Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 8
yang luar biasa hebatnya. Kalau ia agak ayal menyingkir tentu sudah dimakan pedang Tok-ko Ing.
Sekalipun dapat menghindar, tapi karena diserang secara cepat oleh lawan, Su Tiau-ing tak sempat
lagi mencabut goloknya.
Tok-ko Ing menyerang secara kilat. Sekaligus ia sudah lancarkan tiga serangan. Setiap
serangannya tentu mengarah jalan darah Su Tiau-ing yang berbahaya. Su Tiau-ing menjadi
keripuhan dan terdesak dalam bahaya.
Sebenarnya Khik-sia mendongkol kepada Su Tiau-ing yang cari gara-gara itu. Tapi demi
melihat Tok-ko Ing menyerang dengan jurus-jurus yang hebat, ia kerutkan dahi. Kalau terus
berlangsung begitu, terang Su Tiau-ing takkan sempat mencabut senjatanya dan kemungkinan besar
tentu binasa di ujung pedang Tok-ko Ing. apa boleh buat, terpaksa ia akan turun tangan untuk
memberi kesempatan Su Tiau-ing bernapas.
Pada saat Khik-sia menengahi, Tok-ko Ing justeru sedang lancarkan jurus yang keempat yakni
giok-li-tho-soh atau bidadari melempar tali. Tampaknya Su Tiau-ing sukar menghindar lagi. Tapi
sekali jari tengah Khik-sia menjentik, cring .... pedang Tok-ko Ing kena dipentalkan ke samping.
Kaget dan marah Tok-ko Ing bukan kepalang, dampratnya: "Bangsat jahanam, aku mengadu
jiwa padamu!"
Meskipun jelas dilihatnya bahwa tadi Khik-sia tak mengandung maksud bermusuhan sungguhsungguh,
namun untuk menjaga kemungkinan yang tak diharapkan, Tok-ko U cepat putar kudanya.
Tepat pada saat itu Khik-sia menjentik pedang Tok-ko Ing. Anak muda itu berdiri berhadaphadapan
dengan adiknya, jaraknya amat dekat sekali, dapat menyerang apabila Khik-sia mau.
Sudah tentu Tok-ko U terperanjat. Kuatir kalau anak muda itu akan berbuat jahat terhadap adiknya,
tanpa banyak pikir lagi, Tok-ko U juga ikut-ikutan memaki: "Bangsat, lihatlah passerku!"
Khik-sia hendak memberi penjelasan, tapi dua batang passer Tok-ko U sudah menyambarnya.
Cepat Khik-sia ulurkan tangan untuk menyambutinya. Pada saat ia berhasil menjepit passer itu,
pedang Tok-ko Ing pun sudah tiba. Khik-sia segera gunakan passer itu untuk menangkis. Tring ....
passer terpapas kutung, tangan Khik-sia hampir turut terluka juga.
Karena Khik-sia berdiri menghadapi Tok-ko Ing, jadi Su Tiau-ing berada di belakangnya. Tokko
Ing mencekal sebatang pedang pusaka, sedang Khik-sia hanya bertangan kosong saja. Makin
dekat jarak mereka, makin berbahaya bagi Khik-sia harus tumplek seluruh perhatian kepada pedang
pusaka si nona itu. Dengan begitu ia tak sempat memperhatikan Su Tiau-ing lagi.
Tadi telah dikatakan bahwa Tok-ko U telah timpukkan dua batang passer. Yang sebatang dapat
disambuti Khik-sia, tapi yang sebatang lagi yang memang diarahkan oleh Tok-ko U untuk Su Tiauing
dan tak mampu disambuti oleh gadis itu. Memang lain Khik-sia lain Su Tiau-ing, karena kalah
lihay daripada pemuda itu, jalan satu-satunya bagi Su Tiau-ing ialah menghindar. Tapi meski ia
sebat sekali dapat menghindar, toh tak urung tusuk kondainya yang terbuat dari batu kumala kena
dihantam jatuh oleh passer itu.
Inilah yang dinamakan 'jangan suka mengganggu anjing tidur', atau jangan suka cari perkara
yang berarti mengundang bahaya.
Kejut dan marahlah Su Tiau-ing. Cepat ia sudah siapkan jarum bwe-hoa-ciamnya. Ia
bermaksud hendak gunakan siasat seperti menghadapi Tok-ko Ing tadi, yaitu merobohkan kuda
tunggangan Tok-ko U. Tapi tiba-tiba Khik-sia putar tubuhnya dan dengan pukulan biat-gong-ciang
ia hantam jarum Su Tiau-ing itu sampai tercerai berai. Setelah deliki mata, Khik-sia lantas
menyikut dan aduh .... begitu sang mulut mengaduh, tubuh Su Tiau-ing pun sudah terlempar sampai
tiga tombak jauhnya.
Padahal sikutan Khik-sia itu hanya dengan gunakan tenaga kaiu-kin atau ketangkasan.
Sebenarnya Su Tiau-ing tak menderita kesakitan apa-apa. Ia menjerit tadi, karena sama sekali tak
menduga akan tindakan Khik-sia.
Tapi pukuan biat-gong-ciang yang dilepas Khik-sia tadi, memang menggunakan lwekang penuh.
Ia pernah bertempur dengan Tok-ko U dan tahu kalau Tok-ko U tak boleh dibuat main-main.
Apalagi anak muda she Tok-ko itu jaraknya masih 6-7 tombak jauhnya. Taruh kata Su Tiau-ing
benar lepaskan bwe-hoa-ciam, pun Tok-ko U tentu dapat mengatasinya. Jalan pikiran Khik-sia
ialah mencegah Su Tiau-ing memperbesar perkara. Itulah sebabnya ia hantam jarum bwe-hoaciamnya
sampai berceceran.
Sayang dalam kesibukannya itu Khik-sia tak sempat memikir jauh. Ia bermaksud baik terhadap
Tok-ko U, tapi karena tak memperhitungkan akibatnya, malah menjadikan salah pahamnya.
Pukulan biat-gong-ciangnya tadi tak berarti bagi Tok-ko U, tapi kudanya, ya, kudanyalah yang tak
kuat. Bukan saja kuda Tok-ko U yang tengah lari itu berhenti dengan tiba-tiba, pun bahkan tersurut
mundur sampai beberapa langkah. Kuda menjadi kaget dan melonjak-lonjak sehingga Tok-ko U
hampir dilemparkan ke tanah.
Maksud baik dari Khik-sia, menjadi percuma saja. Bahkan hal itu diartikan sebaliknya oleh
Tok-ko U. Dengan murkan anak muda itu loncat turun dari kudanya. Sekali ia rangsangkan
kipasnya, jalan darah yang mematikan di tubuh Khik-sia segera diserangnya.
Ilmu tutukan kipas dari Tok-ko U, sebenarnya merupakan ilmu sakti dalam dunia persilatan.
Tapi ia kebentur dengan Khik-sia yang memiliki ginkang jempol. Tanpa menghiraukan Su Tiau-ing
lagi, Khik-sia segera kembangkan ginkangnya untuk berlincahan kian kemari, naik turun
menghindari tujuh buah serangan Tok-ko U. Jangankan kena, sedang menyentuh bajunya saja kipas
Tok-ko U itu sudah tak mampu.
Insyaf bahwa kepandaian lawan lebih tinggi dari dirinya, kini Tok-ko U menjadi kalap. Asal
dapat menutuk saja, tak peduli apakah itu jalan darah yang fatal (mematikan) atau jalan darah yang
tak berbahaya. Jadi ia menutuk asal menutuk saja.
Kebencian Tok-ko Ing terhadap Khik-sia, jauh lebih besar dari engkohnya. Seperti engkohnya,
sekali gebrak iapun sudah lancarkan serangan-serangan yang berbahaya. Selain itu mulutnya terus
nericis memaki-maki Khik-sia sebagai maling jahat.
Menghadapi keroyokan kakak beradik itu, terpaksa Khik-sia keluarkan seluruh kebisaannya.
Dalam pada itu, diam-diam ia mulai marah juga. Pikirnya: "Taruh kata pihakku yang bersalah
karena mengganggu kuda kalian, toh juga tak seharusnya kalian lantas menyerang secara begitu
ganas." Sampai sekian saat, Khik-sia belum berhasil untuk membebaskan diri dari rangsangan kedua
saudara itu. Akhirnya setelah berkutetan sekian lama, barulah ia memperoleh kesempatan itu. Ia
menyelinap keluar dari samping Tok-ko Ing, sembari membentaknya: "Berhenti!"
Namun Tok-ko Ing sudah seperti orang kerangsekan setan. Ia terus menguber maju dan
menusuk lagi: "Bangsat, mau lari?"
Khik-sia tertawa dingin: "Jika aku seorang bangsat, tentu tadi-tadi sudah kucabut nyawamu.
Bukannya aku takut pada kalian, aku hanya memandang pada diri nona Su ...."
"Siapa yang suruh kau memandang mukaku" Kedua bangsat kecil itu kurang ajar sekali, hajar
sajalah mereka itu habis-habisan. Sedikitpun aku tak kasihan pada mereka!" dengan serempak Su
Tiau-ing sudah lantas menyahuti kata Khik-sia.
Yang dimaksud oleh Khik-sia diri ' nona Su' itu, adalah Su Yak-bwe. Dalam mengucapkan katakatanya
itu, hati Khik-sia amat ramah sekali. Siapa tahu, Su Tiau-ing sudah salah duga, mengira
kalau dirinya yang dimaksudkan si anak muda itu. Sudah tentu Khik-sia menjadi meringis seperti
monyet tertawa.
Adalah Tok-ko Ing yang hampir mau meledak dadanya. Dengan lantang ia memaki: "Kurang
ajar, siapa yang minta kasihanmu?" -- Pedang ceng-kong-kiamnya kembali merabu Khik-sia dalam
hujan serangan sin-liong-jut-hay, leng-wan-hoan-ci, hian-niau-hwat-sat dan beng-ke-toh-li.
Sekaligus ia lancarkan empat buah jurus yang semuanya mengarah jalan darah mematikan.
Khik-sia tak mempunyai kesempatan untuk memberi penjelasan lagi dan lagi ia sendiripun tak
tahu bagaimana harus menjelaskannya. Dalam penjelasan itu, tak urung ia harus mengatakan: "Su
Yak-bwe adalah calon isteriku yang batal. Kini ia tak mau padaku, tapi dengan masih memandang
mukanya, aku tetap memberi ampun pada kalian." -- Ini runyam ....
Tok-ko U lebih tenang dari adiknya, dalam pengalamannya iapun lebih banyak dari sang adik.
Setelah mendengar kata-kata Khik-sia tadi, ia duga di situ tentu tersembunyi sesuatu. Belum lagi ia
sempat merangkai dugaannya lebih jauh, Su Tiau-ing sudah menyelutuk tadi. Diam-diam Tok-ko U
berpikir: "Ah, kiranya nona siluman itu juga orang she Su. Kukira ucapan anak muda itu
menyangkut diri Su hiante (Yak-bwe). Hm, lucu benar."
Namun kecurigaan Tok-ko U masih tetap belum hilang sama sekali. Pikirnya pula: "Dengan
tanpa alasan, nona jahat itu menyerang Tok-ko Ing secara tiba-tiba. Anehnya mengapa bangsat
kecil itu (Khik-sia) tak mengatakan karena 'memandang mukanya'?" Dan rupanya bangsat kecil itu
masih belum mau mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk bertempur."
Setelah menutukkan kipasnya ke punggung Khik-sia, Tok-ko U tiba-tiba hentikan serangannya
dan berseru: "Siapakah kau ini" Kami tiada bermusuhan padamu, mengapa kau hendak memusuhi
kami?" Apa yang diucapkan Tok-ko U itu, hanya separuh bagian yang dimengerti Su Tiau-ing. Kiranya
bukan saja Tok-ko U itu menganggap Khik-sia dan ia (Su Tiau-ing) itu sekawan, pun memandang
serangan yang dilakukannya (Su Tiau-ing) itu juga berarti perbuatan Khik-sia. Lebih lanjut, Tok-ko
U tetap mengira kalau perbuatan Khik-sia dulu menyelundup ke dalam rumahnya itu, tentu
bermaksud jahat. Tapi Su Tiau-ing hanya tahu akan peristiwa saat itu. Sama sekali ia tak tahu
menahu tentang peristiwa Khik-sia menyelundup ke gedung keluarga Tok-ko tempo hari.
Sebenarnya Khik-sia hendak memberi penjelasan. Tapi karena ia tak tahu bagaimana harus
memulai, maka walaupun mulutnya komat-kamit tapi tak keluar suaranya. Adalah Su Tiau-ing
yang bermulut lancar, dengan sikap mengejek sudah lantas buka suara: "Apakah kalian itu anak
ayam yang baru pertama kali ini keluar dari kandang" Masakan pendekar muda Toan Khik-sia yang
cemerlang namanya, kalian sudah tak mengetahui" Hm, apakah sekarang kalian masih berani
kurang ajar padaku lagi?"
"Apa" Benarkah kau Toan Khik-sia?" teriak Tok-ko U dengan kaget.
Saat itu Khik-sia merasa jengah dan mendongkol. Selagi Tok-ko U dan adiknya terkesiap, ia
lantas gunakan gerak it-ho-jong-thian atau burung bangau menyusup ke udara, loncat keluar dari
kepungan mereka. Di sana Khik-sia rangkap kedua tangannya memberi hormat: "Urusan hari ini,
adalah pihak kami yang bersalah, dengan ini kuhaturkan maaf."
Habis berkata ia lantas berputar tubuh dan terus menggelandang tangan Su Tiau-ing diajak
pergi. Tindakan Khik-sia itu membuat Su Tiau-ing melonjak kaget, serunya: "Hai, bagaimana kau
ini" Tidak menghajar mereka, sebaliknya kau malah minta maaf?"
Dengan wajah keren Khik-sia mendengus dan berkata: "Jangan membikin onar lagi!" -Ditariknya tangan si nona terus dibawa lari. Dicekal oleh Khik-sia erat-erat, mana Su Tiau-ing
mampu berkutik.
Kedua saudara Tok-ko saling berpandangan satu sama lain. Kemengkalan hati Tok-ko Ing
masih belum reda, namun ia tak mau memaki-maki "bangsat" lagi kepada Khik-sia.
Tok-ko Ing amat menyayang sekali akan kudanya itu. Walaupun kuda kesayangannya itu kena
sebatang jarum bwe-hoa-ciam, ia duga tentu tak jadi halangan. Asal jarum itu lekas-lekas
dikeluarkan dan kuda diberi obat seperlunya, tentulah akan sembuh. Apalagi ia selalu membawa
batu sembrani untuk alat penyedot jarum bwe-hoa-ciam. Tapi alangkah kejutnya ketika ia
menghampiri kuda itu ternyata binatang itu mulutnya mengeluarkan busa putih. Dan kalau dulunya
kuda itu seekor kuda putih yang tegar, kini berubah menjadi seekor kuda hitam. Waktu sudah
dekat, Tok-ko Ing tercium bau yang busuk.
"Itulah akibat dari kena jarum bwe-hoa-ciam yang beracun!" seru Tok-ko U demi turut
menghampiri. Kemarahan Tok-ko Ing tadi masih belum reda. Waktu mendengar keterangan engkohnya itu,
berkobarlah lagi amarahnya itu. "Betul-betul seorang wanita siluman yang ganas! Kurang ajar
sekali, tanpa suatu alasan apa-apa ia sudah membunuh kuda kesayanganku dengan jarum beracun.
Hm, Toan Khik-sia itu juga bukan orang baik. Tak peduli dia itu seorang pendekat kecil atau besar,
pokok dengan galang-gulung bersama seorang perempuan jahat, ia tentu juga bukan manusia baik!"
nona itu memaki-maki untuk melampiaskan kemarahannya.
"Urusan ini memang agak aneh," kata Tok-ko U.
"Apanya yang aneh?" tanya sang adik.
"Masih ingatkah kau kepada Sin-ciam-chiu Lu Hong-jun?" tanya Tok-ko U.
Tok-ko Ing merah mukanya dan bersungut: "Perlu apa kau sebut-sebut namanya" Apa
hubungannya dengan dia?"
"Ah, jangan marah-marah dulu, toh aku belum selesai mengatakannya. Coba jawab, apakah kau
masih ingat akan beberapa hal yang dikatakannya tempo hari itu?" tanya Tok-ko U pula.
"Tentang apa?"
"Bukankah ia pernah mengatakan tentang diri Toan Khik-sia yang katanya sudah mempunyai
seorang tunangan, yaitu puteri angkat dari Sik Ko, ciat-to-su dari Lu-ciu. Dulu nona itu bernama
Sik Hong-jun pula, bahwa nona Su itu juga seorang pendekar wanita. Tapi entah bagaimana, ia
telah cekcok dengan Khik-sia terus lolos tak ketahuan tempat tinggalnya lagi. Kini Toan Khik-sia
itu ubek-ubekan mencarinya kemana-mana."
"Benar, Lu Hong-jun memang pernah mengatakan begitu. Ai, kalau begitu, apakah nona jahat
yang melepas bwe-hoa-ciam pada kudaku itu Su Yak-bwe?"
"Lha, itulah makanya kukatakan kalau urusan ini agak aneh," kata Tok-ko U, "Khik-sia berjalan
bersama nona itu. Karena Khik-sia memanggilnya 'nona Su', teranglah kalau ia itu tentu Su Yakbwe.
Jika mereka berdua sudah rukun kembali, biarlah, kita tak usah pedulikan. Tapi Su Yak-bwe
itu seorang pendekar wanita dan seorang nona dari keluarga ternama. Mengapa tanpa suatu sebab
ia membunuh kudamu dengan bwe-hoa-ciam" Ya, mengapa begitu melihat kami berdua, ia lantas
bersikap memusuhi" Tidakkan hal ini aneh?"
Tok-ko Ing cibirkan bibirnya: "Apa yang disohorkan orang tentang pendekar besar, pendekar
kecil dan pendekar wanita itu, memang tak dapat dipercaya penuh. Siapa tahu kalau Toan Khik-sia
dan Yak-bwe itu juga orang macam golongan begitu?"
Tok-ko U gelengkan kepala: "Siapa yang tak tahu akan kemasyhuran nama Toan Khik-sia
sebagai pendekar utama" Tentang Su Yak-bwe, walaupun tak setenar Toan Khik-sia, tapi Lu Hongjun
pun mengatakan kalau ia itu seorang pendekar wanita, tentunya ia takkan berbuat hal-hal
macam tingkah seorang perempuan siluman begitu."
Tok-ko Ing tertawa menghina: "Yang didengung-dengungkan orang itu adalah palsu, apa yang
kita saksikan sendiri barulah tulen. Kalau mereka memang ternyata jahat, apakah kita tak mau
percaya?" "Tapi masih ada lain hal yang mencurigakan. Jika dipikirkan, sampai sekarang aku masih
belum mendapat jawabannya," kata Tok-ko U.
"Apakah mengenai peristiwa malam itu?" tanya Tok-ko Ing.
"Ya, benar. Tengah malam buta Toan Khik-sia menyelundup ke dalam rumah kita. Su toakolah
yang pertama-tama mengetahuinya di dalam taman lalu menyerangnya. Itu waktu kita masih belum
tahu kalau orang itu ternyata Toan Khik-sia. Kita hanya menduganya tentulah kaki tangan kerajaan
yang mendapat tugas menangkap Su toako," kata Tok-ko U.
Mendengar itu, mulailah timbul tanda tanya dalam hati Tok-ko Ing. Dengan seksama ia
mendengari penuturan engkohnya. Setelah berhenti sejenak, Tok-ko U melanjutkan pula: "Dalam
hal itu ada tiga buah hal yang mencurigakan. Pertama, Su toako dan Toan Khik-sia itu sama-sama
tinggal di markas Kim-ke-nia. Su toako sendiri pernah mengatakan bahwa sekalipun tak kenal
baik, namun ia sudah kenal dengan Toan Khik-sia ketika berada di markas Kim-ke-nia. Tapi
anehnya mengapa ia menyerang Toan Khik-sia dan memakinya" Kedua, sesuai dengan pribadi
seorang pendekar seperti Toan Khik-sia, seharusnya ia menggunakan aturan untuk menjumpai kita.
Anehnya lagi, mengapa ia harus menyelundup masuk pada tengah malam buta" Ketiga, setelah
Toan Khik-sia pergi, mengapa Su toakopun lantas tinggalkan kita tanpa pamit" Entah kepergiannya
itu dengan Toan Khik-sia, ada hubungan apa?"
Tok-ko Ing berdiam sambil berpikir. Beberapa saat kemudian barulah ia berkata: "Hal-hal aneh
yang kau katakan itu memang sukar dipecahkan. Mungkin sebelumnya Su toako sudah tahu kalau
Toan Khik-sia itu bukan orang baik-baik, maka ia tak mau mengenalnya."
Tapi Tok-ko U gelengkan kepala: "Belum tentu begitu. Jika benar ia tak mau kenal pada Toan
Khik-sia, seharusnya ia mengatakan pada kita."
"Urusan ini hanya setelah kita bertemu dengan Su toako baru dapat dijelaskan," akhirnya hanya
begitulah komentar Tok-ko Ing.
Kata Tok-ko U lebih lanjut: "Su toako orang she Su. Noan kawan Toan Khik-sia tadi juga she
Su ...." "Wanita jahat macam Su Yak-bwe mana dapat disejajarkan dengan Su toako" Orang she Su,
banyak jumlahnya. Sudah tentu ada yang baik ada yang jahat. Hm, aku sungguh tak puas,
mengapa perempuan jahat tadi menyamai she Su toako," menyelutuk Tok-ko Ing dengan uringuringan.
Di kala Tok-ko Ing mengucapkan kata-kata 'Su toako' itu, nadanya penuh dengan kemesraan.
Mimpipun tidak kiranya ia, bahwa 'Su toakonya' itu ternyata seorang wanita. Dan makin jauh dari
alam pikirannya bahwa 'Su toakonya' yang disanjung puji itu, bukan lain adalah 'si perempuan jahat
Su Yak-bwe' itu sendiri .....
Sebenarnya Tok-ko U masih belum hilang kesangsiannya. Tapi karena Toan Khik-sia tadi tegas
menyebut nona kawannya itu dengan panggilan 'nona Su', maka iapun keliru menduga Su Tiau-ing
itu Su Yak-bwe. Karena itu, analisanya yang sudah hampir mendekati kebenarannya itu menjadi
kalang kabut tak keruan lagi.
"ah, koko, sudahlah jangan dipikirkan lagi. Ayo, kita lekas-lekas ke kota membeli seekor kuda
lagi, agar jangan sampai terlambat tiba di Tiang-an. Asal sudah bertemu dengan Su toako, segala
apa tentu jelas," akhirnya Tok-ko Ing meneriaki sang engkoh yang termangu-mangu dalam dugaan
itu. Pikir Tok-ko U: "Jika Su Yak-bwe itu seorang lain lagi, dugaanku semula itu keliru semua. Su
toako itu tentulah bukan seorang nona yang menyamar lelaki. Ah, semoga ia itu benar-benar
seorang lelaki perwira, agar idam-idaman adikku itu terkabul."
Walaupun bermula Tok-ko U menyangsikan bahwa Su toako itu seorang lelaki benar-benar, tapi
selama itu belum pernah ia mengutarakannya kepada Tok-ko Ing. Tapi setelah terjadi peristiwa tadi,
ia mulai menyangsikan 'kesangsiannya' tempo hari itu. Hal itu lebih-lebih ia tak berani mengatakan
kepada adiknya karena kuatir ditertawainya.
"Ya, benar, hanya setelah bertemu dengan Su toako, kita baru mengetahui jelas persoalan ini,"
akhirnya ia menyetujui pendapat adiknya.
Sekarang marilah kita tinggalkan kakak beradik she Tok-ko itu untuk mengikuti perjalanan Toan
Khik-sia dengan Su Tiau-ing. Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah lari sejauh 6-7 li. Selama
itu mereka tak saling bicara apa-apa.
"Hai, apa kau hendak mematahkan tulang kakiku" Lepaskan tanganku, lepaskan tanganku!" Su
Tiau-ing menjerit-jerit.
Khik-sia hentikan larinya dan lepaskan cekalannya. Tapi kembali Su Tiau-ing menjerit
kesakitan, tubuhnya terhuyung hampir merubuhi dada Khik-sia. Hal itu bukan karena ia memang
sengaja. Seperti diketahui, ia diseret lari oleh Khik-sia. Begitu tenaga penyeret itu dilepaskan,
tubuhnya tentu kehilangan keseimbangannya dan lalu mau menjorok ke muak. Walaupun
mendongkol namun tak tega juga Khik-sia mengawasi nona itu jatuh tersungkur. Cepat ia jambret
nona itu supaya berdiri tegak. Setelah itu baru ia lepaskan tangannya lagi.
"Mengapa kau begini kasarnya" Coba lihat ini, lenganku sampai biru kau pijat!" Su Tiau-ing
mengomel. Dengan mendongkol Khik-sia menjawab: "Siapa suruh kau tadi cari perkara" Hm, kalau lain
kali begitu ...."
Su Tiau-ing kerutkan alisnya, menukas: "Apa?"
"Bukan saja hendak kuremas tulang lenganmu, pun akan kupatahkan kedua tanganmu nanti,"
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata Khik-sia. Sengaja Khik-sia berkata keras, agar cekcok dengan nona itu. Siapa tahu melihat ia marah
sungguh-sungguh, Su Tiau-ing tak berani unjuk kekerasan kepala dan malah menghaturkan maaf:
"Baiklah, kali ini anggaplah aku yang kurang ajar berani menyalahi kawan-kawanmu hingga
membikin kau marah. Kau marah-marah sebengis ini, lain kali aku tentu tak berani berbuat lagi."
Karena sudah mengakui salah, kemarahan Khik-sia pun reda. Katanya: "Memang kau yang
salah, mengapa harus suruh 'menganggap salah'. Sekalipun aku tak kenal dengan mereka, tapi tak
seharusnya kau berbuat begitu."
Tiba-tiba mulut Su Tiau-ing tertawa mengikik: "Sebenarnya akuun bukan tanpa alasan berbuat
begitu." "Huh, jadi kau mempunyai alasan" Orang berjalan baik-baik, apa mengganggu kau" Mengapa
kau lepaskan bwe-hoa-ciam ke kuda mereka?" Khik-sia mendengus.
"Sudah tentu aku mempunyai alasanku sendiri. Apakah kau mau mendengarnya?"
"Bilanglah!" kata Khik-sia dengan ketus.
Su Tiau-ing jebikan mulutnya tertawa: "Mengapa kau memandang tak berkesiap pada anak
perempuan orang" Dan mengapa budak hina itu juga memandang terus menerus padamu" Aku tak
senang melihat perbuatannya itu!"
Merah padam selebar muka Khik-sia mendengar kata-kata itu. Ia kerupukan, marah tak bisa,
membantah tak dapat. Akhirnya ia hanya dapat membentak-bentak saja: "Ngaco, ngaco belo!"
"Sayang tadi aku lupa memberimu sebuah kaca cermin supaya kau dapat melihat," kata Su
Tiau-ing. "Huh, peduli apa kau" Aku memandanginya sekali atau dua kali, peduli apa kau?"
Su Tiau-ing tertawa: "Ha, kiranya kau ini tak kenal susila. Aku ini kaum wanita, bukan?"
"Kalau wanita lalu bagaimana?"
"Kau berjalan bersama aku, tetapi mengincar gadis lain. Ini dikata tidak punya susila. Berarti
kau menghina aku, tahu" Aku tak dapat menamparmu, maka mencari sasaran nona itu untuk
melampiaskan kemengkalan hatiku," kata Su Tiau-ing.
Pemutarbalikan Su Tiau-ing itu telah membuat Khik-sia bungkam. Pikirnya: "Anak perempuan
memang aneh. Sudahlah, sudahlah, aku tak mau adu mulut padamu."
Khik-sia tak mau meladeninya lebih lanjut, tapi Su Tiau-ing tetap tak mau melepaskannya.
Setelah berjalan beberapa langkah, ia bertanya pula: "Siapa kakak beradik tadi" Kau katakan kenal,
tapi mengapa mereka menanyakan siapa kau" Dan mengapa budak perempuan itu terus menerus
memaki-maki kau sebagai pencuri" Mengapa ia begitu geram hendak membunuh kau" Bermula ia
memandangku tanpa kesiap, kemudian tak henti-hentinya memakimu, hm, kau tentu pernah berbuat
sesuatu yang menyalahi ia?"
Pertanyaan Su Tiau-ing menyebabkan hati Khik-sia merasa pilu lagi. Pikirnya: "Ya, mengapa
kakak beradik she Tok-ko itu benci sekali kepadaku" Sebelum kejadian tadi, mereka tak kenal aku
ini siapa. Kalau mereka memaki-maki dan membenci aku, itulah disebabkan karena urusan Su YakKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
bwe. Yak-bwe memaki aku 'bangsat', mereka pun lantas ikut-ikutan memaki begitu. Ah, Yak-bwe,
walau pun aku Toan Khik-sia mempunyai seribu satu kesalahan padamu, tapi kita toh pernah terikat
dalam perjodohan sepasang tusuk kondai kumala. Mengapa kau begitu membenci padaku?"
Melihat si anak muda merenung diam. Su Tiau-ing tertawa kegirangan: "Bagaimana" Katakataku
itu tepat, bukan" Kau telah berbuat kesalahan apa kepadanya?"
Dirundung oleh kepiluan hatinya, sudah tentu Khik-sia tak bernafsu untuk banyak bicara.
Apalagi ia anggap Su Tiau-ing itu bukan orang yang patut ia curahi perasaan hatinya. Maka iapun
diam saja dan hanya menghela napas. Lewat beberapa saat kemudian, barulah ia dapat menjawab:
"Entahlah, aku sendiri tak tahu. Mungkin aku pernah berbuat salah kepada lain orang. Terserah
saja bagaimana kau hendak mengatakan."
Lagi-lagi mulut Su Tiau-ing mengikik tertawa: "Apakah kau suka kepada nona itu?"
"Jangan mengurusi perkara orang," bentak Khik-sia, "Biar kukasih tahu padamu, aku tak suka
kepada siapapun juga!"
"Sungguh" Ah, sayang sekali! Sedikitpun kau tak mengerti hati anak perempuan," Su Tiau-ing
menertawakan. "Huh, jangan berkata yang tidak-tidak. Apanya yang disayangkan?" kata Khik-sia.
"Nona itu mulutnya memaki kau bangsat, tapi hatinya suka padamu, mengerti?" kata Su Tiauing.
Khik-sia terkesiap dan membentak: "Omonganmu makin lama makin melantur. Aku sama
sekali tak kenal dengan nona itu. Ia begitu membenci aku, mengapa kau katakan suka?"
Su Tiau-ing tertawa: "Kalau ia tak suka padamu, mengapa ia benci padamu" Makin ia benci, itu
berarti ia makin merindukan kau. Apakah ini bukan menandakan ia suka padamu" Sedikitpun kau
tak mengerti sehingga mengecewakan rasa kasih orang. Apakah itu tidak sayang sekali?"
Pikiran hati Khik-sia seperti terbuka. Ia kira kalau Su Yak-bwe itu sungguh sudah
membencinya. Kiranya apa yang dikatakan Su Tiau-ing jauh sekali bedanya dengan jalan
pikirannya. Diam-diam ia membatin: "Benarkah hati seorang gadis itu begitu" Apakah kebencian
Yak-bwe itu karena ia tak dapat melupakan aku?" -- Pikirannya melayang-layang pada peristiwa
yang lampau dan wajah calon isterinya itu terbayang-bayang di mukanya ....
Sudah tentu Su Tiau-ing tak mengerti isi hati Khik-sia. Khik-sia berdebat tentang Tok-ko Ing,
tapi ternyata hatinya mengenangkan Yak-bwe. Maka dugaan Su Tiau-ing pun tentulah kalau Khiksia
itu mempunyai hubungan yang amat mesra dengan Tok-ko Ing. Demi melihat anak muda itu
termenung-menung, diam-diam Su Tiau-ing pun merasa rawan. Kiranya rangkaian kata-katanya
yang dibuat berdebat dengan Khik-sia itu, adalah untuk menjajaki apakah anak muda itu tahu akan
perasaannya (Su Tiau-ing) kepadanya"
Karena melamun, tanpa terasa Khik-siapun hentikan langkahnya. Tiba-tiba Su Tiau-ing berseru
pelahan di dekat telinganya: "Dan nona Su itu" Siapakah dia?"
Khik-sia terkesiap, serunya: "Apa katamu?"
Su Tiau-ing tertawa: "Kutanyakan siapakah nona Su itu?"
"Apa" Jadi kau sebenarnya sudah tahu" Sudah tahu bahwa yang kusebut nona Su itu bukan
kumaksudkan kau?"
Su Tiau-ing menyahut dengan tenang: "Sudah tentu tahulah. Apakah kau kira aku tolol" Mana
kau sudi memandang perasaan hatiku" Sudah tentu nona Su itu seorang lain lagi!"
Khik-sia mendongkol dan tersipu-sipu: "Kalau sudah tahu, mengapa kau masih bingung dan
mengira kalau dirimu?"
Su Tiau-ing tertawa getir: "Kau memberatkan hubunganmu dengan nona Su, maka kau lantas
bercidera dengan kakak beradik tadi. Tapi aku tak ada sangkut pautnya dengan mereka, maka
memperolok-olokkannya. Mengapa" Apa kau tak suka hati" Mereka berdua hampir
menghilangkan nyawaku, masakah aku tak boleh membalas?"
Diam-diam Khik-sia marah, namun tak mau ia menceritakan urusannya dengan Yak-bwe kepada
Su Tiau-ing. "Ho, sebenarnya kau suka yang mana?" kembali Su Tiau-ing menggoda, "Nona Su apa nona
tadi" Hm, kulihat kau ini tak setia pada cinta, maka tak heran kalau orang marah-marah padamu."
"Kau ngaco belo!" bentak Khik-sia.
"Ngaco belo apa" Kau sendiri mengatakan kau tak punya kesetiaan hati?" bantah Su Tiau-ing.
"Aku hanya mengatakan siapapun aku tak suka. Jangan tanya panjang lebar lagi. Hm, hm, jika
masih ribut saja, aku aku ..... "
"Kau mau apa?" tukas Su Tiau-ing.
"Aku takkan peduli lagi padamu," kata Khik-sia.
Su Tiau-ing tertawa mengejek: "Huh, siapa yang minta kau mengurusi diriku" Kau mau pergi,
silahkan pergilah. Bukankah untuk kepentinganmu maka kau baru mau bersama aku ke Tiang-an
ini" Pertama, kau tentu mempunyai kesempatan bertemu dengan kedua kakak beradik tadi.
Kedua, karena kau tak mengerti isi hati seorang gadis, jika aku berada di sampingmu, tentu dapat
memberi advis."
Khik-sia tertawa meringis lalu memutus pembicaraan itu: "Baik, aku tak mau bicara lagi
padamu. Ayo, kita lekas berjalan. Sejak ini jangan membicarakan hal itu lagi."
Walaupun mulut Khik-sia mengatakan begitu, tapi dalam hatinya ia masih tetap mengenangkan
urusannya dengan Yak-bwe. Sebentar ia merasa heran 'mengapa Yak-bwe tak bersama-sama
dengan Tok-ko U"' -- Sebentar lagi ia bertanya pada diri sendiri 'apakah karena terkenang padaku
maka Yak-bwe benci padaku"' Kemudian sebentar lagi ia berpikir, 'Kepergian kedua engkoh adik
ke Tiang-an itu, tentulah hendak hadir dalam rapat Eng-hiong-tay-hwe. Ya, memang aku
mempunyai kesempatan berjumpa dengan mereka nanti. Meskipun sekarang Yak-bwe tak ikut, tapi
tentulah ia sudah berjanji dengan kedua saudara itu untuk bertemu di Tiang-an.' -- Pikiran itu telah
menyebabkan hatinya ingin lekas-lekas mencapai Tiang-an.
Sekarang mari kita meninjau keadaan Yak-bwe. Seperginya dari rumah keluarga Tok-ko,
hatinya merasa kecil. Tak tahu kemana harus mencari jejak Khik-sia. Akhirnya dalam kegelapan
pikiran itu, ia teringat akan Sip In-nio. Pikirnya: "Cici in itu lebih banyak pengalaman dari aku.
Baik aku kesana minta advisnya, mungkin ia dapat memberi petunjuk."
Demikian ia bergegas-gegas ayunkan langkah menuju ke tempat Sip In-nio. Pada hari itu ia tiba
di sebuah kota kecil. Dari tempat kediaman In-nio, kota itu hanya terpisah kira-kira setengah hari
perjalanan. Yak-bwe merasa lapar lalu singgah di sebuah warung yang letaknya di tepi sungai.
Sebenarnya ia tak biasa minum arak, tapi karena pikirannya pepat ia hendak minum arak untuk
melepaskan keruwetan hatinya itu. Sebelumnya ia periksa dulu isi kantongnya, setelah itu baru ia
berani pesan ini itu.
Seorang tetamu yang duduk di pinggir, rupanya memperhatikan gerak-gerik Yak-bwe. Ia
meliriknya tajam-tajam. Ketika Yak-bwe berpaling, dilihatnya orang itu seorang pemuda desa yang
berbaju kain kasar. Dari sikapnya, menandakan ia itu seorang tolol, sama sekali bukan bangsa
kaum persilatan. Yak-bwe tak pernah menaruh persangkaan apa-apa. Hanya ketika Yak-bwe
berpaling tadi, buru-buru pemuda desa itu alihkan pandangannya.
Teringat Yak-bwe akan pengalamannya ketika tempo hari di warung arak ia membayar dengan
mas kim-to. Diam-diam ia merasa geli sendiri, pikirnya: "Ah, sekali pernah digigit ular, lain kali
kalau bertemu semak belukar tentu harus berhati-hati. Setiap kali aku masuk warung, tentu lebih
dulu kuperiksa kantongku ada uangnya tidak. Ini memang lucu, tapi apa boleh buat. Pemuda desa
itu tentulah bukan bangsa orang jahat."
Pengalamannya di warung arak itu: karena membayar dengan kim-to ia telah kesamplokan
dengan dua orang benggolan penjahat. Dan karena peristiwa itu kenallah ia dengan Tok-ko U.
Terkenang akan peristiwa itu, ia geli tapi kemudian merasa berduka juga. Bayangan Khik-sia
kembali terbayang-bayang di kalbunya. Dari Tok-ko U, ia kembali terkenang pada Khik-sia.
Pertemuannya dengan Khik-sia di taman keluarga Tok-ko, terlintas lagi dalam kenangannya.
Kata-kata Khik-sia yang meminta maaf kepadanya secara sungguh-sungguh itu, kembali mengiangngiang
dalam telinganya. Bagaimana dengan rasa putus asa Khik-sia pergi, pun tak luput dari
kenangannya. Diam-diam Yak-bwe menghela napas. Hatinya gundah dan menyesali dirinya
sendiri: "Ia begitu sungguh-sungguh kepadaku tetapi kuperlakukan ia begitu getas. Ai, seharusnya
aku tak boleh bersikap demikian keterlaluan. Ah, Khik-sia, Khik-sia, tahukah kau bagaimana
getaran hasratku untuk minta maaf padamu?"
Karena kepekatan hatinya itu, tahu-tahu tanpa merasa ia sudah meneguk 5-6 cawan arak. Ia
mulai mabuk. Ketika pikirannya melayang-layang dibuai oleh bekerjanya arak itu, tiba-tiba ada dua
orang lelaki masuk ke dalam warung situ. Begitu berat langkah kaki kedua orang itu, hingga papan
lantai sampai tergetar dan Yak-bwepun kaget dan tersadar.
Bukan saja Yak-bwe, pun lain tetamu juga sama memandang ke arah kedua orang itu. Ternyata
mereka itu, seorang hweshio dan seorang tosu. Orang pertapaan masuk ke dalam warung arak,
itulah aneh. Begitu duduk, keduanya lantas pesan arak dan makanan barang berjiwa (daging) secara
royal sekali. Diam-diam Yak-bwe mendamprat: "Huh, memuakkan betul. Hweshio yang gemar makan
daging minum arak, tentu bukan golongan baik."
Habis itu ia lantas alihkan pandangan matanya, tak mau melihat mereka lagi. Tapi di luar
dugaan, tanpa disengaja Yak-bwe telah mendengar pembicaraan mereka yang dilakukan dalam
bahasa kang-ouw. Dulu memang ia tak mengerti, tapi setelah diajar oleh In-nio, Tok-ko U dan lainlain,
kini ia sudah dapat menangkap walaupun belum seratus persen. Bermula ia tak begitu
mengacuhkan tapi tiba-tiba terdengar hweshio itu berkata: "Kalau bertemu dengan budak
perempuan she Su itu, apakah to-heng bisa mengenalinya?"
Yak-bwe terkesiap, pikirnya: "Siapakah yang dimaksudkan itu?"
"Waktu masih kecilnya, aku pernah melihatnya. Tapi kebanyakan anak perempuan itu kalau
sudah besar tentu berubah. Kalau sekarang bertemu muka, entahlah aku dapat mengenalinya tidak.
Hanya saja, wanita yang lihay amat sedikit jumlahnya di dunia persilatan. Walaupun bagaimana
juga, tentulah ia mempunyai ciri-ciri yang dapat kita gunakan sebagai tanda pengenal." sahut si
imam (tosu). "Berapakah umurnya sekarang?" tanya si hweshio pula.
"Di antara 17-18 tahunan," jawab si imam, "waktu kecilnya cantik, konon kabarnya ia sekarang
lebih hebat lagi."
Hweshio itu tertawa gelak-gelak, serunya: "Aku tak peduli ia cantik atau tidak. Aku seorang
pertapaan, tak ingin merusak kaum wanita. Cuma apa yang kau katakan bahwa ia berkepandaian
tinggi itu, entah sampai dimana kelihayannya?"
"Itu sih tak mengherankan, karena ia anak murid dari seorang tokoh kenamaan. Tentang siapa
suhunya itu, meskipun belum pernah ketemu tapi rasanya kau tentu pernah mendengar namanya.
Wanita tua itu benar-benar seorang tokoh yang jarang terdapat tandingannya. Oleh karena itu,
sebaiknya kita harus berhati-hati dalam urusan ini," kata si imam.
Tampak si hweshio itu kurang senang, katanya: "Kau ternyata bersikap seperti anjing bercawat
ekor (ketakutan). Terhadap seorang nona kecil saja kau ketakutan setengah mati. Apa peduli
dengan suhunya yang lihay, apakah kita tak mampu mengatasi?"
Si imam tertawa: "Jangan toheng marah-marah. Aku hanya bilang supaya kita berhati-hati dan
sama sekali bukan jeri padanya. Dengan keangkeran nama partaimu Leng-san-pay itu, sekalipun
suhunya keluar juga belum tentu dapat menang. Tapi daripada tambah sebuah urusan, kan lebih
baik berkurang satu urusan. Bisa membuat supaya suhunya tak tahu, itulah lebih baik."
Si hweshio menghirup secawan besar arak dan berkata: "Nah, itu dapat diterima. Memang kita
hanya diminta tolong menangkap nona itu saja. Jika dapat mengurangi urusan, sudah tentu itu lebih
baik sekali."
Tiba-tiba hweshio itu lirihkan (perlahankan) suaranya: "Kabarnya nona itu bertengkar dengan
keluarganya karena seorang anak lelaki she Toan. Benarkah itu?"
"Benar, justeru karena bertengkar itu, kukuatir apakah ia ikut melarikan diri dengan pemuda she
Toan itu?" kata si imam.
Kembali si hweshio mengerut kurang senang, katanya: "Tak usah kiranya kau banyak
kekuatiran. Cukup kalau ada orang yang patut kau sangsikan kau terus bilang, tentu nanti aku yang
turun tangan. Budak she Toan itu entah baik atau jahat, pokok akan kuringkusnya dulu, urusan
belakang."
Imam itu tertawa: "Toheng, kau juga memandang rendah padaku. Meskipun anak she Toan itu
lebih lihay dari budak tersebut, tapi sedikitpun aku tak gentar. Kukira anak she Toan itu belum
tentu bersama-sama dengan budak itu. Aku melainkan hanya mempertinggi kewaspadaan saja."
"Mengapa" Bukankah kau katakan budak itu bertengkar dengan keluarganya karena seorang
pemuda she Toan. Kemudian kalau budah itu melarikan diri, mengapa tak mungkin ikut pada
pemuda itu?" tanya si hweshio.
"Toheng, kau tahu satu tak tahu dua. Kabarnya budak laki itu sudah punya pacar lain," sahut si
imam. Hweshio itu tertawa keras, serunya: "Kalau begitu tindakan budak itu meninggalkan
kenikmatan kedudukan, ternyata hanya memburu bayangan kosong saja. Ha, mendiang ayahnya
yang sudah menjadi setan itu ...."
"Toheng, minum, minumlah. Jangan sembarangan menyebut nama ayahnya itu, sekarang
suasananya sedang genting," cepat-cepat si imam menukasnya dan kata-katanya yang terakhir itu
diucapkan dengan berbisik-bisik. Sekalipun begitu, Yak-bwe tetap dapat mendengarnya dengan
jelas. Makin mendengari, Yak-bwe makin terperanjat heran. Pembicaraan kedua orang pertapaan itu
seolah-olahnya ditujukan kepadanya. 'Budak perempuan she Su' dan 'budak lelaki she Toan' yang
dijadikan pokok pembicaraan mereka itu, siapa lagi kalau bukan ia dan Toan Khik-sia. Tapi Yakbwe
merasa aneh akan beberapa hal yang diucapkan mereka itu tadi. Salah satu kalimat yang
paling menusuk telinga, ialah tentang 'budak laki she Toan itu sudah punya pacar lain.'
"Entah benar entah tidak ucapan itu. Kalau benar, mengapa malam itu ia menumpahkan
perasaan hatinya kepadaku" Ya, begitu sungguh-sungguh ia mengucapkan kata-katanya itu.
Masakan dalam beberapa hari saja sekarang ia sudah mendapat lain gadis" Hal itu tak sesuai
dengan keterangan si imam 'sudah lama'. Ah, urusan ini tentu salah urus," pikirnya.
Tapi pada lain saat pikirannya membantah sendiri: "Ada api tentu ada asap. Jika urusan ini
hanya isapan jempol belaka, mengapa tersiar santer di dunia persilatan" Sampai pun kalangan
penjahat juga mengetahui hal itu."
Di samping hal-hal yang menyangsikan itu, masih ada lain hal yang menambah kesangsiannya
menjadi makin kuat. Pertama, imam itu mengatakan kalau pernah melihatnya ketika ia masih kecil.
Tapi betapapun Yak-bwe gali lubuk ingatanya, tetapi ia yakin kalau seumur hidup belum pernah
bertemu dengan imam tersebut. Di tempat gedung kediaman ciat-to-su Sik-ko, tak pernah ada
bangsa imam dan hweshio. Kedua, tadi si hweshio menyebut-nyebut 'mendiang ayahnya yang
sudah menjadi setan'. Ini tentu menunjuk ayahnya (Yak-bwe) yang sudah meninggal dunia itu.
Tentang asal-usul dirinya itu, kecuali hanya beberapa orang yang tahu, semua orang mengira kalau
puterinya Sik-ko. Mengapa hweshio itu tahu kalau ayah sudah meninggal"
"Dan ayah itu seorang cin-su dari kerajaan Tay-tong. Beliau meninggal karena dicelakai An
Lok-san. Pada masa An Lok-san jaya, memang tak boleh sembarangan menyebut-nyebut nama
ayah. Tapi toh kini An Lok-san sudah hancur, mengapa tak boleh mengatakan nama ayah" Dan
apakah yang dimaksud si imam bahwa suasana sekarang ini genting?"
Sebenarnya Yak-bwe itu seorang nona yang cerdas. Tapi terhadap soal-soal yang berbelit-belit,
sepintas benar sepintas tidak itu, betapapun ia peras otaknya namun tetap tak dapat menemukan
pemecahan yang memuaskan.
Ya, memang dapat dimengerti kalau ia sampai bingung begitu. Karena yang dimaksud dalam
pembicaraan kedua orang pertapaan itu bukan lain ialah Su Tiau-ing. Adalah karena Su Yak-bwe
yang sudah mempunyai prasangka, maka 'budak perempuan she Su' itu dianggapnya tentu dirinya.
Kebalikannya dikatakan oleh si imam dengan 'pacar budak she Toan' itu, dianggapnya lain gadis.
Padahal, adalah dirinya itulah.
Karena asyik mendengari, tanpa terasa Yak-bwe sampai hentikan sumpitnya, letakkan cawan
araknya dan matanya terus diarahkan kepada kedua orang pertapaan itu. Sudah tentu sikapnya itu
lekas menarik perhatian orang. Walaupun kala itu Yak-bwe berdandan sebagai seorang pelajar, tapi
sebagai seorang kangouw yang berpengalaman, sepintas pandang tahulah mata si hweshio yang
tajam siapa diri Yak-bwe yang sebenarnya itu.
Kedua kaum agama itu saling memberi kicupan mata dan masing-masing saling berpikir dalam
hati: "Jangan-jangan budak perempuan ini sendiri, atau sekurang-kurangnya, ia tentu mempunyai
hubungan. Kalau tidak, tak nanti ia mendengari pembicaraan kita sedemikian asyiknya."
Serempak hweshio dan imam itu berbangkit terus menghampiri ke tempat duduk Yak-bwe.
Setelah memberi hormat si imam berkata: "Siapa she siangkong yang mulia. Sukakah
memberitahukan?"
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau si imam masih pakai aturan, adalah si hweshio lebih kasar lagi. Serentah ia menegur
Yak-bwe: "Hai, engkoh kecil, apakah kau she Su?"
Sudah tentu marahlah Yak-bwe. Bentaknya dengan keras: "Aku tak kenal kalian, perlu apa
tanya siapa she-ku?"
Hweshio itu terkesiap tapi pada lain saat ia lantas tertawa dingin: "Kau tak sudi berkenalan
dengan kami, baik. Sekarang jawablah, mengapa kau terus menerus mengawasi kami berdua saja"
Mengapa kau mencuri dengar pembicaraan kami?"
"Bagaimana kau tahu aku mengawasi kau" Di dalam rumah makan apakah orang dilarang
melihat kau" Kau benar-benar tak tahu adat!" bentak Yak-bwe.
Tiba-tiba si pemuda desa yang duduk di dekat situ mengomel seorang diri: "Hweshio yang
minum arak makan daging, memang jarang ada. Tak heran kalau orang sama melihatinya."
"Kentut! Peduli apa dengan hweshio minum arak makan daging" Kau berani mengurusi Hudya,
hai, babi kecil!" si hweshio berseru marah.
Buru-buru pemuda desa itu surutkan kepala dan mengoceh sendiri: "Aku hanya mengatakan
'jarang ada' saja, apakah orang omong tidak boleh" Bagus, bagus, baguslah. Karena kau larang aku
bicara, akupun takkan bicara lagi."
"Ah, mengapa suheng ladeni anak desa. Sebaiknya kita bicarakan urusan penting dengan si-cu
ini dulu," buru-buru si imam mencegah. Kemudian ia berkata kepada Yak-bwe: "Karena
kedatangan kami, maka sicu sampai berhenti minum. Sekarang biarlah kupersembahkan arak
padamu." -- Habis berkata ia lantas angkat poci arak dan terus hendak dituangkan pada Yak-bwe.
Gerakan menyorong poci arak itu, termasuk sebuah jurus ilmu silat yang mengandung lwekang.
Dengan itu ia hendak menjajaki adakah Yak-bwe itu mengerti silat. Kalau Yak-bwe pintar,
seharusnya ia pura-pura kaget dan jangan menghiraukan. Dengan begitu, tentulah imam itu tak
berani sembarangan melukainya. Tapi memang sejak tadi Yak-bwe sudah benci dengan tingkah
laku kedua orang itu. Bahwa tiba-tiba dirinya hendak diguyur arak, sudah tentu ia marah sekali.
"Imam bangsat, jangan kurang ajar!" bentaknya dan tutukkan sumpitnya ke arah jalan darah di
tangan si imam.
Sebenarnya imam itu lwekangnya lebih tinggi daripada Yak-bwe. Tapi karena gerakan Yak-bwe
itu dilakukan amat cepat sekali, terpaksa imam itu tarik pulang tangannya. Namun tak urung
tangannya terasa kesemutan dan terlepaslah poci itu dari cekalannya.
Si hweshio kebetulan berada di sampingnya dan poci itu tepat sekali melayang ke arahnya.
Meskipun tak tepat mengenai, tak urung ia meringis kesakitan juga karena kecipratan arak. Dengan
murkanya ia menghantam. Kini poci itu terbang balik melayang ke arah Yak-bwe.
Yak-bwe agak terkesiap, batinnya: "Kedua hweshio jahat itu bermulut besar, tapi ternyata
memang mempunyai kepandaian berisi."
Takut tak kuat menyambuti hingga nanti menjadi buah tertawaan, buru-buru Yak-bwe
menghindar saja. Brak, poci itu menghantam kaca jendela, terus melayang jatuh ke dalam sungai.
Tapi araknya berhamburan kemana-mana, sampai Yak-bwe pun turut basah kuyub dengan
percikannya. "Sayang, sayang, poci arak baik-baik, terbuang dalam sungai," kedengaran si pemuda desa
mengoceh sendirian.
Si hweshio menggerung keras terus hendak mencengkeram Yak-bwe, tapi Yak-bwe cepat
menyambutnya dengan tutukan sumpit. Krek, sumpit patah menjadi dua. Kiranya hweshio itu
memiliki ilmu kim-ciong-oh dan thiat-po-san atau ilmu lindung yang kebal senjata. Sekalipun
begitu karena tutukan sumpit Yak-bwe tadi tepat mengenai jalan darah tangannya, meskipun tak
sampai rubuh, hweshio itu juga merasa sakit seperti ditusuk jarum. Saking sakitnya ia sampai
loncat ke atas.
Si imam biasanya selalu tenang. Karena tadi menderita kerugian kecil, untuk sementara waktu
ia hanya diam mengawasi di samping. Setelah menyaksikan Yak-bwe bertempur dengan kawannya
(si hweshio), diam-diam ia merasa heran.
Apakah yang menjadi keheranannya itu" Kiranya tutukan sumpit Yak-bwe tadi, belum
mengenai lengannya. Ujung sumpit hanya baru menyentuh ujung bajunya, tapi anehnya ia rasakan
lengannya sudah kesemutan sehingga tak kuat mencekal poci arak lagi. Dalam ilmu tutukan, yang
paling lihay sendiri ialah apa yang disebut kek-gong-tiam-hiat atau menutuk jalan darah dari
kejauhan. Hanya orang yang sempurna lwekangnya, baru dapat menggunakan ilmu tutukan itu.
Selain itu, masih ada pula lain macam ilmu tutukan yang tak kurang lihay, yakni tak usah menutuk
tepat tapi dengan gunakan lwekang dapat menutup jalan darah orang. Ia duga Yak-bwe tentu
memiliki salah satu dari dua macam ilmu tutuk yang hebat itu. Jarak ujung sumpit Yak-bwe dengan
jalan darah di lengan si imam, hanya terpisah selembar kertas tebalnya. Jadi terang bukan termasuk
ilmu tutukan kek-gong-tiam-hiat.
Suatu keuntungan bagi Yak-bwe bahwa imam itu telah keliru menyangka kalau Yak-bwe
memiliki kedua macam ilmu tutuk jalan darah yang lihay: kek-gong-tiam-hiat dan lwe-lat-pit-hiat
(lwekang untuk menutup jalan darah). Karena persangkaan itu, si imam sudah tak berani
sembarangan turun tangan dan mundur ke samping.
Selama mengawasi permainan Yak-bwe tadi, ia telah melihat suatu lubang kelemahannya. Tapi
tak urung ia makin keheranan. Jika Yak-bwe memiliki ilmu tutuk seperti yang diduganya itu,
sekalipun hweshio memiliki ilmu lindung kim-ciong-toh, pun tak nanti kuat bertahan. Tapi ternyata
hweshio itu tak kena apa-apa, melainkan loncat berjingkrak-jingkrak, pula sumpit Yak-bwe pun
patah dibuatnya. Jelas dilihatnya gerakan menutuk dari Yak-bwe tadi, meskipun hebat tapi kurang
mahir, menandakan Yak-bwe itu masih trondol.
Sudah tentu imam itu bingung memikirkannya. Pikirnya: "Bagaimana ini" Apakah memang ia
sengaja tak mau keluarkan kepandaiannya sungguh-sungguh" Tapi mengapa tadi sekali turun
tangan kepadaku ia lantas gunakan ilmu tutuk yang hebat?"
Mari kita tengok kembali si hweshio. Ketika melambung di udara, dengan menggerung keras ia
lantas menghantam dengan ilmu pukulan boh-pay-chiu. Dengan tangkasnya Yak-bwe berputarputar
menghindar. Brak, bukan Yak-bwe yang kena melainkan meja yang terhantam jungkir balik.
Melihat warung araknya dibuat medan perkelahian, si pemilik berkaok-kaok. Pun tetamutetamu
lain, buru-buru menyingkir. Pukulan hweshio itu dahsyat sekali. Setiap kali ia memukul,
anginnya menderu-deru, mangkuk piring pecah berantakan kemana-mana. Tring-tring, prang, prang
...." Yak-bwe tetap gunakan ilmu kelincahan. Sebentar loncat ke atas meja, sebentar ke atas
dingklik, mengusup ke bawah meja, menyelinap kesana memberosot kesini. Betapapun hweshio itu
hendak umbar kemarahannya, namun tak dapat mengapa-apakan Yak-bwe. Yang nyata, pukulannya
itu selalu mendapat sasaran meja, kursi atau mangkuk piring saja.
Setelah mengikuti bagaimana selama bertempur itu Yak-bwe selalu menghindar dan sudah
beberapa kali hampir saja termakan pukulan si hweshio, si imam mulai menarik kesimpulan bahwa
memang Yak-bwe itu tidak pura-pura dan benar-benar bukan jago keras. Kini hilang kekuatirannya
dan dengan tertawa ia berseru: "Nona Su, berkelahi di dalam rumah makan sini, sungguh tak sedap
dipandang. Lebih baik kita pergi ke lain tempat untuk berunding."
Ternyata si hweshio dan si imam saat itu sudah yakin bahwa Yak-bwe tentulah Su Tiau-ing yang
hendak dicarinya itu.
Yak-bwe malu dan gusar sekali. Malah sehabis berkata imam itu sudah menerjangnya. Buruburu
ia jumpalitkan sebuah meja untuk menahannya, kemudian segera mencabut pedangnya dan
membentak: "Berani maju selangkah lagi, pokiam-ku ini tak punya mata!"
Si imam tertawa: "Pokiam-mu tak bermata, tapi aku punya mata."
Habis berkata ia lantas kebutkan lengan jubahnya untuk menampar pokiam Yak-bwe.
Berbareng itu si hweshio dengan menggembor keras sudah pentang kedua tangannya hendak
merebut pedang Yak-bwe. Yak-bwe tusukkan pokiamnya ke tenggorokan si hweshio. Meskipun si
hweshio punya ilmu lindung kim-ciong-toh, tapi tenggorokan adalah bagian yang dapat mematikan.
Buru-buru ia sambar sebuah dingklik untuk menangkisnya.
Ternyata tusukan Yak-bwepun tak dilancarkan dengan sepenuh tenaga. Begitu membentur
dingklik, ia lantas putar arah menusuk si imam. Melihat gerakan ganti jurus itu dilakukan
sedemikian cepatnya, diam-diam si imam merasa kagum. Pikirnya: "Ilmu pedang budak ini jauh
lebih hebat dari ilmu tutuknya. Sayang tenaganya masih belum memadai."
Iapun tetap gunakan lengan bajunya untuk menampar, tapipun tak berani terlalu bernafsu
hendak merebut pokiam Yak-bwe.
Dengan ilmu kelincahannya dan dibantu oleh meja kursi yang malang melintang, ia mainkan
pedangnya kian kemari. Dengan cara itu dapatlah ia melawan sampai 10-an jurus.
Hweshio itu bertubuh gemuk. Meskipun ia memiliki ilmu gwakang yang hebat, namun ilmu
lindungnya masih belum sempurna betul. Beberapa kali hampir saja ia termakan pedang Yak-bwe.
Akhirnya marahlah hweshio itu. Ia lepaskan jubahnya dan berseru: "To-heng, ayo, kita tangkap
ikan." Ia mainkan jubahnya. Jubah itu berubah menjadi semacam awan merah yang mencangkup
kepala Yak-bwe. Si imam tetap gunakan sepasang lengan bajunya untuk menampar. Setiap ada
kesempatan tentu ia pergunakan sebaik-baiknya untuk melibat pedang Yak-bwe. Kepungan kedua
orang itu makin lama makin rapat. Permainan pedang Yak-bwe pun mulai berkurang gayanya.
Sekalian tetamu sudah sama ngacir pergi. Si pemilikpun juga sudah bersembunyi di kolong
mejanya. Mangkuk piring pecah berantakan. Meja kursi sungsang sumbal, gederobkan tak hentihentinya.
"Ho, hendak lolos kemana kau?" teriak si hweshio. Ia tetap perkeras permainan jubahnya yang
mengancam kepala Yak-bwe.
Tiba-tiba terdengar jeritan mengaduh dan ada seorang mendekap paha si hweshio: "Aduh, mati
aku dipijaknya!" teriak orang itu.
Kiranya di ruangan situ masih ada seorang tetamu yang belum menyingkir. Orang itu bukan
lain yakni si pemuda desa tadi. Marahlah si hweshio. Ia sepak pemuda desa itu sekuat-kuatnya
sampai jungkir balik. Tapi pemuda itu sudah menggigit pahanya. Meskipun si hweshio punya ilmu
lindung kim-ciong-toh, tapi tak urung pahanya kena digigit sampai berlumuran darah.
Yak-bwe menghindari jaringan jubah si hweshio terus balas menusuk. Tusukannya itu tepat
mengenai jalan darah ih-gi-hiat di perut si hweshio. Karena tusukan itu memakai tenaga penuh,
maka akibatnya juga lebih hebat dari ilmu tutukan dengan jari. Betapapun hweshio itu seorang otot
kawat tulang besi, namun tetap ia tak kuat menahan tusukan itu. Sekali menjerit, rubuhlah ia di
lantai. Sewaktu ditendang jungkir balik tadi, si pemuda desa bergelundungan di lantai. Jatuhnya tepat
menggelundung di samping si imam. Si imam segera angkat kakinya hendak memberi sebuah
tendangan, tapi cepat pemuda desa itu mendekapnya sambil berteriak-teriak: "Tolong, tolong!"
Karena dipeluk sekencang-kencangnya oleh si pemuda, hampir saja imam itu terjerembab jatuh.
Sebenarnya kepandaian imam itu lebih tinggi dari si hweshio. Sekali kakinya diputar, pemuda desa
itupun tak kuat mempertahankan dekapannya lagi, terpaksa ia lepaskan. Berbareng itu si imam
cepat menendangnya.
"Pembunuhan, tolong, tolong!" teriak pemuda itu. Tiba-tiba ia jungkir balik dan terlempar
keluar dari jendela.
Sebenarnya tendangan si imam itu belum mengenai. Tapi entah mengapa, si pemuda desa sudah
jumpalitan. Pada lain saat terdengar suara gedebuk yang keras. Rupanya pemuda desa itu
terbanting jatuh sekeras-kerasnya.
Masih Yak-bwe belum menginsyafi bahwa pemuda desa itu sebenarnya diam-diam telah
memberi bantuan padanya. Ketika si pemuda menjerit-jerit minta tolong tadi, Yak-bwe menjadi
gugup hendak menolongnya. Cepat ia tusuk si imam.
Tadi beberapa kali pedang Yak-bwe kena disampok terpental oleh kebutan jubah si imam. Tapi
kali itu sungguh aneh. Bret, lengan jubah si imam kena dipapas kutung. Dan ketika ujung pedang
terus meluncur maju, lengan si imam tergurat luka sepanjang lima dim. Mengapa mendadak sontak
si imam tak selihay tadi. Kiranya gigitan si pemuda desa yang menyebabkannya. Karena ujung
kakinya digigit sampai terluka, bukan saja gerakan si imam itu tak setangkas tadi, pun tenaganya
menjadi berkurang. Jika saat itu Yak-bwe terus menyerang lagi, imam itu pasti binasa atau
sekurang-kurangnya tentu terluka berat.
Tapi Yak-bwe tak mau berbuat ganas. Ia hanya bermaksud memberi sedikit hajaran saja. Demi
melihat kedua orang agama itu sudah pontang panting tak keruan, diam-diam ia sudah merasa
senang. Kedua kalinya, ia tetap menguatirkan keadaan si pemuda yang terlempar keluar jendela itu.
Maka setelah dapat melukai si imam, ia lantas tarik pulang pedangnya.
"Katamu kau punya mata. Tapi kulihat kau benar punya mata tapi tidak punya biji matanya.
Jika lain kali berani kurang ajar lagi, apabila bertemu aku, tentu akan kukorek keluar biji matamu,"
kata Yak-bwe. Imam itu tahu kalau kepandaian lawan tak menang dengan dia. Tapi entah apa sebabnya,
ternyata ia menderita kekalahan. Saking marahnya, dari tujuh lubang inderanya sampai
mengeluarkan asap. Namun ia tak berani bercuwit lagi. Celaka adalah si hweshio gemuk. Ternyata
ia menderita luka lebih parah. Ia tengah mengerang-erang menyalurkan jalan darahnya, sehingga
tak dapat berkata-kata lagi.
Baru Yak-bwe hendak melangkah keluar, tiba-tiba si pemilik warung menerobos keluar dari
kolong mejanya dan menangis gerung-gerung. Kiranya ia sedi karena menderita kerugian besar,
tapi ia tak berani minta ganti kerugian pada Yak-bwe.
"Ciang-kui sudahlah, jangan menangis. Nih, kuganti uang," kata Yak-bwe sembari
mengeluarkan uang tembaga dan pecahan perak.
Mendengar itu buru-buru si pemilik warung mengusap air matanya. Tapi serta dilihatnya Yakbwe
hanya menyodorkan sejumlah uang tembaga dan pecahan perak, kecewalah ia. Serunya
dengan terputus-putus: "Tuan, ini, ini ....."
Setelah mengatakan 'ini, ini', akhirnya ia beranikan juga untuk menerangkan bahwa uang Yakbwe
itu masih belum cukup untuk mengganti kerusakan barang-barangnya.
Diam-diam Yak-bwe geli sendiri: "Ah, aku ini benar-benar limbung. Kali ini aku hampir
merusakkan sebuah rumah makan, masakan hanya membayar dengan jumlah rekening makananku
tadi." Akhirnya ia mengambil uang mas kim-tonya terus dilemparkan ke lantai, serunya: "Ini emas
murni, jangan kuatir kutipu. Cukuplah kiranya!"
Habis berkata ia lantas loncat keluar jendela. Melihat keroyalan Yak-bwe, imam dan hweshio
tadi makin yakin kalau Yak-bwe itu tentulah Su Tiau-ing.
Tampak pemuda desa tadi tengah berjalan di tepi sungai dengan langkah pincang. Hati Yak-bwe
serasa longgar dibuatnya. Ia meneriaki pemuda desa itu: "Hai bung, aku hendak menghaturkan
maaf padamu. Dalam perkelahian tadi, aku telah membikin susah kau. Apakah kau terluka?"
"Tidak, tidak apa-apa. Syukur Tuhan masih adil, tidak suruh aku menjadi makan ikan sungai.
Hanya melecet sedikit saja dan terluka di bagian tumit kaki. Apa kau menang" Kiong-hi, kionghi,"
sahut si pemuda memberi selamat.
Karena dapat berjalan, Yak-bwe menduga pemuda desa itu hanya terluka sedikit saja. Ia tak
mau meladeni bicara lagi, terus mengeluarkan perak dan selembar sapu tangan serta obat. Katanya:
"Ini adalah obat kim-jong-yok yang jempolan, bubuhkanlah pada lukamu. Dalam dua hari saja
tentu sudah baik. Dan perak ini, terimalah untuk ongkos keperluanmu."
Mengingat selama dua hari nanti si pemuda tentu tak dapat bekerja, maka Yak-bwe memberinya
sedikit ongkos. Ia duga pemuda itu tentu mau menerimanya dengan girang. Tapi di luar dugaan,
tiba-tiba wajah pemuda desa itu berubah. Serunya: "Apa maksudmu ini" Apakah aku ini dianggap
sebagai pengemis?"
Kemerah-merahanlah wajah Yak-bwe. Ia merasa serba salah apa mesti menyimpan kembali
perak itu atau tidak. Kebetulan sekali saat itu ada seorang pengemis berjalan lalu di situ. Tiba-tiba
si pemuda desa itu tertawa: "Ya, sudahlah, mana perakmu itu, biar kuwakilkan kau memberi
sedekah padanya."
Diberi sekian banyak perak, pengemis itu melongo. Setelah tersadar, ia tersipu-sipu
menyambutinya dan tak henti-hentinya menghaturkan terima kasih.
"Perak itu kepunyaan tuan ini. Kau berterima kasihlah kepadanya. Ai, tubuhmu juga penuh
dengan luka-luka, ini, obat untukmu. Juga dari tuan itu," kata si pemuda desa.
Yak-bwe tak dapat berbuat apa-apa kecuali tertawa meringis. Tanpa berkata apa-apa ia lantas
pergi. Lewat beberapa jenak, keadaan menjadi hening. Tiba-tiba Yak-bwe teringat sesuatu: "Hai,
gerak gerik pemuda desa tadi sungguh luar biasa, pun wataknya juga aneh!"
Makin teringat akan pemuda desa itu, makin timbul kecurigaan. Tapi ketika ia berpaling ke
belakang, ternyata pemuda desa itu sudah tak tampak bayangannya lagi. Sudah tentu Yak-bwe
terbeliak kaget. Pikirnya: "Kuejek imam tadi punya mata tapi tak punya biji mata. Ternyata aku
sendiri juga salah lihat pada orang. Jika pemuda desa itu tak punya kepandaian tinggi, masakan ia
tak sampai terluka parah dilempar keluar jendela begitu rupa" Ah, tak nyana aku kembali tak
sengaja berbuat salah pada orang."
Memang apa yang disesalkan Yak-bwe itu tepat sekali. Tapi iapun tetap masih belum insyaf
bahwa adanya ia dapat memenangkan imam dan hweshio tadi adalah berkat bantuan secara diamdiam
dari pemuda desa itu.
Tengah hari lewat sedikit, tibalah sudah Yak-bwe di muka pintu gedung Sip Hong. Penjaga
pintu yang sudah tua dengan keheranan mengawasi Yak-bwe, tegurnya: "Kau hendak cari siapa?"
Yak-bwe tertawa mengikik, sahutnya: "Ong tua, apakah kau tak kenal lagi padaku?"
"Ai, kiranya nona Sik. Dalam dandanan begitu, apabila tak kau katakan, sudah tentu aku tak
mengenal kau lagi," seru si penjaga pintu.
Dahulu keluarga Sip dan Sik itu tinggal berdekatan. Sewaktu kecilnya, boleh dikata saban hari
Yak-bwe tentu main-main dengan In-nio. Penjaga pintu tua itu sudah bekerja selama berpuluhpuluh
tahun pada keluarga Sip. Ia mengikuti kedua nona itu dari kecil sampai berangkat dewasa.
Maka sekali Yak-bwe buka suara, cepat ia sudah mengenalinya.
"Lo-ya sedang bepergian, tapi nona ada di rumah, sedang berlatih ilmu pedang di dalam taman.
Mari kuantar kau ke sana," kata si penjaga.
"Tak usah, aku dapat kesana sendiri," sahut Yak-bwe.
"Ai, nona Sik, dalam dandanan sebagai pemuda, kau benar-benar tampak cakap sekali. Aku
sampai tak mengenal kau sama sekali. Ah, sayang kau bukan pemuda sesungguhnya. Jika
sungguh, tentu merupakan pasangan yang setimpal dengan nona majikanku," kata penjaga tua itu
dengan bergurau.
Yak-bwe girang karena penyaruannya itu telah dapat mengelabuhi mata pak tua itu, sahutnya:
"Jangan kuatir, nonamu itu sudah ada yang punya."
"Nona sudah mendapat jodoh" Mengapa aku tak tahu sama sekali?"
"Sabarlah, nanti sedikit waktu tentu kau bakal tahu sendiri. Sekarang ini aku justeru hendak
menjadi comblangnya," jawab Yak-bwe terus melangkah masuk.
Tiba di taman, benar juga In-nio sedang asyik berlatih pedang. Dilihatnya sinar pedang In-nio
itu berkelebatan pergi datang dengan cepatnya. Setiap kali pedang itu berkelebat, tentu
meninggalkan percikan pedang berbentuk seperti taburan bunga. Ternyata In-nio tengah mainkan
jurus hui-hoa-cui-yap atau bunga bertebaran memburu sang kupu-kupu. Jurus itu sebuah permainan
dari ilmu pedang Hian-li-kiam-hwat. Apabila dilatih sampai tingkat sempurna, dapatlah dibuat
memapas bunga tanpa merusak tangkainya sedikitpun juga. Dapat memapas sayap seekor kupukupu
tapi tanpa menyebabkan kematiannya. In-nio belum dapat mencapai tingkatan itu, tapi sudah
tak banyak terpautnya.
"Permainan pedang yang bagus!" Yak-bwe memuji sembari menghampiri.
Sebat sekali In-nio sudah tarik pulang pedangnya. Tapi iapun mengawasi Yak-bwe dengan
pandangan yang lain dari biasanya.
"Hai,kau melihat apa saja" Apa kau juga tak mengenali aku?" tegur Yak-bwe sambil tertawa.
"Lihatlah sendiri keadaanmu itu. Apakah kau barusan habis berkelahi dengan orang?" seru Innio.
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yak-bwe cepat menghampiri ke tepi empang teratai. Begitu melongok ke permukaan air,
barulah ia tersadar. Katanya: "Ah, makanya tadi pak tua penjaga pintu itu pentang mata lebar-lebar
memandang aku."
Kiranya rambut Yak-bwe kusut masai, pakaiannya kacau risau, banyak debu yang melekat.
Wajahnya tak keruan warnanya, banyak bekas-bekas noda arak, air kuah, kecap dan lain-lain. Yakbwe
mendongkol tapi geli juga.
"Hm, pak tua itu memperolok-olok aku. Katanya aku ini seorang pemuda tampan," katanya.
In-nio ambil sapu tangan, setelah dicelup air, ia lantas mengusapi noda-noda kotoran di wajah
Yak-bwe. Ujarnya: "Jangan buru-buru tukar pakaian dulu. Tuturkan ceritamu itu. Mengapa kau
begitu nakal, sebelum datang kemari berkelahi dulu dengan orang?"
"Ho, kau juga hendak memperolok-olok aku, ya" Bukan cerita yang baik, tapi menjengkelkan
hati," sahut Yak-bwe. Ia lantas menuturkan kejadian yang dialaminya di warung arak itu.
"Aku tak kenal pada imam hidung kerbau dan si hweshio busuk itu, tapi entah bagaimana
mereka itu hendak cari perkara padaku. Coba kau timbang, apakah itu tidak menjengkelkan?"
katanya. In-nio heran dibuatnya, tanyanya: "Masa ada kejadian begitu, apakah kau tak salah dengar"
Atau mungkin mereka mengatakan tentang lain orang?"
"Meskipun aku tak paham seluruhnya akan bahasa kangouw, tapi aku dapat mendengarkannya
dengan jelas. Coba pikirkan, mana di atas dunia ini ada seorang budak perempuan she Su yang
galang-gulung dengan budak laki-laki she Toan itu?" bantah Yak-bwe yang lantas menceritakan
omongan si imam. Dalam bercerita itu, wajahnya menjadi kemerah-merahan.
"Ah, hal itu benar-benar aneh. Siapakah yang membocorkan keluar" Mengapa dalam kalangan
orang luar yang tak ada hubungannya sama sekali mengetahui bahwa kau tinggalkan rumahmu
karena urusan Toan Khik-sia?" In-nio tertawa.
"Malah mereka tahu juga akan sumber perguruanku dan tingkat kepandaianku. Tapi memang
ada beberapa bagian yang tidak benar," kata Yak-bwe.
Iapun menerangkan tentang hal-hal yang menimbulkan kecurigaannya kepada In-nio. In-nio
memang lebih berpengalaman. Memang ia anggap dalam urusan itu tentu terselip sesuatu, tapi
seperti halnya dengan Yak-bwe, iapun juga tak mengetahui tentang adanya seorang nona yang
bernama Su Tiau-ing itu. Maka dugaannyapun, sama dengan Yak-bwe, yakni yang dimaksud si
imam dengan 'budak perempuan she Su' itu, siapa lagi kalau bukan Yak-bwe.
Dalam penuturannya itu, Yak-bwe sudah lupa menyebut tentang diri si pemuda desa.
"Ai, kau toh sudah memberi hajaran pada mereka, ini sudah cukup melonggarkan
kemendongkolan hatimu. Rupanya mereka itu hanya bangsa jagoan kelas 2-3 saja. Masakan
mereka berani mencari kau lagi. Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi. Sekarang mari kita bicarakan
soal Khik-sia. Sebetulnya kalian berdua ini bagaimana, ya?"
Dengan suara berbisik, Yak-bwe menyahut: "Justeru aku hendak minta advismu ...."
Baru ia berkata begitu, tiba-tiba si penjaga pintu tadi bergegas-gegas mendatangi, serunya:
"Nona Sip, ada tetamu hendak minta bertemu loya. Waktu kuberitahukan kalau loya sedang pergi,
ia lantas keluarkan karcis nama suruh aku berikan pada nona. Ia minta keterangan, apakah nona
mau menjumpainyakah?"
Waktu menyambuti dan membaca karcis nama itu, In-nio berseru: "Oh, kiranya Sin-cian-chiu
Lu Hong-jun. Baik, silahkan dia duduk di ruangan tetamu. Sebentar aku ganti pakaian dulu."
Yak-bwe tertawa mengikik.
"Hai, mengapa kau tertawa itu?" tegur In-nio.
"Tahukah kau apa maksud kedatangan Lu Hong-jun kemari?" Yak-bwe balas bertanya.
"Bagaimana aku mengetahui" Kalau begitu, rupanya kau tentu sudah tahu, bukan?"
"Dia hendak menjadi comblang untukmu. Comblang datang, calon yang akan dipinang itu
harus menyembunyikan diri tapi sebaliknya kau hendak menjumpainya. Lucu tidak ini?"
"Kau memang pandai menggerakkan lidahmu. Masakan seorang pendekar muda dituduh
menjadi comblang. Biar kutemuinya. Kebanyakan ia datang kemari karena kau. Kau telah
menghina adiknya, ia tentu hendak mencarimu," sahut In-nio yang tak percaya akan keterangan
Yak-bwe. "Tidak, aku sungguh tak membohongimu. Lu Hong-jun dimintai tolong Thiat-mo-lek untuk
melamar bagi Bo Se-kiat. Jika kau tak percaya, dengarkan saja bagaimana omongannya nanti."
"Sudahlah, jangan berolok-olok lagi. Lekas ganti pakaian dan ikut aku menemui tetamu itu,
tukas In-nio. "Ah, aku bukan tuan rumah dan kedua kalinya, jika ada aku, ia tentu tak leluasa bicara," bantah
Yak-bwe. "Apa kau kuatir kalau ia sebenarnya hendak mencarimu" Baik, jika kau takut, biarlah aku
sendiri yang menyambutnya. Aku tak mau terpengaruh oleh olok-olokmu tadi hingga sampai
menelantarkan tetamu," kata In-nio.
Yak-bwe tertawa: "Ya! Memang, memang! Jauh-jauh orang datang hendak menjadi comblang,
masakan tak disambut baik-baik."
"Lekas ganti pakaian dan tunggu di sini. Nanti aku hendak bikin perhitungan padamu," bentak
In-nio. Setelah pesan seorang budak untuk melayani keperluan Yak-bwe, ia lantas ganti pakaian dan
keluar menyambut sang tetamu. Yak-bwe pun lantas mandi dan berganti pakaian In-nio. Ternyata
Yak-bwe itu lebih pendek dari In-nio. Bujang segera menyediakan pakaian In-nio yang dibuat pada
dua tahun yang lalu. Ternyata ukurannya pas dengan Yak-bwe.
Yak-bwe menunggu di dalam taman. Tak berapa lama kemudian, datanglah In-nio. Wajah nona
itu agak berbeda dengan tadi. Kiranya benar apa yang dikatakan Yak-bwe kepadanya tadi. Hongjun
telah membicarakan tentang diri Bo Se-kiat. Benar secara terang-terangan Hong-jun tidak
menyatakan jadi comblang, tapi ia menuturkan tentang pertemuan dengan Bo Se-kiat dan Thiat-molek.
Kemudian ia sampaikan salam Se-kiat kepada In-nio. Dalam pembicaraan selama itu, secara
samar-samar Hong-jun menyatakan sudah mengetahui tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio.
Pun tahu juga dia (Hong-jun) akan kemungkinan bahwa Sip Hong tak suka kepada Se-kiat.
Selanjutnya Hong-jun menyatakan kesediaannya hendak membicarakan hal diri Se-kiat itu kepada
Sip Hong. "Nah, bagaimana" Kan aku tidak omong kosong doang?" tegur Yak-bwe sambil tertawa.
"Heran, bilakah kau berjumpa dengan Lu Hong-jun itu" Mengapa tadi ia tak mengatakan
sebaliknya malah menanyakan tentang dirimu?" kata In-nio.
Yak-bwe tetap tertawa saja: "Aku bertemu padanya, tapi ia tak tahu kalau aku. Kejadian itu
memang lucu sekali, nanti akan kuceriterakan juga padamu. Coba kau tuturkan dulu, apa saja yang
ia tanyakan tentang diriku tadi?"
Kini ganti giliran In-nio yang tertawa: "Dia juga membantu Thiat-mo-lek mencari jejakmu
untuk kepentingan Khik-sia. Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat juga sangat perihatin akan urusan kamu
berdua itu. Kukatakan pada Lu Hong-jun bahwa kau sudah berada di sini dengan aku. Mendengar
itu girangnya bukan kepalang. Ia mengatakan hendak lekas-lekas menyampaikan hal itu kepada
Khik-sia dan Thiat-mo-lek, agar mereka terbebas dari kecemasan selama ini. Tadi sebenarnya aku
berniat hendak memanggilmu keluar ...."
"Aku sih tak suka menemuinya," sahut Yak-bwe.
"Itulah! Kutahu sudah bagaimana perangaimu. Menduga kau tentu tak suka menemuinya,
akupun tak mengatakan hal itu juga," kata In-nio.
Tiba-tiba Yak-bwe bertanya: "Apakah ia tahu kalau baru hari ini aku tiba di sini?"
"Tentang itu tak kuutarakan. Dengan Lu Hong-jun baru pertama kali ini aku bertemu muka.
Waktu ia menanyakan dirimu, segera kuberitahukan kau berada di sini. Lain-lain hal aku tak mau
mengatakan lagi."
"Mendinganlah. Kalau ia tahu baru hari ini aku tiba di sini, tentu ia menaruh kecurigaan.
Diriku yang sebenarnya, tentu akan ketahuan olehnya," kata Yak-bwe.
"Ai, kau mainkan sandiwara apa saja" Mengapa kau takut dirimu ketahuan dia?" tanya In-nio.
"Tentang diriku menyaru jadi pemuda itu, lho," kata Yak-bwe. "Belum lama ini, aku berjumpa
dengan Lu Hong-jun. Kuperhatikan kala itu ia sudah mencurigai diriku, tapi rupanya ia pun masih
belum yakin betul bahwa aku ini seorang anak perempuan."
Ia lalu menuturkan pengalamannya selama berpisah dengan In-nio. Bagaimana di tengah jalan
terluka panah, bagaimana perkenalannya dengan Tok-ko U serta bagaimana pada suatu hari Lu
Hong-jun datang berkunjung ke rumah Tok-ko U, diceritakan semua.
"Aku memakai nama palsu Su Ceng-to, berbohong mengaku salah seorang gagah dari Kim-keKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
nia. Tak kusangkah bahwa sebelum datang kesitu, Lu Hong-jun berjumpa dulu dengan Thiat-molek.
Mungkin ia tentu merasa keteranganku itu sedikit mencurigakan. Tapi syukur, aku dapat
mengatasi kesemuanya itu. Jika tadi ia tahu kalau baru hari ini aku datang kemari, mungkin ia tentu
akan menghubungkan diri 'pemuda Su Ceng-to' itu. Dan diriku tentu bakal ketahuan."
Habis mendengar, In-nio tampak kerutkan alisnya. Tegurnya: "Perbuatanmu itu kurasa tidak
tepat. Mengelabuhi mata Lu Hong-jun, itu sih tak mengapa. Tapi masakan kau juga mau
menyelomoti Khik-sia juga?"
"Tidak, siang-siang Khik-sia sudah tahu. Setelah Lu Hong-jun pergi, malamnya Khik-sia juga
datang ke rumah Tok-ko U dan bertemu dengan aku," kata Yak-bwe.
"Bagus, bagus! Khik-sia tentu tahu dan apakah kau memberitahukan siapa dirimu itu
kepadanya" Kupercaya ia tentu tak mencemburui kau. Kalian sudah berbaik, bukan?"
"Celaka, karena kubikin marah, ia pergi dengan putus asa. Memang kala itu aku masih marah
kepadanya, maka akupun tak mau berkata padanya."
Waktu mendengar cerita Yak-bwe tentang pertemuannya dengan Khik-sia, In-nio bantingbanting
kaki: "Ai, mengapa kau berlaku kelewatan begitu?"
Yak-bwe menyatakan penyesalannya: "Ya, sekarang aku sudah tahu kesalahanku. Jika nanti
bertemu lagi, aku akan menghaturkan maaf padanya. Tapi entah sekarang ini dia berada di mana.
Enci In, bagaimana adpismu" Apa sebaiknya cari dulu dianya, lalu kau katakan kepadanya."
In-nio tertawa: "Ya, enak saja kau mengomong. Dengan begitu tak perlulah kiranya kau minta
maaf lagi kepadanya, bukan" Hanya saja, kau sudah membuat urusan itu kacau balau, dikuatirkan
tak cukup dengan sepatah dua patah penjelasan dapat membuatnya mengerti."
Mendengar itu angot pula perangai kaum siocia (gadis orang hartawan atau berpangkat) pada
Yak-bwe. Ujarnya: "Ya, aku memang berlaku kelewatan kepadanya. Tapi iapun juga berulang kali
tanpa suatu alasan, menghina padaku. Kalau ditimbang-timbang, dua-duanya mempunyai
kesalahan. Jika setelah kau nasehati, ia tetap tak mau menerima penjelasanku, akupun tak
mengharap padanya lagi."
In-nio tertawa: "Ah, bukan begitulah. Tapi jawablah pertanyaanku ini. Apakah Tok-ko U
pernah curiga padamu?"
"Curiga apa" Curiga kalau aku ini seorang anak perempuankah?"
"Kau tinggal hampir setengah bulan di rumahnya itu, tentunya setiap hari kau berjumpa
padanya. Sebagai seorang yang suka berkelana dan banyak pengalaman, masakan ia tak melihat
sedikitpun tanda-tanda yang mencurigakan pada dirimu?"
Dengan bangga, Yak-bwe menerangkan: "Kepandaianku menyaru jadi pemuda, meskipun tak
seperti kau, tapi rasanya lebih dari cukup untuk mengelabuhi mata kedua kakak beradik itu. Bukan
saja kuberhasil mengelabuhi mereka, malah adiknya yang bernama Tok-koI Ing itu sudah jatuh hati
padaku." Yak-bwe segera menceritakan tentang sikap Tok-ko Ing yang menyintainya itu. Sudah tentu
dalam ceritanya itu, ia tambahi dengan bumbu secukupnya hingga In-nio tak kuat lagi menahan
gelinya. Puas tertawa, berkatalah In-nio: "Janganlah kau kelewat melanggar susila. Tidakkah
perbuatanmu itu menyebabkan penderitaan seorang gadis?"
"Nanti apabila sudah tiba saatnya, aku tentu akan memberi penjelasan padanya. Tapi pada
waktu itupun aku hendak mengolok-olok Lu Hong-jun juga. Tahukah kau bahwa Lu Hong-jun itu
sebenarnya juga akan meminang nona Tok-ko?"
"Itu kan tak ada jeleknya, mengapa kau hendak mengolok-oloknya?"
"Aku tak suka dengan adik perempuan dari Lu Hong-jun. Karena aku sayang akan Tok-ko Ing,
maka aku tak suka kalau sampai ia mendapat ipar perempuan semacam itu."
"Gila, bila benar kau ini. Ia kan menikah dengan Lu Hong-jun, bukan dengan adik
perempuannya. Sekalipun taruh kata kedua ipar itu tak rukun, toh tak ada sangkut pautnya dengan
kau" Apalagi Lu Hong-jun itu seorang lelaki yang lapang dada, sekali-kali bukan orang busuk."
"Tak usah kau damprat, belakangan akupun tahu kesalahanku itu juga. Tadi kan telah
kukatakan padamu, lambat atau laun aku tentu akan menjelaskan pada Tok-ko Ing. Hanya sekarang
ini belum tiba saatnya," ujar Yak-bwe tertawa.
Sejak kecil In-nio sudah bergaul dengan Yak-bwe, jadi ia cukup kenal perangainya. Tertawalah
ia: "Saat yang kau pilih itu, terus terang saja tentulah setelah kau berbaik lagi dengan Khik-sia, agar
jangan belum-belum apabila sampai ketahuan dirimu seorang anak perempuan, Tok-ko Ing akan
mengutuk kau."
Yak-bwe tertawa: "Terhadap kau aku tak dapat menutup isi hatiku. Itulah makanya aku lekaslekas
kemari, perlu minta adpismu."
Dengan sungguh-sungguh In-nio berkata: "Untunglah karena tak melihat penyaruanmu, Tok-ko
U tak sampai merayu kau. Tapi halitu tak mengurangkan cemburunya Khik-sia. Apakah kau tak
memikir sampai di situ?"
Yak-bwe terkesiap, serunya: "Kau maksudkan Khik-sia akan mencemburui aku, aku ...."
"Benar, ia mencemburui kau punya hubungan istimewa dengan Tok-ko U," tukas In-nio.
"Kurang ajar! Kalau ia benar mempunyai pikiran begitu, tandanya ia berhati serong sendiri,"
Yak-bwe menyeletuk sengit.
Sebagai puteri dari pembesar tinggi, Yak-bwe biasa memandang segala hal secara subyektif atau
menurut anggapannya sendiri. Itulah sebabnya maka ia tak memikirkan kemungkinan Khik-sia
akan menaruh persangkaan jelek terhadap tindakannya di rumah keluarga Tok-ko.
"Mengapa menyalahkan Khik-sia" Andaikata aku, pun juga akan menaruh persangkaan begitu.
Ketahuilah bahwa Tok-ko U itu termasuk golongan anak muda seperti kita. Dia jauh berlainan
dengan 'putera manis' dari Tian peh-peh," bantah In-nio.
"Hm, kau masih mengungkat hal itu. Apakah tidak karena Tian-pepeh hendak memaksa kau
menjadi menantunya, maka Khik-sia sampai marah-marah dan menghina habis-habisan padaku"
Baik, jika karena peristiwa di rumah Tok-ko U itu ia sampai marah-marah lagi, biarkan sajalah,"
Yak-bwe makin sengit.
In-nio menggeleng kepala, ujarnya: "Apakah kau benar-benar hendak membikin dia marah"
Kalau begitu, aku tak dapat mengurusi urusan kalian lagi."
Wajah Yak-bwe berubah agak gelisah, katanya: "Kelihatannya ketika ia tinggalkan aku,
sikapnya amat sedih sekali. Maka, maka kemarahankupun berkuranglah separuh."
Dengan menirukan gaya bicara Yak-bwe itu, In-nio berkata: "Maka, maka kau pun lantas minta
aku menjadi orang perantaranya."
Jilid 9 Yak-bwe tertawa mengikik dan sandarkan diripada tubuh In-nio. Bisiknya: "Siapakah Yang
suruh kau menjadi ciciku" Aku sudah tak punya sanak kadang lagi, kalau tak minta tolong padamu
habis minta tolong siapa?"
"Ucapanmu Yang menyajat hati itu, mau tak mengurus pun terpaksa harus mengurus. Baik,
bangunlah," kata In-nio. Ia mengatur rambut Yak-bwe Yang terurai, kemudian berkata pula:
"Dalam pertengahan bulan ini, Cin Siang akan menjelenggarakan rapat besar kaum enghiong.
Tentunya kau sudah mengetahui hal itu. Turut pendapatku, Khik-sia tentu akan datang untuk
melihat-lihat. Taruh kata ia tak datang, pun disana kita tentu dapat bertemu dengan kawankawannya
Yang bisa memberi keterangan."
"Kau artikan kita akan pergi juga" Tapi aku pernah bertempur dengan tentara negeri. Walaupun Cin
Siang telah mengumumkan takkan menangkap orang-orang Yang pernah melanggar hukum, tapi
kitapun tak boleh mempercajainya seratus persen. Dan jangan lupa, bahwa kita ini anak perempuan.
ya, meskipun kita dapat menyaru sebagai anak lelaki dengan bagas, tapi ditempat dimana kaum
persilatan Yang kasar sama berkumpul, rasanya gerak gerik kita tetap tak leluasa juga," bantah Yakbwe.
In-nio menertawakan: "Tak usah banyak kekuatiran. Hal itu telah kupikirkan semua. Aku dapat
menjaminmu Ayahku sekarang sedang pergi ke Gui-pok. Nah, akan kuambil cap kebesarannya dan
kucapkan pada sepucuk surat keterangan. Kita akan menyaru jadi opsir sebawahannya Yang
ditugaskan mengurus suatu pekerjaan ke Tiang-an. Siapa Yang berani mengganggu-usik pada kita
lagi" Di Tiang-an, ayah mempunyai sebuah pesanggrahan. Kita tak perlu tinggal dihotel, tapi
bermalam dipesanggrahan itu saja. Dengan selalu menjauhi kawanan orang persilatan itu, masakan
kita takut apa lagi."
Yak-bwe kegirangan dan menjetujui rencana itu.
"Jika berjumpa dengan Khik-sia, aku dapat memberi penjelasan padanya. Juga terhadap urusanmu
dengan Tok-ko Ing, karena akupun kenal dengan kakak beradik she Lu, biarlah ku?minta bantuan
Lu Hong-jiu untuk menyampaikan halmu kepada Tok-ko Ing. Dengan demikian, dapatlah urusanmu
itu dibebaskan."
Yak-bwe makin girang dibuatnya. Mulutnya tak henti-hentinya menghaturkan terima kasih.
"Tahukah kau mengapa ayahku pergi ke Gui-pok?" tanya In-nio. "Bagaimana aku tahu?" sahut
Yak-bwe. "Ialah untuk urusanmu juga. Setelah kotak emas Tian pehpeh kauambil, ia menjad: ketakutan
setengah mati. Bukan saja ia batalkan pernikahanmu itu. pun ia berjanji takkan mengganggu
wilayah Lu-ciu lagi. Ia menyalakan mau menjadi serekat ayah angkatmu. Kepergian ayahku ke Guipok
itu, ialah hendak menjadi orang perantara mereka. Ha, adik Bwe, kau sungguh hebat. Peristiwa
kau merampas cap kebesaran Tian Pehpeh itu, kelak tentu bakal menjadi buah tutur Yang indah,"
kata In-nio. "Jangan keliwat memuji setinggi langit," Yak-bwe tertawa, .......tentang kepandaian, aku tak nempil
padamu. Ilmu permainanmu hui hoa-cu-tiap tadi, sampai membuat aku mengiler benar. Beberapa
tahun aku belajar ilmu pedang, tetap tak mampu bermain sedemikian sempurnanya. Cici. dimasa
kecil kau sering memberi petunjuk padaku, sekarang aku hendak minta petunjukmu lagi."
Suasana pertemuan dan pembicaraan dgn In-nio itu, telah memberi banyak kegembiraan pada Yakbwe.
Karena hari masih belum' gelap, ia lantas cabut pedangnya dan mainkan ilmu pedang hui-hoacutiap. la minta In-nio memberi petunjuk dibagian Yang masih kurang baik. Baru bermain sampai
10-an jurus lebih, tiba-tiba terdengar orang berseru: "Ilmu pedang Yang bagus!"
Cepat-cepat Yak-bwe hentikan permainannya. Dilihatnya di dalam taman muncul seorang pemuda.
Dan pemuda Itu, astaga ........ kiranya sipemuda desa Yang dijumpainya dirumah makan itu.
Pemuda itu tertawa berkata: "Orang hidup tentu sering berjumpa. Sungguh tak nyana disini kita
saling berjumpa lagi."
Yak-bwe dekki mata dan membentaknya: "Mengapa kau berani masuk kedalam taman Ini?"
"Tadi ketika diluar pagar, kudengar suaramu. Mengingat bahwa kau telah memberi persen aku
setahil perak, ya. walaupun uang itu telah kuberikan pada pak pengemis, tapi aku tetap meiasa
menerima sesuatu dari kau. Karena belum meniatakan terima kasih, maka aku masuk kemari. He,
mengapa kau sekarang berubah menjadi seorang nona?"
Walaupun Ya k bwe masih hijau pengalamannia, tapi pada saat itu, ia pun dapat merasa tingkah
laku pemuda desa Itu bukan pemuda biasa. Cepat ia menghaturkan maaf: "Tadi karena hilaf, aku
telah memandang rendah padamu, maafkanlah. Tapi mengapa kau kenal akan ilmu pedang Yang
kumainkan tadi?"
Tertawalah sipemuda itu: "Kau memberi persen perak, tetapi malah m'nta maaf, ini aku tak berani
menerimanya. Ha. ha, aku hanya bahu mencangkul sawah saja, tak mengerti apa itu ilmu pedang
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau ilmu golok"
"Tapi mengapa kau berseru memuji?" tanya Yak-bwe.
"Karena selama hidup aku belum pernah melihat seorang nona bermain, pedang. Saking heran,
tanpa terasa aku berseru memuji"," sahut sipemuda.
Melihat orang berlagak pilon, Yak-bwe menjad: kuranp senang: "Aku sudah minta maaf, tapi kau
tetap hendak mengolok-olok ." Ia mendamprat dalam hati.
"Kau lancang masuk kemari, tetapi kubiarkan saja. Kau pun jangan mengurusi urusanku," ia
menyelutuk. Kata-kata itu berarti menyuruh orang pergi.
Tapi rupanya pemuda itu bandel sekali. Bukannya pergi, sebaliknya ia malah beringsut-ngsut
menghampiri Yak-bwe. serunya: "Ih, kata-katamu itu membingungkan aku. Bilakah aku menaurus:
urusan nona?"
Penyaruannya telah diketahui oleh sipemuda, Yak-bwe sudah kurang senang, tapi ia tak leluasa
menjelaskan bahwa Yang dimaksud dengan urusan itu, ialah tentang hal itu. Sesaat hatinya
bingung-bingung jengkel, tapi belum ia sempat meluapkan kejengkelannya itu, sipemuda itu sudah
mengoceh seorang diri: "Sebenarnya, orang Yang suka usil mengurusi urusan, juga bukannya tak
baik. Tadi dirumah makan, jika tak ada orang Yang suka usilan, kurasa ah, nona ah. belum tentu
menang dengan si imam busuk dan sikepala gundul itu."
Tergerak hati Yak-bwe, diam-diam ia membatm: "Apakah diam-diam dia Yang membantu aku"
Mengapa aku tak merasa sama sekali?"
Baru ia menimang begitu, tiba-tiba In-nio kedengaran memaki seraya mencabut pedangnya: "Berani
lancang masuk kedalam tamanku, kau sungguh tak punya aturan sekali, ini rasakan pedangku!''
Berbareng dengan berkumandangnya kata-kata, orangnyapun sudah menyerang sipemuda dengan
jurus giok-hi-joan-soh atau bidadari menyusup tali. Kejadian itu amat mengejutkan Yak-bwe. In-nio
biasanya lebih sabar dari ia. Mengapa tanpa berkata sepatah pun jua, ia lantas menyerang orang.
Bahkan serangannya itu menggunakan jurus Yang berbahaya.
Benar Yak-bwe tak senang dengan pemuda itu, tapi ia belum sampai hati untuk menghajarnya
sampai binasa. Tanpa terasa ia Segera berseru mencegah: "Cici, cici, kau ......."
Belum seruannya selesai, In-nio sudah lancarkan tiga kali serangan, sehingga Yak-bwe tak dapat
meneruskan seruannya lagi. Ti?ga serangan berantai dari In-nio itu dengan indahnya telah dihindari
oleh sipemuda. Jelas tampak oleh Yak-bwe, bahwa pemuda itu takkan terancam jiwanya. Diamdiam
ia membatin: "Kiranya orang ini lihay sekali dan hendak mengolok-olok kita." Pada lain saat
ia berpikir lagi: "Biasanya ci In itu sabar, tentu ada sebabnya ia sampai bertindak keras."
Yak-bwe ambil putusan akan melihat dari samping dulu. Tak mau ia mencegah In-nio lagi.
Dilihatnya setiap kali pedang In-nio menyambar, pemuda itu hanya menghindari dengan gerak
langkah beringsut-ngsut . Beberapa kali pedang In-nio tampaknya sudahberhasil menusuk, tapi
dalam jarak hanya seujung rambut saja selalu dapat dihindari oleh sipemuda.
"Kau berani menghina aku, ayo, loloslah senjatamu!" bentak In-nio. Habis berseru, tiba-tiba ia
gantikan serangannya dengan jurus hong-biau-lok-hoa (angin meniup bunga berguguran). Jurus itu
terdiri dari 7 buah serangan berturut-turut Yang sukar diduga isi kosongnya.
Laksana bunga gugur, sinar pedang berhamburan jatuh menyilaukan kegelapan malam. Jurus itu
merupakan timpalan dari ilmu permainan pedang hui-hoa-cu-tiap (bunga bertebar mengejar sang
kupu-kupu). Diam-diam Yak-bwe malu pada dirinya sendiri. Ia pentang mata Lebar-lebar untuk
melihat bagaimana sipemuda hendak melayaninya.
"Aduh, celaka!" teriak pemuda itu. Tiba-tiba ia tergelincir jatuh.
Tapi baru Yak-bwe terkesiap kaget, dilihatnya pemuda itu dua kali berputaran ditanah, kemudian
loncat berjumpalitan dan jaraknya dengan ujung pedang In-nio hanya sejari saja. Sepintas pandang,
ia seperti terpontang-panting tapi sebenarnya ia telah mainkan gerak cui-pat-sian atau Delapan dewa
mabuk, Yang indah sekali.
Sebenarnya Yak-bwe jemu dengan, pemuda itu, tapi menyaksi-kan permainannya Yang sedemikian
luar biasanya, mau tak mau ia berteriak memuji juga.
In-nio juga tak kurang tangkasnya. Begitu tusukannya me?nemui tempat kosong, ia sudah susuk
lagi dengan lain serangan. Rupanya pemuda itu tahu juga akan llhaynya ilmu pedang In-nio. Ja
merasa jika melajani dengan tangan kosong, lama-lama tentu akan menderita juga ahirnya. Ketika
In-nio kembangkan serangannya Yang kedua, tiba-tiba pemuda itu berseru: "Karena tak dapat
mengganti pedang dengan golok, terpaksa aku hendak gunakan kaju untuk melajani. Maaf, aku
hendak merusak sebatang dahan pohon liu kepunyaanmu."
Dalam berkata-kata itu,ia sudah memotes sebatang dahan liu, terus dimainkan. Dalam rangsangan
pedang In-nio, daun-daun pada dahan pohon Yang dipakai sebagai sendiata oleh pemuda itu,
berhamburan jatuh. Dalam sekcjab saja dahan itu sudah bersih menjadi sebatang tongkat. Anehnya,
hanya daunnya saja Yang terkupas hilang, sedang batangnya tetap tak kena terpaKsa pedang In-nio.
Kini pemuda itu mulai kembangkan permainannya. Dahan liu dimainkan dalam jurus permainan
pedang. Ditangan sipemuda, dahan kaju itu berobah menjadi senjata Yang hebat perbawa-nya.
Belum In-nio menghabiskan 7 jurus serangan berantainya, sudah kena disiak kesamping oleh dahan
liu sipemuda. Diam-diam heranlah Yak-bwe. Bahwa kepandaian pemuda itu lebih tinggi dari In-nio, itulah sudah
terang. Tapi Yang lebih mengagumkan lagi, jurus permainan pedang dengan menggunakan dahan
pohoa itu, juga luar biasa anehnya. Sampai sekian lama memperhatikan barulah Yak-bwe teringat,
bahwa permainan pedang kayu sipemuda itu serupa dengan pertandingan pedang antara Thiat-molek
dengan Bo Se-kiat digunung Kim-ke-nia tempo hari.
Permainan ilmu pedang itu mengutamakan tenaga lwekang Yang tinggi baru dapat dikembangkan
dengan baik. Walaupun hvekan pemuda itu cukup lihay, tapi terang kalau masih kalah dengan
Thiet-mo-lek. Tempo hari Thiat-mo-lek gunakan pedang Yang berat, sedang pemuda itu kini
gunakan dahan pohon Yang enteng untuk melawan pedang In-nio Yang berat. Ini juga bukan suatu
hal Yang mudah. Oleh karena itu walaupun In-nio kalah dalam hal lwekang, tapi ia mendapat
kemurahan dalam hal senjata. Permainan Yang d!imaiinikan In-nio, adalah ilmu pedang Yang
paling diandalkan. Untuk menghadapi permainan pedang kayu dari sipemuda, ia memerluka waktu
Yang agak lama. Begitulah Berselang beberapa saat, kira-kira setelah 20-an jurus lewat, pemuda itu
mulai kendor permainannya. Berangsur-angur mulailah ia kalah angin.
Diam-diam Yak-hwe girang: "Kali ini rupanya ci In tentu akan memberi hajaran pada orang itu."
Tapi kegirangannya itu mendadak berobah menjadi kekagetan ketika sekonyong-konyong dalam
sebuah gerak menyongsong kemuka, dahan kayu sipemuda itu berhasil mendorong pedang In-nio
kesamping. Kiranya gerak tamparan dari sipemuda itu juga menggunakan salah sebuah jurus dari
ilmu pedang hui-hoa-cu-tiap.
"Bagusi" In-nio berseru seraya geliatkan pedangnya untuk lolos dari libatan dahan liu. Sret, sret,
pedangnya berkilat kian kemari aksana kupu-kupu menari diantara bunga atau burung kenari
menjusup kebawah daun. Isi kosongnya serangan itu sukar diduga sekali. Memang itulah jurus
Yang disebut tiap-bu-ing-hui atau kupu-kupu menari burung kenari terbang.
Sambil memuji, pemuda itu putar dahan pohonnya berganti jurus ceng lo-siau-san, dahan liu
dikiblatkan dan kakinya berlincahan. Gerakannya sungguh mirip dengan suasana Yang dilukiskan
dalam sajak ceng-lo-siau-san-boh-liu-ing atau goyangkan kipas menangkap kunang-kunang: Indah
sekali, ia pecahkan serangan In-nio.
Jurus tiap-bu-ing-hui itu tak mengutamakan tenaga kekuatan. Dan memang Biau Hui Sin-ni telah
menciptakannya kusus untuk wanita. Setiap gerakannya disesuaikan dengan keindahan gerak badan,
maka bila dimainkan tak ubah seperti orang menari.
Pemuda Yang mengenakan dandanan Seperti pemuda desa itu, dengan dahan kaju ikut menari-nari
untuk menghalau serangan, sudah tentu gerakannya lucu sekali. Tapi dikarenakan luar biasanya
jurus Yang dimainkan itu, maka dari merasa geli sebaliknja Yak-bwe malah mengikuti dengan
penuh, perhatian.
Pada waktu pertempuran mencapai klimaksnya, tampak bunga-bunga bertebaran gugur, suatu hal
Yang lebih menyemarakkan suasana pertandingan. Pada lain saat pemuda itu juga menggunakan
permainan ilmu pedang Yang serupa dengan In-nio. Pada saat itudah segera terdapat keseimbangan
kekuatan. Dahan liu dimainkan tepat seperti sebatang pedang. Sedemikian mahir pemuda itu
memainkannya sehingga dapat mengembangkan inti keindahan ilmu pedang, jari lemah gemulai
laksana ujung tangkai itu, sigap beringas bagai burung hong kaget. Setiap jurus penuh mengandung
perobahan-perobahan Yang sukar diduga.
Yak-bwe tersensam sekali, ia begitu terpesona sekali ia sampai lupa soal kaiah menangnya.
Pikirnya: "Kiranya ilmu pedang dari suhu itu, mempunyai banyak perobahan Yang indah."
Setelah mengikuti sekian lama, tiba-tiba ia seperti disadarkan: "Aneh, mengapa pemuda itu
mengerti akan ilmu pedang itu" Rupanya malah ia lebih faham dari ci In."
Tiba-tiba pemuda itu tindihkan dahan pohonnya kepinggir pedang dan tertawa: "Tak perlu
bertempur terus, ya?"
In-nio tarik kembali pedangnya. "Apakah Pui suheng?" tegurnya.
Pemuda itu lemparkan dahan kayunya dan lalu memberi hormat: "Ya, memang benar, harap sute
berdua memaafkan."
Heran Yak-bwe dibuatnia, pikirnya: "Bilakah suhu menerima se?orang murid lelaki" Ha, suheng
dari mana ini"
In-nio segera melambainya supaya datang, katanya: "Pui suheng ini, adalah tit-Ci (keponakan) dari
suhu. Dia adalah murid dari Mo Kia lojin."
Memang Yak-bwe tak begitu tahu tentang asal usul suhunya ketika belum menjadi nikoh (rahib).
Kiranya Biau Hui Sinni itu orang she Pui. Ia mempunyai seorang adik lelaki Yang sudah
meninggal. Adiknya itu mempunyai anak lelaki Yang bernama Pui Bik-hu. Biau Hui kasihan pada
anak itu. Selain diserahkan pada Mo Kia Lojin untuk belajar silat, ia sendiripun menurunkan
kepandaiannya kepada keponakannya itu. In-nio tahu akan hal itu karena ia lama bergaul dengan
suhunya. Itulah sebabnya maka In-nio tahu tentang urusan itu, sebaliknya Yak-bwe tidak.
"Apakah suhu baik-baik saja?" tanya In-nio.
"Bulan Yang lalu beliau telah genap berusia 80 tahun Beliau ambil putusan akan menutup pintu
meyakinkan pelajaran agama, selanjutnya tak mau keluar kedunia persilatan lagi. Beliau menitipkan
sepucuk surat padaku supaya diberikan padamu," jawab Bik-hu.
In-nio melihat tulisan pada sampul itu benar buah tangan suhunya. Setelah memberi hormat,
barulah ia membukanya. Trrnyata isi surat itu jalah hendak memperkenalkan Bik-hu kepada In-nio,
Dika takan bahwa Bik-hu itu masih hijau baru saja menyelesaikan pelajaran silatnya dan hendak
terjun kedunia persilatan. Oleh karena itu, sukalah In-nio memimpinnya dan menganggapnya
sebagai adik dsb.
Surat itu diberikan kepada Yak-bwe juga dan tertawalah In-nio:
"Ah. suhu terlalu sungkan. Kita kan seperti orang serumah, masakan perlu pelajaran khusus?"
Waktu melihat dalam surat itu tertera hari dan tanggal lahir Bik-hu, tahulah Yak-bwe" kalau
pemuda itu lebih muda beberapa bulan dari In-nio, tetapi lebih tua setahun lebih dari ia. Diam-diam
Yak-bwe geli diibuatnya, pikirnya: "Ai, suhu memang banyak ini itu. Cukup mengatakan Pui Bikhu
ini pernah sute dan ci In itu sucinya. kan sudah jelas. Perlu apa menerangkan hari lahir, se?perti
orang hendak mencari hari untuk perjodoan."
Memang Yak-bwe tak tahu kalau Biau Hui sin-ni itu justeru bermaksud begitu. Bik-hu itu adalah
keponakannya sendiri, sudah tentu ia mengharap agar anak itu mendapat jodoh yang baik. Dua
orang anak muridnya, Yak-bwe sudah ditunangkan pada Khik-sia, tinggal In-nio Yang masih bebas.
Ini sudah diketahuinya. Menurut penilaiannya, In-nio itu lebih masak pikirannya, perangainyapun
mencocoki seleranya (Biau Hui). Oleh karena itu ia mempunyai minat untuk menjodokan Bik-hu
dengan In-nio. Hanya saja, Biau Hui pun tahu juga akan soal pernikahan. Pernikahan harus
dida?sarkan rasa saling suka pada kedua fihak. Jika ia menggunakan kedudukannya sebagai suhu
menjodokan mereka, dikuatirkan In-nio tak senahg dan mengatakan suhunya itu hendak
menggunakan pengaruh untuk memaksanya. Maka dari itu, dalam surat iapun tak mau menjelaskan,
melainkan titipkan keponakannya itu kepada In-nio. Maksudnya tak lain tak bukan, agar supaya
kedua anak muda itu bisa berkenalan dari dekat dan dapat mengembangkan rasa suka mereka.
In-nio seorang nona yang berhati lapang. Hatinya sudah terisi oleh Bo Se-kiat. Dalam membaca
surat itu, walaupun agak merasa aneh atas sikap suhunya Yang begitu sungkan, tapi ia tak dapat
meraba maksud suhunya itu.
"Pui sute, kau memiliki ilmu kepandaian dari dua aliran. Aku sebagai suci sungguh merasa malu
sekali. Kelak aku tentu akan minta petujuk-petunjuk dari kau. Ucapan suhu itu seharusnya ditukarbalik,
baru benar," katanya dengan tertawa.
Yak-bwe pun tertawa: ........Kau kan masih punya toa-suheng Thiat-mo-lek, masakan takut tak ada
orang Yang merawatimu?"
Muka Bik-hu agak tersipu merah, sahutnya: ,.......Markas Kim-ke-nia dari Thiat suheng sudah
dihancurkan tenteta negeri, untuk mencarinya sungguh tak mudah. Maka paling baik kudatang
kemari menemui suci berdua dulu."
Kiranya ia sudah tahu maksud dari bibinya (Biau Hui sin-ni). Adanya ia tak mau unjukkan diri
dulu; dan bertempur dengan In-nio, adalah karena ia hendak menjajal sampai dimana ilmu sifat Innio
Itu. Adakah nona itu layak menjadi pasangannya atau tidak.
"Ai, Pui suheng, kau pandai bicara. Sebenarnya kau kan hendak berkuojung pada ci In, mengapa
diriku turut terbawa-bawa" Masakan kau dapat meramalkan bahwa. Hari ini aku juga datang
kemari" Apa lagi aku ini bukan sucimu," Yak-bwe tertawa.
Bik-hu tertawa gelak-gelak, ujarnya: "Kalau begitu aku harus minta maaf padamu. Tadi ketika
dirumah arak aku belum mengetahui kalau kau ini sumoayku. Perbuatanku tadi juga kurang pantas,
membuat kau marah."
"Pui suheng, sekarang aku sedikit jelas. Pertempuran Yang kumenangkan itu, tentulah karena
mendapat bantuanmu secara diam-diam, bukan?" kata Yak bwe pula.
Bik-hu ganda tertawa: "Begitu kau turun tangan, aku segera tahu kalau kau ini tentu murid bibiku.
Dan ketika habis menjengkelit kedua bangsat itu kau loncat kebawah, sebenarnya aku hendak
menjelaskan padamu. Tapi karena kulihat kau sedang kegirangan maka akupun tak mau
mengganggumu."
Yak-bwe kemerah-merahan wayahnya. Demi In-nio mengetahui peristiwanya, ia tertawa geli juga.
"Su sumoay, mengapa kau mengikat permusuhan dengan kaum Leng-san-pay?" tanya Bik-hu.
Pertanyaan itu diajukan oleh Bik-hu karena ia mendengar juga percakapan antara kedua iman dan
hweshio itu. Ia kira mereka ten?tu benar hendak menangkap Yak-bwe.
"Aku sendiri juga tak tahu," sahut Yak-bwe. "Hm, apakah Leng-san-pay itu" Pui suheng, rasannya
kau tentu mengetahui tentang mereka itu."
"Aku baru saja keluar didunia kang-ouw. Orang Yang kukenal sedikit sekali. Aku tak tafiu asal usul
kedua orang itu. Hanya saja, pernah kudengar dari suhu tentang kaum Leng-san-pay itu. Kau telah
menggasak mereka, selanjutnya harus berhati-hati". kata Bik-hu.
"Apa" Apakah mereka itu tak dapat diganggu" Kulihat, walau kepandaian mereka itu lebih unggul
setingkat dari aku, tapi rasanya tak begitu berlebih-lebihan, "Yak-bwe kurang puas.
"Dari pembicaraan hweshio itu, menunjukkan kalau ia anak murid Leng-san-pay. Benar dia itu
biasa saja kepandaiannya, tapi suhunya Yang bernama Leng Ciu sangjin itu, benar-benar tak boleh
dibuat main-main, " kata- Bik-hu. Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan pula: "Leng-san-pay
adalah salah satu anak cabang dari partai agama Ang-Kau di Se-ik (Tibet). Ketuanya, Leng Ciu
Siangjin, itu seorang suku Han. Murid-murid yang diterimanya campur baur, ada suku peribumi ada
suku Han, ada kaum paderi dari Thian Hui-kong, Kabarnya Leng Ciu siangjin itu adalah suheng
dari Tian Hui-liong, seorang tokoh persilatan Yang termasyhur pada zamannya. Karena tak dapat
melaksanakan cita-cita d daerah Tiong-goan, maka ia lantas,kabur kedaerah Se-ik, mencukur
rambut menjadi paderi dan mendirikan sebuah partai."
In-nio terbeliak kaget, serunya: "Apakah Tian Hui-Liong itu bu?kan suami dari Tian toanio, ayah
dari Tian Goan-siu?"
Bik-hu mengangguk " "Benar, pada masa itu tokoh-tokoh partai Ceng-pay (baik) telah mengepung
Tian Hui-Liong, suhu dan bibiku juga turut. Dan dengan ikut sertanya juga Hong git Wi Gwat, segaksin-liong Hong "hu Ko dll...., barulah dapat mengalahkan orang She Tian itu."
"Apalagi Leng Ciu siangjin itu suheng dari Tian Hui Liong, tentunya lebih hebat lagi......
Tetapi Leng-san-pay itu jauh sekali didaerah Se-ik. Dan Yak-bwe itu seorang nona tak ternama
Yang baru keluar didunia persilatan. Sudah tentu ia tak kenal mengenal dengan orang-orang Lengsanpay, tetapi mengapa dapat terikat permusuhan" Baik Bik-hu, In-nio bahkan Yak-bwe sendiri tak
tahu sebabnya. "Ah, tak usah kita hiraukan hal itu lagi. Pui suheng, hendak kemana kau?" kata In-nio.
"Maksudku hendak ke Tiang-an untuk ikut dalam Eng-hiong-tay-hwenya Cin Siang. Ya, agar
menambah pengalaman. In saci, apakah kalian juga berminat kesana?" kata yang ditanya
"Ya, Memang tadi aku dan Su Sumoay sedang merunding tentang kepergian kami ke Tiang-an.
Kebetulan Pui Sute juga setujuan, jadi kita boleh bersama-sama kesana," Katanya.
Maksud Yak-bwe ke Tiang-an itu ialah hendak menyirapi diri Khik-Sia. Sebenarnya ia tidak suka
pergi bersama Bik-hu itu, tapi karena In-Nio sudah meluluskan apalagi Bik-hu itu masih saudara
seperguruan, maka iapun tak enak untuk membantah.
Begitulah malam itu itu Bik-hu menginap di rumah In-Nio, Keesokan harinya, mereka segera
berangkat. In-nio dan Yak-bwe menyaru menjadi opsir tentara. Karena menganggap dalam pakaian
sebagai pemuda desa itu, Bik-hu tak layak berjalan bersama mereka, maka In-nio minta Bik-hu
menyaru menjadi seorang bu-koan pengawal. Dan mengajarinya juga sedikit tentang hal yang patut
diketahui dan tingkah laku dari seorang anak tentara.
"Ho, selama ini aku selalu mengikuti suhu menjadi kacung pelayannya, kini tak nyana naik pangkat
setinggi langit begini, menjadi anak militer. Tapi, ah, jadi seorang anak militer itu begini berabe,
lebih baik jadi seorang kacung penggosok kaca sajan, "Bik-hu tertawa geli.
Kini barulah Yak-bwe mengerti bahwa adanya pemuda itu mengenakan pakaian -sebagai orang
desa, bukan tak ada sebabnya. Ternyata Bik-hu selama itu, ikut pada suhunya Mo Kia tojin
mengerjakan pekerjaan tersebut (gosok kaca).
Setelah membuat surat dinas yang hendak dihaturkan kepada pihak kerajaan dan memberi sabuk
lencana pada Bik-hu, maka In-nio segera ajak kedua sumoay dan sutenya itu berangkat ke Tiang-an.
Dalam perjalanan itu, mereka bercakap-cakap tentang cerita-cerita dan peristiwa-peristiwa didunia
bulim. In-nio dapatkan, walaupun Bik-hu itu baru pertama keluar dari perguruan, tapi apa yang
diketahui tentang keadaan, diluaran. tak kalah dengan ia.
Kiranya Mo Kia lojin itu berlainan sekali caranya memberi pelajaran pada muridnya. Bukannya
menyuruh murid tinggal di Gunung belajar silat seperti lazimnya guru-guru lain, tetapi suruh
muridnya itu memikul pikulan dan ikut padanya menjelajahi kota dan desa-desa . (Gosok kaca,
adalah sebuah mata pencaharian, pada jaman dahulu. Pada jaman dulu, orang memakai tong Kia
(kaca tembaga) bukan kaca gelas, maka lewat beberapa waktu, tentu harus digosok sampai
mengkilap). Itulah sebabnya maka pengalaman dan pengetahuan Bik-hu,cukup banyak.
Diam-diam In-Nio menertawai suhunya. Bukan ia yang pantas mengurus Bik-hu, sebaliknya Bik-hu
lah yang tepat mengurusnya. Tapi In-Nio hanya mengira kalau suhunya itu keliwat sayang pada
kponakannya, maka keponakannya itu dikatakan sebagai anak kecil yang tak tahu apa-apa, haru
diurusi orang. Ini menandakan bahwa sampai saat itu, In-Nio tetap belum mengetahui maksud yang
sebenarnya terkandung dalam hati Biau Hui Sin-ni itu.
Karena berkendaraan kuda, dalam tujuh hari saja,. tibalah sudah mereka dikota Hin-peng, sebuah
kota yang ramai. Dari Hin-peng ke Tiang-an, kalau naik kuda hanya memerlukan wak?tu dua hari
saja. Karena saat itu sudah menjelang petang, mereka bertiga lalu menginap disebuah hotel yang
besar di Hin-Peng.
Tiba dimuka pintu hotel, tiba-tiba Yak-bwe mendengus heran, uh, dari mana datangnya dua ekor
kuda Yang begitu bagus u!"
Ketika memandang, In-nio dapatkan pada tempat penambat kuda Yang terletak dihalaman hotel itu,
sudah penuh dengan belasan ekor kuda. Diantaranya terdapat dua ekor kuda Yang menjolok mata.
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang seekor berbulu merah api, Yang seekor putih seperti salju. Sekali pandang, dapatlah diketahui
bahwa Kedua binatang itu termasuk kuda bagus Yang mahal harganya.
"Itulah kuda ternama dari jenis keturunan Gong-ki. Yang dirampas oleh Bo Se-kiat tempo hari, juga
sama dengan kuda itu. Aku pernah menunggangi, tapi kurasa, tetap tak mampu me?nandingi
ketegangan kedua ekor itu, "Yak-bwe berbisik-bisik.
In-nio terkesiap kaget, pikirnya: "Apakah ada bangsa tay-lweko-Ciu disini?" Tay-lwe-ko-Ciu
artinya jagoan istana Yang lihay.
Setelah menambatkan kudanya. ln-nio berindap-indap menghampiri kedua ekor kuda bagus itu.
Setiap kuda yang dipersembahkan untuk raja, tentu dicap pertandaan. Tapi kedua ekor kuda itu lak
punya noda sama sekali, apalagi cap.
Kuda itu perasa sekali. Begitu ada orang datang dan orang itu selalu mengimcarnya saja, iapun
lantas beringas dan meringkik keras. Kakinya diangkat terus hendak disepakkan In-nio. In-nio
cepat-cepat meniyingkir. Berbareng itu, terdengar orang miembentaknya!: "Hai, apa kau mau cari
mampus, berani mengganggu kuda tuanmu!"
Dari ambang pintu hotel, seorang melongok keluar, tangan menuding mulut memaki, wayahnya
aneh sekali mirip dengan tokoh Ti-pat-kay dalam dongeng Se Yu. Hidungnya mendongak seperti
hidung babi, dahi rata dan rambut berwarna kuning diikat dengan Kim-hoan (gelang emas), mirip
dengan bangsa thau-to (paderi) daerah Se-ik. Barangsiapa melihatnya tentu akan merasa muak.
Yak-bwe tak dapat kendalikan kemarahannya lagi, ia segera balas mendamprat: "Kurang ajar,
apakah lihat saja tak boleh, mengapa mulutmu memaki-maki?"
In-nio cepat menyetopnya. Ia tertawa menghaturkan maaf. "Harap taysu jangan marah. Karena
selama ini belum pernah melihat kuda sebagus itu, maka tak kusengaja melihatnya beberapa saat."
Melihat In-nio dan yak-bwe dalam dandanan sebagai seorang opsir apalagi ln-nio memuji kudanya
serta menghaturkan maaf, redalah kemarahan paderi itu. Tapi terhadap Yak-bwe ia masih
Pendekar Remaja 13 Golok Halilintar Karya Khu Lung Suling Emas Dan Naga Siluman 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama