Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 3

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


tidak berdaya mencegah pertempuran yang akan terjadi ini. Ia amat kuatir, apa lagi ketika melihat
empat orang tosu itu tiba-tiba mencabut pedang dari punggung mereka.
"Cih, tak tahu malu!" Bi Eng memaki dengan suara menyindir. "Empat orang tosu tua bangka
hendak mengeroyok, malah menggunakan senjata tajam. Gagah amat!" Memang sengaja ia
menyindir karena diam-diam ia bingung juga melihat empat orang lawan hendak mengeroyoknya
dengan pedang di tangan, biarpun di dalam hatinya sama sekali ia tidak takut.
Mendengar ini, empat orang tosu itu saling pandang dengan muka merah. Mereka jadi tidak berani
maju, karena memang amat memalukan kalau empat orang tosu Cin-ling-pai yang sudah terkenal
gagah perkasa harus maju mengeroyok seorang gadis cilik yang bertangan kosong.
"Suheng, biar siauwte menghajarnya!" kata tosu gelung lima sambil melangkah maju. Akan tetapi
baru saja ia maju, Siauw-ong sudah menyerangnya dengan cakaran dan gigitan, bukan sembarangan
melainkan dengan gerakan teratur, gerakan yang dipengaruhi gerakan-gerakan ilmu silat!
"Binatang ini harus dimampuskan dulu!" seru tosu gelung lima itu dan pedangnya kini berkelebatan
menyambar, menghujankan serangan kepada tubuh monyet yang kecil itu.
Akan tetapi Siauw-ong gesit luar biasa. Setelah tosu Cin-ling-pai ini memegang pedang, memang ia
hebat sekali. Kepandaian khas dari para tosu Cin-ling-pai memang dalam penggunaan pedang yang
menjadi senjata khusus ketua mereka Giok Thian Cin Cu. Maka menghadapi sambaran pedang yang
berputar-putar dan berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar itu, Siauw-ong menjadi kecil
hatinya, tidak dapat menyerang kembali.
Akan tetapi, bagi tosu itupun merupakan hal yang luar biasa sukarnya untuk mengenai tubuh si
monyet. Bukan main lincahnya, meloncat ke sana ke mari dan selalu bacokan-bacokan dan tusukantusukan
hanya mengenai angin belaka! Ini masih belum seberapa kalau si monyet tidak
mengeluarkan suara seperti orang mentertawakan dan mengejek. Tosu gelung lima itu menjadi
makin marah, seperti bernyala api sinar matanya, berbusa mulutnya dalam nafsu besarnya untuk
mencacah-cacah tubuh monyet nakal ini.
Si tosu sudah senen-kemis napasnya karena selalu ia membacok dan menusuk angin. Juga Siauwong
nampak lelah biarpun gerakan-gerakannya tidak menjadi lambat. Hal ini amat mencemaskan
hati Bi Eng. Biarpun ia harus mengakui bahwa ilmu pedang tosu itu lihai, namun setelah melihat
tosu itu menyerang Siauw-ong, dalam hati kecilnya ia sanggup menghadapi tosu ini dengan kosong
saja. Ia dapat mengelak selincah Siauw-ong untuk menghindarkan diri dari hujan senjata dan di
samping ini, tidak seperti Siauw-ong, ia melihat kesempatan-kesempatan dan lowongan-lowongan
untuk menyerang kembali.
"Siauw-ong, mundurlah!" serunya kepada monyet itu yang cepat melompat ke belakang, langsung
naik ke pundak Han Sin sambil meleletkan lidah dan memanjangkan hidungnya kepada tosu tadi.
Beberapa orang tosu di belakang menahan ketawa mereka. Betapapun gemas dan mendongkol hati
mereka, didalam hati mereka geli juga melihat kenakalan monyet yang ternyata amat lihai itu. Masa
suheng mereka yang bertingkat lima tidak mampu mmbacok leher monyet dalam puluhan jurus
tadi" Benar-benar aneh sekali. Padahal, suheng mereka itu menghadapi seekor harimau ganas
sekalipun, pedangnya tentu akan dapat membunuh harimau itu tidak lebih dari dua puluh jurus.
Tosu itu biarpun napasnya sudah senen-kemis, akan tetapi saking marahnya dipermainkan oleh
monyet itu, begitu melihat Bi Eng, maju, ia lalu menyerang dengan tusukan yang ganas.
"Moi-moi, awas!" Han Sin berteriak ngeri.
Namun gerakan Bi Eng tidak kalah gesitnya oleh Siauw-ong. Ia dengan mudah mengelak. Tosu itu
kini tidak mau gagal lagi, ia menggerakkan pedang cepat sekali dan mengirim serangan bertubitubi.
Kini para tosu melihat hal yang aneh dan lucu. Gadis cantik jelita itu mulai berloncat-loncatan,
persis seperti gerakan-gerakan monyet cilik tadi, begitu cepat, begitu lucu dan selalu dapat
menghindarkan ancaman pedang!
Tidak seperti Siauw-ong tadi yang hanya bisa mengelak tanpa dapat membalas menyerang. Bi Eng
sekarang mempergunakan setiap lowongan untuk balas menyerang lawannya sehingga tosu itu
makin sibuk dan serangan-serangannya mengendur.
"Sute, lepaskan pedangmu. Mari kubantu kau menangkap gadis liar ini!" seru tosu gelung empat
yang menjadi penasaran sekali melihat bahwa sutenya ini tak lama lagi tentu akan dirobohkan gadis
cilik itu. Ia teringat bahwa andaikata sutenya dapat merobohkan gadis cilik itu yang bertangan
kosong, hal ini tidak akan mengharumkan nama Cin-ling-pai yang sudah terkenal. Maka lebih baik
menangkap gadis ini dan kakaknya untuk diseret kepada suhu-suhu mereka dan menanti keputusan.
Asal dapat menangkap mereka berdua dan monyet itu, sudah tertebuslah kekalahan-kekalahan tadi
dan nama baik Cin-ling-pai takkan tercemar.
Tosu gelung lima itu girang sekali mendengar suhengnya hendak membantu. Ia lalu menyimpan
pedangnya dan melompat ke belakang sambil terengah-engah.
"Biar kuganti kau, sute!" kata seorang kawannya, tosu gelung lima lain lagi yang maju mengawani
si tosu gelang empat. Dua orang tosu ini tanpa banyak cakap lalu menyerbu dan berusaha
menangkap atau menotok jalan darah Bi Eng.
Bi Eng mengelak cepat dan serangan-serangan ini dan ia menjadi terdesak. Tingkat kepandaian
tosu-tosu itu sebetulnya sudah amat tinggi dan Bi Eng baru belajar silat dua tahun saja, mana dia
bisa melawan mereka" Hanya karena semenjak kecil ia belajar menari-nari dengan monyet yang
gesit maka ia memiliki kegesitan luar biasa, ditambah lagi biarpun hanya belajar dua tahun namun
ia belajar langsung dari tangan seorang sakti seperti Ciu-ong Mo-kai, maka tadi ia dapat
menghadapi pedang tosu tingkat lima dan empat, gadis ini benar-benar hanya dapat mengelak dan
berloncatan ke sana ke mari menggunakan kegesitannya dalam tari monyet, sama sekali tidak
mampu membalas serangan lawan.
Tiba-tiba terdengar suara Han Sin yang membuat gadis itu girang sekali.
"Eng-moi, Pek-in-koan-goat (Awan Putih Tutup Bulan) ke kiri!"
Setelah mendengar seruan ini, barulah terbuka mata Bi Eng dan secara membuta ia lalu melakukan
gerakan yang disebutkan oleh kakaknya itu. Dua orang tosu itu terkejut sekali karena tiba-tiba
gerakan Bi Eng berubah dan tahu-tahu telah menyerang mereka dengan dahsyat. Mereka terpaksa
mengelak sambil melompat mundur, baru berani menyerang lagi dari kanan kiri.
"Hui-in-ci-tiam (Awan Terbang Keluarkan Kilat)!" Lagi-lagi Han Sin berseru sambil memandang
pertempuran itu dengan penuh perhatian.
"In-mo-sam-bu (Payung Awan Tiga Kali Menari)!"
Seruan-seruan ini adalah gerak tipu yang paling tepat untuk dimainkan dalam keadaan seperti Bi
Eng. Han Sin memang tidak pernah melatih diri dengan ilmu silat, akan tetapi ilmu silat Liap-hong
Sin-hoat telah ia pelajari teorinya sampai hafal benar, sampai sempurna sehingga ia dapat melihat
bagaimana gerak tipu itu harus dimainkan sungguhpun kalau dia sendiri disuruh main, tentu
gerakan-gerakan kaki tangannya kaku dan tidak biasa.
Bi Eng percaya penuh kepada kakaknya yang memang ia anggap manusia paling pintar di dunia ini,
maka secara membuta ia dengan girang mentaati seruan-seruan itu dan berturut-turut ia mainkan
Hui-in-ci-tiam disusul Im-mo-sam-bu yang mempunyai tiga jurus gerakan. Makin girang hatinya
ketika dalam jurus kedua dari gerak tipu ini, jari-jari tangannya telah mengenai sasaran dengan
tepat, yaitu di iga kiri tosu gelung lima.
Akan tetapi selama hidupnya Bi Eng belum pernah menotok orang. Ketika ia berlatih dengan
suhunya, yang menjadi korban percobaan ilmu totokannya adalah Siauw-ong dan karena ia kasihan
kepada monyetnya, ia selalu hanya menotok urat ketawa monyet itu untuk tidak menyiksanya. Kini
setelah jari-jari tangannya menyentuh kulit tosu itu, ia menjadi jijik dan geli maka otomatis jari
tangannya lalu mencari urat ketawa dan di lain saat tosu gelung lima itu berjingkrakan ke belakang
sambil memegangi perutnya dan tertawa terpingkal-pingkal.
"Hah hah hah hah heh heh heh heh ....!"
Melihat sutenya dipukul lawan, tosu gelung empat kaget dan cepat mendekati sutenya, akan tetapi
sutenya itu ternyata tidak luka malah tertawa-tawa seperti orang kemasukan setan. Ia menepuk
pundak sutenya dan membentak, "Sute, tidak melanjutkan serangan kok malah ketawa-tawa.
Bagaimana sih kau ini?"
"He he he .... pinto (aku) ....... hah hah hah hah!" Tosu gelung lima itu terkekeh-kekeh dan bergelakgelak,
tak dapat lagi menahan ketawanya sampai perutnya terasa kaku dan sakit.
Melihat keadaan ini, barulah tosu tingkat empat itu kaget dan maklum bahwa ketawa sutenya ini
bukanlah sewajarnya. Ia mencoba untuk memulihkan jalan darah sutenya, akan tetapi tidak berhasil.
Ilmu totok yang dipergunakan oleh Bi Eng berbeda dengan ilmu totok Cin-ling-pai, maka tosu yang
baru bertingkat empat itu tidak sanggup mengobati sutenya.
Sementara itu, Bi Eng dan Siauw-ong berloncat-loncatan saking girangnya melihat hasil
pertempuran itu. Bi Eng girang dan bangga dan Siauw-ong mentertawai tosu yang masih terbahakbahak
dan terkekeh-kekeh sampai keluar air matanya itu. Han Sin hanya menggeleng-geleng
kepalanya dengan kening dikerutkan.
"Eng-moi, kau tidak boleh bertempur lagi," katanya keren.
"Koko, ini merupakan latihan yang baik sekali, bukan?" kata Bi Eng girang.
Han Sin menggeleng kepalanya. "Ayoh kau bebaskan dia yang kau totok tadi!" perintahnya. "Totok
ia punya in-tai-hiat dan tepuk urat di tengkuknya."
Bi Eng tersenyum mengangguk. "Aku juga belum lupa cara pembebasannya, koko, akan tetapi baik
sekali kau ingatkan agar jangan keliru." Dengan langkah lebar ia lalu menghampiri tosu gelung lima
yang masih terpingkal-pingkal itu. Cepat ia menotok jalan darah in-tai-hiat lalu berkata kepada
Siauw-ong. "Siauw-ong, kau tepuk tengkuknya tiga kali!"
Ia sendiri tidak sudi harus menepuk-nepuk tengkuk tosu itu. Siauw-ong yang mengikuti nonanya
menurut, meloncat dan menepuk tosu itu tiga kali dengan telapak tangannya. Tosu itu gelayaran
(terhuyung-huyung) hampir jatuh akan tetapi ketawanya berhenti. Tubuhnya terasa lemas dan ia
jatuh duduk dengan napas terengah-engah.
Pada saat itu, dari atas puncak datang serombongan tosu lain dan semua tosu yang berada di situ
bernapas lega. Kiranya yang datang ini adalah serombongan tosu yang terdiri dari tosu-tosu tingkat
empat, tiga dan dipimpin oleh tiga orang tosu tingkat dua! Kali ini tiga ekor monyet cilik ini pasti
akan tertawan, pikir mereka.
Tiga orang tosu tingkat dua itu adalah murid-murid langsung dari Giok Thian Cin Cu. Di Cin-lingpai
hanya terdapat dua orang tingkat satu, dan tiga orang tosu tingkat dua yang sekarang memimpin
pasukan ini. Tosu tingkat tiga hanya ada lima orang, jadi tosu-tosu tingkat satu dua tiga yang
langsung dipimpin oleh Giok Thian Cin Cu sendiri hanya ada sepuluh orang tosu. Ilmu kepandaian
mereka ini tentu saja amat tinggi.
Apalagi Giok Thian Cin Cu sendiri yang selalu bertapa di puncak jarang keluar, bahkan dua orang
muridnya, tosu tingkat pertama, juga jarang keluar, merupakan tosu-tosu tua terhormat yang untuk
segala macam urusan dalam mewakili suhu mereka. Semua urusan luar diserahkan kepada tiga
orang tosu tingkat dua ini yang memang tinggi kepandaiannya, dibantu oleh lima orang tosu tingkat
tiga. "Ada apakah ribut-ribut di sini?" terdengar suara keren dari tosu gelung dua yang mukanya merah.
Sambil bertanya demikian, sepasang mata yang tajam itu menyapu ke arah Bi Eng, Han Sin dan
Siauw-ong. "Sam-wi suhu harap suka turun tangan membersihkan muka kita yang dihina orang!" kata tosu
tingkat empat tadi. Kemudian ia menceritakan betapa dua orang muda dan monyetnya itu
melanggar wilayah mereka kemudian mengeluarkan kata-kata kasar, malah sudah merobohkan
beberapa orang tosu.
Tiga orang tosu tingkat dua itu mendengarkan penuturan ini dengan sabar. Akan tetapi mereka
mengerutkan kening dan pandang mata mereka terheran ketika mendengar bahwa gadis cilik itu
telah merobohkan beberapa orang tosu, di antaranya malah mengalahkan tosu tingkat empat!
Hampir mereka tak dapat percaya. Gadis itu paling banyak berusia tujuh belas tahun, dengan
kepandaian macam apakah bisa mengalahkan tosu Cin-ling-pai tingkat empat"
Tiga orang tosu tingkat dua itu memiliki kedudukan yang tinggi di Cin-ling-pai, merupakan
komandan-komandan semua pasukan Cin-ling-pai, tentu saja mereka tidak memandang mata dan
tidak mau ribut mulut dengan orang-orang muda seperti Han Sin dan Bi Eng, apalagi dengan seekor
monyet kecil! Tosu muka merah memberi isyarat kepada tiga orang tosu tingkat tiga. "Tawan
mereka dan bawa ke puncak, biar nanti kami selidiki murid siapa mereka ini berani mengacau di
Cin-ling-pai!"
Tiga orang tosu tingkat tiga itu menjadi merah mukanya. Mereka adalah murid-murid Giok Thian
Cin Cu sendiri, biarpun hanya bertingkat tiga, namun mereka ini adalah tosu-tosu muda yang
langsung dilatih oleh Giok Thian Cin Cu. Masa sekarang mereka bertiga disuruh menangkap dua
orang muda dan seekor monyet" Menghadapi yang tiga ini, seorang di antara merekapun sudah
cukup, masa harus maju bertiga" Benar-benar pekerjaan yang merendahkan kedudukan mereka.
Akan tetapi karena yang memerintah adalah ji-suheng mereka, tentu saja tiga orang tosu ini tidak
berani membangkang dan dengan muka merah mereka maju serempak.
Melihat majunya tiga orang tosu muda yang kelihatan kuat dan galak, Bi Eng tetap tersenyum
mengejek dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Akan tetapi Han Sin khawatir sekali,
takut kalau-kalau adiknya bertempur lagi, bukan takut adiknya kalah. Ini belum tentu, akan tetapi
takut kalau-kalau adiknya akan mencelakai orang. Ia cepat melangkah lebar menghadang datangnya
tiga orang tosu itu sambil berkata.
"Sam-wi totiang jangan terlalu mendesak kami. Biarlah kami melanjutkan perjalanan kami!"
Tiga orang tosu ini memang merasa segan kalau harus melawan gadis cilik dan monyet. Setidaknya
kalau melawan pemuda ini, tidak terlalu memalukan. Mereka melihat Han Sin maju, lalu berebut
untuk mendahului kawan menangkap pemuda ini. Tosu terdepan lalu mengerahkan lweekangnya
mendorong Han Sin dari jarak dua meter, maksudnya merobohkan Han Sin tanpa menyentuh
tubuhnya memamerkan lweekangnya, setelah pemuda itu roboh baru ditawan. Ia menggunakan
pukulan jarak jauh dengan gerak tipu To-tiu-thai-san (Merobohkan gunung Thai-san). Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika tenaga lweekangnya itu membalik dan menyerang dirinya sendiri,
membuat ia roboh terguling-guling!
Melihat seorang tosu melakukan gerakan mendorong lalu roboh sendiri terjengkang dan tergulingguling.
Bi Eng tertawa dan mengejek. "Apa-apaan ini, tosu badut main komidi!"
Tosu kedua kaget sekali dan iapun cepat melakukan pukulan jarak jauh yang lebih hebat. Ia
menggunakan gerakan Pek-lui-pai-san (Geledek menolak gunung) juga sebuah gerak tipu dari ilmu
silat Im-yang-kun warisan gurunya. Ia tidak mendorong melainkan memukul ke arah dada Han Sin.
Seperti tadi, pemuda ini melakukan gerakan mengangkat lengan untuk menangkis karena takut
dipukul dan akibatnya hebat. Tosu itu terlempar jauh dan untuk beberapa menit tak dapat bernapas
karena hawa pukulannya sendiri yang membalik membuat napasnya sesak.
Tosu ke tiga menjadi bengong dan ragu-ragu, tidak berani dekat dan semua tosu memandang
dengan mata terbelalak. Apa lagi tiga orang tosu kelas dua yang memimpin pasukan itu. Mereka
hampir tak dapat percaya akan kejadian itu.
07. Kematian Utusan Kaisar Boan
PADA saat itu terdengar suara aneh menyeramkan, suara melengking tinggi seperti burung rajawali,
makin lama makin keras sampai membikin sakit telinga. Bi Eng yang sudah belajar ilmu silat
tinggi, cepat menahan napas dan mengerahkan lweekang. Akan tetapi tetap saja ia merasa
kepalanya pening dan harus cepat-cepat menutupi kedua telinga dengan telunjuknya. Siauw-ong
termangu-mangu saja, agaknya alat pendengarannya berbeda dengan manusia sehingga ia tidak
terpengaruh suara yang penuh mengandung tenaga lweekang dan khikang ini. Di antara para tosu,
mereka yang masih rendah kepandaiannya, yaitu gelung enam dan tujuh, banyak yang jatuh
bergelimpangan! Han Sin terheran-heran melihat ini karena dia sendiri tidak merasakan sesuatu,
hanya mendengar suara yang aneh dan melengking tinggi rendah tidak karuan.
Tiga orang tosu kelas dua dari Cin-ling-san berubah air mukanya dan mereka segera menjura ke
arah datangnya suara dan si muka merah berseru, "Kami para tosu Cin-ling-pai telah menanti
kedatangan Cinjin!"
Suara lengking itu lenyap, disusul suara ketawa terbahak-bahak, "Ha ha ha ha ha! Para tosu Cinlingpai tahu diri. Aku datang!"
Angin bertiup dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki
berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan muka penuh berewok hitam, matanya
besar-besar dan menakutkan. Pakaiannya seperti seorang pembesar saja biarpun tidak ada tanda
pangkatnya, sepasang lengannya yang besar dan penuh urat-urat itu bertolak pinggang, kakinya
dipentang dan sikapnya jumawa sekali. Ia menoleh ke kanan kiri memandang dengan mulut
tersenyum mengejek dan memandang rendah, kemudian ketika melihat Bi Eng, senyumnya melebar
dan matanya berseri. Ia menatap terus wajah Bi Eng sambil tangan kanannya mengelus-elus
jenggotnya lalu mengangguk-angguk.
"Cantik ....... cantik manis ...... sungguh menggiurkan ......!" katanya.
Bi Eng mendongkol bukan main. Gadis ini membuang muka dan cemberut. Akan tetapi Han Sin
berkedip kepadanya, memberi tanda supaya adiknya itu jangan mencari perkara. Biarpun bukan ahli
silat, pemuda ini sekali pandang saja maklum bahwa yang baru datang ini adalah seorang jagoan
kelas berat yang lihai sekali. Buktinya para tosu Cin-ling-pai kelihatan takut-takut.
Tosu muka merah lalu melangkah maju setindak sambil menjura. "Kami telah mendapat
kehormatan besar dari kunjungan Cinjin. Tidak tahu ada perintah apakah dari Cinjin yang perlu
kami sampaikan kepada twa-suheng?" Ucapan ini terdengar amat menghormat, akan tetapi
mengandung sindiran bahwa tamu terhormat itu cukup bicara dengan mereka saja dan semua pesan
akan disampaikan kepada twa-suheng, yaitu murid-murid tingkat pertama. Jadi sama saja dengan
mengatakan bahwa kedudukan twa-suheng Cin-ling-pai masih lebih tinggi dari pada tamu ini.
Kakek tinggi besar itu mengeluarkan suara jengekan dari hidungnya. Dia ini bukan lain adalah Ban
Kim Cinjin, seorang kakek berilmu tinggi yang menjadi kaki tangan kerajaan Ceng. Dia masih
terhitung sute (adik seperguruan) Hoa Hoa Cinjin, maka kepandaiannya luar biasa sekali. Di dunia
kang-ouw tidak ada orang yang belum mengenal namanya, nama yang ditakuti karena kakek ini
terkenal jahat dan cabul. Tentu saja ia dapat menangkap sindiran dalam kata-kata si tosu muka
merah, maka ia berkata, suaranya keras nyaring.
"Tosu-tosu Cin-ling-pai terkenal sombong, tidak kukira sesombong ini! Kalau suhu kalian si Giok
Thian Cin Cu terlalu angkuh menemuiku, masih tidak apa karena dia seorang ciang-bun-jin. Akan
tetapi hanya tosu-tosu bau tingkat dua yang menemui aku, sungguh-sungguh tidak pandang mata.
Aku mewakili kerajaan untuk berunding dengan Cin-ling-pai, karena mengingat persahabatan kami
hendak minta bantuan Cin-ling-pai mencari surat wasiat peninggalan pemberontak Lie Cu Seng.
Masa hanya disambut oleh tosu-tosu pemakan nasi yang tiada gunanya?"
Dapat dibayangkan betapa besar kemarahan para tosu Cin-ling-pai mendengar maki-makian ini.
Siapapun adanya kakek ini, betapa lihaipun Ban Kim Cinjin, tidak semestinya menghina Cin-lingpai
sampai demikian hebatnya. Tiga orang tosu tingkat dua dari Cin-ling-pai adalah tiga orang
gagah yang dijuluki Cin-ling Sam-eng (Tiga Orang Gagah dari Cin-ling-san). Mereka juga muridmurid
terpilih dan tersayang dari Giok Thian Cin Cu, sudah mewarisi ilmu-ilmu silat Im-yang-kun
dan Cin-ling-kun.
Yang tertua dan bermuka merah bernama Hap Tojin, seorang ahli ilmu pedang Cin-ling Kiam-hoat
yang jarang bandingannya, yang kedua, tosu bermuka hijau adalah Hee Tojin yang terkenal sebagai
seorang ahli lweekang yang amat kuat di samping ilmu silatnya yang juga lihai sekali, dan orang
ketiga yang bermuka hitam adalah Tee Tojin yang keistimewaannya adalah ilmu ginkang yang luar
biasa. Digabung menjadi satu, tiga orang ini sudah merupakan wakil Cin-ling-pai yang tidak
mengecewakan dan karenanya dipercaya oleh Giok Thian Cin Cu untuk membereskan segala
macam urusan yang menyangkut kepentingan perkumpulan mereka.
Sambil menahan kemarahan, Hap Tojin si muka merah lalu melangkah maju dan menjura lagi.
"Harap Cinjin jangan mengeluarkan ucapan seperti itu. Kami sesaudara yang berada di sini sudah
mendapat perintah dari suhu untuk membereskan semua urusan. Jangankan hanya seorang diri
seperti Cinjin, biarpun andaikata Kaisar Ceng mengirim utusan sebarisan, kiranya cukup


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirundingkan dengan kami semua yang berada di sini. Kalau Cinjin ada urusan untuk disampaikan,
harap katakan saja dan kami dapat memutuskan."
Merah muka Ban Kim Cinjin, matanya bersinar-sinar marah. "Sombong! Kalau aku tetap hendak
naik ke puncak berunding sendiri dengan Giok Thian Cin Cu, kalian mau apa?"
"Tidak bisa, Cinjin. Kalau kami diamkan saja, kami akan mendapat teguran keras dari suheng.
Kecuali kalau Cinjin bisa melewati pasukan Cin-ling-pai, baru kiranya dapat sampai di puncak,"
kata Hap Tojin. Begitu mendengar ucapan ini, para tosu bergerak merupakan bentuk-bentuk tin
(barisan) yang teratur rapi. Semua tosu menghunus pedang dan terbentuklah barisan sebanyak tujuh
lapis. Inilah barisan Cin-ling-tin yang amat kokoh kuat, terdiri dari tosu-tosu gelung tujuh di depan,
lalu di belakangnya tosu-tosu gelung enam dan makin ke belakang makin kuat kedudukannya
karena anggauta-anggauta barisannya lebih lihai dari pada yang di depan.
Ban Kim Cinjin mengangkat kepala dan tertawa bergelak. "Ha ha ha! Cin-ling-pai berkali-kali
unjuk gigi. Baiklah, kali ini hendak kucoba betapa kuat barisannya!"
Tubuh kakek ini berkelebat ke depan dan kembali terdengar bunyi melengking rajawali yang
dahsyat, dibarengi serbuannya ke depan, menyergap barisan terdepan. Barisan ini terdiri dari tiga
belas orang tosu gelung tujuh yang memegang pedang. Begitu kakek itu mengeluarkan bunyi
lengking, barisan ini sudah kacau karena mereka menjadi lumpuh semangat dan tergetar
jantungnya. Akan tetapi dengan gagah para tosu Cin-ling-pai maju juga dan menyerbu Ban Kim
Cinjin. Kakek ini tidak memegang senjata, akan tetapi begitu ia menggerakkan kedua tangannya,
ternyata kedua tangan ini lebih ampuh dari pada senjata tajam.
Beberapa gebrakan saja kakek ini menerjang seperti seekor burung rajawali menyambar korban,
robohlah berturut-turut lima orang anggauta pasukan tosu itu dengan kepala remuk atau dada pecah!
Darah berhamburan dan jerit terdengar mengerikan. Tosu-tosu lain dalam barisan itu tidak kenal
takut dan pantang mundur, mereka terus menyerbu menggantikan kawan-kawan yang tewas. Akan
tetapi mereka ini seperti nyamuk-nyamuk melawan nyala api, begitu maju mereka bertemu dengan
pukulan-pukulan tangan sakti yang membuat mereka rebah tak bernyawa lagi. Sebentar saja, dari
tiga belas orang tosu gelung tujuh ini, hanya tinggal tiga orang lagi yang belum tewas.
Bi Eng memandang kagum dan heran melihat kehebatan ilmu silat kakek itu. Siauw-ong
bersembunyi di belakang nonanya, ngeri melihat begitu banyak darah muncrat keluar. Sedangkan
Han Sin berdiri dengan muka pucat. Tak tahan ia melihat pembunuhan besar-besaran seperti ini.
Tanpa dapat dicegah oleh Bi Eng lagi, pemuda ini lalu lari ke depan menuju ke medan pertempuran.
"Koko ..... jangan ....!" Bi Eng juga mengejar ke depan untuk menahan atau melindungi kakaknya.
Ia cukup mengerti bahwa kakaknya itu biarpun amat pintar, namun adalah seorang pemuda lemah
yang tidak pernah melatih diri dalam ilmu silat. Mendatangi tempat yang demikian berbahaya,
benar-benar seperti mengantar nyawa.
Han Sin tidak perdulikan cegahan adiknya. Hatinya tidak kuat menahan melihat pembunuhan besarbesaran
itu, apa lagi kalau ia lihat betapa kakek ganas itu maju terus hendak melabrak barisanKoleksi
Kang Zusi barisan berikutnya dan para tosu Cin-ling-pai agaknya juga tidak mau mengalah. Ia angkat kedua
tangannya sambil berteriak-teriak keras.
"Cuwi totiang, hentikan pertempuran! Lo-enghiong yang gagah, harap hentikan pembunuhanpembunuhan
ini!" Ia terus berlari menghampiri Ban Kim Cinjin, dan terus mengangkat kedua
tangan untuk memegang tangan kakek itu dalam usahanya mencegah kakek itu melancarkan
pembunuhan dengan kedua tangan mautnya.
Melihat pemuda ini datang sambil mengangkat tangan, berlari-lari kaku, Ban Kim Cinjin menjadi
marah dan mengira pemuda itu hendak membela para tosu Cin-ling-pai. "Bocah lancang, pergilah!"
serunya sambil menggaplok pundak Han Sin dengan perlahan untuk merobohkan pemuda itu.
"Plak!" Tubuh Han Sin terlempar, akan tetapi kakek itu sendiri terjengkang ke belakang. Mukanya
pucat dan napasnya terengah-engah. Ia merasakan tenaganya tadi seperti bertemu dengan baja yang
keras. "Jangan pukul kakakku! Bangsat, berani kau pukul kakakku!" Bi Eng dengan marah menyambar
sebatang pedang dari tosu Cin-ling-pai yang terjatuh ke atas tanah, kemudian ia menyerang Ban
Kim Cinjin dengan sebuah tusukan.
"Moi-moi, jangan .....!" Han Sin mencegah adiknya sambil merayap bangun. Ia tidak terluka dan
tidak merasa sakit sama sekali.
Namun terlambat. Pedang di tangan Bi Eng sudah menusuk dan kakek itu menggerakkan tangan
menangkis. Bi Eng menjerit, pedangnya terpukul patah oleh tangan kakek sakti itu dan gadis itu
terhuyung lalu roboh.
Ban Kim Cinjin merasa lega mendapatkan bahwa tangannya masih tidak kehilangan
keampuhannya. Ia tadinya sangsi apakah tenaganya tiba-tiba lenyap maka ketika mendorong
pemuda lemah itu dia sampai terjengkang. Kini ia marah dan menggunakan separuh tenaganya
untuk memukul Han Sin yang sudah datang lagi. Han Sin sedang sibuk hendak menolong Bi Eng,
maka ia tidak bisa menjaga datangnya pukulan yang tepat mengenai dadanya.
"Blekk ....!" Kembali Han Sin terpelanting dan terguling-guling sampai tiga tombak lebih, akan
tetapi ia dapat bangun lagi karena tidak merasa sakit.
Hebatnya, kakek itu mengeluarkan seruan kesakitan dan terguling roboh, dari mulutnya muntahkan
darah segar! Saking herannya, sampai ia lupa akan sakitnya dan dengan beringas ia meloncat
bangun, kemudian menubruk Han Sin, mengerahkan seluruh tenaganya menghantam kepala Han
Sin. Pemuda itu mendengar angin pukulan dahsyat mengancam kepalanya, segera mengangkat tangan
kiri untuk menangkis.
"Dukkk ....!" Kini Han Sin hanya jatuh lagi terduduk, akan tetapi kakek itu seperti daun kering
tertiup angin, mencelat sampai empat meter dan jatuh di atas tanah dengan mata mendelik dan
nyawa putus! Bukan main kagetnya Han Sin. Ia berlari menghampiri kakek itu dan melihat kakek itu sudah mati,
tiba-tiba pemuda itu menangis!
"Apa yang kulakukan .... ah, Thian Yang Maha Kuasa .... apa yang telah kulakukan .....?""
Bagaimana seorang tokoh besar kang-ouw seperti Ban Kim Cinjin yang sudah amat tinggi tingkat
kepandaiannya itu bisa tewas ketika memukul dan tertangkis oleh Han Sin" Sedangkan yang lainlain,
para tosu gelung tiga yang kepandaiannya jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan Ban
Kim Cinjin, ketika memukul Han Sin mereka hanya terpental dan roboh saja akan tetapi tidak
sampai mati" Hal ini memang ada sebabnya.
Dengan latihan samadhi yang istimewa, yang dipetiknya dari kitab-kitab kuno dan dilatihnya tanpa
petunjuk seorang ahli-ahli, secara keliru Han Sin telah melatih siulian semenjak ia kecil sampai
belasan tahun lamanya. Latihan ini ia lakukan tanpa mengenal bosan dan lelah, bahkan dilakukan
siang malam tak kenal waktu. Kekeliruannya ini tentu akan mencelakakan, dapat membuat orang
menjadi gila atau kemasukan pengaruh iblis lalu mempelajari ilmu hitam kalau saja Han Sin tidak
memiliki dasar watak yang memang bersih dan baik.
Sebaliknya dari pada mencelakakan, kekeliruan ini malah mendatangkan hawa sinkang yang
mujizat di dalam tubuh pemuda ini. Sinkang ini demikian kuat sehingga sukar untuk diukur lagi
kehebatannya, tanpa disadari oleh si pemilik.
Karena Han Sin tidak tahu mempergunakan hawa sinkang ini, maka hawa sinkang itu bekerja dan
bergerak menurut jalan pikirannya. Kalau ia mengangkat tangan dan pikirannya ditujukan hendak
menangkis pukulan atau mencegah serangan orang, secara otomatis, hawa sinkang itu menjalar ke
seluruh tangannya yang menangkis dan di situ bersembunyi hawa pukulan yang mujizat.
Akan tetapi karena tidak dipergunakan untuk menyerang, hawa sinkang itu hanya bersifat menahan
belaka. Maka tergantung dari kekuatan lawan yang ditangkis. Kalau lawan itu mempunyai tenaga
pukulan tiga ratus kati, maka ketika tertangkis tenaga pukulan seberat itu akan membalik dan
memukul penyerangnya sendiri.
Tosu-tosu tingkat tiga dari Cin-ling-pai ketika memukul Han Sin tidak mengerahkan tenaga
sepenuhnya, paling banyak tenaga dorongnya hanya tiga ratus kati, itupun dilakukan dengan
pukulan jarak jauh karena mereka memang tidak berniat membunuh Han Sin. Maka akibatnya pun
tidak sangat hebat bagi mereka, hanya terjengkang dan terlempar oleh hawa pukulannya sendiri
yang membalik ketika membentur hawa sinkang yang keluar dari lengan Han Sin.
Sebaliknya, Ban Kim Cinjin yang sudah marah sekali, menggunakan pukulan sepenuh tenaganya,
sedikitnya ada seribu kati lebih. Maka begitu terbentur lengan Han Sin dan pukulan itu membalik,
mana kakek itu kuat menerimanya" Isi dadanya remuk dan nyawanya melayang!
Han Sin sampai saat matinya Ban Kim Cinjin, masih belum sadar akan kekuatannya sendiri. Masih
belum mengerti bahwa di dalam tubuhnya bersembunyi kekuatan mujizat. Ia hanya tahu bahwa
kakek itu mati setelah memukul dan ditangkisnya, maka ia menjadi kaget bukan main. Hatinya yang
sudah merasa ngeri melihat banyak terjadi pembunuhan, yang mendatangkan rasa kasihan di dalam
hatinya yang mulia dan welas asih, tentu saja menjadi hancur ketika melihat ada orang sampai mati
karena beradu lengan dengannya. Ia merasa menjadi pembunuh dan karena perasaan inilah ia
menangis sedih.
Para tosu Cin-ling-pai ketika melihat Ban Kim Cinjin tewas, menjadi terkejut sekali. Bagaimana
pun juga, Ban Kim Cinjin adalah seorang utusan kerajaan Ceng. Kalau yang membunuh kakek ini
tosu-tosu Cin-ling-pai, hal itu masih tidak hebat karena para tosu Cin-ling-pai yang gagah tentu saja
akan mempertanggung jawabkan perbuatan mereka. Akan tetapi sekarang yang membunuh kakek
itu adalah dua orang muda yang tidak terkenal, maka karena matinya di Cin-ling-san, tentu saja para
tosu Cin-ling-pai yang akan didakwa membunuh Ban Kim Cinjin.
Inilah hebat! Bukan saja Ban Kim Cinjin utusan kaisar Ceng, malah ia itu sute dari Hoa Hoa Cinjin!
Dalam pikiran para tosu, mereka mengira bahwa Ban Kim Cinjin mati oleh Han Sin dan dibantu
secara menggelap oleh Bi Eng, sama sekali mereka belum bisa menerima kalau ada dugaan pemuda
itu dapat membunuh Ban Kim Cinjin hanya dengan jalan menangkis pukulannya.
"Tangkap pembunuh-pembunuh ini!" seru Cin-ling Sam-eng, tiga orang tosu Cin-ling-pai kelas dua
itu. Mereka sendiri menubruk maju untuk menangkap Han Sin dan Bi Eng.
Han Sin melompat maju, mengangkat dadanya dengan sikap gagah, dan suaranya luar biasa sekali,
nyaring dan berpengaruh sehingga sekian banyaknya tosu yang menerjang maju tiba-tiba berhenti
dan terpaksa mendengarkan. Bahkan Bi Eng sendiri sampai bengong memandang kakaknya yang
tiba-tiba mempunyai suara demikian hebat pengaruhnya.
"Nanti dulu! Cuwi totiang adalah orang-orang beribadat, orang-orang yang menjalani kesucian dan
mengutamakan tata susila dan kebajikan. Apakah patut menghina seorang perempuan?"
Hap Tojin ketawa dingin untuk melenyapkan rasa jengahnya mendengar teguran ini. "Hemm, kalian
sudah membunuh seorang utusan kaisar di sini, kalau tidak mau tangkap, bukankah kesalahannya
akan ditimpakan kepada kami?"
"Cinjin ini tewas karena menyerangku, kalau mau bilang tentang pembunuhan, adalah aku yang
membunuh. Adik perempuanku ini apa sangkut pautnya dengan kematiannya" Akulah yang
bertanggung jawab dan kalau mau tangkap, boleh tangkap aku, jangan ganggu adikku."
Semua tosu ragu-ragu mendengar ini. Cin-ling Sam-eng juga merasai kebenaran ucapan pemuda ini
biarpun mereka masih tidak percaya kalau kematian Ban Kim Cinjin adalah karena perbuatan
pemuda yang kelihatan lemah ini. "Kalau kau yang bertanggung jawab semua, biarlah kami
lepaskan adikmu. Kamipun bukan orang-orang yang suka mengganggu perempuan. Nah, ayoh ikut
kami ke puncak."
Bi Eng menjadi pucat dan meloncat maju. "Tidak boleh! Tidak boleh kakakku ditangkap!" serunya
marah dan gadis ini kembali menyambar sebatang pedang di atas tanah, siap untuk melakukan
pertempuran besar-besaran melindungi kakaknya. Juga Siauw-ong kembali meringis-ringis
menantang perang.
"Eng-moi, mundur! Kali ini kau harus menurut kata-kataku dan jangan menurutkan kekerasan hati.
Kau pergilah dulu dengan Siauw-ong, lanjutkan perjalananmu dan tunggu aku di pantai sungai Weiho.
Aku akan menyusulmu setelah urusan ini selesai. Aku percaya ketua Cin-ling-pai akan dapat
mempertimbangkan urusan ini dengan adil."
Pandang mata Han Sin berpengaruh dan luar biasa sekali, dari sepasang matanya mencorong keluar
sinar yang biarpun Bi Eng adiknya sendiri merasa bergidik dan takut. Ia maklum bahwa kakaknya
bersungguh-sungguh dalam hal ini dan akan menjadi marah kalau dia tidak mau menurut. Dengan
muka pucat dan isak tertahan ia menggandeng tangan Siauw-ong, lalu membalikkan tubuh pergi
dari situ sambil berkata, "Sin-ko, aku menanti-nantimu di pinggir sungai Wei-ho!"
Sebentar saja Bi Eng dan Siauw-ong lenyap dari situ. Han Sin menjadi lega hatinya. Dengan
perginya Bi Eng yang ia tahu amat keras hatinya dan berani, ia merasa dadanya ringan dan urusan
yang ia hadapi itu terasa lebih mudah dibereskan. Ia tersenyum kepada Cin-ling Sam-eng.
"Cuwi totiang, mau tangkap aku sebagai pembunuh, tangkaplah!"
Cin-ling Sam-eng maju bersama, takut kalau pemuda ini yang amat aneh dan mencurigakan diamdiam
mempunyai kepandaian tinggi dan turun tangan lagi. Sebelum Han Sin bergerak, mereka
sudah menubruknya dan dilain saat tubuh Han Sin sudah mereka belenggu dengan sebuah rantai
besi yang besar. Rantai itu diikatkan kedua tangannya yang ditekuk ke belakang, terus dilibatkan ke
leher dan dada, membuat Han Sin tak dapat berdaya sedikitpun. Pemuda ini sama sekali tidak
melakukan perlawanan, tersenyum saja. Baju pada lengan kiri dan celananya sedikit robek ketika ia
tadi terjatuh menerima serangan-serangan Ban Kim Cinjin.
Para tosu mengiringkan Cin-ling Sam-eng yang membawa Han Sin ke atas dan beramai-ramai
mereka membawa kawan-kawan yang terluka dan tewas tidak lupa membawa pula jenazah Ban
Kim Cinjin ke atas. Tempat yang tadi menjadi medan pertempuran itu kini sunyi kembali. Hanya
darah yang membasahi rumput di sana-sini menjadi bukti bahwa di situ tadi telah dilayangkan
beberapa nyawa manusia.
Hati Han Sin sudah tenang kembali, tidak seperti tadi ketika pada mula-mula ia melihat Ban Kim
Cinjin tewas karena tangkisan tangannya. Diam-diam ia memutar otak dan merasa heran sendiri.
Bagaimana seorang yang demikian menyeramkan dan lihai seperti Ban Kim Cinjin, yang demikian
mudah membunuh beberapa orang tosu Cin-ling-pai, bisa tewas hanya karena ia tangkis
pukulannya. Bagaimana hal ini mungkin terjadi" Dia tidak pernah belajar silat, hanya hafal teori
ilmu pukulan Liap-hong Sin-hoat. Selain itu tidak belajar apa-apa lagi kecuali membaca isi kitabkitab
kuno dan melatih siulan untuk membersihkan pikiran dan menjernihkan hati.
Biarpun latihan-latihannya membuat pemuda ini mempunyai watak yang penuh welas asih dan
sabar, namun tidak menghilangkan jiwa patriotnya yang diturunkan oleh leluhurnya. Apalagi kitabkitab
kuno, para pujangga dan bijaksanawan semenjak jaman dahulu selalu mengutamakan cinta
negara dan bangsa. Oleh karena itu, di dalam hati kecil Han Sin juga terpendam rasa tidak suka
kepada bangsa Mancu yang telah menjajah negara dan tanah airnya. Kalau ia teringat akan hal ini,
teringat pula bahwa Ban Kim Cinjin adalah utusan kaisar Ceng karena itu berarti kaki tangan
pemerintah penjajah, kecemasan bahwa ia telah menjadi sebab kematian orang itupun berkurang.
Pemuda ini yakin sepenuh hatinya bahwa dia tidak akan menghadapi malapetaka di puncak bukit
itu, di depan para ketua Cin-ling-pai. Orang tak bersalah takkan kalah, demikian pelajaran di dalam
kitab-kitabnya. Ah, Han Sin masih terlalu hijau, belum terbuka matanya bahwa di dunia ini banyak
sekali terdapat orang-orang yang menyeleweng dari pada kebenaran, orang yang tidak mengenal
atau sengaja tidak mau mengenal keadilan, yang tidak perduli akan kebajikan, hanya menurunkan
nafsu hati berdasarkan keuntungan untuk diri sendiri!
Dengan dada lapang dan pikiran ringan pemuda ini menurut saja digiring ke puncak dalam keadaan
terbelenggu seperti seorang penjahat besar. Dia toh tidak salah, pikirnya. Dia dan adiknya melewati
gunung itu dan dihadang serta diganggu oleh para tosu, kemudian diapun bermaksud baik ketika
mencegah Ban Kim Cinjin agar kakek itu tidak melakukan pembunuhan besar-besaran. Betul kakek
itu telah binasa karena tangkisannya, namun ia tidak sengaja bermaksud hendak membunuh orang.
Demikian sambil berjalan Han Sin berpikir dan hatinya tenteram.
Pada masa itu, ketua Cin-ling-pai yaitu Giok Thian Cin Cu, merupakan seorang di antara tokohtokoh
terbesar di dunia persilatan. Kakek ini jarang memperlihatkan diri, apalagi kepada dunia
ramai, bahkan para anggauta Cin-ling-pai sendiri jarang ada yang melihatnya karena kakek ini
selalu menyembunyikan diri di dalam kamar pertapaannya. Selain bertapa dan memperdalam
keahliannya dalam ilmu silatnya yang terkenal, yaitu Im-yang-kun dan Cin-ling-kun yang menjadi
ilmu silat wasiat dari para tosu Cin-ling-pai, kakek inipun dengan diam-diam sedang melatih diri
dengan semacam ilmu silat baru yang amat hebat.
Tiga tahun yang lalu di dalam perantauannya Giok Thian Cin Cu bertemu dengan paman gurunya
yang paling muda dan yang masih hidup di antara gurunya dan paman-paman gurunya, yaitu
seorang pendeta aneh yang sudah disebut setengah dewa berjuluk Hui-kiam Koai-sian (Dewa Aneh
Berpedang Terbang)! Hui-kiam Koai-sian ini dari nama julukannya saja sudah dapat diketahui
bahwa dia adalah seorang manusia aneh ahli pedang. Lebih dari dua puluh lima tahun yang lalu dia
masih menjagoi kalangan kang-ouw, akan tetapi tiba-tiba ia melenyapkan diri dan semenjak itu
namanya tak pernah disebut orang. Oleh karena hal itu telah puluhan tahun, maka lambat laun
namanya lenyap dan jarang ada orang kang-ouw mengenal namanya, kecuali tokoh yang tua-tua.
Dapat dibayangkan betapa girang hati Giok Thian Cin Cu ketika pada suatu hari, dalam
perantauannya, di daerah Telaga Barat yang amat sunyi, ia bertemu dengan Susioknya ini. Hui-kiam
Koai-sian yang melihat sinar mata murid keponakannya itu mengeluarkan cahaya dan wajahnya
mengandung kebijaksanaan, menjadi girang karena maklum bahwa murid keponakan ini telah
memperoleh kemajuan pesat, baik di bidang ilmu silat maupun di bidang kerohanian.
Apalagi ketika mendengar bahwa murid keponakan ini telah menjadi ketua Cin-ling-pai yang ia
dengar tidak sudi tunduk kepada pemerintah Mancu, ia makin bangga. Dalam kegirangannya, ia
berkenan menurunkan ilmu pedangnya, yaitu Lo-hai-hui-kiam (Pedang Terbang Pengacau Lautan).
Tentu saja dalam waktu pertemuan yang amat singkat, Hui-kiam Koai-sian hanya menurunkan
teori-teorinya saja dengan pesan agar ilmu ini jangan dipergunakan sebelum dilatih sampai
sempurna. Sepulangnya ke puncak Cin-ling-san, Giok Thian Cin Cu lalu menyembunyikan diri di dalam
kamarnya dan diam-diam secara rahasia ia melatih ilmu pedang baru itu. Melatih sampai tiga tahun
belum sempurna betul, padahal dilakukan oleh seorang ahli silat selihai Giok Thian Cin Cu, betulbetul
dapat dibayangkan. Agar perhatiannya untuk mempelajari ilmu baru ini tidak terganggu, Giok
Thian Cin Cu lalu menyerahkan semua urusan kepada kedua orang muridnya yang menjadi murid
kepala, yaitu It Cin Cu dan Ji Cin Cu, sedangkan urusan di luar Cin-ling-pai, diserahkan kepada
Cin-ling Sam-eng, murid-muridnya yang bertingkat dua.
Adapun dua orang murid kepala itu, It Cin Cu dan Ji Cin Cu, adalah dua orang tosu berusia empat
puluh tahunan yang pendiam. Kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tinggi. It Cin Cu lebih
banyak mewarisi ilmu pedang suhunya sedangkan Ji Cin Cu lebih banyak mewarisi ilmu lweekang.
Biarpun ada perbedaan ini, namun pada umumnya ilmu silat mereka setingkat dan di masa itu
kiranya hanya sedikit orang yang akan mampu mengatasi mereka.
It Cin Cu tinggi kurus bertahi lalat di pipi kanannya, sedangkan Ji Cin Cu orangnya gemuk pendek
seperti arca Buddha maka ia mendapat julukan Siauw-bin-hud (Arca Buddha Tertawa) karena
memang air mukanya ramah sekali dan selau tersenyum. Sebaliknya It Cin Cu bermuka muram dan
angker maka ia mendapat julukan Thio-te-kong (Malaikat Bumi).
Biasanya, Cin-ling Sam-eng selalu dapat membereskan semua urusan luar tanpa mengganggu kedua
orang suhengnya ini. Maka berkerutlah jidat It Cin Cu ketika tiga orang sute ini menghadap mereka
dan minta mereka memutuskan sebuah urusan luar. Apa lagi ketika mendengar bahwa tiga orang
sutenya ini minta keputusan akan diri seorang pemuda mata-mata yang mengacau Cin-ling-san.
"Sute, urusan mata-mata saja kenapa kalian bertiga tidak bisa membereskan sendiri?" tegurnya
dengan keren. "Suheng, urusan ini bukan hanya mengenai diri pemuda yang mencurigakan itu, akan tetapi
menyangkut pula diri Ban Kim Cinjin yang datang sebagai utusan kerajaan Ceng," kata Hap Tojin
yang kelihatan takut menghadapi suheng yang memang amat keren dan galak itu.
Siauw-bin-hud Ji Cin Cu tersenyum lebar, lebih lebar dari biasanya karena memang ia selalu


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum. Ia menggerakkan tangan kanannya tak sabar. "Urusan dengan kerajaan bangsa Mancu
itupun tidak penting, masa kalian tidak bisa membereskan setelah kalian tahu pendirian kita yang
tidak mau tahu menahu tentang urusan negara dengan pemerintah Mancu?"
"Bukan demikian soalnya, ji-suheng." Kata pula Hap Tojin. Terhadap Ji Cin Cu yang ramah dan
jarang marah, ia lebih berani. "Soalnya ialah pemuda itu dengan adik perempuannya telah
membunuh mati Ban Kim Cinjin di daerah kita."
Dua orang murid kepala Cin-ling-san melengak dan memandang heran. Adanya mata-mata di
daerah Cin-ling-san bukan hal aneh karena pada masa itu memang banyak sekali persaingan dan
permusuhan dengan partai-partai lain yang tumbuh seperti jamur di musim hujan. Juga datangnya
utusan dari pemerintah Ceng bukan hal yang mengherankan.
Akan tetapi Ban Kim Cinjin terbunuh oleh orang-orang muda" Ini amat menarik. Biarpun
kepandaian Ban Kim Cinjin tidak bisa disamakan dengan kelihaian suhengnya, Hoa Hoa Cinjin,
namu kakek itu adalah seorang tokoh besar yang berkepandaian tinggi. Sekarang terbunuh orang
lain di daerah mereka, dan kalau sampai Hoa Hoa Cinjin tidak mau terima dan meluruk ke situ, hal
ini akan menjadi cukup penting dan berbahaya!
"Dua orang muda kakak beradik membunuh Ban Kim Cinjin katamu?" tanya It Cin Cu memandang
tajam. "Soalnya tidak jelas," Hap Tojin menerangkan dengan muka merah karena memang ia masih raguragu.
"Ban Kim Cinjin memaksa hendak naik menemui suhu. Tentu saja kami melarang dan terjadi
pertempuran. Beberapa orang sute rendahan kami telah roboh oleh kakek itu. Tiba-tiba pemuda itu
maju mencegah dan ia dipukul oleh Ban Kim Cinjin. Kesudahannya, malah Ban Kim Cinjin yang
tewas secara aneh, tanpa dipukul oleh pemuda itu. Siauwte sendiri dan saudara-saudara semua tidak
tahu siapakah yang membunuhnya, apakah pemuda yang kelihatan lemah dan telah kami tawan,
apakah adiknya yang sudah pergi ataukah ada orang lain yang bersembunyi dan membantu mereka
dengan diam-diam."
Dengan jelas Hap Tojin lalu menceritakan semua kejadian itu dan kedua orang suhengnya mulai
tertarik. Apalagi ketika mendengar bahwa pemuda itu seperti orang yang tidak mengerti ilmu silat
dan betapa pemuda itu menanggung jawab semua kesalahan dan menyuruh adik perempuannya
pergi. Ini benar-benar aneh dan menarik.
"Bawa dia ke sini!" kata It Cin Cu tidak sabar lagi.
Hap Tojin keluar dan tak lama kemudian ia kembali ke dalam ruangan itu sambil mengiringkan Han
Sin yang masih dibelenggu. Dua orang murid kepala Cin-ling-pai itu memandang ke depan dan
melihat seorang pemuda taruna yang tampan dan halus gerak-geriknya, sedikitpun langkahnya tidak
membayangkan keahlian silat, pakaiannya robek dan tubuh bagian atas terbelenggu. Namun
pemuda itu wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu, malah tersenyum tenang dan mengangkat
dada. Ketenangan yang wajar tidak dibuat-buat sehingga dua pasang mata murid kepala Cin-lingpai
yang amat tajam itu diam-diam memandang kagum.
Han Sin melangkah maju ke depan dua orang tosu itu dan menjura dengan hormat tapi kaku karena
tubuhnya diikat. It Cin Cu menunjuk ke sebuah bangku dan Han Sin lalu menduduki bangku itu.
Sebagai seorang pendeta, It Cin Cu tetap memakai sopan-santun, biarpun ia hanya menunjuk karena
tentu saja ia tidak memandang kepada seorang pemuda seperti ini.
"Congsu, siapakah nama, murid siapa dan apa perlunya congsu berdua adik datang menimbulkan
keributan di Cin-ling-san?" tanyanya singkat dan bernada keras.
Han Sin kecewa. Di dalam kitab-kitabnya yang mengandung pelajaran kebatinan, orang diajar
bersopan-santun, lemah lembut dan ramah terhadap sesama manusia. Apalagi yang sudah menjadi
pendeta, tentu lebih-lebih bersikap halus, tidak sekasar tosu tinggi kurus yang bertahi lalat di pipi
kanannya itu. Namun Han Sin tetap bersikap tenang dan sabar, ingat akan pelajaran di dalam kitabkitabnya
bahwa "yang baik harus ditiru dan yang keliru dinasehati".
"Totiang, aku yang bodoh she Cia bernama Han Sin datang dari Min-san di sebelah barat. Guruku
adalah seorang siucai miskin bernama Thio-sianseng. Adapun aku dan adikku sebetulnya sama
sekali tidak bermaksud menimbulkan keributan di Cin-ling-san. Kami hanya lewat saja akan tetapi
dicegat dan diserang oleh para tosu di Cin-ling-san."
Han Sin memang tidak mau menyebut nama Ciu-ong Mo-kai sebagai gurunya, karena selain ia
merasa tidak patut menyebut murid kakek sakti itu, juga bukankah Ciu-ong Mo-kai berpesan bahwa
kalau menghadapi kesukaran ia harus menyebut namanya untuk mencari keselamatan" Dia tidak
merasa menghadapi kesukaran karena yakin bahwa dia tidak bersalah. Perlu apa mesti
menggunakan nama besar Ciu-ong Mo-kai untuk menakut-nakuti orang dan untuk mencari selamat"
Ia anggap hal ini tidak patut dan malah merendahkan nama besar pengemis sakti itu.
Tentu saja para tosu tidak pernah mendengar nama Thio-sianseng. Dan makin rendah pandangan
mereka terhadap pemuda tampan ini. Akan tetapi tidak demikian dengan dua orang murid kepala
Cin-ling-san. Sikap Han Sin yang penuh kehalusan dan sopan-santun itu membuat mereka diamdiam
makin curiga. Bocah seperti ini sudah pasti bukan bocah sembarangan yang berandalan dan
lancang. "Kenapa kau membunuh Ban Kim Cinjin?" tanya It Cin Cu pula.
Han Sin menggerakkan pundaknya. "Aku sendiripun tidak tahu bagaimana aku bisa
membunuhnya," jawab pemuda ini dengan jujur. "Agaknya dia mempunyai penyakit jantung yang
berat. Begitu dia menyerangku, eh, tahu-tahu dia terjungkal dan mati. Di dalam hatiku, jangankan
membunuh manusia, membunuh seekor ayampun kalau bisa jangan sampai kulakukan itu."
It Cin Cu dan Ji Cin Cu saling pandang. "Sute," kata It Cin Cu kepada Ji Cin Cu. "Coba kau periksa
tubuh Ban Kim Cinjin!"
Siauw-bin-hud Ji Cin Cu melengeh dan biarpun tubuhnya gemuk pendek, begitu tubuh itu
digerakkan tahu-tahu ia telah berada di luar pintu. Han Sin sampai terbelalak memandang keanehan
ini. Apakah tosu gendut itu bisa terbang" Tak lama Ji Cin Cu masuk lagi, juga cepat seperti tadi.
Memang si gendut ini hendak memperlihatkan kepandaiannya kepada Han Sin untuk melihat reaksi
pemuda itu. Melihat pemuda itu dengan muka wajar terheran-heran, diam-diam ia makin tidak
mengerti. "Suheng, isi dadanya remuk terkena hawa pukulan lweekang yang hebat. Tenaga pukulan yang
merusak isi dada itu kiranya tidak lebih rendah dari pada tenaga kita berdua disatukan. Hebat sekali!
Bocah ini tentulah bukan pembunuhnya," kata Ji Cin Cu.
Kembali It Cin Cu mengerutkan kening. "Bocah she Cia, apakah selain adikmu, masih ada orang
lain yang datang bersamamu di bukit ini?"
Han Sin mengangguk. "Memang ada!"
Semua orang kaget. It Cin Cu dan Ji Cin Cu mengepal tangan, siap mendengar siapakah yang
datang bersama anak muda ini, tentulah seorang sakti, yang sudah terkenal. Dengan muka
sejujurnya Han Sin meneruskan jawabannya.
"Selain aku dan adikku masih ada Siauw-ong."
Di antara semua tosu yang hadir, kiranya yang lebih banyak pengalamannya di dunia luar dan
mengenal semua orang-orang gagah, hanyalah Cin-ling Sam-eng.
"Hap-sute, kenalkah kau seorang locianpwe berjuluk Siauw-ong?" tanya It Cin Cu kepada Hap
Tojin, orang tertua dari Cin-ling Sam-eng.
Hap Tojin menggeleng kepala. "Ada Kim-i Tok-ong (Raja Racun Baju Sulam) ada Ban-jiu Touwong
(Raja Copet Tangan Selaksa) ada Hui-thian Mo-ong (Raja Setan Terbang) dan banyak tai-ong
tai-ong (sebutan kepala perampok) yang siauwte kenal, akan tetapi Siauw-ong (Raja Muda) tidaklah
pernah dipergunakan orang kang-ouw sebagai nama julukan. Siauwte tidak mengenal nama ini,"
jawab Hap Tojin.
It Cin Cu menoleh kepada Han Sin.
"Siauw-ong yang kau sebut itu adalah cianpwe dari golongan dan partai manakah?"
Han Sin maklum bahwa jawabannya tadi telah mendatangkan salah paham, diam-diam ia menjadi
geli. Akan tetapi kesopanan melarang dia mentertawakan mereka itu. Dengan muka masih tenang
dan sikap tidak berubah ia menerangkan, "Siauw-ong dari golongan monyet atau munyuk, bukan
golongan lutung hitam, tidak berpartai. Dia adalah monyet kecil yang kami pelihara semenjak
kecil." Mendengar keterangan ini, terdengar suara ketawa kecil di antara para tosu yang dibikin kecele.
Mereka tadi sudah tegang hendak mendengar siapa adanya "locianpwe" itu, tidak tahunya seekor
kera! It Cin Cu memutar matanya penuh teguran dan suara ketawa itu berhenti seketika. Akan tetapi
suara ketawa yang paling keras datang dari mulut Ji Cin Cu, dan It Cin Cu tidak mau menegur
sutenya ini di depan orang banyak. Ia berlaku tenang serius.
"Selain kera itu, siapa lagi yang ikut datang?"
"Tidak ada lagi, totiang," jawab Han Sin.
It Cin Cu mengerutkan kening. Inilah aneh, pikirnya. Apakah ada orang luar biasa yang tidak
dikenal pemuda ini yang diam-diam membantunya dan membunuh Ban Kim Cinjin" Hal itu bukan
urusan Cin-ling-pai, akan tetapi karena pembunuhan dilakukan di Cin-ling-san dan Ban Kim Cinjin
adalah utusan kerajaan Ceng, itulah amat berbahaya. Tiba-tiba ia mengulurkan tangan kanan
menepuk pundak Han Sin. Sebelum tangannya menyentuh pundak, Han Sin merasa datangnya
angin pukulan yang hebat.
Pemuda ini terikat kedua tangannya, tak dapat ia menangkis. Akan tetapi begitu tangan itu
menyentuh pundaknya, It Cin Cu berseru perlahan dan menarik kembali tangannya. Ia merasai
pundak yang empuk seperti kapas akan tetapi yang dibawahnya mengandung tenaga menyedot luar
biasa kuatnya sehingga tenaga pukulannya amblas! Inilah lweekang yang amat tinggi tingkatnya. Ia
membelalakkan matanya dan membentak.
"Anak muda, jangan kau main-main! Siapa gurumu?"
Han Sin memang tidak tahu akan peristiwa yang terjadi tadi. Tanpa ia sadari, sinkang di tubuhnya
secara otomatis mengalir ke pundak membangkitkan tenaga penolakan yang luar biasa. Inilah
karena kematangan latihan samadhinya, yang membuat ia seperti dalam keadaan samadhi di setiap
detik. Bahkan ketika ia tidur, pernapasannya masih tetap saja lambat dan halus seperti dalam
keadaan siulian. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi ketika tosu tadi menepuk pundaknya.
"Sudah kuterangkan tadi, totiang, guruku Thio-sianseng yang mengajarku membaca, menulis, dan
menggambar," jawabnya, suaranya tetap dan pandang matanya memancarkan kejujuran. Ketika
menentang pandang mata pemuda itu, lagi-lagi It Cin Cu dan Ji Cin Cu terkejut karena melihat sinar
mata yang membuat mereka tidak tahan lama-lama memandang.
"Kau telah membunuh utusan kerajaan di daerah kami. Terpaksa kami harus menyerahkan kau
kepada pemerintah Ceng untuk mencuci bersih tangan kami. Masukkan dia di Can-tee-gak
(Ruangan Dalam Neraka)!" perintahnya kepada para sutenya.
Cin-ling Sam-eng lalu menggusur tubuh Han Sin, dibawa ke sebelah belakang bangunan, lalu
menurunkan pemuda itu dengan sehelai tambang ke dalam sebuah jurang. Yang disebut Can-teegak
itu adalah sebuah jurang yang amat terjal dan sekali orang dimasukkan ke situ, jangan harap
akan dapat keluar lagi tanpa pertolongan. Jangankan dalam keadaan terikat badannya, biarpun bebas
kaki tangannya, teramat sukarlah untuk dapat keluar dari situ. Tempat ini memang disediakan untuk
menghukum para anak murid yang melanggar peraturan. Memang Cin-ling-pai amat keras dan
berdisiplin, maka para anak muridnya juga tidak ada yang pernah menyeleweng.
08. Kecerdikan Puteri Thio-ciangkun
KETIKA diturunkan di dalam jurang itu, Han Sin masih tenang saja. Ia mendapatkan dirinya di
dalam ruangan yang merupakan dasar jurang. Baiknya tanah di situ kering dan lebarnya ada empat
lima meter. Di belakang dan depan dinding batu yang amat tinggi, di kiri kanan jurang yang lebih
dalam lagi. Sukar bagi seorang manusia untuk melarikan diri dari tempat ini, kecuali kalau dia bisa
terbang. Han Sin menarik napas panjang, duduk menyandarkan punggung di dinding batu. Dia
memang tidak mempunyai pikiran untuk lari. Mengapa lari" Tentu aku ditahan hanya untuk
sementara waktu selagi para tosu ini mengadakan perundingan untuk memutuskan urusan ini,
pikirnya. Hawa di situ enak, angin gunung menghembus melalui kanan kiri dinding batu, segar dan
sejuk membuat dia mengantuk. Tak lama kemudian pemuda ini tertidur sambil bersandar batu.
**** Tepat dugaan Han Sin. Di puncak Cin-ling-san, dua orang tosu murid kepala bersama sutenya
mengadakan perundingan mengenai peristiwa yang cukup penting bagi Cin-ling-pai itu.
"Gadis itu ilmu silatnya lihai juga, dan aneh gerakan-gerakannya. Akan tetapi tenaganya belum
seberapa dan ilmu silatnya itupun belum matang benar," demikian Hap Tojin menerangkan kepada
It Cin Cu dan Ji Cin Cu. "Monyet kecil itupun hanya gesit saja, apa sih anehnya pada diri seekor
monyet kecil" Pemuda itu biarpun sikapnya amat aneh, namun terang dia tidak mengerti ilmu silat.
Ini dapat dilihat dari gerak-geriknya, malah ia terguling roboh ketika berlari dan kakinya tersandung
batu. Masa seorang ahli silat bisa roboh begini" Akan tetapi, suheng, sekali tangkis dia bisa
menewaskan Ban Kim Cinjin! Bukankah hal ini aneh di atas aneh!"
"Ajaib sekali!" seru Ji Cin Cu yang tersenyum-senyum terus.
It Cin Cu mengerutkan kening. "Tidak bisa lain, tentu ada orang pandai yang diam-diam
menggunakan kesempatan itu membunuh Ban Kim Cinjin. Tak mungkin kalau hanya untuk
menolong pemuda itu ia harus membunuh Ban Kim Cinjin, tentu dia sengaja membunuh di daerah
ini agar kita bentrok dengan pemerintah Ceng. Inilah hebat."
"Kenapa susah-susah, twa-suheng?" kata Ji Cin Cu. "Pemuda itu sudah kita tangkap, tinggal
serahkan saja dia kepada pemerintah Ceng sebagai pembunuh Ban Kim Cinjin. Bukankah itu beres
dan tangan kita tercuci bersih?"
Ucapan ini agaknya memuaskan Cin-ling Sam-eng, mereka mengangguk-angguk membenarkan.
Akan tetapi It Cin Cu menggeleng kepala perlahan. "Gampang diomongkan, susah dilaksanakan."
"Kenapa begitu, suheng?" tanya Hap Tojin.
"Apa sih susahnya membawa pemuda she Cia itu ke kota raja?"
"Apa kalian kira pemerintah Ceng begitu bodoh seperti anak kecil" Mereka mempunyai banyak
orang-orang lihai. Kalau kita menyerahkan pemuda itu kepada mereka sebagai pembunuh Ban Kim
Cinjin dan mereka mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tolol tidak mengerti ilmu silat, apakah
mereka mau percaya bahwa pemuda itu membunuh Ban Kim Cinjin" Jangan-jangan malah kita
makin dicurigai!"
Semua tosu melengak mendengar ini dan baru terbuka mata mereka bahwa memang hal ini amat
sukar dilaksanakan. Siapapun orangnya, mereka sendiri juga, tak mungkin bisa percaya seorang
pemuda yang kesandung batu saja roboh bisa membunuh seorang tokoh besar seperti Ban Kim
Cinjin. Ji Cin Cu mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata,
"Heh heh, kau betul, twa-suheng. Kau betul, heh heh heh. Habis, apakah kita harus melaporkan hal
ini kepada suhu dan minta keputusan suhu?"
It Cin Cu menarik napas panjang. "Suhu sedang sibuk meyakinkan ilmu pedang yang baru. Sudah
dua bulan suhu tidak keluar kamar, dan beliau melarang kita mengganggu. Apa kau tidak ingat"
Masa untuk urusan kecil ini kita harus mengganggunya"
"Tidak, itu aku tidak berani."
"Habis, bagaimana kita harus menyelesaikan urusan ini?" Hap Tojin kuatir.
"Tidak ada lain jalan. Kau kubur dengan diam-diam jenazah Ban Kim Cinjin dan pura-pura tidak
tahu bahwa kakek itu pernah menginjakkan kaki di bukit Cin-ling-san. Toh tidak ada orang lain
tahu akan pembunuhan itu."
Semua orang menganggap keputusan ini baik sekali. "Dan bagaimana dengan orang she Cia itu?"
tanya Ji Cin Cu.
"Biar untuk sementara kita tahan dulu di sini, perlahan-lahan kita mencari keputusan yang baik,"
jawab suhengnya.
Segera para tosu Cin-ling-pai bekerja. Jenazah Ban Kim Cinjin dimasukkan ke dalam peti mati
yang tebal dan kuat. Karena mereka semua adalah orang-orang beribadat, maka tentu saja tidak
melanggar peraturan. Jenazah itu sebelum dikebumikan, mereka sembahyangi lebih dulu. It Cin Cu
bersembahyang sambil berkata keras,
"Ban Kim Cinjin, kau tahu sendiri bahwa kematianmu bukan disebabkan oleh Cin-ling-pai, oleh
karena itu untuk menyingkirkan salah mengerti antara kami dengan kawan-kawanmu, terpaksa kami
mengubur kau dengan diam-diam. Harap rohmu mendapat tempat yang baik." Hio yang mengebul
asap putih ditancap dan semua tosu ikut bersembahyang lalu membaca doa.
Pada saat itu secara tiba-tiba muncul empat orang. Mereka ini adalah tiga orang pengemis tua dan
seorang gadis yang cantik jelita. Tadinya para tosu kaget mengira bahwa yang datang adalah Bi Eng
yang membawa teman-teman untuk menolong Han Sin, akan tetapi setelah mereka datang dekat,
ternyata gadis itu bukan Bi Eng.
Dia seorang gadis yang berpakaian indah dan mewah, mukanya bulat telur, berkulit putih halus,
rambutnya yang hitam panjang itu di gelung ke atas secara istimewa dan indah seperti gelung para
puteri keraton. Cantik manis bukan kepalang gadis ini, hanya sepasang matanya memancarkan sinar
galak dan bibir yang manis itu membayangkan kekerasan hatinya. Seorang gadis muda yang
angkuh, ini mudah sekali dilihat.
Tiga orang pengemis itu usianya lima puluhan tahun lebih. Pakaian mereka tambal-tambalan,
anehnya biarpun tambal-tambalan dan butut, mereka itu pakaiannya sama, seragam! Tidak hanya
potongan dan warnanya, bahkan tambal-tambalannya pun sama, sekain sewarna. Di tangan mereka
terlihat tongkat yang aneh pula karena bentuknya seperti ular kering, terbuat dari logam hitam yang
kelihatannya berat. Lucunya, tiga orang pengemis tua itu, kaki kirinya bersepatu butut akan tetapi
kaki kanan telanjang!
Tadinya para tosu tidak memandang mata kepada empat orang yang baru muncul ini, akan tetapi
ketika It Cin Cu, Ji Cin Cu dan Cin-ling Sam-eng melihat tongkat mereka yang berbentuk ular,
mereka ini menjadi terkejut dan menduga-duga.
Cin-ling Sam-eng memang bertugas di luar, maka tanpa minta perkenan dari kedua orang
suhengnya, mereka bertiga segera berdiri dan menyambut empat orang tamu itu. Hap Tojin menjura
dan berkata. "Sam-wi Lo-enghiong ada keperluan apakah menaiki puncak" Mohon maaf kami para tosu Cinlingpai tidak dapat menyambut sebagaimana mestinya karena kami sedang berkabung." Ia
menuding ke arah peti mati.
Tiga orang kakek pengemis itu memandang ke arah peti dan seorang di antara mereka yang
matanya buta sebelah kiri, melangkah setindak dan bertanya, "Siapakah yang mati itu, harap saja
bukan Giok Thian Cin Cu si orang tua."
Tak senang hati para tosu Cin-ling-pai mendengar pengemis mata satu ini menyebut julukan ketua
mereka begitu saja, agaknya memandang rendah saja. Hap Tojin yang sudah banyak mengenal
orang kang-ouw, memandang penuh perhatian kepada si mata satu, lalu menjura dan menjawab.
"Bukan ketua kami yang kembali ke alam asal. Lo-enghiong ini apakah bukan Tok-gan Sin-kai,
yang terkenal di antara para orang gagah dari Coa-tung Kai-pang (Perkumpulan pengemis tongkat
ular) dari utara?"
Pengemis mata satu itu tertawa, "Awas sekali mata tosu-tosu Cin-ling-pai. Kalian bertiga ini
tentulah Cin-ling Sam-eng."
"Kami bertiga yang bodoh, murid-murid Cin-ling-pai yang rendah tingkatnya mana berani
menggunakan julukan Sam-eng" Tok-gan Sin-kai, seingat kami, antara Cin-ling-pai dan Coa-tung
Kai-pang tidak pernah ada urusan apa-apa, sekarang kau datang ke sini ada keperluan apakah?"
"Kami datang mencari Ban Kim Cinjin!"
Pernyataan ini membuat wajah para tosu menjadi pucat. Dan dalam pikiran It Cin Cu dan Ji Cin Cu
timbul dugaan yang membuat muka mereka merah. Apakah tidak boleh jadi kalau pengemis mata
satu ini yang diam-diam membunuh Ban Kim Cinjin kemudian pura-pura datang untuk
menelanjangi mereka"
"Di mana Ban Kim Cinjin" Dia naik ke sini, bertempur dengan kalian lalu lenyap," desak pula Tokgan
Sin-kai dengan suara garang. "Ketahuilah, kami bertiga mengantar nona Thio ini yang
mewakili ayahnya, Thio-ciangkun, bersama Ban Kim Cinjin menjadi utusan kaisar. Ban Kim Cinjin
berjalan lebih dulu karena tidak ingin mengagetkan kalian tosu-tosu Cin-ling-pai dengan kunjungan


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak orang. Di mana dia?"
Kecurigaan It Cin Cu dan Ji Cin Cu lenyap, dan kini mereka malah kaget sekali. Celaka, pikir
mereka sebelum mayat Ban Kim Cinjin dikubur, datang utusan-utusan kaisar ini. Kalau sampai
rahasia terbuka, tak dapat tiada pasti akan timbul keributan.
Cin-ling Sam-eng juga mempunyai pikiran seperti itu. Hap Tojin lalu berkata sambil tersenyum.
"Coa-tung Kai-pang telah bersekutu dengan pemerintah baru, itu bukan urusan kami orang-orang
Cin-ling-pai. Kenapa kami harus mencelakakan utusan kaisar?"
Tiba-tiba gadis yang pendiam dan kelihatan galak itu menggerakkan kakinya. Ringan bagaikan
burung walet tubuhnya melayang ke dekat peti mati dan sebelum ada orang menduga apa yang
hendak dilakukannya dan sebelum mereka sempat mencegah, gadis itu telah mengayunkan tangan
kirinya ke arah peti mati.
"Brakk!" Tutup peti mati itu pecah terbuka dan kelihatanlah mayat Ban Kim Cinjin membujur kaku
di dalam peti mati. Nona itu mengeluarkan seruan tertahan dan meloncat mundur dekat tiga orang
pengemis tadi, wajahnya yang cantik berobah bengis. Sungguh mengherankan orang kalau melihat
kejadian itu. Tangan nona manis itu berkulit halus dan putih, agaknya tak pernah bekerja kasar,
bagaimana sekali gempur saja tutup peti mati yang demikian tebalnya sampai pecah" Benar-benar
ia menunjukkan bahwa lweekang nona itu sudah tinggi tingkatnya dan kepandaiannya pun hebat.
Semua orang tosu menahan napas saking tegang hatinya. Dipukulnya peti mati itu bukan
merupakan hinaan bagi mereka karena di dalam peti mati adalah mayat Ban Kim Cinjin. Akan
tetapi, terbukanya peti mati itu sekali gus membuka rahasia mereka yang hendak menyembunyikan
tentang kematian Ban Kim Cinjin.
Tiga orang pengemis itu bersinar-sinar matanya karena marah. "Hemm, tidak kusangka tosu-tosu
Cin-ling-pai pandai membohong dan curang!" seru pengemis mata satu. Matanya yang sebelah
kanan berkilat menyapu ke arah Cin-ling Sam-eng, penuh ancaman.
Hap Tojin mengeluarkan suara ketawa nyaring untuk menindas hatinya yang tadi terguncang. "Tokgan
Sin-kai, jangan sembarangan saja kau membuka mulut memaki orang! Sejak kapan kami orangorang
Cin-ling-pai membohong?"
"Tosu tua bau!" Tok-gan Sin-kai marah sekalidan melangkah maju. "Tadi mulutmu sendiri yang
menyangkal membunuh Ban Kim Cinjin. Di dalam peti mati itu mayat siapa lagi kalau bukan mayat
Cinjin" Apa mulutmu yang bau masih hendak bilang mayat itu tidak mati?" Sambil berkata
demikian, Tok-gan Sin-kai menggerakkan tongkat ularnya yang dengan gerakan berputaran
menghantam kepala Hap Tojin.
"Sratt!" Sebatang pedang telah berada di tangan Hap Tojin dan sekali pedangnya berkelebat,
tongkat ular sudah ditangkisnya. "Traanggg!" Bunga api berpijar dan ternyata kini bahwa tongkat
itu terbuat dari logam yang amat kuat. Hap Tojin terkejut sekali di dalam hatinya ketika merasa
telapak tangannya panas dan sakit-sakit akibat benturan senjata itu.
"Pengemis tua, jangan kau memaki sembarangan!" Hap Tojin juga sudah marah karena pengemis
itu mulai mendamprat. "Memang di dalam peti mati itu mayat Ban Kim Cinjin, siapa yang pernah
menyangkal itu" Akan tetapi matinya bukan karena kami orang-orang Cin-ling-pai. Kalau kami
bermusuh kepadanya dan membunuhnya, masa kami sudi bersusah payah mengurus penguburannya
dan menyembayanginya?"
Ucapan ini masuk akal dan agak menyabarkan hati Tok-gan Sin-kai. Ia lalu melangkah maju
menghampiri mayat di dalam peti itu. Biarpun Ban Kim Cinjin adalah seorang tokoh besar yang
memiliki kedudukan tinggi juga di antara para pembantu pemerintah Ceng, namun karena bukan
seorang tokoh partainya, pengemis mata satu ini juga tidak banyak menaruh hormat. Dengan
sembarangan saja ia memeriksa tubuh Ban Kim Cinjin, membuka bajunya dan melihat di bagian
dada itu biru-biru menghitam, tanda bahwa matinya terkena pukulan hebat.
"Cin-ling Sam-eng, apa kau mau bilang bahwa orang ini mati sendiri tanpa sebab?" ia mengejek
sambil mundur lagi dua langkah.
"Tok-gan Sin-kai, dia mati dipukul orang. Cuma saja, siapa orangnya, itu kami masih sedang
menyelidiki."
"Hemm, omongan bayi! Dia adalah utusan pemerintah dan datang ke sini untuk memenuhi tugas.
Tahu-tahu dia mati di sini, di antara para tosu Cin-ling-pai dan kau mau bilang bahwa kau tidak
tahu siapa yang memukulnya sampai mati?" Dua orang pengemis yang lain mengeluarkan suara
ejekan, dan gadis manis itu, yang tadi disebut Thio-Siocia (nona Thio) puteri Thio-ciangkun,
berkata dengan nyaring dan keren.
"Tosu-tosu Cin-ling-pai kalau sudah membunuh, berlakulah sebagai orang gagah! Sudah berani
membunuh mengapa takut mengaku dan menjelaskan sebab-sebabnya" Kami melihat sendiri tadi
Cinjin bertempur dikeroyok beberapa orang tosu."
"Cin-ling-pai tidak mempunyai anggauta pengecut tukang bohong. Kami selalu menjaga diri
dengan pedang, tak pernah menggunakan pukulan curang. Andaikata Ban Kim Cinjin mati ditangan
kami, tentulah matinya tertusuk pedang, Kami tahu Ban Kim Cinjin dibunuh orang akan tetapi
belum tahu siapa pembunuhnya. Kalau kalian pecaya kepada kami, boleh kalian membawa pergi
mayat Ban Kim Cinjin dan pergi dari sini dengan baik-baik. Kalau tidak percaya, terserah hendak
berbuat apa. Aku Hap Tojin mewakili Cin-ling-pai sudah habis bicara!" Ia lalu berdiri dengan
pedang melintang di dada akan tetapi menjura dengan hormat, ini tandanya ia menghormati para
tamu akan tetapi tidak mau mengalah atau tunduk begitu saja.
"Bagus! Memang sudah lama aku mendengar nama besar Cin-ling Sam-eng yang tersohor gagah
dan angkuh. Hendak kulihat sampai di mana kehebatannya!" Sambil berkata demikian, Tok-gan
Sin-kai lompat menyerang Hap Tojin.
"Pengemis buta jangan main gila di Cin-ling-san!" seru Hap Tojin sambil memutar pedangnya
menangkis. Di saat itu, berkelebat dua bayangan yang cepat mengurung pengemis mata satu itu,
ternyata Hee Tojin dan Tee Tojin sudah maju membantu saudaranya itu.
"Tahan dulu, harap jangan menurutkan nafsu marah. Urusan ini baik dirundingkan secara damai!"
Yang bicara adalah It Cin Cu yang bersama Ji Cin Cu semenjak tadi hanya duduk diam
mendengarkan saja.
Mendengar seruan suheng mereka, Cin-ling Sam-eng melompat mundur menahan senjata dan
berdiri memandang kepada Tok-gan Sin-kai dengan mata melotot. Adapun Tok-gan Sin-kai ketika
mendengar suara yang berpengaruh inipun tidak berani sembarangan turun tangan, lalu berdiri
menghadapi It Cin Cu dan Ji Cin Cu yang sudah melangkah maju dengan tenang.
It Cin Cu menjura kepada pengemis mata satu itu, lalu berkata, suaranya tenang. "Tok-gan Sin-kai
lo-sicu harap maafkan sute-sute kami yang berdarah panas. Biasanya, urusan mengenai Cin-ling-pai
memang sudah kami serahkan kepada ketiga orang sute kami ini, akan tetapi mengingat bahwa
urusan kali ini bukan kecil dan amat pentingnya, terpaksa pinto berdua ikut-ikut."
Tok-gan Sin-kai balas menjura. Kalau dua orang ini adalah suheng-suheng (kakak-kakak
seperguruan) Cin-ling Sam-eng, maka mereka ini bukanlah orang sembarangan. "Ucapan totiang
lebih menarik hati, memang bukan maksud kami datang ke Cin-ling-san untuk berkelahi. Tidak
tahu siapakah totiang dan ada petunjuk apakah?"
"Sam-wi losicu dan nona jauh-jauh datang dan kami tidak dapat menyambut secara sewajarnya,
harap banyak maaf. Seperti cu-wi (tuan sekalian) melihatnya, kami sedang menjalankan upacara
sembahyang dan memang pada kematian Ban Kim Cinjin ini terselip hal-hal yang amat aneh.
Bukan bohong ketika para sute tadi mengatakan bahwa kami sendiri merasa berhadapan dengan
teka-teki sulit dan masih meraba-raba dan menduga-duga siapa sebenarnya pembunuh Ban Kim
Cinjin." Kemudian dengan suara tenang dan sabar It Cin Cu menceritakan peristiwa yang telah
terjadi di Cin-ling-san. Sebagai penutup ceritanya ia berkata,
"Untuk penyelidikan, kami sengaja menahan bocah she Cia itu dan mengurungnya di Can-tee-gak."
Mendengar ini, nona cantik yang tadi diperkenalkan sebagai Thio-Siocia puteri dari Thio-ciangkun
(perwira Thio) melompat dan sekali tangannya menyambar, ia telah menangkap seorang tosu
terdekat. Tosu itu mencoba untuk menangkis, akan tetapi sekali totok tubuhnya lumpuh dan leher
bajunya sudah dicengkeram oleh nona yang gagah ini!
"Ayoh, antar aku ke Can-tee-gak!"
It Cin Cu tersenyum kecil dan Ji Cin Cu tertawa lebar. "Hayaa, sute, kau benar-benar sial!" katanya
kepada tosu yang ditangkap oleh nona Thio yang sebenarnya bernama Thio Li Hoa. Nona ini adalah
murid terkasih dari ketua Coa-tung Kai-pang (perkumpulan pengemis tongkat ular) dan selain
mewarisi ilmu silat ketua Coa-tung Kai-pang, iapun sudah mewarisi kepandaian tunggal ayahnya,
Thio-ciangkun. Maka biarpun tiga orang pengemis tongkat ular adalah terhitung suheng-suhengnya,
namun dalam ilmu silat, kiranya dia tidak akan kalah oleh mereka.
It Cin Cu memandang kepada Thio Li Hoa dengan mata tajam. "Nona Thio, kau sungguh tidak
memandang kami. Setelah kami berterus terang, mengapa menggunakan kekerasan" Tanpa
mengeluarkan kepandaianmu, kami tentu bersedia mengantarmu membuktikan kebenaran ceritaku
tadi." Mendengar ini, Li Hoa menjadi merah mukanya, akan tetapi dasar ia keras hati, ia hanya
mendengus dan melepaskan cekalannya. Tosu itu ketika dilepaskan, lalu roboh terkulai dengan
lemas. Ji Cin Cu mendekati dan sekali menepuk, tosu itu sudah sembuh kembali. Melihat ini, diamdiam
Li Hoa memuji. Tak disangkanya, tosu gemuk pendek yang selalu tertawa itu demikian
lihainya. "Nona Thio, ketahuilah. Can-tee-gak berada di sebelah belakang puncak ini. Kau jalan dari sini ke
belakang sampai dua li, membelok ke kiri setengah li dan tibalah kau di jurang Can-tee-gak.
Dengan kepandaianmu, kau tentu akan dapat menuruni jurang itu dan memeriksa bocah she Cia
yang menjadi tangkapan kami itu. Nah, tanpa diantarpun tentu nona tidak takut pergi seorang diri,
bukan?" Ucapan Ji Cin Cu yang disertai suara ketawa ini memang dia sengaja. Tadi tosu itu diamdiam
merasa mendongkol melihat kekasaran nona ini yang menghina seorang sutenya, maka ia
sekarang sengaja memanaskan hati untuk membalas biar nona itu pergi sendiri mencari Cia Han Sin
di tempat tahanannya. Ia tahu bahwa tidak mudah menuruni Can-tee-gak, maka sengaja ia berkata
bahwa tentu nona itu tidak takut.
Memang Li Hoa berwatak keras. Mana dia kenal takut" Apalagi setelah orang berkata demikian
tentu saja ia malu kalau tidak berani pergi sendiri. Ia tersenyum mengejek, tubuhnya berkelebat dan
terdengar suaranya. "Kau lihat saja apakah aku tidak dapat menyeretnya ke sini!"
"Sumoi, biar aku menemanimu," kata seorang pengemis sambil menggerakkan kaki hendak
mengejar. Namun bayangan gadis itu yang sudah tidak kelihatan lagi menjawab dari jauh. "Tidak
usah, suheng, jangan bikin aku ditertawai orang!" Pengemis itu menggeleng kepala, menarik napas
panjang lalu memandang kepada Ji Cin Cu dengan mata melotot.
"Ha ha ha ha!" Ji Cin Cu yang dipelototi tertawa bergelak. "Nona itu jauh lebih berani dari suhengsuhengnya.
Kagum, kagum .....!"
It Cin Cu lalu mempersilakan tamu-tamunya mengambil tempat duduk dan dia lalu melanjutkan
upacara sembahyang yang tadi tertunda. Peti mati ditutup lagi dan upacara dilanjutkan dengan
penuh khidmat sehingga tiga orang pengemis tua itu merasa tidak enak untuk mengganggu. Namun
diam-diam mereka tidak bisa duduk diam dan hati mereka kebat-kebit kalau mengingat sumoi
mereka yang pergi seorang diri hendak mengambil tawanan yang akan mereka paksa untuk
mengaku siapa adanya pembunuh Ban Kim Cinjin.
Setelah upacara sembahyang selesai, It Cin Cu lalu minta kepada Tok-gan Sin-kai untuk
menceritakan apakah sebetulnya tugas mereka dan usul apa gerangan yang diajukan oleh
pemerintah Ceng kepada Cin-ling-pai. Dengan suara tinggi dan memperlihatkan sikap bangga
sebagai utusan pemerintah Ceng, Tok-gan Sin-kaiyang kini setelah Ban Kim Cinjin tewas boleh
dibilang menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin rombongan, lalu berkata,
"Karena ternyata bahwa pemerintah baru telah diperkenankan oleh Thian (Tuhan) memimpin
rakyat, sudah sepatutnya kalau para orang gagah membantu pemerintah baru ini mengenyahkan
segala kekacauan dan membantu penertiban di kalangan rakyat. Ada beberapa gelintir manusia tak
tahu diri coba memberontak dan membangkang, aahh, tak lama lagi tentu mereka ini akan digilas
hancur. Cin-ling-pai selama ini tidak memperlihatkan sikap bermusuhan dengan pemerintah baru,
hal ini amat menggirangkan hati Thio-ciangkun yang bertugas menertibkan para perkumpulan
orang gagah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, totiang, sikap diam tidak bermusuhan saja masih
belum sempurna. Untuk mempererat hubungan dan kerja sama demi kepentingan rakyat jelata,
sudah sepatutnya kalau Cin-ling-pai menggunakan kekuasaan dan nama besarnya untuk membantu
usaha pemerintah. Dan adalah harapan besar dari Thio-ciangkun agar Cin-ling-pai suka mencari
surat wasiat Lie Cu Seng yang lenyap di tangan mendiang Cia Sun si pemberontak di Min-san."
Tok-gan Sin-kai berhenti bicara dan matanya yang tinggal satu itu memandang wajah It Cin Cu dan
Ji Cin Cu bergantian dengan sinar mata penuh selidik dan tajam. Namun wajah It Cin Cu yang
keren itu tidak memperlihatkan bayangan isi hatinya, tetap keren dan tenang, sedangkan wajah
Siauw-bin-hud Ji Cin Cu tetap tersenyum-senyum seperti orang kegirangan, tidak ada perubahan
apa-apa. Padahal dibalik "kedok" muka ini, di dalam dada dua orang tosu Cin-ling-pai ini timbul
gelombang hebat mendengar ucapan Tok-gan Sin-kai.
Mereka tahu bahwa dengan cara licin memutar, pemerintah Ceng telah minta bukti dari Cin-ling-pai
bahwa perkumpulan ini tidak menentang pemerintah Ceng dan suka melakukan perintahnya. Kalau
memang pemerintah baru ini menghendaki surat wasiat itu, mengapa harus minta bantuan Cin-lingpai
dan tidak mengerahkan kaki tangannya sendiri yang banyak dan lihai-lihai" Akan tetapi It Cin
Cu yang berwatak jujur, tidak sanggup menjawab dan diam saja. Sebaliknya, Ji Cin Cu yang selalu
tertawa itu ternyata memiliki otak yang lebih cerdik. Sambil tertawa-tawa ia mengutarakan isi
hatinya ini dengan cara memutar pula.
"Lo-sicu, kami dari Cin-ling-pai memang tidak mempunyai maksud bermusuh dengan siapapun
juga, apa lagi dengan pemerintah yang berkuasa. Juga orang-orang bodoh seperti kami, yang setiap
hari hanya menyucikan diri dan sedapat mungkin menjauhi urusan dunia, mana ada kesanggupan
dan kemampuan untuk mencari surat wasiat yang demikian pentingnya" Kalau lo-sicu sudah tahu
bahwa surat wasiat itu berada di tangan Cia-enghiong di Min-san, bukankah kau orang tua tinggal
datang ke sana dan mengambilnya saja?"
Nama besar Cia Sun sebagai keturunan pahlawan dan juga sebagai seorang pendekar besar, biarpun
kepandaiannya belum begitu hebat, sudah terkenal di seluruh dunia dan mendapat penghormatan
besar dari pada para ciang-bun-jin (ketua) partai dan orang-orang gagah. Maka Ji Cin Cu juga
menyebutnya Cia-enghiong (pendekar Cia), tidak seperti Tok-gan Sin-kai yang menyebut si
pemberontak tadi.
Tok-gan Sin-kai tersenyum pahit dan menjawab, "Tidak semudah itu, Ji Cin Cu totiang! Memang
kami sudah menyelidik ke Min-san, akan tetapi puncak itu kosong dan kabarnya dua orang anak
keturunan Cia Sun sudah turun gunung. Tentu surat wasiat itu mereka bawa pergi."
Tiba-tiba hati It Cin Cu dan Ji Cin Cu berdebar, akan tetapi dua orang tosu yang sudah tinggi
kepandaiannya ini dapat menekan perasaan mereka dan wajah mereka tidak berubah sama sekali.
Akan tetapi dari pandang mereka masing-masing tahu apa yang terkandung di hati mereka.
Bocah yang aneh itu she Cia dan datang bersama seorang adik perempuannya, apakah tidak
mungkin mereka itu anak-anak dari pendekar Cia Sun" Kalau benar demikian halnya, mereka
sebagai orang-orang gagah yang amat mengagumi Cia Hui Gan dan Cia Sun, tentu saja tidak akan
membiarkan pemuda itu terjatuh ke dalam tangan kaki tangan pemerintah Ceng! Karena pikiran ini,
mereka lalu bersikap tenang dan diam, namun berjanji dalam hati untuk melindungi pemuda itu
kalau benar dia keturunan Cia Hui Gan dan Cia Sun.
**** Dengan amat nyaman Han Sin yang di"hukum" di Can-tee-gak (Ruangan Dalam Neraka) bukannya
mengeluh dan berkuatir, malah tidur nyenyak sekali. Tempat itu yang diapit batu karang tinggi
merupakan terowongan untuk angin gunung maka tubuhnya serasa dikipasi dan sejuk sekali.
Setelah kenyang tidur, tiba-tiba ia bangun ketika telinganya mendengar suara yang amat dikenalnya.
Suara cecowetan.
"Siauw-ong, kau di mana?" tegurnya. Tak salah lagi, itulah suara monyetnya. Akan tetapi ia tidak
melihat monyet itu dan suara monyetnya terdengar dari atas. Tahulah ia bahwa tentu Siauw-ong
berada di atas jurang. Tiba-tiba ia menjadi gelisah. Kalau Siauw-ong muncul, tentu muncul pula Bi
Eng. Bukankah monyet itu tadi pergi mengikuti adiknya" Dan kalau Bi Eng kembali, tentu adiknya
yang berwatak keras dan berani itu akan bentrok dengan para tosu Cin-ling-pai.
"Siauw-ong! Eng-moi! Kalian pergilah dari sini, biar nanti aku menyusul!" serunya ke atas. Akan
tetapi tidak terdengar jawaban kecuali gema suaranya sendiri. Malah suara Siauw-ong tidak
terdengar lagi. Ia menarik napas lega. Mudah-mudahan mereka mau menuruti permintaanku dan
melarikan diri, pikirnya.
Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa ketika ia tadi tertidur, seorang gadis yang cantik telah
menuruni jurang itu melalui seutas tambang. Dengan gerakan lincah melebihi seekor kera gadis itu,
Thio Li Hoa, telah menuruni Can-tee-gak untuk melihat sendiri kebenaran cerita tosu-tosu Cin-lingpai
tentang seorang pemuda she Cia yang sudah membunuh Ban Kim Cinjin. Gadis ini memang
cerdik sekali, melebihi para suhengnya, maka begitu mendengar seorang pemuda bershe Cia, timbul
kecurigaannya. Tidak semata-mata ia hendak menyelidiki kebenaran cerita para tosu itu, melainkan ia menaruh
dugaan bahwa mungkin sekali pemuda dan adik perempuannya itu adalah keturunan Cia Sun yang
sudah turun gunung. Cia Sun seorang pendekar besar, tidak aneh apabila mempunyai seorang putera
yang berkepandaian tinggi. Kalau ia dapat menemui pemuda itu dan mendahului orang lain
merampas surat wasiat Lie Cu Seng, bukankah ini baik sekali" Seluruh orang pandai di dunia kangouw
mengilar untuk mendapatkan surat wasiat itu, apa lagi dia! Terpincuk oleh harta terpendam"
Cih, siapa memikirkan harta terpendam"
Sesungguhnya, bukan harta terpendam, melainkan kitab rahasia yang hebat, kitab pelajaran ilmu
silat yang luar biasa dan tiada keduanya di dunia ini. Itulah kitab pelajaran peninggalan Tat Mo
Couwsu yang paling dirahasiakan, yang kabarnya terjatuh ke dalam tangan Lie Cu Seng namun
belum ada seorangpun manusia sempat mempelajari isinya.
Kitab yang tiada bandingannya di dunia lebih berharga dari pada harta dunia yang paling mahal,
yang dibuat rindu oleh semua tokoh kang-ouw! Inilah yang membuat gadis cerdik ini tergesa-gesa
mencari Cia Han Sin karena ia menduga bahwa pemuda ini tentulah putera Cia Sun dan membawa
surat wasiat. Ketika Li Hoa berhasil menuruni dasar jurang Can-tee-gak, ia melihat seorang pemuda sedang tidur
pulas dengan duduk bersandar pada batu karang. Hatinya terkesiap dan jantungnya berdebar ketika
ia melihat Han Sin. Tak disangkanya ia akan menjumpai seorang pemuda setampan ini dan segagah
ini. Dalam tidur, biarpun dalam keadaan terbelenggu dan berada di dasar jurang dalam, bibirnya
masih tersenyum dan pada wajah yang amat tampan itu seujung rambutpun tidak kelihatan tanda
gelisah atau ketakutan.
Melihat wajah pemuda ini, diam-diam Li Hoa merasa denyut jantungnya menjadi cepat sekali dan
kedua pipinya menjadi panas. Aneh, mengapa aku menjadi begini" Demikian pikir gadis itu dengan
heran. Ketika itu, Han Sin menggerakkan sebelah kakinya dan cepat ringan bagaikan seekor burung
walet, gadis itu sudah melompat dan menyelinap bersembunyi ke balik sebuah batu disebelah kanan
pemuda itu. Ia mengintai dari tempat sembunyinya dan diapun mendengar suara cecowetan seekor
monyet dari atas jurang.
Ketika pemuda itu memanggil-manggil nama monyet itu dan nama adik perempuannya, hati Li Hoa
girang bukan main. Ketika ayahnya menyuruh orang menyelidik ke Min-san, diapun mendengarkan
laporan penyelidik-penyelidik itu bahwa Min-san sudah ditinggal pergi oleh putera dan puteri Cia
Sun yang turun gunung membawa seekor monyet. Tak salah lagi, inilah putera Cia Sun dan tentu
dia inilah yang membawa pergi surat wasiat itu! Aku harus cepat turun tangan, jangan sampai
didahului oleh para tosu Cin-ling-pai, pikirnya, Maka keluarlah ia dari tempat persembunyiannya.
Akan tetapi pada saat itu, Han Sin berseru girang dan dari atas meluncur turun bayangan hitam kecil
yang merosot dengan amat cepatnya. Li Hoa kaget sekali. Dia sendiri tidak akan dapat meluncur
turun melalui tambang secepat itu. Kalau lawan yang datang ini, tentu hebat kepandaiannya. Akan
tetapi setelah dekat, ternyata yang meluncur itu adalah seekor monyet yang kecil yang kini sudah


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tergantung-gantung di atas kepala Han Sin.
"Siauw-ong, kau turun juga" Mana nonamu?" tegur Han Sin yang masih belum melihat bahwa kini
Li Hoa sudah berdiri di belakang batu.
Siauw-ong lebih awas. Monyet ini mengeluarkan bunyi nyaring dan cepat meloncat turun, lalu
membalikkan tubuh menghadapi Li Hoa dengan mulut meringis memperlihatkan taring-taringnya.
Baru sekarang Han Sin menengok dan ia kaget bukan main. Matanya melongo memandang wajah
gadis yang cantik bukan main ini. Bagaimana di tempat ini ada seorang gadis sedemikian cantik
manisnya" Tentu seorang dewi dari kahyangan, pikirnya. Kalau manusia biasa, mana bisa seorang
gadis selemah itu menuruni tempat ini"
"Siauw-ong, mundur kau! Jangan kurang ajar!" bentaknya keras melihat sikap Siauw-ong hendak
menyerang nona itu. Siauw-ong tidak berani membantah perintah tuannya, lalu melompat mundur
dan duduk di atas pundak Han Sin, mengeluarkan bunyi sedih melihat tubuh pemuda itu dibalut
rantai-rantai besi yang amat besar dan kuat.
Li Hoa melangkah maju dan Han Sin segera mencium bau harum yang keluar dari pakaian gadis itu
yang indah dan mewah. Melihat dandanan dan sanggul yang indah luar biasa itu, Han Sin tidak
sangsi lagi bahwa ini tentulah seorang dewi. Ia seringkali membaca dongeng-dongeng tentang dewi
dan dewa, maka cepat ia berlutut, dan mengangguk-anggukan kepalanya sambil berkata.
"Hamba Cia Han Sin yang penuh dosa mohon ampun bahwa hamba tidak dapat menyambut
kedatangan dewi yang bijaksana!"
Ia mengira akan mendengar jawaban yang merdu dan berpengaruh seperti layaknya suara seorang
dewi, akan tetapi alangkah herannya ketika ia sebaliknya mendengar suara ketawa kecil cekikikan
karena geli hati. Celaka, pikirnya, teringat akan dongeng-dongeng dalam buku-bukunya, kalau dewi
tidak pernah tertawa seperti ini, kecuali siluman! Dia siluman .....!
Ia memberanikan hati dan mengangkat muka, akan tetapi tidak melihat gadis itu tertawa lagi,
melainkan melihat wajah yang keren, cantik sekali, dan agung. Memang watak Li Hoa tidak periang
dan gadis ini keras hati serta angkuh. Tapi melihat sikap Han Sin tadi, ia tidak dapat menahan
kegelian hatinya dan tertawa. Baiknya ia cepat dapat menguasai hatinya lagi sehingga ketika
pemuda itu mengangkat muka, ia sudah dapat menggigit bibirnya dan memandang tajam dengan
muka merah. "Tak usah main gila, aku bukan dewi segala macam!" bentaknya ketus.
"... kau bukan .... bukan ....." kata Han Sin gagap karena masih bingung oleh jalan pikirannya
sendiri tadi. "Bukan apa?" bentak Li Hoa lebih ketus lagi.
Han Sin tak dapat menjawab. Tak mungkin ia melanjutkan kata-katanya yang kurang kata-kata
"siluman betina" tadi. Ia hanya menjawab, "Aku tidak menyangka di tempat ini dapat bertemu
dengan nona, maka aku menjadi kaget dan bingung. Harap nona suka memaafkan sikapku tadi,"
katanya dan mukanya menjadi merah saking jengah mengingat sikapnya tadi.
Gadis itu mendengus kecil lalu duduk di atas sebuah batu di depan Han Sin. Mata yang jeli itu
memandang penuh selidik, dan ia berhasil menyembunyikan kekagumannya melihat potongan
tubuh dan wajah pemuda itu.
"Aku turun ke sini untuk memeriksamu. Siapa namamu?"
Sampai lama Han Sin tidak dapat menjawab. Ia terheran-heran. Yang menangkapnya adalah tosutosu
Cin-ling-pai dan tadi ia hanya melihat banyak sekali tosu-tosu tua muda, tidak seorangpun ada
wanitanya. Bagaimana sekarang tahu-tahu muncul seorang gadis secantik bidadari datang untuk
memeriksa perkaranya" Saking tercengang dan heran, ia sampai tidak mendengar pertanyaan tadi.
"Hei! Siapa namamu?" Li Hoa mengulang.
Han Sin sampai menjumbul (tersentak), tapi dengan senyum tenang ia menatap wajah penanyanya.
"Ah, sampai kaget aku. Kenapa sih nona yang belum mengenal aku sudah membentak-bentak
seperti orang marah" Apakah ada sesuatu yang menjengkelkan hatimu, nona?" Han Sin memang
berhati mulia dan halus. Melihat orang marah-marah itu ia salah duga dan mengira nona ini sedang
mengandung kejengkelan, maka ia berusaha menghibur malah.
"Jangan banyak cerewet. Jawab, siapa namamu?" Li Hoa membentak, makin keras karena marah
dan mengira Han Sin mempermainkannya.
Han Sin menarik napas panjang. "Kasihan, semuda ini sudah banyak mengalami kejengkelan hati.
Bisa lekas tua ....."
"Plak! Plak!" Dua tamparan tangan Li Hoa jatuh di pipi kanan kirinya. Di pipi yang putih itu
tampak membekas merah lima jari tangan Li Hoa. Tentu pedas dan sakit rasanya, akan tetapi Han
Sin hanya tersenyum saja. Dia seorang pemuda yang berani, tenang dan kuat menderita.
"Terima kasih, nona," katanya dengan senyum dikulum.
Tak kuat Li Hoa menghadapi senyum itu, apalagi pancaran sinar mata yang tajam luar biasa dari
pemuda aneh ini, jantungnya berdenyut dan pipinya menjadi merah, lebih merah dari pipi Han Sin
yang sudah mulai menghilang tapak jarinya.
"Habis kau .... kau kurang ajar sih ...." katanya perlahan seperti pernyataan menyesal bahwa ia
sudah memukul orang yang begini halus.
Han Sin mengangkat alisnya. "Maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar. Baiklah, kujawab
pertanyaanmu tadi. Namaku Cia Han Sin, dan kau siapa, nona?"
"Kau putera Cia Sun?" tanya lagi Li Hoa tanpa menjawab pertanyaan orang.
"Eh, bagaimana kau bisa tahu" Apa kau kenal orang tuaku" Sayang ayah sudah meninggal, kalau
belum aku dapat menanyakan namamu kepadanya."
Li Hoa tidak memperdulikan ucapan orang, hatinya terlampau girang mendapat kenyataan bahwa
dugaannya tadi benar. Nafsunya untuk mendapatkan surat wasiat tak dapat ditahannya lagi. "Orang
she Cia, kau tentu membawa surat wasiat Lie Cu Seng, betul tidak?" Suaranya sampai menggetar
saking tegang hatinya.
Han Sin bukannya tidak tahu bahwa orang-orang kang-ouw menghendaki surat wasiat itu dan iapun
mengerti bahwa dia harus merahasiakannya. Akan tetapi melihat seorang gadis cantik dan muda
seperti gadis ini juga ikut memperebutkannya, ia menjadi penasaran. Ia tertawa masam dan
menjawab, "Eh nona! Kenapa kau tahu segala" Tahu ayahku, tahu tentang surat wasiat segala.
Benar-benar kau hebat, siapa sih kau?"
"Namaku Li Hoa, she Thio. Cia Han Sin, tahukah kau bahwa jiwamu terancam karena kau
membawa-bawa surat wasiat itu" Semua orang jahat di dunia menghendakinya. Kaupun dikurung di
sini karena kau menyimpan surat itu. Kau berikanlah kepadaku dan aku akan bantu kau melarikan
diri dari tempat ini." Tiba-tiba sikap Li Hoa menjadi manis sekali, ramah dan kerling matanya
memikat. Kini Han Sin tertawa sungguh-sungguh. Ha ha ha, begini baru manis kau, Li Hoa. Orang secantik
engkau memang seharusnya ramah tamah, baru patut. Akan tetapi kau tadi bilang bahwa orangorang
jahat di dunia menghendaki surat itu, kurasa kau keliru. Bukan hanya orang-orang jahat,
malah orang-orang baik dan cantik seperti engkau sekalipun menghendakinya!"
09. Kemusnahan Surat Wasihat Lie Cu Seng
WAJAH Li Hoa menjadi merah akan tetapi ia tersenyum. Dia dipuji-puji orang, tentu saja hatinya
senang, biarpun dia seorang gadis yang keras hati. "Aku tidak menghendaki harta benda, aku hanya
ingin menolongmu supaya kau terhindar dari gangguan orang jahat."
"Eh, kenapa kau begini baik hati" Kita baru saja bertemu," kata Han Sin sambil tertawa, pandang
matanya tidak percaya dan curiga.
"Sudahlah, kau dibaiki orang tidak mengerti. Kelak kuceritakan semua. Sekarang lebih baik
kuambil dulu surat itu darimu." Setelah berkata demikian, tangan Li Hoa digerakkan dan
menggeledahi pakaian di tubuh Han Sin. Sepuluh buah jari tangan yang runcing halus dan kecilkecil
itu seperti sepuluh ekor ular menggelitik tubuh Han Sin. Pemuda ini tidak tahan lagi dan
tertawa terkekeh-kekeh. "Ha ha hi hi, ah gelinya. Aduhh .... aduh geli, jangan kau kitik-kitik aku,
nona .....!"
Li Hoa makin jengah dan segera menghentikan geledahnya. Ternyata dia tidak mendapatkan surat
itu biarpun kedua tangannya sudah menggeledah ke sana-sini hingga menyentuh tubuh pemuda itu.
Memikirkan perbuatannya tadi, diam-diam ia merasa lucu dan malu, juga jantungnya berdebar
makin keras. Selama hidupnya belum pernah jari-jari tangannya menyentuh kulit tubuh seorang
pemuda seperti ini.
"Kau tidak mau memberikan, sih. Awas, akan kukitik-kitik lagi kau sampai tidak kuat dan mati
kaku kalau kau tidak memberitahu kepadaku di mana kau simpan surat wasiat itu."
Han Sin menahan tawanya dan menggeleng-geleng kepalanya. "Nona .....eh, Li Hoa, kau anak baik,
kalau adikku melihatmu tentu dia senang. Sayang kita berkenalan dalam keadaan seperti ini.
Dengarlah, surat yang kau maksudkan itu tidak mungkin kuberikan kepada lain orang, karena
memang menjadi hak milikku sebagai warisan ayah. Selain itu, kuberitahukan juga kepadamu, tak
mungkin kau bisa mengambilnya."
"Masa" Coba kau beritahukan di mana. Aku pasti dapat mengambilnya. Kau kira aku begitu bodoh
dan lemah?" tantang Li Hoa, hatinya girang sekali. Kiranya pemuda ini seorang yang tolol,
pikirnya. Tampan dan kelihatan cerdik pandai, akan tetapi sesungguhnya tolol dan lemah. Maka ia
memperlihatkan sikap seramah itu, sungguh berlawanan dengan tabiatnya yang biasanya keras dan
kaku. Menghadapi seorang pemuda tolol harus menggunakan siasat halus, pikirnya. Dia sama sekali
tidak mengira bahwa Han Sin sama sekali tidak tolol, melainkan seorang yang amat jujur dan terlalu
percaya kepada orang karena bagi dia yang selalu hidup dalam kitab-kitab sucinya, manusia di
dunia ini kesemuanya baik-baik belaka, malah ia belum begitu percaya ada orang bisa berhati jahat!
Tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak. "Tidak .... tidak .... kau takkan berani mengambilnya, Ha ha
ha!" "Aku tidak berani" Asal tidak di neraka, aku akan menempuh api menyeberang laut, aku akan
berani mengambilnya," jawab Li Hoa agak mendongkol. Dia gadis paling berani di dunia ini
menurut pendapatnya, masa pemuda ini bilang dia takkan berani"
"Aku tidak bisa memberitahukan, aku .... aku ... ah, memalukan!"
Gadis itu melengak. Apakah pemuda ini sudah miring otaknya. Ia mendongkol dan merasa
dipermainkan, akan tetapi ia masih ragu-ragu dan memaksa diri berlaku manis. "Han Sin yang baik,
kau beritahukanlah, aku pasti akan berani mengambilnya. Ini demi kebaikanmu sendiri, tahu" Kalau
harta benda itu terjatuh ke dalam tanganku, aku Thio Li Hoa bersumpah akan menyerahkan semua
harta itu ke tanganmu. Aku sudah cukup kaya, aku tidak butuh lagi harta dunia."
Han Sin memandangnya. "Li Hoa, aku tahu kau anak baik. Aku percaya kepadamu. Akan tetapi
sudah kukatakan, surat itu warisan ayah, tak boleh diberikan kepada orang lain. Selain itu, juga ....
juga takkan dapat kau mengambilnya, karena kusimpan .... kusimpan ...."
"Di mana ....?"" Li Hoa berteriak tak sabar lagi.
"Di dalam ... di dalam celana .... kuikatkan dibalik celanaku. Nah, kau memaksa aku mengaku sih,
bukannya aku tak tahu malu. Apa kau berani mengambilnya" Kurasa tidak mungkin kau gadis baikbaik
dan sopan."
Tadinya mata gadis itu membelalak lebar, kemudian ia menundukkan mukanya yang menjadi
merah sekali, di lain saat Li Hoa sudah tertawa bergelak, akan tetapi hanya sebentar saja. Sementara
itu, melihat gadis itu tidak mengganggu Han Sin, monyet Siauw-ong sejak tadi memandang gerakgerik
mereka dan ikut tertawa dan melonjak-lonjak girang tiap kali melihat dua orang itu tertawa.
Sekarangpun ia tertawa sambil berloncat-loncatan.
"Han Sin, kau benar. Aku tidak berani mengambilnya. Akan tetapi akupun tidak percaya kepadamu,
kau tentu bohong."
"Selama hidupku, aku Cia Han Sin tidak pernah bohong dan tidak akan mau membohong!" bentak
Han Sin marah. "Kalau betul tidak bohong, tunjukkan buktinya. Seorang laki-laki harus berani membuktikan
kebenaran omongannya!"
"Mana bisa" Kedua tanganku dirantai."
"Tunggulah, akan kubebaskan kau!" kata Li Hoa dan "srett!" pedangnya telah ia cabut. Melihat
pedang ini, Siauw-ong mengeluarkan pekik kaget dan tiba-tiba ia menyerbu, meloncat tinggi
dengan tangan kiri berusaha merampas pedang dan tangan kanan mencengkeram ke arah leher Li
Hoa. Kaget sekali gadis ini menyaksikan gerakan yang begitu cepat dan lincah, juga tidak secara ngawur,
melainkan gerakan seorang ahli silat! Biarpun ia sudah mengelak ke kiri, namun ujung lengan
bajunya kena disambar dan robek! Boleh jadi gadis ini seorang ahli silat tinggi, murid kesayangan
ketua Coa-tung Kai-pang, akan tetapi monyet inipun bukan monyet sembarangan. Dia seorang
"murid" tak langsung dari Ciu-ong Mo-kai Tang Pok yang ilmunya tidak kalah oleh Coa-tung Sinkai
ketua dari Coa-tung Kai-pang!
"Siauw-ong, jangan kurang ajar. Mundur kau! Nona itu bukan hendak membunuhku, melainkan
hendak menolongku. Mundur!" Benar saja, Siauw-ong mentaati perintah ini dan dia melompat
mundur, akan tetapi sepasang matanya yang kecil masih memandang tajam penuh curiga ke arah Li
Hoa. Gadis ini kagum sekali. "Eh, Han Sin. Monyetmu ini ternyata lebih setia dari pada manusia biasa.
Kepandaiannya pun lumayan. Coba kau berdiri membelakangiku, biar kuputuskan rantai ini."
Dengan tenang dan penuh kepercayaan, pemuda itu berdiri lalu membelakangi Li Hoa. Gadis itu
makin terharu. Benar-benar seorang pemuda yang hebat, penuh keberanian, jujur dan amat baik
hati, terlalu baik hati. Kalau dia mau, bukankah sekali tabas saja ia akan dapat menewaskan pemuda
itu. Pedangnya diangkat, sinar berkelebat disambung bunyi nyaring dan ternyata rantai itu telah
putus oleh sabetan pedang di tangan Li Hoa!
Siauw-ong memekik dan meloncat-loncat kegirangan sedangkan Han Sin lalu meloloskan rantai
yang sudah putus itu dari tubuhnya. Ia menarik napas dan memandang kagum kepada Li Hoa.
"Li Hoa, melihat adikku yang bisa belajar silat aku heran. Sekarang ternyata kaupun seorang gadis
muda sudah memiliki kepandaian silat dan begini kuat, benar-benar aku menjadi makin heran.
Untuk apa sih gadis-gadis cantik jelita belajar silat dan menjadi kuat dan kasar seperti laki-laki.
Bukankah lebih baik kalau gadis cantik halus lembut dan lemah gemulai?"
"Jangan ngaco! Lekas kau ambil surat itu kalau memang kau tidak membohongiku!" kata Li Hoa
tidak sabar lagi.
"Akan tetapi hanya untuk bukti bahwa aku tidak bohong, sama sekali bukan hendak kuberikan
kepadamu atau kepada siapapun juga," kata Han Sin sambil membalikkan tubuh membelakangi Li
Hoa lalu merogoh ke dalam celananya. Dalam sebuah saku yang dipasang pada balik celananya, di
situlah selama ini ia menyimpan peta kuno itu. Ketika ia membalikkan tubuh lagi menghadapi Li
Hoa, ia sudah memegang peta itu dengan wajah berseri.
"Aku Cia Han Sin tak pernah membohong. Inilah wasiat itu!"
Tiba-tiba tangan kiri Li Hoa menyambar dan peta itu sudah direbutnya. Terdengar suara kertas
robek dan ternyata peta itu sudah robek menjadi dua potong, sepotong di tangan Li Hoa dan yang
sebelah lagi di tangan Han Sin. "Eh, kau ... kenapa kau merampasnya?" teriak Han Sin marah.
Li Hoa tersenyum, pedangnya bergerak menodong di depan dada Han Sin.
"Tolol, memangnya kau kira nonamu suka bercanda denganmu" Berikan yang sebelah lagi, kalau
tidak ujung pedangku akan menembusi dadamu!"
Melihat ini, Siauw-ong marah dan menyerang akan tetapi Han Sin mencegahnya. "Jangan Siauwong!
Nona ini hanya main-main!" Siauw-ong mundur lagi. Binatang ini memang paling taat dan
takut kepada Han Sin.
"Li Hoa, jangan kau begini. Apa kau tidak malu?"
"Tutup mulut, berikan potongan yang di tanganmu itu!"
Han Sin tertawa getir. Ia kecewa. Baru sekarang terbuka matanya bahwa gadis ini memang benarbenar
menghendaki surat wasiat, bahwa sikap yang ramah tadipun hanyalah pura-pura sebagai
siasat merampas surat wasiat. Kembali ia dikecewakan orang. Ia tertawa-tawa keras. "Ha ha ha, Li
Hoa, tidak ada gunanya potongan peta ditanganmu itu. Itu hanya corat-coret tidak ada artinya.
Penjelasannya berada di tanganku ini. Dan kau takkan bisa mendapatkannya, biarpun kau akan
menusuk mampus dadaku."
Setelah berkata demikian, dengan hati gemas Han Sin meremas peta di tangannya itu. Ia tidak
sengaja hendak merusak peta itu karena tidak tahu bahwa ia akan dapat melakukannya. Akan tetapi
begitu ia mengerahkan tenaga karena marah dan kecewanya, mengalirlah tenaga ke dalam jari-jari
tangan yang memegang peta, terdengar suara aneh dan ...... tahu-tahu potongan peta di tangannya
itu menjadi hancur berkeping-keping tak mungkin bisa dibaca atau disambung lagi. Ia menyebar
kepingan kertas itu ke atas dan sambil tertawa ia melihat kepingan itu diterbangkan oleh angin,
sebagian jatuh di atas rambut kepala Li Hoa dan menambah kecantikannya.
" Ha ha ha, kau lihat tidak, Li Hoa" Potongan di tanganmu itu tidak ada artinya sama sekali!"
Li Hoa buru-buru melihat potongan peta itu dan benar saja, di situ hanya terdapat gambar sebagian
gunung dan lembah, tidak ada huruf-hurufnya sama sekali. Bagaimana orang dapat mengenal
gambar sebelah gunung tanpa tanda-tanda yang jelas. Diapun kaget melihat pemuda itu sekali remas
dapat menghancurkan kertas yang tipis dan lunak. Tanpa memiliki lweekang yang tinggi, mana bisa
melakukan hal itu" Meremas hancur sepotong batu yang keras masih lebih mudah dilakukan dari
pada meremas hancur sepotong kertas yang lunak dan ulet.
Akhirnya ia menyimpan potongan itu ke dalam saku bajunya lalu berkata, "Han Sin, kau benarbenar
tolol. Kau tidak mau memberikan peta itu kepadaku, sebaliknya malah merusaknya. Setelah
rusak di tanganmu, bagaimana kau akan dapat memenuhi kehendak ayahmu supaya kau mencari
rahasia peta itu?"
Han Sin memang jujur. Biarpun gadis cantik ini sudah menipunya, dia tidak merasa sakit hati, tidak
menaruh dendam. "Bukan aku yang tolol, Li Hoa, mungkin kau sendiri. Apa aku mau merusaknya
sebelum semua isi peta itu pindah ke dalam ingatanku" Bagiku sama saja, ada peta atau tidak."
Li Hoa memandang tidak percaya. Han Sin menjadi penasaran. Dia sejak kecil hanya hidup berdua
dengan adiknya dan tiga orang pelayan. Belum pernah mempunyai teman lain dan sekarang
bertemu dengan Li Hoa, dia merasa senang. Sebagai seorang manusia biasa, tentu saja pemuda ini
Pendekar Jembel 7 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis 10

Cari Blog Ini