Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 10

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


dalam pelajaran tadi. Ilmu Silat Thian-po Cin-keng yang terdiri dari tiga bagian kali tiga puluh
enam jurus adalah ilmu silat yang gerakan-gerakannya selalu disesuaikan dengan batin. Karena itu
tidak mudah dipelajari. Aku hanya ingin menurunkan tiga jurus saja kepadamu. Yang tiga ini,
Heng-pai Kwan-im, Jip-hai-siu-to, dan Ci-po-thian-keng, biarpun hanya tiga macam, akan tetapi
sekali kau dapat menguasainya dengan sempurna sukarlah kau dikalahkan orang. Akan tetapi ....,
sudahlah soal itu, aku hanya ingin tahu kenapa kau agaknya mengkhawatirkan dan menyusahkan
sesuatu, adikku?"
Sinar kekaguman terpancar keluar dari pandang mata Bi Eng.
"Kau memang hebat, Sin-ko. Alangkah bangga hatiku mempunyai kakak seperti kau! Eh, dewa
yang bijaksana, setelah kau ketahui keadaan pikiranku, tentu kau tahu pula akan isi hatiku!"
Han Sin menggeleng kepalanya. "Mana aku bisa tahu apa yang terkandung dalam hatimu?" Biarpun
mulutnya berkata demikian, hati pemuda ini mengeluh. "Aduhai Bi Eng, kaupun mana bisa tahu
akan isi hatiku" Mana kau tahu bahwa kita ini bukan saudara kandung bukan sanak bukan kadang,
dan mana kau tahu bahwa aku .... aku cinta padamu?"
Bi Eng mengerut. Bibirnya diruncingkan matanya mengerling, pura-pura marah. "Kau tentu bisa
menerka. Kalau kau tidak mau menerka, aku akan marah, Sin-ko!"
Han Sin tersenyum. Senang melihat kalau "adiknya" ini sudah mengambul dan bermanja seperti itu.
"Baiklah, akan kucoba. Eng-moi, bukankah selama kita berdiam lebih dari tiga bulan di atas gunung
ini, hatimu selalu terkenang kepada tempat-tempat jauh di bawah sana" Bukankah hatimu selalu
hendak mengajak aku turun gunung seperti dulu lagi" Itukah agaknya yang selalu mengganggumu
dalam gerakan ilmu silat."
Aneh! Tiba-tiba Bi Eng menubruk Han Sin, menyandarkan kepala dengan rambut yang hitam halus
harum itu di atas dada kakaknya, dan menangis!
Akan tetapi keanehan sikap Bi Eng ini masih tidak seaneh sikap Han Sin bagi Bi Eng. Gadis itu
merasa betapa Han Sin mendekapnya, seakan-akan kakaknya itu hendak berusaha memasukkan
kepalanya ke dalam dada kakaknya! Erat-erat dan menggigil kedua tangan kakaknya itu
memeluknya dan Bi Eng merasa betapa muka kakaknya dengan panas disembunyikan ke dalam
rambutnya. Tentu saja hal ini terasa aneh sekali bagi Bi Eng. Gadis ini menggerakkan kepalanya,
menoleh ke arah muka Han Sin yang tadi dibenamkan ke dalam rambut yang gemuk itu.
Seperti baru sadar dari mimpi, Han Sin mengeluarkan keluhan aneh, melepaskan pelukannya,
melangkah mundur membuang muka tak berani menentang pandang mata Bi Eng. Gadis itu melihat
betapa wajah kakaknya pucat sekali dan betapa dua titik air mata membasahi pelupuk mata Han Sin.
Timbul kasihan di dalam hati Bi Eng, ia mengira bahwa kakaknya itu menangis dan bersikap seaneh
itu karena tadi terharu melihatnya. Ia melangkah maju dan memegang tangan kakaknya yang terasa
dingin dan gemetar.
"Sin-ko, maafkan aku .... aku hanya membuat kau susah saja. Tidak, Sin-ko. Aku takkan rewel lagi.
Aku takkan mengajak kau turun gunung selama kau belum menghendakinya. Aku akan belajar
lebih rajin lagi. Sin-ko, jangan kau marah padaku, ya?"
Sikap manja kekanak-kanakan ini membuyarkan semua ketegangan di hati Han Sin. la kini dapat
menatap wajah adiknya lagi, dan mukanya menjadi merah sekali.
"Eng-moi, tentu akan tiba saatnya kita turun gunung. Karena akupun ingin mencari Siauw-ong,
monyet kita yang hilang tak karuan di mana adanya itu. Kukira dia tentu masih berada di sekitar Luliangsan, di sebuah hutan yang banyak monyetnya. Akan tetapi, selain rindu kepada Siauw-ong,
aku tidak ingin mencari siapapun juga ...."
Ia berhenti sebentar, kemudian dengan pandang mata penuh selidik dan tajam sekali sampai
membuat Bi Eng berdenyut takut, ia bertanya, "Mungkin kau ingin turun karena sudah rindu sekali
kepada ......kepada teman-temanmu .....?"
"Sin-ko, kau ini aneh benar! Siapa sih temanku di dunia ini selain kau sendiri dan Siauw-ong?"
Masih saja wajah Han Sin memperlihatkan sikap penuh selidik dan aneh. "Apa .....apa kau tidak
ingin bertemu dengan .... dengan Yong Tee" Bukankah dia sahabat baikmu?"
Bi Eng membelalakkan matanya. Ia heran sekali melihat sikap Han Sin yang tidak sewajarnya dan
tidak seperti biasanya ini, dan dia sebetulnya masih terlalu bodoh untuk dapat menduga apa
sebabnya maka Han Sin berhal demikian. Namun perasaan wanitanya yang halus seakan-akan
mengerti bahwa Han Sin tak senang kalau dia bersahabat baik dengan pangeran itu, atau bahkan
dengan orang-orang lain atau tepatnya dengan laki-laki lain!! Cemburu!! Tentu saja belum sampai
pengertian Bi Eng untuk menyangka bahwa Han Sin cemburu seperti layaknya seorang pria
mencemburukan wanita pilihannya!
"Sin-ko! Kau ini bagaimana sih" Yong Tee adalah kakak angkatmu, dengan sendirinya diapun
menjadi kakak angkatku. Dan sikapku terhadapnya tak lebih tak kurang hanya seperti seorang adik,
demikianpun dia memperlakukan aku sebagai seorang adiknya!"
Akan tetapi jawaban ini masih belum mengubah sikap Han Sin yang aneh.
"Bagaimana hubunganmu dengan .... Yan Bu" Bukankah dia amat baik padamu dan kau memujimujinya?"
Bi Eng makin merasa heran. Kakaknya hari ini benar-benar aneh!
"Dia memang orang baik, seorang gagah perkasa dan pernah menolongku. Akan tetapi bagiku,
hanya habis sampai di situ sajalah. Tentu saja kalau dapat bertemu dengan dia sebagai seorang
teman kita yang baik, kita akan menjadi girang. Akan tetapi, aku tidak akan mencari-carinya ....dan
.... eh, Sin-ko, kau kenapakah" Hari ini sikapmu kok luar biasa. Tadi seperti guru galak, lalu baru
saja ketika aku menangis kau seperti .... seperti ...."
"Seperti apa .....?"
Gadis itu berpikir keras, namun tak dapat memecahkan persoalan itu, hanya menggeleng kepala,
"Seperti entahlah, pendeknya aneh sekali! Dan sekarang, kau seperti hakim saja!"
Sikap aneh tadi lenyap dari muka Han Sin. Ia sudah dapat tersenyum lagi.
"Jangan marah, adikku yang baik. Aku tadi hanya main-main saja. Sssttt, dengar. Ada orang datang
......!" Pendengaran Bi Eng sudah amat tajam walaupun tidak setajam Han Sin. Setelah mencurahkan
perhatian, barulah ia dapat mendengar langkah kaki orang yang mendaki puncak itu. Mereka
terheran karena langkah kaki ini menunjukkan bahwa yang datang bukanlah seorang ahli silat,
kalaupun ada kepandaiannya, namun kepandaian orang yang datang ini tidak berarti.
Han Sin dan Bi Eng sudah berlari keluar dari taman, kini berdiri menanti di depan rumah mereka,
rumah peninggalan orang tua mereka. Siapakah yang datang di tempat sunyi ini" Langkah kaki
yang kelelahan makin terdengar dekat. Batu terakhir yang banyak mengelilingi puncak itu dipanjat
orang dan muncullah kepala seorang pemuda tampan berpakaian sederhana.
"Dia ....?"" Berubah wajah Han Sin ketika ia mengenal orang ini.
Wajah Bi Eng berseri, tapi hanya sebentar saja. Ketika ia mengerling kepada Han Sin, segera ia
mengerutkan kening. Kakaknya nampak tak senang, bahkan kelihatan marah-marah. Dengan
tindakan cepat Han Sin menghampiri pemuda yang baru datang itu. Bi Eng cepat menyusulnya.
"Mau apa kau datang ke sini" Muslihat busuk apakah yang akan kaulakukan" Pergi!" seru Han Sin
marah. Pemuda itu menarik napas panjang dan memandang dengan muka sedih. Sejak tadi Bi Eng melihat
bahwa orang yang datang ini diliputi kedukaan besar. la merasa kasihan, lalu memegang lengan
kakaknya dan berkata kepada orang itu,
"Yong-ko (kakak Yong), maafkan kalau kami tidak dapat menyambut sebagaimana mestinya. Ada
keperluan apakah Yong-ko mendatangi tempat kami yang sunyi?"
Kembali orang itu yang bukan lain adalah Yong Tee, pangeran dari Kerajaan Mancu, menarik napas
panjang. "Terima kasih atas sikapmu yang baik, siauw-moi. Sayang sekali gi-te (adik angkat)
nampaknya masih membenci aku, sehingga agaknya perjalananku yang amat jauh dan susah payah
ini akan tersia-sia, harapanku akan musnah dalam hidupku akan hancur ...." Dan tiba-tiba pangeran
yang biasanya amat cerdik, amat tenang dan dapat menguasai segala hal itu menjatuhkan diri di atas
tanah dan ...... menangis!
Bukan main terharunya hati Bi Eng. Ingin ia menghiburnya, akan tetapi ia merasa tidak enak dan
takut kepada Han Sin. Adapun Han Sin yang menyaksikan sikap pangeran ini, heran sekali. la sudah
mengenal baik-baik watak Yong Tee, tahu bahwa kalau tidak ada hal yang amat hebat, tak mungkin
pangeran itu akan memperlihatkan sikap seperti ini, demikian lemahnya.
Tergerak hatinya, tetapi, keangkuhannya mengekangnya. Bagaimana ia bisa bersikap manis
terhadap seorang pangeran dari kerajaan yang menjajah nusa bangsanya" Untuk menutupi keharuan
hatinya melihat bekas saudara angkat yang dahulu amat dipandang tinggi dan dikasihinya, Han Sin
membentak, "Seorang laki-laki boleh mengeluarkan peluh dan darah, pantang mengeluarkan air mata! Kau
datang mau apakah" Harap segera terangkan, atau tinggalkan kita!"
Diam-diam rasa cemburu timbul lagi dalam dada Han Sin. Harus ia akui bahwa pangeran ini amat
tampan, halus tutur sapanya, baik budinya, dan mempunyai kepandaian yang amat luas. Benarbenar
seorang pemuda yang menjadi harapan tiap orang gadis, tentu saja termasuk Bi Eng!
Agaknya perasaan cemburu inilah yang mempertebal rasa bencinya terhadap pangeran Bangsa
Mancu ini. Mendengar ucapan Han Sin itu, pangeran Yong Tee memaksa tersenyum masam. "Kau betul sekali,
Cia-gite. Kau adalah jauh lebih gagah dari pada aku. Aku lemah sekali ....... kali ini terpaksa kuakui
betapa lemahnya aku ...... Cia-te, aku datang untuk memohon pertolonganmu."
"Kau adalah seorang Pangeran Mancu, bagaimana bisa minta pertolonganku" Aku adalah musuh
kerajaanmu, mengerti" Kedudukan kita menempatkan kita berhadapan sebagai musuh, tak mungkin
menjajarkan kita sebagai teman atau saudara."
"Saudaraku, ucapanmu lagi-lagi tepat sekali. Akan tetapi kali ini, aku minta pertolonganmu karena
urusan pribadi, sama sekali tidak menyangkut urusan politik dan negara ....."
Melihat sikap Han Sin masih bersikeras, dan kasihan melihat sikap pangeran itu yang tak segansegan
merendahkan diri dan agaknya amat berduka, Bi Eng lalu berkata,
"Sin-ko selalu bersiap sedia menolong siapapun juga tanpa memilih bulu, asal saja pertolongan
yang dibutuhkan tidak menyimpang dari pada kebenaran. Saudara Yong, katakanlah, apa gerangan
yang menyusahkanmu?"
Yong Tee memandang kepada gadis itu dengan berterima kasih. Kemudian ia bercerita tentang
keadaan di kota raja yang sudah banyak mengalami perubahan semenjak Han Sin dan Bi Eng
meninggalkannya. Ringkasan cerita Pangeran Yong Tee adalah sebagai berikut.
Seperti telah diketahui, penyerbuan Bangsa Mancu ke daerah Tiongkok, mendapat bantuan pula
dari bangsa-bangsa lain di utara, di antaranya yang paling berjasa adalah Bangsa Mongol. Karena
itulah nama besar Raja Muda Bhok Hong atau di dunia kang-ouw lebih terkenal dengan sebutan
Pak-thian-tok (Racun Dunia Utara), yaitu seorang pangeran Bangsa Mongol, bersama puteranya
yang bernama Bhok Kian Teng, lebih terkenal dengan sebutan Bhok-kongcu dan sebetulnya
bernama Pangeran Galdan, amat terkenal dan merupakan orang-orang yang mempunyai pengaruh
besar di Kerajaan Mancu.
Namun ternyata kemudian bahwa jalan politik Bangsa Mancu amat jauh bedanya dangan Bangsa
Mongol. Bangsa Mongol yang dulu pernah menjajah Tiongkok, merupakan penjajah yang kejam
dan mementingkan bangsanya sendiri. Sebaliknya, bangsa Mancu berusaha menyesuaikan diri,
malah melakukan banyak kebaikan untuk rakyat jelata seperti membasmi korupsi, penyuapan, dan
juga mereka ini malah menyesuaikan diri mengikuti perkembangan kebudayaan Han.
Hal ini amat mengecewakan Bangsa Mongol, di bawah pimpinan Pangeran Galdan atau Bhokkongcu
yang dibantu banyak orang pandai, juga mengandalkan nama besar dan kepandaian
ayahnya, Pak-thian-tok Bhok Hong! Apa lagi setelah pihak pemerintah Mancu muncul orang-orang
seperti Pangeran Yong Tee yang selalu berusaha merintangi perbuatan sewenang-wenang dari
orang-orang Mongol, pemberontakan orang Mongol tak dapat dicegah lagi!
Setelah berkali-kali mengalami perselisihan dengan pemerintahan Mancu, akhirnya Bhok-kongcu
atau Pangeran Galdan membawa semua anak buah dan pembantunya, melarikan diri ke utara dan di
sana dia menyusun kekuatan untuk memberontak kepada Kerajaan Mancu, untuk mengusir Bangsa
Mancu dari daratan Tiongkok, bukan dengan maksud membebaskan rakyat dari pada penjajahan,
malah sebaliknya, hendak melanjutkan penjajahan nenek moyangnya dahulu, yaitu Jenghis Khan
yang maha besar!
"Banyak orang gagah dapat ia bujuk dan ikut pula memberontak, ikut lari ke utara," demikianlah
Pangeran Yong Tee melanjutkan ceritanya. "Yang tidak mau ikut, banyak yang dibunuh, di
antaranya Thio-ciangkun yang setia kepada kerajaan kami. Juga orang-orang yang ternama di
kalangan kang-ouw banyak yang ikut terbujuk oleh Pangeran Galdan, malah di antaranya Hoa Hoa
Cinjin ikut pula memberontak." Pangeran itu lagi-lagi menarik napas pagjang, nampaknya berduka
sekali. "Yang lebih hebat lagi, puteri angkatnya, nona Hoa-ji ....., ikut pula ke utara ........"
Han Sin mengerutkan kening. "Perduli apa dengan Hoa Hoa Cinjin" Dia manusia busuk!"
Akan tetapi Bi Eng yang lebih tajam pendengarannya dan lebih halus perasaannya, memotong,
"Sin-ko, yang disedihi Pangeran Yong bukanlah Hoa Hoa Cinjin, akan tetapi nona Hoa-ji itulah!"
Pangeran Yong Tee menarik napas panjang. "Adik Bi Eng, memang tepat sekali ucapannya itu.
Terus terang saja, aku ...... aku sejak lama ........ jatuh cinta kepada nona Hoa-ji, biarpun belum
kulihat mukanya ....... aku bodoh dan edan sekali, aku tergila-gila kepada seorang gadis yang selalu
bersembunyi di balik kedoknya ......"
Tadinya ia menunduk, sekarang ia mengangkat muka dan berkata, "Demikianlah, gi-te. Aku sudah
membuka rahasia hatiku yang tidak diketahui siapapun juga, bahkan ibukupun belum tahu akan
rahasia hatiku ini. Aku putus asa ...... aku sedih dan bingung sekali ........"
Aneh dalam pandangan Bi Eng, tiba-tiba wajah Han Sin berseri, malah ia seperti melihat senyum
kegembiraan membayang di balik bibir dan pandang mata kakaknya. la mengenal benar setiap
tarikan muka, setiap sinar mata atau senyum kakaknya ini. Heran benar, mengapa kakaknya
demikian gembira dan bahagia mendengar penuturan Pangeran Yong Tee"
Tentu saja nona ini tidak tahu apa yang terjadi di dalam hati Han Sin. Memang tepat dugaannya,
Han Sin merasa gembira dan berbahagia karena setan cemburu sekaligus terbang lenyap dari lubuk
hatinya ketika Pangeran Yong Tee secara terus terang mengakui cintanya terhadap nona Hoa-ji,
gadis bertopeng itu. Kalau demikian, berarti pangeran yang tampan menarik ini tidak mencintai Bi
Eng, hanya menyayangnya sebagai adik angkat belaka! Maka lembutlah kata-katanya ketika ia
bicara kepada pangeran itu,
"Pangeran, setelah mendengar ceritamu dan mengingat akan kebaikanmu yang dulu-dulu kepada
aku dan adikku, biarlah aku sanggupi untuk mencari kekasihmu itu di utara. Akan kususul nona
Hoa-ji, kulindungi dia dari pada bahaya, dan kalau mungkin akan kubawa dia pulang ke kota
rajamu. Akan tetapi dengan syarat bahwa aku tidak mau mencampuri urusan pertempuran dan
peperangan antara Bangsa Mancu dan Bangsa Mongol, karena itu bukan urusanku."
Bukan main girang hati Yong Tee. Dia tadiny? sudah putus asa, karena setelah kekasihnya itu
berdiri di pihak musuh, tiada harapan pula baginya untuk melanjutkan cinta kasihnya. Nona itu
tentu akan terancam bahaya. Untuk minta tolong orang lain, ia tentu saja harus membuka rahasia
hatinya dan hal ini ia tidak inginkan. Satu-satunya harapan baginya hanyalah pertolongan Han Sin
yang ia ketahui kegagahannya.
Ia menjura. "Gi-te, aku terharu, girang dan juga kecewa mendengar kesanggupanmu. Tentu saja aku
terharu dan girang karena ternyata kau masih sudi menolongku dan terima kasih sebelumnya
kuhaturkan. Akan tetapi aku kecewa karena ternyata kau sudah tidak mau mengakuiku sebagai
saudara angkatmu lagi ......"
"Hal itu sudah lewat, pangeran Harap jangan diulang lagi. Apakah kau mau memperingatkan aku
bahwa kau mengusulkan pengangkatan saudara karena hendak menarikku ke pihak Mancu, pihak
penjajah tanah airku" Tidak! Sebagai manusia secara perorangan kita memang saudara, namun
sebagai bangsa, kita berlawan karena bangsamu menjajah bangsaku. Nah, selamat berpisah,
pangeran. Aku dan adikku baru akan turun gunung beberapa hari lagi setelah selesai latihan-latihan
kami. Mudah-mudahan saja akan dapat berhasil usahaku mencari nona Hoa-ji dan mengantarkannya
kepadamu."
Menyaksikan kekerasan hati Han Sin, pangeran itu terpaksa pergi meninggalkan puncak itu dengan
muka muram. Setelah tamu itu pergi tidak kelihatan lagi, Bi Eng mengomel, "Sin-ko, kau benarbenar
terlalu. Dahulu aku di istananya mendapat perlakuan baik sekali. Sekarang dia datang,
secawan air teh saja kita tidak keluarkan untuknya."
"Bi Eng, rumah ini adalah peninggalan ayah ....." Ia ragu-ragu dan menelan kembali kata-kata "kita"
di belakang kata-kata "ayah". "Aku tidak ingin melihat arwah ayahku marah menyaksikan anaknya
menjamu seorang pangeran penjajah."
Bi Eng tak berani membantah lagi. Gadis inipun memang mempunyai watak keras dan patriotik,
maka biarpun ia merasa menyesal bahwa mereka terpaksa memperlakukan Pangeran Mancu itu
seperti seorang musuh, namun iapun tak dapat menyalahkan sikap Han Sin. Selain ini, hatinya
sudah penuh kegembiraan bahwa beberapa hari lagi Han Sin akan mengajak dia turun gunung!
Pergi ke dunia ramai, bertemu orang-orang, mencari Siauw-ong!
"Sin-ko, kapan kita berangkat?" Dia sudah lupa akan hal-hal tadi, dan kini wajahnya berseri-seri.
Han Sin juga tersenyum melihat kegembiraan ini. "Kau harus berlatih dulu, setelah sempurna tiga
jurus Thian-po Cin?keng itu, baru kita turun gunung."
Otomatis Bi Eng segera berlatih lagi, tanpa mengenal lelah dan bosan, dan Han Sin membantu
adiknya. Memang Han Sin ingin supaya sebelum turun gunung Bi Eng sudah memiliki tiga jurus
pukulan ajaib ini sebagai bekal, karena hanya setelah tiga jurus ini dapat dimainkan dengan
sempurna, Bi Eng akan dapat melindungi dirinya sendiri dengan baik.
Memang betul bahwa Bi Eng takkan mungkin terancam bahaya selama berada di sisinya, akan
tetapi siapa tahu keadaan di dunia ramai" Banyak sekali manusia jahat dan besar kemungkinan
sewaktu-waktu dia sendiri takkan sempat melindungi keselamatan Bi Eng sehingga gadis ini harus
memiliki jurus-jurus lihai yang akan menyelamatkan dirinya sendiri.
**** Tiga hari kemudian. Malam terang bulan yang amat indah di puncak Min-san. Bi Eng masih
berlatih silat di taman. Akhirnya Han Sin menyuruh ia berhenti.
"Hawa makin dingin, Eng-moi. Kau berhentilah, besok dilanjutkan lagi. Kau sudah maju banyak.
Kalau begini terus, dua tiga hari lagi kita bisa turun gunung."
Bukan main girangnya hati Bi Eng. Ia mengaso duduk di atas bangku. Setelah berhenti bersilat,
baru terasa olehnya betapa dinginnya. Ia lelah dan hawa dingin membuat ia mengantuk.
"Aku pergi tidur lebih dulu, Sin-ko. Besok bangun pagi-pagi dan berlatih lagi."
Han Sin mengangguk dan tersenyum. Sampai lama ia memandang ke arah adiknya yang berjalan
memasuki pondok mereka, tubuh langsing dengan rambut mengkilap tertimpa cahaya bulan. Bukan
main, pikirnya. Dan dia bukan adik kandungku, bukan apa-apaku ...... eh, bukan apa-apa" Tidak,
malah segala-segalanya! Bi Eng milik satu-satunya di dunia ini. Tanpa Bi Eng hidupnya akan
hampa. Han Sin termenung ....
Bagaimana ia harus membuka semua rahasia itu" Apa yang akan dilakukan Bi Eng bila gadis itu
tahu akan rahasia ini" Tak boleh, bantahnya. Tak boleh aku membuka rahasia ini sebelum tahu
betul siapa sebenarnya adik kandungnya yang sejati, sebelum ia tahu betul apa yang telah terjadi di
saat kedua orang tuanya terbunuh. Siapa pembunuh mereka dan penukaran-penukaran aneh apa
yang terjadi atas diri bayi perempuan, adik kandungnya!
Tidak adanya Bi Eng di taman itu membuat ia serasa sunyi sekali. Aneh, pikirnya. Padahal Bi Eng
berada di pondok itu, tidak jauh dari situ. Begitu saja ia sudah merasa kesepian. Apa lagi kalau Bi
Eng pergi jauh meninggalkannya. Bagaimana rasanya" Tak berani ia membayangkannya.
Perlahan pemuda ini berdiri meninggalkan taman memasuki pondok, ke dalam kamarnya sendiri.
Agak jauh dari kamar Bi Eng. Rumah itu cukup besar, banyak kamarnya dan ia sengaja memakai
kamar yang berjauhan dengan kamar Bi Eng. Tergoda oleh asmara, Han Sin takut akan dirinya
sendiri! Han Sin tak dapat tidur. Sudah lama tiap malam sukar ia meramkan matanya. Pikirannya selalu


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melayang, tentu saja penuh bayangan Bi Eng yang kadang-kadang membuat ia berduka, kadangkadang
membuat ia tersenyum-senyum dalam tidurnya.
Lampu belum dipadamkannya. Tiba-tiba seluruh panca inderanya tegang. Ada suara dari
jendelanya. Orang jahatkah" Ataukah Pangeran Yong Tee ........." Hatinya berdebar. Bagaimanapun
juga, pangeran itu adalah Pangeran Mancu. Siapa tahu kalau-kalau kedatangannya tiga hari yang
lalu hanya sebagai penyelidikan dan kini datang kaki tangannya yang hendak berlaku jahat" Diamdiam
ia tersenyum mengejek. Dia tidak takut. Biarlah penjahat itu masuk!
28. Kerudung Puteri Hui
TANPA bangun dari ranjangnya, Han Sin melirik ke arah jendela. la kagum juga karena tanpa
mengeluarkan suara berisik, jendela itu dibuka orang dari luar. Agaknya dengan tenaga dorongan
yang disertai lweekang cukup tinggi. Tiba-tiba ia membelalakkan matanya.
Sebuah lengan, terbungkus lengan baju sampai di bawah siku, kelihatan. Lengan tangan yang halus
putih kulitnya, runcing mungil jari-jari tangannya, lengan tangan wanita! Tiba-tiba tangan itu
lenyap dan daun jendela terbuka lebar, lalu disusul berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di
dalam kamarnya telah berdiri seorang wanita!
Wanita yang amat aneh, pakaiannya sederhana dengan potongan yang asing baginya. Pakaian itu
membungkus tubuh dengan ketat, memperlihatkan bentuk tubuh yang amat indah. Tubuh seorang
gadis muda, seperti Bi Eng. Akan tetapi muka dan kepala tertutup kain pembungkus yang terbuat
dari pada sutera tebal, yang membungkus semua tubuh bagian atas, dari kepala, muka dan leher!
Hanya di bagian matanya saja tidak tertutup kain kepala itu, memperlihatkan sepasang mata yang
luar biasa, bening seperti mata burung hong. Kini sepasang mata itu menyambar ke arahnya.
Han Sin serentak bangkit dan duduk. la maklum bahwa wanita ini, siapapun juga dia, bukanlah
orang sembarangan. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang, di sebelah kiri tergantung sebuah
kantong dan tampak gagang-gagang hui-to (golok terbang) tersembul dari kantong. Di
punggungnya tergantung sebuah gendewa berikut beberapa batang anak panah! Lengkap benar
persenjataannya, seperti panglima wanita hendak maju perang!
Dua pasang mata bertemu. Han Sin terheran-heran dan bingung karena tidak tahu harus berkata apa.
Wanita ini memandang dengan tajam, seolah-olah pandang mata itu hendak menembus dada Han
Sin. Kemudian terdengar suaranya, halus merdu tapi ketus. Kain penutup kepala dan muka di
bagian bibirnya bergerak-gerak,
"Kau yang bernama Cia Han Sin putera Cia Sun?"
Han Sin tersenyum, lalu berdiri dan menjura. Lagi-lagi seorang pengenal mendiang ayahnya,
pikirnya. Kalau bukan bekas kawan ayahnya tentulah musuh baru baginya.
"Betul, aku bernama Cia Han Sin dan mendiang ayahku Cia Sun. Kau siapakah dan apa
keperluanmu datang malam-malam" Bicaramu seperti seorang Bangsa Hui ....." Tiba-tiba Han Sin
teringat akan Balita, Puteri Hui yang katanya menjadi musuh ayahnya, "Ada hubungan apa kau
dengan Balita?"
"Sraaattt!" Wanita itu mencabut pedangnya yang gemerlapan di bawah sinar lampu. Han Sin tetap
tenang, malah kini ia duduk kembali ke atas pembaringannya.
"Cia Han Sin, sebelum kau mati di tanganku, ketahuilah lebih dahulu agar rohmu tidak penasaran.
Aku bernama Tilana, aku puteri dari wanita yang kau sebut namanya tadi. Balita adalah ibuku dan
kedatanganku ini bukan lain hendak membalaskan dendam ibuku, hendak mengambil nyawamu."
Han Sin tersenyum. "Kau dan aku tak pernah saling bertemu, tidak pernah ada permusuhan apa-apa,
kenapa kau datang-datang hendak membunuhku" Urusan lama antara ibumu dan ayahku sudah
habis karena ayah sudah meninggal dunia, kenapa kau dan aku harus pula ikut-ikut melanjutkan
permusuhan?"
Kemudian Han Sin teringat akan pesanan uwak Lui tentang orang yang bernama Balita itu, maka ia
sengaja memancing, "Pula, urusan hebat apa sih. yang membuat ibumu itu masih terus mendendam
terhadap ayahku yang sudah meninggal?"
Melihat sikap tenang-tenang saja dari pemuda yang gagah dan tampan di depannya itu, gadis
berkerudung menjadi tercengang juga. Mana ada orang mau dibunuh bersikap tenang-tenang dan
enak-enakan seperti ini, malah mengajaknya mengobrol"
"Ayahmu telah menghina ibuku! Karena aku tidak dapat membalas kepada ayahmu, aku akan
bunuh kau sebagai puteranya! Ayahnya tukang menghina wanita anaknyapun takkan banyak
bedanya!" Suara wanita ini benar-benar halus merdu, biarpun ketus sekali, namun harus diakui oleh
Han Sin bahwa suaranya amat merdu dan bicaranya dengan dialek Hui itu amat enak didengar, lucu
pula. "Aiihh ...... aiihh ....., kau menuduh sembarangan saja. Baik ayah maupun aku bukanlah sembarang
laki-laki yang suka menghina wanita. Kau ini seorang wanita yang begini cantik jelita, kenapa
berhati kejam, hendak membunuh orang" Sayang ..........."
"Setan! Mulutmu saja sudah kurang ajar!"
"Lhoh! Kenapa kurang ajar?"
"Kau bilang aku cantik segala ........."
"Eh, eh! Apakah memuji kecantikan berarti kurang ajar?"
"Melihat mukakupun belum, bagaimana kau bisa bilang cantik segala" Apa lagi kalau bukan karena
kau hendak kurang ajar?"
"Waduh, waduh ...... galak amat kau! Mudah saja menduga bahwa kau cantik jelita. Seorang gadis
dengan bentuk tubuh seperti kau, dengan suara halus merdu, dengan sepasang mata seperti itu, bisa
lain tentulah cantik jelita. Biarlah kita bertaruh. Kau buka kerudungmu itu, Kalau kau betul-betul
cantik jelita, berarti kau kalah dan sudahlah, kau boleh pergi dari sini dengan damai, tak perlu kita
bermusuhan. Sebaliknya, kalau dugaanku keliru, kalau kau bermuka buruk, biar aku menghaturkan
maaf kepadamu dan boleh kaupukul mukaku tiga kali!"
"Keparat! Setan!!" Wanita itu memaki, sepasang matanya berkilat-kilat. "Siapa juga, terutama kalau
dia laki-laki, yang berani membuka kerudungku, aku akan membunuhnya sampai tujuh kali!"
Mau tak mau Han Sin bergidik mendengar ini. Ucapan itu bukan main-main, apa lagi sepasang
mata itu menyatakan betapa ucapan ini keluar dari hati, bukan gertak sambal belaka.
"Hemm, nona Tilana. Lebih baik kau pulang saja kepada ibumu dan katakan bahwa aku akan
menghabisi permusuhan lama, asal saja bukan ibumu yang membunuh ayah bundaku. Aku masih
harus menyelidiki akan hal ini."
"Manusia sombong, jangan banyak cakap. Keluarkan senjatamu!"
"Bukan aku yang ingin berkelahi, kau yang ingin berkelahi yang selalu membawa-bawa senjata
memasuki kamar orang, dan ......."
"Setan!" Tilana, gadis berkerudung itu lalu menubruk sambil berseru, "Lihat pedang!"
Han Sin dengan mudah dan tenang mengelak. la melihat betapa gerakan gadis ini bukan main cepat
dan kuatnya, bahkan setingkat lebih kuat dan lebih cepat dari pada Bi Eng sendiri! Diam-diam ia
merasa kagum dan merasa sayang kalau gadis selihai ini sampai tersesat. Ia tidak tega melukainya.
Ayahnya dulu pernah bentrok dengan Balita, puteri Bangsa Hui. Sekarang adalah kewajibannya
untuk menghabiskan permusuhan itu dan sekali-kali ia tidak boleh melukai gadis puteri Balita ini.
Tilana menjadi penasaran sekali. Di daerahnya, selain ibunya sendiri yang sudah hampir setingkat
dengannya, tak ada orang lain mampu menghadapi serangan-serangan pedangnya. Akan tetapi
pemuda ini, pemuda yang terlalu lemah lembut, terlalu tampan, terlalu pandai bicara manis, yang
tersenyum-senyum dan terlalu tenang ini, dengan tangan kosong menghadapi serangan-serangannya
dan selalu dapat mengelak.
"Kau lihai ....... kau galak .......!" Han Sin sengaja menggoda. Pemuda ini pada hakekatnya memang
berwatak romantis, maka kini menghadapi gadis galak, otomatis timbullah watak nakalnya yang
hendak menggodanya tanpa disertai maksud-maksud tidak sopan.
Ia sekarang malah duduk di atas bangku, membelakangi gadis itu dan tangannya merayap ke meja
mencari kuweh kering yang lalu dimakannya. Sama sekali ia tidak memperdulikan gadis itu yang
hendak menyerangnya dari belakang.
Tilana gemas sekali. "Mampus kau kali ini!" bentaknya sambil menusukkan pedangnya dari
belakang. Agak gemetar tangannya ketika melihat pemuda itu sama sekali tidak mengelak. Ujung
pedangnya hampir menyentuh punggung dan ........ eh, tahu-tahu pemuda itu sudah "melayang" ke
atas meja tanpa menggerakkan, kaki tangannya. Tahu-tahu seperti dipindahkan oleh tangan tak
terlihat, tubuhnya sudah berpindah, sudah duduk di atas meja. Sebelah tangannya masih memegangi
kuweh kering yang digigitnya.
Tilana menggigit bibir. Bagaikan kilat pedangnya menyerampang, membabat pinggang pemuda itu.
Seperti tadi, tubuh pemuda itu hilang dan tahu-tahu sudah berada di atas pembaringan, kini rebah
terlentang dengan mata dimeramkan!
Tilana menjadi pucat. Belum pernah ia menyaksikan hal seperti ini. Setankah pemuda ini" Dalam
kemarahannya, gadis ini yang menganggap gendewanya menjadi perintang, melepaskan gendewa
dan anak panah, melemparkannya di atas meja. Kemudian sambil mencekal gagang pedang eraterat,
ia menubruk maju dan menikam.
"Capppp .......!" Pedangnya menusuk kasur sampai tembus! Sebelum hilang kagetnya, gadis ini
merasa tubuhnya lemas dan tanpa dapat dicegah lagi ia terguling ke atas pembaringan yang sudah
kosong, jatuh terlentang. la melihat pemuda itu sambil tersenyum sudah berdiri di pinggir
pembaringan dan tangan kanan pemuda itu bergerak ke arah mukanya. Tilana menjadi kaget
setengah mati, tak terasa pula menjerit lirih penuh ketakutan,
"Jangan ..... jangan ohh...... jangan .......!"
Han Sin menjadi gemas sekali. Dia dikira orang macam apakah" Gadis ini benar-benar keterlaluan,
menyangka yang bukan-bukan kepadanya. "Bodoh! Kau sangka aku orang macam apa" Aku hanya
akan membuka kerudungmu, hendak kulihat macam apa muka orang yang galak dan suka salah
sangka .....!" Tangannya bergerak dan sekali renggut saja terbukalah kerudung yang menutupi muka
gadis itu. Han Sin ternganga, berdiri seperti patung. Bukan main cantiknya muka gadis ini, jauh melampui
semua dugaannya. Mata yang tadi sudah nampak indah seperti mata burung hong itu kini nampak
lebih hebat lagi. Hidung yang mancung, bibir yang ..... ah, bukan main cantik dan manisnya.
Kulit muka yang sering kali tertutup itu halus sekali. Rambutnya panjang menutupi kedua telinga
yang terhias anting-anting besar dari emas murni. Hanya sebentar ia melihat muka luar biasa
cantiknya itu karena gadis itu segera bangun, duduk di atas pembaringan dan menutupi muka
dengan kedua tangannya, menangis terisak-isak sedih sekali ......!
Han Sin termangu-mangu. "Ah ....... kau maafkan aku, nona ....... maafkan aku sebesar-besarnya.
Kalau perlu, kaugamparlah mukaku. Aku ...... aku bukan bermaksud jahat, sungguh mati aku hanya
ingin melihat muka orang yang datang hendak membunuhku ......"
Mata yang indah menarik itu kelihatan ketika kedua tangan diturunkan. Mata yang penuh air mata,
tapi malah nampak makin indah seakan-akan terhias butiran-butiran mutiara, kini memandang
kepadanya dengan sinarnya yang sukar ia gambarkan.
"Kau ....... kau betul-betul tidak ...... tidak bermaksud menghinaku ....." Kau .... kau tidak bermaksud
menghina .......?" Tilana bertanya, suaranya gemetar, malah tanpa disadarinya ucapan ini dilakukan
setengahnya dalam Bahasa Hui. Baiknya Han Sin sudah, mempelajari bahasa ini, maka untuk
menyenangkan hati gadis Hui itu, iapun menjawab ke dalam Bahasa Hui sambil tersenyum,
"Tentu saja tidak. Aku bukanlah laki-laki yang suka menghina kaum wanita....."
Terbelalak mata indah itu yang masih berlinang air mata, bibir yang mungil itu terbuka sedikit.
"Kau .... kau bisa berbahasa Hui .......?"
Han Sin mengangguk sambil tersenyum. "Pernah aku mempelajarinya ......."
Aneh sekali, gadis itu kini memandangnya penuh selidik, dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi
sampai berkali-kali, kemudian berhenti pada mata Han Sin. Dua pasang mata bertemu pandang.
Han Sin terheran-heran karena melihat pandang mata itu kini menjadi aneh, penuh kemesraan yang
membuat ia bergidik.
Tiba-tiba, ia benar-benar merasa bulu tengkuknya berdiri ketika gadis itu dengan sedu-sedan
menubruknya, memeluknya. Ketika dengan bingung ia mencium bau semerbak harum yang amat
aneh dari rambut gadis itu, barulah Han Sin tersadar dan cepat-cepat ia menolak pundak gadis itu
perlahan-lahan. Tilana lalu menjatuhkan diri berlutut, memeluk kedua kaki Han Sin, bahkan lalu
mencium ujung kaki pemuda itu!
"No ...... nona ......, nona Tilana ...." Sukar sekali Han Sin mengeluarkan suara seakan-akan lehernya
tercekik sesuatu. "Apa ....... apa artinya ini .......?"
Tilana mengangkat mukanya dalam keadaan berlutut ia memandang ke atas dengan muka berseri
dan mata penuh cinta kasih!
"Kanda ....... kanda Cia Han Sin ...... artinya ...... artinya bahwa aku menyerahkan jiwa ragaku
kepadamu ..... aku isterimu yang bodoh, yang buruk tapi yang setia kepadamu ........!"
Kalau pada saat itu ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Han Sin akan menjadi begitu kaget
seperti setelah mendengar kata-kata ini. la mencelat ke tengah kamarnya tanpa disadarinya.
Kemudian ia menekan batinnya yang berdebar-debar tidak karuan, memaksa diri berlaku tenang.
Agaknya gadis cantik berotak miring yang memasuki kamarnya ini. Han Sin memasang muka
keren, lalu bersedakap sambil berkata,
"Nona Tilana, jangan kau main-main di sini. Kuanggap kata-katamu tadi main-main belaka.
Sudahlah, kuminta kau keluar dari sini dan jangan mengganggu aku lagi!"
Heran sekali. Tiba-tiba Tilana menjadi pucat bagaikan mayat. Gadis ini berdiri dengan tubuh
limbung. Seperti orang bingung ia mencabut pedang dari kasur dan memasangnya lagi di pinggang
dengan tangan menggigil. Kemudian, barulah ia berdiri menghadapi pemuda itu dengan muka
masih pucat. Betapa kuat ia berusaha menenteramkan hatinya, tetap saja ia masih bergemetar dan
mukanya masih pucat.
"Kanda Cia ...... kau tadi bilang apa ......" Aku ...... aku tidak begitu jelas ........ mendengar ......"
Han Sin makin bingung. Mungkinkah gadis cantik jelita seperti bidadari aneh ini benar-benar gila"
"Nona Tilana, aku bilang bahwa sudah cukup permainan ini. Harap kau suka tinggalkan aku.
Keluarlah dan jangan menggangguku lagi."
Beberapa kali mulut yang bergerak-gerak itu tak mengeluarkan kata-kata, akhirnya keluar juga
setelah dipaksa, "Tapi .... tapi ... kanda .... aku isterimu ...."
"Gila ........!" Han Sin menendang bangku sampai benda itu terlempar membentur dinding dan
bergulingan. "Siapa bilang kau ..... kau ...... isteriku ........?"
"Kanda Cia Han Sin, bukankah tadi kau ..... kau tidak bermaksud menghinaku?"
"Memang. Kuulangi lagi, aku tidak dan sama sekali takkan mau menghinamu?" jawab Han Sin.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak mau mengakui aku sebagai isterimu" Kau ....... kau sudah
membuka kerudung mukaku! Dan aku sudah bersumpah bahwa kalau ada laki-laki membuka
kerudung mukaku, hanya ada dua jalan bagiku. Hidup menjadi isterinya atau mati bersama dengan
laki-laki itu! Tadi kau telah membuka kerudung mukaku. Kalau tadi kau menjawab bahwa kau
sengaja menghinaku, tentu akan kubunuh kau lalu kubunuh diriku sendiri. Akan tetapi kau ..... kau
tidak menghinaku dan aku ......." Mukanya menjadi merah sekali, "aku suka dan rela menjadi
isterimu ......"
Kagetlah Han Sin. Baru ia tahu sekarang dan diam-diam ia menyumpahi diri sendiri. "Celaka ......!"
Tak terasa pula ia berseru. "Tapi ...... tapi, nona Tilana. Aku membuka kerudungmu hanya karena
ingin mengenal rupa orang yang hendak membunuhku tadi. Sama sekali bukan ...... bukan karena
itu ...... eh, tentang suami isteri itu .... aku tidak dapat menerima. Maaf ..... maafkan aku, tak
mungkin kita menjadi suami isteri."
Wajah yang merah tadi menjadi pucat lagi. Tiba-tiba Tilana menyambar gendewa dan anak
panahnya, lalu memasang tiga batang anak panah pada gendewanya. Dengan mata berkilat dan
tangan tetap ia menodong dada Han Sin dengan anak-anak panah itu.
"Cia Han Sin! Kalau begitu berarti kau menghinaku. Bagiku tiada pilihan lagi. Kita menjadi suami
isteri dan aku rela melayanimu dengan setia sampai aku mati atau .... kubunuh engkau kemudian
kubunuh diriku sendiri." Kemudian disambungnya cepat-cepat, "Atau .... karena kau jauh lebih
pandai dariku ..... kalau aku gagal membunuhmu, biarlah aku mati di tanganmu .......!"
Han Sin adalah seorang berjiwa satria, seorang laki-laki sejati. Biarpun dalam perbuatannya
merenggutkan kain penutup muka Tilana tadi seujung rambutpun tidak ada maksud hatinya untuk
berbuat sesuatu yang jahat, sama sekali tidak bermaksud menghina, akan tetapi setelah melihat
bahwa akibatnya begini hebat, ia dengan secara jantan hendak menghadapi segala akibatnya.
Pernah ia membaca tentang kebiasaan aneh seperti ini, yaitu yang biasa dilakukan oleh kaum
bangsawan atau keluarga kerajaan Bangsa Hui. Kebiasaan aneh pada kaum wanitanya. Kalau ia
ingat bahwa Tilana adalah Puteri Balita, Puteri Hui yang amat aneh dan terkenal itu, tak perlu
diherankan lagi sumpah gadis ini yang sudah diceritakannya tadi. Dengan tenang ia lalu memangku
kedua lengan di depan dada, duduk bersandar pada meja dan berkata,
"Kalau begitu, Tilana, kau boleh bunuh aku! Aku takkan lari dari tanggung jawabku. Tanpa
kusengaja aku sudah membuka kerudung mukamu, telah melanggar pantangan yang menjadi
sumpahmu. Bagainanapun juga tak mungkin aku menjadi suamimu, dan kalau kau berkeras hendak
membunuhku ....... nah, silakan kaubunuhlah ......!"
Kedua tangan yang tadinya tetap dan sudah menarik tali gendewa itu, kini menggigil. Mata yang
tadinya berapi-api, kini mulai membasah dan tak lama kemudian air mata bercucuran keluar
mengalir di sepanjang pipi.
Kedua tangan makin lemas dan berdetaklah gendewa itu terjatuh di atas lantai! Tak dapat ia
membunuh pemuda ini. Pemuda gagah perkasa, tampan dan halus, sopan dan luhur pribudinya,
sampai-sampai mau mengorbankan nyawa sendiri demi menjaga kehormatan seorang gadis!
Bagaimana dia bisa membunuh seorang satria seperti ini" Tilana makin menggigil tubuhnya, lalu
dengan lemas ia jatuh berlutut, menangis sedih sekali.
"Tidak ...... tidak ...... tak dapat aku membunuhmu ..... kanda Han Sin ..... kau orang termulia bagiku
......, lebih baik aku saja yang mati ....." Cepat Tilana mencabut pedangnya dan benda tajam itu
diayunkannya ke leher sendiri.
"Plakk! Traaanggg ......!" Pedang terlepas dari pegangan Tilana dan jatuh berdering di atas lantai.
"Tilana, kau seorang gagah, masih muda. Mengapa mengambil keputusan pendek dan nekat hanya
karena urusan kecil saja?" Han Sin yang menangkis pedang tadi menghibur. "Di dunia ini masih
banyak sekali pria yang gagah perkasa dan yang tentu akan bersedia menjadi suamimu ......"
Tilana menggeleng kepala. "Kaukira aku orang serendah itu, mudah sekali menukar hati bermain
cinta" Laki-laki di dunia ini hanya kau seorang bagiku. Menjadi isterimu atau menjadi isteri maut,
satu di antara dua!" Tilana memungut pedangnya lagi dan menusuk dadanya. Kembali Han Sin
mencegah pembunuhan diri ini, dan mencoba untuk menghiburnya. Makin dihibur, Tilana menjadi
makin sedih dan nekat.
Pada saat itu, tiba-tiba muncul Bi Eng! Gadis ini tadi sudah tertidur, akan tetapi kaget mendengar
suara ribut-ribut di kamar Han Sin. Cepat ia membetulkan pakaiannya, membawa pedang lalu
berloncatan cepat ke kamar kakaknya. Begitu ia membuka pintu kamar, ia berdiri termangu,
terbelalak matanya dan mulutnya celangap!
"Sin-ko ....! Apa .... apa artinya ini ...." Siapa dia?" Dengan kagum sekali Bi Eng memandang
kepada Tilana yang berdiri dengan muka pucat setelah untuk kedua kalinya pedangnya ditangkis
oleh Han Sin, iapun memandang ke arah Bi Eng.
Han Sin mendapat kesempatan baik untuk mencegah Tilana bunuh diri, maka cepat-cepat ia
memperkenalkan, "Nona Tilana, dia ini adalah adikku, Bi Eng. Eng-moi, nona Tilana ini puteri Jincamkhoa (Algojo Manusia) Balita, puteri Hui yang sudah kita kenal namanya itu. Dia datang
hendak membunuhku atas perintah ibunya, tapi .... tapi ....."
Pada saat itu, Tilana mempergunakan kesempatan ini untuk melempar diri ke arah tembok, hendak
membenturkan kepalanya kepada dinding yang keras supaya kepalanya pecah! Bi Eng melihat ini
menjerit, lalu meloncat dan memeluk tubuh Tilana. Saking kuatnya gerakan Tilana, dua orang gadis
itu roboh terguling!
"Eh, cici yang baik. Kenapa kau hendak berlaku nekat?" tanya Bi Eng yang masih memeluknya.
Bau semerbak harum membuat Bi Eng makin kagum. Belum pernah selama hidupnya, biar di kota


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

raja sekalipun, ia melihat seorang gadis secantik ini. Cantik jelita luar biasa sekali, dan keharuman
yang semerbak itupun amat aneh dan menggairahkan.
Karena yang memeluknya juga seorang wanita yang agaknya menaruh kasihan kepadanya, baru
Tilana dapat menumpahkan kesedihannya. Ia menangis terisak-isak dalam pelukan Bi Eng yang
saking terharunya ikut pula menangis!
"Cici yang baik, kau kenapakah" Kenapa begini sedih" Ceritakanlah kepadaku, dan aku berjanji
akan membantumu ....." kata Bi Eng menghibur, tidak melihat betapa Han Sin berdiri dengan
bingung di sudut kamar.
"Adik Bi Eng ..... lebih baik aku mati saja .... tak kuat aku menerima penghinaan sebegini besar ...."
kata Tilana terengah-engah di antara isaknya.
Bi Eng membelalakkan matanya, lalu mengerling tajam ke arah kakaknya yang berdiri
menundukkan muka di sudut kamar. "Siapakah yang menghinamu, enci Tilana?"
"Siapa lagi kalau bukan kakakmu itu .... kanda Han Sin telah menghinaku, menolak untuk menjadi
suamiku ..... dan menolak pula untuk membunuhku, ada jalan lain apa lagi kecuali aku membunuh
diri untuk mencuci penghinaan ini?"
Bi Eng bingung, sebentar memandang kepada Tilana, sebentar kepada Han Sin. "Sin-ko,
bagaimanakah ini" Apa sih yang telah terjadi di antara kalian .......?"
Berdebar tidak karuan hati Han Sin. Memang ia menghadapi urusan yang ruwet sekali. Akhirnya ia
bercerita dengan suara perlahan penuh penyesalan, "Dia datang hendak membunuhku atas perintah
ibunya yang menaruh dendam kepada ayah. Tanpa kusengaja .... eh, yaitu maksudku tanpa maksudmaksud
jahat kurenggut kerudung yang menutupi mukanya karena aku hendak melihat muka orang
yang datang hendak membunuhku. Nah, aku hanya berbuat begitu dan ...... eh, dia itu menuntut
bahwa aku harus menjadi suaminya, kalau tidak mau, dia akan bunuh diri. Tentu saja aku
keberatan!"
Bi Eng terheran. Lalu menoleh kepada Tilana. "Betulkah itu, cici?"
Tilana mengangguk malu.
"Kenapa kau bersikap begitu aneh" Tentu ada sebab-sebabnya ......." tanya Bi Eng.
Tilana menarik napas panjang dan berusaha keras menahan isaknya. Setelah reda tangisnya, ia
menjawab, "Adik Bi Eng, coba saja kaupertimbangkan. Aku adalah seorang gadis suci, semenjak
kecil belum pernah ada orang melihat mukaku kecuali ibuku sendiri. Aku selalu berkerudung dan di
depan ibu aku sudah disumpah bahwa aku tak akan membiarkan orang, apa lagi pria, membuka
kerudung mukaku. Kalau hal itu terjadi, yaitu kalau ada seorang laki-laki membuka kerudungku,
hanya ada dua jalan bagiku, pertama menjadi isterinya, ke dua membunuh laki-laki itu kemudian
membunuh diri sendiri untuk menebus dosa. Dia ..... kakakmu itu ........ mengingkari sumpahku, tak
mau menjadi suamiku. Membunuhnya aku tak sanggup. Diapun tidak mau membunuhku. Tidak ada
jalan lain bagiku. Kalau aku tidak bisa menjadi isterinya, biarlah aku menjadi isteri maut ....."
Kembali Tilana menangis sedih.
Bi Eng tertarik sekali dan terpukul hatinya. la merasa terharu. Diam-diam ia memuji gadis ini
sebagai seorang gadis yang memegang teguh kesucian dan kehormatannya. Sekali lagi ia
memandang Tilana. Tak ada cacadnya sama sekali. Potongan tubuh yang indah menarik, kulit yang
putih mulus, wajah yang seperti bidadari, suaranya halus merdu, kepandaiannya hebat pula. Di
dunia ini, mana ada wanita yang lebih patut menjadi jodoh kakaknya" Mana ada yang lebih patut
menjadi kakak iparnya" Sekali melihat ia sudah suka kepada Tilana.
Inilah jodoh terbaik untuk kakaknya. Memang agaknya melihat gelagat, kakaknya itu harus lekaslekas
kawin! Sikapnya akhir-akhir ini terhadap dirinya, seperti tiga hari yang lalu. Kadang-kadang
ia sendiri mempunyai perasaan yang aneh terhadap kakaknya itu. Sikap yang terdorong oleh
perasaan yang luar biasa sekali, yang membuat ia ingin selalu berdekatan dengan Han Sin.
Aneh! Memalukan! Sering kali ia merasa takut terhadap diri sendiri, takut terhadap Han Sin,
kakaknya! Kenapa tiga hari yang lalu dia mendekapku seperti itu" Kenapa hatinya sendiri berdebar
tidak karuan kalau kakaknya menyentuhnya" Padahal dahulu tidak demikian" Memang, lebih baik
Han Sin lekas menikah dan gadis ini cocok sekali menjadi jodohnya! Dalam beberapa detik saja Bi
Eng sudah mengambil keputusan, kakaknya harus berjodoh dengan Tilana!
"Sin-ko, biasanya ..... biasanya kau suka menolong orang. Kenapa kau sekarang tidak mau
menolong cici Tilana yang patut dikasihani ini?"
Han Sin menjadi pucat dan ia memandang kepada Bi Eng dengan mata terbelalak, seolah-olah pada
saat itu Bi Eng sudah berubah menjadi setan yang menakutkan!
"Bi Eng .....! Kau ..... kau bilang apa .....?"" tanyanya gagap, tidak percaya kepada telinga sendiri.
"Sin-ko, kurasa sudah sepatutnya kau menolong cici Tilana. Sudah sepatutnya kau memenuhi isi
sumpahnya ......"
"Bi Eng! Kau gila?" Aku bersedia menolong siapa saja, akan tetapi menolong .... macam itu ...
kawin?" Tak mungkin!"
"Sin-ko! Apa salahnya kalau kau menikah dengan cici Tilana" Usiamu sudah dua puluh, bahkan
lebih barangkali. Sudah sepatutnya kalau kawin. Pula, pernahkah kau melihat seorang gadis yang
lebih baik dari pada Tilana, lebih baik dalam segala halnya" Dia seorang gadis cantik jelita, gagah
perkasa, dan setia pula. Kau harus menerimanya ....."
Bi Eng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Han Sin dengan muka pucat sudah melompat
keluar dan lari dari rumahnya. Hatinya menjerit-jerit. "Bi Eng ...., Bi Eng ...., mana bisa dia atau
siapapun juga melebihi engkau sendiri ....?""
Tilana mengeluh dan hendak mengambil pedangnya. Akan tetapi Bi Eng yang maklum akan
kenekatannya malah berbisik.
"Cici, jangan kau putus asa. Siapa yang lemah harus cerdik. Percayalah, aku tidak setuju dengan
pendirian kakakku, aku akan suka sekali kalau kau menjadi isterinya. Aku akan membantumu, cici
Tilana, biar aku akan membujuknya."
Tilana menggeleng kepala dan wajahnya yang cantik itu nampak sedih sekali. "Kau baik sekali, Bi
Eng. Akan tetapi akan sia-sia belaka. Dia tidak suka kepadaku dan aku ...... hanya ada satu jalan
bagiku untuk mencuci penghinaan ini, yaitu dengan kematian ......"
"Jangan, cici Tilana. Jangan putus asa. Kakakku itu, mana bisa dia tidak suka kepadamu" Mana ada
laki-laki yang tidak akan suka kepadamu" Mungkin dia itu malu-malu. Ah, biarlah aku akan
membujuknya perlahan-lahan. Kau bersabarlah dan kau tinggallah dulu di sini bersama kami."
29. Penderitaan Hati Karena Wanita
TIBA-TIBA awan gelap yang menyelimuti muka cantik itu lenyap dan kini sepasang matanya yang
tajam memandang Bi Eng penuh pengharapan. "Apakah benar-benar kau suka mempunyai kakak
ipar seperti aku" Benar-benarkah kau hendak membantuku sehingga ikatan jodoh antara aku dan
kakakmu dapat terjadi?"
Bi Eng merangkulnya. "Tentu saja! Kau cocok sekali dengan Sin-ko. Kalian akan merupakan
pasangan yang amat mengagumkan dan setimpal!"
Wajah Tilana menjadi merah. "Adikku yang baik, kalau benar-benar ucapanmu itu keluar dari
hatimu, aku mempunyai jalan ....., tapi ....... aku takut kau akan keberatan ........"
"Jalan bagaimana" Katakanlah." Tilana mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari dalam bajunya.
Mukanya menjadi makin merah ketika ia berbisik, "Ibuku seorang ahli dan banyak tahu tentang
obat dan racun. Bungkusan ini, sedikit obat bubuk kalau sampai dapat terminum oleh kakakmu,
....... hemm ....... kurasa akan dapat membantu terlaksananya maksud kita ......."
Bi Eng menerima bungkusan itu, membukanya dan melihat sedikit obat bubuk warna putih yang
berbau wangi aneh. la tidak mengerti, termenung sebentar lalu bertanya, "Membantu bagaimana cici
Tilana" Dan apa khasiatnya obat ini" Apakah tidak berbahaya bagi Sin-ko?"
Ditanya demikian jujur oleh Bi Eng, Tilana menjadi makin malu.
"Kalau minum itu, dia ....... kakakmu itu ...... dia akan mabok dan suka kepadaku ......"
Bi Eng melengak, tidak percaya. Masa ada obat seaneh itu khasiatnya" la mengerutkan keningnya.
"Apakah ini bukan racun" Bagaimana kalau kakak nanti menjadi sakit setelah minum obat ini?"
Pertanyaan ini hanya merupakan pancingan belaka, karena Bi Eng sudah mendengar dari cerita Han
Sin bahwa kakaknya itu pernah minum darah ular Pek-hiat-sin-coa (Ular Sakti Darah Putih) dan
racun ular itu sepenuhnya mengalir di dalam tubuh Han Sin sehingga tidak ada racun yang akan
dapat mematikan kakaknya itu. Tentu saja ia tidak takut kalau-kalau kakaknya akan celaka minum
racun. "Jangan kau kuatir, adikku. Apa kau kira akupun suka melihat kanda Han Sin celaka" Aku ....... aku
cinta kepadanya, Bi Eng, mungkin lebih besar daripada cinta kasihmu kepadanya."
Bi Eng tersenyum girang, lalu ia mengajak Tilana ke kamarnya untuk tidur. Pada keesokan harinya
Han Sin melihat Tilana bersama Bi Eng di kamar adiknya ini, ia hanya mengerutkan keningnya,
akan tetapi diam-diam ia merasa girang bahwa Tilana tidak jadi membunuh diri. Dia amat merasa
jengah kalau teringat akan peristiwa malam tadi, maka ia sama sekali tidak berani memandang
gadis itu, malah bertanyapun tidak.
"Sin-ko, aku berhasil menghibur cici Tilana. Kau tentu tidak keberatan kalau dia tinggal di sini satu
dua hari menemaniku, bukan?"
Tanpa melirik ke arah Tilana yang pagi itu kelihatan amat segar, Han Sin mengangguk.
"Sesukamulah," lalu pemuda ini keluar lagi dari dalam rumah.
"Eh, Sin-ko. Kau mau ke mana?"
"Pergi mencari buah lengkeng. Kulihat banyak yang masak di dekat jurang itu."
"Jangan lupa tangkapkan seekor kelinci yang gemuk. Aku dan cici Tilana hendak masak daging
kelinci!" Han Sin mengangguk. "Baiklah." la merasa heran. Apa yang tersembunyi di balik kepala yang
bagus dari Bi Eng itu" Daging kelinci adalah kesukaannya dan mengapa justru pada saat Tilana
berada di situ Bi Eng hendak memasak kelinci"
Tak sampai hati ia mengecewakan Bi Eng. Tak lama kemudian ia sudah kembali membawa
sekeranjang buah lengkeng dan seekor kelinci yang gemuk dan muda. Bi Eng menerima kelinci itu
dengan senyum manis sekali.
"Kakakku yang baik, kau benar-benar menyenangkan! Kau tunggulah, cici Tilana akan mengajarku
memasak daging kelinci cara orang Hui. Kau tentu akan menikmatinya nanti!" Sambil memegang
kelinci pada dua buah telinganya, gadis ini tertawa-tawa dan berlari-lari ke dapur. Han Sin
memandang, menarik napas panjang lalu melemparkan keranjang lengkeng ke pojok ruangan,
menjatuhkan diri di atas kursi dan termenung.
Di dalam hutan tadi, ketika mencari kelinci dan lengkeng, ia sudah melamun terus tentang .....
kawin! Gara-gara Tilanalah ini. Berkumandang di telinganya ucapan Bi Eng. " ....... usiamu sudah
dua puluh, bahkan lebih barangkali sudah sepatutnya kalau kawin ....."
"Bi Eng ..... Bi Eng ......" hatinya berbisik perih, "bagaimana kau bisa membujukku supaya kawin
dengan gadis lain" Jangankan baru seorang gadis cantik seperti Tilana, biar kauturunkan dewi dari
kahyangan sekalipun, aku tetap akan memilih engkau seorang ....."
Tentu saja pemuda ini sama sekali tak pernah menyangka betapa "adiknya" itu bersama Tilana telah
merencanakan sesuatu yang amat berbahaya, sesuatu yang tak dimengerti oleh Bi Eng, yang hanya
menginginkan kakaknya itu mendapatkan isteri yang cantik jelita seperti Tilana, dan terutama sekali
karena "kakaknya" itu akhir-akhir ini bersikap aneh terhadapnya dan juga karena hatinya sendiri
makin lama makin aneh!
Pesta itu dilakukan pada sore hari. Tersenyum girang juga Han Sin ketika ia dihadapkan hidangan
yang berbau nikmat, mengebul di atas meja. Ternyata seekor kelinci tadi telah menjadi empat
macam masakan yang melihatnya saja sudah membangkitkan seleranya. Apa lagi mencium baunya
yang demikian gurih dan enak. Malah ada minuman yang seperti anggur pula.
"Eh, ini apa, Eng-moi?". Han Sin mencium minuman itu. "Dari mana kau memperoleh arak?"
Bi Eng tersenyum. "Bukan arak, Sin-ko, melainkan perasan buah, hasil pekerjaan cici Tilana.
Semua inipun masakannya. Hebat, ya?"
Han Sin mengangguk-angguk sambil melirik ke arah Tilana yang menundukkan mukanya yang
merah sekali, tidak berani gadis itu memandang kepadanya. Diam-diam ia menaruh hati kasihan
kepada gadis Hui itu, senang juga hatinya melihat Bi Eng ternyata dapat menarik gadis itu sebagai
sahabat. Mereka lalu makan minum dan Bi Eng melayani kakaknya, bahkan secara halus tidak kentara gadis
ini seakan-akan sengaja membujuk kakaknya supaya banyak makan dan minum dan selalu memujimuji
Tilana tentang kecantikannya, tentang kepandaiannya. Tentu saja, dengan lihai sekali Bi Eng
telah menaruh obat bubuk ke dalam cawan minuman Han Sin. Berdebar juga ia ketika melihat Han
Sin minum anggurnya, akan tetapi hatinya lega karena kakaknya tidak apa-apa, malah memuji
perasan buah itu,
"Enak sekali .....!" Kemudian Han Sin memandang kepada pembuat minuman itu. Kebetulan Tilana
juga mengangkat muka memandangnya. Dua pasang mata bertemu untuk kesekian kalinya. Muka
Tilana berseri-seri dalam pandangan mata Han Sin, muka itu luar biasa indah jelitanya. Mata yang
bening itu setengah berkatup, bersembunyi dan mengintai dari balik bulu mata yang lentik panjang,
seperti pandang mata orang mengantuk, hidung yang kecil mancung itu agak kembang-kempis
seperti orang mau tertawa atau menangis, bibir yang mungil tersenyum-senyum malu.
"Cantik sekali ......!" Kata-kata ini keluar dari mulutnya Han Sin seperti bukan atas kehendaknya
sendiri, begitu saja terloncat. Telinganya sendiri yang mendengar ini membuatnya amat kaget,
namun melihat Tilana tersenyum memperlihatkan deretan gigi yang seperti mutiara, senang juga
hati Han Sin. Pemuda ini sudah terpengaruh obat yang benar-benar amat mukjijat, membuat ia merasa dirinya
ringan dan enak, senang sekali. Pengaruh obat membuat pikirannya tertutup uap kemabokan dan
menonjolkan perasaan panca inderanya. Mulutnya menikmati masakan dan minuman buatan Tilana,
matanya menikmati kecantikan Tilana dan sekaligus timbul kasih sayang kepada gadis Hui itu.
Bi Eng yang juga mendengar pujian Han Sin "cantik sekali!" tadi, tersenyum penuh arti kepada
Tilana, lalu berdiri dan mengundurkan diri dari situ sambil berkata, "Aku akan mencuci mangkok
piring dulu."
Han Sin sudah mabok betul-betul, tidak sadar lagi apa yang diperbuatnya. Tilana, di lain fihak, yang
sudah jatuh hati kepada Han Sin, yang sudah melanggar sumpah sendiri bahwa dia harus menjadi
isteri Han Sin atau mati, mempergunakan kesempatan ini untuk mencuri hati pria pilihannya itu.
Ketika bangun berdiri, Han Sin terhuyung-huyung dan kiranya ia akan jatuh kalau saja tidak cepatcepat
digandeng lengannya oleh Tilana. la tertawa-tawa kecil, memandang muka gadis di
sebelahnya itu dengan kepala bergoyang goyang. "Kau cantik ..... he-he, Tilana, kau cantik dan baik
......." Tilana hanya tersenyum. "Kanda Han Sin, kau mengasolah ......", Dan digandengnya pemuda itu
memasuki kamarnya.
**** Semalam suntuk Bi Eng tak dapat tidur di dalam kamarnya. Hatinya tidak karuan rasanya. la sendiri
tidak tahu apakah malam itu ia merasa marah, sedih kecewa ataukah merasa girang, bahagia dan
puas! Ia sendiri tidak mengerti mengapa hatinya begini risau dan tak karuan.
Ia menghendaki agar kakaknya memilih Tilana sebagai isteri. Malah tidak segan-segan ia
membantu Tilana mempergunakan obat bubuk yang mukjizat sekali, sampai-sampai kakaknya itu
menjadi mabok dan lupa diri. Ia merasa amat suka dan kasihan kepada Tilana dan ia merasa bahwa
memang gadis itu cocok sekali kalau menjadi isteri kakaknya. Akan tetapi ...... entah bagaimana, ia
sekarang merasa hatinya kosong ......!
Tiba-tiba ia kaget mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar kakaknya. Hari telah menjelang pagi.
Cepat Bi Eng meloncat keluar dari kamarnya, berlari menuju kamar kakaknya. Dan alangkah
kagetnya ia mendengar kakaknya memaki maki! Hal yang belum pernah dilakukan kakaknya
seumur hidupnya.
"Perempuan rendah, perempuan hina! Jahanam tak tahu malu, kenapa kau berada di kamarku"
Kenapa kau ..... ah, setan, kubunuh engkau!"
Terdengar gedebag-gedebug dan badan terjatuh. Agaknya Tilana sudah dipukuli Han Sin! Bi Eng
menjadi pucat sekali dan ia makin mendekati kamar. Terdengar Tilana menangis.
"Kanda Han Sin ..... bunuhlah ..... aku akan bahagia sekali kalau mati di tangan ..... suamiku ......"
"Suami ......" siluman betina! Kau mempergunakan akal busuk, kau siluman jahat. Kemarin kau
hendak membunuh diri, nah .... lekaslah kau bunuh diri. Aku tak sudi mengotori tangan membunuh
seekor siluman ....." terdengar Han Sin memaki-maki lagi dan suara pemuda itu terdengar keras dan
marah sekali. Bukan main marahnya hatinya Bi Eng mendengar ini. Keterlaluan sekali kakaknya menghina orang.
Sekali melompat ia sudah mendorong pintu kamar dan memasuki kamar itu. Ia melihat Tilana
menangis sambil berlutut di atas lantai, rambutnya kusut terurai, keadaannya amat mengenaskan.
Pipinya bengkak dan bibirnya yang indah itu berdarah, agaknya ia telah ditampari Han Sin. Pemuda
itu kelihatan berdiri di depan Tilana dengan mata berapi dan muka merah.
"Sin-ko, kau kejam!" bentak Bi Eng. "Kau tidak menghargai cinta kasih orang, kau malah menghina
dan memukul! Laki laki macam apa bersikap demikian?" Gadis ini marah sekali, dadanya
membusung, kepala dikedikkan dan matanya berapi api menatap wajah Han Sin, kakak yang
biasanya amat ia takuti dan taati itu.
"Bi Eng ....." Bagaikan diloloskan semua urat dari tubuh Han Sin ketika ia melihat gadis ini muncul.
"Dia .... dia itu ....., perempuan tak bermalu ......"
"Kaulah laki-laki tak bermalu! Berani berbuat tak berani bertanggung jawab!" Bi Eng memotong.
Tilana yang amat merasa terhina, dengan hati hancur melihat dan mendengar ini semua. Kemudian
terdengar ia menjerit lirih, tubuhnya berkelebat dan ia sudah meloncat lalu lari meninggalkan rumah
itu, meninggalkan puncak Min-san, lenyap di dalam kabut kegelapan pagi.
"Sin-ko! Kau telah merusak hatinya, kau telah menghancurkan perasaannya. Kenapa kau begitu
kejam?" "Tidak ...., tidak, Eng-moi. Dialah yang mencelakai aku, dia ..... dialah yang merusak dan
menghancurkan hati dan perasaanku ....."
"Kenapa" Dia cinta kepadamu, dia menganggap dirinya sebagai isterimu. Sin-ko, kau harus
mengawini dia!"
"Tidak mungkin! Tak mungkin aku bisa mengawininya, Eng-moi ......"
"Sin-ko, bagaimana kau bisa bilang begitu" Kau seorang laki-laki, harus berani bertanggung jawab.
Kau dan dia sudah sekamar ..... bagaimana kau bisa mengingkari hal ini?"
"Eng-moi ......" wajah Han Sin pucat sekali, tanda bahwa ia amat menderita batinnya, "kau tidak
tahu ....... dia menggunakan akal siluman! Aku tidak sadar apa yang telah kulakukan ........ aku
seperti mabok, mungkin aku telah gila ....."
"Apapun juga alasannya, kau harus mengawini dia, Sin-ko. Apa kau mau disebut pengrusak
kehormatan" Apakah kau mau dianggap penjahat keji pengganggu wanita" Tilana seorang gadis
terhormat, cantik dan pandai. Setelah ia sudi merendahkan diri sedemikian rupa, demi cinta
kasihnya kepadamu, Sin-ko ...... apakah kau begitu tega?"
"Eng-moi ......, kau tidak tahu ....... Bi Eng membanting kakinya dengan gemas. Gadis ini marah dan
mendongkol bahwa rencananya telah gagal, usaha pertolongannya kepada Tilana dan usahanya
untuk menjodohkan kakaknya gagal sama sekali. "Aku tahu! Aku tahu segala-galanya! Tilana telah
menceritakan kesemuanya kepadaku! Cocok dengan cerita uwak Lui dahulu. Puteri Hui, Balita,
telah jatuh cinta kepada mendiang ayah, dan ayah menyia-nyiakannya pula. Balita sakit hati, sampai
tua tidak dapat melupakan dendamnya. Sekarang menyuruh puterinya datang membalas dendam
kepadamu, kepada keturunan ayah ....."
"Keji!" Han Sin mencela.
"Siapa bilang keji?" Bi Eng dalam marahnya tanpa disadari membela Balita.
"Aku lebih tahu watak wanita. Memang sakit hati sekali kalau cinta ditolak. Sekarang, usaha Tilana
membalaskan dendam ibunya gagal, malah kau membuka kerudung mukanya yang menjadi
sumpahnya. Dia harus kawin dengan laki-laki yang membuka kerudungnya, atau ...... mati. Kau
tidak mau membunuhnya, Tilana mengira kaupun sayang kepadanya. Sekarang, setelah apa yang


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjadi malam tadi ..... kau ...... kau menghina, mengeluarkan makian kotor, memukulnya pula. Sinko
.... kalau kau tidak mau mencari dia, lalu mengawini dia, aku ..... aku tak mau mengaku kau
sebagai kakakku lagi!" Bi Eng lalu menangis.
Pucat wajah Han Sin mendengar ini. Aduh, Bi Eng ..... Bi Eng ...... keluh hatinya. Kau tidak tahu
..... kau tidak mengerti segalanya. Kau tidak tahu bahwa cinta kasihku hanya untukmu seorang. Dan
sekarang kau malah mendorong-dorongku, membujuk-bujukku mengawini orang lain. Tanpa
disadari dua titik air mata meloncat keluar di atas kedua pipinya. Cepat Han Sin mengusapnya dan
berkata, "Bi Eng, sudahlah. Jangan kau berduka dan marah. Agaknya sudah tiba saatnya kita turun gunung.
Mari kita tinggalkan tempat ini, aku harus memenuhi permintaan yang telah kusanggupi dari
Pangeran Yong Tee ........."
Bi Eng mengangkat mukanya. Tentu pernyataan ini akan amat menggirangkan hatinya kalau saja ia
tidak begitu marah dan kecewa. "Dan kita juga mencari cici Tilana?" desaknya.
Sambil menarik napas panjang Han Sin mengangguk. "Baiklah, kita akan mencari dia karena .....
karena dia harus mengakui segala yang telah terjadi malam tadi. Harus memberi penjelasan
kepadamu."
Watak Bi Eng memang aneh sekali. Seperti watak udara di musim hujan. Sebentar mendung,
sebentar hujan, sebentar terang benderang. Hanya beberapa jam kemudian ia sudah bisa tertawatawa
ketika bersama kakaknya ia menuruni Gunung Min-san, menuju ke dunia ramai.
Hanya Han Sin yang terus-menerus murung. Hatinya pepat, serasa ada batu besar berat sekali
menindih jantungnya. Bagaimana bisa terjadi hal hebat sedemkian antara dia dan Tilana" Dan hal
itu tidak saja disetujui oleh Bi Eng, malah agaknya gadis ini mendorong-dorongnya. Celaka dua
belas! Dan dia amat mencinta Bi Eng!
Ia mencoba membayangkan lagi apa yang telah terjadi antara dia dan Tilana. Wajahnya menjadi
merah sekali kalau ia membayangkannya. Kenapa dia sudah seperti gila" Kenapa dia dapat
membelai-belai, mencumbu rayu Tilana gadis asing itu" Ia membayangkan lagi sikap Tilana yang
amat mesra dan manis, dan kemudian, tiba-tiba Han Sin mencekal lengan tangan Bi Eng erat sekali.
"Aduhhh!" Bi Eng berteriak. "Aduh sakit lenganku, Sin-ko. Kau ini apa-apaan sih" Aneh benar
kelakuanmu. Ada apakah?"
Han Sin tersadar dan melepaskan pegangannya. "Eng-moi, aku teringat sekarang ........ tanda merah
di dekat telinganya ......, ya ......., tanda merah, jelas sekali kulihat di dekat telinga ......."
"Apa artinya ini" Sin-ko, kau seperti orang ngelindur!" tanya Bi Eng yang terheran-heran melihat
kakaknya memandangi langit sambil merenung dan mencubit-cubit hidung sendiri.
Tiba-tiba Han Sin menatap wajah Bi Eng matanya bersinar-sinar ganjil. Untuk ke sekian kalinya Bi
Eng harus menghindar dari pandang mata kakaknya. Pandang mata kakaknya luar biasa sekali,
tajam seperti pisau, seakan-akan dapat menembus jantung.
"Eng-moi, tak salah lagi. Gadis itu ..... yang bernama Tilana itu ....... dia itulah ..... anak Ang-jiu
Toanio yang dulu lenyap! Pernah kuceritakan kepadamu, bukan" Sebelum meninggal dunia, Angjiu
Toanio menceritakan kepadaku ......" la menahan ceritanya, kaget karena sekarang baru ia
teringat bahwa ia belum menceritakan hal itu kepada Bi Eng. Menceritakan hal itu berarti membuka
rahasia bahwa Bi Eng bukanlah adik kandungnya!
Melihat sikap kakaknya yang ragu ragu, Bi Eng bertanya, "Cerita apa" Kau belum pernah bercerita
kepadaku tentang pesan Ang-jiu Toanio."
"Eh ...... eh ......, kalau begitu aku yang lupa. Begini, Eng-moi. Ketika aku bertemu dengan Ang-jiu
Toanio, sebelum dia meninggal dia pernah minta tolong kepadaku agar supaya aku mencarikan
anaknya yang hilang ketika masih bayi. Anak perempuannya itu, adik Phang Yan Bu, ada tanda
merah di dekat telinganya. Dan pada ..... diri Tilana kulihat tanda merah itu ..... yang tadinya
tertutup rambutnya ......"
Merah muka Bi Eng dan ia masih sempat menggoda, "Eh, eh, bagaimana kau bisa melihatnya kalau
tanda itu tertutup rambutnya, Sin-ko?"
Bingung dan gugup Han Sin menerima pertanyaan ini. "Aku ... eh ..... aku .... hanya kebetulan saja
aku melihatnya ....." Mukanya menjadi merah sekali. Cepat-cepat disambungnya, "Baru sekarang
aku teringat. Tak salah lagi, dialah anak Ang-jiu Toanio yang hilang. Rupanya dahulu dicuri oleh
Balita dan ......."
Kembali ia berhenti dan mukanya tiba tiba menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada
Bi Eng. Tentu saja gadis ini menjadi makin heran, malah agak takut. Jangan-jangan otak kakaknya
ini menjadi tak beres.
"Kau kenapa, Sin-ko" Kenapa memandang padaku seperti itu?"
Han Sin kembali dapat menindas perasaannya. Siapa orangnya yang takkan gelisah dan kaget
seperti dia ketika mendapat dugaan sekarang. Dugaan yang hampir tak salah lagi. Kalau Balita
menukarkan anak Ang-jiu Toanio di rumah mendiang ayahnya di Min-san, kalau begitu ..... tak
salah lagi, Bi Eng yang berdiri di hadapannya sekarang ini tentu anak ..... Balita! Pusing ia
menghadapi kenyataan ini. Bi Eng anak Balita! Bagaimana mungkin ini" Dan di mana adanya adik
kandungnya sendiri" Betulkah sudah dimakan harimau, dijadikan umpan harimau oleh pemelihara
harimau" "Bi Eng ....." suaranya gemetar, "apakah ..... betulkah bahwa kau tidak mempunyai tahi lalat hitam
di mata kaki sebelah kiri ......?"
Bi Eng melengak, kembali mukanya merah. "Sudah belasan kali sejak kita naik kembali ke Min-san
kautanyakan hal yang gila itu. Aku sudah bilang tidak ada, apa kau penasaran dan hendak
melihatnya?" Bi Eng membungkuk hendak membuka sepatu dan kaos kakinya. Cepat Han Sin
mencegah, dadanya berdebar.
"Tak usah, Bi Eng, tak usah. Hanya ..... barangkali saja kau teringat bahwa di waktu kecil dahulu,
ada tanda itu di kakimu ...."
Bi Eng berdiri lagi, cemberut. "Kau ini apa-apaan lagi, koko" Masa tiada hujan tiada angin
mengurus soal ....... tahi lalat! Menurut seingatku, tak pernah ada tahi lalat pada kakiku. Laginya,
siapa sih yang suka mengingat-ingat tentang tahi lalat?"
Han Sin terdiam, terpukau dan merenung. Bingung memikirkan. Tak salah lagi, Tilana yang
sekarang menjadi puteri Balita, dia itulah anak Ang-jiu Toanio yang dulu meninggalkan dan
menukarkan anaknya itu dengan anak ibunya, adik kandungnya. Kemudian adik kandungnya yang
dicuri dan ditukar oleh Ang-jiu Toanio itu terampas oleh seorang Mongol pemelihara harimau.
Entah bagaimana nasibnya.
Dan Ang-jiu Toanio sendiri bilang bahwa anaknya itu telah ditukar lagi oleh lain orang, dan
mempunyai tanda merah pada dekat telinganya. Tentulah Balita yang menukarnya, mengira bahwa
anak Ang-jiu Toanio itu anak mendiang ibunya. Tentu dengan maksud yang sama dengan Ang-jiu
Toanio, maksud keji karena dendam!
Dengan demikian Bi Eng ini tentu anak Balita, anak musuh besar ayahnya, yang sampai sekarang
masih mendendam, buktinya mengirim Tilana untuk membunuhnya. Celakanya, ia terlibat dalam
urusan asmara yang serba membingungkan dan memalukan dengan Tilana itu! Hebat .......!
Dengan hati tidak karuan, wajah selalu murung dan hanya menjawab ocehan-ocehan Bi Eng dengan
singkat saja. Han Sin bersama adiknya itu melanjutkan perjalanannya, menuju ke timur, ke Luliangsan, karena hendak mencari Siauw-ong yang mereka rasa pasti berada di daerah pegunungan
itu. **** Perjalanan menuju ke Lu-liang-san dilakukan cepat oleh Han Sin dan Bi Eng. Di sepanjang
perjalanan, dua orang muda ini mendengar hal-hal yang amat aneh. Sepanjang jalan mereka
mendengar bahwa orang-orang gagah di dunia kang-ouw, sebagian besar telah bergabung dengan
bala tentara Mancu untuk membantu kerajaan ini menggempur para pemberontak di utara,
membantu melawan orang-orang Mongol! Alangkah janggalnya ini. Membantu penjajah" Benarbenar
mengherankan sekali dan berita ini mendatangkan kemarahan dan kemendongkolan di hati
mereka, terutama di hati Han Sin!
"Tak tahu malu menyebut diri patriot! Membela penjajah!" gerutu Han Sin. Bi Eng diam saja,
biarpun ia merasa juga betapa janggalnya hal ini.
Ketika mereka tiba di lereng Gunung Lu-liang-san, tiba-tiba dari sebuah hutan terdengar pekik
seekor monyet. Han Sin dan Bi Eng keduanya terkejut dan girang.
"Suara Siauw-ong ........" Bi Eng segera mengenal suara itu. la sudah hendak memanggil, akan tetapi
Han Sin cepat mencegahnya dengan isyarat tangan.
"Ssttt, jangan memanggilnya. Apa kau tidak mendengar tadi" Suaranya adalah suara keluhan dan
kemarahan. Tentu dia terancam bahaya. Hayo kita cepat pergi mencarinya, suaranya dari hutan itu
........" Cepat keduanya berlari-lari memasuki hutan kecil dan tibalah mereka di daerah yang berbatu.
Gunung-gunungan batu berderet di tempat itu dan pemandangan indah di pegunungan ini,
pemandangan indah dan aneh. Sekarang suara Siauw-ong terdengar jelas dan monyet itu merintihrintih.
Han Sin dan Bi Eng menghampiri tempat itu sambil berindap-indap. Tiba-tiba mereka
mendengar suara seorang wanita,
"Diamlah kau, monyet yang baik. Lukamu memang parah, racun sudah menjalar jauh, aku sudah
berusaha sedapatku. Ah, sayang sekali ..... kalau dia berada di sini ......... ah, di manakah sekarang
Han Sin berada?"
"Li Hoa ......!" Han Sin dan Bi Eng berseru hampir berbareng dan mereka segera meloncat ke atas
batu. Dari tempat ini terlihatlah oleh mereka di mana adanya Siauw-ong. Memang betul monyet itu
berada di situ bersama Thio Li Hoa, gadis cantik manis bergelung tinggi, puteri Thio-ciangkun,
gadis yang gagah perkasa dan yang jatuh cinta kepada Han Sin!
Li Hoa terkejut dan bukan main kaget dan girangnya ketika ia melihat orang yang dikenangkenangnya,
orang yang selama ini ia rindukan, ternyata telah berada di situ bersama Bi Eng.
"Kau ..... kalian ....... di sini ........?" la bertanya gagap, merah sekali mukanya karena baru saja ia
menyebut-nyebut nama Han Sin.
Akan tetapi Han Sin segera meloncat turun dan mengangkat tubuh Siauw ong. "Dia kenapa .......?"
tanyanya gelisah. Ternyata monyet kecil itu kedua kakinya dibalut, nampak pucat dan biru
kehitaman kakinya. Monyet itu meringis-ringis ketika melihat Bi Eng dan Han Sin, lalu ....... dari
kedua matanya keluar air mata. Monyet itu bisa menangis!
"Siauw-ong ......, Siauw-ong ..... kau kenapa?" Bi Eng mengusap-usap kepala monyetnya, penuh
kasih sayang, sedangkan Han Sin cepat memeriksa luka di kedua kaki. Luka itu kecil saja, seperti
tusukan jarum, akan tetapi membuat kedua kaki hitam agak mengembung. Tanda luka karena racun.
Diam-diam Han Sin terheran. Siauw-ong pernah minum darah ular Pek-hiat-sin-coa, kenapa
terpengaruh oleh racun" Tentu racun luar biasa sekali, kalau tidak begitu, tentu racun itu akan
tertolak oleh racun Pek-hiat-sin-coa.
"Nona Li Hoa, bagaimana kau bisa berada di sini bersama Siauw-ong?" Akhirnya Han Sin bertanya
setelah memeriksa luka di kaki monyet itu.
Li Hoa sejak tadi mernandang kepadanya, dan makin lama memandang, makin mendalam cinta
kasihnya. Setelah banyak mengalami penderitaan karena berpisah dari ayahnya, perpisahan badan
dan pendapat, setelah banyak menemui orang-orang gagah, makin yakin hati gadis ini bahwa
pilihan hatinya, yaitu Han Sin pemuda gunung yang luar biasa itu, adalah tepat. Sukar mencari
seorang Han Sin ke dua di dunia ini.
Sementara itu, Han Sin dan Bi Eng juga melihat banyak perubahan pada diri Li Hoa. Gadis ini
masih cantik manis seperti dulu, akan tetapi lebih sederhana, tidak pesolek seperti dulu. Kalau dulu
ia merupakan seorang gadis bangsawan yang angkuh, sekarang ia lebih merupakan seorang gadis
kang-ouw, seorang yang gagah dan sederhana.
"Secara kebetulan saja aku mendapatkan dia," Li Hoa bercerita setelah menarik napas panjang.
"Kebetulan aku lewat di hutan ini dan aku melihat monyetmu ini bergulingan di tanah terkena
lemparan jarum rahasia seorang kakek cebol yang aneh. Aku segera mengenal monyet ini dan aku
menegur orang itu. Dia marah marah dan kami bertempur. Akhirnya ia melarikan diri dan aku
menolong monyet ini."
"Keparat! Siapakah iblis cebol itu" Di mana dia sekarang" Biar kucekik lehernya!" Bi Eng berseru
marah. Li Hoa tersenyum mendengar ini. Masih galak, pikirnya. Dia tidak tahu bahwa Bi Eng
sekarang berbeda dengan Bi Eng dahulu. Mana dia bisa melawan kakek cebol itu"
"Aku sendiri tidak mengenalnya dan tidak tahu di mana rumahnya. Akan tetapi dia lihai sekali, apa
lagi jarum-jarum beracunnya," katanya.
Kemudian atas pertanyaan Han Sin tentang orang-orang gagah yang ikut membantu Kerajaan
Mancu melawan orang-orang Mongol, Li Hoa bercerita. Apa yang didengar oleh Bi Eng dan Han
Sin memang betul adanya. Para tokoh kang-ouw sebagian besar membantu pergerakan pemerintah
Mancu memerangi orang-orang Mongol yang dipimpin oleh Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu di
utara itu. Bahkan Ciu-ong Mo-kai, guru pertama Han Sin dan Bi Eng, Phang Yan Bu putera Ang-jiu Toanio,
orang-orang gagah Cin-ling-pai dan orang-orang gagah lain juga sudah bergabung menjadi satu
membantu pemerintah Ceng! Mendengar ini Han Sin dan Bi Eng kaget bukan main.
Li Hoa melihat keheranan mereka, lalu berkata, "Tadinya aku sendiripun merasa heran. Mungkin
kalian belum tahu bahwa aku sendiri sudah bentrok dengan ayah. Ayah membantu Pangeran Yong
Tee atau tegasnya membantu pemerintah Ceng, akan tetapi aku tidak suka melihat penjajah. Akan
tetapi, setelah melihat pemerintah Ceng, apa lagi berkat pengaruh Pangeran Yong Tee yang amat
baik, dan mengingat betapa kejamnya orang-orang Mongol kalau sampai mereka berhasil menjajah
tanah air kita, maka akupun membenarkan tindakan mereka, orang-orang gagah itu. Lebih baik
sekarang kita membantu pemerintah untuk mengalahkan bala tentara Mongol yang amat kuat.
Kemudian, soal menghalau penjajah dari manapun juga keluar dari tanah air, adalah soal ke dua.
Kalau sekarang kita menghadapi dua musuh, orang-orang Mancu dan orang-orang Mongol, kiranya
usaha perjuangan para patriot takkan berhasil."
Dengan panjang lebar Li Hoa menjelaskan kepada Han Sin yang mulai dapat mengerti mengapa
orang-orang gagah itu sekarang "tampaknya" membantu pemerintah Mancu, padahal hanya
membantu pemerintah yang berkuasa sekarang untuk mengusir bahaya yang lebih besar, yaitu
orang-orang Mongol. Setelah orang-orang Mongol berhasil dihancurkan, barulah kelak berusaha
menggulingkan pemerintah penjajah, tentu akan lebih ringan! Han Sin mulai belajar mengerti
tentang perkembangan politik.
"Akan tetapi tidak mudah," kata Li Hoa. "Selain ada pertentangan-pertentangan sendiri di dalam,
banyak pula orang-orang pandai yang membantu Bhok-kongcu. Kekuatan mereka sungguh tak
dapat dipandang ringan. Maka sekarang bertemu dengan kau, aku banyak mengharapkan
bantuanmu agar kita cepat-cepat menghancurkan bahaya yang datang dari utara itu." Ia mengerling
kepada Han Sin penuh harapan.
"Tentu saja kita harus membantu mereka. Apa lagi kalau suhu sudah berada di sana pula!" kata Bi
Eng tegas. Akan tetapi, Han Sin menghela napas, ia masih ragu-ragu. Tidak ada nafsu untuk
membantu pemerintah penjajah. Betapapun juga, ia masih tidak rela kalau harus berjuang untuk
membantu penjajah, sungguhpun pada hakekatnya itupun merupakan perjuangan menyelamatkan
bangsa dari pada ancaman penjajah baru yang lebih buas dan jahat.
"Bagaimana nanti sajalah, paling perlu sekarang aku harus mencarikan pengobatan untuk Siauwong.
Kulihat keadaannya parah sekali ........"
Tiba-tiba Han Sin menghentikan kata-katanya dan berpaling ke belakang. "Ada orang ......"
bisiknya. Li Hoa dan Bi Eng yang tidak mendengar sesuatu cepat menengok dan .... benar saja, di
atas sebuah batu yang tinggi, entah dari mana dan kapan datangnya, di sana telah berdiri seorang
laki-laki setengah tua yang bertubuh gendut, berpakaian sebagai seorang saudagar dan sedang
tersenyum menyeringai. Matanya yang tajam bergerak-gerak lihai dan cerdik. Li Hoa segera
mengenalnya. "Lie Ko Sianseng ........"
30. Raja Swipoa Ketemu Batunya
MEMANG benar. Orang ini adalah Lie Ko Sianseng yang berjuluk Swi-poa-ong (si Raja Swipoa),
seorang tokoh kang-ouw kenamaan yang berilmu tinggi, cerdik banyak akal. Sesuai dengan
julukannya, dia adalah seorang saudagar yang berdagang segala macam barang, segala macam
benda hidup atau mati!
"Ha ha ha, nona Thio benar bermata awas. Seorang patriot wanita yang muda dan gagah. Tentu
kawan-kawannya inipun orang-orang gagah belaka. Ha ha ha! Alangkah senangnya bertemu dengan
orang-orang muda yang pandai. Sayang ...... kulihat monyet cerdik itu sudah mau mampus."
Bi Eng tak senang mendengar ucapan ini, akan tetapi Li Hoa yang tahu akan kecerdikan "saudagar"
ini, segera berkata dengan suara manis,
"Lie Ko Sianseng, kau yang banyak pengalaman, banyak kenalan dan banyak akal, tentu dapat
menolongnya. Katakanlah, siapa kiranya dapat menolong mengobati monyet ini?"
Kembali Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng tertawa terbahak. "Kumendengar tadi bahwa monyet itu
terluka oleh jarum berbisa. Siapa lagi kalau bukan perbuatan si tukang tangkap binatang berotak
miring" Kalau dia yang melukai, siapa lagi kalau bukan dia pula yang menyembuhkannya?"
Berseri wajah Han Sin mendengar ini. Cepat ia berdiri dan menjura penuh hormat. "Orang tua yang
baik budi, harap kau sudi menolong, tunjukkanlah di mana rumahnya orang pandai itu."
"Ha ha ha ha, ayahnya gagah perkasa dan halus tutur sapanya, anaknyapun begitu. Pantas menjadi
putera Cia Sun tai?hiap!"
Kagetlah Han Sin, akan tetapi segera ia dapat menindas perasaannya. Malah ia bangga sekali.
Agaknya semua orang kang-ouw kenal belaka siapa ayahnya! "Jadi lo-enghiong mengenal
mendiang ayahku?"
"Aku seorang saudagar. Pergi datang, ke mana saja membawa untung bagi orang lain dan bagi diri
sendiri. Bagaimana tidak mengenal orang" Lai Sian si tukang tangkap binatang berotak miringpun
aku kenal, apa lagi ayahmu."
Sekali lagi Han Sin menjura. "Kalau begitu, Lie lo-enghiong yang budiman, sudikah kau
menunjukkan tempat tinggalnya Lai Sian itu?"
Swi-poa-ong mengangguk-angguk. "Boleh, ..... boleh ......, siapa tahu lain kali kau akan dapat
membantuku sebagai balasan."
Li Hoa yang sudah mengenal baik kakek penuh akal busuk itu hendak mencegah, namun Han Sin
sudah mendahuluinya, "Tentu sekali, lo-enghiong yang baik. Tidak ada budi baik yang tak
terbalas."
"Hanya satu syaratnya. Kau boleh membawa monyet itu, ikut dengan aku ke tempat tinggal Lai
Sian, akan tetapi dua orang nona ini tak boleh turut."
Bi Eng mengerutkan kening. "Orang gendut! Kau anti benar kepada wanita! Apa sih salahnya kalau
aku ikut kakakku?"
"Ha ha ha ha! Itulah sebabnya! Apa lagi kalau ada gadis jelita galak seperti kau ini, waaahh, Lai
Sian bisa lari terbirit-birit ketakutan. Dia amat takut kepada wanita, maka kalau dua orang nona ini
ikut, biar dipaksa sampai mampus sekalipun dia takkan mau keluar, bahkan mungkin lari minggat
sebelum kita menemui dia!"
Han Sin dan Bi Eng juga maklum akan adanya orang-orang kang-ouw yang bertabiat aneh luar
biasa. Mereka lalu berunding. Han Sin memutar otak lalu bertanya kepada Li Hoa,
"Nona, di mana adanya suhu Ciu-ong Mo-kai Tang Pok?"
Sebelum Li Hoa menjawab, kakek itu sudah mendahuluinya, "Ha ha! Di mana lagi kalau tidak di
kota Ta-tung" Semua orang berada di sana, membantu orang Mancu memukul orang Mongol. Di
sana banyak arak wangi, di mana lagi si setan arak itu kalau tidak di sana?"
"Betulkah nona?" tanya Han Sin. Li Hoa mengangguk.
"Kalau begitu, bukankah kau juga hendak ke sana?"
Kembali Li Hoa mengangguk.
"Sekiranya kau tidak keberatan, biarlah adikku ini pergi bersamamu ke Ta-tung. Kalau sudah
selesai urusanku dengan Siauw-ong, tentu aku menyusul ke sana."


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua orang gadis itu menyetujui. Memang, maksud kepergian Han Sin dan Bi Eng adalah untuk
mencari Hoa-ji, dan tentu saja di tempat pertempuran itulah kemungkinan mendapatkan Hoa-ji.
Setelah memesan baik-baik kepada Bi Eng agar supaya jangan pergi meninggalkan Ta-tung
sebelum ia menyusul ke sana, Han Sin lalu memondong Siauw-ong dan pergi bersama Swi-poa-ong
Lie Ko Sianseng. Li Hoa sempat berbisik kepadanya,
"Hati-hatilah menghadapi dia itu ...."
Adapun Li Hoa lalu mengajak Bi Eng pergi meninggalkan Lu-liang-san, menuju ke Ta-tung, kota di
mana berkumpul orang-orang gagah yang membantu pertahanan pemerintah terhadap
pemberontakan orang-orang Mongol.
Lie Ko Sianseng mengajak Han Sin keluar masuk hutan-hutan di pegunungan Lu liang-san. Di
dalam sebuah hutan besar, Han Sin melihat sebuah pondok yang aneh. Pondok ini dibangun di atas
pohon besar, seperti sarang burung. Dan seperti seekor burung setan yang besar, kepala seorang
kakek menongol keluar dari jendela rumah itu. Hanya kepalanya saja yang tampak, dengan lehernya
yang panjang, mata yang sipit yang memandang penuh curiga ke bawah!
"Haiii, Lai Sian si otak miring! Turunlah kau, di sini ada seorang pemuda ingin bertemu."
Lai Sian, orang yang berada di pondok di atas pohon itu, melirik ke arah Siauw-ong di pondongan
Han Sin. Adapun Siauw-ong yang sejak tadi merintih-rintih saja, begitu melihat kakek di atas itu,
lalu meringis dan menggereng.
"Hi hi hi, monyet cerdik yang tolol! Ditangkap baik-baik tidak mau, dihadiahi jarum baru tahu rasa.
Mau apa dibawa bawa ke sini?"
"Lai Sian, kau turunlah, biar kita bicara baik-baik. Kalau perlu, aku sanggup membeli obat
penyembuh kaki monyet ini, biar dengan harga berlipat dari pada harga umum!"
"Makelar busuk! Tukang catut, tukang tipu! Siapa doyan uangmu yang bau keringat dan darah
manusia" Rumahku selalu terbuka, mau ada keperluan naiklah. Hi hi hi, tentu saja tidak ada tangga,
kalau mau boleh panjat pohon seperti monyet!"
Lie Ko Sianseng berbisik kepada Han Sin, "Kau lihat saja, aku akan paksa dia turun. Akan tetapi
kalau sudah diobati monyetmu, jangan kau lupa akan janjimu untuk membalas budi padaku."
Setelah berkata demikian, kakek ini tertawa bergelak, mengenjot kedua kakinya dan tubuhnya
sudah meloncat ke atas.
"Tukang catut, apa kau sudah ingin mampus?" seru Lai Sian. Tiba-tiba kedua tangan kakek cebol
itu nampak diayun dan beberapa buah jarum kecil-kecil menyambar ke arah tubuh Lie Ko Sianseng
yang sedang "melayang" naik. Han Sin terkejut sekali dan mengeluarkan seruan kaget. Akan tetapi
Lie Ko Sianseng hanya tertawa, menggunakan jubah luarnya yang lebar itu dikebutkan. Sekaligus
semua jarum tertahan oleh "tameng" ini dan sebelum si kakek cebol sempat menyerang lagi, Lie Ko
Sianseng sudah hinggap di atas sebuah cabang dekat pondok.
"Kau masih tidak mau turun?" Lie Ko Sianseng menggunakan tangannya mendorong pondok dan
......... dengan suara keras pondok yang seperti sarang burung itu miring lalu terguling roboh ke
bawah membawa penghuninya yang tak sempat ke luar!
Pondok itu menerbitkan suara hiruk pikuk ketika terjatuh ke atas tanah dan berbareng dengan
jatuhnya terjadi hal hal yang aneh dan menggelikan. Lie Ko Sianseng berkaok-kaok dan mengaduh
kesakitan, melompat turun terhuyung-huyung sampai terjengkang saking gugup dan bingung.
Ternyata ketika ia mendorong roboh pondok itu, sarang tawon yang rupanya dipelihara oleh Lai
Sian ikut pecah dan ratusan ekor tawon kini beterbangan mengeroyok Lie Ko Sianseng, malah ada
beberapa ekor yang sudah berhasil menyengat mukanya! Tidak heran apabila saudagar gendut ini
tunggang-langgang dan mengaduh-aduh!
Sementara itu, di bawah terjadi hal yang aneh pula. Begitu rumah itu terjatuh dan pecah berantakan
tidak hanya kepala kakek cebol itu yang nampak keluar merangkak, melainkan banyak pula
binatang binatang buas yang menerjang keluar. Harimau, srigala, biruang, rusa dan lain lain. Malah
seekor harimau besar segera maju dan menerkam Han Sin, sedangkan yang lain-lain saking kaget
dan takutnya lari cerai-berai sambil mengeluarkan suara gaduh! Kiranya pondok kecil kakek itu
penuh binatang-binatang hutan!
Han Sin terkejut sekali dan cepat mengelak. Lai Sian, kakek aneh itu kini merangkak keluar dan
terdengar ia tertawa terkekeh-kekeh ketika melihat Han Sin sibuk menanggulangi macan sedangkan
Lie Ko Sianseng kebingungan dikeroyok tawon-tawon yang marah.
"Hi hi hi, he he he, bagus bagus. Baru kalian tahu rasa sekarang, berani main-main dengan aku!"
Akan tetapi kegirangannya cepat berakhir karena dengan sebuah tendangan kilat, Han Sin berhasil
membuat macan itu terlempar jauh, jatuh berdebuk lalu lari tunggang-langgang. Sedangkan Lie Ko
Sianseng yang sudah bengkak-bengkak pipinya, berhasil pula mengusir tawon-tawon itu dengan
melepaskan jubah dan mempergunakan jubahnya sebagai senjata. Kini Lie Ko Sianseng dengan
marah menerjang Lai Sian. "Orang gila, kau benar-benar keterlaluan!"
Segera terjadi pertempuran hebat antara si saudagar dan si cebol. Mereka sama-sama cepat
gerakannya, sama-sama ahli silat yang pandai. Han Sin yang melihat mereka bertempur mati-matian
merasa khawatir. Betapapun juga, sebetulnya tindakan Lie Ko Sianseng merobohkan rumah orang
tadilah yang keterlaluan. Cepat ia melompat maju dan berkata,
"Harap ji-wi berhenti bertempur. Kedatangan kami sebetulnya bukan untuk memusuhi tuan rumah."
Teringatlah Lie Ko Sianseng akan urusan yang lebih besar. la datang membawa Han Sin ke tempat
itu bukan semata-mata untuk mengobatkan monyet, apa lagi untuk menentang Lai Sian, ada hal
yang lebih penting lagi. Maka ia melompat mundur dan berkata, "Orang gila she Lai benar gagah!"
Lai Sian berdiri melototkan matanya. "Kalian ini datang-datang mengacau. Mau apa sekarang?"
Han Sin segera maju menjura dan berkata hormat, "Harap Lai-enghiong suka memaafkan kami.
Sebetulnya kami datang untuk mohon pertolonganmu agar suka menyembuhkan luka di kaki
monyetku ini."
Lai Sian membuang ludah. "Huh, monyet sialan! Aku suka mengumpulkan dan memelihara
binatang-binatang hutan, karena binatang-binatang itu jauh lebih baik dari pada manusia-manusia.
Monyet ini berbeda dengan monyet biasa, gerakan-gerakannya seperti mengandung ilmu silat. Aku
berusaha menangkapnya, namun gagal. Terpaksa kulukai dia. Eh, muncul siluman wanita cantik
membelanya. Kiranya monyet ini siluman!"
"Harap lo-enghiong suka bermurah hati dan memaafkan monyetku ini. Berilah obat, Lai-enghiong."
Kakek itu tertawa mengejek. "Di du?nia ini mana ada obat dapat menyembuhkan, kau mau apa?"
Tiba-tiba Lie Ko Sianseng tertawa bergelak, membuat Han Sin menjadi mendongkol. Orang tidak
mau mengobati monyetnya, kenapa tukang catut ini malah tertawa bergelak"
"Ha ha ha, saudara Cia Han Sin, percuma saja kau minta dia mengobati. 0rang pendek cebol macam
si gila ini, mana bisa mengobati" Ha ha, Lai Sian. Bilang saja kau tidak becus, kenapa mesti aksiaksian
bilang tidak mau?"
Han Sin menjadi geli hatinya. Tahulah ia sekarang akan kelihaian si Saudagar ini, yang jelas
mempergunakan siasat memanaskan hati orang cebol yang aneh itu. Benar saja, Lai Sian
melototkan matanya sampai hampir meloncat keluar dari pelupuk matanya, lalu ia membentak,
"Tukang catut busuk! Siapa percaya omonganmu yang bau" Monyet ini aku yang melukainya, masa
aku tidak dapat menyembuhkannya?"
"Ha ha ha, omong sih gampang! Tapi buktinya, dong! Kalau kau sudah benar-benar bisa mengobati
sampai sembuh, aku berani bertaruh kepala!"
Kaget sekali hati Han Sin mendengar ini. Apa Lie Ko Sianseng sudah menjadi gila" Masa
mempertaruhkan kepalanya! Akan tetapi Lai Sian kelihatan girang sekali.
"Baik, baik .....! Kau lihat saja, aku akan menyembuhkannya dalam sekejap mata. Dan bocah ini
menjadi saksi akan janji taruhanmu."
Seperti seekor tikus, kakek cebol itu lalu menyelinap memasuki rumahnya yang sudah berantakan,
mencari ke sana ke mari, akhirnya membawa sebuah peti kecil. Dibukanya peti itu, dikeluarkannya
beberapa bungkus obat. Kemudian ia membuka balutan kaki Siauw-ong, menggunakan sebatang
jarum perak menusuk sana-sini, lalu tampaklah darah hitam keluar dari luka-luka di kedua kaki itu.
Han Sin memegangi Siauw-ong agar monyet yang marah-marah itu tidak banyak bergerak.
Kemudian Lai Sian menaruh obat bubuk pada luka-luka itu dan ...... Siauw-ong tidak memberontak
lagi, kelihatannya enak tidak sakit lagi. Warna hitam di kedua kakinya lenyap seketika! Ketika Han
Sin melepaskan pegangannya, monyet itu meloncat loncat, cecowetan akhirnya melompat ke atas
pundak Han Sin. Dia telah sembuh sama sekali!
Han Sin menjadi tegang hatinya ketika Lai Sian mengeluarkan sebatang golok dan menghadapi Lie
Ko Sianseng. "Heh heh heh, tukang catut, hayo kau berikan kepalamu kepadaku!"
Tiba-tiba Lie Ko Sianseng tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat ke kiri dan tahu-tahu ia telah
menangkap seekor kelinci, dipegangnya pada kedua telinganya. Entah darimana ia menyulapnya,
tahu-tahu ia telah memegang sebatang pedang pendek yang agaknya ia cabut dari balik jubahnya
yang panjang itu, diayunkannya pedang dan .......... sekali tabas saja putuslah leher kelinci yang
masih menetes-netes darahnya itu, lalu diacungkannya ke depan muka Lai Sian.
"Nih taruhanku, ambillah!" la melemparkan kepala kelinci kepada Lai Sian dengan pengerahan
tenaga. Baiknya Lai Sian cepat-cepat miringkan kepala sehingga muka kepala kelinci itu tidak
"mencium" mukanya. Ketika ia mengangkat kepala, ia melihat Lie Ko Sianseng sudah menarik
tangan Han Sin dan berlari-lari pergi dari situ.
"Curang!Tak tahu malu! Kau tadi mempertaruhkan kepala!" Lai Sian lari mengejar.
"Eh, otak miring. Aku tadi mempertaruhkan kepala, tapi siapa bilang bahwa yang kupertaruhkan
adalah kepalaku" Aku hanya bilang kepala, dan yang kumaksudkan adalah kepala kelinci itu. Sudah
lunas!" Lai Sian berhenti mengejar, berdiri bengong. Betul juga kata-kata saudagar yang licik itu. "Setan,
kenapa kau tadi tidak bilang kepala kelinci?" Ia membentak dengan suara hampir menangis.
"Siapa salah" Kenapa kau tadi tidak tanya kepala apa yang kumaksudkan?" jawab Lie Ko Sianseng
sambil tertawa.
Han Sin menjadi geli hatinya. Kalau saja tadi Lie Ko Sianseng berjanji mempertaruhkan kepalanya,
tentu dia tidak akan membiarkan Lie Ko Sianseng melanggar janjinya. Akan tetapi sekarang
ternyata bahwa saudagar itu tidak menipu, hanya menggunakan siasat, tidak melanggar janji, maka
ia yang ditarik diajak lari hanya tertawa-tawa dan ikut berlari pergi. Dari jauh terdengar Lai Sian
memaki maki dan malahan menangis!
**** Siapa yang pernah naik kereta ditarik kuda yang berjalan di atas jalan berbatu-batu di tempat yang
amat sunyi, tentu akan mengalami kesenangan yang nikmat. Suara kaki kuda, beradunya besi tapal
kaki kuda dengan batu, menimbulkan irama yang amat sedap didengar, apa lagi di tempat sunyi.
Hal ini adalah karena jalannya empat buah kaki kuda itu amat tetap, menimbulkan irama tenang.
"Plik .... plak ..... plak keteplik-keteplak .... plik ..... plak"
Enak sekali irama itu sehingga tidak jarang tukang-tukang gerobak kuda tertidur sambil memegangi
kendali, lenggat lenggut dibuai irama suara kaki kuda.
Di atas jalan pegunungan berbatu, tempat yang amat sunyi di kaki Gunung Lu-liang-san, terdengar
pula irama ini, memecahkan kesunyian di sekelilingnya. Udara cerah.
Segera terlihat kuda yang menarik sebuah gerobak kecil dan orang akan tertawa kalau melihatnya.
Memang pemandangan yang lucu. Kusir gerobak ini bukanlah manusia, melainkan seekor monyet
kecil yang duduk di atap gerobak! Monyet itu dengan gaya yang lucu memegangi kendali, nyengarnyengir
sambil mengeluarkan bunyi, "Ckk .... ckk .... ckk ...." dari mulut yang diruncingkan. Dia ini
bukan lain adalah Siauw-ong, monyet peliharaan Han Sin yang sudah sembuh sama sekali dari pada
luka di kakinya.
Han Sin duduk di dalam gerobak, di depan, dan di belakangnya duduklah si gendut Lie Ko
Sianseng. Hati Han Sin agak gembira, pertama karena monyetnya sudah ditemukan dan sudah
sembuh, kedua kalinya karena setelah jauh dari Bi Eng, ia tidak lagi menderita rasa tak enak
berhubung dengan pengalamannya baru-baru ini dengan Tilana. Akan tetapi, harus diakuinya
bahwa ia merasa amat rindu kepada Bi Eng.
Lie Ko Sianseng amat ramah dan baik padanya, dan kakek ini yang duduk di belakangnya tiada
hentinya bicara dan mentertawakan Lai Sian.
"Aku amat berterima kasih kepadamu, lo-enghiong. Kalau tidak ada kau yang membawaku kepada
kakek cebol itu, entah apa jadinya dengan Siauw-ong."
"Lai Sian itu memang lihai sekali. Semenjak kecil ia suka menangkapi binatang-binatang, bahkan
ular-ular berbisa menjadi permainannya. la tahu betul akan racun-racun segala macam ular."
Tahulah kini Han Sin mengapa kakek cebol ini dapat menggunakan racun yang dapat meracuni
Siauw-ong, agaknya racun itu hebat sekali, lebih hebat dari pada racun Pek-hiat-sin-coa. Diam-diam
ia bergidik. Kepandaian si cebol itu tidak seberapa hebat, akan tetapi pengertiannya tentang
penggunaan racun benar-benar berbahaya.
"Kau lebih lihai dari padanya, lo-enghiong. Budimu besar sekali, bahkan boleh dibilang Siauw-ong
berhutang nyawa kepadamu."
"Ha ha ha, manusia hidup harus saling tolong-menolong, orang muda. Aku dapat menolongmu,
tentu kaupun dapat menolongku, bukan?"
Han Sin tergerak hatinya. Teringat ia akan pesanan Li Hoa, bahwa ia harus berhati-hati menghadapi
kakek ini. Ia sudah tahu akan kecerdikan saudagar ini, yang demikian lihai sehingga dapat
mempermainkan Lai Sian dengan tipu muslihatnya.
"Apakah yang dapat kulakukan untukmu, lo-enghiong" Kalau saja aku dapat melakukannya tentu
akan kuusahakan membantumu."
Lie Ko Sianseng terbatuk-batuk kecil di belakang Han Sin. "Orang muda pernahkah kau mendengar
tentang ...... surat wasiat Lie Cu Seng .......?"
Berdebar jantung Han Sin. Eh, kiranya orang ini menuju ke situ! Beberapa tahun yang lalu, banyak
orang kang-ouw mendesaknya untuk memperebutkan surat wasiat itu yang berisi pelajaran Ilmu
Silat Thian-po-cin-keng! Dan kiranya kakek ini menolong Siauw-ong dengan maksud ini pula.
Herannya bagaimana kakek ini tahu akan segala hal yang terjadi di dunia kang-ouw.
Akan tetapi Han Sin pura-pura bersikap tenang saja. "Aku tahu, lo-enghiong, bahkan surat wasiat
itu adalah peninggalan ayahku Cia Sun kepadaku. Kenapa kau menanyakannya?"
"Heh heh heh, tidak apa-apa. Aku adalah seorang saudagar, banyak sudah aku menjualbelikan
barang-barang aneh dan indah. Orang muda, maukah kau menjual kitab itu kepadaku" Lima ratus
tael perak kubeli ..... eh, seorang pemuda banyak membutuhkan uang, biar kubayar seribu tael
perak! Bagaimana?"
Han Sin menoleh sebentar sambil tersenyum. "Sayang sekali, lo-enghiong. Kitab itu sudah kubakar
di dalam guha, karena banyak orang jahat hendak merampasnya dari tanganku."
"Apa ......?" Suara yang tadi sabar itu sekarang menjadi kasar, dan tiba-tiba Han Sin merasa betapa
jalan darah Tiong cu-hiat di belakang lehernya dan jalan darah Thai-yang-hiat di punggungnya telah
disentuh oleh ujung-ujung jari tangan! Dua jalan darah itu adalah jalan-jalan darah terpenting dan
penyerangan totokan yang tepat akan dapat mendatangkan maut. 0rang telah "menodongnya"
dengan ancaman mati! Akan tetapi ia dapat menekan perasaannya dan bersikap tenang sekali.
"Orang muda, kau tentu tidak begitu bodoh untuk membakar kitab tanpa membaca isinya. Kau tentu
sudah membacanya, bukan?"
Han Sin mengangguk. "Tentu saja!" Pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan yang mengancam
jalan darahnya gemetar.
"Dan isinya tentu pelajaran ilmu silat dan ilmu perang, bukan?" kini suara kakek itu bergemetar
pula malah. Kembali Han Sin mengangguk. "Bagaimana kau bisa tahu?" Diam-diam Han Sin tersenyum lagi.
Jari-jari tangan itu makin menggigil dan makin menekan tubuhnya.
"Orang muda ..... kau tadi bilang hendak membalas budi padaku, ....... nah, sekarang kutagih. Aku
minta kepadamu supaya kau mengajarkan isi kitab itu seluruhnya kepadaku sebagai pembalasan
jasaku terhadap kau dan monyetmu" Kini Han Sin merasa betul betapa jari-jari tangan itu sudah
menekan keras maka maklumlah ia bahwa kakek ini sebenarnya bukan meminta, melainkan
memaksa dengan ancaman maut! Akan tetapi ia tetap tenang.
"Maaf, lo-enghiong. Permintaan ini tak dapat kupenuhi. Tadi kusanggupi permintaan yang kiranya
dapat kulakukan, akan tetapi hal ini tak mungkin dapat kulakukan. Isi kitab merupakan rahasia
bagiku, tak boleh diberitahukan kepada siapapun juga."
"Orang muda tak ingat budi! Kau harus menuruti kemauanku, karena nyawamu berada di ujung
jariku." Han Sin tertawa geli. "Ha ha, kau aneh sekali, lo-enghiong. Mana bisa nyawa orang berada di ujung
jarimu" Nyawaku berada di tangan Tuhan, dan kalau Tuhan belum menghendakinya, siapapun juga
takkan mungkin dapat membunuhku!"
"Bodoh kau! Sekali saja jari-jari tanganku menotok, nyawamu akan melayang!"
"Kau cobalah! Apa kau merasa lebih berkuasa dari pada Tuhan?" Han Sin mengejek.
Lie Ko Sianseng menjadi gemas. Ia tidak bermaksud membunuh pemuda ini, akan tetapi karena
melihat Han Sin berkeras kepala tidak mau memberikan isi kitab kepadanya, cepat ia lalu menotok
jalan darah di punggung pemuda itu, bukan untuk membunuh, hanya untuk membikin pemuda itu
lemas agar ia dapat memaksanya. Ia mengerahkan tenaga ke arah ujung jari telunjuk dan jari tengah
dari tangan kirinya, lalu menusuk, "Takk!" Lie Ko Sian?seng meringis! Tubuh itu tidak bergeming,
malah jari-jari tangannya terasa sakit-sakit seperti menusuk baja saja!
Tanpa menoleh Han Sin tersenyum. Kalau saja tadi Lie Ko Sianseng menusuk jalan darah kematian,
tentu pemuda ini takkan tinggal diam dan memberi hajaran. Akan tetapi, mendapat kenyataan
bahwa yang ditotok hanya jalan darah yang tidak berbahaya, pemuda ini yang berhati welas asih,
memaafkan perbuatan itu, apa lagi karena dia memang berterima kasih kepada kakek ini.
Di lain pihak, kakek saudagar itu merasa penasaran dan heran sekali. Sekali lagi tangannya
menotok, kini di jalan darah belakang pundak untuk membuat pemuda itu kaku tanpa mengancam
nyawanya. "Cusssss ........!" Berteriaklah kakek itu saking kagetnya. Jari tangannya menusuk daging yang
lunak dan empuk, akan tetapi yang mengandung hawa dingin membuat tulang-tulang jarinya serasa
tertusuk ratusan jarum kecil-kecil. la cepat menarik tangannya, meringis kesakitan, akan tetapi
memaksa diri tertawa bergelak!
"Ha ha, he he he ?"! Tak salah sedikitpun juga dugaanku! Ternyata kau telah menjadi ahli waris
ilmu hebat dari Tat Mo Couwsu .....! Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!" Kakek ini memang
seorang yang memiliki kecerdikan luar biasa, dan perhitungan masak seperti lazimnya seorang
saudagar yang pandai. Karena itulah maka ia dijuluki Swi-poa-ong (si Raja Swipoa).
Seperti diketahui, swipoa adalah alat menghitung yang amat praktis dan cepat serta tepat, maka
julukan Raja Swipoa ini dapat membayangkan betapa cerdik dan masak perhitungannya dalam
melakukan segala macam hal. Ia memang sejak dulu merindukan kitab peninggalan Lie Cu Seng,
maka bertemu dengan Han Sin tentu saja timbul keinginan hatinya untuk memiliki kitab itu atau
setidaknya isinya.
Inilah sebabnya maka ia sengaja menolong pengobatan Siauw-ong dengan resiko besar, kemudian
menuntut pembalasan budi dari Han Sin. Dasar ia cerdik, ia tidak mau mengancam Han Sin dengan
totokan maut. Sekarang melihat bahwa ia tidak berdaya menghadapi pemuda yang ternyata telah
memiliki kepandaian luar biasa ini, ia mengganti siasat.
"Kepandaian manusia tidak ada artinya kalau keliru mempergunakannya, lo enghiong. Pula, sampai
di mana batas ilmu" Tiada habisnya dan setiap orang manusia memiliki, keistimewaan masingmasing,
maka aku tak perlu mengiri terhadap orang lain ......." Dengan ucapan ini Han Sin
menyindir kakek itu.
"Ha ha ha, kau betul ..... kau betul ......! Benar-benar hebat dan pantas sekali menjadi putera Ciataihiap.
Tampan halus, lihai dan berbudi baik, suka menolong dan ingat budi ........."
Diam-diam Han Sin mendongkol sekali. Ia sekarang dapat merasakan kelihaian kakek ini. Tipu
muslihat adalah lebih berbahaya dari pada pukulan yang ampuh, karena ilmu silat dapat dilihat dan
dihadapi, dapat dilawan. Sebaliknya tipu muslihat sukar sekali diduga apa macamnya dan dari mana


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petualang Asmara 24 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Anak Berandalan 10

Cari Blog Ini