Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
dan hidung belang" Apakah ada hubungan dengan peristiwa Tilana dahulu"
Bibir Bi Eng bergerak-gerak lagi berbisik-bisik dengan suara menyeramkan.
".... sudah tahu aku bukan adiknya masih berpura-pura .... mencari kesempatan mempermainkanku
.... musuh besar yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya .... laki-laki mata keranjang,
mempermainkan Kiok Hwa, sekarang punya pacar lain .... keparat ....!"
Untuk sedetik Han Sin terheran. Mempermainkan Kiok Hwa ...." Tapi pikirannya yang cerdik
segera dapat menerkanya. Agaknya Tilana yang disebut Kiok Hwa itu. Mungkin nama aselinya,
nama puteri Ang-jiu Toanio adalah Kiok Hwa!
"Lebih baik melihat kau mampus!" Bi Eng mengangkat pedangnya, siap untuk menikam dada Han
Sin. Pemuda ini sama sekali tidak merasa takut. Sama sekali tidak mau melawan. Terlalu hancur
hatinya untuk mengingat tentang keselamatannya. Biarlah ia mati di tangan Bi Eng. Untuk apa
hidup kalau Bi Eng sudah membencinya sedemikian rupa" Jelas sekarang, Bi Eng sudah bertemu
dengan Balita, sudah tahu bahwa dia puteri Balita. Sekarang Bi Eng hendak membalas dendam
ibunya karena perbuatan Cia Sun. Selain itu, agaknya Bi Eng sudah membencinya karena ....
Tilana! Dan Han Sin tak dapat menyangkal pula. Biarlah dia mati di tangan Bi Eng. Han Sin
merapatkan matanya dan tersenyum. Aku rela mati di tanganmu, kekasihku!
Tapi ujung pedang yang runcing tidak datang-datang. Malah terdengar jerit tertahan disusul tangis.
".... aku tak bisa ..... tak bisa membunuhnya .... ahh ......"
Han Sin membuka matanya, melihat Bi Eng menutupi muka sambil menangis terisak-isak,
pedangnya tergantung di tangan kanan, tangan kiri menutup muka!
"Bi Eng ...." Han Sin memanggil lirih.
Gadis itu terkejut, membuka tangannya. Untuk sesaat dua pasang mata bertemu. Mata Han Sin
memancarkan cahaya lembut dan mesra, penuh cinta kasih, mata Bi Eng terbelalak, kaget, malu,
duka dan marah. Kemudian gadis itu memutar tubuhnya dan meloncat ke arah jendela.
"Bi Eng ..... aku cinta padamu ....!" Han Sin berkata sambil bergerak bangun. Akan tetapi Bi Eng
hanya memperdengarkan sedu-sedan mendengar kata-kata ini dan menghilang di dalam gelap.
Han Sin meloncat ke jendela, hanya menghadapi malam yang hitam. Tidak nampak lagi bayangan
Bi Eng, juga tidak nampak bayangan Hoa-ji. Cepat ia mengambil pedang dan pakaian, lalu
melompat keluar dan mencari dua orang gadis itu, atau lebih tepat lagi, mengejar dan mencari Bi
Eng, karena dalam saat itu, kekhawatirannya akan Hoa-ji dikalahkan oleh keinginannya untuk
mengejar dan bicara dengan Bi Eng.
**** Sampai menjelang fajar Bi Eng, yang sekarang menggunakan nama Tilana itu, berlari-lari dari Tatung
sambil menangis sepanjang jalan.
"Aku tidak tega membunuhnya ..... dia tersenyum, ah .... Sin-ko, bagaimana aku .... tega
membunuhmu ......?" demikian terdengar ucapannya di antara isak tangisnya. Setelah tiba di sebuah
hutan di selatan kota Ta-tung, ia segera memasuki hutan itu. Tentu saja Bi Eng sama sekali tidak
pernah menduga bahwa orang yang hampir dibunuhnya, yang dikenangnya sepanjang perjalanan
itu, sejak tadi mengikutinya dari jauh.
Matahari telah mulai menerangi permukaan bumi ketika Bi Eng tiba di sebuah tempat terbuka,
tempat indah di mana tumbuh pohon bambu di samping dinding gunung batu yang menjulang
tinggi. Di bawah pohon-pohon bambu itu, duduklah seorang pemuda di atas batu licin bersih.
Pemuda ini berdiri sambil tersenyum ketika melihat Bi Eng datang. Seekor monyet melompat dan
hinggap di pundak Bi Eng.
"Kau baru datang" Duduklah, tentu kau lelah," kata pemuda tampan itu yang bukan lain adalah
Bhok-kongcu atau Bhok Kian Teng, juga belum lama ini disebut Pangeran Galdan.
Bi Eng menjatuhkan dirinya di atas rumput, mengusap kepala Siauw-ong monyet itu, lalu menarik
napas panjang. Diam-diam Bhok-kongcu melihat bekas air mata di sepanjang pipi gadis itu, maka
sambil memandang tajam pemuda itu bertanya,
"Bagaimana, adik Tilana. Selesaikah tugasmu" Berhasilkah kau membunuh musuh besarmu?"
berkata demikian pemuda ini duduk di dekat Bi Eng, lalu memegang lengan gadis itu dengan sikap
mesra. Bi Eng menarik tangannya seperti tidak sengaja, akan tetapi ketika pemuda itu memegang
lagi ia menariknya dengan keras.
"Sudah berkali-kali kukatakan bahwa aku tak suka kau pegang-pegang, harap kau jangan
memaksa!" Bhok-kongcu tersenyum, memperlihatkan giginya yang berderet rapi dan putih. "Adik Tilana, kau
tidak tahu betapa hatiku selalu penuh olehmu, betapa aku amat mencintaimu dan ingin selalu
berdekatan denganmu. Di antara tunangan dan calon suami isteri yang sudah disyahkan oleh orang
tua masing-masing, apa sih halangannya kalau hanya berpegang tangan?"
Sepasang mata gadis itu mengeluarkan sinar marah. "Memang ibuku yang menerima lamaranmu,
akan tetapi bukan aku! Aku tidak membantah karena tidak mau menyusahkan hati ibu, kau tahu
akan hal ini dan kau sudah berjanji akan memaklumi isi hatiku ini asal aku tidak memusuhimu.
Apakah kau hendak melanggar janji?"
Bhok-kongcu menghela napas. "Alangkah kerasnya hatimu, adik Tilana. Kapankah kau dapat
bersikap lebih baik kepadaku" Biarlah aku sabar menanti, akan tetapi sedikitnya berlakulah manis
kepadaku ...."
"Sikapku tergantung pada sikapmu sendiri. Jangan ceriwis, jangan kurang ajar ...."
Bhok-kongcu tertawa masam. "Baiklah, aku akan bersikap seperti anak yang baik. Toh akhirnya
kau menjadi punyaku. Eh, adikku yang manis, bagaimana dengan tugasmu malam tadi" Berhasilkah
..... ?" Bi Eng menggeleng kepala. "Tak dapat aku membunuhnya ....."
"Hee ...?" Tak dapat membunuh musuh besar, anak orang yang sudah menghina ibumu" Tilana, .....
bagaimana ini" Apakah kau sudah berhasil memasuki kamarnya" Betul tidak bahwa dia tidur
bersama seorang gadis cantik?"
Bi Eng mengertak gigi, matanya memancarkan cahaya kemarahan. "Betul ....., dia bedebah, mata
keranjang! Benar-benar aku malu kalau mengenangkan hal itu ........ agaknya bukan perempuan
baik. Malam-malam keluar dari kamar dan pergi tanpa pamit, meninggalkan dia sendiri. Aku
berhasil masuk ke kamarnya setelah perempuan itu minggat, dia sedang tidur dan aku .... aku .... ah,
tak tega aku membunuhnya .... bagaimana aku bisa membunuh seorang yang sejak kecil kupandang
sebagai kakak kandungku .....?"" Gadis itu lalu menangis.
Tiba-tiba Bhok-kongcu nampak marah sekali. "Kau .... kau mencintai dia! Celaka! Kau malah jatuh
cinta kepadanya, ..... setan!"
Bi Eng meloncat berdiri serentak, sampai membuat Siauw-ong kaget sekali. "Tutup mulutmu!
Jangan kau bicara sembarangan!" Gadis itu berdiri tegak, mukanya pucat, suaranya gemetar.
"Ha ha ha, siapa bicara sembarangan" Kau tadi nampak marah-marah ketika bicara tentang
perempuan di kamarnya, tanda bahwa kau cemburu. Hanya orang yang mencinta saja bisa cemburu.
Kau tidak tega membunuhnya. Hemm, apa lagi artinya kalau bukan kau sudah jatuh hati kepadanya!
Tilana, jangan kau main-main. Kau adalah tunanganku, calon isteriku. Aku yang tidak
membolehkan kau tergila-gila kepada laki-laki lain. Kupegang tanganmu saja kau tidak suka dan
kau .... kau tergila-gila kepadanya. Mulai sekarang jangan bertingkah lagi, kau harus menjadi
isteriku. Kau harus ikut dengan aku." Setelah berkata demikian, tiba-tiba pemuda itu menggerakkan
tubuhnya dan di lain saat Bi Eng sudah dipeluknya!
Bi Eng menjerit dan memberontak, tapi mana bisa dia melawan kekuatan Bhok-kongcu. Pada saat
itu Bhok-kongcu mengeluarkan seruan kesakitan dan terpaksa melepaskan pelukannya. Kesempatan
ini dipergunakan Bi Eng meronta dan melompat ke depan menjauhkan diri. Ternyata Siauw-ong
tadi "turun tangan" menyerang dan menggigit pundak Bhok-kongcu ketika melihat nonanya
diganggu orang.
"Monyet keparat!" Bhok-kongcu membentak marah dan maju memukul monyet itu. Akan tetapi
Siauw-ong bukan monyet biasa, cepat mengelak dan meloncat ke belakang Bi Eng untuk
berlindung. Sementara itu, Bi Eng sudah marah sekali. Tanpa pikir panjang lagi ia lalu
menggunakan kepalan tangannya, menyerang Bhok-kongcu dengan Ilmu Silat Liap-hong-sin-hoat,
malah ketika Bhok-kongcu mendesaknya dengan ilmu silatnya yang lebih kuat, gadis ini
menggunakan beberapa jurus dari Thian-po-cin-keng yang pernah ia pelajari dari Han Sin.
"Kau hendak melawan tunanganmu?" Bhok-kongcu membentak. "Tunggu, kelak kuberitahukan
kepada Balita, tentu kau akan dihajar!"
Akan tetapi Bi Eng yang sudah marah tidak bisa ditakut-takuti lagi, terus menerjang dengan nekat.
Betapapun juga, mana bisa dia melawan Bhok-kongcu yang amat lihai, yang tingkat kepandaiannya
jauh lebih tinggi dari pada gadis itu" Segera ia terdesak mundur. Siauw-ong maklum akan bahaya
yang dihadapi nonanya, maka sambil memekik-mekik monyet inipun maju membantu Bi Eng.
Namun percuma saja, Siauw-ong bahkan dua kali kena ditendang oleh kongcu itu sampai
bergulingan. Dasar monyet berani mati dan setia, begitu bangun ia melawan pula sambil memekikmekik
seperti orang memaki-maki. Bi Eng juga melawan dengan nekat, malah kini gadis itu tidak
segan-segan menggunakan pedangnya.
"Kau mengajak mati-matian" Keparat!" Bhok-kongcu membentak marah. Ketika pedang Bi Eng
berkelebat menusuk dadanya dengan gerakan sungguh-sungguh dalam serangan maut, pemuda ini
miringkan tubuh, tangan kirinya bergerak menyambar pedang, tangan kanannya bergerak pula
menangkap pergelangan lengan Bi Eng. Di lain saat, Bi Eng tak dapat bergerak pula, pedangnya
terlepas dan ia tertangkap!
"Ha ha ha, manisku, apa kau mau memberontak lagi" Benar-benar kau seekor kuda betina yang
binal!" Sambil tertawa-tawa Bhok-kongcu menowel pipi Bi Eng. Gadis itu bukan main marahnya,
marah dan takut karena pemuda cabul itu agaknya hendak berbuat lebih kurang ajar lagi. Siauw-ong
maju hendak menolong, akan tetapi sebuah tendangan membuat monyet itu terguling-guling sampai
jauh! "Toloonggg .....!" Bi Eng tak dapat menahan ketakutannya melihat Bhok-kong?cu merangkulnya,
sampai mengeluarkan teriakan minta tolong ini.
"Plakk!" Sebuah telapak tangan menepuk pundak kanan Bhok-kongcu, membuat pemuda itu merasa
lengan kanannya lemas dan lumpuh dan terpaksa ia tak dapat menahan ketika Bi Eng meronta dan
melompat menjauhkan diri.
Dengan kemarahan meluap-luap Bhok-kongcu memutar tubuh dan ia berhadapan muka dengan ....
Cia Han Sin! Seketika Bhok-kongcu menjadi pucat mukanya.
"Kau ....?""
Han Sin tersenyum. "Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng, nafsu angkara murkamu telah
membawa bangsamu ke kehancuran. Kau tidak bertobat dan hidup baik-baik menebus dosa, malah
kau menambah dosamu dengan perbuatan-perbuatan yang makin lama makin jahat dan tak tahu
malu." "Kau .... kau hendak membunuhku .....?"" Pangeran Mongol itu nampak ketakutan.
Han Sin tersenyum lebar. "Kiranya sudah sepatutnya kalau aku melakukan hal itu. Sudah berapa
kali kau berusaha membunuhku" Hanya karena aku tidak sudi mengikuti jejak hidupmu, maka aku
belum membunuhmu sampai sekarang. Akan tetapi kali ini ......."
Han Sin tak dapat melanjutkan kata-katanya karena secara curang dan tiba-tiba Bhok Kian Teng
sudah mengirim serangannya. Akhir-akhir ini ia sudah mempelajari Hek-tok-ciang (Tangan Racun
Hitam) dari ayahnya, akan tetapi dasar dalam kecerdikan ia lebih unggul dari pada Pak-thian-tok, ia
dapat mengusahakan sedemikian rupa dengan segala macam obat penggosok kedua lengannya
sehingga biarpun sudah berhasil memenuhi kedua lengan tangannya dengan hawa beracun dari
Hek-tok-ciang, namun kulit kedua lengannya tetap putih mulus, tidak seperti kedua lengan Pakthiantok yang menjadi hitam hangus kalau mengeluarkan ilmu yang dahsyat ini!
Han Sin cepat mengelak dan di lain saat kedua orang muda itu sudah bertempur mati-matian dengan
tangan kosong. Kaget juga hati Han Sin ketika mendapat kenyataan betapa sambaran kedua tangan
pemuda Mongol itu mengandung hawa aneh yang selain kuat, juga seperti mengandung hawa
beracun yang dahsyat. Bau amis menyerang hidungnya tiap kali tangan pemuda lawannya itu
menyambar, padahal pada kedua lengan itu ia tidak melihat tanda-tanda bahwa lawannya
menggunakan pukulan beracun.
"Kau memang manusia keji!" bentaknya dan dengan pukulan-pukulan dari Thian-po-cin-keng,
sebentar saja ia sudah berhasil mendesak Bhok-kongcu sampai Pangeran Mongol itu tak mampu
membalas, hanya main mundur, main kelit dan loncat saja. Siauw-ong terdengar memekik-mekik
gembira ketika monyet ini melihat Han Sin mendesak lawannya. Akan tetapi, tiba-tiba teriakan
girangnya terhenti ketika Bi Eng menarik tangannya dan membawa monyet itu lari cepat
meninggalkan tempat itu.
"Bi Eng .....!" Han Sin terpaksa menunda desakannya kepada Bhok-kongcu ketika melihat Bi Eng
lari pergi. Ia sedang menengok ke arah Bi Eng dan hal ini dipergunakan oleh Bhok-kongcu yang
amat curang untuk mengirim serangan lagi, kini menggunakan sebuah kipas yang beracun.
Serangannya cepat dan dahsyat, mengarah lambung!
"Pengecut curang!" Han Sin terpaksa membalikkan tubuh dan menanti kipas itu dekat, tiba-tiba
tangannya bergerak menyabet dan ..... "Prakk!" Kipas itu hancur berkeping-keping terkena sabetan
jari-jari tangan Han Sin! Bhok-kongcu terhuyung-huyung mundur dengan muka pucat. Han Sin
yang sudah marah sekali melangkah maju.
Mendadak sekali sebuah lengan yang amat panjang tahu-tahu menyelonong ke tempat pertempuran
dan mencengkeram pundak Han Sin yang sedang mendesak Bhok-kongcu. Pemuda ini maklum
bahwa si jangkung sudah muncul lagi. Ia marah sekali dan cepat menggunakan tangannya
menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Menurut perhitungan Han Sin, sekali tangkisannya ini
tentu akan mematahkan tulang lengan si jangkung.
Akan tetapi, tiba-tiba lengan yang agaknya bisa mulur mengkeret seperti karet itu tiba-tiba ditarik
menjadi pendek sehingga tangkisan Han Sin tidak mengenai sasaran. Dan pada saat itu, si jangkung
sudah menghadang di depannya, bersama dua orang lain yang segera ia kenal baik karena mereka
itu bukan lain adalah dua orang raksasa kembar yang pernah mengeroyoknya dulu, yaitu pembantupembantu
Pak-thian-tok Bhok Hong. Sekaligus ia menghadapi tiga orang lawan yang aneh dan
tinggi ilmu silatnya.
Kalau aku tak dapat menewaskan tiga orang ini, tak mungkin dapat menangkap Bhok Kian Teng,
pikir Han Sin yang cepat melakukan serangan-serangan kilat. Tiga orang lawannya juga mendesak
maju dan terjadilah pertempuran yang amat hebat.
Han Sin benar seorang pemuda berjiwa gagah. Melihat tiga orang lawannya bertangan kosong,
iapun tidak mau mengeluarkan Im-yang-kiam yang terbelit di pinggangnya. Iapun melawan dengan
tangan kosong! Malah timbul kegembiraannya karena sekarang ia mendapat kesempatan menguji
ilmu silatnya dengan ilmu silat asing yang tak pernah dilihatnya. Dan benar-benar ia mendapatkan
kenyataan bahwa ilmu silat tiga orang itu benar-benar aneh.
Si jangkung memiliki ilmu silat seperti dua ekor ular yang menyambar dari atas dan bawah, yaitu
kedua lengan tangannya yang panjang dan dapat mulur mengkerut! Adapun sepasang raksasa itu,
selain bertenaga besar luar biasa, juga ternyata merupakan ahli-ahli ilmu silat semacam Ilmu Silat
Houw-jiauw-kang (Cakar Harimau) atau Eng-jiauw-kang (Cakar Garuda) yang mengutamakan
gerakan mencengkeram, menangkap, dan membanting.
Amat berbahaya kalau sampai tertangkap oleh mereka, sungguhpun yang menangkap itu hanyalah
dua buah ibu jari dari tangan kanan kiri. Benar-benar aneh dan sukar dipercaya bagaimana orang
yang hanya memiliki dua buah jari kanan kiri dapat mempelajari ilmu silat yang mengutamakan
mencengkeram dan menangkap!
Setelah melawan tiga orang ini sambil diam-diam memperhatikan ilmu silat mereka, Han Sin
mendapat kenyataan bahwa dalam hal menyerang mereka itu tidak begitu berbahaya, akan tetapi
pertahanan mereka benar-benar amat mengagumkan. Ia sudah membalas dengan beberapa jurus dari
Thian-po-cin-keng akan tetapi setiap kali serangannya akan mengenai sasaran, tentu seorang di
antara mereka dapat menolong kawan.
Ternyata mereka itu dapat bekerja sama secara baik dan teratur. Seakan-akan mereka itu melakukan
siasat dalam barisan. Benar-benar amat mengagumkan dan kepandaian mereka ini saja sudah
membangkitkan rasa simpati di hati Han Sin yang menjadi tidak tega untuk membunuh mereka!
"Kalian pergilah, aku tidak bermusuhan dengan kalian!" katanya dalam bahasa Mongol. Hati Han
Sin sudah amat kecewa melihat bahwa selain Bi Eng yang sudah pergi entah ke mana, juga Bhok
kongcu sudah tidak kelihatan lagi mata hidungnya. Kongcu yang amat curang dan cerdik itu
ternyata sudah menggunakan kesempatan tadi untuk melarikan diri secara diam-diam.
Akan tetapi tiga orang pembantu Bhok-kongcu itu mana mau menyudahi pertempuran itu begitu
saja" Mereka adalah tokoh-tokoh besar dari dunia utara dan barat, sekarang mengeroyok seorang
pemuda tak dapat menang, benar-benar keterlaluan dan penasaran sekali!
"Belum ada yang kalah atau menang, mana bisa berhenti?" seru si jangkung yang suaranya tinggi
kecil seperti bentuk tubuhnya. Han Sin sebagai seorang ahli silat maklum akan perasaan mereka ini,
maka cepat ia lalu mengatur langkah langkahnya dengan Ilmu Silat Thian-po-cin-keng, sedangkan
kedua tangannya lalu dikepal hanya mengeluarkan dua buah jari tangan untuk mainkan jurus-jurus
dari ilmu silat Lo-hai Hui-kiam! Bukan main hebatnya ilmu silat campuran dari dua macam ilmu
silat kelas tinggi ini. Mana bisa tiga orang itu mampu menghadapinya" Berturut-turut mereka
memekik dan roboh tertusuk jari tangan Han Sin yang hanya melukai mereka saja, tidak tega
membinasakan. Setelah mereka roboh, cepat ia meloncat pergi dan mencari Bhok-kongcu dan Bi Eng. Ia tidak tahu
ke mana mereka itu pergi, maka dengan hati berat ia lalu mencari sekehendak hatinya saja.
Kemudian, setelah tidak berhasil usahanya mencari di sekitar daerah itu, ia kembali ke Ta-tung.
**** 42. Apakah Bahagia ...."
KE MANAKAH perginya orang-orang gagah yang dulu membantu pertahanan Mancu dan
berkumpul di Ta-tung" Yong Tee yang cerdik sekali telah mengatur sehingga mereka ini ceraiberai,
ada yang ditarik ke daerah lain untuk membantu pasukan Mancu, ada pula yang diberi hadiah
dan disuruh kembali ke tempat masing-masing karena kekuatan Mongol sudah hancur. Ada pula
yang ia persilakan datang ke kota raja untuk menjadi tamu agungnya. Pendeknya, secara lihai sekali
Pangeran ini mengatur supaya para orang gagah itu tidak berkumpul menjadi satu karena mereka
melihat ancaman bahaya lain kalau orang-orang itu berkumpul menjadi satu!
Di antara mereka yang ia undang menjadi tamu agungnya adalah dua saudara Li Hoa dan Li Goat,
dan juga Phang Yan Bu. Pangeran Yong Tee maklum bahwa tiga orang muda yang gagah ini
termasuk sahabat-sahabat baik dari Bi Eng dan Han Sin oleh karena itu ia mengundang mereka ini
menjadi tamunya dan mempersilakan mereka menanti datangnya Han Sin dan Bi Eng di istananya
di kota raja. Mereka mendapat pelayanan yang amat manis dan hormat dari Yong Tee sehingga hati
orang-orang muda itu mau tidak mau tertarik dan harus mereka akui bahwa pangeran ini berbeda
dengan pembesar-pembesar lainnya, peramah dan rendah hati.
Di lain pihak, Yong Tee merasa gelisah selalu karena tidak ada berita dari Han Sin maupun Bi Eng.
Bagaimanakah keadaan Han Sin dalam mencari Hoa-ji si gadis berkedok" Ia hanya merasa gelisah
sekali, takut kalau-kalau kekasihnya itupun menjadi korban perang. Hatinya perih kalau teringat
akan pertemuan-pertemuannya dengan Hoa-ji dahulu, di taman dalam lingkungan istananya.
Pertemuan yang amat romantis, yang mesra dan juga pertemuan antara dua orang muda yang secara
rahasia dan aneh sudah saling mencinta padahal dia belum pernah melihat wajah gadis berkedok itu.
Hoa-ji yang mengajukan syarat bahwa sebelum mereka bertunangan secara syah, pangeran itu tidak
berhak membuka kedoknya dan pangeran itu dengan rendah hati dan sabar menerima syarat ini.
Secara membuta, menuturkan perasaan hatinya, Pangeran Yong Tee jatuh cinta kepada seorang
gadis yang belum pernah ia lihat wajahnya. Benar-benar aneh sekali kalau cinta sudah meracuni
hati seorang muda.
Sudah beberapa lama, setiap malam Pangeran Yong Tee duduk di dalam taman itu, mengenangkan
kekasihnya sambil mengharap-harapkan datangnya Han Sin membawa berita baik.
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada malam hari itu, malam terang bulan, pangeran inipun duduk seorang diri di dalam taman,
berkawan arak dan bunga. Ia merenung dan mukanya yang tampan nampak muram oleh
kegelisahan. Sampai lama pangeran muda itu merenung sambil menatap bulan yang tampak
bergerak dengan megah dan halusnya di antara mega-mega, seakan akan puteri juita sedang
berjalan-jalan di tengah malam.
Ia menarik napas panjang. Bulan tetap sama, semenjak dia masih kecil sampai sekarang, mungkin
sampai dia mati, sampai semua bunga di taman gugur, sampai dunia kiamat. Bulan akan tetap sama,
atau setidaknya, akan lebih lama keadaannya daripada dirinya dan segala di sekitarnya. Tanpa
disadari lagi, pangeran ini menggerakkan bibir mengucapkan kata-kata yang pada saat itu terasa di
hatinya : "Kebahagiaan, di mana kau bersembunyi"
Betulkah kata orang pandai jaman dahulu,
bahwa kebahagiaan selalu pergi kalau dicari"
Padahal selalu dalam diri bersatu"
Berhasil membasmi pemberontakan,
mana itu kegirangan" Mana itu kebahagiaan"
Aahhh, hatiku penuh kedukaan
hanya karena seorang perempuan ......."
Memang keluhan Pangeran Yong Tee ini merupakan kenyataan pahit dalam kehidupan manusia.
Manusia selalu mengejar kebahagiaan, mengkhayalkan kebahagiaan hidup yang disangkanya pasti
akan tiba apa bila maksud hati tercapai. Namun khayal tetap khayal, membuyar setiap kali di
jangkau. Maksud hati boleh terlaksana, cita-cita boleh tercapai, namun kebahagiaan" Kiranya bukan
di situ letaknya, bukan dalam terlaksananya maksud hati, bukan pula dalam tercapainya cita-cita.
Mengapa" Karena maksud hati tiada putusnya, cita-cita tiada habisnya.
Terlaksana yang satu, timbul kedua. Tercapainya yang ini, belum pula yang itu, dan begitu
seterusnya. Nafsu angkara murka inilah yang selalu menguasai hati manusia yang haus akan
kebahagiaan. Padahal tidak perlu dihauskan, karena sudah berada dalam diri sendiri, sudah bersatu
dengan diri, hanya tidak terasa bagi yang belum sadar.
Menurutkan kemauan nafsu angkara murka sama halnya dengan mengisi lubang yang tak berdasar,
tidak akan pernah tamat. Bahkan makin dituruti, makin terasa kekurangannya, makin diberi minum,
makin haus. Aneh tapi nyata. Sekali lagi, menuruti nafsu sama dengan menambah kehausan bagi
yang haus, makin diberi makin kurang!
Kalau demikian halnya, pada hakekatnya, apakah gerangan kebahagiaan" Di mana letaknya"
Dibilang jauh, amatlah jauh karena dicari sekeliling dunia takkan jumpa. Dibilang dekat, teramat
dekat karena sudah ada pada diri setiap orang. Soalnya timbul karena "dicari" itulah, menjadi sulit
dan jauh karena timbul setelah "dicari"! Inilah rahasianya. Tidak dicari dia sudah ada, kalau dicari
dia menghilang. Itulah kebahagiaan!
Tuhan bersifat Adil dan Kasih. Manusia lahir sudah membawa bahagia. Ingin melihat tinggal
membuka mata, ingin mendengar tinggal membuka telinga, semua serba menyenangkan dan
karenanya serba bahagia, penuh berkah berlimpahan. Ingin petik tinggal tanam, ingin tanam tinggal
cangkul. Tanah tersedia, tangan tersedia, air tersedia. Bayangkan kalau Tuhan meniadakan air, atau
tanah, atau tangan atau hawa! Semua takkan jadi sempurna. Tuhan Maha Sempurna Maha Kasih
dan Maha Adil. Semua lengkap bagi manusia.
Akan tetapi, kenapa tetap tidak bahagia" Karena DICARI itulah. Manusia mencari YANG TIDAK
ADA! Ada ini mencari itu yang tidak ada, sudah ada itu mencari ini yang tidak ada. Memberi
makan nafsu, makin diberi makan makin lapar! Karena itu akibatnya, bahagia lenyap bersembunyi,
dilenyapkan atau disembunyikan oleh diri sendiri yang menghamba pada NAFSU.
Demikianlah dunia selalu berputar dengan segala persoalannya. Demikian pula Pangeran Yong Tee
di dalam taman bunganya yang serba indah namun tidak kelihatan indah baginya itu. Baru saja dia
berhasil menghancurkan pemberontak Mongol. Kini beristirahat setelah berhasil usahanya.
Semestinya bahagia, semestinya senang. Namun, taman indah tidak kelihatan indah, kesenangan
perjuangan tidak menyenangkan hati. Kenapa" Karena pangeran inipun mencari YANG TIDAK
ADA, yaitu mencari kehadiran Hoa-ji disampingnya. Menjadi permainan cinta yang amat aneh.
"Hoa-ji ....." berkali-kali nama ini dikeluarkan, langsung dari hatinya melalui bibir yang menarik
napas panjang pendek berulang kali.
Pangeran Yong Tee sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, bayangan seorang wanita yang
langsing tubuhnya bersembunyi di balik pohon dan memandang kepadanya penuh kebencian.
Wanita yang masih muda, cantik jelita dengan kerudung pada kepalanya. Tilana! Gadis ini memang
Tilana, yang dengan kepandaiannya sudah berhasil menyelinap memasuki taman di luar tahunya
para penjaga istana pangeran itu. Kini dengan pandang mata penuh kebencian, Tilana mengeluarkan
tiga buah anak panah, dipasangnya pada gendewanya dan ditariknya tali busurnya ......
"Pangeran ....!"
Tilana menunda gerakannya, tidak jadi memanah pangeran itu ketika mendengar seruan ini, seruan
wanita yang melompat keluar dari tembok taman. Wanita yang baru datang ini bertopeng dan
langsung berlari menghampiri Pangeran Yong Tee, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
pangeran itu. "Hoa-ji .....!" seruan yang keluar dari bibir pangeran itu girang bukan main, lalu ia menubruk
hendak memeluk gadis berkedok itu.
"Jangan .....! Jangan sentuh aku lagi, pangeran ....., jangan .....!"
Yong Tee terkejut dan menahan tangannya. "Hoa-ji, apakah yang terjadi" Apakah kau sudah
bertemu dengan saudara Cia Han Sin" Kau datang dari mana dan mengapa kau bersikap begini?"
Pertanyaan ini keluar dengan suara halus, mesra, dan penuh cinta kasih.
"Pangeran, ketahuilah bahwa tadinya aku datang dengan maksud membunuhmu! Tapi .... tapi aku
tidak tega .... bagaimana aku bisa membunuh seorang yang begini baik" Yang selalu kujunjung
tinggi" Yang kuketahui betul-betul isi hatinya yang baik" Ya Tuhan, mengapa aku menjadi
anaknya" Mengapa .....?" Hoa-ji lalu menangis.
Yong Tee nampak bingung sekali. Ia meraih tangan gadis berkedok itu, menariknya berdiri dan
mengajak duduk di atas bangku. "Duduklah, Hoa-ji, duduklah di sini, di sampingku seperti dahulu.
Tidak ada apa-apa yang buruk di antara kita, masih seperti dulu. Tenangkanlah hatimu dan sekarang
ceritakan apa yang menyebabkan engkau bersikap seperti ini."
Suara yang sabar, ramah dan penuh kasih sayang ini menenangkan gelora hati Hoa-ji. Gadis ini
menghentikan tangisnya, mengusap air mata menahan isak lalu bercerita. Sambil berlinang air mata
ia mengulang cerita yang ia dengar dari Han Sin.
"Dahulu, belasan tahun yang lalu, dipuncak Min-san tinggal suami isteri Cia Sun bersama dua
orang anaknya, yang sulung laki-laki bernama Cia Han Sin dan yang bungsu, masih bayi,
perempuan bernama Cia Bi Eng. Cia Sun dikenal sebagai seorang patriot bangsa, tentu saja sebutan
ini hanya berlaku bagi rakyat Tiongkok.
Pemerintah menyebutnya pemberontak! Pada suatu hari, karena pengacauan puteri Hui bernama
Balita, seorang di antara musuh-musuh Cia Sun, suami isteri Cia itu mengalami malapetaka. Isteri
Cia Sun cemburu dan membunuh diri, disusul pembunuhan diri Cia Sun yang amat mencinta
isterinya."
Pangeran Yong Tee mendengarkan dengan hati berdebar dan amat tertarik karena apakah
hubungannya dengan Hoa-ji dengan keluarga Cia" Tidak hanya pangeran ini yang amat tertarik dan
terkejut heran, juga Tilana yang diam-diam mendengarkan cerita itu, menjadi berubah air mukanya
dan jantungnya berdebar keras. Bukankah gadis berkedok itu sedang menceritakan tentang ayah
bundanya dan kakaknya serta dia sendiri"
"Pada malam terjadinya peristiwa hebat itu, terjadi lain peristiwa yang kemudian merupakan rahasia
kehidupan tiga orang gadis. Pada malam hari yang malang itu, secara diam-diam muncul seorang
wanita kang-ouw bernama Ang-jiu Toanio yang juga memusuhi Cia Sun. Ang-jiu Toanio yang
kebetulan mempunyai seorang bayi perempuan, lalu menukarkan bayinya dengan bayi keluarga
Cia, yaitu Cia Bi Eng itu. Belum lama seperginya Ang-jiu Toanio, muncul pula Balita puteri Hui itu
membawa bayinya dan menukarkan bayinya sendiri dengan bayi yang disangkanya puteri keluarga
Cia, padahal adalah anak Ang-jiu Toanio."
Kalau saja Hoa-ji tidak demikian terharu dan Pangeran Yong Tee tidak demikian tertarik dan tegang
oleh cerita ini, tentu mereka akan mendengar jerit tertahan dari balik semak-semak, di mana Tilana
hampir pingsan mendengar cerita itu.
"Bayi keluarga Cia yang aseli, yaitu Cia Bi Eng tulen, dibawa Ang-jiu Toanio. Akan tetapi di
tengah jalan bayi ini dirampas oleh seorang pemelihara macan berbangsa Mongol bernama Kalisang
dan di lain waktu dari tangan Kalisang dirampas pula oleh Hoa Hoa Cinjin. Kau tentu dapat
menduga, pangeran, bahwa bocah itu, Cia Bi Eng yang tulen ....., setelah dipelihara oleh Hoa Hoa
Cinjin mendapatkan nama Hoa-ji ..... atau aku sendiri."
Hoa-ji terisak-isak kembali dan Pangeran Yong Tee duduk bagaikan patung batu, tak dapat
bergerak, tak mampu mengeluarkan kata-kata saking heran dan kagetnya. Yang lebih hebat
akibatnya ketika menerima berita ini adalah Tilana dalam tempat persembunyiannya. Gadis ini
menangis dan jatuh di atas rumput. Tidak karuan rasa hatinya. Terharu, sedih, bingung, dan girang.
la girang karena ternyata bahwa dia bukanlah adik kandung Han Sin! Ini berarti dia dapat menjadi
isteri pemuda itu!
Tadi hampir saja ia membunuh Yong Tee karena ia hendak meneruskan perjuangan mendiang
ayahnya, hendak membunuh Pangeran Mancu, penjajah bangsanya! Jadi dia sebetulnya anak Angjiu
Toanio" Pantas saja dahulu Han Sin bilang dia bukan anak Balita. Jadi pemuda itu sudah tahu
bahwa dia anak Ang-jiu Toanio" Dia sudah tahu siapa Ang-jiu Toanio. Sudah mendengar pula
tentang putera Ang-jiu Toanio yang bernama Phang Yan Bu. Jadi pemuda itu kakaknya"
"Demikianlah, pangeran. Yang sekarang selalu dianggap adik Sin-ko, yang bernama Cia Bi Eng itu,
sebetulnya adalah Tilana puteri Balita, sedangkan puteri Balita yang bernama Tilana itu sebetulnya
adalah puteri Ang-jiu Toanio. Aku sudah berjumpa dengan Sin-ko kakak kandungku, sudah
mendengar bahwa kau menyuruh dia menyelamatkanku, membawaku ke sini .... akan tetapi, ......,
mendiang ayahku dianggap pemberontak, dan kau .... kau Pangeran Mancu ..... bukankah kita
berhadapan sebagai musuh besar ......?"
Yong Tee tersenyum, lalu memeluk pundak gadis berkedok itu. "Hoa-ji kekasihku. Kau tetap Hoa-ji
yang dulu, tak perduli siapa namamu sebetulnya, tidak perduli anak siapa kau dan bangsa apa. Aku
tetap mencintaimu, dan hanya kau seorang, Hoa-ji."
Hoa-ji melepaskan pelukan pangeran itu. Tiba-tiba ia berdiri tegak dan berkata, "Pangeran Yong
Tee, hubungan kita sudah lama. Aku percaya penuh akan perasaan hatimu. Hanya satu yang
meragukan hatiku. Kau selalu mengaku cinta, padahal belum pernah melihat wajahku. Bagaimana
mungkin seorang mencinta tanpa melihat wajah" Aku takut kalau sekali kau melihat wajahku,
cintamu akan terbang lenyap ......"
Yong Tee menjawab dengan suara sungguh-sungguh, "Justeru karena tidak pernah melihat
wajahmu, aku yakin bahwa cintaku murni, Hoa-ji. Banyak macam cinta kasih di dunia ini, Hoa-ji.
Cinta kasih berdasarkan keindahan bentuk dan rupa, cinta kasih berdasarkan budi, cinta kasih
berdasarkan pamrih, dan cinta kasih berdasarkan nafsu berahi. Semua ini adalah cinta kasih yang
dijadikan kedok nafsu. Cintaku terhadapmu tidak seperti itu, melainkan cinta yang digerakkan oleh
sesuatu yang gaib, tidak memandang rupa, seperti cinta kasih ibu terhadap anaknya. Hoa-ji, apapun
juga terjadi di dunia ini, cintaku terhadapmu tak akan berubah. Agaknya memang sudah menjadi
Hukum Karma, maka kau jangan ragu-ragu lagi, dewiku ......"
Kembali Hoa-ji terisak karena amat terharu hatinya. Tangan kirinya bergerak dan sekaligus
merenggutkan kedoknya, terlepas dari mukanya. Mereka berpandangan dan Yong Tee menjadi
bengong menyaksikan wajah ditimpa cahaya bulan itu, wajah yang seakan-akan sudah dikenalnya
amat lama, yang sering kali ia jumpai dalam alam mimpi. Benar aneh, mengapa wajah di balik
kedok itu demikian cocok dengan kiraan dan dugaannya"
"Hoa-ji ....."
"Pangeran ....."
Dari tempat persembunyiannya, Tilana juga menjadi bengong. Ia melihat persamaan yang tak dapat
dibantah lagi antara wajah Hoa-ji dengan wajah Han Sin. Tidak bisa salah lagi, memang Hoa-ji
adalah adik kandung Han Sin. Dan dia bukan apa-apanya ataukah betul! Dia isterinya! Dia berhak
menjadi isteri Han Sin! Tak kuasa Tilana menyaksikan pertemuan antara sepasang merpati yang
amat asyik dan mesra itu. Dan diam-diam ia lalu meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi ketika Tilana berlari keluar dari lingkungan istana Pangeran Yong Tee, tiba-tiba tiga
bayangan orang yang amat cepat gerakannya berkelebat dan tahu-tahu tiga orang muda yang bukan
lain adalah Phang Yan Bu, Li Hoa dan Li Goat sudah berdiri di depannya dengan pandang mata
penuh selidik"
"Kau lagi yang datang di sini! Apa maksudmu memasuki lingkungan istana Pangeran Yong Tee"
Bukankah kau bernama Tilana puteri Balita yang disebut Jin-cam-khoa?"
Tilana menatap wajah Yan Bu di bawah sinar bulan purnama. Ada sesuatu yang menarik hatinya.
Agaknya karena ia tahu bahwa pemuda ini kakaknya, maka timbul simpati besar sekali.
"Kau ..... kau bernama Phang Yan Bu putera Ang-jiu Toanio ....?" tanyanya gagap.
"Betul sekali," jawab Yan Bu heran. "Eh, di mana adanya Bi Eng" Dulu kau yang membawanya
pergi. Tentu kau tidak bermaksud baik!" tegur Li Goat yang tidak percaya kepada gadis berpakaian
aneh, berwajah cantik bukan main tapi agak pucat itu.
Tilana menundukkan mukanya sebentar. "Dia .... dia sudah kembali kepada ibu kandungnya ....."
jawabnya tidak jelas. Jawabannya tentu saja merupakan teka teki bagi tiga orang itu, apa lagi bagi
Li Hoa yang amat mengkhawatirkan keselamatan Bi Eng dan terutama Han Sin.
"Di mana Cia Han Sin" Kau tentu tahu di mana adanya pemuda itu," tanya Li Hoa.
Tilana tiba-tiba mengangkat mukanya dan matanya yang indah tajam itu menyambar ke wajah Li
Hoa. "Mau apa kau tanya-tanya tentang Cia Han Sin" Dia itu apamu?"
Merah muka Li Hoa. Gugup juga ia ditegur begini. "Bu .... bukan apa-apa, hanya .... hanya sahabat.
Di mana dia" Lekas katakan kalau memang kau tidak bermaksud buruk."
Akan tetapi Tilana sudah membuang muka tidak mau melayani Li Hoa, sebaliknya ia kembali
memandang Yan Bu. "Kau ..... adakah kau mempunyai seorang adik perempuan?"
Yan Bu berdebar jantungnya. "Betul, bagaimana kau bisa tahu?"
"Ibu ...... eh ...... ibumu sudah meninggal?"
Kembali Yan Bu mengangguk. "Apa maksudmu bertanya tentang semua ini?"
"Dia bukan orang baik-baik!" tegur Li Goat penuh curiga dan cemburu.
"Kau ..... kau kakak kandungku ......!" Tilana berkata sambil menahan isak, akan tetapi tubuhnya
berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
"Eh, tunggu .....!" Yan Bu berseru kaget, hendak mengejar. Akan tetapi tangan Li Goat menyentuh
lengannya, membuat pemuda itu menengok dan terpaksa menunda niatnya. Pandang mata Li Goat
begitu aneh, seperti orang marah.
Akan tetapi tak lama kemudian kedua orang muda ini baru melihat bahwa Li Hoa tidak berada di
samping mereka. "Lho, mana cici Li Hoa?" teriak Li Goat kaget.
"Agaknya mengejar dia ......" jawab Yan Bu. Mereka berdua mencoba untuk menyusul, akan tetapi
karena tidak tahu ke mana arah yang ditempuh dua orang gadis itu, mereka tidak berhasil mengejar
dan terpaksa kembali ke istana di mana mereka tinggal menjadi tamu Pangeran Yong Tee.
**** Memang dugaan Yan Bu tadi tidak keliru. Li Hoa yang menaruh curiga kepada Tilana, diam-diam
melakukan pengejaran. Ia merasa yakin bahwa Bi Eng tentu menghadapi bencana di tangan gadis
Hui itu, dan mungkin sekali gadis bangsa Hui itu tahu pula di mana adanya Han Sin. Baiknya dalam
perjalanan ini, Tilana tidak mengerahkan seluruh kepandaiannya, maka Li Hoa dapat mengikuti
terus. Akan tetapi setelah tiba di luar pintu gerbang sebelah utara kota raja, mereka melalui daerah
terbuka. Hal ini membuat Tilana dapat melihat bahwa ada bayangan yang mengikutinya. Namun
Tilana berjalan terus, hanya sedikit mempercepat larinya. Ketika melihat bahwa bayangan itupun
berlari cepat, gadis ini tersenyum mengejek. Baiklah kutunggu sampai pagi dan kulihat, mau apa
dia" Mereka telah berada di daerah pegunungan dan Tilana berhenti di tepi sungai yang mengalir di
sebelah utara kota raja. Malam telah lewat, matahari hampir tampak, didahului cahayanya yang
kemerahan. Sambil tersenyum Tilana membalikkan tubuhnya dan melambaikan tangan.
"Sahabat di belakang, kau mengikuti aku dari kota raja, ada maksud apakah" Jangan bersikap
seperti pengecut!"
Merah wajah Li Hoa mendengar seruan ini dan melihat sikap yang mengejek dari nona cantik jelita
itu. Ia cepat keluar dari tempat sembunyinya dan dengan dua kali loncatan jauh ia sudah berdiri
tegak di depan Tilana. Gadis ini mau tak mau kagum juga menyaksikan ilmu meringankan tubuh
yang begitu hebat, juga terkejut mendapat kenyataan bahwa yang mengikutinya bukan lain adalah
gadis cantik yang di kota raja tadi bertanya tentang Han Sin. Dadanya menjadi panas.
Kalau tadinya Tilana merasa amat berduka tiap kali teringat akan hubungannya dengan Han Sin
yang dianggap kakak kandungnya, sekarang ia bahkan merasa girang kalau teringat akan hal itu.
Han Sin bukan kakak kandungnya, melainkan suaminya! Dan cinta kasihnya terhadap Han Sin
makin mendalam, tentu saja ia menjadi panas dan cemburu sekali melihat seorang gadis jelita
seperti Li Hoa bertanya-tanya tentang suaminya itu!
Li Hoa yang merasa malu karena orang yang diikutinya sudah tahu akan perbuatannya, terpaksa
muncul dan berkata dengan nada minta maaf, "Aku tidak bermaksud buruk, hanya ingin kauberi
tahu di mana adanya adik Bi Eng dan kanda Han Sin ......"
Mengenai sebutan "adik Bi Eng" dan terutama sekali "kanda Han Sin" ini, isi dada Tilana makin
panas. Namun ia tetap tersenyum manis ketika bertanya,
"Kau tanya-tanya tentang mereka. Apamu sih mereka itu?"
Muka Li Hoa menjadi makin merah. "..... bukan ..... bukan apa-apa, hanya sahabat-sahabat baik,"
jawabnya kemudian, agak gagap karena pertanyaan dari gadis Hui yang aneh ini benar-benar tak
disangka-sangkanya.
Makin cemburu hati Tilana, makin lebar senyumnya. Tak percuma gadis ini semenjak kecil menjadi
anak dan murid Balita, sedikit banyak sifat Balita sudah menurun kepadanya.
"Ehemm, kau mencinta Cia Han Sin, bukan" Katakan terus terang, kalau tidak, akupun tidak mau
memberitahu kepadamu di mana adanya Cia Han Sin dan Bi Eng."
Tentu saja Li Hoa menjadi makin jengah dan malu, malah-malah ia hampir marah. Akan tetapi
mengapa tidak berterus-terang saja, pikirnya. Lebih baik mengaku dan kemudian mendengar
keterangan gadis aneh ini di mana adanya Han Sin. Kalau ia bersitegang, tentu gadis itupun tidak
mau memberi tahu dan mungkin sekali mereka menjadi musuh. Melihat gelagatnya, musuh seperti
gadis Hui ini bukanlah musuh ringan!
"Kau tidak keliru menduga. Memang, aku cinta kepadanya. Nah, sekarang harap kau suka memberi
petunjuk di mana aku dapat menyusul dia, dan di mana pula adanya adik Bi Eng." Setelah membuat
pengakuan ini melalui mulutnya, Li Hoa tidak malu-malu lagi menentang mata Tilana. Ia terkejut
melihat betapa sepasang mata indah dari gadis Hui itu seakan-akan bernyala, akan tetapi hanya
sebentar, segera berganti pandang berseri dan mulut yang manis itu tersenyum lebar.
"Ha, jadi kau mencinta Cia Han Sin" Kau masih terhitung apakah dengan Phang Yan Bu?"
Li Hoa teringat betapa gadis ini tadi menyebut Yan Bu sebagai kakak kandung, maka tanpa raguragu
ia menjawab, "Aku adalah sahabat baiknya juga. Tilana, betulkah kau ini adik kandungnya"
Bagaimana kau bisa mengaku begitu?"
"Hal itu bukan urusanmu. Kau tadi bilang mencinta Han Sin?" sambil berkata demikian, Tilana
meloloskan pedang dari sarung pedangnya perlahan-lahan!
Melihat gerakan ini, Li Hoa curiga dan siap-siaga. Boleh jadi ia salah duga, boleh jadi dengan
pengakuannya ini ia malah menjadikan Tilana sebagai musuh. Apa boleh buat, ia tidak dapat
mundur lagi. "Betul," jawabnya tenang, "aku mencinta Cia Han Sin."
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mampuslah!" seru Tilana tiba-tiba dan "srattt!" pedangnya dicabut serentak lalu secepat itu pula
pedangnya sudah meluncur menusuk ke arah muka Li Hoa. Serangan ini seharusnya ditusukkan ke
dada atau leher, kalau Tilana sudah menusuk ke arah muka, itu hanya menandakan bahwa ia amat
benci dan marah.
Cepat Li Hoa mengelak. Hal ini mudah ia lakukan karena ia memang sudah menaruh curiga dan
sudah siap. Sambil melompat ke samping ia mencabut juga pedangnya. Dua orang wanita muda
cantik, sama gagah, berdiri berhadapan dengan pedang telanjang di tangan.
"Tilana, seorang gagah tidak bersikap sembunyi-sembunyi. Aku Thio Li Hoa selamanya tidak
pernah bermusuhan denganmu, semua pertanyaanmu kujawab sejujurnya. Mengapa tanpa sebab kau
menyerang?"
"Li Hoa, buka telingamu baik-baik. Cia Han Sin adalah suamiku, mengerti" Orang lain, menyebut
namanya saja tidak boleh, apa lagi seperti kau ini mengaku aku cinta. Cih, tak tahu malu!"
Sepasang mata Li Hoa bersinar marah. "Perempuan rendah, tebal sekali mukamu berani
membohong. Cia Han Sin belum menikah, bagaimana bisa mempunyai seorang isteri macam
engkau?" Tilana makin marah, pedangnya berkelebat dan ia menyerang dengan ganas. Li Hoa menangkis dan
sebentar saja dua orang gadis cantik itu saling serang dengan nekat dan mati-matian bagaikan dua
ekor singa betina bertanding memperebutkan kelinci! Li Hoa adalah murid pertama dari Coa-tung
Sin-kai sedangkan Tilana mewarisi kepandaian Jin-cam-khoa Balita. Kepandaian mereka pada
waktu itu sudah jarang dapat ditandingi oleh gadis-gadis lain. Watak mereka sama-sama keras dan
gagah, tidak kenal takut. Maka pertandingan itu hebatnya bukan main. Dua batang pedang yang
runcing tajam itu berkelebatan menyambar-nyambar, sewaktu-waktu dapat merobek perut atau
dada, dapat memenggal leher membikin buntung tangan dan kaki!
Puluhan jurus lewat dan biarpun pertandingan masih berjalan seru sekali, namun dapat dilihat
bahwa perlahan-lahan Li Hoa makin terdesak. Ilmu pedangnya biarpun sama cepat dan kuatnya,
namun kalah ganas dan repot jugalah akhirnya Li Hoa menghadapi rangsekan yang ganas dan
dahsyat dari pedang Tilana.
Tiba-tiba Tilana mengeluarkan seruan nyaring, tangan kirinya tahu-tahu sudah menyambar sebatang
anak panah di punggungnya dan begitu tangan kirinya itu diayun, anak panah menyambar laksana
terlepas dari gendewa, ke arah dada Li Hoa! Tentu saja Li Hoa kaget sekali menghadapi senjata
rahasia ini, cepat ia menangkis dengan pedangnya.
"Traang! Anak panah terpukul runtuh, akan tetapi pada saat Li Hoa menangkis anak panah, pedang
Tilana sudah "bekerja", membabat leher Li Hoa. Gadis ini terkejut dan merendahkan tubuh, akan
tetapi tetap saja pundaknya terserempet pedang, kulitnya terkupas sedikit. Darah mengucur dan
tubuh Li Hoa terhuyung ke belakang. Tilana mengeluarkan pekik nyaring dan liar, terus mendesak
maju dengan tusukan-tusukan maut. Dua kali ia menusuk dan dua kali Li Hoa berhasil menangkis,
akan tetapi ketika menangkis untuk ke tiga kalinya sambil mundur, Li Hoa menginjak batu bulat
dan tergelincir, roboh terguling.
"Hemm, kau mau mencinta Han Sin" Mampuslah!" seru Tilana sambil mengayun pedang, penuh
kebencian! "Trangg!" Pedang di tangan Tilana bertemu dengan pedang lain yang pada saat itu menangkis.
Tilana kaget dan me?mandang.
"Kau .....?"" tegurnya ketika melihat bahwa yang berdiri di depannya dengan muka beringas dan
penuh benci adalah ..... Bi Eng! Bi Englah yang menangkis pedang Tilana tadi, tepat pada saat Li
Hoa terancam bahaya maut.
"Ya, aku!" jawab Bi Eng dan diam diam Tilana terheran mengapa sikap Bi Eng sekarang demikian
berubah, tidak ramah dan manis seperti dulu terhadapnya, melainkan kasar dan agaknya penuh
kemarahan dan kebencian. "Jangan khawatir, enci Li Hoa, aku membantumu mengenyahkan
siluman ini!" Setelah berkata demikian, Bi Eng menggerakkan pedangnya menyerang Tilana!
"Eh ....., eh ...., apa kau gila ......?" Tilana berseru marah sambil menangkis. Akan tetapi Bi Eng
menyerang terus dan Li Hoa juga sudah menyerangnya dengan gemas. Menghadapi keroyokan dua
orang gadis ini, Tilana tentu saja terdesak. la mengeluarkan seruan nyaring dan liar, lalu menyerang
dua orang lawannya dengan dua batang anak panahnya. Ketika dua orang gadis itu dengan kaget
mengelak, Tilana lalu melarikan diri sambil memekik nyaring, setengah tertawa, setengah
menangis. Ginkangnya hebat, dua orang gadis lawannya tak dapat menyusul larinya yang amat
cepat. Semenjak kecil Tilana sudah biasa berlari-larian di gunung-gunung, hutan-hutan dan padang
pasir, tentu saja Bi Eng dan Li Hoa tidak mampu melawannya dalam hal berlari cepat.
"Adik Bi Eng, terima kasih atas pertolongamu," kata Li Hoa dengan girang. "Kau benar-benar
membuat kami merasa gelisah sekali. Selama ini kaupergi ke mana sajakah?" Li Hoa menghampiri
untuk memeluk kawan baik ini.
Akan tetapi aneh sekali. Dengan sikap keren dan pemarah, Bi Eng mengundurkan diri dan tidak
mau menerima pelukan Li Hoa. "Tak perlu berterima kasih," jawabnya singkat, "perempuan tadi
memang jahat." Setelah berkata demikian, Bi Eng membalikkan tubuhnya dan ...... pergi
meninggalkan Li Hoa!
Tentu saja Li Hoa menjadi bengong terheran menyaksikan sifat yang tidak sewajarnya ini. Dahulu
Bi Eng terkenal sebagai gadis lincah gembira yang amat peramah. Kenapa sekarang menjadi begini
dan kelihatan seperti orang berduka"
"Bi Eng, tunggu ....." katanya mengejar. Namun Bi Eng mempercepat jalannya dan kedua orang
gadis itu kini berkejaran.
Belum jauh mereka berlari-lari, dari balik batu besar muncul seorang pemuda. Melihat orang ini,
wajah Li Hoa berubah. Cepat ia mencabut pedangnya dan mempercepat larinya.
Sementara itu, ketika pemuda itu melihat Bi Eng, ia tertawa lebar.
"Ha ha ha, kalau jodoh, kemanapun juga akan bertemu. Kekasihku, benar-benar kita berjodoh,
maka dapat bertemu pula di sini. Ha ha!"
Akan tetapi Bi Eng tidak menjawab, hanya merengut dan membuang muka. Pada saat itu Li Hoa
sudah tiba di depan pemuda tadi. Li Hoa menudingkan pedangnya membentak,
"Pemberontak keparat! Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Kau membunuh ayahku,
sekarang aku akan membunuhmu!" Biarpun pundaknya masih terasa sakit karena luka akibat
pedang Tilana tadi, namun saking marahnya melihat musuh besar ini, ia lalu maju menyerang
dengan hebat. Pemuda itu bukan lain adalah Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu. Tadi ia terlampau girang melihat
munculnya Bi Eng, yang betul-betul tak pernah ia sangka berada di tempat itu, maka ia kurang
memperhatikan Li Hoa. Sekarang, melihat bahwa gadis yang seorang lagi adalah Li Hoa, gadis
yang dulu pernah membuat ia tergila-gila kegirangannya memuncak.
"Aha, kaukah ini, nona Thio Li Hoa?" katanya sambil mengelak dengan mudah. "Kebetulan sekali,
aku sedang kesepian tiada kawan, kaupun muncul di sini. Bagus, bagus ....! Kau makin manis ....
saja .... ha ha ha .......!"
Li Hoa yang tiga kali berturut turut tidak berhasil dengan serangannya, mendengar ini menjadi
gemas sekali. Ia mengertak gigi, memegang gagang pedangnya erat-erat, lalu maju menubruk
dengan sebuah tusukan kilat.
43. Wanita Pertama dan Terakhir (Tamat)
"MAKIN liar dan ganas, makin menyenangkan ...." Bhok-kongcu yang terkenal mata keranjang itu
menggoda terus, kali ini ia mengelak sambil menggerakkan tangan, sekali pegang saja ia berhasil
menangkap pergelangan tangan Li Hoa yang memegang pedang, diputarnya cepat-cepat membuat
Li Hoa memekik kesakitan dan pedangnya terlepas. Di lain saat, sebelum Li Hoa mampu bergerak,
gadis itu sudah dipeluk oleh Bhok-kongcu!
"Lepaskan aku! Keparat keji, lepaskan ...!" Li Hoa meronta dan berteriak, namun makin ia meronta,
pelukan Bhok-kongcu makin erat pula sampai ia tak mampu berkutik lagi.
"Tak tahu malu! Lepaskan dia!" Bi Eng tiba-tiba membentak dan pedangnya membabat ke arah
leher Bhok-kongcu.
"Hayaaa, kaupun menyerangku" Celaka, diserang oleh tunangan sendiri!" Bhok-kongcu hendak
berkelakar, namun serangan ini adalah gerakan Cin-po-thian-keng yang lihai dari Ilmu Silat Thianpocin-keng! Bhok-kongcu kaget sekali ketika tahu-tahu mata pedang hampir membabat lehernya.
Cepat ia meloncat ke belakang dan karena gerakan ini, pelukannya pada tubuh Li Hoa mengendur.
Hal ini tidak disia-siakan oleh Li Hoa yang cepat menggerakkan kedua tangannya.
"Dukkk!" Kepalan kanan Li Hoa berhasil "memasuki" perut Bhok-kongcu dengan tepat.
"Aduuhhh ....!" Pemuda itu terlempar ke belakang, wajahnya pucat dan biarpun tidak
membahayakan jiwanya, ternyata ia telah menderita luka dalam. la tersenyum pahit, nafsu cintanya
terhadap Li Hoa berubah seketika, berubah menjadi kemarahan dan kebencian.
"Kau berani memukulku?"
"Aku malah akan membunuhmu!" Li Hoa berteriak lagi setelah mengambil pedangnya, lalu
menubruk dengan serangannya yang dilakukan secara nekat.
"Baik, cobalah sebelum kau kukirim menyusul ayahmu!" Bhok-kongcu mengelak dan cepat
mencabut senjatanya, yaitu sebuah kipas lebar. Beberapa belas jurus mereka bertempur dan Bi Eng
berdiri ragu-ragu, tidak membantu, hanya pedangnya masih terpegang di tangan kanan.
Pada jurus ke lima belas, Bhok-kongcu sengaja memperlambat tangkisannya, akan tetapi ketika
ujung pedang di tangan Li Hoa sudah dekat, ia cepat menggunakan sepasang gagang kipasnya
menjepit pedang itu. Selagi Li Hoa berusaha melepaskan pedangnya, tangan kiri Bhok-kongcu
datang menyambar.
"Plakk!" Tangan kiri yang putih halus, akan tetapi mengandung penuh tenaga Hek-tok-ciang itu
telah menghantam dada Li Hoa. Gadis itu menjerit ngeri dan roboh terguling, tak dapat bergerak
lagi! "Manusia keji, di mana-mana membunuh orang!" Bi Eng berseru marah.
"Kaupun banyak rewel sekarang, lekas-lekas menjadi isteriku lebih baik, harus diberi hajaran!"
Bhok-kongcu balas membentak dan sebelum Bi Eng sempat menyerang, pemuda itu sudah
menerjangnya, tangan kiri memukul ke arah pedang dan tangan kanan menyambar pinggang Bi
Eng. Terus saja ia memanggul tubuh Bi Eng yang menjerit-jerit, memaki-maki dan meronta-ronta,
dibawa lari cepat meninggalkan tempat itu, meninggalkan tubuh Li Hoa yang tidak bergerak dan
pakaian di dadanya sudah hancur memperlihatkan kulit dada yang hangus kehitaman.
**** "Saudara Cia Han Sin!"
Han Sin terkejut mendengar panggilan ini dan cepat menengok. Ternyata Phang Yan Bu yang
memanggilnya. Yan Bu berlari datang bersama seorang gadis cantik dan gagah. Ternyata bahwa
gadis itu adalah Thio Li Goat, adik Li Hoa.
"Ah, Phang-loheng, kau hendak ke manakah?"
Akan tetapi sampai lama Yan Bu tak menjawab, hanya memandang pemuda itu yang menjadi pucat
dan kurus sekali dengan perasaan kasihan. la tidak banyak tahu tentang pemuda aneh dan sakti ini,
hanya dapat menduga bahwa banyak hal-hal yang amat sengsara terjadi menimpa keluarga Cia dan
karenanya membuat ia menaruh hati kasihan.
"Kami sedang mencari jejak adikmu. Nona Cia Bi Eng ...."
".... di mana dia........?" Han Sin memotong dengan tergesa-gesa, penuh gairah.
"Sabar dulu, saudara. Beginilah ceritanya," Yan Bu lalu menuturkan secara singkat kemunculan
Tilana yang mengaku adik kandungnya itu, lalu betapa Li Hoa mengejarnya. Agaknya hanya Tilana
yang tahu di mana adanya Bi Eng, maka kini Yan Bu dan Li Goat lalu pergi mencari.
"Aneh sikap Tilana itu, saudara Cia Han Sin. Dia mencarimu, dan dulupun dia yang membawa
pergi Bi Eng. Dia kelihatan jahat, kami amat mengkhawatirkan keselamatan Bi Eng dan .... enci Li
Hoa. Kebetulan sekali kami mendapat keterangan bahwa jejaknya berada di daerah ini."
"Kalau begitu mari kita bersama mengejarnya," kata Han Sin tidak sabar lagi. Ia tidak mau banyak
bercerita, hanya ingin lekas-lekas dapat mencari dan menemui Bi Eng. Karena Bi Englah, ia
menjadi pucat dan kurus kering, lupa makan, lupa tidur.
Sayang sekali mereka sedikit terlambat, kalau tidak kiranya Li Hoa takkan mengalami nasib
sedemikian mengerikan. Hanya satu dua jam setelah Li Hoa roboh dan ditinggal pergi Bhok-kongcu
yang menculik Bi Eng di tempat itu muncul Han Sin, Yan Bu dan Li Goat!
"Hoa-ci ....!!" Li Goat cepat menubruk cicinya dan menangis.
Li Hoa membuka matanya, memandang tiga orang itu. Melihat Han Sin, ia berbisik, "Han Sin ...
bagus sekali kau datang .... ke sinilah kau ...."
Han Sin berlutut mendekati Li Hoa. Ngeri ia melihat dada yang sudah tak tertutup lagi karena
pakaiannya sudah hancur, akan tetapi dada itu sudah hangus kehitaman!
"Kau terpukul Hek-tok-ciang ...." katanya sedih. Teringat ia betapa baik gadis ini terhadapnya,
betapa dulu ia tertolong oleh Li Hoa, bahkan dibela dengan taruhan nyawa, betapa dulu ketika
terluka iapun dirawat oleh gadis itu. Dengan terharu ia lalu mengangkat kepala gadis itu dan
dipangkunya, lalu mengambil baju luarnya untuk diselimutkan di atas dada. Kemudian beberapa
jalan darah ia totok dan urut, bukan untuk mengobati, hanya untuk menghilangkan rasa nyeri yang
hebat. "Terima kasih ...." Li Hoa bernapas lega, "Sekarang enakan .... tidak sepanas tadi ...." Gadis itu
memandang kepada Han Sin dengan muka berseri! "Kau .... kau baik sekali. Han Sin .... tidak
percuma .... aku mencintamu .... eh, kenapa kau kurus dan pucat" Han Sin, jaga baik-baik dirimu
..... aku ikut berduka kalau melihat kau susah ... dahulu itu, ketika kau disiksa Thian-san Sam-sian
.... aduh, sakit sekali hatiku ....."
Melihat gadis yang sudah menghadapi maut itu masih memperlihatkan kasih sayang kepadanya,
Han Sin menjadi amat terharu. Tak terasa lagi, dua butir air matanya jatuh menimpa pipi Li Hoa.
"Kau ..... kau menangis ...." Untukku ...." Ahhh, aku puas .... matipun ikhlas .... Phang Yan Bu, kau
harap bersikap baik terhadap adikku .... sebaik Han Sin ini ...." Tiba-tiba suaranya terhenti dan
napasnyapun terhenti. Han Sin cepat sekali menggerakkan tangan menghidupkan peredaran darah
dan mengerahkan sinkang untuk membantu jalan darah dan menghidupkan urat syaraf gadis itu, lalu
berbisik di telinganya.
"Di mana Bi Eng ......."
".... Bi Eng ..... dia diculik Bhok .... ke sana ....." Matanya mengerling ke arah perginya Bhokkongcu
lalu mata itu meram dan ..... napasnyapun terhenti sama sekali. Gadis itu meninggal dalam
pelukan Han Sin.
"Kalian urus jenazahnya. Aku harus mengejar Bhok-kongcu si bedebah. Bhok Kian Teng yang
membunuh Li Hoa, dengan pukulan Hek-tok-ciang. Tentu dia belum jauh!"
Yan Bu dan Li Goat mengangguk tanda setuju. Memang, siapa lagi yang dapat menghadapi Bhok
Kian Teng yang lihai itu selain Han Sin" Setelah memberikan jenazah Li Hoa kepada sepasang
orang muda itu untuk membawanya pergi, Han Sin cepat berlari seperti terbang ke arah yang
ditunjuk oleh Li Hoa tadi. Ia berlari-lari bagaikan terbang cepatnya. Segera ia sampai di daerah
yang berbatu-batu dan tahulah ia bahwa ia telah tiba dekat sungai besar.
Tiba-tiba telinganya menangkap jerit wanita, "Lepaskan aku .....!"
Dengan jantung berdebar Han Sin berlari makin cepat lagi ke arah suara itu. Setelah melompati
beberapa buah batu besar, akhirnya ia melihat Bhok Kian Teng berjalan perlahan-lahan sambil
memondong tubuh Bi Eng yang meronta-ronta dan memaki-maki.
"Diamlah, manis ... diamlah, sayang .... bukanlah kau calon isteriku yang syah" Ibumu sendiri sudah
menyerahkan kau kepadaku. Tunggu saja, kau akan menjadi permaisuri ..... ha ha ha!" Bhok Kian
Teng membelai rambut gadis yang dipondongnya itu, yang terurai menutupi lengannya.
Hampir meledak isi dada Han Sin menyaksikan penglihatan ini. Sekali melayang ia telah tiba di
depan Bhok-kongcu sambil membentak, "Iblis bermuka manusia! Lepaskan dia!"
Pucat muka Bhok-kongcu ketika tiba-tiba ia melihat musuh yang paling ia takuti ini berdiri di
depannya. "Kau ...." Kau ......?"" Dan ia lalu lari sambil memondong tubuh Bi Eng. Anehnya, sekarang gadis
itu tidak meronta lagi, malah tidak mengeluarkan suara.
"Kau hendak membunuhku ...." Ha ha ha, tak mungkin, Cia Han Sin Aku calon raja. Aku pangeran
besar, keturunan Jenghis Khan! Ha ha ha! Dan nona Tilana ini adalah calon permaisuriku ......!"
Bukan main cemasnya hati Han Sin. Agaknya Bhok-kongcu sudah menjadi gila. Hendak
menyerang, ia takut kalau-kalau Bi Eng celaka di tangan pemuda Mongol itu. Maka ia cepat
mengejar dengan maksud merampas tubuh Bi Eng yang dipondong Bhok-kongcu. Akan tetapi
Bhok-kongcu mengerti akan maksud ini, maka ia cepat menggunakan tubuh Bi Eng untuk
menyerang Han Sin!
Han Sin cepat mengelak dan pucatlah wajahnya ketika melihat gadis itu sudah lemas, tidak
bergerak lagi. Saking kagetnya ia sampai berdiri tidak mengejar ketika Bhok-kongcu berlari terus.
Baru setelah hilang kagetnya, ia mengejar lagi.
"Orang gila, akan kuhancurkan kepalamu kalau kau berani mengganggu dia!" geramnya marah
sekali. Bhok-kongcu sudah berlari sampai di pinggir sungai yang amat curam. Ia angkat tubuh Bi Eng dan
mengancam. "Majulah setindak lagi dan .... akan kulemparkan dia ke bawah!"
Han Sin memandang dengan mata terbelalak, menjadi seperti patung, berdiri dalam jarak lima
meter dari Bhok-kongcu, tidak berani bergerak.
" jangan .... jangan lakukan itu ..... dia tidak berdosa ......" suaranya memohon dengan gemetar.
"Ha ha ha ha! Dia isteriku, dia calon permaisuriku .... kau perduli apa ....." Aku boleh melakukan
apa yang kusuka. Lihat ....!" Tak usah diminta lagi, Han Sin memang sudah melihat hal yang amat
mengerikan hatinya. Melihat betapa baju di lambung kiri Bi Eng telah hancur ..... dan kulit lambung
yang tampak berwarna hitam! Tak salah lagi, pemuda gila itu sudah melukai lambung Bi Eng
dengan pukulan Hek-tok-ciang, tentu pada saat Han Sin muncul tadi karena sebelumnya Bi Eng
masih memaki-maki!
Muka Han Sin menjadi beringas, sebentar pucat, sebentar merah. Sepasang matanya seperti
mengeluarkan api, dan dari kepalanya mengepul uap! Melihat keadaan pemuda itu, Bhok-kongcu
sampai merasa ngeri dan ketakutan.
"Awas kau ..... kuhancurkan kepalamu ...... kukeluarkan isi perutmu ..... kuseret kau ke neraka
jahanam ...." dengan langkah satu-satu Han Sin menghampiri Bhok-kongcu.
"Jangan dekat, kulemparkan dia nanti ke bawah!" Bhok-kongcu mengancam lagi. Akan tetapi Han
Sin tidak perduli lagi, karena ia maklum bahwa biarpun dia tidak menangkap Pangeran Mongol itu,
tetap saja nyawa Bi Eng sukar ditolong lagi. Kemarahannya meluap-luap, belum pernah selama
hidupnya Han Sin semarah itu.
Bhok Kian Teng membelalakkan matanya. Ia melihat pemuda itu selangkah demi selangkah,
lambat-lambat menghampirinya dan ..... setiap melangkah, kakinya meninggalkan bekas yang
dalam dan nyata di atas batu! Sekali saja Han Sin menggerakkan tangan, tanpa menyentuh tubuh
Bhok-kongcu, pemuda gila ini tentu akan remuk isi perutnya. Hawa sinkang sudah berkumpul
seluruhnya di dalam tangan kaki Han Sin.
Tiba-tiba Bhok-kongcu berteriak parau, "Inginkan dia" Nih, terimalah, ha ha ha ha!" Tubuh Bi Eng
ia lontarkan dengan kuat sekali ke arah Han Sin dan dia sendiri saking takut dan paniknya sudah
melompat ke belakang, ke ... tempat kosong. Tubuhnya melayang ke bawah dan terdengar pekiknya
yang menggema di lembah itu, pekik kematian karena tubuhnya disambut oleh batu-batu keras yang
runcing dan mengerikan di antara air sungai.
Han Sin cepat menyambar tubuh Bi Eng. la tidak perduli lagi kepada Bhok-kongcu. Cepat ia
memeriksa detak jantung dan pernapasan. Sepuluh jari tangannya menggigil saking tegangnya hati.
"Aduhh ....., syukur kau masih hidup, Bi Eng .... tapi ..... tapi ....."
la maklum bahwa ia takkan mungkin dapat mengobati Bi Eng. Pikirannya sekilat melayang kepada
Phoa Kek Tee si raja obat. Akan tetapi pikiran itu buyar kembali ketika ia mengingat bahwa
sekarang raja obat itu sudah kehilangan kepandaiannya karena ..... dia.
"Ahhh ..... Bi Eng ..... kalau kau mati .... akupun ikut serta ....." tiba-tiba ia teringat akan Pek Sin
Niang-niang. Ya, betul dia" Satu-satunya orang di dunia ini yang dapat dimintai tolong, hanya
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertapa wanita itulah.
Han Sin memondong tubuh Bi Eng. lalu berlari secepat terbang. Siang malam tiada henti-hentinya
ia berlari terus menuju ke Go-bi-san, tempat pertapaan Pek Sin Niang-niang.
**** "Niang-niang, tolonglah teecu .... tolonglah kalau Niang-niang tidak ingin melihat kami berdua mati
....." Han Sin dengan Bi Eng dalam pondongannya, berlutut sambil memohon-mohon dan menangis
di depan pertapa wanita Pek Sin Niang-niang yang bersikap tenang saja.
"Cia-sicu, tak layak seorang gagah mengucurkan air mata. Nona ini siapakah?"
"Oh, Niang-niang ..... dia satu-satunya yang kumiliki di dunia ini ..... dia ini ya saudaraku, ya
kekasihku, ya satu-satunya orang yang kukasihi dan untuknya aku mau hidup ... Niang-niang,
tolonglah kami ....."
"Tenanglah, dan ceritakan mengapa dia sampai terluka seperti itu."
Dengan singkat Han Sin lalu menceritakan segala-galanya tentang Bi Eng yang dulu semenjak kecil
ia anggap adik kandungnya, dan tentang segala perasaannya terhadap Bi Eng serta kejadianKoleksi
Kang Zusi kejadian yang amat merisaukan hatinya akhir-akhir ini. Setelah selesai, Pek Sin Niang-niang lalu
memeriksa luka Bi Eng sambil berkata tersenyum, "Memang kau agaknya ditakdirkan untuk
mengalami permainan asmara yang berbelit-belit, Cia-sicu. Nona ini berat lukanya, baiknya kau
sudah menghentikan jalan darahnya, kalau tidak, begitu racun menyerang jantung, dia takkan
tertolong lagi. Sekarang dia harus banyak beristirahat sambil berobat di sini. Akan tetapi,
percayalah, kalau Thian menghendaki, dia akan sembuh."
Bukan main girangnya Han Sin. Ia berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya di depan
pertapa wanita itu seperti seekor ayam makan padi!
Pek Sin Niang-niang adalah bibi guru dari Raja Obat Phoa Kok Tee. Ilmunya tentang pengobatan
amat dalam, apa lagi memang pertapa ini mengutamakan ilmu pengobatan anti racun. Dengan amat
teliti ia merawat dan mengobati Bi Eng yang menjadi sadar dari pingsannya pada tiga hari
kemudian. Gadis ini amat lemah dan dadanya terasa sakit sekali. Ketika ia sadar dan melihat Han
Sin duduk di dekat pembaringannya, ia merengut dan hendak marah-marah. Akan tetapi Han Sin
menyabarkannya dan mencegah gadis itu bangun.
"Eng-moi, kau tenang dan mengasolah. Kau terluka hebat oleh Bhok-kongcu, syukur Pek Sin
Niang-niang berkenan menolongmu di sini dan memberi obat. Kau harus banyak mengaso ....."
Suara pemuda ini lemah-lembut, penuh kasih sayang. Naik sedu-sedan dari dada Bi Eng.
Selama ini memang di dalam dadanya penuh dengan cinta dan rindu kepada pemuda ini, akan tetapi
semua perasaan itu ia tekan dan coba matikan sendiri. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membenci
pemuda ini, dengan menjejalkan pikiran bahwa pemuda ini sudah berlaku tidak patut terhadap
Tilana atau yang sebetulnya bernama Kiok Hwa puteri Ang-jiu Toanio. Malah ia meyakinkan dalam
hatinya bahwa dia bukan Bi Eng, melainkan Tilana puteri Balita.
Akan tetapi semua usahanya ini selalu gagal, kalah oleh rasa rindu kepada Han Sin, bekas kakak
kandungnya. Malah sudah pernah ia memaksa hatinya untuk menerima perintah ibunya, yaitu yang
mengikat dia kepada Bhok-kongcu sebagai tunangan. Namun, makin dekat Bhok-kongcu makin
bencilah ia kepada Pangeran Mongol itu.
"Kau pergilah ..... kau pergilah ....." akhirnya ia berkata sambil menangis.
Han Sin yang maklum bahwa perasaan gadis itu amat tertekan entah oleh apa, mengalah dan keluar
dari kamar itu. Betapapun juga, hatinya lega melihat gadis itu sudah siuman.
Pek Sin Niang-niang muncul ke dalam kamar membawa semangkok bubur hangat. Bi Eng yang
melihat wanita pertapa ini, memandang kagum. Ia segera dapat menduga bahwa pertapa inilah yang
menolongnya, maka ia lalu mencoba untuk turun dari pembaringan.
"Jangan banyak bergerak, nona. Berbaringlah saja dan kau makanlah bubur ini." Pertapa itu lalu
menyuapkan bubur ke mulut Bi Eng. Akan tetapi gadis itu tidak mau menerimanya.
"Apakah ..... apakah kau Pek Sin Niang-niang ......?"
Ketika pertapa itu mengangguk Bi Eng berlinang air mata. "Niang-niang telah menolong nyawa
teecu, seharusnya teecu berlutut menghaturkan terima kasih. Bagaimana teecu berani melelahkan
Niang-niang untuk merawat teecu seperti ini.
Pek Sin Niang-niang tersenyum ramah. "Aku tidak mengenal apa itu tolong-menolong, anak baik.
Manusia hidup harus memenuhi kewajibannya masing-masing dengan sempurna, baru tak percuma
hidup di dunia. Kewajibanku saat ini ialah merawat dan mengobatimu, sedangkan kewajibanmu
ialah taat pada pinni agar cepat sembuh."
"Tapi ..... tapi ...... harap Niang-niang menyuruh seorang pembantu saja untuk merawat teecu ....."
Bi Eng benar-benar merasa malu dan sangat tak enak kalau membiarkan pertapa tua ini turun
tangan sendiri merawatnya, seperti menyuapkan makan dan lain-lain.
Pek Sin Niang-niang tertawa girang. Boleh juga bocah ini, pikirnya.
"Boleh, akan kusuruh pembantuku. Akan tetapi kau harus berjanji bahwa kau akan taat dan tidak
membantah. Begitu barulah kau seorang anak yang baik."
"Teecu sudah menerima budi, bagaimana berani membantah," Bi Eng menyanggupi.
"Nah, pertama, kau tidak boleh bergerak dan tidak boleh turun dari pembaringan, apapun juga yang
terjadi. Ke dua, kau harus menurut segala permintaan pembantuku."
"Baiklah, Niang-niang."
"Dan sekali-kali kau tidak boleh marah-marah. Racun masih ada bekasnya di dalam tubuhmu.
Pemuda itu bukan main. Kau dipondongnya ke sini setelah melalui perjalanan empat hari empat
malam tiada berhenti-henti." Setelah berkata demikian, Pek Sin Niang-niang meninggalkan kamar
itu dan menutupkan daun pintu.
Bi Eng menanti datangnya pembantu pertapa itu yang disangkanya tentu seorang wanita pula.
Ketika pintu kamar terbuka, ia melirik dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa yang memasuki
kamar adalah .... Han Sin yang membawa mangkok bubur tadi. "Niang-niang minta kepadaku untuk
menyuapkan bubur ini kepadamu ...." kata Han Sin, "Bi Eng, kau makanlah bubur ini agar segera
sembuh." Bi Eng hendak marah, akan tetapi teringat akan pesan Pek Sin Niang-niang, ia menahan diri, hanya
mengomel lirih, "Namaku Tilana, bukan Bi Eng ......"
"Kau tetap Bi Eng bagiku, adik Bi Eng yang baik ...."
Bi Eng terharu. "Aku bukan adik kandungmu ....."
"Aku tahu. Kau makanlah ....." Dan Han Sin lalu menyuapkan bubur ke mulut nona itu yang tak
dapat membantah lagi. Setelah bubur itu habis, Bi Eng kelihatan menderita.
"Aduh ...... aduh ..... sakit sekali perutku"
Han Sin sudah diberi tahu oleh Pek Sin Niang-niang tadi, maka ia tidak khawatir, biarpun ia
memperlihatkan muka khawatir. "Ada apakah" Bagaimana rasanya?"
"Perutku sakit, kepalaku pening ..... aahhh ...." Dan tak tertahan lagi, Bi Eng muntah-muntah.
Karena Han Sin duduk di dekat pembaringan, tak dapat dicegah lagi pakaian Han Sin tersembur
oleh isi perut yang dimuntahkan Bi Eng. Di antara bubur yang keluar lagi itu, nampak banyak darah
hitam! "Celaka .... aku .... aku mengotorkan pakaianmu ....."
Akan tetapi Han Sin hanya tersenyum, bahkan dengan saputangannya ia lalu membersihkan bibir Bi
Eng dan pinggir bantal yang terkena kotoran pula. "Tidak apa Bi Eng. Memang di dalam bubur
diberi obat untuk mengeluarkan darah beracun yang masih berada di dalam perutmu. Sekarang
darah itu sudah keluar semua, kaulihat. Ini berarti kau akan sembuh, adikku sayang ...."
"Aku .... aku bukan adikmu .....!"
Biarpun lemah sekali tubuhnya, Bi Eng masih bisa membentak, merengut dan matanya membelalak
marah. "Memang bukan, lebih dari pada adik malah ..." jawab Han Sin tersenyum. "Sekarang kau tidurlah,
Bi Eng, tidurlah ..." Dengan lemah-lembut dan penuh kasih sayang, Han Sin membetulkan letak
kepala gadis itu pada bantal, lalu menarik selimut sampai ke leher Bi Eng. Gadis itu menarik terus
selimut menutupi mukanya dan di dalam selimut terdengar ia mengisak perlahan.
Di kedua mata Han Sin juga tampak dua butir air mata ketika pemuda ini perlahan-lahan
meninggalkan kamar untuk berganti pakaian. Demikianlah, dengan amat teliti dan sabar Han Sin
merawat Bi Eng di bawah pengawasan Pek Sin Niang-niang, dan sebulan kemudian sembuhlah Bi
Eng. Seperti juga dulu ketika Han Sin berobat di situ, setelah Bi Eng sembuh, pertapa wanita itu tidak
kelihatan lagi bayangannya. Kemarin harinya ia sudah memesan Han Sin dan Bi Eng supaya hari itu
meninggalkan Go-bi-san, dan pada hari keberangkatan mereka, ia sengaja pergi, tidak bersedia
menerima ucapan terima kasih! Han Sin dan Bi Eng hanya berlutut dan dengan suara terharu
menghaturkan terima kasih kepada pertapa sakti itu. Lalu mereka turun dari Go-bi-san.
Mereka melakukan perjalanan tanpa banyak bercakap. Memang Bi Eng menjadi pendiam semenjak
berobat di Go-bi-san. Tak pernah mau bicara dengan Han Sin, malah selalu menghindarkan
pertemuan pandang mata. Anehnya, tiap kali tanpa disengaja pandang mata mereka bertemu, gadis
itu tak dapat menahan bercucurnya air matanya!
Setelah menuruni puncak Go-bi-san, Han Sin berhenti dan memegang lengan tangan Bi Eng. la tak
tahan lagi didiamkan begitu saja.
"Bi Eng ..... kita harus bicara dari hati ke hati ....."
Gadis itu berdiri di depannya, menundukkan muka. "Bicara apa lagi! Kau sudah mempermainkan
aku. Sudah lama tahu aku bukan adik kandungmu, kau diam saja. Kau putera Cia Sun, aku anak
Balita. lbuku dan ayahmu musuh besar. Dan kau ... kau ... kau suami Kiok Hwa ...."
"Kiok Hwa siapakah?"
"Yang dulu bernama Tilana, dia anak Ang-jiu Toanio. Kaupun sudah tahu akan hal itu. Kau tahu
segalanya, tapi menutup mulut ....."
"Tidak Bi Eng. Tidak demikian. Memang aku tahu bahwa kau bukan adik kandungku. Aku tidak
memberi tahu karena ..... karena ...... aku tidak ingin berpisah darimu pula, aku ingin membongkar
segala rahasia mengenai dirimu, mengenai hal-hal yang terjadi sebelum orang tuaku meninggal
dunia. Terutama sekali ....... aku tidak ingin kehilangan kau dari sampingku karena ..... karena aku
cinta padamu, Bi Eng. Aku akan mati kalau kau tinggalkan. Aku cinta padamu."
Bi Eng mengangkat mukanya dan kedua matanya sudah penuh air mata. "Kau bohong ...." bibirnya
gemetar, "Kau laki-laki mata keranjang, kau bohong! Kau adalah suami Kiok Hwa ......"
Han Sin menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. "Bi Eng, kau sendiri menjadi saksi
betapa aku hampir saja membunuh Tilana .... atau Kiok Hwa itu karena perbuatannya yang tak tahu
malu. Entah bagaimana, agaknya dia menggunakan racun dalam minuman yang membuat aku
seperti mabok, lebih lagi, seperti gila .... aku tidak ingat apa-apa lagi dan tahu-tahu aku bangun di
sisinya. Kau tahu akan hal ini ... aku tidak cinta padanya. Kaulah satu-satunya wanita di dunia ini
yang kucinta, Bi Eng. Aku sudah menyatakan terus terang kepada Tilana itu ......"
"Tapi ..... tapi ........ kau anak musuh besar ibuku ......."
Han Sin merangkul pundak Bi Eng. "Bi Eng, urusan dahulu tak perlu kita campuri. Aku tahu, aku
merasa di dalam hatiku, bahwa kau mencintaiku pula, bukan ..... bukan seperti kakak kandung .......
aku dapat melihat itu di dalam sinar matamu, dahulu sebelum kau tahu akan hal ini. Karena
perasaanmu itulah maka kau dulu berusaha menjodohkan aku dengan Tilana. Karena kau takut jatuh
cinta kepada kakak kandung sendiri! Bukankah begitu?"
Makin deras air mata membasahi pipi Bi Eng. Mereka berpandangan, cinta dan rindu bergelora
memenuhi dada dan akhirnya dua orang muda yang sudah berkumpul semenjak masih kecil itu
mengeluarkan jerit tertahan ketika mereka saling rangkul, saling peluk sambil bertangisan.
"Sin-ko .... Sin-ko ..... bagaimana aku bisa membencimu" Kaulah satu-satunya orang di dunia ini
bagiku .... kalau saja dulu kau memberi tahu ..... takkan berlarut-larut begini ....."
"Eng-moi, kau pujaan hatiku. Kau kurang sabar menanti, Eng-moi. Kau tak tahu betapa tersiksa
hatiku itu, menahan-nahan cinta, berpura-pura seperti kakak sendiri. Alangkah sukarnya. Betapa
hancur hatiku ketika kau memaksaku dengan Tilana ....."
Disebutnya nama ini mengingatkan Bi Eng akan sesuatu. Cepat ia merenggutkan dirinya atas dada
Han Sin. "Tidak bisa ..... ! Aku anak ibuku! Bagaimana bisa aku mengkhianati ibu sendiri" Ah, Sinko,
bagaimana ini ..........?""
Han Sin maklum. "Marilah, Bi Eng. Mari kita pergi menemui ibumu. Memang kita harus mengaku
terus terang. Biarlah ibumu melihat bahwa permusuhan lama itu kita akhiri dengan ..... perjodohan.
Marilah ......"
Terhiburlah hati Bi Eng. Dengan bergandengan tangan mereka lalu pergi ke arah tempat tinggal
Balita. Andaikata harus membuat pengakuan seorang diri, agaknya Bi Eng takkan berani. Akan
tetapi, berdua dengan Han Sin, ia akan berani menempuh apapun juga.
Ketika mereka tiba di kaki bukit di mana tinggal Balita, tiba-tiba muncul seorang gadis yang
membuat kedua merpati ini berdiri seperti patung dan menjadi pucat. Di depan mereka berdiri ......
Tilana atau Kiok Hwa, gadis berkerudung itu. Tilana berdiri dengan muka lebih pucat lagi, ketika
dengan tubuh kurus dan mata layu. Tanpa disengaja Bi Eng lalu menggandeng lengan Han Sin,
seakan-akan ia takut kalau-kalau Han Sin hendak pergi bersama Tilana.
"Bi Eng, dia bukan kakak kandungmu. Dia itu musuhmu, anak musuh besar ibumu!" Tilana berkata
dengan suara lantang.
"Tidak, cici Tilana. Dia memang bukan kakak kandungku, akan tetapi dia bukan musuhku."
Bibir Tilana gemetar. "Keparat ....., kau ..... kau juga mencintainya ......?"
Bi Eng mengangguk berani. "Karena cintaku kepadanya maka dulu aku membantumu dengan
sengaja. Kalau dulu aku tahu bahwa dia bukan kakakku sendiri, jangankan membantumu, mungkin
pedangku sudah menembusi dadamu!"
Tilana mendekap mukanya dan menjerit lirih. Pernyataan Bi Eng ini merupakan ujung pedang yang
sudah menancap dadanya. la sayang kepada Bi Eng, karena merasa berhutang budi. Ketika ia
membuka lagi tangan yang menutupi muka, ia menjadi makin pucat. Dengan bingung ia
memandangi dua orang di depannya itu.
"Han Sin ......, apakah kau masih tetap dengan cintamu" Masih tetap mencinta dia seperti
pengakuanmu dulu?"
Han Sin mengangguk pasti.
".... ahhh ..., kalau begitu...., kalian saling mencinta .... dan aku ... aku ......bagaimana .....?"
Han Sin tak dapat menjawab, hanya berdiri lemas, hatinya terharu bukan main. Bi Eng melihat hal
ini dan dia yang menjawab, "Salahmu sendiri, cici Tilana. Kau menggunakan akal busuk dan
rendah. Cinta tak dapat dipaksa melalui segala obat racun, melalui segala alat kecantikan. Cinta
demikian hanyalah cinta palsu ....."
"Tapi kau dulu membantuku ....."
"Ya, tapi bukan dengan maksud rendah seperti maksudmu. Aku membantumu karena kusangka dia
kakak kandungku sendiri, aku malah takut kalau-kalau jatuh cinta kepadanya ....." Cekalannya
kepada lengan Han Sin dipererat.
"Keparat .....!" Tilana mencabut pedangnya, sikapnya mengancam. Matanya beringas. "Han Sin,
kalau aku bunuh Bi Eng, bagaimana?"
"Aku akan melindunginya, kalau perlu aku akan lebih dulu membunuhmu."
"Kalau aku membunuhnya secara diam-diam, di luar dugaanmu?"
"Kalau begitu, aku akan membunuh diri sendiri ...."
Tilana menjerit ngeri, meloncat ke depan dan mengangkat pedangnya. Han Sin melindungi Bi Eng,
akan tetapi ia segera berteriak kaget sekali ketika melihat darah menyembur, disusul robohnya
tubuh Tilana yang ternyata telah menggorok leher sendiri dengan pedangnya!
"Tilana ......!"
"Cici Tilana ......!"
Han Sin dan Bi Eng sudah lupa akan kebencian mereka. Keduanya berlutut dekat tubuh Tilana, Bi
Eng menangis dan Han Sin kelihatan terharu sekali. Tilana masih dapat tersenyum dan hanya
matanya yang memandang mereka dengan sinar mata menyatakan harapan, "Semoga kalian
berbahagia." Beberapa menit kemudian, nampak Han Sin dan Bi Eng mengubur jenazah Tilana
dengan khidmat.
**** "Anak durhaka! Anak tidak berbakti! Kau mau ikut dengan jahanam ini" Dia sudah melakukan
perbuatan zina dengan adik kandungnya sendiri. Ha ha ha, dia anak Cia Sun sudah berzina dengan
adik kandungnya sendiri ...."
"Tidak, ibu. Dugaanmu meleset. Cici Tilana itu bukanlah adik kandung melainkan anak Ang-jiu
Toanio. Sebelum ibu menukarkan aku dengan anak keluarga Cia, ibu sudah didahului Ang-jiu
Toanio. Adik kandung Sin-ko jatuh di tangan Hoa Hoa Cinjin, menjadi nona Hoa-ji gadis
berkedok."
"Apa ......?"" Balita membentak dan menatap wajah Han Sin dengan penuh keheranan.
"Betul demikian," kata Han Sin. "Kami, aku dan adik Bi Eng, saling mencinta dan tidak ada
kekuasaan di dunia ini yang dapat memisahkan kami. Akan tetapi, sudah sepatutnya kami
menghadap locianpwe untuk mohon ijin agar kami dapat menghapus permusuhan orang-orang tua
dahulu dengan sebuah pernikahan."
"Apa ....." Anakku ..... darahku ....menikah dengan anak nyonya Cia ......?" Matanya melotot,
rambutnya riap-riapan di antara matanya.
Han Sin mendapat pikiran bagus. "Bukan hanya anak nyonya Cia, locianpwe, melainkan anak darah
keturunan Cia Sun sendiri. Alangkah baiknya, puteri dari Jim-cam-khoa Balita menikah dengan
putera dari taihiap Cia Sun."
Balita menggerakkan kepalanya dan rambut yang riap-riapan ke depan itu kini ke belakang pundak
semua. Matanya bersinar, mulutnya bergerak-gerak, kemudian ia berseru, "Bagus sekali! Seluruh
dunia kang-ouw akan mendengar, akan melihat. Lihat akhirnya putera Cia Sun mengawini puteri
Balita. Hi hi hi, Cia Sun, tengoklah. Kau dulu menolakku, sekarang puteramu memaksa mengawini
anakku. Hi hi hi, kau masih bilang tidak mencinta aku" Lihat puteramu yang lebih tampan dari pada
engkau, sekarang mencinta anakku yang tidak secantik aku. Bukankah ini pembalasan namanya"
Ha ha!" Pada saat itu Siauw-ong meloncat turun dari pohon dan hinggap di pundak Han Sin. Hal ini
membuyarkan pikiran Balita yang cepat berubah dan berteriak,
"Monyet keparat!" Memang perempuan ini aneh. Selama Bi Eng pergi, monyet itu ditinggalkan di
situ dan Balita selalu bersikap baik. Sekarang mendadak ia membenci. "Monyet bedebah! Eh, Cia
Han Sin anak Cia Sun, kau bilang betul-betul mencinta Bi Eng" Mau berkorban apa saja?"
"Betul, aku bersumpah bahwa aku mencinta Bi Eng, bersiap mengorbankan apa saja demi cintaku."
"Tapi tidak akan sah kalau tidak mendapat perkenanku, bukan" Hi hi hi. Bi Eng ini adalah Tilana,
puteriku yang kukandung sembilan bulan lamanya, hi hi!"
"Betul kata-kata cianpwe, memang kami datang menghadap untuk mohon perkenan."
"Aku tidak memberi ijin."
"Ibu .....!" Bi Eng memeluk kaki ibunya dan menangis. "Aku lebih baik mati ......"
"Harap cianpwe ingat bahwa perjodohan ini akan menghapus segala permusuhan, akan menebus
segala kesalahan ayah dahulu."
"Betul ....., betul. Tapi aku masih tidak percaya. Kau betul mencintanya?"
"Aku bersumpah!"
"Lebih mencinta anakku dari pada mencinta monyet ini?"
"Sudah tentu saja ......"
"Nah, kalau begitu penggal kepala monyet ini! Ayoh penggal, sebagai bukti cintamu!"
Bukan main kagetnya Han Sin dan Bi Eng. Mereka memandang kepada Siauw-ong yang melongolongo
tidak tahu apa-apa. Bi Eng menjerit dan memeluk Siauw-ong. "Ibu, kau kejam sekali! Tarik
kembali permintaanmu."
Balita tertawa. "Tidak bisa. Sekali kata-kata dikeluarkan, tak dapat ditarik kembali. Eh, Cia Han
Sin, kau pilih satu antara dua, kau boleh mendapat persetujuanku setelah kau memenggal batang
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
leher monyetmu sebagai tanda cintamu terhadap Bi Eng. Kalau kau lebih sayang monyetmu dari
pada Bi Eng, nah, kau pergilah bawa monyetmu dan tinggalkan anakku di sini."
Han Sin menjadi pucat dan bingung. Beberapa kali ia memandang kepada Bi Eng yang lalu berdiri
dengan tubuh menggigil, matanya tajam menatap wajah ibunya. "Ibu, kalau kau memaksa aku
selamanya takkan mengakuimu sebagai ibu! Kau kejam sekali!"
"Bi Eng, jangan kau berkata demikian!" Han Sin mencela. Betapapun juga, ia tidak mau melihat Bi
Eng menjadi seorang anak yang mendurhakai ibunya.
"Cianpwe, apakah syaratmu itu sudah pasti. Apakah kau hendak menggunakan kekejamanku
terhadap monyetku sebagai bukti cintaku kepada anakmu?"
"Ayoh penggal, tak usah banyak cakap. Penggal lehernya dan kau akan kuambil menantu!"
Han Sin. mencabut pedangnya, menghadapi Siauw-ong yang berdiri bingung. "Siauw-ong, seorang
laki-laki harus berani mengambil keputusan. Aku harus memilih dan keputusanku tidak bisa aku
mengorbankan kebahagiaan kami berdua untuk hidupmu. Kau hanya seekor monyet dan siapa tahu
kematianmu hanya akan membebaskan aku dari pada hukuman karma. Siauw-ong, kau
ampunkanlah aku. Aku Cia Han Sin bersedia menerima hukuman, bersedia kelak menerima
pembalasanmu, demi cinta kasihku terhadap nonamu."
Secepat kilat, sebelum Siauw-ong dapat menyangkanya, pedangnya berkelebat dan Im-yang-kiam
sudah membabat putus leher Siauw-ong yang tewas tanpa dapat mengeluh lagi. Han Sin cepat
menyambar kepala monyetnya yang melayang, mencium muka itu, kemudian dengan hati-hati ia
menaruh kepala itu di atas saputangannya. Bi Eng menjerit dan menangis terisak-isak, menutupi
mukanya. "Inilah, gak-bo (ibu mertua), inilah emas kawin yang kau minta," kata Han Sin menyerahkan kepala
Siauw-ong di atas saputangan itu, sambil memasukkan pedangnya. Bi Eng menangis dan merangkul
pundak Han Sin.
"Sin-ko, mari kita pergi saja ..... tak tahan aku berada di sini lebih lama ...... marilah, Sin-ko ....."
Mereka berdua tak dapat menahan bercucurnya air mata.
Tiba-tiba Balita menangis. "Kau betul-betul membunuh Siauw-ong" Celaka! Kalau Tilana pergi, dia
kawanku satu-satunya sekarang kau bunuh pula. Kalian orang-orang celaka, ayoh pergi dari sini.
Minggat! Dan jangan muncul lagi di hadapanku!" Setelah berkata demikian Balita lalu memondong
tubuh dan kepala Siauw-ong yang sudah terpisah itu, dibawa masuk ke dalam pondoknya! Han Sin
dan Bi Eng lalu pergi meninggalkan tempat itu. Mereka tidak tahu betapa dari belakang pintu,
Balita memandang mereka sambil bercucuran air mata. Memandang ke arah bayangan dua orang
muda yang berjalan sambil saling memeluk pinggang, sampai bayangan itu lenyap di balik gunung
batu. Demikianlah, sebagai suami isteri yang penuh kasih sayang, Han Sin dan Bi Eng hidup berdua di
Min-san. Hubungan mereka dengan dunia ramai hanya ketika mereka menghadiri pernikahan
Pangeran Yong Tee dan Hoa-ji, kemudian pernikahan antara Yan Bu dan Li Goat. Han Sin menolak
keras ketika Pangeran Yong Tee berusaha mengangkatnya menjadi seorang pembesar di kota raja.
Betapapun juga, di lubuk hatinya Han Sin masih tetap memandang pemerintah Mancu sebagai
musuhnya, sebagai musuh bangsanya yang kembali terjajah. Betapapun baik bangsa Mancu
menjalankan pemerintahan, namun mereka tetap bangsa penjajah dan Han Sin diam-diam menanti
saat baik, saat di mana para patriot bangsa akan bangkit dan dengan semangat menggelora akan
mengusir penjajah itu dari tanah air.
TAMAT__ Pendekar Pemetik Harpa 8 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Kisah Si Rase Terbang 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama