Ceritasilat Novel Online

Ilmu Ulat Sutera 17

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 17


angin menghembusi dirinya sehingga pakaiannya melambailambai. Dibiarkannya hujan membasahi tubuhnya sehingga
basah kuyup. Mungkin dia sendiri tidak tahu di mana dia
sekarang berada. Matanya menerawang ke kejauhan. Tapi tak
ada pemandangan apa pun yang dilihatnya, hanya bayangan
seorang gadis yang masih tetap terpantek dalam benaknya.
"Ternyata Tok-ku Hong adalah adikku sendiri..."
gumamnya seorang diri. Sejak tadi, entah sudah berapa puluh
kali dia menggumamkan kata-kata yang sama.
Sampai-sampai Yan Cong-tian yang sudah menemukan
dirinya berdiri di sampingnya, Wan Fei-yang masih belum
sadar. Dalam otaknya hanya terlintas bayangan Tok-ku Hong.
Bagaimana pertama-tama ia mengenalnya, bagaimana
mereka saling bermusuhan kemudian berbaikan kembali.
Bagaimana mereka saling memperhatikan dan merindukan
1306 satu dengan lainnya secara diam-diam. Bagaimana mereka
melewati segala macam rintangan sehingga akhirnya dapat
terikat menjadi suami istri.
Suami istri" Apakah mereka sekarang masih dapat
dikatakan sebagai suami istri" Wan Fei
Kang tidak berani membayangkan seandainya semuanya
sudah terlanjur terjadi. Haruskah dia membenci Sen Man-cing
yang menggagalkan malam pengantin mereka. Atau dia harus
berterima kasih kepadanya" Tiba-tiba dia teringat bahwa Sen
Man-cing sudah menjadi sesosok mayat di dalam ruangan
besar. Mayat" Siapa yang membunuhnya" Tok-ku Hong"
Tidak! Tidak mungkin... gadis itu begitu manis, begitu
lembut.... Tanpa sadar pikirannya kembali lagi pada diri Tok-ku Hong
yang ceria, nakal, keras kepala.
Seharusnya semua itu merupakan kenangan yang manis.
Sekarang malah berubah menjadi arak beracun yang
menghancurkan hatinya. Rasa perih yang ditimbulkan tidak
terkirakan. Mulutnya yang masih menggumam akhirnya tidak
dapat bertahan lagi, dia berteriak sekeras-kerasnya. Tinjunya
terkepal erat-erat. Tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan
meninju batang pohon yang besar itu. Kiri sekali, kanan sekali, terus menerus dia meninju dengan kalap.
Yan Cong-tian tidak mencegah. Melihat keadaan Wan Feiyang yang mengenaskan itu, tanpa sadar air mata mengalir
deras dari matanya yang tua. Peristiwa yang dialami Wan Feiyang seumur hidupnya selalu menyedihkan, namun yang kali
ini justru yang paling parah. Meskipun orang yang lebih keras
lagi perangainya, tetap saja sulit menerima penderitaan ini.
Yan Cong-tian merasa nasib seakan terus menerus
mempermainkan Wan Fei-yang. Tidakkah Thian bersedia
1307 memberikan sedikit saja kebahagiaan untuk anak muda yang
malang ini"
"Brak!" Akhirnya pohon itu tumbang karena tidak kuat
menerima pukulan Wan Fei-yang yang terus menerus.
Kepalan tangan anak muda itu masih terus meninju ke depan,
hampir saja dia ngusruk karena pohon itu sudah roboh di atas
tanah. Saat itulah, dia baru menghentikan gerakannya dan
berdiri dengan termangu mangu.
Yan Cong-tian mengulurkan tangannya menekan pundak
Wan Fei-yang. "Siau-fei, sudahlah...."
Perlahan-lahan Wan Fei-yang membalikkan tubuhnya.
Lama sekali dia menatap Yan Cong-tian.
"Supek...." Akhirnya dia menyapa dengan suara parau.
"Pluk!" Dia menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah.
Dipeluknya sepasang kaki Yan Cong-tian dan menangis
tersedu-sedu. Angin masih bertiup, hujan juga masih turun.
Sampai kapan semuanya baru berhenti"
*** Kesedihan Tok-ku Hong sudah dapat dibayangkan pasti
tidak di bawah penderitaan Wan Fei-yang. Seluruh tubuhnya
basah kuyup. Dengan susah payah dan tanpa tujuan dia terus
menyeret langkah kakinya menerjang ke depan.
Di bawah hujan badai dan kegelapan malam yang pekat,
memang tidak mudah membedakan jalan yang ada di
hadapannya. Dengan pikiran kacau seperti saat itu, Tok-ku
Hong semakin tidak memperdulikannya.
Dunia begini luas, dari mana dia datang dan kemana
tujuannya. Tok-ku Hong bahkan hampir tidak mengingat siapa
1308 dirinya. Saat itu dia seperti seorang anak bayi yang baru
dilahirkan. Dia seakan tidak tahu apa-apa. Juga tidak sadar bahwa
dengan terus berjalan tanpa tujuan seperti saat itu, akhirnya
dia kembali lagi ke tempat semula. Bukan tempat di mana Sen
Man-cing bunuh diri tapi di daerah yang tidak jauh dari tempat
itu. Kilat terus menyambar. Tiba-tiba di hadapannya muncul
seseorang. Air mata Tok-ku Hong masih menggenang di
pelupuk mata, namun kesadarannya belum hilang sama
sekali. Dia masih mengenali orang yang muncul di
hadapannya ialah Fu Hiong-kun. Tanpa sadar, langkah
kakinya berhenti.
Malah Fu Hiong-kun yang mempercepat langkahnya.
Dengan panik dia menghambur kc depan Tok-ku Hong.
"Hong cici...!" serunya dengan bibir bergetar.
"Hiong-kun!" sahut Tok-ku Hong dengan tertegun. Sahutan itu seperti tercetus begitu saja dari mulutnya.
Fu Hiong-kun mengulurkan tangannya memapah Tok-ku
Hong. "Hong cici.... Urusan ini aku sudah tahu semuanya. Aku mengerti bagaimana perasaanmu saat ini."
Rasa pedih menyelimuti hati Tok-ku Hong. Dia terkulai
lemas di pelukan Fu Hiong-kun. Air matanya mengalir dengan
deras. Dia tidak merasa cemburu kepada Hiong-kun lagi. Dia
juga masih sadar bahwa hati gadis yang satu ini tulus sekali.
Fu Hiong-kun menarik nafas dengan pilu.
"Padahal sepanjang perjalanan aku terus berdoa demi
kebahagiaan kalian berdua. Siapa sangka...."
1309 Belum lagi ucapannya selesai, Tok-ku Hong sudah
menangis dengan suara meratap. Fu Hiong-kun tidak jadi
meneruskan kata-katanya. Dia memeluk Tok-ku Hong eraterat. Dia sama sekali tidak mencegah atau membujuk gadis itu
agar diam. Dapat menangis dengan sepuas-puasnya, bagi
Tok-ku Hong malah merupakan suatu hal yang dapat
meringankan penderitaan hatinya.
Dia hanya merangkul Tok-ku Hong erat-erat. Akhirnya dia
sendiri tidak dapat menahan kesedihan hatinya. Dia juga ikut
menangis dengan terisak-isak. Kedua gadis itu saling
berpelukan. Di bawah hembusan angin kencang dan curahan
hujan lebat, mereka saling mengeluarkan kesedihan hatinya
dengan tangisan pilu.
Entah berapa lama sudah berlalu. Tangisan Tok-ku Hong
mulai reda. Dia menarik dirinya dari pelukan Fu Hiong-kun dan
memegang pundak itu erat-erat.
"Hiong-kun, kabulkanlah permintaanku..." katanya dengan suara parau.
"Hong cici, jangan ragu-ragu. Katakan saja...."
"Harap kau bersedia menjaga Siau.... Toako ku baikbaik...." Tanpa menunggu jawaban dari Fu Hiong-kun, Tok-ku Hong langsung membalikkan tubuhnya dan terus lari
dengan kecepatan tinggi.
Jilid 29 Fu Hiong-kun tertegun sejenak. Kemudian dia tersentak
sadar.... "Hong cici!" teriaknya panik.
1310 Tok-ku Hong dapat mendengar suara panggilan Fu Hiongkun, namun dia tidak memperdulikannya. Dalam sekejap
mata, dia sudah menghilang dalam kegelapan malam. Fu
Hiong-kun mengejar beberapa tindak, kemudian dia
menghentikan langkah kakinya. Dia memandang arah yang
ditempuh oleh Tok-ku Hong, air matanya mengalir semakin
deras. Mengapa nasib mempermainkan mereka semua" Tadinya
dia sudah rela Wan Fei-yang menikah dengan Tok-ku Hong.
Setelah apa yang diperbuat Fu Giok-su dan Thian-ti terhadap
Wan Fei-yang, dia sudah merasa dirinya tidak pantas
bersanding dengan anak muda itu. Namun mengapa takdir
malah menentukan hal yang membuatnya lebih sakit lagi. Dia
lebih rela melihat Wan Fei-yang menikahi Tok-ku Hong dari
pada kenyataan yang demikian menyakitkan. Baik Wan Feiyang ataupun Tok-ku Hong merupakan sahabat baiknya.
Hatinya tidak dapat menahan kepedihan melihat
penderitaan yang terpaksa mereka hadapi. Mengapa mereka
harus terlahir sebagai kakak beradik" Mengapa nasib bisa
mempertemukan mereka sehingga terlibat dalam cinta kasih
yang kacau ini..." Untung Wan Fei-yang dan Tok-ku Hong
belum sempat melakukan perbuatan yang bisa menimbulkan
aib seumur hidup itu. Untung" Apakah dalam masalah ini
masih pantas diselipkan kata-kata 'untung'"
Dia teringat kata-kata yang diucapkan oleh Sen Man-cing
ketika dia mengatakan bahwa Wan Toako adalah putra Ci
Siong tojin. Itulah sebabnya maka wanita itu mengatakan
bahwa Tok-ku Hong tidak bisa menikah dengan Wan Feiyang. Kelak Wan Fei-yang hanya boleh menjadi miliknya.
Waktu itu dia sama sekali tidak mengerti. Dia mengira Sen
Man-cing merasa kasihan terhadapnya karena memendam
perasaan cinta secara diam-diam.
1311 Kalau saja dia tidak menceritakan kepada nyonya itu apa
yang didengarnya di kota tempo hari, tentu Sen Man-cing tidak
keburu datang mencegah pernikahan Wan Fei-yang dan Tokku Hong. Rupanya semua ini memang sudah ditentukan oleh
takdir. Fu Hiong-kun adalah seorang gadis yang baik. Dalam
keadaan seperti ini, dia tidak memikirkan bahwa kemungkinan
ialah kelak yang akan menjadi istri Wan Fei-yang. Satusatunya hal yang terlintas dalam benaknya saat itu adalah
menemukan Wan Fei-yang dan membujuknya agar jangan
sampai melakukan perbuatan yang bodoh.
*** Lilin merah masih menyala. Air mata kepedihan sudah
kering. Air mata Wan Fei-yang memang sudah terkuras habis. Dia
duduk termangu-mangu di depan meja dan memandangi
sepasang lilin merah bergambar liong hong yang menjadi
lambang pernikahan dengan Tok-ku Hong.
Malam panjang sudah berlalu. Hujan angin sudah reda.
Cahaya matahari sedikit demi sedikit menyembul di ufuk timur
dan menerobos lewat jendela kamarnya. Cahaya matahari
juga menyoroti wajah Wan Fei-yang. Tidak ada sedikit reaksi
pun pada diri anak muda itu.
Dari atas genting masih menetes titik-titik sisa air hujan
yang menggenang. Cahayanya berkilauan disorot sinar
mentari pagi. Seperti butiran mutiara yang indah, juga laksana
air mata yang pedih.
Pintu kamar terdorong dari luar. Fu Hiong-kun melangkah
masuk dengan semangkok bubur di tangan.
"Wan toako sudah bangun?" Mulutnya bertanya demikian, tapi diam-diam dalam hati dia menarik nafas panjang.
1312 Bagaimana mungkin dia tidak tahu kalau Wan Fei-yang tidak
tidur sepanjang malam.
Wan Fei-yang tidak menyahut. Dia bahkan seperti tidak
menyadari kehadiran Fu Hiong-kun. Juga tidak mendengar
sapaan gadis itu. Fu Hiong-kun meletakkan mangkok berisi
bubur di atas meja. Sekali lagi dia menarik nafas dalamdalam. "Wan Toako..."
Wan Fei-yang bagai tersentak dari lamunan. Dia
memandang Fu Hiong-kun dengan wajah keheranan. "Kapan
kau masuk ke mari?"
Pertanyaannya juga aneh.
Fu Hiong-kun tertawa getir.
"Barusan," sahutnya singkat.
Wan Fei-yang termenung kembali. Wajahnya semakin
kelam. "Hong.... Di mana adikku sekarang?" tanyanya lirih.
Fu Hiong-kun tidak langsung menjawab. Dia seperti
sedang mempertimbangkan apakah dia harus mengatakan
dengan terus terang. Akhirnya dia merasa harus mengatakan
hal yang sebenarnya.
"Dia sudah pergi."
"Pergi?" Wan Fei-yang tampaknya masih ingin
mengatakan sesuatu, namun dia membatalkan nya.
1313 "Dia baik-baik Saja. Kau tidak usah khawatir." Fu Hiong-kun memaksakan sebuah senyuman di bibirnya. "Lebih baik
kau makan dulu bubur ini. Mumpung masih hangat."
Wan Fei-yang menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu...
aku taruh di atas meja. Terserah kau kapan baru mau makan,
tapi kau harus makan ya?"
Tanpa menunggu jawaban dari Wan Fei-yang, dia
langsung membalikkan tubuhnya serta berkata: "Aku keluar
dulu." Baru saja Wan Fei-yang bermaksud memanggil Fu Hiongkun agar membawa mangkok berisi bubur itu karena dia tidak
berselera untuk makan, tapi gadis itu sudah melangkah keluar
dengan tergesa-gesa.
Sesampainya di koridor panjang, air mata Fu Hiong-kun
tidak dapat tertahan lagi. Dia menangis tersedu-sedu.
Sesungguhnya dia tidak sanggup melihat keadaan Wan Feiyang yang seperti orang kehilangan gairah hidup itu.
Tepat pada saat itu Yan Cong-tian muncul dari tikungan
yang satunya. Dia menatap Fu Hiong-kun sekilas. "Bagaimana keadaannya?" tanyanya penuh pengertian.
"Masih duduk termangu-mangu di samping meja. Dia tidak
tidur sepanjang malam," sahut Fu Hiong-kun dengan suara
tersendat-sendat.
Yan Cong-tian menatap Fu Hiong-kun sambil menarik
nafas panjang. "Hiong-kun, kami telah membuatmu menderita...."
Fu Hiong-kun menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Tidak... aku tidak menderita...!"
1314 Air matanya mengalir semakin deras.
*** Tiga hari berlalu. Mayat Sen Man-cing dan Kongsun Hong
telah dikuburkan secara layak. Yan Cong-tian memberi
perintah kepada Yo Hong untuk mengatur segalanya. Upacara
sembahyang berlangsung dengan sederhana. Sebagian tamu


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang masih belum pulang mengikuti upacara sembahyang
dengan khidmat. Dalam hati mereka tidak ada perasaan
menghina Sen Man-cing, mereka malah merasa iba terhadap
nasib wanita ini. Demikian pula kesan mereka terhadap
Kongsun Hong. Laki-laki yang satu ini lebih patut dihargai
daripada gurunya sendiri.
Dengan perasaan tulus, Fu Hiong-kun berlutut di depan
peti mati Sen Man-cing bertindak sebagai wakilnya.
Sedangkan Yo Hong dan Yan Cong-tian berlaku sebagai
pihak keluarga Tok-ku Hong dalam menyambut tamu yang
memberikan penghormatan terakhir.
Sen Man-cing dan Tok-ku Hong sama-sama bernasib
malang. Mereka adalah dua insan yang seumur hidupnya
menderita karena cinta. Kematian Sen Man-cing mungkin
masih dapat dimengerti oleh orang-orang yang hadir.
Sedangkan kematian Kongsun Hong memang patut
disayangkan. Tok-ku Bu-ti tidak berhak mendapat pembelaan
demikian tinggi dari muridnya. Namun apa yang harus
dikatakan lagi. Nasi toh sudah menjadi bubur. Yang mati tidak
mungkin dapat hidup kembali bukan"
*** Selama liga hari itu juga, keadaan Wan Fei-yang masih
belum berubah. Jangan kata makan, setetes air pun tidak
pernah membasahi bibirnya. Fu Hiong-kun tidak berputus asa.
1315 Tanpa mengenal kata lelah, dia terus membujuk Wan Feiyang dan menasehatinya.
Meskipun dia mengerti perasaan Wan Fei-yang, lapi dia
juga khawatir kalau keadaan demikian berlangsung terus,
kesehatan Wan Fei-yang pasti akan terpengaruh.
Yan Cong-tian juga sama cemasnya. Sampai hari keempat
dia masih juga melihat Fu Hiong-kun keluar dari kamar Wan
Fei-yang dengan mangkok berisi bubur yang masih utuh.
Sepasang alisnya yang sudah berubah warna langsung
terangkat ke atas.
Yan Cong-tian tidak mengajukan pertanyaan. Fu Hiongkun juga tidak berkata apa-apa. Dia hanya lewat di samping
Yan Cong-tian sambil menggelengkan kepalanya berulang
kali. Bibirnya mengembangkan senyuman pahit. Tanpa sadar
Yan Cong-tian mengikuti dari belakang.
Sesampainya di ruangan dalam, dia melihat Fu Hiong-kun
menuangkan kembali bubur yang dibawanya ke dalam panci.
Sekali lagi Yan Cong-tian menarik nafas panjang. "Apa
sebetulnya yang memenuhi benak anak itu?" gerutu Yan
Cong-tian kesal.
Fu Hiong-kun menggelengkan kepalanya. "Dia hanya
terlalu sedih. Sekarang apa yang harus kita perbuat adalah
membantunya melupakan peristiwa yang terjadi malam itu.
Kalau bisa biar dia tinggalkan tempat ini untuk sementara."
Yan Cong-tian menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Aku rasa tidak mudah baginya untuk melupakan peristiwa
malam itu."
"Nasib Wan Toako memang patut dikasihani!"
1316 "Hiong-kun, hatimu begitu baik, wajahmu juga cantik jelita.
Aku tidak mengerti mengapa Siau-fei...." Baru berkata
setengahnya saja, Yan Cong-tian tersadar bahwa dalam
situasi seperti ini sebetulnya dia tidak boleh mengucapkan
perkataan demikian. Cepat-cepat dia mengalihkan pokok
pembicaraan. "Tidak boleh.... Kalau begini terus, bukan saja dia mencelakakan dirinya sendiri, orang lain juga ikut repot.
Aku harus bersikap tegas kepadanya dan memarahinya habishabisan biar pikirannya tersadar. Dia harus ingat
perjalanannya masih panjang dan sama sekali tidak boleh
kehilangan gairah hidup karena persoalan ini. Tentu Tok-ku
Bu-ti semakin senang apabila dia mengetahuinya!"
Selesai berkata dia langsung membalikkan tubuhnya
menghambur keluar.
Fu Hiong-kun bermaksud mencegahnya, namun sudah
terlambat. Dia terpaksa menyusul di belakang Yan Cong-tian.
*** Pintu kamar tertutup rapat. Yan Cong-tian mendorong
pintu dan masuk ke dalam. Tidak terlihat bayangan Wan Feiyang. Hanya ada sepucuk surat yang tergeletak di atas meja
di samping lilin merah yang telah padam.
Yan Cong-tian mengedarkan pandangannya. Cepat dia
menghambur ke depan meja. Diambilnya surat yang
tergeletak itu dan dibacanya sampai selesai. Matanya
membelalak sebesar telur burung puyuh.
Fu Hiong-kun juga sudah menyusul tiba. Melihat Yan
Cong-tian yang termangu-mangu dia segera menghampiri.
"Ada apa dengan Wan Toako?" tanyanya panik.
1317 Yan Cong-tian menarik nafas dalam-dalam. Dia
menyodorkan surat yang ditinggalkan Wan Fei-yang kepada
Fu Hiong-kun. "Dia pergi ke luar perbatasan!"
Fu Hiong-kun tertegun. Dia menerima surat itu dengan
membacanya berulang kali. Akhirnya dia jatuh terduduk di
atas bangku dengan lemas. Yan Cong-tian menggelengkan
kepalanya dan menarik nafas sekali lagi.
"Kepergiannya mungkin ada baiknya. Jauh lebih baik
daripada menyiksa diri sampai mati di tempat ini."
Fu Hiong-kun hanya mengangguk seperti orang linglung.
Yan Cong-tian menolehkan kepalanya memandang Fu Hiongkun. Dia memaksakan sebuah senyuman di bibirnya.
"Usia Siau-fei sudah tidak kecil lagi. Ilmu silatnya tinggi sekali. Kau tidak usah khawatir akan terjadi apa-apa pada
dirinya." Fu Hiong-kun tetap mengangguk tanpa berkata apa-apa.
"Kalau Siau-fei sudah pergi ke luar perbatasan, kita juga
tidak perlu berdiam di sini lagi," kata Yan Cong-tian
selanjutnya. Bibir Fu Hiong-kun bergerak, dia seperti ingin mengatakan
sesuatu, lapi Yan Cong-tian sudah menukasnya kembali. "Kau toh tidak punya tujuan yang pasti. Lebih baik kau ikut aku saja kembali ke Bu-tongsan."
Fu Hiong-kun mempertimbangkan sekilas kemudian dia
menganggukkan kepalanya menyetujui usul Yan Cong-tian.
Dengan langkah perlahan Yan Cong-tian keluar dari kamar itu.
Matanya mengedar. "Nama Bu-ti-bun tinggal kenangan.
Tempat ini merupakan markas di mana setiap rencana
kejahatan Bu-ti-bun dipersiapkan. Dibiarkan tentu tidak ada
1318 gunanya. Malah ada kemungkinan digunakan oleh golongan
sesat yang lain. Lebih baik kita bakar saja sampai habis!"
katanya tegas. Sisa kehancuran Bu-ti-bun juga ditentukan oleh kata-kata
Yan Cong-tian ini
** * Kepergian Yan Cong-tian meninggalkan Bu-ti-bun juga
dikarenakan peristiwa mengenaskan yang dialami oleh Wan
Fei-yang. Seandainya semua berjalan dengan lancar tanpa
adanya berbagai kejadian, mungkin Yan Cong-tian juga tidak
tergesa-gesa kembali ke Bu-tong-san dan mengambil
keputusan yang terakhir itu.
Angin yang kencang membantu berkobarnya api. Yan
CongTian sudah memberi perintah agar tidak ada sedikit
barang pun yang boleh tertinggal. Markas besar Bu-ti-bun
itupun langsung menjadi lautan api dengan seluruh isinya.
Api menyala selama dua hari satu malam. Setelah turun
hujan deras sepanjang malam, keesokan harinya api mulai
padam dan berhenti perlahan-lahan. Tidak ada satu bagian
pun dari markas pusat Bu-ti-bun yang masih utuh. Sejauh
mata memandang, di mana pun hanya tinggal puing-puing
yang berserakan. Reruntuhan tembok berwarna hitam pekat.
Tampaknya menyayatkan hati apabila orang tidak tahu apa
tempat itu sebelumnya dan mengapa Yan Cong-tian memberi
perintah membumihanguskan semuanya sampai rata.
Sampai menjelang senja hari hujan masih turun terus.
Bahkan lebih deras dari sebelumnya. Sesosok bayangan
bagai roh yang gentayangan muncul di depan bekas pintu
gerbang Bu-ti-bun. Tembok batu yang tadinya merupakan
batas pekarangan sudah retak dan hitam hangus. Sama sekali
tak terlihat sepercik pun api, yang tinggal hanya sisanya saja.
1319 Namun di mata orang itu terlihat api yang berkobar-kobar.
Api kemarahan! Sepasang tinjunya terkepal erat. Rambut
kepala, pakaiannya, dari atas ke bawah sudah basah kuyup di
basahi air hujan. Punggungnya saja seperti tidak dapat
ditegakkan lagi karena diterpa hujan yang turun terus
menerus. Dia seakan tidak dapat melupakan keperkasaan tempo
dulu, di mana setiap orang merasa gentar hanya karena
mendengar namanya saja. Tok-ku Bu-ti!
Sejak pagi dia sudah datang. Matanya memandang
kobaran api yang melalap habis bekas markas Tok-ku Bu-ti
itu. Dia tidak menemukan akal untuk menghentikannya.
Hatinya ikut tersayat melihat markas Bu-ti-bun itu hangus oleh
kobaran api sedikit demi sedikit.
*** Pikirannya menerawang. Dendam membara dalam
hatinya. Ketika Bu-ti-bun dihancurkan oleh Siau-yau-kok,
setidaknya dia masih mempunyai Tok-ku Hong dan putrinya,
Tok-ku Hong. Putrinya"
"Huh!" Dia tidak mempunyai putri. Bahkan dia tidak
mempunyai siapa-siapa sekarang.
"Bu-ti-bun.... Bu-ti-bun...." gumamnya berulang kali.
Dadanya bergemuruh. Nafasnya tersengal-sengal. Matanya
menyorotkan cahaya yang mengerikan. Kemudian dia
mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Suara
tawa itu lebih mirip pekikan histeris manusia yang otaknya
sudah tidak waras.
Suara tawa itu terpancar dari hatinya yang terlalu sakit.
Begitu kerasnya sehingga berkumandang sampai di kejauhan.
1320 Keadaan Tok-ku Bu-ti saat ini memang sudah hampir
memasuki taraf abnormal
*** Tengah hari. Hari ini keadaan Pek ka cik tidak berbeda dengan hari-hari
sebelumnya. Di jalan raya yang terdapat di tengah-tengah
dusun tersebut, terlihat orang berlalu lalang tiada hentinya.
Masih juga meriah seperti biasanya.
Pek ka cik adalah nama lama. Nama itu diambil karena
penduduk yang tinggal di daerah itu tadinya memang terdiri
dari seratus keluarga. Sekarang sudah mencapai ribuan.
Namun nama yang diberikan tetap dipakai sampai saat ini.
Letak tempat itu sangat strategis. Para pedagang yang
mondar-mandir di tempat ini juga banyak sekali. Hal tersebut
juga merupakan salah satu sebab mengapa semakin hari
tempat itu semakin banyak penduduknya.
Orang-orang yang hendak menuju ke utara ataupun ke
selatan, memang harus melalui Pek ka cik. Dengan demikian
mereka tidak perlu melintasi hutan yang lebat atau gunung
yang masih banyak binatang buasnya. Sekalian merupakan
tempat yang sesuai untuk menginap barang satu dua malam
sebelum melanjutkan perjalanan kembali.
Di wilayah seperti ini, manusia model apa atau berprofesi
apa pun yang datang, tentu tidak terlalu menarik perhatian.
Sebagai daerah perlintasan, memang banyak orang yang
singgah di dusun itu. Dengan hanya mengenakan topi pandan
yang lebih rendah dari orang-orang umumnya, kecuali orang
lain sengaja membungkukkan tubuh untuk melirik, wajah yang
tertutup sebagian oleh topi pandan tersebut jadi lak mudah
terlihat. Selain itu dia masih mengenakan sehelai kain hitam
1321 untuk menutupi bagian kiri kanan wajah dan mengikatnya di
bawah dagu. Orang ini berjalan merapat di tembok-tembok rumah
orang. Tampaknya dia berusaha menghindar dari pandangan
penduduk yang lalu lalang. Setiap langkah kakinya tidak
berubah. Seperti sudah diukur dengan seksama.
*** Di dekat tikungan ujung jalan, ada seorang laki-laki
peramal nasib. Di alas meja kecil di hadapannya terpapar
berbagai macam benda yang diperlukan untuk meramal.
Semuanya tersusun di atas sehelai kain putih yang sudah
lusuh. Rona wajahnya seperti orang yang kurang sehat.
Pucatnya hampir menyerupai kain di atas mejanya yang
kumal. Sepasang biji matanya juga hampir putih semuanya.
Sepertinya peramal itu juga buta matanya.
Orang yang mengenakan topi pandan serta wajahnya
hampir tidak erlihat itu pun berhenti di depan meja peramal
nasib tersebut. Tukang ramal itu tidak memperdulikan
kehadirannya. Dia terus mengocok tabung bambu berisi kayukayu panjang. Cukup lama juga sampai tiba-tiba dia
menyadari ada seseorang yang berdiri di hadapannya.
Tangannya berhenti bergerak. Kepalanya dimiringkan sedikit.
"Saudara datang untuk meramal nasib?" tanyanya kemudian.
"Betul." sahut orang bertopi pandan itu dengan suara
berat. "Meramal nasib sendiri atau orang lain?"
"Seorang sahabat baik."
1322 "Tahu tanggal lahirnya?"
"Cia gwe ce-sa (Bulan satu tanggal tiga)."
"Berapa usianya sekarang?"
"Di atas enam puluh tahun."
"Apa yang ingin saudara lihat?"
"Masih berapa lama dia dapat hidup di dunia ini?"
"Oh?" Tukang ramal itu tertegun sejenak. Kemudian dia menggerakkan lagi tabung di tangannya lalu mengambilnya
sebatang. Di atas permukaan kayu itu tertulis huruf 'Ketiga
puluh delapan'. Mata tukang ramal itu melihat ke atas.
Sepasang jari tangannya meraba permukaan kayu itu lalu dia
termenung sejenak. Setelah itu dia memasukkan kembali kayu
panjang tadi ke dalam tabung. Tiba-tiba dia menggelengkan
kepalanya berulang kali.
"Dia sudah mati, apa lagi yang perlu diramal?"
"Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang "Lebih baik kau pergi ke toko alat-alat sembahyang di ujung jalan sana.
Beli tujuh batang lilin dan sembahyangi sahabat baikmu itu,"
kata si tukang ramal menyarankan.
Orang yang mengenakan topi pandan itu tidak
mengatakan apa-apa lagi. Dia membalikkan tubuhnya dan


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung meninggalkan tempat itu. Si tukang ramal juga tidak
meminta uang pembayaran darinya. Dia meneruskan apa
yang dilakukannya tadi, yakni menggerakkan tabung berisi
kayu-kayu panjang. Sepasang matanya yang hampir memutir
memancarkan cahaya yang berkilauan tersorot sinar matahari.
Tiba-tiba terlihat sinar kekejian yang melintas di sepasang
1323 matanya itu. Tapi siapa yang sempat memperhatikan
keadaannya"
*** Toko yang menjual alat-alat sembahyang itu tidak terlalu
besar. Ketika orang yang mengenakan topi pandan itu
melangkah ke dalam, di sana tidak ada seorang tamu pun
yang berbelanja.
Seorang pelayan maju menghampirinya.
"Apa yang ingin tuan beli?"
"Lilin...."
"Berapa batang?"
"Tujuh...."
"Biasanya orang membeli lilin selalu berjumlah genap agar
dapat menjadi sepasang. Tapi Tuan..."
"Aku hanya ingin membeli tujuh batang."
"Baik. Satu batang dua tail. Seluruhnya berjumlah empat
belas tail."
Dengan uang sejumlah empat belas tail untuk membeli
tujuh batang lilin, apabila terdengar oleh orang lain, tentu dia akan menganggap pendengarannya kurang beres. Tapi orang
yang mengenakan topi pandan itu sama sekali tidak
menganggap kemahalan. Dia mengeluarkan uang sejumlah
empat belas tail dan meletakkannya di atas meja kasir.
Pelayan itu benar-benar menyodorkan tujuh batang lilin
untuknya. 1324 Orang bertopi pandan itu menerimanya tanpa menghitung
kembali. "Aku ingin menyembahyangi seorang sahabat baik.
Bagaimana caranya menggunakan lilin-lilin ini?"
"Orang yang mati kembali ke tanah. Dengan demikian
rohnya baru bisa tenang. Tuan sebaiknya pergi ke toko
keluarga Tio untuk membeli sebuah peti mati yang mutunya
baik. Di sana terdapat banyak pilihan."
"Toko keluarga Tio" Di mana itu?"
"Tuan tinggal menyusuri jalan ini. Di tengah-tengah nanti
ada sebuah toko peti mati yang besar dan di atasnya ada
papan merek yang bertuliskan "Keluarga Tio"
*** Toko keluarga Tio yang dikatakan itu ternyata tertutup
rapat. Namun sekali dorong saja pintunya sudah terbuka.
Biarpun saat itu masih siang, namun keadaan di dalam
ruangan tersebut remang-remang. Seluruh jendela yang ada
ditutup oleh sehelai tirai berwarna hitam. Suasananya begitu
mencekam dan mengerikan.
Orang yang mengenakan topi pandan itu melangkah
masuk ke dalam. Dia menutup kembali pintu toko itu.
"Apakah ada orang di dalam?" tanyanya dengan suara
lantang. Tidak terdengar sahutan. Orang bertopi pandan itu
menyapa sekali lagi. Kali ini terdengar suara orang terbatukbatuk. Anehnya, suara itu keluar dari salah satu peti mati yang berjajar di dalam ruangan itu. Orang bertopi pandan itu sama
sekali tidak terkejut. Dia masih berdiri menunggu di tempatnya
semula. 1325 Tiba-tiba terlihat cahaya memijar. Sebatang lilin telah
dinyalakan dan dipegang oleh seseorang yang muncul dari
samping peti mati di ujung ruangan. Dia berjalan menghampiri
orang bertopi pandan dengan langkah perlahan-lahan.
"Siapa yang kau cari?"
"Aku ingin membeli peti mati!"
"Yang berapa harganya?"
"Berapa harganya aku tidak perduli, yang penting mutunya
bagus!" Orang bertopi pandan maju ke depan dan menyalakan
tujuh batang lilin yang dibawanya.
Orang yang muncul dari samping peti mati itu sekarang
baru terlihat jelas rupanya. Ternyata dia seorang yang
punggungnya bungkuk karena cacat. Dia menatap si orang
bertopi pandan dengan pandangan menyelidik.
"Siapa yang hendak kau bunuh?" tanyanya langsung.
"Yan Cong-tian..." sahut orang bertopi pandan itu sepatah demi sepatah.
Si bungkuk tertegun. "Yan Cong-tian dari Bu-tong-pai?"
"Aku belum tahu ada Yan Cong-tian kedua yang patut
dibunuh." Sekali lagi si bungkuk terdiam.
"Berapa harganya?"
"Berapa harga yang sanggup kau keluarkan?" Si bungkuk balik bertanya.
1326 "Sepuluh laksa tail!" Tampaknya orang bertopi pandan itu cukup royal menghamburkan uangnya.
Kembali si bungkuk tertegun. "Kami setuju dengan harga
yang kau berikan. Sekarang kau sudah boleh meninggalkan
tempat ini," sahutnya kemudian.
Orang yang mengenakan topi pandan tetap tidak
bergerak. Si bungkuk tertawa terkekeh-kekeh. "Kalau kau bisa menemukan tempat ini, tentunya kau juga sudah tahu
peraturan yang berlaku di sini. Sebulan setelah kematian Yan
Cong-tian, kau harus dalang lagi mengantarkan uang yang
dijanjikan, setail pun tidak boleh berkurang."
Orang yang mengenakan topi pandan itu menganggukkan
kepalanya. "Tentu," katanya tenang.
"Lilin sudah kau nyalakan di tempat ini. Berarti transaksi di antara kami sudah berlangsung. Seandainya pada dirimu tidak
ada uang sebanyak sepuluh laksa tail, lebih baik kau minta
sedekah mulai sekarang. Jangan sampai menyesal nantinya!"
"Kalian tidak perlu khawatir...!"
Si bungkuk tertawa kering. "Selamanya kami tidak
mengkhawatirkan masalah pembayaran. Tentunya Tuan jauh
lebih mengerti dari kami sendiri."
Orang yang mengenakan topi pandan itu
memperdengarkan suara tertawa dingin. "Harap kalian juga
tidak akan membual aku kecewa."
"Bisnis seharga sepuluh laksa tail rasanya juga bukan
usaha yang tidak menguntungkan. Kami pasti akan berusaha
semaksimal mungkin. Pokoknya selama ini kami belum
pernah mengecewakan harapan para langganan kami!" sahut
si bungkuk. 1327 Orang yang mengenakan topi pandan itu tertawa dingin
sekali lagi. Si bungkuk maju satu langkah. Dia menudingkan
jari telunjuknya. "Ingat! Satu bulan hanya ada tiga puluh hari!
Waktu berlalu dengan cepat!"
Orang bertopi pandan mendengus satu kali. "Kalau ini
bukan yang dikatakan khawatir, lalu apa namanya?"
Dengan tenang si bungkuk mengambil kembali lilin yang
dinyalakan tadi. "Seandainya membunuh seorang Yan Congtian yang merupakan tokoh berilmu demikian tinggi masih
tidak dapat menghasilkan uang, rasanya kami tidak segansegan menambah wawasan dengan membunuh lagi seorang
Tok-ku Bu-ti!"
Orang yang mengenakan topi pandan itu tetap tidak
memperlihatkan reaksi apa-apa. "Sayangnya Tuan bukan Tokku Bu-ti. Kalau tidak, kami tentu tidak perlu khawatir sama
sekali," kata si bungkuk selanjutnya.
"Oh?" Orang bertopi pandan itu tampak agak penasaran.
Si bungkuk hanya tertawa terkekeh-kekeh.
"Meskipun Bu-ti-bun sudah hancur, tapi seandainya Tokku Bu-ti mendengarkan ucapanmu ini, dia pasti akan
menghormatimu dengan tiga cawan arak!" Selesai berkata,
orang bertopi pandan itu langsung membalikkan tubuhnya dan
berjalan keluar.
Si bungkuk memandangi orang bertopi pandan itu
meninggalkan ruangan tokonya. Diam-diam dia tersenyum
licik. Dia meniup lilin di tangannya sampai padam. Keadaan di
dalam toko keluarga Tio tidak gelap gulita. Tujuh batang lilin
yang dinyalakan oleh orang bertopi pandan tadi masih
menyala terang benderang.
1328 *** Kurang lebih tiga li dibagian Utara Pek ka cik ada sebuah
tempat peristirahatan berbentuk seperti pagoda.
Setelah meninggalkan Pek ka cik, orang bertopi pandan itu
terus melangkah. Sesampainya di tempat peristirahatan itu dia
baru menghentikan langkah kakinya. Tangannya membawa
sekendi arak dan tiga buah cawan. Dia duduk di atas meja
batu yang terdapat di tengah-tengah tempat peristirahatan
tersebut. Dengan tenang dia meneguk tiga cawan arak
berturut-turut. Setelah itu dia melepaskan topi pandannya dan
menanggalkan kain hitam yang menutupi bagian bawah
dagunya. Tok-ku Bu-ti! Setelah menghabiskan tiga cawan berturut-turut, dia
melemparkan tiga buah cawan itu ke bawah bukit. Mengapa
dia meneguk tiga cawan itu sampai kering, hanya dia sendiri
yang tahu. Meskipun sudut bibirnya memperlihatkan tawa
dingin, namun kelopak matanya tidak memperlihatkan sedikit
pun senyuman. "Tian Sat" adalah sebuah organisasi yang menyediakan
pembunuh-pembunuh bayaran. Organisasi ini sudah terbentuk
cukup lama. Organisasi ini besar sekali dan juga sangat
misterius. Motto mereka tidak ada dendam pribadi. Yang
mereka pandang hanya uang. Mereka juga tidak perduli siapa
yang hendak dibunuh, asal harganya sesuai dengan keinginan
mereka. Sudah sejak lama Tok-ku Bu-ti berusaha mencaplok
organisasi yang satu ini. Tadinya Bu-ti-bun juga menyediakan
pembunuh bayaran. Namun sayap mereka kurang lebar kalau
dibandingkan dengan Tian Sat. Meskipun sampai saat ini dia
tidak berhasil mengetahui siapa kepala pemimpin organisasi
1329 ini, namun terhadap cara kerjanya yang misterius dan tidak
pernah gagal itu, Tok-ku Bu-ti merasa tertarik sekali.
Demikian rahasianya organisasi yang satu ini sehingga
siapa saja anggota yang mendukung di dalamnya tidak pernah
terbocorkan. Kalau dilihat dari tokoh-tokoh yang berhasil
mereka bunuh, tentunya anggota organisasi ini terdiri dari
orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Tapi siapa tokoh
kelas tinggi di dunia ini yang tidak dikenal oleh Tok-ku Bu-ti"
Satu per satu pernah ia pikirkan, namun dari seluruh orangorang yang diketahuinya, rasanya tidak mungkin ada yang
sudi menjadi anggota sebuah perkumpulan pembunuh
bayaran seperti Tian Sat ini.
Setelah menghabiskan tiga cawan arak, tiba-tiba sebuah
perasaan aneh menyelinap di dalam hati Tok-ku Bu-ti.
Bu-ti-bun benar-benar tidak mempunyai kesempatan untuk
bangkit kembali!
Angin di atas bukit itu bertiup dengan kencang. Pohonpohon tetap berdiri tegak, namun dedaunan melambai-lambai
terhembus tiupan angin. Rambut Tok-ku Bu-ti mulai acakacakan. Pikirannya bertambah kacau.
Sebagai seorang Buncu yang selama ini disegani dan
ditakuti orang-orang dunia kangouw, pantaskah dia
mengambil tindakan seperti ini sebagai pelampiasan
dendamnya"
Dia mulai mempertimbangkan persoalan ini. Namun dia
yakin pada saat ini ketujuh batang lilin tadi pasti sudah padam semuanya. Menyesal pun sudah terlambat. Mengapa dia tidak
memikirkannya sejak awal"
*** 1330 Tentu saja Yan Cong-tian juga tidak dapat melupakan
adanya manusia bernama Tok-ku Bu-ti di dunia ini. Namun
dia justru tidak pernah menyuruh orang untuk menyelidiki di
mana jejaknya sekarang. Di dalam hati kecilnya, saat ini Tokku Bu-ti hanya seorang manusia rendah yang tidak berarti
banyak. Dia benar-benar tidak sudi menghabiskan waktunya
memikirkan orang yang satu ini. Apalagi urusan di Bu-tongsan masih banyak yang harus diselesaikan.
Apabila ada waktu senggang, Yan Cong-tian sering
mencari Fu Hiong-kun dan diajaknya berbincang-bincang.
Sebagian besar waktunya kebanyakan dihabiskan dengan
melatih Yo Hong serta murid Bu-tong lainnya dalam pelajaran
ilmu silat. Dia juga membentuk lagi barisan Jit sing kiam ceng
yang anggotanya sudah mati semua.
Fu Hiong-kun sekarang yang bertugas di dapur
menyediakan makanan bagi para murid Bu-tong. Diam-diam
dia masih suka duduk termenung di taman belakang. Siapa
lagi yang dipikirkannya kalau bukan Wan Fei-yang. Ketika Yan
Cong-tian sudah sampai di sampingnya dia masih belum
sadar juga. "Hiong-kun...."
Gadis itu tersentak. Dia menoleh ke arah Yan Cong-tian
dengan wajah tersipu-sipu.
"Locianpwe...."
Yan Cong-tian menarik nafas panjang. "Hiong-kun, ada
sesuatu yang ingin kurundingkan denganmu...."
Fu Hiong-kun menatapnya dengan heran.
"Tentang apa?"
1331 Yan Cong-tian tidak langsung menjawab. Tampaknya dia
mempertimbangkan sesuatu. Setelah agak lama, baru dia
mengatakan maksud hatinya.
"Hiong-kun, kau sudah sebatang kara. Meskipun abangmu
Giok-su masih hidup. Tapi kita tidak tahu di mana dia berada.
Lagipula dia bukan manusia baik yang bisa kau ikuti. Dendam
antara dia dengan pihak kami sangat dalam. Kita tidak bisa
meramalkan apa yang akan terjadi kelak. Kalau kau bersedia,
aku ingin mengangkatmu sebagai anakku. Tentu saja aku
tidak memaksa, terserah bagaimana anggapanmu sendiri
bersedia atau tidaknya."
Hiong-kun terpana mendengar ucapan Yan Cong-tian. Dia
menatapnya dengan pandangan terharu. "Terima kasih,
Lociapnwe.... Aku senang sekali mendapat penghormatan
yang demikian tinggi!"
Wajah Yan Cong-tian langsung berseri-seri. Dia menerima
Fu Hiong-kun setelah mempertimbangkannya baik-baik. Gadis
itu baik sekali hatinya. Tanpa membedakan dendam di antara
mereka, dia menjaga dan merawat Yan Cong-tian sepenuh
hati. Dia pula yang mendapat Suat tian untuk Wan Fei-yang.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lagipula dia memang sudah terlanjur menyayangi gadis itu
dan selama ini pun dia sudah menganggapnya seperti anak
sendiri. Memang tidak lazim seorang tosu mempunyai anak
angkat, apalagi dia seorang perempuan, tapi Yan Cong-tian
yang adatnya memang keras tidak memperdulikan semua itu.
Dia mengulurkan tangannya membelai kepala Fu Hiong-kun.
"Terima kasih, Hiong-kun. Aku senang sekali. Kau
membuat aku teringat akan Lun Wan-ji muridku..." Yan Congtian menarik nafas panjang. Wajahnya menjadi kelam. "Entah bagaimana nasibnya" Aku bahkan tidak tahu di mana dia
berada dan apakah dia masih hidup atau tidak?"
1332 "Harap Locianpwe jangan terlalu memikirkan keadaan
Wan-ji cici. Setahuku, Giok-su koko benar-benar
mencintainya, pasti dia tidak sampai hati membunuh gadis itu.
Bagaimana kalau kita menyuruh orang menyelidiki
keadaannya?"
Mata Yan Cong-tian langsung bersinar terang. Dia
menganggukkan kepalanya. "Benar, Hiong-kun. Selama ini
kita selalu disibukkan berbagai masalah. Sampai-sampai
melupakan Wan-ji. Besok aku akan menyuruh beberapa orang
untuk menyelidiki di mana gadis itu sekarang. Tapi yang
penting, besok aku akan mengumumkan pengangkatanmu
sebagai anakku."
Fu Hiong-kun agak gembira mendengar nada suara Yan
Cong-tian yang mulai bergairah.
*** Pagi-pagi sekali Yo Hong sudah dipanggil oleh Yan Congtian. Melihat wajah Supeknya yang bersemangat, dia menjadi
heran. "Supek, Tecu Yo Hong menghadap."
Yan Cong-tian segera menghampiri dan menarik tangan
Yo Hong. "Yo Hong, sebentar lagi kau kumpulkan para murid
Bu-tong yang lainnya, di ruangan pendopo. Aku ingin
mengumumkan suatu hal," katanya antusias.
"Urusan apa yang membuat Supek demikian bergairah?"
tanya Yo Hong penasaran.
"Aku telah memutuskan untuk mengangkat Hiong-kun
sebagai anak. Sayang sekali dia tidak begitu berminat dalam
ilmu silat. Sedangkan Supek buta sama sekali masalah
pengobatan. Kalau tidak, tentu Supek akan menerimanya
sebagai murid."
1333 Yo Hong baru tersenyum mendengar ucapan Supeknya
itu. "Selamat, Supek. Fu kouwnio memang seorang gadis
yang baik. Supek tentu akan bahagia didampingi seorang putri
seperti Fu kouwnio."
"Hm.... Sekarang kau keluarlah dan persiapkan segalanya.
Setelah itu ada satu urusan lagi yang harus kau selesaikan,"
kata Yan Cong-tian sambil mengibaskan tangannya.
Yo Hong mengangguk dan memohon diri.
*** Upacara pengangkatan Fu Hiong-kun sebagai anak oleh
Yan Cong-tian berlangsung sederhana, namun seluruh murid
Bu-tong menyambut gembira berita itu. Mereka semua suka
sekali terhadap Fu Hiong-kun yang lemah lembut dan baik
budi. Gadis itu tidak segan-segan mengulurkan tangannya
mengobati siapa saja apabila ada yang terkilir atau terluka
ketika berlatih ilmu.
Yan Cong-tian memanggil Fu Hiong-kun agar duduk di
sampingnya. "Yang lainnya boleh keluar sekarang. Yo Hong
tetap di sini. Ada sesuatu yang ingin aku katakan!"
"Locianpwe..." Fu Hiong-kun ingin mengatakan sesuatu
tapi ditukas oleh Yan Cong-tian.
"Hiong-kun, masa sampai sekarang kau memanggil aku
dengan sebulan itu?"
Wajah Fu Hiong-kun tersipu-sipu ditegur demikian.
"Gihu...."
Yan Cong-tian tertawa terbahak-bahak. "Begitu baru
betul.... Nah, apa yang ingin kau katakan tadi?"
1334 "Tentunya Gihu memanggil Yo Toako untuk masalah Wanji bukan?"
Yan Cong-tian menganggukkan kepalanya. "Kalau boleh,
aku ingin memberikan sedikit saran."
"Jangan ragu-ragu Hiong-kun, kita bukan orang lain lagi,
katakan saja."
Fu Hiong-kun mengangguk kecil.
"Sebelumnya aku ingin menanyakan dulu kepada Yo
Toako, apakah Yo Toako sudah tahu tugas apa yang
diberikan Gihu?"
Yo Hong menggelengkan kepalanya.
"Aku belum tahu, tapi mendengar pembicaraan Fu
kouwnio dengan Supek barusan, rasanya urusan ini
menyangkut masalah Lun Wan-ji Sumoay."
"Benar..." Yan Cong-tian menganggukkan kepalanya
sambil menarik nafas panjang. "Sampai sekarang kita masih
belum mendapat berita tentang Wan-ji. aku sungguh khawatir.
Kau tentu tahu bahwa Wan-ji besar di tanganku. Bagiku, dia
bukan saja seorang murid, tapi tidak beda dengan anakku
sendiri. Bagaimana hatiku dapat tenang kalau belum tahu apa
yang telah terjadi padanya."
"Maksud Gihu, agar kau membawa beberapa saudara
seperguruan untuk menyelidiki di mana Wan-ji cici berada,"
tukas Fu Hiong-kun.
"Tapi... di mana kami harus mencarinya" Sedangkan
dunia begini luas!" sahut Yo Hong sambil menggaruk-garuk
kepalanya. 1335 Yan Cong Tian terpana. Benar juga!
Memang tidak mungkin asal seruduk saja untuk mencari
kabar gadis itu. Setidaknya mereka harus mempunyai setitik
petunjuk sebagai awal penyelidikan.
Fu Hiong-kun memandangi kedua orang itu bergantian.
"Gihu, justru mengenal masalah inilah, tadi aku ingin memberi saran."
"Oh?" Yan Cong-tian tersentak dari lamunannya.
"Teruskan...."
"Ketika Gihu dipancing oleh Giok-su koko ke Siau-yau-kok,
karena tidak ingin terjadi sesuatu pada Wan-ji cici, maka dia
ditinggalkan di Kian Wi piau kiok. Aku pernah mendengar
ucapan antara Yaya dengan Giok-su koko yang mana Yaya
memintanya untuk membunuh Wan-ji cici. Saat itu Giok-su
koko menolaknya, namun Yaya mengancam akan membunuh
diri apabila Giok-su koko tidak mengikuti kemauannya.
Dengan demikian Giok-su koko terpaksa pura-pura
mengiakan. Aku yang belum tahu masalah yang sebenarnya
marah sekali. Tapi Giok-su koko menyatakan bahwa dia tidak
benar-benar ingin membunuh Wan-ji cici, hanya mengiakan di
depan Yaya. Setelah itu Giok-su koko pergi ke Kian Wi piau
kiok, sekembalinya dari sana wajahnya muram sekali.
Dia tidak bersedia mengatakan apa-apa ketika aku
tanyakan. Namun dari tampangnya aku dapat menduga
bahwa dia tidak berhasil menemukan Wan-ji cici. Tentunya
Wan-ji cici itu sudah menemukan suatu hal yang sangat
mengecewakan hatinya tentang Giok-su koko, sehingga ia
pergi meninggalkan tempat itu. Kalau menurut pendapatku, Yo
Hong toako sebaiknya memulai penyelidikan dari Kian Wi piau
kiok." Yan Cong-tian dan Yo Hong menganggukkan kepalanya.
1336 "Tapi Kian Wi piau kiok sudah tidak ada lagi. Ternyata
Suma Tian yang menemuiku tempo hari palsu adanya.
Jangan-jangan setelah aku pergi Wan-ji menemukan rahasia
mereka kemudian dibunuh oleh Suma Tian."
Fu Hiong-kun menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin.
Aku tahu Suma Tian yang itu memang palsu. Dia memang
anggota Siau-yau-kok. Tapi sebelum mendapat perintah dari
Giok-su koko, bagaimana pun dia tidak akan berani
membunuh Wan-ji cici. Jadi sebaiknya coba-coba saja selidiki
daerah sekitar Kian Wi piau kiok. Kalau benar Wan-ji cici
menemukan rahasia Giok-su koko, dalam keadaan sedih pasti
dia bisa berjalan jauh."
"Benar, Supek. Biar Tocu bawa beberapa saudara kita
untuk menyelidiki hal ini. Siapa tahu ada orang yang pernah
melihat Wan-ji Sumoay dan dapat memberikan keterangan
yang berharga."
Yan Cong-tian kembali menganggukkan kepalanya.
"Baiklah... tidak ada salahnya mencoba.... Lagipula..." Yan Cong-tian seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi setelah
melirik kc arah Fu Hiong-kun, dia membatalkannya.
Fu Hiong-kun tahu apa yang ingin dikatakannya mungkin
ada sangkut pautnya dengan dirinya sendiri. Yan Cong-tian
pasti takut dia akan tersinggung atau menjadi sedih. "Gihu, ada apa" Katakan saja... aku tidak apa-apa."
Yan Cong-tian menarik nafas panjang.
"Setahuku, dulu Wan Fei-yang sangat menyukai Lun Wanji. Tapi gadis itu lebih memilih Giok-su. Seandainya kita dapat menemukan Wan-ji, siapa tahu mendengar kabar ini, Siau-fei
akan tergugah dan kembali lagi ke Bu-tong-san. Maaf Hiongkun, bukan maksudku menyakiti hatimu, tapi kita tidak dapat
1337 membiarkan Siau-fei terlunta-lunta di luar perbatasan tanpa
kita ketahui nasibnya."
Fu Hiong-kun menundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Aku mengerti. Maksud Gihu memang baik sekali. Semoga
saja Wan-ji cici bisa menasehatinya agar melupakan kejadian
yang lalu. Yang penting bagiku adalah kepulihan Wan Toako,
Gihu jangan khawatir aku tidak akan sakit hati mengenai
persoalan ini."
Yan Cong-tian memandangnya dengan perasaan
berterima kasih. "Kau memang baik sekali. Hiong-kun."
Yo Hong segera maju menghampiri Yan Cong-tian serta
menjura dalam-dalam. "Supek, Tecu akan berangkai sekarang
juga." *** Setelah diobrak-abrik oleh Thian-ti tempo hari. Bu-tongsan banyak mengalami kerusakan di sana sini. Yan Cong-tian
memeriksa semuanya dengan teliti dan memerinci apa saja
yang harus diperbaiki. Akhirnya ia menyuruh beberapa murid
Bu-tong mencari tukang yang berasal dari daerah sekitar.
Sebenarnya para murid Bu-tong sendiri menganjurkan untuk
tidak usah mencari tukang bangunan dari luar. Mereka bisa
bekerja bergotong-royong memperbaiki semua kerusakan itu,
tetapi Yan Cong-tian malah marah mendengar kata-kata
mereka. "Lebih baik keluar sedikit biaya untuk mengerjakan
perbaikan itu. Kalian tidak usah ikut campur. Lebih penting
bagi kalian untuk berlatih ilmu silat demi memajukan kembali
nama baik Bu-tong-pai dari pada menghabis habiskan waktu
mengerjakan hal yang bisa dilakukan oleh orang lain."
1338 Para murid Bu-tong terdiam semuanya. Sejak itu mereka
tidak berani lagi mengemukakan pendapat apa-apa di
hadapan Yan Cong-tian. Setelah mengalami berbagai
musibah yang mengenaskan, banyak murid Bu-tong yang
berbakat ikut berkorban. Sebagian besar yang dapat
diandalkan sudah tewas terbunuh. Dari hari ke hari
kemegahan Bu-tong-pai semakin merosot. Seandainya Wan
Fei-yang yang pergi ke luar perbatasan tidak kembali lagi, Yan
Cong-tian benar-benar sakit kepala memikirkan siapa yang
dapat meneruskan kejayaan Bu-tong-pai.
Usianya sudah tinggi. Sedangkan di depan mata, hanya
Wan Fei-yang yang ilmunya paling tinggi. Meskipun
seandainya dia tidak mau menjabat sebagai Ciangbunjin Butong-pai, namun dengan adanya anak muda itu yang
membantu segala urusan di dalam, tentu Bu-tong-pai masih
bisa bangkit kembali. Tetapi sekarang Wan Fei-yang sudah
pergi. Akan kembali lagi atau tidak, Yan Cong-tian sendiri
belum berani memastikan. Namun siapa yang mengerti
keresahan hatinya kecuali Fu Hiong-kun.
** Tengah hari kembali menjelang. Yan Cong-tian
mengajarkan beberapa jurus ilmu tinju kepada para murid Butong-pai. Dia memberi pesan agar mereka berlatih dengan
giat. Setelah itu dia berjalan ke arah ruangan utama yang
sedang diperbaiki. Hal ini sudah merupakan kebiasaannya
akhir-akhir ini.
Beberapa tukang sedang sibuk bekerja. Dua orang yang
usianya lebih lanjut berhenti dan menyapa Yan Cong-tian.
"Bagaimana pekerjaannya?" tanya Yan Cong-tian dengan
wajah tersenyum. Hubungannya dengan para tukang memang
cukup baik. Meskipun dia tidak pernah mengenal mereka
sebelumnya, namun sifat Yan Cong-tian pada dasarnya
1339 memang tidak angkuh. Dia mudah bergaul dengan siapa saja.
Oleh karena itu, terkadang dia menghabiskan waktu berjamjam untuk mengobrol dengan mereka.
Dua orang tukang yang usianya agak lanjut itu
menganggukkan kepalanya.
"Kurang lebih sepuluh hari akan selesai secara
keseluruhan," sahut salah satu dari kedua orang itu.
Karena perhatiannya terpencar sewaktu menjawab
pertanyaan Yan Cong-tian, tukang itu jadi kurang berhati-hati,
kakinya terpeleset dan dia tersuruk ke dalam papan kayu yang
baru dipasang sebagai landasan lantai.
"Hati-hati!" seru Yan Cong-tian sambil melesat
menghampiri dan mengulurkan tangannya mencengkeram
pakaian tukang itu.
Begitu tangannya berhasil mencengkeram pakaian tukang
itu, dia langsung merasakan ada yang tidak benar. Tubuh
tukang itu jauh lebih ringan daripada orang biasa. Dia pasti
mengerti ilmu silat bahkan ilmu ginkangnya cukup tinggi.
Setidaknya bagi seorang tukang!
Sambil mengelitkan tubuhnya, tangan tukang itu
mengibas. Dua batang anak panah kecil meluncur ke tubuh
Yan Cong-tian. Panah itu bentuknya kecil sekali, tapi
kecepatan dan ketajamannya sukar diuraikan dengan katakata. Tanpa sadar pegangan Yan Cong-tian pada tukang itu
terlepas. Dia berusaha menggeser tubuhnya menghindari
serangan anak panah tersebut.
Meskipun dia sempat menghimpun hawa murninya,
namun dua batang anak panah itu sudah menancap di
dadanya. Yan Cong-tian tidak merasakan sakit di dadanya,
1340 hanya bagian yang tertancap anak panah itu rada kebal


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasanya. "Panah beracun!" seru Yan Cong-tian dalam hati. Dia
tergetar. Diam-diam dia merasa khawatir. Di tangan tukang
yang dicengkeramnya tadi sudah bertambah sebatang pensil
baja. Dia menyerang bagian kanan ketiak Yan Cong-tian. Dia
cepat, Yan Cong-tian lebih cepat lagi. Baru saja tangannya
terangkat, kepalanya sudah kena dicengkeram oleh tangan
Yan Cong-tian yang dengan kecepatan kilat langsung
dibenturkan di atas lantai. Kepala tukang itu pecah
berhamburan. Dan tanpa usah diperiksa lagi nyawanya pasti
sudah melayang. Tanah di sekitar Yan Cong-tian tiba-tiba
menguak lima buah lubang. Tanah dan pasir berhamburan.
Lima orang manusia berpakaian hitam mencelat keluar dari
lubang-lubang tersebut.
Lima batang pedang tipis panjang dan yang pasti tajam
sekali langsung menyerang bagian tubuh Yan Cong-tian yang
paling membahayakan. Sambil membentak keras, Yan Congtian mengembangkan telapak tangannya. Dia menghantam
dengan tenaga sepenuhnya. Dua batang pedang patah
seketika. Sedangkan dua batang lainnya terpental jauh.
Tangannya memutar dan tiga kali hantaman dikerahkannya
berturut-turut. Tiga orang berpakaian hitam dibuatnya
terpelanting kira-kira dua depa. Tubuhnya kembali melesat.
Tangannya terulur. Kaki salah seorang manusia berpakaian
hitam berhasil diraihnya. Ditariknya kaki orang itu dan
diputarnya seperti sebuah gasing. Tubuh orang itu pun seperti
komedi putar dijadikan senjata oleh Yan Cong-tian.
Bagian kepala orang yang diputar membentur kepala
manusia berpakaian hitam lainnya.
"Brak!" Batok kepala keduanya hancur seketika dan nyawa mereka pun melayang. Begitu kuatnya tenaga yang
1341 dikerahkan oleh Yan Cong-tian sehingga kakinya amblas satu
setengah cun ke dalam tanah.
Sebuah jala besar dengan tali berwarna kuning keemasan
tiba-tiba membentang dari atas. Yan Cong-tian terkejut sekali.
Dengan panik dia menghantamkan telapak tangannya dan jala
tersebut pun terdorong kembali ke atas. Tubuhnya segera
menggunakan kesempatan itu untuk melesat melalui celah
yang terbuka. Tiba-tiba puluhan titik sinar meluncur dari jala tersebut ke
arah seluruh tubuh Yan Cong-tian. Ternyata para tukang
bangunan yang bekerja di Bu-tong-san adalah anggota Tian
Sat yang dibayar untuk membunuh Yan Cong-tian. Terhindar
dari serangan senjata rahasia yang menyebar, orangorangnya langsung menerjang. Sebelas orang dengan
sebelas macam senjata yang berbeda-beda. Setiap senjata itu
khusus untuk membuyarkan hawa murni dan semuanya
mengandung racun yang keji.
Sepasang lengan baju Yan Cong-tian disapu dengan
panik. Senjata rahasia yang masih meluncur seperti hujan
berhasil dikibaskan oleh lengan bajunya. Sementara itu, jala
yang terbentang dari atas melayang turun lagi. Tubuh Yan
Cong-tian sudah bergeser menghindar, namun empat orang
tukang yang ada di bawah langsung tertutup oleh jala itu.
Beribu jarum kecil yang terselip di seluruh jala itu langsung
menancap di tubuh mereka. Ini yang dinamakan senjata
makan tuan. Mereka langsung menjerit kesakitan. Tubuh
mereka kejang-kejang dan menggelepar-gelepar sebelum
jantung mereka benar-benar berhenti berdetak.
Yan Cong-tian menghantam telapak tangannya dua kali
lagi. Namun rasa kebal di dadanya makin terasa. Tenaganya
sudah jauh melemah. Dirinya terkepung di antara tukangtukang yang merupakan samaran anggota Tian Sat itu.
Sebuah jala yang lain mulai melayang turun dari atas. Dengan
1342 nekat Yan Cong-tian menghantam sekerasnya. Kali ini jala
yang sedang melayang turun itu bukan hanya terdorong, tapi
langsung pecah menjadi pecahan-pecahan kecil.
Sementara itu para tukang sudah menerjang ke arahnya
kembali. Bahkan beberapa di antaranya menggerayangi tubuh
Yan Cong-tian dengan nekat seperti monyet-monyet yang
bergelayutan. Tentu saja Yan Cong-tian jadi kerepotan
dibuatnya. Sepasang tangannya pun sulit direntangkan, sama
sekali lak bisa menyerang dengan leluasa.
Akhirnya Yan Cong-tian mengambil keputusan untuk
membuka jalan dengan pembunuhan besar-besaran.
Lengannya yang kekar menjepit dan memuntir leher orangorang yang menggelayutinya. "Krek! Krek!" Terdengar
beberapa kali suara tulang belulang mereka yang patah,
beberapa orang dari mereka mati dengan tulang leher patah
berantakan. Keadaan Yan Cong-tian sendiri semakin payah. Dia mulai
kewalahan. Seandainya dadanya tidak terkena panah
beracun, tentu orang-orang itu bukan tandingannya sama
sekali. Tapi hal ini memang sudah diperhitungkan secara
matang-matang oleh pihak Tian Sal. Mereka tahu siapa
adanya Yan Cong-tian. Di dunia ini sekarang mungkin sudah
tidak ada lagi orang yang dapat menandinginya apabila
berduel secara satu lawan satu. Hanya satu-satunya cara
melumpuhkan orang tersebut yakni dengan cara
membokongnya. Dalam sekejap mata, lima macam senjata yang aneh telah
berhasil melukai tubuhnya. Walaupun dari pihak lawan
kembali dua orang harus mengorbankan nyawa di tangan Yan
Cong-tian. Suara jeritan ngeri berkumandang di mana-mana.
Yan Cong-tian tidak sempat memikirkan luka yang dideritanya.
Berturut-turut dia menghantamkan telapak tangannya dengan
kalang kabut. Setiap kali tubuhnya bergerak dan tangannya
1343 menghantam, pasti ada seorang pihak lawan yang jatuh
bermandikan darah. Tapi jumlah mereka semakin banyak,
seperti gerombolan semut yang menemukan tempat
penyimpanan gula. Entah dari mana saja mereka
berdatangan. Beberapa di antaranya langsung mencengkeram
kaki dan tangan Yan Cong-tian.
Tiba-tiba setitik sinar pedang berkelebat dari atas dan
menghunjam ke arahnya. Mata Yan Cong-tian yang awas
tentu saja dapat melihat datangnya luncuran pedang tersebut.
Ia berusaha memberontak sekuat tenaga, namun orang-orang
yang memeganginya semakin banyak. Yan Cong-tian tidak
dapat berbuat apa-apa. Segera dihimpunnya hawa murni dan
dikerahkannya tenaga dalam pada pangkal lengan. Dua orang
terpental mundur oleh kerahan tenaga dalamnya, namun
pedang yang sedang meluncur itu tidak dapat dihindari lagi
serta dengan telak menikam dada kirinya. Tikaman yang satu
inilah yang benar-benar membahayakan nyawanya!
*** Orang yang menggunakan pedang itu adalah seorang lakilaki setengah baya bertubuh kurus seperti monyet dan
berwajah tiris seperti tikus. Dia juga mengenakan pakaian
yang sama dengan para tukang bangunan lainnya. Dari alas
ke bawah hampir tidak banyak daging yang menempel di
tubuhnya, lebih mirip kulit yang membungkus tulang belulang
saja. Mungkin juga karena kurusnya orang ini, maka badannya
menjadi ringan dan gerakannya sangat cepat.
Tadinya dia bersembunyi di atas genting. Tepat pada saat
yang sudah diperhitungkan, tubuhnya melesat secepat angin
dengan tangan memegang pedang, dia meluncur ke arah Yan
Cong-tian. Gerakannya ini bukan saja cepat tapi juga tepat. Yan
Cong-tian dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dia belum
1344 pernah melihat orang ini dan dia yakin tidak mengenalnya.
Lalu ada dendam apa antara orang ini dengannya sehingga
menggunakan cara yang demikian rendah untuk
membunuhnya. Yan Cong-tian tidak sempat memeras otaknya untuk
memikirkan persoalan itu. Reaksinya juga tidak lambat. Begitu
merasakan dadanya tertusuk oleh pedang itu, kakinya
langsung menendang sekuat tenaga. Tubuh yang tertusuk
pedang itu ikut meluncur ke depan, sedangkan tukang
berwajah tikus itu tidak dapat menahan dirinya lagi. Tubuhnya
terpental ke belakang. Rupanya tubuhnya tidak melayang
melewati tembok, melainkan tepat membentur di tembok
ruangan. "Prak!" Tulang-tulang tubuhnya terbentur patah. Setelah menempel di tembok beberapa detik, tubuhnya melorot turun.
Darah segar muncrat terus dari mulut orang itu.
Pada waktu yang bersamaan, darah mengucur deras dari
dada Yan Cong-tian. Ia berusaha mendekap dadanya namun
darah yang muncrat tidak terbendung. Wajahnya pucat pasi
seperti kulit ikan mati, tubuhnya terhuyung-huyung. Para
tukang yang masih hidup hanya tersisa empat orang.
Meskipun mereka memang telah mendapat pengarahan untuk
tidak takut menghadapi kematian dalam tugas, dan selama ini
mereka pun sudah banyak membunuh orang secara keji,
namun mana pernah mereka melihat kewibawaan seorang
pendekar yang begitu mengagumkan. Mereka belum pernah
mendapat tugas untuk membunuh seseorang seperti Yan
Cong-tian. Melihat keperkasaannya, tanpa sadar mereka
tertegun di tempat.
Sementara itu, para murid Bu-tong yang mendapat suara
keributan sudah menghambur keluar. Orang yang pertama
sampai di tempat kejadian adalah Fu Hiong-kun. Keempat
tukang yang tersisa saling lirik sekilas. Mereka tampaknya
1345 sepakat untuk mengundurkan diri. Mereka sudah melihat
bahwa kemungkinan Yan Cong-tian untuk hidup terus tipis
sekali. Berarti tugas mereka sudah selesai. Apa lagi yang
harus dilakukan kecuali mengundurkan diri dari tempat
tersebut. Mereka mengundurkan diri dengan cara berpencaran.
Namun keempat orang itu berhasil dihadang oleh para murid
Bu-tong-pai yang berhamburan dari delapan penjuru angin.
Sekali pandang saja, para murid Bu-tong-pai yang berlarian
keluar itu sudah dapat menduga apa yang lelah terjadi.
Mereka terkejut juga marah sekali. Senjata-senjata langsung
dicabut. Mereka meraung keras dan menerjang ke arah empat
orang tukang yang masih tersisa.
Meskipun keempat orang yang menyamar sebagai tukang
itu adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang sudah
berpengalaman, namun menghadapi para murid Bu-tong yang
sedang kalap itu bukan hal yang mudah. Apalagi mereka
hanya empat orang. Sedangkan murid Bu-tong yang
berhamburan jumlahnya mencapai hampir seratus orang.
Dalam waktu sekejap mata mereka sudah berlumuran darah
terkena senjata para murid Bu-tong tersebut.
Walaupun Bu-tong-pai mengalami berbagai musibah dan
banyak muridnya yang terbunuh di tangan Fu Giok-su dan
Thian-ti cs. Namun yang tersisa adalah murid-murid yang
berbakti penuh dan sadar akan kesetiaan mereka untuk
memajukan kembali partai yang mulai merosot itu.
Sebelumnya mereka menghadapi tantangan untuk
menggempur Bu-ti-bun. Sekarang tugas mereka adalah untuk
membangkitkan kembali kejayaan Bu-tong-pai. Selama ini
mereka berlatih dengan giat. Ilmu silat mereka telah
mengalami kemajuan yang pesat. Masing-masing dari mereka
sudah cukup untuk menghadapi keempat tukang yang
merupakan samaran dari para pembunuh bayaran tersebut.
1346 Apalagi mereka sekarang dalam keadaan kalap. Cara turun
tangan mereka juga menjadi keji. Untuk sesaat itu mereka
tidak lagi mengingat peraturan dunia kangouw. Secara
beramai-ramai mereka mengeroyok empat orang tukang yang
masih tersisa. Mata keempat tukang itu melihat wajah-wajah yang
menampilkan kemarahan. Telinga mereka terasa pekak
mendengar teriakan mereka yang mulai histeris. Kepala pun
menjadi semakin pusing. Biasanya keadaan mereka dalam
menghadapi setiap musuh selalu tenang. Sekarang mereka
menjadi kalang kabut karena ketakutan.
Tapi sebelum mereka rubuh dengan tubuh tercincangcincang, mereka tetap berhasil membunuh tiga orang murid
Bu-tong-pai. Sedangkan para murid Bu-tong lainnya yang
sudah berhasil membunuh keempat tukang itu langsung
menghambur menghampiri Yan Cong-tian.
Yan Cong-tian masih berdiri tegak di tempat semula.
Darah segar mengucur dengan deras. Matanya membelalak,
tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Sepasang tangan Fu
Hiong-kun memapah lengan Yan Cong-tian. Dia juga tidak
bergerak. Gadis itu khusus memperdalam ilmu pengobatan.
Mana mungkin dia tidak melihat bahwa Yan Cong-tian tidak
ada harapan lagi. Dengan bantuan beberapa murid Bu-tong,
mereka memapah Yan Cong-tian kembali ke kamarnya.
Tiba-tiba seseorang menyerbu ke dalam kamar. Dia
adalah Yo Hong yang baru kembali dari mengemban lugas
menyelidiki Lun Wan-ji. Dia berlutut di samping Yan Cong-tian.
Melihat tampang Fu Hiong-kun, dia tidak berani sembarangan
bergerak. "Siapa yang melakukan semua ini?" tanyanya
dengan bibir bergetar.
1347 Fu Hiong-kun segera menenangkannya. "Jangan urus dulu
hal itu. Kita lihat perkembangan Gihu. Dia tidak akan kuat
bertahan lebih lama lagi."
Tentu saja Yo Hong percaya penuh ilmu pengobatan yang
dikuasai Fu Hiong-kun. Apalagi setelah melihat rona wajah
Yan Cong-tian yang sudah pucat pasi itu, tanpa sadar hatinya
bergetar. Yan Cong-tian masih diam saja. Sejenak kemudian
mulutnya bergerak-gerak. Dia seperti ingin mengatakan
sesuatu. Tapi tidak ada sedikit pun suara yang keluar. Melihat
keadaan itu, Yo Hong segera mendekatinya. "Supek, tentu
kau ingin mengetahui nasib Wan-ji Sumoay bukan?"
Dengan susah payah Yan Cong-tian menganggukkan
kepalanya. Yo Hong sudah dapat menduga bahwa melihat
kepulangannya Yan Cong-tian pasti ingin menanyakan
keadaan Wan-ji meski dirinya sendiri sedang di ambang maut.
Yo Hong menjadi bimbang sejenak. Dia melirik ke arah Fu
Hiong-kun. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Tecu sudah
berhasil menemukan jejak Wan-ji Sumoay. Dia... sudah
meninggal...."


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh Yan Cong-tian bergetar mendengar ucapan Yo
Hong. Fu Hiong-kun tidak menyangka kabar buruklah yang
dibawa oleh Yo Hong. Dia mengedipkan matanya kepada lakilaki itu. "Gihu, biar aku periksa dulu keadaanmu...."
Yan Cong-tian menggelengkan kepalanya. Matanya tetap
menatap kc arah Yo Hong seakan memintanya meneruskan
hasil penyelidikannya atas diri Lun Wan-ji.
"Wan-ji... Sumoay bukan mati terbunuh... tapi dia... mati
setelah tidak lama... melahirkan anaknya..." kata Yo Hong
tersendat-sendat.
1348 Air mata Yan Cong-tian menetes dari sudut matanya.
Entah sedih atau kecewa. Tidak usah diceritakan lagi oleh Yo
Hong, dia sudah dapat menduga anak siapa yang dilahirkan
oleh Wan-ji. Bibirnya kembali bergerak-gerak.
"Gihu, pesan apa yang hendak kau tinggalkan?" tanya Fu Hiong-kun segera.
"Ca... ri... Wan... Fei Yang... suruh... dia bantu... Bu-tongpai.... Bawa... kembali... anak Wan-ji...."
"Tapi..." tukas Yo Hong. Fu Hiong-kun langsung
mencegahnya mengatakan apa-apa. Dia sudah melihat
keadaan Yan Cong-tian yang sudah sekarat. Ada hal penting
yang harus ditanyakan sebelum nafas orang tua itu berhenti.
"Gihu, tahukah kau siapa yang menurunkan tangan keji ini?"
tanyanya segera.
Para murid Bu-tong-pai yang berkerumun di dalam kamar
dan di luar segera memusatkan perhatian mereka. Memang
sejak tadi mereka sudah penasaran sekali ingin menanyakan
hal ini. "Tian Sat..." Dua kata itu selesai diucapkan, Yan Cong-tian kembali memuntahkan segumpal darah segar. Nyawanya
melayang ketika kepalanya terkulai.
"Supek...!" teriak Yo Hong sedih. Para murid Bu-tong yang lainnya mengerti orang tua itu sudah berpulang. Mereka
segera menjatuhkan diri berlutut di alas tanah. Ratap tangis
berkumandang memecahkan kesunyian. Fu Hiong-kun juga
menjatuhkan diri berlutut di samping Yo Hong. Air matanya
mengalir dengan deras. Tubuhnya berguncang-guncang.
Beberapa hari belakangan ini hubungan mereka sudah
melebihi ayah dan anak. Meskipun dia tahu Thian-ti mati di
bawah gabungan ilmu Tian-can sinkang Yan Cong-tian dan
1349 Wan Fei-yang, tapi dia juga tahu mereka tidak sengaja
melakukannya. Karena keadaan waktu itu memaksa mereka
melakukan hal itu. Terhadap Yan Cong-tian maupun Wan Feiyang, Fu Hiong-kun tidak menaruh dendam sama sekali.
Walaupun dia dilahirkan di Siau-yau-kok, namun hatinya baik
sekali. Justru karena dia tidak puas terhadap tingkah laku
ayah dan abangnya maka sepanjang tahun dia lebih banyak
berkelana di dalam dunia kangouw daripada berdiam di dalam
Siau-yau-kok. Selama beberapa tahun ini, dia sudah bosan melihat
kelicikan yang terjadi di dunia kangouw. Apalagi setelah
peristiwa yang terjadi alas diri Wan Fei-yang. Dia semakin
jenuh. Itulah sebabnya dia mengikuti Yan Cong-tian dan
tinggal di Bu-tong-san untuk sementara.
Fu Hiong-kun benar-benar mengharapkan suatu
kehidupan yang tenang. Dia juga berharap dapat memberikan
bantuan yang berarti bagi Bu-tong-pai. Dalam hatinya dia
menganggap Fu Giok-su dan kakeknya sudah terlalu banyak
merugikan Bu-tong-pai. Juga keluarga Fu sudah terlalu
banyak berhutang kepada Bu-tong-pai. Tentu saja dia lebih
mengharapkan lagi kalau dendam antara keluarga Fu dengan
Bu-tong dapat berakhir selamanya. Siapa nyana, satu
gelombang belum juga reda datang lagi gelombang lain yang
lebih besar. Justru di saat genting ini Yan Cong-tian malah
terbunuh. Apa arti Tian Sat yang dikatakan oleh Yan Cong-tian
di saat akhir hidupnya, tentu dimengerti oleh Fu Hiong-kun.
Siau-yau-kok juga merupakan sebuah aliran yang sesat.
Terhadap organisasi gelap lainnya, meskipun tidak pernah
mengadakan hubungan namun mereka menaruh perhatian
khusus. Apalagi sebelum Thian-ti berhasil diselamatkan dari
telaga dingin di Bu-tong-san. Hujan, Angin, dan Geledek
pernah memikirkan kemungkinan untuk membayar anggota
Tian Sat untuk menghadapi Bu-tong-pai.
1350 Akhirnya mereka memang tidak jadi mengambil tindakan
demikian. Hal ini bukan karena biaya yang dikeluarkan akan
besar nilainya, namun karena Siau-yau-kok setidaknya pernah
merupakan organisasi yang gemilang dan mempunyai nama
besar di dunia kangouw. Sebelum Bu-ti-bun didirikan, dari
golongan hitam, nama Siau-yau-kok yang paling disegani.
Tentu saja pada waktu itu mereka belum mengungsi ke Siauyau-kok dan masih menggunakan nama Pit-lok-cik.
Seandainya mereka jadi menggunakan jasa Tian Sat dan
diketahui oleh para sahabat dari dunia kangouw, tentu mereka
tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membangkitkan
kembali kejayaan mereka tempo dulu. Setidaknya mereka
akan ditertawakan karena untuk menghadapi sebuah Butong-pai saja, mereka terpaksa mengandalkan tenaga dari
'Tian Sat'. Lagipula, mereka sepertinya yakin sekali bahwa
pada suatu hari kelak mereka akan dapat memulihkan nama
besar Siau-yau-kok dan dapat menghancurkan Bu-tong-pai
dengan tenaga mereka sendiri. Apa yang mereka perkirakan
itu benar-benar menjadi kenyataan. Satu hal yang tidak
terpikirkan oleh mereka adalah kejayaan tidak dapat berlahan
lama. Dan juga tidak terpikirkan akan munculnya seorang Wan
Fei-yang yang akan bakal mengacaukan semua rencana
mereka. Siau-yau-kok sendiri pernah mempunyai rencana
menggunakan tenaga Tian Sat, tentunya mereka juga pernah
mengadakan penyelidikan yang mendalam tentang organisasi
ini. Mereka bahkan sudah mempertimbangkannya matangmatang sebelum membatalkannya. Meskipun Fu Hiong-kun
tidak tertarik dengan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh
Siau-yau-kok, tapi sedikit banyaknya dia pernah juga
mendengar cerita dari mulut Fu Giok-su tentang organisasi
bernama Tian Sat tersebut. Pengetahuannya tentang
organisasi ini memang tidak banyak. Dia juga tidak pernah
memikirkannya selama ini. Sekarang dia baru menyadari
betapa mengerikannya organisasi bernama Tian Sat ini.
1351 Jilid 30 Yo Hong berlutut di hadapan mayat Yan Cong Tian sekian
lama. Kemudian dia berdiri perlahan-lahan. Matanya berputar
ke seluruh ruangan tersebut. Tiba-tiba dia bertanya.
"Apa artinya Tian Sat?" Pertanyaan itu tidak ditujukan kepada seseorang secara khusus. Dengan kata lain, dia bertanya
kepada siapa saja yang dapat menjawab pertanyaannya itu.
"Sebuah organisasi yang menyediakan pembunuh bayaran."
Tentu saja hanya Fu Hiong Kun yang dapat menjawab
pertanyaannya. Yo Hong tertegun. "Maksudmu, ada seseorang yang
mengeluarkan uang menyewa organisasi ini untuk membunuh
Yan Supek?"
Fu Hiong Kun menganggukkan kepalanya tanpa
mengucapkan sepatan kata pun.
"Siapa orang itu?" tanya Yo Hong sambil mendelikkan
matanya kepada Fu Hiong Kun, seakan gadis itu pasti sudah
tahu siapa orangnya.
"Mungkinkah Giok Su koko?" Kata-kata ini sudah sampai di
ujung lidah Fu Hiong Kun namun dia tidak sanggup
mengeluarkannya.
"Mungkinkah Tok-ku Bu-ti?" tanya Yo Hong tiba-tiba.
Dia hanya sembarangan menduga. Siapa nyana terkaannya
langsung tepat. Fu Hiong Kun mengangkat bahunya sambil
menarik nafas panjang. "Di mana letak markas Tian Sat?"
tanya Yo Hong kembali.
Fu Hiong Kun menggelengkan kepalanya. "Aku hanya tahu
1352 bahwa di dunia ini ada organisasi bernama demikian."
Sepasang tinju Yo Hong mengepal erat-erat. "Biar bagaimana pun, kita harus menyelidiki markas mereka dan berusaha
menemukan pemimpin mereka. Tanyakan kepadanya siapa
yang mengeluarkan uang meminta mereka membunuh Yan
Supek. Dengan demikian kita baru bisa membalaskan dendam
ini." katanya dengan wajah merah padam.
Para murid Bu tong yang lain langsung menyetujui usulnya. Fu
Hiong Kun menarik nafas panjang. "Kalau menurutku, lebih
baik kita penuhi dulu permintaan Gihu yaitu mencari Wan
Toako agar kembali ke sini dan mengambil anak Wan Ji cici.
Meskipun Wan Toako sedang sedih dan berduka, namun biar
bagaimana pun dia adalah orang Bu-tong-pai. Tentu Wan
Toako tidak akan mendiamkan masalah ini begitu saja."
Yo Hong tertawa getir. "Justru malah Wan Ji tadi belum
sempat aku selesaikan, kau sudah mencegah aku agar jangan
berbicara lagi."
Fu Hiong Kun menjadi terpana mendengar kata-katanya. "Ada
apa lagi" Bukankah kau sudah menceritakan semuanya tadi?"
"Belum semuanya. Memang aku sudah menemukan jejak
Wan Ji dan anaknya. Wan Ji meninggal tidak lama setelah
melahirkan bayi itu. Sepasang suami istri tua di mana Wan Ji
menumpang mengasuh bayi itu dengan sepenuh kasih
sayang. Tetapi pada suatu hari datang seorang anak muda
yang rupanya sedang dikejar-kejar oleh seorang tosu. Dia
mengancam kedua suami istri agar tidak mengatakan bahwa
dia bersembunyi di dalam rumah tersebut, apabila tidak, bayi
yang digendongnya itu akan dibunuh. Ternyata benar-benar
ada seorang tosu yang mengetuk pintu dan menanyakan
tentang anak muda tadi. Pasangan suami istri itu pun terpaksa
berbohong, namun rupanya bayi yang ada dalam gendongan
si anak muda terkejut melihat orang asing yang
menggendongnya. Supaya bayi itu jangan sampai
1353 mengeluarkan tangisan, anak muda itu mendekap mulutnya.
Siapa tahu hidung bayi itu ikut tertekan sehingga tidak dapat
bernafas dan langsung mati."
Wajah Fu Hiong Kun berubah hebat. "Jadi ... anak itu juga
mati?" Yo Hong menganggukkan kepalanya dengan wajah sendu.
"Satu hal lagi yang mengherankan. Ketika anak muda itu
mendengar bahwa ibu sang bayi bernama Wan Ji, dia
langsung seperti terpukul. Kemudian dia membawa mayat
bayi itu dan menghambur keluar dari rumah pasangan istri
tersebut."
Tanpa terasa air mata Fu Hiong Kun langsung mengalir
dengan deras. "Giok Su koko ... Betapa banyak dosa yang telah kau perbuat.
Akhirnya kau menerima hukuman yang lebih menyakitkan."
"Ternyata Fu kouwnio juga mempunyai dugaan yang sama
bahwa anak muda itu adalah Fu Giok Su."
Fu Hiong Kun menganggukkan kepalanya dengan lemas.
"Tosu yang diceritakan oleh pasangan suami istri itu pasti Gihu adanya."
Yo Hong tidak sampai hati melihat kesedihan gadis itu yang
melandanya bertubi-tubi. "Fu kouwnio, ke mana kita harus
mencari Wan Fei Yang sekarang?" tanyanya mengalihkan
pikiran gadis itu.
"Wan Toako adalah seorang manusia yang mujur. Dia
mengatakan bahwa dia akan pergi ke luar perbatasan, tentu
dia benar-benar menuju ke sana. Kerahkan murid Bu-tong-pai
sebanyak-banyaknya untuk mencari. Sepanjang perjalanan
jangan lupa siarkan berita tentang kematian Gihu. Seandainya
kita tidak berhasil menemukan dia, apabila dia mendengar
1354 kabar berita ini, tentu dia akan segera kembali untuk melihat
benar tidaknya," sahut Fu Hiong Kun.
Yo Hong menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Asal Wan
Toako sudah kembali, segala persoalan pasti akan mudah
diatasi," kata Fu Hiong Kun selanjutnya.
"Ilmu silatnya memang jauh di atas kami semua," sahut Yo Hong.
Sekali lagi Fu Hiong Kun menarik nafas panjang. Yo Hong
menatapnya dengan pandangan iba. "Tampaknya Fu kouwnio
mempunyai banyak masalah yang terpendam dalam hati."
Fu Hiong Kun tidak menyahut. "Apakah Fu kouwnio sudah
menemukan sesuatu?" tanya Yo Hong kembali.
Fu Hiong Kun merasa bimbang sejenak. Namun akhirnya dia
mengeluarkan juga apa yang tersimpan dalam hatinya. "Aku
sedang berpikir, mungkinkah peristiwa ini didalangi oleh
abangku." "Fu Giok Su?" Wajah Yo Hong agak berubah mendengar kata-katanya. "Mengapa Fu kouwnio! tiba-tiba mempunyai pikiran
demikian?"
Fu Hiong Kun tertawa sumbang. "Giok Su koko dan Tok-ku
Bu-ti pada dasarnya memang merupakan orang satu
golongan. Apa yang dapat dilakukan oleh Tok-ku Bu-ti, pasti
sanggup juga dilakukan olehnya. Kemungkinan dia
menganggap Yan Cong Tian Gihu yang menyebabkan
kematian anaknya sehingga dia merasa benci serta ingin
membunuhnya. Lagipula dia memang tahu bahwa juga
adanya organisasi seperti Tian Sat ini."
Yo Hong tidak berkata apa-apa. Angin berhembus kencang.
Tiba-tiba terdengar suara tik ... tik ... tik ... Hujan mulai turun kembali. Hujan dan angin saling menyapa. Membasahi bumi
1355 dan mencekam perasaan. Mereka semua merasakan
serangkum kesepian yang sulit diuraikan dengan kata-kata.
Apakah, kejayaan Bu-tong-pai benar-benar harus berakhir
pada generasi ini"
*** Senja hari ... Hujan belum juga berhenti. Di sepanjang jalan
menggenang air dan tanah kotor. Hujan kali ini sudah turun
selama tiga kentungan. Pek-ka-cik yang biasanya ramai oleh
lalu lalang para penduduk ataupun tamu-tamu yang singgah
menjadi hening.
Di jalanan masih ada dua tiga orang yang sedang berjalan.
Namun langkah kaki mereka tampaknya tergesa-gesa. Siapa
pun tidak ingin berlambat-lambat berjalan di bawah hujan yang
lebat seperti itu. Mereka pun segan menoleh ke arah orang
lainnya. Oleh karena itu, kehadiran Tok-ku Bu-ti tetap tidak
menarik perhatian siapa-siapa.
Pakaian yang dikenakan Tok-ku Bu-ti masih sama dengan
sebelumnya. Hanya topi pandannya yang tidak dikenakan lagi.
Di tangannya tergenggam sebatang payung yang terbuat dari
kertas minyak. Langkah kakinya tidak terlalu cepat. Dengan
santai dia menuju toko keluarga Tio yang menjual peti mati.
Hari ini merupakan hari ketiga puluh setelah kematian Yan
Cong Tian. ***

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di depan toko keluarga Tio tergantung sebuah lentera.
Lentera tersebut berwarna putih. Di bawah cahayanya yang
remang-remang, toko itu tampaknya lebih menyeramkan dari
sebelumnya. Pintunya masih juga tertutup rapat. Tok-ku Bu-ti
mengulurkan tangannya mendorong pintu tersebut. Dia
melangkah masuk dengan tenang. Tidak terlihat bayangan
seorang pun di sana. Dia merapatkan kembali pintu toko itu.
Setelah itu dia duduk di atas sebuah bangku panjang yang
1356 terbuat dari papan.
"Aku sudah datang!" katanya seperti kepada dirinya sendiri.
"Selamat datang ... " Terdengar sahutan dari balik sebuah peti mati. Kemudian muncul ah si bungkuk yang menyambutnya
tempo hari. Tangannya membawa sebuah lentera.
Penampilannya tidak berbeda ketika pertama kali Tok-ku Bu-ti
melihatnya. Mata Tok-ku Bu-ti memandang ke sekeliling
kemudian berhenti pada wajah si bungkuk.
"Ternyata kalian memang tidak membuat aku kecewa."
Si bungkuk tertawa datar. "Di sini kami sebetulnya telah
menyediakan sebuah peti mati bagi Yan Cong Tian.
Sayangnya meskipun anggota kami itu berhasil membunuh
Yan Cong Tian, tapi tidak ada satu pun yang berhasil
membawa pulang mayatnya. Bahkan mereka pun semua
sudah menjadi mayat."
"Tidak ada satu pun dari mereka yang hidup?" tanya Tok-ku Bu-ti entah benar-benar keluar dari hati yang tulus atau
sekedar menyindir.
"Tidak ada ... " Si bungkuk mengaku terus terang. "Tapi bagaimana pun mereka berhasil menyelesaikan tugas dengan
baik." Wajah Tok-ku Bu-ti berubah serius. "Ternyata Tian Sat bukan sekedar nama kosong. Aku benar-benar tidak dapat
membayangkan, bagaimana kalian bisa menggebah para
tukang yang asli dan menyusup ke sana sebagai tukangtukang palsu. Namun pekerjaan mereka memperbaiki
bangunan rupanya boleh juga sehingga selama itu tidak
pernah menimbulkan kecurigaan anak murid Bu-tong-pai."
Si bungkuk tertawa dingin. "Kau tahu semuanya?"
1357 "Aku juga tahu mereka menyembunyikan senjata-senjata
mereka dalam kotak di mana tersimpan peralatan
pertukangan. Ada juga yang menyelipkannya di celah-celah
tiang bangunan. Aku juga tahu jala-jala yang disediakan untuk
memerangkap Yan Cong Tian adalah jenis jala yang istimewa.
Dapat dikembangkan dan dapat ditariki kembali sesuka hati
kalian." "Tidak mudah menemukan rahasia mereka. Lebih sulit lagi
dapat menemukan rahasia mereka tanpa diketahui oleh
mereka sendiri." Suara si bungkuk semakin dingin.
"Aku tidak bermaksud buruk. Tadinya aku mengira kalau-kalau mereka akan gagal dan aku bisa mengulurkan sedikit
bantuan," sahut Tok-ku Bu-ti dengan nada ikhlas.
Si bungkuk tersenyum mengejek. "Oh ya" Tampaknya kau
masih meragukan cara bekerja pihak kami. Kau tidak percaya
kami sanggup membunuh Yan Cong Tian!"
Tok-ku Bu-ti tertawa lebar. "Sekarang aku sudah percaya
sepenuhnya!"
Si bungkuk menggelengkan kepalanya. "Untung saja pada
dasarnya kau memang orang yang kaya. Kalau tidak, aku
sungguh menyayangkan caramu membuang-buang waktu
seperti sekarang dan bukannya pergi mencari sumbangan
demi melunasi apa yang kaujanjikan."
Tok-ku Bu-ti hanya tersenyum mendengar pernyataan itu.
"Letakkan uang yang kaujanjikan di atas meja pembayaran.
Setelah itu kau sudah boleh meninggalkan tempat ini," pesan si bungkuk selanjutnya.
"Uang sejumlah sepuluh laksa tail bukan nilai yang sedikit.
Meskipun setiap barang ada harganya, namun cara kalian
mencari uang juga suatu hal yang mudah," kata Tok-ku Bu-ti 1358
santai. Si bungkuk mendelik ke arah Tok-ku Bu-ti dengan pandangan
dingin. "Jumlah sepuluh laksa tail aku sendiri yang menawarkan.
Seandainya ada, dengan senang hati aku akan
menyerahkannya kepada kalian," kata Tok-ku Bu-ti
selanjutnya. Wajah si bungkuk langsung berubah. "Kau tidak punya?"
tanyanya kurang percaya ...
"Oleh karena itulah aku ingin mengatakan" maaf yang
sebesar-besarnya!"
Si bungkuk menggelengkan kepalanya. "Langganan seperti
dirimu ini, sudah terlalu lama kami tidak menjumpai."
"Berapa lama?"
Si bungkuk menghitung-hitung dengan jari tangannya. "Tujuh tahun delapan bulan!"
"Kau masih mengingatnya dengan jelas."
"Karena aku sendiri yang turun tangan menghabisinya.
Sampai-sampai aku memerlukan waktu selama tiga
kentungan baru berhasil memasukkannya ke dalam peti mati.
Pekerjaan yang melelahkan seperti itu sebetulnya tidak ingin
kami ulangi lagi."
"Oh?" Tok-ku Bu-ti agak tertegun mendengarnya.
"Ketika dibawa pulang kemari, tubuhnya terbagi dalam tujuh puluh dua potong. Kalau tidak sampai tiga kentungan, mana
mungkin bisa menyusun kembali tubuhnya secara utuh di
dalam peti?" Si bungkuk menjelaskan dengan bibir tersenyum 1359
pahit. "Tampaknya isi hatimu tidak terlalu busuk."
"Bagaimana pun membunuh orang dengan cara demikian bisa
mengakibatkan hukum karma. Aku hanya meringankan
dosaku sendiri dengan membiarkan mayatnya utuh kembali."
Tok-ku Bu-ti tertawa sumbang. "Entah dengan cara apa kalian akan membereskan diriku?" Tok-ku Bu-ti balik bertanya
dengan wajah tenang.
"Kau tidak dapat disamakan dengan orang yang tidak bayar
hutang tempo dulu itu!"
"Apanya yang tidak sama?"
"Orang-orang itu memang benar-benar tidak sanggup bayar.
Mereka terpaksa menyembunyikan diri, sedangkan kau tidak."
Si bungkuk menarik nafas panjang. "Orang berusaha apa pun
tujuannya untuk mencari rejeki, bukan mencari permusuhan
atau kemarahan. Seandainya tiga puluh hari masih tidak
cukup bagimu untuk melunasi hutang tersebut. Kami dapat
memberimu waktu tambahan sebanyak lima belas hari lagi!"
Tok-ku Bu-ti menggelengkan kepalanya.
"Tidak bisa!" ...
"Setiap masalah harus dilihat dari riwayat orangnya sendiri.
Sedangkan kami tahu jelas bahwa Bu-ti-bun bukan sebuah
partai yang tidak mempunyai uang."
"Sejak pertama kali aku masuk ke Pek-ka-cik, kalian sudah
tahu siapa aku adanya!"
"Meskipun dandanan Tok-ku Buncu lain dengan biasanya.
Bentuk tubuh dan penampilan tetap tidak berubah. Walaupun
1360 Bu-ti-bun sudah tinggal namanya saja, namun meskipun Tokku Buncu berdiri di sudut mana pun, tetap seperti seekor ayam
jago yang perkasa, sekali lihat saja sudah dapat dikenali.
Apalagi kami yang menjalankan usaha seperti ini, tentu kami
harus lebih tajam dari orang lain!"
"Oh ya?"
"Kalau kau bukan Tok-ku Bu-ti, masa demikian mudah kami
menerima transaksi ini!" Si bungkuk tertawa terkekeh-kekeh.
"Selama ini kepercayaan yang diberikan oleh Tok-ku Buncu
kepada setiap orang masih dapat dipegang teguh."
"Sayang Tok-ku Bu-ti sekarang bukan Buncu sebuah partai
besar lagi." Tok-ku Bu-ti menarik nafas panjang. "Lagipula Tok-ku Buncu yang sebelumnya, selalu ada orang yang
mengurus bagian keuangannya. Dia hanya menerima bersih
tanpa repot-repot turun tangan. Sayangnya sejak digempur
oleh pihak Siau Yau kok, Tok-ku Buncu yang satu ini sudah
jatuh miskin sehingga benar-benar melarat."
Si bungkuk hanya mendengarkan. Dia tidak menukas ucapan
Tok-ku Bu-ti. "Tapi Tok-ku Buncu yang satu ini teringat bahwa di berbagai cabangnya yang tersebar di mana-mana masih terdapat
banyak uang simpanan, oleh karena itu Tok-ku Buncu ini tidak
memandang sebelah mata terhadap uang senilai sepuluh
laksa tail. Dia mengira, asal dia mendatangi cabangnya yang
tersebar di mana saja, uang itu akan mudah didapatkan
olehnya." Si bungkuk mulai tertarik akan ceritanya. "Lalu, bagaimana hasilnya?"
"Ternyata para anggota yang dianggap setia oleh Tok-ku
Buncu ini sudah menggunakan kesempatan untuk
memencarkan diri ke seluruh penjuru dunia. Semua cabang
1361 yang didatanginya selalu hanya tinggal sebuah gedung yang
kosong." Sekali lagi Tok-ku Bu-ti menarik nafas panjang.
Si bungkuk ikut-ikutan menarik nafas dalam-dalam. "Aku ikut merasa iba terhadap nasib ilmu yang dimilki Tok-ku Buncu itu.
"Dengan mengandalkan ilmu yang di miliki Tok-ku Buncu ini
ingin merampok uang senilai sepuluh laksa tail sebetulnya
bukan hal yang sulit. Namun setidaknya dia pernah
mempunyai kedudukan tinggi dan nama yang menggetarkan
dunia kangouw. Kalau meminta dia melakukan perbuatan
rendah seperti mencuri atau merampok rumah orang, rasanya
Tok-ku Buncu ini masih belum sanggup melakukannya."
"Benar-benar harus disayangkan!"
Perlahan-lahan Tok-ku Bu-ti melipat payungnya kemudian
meletakkannya di samping kursinya. Matanya beralih lagi
kepada si bungkuk. "Oleh sebab itu, dia terpaksa datang ke mari dan berharap Tian Sat dapat memberikan jalan keluar
baginya." "Saudara dapat mengeluarkan semua kata-kata ini, tentunya
sudah mempunyai jalan keluar yang baik."
Tok-ku Bu-ti melepaskan kain hitam yang mengikat di
dagunya. "Jalan keluar memang sudah terpikirkan. Entah Tian Sat dapat menerimanya atau tidak?"
"Mengapa tidak diuraikan agar kita dapat membahasnya
bersama-sama?"
"Mungkin aku bisa membantu Tian Sat membereskan
beberapa orang yang diminta oleh para pelanggannya," sahut Tok-ku Bu-ti sepatah demi sepatah.
Si bungkuk tertawa lebar. "Orang yang tidak dapat kau
bereskan saja, harus meminta bantuan Tian Sat untuk
1362 membereskannya. Lalu masih ada siapa lagi yang dapat kau
bereskan untuk Tian Sat" Bukankah usulmu ini aneh
kedengarannya?"
Tok-ku Bu-ti langsung tertegun mendengar pernyataan itu.
"Orang yang berilmu tinggi, bukan berarti hanya mengerti
bagaimana caranya membunuh orang. Pekerjaan seperti kami
ini harus mempunyai keahlian tersendiri, tidak hanya
memerlukan ketinggian ilmu silat atau kecerdasan otak saja.
Kau bisa menemukan markas organisasi ini, tentunya kau juga
harus mengerti peraturan yang telah kami tentukan."
"Mengerti sih mengerti, tapi aku merasa kalian tetap
memerlukan tenaga tambahan."
"Dugaanmu belum tentu benar bukan?"
"Apakah ilmu silat yang aku miliki ini tidak bernilai sepuluh laksa tail?" tanya Tok-ku Bu-ti penasaran.
"Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan senilai atau
tidaknya ilmu silat yang kau kuasai. Tapi motto yang sudah
terpatri dalam organisasi Tian Sat. Seandainya setiap
langganan yang kami temui mempunyai niat sepertimu, maka
sudah sejak lama Tian Sat tidak berdiri di dunia ini. Apa pula
yang harus kami makan untuk melewati hari" Ilmu silat saja?"
Tok-ku Bu-ti terdiam mendengar kata-kata itu.
"Tok-ku Buncu adalah seorang yang pernah menggetarkan
dunia persilatan dengan partai Bu-ti-bun, tentu kau mengerti
apa yang aku maksudkan. Seandainya sejak dulu Bu-ti-bun
mempunyai pendirian seperti Tok-ku Buncu sekarang, aku
tidak heran mengapa Bu-ti-bun bisa hancur hari ini," kata si bungkuk selanjutnya.
Tok-ku Bu-ti hanya mendengus dingin.
1363 "Lagipula dengan kedudukan seperti yang pernah Tok-ku
Buncu jabat, mungkinkah menerima perintah orang lain dalam
jangka waktu yang panjang" Tentunya Tok-ku Buncu sendiri
mengerti sekali bisa atau tidaknya."
Tok-ku Bu-ti menarik nafas dalam-dalam. "Kalau begitu,
maksud Saudara ... "
"Seandainya kau tidak dapat membayar hutangmu dengan
uang, maka kami meminta kau membayarnya dengan
nyawamu." Tok-ku Bu-ti tertawa datar. "Bukankah dengan demikian kalian malah rugi sebanyak dua kali?"
"Demi nama baik organisasi yang telah kami pupuk selama ini, kami tidak dapat mempertimbangkan lebih jauh lagi!" kata si bungkuk dengan nada serius.
"Kau bisa mengambil keputusan?" tanya Tok-ku Bu-ti tiba-tiba.
"Hal ini tidak lebih penting daripada membunuh Yan Cong
Tian!" sahut si bungkuk.
Kemudian dia meniup lentera di tangannya hingga padam.
Seluruh ruangan itu menjadi gelap gulita seketika. Tepat pada
saat itu juga, sebilah pedang yang panjang tiba-tiba terhunus
keluar dan meluncur ke arah Tok-ku Bu-ti. Tubuh Tok-ku Bu-ti
berkelebat. Sepasang tinjunya dikerahkan. Tiba-tiba meja
kasir yang ada di hadapannya terjungkir balik.
Pembunuh yang bersembunyi di balik meja kasir langsung
melesat keluar. Tubuhnya menggelinding di atara meja kasir
yang pecah berantakan. Tangannya bergerak. Pecahan meja
bagai bilahan pisau kecil meluncur ke arah Tok-ku Bu-ti.
Namun hantaman Tok-ku Bu-ti lebih cepat lagi. Pecahan kayu
dari meja terpental kembali dan menusuk beberapa bagian
1364 tubuh pembunuh tersebut. Orang itu bahkan tidak sempat
mengeluarkan suara jeritan. Nyawanya melayang seketika.
Tok-ku Bu-ti menarik tangannya kembali. Dengan tenang dia
duduk kembali di kursinya semula. Seakan tidak pernah terjadi
apa pun. Dalam sekejap mata saja, si bungkuk sudah
menghilang di balik peti mati yang terdapat di ujung ruangan.
Meskipun ruangan di dalam itu sangat gelap, tapi tidak berarti
orang tidak dapat melihat apa-apa. Cahaya lentera dari luar
menyorot remang-remang ke dalam ruangan. Walaupun
cahayanya redup sekali, namun sudah lebih dari cukup bagi
penglihatan Tok-ku Bu-ti yang tajam.
Sinar mata Tok-ku Bu-ti terpusat pada arah di mana si
bungkuk menyelinap tadi. Bibirnya tersenyum mengejek.
"Apakah gebrakan tadi dapat membuat kalian berubah
pikiran?" "Tidak bisa!" Suara si bungkuk terpancar dari balik peti mati di ujung ruangan. Tampaknya pendirian orang yang satu ini
kukuh sekali. Tubuh Tok-ku Bu-ti kembali berkelebat. Dia menerjang ke
sumber suara si bungkuk. Tiba-tiba tutup peti mati yang
berjajar di dalam ruangan terbuka serentak, satu per satu
melayang ke arah Tok-ku Bu-ti. Dari dalam peti juga melesat
keluar beberapa orang manusia berpakaian hitam. Dandanan
mereka persis seperti para pembunuh yang menyergap Yan
Cong Tian tempo hari. Tampaknya Tian Sat benar-benar
sudah memperhitungkan segalanya dengan matang.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para manusia berpakaian hitam itu menerjang dengan tangan
masing-masing menggenggam sebatang pedang. Mereka
segera mengambil posisi mengurung Tok-ku Bu-ti. Tiba-tiba
sepasang lengannya berputar, di belakang punggung seakan
tumbuh sepasang sayap. Tubuhnya yang sedang menerjang
ke depan tiba-tiba berjungkir balik ke belakang. Tutup peti mati 1365
meluncur di bawah kakinya dan saling bertabrakan satu sama
lain. "Brak! Brak!" Suaranya benar-benar memekakkan telinga.
Dapat dibayangkan tutup peti mati berjumlah puluhan
berbenturan seperti saling menyapa.
Manusia-manusia berpakaian hitam yang tadi melesat keluar
dari dalam peti mati juga sangat lincah gerakannya. Reaksi
mereka pun tidak lambat. Tubuh mereka yang tengah
melayang di udara langsung terjungkir balik dengan kaki
menutuldi atas tutup peti mat. Dengan demikian, tubuh
mereka mendapat kekuatan kembali untuk meluncur kembali
menerjang ke arat Tok-ku Bu-ti.
Sementara tiga orang manusia berpakaian hitam menerjang
ke arahnya. Tubuh mereka belum lagi sampai, tangan mereka
telah mengibaskan serangkum senjata rahasia. Dalam
kegelapan terlihat senjata rahasia yang bentuknya kecil-kecil
itu memancarkan cahaya berwarna kebiruan. Hal ini
menandakan bahwa senjata rahasia tersebut telah ditaburi
racun-racun yang keji.
Tangan Tok-ku Bu-ti bergerak. Topi pandan yang terletak di
atas kursi di mana dia duduk tadi langsung disambarnya dan
digunakan sebagai perisai. Senjata-senjata rahasia yang
sedang meluncur ke arahnya terkibas rontok. Setelah itu dia
melemparkan topi pandannya dengan kekuatan penuh.
"Sing!" terdengarlah suara desingan topi pandannya yang
meluncur dengan cepat. Salah seorang manusia berpakaian
hitam langsung menjadi korban. Topi pandan yang
disambitkan oleh Tok-ku Bu-ti tepat menancap di
tenggorokannya. Darah muncrat bagai air pancuran. Setelah
terhuyung-huyung dua kali, orang tersebut rubuh dengan leher
menganga lebar. Dapat dibayangkan kehebatan tenaga dalam
Tok-ku Bu-ti. Hanya dengan sebuah topi pandan saja dia
sanggup melukai leher lawannya sampai putus nyawanya.
1366 Tangan Tok-ku Bu-ti tidak berhenti. Sebatang pedang yang
sedang meluncur ke arahnya langsung dijepit di antara kedua
telapak tangan. Orang yang memegang pedang tersebut tidak
dapat melawan kekuatan tenaga Tok-ku Bu-ti, tubuhnya
berputaran kemudian terlempar keluar. Sialnya tubuh itu tepat
melayang ke arah sebatang pedang lain yangsedang
meluncur tiba. Tidak ayal lagi tubuh itu tertembus dari depan
sampai belakang.
Rekan manusia berpakaian hitam itu yang sedang menerjang
ke raha Tok-ku Bu-ti melihat tubuh kawannya sendiri meluncur
ke arahnya. Mati-matian dia berusaha menarik kembali
pedangnya, namun tetap kalah cepat. Tubuh rekannya itu
tetap saja menembus pedangnya dan mati tanpa sempat
menjerit lagi. Bahkan dirinya sendiri ikut terpental karena
dorongan tenaga Tok-ku Bu-ti yang kuat.
Tangan Tok-ku Bu-ti bergerak kembali. Pergelangannya
memutar dan mencengkeram sebatang pedang yang sedang
meluncur datang. Dia melemparkannya ke atas dan
menyambut kembali di bagian gagangnya. Tangannya tidak
berhenti bergerak, dia langsung menusukkan pedang tersebut
dua kali berturut-turut.
Sinar pedang memijar. Dua orang manusia berpakaian hitam
yang sedang menerjang ke arahnya berusaha menghindar.
Namun salah seorang tertebas di bagian pinggangnya,
tubuhnya terbelah menjadi dua bagian. Darah muncrat seperti
air mancur. Pemandangan yang sungguh mengerikan. Orang
satunya lagi begitu terkejut sehingga hampir terperosok ke
depan. Pedang yang berhasil direbutnya adalah pedang biasa. Tapi
karena tenaga Tok-ku Bu-ti kuat sekali, dia bisa menebas
salah satu manusia berpakaian hitam itu sehingga terputus
menjadi dua bagian. Apalagi kalau yang yang digunakannya
adalah sebatang pedang pusaka, kehebatannya sungguh
1367 tidak terbayangkan. Dengan mengandalkan tenaga dalam
yang dimiliki Tok-ku Bu-ti sekarang, sebatang kayu pun bisa
berubah menjadi setajam pedang.
Sekali bergerak Tok-ku Bu-ti sudah membunuh dua orang
manusia perpakaian hitam. Tiba-tiba pedang di tangannya
disambitkan ke depan dengan kekuatan penuh. Dua orang
manusia berpakaian hitam yang sedang menerjang ke
arahnya memandang dengan mata terbelalak. Yang bagian
depan tertembus dadanya dan yang di belakang tidak keburu
menghindar. Ujung pedang yang menembus lewat dada
temannya langsung menancap di tenggorokannya.
Sambilannya penuh dengan perhitungan yang tepat. Sekali
gerak dua korban jatuh. Wajah para manusia berpakaian
hitam iti berubah seketika. Gerakan mereka pun menjadi
terhenti. Tok-ku Bu-ti tidak menyerang mereka. Dia berlaku
seperti tidak terjadi apa-apa. Dengan perlahan dia
melangkahkan kakinya menuju pintu toko tersebut dan keluar
dengan tenang, dan merapatkan pintunya kembali. Pada
dasarnya dia memang tidak ingin membunuh orang-orang itu
apabila mereka tidak menyerangnya terlebih dahulu. Dia juga
hanya ingin menunjukkan sedikit kekuatannya kepada Tian
Sat yang telah menolak uluran tangannya.
Sesaat kemudian keadaan di dalam ruangan baru menjadi
gempar. Mereka seperti baru tersadar bahwa Tok-ku Bu-ti
telah meninggalkan tempat itu. Dengan panik mereka
menimpukkan berbagai senjata rahasia. Namun pintu sudah
keburu dirapatkan kembali, akibatnya senjata-senjata yang
berjumlah ratusan itu hanya menancap di pintu besar tersebut.
Dua orang manusia berpakaian hitam langsung menerjang
keluar. Mereka menyambitkan pedangnya ke punggung Tokku Bu-ti. Tetapi punggung orang itu seperti tumbuh mata saja. Dengan
menggeser sedikit tubuhnya, kedua batang pedang yang
1368 tajam tadi meluncur lewat di samping pinggangnya. Kemudian
dengan gerakan cepat dia membalikkan tubuh dan
menghantam. Kedua orang manusia berpakaian hitam itu
langsung terpental kembali ke dalam ruangan serta jatuh
gedebrukan menghantam peti mati yang berjejer.
Pintu toko itu telah terbuka lebar. Ratusan anak panah
dibidikkan oleh manusia-manusia berpakaian hitam ke arah
Tok-ku Bu-ti yang masih melangkah dengan tenang.
Sementara itu suara jeritan kedua orang yang tadi terpental
kembali ke dalam ruangan baru berkumandang.
Tok-ku Bu-ti menghentakkan kakinya melesat secepat angin
yang menghembus ke depan. Tiga puluhan manusia
berpakaian hitam yang berjaga di seberang jalan sudah
bersiap siaga sejak tadi. Namun gerakan mereka kalah cepat.
Tidak ada satu pun yang berhasil menghadang kepergian Tokku Bu-ti. Sambil melesat ke depan, sepasang telapak tangan Tok-ku
Bu-ti menghantam ke kanan dan kiri. Sebagian besar dari
manusia berpakaian hitam yang sedang bersiap siaga itu
langsung terdorong oleh tenaganya yang kuat sehingga
melayang jauh, bahkan ada yang melayang ke atas genting.
Suara jeritan ngeri berkumandang di mana-mana.
Tok-ku Bu-ti menepuk-nepuk pakaiannya. Matanya berpaling
ke arah toko keluarga Tio yang berada di seberang. Kebetulan
tatapan matanya bertemu pandang dengan sinar mata si
bungkuk yang baru berjalan keluar dari dalam toko itu.
Wajah si bungkuk hijau membesi. Matanya mendelik ke arah
Tok-ku Bu-ti. Bibirnya mencibir. "Tok-ku Buncu memang tidak malu disebut pendekar kelas satu zaman ini!" sindirnya tajam.
Tok-ku Bu-ti melambaikan tangannya dengan gontai.
"Meskipun ilmu Yan Cong Tian jauh lebih tinggi di atasku, tapi dia merupakan murid yang ditetaskan oleh sebuah partai
1369 beraliran lurus, apalagi dia jarang berkelana di dunia kangouw.
Untuk membunuhnya, hal yang paling penting adalah
menangkap titik kelemahannya. Sama sekali bukan hal yang
sulit. Terutama bagi orang yang tidak pernah dijumpainya!"
"Tok-ku Buncu memang orang yang berpengalaman di dunia
kangouw. Cara apa yang belum pernah dilihat oleh Tok-ku
Buncu. Untuk membunuh seorang manusia licik seperti Tok-ku
Buncu memang bukan hal yang mudah," sabut si bungkuk
sambil tertawa dingin. Dia berhenti sejenak, kemudian
melanjutkan kembali sepatah demi sepatah. "Namun, biar
bagaimana sulitnya, Tok-ku Buncu yang satu ini tetap harus
dibunuh!" Hati Tok-ku Bu-ti agak tergetar. Namun dia tidak
memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya. "Mungkin
kita harus duduk kembali berhadapan dan merundingkan
sekali lagi masalah ini." katanya dengan hati berharap.
Si bungkuk ternyata tetap menggelengkan kepalanya.
"Sekarang, seandainya kau sanggup mengeluarkan uang
sebanyak sepuluh laksa tail, tetap tidak berarti lagi bagi kami!"
Tok-ku Bu-ti terdiam mendengar ucapannya.
"Mungkin kau bisa meloloskan diri untuk hari ini, tapi belum tentu kau dapat menyelamatkan dirimu besok atau hari-hari
selanjutnya. Orang yang mengenal organisasi kami pasti tahu
bahwa selama ini kesabaran kami sangat besar sekali. Kami
tidak mengenal kata putus asa dalam mencari orang yang
berhutang kepada kami. Sekarang hutangmu sudah semakin
bertumpuk. Bukan hanya jumlah uang sebesar sepuluh laksa
tail, tapi puluhan jiwa anggota kami yang terbuang sia-sia di
tanganmu!" kata si Bungkuk sambil membalikkan tubuhnya.
Tanpa menoleh lagi dia langsung masuk ke dalam toko
tersebut. Perlahan-lahan pintu dirapatkan kembali olehnya.
Orang-orang yang terlempar ke atas genting semuanya sudah
1370 bubar. Tidak ada lagi satu pun manusia berpakaian hitam
yang masih berkeliaran di sekitar tempat itu. Tok-ku Bu-ti tidak memperdulikan mereka. Dia mendongakkan kepalanya
menatap ke atas langit.
Malam sudah mulai merayap. Entah kapan hujan akan
berhenti. Angin masih juga bertiup kencang. Tok-ku Bu-ti
termenung sejenak. Diedarkannya pandangannya. Di
sepanjang jalan tidak terlihat bayangan seorang pun. Semua
pintu rumah penduduk tertutup rapat. Mungkin mereka enggan
keluar rumah atau tidak ingin mendapatkan kesulitan setelah
terjadinya keramaian tadi.
*** Kesunyian mencekam. Berapa banyak bahaya yang
tersembunyi dalam kesunyian yang mencekam ini" Tok-ku
Bu-ti tidak tahu. Namun dia sekarang sudah menyadari bahwa
seluruh Pek-ka-cik ini merupakan desa yang terorganisir oleh
Tian Sat. Setelah merenung sejenak lagi, Tok-ku Bu-ti baru meneruskan
langkah kakinya. Dia mengambil arah menuju luar desa
tersebut. Angin yang menghembus melambai-lambaikan
pakaiannya. Dedaunan yang tumbuh menjalar di sepanjang
tembok di kedua sisi jalan juga menimbulkan suara berdesirdesir karena tiupan angin tersebut. Baru berjalan sejauh tiga
depa, tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya, kemudian
tubuhnya mendadak melesat ke depan seperti sebatang anak
panah yang meluncur.
Dalam waktu yang bersamaan, sebuah jala yang besar
melayang turun dari udara. Tapi sebelum jala itu mendarat di
atas tanah, tubuh Tok-ku Bu-ti sudah melesat keluar dari
jaringan jala tersebut. Gerakan tubuhnya tidak berhenti. Dia
melesat lagi sejauh tiga depa. Setelah itu baru dia berhenti.
Tok-ku Bu-ti melihat sekelilingnya. Dia berhenti di depan
1371 rumah seorang penduduk. Dengan mengehntakkan kakinya ia
melayang ke atas genting rumah itu. Ratusan anak panah
meluncur ke arahnya. Tok-ku Bu-ti tahu panah-panah itu
dibidikkan dari tembok tinggi di seberang rumah di mana dia
bersembunyi. Dengan cepat dia menggelinding. Tubuhnya
merapat di atas ge ting rumah tersebut. Ratusan anak panah
tadi lewat di atas kepalanya dengan suara mendesing-desing.
Menunggu sampai panah-panah itu habis dibidikkan, barulah
tubuh Tok0ku Bu-ti mencelat lagi. Dia langsung melesat di
atas tembok rumah yang berjajar itu. Ketika melewati
sebatang pohon yang rimbun, matanya menangkap sebatang
bambu kecil yang runcing meluncur pesat mengancam
dadanya. Tubuh Tok-ku Bu-ti memutar setengah membungkuk, jari
tangannya terangkat.
"Crep!" Bambu runcing tadi terselip di antara dua jari telunjuk dan tengahnya kemudian terputus menjadi dua bagian. Tubuh
orang yang menyambitkan bambu runcing tadi terpental
seketika oleh hantaman Tok-ku Bu-ti yang menyerang secara
tiba-tiba. Ternyata dia adalah peramal buta yang pernah disinggahi oleh
Tok-ku Bu-ti ketika meminta petunjuk untuk menemukan
markas Tian Sat. pakaiannya masih yang tempo hari juga.
Tangan kanannya masih memegang tabung bambu. Rupanya
benda yang disambitkan tadi adalah kayu panjang yang biasa
dikocokkannya di dalam tabung sebagai alat untuk meramal.
Sinar mata Tok-ku Bu-ti memandanginya denagn tajam.
"Apakah kau datang untuk meramal nasibku?"
Si buta menggelengkan kepalanya. "Nasibmu tidak perlu
diramal lagi!" sahutnya tenang.
"Mengapa?"
1372 "Umurmu tidak akan panjang!"
Tok-ku Bu-ti tertawa dingin, "Aku juga sudah belajar ilmu
meramal." "Oh ya?" Wajah si Buta tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
"Maukah kau apabila aku meramalkan nasibmu?" tanya Tok-ku Bu-ti.
"Bagaimana menurut penglihatanmu?"
"Umurmu bahkan lebih pendek daripada umurku!" bentak Tokku Bu-ti sambil menghentakkan kakinya mencelat ke atas.
Dalam waktu yang bersamaan, tangan kiri si buta mengibas.
Puluhan batang kayu panjang langsung disambitkan keluar.
Semuanya mengarah ke sepasang mata Tok-ku Bu-ti. Namun
dengan gerakan santai Tok-ku Bu-ti menggeser kepalanya.
Puluhan batang kayu tersebut melintas di samping pipinya.
Sekali tangan si buta digerakkan dengan cepat, serangkum
hawa dingin langsung menerpa. Ternyata yang disambitkan
kali ini merupakan tiga puluh enam batang jarum beracun.
Sementara itu, tangan kirinya sekali lagi mengibaskan


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batangan kayu panjang ke arah tenggorokan Tok-ku Bu-ti.
Tidak usah diragukan lagi, si buta ini pasti seorang ahli senjata rahasia.
Sayang sekali lawan yang dihadapinya adalah Tok-ku Bu-ti.
Manusia yang licik ini seakan sudah dapat menduga apa yang
akan dilakukannya. Tiba-tiba tubuhnya berjungkir balik, kepala
di bawah dan kaki di atas. Dengan demikian ketiga puluh
enam batang jarum beracun itu pun melesat dari sasarannya.
Kakinya langsung dihentakkan dan menutul kembali di atas
tembok. Tepat pada saat itu si Buta melesat ke arahnya dari
tembok ujung. Dengan kecepatan kilat Tok-ku Bu-ti
menendangkan kakinya ke arah kepala si Buta yang sedang
1373 meluncur tiba. Terdengar suara.
"Prak!" Yang menggiriskan hati. Kepala si Buta hancur seketika oleh tendangan kakinya itu, otaknya berceceran di
mana-mana. Tubuh Tok-ku Bu-ti melayang turun dengan tenang. Dia
tertawa lebar. "Ternyata ilmu ra-malanku lebih hebat durimu."
Tanpa menunda waktu lagi, dia langsung menghentakkan
kakinya sekali lagi dan melesat ke depan. Untuk
meninggalkan Pek-ka-cik masih harus menempuh perjalanan
kurang lebih setengah kentungan. Tok-ku Bu-ti sadar bahaya
sekarang mengancamnya di mana-mana. Mau tidak mau dia
harus meningkatkan kewaspadaannya. Tampaknya mulai saat
itu, hari-hari tenang tidak akan pernah dirasakannya lagi.
Kakinya meloncat dari satu tembok rumah ke tembok rumah
lainnya. Sekejap saja dia sudah mencapai setengah
perjalanan. Dua kali lagi kakinya meloncat, mendadak tembok
yang di njaknya pecah berhamburan. Tubuhnya melorot turun.
Namun Tok-ku Bu-ti tidak panik, dia berjungkir balik dengan
cepat dan mencelat lagi di udara. Pada saat itulah dia melihat
tanah di bawahnya penuh dengan pisau-pisau tajam,
se?dangkan tembok yang digunakannya sebagai landasan
sudah hancur semua. Tubuhnya tidak mungkin mencelat terus
di udara. Sekarang di atas kepalanya sudah melayang turun
sehelai jala besar. Otaknya tidak sempat berpikir lama-lama,
dia lantas mengambil keputusan untuk menem?puh bahaya.
Kakinya dibiarkan memberat dan melayang turun.
Cinta Bernoda Darah 6 Anak Berandalan Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 20

Cari Blog Ini