Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 10
Fu Giok-su ikut-ikutan menarik napas. "Seandainya ada
beberapa saja murid Go-bi-pay yang dapat diandalkan, Tok-ku
Bu-ti juga tidak dapat menghancurkannya dengan demikian
mudah." "Jangan kata Go-bi-pay, bukankah Bu-tong-pay kita juga
774 makin merosot hari demi hari?" Yan Cong-tian menarik napas dalam-dalam sekali lagi. Tiba-tiba dia merasakan sesuatu.
Matanya mengerling tajam lalu melesat menuju pintu.
Fu Giok-su juga mendengar sedikit suara. Tubuhnya
berkelebat, melesat menuju samping pintu kemudian
menariknya dengan cepat. Seseorang rupanya sejak tadi
berdiri di depan pintu tersuruk masuk.
Fu Giok-su mengulurkan telapak tangannya untuk
menghantam. Yan Cong-tian cepat-cepat mencegahnya.
"Orang sendiri!"
Fu Giok-su juga sudah melihat orang itu. Telapak tangannya
terhenti di tengah udara. Orang yang tersuruk jatuh ke dalam
rupanya Lun Wan-ji. Bahunya menyandang sebuah
bungkusan. Wajahnya tampak tersipu-sipu.
"Kau rupanya" Untuk apa kau ke sini?" tanya Fu Giok-su pura-pura marah.
Lun Wan-ji tidak menyahut. Kepalanya tertunduk. Melihat
tampang gadis itu, Yan Cong-tian mengerutkan alisnya ketat.
"Susiok tidak mengizinkan kau ikut serta, tentu ada alasannya.
Kami toh bukan pergi berpesiar, tapi kami sedang menyelidiki
jejak pembunuh. Ilmu silatmu masih rendah. Bukan menolong
akhirnya malah merepotkan. Kalau sampai terjadi apa-apa,
kau suruh aku Ciangbunjin ini bagaimana harus bertanggung
jawab" Kalau kau tidak berpikir demi dirimu sendiri, paling
tidak kau harus berpikir demi Bu-tong-pay. Mengapa adatmu
selalu begitu keras?" Fu Giok-su masih mengomel panjang
lebar. 775 Apa yang dikatakan Yang Cong-tian hari itu kepada Lun Wanji, hampir dikeluarkan semua oleh Fu Giok-su. Bahkan nada
suaranya lebih keras lagi. Kepala Lun Wan-ji tertunduk
semakin rendah.
"Masih tidak cepat pulang?" bentak Fu Giok-su sekali lagi.
Lun Wan-ji menatap Fu Giok-su dengan termangu-mangu.
Kebetulan Fu Giok-su memang sengaja berdiri membelakangi
Yang Cong-tian. Dia mengedipkan matanya kepada Lun Wanji sebagai isyarat. Lun Wan-ji segera mengerti. Dia melirik
sekilas ke arah Yang Cong-tian, kemudian membalikkan tubuh
dan meninggalkan tempat itu.
Yang Cong-tian memang sayang sekali kepada Lun Wan-ji.
Dia tidak sampai hati melihat keadaan gadis itu. Akhirnya dia
membuka suara .... "Wan-ji, kembalilah." Suaranya begitu lembut sampai di luar dugaan Fu Giok-su.
Fu Giok-su pura-pura memandang Yang Cong-tian dengan
tampang penasaran.
"Sudahlah ...." kata Yang Cong-tian tidak sabar.
"Susiok ...." Fu Giok-su seperti masih ingin membantah.
"Kau pergi mencari pelayan, katakan padanya agar
menyiapkan sebuah kamar lagi," katanya datar.
Fu Giok-su tampak masih bimbang.
"Cepat pergi!" bentak Yang Cong-tian sekali lagi.
776 Wajah Lun Wan-ji berseri-seri seketika. Meskipun Fu Giok-su
tidak memperlihatkan apa-apa, tapi dia juga tidak membantah
lagi. Dia mengayunkan langkah lebar keluar dari kamar
tersebut. Yang Cong-tian menggapaikan tangannya. "Wan-ji,
kemarilah," katanya.
Perlahan-tahan Lun Wan-ji menghampiri. Dia berhenti di
depan meja dan tidak berani maju lagi. Yang Cong-tian
memerhatikan dia lekat-lekat. "Apakah kau sudah makan?"
tanyanya lembut.
Lun Wan-ji menganggukkan kepalanya. Yang Cong-tian
menarik napas panjang.
"Maksud hatimu, Suhu mengerti sekali. Tapi kekukuhan Gioksu demi kebaikanmu juga. Kali ini mungkin kami akan
menyerbu ke dalam Siau-yau-kok, bahaya atau selamat masih
sulit diduga." Dia berhenti sejenak. "Pemuda seperti Giok-su ini sungguh sulit ditemukan duanya. Sudah tahu Bu-tong-pay
tidak dapat kehilangan dia, dia malah rela mengorbankan cinta
asmaranya. Seharusnya kau meneladani kebaktiannya."
Mendengar kata-kata itu, hati Lun Wan-ji getir sekali. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Yang Cong-tian kembali
menarik napas panjang. "Suhu bukan sengaja bermaksud
memisahkan kalian. Tapi Giok-su sendiri yang sudah bertekad
demikian. Kau harus memadamkan harapan hatimu dan restui
niat baiknya."
Lun Wan-ji menatap Yang Cong-tian dengan pandangan sayu.
777 "Nasib Bu-lim di masa yang akan datang, juga tergantung di tangan generasi muda seperti Giok-su. Kau harus
mengerahkan segenap tenaga untuk membantunya. Paling
tidak kau bisa mengorbankan cinta di hatimu untuk masa
depan semua orang. Ini adalah perbuatan yang mulia. Jangan
karena luapan emosi sesaat, malah terjadi hal yang
memalukan nama perguruan kita."
Tubuh Lun Wan-ji gemetar mendengar kata-kata itu.
"Semangat pahlawan hanya sebentar saja. Asmara
perempuan hidup sepanjang masa," gumam Yang Cong-tian.
Kemudian dia menghela napas berkali-kali. Setelah itu dia
mengusap kepala Lun Wan-ji dengan penuh kasih sayang.
"Kau sudah tahu apa yang harus kau perbuat, bukan?"
Air mata Lun Wan-ji semakin deras. Dia menundukkan
kepalanya dengan hati galau.
***** Siang pada tujuh belas hari kemudian, Yang Cong-tian, Fu
Giok-su dan Lun Wan-ji menunggang kuda. Akhirnya mereka
sampai juga di desa Ci-liong. Saat ini mereka memasuki Kianwei-piaukiok. Sepanjang perjalanan, Yang Cong-tian sangat
terharu. Pada waktu pembukaan perusahaan itu dulu, dia juga
diundang dan hadir. Siapa yang membuat papan mereka
Kian-wei-piaukiok yang tergantung di atas pintu, masih
berkesan dalam ingatannya.
778 Jilid 17 Tata ruangan dan daerah sekitar tidak tampak banyak
perubahan, hanya orang-orangnya saja yang dia tidak merasa
kenal satu pun. Terhadap Congpiauthau (kepala pengawal)
Suma Tian, dia pun merasa asing. Ketika pertama kali melihat
Suma Tian, dia masih seorang bocah berusia tujuh-delapan
tahun. Tapi dia mempunyai perasaan bahwa Suma Tian yang
ada di hadapannya rada tua sedikit dari usia yang
sebenarnya. Yang paling dikenalinya justru golok bergagang emas yang
tergenggam di tangan Suma Tian. "Golok ini merupakan
senjata yang mengangkat nama besar ayahmu di zaman
dulu." Ketika mengucapkan kata-kata ini, Yan Cong-tian sudah
duduk di tengah ruangan utama. Kian-wei-piaukiok. Suaranya
sampai serak karena terkenang sahabat baiknya yang sudah
tiada. "Kau juga menggunakan golok ini sebagai senjata?"
Suma Tian tertawa lebar.
"Seluruh keluarga kami menggunakan golok sejenis ini
sebagai senjata," sahutnya.
"Oh?" Yan Cong-tian tersenyum. "Samsiokmu tidak
menggunakan Swipoa besi lagi sebagai senjata?"
Suma Tian tertegun. "Akhir-akhir ini ilmu goloknya juga sudah
dilatih dengan hebat," sahutnya cepat.
"Mengagumkan!" Yan Cong-tian menghela napas. "Aku ingat
tempo dulu dia pernah mengatakan bahwa Swipoa besinya
merupakan senjata yang paling ideal untuk melawan golok
779 emas ayahmu. Dia tidak bersedia melatih ilmu golok. Urusan
ini malah menjadi awal pertengkaran antara mereka. Tidak
disangka ketika usianya sudah lanjut malah dia baru berniat
melatih ilmu golok. Hati manusia memang tidak disangkasangka, kadang-kadang perubahan seseorang sering
mengejutkan."
Suma Tian tertawa lebar sambil mengangkat cawan araknya
dan mengajak Yan Cong-tian minum. Belum lagi Yan Congtian menghabiskan araknya sampai kering, dari luar terdengar
teriakan lantang.... "Kim-to Suma, di mana kau bersembunyi?"
Yan Cong-tian segera meletakkan cawan araknya di atas
meja. Keningnya berkerut. Wajah Suma Tian berubah hebat.
Tidak urung wajah Fu Giok-su juga ikut berubah. Seseorang
menyibak kerumunan anak buah Piaukiok dan menerjang
masuk. Orang itu sudah tua sekali, tapi sikapnya masih
berangasan, suaranya juga besar. Matanya mendelik ke arah
setiap orang yang ada dalam ruangan.
"Suma Tian, keluar kau!" teriaknya sekali lagi.
Seseorang Piausu maju mengadangnya. "Lopek ini ...
Congpiauthau kami sedang ada urusan penting. Lebih baik
Lopek pulang dulu, besok ...."
"Besok" Ada urusan apa yang lebih penting daripada barang
titipanku?" Hawa kemarahan orang tua itu seakan hampir
meledak. "Bagaimana dengan anakku?" teriaknya semakin
keras. "Sebetulnya bagaimana duduk persoalan Lopek ini?" tanya
Suma Tian sambil berjalan ke depan.
780 "Tidak usah berpura-pura lagi. Aku datang untuk menagih
barang titipan dan menagih nyawa!"
"Eh!" Suma Tian tertegun.
"Suruh Suma Tian keluar!" Kata-kata orang tua ini membuat
para hadirin tercengang. Mata Yan Cong-tian menyorot tajam.
Dia mendelik ke arah Suma Tian.
"Suma Tian sekarang sudah berdiri di hadapanmu," sahut
Suma Tian cepat.
Mata orang tua itu membelalak. "Kau adalah Suma Tian?" Dia
menggelengkan kepalanya. "Kau bukan Suma Tian!"
"Apa maksud ucapanmu itu?" tanya Suma Tian sambil
menenangkan hatinya.
Mata orang tua itu mengedar ke sekeliling. "Hari itu ketika aku datang menitipkan barang untuk dikawal, Suma Tian yang
kutemui jauh lebih muda. Di pipi kanannya ada guratan luka!"
Suma Tian tertegun. Kening Yan Cong-tian berkerut ketat. Lun
Wan-ji menatap dengan penuh kecurigaan. Fu Giok-su malah
tegang sekali. "Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bergurau!" wajah
Suma Tian berubah kelam. "Lopek, aku belum pernah
bertemu muka denganmu. Aku juga tidak pernah menerima
titipan barang darimu. Coba bayangkan, aku Suma Tian
mengurus Piaukiok ini kurang lebih sudah tujuh tahunan.
Dalam jarak beberapa ratus li, siapa yang tidak kenal aku."
781 "Aku justru tidak mengenalmu!"
"Masih ingatkah kapan Lopek datang ke Piaukiok ini?"
"Tanggal lima belas bulan kemarin!" Ucapan orang itu sangat
yakin. Tidak tampak seperti sedang berdusta.
Suma Tian juga tidak mirip sedang berdusta. Dia tertawa
dingin. "Kalau begitu kau salah mengenali orang. Tanggal lima belas
bulan lalu aku sedang berada di Say Pak mengawal barang
titipan Lie-wanggwe." Tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya
menatap tiga orang Piausu yang berdiri di sudut ruangan.
"Ketika itu hanya kalian tiga kakak beradik yang ada di sini.
Apakah kalian yang bermain setan di belakangku?"
Tiga orang Piausu itu saling melirik sekilas. Ketiganya tampak
tertegun. Kemudian salah satu yang paling tua segera maju ke
depan dan menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, "Budak
memang pantas dihukum ...."
"Tio Liong, jelaskan semuanya!" bentak Suma Tian.
"Budak menyuruh orang menyamar sebagai Congpiauthau."
Kepala Tio Liong tertunduk dalam-dalam.
"Nyalimu besar sekali! Untuk apa kau melakukan semua ini?"
"Pada waktu itu Piauthau dari Peng-a-piaukiok yang berasal
dari desa Tung Pen datang bertandang. Dia adalah To-henhouw (harimau yang mempunyai cacat bekas tebasan golok).
782 Melihat kedatangan Lopek ini, dia mengajak kami berunding
dan menyamar sebagai Congpiauthau. Pada saat itu, hati
kami dipenuhi keserakahan."
"To-hen-houw?" Suma Tian mendelikkan matanya lebar-lebar.
"Seret dia kemari!"
"Dia sudah mati!" sahut Tio Liong gugup. "Ketika gerobak kita
melewati Sat-houw-ko, mereka diadang oleh tentara
kerajaan."
"To-hen-houw tidak mengukur kekuatan sendiri. Dengan
mengandalkan ilmu silatnya yang begitu rendah, mana bisa
dia melewati Sat-houw-ko?" sindir Suma Tian.
"Budak tahu salah!" kata Tio Liong sambil membenturkan
kepalanya di atas tanah.
Orang tua itu tampaknya tidak sabar lagi melihat keadaan itu.
"Siapa yang salah di antara kalian, aku tidak mau tahu.
Pokoknya ganti kerugian untukku."
"Lopek ...." Wajah Suma Tian serius sekali. "Jangan khawatir.
Kami pasti akan mengganti kerugianmu. Berapa jumlah nilai
karang titipanmu itu?"
"Jumlah seluruhnya lima ribu tiga ratus tahil uang perak!"
Suma Tian merenung sejenak. Dia mengeluarkan selembar
Ginbio (semacam cek) dan meliriknya sekilas.
"Ginbio ini bernilai enam ribu tahil. Masih ada kelebihan
783 sebanyak tujuh ratus tahil. Anggap saja sebagai pengganti
kerugian dari kami."
Orang tua itu menggelengkan kepalanya. "Aku hanya ingin
lima ribu tiga ratus tahil saja!"
Suma Tian menyodorkan Ginbio tersebut ke dalam
genggaman tangan orang tua itu. "Lopek, kesalahan ada di
pihak kami. Kalau kau tidak bersedia menerimanya, kami tentu
merasa tidak enak hati."
Akhirnya orang tua itu menganggukkan kepalanya.
"Dengan melihat ketulusan hatimu, Lohu akan menerima uang
ini. Tapi nyawa anakku ikut melayang karena ikut dalam
pengawalan tersebut. Hal ini tidak bisa disudahi begitu saja."
Suma Tian tertegun.
"Lopek, To-hen-houw sudah mengganti selembar nyawanya,
belum lagi para Piausu lain yang ikut berkorban ...."
"Aku tidak peduli. Kau sendiri yang mengatakan bahwa
kesalahan ada di pihakmu. Seandainya kau tidak memberi
keadilan, kita sama-sama menghadap jaksa untuk
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyelesaikan masalah ini."
Para hadirin tertegun seketika. Suma Tian menarik napas
panjang. Tiba-tiba tangannya terulur dan menghantam ubunubun kepala Tio Liong. Laki-laki itu sama sekali tidak
menyangka, tentu saja dia juga tidak sempat menghindar.
Dalam sekejap mata dia roboh dengan kepala remuk.
Nyawanya juga melayang seketika.
784 Yan Cong-tian langsung berdiri. Lun Wan-ji dan Fu Giok-su
berubah hebat. Dua orang Piausu yang tadi berdiri berjejer
dengan Tio Liong terkesiap. Mereka segera menghampiri
tubuh saudaranya itu dan memapahnya.
Orang tua itu juga terkejut. Kakinya sampai mundur dua
langkah. Suma Tian segera berjongkok di depan mayat Tio
Liong. "Hengte, jangan kau kira aku berhati keji. Hubungan kita
selama ini sangat erat, bagai jari tangan layaknya. Sebetulnya
aku tidak tega turun tangan seperti ini, tapi kau benar-benar
semakin berubah. Tempo hari ketika mengawal barang ke Cisi-ling, kau mencuri uang titipan sebesar dua ratus tahil. Aku
sudah memaafkanmu. Sekali lagi ketika mengawal barang ke
Pek-hua-lin, tiga peti barang titipan hilang di bawah
kawalanmu. Aku tahu semua itu hasil tanganmu sendiri.
Namun aku tidak mengatakan apa-apa. Aku masih berusaha
memaafkanmu dengan harapan kau akan bertobat. Tapi kali
ini .... Aih ... dosamu sudah terlalu besar!" Air matanya
mengucur dengan deras. Sesaat kemudian dia
mendongakkan wajahnya menatap orang tua itu. "Lopek,
apakah kau sudah merasa puas sekarang?"
Orang tua itu tersurut mundur beberapa langkah. Wajahnya
pucat pasi. "Baik ... baik. Anggap saja aku yang sial!" Selesai berkata, orang tua itu cepat-cepat meninggalkan tempat
tersebut. "Susiok, Tecu tidak becus mengurus bawahan. Hanya menjadi
bahan tawaan kau orang tua saja."
785 Yan Cong-tian tidak menyahut.
"Dalam hal ini, kau juga tidak dapat disalahkan sepenuhnya."
Malah Fu Giok-su yang menjawab.
Suma Tian membungkukkan badannya dalam-dalam. "Samwi
harap masuk dulu ke ruangan dalam. Tecu akan
membersihkan tempat ini. Nanti baru masuk dan menemani
Samwi lagi."
"Congpiauthau, silakan ...." sahut Fu Giok-su cepat.
"Terima kasih." Suma Tian menepuk tangannya dua kali.
"Kalian antarkan tamu ke ruangan dalam!" perintahnya.
Dua orang Piausu segera maju ke depan.
"Silakan!" kata mereka serentak.
Yan Cong-tian menggelengkan kepalanya sekali. Dia
melangkah ke dalam. Lun Wan-ji dan Fu Giok-su tentu saja
mengiringi dari belakang.
Suma Tian memandang mereka masuk ke ruangan dalam.
Setelah itu dia mengalihkan pandangannya pada mayat Tio
Liong yang masih dipeluk oleh dua orang Piausu lainnya.
Kedua orang itu mendelik ke arah Suma Tian. Mata mereka
merah dan mengembeng air mata.
Mereka telah mengangkat saudara dengan Tio Liong. Yang
satu bernama Li Bu. Sedangkan yang satunya lagi bernama
Kiang Cin. Mereka telah mengucapkan sumpah sehidup
semati. Hubungan mereka ibarat saudara kandung.
786 Suma Tian melirik mereka sekilas. "Tidak usah bersedih lagi.
Cepat kejar orang tua itu!" katanya dengan suara berbisik.
Li Bu dan Kiang Cin menganggukkan kepala mereka dengan
terpaksa. Mayat Tio Liong diletakkan kembali di atas tanah.
"Jangan mengambil tindakan apa-apa. Yakinkan kalau dia
benar-benar sudah meninggalkan kota ini."
Li Bu dan Kiang Cin menyahut datar. Dengan tidak
bersemangat mereka membalikkan tubuh dan meninggalkan
tempat itu. ***** Begitu masuk ke dalam ruangan dan terlepas dari kedua
Piausu tadi, wajah Yan Cong-tian berubah semakin kelam.
"Membunuh orang seenaknya! Apa pantas disebut sebagai
murid Bu-tong" Apakah ia memang Suma Tian yang pernah
kukenal?" "Aku pernah mendengar bahwa Suma Tian Suheng seorang
manusia yang baik budi dan pekertinya. Seharusnya dia tidak
begitu keji dan membunuh sesama saudara Piausu dengan
cara demikian," tukas Lun Wan-ji.
"Kalau dipikir-pikir, memang mencurigakan. Seluruh keluarga
787 Kim-to Suma selalu menggunakan tangan kiri. Tapi dia
memegang sumpit dengan tangan kanan. Lagi pula
Samsioknya yang selalu menggunakan swipoa besi sebagai
senjata tidak mungkin berganti haluan dan mempelajari ilmu
golok. Mungkinkah dia sama sekali tidak tahu adanya Samsiok
yang satu itu" Dan mungkinkah jawabannya hanya asal
menerka saja?"
Fu Giok-su yang mendengarkan dari samping segera
merasakan ketegangan. "Dia memang Suma Tian." Akhirnya
dia memberanikan diri berkata.
"Oh?" Yan Cong-tian terpana.
"Sebelum masuk perguruan Bu-tong, aku sudah pernah
bertemu muka dengannya. Pada saat itu sifatnya sudah
berangasan. Dia paling benci ketidakadilan dan perbuatan
yang semena-mena," kata Fu Giok-su menjelaskan.
Tanpa sadar Yan Cong-tian menganggukkan kepalanya
berkali-kali. "Murid Bu-tong selamanya memang paling benci
perbuatan yang semena-mena."
"Mengenai menggunakan tangan kanan ketika memegang
sumpit, mungkin dia takut dianggap kurang sopan dalam
menjamu tamu," kata Fu Giok-su selanjutnya.
"Memang beralasan," Yan Cong-tian merenung sesaat. "Tapi
perbuatannya itu masih rada keterlaluan. Kau sebagai
Ciangbunjin Bu-tong-pay harus menasihatinya baik-baik."
"Saat ini kita masih memerlukan tenaga orang banyak," Fu
Giok-su merandek sejenak. "Nanti kalau kita sudah berhasil
788 membereskan Wan Fei-yang, Tecu akan menghukumnya
sesuai peraturan kita."
Yan Cong-tian menganggukkan kepalanya dengan wajah
menyiratkan kepuasan. Tiba-tiba dia mengalihkan pokok
pembicaraan, "Kapan kita mulai bergerak?"
"Lebih baik malam hari," Giok-su merapikan pakaiannya yang
kusut. "Kita bisa menggunakan waktu ini untuk beristirahat."
Sekali lagi Yan Cong-tian menganggukkan kepalanya. "Jalan
pikiranmu memang selalu tepat," katanya.
Sampai saat itu, Fu Giok-su baru bisa bernapas lega.
***** Suma Tian sejak tadi menunggu di luar ruangan. Mendengar
kata-kata Fu Giok-su, akhirnya dia baru bisa mengusap
keringat yang membasahi keningnya. Suma Tian yang satu ini
sudah dapat dipastikan palsu. Tetapi dia juga she Suma.
Hanya nama sebetulnya ialah Suma Hung. Dan sama sekali
tidak ada kaitannya dengan Kim-to Suma yang dikenal Yan
Cong-tian. ***** 789 Satu kentungan telah berlalu. Li Bu dan Kiang Cin sudah
kembali dan masuk ke dalam kamar mereka. Kiang Cin agak
khawatir. Dia menutupkan pintu kamar itu rapat-rapat.
"Kita disuruh jangan mengambil tindakan apa-apa. Tapi kau
malah menganjurkan agar kita membereskan tua bangka itu.
Coba kau kira-kira, apakah Suma Hung akan mengetahui
kejadian ini?" tanyanya cemas.
"Dia yang menyebabkan kematian Toako kita. Mengapa kita
tidak boleh membunuhnya" Apalagi dia membawa Ginbio
sebesar enam ribu tahil," sahut Li Bu sambil tertawa dingin.
"Benar juga. Kalau dia tidak minta penggantian nyawa
anaknya, Toako juga tidak akan mati," kata Kiang Cin.
"Aku lihat Suma Hung juga menggunakan kesempatan ini
untuk melampiaskan kebencian dalam hatinya. Ingatkah kau
ketika Toako melaporkan Su-tangke bahwa dia telah meracuni
salah seorang anak murid Siau-yau-kok" Kali itu dia mendapat
hukuman yang berat. Oleh sebab itu dia meminjam golok
membunuh orang."
Kiang Cin menganggukkan kepalanya berulang kali. Belum
lagi dia berkata apa-apa, dari luar pintu terdengar suara
langkah kaki seseorang. Pembicaraan mereka pun terhenti
untuk sementara.
Pintu didorong dari luar. Suma Hung masuk dengan langkah
lebar. Dia memerhatikan kedua orang itu sekilas. "Apakah
kalian sudah mengikuti tua bangka itu" Sampai di mana?"
790 "Sampai lima li di luar kota Say Pak," sahut Li Bu.
Mata Suma Hung mengedar. Dia menatap ke bawah. Tiba-tiba
tangannya terulur dan mencengkeram pergelangan tangan Li
Bu. Jari tengah Li Bu memakai sebuah cincin giok yang
warnanya sudah tua sekali. Wajah Li Bu segera berubah.
Demikian pula wajah Kiang Cin.
"Kalian membunuhnya?" hardik Suma Hung.
"Tidak ...." nada suara Li Bu yakin sekali.
"Lalu dari mana datangnya cincin giok ini?"
"Beli di toko," suara Li Bu sudah mula gugup.
"Masih menyangkal?" urat hijau bertonjolan di kening Suma
Hung. "Aku ingat dengan jelas, cincin batu giok ini tadi dipakai oleh orang tua itu."
"Kami tidak membunuhnya," sahut Li Bu tetap tidak mau
mengaku. Suma Hung melepaskan cengkeramannya. Dia tertawa dingin.
"Urusan ini, sekembalinya kita ke lembah biar Cujin yang
putuskan. Kalau kalian mau membantah, membantahlah pada
waktu itu." Setelah itu dia mengibaskan tangannya dan
meninggalkan kamar tersebut.
Li Bu dan Kiang Cin memandangi kepergian Suma Hung.
Wajah mereka berubah pucat.
791 "Suma Hung memang merasa sentimen kepada kita.
Sekembalinya kita ke Siau-yau-kok, dia pasti akan membuat
kita mati kutu di depan Cujin. Aku tidak berani membayangkan
hukuman yang akan diberikan kepada kita pada saat itu," kata
Li Bu dengan kebencian yang meluap.
"Kalau menurutmu, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanya Kiang Cin yang kebanyakan menurut saja.
"Daerah sekitar ini sampai sejauh seratus li, masih ada saja
orang-orang Siau-yau-kok. Apabila kita melarikan diri, tentu
akan tertangkap kembali dalam waktu yang singkat," Li Bu
mengertakkan giginya. "Satu-satunya jalan keluar bagi kita
hanyalah memihak kepada musuh ...."
"Musuh" Siapa?"
"Yan Cong-tian!" Li Bu mengepalkan tinjunya. "Biar Yan Congtian membuka kedok orang itu dan membunuhnya. Dengan
demikian tidak akan ada orang yang mengadukan kita lagi.
Kita bisa bebas kembali ke Siau-yau-kok dan juga sekaligus
sudah membalaskan kematian Toako kita ...."
Kiang Cin tersadar mendengar kata-kata Li Bu. Matanya
bersinar terang.
***** Siasat Li Bu dan Kiang Cin memang bagus sekali. Sayangnya
792 Fu Giok-su tetap berdiam di kamar Yan Cong-tian. Dia
melakukan semua ini untuk menghindari kecurigaan Yan
Cong-tian dan agar Yan Cong-tian tidak keluar dari kamar
seorang diri lalu bertanya macam-macam pada orang-orang
lainnya. Perbuatannya ini malah menyulitkan Li Bu dan Kiang Cin.
Mereka menunggu selama beberapa saat, tapi kesempatan
tidak pernah ada. Akhirnya mereka teringat akan Lun Wan-ji.
Selembar kertas kecil yang di kat dengan batu dilempar ke
dalam kamar gadis itu. Saat itu, waktu sudah memasuki
kentungan pertama. Dalam waktu yang bersamaan, Fu Gioksu melangkah keluar dari kamar Yan Cong-tian. Mengapa
tiba-tiba dia meninggalkan kamar itu" Karena dia mendengar
isyarat Suma Hung yang berupa kicauan burung sebanyak
dua kali. Dia segera menyadari ada sesuatu yang telah terjadi.
Fu Giok-su mendengarkan dengan baik-baik ketika Suma
Hung melaporkan bahwa Li Bu dan Kiang Cin telah
membunuh orang tua yang datang mengacau tadi. Dia juga
diberi tahu bahwa tindak tanduk kedua orang itu agak
mencurigakan. Fu Giok-su segera menduga akan terjadi
perubahan pada rencananya. Dia langsung memutuskan
bahwa kedua orang itu tidak boleh dibiarkan hidup lebih lama.
Jangan sampai mereka keburu mengambil tindakan yang
merugikan. Oleh karena itu Suma Hung diperintahkan untuk
membunuh kedua orang itu secepatnya. Dia sendiri harus
segera kembali ke kamar Yan Cong-tian. Jangan sampai Li Bu
serta Kiang Cin menggunakan kesempatan ketika dia tidak
ada, menceritakan siasat mereka kepada Supeknya itu.
Setelah kembali ke kamar, dia memerhatikan dengan
saksama tingkah laku Yan Cong-tian. Tidak ada hal yang
793 mencurigakan. Hatinya menjadi tenang kembali. Tapi untuk
menjaga segala kemungkinan. Dia harus mengambil tindakan
yang positif, yaitu mengajak Yan Cong-tian bergerak
secepatnya. Kalau ditilik dari bakatnya dalam berbicara, mana
mungkin Yan Cong-tian tidak sampai terbujuk"
***** Setelah melemparkan kertas surat itu ke dalam kamar Lun
Wan-ji, hati Kiang Cin dan Li Bu menjadi agak tenang. Siapa
sangka baru saja mereka mendorong pintu kamar, terlihat
Suma Hung sudah menunggu di dalam.
Mereka terkejut sekali, tapi agak lega juga ketika melihat
Suma Hung tersenyum. Baru saja mereka melangkah
mendekati, tiba-tiba tangan Suma Hung sudah terulur. Hanya
dengan satu gerakan saja, urat tenggorokan Kiang Cin sudah
tercengkeram putus. Tangan dan tubuhnya berkelebat, Li Bu
bermaksud berteriak sekencang-kencangnya, namun mulut
belum sempat membuka, telapak Suma Hung kembali
bergerak menghantam dadanya.
"Ke mana kalian tadi?" bentak Suma Hung.
Sebetulnya dia tidak perlu mengajukan pertanyaan itu. Isi
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perut Li Bu sudah terhantam hancur. Untuk membuka mulut
saja sudah tidak bisa, apalagi bersuara. Dengan susah payah
dia berusaha mengangkat kakinya dengan maksud
menendang selangkangan Suma Hung. Tapi tenaganya sudah
794 habis. Dia jatuh terkulai. Sedangkan untuk berjaga-jaga Suma
Hung tidak kepalang tanggung dalam turun tangan.
Tangannya kembali mencekik leher Li Bu sampai terdengar
suara gemertukan tulang patah.
Sekejap kemudian dia mengempas tubuh Li Bu ke atas tanah.
Bibir orang itu menyunggingkan senyuman tipis. Melihat
senyuman itu, tanpa terasa tubuh Suma Hung menggigil.
***** "Kim-to Suma yang Anda lihat palsu. Yang aslinya sudah
terbunuh dan dikuburkan di belakang gunung. Hitung pohon
Pek Hua-su yang ketiga. Di bawahnya terkubur mayat Suma
Tian yang asli."
Dalam kertas kecil itu hanya ada beberapa baris tulisan. Tapi
itu sudah cukup bagi Lun Wan-ji untuk membuktikan
kecurigaannya. Sekarang dia justru berada di bawah pohon
yang dimaksudkan. Tanah yang menggunduk di sana sudah
digalinya. Terlihat sesosok mayat yang mulai membusuk,
tanpa peti mati ataupun kain untuk menutupinya. Pada bagian
kanan pipinya terlihat bekas guratan luka. Persis seperti yang
dikatakan oleh orang tua itu.
Inilah Suma Tian yang asli!
Lun Wan-ji menatap wajah itu lekat-lekat. Tanpa terasa,
tubuhnya bergetar. Di sampingnya dinyalakan sebatang lilin.
795 Apinya bergoyang-goyang, menambah keseraman yang
terlihat pada wajah Suma Tian yang sudah menjadi mayat.
Namun yang membuat Lun Wan-ji takut bukan wajah mayat
ini, tapi seraut wajah lain yang tampan dan memesona. Seraut
wajah yang berhubungan erat dengannya. Fu Giok-su!
Ternyata Kim-to Suma yang ini palsu. Namun Fu Giok-su
kukuh mengatakan bahwa sebelum naik ke Bu-tong-san dia
sudah pernah berjumpa dengan Suma Tian yang ini. Apa arti
ucapannya itu"
Tiba-tiba serangkum rasa nyeri menusuk di hati Lun Wan-ji.
Ketika menerima surat tersebut tadi, dia bermaksud mencari
Fu Giok-su merundingkan hal ini. Toh dia sudah menjadi milik
Fu Giok-su. Tentu dia lebih memercayai anak muda daripada
siapa pun. Kemudian ia melangkah keluar dari kamarnya
untuk mencari Fu Giok-su. Tiba-tiba dia melihat anak muda itu
sedang berkasak-kusuk dengan Suma Tian palsu. Kecurigaan
kembali menyelinap dalam hatinya. Gerak-gerik Fu Giok-su
tidak seperti biasanya.
Setelah mempertimbangkan berkali-kali, akhirnya dia
mengambil keputusan untuk menyelidiki dulu kebenaran katakata yang tertulis dalam surat. Sedangkan siapa yang
melemparkan surat itu ke kamarnya, dia sama sekali tidak
tahu. Sekarang dia sudah tahu bahwa apa yang tertulis dalam
surat itu memang kenyataan.
Perasaannya saat itu sungguh sulit diuraikan dengan katakata. Dia tertegun beberapa saat. Kemudian rasa takut
menyelinap dalam dirinya. Tubuhnya bergetar bagai lilin putih
yang melambai-lambai di sampingnya. Dengan sepasang
tangannya yang gemetar, dia menguruk kembali tanah di
796 hadapannya dengan gagang pedang. Setelah selesai, dia
berdiri dan berjalan kembali dari arah datangnya semula. Bukit
yang naik-turun ibarat perasaan hatinya yang tidak menentu.
Tampangnya seperti orang yang terserang penyakit ayan dan
menjadi idiot mendadak. Pada saat itu, otaknya bagai baru
dicuci dan kosong melompong.
***** Sekembalinya ke kamar, Lun Wan-ji membersihkan tangannya
yang kotor, banyak tanah yang melekat. Dia duduk termenung
dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia juga tidak
tahu bagaimana perasaan hatinya sekarang. Sedihkah"
Kecewakah" Dia seperti sedang bermimpi.
Tepat pada saat itu, Fu Giok-su mendorong pintu kamar dan
melangkah ke dalam "Wan-ji ...." panggil Fu Giok-su dengan suara lirih. Nadanya masih begitu lembut dan penuh
perhatian. Wajahnya masih demikian tampan serta
meyakinkan. Lun Wan-ji meliriknya sekilas. Diam-diam dia merasa hatinya
bergetar. Kata-katanya sudah disiapkan di ujung lidah, tapi
akhirnya dia tidak sanggup membuka suara. Fu Giok-su tidak
curiga sama sekali, dia mengira gadis itu masih sedih
memikirkan kehamilannya. Dia mengulurkan tangannya dan
memeluk bahu Lun Wan-ji lembut. "Wajahmu tampak kurang
sehat. Mengapa tidak beristirahat saja?" katanya.
797 Air mata Lun Wan-ji mengalir dengan deras, padahal dia
sudah menguatkan diri untuk bertahan sebisanya. Fu Giok-su
mengusap air mata di pipinya.
"Apakah kau khawatir akan terjadi sesuatu yang
membahayakan diriku?"
"Apakah kau akan menemui bahaya?" Lun Wan-ji balik
bertanya dengan suara gemetar.
"Mungkin saja," Fu Giok-su tidak merasa curiga. "Menurut cerita orang-orang, barang siapa yang masuk ke dalam Siau-yau-kok, di antara sepuluh orang, sembilan yang mati dan
hanya satu yang mempunyai kemungkinan hidup."
"Kalau begitu, Suhu ...." tanpa sadar Lu Wan-ji mengucapkan kata itu.
"Wan-ji, apabila aku dan Suhumu sudah berangkat, kau
berdiam saja di sini baik-baik dan tunggu sampai kami
kembali. Aku sudah berpesan kepada Kim-to Suma untuk
menjagamu selama kami tidak ada," kata Fu Giok-su.
"Kim-to Suma?"
"Hati orang ini sebetulnya baik. Aku merasa cocok juga
bergaul dengannya."
Lun Wan-ji melirik sekilas kepada Fu Giok-su. Anak muda itu
tidak menyadarinya.
"Kau sudah mengandung. Harus baik-baik menjaga diri," kata Fu Giok-su selanjutnya.
798 Lun Wan-ji bagai disambar petir. "Aku akan berhati-hati."
Kemudian dia menarik napas panjang. "Kelak nasib anak ini
tidak berbeda denganku. Apakah dia terhitung orang Bu-tong
atau terhitung keluarga Fu kalian."
Fu Giok-su sama sekali tidak menyadari ada maksud lain
dalam ucapan gadis itu. Dia malah tertawa lebar. "Terhitung golongan apa juga sama saja. Pokoknya kau harus berjanji
padaku. Meski apa pun yang terjadi, kau harus mengingat
nyawa anak yang sedang tumbuh dalam rahimmu ini."
Lun Wan-ji menganggukkan kepalanya. "Hari sudah larut.
Lebih baik kau kembali ke kamarmu," sahutnya.
"Wan-ji, penderitaanmu ...." kembali Fu Giok-su menarik
napas panjang. Kepala Lun Wan-ji tertunduk semakin dalam. "Kata-kata itu, lebih baik tidak usah diulangi lagi!" Perlahan-lahan dia
membalikkan tubuhnya menghadap ke arah lain.
Fu Giok-su memandangnya lekat-lekat. Hatinya terharu sekali.
"Jaga dirimu baik-baik," katanya kemudian seraya
mengundurkan diri dari kamar itu.
Lun Wan-ji mendengar suara pintu dirapatkan di belakangnya.
Dia membalikkan tubuh dan berdiri. Baru berjalan satu
langkah, dia menghentikan kakinya. Air matanya tidak dapat
dibendung lagi. Ratapannya begitu menyayat. Tapi dia
berusaha jangan sampai bersuara keras. Pakaiannya sudah
basah kuyup. Kenangan pertemuan antara dirinya dengan Fu
Giok-su melintas di depan mata.
799 Cahaya lilin remang-remang. Pandangan mata Lun Wan-ji
semakin sayu. Wajah Fu Giok-su yang terlintas di benaknya
tiba-tiba berubah kelam. Lun Wan-ji segera tersadar. Suara
kentungan berkumandang dari luar gedung itu. Kentungan
kedua. Semakin didengarkan, Lun Wan-ji semakin panik. Dia
bingung mengambil keputusan. Terbayang olehnya kasih
sayang Suhunya selama ini. Teringat olehnya nasihat dan
bujukan Yan Cong-tian kalau dia berbuat kesalahan ataupun
marah. Air matanya berlinang semakin deras. Akhirnya dia
mengertakkan giginya erat-erat dan menghambur keluar dari
kamar. Dia berlari ke kamar Yan Cong-tian.
***** Lentera belum padam, pintu kamar setengah terkatup, tapi
manusianya sudah tidak ada di dalam. Lun Wan-ji menerjang
ke dalam kamar. Matanya memandang ke sekeliling. Dia
melihat di atas meja terdapat sebuah cangkir yang isinya
tinggal setengah. Tangannya menggenggam cangkir tersebut.
Rasa putus asa tersirat di wajahnya.
Air teh sudah dingin seperti air es. Yan Cong-tian pasti sudah
cukup lama meninggalkan kamar itu. Mungkin saat ini dia
sudah terperangkap dalam bahaya.
Lun Wan-ji memandangi cangkir itu dengan termangu-mangu.
Masih adakah kemungkinan bagi Suhunya untuk meloloskan
diri dari maut" Kesempatannya mungkin hanya satu di antara
800 seribu. ***** Malam sudah larut. Gua di gunung itu sama sekali tidak gelap.
Dalam jarak beberapa depa, pasti ada sebuah lampu batu
yang aneh. Lampu batu itu berpijar-pijar. Entah bahan apa
yang membuatnya menyala. Warnanya kehijauan. Membuat
perasaan semakin tegang.
Fu Giok-su berjalan di muka. Langkahnya tidak cepat. Dia
bahkan merambat perlahan bagai orang yang pertama kali
masuk ke dalam gua itu.
"Suma Tian justru melihat Wan Fei-yang dan makhluk tua itu masuk ke dalam gua ini. Tidak tersangka di dalam gua masih
ada gua lainnya. Juga ada penerangan. Rasanya pencarian
kita kali ini tidak akan salah lagi," suaranya tidak keras, tapi masih juga bergema di dalam gua.
Yan Cong-tian cepat-cepat memperingatinya, "Jangan
bersuara! Mungkin saja ini jalan masuk ke Siau-yau-kok!"
Diam-diam Fu Giok-su menertawakan dalam hati. Dia
menutup mulutnya rapat-rapat. Gua itu dalam sekali. Setelah
melewati beberapa kelokan akhirnya di hadapan mereka
terlihat sebuah pintu masuk. Di situ pula batas perjalanan
mereka. 801 Fu Giok-su berhenti di depan pintu batu. Dia pura-pura
mengulurkan tangannya dan mencoba mendorong. Tahu-tahu
pintu batu itu terangkat ke atas. Suara gesekan batu
memekakkan telinga. Yan Cong-tian mengira terbukanya pintu
hanya kebetulan saja.
"Aneh!" kata Fu Giok-su tetap memerankan sandiwaranya.
"Mungkin kebetulan tanganmu menyentuh alat pembuka pintu
itu," sahut Yan Cong-tian, setelah tertegun beberapa saat.
Fu Giok-su melongokkan kepalanya dalam. Dia tidak masuk.
"Suara apa itu?" tanya Yan Cong-tian.
Dia bertanya dengan suara keras. Tapi tetap tidak dapat
menutupi suara gemuruh yang terpancar dari dalam gua di
balik pintu. Fu Giok-su menggelengkan kepalanya.
"Mari kita lihat," kata Yan Cong-tian.
Dia mempercepat langkahnya mendahului. Melihat itu, Fu
Giok-su sudah merasa gembira dalam hatinya.
"Susiok, hati-hati!" mulutnya pura-pura mengingatkan.
"Kau sendiri juga harus berhati-hati!" sahut Yan Cong-tian. Dia memasang sepasang telapak tangannya di depan dada untuk
berjaga-jaga. Setindak demi setindak dia melangkah ke
dalam. Fu Giok-su mengikuti dari belakang. Seandainya saat itu dia
bermaksud membokong Supeknya itu, tentu bisa saja. Tapi
802 dia tidak mengambil tindakan apa-apa. Dia sama sekali tidak
tahu bagaimana hasil latihan Tian-can-kiat Yan Cong-tian
selama berpuluh tahun ini. Bagaimana kalau sekali
serangannya gagal, dan Yan Cong-tian masih mempunyai
kekuatan untuk melawan"
Selamanya dia tidak pernah melakukan hal yang tidak
diyakininya seratus persen. Ia juga bukan jenis manusia yang
terburu nafsu. Apalagi sekarang Yan Cong-tian sudah berhasil
dipancingnya ke sarang Siau-yau-kok. Di dalam sana sudah
menunggu Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek. Apabila mereka
tidak berhasil merobohkan Yan Cong-tian, masih ada
kakeknya yang akan turun tangan. Apabila masih gagal juga,
masih belum terlambat baginya untuk membokong Yan Congtian. Tentu saja Yan Cong-tian tidak tahu apa yang sudah
direncanakan oleh Fu Giok-su. Dia juga tidak pernah
mencurigai anak muda itu. Itulah sebabnya dia bisa terpancing
ke dalam sarang harimau ini.
Hati Yan Cong-tian tegang sekali. Dia juga semakin
bersemangat. Dapat menemukan sarang gerombolan Thian-ti
sudah pasti suatu hal yang membuatnya bersemangat.
Namun dia sama sekali tidak berpikir panjang. Bagaimana
mungkin lembah Siau-yau-kok yang misteri dapat ditemukan
dengan begitu mudah oleh seorang Piausu seperti Suma
Tian" Tetapi dia memang tidak menyangka gua ini akan
menembus pintu masuk Siau-yau-kok. Karena di luar
dugaannya itulah, maka dia menjadi bersemangat.
Malah demikian bersemangatnya dia sehingga melupakan
bahwa sejak melatih ilmu Tian-can-kiat, tenaganya kadang803 kadang ada dan kadang-kadang hilang. Seandainya tempat itu
benar-benar Siau-yau-kok dan waktu bertarung dengan
penjahat itu tenaganya tiba-tiba hilang, apa akibat yang akan
diterimanya"
Pada dasarnya dia memang seorang manusia yang terburu
nafsu dalam membasmi kejahatan. Dia juga selalu
membanggakan dirinya sendiri. Kalau tidak, tentu tidak
demikian mudah Fu Giok-su berhasil memancingnya masuk
ke dalam Siau-yau-kok ini.
Semakin maju, suara gemuruh itu semakin jelas. Seluruh gua
seakan bergetar dibuatnya. Setelah membelok sebuah
tikungan lagi, di hadapan mereka terlihat tirai yang berkilauan.
Tirai tersebut tidak hentinya berkilauan, tidak hentinya
bergerak. Ibarat ada angin yang bertiup terus-terusan dan
menjadi jalan keluar dari gua tersebut.
"Ternyata sebuah air terjun!" seru Yan Cong-tian yang langsung mengerti suara gemuruh apa yang didengarnya
sejak tadi. Tirai itu memang sebuah air terjun yang deras.
Tubuh Yan Cong-tian melesat ke dalam air terjun itu. "Benar-benar sebuah air terjun yang indah. Juga merupakan pintu
keluar yang mengagumkan!" kata Yan Cong-tian memuji.
Fu Giok-su maju beberapa langkah dan berdiri di samping Yan
Cong-tian. "Susiok, aku merasa kita sudah berhasil
mengetahui Siau-yau-kok yang misterius ini. Lebih baik kita
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengundurkan diri sekarang," sahutnya menyarankan.
Suaranya keras sekali, tapi tidak dapat mengalahkan suara
gemuruh air terjun itu. Yan Cong-tian menolehkan kepalanya
804 dan mendelikkan matanya lebar-lebar.
"Apa" Sudah sampai tahap begini, kau baru memikirkan untuk mundur!" bentaknya marah.
"Kita hanya berdua. Keadaan di balik air terjun ini belum kita ketahui dengan jelas. Lebih baik kita pulang dulu ke Bu-tongsan dan mengerahkan para murid lainnya baru menyerbu ke
sini," sahut Fu Giok-su. Padahal dia memang sengaja
memancing kemarahan Yan Cong-tian. Dia sudah paham
sekali sifat orang ini, mana mungkin dia mau menuruti
nasihatnya untuk mengundurkan diri. Malah semangatnya
semakin menyala.
"Seberapa tinggi kepandaian bocah-bocah Bu-tong itu,
meminta mereka menyerbu kemari sama saja menyuruh
mereka menyambut kematian. Kau dan aku berdua saja
sudah lebih dari cukup!" wajah Yan Cong-tian terlihat kurang senang. "Pihak lawan hanya gerombolan tikus. Apa yang kau
takuti?" Fu Giok-su tertawa getir. Padahal dalam hatinya senang
sekali. "Susiok, setidaknya nama orang-orang ini pernah
menggetarkan dunia Kangouw," Fu Giok-su masih pura-pura
bimbang mengambil keputusan.
"Hanya lagak mereka saja yang besar. Kalau tidak, buat apa menyembunyikan diri di tempat kura-kura seperti ini. Tidak
usah terlalu khawatir!"
Akhirnya Fu Giok-su tampak seperti mengalah. Dia
805 menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Ada Susiok yang
menemani, Tecu sama sekali tidak khawatir, Susiok, siapa
tahu di balik air terjun itu ada daratan atau rumah. Mari kita
menerjang ke sana!" katanya menyarankan.
"Aku memang bermaksud demikian!" Yan Cong-tian berteriak lantang. Tubuhnya tiba-tiba mencelat dan menerobos
melewati air terjun tersebut. Sebentar saja bayangan tubuhnya
sudah menghilang dari pandangan.
Fu Giok-su tidak dapat menahan dirinya lagi. Dia tertawa
terbahak-bahak. Dia tidak usah khawatir suaranya akan
terdengar karena gemuruh air terjun itu pasti dapat menutup
suaranya. "Tua bangka, hari ini kau benar-benar terperangkap!" sambil tertawa tubuhnya berkelebat dan ikut menerobos melewati air
terjun yang deras.
Gerakan tubuh Fu Giok-su demikian ringan. Air terjun yang
deras itu sama sekali tidak memengaruhinya.
***** Bunga air memercik ke mana-mana. Setelah menerobosi air
terjun itu, tubuh Yan Cong-tian masih melesat ke depan. Sinar
matanya mengedar dengan tajam. Tubuhnya mendarat di atas
batu persegi di mana Thian-ti berdiri tempo hari.
806 Suasana sekitarnya mencekam. Rembulan semakin pudar. Di
bawah cahaya rembulan, air terjun itu tampak semakin
berkilauan. Dalam pandangan mata malah menambah
ketegangan di hati. Air yang mengalir turun bagai makhluk
aneh yang bergulingan lalu jatuh ke dalam sungai. Suara
gemuruh air terjun, suara aliran sungai, bagai irama yang
membetot sukma.
Di kedua tepian terdapat hutan yang lebat. Mata Yan Congtian mengedar. Suara terjangan air terjun terdengar di
belakangnya. Fu Giok-su melayang turun di sampingnya.
Anak muda itu ikut-ikutan celingak-celinguk. Seakan merasa
asing dengan keadaan sekitarnya.
"Giok-su, di sini benar-benar ada daratan lain. Tapi tidak terlihat seorang pun," nada suara Yan Cong-tian terdengar
rada penasaran.
"Mungkin mereka masih belum sadar kalau kita sudah
mengetahui rahasianya. Oleh karena itu mereka juga tidak
mengadakan persiapan apa-apa. Tetapi kalau ditilik dari
suasananya, mungkin tidak salah lagi, inilah Siau-yau-kok
yang misterius bagi orang-orang dunia Kangouw," sahut Fu
Giok-su dengan wajah kelam.
"Setitik penerangan pun tidak ada. Apakah tempat tinggal
mereka juga persis seperti mereka sendiri yang tidak berani
menghadapi terang!" sindir Yan Cong-tian sambil tertawa
sumbang. Belum lagi tawanya sirep, di kedua tepian terdengar suara
"bles!" Tiba-tiba tempat itu menjadi terang. Beberapa obor menyala sekitar tempat itu. Seratus lebih anak buah Siau-yau-807
kok muncul dalam waktu yang bersamaan.
Di tanah bebatuan yang terdapat di bawah air terjun juga
menyala beberapa batang obor. Thian-ti berdiri berkacak
pinggang di tengah-tengah. Di kiri-kanannya berdiri Hujan,
Angin, Geledek, dan Kilat. Cahaya api yang menerangi sekitar
itu bagaikan sebuah lukisan putih. Tanpa dapat menahan diri
lagi, Thian-ti, Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat tertawa
terbahak-bahak.
Suara tawa mereka berbeda-beda, tapi sama memekakkan
gendang telinga. Gemuruhnya ibarat kilat menyambar,
mengalahkan suara air terjun yang deras. Yan Cong-tian
mendongakkan wajahnya. Alisnya bertaut sekilas kemudian
biasa kembali. Thian-ti masih tertawa terbahak-bahak
beberapa saat. Tiba-tiba suara tawanya terhenti.
"Tua bangka! Kami sudah menunggu sejak tadi!"
Wajah Yan Cong-tian tidak memperlihatkan rasa gentar sedikit
pun. "Aku yang tua hanya dapat mengucapkan sepatah kata.
Maaf kalau menunggu terlalu lama!" sahutnya tenang.
Thian-ti tertawa lebar. "Kau hanya mencari kematian bagi
dirimu sendiri!" katanya.
Yan Cong-tian tertawa dingin. "Kau sendiri yang terkurung
dalam telaga dingin selama dua puluh tahun saja masih belum
mati-mati. Bagaimana aku bisa mati dengan demikian
mudah?" sindirnya tajam.
Di ngatkan akan penderitaannya selama terkurung dalam
telaga dingin, hawa kemarahan Thian-ti meluap seketika. "Tua 808
bangka! Kalau hari ini kau bisa meloloskan diri hidup-hidup
dari tempat ini, maka Lohu akan bunuh diri sebagai rasa malu
terhadap leluhur kami!"
"Manusia sepertimu mati juga tidak perlu disayangkan!"
Sepasang telapak tangan Yan Cong-tian terangkat. "Siapa
duluan yang ingin menerima kematian?" bentaknya garang.
"Aku dulu yang pertama-tama menyambut kedatanganmu!"
terdengar sahutan dari hutan sebelah kanan. Manusia tanpa
wajah menerjang keluar dari kerumunan anak buah Siau-yaukok. Tubuhnya meluncur dengan pedang panjang di tangan.
Yan Cong-tian tertawa dingin.
"Seorang Bu-beng-siau-cut juga berani banyak lagak di
hadapanku?" serunya sambil merentang sepasang telapak
tangan. Deru angin keras segera terpancar dari kedua telapak
tangannya. Dia tidak menunggu sampai manusia tanpa wajah
itu mencapai ke dekatnya. Dia sudah mengerahkan tenaga
membalas menyerang.
Tubuh manusia tanpa wajah yang sedang melayang
terhantam deruan angin telapak tangan Yan Cong-tian.
Tubuhnya terpental ke belakang sejauh satu depa. Cepatcepat dia berjungkir balik dan menutul di atas sebuah batu
yang terdapat di tengah sungai. Untung saja dia sempat
mendarat dengan selamat dan tidak terpeleset jatuh ke dalam
air sungai. Thian-ti segera menggunakan kesempatan itu untuk melesat
ke depan. Sepasang telapak tangannya mengembang. Yan
Cong-tian tertawa terbahak-bahak. Secepat kilat dia menarik
809 kembali tangannya dan mengumpulkan hawa murni. Dalam
waktu sekejap telapak tangannya sudah terentang kembali
menyambut hantaman Thian-ti. Tubuh Thian-ti tergetar dan
mencelat mundur terkena getaran dari benturan sepasang
telapak tangan Yan Cong-tian. Ilmunya lebih tinggi dari
manusia tanpa wajah. Dengan mudah dia hinggap kembali di
atas batu semula.
"Yan Cong-tian! Kalau berani naik ke atas ini dan kita buktikan siapa yang lebih hebat di antara kita!" tantangnya.
Dua kali berturut-turut Yan Cong-tian berhasil mendesak pihak
mereka. Semangatnya semakin menyala. Pada dasarnya dia
memang selalu ingin menang. Tentu saja dia menerima
tantangan tersebut. Tubuhnya berkelebat, sekejap mata sudah
sampai di daratan tempat Thian-ti berdiri.
Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat bergerak dalam waktu yang
bersamaan. Gerakan tubuh Angin paling cepat. Dia sampai
duluan di hadapan Yan Cong-tian. Lengan bajunya dikibas ke
arah wajah Yan Cong-tian. Pada saat itu juga Thian-ti
mengembangkan sepasang telapak tangannya mengincar
dada Yan Cong-tian.
Dengan menggeser sedikit tubuhnya Yan Cong-tian berhasil
menghindari kibasan lengan baju Angin, kemudian berjungkir
balik dan menyambut sepasang telapak tangan Thian-ti. Kali
ini Thian-ti hanya terdesak mundur dua langkah.
Rupanya tenaga telapak tangan Thian-ti lebih keras satu kali
lipat dari sebelumnya. Makhluk itu langsung tertawa "Tua
bangka! Apakah kali ini kau tidak terjerat dalam jebakan
kami?" 810 Baru saja ucapannya selesai, tubuhnya sudah membentuk
bayangan mencelat mundur beberapa tindak. Yan Cong-tian
bermaksud mengejar, tapi Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat
sudah mengadang di depannya.
"Sekarang biar kau rasakan dulu kehebatan barisan Hujan,
Angin, Geledek, dan Kilat ini!" kata Thian-ti sambil tertawa terbahak-bahak.
Kibasan lengan baju Angin, jarum beracun Hujan, pedang
Kilat, dan golok Geledek menyerang dari empat arah. Yang ini
maju, yang itu menggeser. Yang ini menggeser, yang itu maju.
Empat orang dengan ilmu dan senjata yang berbeda
mengeroyok Yan Cong-tian.
Golok Geledek mengandung kekejian, pedang Kilat bergerak
berubah-ubah, kibasan lengan baju Angin datang dengan
cepat, dan yang paling mengerikan justru jarum beracun
Hujan yang memercik bagai bunga salju. Jenis senjata rahasia
yang digunakannya kecil tapi jumlahnya banyak. Sulit sekali
menghindarkan diri dari hujan senjata rahasia tersebut.
Apalagi dari bagian kiri, kanan, dan belakang ada pihak lawan
yang menunggu kesempatan pula. Beberapa kali Yan Congtian hampir terkena timpukan senjata rahasia Hujan.
Sejak kembalinya Thian-ti ke Siau-yau-kok, keempat orang ini
berlatih keras membentuk barisan Hujan, Angin, Kilat, dan
Geledek. Tujuannya memang untuk menghadapi Yan Congtian. Meskipun belum mencapai kesempurnaan, tapi
kekompakan keempat orang itu sudah lumayan. Mereka
sudah bisa membagi tugas dengan rata. Siapa yang
menyerang dan siapa yang berjaga-jaga.
811 Keempat orang itu menyerang secara bergiliran bagai kincir
angin yang berputar tanpa berhenti. Yan Cong-tian tidak
memiliki kesempatan untuk beristirahat sejenak pun. Siapa
pun di antara Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat, apabila turun
tangan sendiri-sendiri menghadapi Yan Cong-tian, tidak ada
satu pun dari mereka yang dapat menandinginya. Tapi dengan
bergabung, kekuatan mereka bagai terpadu. Yan Cong-tian
malah lama-kelamaan terdesak di bawah angin. Apalagi
gabungan mereka demikian kompak! Sementara di sebelah
sana masih ada Thian-ti. Dia selalu mencari tempat lowong
dari serangan keempat orang anak buahnya. Setiap ada
kesempatan, dia langsung menyerang Yan Cong-tian.
Di lain pihak, Yan Cong-tian sendiri menyadari. Apabila
bertarung dengan cara begini terus-menerus, yang rugi tentu
diri sendiri. Tapi setiap kali dia berusaha menerobos keluar,
selalu terdesak kembali di dalam kurungan barisan tersebut.
Di sebelah sana Fu Giok-su sedang bertarung seru dengan
manusia tanpa wajah. Tentu saja pertempuran itu hanya
sebuah kamuflase yang dipertunjukkan untuk Yan Cong-tian.
Dua macam senjata saling berbenturan. Beberapa kali terlihat
Fu Giok-su berusaha mendekati tempat Yan Cong-tian untuk
memberikan bantuan, tapi selalu berhasil diadang oleh
manusia tanpa wajah.
Sementara itu para anak buah Siau-yau-kok sebelumnya
memang sudah dapat kisikan dari Thian-ti. Mereka menerjang
mengeroyok Fu Giok-su. Yan Cong-tian mana tahu semua itu
hanya siasat yang dijalankan anak muda itu sendiri. Melihat
keadaan Fu Giok-su, hatinya semakin panik.
812 Mereka hanya berdua saja. Apalagi mereka berada di tempat
musuh. Tampaknya lebih banyak bahaya daripada
menguntungkan. Yan Cong-tian juga tidak lupa, bahwa tenaga
dalamnya kadang-kadang ada, kadang-kadang hilang. Dia
tidak boleh bertempur terlalu lama. Apabila kelemahannya itu
menyerang secara mendadak, tamatlah riwayatnya. Tadinya
dia mengira di dalam Siau-yau-kok hanya Thian-ti yang ilmu
silatnya paling tinggi. Selain makhluk tua itu, tidak ada jago
lainnya. Dengan mengandalkan kepandaiannya dan Fu Gioksu berdua, sudah lebih dari cukup untuk menghadapi mereka.
Sambil menghindar dan balas menyerang, otaknya juga
bekerja terus. Dia harus mencari akal untuk menerobos keluar
dari kepungan barisan tersebut dan bergabung dengan Fu
Giok-su. Thian-ti, Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek seakan
dapat membaca pikiran Yan Cong-tian. Serangan mereka
semakin gencar. Kepungan semakin diperketat. Yan Cong-tian
sudah menerima serangan sebanyak tujuh ratusan jurus.
Napasnya mulai tersengal-sengal. Dia segera mencari
kesempatan. Telapak tangannya dibentangkan dan tenaga
dikumpulkan. Senjata rahasia yang dilemparkan oleh Hujan,
diempas oleh deruan angin dari telapak tangannya dan
menggeser mengancam Geledek.
Golok Geledek berputaran. Dia menyapu senjata rahasia yang
tadinya ditujukan kepada Yan Cong-tian dengan kalang kabut.
Yan Cong-tian segera mempergunakan sedikit celah yang
terbuka itu. Kedua lengan bajunya dikibaskan dan menangkis
hantaman telapak tangan Thian-ti. Angin segera membuka
serangan. Tapi karena Geledek yang sedang memutar
goloknya mengibaskan senjata rahasia Hujan berdiri di
sampingnya, gerakan Angin menjadi terhalang. Hanya pedang
Kilat yang meluncur mengancam punggung Yan Cong-tian
813 yang sudah melesat ke depan.
Yan Cong-tian sudah berhasil menerobos barisan tersebut.
Dia mendengar deru suara angin mengancam di belakang
punggungnya. Dia tidak berani ayal. Kakinya menutul dan
mengentak ke udara. Tubuhnya berjungkir balik dua kali lalu
mendarat turun. Serangan pedang Kilat menemui
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekosongan. Dia hanya sempat menyayat sedikit lengan baju
Yan Cong-tian. Tiba-tiba terdengar teriakan Fu Giok-su. Dia menerjang keluar
dari kerumunan anak buah Siau-yau-kok. Lengan kanannya
berdarah. Rupanya dia sempat tergores pedang manusia
tanpa wajah. Anak muda itu mencelat ke udara dan melayang
turun di samping Yan Cong-tian. Sekarang mereka berdiri
bahu-membahu. Para anak buah Siau-yau-kok berteriak
lantang dan menyerbu bagai kesetanan.
Fu Giok-su membelakangi Yan Cong-tian. Punggung mereka
saling menempel. Anak muda itu membalikkan tubuhnya.
"Susiok, bagaimana keadaanmu?" tanyanya menyelidik.
Yan Cong-tian menggelengkan kepalanya. Dia menatap bahu
Fu Giok-su yang berdarah. "Apakah bahumu terluka?" nada suaranya rada bergetar.
Sekarang Fu Giok-su yang menggelengkan kepalanya.
"Hanya luka kecil." Dia sudah melihat tubuh Yan Cong-tian yang bergetar. Anak muda itu pura-pura cemas sekali.
"Susiok, apakah kau terserang senjata rahasia mereka?"
tanyanya dengan penuh perhatian.
814 "Tidak ...." sahut Yan Cong-tian. Dia menarik napas dalamdalam. Pada saat itulah, dia merasakan hawa murninya sudah
buyar. Dia tidak bertenaga sama sekali.
Pada saat itu para anak buah Siau-yau-kok sudah mengepung
dari sekitar. Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat berada di
hadapan orang-orang itu. Thian-ti berdiri kira-kira lima langkah dari hadapan Yan Cong-tian. Makhluk tua itu tertawa terkekeh.
"Tua bangka, meskipun sekarang kau tumbuh sayap, tetap
tidak dapat meloloskan diri lagi dari tempat ini!" bentaknya lantang.
Yan Cong-tian tidak menyahut. Dia pura-pura tidak
memandang sebelah mata. Tapi tubuhnya bergetar semakin
hebat. Keringat dingin pun mulai menetes. Hal ini tidak luput
dari pandangan Fu Giok-su. Dia segera merasa heran.
Tiba-tiba Yan Cong-tian membisikinya, "Giok-su, seandainya mereka menyerang, tolong hadapi dulu beberapa jurus."
Fu Giok-su semakin heran. "Susiok, sebetulnya apa yang
terjadi denganmu?" desaknya penasaran.
"Sejak berlatih ilmu Tian-can-kiat, tenaga dalamku kadangkadang ada dan kadang-kadang menghilang. Hawa murni
tidak dapat dikumpulkan. Apalagi setelah melalui pertarungan
panjang, aku harus beristirahat sejenak baru dapat
mengumpulkan hawa murniku kembali," kata Yan Cong-tian
dengan suara semakin rendah.
Mendengar kata-kata itu, Fu Giok-su tertegun. Sejenak
kemudian terlihat senyuman licik tersungging di ujung bibirnya.
815 "Baik, Susiok. Kau atur saja hawa murnimu tenang-tenang,
aku akan menghadapi mereka," mulutnya berkata demikian,
tapi tubuhnya mencelat ke udara lalu melayang turun untuk
menghantam punggung Yan Cong-tian dengan sepasang
telapak tangannya.
Selama ini diam-diam Fu Giok-su berlatih Bu-tong-liok-kiat
dengan giat. Ilmu Pik-lek-ciang miliknya bahkan jauh lebih
matang dari Cia Peng. Tenaga dalamnya terlebih-lebih tidak
usah diragukan lagi. Hantaman Fu Giok-su kali ini disertai
tenaga sebanyak sepuluh bagian, sedangkan pada saat itu
hawa murni Yan Cong-tian sedang buyar, bagaimana orang
tua ini dapat menahan hantaman sekeras itu. Dalam saat yang
bersamaan, tubuhnya terpental jauh ke depan.
Mencelatnya tubuh Yan Cong-tian ternyata mencapai
beberapa depa dan jatuh tepat di hadapan Thian-ti. Mulutnya
terbuka dan segumpal darah kental langsung muncrat keluar.
Tubuhnya bahkan bergulingan di tanah beberapa kali.
Sayangnya di belakang punggung Yan Cong-tian tidak tumbuh
mata. Tapi para anak buah Siau-yau-kok dapat melihat jelas
perbuatan Fu Giok-su. Hati Thian-ti saat itu langsung
berbunga-bunga. Perlu diketahui bahwa dua puluh tahun yang
lalu saja dia bukan tandingan Yan Cong-tian. Apalagi selama
dua puluh tahun ini dia berlatih ilmu Tian-can-kiat. Meskipun
belum kebal terhadap senjata tajam, tapi ilmunya tentu sudah
tinggi sekali dan hampir tidak berani dibayangkan olehnya.
Dengan mengandalkan ilmu Fu Giok-su yang masih rendah itu
ternyata berhasil membokong Yan Cong-tian sampai terluka
demikian parah, bagaimana hatinya tidak menjadi senang dan
bangga" Tentu saja dia tidak tahu bahwa hawa murni Yan
Cong-tian sedang buyar. Kalau tidak meskipun bokongan Fu
816 Giok-su berhasil mencapai sasaran, tapi tenaga dalam orang
itu sudah hampir mencapai taraf kesempurnaan. Asalkan dia
masih mempunyai sedikit tenaga dan langsung membalikkan
tubuh lalu menyerang Fu Giok-su kembali, tentu anak muda
itu lebih banyak celakanya daripada selamatnya.
Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat juga sudah memikirkan
kemungkinan itu. Sekarang melihat Fu Giok-su berhasil
dengan mudah dan Yan Cong-tian malah tidak memberikan
perlawanan, mereka malah termangu-mangu. Rasa terkejut
mereka masih belum sirna, bayangan tubuh Fu Giok-su sudah
berkelebat kembali dan sekaligus menutuk dua puluh tujuh
jalan darah penting di tubuh Yan Cong-tian. Sedikit pun hawa
murni Yan Cong-tian belum dapat dihimpun, sudah tergetar
kembali oleh tutukan Fu Giok-su. Isi perut dan empat anggota
tubuhnya terguncang parah. Dia jatuh terkulai kembali di atas
tanah. Sama sekali tidak mampu memberikan perlawanan.
Meskipun sempat ceroboh beberapa waktu, sekarang dia
sudah mengerti apa yang telah terjadi. Matanya mendelik
lebar-lebar ke arah Fu Giok-su. Anak muda itu sama sekali
tidak gentar. Dia bahkan mendongakkan kepalanya dan
tertawa terbahak-bahak. "Susiok, bagaimana pendapatmu
tentang Pik-lek-ciang yang kulatih ini?"
Yan Cong-tian tambah mengerti beberapa bagian. "Ternyata
selama ini kau yang main gila. Siapa kau sebenarnya?"
"Cucuku!" Thian-ti yang menyahut pertanyaan itu.
Yan Cong-tian menolehkan kepalanya memandang Thian-ti.
Wajahnya berubah hebat. Dia memaling kembali memandang
Fu Giok-su. "Sejak semula seharusnya aku sudah melihat
817 bahwa kau ini rada kurang beres. Lalu siapa Wan Fei-yang"
Apa dia merupakan komplotan kalian juga?"
"Masa" Bukankah sejak semula kau justru yang paling
percaya padaku" Malah kau sendiri yang memaksa untuk
datang ke tempat ini. Mengenai Wan Fei-yang, bocah tolol itu,
sayangnya dia hanya pantas menjadi kambing hitam. Kalau
kau mau tahu siapa dia, nanti saja di akhirat kau tanyakan
kepada Ci Siong si hidung kerbau," sahut Fu Giok-su seraya tertawa dingin.
Yan Cong-tian tertegun.
"Murid murtad!" bentaknya marah.
Fu Giok-su pura-pura tidak mendengar. Dia membalikkan
tubuhnya menghadap Thian-ti. "Kali ini keinginan Yaya benar-benar terkabul. Sun-ji seharusnya mengucapkan selamat!"
"Bagus, bagus!" Thian-ti tiba-tiba memandang Fu Giok-su dengan heran, "Bagaimana kau bisa merobohkannya dengan
cara semudah itu?"
"Rupanya sejak tua bangka ini berlatih ilmu Tian-can-kiat, tenaga dalamnya kadang-kadang ada dan kadang-kadang
menghilang. Dia tidak bisa bertarung lama-lama. Hawa
murninya akan buyar seketika kalau terlalu dipaksakan."
"Kalau sejak semula kau sudah tahu, mengapa tidak cepatcepat membokongnya" Malah membiarkan kami menguras
tenaga begitu lama," gerutu Thian-ti kesal.
"Benar, mengapa?" tukas Hujan.
818 "Sebetulnya ini sebuah rahasia besar. Di Bu-tong-san,
mungkin kecuali Ci Siong Tojin yang sudah mampus itu, tidak
ada orang kedua lagi yang mengetahuinya. Kalau tadi hawa
murninya tidak tiba-tiba buyar dan meminta Sun-ji menghadapi
kalian untuk sementara, sampai sekarang pun masih aku
belum tahu."
"Tua bangka ini memang licik sekali!"
"Biar bagaimana pun liciknya orang ini, sekarang dia tidak bisa apa-apa lagi. Dan tidak ada lagi yang perlu kita khawatirkan,"
kata Fu Giok-su sambil menarik ikat pinggang Yan Cong-tian.
Tubuh Tosu tua itu segera terangkat dan menghadap ke arah
Thian-ti. Yan Cong-tian sama sekali tidak ada tenaga lagi untuk
melawan. Apalagi seluruh jalan darahnya yang penting sudah
ditutuk oleh Fu Giok-su. Thian-ti tidak mengulurkan tangannya
menyambut. Dia mengangkat sebelah kakinya dan
menendang tubuh Yan Cong-tian. Orang itu mental ke arah
Angin. Lengan baju Angin dikibaskan. Belum lagi tubuhnya
mendarat di tanah, gagang golok Geledek sudah
menyambutnya. Orang itu kembali mengentakkan tubuh Yan
Cong-tian ke udara, sedangkan Hujan di sebelah sana sudah
menunggu. Yan Cong-tian tidak mempunyai kemampuan sama sekali
untuk melawan. Dia menjadi bulan-bulanan kelima orang
tersebut. Hanya Fu Giok-su yang menyaksikan dari samping.
Dari wajah sampai seluruh tubuhnya sudah berlumuran darah,
tapi dia masih sadar. Matanya menatap Fu Giok-su dengan
penuh kebencian. Tanpa sadar tatapan anak muda itu juga
819 kebetulan sedang menoleh ke arahnya. Tubuhnya tergetar
seketika melihat tatapan dingin dan marah Yan Cong-tian
yang menatapnya penuh kebencian.
Thian-ti dan empat anak buahnya malah kesenangan. Mereka
menjadikan tubuh Yan Cong-tian sebagai permainan yang
mengasyikkan. Mereka adalah orang-orang yang berilmu
tinggi. Tampaknya gerakan mereka sangat ringan, tapi bagi
orang yang ilmu silatnya sudah tidak berfungsi seperti Yan
Cong-tian, menjadi bulan-bulanan mereka merupakan
penderitaan yang tidak terkirakan. Beberapa saat kemudian,
Yan Cong-tian sudah muntah darah sebanyak lima kali.
Akhirnya Thian-ti menyadari keadaan itu. Dia tertegun sesaat.
"Berhenti semuanya!" bentak makhluk tua itu lantang.
Pada saat itu, tubuh Yan Cong-tian sedang mendarat ke arah
Geledek. Mendengar bentakan Thian-ti, golok Geledek segera
ditarik kembali. Tidak tertahan lagi, tubuh Yan Cong-tian ibarat seonggok daging bergabrukan di atas tanah.
"Kita toh sedang bersenang-senang, mengapa harus
dihentikan?" tanya Geledek penasaran.
Thian-ti menggelengkan kepalanya. "Kalau kita permainkan
dia dengan cara demikian, dalam waktu yang singkat tua
bangka ini pasti akan mampus!" katanya.
Hujan merasa tidak mengerti. "Memangnya kita akan
membiarkan tua bangka ini hidup terus?"
Thian-ti menganggukkan kepalanya. "Membiarkan dia mati
dengan cara seperti ini, bukankah terlalu enak baginya?"
820 "Maksudmu ....?"
Thian-ti tidak menjelaskan, dia hanya tertawa terbahak-bahak.
Suara tawa itu sungguh menggidikkan hati. Kesadaran Yan
Cong-tian masih ada. Mendengar suara tawa itu, dia
menyadari bahwa masih banyak cara kejam yang harus
dilaluinya sebelum menerima kematian.
Thian-ti maju menghampirinya. Dia langsung menarik Yan
Cong-tian bangun dari atas tanah. "Tua bangka! Tahukah kau apa yang akan kulakukan terhadapmu?" tanyanya seraya
tertawa licik. Yan Cong-tian mengertakkan gigi-giginya menahan rasa sakit.
Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Thian-ti menunggu
beberapa saat kemudian dia tertawa dingin.
"Seharusnya kau sudah dapat menduganya!" bentak Thian-ti sambil mengguncang-guncangkan tubuh Yan Cong-tian.
Segumpal darah kembali muncrat dari mulut Tosu tua itu. Dia
berusaha mempertahankan diri sebisanya. "Kalau mau bunuh,
silakan. Tidak usah banyak bicara!" sahutnya sambil meludah ke arah pipi Thian-ti.
Sayangnya semburan ludah itu tidak cukup kuat untuk
mengenai Thian-ti. Kalau tidak, mungkin pada saat itu juga
Thian-ti sudah membunuhnya. Dengan demikian dia juga
terhindar dari berbagai siksaan. Rupanya Thian memang
menghendaki lain.
Thian-ti tertawa terkekeh-kekeh.
821 "Aku pasti akan membunuhmu!" dia merandek sejenak. "Tapi, paling tidak kau harus menderita dulu selama dua puluh
tahun!" kembali dia tertawa terbahak-bahak.
Dalam waktu yang bersamaan, Yan Cong-tian jatuh tidak
sadarkan diri. ***** Entah berapa lama sudah berlalu, akhirnya Yan Cong-tian
tersadar juga dari pingsan. Tiba-tiba dia merasa kaki dan
tangannya terikat dengan rantai. Rasa nyeri dan ngilu segera
menyerang. Tenaganya hilang sama sekali. Yan Cong-tian
langsung sadar bahwa urat kaki serta tangannya sudah
diputuskan semua. Sedangkan sepasang kakinya terendam
dalam telaga dingin.
Setelah memerhatikan keadaan sekitarnya dengan saksama,
tanpa sadar dia tertawa getir. Telaga itu bukan telaga dingin,
tapi dibuat persis dengan telaga dingin yang terdapat di Butong-san. Hal ini membuktikan bahwa Thian-ti memang sudah
merencanakan untuk meringkusnya hidup-hidup lalu
menyiksanya dengan cara yang sama. Tentu memerlukan
waktu yang cukup lama untuk membuat telaga seperti ini.
Segulungan suara tawa yang aneh tertangkap oleh telinganya.
Yan Cong-tian mengedarkan pandangannya mencari.
Akhirnya dia melihat Thian-ti duduk di atas sebuah batu
822 berbentuk persegi. Letaknya di seberang telaga buatan
tersebut. Suara tawanya lebih mirip suara anak kecil yang bersorak
kegirangan. Sepasang telapak tangannya terus menepuk tiada
henti. Mulutnya menyeringai. "Tua bangka! Bagaimana
penilaianmu atas hasil karyaku" Miripkah dengan telaga
dingin di Bu-tong-san?"
Yan Cong-tian mulai merasa putus asa. Sepasang giginya
mengertak erat-erat. Dia tidak menyahut sepatah kata pun.
"Kau tidak boleh terlalu kesal. Kalau sampai mati karena
jengkel, bukankah menyia-nyiakan hasil karya kami yang
besar ini?" kata Thian-ti selanjutnya.
Yan Cong-tian sengaja menundukkan kepalanya. Dia enggan
melihat tampang makhluk tua yang menyebalkan itu.
"Meskipun aku harus sembahyang memasang hio
menyembah Buddha agar kau dapat diberi kehidupan dua
puluh tahun lagi, aku rela melakukannya. Aku ingin kau
merasakan bagaimana penderitaanku selama dua puluh tahun
terkurung dalam telaga dingin," Thian-ti masih juga tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba tangannya bergerak. Seutas cambuk panjang sudah
tergenggam olehnya. Dia menggerakkan cambuk itu untuk
memecut tubuh Yan Cong-tian. Rasa sakit tidak terkirakan.
Tubuhnya tergetar hebat. Kulitnya terkelupas dan
mengeluarkan darah. Rasa nyeri bahkan menyusup ke dalam
tulang sumsum. Dia tidak merintih sedikit pun. Sebisanya dia
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menahan diri. 823 Cambuk di tangan Thian-ti bergerak terus. Ratusan kali sudah
berlalu. Pakaian Yan Cong-tian compang-camping tidak
keruan. Darah mengalir membasahi seluruh tubuhnya.
"Tua bangka! Tidak pernah tersangka bahwa kau akan
mengalami semua ini, bukan?" Cambuknya diletakkan di
samping. Thian-ti berdiri tegak dan kembali tertawa terbahakbahak. Suaranya bergema di seluruh gua buatan itu. "Hari ini cukup sekian permainan kita, besok aku akan kembali lagi
untuk melayanimu sebaik-baiknya. Harap jangan bosan
menjadi tamu agung di sini."
Yan Cong-tian mendongakkan wajahnya. Matanya mendelik
ke arah Thian-ti. Seakan ada bara api yang berkobar-kobar di
mata Tosu tua itu. Melihat sinar mata Yan Cong-tian, Thian-ti
semakin senang. Sepasang tangannya dilipat di belakang. Dia
melangkah keluar dari tempat itu sambil tertawa terbahakbahak tiada hentinya.
Yan Cong-tian memandangi kepergian Thian-ti. Hatinya
merasa putus asa. Terkurung di tempat seperti ini, entah
kapan baru dia dapat melihat sinar matahari lagi. Apalagi
kalau dia mengingat keselamatan Lun Wan-ji yang
dianggapnya belum tahu apa-apa, hatinya semakin cemas.
Jilid 18 Sejak kecil Lun Wan-ji sudah yatim piatu. Kedua orang tuanya
meninggal karena desa kelahiran mereka tertimpa bencana
alam. Sejak kecil dia diasuh oleh Yan Cong-tian. Laki-laki itu
sudah menganggap Lun Wan-ji seperti anak kandungnya
824 sendiri. Kalau melihat cara Fu Giok-su yang demikian keji,
tentu dia juga tidak akan melepaskan Lun Wan-ji begitu saja.
Dia semakin mengkhawatirkan keadaan gadis itu.
Pikirannya melayang kepada Wan Fei-yang. Seharusnya dia
sadar bahwa bocah itu selalu jujur. Namun satu hal yang
membingungkan hatinya, kenyataannya Wan Fei-yang juga
menguasai Bu-tong-liok-kiat. Dari mana bocah itu
mempelajarinya" Dia tidak habis pikir. Rasanya dia juga tidak
akan mempunyai kesempatan untuk mengetahui semua hal
yang tidak dimengertinya lagi. Sedangkan nyawanya sendiri
saat ini sulit dipertahankan.
***** Thian-ti kembali ke ruang utama, Fu Giok-su sudah menunggu
di sana. Pakaiannya masih yang tadi juga. Semakin
diperhatikan, hati Thian-ti semakin senang terhadap Fu Gioksu. Bibirnya tersenyum terus. Dia merasa bangga mempunyai
cucu seperti Fu Giok-su.
Fu Giok-su segera berdiri menyambutnya, "Yaya, bagaimana
keadaan tua bangka Yan Cong-tian itu?"
Thian-ti tertawa lebar. "Hm .... Tua bangka itu" Paling tidak
aku akan mengurungnya selama dua puluh tahun. Biar dia
rasakan penderitaan yang Yaya alami. Dengan demikian
kejengkelan hati Yaya baru bisa terlampiaskan."
Fu Giok-su tersenyum manis. "Terserah Yaya saja. Sun-ji
hanya menurut apa yang Yaya anggap baik."
Thian-ti kembali tertawa terbahak-bahak.
825 "Bagaimanapun, kau memang cucu yang paling bisa
diandalkan. Bukan saja kau berhasil menyelamatkan Yaya
keluar dari telaga dingin malah sanggup memancing Yan
Cong-tian masuk dalam perangkap kita sehingga Yaya bisa
melampiaskan dendam kesumat ini." Dia merandek sejenak.
"Sekarang kau sudah menjadi Ciangbunjin Bu-tong-pay. Kau
harus bisa mempergunakan kesempatan ini baik-baik untuk
menonjolkan kembali partai kita kelak. Suruh para murid Butong itu berlatih dengan giat. Kelak kita akan memerlukan
tenaga mereka."
"Yaya ingin menggunakan tenaga mereka untuk menggempur
Bu-ti-bun?" tanya Fu Giok-su yang langsung dapat menerka
maksud hati Thian-ti.
"Tidak salah!" Thian-ti meremas-remas jari tangannya sendiri
dengan wajah penuh semangat. "Biar mereka saling
membunuh dengan pihak Bu-ti-bun. Dan kita tinggal
memungut hasilnya saja."
"Sun-ji juga mempunyai niat yang sama."
"Oleh sebab itu, untuk sementara ini kau harus tetap
merahasiakan asal usulmu." Sinar mata Thian-ti menerawang
jauh. "Aku dengar, budak perempuan yang bernama Lun Wanji itu juga ikut datang. Di mana dia sekarang?"
Fu Giok-su terperanjat mendengar pertanyaan itu. Dia
berusaha menenangkan hatinya. "Masih ada di Piaukiok."
Diam-diam Fu Giok-su mengerling sekilas kepada Thian-ti.
Hatinya tergetar.
826 "Budak perempuan itu tidak boleh dibiarkan hidup. Kelak akan
menjadi masalah bagi kita. Lebih baik kau membunuhnya
saja!" "Yaya ...." Fu Giok-su hanya dapat memanggil kakeknya saja.
Dia tidak dapat meneruskan kata-katanya.
"Kenapa" Kau tidak sampai hati?" bentak Thian-ti dengan
wajah berubah. "Yaya, Wan-ji sudah ...."
"Sudah apa?"
"Pokoknya, Sun-ji memohon Yaya melepaskannya ...." Fu
Giok-su menjatuhkan diri berlutut di depan Thian-ti.
Makhluk tua itu tertegun sekian lama. Matanya menyorotkan
kemarahan. "Kalau tidak keji, tidak pantas disebut laki-laki
sejati. Lihat tingkah lakumu ini, bagaimana kau bisa
menangani urusan besar. Kalau kau tidak tega, biar Yaya
yang turun tangan sendiri!"
Fu Giok-su terpaku di tempat. Dia tidak tahu bagaimana harus
menjelaskan kepada kakeknya. Hatinya galau sekali.
Bagaimanapun hubungannya dengan Wan-ji sudah demikian
dalam. Dia tidak tega turun tangan membunuh gadis itu.
Apalagi kalau mengingat anak dalam perut Wan-ji yang
merupakan darah dagingnya sendiri.
Fu Hiong-kun juga tertegun. Saat itu dia berada di luar
ruangan utama. Setiap patah kata yang mereka ucapkan
sudah didengarnya dengan jelas. Soal Yan Cong-tian yang
827 dipancing ke Siau-yau-kok lalu dibokong dengan cara yang
keji juga sudah diketahuinya. Hal itu memang sedang hangat
dibicarakan setiap anak buah Siau-yau-kok. Otomatis dia juga
ikut mendengar kabar itu. Justru karena hal inilah, dia
bermaksud mencari Fu Giok-su dan menanyakannya. Dalam
hati kecilnya, Koko yang selama ini dikenalnya adalah orang
yang tahu membalas budi dan tidak sekeji Hujan, Angin, dan
Geledek maupun Kilat.
Kembali dia mendengar suara bentakan Thian-ti, "Coba kau
pertimbangkan baik-baik. Budak perempuan itu adalah murid
Bu-tong-pay. Lagi pula dia adalah murid Yan Cong-tian. Kalau
dia sampai tahu bahwa kau adalah orang Siau-yau-kok,
biarpun kau tidak membunuhnya, ia juga tidak akan
melepaskan dirimu begitu saja!"
Mendengar ucapan itu, Fu Giok-su sadar tidak ada gunanya
banyak bicara. Bukan saja Thian-ti tetap tidak mau mengerti,
malah kakeknya itu akan marah besar dan kemungkinan akan
pergi ke Kian-wei-piaukiok lalu membunuh Lun Wan-ji saat ini
juga. Pikirannya bekerja dengan cepat. Tiba-tiba dia
membusungkan dadanya dan pura-pura tersadar. "Apa yang
Yaya katakan memang benar!"
Fu Hiong-kun mana tahu isi hati Fu Giok-su. Dia terkejut sekali mendengar jawaban abangnya itu.
"Begitu baru betul," kata Thian-ti memuji. "Tidak usah khawatir kekurangan kaum perempuan. Yaya bisa mencarikan istri
yang tercantik di dunia ini untukmu. Sekarang kau harus
segera kembali ke sana dan jangan menunda waktu lagi.
Bunuh gadis itu lalu kembali ke Bu-tong serta persiapkan apa
yang Yaya katakan tadi."
828 Fu Giok-su menganggukkan kepalanya lalu mengundurkan
diri. ***** Sesampainya di luar ruangan, dia langsung melihat Fu Hiongkun yang berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat
itu. "Hiong-kun ...." panggilnya seraya mengejar.
Fu Hiong-kun pura-pura tidak mendengar. Dia meneruskan
langkah kakinya. Fu Giok-su tertegun sesaat, kemudian
mengejarnya lebih cepat. Dia melesat dan mengadang di
depan gadis itu.
Akhirnya Fu Hiong-kun menghentikan langkah kakinya. Dia
menatap Fu Giok-su dengan pandangan dingin. Seakan
melihat seorang asing yang sama sekali tidak dikenalnya. Fu
Giok-su semakin heran. "Hiong-kun, kau tidak mengenali
Toako lagi?" tanyanya lembut.
Fu Hiong-kun tertawa dingin. Dia tidak menyahut.
"Baru dua tahun tidak bertemu. Lagi pula wajah Toako juga
rasanya tidak berubah banyak," kata Fu Giok-su kembali.
"Wajah memang tidak berubah, hatinya bagai orang yang
berbeda!" "Oh?" Giok-su tampaknya masih tidak mengerti apa yang
diucapkan Hiong-kun.
829 "Ciangbunjin Bu-tong-pay seperti engkau ini rasanya terlalu
keji dan tidak berperasaan sama sekali," sindir Hiong-kun.
Fu Giok-su menundukkan kepalanya. Dia tidak tahu
bagaimana harus menyahut makian adiknya itu. Dia merasa
sunyi dan tak berdaya. Hiong-kun menatapnya lekat-lekat.
Kemudian gadis itu menarik napas panjang.
"Rasanya aku tidak mungkin menemukan Toakoku yang dulu
lagi. Oh ya, kau sudah berhasil menjabat sebagai Ciangbunjin
Bu-tong-pay, seharusnya aku mengucapkan selamat
kepadamu," Dia menjura satu kali kemudian mengibaskan
tangannya dan melenggang pergi.
Fu Giok-su terpaku di tempatnya. Setelah beberapa saat baru
dia melangkahkan kakinya menuju ke luar. Meskipun di mulut
dia mengabulkan permintaan Thian-ti untuk membunuh Lun
Wan-ji, tapi dalam hatinya dia sudah merencanakan
bagaimana mengungsikan gadis itu ke tempat yang aman
agar bayinya dapat terlahir dengan selamat dan mereka masih
bisa berhubungan tanpa diketahui oleh pihak ketiga.
Harimau yang buas saja tidak pernah memangsa anaknya
sendiri, apalagi manusia. Meskipun hatinya sangat keji dan
licik, tapi dia toh masih mempunyai perikemanusiaan. Di
dalam hatinya masih tersisa sedikit kesadaran. Sambil
berjalan dia memikirkan rencananya. Akhirnya dia berhasil
menemukan jalan keluar yang baik. Satu hal yang tidak
tersangka olehnya ialah Lun Wan-ji sudah mengetahui
rahasianya dan meninggalkan Kian-wei-piaukiok.
***** 830 Lun Wan-ji termenung di atas tempat tidur. Hatinya gelisah
memikirkan keselamatan Yan Cong-tian. Sedikit banyak dia
sudah dapat meraba siapa adanya Fu Giok-su. Wajah Wan
Fei-yang yang ketolol-tololan melintas di depan pelupuk
matanya. Dulu dia selalu mengagumi anak muda itu sebagai
orang yang jujur. Sejak kedatangan Fu Giok-su,
kepercayaannya mulai luntur. Mungkinkah orang seperti Wan
Fei-yang sampai hati membunuh Susioknya, Ci-siong Tojin"
***** Bagaimana kalau Fu Giok-su yang membunuh orang tua itu"
Hatinya sakit sekali, juga dibayangi ketakutan. Apa jadinya
kalau yang dibayangkan semua merupakan kenyataan"
Apakah benar anak yang dikandungnya ini merupakan darah
daging dari seorang pembunuh berdarah dingin"
Seribu pertanyaan menggelayuti pikiran Lun Wan-ji. Setelah
mempertimbangkan bolak-balik akhirnya dia bangkit dari
tempat tidurnya dan membereskan perbekalannya. Dia tidak
sanggup berpikir panjang lagi. Dia merasa menyesal menuduh
Wan Fei-yang sebagai pembunuh. Tapi dia juga merasa tidak
ada muka lagi untuk mencari anak muda itu dan menjelaskan
segalanya. Nasi sudah menjadi bubur. Hanya satu hal yang
dapat dilakukannya sekarang. Hatinya pun bertekad
mengambil keputusan tersebut.
***** Sesampainya Fu Giok-su di Kian-wei-piaukiok, hari sudah
menjelang senja. Suma Hung segera menceritakan peristiwa
menghilangnya Lun Wan-ji kepada anak muda itu. Tadinya Fu
831 Giok-su curiga jangan-jangan Suma Hung secara diam-diam
telah menerima perintah dari Thian-ti untuk membunuh gadis
itu. Tapi setelah dia mendengarkan dengan saksama dan
menyelidiki secara teliti, kenyataannya bukan.
Di dalam kamar Lun Wan-ji, dia menemukan sepucuk surat.
Surat itulah yang dilemparkan oleh Kiang Cin dan Li Bu ke
dalam kamar gadis itu. Fu Giok-su segera sadar bahwa gadis
itu sudah mengetahui rahasianya. Malah sebelum dia
meninggalkan Piaukiok tersebut bersama Yan Cong-tian. Saat
itu dia baru mengerti sikap Lun Wan-ji yang aneh tadi malam.
Di atas meja hanya terdapat surat dari Kiang Cin dan Li Bu.
Lun Wan-ji sendiri tidak meninggalkan sepatah kata pun untuk
Fu Giok-su. Anak muda itu berdiri di dalam kamar termangumangu. Dia seperti kehilangan sesuatu yang amat berharga
bagi hidupnya. Dia sama sekali tidak dapat menerka ke mana perginya Lun
Wan-ji, tapi dia ragu apakah dia masih memiliki kesempatan
untuk bertemu lagi dengan gadis itu selama hidupnya ini.
Yang pasti gadis itu tentu sangat membencinya sekarang.
***** Senja hari yang sama. Tok-ku Hong mengajak Wan Fei-yang
kembali ke kantor pusat Bu-ti-bun. Mengetahui kepulangan
gadis itu, yang paling gembira tentu saja Kongsun Hong. Tapi
gadis itu tidak memedulikannya. Sikapnya masih dingin dan
angkuh. Kongsun Hong yang melihat Tok-ku Hong membawa pulang
Wan Fei-yang merasa tidak senang, namun dia tidak berani
832 mengatakan apa-apa. Entah mengapa, semakin
memerhatikan Wan Fei-yang, hatinya semakin tidak suka.
Belum sempat dia menanyakan apa-apa, Tok-ku Hong sudah
menjelaskan. "Dia bernama Siau Yang. Dia pernah
menolongku. Kau cari salah seorang anak buah kita dan suruh
dia urus Siau Yang baik-baik."
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi ... selamanya kita belum pernah melayani tamu di sini
...." "Tamu?" sifat pemarah Tok-ku Hong meledak lagi. "Orang
yang kuajak pulang apa terhitung tamu. Ada urusan apa, aku
yang tanggung jawab!"
Kongsun Hong mana berani banyak bicara lagi. Kepalanya
tertunduk. Seorang anggota Bu-ti-bun menghampiri dengan
tergesa-gesa dan melaporkan bahwa Buncu mengundang
Tok-ku Hong masuk ke dalam kamar pribadinya.
Tok-ku Hong tampak bimbang sesaat, namun akhirnya dia
menganggukkan kepalanya dan berjalan pergi. Baru beberapa
langkah dia menolehkan kepalanya kepada Wan Fei-yang.
"Sebentar aku akan kembali lagi," katanya sambil tersenyum.
Hati Kongsun Hong semakin mendongkol. Dia melengos ke
arah lain. ***** Matahari mulai tenggelam. Cahayanya menyorot lewat jendela
sebelah barat. Tok-ku Bu-ti berdiri membelakangi jendela.
Seluruh wajahnya hampir tidak kelihatan karena
memunggungi cahaya.
833 Tok-ku Hong sudah melihatnya dari luar pintu ruangan pribadi
tersebut. Langkah kakinya terhenti. Hatinya angkuh dan cepat
tersinggung. Dia paling tidak sanggup mendengar ocehan
orang. Mengingat Tok-ku Bu-ti mungkin akan memakinya
habis-habisan, rasanya dia sudah enggan masuk ke dalam.
Dia mempertimbangkan sesaat, akhirnya mengertakkan gigi
dan membalikkan tubuhnya. Baru saja dia berniat
meninggalkan tempat itu, Tok-ku Bu-ti sudah memandang ke
arahnya. Sinar matanya demikian lembut.
Cahaya mentari pudar. Rambut di kepala Tok-ku Bu-ti yang
setengahnya sudah memutih berkilauan. Walaupun dilihat dari
sudut mana, dia tampak seperti orang yang penuh perasaan.
Dua pasang mata saling menatap. Tok-ku Hong tertegun.
Sedangkan Tok-ku Bu-ti segera mengembangkan seulas
senyuman. Seulas senyuman yang penuh kerinduan dan
kesepian. Tok-ku Hong mengeraskan hatinya menghampiri. "Tia ...."
sapanya dengan suara lirih.
"Kau sudah pulang," Tok-ku Bu-ti tersenyum lagi. "Bagaimana
rasanya bermain-main di luar sana?"
"Lumayan," suara Tok-ku Hong masih dingin dan datar.
"Kadang-kadang berjalan-jalan keluar rumah ada baiknya
juga." Tok-ku Hong tidak menyahut.
834 "Apa kau sanggup menghadapi berbagai penderitaan di luar
sana?" tanya Tok-ku Bu-ti kembali.
"Apanya yang menderita?" sahut Tok-ku Hong kurang senang.
Dia menganggap Tok-ku Bu-ti sedang menertawakannya.
"Sifatmu persis dengan orang itu. Baik ...." nada suara Tok-ku
Bu-ti berubah menjadi kurang sabar.
Perasaan Tok-ku Hong menjadi kurang senang seketika. Tokku Bu-ti malah tersenyum lagi. Kadang-kadang Tok-ku Hong
sendiri kurang mengerti sikap ayahnya.
"Tia lain kali tidak akan memarahimu lagi," dia menarik napas
panjang. "Anak sudah besar. Dimarahi sedikit saja langsung
bertekad pergi dari rumah," dia berhenti sejenak kemudian
menarik napas lagi.
Tok-ku Hong semakin tidak tenang. Tok-ku Bu-ti juga tidak
mengatakan apa-apa lagi. Keduanya terdiam beberapa saat.
Akhirnya Tok-ku Hong juga yang membuka suara. "Apakah
tidak ada hal lainnya lagi?"
Kepala gadis itu tertunduk rendah-rendah. Tok-ku Bu-ti
memandangnya lekat-lekat. "Masih marah kepada Tia?"
tanyanya apa boleh buat.
Tok-ku Hong menggelengkan kepalanya. Tok-ku Bu-ti
menghampiri dan mengelus-elus kepala gadis itu.
"Tahukah kau bahwa Tia sangat merindukanmu?"
Mendengar kata-kata itu, tanpa dapat menahan keharuan
835 hatinya lagi Tok-ku Hong menyusupkan kepalanya ke dalam
dada Tok-ku Bu-ti. Kemudian dia terbatuk-batuk beberapa kali.
Alis Tok-ku Bu-ti segera berkerut mendengar suara batuk itu.
"Apakah kau pernah mendapatkan luka dalam?"
Tok-ku Hong menganggukkan kepalanya. "Sudah hampir
sembuh," sahutnya.
"Siapa yang turun tangan terhadapmu?"
"Bocah Kuan Tiong-liu dari Go-bi-pay itu!" Nada suaranya
terdengar marah.
"Lagi-lagi bocah itu!" wajah Tok-ku Bu-ti menjadi kalem.
"Suatu hari nanti, aku akan memberi pelajaran pahit
kepadanya."
"Kali ini untung saja ada Hwesio itu yang kebetulan lewat dan
menolong aku."
"Hwesio yang mana?"
"Dia tidak menyebutkan gelarnya. Tapi tampangnya aneh
sekali. Tubuhnya pendek, kepalanya ada sembilan lubang dan
jenggotnya sudah putih semua ...." Apa yang dikatakan Tok-ku
Hong sebenarnya hanya meniru keterangan Wan Fei-yang
saja. Tok-ku Bu-ti mengerutkan keningnya. "Mungkinkah ...."
"Siapa?" desak Tok-ku Hong.
"Apa yang dilakukannya setelah berhasil menolongmu?" tanya
836 Tok-ku Bu-ti kembali.
"Tanpa mengucapkan apa-apa langsung pergi."
"Kalau begitu bukan dia," Tok-ku Bu-ti menggelengkan
kepalanya. "Kong-kong Hwesio dari Siau-lim-pay memang
mempunyai tampang seperti yang kau uraikan tadi. Tapi orang
ini terkenal hidung belang. Tidak mungkin dia akan
melepaskanmu begitu saja."
Wajah Tok-ku Hong menjadi merah padam mendengar
keterangan itu.
"Lalu bagaimana?" tanya Tok-ku Bu-ti masih penasaran.
"Kebetulan seorang bocah laki-laki lewat di tempat itu. Dia
melihat aku terluka cukup parah. Tanpa pikir panjang lagi dia
mengeluarkan obat buatan resep keluarganya dan
meminumkannya padaku. Sepanjang perjalanan sampai
pulang, dia pula yang merawat aku," Tok-ku Hong tertawa.
"Meskipun tampangnya ketolol-tololan, tapi hatinya sangat
baik." "Kau membawanya pulang ke kantor pusat kita?" Tok-ku Bu-ti
mengerutkan keningnya.
"Kedua orang tuanya sudah meninggal. Dia tidak mempunyai
rumah tinggal lagi. Lagi pula dia sangat mengagumi Bu-ti-bun
kita. Oleh karena itu, akhirnya aku mengambil keputusan
untuk mengajaknya pulang. Hitung-hitung sebagai balas budi
atas perawatannya selama aku terluka."
Tok-ku Bu-ti seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi sudah
837 keburu ditukas kembali oleh Tok-ku Hong. "Aku sudah
mengujinya beberapa kali. Ilmu silatnya biasa-biasa saja.
Dalam hal pengobatan dia punya minat yang cukup besar.
Paling bagus kalau ditempatkan di toko obat dan klinik tabib
Cai." Tok-ku Bu-ti diam merenung.
"Tia ... bagaimana pendapatmu itu" Aku sudah mengatakan
iya kepadanya."
"Kalau kau sudah mengiakan, buat apa tanya aku lagi?" Tokku Bu-ti tertawa lebar. "Kau lakukan saja apa yang menurutmu
baik. Katakan kepadanya jangan bermalas-malasan, siapa
tahu aku akan mengangkatnya sebagai murid."
Mendengar kata-kata itu, Tok-ku Hong merasa gembira demi
Wan Fei-yang. "Cepat ke sana. Nanti dia kebingungan," kata Tok-ku Bu-ti
kembali. Tok-ku Hong segera membalikkan tubuhnya meninggalkan
tempat itu. Tapi sampai di pintu, dia teringat sesuatu. "Tia ...
ketika Kuan Tiong-liu melukai aku, dia baru saja membunuh
seratus lebih orang-orang kita. Bocah itu tidak boleh dibiarkan begitu saja!"
"Tia sudah mendapat laporan tentang hal itu," wajah Tok-ku
Bu-ti berubah kelam.
Tok-ku Hong melanjutkan langkah kakinya.
838 ***** Pada saat itu Wan Fei-yang merasa sebal sekali. Kongsun
Hong mengajaknya ke ruangan utama. Di sana ia
menanyakan segala macam. Kongsun Hong juga
menanyakan ciri-ciri Hwesio yang katanya menyelamatkan
Tok-ku Hong. Malah dia bertanya dengan cara yang jauh lebih
terperinci daripada Tok-ku Bu-ti. Wan Fei-yang hanya
menjawabnya dengan samar-samar.
Semakin didengar, Kongsun Hong semakin merasa entah di
mana dia pernah mendengar suara Wan Fei-yang. Tapi untuk
sesaat dia tidak bisa mengingatnya. Dia masih bertanya terus,
"Dari mana asalmu?"
Wan Fei-yang tertegun. Baru saja dia ingin menyahut nama
sebuah tempat secara serampangan, Kongsun Hong sudah
menukasnya kembali.
"Rasanya aku pernah dengar nada suaramu!"
"Eh?" hati Wan Fei-yang tergetar.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Dari mana asalmu?"
desak Kongsun Hong.
Baru saja perkataannya selesai, Tok-ku Hong sudah
melangkah masuk dari ruangan tersebut. Wajahnya berseriseri. "Tia sudah mengatur kau bekerja di tempat tabib Cai. Dia
masih berpesan agar kau jangan bermalas-malasan. Kelak
mungkin dia akan mengangkatmu sebagai murid. Mari ikut
aku!" katanya dengan nada senang.
839 Wan Fei-yang cepat-cepat berdiri. Kongsun Hong juga ikut
berdiri. "Kau belum menjawab pertanyaanku ...." desaknya.
Wajah Tok-ku Hong langsung berubah serius. "Dia toh bukan
pesakitan. Untuk apa kau bertanya panjang lebar?" bentaknya
marah. Kata-kata Kongsun Hong terhenti seketika. Dia tidak berani
mengajukan pertanyaan lagi. Entah kenapa, dia memang
selalu tidak berdaya di hadapan Tok-ku Hong. Matanya
memandang kepergian kedua orang itu. Saking kesalnya,
perut Kongsun Hong langsung menjadi mual. Biar dia sudah
menguras ingatannya, dia masih tetap lupa di mana dia
pernah mendengar suara Wan Fei-yang.
***** Tabib Cai disebut oleh orang-orang sekitar sana sebagai Cai
Hua-to (Hua-to adalah seorang tabib sakti pada zaman
lampau). Menurut keterangan Tok-ku Hong, ilmu
pengobatannya lumayan juga. Tapi sikapnya malah tidak
terpuji sama sekali. Apalagi dia juga terkenal hidung belang
dan mata duitan.
Justru karena kegenitannya itu, dia pernah menyalahi
beberapa partai lurus di Bu-lim. Akhirnya dia melarikan diri
dan berlindung di bawah panji Bu-ti-bun. Dia memohon
kepada Tok-ku Bu-ti agar menerimanya sebagai anggota. Tokku Bu-ti tahu ilmu pengobatan orang ini boleh juga. Dia juga
tahu Bu-ti-bun memerlukan orang semacam ini. Oleh karena
itu permintaannya segera dikabulkan dan resmilah dia menjadi
840 anggota perguruan tersebut.
Setelah masuk menjadi anggota Bu-ti-bun, penghasilannya
semakin banyak. Tentu saja dia tidak berani terang-terangan
memeras anggota Bu-ti-bun yang lain apabila berobat
kepadanya. Rakyat daerah itulah menjadi sasaran empuk.
Apalagi terhadap Tok-ku Hong, hormatnya bukan kepalang.
Usianya masih belum terlalu tinggi. Baru memasuki kepala
empat. Tentu saja dia masih ingin hidup lebih lama lagi. Oleh
sebab itu juga pada penampilan luarnya dia selalu mematuhi
semua peraturan yang berlaku di Bu-ti-bun.
Sedangkan Wan Fei-yang dibawa oleh Tok-ku Hong, tentu
saja dia tidak berani banyak bertanya atau menolak. Dia
langsung menerima anak muda itu. Bahkan dia tidak
mengizinkan Wan Fei-yang melakukan pekerjaan kasar.
Diam-diam dalam hatinya dia berpikir jangan-jangan anak
muda itu diutus sebagai mata-mata untuk menyelidiki gerakgeriknya. Wan Fei-yang ditugaskan mencatat nama-nama
pasien. Kadang-kadang menimbang takaran obat atau
menemaninya ke kota untuk membeli persediaan obat yang
sudah hampir habis.
Apabila dia membeli obat-obatan seharga seratus tahil, paling
tidak dia mencatut dua puluh tahil untuk masuk ke kantongnya
sendiri. Wan Fei-yang juga kebagian tidak sedikit. Hal ini
dilakukannya karena dia takut Wan Fei-yang adalah bawahan
Tok-ku Hong. Seandainya dia membagi sedikit keuntungan
kepada anak muda itu, mungkin dia tidak akan menceritakan
apa-apa kepada Tok-ku Hong meskipun dia melihat sesuatu
yang tidak pada tempatnya.
841 Sebetulnya Wan Fei-yang juga tidak peduli. Sayangnya tabib
Cai tidak tahu. Yang paling menarik perhatian Wan Fei-yang
adalah racikan obat-obatan dan nama pasien serta penyakit
yang mereka derita. Setiap kali anggota Bu-ti-bun berobat
kepada tabib Cai, orang itu pasti menyimpan arsipnya di
dalam lemari besar. Wan Fei-yang berminat membongkar
arsip tersebut. Maka setiap hari, apabila tidak banyak
pekerjaan, dia pun pura-pura membersihkan semua perabotan
dan membereskan surat atau resep-resep yang tidak terpakai
lagi lalu ditumpukkan menjadi satu. Dengan demikian, tabib
Cai sama sekali tidak curiga. Hanya sayangnya, meskipun dia
sudah membongkar sampai capek, dia tidak berhasil
menemukan apa yang dicarinya. Orang yang mempunyai she
Sen memang banyak juga. Tapi tidak ada satu pun yang
bernama Sen Man-cing.
Dia tidak putus asa. Sekarang dia mulai memerhatikan setiap
pasien yang datang. Setelah memerhatikan kurang lebih satu
bulan, akhirnya dia menemukan seorang dayang yang aneh.
Dayang itu bernama Goat Ngo. Pernah satu kali dia datang
untuk mengambil obat. Wan Fei-yang biasa mencatat nama
pasien dan apa penyakitnya. Dia malah dihalangi oleh tabib
Cai dan ditertawakan oleh dayang itu yang mengatakan
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa dia tidak tahu aturan.
Setelah itu tabib Cai mengantar Goat Ngo sampai di luar toko.
Sekembalinya ke dalam orang itu masih berpesan kepadanya,
apabila Goat Ngo datang lagi kelak, seberapa banyak saja
obat yang dimintanya, Wan Fei-yang harus memberikan dan
tidak perlu dicatat. Wan Fei-yang berusaha mendesaknya
dengan berbagai pertanyaan, tapi tabib Cai tidak memberi
penjelasan. Dia hanya menoleh kepada Wan Fei-yang dan
berkata, "Semakin sedikit urusan Bu-ti-bun yang kau ketahui,
842 semakin baik untuk dirimu sendiri. Jangan mencampuri urusan
orang lain!"
Meskipun di mulut Wan Fei-yang mengiakan, tapi hatinya
mempunyai pikiran yang lain. Sedangkan mengenai main
gilanya tabib Cai dengan Su Sam-ko, dia pura-pura tidak
melihatnya. Sepatah kata pun dia tidak menyebarkan kepada
orang lain. Su Sam-ko sebetulnya merupakan selir kesayangan salah
satu Hu-hoat Bu-ti-bun, yaitu Cian-bin-hud. Seandainya Cianbin-hud sampai mengetahui peristiwa ini, rasanya nyawa tabib
Cai tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi. Tabib Cai
sendiri bukannya tidak tahu sampai di mana kelihaian Cianbin-hud. Oleh karena itu, dia selalu menggunakan kesempatan
tatkala Su Sam-ko turun ke kota membeli bedak ataupun
gincu. Di saat itulah mereka mengadakan pertemuan rahasia
di salah satu penginapan setempat.
Perasaan Cian-bin-hud selalu sukar diraba. Apalagi ketika dia
ingin membunuh seseorang. Namun dalam keadaan apa pun,
wajahnya selalu tersenyum. Entah berapa banyak orang yang
mati penasaran di bawah senyumannya. Maka dari itu juga,
banyak orang yang menyebutnya Siau-li-jan-to (di dalam tawa
tersimpan golok). Tentu saja sebutan ini hanya diucapkan di
belakangnya. Meskipun hatinya kejam dan tampangnya garang, tapi dia
paling patuh terhadap kaum perempuan. Dia sama sekali tidak
menduga kalau selirnya akan mengkhianatinya. Wan Fei-yang
yang belum lama di tempat itu saja sudah dapat meraba
hubungan istimewa antara tabib Cai dengan Su Sam-ko. Tapi
Cian-bin-hud tidak tahu sama sekali.
843 Tabib Cai Hua-to tentu sudah menyadari kelemahan ini. Dia
juga tidak berani sembrono. Tindakannya selalu hati-hati.
Kalau bukan Wan Fei-yang yang demikian teliti, tentu sampai
saat ini dia juga tidak mengetahuinya. Namun kalau
dibandingkan dengan ketajaman telinga dan keawasan mata
Manusia Tanpa Wajah, Wan Fei-yang masih belum nempil
seujung kukunya.
Dia mendapat perintah untuk menyuap beberapa anggota Buti-bun sebagai mata-mata. Bukan saja dia tahu hubungan
antara tabib Cai dengan Su Sam-ko, dia juga tahu bahwa Wan
Fei-yang sudah menyelundup ke dalam Bu-ti-bun.
Dia langsung mengambil tindakan. Pertama-tama dia
menangkap basah tabib Cai yang sedang mengadakan
pertemuan dengan Su Sam-ko di sebuah penginapan. Di
bawah ancamannya, tabib Cai diharuskan menandatangani
perjanjian sebagai mata-mata Siau-yau dan mengawasi gerakgerak Wan Fei-yang. Karena bersalah, kedua orang itu
terpaksa menandatangani perjanjian tersebut. Manusia Tanpa
Wajah menanyakan dengan saksama bagaimana caranya
Wan Fei-yang bisa masuk ke dalam Bu-ti-bun. Tapi dia tidak
menceritakan asal usul anak muda itu sedikit pun.
Terhadap cara Wan Fei-yang menyelundup ke dalam Bu-tibun, Manusia Tanpa Wajah menaruh perhatian yang besar.
Dia tidak menanyakan apa-apa lagi kepada tabib Cai dan dia
juga tidak mengganggu-gugat kedudukan Wan Fei-yang. Dia
tidak ingin Wan Fei-yang tahu bahwa gerak-geriknya sudah
diperhatikan oleh orang Siau-yau-kok. Tapi Manusia Tanpa
Wajah segera mengirim surat lewat merpati pos ke Siau-yaukok dan Bu-tong-san.
844 Sedangkan di pihak Wan Fei-yang sendiri, dia sama sekali
tidak menyadari bahwa bahaya sudah di depan mata. Di pihak
lain, Kongsun Hong juga mulai mengawasi Wan Fei-yang. Dia
masih penasaran, di mana sudah pernah mendengar suara
anak muda itu. Sedangkan kecurigaan Kongsun Hong sejak
semula sudah dapat diduga oleh Wan Fei-yang. Tapi dia
tenang-tenang saja. Tindakannya semakin berhati-hati. Sebisa
mungkin dia menghindari pertemuan dengan Kongsun Hong.
Dan setiap kali menjawab pertanyaan Kongsun Hong, dia jauh
lebih berhati-hati lagi.
Beberapa hari belakangan ini, hasil yang didapatkan Kongsun
Hong tidak banyak. Tapi dia tidak melepaskan Wan Fei-yang
begitu saja. Untung waktunya juga tidak banyak. Dia masih
mencari kesempatan untuk mendekati Tok-ku Hong. Dia juga
harus menemani gadis itu membahas cara memecahkan
barisan Jit-sing-kiam-ceng.
Yang membentuk barisan tentu saja para murid Bu-ti-bun lagi.
Mereka sebetulnya sudah merasa jenuh. Barisan Jit-singkiam-ceng yang mereka bentuk belum pernah sanggup
menahan Kongsun Hong dan Tok-ku Hong. Gerakan Jit-goatlun Kongsun Hong selalu berhati-hati. Sedangkan Tok-ku
Hong tidak peduli banyak. Setiap kali dia selalu turun tangan
dengan keras. Oleh karena itu, hampir puluhan jumlah
anggota Bu-ti-bun yang terluka setiap harinya. Tentu saja
mereka berobat ke klinik tabib Cai Hua-to. Tabib itu menjadi
kelabakan saking repotnya. Untung saja luka semacam ini
tidak sulit diobati. Untunglah Wan Fei-yang adalah anak muda
yang cerdas. Belajar sekali saja dia langsung mengerti. Tabib
Cai Hua-to sisa menghemat tenaganya karena ada bantuan
dari Wan Fei-yang.
845 Hati Wan Fei-yang sangat baik. Dia tidak pernah mengeluh
mengobati orang sebanyak itu. Siapa pun yang terluka dan
datang kepadanya, selalu diobati tanpa dibeda-bedakan. Dia
tidak tahu ada beberapa anggota Bu-ti-bun yang dianggap
malas oleh Tok-ku Hong dan sengaja dilukai lebih berat. Dan
dia tidak mengharapkan ada orang yang mengobati mereka.
Sebagian dari anggota Bu-ti-bun juga menyadari kebaikan hati
Wan Fei-yang. Mereka menolak diobati olehnya. Tapi Wan
Fei-yang tidak peduli. Dia berkeras menyembuhkan luka
mereka. Baginya menolong orang lebih penting dari
segalanya. Hal ini tidak luput dari pengawasan Kongsun Hong.
Melihat hal itu, Kongsun Hong senang sekali. Dia cepat-cepat
melaporkan kejadian itu kepada Tok-ku Hong. Dia merupakan
teman bermain Tok-ku Hong sejak kecil. Bagaimana adat
gadis itu, dia paling paham. Dia malah berharap Tok-ku Hong
akan berang mendengar kejadian ini dan sekali tebas
goloknya akan membunuh Wan Fei-yang.
Dia sendiri juga merasa aneh. Mengapa dia bisa begitu
membenci Wan Fei-yang ...."
***** Mendengar berita tersebut, ternyata Tok-ku Hong benar-benar
marah besar. Dia segera menemui Wan Fei-yang. Kongsun
Hong yang melihat dari kejauhan tersenyum lebar. Tapi ketika
Tok-ku Hong membalikkan tubuhnya menghampirinya,
wajahnya segera berubah serius kembali.
Pertanyaan Tok-ku Hong yang pertama tentu saja masih
846 menyangkut masalah itu. "Benarkah Siau Yang sedang
mengobati para murid yang tidak tahu mampus itu?"
Kongsun Hong cepat-cepat menganggukkan kepalanya.
"Sejak semula aku kan sudah mengatakan .... Bocah itu tidak
memandang sebelah mata pun kepadamu."
Tok-ku Hong mendengus dingin. "Siau Yang! Keluar kau!"
teriaknya lantang.
Dari dalam terdengar sahutan suara Wan Fei-yang, tapi katakatanya justru membuat Tok-ku Hong semakin marah. "Aku
sedang mengobati anak murid kita, aku tidak ada waktu!"
Tok-ku Hong mengentakkan kakinya berang. "Aku perintahkan
agar kau menggelinding keluar sekarang juga!" bentaknya
sekali lagi. Wan Fei-yang tidak menyahut. Tok-ku Hong menunggu
sesaat. Baru saja dia hendak menerjang masuk, pintu sudah
terbuka. Wan Fei-yang melangkah keluar dengan tampang
terpaksa. Tok-ku Hong mendelikkan matanya kepada anak
muda itu. Sekali lagi dia mendengus.
"Nyalimu mulai besar sekarang!"
Kepala Wan Fei-yang tertunduk.
"Ikut aku!" kata Tok-ku Hong sambil berjalan keluar. Wan Feiyang terpaksa mengikuti dari belakang.
Melihat keadaan itu, Kongsun Hong semakin senang. Diamdiam dia mengikuti dari kejauhan.
847 ***** Setelah keluar dari halaman toko obat itu, wajah Tok-ku Hong
masih memperlihatkan kemarahan. Sedangkan kepala Wan
Fei-yang tetap tertunduk rendah-rendah. Dia tidak
mengucapkan sepatah kata pun.
Tok-ku Hong mengulurkan tangannya memetik sekuntum
bunga. Kemudian dicampakkannya ke atas tanah. Akhirnya
dia membuka suara, "Dalam Bu-ti-bun, belum pernah ada
orang yang berani membangkang perintahku. Kau merupakan
orang pertama."
Kepala Wan Fei-yang tertunduk semakin rendah. Dia bahkan
tidak berani melirik gadis itu. Entah sungguh-sungguh atau
hanya berpura-pura.
"Aku yang membawa kau masuk menjadi anggota Bu-ti-bun.
Sekarang kau malah terang-terangan membantah perintahku,"
kata Tok-ku Hong kembali.
"Aku melihat mereka kesakitan setengah mati, jadi tidak
sampai hati ...." suara Wan Fei-yang lebih menyerupai bisikan.
"Mereka kesakitan, apa hubungannya denganmu" Toh bukan
kau yang kesakitan!"
"Aku mengerti. Mereka kesakitan tapi tidak boleh diobati. Hal
ini karena kau menganggap mereka tidak mengerahkan
segenap kemampuan dalam membentuk barisan," sahut Wan
Fei-yang mulai berani.
848 "Bagus kalau kau mengerti!" Tok-ku Hong menghentikan
langkah kakinya.
"Biarlah aku dianggap kurang ajar. Tapi coba kau bayangkan,
seandainya mereka mengerahkan segenap kemampuan dan
tanpa sadar melukaimu, mereka sudah pasti akan menerima
kematian. Sedangkan kau hanya merasa bahwa mereka tidak
mengerahkan segenap kemampuan saja, sudah
mengharapkan kematian mereka ...."
"Orang-orang itu semuanya kantong nasi. Mati juga tidak perlu
disayangkan!"
"Salah besar. Seandainya tidak ada mereka, hari ini Bu-ti-bun
tidak mungkin sehebat ini. Lagi pula, kau begini kejam. Salah
sedikit saja sudah main bunuh. Siapa yang berani
mendekatimu" Seandainya suatu hari kau terancam bahaya,
siapa pula yang akan menolongmu" Mungkin mereka malah
membiarkan kau mati di tangan musuh!"
Tok-ku Hong tertawa dingin. "Ini adalah salah satu peraturan
Bu-ti-bun, siapa yang menerima perintah lalu tidak dituruti,
maka ...."
"Peraturan hanya buatan manusia, mengapa tidak bisa
diubah" Biar bagaimana aku tetap akan mengobati mereka.
Paling banter, sehabis mengobati mereka, kau akan menebas
aku dengan golokmu," sahut Wan Fei-yang tegas.
"Kau ...." mata Tok-ku Hong mendelik penuh kemarahan
kepada Wan Fei-yang.
"Aku menolong mereka sebetulnya bukan maksud tertentu.
849 Semua ini demi kebaikanmu juga," sahut Wan Fei-yang
kembali. "Apa lagi yang kau ocehkan?"
"Mereka sudah lama mengikutimu. Seandainya mereka
menaruh dendam dalam hati .... Musuh terang mudah
dihadapi, takutnya justru musuh yang membokong dari
belakang."
"Kau kira mereka berani?"
"Semut saja melawan kalau di njak, apalagi manusia. Mungkin
di hadapanmu mereka tidak berani mengambil tindakan apaapa. Tapi kalau kau sampai menemui bahaya, dia akan
melihat kau mati tanpa niat menolong."
"Aku juga tidak memerlukan pertolongan mereka!"
"Biar bagaimanapun, tindakanku ini hanya menguntungkan
dirimu dan sama sekali tidak ada ruginya. Aku hanya
memerhatikan dirimu ...." Wan Fei-yang menatap gadis itu
kemudian menarik napas panjang.
"Mengapa kau harus memerhatikan aku?" tanya Tok-ku Hong
heran. "Aku sendiri tidak mengerti." Kenyataannya Wan Fei-yang
memang tidak mengerti.
Tok-ku Hong diam termenung. Wan Fei-yang menatapnya
sampai lama. 850 "Ada lagi. Kalau begini terus, aku dan tabib Cai Hua-to akan
mati lemas. Seandainya kami kurang tidur dan salah memberi
obat, maka pasti ada nyawa manusia yang akan melayang.
Sudah tentu nama baik tabib Cai pun tidak dapat
dipertahankan lagi."
Tanpa dapat menahan diri lagi, Tok-ku Hong tertawa terkekehkekeh. "Anggap saja mulutmu pandai berbicara. Tapi kau
harus berhati-hati. Suatu hari nanti, mungkin aku akan
melukaimu. Pada waktu itu aku ingin lihat bagaimana caranya
kau mengobati dirimu sendiri."
Selesai berkata, dia langsung membalikkan tubuhnya
meninggalkan tempat itu. Wan Fei-yang menatapnya sampai
menghilang di kejauhan. Dia masih tertegun di tempat itu. Di
sebelah sana, Kongsun Hong seakan tidak memercayai
pandangannya. Ternyata bukan saja Tok-ku Hong tidak
membunuh Wan Fei-yang, malah sebelum pergi tadi dia
tertawa terkekeh-kekeh. Biar sebodoh apa pun, dia langsung
dapat menerka bahwa kesan Tok-ku Hong terhadap Wan Feiyang sudah dalam sekali.
Kongsun Hong masih terpaku di tempat itu agak lama.
Matanya menyorotkan sinar yang dingin dan menakutkan.
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya dia melangkahkan kakinya. Tampaknya orang itu
sudah mempunyai rencana tertentu. Wan Fei-yang sama
sekali tidak menyadari kehadirannya.
***** Sekembalinya ke toko obat, seorang anak buah Bu-ti-bun
sudah menunggunya di sana. Melihat dia masuk ke dalam,
orang itu segera berteriak, "Cepat periksa aku!"
851 Dia menaikkan lengan bajunya. Tangannya kekar sekali. Wan
Fei-yang memeriksa sekilas. Dia tidak menemukan luka
ataupun penyakit apa-apa. Mungkin dia kurang teliti, pikirnya
dalam hati. Oleh karena itu, dia memeriksa sekali lagi dengan
saksama. "Apa sebetulnya yang kau lakukan" Tanganku terpukul
beberapa kali. Uratnya saja terasa hampir putus. Kau masih
tidak mengatakan apa-apa sejak tadi!" teriak orang itu
kembali. Wan Fei-yang segera memegang lengan orang itu. Tapi orang
itu langsung menjerit seperti kesakitan. "Tenagamu begitu
keras, apakah kau sengaja ingin membuat aku menjadi cacat"
Apakah kau belum pernah mendengar siapa adanya Cao
Pao?" Padahal Wan Fei-yang hanya menyentuhnya. Sama sekali
tidak menggunakan tenaga keras. Dia sampai tertegun
mendengar makian itu.
"Aku ingin nyawamu!" teriak Cao Pao lantang.
Tangan yang menurutnya sudah hampir cacat itu tiba-tiba
memutar. Sebatang golok sudah tergenggam di tangannya.
Dia menerjang maju dan berniat membacok anak muda itu.
Tangan itu bergerak dengan gesit, sama sekali tidak seperti
tangan yang sedang kesakitan. Wan Fei-yang adalah orang
yang cerdas. Dia segera mengerti apa maksud orang itu.
Cepat-cepat dia memegang kepalanya dengan sepasang
tangan dan lari terbirit-birit.
852 Caranya menghindar benar-benar seperti orang yang
kelabakan. Kadang-kadang dia sampai bergulingan di tanah.
Napasnya tersengal-sengal. Dengan susah payah, akhirnya
dia berhasil juga menghindarkan diri dari tiga puluh enam kali
serangan golok Cao Pao.
Golok Cao Pao terus mengejar Wan Fei-yang. Tampaknya
laki-laki kasar itu tidak ingin melepaskan Wan Fei-yang begitu
saja. Goloknya menyapu ke kiri dan kanan. Sambil berlari
Wan Fei-yang berteriak-teriak. Sebentar dia berteriak minta
tolong, sebentar lagi dia berteriak meminta ampun lalu
meminta Cao Pao menghentikan serangannya. Dia terjatuh
dan merangkak bangun beberapa kali. Keadaannya sungguh
mengenaskan. Pakaiannya sudah kotor semua. Dia berlari ke
arah taman belakang.
Dari antara gunung buatan yang tertebar di seluruh taman,
tiba-tiba terlihat bayangan berkelebat. Kongsun Hong muncul
di sana. Matanya menatap lekat-lekat pada Wan Fei-yang.
Wajahnya tersirat rasa penasaran. Dari gerak-gerik Wan Feiyang yang jatuh pontang-panting seperti itu, ia tidak tampak
seperti orang yang mengerti ilmu silat. Akhirnya dia
Riwayat Lie Bouw Pek 12 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemetik Harpa 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama