membuat Kimura yang keliru dikeroyok jadi menjeritjerit
bagaikan babi yang sedang disembelih.
Giok Hong yang menyaksikan peristiwa tersebut, mau tak mau jadi tertawa geli
dalam hatinya. Kemudian ia gunakan suatu loncatan dengan siasat Tay-peng-ciongthian
atau garuda menerjang ke angkasa, tubuhnya mencelat keatas pagar tembok
dan ia menuding Kimura dan para gundal-gundalnya sambil membentak, "Hai,
kawanan tikus hutan!. Ayoh, enyahlah kamu dari sini!. Jika lain kali kamu berani
datang lagi mengacau di sini, akan kubikin tiada seorangpun anatara kamu mampu
kembali ke tempat kediamanmu!".
Sementara Kimura Shiro dan anak buahnya yang telah mengetahui bahwa si orang
she Sun tidak boleh dibuat gegabah, tanpa banyak bicara segera kabur sambil
memapah Kimura, masuk ke daerah konsesi Jepang. Sedang Sun Giok Hong kembali
ke kantor Hin Liong Pio Kiok dengan perasaan puas dan gembira.
Tatkala itu, kepala polisi pemerintah Boan-ciu yang bertugas di kota Thian-cin
adalah seorang kaum bangsawan Boan yang bernama Tong Sin Hui, seorang Bu-kiejin
(lulusan militer) yang berdisiplin dan jujur. Waktu mendengar peristiwa
perkelahian Sun Giok Hong dengan Kimura Shiro, ia segera paham bahwa Konsul
Jepang pasti takkan mau tinggal diam dalam menanggapi perkara keributan ini.
Lebih-lebih karena Kimura yang bertugas sebagai pejabat dinas istimewa dan terkenal
sebagai jago Judo jempolan, telah kena dipecundangi oleh Sun Giok Hong, sehingga
menderita luka-luka yang tak dapat dikatakan ringan di dalam tubuhnya.
Tong Sin Hui mendapat firasat tidak baik, karena jika nanti Konsul Jepang itu
mengadu kepada atasannya, tentu persoalan ini akan menjadi tambah gawat dan
Giok Hong bisa difitnah orang dengan secara keji. Untuk mencegah ini, ia lalu
memerintahkan seorang polisi berpakaian preman mengundang si pemuda she Sun
dari Hin Liong Pio Kiok, untuk dengan diam-diam menghadap ke kantornya.
Setelah Sun Giok Hong datang, Tong Sin Hui lalu menasehati agar si pemuda
segera memindahkan kantornya ke suatu tempat yang terletak agak jauh dari kota
Thian-cin. "Kalau tidak" katanya, "pasti engkau akan mengalami bencana besar!".
Sun Giok Hong yang mendengar nasihat tersebut, tidak lupa menyatakan terima
kasihnya, tapi ia tambahkan juga dengan berkata, "Tong Tay-jin" demikian Giok Hong
mulai. "Tayjin sebagai seorang yang bertanggung jawab penuh atas tata tertib di kota
Thian-cin ini, seharusnya bertindak dengan cara keras, tegas dan menurut hukumTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hukum yang telah ada untuk melindungi rakyat yang diperlakukan orang dengan
sewenang-wenang. Tidak heran sekarang bangsa Jepang telah berani bertindak diluar
batas kesusilaan, tanpa memandang muka lagi kepada pihak yang berwenang seperti
anda ini. Apakah barang kali Tay-jin mendapat ancaman, sehingga Tay-jin jadi
ketakutan setengah mati terhadap mereka?".
Tong Sin Hui yang mendengar kecaman tersebut, sebagai seorang yang berhati
jujur, ia tidak menjadi gusar, malah telah membenarkan kata-kata itu. Tidak lupa ia
menyampaikan duduknya perkara yang benar tentang politik pemerintah Boan-ciu
terhadap bangsa Jepang. Sambil menghela napas, ia berkata, "Lo Sun, aku tidak
salahkan kecamanmu itu, tapi engkau tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya
tengah kuhadapi kini. Aku sendiri bukan takut pada bangsa Jepang, terus terang saja
aku memang takut melanggar perintah Lo-hud-ya (Kok-bo atau Ibusuri Cie Hie, ibu
kandung kaisar Kong Sie, Ceng Tek Cong). Beliau melarang aku dengan keras untuk
bertindak atau melakukan sesuatu yang dapat menyinggung perasaan bangsa Jepang.
Karenanya, aku tak berdaya untuk bertindak sebagaimana tugasku sebagai seorang
kepala polisi".
"Sikap Tay-jin yang selalu mengalah kepada bangsa Jepang itu" kata Sun Giok
Hong, "pasti takkan memberi akibat yang baik bagi diri Tay-jin sendiri. Mereka yang
diberi kelonggaran sejengkal, kesudahannya akan minta hingga sedepa. Jika diberi
bahu, mereka akan minta kepala. Siasat ini kesudahannya akan menyulitkan kita
juga". "Apa katamu itu" kata Tong Sin Hui, "memanglah benar dan masuk di akal. Tapi,
kenyataannya sangat berat dan membuatku serba salah. Jika aku mengalah, sudah
pasti aku akan diinjak oleh bangsa Jepang, jika aku bertindak sebagai seorang kepala
polisi yang berwenang, aku akan dapat marah dari Ibusuri. Cobalah pertimbangkan
olehmu, jika engkau berada dalam kedudukanku, cara bagaimanakah engkau
mestinya bertindak terhadap persoalan yang rumit ini?".
Giok Hong jadi bungkam sejenak, berhubung dia sendiripun jika ditempatkan pada
kedudukan Tong Sin Hui disaat itu, benar-benar akan sulit juga untuk dapat
memecahkan persoalan yang sepelik itu. Iapun terpaksa minta maaf atas
kecamannya yang hanya menuruti perasaan hatinya saja, sama sekali tidak ia
pikirkan bagaimana prakteknya nanti. Syukur juga disaat itu suatu pikiran baru telah
muncul dalam hati si pemuda she Sun, yang lalu berkata kepada kepala polisi she
Tong itu sebagai berikut:
"Tay-jin, aku ada suatu saran untuk mencegah kaum gelandangan asing itu datang
mengacau pula ke dalam kota Thian-cin".
Tong Sin Hui menanyakan saran apa yang sedang dipikirkan si pemuda, Sun Giok
Hong lalu menjawab, "Aku ini adalah seorang rakyat biasa, kalau sampai kejadian aku
berkelahi dengan siapapun, itu merupakan satu perkara yang tidak aneh dan biasa
saja. Aku belum puas sebelum menghantam sehingga mereka kapok dan merasa
segan untuk membikin ribut lagi di dalam kota. Agar tidak menyukarkan Tay-jin, aku
akan berpura-pura mabuk dalam perkelahian itu, karena orang yang mabuk tidak
sadar akan segala perbuatannya. Apakah Tay-jin dapat menyetujui usulku ini?".
"Siasat yang baik sekali!" Tong Sin Hui memuji. "Jika perkelahian itu terjadi di luar
kota, ditambah lagi engkau berpura-pura mabuk, sudah tentu bukan menjadi
tanggung jawabku untuk mengusik-usik urusan ini".
Sun Giok Hong jadi girang dengan jawaban itu, segera ia minta diri untuk pulang ke
kantor Hin Liong Pio Kiok untuk berembuk dengan adik sepupunya Giok Tien. Mereka
telah mupakat agar perusahaan angkutan Hin Liong Pio Kiok menghentikan dahulu
usahanya untuk sementara waktu, kemudian memindahkan kantor mereka ke SeeTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
pou-tun yang terletak 20 lie jauhnya di luar kota Thian-cin. See-pou-tun ini
merupakan sebuah kota kecil yang keadaannya boleh dikatakan ramai juga karena
penghuninya mencapai jumlah 2000 sampai dengan 3000 orang banyaknya.
Setelah selesai menyewa rumah untuk tempat kediaman, maka diam-diam Giok
Hong telah menyuruh orang bawahannya menyiarkan kabar burung di daerah kota
Thian-cin, teristimewa yang berdekatan dengan konsesi Jepang, bahwa Sun Giok
Hong tidak berani tinggal dalam kota Thian-cin, hingga selekas mungkin pindah ke
See-pou-tun. Semenjak kena dihajar oleh Sun Giok Hong dan keliru dikeroyok oleh anak buahnya
sendiri, Kimura Shiro meringkuk di ranjang dalam keadaan luka-luka di asramanya di
dalam konsesi Jepang. Waktu mendengar kabar bahwa Sun Giok Hong telah pindah
ke See-pou-tun karena ketakutan, hatinya jadi gusar bukan main dan segera
memikirkan jalan untuk menuntut balas.
Karena dia masih dalam keadaan sakit, dengan segera ia memerintahkan salah
seorang anak buahnya yang bernama Nakao Yoshikawa yang terkenal lihay ilmu Judo,
untuk mengajak 6 orang kaki tangannya pergi menyatroni Sun Giok Hong di See-poutun.
Mereka menyamar sebagai orang-orang Tionghoa dan membawa senjata tajam
yang disembunyikan di bawah pakaian masing-masing.
Meski mereka bertujuh menyamar sebagai orang-orang Tionghoa, tidak urung
bentuk wajah dan gerak-gerik mereka menunjukkan dengan jelas, bahwa mereka
semua adalah bangsa Jepang. Lebih-lebih mereka sukar menghindarkan kepalsuan
mereka diwaktu bercakap-cakap, yang aksen dan caranya sama sekali tidak mirip
dengan apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang Tionghoa.
Apa mau dikata, selagi mereka mencari-cari di mana tempat kediamannya Sun
Giok Hong, tiba-tiba mereka telah dapat dilihat oleh salah seorang anak semang Sun
Giok Hong yang bernama Lauw Hui. Ia segera melaporkan kepada induk semangnya
tentang kedatangan mereka itu.
"Ternyata siasatku telah kelihatan hasilnya" kata Giok Hong sambil tersenyum.
"Sekarang hendak kupasang jaring untuk menjebak mereka sekalian".
"Orang yang memimpin kawanan gelandangan Jepang itu" kata Lauw Hui, "adalah
seorang yang bertubuh tegap dan agaknya bertenaga kuat sekali. Demikian juga
dengan perawakan keenam orang anak buahnya itu. Harap Su-hu suka berlaku hatihati".
"Tak usah engkau khawatir" kata si pemuda she Sun, "aku ada satu cara untuk
menghadapi mereka".
Setelah itu, ia panggil Sun Giok Tien, untuk bersama-sama Lauw Hui dan seorang
anak buah yang lainnya bersembunyi di dalam hutan yang terletak kira-kira 15 lie
jauhnya di luar kota See-pou-tun. Ia sendiri, sudah menukar pakaiannya dengan
seperangkat pakaian yang ringkas, lalu membawa sebilah badik beracun yang
diselipkan di pinggangnya. Ia sengaja berjalan-jalan ke dalam pasar, dimana ia
kebetulan melihat dari kejauhan Yoshikawa sedang bertanya dengan menggerakgerakkan
tangannya kepada seorang yang kebetulan dijumpai di jalan raya.
"Sudah tentu dia hendak menanyakan di mana tempat tinggalku" pikir si pemuda.
Ketika ketujuh orang gelandangan itu melanjutkan pula perjalanan mereka, Giok
Hong lalu sengaja mendekati. Mereka berjalan tanpa mengindahkan orang lain yang
berjalan mondar mandir di situ, hingga orang banyak jadi merasa seram. Setelah
dapat mengenali siapa orang-orang itu, lekas-lekas mereka menyingkir jauh-jauh
untuk mencegah pertikaian.
"Bagus, memang beginilah cara mereka yang paling kuharapkan" kata Giok Hong di
dalam hatinya. Dengan menyingkirnya orang banyak dari jalan raya, ia dapat
bergerak dengan leluasa jika bertempur nanti.
Waktu kedua pihak saling berpapasan, Yoshikawa dan kawan-kawannya jadi
merandek memandangi si orang she Sun. Kemudian salah seorang diantaranya
menuding kepada Sun Giok Hong dengan maksud memberitahukan kepada induk
semangnya, "Ini dia orangnya yang sedang kita cari!" katanya dengan keras.
"Siapa engkau?" bentak Yoshikawa yang masih ragu-ragu.
"Hm.............!. Berdirilah biar kuat, sehingga engkau tidak roboh waktu
mengetahui siapa aku!" kata Giok Hong mengejek. "Aku adalah SunGiok Hong, orang
yang telah menghajar Kimura Shiro!".
Mendengar kata-kata itu, Yoshikawa jadi sangat gusar. Kemudian sambil
memberikan tanda kepada kawan-kawanya untuk mengurung si pemuda, ia segera
maju ke tengah kalangan.
Sikap menyerangnya sama benar dengan apa yang pernah diperlihatkan oleh
Kimura, yakni kedua lengan diangkat kemuka, yang kiri lebih tinggi sedikit dari yang
kanan, waktu maju ia tidak melangkah, hanya kaki kirinya bertindak sambil menyeret
kakinya yang kanan. Yoshikawa tergolong satu tingkat lebih rendah daripada Kimura
dalam urusan pangkat Judo. Tapi, tidaklah dapat dikatakan bahwa orang yang
berpangkat Dan II selalu dapat mengalahkan orang yang pangkatnya lebih rendah,
karena dengan kepandaian khusus serta kelincahan, seseorang dapat juga
mengalahkan atau merobohkan oang yang pangkatnya lebih tinggi. Pangkat "Dan"
diberikan sebagai penghargaan atas pengabdian atau pengalaman seseorang kepada
ilmu tersebut. Giok Hong lalu ke suatu sudut, dengan membelakangi tembok ia menantikan
datangnya Nakao Yoshikawa beserta kawan-kawan. Jalan raya jadi lowong dan sunyi,
tak seorangpun kelihatan di situ kecuali 7 orang yang sedang mengurung seorang
Tionghoa. "Ciaaaaaat!" Yoshikawa telah memecahkan kesunyian dengan teriakannya yang
santar sambil menabas batang leher Sun Giok Hong dengan telapak tangannya. Si
Pemuda lekas geser kaki kirinya sambil mengelak sedikit, dan baru saja tangan itu
lewat di atasan kepalanya, Yoshikawa telah melancarkan tendangan ke arah dadanya.
Kali ini ia tidak sungkan-sungkan lagi untuk membalas, sambil geser tubuhnya ke
kanan, tangan kirinya menahan kaki lawan dan berbareng dengan itu, tinju kanannya
menotok sedikit bagian paha lawannya yang lemah dan..............."Ah!". Yoshikawa
berteriak saking geli dan kagetnya, karena pukulan Giok Hong tepat mengenai paha
mudanya. "Kurang ajar!" bentak Yoshikawa yang jadi semakin gusar dan sengit. Lalu ia
menerjang dengan maksud menabrak jatuh lawannya, baru kemudian "mengunci"
dengan siasat Shime-wasa atau ilmu cekikan Judo.
Giok Hong pasang matanya dengan tajam ke arah Yoshikawa yang sedang
menerkam, ia tunggu sampai tubuh lawannya itu datang dekat benar, baru dengan
cepat ia mengegos sambil melancarkan siasat serangan Tok-pek-hoa-san atau dengan
sebelah tangan membelah gunung Hoa-san. Telapak tangannya memenggal
batang leher Yoshikawa dengan satu teriakan, "Aaaaaaaaaa!" dan ........"Buk!".
Yoshikawa tanpa dapat ditahan lagi telah menabrak tembok!.
Giok Hong tertawa mengakak.
Yoshikawa cepat bangkit, walaupun masih merasa pusing karena bertabrakan
dengan tembok. Setelah itu ia menghunus senjatanya sambil memberi isyarat, yang
memang telah diatur dimuka kepada anak buahnya, untuk dengan serentak mereka
menerjang Giok Hong.
Sementara Sun Giok Hong yang melihat gelagat tidak baik, lekas-lekas pergunakan
siasat Yan-cu-chut-lim atau burung walet terbang keluar rimba, tubuhnya mencelat ke
luar kalangan pertempuran dan kabur menuju ke dalam rimba, dimana Sun Giok Tien
dan Lauw Hui serta seorang anak semangnya tengah menantikan musuh.
Tidak sadar bahwa semua itu adalah siasat belaka, Yoshikawa dan kaki tangannya
segera mengejar bagaikan sekawanan pemburu yang sedang mengepung binatang
buruannya. Tatkala berkejar-kejaran sehingga 15 lie jauhnya dan akhirnya tiba di suatu jalan
kecil di dalam rimba yang sunyi dan jarang dilewati manusia, barulah Giok Hong
berhenti. Di situ ia memberi isyarat dengan siulan kepada adik sepupu dan dua orang
semangnya, yang segera maju dari kiri kanan untuk membantunya melawan
Yoshikawa dan enam orang anak buahnya.
Melihat Giok Hong tengah berdiri menantikan beserta Giok Tien dan kawankawannya,
Yoshikawa merandek dan dengan tajam melirik ke arah musuh-musuhnya
berkumpul. Setelah itu mereka berpencar, lima orang menghampiri Giok Tien, Lauw
Hui dan kawannya, sedang Yoshikawa sendiri bersama seorang kawannya
menghadapi Giok Hong.
Ahli silat Jepang itu yang menganggap Giok Hong takut kepadanya, segera maju
untuk menerjang terlebih dahulu dengan siasat De-ashi-barai atau dengan kaki
membanting lawan. Tangan kanannya bergerak menyamber ke arah dada, tangan
kirinya ke lengan baju Giok Hong. Dengan siasat ini, ia bermaksud dengan tiba-tiba
dan keras membetot tubuh lawannya ke samping kiri, sambil kaki kirinya dipalangkan
di atas mata kaki kanan lawan. Dengan demikian, keseimbangan lawan akan buyar
dan dengan mudah saja ia dapat merobohkan lawannya itu.
Giok Hong segera menyampok, lalu dengan gerakan kilat ia telah berada di
belakang Yoshikawa, yang jadi terkejut sewaktu mendapat kenyataan bahwa
musuhnya mendadak sudah "hilang" dari pemandangannya. Berbarengan dengan itu,
ia rasakan tubuhnya terangkat sedikit, lalu terputar-putar di udara untuk akhirnya
"terbang" dan menghantam pohon!.
Ternyata waktu berada di belakang lawan. Giok Hong sambil membungkukkan
badannya telah berhasil menghimpit kedua belah kaki Yoshikawa yang lalu diputar
dengan keras sembari memutar badannya sendiri.
Yoshikawa rasakan kepalanya pusing, sekujur badannya ngilu dan matanya
berkunang-kunang. Untuk tidak menunjukkan kelemahan dirinya sendiri, ia segera
bangkit dan mengambil badiknya yang tergeletak di tanah, yang mungkin terjatuh
waktu ia dilemparkan.
Acuh tak acuh, dipungutnya badik itu dan dengan satu pekikan nyaring ia
menyerang Giok Hong secara tiba-tiba.
Giok Hong geser kaki kanannya untuk mengelakkan tikaman, sungguh diluar
dugaannya, tikaman Yoshikawa itu hanya satu gerak tipu saja. Waktu tikaman kedua
menerjang, Giok Hong lekas-lekas berkelit, tapi............"Bretttt!" baju bagian bawah
ketiaknya jadi tersobek!.
Tercetuslah suara tertawa Yoshikawa yang panjang dan seram, karena ia merasa
puas sekali dengan hasil serangannya itu yang telah melukai kulit musuhnya. Meski
tidak parah, tapi mengeluarkan juga sedikit darah.
Bagaikan orang kesetanan, Yoshikawa menyerang lagi, serangannya bertubi-tubi
dan dahsyat mengarah bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Giok Hong berkelit, mengegos, lompat mundur untuk mengelakkan seranganserangan
itu, hingga pada suatu saat ia dapat menggunakan siasat Eng-jiauw-kun
untuk menyekal pergelangan tangan Yoshikawa sambil menyerang dengan siasat
Keng-thian-tang-tee atau mengejutkan langit, menggetarkan bumi. Jari-jari
tangannya terpentang lebar dan kaku mencengkeram muka lawannya. Terdengar
Yoshikawa menjerit tertahan dan tampak dengan tiba-tiba ia melepaskan badiknya,
lalu roboh bergulingan ke belakang sembari menutup muka dengan kedua telapak
tangannya. Dari celah-celah jarinya merembes keluar benda cair kental
merah.........darah!.


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak dapat melihat!. Aku tak dapat melihat!" teriak Yoshikawa serak, "Aku
telah menjadi buta!".
Anak buah Nakao Yoshikawa yang tidak dapat kesempatan untuk membantu
karena takut salah turun tangan, segera menimpuk dengan badiknya. Dengan mudah
saja Giok Hong dapat mengelakkan, setelah itu dengan siasat Kui-seng-tek-tauw atau
bintang Kui menendang gantang, ia menendang dada lawannya yang jadi terpental
dan memuntahkan darah dari mulutnya.
Dilain pihak, Sun Giok Tien bersama dua orang kawannya telah maju menerjang
kelima orang gelandangan yang lainnya dengan toya dan golok. Lawan yang hanya
bersenjatakan badik saja, sudah tentu tidak mungkin memperoleh kemenangan.
Setelah pertempuran berlangsung beberapa jurus lamanya, seorang diantaranya telah
kena dirobohkan. Yang seorang pecah kepalanya, sedang seorang yang lainnya
menderita luka-luka parah, hingga mereka meringkuk di sisi jalan dalam keadaan
tidak ingat orang.
Dua orang gelandangan lainnya, yaitu seorang Korea dan seorang Jepang yang
berniat kabur, terlebih dahulu telah dikepung oldi Sun Giok Tien dan dua orang
kawannya. Setelah kedua pihak bertempur dengan amat hebatnya, mereka itupun
telah kena juga dirobohkan dan jatuh pingsan.
Setelah ketujuh orang itu telah dirobohkan dan jatuh pingsan, barulah Giok Hong
mengajak Giok Tien dan anak-anak semangnya meninggalkan rimba itu secepat
mungkin. Orang-orang Jepang telah cukup terkenal diantara rakyat Tionghoa sebagai orangorang
jahil dan suka mengacau disana sini, maka tiada seorangpun suka datang
menolong atau melaporkan kejadian tersebut kepada kantor polisi setempat. Diantara
mereka yang pernah dianiaya, dirugikan serta dicemarkan kaum wanitanya, segera
mengambil kesempatan membalas dendam selagi musuh-musuh mereka itu tidak
ingat orang. Dengan tidak segan-segan mereka lalu memukuli orang-orang
gelandangan yang pingsan itu sehingga pecah batok kepalanya dan mati, kemudian
membakar mayat-mayat mereka di dalam hutan sehingga menjadi abu.
Demikianlah pembalasan rakyat yang lemah kepada mereka bertujuh.
Kemudian Sun Giok Hong mengajak Sun Giok Tien, Lauw Hui dan beberapa anak
semangnya pindah ke Shanghai untuk mencari nafkah di sana.
0oo0 VII BERSAMAAN dengan itu, Ciang-bun-jin atau ahli waris Bie Ciong Pay, Ho Goan Ka
telah membuka rumah perguruan silat Ceng Bu Hwee di Shanghai. Ho Goan Ka yang
pernah mendengar nama Sun Giok Hong dan mengagumi kepandaian ilmunya yang
tinggi dan semangatnya yang patriotis.
Maka pada suatu hari datanglah Ho Goan Ka untuk berkunjung ke tempat
kediaman Sun Giok Hong serta mengundangnya untuk membantu mengajar silat di
rumah perguruan silatnya. Disamping menjadi guru silat dari perkumpulan Ceng Bu
Hwee, Sun Giok Hong pun menerima undangan Jenderal Phang Giok Siang untuk
mengajar silat dalam angkatan perang yang dipimpin Jenderal itu. Nama Sun Giok
Hong dengan cepat menjadi tersohor dalam kalangan persilatan di daerah barat laut
Tiongkok. Dalam buku ini, kami tidak menyangkut pautkan riwayat hidup Sun Giok Hong
dengan masa peralihan antara pemerintah Boan-ciu dan Negara Republik Tiongkok,
yang diproklamirkan oleh Dr. Sun Yat Sen dan kawan-kawan seperjuangannya.
Dapat dikatakan, setelah tiba pada Tahun Pertama dari Negara Republik Tiongkok,
dimana rumah perguruan silat Ceng Bu Hwee sedang tenar namanya diantara rakyat
negeri Tiongkok.
Guru-guru silat kenamaan dalam Ceng Bu Hwee di masa itu, selain Sun Giok Hong,
juga terhitung ahli-ahli silat cabang Tong Long Pay atau ilmu silat cengcorang yang
bernama Lo Kong Giok, Tan Cu Ceng, Kou Lu Ciang dan lain-lain.
Sun Giok Hong yang mempunyai nama julukan Ngo-seng-to-ong, dalam waktu
singkat telah menjadi terkenal dan membuat tidak sedikit ahli-ahli silat yang lainnya
merasa iri hati. Tidak jarang ada yang secara sengaja datang menjumpainya dengan
maksud menjajal ilmu kepandaiannya. Tidaklah heran jika orang-orang yang menjadi
guru silat kurang ilmu kepandaiannya, dalam waktu singkat akan terguling, nama
baiknya akan hancur dan rumah perguruan silatnya pasti mengalami kebangkrutan.
Sedang orang-orang yang ilmu kepandaiannya sudah cukup serta mempunyai
banyak kawan dalam Rimba Persilatan, barulah dapat mempertahankan diri dan hidup
lebih terjamin daripada ahli-ahli silat yang hidup menyendiri. Tapi semua hal di atas
itupun belum dapat memberi jaminan, dan hal itupun tidak luput dialami juga oleh
Sun Giok Hong sendiri.
Pada suatu hari, setelah selesai mengajar ilmu silat dan tengah mengobrol dengan
beberapa orang rekan-rekannya di ruangan tengah gedung Ceng Bu Hwee, tiba-tiba
ada seorang pesuruh yang mengabarkan kepada Sun Giok Hong bahwa di luar ada
seorang tamu she Lauw dari propinsi Ouw-lam yang ingin bertemu. Orang itu kini
tengah menantikannya di luar, kata pesuruh tersebut.
Giok Hong menanyakan bagaimana wajah orang itu. Si pesuruh lalu menjawab,
"Tamu itu berusia kira-kira 50 tahun. Ia mengenakan pakaian dari cita kasar dengan
angkin yang dibuat daripada cita biru. Perawakan orang itu tegap, kekar dan kuat,
romannya angker dan gerak-geriknya gesit, suatu tanda bahwa dia paham ilmu silat.
Ia datang ke sini bersama seorang perempuan muda yang usianya diduga baru 20
tahun. Ia berpakaian sebagai seorang wanita desa, tapi parasnya masih dapat
digolongkan pada perempuan cantik. Ia bertubuh sehat dan kuat, sedang gerakgeriknya
menandakan bahwa diapun mahir ilmu silat".
"Mereka dengan aku tidak saling mengenal" kata Sun Giok Hong, "tapi tanpa sebab
mereka telah datang ke sini untuk mencariku. Apakah barangkali mereka hendak
menjajal ilmu kepandaian silatku?".
Salah seorang rekannya jadi tersenyum dan timbul pikiran untuk berkelakar.
"Sun Chit-ya yang berusia masih muda dan sudah mempunyai nama yang begitu
tenar" katanya, "sudah tentu saja menarik perhatian banyak orang. Kali ini tidak
mustahil ada orang yang datang hendak mengambil Chit-ya sebagai menantu. Siapa
tahu nasib baik Chit-ya mulai terbuka pada hari ini?".
Giok Hong jadi merah wajahnya karena jengah. Tidak urung ia segera keluar juga
untuk menyambut kedua orang tamu laki-laki dan perempuan itu.
"Apakah Tiang-jin ini bukan Lauw Su-hu yang dikatakan oleh pesuruh kami itu?"
kata si pemuda sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Aku yang rendah
bernama Sun Giok Hong. Belum tahu Tiang-jin ada keperluan apa datang
mencariku?".
"Lo-hu she Lauw bernama Peng Kit" kata orang laki-laki setengah tua itu, "kami
berasal dari kewedanaan Sin-ciu dalam propinsi Ouw-lam, murid Gan Eng Hok yang
menciptakan ilmu silat karena melihat burung bangau putih bertempur dengan seekor
ular, yang mana kemudian menyiarkan ilmu silat tersebut dengan nama Pay-kun atau
ilmu silat yang berdasarkan dari delapan jurus. Lo-hu yang semenjak masih muda
gemar ilmu silat, telah mempelajari ilmu silat tersebut sehingga beberapa tahun
lamanya. Kami berdua ayah dan anak perempuan telah jalan merantau dari satu
propinsi ke lain propinsi untuk mencari guru silat dan kawan seperjuangan untuk
memperdalam ilmu silat kami. Setibanya kami berdua di kota Shanghai ini, kami
mendengar orang bercerita bahwa Sun Chit-ya sangat mahir dalam ilmu Eng-jiauwkun.
Kami akan merasa girang sekali jika Sun Chit-ya sudi memberikan sedikit "
pelajaran untuk membantu memperluas pengetahuan kami tentang ilmu
kepandaianmu yang tinggi itu".
Sun Giok Hong mendengar pembicaraan orang tua itu dan langsung ia ketahui
bahwa ia hendak dijajal ilmu kepandaiannya. Untuk tidak menunjukkan kelemahan
dirinya sendiri, iapun menyatakan kesediaannya untuk meladeni "tantangan halus"
orang she Lauw itu sambil menanyakan syarat-syarat apa saja yang diinginkannya.
"Ilmu Eng-jiauw-kun Sun Chit-ya sudah sangat terkenal disamping ilmu golokmu
yang telah membuat engkau memperoleh nama julukan Ngo-seng-to-ong" kata Lauw
Peng Kit sambil tertawa, "Lo-hu sendiri telah pernah juga memperoleh nama kecil
karena kemahiranku dalam ilmu silat Ho-heng-kun atau ilmu silat bangau. Yang
pertama-tama, ijinkanlah aku menjajal ilmu Eng-jiauw-kun itu".
Setelah berkata demikian, orang Ouw-lam itu berdiri tegak di ruangan tengah
sambil menantikan jawaban si pemuda she Sun.
Giok Hong kemudian mengabulkan permintaan Lauw Peng Kit itu.
Sesudah kedua belah pihak bersiap-siap dan mengikat erat-erat angkin masingmasing,
lalu Giok Hong menyoja sambil berkata, "Lauw Su-hu berkedudukan sebagai
tamu sedangkan aku sebagai tuan rumah. Karena itu aku lebih suka mengalah apabila
diserang olehmu sehingga tiga kali. Harap Lauw Su-hu boleh segera mulai".
Lauw Peng Kit mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Ia maju menerjang
dengan jurus Tiang-kio-pauw-kun atau dari jembatan panjang meluncurkan pukulan,
yang berasal dari ilmu silat Pat-kun (nama singkatan dari Ho-heng-kun), kemudian
disusul dengan pukulan Tok-pek-hoa-san atau dengan sebelah tangan membelah
gunung Hoa-san, yang dilakukannya dalam gerak yang luar biasa sekali cepatnya.
Giok Hong lekas menggerakkan tangan kanannya dan menangkis pukulan si orang
she Lauw dengan mengubah gerak Eng-jiauw-kun menjadi Kim-na-ciu, ilmu silat
kaum Siauw-lim untuk menangkis serta menyergap musuh. Dengan itu ia berniat
menyekal pergelangan tangan Lauw Peng Kit, tapi si orang she Lauw yang ternyata
dapat bergerak sangat gesit itu, segera putar haluan untuk melejit sambil
mengirimkan satu tendangan kilat ke ulu hati Sun Giok Hong.
Ketika Giok Hong menabas kaki musuh dengan telapak tangan dalam gerak Thiatseeciang, lekas-lekas si orang she Lauw menarik kakinya sambil melompat mundur
tiga tindak jauhnya. Ia bergerak sedemikian gesitnya dan tatkala mundur sejauh 8
atau 9 kaki, barulah ia mengulangi memasang kuda-kuda sambil tersenyum dan
berkata, "Kelihayan Lo Sun sesungguhnya buka omong kosong belaka. Lo-hu sudah
bertahun-tahun merantau di kalangan Kang-ouw dan bukan Lo-hu takabur, tapi
belum pernah ada seorangpun yang sanggup bertempur denganku sampai tiga jurus.
Kini Lo-hu baru menemui seorang lawan tangguh sepertimu, hingga Lo-hu jadi sangat
gembira dan untuk itu Lo-hu mesti memuji setinggi-tingginya kepandaianmu itu!".
Bersamaan dengan itu, Lauw Peng Kit segera mencelat ke atas dan bagaikan orang
terjun ke dalam sungai, mempergunakan kedua buah tinjunya untuk menghantam
batok kepala si pemuda. Sun Giok Hong yang selalu berlaku waspada, lekas
menangkis pukulan dan tendangan musuh dengan secara berimbang. Karena jika ia
mampu menangkis serta mengelakkan segala serangan musuh, iapun harus selalu
dapat membalasnya dengan secara tunai. Demikian juga dengan keadaan pihak
lawannya. Rekan-rekan dan para murid Geng Bu Hwee yang kebetulan berada di gedung
perkumpulan, semua jadi sangat gembira dapat menyaksikan pertandingan silat yang
begitu berharga untuk menambah pengetahuan masing-masing. Lebih-lebih karena
kedua belah pihak sama-sama ahli dan dapat menguasai ilmu kepandaian masingmasing
dengan sebaik-baiknya. Sudah barang tentu pie-bu atau pertandingan silat
serupa ini jarang sekali dapat mereka saksikan hingga mereka jadi bersorak sorai dan
menyambut dengan tepuk tangan riuh jika ada salah seorang yang maju mendesak
dengan amat hebatnya. Apalagi jika pihak yang kurang disukai mereka kena terdesak
sehingga tak dapat balas menyerang.
Begitulah sikap orang banyak terhadap pihak lawan dan kawan menurut anggapan
masing-masing. Dari gerak-gerik yang dapat disaksikan dengan jelas, Sun Giok Hong yang berusia
masih muda mempunyai kekuatan tenaga yang lebih hebat daripada Lauw Peng Kit
yang usianya sudah lanjut. Setelah pertempuran berlangsung 40 atau 50 jurus
lamanya, napasnya jago tua itu tampak terengah-engah, tenaganya semakin
berkurang, sedang gerakan-gerakannya menjadi semakin kendur dan terdesak.
Akhirnya, ia hanya dapat menjaga serangan-serangan Sun Giok Hong, tapi hampir tak
dapat balas menyerang lawannya sama sekali.
Sun Giok Hong yang melihat ada kesempatan baik yang tak boleh dilewatkan
dengan begitu saja, segera maju menerjang dengan dititikberatkan kepada
serangan-serangan dengan tendangan dan sabetan kaki, yang pernah dipelajarinya
dari It Kak Sian-su yang terkenal dengan nama julukan si Kaki Besi.
Lauw Peng Kit yang sudah merasa lelah menempur lawan yang lebih muda itu,
sudah barang tentu menjadi amat sibuk untuk mengelakkan tendangan-tendangan
kilat si pemuda she Sun yang datangnya sangat tiba-tiba itu. Biarpun ia beberapa kali
berhasil menghindari serangan-serangan itu, akhirnya ia roboh juga disapu tendangan
Sun Giok Hong yang bernama Soan-hong-tui atau tendangan angin puyuh.
Syukur juga Giok Hong tidak bermaksud untuk melukainya, berhubung orang tua
itu tidak bersikap bermusuhan atau membual tentang kemampuannya sendiri.
Tendangannya itupun hanya dilakukan untuk sekedar merobohkan orang saja dan
sama sekali tak sampai membuat orang menderita luka-luka parah.
Anak perempuan si kakek yang merasa kurang senang ayahnya dirobohkan orang,
segera maju menerjang sambil membentak, "Bocah she Sun, tidak perlu engkau
menunjukkan keangkeranmu terhadap seorang tua yang usianya telah lanjut!. Mari,
engkau ladeni aku Lauw Cay In!".
Sudah barang tentu hal ini telah mengejutkan hati Sun Giok Hong yang hendak
mengangkat bangun orang tua itu. Lekas-lekas ia lompat ke samping untuk
mengelakkan tendangan si nona yang datang menyambar ke jurusannya bagaikan
kilat cepatnya.
Nona Cay In yang juga mahir ilmu pukulan Pat-kun dan ilmu pedang, menjadi
sangat penasaran setelah tendangannya dapat dielakkan. Segera ia menghunus
pedang yang disoren di pinggangnya dan dengan senjata itu ia menusuk ulu hati Giok
Hong dengan siasat Pek-coa-touw-sin atau ular putih menyemburkan bisa. Hal mana
telah membuat Giok Hong yang tidak bersenjata lekas mengegos sambil melompat ke
pinggir. Tatkala Lauw Cay In mengulangi serangannya, Giok Hong kembali mengegos
sambil lompat mendekat ke arah rak senjata, dari mana ia menyamber sebilah golok
Toa-ma-to. Ia menangkis tusukan pedang si nona yang menyamber dari arah
punggungnya. Sret.......!. Percikan api tampak berhamburan kian kemari dari kedua senjata yang
saling beradu itu.
Kedua lawan itu jadi terkejut bukan main dan segera berlompatan mundur untuk
memeriksa mulut senjata masing-masing. Kemudian barulah mereka mulai saling
menyerang lagi.
Kian lama pertempuran itu kian bertambah hebat, tapi sampai sebegitu jauh belum
dapat diambil keputusan pihak mana yang lebih unggul dan pihak mana yang lebih
lemah. Begitulah pertempuran itu telah berlangsung sebanyak 50 jurus lebih lamanya
dalam keadaan yang seimbang.
Selama pertempuran berlangsung, Cay In merasakan tenaga si pemuda bukan
main kuatnya. Setiap kali ia menangkis bacokan golok sang lawan itu, telapak
tangannya dirasakan linu dan gemetar, sehingga pedang yang digenggam di
tangannya hampir saja terlepas karena tak kuat menahan desakan tenaga Giok Hong
yang begitu hebat.
Sementara Sun Giok Hong yang telah memperhatikan dimana letak kelemahan
nona itu, segera melakukan serangan-serangan gertakan untuk membuat kalut
pikiran Cay In. Kedua kakinya telah dipergunakannya untuk menendang dan menyapu
kaki orang dengan siasat-siasat yang sangat lihay.
Cay In terpaksa harus berlompatan ke kiri dan ke kanan dengan sibuk sekali,
hingga dalam waktu sekejapan saja ia telah terdesak sampai di kaki tembok ruang
tengah. Di situ, dalam keadaan yang sangat terdesak, ia berniat untuk mencelat ke
atas dan melayang di sebelah atas kepala Sun Giok Hong untuk dapat melanjutkan
perlawanan di tempat yang lebih leluasa.
Apa mau dikata, begitu ia mencelat dalam siasat Yan-cu-coan-liam atau burung
walet menerobos tirai, ia hampir tidak dapat melihat bagaimana caranya Sun Giok
Hong telah menyergap dan menyekal kedua ujung sepatunya. Cay In tak berdaya dan
jatuh menggelantung dalam cekalan Giok Hong yang kuat bagaikan sepasang capit
baja. Sedang pedang di tangannya, terlebih dahulu telah terlepas dan jatuh di atas
jubin dengan mengeluarkan suara berkontrangan.
Dengan perlahan-lahan, si pemuda telah menurunkan nona Cay In ke atas jubin
sambil lekas-lekas meminta maaf atas perbuatannya yang tidak sopan itu, sehingga
wajah si nona jadi merah karena malu dan mendongkol.
Dilain pihak Lauw Peng Kit jadi ketawa mengakak dan menyoja sambil berkata,
"Kelihayan Sun Chit-ya kini telah kusaksikan dengan mata kepala sendiri. Tidak salah
jika orang memberikan engkau nama julukan Ngo-seng-to-ong. Kini aku, ayah dan
anak merasa benar-benar takluk dengan kepandaianmu itu. Selamat tinggal dan
semoga Sun Chit-ya memperoleh kesuksesan yang gemilang di masa depan!".
Sesudah berkata demikian, Lauw Peng Kit lalu mengajak anak perempuannya
meninggalkan gedung Ceng Bu Hwee, setelah memungut pedangnya yang terlempar
di jubin itu. Sun Giok Hong mengantarkan mereka ayah dan anak sampai di luar gedung
perkumpulan dan berkata, "Harap Lauw Lo-cian-pwee dan puteri tidak jadi kecil hati
atas perlakuanku yang kurang sopan!". Kemudian masuk kembali ke dalam dan
disambut dengan tempik sorak riuh dari kawan sejabat dan murid-muridnya.
Esok harinya, setelah selesai mengajar silat di gedung perkumpulan Ceng Bu Hwee,
tiba-tiba ada seorang pelayan yang melaporkan kepadanya bahwa diluar ada salah
seorang pengurus Ceng Bu Hwee, Yo Cu Kong namanya, yang datang minta bertemu.
Yo Cu Kong ini selain menjadi pengurus, juga terhitung sebagai salah seorang
muridnya juga. Giok Hong yang menerima laporan demikian, segera keluar sendiri
dan mengundang Yo Cu Kong untuk masuk ke dalam. Dalam omong-omong yang
singkat, Cu Kong telah menyatakan maksud kedatangannya, bahwa ia hendak
menjamu guru silat itu makan minum di sebuah kedai arak yang terkenal di kota
Shanghai itu.

Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apakah hingga engkau jadi repot mengadakan perjamuan segala?" kata si ahli
silat she Sun sambil tertawa.
"Kemarin Lo-su telah berhasil mengalahkan jago silat Lauw Teng Kit dan puterinya
dengan sekaligus" kata Cu Kong, "karena itu, dalam kalangan persilatan di sini orang
menjadi gempar dan sangat memuji kepandaian Lo-su yang sangat tinggi dan lihay
itu. Hari ini aku sengaja menjamu Lo-su sebagai pemberian selamat atas kemenangan
Lo-su kemarin, bersamaan dengan itu ada suatu hal menyenangkan yang hendak
kusampaikan kepada Lo-su".
Giok Hong menanyakan soal menyenangkan apa yang hendak disampaikan
kepadanya. Cu Kong lalu berkata pula, "Pada hari kemarin Lo-su telah menempur
jago silat dari Ouw-lam itu dengan separuh melepas budi. Lauw Lo-cian-pwee sendiri
telah Lo-su kalahkan tanpa dia menderita luka-luka. Begitupun puterinya, Lauw Cay
In, telah juga Lo-su kalahkan tanpa dia jatuh roboh di tanah. Mereka ayah dan anak
sangat berterima kasih atas kebaikan hati Lo-su itu. Omong punya omong, ada
sesuatu hal yang aku hendak tanyakan tentang pendapatmu".
"Pendapat". Pendapat apa?" Giok Hong balik bertanya keheran-heranan.
"Begini" sahut Cu Kong. "Terus terang saja, aku hanya menjalankan perintah atas
permintaan sahabat ayahku, yakni orang tua dan puterinya, yang kemarin Lo-su
kalahkan itu. Karena ayah sering berjual beli barang-barang di propinsi Ouw-lam,
maka ia telah berkenalan dengan salah seorang ahli silat, ialah Lauw Lo-cian-pwee
yang dahulu pernah menjadi pio-su dari kantor angkutan Eng Hok Pio Kiok di Tiangsee
dalam propinsi Ouw-lam. Kemarin, setelah bertempur dengan Lo-su di sini, Lauw
Lo-cian-pwee dan puterinya telah datang berkunjung ke rumahku. Selagi mengobrol,
ia singgung-singgung juga soal pie-bu dengan Lo-su di sini. Akupun lalu
memberitahukan bahwa aku adalah pengurus perkumpulan Ceng Bu Hwee dan
menjadi salah seorang murid Lo-su. Setelah mengetahui aku ada sangkut pautnya
dengan Lo-su, Lauw Lo-cian-pwee dengan serta merta minta bantuanku untuk
menanyakan pendapat Lo-su tentang puterinya itu".
"Ha, ha, ha" Giok Hong tertawa saking gelinya. "Hanya soal itu saja mengapa harus
mengadakan jamuan makan dan minum!". Lalu ia melanjutkan katanya, "Jika harus
menilai, harus aku akui bahwa puteri Lauw Lo-cian-pwee itu mahir sekali ilmu silatnya
dan permainan pedangnya tidak dapat dikatakan jelek!".
"Dan bagaimana pendapatmu tentang .........eh.........eh...... nona Cay In sendiri!"
tanya Cu Kong dengan rasa takut-takut.
"Nona Cay......" Giok Hong berhenti tiba-tiba setelah sadar bahwa yang sedang
dimintai pendapatnya ialah nona itu sendiri, tapi ia melanjutkan juga bicara dengan
berkata, "Dia memang seorang wanita yang cantik juga parasnya!".
Cu Kong jadi girang sekali mendengar pendapat gurunya itu, lalu ia berkata, "Lauw
Lo-cian-pwee sangat puas sekali dengan caranya ia dikalahkan oleh Lo-su. Untuk
membalas budi, ia telah minta perantaraanku untuk merangkap perjodohan puterinya
itu dengan Lo-su. Kini mendengar pendapat Lo-su tentang nona Cay In, maka aku
sendiripun lantas berpendapat bahwa Lo-su tentu takkan menampik untuk mengambil
nona Cay In sebagai isteri!. Sebagai seorang perantara yang tentunya tidak ingin
dicela atau kelak disesalkan oleh kedua pihak, maka hari ini aku sengaja melakukan
pembicaraan dari hati ke hati dengan Lo-su. Hanya yang belum aku tahu adalah
bagaimana pendapat Lo-su". Apakah soal pernikahan ini dapat disetujui oleh
pihakmu?".
Sun Giok Hong jadi berpikir keras, sehingga ia jadi termenung beberapa saat
lamanya. Ia baru tersadar waktu muridnya berkata, "Lo-su, menurut pendapatku
inilah sesungguhnya merupakan perjodohan yang telah ditetapkan oleh Tuhan Yang
Maha Esa!".
Mula-mula Giok Hong merasa mupakat dengan omongan muridnya itu. Ia pikir,
dengan mempunyai pembantu dalam yang boleh diandalkan, bukan saja segala
urusan dapat diatur dengan dengan lancar, malahan beban di bahunya pun akan
menjadi semakin ringan oleh karenanya.
Setelah mengingat bahwa Lauw Peng Kit dan puterinya kurang jelas riwayat
hidupnya, sedang kedatangan mereka ke gedung Ceng Bu Hwee adalah bermaksud
untuk "merobohkannya", dalam hatinya lalu timbul keraguan dan bertanya pada diri
sendiri, "Apakah dengan jalan menikahkan anak perempuannya denganku, mereka
bukannya bermaksud hendak membalas dendam kepadaku dengan secara diamdiam?".
"Setelah mereka ayah dan anak kukalahkan" kata Giok Hong, "sekarang dengan
sekonyong-konyong Lauw Lo-cian-pwee mengusulkan engkau menjadi orang
perantara untuk menjodohkan anak perempuannya kepadaku. Apakah maksud orang
tua itu sebenarnya?".
"Nama Lo-su yang begitu termashur sebagai Kiok-cu dari kantor angkutan Hin
Liong Pio Kiok, siapakah yang tidak kenal?" kata Yo Cu Kong. "Oleh sebab itu, tidaklah
heran jika banyak orang mengenalmu, tapi Lo-su sendiri tidak mengenal mereka.
Demikian juga halnya dengan Lauw Lo-cian-pwee ini, kepada ayahku ia pernah
mengatakan bahwa dia yang sudah berusia 60 tahun dan hanya mempunyai seorang
anak perempuan saja, yakni nona Cay In. Ia telah mengambil keputusan untuk tidak
menikahkan anak perempuannya itu dengan orang sembarangan. Dengan
persetujuan nona Cay In, calon-calon suami nona itu harus dapat memenuhi tiga
syarat, yang antara lain diharuskan (l)mahir ilmu silat, punya nama baik dalam
kalangan persilatan serta dapat mengalahkan mereka berdua ayah dan anak, (2)jujur
dan punya pekerjaan yang dapat menjamin hidupnya, dan (3)cocok perangainya
dengan si nona dan tidak bertabiat sombong serta punya tempat kediaman yang
tetap. Banyak pemuda telah ditemui mereka dan dijajal; tapi selalu ada saja yang
tidak memuaskan hati nona Cay In. Kali ini, dia benar-benar ketemu jodohnya dan
meski dia tidak berkata-kata untuk menyatakan rahasia hatinya, gerak-geriknya
sudah cukuplah untuk menjelaskah bahwa dia memang 'ada hati' kepada Lo-su.
Sayang sekali jika Lo-su menampik kebaikan Lauw Lo-cian-pwee dan puterinya itu".
Mendengar keterangan Yo Cu Kong itu, Sun Giok Hong jadi balik berpikir dan
berkata pada dirinya sendiri, "Aku sekarang sudah berusia 30 tahun, sudah bolehlah
aku berumah tangga". Akhirnya ia mengabulkan juga anjuran muridnya itu, tapi ia
minta tempo tiga bulan untuk berkenalan dahulu dengan pihak calon mertua dan
calon isterinya dari dekat sebelum melangsungkan upacara pernikahan mereka. Hal
mana, Cu Kong pun menyatakan kesediaannya untuk menyampaikan kabar tersebut
kepada pihak Lauw Peng Kit.
Maka sesudah puas makan minum, barulah Sun Giok Hong kembali ke gedung
perkumpulan Cong Bu Hwee. Sedang Yo Cu Kong sendiri pulang ke rumahnya untuk
menyampaikan permintaan gurunya kepada ahli silat she Lauw itu, yang sementara
ini menumpang tinggal di rumah keluarga Yo.
Ayah Yo Cu Kong yang bernama Yo Hok Teng adalah seorang saudagar obat asing
dan dalam negeri yang kaya raya di kota Shanghai, dimana ia membuka tiga buah
toko obat besar.
Semenjak usianya masih muda, Yo Hok Teng kerap pergi sendiri berbelanja bahanbahan
obat ke propinsi-propinsi Hun-lam dan Kwie-ciu, dengan menyewa pio-su untuk
melindunginya. Ia jadi bersahabat dengan Lauw Peng Kit, salah seorang pio-su yang
kerap disewanya.
Persahabatan antara si saudagar obat dan pio-su itu sampai sedemikian akrabnya.
Setiap waktu Lauw Peng Kit dan anak perempuannya merantau ke Shanghai, mereka
pasti menumpang tinggal beberapa waktu lamanya di rumah keluarga Yo. Itulah
sebabnya ketika kedua ayah dan anak perempuan itu berkunjung pula ke Shanghai,
mereka telah mendengar tentang kegagahan Sun Giok Hong, yang di masa itu
menjadi salah seorang guru silat dari gedung perkumpulan Ceng Bu Hwee.
Di waktu Yo Cu Kong yang diminta bantuannya sebagai ofang perantara telah
kembali dan menyampaikan kabar gembira dari pihak Sun Giok Hong, sudah barang
tentu Yo Hok Teng turut menyatakan gembira. Lebih-lebih karena hubungan Hok Teng
dan jago silat tua itu sudah bagai saudara kandung saja eratnya, maka ia telah
menyatakan suka menanggung semua biaya untuk melangsungkan perjodohan Cay In
dengan Sun Giok Hong.
Tiga bulan kemudian, ketika upacara pernikahan kedua orang muda itu
dilangsungkan, di muka gedung Ceng Bu Hwee telah didirikan sebuah mimbar untuk
orang mengadakan pertunjukan tari-tarian dan nyanyian, yang kemudian diselingi
dengan pertandingan silat berhadiah yang dilakukan oleh para murid dari gedung
Ceng Bu Hwee sendiri.
Di waktu upacara pernikahan itu dibuka, tidaklah heran jika para pengurus, handai
taulan dari Sun Giok Hong dan Lauw Peng Kit serta Yo Hok Teng yang bertindak
sebagai penyelenggaranya. Tidak sedikit para tamu yang datang berduyun-duyun
memberi selamat kepada kedua mempelai dan para walinya. Makanan dan minuman
disuguhkan kepada para tamu -dengan tidak pernah ada putus-putusnya.
Ketika tetabuhan -dibunyikan dan nyanyian-nyanyian serta tari-tarian
dipertunjukkan dengan silih berganti dengan mendapat sambutan tempik sorak yang
riuh. Murid Ceng Bu Hwee telah diminta tampil ke muka untuk mengadakan pie-bu
diantara rekan-rekan sendiri di atas mimbar.
Selagi baru saja para murid mempertunjukkan beberapa macam permainan golok,
tombak serta pedang dan belum mendapat kesempatan untuk pie-bu, tiba-tiba dari
bawah mimbar tampak melompat naik seorang laki-laki usia empatpuluhan yang
bertubuh tegap dan bergerak dengan gesit. Begitu sampai di atas mimbar, segera
berteriak dengan suara nyaring, "Tahan dulu semua permainan ini!" katanya.
Para murid Ceng Bu Hwee jadi terkejut lalu mereka berdiri di kiri kanan dengan
mata hampir tidak berkedip.
Orang itu berdiri menghadapi para tamu di bawah mimbar sambil berkata, "Lo-hu
asal dari Thay-hong-san, she Lie bernama Lam Eng. Semenjak usiaku masih muda,
aku sudah gemar ilmu silat dan belajar silat kepada seorang guru yang namanya
tersohor dalam Rimba Persilatan. Kedatanganku pada kali ini tak lain dan tak bukan
daripada ingin berkenalan dengan Sun Giok Hong. Dari tempat yang ribuan lie
jauhnya, aku telah sengaja datang kemari untuk bantu 'meramaikan' pesta
pernikahan si orang she Sun dengan jalan mengadakan pie-bu bagi siapa saja yang
sudi naik ke atas mimbar untuk memberikan pelajaran kepadaku!".
Melihat tiada seorangpun yang suka meladeninya, ia jadi mendongkol dan
sesumbar, "Mana dia si bocah she Sun". Katakanlah bahwa aku tantang ia berkelahi
di atas mimbar ini!".
Yo Cu Kong dan beberapa orang murid Sun Giok Hong yang berada di atas mimbar,
segera menyabarkan orang itu sambil berkata "Lie Su-hu, guru kami ini tengah
menjadi mempelai hingga tidak mendapat kesempatan untuk berjumpa denganmu.
Jika Lie Su-hu tidak berkeberatan, kami yang menjadi muridnya suka mewakilinya
untuk bermain-main denganmu beberapa jurus lamanya".
Lie Lam Eng mendengar demikian menjadi tersenyum dingin dan berkata, "Hm,
macam kau yang berwajah begitu pucat pasi dan bertubuh kurus kering berani
menandingi aku". Tengoklah tinjuku ini dan pertimbangkanlah olehmu masak-masak.
Jika tinjuku ini menghantam tulang igamu, apakah sangkamu tulang-tulang igamu itu
tak akan berantakan bagaikan gubuk reyot yang diterjang angin topan". Paling betul
segeralah engkau panggil saja gurumu Sun Giok Hong, agar engkau terbebas dari
telapak tanganku ini.'".
Yo Cu Kong yang mendengar dirinya dianggap "sepi", karuan saja menjadi sangat
gusar dan lalu balas mendamprat, "Engkau ini siluman dari mana yang mendadak
datang dan mengacau pesta pernikahan orang di sini". Ayoh, enyahlah engkau dari
sini, kalau tidak engkau harus tanggung sendiri segala akibatnya nanti!".
Sambil mengakhiri dampratannya itu, Yo Cu Kong segera membarengi menjotos
muka orang itu dengan siasat Pa-ong-keng-ciu atau raja Couw Pa Ong menyuguhkan
arak. Gerakan itu amat cepat sehingga hampir tak dapat dilihat.
Lie Lam Eng yang ternyata bukan seorang yang pandai membual belaka dan tidak
"berisi", karuan saja tidak terima dirinya diserang orang dengan seenaknya saja.
Begitu melihat tinju Yo Cu Kong melayang ke arah mukanya, dengan cepat ia
miringkan sedikit kepalanya, tangan kirinya dipergunakan untuk menangkis, sedang
telapak tangan kanannya segera disodorkan pada iga si orang she Yo dengan gerakan
secepat kilat. Syukur juga Yo Cu Kong bermata jeli dan dapat bergerak dengan sebat, kalau tidak
niscaya tulang iganya bisa patah dihantam oleh telapak tangan besi Lie Lam Eng itu.
Babak pertama dari pertempuran itu, kedua pihak tampak sama gagah dan
gesitnya. Dalam babak-babak selanjutnya, Yo Cu Kong tampak jelas telah kena
terdesak, hingga dari tengah mimbar ia sekarang telah berada di suatu tempat yang
hanya terpisah empat atau lima tindak lagi dari sisi mimbar.
Lie Lam Eng yang melihat kesempatan yang terbaik itu, sudah barang tentu segera
maju mendesak dengan sekuat tenaganya. Tinjunya kemudian bekerja dengan cepat
dan memukul dengan bertubi-tubi hingga Yo Cu Kong jadi amat sibuk menangkis dan
mengelakkannya. Ketika si orang she Lie mendesak terus, Yo Cu Kong terpaksa
mundur untuk menghindarkan pukulan-pukulan lawannya, hingga akhirnya ia berada
di sisi mimbar dan akan jatuh terpelanting ke bawah jika ia mundur dua tindak lagi
saja. Keadaan ini sudah barang tentu mencemaskan sekali hati keenam atau ketujuh
orang murid Sun Giok Hong yang berada di atas panggung. Waktu mereka berniat
akan membantu Su-heng mereka, tiba-tiba mereka teringat akan pesan guru mereka
bahwa dalam pertempuran, orang tak boleh main curang dengan jalan mengeroyok.
Mereka hanya bisa menonton dengan hati khawatir dan tak berani sembarangan maju
membantu Yo Cu Kong tanpa perintah dari guru mereka.
Syukur juga selagi Yo Cu Kong sudah tak berdaya dan tinggal menantikan saatnya
saja untuk dirobohkan dan jatuh ke bawah mimbar, tiba-tiba orang telah dikejutkan
dengan berkelebatnya satu bayangan manusia yang melayang ke atas mimbar
bagaikan seekor garuda yang turun dari angkasa. Bayangan itu berkelebat naik
dengan dibarengi oleh satu bentakan yang nyaring, "Hai, sungguh tidak sopan engkau
ini!". Dalam saat itu juga Lie Lam Eng yang diterjang oleh orang yang baru datang itu
jadi terdorong mundur sehingga beberapa tindak jauhnya.
Yo Cu Kong yang nyaris termakan terjangan Lie Lam Eng, lekas-lekas melompat
keluar dari kalangan pertempuran dan berdiri disalah satu sudut mimbar bersama
dengan saudara-saudara seperguruannya yang lain.
Orang itu bukan lain daripada Sun Giok Hong sendiri adanya.
Melihat Sun Giok Hong telah muncul di atas mimbar, Lie Lam Eng lalu bersenyum
dingin dan berkata, "Lo Sun, betapa bahagianya engkau menjadi mempelai hari ini.
Masih kenalkah engkau padaku?".
Giok Hong telah beberapa belas tahun lamanya berjalan malang melintang di
kalangan Kang-ouw, pada waktu mana ia tak ingat lagi ada berapa banyak kawan dan
lawan yang ia punyai di luaran. Ia jadi terbengong mendengar kata-kata Lam Eng dan
tak dapat menjawab pertanyaan orang she Lie yang baru pernah dijumpainya itu.
"Tampaknya engkau sudah tak ingat lagi kepadaku" kata si orang she Lie pula,
"tapi selama hidupku, tak pernah aku lupa sedetikpun kepadamu!. Pada 6 tahun yang
lampau, ketika lewat di gunung Thay-heng-san, engkau telah membunuh adikku Lie
Hui Eng dengan golok Siang-liong-touw-cu-to. Apakah kini engkau telah
melupakannya?".
"Oh, jadi peristiwa ini telah terjadi pada 6 tahun yang lampau". Mungkin juga" Giok
Hong melanjutkan. "Persoalan-persoalan serupa itu memang kerap kualami, tapi aku
tak ingat lagi. Aku lupa sudah berapa banyak para perampok-perampok pio yang
telah kutumpas dengan tanganku sendiri. Tak pernah aku membunuh orang-orang
baik, kecuali para perampok yang hendak menganggu atau merampok kereta-kereta
pio yang aku lindungi. Bukankah adikmu itu seorang perampok". Kalau benar
demikian, ada kemungkinan dialah seorang dari seratus lebih perampok yang telah
kubunuh selama beberapa belas tahun aku melindungi pio dalam daerah lima propinsi
Tiongkok Utara".
Lie Lam Eng yang mendengar omongan Sun Giok Hong, tampak gusar bukan
buatan. Dengan tidak banyak bicara, ia menjotos dada si orang she Sun dengan
sekuat-kuat tenaganya.
Sun Giok Hong yang selalu berlaku waspada, dengan tenang telah menggerakkan
telapak tangannya untuk menyampok tinju Lie lam Eng, sedang tangan yang lainnya
ia mempergunakan siasat Eng-jiauw-kim-na-ciu untuk menyergap pergelangan
tangan lawannya. Terpaksa Lam Eng tarik pulang tinjunya sambil lompat mundur.
Dengan demikian, Giok Hong pun segera mendesak maju sambil membarengi
mempergunakan ilmu Eng-jiauw-kun untuk melancarkan serangan kilat dari tiga
jurusan. Lie Lam Eng jadi amat sibuk dan tak ayal lagi ia berusaha untuk
menyelamatkan diri dari serangan-serangan Giok Hong yang mematikan itu.
Dasar dia memang bukan lawan Giok Hong yang setimpal, meski telah mencoba
sedapat mungkin untuk mempertahankan diri, tidak urung ia menjadi kelabakan di
waktu pertempuran baru saja berlangsung 4 atau 5 jurus lamanya. Napasnya jadi
terengah-engah dan matanya berkunang-kunang. Tatkala dia hampir tak berdaya dan
putus asa untuk dapat melanjutkan pertempuran tersebut, lekas-lekas ia bersiul
untuk memanggil kawan-kawannya yang bersembunyi di antara para tamu. Kemudian
muncul dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar mencelat naik ke atas mimbar
sambil berseru, "Kami datang!".
Kedua orang itu begitu sampai di atas mimbar, segera maju dengan serentak untuk
mengeroyok Sun Giok Hong. Giok Hong yang semula tidak berniat melukai Lie Lam
Eng jadi mendongkol dan segera menerjang ketiga lawannya itu dengan pukulanpukulan
maut yang dapat membuat si orang she Lie itu cacat seumur hidupnya, jika
bukan sampai mati.
Pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang dilancarkan Giok Hong kali ini
benar-benar telah membuat hati Lie Lam Eng berdebar-debar keras. Jika dirinya
mendadak tumbuh sayap, ia pasti sudah terbang ke langit untuk menghindarkan diri
dari tangan Elmaut itu.
Giok Hong yang sudah gusar bukan main, tampaknya kali ini tak mau mengampuni
lawannya lagi. Melihat Lie Lam Eng bertempur sambil sekali-kali mundur, ia segera


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjang dan hantam pinggang orang itu dengan sabetan Thiat-see-ciang dalam siasat
Giok-tay-wie-yauw atau angkin kumala melibat pinggang. Begitu sabetan tersebut
mengenai sasarannya, terdengar Lie Lam Eng menjerit keras dan lantas jatuh roboh
dari atas mimbar ke muka bumi. Disamping mukanya matang biru lantaran jatuh
mengusruk, tiga buah tulang iganya remuk kena terpukul oleh telapak tangan Sun
Giok Hong yang mampu memukul batu hingga hancur.
Dua orang kawan Lie Lam Eng yang bernama Tan Piauw dan Phang Tek, yang juga
"berusaha tanpa modal" di gunung Thay-heng-san bersama-sama Lie Lam Eng,
segera maju menerjang dengan serentak dari sebelah kiri dan kanan.
Giok Hong meladeni mereka berdua dengan tidak segan-segan lagi. Tinjunya yang
keras bagaikan godam baja dan tendangan kakinya yang dahsyat bagaikan sambaran
tonggak besi telah dikasih bekerja untuk dapat secepatnya mengakhiri pertempuran
yang tak bermanfaat itu.
Para tamu yang berada di bawah mimbar jadi menahan napas, ketika Giok Hong
melancarkan satu tendangan kilat yang telah membuat Tan Piauw terlempar jauh dan
jatuh terbanting di muka bumi dalam keadaan luka dan tidak ingat orang. Sedang
Phang Tek yang jadi sangat ketakutan melihat perlawanan Giok Hong yang begitu
ganas, buru-buru berlompat turun dari atas mimbar untuk melarikan diri.
Giok Hong dari atas mimbar itu menyerukannya sambil berkata, "Hai, kawan!.
Tidak perlu engkau kabur.'. Terhadap orang yang sudah insyaf akan kekalahannya,
tak pernak aku mengejar atau membekuknya. Ini kedua orang kawanmu yang telah
menderita luka-luka, engkau boleh bawa pulang dengan menggunakan tandu. Jika
engkau tak mau membawa mereka pergi, akan kuserahkan kepada pihak yang
berwajib. Dengan begitu, mereka dapat ditahan dan dituntut sebagai orang-orang
yang sengaja menimbulkan kerusuhan di tempat orang yang sedang merayakan pesta
pernikahan!".
Phang Tek terpaksa menebalkan kulit muka pergi memanggil dua buah tandu untuk
mengangkut kedua orang kawannya yang telah menderita luka-luka parah dalam
pertempuran tadi.
Waktu Giok Hong kembali kepada para tamunya yang masih berkumpul dengan
perasaan cemas, ia telah disambut dengan tempik sorai riuh, kemudian duduk
melayani pula handai taulan dan para tamu dengan perasaan hati yang lega dan
bangga akan kemenangan dalam pertempuran yang seyogyanya tak pernah disangkasangkanya
itu. Semenjak hari itu dan selanjutnya, tidak pernah ada lagi ahli-ahli silat yang berasal
dari tempat lain yang berani coba datang "menjajal" ilmu silat Sun Giok Hong yang
tersohor dahsyat itu. Lebih-lebih dalam ilmu permainan goloknya dengan
menggunakan Golok Naga Kembar, sehingga gelar Ngo-seng-to-tong diingat orang
dari satu jaman kelain jaman, dengan memberi kesan-kesan yang sangat mendalam
di kalangan persilatan di tiongkok dalam abad 20 ini.
0oo0 Setelah menikah, Giok Hong bermaksud melewati bulan madu di tempat
kelahirannya, dengan maksud untuk dapat menjenguk para orang tua dan sanak
saudara di sana sambil memperkenalkan isterinya kepada mereka.
Ketika itu, jalan kereta api Thian-cin - Pu-kouw dan Lam-khia -Shanghai telah
dibuka, maka perjalanan kedua suami isteri itu dapat berlangsung dengan lancar dan
lebih cepat daripada mempergunakan kereta-kereta kuda seperti halnya di masamasa
yang lampau. Dalam perjalanan itu, ikut pula dua orang pelayan perempuan untuk melayani
segala keperluan Cay In. Sedang ia sendiri, disamping membawa pakaian dan
keperluan lain-lainya, tidak lupa membawa juga badik beracun dan golok Siang-liongtouwcu-to kesayangannya.
Dari Shanghai, terlebih dulu ia mengajak isterinya menuju ke Lam-khia, dimana ia
menginap semalam. Pada keesokan harinya setelah melintasi sungai Tiang-kang,
maka tibalah mereka di Pu-kouw. Dengan naik kereta Thian-cin - Pu-kouw mereka
menuju ke utara, kemudian tibalah ke tempat yang menjadi tujuan mereka, yakni
Thian-cin. Sudah kurang lebih dua tahun lamanya semenjak Sun Giok Hong membunuh jago
Judo Yoshikawa dan kawan-kawannya serta kemudian menerima undangan Ho Goan
Ka untuk mengajar silat dalam gedung Ceng Bu Hwee di Shanghai, hingga saat ia
kembali ke desa kelahirannya dengan mengajak juga isterinya.
Peristiwa berdarah tadi telah dilupakan orang di konsesi Jepang di Thian-cin, tapi
kebencian orang Tionghoa terhadap bangsa Jepang masih tetap tinggal dan tidak
pernah menjadi kurang hebatnya. Lebih-lebih karena bangsa Jepang sendiri kerap
mencari gara-gara dan menerbitkan kerusuhan-kerusuhan di daerah-daerah yang
didiami oleh orang-orang Tionghoa.
Maka di waktu Sun Giok Hong kembali dengan sudah beristeri, tiada seorangpun
yang usil mulut menyampaikan kabar itu kepada pihak pembesar Jepang yang
berwenang di sana. Sehingga Giok Hong dan isterinya bisa tinggal di Thian-cin sampai
dua hari lamanya tanpa ada seorangpun yang mencoba menganggu atau menerbitkan
keonaran. Kemudian pulanglah mereka ke desa kelahiran Giok Hong, dimana ia dan isteri
disambut di sana oleh para orang tua dan sanak saudara serta handai taulan dengan
perasaan gembira. Ketika diadakan perjamuan selamat datang oleh para keluarga dan
kaum kerabat, tidak sedikit tamu yang telah datang memberi selamat. Antara lain ada
seorang sahabat karib Sun Giok Hong yang bernama Louw Tek Keng yang jugadatang
menjenguk, serta memberi selamat kepada mereka berdua suami isteri.
Louw Tek Keng dan Sun Giok Hong memang telah bersahabat karib sedari masih
anak-anak, hingga biarpun mereka saling terpencar di tempat jauh, tapi hubungan
persahabatan mereka masih tetap erat dan tak menjadi berkurang karena saling
berpisah jauh dan jarang bertemu muka.
Maksud kunjungan Giok Hong semula ke desa kelahirannya hanya terbatas antara
satu atau dua bulan saja lamanya. Sungguh-tidak dinyanya bahwa suatu
"peperangan" yang tidak resmi telah terjadi antara pihaknya dan rombongan
penyamun dari Thay-heng-san. Mereka ternyata telah dikobar-kobarkan oleh para
berandal yang pernah dilukainya, antara mana terhitung Lie Lam Eng, Tan Piauw, dan
lainnya. Phang Tek sendiri telah bertindak sebagai pelopornya dan menghasut para
berandal yang pernah bermusuhan dengan Sun Giok Hong untuk berserikat dan
membalas dendam dengan serentak terhadap musuh besar yang sangat mereka benci
itu. Dengan menggunakan segala siasat busuk untuk memanaskan hati orang, Phang
Tek telah berhasil mengumpulkan sebanyak 30 atau 40 orang penyamun di daerah
pegunungan Thay-heng-san. Yang terlihay diantaranya boleh disebut nama Kwan Ban
Lie dari kota pedusunan Oey-po-tien.
Kwan Ban Lie ini bukan lain daripada adik Kwan Ban Piu, penyamun tunggal yang
telah menemui ajalnya dalam tangan Sun Giok Hong, hingga golok kesayangannya
yang bernama Siang-liong-touw-cu-to atau Golok Naga Kembar telah terjatuh ke
dalam tangan seorang she Sun itu.
Waktu kakaknya binasa dalam tangan Sun Giok Hong, ia masih berguru kepada
Tiang Hong Too-jin di kelenteng Ceng-in-koan yang terletak di gunung Ngo-tay-san.
Ketika mendengar kematian kakaknya, Ban Lie sudah hendak turun gunung untuk
menuntut balas, tapi niatannya itu dilarang keras oleh si Too-jin yang menjadi
gurunya. Ia terpaksa bersabar dan belajar dengan sangat giat sehingga beberapa
tahun lagi lamanya.
Kwan Ban Lie mahir ilmu pedang dan juga mahir menyambit dengan golok.
Pedangnya yang besar dan panjangnya mencapai 4 ciok, beratnya tidak kurang dari
30 kati. Ia punya 6 bilah golok Liu-yap-to yang pada masing-masing gagangnya
dihiaskan dengan tali sutera merah. Dengan golok-golok ini ia dapat menyambit orang
dalam jarak 30 tindak dengan secara tepat sekali. Usia Ban Lie pada waktu itu baru
20 tahun. Mendengar kabar bahwa Phang Tek mengumpulkan kawan-kawan yang pernah
dipecundangi atau terluka dalam pertempuran dengan Sun Giok Hong untuk menuntut
balas, Kwan Ban Lie segera berkunjung ke sarang Phang Tek di desa Phang-keechung
yang terletak di puncak Pek-in-hong dalam pegunungan Thay-heng-san di
perbatasan propinsi Ho-pak dan Shoasay.
Di hadapan kepala penyamun itu Kwan Ban Lie menyatakan pikirannya untuk
menuntut balas kepada Sun Giok Hong, berhubung kakaknya Kwan Ban Piu telah
dibinasakan oleh jago silat she Sun itu dimasa bertugas sebagai pelindung pio.
Mendengar begitu, Phang Tek sudah tentu saja jadi sangat girang dan menyatakan
solider akan maksud si orang she Kwan yang "suci" itu.
Disamping Kwan Ban Lie, ada pula seorang perampok dari dusun Ciok-jin-kie dalam
daerah pegunungan Thay-heng-san juga yang bernama Ciok Tiauw Beng. Usianya
sudah 36 tahun dan mahir mempergunakan golok besar.
Phang Tek sebagai tuan rumah, lalu mengadakan perjamuan dan mengadakan
perundingan dengan Kwan Ban Lie, Ciok Tiauw Beng dan 36 orang kepala penyamun
yang kesemuanya mempunyai perasaan dendam dengan Sun Giok Hong, tentang cara
bagaimana pembalasan itu harus dilaksanakan terhadap si orang she Sun itu.
Banyak usul telah diajukan oleh beberapa orang diantara mereka, tapi ternyata
belum ada suatu saranpun yang dianggap cukup sempurna dan selamat untuk
dilaksanakan. Selanjutnya, semua orang jadi tinggal berdiam saja sambil berpikir
keras di dalam otak masing-masing.
Begitulah setelah berdiam sesaat lamanya, salah seorang diantara mereka telah
mengajukan suatu saran, agar mereka dengan beramai-ramai menyatroni rumah
perkumpulan Ceng Bu Hwee di Shanghai. Pertimbangannya, Sun Giok Hong mudah
dicari dan dikeroyok sehingga binasa, tanpa memikirkan bahwa di kota Shanghai tidak
dapat dipersamakan dengan daerah-daerah pegunungan Thay-heng-san dimana
mereka dapat bertindak dengan "hukum rimba".
"Kota Shanghai merupakan sebuah pelabuhan besar nomor satu di Timur Jauh"
kata Phang Tek, "maka tata tertib di sana dikuasai oleh polisi militer yang tidak
mungkin membiarkan kita serombongan orang-orang yang bersenjata bergerak
dengan leluasa. Untuk dapat masuk ke sana dengan tidak khawatir dirintangi polisi,
aku sudah pikirkan suatu siasat yang terbaik, yaitu kita sekalian harus berpencar
menjadi beberapa rombongan dengan menyamar sebagai para penjual obat atau
membuka pertunjukan silat keliling. Gedung perkumpulan Ceng Bu Hwee menjadi
tempat sasaran kita untuk berkumpul dan beraksi menurut rencana yang akan kita
atur selanjutnya. Lebih jauh, untuk menarik perhatian Sun Giok Hong, salah satu
rombongan diantara kita boleh membuka pertunjukkan di muka gedung tersebut,
dimana kita boleh menggunakan kata-kata yang menyinggung perasaan orang she
Sun itu. Tujuannya untuk memaksa ia keluar dan kemudian kita keroyok -dirinya
beramai-ramai. Dengan demikian, pasti dia takkan bisa lagi lolos dari tangan kita!".
"Bagus!. Bagus!" memuji mereka sekalian dengan suara yang hampir berbarengan.
"Aku suka menyamar sebagai ahli silat yang berjalan keliling sambil berjualan obatobatan"
kata Kwan Ban Lie.
"Usia Kwan Su-hu masih terlampau muda" kata Phang Tek. "Bagaimana jika tugas
itu aku serahkan kepada Ciok Su-hu dengan engkau dan tiga orang yang lainnya ikut
serta sebagai murid-muridnya?".
"Begitupun boleh juga" kata Kwan Ban Lie, "karena tujuanku hanya satu, yaitu
untuk membalas sakit hati kakakku almarhum".
Ciok Tiauw Beng telah diberi tugas sebagai kepala rombongan dengan Kwan Ban
Lie dan tiga orang penyamun yang lainnya ikut serta sebagai pembantu-pembantu.
Ketiga orang penyamun yang tesebut di atas adalah Ong Kui, Wan Gu dan Liok
Houw adanya. Sangat disayangkan bahwa mereka bertiga yang masih muda dan
bertenaga sangat kuat, sama sekali tidak mau mengakui bahwa ilmu kepandaian
mereka masih sangat rendah dan belum cukup untuk menghadapi lawan dari tingkat
pertengahan. Ayah dan kakak ketiga orang ini pernah dikalahkan oleh Sun Giok Hong,
dikaia mereka keluar dari pegunungan Thay-heng-san untuk melakukan perampokan
atas kereta-kereta pio yang dilindungi oleh pio-su she Sun itu.
Kemudian karena mendengar Phang Thek mengumpulkan lawan untuk membalas
dendam kepada Sun Giok Hong, maka ketiga orang inipun lalu datang
menggabungkan diri untuk ikut serta dalam aksi pembalasan itu.
Begitulah, setelah segala sesuatu selesai diatur, Ciok Tiauw Beng yang menyamar
sebagai ahli silat yang berjalan keliling dengan diiringi oleh Kwan Ban Lie, Ong Kui,
Wan Gu dan Liok Houw lalu berangkai duluan menuju kota Shanghai. Rombonganrombongan
yang lainnya mengikuti belakangan dengan berturut-turut.
Sungguh tidak dinyana, sesampainya di Shanghai mereka mendapat kabar bahwa
Sun Giok Hong tengah mengajak isterinya berkunjung ke desa kelahirannya di SunTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kee-chung dalam kewedanaan Kho-yang di propinsi Ho-pak tengah, yang terpisah dari
gunung Thay-heng-san kira-kira 200 lie lebih jauhnya. Merekapun buru-buru menuju
ke sana dengan maksud membunuh Giok Hong di desa kelahirannya.
Desa Sun-kee-chung yang terletak di suatu tempat yang terpisah dari kota Khoyang
30 lie jauhnya, ternyata bertetangga dengan desa-desa Louw-kee-chung, Hankeechung dan yang lain-lainnya pula.
Sesampainya di kota Kho-yang, Kwan Ban Lie lalu mengusulkan kepada Phang Tek
untuk mengirim satu atau dua orang ke desa Sun-kee-chung untuk memancing Sun
Giok Hong keluar dari tempat kediamannya. Sedang yang lainnya yang berjumlah
tigapuluh orang lebih banyaknya itu, bersembunyi untuk kemudian keluar mengepung
musuh besar mereka dengan serentak.
Usul Ciok Tiauw Beng adalah membakar dahulu desa Sun-kee-chung untuk
mengacaukan keadaan, kemudian membunuh Sun Giok Hong selagi dia tak berjagajaga.
Dengan begitu mereka dapat melakukan pembalasan dan perampokan dengan
sekaligus. Semua orang mupakat dengan usul ini, maka Phang Tek yang bertindak
sebagai pemimpin mereka lalu mengutus 6 orang untuk memasuki desa Sun-keechung
dan melakukan pembakaran di enam tempat. Sementara tigapuluh orang
lebih yang lainnya yang terbagi menjadi dua rombongan, begitu melihat api
berkobar-kobar disana sini, harus segera menyerbu dari muka dan belakang desa
yang menjadi sasaran mereka itu. Harapannya, Sun Giok Hong yang
menganggap dirinya berkepandaian silat tinggi pasti akan keluar dan meladeni
mereka bertempur, tanpa mengetahui bahwa dia akan dikeroyok oleh orang-orang
yang menjadi musuh-musuh besarnya itu.
Demikianlah usulan Ciok Tiauw Beng, hingga semua orang memuji siasat si
pemimpin yang dikatakan sama lihaynya dengan siasat Cu-kat Khong Beng di jaman
Sam Kok. Sedang permintaan Ciok Tiauw Beng, Kwan Ban Lie, Ong Kui, Wan Gu dan
Liok Houw untuk melakukan tugas perembesan dan pembakaran ke dalam desa Sunkeechung itu, bukan saja dikabulkan oleh Phang Tek, malah dia sendiripun ikut serta
untuk melakukan pekerjaan tersebut.
"Jika nanti sudah tampak sinar api berkobar-kobar" Phang Tek memberi komando
kepada kawan-kawannya, "kalian boleh segera menyerbu ke dalam desa dari dua
jurusan. Setiap orang yang kalian temukan harus langsung dibunuh!. Lebih-lebih jika
bertemu dengan bocah she Sun itu, cincang saja dirinya sehingga menjadi bakso!".
Begitulah, pada petang hari itu juga menjelang tengah malam, mereka dengan
membawa senjata dan bahan-bahan yang mudah menyala segera berangkat dengan
diam-diam ke desa Sun-kee-chung dimana Sun Giok Hong dan isteri justeru tidak
bepergian ke tempat lain. Louw Tek Keng pun kebetulan ditahan oleh Giok Hong
untuk menginap dan menemaninya di rumah.
Petang hari itu, Sun Giok Hong mengadakan sedikit perjamuan yang khusus untuk
para keluarga dan Louw Tek Keng yang menjadi sahabat karibnya. Sambil duduk
makan minum dan mengobrol dengan dilayani oleh sanak saudara Giok Hong yang
bernama Sun Hong dan Sun Yauw, Giok Hong menuturkan riwayat orang gagah di
jaman dahulu dan sekarang. Antara mana, riwayat Ho Goan Ka tidak ketinggalan
untuk dibuat bahan mengobrol yang sangat menarik perhatian sanak saudara Giok
Hong yang berkumpul disitu.
"Ho Su-ya Ho Goan Ka" kata Sun Giok Hong, "sangat ramah tamah dan senang
bergaul dengan orang-orang yang mahir ilmu silat. Ia bertabiat dermawan dan ay-kok
(cinta negeri) dan marah bukan main ketika bangsa Jepang menamakan orang
Tionghoa 'Orang sakit dari Timur'. Ia mendirikan rumah perguruan untuk mempelajari
ilmu silat atas biayanya sendiri. Demikianlah cerita tentang riwayat gedung
perkumpulan Ceng Bu Hwee itu, yang kemudian telah dibuka dengan berturut-turut di
kota-kota lain di negeri Tiongkok kita ini. Sedang Ho Su-ya sendiri yang wajahnya
agak kekuning-kuningan bagaikan orang sakit, sangat mahir ilmu silat Bie-ciong-ge
(ilmu silat membingungkan orang) yang menjadi ilmu silat keturunan Ho sendiri dan
sangat dirahasiakan oleh kaum keluarga Ho yang lebih tua. Untungnya, Ho Su-ya mau
mewariskan kepada siapa yang berbakat baik dengan memberantas larangan keras
yang bersifat tradisionil diantara kalangan kaum keluarganya sendiri. Oleh rekanrekannya
dan jago-jago silat di Tiongkok Utara, ia diberi nama julukan Oey-bian-houw
atau harimau muka kuning".
Sun Giok Hong baru saja hendak menuturkan riwayat Ho Su-ya diwaktu pertama
mempelajari ilmu silat keturunanya, ketika dari kejauhan terdengar suara anjinganjing
menyalak dengan amat riuhnya. Dalam hati, ia mendapat firasat tidak enak
dan lalu berkata, "Aneh benar caranya anjing-anjing itu menyalak. Rupanya di sana
ada orang-orang asing atau kawanan penjahat yang memasuki desa kita ini dengan
secara diam-diam".
Giok Hong sama sekali tidak menyangka, bahwa anjing-anjing itu telah menyalak
karena melihat para penyamun dari Thay-heng-san memasuki desa kelahirannya
untuk menuntut balas kepada dirinya sendiri.
Setelah mendengar anjing-anjing itu menyalak semakin ramai, Sun Giok Hong lalu
minta semua orang supaya berhenti dahulu makan minum dan mengajak mereka
pergi meronda mengelilingi desa. Louw Tek Keng dan sanak saudara Sun Giok Hong
menyatakan ingin turut serta.
Mereka bersiap-siap membawa senjata, untuk mengiringi Giok Hong pergi meronda


Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

desa. Dengan membawa Golok Naga Kembar, menyoren badik beracun dan kantong kulit
yang berisikan Piauw, Giok Hong beramai-ramai menuju ke tempat dimana anjinganjing
itu terdengar menyalak tidak henti-hentinya.
Setelah dicari kian kemari, tidak tampak ada manusia yang berkeliaran di muka
pagar tembok desa itu. "Rupanya mereka hendak masuk dari pagar tembok di
belakang desa" kata Tek Keng.
Giok Hong membenarkan pendapat sahabat karibnya itu. Lalu mereka menuju ke
belakang desa Sun-kee-chung.
Petang hari itu, justeru bulan sedang gelap hingga di langit hanya tampak sinar
bintang-bintang saja yang berkedip-kedip.
Selagi mereka memeriksa keadaan di sekitar desa itu, tiba-tiba dari dalam sebuah
rumah yang beratapkan alang-alang tampak sinar api berkobar-kobar. Giok Hong dan
kawan-kawannya menjadi sangat terkejut dan mengejar ke sana -dengan diikuti oleh
Louw Tek Keng, Sun Hong, Sun Yauw dan yang lainnya. Ketika mereka baru saja
berlari-lari beberapa belas kaki jauhnya, tiba-tiba dari dalam rimba melompat keluar
seorang yang berperawakan tegap sambil membentak, "Ciok Tiauw Beng telah tiba
disini!". Dengan golok di tangan ia menerjang Sun Giok Hong yang berjalan paling dahulu,
hingga kedua orang itu jadi bertempur dengan tidak banyak bicara lagi. Sebelum
pertempuran itu berlangsung dua jurus lamanya, golok Ciok Tiauw Beng telah dibabat
oleh Golok Naga Kembar sehingga putus menjadi dua potong!. Ciok Tiauw Eng tidak
sempat menyingkir, tendangan kilat Sun Giok Hong telah sampai hingga tulang kering
Ciok Tiauw Beng jadi remuk dan jatuh terjungkal ke tanah.
Kwan Ban Lie yang melihat begitu, sudah tentu saja sangat terkejut. Lekas ia maju
menerjang Sun Giok Hong dengan pedangnya yang besar dan berat itu, tapi senjata
ini ternyata tak sanggup meladeni samberan golok Siang-liong-touw-cu-to. Hanya
satu gebrakan saja, pedang Kwan Ban Lie telah putus dengan menerbitkan percikan
api yang berhamburan kian kemari, hingga dengan hati terkesiap, ia melompat
mundur sambil menjumput sebilah golok Liu-yap-to yang lalu dilontarkan ke arah ulu
hati Sun Giok Hong.
Giok Hong yang bermata tajam dan terlebih dahulu telah berjaga-jaga, dengan
sebat telah memukul jatuh golok itu dengan Golok Naga Kembar di tangannya. Golok
kedua telah disambitkan oleh Kwan Ban Lie untuk mengarah tenggorokan Sun Giok
Hong, tapi golok itupun telah berhasil juga disampok oleh Golok Naga Kembar
sehingga terpentel entah kemana jatuhnya.
Kwan Ban Lie jadi jeri hatinya dan segera lompat mundur. Ketika Phang Tek, Wan
Gu, Ong Kui dan Liok Houw berempat maju dari empat jurusan untuk mengepung si
pemuda she Sun dengan serentak.
Giok Hong putar goloknya bagaikan baling-baling cepatnya, dengan mana ia
meladeni keempat orang penyamun itu dengan semangat yang tak kunjung padam.
Selagi pertempuran dahsyat terjadi disana sini, tiba-tiba diluar desa tampak sinar
api obor yang dipasang oleh ketigapuluh orang penyamun dari pegunungan Thayhengsan itu. Malam yang gelap sekonyong-konyong menjadi terang benderang
bagaikan di siang hari.
Dilain pihak, Sun Giok Tien yang ternyata turut juga pulang ke desa kelahirannya,
karuan saja jadi sangat terkejut ketika melihat beberapa rumah terbakar dan
kawanan berandal menyerbu ke dalam desa. Kontan Giok Tien mengajak 50 atau 60
orang keluarganya yang dipecah menjadi dua rombongan, yang sebagian telah
diperintahkan untuk pergi memadamkan api, sedang yang sebagian lagi telah
diajaknya untuk menangkis serangan kawanan berandal yang masuk menyerbu
bagaikan air bah yang membobolkan tanggul.
Penggerebekan kawanan berandal itu tidak membuat keluarga Sun yang
kebanyakan terdiri dari orang-orang yang paham ilmu silat menjadi gentar atau takut.
Selain mereka telah bersedia untuk menangkis serangan musuh, merekapun selalu
menitikberatkan penjagaan desa dengan bekerja sama dengan desa-desa tetangga
sekitarnya. Mereka dapat saling membantu jika terjadi serangan dari luar serupa ini.
Phang Tek dan kawan-kawan menyaksikan penjagaan desa Sun-kee-chung
sedemikian kuatnya, diam-diam jadi mengeluh dan menyesal telah mengambil
tindakan yang begitu gegabah. Bagaikan orang-orang yang menunggang harimau,
kini mereka hendak mundur atau majupun lelah menjadi sama sukarnya.
Louw Tek Keng merasa khawatir atas keselamatan diri Sun Giok 1 long yang
sedang dikepung, segeralah ia datang membatu dengan jalan menceburkan diri di
tengah kalangan pertempuran. Phang Tek yang sedang mencari jalan untuk keluar
dari kalangan pertempuran, keruan saja jadi sangat terkejut dan lekas-lekas
menangkis serangan Louw Tek Keng dengan golok di tangannya.
Bukan saja pengepungan Phang Tek dan kawan-kawan atas diri Giok Hong telah
menjadi gagal, malah mereka sendiri sekarang telah dikepung musuh dari segala
jurusan. Mau tak mau mereka harus bertempur dengan nekad untuk menyelamatkan
diri masing-masing.
Begitu mendapat kesempatan untuk kabur, Phang Tek, Kwan Ban Lie dan yang
lainnya segera mencelat ke atas pagar tembok dan melarikan diri ke dalam rimba
bagaikan binatang-binatang buruan yang dapat meloloskan diri dari dalam
pengepungan. Sayangnya, dua orang yang lari belakangan yaitu Wan Gu dan Liok
Houw, yang seorang telah berhasil kabur dengan membawa piauw Giok Hong yang
menancap di punggungnya. Sedangkan Liok Houw yang berlaku kurang sebat,
belakang kepalanya telah dilanggar oleh piauw yang disambitkan oleh Sun Giok Hong,
sehingga ia jatuh mengusruk dari atas pagar tembok dan dibekuk oleh sanak saudara
Giok Hong. Mereka membelenggunya bersama-sama Ciok Tiauw Beng yang tulang
keringnya remuk dan tak mampu kabur.
Selesai meringkus kedua orang penyamun itu, Giok Hong lalu memerintahkan
beberapa orang sanak saudaranya untuk menahan mereka, sedang ia sendiri bersama
Lauw Tek Keng segera menuju keluar desa untuk membantu para penduduk
mengepung sisa kawanan penyamun yang hendak kabur itu.
Setibanya di sana, ia melihat diantara para pengepung itu, ada seorang perempuan
muda yang bersenjatakan sepasang pedang. Para penyamun tampak segan
melawannya dan mencoba kabur dengan segala macam cara yang mereka bisa
tempuh. Siapakah gerangan perempuan gagah itu".
0oo0 VIII KETIKA Giok Hong memandang sejenak, barulah diketahui bahwa perempuan muda
itu bukan lain daripada isterinya sendiri, Lauw Cay In. Begitu mendengar para
penduduk dan suaminya pergi menempur kawanan penyamun, diapun tak mau
ketinggalan untuk keluar membantu.
Para penyamun yang semula menganggap Cay In adalah seorang wanita dan ilmu
kepandaiannya tentu tak seberapa. Akhirnya meresa terkejut bukan main, ketika
menyaksikan bagaimana dengan sepasang pedang itu, Cay In sanggup melawan 6
atau 7 orang laki-laki yang kasar dan kuat sekaligus. Setelah bertempur beberapa
jurus lamanya, tidak sedikit diantara para penyamun yang hancur nyalinya dan
segera kabur secepat-cepatnya.
Giok Hong yang menyaksikan kegagahan isterinya diam-diam jadi merasa bangga
di dalam hatinya. Louw Tek Keng dengan secara terus terang sangat memuji dan
memberi selamat kepada sahabatnya yang telah memperoleh seorang isteri yang tak
kalah gagahnya, selain berparas elok juga mempunyai kepandaian silat yang tak ada
di bawah tingkat jago-jago silat pria yang ia pernah kenal.
Si pemuda she Sun mengucap terima kasih atas pujian Louw Tek Keng yang begitu
muluk. Mereka berdua mengajak Lauw Cay In dan orang banyak pulang ke desa Sunkeechung dan melihat kawanan berandal itu telah dipukul mundur itu sehingga lari
pontang panting ke dalam rimba.
Setelah kabur 50 atau 60 lie jauhnya dari desa Sun-kee-chung, barulah Phang Tek
dan kawan-kawannya berhenti di dalam rimba. Mereka bersembunyi sambil merawat
orang-orang yang menderita luka-luka sebagai akibat daripada penyerbuan yang
Golok Yanci Pedang Pelangi 6 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pendekar Wanita Penyebar Bunga 16

Cari Blog Ini