Ceritasilat Novel Online

Sepak Terjang Hui Sing 1

Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Bagian 1


Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
~Samita~ Sepak Terjang Hui Sing Murid
Perempuan Cheng Ho
Karya : Tosaro Scan buku oleh : Ottoy
Convert, edit dan Pdf Ebook oleh :
Dewi KZ http://kangzusi.com/ dan http://dewi.0fees.net/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pengantar :
Hui Sing harus meninggalkan Tiongkok, mengikuti gurunya, Laksamana Cheng Ho. Sampai di tanah Jawa, gadis belia ini terjebak dalam perseteruan berdarah antara Majapahit dan Blambangan. Cintanya jatuh kepada orang yang salah, bahkan nyawanya terancam oleh pengkhianatan beruntun.
Dalam harapan yang hampir putus, napas nyaris mendekati ujungnya. Hui Sing memutuskan untuk bangkit, melawan takdir!
Novel berlatar belakang keruntuhan kejayaan Majapahit ini menghamparkan perjuangan panjang seorang pendekar Muslimah dalam menemukan jati dirinya. Terpisah ribuan mil dari tanah kelahirannya. Hui Sing berjuang seorang diri meredam pengkhianatan, menundukkan penguasa bodoh, sekaligus menemukan cinta sejatinya.
Komentar : Tasaro meramu cerita sejarah, jurus-jurus silat ala Kho Ping Ho, dan kisah cinta ... lebih berfantasi. "Koran Tempo Tasaro adalah penulis muda yang mau berkeringat dan berdialog dengan sejarah. Semoga Tasaro terus bersemangat menggali warisan sejarah.---Taufiq ismail,sastrawan Cheng Ho adalah seorang kasim Muslim yang menjadi kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa 1403-1424). kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao, berasal dari Provinsi Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap yang kemudian dijadikan kasim. Dia bersuku Hui. suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, tetap) beragama Islam.
Pada 1424. Kaisar Yongle wafat. Penggantinya. Kaisar Hongxi (berkuasa 1424-1425). memutuskan untuk mengurangi pengaruh kasim di lingkungan kerajaan. Cheng Ho melakukan ekspedisi lagi pada masa kekuasaan Kaisar Xuande.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho memimpin tujuh ekspedisi ke Samudra Barat (Samudra Indonesia). Dia membawa banyak hadiah dan lebih dari 30 utusan kerajaan ke Cina. Catatan perjalanan Cheng Ho pada dua pelayaran terakhir, yang diyakini sebagai pelayaran terjauh, dihancurkan oleh Kaisar Dinasti Ming."Wikipedia.org Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Historical Fiction
SAMITA: Bintang Berpijar di Langit Majapahit Penulis: Tasaro Ilustrator: Sinta Sari
Penyunting naskah: Salman Iskandar dan Yani Mulyani Penyunting ilustrasi: Andi Yudha Asfandiyar Desain sampul dan isi: Andi Yudha Asfandiyar Font judul (SAMITA): Andi Yudha Asfandiyar Layout sampul dan seting isi: Tim kreatif Pracetak MMU Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved
Cetakan I, Sya'ban 1425 H/Oktober 2004 Diterbitkan oleh Penerbit DARI Mizan Anggota IKAPI PT Mizan Bunaya Kreativa Jin. Yodkali No. 16, Bandung 40214 Telp. (022) 7200931-Faks. (022) 7207038 e-mail: mizandar@yahoo.com


Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Tasaro
Samita: bintang berpijar di langit kelam/Tasaro; penyunting, Salman Iskandar dan Vani Mulyani. -Cet. 1. Bandung: DAR! Mizan, 2004.
208 him.; Mus.: 17 cm. (seri historical fiction).
ISBN 979-752-093-5 I. Judul. II. Iskandar, Salman. III.
Mulyani, Yani. IV. Seri. 813
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU) Jin.
Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp. (022) 7815500-Faks. (022) 7802288 e-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id

Dapat juga diperoleh di www.ekuator.com--Galeri
Buku Indonesia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Isi
Hanacaraka 1. Jawa Dwipa ...
2. Tragedi Simongan ....
3. Kitab Kutub Beku ...
4. Rajapati ...
Datasawala 5. Si Topeng Pengkhianat ...
6. Asmara Seruling ...
7. Dasar Jurang Medangkamulan ...
8. Bunga Bermarga Shi ...
Padhajanya 9. Pewaris Blambangan ...
10. Setan Kecapi Bisu ...
11. Pertemuan Tak Sempurna ...
12. Batas Sebuah Dendam ...
13. Perginya Pendekar Sejati ...
14. Kekasih Bisu ...
Magabathanga 15. Kakek Sableng ...
16. Perguruan Kesawa ...
17. Serangan Srigala Putih ...
18. Penantian Bintang ...
19. Di Atas Geladak ...
20. Bumi dan Bulan ...
21. Anak Soma ...
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 22. Takluknya Senja ...
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi HANACARAKA
1. Jawa Dwipa Tahun Yong Le keempat. Pertengahan pertama abad kelima belas Masehi.
Laut Jawa Dwipa hiruk pikuk. Ombak beriak santai, angin tak sedang galak. Berembus kuat, namun tak mengundang badai. Langit yang biru membuat nyaman batas pandangan mata dengan misteri keindahan tak pernah habis. Lewat tengah hari, ratusan kapal kayu membelah samudra yang terbiasa dengan sunyi senyap. Layar-layar mengembang jumawa.
Layaknya kelompok bangau yang terbang rapi menembus angin. Berjajar teratur dalam barisan yang memanjang. Elok betul bentuk kapal-kapal itu. Tampak kokoh dengan tiang-tiang besar dan badan kapal yang kekar dan berukir.
Puluhan di antaranya berukuran besar, sedangkan yang lain berukuran sedang. Di barisan depan rombongan itu, kapal berukuran paling besar bergerak penuh wibawa. Panjangnya 44,4 zhangi dengan lebar delapan belas zhang (ukuran panjang; satu zhang sekitar tiga meter).
Tiang-tiang kayu menjulang ke langit dengan sepuluh layar yang membentang bagai sayap-sayap raksasa. Letak layar-layar yang ukurannya beragam itu berurutan dari bagian depan kapal terus ke belakang. Moncong kapal dilengkapi sepasang mata buatan berbentuk bundar, seperti mata ikan.
Para awak kapal sibuk di geladak. Seorang lelaki bermata sipit dan bertubuh gempal melepas pandangannya penuh takjub ke garis hijau di ujung laut. Daratan Jawa Dwipa di depan mata. Tangan kokohnya tak hendak lepas dari kemudi yang dia gengam erat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lelaki itu mengenakan pakaian seperti jubah dengan lengan panjang dan lebar. Jubah itu hampir menyentuh telapak kaki sehingga tak terlihat janggu (celana panjang) yang dia kenakan, kecuali dari sisi kiri dan kanannya yang dibiarkan tak dijahit mulai pinggang sam-pai mata kaki.
Di kepalanya bertengger ikat kepala dengan tanda khas di bagian kening. Dia sibuk dengan kesendirian. Sementara itu, orang-orang di sekeliling asyik dengan pekerjaan masing-masing. Beberapa di antara mereka tampak mengepel lantai kayu geladak kapal.
Ada juga yang mengemas barang sambil berbincang dengan rekan-rekan awak kapal. Mereka menggunakan bahasa Chung Kuoi (Mandarin). Sesekali terdengar siulan dan gelak tawa di sela-sela percakapan akrab itu.
Angin masih ramah. Di puncak salah satu tiang kayu kapal induk, terlihat bayangan yang berkibar. Sesosok semampai bergelayut dengan kaki lurus menginjak tali jaring di tiang layar berbentuk kayu gelondongan bulat. Lebar permukaan kayu itu sama dengan panjang dua telapak kaki orang dewasa.
Sosok itu berdiri di ketinggian enam zhang. Dia seorang perempuan. Tubuhnya tak limbung diterpa angin yang menghantam tiang layar. Hanya rambut panjang dan jangsan (Kebaya) sutra hijau lebarnya yang berkibar-kibar.
Bibirnya menyungging senyum menatap daratan yang mulai tampak pada batas selatan penglihatannya. Mata yang bulat cemerlang tambah berbinar. Bulu matanya yang lentik sesekali mengerjap. Kulit wajah kuning langsat, tapi memerah di daerah pipi. Serasi dengan hidung yang mungil dan mancung. Rambutnya terurai, legam, dan halus berpendar dicandai angin.
Dua kepang kecil yang bermula dari bagian atas telinga ditarik ke belakang dan menyatu di kepala bagian belakang.
Kepang itu diikat pita merah jambu. Dia masih sangat muda.
Jejari lentik tangan kanannya yang menyembul dari lengan baju yang lebar menggenggam sebuah kitab, sedangkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi tangan kirinya mencengkeram tali jaring menjaga keseimbangan.
Telapak kakinya yang bersepatu seperti terhunjam di tali jaring. Tak goyah, seperti itu sejak matahari menarik teriknya yang menyengat.
Sesaat kemudian, sebuah bayangan melesat dari geladak kapal ke arah puncak tiang. Tangga tali yang merapat di tiang kapal bergetar. Rupanya, orang berkemampuan tinggi yang melesat naik ini meniti salah satu tangga tali yang dipasang di empat arah angin dan bertemu di ujung tiang layar.
"Hui Sing, Kakak Juen Sui ingin kita berkumpul di geladak!"
Bayangan itu berhenti bergerak satu lengan persis di bawah kaki perempuan belia itu. Seorang laki-laki muda berbadan tegap dan berwajah periang. Alis matanya tebal, namun tak terkesan garang karena mengapit sepasang mata yang Jenaka. Jernih dan mengundang simpati.
Bibirnya selalu menyungging senyum. Kulit putih bersih, tampak rupawan dengan rambut panjang yang diikat rapi.
Seperti penghuni kapal yang lain, dia mengenakan i-fu (pakaian) panjang dengan lubang lengan yang lebar serbabiru, kecuali sabuk yang melingkar di pinggangnya. Warna sabuk itu putih salju, sedangkan sepatu dan pita yang mengikat rambut panjangnya berwarna hitam.
Sekarang, dia menggelantung dengan satu kaki menginjak tangga tali dan tangan kanan menggenggam bagian tangga tali yang lain.
Perempuan yang dipanggil adik itu bergeming. Tidak langsung menjawab. Hanya dagunya yang runcing terangkat ke atas, bergaya jumawa. Senyumnya melebar.
"Kakak Feng, tidakkah Kakak pikir Laut Jawa Dwipa begitu indah" Aku merasa nyaman berlama-lama menikmatinya dari atas sini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lelaki muda itu tampak penasaran. Kaki dan tangannya berpindah posisi dengan lincah meniti tangga tali seukuran ibu jari orang dewasa itu.
"Adik, kau masih punya banyak waktu untuk itu. Sekarang turunlah dulu! Siapa tahu ada hal penting yang ingin disampaikan Kakak Juen Sui."
"Rasanya, sudah lama kita tak berlatih Thifan, Kakak Feng."
"Kukira ini bukan saat yang tepat, Hui Sing!"
Perempuan muda itu tertawa. Renyah sekali terdengar.
Lepas dan tanpa beban.
"Baik, aku mau turun, tapi ada syaratnya ...." Kalimat itu terputus. Hui Sing kemudian mengangsurkan kitab di tangan kanannya, tanpa terlebih dulu membalikkan badannya. Dia tetap membelakangi Sien Feng, kakak seperguruannya yang mulai tak sabar dengan sikap badungnya.
"Rebut dulu kitab di tanganku. Kalau Kakak bisa melakukannya, aku akan menuruti apa pun perintahmu,"
ujarnya datar. Sien Feng mengerutkan dahi. Dia memang sering dibuat penasaran oleh kelakuan adik seperguruannya ini. Karena usianya yang masih belia, sikap kekanak-kanakannya sering muncul.
Wuuuttt! Tangan kanan Sien Feng menyambar ke arah kitab di tangan Hui Sing. Gagal. Tangan mungil Hui Sing bergerak kilat ke atas. Menghindar. Masih dalam sikap berdiri yang sama.
Gerakan tangan itu sama sekali tidak mempengaruhi keseimbangan tubuhnya. "Hup!"
Tubuh Sien Feng mencelat dari tempatnya bergelantung, menerkam ke arah Hui Sing.
Sambil tersenyum, Hui Sing yang merasakan ada angin serangan dari arah belakang tubuhnya langsung bersalto ke Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi belakang sambil melentingkan tubuhnya ke atas. Sien Feng yang gagal menangkap tubuh Hui Sing meluncur ke bawah seperti hendak terjungkal ke geladak. Namun, tangan kirinya sigap menangkap salah satu tangga tali sehingga tubuhnya kembali menggelantung.
Setelah bersalto dengan indah, Hui Sing menggelantung dengan tangan kiri menggenggam tali, sedangkan kaki kirinya berpijak pada bagian tangga tali yang lain.
"Mau adu ilmu peringan tubuh?"
"Seorang yang hebat mencapai tujuannya karena tidak mempunyai pilihan lain. Tak perlu mempertahankan keunggulannya."
Hui Sing menghapus senyumnya. Bibirnya manyun, lalu membuang muka. "Kitab Daos De Jing, Ajaran kelima, bab peringatan terhadap kekerasan."
Sien Feng melongo.
"Kapan kau mempelajari ajaran Dao (Tao)?"
Hui Sing tak menjawab. Senyumnya mengembang. Ia merasa menang.
"Kakak Feng, hunus cien (pedang) -mu!"
Sien Feng menggelengkan kepala. Dia bertambah gemas melihat senyum Hui Sing yang seperti bocah tak berdosa.
Namun, hanya sesaat karena dia langsung tersentak. Matanya memicing ketika melihat sinar perak yang menyilaukan mata meluncur deras ke arahnya.
Sien Feng bergulingan di jaring yang dipasang tegak lurus itu. Tangan dan kakinya susah payah bergerak agar tubuhnya segera berpindah tempat menghindari benda berkilau itu.
Wuuuttt! Tarrr!!!
"Tik sezint luq (Jurus Menjahit kain sutra)!"
Tubuh Hui Sing seperti terbang. Hanya sesekali tangan kanannya yang kini tak lagi memegang kitab karena sudah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi diselipkan di ikat pinggangnya, meraih tali jaring. Kakinya lincah melompat ke sana kemari, sedangkan tangan kirinya diselubungi sinar perak yang menyilaukan, memanjang, dan terus memburu tubuh Sien Feng yang mati-matian menghindar.
"Hunus cien-mu, Kakak Feng!"
Sien Feng masih tak mengindahkan teriakan Hui Sing. Dia terus menghindar dengan berjumpalitan di udara dan bergerak turun-naik. Namun, lama-lama dia terdesak hebat. Ruang geraknya seperti habis terkurung oleh sinar perak yang ternyata selembar tai-gu(sabuk) panjang terbuat dari benang perak yang menyilaukan.
Setiap kali Hui Sing menyentakkan tangan kirinya, sabuk itu seolah-olah hidup. Bergerak kencang menyerang lawan.
Sinarnya yang memantulkan sinar matahari, sudah sangat merepotkan bagi Sien Feng.
Belum lagi kedahsyatan sabuk yang menyalurkan dath(tenaga dalam) Hui Sing dengan sempurna. Jurus Tik sezint luq yang dimainkan Hui Sing merupakan jurus yang khusus diciptakan untuk perempuan dalam ilmu bela diri Thifan Pokham (pecahan Tee Kumfu dan Kungfu, bela diri berazaskan Islam).
Jurus ini memperhalus gerakan-gerakan Thifan agar sesuai keinginan sejati setiap perempuan supaya tetap cantik. Pendekar perempuan dapat mempertahankan kondisi tubuhnya agar tetap lembut dengan jurus ini.
Sementara itu, di tangan ahlinya, sabuk bisa lebih berbahaya dibandingkan pedang atau senjata logam lain.
Bentuknya yang lentur, sulit sekali dilawan dengan benda keras.
Di China daratan, cukup banyak pendekar perempuan yang menggunakan senjata seperti ini. Selain bisa mempertahankan sifat alami perempuan yang lemah lembut, senjata lentur bisa menjadi senjata lihai yang ampuh. Apalagi sabuk milik Hui Sing dibuat dari benang khusus sekuat baja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sreng!
"Fuke kotli ey (Jurus Panda memetik anggur)!"
Sambil bersalto, Sien Feng akhirnya mencabut pedangnya.
Bunyi logam bergesek terdengar nyaring ketika ia mengeluarkan pedang baja berwarna hitam dari sarungnya.
"Ini baru seru!"
Hui Sing berteriak girang sembari terus menyerbu dengan sabuk di tangan kirinya. Kali ini Sien Feng tak sekadar menghindar. Dia mulai berani menyambut datangnya sabuk Hui Sing yang sudah membentuk gulungan sinar perak berkilau.
Meskipun pandangan matanya terganggu dengan sinar dari sabuk itu, Sien Feng tak lantas mundur. Dia memutar pedang hitamnya melakukan tangkisan, sekaligus menyerang begitu gerakan sabuk Hui Sing mengendur.
Sesekali Sien Feng memutar tubuhnya menjadi pusaran angin. Mencari-cari titik lemah pertahanan Hui Sing sambil berusaha menangkap ujung sabuk Hui Sing dengan tangan kirinya.
"Jangan mimpi!"
Hui Sing berseru lantang sambil menyentak sabuk di tangan kirinya yang ditangkap oleh tangan kiri Sien Feng.
Gagal menangkap ujung sabuk Hui Sing, Sien Feng seperti kehilangan keseimbangan tubuh karena kedua tangannya tak lagi berpegang pada tali.
Sontak tubuhnya terguling ke bawah. Sien Feng bergerak menggulung sehingga pergelangan kakinya terjerat pada tangga tali.
Ia menggelantung dengan kepala di bawah. Sekedip mata kemudian, Sien Feng kembali menghambur ke arah Hui Sing setelah menyentakkan tubuhnya.
Hui Sing sempat kaget karena Sien Feng tak butuh waktu lama untuk segera melakukan serangan susulan. Dia segera Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi menggerakkan sabuknya yang sempat terdiam membentuk pusaran sinar perak untuk melindunginya dari serangan Sien Feng.
Hui Sing tak bergerak menghindar. Tangan kanannya tetap menggenggam erat tangga tali, sedangkan kedua kakinya menginjak anak tangga tali itu. Sekarang, sabuk peraknya berjuang sendiri untuk melawan serangan Sien Feng.
"Nuruty Doty (Jurus putri malu-malu)!" Sien Feng berteriak masygul.
Jurus itu memungkinkan Hui Sing mampu bertahan meskipun dalam posisi yang tak menguntungkan seperti sekarang. Tak mudah bagi Sien Feng untuk menembus pertahanan Hui Sing. Malah, ujung sabuk Hui Sing beberapa kali nyaris menghantam tubuh Sien Feng.
Meskipun sabuk itu sangat lembut, namun sangat berbahaya jika disertai tenaga dalam.
"Cukup!!!"
Ada suara lain yang menggema dan membuat kedua orang yang sedang adu kanuragan itu tersentak. Belum tampak sosok pemilik suara itu, namun gemanya sudah membuat peredaran darah terganggu. Sien Feng dan Hui Sing segera menghentikan perkelahian mereka.
"Kakak Juen Sui!"
Keduanya hampir bersamaan menyebut nama itu. Mereka kemudian terpaku di tempat masing-masing. Satu lagi bayangan bergerak kilat dari bawah. Sekejap mata, bayangan itu sudah berdiri tegap di puncak tiang layar kapal.
Pemuda berusia 25 tahun itu bernama Juen Sui. Berdiri gagah dengan kedua tangan diangsurkan ke belakang.
Tatapannya tajam bak rajawali muda. Tubuhnya tinggi besar terbungkus pakaian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi berwarna cokelat muda sesuai dengan warna kulitnya yang sawo matang.
Rahangnya kokoh, selaras dengan bentuk wajah yang persegi dengan belulang yang kuat. Rambutnya digelung rapi.
Menambah sempurna penampilannya yang kesatria.
"Sakit Paman Wang Jing Hong semakin parah, kalian malah bersenang-senang di sini."
Kemudian angin yang berbicara. Tiga pasang telinga hanya mendengar desau angin, tidak ada yang lain, untuk beberapa saat.
"Hui Sing, sebentar lagi usiamu genap tujuh belas tahun.
Dewasalah!"
Bukan bentakan. Namun, nada suara yang keluar dari bibir Juen Sui mengandung wibawa yang pekat. Membuat orang yang mendengarnya berpikir tak berhak melakukan apa pun, kecuali diam di tempatnya semula. Tapi tidak selalu begitu bagi Hui Sing.
"Kami sedang berlatih Thifan, bukan bersuka ria,"
jawabnya dengan nada lirih. Membela diri tanpa nada perlawanan. Bibirnya cemberut. Juen Sui sedikit menggerakkan kepalanya ke samping. Matanya melirik tajam.
Bibirnya masih terkatup dengan kesan wajah yang tak main-main.
Dia tak berminat untuk berdebat.
"Guru menyuruh kita untuk berkumpul di ruangannya. Ada hal penting yang akan dibicarakan."
Juen Sui tak menunggu persetujuan kedua adik seperguruannya. Begitu menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya bergerak ringan menuruni tetali jaring kapal induk itu dan melesat ke bawah.
Sien Feng yang sejak tadi diam, memasukkan pedang baja kembali ke sarungnya. Dia melihat ke arah Hui Sing yang kini Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sudah tersenyum lebar lagi. Sien Feng tak bisa menahan gelinya.
"Hui Sing, sebentar lagi usiamu genap tujuh belas tahun.
Dewasalah!" ujarnya menirukan kata-kata Juen Sui. Sien Feng mengubah suaranya yang sebenarnya renyah menjadi berat agar mirip betul dengan suara Juen Sui. Hui Sing berhenti tersenyum. Matanya membesar, bibirnya manyun.
Dia baru saja hendak menyentakkan kembali sabuk mautnya untuk menyerang Sien Feng karena kesal, tapi Sieng Feng sudah lebih dulu mencelat cepat menuruni tangga tali itu sambil tergelak.
"Mau ke mana kau"!"
Hui Sing penasaran dan terus mengejar Sien Feng dengan kelincahan yang tak kalah hebat dibandingkan kakak seperguruannya itu. Mereka pun menjadi bayangan yang cepat meluncur ke arah geladak kapal.
Begitu keduanya menginjakkan kaki di lantai geladak, baik Sien Feng maupun Hui Sing terbengong-bengong. Belasan awak kapal berdiri mematung sambil memandang takjub.
Rupanya, selama Hui Sing dan Sien Feng mengadu kepandaian di atas tiang kapal, para awak kapal sengaja menghentikan pekerjaan mereka dan menonton laga itu.
"Nona Hui Sing, Anda sungguh lihai," ujar salah seorang pemuda yang bertugas sebagai penyedia perlengkapan di atas geladak kapal.
Hui Sing tersenyum, namun tak terkesan ramah. Dia berlalu tanpa satu kata pun keluar dari bibir, lalu melangkah santai menuju pintu di geladak yang menghubungkan dengan lantai di bawahnya.
Di lantai tersebut, terdapat ruang-ruang tempat istirahat dan ruang pertemuan. Sien Feng berjalan dengan langkah tegap mengikuti langkah riang Hui Sing.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Mereka yang hanya percaya kepada kemampuan sendiri akan menghadapi hidup dengan segala akibatnya."
Hui Sing menghentikan langkahnya yang hampir menuruni tangga geladak.
"Bab manunggal dengan Dao, ajaran kesepuluh."
Sien Feng mengerutkan dahi sambil tersenyum. Hui Sing meneruskan langkahnya menuruni tangga kayu.
"Aku tahu kau sangat cerdas hingga mampu menghafal banyak kitab dalam waktu singkat. Tapi, apakah ajaran-ajaran suci hanya untuk dihafal?"
"Jadi Kakak pikir, aku ini seorang pembual yang mengumbar kata-kata bijak untuk keuntungan pribadi?"
"Adik, aku ...."
"Katakanlah, aku berlindung kepada Thian yang memelihara dan menguasai manusia. Raja manusia.
Sembahan manusia."
Langkah kaki Hui Sing dan Sien Feng yang satu-satu menjadi latar kata-kata puitis sekaligus asing dari bibir Hui Sing.
"Dari kejahatan setan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia."
Dahi Sien Feng semakin berkerut, tak mengerti.
"Dari golongan jin dan manusia."
Kedua orang itu akhirnya sampai di lantai ruang bawah kapal raksasa itu.
"Adik, aku tidak mengerti." Hui Sing menghentikan langkahnya. Ia lalu berbalik menghadap ke arah Sien Feng, tapi kedua matanya tak langsung menatap kakak seperguruannya itu.
"Itu bunyi enam ayat, surah ke-114 dari Kulan Cing (Al-Quran)."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sien Feng menelan ludah.
"Tidak bijak jika kita membanding-bandingkan ajaran suci."
"Membanding-bandingkan" Kakak, aku sedang membela diri dari tuduhanmu yang keji itu. Lagi pula, bukankah kita sedang membahas sikapku terhadap awak kapal yang memujiku tadi?"
Sien Feng terdiam. Sebenarnya dia memang melafalkan pepatah Lao Zi untuk mengkritik sikap Hui Sing yang terkesan angkuh saat dipuji oleh anak buah kapal beberapa saat lalu.
"Benar. Bukankah tidak ada salahnya bersikap ramah?"
"Tentu saja tidak, tapi apakah Kakak Feng tahu lelaki macam apa dia itu?"
Sien Feng mengangkat alisnya sambil menggelengkan kepala.
Hui Sing tersenyum. Ia memainkan sebagian rambut panjangnya yang kemilau dimanja seberkas sinar yang menyelinap dari lubang pintu penghubung lantai bawah dan geladak kapal.
"Dia pemuda yang terlalu bersemangat. Ingin tahu segalanya tentang aku. Mengamati semua gerakanku dan hampir selalu menguntitku!"
Mata Sien Feng membelalak. Wajahnya memucat. Merasa bersalah.
"Bahkan, dia berani menyebarkan cerita di antara awak kapal seolah-olah ada sesuatu antara dia dan aku."
"A ... aku ...."
Senyum Hui Sing melebar.
"Sudahlah. Sekarang kita temui guru."
Ruang di bawah geladak kapal itu cukup lega. Semua tertata rapi. Tak sekadar kamar untuk istirahat, ruangan itu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi dilengkapi dengan meja kursi berbentuk bulat dan lemari yang dipenuhi kitab-kitab.
Di dekat pembaringan, terdapat jendela yang tak terlalu besar namun cukup untuk memandang pemandangan ke laut lepas. Seorang lelaki gagah kini berdiri di balik jendela itu.
Tubuhnya tinggi dengan perawakan yang tegap.
Lingkar pinggangnya tak kurang dari sepuluh jengkal telunjuk. Dahi lebar, telinganya agak besar, sedangkan hidungnya agak kecil. Tatap matanya tidak loyo, namun juga tak garang. Teduh berwibawa.
Ia mengenakan jubah yang panjang menutup pakaiannya dengan apik. Di pertemuan jubah pada pangkal leher yang kukuh, ujung kain terikat rapi.
Alisnya yang tebal menyerupai bentuk golok dan semakin menambah wibawa. Kepalanya ditutup kain berwana hijau yang dililitkan sedemikian rupa. Persis di dahinya terdapat tanda berbentuk persegi yang bertuliskan huruf Chung-Kuo.
Dialah Laksamana Cheng Ho.
"Adik-adikmu belum datang juga, Juen Sui?"
Suara yang berat namun tenang keluar dari bibir lelaki matang itu. Dia masih juga menatap garis cakrawala dihiasi sinar nyala kemerahan.
Sementara itu, napas lain yang berembus di ruang itu adalah milik seorang pemuda bertubuh tegap yang duduk rapi di kursi bulat persis di tengah ruangan itu. Dadanya membusung dengan sikap rahang yang gagah. Lelaki muda itu, Juen Sui.
"Saat saya memberitahu mereka, Sien Feng dan Hui Sing sedang berlatih Thifan, Guru!"
Sang laksamana berusia 35 tahun itu tersenyum. Melebar, sehingga gigi-giginya yang berjajar rapi dan putih bersih layaknya mutiara, terlihat jelas.
"Bagus. Pemuda memang harus selalu bersemangat!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Perbincangan itu terhenti. Pintu ruangan itu terdengar diketuk dari luar.
"Guru, Sien Feng dan Hui Sing menghadap!" Suara dari balik pintu itu terdengar jelas. "Masuklah."
Cheng Ho membalikkan tubuhnya menatap pintu yang pelan dibuka dari luar. Sien Feng dan Hui Sing masuk ke ruangan itu, lalu mengatupkan kedua tangannya hingga jemari kanan dan kiri saling menggenggam. Kepala mereka agak ditundukkan, sementara tangannya diangkat ke depan wajah mereka.
"Hormat kami, Guru!"
Cheng Ho membalas salam kedua muridnya itu. Dia lalu menyuruh keduanya duduk. Satu-satunya kursi berbentuk bulat yang masih tersisa ditarik oleh Cheng Ho. Sang bahariawan itu lalu duduk dengan gagah.
"Bagaimana latihan kalian hari ini?"
Wajah Sien Feng memucat. Dia agak cemas jika permainannya dengan Hui Sing di atas layar kapal tadi dilaporkan kepada gurunya.
"Menyenangkan sekali guru. Ilmu meringankan tubuh Kakak Feng sangat hebat. Permainan pedangnya pun sangat lihai. Aku jadi tidak bisa berbuat apa-apa."
Hui Sing menjawab pertanyaan gurunya dengan lugas.
Tidak terkesan sungkan sama sekali. Cheng Ho mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum.
"Hui Sing, aku sudah cukup lama tak menyimak hafalan Surah Ku-fan Ching-mu. Kau masih tekun melakukannya bukan?"
"Tentu saja, Guru!"
"Selama paman kalian, Wang Jing Hong, sakit aku tak sempat lagi menemani kalian berlatih Thifan. Untunglah ada kakak kalian Juen Sui yang sudah banyak menyerap ilmu yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi aku miliki. Tentunya kalian mendapat pelatihan yang baik dari kakakmu."


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar namanya disebut, tak memancing perubahan air muka di wajah Juen Sui. Tatapannya tenang tanpa luapan kebanggaan. Dia tetap menyimak dengan tekun setiap kata yang keluar dari bibir gurunya.
Selama hampir lima belas hari, Juen Sui memang mengambil alih berbagai tugas Cheng Ho sebagai pemimpin rombongan armada raksasa yang terdiri lebih dari dua ratus kapal berisi 27.800 orang awak kapal itu.
Hanya sesekali sang laksamana keluar dari ruang pengobatan untuk mengawasi kerja anak buahnya.
Selebihnya, dia kembali tekun merawat sakit Wang Jing Hong, orang kedua dalam pelayaran tersebut, yang kini tengah menderita sakit parah.
"Saudara Wang menderita sakit sui-teu (cacar air). Ini jenis penyakit yang sangat peka. Paman kalian itu tidak boleh terkena air karena penyakitnya akan semakin menjadi. Dia juga mengalami nie-ci (demam) yang sangat tinggi. Seluruh tubuhnya mulai ditumbuhi bisul yang sangat gatal."
Hui Sing bergidik mendengarkan penjelasan gurunya.
Gadis ini cukup dekat dengan Wang Jing Hong karena dia memang sejak bayi sudah diasuh oleh Cheng Ho. Karena Wang Jing Hong merupakan orang kepercayaan Cheng Ho, dia pun sering bertemu dengan Hui Sing.
"Sui-teu bukan penyakit yang mengancam jiwa. Namun, siapa pun yang mengalaminya akan merasakan sakit luar biasa. Badan panas dingin, kulit berbisul, dan sangat gatal.
Jika digaruk, luka itu bisa menjadi cacat seumur hidup."
Sekarang Sien Feng yang wajahnya memucat. Dia pernah mendengar keganasan penyakit yang bisa menjadi wabah ini.
"Sui-teu adalah penyakit menular. Dia bisa menjalar dengan sangat cepat. Tetapi orang-orang yang belum pernah terjangkit saja yang bisa tertular."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Semua diam. Cheng Ho menghela napas pelan.
"Karena itu, rencana kita pergi ke Majapahit tertunda.
Sebentar lagi kita merapat di Pelabuhan Simongan. Kita harus mendarat untuk merawat saudara Wang sampai sembuh. Jika tidak, aku khawatir sui-teu ini menjadi wabah di antara awak kapal."
Cheng Ho menuangkan teh dari dalam poci porselen di atas meja mungil itu ke cangkir kecil di depannya. Ia lalu meminumnya.
"Selama di darat, kepemimpinan rombongan akan aku serahkan kepada Juen Sui dibantu oleh Sien Feng. Aku bersama Hui Sing dan sepuluh orang ping-seu (tentara) akan mencari tempat untuk merawat Saudara Wang."
"Kenapa Adik Sing, Guru?"
Sien Feng bertanya penuh rasa khawatir. Cheng Ho tersenyum.
"Hui Sing memang lebih muda daripada kalian. Tapi sewaktu kecil dia sudah pernah mengalami sui-teu. Jadi, dia tidak akan terkena lagi. Selain itu, Hui Sing menguasai bahasa orang Majapahit dengan baik."
Sien Feng menoleh ke arah Hui Sing, lalu menggelengkan kepala dengan kesan wajah penuh kagum.
"Kira-kira berapa lama Guru dan Adik Sing ada di Simongan?"
Juen Sui yang sedari tadi hanya tekun mendengarkan, akhirnya angkat bicara.
"Semua bergantung perkembangan kesehatan Saudara Wang. Semakin cepat dia sembuh, semakin cepat kita meninggalkan Simongan dan meneruskan perjalanan ke Mojokerto, ibu kota Majapahit."
"Guru, apakah Simongan masih termasuk wilayah Majapahit?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho menoleh ke arah Hui Sing. Pandangan matanya cermat, sementara senyum kembali mengembang di bibirnya.
"Majapahit pernah menjadi negara yang sangat besar. Bala tentaranya gagah berani. Pengaruhnya menyebar ke penjuru samudra. Hanya, sekarang kerajaan itu didera pemberontakan dan perang saudara yang terus bermunculan,"
Cheng Ho menghentikan sementara kalimat yang selalu ia ucapkan dengan hati-hati.
"Simongan masih dalam kekuasaan Majapahit. Tapi dari pusat pemerintahan kerajaan di Mojokerto, jarak Simongan masih ratusan li (sekitar 500 meter)."
Cheng Ho lalu mengalihkan pandangannya ke arah Juen Sui.
"Tanggung jawabmu sangat berat, Juen Sui. Perang saudara antara raja Timur dan raja Barat yang memperebutkan tahta Majapahit semakin sengit. Jangan sampai kita yang tidak ada urusan dengan mereka jadi terlibat."
Juen Sui mengangguk-angguk.
"Siapa raja Barat dan raja Selatan itu, Guru?"
Hui Sing terus memburu gurunya dengan pertanyaan-pertanyaan baru.
"Majapahit pernah mengalami masa gemilang ketika Raja Hayam Wuruk bertahta didampingi patihnya, Gajah Mada.
Sebelum Raja Hayam Wuruk mangkat, ia bertitah agar menantunya, Wikrama-wardhana, meneruskan tampuk pemerintahan. Sedangkan putra yang dilahirkan oleh selirnya bernama Wirabumi menjadi penguasa di Blambangan, wilayah Majapahit di bagian timur Pulau Jawa Dwipa."
Hui Sing menyimpan setiap kata dari gurunya dengan rapi di benaknya.
"Ketika Raja Hayam Wuruk dan Gajah Mada akhirnya mangkat, Wirabumi memberontak. Perang besar berlangsung Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sejak lima tahun lalu," Hui Sing mengangguk-angguk. "Ada yang masih ingin kalian tanyakan?" Tidak ada suara.
"Bagus kalau begitu. Juen Sui, segera siapkan sampan yang cukup lega dan sepuluh orang ping-se. Sien Feng dan Hui Sing, kalian persiapkan segala macam kebutuhan selama berada di darat. Termasuk bendera putih, agar penduduk pantai tidak menjadi panik dengan kedatangan kita. Aku bantu Saudara Wang untuk berkemas."
"Baik, Guru!"
Hampir bersamaan Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing mengiyakan perintah gurunya. Setelah memberi hormat, mereka pun bergegas meninggalkan ruangan pribadi gurunya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 2. Tragedi Simongan
Pelabuhan Simongan uara ombak seperti bunyi bulir beras yang sedang ditampi di atas tampah. Buih putih bercengkerama dengan pasir pantai yang cemerlang diterpa lembayung. Ombak tinggal riak-riak kecil berlapis-lapis. Irama alam memanjakan gendang telinga. Senja segera turun.
Nuansa merah nyala rata di langit barat.
Auranya seperti menebar ancaman bagi jiwa-jiwa yang kosong. Burung-burung laut terbang membelah angin. Menjadi bayangan-bayangan hitam yang membuat sempurna wajah langit senja itu.
Perahu-perahu nelayan berjajar rapi di bibir pantai yang tak berujung. Mereka, para lelaki berkulit legam dengan otot-otot yang menonjol dan tubuh berkeringat, berdiri tegap sambil menunggu dengan cermat datangnya angin darat yang akan membawa mereka ke laut, mencari pengharapan pada ikan-ikan dan penghuni dasar samudra. "Lihat! Apa itu?"
Seorang nelayan muda buru-buru mengarahkan telunjuknya ke arah laut lepas. Pada garis cakrawala, bermunculan titik-titik yang tak terkira jumlahnya. Semakin banyak dan membesar. Beberapa saat kemudian, bentuk itu semakin nyata. Layar-layar kapal yang banyak semakin dekat.
Nelayan muda yang tadinya sudah bersiap untuk naik ke perahu itu mengangkat caping lebarnya. Bahkan kemudian dilemparkannya kuat-kuat.
"Itu angkatan perang. Pasukan Blambangan datang. Kita diserang!"
Suaranya berubah nyaring penuh ketakutan. Nelayan muda itu lalu lari terbirit-birit meninggalkan teman-teman nelayannya menuju perkampungan nelayan yang tak jauh dari pantai.
"Kartiwaaa, kamu mau apa" Tungguuu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Para nelayan yang tadinya sudah bersiap untuk melaut tak kalah panik. Mereka tak tahu apa yang harus dilakukan.
Beberapa di antara mereka bergegas berlari tak tentu arah.
"Aku harus beritahu Ki Lurah! Warga harus segera mengungsi!"
Pemuda bernama Kartiwa itu menjawab lantang sambil terus berlari terengah. Tak peduli lagi kakinya yang telanjang beberapa kali tertembus batu pantai yang tajam. Berdarah-darah, Kartiwa tetap melaju. Keringat membanjiri tubuhnya.
Napasnya mendesak-desak.
Sampai di batas kampung nelayan, Kartiwa tak memperlambat langkahnya. Malah semakin terburu. Matanya melotot panik. Tak peduli lagi dengan rasa lambungnya yang meremas-remas karena sudah berlari puluhan tombak tanpa henti.
"Kartiwaaa, ada apa kau berlari bak dikejar hantu"!"
Seorang lelaki tua yang duduk sambil mengunyah sirih di depan rumahnya yang beratap jerami penasaran melihat tingkah Kartiwa. Dia berteriak tanpa beranjak dari tempat duduknya.
"Prajurit Blambangan datang! Kita diserang!"
Lelaki tua itu berhenti mengunyah. Kesan wajahnya mati.
Tak bergerak beberapa saat. Seperti sedang berpikir. Tiba-tiba alis matanya terangkat. Seperti sadar dari lamunan panjang.
Bibirnya sontak menyemburkan daun sirih yang tadi ia kunyah.
Ia bangkit dengan tergesa dan masuk ke rumah gubuknya.
Kartiwa terus berkoar-koar kepada setiap orang yang ia temui di jalan. Seperti itu terus, sampai dia berhenti di sebuah rumah joglo bertiang jati di tengah perkampungan. Ia bergegas masuk ke pendopo dan mengetuk pintu jati dengan nada yang keras.
"Ki Lurah! Gawat, Ki!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Beberapa saat tak ada jawaban. Kartiwa semakin bersemangat mengetuk pintu jati yang menghubungkan pendopo dan ruang dalam rumah tersebut.
"Ki Lurah Legowo! Gawat, Ki!"
Sesaat kemudian, seorang laki-laki setengah baya keluar dari ruang belakang. Tubuhnya tegap meskipun wajahnya sudah memperlihatkan usia tua. Hampir seluruh rambutnya memutih. Parasnya memperlihatkan pribadi yang keras. Garis-garis wajah tegas dan berwibawa. Dia mengenakan surjan (baju khas jawa) dan celana panjang hitam. Di belakangnya muncul juga seorang perempuan muda di berusia belasan tahun.
Wajahnya putih segar. Matanya agak lebar dengan dahi yang juga lebar. Rambutnya dikonde rapi, lengkap dengan sasak (model rambut disisr ke belakang) yang rajin. Tusuk konde perak kelihatan berkilauan di atas gelung rambutnya.
Perempuan muda itu mengenakan kemben yang ditutup dengan kebaya warna cokelat.
Dia juga mengenakan kain batik yang hampir menutupi mata kakinya.
"Kartiwa, ada apa kau berteriak-teriak tanpa sobo sito (sopan santun)?"
"Ki Legowo, Ni Ramya, mohon maaf saya tidak sopan. Tapi ini benar-benar gawat, Ki, Ni!"
Ki Legowo menoleh ke anaknya, Ni Ramya, lalu kembali melihat ke arah Kartiwa.
"Katakan ada apa?"
Kartiwa diam sejenak. Mengatur napas, sambil memilih kata-kata yang pas untuk dikatakan kepada pemimpin kampung nelayan itu.
"Ki, pasukan laut Blambangan sudah mendekati pantai.
Jumlahnya sangat banyak. Saya kira, Kampung Simongan benar-benar dalam bahaya, Ki. Kita harus harus mengungsi!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Pengecut!!!"
Kartiwa kaget bukan main. Kalimatnya langsung putus.
Wajahnya pucat bak mayat. Matanya membelalak. Dia melihat wajah Ki Legowo memerah menahan marah. Kartiwa tidak paham sama sekali. Sebab, dia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun.
"Apa yang diajarkan orangtuamu tentang bela negara, Kartiwa"!"
"Sa ... saya ...."
"Putra negara macam apa yang takut mati dan memilih mundur dari pertempuran"!"
Kartiwa tambah mengkeret. Tak satu kata pun keluar dari bibirnya.
"Romo (ayah), Kartiwa hanya seorang nelayan, bukan prajurit yang siap berperang." Ramya berbisik pelan di dekat telinga ayahnya.
"Bahkan bocah yang belum bisa mengangkat badik pun wajib membela bangsa dan negaranya! Bukan lari terbirit-birit seperti pengecut!"
Suara Ki Legowo tak surut. Dia masih berapi-api melepaskan kemarahannya yang memuncak.
"Blambangan pengkhianat! Lancang dia menapak bumi Simongan! Ramya, siapkan keris pusaka Romo. Lalu kumpulkan seluruh pemuda yang ada di kampung ini untuk menyambut pasukan Blambangan!"
"Baik, Romol"
Tak berpanjang kata lagi, pasangan ayah anak itu masuk kembali ke rumah untuk bersiap, tanpa memedulikan Kartiwa yang masih berdiri termangu. Pemuda itu kemudian bergegas meninggalkan pendopo.
"Juen Sui, sudah kau lakukan tugasmu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Laksamana Cheng Ho berdiri gagah di ujung geladak Kapal Pusaka. Pandangannya lurus ke arah pantai. Beberapa orang berdiri mengapit sang laksamana di kanan kirinya. Di belakang kapal raksasa itu, berbaris ratusan kapal lain dengan beraneka ukuran. Selain kapal penumpang, kapal-kapal itu ada yang membawa muatan khusus. Ada kapal khusus membawa kuda, bahan makanan, peralatan perang, dan pembawa barang-barang lainnya.
Beberapa lie lagi mereka akan sampai di Pelabuhan Simongan. Layar-layar diturunkan satu-satu. Bendera putih berkibar di setiap kapal. Para awak kapal berdiri ramai di atas geladak.
"Sudah, Guru. Perahu kecil untuk membawa Paman Wang dan sepuluh orang ping-se sudah siap. Semua perbekalan juga sudah disiapkan," ujar Juen Sui.
"Bagus. Di mana Hui Sing?"
"Adik Sing bersama Paman Wang, Guru!"
"Hmmm. Juen Sui, selama Saudara Wang dirawat, para awak kapal yang ingin turun ke darat harus diatur. Tidak boleh seenaknya."
"Baik, Guru!"
"Turunkan semua layar begitu sampai ke pantai. Aku segera turun ke perahu!"
"Baik, Guru!"
Cheng Ho membalikkan tubuhnya. Jubah birunya berkibar diterpa angin. Juen Sui kemudian memberi perintah kepada anak buah kapal untuk melaksanakan keinginan gurunya.
Pelabuhan Simongan penuh orang. Jumlah mereka ratusan. Hampir semuanya lelaki dengan senjata terhunus.
Mereka berdiri berjajar dengan sikap siap siaga. Mereka adalah penduduk kampung Simongan yang mengira ada serangan dari Blambangan. Ki Legowo berdiri gagah di barisan terdepan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tangan kirinya menggenggam keris yang masih diam dalam sarungnya. Di samping kanannya, Ni Ramya berdiri anggun. Putri tunggalnya kini menggenggam pedang pendek di tangan kirinya.
"Itu bukan kapal-kapal Blambangan. Lihat saja bentuknya!"
Kulit dahi Ki Legowo berkerut. Orang-orang mulai teliti menatap bentuk ratusan kapal yang semakin mendekat ke pelabuhan.
"Mereka datang dari luar Nusantara, Romo".
Ni Ramya yakin betul dengan penglihatannya. Kapal-kapal gagah itu memang kelihatan asing. Berbeda sekali dengan kapal-kapal nusantara umumnya, yang ukurannya tak akan lebih besar dari kapal-kapal itu.
Bentuknya yang kukuh, dengan moncong layaknya naga hidup, jelas sekali berbeda dengan kapal bahari Majapahit ataupun Blambangan. Apalagi bendera yang berkibar di tiang-tiang kapal itu juga bertuliskan huruf asing. Bukan aksara Palawa atau aksara Jawa.
"Mereka bahkan mengibarkan bendera putih, tanda perdamaian!"
Ki Legowo mengusir jauh perasaan tegang yang ia bawa dari rumah. Kabar yang dibawa Kartiwa tentang kedatangan armada raksasa dari Blambangan membuatnya panik.
Meskipun dengan gagah berani, dia kemudian mengumpulkan para pemuda kampung untuk melawan, mempertahankan panji-panji Majapahit, toh dia tak bisa menghilangkan perasaan tegangnya.
Setelah belasan tahun tak mengangkat senjata, kini ia harus mengadu nyawa dengan lawan yang jumlahnya mencapai sepuluh kali lipat. Belum lagi ketidaksiapan para pemuda Simongan yang hampir semuanya tak menguasai ilmu kanuragan. Namun, segala kekhawatiran itu langsung mencair begitu melihat bendera putih berkibar ramai.
"Sarungkan senjata! Sambut tamu kita!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ki Legowo berteriak lantang penuh gembira. Orang-orang pun bersorak-sorai dengan perasaan lega. Mereka langsung menyarungkan senjata masing-masing. Di antara mereka ada yang menghambur ke arah laut, menyambut rombongan tamu yang membawa kesan damai itu.
Sementara itu, yang lain berlarian ke segala arah untuk melakukan penyambutan sederhana. Gubuk-gubuk tepi pantai langsung dijejali butir-butir kelapa siap santap.
Beberapa saat kemudian, rombongan kapal yang sudah menurunkan layar-layarnya itu berhenti belasan zhang dari bibir pantai. Jangkar-jangkar raksasa diturunkan. Saking besarnya, dibutuhkan ratusan orang untuk mengangkat jangkar itu jika pelayaran dimulai kembali.
Sementara kesibukan awak kapal menurunkan jangkar berlanjut, sebuah perahu kecil bergerak perlahan meninggalkan kapal pusaka. Sepuluh orang ping-se mendayung penuh semangat. Di bagian belakang perahu itu terdapat penutup seperti atap rumah. Di dalamnya, Wang Jing Hong tergeletak sakit tanpa banyak bergerak. Laksamana Cheng Ho berdiri di bagian depan perahu didampingi Hui Sing.
Begitu sampai di bibir pantai, mereka disambut oleh penduduk dengan penuh sukacita. Senyum lebar yang rata di setiap wajah para penduduk tentu saja sangat menyenangkan bagi tamu dari negeri tirai bambu itu.
"Selamat datang di Simongan. Alangkah bahagianya kami menerima kunjungan agung ini."
Ki Legowo dan Ni Ramya menyambut hangat kedatangan Cheng Ho dan Hui Sing yang lebih dulu turun dari perahu dan mendatangi kerumunan warga.
"Kamilah yang sangat tersanjung, Kisanak. Kami tidak menyangka sambutan penduduk Simongan begini hangat dan bersahabat."
"Kisanak menguasai bahasa kami?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Wajah Ki Legowo sumringah. Dia tadinya tidak berharap kalimatnya akan dimengerti oleh kedua tamunya itu. Ternyata, laki-laki gagah bermata agak sipit di hadapannya paham apa yang ia maksud. Malah dia mampu menjawabnya dengan cukup fasih.
"Majapahit negeri yang sangat masyhur. Namanya dikenal hingga ke pelosok dunia. Di negeri kami, Majapahit ramai diperbincangkan. Bahkan, para perantau Tiongkok yang pernah tinggal di Majapahit banyak yang pulang kemudian membuat tulisan tentang Majapahit. Di antara mereka tidak sedikit yang membuka perguruan bahasa Jawa Kawi dan Sansekerta."
Cheng Ho masih menggenggamkan kedua tangannya di depan dada, memberi penghormatan, sedangkan wajahnya masih demikian cerah menggambarkan perasaan gembira.
Senyum Ki Legowo melebar. Dia bahkan hampir tidak percaya kejayaan Majapahit yang kini tinggal sisa-sisa, masih demikian dihargai oleh negeri-negeri lain. Setelah saling memperkenalkan diri dan mengurai keingintahuan masing-masing, Ki Legowo mempersilakan tamunya berkunjung ke perkampungan nelayan yang terletak tak terlalu jauh dari pelabuhan.
"Ki Legowo, maafkan saya. Sebenarnya, salah satu tujuan kami mengunjungi Simongan adalah karena salah seorang saudara kami, Wang Jing Hong, mengalami sakit keras. Saya ingin tahu, apakah di dekat pantai ini ada tempat yang cukup nyaman untuk merawat orang yang sakit?"
Ki Legowo mengerutkan dahi. "Laksamana, apakah tidak sebaiknya dia dirawat di perkampungan saja?"
"Maaf, Ki Legowo, Saudara Wang menderita sakit sui-teu."
"Sui-teu" Penyakit macam apa itu?"
"Sui-teu penyakit yang hampir selalu terjadi pada setiap orang. Panas tinggi, bisul yang rata di seluruh tubuh, dan sangat gatal!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Cacar air! Kami menyebutnya cacar air, Tuan Ho!"
Cheng Ho mengangguk-angguk sambil menunggu kalimat Ki Legowo selanjutnya.
"Memang benar penyakit itu sangat menular. Tuan Wang harus dirawat secara teliti."
"Romo, bukankah di hutan sebelah selatan pantai terdapat gua besar bernama Gedong Batu?"
Ki Legowo menoleh ke arah Ni Ramya, putri tunggalnya.
"Kamu benar, Nduk (panggilan untuk anak perempuan di Jawa). Tuan Ho, di sebelah selatan pantai ini ada sebuah gua yang cukup besar dan nyaman. Saya kira Tuan Wang bisa dirawat di sana hingga sembuh!"
"Benarkah demikian" Syukurlah kalau begitu. Maafkan kami yang sangat merepotkan, Ki Legowo."
"Sama sekali tidak, Tuan Ho. Kami sangat tersanjung dengan kunjungan Tuan. Tamu sang Prabu
Wikramawardhana mampir ke perkampungan kecil Simongan.
Bukankah itu sebuah keajaiban?"
Semua yang ada di tempat itu lalu tertawa gembira. Ki Legowo kemudian menyuruh beberapa orang pemuda menyiapkan tandu untuk menggotong Wang Jing Hong. Hari sudah hampir gelap ketika rombongan kecil yang dipimpin Cheng Ho sampai di Gua Gedong Batu.
Gua yang mereka tuju ternyata memang lumayan besar.
Ruangan gua cukup lega dan dalam. Meskipun jarang dikunjungi orang, namun keadaannya cukup bersih. Dibantu penduduk setempat, atas perintah Ki Legowo, Cheng Ho menyiapkan ruangan yang lebih nyaman untuk Wang Jing Hong.
Api unggun yang tidak terlalu besar kini sudah menyala di tengah ruangan. Wang Jing Hong yang berselimut meringkuk di pinggir gua. Udara semakin dingin. Suara binatang malam mulai rata di kanan-kiri gua. Beberapa penduduk yang tadi ikut Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi membantu membersihkan gua sudah kembali ke perkampungan nelayan.
Beberapa ping-se tampak bersiap siaga di pintu gua.
"Kakak Ho, kenapa jadi merepotkan begini?"
"Saudara Wang, kenapa berbicara seperti itu" Lihat saja, penduduk Simongan yang sama sekali tak mengenal kita pun, sukarela memberi pertolongan begitu banyak. Kita bersaudara, tapi kau masih begitu sungkan."
Cheng Ho duduk di depan api unggun sambil sesekali memasukkan kayu bakar supaya api tetap hangat. Sementara Wang Jing Hong berbaring miring, menyandarkan punggungnya pada dinding gua, dan matanya menatap ke arah api.
Sejak tadi dia setengah mati menahan rasa gatal yang rata di seluruh tubuhnya. Bisul-bisul yang bermunculan dari ujung kaki sampai ke wajahnya terasa begitu gatal dan berat.
Bahkan, bubuk obat yang tadi dibalurkan Cheng Ho pun sama sekali tidak menghilangkan rasa gatal itu.
"Aku ingin ikut sembahyang, Kakak Ho."
"Saudara Wang, keadaanmu masih belum memungkinkan untuk sembahyang dengan sempurna. Kau bisa mengerjakan sembahyang senja dengan berbaring. Jangan membebani tubuhmu dengan sesuatu yang terlalu berat."
Tanpa canggung, Cheng Ho kemudian membetulkan letak selimut Wang Jing Hong hingga rapat menutup seluruh tubuhnya. Ia seperti melupakan kedudukannya sebagai laksamana, pemimpin tertinggi armada bahari Kerajaan Ming yang sedang mengemban misi perdamaian ke Samudra Barat.
"Kakak Ho, kenapa tidak kau suruh saja awak kapal menemaniku di sini dan kau lanjutkan perjalanan ke Majapahit?"
"Kita tidak sedang terburu-buru, Saudara Wang. Toh di Simongan ini, kita bisa menanamkan persaudaraan dengan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi para penduduk pribumi. Kita bisa berbagi ilmu dengan mereka sambil mempelajari banyak hal baru."
Wang Jing Hong menarik napas dalam-dalam.
Rasanya ingin terus berbicara untuk melupakan rasa gatal yang meraja dan demam yang tak kunjung hilang.
"Sakitmu tak akan lama. Setelah meminum obat yang aku ramu, kau akan segera bisa istirahat. Paling lama tujuh hari lagi, kau akan kembali sehat."
Cheng Ho tersenyum, lalu bangkit dari duduknya.
"Hui Sing mungkin sudah bersiap untuk sembahyang bersama. Setelah selesai, aku kembali kemari. Istirahatlah."
Wang Jing Hong menganggukkan kepala sambil memperhatikan langkah sang laksamana yang bergerak menuju pintu gua. Di sana, beberapa ping-se yang beragama I-se-lan (Islam) sudah bersiap untuk mendirikan sembahyang senja, sedangkan beberapa ping-se yang berkeyakinan lain duduk berjaga di depan gua.
"Air sungai di sebelah gua ini cukup jernih, Guru. Kami sudah bersuci di sana."
Hui Sing berdiri membelakangi punggung gua. Dia kelihatan berbeda dengan kain lebar yang dikenakan menutupi kepalanya. Hanya wajahnya yang memerah tertimpa cahaya api unggun yang terlihat. Rambut legamnya yang biasa terurai panjang digelung, lalu ditutupi dengan kain hijau.
"Kalau begitu, salah satu dari kalian, kuman-dangkanlah panggilan sembahyang."
Cheng Ho menunjuk salah seorang ping-se untuk mengumandangkan panggilan sembahyang.
Dia segera keluar dari gua menuju sungai yang disebutkan Hui Sing. Sembahyang bersama segera mereka dirikan. Usai itu, Cheng Ho memeriksa hafalan ayat Kuian-Ching Hui Sing.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kegiatan ini sudah biasa mereka lakukan sejak Hui Sing masih kecil karena sejak bayi Hui Sing dirawat oleh Cheng Ho.
Keduanya sudah sangat dekat, layaknya ayah dan anak. Sejak usia tujuh tahun, Cheng Ho mulai meggembleng Hui Sing dengan berbagai keterampilan.
Selain memperkenalkan Ilmu I-se-ian yang dianutnya, Cheng Ho juga melatih Hui Sing ilmu bela diri aliran Thifan.
Pada usia belasan, selain telah menguasai ilmu agama dan hafal seluruh ayat Kuian-Ching, Hui Sing juga menguasai Thifan dengan sangat baik.
Ketika Hui Sing berusia sebelas tahun, barulah Sien Feng dan Juen Sui diangkat sebagai murid. Waktu itu, Juen Sui sudah berusia sembilan belas tahun, sedangkan Sien Feng berusia tiga belas tahun. Keduanya bukan kakak beradik. Juen Sui adalah anak seorang pejabat Kerajaan Ming beragama Budha yang sengaja dititipkan kepada Cheng Ho untuk dididik ilmu kepemimpinan, sedangkan Sien Feng adalah anak seorang pendekar beragama Dao, kawan lama Cheng Ho.
Ayah kandung Sien Feng tewas dalam pertempuran saat Kaisar Zhu Di merebut Nanjing setelah menggulingkan kekuasaan Kaisar Zhu Yunwen. Keluarga Sien Feng adalah bawahan setia Kaisar Zhu Yunwen. Cheng Ho merupakan orang terdekat
Kaisar Zhu Di yang berjasa besar saat sang Kaisar merebut tahtanya.
"Besok pagi, kita bangun pondok kecil di depan gua. Kau tinggal di sana selama kita berada di sini. Tidak patut di mata adat dan tidak boleh di mata agama, kau yang beranjak dewasa tinggal dalam ruang yang sama dengan begitu banyak lelaki bukan saudaramu."
"Baik, Guru."
Hui Sing mendengarkan wejangan gurunya dengan saksama.
Usai sembahyang, Cheng Ho duduk lesehan di depan Hui Sing dan para ping-se lain. Dia banyak memberi wejangan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi kepada Hui Sing dan para prajurit yang menyertai mereka.
Malam semakin larut. Hui Sing dibantu beberapa ping-se kemudian sibuk menyiapkan hidangan malam untuk semuanya.
Lima ekor ayam hutan yang disembelih kini sudah menjadi ayam panggang yang harum dan memancing selera makan.
"Bagaimana rasanya melakukan perjalanan begitu jauh dari kampung halaman?"
Ni Ramya menatap Hui Sing penuh kagum. Kedua gadis belia itu kini tengah duduk di pondok kayu depan Gua Gedong Batu yang sehari sebelumnya selesai dibangun oleh para ping-se.
"Menyenangkan. Kami bisa bertemu dengan banyak orang, kebudayaan yang beragam, dan pengalaman-pengalaman baru." Hui Sing menjawab pertanyaan Ni Ramya dengan wajah cerah. Pagi itu, Hui Sing tampak semakin anggun dengan pakaian sutra biru muda. Rambutnya digelung rapi dengan model Tiongkok yang ringkas.
"Seumur hidupku, aku belum pernah melakukan perjalanan begitu jauh."
Ramya tersenyum masam sambil mengalihkan
pandangannya keluar pondok.
"Bukankah ayahmu dulu adalah seorang prajurit Majapahit?"
"Benar. Tapi setelah ibuku meninggal saat melahirkanku, romo memilih tinggal di Simongan. Tak pernah kembali ke Majapahit. Tidak pernah juga mengajakku berkunjung ke sana."
"Mengapa begitu?"
"Menurut romo, dunia kekuasaan itu kejam. Orang-orang berebut kekuasaan. Saling sikut antar teman dan saudara.
Tidak ada kedamaian."
"Tetapi Ki Legowo tetap setia pada Raja Majapahit."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Tidak ada yang bisa meluruhkan kesetiaan romo terhadap Majapahit. Sejak kecil, dia mengajariku tentang cinta tanah air.
Tanah air kami adalah Majapahit. Apa pun yang terjadi."
"Ayahmu dan kau adalah para kesatria sejati, Ramya."
Ni Ramya tersenyum sambil membetulkan letak tusuk kondenya yang agak bergeser.
"Bagaimana dengan dirimu, Hui Sing?"
"Aku?"
Hui Sing tersenyum, lalu mengangkat kendi dan menuangkan isinya ke dalam cangkir porselen di depannya.
Setelah cangkir itu penuh dengan air segar dari dalam kendi, Hui Sing mengisi cangkir di depan Ni Ramya.
"Aku sebatang kara yang sejak bayi diasuh oleh guruku, Laksamana Cheng Ho. Hampir sepanjang hidupku habis untuk berkelana di daratan Tiongkok, mengikuti guru. Tapi misi ke Samudra Barat ini adalah perjalanan pertamaku meninggalkan tanah Tiongkok."
"Aku dengar, ilmu kanuragan Tuan Ho sangat tinggi.
Tentunya engkau sebagai murid mewarisi ilmunya."
Senyum Hui Sing melebar. Ia lalu mengangsurkan cangkir ke depan bibirnya. Setelah memberi tanda kepada Ramya, Hui Sing meminum air segar di dalamnya. Rasa adem menjalar ketika air kendi itu membasahi kerongkongannya.
"Sekadar untuk menjaga diri, memang aku bisa. Tapi tidak sehebat guru. Guru menguasai Thifan dengan sempurna. Aku tidak cukup berbakat untuk mewarisi semua ilmunya. Ramya, aku dengar justru engkau yang begitu lihai memainkan pedang pendekmu?"
"Sama denganmu, Hui Sing. Sekadar untuk menjaga diri.
Romo menggemblengku sejak kecil dengan ilmu kanuragan.
Sekarang pun romo masih sering menyuruhku untuk rajin berlatih."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Keduanya tersenyum, lalu sama-sama menikmati segarnya air di cangkir mereka.
"Hui Sing, sebenarnya apa tujuan kunjungan armada Kerajaan Ming ke Nusantara?"
"Persahabatan. Kerajaan Ming ingin menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan lain di seluruh dunia."
"Bukankah dulu Tiongkok suka sekali berperang?"
"Yah, setiap pemimpin memiliki kebijakan sendiri-sendiri.
Kaisar Zhu Di yang kini berkuasa di Kerajaan Ming menganggap seluruh kerajaan di muka bumi adalah keluarga.
Harus saling menghormati dan saling mendukung."
"Tuan Ho mengajari penduduk Simongan cara bertani, beternak, juga memelihara ikan. Apakah di tempat persinggahan lain juga seperti itu?"
"Ya. Kami menamainya senjata budi. Ketika kedatangan kami disambut hangat oleh penduduk sekitar, itu merupakan penghargaan yang tidak ternilai. Karena itu, kami pun ingin berbagi kebahagiaan dan ilmu kepada mereka."
Ni Ramya mengangguk tanda mengerti. Keduanya lalu keluar dari pondok, berjalan menikmati alam pagi yang menyegarkan. Sesekali Hui Sing dan Ni Ramya menjawab salam para ping-se yang sedang melakukan berbagai pekerjaan di sekitar gua.
Ada yang sedang mengangkut air, mengumpulkan buah-buahan, dan pekerjaan lainnya.
"Apakah Tuan Ho juga memiliki tujuan untuk menyebarkan agama I-se-lan?"
Hui Sing menghentikan langkahnya. Ia lalu menatap Ni Ramya lekat-lekat.
"Tidak ada paksaan dalam I-se-lan. Kami memang dengan sukacita memperkenalkan ajaran I-se-lan yang agung, tapi kami tidak pernah memaksakan seseorang untuk mengikuti Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi keyakinan kami." Nada suara Hui Sing berwibawa. Tetap datar namun berisi.
"Dalam rombongan bahari ini pun, para awak kapal memiliki keyakinan yang beragam. Ada I-se-lan, Fu-ciau (Budha), Gung ce-ciu (Kong-hu-cu), dan Dao. Bahkan dua saudara seperguruanku, Juen Sui beragama Fu-ciau, sedangkan Sien Feng berkeyakinan Dao."
"Hui Sing, apakah di antara kalian tidak pernah bertikai?"
"Bertikai karena agama" Tidak pernah. Keyakinan membuat kita nyaman. Jika keyakinan terlalu dipaksakan, pastinya nanti menjadi tidak nyaman. Ramya, katakan kepadaku tentang keyakinan Brahmamu?"
"Kenapa kau ingin tahu?"


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Meskipun aku berkeyakinan I-se-lan, sejak dulu aku gemar mempelajari keyakinan lain. Kini aku sedang mempelajari kitab Dao De Jing (kitab tentang sifat dasar manusia tulisan Lao Zi), tulisan Lao Zi."
"Apakah itu tidak akan merancukan keyakinan-mu sendiri, Hui Sing?"
"I-se-lan mengajarkan umat manusia untuk selalu berpikir tentang segala ciptaan Thian. Tidak ada salahnya mempelajari keyakinan lain untuk perbandingan. Apakah itu dilarang dalam keyakinanmu, Ramya?"
"Aku tidak tahu. Tapi jika kau ingin tahu tentang keyakinan kami, dengan senang hati aku akan menjawab semua pertanyaanmu."
"Baiklah, lain kali saja kita bicarakan itu. Sekarang, aku ingin melihat guru mengajari penduduk cara bercocok tanam.
Kau ingin ikut Ramya?"
"Tentu saja. Aku juga ingin menunjukkan kepadamu daerah-daerah indah di Simongan."
"Tapi aku harus menengok keadaan Paman Wang lebih dahulu. Jika tidak ada yang mengkhawatirkan, kita berangkat."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ramya mengangguk sambil tersenyum membiarkan Hui Sing melangkah riang menuju gua, tempat Wang Jing Hong dirawat. Ramya menunggu Hui Sing kembali sambil memejamkan matanya, meresapi suasana pagi, suara burung-burung, dan desau angin yang sejuk.
Di balik gunung-gunung kecil di pinggir Pantai Simongan, penduduk kampung nelayan itu banyak yang berkumpul di lahan luas yang tadinya berupa kerumunan ilalang yang lebat.
Kini, lahan itu sudah dipugar menjadi lahan gundul yang permukaannya telah dibolak-balik.
"Tuan Ho, Anda sungguh bijak. Penduduk Simongan ratusan tahun menyandarkan hidupnya pada laut. Hasilnya tidak seberapa. Paling hanya cukup untuk makan. Kami tidak pernah berpikir untuk mencoba pekerjaan lain. Apa yang Tuan Ho ajarkan sungguh membuka mata kami."
Ki Legowo dan Laksamana Cheng Ho berdiri di tengah kesibukan para lelaki Simongan yang sedang giat membolak-balik tanah agar siap ditanami padi. Cheng Ho tersenyum puas melihat semangat para lelaki Simongan yang tampak dari kilatan keringat mereka saat tertimpa terik matahari.
"Sebenarnya, dari laut pun sangat banyak hasil yang bisa diambil. Barangkali cara kita mengolahnya saja yang belum baik, Ki Legowo."
Ki Legowo mengerutkan dahi. Ia memindahkan tangannya ke belakang pinggang.
"Maksud Tuan Ho, ikan-ikan itu bisa lebih bermanfaat selain sekadar untuk ditukar dengan padi dan kebutuhan hidup lainnya?"
Cheng Ho kembali tersenyum.
"Kenapa tidak coba untuk menjual ikan-ikan itu keluar Simongan, Ki?"
Ki Legowo mengangguk-anggukan kepala.
"Kami benar-benar tidak pernah memikirkannya, Tuan Ho."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Bercocok tanam juga sangat baik. Selain bisa menyiapkan kebutuhan untuk makan sehari-hari, bercocok tanam mengajarkan kearifan dan kesabaran."
Ki Legowo masih mengangguk-anggukan kepala.
"Tadinya saya pikir, tanah di pinggir pantai tak akan baik untuk bercocok tanam. Rupanya, pengetahuan saya terlalu dangkal."
"Ki Legowo tidak perlu merasa demikian. Bukankah kita hanya bertukar pengetahuan" Saya juga sangat terkagum-kagum dengan kelihaian para nelayan Simongan saat melaut.
Begitu juga dengan keahlian para empu membuat keris."
Ki Legowo terkekeh. Terdengar sangat bijak.
"Nanti kalau Tuan Ho sudah sampai di Majapahit, Tuan akan melihat karya para empu yang lebih indah dan digdaya.
Tuan pasti akan terkagum-kagum."
Ki Legowo mengajak Cheng Ho mencari tempat berteduh.
Keduanya berjalan tegap dengan langkah-langkah yang mantap menuju serumpun pohon nyiur. Di sana, seorang pemuda kampung yang mengenakan ikat kepala, berdiri canggung. Sambil membungkuk memberi hormat, pemuda itu tersenyum dan mempersilakan keduanya duduk di atas bangku yang sudah disiapkan.
Dua buah kelapa muda diletakkan di atas bangku kayu itu.
Kutub buah itu sudah dikupas, lengkap dengan lubang di pusatnya.
"Bagaimana dengan pemerintahan Prabu Wikramawardhana, Ki Legowo?"
Orang tua itu tak langsung menjawab. Dia menghela napas panjang.
"Barangkali ini bagian yang sudah tertulis dalam takdir Dewata. Majapahit yang dulu kekar dan masyhur, terus-menerus dirundung perang saudara. Para penguasa saling jegal untuk berebut kekuasaan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Bagaimana bisa begitu, Ki?"
"Zaman terus berputar, Tuan Ho. Kini, rakyat seperti kami tak lebih dari ilalang yang tak henti diinjak oleh penguasa."
"Bukankah penguasa ada untuk melindungi rakyat jelata?"
Ki Legowo tersenyum lebar.
"Andaikan itu benar-benar terwujud, alangkah damainya.
Yang ada sekarang, para pejabat tak hentinya menumpuk harta, merampas hak rakyat, dan menjilat atasannya."
"Sang prabu tahu tentang hal ini?"
"Permasalahannya bukan tahu atau tidak tahu, tapi mau tahu atau tidak mau tahu."
Giliran Cheng Ho yang terdiam.
"Itu alasan Ki Legowo mengundurkan diri dari Bhayangkari?"
"Salah satunya begitu. Zaman sudah begini terbalik.
Keburukan menjadi lumrah, kebenaran jadi hal asing."
"Saya tidak mengerti, Raja Majapahit bisa berdiam diri menghadapi keadaan seperti ini."
"Saya tidak tahu apa yang dipikirkan sang prabu. Namun, beliau seperti ada dan tiada. Ada karena memang beliau masih duduk di singgasana kraton Majapahit. Namun tiada, karena sabdanya tak kunjung menyentuh rakyat jelata yang begitu merindukan kedamaian."
"Tidak adakah yang memberi peringatan, Ki?"
"Seandainya saja orang-orang di sekeliling sang prabu adalah orang-orang yang berbudi luhur dan memikirkan rakyat, pastinya tak seperti ini jadinya."
"Bagaimana mungkin rakyat Majapahit puas dengan keadaan ini?"
"Hana catur mungkur. Sifat orang Jawa, ketika terjadi pembicaraan yang menabur benih perpecahan, kami memilih Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi untuk menghindar dan mundur. Tapi ada juga pemimpin-pemimpin penuh ambisi yang membakar kebencian rakyat, lalu memberontak. Akhirnya, kehancuran juga yang mereka temui. Rakyat juga yang akhirnya sengsara."
"Apakah sikap pasrah itu masih bisa dipertahankan jika kita dihadapkan pada sebuah kekuasaan yang tak memihak rakyat, Ki?"
"Permasalahannya tidak sesederhana itu, Tuan Ho.
Kesetiaan kepada raja sudah menjadi bagian dari napas kami.
Tak ada alasan apa pun yang bisa mengendurkan kecintaan kami kepada raja. Terlebih, kami masih yakin bahwa raja kami tidaklah lalim. Hanya orang-orang di sekelilingnya yang berhati racun."
"Jadi, menurut Ki Legowo, kini yang dibutuhkan rakyat Majapahit adalah sekelompok orang yang bisa memberi peringatan kepada raja?"
"Kira-kira demikian, Tuan Ho."
Cheng Ho tersenyum, lalu menikmati kesibukan para pekerja mengolah lahan yang akan dijadikan tanah persawahan itu.
"Saya sangat kagum dengan cara orang Jawa dalam memahami jalan hidup, Ki."
"Benarkah" Tidak ada yang istimewa dari kami, Tuan Ho."
"Mohon Ki Legowo tidak tersinggung. Saya memperhatikan kehidupan di Simongan. Banyak nelayan yang hidup seadanya. Namun, mereka tetap gembira dan tak pernah terlihat sedih oleh kemiskinan."
Ki Legowo tersenyum arif.
"Orang-orang yang Tuan lihat itu memiliki kejernihan jiwa.
Mereka berusaha memahami misteri hidup yang tak akan tuntas diungkapkan oleh kata-kata."
Cheng Ho terus menyimak setiap kata Ki Legowo.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kami menyebutnya sebagai pengalaman tan kena kinaya apa atau sesuatu yang tak bisa dilukiskan dan digambarkan.
Cara itu membawa manusia memperoleh makna paling dalam tentang asal dan tujuan segala yang ada atau sangkan paraning dumadi."
Ki Legowo menatap Cheng Ho lekat-lekat. Pandangan dua orang mumpuni itu bertemu.
"Dari sanalah kami meyakini bahwa keberadaan hidup manusia hanyalah sebagai perjalanan atau peziarahan. Urip iku mung mampir ngombe, hidup itu hanyalah sebuah persinggahan."
Cheng Ho tak hendak menyela. "Melalui pemahaman ini, seseorang bergulat sungguh-sungguh dengan hidupnya untuk menemukan kesejatian diri dan mendapatkan kadigdayan atau kesaktian, kawaskitan atau kewaspadaan, dan kasampurnan atau kesempurnaan."
Ki Legowo berhenti sejenak.
"Pemahaman itulah yang akhirnya berguna bagi pemaknaan hidup dan pelayanan sesama serta semesta.
Kebahagiaan, kesempurnaan, keseimbangan batin."
Cheng Ho mengangguk paham.
Pada saat yang sama, dua sosok semampai mendekati Ki Legowo dan Cheng Ho yang sedang duduk sambil menyimak kesibukan para pemuda Simongan di lahan yang akan dijadikan sawah itu. Mereka adalah Hui Sing dan Ni Ramya
"Tuan Ho, lihatlah murid Tuan itu. Begitu lincah dan ceria.
Saya yakin, Tuan sudah menggemblengnya dengan ilmu kanuragan yang tinggi."
"Ki Legowo terlalu berlebihan. Ni Ramya juga terlihat sangat tangkas. Tentunya Ki Legowo sudah membekalinya dengan kemampuan bela diri yang mumpuni."
"Guru! Ki Legowo!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing dan Ni Ramya memberi hormat kepada dua orang yang sangat mereka hormati itu. Ni Ramya lalu menghampiri Ki Legowo dan berdiri di belakangnya. Hui Sing melakukan hal yang sama. Dia berdiri di belakang gurunya, lalu menoleh ke arah Ni Ramya. Keduanya tersenyum.
"Hui Sing, bagaimana dengan Paman Wang?"
"Keadaannya sudah membaik, Guru. Paman Wang sudah tidak merasakan demam tinggi lagi. Pagi ini malah sudah mau makan dengan lahap."
"Bagus kalau begitu. Jika keadaannya sudah sembuh benar, kita akan segera berangkat ke Majapahit."
"Tuan Ho, sebenarnya kami sangat ingin agar Tuan lebih lama lagi tinggal di Simongan. Saya kira, penduduk di sini sangat membutuhkan bimbingan Tuan."
"Ki Legowo, siapa yang tidak tergoda untuk tinggal di daerah sesubur ini. Pemandangan pantai yang menakjubkan, hutan-hutan yang basah, juga binatang dan tetumbuhan yang beragam dan luar biasa. Tetapi, kami mengemban tugas dari kaisar yang harus kami laksanakan."
Ki Legowo terdiam. Tatapannya menerawang ke depan.
"Ki Legowo tidak perlu khawatir. Jika misi ke Majapahit sudah selesai, kami pasti kembali ke Simongan."
Keduanya lalu tersenyum lebar.
"Tuan Ho, tentu saja saya mengerti dengan tugas yang Tuan emban. Tuan mau singgah ke Simongan saja sudah merupakan kehormatan bagi kami. Jangan terlalu dipikirkan omongan orang tua ini," ujarnya sembari terkekeh Mereka berempat kemudian berbincang-bincang dengan akrab dan hangat. Mereka membicarakan banyak hal. Tentang kebudayaan sampai ilmu silat. Juga mengenai alam Jawa Dwipa dan Kerajaan Majapahit.
Siang semakin terik. Para pemuda Simongan yang penuh semangat mengerjakan lahan itu, kemudian bergantian Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi dengan pemuda yang lain. Desah angin siang membelai kulit ari. Angin beraroma laut menyebar.
Suara alam begitu harmonis. Desau daun nyiur yang manja disapa angin, seirama dengan suara burung yang bersahutan.
Hui Sing memejamkan matanya. Dara itu duduk bersila di atas batu hitam di bawah pohon waringin besar di tengah hutan, agak jauh dari gua tempat rombongannya beristirahat.
Dua telapak tangannya menengadah dan diletakkan di atas lutut. Ujung jari tengah dan ibu jarinya menyatu, sedangkan tiga jari lainnya meregang.
Desah napasnya begitu jarang dan tertata. Hui Sing mulai merasakan dath dingin menyebar di seluruh jalan darahnya.
Nyaman sekali. Senyum gadis itu merekah. Dalam kondisi meditasi seperti ini, pancaindra Hui Sing sangat peka menangkap segala gerak di sekelilingnya.
Suara gesekan daun yang terembus angin di pucuk dahan pun bisa ia dengarkan. Terpisah dari hiruk pikuk satwa hutan yang juga sibuk siang itu. Kelinci hutan, burung-burung, sampai geliat ular pohon juga tak henti mengeluarkan getar suara yang berbeda.
Tiba-tiba dua kelopak mata Hui Sing terbuka. Ia mendengar gesekan angin yang berbeda tak jauh dari tempatnya bersemedi. Gerakan tubuh seseorang berilmu kanuragan yang tidak rendah. Hui Sing hanya punya waktu sesaat untuk menduga-duga.
Dalam sekejap, ia merasakan angin mendesak sangat keras dari arah belakang. Sontak Hui Sing menyentakkan tubuhnya ke atas. Sesosok hitam bercadar muncul dan memburu tubuh Hui Sing dengan sebilah golok. Gerakannya luar biasa cepat. Beberapa kali Hui Sing harus berjumpalitan di udara menghindari serangan maut yang dilancarkan nyaris tanpa suara itu.
Bahkan, beberapa kali batang golok itu hanya sebatas jari lewat dari leher Hui Sing. "Siapa kau"!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tubuh Hui Sing terus melenting menghindar dari serangan golok itu. Tapi rupanya sosok bercadar itu tak ingin berkompromi. Dia terus mengurung ruang gerak Hui Sing dengan goloknya yang haus darah.
Hui Sing lalu melompat ke dahan pohon, mencari posisi yang lebih bagus. Si penyerang misterius itu pun tak hendak mengendurkan serangannya. Jadilah keduanya bayangan cepat, berlompatan di dahan-dahan raksasa bak dua ekor tupai yang sedang berkejaran.
Hui Sing tak mau gegabah. Jurus-jurus yang digunakan penyerangnya begitu asing. Gadis itu tak mau sembarangan bertindak hingga merugikan diri sendiri. Makanya, dia memilih terus menghindar. Mengandalkan gin kang (ilmu peringan tubuh) untuk terus berlompatan di dahan-dahan pohon raksasa itu.
Rambut legamnya pun berkibaran indah mengikuti gerakan tubuhnya yang lebih mirip orang yang sedang menari. Hui Sing sedang menerapkan jurus Tahan Bidadari yang tersohor di daratan Tiongkok. Dia bergerak waspada, namun lemah gemulai.
Beberapa kali lengannya menjadi tumpuan, bergelantung di dahan-dahan pohon untuk menyelamatkan diri dari serbuan golok si penyerang yang semakin dahsyat. Rupanya, penyerang bercadar itu pun penasaran bukan main karena sudah puluhan jurus, namun tak dapat menyentuh Hui Sing satu helai rambut pun.
Beberapa kali bacokan golok di tangannya menebas ruang kosong atau dahan-dahan kayu tua. Keruan saja, dahan pohon berumur ratusan tahun itu hancur dalam satu kibas saja.
Kini, gerakan golok itu semakin menggila. Berputar keras mengincar ulu hati Hui Sing. Namun, murid utama Laksamana Cheng Ho itu tahu benar bahwa lawan yang ia hadapi mempunyai kemampuan mumpuni. Makanya, dia pun sangat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi berhati-hati. Bahkan sekadar menggerakkan ujung jari sekali pun, dipikir dengan penuh perhitungan.
Akan tetapi, kali ini Hui Sing bertemu dengan lawan yang benar-benar tangguh sekaligus ulet. Langkah menghindarnya tak cukup untuk melindungi diri. Setelah melewati empat puluh jurus, si penyerang berhasil mendesaknya.
"Hiyaaa ...!"
Tak ada pilihan. Ujung golok itu nyaris saja menyentuh kulit leher Hui Sing. Tak mau mati konyol, Hui Sing menghentakkan dath dingin lewat telapak tangannya yang mengangsur ke depan.
"Aaaaaargh!"
Begitu kuat dath dingin yang keluar dari telapak tangan Hui Sing. Tubuh si penyerang terpental ke belakang sampai beberapa tombak.
Akan tetapi, si penyerang itu membuktikan bahwa dia bukan pesilat kacangan. Meskipun terlempar ke belakang, dia masih mampu memutar tubuhnya sedemikian rupa sehingga tak terpelanting ke tanah. Tubuhnya mendarat dengan kaki kanan berada di depan, melipat, sedangkan kaki kirinya lurus ke belakang. Tangan kanannya memegang gagang golok yang kini ujungnya menjadi tumpuan.
Sementara itu, Hui Sing berdiri termangu. Angin hutan memainkan pakaian sutra dan rambutnya hingga berkibar.
Tatap matanya lekat ke arah sosok penyerang itu, menunggu dengan waspada. Namun, kini ada senyum yang merekah di bibirnya.
"Bagaimana" Masih ingin mencoba?" Penyerang bercadar itu masih membisu. Rupanya, dia sedang mengatur napas dan peredaran darahnya yang kacau-balau. Dadanya terlihat jelas turun-naik oleh napas yang mendesak. Jika dia tak berkemampuan tinggi dan bertenaga dalam cukup hebat, bisa jadi tulang-belulangnya remuk dihantam dath yang menghentak dari telapak tangan Hui Sing tadi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sikap tubuhnya masih sama seperti ketika dia mendarat setelah memutar tubuhnya tadi. Sesaat kemudian.
"Hiyaaa ...!"
Tubuhnya kembali menjadi bayangan hitam yang bergerak luar biasa cepat menyerang Hui Sing. Sementara Hui Sing bergeming di tempatnya berdiri. Tidak memperlihatkan sikap siap sama sekali. Kecuali tangan kanannya yang diletakkan persis di dadanya seperti orang menyembah.
Wuuus ...! Trannnggg!
Tubuh penyerang bercadar itu lagi-lagi terpental ke belakang. Sementara golok di tangannya sudah patah menjadi dua dan terlepas. Rupanya, ketika sudah begitu dekat dengan tubuhnya, Hui Sing mengerahkan dath-nya secara penuh lewat lengan tangannya.
Lengan tangan yang tampak ringkih itu sontak menjadi sekuat baja, luar biasa. Sekali sepok, golok baja si penyerang patah jadi dua. Bukan itu saja, tubuh si penyerang terpelanting hebat ke belakang.
Kali ini, penyerang bercadar itu tak mampu lagi mengendalikan tubuhnya. Dia gagal memutar tubuhnya agar bisa mendarat dengan baik. Tubuhnya langsung terbanting ke tanah dengan cukup keras.
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang renyah. Si penyerang itu perlahan bangkit setelah beberapa saat terbujur seperti jasad mati.
"Sudah kuduga, ilmu kanuraganmu jauh di atasku, Hui Sing."
Hui Sing tak tampak terkejut. Dia langsung menghampiri si penyerang itu dengan langkah santai.
"Aku juga sudah menduga bahwa si penyerang yang begitu bernafsu untuk memenggal leherku ini adalah putri Ki Lurah Legowo yang keras kepala."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Ah! Jadi, itu alasannya kenapa kau hanya menggunakan sedikit sekali kekuatan tenaga dalammu?"
Hui Sing berjongkok di depan penyerangnya yang kini duduk selonjor, bersandar di batang pohon. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Hui Sing mengangsurkan tangannya, membuka cadar hitam penyerangnya.
"Ramya, aku bisa saja mati oleh golokmu yang tidak punya mata itu," ujarnya sambil tersenyum.
"Hui Sing, aku yakin betul, kemampuanmu pasti sangat tinggi. Kalau aku setengah hati menyerangmu, satu-dua jurus kau pasti sudah bisa membuka cadarku."
"Keras kepala! Kenapa kau ada di hutan siang hari begini"
Bukankah Ki Legowo memberimu tanggung jawab untuk memimpin para kembang desa Simongan untuk menyiapkan makanan para pekerja?"
"Tentu saja aku sudah menyelesaikan pekerjaanku, Tuan Putri. Sekarang waktunya santai."
Hui Sing bangkit sambil menggenggam sebatang kayu berukuran seibu jari orang dewasa.
"Coba kau berdiri, Ramya!"
Penuh keheranan, Ramya mengikuti apa kata Hui Sing. Ia pun berdiri dengan muka berkerut.
"Anggap kayu ini sebagai pedang."
Ramya menerima kayu yang diangsurkan Hui Sing penuh tanda tanya.
"Serang aku!"
Meskipun masih keheranan dengan apa yang
diperintahkan Hui Sing, Ramya tak menampiknya.
Kayu sepanjang lengan itu langsung meluncur deras ke arah jantung Hui Sing. Tadinya Ramya mengira Hui Sing akan melakukan hal yang sama ketika dia mematahkan goloknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Namun itu tidak terjadi. Tubuh Hui Sing meliuk melakukan gerakan kayang. Tentu saja serangan itu menerpa ruang kosong. Penasaran, Ramya lalu memukulkan kayu di tangannya ke arah bawah.
Tampak sangat mudah untuk menggebuk tubuh Hui Sing dalam posisi itu. Tapi ternyata tidak. Tubuh Hui Sing tiba-tiba berputar cepat dan menghindar ke arah kanan. Tak sampai satu kedipan mata, ujung jari telunjuk Hui Sing menyentuh permukaan tanah untuk sekadar menahan tubuhnya.
Sekejap kemudian, tubuh Hui Sing memantul ke atas, masih dalam keadaan berputar. Tak dinyana, tangan kanan Hui Sing menjulur menangkap ujung kayu yang dimainkan Ramya yang kini sudah bergerak ke atas, begitu gagal menggebuk tubuh Hui Sing.
Ramya tak sempat berpikir lagi. Begitu tenaga yang sangat kuat menyentak melalui batang kayu yang masih ia genggam, sontak tubuhnya terjorok ke depan. Sangat mudah bagi Hui Sing untuk melakukan serangan susulan lewat tangan kirinya.
"Aaah ...!?"
Tubuh Ramya langsung berdiri kaku, tertotok oleh jari tangan kiri Hui Sing. Sementara kayu yang tadi ia gunakan untuk menyerang Hui Sing sudah berpindah tangan.
Wuuut! Ujung batang kayu di tangan kanan Hui Sing bergerak lagi, membebaskan totokan yang tadi membuat Ramya tak bisa bergerak.
"Aku tak paham maksudmu, Hui Sing!"
"Ramya, kau terlalu mengandalkan tenaga luarmu.
Padahal, jika mau mengasah tenaga dalam dan kelincahan tubuhmu, pasti ilmu kanuragan yang kau miliki akan lebih ampuh."
Ramya mengerutkan kening, tampak berpikir.
"Kau mau mengajariku, Hui Sing?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing tersenyum. Tangan kanannya merentang. Batang kayu yang ia genggam, kini terjulur lurus ke samping kanan tubuhnya membentuk siku-siku.
"Mana kuda-kudamu, Ramya?"
Ramya langsung melakukan kuda-kuda yang kokoh.
Pertama, dia berdiri mengangkang dengan kedua tangannya ditekuk, menempel di pinggang. Kemudian, dengan gesit dia menjadikan kaki kanannya sebagai tumpuan tubuhnya, dengan memutar tubuhnya setengah lingkaran berpusat di pinggul.
Sementara kaki kanannya menghunjam kuat ke tanah, kaki kirinya dibiarkan tanpa tenaga, menjorok ke depan.
Pok! Bruk! Ramya kaget bukan main. Tubuhnya terbanting begitu saja tanpa sempat melihat serangan Hui Sing yang begitu cepat.
Dia hanya sempat merasakan lipatan kakinya digebuk dengan batang kayu itu, tanpa sempat menangkis.
Karena kaki kanan merupakan pertahanan sikap kuda-kudanya, Ramya hanya bisa memekik ketika berusaha menahan serangan kayu di tangan Hui Sing. Selebihnya, tubuhnya ambruk begitu saja. Padahal, dalam sikap kuda-kuda sempurna seperti itu, seharusnya Ramya berada dalam kewaspadaaan yang sempurna.
Nyatanya, Hui Sing mampu menembus kuda-kudanya dengan sangat mudah.
"Itu yang kumaksud, Ramya. Kau kurang memanfaatkan kelincahan tubuhmu."
Ramya masih terduduk di tanah sambil meringis.
Setelah membantunya berdiri, Hui Sing kembali menyuruh Ramya melakukan kuda-kuda. Kali ini, Hui Sing tak langsung menyerangnya. Dia memberi masukan-masukan kepada Ramya agar sikap dasar kanuragannya itu lebih siap menghadapi serangan dari segala arah. Tanpa mengubah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi langkah-langkahnya, Hui Sing memberi tambahan-tambahan gerakan susulan.
Seperti guru dan murid, dua dara itu menghabiskan waktu seharian untuk melatih ilmu bela diri. Ramya termasuk perempuan yang cerdas. Selain mau menerima masukan, dia juga bisa dengan cepat menyerap apa-apa yang dikatakan Hui Sing. Makanya, gerakannya pun semakin lihai setelah menggabungkan ilmu silat yang diajarkan ayahnya dengan gerakan-gerakan Thifan yang dianjurkan Hui Sing.
"Ramya, aku kira cukup untuk hari ini. Kau cepat sekali menyerap ilmu baru."
"Bukan aku yang pintar. Tapi guruku yang mumpuni.,"
"Jangan kau sebut aku guru. Kita hanyalah teman berlatih."
Keduanya tersenyum. Sambil mengelap keringat yang bercucuran, Hui Sing mengajak Ramya duduk bermeditasi.
Mengatur kembali aliran darah dan pernapasan mereka usai berlatih.
Beberapa saat kemudian.
"Ramya, aku harus segera kembali ke gua. Aku khawatir Paman Wang membutuhkan sesuatu."
"Ya. Aku pun harus kembali ke desa."
Kedua sahabat itu pun bangkit dan berjalan bersama menuju Gua Gedong Batu. Tak lama, suasana hutan itu kembali akrab dengan napas alam.
Sampai di depan Gua Gedong Batu, Hui Sing dan Ramya terheran-heran melihat sepuluh orang ping-se yang menemani Wang Jing Hong, tampak siap siaga di depan gua. Mereka semua berdiri waspada dengan pedang terhunus.
"Hai, ada apa ini?"
Salah seorang ping-se itu langsung menghampiri Hui Sing dengan wajah tegang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Nona, armada kita diserang oleh pasukan yang sangat besar. Laksamana Ho bersama Ki Legowo sekarang sedang berusaha menghentikan pertempuran."
"Apa"!"
Wajah Hui Sing langsung memerah.
"Siapa berani menyerang armada Kerajaan Ming"!"
"Belum diketahui, Nona. Tapi ada dugaan, mereka adalah pasukan Kadipaten Blambangan."
Ramya sama sekali tidak memahami bahasa Chung-Kuo yang dipergunakan Hui Sing dan ping-se itu saat bercakap-cakap. Namun, melihat air muka dan bahasa tubuh Hui Sing yang terlihat gusar, tahulah Ramya ada yang tidak beres.
Apalagi dia mendengar kata Blambangan disebut oleh ping-se itu.
"Hui Sing, apa yang terjadi?"
"Pasukan Blambangan menyerang armada kami!"
Ramya tersentak. Air mukanya pun berubah seketika.
"Lancang! Aku harus segera membantu Tuan Ho mengusir mereka!"
"Kita berangkat bersama!"
Hui Sing baru saja hendak membalikkan tubuhnya ketika ping-se itu kembali memanggil namanya.
"Laksamana Ho berpesan, jika Nona sudah kembali, hendaknya berdiam di gua ini. Sebab, keselamatan Tuan Wang juga bisa terancam."
Ramya memandang Hui Sing, menunggu penjelasan.
"Guru memerintahkanku untuk tinggal di sini. Berjaga-jaga kalau pasukan Blambangan juga menyerang tempat ini."
"Tuan Ho benar, Hui Sing. Kau tinggallah di sini. Aku akan menggantikanmu membantu Tuan Ho."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Setelah berpamitan, Ramya segera berlari cepat meninggalkan Gua Gedong Batu. Sekejap saja, bayangannya yang semampai sudah lenyap ditelan semak belukar. Hui Sing lalu memberi isyarat agar para ping-se kembali berjaga-jaga.
Dia segera masuk ke gua untuk memeriksa keadaan Wang Jing Hong.
Pantai Simongan bersimbah darah
Suara senjata tajam saling babat terdengar nyaring. Mayat-mayat bergelimpangan. Puluhan ping-se mati-matian mempertahankan diri dari serangan ratusan prajurit bersenjata tombak, pedang, dan panah. Para ping-se yang tengah bersantai di perkampungan Simongan itu rupanya sama sekali tidak siaga untuk menghadapi serangan ratusan prajurit terlatih yang terus berdatangan bak gelombang laut itu.
Para ping-se itu hanyalah sebagian kecil dari armada laut Kerajaan Ming yang berdiam di kapal-kapal besar di lepas Pantai Simongan. Di antara mereka pun tak semua menguasai ilmu kanuragan yang mencukupi. Sementara pertempuran berlangsung sengit, dari kapal-kapal berbendera Ming itu mulai turun berkelompok-kelompok ping-se dengan senjata pedang berukuran besar.
Mereka menaiki perahu-perahu kecil yang membawanya ke darat. Kapal-kapal raksasa itu memang tidak bisa terlalu rapat ke pantai karena bagian bawah kapal bisa tersaruk batu karang di pinggir pantai. Untuk bisa mencapai darat, para ping-se harus menggunakan sampan yang bisa memuat sepuluh orang.
Dengan didayung bersamaan, ratusan sampan segera meluncur membelah air laut yang beriak kecil di pantai.
Mereka segera bergabung dengan para ping-se lain yang mulai terdesak hebat dan terus berjatuhan.
Di antara jerit kematian para ping-se ataupun prajurit penyerang, seorang lelaki setengah baya bergerak lincah menghadang serangan para prajurit yang melengkapi diri mereka dengan perisai kayu itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Dengar, aku Ki Legowo! Bekas Bhayangkari Prabu Hayam Wuruk! Kalian salah! Para tamu dari seberang lautan ini bukan musuh!"
Teriakan Ki Legowo lantang bak halilintar. Namun, itu tak cukup untuk menghentikan gelombang manusia berseragam prajurit itu. Semakin lama, jumlah mereka semakin banyak.
Mencapai ribuan, sedangkan pasukan ping-se meskipun jumlahnya juga mencapai ribuan, namun hampir semuanya berdiam di kapal-kapal.
Mereka pun tak bisa sigap segera menyerbu ke pantai karena perahu-perahu kecil yang ada hanya sedikit. Banyak ping-se yang nekat terjun dari geladak kapal, kemudian sekuat tenaga berenang ke pantai untuk membantu teman-temannya, sedangkan yang lain, yang harus menunggu perahu-perahu yang mengantar para ping-se ke daratan, kembali mendekati kapal-kapal itu untuk menjemput para ping-se yang masih berada di kapal.
Suasana semakin kacau-balau. Wajah Ki Legowo merah padam. Matanya melotot penuh amarah. Sekali sentak, tubuhnya bergerak cepat memburu ke arah depan sambil terus berteriak lantang.
"Siapa pemimpin pasukan ini"! Aku Ki Legowo, orang kepercayaan Mahapatih Gajahmada, mau bertemu!"
Beberapa kali keris di tangan Ki Legowo dikibaskan untuk menghempaskan para prajurit yang mencoba menghalangi-nya. Meskipun tak sampai membunuh, gerakan itu cukup untuk merobohkan para prajurit yang berusaha menghalangi-nya.
"Turonggo Petak!"
Kini, Ki Legowo berdiri gagah di antara gelombang prajurit yang masih terus beringas. Seorang laki-laki berusia tiga puluhan duduk jumawa di atas kudanya yang berdiri kokoh.
Dia mengenakan pakaian senopati dengan gelang-gelang emas di lengannya. Rambutnya digelung rapi dengan ikat kepala kuningan berukir. Matanya tajam berkilat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Paman Legowo, apa yang Paman lakukan"! Melukai prajurit Majapahit berarti sebuah pembangkangan!"
"Lancang mulutmu, bocah! Seumur hidupku, aku mengabdi untuk Majapahit! Bahkan setelah orang-orang busuk sepertimu menyingkirkan aku, kesetiaan seorang Legowo tak akan surut!
Sekarang, kau mengajariku tentang kesetiaan"!"
"Paman Legowo, apa artinya sepasukan besar dari seberang lautan berada di daerah kekuasan Paman, kecuali memang ada persengkongkolan"!"
"Cih! Mulutmu beracun, Petak! Armada Kerajaan Ming adalah tamu agung Majapahit yang sedang mampir di Simongan. Sama sekali bukan musuh yang berhak kau bantai!"
Turonggo Petak tertawa terbahak-bahak. Matanya sampai berair saking tergelaknya.


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman tersingkir dari lingkungan Bhayangkari. Lalu, paman berkomplot dengan Blambangan dan mengundang pasukan Tiongkok untuk menyerang Majapahit. Bukankah itu cerita yang masuk akal?"
Wajah Ki Legowo semakin merah padam. Giginya bergemurutuk. Namun, tiba-tiba saja dia tertawa keras.
Turonggo Petak sampai bergidik mendengarnya.
Bagaimanapun, Ki Legowo pernah begitu menakutkan dirinya.
Dulu, ketika lelaki itu masih menjadi anggota Bayangkari Kerajaan Majapahit, orang-orang begitu segan padanya.
Apalagi Ki Legowo merupakan orang dekat Mahapatih Gajah-mada sejak keduanya masih sama-sama menjadi anggota bhayangkari kerajaan. Karena itulah, dengan berbagai tipu daya, Turonggo menyingkirkan Ki Legowo dari lingkungan dekat Prabu Wikramawardhana karena takut kedudukannya sebagai senopati terancam.
Ki Legowo juga tahu benar hati busuk Turonggo Petak yang mengincar jabatan patih.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kepada anakku dan rakyat Simongan, aku selalu berpesan agar mereka punya kecintaan terhadap tanah air hingga ke sumsum tulang. Bahkan jika nyawa ini tercerabut, tidak ada yang menggantikan kesetiaan terhadap negara.
Rupanya, hari ini aku akan mengkhianati kata-kataku sendiri."
Mata Ki Legowo berkaca-kaca menahan desakan kesedihan di dadanya. Namun, kembali dia tergelak beberapa saat.
"Orang-orang berhati ular sepertimulah yang merusak rasa bela negara itu, Turonggo Petak! Catat aku sebagai pemberontak Majapahit! Aku rela asalkan aku tak memberontak terhadap hati nurani!"
Usai mengatakan kata-kata itu, Ki Legowo langsung menghambur ke arah Turonggo Petak dengan keris yang terhunus. Melihat gelagat buruk, Turonggo Petak segera mencabut hulu kerisnya yang bertahta emas. Kemudian, dia melompat dari kudanya menghindari serangan ganas Ki Legowo.
"Prajurit, serang pengkhianat ini! Bunuh!"
Begitu mendengar perintah dari sang senopati, puluhan prajurit langsung mengepung Ki Legowo dan menyerangnya dari segala penjuru. Namun, sebagai bekas pengawal khusus raja Majapahit, sudah pasti Ki Legowo memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni.
Datangnya berbagai senjata tajam yang menyerangnya, tak membuat Ki Legowo keder. Kerisnya berkelebat cepat.
Sekali waktu terdengar pekikan prajurit yang badannya tertembus keris bertuah itu. Turonggo Petak yang khawatir keselamatan jiwanya terancam, memerintahkan pasukan panah bersiap.
Sementara itu, bak banteng terluka, Ki Legowo mengamuk dengan hebat. Beberapa prajurit sudah berhasil dirobohkannya dengan dada bersimbah darah.
"Merunduk!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Teriakan Turonggo Petak sontak membuat para prajurit menghentikan serangannya dan bergerak mundur sambil merundukkan badannya. "Panah!"
Kali ini, teriakan Turonggo Petak disusul oleh hamburan puluhan anak panah besi ke arah tubuh Ki Legowo. Lelaki kesatria itu bukan tak paham taktik serangan berbahaya itu.
Tentu saja, pengalamannya di lingkungan bhayangkari membuatnya hafal segala macam taktik perang.
Hanya karena usianya yang sudah tua membuat gerakan Ki Legowo tak selincah waktu dia masih menjadi prajurit gagah. Apalagi tenaganya sudah cukup terkuras untuk melawan puluhan prajurit yang mengeroyoknya. Toh, Ki Legowo masih mampu mengibaskan kerisnya untuk menangkis datangnya serbuan anak panah itu.
Namun, kerisnya tak mampu menepis semua anak panah yang terus berdatangan itu. Dalam sekejap, belasan anak panah menghunjam di tubuh Ki Legowo. Meskipun demikian, lelaki gagah itu tak menyerah. Dia masih terus berusaha menyongsong datangnya maut dengan gagah berani.
Hingga suatu saat, sebuah bayangan berkelebat dan langsung berdiri di depan Ki Legowo. Tubuh besarnya menamengi Ki Legowo dari serbuan anak panah yang datang bak air hujan itu.
Lelaki berjubah itu Laksamana Cheng Ho.
Ia hanya mengangsurkan kedua telapak tangannya untuk menghalau serbuan anak panah. Akibatnya luar biasa. Seperti dihempas angin topan kutub yang dahsyat, puluhan prajurit yang secara bergantian melepas anak panah itu terjengkang ke belakang tanpa kuasa melakukan apa pun.
Meskipun tak tewas, para prajurit itu bergulingan di tanah berpasir dengan rasa sakit dan dingin yang mencekat. Saat itu jugan serangan anak panah terhenti. Turonggo Petak melotot tak percaya.
"Tuan Ho!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Seperti tersadar dari lamunan, Cheng Ho segera membalikkan tubuhnya dan mendekati tubuh Ki Legowo yang kini tergeletak di atas tanah. Cheng Ho mengangkat tubuh lelaki sepuh itu dan memangku kepalanya.
"Ki Legowo, bertahanlah!"
"Hrn ... saya sudah tua, Tuan Ho. Tidak ada yang saya inginkan lagi di dunia ini. Saya minta maaf karena kehadiran Tuan disambut dengan pertumpahan darah."
"Ki Legowo!"
Ki Legowo mengangkat tangannya perlahan, memberi tanda agar Cheng Ho menyimak kata-katanya.
"Tuan Ho, temuilah sang Prabu Wikramawardhana. Ini sebuah kesalahpahaman!"
Baru saja akan memulai kalimat barunya, Ki Legowo dikejutkan oleh sebuah jeritan perempuan.
"Romoooo"
Ki Legowo tersenyum, berusaha keras mengusir rasa sakit di sekujur tubuhnya yang dihunjami belasan anak panah. Ia melihat Ni Ramya, putri satu-satunya, bersimpuh sambil berurai air mata.
"Nduk, perjalananmu masih panjang. Belajarlah pada sejarah!"
"Romo!"
Ramya tak mampu menahan emosinya. Dia memegang tangan ayahnya erat-erat karena tak mungkin bisa memeluk tubuh ayahnya yang dipenuhi anak panah.
"Jaga diri baik-baik, Nduk ...!"
"Romooo ...!"
Ni Ramya menjerit sejadinya. Napas Ki Legowo terputus, didahului erangan kecil di akhir napasnya. Sejenak, baik Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho ataupun Ramya tak berkata apa pun. Ramya masih tergugu sambil mengelus rambut ayahnya.
Tiba-tiba, mata Ramya memicing. Tangannya bergerak perlahan meraih keris ayahnya yang tergeletak di tanah.
"Prajurit Majapahit! Aku akan menghabisi kalian!" jeritnya sambil menghambur ke arah Turonggo Petak yang masih berdiri beberapa tombak dari tubuh kaku Ki Legowo.
Wuuus, trang! Gerakan Ramya sangat cepat. Kelincahan tubuhnya ditambah amarah yang memuncak, menjadi tenaga yang luar biasa besar. Namun, serangannya gagal mengenai sasaran ketika keris di tangannya terpental ke tanah. Cheng Ho bergerak lebih cepat.
Dia menghadang laju keris Ramya dan mengempaskannya ke tanah.
"Ramya, ini tak akan menyelesaikan masalah. Pikirkan dirimu!"
Ramya tertegun dengan tatapan tak mengerti. Ia menggelengkan kepala tanpa kata-kata.
"Ikuti caraku," ujar Cheng Ho disusul suara pekikan di belakangnya. Turonggo Petak roboh ke tanah tanpa sebab yang jelas. Ia jatuh terduduk tanpa bisa bergerak sama sekali.
Rupanya, dengan gerakan yang sangat cepat, Cheng Ho mengirimkan serangan tenaga dalam yang sangat kuat, tanpa bergerak dari tempatnya berdiri.
Turonggo Petak hanya sesaat merasakan titik-titik darahnya dihantam angin yang sangat keras dan dingin sehingga membuatnya jatuh terduduk dan lemas, tak bertenaga.
"Hentikan pasukanmu atau kau akan sangat menyesal!"
Cheng Ho masih membelakangi Turonggo Petak saat mengeluarkan kata-kata bernada ancaman itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ramya memandang ke arah Turonggo Petak dengan tatapan tak percaya. Dia tahu bahwa Cheng Ho memiliki ilmu kanuragan tinggi. Namun, apa yang dilihatnya sama sekali tidak ia duga. Dia tak pernah menyangka ada seseorang yang menguasai ilmu seperti siluman. Melumpuhkan musuh tanpa bergerak sama sekali.
Cheng Ho membalikkan badannya memandang lekat ke arah Turonggo Petak yang menundukkan wajahnya.
"Jika penyerangan ini diketahui Kaisar Ming, kau tak akan bisa membayangkan kesengsaraan apa yang akan terjadi pada rakyat Majapahit!"
Turonggo Petak mengangkat kepalanya. Pucat pasi. Dia hendak berkata-kata, namun tak sanggup melakukannya.
Cheng Ho menggerakkan tangan kanannya. Dalam sekejap, Turonggo Petak merasakan aliran darahnya normal kembali.
Ia pun berusaha bangkit dibantu oleh beberapa orang prajurit.
"Perintahkan prajuritmu untuk mundur. Kami akan menemui rajamu untuk membahas masalah ini."
Turonggo Petak tak langsung menjawab. Ia memegangi lehernya yang tadi sempat tercekat. Ia kelihatan ragu-ragu.
"Jadi, Tuan bukan sekutu Blambangan yang hendak menyerang Majapahit?"
"Jangan bersandiwara! Enyahlah ebelum sabarku habis!"
Sekilas saja cukup bagi Cheng Ho untuk mengetahui orang macam apa Turonggo Petak. Jelas, ia hendak cuci tangan atas kesalahan membantai pasukan Ming dengan alasan salah paham itu.
"Majapahit baru saja memenangkan pertempuran melawan Blambangan. Kami sedang dalam tugas menyisir seluruh kawasan Majapahit untuk mewaspadai kekuatan musuh yang masih tersisa. Kami tak menyangka bahwa pasukan dari seberang lautan ini adalah sahabat."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho tersenyum sinis. Ia memalingkan wajahnya dari Turonggo Petak, seolah-olah jijik melihat lelaki itu. Tangannya diangsurkan ke belakang, sedangkan pandangan matanya tenang menyaksikan pertempuran yang masih berlangsung.
"Hentikan perang, atau kau ingin aku usir semua pasukanmu dengan banjir darah! Apakah ini salah paham atau tidak, aku akan berunding dengan rajamu."
Tanpa banyak bicara lagi, Turonggo Petak beranjak dari tempat itu. Lalu, ia memerintahkan bawahannya untuk menarik pasukannya. Berduyun-duyun pasukan Majapahit mundur dari pantai. Meninggalkan peperangan yang tadinya berlangsung sengit.
Dengan mata berkilat, Ramya melihat ke arah Turonggo Petak. Namun, ia segera beranjak dari tempatnya berdiri, menghampiri jasad ayahnya yang tergeletak kaku. Ramya kembali bersimpuh di samping jasad Ki Legowo dengan air mata berlinangan.
"Tuan, ini sungguh salah paham. Mohon pengertian Tuan!"
Usai memerintahkan pasukannya mundur, Turonggo Petak kembali menghampiri Cheng Ho yang masih berdiri di tempatnya semula. Wajahnya terlihat pucat pasi.
"Kini kau jerih. Nyatakan penyesalanmu itu kepada setiap ping-se yang darahnya engkau tumpahkan. Juga pada orangtua arif itu," ujar Cheng Ho sambil menoleh ke arah jasad Ki Legowo.
Merasa tak bisa lagi membujuk Cheng Ho, Turonggo Petak lalu memberi salam sambil membalikkan badannya kembali menaiki kudanya dan berlalu bersama pasukannya.
Suasana Pantai Simongan menjadi miris. Mayat-mayat ping-se bergelimpangan. Darah menjadikan pasir pantai berwarna merah dan berbau amis menyengat. Penduduk Simongan mulai berdatangan. Mereka langsung menangis pilu begitu tahu lurah mereka, Ki Legowo, menjadi korban dalam pertempuran itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Para ping-se yang turun dari kapal-kapal Ming segera merawat mayat-mayat rekan mereka yang keadaannya sangat memprihatinkan. Kebanyakan para ping-se itu tewas dengan luka tusukan yang menganga. Namun, tidak sedikit yang mengalami luka sangat memilukan. Bagian-bagian tubuh mereka terlepas akibat babatan pedang.
"Guru, lebih dari seratus ping-se tewas."
Juen Sui dan Sien Feng kini sudah berdiri di dekat Cheng Ho yang berdiri dengan raut muka muram.
"Kenapa kita tidak melakukan serangan balasan, Guru?"
Juen Sui melanjutkan kalimatnya.
Cheng Ho tak langsung menjawab. Dia menatap sekeliling pantai yang kini penuh isak tangis warga Simongan yang merasa prihatin dan suasana mendung di wajah-wajah para ping-se.
"Kita berlayar membelah samudra untuk mengabarkan perdamaian dari Kaisar Ming. Jika kita membalas serangan ini, sia-sialah seluruh perjalanan ini."
Juen Sui mengangguk-angguk. "Kalian segera kuburkan para ping-se sesuai dengan cara keyakinannya masing-masing. Mereka yang menganut I-se-lan mati syahid karena bertempur mempertahankan diri. Tak perlu dikafani dan disembahyangkan."
Juen Sui dan Sien Feng segera beranjak dari tempat itu.
Mereka memerintahkan anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat itu. Bersama dengan penduduk Simongan, mereka bahu-membahu menguburkan mayat para ping-se secara massal.
Sorenya, jasad Ki Legowo dikremasi dalam sebuah upacara keagamaan Hindu. Jerit tangis tak tertahankan saat upacara itu berlangsung. Penduduk Simongan sangat mencintai Ki Legowo. Meninggalnya bekas bhayangkari Majapahit itu menjadi sebuah kehilangan besar bagi penduduk pesisir itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 3. Kitab Kutub Beku
Siang yang meranggas ...
Ni Ramya tepekur di pendopo rumahnya. Ia duduk lesehan dengan tatapan kosong. Kepalanya bersender pada tiang pendopo, seperti tak bertenaga. Beberapa lama dia berdiam diri, nyaris tak bergerak. Kini, matanya mulai berkaca-kaca. "Ramya!"
Hui Sing datang sambil membawa sebutir kelapa muda yang kutub buahnya sudah dilubangi. Ramya menoleh lemah, tanpa menjawab. Dia mencoba sedikit tersenyum sambil menganggukkan kepala.
"Air kelapa ini sangat segar, Ramya. Pasti akan membuat badanmu lebih bergairah!"
Hui Sing mengangsurkan kelapa muda itu. Begitu menerimanya, Ramya tak langsung menenggak air kelapa yang ditawarkan Hui Sing. Ia meletakkan kelapa muda itu di sampingnya.
"Kau merasa lebih baik, Ramya?"
Ramya belum menjawab. Dia kembali mengalihkan pandangannya keluar rumah. Menatap perkampungan penduduk yang sederhana.
"Kau ke sini hendak berpamitan, Hui Sing?"
Sekarang, giliran Hui Sing yang terdiam. Dia lalu duduk di samping Ramya dan mencoba merangkai kata-kata yang paling tepat.
"Tuan Ho tadi pagi sudah kemari. Beliau mengatakan bahwa rombongan kalian akan segera melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit."
"Ramya, sebenarnya kami masih ingin tinggal di Simongan. Apalagi Paman Wang juga belum sehat benar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Namun, peristiwa penyerangan terhadap armada Ming itu mengubah segalanya."
Ramya menoleh, menatap wajah Hui Sing lekat-lekat.
"Engkau tahu, Ramya, ratusan ping-se tewas dalam serangan itu. Guru Ho harus mempertanggungjawabkannya kepada Kaisar Ming. Selain mengirim utusan kembali ke Tiongkok, guru juga harus bertemu dengan Prabu Wikramawardhana untuk menyelesaikan masalah ini."
"Turonggo Petak. Hidupku tidak akan pernah tenang sebelum bisa membalas kematian romo kepada orang culas itu."
"Bukankah ini sebuah kesalahpahaman, Ramya?"
"Omong kosong! Turonggo Petak memang sudah menyiapkan segalanya. Saat masih menjabat di Majapahit pun, romo disingkirkan oleh orang itu. Sekarang, dia sengaja datang ke Simongan untuk menuntaskan rasa tidak sukanya kepada romo."
"Apa rencanamu, Ramya"
"Sekarang, Simongan menjadi tanggung jawabku, Hui Sing. Aku akan menggantikan ayah. Sementara ini, aku akan menunggu kabar dari Majapahit. Namun, jika Raja Majapahit tidak menghukum berat Turonggo Petak, aku akan datang ke sana untuk memberinya hukuman yang setimpal."
Pendekar Sakti Dari Lembah Liar 2 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Naga Naga Kecil 1

Cari Blog Ini