Ceritasilat Novel Online

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 4

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 4


Siu Lian memejamkan kedua matanya dan berdiam,
agaknya ia sedang memikir atau membayang-bayangkan ...
Siang Moay lalu berbangkit dan berduduk, dengan
perlahan-lahan ia buka sepatunya.
Selama itu, Siu Lian telah mulai pulas.
Sebagai orang yang teliti, Siang Moay tidak berani lantas tidur, ia malah turun dari pembaringan akan pergi ke
jendela, akan dari jendela kaca mengawasi ke kamar
selatan. Di seberang sana kamar ada gelap.
Selagi menduga-duga, suaminya berani tidur atau tidak,
Siang Moay dengar suara tepukan tangan satu kali di kamar selatan itu.
"Cis," ia berludah. Ia tahu yang suaminya godai ia.
Seterusnya Siang Moay tak tidur lagi, tetapi malam itu,
selanjutnya, lewat dengan tenang tak terjadi apa pun juga.
"Coba kau pergi ke dekat-dekat gedung teetok akan
dengar-dengar ada terjadi apa di sana," kata Siu Lian besoknya pagi pada Lauw Tay Po.
Tay Po menurut, malah ia berlalu dengan segera. Benar
pada saatnya orang bersantap tengah hari, telah kembali
dengan keheranan. Ia segera berikan laporannya: "Aku tidak berani datang dekat pada pintu pekarangan Giok
teetok, dari itu aku suruh Toh Tauw Eng wakilkan aku
pergi mencari tahu. Menurut si Garuda Botak hari ini
gedungnya Giok-tayjin dijaga keras luar biasa dan tak
sembarang orang diijinkan datang dekat pintu gerbang. Toh Tauw Eng lihat sendiri yang dari pintu samping, tempat
keluar masuknya kereta, ada digotong keluar sebuah peti
mati, melainkan tak ada tetabuhan kematiannya. Menurut
katanya, tadi malam di situ telah menutup mata secara tiba-tiba satu guru perempuan ... "
Mendengar itu, Siu Lian perlihatkan senyumannya.
"Secara demikian, Pekgan Holie tak nanti bisa satrukan kau pula!" ia kata.
"Dengan kebinasaannya Pekgan Holie, toacie sudah
singkirkan satu manusia jahat," berkata Tay Po, "tetapi di sebelah itu masih ada satu ancaman bahaya lagi, ialah
muridnya Pekgan Holie. Murid itu aku duga ada salah satu budaknya keluarga Giok, kepandaiannya ada seratus kali
lebih liehay daripada gurunya. Gurunya telah binasa,
mustahil ia tak akan mencari balas untuk gurunya itu?"
Tetapi nona Jie geleng kepala.
"Taruh kata ia berniat mencari balas, tak nanti ia sampai terbitkan kekacauan," ia bilang. "Tadi pun aku telah tempur padanya. Ia memang berkepandaian tinggi, tetapi aku
masih sanggup tandingi padanya. Melainkan aku percaya,
ia tak seburuk gurunya itu!" Kemudian tambahkan, dengan pertanyaannya: "Kau ketahui atau tidak kalau-kalau Pekgan Holie ada dipanggil nyonya guru?"
"Tentang mereka, aku belum dapatkan penjelasan,"
sahut Lauw Tay Po. "Menurut keterangan, penjahat yang mampus ini adalah bujang yang biasa rawat atau layani
Giok siocia, katanya jujur dan baik, dan ia sering pergi ke bio untuk pasang hio. Toh Tauw Eng bilang ia hanya lihat peti digotong keluar tetapi tak ada yang berkabung. Rupa-rupanya Pekgan Holie ada sebatang kara ... "
Siang Moay tertawa melihat sikap suaminya berceritera.
"Sekarang tolong kau carikan aku kereta," kata Siu Lian akhirnya. "Aku hendak pergi ke rumahnya Siauw Hong, sebentar malam aku kembali."
Tay Po menurut, ia lantas keluar. Ia balik tidak lama
kemudian bersama sebuah kereta sewaan.
"Sampai sebentar sore," Siu Lian kata setelah ia naik ke atas kereta itu, yang bawa ia ke rumahnya Tek Siauw Hong.
Seperti diketahui, pada tiga tahun yang telah lampau,
nona Jie tinggal di sebuah rumah dari Siauw Hong, maka
itu bekas rumahnya itu kecuali masih lengkap perabotannya, di situ pun masih ada sejumlah pakaiannya
nona itu, yang tadinya tidak dibawa semua. Tapi sekarang Siu Lian tidak bertempat tinggal di bekas rumah itu, karena ia kata ia akan tinggal di Pakkhia lamanya tiga atau empat hari saja. Di sebelah itu, ia ada bergaul rapat dengan nona mantunya Siauw Hong, selama kedatangannya ini ia terus
berada bersama-sama nona Yo itu, melulu sebab adanya
perkara diri Lauw Tay Po, maka kejadian, di waktu malam
Siu Lian senantiasa nginap pada Siang Moay baru siang
harinya ia pulang ke rumahnya Siauw Hong. Tapi ini ada
baiknya juga bagi Tek naynay, yang selalu repot dengan
persiapan tahun baru: membersihkan rumah, bersiap-siap
pakaian, kue dan lain-lain. Apapula itu hari sudah tanggal dua puluh enam, lagi empat hari orang akan rayakan tahun baru.
Selama ini, nona Yo juga sudah alpa akan latihan silat,
sebaliknya yancie dan pupur ia telah pakai lebihan,
pakaiannya pun ada mewah, sedang di kepalanya, kecuali
perhiasan, bunga pun tak ketinggalan. Cuma dua kakinya,
yang ikatannya telah dilepas, tidak bisa melar dan pulang asal sebagaimana mestinya.
"Nona Jie datang!" demikian itu hari ia berseru kapan ia lihat nona Jie datang. Ia memburu buat unjuk hormat.
Tek naynay juga memburu pada tetamunya yang
istimewa itu. "Oh, adikku!" berkata nyonya rumah yang kegirangan,
"Aku tak habis pikir, kenapa ke mana saja kau pergi, di situ
tentu-tentu ada urusan" Sudah tiga tahun kita berpisahan, sekarang kau telah datang, apa mau kau ketemu Lauw Tay
Po dengan perkaranya yang tak keruan juntrungannya!
Celaka itu si Tay Po! Kau sampaikan seperti tak dikasih
turun dari kuda untuk beristirahat, kau segera saja ditarik diseret untuk bantui ia tangkap penjahat! Dan sekarang
justru di akhir tahun, selagi orang repot sibuk! Sudah,
adikku, sebentar malam kau jangan pergi pula! Biarkan
penjahat injak rumahnya hingga ambruk, kau jangan
pedulikan lagi! Mari kita sama-sama dengan gembira
lewatkan tahun baru di sini!"
Siu Lian tertawa melihat kelakuannya nyonya rumah itu.
"Urusan akan segera beres," ia beritahukan. Ia pergi ke pembaringan dan duduk di situ. "Paling juga sebentar malam, untuk penghabisan kali, aku pergi ke rumahnya
Lauw Tay Po. Isterinya ada satu nyonya muda yang manis
budi ... "
"Memang, aku pun dengar orang bilang nyonya Lauw
tak ada celaannya," Tek naynay kata. "Ia sebenarnya ada gadisnya seorang berpangkat dan bukan sewajarnya ia mau
menjadi nona tukang dangsu. Yang beruntung adalah Lauw
Tay Po, ia dapatkan isteri secara demikian gampang ... "
"Penglihatanku Lauw Tay Po juga bukannya seorang
buruk," Siu Lian kata.
"Buruk memang tidak, hanya ia ada menyebalkan," kata Tek naynay, "ia nampaknya tak kenal prilaku sopan santun!
Ketika keponakanmu dan isterinya yakini silat, ia berani datang dan menonton, dengan berani memuji-muji bagus
juga! Satu kali ia pun berhimpasan dengan Giok sam-siocia, ia ada begitu berani hingga ia tidak mau menyingkir, hal mana membikin aku jadi malu hati. Beda dengan Lie Bouw
Pek yang sopan dan halus prilakunya, sedang ia ada
bersahabat sangat rapat dengan Tek Ngoko-mu! Tay Po tak
punya hubungan persahabatan dengan kita, melulu sebab ia ada saudara misan dari Yo Kian Tong, ia jadi suka datang kemari. Sebenarnya, Yo Kian Tong sendiri tak terlalu suka padanya."
"Begitulah biasanya kebanyakan orang kaum kangouw,"
kata Siu Lian sambil tertawa. Ia mengerti yang nyonya Tek ini tak setujui Tay Po yang bengal dan berani itu.
"Syukur aku tak jadi orang kangouw ... " kata nyonya Tek. "Aku pun girang melihat kau, adikku, meski terus-terusan beberapa tahun telah merantau, kau tetap ada satu gadis suci murni, tidak ketularan cara-cara di luaran! ... "
Lee Hong yang berdiri di belakang mertua perempuannya tidak berani campur bicara.
"Aku ingin lihat Giok Kiauw Liong, atau bertemu
dengannya," kemudian Siu Lian nyatakan.
"Buat ketemui ia, ada gampang sekali," Tek naynay kata.
"Kalau aku perintahkan Siu Jie mengundang, ia akan
datang dengan segera."
"Apakah benar?" Siu Lian tanya.
Nyonya Siauw Hong tertawa.
"Buat mengundang lain orang, belum tentu," ia
menyahut, "tetapi kalau nona Giok, aku tentu bisa undang ia datang. Pada dua hari yang berselang, aku lihat ia di rumahnya Khu toa-naynay. Kita telah kenal baik satu pada lain. Hanya selama beberapa hari ini, aku tahu ia sedang tak bergembira, karena ada dua sebab yang mengganggu
ketenteraman pikirannya. Pertama-tama gangguannya
Lauw Tay Po yang menyangka di dalam gedungnya ada
dikeram orang jahat, entah rase apa. Dalam hal ini
ayahnya, ialah Giok-tayjin, ada sangat tidak puas,
sampaikan pembesar itu kata hendak satrukan Tay Po,
hanya ia belum sampai berbuat demikian, kesatu karena
Tay Po bukan tandingannya dalam hal derajat, dan kedua
ia masih memandang pada Tiat siauw-pweelek, karena Tay
Po jadi kauwsu di Pweelek-hu. Sebaliknya bila tidak
diladeni, ia terus mendongkol. Ini sebabnya, Giok-tayjin jadi berduka, hingga puterinya turut tak senang juga. Sebab kedua ada mengenal diri nona Giok sendiri, yaitu perihal jodohnya. Ia hendak dinikahkan pada satu hanlim jelek,
sedang ia ada elok dan pintar! Maka juga di rumahnya Khu toa-naynay, aku lihat ia menangis, rupanya ia sangat
berduka karena urusan jodoh atau nasib peruntungannya ...
" "Aku tak pedulikan itu urusan semua," kata Siu Lian sambil bersenyum. "Sekarang tolong ngoso undang ia, agar ia datang dengan lekas!"
Tek toa-naynay berpikir karena ini desakan.
"Ada sukar mengundang ia tak dengan alasan," ia nyatakan. "Nah, begini saja: Aku akan adakan satu meja perjamuan, aku nanti undang ia dan Khu toa-naynay,
kapan mereka datang, kau yang nanti temani mereka. Kita
nanti bersantap malam sama-sama!"
"Sekarang tengah hari kita belum dahar, bagaimana kita bisa tunggu sampai waktunya bersantap malam?" tanya Siu Lian, sambil berpikir.
"Bukan, bukannya begitu. Itu hanya ada alasan, tetapi kita minta mereka datang lebih siang. Aku pikir akan
memberi tahu bahwa kau ada di sini agar mereka datang
dengan lekas. Khu toa-naynay sendiri memang ingin sekali bertemu dengan kau. Giok sam-siocia belum kenal kau,
tetapi namamu ia pernah dengar, malah satu kali pernah
tanya aku kapan akan datangnya pula kau kemari."
"Lebih baik tidak sebut dulu namaku," Siu Lian mencegah. "Nanti, sesudah ia datang, baru ngoso ajar kita kenal satu pada lain."
Tek naynay tertawa.
"Tentu kau kuatir ia ketahui yang kau telah bantu Lauw Tay Po!" ia berkata. "Baiklah, aku tidak sebut namamu.
Sekarang juga aku kirim orang untuk undang ia!" Ia lantas minta tolong nona mantunya pergi keluar buat perintah
budak pergi beritahukan Siu Jie buat ia undang nona dan
nyonya itu. Nyonya Tek dan mantu lantas undurkan diri buat salin
pakaian, untuk menyambut tetamu, Siu Lian pun tukar
pakaian serba hijau, sepatunya sulaman. Rambutnya ia
bikinkan kuncir baru dan dipakaikan sedikit minyak, ia
pakai pupur tipis-tipis dan yancie juga.
Kapan sebentar kemudian Tek naynay kembali dan lihat
dandanannya Siu Lian, ia tertawa.
"Dengan berdandan begini, nampaknya kau ada terlebih manis daripada Giok Kiauw Liong!" kata nyonya rumah sambil tertawa.
Itu waktu budak muncul mengundang bersantap, di
ruangan dalam. Selagi mereka bersantap, Siu Jie muncul di jendela luar
akan sampaikan laporannya: "Khu toa-naynay hendak
pulang ke rumah orang tuanya, ia tidak bisa datang. Buat undangan itu ia menghaturkan terima kasih. Giok sam-siocia pasti akan datang sebentar jam empat!"
"Begitu waktu baru mau datang, siapa bisa tunggui ia?"
kata Siu Lian. "Jika demikian, lebih baik kita undang ia bersantap tengah hari!"
Tek naynay bersenyum, ia hiburkan tetamunya ini.
Mereka bersantap sambil bercakap-cakap. Secara begini
sang tempo dilewatkan hampir tak terasa.
Benar di waktu lohor, Siu Jie datang dengan warta "Giok sam-siocia datang!"
Tidak ayal lagi Tek naynay berbangkit dan pergi keluar
untuk menyambut.
Lee Hong samperi kaca akan bereskan pakaiannya,
kemudian ia susul mertuanya akan turut sambut puterinya
teetok. Siu Lian juga berbangkit. Ia tidak usah menunggu lama
lantas ia dengar suara bicara tercampur tertawa di sebelah luar, maka lekas-lekas ia pergi ke jendela, akan melongok keluar.
Bab IV Nyonya rumah dan mantu telah pimpin masuk satu nona
umur tujuh atau delapanbelas tahun, tubuh siapa ada
jangkung dan langsing tetapi tidak "lemah" sebagaimana yang ia tadinya sangka. Nona itu ada pakai mantel tetapi dari situ ada tertampak sedikit rambutnya yang dikepang, di mana pun ada nancap burung-burungan hong dari benang
wol merah dadu yang indah. Pupur dan yancie-nya terang
ada dari bahan yang mahal, sebagaimana dapat dilihat dari warnanya yang campurannya tepat sekali, halus dan hidup.
Nona itu benar-benar ada elok sekali dan toapan, suaranya tedas dan halus tetapi tidak nyaring. Sebagaimana nyonya rumah minta ia jalan lebih dahulu tetapi ia menampik.
"Kau datang ke rumah kita, cara bagaimana kita bisa jalan di muka?" kata Tek naynay yang memaksa.
"Silahkan siauw-naynay yang jalan lebih dahulu!" kata sam-siocia yang tetap menampik.
Tapi Lee Hong mundur.
Giok Kiauw Liong ada diiring oleh tiga budak, yang
ketiga malah dandan lebih mentereng daripada Yo Lee
Hong. Mereka ini tertawa melihat orang saling merendahkan diri.
"Tek thaythay, harap kau tidak terlalu seejie!" kata mereka itu.
Sampai di situ, Siu Lian bertindak ke pertengahan dalam, tetapi ia tidak masuk terus, ia berdiri di belakang tirai, hingga ia masih bisa dengar Tek naynay undang Giok
Kiauw Liong masuk dan duduk di thia itu di mana mereka
terus bicara sambil menghadapi teh wangi.
"Aku sebenarnya niat tengok ngoso, tetapi karena kuatir ngoso lagi repot, aku batalkan niatanku itu. Lagipun
kedatanganku saja tentu siauw-naynay jadi repot ... "
"Ah, tidak," sahut Lee Hong, yang merendah.
"Sebenarnya aku tidak undang sam-siocia saja, juga Khu toa-naynay," Tek naynay kemudian memberi tahu, "sayang ia mau pulang ke rumah orang tuanya hingga ia menampik
dengan terpaksa. Sekarang ini ada hari-hari dari akhir
tahun, aku percaya sam-siocia sedang repot, seharusnya aku menunggu sampai habis tahun baru, tetapi kebetulan aku
telah kedatangan satu tetamu, aku tidak bisa menanti lagi.
Tetamu itu, yang sudah datang sejak dua hari adalah
seorang yang kenamaan yang siocia pernah menanyakan
dan ingin bertemu dengan ianya. Ia sekarang ada di sini, ia juga ingin ketemui siocia."
"Siapa ia itu?" tanya Giok Kiauw Liong, yang unjuk roman tak ingat. Ia menanya sambil tertawa.
"Ah, tetamu sudah datang, ia belum juga muncul!" kata Tek naynay, yang seperti tidak ladeni tetamunya.
"Mantuku, pergilah kau undang tetamu kita itu!" Kemudian ia teruskan pada tetamunya, dengan perlahan: "Ia ada nona Jie Siu Lian. Ia datang belum lama tapi lagi dua hari ia hendak pergi pula. Ini hari kita telah berdaya menahan ia di sini, karena aku ingin ia bersilat dengan sepasang pedang untuk siocia saksikan!"
Sementara itu Lee Hong, sambil tertawa telah bertindak
ke dalam. "Giok Kiauw Liong sudah datang, mertuaku minta kau
ketemui ia," ia kata, seperti berbisik, karena nona itu masih berdiri di tempatnya sembunyi.
Siu Lian bersenyum, ia bertindak keluar.
Ketika itu Giok Kiauw Liong telah berbangkit dan
menoleh, kapan ia lihat romannya Siu Lian, dengan tak
merasa wajahnya sedikit berubah seperti orang kaget, hanya ini untuk sejenak saja, atau ia telah kembali tenang seperti biasa.
Tek naynay segera datang sama tengah.
"Inilah Giok sam-siocia," ia perkenalkan sambil tertawa.
"Inilah Jie siocia, guru dalam keluarga kita. Kebetulan sekali bagi kau berdua, yang satu ada gemar ilmu silat, yang lain gemar menyaksikan pertunjukannya!"
Siu Lian bersenyum dan manggut pada itu nona agung,
tetapi matanya dengan tajam ada ditujukan pada mukanya
orang. Kiauw Liong juga manggut sambil perlihatkan tertawa
yang tak sewajarnya, tetapi ia pun mengawasi.
Setelah itu, Kiauw Liong tiba-tiba tertawa.
"Aku merasa bahwa aku seperti kenal encie Jie ini!" ia berkata.
"Aku juga seperti kenal kau!" Siu Lian pun berkata, sembari bersenyum. "Rupanya seperti tadi malam kita bertemu satu pada lain! ... "
"Terang kau telah saling bertemu dalam impian!" Tek naynay berkata sambil tertawa. "Hayo, silahkan duduk, silahkan duduk!"
Lee Hong sudah lantas datang dengan cangkir-cangkir
teh. "Sudah lama aku telah dengar tentang kau dari Tek
ngoso," kemudian Giok Kiauw Liong berkata pula.
"Menurut ngoso kau ada punya kepandaian tinggi, encie."
"Jikalau dibandingkan denganmu, kepandaianku ada
kalah jauh," sahut Siu Lian. "Aku melainkan bisa loncat naik ke atas wuwungan tetapi tidak mampu lompat nyeplos
di jendela ... "
Wajahnya Kiauw Liong kembali berubah, tetapi ia
nampaknya tak mengerti.
"Apakah encie datang untuk lewatkan tahun baru
bersama Tek ngoso di sini?" Kiauw Liong tanya,
senyumannya tak ketinggalan.
Tetapi Siu Lian geleng kepala.
"Tidak," ia menyahut, "aku datang ke Pakkhia ini untuk belanja sedikit barang umpama sutera hijau untuk pelangi kepala dan sapu tangan, begitu juga dua lembar kulit rase ...
" "Kebetulan sekali, kabarnya tahun ini kulit rase harganya murah!" sahut si nona puteri teetok.
"Meskipun demikian mesti dibedakan rase besar dengan rase kecil. Rase besar tak berharga dan rase kecil sukar didapatinya ... "
Kiauw Liong tertawa, sambil tunduk ia hirup air tehnya.
Hatinya Tek naynay tidak tenteram, karena ucapanucapannya Jie Siu Lian.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dasar nona kangouw," ia berpikir, "terhadap orang baru, ia tak tahu bagaimana harus bicara ... "
Maka kembali ia maju di tengah, akan dengan
ucapannya ke sampingkan pembicaraan kedua orang itu.
Budaknya Kiauw Liong yang memegang mantel awasi
Siu Lian, setelah mana, ia mundur ke pinggiran.
Lee Hong pandang nona Jie, ia pun agaknya tak tenang
hatinya. "Hari ini nona Jie kenapakah?" ia pun berpikir. "Justru selama ini orang sedang ramai membicarakan perkara
Pekgan Holie, kenapa ia datang-datang omong tentang rase.
Apakah ia bukannya sedang menyindir?"
Giok Kiauw Liong pandang Siu Lian sebentar, ia lalu
menoleh pada Tek naynay.
"Urusan yang mengenai rumah-tangga kita masih belum selesai," ia kata. "Di luaran cerita burung tersiar tambah hari tambah meluas, hingga ayahku masgul dan berniat
meletakkan jabatan. Ibuku juga berduka setiap hari ... Ini sebabnya kenapa tadi begitu datang orang suruhan ngoso
yang mengundang aku, aku datang dengan segera. Aku
sendiri tak gembira ... "
Dengan mendadak, air mukanya si nona ini menjadi lesu
atau masgul. Tek naynay mendapat jalan karena nona Giok mulai
dengan urusan di rumahnya itu.
"Bukankah semua bujang di sana ada orang-orang
lama?" ia tanya sambil kerutkan alis.
Kiauw Liong duduk dengan dua tangan di atas lututnya,
kepalanya tunduk.
Ia pakai kiepauw hijau terang. Dengan kepala ditunduki,
mutiara yang tergantung di pacoknya burung-burungan
hong di kepalanya jadi bergoyang-goyang.
"Meskipun mereka semua ada orang-orang lama," ia menyahut, dengan suara berduka, "toh ada sukar untuk diketahui di antaranya ada orang jahat atau tidak ... Ayah anggap bahwa ceritera di luaran tak boleh dipercaya, di
sebelah itu ia perlu melakukan pembersihan di dalam
rumahnya untuk singkirkan segala kecurigaan. Sekarang ini ayah pikir akan berhentikan semua orang lama, akan tukar dengan yang baru, setelah itu, ia hendak meletakkan
jabatan. Tetapi beberapa sanak dan kenalan tak setujui
putusan itu, mereka membujuki agar ayah jangan bertindak getas sedemikian. Mereka beranggapan kenapa buat
tuduhan yang tak berdasar ayah mesti undurkan diri, hingga ayah jadi seperti mensia-siakan budi pemerintah. Di sebelah itu juga ada beberapa bujang dari siapa ibuku tak bisa
berpisah. Oleh karena ini, sampai sekarang masih belum
didapat pemecahan tindakan apa yang kita akan ambil, aku duga sebelum tahun baru penyelesaian tak bisa diharapkan dapat kejadian. Aku sendiri berdiam di lain kamar, aku
biasanya tak terlalu pedulikan urusan rumah tangga, tetapi kapan aku lihat semua orang ada berduka, aku turut
menjadi tak gembira. Dalam satu malam, aku sadar
beberapa kali. Coba pikir, ngoso, siapa bisa merasa berlega hati?"
Tek naynay manggut-manggut, ia pun tampaknya jadi
tak bergembira.
"Ya, itu adalah urusan yang tak dapat diduga-duga!" ia nyatakan. "Sepotong batu kecil bisa bikin orang kesandung dan keserimpet! Kelihatan adalah ayahmu yang terlalu baik budi, sam-siocia. Mana ia boleh tak ambil tindakan"
Sebenarnya, kalau terang ada orang dalam yang buruk,
orang itu mesti diusir dengan segera! Dan kalau ada orang luar yang main gila dengan siarkan ceritera dusta, ia mesti lantas dibekuk!" ia lalu menoleh pada Siu Lian: "Adik Jie, kau pun harus jangan percaya Lauw Tay Po di satu pihak!
Kau lihat sendiri, bagaimana itu kawanan orang luntanglantung membikin rumahnya orang jadi tak aman dan
kusut! Kau ada satu liehiap, kau biasa membela perkara
yang tak adil, maka baiklah kau bunuh saja Lauw Tay Po!"
Sebelum Siu Lian menyahut, Kiauw Liong sembari
tertawa mendahului berkata.
"TayPo tak dapat disesalkan!" demikian katanya. "Jika ia tak dapat tunjangan dari seorang yang berpengaruh, tak
nanti ia berani berlaku demikian. Lain dari itu, bujang dan budak kita memang ada terlalu banyak, hingga sukar akan
memastikan di antaranya tak ada yang calang. Peribahasa
pun bilang, 'tanpa angin, rumput tak bergoyang-goyang'.
Kenapa Tay Po tidak uwarkan ceritera burung mengenai
keluarga lain, hanya justru keluarga kita" Maka ... "
"Itulah sebab ayahmu ada terlalu jujur," Tek naynay menyambung. "Rupanya ayahmu telah lakukan sesuatu
yang membikin itu kawanan luntang-lantung jadi tidak
senang hati dan mendendam. Lauw Tay Po itu ada
semacam kepala buaya darat dan ia justru andalkan
pengaruhnya Tiat siauw-pweelek ... "
Kiauw Liong menghela napas, dengan perlahan, ia
menoleh pada nona kita.
"Coba aku ada seperti encie Jie," ia berkata. "Aku boleh tak usah mengerti silat, asal aku bisa keluar dengan
merdeka, sudah cukup ... "
"Kau ada satu ciankim siocia," kata Tek naynay,
"jangankan pergi keluar, melangkah setindak dari kamar saja, kau mesti ada budak dan bujang tua yang pepayang!
Beda dengan aku punya adik Jie ini. Ia ada dari keluarga piauwsu, sejak masih kecil ia sudah ikut-ikutan orang
tuanya merantau di dunia kangouw."
"Oleh karenanya aku jadi kagumi encie Jie!" Kiauw Liong bilang. "Encie, beruntung sekarang kita bisa bertemu, maka selanjutnya aku minta kau pandang aku sebagai adik
saja, jangan sebagai orang luar ... "
Mendengar demikian, Lee Hong pandang Kiauw Liong
terus pada gurunya.
Buat sesaat Siu Lian tertegun. Ia bersangsi karena ucapan dan sikap orang. Apa benar Kiauw Liong ada gadis tulen,
gadis pingitan yang selalu keram diri di dalam kamar,
hingga tak ketahui urusan apa juga di luaran" Nona ini ada lemah lembut, suaranya halus dan mendatangkan rasa
kasihan. "Apakah aku tak bicara terlalu keras?" demikian ia pikir lebih jauh.
Toh, dengan memandang yang tubuh dan dedak badan,
nona ini mirip benar dengan lawannya yang bersenjata
pedang mustika tadi malam, sedang kakinya ada kaki besar, kaki sewajarnya. Sekarang nona ini memakai sepatu sulam
yang indah, jikalau itu ditukar dengan sepatu lelaki, apakah bedanya"
Siu Lian lantas perhatikan lengannya orang. Ia melihat
sepasang gelang emas yang indah, dengan cincin-cincin
yang mahal di jari-jari tangan. Pun di lengannya ada gelang kumala polos. Hanya tangan itu ada putih dan halus, tak
mirip dengan tangan yang biasa mainkan pedang ...
Ketika itu Kiauw Liong awasi Siu Lian di hadapannya.
"Aku bukannya orang yang biasa omong sungkansungkan," kata Siu Lian sambil tertawa. "Mendengar kau, siocia, urusan di rumahmu itu bukanlah urusan biasa saja.
Aku telah hidup empat, atau lima tahun didalam kalangan
kangouw, kejadian apa juga aku pernah hadapi, apapula
perkara kejahatan seperti pencurian. Di dalam hal
demikian, untuk menyingkir dari tangannya polisi atau
pembesar negeri, si penjahat suka sembunyikan diri, dengan tukar she atau nama. Atau menyamar dari lelaki menjadi
perempuan dan bekerja sebagai bujang. Bila terjadi
demikian, bujang atau perempuan tetiron itu suka ganggu
anak dara orang, dengan tempel atau pengaruhi anak dara
itu, tidak peduli lelaki atau perempuan, ia biasa menekan atau memeras dengan melihai cacat atau kelemahan orang.
Dalam hal demikian, kendati terang ia bersalah, pihak
majikannya tidak bisa cekal padanya untuk diserahkan pada yang berkuasa."
"Tentang kejadian semacam itu aku pernah dengar,"
Kiauw Liong kata, sambil manggut. "Akan tetapi di dalam gedungku itu tak akan terjadi. Di rumahku cuma ada ayah
dan ibu serta aku bertiga. Kanda dan enso-ku berada di
tempat jabatannya."
"Keluarga siocia berjumlah kecil, sebaliknya hambahamba ada banyak, itulah bisa terjadi yang penilikan ada kurang," Siu Lian kata. "Penglihatanku melainkan siocia saja yang harus pikirkan daya, ialah untuk cari tahu jelas asal-usulnya sekalian bujang lelaki atau perempuan untuk
mencegah dan melenyapkan syak wasangka di luaran itu.
Aku kuatir, apabila sampai terjadi lain peristiwa pula,
umpama kata ayah siocia meletakkan jabatan, itu sudah
kasep, sudah tak ada faedahnya lagi. Diri sendiri ada
menjadi Kiubun Teetok, tetapi di dalam rumahnya ada
mengeram penjahat, itu adalah dosa yang tak kecil! Apabila itu terjadi, siocia, kau sendiri tak akan luput dari noda puthauw!"
Giok Kiauw Liong tercengang akan dengar pengutaraan
itu. Tek naynay menghela napas, ia setuju akan pengutaraan
nona Jie itu. "Andaikata kau yang menjadi Giok sam-siocia, kau tentu bisa bekerja dengan gampang," kata nyonya rumah itu,
"dengan ancaman golok kau bisa paksa sesuatu bujang memberikan keterangannya! Tidak demikian dengan sam-siocia ... Buat siocia, jumlah bujangnya saja ia tak tahu ada berapa! Laginya, di mana ada satu siocia memeriksa
bujang-bujang apalagi bujang-bujang lelaki?"
Kiauw Liong menghela napas.
"Coba kedua engko-ku ada di rumah, semua tentu bisa diurus," ia kata dengan penyesalannya.
"Tidak usah sampai semua looya turun tangan," Tek
naynay bilang, "asal saja ada thaythay atau naynay yang pandai bekerja, urusan itu bisa diselesaikan. Satu siocia mirip dengan satu tetamu, maka itu ia mana bisa bekerja?"
Lee Hong isikan semua cangkir.
Giok Kiauw Liong, yang nampaknya duka, lantas
berbangkit. Tek naynay bangun dari kursinya diturut oleh Siu Lian.
Satu bujang menambah bahan api di dalam perapian.
Nona Giok bertindak ke meja panjang dari kayu hitam,
di atas itu ada dua tokpan dengan bunga suisian yang
indah, putih laksana kumala, dan pusunya kuning bagaikan emas, daunnya hijau segar, sedang harumnya menawan
hati. "Bunga ini indah sekali," kata nona itu seraya menunjuk.
"Di kamarku pun ada ditaruhkan dua tokpan dengan bunga demikian, tetapi sehingga kini masih belum mau mekar."
"Boleh jadi disebabkan kamarnya terlalu dingin," Tek naynay jawab. "Perapian di ruangan ini tidak dipadamkan selama seantero malam."
Kiauw Liong manggut, ia awasi itu bunga, dengan
pikirannya rupanya bekerja.
Tek naynay dan nyonya mantunya pandang tetamunya
yang sangat mereka kagumkan, karena nona itu ada elok
sebagai bunga suisian, pakaiannya menambah kementerengannya. Dalam sikap demikian si nona ada
mirip dengan nona di dalam gambar.
Siu Lian juga mengawasi, tetapi dengan hati memikir
untuk mencoba-coba ...
"Aku mesti dapat kepastian!" demikian ia pikir, setelah mana ia lantas unjuk sikap lain.
"Bunga sebagai ini aku belum pernah lihat!" ia kata sembari tertawa. "Ngoso adalah satu penanam bunga yang pandai!"
Ia bertindak ke jurusan Kiauw Liong, sampai sejarak dua
tindak, di waktu mana ia lalu tempelkan tubuhnya.
"Adik Giok, bajumu ini ada dari bahan apa?" ia tanya sambil tertawa. "Coba aku lihat!"
Sembari kata begitu, Siu Lian ulur tangannya, dengan
sikap hendak meraba baju, tetapi dengan tiba-tiba
tangannya menjurus ke dada orang, untuk ditotok.
Belum ujung jari mengenai baju atau Kiauw Liong cepat
luar biasa sudah bekap tangannya itu, benar wajahnya
berubah sedikit, toh ia bisa tertawa.
"Eh, encie Jie, kenapa tanganmu begini dingin?" ia tanya.
Sebelumnya menyahuti, Siu Lian sudah tarik pulang
tangannya dan balik menyekal lengannya orang, gerakannya mirip dengan gencatannya dua batang golok.
Kalau gencatan ini mengenai tangan orang biasa yang
tak mengerti silat, orang itu mestinya sudah menjerit
kesakitan, tetapi tidak demikian dengan nona Giok,
wajahnya dan sikapnya biasa saja, malah tenang.
"Encie, jangan main-main," ia kata sembari bersenyum.
"Tanganmu dingin, aku takut! ... "
Dengan bersenyum bikinan, Siu Lian tarik pulang
tangannya. Kiauw Liong segera minggir sedikit jauh dari Siu Lian.
"Aku tahu sudah," kata Siu Lian seorang diri sambil matanya mengawasi bunga suisian.
Tek naynay heran dan tertegun.
"Kau tahu apa, adikku?" ia tanya.
"Orang tak dapat dustakan aku," sahut Siu Lian. "Orang mesti siang-siang omong terus terang ... "
"Perkara apakah itu yang kau dapat tahu?" Tek naynay tegaskan dengan masih gelap akan maksud kata-kata itu.
"Aku tahu yang kau telah gunai hawa api akan bikin
hangat bunga suisian ini," akhirnya Siu Lian jawab.
"Dengan hawa itu kau bikin bunga ini jadi seindah ini ... "
Tek naynay lantas tarik tangannya orang, ia tertawa.
"Cukup, adikku, cukup, janganlah kau bikin dirimu
seperti baru datang dari pedusunan!" ia kata. "Mustahil bunga suisian mesti dihangati."
Siu Lian tertawa.
Itu waktu Giok Kiauw Liong sudah kembali ke kursinya,
ia minum tehnya. Tangan bajunya yang panjang ia kasih
turun, hingga kedua tangannya jadi ketutupan.
Lee Hong pandang nona Giok dan gurunya, melihat
mereka, ia jadi heran sendirinya. Toh ia tidak kata apa-apa.
Tek naynay kelihatannya tak gembira sebagai semula,
tetapi dengan tetap manis ia layani Kiauw Liong, sampai
datang waktunya ia perintah siapkan barang hidangan
untuk bersantap sore.
Maka bujang-bujang lantas repot mengatur meja,
menyediakan barang makanan.
"Mari duduk," kemudian Tek naynay undang kedua tetamunya. Kiauw Liong diminta duduk di kursi pertama,
Siu Lian kedua, ia yang ketiga.
Lee Hong diminta duduk sama-sama tetapi ia menolak.
"Mari duduk, siauw-naynay," kata Kiauw Liong. "Tidak apa, kita ada di antara orang sendiri, jangan pakai banyak adat peradatan! Silahkan duduk!"
"Kau duduklah," Tek naynay mengasih ijin.
Lee Hong mengucap terima kasih, ia lalu duduk di kursi
paling bawah. Duduk di sampingnya Giok Kiauw Liong, Siu Lian
mesti mencium bau harum dari pakaiannya puteri teetok
itu. Ia taruh kedua tangannya di atas meja, tetapi dengan kakinya diam-diam ia bentur betisnya Kiauw Liong.
Kiauw Liong diam saja atas itu perlakuan, hanya
secawan arak ia bawa ke depannya si nona.
"Encie, minumlah," ia mempersilahkan.
Dengan memakai tenaga, Siu Lian sekalian tarik
tangannya atas mana nona Giok kerutkan alis akan tetapi
tidak kata apa-apa.
Sembari tertawa, nona Jie lantas minum tehnya. Ia lantas mulai mau bicara, dengan gembira, dan Kiauw Liong
layani ia dengan girang, dengan sikapnya sebagai sahabat lama.
Kapan sebentar lilin-lilin mulai dipasang, cahayanya api menyinari Kiauw Liong, bikin tampangnya si nona jadi
semakin mentereng bagaikan dewi saja ...
Orang tidak duduk terlalu lama di medan pesta. Setelah
semua sudah bersihkan mulut, mereka kembali bercakapcakap pula. Di saat kentongan berbunyi sebagai tanda jam satu,
Kiauw Liong berbangkit untuk pamitan dari nyonya rumah,
Tek naynay hendak mencegah, tapi nona itu berkata:
"Maaf, aku perlu pulang, di rumah kebetulan ada urusan, ada kurang baik bila aku pulang terlambat."
Tek naynay tidak mau memaksa.
"Encie," kemudian Kiauw Liong kata pada Siu Lian,
"lagi dua hari aku akan sambut kau di rumahku untuk kita sama-sama rayakan tahun baru!"
"Terima kasih," sahut Siu Lian sambil bersenyum.
Beberapa bujang lantas membuka jalan sambil membawa
lentera. Kiauw Liong bertindak dengan diiringi oleh budak-budaknya, mantelnya
yang besar ia telah pakai menyelubungi dirinya.
Siu Lian mengantarkan sampai di pintu angin lalu
undurkan diri akan terus kembali ke kamarnya. Di sini ia lantas tertawa seorang diri.
Tidak antara lama, Tek naynay pun kembali sehabis
mengantar tetamunya, ia kasih lihat roman menyesalkan
tetapi sembari bersenyum.
"Adikku, kau kenapa ini hari?" ia tanya. "Kenapa terhadap nona Giok Kiauw Liong kau tak berlaku seejie
sedikit juga" Syukur ia tak punya sikap dari satu nona
agung yang jumawa."
Siu Lian tidak gusar bahwa ia disesalkan, ia malah
tertawa. "Aku ada seorang hutan," ia menyahut, "dan itu aku tak bisa bicara secara halus dengan nona dari kalangan atas.
Syukur ia pun mau bicara denganku, coba ia ada orang lain, siapa kesudian ladeni padanya?"
"Adikku, aku minta pertolonganmu," kemudian kata Tek naynay dengan sungguh-sungguh. "Harap kau memandang aku, janganlah kau bantu lebih jauh pada Lauw Tay Po


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan menghinakan lain orang ... Apabila ada terjadi suatu apa, ngoko-mu dan aku sungguh akan jadi malu sekali ... "
"Ngoso boleh tetapkan hati," Siu Lian menghibur.
"Jikalau aku bekerja, aku tentu akan menjaga dan akan memandang ke sana dan kemari, supaya semua pihak tak
mendapat malu, terutama aku tak akan terbitkan gara-gara bagi ngoko dan kau sendiri. Sebentar aku hendak pergi pula
kepada Lauw Tay Po, besok urusan akan jadi beres, supaya aku bisa lantas berangkat pergi!"
Tek naynay terperanjat.
"Kenapa kau tidak sebagaimana dulu?" ia tanya. "Kau seperti telah berubah adat, adikku?"
Siu Lian tidak jawab itu enso, hanya ia memandang Lee
Hong dan tertawa. Tapi nona Yo jadi tercengang karena tak bisa bade maksudnya Siu Lian.
Siu Lian minum teh, sampai dua cangkir, setelah itu, ia
lalu salin pakaian dengan baju dan celana hijau, dengan
sepatu hijau juga, kemudian ia lari keluar akan kasih titah siapkan kudanya. Kemudian ia kembali ke dalam akan
pakai mantelnya.
"Orang-orang kaum kangouw paling sukar ubah adat!"
kata Tek naynay dengan menghela napas. "Jikalau aku ada seorang lelaki, pasti aku tak mau nikah orang perempuan
semacam kau! ... "
Siu Lian tertawakan nyonya rumah itu.
"Apabila kau menikah pada orang seperti Giok Kiauw
Liong, kau pun akan gagal!" ia bilang sambil tertawa terus.
Lantas saja ia bertindak ke luar. Ketika ia sampai di kamar tulis, di mana cahaya api ada terang menggenclang, ia
dengar suaranya Siauw Hong sedang membaca syair seperti
bernyanyi. Ia terus pergi ke belakang, ke istal, di mana sudah siap kudanya yang berwarna dauk. Ia tuntun kuda itu sampai keluar pekarangan, di sini ia loncat naik atas
kudanya yang ia lantas kasih lari congklang.
Di atas langit, sejumlah bintang pancarkan cahayanya
yang berkelak-kelik. Dari sebelah depan, angin dingin ada menyambar keras. Di jalan besar ada kedapatan beberapa
kereta sedang berlalu lintas. Di tepi jalan ada orang-orang
ronda atau tukang pukul kentongan yang berdiri mirip
dengan setan atau roh-roh ...
Siu Lian kasih kudanya lari di jalan-jalan besar,
berketoprakannya kaki kuda terdengar nyata. Jalanan
memang ada jalanan yang teralas batu. Tidak terlalu lama ia sudah sampai di Hoawan Taywan, rumah di mana Lauw
Tay Po ada menumpang tinggal pada Tek Lok. Di dekat
pintu, ia samperkan tembok, ia berdiri di atas kudanya itu akan melongok ke dalam.
Di ruangan utara ada terlihat cahaya api.
"Adik Coa, buka pintu!" ia lalu memanggil.
Tak ada suara penyahutan akan tetapi Siang Moay
keluar bersama suaminya, hingga mereka lihat separuh
tubuhnya si nona di antara tembok pekarangan.
"Lekas buka pintu!" kata Siu Lian sambil tertawa.
Siang Moay lari ke pintu dan membukainya, Ia lihat Siu
Lian datang dengan tunggang kuda.
"Jie toacie, apakah kuda ini kau punya?" ia tanya dengan kegirangan.
Siu Lian manggut seraya terus loncat turun dari
kudanya. "Aku tidak gembira berjalan, maka aku tunggang kuda!"
ia menyahut. "Apakah kau bisa tunggang kuda?"
"Bisa, tetapi tidak pandai!" Siang Moay jawab. "Aku pun tidak bisa kasih pertunjukan dangsu di atas kuda ... "
Tetapi ia hampirkan kudanya Siu Lian dengan niatan
akan coba menaikinya. Tay Po yang bisa duga hati orang,
segera mencegah.
"Undanglah toacie masuk!" kata ini suami.
Dengan terpaksa Siang Moay mesti batalkan niatannya.
Ia ajak tetamunya masuk.
Tay Po sambuti kudanya si nona, setelah tutup pintu,
lantas ia tuntun kuda itu terus ke dalam.
"Tadi di rumahnya Tek ngoya aku telah bertemu satu
sahabat kangouw," kata Siu Lian sembari tertawa pada Siang Moay. "Berbareng aku pun telah dapatkan sedikit keterangan tentang urusan kita. Sebentar aku hendak pergi, aku harap yang aku bisa dapatkan pulang pedang mustika
itu. Pekgan Holie telah binasa, urusan bisa dibilang sudah selesai, kita tak usah menarik panjang lagi."
Siang Moay kelihatan penasaran.
"Tetapi yang dengan piauw binasakan ayahku adalah si rase kecil!" ia kata dengan sengit. "Sebelum aku bisa bekuk ia itu, bagaimana aku bisa merasa puas?"
"Pertempuran itu malam dilakukan dalam gelap petang, mana dapat dipastikan siapa yang telah gunakan piauw?"
kata Siu Lian. "Gara-garanya adalah Pekgan Holie,
sekarang ia sudah binasa, urusan boleh dianggap sudah
beres. Kenapa kau tak bisa memberi ampun?"
Itu waktu Tay Po bertindak masuk, dengan suara
perlahan-lahan ia terus berkata: "Kho sunio yang tadi malam binasa di gedungnya Giok teetok benar-benar ada
Pekgan Holie. Giok cengtong sendiri sudah ketahui hal itu, ia tadi tidak datang ke kantor untuk bekerja, katanya ia dapat sakit, penyakit lamanya kumat, hingga ia mesti
berdiam di rumah untuk beristirahat. Di luaran ada tersiar kabar yang Giok cengtong hendak meletakkan jabatan."
Kemudian bertiga mereka bicarakan lain-lain hal, sampai
kira-kira jam dua, Siu Lian berbangkit dan rapikan
pakaiannya. Goloknya yang tinggal sebelah, ia selipkan di belakangnya, lalu ia pakai mantelnya.
"Coba bukakan aku pintu," ia kata pada Siang Moay.
"Sebentar lewat jam tiga aku akan kembali," pesan Siu Lian selagi ia keluar di pintu pekarangan, kemudian ia langsung menuju ke arah utara, dari situ menuruti tembok ia ambil jurusan barat. Langit ada gelap, di tengah jalan ia tak lihat siapa juga. Ia perhatikan jalanan yang kemarin ia ambil
waktu mengejar Pekgan Holie, karena ini, ia mesti ambil
tempo lebih lama dari sebagaimana mestinya. Benar pada
jam tiga, ia sampai di depan gedung Giok teetok. Pintu
pekarangan tidak ada yang jaga.
Siu Lian buka mantelnya, lalu ia loncat naik ke atas
tembok terus ke atas genteng. Dengan jalan di genteng, ia menuju ke taman di mana kemarin ini ia tempur Pekgan
Holie dan muridnya.
Di gunung-gunungan batu ada digantung dua lentera, di
situ pun ada beberapa orang jalan mondar-mandir. Ia tidak gubris orang-orang itu, ia ambil jalan lain melalui beberapa undakan gedung, hingga ia dapat cari jendela dari mana
kemarin lawannya noblos masuk. Di sini ia merayap ke
payon di betulan jendela akan melongok ke bawah.
Dari dalam kamar ada keluar cahaya api, Siu Lian heran
melihat itu. "Kenapa sampai begini waktu Giok Kiauw Liong masih
belum tidur?" ia berpikir. Ia lantas taruh mantelnya di atas genteng, ia jambret payon, tubuhnya dikasih turun dengan hati-hati. Ia berdiri di muka jendela sekali, ia mengintip ke dalam. Tirai cita ada menghalangi ia memandang ke
sebelah dalam, dari itu dari sakunya ia keluarkan gunting kecil buat dipakai membikin lubang di tirai itu. Sekarang ia bisa melihat ke dalam dengan nyata.
Kamar itu ada terang tetapi tidak ada orangnya. Di atas
meja ada sehelai kertas, dengan matanya yang jeli, Siu Lian bisa lihat huruf-huruf yang tertulis di atas kertas itu, sebab huruf-huruf itu besar. Ia membaca:
"Encie Siu Lian! Aku menduga pasti kau akan datang malam ini, tetapi aku
harap kau jangan terlalu desak aku. Aku telah insyaf akan kekeliruanku, maka selanjutnya aku akan jaga diriku baik-baik."
Nona Jie lantas menghela napas.
"Seorang yang pintar!" ia kata kemudian, sambil bersenyum.
Justru itu tertampak bergeraknya kain kelambu, yang
berwarna merah, dan dengan tersingkapnya itu segera
tertampak separuh badannya Giok Kiauw Liong. Ia ada
memakai pakaian tidur warna hijau, kuncirnya telah
dipecah dua dan meroyot turun di depan dadanya.
"Sungguh elok!" Siu Lian kata, dengan perlahan. "Siocia, silahkan turun dari pembaringan!"
Kelambu disingkap habis dengan perlahan-lahan, sambil
bersenyum Kiauw Liong turun dari pembaringannya. Ia
bawa sikap sebagai juga tak ada terjadi perkara apa pun.
Ketika ia sampai di depan lampu, di situ ia perlihatkan
lengannya, sedang air mukanya kelihatan lesu sebagai
orang yang masgul atau menyesal.
"Itulah masih bagus!" kata Siu Lian sambil bersenyum.
"Jikalau aku tak lihat kau sangat cantik dan manis, aku tentu telah cekal kau dengan terlebih keras lagi! Sekarang lekas serahkan itu pedang padaku, aku mau lekas pergi
lagi!" Kiauw Liong tidak menjawab, ia hanya jemput kertas
tadi dan pit, akan menulis pula di atas itu. Ia menulis:
"Besok malam aku akan antarkan pedang pulang ke
tempat asalnya. Aku akan pegang kepercayaanku."
"Baiklah," kata Siu Lian sambil tertawa. "Kau boleh buat main pedang itu lagi satu hari!"
Baru sekarang Kiauw Liong menoleh ke jendela dan
tertawa. "Nah, aku pergi!" kata Siu Lian, yang terus mundur sedikit akan loncat naik ke atas genteng.
Hampir berbareng dengan loncatnya ia, api di dalam
kamar pun padam. Ia ambil mantelnya dan loncat turun ke
tanah. Di sini ia pakai mantelnya dan terus bertindak pergi sambil bersenyum-senyum. Rupanya ia puas dengan
pekerjaannya itu, atau ia anggap Kiauw Liong bersikap
lucu. Ia jalan kira-kira seratus tindak ketika tiba-tiba ia rasakan punggungnya ada yang tonjok, sampaikan merasa sakit
sekali. Ia putar tubuh dengan segera, hingga ia bisa lihat satu bayangan mencelat naik ke atas genteng.
Dengan lemparkan mantelnya, nona Jie lompat
mengejar, tetapi berbareng dengan itu ia dengar suara
tertawa cekikikan, terang suaranya orang perempuan.
Tatkala Siu Lian sampai di atas genteng, bayangan itu
sebaliknya loncat turun, maka terpaksa ia mengejar terus dengan loncat turun lagi.
"Oh, nona penjahat, kau sebenarnya inginkan apa?" ia menegur.
Tapi, dengan sekelebatan saja, bayangan itu lenyap di
tempat gelap. Bukan main kagumnya nona Jie.
"Apa maksudnya dengan permainannya ini?" ia
menduga-duga dalam hatinya.
Di saat itu ia tak mampu bade pikiran atau maksudnya
bayangan itu, ialah Giok Kiauw Liong.
Oleh karena ini, Siu Lian jadi khawatirkan keselamatannya Lauw Tay Po dan Coa Siang Moay, dari
itu ia lantas lari menuju pulang. Sesampainya di kaki
tembok kota, ia menuju ke timur. Ia lari belum jauh, di
depannya ia dengar suara larinya kaki kuda mendatangi ke jurusannya.
"Di depan apakah bukannya Jie toacie" Aku datang
memapak!" demikian terdengar suaranya si penunggang kuda.
Siu Lian kenalkan Siang Moay.
"Aku tidak bisa menghaturkan terima kasih untuk
kebaikanmu ini!" ia kata. "Kau bukannya hendak menjemput aku, kau justru hendak coba kudaku!"
Siang Moay telah datang dekat, ia tertawa.
"Bagaimana, toacie?" tanya ia. "Apakah kau telah dapat kepastian siapa adanya Pekgan Holie itu?"
Siu Lian enjot tubuhnya loncat naik ke atas kuda, hingga mereka jadi menunggang berdua.
"Sekarang jangan ngobrol dulu, mari kita lekas pulang!"
ia kata. "Barangkali di rumahmu ada terjadi peristiwa! ... "
Lantas, dengan tak pedulikan jawaban, Siu Lian kasih
kudanya kabur. Dalam cuaca gelap mereka lari sepanjang
tembok menuju ke timur, dengan begitu dalam tempo
pendek mereka lelah sampai di rumah. Selagi kuda
diberhentikan di pinggir tembok, Siang Moay mendahului
loncat naik ke tembok dan terus loncat turun ke dalam
untuk membukai pintu.
Tay Po muncul dengan cepat, ia tuntun masuk kudanya
Siu Lian. Siu Lian paling dahulu bertindak masuk, karena Tay Po
mesti tambat kuda dan Coa Siang Moay mengunci pintu,
tetapi lekas juga ia telah disusul oleh suami isteri.
"Apakah tidak terjadi suatu apa di sini seperginya aku?"
Siu Lian tanya setelah mereka berada di dalam.
"Tidak," sahut Tay Po.
"Mungkin sebentar lagi akan ada orang yang datang
kemari," kata nona Jie.
"Siapa dia itu?" Siang Moay tanya.
Siu Lian tertawa.
"Ia adalah si pencuri pedang," ia memberi tahu. "Tapi ia bukan penjahat sewajarnya dan juga bukan muridnya
Pekgan Holie, ia tak tinggal di dalam gedung teetok. Dari itu, aku tidak berani terlalu desak padanya. Ia pun telah mohon maaf padaku. Ia telah berjanji besok malam ia akan antarkan pedang ke gedung pweelek."
Lauw Tay Po tercengang.
"Apakah pasti ia akan antarkan pedang itu?" ia menegaskan.
"Ia telah mampu curi pedang itu, niscaya ia pun sanggup mengembalikannya," Siu Lian berikan kepastian. "Jikalau aku mati, tadi aku bisa rampas pedang itu dari tangannya, akan tetapi aku tak lakukan ini. Aku tahu ia ada sangat
ketarik dengan itu senjata, maka biarlah ini satu malam lagi ia buat main itu. Dengan ini jalan, ia pun jadi mendapat muka terang. Tegasnya, sekarang aku ingin lekas-lekas
pulang, aku tidak mau berlaku keterlaluan, kalau aku
gunakan kekerasan, apabila nanti aku sudah pergi,
akibatnya tak baik bagi kau berdua."
"Sebenarnya, siapa dia?" tanya Siang Moay dengan duka. "Apa she dan namanya" Apakah pekerjaannya?"
"Kau tidak usah menanya dengan melit," berkata Siu Lian seraya goyangkan tangan. "Ia ada seorang aneh
berbareng pun menarik hati. Bugee-nya juga tak ada di
sebelah bawah aku. Tadi aku tidak bicara banyak padanya
oleh karena di sana kita tidak merdeka. Sebentar ia
barangkali akan datang kemari atau pergi ke rumahnya Tek ngoya akan cari aku. Urusan ini, sekarang kau tidak usah terlalu campur tahu, aku telah wakilkan kau akan mengurus beres. Besok atau lusa aku akan balik ke Kielok, mungkin lain tahun, di bulan kedua atau ketiga aku akan datang
pula, itu waktu aku akan tinggal di Pakkhia ini jauh terlebih lama, supaya aku bisa bergaul rapat dengan ia. Aku harap itu waktu aku bisa ajar ia kenal dengan kau berdua."
Siang Moay cekal lengannya Siu Lian.
"Encie, kenapa kau bikin kita mesti berteka-teki?" ia kata.
"Encie, beritahukanlah she dan namanya orang itu ... "
"Benar-benar aku belum bisa terangkan she dan namanya itu orang," Siu Lian bilang. "Buat di kota raja ini, ia ada seorang yang ternama. Aku tidak ingin sebutkan she dan
namanya itu pada siapa juga. Tenangkan hatimu, besok
malam pedang tentu akan sudah berada di gedung pweelek!
Umpama kata itu orang tetap belum mau mengembalikannya, aku pun terpaksa akan ambil tindakan
terhadapnya!"
Siang Moay duduk dengan hatinya berpikir dan Tay Po
ada sangat masgul. Berdua suami isteri ini ingin ketahui hal
si pencuri pedang tetapi sikapnya nona Jie membikin
mereka bingung.
Siu Lian masih berduduk sekian lama, ketika akhirnya ia
berbangkit, "Aku hendak pergi sekarang," ia kata. "Boleh jadi itu orang telah pergi ke rumahnya Tek ngoko akan cari aku.
Tentu ia menyangka aku ada di rumahnya Tek ngoko itu ...
" Ia bersenyum. "Aku minta kau berdua jangan kuntit aku, inilah berbahaya, sebab kalau kau dapat dilihat oleh ia itu, bisa jadi ia akan ganggu kau!"
Siang Moay berbangkit.
"Sudah begini malam, encie, bagaimana kau bisa
pulang?" ia kata. "Di jalan-jalan besar tentu ada orang polisi atau ronda, bila mereka cegat dan tahan kau, sungguh tak enak ... "
"Di rumah keluarga Tek, orang pun tentu sudah pada
tidur," Tay Po turut mencegah. "Jie toacie, baiklah kau tunggu sampai terang tanah, baru kau pulang ... "
"Tidak apa," Siu Lian kata. "Aku bisa ambil jalan di gang-gang yang gelap dan sepi. Sesampainya di rumah Tek
ngoko, aku juga bisa buka pintu sendiri, aku tidak usah
bikin kaget penghuni rumah."
Siang Moay masih berniat mencegah tetapi Tay Po
kedipkan mata hingga ia batalkan niatannya itu.
Siu Lian pakai mantelnya, ia bertindak keluar. Ia tuntun kudanya.
"Silahkan kunci pintu," ia kata pada Siang Moay, yang antar ia keluar. Ia loncat naik atas kudanya dan kasih kuda itu berjalan.
Siang Moay mengawasi, sampai tindakannya kaki kuda
tidak terdengar pula, baru ia masuk dan kunci pintu
pekarangan. Ketika ia sampai di dalam, ia lihat Tay Po
telah lemparkan theekoan teh ke lantai sampai hancur dan gembreng dilempar ke batu hingga suaranya ramai, malah
dengan sangat sengitnya suami ini juga hendak sambar
lampu buat dibanting hancur!
Isteri ini menjerit, ia lompat menubruk suaminya itu.
"Eh, kau kenapakah?" ia berseru. "Apa kau sudah angot"
Kenapa kau main lempar dan banting barang" Apakah
artinya itu?"
Tay Po banting-banting kaki, napasnya memburu dan
tersengal-sengal.
"Sungguh menjemukan, sungguh menjemukan!" ia
berseru. "Beginilah sukarnya akan minta pertolongan orang!
Kesudahannya ia lepaskan penjahat secara begitu saja.
Kenapa pedang tidak diambil untuk diserahkan pada kita"
Kenapa

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

si penjahat mesti diantap pertunjukkan kepandaiannya dengan serahkan sendiri pedang itu di
tempatnya. Belasan hari kita telah buang tenaga, yang
ternyata sia-sia belaka! Apa ini tidak menyebalkan?"
"Hus, perlahan sedikit!" mencegah Siang Moay. "Ia barangkali belum pergi jauh."
"Peduli apa?" Tay Po berseni seraya tepuk-tepuki dadanya. "'Biar ia dapat dengar, aku tidak takut! Aku Itto Lianhoa bukannya orang yang tak punya she dan nama!
Biar orang gagali tetapi, dengan golokku, aku tak takut!"
"Benar kau angot!" kata Siang Moay seraya banting-banting kaki. "Kenapa kau sesalkan orang" Kau harus ketahui, dengan tanpa bantuan, mana kita sanggup lawan
Pekgan Holie" ... "
"Tetapi aku tidak marah, aku tidak marahi siapa juga!"
sahut Tay Po, dengan masih sengit. "Aku hanya menyesal kenapa pedang itu tidak diambil untuk diserahkan kepada
kita" Bukankah bagus kalau pedang itu aku yang antarkan
pulang ke Pweelek-hu" Di Pweelek-hu aku telah sesumbar
dan sumpah bahwa aku bukannya manusia bila aku tak
mampu rampas pulang pedang itu! Sekarang" Malah
bayangannya pedang pun aku tak pernah lihat! Mana aku
ada punya muka akan ketemui orang?"
"Masih ada jalan," Siang Moay membujuk, kejengkelan siapa ia bisa mengerti. "Jikalau besok si penjahat antar pulang pedang, ia tentu tidak perkenalkan diri, ia niscaya tak berani memberi tahu namanya, maka itu, apa kau tidak bisa gunai itu ketika akan terangkan bahwa kaulah yang
antarkan pulang pedang itu?"
Tay Po menyengir.
"Pikiranmu ini sungguh sempurna!" ia kata, seperti mengejek. "Apa dengan begitu aku pun tidak sepera si penjahat saja" Ah ... "
"Kalau begitu," kata pula Siang Moay, yang belum mau mengalah, "apa tidak baik kalau besok kau pergi ke
Pweelek-hu akan memberi tahu bahwa kau telah bikin
penyelidikan, bahwa kau telah mendapat tahu yang
sebentar malam penjahat akan antarkan pulang pedang
mustika itu" Kau boleh minta dibikin persiapan untuk
menjebak dan bekuk si pencuri pedang itu!"
Tay Po pandang isterinya.
"Perlahan sedikit," ia kata. "Akal ini boleh juga ... Tapi aku sangsikan, apa bisa menjadi yang si penjahat ada
demikian tolol" Aku kuatir, bukan saja si penjahat tak mau masuk ke dalam jaring, malah pedang pun turut tak jadi
dipulangkan ... Tapi, aku ada satu jalan."
Karena pikiran isterinya itu, Tay Po tiba-tiba dapatkan
pikiran baru. Siang Moay jadi ketarik.
"Apakah itu?" ia tanya.
Bahna puas, Tay Po bisa bersenyum.
"Begini," ia menyahut. "Besok malam kita datang dengan diam-diam
ke Pweelek-hu akan menunggu sambil
sembunyikan diri. Jika bisa, kita boleh serang ia dengan beruntun dengan piauw, supaya ia rubuh dan pedangnya
kita bisa rampas. Andaikata ketika untuk berbuat demikian tidak ada, kita diam saja dan tunggu si penjahat sudah taruh pedang di tempatnya dan berlalu kita membarengkan keluar akan pergi ambil pedang itu buat kita bawa pulang. Buat
beberapa hari, pedang itu kita boleh buat main, kemudian baru kita pulangkan pada pweelek-ya, dengan kata kitalah yang peroleh itu. Perbuatan kita ini, penjahat tak akan
ketahui begitupun si nona Jie. Dengan ini jalan kita akan bikin terang muka kita!"
Siang Moay tertawa.
"Ya, akal ini benar bagus!" ia memuji.
"Tidak ada lain jalan!" kata suami itu.
Siang Moay lantas punguti gembreng dan pecahanpecahan theekoan untuk disingkirkan, kemudian mereka
masuk tidur. Mereka menduga pasti bahwa itu malam tidak
akan terjadi apa juga, meskipun demikian, keduanya tak
bisa pulas bahna bercuriga dan berkuatir. Golok dan piauw tak terpisah jauh dari badan mereka.
Besoknya pagi, Tay Po bangun sampai siang, ketika ia
pergi ke belakang ia lihat isterinya sudah beli sayuran dan sedang masak nasi. Ia bersenyum seorang diri karena ia
merasa puas punyakan isteri yang tidak saja pandai
menggunakan senjata dan jalan di atas tambang, pun bisa
bekerja di dapur!
Sembari menemani isterinya bekerja, Tay Po ngelamun.
Ia pikirkan kerjaannya sudah hampir satu bulan, capai gawe tanpa hasil, bahkan beberapa kawannya telah mendapat
luka. Apa yang menjadi hiburan baginya adalah sekarang
namanya telah tambah naik.
"Aku belum dapatkan pedang, Pekgan Holie tidak binasa di tanganku sendiri, tetapi di sebelah itu aku telah peroleh Siang Moay yang manis ... Maka aku harap sebentar malam
kita nanti berhasil, supaya nanti di muka orang banyak aku bisa muncul dengan angkat kepala ... "
Lantas, dengan gembira ia dandan.
"Pekerjaan kita tinggal sebentar malam!" ia kata pada isterinya. "Kau baik sedia lebih banyak makanan untuk kita puaskan diri! Peruntungan manusia memang aneh! Lihat
saja kita. Pada waktu begini dari tahun yang sudah, tidak pernah aku pikir bahwa kita akan dapatkan pengalaman
sebagai ini ialah aku tidak pernah mimpi bahwa aku bisa
dapatkan kau! Pada itu waktu, barangkali kau masih ada di pantai Honghoo atau di pesisir sungai lainnya dan kau tidak pernah pikir bahwa kau akan jadi isteriku ... "
"Memang," kata Siang Moay seraya potong-potong mienya. "Sungguh sial, dasar peruntunganku! ... "
Tay Po tertawa.
"Apakah kau tidak merasa mukamu terang dengan
menikah pada Itto Lianhoa?" ia tanya. "Jangan kau cela aku! Sekarang hayo kau siapkan makanan, aku mau lekas
keluar buat melihat-lihat ... Malam ini pedang mesti
dipulangkan atau diantarkan pada kita untuk kita yang
pasrahkan pada pweelek-ya. Aku juga ingin lihat
macamnya si rase kecil!"
Siang Moay bekerja terus, dengan masukkan mie ke
dalam kwali, tetapi perkataan suaminya bikin air matanya meleleh dengan tiba-tiba.
"Dengan perkara habis secara demikian, aku tidak puas!"
berkata ini nyonya muda. "Ayah dan ibuku telah binasa semua ... mereka binasa secara kecewa ... "
Dengan tangan bajunya ia seka air matanya.
"Kita bersabar sampai habis tahun baru," Tay Po membujuk. "Asal si rase kecil tidak kabur dari sini, aku akan berdaya sebisa-bisanya untuk bekuk padanya,
selanjutnya kita jangan minta bantuannya Jie Siu Lian lagi.
Di belakang hari, kita mesti bekerja sendiri, dengan
perlahan-lahan kau lihat saja aku nanti bikin entia (papa mertua) dan ennio (mama menua) nanti meramkan
matanya di dunia baka."
Siang Moay telah masak dengan cepat, lantas ia layani
suaminya bersantap.
Tay Po pakai baju hijau, kaus kakinya putih, sepatunya
hijau juga. Betisnya ada terlilit rapi. Di sebelah luar
badannya, ia pakai baju lebar. Ia telah cuci muka dengan bersih dan tauwcang-nya tersisir licin mengkilap. Dengan dandanan cara demikian, ia bertindak keluar dari
rumahnya, menuju ke gedung pweelek.
Lie Tiang Siu dan beberapa pengawal menyambut sambil
tertawa. "Oh, Lauw suhu!" kata mereka. "Ingatlah, jangan repotkan si rase saja, nanti kau lupai enso! Bukankah kita sedang menghadapi tahun baru?"
"Aku tak nanti lupakan itu!" sahut Tay Po, juga sambil tertawa. "Di harian cee-it aku nanti undang kau ke rumahku buat kita makan minum! Enso-mu akan bikin kue yang kecil mungil melebihi ujung lancip sepatunya " "
Ketika itu kelihatan Tek Lok muncul dengan tangannya
membawa angpauw entah untuk dihadiahkan kepada siapa.
"Lok-ya!" kata Tay Po seraya memegat, "aku hendak sampaikan suatu kabar padamu. Kerjaanku akan lekas
berhasil, besok atau lusa pedangnya pweelek aku tentu akan sudah bisa haturkan pada pweelek-ya ... "
Mendengar itu, Tek Lok tertawa tertahan.
"Jangan kau tertawa!" kata si guru silat, yang menyangka bahwa orang sedang tertawai ia atau mengejek. "Itto Lianhoa bukannya tukang mengebul, aku pasti ... "
"Apakah aku mesti tunggukan kau untuk kau serahkan
pedang itu padaku?" Tek Lok tegaskan. "Tadi malam pedang sudah diantarkan pulang!"
Tay Po tercengang, kedua matanya terbuka lebar.
"Kau cari susahmu sendiri! ... " kata pula Tek Lok, sekarang dengan perlahan. "Sudah hampir satu bulan, kau repotkan diri dengan sia-sia belaka! Sebenarnya urusan
pedang itu tidak ada sangkutannya dengan Pekgan Holie ...
" Tay Po semakinan bingung.
"Jangan kau ngaco," ia kata.
"Ngaco" Tidak sama sekali! Pedang itu orang antarkan
pulang sebagaimana waktu ia ambilnya: Pintu tertutup
rapat, jendela tidak bergeming, tanda apa pun tidak
tertampak. Bukan seperti kau waktu naik di genteng,
genteng pada berbunyi keras ... Pweelek-ya pun bilang, si
pencuri pedang benar ada satu hiapkek, yang pinjam senjata itu untuk dibuat main, karena sekarang terbukti, pedang itu telah dipulangkan dalam keadaan baik-baik."
Tay Po berdiri tertegun, sekujur badannya ia rasakan
dingin semua, "Cukup!" kata pula Tek Lok sambil bersenyum. "Berdua dengan isterimu, baiklah kau lewatkan harian tahun baru
dengan tenteram. Perkara cari rumah dan pindah aku yang
nanti urus, begitupun uang untuk membeli perabotan
rumah tangga ... "
Mukanya Tay Po jadi merah.
"Sudah, kau jangan goda aku," ia kata pada kuasa Pweelek-hu. "Lok-ya, harap kau suka tolong aku dalam satu hal. Berat aku telah bekerja untuk pedang itu, coba tidak ada desakanku, barangkali si hiapkek itu tak sudi
kembalikan pedang itu! Sekarang tolong kau ambil itu
pedang buat aku periksa ... "
"Apakah kau sangsi si hiapkek nanti kembalikan pedang yang palsu?" Tek Lok tanya sambil mengawasi guru silat itu. "Ketika pagi-pagi pedang itu kedapatan, pweelek-ya masih belum pergi ke istana, maka itu, ia sudah lantas
periksa sendiri, malah pun telah dicoba. Nyata itu ada
pedang yang tulen."
"Aku bukan maksudkan yang palsu," Tay Po kata. "Aku hanya hendak luaskan pemandanganku. Sudah kira-kira
satu bulan aku bekerja keras, sekarang pedang telah
kembali, mustahil aku tak boleh melihatnya?"
Tek Lok dapat dikasih mengerti.
"Baiklah," ia bilang kemudian. "Tapi sekarang pweelek-ya belum kembali dari istana, kau tunggu saja sampai
pweelek-ya kembali, aku nanti tolong kau bicarakan supaya
kau diperkenankan melihat senjata itu. Aku percaya
pweelek-ya tak akan menolaknya."
"Baik," Tay Po kata.
Tek Lok lantas lanjutkan perjalanannya membawa
angpauw, sedang Tay Po, dengan lesu dan sambil tunduk
bertindak keluar. Ia mulanya niat pulang, tapi segera ia batalkan itu. Untuk menemui isterinya pun ia jengah.
Karena ini, ia jadi berpikir keras.
"Si penjahat telah kembalikan pedang itu, itu ada bukti nyata bahwa ia takut," demikian Itto Lianhoa berpikir.
"Maka sekarang baik aku desak terus padanya, aku mesti pergi cari Jie Siu Lian, bukan untuk urusan pedang, hanya urusan si rase kecil, yang harus dibekuk! Secara begini
barulah mukaku bisa kembali menjadi terang!"
Lantas Tay Po menuju ke Tongsu Paylauw.
Ketika itu sudah tengah hari.
Ia lihat pintu rumahnya Tek Siauw Hong dikunci, ia
menghampirkan dan mengetoknya.
Dari dalam muncul Hok Cu.
"Tentu kau kenal aku?" kata guru silat ini.
Kusir itu manggut, ia tertawa.
"Ya, aku kenal. Kau adalah Lauw-ya," ia menyahut.
"Apakah tuan cari looya kita?"
"Bukan, aku khusus cari nona Jie."
"Nona Jie sudah berangkat. Apa Lauw-ya tak dapat
tahu?" Tay Po terperanjat.
"Kapan ia berangkat?" ia tanya dengan cepat.
"Baru saja, barangkali pada jam sembilan tadi," sahut Hok Cu. "Belum lama dari berangkatnya nona Jie, sam-siocia dari keluarga Giok ada kirim orang mengantar
barang, tetapi karena nona Jie sudah pergi, orang suruhan itu lalu kembali pula."
Tay Po berdiri dengan bengong saja.
"Ada urusan apa maka ia berangkat demikian cepat?" ia kata, seperti pada dirinya sendiri. "Ia toh tidak punya orang lelaki di rumahnya" ... "
Hok Cu tertawa melihat kelakuannya guru silat itu.
"Apakah Tek ngoya ada di rumah?" kemudian Tay Po tanya. "Aku ingin bertemu."
"Silahkan Lauw-ya duduk menantikan sebentar, aku
hendak pergi melihat dahulu," sahut Hok Cu.
Tay Po masuk ke dalam pekarangan, yang pintunya
dikunci pula. Ia diajak ke pintu kedua di mana ia
menantikan, sedang Hok Cu masuk terus ke dalam. Ia
merasa sangat tidak puas. Baiknya si kusir pergi belum lama telah kembali lagi.
"Looya mengundang," kata kusir ini.
Tay Po tidak puas dengan orang punya cara menyambut
itu. "Tek Ngo toh bukannya seorang besar," pikir ia.
"Kenapa ia bawa lagak begini agung-agungan?"
Meski demikian ia toh ikut Hok Cu, yang pimpin ia ke
dalam, ke kamar tulis. Di sini Tek Siauw Hong menyambut
tetamunya sambil unjuk hormat dan silahkan tetamunya
duduk, ia sendiri yang menyuguhkan teh.
Kamar itu ada hangat, di atas meja ada terdapat banyak
rupa kitab. Mukanya Siauw Hong ada sedikit gemuk, dan
sejak piara kumis ia nampaknya seperti lebih berbahagia. Di tangannya, ia mencekal huncwee airnya.
"Bukankah pedang pweelek-ya sudah
diantarkan pulang?" tiba-tiba tuan rumah kata, dengan perlahan.
Tay Po terkejut, tetapi ia lekas-lekas unjuk senyuman.
Cara bagaimana kau ketahui itu, ngoko?" ia tanya.
"Aku dengar itu dan nona Jie," sahut Siauw Hong. "Ia berangkat tadi pagi-pagi, ia ada pesan aku kirim orang buat beritahukan hal itu padamu, tetapi aku berlaku ayal-ayalan, sebelum aku kirim orang, kau telah mendahului datang
kemari! Nona Jie bilang, pedang itu telah diantarkan tadi malam."
Tay Po menjadi masgul berbareng mendongkol.
"Jie Siu Lian, kau terlalu!" kata ia dalam hatinya. "Nyata sekali kau tidak pandang mata padaku! Kau tahu pedang
akan diantarkan tadi malam, tetapi kau dustakan aku
dengan kata bahwa itu barangkah akan dilakukan sebentar
malam ... "
Siauw Hong tidak tahu apa yang orang pikir, ia bicara
pula. "Ada satu rahasia yang aku hendak beritahukan kau," ia kata, dengan perlahan sekali. "Tentang ini aku harap kau tidak omongkan pada lain orang ... "
"Urusan apakah itu?" tanya Tay Po dengan mata dibuka lebar.
"Siu Lian datang ke Pakkhia karena ada maksudnya,"
Siauw Hong bilang.
"Apakah maksud itu?" Tay Po tanya pula. Agaknya ia mendesak.
"Tentang itu ia tidak beritahukan padaku, aku hanya menduga-duga," kata pula orang she Tek itu. "Aku percaya ia datang kemari melulu guna lihat keadaan di sini yang
berhubungan dengan dirinya, Lie Bouw Pek. Oleh karena
perkara membunuh Oey Kie Pok, Lie Bouw Pek tidak
berani sembarangan datang kemari. Sekarang ini Lie Bouw
Pek mungkin sudah berada di Kielok. Rupanya, selama
beberapa hari berada di sini, nona Jie telah lihat bahwa mengenai perkaranya Oei Kie Pok, sikap pembesar negeri
sudah tenang, dari itu, dengan tidak dapat ditahan, Siu Lian sudah lantas berangkat pula dari sini untuk menyampaikan kabar pada Lie Bouw Pek. Aku percaya, tidak lama lagi,
mereka akan datang bersama kemari. Maka, lauwtee,
baiklah kau sabar dan tunggu saja. Bukankah dulu kau
nyatakan ingin temui saudara Bouw Pek itu" Nanti, bila ia sudah datang, aku akan ajar kau berkenalan satu pada lain."
Mendengar begitu, Tay Po tertawa.
"Tentu Bouw Pek dan Siu Lian telah menjadi pasangan!"
ia kata. Tapi Siauw Hong geleng kepala.
"Tidak! Mereka berdua ada punya adat aneh. Boleh jadi Siu Lian sukai Bouw Pek, tetapi Bouw Pek mempunyai sifat kukuh, ia rupanya tidak setuju perangkapan jodoh mereka.
Aku setujui mereka menjadi pasangan, aku malah telah
berdaya untuk itu. Aku sudah pikir buat menolong Bouw
Pek, supaya perkaranya bisa dibikin habis, supaya ia dan Siu Lian bisa sama-sama tinggal di sini, agar tidak lebih lama pula mereka merantau."
"Ngoko, kau ada satu sahabat yang baik sekali," Tay Po memuji. "Tidak heran kalau ada orang bilang bahwa kau ada Beng Siang Kun dari ini jaman!"
Dipuji begitu tinggi, Siauw Hong menghela napas.
"Jikalau aku punya kekayaan sebagai Beng Siang Kun, tidak nanti aku ijinkan sahabatku merantau yang tak keruan juntrungannya," ia kata dengan masgul. "Sebagai kau sendiri, lauwtee, sia-sia kau punya kepandaian, kau telah menjadi satu guru silat yang nganggur saja!"
Mukanya Tay Po menjadi merah, ucapan itu ia rasakan
sebagai penghinaan walau ia tahu tuan rumah tak
bermaksud demikian. Sekian lama ia berdiam saja.
"Ngoko," kata ia kemudian, "aku ingin ketahui lagi satu hal. Kemarin Siu Lian bilang padaku bahwa ia sudah
ketemui orang yang telah curi pedang, bahkan ia tahu hal ikhwalnya itu orang, tetapi padaku ia tidak mau
beritahukan siapa adanya orang itu. Boleh jadi sikapnya ini disebabkan ia kuatir aku tidak bisa pegang rahasia karena persahabatan kita masih terlalu baru, tetapi terhadap kau sendiri, itulah lain. Apa ngoko suka kasih aku tahu siapa itu si pencuri, agar aku tidak usah menduga-duga terlebih
lama" Aku bukannya hamba negeri, aku tidak pegang surat
perintah apa juga, maka andaikata aku ketahui siapa dia, tidak nanti aku berani tangkap padanya. Malah apabila ia tidak cela aku, aku ingin berkenalan dan bersahabat
padanya ... "
"Aku juga tidak ketahui siapa adanya ia," sahut Siauw Hong sambil geleng kepala. "Jikalau aku tahu, tiada halangannya aku beritahukan itu padamu, seperti hal akan datangnya Bouw Pek aku toh telah beritahukan padamu.
Menurut dugaanku, pencuri pedang itu niscaya bukannya
orang sembarangan, bugee-nya pasti tiada di sebelah
bawahnya saudara Bouw Pek dan Siu Lian. Laginya ia itu
bukan betul-betul pencuri, sebagaimana ia ambil itu pedang hanya untuk main-main saja!"
Tay Po bersenyum ewah.
"Ya, ia main-main saja, sampai nama baiknya Lauw Tay Po hampir ternoda habis-habisan!" ia kata. "Nah, ngoko, sampai ketemu pula!"
Ia berbangkit dan memberi hormat, lantas ia bertindak ke luar.
Siauw Hong tidak tahan kenalan ini, ia mengantar
sampai di luar Sekeluarnya dari Samtiauw Hotong, Tay Po menuju
terus ke luar Cianmui. Ia pergi ke Tayhin Piauwtiam, buat cari Sun Ceng Lee.
Lukanya Ceng Lee masih belum sembuh betul, akan
tetapi ia sudah bisa dahar dan minum arak seperti biasa.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentang Pekgan Holie telah binasa dan pedang telah
dikembalikan pada Pweelek-hu, semua itu ia sudah ketahui, sebab ketika hendak meninggalkan Pakkhia, Siu Lian telah mampir pada saudara seperguruan ini untuk pamitan.
Tapi, mengetahui kesudahannya pencurian pedang itu
Ceng Lee sangat tidak puas.
"Siauw Lauw, kau tunggu saja!" demikian ia kata dengan sengit pada Tay Po. "Tunggu sampai lukaku sudah sembuh, kita nanti bekerja pula! Sumoay-ku bisa kasih ampun pada si rase kecil, aku sendiri tidak!"
Tay Po tidak bisa berbuat lain kecuali hiburkan
Ngojiauw-eng yang ia suruh sabar saja. Kemudian ia pergi ke Coanhin Piauwtiam akan tengok Yo Kian Tong dan Nio
Cit. Lukanya orang she Nio ini sekalipun hebat, tidak
membahayakan jiwanya.
Kian Tong dan Nio Cit belum tahu sepak terjangnya Siu
Lian, hal itu Tay Po tidak mau beritahukan mereka ini.
Pada kira-kira jam empat, barulah Tay Po pergi ke kota.
Pikirannya pepat, ia tidak dapat menghilangkannya. Ketika ia sampai di Pakshia, (Kota Utara) selagi nikung di
Kouwlauw, ia lihat di belakangnya ada satu bocah
pengemis. Ia jadi mendongkol sekali dan niat balik lagi
akan hajar bocah itu, tetapi si bocah telah mendahului pergi ke sebuah toko buat mengemis, hingga ia ubah pikirannya.
"Apa artinya akan hajar satu pengemis" Bugee-ku tidak tinggi, orang telah permainkan aku, maka sesudah aku tidak punya guna kenapa aku mesti umbar kemendongkolan
terhadap satu bocah?"
Karena ia bisa memikir demikian, Tay Po jadi jalan terus sambil kadang-kadang menghela napas.
"Lauw tayya!" tiba-tiba ada suara menegur di sebelah depan.
Tay Po sedang tunduk, maka ia segera angkat kepalanya.
Orang yang menegur itu ada satu buaya darat Pakshia, di
pundaknya ada tergendol serenceng uang, rupanya ia
sedang hendak pergi ke sarang
judi untuk adu peruntungannya. Begitu datang dekat, ia tarik Tay Po ke
pinggir jalan. "Bagaimana, tayya?" ia tanya. "Dalam beberapa hari ini, kau tentu repot sekali! Pekgan Holie telah binasa,
bagaimana dengan si rase kecil?"
"Semua sudah beres!" saliut Tay Po seraya angkat
dadanya, sesaat itu, lenyap kedukaannya. "Pedang pun aku telah antarkan pulang ke Pweelek-hu! Si rase kecil aku kasih ketika akan rayakan tahun baru, selewatnya itu aku nanti cekuk padanya untuk diserahkan pada pengadilan!"
Ia lantas bertindak pergi dengan tindakan lebar dan air
muka gembira. "Percuma aku bersombong diri secara begini," kata ia dalam hatinya selagi jalan terus. "Buat apa berjumawa, kalau kemudian seluruh Pakkhia toh akan ketahui
duduknya perkara sebenarnya" Di belakang hari orang tentu akan katakan aku Itto Lianhoa sebagai satu bantong! Kalau itu terjadi, apa aku masih punya muka akan jadi guru silat"
Apa aku masih punya muka akan lihat orang?"
Oleh karena memikir begini, ia bertindak masuk ke
Pweelek-hu dengan tidak keruan rasa, lenyap antero
kegembiraannya.
Tapi karena ia datang dengan mengandung maksud, ia langsung cari Tek Lok.
"Apa kabar?" begitu ia tanya. "Apa kau sudah bicara pada pweelek-ya yang aku ingin pinjam lihat itu pedang?"
"Tadi aku telah bicarakan," sahut Tek Lok. "Pweelek-ya bilang kau boleh melihatnya. Malah pweelek-ya bilang, ia ingin ketemui kau, ada apa-apa yang hendak dibicarakan."
Tay Po melengak akan dengar ucapan yang terakhir itu.
"Baiklah," ia kata, dengan besarkan nyali. "Tolong toako sampaikan kepada pweelek-ya, andaikata pweelek-ya
sedang senggang, sekarang juga aku ingin madap padanya."
"Tunggulah sebentar," kata Tek Lok yang terus masuk.
Tay Po menunggu sambil rapikan pakaiannya.
Tidak lama, Tek Lok telah balik lagi.
"Mari," kata itu kuasa istana.
Tay Po manggut, ia lantas ikut sahahat itu.
Pweelek, dengan pakaian biasa, sedang duduk menghadapi teh wangi. Ia manggut dan bersenyum ketika
Tay Po unjuk hormat padanya.
"Pedang telah diantarkan pulang, kau tahu atau tidak?"
tanya pangeran Boan itu. Itu adalah ucapannya yang
pertama-tama. Mukanya Lauw Tay Po menjadi merah, tetapi ia lekaslekas manggut. "Hamba telah ketahui itu," ia menyahut.
"Dalam hal ini, bukan sedikit kau telah keluarkan
tenaga," kata Tiat siauw-pweelek. "Cuma tindakanmu ada terlalu
mendesak, sehingga membangkitkan ketidaksenangannya
Giok cengtong. Dengan
alasan kesehatannya terganggu, ia hendak meletakkan jabatan,
tetapi aku telah mencegahnya, aku bilang bahwa kau adalah orangku, maka bila ia sampai berhenti, aku merasa tidak
enak hati. Giok cengtong itu ada sahabatku dari banyak
tahun, dan ia pun ada satu pembesar yang pandai, sedang
selama di Sinkiang, ia telah dirikan bukan sedikit jasa.
Umpama kejadian ia meletakkan jabatan, karena aku tidak
mampu tilik sepak terjangnya satu guru silatku, aku merasa malu dan tidak enak hati. Tentu orang nanti katakan aku
lemah dan antapkan orangku menghina pada pembesar
berpangkat tinggi ... "
Tay Po hendak membantah, tapi Tiat pweelek telah dului
ia. "Aku kasih persen kau limapuluh tail perak," demikian kata ini pangeran. "Setelah ini, aku minta kau suka tinggalkan istanaku ini. Aku tahu bugee-mu ada tinggi, aku menyesal yang di sini aku telah sia-siakan kau. Seharusnya kau bekerja di dalam perusahaan piauw, atau masuk dalam
tentara, dengan begitu di kemudian hari kau akan peroleh kemajuan."
Tiat siauw-pweelek bicara dengan halus dan manis,
nampaknya ia ada merasa menyayangi kepandaian orang.
"Tidak usah pweelek-ya terangkan lagi, aku sudah
mengerti!" kata Tay Po kemudian, seraya angkat dada.
"Sudah satu tahun lebih aku diijinkan tinggal di dalam ini istana. Aku ketahui kebaikan pweelek-ya. Kau hendak
berhentikan aku, buat itu pweelek-ya tidak perintah lain orang yang menyampaikan omongan padaku, hanya
pweelek-ya sendiri, malah aku juga telah dipanggil masuk kemari. Budi ini aku tidak bisa balas kendatipun kepalaku terpisah dari leherku!"
Tek Lok lantas kedipi mata pada ini guru silat,
maksudnya mencegah orang bicara secara demikian terus
terang, tetapi Tay Po berpura-pura tidak melihat atau tidak ketahui, ia bicara terus dalam caranya itu.
"Oleh karena sudah satu tahun lebih aku bekerja
nganggur di sini," demikian ia melanjutkan, "aku merasa malu sekali, dari itu justru ada ini perkara pedang, aku pikir hendak membikin jasa, ialah dengan cari pedang itu. Siapa nyana bahwa bugee-ku tidak sempurna, sepak terjangku
pun kasar hingga aku gagal. Lantaran ini, meski pweelek-ya tidak berhentikan aku, aku sendiri pun tidak punya muka
lagi akan bekerja terus. Tentang cengtong Giok-tayjin, aku hendak terangkan: Ia tidak bermusuhan dengan aku, ia ada seorang berpangkat besar, besar kekuasaannya dalam
urusan tentara, aku sendiri ada rakyat jelata, oleh
karenanya, walaupun aku ada bernyali sangat besar, tidak nanti aku berani perhinakan padanya ... Tapi perkara telah jadi begini rupa, tidak ada harganya untuk aku bicarakan lebih jauh, aku tidak ingin bikin pweelek-ya jadi jengkel, dari itu, aku pamitan saja. Hanya aku mau minta
pertolongan pweelek-ya, andaikata kemudian pweelek-ya
ketemu Giok-tayjin, tolong memberi tahu padanya agar ia
jangan berpemandangan cupat sebagai aku. Tentang
persenan pweelek-ya, limapuluh tail perak, aku mohon
pweelek-ya tarik pulang hadiah itu. Sebabnya ini adalah aku tidak kekurangan uang, aku bisa bekerja sebagai piauwsu
dan isteriku bisa main dangsu, ke mana saja ia pergi, ia mampu cari uang. Hadiah itu aku tidak berhak
menerimanya. Nah, pweelek-ya, silahkan beristirahat, aku hendak pergi sekarang. Biarlah di kemudian hari kita nanti bisa bertemu pula, untuk aku balas budi pweelek-ya."
Lauw Tay Po menjura sampai dalam dan Lintas
bertindak pergi.
Tampak mukanya pucat.
Tek Lok memburu guru silat ini.
"Apakah kau sudah angot?" demikian ia menegur. "Siapa yang berani bicara demikian di depan pweelek-ya" Apakah
kau tidak lihat, bagaimana kemudian pweelek-ya nampaknya gusar" Dalam hal ini, adalah Giok cengtong
yang bikin urusan jadi buruk begini rupa! Coba tadi kau
minta pada pweelek-ya, kau niscaya tidak akan dikasih
berhenti, atau sedikitnya kau dipujikan pada lain orang."
Tay Po menoleh, ia bersenyum tawar pada itu kuasa
Pweelek-hu. "Lok toako, kau masih belum tahu adatnya orang-orang sebangsa aku," ia bilang. "Buat kita, pinggang dan batang leher kita boleh putus, tetapi buat memohon pada orang,
buat mengemis nasi, itulah tidak akan terjadi!"
"Bagaimana dengan pedang itu, apakah kau jadi hendak melihatnya?" menanya Tek Lok.
Tay Po tertawa tak sewajarnya.
"Apakah yang masih hendak dilihatnya" Ini hari juga kita mau pindah! Tentang kebaikanmu, toako, tak nanti aku lupakan!"
Tek Lok tarik tangan orang.
"Kau jangan pindah!" ia mencegah. "Kau boleh tetap tinggal bersama aku, dua atau tiga tahun pun tidak ada
artinya!" Ia tambahkan, sambil berbisik: "Sebentar malam aku nanti pergi pada Tek ngoya akan minta pertolongannya untuk kau. Ia tentu bisa berdaya ... "
"Jangan!" mencegah Tay Po. "Aku baru saja datang dari sana! Kita telah rubuh, mangkok nasi kita sudah terbalik, maka itu, apa aku masih mesti seret-seret sahabat-sahabatku" ... "
Tek Lok goyang-goyang tangannya.
"Bukannya begitu," ia bilang. "Kau harus cari lain pekerjaan! Lebih baik minta Tek ngoya tolong carikan
kerjaan, umpama pada Khu Kong Ciauw. Dengan kau
tetap bekerja pada orang-orang ternama, Giok cengtong
pasti tidak akan mampu berbuat suatu apa atas dirimu.
Kalau tidak, sudah terang kau tidak akan bisa taruh kaki di kota raja ini!"
Mendengar demikian, air mukanya Tay Po menjadi
guram. Ia bersenyum sindir.
"Apa" Apakah Giok cengtong hendak bereskan aku?" ia kata secara menantang. "Baik, orang berpangkat duduk joli yang digotong berdelapan orang, tetapi aku si kecil
punyakan hanya satu jiwaku! Sampai sebegitu jauh mulutku ada tertutup rapat untuk merahasiakan banyak urusannya,
tetapi, jikalau ia desak aku sampai demikian, apa boleh
buat! Ha-ha-ha-ha! Lok toako, kau jangan kuatir, aku urung pindah, aku nanti berlaku sabar, hanya di belakang hari, kau nanti lihat Giok cengtong akan hilang muka di tengah jalan besar! Nah, sampai ketemu! Sampai ketemu pula."
Sambil angkat kedua tangannya mengunjuk hormat, Tay
Po lantas bertindak pergi. Ia telah menahan sabar,
sesampainya di jalan besar, ia terus saja pulang. Siang
Moay sedang menjahit di atas pembaringan.
Melihat suaminya, nona Coa segera berbangkit dan
turun. "Ah, aku sampai lupa!" kata isteri ini. "Ketungkulan menjahit, aku sampai lupa masak nasi! ... "
"Apa, masak nasi?" tanya Tay Po, sambil paksakan tertawa. "Mangkok nasi kita justru telah terbalik!"
Siang Moay kaget dan tertegun. Tapi lekas juga ia
tertawa. "Ya, tadi malam kau bikin hancur theekoan!" ia kata.
"Kau pun hendak bikin terbalik mangkok nasi kita! ... Kau keliru ... "
"Tapi aku bicara hal yang benar!" Tay Po lekas terangkan. "Giok cengtong sudah pukul terbalik mangkok nasiku!" Katanya, "di belakang hari ia pun hendaki jiwaku
... " Siang Moay benar-benar heran, hingga mengawasi saja.
Tay Po tidak mau bikin isterinya bingung terus, maka ia
lalu tuturkan apa yang barusan terjadi.
Setelah ketahui itu, Coa Siang Moay menangis.
"Kenapa kau berlaku begitu sabar?" tanya ini isteri kemudian. "Ketika pweelek-ya berhentikan kau, apa kau tidak bisa tuturkan padanya bahwa Pekgan Holie justru
binasa di gedungnya keluarga Giok itu?"
"Begitu gampang?" Tay Po kata, dengan bersenyum ewah. "Orang mengakui bahwa bujangnya meninggal dunia karena sakit mendadak, dengan itu bukti telah dihindarkan
segala kecurigaan. Apa kau kira karena ucapan kita ini yang berwajib akan bikin peperiksaan hingga kuburan dibongkar dan peti mati dibuka pula" Apa bisa menjadi, melulu karena kita pweelek-ya jadi berbentrok dengan Giok-tayjin?"
Siang Moay tepas air matanya.
"Bukankah kau pernah bilang bahwa pweelek-ya biasa
berlaku baik terhadap orang-orang yang pandai bugee?"
tanya ia. "Orang yang pandai bugee juga ada banyak macam
tingkatannya," Tay Po bilang. "Umpamanya Lie Bouw Pek!
Aku mana bisa dibandingkan dengan orang she Lie itu"
Tetapi aku tidak benci pweelek-ya. Aku jadi guru silat
hanya nama saja, sebenarnya aku hidup nganggur ... Yang
aku benci adalah Giok cengtong! Aku telah lindungkan ia
tetapi sekarang ia bikin tertutup jalan hidupku! ... "
Siang Moay loncat berjingkrak.
"Siapa suruh kau lindungkan mukanya?" berseru isteri ini. "Apakah kita tidak bisa uwarkan yang Pekgan Holie telah binasa di dalam rumahnya dan bahwa sekarang si rase kecil masih bersembunyi di dalam rumahnya itu?"
"Mulai ini hari, kita akan uwarkan itu!" sahut ini suami.
"Tapi lebih dahulu kita mesti pindah dari sini, kita tidak boleh bikin orang kena kerembet-rembet karena urusan
kita!" "Aku pikir untuk pindah ke Coanhin Piauwtiam. Di
sebelah itu, kita harus sediakan lain senjata rahasia, karena mengandal piauw saja belum sempurna! Kita harus sedia
busur dan gandewa! Kupingnya si rase kecil ada "panjang", asal ceritaan kita tersiar, ia pasti bisa menduga siapa yang uwarkan itu! Tentang Giok cengtong, kita jangan buat
kuatir, tidak nanti ia mampu bekuk kita, hanya asal malam kita harus berjaga-jaga dari si rase kecil itu ... "
Siang Moay kasih dengar tertawa menghina,
"Kenapa kau begitu jeri terhadapnya?" ini isteri tanya.
"Baik, kau jangan campur, kau diam saja di rumah, nanti
besok aku yang bekerja!"
Tay Po tertawa.
"Jikalau untuk kerjakan ini aku mesti mengandal
isteriku, habislah pamorku!" ia kata. "Kau jangan kesusu, untuk makan dan pakai kita masih belum perlu berkuatir.
Besok kita pindah, setelah itu kita beli daging untuk
merayakan tahun baru, kemudian kita pikir dengan
perlahan-lahan, daya apa kita harus ambil! Sekarang ini aku Lauw Tay Po sudah rubuh, tetapi jikalau aku tidak bisa
angkat diri pula, percuma aku telah hidup sepuluh tahun
dalam kalangan Sungai Telaga!"
Ia jumput botol arak dari kolong meja yang isinya ia
tuang ke dalam cawan. Ia tenggak itu dengan sisa makanan sebagai temannya. Ia masih saja mendongkol, maka sambil
minum, kadang-kadang tertawa dan bersenyum jemu. Ia
mirip dengan seorang yang otaknya tidak benar.
Siang Moay dari samping mengawasi saja tingkah
lakunya suami itu, ia sangat berduka hingga air matanya
mengucur keluar. Kemudian, dengan paksakan diri ia turut dahar sama-sama.
Sejak itu, terus sampai malam Tay Po tidak terima
kunjungan siapa juga.
Tay Po telah tenggak arak sampai sinting, terus ia
rebahkan diri yang tak lama kemudian sudah menggeros
tidur. Siang Moay benahkan piring mangkok yang ia terus cuci,
kemudian dengan besarkan api ia numprah pula dengan
penjahitannya. Ia lagi bikin pakaian baru untuk tabun baru.
Tadi siang, bersama tetangganya, nyonya Thio, ia potong
citanya buat besok nanti dipadu dengan pakaiannya
tetangga itu, tetapi, sekarang ia jadi tidak napsu kerja, hingga tangannya malas-malasan. Pada dadanya, ia merasa
seperti ada sesuatu yang mengganjal. Ia merasa tidak puas apabila kemendongkolannya tak dapat dihimpaskan.
Tay Po telah tidur sekian lama, ketika tiba-tiba ia buka matanya dan terus kata dengan nyaring: "Benar-benar percuma akan mengharap pertolongan orang! Jie Siu Lian
dan si rase kecil telah bersekongkol! Entah si rase tua, ia benar sudah binasa atau belum ... Tadi di rumahnya Siauw Hong aku dengar, ketika tadi pagi Jie Siu Lian berangkat, tidak lama ada datang orang suruhannya Giok sam-siocia
yang membawa barang hantaran, dari mana jadi ternyata
Siu Lian benar ada tukang 'tempel' orang besar! Ia datang ke sini belum ada sepuluh hari lantas sudah jadi sahabat rapat dari nona she Giok itu! Cara bagaimana ia bisa cekuk
penjahat di rumahnya Giok cengtong" Terang kitalah yang
kena terpedaya! ... "
Siang Moay pun mendongkol dan penasaran, sampai ia
tunda jahitannya.
"Sudahlah, kau tidur saja!" ia kata pada suaminya. Ia bicara dengar sepasang alisnya mengkerut.
"Benar-benar celaka!" kata pula Tay Po sambil berbalik, matanya sudah ditutup rapat pula, dan cepat sekali ia
menggeros pula. Nyata ia sudah ngigo.
Kamar itu sangat berbau arak.
Siang Moay masih belum mau tidur, meskipun ia sudah
tidak punya kemauan akan lanjutkan jahitannya. Minyaknya lampu sudah mulai surut. Akhir-akhirnya ia
letakkan penjahitannya, ia turun akan rapikan pakaiannya.
Ia jumput tiga batang piauw dan sembat goloknya.
Kemudian ia ambil kunci dan padamkan api, sesudah


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mana, dengan hati-hati ia bertindak ke luar.
Malam itu, lagi dua hari akan tahun baru, langit ada
gelap, karena sekalipun bintang, tidak tertampak. Angin
utara menyambar keras, tetapi hawanya masih meninggalkan hawa musim semi. Siang Moay pakai baju
dan celana hijau yang tipis, bajunya dilapis dua, paling luar adalah semacam baju kaus di mana ada tergantung kantong
piauw-nya. Rambutnya yang dikonde, ada ditutup dengan
pelangi hijau juga, sebagaimana warna itu ada warna
sepatunya. Ia jalan sambil berlari-lari mengikuti tembok kota.
Tatkala itu sudah jam tiga.
Gesit laksana kucing, sebentar kemudian Siang Moay
sudah sampai di gedungnya Giok-tayjin di mana ia maju
terus ke muka pintu pekarangan, yang besar dan terkunci.
Di situ ia merandek akan pasang kuping, sambil ambil
ketika akan salin sepatunya dengan yang lemas, yang ia
sengaja bekal. Juga sepatu ini berwarna hijau. Setelah dapat kenyataan di sekitarnya sunyi, ia enjot tubuhnya akan
loncat naik ke tembok. Ia berlaku gesit seperti biasanya ia main dangsu di atas tambang. Ia terus naik ke atas genteng dan berlari-lari menuju ke belakang.
Ia lihat cahaya api di beberapa kamar atau ruangan,
tetapi di ruangan belakang ada gelap petang, hingga ada
sukar untuk cari tahu yang mana ada kamar tidur. Maka
terpaksa, untuk sesaat ia berhenti dulu. Ia pasang kuping dan mata.
Kemudian, dengan merayap di tiang, nona Coa merosot
turun ke tanah. Ia hampirkan sebuah kamar di sebelah
utara, di situ ia jongkok di bawah jendela.
Di situ tidak ada suara orang.
Dengan berhati-hati, sambil membungkuk, nyonya Lauw
hampirkan pintu. Ketika ia raba daun pintu, tangannya
membentur kunci, dari situ ia ketahui bahwa kamar itu
tiada pengisinya. Ia lalu balik dan masuk ke sebelah pintu yang kecil, yang bikin ia sampai di suatu pekarangan yang terlebih besar daripada yang barusan ia lewati. Di sini ia hampirkan kamar yang berada di sebelah selatan. Ia pergi ke jendela. Baru saja ia sampai, tiba-tiba ia dengar suara kucing
berbunyi. Di saat nyonya ini hendak raba daun jendela, dari dalam ia lihat ada orang nyalakan lampu, maka lekas-lekas ia
jongkok. Tetapi setelah itu tidak ada suara lagi atau gerakan apa pun.
Buat beberapa detik Siang Moay masih menunggu,
kemudian baru ia berbangkit. Ia bikin lubang kecil di kertas jendela untuk mengintip ke dalam, tetapi ia tidak dapat
melihat nyata, sebab jendela itu teralingkan dengan sehelai kain penutup, hanya tertampak cahaya terang saja.
Melihat tidak ada lain jalan, nyonya mi berlaku berani.
Ia keluarkan pisau kecil dengan apa ia hendak gurat kain penutup jendela itu. Tetapi, sebelum ia sempat bekerja, dari jurusan belakangnya sekonyong-konyong ia dengar suara
berisik serta teriakan: "Periksa genteng! Boleh jadi ia lari ke belakang!" Suara tindakan kaki berlari-lari pun terdengar nyata.
Siang Moay terperanjat. Ia tahu bahwa orang sedang
memburu ke jurusannya. Lekas-lekas ia loncat naik ke atas genteng. Dari sini ia lihat cahaya api terang di sebelah
depan. Hanya aneh, waktu ia melihat ke bawah, ia
dapatkan penerangan di kamar selatan tadi telah padam.
"Celaka!" pikir nyonya Tay Po, yang terus saja berbangkit dari mendekamnya dan lari.
Sekarang terdengar nyata antara suara riuh itu teriakan.
"Tangkap! Tangkap!" Cahaya api pun terang sekali, hingga berkeredepannya segala golok, tombak dan pedang
kelihatan tedas. Malah di atas genteng juga ada kelihatan orang mendatangi!
"Aku terkurung," pikir Siang Moay, yang lihat tak ada jalan keluar. Ia berkuatir, terpaksa ia mendekam pula,
tangannya siap dengan piauw-nya.
Sekarang belasan orang sudah sampai di pekarangan di
mana barusan Siang Moay berada, suara mereka tidak lagi
berisik sebagai tadi di depan. Nyata kedengaran seseorang memperingatkan: "Jangan berisik, jangan bikin kaget pada thaythay dan siocia! ... "
Satu orang, yang membawa lentera, gantung lenteranya
itu atas sebatang bambu panjang yang merupakan galah,
yang terus diangkat naik dan diberdirikan.
Melihat demikian, Siang Moay berkuatir bukan main,
karena ia tahu orang akan dapat melihatnya. Maka terpaksa ia ayun tangannya, menghajar lentera itu dengan piauw-nya. Sekali saja, api lentera itu lantas padam. Tapi ini menyebabkan orang kaget.
"Ia ada di atas genteng! Awas piauw!" begitu mereka itu berteriak-teriak. Tapi kemudian ada yang serukan:
"Penjahat yang sedang sembunyi di atas genteng keluar dan turunlah, kita nanti bebaskan padamu! Jangan kau gunakan piauw!"
Siang Moay tidak bisa sembunyi lebih lama, dengan
kedua tangan menyekal piauw, ia berbangkit. Ia hadapi
orang banyak itu sambil berseru: "Kawanan manusia keji, siapa di antara kau yang berani naik" Lihat, aku bukannya pencuri! Aku datang kemari untuk temui Giok cengtong-mu!"
Baru saja ia bicara sampai di situ, tiba-tiba ia rasakan sakit pada paha kanannya, hingga ia tak mampu
pertahankan diri akan berdiri terus, ia lantas rubuh dan jatuh menggelinding ke bawah di mana segera ada beberapa orang lelaki yang lantas tubruk dan membekuk ia.
"Penjahat perempuan!" berteriak beberapa orang itu.
"Lepaskan aku!" Siang Moay pun berteriak. Ia kertek gigi saking sengitnya. Ia gerakkan kakinya menendang, atas
mana seorang lantas berteriak kesakitan dan mundur.
Siang Moay lalu diikat dan dibelebat dengan tambang.
"Bunuhlah aku!" ia menjerit, bahna mendongkol dan menyesal. "Giok cengtong, tua bangka hina dina, di
rumahmu kau telah sembunyikan orang jahat! Kau telah
bunuh ayahku dan juga bikin suamiku bercelaka! Kenapa
kau suruh Tiat pweelek pecat suamiku" Tua bangka hina,
kau keluar! Hayo kau keluar, ketemui aku!"
Siang Moay berontak-rontak dengan sia-sia, maka itu, ia
jadi seperti orang kalap.
Orang-orangnya Giok cengtong menjadi heran karena
kemudian mereka segera kenalkan siapa adanya orang
perempuan yang dikatakan penjahat itu.
"Eh, eh, ini toh si tukang dangsu?" kata mereka itu.
"Kalau kau sudah mengenalinya, lekas merdekakan aku!
Aku ada gadisnya Coapantauw! Lauw Tay Po adalah
suamiku! Di dalam gedung ini ada sembunyi Pekgan Holie!
Jie Siu Lian sudah bongkar rahasiamu! Aku mau
perkarakan si orang she Giok, itu tua bangka."
Sementara itu, semua orang yang membawa api telah
berkumpul, maka keadaan di ruangan itu jadi sangat terang.
Segera juga dari kamar barat ada muncul Giok samsiocia bersama dua budaknya perempuan.
"Lepaskan ia dari ikatan," kata satu budaknya si nona, yang dapat perintah dari nonanya. "Dan kau, jangan kau mencaci terlebih jauh," ia tambahkan pada si orang
tawanan. Melihat nonanya datang, semua orang lantas pada
jauhkan diri. Mereka adalah bujang-bujang keluarga Giok
serta hamba-hamba polisi dan pengawal kantor.
Siang Moay tidak lantas dimerdekakan, ia rebah miring,
karena api ada terang luar biasa, ia bisa lihat romannya si nona, yang telah datang lebih dekat. Nona itu ada pakai
kiepauw kembang dan sepatunya ada berdasar tebal.
"Nona, suruhlah mereka lepaskan aku," kata Siang Moay, dengan tidak merasa malu. "Aku bukannya
penjahat! Aku datang kemari untuk cari ayahmu, guna
bicara!" Giok Kiau Liong dengar ucapan itu, dengan tidak kata
apa-apa ia putar tubuhnya, dan berlalu. Ia hanya perintah budaknya buka pintu sebelah utara, ialah jalanan untuk ke kamar ibunya.
Di lain pihak, Giok cengtong sudah mendusin, ia telah
dandan dengan lekas dan datang dengan dilindungi oleh
empat pahlawannya, yang menghunus golok. Nampaknya
ia ada sangat gusar.
"Bawa si penjahat ke depan!" ia kasih perintah. "Aku hendak periksa padanya!"
Teetok ini ada kelihatan murka, kumis dan jenggotnya
bergerak-gerak.
"Kau hendak periksa aku?" berteriak Siang Moay dengan berani. "Aku justru mau mendakwa padamu! Kau telah
pelihara penjahat di dalam gedungmu! Penjahat itu telah
binasa karena luka-lukanya, dengan gampang saja kau
bilang ia mati tiba-tiba! Mari kita berperkara! Di tangan suamiku telah berada semua keterangan lengkap! Oh, tua
bangka celaka!"
Siang Moay benar-benar berani, ia umbar hawa
amarahnya. "Hajar padanya!" berseru Giok-tayjin, yang ada gusar bukan main.
"Hajarlah aku!" Siang Moay menantang. "Hajarlah aku sampai mampus! Aku tidak takut! Jikalau aku mampus,
masih ada suamiku, Lau Tay Po! Kalau suamiku binasa,
masih ada Yo Kian Tong! Ya, masih ada Jie Siu Lian, Lie
Bou Pek! ... "
Perintahnya teetok itu hendak dijalankan, ada satu opas
yang telah datang dengan cambuk, tetapi sebelum hukuman
diberikan, Giok hujin muncul bersama dua budaknya
perempuan. "Jangan, jangan," mencegah ini nyonya besar. "Jikalau ia hendak dirangket, bawalah ia ke kantor, jangan di sini, di rumah tinggal!"
"Dan kau, looya, silahkan kau masuk ke dalam, untuk
beristirahat lebih dahulu! Semua tak boleh berisik!"
Semua hamba kembali undurkan diri, hingga Siang
Moay mesti tetap rebah. Ia ada tetap gusar dan
mendongkol. Giok-tayjin juga ada sangat tidak senang, tetapi ia
terpaksa mesti ikut isterinya masuk ke dalam. Dengan
begitu, semua hamba pun terpaksa mesti berdiam,
menunggui. Giok-tayjin berada di dalam sekian lama, entah apa yang
ia damaikan dengan isterinya, ketika ia keluar pula, ia
nampaknya ada lesu, sebagaimana ia pun telah menghela
napas. "Semua ke depan!" ia kasih perintahnya, secara apa boleh buat. Kemudian ia bertindak pergi. Beberapa hamba
telah memimpin dan mengiringi, sedang sejumlah yang lain tetap menunggui Siang Moay. Hanya mereka ini lekas-lekas jauhkan diri apabila mereka lihat Giok sam-siocia muncul pula dari ruangan utara dengan diantar oleh dua bujang
perempuan dan budak.
"Bukakan ringkusannya!" menitah nona itu.
Beberapa bujang itu bersangsi.
"Jangan takut!" kata si nona. "Buka saja, ia tidak akan serang padamu."
Setelah perintah yang kedua kali ini, bujang-bujang itu
lantas samperi Coa Siang Moay, ikatan pada tubuh siapa
segera dilepaskan. Tapi sekarang, meskipun ia sudah
merdeka, nyonya Tay Po tidak mau berbangkit, ia hanya
rebah terus! Giok Kiau Liong tidak gusar, ia malah mendekati,
dengan ulur tangannya ia menyekal, untuk mengasih
bangun. "Kau ada seorang baik-baik," kata nona ini. "Ketika baru-baru ini kau buka pertunjukan dangsu di depan
gedungku, dua kali aku telah turut menonton. Aku sangat
suka padamu. Kau telah datang kemari, mari kita bicara.
Hayo bangun dan ikut aku ke kamarku, di sana kita nanti
bicara dengan sabar."
Dua budak lantas maju, akan bantui si nona mengasih
bangun. Tangannya nona itu ada putih dan halus.
Menampak demikian, Siang Moay jadi tidak enak
sendirinya, maka lekas-lekas ia berbangkit, akan lebih
dahulu duduk di tanah, tetapi ketika ia mau berdiri, ia
rasakan pahanya sakit, hingga ia lantas tunduk akan lihat bagian kaki yang sakit itu. Akhirnya, ia terperanjat dan berbareng mengerti.
Nyata ia rubuh karena sebatang anak panah kecil
mungil, panjangnya tiga dim, sudah nancap di pahanya.
Waktu anak panah itu ia cabut, ia mesti gigit gigi dan
akhirnya menjerit bahna sakit.
"Apakah siocia pernah lihat anak panah ini?" kemudian ia kata pada Giok sam-siocia seraya perlihatkan panah itu.
"Pada suatu tengah malam, muridnya Pekgan Holie telah datang ke rumah kita untuk membikin huru-hara, itu waktu ia telah gunakan anak panah semacam ini! Apa sekarang
siocia hendak bilang" Aku percaya, di antara orang-orang yang kepung dan tangkap aku ini mesti terdapat muridnya
Pekgan Holie itu! Anak panah ini sebagai buktinya!"
Melihat itu, Giok sam-siocia melainkan kerutkan alis, ia tidak bilang apa-apa.
"Coba tolong ia bawa ke dalam," ia kata pada dua budaknya.
Dengan dipepayang, Siang Moay dibawa masuk ke
kamar selatan di mana api telah dinyalakan, sedang bujang lain juga sudah bawa perapian untuk membikin hangat
hawa di dalam kamar itu.
Perabotan di dalam kamar semua terbuat dari kayu yang
hitam dan mengkilap, lainnya ada barang-barang dari
kumala dan barang kuno, sedang pigura ada memakai lis
yang ditabur dengan mutiara dan batu indah.
"Silahkan duduk," Giok sam-siocia mengundang seraya tunjukkan sebuah kursi, yang ukirannya halus dan bagus.
Siang Moay duduk sambil tunduk dan tangannya buat
main ujung bajunya.
"Ambil air teh," Kiau Liong perintah budaknya.
Perintah ini dilakukan dengan cepat. Satu budak
menyuguhkan pada nona majikannya, dan satu lagi pada
nona Coa. Budak ini ada cantik dan berpakaian indah dan
tangannya menyekal nenampan emas.
Mukanya Siang Moay ada merah, tanda yang ia ada
likat. "Terima kasih," ia kata, seraya ia diam-diam terus curi lihat nona rumah. Sebisa-bisa ia berlaku tenang, hingga
kemudian ia bisa tersenyum.
Giok Kiau Liong duduk di depan tetamunya yang tak
diundang itu, pakaiannya indah, kondenya tidak pakai
kembang atau barang perhiasan lainnya, toh gelungnya ada licin dan rapi, tidak seperti orang yang habis tidur. Tapi nampaknya seperti orang masgul.
"Kau she apa?" kemudian si nona tanya.
"Aku Coa Siang Moay," sahut nyonya Lau Tay Po.
"Ayahku bernama Coa Tek Kong, kepala polisi Hweeleng,
Kamsiok. Oleh karena ayahku telah binasa di tangannya
orangmu, aku lantas ikut Lau Tay Po. Ia ada guru silat di gedung Tiat siau-pweelek. Orang di sini ada sangat benci pada suamiku itu yang dibusukkan di depannya pweelek-ya, hingga kesudahannya ia telah dipecat. Karena ini, sekarang aku datang kemari, untuk mendapati penjelasan dan
keadilan!"
"Dalam urusan ini kau seharusnya datang di waktu
siang!" kata Giok Kiau Liong. "Sekarang kau datang tengah malam buta rata dengan bawa-bawa senjata, apakah dengan
begitu kau tidak mirip dengan penjahat" Syukur kau ada
seorang perempuan, jikalau tidak, tak nanti kau akan dapat kebebasan sebagai ini!"
"Siocia, omonganmu tidak tepat," Siang Moay bilang.
"Jikalau aku datang siang, sebelum aku sampai di muka kantor, tentu orang-orangmu akan sudah mengusirnya!
Dengan begitu, cara bagaimana aku bisa temui tayjin atau kau" ... Aku pandai jalan di atas tambang, maka itu, aku pun bisa naik ke atas genteng. Siocia, aku datang kemari dengan tidak pikir pula akan bisa hidup lebih lama! Maka suruhlah si rase kecil keluar buat bunuh padaku! Atau kau serahkan aku pada pembesar negeri, supaya aku dijatuhkan hukuman mati! Tetapi sebelum mati, aku akan kasihkan
bukti-bukti ... Dengan bukti itu aku bisa mengadu dan
mendakwa sampai di hadapan raja!"
Wajahnya Kiau Liong berubah.
"Sabar ... " ia bilang, seraya goyang-goyang tangannya.
"Bicaralah dengan perlahan ... " Ia menghela napas.
"Selama ini, di luaran telah muncul banyak sekali ceritera burung."
"Tapi ini bukannya ceritera burung, ini ada kejadian yang benar!" Siang Moay pastikan. "Itu adalah ceritera yang
kita berdua sengaja siarkan! Jikalau Giok-tayjin tidak
berdaya dan tidak mau bekuk si rase kecil buat dihukum,
kita akan uwarkan lebih banyak ceritera pula! Suamiku
sekarang sudah kehilangan pekerjaannya, daripada kita
mesti mati kelaparan, lebih baik Giok-tayjin yang
menghukum mati pada kita!"
"Bisa jadi kau telah keliru dengar pembicaraan orang,"
Kiau Liong masih coba menerangkan. "Tidak akan terjadi pihak kita gunakan pengaruh akan menghina lain orang!
Aku sendiri setiap hari berada di dalam kamar, jangankan urusan di luaran, walaupun di dalam gedung banyak yang
aku tidak ketahui jelas. Apa yang aku dengar adalah bahwa perbuatan suamimu itu ada sangat hebat, di depan gedung
ini ia sudah memaki-maki dan menimpuk dengan piau juga.
Piau itu telah dibungkus dengan kertas yang ada lukisan
dan tulisan cacian ... Siapa juga tak nanti suka terima
hinaan semacam itu! Ayahku telah berusia tinggi, ia tidak bisa tahan sabar, dari itu ia berniat meletakkan jabatan, tetapi Tiat siau-pweelek mencegahnya. Tak mungkin
ayahku lelah menganjurkan pweelek-ya untuk memecat
pada suamimu."
"Kalau mau, ayahku bisa seret suamimu ke muka
pengadilan untuk diberikan hukuman! Tetapi ayahku tidak
berbuat demikian, karena sebagai orang berpangkat ia tidak mau berurusan dengan orang biasa. Di sebelah itu ayah ada seorang pandai menilik diri sendiri. Kau tahu, pegawai kita ada berjumlah kira-kira empatpuluh orang, dari itu ada
sukar untuk tilik mereka akan ketahui di antaranya ada
yang jahat atau tidak. Pun ada sukar untuk cari tahu yang cerita di luaran itu ada mempunyai dasar atau tidak. Maka itu, dalam beberapa hari ini sudah ada bujang yang dikasih berhenti dan yang lain-lainnya asyik ditilik terus. Ayah
sudah berkeputusan, asal ada pegawai yang mencurigai, ia akan ditangkap dan diserahkan pada pembesar negeri."
Kapan Siang Moay dengar keterangan ini, ia lantas ubah
sikap. "Siocia," ia kata, "apa kau bisa ijinkan akan aku berdiam di sini untuk beberapa hari" Biarlah aku bekerja sebagai budak di sini, asalkan aku dapat ketika untuk bikin
penyelidikan. Aku percaya bahwa aku akan berhasil cari si orang jahat itu ... "
Tetapi Giok Kiau Liong goyang kepala.
"Itulah tak mungkin," ia bilang. "Mana bisa orang sembarangan berdiam di dalam gedungku ini" Tahukah kau
mengapa kita bersikap begini rupa padamu" Itulah
disebabkan kebaikan hati dari ibuku terhadap kau yang ia merasa kasihan, ia larang kita menghukum dan aku
diperintah berikan keterangan ini padamu, agar kau


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapat tahu. Sekarang kau boleh pulang! Pesan
suamimu supaya selanjutnya ia jangan bikin berisik pula di depan kantor kita, jangan ngaco belo terlebih jauh!
Umpama masih penasaran, ia boleh mendakwa kepada
pembesar negeri! Kita di sini bisa menghukum sendiri
apabila kita mendapati orang-orang kita yang jahat!"
Kiau Liong baru bicara sampai di situ atau satu budak
datang padanya.
"Thaythay minta siocia masuk untuk beristirahat," kata budak ini. "Sekarang sudah jauh malam. Siocia tentu sudah lelah. Thaythay perintah kita buat antar tetamu ini pulang ke rumahnya."
Giok Kiau Liong manggut, ia menoleh pada Siang
Moay. "Di mana kau tinggal?" ia tanya.
Sambil minum tehnya, Siang Moay berikan alamatnya.
"Sediakan kereta untuk antar nyonya ini pulang," Kiau Liong menitah. Ia menoleh pula pada Siang Moay, sambil
tersenyum ia kata: "Lan kali, apabila kau senggang, kau boleh datang pula kemari, untuk kita pasang omong. Ibuku ada seorang yang murah hatinya, ia kasihan kau, coba
tidak, tidak nanti ia bisa bujuki ayahku akan mengasih
ampun pada kau. Kalau nanti kau datang pula, dandanlah
rapi sedikit, pada pengawal pintu, kau boleh terangkan
maksud kedatanganmu, tidak nanti mereka merintanginya."
Mukanya Siang Moay menjadi merah, tetapi ia senang
dengan ucapan si nona itu.
"Siocia, aku mengaku salah," ia kata. "Aku harap kau sampaikan pada thaythay bahwa aku bersalah dan minta
thaythay tolong mohonkan maaf dari tayjin. Lain hari,
kalau lukaku sudah sembuh, aku nanti datang berkunjung
pula kemari."
"Tidak apa," Kiau Liong bilang, "sudah cukup asal kau tahu dan mengerti bahwa kita tidak sembunyikan orang
jahat. Aku nanti mintakan ayah supaya ia omong pada Tiat siau-pweelek agar suamimu dipekerjakan pula ... "
"Terima kasih, siocia," kata Siang Moay.
Giok Kiau Liong berbangkit, dua budaknya lantas antar
ia masuk. Siang Moay masih berdiam di kamar itu bersama
beberapa bujang sampai kereta sudah disiapkan, dengan
masih dipepayang oleh dua bujang ia diantar ke kereta ke atas mana ia naik, diikut oleh satu bujang yang
menghantarinya.
Itu waktu sudah jam empat, di jalan besar tidak ada lain kereta, tidak ada seorang juga.
"Syukur siocia mendusin," kata si budak, "ia yang mintakan penolongannya thaythay bicarakan pada tayjin
untuk kebebasanmu. Kau bernyali sangat besar. Kenapa
malam-malam kau berani datang ke gedung kita" Kenapa
kau berani caci tayjin?"
"Sudah, jangan sebut-sebut pula kejadian itu," Siang Moay minta.
Tak lama kemudian kereta telah sampai di depan
rumahnya, ketika si kusir mengetok pintu, dari sebelah
dalam ada lompat naik ke atas tembok seorang yang
menyekal golok tajam.
"Kau cari siapa?" menegur orang yang pegang golok itu.
Si kusir menjadi kaget, sampai ia tidak bisa lantas
menyahut. Siang Moay kenali suara suaminya.
"Aku yang pulang ... "
Tay Po pun kenali suara isterinya, ia segera loncat turun menghampirkan.
"Ke mana kau pergi?" ia tanya. "Ketika aku bangun dari tidurku, aku heran tidak melihat kau! Kereta ini siapa yang punya?"
"Ini ada keretanya keluarga Giok," Siang Moay memberi tahu. "Aku terluka, mari tolongkan aku turun dari kereta."
Tiba-tiba Tay Po menjadi gusar.
"Kau telah dilukai, sekarang kau diantar pulang?" ia berseru, goloknya ia angkat. "Sekarang aku tak punya pekerjaan, bagaimana aku bisa rawat lukamu" Hayo pergi,
aku nanti antar kau kembali! Ia mesti mengobati kau
sampai sembuh, baru aku jemput kau pulang."
"Sudah!" kata Siang Moay. "Jangan kau hendak coba memeras orang! Pembicaraan ada banyak, nanti aku kasih
keterangan ... "
Si bujang juga turut bicara.
"Kita diperintah antar nyonya, lekaslah kau buka pintu supaya nyonya bisa lekas masuk," ia kata. "Kita perlu lekas pulang untuk membawa kabar ... "
Meskipun masih tetap menggerutu. Tay Po toh lempar
goloknya ke dalam, ia loncat masuk untuk membuka pintu,
kemudian ia naik ke kereta, buat pondong isterinya turun.
"Terima kasih," kata Siang Moay pada si budak dan kusir, yang terus pergi.
Tay Po jadi demikian gusar kapan di dalam ia lihat darah di kakinya isterinya itu.
"Tidak apa, lukaku tidak berbahaya," kata Siang Moay.
"Lihat ini, ini ada panah yang melukai aku. Tolong
ambilkan obat."
Tay Po menurut dengan tetap masih mengomel.
"Ceriteralah, aku ingin dengar apa yang sudah terjadi!"
akhirnya ia kata.
Siang Moay duduk di atas pembaringan, celananya ia
gulung, hingga kelihatan lukanya, kemudian ia rebahkan
diri celentang.
"Tolong pakaikan obat," ia kata. Selagi suaminya mengobati lukanya, ia ceriterakan ke mana ia pergi dan apa yang ia alami.
Selama mendengarkan, Tay Po sangat menggerodok,
hingga beberapa kali ia mengutuk.
"Aku sembrono," Siang Moay kata. "Aku pergi ke rumahnya Giok-tayjin dengan gusar, tapi sesampainya di
sana aku dengar keterangannya Giok siocia. Seumurnya,
Giok-tayjin belum pernah mengalami penghinaan. Nona
Giok pun baik hatinya ... "
Masih saja Tay Po tersenyum ewah.
"Kau ngalami lebih banyak daripadaku," ia kata.
"Kecuali dihajar dengan anak panah, kau pun dipedayakan!
Giok Kiau Liong benar-benar liehay! Ia tahu bahwa
percuma ia hajar kau, bahwa kalau aku mengadu pada raja, ia akan bisa celaka, dari itu sengaja ia baiki kau dan
antarkan kau pulang. Ini ada tipu "Ciong Cit Kim", tujuh kali tangkap, tujuh kali lepas, untuk bikin kau jinak, supaya kita jangan ganggu ia lebih jauh. Ini menyatakan
kejeliannya, dari sini aku percaya ia tentu ketahui siapa adanya si rase kecil!"
Siang Moay mendelong apabila ia dengar suaminya itu.
"Ya, aku juga merasa heran," ia kata kemudian. "Aku sedang berada di atas genteng ketika tiba-tiba panah
menyambar aku di luar tahuku, hingga aku kesakitan dan
jatuh. Aku tidak lihat siapa yang lepaskan itu dan tidak tahu juga dari mana menyambarnya ... "
Tay Po ambil anak panah itu dan dibawa ke lampu.
"Panah ini tidak membutuhkan busur," ia kata. "Panah ini cukup ditaruh di dalam baju dan bisa digunakan dengan satu gerakan jari-jari tangan saja! Ini ada apa yang
dinamakan panah tangan. Bukankah barusan kau bilang
Giok Kiau Liong ada punya dua budak perempuan yang
elok dan pakaiannya mentereng, yang selalu dampingi
nonanya" Aku percaya, satu di antara kedua budak itu
mesti ada si rase kecil! ... "
"Ya, aku ingat sekarang," kata Siang Moay. "Salah satu budak telah jebikan aku ... "
"Itu ada soal kecil," kata Tay Po. "Yang penting adalah hasilnya tindakanmu ini. Terang pihak sana ingin perkara bisa dibikin habis, maka terhadap kau ia berlaku sabar luar biasa. Ia tentu percaya, setelah ini, tidak akan terbit onar pula ... Baiklah kita lewatkan tahun baru, selama itu, kau boleh rawat lukamu. Kelak, sehabisnya Capgomeh, apabila
Petualang Asmara 11 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Angrek Tengah Malam 1

Cari Blog Ini