Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Bagian 8
Kie. sekarang ada orang Iiehay yang bokong padanya, maka
guna lindungkan kehormatannya, sebelum rekan-rekannya
pergoki kekalahannya itu ia lantas menyingkirkan diri.
Seng Kun pun ajak Beng Kie menyingkir terus.
"Mari turut aku!" katanya.
Beng Kie mengikuti, mereka sampai di belakang gunung
batu itu. Kepala pahlawan itu mengangkat sebuah batu besar,
terlihatlah di depannya sebuah lubang gua. Ke dalam situ
mereka bertindak masuk.
Baru setelah sampai di dalam, Seng Kun menghela napas
lega. Beng Kie pun tidak terkecuali. Mereka masih dengar
suara berisik di luar.
"Dari sini kita bisa sampai ke sungai di luar istana." Seng
Kun beritahukan. Dengan begini tidak usah kita serbu bahaya
dari pintu Seehoa mui."
"Apakah tidak ada orang yang ketahui terowongan rahasia
ini?" Beng Kie tanya.
"Terowongan ini dibuat oleh Sri Baginda almarhum, semasa
dia masih bertempat di Tangkiong," Seng Kun jawab. "Sama
sekali cuma lima pahlawan berikut aku yang ketahui
terowongan rahasia ini. Sekarang Sri Baginda telah wafat,
dengan sendirinya rombongan pahlawan kami telah lenyap
pengaruhnya, aku percaya mereka itu tidak nanti sudi jual
tenaganya untuk Gui Tiong Hian. Aku percaya juga bahwa
mereka itu tidak akan berani datang menggeledah kemari."
Beng Kie percaya keterangannya pemimpin pahlawan ini.
Mereka jalan terus. Benar-benar mereka tidak menghadapi
rintangan, di depan tidak ada yang mencegat, di belakang
tidak ada yang mengejarnya. Tidak lama, mereka dapat
dengar berisiknya suara air di arah depan.
Seng Kun buka pintu rahasia, atas mana, air menyerbu
masuk. Beng Kie mau segera lompat keluar.
"Tahan!" Seng Kun mencegah.
Dia pun segera ulur tangannya ke tembok di sebelah kanan
dan menekannya.
Sekarang Beng Kie bisa saksikan, di sebelah luar itu ada
rintangan roda besi yang bisa berputar. Pada roda itupun
dipasangkan golok-golok tajam.
Roda rahasia itu berputaran sekian lama, lalu menjadi
perlahan dan akhirnya berhenti.
Seng Kun tutup kembali pintu rahasia itu, ia ajak Beng Kie
nyeplos di antara jari-jari roda rahasia itu, hingga di lain saat,
sampailah mereka di-gili-gili sungai istana itu.
"Segera akan terang tanah," kata Seng Kun. setelah ia
dongak memandang langit. "Pakaian kita basah kuyup, tidak
dapat kita lantas berlalu dari sini. Letak rumahnya Tang Hong
tidak jauh dari sini, mari kita pergi ke rumahnya untuk salin
pakaian. Ada kata-kata yang aku hendak bicarakan kepada
enso Tang."
Beng Kie menurut, ia ikuti pemimpin pahlawan itu.
Tang Hong adalah pembantunya Seng Kun, isterinya pun
ada dari kalangan Rimba Persilatan, maka Nyonya Tang
ketahui bahwa suaminya tidak terlalu cocok dengan Seng Kun.
Pagi itu Nyonya Tang sendiri yang membukakan pintu. Ia
terperanjat akan lihat Seng Kun datang bersama satu
pahlawan lain, dengan pakaian kedua-duanya basah. "Enso,
kunci pula pintu, ada urusan penting yang aku hendak
bicarakan padamu," Seng Kun lantas berkata.
Nyonya Tang menurut, la kunci pintu, ia ajak kedua
tetamunya ke dalam.
Seng Kun lantas menceritakan bagaimana Tang Hong
hendak menolongi padanya tetapi gagal sebab keganasannya
Gui Tiong Hian.
Nyonya Tang kaget, segera saja ia menjerit dan menangis.
"Memang sudah sejak lama aku anjurkan padanya jangan
menjadi siewie, tetapi dia tidak mau meladeninya," kata isteri
ini. "Sebenarnya lebih merdeka mengikuti ayahku menjadi
piauwsu. Sekarang benar-benar terbit onar..."
"Jangan menangis, enso," Seng Kun menghibur. "Memang
benar suamimu dan aku tidak terlalu cocok satu dan lain, akan
tetapi sekarang dia telah tolong aku, aku ada sangat berterima
kasih padanya, maka itu, akupun hendak tolong suamimu itu.
Kau percayalah padaku!"
Nyonya Tang mencobanya untuk tidak menangis, ia buka
kedua matanya mengawasi sep suaminya itu, agaknya ia
bersyukur tetapipun bersangsi. Di dalam hatinya ia
mengatakan: "Jiwamu sendiri hampir tidak dapat tertolong,
bagaimana kau bisa menolongi suamiku?"
"Mari ambil kertas." Seng Kun minta. "Aku nanti menulis
sepucuk surat. Sebentar terang tanah, kau bawalah kepada
Ciehui Cio Ho dari Kimiewie, kau minta pertolongannya untuk
disampaikan pada Gui Tiong Hian. Percayalah, tidak perduli
bagaimana besar nyalinya Gui Tiong Hian, tidak nanti dia
berani bunuh suamimu itu."
Beng Kie segera mengerti, tanpa merasa dia berseru:
"Benar! Selama Seng Toako masih hidup, pasti Gui Tiong Hian
tidak akan berani bunuh Tang Toako!"
Enso Tang pun lantas saja mengerti. Tentulah Seng Kun
ketahui banyak rahasianya orang kebiri yang berpengaruh itu,
dan di dalam barisan Kimiewie, orang she Seng itu masih
banyak kawannya, oleh sebab-sebab itu niscaya Seng Kun
dapat pengaruhi Tiong Hian.
Enso Tang lantas sediakan perabot tulis. Selagi Seng Kun
tulis suratnya, ia siapkan dua perangkat pakaian untuk kedua
siewie itu kepada siapa kemudian ia kata: "Di sini ada dua
perangkat pakaian untuk jiewie (kedua tuan), harap jiewie
pakai seadanya."
Seng Kun serahkan suratnya, ia terima pakaian sambil
mengucap terima kasih. Enso Tang juga haturkan terima
kasihnya. Seng Kun berdua Beng Kie pergi ke ruang telamu yang
pintunya mereka kunci, untuk mereka salin pakaian.
Dari dalam saku pakaiannya yang basah. Seng Kun
keluarkan, sepasang sarung tangan. Ia pandang itu dengan
dibalik-balik, terus ia letakan di atas meja agaknya ia sangat
menyayanginya. Beng Kie juga keluarkan gumpalan kertas, yang ia dapat
ambil dari kolong meja. Surat yang dilempar kaisar itu. Syukur
surat itu cuma basah demak. maka ia bawa ke api untuk
dikeringkan. Sehabis dandan, Seng Kun kata pada kawannya: "Gak
Toako, ilmu silatmu liehay sekali, tak dapat aku
menandinginya. Kaupun telah menolong jiwaku, selama
hidupku mungkin aku tidak bisa balas budimu. Maka itu,
haraplah kau terima sepasang sarung tangan ini."
"Ah, Seng Toako, mengapa kau mengucap demikian..."
kata Beng Kie. Ia hendak menampik, tapi Seng Kun demikian
mendesak, maka ia terima juga tanda mata itu. Iapun pikir,
tidak seberapa harganya sepasang sarung tangan...
Seng Kun tunggu sampai Beng Kie sudah terima sarung
tangan itu, ia lantas berkata pula: "Gak Toako, sarung tangan
ini dahulu aku terima sebagai hadiah dari Sri Baginda
almarhum. Kabarnya sarung tangan ini terbuat dari bulu
lutung Kimsie wan dan benang kulit asal dari Hekliong kang.
Sarung ini tidak saja tidak mempan terbacok dan tertombak,
racun pun tidak dapat menembusinya. Maka jikalau sarung ini
dipakai untuk dengan tangan kosong melawan musuh yang
bersenjata, bukan main berharganya." Beng Kie terperanjat.
"Mengapa kau tidak mengatakannya sedari siang-siang,
toako?" ia sesalkan. "Inilah benda sangat berharga, tidak
berani aku menerimanya."
Pemuda ini keluarkan pula sarung tangan itu, yang ia sudah
simpan dalam sakunya, untuk dikembalikan. Seng Kun
tertawa, ia menolak. "Kata-kata satu kunCu tidak dapat dikejar
seekor kudajempolan!" berkata pemimpin pahlawan ini. "Kau
telah terima tanda peringatan dari aku, cara bagaimana kau
bisa kembalikan itu padaku?"
Beng Kie kalah desak, maka lagi sekali ia haturkan terima
kasihnya yang hangat. Ia ingat benar kebaikan ini, sedang
sarung tangan itu ia simpan pula.
Sebentar kemudian, matahari sudah mulai muncul. Enso
Tang lantas cari kereta sewaan untuk Seng Kun dan Beng Kie
berlalu secara diam-diam, ia sendiri juga terus menuju ke
Ciekimshia. Beng Kie suruh tukang kereta menuju ke rumah Pengko
Kiesutiong Yo Lian.
"Oh, kau tinggal di sana, saudara Gak?" tanya Seng Kun.
"Yo Lian adalah seorang menteri setia, maka aku percaya,
tidak nanti orang berani berlaku terlalu kurang ajar
terhadapnya..."
"Kenapa kau kata demikian. Seng Toako?" Beng Kie
menegaskan. "Apakah ada orang tahu kau tinggal pada Keluarga Yo?"
Seng Kun masih tanya.
"Tidak banyak orang yang ketahui," Beng Kie jawab.
"Ketika aku datang ke kota raja, aku tak menyangkanya akan
terbit kejadian serupa ini, maka itu, aku tidak sembunyikan
tempat kediamanku."
Seng Kun menghela napas, lalu ia berbisik: "Aku kuatir
mereka sudah ketahui tempat kediamanmu ini..."
"Bagaimana kau ketahui itu, toako?"
"Sebab sebelumnya aku ditangkap Gui Tiong Hian, aku
telah dengar pembicaraan di antara pahlawan-pahlawan dari
TongCiang, katanya gedung Keluarga Yo harus diawasi.
Sebenarnya aku tidak tahu apa maksudnya mereka, tidak
disangka kau justeru menumpang di sana."
Beng Kie nampaknya gelisah.
Sesampainya mereka di depan rumah Yo Lian, hari sudah
terang. Seng Kun mengintai dari dalam tenda kereta, ia
dapatkan gedung itu sunyi, tidak ada orang yang ia kenali.
Bersama Beng Kie ia turun dari kereta.
Tiba-tiba pintu pekarangan dipentang, dari dalam terdengar
suara nyaring: "Tuan Gak pulang!"
Beng Kie bertindak masuk, ia ajak Seng Kun bersama.
Sesampainya mereka di tiongtong, ruang tengah, di situ
mereka lihat Yo Lian sedang duduk menantikan. Tuan rumah
itu segera saja berseru: "Dunia terbalik!"
Beng Kie terkejut, ia jadi sangat heran.
"Apakah sudah terjadi?" ia tanya.
"Aku adalah Menteri Perang, siapa nyana, ada orang jahat
berani permainkan aku!" sahut tuan rumah itu. "Rombongan
penjahat telah mengacau di sini!"
Beng Kie heran tak kepalang.
"Barang-barang apa yang hilang?" dia tanya pula.
"Tidak banyak, orang hanya ambil beberapa barang kuno,"
sahut Yo Lian. "Tapi nona kawanmu itu telah d i bawa pergi."
Beng Kie kaget sampai semangatnya seperti terbang pergi.
Ia tidak terlalu cocok dengan Tiat San Ho, tetapi mereka telah
berada bersama sekian lama, mereka telah seperti kakak
beradik, sekarang kawan itu lenyap dibawa lari penjahat,
bagaimana ia tidak jadi kaget dan berkuatir.
"Berapa banyak jumlahnya penjahat itu?" dia tanya pula
kemudian. "Jumlah mereka tujuh atau delapan orang," Yo Lian kasih
keterangan. "Muka mereka semua memakai topeng. Kawanmu
itu telah melakukan perlawanan, tetapi dia kewalahan karena
dikepung, akhirnya dia dibikin tidak berdaya dan dibawa
pergi." Beng Kie lantas berpikir. Ia segera menduga pada orangorangnya
Gui Tiong Hian. Ia tidak berani utarakan
sangkaannya itu kepada Yo Lian, supaya tuan rumah ini tidak
menjadi masgul.
"Nanti aku minta bantuannya sahabat-sahabat dari Rimba
Persilatan, untuk cari tahu penjahat-penjahat itu," kata ia,
untuk menghibur.
"Sebenarnya di dalam kota raja ini belum pernah terjadi
perampokan semacam ini," kata Yo Lian. "Sekarang aku
hendak pergi ke kantor Pengpou, untuk mereka beritahukan
Kiubun Teetok, guna tanya apa saja yang mereka itu kerjakan.
Kebetulan kau sudah pulang, tolonglah kau jagakan rumahku."
Setelah memesan pula kepada hamba-hambanya akan
periksa semua pintu, pembesar ini lantas berlalu, agaknya ia
masih sangat mendongkol.
Beng Kie ajak Seng Kun ke kamar tetamu, yang menjadi
kamarnya. "Tidak usah dicurigakan lagi. ini pasti ada perbuatannya
orang-orang dari TongCiang." Seng Kun utarakan dugaannya.
"Siapa sahabat itu, dan apa she dan namanya" Aku nanti
tolong kau untuk mencari keterangan."
"Lebih baik aku satroni keraton untuk mengacau mereka!"
Beng Kie kata. "Tidak dapat kau lakukan itu!"
Seng Kun mencegah dengan menggelengkan kepala. "Dua
kali kau telah datang mengacau, pasti mereka akan bikin
penjagaan lebih kuat. Di dalam keraton itu, kecuali Bouwyong
Ciong, aku dengar kabar telah datang dua orang pandai
lainnya yang aku belum tahu namanya. Aku duga saja mereka
mesti ada tetua-tetua dari kaum kangouw. Jikalau kau berlaku
sembrono, saudara Gak. dikuatirkan kau sama juga seperti
antarkan diri ke dalam jaring. Aku ada punya beberapa
sahabat kekal di dalam istana, tunggulah satu atau dua hari
lagi setelah keadaan agak mereda, aku akan pergi mencari
keterangan."
Beng Kie pikir sarannya sahabat ini benar juga. maka ia
menurut. "Tapi coba kau duga. Seng Toako, mereka itu berani atau
tidak datang pula kemari?" dia tanya "Aku kuatir, jikalau kita
tidak pergi cari mereka, mereka sendiri yang akan datang
menyatroni kita..."
"Dalam siasat ilmu perang ada disebut bahwa yang kosong
mungkin berisi, dan yang berisi adalah kosong," kata Seng
Kun, "maka itu aku duga mereka tentunya menyangka kau
tidak berani tinggal lebih lama pula di gedung Keluarga Yo ini.
Justeru itu, baiklah kita tetap tinggal di sini. Mereka pun tidak
bermusuh dengan Yo Lian, dugaku tidak nanti mereka datang
pula. Umpama kata mereka toh datang lagi. dengan
kepandaian kita berdua, aku percaya kita akan bisa bekuk satu
atau dua di antaranya. Dari mulut mereka itu kita bisa korek
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keterangan. Setelah duduknya perkara menjadi terang, tidak
ada halangannya kita maklumkan perang kepada mereka itu!"
Beng Kie setujui pikiran sahabat ini.
"Bagus!" katanya. "Baiklah, kita bersikap begini saja!"
Sesudah sore barulah kelihatan Yo Lian pulang.
"Kiubun Teetok telah keluarkan titah-titah penangkapan," ia
beri tahu Beng Kie. "Aku telah beri tempo sepuluh hari!"
Beng Kie tertawa di dalam hati. "Jikalau perkara ini
diserahkan pada Kiubun Teetok, sampai sepuluh tahun pun
perkara akan tetap terpendam." pikirnya.
Yo Lian berdiam sekian lama, lalu ia menghela napas.
"Kejadian ini sangat membikin aku mendongkol," katanya.
"Tapi di samping itu juga satu kabar baik untuk disampaikan
padamu." "Apakah itu?" Beng Kie tanya. "Tadi di dalam kantor
Pengpou aku terima surat kilat dari Him Kengliak." menteri itu
jawab, "surat itu memberitahukan, bahwa nusa dia bakal
sampai di kota raja. Di dalam surat itupun dijelaskan, dia akan
menumpang di rumahku ini. Sungguh ini suatu kabar sangat
menggirangkan. Suasana dalam istana ada demikian kusut,
biarlah dia pulang untuk meredakannya."
Beng Kie sudah tahu Him Teng Pek bakal datang, hanya
wartanya Yo Lian ini telah menguatkan itu. Tentu saja ia
menjadi girang sekali. Tapi ia kata:
"Memang benar Him Kengliak berkuasa atas angkatan
perang, tetapi dia adalah menteri luar, aku kuatirdia tidak
dapat mengurus kekusutan di dalam istana..."
"Bicara dari hal derajat, kedudukannya memang tidak
terlalu tinggi," Yo Lian kata. "Akan tetapi dia seorang yang
sangat jujur, diapun mempunyai pedang kekuasaan Sianghong
Pookiam, maka sekalipun Pui Ciong Tiat dan Gui Tiong Hian,
mereka harus jeri terhadapnya."
Demikian pembicaraan berakhir. Di harian Him Teng Pek
tiba di kota raja, beberapa sahabat kekalnya, seperti Liepou
Siangsie Ciu Kee Bok, Leepou Siangsie Sun Cin Hang dan
Touwgiesu Cee Goan Piauw, telah datang ke rumahnya Yo
Lian, untuk menyambut dan menemuinya. Cuma Pengpou
Siangsie Yo Kun tidak dapat hadir, karena dia sedang repot
mengurus pengiriman tentara ke Siamsay.
Orang telah menantikan dari siang, akan tetapi sampai
lewat tengah hari, mereka tidak dengar suara gembreng,
tanda pembuka jalan untuk kedatangannya satu pembesar
yang tinggi pangkatnya. Hal ini membikin mereka heran.
"Mungkinkah dia ubah harinya?" Sun Cin Hang tanya.
"Him Kengliak bukannya seorang yang suka mengingkari
janji," kata Yo Lian.
Tengah mereka bicara itu, koankee, yaitu penguasa
gedungnya Yo Lian, muncul untuk mewartakan
kedatangannya dua orang yang tubuhnya besar, yang mohon
ketemu kepada tuan rumah. Katanya koankee itu. ketika dia
menanyakan nama mereka, mereka itu cuma menyebutkan
shenya. ialah she Him.
"Ah!" Yo Lian berseru apabila ia dengar laporan yang agak
luar biasa itu. Ia segera berbangkit. "Lekas undang mereka
masuk, itulah tentu si Him Tua sendiri! Aku tahu tabiatnya ini!"
Penguasa gedung itu segera undurkan diri, selang sesaat,
seorang bertindak di Iorak tangga, orang mana bertubuh
besar, tindakannya lebar, kepalanya bagaikan "kepala
harimau" dan matanya seperti "mata garuda". Mukanya orang
itupun penuh debu dengan di belakangnya mengikut satu
pengiring dengan buntalan di bebokongnya.
Yo Lian semua segera berbangkit. "Oh, Him Kengliak.
mengapa kau tidak mengabarkan lebih dahulu?" tanya Yo Lian
dan yang lainnya selagi mereka menyambut.
Adalah di luar dugaan, satu kepala perang yang besar
kekuasaannya atas tentara, yang kesohor, telah tiba hanya
diikuti satu pengiring! Sedang dia datangnya dari tapal batas!
Tetamu itu lantas saja tertawa.
"Bukankah kemarin aku telah kirim orang membawa surat?"
katanya dengan gembira. "Mengapa kalian mengatakannya
aku tidak memberi warta lagi?"
Semua penyambut itu turut tertawa.
"Dengan cara datangnya kau ini," kata mereka, "kau mirip
dengan satu serdadu pembesar yang baru saja mundur dari
medan perang!"
"Memang akupun asalnya satu serdadu!" kata perwira
tinggi itu. Sampai di situ, Beng Kie maju untuk beri hormatnya.
"Oh, kau juga ada di sini?" kata sep itu. "Bagus! Sebentar
malam kita pasang omong!"
Sekarang Kengliak ini perkenalkan pengiringnya, yang
bernama Ong Can, murid terpandai dari Jitgoat lun Khu Tay
Hie, seorang Rimba Persilatan yang kenamaan. Ong Can
sudah kenal kepada Beng Kie.
"Apakah kau tidak ketemu halangan apa-apa diperjalanan?"
Beng Kie tanya.
"Di dua tiga tempat kami bertemu tukang-tukang cegat
jalanan!" sahut Ong Can sambil tertawa. "Mereka lihat
buntalan kami yang tidak berarti ini, mereka lalu kasih kami
lewat dengan begitu saja."
Beng Kie pun tertawa. "Itulah ada keberuntungan mereka!"
ia kata. Selagi dua sahabat ini bercakap-cakap, Yo Lian serta
kawan-kawannya juga lantas tuturkan pada Him Teng Pek
tentang suasana buruk dalam istana. Panglima dari
perbatasan itu diam saja, hanya berulang kali ia menggeleng
kepala. Mereka masih bicara terus tatkala dan luarterdengarsatu
suara nyaring, ialah pemberitahuan dari si penguasa rumah:
"Ada kimCee tayjin!"
Yo Kun dan lain-lainnya segera undurkan diri untuk
menyingkir, dan Him Teng Pek bersama Beng Kie dan Ong
Can pun pergi ke ruang samping. Hanya Yo Lian seorang yang
berdiri di ruang tengah, untuk menantikan kimCee tayjin --utusan raja. Segera setelah pintu tengah dipentang, satu pembesar
dengan jubah bersulamkan ular naga dan ikat " pinggang
tertabur kumala, bertindak masuk sambil diiringi beberapa
puluh kauwwie. Sesampainya di ruang tengah utusan ini
lantas disambut Yo Lian sambil berlutut.
"Ini bukan urusanmu. Suruh Him Teng Pek keluar!" berkata
kimCee itu dengan kaku.
Him Kengliak di kamar samping dapat mendengarnya,
sambil tertawa ia kata pada Gak Beng Kie: "Hai, baru kaki
depanku sampai, kaki belakang mereka telah menyandak!
Walaupun Sri Baginda masih sangat muda beliau toh pandai dan
bijaksana tepat beliau menduga waktunya kedatanganku!"
Lalu panglima dari perbatasan ini rapikan pakaiannya, terus
ia bertindak keluar, ke ruang tengah itu.
Dengan segera kimCee tayjin berseru: "Him Teng Pek,
berlututlah kau. untuk sambut firman!"
Him Teng Pek menurut, ia tekuk lututnya.
Segera kimCee itu bacakan firman:
"Menteri yang berdosa, Him Teng Pek, sudah lancang
menggunakan kekuasaannya dan dengan sembarangan dia
berikan putusan-putusan, dan dia juga telah umbar tentaranya
mengganggu rakyat jelata. Selama memangku jabatan di tapal
batas, sedikit kemajuanpun tidak diperoleh sebaliknya
sekarang dengan lancang dia meninggalkan jabatannya,
dengan diam-diam dia Dulang ke kota raja. Dengan
perbuatannya itu, dia sudah melanggar undang-undang
negara, pasti sekali dia kandung maksud untuk memberontak.
Maka dengan ini dia diperintah menyerahkan kembali pedang
Sianghong Pookiam dengan dia sendiri mesti diserahkan
kepada pengadilan Tayliehu untuk diperiksa perkaranya!"
Baru habis membacakan firman, utusan itu sudah lantas
membentak dengan titahnya: "Tangkap dia!"
Him Teng Pek gusar hingga alis dan kumisnya berdiri
bangun. "Aku pulang atas panggilan Sri Baginda almarhum, apakah
dosaku?" dia tanya dengan nyaring.
"Sri Baginda telah keluarkan firmannya cara bagaimana kau
berani omong keras?" kimCee itu menegur. "Ini saja sudah
merupakan satu dosamu!"
"Sri Baginda masih sangat muda usianya, maka
pemerintahan dapat dipermainkan segala dorna!" seru pula
Him Teng Pek. "Habis, habis sudah!..."
Dan iamanda kasih dirinya untuk dibelenggu. Tidak perduli
bagaimana murkanya, hamba yang setia ini tidak berani lawan
firman. Yo Lian berdiri menjublek, ia kaget dan heran.
Beberapa kauwwie lantas maju menghampiri Him Kengliak
untuk dibelenggunya, akan tetapi belum sempat mereka turun
tangan. Beng Kie sudah lompat keluar dari kamar samping.
"Tahan dulu!" dia berteriak bagaikan suaranya guntur.
"Siapa kau?" kimCee menegur. Beng Kie tidak lantas
menyahut, hanya dengan pentang kedua tangannya ia bikin
terpental empat kauwwie yang sudah mendekati sepnya,
hingga mereka itu terguling roboh.
"Di waktu matahari terang benderang sebagai ini, kau
berani berontak?" si kimCee masih menegur.
Teng Pek sesak napasnya karena sangat mendongkol tanpa
ia bisa lampiaskan itu. Iapun berkuatir untuk sikapnya
sebawahannya itu.
"Beng Kie, apakah kau hendak celakai aku?" dia tegur
orangnya itu. Matanya Beng Kie terbuka lebar, ia gusar, tetapi ia
menangis. "Taysu, inilah firman palsu!" ia berteriak.
Teng Pek kaget bahna heran.
"Palsu?" dia mengulangi kata-kata itu.
"Ngaco!" teriak sang utusan. "Tangkap!"
Him Kengliak hunus pedang kekuasaannya.
"Tunggu dulu!" dia membentak. "Aku harus dapat
penjelasan dulu, baru aku turut padamu!"
Semua kauwwie berdiam. Mereka tahu akan kegagahannya
panglima itu, dan sikapnyapun sangat berpengaruh.
Beng Kie segera rogoh sakunya, akan keluarkan segumpal
kertas, yang ia terus beber di tangannya. Iapun hadapi Yo
Lian, untuk berkata dengan nyaring: "Yo Tayjin, tolong lihat
ini! Bukankah ini ada tulisan tangan dari Sri Baginda sendiri?"
Memang setiap penobatan kaisar baru. kaisar ada mengirim
firman hiburan untuk menteri-menterinya, hingga setiap
menteri dapat mengenali tulisan tangan junjungannya. Yo Lian
tidak kecuali. Menteri ini lihat tulisan yang berbunyi: "Him Teng Pek
adalah seorang menteri yang sangat setia." Walaupun hurufhuruf
itu ditulisnya tidak keruan, ia kenali tulisan rajanya.
Seketika itu ia menjadi dapat hati, hingga tak sempat
iamenanyakan. dari mana Beng Kie dapatkan itu.
"Him Tayjin, ini memang tulisan tangannya Sri Baginda!"
kata Yo Lian. KimCee tayjin itu menjadi bingung. Dia memang ada
konconya Gui Tiong Hian yang bernama Cui Ceng Siu. Tapi
sebisa-bisanya ia mencoba untuk menenangkan diri.
"Tak mungkin firman ini palsu!" dia berteriak. Dia segera
beber firman itu, untuk diperlihatkan cap kebesarannya.
Him Teng Pek lihat, meskipun surat itu tidak sama tetapi
capnya tulen cap kerajaan.
Beng Kie kuatir sep itu terpengaruh.
"Sekarang petualang-petualang sedang permainkan
pemerintahan, cap kerajaan itu, mungkin telah mereka curi
untuk dipakainya!" ia kata dengan nyaring. "Taysu baiklah
menghadap sendiri kepada Sri Baginda untuk urus perkara
ini!" Him Kengliak tetapkan hatinya. Ia tertawa dingin.
"Cui Ceng Siu," katanya, "mari kita sama-sama menghadap
Sri Baginda!"
"Kamipun suka turut bersama!" menimbrung semua
menteri lainnya, yang datang munculkan diri.
"Him Teng Pek," kata Ceng Siu dengan berani, "secara
begini kau menghina pemerintah, kau telah lawan firman
kaisar, maka bagianmu adalah kemusnahan rumah
tanggamu!"
"Sudah, jangan banyak bicara!" Him Kengliak membentak.
"Aku boleh dihukum picis tapi sekarang mari kita menghadap
dahulu kepada Sri Baginda!"
Ceng Siu kena didesak, tapi ia cerdik. Ia kata: "Sekarang
Sri Baginda sedang berkabung dalam keratonnya, jikalau kau
hendak menghadap, besok saja kau pergi!" Lalu ia teruskan
gertakannya: "Yo Lian, aku serahkan Him Teng Pek di bawah
penjagaanmu! Jikalau besok dia kabur, kaulah yang
bertanggung jawab!"
Lalu dengan ajak pengiring-pengiringnya, kimCee tayjin ini
lantas undurkan diri.
Him Kengliak tidak ambil tindakan lebih jauh terhadap
kimCee palsu itu. Biar bagaimana, ia adalah menteri di luar
istana, tidak dapat ia tahan kimCee itu. Maka ia titahkan Beng
Kie untuk membiarkan kimCee itu berlalu.
Tentu saja kejadian ini membikin mendongkol semua
menteri yang hadir di situ.
Him Kengliak lantas jatuhkan diri di atas kursi dengan sikap
lesu, berulang-ulang ia menghela napas dan menggelenggelengkan
kepala. "Tidak perduli firman itu palsu, tapi sekarang petualangpetualang
demikian sangat kurang ajar, negara sungguh
sangat terancam..." ia kata dengan masgul.
"Him Toako," berkata Yo Lian, "kau baru pulang, kau lantas
dibikin lenyap kegembiraanmu oleh segala dorna. marilah kita
minum arak!"
Tuan rumah itu baru berkata sampai di situ atau mereka
segera dengar suara yang sangat berisik di luar gedung, daun
pintu digedor keras. Tentu saja Yo Lian menjadi sangat gusar.
"Mungkinkah binatang Cui Ceng Siu itu berani datang
pula?" katanya.
Belum berhenti suaranya tuan rumah itu atau pintu telah
terdobrak, lalu kelihatan serombongan orang nerobos masuk.
Mereka itu semuanya mengenakan topeng, hanya tampak
mata mereka yang bercilak-cilak. Orang yang menjadi kepala
pun lantas berteriak: "Kabarnya Him Taysu baru pulang, kami
hendak pinjam sejumlah uang!"
Him Kengliak kaget tetapi ia tidak takut.
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku seorang pembesar miskin, aku tidak punya banyak
uang!" kata ia sambil tertawa dingin.
Yo Lian sebaliknya telah berteriak-teriak: "Di waktu siang
hari kalian berani datang merampok, oh, sungguh, dunia
terbalik, dunia terbalik!"
"Mereka ini bukan perampok-perampok sewajarnya!" Beng
Kie berseru. Kawanan orang-orang bertopeng itu benar-benar berani,
mereka maju terus. Jumlah mereka ada beberapa puluh
orang. Him Kengliak tolak Yo Lian supaya tuan rumah ini masuk ke
dalam kamar. Si kepala rampok tidak mau mengerti, ia ulur
tangannya hendak menjambak tuan rumah itu.
Teng Pek jadi sangat gusar, sambil berseru ia menabas
dengan pedangnya.
Kepala rampok itu berkelit dengan gesit, lantas dia balas
menyerang. Menampak kegesitan dan serangan yang berbahaya dari
kepala rampok itu. Him Teng Pek berseru: "Orang dengan
kepandaian sebagai kau ini menjadi rampok, sungguh
sayang!" Beng Kie tidak perdulikan kata-kata sepnya itu. dari
samping ia maju, akan menyelak di sama tengah.
"Hai, Bouwyong Ciong, kau sayang kepada jiwamu atau
tidak?" bentak Beng Kie kepada kepala rampok itu.
Kaget kepala rampok ini. "Beng Kie, kau kenal padanya?"
Teng Pek tanya sebawahannya.
"Bereskan mereka semua!" teriak kepala rampok itu, yang
menjadi mogok, karena rahasianya telah terbuka.
Beberapa puluh pahlawan dari TongCiang itu segera
rangsefc Teng Pek dan Beng Kie hingga terdesak mundur ke
tembok. Firman palsu dan peristiwa rampok ini kesemuanya adalah
rencananya Gui Tiong Hian dan Keksie Hujin, maksud mereka
adalah untuk mengabui raja untuk singkirkan Him Kengliak
secara diam-diam.
Di waktu keadaan yang sangat terancam itu, Ong Can
muncul dengan senjatanya yang mirip roda, yaitu Ngoheng
lun, tapi segera ia dirintangi satu pahlawan yang
bersenjatakan cambuk. Dalam mendongkolnya. Ong Can
sampok cambuk itu hingga putus dua dan terlepas dari
cekalan. Di antara pahlawan-pahlawan itu, majulah seorang yang
usianya lanjut. Ia tidak jeri terhadap Ngoheng lun, ia ulur
kedua tangannya untuk menggempur. Ia telah berhasil
membikin senjatanya Ong Can tersampok miring.
Beng Kie dapat ketika, ia tikam orang tua itu, atas mana, si
orang tua geser kakinya, tapi tangan kirinya menghajar
pedang, dari atas ke bawah, itulah pukulan "Geledek
menyambar ubun-ubun".
Di waktu siang seperti itu, kelihatan tegas tangannya si
orang tua merah seperti sepuhan.
Menampak demikian, Beng Kie terperanjat.
"Kim Laokoay, kaupun datang kemari!" dia berseru.
Si orang tua tertawa terbahak-bahak, dengan berani dia
copotkan topengnya.
"Gak Beng Kie!" katanya, "hari ini akan kubalas kau satu
tikaman!" Beng Kie tidak gubris ancaman itu, ia hanya peringatkan
sepnya, katanya: "Taysu, bangsat tua ini mengerti Toksee
Ciang. jangan kasih tanganmu kena dibentur olehnya!"
Sambil berkata demikian, pemuda ini maju ke depan
sepnya untuk gantikan sepnya itu membuat perlawanan, maka
sebentar saja ia sudah dikepung Bouvvyong Ciong dan Kim
Tok Ek, dua cabang atas yang liehay, hingga segera ia
terancam bahaya.
"Kawanan tikus, sungguh berani kalian!" berteriak Him
Kengliak, yang jadi sangat gusar. Dan ia maju, ia dapat
jambret satu pahlawan, tubuh siapa ia angkat dan
dilemparkan keluar pintu.
Semua pahlawan lainnya terkejut menampak
kegagahannya Him, Kengliak itu.
"Jangan takut!" teriak Bouwyong Ciong. yang saksikan
orang-orangnya kena terpengaruhi. Ia lantas maju, dengan
tipu silat KimnaCiu ia coba rampas pedangnya Kengliak itu.
Meskipun ia gagah, Him Kengliak tidak mengerti Kimna Ciu.
hampir saja Sianghong Pookiam di tangannya terampas
musuh. Syukur Ong Can maju membantui. Tapi karena ini.
hamba yang setia itu jadi menggantikan menghadapi bahaya.
Dalam suasana yang sangat menguatirkan itu, seorang
lompat keluar dari kamar.
"Saudara-saudara, dengar aku!" berteriak orang ini, ialah
Seng Kun, kepala dari sekalian pahlawan dari TongCiang.
Separuh dari pahlawan-pahlawan itu mengenali orang ini,
mereka lantas berhenti berkelahi.
Seng Kun lantas berkata terus:
"Him Kengliak adalah tiang negara, kenapa kalian demikian
gila hendak mencelakai padanya" Memang sekarang orang
kebiri she Gui sedang dapat pengaruh, akan tetapi di belakang
hari, dia akan celaka juga, maka saudara-saudara, hayolah
bubar!" Beberapa pahlawan lantas saja ambil putusan, mereka
lantas lempar senjatanya dan lompat mundur untuk berlalu.
Bouwyong Ciong jadi sangat murka.
"Seng Kun juga satu pemberontak!" ia berteriak. "Siapa lari,
dia bakal mati!"
Kata-kata inipun ada pengaruhnya, maka di samping
pahlawan-pahlawan yang
melemparkan senjata dan kabur, ada sembilan belas
sisanya yang maju menyerang pula, melanjutkan
pengurungan. Mereka ini adalah hamba-hambanya Gui Tiong
Hian. Beng Kie dan Ong Ciang berdiri di depan Him Teng Pek,
mereka berkelahi mati-matian untuk belai sepnya itu. Untung
bagi mereka sejumlah pahlawan yang tidak lari, tidak
mendesak seperti kawan mereka yang sembilan belas itu
mereka hanya mengurung. Yang hebat adalah desakannya
Bouwyong Ciong dan Kim Tok Ek.
Sebentar kemudian Seng Kun, yang turut ceburkan diri
dalam pertempuran, telah kena dihajar pundaknya, sedang
Him Kengliak terbacok bahunya yang kiri.
Kedua matanya Beng Kie menjadi merah, sangat gusar dan
mendongkol, karena perlawanannya sia-sia saja untuk
mundurkan musuh yang banyak dan liehay itu. Ia berkelahi
mati-matian! Selagi pertempuran dahsyat berlangsung, tiba-tiba
beberapa pahlawan keluarkan jeritan dari kesakitan yang
hebat, di antara jeritan itu segera terdengar seman nyaring:
"Kim Laokoay! Akhir-akhirnya dapat juga aku cari padamu!"
Kim Tok Ek kaget tetapi dia berteriak: "Cek Hiantee, kau
sambut dia untuk sepuluh jurus!"
Belum lagi orang yang dipanggil "Cek Hiantee" atau "adik
Cek" itu menyahuti, di antara suara berisik itu terdengar suara
ketawa nyaring tetapi halus dan terang sekali, disusul pula
kata-kata: "Masih ada aku di sini! Kim Laokoay. inilah
pertemuan kita yang pertama kali, kau suka atau tidak
memberi muka padaku dengan menghadiahkan pukulanmu
kepadaku?"
Kata-kata itu lantas disusul dengan berkelebatnya sinar
pedang yang menyilaukan mata dan munculnya orang yang
tertawa itu, ialah Giok Lo Sat. yang dengan pedangnya sudah
melabrak sana-sini, hingga dalam sejenak itu, ia telah dapat
lukai tujuh atau delapan pahlawan, maka cepat juga ia sampai
di pusat pertempuran itu.
Bouwyong Thiong jadi sangat murka, mendadak ia serang
si nona! Giok Lo Sat tidak menyangka untuk serangan ini, hampir
saja ia menjadi korban. Syukur ia gesit, berbareng dengan
kelitannya iapun balas menikam. Maka berbalik pahlawan itu
yang menjadi kaget, karena hampir saja dia kena tertikam.
Giok Lo Sat yang tabah itu tertawa walaupun ia lihat
keadaan pihaknya yang terkurung.
"Tidaklah bagus akan bertempur secara begini!" katanya.
Dengan satu gerakan, kembali Giok Lo Sat lukai satu
pahlawan, kemudian, setelah berkelit dari serangan Bouwyong
Ciong, ia lompat kepada Beng Kie.
Pemuda she Gak itu girang bukan kepalang.
"Lian Liehiap lekas kau lindungi Taysu!" dia berseru.
Tapi si nona sambut ia dengan tertawa dingin.
"Aku tidak perdulikan taysumu itu, aku datang hanya untuk
urusan kitab ilmu pedangku!" menjawabnya.
Dan ia tutup kata-katanya dengan satu lompatan diberikuti
tikaman terhadap Kim Laokoay.
Kim Tok Ek sambut serangan dengan satu pukulan angin,
sampai si nona tertolak mundur. Tapi nona itu kembali maju
menyerang sambil berjaga diri.
"Ha, kau benar liehay!" kata nona ini sambil tertawa. "Tapi
tidak cocok untuk kau mempunyai kitab ilmu pedangku!"
Giok Lo Sat tutup perkataannya dengan serangannya dua
kali beruntun, hingga memaksakan si orang she Kim itu
mundur. Beng Kie mengerti maksudnya si nona.
"Lian Liehiap, kitabmu ada padaku!" ia serukan. "Hari ini
kau telah bantu aku, terimalah ucapan terima kasihku!"
Masih si nona menjawabnya dengan dingin: "Aku tidak
terima kebaikanmu, aku juga tidak keluarkan tenaga
untukmu!" demikian katanya. Meski ia mengucap demikian,
namun desakannya kepada Tok Ek hebat sekali.
Selagi berkelahi, Beng Kie masih dapat kesempatan akan
memasang mata. Maka heranlah ia ketika ia lihat pedangnya si
nona, pedang yang mirip Yuliong kiam. kepunyaannya.
Dalam pertempuran dahsyat itu, dari kelompok sebelah luar
ada terdengar seruan nyaring: "Kim Toako, inilah satu yang
keras!" Atas itu. Kim Tok Ek segera menyahutinya: "Aku tahu!
Kau pecah tenaga untuk kurung dia!"
Giok Lo Sat pun turut perdengarkan tertawanya, kemudian
ia serukan ayahnya: "Ayah, kau boleh menerjang kemari! Kim
Laokoay ada di sini!"
Satu suara orang tua tetapi nyaring terdengar memberi
jawaban: "Baik, anakku Giok!"
Tiba-tiba kelihatan tubuhnya beberapa pahlawan terlempar
melayang di atasan kepala mereka yang asyik bertempur matimatian
itu, hingga orang jadi kaget.
Itulah hasil serangannya si orang tua, yang menjambret
dan melemparkan sesuatu penghalang di depannya. Maka di
lain saat, tubuhnya orang tua itu sudah tertampak menyerbu
ke dalam kalangan.
Beng Kie heran, karena ia belum kenal orang tua itu, ialah
Tiat Hui Liong, jago kenamaan. Iapun heran dan kagum, si
Raksasi Kumala mempunyai ayah yang demikian tangguh.
Dengan datangnya dua tenaga baru itu, bukan main Beng
Kie peroleh bantuan, tetapi serangannya pihak musuhpun jadi
bertambah. sebab kehebatan dari Giok Lo Sat dan Hui Liong membuat
semua pahlawan, yang tadi berkelahi separuh hati. menjadi
gusar dan sengit, sekarang mereka membantui kawannya
dengan sungguh-sungguh.
Luar biasa adalah korban-korban ujung pedangnya Giok Lo
Sat. Sesuatu pahlawan yang kena dirobohkan tidak lantas
lenyap jiwanya, mereka hanya roboh dan bergulingan di lantai
sambil menjerit kesakitan. Sebab si nona telah tusuk jalan
darah mereka, hingga mereka mati tidak, hiduppun tersiksa!
Lain nasib adalah korban-korbannya Tiat Hui Liong. Karena
dilempar-lemparkan, satu kali mereka jatuh, mereka
terbanting keras, kepala mereka pecah. Maka itu, semua
pahlawan mengepung hebat kepada si nona dan ayahnya itu,
dengan demikian kepungan kepada Him Kengliak jadi sedikit
kendor. Giok Lo Sat liehay ilmu pedangnya dan enteng tubuhnya,
tetapi berkelahi secara rapat seperti itu, di antara banyak
musuh, ia tidak leluasa mempertunjukkan kepandaiannya itu.
Syukur ia ada bersama ayah angkatnya, yang tenaganya
besar, dengan begitu ia jadi tidak terlalu repot.
Beng Kie lihat pihaknya sudah mulai memperoleh
keunggulan, akan tetapi ia masih belum bertetap hati. Inilah
sebabnya ia kuatir nanti datang bala bantuan dari pihak
TongCiang. Maka ia masih bergelisah juga.
Giok Lo Sat berkelahi dengan hebat tapi gembira. Lagi
sekali ia tusuk satu pahlawan yang ada dekat padanya. Lalu
sehabis itu. ia godai Beng Kie: "Eh, Gak Beng Kie, mana
sahabat kekalmu?"
Tapi justeru mendapat pertanyaan itu dengan mendadak
Beng Kie ingat sesuatu.
"Dia akan segera datang!" ia jawab. Lantas tangan kirinya
merogoh kantong, untuk tarik keluar sarung tangan
pemberiannya Seng Kun, yang terus dipakainya, setelah
mana, ia ambil kesempatan untuk lompat keluar kurungan.
"Ke mana kau hendak kabur?" bentak Kim Tok Ek sambil
lompat menyerang.
Beng Kie ulurkan tangan kirinya menyambut serangan
Tangan Pasir Beracun dari jago tua she Kim itu. di lain pihak
pedangnyapun membarengi menikam kepada betis musuh.
Tapi itu belum semua, dengan sambuti serangan tangan
musuh, ia justeru pinjam tenaga musuh itu. hingga ia bisa
melesat lebih pesat keluar kalangan!
Kim Tok Ek heran melihat orang berani sambuti serangan
tangannya yang liehay itu, sama sekali ia tidak tahu bahwa
Beng Kie telah mengenakan sarung tangan mustika
pemberiannya Seng Kun.
Him Kengliak heran menampak orangnya kabur justeru
ketika mereka terkurung musuh, malah Ong Can sampai
berkata sambil menghela napas: "Dalam waktu kesukaran
terlihatlah hati manusia, kata pepatah, dan sekarang terbukti
kebenarannya pepatah itu."
"Mungkin Beng Kie ada punya maksud lain," Teng Pek
masih bersangsi. "Jangan kau menduga yang tidak-tidak..."
Lantas kepala perang ini layani Kim Tok Ek.
Setelah Tok Ek kena dilukai Beng Kie, dia tidak lagi galak
seperti semula.
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Juga Bouwyong Ciong tidak mampu lagi berbuat banyak,
sebab Seng Kun dan Ong Can layani dia secara sungguhsungguh,
sedang sejumlah pahlawan tidak mau menyerang
sungguh-sungguh kepada Seng Kun.
Maka pertempuran tidaklah sehebat seperti semula tadi.
Pada waktu itu di lain pihak, Pek Sek Toojin telah bersiap
sedia. Ia sangat gusar menerima ancaman, maka ia telah
kumpulkan belasan orang Butong pay yang berada di kota
raja. Bersama ia pun ada belasan orang lain, ialah orangorang
undangannya Boosu Liu See Beng. Maka itu mereka
berjumlah besar. Setiap saat mereka nantikan datangnya
musuh. Akan tetapi dua hari telah dinantikan tidak juga ada
musuh yang muncul. Sekarang sampailah pada hari ketiga,
mereka menantikan dari pagi sampai lewat tengah hari, tetap
musuh tidak tampak datang.
Akhir-akhirnya Liu See Beng tertawa, ia kata: "Butong pay
ada sangat kesohor, maka siapakah yang berani tarik-tarik
kumis harimau?"
Pek Sek Toojin sangat puas mendengar puj ian itu, ia pun
tertawa. "Selewatnya hari ini, tak dapat aku menunggu pula!"
katanya. Justeru waktu itu, satu suara terdengar dari luar: "Ada
orang datang!"
"Berapa jumlahnya?" See Beng tanya.
"Cuma seorang," sahut orang di luar itu yakni tukang
pasang mata. "Begitu besar nyalinya?" kata See Beng yang menjadi
heran. "Buka pintu! Kasih dia masuk!"
Sesaat kemudian, kelihatan seorang bertindak masuk,
tindakannya pesat, orangnya bermandikan keringat.
Semua orang telah siap untuk sambut musuh.
Tapi It Hang heran.
"Oh, Gak Toako!" serunya.
Pek Sek Toojin menghela napas lega. Tapi ia duga orang
tentu telah dengar kabar perihal musuh dan sekarang datang
untuk membantu padanya, maka dengan tawar ia lantas
berkata: "Gak Enghiong. tak usah kau capaikandiri lagi!"
Beng Kie tertawa, ia dekati It Hang yang ia jabat
tangannya, tapi tiba?tiba iapun menotok pinggangnya hingga
dalam sekejap It Hang menjadi lemas. Lalu, sebelum yang
lain-lainnya ambil tindakan Beng Kie segera panggul
sahabatnya itu untuk dibawa lari!
Pek Sek semua terkejut.
IX "Kurang ajar!" imam itu berteriak. "Binatang, kiranya kau
datang untuk satrukan pihakku! Mari kejar padanya!"
Pek Sek yang memulai menghunus pedangnya, lantas lari
mengejar. Maka kawan-kawannya pun turut mengejar juga.
"Jangan kesusu, tooheng!" Liu See Beng mencegah, karena
guru silat ini tahu betul siapa pemuda she Gak itu.
Tapi Pek Sek semua sudah lari terus, dengan terpaksa guru
silat ini ajak kawan-kawannya pergi menyusul.
Walaupun Beng Kie memanggul orang ia bisa lari sangat
cepat, ia bikin Pek Sek ketinggalan dua tiga tumbak di
belakangnya meski imam dari Butong san ini sudah berlari-lari
keras dengan ilmu lari Patpou Kansiam.
Pek Sek sangat penasaran dan mendongkol, iapun tidak
dapat menyerang dengan senjata rahasia, hingga terpaksa ia
mesti mengejar saja.
Beng Kie lari balik ke gedung Keluarga Yo, ia telah sampai
dengan cepat, setelah turunkan It Hang dari panggulannya, ia
menotok pula, kali ini untuk sadarkan sahabatnya itu.
It Hang sadar dengan heran, tapi yang lebih mengherankan
padanya ialah ia dengar berisiknya suara beradunya senjatasenjata
di dalam gedung, tanda dari pertempuran hebat.
"Saudara To, mari bantu aku!" Beng Kie berbisik, selagi
sahabatnya ini masih bingung. "Mari kitatolongi Kengliak!"
Giok Lo Sat dan Tiat Hui Liong sedang berkelahi hebat,
ketika mereka lihat datangnya Beng Kie bersama It Hang.
lantas saja semangatnya terbangun.
Dengan satu gerakan "Lie Kong siaCio" atau "Lie Kong
memanah batu", si Raksasi Kumala menikam tenggorokannya
Kim Tok Ek, tapi, jago yang tangannya liehay ini dapat
mengelakannya sambil sebelah tangannya menyambar dari
samping, untuk menangkap tangannya nona itu. Justeru itu
kepalan Tiat Hui Liong menghajar tangannya, bahna kerasnya
pukulan itu sehingga ia mundur dua tindak. Karena ini, si nona
sempat untuk lompat menerjang kawanan pahlawan
TongCiang, hingga kembali ia bisa lukai empat" " di
antaranya, sesudah mana, ia nerobos ke depan untuk
mendekati It Hang.
It Hang heran berbareng girang melihat Tiat Hui Liong dan
Giok Lo Sat berada di dalam gedung itu, akan tetapi ia tetap
masih belum mengerti. "Apakah artinya ini?" dia tanya
"Pergilah kau bersama Liehiap melayani kawanan berandal
ini!" kata Beng Kie kepada sahabatnya itu. "Aku hendak
menolongi Taysu!"
Dengan memutarkan pedangnya pemuda she Gak itu
segera buka jalan darah.
It Hang berpaling ke arah tempat Beng Kie menyerbu, di
situ ia tampak seorang dengan tubuh besar dan gagah, yang
wajahnya bagaikan malaikat. Ia menduga kepada Kengliak
Him Teng Pek, panglima yang ia hargai. Karena ini, lantas ia
mengerti maksudnya Beng Kie sudah culik ia sampai di
gedung ini. Karena ini juga, terhadap Giok Lo Sat iapun
mendapat kesan baik. Dengan tidak berayal lagi ia segera
putar pedangnya, untuk maju menyerang, ia bisa lantas
robohkan beberapa pahlawan, hingga tergempurlah kurungan
musuh, maka lekas juga ia dapat bergabung dengan si Raksasi
Kumala. "EnCie Lian. sungguh kau setia dengan datang menolongi
Kengliak!" ia serukan si nona, hatinya riang.
Giok Lo Sat tidak sempat menjawabnya, ia melainkan
tertawa. Terus ia berkelahi, hingga lagi-lagi ia berhasil
menabas kutung lengannya dua pahlawan.
"Anak tolol, mari kita lebih dahulu habiskan mereka ini!"
katanya. "Tidak usah kau kuatirkan keselamatannya Him Kengliak,
dia ada sahabat baikmu yang melindunginya!"
Masih dia menyerang hebat, hingga beberapa pahlawan
dapat dirobohkan lagi, sampai mereka itu bergulingan sambil
merintih kesakitan.
Itu waktu Pek Sek Toojin pun sudah sampai di ambang
pintu. Dengan hati sangat mendongkol ia saksikan Gak Beng
Kie bawa It Hang ke gedungnya Yo Lian, di situ It Hang
disadarkan, lalu kedua anak muda itu menyerbu ke dalam. Ia
juga heran akan dengar suara berisik dari pertempuran di
dalam gedung menteri itu. Maka sekalian ingin mendapat
tahu, ia maju sampai di muka pintu, hingga ia lihat
pertempuran hebat itu, dalam mana It Hang bertempur bahumembahu
bersama satu nona kosen. Ia juga saksikan si nona
yang gagah dan cantik, alisnya panjang dan lentik, wajahnya
bersujen, rambutnya dijepit gelang emas, pakaiannya
mentereng. "Pasti dia siluman wanita yang orang gelarkan Giok Lo Sat,"
ia lantas menduga-duga. Ia berniat keras merangkapkan
jodoh gadisnya dengan pemuda she To itu, karenanya dengan
sendirinya ia pandang nona ini sebagai perintang atau saingan
puterinya, dan sekarang dengan tak disangkanya ia saksikan
justeru pemuda pemudi itu bertempur sama?sama, tanpa
merasa ia jadi jelus dan mendeluh.
It Hang dapat lihat paman guru itu.
"Susiok, lekas!" dia menyerukan "Him Kengliak di sini!"
Pek Sek Toojin dengar seman itu, ia memandang ke
sekitarnya dengan pedang dilintangkan di depan dadanya, tapi
ia masih belum majukan diri.
Di waktu itu Giok Lo Sat telah serang satu pahlawan,
pahlawan itu mengelakkan kepalanya, tetapi ujung pedang
menyambar juga kedoknya sampai pecah dan terlepas jatuh
ke lantai, hingga si imam dapat mengenali mukanya. Dengan
tiba-tiba Pek Sek menjadi gusar.
"Hai, kiranya kau di sini?" Pek Sek berteriak dengan
tegurannya "Kebetulan hari ini telah sampai batas tempo tiga
hari, maka sekarang aku ingin lihat kau ada mempunyai
kepandaian apa untuk usir aku dari kota raja!"
Berkelebatlah pedangnya imam ini, yang sudah lantas
lompat maju menyerang pahlawan yang locot topengnya itu.
Pek Sek menjadi sangat gusar karena ia kenali pahlawan itu
adalah penjual silat yang kemarin ini di Thiankio telah
permainkan padanya.
Pahlawan itu bernama Cek Kiam Ciang, murid kepala dari
Imhong Toksee Ciang Kim Tok Ek. ketika itu hari ia
permainkan Pek Sek Toojin, ia sebenarnya sedang mainkan
peranan menurut rencananya Eng Siu Yang. Sengaja Liu See
Beng telah diancam, untuk dalam tempo tiga hari mengusir
imam ini keluar dari Pakkhia.
Sudah diketahui bahwa Eng Siu Yang itu adalah orang
kepercayaannya thaykam Gui Tiong Hian, setelah wafatnya
Kaisar Kong Cong, dengan diam-diam dia menyelundup masuk
ke kota raja, setelah itu, ia buka jalan untuk Kim Tok Ek juga
bisa datang ke Pakkhia. Tetapi namanya Kim Tok Ek sangat
terkenal, maka ia di tempatkan di dalam istana secara rahasia.
Oleh karena liehaynya pihak TongCiang, hal ikhwalnya Gak
Beng Kie dan To It Hang lantas saja dapat mereka ketahui,
dan terhadap kedua pemuda ini hendak diambil tindakan.
Mengetahui bahwa Beng Kie adalah orang kepercayaannya
Him Kengliak, Eng Siu Yang terkejut juga. la terus
menghaturkan tipu kepada Gui Tiong Hian. Katanya: "Him
Kengliak akan tiba tanggal dua puluh delapan, harus CongCu
berdaya untuk singkirkan padanya. Untuk itu, penting bahwa
kaki tangannya dihalau terlebih dahulu!"
"Aku baru saja pegang kekuasaan," berkata dorna orang
kebiri itu. "Di dalam istana, dari semua menteri bun dan bu,
separuh pasti adalah kawan-kawannya Him Teng Pek,
bagaimana aku harus bertindak untuk dapat menyingkirkan
padanya?" Eng Siu Yang tertawa.
"Aku bukannya maksudkan kawan-kawannya Him Teng Pek
di istana," ia kata dengan berani terhadap orang kebiri itu,
"yang aku maksudkan ialah pembantu-pembantunya dari
kalangan kangouw. CongCu telah ketahui bahwa rencana kita
sejak semula bukanlah merobohkan Him Teng Pek di muka
istana, tetapi kita ingin singkirkan dia secara diam-diam. Maka
itu, jikalau dia tetap mempunyai pembantu-pembantu yang
liehay, rencana kita bisa gagal."
"Aku kenal baik tabiatnya Him Teng Pek," Gui Tiong Hian
beritahu. "Dengan pulang dari Liauwtong, dia tidak akan
mengajak banyak pengiring. Kalau sekarang cuma Beng Kie
seorang, walaupun kepandaiannya setinggi langit, tidak
sanggup dia terus-terusan melindungi Him BanCu!"
"Kalau Gak Beng Kie sendirian saja memang bagi kita tidak
sukar." Eng Siu Yang kata. "Tapi To It Hang itu adalah
sahabat kekalnya."
"Bagaimana kepandaiannya To It Hang itu?" Tiong Hian
menegasi. "Kepandaiannya To It Hang tidak dapat dibandingkan
dengan kepandaiannya Gak Beng Kie." Eng Siu Yang
terangkan, "akan tetapi dia adalah Ciangbunjin dari Butong
pay. Aku telah selidiki, kali ini It Hang datang ke kota raja
bersama paman gurunya. Di dalam kota raja ini ada belasan
orang-orang Butong pay itu."
"Kalau begitu, bereskan mereka semua!" kata Gui Tiong
Hian. "Itulah tak dapat dilakukan CongCu," Eng Siu Yang berikan
pengertian. "Sekarang ini dalam kalangan kangouw. partai
Butong pay adalah yang paling kenamaan. Syukur mereka
tidak tahu menahu urusan pemerintahan. Terhadap mereka
itu, kita mesti ambil sikap seperti air sumur tidak mengganggu
air kali, itu artinya kita aman dan selamat. Kalau sekarang kita
singkirkan salah satu ketuanya serta ahli warisnya, apa itu
bukan berarti kita cari musuh tanpa ada perlunya?"
"Tentang kaum kangouw, aku tidak tahu jelas," Gui Tiong
Hian kata. "Dengan turut katamu, kita harus perbuat
bagaimana sekarang?"
"Baiklah kita kirim orang untuk mengganggu imam itu," Eng
Siu Yang mengaturkan tipu dayanya. "Kita mesti bikin dia tahu
rasa! Sehabis itu baru kita gertak padanya dan juga orang
yang rumahnya dia tumpangi itu, supaya dalam tempo tiga
hari dia mesti angkat kaki dari sini. Kita gertak padanya,
selama tempo tiga hari kita akan menyatroni untuk terbitkan
gara-gara. Aku tahu imam itu kepala batu, pasti dia tidak sudi
angkat kaki dari kota raja. malah sebaliknya dalam tempo tiga
hari itu dia mungkin kumpulkan kaumnya yang berada di kota
raja ini untuk menantikan kita. Tentu saja bukanlah maksud
kita untuk bentrok dengan mereka, melainkan dengan
gertakan itu kita hendak cegah dia bergabung kepada Gak
Beng Kie, sebab kerja sama mereka itu berarti sulit untuk kita
turun tangan terhadap Him Kengliak."
"Bagus!" Gui Tiong Hian puji akal muslihat itu. "Inilah tipu
yang dinamakan "Bersuara di Timur, menyerang di Barat'.
Baiklah, kau boleh gunakan akal ini."
Tentu saja Pek Sek Toojin tidak dapat menerka akal
muslihat itu. sia-sia saja ia menantikan di rumah Liu See Beng.
Memang Pek Sek Toojin pun tidak berniat membantui Gak
Beng Kie. Justeru hal itu sangat kebetulan bagi Eng Siu Yang.
Tapi di luar dugaan mereka itu, Beng Kie sendiri mendapat
perasaan curiga. Malah pemuda yang cerdik ini segera dapat
akal. Demikian di saat pertempuran sangat gentingnya dia lari
pada Pek Sek Toojin menculik It Hang, hingga kesudahannya
Pek Sek Toojin datang ke gedung Yo Lian bersama semua
murid Butong pay yang berada di kota raja.
Begitulah Kim Tok Ek menghadapi bala bantuan musuh.
Begitu melihat Pek Sek Toojin, Tok Ek menduga pihak Butong
pay tentu datang dalam jumlah besar, maka tanpa bersangsi
lagi dia berteriak:
"Angin hebat! Minggir!"
Bahna kuatirnya, sehabis berteriak itu Tok Ek segera
mendahului lompat membuka jalan, untuk mendahului angkat
kaki. Hui Liong maju menghalau sambil menyerang.
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bouwyong Ciong saksikan aksinya Hui Liong, ia lompat dari
samping untuk hajar lengan yang dipakai menyerang Tok Ek
itu. Ia berhasil dengan dayanya ini, Pek Sek Toojin telah lantas
tarik pulang tangannya.
Di saat Bouwyong Ciong hendak menyerukan kawankawannya
kabur, di waktu itupun muncul Liu See Beng
bersama murid-murid Butong pay.
"Cegat mereka!" Pek Sek serukan. Ia belum tahu bahwa
musuh-musuhnya itu adalah orang-orang dari TongCiang.
Jumlahnya murid-murid Butong pay yang tergabung di
pihaknya Liu Busu itu mencapai jumlah kira-kira tiga puluh
orang, karena itu, satu kali mereka ceburkan diri dalam
kalangan pertempuran, keadaan segera berbal ik rupa. Dari
pihak penyerang, rombongan TongCiang lantas menjadi pihak
yang diserang dan terdesak.
Kim Tok Ek bersama Bouwyong Ciong ambil kedudukan
berendeng, akan bersama-sama memecahkan kurungan untuk
menoblos pergi, akan tetapi mereka telah dibikin terpencar
oleh Pek Sek Toojin dan Liu Busu.
Giok Lo Sat perdengarkan tertawanya yang panjang
dengan sinar pedangnya berkilau-kilau ia menghampiri Kim
Tok Ek, atas mana, orang she Kim itu terpaksa mesti melayani
berkelahi. Dasarnya jago, Tok Ek bisa melayani selama
beberapa jurus.
Justeru itu Gak Beng Kie pun datang menyerang.
Dengan tangannya yang liehay. Tok Ek sambuti Beng Kie,
tapi Beng Kie dengan tangan kiri menangkisnya dengan
berani, sambil pedang di tangan kanannya dikasih melayang.
"Bret!" demikian satu suara, yang ternyata bajunya si orang
she Kim robek ditegur ujung pedang.
Selagi begitu, Giok Lo Sat pun maju dengan totokannya ke
arah jantungnya Tok Ek. Inilah serangan "Liuseng kiesu" -"Bintang melesat."
Tok Ek dengan sebat berkelit dari serangan itu, tapi justeru
itu ia dengar bentakannya Giok Lo Sat: "Kena!"
Tahu-tahu ujung pedang sudah mampir ke dadanya jago
she Kim ini. tiada ketika lagi ia dapat menangkisnya lantas
saja darah menyembur keluar dari dadanya yang dilukai
dengan guratan pedangnya si nona.
Bicara tentang ilmu silat, kepandaiannya Kim Tok Ek tiada
di sebelah bawah Giok Lo Sat atau Gak Beng Kie, Akan tetapi
menghadapi pemuda she Gak itu, ia kewalahan karena Beng
Kie memakai sarung tangan yang liehay, yang tidak jeri untuk
tangan berbahaya dari orang she Kim ini. Di samping pemuda
ini juga ada Giok Lo Sat yang sangat benci kejahatan dan
bertempur secara hebat sekali, mau tidak mau Kim Tok Ek
menjadi tidak bisa berbuat banyak, terlalu berat untuk ia
hadapi sepasang pemuda pemudi itu. Masih syukur ia dapat
berkelit dengan cepat, kalau tidak, bukan melainkan kulitnya
yang terluka, perutnya pun akan terdodet pedang dan binasa.
Dengan berhasilnya serangan-nya itu, Giok Lo Sat lalu
mendesak terus.
Bouwyong Ciong saksikan bahaya yang mengancam, ia
berkelahi dengan keras, ia telah dapat pukul roboh tiga murid
Butong pay. Gak Beng Kie lihat orang mengganas, ia percaya Giok Lo
Sat seorang diri sanggup melayani Kim Tok Ek. ia lantas
memecah diri, dengan pedangnya ia lompat kepada orang she
Bouwyong itu, yang ia serang dan merintangi jalannya untuk
molos. Giok Lo Sat benar-benar perhebat desakannya sehingga
Kim Tok Ek terdesak mundur.
"Eh, Kim Laokoay, apakah kau tetap tidak mau kembalikan
kitab ilmu pedangku?" dia tanya, sambil tertawa.
Orang she Kim itu tidak menyahut, dia kertak gigi, dia
seperti menahan napas, guna pertahankan diri dari rangsekan
si nona ini. Giok Lo Sat tetap menggoda.
"Jikalau kau benar-benar tidak sudi menyerahkannya,
terpaksa aku akan berlaku bengis terhadapmu!" dia
mengancam. Seperti sudah umum perangainya nona ini, meskipun
ancamannya belum peroleh jawaban, ia sudah lantas buktikan
ancamannya itu, pedangnya menyambar-nyambar bagaikan
"topan dan hujan lebat", hingga Kim Tok Ek seperti terkurung
sinar pedang. Selagi pertempuran berlangsung hebat, sekonyongkonyong
terdengar suara berisik dari tindakan kuda di luar
gedung, lalu tampak nerobos masuknya sejumlah serdadu,
dan satu di antaranya, yang menjadi pemimpin, sudah lantas
berseru: "Him Kengliak, maaf pieCit telah terlambat datang!"
Kemudian dia membentak: "Kawanan berandal yang bernyali
besar, bagaimana di waktu siang terang benderang kalian
berani merampok satu keluarga pembesar negeri! Lekas kalian
menyerah!"
Orang yang datang ini adalah Kiubun Teetok Thian Jie
Keng, serdadu-serdadunya sudah lantas maju menyerang.
"Pihak kita semua mundurlah!" HimKengliak menyerukan.
Kim Tok Ek sedang didesak Giok Lo Sat, datangnya
serdadu-serdadu itu membuat ia dapat ketika untuk merat.
Hal ini membuat si Raksasi Kumala menjadi gusar, hingga dia
labrak tentara negeri itu. Banyak golok dan tombak serdaduserdadu
itu dibikin terpental atau tertabas kutung.
"Berandal wanita yang liehay!" berseru beberapa serdadu,
yang menyangka nona itu berandal.
Giok Lo Sat jadi semakin mendongkol.
Tiat Hui Liong tahu puteri angkatnya itu gusar dia kuatir
Giok Lo Sat menjadi kalap.
"Jangan!" dia berteriak mencegahnya. Malah dia terus tarik
tangannya anak itu.
Gak Beng Kie juga lantas maju ke depannya Kiubun Teetok
Thian Jie Keng itu. "Jangan ganggu nona ini dia adalah
pelindungnya Him Tayjin!" katanya.
Dalam sekejap pertempuran yang seru itu lantas berakhir.
Pelbagai pahlawan dari TongCiang yang terluka dan roboh,
semua lantas "menjadi orang tawanan barisan negeri, tetapi
Kim Tok Ek dan Bouwyong Ciong bersama lain-lain kawannya
lolos kabur. Thian Jie Keng segera datang menghampiri Him Kengliak,
untuk memberi hormat sambil menjura.
"Harap Tayjin memaafkan atas kelambatanku ini," ia
mohon. "PieCit menyesal yang tayjin sampai mendapat kaget."
Sebelum Kengliak itu berkata apa?apa, Pengko Keesu tiong
Yo Lian muncul dari perdalaman, ia perdengarkan suara "Hm"'
berulang-ulang, setelah mana ia lalu berkata dengan dingin:
"Sungguh sempurna sekali pendengarannya Thian Tayjin!"
Mukanya Kiubun Teetok itu menjadi merah.
"Memang pieCit bersalah karena sudah dua kali gedung
Tayjin diganggu orang-orang jahat dengan pieCit tidak dapat
ambil tindakan," ia akui kesalahannya. Kembali ia
menghaturkan maaf.
"Di dalam kota raja terdapat kawanan berandal semacam
itu, mereka tentunya bukan sembarang berandal," kata Yo
Lian. "Nanti pieCit bawa mereka ke kantorku untuk diperiksa,"
kata Jie Keng. "Pemeriksaan akan segera dilakukan."
Matanya Gak Beng Kie memain, ia campur bicara.
"Mereka ini bukan sembarang berandal, dikuatirkan Tayjin
tidak merdeka memeriksa mereka!" kata Beng Kie yang agak
menyindir. Terus ia hadapi sepnya, dan menambahkan: "Beng
Kie membesarkan nyali memohon supaya Kengliak Tayjin
sendiri yang memeriksa mereka itu."
Thian Jie Keng agak gelisah dalam hatinya.
"Inilah tugasku, tidak berani pieCit membikin berabe pada
Tayjin," ia lekas berkata.
Kedua matanya Him Kengliak memain dengan tajam, ia lirik
teetok itu. komandan utama dari pasukan pelindung sembilan
pintu kota dari kota raja.
"Baiklah, kau boleh bawa pergi mereka itu," kata ia
kemudian. Iapun memberi isyarat dengan tangannya.
Thian Jie Keng segera atur barisannya buat diajak berlalu
sambil angkut semua orang tawanan.
"Tayjin, tidakkah Tayjin seperti melepaskan harimau pulang
ke gunungnya?" kata Beng Kie pada sepnya, seberlalunya
teetok itu. Yo Lian pun kata: "Akupun tidak percaya pada Thian Jie
Keng..." Him Teng Pek menghela napas, ia kata: "Mustahil aku tidak
tahu siapa sebenarnya kawanan berandal itu" Aku hanya
berkuasa atas bala tentera di perbatasan, tidak di kota raja, di
sini dialah yang berhak mengurus kesejahteraan. Sesuatu
pembesar mempunyai hak kekuasaannya masing-masing yang
telah ditentukan, jikalau aku berkukuh, mungkin nanti ada
menteri yang mengatakan aku gunai kekuasaan sewenangwenang."
Yo Lian mengerti itu. ia tutup mulut.
"Beng Kie," kata Him Kengliak kemudian, "pergi kau
undang semua giesu, aku hendak menghaturkan terima kasih
kepada mereka."
Giesu yang dimaksudkan kengliak itu ialah semua orang
yang membantui padanya.
Giok Lo Sat dan Tiat Hui Liong yang mendengar
perkataannya panglima dari perbatasan itu, segera
menghampiri, untuk memberi hormat dengan menjura dalamdalam.
"Kami datang kemari secara kebetulan saja. kami tidak
berani menerima ucapan terima kasih," kata mereka.
Teng Pek heran, hingga ia awasi kedua orang itu.
"Him Tayjin setia kepada negara, hamba sangat
mengaguminya," kata pula Hui Liong, "akan tetapi kami ayah
dan anak. adalah orang-orang gunung, biasanya kami tidak
berani dekat dengan pembesar negeri. Pertemuan kita hari ini
adalah kejadian yang tidak disangka-sangka, maka hal ini
tidak dapat dikatakan sebagai jasa. Harap kengliak
memaafkannya, kami mohon pamitan."
Meski demikian, panglima itu toh memberi hormat sambil
menghaturkan terima kasih juga.
"Beng Kie, pergi kau antar kedua tetamuku ini," kata ia
kepada Gak Beng Kie.
Ketika itu Giok Lo Sat masih belum masukkan pedangnya
ke dalam sarungnya, Beng Kie lihat senjatanya nona itu. ia
heran. Itulah pedang Yuliong kiam kepunyaannya, yang telah
lenyap di dalam keraton! Tiba-tiba ia ingat kepada bayangan
orang yang sama-sama ia memasuki keraton pada malam itu.
Sekarang ia menduganya bayangan itu Giok Lo Sat adanya.
Sampai waktu itu barulah si Raksasi Kumala masukkan
pedangnya ke dalam sarungnya, ia berbuat demikian sambil
bersenyum puas...
Beng Kie tidak mengucapkan apa-apa, ia mengantarkan
sampai di tangga lorak.
"Lian Liehiap. ada serupa barang yang aku hendak
kembalikan kepadamu." kata ia kepada si nona. ta rogoh
keluar kitab ilmu pedang dari sakunya, sambil angsurkan itu ia
tambahkan: "Silakan liehiap periksa, benar atau tidak ini
barangmu yang tulen."
Dengan tertawa. Giok Lo Sat sambuti kitabnya itu.
Beda daripada puterinya itu, Hui Liong sebaliknya merasa
heran sekali. "Untuk kitab ini. kami ayah dan anak telah melakukan
perjalanan ribuan lie," dia mengatakan. "Dari "manakah kau
dapatkannya ini9"
Selagi Beng Kie hendak berikan keterangannya, si nona
memotongnya. "Aku juga ada punya serupa barang untuk dikembalikan
padamu!" kata ia.
Nona ini loloskan Yuliong kiam dari pinggangnya.
"Barang masing-masing telah dikembalikan, maka itu kita
pun tidak usah saling terima budi..." kata dia.
Hui Liong melengak, dalam hatinya ia kata: "Dasar anak
kepala besar!"
Giok Lo Sat bertindak turun di tangga. Tiba-tiba ia
berpaling dan tangannya menggapai.
"To It Hang, kemari kau!" ia memanggil.
It Hang campurkan diri di antara orang banyak, ia dengar
panggilan itu, mau tidak mau ia bertindak menghampirkan.
Pek Sek Toojin saksikan semua itu, ia lirik It Hang dengan
maksud mencegah, tapi pemuda itu seperti tidak melihatnya
dia bertindak terus ke tangga lorak.
"Kau baik?" Giok Lo Sat tanya kepadanya.
"Kenapa tidak?" menyelak Pek Sek Toojin, yang diam-diam
telah mengikuti di belakangnya It Hang.
Kedua matanya si nona bersinar.
"Inilah paman guruku yang ke empat," It Hang
memperkenalkan.
Si Raksasi Kumala tertawa tawar.
"Seumurku, aku paling tidak suka orang banyak mulut!"
katanya dengan dingin. "Eh, To It Hang, aku menanya kau!"
Bukan main mendongkolnya Pek Sek Toojin, sampai ia raba
gagang pedangnya.
"Aku ada baik." It Hang lekas menjawab si nona "Kau
bersama Tial LooCianpwee tinggal di mana" Lain hari aku
nanti mengunjungi kalian..."
"It Hang," Pek Sek memotong, "urusan di sini sudah
selesai, besok kau turut aku pulang ke gunung!"
Imam ini mencoba akan sabarkan diri.
Giok Lo Sat kembali tertawa dingin.
"Benarkah orang ini paman gurumu?" dia menegasi It
Hang. "Apa artinya kata-katamu ini?" Pek Sek menegur dengan
gusar. Giok Lo Sat tertawa.
"Sebab aku lihat kau mirip sebagai ayahnya!" ia jawab.
"Biasanya sekalipun seorang ayah, tidak nanti dia perlakukan
anaknya demikian keras!"
"Hm!" Pek Sek perdengarkan suara di hidung. Lalu ia
pandang keponakan muridnya akan berkata: "Kami kaum
Butong pay mempunyai aturan yang melarang percampur
gaulan dengan orang jahat!"
Sekonyong-konyong Giok Lo Sat menghunus pedangnya.
"Pek Sek Toojin!" dia kata dengan mengejek. "Orang-orang
dari kaummu tidak sedikit yang aku telah mengenalnya, akan
tetap aku berani kata, kecuali Cie Yang Toojin, belum pernah
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada di antaranya yang terdengar pantas disebut satu giesu!
Aku hendak tanya kau. usaha apa kau pernah perbuat yang
mendatangkan kekaguman khalayak ramai" Kau berani
memandang tak mata kepada orang-orang gagah kaum Rimba
Hijau" Hm! Aku adalah yang di matanya kaummu dianggap
sebagai orang-orang jahat! Nah, mari kita mencoba-coba!"
Mukanya imam dari Butong pay itu menjadi merah padam.
Ia tidak sangka nona ini dapat keluarkan kata demikian tajam.
Maka dengan perdengarkan suara "Sret", ia segera cabut
pedangnya. It Hang jadi gelagapan.
"Di depan Him Kengliak jangan orang berbuat tak kenal
aturan!" dia kata bahna bingungnya.
Pek Sek rupanya sadar, ia terus kata:
"Besok tengah hari, aku nantikan kau di lembah Pitmo gay
untuk terima pengajaranmu!"
"Susiok!" It Hang memotong. "Bukankah tadi Susiok kata
bahwa kita akan pulang ke gunung besok?"
Napasnya imam itu seperti sesak.
"Kau tak usah perdulikan itu!" dia membentak keponakan
muridnya. Giok Lo Sat tertawa riang.
"Aku bersedia akan turut titahmu!" dia terima tantangan.
Selagi Giok Lo Sat adu mulut dengan Pek Sek Toojin, Tiat
Hui Liong tarik Gak Beng Kie ke samping, untuk tanya ini dan
itu kepada pemuda itu. Ia menanyakan she dan namanya
Beng Kie, lalu keluarganya, lantas gurunya.
Gak Beng Kie tidak tahu orang tua ini adalah ayahnya nona
Tiat San Ho. ia heran atas pelbagai pertanyaan itu, di dalam
hatinya ia kata: "Tadi aku saksikan dia berkelahi sangat
gagah, maka heran sekarang kenapa dia bicara begini melit
bagaikan seorang nenek?" Iapun berniat tanya she dan
namanya orang tua ini, tapi tidak dapat ia potong rentetan
pertanyaan yang diajukan kepadanya itu.
Maka syukur, pertengkaran mulut di antara Pek Sek dan
Giok Lo Sat telah sampai di akhirnya dan si nona hampirkan
orang tua itu. "Ayah. mari kita pergi!" si anak-angkat mengajaknya.
Kepada Beng Kie masih Tiat Hui Liong memesan: "Saudara
Gak. biar bagaimana, sebentar malam aku undang kau mesti
datang ke kuil Lengkong sie dibukit Seesan untuk kita pasang
omong!" Itu waktu It Hang datang kepada mereka.
"Tiat LooCianpwee. apakah kau ada baik?" dia tanya si
orang tua. Beng Kie terperanjat, bahna heran.
"LooCianpwee toh yang menggetarkan Barat utara..."
katanya. "Ya, aku si orang tua Tiat Hui Liong yang dimaksudkan!"
jago tua itu memotong.
Beng Kie masih heran.
"Nona San... Nona San Ho..."
"San Ho adalah anak perempuanku." Hui Liong
meneruskannya. Beng Kie hendak beritahukan orang tua ini tentang
lenyapnya San Ho akan tetapi Giok Lo Sat sudah tuntun
tangan ayah angkatnya itu untuk diajak pergi.
It Hang segera juga keluarkan helaan napas lega. Tapi Pek
Sek Toojin masih saja mendeluh hatinya, dengan terpaksa ia
kembali ke dalam, untuk pamitan dari Him Kengliak.
Teng Pek tahu imam ini adalah salah satu ketua dari
Butong pay, ia menghormatinya, ia mengantar sendiri imam
itu sampai di tangga lorak.
Dengan perginya Pek Sek Toojin, semua murid Butong pay
ikut berlalu juga. Kemudian Busu Liu See Beng pun ajak
kawan-kawannya pamitan dari Him Kengliak.
"Sudah lama aku dengar nama besar dari Liu Giesu di kota
raja ini," berkata panglima dari tapal batas itu. "aku merasa
beruntung dengan pertemuan kita hari ini. Kenapa Giesu tidak
duduk dulu sebentar?"
"Terima kasih, tayjin," sahut See Beng. "Kawanan berandal
ini terang datang tidak untuk harta benda, maka jikalau tayjin
sudi dengar, haraplah tayjin berlaku waspada."
"Terima kasih," Teng Pek mengucap. "Pernah aku
berperang beratus kali, beberapa puluh kali aku mengalami
bencana yang hampir merampas jiwaku, maka itu aku anggap
kematian adalah takdir, aku pasrah kepada nasib."
Liu See Beng kagum untuk nyalinya panglima ini.
"Keluargaku turun temurun menjadi guru silat di kota raja
ini," berkata Liu Busu pula, "maka itu, murid-murid dan
sahabat-sahabatku tidak sedikit jumlahnya, bersama-sama
mereka aku bersedia untuk menunaikan kewajibanku terhadap
tayjin. Aku tidak akan kasih ketika orangjahat main gila di sini!
Sekarang ijinkan kami pulang dahulu."
Beng Kie girang, ia mengucapkan terima kasih pada guru
silat ini. Seberlalunya guru silat serta kawan-kawannya itu, Beng Kie
kata kepada sepnya: "Guru silat ini luas pergaulannya di kota
raja, dia bersahabat kepada kedua golongan Jalan Hitam dan
Jalan Putih, dengan adanya mereka yang suka bantu kita,
bolehlah kita legakan hati."
Him Kengliak menghela napas.
"Melihat suasana sekarang, hatiku tawar," kata ia.
"Jika besok kita menghadap di istana." kata Yo Lian, "paling
dulu kita tanyakan halnya kimCee palsu Cui Ceng Siu itu,
kemudian barulah kita minta orang dari Kiubun Teetok."
"Cui Ceng Siu adalah orangnya Gui Tiong Hian." kata
Touwgiesu Cee Goan Piauw, "sudah kepalang tanggung baik
kita sekalian dakwa juga Gui Tiong Hian!"
Mendengar ini. Leepou Siangsie Sun Cin Hang usulkan:
"Kenapa kita tidak undang saj a semua menteri yang setia
untuk bersama-sama mohon Sri Baginda urus perkara ini
seluruhnya?"
"Akur!" kata Liepou Siangsie Ciu Kee Bok. "Dengan bekerja
sama. jumlah kita menjadi besar, dengan begitu, kawanan
dorna pasti tidak akan berani memandang enteng terhadap
kita." Usul itu telah dapat kesetujuan. Maka orang lantas
membagi tugas. Selekasnya semua pembesar bubaran. Beng Kie merasa
tidak aman. Him Kengliak tidak tahu pikirannya orang sebawahan itu, ia
puji padanya: "Baiknya tadi kau bisa lihat gelagat dengan
pergi mengundang bala bantuan."
Ong Can pun sekarang insyaf bahwa tadi ia menduga jelek
kepada pemuda itu, ia berbalik mengaguminya.
"Saudara Gak, kau sungguh pandai!" kata ia. "Dalam waktu
pendek kau telah datangkan demikian banyak orang kosen."
"Duduknya hal sebenarnya sederhana saja," sahut Beng
Kie. Ia tuturkan halnya Pek Sek semua. "Tapi Tiat Hui Liong
telah janjikan aku untuk sebentar malam datang padanya."
"Sudah adajanji, tidak dapat kita mengingkari janji itu,"
kata Him Kengliak.
"Tapi aku tidak niat meninggalkan taysu," Beng Kie kata.
"Lagi pula aku belum terima baik undangannya itu."
"Tapipun kau tidak menolaknya?"
"Tidak sempat aku menampik, dia sudah keburu pergi."
"Jikalau demikian duduknya, harus kau pergi," katanya sep
itu. "Ratusan ribu musuh aku tidak takuti, kenapa aku mesti
jeri terhadap rombongan penjahat kecil ini" Lagipun kita
dilindungi Liu Giesu, bukan" Maka itu kau pergilah dengan
tenang! Orang tua itu, walaupun nampaknya jumawa, aku
lihat dia adalah seorang jujur, sudah selayaknya jikalau kau
ikat persahabatan dengan orang tua itu."
Mendengar demikian, lega juga hatinya Beng Kie. Pada
malam harinya sehabis bersantap, ia lantas dandan, terus ia
minta perkenan dari sepnya untuk pergi memenuhi janji
terhadap Tiat Hui Liong. Kepada Ong Can ia tinggalkan pesan.
Hatinya bertambah lega ketika ia saksikan di luar gedung, Liu
See Beng benar-benar ada memasang orang di sekelilingnya.
Karenanya, dengan hati tenteram ia menuju keluar kota.
Kuil Lengkong sie berada di atas Seesan, Bukit Barat. Di
waktu Beng Kie mendaki bukit itu, rembulan sudah berada di
atasan kepala, ialah sudah hampir jam tiga.
"Tiat Hui Liong seorang yang aneh." pikir pemuda ini. Dia
tinggal begini jauh dari kota, dia toh minta orang kunjungi
padanya... Entah urusan penting apa yang hendak
dibicarakannya?"
Tengah pemuda ini berpikir sambil jalan, tiba-tiba ia dengar
suara tertawa yang panjang, yang keluar dari tempat pohonpohon
lebat di sampingnya, ketika suara itu berhenti, sebagai
gantinya muncul satu nona dengan pakaian serba putih.
Itulah Giok Lo Sat dengan senyumnya yang berseri-seri.
Saking heran, orang she Gak ini melengak.
"Mana Tiat LooCianpwee?" dia tanya selang sesaat.
Tiba-tiba Giok Lo Sat perlihatkan roman sungguh-sungguh.
Ia kata: "Hari ini kau adalah tetamu terhormat dari ayahku,
maka itu walaupun di antara kita ada sedikit perselisihan, suka
aku menghabiskannya."
"Ah, siapa yang berselisih denganmu?" pikir Beng Kie.
"Ketika dulu kita bertemu di puncak gunung Hoasan, kau
sendirilah yang dengan tak ada sebab dan alasan sudah
menantang aku mengadu pedang! Itu toh bukannya
urusanku?"
Tetapi pemuda ini ketahui baik perangainya nona itu, ia
tidak mau melayaninya.
"Apakah Tiat LooCianpwee minta kau papak aku?" dia
tanya. "Bukan hanya memapak, akupun hendak periksa kau!"
sahut si nona. "Ah, janganlah kau bergurau, Lian Liehiap!" kata Beng Kie.
Ia merasa tidak enak hati, tetapi iapun sedikit mendongkol.
"Siapa bergurau kepadamu?" Giok Lo Sat baliki. "Aku tanya
kau! Kau tahu tidak bahwa Tiat San Ho itu gadisnya ayah
angkatku?"
"Aku tahu."
"Dan tahukah kau bahwa gadisnya itu berlalu dari rumah
karena mengambul?"
"Hal itu aku tidak ketahui."
"Kau datang bersama-sama dia ke kota raja ini dan samasama
tinggal di gedungnya Yo Lian, bukankah?"
"Benar! Tapi baru beberapa hari yang lalu dia telah diculik
orang. Mengenai ini aku justeru berniat temui Tiat
LooCianpwee untuk menghaturkan maaf."
Mendengar ini, mendadak Giok Lo Sat tertawa, tak
hentinya. Benar-benar Beng Kie heran, ia tercengang.
"Orang nampak bahaya tetapi kau tertawa, kau sungguh
luar biasa..." ia pikir bahna herannya.
Masih Giok Lo Sat tertawa.
"Jangan kuatir, ayahku bukan hendak minta orang dan
padamu1" ia kata. "Dia malah niat haturkan gadisnya itu
kepadamu!"
Beng Kie terperanjat.
"Apa yang kau maksudkan?" tanyanya.
"Apa yang kumaksudkan?" mengulangi si nona. "Apa benar
kau begini tolol" Aku akan jadi comblangmu, kau
mengertikah?"
"Adakah orang mencomblangi seperti caramu ini?" Beng Kie
tanya. Si nona perlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Aku lihat kau bukannya orang yang tidak berbudi," ia
berkata. "Mengapa kau bersikap begini?"
Beng Kie heran berbareng mendongkol.
"Jadi kau maksudkan aku orang yang tidak berbudi?"
katanya. "Yang satu lelaki bujangan dan yang lain wanita tunggal!"
kata si nona. "Kalian jalan bersama laksaan lie, sampai di kota
raja ini! Memang benar San ho menyamar sebagai orang
lelaki, tetapi kau dan dia tinggal sama-sama di rumah
Keluarga Yo! Mungkinkah di antara kalian sedikitpun tidak
mempunyai perasaan saling menyinta?"
Nona Lian demikian polos, hingga ia keluarkan katakatanya
tanpa rem lagi dan malu-malu, hingga mukanya Beng
Kie menjadi merah sampai ke kuping-kupingnya.
"Aku Gak Beng Kie adalah satu laki-laki sejati!" dia
berteriak. Tapi dia tidak dapat meneruskannya, meskipun
sebenarnya dia hendak menambahkan: "Mustahil aku berbuat
yang tidak kepantasan?" Karena Giok Lo Sat sudah lantas
memotongnya. "Adalah umum jikalau pria dan wanita saling mengagumi!"
demikian katanya. "Aku sendiri seandainya sukai satu orang,
tak takut aku mengatakannya terhadap siapa juga! Siapa main
sembunyi-sembunyi, dia bukannya seorang gagah!"
Beng Kie bergelisah. ia menggoyang-goyangkan tangannya.
"Cukup, Lian Liehiap!" katanya. "Terhadap San Ho aku
anggap sebagai adikku. Aku harap kau tidak keliru mengerti!"
Nona itu lantas kerutkan kening, hingga wajahnya tak
dapat diterka, dia tertawa atau bukan.
"Sekarang tak usah kita bicarakan lagi soal cinta atau
tidak," ia kata. "Sekarang aku tanya padamu, kau suka
padanya atau tidak?"
"Tadi toh aku telah beritahu kepadamu..." sahut Beng Kie.
Tapi ucapan selanjutnya dicegat pula oleh nona di depannya
itu. Wajahnya si Raksasi Kumala nampak menjadi sungguhsungguh.
"Kau jawab dengan ringkas!" katanya. "Aku paling sebal
apabila orang memutar-mutar pembicaraan. Ringkasnya saja,
kau suka dia atau tidak?"
"Aku suka!" jawabnya Beng Kie, yang terpengaruh
kepolosannya si nona.
Giok Lo Sal perlihatkan wajah keren.
"Kalau begitu, inginkah kau menikah dengan dia?"
"Suka adalah satu urusan, menikah ada lain soal lagi," Beng
Kie jawab. "Ah, kau jangan omong saja!" kata pula si nona. "Hayo
jawab, kau suka menikah dengan dia atau tidak?"
Melihat orang mendesak demikian rupa, Beng Kie kepeskan
tangannya. "Jikalau sudah tidak ada urusan lainnya, tolonglah
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampaikan kepada Tiat LooCianpwee bahwa aku telah datang
kemari," kata dia. Ia membalik tubuh untuk bertindak pergi.
Nona Lian perdengarkan tertawa panjang, tubuhnya lompat
mencelat, akan menghalang di depan pemuda itu.
Pedangnyapun segera terhunus di tangannya.
"Apakah artinya ini?" Beng Kie tanya.
"Aku larang kau pergi!" sahut si nona. "Katakanlah, kau
sebenarnya suka menikah dengan dia atau tidak?"
Beng Kie menjadi gusar.
"Tidak!" dia berteriak.
Giok Lo Sat tertawa dingin.
"Hm! kau benar-benar bukannya satu manusia!"
Dengan mendadak juga nona ini segera menikam dengan
pedangnya. Beng Kie terkejut tetapi ia dapat mengelakkan diri.
Si Raksasi Kumala tidak berhenti dengan satu tikamannya
itu, ia lantas menyerang pula, berulang-ulang dengan sangat
ganasnya, saban-saban ia cari sasaran pada bagian-bagian
yang berbahaya.
Setelah terus-terusan berkelit tanpa balas menyerang,
habislah kesabarannya Beng Kie.
"Sret!" dia hunus Yuliong kiam.
"Jikalau kau mempunyai kepandaian, hayo kau bunuh
comblangmu ini!" teriak Giok Lo Sat, namun ia tetap
menyerangnya. Panas hatinya pemuda she Gak itu, ia menangkis berulangulang
menghindarkan ancaman bencana.
"Di kolong langit ini, belum pernah aku ketemu orang yang
tidak tahu aturan semacam kau ini!" dia berteriak. "Di mana
ada aturan memaksa orang menikah?"
Pemuda ini tidak tahu bahwa pandangannya Giok Lo Sat
lain daripada pandangannya sendiri. Nona ini anggap, dia
telah lakukan perjalanan demikian jauh bersama Tiat San Ho,
mereka juga tinggal sama-sama, malah Tiat San Ho sendiri
suka menikah kepadanya, maka itu Giok Lo Sat anggap Beng
Kie harus nikah nona Tiat itu!
Beng Kie benar-benar murka karena terlalu didesak, ia
keluarkan ilmu pedang Thiansan kiamhoat untuk melayaninya,
hingga Giok Lo Sat tidak berani terlalu merangsek pula.
Kemudian, sambil berkelahi, si Raksasi Kumala berseru:
"Adik San Ho, baiklah kau jangan nikah kepada orang yang
tidak mempunyai perasaan ini! Aku nanti wakilkan kau
membunuh dia!"
Seruan itu membuat Beng Kie heran, hingga ia melihat ke
sekitarnya. Justeru itu, Giok Lo Sat serang ia di kiri kanan
membikin ia repot, setelah mana, si nona tusukkan ujung
pedangnya ke arah tenggorokannya.
Bukan kepalang kagetnya pemuda ini, tetapi masih sempat
ia mengegoskan kepalanya, hingga ujung pedang lewat di
tempat yang kosong. Ia lantas keluarkan keringat dingin.
Tentu sekali ia jadi sangat gusar karenanya. Maka ia balas
menyerang dengan sengit. Dengan satu tangkisan "Kiehwee
liauwthian", atau "Mengangkat obor membakar langit", ia
sampok terpental pedang si nona.
"Biar bagaimana, tak sudi aku nikah dia!" ia kata dengan
nyaring. Giok Lo Sat tidak gubris pernyataan itu. Dia hanya berseru
pula: "Adik San Ho!"
Beng Kie mendongkol tidak kepalang.
"Tiada gunanya kau panggil dia!" ia kata. "Biar bagaimana,
tidak nanti aku nikah dia!..."
Baru Beng Kie keluarkan kata-katanya yang terakhir itu,
atau dari dalam pohon-pohon lebat terdengar seruan bagaikan
guntur, disusul dengan menyambarnya suatu bayangan hitam.
Ia kaget tetapi ia lantas jatuhkan diri untuk terus bergulingan
di tanah. "Binatang, kau berani menghina anakku!" demikian satu
bentakan. "Kau rasai kepalanku ini!"
Ancaman itu segera dibuktikan dengan serangan.
Beng Kie menangkis dengan pedangnya.
"Tiat LooCianpwee, maaf..." kata dia
Hui Liong tidak memperdulikan, ia mengulangkan
serangannya "Nie Siang berlaku baik menjodohkan kau dengan anakku,
kau menolaknya, akupun tidak dapat memaksanya, tetapi
mengapa kau perhina anakku?" teriak orang tua itu.
Beng Kie menikam ke arah pundak kiri. dengan begitu, ia
buyarkan serangannya jago dari Barat utara itu.
"LooCianpwee. jangan kau salah mengerti..." ia berkata.
Hui Liong mengelakkan pundak kirinya, kepalan kanannya
balas menyerang, lalu disusul pula dengan kepalan kiri.
"Aku telah dengar semua, kau masih hendak menyangkal?"
teriaknya, la masih sengit, ia menyerang dengan hebat. Ia
memang liehay ilmu silatnya dan tenaganyapun besar.
Beng Kie jadi gelisah dan bingung sekali, la tidak berani
membalas menyerang orang tua itu. Dalam repotnya itu,
pundaknya kena terpukul, hingga ia merasakan sakit bukan
main. lapun terpukul terpelanting sampai kira-kira satu
tumbak. Giok Lo Sat berlompat selagi orang terhuyung-huyung.
"Apakah kau masih berniat lari?" dia mengejek sambil
tertawa, pedangnya menikam ke arah ulu hati.
Beng Kie dapat tangkis serangan itu. setelah mana, ia
lompat mundur. Tapi justeru itu Tiat Hui Liong lompat
mencegat sambil mementangkan tangan dengan jari-jarinya
yang kuat bagaikan gaetan besi.
Melihat bahaya yang mengancam itu, Beng Kie lempar
pedangnya sambil keluarkan helaan napas.
"Baik kau bunuh saja aku!" katanya.
Hui Liong tidak menyangka akan kenekatan orang, ia heran
dan kaget, hingga tangannya seperti berhenti di tengah jalan.
"Ayah, jangan!" demikian jeritan seorang perempuan, yang
pun segera muncul dari arah pohon. "Anakmu hendak bicara!"
Kembali Hui Liong tercengang.
Beng Kie kenali suara itu, ia kaget berbareng girang.
"San Ho!" ia berseru. Tapi ia tidak dapat mengucap lebih
lanjut, lantas ia bungkam.
Hui Liong dan Giok Lo Sat pernah merantau sampai di tapal
batas untuk mencari kitab ilmu pedang, di mana mereka
satroni sarangnya Kim Tok Ek, ketika mereka dengar kabar,
bahwa orang she Kim itu menyelusup ke kota raja, mereka
lantas menyusul. Kebetulan sekali, sesampainya mereka di
kota raja, mereka lihat San Ho yang menyamar sebagai
seorang pemuda dan bersama Gak Beng Kie menumpang
tinggal di gedungnya Keluarga Yo. Ketika dulu Hui Liong usir
puterinya, itulah disebabkan amarahnya seketika, yang
kemudian ia merasa menyesal. Giok Lo Sat dapat terka
hatinya ayah angkat itu.
"Kenapa ayah tidak mau tengok mereka?" kata anak angkat
ini. "Aku kenal orang she Gak itu. Bila ayah setuju, aku akan
berdaya untuk ikat perjodohan mereka."
Sementara itu Hui Liong dan Nona Lian dapat ketahui
bahwa Kim Tbk Ek sedang bersembunyi di dalam istana,
hingga Giok Lo Sat sudah merencanakan akan menyerbu ke
keraton untuk cari orang she Kim itu. Jago tua itu setuju.
"Baiklah, mari kita pergi dahulu ke rumah Keluarga Yo,"
kata orang tua ini. "Dari sana baru kita pergi ke istana akan
cari siluman tua (dimaksudkan Kim Tok Ek) itu?"
Tapi Hui Liong dapat jawaban di luar sangkaannya.
"Aku tidak ingin temui orang she Gak itu," kata Giok Lo Sat.
"Baiklah kita bekerja dengan berpisahan. Ayah boleh tengok
San Ho, aku akan pergi ke istana mencari si orang she Kim."
"Bagaimana, apakah orang she Gak itu bukan orang baikbaik?"
Hui Liong tanya.
"Aku tidak maksudkan dia jahat, hanya ada perselisihan di
antara dia dan aku, kecuali bila dia telah menikah dengan adik
San Ho, tidak nanti aku mau akur pula dengan dia."
Hui Liong dan Giok Lo Sat masing-masing mempunyai
tabiat yang aneh, maka tanpa banyak omong lagi, malam itu
mereka pergi dengan berlainan tujuan. Justeru malam itu
keduanya mendapatkan hal yang luar biasa
Malam itu untuk kedua kalinya, Gak Beng Kie telah
memasuki keraton. Kali ini Giok Lo Sat pun justeru datang
menyatroni istana. Kebetulan bagi si nona, dia sampai di
tempatnya Gui Tiong Hian selagi orang kebiri itu berkumpul
bersama pahlawan-pahlawannya tengah mengagumi pedang
Yuliong kiam, kepunyaan Beng Kie.
Giok Lo Sat tidak kenal yang mana satu adalah Gui Tiong
Hian, sebaliknya, ia kenali pedang mustika itu. Ia ada
demikian berani, dengan-tiba-tiba ia lompat di antara orang
kebiri itu dan hamba-hambanya, tahu-tahu pedang itu telah
berpindah ke tangannya hingga istana menjadi kacau. Di luar
tahunya, aksinya ini telah membantu Beng Kie, hingga
pemuda she Gak ini berhasil menolongi Seng Kun. Beng Kie
tidak tahu aksinya nona itu.
Tiat Hui Liong di lain pihak pergi ke gedungnya Yo Lian,
untuk tengok gadisnya, belum ia memasuki gedung itu, ia
telah berpapasan dengan beberapa pahlawan dari TongCiang
yang menculik San Ho. Jago tua ini jadi gusar, dengan hebat
ia serang pahlawan-lawan itu, ia dapat binasakan tujuh orang.
Dengan begitu, ia berhasil menolongi gadisnya. Tapi karena ini
juga, Hui Liong duga mungkin sekali Kim Tok Ek akan datangi
pula gedung Yo Lian itu, maka iapun datang bersama Giok Lo
Sat dengan kesudahannya mereka dapat membantu Him
Kengliak. Setelah dapat menolongi puterinya banyak yang Hui Liong
tanyakan kepada puterinya, dari jawaban dan lagu suaranya ia
tahu puteri ini kagumi Gak Beng Kie, hingga ia menduga di
antara San Ho dan Beng Kie telah ada janji untuk hidup
bersama. Justeru dugaan inilah yang telah menerbitkan
lelakon yang membawa keonaran itu. Giok Lo Sat desak si
anak muda, dan Hui Liong unjuk kemurkaannya.
Sesudah menduga hati anaknya, Hui Liong berdamai
kepada Giok Lo Sat. Dengan tangkas nona Lian menyediakan
diri untuk jadi orang perantaraan. Ketika Giok Lo Sat bujuki
Gak Beng Kie, sampai ia memaksanya, Hui Liong dan San Ho
sembunyi di dalam pohon-pohon lebat, hingga mereka dengar
semua pembicaraan. Selagi Giok Lo Sat habis sabar, Hui Liong
pun gusar, hingga ia turun tangan membantui anak pungutnya
mengepung anak muda itu.
San Ho sendirinya berduka mendengar Beng Kie tidak cinta
padanya. Pernah mereka berjalan sama-sama, selama itu tidak
pernah mereka omong tentang cinta, akan tetapi dengan
diam-diam, nona ini menaruh hati terhadap si anak muda. Ia
tidak sangka pemuda itu tidak cinta padanya. Ia berduka
berbareng mendongkol, hingga pikirannya jadi kalut tidak
keruan rasa. Ia mau menangis tetapi air matanya tidak mau
keluar. Meski demikian, menampak Beng Kie putus asa dan
menyerah, menghadapi kebinasaan di tangan Giok Lo Sat dan
ayahnya, hatinya tidak tega. Maka itu, ia perdengarkan
suaranya dan muncul dari tempat sembunyinya. Anak ini
segera pegangi tangan ayahnya yang hendak diturunkan
menghajar Beng Kie.
"Ayah, jangan binasakan padanya," katanya kemudian,
suaranya perlahan tapi tajam. Kemudian ia putar tubuh, akan
hadapi Beng Kie. Ia kata: "Gak Toako, aku berterima kasih
yang sebegitu jauh kau telah perhatikan aku. Adikmu yang
menyebalkan ini, selanj utnya tidak akan memusingkan pula
padamu. Aku telah terima budimu, aku belum dapat
membalasnya, sebaliknya aku telah membikin kau gusar,
karena aku tidak bisa menebus dosa, sekarang sukalah kau
terima hormatku..."
Benar-benar San Ho memberi hormat sambil menjura
kepada pemuda kita.
Beng Kie tertegun. Dengan tidak disengaja ia telah
singgung kehormatannya nona ini, ia menjadi menyesal sekali.
Ia tidak dapat mengucapkan sepatah kata, pun ia tidak berani
angsurkan tangannya untuk membanguni nona itu. Ia dapat
lihat, setelah bangkit berdiri mukanya si nona sangat pucat di
kedua pipinya mengalir sedikit air mata, suatu tanda nona itu
sangat berduka. Benar-benar ia jadi merasa sangat tidak enak.
Selagi pemuda ini mencoba untuk bicara, San Ho sudah
mendahuluinya. "Mulai hari ini, baiklah kita satu pada lain jangan saling
membahasakan kakak dan adik lagi. Aku... ya. kitapun tidak
usah saling bertemu lagi..."
Lantas si nona membalik tubuh dan lari ke arah kuil.
"Aku keliru!..." kata Beng Kie dengan sesalnya, ia niat
menyusul. Baru ia hendak angkat kakinya, tapi Giok Lo Sat
yang berada di dampingnya sudah membentak padanya:
"Untuk apa berkasihan palsu?" Perkataan ini disusul dengan
tikaman pedang!
Tapi Tiat Hui Liong ulur tangannya. untuk menahan
serangannya anak angkatnya itu, sedang di lain pihak, dia
bentak Beng Kie: "Orang she Gak, kau pergilah! Jikalau kau
berayal-ayal, pasti akupun tidak akan beri ampun padamu!"
Beng Kie segera pungut pedangnya. dengan mulut
membungkam ia ngeloyor turun gunung. Ia membiarkan saja
walaupun ia dengar berulang-ulang suara dingin dari Giok Lo
Sat: "Hm! hm!..." Ia hanya merasakan suara itu sangat tidak
enak. bagaikan anak panah menikam ulu hatinya...
"Ayah, mari kita pulang!" Giok Lo Sat mengajak.
Ayah angkat itu berdiam, pun tidak menyahutinya.
"Betapa dukanya adik San Ho, mari kita lihat," si Raksasi
Kumala mengajak pula.
Baru sekarang Hui Liong angkat kepalanya, kelihatan ia ada
sangat gusar. "Apakah kecelaannya anakku itu maka bocah she Gak itu
berlaku sangat kurang ajar?" katanya dengan mendongkol.
"Itulah disebabkan dia yang tidak punya rejeki," Giok Lo Sat
menghibur. "Di belakang hari, andaikata dia jalan setindak
demi setindak untuk memohon tangannya adik San Ho, pasti
kita tidak akan ambil perduli!"
Mendengar kata-katanya anak angkatnya yang agak lucu
ini, Hui Liong tertawa juga.
"Nah, mari kita pulang!" anak itu mengajak pula. "Mari kita
lihat adik San Ho. Jikalau dia menangis, tidak ada orang yang
menghiburkannya, dia akan lebih berduka..."
"Ngaco! Jikalau dia menangis, dia bukannya anakku!"
Hui Liong tahu baik akan sifat puterinya itu. Walau dalam
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keadaan bagaimanapun, tidak nanti San Ho mau unjuk
kelemahannya, apapula untuk mohon bantuan lain orang. Tapi
Hui Liong merasa kurang tenteram juga, ia bertindak cepatcepat.
Lengkong sie adalah sebuah kuil tua dan tidak terawat,
debunya penuh di sana-sini. Setelah memasuki pintu
pekarangan, Hui Liong lihat tapak kaki kusut di undakan pintu.
"San Ho! San Ho!" ia memanggil berulang-ulang. Hatinya
benar-benar menjadi tidak tenteram.
Kuil itu tetap sunyi, tidak ada jawaban dari San Ho.
Giok Lo Sat pun menjadi heran.
"Mungkinkah ada orang bersembunyi di sini?" tanya dia.
"Coba kau pergi lihat ke depan sana." Hui Liong menitah.
"Jikalau kau lihat apa-apa yang mencurigakan, segera kau beri
tanda padaku."
Sebagai seorang yang telah banyak pengalaman,
tindakannya Hui Liong ini adalah persiapan kalau-kalau ada
orang jahat, untuk menjaga supaya mereka bisa saling tolong
berbareng mencegah dicelakai musuh semuanya.
Giok Lo Sat menurut, ia pergi keluar.
Dengan siap waspada Hui Liong masuk ke dalam. Lebih
dahulu ia meneliti sekitar luar kamar, baru ia mendekati kamar
barat yang di tempatkan gadisnya. Segera ia dengar suara
tarikan napas. "Apakah benar-benar dia menangis?" berpikir ayah ini.
Terus ia menolak pintu dengan perlahan-lahan. "San Ho!" ia
memanggil. Di atas pembaringan tertampak seorang wanita dengan
rambut kusut, dia itu menyahuti dengan perlahan, "San Ho
sudah pergi..."
Hui Liong terkejut. Ia kenali wanita itu adalah Bok Kiu Nio,
gundiknya. Inilah di luar sangkanya. Ia lantas menjadi gusar.
"Manusia rendah, perlu apa kau datang kemari?" ia
menegur. "Kaukah yang membujuk San Ho pergi?"
Bok Kiu Nio tidak beri penyahutan, ia hanya perlihatkan
telapakan tangannya yang menggenggam tiga butir mutiara
merah bagaikan darah. Melihat ini, Hui Liong kaget.
"Hai, kau bergabung dengan hantu wanita itu?" teriaknya.
Gundik itu tertawa sedih.
"Looya. kau masih tetap bawa tabiatmu seperti dulu,"
katanya. "Begitu kau buka mulut, lantas kau mencaci orang..."
Jago tua itu melengak.
"Ah! Apakah kau hendak pinjam pengaruhnya hantu wanita
itu untuk satrukan aku?" dia tanya.
Bok Kiu Nio diusir suaminya berhubung dengan pencurian
kitab ilmu pedang kepunyaan Giok Lo Sat. karenanya. Hui
Liong curigai gundik ini berdendam kepadanya dan hendak
menuntut balas.
Gundik itu perlihatkan roman tak wajar, lalu mendadak ia
menghela napas.
"Looya, kau telah jadi banyak tua..." katanya.
"Apakah hantu wanita itu datang bersama kau?" sebaliknya
Hui Liong mengajukan pertanyaan pula. "Aku tidak perduli! Di
mana San Ho sekarang berada?"
"Ketika aku sampai di sini, San Ho sudah turun gunung
dengan ambil jalan di belakang kuil ini," Kiu Nio kasih tahu.
"Tadinya aku sangka kau mendapat kabar penting dan telah
titahkan si San pergi untuk minta bantuan, adalah setelah
masuk ke sini, baru aku tahu hal kepergiannya itu. Itulah
suratnya di atas meja yang dia tinggalkan untukmu."
Hui Liong tampak sehelai kertas di atas meja, yang tertulis
dengan arang, bunyinya:
"Aku pulang lebih dahulu. Ayah tak usah cari aku."
Hui Liong kaget. Tetapi ia kenal baik tabiat anaknya, yang
pasti sudah pergi jauh, maka akan sia-sia saja ia
menyusulnya. Ia berpaling pada gundiknya, di telapak tangan
siapa masih terlihat tiga butir mutiara merah bagaikan darah
tadi yang di antara sinar pelita, mengeluarkan cahaya merah
bergemerlapan. Meskipun ia satu jago yang tidak kenal takut, namun
menampak tiga butir mutiara itu, hatinya Hui Liong gentar
juga. "Looya, baiklah kau lekas menyingkir!" Kiu Nio berkata.
Tapi suami itu murka.
"Untuk banyak tahun kau telah ikut aku, pernahkah kau
lihat aku menyingkir dari satruku?" dia membentak. Tapi
sejenak saja, ia menjadi lebih sabar. "Apakah kedatanganmu
ini hanya untuk memberi kisikan padaku?" tanyanya dengan
suara perlahan.
"Masihkah kau menetapi kepada kata dahulu?" Kiu Nio
tanya. "Apa yang aku katakan, aku tidak akan mengubahnya," Hui
Liong jawab. "Kau ikut kepada siapapun aku tak perduli!"
"Terima kasih, looya," berkata bekas gundik itu.
Dengan sepasang matanya, Hui Liong memandang keluar
jendela. Lalu ia kata: "Juga tidak terkecuali kalau kau suka
kembali pula padaku, maka aku tak akan menanyakan jelas
padamu." Hui Liong merasa kesepian dalam usianya yang telah lanjut
itu. Gundik itu tertawa.
Telah belasan tahun aku ikut looya, yang lainnya tak dapat
aku telad, perangaimu dapat juga aku mencontohnya,"
katanya. "Karena aku telah dianggap bersalah, biarlah aku
salah terus-terusan sampai di akhirnya."
Hui Liong rasakan mukanya panas.
"Kalau begitu, apa perlunya kau datang memberi kisikan?"
dia tanya. "Itulah karena looya telah rela merdekakan aku, sehingga
aku tidak lebih lama pula menjadi budak," sahut si nyonya.
"Aku ingat budi looya ini, maka aku tak ingin melihat kau
binasa secara kecewa."
Hui Liong kerutkan keningnya "Kau ngaco belo!"
bentaknya. "Apakah kau anggap aku sudah tua hingga aku
menjadi tidak berguna lagi?"
"Looya liehay, inilah aku tahu," kata pula Kiu Nio. "Akan
tetapi mertuaku telah berhasil meyakini ilmu silat memukul
batu sehingga hancur bagaikan tepung, dan tangannyapun
telah direndam dengan bisa beracun. Maka itu, lebih baik
looya menyingkir saja!"
Kedua matanya Hui Liong terbuka lebar.
"Apa" Mertuamu?" dia menegasinya.
"Benar," sahut bekas gundik itu. "Sekarang aku telah
menjadi nyonya mantunya Anghoa Kuibo Kongsun Toanio si
Biang Hantu Bunga Merah."
Hui Liong melengak.
"Baik, baik!" katanya kemudian. "Nah, sekarang kau
pergilah!"
Masih Bok Kiu Nio berkata pula:
"Kongsun Toanio telah ketahui kau berada di sini. Besok
malam dia hendak datang untuk membuat perhitungan! Dia
sekarang telah akur pula dengan Kim Lookoay..."
"Biarlah!" kata Hui Liong pula.
"Dan kau --- kau pun menjadi satruku?"
"Tidak berani aku menjadi musuh looya." kata Kiu Nio,
yang tetap masih berbahasa "looya" kepada bekas suami itu.
"Mereka pun tidak inginkan aku turut ambil bagian. Hanya
hendak aku terangkan, mertuaku itu, walaupun perangainya
mirip seperti perangai looya, dia tidak dapat dikatakan
seorang yang buruk. Maka itu, aku tidak ingin dia membunuh
looya. Juga looya tidak bunuh dia. Oleh karenanya, looya
baiklah kau menyingkir saja daripadanya..."
Itu waktu di luar terdengar satu suara nyaring.
"Giok Lo Sat akan segera datang, nah, kau lekaslah pergi!"
Hui Liong kata.
Bok Kiu Nio terkejut, lantas ia berpaling kepada bekas
suaminya untuk beri hormat.
"Looya, harap kaujaga diri baik-baik," katanya, lantas ia
lompat keluar jendela.
Sebentar kemudian, Giok Lo Sat masuk.
"Apakah ada yang mencurigai?" Hui Liong tanya anak
pungutnya. "Tidak," sahut Giok Lo Sat. "Cuma di arah Pitmo gay sana
seperti ada sinar api. Apakah perlu kita tengok?"
"Tidak usah, aku sudah ketahui itu," jawabnya Hui Liong.
Giok Lo Sat memandang ke lantai.
"Siapa yang telah datang kemari?" dia tanya. "Apakah adik
San Ho...?"
"San Ho sudah pergi. Tadi Bok Kiu Nio datang cari aku."
"Bok Kiu Nio?"
"Ya, dia. Apakah kau pernah dengar namanya Anghoa
Kuibo Kongsun Toanio?"
"Belum pernah aku mendengarnya. Nama itu aneh
bagiku. Gelaranku saja-Giok Lo
Sat-sudah membuat orang kaget,
tak kusangka ada lain orang yang namanya lebih hebat
lagi! Ingin aku menemui Kuibo itu..."
Hui Liong tertawa mendengar kata-kata Jenaka dari anak
pungutnya itu. Tapi sedetik kemudian, ia segera perlihatkan
wajah sungguh-sungguh.
"Julukannya Biang Hantu tersohor jauh terlebih siang
daripada julukanmu itu," berkata dia. "Sejak empat puluh
tahun yang lampau, orang sudah gelarkan Anghoa Kuibo
padanya." "Dia sebenarnya orang macam apa?" si Raksasi Kumala
menegasinya. "Meskipun usiaku masih muda sekali, bukan
sedikit orang kangouw aku telah jumpai, mengapa aku belum
pernah dengar nama Anghoa Kuibo itu?"
Hui Liong mengurut-urut kumisnya dan matanya dibuka
lebar-lebar. Pada sinar mata itu tertampak roman dari
ketakutan. Menampak sinar mata ayah angkatnya itu. Giok Lo
Sat heran, agaknya terkejut.
"Ayah, mungkinkah kau takut terhadap Anghoa Kuibo itu?"
dia tanya. Tiat Hui Liong kerutkan kening.
"Aku tidak takut terhadap siapa juga," ia kata dengan
tawar, "akan tetapi Anghoa Kuibo itu benar-benar satu lawan
yang tangguh sekali. Anak Lian, mari duduk, akan kututurkan
kau suatu cerita."
Giok Lo Sat duduk di tepi pembaringan, dengan mendelong
ia awasi ayah angkat itu.
Hui Liong hirup secangkir teh tua, ia batuk-batuk.
"Kau telah ketahui," katanya, memulai, "pada beberapa
puluh tahun yang lampau, untuk di Barat utara, namaku dan
Kim Laokoay sama terkenal. Akan tetapi, tahukah kau siapa
yang mengajarkan ilmu silatnya Kim Laokoay itu?"
Si Raksasi Kumala menggelengkan kepala.
"Kalian adalah orang-orang yang telah berusia di atas enam
puluh tahun lebih, yang terhitung dua tingkat lebih tua
daripada aku, sudah tentu aku tidak ketahui tentang kalian di
waktu mudanya."
"Ilmu silatnya Kim Laokoay itu adalah isterinya yang
mengajarkannya." Hui Liong beritahukan. "Isterinya itu ialah
Anghoa Kuibo Kongsun Toanio adanya."
Si nona tertawa.
"Isteri menjadi guru suaminya, sungguh bagus!" kata dia.
Tapi di dalam hatinya ia berpikir: "Andaikata aku berjodoh dan
menikah dengan To It Hang, mungkin akupun akan ajarkan It
Hang ilmu silat lebih jauh..." Karena ini, ia jadi ingat suatu hal,
maka ia tanya: "Jikalau satu nona telah menikah, dia biasanya
pakai she dan nama suaminya. Kenapa Anghoa Kuibo itu
bukan pakai nama Kim Toanio, tapi disebutnya Kongsun
Toanio?" "Baiklah aku tuturkan halnya Anghoa Kuibo itu," sahut Hui
Liong. "Pada empat puluh tahun yang lampau, di Barat utara
ada seorang luar biasa yang disebut Kongsun It Yang. Ilmu
silatnya sangat liehay tak terjajakkan, diapun gemar sekali
memelihara binatang-binatang yang berbisa, maka itu orang
jeri kepadanya. Dia mempunyai banyak murid tetapi tidak ada
satu yang dapat mewarisi kepandaiannya dengan sempurna.
Guruku adalah sahabat karibnya Kongsun It Yang itu. Menurut
kata guruku. Kongsun It Yang pernah mengatakan kepadanya
bahwa ilmu silatnya sangat berbahaya, apabila ilmu itu
diwariskan kepada murid jahat dan kejam, bahayanya bukan
main hebatnya, maka ia cuma ajarkan murid-muridnya
pelbagai ilmu silat yang kasar dan mudah diajarkannya saja.
Kongsun It Yang berlaku demikian hati-hati tapi kemudian ia
toh nampak kegagalan. Satu kali pernah datang satu pemuda,
yang menjadi muridnya, di luar dugaannya, murid ini telah
tempel gadisnya, hingga kesudahannya mereka berdua
berhasil mencuri kitab ilmu silatnya Kongsun It Yang yang
dirahasiakan itu. Nona itu adalah anak satu-satunya dari
Kongsun It Yang, dimanjakan bagaikan mustika saja,
sebagaimana aku terhadap San Ho. Walaupun Kongsun It
Yang kemudian ketahui perbuatan anaknya itu, dia hanya
bergusar tetapi tidak bisa berbuat suatu apa terhadap
anaknya. Akhirnya dia mati mereras bahna jengkelnya."
"Pemuda itu pastilah yang kemudian dikenal sebagai Kim
Laokoay," si Raksasi Kumala menduga. "Kiranya dia sudah
biasa mencuri, tidak heran kalau dia telah curi kitab ilmu
pedang kepunyaan guruku dan kemudian mencobajuga curi
kitab ilmu silat Siauwlim pay!"
"Demikianlah kalau orang sudah menjadi kebiasaan," kata
Hui Liong. "Di masa mudanya, hatinya Kim Laokoay sudah
demikian buruk, sudah dapat dipastikan, makin dia tua.
hatinya makin buruk lagi. Sesudah dia dapat bujuki isterinya
curi kitab rahasia mertuanya itu, lalu bersama-sama mereka
pergi menyembunyikan diri di gunung Thiansan bagian Utara,
di mana diam-diam mereka meyakini ilmu dari kitab rahasia
itu. Di kala itu, ilmu silatnya Kim Laokoay barulah apa yang
dinamakan mulai memasuki pintu, sedang ilmu silat isterinya
sudah mempunyai dasar kuat, dengan demikian menjadi nyata
bahwa Kim Laokoay dapat pelajaran di bawah pimpinan
isterinya itu. Selang belasan tahun, ilmu silatnya kedua suami
isteri itu telah menjadi sempurna. Setelah itu, Kim Tok Ek
mulai berbuat hal-hal yang tidak bagus, dengan kesudahannya
dia membangkitkan amarahnya kaum Rimba Hijau, hingga tiga
belas jago dari Barat utara telah berserikat mengepung dia.
Sebenarnya akupun telah diundang untuk bekerja sama, tetapi
karena terhalang urusanku, tidak dapat aku turut serta. Tiga
belas jago itu berhasil mengurung Kim Tok Ek, yang tak
Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin dapat meloloskan diri lagi, akan tetapi di saat jiwanya
sedang terancam maut, muncullah isterinya yang telah datang
menolongi. Pertempuran jadi sangat dahsyat, tiga belas jago
itu kena dikalahkan. Kim Tok Ek telah dapat luka yang
berbahaya tapi kemudian jiwanya tertolong juga. Kongsun
Toanio itu suka menancapkan bunga merah di rambut di
samping kupingnya, sehabisnya pertempuran mati-matian itu,
dia lantas dapatkan julukan Anghoa Kuibo si Biang Hantu
Bunga Merah."
"Liehay ilmu silatnya Anghoa Kuibo," berkata Giok Lo Sat,
"akan tetapi dia telah menangi suaminya, itulah harus
disayangkan."
"Ya," kata Hui Liong. "Buat omong secara jujur, walaupun
julukan Anghoa Kuibo sangat menakuti, akan tetapi hatinya
tidak seburuk suaminya itu, seringkali dia beri nasehat pada
suaminya, tapi semua itu tak didengar oleh suaminya itu.
Inipun sebabnya waktu Kim Laokoay dikepung tiga belas jago.
dia baru datang menolongi di saat suaminya dalam keadaan
yang sangat terancam. Maksudnya Anghoa Kuibo berbuat
demikian adalah untuk beri ajaran pada sang suami agar tahu
takut dan meru bah tabiatnya, akan tetapi justeru karena
mengandalkan kegagahan isterinya itu, Kim Laokoay jadi
semakin binal, setelah sembuh dari luka-lukanya, dia telah
melakukan lebih banyak kejahatan, hingga kesudahannya,
bahna jengkel dan putus asa, Anghoa Kuibo pisahkan diri dari
suaminya itu. Sejak itu, selama tiga puluh tahun tidak ada
orang yang ketahui di mana nyonya kosen itu menempatkan
dirinya." Giok Lo Sat menghela napas.
"Kalau begitu, Anghoa Kuibo itu tak dapat dikatakan terlalu
buruk," katanya.
"Sejak meninggalkan suaminya itu, Anghoa Kuibo tidak sudi
pakai nama suaminya," Tiat Hui Liong menjelaskan lebih jauh,
"ia memakai nama Kongsun Toanio, dengan ambil she
ayahnya. Pada sepuluh tahun pertama ia sembunyikan diri.
pernah dua tiga kali Kongsun Toanio munculkan diri, barulah
setelah itu ia tidak pernah muncul pula, hingga banyak orang
yang anggap dia telah menutup mata. Tidak disangka dia
sebenarnya masih berada dalam dunia dan sekarang muncul
untuk menyatrukan aku. Dan lebih tidak disangka dia telah
peroleh satu anak laki-laki dan anaknya itu telah ambil Bok Kiu
Nio sebagai isteri! Sungguh dunia bagaikan sandiwara, yang
membuat orang tak habis pikir!..."
Sama sekali Tiat Hui Liong tidak tahu. setelah Bok Kiu Nio
meninggalkan padanya, gundik itu sudah dikepung-kepung
Kim Cian Giam, sampai di Siangyang, Ouwpak, di mana Kiu
Nio ketemu Anghoa Kuibo. Kim Cian Giam takut terhadap
bibinya itu, yang berikan teguran padanya, dia ngiprit pergi.
Tapi justeru dari Kim Cian Giam, sang keponakan, Anghoa
Kuibo 'dengar halnya Kim Tok Ek, suaminya itu, ia lantas
teringat kepada hubungan suami isteri, maka, setelah
mendapat tahu suaminya hendak pergi ke kota raja. ia
mendahului pergi ke Pakkhia untuk menantikan suaminya itu.
Mengenai Anghoa Kuibo pribadi, dia masih mempunyai
kisah sendiri. Pada waktu meninggalkan suaminya, Anghoa Kuibo sedang
mengandung, dan melahirkan satu bayi lelaki yang diberi
nama Kongsun Lui. Sengaja dia tidak mau pakai she dari
suaminya kepada anaknya itu.
Di luar dugaanya Anghoa Kuibo, Kongsun Lui telah
mewarisi sifat ayahnya. Sejak masih kecil dia sudah bandel,
beberapa kali dia telah menerbitkan onar. Sang ibu ambil
tindakan keras untuk mengendalikan anak ini dengan
melarangnya keluar dari rumah.
Oleh karena mempunyai anak bandel, hatinya Kongsun
Toanio menjadi tawar, karena ini ia terima satu murid ialah
seorang murid perempuan. Inilah murid yang mempunyai
asal-usul tak sembarangan. Murid ini ialah anak
perempuannya Keksie Hujin, babu susunya kaisar. Di waktu
Anghoa Kuibo ambil murid itu, Keksie Hujin masih belum
berpengaruh sebagai sekarang ini.
Tatkala Bok Kiu Nio diterima menumpang oleh Anghoa
Kuibo, dia telah tarik perhatiannya Kongsun Lui. Karena
sangat dikekang ibunya, Kongsun Lui belum pernah lihat
wanita secantik Kiu Nio. Ia tertarik hatinya tambahan pula Kiu
Nio pun memberi hati kepadanya, hingga kesudahannya
mereka bikin perhubungan rahasia.
Ketika Anghoa Kuibo ketahui perbuatan anaknya itu, ia
tidak berdaya, karena menganggapnya nasi sudah menjadi
bubur. Sebenarnya ia tidak cocok Bok Kiu Nio menjadi nona
mantu, sebab Kiu Nio adalah bekas gundiknya Tiat Hui Liong.
Belum lama setelah Kongsun Lui dan Bok Kiu Nio menikah,
Kaisar Sin Cong wafat dan digantikan oleh Kaisar Kong Cong,
Laron Pengisap Darah 9 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemetik Harpa 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama