Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 1
Ilmu Ulat Sutera
(Tian Chan Bian)
Karya : Huang Ying
Disadur oleh : Ai Cu
Jilid 1 Angin barat menerbangkan dedaunan bagaikan sedang
menari-nari. Musim semi hampir berakhir.
Di bawah percikan air terjun, di samping rimba pohon yang
lebat. Di atas sebuah batu besar yang terdapat di tengah
sungai yang sedang mengalir, berdiri seorang laki-laki
berpakaian putih.
Pakaiannya yang putih laksana salju yang menerpa. Rambut
orang itu seluruhnya berwarna putih seolah ditutupi salju
musim dingin. Bukan hanya rambutnya yang berwarna putih.
Alisnya juga berwarna putih. Mestinya wajah seperti itu hanya
dimiliki orang yang berusia lanjut, namun anehnya tidak ada
sedikit pun kerutan pada wajah orang ini. Sulit menerka
berapa usia orang itu sebenarnya.
Sepasang alisnya tinggi dan tebal. Mimik wajahnya dingin dan
datar. Terasa sekali hawa pembunuhan yang memancar
dalam sinar matanya. Warna kulitnya pucat seperti kulit ikan
yang sudah mati. Tidak terlihat sedikit pun rona merah
sebagaimana manusia yang mempunyai darah. Bibirnya juga
1 demikian. Tidak beda dengan sesosok mayat hidup.
Yang paling mengerikan dan membuat hati bergetar justru
sepasang matanya. Bentuknya sipit dan panjang. Bola
matanya hanya berwarna putih secara keseluruhan. Tidak ada
bola hitam di tengahnya. Di tangan kirinya tergenggam
sebatang pedang panjang yang membuat penampilan orang
itu semakin angker. Panjang pedang itu kira-kira satu
setengah meter.
Nyata sekali pedang yang dibawanya bukan pedang
sembarangan. Orang akan berpikir dalam hati, bagaimana
cara menggunakan pedang sepanjang itu" Untuk
menghunusnya saja pasti akan menemui kesulitan.
Orang ini menggunakan pedang sepanjang itu sebagai
senjata. Apabila bukan untuk memamerkan diri, pasti ilmunya
sangat tinggi. Kecepatannya juga tentu secepat kilat.
Pokoknya semua yang ada pada diri orang ini lain daripada
yang lain. ***** Air sungai yang deras itu bergerak-gerak menghantam batu
tersebut. Butiran air memercik ke mana-mana. Angin masih
bertiup dengan kencang. Daun-daunan rontok beterbangan
dan menimbulkan suara menderu-deru.
Lengan baju orang itu melambai-lambai. Rambutnya yang
putih beriap-riap. Benda-benda yang ada antara langit dan
bumi seperti sedang berlomba saling bergerak. Hanya
manusia berpakaian putih itu yang bergeming sedikit pun.
Tubuhnya seolah telah bersatu dengan batu yang dipijaknya.
2 Dari jauh tampaknya seperti gumpalan kabut yang menutupi
sebuah arca. Gumpalan kabut yang membisu ....
Angin bertiup menerpa alam sekeliling. Mata orang itu tiba-tiba terbelalak. Sinar matanya yang sedingin es tidak menampilkan
perasaan apa-apa. Siapa pun tidak akan menyangka bola
mata yang sedemikian rupa dapat menyorotkan sinar setajam
belati. Matanya bergerak, demikian juga tubuhnya. Suasana
mencekam jadi riuh seketika. Tubuhnya melesat bagaikan
sebatang anak panah. Pedang dan sarungnya ikut berkelebat.
Sarung pedang itu patah dibuatnva. Hanya melesak ke dalam
batu yang dipijaknya. Tubuh manusia berpakaian putih itu
meloncat di udara. Pedangnya telah terhunus. Keduanya
berkelebat di udara bagai sebaris pelangi dan mengarah ke
sehelai daun yang sedang terbang ditiup angin.
Panjang pedang tersebut satu setengah meter. Dengan
kecepatan yang sulit dijelaskan, dia menusuk ke arah daun
merah yang sedang melayang itu.
"Crep!" pedang itu menembus daun tersebut. Mengagumkan!
Daun itu sama seperti daun yang sering terlihat. Gerakan
pedang yang kuat ternyata tidak membuat daun itu terempas.
Hanya satu hal yang dapat dijelaskan dari keadaan itu.
Gerakan pedang itu terlalu cepat. Melebihi kecepatan daun
tersebut. Belum sempat daun terempas oleh deruan angin
yang ditimbulkan, pedang sudah menusuknya.
Tiba-tiba pedang itu ditarik kembali. Daun itu terlepas dan
melayang kembali. Sebelum sempat mencapai tanah,
3 manusia berpakaian putih itu sudah berdiri tegak di tempatnya
semula. Kedua kakinya bergeming sedikit pun. Tangan
kanannya masih menggenggam pedang seperti sebelumnya.
Dan pedang itu juga masuk kembali ke dalam sarungnya.
Matanya tetap bersinar tajam. Tubuhnya tidak bergerak juga,
seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Angin tetap bertiup kencang. Daun merah tadi masih
melayang-layang. Pada saat itu, sebuah suara
mengumandang lewat semilir angin ....
"Belum mencapai tiga bulan ilmu pedang sute sudah
mengalami kemajuan demikian pesat!"
Suara itu lembut menyeramkan. Kedengarannya berada di
kejauhan, namun kata-katanya jelas sekali seperti berbicara di
hadapan. Baru saja perkataannya selesai, tubuh orang itu
melayang melalui hutan yang rimbun dan mendarat di tepi
sungai. Ternyata jatuhnya persis bagai sehelai daun merah
tadi. Sama sekali tidak menimbulkan suara.
Bentuk tubuhnya tinggi kurus. Pakaiannya berwarna abu-abu.
Dari jauh tampak seperti sebatang bambu. Sebelum tubuhnya
mendarat di tanah tadi, tangannya terulur dan membentuk
cengkeraman. Daun merah yang sedang melayang tadi
dijepitnya dengan dua buah jari. Ternyata daun merah yang
sedang melayang itu juga tidak terempas oleh angin yang
ditimbulkan oleh gerakan tubuhnya. Ketika mendarat di tanah,
kakinya tidak memperdengarkan suara sedikit pun. Tidak beda
dengan segumpal kabut yang melayang turun di tanah.
Sebelum mencapai tanah, setiap jengkal tubuhnya bagai
bergerak semua. Sampai kakinya memijak baru semua
4 gerakan itu berhenti.
Tampaknya manusia berpakaian abu-abu ini sudah berumur.
Seluruh wajahnya penuh keriput. Rambut dan jenggotnya
berwarna putih keabu-abuan. Tidak lebat sehingga dapat
dihitung. Manusia berpakaian putih tadi memperhatikannya.
"Tampaknya ginkang toako juga maju pesat!" hanya sepatah kata itu saja katanya.
Manusia berpakaian abu-abu tadi tertawa lebar. Tangannya
dikibas. Selembar daun marah tadi tersentak dan melayang
kembali dari jarinya. Dalam waktu yang bersamaan, berpuluh
sinar berwarna keperakan meluncur ke arah daun tersebut
kemudian menusuk di permukaannya dan tembus di atas batu
besar di tengah sungai. Setelah diperhatikan dengan
seksama, ternyata sinar putih itu terdiri dari berpuluh-puluh
batang jarum. Puluhan batang jarum itu begitu halus bagaikan
bulu kerbau. Tampak seorang wanita berpakaian mewah berjalan keluar
dari hutan yang lebat. Pakaiannya berwarna-warni. Usianya
tidak muda lagi. Namun sulit untuk menerka berapa usia
wanita itu yang sebenarnya. Tubuhnya sedang.
Penampilannya mempesona. Alisnya lebat dan matanya jeli
sekali. Siapa pun yang melihatnya pasti sukar mengalihkan
pandangan. Langkah kakinya tidak seberapa cepat. Pinggangnya
melenggang-lenggok. Gerakan pinggulnya membuat orang
menduga bahwa pinggang itu bisa patah dibuainya. Namun
5 ternyata tidak. Kedua tangannya yang tersembul dari balik
lengan baju demikian halus dan berseri. Apa lagi ketika dia
mengangkat tangan kanannya dan merapikan rambutnya yang
tergerai karena tiupan angin nakal. Gayanya begitu
mempesona. Tidak beda dengan wajahnya yang cantik
menggiurkan. Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, siapa pun tidak akan percaya bahwa tangan yang
indah dapat menyebarkan jarum yang demikian beracun dan
mematikan. Begitu tangannya yang halus mengebas, jarum yang
berjumlah empat puluh sembilan batang itu menghambur
bagai hujan anak panah di angkasa. Kecepatannya sulit
dilukiskan. Sekali lihat saja, orang akan tahu bahwa ilmu
menggunakan senjata rahasia wanita itu tidak dapat
dipandang remeh.
Manusia berpakaian abu-abu itu menatap daun yang
melayang jatuh di alas batu tadi. Dia menghela napas
panjang. "Sayang sekali .... "
"Apanya yang sayang sekali?" tanya wanita itu sambil
tersenyum simpul. Senyum dan suaranya ternyata sama
menggiurkan seperti orangnya sendiri.
"Empat puluh sembilan batang jarum sekaligus dilancarkan
dan tepat mengenai daun tersebut. Siapa pun akan mengakui
bahwa cara menggunakan senjata semacam ini termasuk
kelas satu di dunia kangouw. Namun belum dapat disebut
tidak terkalahkan," sahut manusia berpakaian abu-abu.
6 "Bagaimana menutupi kekurangan tersebut?" tanya wanita itu kembali.
"Perubahan dalam gerakan," sahut manusia berpakaian abu-abu. "Untuk menyebarkan empat puluh sembilan batang jarum
tersebut, setidaknya harus menggunakan tujuh perubahan."
"Apakah tujuh jurus perubahan tidak terlalu banyak?"
"Tidak banyak ...." mata manusia berpakaian abu-abu itu beralih kepada wajah wanita itu. "Sebelum senjata rahasiamu mencapai sasaran, paling tidak aku dapat menjalankan lima
jurus perubahan. Meskipun belum dapat disamakan dengan
jurus Te-hun-cong dan Bu-tong-pai, namun sudah pasti dapat
menghindarkan diri dari senjata rahasiamu. Mungkin aku
masih sempat melancarkan sebuah serangan kepadamu."
"Untung saja manusia yang mempunyai ginkang setinggi
toako sudah jarang di dunia ini. Menurut apa yang aku
ketahui, ilmu Te-hun-cong dari Bu-tong-pai sudah kehilangan
ahli warisnya," kata wanita itu.
"Kalau menurut apa yang aku ketahui, justru tidak ...." mata manusia berpakaian abu-abu itu menyorot bagai seekor elang
sedang menanti mangsanya. "Paling tidak, aku sudah melihat salah seorang murid Bu-tong-pai yang sanggup memainkan
jurus tersebut."
"Mungkinkah yang kau maksudkan adalah Bu-tong Tiang
Ceng?" tanya wanita itu penasaran.
"Benar ... memang Ci Siong tojin," lagi-lagi manusia
berpakaian abu-abu itu menarik napas panjang. "Te-hun-cong 7
adalah salah satu dari tujuh ilmu pusaka Bu-tong-pai. Mana
mungkin dibiarkan kehilangan ahli warisnya begitu saja?"
"It-ciu-jit-am-gi (sekali lempar tujuh senjata rahasia) juga termasuk salah satu di antaranya."
"Memang betul," sahut manusia berpakaian abu-abu.
"Bagaimana kalau dibandingkan dengan Moa-ti-hue-ho (hujan
bunga di seluruh permukaan bumi)?" tanya wanita itu.
"Dapatkah kau melancarkan tujuh buah senjata rahasia yang
jenisnya berlainan dan beratnya tidak sama serta harus
mencapai sasaran dalam waktu yang bersamaan?" malah
balas bertanya sewaktu ditanya.
"Apakah demikian cara memainkan jurus It-ciu-jit-am-gi?"
Manusia berpakaian abu-abu itu menganggukkan kepalanya
tanpa bersuara.
Wanita itu merenung sekian lama. Tidak terlihat lagi sedikit
pun senyuman menghias bibirnya. Manusia berpakaian putih
yang berdiri tegak di atas batu itu mengedarkan pandangan
dengan sinar matanya yang tajam.
"Apakah kecepatan dan ketepatan Liong-gi-kiam-hoat dari Butong-pai dapat menandingi ilmu pedangku tadi?" tanyanya
tiba-tiba. "Jauh lebih cepat dan tepat."
"Apakah semua yang dikatakan toako ini benar adanya?"
8 tanya manusia berpakaian putih itu lagi sambil tertawa dingin.
Yang ditanya tidak menyahut lagi. Dia hanya tertawa lebar.
Manusia berpakaian putih itu masih memandangnya.
Wajahnya berubah pucat. Pada saat itu juga terdengar sebuah
suara berkumandang dari dalam hutan.
"Entah bagaimana kalau dibandingkan dengan Peng-lui-to aku ini?"
Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berjalan keluar dari
dalam hutan. "Maksudmu ... membandingkannya dengan Kui-soa-to dari
Bu-tong-pai?" tanya si manusia berpakaian abu-abu.
Tubuhnya kekar. Gumpalan daging di dadanya sudah berotot.
Pakaiannya berwarna merah seperti para pemburu yang mana
sebelah lengannya telanjang. Namun dia menyandang sebuah
golok yang besar.
Cahaya memijar, goloknya yang telah terhunus berkelebat,
lalu melayang turun ke arah daun yang tertancap berpuluh
batang jarum beracun tadi. Sebelum mata yang lain sempat
melihat dengan jelas, batu besar yang terdapat di tengah
sungai itu telah terbelah menjadi dua bagian. Manusia
berpakaian merah tadi menarik goloknya kembali kemudian
mengacungkannya ke atas langit dan berteriak nyaring. Suara
teriakannya persis seperti petir yang menyambar, membuat
hati yang lainnya tergetar dan jantung mereka berdegup
kencang. Pandangan mata manusia berpakaian abu-abu mengikuti
9 gerakannya. "Bagus!" katanya.
Manusia berpakaian merah itu tertawa terbahak-bahak.
"Toako hanya berharap setiap musuh yang kau hadapi seperti batu itu adanya," rupanya perkataan manusia berpakaian abu-abu tadi belum selesai.
"Apa maksudnya?"
"Berdiri tegak di tempatnya dan menantikan kedatangan
golokmu yang akan menebasnya menjadi dua bagian,"
jawaban selanjutnya.
Manusia berpakaian merah itu menggertakkan giginya. Dia
langsung menerjang ke arah manusia berpakaian abu-abu
dan menyerangnya sebanyak tiga belas kali. Manusia yang
menyebut dirinya toako itu seperti tidak tahu. Namun begitu
golok itu sudah berada dekat dengan dirinya, tubuhnya yang
tinggi kurus mencelat ke atas seperti terbang di udara.
Dengan gesit dia menghindarkan semua serangan itu lalu
melayang turun ke atas sebuah batu yang lain.
Manusia berpakaian merah itu tidak mengejarnya. Dengan
kesal dia melemparkan goloknya di atas tanah.
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
***** "Delapan belas tahun ...," gumam si manusia berpakaian abu-abu itu. Dia menarik napas panjang. Wajahnya seakan
bertambah tua beberapa tahun.
10 "Bagaimana kepandaian kami bila dibandingkan dengan
delapan belas tahun yang lalu?" tanya si wanita berpakaian warna-warni penasaran.
"Jauh lebih baik. Namun menurut pendapatku, masih tetap
terpaut cukup jauh. Misalnya sam-moay ...," pandangan mata manusia berpakaian abu-abu beralih kepada satu-satunya
wanita yang ada di sana. "Kau masih belum mengubah
kebiasaanmu mengenakan pakaian yang berwarna-wami itu."
"Aku memang menyukai pakaian yang indah," sahut wanita itu sambil mengembangkan sebuah senyuman yang dipaksakan.
"Toako lupa bahwa sam-moay adalah seorang wanita.
Mencintai keindahan adalah sifat wanita pada umumnya,"
tukas manusia berpakaian merah.
"Lagipula, dengan pakaian warna-warni yang begitu mencolok, setiap musuh yang memandangnya mungkin akan menjadi
silau dan lupa diri. Pada saat itu tepat sekali untuk
melancarkan senjata rahasia," kata manusia berpakaian abuabu yang kemudian menarik napas sekali lagi. "Namun, bisa
jadi pihak musuh malah menjadi waspada sebelumnya."
Semua orang terdiam. Mata manusia berpakaian abu-abu itu
beralih kepada yang lain lalu berpindah pada setiap orang.
"Seandainya kita gagal lagi kali ini, tampaknya kesempatan kita tidak akan ada lagi. Ada sedikit perkataan yang
sebetulnya ingin kusimpan dalam hati ini. Namun seperti
sesuatu yang mencekat di tenggorokan, rasanya tidak enak
kalau belum dikeluarkan."
11 "Kalau begitu, keluarkan saja."
"Selama beberapa tahun ini, aku percaya kalian sudah banyak menderita. Aku juga yakin orang yang dapat melawan kita di
dunia kangouw sekarang sudah tidak banyak."
"Lalu ... apa lagi yang kita nantikan?" tanya si manusia berpakaian merah sambil membusungkan dadanya.
"Dengan mengandalkan kepandaian kita, rasanya masih
belum cukup untuk menguasai dunia kangouw. Kita semua
sudah berusaha sekuat tenaga, tampaknya kita tidak mungkin
maju lebih jauh lagi. Meskipun kita berlatih dengan berat dan
tanpa mengenal panas atau pun hujan. Kita tetap tidak bisa
maju lebih banyak lagi," kata manusia berpakaian abu-abu itu dengan wajah tertunduk.
"Mungkin kita harus mempelajari ilmu orang lain ...."
Manusia berpakaian putih paling jarang membuka mulut. Tibatiba dia menukas "Bukankah tujuh ilmu pusaka dari Bu-tongpai paling cocok sebagai pilihan?"
Manusia berpakaian abu-abu menganggukkan kepalanya
tanpa menyahut.
Wanita dengan pakaian warna-warni itu tertawa lebar.
"Sayangnya usia kita semua sudah terlalu tua. Meskipun
dengan kebulatan tekad ini, kita tidak segan-segan datang ke
Bu-tong-san dan memohon diterima sebagai murid, namun
aku yakin Ciangbunjin (ketua) Bu-tong-pai tidak akan
12 menerima kita," sahutnya.
"Lalu ... apa yang harus kita lakukan?" tanya manusia berpakaian merah dengan wajah cemas.
"Untuk mempelajari ilmu aliran orang lain, menurut
pendapatku, paling tidak ada tujuh ratus cara untuk
melakukannya," kata sang toako.
"Tidak salah. Kalau toako berani berkata demikian, aku yakin toako pasti sudah menemukan jalan yang dapat diandalkan,"
sahut si manusia berpakaian putih.
Manusia berpakaian abu-abu menganggukkan kepalanya.
"Sebenarnya bukan aku yang menemukan jalan ini.
Sebelumnya sudah ada orang lain yang pernah mencobanya
dan berhasil."
Ketiga orang yang lainnya seperti teringat sesuatu. Mimik
wajah mereka berubah-ubah.
"Setelah mengalami kegagalan satu kali, rasanya kita tidak akan ceroboh lagi," kata si manusia berpakaian abu-abu.
"Tapi siapa di antara kita yang cocok mengemban tugas ini?"
tiba-tiba si putih itu bertanya.
"Siapa pun tidak cocok," si putih kembali mengedarkan pandangannya. "Usia kita terlalu tinggi. Lagipula dengan nama besar yang pernah kita sandang, aku yakin tidak seorang pun
di antara kita yang kuat menahan hinaan seperti ini," lanjutnya.
Ia lalu mengerutkan keningnya, "Apakah toako menginginkan
13 dia?" tanyanya seperti kepada diri sendiri.
"Coba katakan, bukankah 'dia' yang paling sesuai dan tepat untuk mengemban tugas ini?" manusia berpakaian abu-abu itu tersenyum lebar.
Kembali si putih manggut-manggut mengiakan. Wanita yang
mengenakan pakaian warna-warni itu mengerling genit. Dia
tertawa terkekeh-kekeh, "Sebenarnya 'dia' juga anak yang
cerdas sekali," tukasnya.
"Setidaknya lebih cerdas dari aku," sahut rekannya yang berpakaian merah.
"Kalau kalian semua tidak ada yang merasa keberatan, maka
kita putuskan begitu saja," selesai berkata tubuh toako mereka melesat ke atas bagaikan segumpal asap. Kemudian dia
menutulkan kakinya di atas sebuah batu kerikil dan melayang
pergi. Ketika manusia berpakaian merah memungut goloknya yang
dilempar tadi, bayangan si wanita berpakaian warna-warni
sudah tidak terlihat lagi.
"Sungguh menyenangkan! Sungguh menyenangkan!" serunya lantang. Dia tertawa terbahak-bahak lalu berjalan ke arah dari
mana dia datang tadi.
Si putih memandangi bayangan punggung laki-laki tinggi
besar berpakaian merah itu sampai menghilang dari
pandangannya. Dia memutar pergelangan tangannya dan
mencabut sarung pedang yang amblas dalam batu besar tadi.
Tubuhnya berkelebat, terbang melalui sungai yang mengalir
14 deras, menghilang dalam hutan yang lebat.
Batu besar itu pecah berantakan. Kepingan-kepingannya jatuh
ke dalam air dan menimbulkan percikan-percikan. Ketika
bunga-bunga air tidak terlihat lagi, semuanya kembali seperti
sedia kala. Angin barat bertiup makin kencang.
***** Menjelang pagi ... kegelapan belum seluruhnya memudar.
Kabut masih menebal.
Dua puluh tujuh bangunan besar kecil tertutup kabut. Begitu
tebalnya sehingga atap bangunan itu pun tidak dapat terlihat
jelas. Seluruh Bu-tong-san (Gunung Bu-tong) tampak bagai
nirwana bagi manusia.
Lonceng nyaring berbunyi. Kumandangnya bergema melalui
gunung yang tinggi. Bagi Bu-tong-san sendiri, suara lonceng
itu menandakan bahwa hari yang baru sudah dimulai. Suara
lonceng itu terdengar terus. Saling susul-menyusul. Kabut
perlahan mulai menipis, seolah terpencar oleh suara lonceng
tersebut. Ketika suara bacaan ayat suci perlahan menghilang dari
gedung yang beratap ungu, para murid Bu-tong-pai sudah
bersiap di lapangan terbuka. Mereka mulai melatih ilmu yang
mereka kuasai. Suara sentakan pasang surut. Sebagian besar
murid Bu-tong-pai bertelanjang dada. Mereka adalah muridmurid yang berlatih ilmu tinju. Suara dan gerakan mereka
sama teraturnya.
Beberapa depa dari tempat tersebut, di hadapan sebuah
15 tembok tinggi, belasan murid Bu-tong-pai sedang melatih ilmu
melemparkan senjata rahasia. Seseorang bertubuh tinggi
kurus berdiri di belakang memperhatikan. Tangannya juga
kurus sekali. Namun yang mengherankan justru telapak
tangannya begitu besar dan jauh berbeda dengan biasanya.
Dialah generasi muda dari Bu-tong-pai. Ilmu silat dan senjata
rahasianya terlatih dengan baik. Dia bernama Yo Hong.
Di hadapan tembok terdapat sebuah papan kayu berbentuk
tubuh manusia. Di sekitarnva sudah terdapat beberapa
senjata rahasia yang dilemparkan. Yo Hong berjalan melalui
salah seorang murid di situ. Tubuhnya bergerak ke samping.
Secepat kilat tangannya diulurkan dan mengibas. Sebatang
pisau terbang menancap di tengah dada papan kayu
berbentuk tubuh manusia tadi.
Setiap murid Bu-tong-pai yang ada di tempat itu mengangkat
wajahnya dan memandang dengan terkejut. Yang paling
terkejut justru seseorang yang berdiri beberapa senti di
samping papan kayu tersebut.
Pagi hari di atas gunung memang jauh lebih dingin dari pada
di kaki gunung. Namun sekarang masih belum saatnya untuk
memakai mantel berbulu yang tebal. Orang itu mengenakan
beberapa helai mantel yang cukup tebal. Kelihatannya aneh
sekali. Bahkan kaki dan lengannya juga tertutup oleh mantel
yang tebal dan kepanjangan itu. Begitu pun bagian kepalanya.
Hanya sepasang matanya yang kelihatan. Dan yang paling
aneh justru di depan dan belakang tubuhnya dilapisi oleh
selembar besi yang lebar.
Secara otomatis kepalanya menoleh ke arah suara pisau
terbang yang menancap di atas papan kayu tadi. Matanya
16 terbelalak dan ketakutan.
"Berlatih senjata rahasia bukan saja memerlukan kecepatan, tapi juga harus dapat mengukur dengan tepat dan memakai
naluri," kata Yo Hong tenang. Matanya mengerling dan
terhenti kepada orang yang memakai mantel tebal tersebut.
"Sekarang giliranmu."
Tubuh orang itu gemetar.
"Aku?" tanyanya gugup.
"Mengapa bengong-bengong di sana?" sentak Yo Hong.
Mata orang itu bersinar. Akhirnya dia menyandarkan tubuhnya
pada sebuah papan kayu berbentuk tubuh manusia dan
mengikatnya ke pinggang sendiri.
Yo Hong membalikkan sebagian tubuhnya dan berseru, "Pukul
tambur!" Di bawah pohon di ujung sana ada sebuah tambur yang
terbuat dari kulit kerbau. Seorang murid Bu-tong-pai yang
bertelanjang dada mendekati tambur tersebut dengan dua
buah pentungan kayu di sepasang tangannya. Dia memukul
tambur dengan sekuat tenaga. Suaranya yang memekakkan
telinga membuat orang itu terkejut. Dia meloncat beberapa kali
dan akhirnya berhenti di hadapan para anak murid Bu-tong-pai
yang sedang berlatih senjata rahasia.
"Mulai!" teriak Yo Hong.
Mendengar suara Yo Hong, kaki orang itu semakin lemas. Dia
17 tidak sanggup berdiri tegak, apa lagi melarikan diri dari tempat itu. Sementara itu murid-murid Bu-tong-pai yang sedang
berlatih itu segera menimpukkan senjata rahasianya.
"Sret! Sret! Sret!" suara senjata rahasia segera terdengar susul-menyusul. Beberapa di antaranya mengenai papan kayu
tadi. Dan sisanya persis menancap di samping bahu orang
tersebut. Senjata rahasia itu terdiri dari berbagai jenis. Keahlian mereka pun berbeda-beda, baik gerakan pinggang maupun kuatnya
tenaga ketika menimpuk. Namun mereka belum seberapa
pandai melakukannya. Tampaknya orang yang bersandar
pada papan kayu itu kapan saja dapat menjadi sasaran empuk
senjata rahasia tadi.
Untung saja pakaiannya tebal sekali. Sedangkan pada bagian
yang berbahaya dilindungi oleh selembar besi yang lebar.
Tentu saja otaknya sama sekali tidak sinting. Dia sadar dirinya dijadikan sasaran hidup. Untuk berlatih senjata rahasia, tentu
saja sasaran hidup lebih sukar daripada sasaran yang
berbentuk benda mati. Setelah berhasil berlatih dengan benda
mati. mereka baru boleh melanjutkan dengan benda hidup.
Para murid Bu-tong-pai sudah mempunyai kemampuan
tersebut. Namun hari ini adalah untuk pertama kalinya mereka
berlatih dengan sasaran hidup.
Bagi mereka, tentu saja latihan ini sangat menyenangkan.
Namun bagi orang yang menjadi sasaran itu, sama sekali
tidak menyenangkan, bahkan mengerikan. Entah apa maksud
orang yang memukul tambur itu. Mungkin dia sengaja ingin
menyulitkan orang yang menjadi sasaran hidup tersebut. Dia
memukul tamburnya semakin keras saja.
18 Di ringi suara desingan senjata rahasia. Bahu orang yang
menjadi sasaran terkena lagi tiga batang senjata rahasia.
Suara pukulan tambur dan desingan senjata masih terus
berlangsung, namun senyum lebar orang yang memukul
tambur sudah lenyap. Begitu juga dengan murid Bu-tong-pai
yang lain. Pada saat itu, senjata rahasia yang ditimpukkan
tidak mengarah pada papan kayu tadi lagi, tapi pada
orangnya. Orang itu juga dapat merasakan kesengajaan mereka.
Matanya yang tersembul di balik kerudung memancarkan
kemarahan. Kakinya berdiri tegak.
"Apa sebetulnya yang kalian inginkan?" teriaknya. Dalam waktu yang bersamaan, beberapa senjata rahasia sudah
mengincar dirinya kembali. Kedua tangannya terangkat dan
menangkis secara serabutan.
Dia dapat melihat sasaran mereka bukan lagi papan kayu tadi.
melainkan dirinya. Suara yang memekakkan telinga tetap
terdengar. Senjata rahasia yang ditimpukkan tidak satu pun
yang mengenai papan kayu. Semuanya menancap di
pakaiannya yang tebal.
Baru sekarang orang yang memukul tambur itu dapat tertawa
kembali. Sebelumnya mereka begitu serius sehingga suasana
menjadi hening.
"Siapa suruh kau berdiam diri di tempat itu" Kalau masih tidak mau lari, jangan salahkan kami kalau tubuhmu menjadi
perkedel!" teriaknya lantang. Pukulan tamburnya semakin
bergemuruh dan membisingkan.
19 Kali ini, orang yang menjadi sasaran hidup itu segera lari
kalang kabut. Dia tidak menentukan arah ke mana dia harus
lari. Akibatnya, senjata rahasia tetap mengikutinya dan
menancap di belakang tubuhnya. Untung saja pakaiannya
begitu tebal sehingga tidak ada satu pun yang melukai dirinya.
Tujuh orang murid Bu-tong-pai yang sedang berlatih itu tibatiba saja menjadi bodoh. Timpukan senjata rahasia mereka
semakin melenceng jauh. Hal ini tidak perlu diherankan.
Mereka biasa berlatih dengan papan kayu yang tidak
bergerak, sedangkan sekarang sasaran mereka merupakan
manusia hidup yang bergerak mengikuti kemauan hatinya.
Suara tambur semakin keras, menenggelamkan suara tawa
mereka. Hanya suara Yo Hong yang terdengar jelas. Dia malah
terpingkal-pingkal melihat kejadian tersebut. Mata orang yang
dijadikan sasaran menyorot semakin berang. Tiba-tiba dia
berteriak nyaring dan menerjang secepat kilat. Dia menerjang
ke arah Yo Hong.
Namun sesampainya di hadapan pemuda itu, langkah kakinya
berhenti. Dia masih belum mempunyai keberanian untuk
melawan Yo Hong. Dengan kesal dia membuka papan kayu
yang terikat di pinggangnya dan dilemparkan ke atas tanah.
Dia juga membuka kerudung kepalanya yang tebal.
"Aku tidak mau melakukannya lagi?" katanya kesal.
Ketika kerudungnya dibuka, terlihatlah sebuah wajah yang
masih muda belia. Dia tidak disebut tampan, namun kalau
diperhatikan juga tidak terlalu jelek. Rambutnya sudah basah
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh keringat. Keningnya dipenuhi keringat sebesar-besar
20 kacang kedelai. Mengenakan pakaian yang demikian tebal
pada cuaca seperti ini sungguh tidak menyenangkan.
Wajahnya merah padam, pertanda bahwa dia marah sekali.
Matanya menatap ke arah tujuh orang murid Bu-tong-pai
lainnya secara bergantian, kemudian beralih kepada Yo Hong
dengan dingin dan akhirnya berhenti pada kayu papan yang
dilemparkannya tadi.
"Trang!" terdengar suara yang memekakkan telinga. Sasaran hidup itu terkejut setengah mati. Yang lainnya malah tertawa
terbahak-bahak. Yo Hong maju beberapa langkah. Tangannya
menuding orang itu dengan mata mendelik.
"Wan Fei-yang! Apa maksudmu dengan tidak ingin
melakukannya lagi?" tanyanya garang.
"Aku tidak mau menjadi sasaran senjata rahasia kalian lagi!"
sahut pemuda yang rupanya bernama Wan Fei-yang itu.
"Kalau kau tidak mau, lalu siapa yang mau?"
"Aku tidak peduli!"
"Kau lupa apa yang dipesan oleh ji-suheng?" tanya Yo Hong.
"Ji-suheng memang menyuruh aku memegangi kayu agar
kalian dapat berlatih, tapi bukan meminta aku menjadi sasaran
senjata rahasia kalian," sahut Wan Fei-yang.
"Manusia pasti pernah berbuat kesalahan. Tanpa sengaja
senjata rahasia mereka mengenai tubuhmu. Dalam latihan, hal
ini memang tidak terelakkan," kata Yo Hong.
21 "Kalian memang sengaja mengarahkan senjata rahasia itu
kepada diriku. Jangan kira aku tidak tahu!" sahut Wan Feiyang mendongkol.
"Baik! Kalau begitu, kau memang sudah bertekad tidak mau
melakukannya lagi?" tanya Yo Hong dengan mata
menyorotkan hawa amarah.
"Memang tidak!" sahut Wan Fei-yang sambil membalikkan tubuhnya dan berniat meninggalkan tempat itu.
Yo Hong maju lagi beberapa langkah. Para saudaranya yang
lain segera mengikuti tindakannya. Mereka mengurung Wan
Fei-yang. Pemuda itu mundur tiga langkah.
"Apa yang kalian inginkan?" tanyanya.
"Baik ... anak haram ... kami ingin melihat apa yang kau
andalkan sehingga begitu berani melawan kami?" kata salah
seorang murid perguruan itu dengan maksud ingin
mencengkeram pemuda itu.
Wajah Wan Fei-yang berubah hebat.
"Apa yang kau katakan?" teriaknya marah.
"Anak haram!" kata orang tadi sambil mencengkeram leher baju Wan Fei-yang. "Apakah kata-kataku salah?"
Wajah Wan Fei-yang semakin berubah. Dadanya hampir
meledak. 22 "Kalau kau tidak bersedia, semua tidak bisa melatih ilmu
senjata rahasia lagi. Seandainya ji-suheng sampai menegur,
jangan salahkan kami, kau yang memang memintanya," kata
Yo Hong sebelum Wan Fei-yang sempat menyahut apa-apa.
"Sekarang juga aku akan menemui ji-suheng," sahut Wan Fei-yang.
"Pergilah ...!" kata orang yang mencengkeram leher baju pemuda itu.
Wan Fei-yang mengibaskan kedua tangannya, "Lepaskan dulu
aku!" bentaknya.
Orang itu segera melepaskan cengkeramannya, namun
tangan kanannya segera melayang dan menampar pipi Wan
Fei-yang. "Apa hakmu untuk membentak-bentak di sini?" tanyanya
garang. Pada saat itu, terdengar sebuah suara yang berat dan tegas,
"Bukannya melatih ilmu silat senjata rahasia, kalian malah membuat keributan!"
Setiap orang menoleh ke arah datangnya suara. Seorang lakilaki bertubuh tinggi besar dan bertampang kasar berjalan
menghampiri. Dia adalah Cia Peng, Ji-suheng yang ingin
mereka temui. Wan Fei-yang segera menyongsongnya, "Ji-suheng ...!"
sapanya. 23 Cia Peng melirik ke arahnya. Keningnya berkerut, "Lagi-lagi kau yang membuat keributan?" tegurnya sinis.
Tangan Wan Fei-yang menuding beberapa saudara
seperguruannya, "Beberapa orang itu ...."
Belum juga perkataannya selesai, Cia Peng memukul jari
tangannya yang sedang menuding.
"Sungguh tidak sopan!" bentaknya marah. Tangan Wan Fei-yang sampai kesakitan dibuatnya, namun dia menahannya
dalam-dalam dan tidak berani memperlihatkan.
"Mereka ... mereka ...."
"Mereka menghina engkau lagi bukan?" tukas Cia Peng.
Wan Fei-yang hanya dapat menganggukkan kepalanya.
Belum sempat dia menjelaskan lebih lanjut, Cia Peng sudah
melayangkan tangannya dan menambah sebuah tamparan di
pipinya. "Kau kira siapa dirimu itu" Mengapa mereka harus
menghinamu?" bentaknya.
Mendapat tamparan yang tidak disangka-sangka itu, Wan Feiyang sampai berdiri termangu-mangu. Cia Peng mendengus
dingin. "Dalam satu hari, entah berapa kali aku harus
mendengar perkataan yang sama .... Apakah seluruh murid
Bu-tong-pai memusuhimu semuanya?"
Wan Fei-yang tidak berani menyahut. Dia berdiri dengan
kepala tertunduk. Cia Peng mengalihkan pandangannya
24 kepada murid yang lain.
"Sebetulnya apa yang terjadi?" baru dia membuka mulut untuk bertanya.
"Kami sedang berlatih ilmu am-gi (senjata rahasia). Bocah itu tiba-tiba ngambek dan melemparkan papan kayu yang kami
pakai sebagai landasan. Dia mengatakan bahwa dia tidak
bersedia melakukannya lagi," sahut orang yang
mencengkeram leher baju Wan Fei-yang dan menampar
pipinya satu kali tadi.
Mata Cia Peng melirik ke arah papan kayu yang tergeletak di
atas tanah. Kemudian dia menoleh kepada Wan Fei-yang,
"Kau yang melemparkan papan kayu itu?"
"Mereka sengaja menimpukkan senjata rahasia ke arah
tubuhku, sama sekali tidak memerlukan papan kayu tersebut!"
teriak Wan Fei-yang dengan rasa tidak puas.
"Oleh karena itu, kau melemparkannya ke atas tanah?" tanya Cia Peng galak.
Wan Fei-yang merasa sulit menjelaskan duduknya perkara.
Sementara itu Cia Peng sudah melanjutkan perkataannya,
"Seandainya mereka benar-benar sudah ahli menggunakan
senjata rahasia tersebut dan sasarannya selalu jitu, mereka
tentu tidak memerlukan papan kayu itu lagi!"
"Tepat sekali perkataan Ji-suheng!" tukas Yo Hong.
"Tutup mulut!" bentak Cia Peng kepada Yo Hong. Dia
mengalihkan pandangannya kembali kepada Wan Fei-yang.
25 "Sebetulnya apa yang kau inginkan" Disuruh begini tidak mau, disuruh begitu tidak mau!"
Wan Fei-yang menggigit bibirnya sendiri, "Tujuanku naik ke atas gunung ini tentu saja untuk mempelajari ilmu aliran Butong-pai," sahutnya.
"Untuk mempelajari suatu ilmu, kita harus mempelajari
dasarnya terlebih dahulu. Apa yang kau lakukan sekarang
adalah pelajaran pertama untuk menggembleng dirimu
menjadi murid Bu-tong-pai yang baik."
Wan Fei-yang tidak berkata apa-apa.
"Semua murid Bu-tong-pai pasti mengalami hal yang sama
ketika baru belum lama naik ke gunung Bu-tong-pai ini."
"Mereka hanya digembleng dengan cara yang sama selama
beberapa bulan, sedangkan aku sudah melakukannya
bertahun-tahun," sahut Wan Fei-yang mendongkol.
"Apa sebabnya tidak sama" Kau harus mengerti, Bu-tong-pai
adalah sebuah aliran lurus yang mempunyai nama besar di
dunia kangouw. Kami tidak mungkin sembarangan
menurunkan ilmu perguruan kami kepada orang yang asalusulnya tidak jelas!" kata Cia Peng tegas.
Wajah Wan Fei-yang menunjukkan sikap serba salah.
"Anak haram! Apakah kau sudah mendengarkan dengan
jelas?" tanya Yo Hong.
Hawa amarah seakan naik ke atas kepala Wan Fei-yang. Dia
26 ingin sekali menerjang ke arah Yo Hong dan berduel
dengannya. Namun akhirnya dia berhasil menahan emosi
dalam hatinya. Kata-kata hinaan semacam itu bukan satu kali
ini saja pernah didengarnya.
"Menurut pendapatku ... " Cia Peng melirik ke arah pemuda itu dan tertawa dingin. "Sebaiknya kau cari tahu dulu siapa
ayahmu yang sebenarnya Kalau tidak, sampai tua pun, kau
tetap tidak akan mempelajari apa-apa di Bu-tong-pai!"
Wan Fei-yang menundukkan kepalanya dalam-dalam. Cia
Peng menatapnya sambil mengelus-elus jenggotnya yang
jarang. "Kalau kau memang tidak suka menjadi sasaran hidup, dan
kami terus memaksa, berarti kami memang menghinamu.
Baiklah, kalau kau tidak mau, tentu tidak apa-apa."
"Tidak ada sasaran hidup, bagaimana caranya melanjutkan
latihan kami?" teriak orang yang memukul tambur.
"Siapa bilang tidak ada?"
"Dia toh ...!"
"Kau yang menggantikannya!" tukas Cia Peng. Dia melirik ke arah Yo Hong, "Bagaimana kalau kau yang memukul tambur?"
Yo Hong menganggukkan kepalanya. Wajah orang yang
memukul tambur tadi berubah kelam. Dia tidak berani
membantah. Melihat keadaan orang itu, diam-diam hati Wan
Fei-yang melonjak gembira. Hampir saja dia tertawa lebar.
27 Mata Cia Peng beralih kembali kepadanya, "Mengenai engkau
...." "Aku juga bisa memberikan bantuan, misalnya memunguti
senjata rahasia yang berserakan di atas tanah," kata Wan Fei-yang cepat.
Cia Peng tertawa lebar, "Bukankah kau mengatakannya tidak
angin melakukannya lagi?"
Tawanya seakan mengandung maksud tertentu. Wan Feiyang merasa hatinya berdebar-debar. Dia tahu betul arti
senyum seperti itu. Baru saja dia ingin mengatakan sesuatu,
tapi kembali ditukas oleh Cia Peng, "Tukang urus babi yang di bukit sana kebetulan sedang hajatan. Dia harus turun gunung
beberapa hari. Tadi aku sempat sakit kepala memikirkan siapa
yang harus menggantikannya. Babi-babi itu toh harus diurus,"
kata Cia Peng sambil pura-pura merenung.
Mendengar perkataan itu setiap orang tertawa terbahak-bahak
tanpa sadar Wan Fei-yang termangu-mangu.
"Aku ...." gumamnya.
"Jangan khawatir .?" kata Cia Peng sambil tertawa lebar.
"Aku jamin di sana tidak ada senjata rahasia yang mengincar dirimu."
Seluruh wajah Wan Fei-yang merah padam mendengar
sindiran itu. Warna merah bahkan menjalar sampai ke
lehernya. Terlihat Cia Peng melambaikan tangannya, "Ikut
aku!" katanya.
28 Kakinya seakan enggan melangkah. Tiba-tiba dia
membalikkan tubuhnya dan berkata, "Aku akan melaporkan
hal ini kepada Cik-hoat-tianglo (ketua bagian hukuman)."
Sekarang Cia Peng yang menghentikan langkah kakinya.
Alisnya bertaut ketat, "Oh ...?" reaksinya cepat.
Orang yang memukul tambur tadi segera menyiram minyak di
atas api yang sudah menyala, "Ji-suheng ... dia sengaja
membantah perkataanmu. Biar kita beri pelajaran agar tahu
rasa!" Cia Peng mengibaskan tangannya dengan wajah merah
padam. "Mundur!" bentaknya kemudian seraya menoleh kepada Wan Fei-yang. "Baik! Tapi kau jangan menyesal!"
Perkataan memang sudah diucapkan, untuk menyesal sudah
terlambat bagi Wan Fei-yang. Bagaimana sifat Cia Peng, dia
tentu tahu dengan jelas. Ji-suheng itu juga tidak mengatakan
apa-apa lagi. Langkah kakinya mantap maju ke depan.
Kepalanya tidak menoleh sama sekali. Wan Fei-yang merasa
serba salah. Orang-orang yang mengerumuninya tadi
memberi jalan kepadanya. Mereka bahkan mendorong
punggungnya agar mengikuti Cia Peng.
***** Cik-hoat-tong berada di gedung yang lain. Meskipun
tempatnya sendiri tidak begitu besar, namun bawaannya
sangat angker. Sepanjang hari tercium bau hio yang dibakar.
Yang tidak berkepentingan dilarang keluar masuk tempat
29 tersebut. Di atas tembok yang berwarna putih pucat tertulis sepuluh
peraturan Bu-tong-pai yang harus dituruti oleh semua murid di
sana. Hanya memandang tulisan itu saja, para murid Bu-tongpai sudah merasa kebat-kebit hatinya.
Kedua orang Cik-hoat-tianglo juga sangat berwibawa. Mereka
adalah sute dari Ciangbunjin Bu-tong-pai. Usia Gi-song lebih
tua, hampir mencapai lima puluh tahun. Kewibawaannya juga
berada di atas Cang-song. Tubuhnya tidak terlalu tinggi.
Namun tidak termasuk pendek juga. Apabila batinnya sedang
tenang, maka sepasang matanya bagaikan uang logam yang
warnanya sudah pudar. Tapi begitu marah, sinarnya akan
mengejutkan siapa pun yang memandangnya. Suaranya pun
seperti guntur yang menyambar.
Cang-song lebih pendek sedikit daripada Gi-song. Tubuhnya
juga lebih kurus. Matanya sipit. Suaranya jauh lebih lemah.
Kalau tertawa seperti kuda meringkik, sama sekali tidak
menakutkan, malah sering menjadi bahan pembicaraan muridmurid Bu-tong-pai.
Dia sendiri menyadari kekurangannya itu, karena itulah setiap
kali ada masalah di ruangan Cik-hoat-tong, dia selalu
membiarkan Gi-song yang berbicara. Apabila terpaksa baru
dia mengucapkan sepatah dua kata.
Baru saja kakinya menginjak ruang Cik-hoat-tong, Wan Feiyang merasa rada menyesal. Melihat kemuraman wajah
ketua-tianglo, rasanya dia ingin menendang dirinya sendiri.
Tapi Cia Peng sudah melangkahkan kakinya ke dalam
ruangan tersebut, terpaksa ia menahan perasaannya
30 mengikuti dari belakang. Para murid Bu-tong-pai yang
mengiringi segera berbondong-bondong masuk ke dalam.
Namun mereka mendapat teguran seketika.
"Apa yang kalian lakukan?" bentak Gi-song dengan suaranya yang seperti geledek.
Belum sempat satu pun dari mereka menyahut, Cang-song
sudah memperdengarkan suara tertawanya yang seperti
ringkikan kuda dan berkata, "Tentu saja untuk menyaksikan
keramaian."
"Apa yang perlu disaksikan?" bentak Gi-song dengan mata mendelik. "Gelinding keluar semuanya!"
"Hayo! Gelinding keluar!" teriak Cang-song seperti burung beo.
Meskipun dalam hati mereka masing-masing merasa
keberatan, namun tidak satu pun yang berani membantah.
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan kalang kabut mereka keluar dari ruangan tersebut,
kemudian memencarkan diri ke kiri dan kanan. Mereka tidak
pergi jauh-jauh melainkan bersembunyi di sepanjang koridor
panjang tersebut.
Gi-song tidak mempedulikan mereka lagi. Dia membalikkan
tubuhnya dan menatap Cia Peng dengan mata bertanya,
"Sebetulnya apa yang terjadi?"
Cia Peng mengulurkan tangannya menuding Wan Fei-yang,
"Tecu meminta dia memegangi papan kayu agar saudara
yang lain dapat berlatih am-gi. Ternyata ada beberapa senjata
rahasia yang mengenai tubuhnya," sahutnya.
31 Sinar mata Gi-song-tianglo beralih kepada Wan Fei-yang,
"Oh?" bibirnya mengulum sebuah senyuman mengejek. "Kau lagi?"
"Aku ..." Wan Fei-yang menggaruk-garuk kepalanya tanpa tahu apa yang mau dikatakannya.
"Kau yang bernama Wan Fei-yang, bukan?" mata Gi-song
membelalak makin lebar.
Baru saja dia bermaksud menyahut, Gi-song sudah
menggebrak meja dengan wajah penuh amarah, "Mengapa
kau senang sekali menimbulkan kesulitan bagi kami?"
bentaknya. Wan Fei-yang sampai termangu-mangu mendengar
dampratan itu. "Berlutut!" bentak Gi-song dengan suara semakin keras.
Wan Fei-yang terpaksa menurut.
"Kami sudah cukup repot ..." sahut Cang-song.
"Betul sekali ... betul sekali," kata Cia Peng dengan menahan tawa.
Gi-song mengalihkan pandangannya kepada Cia Peng,
"Sampai di mana ceritamu tadi?"
"Dia mengatakan bahwa ada beberapa senjata rahasia yang
melenceng dari sasarannya dan mengenai tubuh Wan Fei32 yang," sahut Cang-song menggantikan Cia Peng.
"Kenyataannya memang demikian," kata Cia Peng
melanjutkan. Wan Fei-yang masih mengenakan pakaiannya yang tebal.
Beberapa senjata rahasia masih menancap di pakaiannya. Gisong meliriknya sekilas.
"Manusia pasti bisa kesalahan tangan. Kuda saja bisa salah menyepak. Seandainya aku menggunakan senjata rahasia,
kadang-kadang juga ..."
Cang-song cepat-cepat menjawil lengannya. Kata-kata Gisong segera berhenti dan terdiam sejenak. Apa yang
dikatakannya kemudian bukan kelanjutan dari ucapannya tadi
lagi, "Dalam selaksa kali, mungkin akan kesalahan satu kali."
"Ciangbun-suheng sendiri tidak berani menyombongkan diri
bahwa beliau tidak pernah melakukan kesalahan," sahut
Cang-song. "Benar sekali!" kata Gi-song sambil menepuk bahu Cangsong. "Kau sudah mendengar sendiri. Kami saja yang sudah
tua dan jauh berpengalaman masih bisa melakukan
kesalahan, apa lagi anak-anak ingusan macam mereka."
"Lagipula mereka baru menimpuk satu kali," sahut Cia Peng yang tidak mau kehilangan kesempatan bagus itu.
"Kalau demikian, lebih-lebih harus dimaklumi," kata Gi-song sambil memandang Wan Fei-yang dari atas kepala sampai ke
ujung kaki. "Tampaknya kau sama sekali tidak terluka oleh
33 senjata rahasia mereka ..."
Wan Fei-yang terpaksa menganggukkan kepalanya. Alis Gisong semakin berkerut.
"Mengapa kau masih datang ke Cik-hoat-tong ini?" tanya Gi-song kembali.
"Dia yakin bahwa kami sengaja mencari perkara dengannya,"
tukas Cia Peng sebelum Wan Fei-yang sempat menyahut.
"Ketika kami berusaha menjelaskannya, dia malah marah dan
melemparkan papan kayu yang kami gunakan untuk berlatih."
"Sungguh besar nyalimu!" bentak Gi-song.
"Dia sudah mengatakan bahwa dia tidak ingin melanjutkan
tugasnya, kami tidak berani memaksa. Apabila terdengar oleh
Ciangbunjin, tentu kami disangka menghinanya. Sedangkan
Lopek yang mengurus babi-babi di bukit sana sedang cuti, kita
toh tidak dapat membiarkan babi-babi itu mati tanpa ada yang
mengurus. Oleh karena itu, Tecu menyuruh dia yang
menggantikan untuk beberapa hari," tukas Cia Peng sekali
lagi. "Bagus sekali saranmu itu!" kata Gi-song setelah mendengar keterangan Cia Peng tadi. Dia mengelus-elus jenggotnya
sambil tertawa lebar.
"Tapi dia membantah dan malah mengancam akan datang ke
Cik-hoat-tong ini," sahut Cia Peng.
Senyuman di wajah Gi-song sirna seketika. Dia melirik kepada
Wan Fei-yang, "Tidak bersedia berlatih ilmu dengan giat ...."
34 "Melanggar peraturan Bu-tong-pai yang kedua ...." sahut Cang-song.
Cik-hoat-tianglo itu menunjuk ke arah tulisan yang tertera di
atas tembok, "Melaporkan hal yang tidak benar .... "
"Melanggar peraturan yang keenam," tampaknya Cang-song sudah hafal luar kepala semua peraturan tersebut.
"Berani menyalahkan orang yang tingkatannya lebih tinggi ...."
"Melanggar peraturan nomor sembilan."
"Sekaligus melanggar tiga macam peraturan. Sebetulnya kau
harus diusir dari Bu-tong-san ...." Gi-song merandek sejenak.
"Tapi kami mengingat usiamu yang masih terlalu muda
sehingga belum terlalu mengerti."
Sejak tadi Wan Fei-yang memang sudah malas membantah.
Dia hanya menarik napas panjang, "Tecu sudah tahu salah.
Bersedia mengurus peternakan babi," sahutnya.
"Mengerti akan kesalahan sendiri masih bisa diubah. Asalkan ada tekad dalam hati dan tidak boleh mendendam," Gi-song
mengibaskan lengan bajunya. "Pergilah!"
Wajah Wan Fei-yang kelam sekali. Dia menganggukkan
kepalanya dan mengundurkan diri. Gi-song menoleh kepada
Cia Peng, "Lain kali urusan tetek bengek begini jangan
libatkan kami!" katanya.
"Baik! Baik!" sahut Cia Peng tergopoh-gopoh.
35 "Urusan kami sendiri banyak sekali," kata Cang-song.
Cia Peng menganggukkan kepalanya berkali-kali. Dalam
hatinya dia tertawa senang atas kemenangannya.
"Kembali ke tempatmu!" sekali lagi Gi-song mengibaskan lengan bajunya.
***** Bagaimana baunya kandang babi, Wan Fei-yang sudah dapat
membayangkan. Meskipun selama ini dia belum pernah
masuk ke dalam kandang babi tapi entah sudah berapa puluh
kali dia melewati tempat ini.
Tampaknya bau kandang babi itu hari ini lebih busuk dari
sebelumnya. Beberapa kali dia memijit hidungnya, namun
akhirnya dia harus melepas tangannya juga. Biasanya hidung
Wan Fei-yang selalu menjadi masalah. Penciumannya kurang
tajam. Tapi hari ini justru tajamnya kelewatan. Bahkan
pendengarannya juga menjadi peka. Beberapa ekor babi itu
seperti sengaja memberi kesulitan kepadanya. Atau memang
menyambutnya dengan gembira. Wan Fei-yang tidak tahu.
Pokoknya babi-babi itu berteriak terus-menerus.
Bau yang begitu tajam dan suara yang memekakkan telinga
membuat Wan Fei-yang hampir tidak dapat menahan diri.
Kalau ditilik dari wajahnya, siapa pun akan mengira dia akan
jatuh pingsan sejenak lagi. Tapi rupanya dugaan itu tidak
menjadi kenyataan. Hal ini malah membingungkan dirinya
sendiri. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk menggebah
babi-babi tersebut masuk ke dalam sungai agar tubuh mereka
36 lebih bersih. Sebetulnya air sungai itu jernih dan bening. Namun begitu
babi-babi tersebut masuk ke dalam, air yang jernih tadi
berubah kotor seketika.
Air sungai yang mengalir membawa kesejukan dalam hati.
Angin semilir membawa keharuman dedaunan yang lembab.
Babi-babi itu tidak mengeluarkan suara yang memekakkan
telinga lagi. Baunya juga tidak menusuk seperti sebelumnya.
Semangat Wan Fei-yang menjadi terbangkit.
Dia menggeliatkan pinggangnya yang pegal. Dia membantu
babi-babi itu membersihkan dirinya. Pada saat itulah dia
melihat seseorang ... Seseorang yang paling suka dilihatnya.
Orang itu berada di seberang sungai di mana terdapat sebuah
padang rumput yang luas. Dia mengenakan pakaian berwarna
cokelat muda. Sulamannya berwarna hijau muda. Paduan
yang sangat serasi. Dari jauh seperti sekuntum bunga krisan
kuning yang sedang mekar. Ketika tubuhnya bergerak, dia
seakan berubah menjadi seekor kupu-kupu yang sedang
terbang. Wan Fei-yang yang sedang duduk di tepi sungai membantu
babi-babi tersebut mandi segera bangun. Wajahnya yang
kelam berubah berseri-seri. Namun sebentar kemudian dia
menggaruk-garuk kepalanya kebingungan.
"Hush! Hayo ke sana! Hayo ke sana!" dihalaunya babi-babi tersebut agar menyeberangi sungai.
Dia tidak membentak-bentak bahkan suaranya terdengar
37 lemah lembut. Seakan babi-babi itu tiba-tiba sangat
menyenangkan baginya. Seandainya tidak ada babi-babi
tersebut, tentu dia tidak menemukan alasan untuk
menyeberangi sungai dan melihatnya dari dekat.
***** Di bukit yang menghijau itu hanya ada Lun Wan-ji seorang.
Dia merupakan murid perempuan satu-satunya dari Bu-tongpai. Juga merupakan kesayangan semua orang. Bukan hanya
karena dia seorang gadis. Dia lincah dan cantik. Hatinya juga
welas asih. Semua ini membuat dirinya disenangi setiap murid
Bu-tong-pai yang lain.
Dalam hati Wan Fei-yang sendiri, dia merupakan orang satusatunya yang baik hati di perguruan ini. Juga hanya gadis itu
yang tidak pernah menghina ataupun memberi kesulitan
kepadanya. Bahkan dia sering mengulurkan tangan
membantunya ataupun membelanya di hadapan saudara
seperguruan yang lain.
Usianya masih sangat muda. Mungkin belum mencapai tujuh
belas tahun. Tapi ilmu silatnya sudah lumayan sebagai
generasi muda Bu-tong-pai. Andai ia bertanding dengan Pek
Ciok, Cia Peng, Ceng Fang-guan, Kim Can-peng, Yo Hong
yang semuanya merupakan suhengnya, dia masih sanggup
menandingi. Hal ini terjadi karena dia mempunyai guru yang
pandai dan sabar. Sejak kecil dia sudah mulai belajar ilmu
silat. Kemauannya pun sangat keras.
Wan-ji selalu giat berlatih. Tanpa mempedulikan hujan
maupun angin. Apabila udara sedang cerah, kebanyakan dia
berlatih di luar rumah. Seperti halnya hari ini.
38 ***** Gerakan tubuhnya lincah. Kiam-hoat yang dimainkannya
sudah cukup matang. Jurus-jurusnya mengandung keindahan.
Pokoknya setiap gerakan gadis itu dapat memukau siapa pun
yang melihatnya. Dia tidak seperti sedang berlatih ilmu
pedang, tapi terlihat seperti sedang menarikan tarian pedang.
Angin bertiup lembut. Anak rambut di keningnya melambailambai. Lengan bajunya yang lebar berterbangan persis
seperti sayap seekor kupu-kupu. Wan Fei-yang
memandangnya sampai termangu-mangu. Tanpa disadarinya
tubuh Lun Wan-ji berkelebat dan hanya dalam waktu lima
detik, gadis itu sudah berada di belakangnya. Dengan
bentakan lirih, pedangnya menusuk.
Wan Fei-yang terkejut sekali. Belum sempat dia berteriak,
pedang itu berhenti tepat tiga cun di hadapannya. Serangkum
hawa dingin seakan menyelinap di dalam hatinya. Tubuhnya
gemetar, "Harap kasihani aku!" serunya.
Pedang Wan-ji masih menuding dada Wan Fei-yang,
"Mengapa kau mengendap-endap seperti pencuri" Apa yang
kau lakukan?"
Seperti biasa, dalam keadaan gugup Wan Fei-yang selalu
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, "Aku sedang
melihat kau berlatih pedang," sahutnya.
Pedang di tangan Wan-ji digetarkan.
"Tahukah kau apa hukumannya mencuri belajar ilmu orang
39 lain?" tanyanya.
"Aku tidak mencuri belajar ilmumu. Karena kau sedang
memusatkan perhatian dengan serius, maka aku tidak berani
mengganggu," sahut Wan Fei-yang.
"Masih tidak mau mengaku" Hayo ikut aku temui Cik-hoattianglo, biar mereka yang menanyakan persoalan ini," kata
Wan-ji. Wan Fei-yang menjadi panik seketika. Dia menggoyanggoyangkan tangannya berulang kali, "Keadaanku sudah cukup
mengenaskan, andai kata Wan-ji kouwnio mengatakan
masalah ini kepada mereka ..."
"Bagaimana mengenaskannya keadaanmu sekarang?" tanya
Wan-ji. Wan Fei-yang tertegun. Dia sulit mengatakan masalahnya,
"Aku ... aku tidak apa-apa," sahutnya gugup.
Mata Wan-ji melirik ke arah babi-babi tersebut.
"Ada apa dengan babi-babi itu" Mengapa mereka kau halau
ke tempat ini?"
"Aku memang sengaja," sahut Wan Fei-yang.
"Mengapa kau yang mengurus babi-babi itu sekarang" Ke
mana lopek yang menangani tugas tersebut?"
"Lopek yang biasa mengurus babi-babi itu sedang ada urusan.
Dia pergi ke kota beberapa hari. Dia menanyakan siapa yang
40 bersedia menggantikannya. Siapa lagi kalau bukan aku?"
sahut Wan Fei-yang.
Pemuda itu tidak biasa berdusta. Hanya berbohong beberapa
patah kata saja, seluruh keningnya sudah basah oleh keringat.
Wan-ji tersenyum simpul, "Aku tidak menyangka persahabatan kalian begitu dalam," katanya.
"Lumayanlah," sahut Wan Fei-yang.
"Tampaknya kau ini pandai juga bergaul," kata Wan-ji.
Tanpa sadar Wan Fei-yang membusungkan dadanya.
"Apakah tujuanmu datang ke Cik-hoat-tong tadi untuk
merundingkan masalah ini dengan Gi-song dan Cang-song
kedua tianglo tersebut?" tanya Wan-ji menyembunyikan
senyumannya. Mendengar pertanyaan itu, wajah Wan Fei-yang merah
padam. Seandainya ada sebuah lubang di dekat sana, ingin
rasanya dia menyusupkan kepala dalam-dalam. Wan-ji
menatapnya dengan tajam. Wajahnya serius sekali, "Mulai
kapan kau belajar berbohong?" tanyanya.
Wan Fei-yang tertawa tegir. Bola matanya mengerling gadis
itu sekilas, "Aku ... lebih baik aku kembali saja ke sana ..."
sahutnya gugup.
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baru saja dia berjalan beberapa langkah, Wan-ji sudah
memanggilnya kembali, "Hai! Kau belum menjawab
pertanyaanku!"
41 "Aku ... aku ...." Wan Fei-yang menggaruk-garuk kepalanya sekali lagi. Untuk sesaat dia tidak tahu harus mengatakan apa.
Wan Fei-yang menarik napas panjang, "Sekarang kau
mengerti, apabila dustamu ketahuan, kau bisa malu sendiri.
Maka lain kali jangan berbohong lagi," katanya.
Wan Fei-yang terpaksa menganggukkan kepalanya.
"Bagaimana sikapmu selama ini?" Wan-ji menggelenggelengkan kepalanya. "Apabila kau berani sedikit, mereka
tentu tidak berani menghinamu, benar tidak?"
Wan Fei-yang memaksakan sebuah senyuman.
"Sebetulnya tidak apa-apa. Ingatkah kau seorang yang
bernama Han Sing yang terkenal jaman dahulu" Dia dihina
oleh semua orang, namun akhirnya dia berhasil menjadi goanswe (jenderal)."
"Kau selalu begitu," kata Wan-ji kembali menggelengkan kepalanya.
Wan Fei-yang tidak membusungkan dadanya lagi. Namun dia
masih juga menggaruk-garuk rambut kepalanya, "Lebih baik
aku pergi saja."
Wan-ji merasa kesal juga geli. Baru saja dia ingin mengatakan
sesuatu, lonceng di gedung pusat berbunyi sembilan kali.
Wan Fei-yang terpana.
42 "Tanda bahaya!"
Mata Wan Fei-yang mengerling panik, "Entah apa yang
terjadi?" gumamnya seorang diri.
"Ada orang menerjang Bu-tong-san!" kata Wan-ji. Tubuhnya membalik secepat kilat dan berlari menuruni bukit.
"Wan-ji kouwnio!" panggil Wan Fei-yang gugup.
Wan-ji menolehkan kepalanya.
"Cepat halau babi-babi itu kembali ke kandang!" katanya tanpa menghentikan langkah. Tiga kali kakinya menutul dia
sudah hampir sampai di bawah gunung. Gerakannya bagai
seekor burung layang-layang.
***** Angin musim semi nan lembut. Matahari pun bersinar
setengah hati. Air sungai membasahi atas batu sudah
mengering. Dedaunan masih menampakkan butiran embun
yang bening. Di bawah sinar mentari, patung yang menjadi tanda bagi Butong-pai bagaikan manusia yang berdiri tegak dan angker. Di
depan patung tersebut, tampak seseorang berdiri mematung.
Usianya sekitar tiga puluh tahunan. Alisnya tebal, matanya
sipit. Hidungnya pesek, bibirnya tebal. Raut wajahnya jelek
sekali. Orang yang melihatnya akan berkesan seperti melihat
seekor binatang buas.
***** 43 Bentuk tubuhnya gemuk pendek, tapi bukan gemuk yang
mengesankan kepandiran. Dia memakai mantel panjang.
Tidak rapi sekali. Rambutnya pun rada acak-acakan. Sulit
melukiskan kepribadian orang tersebut.
Serombongan murid Bu-tong-pai mengadang di depan orang
ini. Empat orang tosu digotong beberapa rekannya yang lain.
Di bahu mereka masing-masing terdapat segurat luka bekas
sayatan pedang. Wajah murid-murid Bu-tong-pai menyorotkan
kemarahan yang dalam. Sinar mata orang yang memakai
mantel itu justru tampak meremehkan. Pakaiannya mewah
sekali. Sungguh tidak sesuai dengan penampilannya. Gagang
pedang di tangannya ditaburi dengan tujuh macam permata.
Nilainya tentu tinggi sekali.
Seorang tosu berusia setengah baya menyibak kerumunan
murid-murid Bu-tong. Pedang di tangannya digetarkan, "Giok Ciok dari Bu-tong minta pelajaran," katanya.
Sinar mata orang yang memakai mantel panjang itu melirik ke
arahnya, "Generasi Bu-tong-pai dengan nama Ciok mungkin
tidak akan membuat aku terlalu kecewa," sahutnya.
Giok Ciok tertawa dingin. Secepat kilat pedangnya ditusukkan.
Terdengar suara "trang", pergelangan tangan orang yang memakai mantel panjang berputar. Dua jurus dimainkannya
sekaligus. Baru setengah jalan, gerakannya berubah lagi. Dua
jurus menjadi delapan jurus. Giok Ciok yang tidak menyangka
akan diserang delapan jurus sekaligus, terpaksa mundur satu
langkah. Orang yang memakai mantel panjang itu tampaknya tidak
44 ingin membuang-buang waktu. Sekali lagi dia membentak
nyaring. Tiga puluh enam tusukan dilancarkannya berturutturut. Giok Ciok terdesak mundur beberapa langkah. Kaki
kanan dan kiri orang itu melangkah bersilangan. Tiba-tiba dia
memutar dan gerakannya tubuhnya membalik seratus delapan
puluh derajat. Langkah kakinya tidak kalah lincah dengan
sabetan pedangnya.
Tiga puluh enam tusukan berhasil dilalui, tanpa menunda lebih
lama tusukan ketiga puluh tujuh menyusul. Giok Ciok segera
menangkisnya. Namun tusukan ketiga puluh delapan sudah di
depan mata. Tidak sempat lagi dia memutar pedangnya, Giok
Ciok terpaksa mencelat mundur beberapa langkah.
Kelebatan pedang dengan jurus yang berlainan menyerang
silih berganti. Giok Ciok sendiri sudah mengeluarkan tujuh
jurus andalannya. Meskipun dia berhasil meloloskan diri,
namun serangan berikutnya membuat dia mati kutu. Ujung
pedang yang tajam berhenti di pergelangan tangannya.
"Buang pedangmu!" bentak orang yang memakai mantel
panjang. Dia menggetarkan pergelangan tangan Giok Ciok. Tanpa
dapat mempertahankan diri lagi, Giok Ciok terpaksa
melemparkan pedangnya apabila pergelangan tangannya
masih ingin utuh seperti sedia kala. "Trang!"
Orang yang memakai mantel itu tidak mendesaknya lebih
lanjut. Dia menengadahkan kepalanya dan tertawa terbahakbahak. "Rupanya hanya begitu saja!" katanya angkuh.
45 Giok Ciok marah dan malu. Para murid Bu-tong-pai yang lain
sudah menghunus senjatanya masing-masing sejak tadi.
Mereka tidak dapat menahan kesabaran lagi. Serentak
mereka maju menghampiri orang yang memakai mantel
panjang itu. "Tahan!" terdengar suara bentakan keras. Dua orang berlari secepat terbang dari atas gunung.
Yang satunya adalah Cia Peng, sedangkan yang
mengiringinya adalah seorang tosu berusia setengah baya.
Wajahnya berbentuk persegi, penampilannya berwibawa. Dia
adalah murid pertama Ciangbunjin Bu-tong-pai yang sekarang
yaitu Ci Siong tojin. Tosu itu sendiri bernama Pek Ciok.
Mata orang yang memakai mantel itu menatapnya tajam.
"Kau adalah ...."
"Bu tong Pek Ciok."
"Murid pertama dari Ci Siong?" tanya orang itu.
"Sicu (saudara) ...."
"Kongsun Hong!" sahut orang yang memakai mantel.
Tampaknya Pek Ciok merasa di luar dugaan. Wajahnya rada
berubah mendengar keterangan orang itu.
"Pek Ho Tong tongcu dari Bu-ti-bun?" tanya Pek Ciok.
46 "Betul!" Kongsun Hong tersenyum simpul. Sikapnya seakan bangga sekali.
Bu-ti-bun menggetarkan dunia kangouw. Ketenarannya
hampir menyamai sembilan partai besar. Sedangkan Kongsun
Hong adalah murid tertua dari Buncu (ketua) dari Bu-ti-bun
yang mempunyai gelar Tok-ku Bu-ti (sendiri tanpa lawan).
Tentu saja dia patut menyombongkan dirinya.
"Kedatangan sicu sejauh berapa ribu li ini ..." tanya Pek Ciok selanjutnya.
"Mendapat perintah dari Suhu. Aku harus menyerahkan dua
macam hadiah kepada Ci Siong dari Bu-tong-pai," kata
Kongsun Hong. Dia mengeluarkan sebuah kotak dari balik
pakaiannya. Di atasnya terdapat sehelai amplop merah yang
besar. Dia menyebut Ciangbunjin Bu-tong-pai dengan gelarnya
langsung. Hal ini membuat para murid Bu-tong-pai menjadi
marah. "Kurang ajar!" teriak Cia Peng tidak dapat menahan emosinya.
Pek Ciok membalikkan tubuhnya ke arah para murid Bu-tongpai yang lain. "Tamu datang untuk mengantarkan hadiah bagi Ciangbunjin.
Mengapa kalian begitu tidak tahu sopan santun," Apa maksud perkataannya itu, tidak ada orang yang tahu. Mungkin dia
menyindir Kongsun Hong.
Giok Ciok yang masih mendongkol cepat-cepat maju ke
47 depan. "Suheng tidak mengerti. Sicu ini berkeras membawa pedang
ke atas gunung. Bagaimana mungkin kami tidak
menghalanginya?" katanya menjelaskan.
"Oh?" Pek Ciok rada terpana mendengar keterangan tersebut.
Dia menoleh kembali kepada Kongsun Hong. "Kalau memang
benar, sicu yang bersalah dalam hal ini."
Kongsun Hong melirik ke arah patung yang berdiri tegak. Di
sana memang terdapat tulisan yang mengatakan bahwa siapa
pun yang bermaksud mengunjungi Bu-tong-pai harus
meninggalkan pedangnya di sana.
"Tidak boleh membawa pedang ke atas gunung adalah
peraturan Bu-tong-pai bukan?" kata Kongsun Hong.
"Sejak Cosu mendirikan Bu-tong-pai, peraturan itu memang
sudah ada," sahut Pek Ciok tegas.
Kongsun Hong menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba dia
tersenyum, "Sayangnya peraturan itu ditentukan oleh Bu-tongpai sendiri."
"Apabila kita masuk ke daerah orang lain, kita harus mengikuti peraturannya," kata Pek Ciok kembali.
"Sejak usia tujuh tahun aku sudah belajar ilmu pedang. Pada waktu usia dua belas tahun aku sudah bisa membunuh orang
dengan ilmu tersebut. Selama tujuh belas tahun malang
melintang, aku selalu menggunakan pedang ini," kata
Kongsun Hong sambil mendekapkan pedangnya di dada.
48 "Pinto juga dapat merasakan bahwa pedang yang digunakan
sicu adalah pedang yang sangat bagus," sahut Pek Ciok.
Kongsun Hong tertawa dingin.
"Selama berpuluh tahun ini, kecuali Suhu, siapa pun tidak bisa menyuruh aku melepaskan pedang ini. Kedatanganku kali ini
ke Bu-tong adalah sebagai utusan Bu-ti-bun yang tiada
tandingannya di dunia ini. Oleh karena itu, benda apa pun
yang kubawa juga merupakan wakil dari Bu-ti-bun dan tidak
boleh dilanggar."
Jilid 2 "Bu-tong-pai juga mempunyai peraturan yang tidak boleh
dilanggar!" kata Pek Ciok tak mau kalah.
"Bagaimana kalau aku tetap hendak membawa pedang ini
naik ke atas?" tantang Kongsun Hong.
"Berarti kau sengaja mencari masalah dengan seluruh murid
Bu-tong-pai," sahut Pek Ciok.
"Selama tiga ratus tahun terakhir, Bu-tong-pai dan Bu-ti-bun
memang tidak pernah akur," Kongsun Hong tertawa lebar.
"Perintah Suhu setinggi langit. Hadiah tetap hadiah diantarkan
sedangkan pedang tetap tidak boleh ditinggal," katanya.
"Kalau Sicu tetap bersikeras, Pinto tidak dapat mengatakan
apa-apa lagi," Pek Ciok menepuk tangannya dua kali.
"Siapkan barisan!"
49 Tujuh orang tosu keluar dari kerumunan tersebut. Gerakan
tubuh mereka berubah-ubah. Mereka mengelilingi Kongsun
Hong. Mata laki-laki itu bersinar tajam, "Apakah ini yang disebut Butong Pat Tou jit-sing (tujuh bintang bertaburan di delapan
penjuru)?"
"Betul!" sahut Pek Ciok sambil mundur beberapa langkah.
Kongsun Hong tertawa terbahak-bahak. Dia mengangkat
pedangnya tinggi-tinggi, "Maaf ... Po-kiam (pedang pusaka)
tidak bermata," katanya.
"Sicu harap berhati-hati!" kata Pek Ciok. Wajahnya berubah
sedingin es. Selesai berkata, dia berteriak nyaring. Pedang ketujuh tosu
tadi terhunus seketika. Barisan mereka sangat teratur. Dengan
melihat cara mereka menggerakkan pedangnya saja, kita
segera tahu bahwa mereka telah berlatih dalam waktu yang
cukup lama dan sudah matang permainannya.
Kongsun Hong menatap seksama dengan pandangannya
yang dingin. Tubuhnya menyatu dengan pedang. Tangan
kanan ketujuh tosu tadi menggenggam pedang, sedang
tangan kiri mereka menjalankan jurus-jurus ampuh. Mata
mereka semua tertuju pada wajah Kongsun Hong.
Sinar mata mereka tajam sekali. Hal ini membuktikan bahwa
Tai Yang-kiat mereka telah dilatih sampai dalam. Lwekang
mereka juga tinggi sekali. Hal ini sudah dapat dipastikan.
50 Kongsun Hong mengedarkan pandangannya. Dia mendengus
dingin. Pedangnya digetarkan, "sreettt", suaranya
mendengung-dengung. Tubuh ketujuh tosu tadi bergerak
serentak. Pedang juga diulurkan dalam waktu yang
bersamaan. Bahu-membahu menghadap ke kanan. Tosu yang
berada di tengah berteriak, "Bo liang Sou hud (kasih Buddha
tiada batas)!"
"Jit-sing-kiam (pedang tujuh bintang) selalu digerakkan oleh
tujuh orang. Jangan dikira kami mencari keuntungan. Melawan
musuh yang banyak pun kami selalu bertujuh!" sahut Tosu
yang lainnya. "Nama Jit-sing-kiam telah menggetarkan dunia kangouw. Aku
Kongsun Hong sudah lama ingin berkenalan. Tidak usah raguragu," kata Kongsun Hong langsung menggerakkan tubuhnya
dan menyerang. Ketujuh Tosu tadi segera bersiap siaga. Bu-ti-bun juga
merupakan partai yang mempunyai nama besar. Sebagai
murid tertua dari Buncu partai tersebut, Kongsun Hong tentu
dapat diandalkan. Dan dia pula yang dipilih oleh suhunya
sebagai utusan ke Bu-tong-san.
Kibaran lengan baju menimbulkan suara deruan angin. Kaki
mereka maju beberapa langkah dan mengurung Kongsun
Hong di tengah. Murid tertua Bu-ti-bun itu hanya merasakan
hawa pedang yang semakin menebal. Bayangan manusia di
depan matanya berkelebat. Dia seakan melihat satu orang
menjadi tujuh orang.
Dengan teriakan keras dia menggetarkan pedangnya. Sinar
51 dingin beterbangan. Tusukannya berubah menjadi berpuluhpuluh titik. "Pat-fang-hong-ho" (hujan angin di delapan
penjuru). Gerakan yang dimainkannya persis seperti nama
jurus itu sendiri. "Trang! ting! trang! ting!", tujuh kali suara benturan senjata terdengar. Tujuh orang tosu itu masing-masing telah menerima satu kali serangan Kongsun Hong.
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serangan pedang laki-laki itu sendiri yang tertuju ke arah
tenggara luput mengenai sasarannya.
Tubuhnya tegak kembali. Baru saja dia memutar ke arah
selatan, dua orang tosu sudah mengadang dari kiri dan kanan.
Pedang mereka bersilangan bagai sebuah gunting besar
mengarah kepadanya. Kongsun Hong mengibaskan
pedangnya membentuk lingkaran. Dia menyambut serangan
pedang lawan. Tubuh mereka sama tergetar. Baru saja kaki Kongsun Hong
mundur beberapa langkah, serangan tosu yang lain sudah
tiba. Terpaksa dia mengangkat pedangnya menangkis.
Kakinya kembali surut beberapa langkah. Dia sudah berada di
tempatnya semula. Kedua tosu yang tadi menyerangnya tidak
mengejar. Mereka memperbaiki posisi dan bergabung dengan
lima rekannya yang lain.
Kongsun Hong masih memandangi mereka dengan sinar
matanya yang dingin.
"Jit-sing-kiam ternyata bukan nama kosong," katanya tenang.
Ketujuh orang tosu tadi masih mengambil sikap menunggu.
Sedangkan Kongsun Hong juga menyilangkan tangannya di
dada dan bersiap-siap membuka serangan. Tiba-tiba
berkumandang sebuah suara yang lantang, "Ciangbunjin
52 menurunkan perintah. Tamu harap diantar ke atas gunung.
Tidak boleh dihalangi!"
Suara pertama berkumandang dari jauh. Suara kedua
menyusul, dan suara ketiga terdengar jaraknya sudah dekat
sekali. "Berhenti!" teriak Pek Ciok kepada ketujuh tosu tadi.
Tubuh mereka berkelebat. Pedang masing-masing telah
dimasukkan kembali ke sarungnya. Pek Ciok menganggukkan
kepala kepada Kongsun Hong.
"Sicu ... silakan!"
"Tidak diteruskan?" tanya Kongsun Hong dengan tertawa
dingin. Pedangnya sendiri diturunkan kembali.
"Ciangbunjin telah menurunkan amanat. Kami tidak berani
membantah," sahut Pek Ciok menahan kejengkelan hatinya.
Kongsun Hong memasukkan kembali pedangnya ke dalam
sarung. "Bila ada kesempatan, aku masih ingin berkenalan
lebih lanjut dengan Jit-sing-kiam kalian," katanya.
Tujuh tosu tadi tidak mengatakan apa-apa. Pek Ciok juga
berdiam diri. Dia hanya melangkah ke depan sebagai
penunjuk jalan. Kongsun Hong juga tidak menyindir lebih
lanjut. Dia mengikuti di belakang Pek Ciok. Para murid Butong yang lain juga mengikuti tindakan mereka. Sekali lagi
terdengar suara lonceng berbunyi. Kumandangnya sayupsayup mengalun ke bawah gunung.
53 ***** Senja hari. Lentera-lentera telah dinyalakan. Asap hio wangi
bergumpal-gumpal membuat suasana yang memang sudah
mencekam menjadi lebih angker. Di tengah ruangan yang
menghadap pintu keluar, terdapat sebuah meja pemujaan. Di
bagian kiri kanannya, masing-masing berdiri dua orang tosu.
Usianya pasti sudah memasuki kepala tujuh. Rambut dan
jenggotnya sudah memutih. Mereka adalah keempat Hu-Hoattianglo (semacam penasihat hukum).
Di sudut ruangan berdiri Gi-song dan Cang-song. Enam orang
itu tidak ada satu pun yang bersuara. Apabila Gi-Song tidak
mengucapkan apa-apa, Cang-song pun seperti tiba-tiba
menjadi bisu. Tampang mereka semua serius sekali.
Di dalam ruangan pendopo tersebut hanya terdapat enam
orang ini. Sedangkan di luar berkumpul banyak sekali muridmurid Bu-tong-pai. Mereka berpencar menjadi dua bagian.
Ada yang berbaris di sebelah kiri. dan ada pula yang menjaga
di sebelah kanan. Meskipun begitu banyak orang yang
berkumpul, tapi tidak terdengar sedikit suara pun. Hal ini
membuktikan betapa gentingnya suasana. Mulut mereka
tertutup rapat-rapat.
Kongsun Hong berjalan melewati barisan orang-orang ramai.
Mata setiap orang terpusat kepadanya. Melihat keadaan itu,
tampaknya apabila ada perintah ketua, maka Kongsun Hong
akan dikeroyok secara ramai-ramai. Namun laki-laki itu sama
sekali tidak menunjukkan kegentaran sedikit pun. Wajahnya
tidak berubah. Dengan tenang dia melangkah, dadanya
54 membusung, seakan berada di kandang sendiri.
Pek Ciok masih berjalan di muka. Penampilannya tidak
berbeda dengan tosu lainnya. Wajahnya berbentuk persegi.
Dahinya tinggi dan bercahaya. Seperti sebuah batu yang
digosok sampai licin. Dia mengantar Kongsun Hong sampai di
depan pintu pendopo. Tangannya dikembangkan.
"Silakan!" katanya.
"Apakah Ci Siong menunggu aku di dalam ruangan ini?" tanya
Kongsun Hong dengan keangkuhan yang tidak berubah.
Wajah Pek Ciok rada berubah mendengar kata-katanya.
"Silakan!" ujarnya sekali lagi
Kongsun Hong mendongakkan wajahnya dan tertawa
terbahak-bahak. Dia melangkah ke dalam ruangan dengan
tenang. Di dalam masih berdiri enam orang yang sama. Kursi
kebesaran yang berada di depan meja pemujaan masih
kosong. Begitu melihat kehadiran Kongsun Hong, dua belas
mata dari enam orang itu menyorot tajam.
Kongsun Hong seperti tidak merasakan apa-apa. Matanya
menatap ke arah kursi tinggi yang masih kosong itu.
"Di mana Ci Siong?" tanyanya sinis.
"Bo-liang-sou-hud (kasih Buddha tiada batasnya)!" ujar
keempat Hu-Hoat-tianglo.
Gi-song mendelik matanya lebar-lebar. "Kurang ajar!"
bentaknya dengan suara berat.
55 Kongsun Hong tertawa terbahak-bahak sekali lagi.
"Tamu sudah masuk ke dalam ruangan. Tuan rumah masih
belum keluar menyambut. Siapa yang lebih kurang ajar dan
tidak tahu sopan santun?" katanya tenang.
Cang-song mengernyitkan keningnya, matanya juga mendelik.
"Kau anggap apa Ciangbunjin kami" Beliau bersedia
menerimamu, sudah boleh dikatakan bahwa rezekimu sedang
terang," sindirnya tajam.
Kembali Kongsun Hong tertawa tergelak-gelak. Suaranya
bergema di seluruh ruangan. Getarannya membuat abu dari
hio yang sedang dinyalakan berhamburan ke mana-mana.
Wajah Ci-song menampilkan kemurkaan. Begitu pula Cangsong. Sedangkan keempat Hu-Hoat-tianglo sekali lagi
menyebut, "Bo-liang-sou-hud!"
Suara tawa yang bergema tadi ternyata surut dan tertekan
oleh sebutan "Bo-liang-sou-hud" itu. Kongsun Hong rada
terkejut mengetahui dalamnya lwekang keempat Hu-Hoattianglo tersebut.
Tepat pada saat itu, dari luar pendopo terdengar kumandang
suara yang lain, "Ciangbunjin tiba ...!"
Dua orang tosu cilik yang berteriak segera muncul dan
berpencar di kiri dan kanan. Kemudian terdengar suara
langkah kaki. Yang terdengar adalah suara langkah kaki dua
orang, tapi ternyata yang muncul berjumlah tiga.
Yang berjalan di muka adalah seorang laki-laki yang gagah.
56 Dia memakai pakaian tosu berwarna kuning gading. Langkah
kakinya demikian ringan menampilkan kesan seakan tidak
menginjak tanah. Alisnya lebih panjang dari matanya sendiri.
Bahkan rada menjuntai ke bawah. Hidungnya tegak.
Wajahnya yang dihiasi dengan jenggot tebal sangat sesuai
dan enak dipandang. Rambut dan jenggotnya sudah berwarna
abu-abu keputihan. Ada sedikit keriput di sekitar matanya.
Usianya paling tidak di atas lima puluh lima tahun, atau
mungkin hampir enam puluh, namun sedikit pun tidak
mengesankan ketuaan. Di belakangnya mengiringi dua orang
tosu cilik. Yang sebelah kiri memegang tasbih, sedangkan
yang sebelah kanan memegang sebatang pedang panjang.
Pedang tersebut bagus sekali. Dapat dipastikan bahwa bukan
sembarang pedang, melainkan pedang pusaka.
Keempat orang Hu-Hoat-tianglo, Gi-song dan Cang-song
segera merangkapkan sepasang tangan mereka dan menjura
dengan hormat. Meskipun baru kali ini bertemu, tapi dengan
melihat keadaan yang berlangsung. Kongsun Hong segera
dapat menduga bahwa yang datang adalah Ciangbunjin Butong-pai generasi sekarang, Ci Siong tojin!
Ci Siong tojin langsung duduk di kursi kebesarannya.
Sedangkan kedua orang tosu cilik yang mengiringi di belakang
memencarkan diri dan berdiri di kedua sisi. Kongsun Hong
menatap Ci Siong yang duduk di atas kursi tersebut. Bibirnya
mengembangkan sekulum senyum dingin.
"Kau yang bernama Ci Siong?" tanyanya.
Keempat Hu-Hoat-tianglo mengerutkan kening mereka. Gisong tidak dapat menahan emosinya lagi.
57 "Penjahat bernyali besar!" bentaknya nyaring.
Ci Siong tojin mengangkat tangan kanannya dan mencegah
Gi-song berkata lebih lanjut. "Jangan membuat keributan," Dia
menoleh kembali kepada Kongsun Hong, "Pinto memang Ci
Siong adanya. Lai-su (tamu) ...?"
"Kongsun Hong!"
"Murid pertama Bu-ti-bun?"
"Kita belum pernah berjumpa."
"Belum," sahut Ci Siong tojin.
"Tapi kau bisa tahu siapa aku. Tampaknya hanya desas-desus
tidak benar bahwa Bu-tong-pai menutup diri terhadap urusan
dunia luar, kenyataannya tidak demikian," sindir Kongsun
Hong. "Bu-tong dan Bu-ti merupakan musuh bebuyutan sejak jaman
dahulu," kata Ci Siong sambil tertawa datar. "Meskipun Butong ingin melepaskan diri, tapi rasanya tidak begitu mudah."
"Sebetulnya masalah ini sederhana sekali. Asal Bu-tong-pai
bersedia bertekuk lutut di bawah panji Bu-ti-bun, semuanya
dapat diselesaikan dengan mudah," sahut Kongsun Hong.
"Lebih sederhana lagi kalau Bu-ti-bun yang mengundurkan
dari dunia kangouw," kata Ci Siong tojin pula.
"Omong kosong!" Kongsun Hong mengibaskan tangan
kanannya. "Kedudukan Bu-ti-bun di dunia kangouw sekarang
58 ibarat matahari yang bersinar terik. Bagaimana bisa
dibandingkan dengan Bu-tong-pai yang selalu bersembunyi di
liang kura-kura?"
Wajah Ci Siong tojin tidak berubah sama sekali.
"Apakah Tok-ku Bu-ti menyuruh kau kemari untuk mengatakan
semua ini?" tanyanya tenang.
Kongsun Hong menggelengkan kepalanya. Dia menyodorkan
kotak kain ke hadapan Ci Siong tojin. "Pertarungan yang tidak
berkesudahan kembali mencapai sepuluh tahun."
Mata Ci Siong tojin setengah terpejam.
"Dua puluh tahun yang lalu, ketika pertarungan di gua
harimau, kau kalah di bawah ilmu Suhu!" suara Kongsun Hong
meninggi, seakan dia ingin seluruh murid Bu-tong-pai
mendengar jelas apa yang dikatakannya. "Sepuluh tahun yang
lalu di Yen Tang, kembali kau mengalami kekalahan.
Mengenai hal ini, aku yakin kau tidak akan melupakannya."
"Bu-tong-pai dan Bu-ti-bun mengadakan perjanjian untuk
bertarung setiap sepuluh tahun sekali. Dengan hari ini,
jaraknya masih ada tiga bulan," sahut Ci Siong tojin.
"Tapi sampai sekarang, Bu-tong-pai belum mengambil
tindakan apa-apa," kata Kongsun Hong.
"Setahu pinto, kesabaran Bu-ti selamanya tinggi sekali."
"Persoalannya adalah Bu-tong-pai yang seakan menutup diri
terhadap dunia luar. Suhu rada curiga, apakah Bu-tong-pai
59 masih berani mengadakan pertarungan sekali lagi," Kongsun
Hong merandek sejenak. "Oleh karena itu, Suhu
memerintahkan aku ...."
"Menyampaikan kata-kata ini?" tanya Ci Siong tojin.
"Masih ada dua macam benda yang harus kusampaikan,"
sahut Kongsun Hong sambil mengambil amplop merah yang
terletak di atas kotak kain tadi. "Surat tantangan!" baru saja
ucapannya selesai, dia melayangkan amplop tersebut ke arah
Ci Siong. Amplop tadi meluncur kencang bagaikan sebatang
pedang yang tajam.
Ci Siong sama sekali tidak panik. Dia mengangkat tangan
kanannya dan menyambut kedatangan amplop tadi. "Crep",
amplop itu terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.
"Ternyata tidak malu menyandang jabatan sebagai
Ciangbunjin Bu-tong-pai," kata Kongsun Hong.
Ci Siong tojin mengulurkan tangannya dan menyobek kertas
amplop tersebut. Di dalamnya tertera dua baris huruf dengan
tinta emas. "Sebelum matahari terbit, tanggal sembilan bulan sembilan ....
Tung-gi Kuan-jit-hong (pegunungan Kuan-jit) Giok Hong-teng
(bukit Giok Hong)."
"Pada tanggal sembilan bulan sembilan, Suhu pasti hadir di
Tung-gi. Sedangkan engkau sendiri, boleh datang, boleh juga
tidak," kata Kongsun Hong.
Ci Siong tojin hanya berdehem.
60 "Selain surat tantangan, masih ada sebuah kotak yang
disiapkan oleh Suhu," Kongsun Hong melanjutkan katakatanya. Mata setiap orang tertumpu pada kotak kain tersebut.
Kongsun Hong mengulurkan tangannya dan membuka kotak
itu. Isinya ternyata sehelai pakaian dalam seperti penutup
dada (oto) yang biasa dipakai perempuan-perempuan jaman
itu. Keempat Hu-Hoat-tianglo yang biasanya mempunyai
kesabaran tinggi tiba-tiba menjadi marah. Mata Gi-song
membelalak seakan hampir lepas dari pelupuknya. Cang-song
menggertakkan gerahamnya keras-keras. Kedua tinjunya
terkepal. Seakan sebuah bom waktu yang siap meledak setiap
saat. Meskipun biasanya Ci Siong tojin pandai mengendalikan
emosinya, tapi sekarang tak urung dia marah juga. Sepasang
alisnya bertaut. Matanya menyorot tajam. Sinar matanya
bagaikan sepasang pedang yang baru diasah.
Mata Kongsun Hong bertemu dengan mata Ci Siong tojin.
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa sadar tubuhnya bergetar. Namun penampilan dan cara
bicaranya tetap tidak berubah.
"Kalau kau memang tidak berani datang, maka jangan
kepalang tanggung. Bubarkan Bu-tong-pai dan pakailah
pemberian suhu ini lalu mengundurkan diri dari dunia kangouw
untuk selamanya!"
"Tutup mulut!" bentak Gi-song marah.
61 Cang-song segera menghambur ke depan beberapa langkah,
"Suheng ... bocah ini benar-benar kurang ajar. Kita tidak boleh membiarkan ...!" tukasnya.
Ci Siong tojin mengibaskan tangannya agar Cang-song tidak
berkata lebih lanjut. Dia menatap tajam ke arah Kongsun
Hong, "Surat tantangan sudah kami terima. Mengenai oto
perempuan itu ... harap Anda membawanya kembali."
Kongsun Hong tertawa dingin.
"Lebih baik kau pikirkan dulu matang-matang," katanya.
"Kalau menurut pendapat pinto, pasti bukan Bu-ti yang
mempunyai ide semacam ini," kata Ci Siong tojin datar.
"Apa maksudmu?"
"Bu-ti mempunyai nama besar. Selamanya dia seperti awan
yang bergerak secara terang-terangan. Jiwanya cukup gagah.
Tidak mungkin dia mengusulkan lelucon anak-anak kemarin
sore seperti ini," sahut Ci Siong tojin.
Kongsun Hong tertegun. Beberapa saat kemudian dia baru
tersadar, "Baik, mendengar pujianmu itu aku akan membawa
oto ini kembali. Apabila pada saat perjanjian aku tidak melihat kehadiranmu, aku akan membawa oto ini kembali ke sini."
Dia menutup kembali kotak kain tersebut dan kemudian
berdiri. Dia bersiap-siap meninggalkan tempat tersebut. Wajah
keempat Hu-Hoat-tianglo, Gi-song dan Cang-song berubah
pucat. 62 Wajah Ci Siong tojin sendiri berubah kelam. "Tahan!"
bentaknya nyaring.
Kongsun Hong baru berjalan tiga langkah. Mendengar
bentakan itu, tanpa sadar dia berdiri terpaku. "Aku hanya
menjalankan perintah Suhu. Sekarang tugasku sudah selesai
..." katanya tanpa menolehkan kepala.
"Datang sesuka hatimu, pergi seenak perutmu, kau anggap
apa tempat Bu-tong-pai ini?" tanya Ci Siong tojin dengan nada
berwibawa. "Bu-tong-san toh tidak lebih dari sebuah gunung," sahut
Kongsun Hong angkuh.
"Biarpun Bu-ti yang datang sendiri, dia juga tidak akan
bertingkah demikian tidak sopan di Bu-tong-san!" kata Ci
Siong angker. "Suhu mungkin akan bertindak jauh lebih tidak sopan," sahut
Kongsun Hong sambil membalikkan tubuhnya.
Jari tangan keempat orang tianglo sudah menggenggam
pedang masing-masing. Bola mata Kongsun Hong mengerling
sekilas. "Mau bergebrak" Hah! Kalian boleh maju sekaligus. Meskipun
laksaan pedang menembus tubuhku dan Kongsun Hong
terkapar mandi darah, jangan harap aku membuka mulut
memohon pengampunan," katanya sinis.
"Sebagai utusan negara, tidak ada yang boleh saling melukai,"
63 sahut Ci Siong masih dengan nada sedingin tadi.
"Lalu apa yang kalian inginkan?" tanya Kongsun Hong.
"Ketika masuk ke daerah Bu-tong, kau tidak bersedia
meninggalkan senjata. Malah kau tetap naik membawa
pedangmu," kata Ci Siong tojin.
"Betul, pedangku masih terselip di pinggang," kata Kongsun
Hong sambil menepuk pedangnya dengan perasaan bangga.
"Melepas senjata sebelum naik ke atas gunung merupakan
peraturan yang ditetapkan oleh Cosu kami. Selama ratusan
tahun belum pernah ada orang yang berani melanggarnya"
sahut Ci Siong tojin.
"Maka aku boleh berbangga sebagai orang pertama yang
melanggar peraturan tersebut," kata Kongsun Hong angkuh.
"Oleh karena itu, meskipun kau mewakili Bu-ti-bun, mewakili
Tok-ku Bu-ti, aku hanya menyambutmu di ruang pendopo ini."
"Siapa yang peduli peraturan Bu-tong-pai!" kata Kongsun
Hong. Wajahnya tetap datar, "Kau menyuruh aku berhenti,
hanya untuk mendengarkan kata-katamu ini?"
"Pinto masih ingin melepaskan pedangmu dengan tanganku
sendiri!" sahut Ci Siong tojin tegas.
"Oh?" Kongsun Hong menggenggam pedangnya erat-erat.
"Peraturan adalah benda mati, sedangkan manusia adalah
benda hidup. Seorang manusia yang hidup, apabila menjadi
orang mati karena sebuah peraturan, bukankah merupakan
64 hal yang menggelikan?"
"Hati-hati! Aku akan merebut pedangmu sekarang!" kata Ci
Siong tojin tenang.
"Pedang tajam tidak berperasaan, manusia biasa bisa
kesalahan tangan. Lebih baik kau orang tua yang harus lebih
waspada!" "Cring!", Kongsun Hong menghunus pedangnya.
Tubuh Ci Siong tojin melesat dari atas kursi. Dia menerjang ke
arah Kongsun Hong. Kedua kakinya masih tertekuk. Tubuh
Kongsun Hong juga bergerak, pedangnya diluncurkan ke
depan. Pedangnya meluncur bagai bintang jatuh, sasarannya bagian
bawah perut tosu itu. Seandainya Ci Siong tojin masih
menerjang ke arahnya, dapat dipastikan sebentar lagi bagian
bawah perutnya akan tertusuk oleh pedang Kongsun Hong.
Tepat pada saat itu tubuh Ci Siong tojin tiba-tiba berjungkir
balik. Sekarang kepalanya yang ada di bawah, sedangkan
kakinya di atas, kedua telapak tangannya menumpu di atas
tanah. Pedang Kongsun Hong meluncur tiga cun dari bagian
kepalanya dan luput dari sasaran. Dia menarik pedangnya
kembali, gerakannya tetap mengikuti kelebatan tubuh Ci Siong
tojin. Sekaligus dilancarkan tiga belas kali serangan.
Pedangnya sangat cepat, gerakan tubuh Ci Siong tojin lebih
cepat lagi. Kembali serangannya luput. Tahu-tahu tosu itu
sudah berada di belakang tubuhnya. Ternyata pancaindera
Kongsun Hong cukup peka, dia menyabetkan pedangnya ke
belakang. 65 Jari tengah Ci Siong tojin tajam bagaikan pedang. Ditotoknya
pergelangan tangan kanan Kongsun Hong. Laki-laki itu
merasa tangannya kesemutan dan pedang pun terlepas dari
tangan. "Ting!", jari tengah Ci Siong beralih ke badan pedang dan
menotok sekali lagi. Tiba-tiba pedang itu seakan bersayap dan
melayang ke atas menjauhi Kongsun Hong. Laki-laki itu
merasakan bagian pinggangnya tersentuh sesuatu. Matanya
segera mengerling, sarung pedang sudah berpindah tangan.
Gerakan tubuh Ci Siong tojin masih belum berhenti. Dia
berputar di tengah udara mengulurkan sarung pedang
tersebut. Kakinya menutul dan sarung pedang di tangannya
diangkat untuk menyambut pedang yang sedang menukik tadi.
"Crep!", sedikit pun tidak meleset. Pedang Kongsun Hong
masuk kembali ke sarungnya tanpa melenceng sedikit pun. Ci
Siong tojin kembali menyentakkan tubuhnya dan melayang
kembali di atas kursi yang didudukinya. Napasnya masih tetap
teratur. Wajahnya tidak berubah, seakan tidak pernah terjadi
apa-apa. Gerakan tubuhnya yang lincah, kakinya yang mantap,
perhitungannya yang matang, semua membuktikan betapa
tinggi ilmu yang dikuasainya. Kongsun Hong memandang
dengan mata terbelalak dun mulut terbuka. Saat itu, dia baru
merasakan keringat dingin telah membasahi keningnya. Dia
sama sekali tidak menduga bahwa ilmu silat Ci Siong telah
mencapai taraf demikian tinggi.
Seandainya pihak lawan memang bermaksud mengambil
nyawanya, tentu semudah membalikkan telapak tangan.
66 Ketika Ci Siong tojin menyentuh pinggangnya untuk
mengambil sarung pedang, paling tidak dia sudah mati tiga
kali. Ternyata bukan hanya dia yang terkejut, keempat HuHoat-tianglo, Gi-song dan Cang-song juga terpana. Mereka
tidak pernah menyangka suheng mereka berilmu demikian
tinggi. "Ambil kembali!" bentak Ci Siong sambil melemparkan pedang
tadi ke arah Kongsun Hong.
Dengan panik Kongsun Hong mengulurkan tangannya
menyambut. Tenaga yang dipantulkan oleh pedang itu
membuat kakinya mundur beberapa langkah. Wajahnya bukan
saja pucat pasi tapi berubah kehijauan. Dia mendelik kepada
Ci Siong tojin.
"Bagus! Paling tidak Kongsun Hong sudah merasakan
kelihaian ilmu Ciangbunjin dari Bu-tong-pai!"
Ci Siong tojin mengibaskan tangannya, "Kau boleh pergi
sekarang," katanya.
Kongsun Hong baru menyadari kesalahannya. Justru karena
dia terlalu memandang remeh pihak lawan sehingga dia
menerima akibat yang demikian mengenaskan. Namun, mau
tak mau dia terpaksa harus mengakui bahwa ilmu silat Ci
Siong tojin memang jauh di atasnya.
Mata Kongsun Hong masih mendelik ke arah Ci Siong tojin.
Setelah tertegun beberapa saat dia baru menarik napas
panjang. "Ilmu manusia she Kongsun memang tidak dapat menandingi
67 orang, tidak ada yang dapat kukatakan lagi. Tentang pedang
ini ...." Dia mengangkat tangannya dan menimpuk dengan
tenaga penuh. Pedang itu menancap di dinding sebelah kiri,
sarung pedang tersebut melesak ke dalam dinding. Ternyata
pedang yang ada di dalam sarung tersebut tidak tergetar
olehnya. "Biar kutinggalkan pedang ini di Bu-tong-pai. Suatu
hari, aku, Kongsun Hong akan datang lagi untuk mengambil
pedang tersebut."
Kongsun Hong melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan
tersebut. Dia tidak menoleh sama sekali. Keluar dari ruangan
tersebut, langkah kakinya dipercepat. Ci Siong tojin juga tidak menghalangi. Dia memandangi punggung Kongsun Hong
sampai menghilang. Keempat Hu-Hoat-tianglo, Gi-song dan
Cang-song masih duduk terpaku di tempatnya.
***** Bagian belakang gunung lebih sepi dari bagian depannya.
Bagian belakang gunung tersebut adalah daerah terlarang Butong-pai. Sebuah jalan tapak yang dipenuhi batu-batu
berwarna putih memanjang dari bagian depan gunung
tersebut Di ujungnya terdapat hutan bambu.
Angin bertiup semilir, menembusi celah-celah batang bambu.
Ci Siong tojin berjalan melintasi batu-batu putih tadi.
Langkahnya goyah seperti batang bambu yang tertiup angin.
Di dalam hutan bambu juga terdapat jalan setapak. Setelah
berjalan beberapa langkah, tampak sebuah tembok pendek
melintang di hadapan. Di tengahnya terdapat sebuah pintu
68 berbentuk rembulan yang bundar. Di atasnya ada sebaris
tulisan, "daerah terlarang, siapa yang masuk akan mendapat
kematian".
Ci Siong tojin menghentikan langkah kakinya di depan pintu
itu. Dia melirik tulisan itu sekilas. Akhirnya dia melangkah ke dalam. Di bawah tembok pendek itu masih terdapat banyak
batang-batang bambu. Setelah berjalan beberapa depa
terlihat sebuah rumah tembok berukuran kecil.
Rumah itu letaknya demikian terpencil. Pintunya juga tertutup
rapat. Undakan di depannya berwarna kehijauan. Bukan
warna aslinya tapi karena terlalu lama tidak dibersihkan
sehingga berlumut. Ci Siong melangkah perlahan menuju
pintu rumah batu tersebut.
Kesunyian menyelimuti hutan bambu itu. Sayup-sayup
terdengar kicauan burung. Ci Siong mendongakkan wajahnya
menatap langit. Dia menaiki undakan batu dan mengetuk pintu
rumah tadi sebanyak tiga kali.
"Masuk!" terdengar sahutan dari dalam rumah. Suara itu tidak
terlalu keras namun jelas sekali.
Ci Siong tojin mengulurkan tangannya dan mendorong pintu
rumah batu tersebut. Serangkum hawa yang membuat
perasaan tidak enak terpancar dari dalam rumah itu. Ci Siong
tojin melangkahkan kakinya ke dalam. Dia seakan tidak
merasakan apa-apa.
***** 69 Keadaan di dalam rumah itu remang-remang. Meskipun di
bagian sudut terdapat dua buah jendela namun ada sebaris
batu bata berlubang kecil-kecil menghalangi cahaya yang
memancar ke dalam. Udara dapat menerobos lewat celah
jendela tersebut.
Di bagian tengah ruangan terdapat sebuah tempat tidur yang
terbuat dari batu. Di atasnya duduk bersila seorang laki-laki
berusia lanjut. Rambut dan jenggot orang itu sudah putih
semua. Entah sudah berapa lama dia tidak mencukur rambut
dan jenggotnya. Pakaiannya yang berwarna abu-abu juga
kotor sekali. Wajahnya kurus, begitu juga tubuhnya. Tetapi terlihat tulang
belulangnya sangat besar. Lain sekali dari manusia biasa. Dia
menyandarkan punggungnya ke tembok. Seluruh tubuhnya
membawa kesan seakan dia malas bergerak. Ada juga
sebagian dari dirinya yang memberi kesan seperti penyakitan.
Ci Siong tojin memutar tubuhnya dan merapatkan pintu batu
itu kembali. Kemudian dia menghadap orang tua tersebut dan
membungkuk dengan hormat.
Orang tua itu memicingkan sebelah matanya dan tersenyum,
"Kau rupanya ...."
"Ci Siong menghadap Suheng!"
"Antara saudara seperguruan sendiri mengapa harus
sungkan" Duduklah," kata orang tua itu mempersilakan.
Ci Siong tojin duduk di ujung tempat tidur.
70 "Tadi aku mengira-ngira siapa yang datang. Langkah kakimu
sedemikian ringan. Sampai di depan pintu, baru telingaku
mendengarnya."
Ci Siong tojin menggelengkan kepalanya.
"Harap Suheng jangan mentertawakan."
Mata orang itu menatap wajah Ci Siong tojin lekat-lekat, "Rona
wajahmu tidak sedap dipandang. Apakah terjadi sesuatu di
atas gunung?" tanyanya serius.
"Tadi Bu-ti mengutus muridnya mengantarkan surat
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tantangan," sahut Ci Siong tojin dengan kepala tertunduk.
"Tok-ku Bu-ti dari Bu-ti-bun?"
"Betul," nada suara Ci Siong tojin menjadi berat. "Bu-tong dan
Bu-ti selamanya seperti air dengan api. Beberapa kali
pertarungan selalu Bu-tong yang mengirimkan surat
tantangan. Kecuali kali ini."
Orang tua itu merenung sejenak.
"Apakah kau khawatir ada maksud tertentu yang terkandung di
balik semua ini?"
"Pribadi Tok-ku Bu-ti sangat angkuh. Aku yakin dia tidak akan
menggunakan akal licik untuk meraih kemenangan.
Sedangkan dua puluh tahun terakhir, aku sudah pernah kalah
dua kali di tangannya. Seandainya dia memang mengandung
maksud tertentu, pasti tidak akan menunggu sampai hari ini,"
71 kata Ci Siong tojin.
"Hal ini menjelaskan bahwa dia mempunyai keyakinan besar
dalam pertarungan kali ini."
"Selain itu pasti masih ada rencana lainnya," Ci Siong tojin
menarik napas panjang. "Beberapa tahun terakhir ini, Bu-ti
mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mengumpulkan
jago-jago bayaran. Dia sedang melebarkan sayapnya dengan
tenaga bantuan berjumlah besar."
"Apakah tidak ada orang lain yang menghalanginya?"
"Tidak ada. Siau-lim-pai sedang mengalami masa suram. Gobi-pai tidak menelurkan seorang murid pun yang dapat
diandalkan. Sembilan partai besar hanya tinggal namanya
saja." "Mereka hanya menyaksikan tanpa berbuat apa-apa?"
"Bu-ti sendiri tentunya mengerti. Pertarungan kali ini
kemungkinan besar merupakan pembuka jalan untuk
menguasai bu-lim."
"Bagaimana menurut pendapatmu sendiri?"
"Dia tidak akan menggunakan akal licik untuk meraih
kemenangan. justru dia ingin meraih kemenangan dengan
cara sejati agar dunia takluk kepadanya."
"Tujuanmu mencariku?"
"Aku ingin mengetahui lebih jelas ilmu Mit-kip-mo-kang
72 (rahasia ilmu iblis) yang dilatih oleh Tok-ku Bu-ti," sahut Ci
Siong tojin. "Tentunya kau sendiri telah berlatih keras selama sepuluh
tahun belakangan ini. Aku percaya kau juga mendapat
kemajuan yang tidak sedikit," kata orang tua itu.
"Kalau Bu-ti yang sekarang sama dengan Bu-ti yang dulu, aku
tentu mempunyai keyakinan diri," Ci Siong tojin kembali
menarik napas panjang. "Sepuluh tahun telah berlalu,
sekarang ilmu Bu-ti tentu juga mendapat kemajuan pesat."
"Ketika kau mengalami kekalahan sepuluh tahun yang lalu,
kita sudah pernah membahas masalah ini bersama-sama."
"Pada saat itu, Suheng yakin Mit-kip-mo-kang yang dipelajari
Tok-ku Bu-ti sudah mencapai tingkat kelima. Sekarang
sepuluh tahun sudah berlalu, kemungkinan dia sudah
mencapai tingkat enam atau tujuh, delapan."
Tiba-tiba orang tua itu tertawa lebar, "Belum pernah ada orang
yang mempelajari ilmu Mit-kip-mo-kang mencapai taraf tingkat
tujuh," katanya.
"Oh?" Ci Siong rada curiga mendengar keterangan tersebut.
"Tentu kau tahu Sia Ho Tiang Cong. Dia adalah guru Tok-ku
Bu-ti. Kecerdasannya melebihi manusia umumnya. Pada usia
tujuh tahun dia mulai berlatih ilmu Mit-kip-mo-kang. Masuk
usia empat belas tahun, dia sudah hampir tiada tandingannya
di dunia kangouw. Dalam usia sembilan belas tahun saja dia
sudah mencapai tingkat keenam ilmu Mit-kip-mo-kang. Namun
meninggal ketika berusia delapan puluh, ilmunya sama sekali
73 tidak mendapatkan kemajuan lagi. Dia tetap berada di tingkat
enam." "Sedangkan pada usia empat puluh tahunan, Bu-ti baru
mencapai tingkat lima," gumam Ci Siong tojin.
"Oleh karena itu, aku yakin Bu-ti sekarang paling banter baru
mencapai tingkat enam seperti suhunya."
"Sampai di mana kehebatan Mit-kip-mo-kang tingkat enam
itu?" tanya Ci Siong tojin penasaran.
"Maksud kedatanganmu adalah untuk mengetahui hal ini
bukan?" Ci Siong tojin menganggukkan kepalanya. "Terima!" teriak
orang tua itu. Dia melemparkan sebilah pedang tua yang
berada di atas tembok tempat tidur.
Ci Siong tojin mengulurkan tangannya menerima pedang
tersebut. "Hunus pedangmu!" perintah orang tua itu sekali lagi.
Ci Siong tojin mencabut pedang tersebut dari sarungnya.
Serangkum hawa dingin segera menyebar di dalam ruangan.
Sinar mata orang tua itu tertuju pada pedang di tangan
sutenya. "Tenaga dalam dipusatkan pada Yang. Hidupkan
Liang-gi "."
Pedang di tangan Ci Siong tojin diasongkan ke depan.
Tubuhnya memutar. Pedang dan tubuh bergerak serentak.
Suara angin berderu-deru karena sabetan pedang tersebut.
74 Tubuh Ci Siong tojin seakan menyatu dengan pedang di
tangannya. Sekali berkelebat dia memainkan tiga puluh enam jurus.
Tubuhnya melayang di udara. Dalam waktu sekejap dia telah
menggerakkan pedangnya sebanyak tujuh puluh dua kali.
Pedangnya telah berubah menjadi bayangan. Tubuh Ci Siong
sendiri bagaikan gasing yang berputar-putar. Keduanya
seakan berubah menjadi gumpalan kabut yang tebal.
Lengan baju orang tua itu berkibar-kibar terempas deruan
angin yang ditimbulkan oleh pedang di tangan Ci Siong tojin.
Matanya menatap tajam. Bibirnya menyunggingkan
senyuman. Telapak tangan kanannya tiba-tiba dikembangkan.
Lengan bajunya bagai sebilah golok tajam mengincar diri Ci
Siong. Siapa pun tidak sangka manusia yang tubuhnya sekurus itu
bisa mempunyai tenaga yang begitu kuat. Lengan bajunya
tegak lurus bagaikan lempengan besi. Suara yang
diterbitkannya tidak kalah keras dengan deruan pedang tadi.
Gerakan Ci Siong tojin masih belum berhenti. Lengan baju
yang mengandung kekuatan itu hilang tertutup oleh bayangan
pedang. Melihat keadaan ini, orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Ci
Siong menarik pedangnya kembali. Dia berdiri tegak. Dalam
waktu sekejap tadi dia benar-benar memusatkan perhatian
pada permainan pedangnya. Sekarang hatinya bimbang lagi
mengingat lawan yang harus dihadapinya. Orang tua itu masih
tertawa terbahak-bahak. Ci Siong tojin mengangkat
pedangnya dan memasukkannya kembali ke dalam sarung.
Dia menghampiri tempat tidur batu tersebut.
75 "Suheng ...."
"Bagus!" tawa orang itu akhirnya berhenti juga. "Selama
sepuluh tahun ini, meskipun kau tidak mengatakan apa-apa,
tapi aku tahu kau sudah berlatih dengan keras. Menurut
sepengetahuanku, orang yang berhasil melatih Liong-gi-kiam
sampai taraf ini hanya engkau seorang," katanya dengan nada
puas. Ci Siong merasa jengah mendengar pujian itu. Belum lagi dia
sempat menyahut apa-apa, orang tua itu sudah melanjutkan
kembali, "Seandainya Mit-kip-mo-kang Bu-ti benar-benar
sudah mencapai tingkat tujuh, kau pun tidak usah khawatir
lagi." Ci Siong tojin tampaknya kurang percaya mendengar
keterangan tersebut.
"Bagaimana pribadi suhengmu ini, tentunya kau mengetahui
dengan jelas. Sedangkan sekarang toh bukan saat yang tepat
untuk main-main," kata orang tua tersebut. Dia tahu apa yang
dipikirkan sutenya.
Ci Siong tojin terpaksa menganggukkan kepalanya.
"Apabila ilmu Mit-kip-mo-kang Bu-ti masih tetap hanya
mencapai tingkat enam, maka kau akan mudah meraih
kemenangan dari pertarungan yang akan datang. Namun
apabila dia berhasil mencapai tingkat tujuh, kecuali kau
ceroboh, maka rasanya juga tidak akan menjadi persoalan."
"Siaute pasti akan berhati-hati," kata Ci Siong tojin.
76 "Sebetulnya memang kau orang yang penuh waspada."
"Pertarungan antara Siaute dan Bu-ti kali ini adalah untuk
yang ketiga kalinya."
"Pikiran tentang kekalahan yang terus menghantuimu harus
dilenyapkan. Apabila bertarung dengan musuh tangguh, kita
harus mempunyai perhitungan yang matang. Bukan hanya
mengandalkan ilmu yang tinggi saja. Kecermatan, keteguhan,
keyakinan juga harus diutamakan. Bahkan tempat dan waktu
pun mempunyai pengaruh yang kuat. Apabila kau dihantui
kekalahanmu yang lalu sebelum bertanding, berarti kau sudah
kalah satu langkah. Kau harus mengerti rumus ini!" kata orang
tua itu dengan nada tinggi.
Tanpa sadar, keringat dingin menetes di kening Ci Siong.
"Tenangkan dirimu dalam menghadapi pertarungan kali ini!"
Akhirnya Ci Siong menarik napas panjang, "Baiklah ...."
Bagaimana perangai orang tua itu, tentu dia jelas sekali. Dan
sekarang memang saat yang tepat untuk berguyon. Oleh
karena itu, hatinya menjadi jauh lebih tenang. Namun ketika
dia meninggalkan rumah batu tersebut, dia merasakan firasat
yang tidak enak dalam hatinya. Perasaan murung yang tidak
bisa dihilangkan begitu saja. Mungkin juga hal ini disebabkan
karena dia sudah dua kali mengalami kekalahan di tangan Buti. ***** 77 Senja hari ....
Matahari mulai tenggelam. Angin bertiup membawa
kesejukan. Semilirnya membawa riak-riak kecil di atas
permukaan kolam.
Di tempat yang bernama Tian Cu Hong ini terdapat sebuah
kolam alam. Tidak terlalu besar, namun di tengahnya
dibangun sebuah bangunan yang disambung dengan
jembatan batu. Bangunan yang dimaksud di sini bukan tempat
tinggal, tapi sejenis pesanggrahan atau tempat berteduh.
Ci Siong tojin sering datang ke tempat ini. Kadang-kadang dia
menemui murid-muridnya di tempat tersebut. Ada kalanya dia
menjamu tamu yang merupakan kenalan dekat di tengah
kolam tersebut juga. Banyak sekali persoalan pelik yang dapat
diselesaikan dengan baik di tempat peristirahatan itu.
***** Setelah meninggalkan rumah batu tadi, Ci Siong
melangkahkan kakinya ke Tian Cu Hong. Di tengah perjalanan
dia memberi perintah kepada muridnya. Oleh karena itu, baru
saja dia duduk sejenak di tengah kolam tersebut, Gi-song,
Cang-song dan keempat Hu-Hoat-tianglo sudah menyusul
tiba. Juga kelima orang muridnya yang patut dibanggakan,
yakni Pek Ciok, Cia Peng, Kim Ciok, Giok Ciok, Yo Hong.
Pek Ciok masih seperti biasa. Dia jarang tersenyum dan mimik
78 wajahnya selalu serius. Cia Peng melangkah dengan dada
membusung. Di bawah sinar mentari yang mulai pudar, warna
kulitnya tampak kecokelatan. Gerakan kakinya mantap sekali
seperti seekor kuda. Bahkan perangainya pun ada beberapa
bagian yang mirip binatang tersebut. Sedangkan Giok Ciok
merupakan murid yang paling dekat dengan Ci Siong tojin.
Yo Hong mempunyai bentuk tubuh tinggi kurus. Begitu
kurusnya sehingga orang mengira apabila ada angin yang
bertiup kencang maka dia akan tertiup roboh. Namun di antara
kelima murid Ci Siong tojin, ginkangnya pula yang paling
tinggi. Sedangkan Kim Ciok mungkin berasal dari satu daerah
dengan Pek Ciok. Wajahnya juga selalu terlihat kaku dan
serius. ***** Gi-song dan Cang-song melangkah masuk terlebih dahulu ke
dalam rumah peristirahatan itu. Ci Siong menarik napas
panjang. Matanya menatap kedua orang itu secara
bergantian. Tampaknya kedua orang itu mempunyai banyak perkataan
yang ingin disampaikan, namun kesempatan masih belum
ada. "Dua hari lagi Punco (cara Ciangbunjin menyebut dirinya
sendiri) akan berangkat ke Kuan Jit Hong," dia merandek
sejenak. "Kepergian Punco kali ini mungkin makan waktu
paling sedikit dua bulan. Berkumpulnya kalian di tempat ini
adalah untuk merundingkan masalah ini. Maksud Punco
79 persoalan Bu-tong-pai ketika Punco tidak ada."
Gi-song dan Cang-song saling melirik sekilas.
"Siaute merasa bagaimana pun harus ada orang yang
mewakili Suheng menangani persoalan Bu-tong-pai." kata Gisong memberi saran.
"Tidak salah. Di Bu-tong sama sekali tidak boleh tidak ada
pemimpin. Kita memang harus mencari seseorang sebagai
wakil Ciangbunjin," lanjut Cang-song tidak mau kalah.
Ci Siong tojin menganggukkan kepalanya.
"Liong-wi sute (kedua adik seperguruan) anggap siapa yang
paling sesuai menggantikan Punco sementara?"
Hati Gi-song dan Cang-song menjadi tegang seketika.
"Tentu saja seseorang yang baik kedudukan maupun usianya
sudah cukup tinggi," tukas Gi-song cepat-cepat.
"Siaute malah menganggap lebih baik memilih seseorang
yang usianya agak muda. Untuk menangani persoalan yang
begitu banyak, orang yang berusia lanjut tentu akan
kepusingan," lanjut Cang-song tidak mau kalah cepat.
"Jahe tua baru pedas rasanya," kata Gi-song.
"Yang muda lebih bersemangat!" sahut Cang-song.
"Yang lebih tua!"
80 "Muda!" kedua orang itu jadi berdebat karena tidak mau saling
mengalah. Ci Siong tersenyum melihat kedua orang itu.
"Liong-wi sute tidak perlu bertengkar. Kata-kata keduanya
sama beralasan. Baik pengalaman dan semangat sama-sama
penting sekali. Pek Ciok selamanya mempunyai pikiran seperti
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang tua. Dia masih muda dan kuat. Pengalamannya juga
lumayan. Rasanya dia paling sesuai ditunjuk sebagai
pengganti Punco, bukan?"
"Pek Ciok?" Gi-song dan Cang-song kelepasan mulut.
Keduanya tertegun mendengar orang itu yang terpilih.
"Mungkin pengalamannya belum terlalu banyak. Tapi dengan
adanya Liong-wi sute yang mengawasi, rasanya tidak ada
masalah lagi," kata Ci Siong tojin.
"Suheng ...." Gi-song dan Cang-song memanggil serentak.
Sekali lagi Ci Siong tojin tersenyum.
"Punco benar-benar tidak tahu siapa lagi yang paling sesuai
untuk tugas ini," dia mengibaskan tangannya. "Tidak ada
persoalan lain lagi. Kalian boleh keluar sekarang."
Pek Ciok dan saudara seperguruannya yang lain melangkah
masuk ke dalam rumah peristirahatan itu. Dengan wajah
merah padam Gi-song dan Cang-song mengundurkan diri.
***** 81 Setelah melewati jembatan, Gi-song benar-benar tidak dapat
menahan dirinya lagi.
"Terang-terangan dia sudah merencanakan semuanya.
Sengaja pura-pura ingin merundingkannya lagi dengan kita,"
dia menggerutu panjang lebar.
"Tua bangka yang licik!" Cang-song ikut mengomel.
"Gara-gara kau juga. Mengapa ingin bersaing denganku
menggantikan Ciangbunjin" Kalau tidak, dia tidak mungkin
memilih Pek Ciok!" bentak Gi-song.
"Mengapa bukan kau saja yang mengalah?" teriak Cang-song.
Pertengkaran keduanya kembali menjadi seru.
***** Sore hampir berakhir. Matahari yang mulai tenggelam
berwarna kemerahan. Benar-benar suatu pemandangan yang
menyenangkan. Wan Fei-yang berjalan di bawah sinar matahari yang mulai
redup. Perasaannya sama sekali tidak senang. Dia baru saja
kembali dari tugasnya membersihkan kandang babi dan
mengurus makanan mereka. Tubuhnya letih sekali. Dia
berjalan dengan kepala tertunduk. Langkahnya tidak tergesagesa. Yang benar-benar letih sebetulnya bukan tubuhnya tapi
82 hatinya. Begitu letihnya sehingga sulit dilukiskan dengan katakata. Keletihan itu bagaikan racun yang perlahan
menggerogoti tubuhnya. Meskipun pikirannya kacau, tapi dia
tidak lupa jalan menuju kamarnya sendiri. Seperti sudah hafal
di luar kepala dia memutar ke bagian belakang pendopo.
Baru saja kakinya menginjak halaman depan, beberapa orang
sudah menghadang di depannya. Mereka adalah para suheng
yang menggunakan dirinya sebagai sasaran hidup untuk
berlatih senjata rahasia.
Ketika dia menyadari, kepalanya sudah membentur dada
seseorang yang menghadang di tengah. Otomatis langkah
kakinya terhenti. Orang itu segera memijit hidungnya keraskeras. "Bau sekali!" teriaknya.
Wan Fei-yang berdiri tertegun.
"Dari mana saja kau" Mengapa badanmu bau seperti ini?"
tanya yang lainnya.
Wan Fei-yang tidak ingin melayani mereka lama-lama.
"Kandang babi," sahutnya singkat.
"Aku kira kau terjatuh ke dalam comberan," sindir yang lain.
Wan Fei-yang mendengus dingin.
"Bagaimana rasanya kandang babi itu" Nyaman?" tanya yang
lain. 83 Wan Fei-yang malas melayani mereka. Dia memutari tubuh
Anak Berandalan 4 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Pedang Berkarat Pena Beraksara 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama