Ceritasilat Novel Online

Istana Kumala Putih 13

Istana Kumala Putih Karya O P A Bagian 13


yang baru saja keluar pintu, maka sedikitpun tidak mempunyai kewaspadaan, aku bikin dia tahu
sedikit rasa. Tetapi sungguh diluar dugaannya, belum lenyap pikiran girangnya mendadak ia rasakan hawa
dingin menyerang dirinya, sampai sekujur badannya menggigil. Dengan sendirinya ilmunya Ciekhiesin-kang yang dibuat andalan seketika juga tidak berguna lagi.
Bukan main kagetnya Pek Ho Tojin, biar bagaimanapun ia masih belum mau percaya bahwa
hawa dingin itu dikirim oleh Kim Houw. Tetapi saat itu, didalam pekarangan kecuali anak-anak
muridnya dan para imam dari gereja Pek-ho-koan, hanya Kim Houw seorang yang terhitung orang
luar, siapakah yang membantu Kim Houw" Terutama hawa dingin tadi yang menyerang dengan
tiba-tiba, lihaynya luar biasa, pasti bukan orang-orangnya sendiri yang mampu menggunakan
serangan demikian.
Melihat Pek Ho Tojin celingukan kesana sini, seperti yang sedang mencari apa-apa, diam diam
Kim Houw merasa geli sendiri.
"Koancu, silahkan mulai!" katanya, sikapnya tenang.
Pek Ho Tojin gusar sekali, dengan tidak banyak rewel lagi ia lalu mengebutkan lengan
jubahnya dan tubuhnya yang jangkung maju menyerang Kim Houw.
Pek Ho Tojin juga mengeluarkan sepasang tangannya yang hitam dan kurus kering,
melancarkan serangan saling susul tiga kali pada Kim Houw.
Serangan-serangan itu berat dan cepat, boleh dikatakan hanya dalam waktu sekejap saja.
Ketika Kim Houw naik gunung, sudah mengambil keputusan ia tidak akan melukai orang.
Tetapi apa mau, melihat Pek Ho Tojin melancarkan serangannya yang demikian ganas pikirannya
berubah. Sebab jika ia tidak mau melukai orang, ia tidak akan mencapai maksudnya, terutama
terhadap Pek Ho Tojin yang kelihatannya welas asih, tetapi sebetulnya sangat kejam. Justru Kim
Houw paling membenci orang yang bersifat demikian, maka ia lantas ketawa bergelak-gelak.
"Koancu, hati-hati sedikit!" ia mengejek.
Kim Houw tidak berkelit dari serangan imam itu, ia hanya mengangkat satu tangannya,
menepok tiga kali sebagai sambutan atas serangan Pek Ho Tojin yang ganas itu.
Suara keras dari beradunya kekuatan tenaga kedua orang itu dahsyat sekali, angin keras
menyambar dengan hebat sampai genteng-genteng pada berterbangan jatuh.
Kim Houw setelah melancarkan serangan itu, tampak masih berdiri di tempatnya, sedikitpun ia
tidak bergoyang karena serangan lawannya.
Sebaliknya tidak demikian halnya dengan Pek Ho Tojin, badannya sudah dibikin tergetar oleh
serangan Kim Houw, sehingga ia tidak mampu berdiri tegak lagi, terpaksa ia mundur setengah
tindak. Sampai di sini, Pek Ho Tojin bukan saja kaget dan gusar, tetapi ia juga merasa heran dari
mana Kim Houw mempunyai kekuatan yang demikian hebatnya. Apalagi kalau dilihat dari
sikapnya anak muda itu yang kelihatannya tenang-tenang saja, benar-benar ada merupakan suatu
kejadian yang amat ganjil.
Pek Ho Tojin sebagai kepala gereja Pek-ho-koan, merasa malu kalau harus jadi pecundang
dengan disaksikan oleh hampir semua imam dari gerejanya, seketika itu wajahnya berubah pucat
pasi. "Ambilkan pedangku!" ia perintah orangnya
Dengan cepat salah seorang muridnya muncul menyerahkan sebilah pedang panjang
padanya. Pek Ho Tojin menghunus senjatanya itu, ketika dikibaskan terdengar suara mengaung
yang sangat nyaring sekali.
Dari suara mengaungnya pedang itu, bisa diukur pedang itu bukan suatu pedang
sembarangan, dan memang betul pedang itu merupakan suatu pedang pusaka dari Pek-ho-koan.
"Siaohiap, silahkan hunus senjatamu, untuk menyambut pedangku ini!" si imam berseru.
Kim Houw yang melihat Pek Ho tojin sangat bandel, tanpa banyak bicara pula telah gerakkan
tubuhnya menerjang akan merebut pedang Pek Ho Tojin.
Melihat Kim Houw hendak merebut pedangnya, Pek Ho Tojin merasa gusar. Dengan tidak
mengenal kasih, cepat ia memutar pedang pusakanya dan menikam Kim Houw dari samping,
sedang tangan kirinya diayun mengirim serangan Cie-khie-sin-kang.
Pedang dan ilmunya Cie-khie-sin-kang yang dilancarkan dengan berbarengan itu sudah tentu
bukan main hebatnya. Siapa nyana, orang yang diserangnya kelihatannya hanya berkelebat
bayangannya, tahu-tahu sudah menghilang dari depan matanya.
Sebaliknya di belakangnya telah terdengar suara gedebukan, Pek Ho Tojin segera menoleh,
ternyata dua orang tojin yang semula bermaksud hendak membokong Kim Houw dari kiri dan
kanan, telah jatuh bergelimpangan dan kelihatannya sudah terluka parah.
Sedang Kim Houw sendiri saat itu sudah dikepung oleh empat orang imam lain yang lompat
turun dari atas genteng.
Pek Ho Tojin bergidik dan berkata terhadap diri sendiri:
"Ah, benar-benar dia adalah seorang iblis yang baru turun dari langit. Kelihatannya Ceng-shiasan
tahun ini tidak dapat melewatkan hari-hari dengan tentram."
Pada saat itu mendadak telah terdengar suara jeritan saling susul yang mengerikan, ternyata
ke empat imam-imam tadi, satu demi satu telah menggeletak rubuh di tanah, sedangkan Kim
Houw sendiri saat itu sudah lompat ke atas genteng.
Pek Ho Tojin lantas berseru: "Binatang, apa kau kira kau dapat lolos dari sini dengan begitu
saja?" Kim Houw telah dihujani oleh banyak sekali anak panah sehingga ia terpaksa lompat ke atas
genteng dan kini Kim Houw mendengar perkataan Pek Ho Tojin segera turun lagi dan menjawab:
"Aku bukannya ingin lolos, sebaliknya kau sendiri yang terlalu cerewet. Kau hendak
memajukan syarat apa, katakan lekas!"
"Asal kau mampu menyambuti seranganku tiga jurus saja, nanti aku mempersilahkan kau naik
gunung, bagaimana?"
"Jangan kata hanya tiga jurus, sekalipun tiga puluh jurus juga aku tidak akan mengeluarkan
tanganku untuk menyambut seranganmu. Kau boleh menyerang sepuasnya, cuma saat itu kau
jangan main gila dan aku memungkiri janjimu sendiri, supaya orang-orangmu jangan banyak yang
menderita."
Mendengar itu, Pek Ho Tojin panas sekali hatinya, dengan tidak banyak bicara, lantas ia
angkat pedangnya melancarkan serangan yang pertama.
Kim Houw tidak bergerak, hanya mulutnya saja yang berkoak-koak.
"Jurus pertama!"
Kim Houw belum menutup mulutnya, Pek Ho Tojin badannya sudah bergerak lagi. Kedua
lengan jubahnya dikebutkan berbarengan, seolah-olah burung elang raksasa yang terbang
diangkasa, kemudian turun menerkam mangsanya, sedang pedang ditangannya telah diputar
laksana titiran, seolah-olah ada beberapa puluh bilah pedang yang menyerang.
Kim Houw yang diserang secara demikian, diam-diam juga terperanjat. Ia memang sudah
menduga bahwa tiga jurus serangannya Pek Ho Tojin itu tentu bukan serangan sembarangan, tapi
ia ada seorang yang berkepandaian tinggi dan bernyali besar, ia yakin masih mampu
mengelakkan. Namun serangan Pek Ho Tojin kali ini perubahannya sangat luas, dari mana saja rasanya
sukar untuk dihindarkan.
Kim Houw harus berlaku sangat hati-hati. Ujung pedang ketika sudah dekat pada dirinya,
mendadak ia memutar tubuhnya, kedua tangannya mendorong ke udara, kemudian badannya
lantas melesat tinggi ke angkasa.
Ketika ia turun kembali, dua lawan terpisah kira-kira lima enam tumbak jauhnya.
Badan Kim Houw meski tidak terluka, tapi bajunya sudah terdapat tujuh atau delapan lobang
bekas tusukan pedang.
Sekalipun demikian, Kim Houw sudah dapat mengelakkan serangan jurus pertama dari Pek Ho
Tojin, bahkan ia dapat mengelakkan secara begitu bagus, tidak lari juga tidak mundur.
Pek Ho Tojin lihat Kim Houw tidak mundur atau berkelit, ia sengaja memberikan kesempatan
Kim Houw balas menyerang. Siapa nyana Kim Houw benar-benar tidak keluarkan tenaga untuk
balas menyerang. Hanya dalam keadaan bahaya ia melesat tinggi memutar tubuhnya, untuk
menyingkirkan serangannya.
Kedua tangannya mendorong ke udara, adalah untuk memunahkan serangannya Pek Ho Tojin
yang amat dahsyat, tapi itu dilakukan terhadap udara, bukan terhadap orangnya. Sekalipun Pek
Ho Tojin ada seorang yang sangat licin, juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Kalau Pek Ho Tojin tadi berani memberikan janjinya kepada Kim Houw hanya menyambuti
serangan pedangnya tiga jurus, segera diijinkan naik gunung, serangan pedangnya itu sudah tentu
bukan serangan sembarangan. Didalam hatinya, mungkin si imam anggap Kim Houw tidak akan
mampu menyambuti serangannya itu.
Sebab tiga jurus serang pedangnya itu sudah sangat terkenal, namanya saja ada cukup hebat,
jurus pertama dinamakan "Ciu-ie-hong-hong" atau hujan lebat angin kencang, jurus kedua
dinamakan "bit-lo-kin-kow" atau bunyi tambur dan genderang yang amat seru dan rapat. Dan jurus
ketiga dinamakan "Hok-tee-hoa-thian" atau bumi dan langit terbalik. Ilmu pedangnya ini
merupakan ilmu pedang dari golongan Ceng-shia-pay yang paling lihay, umumnya disebut "Samputkee" atau tidak bisa melewati sampai tiga jurus.
Ceng-shia-pay namanya sudah terkenal sejak beberapa puluh tahun berselang, terutama ilmu
pedangnya di kalangan Kang-ouw sangat menjagoi. Dan tiga jurus serangan yang mendapat
nama "Sam-put-kee" itu, jurus ada merupakan ilmu pedangnya Ceng-shia-pay yang paling lihay
dan ganas. Pek Ho Tojin bukan saja ada merupakan salah satu orang kuat yang mempunyai kepandaian
sangat tinggi dalam golongan Ceng-shia-pay, juga ada sutenya Ciang-bun-jin sendiri. Ilmu "Ciekhiesin-kang" meski tidak sehebat suhengnya, tapi ilmu pedangnya "sam-put-kwee" ini sudah
sangat mahir sekali.
Kali ini, Pek Ho Tojin berani keluarkan omongan besar, suruh Kim Houw menyambuti tiga jurus
serangan pedangnya itu, ia tadinya menganggap Kim Houw tentunya tidak berani menerima syarat
itu, dengan demikian, ia bisa mencari lain akal untuk mencegah Kim Houw jangan sampai bisa
naik ke atas gunung.
Siapa nyana, Kim Houw telah menerima baik syarat yang diajukan itu dengan tidak ragu-ragu,
ini benar-benar di luar perhitungannya.
Tapi, berbarengan dengan itu, dalam hatinya diam-diam juga merasa girang, karena ia anggap
Kim Houw tentunya tidak bisa terlolos dari serangannya itu.
Sebabnya, serangan "Sam-put-kwee" yang lihay dan ganas ini sudah membuat banyak jagojago
kelas satu di dunia Kang-ouw yang tidak mampu menyambuti, bagaimana Kim Houw berani
menyambuti tanpa turun tangan" Bukankah berarti ia mencari mampus sendiri"
Walaupun kepandaian dan kekuatan Kim Houw yang barusan sudah ditunjukkan di depan
matanya, "Sam-put-kwee" juga belum tentu dapat membinasakan jiwanya, tetapi setidak-tidaknya
anak muda itu akan merasa keder dan menyingkir dari serangannya, dengan demikian juga sudah
dihitung kalah.
Di luar dugaan, jurus pertama sudah dapat dielakkan dengan baik, meskipun bajunya Kim
Houw sudah dibikin berlobang oleh ujung pedang, tapi badannya tidak mendapat luka apa-apa.
Serangannya yang kedua ia harus menggunakan seluruh kepandaiannya, sebab ia toh tidak
perlu berjaga-jaga serangan pembalasan dari lawannya, maka ia dapat melancarkan serangannya
menurut sesuka hatinya.
Ketika Pek Ho Tojin melakukan serangannya dengan pedang dan tangan secara berbarengan,
suara pedang dan suara tangan meski sangat berlainan, tapi justru karena itu, sudah cukup untuk
membikin bingung perasaan lawannya.
Tapi, Kim Houw yang kepandaiannya sangat luar biasa, suara apa saja jangan harap bisa
menggerakkan hatinya, meskipun menghadapi serangan Pek Ho Tojin yang begitu hebat, ia
nampak masih tidak bergerak barang setindak.
Ketika ia menampak tingkah lakunya yang aneh dari imam tua itu, Kim Houw lantas keluarkan
suara ketawanya yang nyaring untuk memusnahkan suara pedang dan suara tangan dari Pek Ho
Tojin. Pek Ho Tojin terperanjat, ia tidak mau membuang tempo lagi, dengan cepat sudah
melancarkan serangannya yang kedua.
Pedang dan tangan Pek Ho Tojin telah mengurung rapat dirinya Kim Houw.
Dalam keadaan demikian, jika Kim Houw diperbolehkan menggunakan tangannya untuk balas
menyerang, dengan mudah ia dapat lolos dari serangannya Pek Ho Tojin. Tapi, karena menurut
perjanjian ia tidak boleh balas menyerang dengan tangan, bahkan juga tidak diperbolehkan
mundur, jika mundur juga dihitung kalah.
Maka tidak boleh tidak Kim Houw harus mengeluarkan kepandaiannya yang luar biasa untuk
merebut kemenangan.
Mendadak ia melesat tinggi, untuk menghindarkan pedangnya Pek Ho Tojin, berbareng
memapaki serangan dengan lengan baju lawan.
Pek Ho Tojin menyaksikan kelakuan Kim Houw, diam-diam merasa geli, karena itu berarti
mencari mati sendiri.
Kiranya serangan yang kedua itu, meski didahului oleh suara, untuk memberi tanda, tapi
disamping itu masih ada lain maksud yang lebih dalam.
Jika fihak lawan tidak berhati-hati, terkena serangannya tangan atau pedang jangan harap bisa
hidup lagi! Sebabnya, jika terkena serangan tangan sebentar saja lantas menyusul serangan lain yang
meluncur secara beruntun serta ditujukan pada satu tempat saja.
Dan bagaimana dengan pedang" Tak usah ditanya lagi, begitu terkena serangan si korban
nampak dirinya sudah mendapat lubang yang tidak kurang dari tujuh atau delapan tempat.
Karena gaibnya ilmu serangan tersebut, maka Pek Ho Tojin diam-diam merasa girang, ia ingin
kali ini benar-benar dapat membinasakan dirinya Kim Houw.
Di luar dugaannya, Kim Houw ternyata bisa menghindarkan serangannya yang hebat itu.
Belum hilang rasa kaget dan herannya Pek Ho Tojin, Kim Houw sudah berkata sambil tertawa
bergelak-gelak:
"Jurus kedua sudah habis, silahkan mulai dengan jurus yang ketiga!"
Pek Ho Tojin benar-benar sudah meluap kegusarannya, sambil putar badannya ia melakukan
serangan terakhir yang sangat hebat.
Jurus terakhir ini ada lebih hebat dari jurus-jurus yang terdahulu, berkali-kali Kim Houw coba
menghindarkan dirinya dari ancaman pedang, ternyata masih tidak berhasil, hingga dalam hati
diam-diam merasa cemas, juga menyesalkan dirinya sendiri yang tadi sudah terlalu tekebur tidak
perlu turun tangan untuk menghindarkan serangan. Nampaknya sekarang terpaksa harus turun
tangan juga untuk menolong jiwanya.
Terhina dihadapannya orang banyak, ia masih anggap suatu perkara sepi. Tetapi jika tidak
berhasil naik gunung menemui ayahnya, biar bagaimana Kim Houw tidak mau mengerti.
Menurut keterangannya Bwee-hoa Kiesu, keadaan ayahnya sudah sangat berbahaya sekali
jika kehilangan kesempatan untuk menemui ayahnya, itu berarti suatu penyesalan untuk seumur
hidupnya. Nampaknya, sang waktu sekejap sajapun tidak dapat diulur lagi, jari tangan kedua tangan Kim
Houw sudah ditekuk, asal ia ulur keluar, ia sudah bisa terlepas dari ancaman bahaya, tapi dengan
demikian ia sudah mengingkari janjinya sendiri!
Dalam keadaan yang sangat kritis itu, mendadak dengar suara orang membentak-bentakan:
"Siapa?"
Pek Ho Tojin terkejut.
Ia menduga Kim Houw membawa teman, lalu dengan bengis ia berkata pada anak muda:
"Binatang, kau sebetulnya datang dengan berapa banyak orang?"
Tapi, baru saja ia mengucapkan perkataan "orang", mendadak lihat Kim Houw sudah
berjungkir balik, dengan tangan di bawah dan kaki di atas, kemudian kedua kakinya itu diputar
laksana titiran, lalu menendang hebat.
(Bersambung jilid ke 26)
PEK HO TOJIN tidak nyana Kim Houw akan menggunakan siasat demikian, ia lengah,
pedangnya lantas terlepas dari tangannya karena tertendang oleh kakinya Kim Houw. Sudah
tentu, kejadian ini disebabkan kelengahan Pek Ho Tojin sendiri yang tadi telah menegor Kim
Houw, yang dikiranya membawa banyak kawan. Jika tidak, sekalipun Kim Houw mempunyai dua
pasang kaki, juga jangan harap bisa menyentuh pedang lawannya.
Tiga jurus serangannya Pek Ho Tojin sudah habis, Kim houw lantas tertawa bergelak gelak,
sambil lompat bangun ia berkata :
"Kedatanganku ke atas gunung ini, hanya seorang diri saja, tidak mempunyai kawan.
Sekarang, tiga jurus serangan Koancu sudah habis, apa yang Koancu harus katakan lagi" Aku
rasa hal itu juga tidak ada perlunya, jika Koancu masih banyak rewel, mungkin lebih tidak enak
akibatnya bagi Koancu sendiri !"
Setelah berkata, Kim Houw lantas lompat melesat ke atas genteng. Dari jauh ia lihat
berkelebatnya bayangan satu orang, yang lompat melesat ke puncak gunung seperti gerakannya
kucing liar. Kim Houw tahu, bayangan itu tentunya ada Bwee-hoa Kiesu, sudah tidak bisa salah
lagi. Kim Houw dapat merasa bahwa pada imam di atas genteng benar saja tidak merintangi
perjalanannya, maka ia tidak mau berlaku keterlaluan lagi, dengan cepat lantas meninggalkan
gereja Pek-ho-koan.
Saat itu sudah jam empat menjelang pagi hari, di puncak gunung kabut menampak semakin
tebal. Mendadak di depan jalan ada mencorong sepasang sinar terang yang menembusi kabut
tebal itu. Kim Houw mengira ada matanya binatang buas, karena apa bila itu ada sorot matanya orang,
orang itu pasti mempunyai kekuatan tenaga lwekang yang sudah tinggi sekali.
Sinar itu makin lama makin mendekat, tapi karena kabut amat tebal, Kim Houw tidak dapat
lihat sinar itu ada matanya binatang atau manusia.
Kim Houw yang bernyali sebar, dengan cepat lompat menghampiri. tepat tiba di depannya
sinar itu. Ketika ia buka lebar mata untuk menegasi, ternyata di depannya ada berdiri satu orang,
bukannya binatang buas, hingga Kim Houw terkejut.
Apa sebabnya, apakah ia takut" Tidak!
Sebab orang yang mempunyai sinar mata begitu hebat itu, ternyata bukan seperti apa yang
Kim Houe duga semula, ada seorang tua yang rambutnya sudah putih atau seorang laki-laki yang
berbadan tegap, sebaliknya ia hanya satu bocah tanggung yang berusia kira-kira dua belas atau
empat belas tahun.
Cuma, bocah ini ada beda dengan bocah biasanya, ia berpakaian kopiah imam, di belakang
gegernya menggendong sebilah pedang, tangannya membawa kebutan, persis seorang imam
cilik. Untuk sesaat lamanya Kim Houw telah dibikin tercengang, sebab bocah yang usianya masih
begitu muda, ternyata sudah mempunyai kekuatan lwekang begitu tinggi, apakah mungkin seperti
dirinya sendiri yang menemukan pengalaman gaib"
Selagi Kim Houw masih merasa bingung, imam cilik itu sudah menegor padanya:
"Adakah tuan seorang she Kim?" "Aku yang rendah benar adalah Kim Houw, entah apa
sebutannya toheng yang mulia?" jawab Kim Houw, ia heran mengapa imam cilik itu mengetahui
shenya.

Istana Kumala Putih Karya O P A di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar! benar! harap toheng sudi memberi sedikit petunjuk!" "Aku ini adalah Pek Leng Tojin,
entah ada urusan apa tuan mencari aku?"
Kimm Houw mendengar pertanyaan itu, hatinya terkejut. Ia mundur selangkah, lama matanya
memandang imam cilik, mulutnya ternganga, tidak bisa menjawab.
Kim houw sejak masih baya belum pernah melihat ayahnya, sudah tentu tidak tahu bagaimana
roman ayahnya itu. Sekarang, bocah cilik yang berada di depan matanya itu, ternyata sudah
mengaku sebagai Pek Leng Tojin. Meski ia tahu benar bahwa bocah itu bukan ayahnya sendiri,
tapi, untuk sesaat itu ia juga tidak mampu menjawab.
Bocah yang mengaku Pek Leng Tojin itu berkata pula:
"Aku si tojin tahun ini sudah berusia enam puluh tiga tahun, orang menyebut aku sebagai
imam yang tidak bisa tua. Tapi, seumur hidupku aku belum pernah kawin, sebaliknya aku
menyebut aku sebagai ayahmu. Aku belum kawin dari mana bisa mempunyai anak" Terang kau
datang untuk mencari setori. Lebih baik kau lekas pulang, kalau tidak, hati-hati kau nanti tidak bisa
turun gunung lagi..."
Kim Houw memang sudah tahu kalau imam itu bukan ayahnya, sebab dimasa mudanya
ayahnya pernah menjadi rebutan kaka beradik dari keluarga Ceng-kee-cee, kalau roman ayahnya
seperti imam cilik, bagaimana bisa dibuat rebutan oleh dua wanita"
Siapa nyana, belum sampai Kim Houw memberi jawabannya, si imam cilik itu sudah mengejek
Kim Houw begitu rupa, sehingga Kim Houw seketika itu lantas naik darah!
Tidak menunggu si imam cilik bicara habis, Kim Houw sudah membentak dengan suara keras :
"Imam busuk yang tidak punya mata, dengan cecongormu seperti ini juga berani keluarkan
perkataan yang tidak sopan. Rupanya kau sudah bosan hidup, hari ini aku Kim Houw hendak
memberi pelajaran sedikit padamu, supaya lain kali kau tidak berani sembarangan buka mulut lagi
!" Kim Houw merasa benci sekali kepada imam cilik itu, karena romannya yang masih seperti
bocah, ternyata sudah berani mengaku ayahnya.
Tiba-tiba ia sudah keluarkan dua tangannya, satu menyerang ke barat dan lainnya menyerang
ke arah timur, serangannya itu semua ditujukan ke tempat kosong dikanan kirinya badan si imam
cilik. Si imam cilik kelabakan, ia tidak tahu serangan apa yang digunakan oleh Kim Houw. Tapi, ia
juga bukan seorang lemah, dalam keadaan bingun, ia masih bisa lekas menghunus pedangnya. Ia
tingginya tidak lebih dari tiga kaku, dengan pedangnya itu hampir sama panjangnya, maka ketika
pedang panjang itu berada didalam tangannya, ia seperti juga seorang anak kecil yang
memainkan golok besar.
Kim Houw yang menyaksikan keadaannya si imam cilik itu, dalam hati merasa geli, tapi rasa
bencinya lebih besar daripada perasaan gelinya.
Ia menunggu sampai imam itu sudah pegang betul pedangnya, kedua tangannya mendadak
menarik dam melepas dengan berbareng. nampaknya Kim Houw seperti main-main saja, tapi
sebetulnya imam cilik itu sudah terkurung oleh kekuatan tenaga Kim Houw.
Tapi, imam cilik itu yang sudah mempunyai kepandaian sampai sepasang matanya
memancarkan sinar begitu terang, sudah tentu bukan termasuk orang sembarangan Gesit sekali
tubuhnya yang pendek kecil lantas melesat tinggi ke angkasa, segera menukik balik dan pedang
panjangnya digunakan untuk menikam. Ia ingin mengetahui sampai dimana Kim Houw masih
dapat menyambuti pedangnya itu dengan tangan kosong.
Tidak nyana baru saja ia melesat ke atas dan pedangnya juga baru hendak menikam, suatu
tenaga dahsyat telah membentur pedangnya dan menerbitkan suara nyaring sekali.
Si imam cilik gemetar badannya, ia tidak dapat pertahankan dirinya lebih lama lagi ditengah
udara, lantas meluncur jatuh dan sebelah tangannya hampir saja patah.
Mendadak ia merasakan tangannya sangat enteng, ketika ia memeriksa pedang di tangannya
ternyata hanya tinggal gagangnya saja, Sedangkan pedangnya sudah hancur berkeping-keping.
Melihat itu si imam cilik bergidik, pikirnya andaikata tadi ia tidak keburu jatuh, tentu tubuhnya
yang kecil sudah hancur lebur.
Imam cilik itu setelah menenangkan pikirannya, baru melemparkan gagang pedangnya seraya
berkata: "Sungguh hebat sekali kekuatan tenaga dalammu, sekarang marilah kita, mengadu kekuatan
tenaga!" Mendengar itu dalam hati Kim Houw diam-diam menyumpahi si imam cilik itu yang bandal.
Andaikata benar-benar kekuatan tenaga dalamnya hebat sekali, apa kiranya Kim Houw takut
padanya" Ketika itu si imam cilik sudah menyodorkan kedua tangannya, tetapi Kim Houw hanya
menyambuti dengan sebelah tangannya saja.
Siapa nyana sebelum tangan kedua pihak saling menempel, badan si imam cilik lantas
menggigil, sehingga dengan diam-diam ia merasakan kaget. Ia tidak berani melanjutkan mengadu
tenaga lagi, sambil melesat mundur ia berseru:
"Apa Siaohiap melatih ilmu Han-bun-cao-khie?"
Semula Kim Houw hendak memberi sedikit hajaran pada imam cilik itu, sekalipun tidak dihajar
sampai mampus, setidak-tidaknya juga harus dibikin babak belur. Diluar dugaan, sekarang si
imam cilik telah memajukan pertanyaan ilmunya Han-bun cao-khie, Kim Houw menjadi terheranheran.
Sebab sejak ia muncul di dunia Kaog ouw jarang menggerakan ilmunya Han-bun-cao khie,
sampai seorang tingkatan tua dan mempunyai kepandaian sangat tinggi seperti Kow-low Sin-ni
dan Liok-cio Thian-mo juga tidak mengenali nama dari ilmunya yang sangat hebat siapa nyana
imam tua yang bentuknya seperti bocah ini belum sampai mengadu kekuatan sudah segera dapat
menyebut nama ilmunya.
"Karena kau telah mengenali ilmu apa yang kupelajari, maka hari ini aku akan mengampuni
jiwamu!" kata Kim Houw.
Imam tua yang seperti bocah itu rupanya bukan dari partai Ceng-shia, sebab ilmu yang ia
pelajari bukan ilmu dari Cie-khie-sin-kang, tapi suatu ilmu yang justru paling takuti Han-bun caokhie.
Karena sedikit sekali orang yang mempelajari ilmu Han-bun-cao-khie, maka boleh digunakan
sepanjang perjalanan hidupnya ia belum pernah menemukannya. Tidak nyana dimasa tuanya ia
telah menemukan ilmu itu pada diri Kim Houw yang masih muda belia.
Maka lantas ia tidak berani bertingkah lagi, ia persilahkan Kim Houw naik gunung Seraya
berkata: "Siaohiap, silahkan naik ke atas, Ceng-bun-jin Ceng-shia-pay sudah menantikan
kedatanganmu!"
Kim Houw tidak mengira imam cilik itu dapat berubah sikap demikian ccpat, maka ia juga tidak
sungkan-sungkan lagi terus naik ke atas gunung.
Saat itu kabut semakin tebal, sehingga jalanan kelihatannya gelap. Meskipun Kim Houw
mempunyai mata yang sangat tajam dan dapat menembusi hawa gelap, tetapi dalam kabut yang
demikian tebalnya itu daya penglihatannya juga hanya mencapai sejauh kira-kira lima kaki saja.
Maka terpaksa Kim Houw berjalan dengan pelahan.
Mendadak telinganya mendengar suara genta ditabuh dua kali.
Kim Houw menghentikan kakinya, ia memasang mata dengan seksama dan merasa agaknya
sudah menginjak puncaknya gunung, hanya sayang karena tebalnya kabut, matanya tidak dapat
memandang jauh. Dalam keadaan demikian Kim Houw tidak berani gegabah, sebab biarpun
bagaimana gunung Ceng-shia san itu tidak boteh dipandang remeh.
Meskipun ia sudah menundukkan Pek Ho Tojin dam si imam tua yang seperti bocah tadi,
selain dari mereka berdua tidak kelihatan datangnya orang yang lebih kuat, tetapi menurut
keterangan Bwee hoa Kiesu bahwa di atas gunung itu terdapat banyak sekali imam yang
berkepandaian tinggi, maka tidak boleh tidak, ia harus berlaku hati hati.
Setelah memeriksa keadaan di sekitarnya, Kim Houw lalu duduk di atas sebuah batu besar
dan membuka buli-buli kecil dari Tiong ciu-khek dan meminum air untuk menghilangkan rasa
dahaganya. Air itu begitu masuk ke dalam perutnya, sekujur badannya kontan dirasakan sangat
segar dan rasa letihnya lantas lenyap seketika.
Pada saat itu langit di sebelah timur kelihatan berwarna merah, dan menembusi kabut tebal.
Meskipun diketahui oleh Kim Houw bahwa sinar itu ialah sinar matahari pagi, tetapi karena dirinya
berada di atas puncak Ceng-shia-san, dan pusatnya Ceng-shia-pay, maka hatinya merasa kurang
tenteram. Ia lalu berbangkit dan kembali celingukan mengamati keadaan sekitarnya, benar saja ia sudah
berada di atas puncaknya gunung Ceng-shia. Hanya di situ bukan saja tidak terlihat ada
manusianya, bahkan sebuah gerejapun tidak kelihatan.
Yang terlihat hanya batu-batu aneh yang berserakan di sana sini. Keadaan di situ sangat
berlainan dengan keadaan di Pek ho koan, ini benar sangat mengherankan hati Kim Houw, ia tidak
mengerti apa sebab-sebabnya.
Mendadak terdengar satu suara yang seperti gembreng pecah dari samping kirinya, "Bocah,
kemari, Yayamu ingin menanya kau!"
Mendengar suara itu, Kim Houw segera mengerti bahwa orang itu mempunyai kekuatan
tenaga dalam yang sangat tinggi. Ia heran, sejak kapankah orang itu datang ke situ dan mengapa
sedikitpun tidak diketahuinya, apakah ia sudah datang terlebih dahulu dari pada dirinya sendiri"
Meskipun orang itu mempunyai kekuatan lwekang sangat tinggi, tetapi sebagai seorang imam
yang bicara secara kasar demikian, baru sekali ini Kim Houw mendengarnya.
Kembali ia mendengar suara orang tadi.
"Bocah, kau kenapa, apa kau tidak mau mendengar perkataan Yayamu" Mengingat ayahmu
dulu ...."
Mendengar orang yang tidak mau memperlihatkan dirinya itu selalu menyebut dirinya sendiri
Yaya dan anggap Kim Houw sebagai bocah, sebenarnya Kim HOuw sudah hendak mencarinya
dan memberikan hajaran padanya, tapi tiba-tiba ia mendengar orang itu mengatakan soal
ayahnya. Hati Kim Houw berdebaran, apa mau orang itu tidak melanjutkan perkataannya, hal mana
membuat hati Kim Houw sangat cemas. Saat itu mendadak terdengar lagi suaranya.
"Bocah, Yaya mau bicara padamu, mau dengar atau tidak " Kalau tidak mau dengar, lekas
pergi saja kalau mau dengar harap segera kemari Yayamu tidak mempunyai tempo banyak lagi ..."
Kim Houw yang berulang-ulang mendengar ucapan "bocah" dan Yaya dari suara orang itu
masih belum mengetahui perkataan itu ditujukan pada siapa, tetapi di puncak gunung itu kecuali ia
sendiri sudah tidak ada orang lain lagi. Apakah orang itu benar-benar Yayanya yang datang untuk
mengunjukkan jalan supaya ia dapat bertemu dengan ayahnya, oleh karena pikirannya itu, maka
lantas ia menggerakan kakinya menuju ke arah datangnya suara tadi.
Diatas sebuah batu besar, dilihatnya ada seorang berkepala gundul. Kim Houw merasa heran
mengapa di dalam partai Ceng-shia-pay ada terdapat juga hwesio"
Yang lebih mengherankan hatinya, imam tua yang berperawakan seperti bocah telah mengaku
dirinya sebagai ayahnya dan sekarang hwesio ini mengaku sebagai Yayanya.
Benar-benar merupakan teka teki bagi KIm Houw.
Tetapi karena ia ingin mengetahui urusan ayahnya, terpaksa ia menahan sabar dan maju
menghampiri. Tetapi baru saja kakinya bergerak, ia mendengar hwesio itu membentak.
"Bocah, kau si binatang cilik ini, apa benar-benar tidak mau mendengar kata-kata Yayamu.... "
Belum selesai ucapan hwesio itu, sesosok tubuh manusia telah melesat turun di hadapan si
hwesio. Kim Houw menegasi bayangan yang barusan turun, ternyata ia ada seorang bocah lakilaki
berusia kira-kira tujuh tahun. Kini Kim Houw baru mengerti akan duduknya perkara, ternyata
kedua orang itu adalah kakek dan cucu, sedangkan ia sendiri bukannya orang yang dimaksudkan.
Tetapi pada saat itu, hwesio itu mendadak berbangkit dan berpaling kepada Kim Houw.
"Apakah kau naik ke gunung ini hendak mencari ayahmu " Cucuku ini juga hendak mencari
ayahnya." kata si hwesio.
Hwesio itu bertubuh tinggi besar lebih tinggi dari pada Kim Houw. Wajahnya menakutkan
seolah-olah pernah terbakar sebab di sana sini kelihatan warna merah melepuh tanda bekas
terbakar. Melihat wajahnya orang sudah seram, apalagi melihat ia ketawa lebih-lebih menakutkan.
Dalam hati diam-diam Kim Houw berpikir, entah darimana datangnya si Hwesio dan mengapa
bentuknya begitu menyeramkan "
Atas pertanyaan hwesio tadi, Kim Houw segera menduga bahwa hwesio ini juga bukan berasal
dari golongan Ceng-shia-pay.
Seketika itu ia lantas menjura.
"Kapan Taysu datang ke gunung ini dan ayah adik kecil ini sekarang berada dimana ?"
tanyanya dengan laku hormat.
Si Hwesio ketawa bergelak-gelak.
"Ayahnya bocah ini sudah lama tidak ada dalam dunia," jawabnya. "Ayahmu yang tidak
berguna itu rasanya juga sudah tidak ada lagi, perlu apa kau mencari dia, mari kita bersama-sama
turun gunung saja."
Kim Houw gusar, dengan tanpa sebab si hwesio menyumpahi ayahnya. Darah panas
mendorong ia kasih hajaran pada hwesio berengsek itu, ia mengeluarkan tangannya hendak
menyerang. Dalam keadaan gusar, sudah tentu serangan Kim Houw ini akan sangat hebat
akibatnya. Tetapi Hwesio itu agaknya sudah mengetahui akan kelihaian si anak muda, ia segera
melompat melesat sejauh dua tombak, hanya batu besar yang bekas didudukinya tadi telah
terpental sampai beberapa kaki jauhnya dan tepat pada saat itu juga, mendadak terlihat satu
bayangan hitam secepat kilat menerjang Kim Houw.
Bayangan hitam itu demikian gesitnya, belum dapat di lihat tegas orangnya, tahu-tahu
bayangan itu sudah berada di depan mata Kim Houw. Terpaksa ia mengayun tangannya
menyerang, satu sinar emas yang menyusul berkelebat telah menjadi sasarannya. Ia terkejut
karena tangannya dirasakan sakit.
Buru-buru ia memeriksa tangannya, terlihat ada dua titik hitam dan di tanah menggeletak
seekor ular emas kecil.
Ular emas itu sudah pernah di lihat oleh Kim Houw, ia yang berada di dalam tongkat Kim Coa
Nio-nio. Sejak Kim Coa Nio-nio meninggal dunia, ular emas itu juga lantas lenyap, tidak dinyana
sekarang telah muncul di sini dan menggigit padanya.
Ketika ia mendongakkan kepalanya untuk menegasi siapa tadi yang menerjang padanya dan
melemparkan ular emas itu ternyata ia adalah si bocah, yang saat itu tengah mengawasi padanya
sambil ketawa cengar cengir.
Benar-benar ini merupakan suatu kesulitan. Bocah itu masih terlalu muda usianya, belum
mengerti urusan, membuat Kim Houw sungkan turun tangan kepadanya, untuk melampiaskan
kedongkolannya.
Ia heran, dengan cara bagaimana ular emas kecil itu bisa jatuh di tangannya.
Si Hwesio aneh melihat Kim Houw berdiri terlongong-longong, lantas ketawa bergelak-gelak,
dan dengan suaranya yang seperti gembreng pecah berkata :
"Bocah, apakah kau kenali ulat emas kecil itu " Biasanya asal mengenai orang sedikit saja
cukup membikin orang itu binasa. Kau tadi sudah di gigit olehnya, dalam tempo satu jam saja
jangan harap kau masih bernyawa. Kalau kau mau turun gunung, Yaya nanti akan memberikan
obatnya untuk menolong jiwamu, bagaimana " Lekas jawab, sebab kalau terlambat obat itu pun
sudah tidak ada gunanya lagi. Bocah, aku beri nasehat jangan kau coba main-main dengan
jiwamu!" Ketika tadi Kim HOuw digigit oleh ular emas kecil itu, sebetulnya sangat kuatir, tetapi
mendengar disebut "bocah" berkali-kali oleh si hwesio, ia jadi mendongkol sekali. Tidak perduli
betapa jahatnya bisa ulat emas itu, segera ia mengeluarkan Bhak-tha Liong-kin nya yang lantas
diletakkan di tempat bekas luka gigitan tadi, sebentar saja titik hitam itu lantas lenyap dan rasa
sakitnya hilang sama sekali.
Kim Houw menyimpan kembali Bhak-tha Liong-kin nya, kemudian dengan bangga ia ketawa
bergelak-gelak.
"Kau jangan kegirangan tidak keruan," katanya, "Kau tahu tubuhku kebal terhadap racun yang
bagaimana jahatnyapun dalam dunia ini. Sekarang kau harus membuat perhitungan dengan aku."
Sehabis berkata, Kim Houw lantas menyerang kepada si hwesio.
Hwesio aneh itu hanya ketawa, kemudian angkat kaki dan kabur ke bawah gunung, mulutnya
berkaok-kaok : "Bocah, kalau berani, mari kita adu kekuatan di bawah gunung ... "
Kim Houw sangat gusar, segera ia mau mengejar, tetapi mendadak KIm HOuw ingat maksud
kedatangannya hendak menemui ayahnya. Jika karena tindakannya itu lantas hilang kesempatan
nya untuk menemui ayahnya, hal itu akan merupakan sesalan seumur hidupnya.
Karena pikirannya itu, maka makian hwesio aneh tadi dianggap sepi.
Ia mau lanjutkan perjalanannya memanjat ke puncak gunung, tiba-tiba melihat si bocah masih
berdiri mengawasi ular emas kecil yang tidak berkutik.
Kim Houw lalu menghampiri si bocah, ia menanya :
"Adik kecil, hwesio tadi pernah apa dengan kau dan ular emas ini kau dapatkan dari mana "
Kau jangan takut, kau beritahukan padaku, tidak nanti aku mengganggu dirimu."
Siapa kira berulang-ulang Kim Houw menanya, bocah itu tetap tidak mau menyahut.
Kim Houw merasa heran, karena di lihat dari romannya, bocah itu bukan anak tolol, juga bukan
seperti orang yang tidak mengerti bahasa orang. Si bocah hanya memandang terus pada Kim
Houw, seperti yang mengandung rasa kebencian yang hebat.
Semula Kim Houw tidak memperhatikan hal itu, tetapi ketika matanya beradu dengan mata
bocah itu, hatinya lantas bercekat.
Lewat sejenak, bocah itu memungut ular emasnya dimasukkan ke dalam bumbungnya.
Dengan tidak memperdulikan Kim Houw lagi, ia lantas lari turun gunung.
Kim Houw kagum, melihat bocah yang usianya masih sekecil itu, kepandaian mengentengkan
tubuhnya ternyata sudah begitu mahir. Ia sendiri, jika tidak menemukan kejadian yang sangat
ajaib, walaupun berlatih sepuluh tahun barangkali belum tentu mempunyai kepandaian seperti
bocah ini. Munculnya bocah dan hwesio aneh itu seolah-olah merupakan suatu teka teki baginya.
Siapakah adanya mereka " Di bagian belakang nanti kita bicarakan lagi.
Ketika melihat bocah tadi turun ke belakang gunung, sedangkan di puncak gunung tidak
kelihatan gereja atau bayangan orang, Kim Houw segera menuju ke arah jejak bocah tadi.
Baru saja berjalan kira kira sepuluh tombak jaraknya, di samping kiri lantas terbentang
sebidang tanah kosong yang luas. Ketika ia mendekati, disamping gunung itu ternyata ada
dibangun beberapa bangunan gereja yang sangat megah.
Selagi Kim Houw mengawasi pemandangan itu dengan perasaan heran, dari kedua sisinya
mendadak muncul sepasang imam kecil yang sama dandanannya dan sama perawakannya.
Dengan laku yang sangat menghormati, mereka berkata kepada Kim Houw :
"Ciang bun Sucow dari Ceng-shia-pay sudah lama menantikan kedatangan tuan."
Kim Houw terkejut, buru-buru ia membalas hormat.
"Terima kasih atas penyambutan Toheng berdua." jawabnya.
Kedua imam kecil itu lantas mengajak Kim Houw ke pinggir tanah lapang tadi.
Begitu menginjak tanah lapang, jauh-jauh sudah dapat dilihatnya dalam sebuah gereja besar
ada duduk berbaris kira-kira sepuluh orang imam. Para imam itu kesemuanya telah lanjut usianya,
sedangkan Bwee-hoa Kiesu juga terdapat diantaranya.


Istana Kumala Putih Karya O P A di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam barisan imam itu, di tengah tengahnya berduduk seorang imam tua yang usianya kirakira
sudah lebih dari delapan puluh tahun. Tidak perlu disangsikan lagi, Kim Houw lantas
mengetahui bahwa imam tua itu ialah ketua Ceng-shia-pay yang sekarang, Giok Yang Cinjin.
Kim Houw maju beberapa tindak dan memberi hormat kepada imam tua itu sembari berkata:
"Boanpwe Kim Houw menghaturkan selamat kepada Cinjin"
Imam tua itu dengan sikap yang agung hanya mengawasi Kim Houw dari bawah sampai ke
atas. Lama sekali baru ia berkata dengan suara dingin :
"Kau inilah orangnya yang dengan seorang diri sudah berhasil menerjang tiga rintangan dari
Ceng-shia-pay ?"
Kim Houw merasa heran, apa yang dimaksud dengan ketiga rintangan dari Ceng-shia-pay,
maka ia lantas menjawab :
"Boanpwee malam-malam mengunjungi gunung ini hanya bermaksud untuk menemui
seseorang, harap Cinjin suka memberi maaf sebanyak-banyaknya dan suka memberi
kelonggaran."
"Maksud kedatanganmu sudah kuketahui semua kau ingin menemui orang di gunung ini harus
melalui tiga rintangan lagi" kata si imam itu masih tetap dengan suara dingin dan sehabis berkata
ia lantas berbangkit hendak masuk ke dalam lapangan.
Mendadak seorang imam tua di sisinya sudah bangkit dan berkata padanya:
"Toa-suheng, sabar dahulu, biarlah aku yang akan coba-coba dulu padanya !"
Ketika si imam tua berpaling, imam yang bicara tadi ternyata adalah sutenya sendiri yang
bernama Chiang Liong Cu. Ia tahu bahwa sutenya ini sejak kecil sudah mempunyai kepandaian
yang sangat luar biasa, ilmunya Ciekie-sin-kang, termasuk yang paling kuat diantara para imam
dari golongan Ceng-shia-pay, maka ia lantas berkata :
"Sute, kau boleh coba dahulu kekuatan tenaga dalamnya !"
Chiang Liong Cu memberi hormat, lali berjalan menuju kelapangan. Ketika sudah berada
dekat, mendadak ia batuk-batuk, riak kental lantas keluar dari mulutnya dan tepat jatuh di atas
sebuah batu besar.
Sungguh heran riak kental itu ketika jatuh dibatu segera mengeluarkan suara dan ketika
semua orang melihatnya, ternyata riak kental itu sudah melesak kedalam batu kira-kira satu dim,
sehingga merupakan satu lobang kecil. lobang kecil itu demikian rata bentuknya, seolah-olah
terbuat dari ujung pedang yang tajam.
Kekuatan tenaga dalam yang begitu hebat, benar-benar jarang terlihat.
Menyaksikan itu, meskipun dalam hati Kim Houw merasa kagum, tetapi wajahnya sedikitpun
tidak menunjukkan perubahan. Kepandaian tadi ternyata untuk ditunjukkan hendak menguji
dirinya, jika ia sendiri tidak menunjukkan sedikit kepandaian yang melebihi itu, jangan harap dapat
menemui ayahnya.
Kelihatannya ia masih tenang tenang saja, dengan tidak banyak lagak, ia buka mulutnya
meludah, karena ia tidak mempunyai reak.
Ludah itu juga jatuh tepat di atas batu besar tadi, tepat pula ditempat bekas jatuhnya reak
Chiang Liong Cu, hanya ludah itu jatuhnya mengitari sekitar lubang kecil tadi, membuat lingkaran,
seolah-olah telah diatur oleh tangan manusia dan lubang kecil yang duluan tepat berada ditengahtengahnya.
bahkan ludah itu, ketika jatuh di atas batu, hampir sedalam lubang bekas reak Chiang Liong
Cu tadi. Chiang Liong Cu dan semua imam yang menyaksikan kejadian itu, berubah semua wajahnya,
sebab ludah yang diludahkan dengan kekuatan tenaga lweekang itu, ternyata juga mempunyai
kekuatan seperti reak kental yang dikeluarkan dari m ulut Chiang Liong Cu, ternyata kekuatan
anak muda ini masih berada diatasnya Chiang Liong Cu.
Dengan tidak banyak bicara, Chiang Liong Cu manggutkan kepala kepada Kim Houw, lantas
mundur ke tempat duduknya, kemudian berkata kepada Giok Yang Cinjin :
"Bocah ini benar-benar tidak boleh dipandang ringan, dia mirip Pek Sin, tetapi bukan Pek Sin,
harap Toa suheng suka hati-hati sedikit"
Giok Yang Cinjin anggukkan kepala dan ia hendak berbangkit, kembali ada seorang imam
berbadan pendek maju dan berkata padanya: "Toa- suheng, aku ingin mencoba melayaninya !"
Ketika Giok Cinjin menoleh, ternyata itu sutenya yang paling kecil, Hian Bu Cu. Ia lantas
mengerutkan alisnya, sebab Hian Bu Cu kekuatannya masih terbatas, baik ilmu pedangnya
maupun kekuatan tenga dalamnya, semuanya masih berasa di bawah Chiang Liong Cu dan Pek
Ho tojin. Kedua orang itu sudah maju, bukankah itu berarti tidak mengukur dirinya sendiri "
Tetapi Giok Yang Cinjin segaera mengingar bahwa Hian Bu Cu ini ada seorang licik dan
kejam, lagi pula banyak akalnya, mungkin ia hendak menggunakan akal busuknya untuk
menjatuhkan lawannya.
Sebetulnya, Kim Houw yang dengan seorang diri sudah berhasil naik ke atas gunung sehingga
membuat rusak nama Cheng-shia-pay maka Ceng-shia-pay sebetulnya boleh tidak mentaati
peraturan dunia Kang-ouw yang harus menghadapi Kim houw dengan satu lawan satu, tetapi
dengan cara mengerubuti beramai-ramai untuk menyingkirkan Kim houw sehingga dapat
melampiaskan sakit hatinya.
Tetapi mengingat sejak naik sampai ke puncak gunung, Kim Houw belum pernah melukai jiwa
manusia, apalagi ia menemui orang-orang dengan laku sangat hormat, membuat Ceng-shia-pay
sungkan untuk berbuat demikian.
Sekarang, andaikata Hian Bu Cu dapat memenangkan dengan akal busuknya, jika hal tersebut
sampai tersiar keluar, juga masih dikatakan bahwa pertandingan itu dilakukan dengan satu lawan
satu. Kalau Hian Bu Cu benar-benar bisa berhasil menjatuhkan Kim Houw, itu merupakan soal
yang paling baik, setidak-tidaknya dapat memperbaiki kembali nama ceng-shia-pay.
Oleh karena berpikir demikian, maka Giok Yang Cinjin lantas menyambut sambil
menganggukan kepala :
"Baiklah harap sute melayani dengan hati-hati dan dengan sepenuh tenaga"
Hian Bu Cu ketawa, agaknya mengerti maksud suhengnya. Ia berjalan memasuki kalangan,
terlebih dahulu ia menganggukkan kepala kepada Kim Houw lalu berkata :
"Kepandaian dan kekuatan Siaohiap yang luar biasa, benar-benar sangat mengagumkan,
sekarang aku si tojin yang tidak berguna ini, mempunyai suatu usul yang bodoh, ingin minta
pertimbangan Siaohiap, sukalah Siaohiap memberi sedikit muka kepadaku!"
Kim Houw segera menjawab sambil membalas hormat : "Silahkan."
"Usulku yang bodoh ini, kalau mau dikatakan sungguh menggelikan. Caranya ialah begini: Kau
serang aku tiga kali dan aku juga akan menyerang kau tiga kali, siapapun juga tidak boleh
menangkis dan balas menyerang, yang melanggar dibilang kalah. Kau pikir bagaimana?"
Kim Houw melihat imam ini, meskipun usianya sudah enam puluh tahun lebih, tapi
pembicaraannya tidak mempunyai dasar yang adil, bukan seperti orang yang beribadat. Tetapi
Karena ia sudah memajukan syarat-syarat itu justru membikin pusing kepalanya.
Sebab kalau ia berani majukan syarat demikian, kalau tidak yakin benar mempunyai kekuatan
yang tinggi dan ada yang diandalkan, bagaimana ia berani mengajukan syarat demikian" Tetapi
Kim Houw yang datang hendak menemui ayahnya, bahaya macam apapun juga tidak
diperdulikannya. Kepandaian dan ilmunya Han-bun-cao-kie yang sudah tidak ada taranya itu,
kekuatan tenaga yang bagaimanapun juga, tidak dapat berbuat apa-apa terhadapnya.
Maka ia lantas anggukkan kepalanya sebagai suatu tanda telah menerima baik perjanjian
tersebut. Hian Bu Cu yang menyaksikan Kim Houw menerima baik usulnya tanpa berpikir, lantas
tertawa menyeringai. Kemudian ia membuat suatu lingkaran, kira-kira lima kaki bundarnya. Kim
Houw tidak mengerti apa maksudnya, maka ia lantas menanya pada bakal lawannya.
"Kau dan aku berdua sama-sama berada dalam lingkaran ini, siapa yang terpukul sekali keluar
dari lingkaran, dihitung kalah". jawab Han Bu Cu.
Kim Houw dalam hati merasa tidak tenang. Pikirnya: Aku tidak main-main dengan kau,
bagaimana ada cara bertanding demikian. Kalau aku turun tangan terlalu keras, kalau tidak mati,
tentu kau terluka parah.
Tetapi Kim Houw bukan seorang bodoh ia merasa curiga. Ketika ia melirik kepada Bwee-hoa
Kiesu, ia melihat Bwee-hoa Kiesu menunjukkan paras sedih, sehingga hatinya ada rasa tidak
tentram. Tetapi, syarat telah diterima baik olehnya ia tidak boleh tidak harus memenuhinya Pikirnya:
Betapapun tingginya kekuatan tenaga tanganmu, aku sudah mempunyai ilmu Han-bu cao ki, asal
aku berlaku hati-hati, perlu apa harus takut"
Kemudian ia melihat Hian Bu Cu sudah lompat masuk ke dalam lingkaran, maka tanpa ayal
lagi ia lantas lompat masuk juga.
"Siaohiap, silahkan mulai dahulu." kata Hian Bu Cu.
"Silakan totiang menyerang lebih dahulu" jawabnya.
"Kalau begitu, biarlah aku yang mulai terlebih dahulu."
Berbareng dengan itu, lengan kanannya memutar keluar, tangan kirinyapun demikian pula,
dengan berbareng ia mendorong dada Kim Houw. Gerakannya itu kelihatannya lambat, tetapi
sebetulnya luar biasa cepatnya. Sebentar saja sepasang tangannya sudah sampai di dada Kim
Houw. Apalagi kedua perang ini terpisah tidak lebih dari tiga kaki, dengan mengulur tangan saja
sudah mencapai sasarannya. Maka Kim Houw diam-diam juga merasa terkejut, ia buru-buru
kerahkan ilmunya Han-bun-cao-kie untuk melindungi dirinya.
Siapa nyana gerakan Hian Bu Cu itu, hanya gerak tipu pura-pura. Meskipun datangnya
gesitnya, tetapi kekuatannya tidak ada, ketika menempel di dada, kekuatan itu lantas musnah
dengan sendirinya.
Kim Houw merasa lega. Kiranya gerakan itu adalah percobaan belaka, pikirnya.
Di luar dugaan, dalam waktu sekejap saja suatu kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat
dirasakan telah menindih dadanya, sehingga untuk bernapas saja ia merasa susah.
Bukan main kagetnya Kim Houw, sungguh tidak dinyana bahwa imam tua itu begitu licik.
Belum hilang rasa kagetnya, kekuatan itu mendadak mendesak dengan hebat. Ini mana dapat
disebut serangan tangan yang betul adalah mendorong dengan hebat. Sampai di sini Kim Houw
baru tahu kalau ia sudah ditipu oleh lawannya.
Sebetulnya ia ingin menggunakan ilmu memberatkan badannya untuk mengadu tenaga
dengan imam yang licik itu, tetapi tadi. ketika ia sedikit lengah, bagian yang sangat berbahaya
dibagian dadanya sudah berada di bawah cengkeraman tangan lawannya. Kalau ia memaksa,
belum diketahui bagaimana akibatnya nanti, terpaksa ia mengimbangi gerakan lawannya dan
lantas melesat ke udara.
Tetapi gerakan melesatnya Kim Houw itu agak miring terbang ke atas, ditengah udara ia
membungkukkan badannya dan dengan cepat ia meluncur kembali ke dalam lingkaran.
Tetapi belum sampai kaki Kim Houw menginjak tanah, kembali Hian Bu Cu melancarkan
serangannya. Karena menurut perjanjian tidak boleh menangkis dan balas menyerang, maka serangan itu
kelihatannya akan mengenai kedua paha Kim Houw. la ini merasa gemas sekali, terpaksa dengan
menggertak gigi ia menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya pada kedua pahanya untuk
menyambuti serangan lawanya.
"Plak, plak!" terdengar suara nyaring, sepasang pahanya masing- masing terkena satu
serangan, tetapi serangan itu, kembali membuat Kim Houw merasa heran. Sebab dari suara
sambaran anginnya, Kim Houw menduga, serangan itu tentunya hebat sekali, siapa nyana,
setelah serangan itu mengenakan pahanya, ternyata tidak begitu hebat seperti yang diduganya
semula. Meskipun pahanya dirasakan sedikit nyeri, tetapi bagi Kim Houw tidak berarti apa-apa.
Namun kedua serangan itu sudah membuat Kim Houw, hampir keluar dari lingkaran.
Masih untung dalam keadaan demikian, Kim Houw masih bisa berlaku tenang, ia tekuk
sepasang lututnya dan kembali melesat tinggi setengah tombak, ketika ia melayang turun, ia
masih tetap berada didalam lingkaran.
Hian Bun Cu tetap berbuat seperti tadi tidak menantikan sampai Kim Houw menginjak tanah,
kembali kedua tangannya datang menerjang, bahkan kali ini lebih hebat lagi dan sasaran yang
diarah juga bagian perut yang lebih berbahaya.
Tetapi, diukur dari kekuatan yang barusan digunakan untuk menyerang pahanya Kim Houw
yakin, bahwa serangan itu meskipun mengenai sasarannya juga tidak akan dapat melukakan
dirinya. "Beleduk", perut Kim Houw benar-benar harus menyambuti serangan si imam, betul saja ia
hanya merasakan sedikit sakit, tetapi tidak ada tanda apa-apa.
Apa mau, kemudian disusul oleh suara keras, badan Kim Houw jumpalitan sampai tiga kali dan
jatuh sejauh setombak lebih, matanya berkunang-kunang, perutnya dirasakan mulas.
Bukan main kagetnya Kim Houw, ia tahu bahwa isi perutnya sudah terluka, tanpa ayal lagi,
dengan cepat ia mengambil buli-bulinya dan minum airnya yang mujijat. Ia lantas menyedot napas
dalam-dalam, ia merasa bahwa di dalamnya benar-benar sudah tidak ada halangan apa-apa. Ia
baru membuka matanya dan merayap bangun dengan perlahan-lahan.
Ini benar-benar satu kealpaan yang hampir saja mengantarkan jiwanya, hal ini sungguh diluar
dugaannya. Setelah berdiri tegak, Kim Houw lalu melihat ke dalam kalangan, ternyata Hian Bu Cu masih
berdiri didalam lingkaran, tetapi wajahnya menunjukkan perasaan terheran-heran.
Ketika ia melirik kepada para imam yang duduk berbaris, mereka juga pada menunjukkan
perasaan heran, barangkali mereka pada tidak habis mengerti, bagaimana Kim Houw yang
terkena serangan yang begitu hebat, dapat sembuh dalam waktu sekejap mata saja.
Kim Houw ketawa, dalam hati kecilnya berkata; Aku Kim Houw tidak bisa mati, kalian tidak
usah kuatir! Ketika ia melihat Hian Bu Cu yang masih berdiri di dalam lingkaran, matanya lantas beringas.
Katanya kepada diri sendiri: Aku dengan kau tidak mempunyai ganjalan dan permusuhan,
mengapa kau turunkan tangan begitu keji, hendak mengambil jiwaku" Orang yang begitu kejam
seperti kau, apa artinya menjadi imam"
Tidak nyana, wajah Hian Bu Cu yang semula kelihatan terheran-heran, begitu berhadapan
muka dengan Kim Houw lantas ketawa menyengir.
"Sekarang adalah giliranmu." katanya menantang.
Kim Kauw balas dengan ketawa dingin dan dengan tindakan perlahan ia melangkah masuk ke
dalam lingkaran.
Hian Bu Cu mengerti, bahwa serangannya tadi tidak jujur. Bahkan ia sudah berpikir akan
menggunakan seluruh kekuatannya untuk membinasakan lawannya. Meskipun ilmu pedang dan
kekuatan tenaga dalamnya masih kalah dengan lain-lain suhengnya, tetapi kekuatannya yang
sudah mempunyai latihan beberapa puluh tahun dan digunakan dengan sepenuh tenaga, juga
tidak boleh dianggap ringan.
Ketika melihat serangannya mengenai telak sasarannya, hingga dalam keadaan mengenaskan
Kim Houw jatuh bergulingan, bukan main hatinya kegirangan. Kalau ia berhasil membikin Kim
Houw terluka parah, memang ada merupakan suatu hal yang aneh dimata para suhengnya.
Tidak nyana, sebentar saja Kim Houw ternyata sudah bisa bangun berdiri lagi, tetapi ia masih
mengira bahwa itu adalah perbuatan Kim Houw yang hendak menjaga mukanya, maka barusan ia
berani keluarkan ucapan yang bersifat menantang.
Siapa kira Kim Houw dengan setindak demi setindak memasuki lingkaran, sedikitpun tidak
menunjukkan bekas-bekas terluka, ini membikin Hian Bu Cu terkejut dan hatinya mulai tidak
tentram. Tetapi ia masih berlagak jumawa, ketawa bergelak-gelak dan berkata:
"Siaohiap sungguh hebat, sekarang adalah giliranmu, silahkan!"
Ia lantas pasang kuda-kuda, sengaja ia membuka bagian yang berbahaya di depan dada dan
perutnya. seolah-olah tidak memandang mata kepada Kim Houw.
Kim Houw muak melihat laganya Hian Bu Cu, pikirnya: "Kau si imam licik ini berani bertingkah
di depanku, jangan kata aku mempunyai Han-bun-coa-khie, hanya dengan kekuatan satu
tanganku saja rasanya sudah cukup bikin kau mampus!"
Kim Houw lantas melakukan apa yang dipikir, dengan tidak bicara apa-apa ia lantas
mengerahkan tenaganya dan dengan kekuatan kira-kira delapan puluh persen ia turun tangan.
Meskipun Kim Houw sangat membenci imam yang kejam itu, tetapi ia adalah seorang yang
berhati welas asih maka serangan yang dilancarkan itu ditujukan pada tempat yang berisi.
Dengan kekuatan tenaga dalam yang dipunyai oleh Kim Houw, serangannya itu bagi orang
yang mengerti, siapa juga tahu itu bukan main hebatnya, tetapi Hian Bu Cu sebaliknya kelihatan
tidak takut, ia masih berdiri tegak, sedikitpun tidak bergerak.
Ketika serangan Kim Houw meluncur dan melihat lawannya masih berdiri dengan sikap acuh
tak acuh, semula ia masih menganggap bahwa musuhnya itu tidak memandang dirinya. Dalam
gusarnya kekuatannya ditambah lagi beberapa bagian.
Jika serangannya itu mengenakan sasarannya dan sang lawan itu tidak menangkis atau
menyingkir, maka jiwanya pasti melayang.
Ketika tangannya sudah hampir mengenakan dada lawannya, suatu pikiran sehat mendadak
terlintas dalam otak Kim Houw, ia ingat kedatangannya ini hanya bermaksud untuk menemui
bapaknya, meskipun lawannya itu sangat kejam, tetapi ia sendiripun tidak terluka.
Lagi pula ketika tangannya sudah hanya mengenakan dadanya, Hian Bun Cu tinggal tenangtenang
saja. tidak berusaha untuk menyingkirkan, maka diam-diam Kim Houw juga mengagumi
ketabahan imam tua itu.
Dengan demikian, tanpa dirasa kekuatan ditangan Kim Houw telah hilang dengan sendirinya
kira-kira separuh lebih.
Siapa nyana telapak tangan Kim Houw baru saja menyentuh dada lawannya, tiba-tiba
merasakan sakit sampai menusuk ke hulu hatinya.
Kim Houw terkejut! Dengan tidak memperdulikan lagi apa akibatnya, tangan kirinya ayun
melancarkan serangan Han-bun-cao-kienya. Kekuatan serangan itu baru saja sampai tengah
jalan, cukup membuat Hian Bu Cu terpental sejauh tiga tombak lebib dan jatuh di tanah dalam
keadaan pingsan.
Tetapi tangan kanan Kim Houw dirasakan amat sakit, terluka dan darah mengalir bercucuran.
Kiranya Ceng-shia-pay ada mempunyai baju rompi besi yang berduri yang merupakan pusaka
turun-temurun dari golongan Ceng-shia pay, duri rompi itu tajamnya bukan main.
Ketika suhu Hian Bu Cu hendak menutup mata, karena ia kasihan kepada Hian Bu Cu, belum
lama ia masuk perguruan dan ilmu silatnya masih cetek, maka ia telah menghadiahkan baju
wasiatnya kepada murid bontot itu.
Hian Bu Cu orangnya sangat licik dan banyak akalnya. Setelah mendapat hadiah warisan itu,
ia tidak memberitahukannya kepada siapapun juga, kecuali Toa-suhengnya yang merangkap
menjadi ketua Ceng-shia-pay, yang lainnya jadi tidak ada yang mengetahui hal ini.
Soal ini terjadi pada kira-kira dua puluh tahun berselang, siapapun tidak mengingat lagi adanya
rompi besi yang dapat melindungi badan itu, apalagi orang-orang yang datang belakangan ke
gunung, seperti Bwee-hoa Kiesu dan lain-lain, sudah tentu tidak mengetahui adanya baju rompi
itu. Siapa nyana baju rompi itu, hari ini telah membuat Kim Houw mengalami tidak sedikit kerugian,
rasa sakit di telapak tangannya benar-benar hampir membuatnya tidak tahan.
Apalagi setelah ia merubuhkan Hian Bu Cu yang masih belum diketahui nasibnya, segera
sudah ada dua imam tinggi kurus, yang telah mengurung dirinya dengan pedang terhunus. Terang
mereka bermaksud membunuh Kim Houw, untuk menuntut balas Hian Bu cu.


Istana Kumala Putih Karya O P A di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itu, Kim Houw yang berulang-ulang sudah mengalami hinaan, terutama oleh akal
kejinya Hian Bu Cu, sehingga tangannya menderita kesakitan yang sangat hebat, maka hawa
amarahnya lantas meluap! Ia tidak memperdulikan apa akibatnya lagi, lalu mengulur tangan kirinya
laksana kilat, sebentar saja dua bilah pedang kedua imam tua tadi, telah dapat dirampasnya
secara mudah. Kim Houw yang sudah kalap, tidak ingat lagi pesan Bwee-hoa Kiesu dan tidak perduli lagi apa
yang dinamakan pantangan, pedang panjang itu kemudian di patah-patahkan menjadi beberapa
potong, kemudian dilemparkan berantakan di tanah.
Justru dengan demikian, benar-benar telah melanggar pantangan besar bagi partai Ceng-shiapay
yang telah menjadi terkenal di rimba persilatan terutama karena ilmu pedangnya, maka setiap
anak murid dari Ceng-shia pay, tidak perduli imam atau orang bisa hampir semuanya membawabawa
pedang di badannya.
Sejak Ceng-shia-pay jika belum lulus dari perguruannya, tidak boleh membawa pedang. Bagi
yang sudah lulus dari pelajarannya, baik murid itu merantau dikalangan Kang-ouw atau yang
menjadi imam di gereja, pedang itu sudah merupakan jiwa bagi mereka, Jika mereka pedang
masih ada, orangnya juga tentu ada, tetapi jika pedangnya musnah, orangnya juga harus binasa,
kecuali jika pedang itu dibikin rusak oleh lawannya, tidak perduli dengan cara bagaimana, sang
murid itu harus berhasil membinasakan lawannya, baru jiwanya terhindar dari kematian.
Oleh karena adanya peraturan itu, maka semua anak murid dari golongan Ceng-shia-pay,
hampir setiap saat tidak boleh berpisah dengan pedangnya, yang dipandang sebagai jiwanya
sendiri. Dan kini, dalam waktu sekejap saja pedang dua imam itu sudah dirusak oleh Kim Kouw,
bagaimana itu tidak membangkitkan kegusaran semua anak murid Cheng-shia-Pay"
Maka sebentar kemudian, Kim Houw sudah dikurung oleh anak murid Ceng shia-pay, tujuh
atau delapan bilah pedang sudah menyambar ke arah dirinya. Serangan itu kelihatannya sangat
ganas, sebab kesemuanya ditujukan kebagian-bagian yang sangat penting dari anggota badan.
Kim Houw berkelit kesana dan kemari, mula-mula ia masih dapat melayani serangan-serangan
itu dengan leluasa, tetapi selewatnya sepuluh jurus, karena darah di telapak tangannya mengalir
terus-menerus dan rasa sakit terus mengganggu, maka perlahan-lahan ia sudah mulai kewalahan.
Apalagi sedikitpun ia tidak mendapat kesempatan untuk beristirahat, sebab ujung-ujung
pedang yang datang mendatangi itu setiap saat dapat membinasakannya.
Ia tidak diberi kesempatan mencabut senjata Bak-tha Liong-kinnya, yang selalu ditaruh di
sebelah kanan. Karena tangan kanannya terluka, tangan kirinya tidak leluasa digunakan untuk
mengambilnya. Iman-imam yang mengerubutinya agaknya juga jeri terhadap senjata Kim Houw yang hebat itu.
Apa mau Han-bun-cao-kie Kim Houw juga rupanya tidak dapat digunakan secara leluasa, karena
satu tangannya terganggu oleh rasa sakitnya.
Disamping itu, imam-imam itu juga mengetahui kelihaian ilmu Han-bun-cao-kie Kim Houw,
maka setiap kali mereka melihat Kim Houw hendak mengeluarkan serangannya, segera
dilawannya dengan kekuatan tiga atau empat orang dengan berbareng. Maka meskipun Han-buncaokie itu lihai, juga tidak dapat dengan mudah menembusi kekuatan tenaga gabungan yang
terdiri dari kekuatan tiga atau empat orang.
Lewat lagi sepuluh jurus, kelihatannya Kim Houw sudah mulai tidak tahan, keadaannya
sungguh sangat berbahaya.
Kim Houw merasa sedih hatinya, ia sesalkan dirinya sendiri, karena kelalaiannya ia telah
tertipu oleh akal muslihat musuh yang licik.
Dalam keadaan yang sangat berbahaya itu sebilah pedang meluncur hendak menikam
dadanya, Kim Houw melengakkan badannya ke belakang menghindari serangan.
Bersambung ke jilid 27
Siapa sangka serangan itu agaknya dilakukan dengan sangat bernapsu, sehingga dalam
keadaan demikian tidak keburu ditarik kembali, ini merupakan suatu kesempatan yang paling baik
bagi Kim Houw. Meskipun dilain pihak, satu pedang lagi sudah mengancam lengan kanannya, tapi Kim Houw
agaknya tidak mau ambil pusing dengan serangan itu, sebab lengan kanannya pada saat itu tidak
dapat digunakan, sekalipun ditambah lagi dengan beberapa luka atau dibikin kutung, baginya juga
tidak jadi masalah.
Tangan kirinya yang mendapat kesempatan, lantas digunakan untuk menjepit pedang
lawannya. Setelah terdengar suara jeritan, ia telah berhasil merebut sebilah pedang dari lawannya,
tetapi ia dikejutkan oleh suara jeritan tadi. Ketika ia menoleh, pedang itu ternyata pedangnya Bwee
Hoa Kiesu. Kim Houw mengetahui bahwa itu adalah perbuatan Bwee Hoa Kiesu yang dengan
sengaja hendak menolong dirinya, maka dalam hati ia merasa sangat bersukur.
Untuk mengelabui mata orang banyak, begitu pedang sudah berada di tangannya, Kim Houw
lantas pura-pura menyerang Bwee Hoa Kiesu. Bwee Hoa Kiesu juga berlagak gugup dan
membiarkan lengan kanannya tergores ujung pedang Kim Houw dan ia lalu mundur teratur.
Kim Houw tahu benar akan kemampuan Bwee Hoa Kiesu. Ia tahu juga bahwa goresan pedang
itu tidak berarti apa-apa baginya, tapi siapa sangka, serangan itu tidak ringan, kelihatannya Bwee
Hoa Kiesu terluka benar-benar, sehingga diam-diam ia merasa berduka.
Kim Houw mendadak merasakan sakit pada telapak tangannya. Dalam keadaan gusar,
dengan cepat ia memutar tubuhnya, sebentar saja pedangnya sudah bersarang pada dada imam
yang menikamnya tadi.
Setelah ada pedang ditangan, Kim Houw lalu mengeluarkan pekikan nyaring! Seolah-olah
banteng terluka, ia memutar pedangnya seperti kitiran, meskipun ada tujuh atau delapan bilah
pedang yang mengurung dirinya, tetapi dengan sekejap saja semua pedang-pedang itu dapat
didesak mundur, sehingga tekanannya semakin lama semakin berkurang.
Tepat pada saat itu mendadak terdengar suara bentakan keras.
"Semua mundur!"
Suara itu demikian nyaring, meskipun dalam kalangan pertempuran saat itu ramai dengan
suara beradunya senjata, tetapi suara bentakan itu dapat menembusi telinga setiap orang. Segera
semua imam-imam itu mundur secara teratur.
Ketika melihat semua orang mundur, Kim Houw tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.
Segera ia melempar pedangnya untuk mengambil buli-bulinya dan air mujizat dari dalam buli-buli
itu lantas dituang ke tangannya yang terluka.
Betapa air itu sangat mukjizat, begitu dituang darah lantas berhenti mengalir dan lukanyapun
sembuh seperti keadaan semula, sisa air yang masih ada ditenggaknya semua sehingga rasa
sakit dan letih lenyap semuanya. Tetapi berbareng dengan itu ia merasa ada angin kuat yang
menindih kepalanya, Kim Houw segera mengelak dan lompat melesat satu tombak lebih. Ketika ia
sudah berdiri lagi dengan cepat ia mencabut senjata Bak Tha Liong Kin nya.
Ia celingukan mencari orang yang menyerangnya, dan ternyata orang itu adalah Giok Yang
Cin Jin sendiri.
Dengan Bak Tha Liong Kin ditangan kiri, Kim Houw tertawa tergelak-gelak. Sehabis tertawa, ia
lalu menyodorkan tangan kanannya dan berkata dengan suara gemas :
"Nama Ceng Shia Pay didalam rimba persilatan sangat terkenal, tidak disangka beraninya
hanya menggunakan akal busuk dan keji untuk menghadapi seorang dari tingkatan muda. Ha, ha,
ha. Urusan kini menjadi hutang darah, maka aku hendak menagih dengan darah pula!"
Perkataan Kim Houw yang diucapkan dalam keadaan gusar nyaring sekali.
Mendadak tampak berkelebat sinar perak yang menyambar kearah mukanya. Tanpa banyak
pikir, Kim Houw mengayunkan senjatanya, hingga senjata rahasia yang menyambar tadi lantas
tersampok di udara.
Tetapi Kim Houw tiba-tiba merasakan serangan senjata rahasia itu berat sekali, sehingga ia
melirik ke arah dari mana datangnya senjata rahasia tadi, dan kembali ia menjadi terkejut.
Kiranya imam yang melepaskan senjata rahasia itu adalah Bwee Hoa Kiesu sendiri. Karena
Kim Houw mengetahui bahwa setiap gerakan Bwee Hoa Kiesu sudah tentu ada maksudnya, maka
ia buru-buru merubah sikapnya yang jumawa tadi, matanya menyapu keadaan sekitarnya.
Di bawah sinar matahari pagi, Kim Houw melihat bahwa disekitar tanah lapang itu telah
berbaris ratusan imam, setiap orang membawa pedang terhunus, sehingga sinarnya berkilauan.
Barisan imam itu kelihatannya sangat rapi dan teratur. Dengan dipimpin oleh beberapa puluh
imam tua, setindak demi setindak mereka maju ke dalam kalangan.
Melihat keadaan demikian, diam-diam Kim Houw terkejut. Barisan Kian Pek Bie Hun Tin dari
Ceng Shia Pay telah menjagoi dunia kangouw, hampir setiap orang dalam dunia kangouw
mengetahui tentang itu dan pada umumnya dianggap sangat menakutkan.
Di dalam buku pelajaran ilmu silat Kauw jin Kiesu juga ada dimuat dengan jelas tentang
barisan "Kian-pek Bue-hun tin" itu terbagi dalam sembilan rombongan, tiga rombongan merupakan
satu kelompok tiga kelompok merupakan satu barisan, jumlah orangnya tidak terbatas. Satu
rombongan boleh terdiri dari dua orang, tetapi juga boleh dua puluh orang, orangnya lebih banyak,
kekuatannya juga besar.
Orang yang diserang, tidak perduli berapa saja jumlahnya, begitu terkurung dalam barisan asal
barisan tersebut dan berputar sampai sembilan kali, tentu sang lawan dibikin bingung dan tidak
dapat mengenal arah lagi. Betapapun juga tinggi kekuatan sang lawan, sukar sekali untuk
meloloskan diri dari barisan itu.
Dari Kitab Kauw-jin Keisu itu Kim Houw mengenal baik tentang barisan tersebut, kini ia
menyaksikan sendiri kenyataannya bagaimana lihay barisan itu, diam-diam ia mengeluh melihat
barisan imam itu mulai bergerak maju.
Sesaat itu Kim houw melihat Giok Yang Cinjin yang berdiri tidak jauh di depannya ternyata
sudah menghunus pedangnya, sedang digoyang-goyangkan yang makin lama makin cepat
agaknya ia memberi komando supaya barisannya itu lekas bergerak.
Kim Houw yang melihat keadaan demikian suatu pikiran mendadak berkelebat dalam otaknya.
Melihat sikap Giok Yang Cin-jin yang begitu cemas, rupanya tentu ada apa-apa yang kurang
sempurna. Segera Kim Houw memutar tubuhnya, ia menyapu sejenak keadaan di seputarnya, tetapi
ternyata ia tidak mendapatkan tanda apa-apa.
Ketika untuk kedua kalinya ia menghadapi Giok Yang Cin-jin ,ia mendapat kenyataan bahwa
pedang imam tua itu sedang digoyangkan semakin gencar, Kim Houw lalu berpikir. Kau cemas"
Baiklah, aku bergerak dulu aku ingin mengetahui apa yang dapat kau perbuat dengan "Kian-pek
Bei-hun-tin-mu" ini terhadap diriku.
Begitu mengambil keputusan, Kim Houw segera lompat melesat untuk menyerang lawannya.
Saat itu tangan kanannya sudah sembuh dan dapat digunakan seperti sediakala, maka senjatanya
lantas dipindahkan ke tangan kanannya dan berkata dengan suara nyaring.
"Bagus! Kau hendak menggunakan barisan Bei-hun-tin untuk mengeurung kau, sekarang aku
akan membunuh kau lebih dulu!"
Giok Yang Cin-jin ketawa dingin, kemudian kelihatan pundaknya bergerak, seolah-olah anak
panah yang melesat dari busurnya ia meluncur ke samping satu tombak lebih jauhnya, tetapi
pedang panjang di tangannya masih tetap bergoyang-goyang tidak berhenti-henti.
Kim houw yang menyaksikan lawannya dan tidak maju menyambuti, sebaliknya malah
mundur, dan menyaksikan pula kepandaian mengentengi tubuhnya yang tidak berada di bawah
kepandaiannya sendiri, diam-diam hatinya mengeluh. Tetapi oleh karena terdesak oleh keadaan,
terpaksa ia harus bertempur secara mati-matian.
Maka dengan tidak banyak bicara lagi, ia lantas memutar senjatanya, lagi sekali ia menerjang
musuhnya. Giok Yang Cin-jin, ketika melihat dirinya dikejar lawan, hanya ganda dengan terus ketawa dan
kemudian lompat lagi setombak lebih jauhnya.
Berulang-ulang Kim Houw menerjang, tetapi selalu ia tidak berhasil mendekati dirinya Giok
Yang Cin-jin. Hanya dengan perbuatan itu Kim Houw segera mengerti kalau Giok Yang Cin-jin selalu tidak
meninggalkan tempat ditengah tengah yang hanya dua tombak persegi lebarnya.
Sampai di sini Kim Houw agaknya melihat sedikit titik terang. ia segera meninggalkan Giok
Yang Cin-jin, sebaliknya menerjang dengan cepat ke arah rombongan barisan imam.
Tetapi baru saja Kim Houw melesat, di belakangnya segera terdengar suara bentakan Giok
Yang Cin-jin, dan pedangnya menunjuk ke arah gerak larinya Kim Houw dan kemudian disusul
dengan suara gemuruh yang lama menggema di gunung yang sunyi itu.
Kim Houw menoleh, tetapi kecuali suara gemuruh itu, ia tidak dapat melihat apa-apa lagi yang
agak aneh, tetapi ia tidak mengetahui bahwa ini adalah siasatnya barisan Kiam-pek Bie-hun tin
untuk membikin kabur semangat lawannya.
Oleh karena tidak melihat apa-apa yang mengherankan, Kim houw tidak mau mengambil
pusing lagi, dengan beruntun dua kali lompatan ia sudah berada di depan barisan imam, sampai di
sini ia baru dapat melihat dengan tegas bahwa barisan imam itu, kalau tadi dapat bergerak maju
dan mundur secara teratur, bukan saja karena sudah terlatih baik, bahkan di setiap pinggang
imam-imam itu ada terikat satu dengan lainnya, sehingga tidak dapat terpisah dengan mudah.
Selain dari pada itu, tangan kiri mereka kecuali memegang pedang menghadap ke depan
tangan kanan tiap orang diletakkan di atas pundak kanan imam yang berada di depannya,
sehingga barisan itu kelihatannya bukan saja rapih, tetapi juga menarik.
Ketika Kim Houw menegasi lagi sekali di depannya terdapat tiga baris rombongan imam,
setiap barisnya hanya terdiri lima belas orang, masing-masing terpisah kira-kira tujuh atau delapan
kaki lebarnya. Ketika menyaksikan barisan yang terdiri dari empat puluh lima orang itu hati Kim
Houw mulai agak lega, pikirnya "barisan yang hanya terdiri dari empat puluh lima orang ini,
masakan tidak mampu aku memecahkannya?"
Berpikir sampai di situ, barisan imam dibagian depan, setindak demi setindak maju mendekati,
setindak lagi pedang panjang sudah mencapai di depan dada Kim Houw.
Kim Houw, karena hatinya mulai merasa lega, kembali timbul pikirannya hendak
mempermainkan imam itu. Ia melihat dirinya sendiri berdiri ditengah-tengah barisan itu, segera ia
perdengarkan suara ketawanya, senjatanya diangkat dengan perlahan untuk menotok dada salah
seorang imam. Tetapi baru saja senjata Kim Houw meluncur keluar, segera disambut oleh tiga bilah pedang
lawannya, dengan cepat sudah melihat senjata Liong-kinnya Kim Houw. Kalau senjata Kim Houw
bukan senjata pusaka yang tidak takuti segala benda tajam, libatan tiga pedang libatan tiga
pedang itu, niscaya siang-siang sudah membikin putus senjata Kim Houw!
Gerakkan para imam itu bukan saja sederhana, tetapi juga tepat. Kim Houw yang menyaksikan
itu diam-diam juga merasa terkejut, maka dengan cepat ia segera menarik kembali serangannya.
Tetapi Bak Tha Liong Kin-nya baru saja ditarik kembali, di belakangnya tiba-tiba dirasakan ada
hawa dingin seperti menempel di badannya.
Kim Houw terperanjat, ia tidak keburu memutar tubuhnya maka ia lantas berjungkir balik
ditengah udara dan turun mundur ke belakang. Ketika ia berjungkir balik tadi, ia melihat bahwa
hawa dingin tadi adalah hawanya enam bilah pedang yang dilancarkan dari kanan dan kiri,
masing-masing tiga bilah dan yang melancarkan ke enam bilah pedang itu ialah enam orang imam
dari barisan tadi, tiga orang dari bagian kepala dan tiga orang dari bagian ekor.
Dengan demikian, maka kini Kim Houw sudah mengerti bahwa barisan yang terdiri dari lima
belas orang tadi, kalau diserang bagian kepalanya, bagian ekornya lantas bergerak untuk
membalas menyerang, sebaliknya kalau diserang bagian ekornya, bagian kepala turut membantu
membalas menyerang dan kalau diserang bagian tengah, bagian kepala dan bagian ekor lantas
maju menyerang berbarengan.
Setelah Kim Houw turun ke tanah, ia mendapatkan kenyataan bahwa mereka juga berdiri
ditempat semula, tidak mengejar menyerang.
Ketika ia berpaling, ternyata Giok Yang Cin Jin yang tadi berdiri ditengah-tengah kalangan,
entah sejak kapan sudah keluar dari dalam barisan, sedangkan rombongan lain dari kedua pihak
juga sudah mendesak semakin dekat.
Kim Houw terkejut, dalam hatinya segera berpikir : Hari ini kalau tidak melakukan pembunuhan
besar-besaran, rasanya sukar keluar dari dalam barisan ini........
Tepi belum habis ia berpikir itu, mendadak terdengar suara mengaung kembali, disusul oleh
suara yang bergemuruh, yang memekakkan telinga.
Selagi Kim Houw hendak menerjang barisan dengan senjatanya, mendadak dilihatnya barisan
telah bergerak lagi, rombongan imam itu mulai mengepungnya sambil bergerak memutar, ada
yang ke kiri, ada juga yang ke kanan, nampaknya sangat kalut, tetapi sebenarnya tidak demikian.
Sebentar saja, mata Kim Houw sudah dirasakan kabur, hatinya mulai merasa tidak tenang.
Musuh masih belum mulai menyerang, tetapi ia kelihatannya sudah dibikin goyah pikirannya,
bagaimana nanti seandainya barisan itu sudah bergerak"
Kim Houw lalu mengambil keputusan, ia hendak melawannya dengan kekerasan lebih dulu.
Tetapi masih baik kalau Kim Houw tidak bergerak, sebab baru saja ia sedikit bergerak, di
depan dan di belakang dirinya segera kelihatan bayangan orang, begitulah, seandainya ia turun
tangan, segera ada sembilan bilah pedang yang menyerang berbareng dari tiga jurusan.
Dengan beruntun Kim Houw maju menerjang sampai tiga kali, selalu tidak berhasil menerjang
keluar sampai lima tindak, sebaliknya malah ia sendiri yang terdesak mundur ke tengah-tengah
kalangan. Tepat pada saat itu, suara mengaung terdengar pula dan gerak lari para imam didalam
kalangan, kelihatannya semakin pesat. Bahkan di sekitarnya perlahan-lahan mulai mengepulkan
asap. Ketika asap itu mulai mengepul, bayangan orang itu sebentar kelihatan dan sebentar
kemudian menghilang ke dalam gumpalan asap, tampaknya sangat menyeramkan. Sampai di sini
Kim Houw baru mengetahui lihainya barisan Kian Pek Bie Hun Tin yang sangat kesohor itu.
Luas tengah kalangan itu sebenarnya ada kira-kira tiga tombak lebih, meskipun asap
mengepul dan memutari dirinya, biar bagaimana masih bisa kelihatan, maka Kim Houw lalu
berpikir : Kalau kalian tidak turun tangan, kalian dapat berlarian sampai berapa lama"
Siapa kira pikiran itu baru saja timbul dalam otaknya, suara mengaung timbul pula untuk ketiga
kalinya, kali ini rada pendek, tetapi gencar serta mengaung tidak tidak henti-hentinya, sehingga
perasaan Kim Houw mulai tidak enak.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras, dari gumpalan asap lalu muncul sebaris imamimam,
dengan setiap orang membawa sebilah pedang, menerjang tepat ke arah dada Kim Houw.
Kalau mau dikata, Kim Houw di tangannya ada senjata, mustahil ia menakuti barisan yang
terdiri dari lima belas orang itu, asal ia mengerahkan ilmu Han Bun Cao Khie dan menggerakkan
senjatanya, sudah cukup untuk membuat kutung lima bilah pedang lawan tersebut.
Tetapi, imam-imam mengapit kanan dan kirinya, sudah tentu Kim Houw tidak bisa menghadapi
dengan berbarengan. Dalam keadaan demikian, Kim Houw lalu mengambil keputusan, menyingkir
lebih dulu untuk melihat perkembangan lebih lanjut, maka ia berkelit memutar ke kiri.
Dengan tiba-tiba saja, dari sebelah timur dan barat, kembali ada sebarisan imam yang datang
menerjang. Kim Houw yang menyaksikan bahwa gerakan dua rombongan imam itu sangat cepat bahkan
bersifat mengurung dan Kim Houw menantikan sampai kedua rombongan imam datang lebih
dekat, baru lompat tinggi ke atas dan melesat melewati kepala imam-imam itu.
Menurut perhitungan, dua rombongan orang yang datang dari arah yang berlawanan itu, jika
menubruk tempat kosong, tentunya akan berbenturan sendiri. Tidak nyana, setelah ia berada di
atas, tidak terdengar suara pedang beradu.
Sebaliknya ia sendiri masih belum turun ke tanah, ketika menyaksikan keadaan di bawahnya,
diam-diam lantas mengeluh.


Istana Kumala Putih Karya O P A di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata dari bagian depan juga datang menerjang serombongan imam-imam lagi, ia kembali
mengerahkan kekuatannya, melesat lagi melewati atas kepala barisan barusan. Namun tidak
disangka, ternyata barisan imam itu, sekelompok demi sekelompok maju menyerang dengan tidak
putus-putusnya. Dalam gumpalan asap yang tidak dapat melihat jauh itu, ia tidak dapat
mengetahui barisan imam itu hanya terdiri dan sembilan rombongan, atau datang lagi bala
bantuan. Hanya sekelompok-sekelompok imam yang menyerang itu terus maju mendesak seperti
berputarnya roda besar yang tidak berhenti-henti. Betapapun tingginya kepandaian Kim How saat
itupun ia tidak berdaya.
Keadaan demikian berlangsung terus. Rombongan imam yang bergerak itu, agaknya makin
lama makin banyak. Kim How yang harus lompat-lompatan untuk menyingkir dari serangan
mereka, perlahan-lahan napasnya mulai memburu.
Pada saat itu, telinganya tiba-tiba dapat menangkap suara seorang yang bicara sambil ketawa
dingin: "Orang she Kim, lepaskan senjatamu dan menyerah! Mungkin kita masih dapat mengampuni
jiwamu." Perkataan mengampuni jiwamu itu berarti bahwa meskipun terhindar dari hukuman mati, tetapi
tidak dapat terhindar dari hukuman hidup.
Satu laki-laki lebih baik binasa daripada terhina. Kim Houw yang bersifat jantan, bagaimana
mau diperhina oleh kawanan imam itu"
Maka setelah berpikir sejenak, Kim Houw lantas menjawab dengan suara keras:
"Ampuni jiwaku" Sungguh enak didengarnya. Kalau kalian tidak mau menghentikan
gerakanmu, jangan sesalkan kalau aku nanti melakukan pembunuhan besar besaran."
Sehabis berkata, Kim Houw tidak mendapatkan jawaban sekian lamanya, sedang barisan
imam itu masih tetap menerjang dengan tidak berhenti-hentinya. Bukan kepalang gusarnya Kim
Houw, sambil memutar senjatanya, ia sekarang tidak menyingkir lagi, tetapi ia juga tidak
mengeluarkan serangan, ia hanya mengharapkan dapat menyelamatkan dirinya sendiri dulu.
Senjata Bak-tha Liong-kin lalu diputar dengan rapat untuk melindungi dirinya, siapa saja yang
berani menerjang dirinya, dalam batas satu tombak saja, meskipun tidak mati orang yang
menerjang itu pasti akan terluka parah. Sukar untuk terhindar dari serangannya.
Sebentar kemudian, lalu terdengar nyaring benturan senjata dari kedua belah pihak kemudian
disusul oleh suara jeritan yang saling berganti, Kim Houw tutup rapat mata dan telinganya,
meskipun boleh dikata tidak lihat dan tidak dengar, tapi dari gerakan tangannya juga dapat ditaksir,
dalam rombongan itu sedikitnya ada tujuh atau delapan imam yang roboh di tangannya.
Selanjutnya kembali terdengar serentetan suara beradunya senjata dan suara jeritan.
Kim Houw dalam hatinya diam-diam merasa pilu, air matanya mengalir keluar. Biar bagaimana
ia bukan orang yang berhati kejam dan ganas.
Sejak ia keluar dari istana Panjang Umur belum pernah ia melakukan pembunuhan terhadap
orang yang tidak berdosa, tapi sekarang, oleh karena hendak menemui ayahnya, terpaksa
melakukan pembunuhan terhadap orang-orangnya party Ceng-shia-pay, hal ini sungguh di luar
dugaan semula. Setelah dengan beruntun dari empat rombongan barisan imam sudah banyak jatuh korban.
Kim Houw mulai lemas hati dan tangannya, sudah tidak bersemangat lagi! Selagi hendak
berseru untuk menghentikan pertempuran itu mendadak dirasakan suasananya amat sunyi.
Ia mengira fihak lawannya akan mengeluarkan siasatnya yang lebih lihay lagi, maka buru-buru
membuka matanya ternyata barisan imam itu masih tetap ada, begitu pula asap yang mengurung
di sekitarnya masih ada juga, tetap imam-imam itu tidak ada satu juga yang berani maju bergerak
lagi. Hati Kim Houw agak terhibur, ia lantas dapat bernapas lega. Tapi baru saja ia dapat bernapas
lega, dadanya mendadak dirasakan sesak, kepalanya pusing. Kiranya dalam asap itu ada
racunnya, ia buru-buru masukkan Bak tha ke dalam mulutnya, sebentar saja badannya sudah
mulai segar kembali.
Kim Houw lalu berpikir: Pantas barisan ini kelihatannya hanya seperti dinding asap, tidak ada
tanda-tandanya yang membuat bingung semangatnya, kiranya asap itu ada racunnya, untung
senjataku merupakan senjata pusaka, kalau tidak, niscaya siang-siang aku sudah roboh terkurung
oleh asap ini. Mendadak ia mendengar suara orang bicara:
"Orang she Kim, sebetulnya apa maksudnya kau menerjang ke gunung Ceng-shia ini?"
"Aku hendak mencari ayahku Pek Leng." jawab Kim HouW.
"Baiklah, ayahmu sekarang sudah di sini. Kau lekas lemparkan senjatamu dan menyerah,
kalau tidak ayahmu akan binasa di bawah golok. Lihatlah supaya kau ditertawakan oleh orangorang
dari dunia persilatan sebagai anak yang tidak berbakti."
Mendengar itu, bukan main kagetnya Kim Houw. Sekarang bagaimana ia harus berbuat"
Jika benar demikian halnya, ia sendiri belum sampai menemukan ayahnya, sang ayah
sebaliknya jadi sudah dicelakai olehnya.
Jika disuruh melemparkan senjatanya untuk menyerah, ia tidak nanti berbuat. Ia rela dirinya
dicincang dari pada terhina.
Selagi merasa serba salah, kembali terdengar suara orang itu pula:
"Lekas jawab! Kalau kau ingin mengundur tempo jangan menyesal belakangan!"
Dengan ini membuat Kim Houw tampak bingung. Akhirnya, Kim Houw menggertak gigi dalam
hati berpikir: "Kejadian sudah menjadi begini rupa, terpaksa aku harus bertindak dengan melihat
gelagat, paling penting aku harus dapat melihat wajah ayahku dulu."
Maka ia lalu menjawab: "Kau mau aku meletakkan senjata boleh saja, tetapi bagaimana aku
tahu, kalau ayahku benar-benar ada ditangan kalian" Boleh jadi kalian akan menggunakan tipu
daya lagi."
"Menurut pikiranmu bagaimana?" tanya suara tadi.
"Menurut aku, kalian antarkan dulu ayahku kemari untuk bertemu dengan aku. Setelah aku
mengenali benar bahwa itu adalah ayahku, aku pasti akan meletakkan senjataku, terserah kalian
akan berbuat apapun terhadap diriku."
Sehabis berkata Kim Houw menantikan dengan tenang.
Tidak lama kemudian, ia mendengar lagi jawaban orang tadi:
"Tetapi kau jangan coba main gila, hendak menolong dia keluar dari sini!"
"Baik, aku turut!" jawab Kim Houw.
Sebentar kemudian, segera terdengar suara menggelindingnya roda. Kim Houw kembali
tercengang, di puncak gunung setinggi ini, dari mana datangnya kereta " Tidak antara lama, dari
gumpalan asap, muncul sebuah gerobak dorong, di atas kereta ada duduk seorang berpakaian
kelabu yang sudah mesum, orang itu matanya mendelong, mukanya kurus dan rambutnya awutawutan.
Kim Houw yang melihat munculnya orang berpakaian kelabu itu, hanya timbul rasa curiga
apakah orang itu benar ayahnya Pek Leng sendiri atau bukan.
Ketika ia memasang mata untuk melihat orang yang mendorong kereta, ia lihat di belakang
orang yang mendorong kereta itu, masih terdapat seorang lain, dan orang itu adalah Bwee-hoa
Kiesu sendiri. Kim Houw tidak mengerti apa maksud Bwee-hoa Kiesu mengikuti di belakang
gerobak dorong itu.
Tapi orang yang berada di atas gerobak dorong dan Bwee-hoa Kiesu yang mengikuti di
belakangnya, kelihatan matanya mereka agak dipejamkan, seolah-olah tidak melihat dirinya Kim
Houw. Hal ini membuat Kim Houw semakin ragu-ragu.
Akhirnya gerobak dorong itu sampai di depannya Kim Houw dan segera di hentikan.
Kim Houw mengerti bahwa dalam keadaan demikian, tidak enak baginya untuk menanyakan
hal sebenarnya kepada Bwee-hoa Kiesu.
Tetapi dengan tidak adanya Bwee-hoa Kiesu sebagai petunjuk, mana berani ia mengakui
bahwa orang yang berada di atas gerobak itu adalah ayahnya!
Tiba-tiba orang di atas gerobak itu membuka lebar matanya, memancarkan sinarnya yang
tajam. Lama sekali ia mengawasi Kim Houw, kemudian baru berkata dengan suara perlahan-lahan
: "Apakah kau yang bernama Kim Houw?"
Kim Houw tercengang, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Tiba-tiba terdengar suara Bwee-hoa Kiesu berkata:
"Ini adalah ayahmu sendiri, mengapa tidak lekas maju memberi hormat?"
Perkataan Bwee-hoa Kiesu itu seolah-olah geledek menyambar di tengah hari, kepalanya
dirasakan pening, matanya berkunang-kunang dan sepasang kakinya juga mendadak lemas
hingga seketika itu lantas ia berlutut.
Perasaan pedih, duka memenuhi hatinya, air matanya mengalir dengan deras seperti air hujan.
"Ayah, kau... kau ..." hanya itu saja yang mampu diucapkannya dan selanjutnya tidak dapat
berkata apa-apa lagi.
Sungguh tak di nyana bahwa keadaan ayahnya ada begitu rupa, seolah-olah seorang tawanan
yang baru keluar dari kamar tutupannya.
Selama tujuh belas tahun, belum pernah ia mengetahui siapa sebetulnya ayahnya sendiri.
Sudah tentu juga ia tidak mengetahui bagaimana potongan tubuh ayahnya itu" Sejak anak-anak
dalam alam pikirannya hanya menganggap bahwa ayah bundanya sudah lama meninggalkan
dunia. Siapa kira bahwa ayahnya ternyata sekarang masih hidup, bahkan telah menderita siksaan
yang begitu hebat, sehingga keadaannya sangat menyedihkan. Bagaimana kalau Kim Houw tidak
berduka karenanya "
Dalam keadaan demikian, di belakang gegernya mendadak dirasakan adanya sambaran
angin. Kim Houw yang baru saja merasakan, sambaran angin itu mendadak berhenti dan
kemudian di susul oleh suara jeritan ngeri.
Kim Houw terkejut! Ketika ia mengangkat kepalanya, sebilah pedang panjang yang sudah
berlumuran darah tampak di depannya di ujungnya darah segar masih kelihatan mengetel-ngetel.
Orang yang menggunakan pedang itu adalah ayahnya sendiri. Disamping gerobak kelihatan
rubuh dua imam yang mendorong gerobak tadi. Tetapi imam-imam itu di tangannya ada membawa
senjatanya, kiranya mereka hendak mencelakakan diri Kim Houw selagi dalam keadaan sedih.
Mereka tidak menduga, bahwa ayahnya Kim Houw, Pek Leng yang duduk di atas gerobak
telah mengulur tangannya, dengan mudah dapat merintangi maksud jahat si imam. Bahkan
berhasil merebut pedangnya yang kemudian digunakan untuk membinasakan mereka. Senjata
makan tuan! Kim Houw yang menyaksikan keadaan demikian, dalam hati segera percaya bahwa orangnya
sebagai tawanan itu betul-betul adalah ayahnya. Ia buru-buru merangkak maju, tetapi baru saja
berkata : "Ayah ... ."
Mendadak di depannya ada berkelebat warna merah, pedang yang berlumuran darah itu lewat
di depan dadanya.
Kim Houw terperanjat, kemudian terdengar suara ayahnya yang membentak keras :
"Siapa ada ayahmu, siapa ada ayahmu " Aku tidak mempunyai anak seperti kau ini. Kau juga
tidak mempunyai ayah seperti aku. Lekas enyah dari sini .... lekaslah!"
Selama berbicara itu, pedangnya yang berdarah itu di obat-abitkan, agaknya hendak
mengumbar kegusarannya yang sudah memuncak yang selama itu belum pernah dapat
kesempatan untuk dikeluarkan.
Kim Houw bingung. Tidak tahu apa yang harus diperbuat! Seudah tentu dengan adanya
keterangan dari Bwee-hoa Kiesu tadi, orang ini tentunya Pek Leng, ayahnya sendiri. Sudah tidak
perlu disangsikan lagi, tetapi sekarang orang itu tidak mau mengaku sebagai ayahnya, entah apa
maksudnya "
Kim Houw menantikan sampai pedang di tangan ayahnya dengan tidak begitu keras
digerakkannya, baru ia berkata :
"Ayah, kau .... kau tenanglah sedikit, sekarang aku hendak melindungi kau turun gunung."
Tetapi orang tua itu lantas perdengarkan suara ketawanya yang aneh, seolah-olah suara
burung kokok beluk di waktu malam, sehingga membuat orang yang mendengarnya pada berdiri
bulu romanya. Tiba-tiba angin gunung telah meniup menyingkap ujung baju Pek Leng, sehingga kelihatan
kedua mulutnya yang duduk numprah di atas kereta. Kim Houw yang menyaksikan itu dengan
tidak sengaja, bukan main kagetnya, sebab kedua kakinya sehingga lutut sudah tidak ada!
Selanjutnya terdengar suara Pek Leng yang mengandung kegemasan:
"Tahukah kau" Ayahmu Pek Leng, lima belas tahun berselang sudah binasa! Binasa di Ceng
shia-san, di tangannya itu imam-imam kurcaci. Mereka mengatakan bahwa ayahmu adalah
seorang penghianat, padahal ayahmu dengan mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa.
Hanya ibumu, Ceng Kim jie..."
Orang tua itu ketika menyebutkan namanya Ceng Kim jie, badannya kelihatan gemetar begitu
jaga suaranya terdengar sangat menyedihkan. Tetapi ia hanya kertak gigi sebentar lantas
melanjutkan berkata:
"Ya Ceng Kim-jie, dengan mereka Ceng-shi-pay entah ada mempunyai hubungan apa, mereka
telah memancing ayahmu naik gunung dan kemudian membikin celaka dirinya dengan akal busuk.
Dengan alasan menghukum ayahmu sebagai penghianat, mereka telah menjebloskan ayahmu ke
dalam kamar tutupan di bawah tanah."
Berbicara sampai di sini, orang itu kembali gemetar badannya, lama sekali baru membentak
dengan tiba-tiba:
"Akhirnya, dia.... .....ayahmu itu telah binasa..........binasa........."
Orang tua itu bicara sampai di sini, agaknya tidak dapat menahan rasa sedih dalam hatinya,
maka ia lantas menangis tersedu-sedu....
Agak lama ia menangis, mendadak ia menghentikan tangisnya dan berkata pula sambil
menuding Kim Houw:
"Kau adalah anaknya Pek Long ....."
Belum sampai Kim Houw menjawab, ia sudah berkata pula:
"Ketika ayahmu hendak meninggal dunia ia pernah meninggalkan pesan padaku, bahwa ia
ada mempunyai satu anak. Di kemudian hari apabila mendapat kesempatan bertemu padanya
suruh dia menuntut balas untuk ayahnya, menuntut balas pada musuh-musuh ayahnya, ialah "Itu
imam-imam .... yang dipanggil Chiang Liong Cu.....Hian Bu Cu....."
Dengan mendadak pedang orang tua itu menuding ke belakang Kim Houw sambil membentak
dengan suara keras:
"Jangan bergerak!"
Kim Houw buru-buru berpaling, tetapi di belakangnya ternyata tidak ada orang, belum sampai
ia mengalihkan pandangannya, terdengar suara tangisan Bwee-hoa Kiesu.
"Adik Leng, adik Leng, mengapa kau berbuat seperti ini.....?"
Kim Houw yang mendengar itu, kontan badannya menggigil! Ketika ia melihat ayahnya, orang
lua itu ternyata sudah rubuh dalam pelukan Bwee hoa Kiesu, pedang panjang yang berlumuran
darah kelihatan sudah menancap di dadanya.
Kim Houw menjerit, lantas roboh pingsan.
Tetapi baru saja badannya roboh. Bwee hoa Kiesu sudah melompat dan menotok di beberapa
bagian jalan darahnya, Kim Houw segera tersadar kembali, lantas terdengar perkataan Bwee-hoa
Kiesu: "Hiantit! Kau harus tahu ini waktu apa dan ditempat mana" Paling penting kau menjaga dirimu
lebih dulu, apalagi ayahmu sudah mengharapkan supaya kau menuntut balas untuknya!"
Kim Houw lantas menepok kepalanya sendiri, ia lompat bangun, tetapi matanya masih
mengetelkan air mata. Sebentar kemudian terdengar pekikannya yang panjang dan nyaring yang
penuh dengan perasaan gusar dan duka, kemudian terdengar ia berkata:
"Baik! Menuntut balas, menuntut balas. Aku harus menuntut balas....."
Baru Kim Houw bicara sampai di situ, dari dalam gumpalan asap lantas muncul beberapa
puluh orang imam. Kim Houw tidak menantikan mereka itu menerjang, sudah maju menyambut
sambil memutar senjatanya Bak tha Liong-tin, kali ini ia menggunakan tipu serangannya Hiang-mo
sin-pian yang paling ampuh, dengan hebat ia menyerang imam-imam itu.
Diantara suara jeritan yang mengerikan, tujuh atau delapan imam telah rubuh binasa, tapi ia
sendiri juga hampir-hampir terluka bagian pahanya. Dengan cepat ia lompat melesat tinggi ke
atas, balik kembali ke tempatnya.
Hanya dalam waktu sekejapan saja, Bwee hoa Kiesu yang mendorong ayahnya, sudah tidak
kelihatan kemana perginya. Kim Houw merasa cemas, ia lantas memanggil-manggil dengan suara
keras, badannya juga melompat- lompat kesana kemari untuk mencarinya.
Siapa nyana, dengan perbuatannya itu akhirnya ia terlepas dari kurungan asap itu dan berdiri
disamping gunung yang sangat curam, asal ia terpeleset jatuh, sudah pasti tidak dapat hidup lagi.
Tepat pada saat itu, barisan manusia yang merupakan dinding, telah maju mendesak setindak
demi setindak. Kim Houw yang menyaksikan itu, kagetnya bukan main sebab dinding manusia yang begitu
tebal, rasanya tidak dapat ditembusi atau dilompati dengan mudah. Sekalipun ia menggunakan
ilmunya Han bun- cao-khi barangkali juga masih sukar menerjang keluar. Apalagi kelihatannya,
saat itu, sekalipun bersedia untuk menyerah, mungkin tidak dapat diterima oleh musuhnya, maka
satu-satunya jalan yang masih terbuka baginya, ialah melompat dari atas tebing yang curam itu,
tetapi itu berarti suatu kematian.
Sedangkan dinding manusia itu perlahan-lahan sudah mulai mendesak maju....
Mendadak Kim Houw mendengar suara gerujukan air, ketika ia mengawasi dengan seksama,
ternyata di suatu tempat kira-kira delapan kaki jauhnya ada terdapat air terjun. Begitu ia melihat air
terjun itu, hatinya merasa sangat girang. Ia sengaja mengeluarkan jeritan kaget, lalu pura-pura
terpeleset jatuh dan terjun ke dalam jurang.
Begitu dirinya melayang, lalu ia berjungkir balik dan melesat laksana anak panah ke dalam air
terjun. Di istana dalam rimba keramat, air terjun demikian yang membuat Kim Houw kehilangan
ingatan. Entah sudah berapa kali Kim Houw lompat ke bawah mengikuti terjunnya air, maka dalam
hal terjun ke dalam air terjun baginya sudah merupakan hal biasa saja. Dan ketika imam-imam itu
melongok dari puncak gunung Kim Houw sudah menghilang ke dalam air terjun.
Bulan sabit di langit nampak muncul pada waktu malam yang gelap, seolah-olah anak perawan
yang malu-malu ketemu tunangan!
Sinar rembulan yang tidak begitu terang sudah memancar ke seluruh jagat. Suasana malam
yang sunyi membuat gunung Ceng-shia-san itu kelihatannya semakin sunyi.
Tetapi di puncaknya gunung Ceng shia san, didalam gereja yang megah, lampu-lampu
memancarkan sinarnya seolah-olah siang hari saja.
Diruangan tengah yang luas, yang merupakan singgasana dalam gereja, di situ ada duduk
ketua Ceng-shia-pay yaitu Giok Yang Cin-jin, dikedua sisinya terdapat imam-imam yang
kesemuanya sudah lanjut usianya, tetapi jumlahnya tidak lebih dari tujuh orang, sedangkan
sebagian besar tempat duduk kelihatan kosong.
Bahkan, di wajah setiap orang itu kelihatannya diliputi oleh suatu perasaan duka. Tiba-tiba
Giok Yang Cin-jin berbicara:
"Hian Bu Sutee, kau kenapa "... "
Belum habis perkataannya, dari ruangan dalam muncul keluar seorang imam, ia adalah Hian
Bu Cu. Setelah memberi hormat kepada Giok Yang Cin-jin, baru ia menjawab:
"Terimaksih atas perhatian Toa-suheng. Selama istirahat dalam waktu tiga hari itu luka-lukaku


Istana Kumala Putih Karya O P A di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah sembuh semua."
Giok Yang Cin-jin tidak menjawab apa-apa dan Hian Bu Cu juga tidak berani membuka suara
lagi, ia memutar tubuhnya duduk ditempat sendiri.
Tepat pada saat itu, dari luar telah masuk empat imam yang masih muda usianya. Mereka itu
begitu tiba didalam ruangan, lantas berlutut satu diantaranya berkata :
"Hunjuk beritahu kepada Sucow, selama tiga hari ini seluruh gunung Ceng-shian-san sudah
dicari semua, bukan saja tidak dapat menemukan dirinya Bwee-hoa Keisu dan Pek Leng, bahkan
bangkai bocah she Kim itu juga tidak dapat ditemukan..."
Giok Yang Cin-jin hanya perdengarkan suara dihidung, kemudian berkata kepada dirinya
sendiri : "Apa benar dia tidak mati" ini benar-benar sukar untuk membuat orang dapat dipercaya!"
Selagi ia bicara, badannya Giok Yang Cin-jin mendadak melesat tinggi. Terus melayang
menuju ke pintu gereja, satu tangannya mengeluarkan serangan yang ditujukan ke arah pintu.
Kekuatan dari serangan tangannya itu demikian hebatnya sehingga tiang pintu berguncang dan
dinding tembok pada rontok, tetapi ternyata tidak ada apa-apa, hingga Giok Yang Cin-jin berseru
kaget: "Eh!"
Ketika ia menengok ke arah para imam, mereka sedang mengawasi padanya dengan sorot
mata heran. Giok Yang Cin-jin merasa tidak enak. Terang tadi ia melihat ada berkelebat bayangan orang,
tetapi sekejap saja mengapa lantas tidak kelihatan lagi" Di hadapan para sutenya itu ia merasa
tidak enak sendiri.
Pada saat itu dari luar tiba-tiba terdengar suara orang yang seperti gembreng pecah:
"Bocah, kau sungguh bernyali besar!"
Giok Yang Cin-jin mendengar suara itu wajahnya berubah seketika. ketika ia menengok padri
aneh itu sudah berdiri di depan pintu memberi hormat kepadanya seraya berkata.
"Giok Yang Toheng, harap jangan gusar bocah itu memang sangat nakal, sebentar aku pasti
akan menghukumnya."
Giok Yang Cin-jin sekarang baru mengetahui, bayangan orang tadi kiranya ada si bocah nakal
yang selamanya belum pernah bicara.
Tetapi apa yang membuat ia heran, bocah ini meskipun sangat luar biasa ilmu mengentengi
tubuhnya, tetapi bagaimana ia sanggup menerima serangannya tadi" dan sekarang kemana
larinya " Ketika ia mendongak ke atas, di atas penglari ternyata ada terlihat dua kaki anak yang
telanjang, kiranya ia sedang duduk nongkrong di situ.
Kerena memandang persahabatannya dengan padri aneh itu, Giok Yang Cin-jin terpaksa
menahan rasa mendongkolnya, sambil membalas hormat ia menjawab.
"Taysu, silahkan masuk. Tiga hari tidak kelihatan, entah kemana Taysu berjalan-jalan?"
Padri aneh itu ketawa bergelak-gelak, lalu menyahut :
"Aku sipadri edan yang terpaksa menyingkir kemari untuk menyembunyikan diri dari musuh,
kini sudah beberapa tahun lamanya tidak nyana iblis tua itu ternyata sudah mencari sampai di sini.
Sebetulnya aku ingin pergi tanpa pamit, tetapi tidak tega meninggalkan bocah cilik itu, sekarang
aku tidak tahu bagaimana harus bertindak ?"
"Bocah she Kim itu telah didesak sehingga jatuh ke dalam jurang oleh barisan "Kian-pek Bie
Hun-tin" sekarang masih belum diketahui entah dia binasa atau masih hidup. Tetapi walaupun dia
bisa lolos, dalam waktu beberapa bulan mungkin tidak berani datang lagi. Hanya tentang orang
yang kau anggap musuh itu sebetulnya siapa" Sampai seorang yang mempunyai kepandaian
tinggi seperti kau ini juga masih ketakutan setengah mati, sehingga harus lari sembunyi ?"
Si padri aneh tidak menjawab.
"Bukannya kau sengaja hendak omong besar" kata Giok Yang Cin-jin. "Kalau dia masuk dalam
barisan "Kian-pek Bei-hun-tin" pasti suruh dia masuk, tetapi tidak bisa keluar, kau jangan harap dia
bisa turun gunung lagi dalam keadaan hidup."
"Tentang musuhku itu." jawab si padri aneh.
"Tinggi kepandaiannya dan kelihaiannya aku sungguh tidak dapat melukiskan. Tetapi aku tidak
menginginkan dia datang kemari sehingga menimbulkan mala petaka terhadap orang-orang yang
tidak berdosa, dan itu akan membuat tambahnya dosaku saja.
Giok Yang Cin-jin mengetahui, meskipun kepandaian padri aneh itu masih jauh di bawah
dirinya, tapi ia tidak percaya bahwa musuhnya ada begitu lihay, maka ia menganggap bahwa
perkataannya itu sangat di lebih-lebihkan.
Pada saat itu dari bawah puncak gunung ia mendengar suaranya genta yang gencar dan
mengaung tidak berhenti hentinya.
Giok Yang Cinjin mendengar suara gentar itu, mengerti ada tanda bahaya kedatangan
musuhnya padri aneh itu.
Tetapi mendadak dalam ruangan gereja itu terdengar suara riuh, ketika Giok Yang Cinjin
menoleh ternyata di dalam ruangan gereja itu sudah terjadi pertempuran, dimana enam orang
imam sedang mengerubuti seseorang.
Di bawah kepungan para imam itu, Giok Yang Cinjin tidak dapat melihat tegas wajah orang
yang terkurung itu, tetapi diantara berkelebatnya sambaran banyak pedang, terlihat olehnya ada
senjata Bak-tha Liong-kin-nya Kim Houw.
Dengan terlihatnya senjata itu, terang orang yang sedang dikepung itu tentu Kim Houw
adanya. Dengan cara bagaimana Kim Houw datang sekonyong-konyong, sehingga tidak
seorangpun yang mengetahuinya, benar-benar merupakan suatu kejadian yang langka. Benarkah
jurang yang curam itu tidak dapat membinasakan padanya " ...
Sementara itu, suara genta di bawah gunung terdengar semakin gencar. Giok Yang Cinjin
wajahnya berubah seketika, sebab suara genta yang begitu gencar ada merupakan suatu tanda
bahwa musuh yang mendatangi itu bukan hanya tinggi kepandaiannya saja, tetapi juga sangat
ganas dan telengas!
Munculnya Kim Houw saja sudah cukup untuk membikin orang sakit kepala dan sekarang
harus ditambah lagi dengan seorang lihay yang belum diketahui namanya, maka hari ini Cengshiapay benar-benar akan mengalami bahaya kebangkrutan.
Mendadak suara jeritan ngeri terdengar nyaring, ketika Giok Yang Cinjin menoleh, sesosok
bayangan orang melesat terbang keluar dari dalam kepungan orang-orangnya dan jatuh terbanting
di tanah. Dari suara jatuhnya itu sudah dapat diduga bahwa orang itu pasti tidak ada harapan hidup.
Siapa orang apes itu " Giok Yang Cinjin meneliti orang itu ternyata adalah Chiang Liong Cu yang
diantara imam-imam dalam Ceng-shia-pay mempunyai kepandaian paling tinggi.
Melihat Chiang Liong Cu jatuh dalam keadaan terluka, semangatnya Giok Yang Cinjin terbang
seketika, segera ia melesat dan tiba di dekat Chiang Liong Cu, cepat-cepat ia memasukkan
tangannya ke dalam sakunya untuk mengambil obat.
Tetapi obat belum dikeluarkan, ia melihat sepasang mata Chiang Liong Cu sudah mendelik,
napasnya berhenti, ternyata ia sudah binasa sejak tadi. Melihat sutenya binasa, Giok Yang Cinjin
bukan hanya terkejut saja, tetapi juga lantas murka seketika.
Ia lalu menghunus pedangnya dan mengeluarkan perintah dengan suara sedih:
"Semua maju! Gunakan senjata "Am-ceng-cu" untuk menangkapnya!" sambil berkata, ia
sendiri juga maju menerjang!
Seorang yang mempunyai kedudukan sebagai ketua sampai mengeluarkan perkataan
demikian, dapat diduga sampai dimana cemasnya pikirannya.
Sebetulnya, saat itu Hian Bu Cu sedang berdiri jauh-jauh, ia tidak berani turut ikut menyerang
Kim HOuw, agaknya ia sudah mendapat firasat bahwa Kim HOuw hanya datang untuk mencari
dia. Dengan adanya perintah Giok Yang Cinjin tadi, Hian Bu Cu mau tidak mau terpaksa harus
turut campur tangan. Ketika mendengar perintah menggunakan "Am-ceng-cu", Hian Bu Cu lalu
mundur lagi, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku untuk mengambil senjata rahasianya. Ia
telah menantikan kesempatan yang paling baik, lalu menyerang dengan senjata rahasia yang
sudah digenggamnya. Sebentar saja Kim Houw sudah di kurung rapat dengan senjata rahasia Am
Ceng-cu yang dilancarkan dari berbagai penjuru.
Kalau mau dikata bahwa dengan senjata rahasia dapat mencelakakan diri Kim Houw jangan di
harap. Tetapi Kim Houw sengaja berkelit kesana kemari atau menyampok dengan senjatanya dan
tangannya. Sebentar kemudian mendadak terdengar suara jeritan ngeri. Ketika orang mencari tahu dari
mana datangnya suara tadi, ternyata suara jeritan itu keluar dari mulutnya Hian Bu Cu.
Keadaannya sangat mengenaskan. Kepalanya sudah di bilang sudah hancur, wajahnya sudah
tidak karuan macam. Apa yang di lihat hanya berbagai macam senjata rahasia yang menancap di
muka dan kepalanya.
Disamping itu kedua telapak tangannya juga dibikin berlubang oleh dua buah paku senjata
rahasia yang di namakan "Pek-how-teng"
Ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang sangat ganjil dan sulit dibayangkan karena
Hian Bu Cu berdirinya paling jauh dan tokh masih tidak terlolos dari tangan puteranya Pek Leng.
Bersambung jilid ke : 28
Kim Houw sejak tiga hari berselang terjun mengikuti air terjun, malam itu ia naik lagi ke atas
gunung untuk mencari keterangan. Oleh karena Hian Bu Cu terluka dan Chiang Liong Cu juga
tidak kelihatan, maka ia belum mau turun tangan. Kematian Pek Leng, ayahnya membuat ia
sangat berduka. Jangan kata Pek Leng pernah memesan kepadanya untuk ia menuntut balas,
sekalipun tidak di pesan juga ia akan menuntut balas. Hanya dengan adanya keterangan Pek
Leng, ia baru tahu siapa-siapa musuhnya, sehingga ia tidak ragu-ragu lagi san meminta korban
jiwa orang-orang yang tidak berdosa.
Karena Hian Bu Cu terluka, maka ia mau turun tangan, apalagi perbuatannya itu nanti akan
mengakibatkan terkejutnya orang-orang Ceng-shia-pay. Disamping itu, ia juga harus mencari
Bwee-hoa-Kiesu, entah dimana sekarang orang tua itu berada di mana jenasah ayahnya dikubur"
Malam ini ia mencari ubek-ubekan hampir semalam suntuk masih juga ia tidak menemukan
bayangan Bwee-hoa Kiesu. Akhirnya dari mulutnya para imam baru diketahui bahwa Bwee-hoa
Kiesu juga sudah menghilang.
Maka ia kembali turun gunung untuk pergi mencari. Tiga hari beruntun ia berputar-putar, tetapi
juga tidak berhasil mencari jejak Bwee-hoa Kiesu. Selama tiga hari itu, ia juga berpapasan dengan
beberapa imam yang naik dan turun gunung, tetapi ia dapat menyingkir dengan baik.
Malam itu kembali ia naik ke gunung, sebelum hari gelap ia sudah berhasil bersembunyi dalam
ruangan gereja. Selama mengadakan penyelidikan di Ceng-shia-san Kim Houw sudah mengetahui
bahwa setiap tengah malam dalam gereja itu pasti diadakan pertemuan.
Ketika ia melihat Hian Bu Cu dalam ruangan, tiba-tiba dikejutkan oleh sambaran angin yang
dilancarkan di belakang dirinya. Dalam kagetnya Kim Houw segera mengetahui bahwa serangan
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 17 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Kisah Sepasang Rajawali 25

Cari Blog Ini