Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 5

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


pakaiannya koyak-koyak berikut kulit tubuh dan sedikit dagingnya, namun ia tidak sampai
mengalami patah tulang atau luka parah.
Pula, ia sudah pingsan ketika jatuh sehingga tubuhnya menjadi lemas dan hal ini amat
menguntungkan baginya. Orang yang terjatuh dalam keadaan tidur atau pingsan sehingga tubuhnya
lemas, tidak akan mengalami luka lebih hebat dan parah dari pada kalau orang jatuh dalam keadaan
sadar. Dalam sadar tentu orang yang jatuh melakukan perlawanan, tubuhnya menegang dan
karenanya malah terbanting hebat.
Dengan mandi darah dari kulit-kulit yang lecet, Han Sin menggeletak di dasar jurang. Siauw-ong
yang sebagai seekor monyet tentu saja lebih gesit, tadi sudah berhasil menjambret tetumbuhan dan
berlompatan turun. Kini dengan cecowetan sedih binatang ini menangisi tubuh tuannya. Luka-luka
kecil yang diderita oleh Han Sin sebetulnya tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah luka di
pundaknya di mana masih menancap sebatang paku yang mengandung racun.
Hanya sebentar Han Sin pingsan. Biarpun pemuda ini tidak pernah melatih diri dengan ilmu silat,
namun latihan-latihan samadhi dan bernapas yang ajaib membuat tanpa ia sadari, tubuhnya menjadi
amat kuat dan jalan darahnya benar-benar sempurna. Juga sinkang di dalam tubuhnya sudah luar
biasa sekali sehingga hawa beracun dari ujung paku itu dapat tertahan, tidak menjalar turun.
Ketika membuka mata dan melihat Siauw-ong menangis di dekatnya, Han Sin ingat akan semua
kejadian. Ia bangun duduk dan menarik napas panjang, sama sekali tidak mengeluh biarpun seluruh
tubuhnya terutama pundaknya, sakit-sakit. Ia melirik kepada Siauw-ong lalu merangkul monyet itu
dan mengelus-elus kepalanya. Hatinya terharu.
Tidak dinyana sama sekali bahwa berkali-kali ia bertemu dengan manusia-manusia yang begitu
jahat. Tadinya ia berpikir bahwa manusia-manusia di dunia ini tentulah baik dan cinta sesama. Akan
tetapi kenyataannya, begitu turun gunung ia sudah menemui orang-orang seperti para tosu Cin-lingpai
yang tanpa sebab menyerang dan menawannya.
Ban Kim Cinjin yang suka membunuh orang, Thio Li Hoa yang demikian cantik akan tetapi
ternyata kejam dan palsu, kemudian para pengemis tua yang juga jahat dan telah melukainya.
Semua ini membuat hati Han Sin terheran-heran dan tercengang. Siauw-ong, biarpun seekor
monyet, bukan manusia ternyata lebih baik dari pada manusia-manusia itu, pikirnya. Benar-benar
Han Sin tidak mengerti dan penasaran sekali.
Lalu ia teringat akan kata-kata suhunya, Ciu-ong Mo-kai yang dahulu menyatakan bahwa di dunia
kang-ouw banyak orang jahat. Dahulu ia mentertawakan gurunya ini, akan tetapi sekarang, baru
beberapa lama turun gunung ia sudah menjadi korban kejahatan manusia. Entah kejahatankejahatan
lebih hebat bagaimana lagi yang akan ia lihat kelak. Ia bergidik dan merasa khawatir
sekali akan keselamatan adiknya Bi Eng.
"Aku harus dapat pergi dari sini menyusul Bi Eng," pikirnya dengan hati tetap. Ketika ia bangkit
berdiri, ia merasa pundaknya sakit sekali. Dilihatanya pundaknya itu dan kelihatan sebuah kepala
paku menancap. "Ah, pengemis tuia itu menyambit dengan paku," pikirnya. Tanpa ragu-ragu lagi ia
mengulur tangan dan mencabut paku itu dari pundaknya.
Tenaga lweekang pemuda ini luar biasa besarnya tanpa ia ketahui sendiri. Ke mana jalan pikirannya
menuju, ke situlah tersalur tenaga sinkang di dalam tubuhnya. Inilah tingkat yang sudah amat
tinggi. Begitu ia berpikir hendak mencabut paku itu, tenaga yang amat besar sudah tersalur ke
dalam jari-jari tangannya dengan amat mudah ia mencabut paku Coa-ku-teng. Darah hitam muncrat
keluar. Han Sin kaget. "Celaka," pikirnya. "Paku ini mengandung racun, harus kukeluarkan semua racun
dari pundak." Begitu pikirannya memikir demikian, hawa sinkang mendorong ke pundak, memaksa
jalan darahnya mengalir cepat ke arah pundak dan segera darah hitam keluar banyak sekali seperti
pancuran. Akhirnya darah hitam habis, terganti darah merah. Han Sin menutupi luka dengan jari
tangannya, namun tidak berhasil menghentikan keluarnya darah. Makin banyak darah keluar
membuat ia bingung sekali.
"Celaka, mengapa darah keluar terus" Kalau habis darahku, bukankah aku mati?" Dengan sekuat
tenaga pikirannya ia menghendaki darah berhenti dan ".. tiba-tiba darah itu berhenti keluar.
Hatinya lega dan perasaannya menjadi nyaman. Tak terasa sakit lagi luka dipundaknya, akan tetapi
ia merasa tubuhnya lemas. Terlampau banyak darah ia keluarkan.
"Siauw-ong, kita harus bisa keluar dari jurang ini," kata pemuda itu kepada monyetnya. Siauw-ong
agaknya mengerti akan maksud majikannya. Maka binatang ini mulai mencari ke sana ke mari,
jalan keluar. Akan tetapi agaknya jalan keluar hanya satu, yaitu merayap kembali melalui
tetumbuhan ke atas. Maka sambil cecowetan monyet itu lalu mulai melompat-lompat dan merayap
ke atas. "Tidak, Siauw-ong. Tidak boleh lewat sana. Selain sukar dan aku tidak sanggup, juga di atas
banyak orang-orang ....." Ia hendak menyebut "jahat" akan tetapi dasar hati pemuda ini mudah
memaafkan orang, ia melanjutkan. " ..... sedang marah! Marah kepada kita. Mari kita mencari jalan
lain!" Iapun mulai menengok ke sana ke mari. Jurang ini dikurung batu karang yang tinggi, di sebelah kiri
terdapat jurang yang lebih dalam lagi. Akan tetapi jalan menuruni jurang ini melalui batu-batu
karang yang menonjol dan agaknya bisa dilalui. Maka dengan nekad Han Sin lalu merayap turun
melalui jalan berbahaya itu. Siauw-ong sendiri mengeluarkan bunyi ketakutan dan ngeri melihat ke
bawah yang dalamnya sampai ratusan meter. Sekali terpeleset ".. habislah riwayat! Akan tetapi
karena melihat Han Sin nekat, iapun lalu merambat turun, malah mendahului pemuda itu.
Setelah turun sejauh puluhan meter, tiba-tiba Siauw-ong berseru cecowetan, kelihatan girang.
Ternyata dia tiba di sebuah guha yang besar. Han Sin juga menuju ke situ dan keduanya lalu
memasuki guha, untuk beristirahat karena jalan yang dilalui tadi amat sukar dan melelahkan,
apalagi bagi Han Sin yang sudah lemas tubuhnya.
Siauw-ong tentu saja tidak begitu merasa lelah dan monyet ini tidak mau diam, terus menggeretak
ke sana ke mari di dalam gua. Tiba-tiba monyet itu memekik dan mencongkel batu bentuknya
lonjong. Batu itu bergoyang lalu tergeser dan terbukalah sebuah lubang selebar dua kaki lebih dan
pada saat itu terdengar suara mendesis dan tahu-tahu tubuh Siauw-ong telah dibelit oleh seekor ular
putih yang panjangnya ada satu setengah meter dan besarnya selengan orang! Siauw-ong menjerit
dan menggigit sekenanya. Ia kena menggigit ekor ular itu dan dia sendiri digigit pundaknya oleh
ular tadi. Siauw-ong bergulingan, akan tetapi belitan ular makin mengeras.
Melihat Siauw-ong dibelit dan digigit ular, bukan main bingung dan kagetnya hati Han Sin. Dia
merasa ngeri, akan tetapi untuk menolong monyet itu, cepat ia meloncat mendekat. Ia berusaha
melepaskan belitan, dan menggunakan tangannya untuk merenggangkan tubuh ular dari Siauw-ong.
Akan tetapi tiba-tiba lengannya dibelit juga dan ular itu saking marahnya, sudah membalikkan
kepalanya, melepaskan gigitan dari pundak Siauw-ong dan kini secepat kilat ia menyerang Han Sin,
menggigit lambung pemuda itu sebelah kanan!
Tadinya Han Sin tidak bermaksud membunuh ular itu. Hatinya terlampau baik untuk gampanggampang
membunuh, biarpun seekor ular. Akan tetapi melihat ular itu masih mengancam
keselamatan Siauw-ong, malah sekarang menggigitnya, ia menjadi marah. Begitu menggigit ia
merasa separuh tubuhnya yang sebelah kanan mati dan kaku, gatal-gatal dan sakit luar biasa. Ia
mencoba menggerakkan kedua tangan, akan tetapi tangan kirinya sudah dibelit dan tangan
kanannya juga ikut mati kaku.
Dalam gugupnya, tanpa pikir panjang lagi Han Sin menggunakan senjatanya yang paling sederhana,
yaitu ". giginya! Ia menunduk dan di lain saat ia sudah berbuat seperti Siauw-ong tadi, menggigit
sekenanya. Kebetulan sekali ia menunduk ke kanan, maka ketika ia membuka mulut menggigit, ia
dapat menggigit leher ular itu.
Ia menggigit sekerasnya, darah muncrat keluar dari tubuh ular memenuhi mulutnya. Ia tidak
perduli, malah menelan darah itu terus menggigit dan menghisap. Aneh sekali, darah ular itu
biarpun berbau amis dan memuakkan, namun terasa ada manis-manisnya. Mati-matian Han Sin
terus menghisap dan menelan darah ular seperti orang minum! Sampai tenggorokannya terdengar
berceglukan! Ular putih itu kesakitan, belitan dan gigitannya makin keras dan akhirnya Han Sin roboh terguling
sambil terus menggigit. Ular itu bergulingan di dalam guha, membawa Han Sin dan Siauw-ong
sehingga tiga macam makhluk itu bergulingan menjadi satu dalam keadaan kacau balau. Seperti
Han Sin, Siauw-ong juga masih menggigit ekor dan kera inipun menghisap dan menelan darah ular
yang memasuki mulutnya. Benar-benar perkelahian ini merupakan perkelahian liar dan keadaan
Han Sin pada saat itu sudah bukan seperti manusia lagi, melainkan seperti seekor binatang yang
marah dan sedang berkelahi.
Gigitan ular mengeluarkan bisa, membuat separuh tubuh Han Sin dan tubuh Siauw-ong juga kakukaku
rasanya. Akan tetapi sebaliknya, gigitan Siauw-ong dan Han Sin malah mengisap darah. Tentu
saja darah ular itu makin lama makin berkurang, apalagi bagi Han Sin yang menghisap dengan
kekuatan luar biasa, sehingga setengah jam kemudian ular itu kehabisan darah, lemas dan tidak
berkutik lagi. Sembilan puluh persen lebih darah ular itu berikut semua racun dan benda cair di
dalam tubuhnya telah pindah ke dalam perut Han Sin, yang sepuluh persen kurang pindah ke dalam
perut Siauw-ong! Ular mati dan Han Sin bersama Siauw-ong masih terus menggigit, juga tidak
bergerak seperti mati karena sesungguhnya mereka berdua sudah pingsan!
Sejam kemudian Han Sin siuman dari pingsannya. Ia merasa tubuhnya panas membara dan ringan
seakan-akan hendak melayang. Ketika ia melirik ke arah Siauw-ong, ia melihat monyet itu sudah
duduk bersandar di dinding guha sambil cengar-cengir dan .... makan ekor ular mentah!
"Eh, Siauw-ong, kenapa kau makan daging ular yang mentah?" teriak Han Sin dan telinganya
menjadi sakit sendiri mendengar suaranya yang tinggi nyaring seperti orang berteriak-teriak. Siauwong
tidak menjawab, melainkan meloncat dan menginjak-injak tubuh ular sambil menepuk-nepuk
pundaknya yang mana tampak bekas gigitan ular yang sudah kering. Ia merasa heran dan cepat
melihat ke arah lambungnya sendiri yang tadipun digigit ular. Juga di situ terdapat bekas gigitan,
akan tetapi sudah kering sama sekali!
Han Sin mencoba untuk memikirkan perbuatan Siauw-ong. Akhirnya ia mengerti maksudnya. Kera
itu lapar, dan karena ular itu sudah menggigitnya, maka untuk melampiaskan marahnya, kera itu
lalu makan dagingnya! Han Sin juga merasa perutnya lapar sekali. Karena di situ tidak ada makanan
lain dan Siauw-ong kelihatan enak sekali makan daging ular, iapun lalu meraih bangkai ular dan
menggigit dagingnya.
Luar biasa! Daging itu biar mentah, akan tetapi tak dapat dibantah lagi rasanya enak! Gurih dan
manis, biarpun agak amis-amis sedikit. Ia makan dengan bernafsu, malah anehnya, makin
mendekati kepalanya makin enak. Akhirnya Han Sin makan kepala ular itu!
Tanpa mereka sadari, Han Sin dan Siauw-ong telah makan obat pemusnah racun ular itu. Ular itu
bukanlah sembarang ular, melainkan sejenis binatang beracun yang hanya keluar seribu tahun
sekali. Binatang ular ini oleh ahli-ahli pengobatan disebut Pek-hiat-sin-coa (Ular ajaib darah putih).
Biasanya tidak seberapa besar, maka ular yang telah mencapai panjang satu setengah meter ini
entah sudah berapa ratus tahun usianya. Ular ini beracun sekali, gigitannya tidak ada obatnya, juga
darahnya amat berbisa. Akan tetapi penolak racun itu terletak dalam daging-dagingnya sendiri!
Maka setelah Han Sin dan Siauw-ong digigit, mereka tanpa disadari telah minum darah ular yang
berbisa luar biasa itu, kemudian makan dagingnya. Otomatis racun yang berbahaya lenyap
pengaruhnya dan sebaliknya, mereka telah mendapatkan obat kuat yang tiada bandingnya di dunia
ini. Apalagi bagi Han Sin yang sudah minum darah ular sebanyak sembilan puluh persen lebih,
ditambah lagi baru saja ia kehilangan banyak darah sehingga sebagian dari pada darah dalam
tubuhnya terganti oleh zat darah ular itu, akibatnya bukan main.
Memang di dalam tubuh pemuda ini sudah terdapat sinkang (hawa sakti) yang mujizat, sekarang
ditambah kemujizatan darah dan daging ular. Benar-benar hal yang amat jarang terjadi. Oleh karena
pengaruh darah inilah ia merasa tubuhnya menjadi ringan seperti mau melayang. Adapun rasa panas
yang membakar tubuhnya, setelah ia makan daging ular perlahan-lahan lenyap dan di dalam
pusarnya malah terasa amat nyaman dan adem.
Keadaan Siauw-ong juga mendapat banyak sekali keuntungan. Tanpa diketahui, tubuh monyet ini
sekarangpun menjadi sepuluh kali lebih kuat dari pada tadinya. Dia bertubuh kecil, darahnya juga
tidak sebanyak darah manusia, maka sepuluh persen darah ular itu sudah lebih dari cukup untuk
membuat ia menjadi seekor monyet yang jarang keduanya di dunia ini. Kegesitannya bertambah
lipat ganda, kekuatannya juga menjadi hebat dan kecerdikannya meningkat.
"Siauw-ong, sekarang kita harus mencari jalan keluar dari tempat ini! kata Han Sin setelah
menghabiskan daging ular dan merasa tubuhnya sehat dan segar kembali.
Siauw-ong memang sedang menyelidiki lubang yang tadi tertutup dan dari mana ular tadi keluar. Ia
merayap masuk dan terdengar suaranya memanggil-manggil. Han Sin menghampiri dan ikut
merayap ke dalam lubang itu. Ternyata lubang itu makin lama makin besar, merupakan terowongan
di dalam batu karang atau gunung karang.
Mereka terus mengikuti terowongan ini dan seperempat jam kemudian mereka tiba di ruangan
dalam tanah yang amat besar. Dinding-dinding di ruangan ini terang sekali buatan manusia, bekas
pahatan. Han Sin melangkah maju dengan heran, sedangkan Siauw-ong sudah melompat ke atas
pundaknya. Agaknya binatang ini mencium bau manusia, maka mengingat pengalaman yang sudahsudah,
ia menjadi jerih dan pergi ke tempatnya yang paling aman, yakni pundak Han Sin.
Pada saat itu telinga Han Sin mendengar suara bersiutan yang amat aneh dari sebelah kiri, diseling
suara orang mengeluh panjang pendek. Ia segera berindap-indap menuju ke kiri di mana terdapat
sebuah pintu yang tidak berdaun. Karena tidak ingin mengganggu orang, atau sebetulnya karena
sudah agak kapok bertemu dengan orang jahat, Han Sin sengaja bertindak perlahan sekali agar
jangan menimbulkan suara.
Padahal ia tidak usah bersusah payah begini. Kalau saja ia memusatkan pikiran untuk berjalan
perlahan, tentu tubuhnya yang sudah ringan itu takkan menerbitkan suara apa-apa. Setibanya di situ,
ia lalu berlutut dan mengintai dari balik pintu, melihat ke dalam. Tempat ini agak terang karena dari
atas terdapat lubang-lubang di mana sinar matahari dapat menerangi kamar itu.
Kamar yang diintainya itu cukup lebar, berbentuk segi empat dengan ukuran lima meter persegi. Di
sudut kamar terdapat sebuah patung sebesar manusia. Patung yang telanjang bulat dan pada tiap
anggauta tertentu ada titik-titiknya, ada yang hitam, ada yang merah, ada pula yang putih. Di tengah
ruangan kamar ini terdapat sehelai tikar bundar dan di atas tikar duduk seorang kakek yang sudah
amat tua. Kakek ini kurus sekali, tinggal kulit membungkus tulang. Kepalanya hampir botak karena
rambutnya yang putih tipis itu tinggal beberapa helai lagi saja. Pakaiannya putih, seperti pakaian
tosu. Ternyata kakek inilah yang mengeluarkan suara keluhan panjang pendek dan kini dengan jelas
Han Sin mendengar kakek itu mengeluh penuh kesedihan. "Maut ".. maut ". Tunggulah dulu,
bersabarlah ?""
Han Sin merasa mengkirik (meremang) gitoknya (bulu tengkuknya) Masa ada orang bicara dengan
maut" Gilakah kakek ini atau benar-benarkah di tempat itu ada setan atau malaikat pencabut
nyawa" Tiba-tiba terdengar suara bersiutan seperti tadi dan dengan penuh perhatian Han Sin memandang ke
dalam. Ternyata kakek itu dengan duduk bersila, sedang menggerak-gerakkan kedua tangannya
seperti orang bersilat. Ia menggerakkan kedua tangannya perlahan saja, akan tetapi hebatnya, tiap
kali tangannya bergerak terdengar angin bersiut dan patung di pojok kamar bergoyang-goyang.
Ternyata kakek itu sedang menyerang patung itu dari jarak jauh dan tiap kali tangannya memukul,
angin tajam bersiut ke arah titik tertentu dari tubuh patung itu. Han Sin melihat betapa pada titik
yang terpukul itu, tubuh patung itu melesak ke dalam, akan tetapi lalu membal kembali. Ternyata
patung itu terbuat dari pada karet yang keras.
Sambil bersilat dengan kedua tangan, kakek itu menyebut-nyebut jurus yang dimainkan itu satu
demi satu. Pertama-tama ia menyebut "Hui-kiam-thian-sia" (Pedang Terbang Turun Dari Langit)
dan tangannya bergerak menyerang patung dari atas. Angin bersiut keras dan batok kepala patung
karet itu melesak sebentar. Disusul seruan, "Hui-kiam-ci-tiam (Pedang Terbang Keluarkan Kilat)!"
lalu kedua tangannya berturut bergerak. Makin nyaring angin bersiutan dan dua titik di kedua
pundak patung itu melesak!
Terus saja kakek itu bersilat dan menyebut jurus-jurus yang serba pakai "Hui-kiam" atau Pedang
Terbang! Semua ada tiga puluh enam jurus dan setelah habis dimainkan, kakek itu terengah-engah,
terbatuk-batuk dan nampaknya kehabisan tenaga. Lalu ia mengeluh panjang pendek lagi.
"Tiga puluh enam jurus Lo-hai-hui-kiam (Pedang Terbang Pengacau Laut) sudah lengkap! Sudah
sempurna " uh ".uhhh " apa artinya" Apa gunanya" Kitab yang ditutup takkan ada gunanya!
Ilmu dipelajari tanpa digunakan juga apa artinya" Lo-hai-hui-kiam akan lenyap bersama
penciptanya, tak dikenal dunia ?"uh ?".uhhh "..!" Makin terengah napas si kakek itu dan
tubuhnya bergoyang-goyang. Akan tetapi, tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya lagi dan
mulai bersilat seperti tadi!
Sementara itu, Han Sin yang mengintai merasa berdebar hatinya. Kata-kata kakek tadi seakan-akan
menyindirnya. Ilmu dipelajari tanpa digunakan, bukankah itu menyindir dia" Dia sudah
mempelajari banyak ilmu silat dari Ciu-ong Mo-kai, akan tetapi tak pernah mempergunakannya,
malah melatih diripun tak pernah, padahal ia hafal di luar kepala segala gerakan dan rahasia ilmu
silat Liap-hong Sin-hoat yang hebat dari gurunya.
Sekarang ia tanpa sengaja menyaksikan ilmu silat yang lebih hebat lagi. Ilmu silat Lo-hai-hui-kiam!
Dasar otaknya memang cerdas luar biasa, satu kali melihat saja ketika kakek tadi berlatih, ia sudah
dapat hafal semuanya, tiga puluh enam jurus sudah ia hafal di luar kepala, malah nama-nama
jurusnya pun ia sudah ingat betul. Sekarang melihat kakek itu mengulang latihannya, diam-diam ia
menggeleng kepala.
"Gila benar kakek ini, napas sudah empas-empis masih terus berlatih, apa dia sudah bosan hidup"
Akan tetapi kenapa ia selalu minta maut bersabar?"
Diam-diam ia memandang lagi dengan penuh perhatian, malah ia lalu mencocokkan ingatannya
dengan latihan kedua ini. Ia melihat tenaga pukulan kakek itu sudah banyak kurang kuat,
gerakannya lambat, akan tetapi amat sempurna sehingga tiap serangan selalu mengenai sasaran
titik-titik pada tubuh patung itu dengan tepat. Akan tetapi segera kakek itu nampak kehabisan
tenaga sekali, napasnya terengah-engah, dari ubun-ubun kepalanya mengebul uap putih, tubuhnya
menggigil dan mukanya pucat sekali. Padahal ia baru menjalankan jurus ke duapuluh, masih enam
belas jurus lagi! Tapi toh kakek itu dengan keras kepala melanjutkan latihannya dan napasnya kini
benar-benar seperti seekor kerbau disembeli.
Han Sin merasa kasihan sekali. Tak dapat ia tinggal diam saja melihat orang tua itu mau mati
kehabisan napas. Sebetulnya, mengingat prikesopanan, ia segan untuk memasuki kamar orang tanpa
izin. Akan tetapi, hatinya yang penuh welas asih lebih kuat dan melangkahlah ia memasuki pintu
sambil berkata,
"Kakek yang baik, kenapa memeras tenaga secara begitu" Harap kau mengaso dan tidak menyiksa
diri "."
Kakek itu mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya membalik dan tahu-tahu tangan kanannya menusuk
ke depan dengan dua jari sedangkan tangan kirinya diputar setengah lingkaran ke depan dada. Han
Sin sudah hafal di luar kepala akan semua jurus yang dilihatnya tadi, maka dengan kaget ia
mengenal itu sebagai jurus ke tujuh belas yang bernama Hui-kiam-kan-goat (Pedang Terbang
Mengejar Bulan) dan maklum bahwa dadanya ditengah-tengah akan mendapat serangan.
Otomatis ia mengangkat tangannya ke depan dada untuk menyambut serangan itu. Benar saja, angin
yang dingin dan kuat sekali bersiut ke arah dadanya dan ia merasa telapak tangannya yang
ditutupkan di depan dada itu disambar hawa pukulan yang tajam. Akan tetapi, pukulan atau tusukan
yang tidak kelihatan ini segera buyar dan kakek itu hampir terjengkang!
"Uuhh ?" uhhh ?". Celaka. Ilmuku dicuri orang ?"..!" Kakek itu berseru, napasnya
memburu. Baiknya karena kehabisan tenaga, serangannya tadi hanya tinggal sepersepuluh kuatnya,
maka Han Sin yang memiliki sinkang luar biasa itu tentu saja tidak merasa apa-apa, malah si kakek
yang hampir terpukul terjengkang oleh tenaganya sendiri yang membalik.


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Han Sin cepat menjura dengan hormat sekali. "Tidak, kakek yang baik. Aku bukan pencuri."
"Kau ?". Kau setan ".."
"Bukan, kakek. Aku bukan setan, hanya manusia biasa, namaku Cia Han Sin. Aku mohon maaf
sebesarnya kalau sudah lancang memasuki tempat kakek karena aku sesat jalan, tidak kusengaja
".." Melihat sikap sungguh-sungguh dan lemah lembut ini, kakek itu nampak lebih tenang dan sabar.
"Kau ".. kau yang bisa menahan jurus Hui-kiam-ci-tiam ".. kau mau apa datang ke sini ......?"
"Bukan Hui-kiam-ci-tiam, lo-enghiong. Melainkan jurus Hui-kiam-kan-goat yang kau gunakan
untuk menyerangku tadi. Kau agaknya sudah terlampau tua sampai lupa lagi ......."
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan jeritan mengerikan dan muntahkan darah segar! Mendengar
ucapan pemuda tadi ia menerima pukulan batin yang amat hebat karena kagetnya. "Kau ...... kau
......" dan ia roboh pingsan.
Han Sin kaget bukan main. Cepat ia melompat dan menolong kakek itu. Ia mengangkat kepala
orang dan memangkunya, lalu mengurut-urut dada yang panas dan turun naik itu. "Siauw-ong, kau
cari air ....." katanya.
Monyet yang tadi bersembunyi ketakutan, kini muncul lalu bingung mencari air. Tak lama ia datang
lagi, kedua tangannya membawa sedikit air yang tentu saja tumpah ke sana sini. Akan tetapi sedikit
air itu dipergunakan oleh Han Sin untuk membasahi muka si kakek yang segera membuka matanya
yang memandang sayu, nampaknya lemah sekali sampai menggerakkan tubuh juga tidak sanggup
lagi. Setelah memangku kakek itu, tahulah Han Sin bahwa kakek ini memang sudah tua sekali.
"Kau bilang tidak mencuri ilmu, tapi dapat mengenal jurus-jurusku ".." kata kakek itu dengan
suara perlahan sekali. "Jangan kau bohong ?""
"Sesungguhnya, lo-enghiong, aku berani bersumpah bahwa aku tidak mencuri apa-apa. Aku terjatuh
ke dalam jurang lalu mendapatkan jalan terowongan menuju ke sini. Kebetulan kau berlatih ilmu
Lo-hai-hui-kiam tadi. Tanpa kusengaja aku telah melihat dan mendengar semua dan telah hafal di
luar kepala. Akan tetapi aku bukanlah ahli silat, harap kau tidak khawatir, kalau kau menghendaki,
aku bisa lupakan lagi."
Tiba-tiba mata kakek itu bersinar dan dengan payah ia bangun duduk. "Hebat ".. hebat ".. orang
dengan bakat Kwee-bak-put-bong (sekali melihat tak bisa lupa lagi) seperti kau ini sukar dicari
keduanya di dunia ".. eh, bocah, siapa namamu dan siapa gurumu?"
"Sudah kukatakan tadi, namaku Cia Han Sin ".."
"She Cia .....?" kakek itu memotong cepat. "She Cia ?". Kenalkah kau dengan Cia Hui Gan dan
Cia Sun?" "Yang pertama adalah kongkongku, yang kedua ayahku," jawab Han Sin sederhana.
Kakek itu bersorak. "Kau anak Cia Sun ..." Thian Yang Maha Mulia, agaknya Engkau sendiri yang
menuntun bocah ini ke sini! Eh, siapa nama gurumu?"
Han Sin tidak berani menyebut nama Ciu-ong Mo-kai sebagai gurunya. Pertama karena memang ia
tidak pernah mempelajari ilmu silat dari pengemis sakti itu secara praktek, kedua kalinya karena
melihat betapa orang-orang kang-ouw saling bermusuhan seperti yang terjadi di puncak Cin-lingsan,
ia tidak mau menyebut-nyebut nama orang kang-ouw, takut menimbulkan hal yang bukanbukan
lagi. "Guruku Thio-sianseng, siucai miskin akan tetapi kaya akan pengetahuan tentang sastera kuno dan
dialah yang semenjak aku kecil mengajar segala macam ilmu sejarah, filsafat dan lain-lain."
Kakek itu menggeleng-geleng kepala. "Segala ilmu tiada guna! Apa kau tidak pernah belajar silat?"
"Tidak, lo-enghiong, tidak pernah. Malah sebetulnya saja, aku tidak suka akan ilmu silat yang
kuanggap sebagai ilmu menyiksa, melukai atau membunuh orang."
"Tutup mulutmu! Kau bicara begitu tentang ilmu silat" Kau yang sudah kekenyangan filsafat dan
dongeng, tidak tahukah kau betapa para dewa, para nabi, juga Tat Mo Couwsu sendiri, disamping
kebijaksanaan dan kesucian mereka, juga mereka itu memiliki ilmu-ilmu yang tinggi" Tentang
menyiksa atau membunuh yang kaukatakan tadi, apa kau kira orang yang tidak bisa silat tak mampu
menyiksa dan membunuh" Huk huk, anak hijau! Dengan pena dan tulisan orang malah dapat
membunuh secara besar-besaran dan lebih kejam lagi dari pada dengan pedang! Manusia macam
Cheng Kui itu, tanpa pedang ia dapat membunuh pahlawan besar Gak Hui dan ribuan orang gagah!
Lihat tuan-tuan tanah, tanpa ilmu silat, hanya dengan goyang kaki di kursi dengan emas penuh di
kantong, berapa banyak manusia baik-baik ia dapat membunuhnya?"
Setelah bicara dengan bernafsu sampai terengah-engah napasnya, tiba-tiba kakek itu teringat akan
sesuatu dan memandang kepada Han Sin. Pemuda itu balas memandang dan kakek itu melihat sinar
mata yang luar biasa dari pemuda ini.
"Eh, betul-betul kau tidak bisa ilmu silat?" tanyanya dan tahu-tahu tangan kanannya dengan cepat
luar biasa sudah menepuk pundak Han Sin. Pemuda itu sama sekali tidak mengira akan ditepuk
pundaknya, akan tetapi hawa sinkang di tubuhnya secara otomatis tersalur ke tempat yang ditepuk
tadi. "Ayaaa "..!" Kakek itu ketika menepuk bagian tubuh yang segera melesak ke dalam dan menjadi
lunak sekali akan tetapi di dasarnya mengeluarkan hawa yang kuat dan amat panas sehingga
tangannya terasa sakit lalu berteriak dan memeriksa tangannya. Ternyata tangannya itu telah
menjadi bengkak dan biru, terkena racun!
"Jangan main gila! Kau ahli lweekeh, malah telah mempelajari ilmu menggunakan hawa beracun.
Sungguh ganas!"
Han Sin menjadi bingung dan cepat berlutut.
"Ah, lo-enghiong yang mulia, kau tolonglah diriku. Sesungguhnya aku tidak pernah belajar silat,
akan tetapi entah bagaimana, tiap kali ada orang memukulku, tentu dia terluka, malah ada yang mati
ketika memukulku. Harap kau orang tua yang berkepandaian tinggi suka menolongku."
Kakek itu duduk melenggong dengan heran. Lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,
"Cia Han Sin, bersumpahlah bahwa kau benar-benar putera Cia Sun!" Suaranya biarpun lemah amat
berpengaruh. "Boanseng bersumpah bahwa memang Cia Sun adalah ayahku."
"Di mana ayahmu sekarang?" tanya pula kakek itu, suaranya bengis. Han Sin terkejut akan tetapi ia
menjawab juga. "Semenjak aku masih kecil sekali ayah telah dibunuh orang, juga ibuku. Akan
tetapi siapa pembunuhnya sampai sekarang akupun belum tahu."
Kakek itu menarik napas lega, agaknya puas mendengar jawaban ini. "Kalau begitu kau betul
puteranya, memang mukamu hampir sama dengan muka ayahmu. Cia Han Sin, sekarang kau
ceritakanlah sebenarnya. Apakah kau benar-benar tidak pernah belajar ilmu silat?"
"Hanya mempelajari teori-teorinya dan menghafal semua gerakan dari ilmu silat yang diturunkan
oleh suhu Ciu-ong Mo-kai kepada adikku, akan tetapi aku sendiri tidak pernah melatihnya."
Mendengar ini, Siauw-ong yang sejak tadi diam saja kini tiba-tiba cecowetan lalu mencak-mencak,
memperlihatkan ilmu silatnya kepada kakek itu. Kakek itu mengangguk-angguk memuji. "Ciu-ong
Mo-kai makin tua makin lihai, adikmu beruntung sekali menjadi muridnya." Kemudian ia menatap
wajah Han Sin dengan tajam lalu bertanya lagi. "Dan kau tidak pernah melatih diri dengan ilmu
lweekang?"
"Apa itu ilmu lweekang, aku sendiripun tidak tahu," jawab Han Sin sejujurnya.
"Pernah kau berlatih samadhi dan mengatur pernapasan?"
Wajah Han Sin berseri. "Tentu saja, semenjak berusia lima enam tahun aku sudah melatih diri
bersamadhi dan mengatur napas menurut petunjuk kitab-kitab kuno. Malah sampai sekarangpun
setiap saat aku berada dalam keadaan samadhi kalau diam dan setengah samadhi kalau bicara
dengan orang."
Wajah kakek itu nampak tegang. "Hebat, coba kau perlihatkan bagaimana kedudukan tubuhmu
kalau kau bersamadhi."
"Harap lo-enghiong jangan mentertawai aku yang bodoh," kata Han Sin lalu ia berjungkir balik,
dengan kepala di bawah kaki di atas ia "berdiri" di depan kakek itu, kedua lengannya bersedekap.
Namun biarpun tubuhnya berada dalam keadaan seperti itu, ia dapat "berdiri" tegak seperti sebatang
tonggak, sedikitpun tidak goyang dan kelihatan "enak" sekali. Melihat kongcunya melakukan
perbuatan yang belum pernah dilihat sebelumnya itu, Siauw-ong lalu meniru-niru dan berjungkir
balik. Akan tetapi setiap kali tubuhnya menggelundung lagi dan mengusap-usap kepalanya yang
menjadi sakit. "Coba kau bernapas seperti kalau melakukan latihan samadhi," kata kakek itu makin tegang sambil
menghampiri. Han Sin tak usah diperintah lagi karena memang selalu pernapasannya wajar seperti
kalau bersamadhi. Kakek itu lalu meraba-raba tubuhnya, dada, pundak, punggung, lambung dan
tiap kali ia mengeluarkan suara "ck .... ck ..... ck ....." seperti orang bingung, heran dan kagum
bukan main. "Cukup, duduklah anakku yang baik!"
Suaranya ramah dan gembira sekali sehingga Han Sin ikut menjadi girang ketika ia membalikkan
tubuhnya dan duduk di depan kakek itu. "Apa kau pernah makan buah aneh atau barang luar biasa
selama ini?"
Muka Han Sin menjadi merah. "Ketika hendak memasuki terowongan ini, Siauw-ong diserang ular
kulit putih, aku membantunya dan dalam pertarungan itu, aku telah minum darah ular banyak
sekali, lalu karena penasaran padanya dan lapar perutku, kumakan dagingnya.
Kakek itu kini bengong, matanya terbelalak mulutnya terbuka seperti guha. "Kau bilang ular ".
Ular kulit putih ". Matanya seperti bola api".?"
"Memang mata ular itu mencorong seperti bernyala-nyala ..........."
"Pek-hiat-sin-coa ....... Pek-hiat-sin-coa ..... (ular ajaib darah putih) .....!" kakek itu berseru berkalikali
sambil menggoyang-goyang kepala, kemudian ia mendongak dan berkata, "Cia Sun tai-hiap,
kau benar-benar mempunyai putera yang selalu diberkati Thian, agaknya Thian hendak membalas
jasa-jasamu dengan memberimu seorang putera yang besar untungnya .... ha ha ha ...!"
Kakek ini girang sekali dan diam-diam ia kagum bukan main. Bocah ini benar-benar tak pernah
belajar ilmu silat, pikirnya, karena terlampau dalam mempelajari filsafat kebatinan sehingga tidak
suka akan ilmu silat yang dianggapnya kejam dan kasar. Akan tetapi latihan-latihan samadhinya itu
membawa dia tersesat ke dalam puncak kesempurnaan ilmu lweekang yang menjadi inti ilmu silat
malah! Dan darah ular Pek-hiat-sin-coa itu, menambah lagi kekuatannya. Bukan main! Agaknya bocah ini
dituntun oleh arwah ayahnya datang ke sini untuk mewarisi ilmu yang baru kulatih selesai. Bukan
main girangnya kakek itu sampai napasnya menjadi makin memburu dan tiba-tiba ia merasa seluruh
tubuhnya lemas seperti ditinggalkan oleh tenaganya. Ia kaget dan tahu apa artinya ini. Maut benarbenar
sudah tidak sabar dan agaknya tidak mau mernunggu lebih lama lagi.
13. Prahara di Cin-ling-pai
"HAN SIN, ketahuilah. Aku sudah tua dan setiap saat aku akan mati. Maukah kau memenuhi
permintaan seorang tua yang hampir mati?"
Han Sin kaget sekali. Dia terharu dan karena memang hatinya amat welas asih, mana dia bisa
menolak permintaan orang"
"Orang tua yang baik, mati hidup di tangan Thian, bagaimana kau bicara tentang mati" Kalau saja
permintaanmu itu dapat kulakukan, tentu aku akan memenuhinya."
Jangan bicara plintat-plintut, pendeknya maukah kau memenuhi permintaan seorang yang mau
mati, seperti aku ini atau tidak?"
"Asal saja ........"
"Sebutkan syarat-syaratnya."
"Asal jangan disuruh membunuh orang, asal jangan disuruh melakukan segala macam kejahatan,
aku Cia Han Sin berjanji akan memenuhi permintaan kau orang tua."
Kakek itu nampak girang sekali.
"Bagus, bicaranya seorang laki-laki ......"
"Sekali keluar takkan dijilat kembali." Han Sin menyambung, agak penasaran karena orang tidak
percaya kepada janjinya.
"Benar! Kau kira aku orang apa hendak menyuruh kau melakukan kejahatan dan membunuh orang"
Han Sin, ketahuilah, aku adalah ketua Cin-ling-pai dan namaku Giok Thian Cin Cu. Ahhh, segala
nama kosong, memalukan saja. Permintaanku kepadamu hanya satu yakni kau kuminta menjadi
muridku, murid yang hendak kuwarisi ilmuku Lo-hai-hui-kiam."
Karena sudah berjanji, biarpun di dalam hatinya ia tidak begitu suka kalau hanya mewarisi ilmu
silat yang memang tidak disenanginya, maka Han Sin lalu berlutut dan berkata. "Teecu Han Sin
memberi hormat kepada suhu Giok Thian Cin Cu."
Bukan main girangnya kakek itu. "Bagus, kau benar-benar laki-laki sejati yang patut menjadi
muridku. Sekarang, sebagai muridku kau harus segera menurut petunjukku mempelajari ilmu yang
hendak kuturunkan kepadamu."
"Ilmu Lo-hai-hui-kiam itu, suhu?"
"Benar."
"Maaf, suhu. Sebetulnya teecu ........ teecu sudah hafal, kiranya tidak perlu melelahkan suhu untuk
mempelajarinya pula."
"Benar-benar sudah hafal" Coba kau sebutkan satu-satunya jurus dan katakan bagaimana
pergerakkannya."
Han Sin duduk bersila dan mengerahkan tenaga ingatannya. Sambil menyipitkan mata melakukan
pemusatan pikiran, ia lalu mulai menyebut jurus-jurus itu disertai penjelasannya. "Jurus pertama
Hui-kiam Thian-sia, dengan kedua tangan miring yang kanan menjaga leher yang kiri dibacokkan
ke bawah mengarah titik merah di ubun-ubun. Jurus kedua Hui-kiam-ci-tiam, dengan jari-jari
terbuka menusuk ke arah kedua titik biru di pundak." Demikianlah, satu persatu ia menyebutkan
dan melukiskan tiga puluh enam jurus dari Lo-hai-hui-kiam, demikian cocok dan tepat sehingga
kakek itu mendengar sambil melongo!
Setelah pemuda itu selesai membaca semua jurus Lo-hai-hui-kiam, kakek itu lalu berkata.
"Sekarang kau duduklah bersilah di sebelahku, kumpulkan semua pikiran seperti kalau bersamadhi
dan turut segala perintahku sambil melihat titik-titik pada patung itu. Lekas aku hampir tidak kuat
lagi. Lekas, kau harus mempelajari semua jalan darah dan titik-titik hawa dalam tubuh."
Karena tadi sudah berjanji menjadi murid kakek ini, tentu saja Han Sin tidak berani membantah
lagi. Mana ada aturannya seorang murid membantah petunjuk gurunya" Ia lalu duduk bersila dan
memenuhi perintah kakek itu. Matanya memandang ke arah patung dan telinganya dibuka untuk
mendengarkan petunjuk suhunya.
Setelah melihat muridnya siap, dengan suara perlahan, lambat dan jelas kakek itu lalu mulai
memberi pelajaran tentang jalan darah di tubuh manusia. "Kau lihat, pada tubuh patung itu, terdapat
dua belas jalan darah yang disebut Ki-keng-meh, Keng-siang-meh ditandai garis merah dengan
pusat di bagian masing-masing dengan tanda titik merah dan Ki-keng-meh bertanda hitam. Semua
jalan darah itu mengalir dari atas ke bawah yang di lambung itu, dengan titik di kanan kiri dan
jalannya memutari pinggang, disebut Tai-meh ....."
Demikianlah, kakek itu memberi petunjuk kepada Han Sin yang didengarkan dengan penuh
perhatian oleh pemuda ini. Han Sin merasa girang sekali karena pelajaran itu baginya tidak ada
hubungannya dengan "ilmu membunuh", maka sebentar saja ia telah dapat menghafalnya baik-baik.
"Kau sudah mengerti dan hafal semuanya?" tanya gurunya.
Han Sin mengangguk dan Giok Thian Cin Cu berkata lagi, "Sekarang kau rasakan, bukankah di
pusarmu terdapat hawa yang terasa hangat dan bergerak-gerak?"
Han Sin merasa heran bukan main. Bagaimana kakek ini bisa tahu apa yang terasa olehnya di dalam
pusar" Memang semenjak kecil ia mempunyai perasaan seperti ini dan makin dewasa perasaan itu
makin hebat seakan-akan hawa di pusar yang bergerak-gerak itu makin menjadi kuat dan tidak
terkendalikan lagi. Kembali ia mengangguk.
"Nah, kau ingatlah pada jalan Tai-meh di lambung yang mengitari pinggang dan kau pergunakan
kemauanmu untuk memaksa hawa hangat itu untuk melalui jalan darah itu."
Secara membuta Han Sin menurut. Mula-mula hawa yang hangat di pusarnya itu karena tidak biasa
dikendalikan, amat sukar untuk dipaksa bergerak. Akan tetapi setelah ia mengerahkan semangat, ia
mulai dapat mendesak hawa itu dan benar saja, setelah pikirannya dan kemauannya bulat, hawa
yang panas itu perlahan-lahan mulai bergerak mengitari pinggangnya menurut jalan darah Tai-meh!
"Berhasilkah" Kalau sudah berhasil, kau mengangguk!" kata kakek itu, suaranya perlahan tapi jelas.
Han Sin mengangguk dan pemuda ini tidak melihat betapa gurunya memandang kepadanya dengan
penuh kekaguman dan keheranan. "Sekarang, kau desak lagi hawa panas itu dari jalan darah Taimeh
melalui Keng-siang-meh menuju ke titik di dada kanan. Awas, jangan main paksa dengan
kekerasan, pergunakanlah kekuatan pikiran dan sewajarnya saja."
Demikianlah, Han Sin yang memang sudah memiliki sinkang tanpa ia ketahui sendiri sehingga ia
tidak dapat mengendalikan dan mempergunakan hawa murni yang masih "liar" ini, perlahan-lahan
dituntun oleh guru besar Cin-ling-pai yang sakti ini untuk dapat menguasainya. Inilah tingkat
pelajaran yang tertinggi bagi seorang ahli lweekeh. Karena Han Sin memang memiliki darah dan
tulang yang bersih, sebentar saja ia sudah dapat menguasai sinkangnya dan sudah dapat
menjalankan hawa murni di tubuhnya berputar-putar di seluruh anggauta tubuhnya.
Bahkan tiga jam kemudian, ke mana saja ia menghendaki, hawa panas itu secepat kilat telah berada
di tempat yang ia kehendakinya! Memang tadinya iapun sudah bisa mencapai tingkat ini dan ke
mana pikirannya menuju, hawa itu otomatis "terbang" ke tempat yang ditujunya. Akan tetapi hal ini
terjadi secara liar dan tidak teratur, bahkan sukar baginya untuk menyimpan kembali tenaga mujizat
itu. Sekarang, berkat petunjuk Giok Thian Cin Cu, ia malah dapat menyimpan hawa ini di dalam
pusarnya dan tidak sembarangan hawa murni itu bergerak tanpa tujuan.
"Bagus .... bagus ....." kakek itu terengah-engah, payah dan lelah sekali akan tetapi puas. "Sekarang
kau sudah menjadi ahli Lo-hai-hui-kiam yang sukar dicari tandingannya di dunia ini! Dengar baikbaik,
nama ilmu pedang yang diturunkan oleh susiok Hui-kiam Koai-sian kepadaku ini disebut Lohaihui-kiam (Ilmu pedang pengacau lautan). Jalan darah di tubuh manusia diumpamakan lautan
luas, maka serangan-serangan ilmu ini adalah untuk mengacau lautan atau jalan darah di tubuh
lawan. Misalnya jurus pertama Hui-kiam-thian-sia dipergunakan untuk menotok jalan darah di ubun-ubun
kepala membuat lawan menjadi tewas atau sedikitnya menjadi rusak otaknya dan gila. Jurus kedua
Hui-kiam-ci-tiam itu dipergunakan untuk menotok jalan darah kedua pundak lawan, membuat
musuh jadi lumpuh kedua tangannya atau terlepas sambungan tulang-tulang pundaknya dan jurus
ketiga ......."
"Celaka ......!" tiba-tiba Han Sin mengeluh dengan suara kaget sekali.
Giok Thian Cin Cu memandang dan melihat muridnya menatap wajahnya dengan muka pucat dan
mata terbelalak. Ia tahu apa yang membuat pemuda itu terkejut. Biarpun keadaan kakek ini sudah
payah, melihat muridnya ia tertawa geli. "Bocah bodoh, jangan mengira bahwa Lo-hai-hui-kiam
adalah ilmu kejam. Kejam tidaknya bukan menjadi sifat kepandaian, melainkan sifat kepribadian
seseorang. Yang kuceritakan itu hanyalah untuk menunjukkan kelihaian Lo-hai-hui-kiam dalam
menghadapi musuh yang jahat dan lihai."
Namun diam-diam Han Sin tetap menyesal sekali telah mempelajari ilmu yang demikian ganas.
"Sekarang kau telah menguasai sinkangmu dan dapat menjalankan tenaga murni di tubuhmu
menurut suara hati atau jalan pikiran. Maka dalam menghadapi lawan tangguh, kau tak usah
khawatir lagi. Sekarang masih ada sebuah permintaan dariku yang kuharap kau tidak akan
menolaknya."
"Permintaan apalagi, suhu" Teecu tentu akan mentaati perintah suhu?"
"Aku mempunyai banyak murid, akan tetapi tidak ada yang berhasil menuruni Lo-hai-hui-kiam dan
tidak ada yang cukup kuat untuk melindungi Cin-ling-pai yang sudah kubangun dengan susah
payah. Maka setelah kau menjadi muridku, kau kuberi tugas menjaga nama baik Cin-ling-pai dan
mengawas-awasi tingkah laku para anak murid Cin-ling-pai. Sekarang ini dunia luar banyak terjadi
pengkhianatan dan aku kuatir sekali kalau pada suatu hari Cin-ling-pai akan terjerumus ke dalam
jaring kaum penjajah setelah aku mati ......."


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Suhu ........"
"Berjanjilah kau akan menuruti permintaanku terakhir ini," suara kakek itu makin lemah.
"Teecu berjanji."
"Aaahhh, puas hatiku. Cia Sun, kau sungguh baik ......, kau mengirim puteramu ke sini. Terima
kasih ..... terima kasih, tunggulah, kita akan saling berkumpul ...... Han Sin muridku, kau ambil
pedangku ini ....."
Han Sin menerima pedang yang diberikan, pedang yang amat tipis dan lemas sekali sehingga dapat
dibelitkan di pinggang seperti sabuk. Itulah pedang Im-yang-kiam yang sudah puluhan tahun berada
di tangan Giok Thian Cin Cu dan telah membuat nama besar bagi tosu itu.
Pada saat itu, terdengar suara orang ramai-ramai dari luar dan mendadak dua orang tosu menerobos
masuk. Mereka adalah It Cin Cu dan Ji Cin Cu yang mukanya pucat dan keringatnya membasahi
jidat. Begitu masuk mereka berlutut di depan Giok Thian Cin Cu. "Hemmm, ada perlu apa kalian
masuk tanpa kupanggil?" bentak Giok Thian Cin Cu. Dua orang tosu itu melihat adanya Han Sin
dan monyetnya dan mereka memandang kepada pemuda ini dengan mata mendelik.
"Suhu, Cin-ling-san diserbu oleh kaki tangan pemerintah Ceng. Teecu sekalian sudah melakukan
perlawanan, banyak sute yang gugur, akan tetapi musuh terlampau kuat, dibantu orang-orang
pandai. Suhu, kita menghadapi kehancuran dan semua ini adalah gara-gara ..... bocah ini! Mohon
keputusan."
Tiba-tiba kakek yang sudah amat payah itu serentak berdiri. Suaranya keras. "It Cin Cu, Ji Cin Cu,
ketahuilah. Bocah ini adalah putera Cia Sun Taihiap, dia sudah menjadi muridku. Dia inilah sutemu
yang kelak akan mewakili aku menjaga nama baik Cin-ling-pai. Eh, Cia Han Sin, pemerintah
penjajah Ceng mengirim kaki tangannya menyerang kita, menurut pikiranmu, bagaimana baiknya?"
Semenjak kecil Han Sin tidak pernah belajar silat, juga tidak suka akan kekerasan. Akan tetapi ia
lebih tidak suka lagi kepada penjajah yang amat dibencinya. Maka ia menjawab tenang. "Setiap
usaha penjajah harus dilawan, suhu. Penjajah harus dihancurkan. Akan tetapi dalam hal ini kita
mengingat kekuatan sendiri. Kalau tidak kuat melawan, lebih baik menyelamatkan diri untuk
menghimpun kekuatan baru dan kelak baru membalas."
"Bagus, bagus ..... dasar turunan pahlawan, masih menempel juga siasat perang leluhurmu
kepadamu." Tiba-tiba kakek ini teringat bahwa biarpun Han Sin memiliki tenaga sinkang dan
pengertian yang mendalam tentang ilmu silat Lo-hai-hui-kiam, namun belum pernah dilatihnya dan
akan celakalah kalau menghadapi musuh berat. Cepat-cepat ia berkata, "Muridku, kau tidak boleh
mencampuri urusan pertempuran ini. Lekas kau pergi melalui terowongan ini setibanya di
persimpangan, kau belok ke kiri. Kau akan tiba di balik gunung dan selanjutnya kau harus
melarikan diri. Cepat!"
Han Sin berlutut, menghaturkan terima kasih lalu dengan Siauw-ong di pundaknya, ia memasuki
terowongan yang tadi dan terus melarikan diri. Adapun Giok Thian Cin Cu lalu bersama dua orang
muridnya keluar dari guha dalam tanah itu dan kakek yang sudah berada di ambang pintu kuburan
karena sudah amat tua ini bersama murid-muridnya lalu mengamuk, melawan para penyerbu yang
terdiri dari serdadu-serdadu Ceng yang dipimpin oleh perwira-perwira yang kosen dibantu oleh
orang-orang gagah yang sudah menjadi kaki tangan pemerintah Ceng. Terutama sekali banyak
pimpinan dari partai Coa-tung Kai-pang.
Akan tetapi perlawanan ini sia-sia saja, selain Giok Thian Cin Cu sudah amat tua dan lemah, juga
pihak musuh lebih banyak dan kuat sehingga akhirnya kakek yang gagah ini tewas dalam medan
pertempuran, tewas bukan oleh senjata musuh melainkan karena kehabisan tenaga. Mentaati
perintah gurunya sebelum tewas, It Cin Cu dan Ji Cin Cu bersama Cin-ling Sam-eng membawa
sute-sute mereka melarikan diri meninggalkan gunung Cin-ling-san dan banyak di antara mereka
yang tewas dalam pertempuran itu.
Bagaimanakah tentara Ceng bisa menyerbu ke Cin-ling-san" Bukan lain adalah karena Tok-gan
Sin-kai dan dua orang sutenya bersama Thio Li Hoa setelah dikalahkan dan dipukul mundur oleh
Cin-ling Sam-eng dibantu It Cin Cu dan Ji Cin Cu dalam memperebutkan Han Sin, lalu mereka lari
turun gunung. Akan tetapi pada keesokan harinya mereka kembali membawa tentara dan pembantu
sehingga terjadi pertempuran itu.
Han Sin mendengar teriakan-teriakan ramai dari orang-orang yang bertempur. Akan tetapi ia
mentaati perintah gurunya dan terus melarikan diri melalui terowongan. Sampai di simpang empat
ia membelok ke kiri dan tak lama kemudian betul saja, terowongan itu membawanya keluar ke
sebuah guha yang berada di belakang gunung. Suara orang bertempur tidak kedengaran lagi dan
pemuda ini berjalan perlahan-lahan sambil mengenangkan semua pengalamannya.
"Ilmu silat ...... lagi-lagi ilmu silat diajarkan orang kepadaku. Ciu-ong Mo-kai menjadi guruku yang
pertama, mengajarkan Liap-hong Sin-hoat, kemudian Giok Thian Cin Cu menjadi guruku kedua.
Mengajarkan Lo-hai-hui-kiam. Hemmm, ilmu silat .....! Bagiku untuk apakah" Han Sin, Han Sin,
kau tidak suka ilmu silat tapi orang memaksa-maksamu mempelajarinya. Ilmu silat itu mana bisa
kau mainkan?"
Berpikir demikian, pemuda ini lalu menggerakkan kaki tangannya mencoba untuk memainkan
beberapa jurus ilmu silat Liap-hong Sin-hoat. Akan tetapi begitu memukulkan tangan ke depan, ia
teringat bahwa dengan kepalan tangan itu ia harus memukul dada orang, maka cepat-cepat ia
menarik kembali tangannya, berhenti bersilat dan menghela napas panjang. Ia menggelenggelengkan
kepalanya dan berkata seorang diri. "Tidak bisa aku pukul orang ...."
Siauw-ong yang berjalan di sampingnya, melihat pemuda itu bersilat menjadi girang sekali. Ia
cecowetan karena selama hidupnya belum pernah ia melihat Han Sin bersilat. Dianggapnya lucu
sekali maka ia ikut mencak-mencak. Melihat pemuda itu tiba-tiba berhenti, ia menjadi kecewa dan
monyet ini melanjutkan gerakan-gerakan Han Sin tadi, bersilat ilmu silat Liap-hong Sin-hoat dan
menyerang sebatang pohon. Hebat monyet ini. Tiap kali tangannya memukul pohon, daun-daun
pohon itu rontok dan cabang-cabang pohon bergoyang-goyang! Inilah akibat dari racun darah ular
yang membuat tenaga monyet itu menjadi sepuluh kali lebih kuat!
Melihat ini, Han Sin berpikir. "Bersilat memukul pohon saja sih tidak ada jahatnya, asal jangan
memukul orang. Kenapa aku tidak akan coba-coba" Barangkali akupun bisa membikin rontok
beberapa helai daun seperti perbuatan Siauw-ong itu."
Setelah berpikir demikian, ia meloncat ke dekat sebatang pohon besar dan menjalankan jurus Huikiamkan-goat, dua jari tangannya menusuk ke depan. "Cuss!" Dua jari tangannya itu amblas ke
dalam batang pohon yang dirasakannya empuk seperti bubur saja! Ia kaget dan menarik kembali
jari-jari tangannya, lalu menyusul dengan pukulan Hui-kiam-ci-tiam, kedua tangannya memukul ke
arah pohon dari kiri kanan.
"Blukk!" Ia tadi menggunakan daya pikirannya mengerahkan hawa sinkang ke arah kedua
lengannya untuk melakukan pukulan itu, akan tetapi begitu mengenai pohon, ia hanya merasa kedua
telapak tangannya enak dan hawa dari kedua tangan itu seakan-akan menembusi pohon. Akan tetapi
akibatnya tidak ada apa-apa! Jangankan daunnya berguguran, malah bergoyang sedikitpun tidak.
Terdengar suara ketawa dari Siauw-ong yang mentertawakan tuannya. Han Sin menjadi panas
hatinya. Dua jari tangannya tadi dapat melubangi pohon, kenapa pukulan kedua tangannya malah
tidak mengakibatkan sesuatu" Ia mendongkol juga karena ditertawai monyetnya, maka karena
gemas ia menyalahkan pohonnya yang dianggap terlalu kuat.
Sambil lalu ia mendorong pohon itu dan .... batang pohon itu mengeluarkan suara keras lalu patah
dan tumbang, tepat di bagian yang tadi terpukul oleh kedua tangannya. Kagetnya Han Sin bukan
alang kepalang. Ia tahu bahwa pukulannya Hui-kiam-ci-tiam tadi adalah pukulan disertai tenaga
lweekang yang ampuh sehingga biarpun pohon itu sendiri tidak bergoyang, akan tetapi sebelah
dalam batangnya sudah hancur oleh tenaga pukulan Han Sin, maka ketika didorong lalu tumbang!
Han Sin menjadi pucat malah, sebaliknya dari pada girang. "Celaka," pikirnya. "Menjadi manusia
apa aku" Seperti iblis. Pohon saja kupukul tumbang. Kalau aku memukul orang bukankah berarti
aku membunuhnya" Celaka, iblis sudah menguasai diriku ......"
Pada saat itu berkesiur angin dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang wanita yang amat
menyeramkan. Wanita itu pakaiannya aneh dan asing. Rambutnya riap-riapan, matanya liar dan
tajam sedangkan pada tangan kanannya kelihatan sebuah senjata yang aneh, yaitu tulang seekor
ular! "Benar-benar aku melihat iblis ....." Han Sin berdiri melengak dan tak dapat bergerak saking
kagetnya. Siauw-ong cecowetan takut lalu melompat dari pundak Han Sin dan memanjat pohon.
Agaknya tulang ular di tangan wanita itulah yang membuat ia menjadi ngeri, mengingatkan dia
akan pengalamannya ketika dibelit dan diserang ular.
"Kau putera Cia Sun ....?" tiba-tiba wanita itu berkata, suaranya nyaring dan sinar matanya
mengeluarkan cahaya.
Melihat keadaan orang aneh ini, tahulah Han Sin bahwa ia berhadapan dengan seorang yang
berkepandaian tinggi. Maka ia tidak berani membohong, dan sambil menjura ia menjawab, "Betul
dugaan cianpwe, aku adalah putera ayah Cia Sun dan namaku Cia Han Sin. Tidak tahu siapakah
cianpwe dan apakah kenal dengan mendiang ayah?"
"Kenal" Kenal kanda Cia Sun?" Wanita aneh itu tertawa. Suara tawanya merdu dan nyaring
menyeramkan, akan tetapi diam-diam Han Sin harus mengakui bahwa dibalik keliaran dan
keanehan wanita ini, masih dapat dilihat dengan jelas bahwa dahulunya wanita ini tentu cantik
bukan main. Bahkan sekarang pun kulit tangan dan mukanya, masih putih dan halus sekali tidak
kalah oleh gadis-gadis muda. "He, orang muda, ayoh kau lekas ikut pergi dengan aku jangan
membantah lagi!"
"Aku tidak kenal siapa cianpwe ini dan aku mempunyai keperluan lain yang amat penting. Tak
dapat aku ikut pergi sekarang. Kalau cianpwe sudi memberi tahu nama dan alamat, tentu lain kali
aku akan mengunjungi cianpwe."
Kembali wanita itu tertawa. "Muka sama, bicara sama, benar-benar kanda Cia Sun hidup kembali.
Sayang ketolol-tololan, tidak segagah ayahnya! Eh, bocah, apa kau ingin aku mengambil jalan
kekerasan?"
"Aku ..... aku tidak mengerti maksud cianpwe ...." Baru bicara sampai di sini tiba-tiba tulang ular di
tangan wanita itu menyambar dan jalan darah di pundak Han Sin telah ditotok. Tadinya Han Sin
hendak menyalurkan hawa sinkang ke pundaknya. Akan tetapi ia segera teringat bahwa ia
menghadapi seorang wanita, lagi sudah agak tua, benar tidak pantas kalau ia melawan. Apalagi ia
masih ngeri kalau mengingat betapa tadi tenaganya telah menumbangkan sebatang pohon.
Bagaimana kalau ia salah tangan lagi membunuh wanita ini seperti ketika merobohkan Ban Kim
Cinjin" Karena pikiran inilah maka ia tidak jadi menyalurkan tenaganya. Kalau dahulu sebelum ia
menerima petunjuk Giok Thian Cin Cu, di serang begini tentu otomatis sinkangnya yang masih liar
akan bergerak sendiri ke pundak melindungi jalan darahnya. Akan tetapi sekarang, ia telah dapat
menguasai sinkangnya sehingga kalau tidak ia salurkan, hawa itu tetap berkumpul di pusarnya.
Tentu saja Han Sin yang belum punya pengalaman itu tidak tahu hebatnya wanita itu. Begitu ujung
tulang ular itu menyentuh pundaknya, ia merasa tubuh bagian atas lemah sekali. Bukan main
kagetnya, namun sudah terlambat. Kembali tulang ular menyambar, kini ke arah kedua kakinya dan
robohlah Han Sin, terguling ke atas tanpa dapat bergerak lagi, seluruh tubuhnya lemas dan tidak
dapat digerakkan! Siauw-ong yang tadinya takut-takut melihat wanita yang memegang tulang ular
itu, kini melihat Han Sin diserang, timbul keberanian dan kemarahannya. Ia mengeluarkan pekik
marah dan dari atas pohon ia meloncat dan menyambar ke arah kepala wanita itu.
Wanita itu mengeluarkan suara ketawa dingin, tubuhnya mengelak dan tulang ular menyambar ke
arah kepala Siauw-ong. Hebat sekali sambaran ini dan kalau mengenai sasaran, tentu kepala monyet
itu akan remuk. Akan tetapi Siauw-ong bukanlah sembarang monyet. Merasai datangnya hawa
sambaran senjata lawan, biarpun tubuhnya masih di udara, ia dapat membuat salto dua kali ke
belakang dan terlepas dari ancaman.
Wanita itu diam-diam merasa kaget sekali. Seorang ahli silat yang tangguh jarang bisa
menghindarkan diri dari satu kali serangannya seperti tadi, kenapa monyet kecil ini sanggup" Malah
sekarang Siauw-ong sudah menyerang lagi dengan gerakan-gerakan aneh seperti pandai bersilat!
Wanita itu timbul kegembiraannya.
"Monyet yang dibawa Cia Sun dulu tidak seperti ini. Aneh ..... aneh ......!" Ia lalu memutar
senjatanya dan sinar kelabu bergulung-gulung mengurung diri Siauw-ong yg tentu saja segera
terdesak hebat. Monyet ini mengeluarkan suara cecowetan dan menjadi jerih namun ia terus
melawan dan kegesitannya yang luar biasa membuat senjata lawan belum juga berhasil menggores
kulitnya. Pada saat itu berkelebat bayangan putih dan seorang pemuda yang memegang golok sudah tiba di
situ. "Menggunakan kepandaian tinggi menghina yang lemah, benar-benar memalukan!" seru
pemuda itu yang segera menggerakkan goloknya menerjang maju. Sekali goloknya berkelebat,
terdengar suara "cring! cring!" keras sekali dan gulungan kelabu dari senjata tulang ular itu dapat
dibuyarkan. Siauw-ong yang melihat jalan keluar segera meloncat dan menubruk tubuh Han Sin,
mengguncang-guncangnya sambil mengeluarkan bunyi seperti menangis.
Sementara itu, wanita setengah tua yang rambutnya riap-riapan menjadi marah sekali melihat
datangnya pemuda tampan yang memegang golok. "Bocah sombong, kau berhadapan dengan Jin
Cam Khoa (Algojo Manusia), berani menjual lagak" Ayoh, menggelinding pergi!"
Pemuda itu bukan lain adalah Phang Yan Bu, pemuda yang memenuhi permintaan Bi Eng untuk
membebaskan Han Sin, menjadi kaget bukan main mendengar disebutnya nama Jin Cam Khoa.
Sudah sering kali ia mendengar nama hebat ini, malah ibunya sendiri pernah memberi tahu bahwa
di antara orang-orang berbahaya yang lebih baik dihindarinya, termasuk Jin Cam Khoa inilah. Siapa
kira sekarang ia malah berhadapan dengan iblis wanita ini sendiri dengan senjata di tangan.
Kalau saja ia tidak melihat Han Sin roboh dan monyetnya tadi terancam, ia tentu akan mengalah
dan pergi meninggalkan wanita itu. Akan tetapi ia telah melihat Han Sin, melihat monyet. Ia yakin
bahwa inilah tentu kakak dari Bi Eng. Ia ingin berjasa terhadap Bi Eng, juga ingin mengikat
persahabatan dengan kakak beradik ini, menghapuskan permusuhan dan dendam lama. Sekarang
melihat Han Sin agaknya terluka dan keselamatannya terancam oleh Jin Cam Khoa, bagaimana dia
bisa tinggal diam saja" Apa yang akan ia katakan terhadap Bi Eng"
Segera ia menjura dan berkata. "Ah, kiranya aku berhadapan dengan Jin Cam Khoa cianpwe yang
terkenal. Harap maafkan Phang Yan Bu kalau mengganggu cianpwe. Ibuku, Ang-jiu Toanio sering
kali menyebut-nyebut nama cianpwe dan memesan agar supaya aku memberi hormat kalau bertemu
dengan cianpwe."
Jin Cam Khoa mengeluarkan suara mengejek. Dia tadi sudah menduga bahwa pemuda ini tentulah
bukan pemuda sembarangan, melihat dari ilmu goloknya yang hebat. Kiranya putera Ang-jiu
Toanio! Mana dia takut menghadapi orang seperti Ang-jiu Toanio" Dia, puteri Hui yang biasanya
dihormat setiap orang! Memang, Jin Cam Khoa ini bukan lain adalah Balita puteri Hui cantik jelita
yang dulu pernah menggoda Cia Sun.
Kini dia telah menjadi tua, namun ilmu kepandaiannya sudah beberapa kali lebih hebat dari pada
dahulu. Kalau dahulu di waktu mudanya saja Balita sudah lihai sekali, apalagi sekarang!
Kepandaiannya tinggi juga keganasannya memuncak sehingga ia mendapat julukan Jin Cam Khoa
atau Algojo Manusia karena entah sudah berapa ratus orang ia bunuh dengan kejam!
"Aku pernah melihat Ang-jiu Toanio. Mengingat mukanya, baik kau pergi dan aku ampunkan
kelancanganmu," katanya sambil lalu dan matanya kembali memandang ke arah Han Sin. Pemuda
ini hanya roboh tertotok, tidak pingsan maka ia dapat mendengar semua percakapan itu. Ia merasa
heran melihat seorang pemuda gagah datang menolongnya, akan tetapi ia lebih heran dan kaget
sekali ketika mendengar bahwa wanita itu adalah Jin Cam Khoa Balita, seorang di antara mereka
yang mungkin membunuh ayah bundanya. Seorang yang dianggap berbahaya oleh Ciu-ong Mo-kai
dan terhadap siapa ia harus berhati-hati.
Sementara itu, Yan Bu dengan masih hormat dan tenang berkata, "Harap cianpwe suka memaafkan
aku. Aku datang untuk menjemput saudara Cia ini bersama monyetnya karena ditunggu oleh
seorang di tepi sungai. Aku sudah berjanji untuk menjemputnya."
"Gila! Aku yang akan membawa dia pergi!"
"Maaf, terpaksa aku melindunginya."
Merah wajah Jin Cam Khoa, matanya seperti bernyala. "Bocah, ibumu boleh menakuti anak kecil
dengan tangan merahnya. Akan tetapi jangan kira aku takut! Kau tidak tahu aku sudah mengalah,
kalau begitu kau sudah bosan hidup. Mampuslah!"
Tiba-tiba sekali tulang ular itu menyambar ke arah muka Yan Bu. Baiknya pemuda ini memang
sudah bersiap sedia, dan memiliki ketenangan luar biasa, maka melihat sinar kelabu menyambar ia
segera berkelit sambil melompat mundur dan menggoyang goloknya. Tahu bahwa ia berhadapan
dengan lawan yang amat kuat, ia tidak mau mengalah dan cepat menggerak-gerakan goloknya
membalas dengan serangan-serangan yang hebat pula. Jin Cam Khoa Balita mengeluarkan teriakan
mengerikan, setengah tertawa setengah menangis dan tubuhnya berkelebatan seperti burung.
"Celaka," pikir pemuda ini. "Namanya Jin Cam Khoa, ia tak pernah meninggalkan lawan tanpa
lebih dulu membunuhnya. Kalau aku sampai tewas, siapa yang akan memberitahukan kepada nona
Cia tentang keadaan kakaknya" Dan melihat gelagatnya, ia hanya hendak menawan Cia Han Sin,
bukan hendak membunuhnya."
Pemuda ini tidak takut menghadapi ancaman maut, hanya kuatir tidak akan dapat memenuhi
janjinya terhadap Bi Eng! Benar-benar cinta itu lebih kuat dari pada maut, orang berani menentang
maut akan tetapi takut menghadapi kegagalan cinta. "Ah, lebih baik kupancing dia dari sini," pikir
lagi Yan Bu yang amat cerdik. "Melawan sampai menang aku tak sanggup, akan tetapi
mempertahankan diri kiranya masih kuat beberapa jurus lagi." Setelah berpikir demikian, pemuda
ini lalu menyerang hebat sekali. Selagi lawan melompat mundur, ia lalu melarikan diri sambil
berkata. "Biarpun namamu Jin Cam Khoa, tak mungkin kau bisa membunuhku karena selain ilmu lari
cepatku lebih tinggi, kaupun takut kepada ibu!" Yan Bu sengaja memanaskan hati iblis wanita itu.
Jin Cam Khoa memekik marah.
"Kubunuh kau .....! Kubunuh kau sampai di manapun juga ......!" Dan betul saja, pancingan Yan Bu
berhasil baik dan iblis wanita itu dengan rambut berkibar-kibar mengerikan terus saja mengejar.
Celakanya bagi Yan Bu, ilmu lari cepat iblis wanita itu ternyata hebat sekali dan sebentar saja sudah
hampir dapat disusul!
Akan tetapi Yan Bu memiliki ketabahan luar biasa dan semangat besar, juga ilmu goloknya yang ia
warisi dari Yok-ong bukanlah sembarangan ilmu golok. Dengan hebat ia menyerang lagi sehingga
biar Balita jauh lebih unggul dari padanya, terpaksa wanita ini mengelak lagi dari sambaran golok
yang mengaung dan berubah menjadi segulung sinar putih yang berbahaya. Saat wanita itu
mengelak dipergunakan lagi oleh Yan Bu untuk meloncat jauh dan lari terus. Demikianlah, makin
lama kejar mengejar itu makin jauh meninggalkan tempat di mana Han Sin masih menggeletak tak
berdaya, ditangisi oleh monyetnya.
Akan tetapi hanya sebentar Han Sin tidak berdaya. Ketika ia tadi mendengar bahwa wanita itu
adalah Jin Cam Khoa Balita, timbul semangatnya. Itulah orang yang mungkin menjadi pembunuh
ayah bundanya. Timbullah semangat ini menggerakkan hawa sinkang di pusarnya, makin lama
makin panas dan akhirnya ia berhasil juga menyalurkan hawa ini ke arah jalan darah yang tertotok
sehingga dalam sekejap mata saja ia sudah berhasil membuyarkan totokan! Pada saat ia hendak
bangun, tiba-tiba ia mendengar suara kaki berlari-larian dan muncullah It Cin Cu dan Ji Cin Cu,
berlari tak jauh dari tempat itu, dikejar oleh beberapa orang panglima Ceng.
Baiknya mereka itu semua tidak melihat Han Sin dan sekarang pemuda ini dapat mendengar
percakapan yang membuat ia terheran-heran.
"Tak perlu kalian mengejar terus," terdengar suara It Cin Cu. "Lekas kalian pergi mengejar tiga
orang sute kami Cin-ling Sam-eng. Kepada Thio-ciangkun katakan bahwa tiga hari lagi kami diamdiam
akan mengunjunginya dan kami menerima semua syaratnya."
"Terima kasih," terdengar suara seorang di antara para panglima pemerintah Ceng itu. "Ji-wi
totiang ternyata dapat melihat jauh dan suka bersekutu dengan pemerintah kami. Selamat berpisah."
Dua rombongan itu berpencar dan sebentar pula mereka sudah pergi dari situ.


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jantung Han Sin berdebar, kemarahannya timbul. Ia teringat akan pesan Giok Thian Cin Cu supaya
ia mengawasi gerak-gerik para tosu Cin-ling-pai dan menjaga nama baik Cin-ling-pai. Apakah
maksud dua orang tosu tertua dari Cin-ling-pai itu" Betul-betulkah mereka mau bersekutu dengan
pemerintah penjajah" Kemudian ia teringat lagi akan Balita, teringat akan adiknya.
"Paling perlu aku harus menemui Bi Eng, jangan-jangan diapun terancam bahaya," pikirnya. Ia lalu
bangun berdiri dan mengajak Siauw-ong pergi secepatnya dari tempat berbahaya itu. Diam-diam ia
makin kecewa karena lagi-lagi ia bertemu dengan orang-orang jahat. Balita yang datang-datang
menyerangnya, ditambah lagi dengan penghianatan It Cin Cu dan Ji Cin Cu terhadap partainya
sedemikian rupa. Ia menarik napas panjang. Baru satu orang saja yang melakukan perbuatan baik
terhadapnya, yaitu pemuda bergolok yang gagah perkasa. Akan tetapi ia tidak kenal pemuda itu.
Lapat-lapat ia tadi mendengar pemuda itu menyebut-nyebut Ang-jiu Toanio.
Tiba-tiba ia berhenti berlari dan terbelalak. Teringatlah ia sekarang setelah nama Ang-jiu Toanio
memasuki benaknya. Bukankah pemuda itu pemuda yang dulu mendorong kereta di mana duduk
seorang wanita sakit" Ah, tak salah lagi! Dan Ang-jiu Toanio, nama yang disebut oleh Ciu-ong Mokai
sebagai seorang yang ikut menyerbu orang tuanya, apakah wanita yang sakit itu"
"Banyak orang jahat di dunia ini, benar-benar tidak kusangka sebelumnya! Ah, kalau begitu apakah
suhu Ciu-ong Mo-kai lebih benar tentang mempelajari ilmu silat?" Demikian pemuda ini mulai
ragu-ragu dan di dalam perjalanannya menyusul adiknya, ia makin bersemangat menghafal dan
mempelajari gerakan-gerakan dalam ilmu silat yang ia peroleh dari Ciu-ong Mo-kai dan Giok Thian
Cin Cu. Bahkan ia mencoba kecepatan larinya dan dengan heran dan girang sekali ia mendapat kenyataan
bahwa kalau ia mau sebetulnya ia dapat berlari cepat sekali, malah ketika ia mencoba untuk
mengejar Siauw-ong dalam berlompat-lompatan, ia dapat melompat lebih cepat lebih ringan dan
gesit dari pada binatang peliharaannya itu. Makin terbuka mata pemuda ini akan kepandaiankepandaian
yang tersembunyi di dalam tubuhnya. Ia girang bukan karena mendapat kenyataan
bahwa ia pandai, hanya girang karena ia dapat melakukan perjalanan lebih cepat.
Karena melihat kemajuan-kemajuan yang diperolehnya, ia mencoba-coba untuk melakukan ilmu
silat Lo-hai-hui-kiam yang dipelajari dari Giok Thian Cin Cu dengan pedang Im-yang-kiam yang
selama ini ia belitkan di pinggang tertutup bajunya. Ia merasakan pedang itu ringan sekali, namun
ketika ia gerakkan, terdengar suara angin bersiutan dan pedang lenyap berubah gulungan sinar yang
menyilaukan mata! Siauw-ong sampai lari ketakutan menyaksikan kehebatan pedang ini.
"Ah, aku takkan menggunakan pedang. Tubuh manusia mana kuat menahan bacokan pedang"
Tentu akan putus dan darahnya menyembur keluar." Pemuda itu bergidik dan menyimpan kembali
pedangnya. Betapapun juga, ia telah melakukan tiga puluh enam jurus Lo-hai-hui-kiam dengan
pedangnya dan mendapat kenyataan bahwa amat enak terasa olehnya mainkan ilmu silat itu dengan
menggunakan pedang.
Tiap kali teringat kepada adiknya, Han Sin mempercepat perjalanannya. Ia sudah merasa rindu
sekali kepada Bi Eng, juga merasa kuatir tentang keselamatan gadis itu. Maka dapat dibayangkan
betapa girang rasa hatinya ketika ia tiba di tepi sungai Wei-ho. Dari jauh ia melihat seorang gadis
baju merah duduk di pinggir sungai membelakanginya. Adiknyalah itu, tak salah lagi. Bi Eng juga
mempunyai baju warna merah seperti itu, pikirnya. Untuk menggoda adiknya, Han Sin
meringankan langkah kakinya dan memberi tanda kepada Siauw-ong supaya jangan mengeluarkan
suara. Siauw-ong hanya memandang aneh kepada majikannya dan tidak mengeluarkan suara.
Berindap-indap Han Sin menghampiri gadis itu dari belakang, lalu cepat ia menggunakan kedua
tangannya mendekap dari belakang menutupi kedua mata gadis itu dengan telapak tangannya.
"Coba terka aku siapa ........?"" katanya sambil merobah suaranya agar jangan dikenal.
GADIS itu mengeluarkan seruan tertahan dan tiba-tiba dengan gerakan cepat kedua sikunya
dikerjakan ke belakang menghantam dada Han Sin. Pemuda ini terjengkang karena tidak menjaga
diri, akan tetapi dia tidak merasa sakit dan hanya tertawa bergelak sedangkan Siauw-ong sudah
melompat ke atas tanah.
"Ha ha ha, Eng-moi, kau lihai sekali. Apa kau tidak mengenalku?" tegurnya.
Gadis itu memutar tubuh dan tangan kirinya menutupi sebagian mukanya. Sepasang mata jeli yang
kemerahan seperti habis menangis memandang Han Sin dan pemuda ini melongo. Ternyata gadis
ini sama sekali bukan Bi Eng! Celaka, pikirnya. Pantas saja Siauw-ong memandangnya dengan
aneh. Kurang ajar, kenapa binatang itu diam saja tidak memberi tahu kepadanya" Pikiran ini
dibantahnya sendiri. Mana ada monyet bisa memberi tahu" Adalah dia sendiri yang lebih bodoh
dari monyet! "Kau ... kau bukan Bi Eng" Maafkan, nona, aku ..... aku tadi salah lihat ....."
Mendengar disebutnya nama ini, muka nona yang masih ditutupi tangan bagian hidungnya itu
menjadi merah sekali. "Kau .... Cia Han Sin ...." Suaranya perlahan dan karena tangannya menutupi
hidung, maka suaranya menjadi agak bindeng dan sumbang.
Han Sin merasa heran mengapa banyak sekali orang mengenalnya. Hal ini sudah amat
mengherankan hatinya ketika ia melakukan perjalanan dan ia sudah memikirkan keadaan yang
menyolok ini. Dasar ia cerdik, ketika ia melihat betapa Balita juga mencarinya, ia dapat menarik
kesimpulan bahwa orang-orang kang-ouw itu mencari karena ada hubungannya dengan surat wasiat
peninggalan Lie Cu Seng. Sekarang melihat gadis yang selalu menutupi hidungnya ini juga
mengenalnya, ia tersenyum.
"Betul, nona. Dan siapakah nona" Apakah nona melihat adikku yang bernama Cia Bi Eng" Dia
menanti kedatanganku di sini."
Tiba-tiba suara gadis itu berubah geram. "Karena aku mengenal dia dan kau kakaknya, maka kau
harus mati!" Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri masih menutupi mukanya, tangan
kanannya mencabut sebatang pedang.
Han Sin memandang dengan mata terbelalak dan kembali hatinya tertusuk oleh perasaan kecewa.
Benar-benar manusia mahluk paling jahat di dunia, pikirnya. Sudah banyak aku bertemu orang yang
tanpa sebab mau saling bunuh dengan kejam, sekarang gadis ini yang sama sekali tidak kukenal,
begitu berjumpa juga mau membunuhku! Memikir sampai di sini, ia menjadi geli dan tertawa.
"Nona, tidak kusangka sama sekali bahwa Giam-lo-ong (Raja Akhirat) ternyata adalah seorang
gadis cantik dan muda seperti kau!"
14. Tipu Muslihat Dara Pendekar
BIARPUN nona itu sudah marah sekali dan pedang di tangannya sudah menggetar hendak
menyerang, mendengar ucapan ini ia toh menjadi tertarik dan ingin tahu maksudnya. "Kau bilang
apa?" Mata yang jeli memandang tajam dan diam-diam Han Sin merasa sayang sekali mengapa
tangan kiri itu selalu menutupi bagian tengah muka yang berkulit putih itu. Ia ingin gadis itu
melepas tangannya, ingin melihat kecantikan orang. Han Sin memang seorang pemuda yang suka
akan apa yang indah, tentu saja ia suka melihat kecantikan seorang gadis, bukan karena nafsu-nafsu
yang tidak sehat, melainkan suka seperti orang menyukai dan menikmati kecantikan sekuntum
bunga. Mendengar pertanyaan orang, Han Sin tersenyum. "Kau tadi bilang mau membunuhku, kurasa
hanya Giam-lo-ong saja yang suka mencabut nyawa. Apakah kau bukan Giam-lo-ong?"
"Siapa bercanda denganmu" Lihat pedang!" Gadis itu lalu menusukkan pedangnya ke arah dada
Han Sin. Pemuda ini secara otomatis lalu mengelak dengan langkah kaki dalam jurus ilmu silat
Liap-hong Sin-hoat sambil berseru, "Eh, eh, tiada hujan tiada angin kenapa mau membunuh
orang?" Gadis itu tidak perduli dan hendak menyerang lagi. Tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahutahu
Siauw-ong dengan cecowetan dan menepuk-nepuk dada menantang berkelahi telah berdiri di
depan gadis itu! Binatang ini memang amat setia, setiap kali melihat Han Sin terancam bahaya atau
diserang orang, tentu ia akan turun tangan membelanya.
Melihat sikap monyet ini, gadis itu makin marah dan kini pedangnya menyambar ke arah Siauwong.
Namun dengan amat lincahnya monyet itu mengelak sambil meringis, bibirnya yang tebal
dijebi-jebikan dan mulutnya mengeluarkan suara cecowetan seperti orang memaki-maki. Makin
gencar serangan gadis itu, makin cepat pula ia mengelak sambil berusaha membalas dengan
pukulan, cakaran, dan hendak merampas pedang. Han Sin yang sudah menyaksikan gerakangerakan
gadis itu dan kelincahan Siauw-ong, hanya berdiri memandang sambil tersenyum. Ia tahu
bahwa gadis itu takkan dapat melukai Siauw-ong.
Makin penasaran dan marah gadis itu. Gerakannya memang agak kaku karena tangan kirinya tak
pernah terlepas dari mukanya. Akhirnya, dengan jurus yang mirip dengan jurus Po-in-gan-jit, jurus
ketiga belas dari Liap-hong Sin-hoat. Siauw-ong memekik dan tangan kirinya berhasil mencakar
pundak gadis itu dan lain saat tangan kanannya sudah berhasil merampas pedang!
"Siauw-ong, bodoh kau!" Han Sin mengomel. "Gerakanmu tadi kurang tepat. Kalau dia tadi
memutar pedang ke kiri, bukankah tangan kananmu akan menjadi buntung?"
Siauw-ong hanya menyeringai dan membawa pedang itu menjauhi si gadis, lalu membacokkan
pedang itu pada sebatang pohon yang sebesar paha orang. Hebatnya, sekali bacok saja pohon itu
tumbang. Dari sini saja dapat dibuktikan bahwa tenaga monyet kecil ini sudah melebihi tenaga
seorang manusia kuat!"
Melihat dirinya kalah oleh seekor monyet kecil, gadis itu menjadi putus harapan lalu menjatuhkan
diri di atas tanah sambil menangis sedih. Kini bukan hanya tangan kiri yang menutupi muka, juga
tangan kanannya menyusuti air mata.
Watak Han Sin memang penuh kesabaran dan welas asih. Melihat keadaan gadis itu, ia melangkah
maju dan berkata halus. "Nona, kau dan aku tidak kenal satu kepada yang lain, kenapa kau datangdatang
hendak membunuhku" Siauw-ong monyetku telah berlaku kurang ajar. Harap nona suka
memaafkan. Eh, Siauw-ong, kembalikan pedang nona ini!"
Sebetulnya Siauw-ong tidak suka mentaati perintah ini, akan tetapi karena ia tidak berani
membantah, maka dengan suara cecowetan seperti mengancam, ia membawa pedang itu dan
menggeletakkannya di depan nona baju merah itu. Nona itu lalu menyambar pedangnya dan Han
Sin sudah bersiap-siap, mengira nona itu akan menyerangnya lagi. Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika tiba-tiba nona itu membacokkan pedangnya ke arah leher sendiri.
Baiknya Han Sin berlaku cepat. Melihat gerakan orang, ia sudah dapat menduga dan ketika tangan
kirinya disabetkan ke bawah, telapak tangannya dengan tenaga lweekang sudah membabat pedang
itu dan ..... "krak!" pedang itu terlempar dan patah menjadi dua potong! Sekarang nona itu tidak
menutupi mukanya lagi, memandang kepada Han Sin dengan air mata bercucuran dan berkata
lemah, "Kau bunuhlah aku .... bunuh aku ........"
Han Sin berdebar jantungnya. Gadis itu mempunyai wajah yang manis sekali, matanya jeli,
mulutnya mungil, akan tetapi .... gadis itu tidak punya hidung. Hidungnya telah buntung!
"Nona ....." katanya dengan perasaan terharu. "Kau .... kenapa kau menderita sampai begini hebat
.....?" Makin deras air mata nona itu mengucur. "Adikmu ...... siluman betina Bi Eng itulah yang membuat
aku menjadi begini .....!
Han Sin menjadi pucat dan secepat kilat ia memegang kedua pundak nona itu dan mengguncangguncangnya
keras. "Kau bohong! Tak mungkin Bi Eng adikku berbuat begini. Tak mungkin dia
sekejam ini, memotong .... hidungmu. Tak mungkin!"
Gadis itu tak berdaya biarpun mencoba meronta melepaskan pegangan pemuda ini sehingga
tubuhnya terguncang-guncang. Ia mengangkat tangan kanan dan "plak! Plak!" pipi Han Sin
ditamparnya. "Lepaskan tanganmu dari pundakku!" teriak gadis itu.
Han Sin sadar. Cepat ia melepaskan kedua tangannya dengan muka merah lalu berkata perlahan,
"Kau sih yang membohong. Adikku Bi Eng seorang baik, mana dia berlaku kejam kepadamu?"
Gadis itu yang bukan lain orang adalah Ang-hwa bekas kekasih Bhok-kongcu, menundukkan
kepalanya. "Memang dia tidak melakukan dengan tangan sendiri. Akan tetapi dia yang menjadi
gara-gara, apa bedanya?"
Girang mendengar tentang adiknya, Han Sin lupa akan penderitaan orang dan mendesak. "Nona,
bagaimana kau bertemu dengan Bi Eng" Dan di mana dia sekarang?" Kekhawatirannya terdengar
jelas dalam suaranya.
Tiba-tiba nona itu tertawa mengejek. Ketawanya manis sekali dan Han Sin mengakui bahwa nona
ini tentu cantik sekali kalau saja hidungnya tidak buntung. Wajah yang cantik manis sekarang
menjadi menjijikan. Benar-benar keterlaluan orang yang telah membuntungi hidung nona ini. Dan
ia yakin yang melakukannya pasti bukan Bi Eng.
"Kau mencari adikmu, Bi Eng itu" Hi hi, dia telah menjadi korban Bhok-kongcu dan hendak kulihat
apakah dia dapat mempertahankan kedudukannya, hendak kulihat apakah kelak diapun tidak
mengalami nasib dibuntungi hidungnya oleh Bhok-kongcu?"
Terkejut dan gelisah hati Han Sin mendengar ini. "Menjadi korban bagaimana" Siapa itu Bhokkongcu?"
Ang-hwa kecewa juga mendengar pemuda ini belum mengenal nama Bhok-kongcu. Tadinya ia
mengharap pemuda ini gelisah setengah mati mendengar adiknya menjadi korban Bhok-kongcu,
karena siapakah orangnya belum pernah mendengar nama Bhok-kongcu" Ternyata pemuda ini
begini hijau! "Bhok-kongcu adalah Bhok Kian Teng, putera raja muda Bhok Hong yang berjuluk Pak-thian-tok,
kau tidak tahu?" Ia menegaskan. Kaget juga Han Sin mendengar julukan Pak-thian-tok (Racun dari
Utara) itu. "Aku tidak kenal segala orang she Bhok atau racun yang manapun juga. Bagaimana dengan adikku,
dan di mana dia?"
Ang Hwa putus asa. Tidak ada gunannya menakut-nakuti pemuda yang tidak tahu apa-apa ini.
Sambil menarik napas panjang ia lalu bercerita.
"Setelah bertemu dengan Bi Eng, Bhok-kongcu membenciku. Dapat yang baru lupa yang lama, ah,
itulah watak laki-laki. Malah dia menyiksaku begini macam .... aku, yang dulu dia cinta, dia siksa
sampai begini ......" Wanita itu menangis lagi. Han Sin tidak sabar. Ia tidak ingin mendengar tentang
wanita ini, tentang hidung yang dipotong, ia ingin mengetahui di mana adanya Bi Eng.
"Apakah Bi Eng dia bawa" Dia tawan" Ke mana dibawanya pergi?" tanyanya bernafsu.
"Ke mana lagi" Tentu ke kota raja. Hik hik hik," ia tertawa lagi. "Mula-mula dijadikan kekasih
baru, lama-lama menjadi bujang, dan akan dilupakan kalau mendapat yang baru."
Setelah berkata demikian, Ang-hwa meloncat dan lari pergi. Dari jauh terdengar suaranya memekik
nyaring, setengah tertawa setengah menangis.
Han Sin menggeleng-geleng kepalanya, merasa seram. Lagi-lagi ia bertemu orang-orang jahat.
Perempuan ini biarpun patut dikasihani, ternyata bukan orang baik, pikirnya. Apalagi orang yang
disebut Bhok-kongcu. Teringat kepada Bhok-kongcu yang menawan adiknya, tiba-tiba timbul
kemarahan hati Han Sin.
Dia tidak pernah marah dan selalu dapat bersabar dan memaafkan orang kalau dia sendiri yang
diganggu. Akan tetapi sekarang orang mengganggu adiknya dan hal ini tak dapat ia biarkan begitu
saja. Tak dapat ia maafkan. Apalagi kalau ia ingat betapa orang she Bhok itu dengan amat kejinya
telah membuntungi hidung seorang gadis cantik, bekas kekasihnya pula. Ia bergidik kalau teringat
akan hal ini. "Awas kau Bhok-kongcu, kalau sampai adikku kau ganggu .... hemmm, awas kau,
akan .... akan ku ...."
Dia akan berbuat apa" Tak dapat ia memikirkan ini, akan tetapi ia marah sekali. Han Sin saking
marahnya mengeluarkan seruan keras, meloncat ke depan dan sekali pukul ia merobohkan sebatang
pohon, lalu melompat lagi, memukul lagi dan setelah merobohkan belasan batang pohon barulah
panas pada dadanya mereda. Ia berdiri bengong, malu kepada diri sendiri mengapa seperti gila ia
menghajar pohon-pohon sampai roboh malang-melintang.
Bahkan Siauw-ong sampai ketakutan dan bersembunyi di belakang sebatang pohon agak jauh. Han
Sin menarik napas panjang, lalu memanggil Siauw-ong dan berlarilah ia dengan monyet itu di
pundaknya, mengubah tujuan perjalanannya, tidak menuju ke Lu-liang-san, melainkan ke kota raja
untuk menyusul Bi Eng. Di dunia ini hanya Bi Eng seoranglah yang ia cinta, adiknya yang ia
sayang lebih dari pada jiwanya sendiri.
"Bi Eng ........ semoga kau selamat ........"
Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan ia lakukan kalau adiknya itu sampai tertimpa
malapetaka. Terlalu ngeri ia memikirkan hal ini.
**** Beberapa pekan kemudian ketika Han Sin sedang berjalan dengan cepat di atas jalan besar menuju
ke Tai-goan, dari depan ia melihat seorang gadis cantik menunggang kuda dengan cepat. Gadis itu
berpakaian mewah dan kudanya pun kuda besar yang dapat berlari cepat. Di punggung gadis ini
terdapat sepasang pedang dan dari gerak-geriknya mudah diduga bahwa gadis cantik ini pandai
ilmu silat. Usianya mendekati tiga puluh tahun akan tetapi harus diakui bahwa dia cantik manis,
seperti gadis remaja. Ketika bersimpang jalan, gadis itu mengerling tajam dan tiba-tiba mukanya
berubah. Adapun Han Sin yang sedang sibuk memikirkan keselamatan adiknya, mana ada waktu
untuk melihat-lihat gadis cantik"
Baru ketika ia mendengar suara kaki kuda besar itu datang lagi dari jurusan belakang dan
melewatinya, ia mengangkat mukanya memandang dan lebih heran hatinya ketika ia melihat gadis
itu menghentikan kudanya, memutar kuda dan menghadang di depannya. Karena ia tidak merasa
kenal gadis ini, ia tidak memperdulikan dan tidak berani memandang lama-lama, malah hendak
menyimpang. "Tunggu dulu, bukankah kau she Cia bernama Han Sin?" tiba-tiba gadis itu menegur dengan
suaranya yang merdu.
Berdebar hati Han Sin. Benar-benar dunia ini aneh, pikirnya. Sudah terlalu sering ia bertemu orang
yang sama sekali tidak dikenalnya akan tetapi yang sudah mengenal namanya! Ingin ia membohong
dan tidak mengaku agar tidak menimbulkan banyak kesukaran dan halangan dalam perjalanannya
menyusul adiknya. Akan tetapi justeru pemuda ini tidak biasa membohong sehingga ia "tidak
sampai hati" untuk membohong. Maka dengan mendongkol ditahan-tahan, ia menjawab juga.
"Benar, aku Cia Han Sin. Tidak tahu siapakah cici (kakak) ini dan ada apa menahan perjalananku?"
Dari sinar matanya, gadis itu kelihatan girang dan lega, akan tetapi wajahnya yang keren dan
nampak galak itu tidak berubah. "Bukankah kau mencari adikmu yang bernama Cia Bi Eng?"
Kini lenyap sama sekali kemendongkolan hati Han Sin. "Betul!" jawabnya setengah bersorak. "Cici
yang baik, apakah kau tahu di mana adanya adikku itu?"
"Tak baik bicara di tengah jalan. Kalau kau ingin tahu tentang adikmu, mari ikut aku!"
Girang sekali hati Han Sin. "Terima kasih, cici. Baik, aku akan ikut kau."
"Naiklah!"
Han Sin bingung. Naik kemana" Kuda hanya seekor. Karena betul-betul tidak mengerti, ia bertanya,
"Kau maksudkan .... naik ke mana, cici?"
Gadis itu kelihatan geli, akan tetapi tidak memperlihatkan senyumnya. "Tentu saja ke sini, di
belakangku. Naiklah!"
"Ah, mana aku berani ...." Aku ...... lebih baik aku jalan kaki saja, cici naikilah sendiri kuda itu."
"Hemm, rumahku tidak dekat, sedikitnya ada dua puluh li dari sini. Kudaku pun larinya cepat. Apa
kau kira kau mampu lari sejauh itu membarengi larinya kuda?" gadis itu bertanya, nada suaranya
tak sabar dan ketus.
Tentu saja aku bisa, jawab pikiran Han Sin. Selama ini dia sudah dapat menguasai tenaga dalamnya,
malah ia sudah tahu bagaimana caranya berlari cepat, cepat sekali melebihi larinya kuda. Dan dia
selama berpekan-pekan ini sudah berlari cepat, kadang-kadang dalam satu hari sampai ratusan li
tanpa merasa lelah. Apa artinya tiga puluh atau bahkan dua puluh li" Akan tetapi ia harus
menyembunyikan kepandaiannya.
"Tentu saja aku tidak bisa, cici."
"Kalau begitu jangan banyak rewel. Naiklah di belakangku!"
"Akan tetapi, cici ....." Han Sin masih ragu-ragu. Masa ia harus duduk di belakang orang ,
bersentuhan tubuh di atas kuda" Benar-benar hal itu kurang ajar sekali dan ia mana berani
melakukannya"
"Rewel, pendeknya kau mau mendengar tentang adikmu atau tidak?" Gadis itu menjadi tak sabar


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan bertanya marah. Orang lain, apa lagi laki-laki muda, bahkan akan mengharapkan dapat duduk
berdua di atas kuda dengan dia. Eh, bocah ini begini ... begini .... hijau!
Diingatkan tentang adiknya, Han Sin menjadi nekat dan ia lalu naik ke atas kuda. Bukan melompat,
hanya naik sambil berpegang pada lengan gadis itu yang membantunya, naik kuda seperti seorang
yang lemah agar tidak menimbulkan kecurigaan yang bukan-bukan. Siauw-ong melompat ke atas
pundaknya dan baru saja ia duduk. Kuda itu sudah melompat ke depan dengan cepatnya. Dengan
lweekangnya, tentu saja Han Sin dapat duduk dengan tegak, akan tetapi ia sedang bersandiwara,
maka ia cepat-cepat memegang pundak orang di depannya sambil berseru ketakutan, "Cici yang
baik, jangan cepat-cepat ........!"
Gadis itu mengeluarkan suara ketawa kecil mengejek, akan tetapi benar saja, ia menahan kudanya
agar berlari biasa. Di sepanjang jalan gadis itu tidak bicara apa-apa dan yang paling merasa tidak
enak adalah Han Sin. Ia tidak enak duduk dan berusaha sedapat mungkin menggeser ke belakang
agar jangan terlalu mepet dengan tubuh gadis itu.
Celakanya, dia duduk di bagian belakang maka kalau ia terlalu menggeser ke belakang, ia
menduduki punggung belakang yang menonjol ke atas sehingga sukar baginya untuk duduk dengan
enak. Sebaliknya, gadis itu tidak perduli sama sekali dan Siauw-ong bertepuk-tepuk tangan saking
gembiranya. Naik kuda merupakan pengalaman baru bagi monyet ini.
Seperti telah kita ketahui, Bhok-kongcu ketika bertemu Bi Eng di sungai Wei-ho, menyuruh
seorang selir atau pembantunya yang lihai, Yo Leng Nio, untuk menyusul Han Sin di Cin-ling-san
dan mengajak pemuda itu datang ke Wei-ho. Akan tetapi ketika sampai di bukit itu, yang dilihat
oleh Yo Leng Nio hanyalah kehancuran di Cin-ling-san dan banyak mayat para tosu Cin-ling-pai
dan beberapa mayat pengemis-pengemis anggauta Coa-tung Kai-pang. Dia tidak melihat Han Sin.
Maka cepat-cepat ia kembali ke perahu dan melaporkan hal ini kepada Bhok-kongcu.
Tentu saja Bi Eng gelisah sekali mendengar ini, akan tetapi Bhok Kian Teng dengan pandai
menghiburnya dan mengatakan bahwa tentu pemuda dengan monyetnya itu telah dapat melarikan
diri dan melanjutkan perjalanannya. Dengan pancingannya ia berhasil membuat Bi Eng mengaku
bahwa kakaknya hendak ke Lu-liang-san, maka Bhok-kongcu lalu mengusulkan untuk menyusul ke
Lu-liang-san. Bi Eng yang masih hijau pengalamannya itu menurut saja dan berangkatlah dia
bersama Bhok-kongcu ke Lu-liang-san, sedangkan Yo Leng Nio oleh Bhok-kongcu diberi perintah
untuk terus mencari Han Sin, kalau-kalau pemuda itu pergi ke jurusan lain.
Demikianlah, sekarang gadis yang bertemu di dekat kota Tai-goan dengan Han Sin, bukan lain
adalah Yo Leng Nio, tangan kanan Bhok-kongcu. Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Leng
Nio. Ia ingin berjasa kepada kongcunya, maka cepat ia mengajak pemuda itu pergi ke Tai-goan di
mana terdapat sebuah rumah bagus kepunyaan Bhok-kongcu.
Tahu akan maksud Bhok-kongcu, yaitu hendak merampas surat wasiat Lie Cu Seng yang dibawa
pemuda ini, Leng Nio hendak menggunakan siasat, merampas surat dan membunuh pemuda ini
agar tidak menimbulkan banyak urusan. Dengan surat wasiat itu ia dapat menyenangkan hati Bhokkongcu
yang dicintainya sepenuh hati. Kalau tidak hendak menjalankan siasat, mana ia sudi
memboncengkan pemuda itu di atas kudanya"
Ketika kuda yang mereka tunggangi itu akan memasuki kota Tai-goan, tiba-tiba dari pintu kota
keluar sebuah kereta yang ditarik oleh seekor kuda putih. Kereta itu bergerak cepat dan ketika
bersimpangan dengan kuda Leng Nio, tirai jendela kereta itu tersingkap dari dalam dan kelihatanlah
wajah seorang gadis cantik yang gelung rambutnya amat indah. Yo Leng Nio segera menahan
kudanya dan menjura dengan hormat ke arah kereta. Han Sin juga memandang. Segera ia mengenal
wajah ini dan tak terasa ia berseru,
"Nona Thio Li Hoa .....!"
Memang nona itu bukan lain adalah Thio Li Hoa yang pernah dijumpainya di Cin-ling-san ketika ia
di "hukum" dalam jurang Can-tee-gak. Nona dalam kereta itu melirik sebentar, sepasang matanya
bersinar marah sekali, lalu ia melengos dan menutup kembali tirai jendela keretanya.
"Kau kenal dia?" tanya Leng Nio sambil menjalankan kembali kudanya, perlahan-lahan.
"Kenal" Tidak, hanya pernah bertemu dengan dia di Cin-ling-san."
"Hemm, tentu datang bersama para pengemis, bukan?"
"Bagaimana kau bisa tahu?" Han Sin bertanya heran.
Leng Nio tidak menjawab, malah berkata ketus, "Turunlah, kita sudah sampai di kota. Masa kau
masih mau nongkrong terus membikin kita menjadi buah tertawaan orang?"
Merah muka Han Sin dan ia merosot turun dari atas punggung kuda. Mereka memasuki kota Taigoan
yang besar dan ramai. Akan tetapi waktu itu agak sepi karena hari telah menjadi senja. Leng
Nio membawanya ke sebuah gedung kecil mungil dan indah sekali yang letaknya agak di pinggir
kota. Benar-benar sebuah bangunan yang menyenangkan dan enak sekali kalau dipergunakan untuk
mengaso. Letaknya di tempat yang tidak begitu ramai, juga gedungnya kecil saja akan tetapi taman bunganya
besar penuh tetanaman yang indah-indah. Tentu rumah orang kaya, pikir Han Sin yang memandang
kagum ketika ia memasuki halaman rumah itu. Akan tetapi segera semua ini tidak diperhatikan lagi
karena hatinya berdebar memikirkan adiknya. Apakah ia akan bertemu dengan Bi Eng di sini"
"Apakah adikku berada di rumah ini?" tanyanya.
Leng Nio menggeleng kepala. "Nanti sambil makan kita bicara tentang dia." Pada saat itu dua orang
pelayan laki-laki datang. Leng Nio memberikan kudanya kepada seorang di antara mereka lalu
berkata kepada orang kedua.
"Saudara ini tamu Bhok-kongcu, kau antarkan dia ke sebuah kamar tamu." Pelayan itu mengangguk
lalu memberi isyarat dengan tangannya kepada Han Sin untuk mengikutinya. Han Sin terpaksa
menurut saja karena ia membutuhkan keterangan tentang adiknya. Baiklah aku bersabar sampai
mendengar keterangannya, kalau tidak memuaskan aku bisa pergi dari sini, pikirnya.
Ketika pelayan itu mengantarnya ke sebuah kamar yang mewah dan indah, ia mencoba untuk
menyelidiki dari mulut pelayan itu. "Eh, sobat, sebetulnya rumah ini milik siapakah" Apakah milik
Bhok-kongcu" Dan di mana tuan rumahnya?"
Akan tetapi pelayan yang sedang menyapu lantai kamar itu sama sekali tidak menjawab,
menengokpun tidak seakan-akan tidak mendengar pertanyaannya. Han Sin mendongkol sekali.
Masa pelayan saja sampai berani menghadapinya dengan sikap memandang rendah" "Eh, sobat!"
katanya tak sabar sambil menowel lengan pelayan itu. Pelayan itu menengok dan memandang
kepadanya dengan sinar mata penuh pertanyaan.
"Di mana Bhok-kongcu" Apakah ada seorang nona she Cia di sini?" tanya Han Sin pula.
Pelayan itu mengangkat pundak, lalu menyapu lagi. "Eh, kurang ajar kau, apa kau gagu?" pelayan
itu kembali memandang kepadanya, lalu menuding ke arah kedua telinganya dan membuka mulut.
Ternyata pelayan ini tidak berlidah dan kedua telinganya tuli. Lidahnya dipotong dan telinganya
dilubangi orang!
Han Sin melengak, namun diam-diam ia bercuriga. Aneh sekali orang-orang di sini. Kalau dia benar
tak dapat mendengar, bagaimana tadi dia bisa mengerti perintah nona itu" Ia tentu saja tidak tahu
bahwa pelayan ini memang tuli dan bisu seperti semua pelayan dari Bhok-kongcu, dan tadi dapat
dimengerti ucapan Leng Nio karena memandang gerak bibir gadis itu.
Karena merasa lelah dan tubuh serta pakaiannya memang kotor terkena debu, Han Sin segera mandi
ketika pelayan itu menyiapkan air, dan dengan gembira dan penuh harapan ia lalu pergi ke ruang
makan ketika pelayan mengajaknya. Di situ sudah menunggu nona galak tadi yang kini sudah
mengenakan pakaian baru, mukanya dibedak dan digincu sehingga kelihatan makin cantik. Namun
sayang, demikian pikir Han Sin, nona ini wajahnya membayangkan sifak galak, pendiam dan
sungguh-sungguh, sama sekali tidak ada sinar terangnya. Alangkah banyak bedanya dengan wajah
Bi Eng, pikirnya. Malah lebih galak dari pada wajah nona Thio Li Hoa.
Di atas meja sudah tersedia masakan-masakan yang masih panas dan arak wangi. Melihat
kedatangan Han Sin bersama Siauw-ong, ia mengerutkan kening dan berkata, "Harap monyet kotor
itu jangan dibawa ke sini. Suruh dia bermain-main di luar."
Han Sin tersenyum, tanpa menjawab ia lalu mengambil beberapa butir buah dari atas meja,
memberikannya kepada Siauw-ong sambil berkata, "Siauw-ong, kau bermain-main di luar sana,
jangan ganggu kami. Jangan datang sebelum kupanggil!" Monyet itu mengerti, menerima buah dan
melompat ke luar setelah berjebi kepada Leng Nio.
Han Sin tertawa lalu duduk menghadapi meja. "Cia-kongcu silahkan makan dulu, baru nanti kita
bicara," kata nona itu tanpa sungkan-sungkan lagi karena perutnya memang sudah lapar, Han Sin
makan dengan lahapnya. Leng Nio yang juga menemaninya makan, memandang cara pemuda
makan ini dengan senyum mengejek, lalu ia berkata.
"Kongcu agaknya jarang melakukan perjalanan jauh dan tidak pernah bertemu dengan orang-orang
jahat." "Kenapa kau berkata begitu?"
"Kalau aku berniat jahat dan memberi racun dalam makanan ini, bukankah kau akan celaka" Kau
sama sekali tidak berhati-hati, terus saja makan tanpa memeriksa lagi."
Merah wajah Han Sin. Bukan karena ia ceroboh, dan bukan karena ia tidak tahu akan bahayabahaya
seperti ini. Dahulu sering kali Ciu-ong Mo-kai memberi nasehat kepadanya, atau lebih tepat
kepada Bi Eng, agar hati-hati menghadapi orang-orang kang-ouw yang seringkali menggunakan
racun untuk menjatuhkan musuhnya. Akan tetapi soalnya bukan ia ceroboh, melainkan karena ia
terlalu percaya kepada orang. Ia juga percaya sekali kepada nona ini, mana bisa hatinya menaruh
curiga dan takut diracuni" Masa ada seorang gadis cantik seperti ini mau main racun"
"Nona, aku percaya kepadamu, percaya dengan membuta karena kau sudah begitu baik hendak
bicara tentang adikku. Masa aku takut diracun?" jawabnya sambil tersenyum.
Setelah selesai makan dan meja itu sudah dibersihkan, Leng Nio berkata, "Nah, sekarang marilah
kita bicara." Memang saat ini yang dinanti-nanti oleh Han Sin, maka ia lalu berkata.
"Nona sudah begini baik terhadap aku, mengajak aku ke sini, malah sudah menjamu dengan
hidangan enak. Kalau nona sekarang bicara tentang adikku, itulah menunjukkan bahwa kau
memang seorang yang mulia dan aku Cia Han Sin akan berterima kasih sekali."
"Huh, siapa yang mulia" Aku hanya melakukan kewajibanku. Ketahuilah, aku adalah pelayan
Bhok-kongcu bernama Yo Leng Nio." Hati Han Sin berdebar. Lagi-lagi seorang pelayan Bhokkongcu
setelah pertemuannya dengan nona baju merah yang hidungnya buntung. Akan tetapi ia
tidak berkata apa-apa dan mendengarkan terus.
"Aku tidak mau bicara panjang lebar. Pendeknya, adikmu itu kini telah ditawan oleh Bhok-kongcu
dan disembunyikan di suatu tempat. Hanya dengan satu syarat yang kau penuhi, adikmu itu akan
dibebaskan dan kau akan dapat bertemu kembali dengan dia."
Bukan main kaget dan herannya hati Han Sin. Orang sudah berlaku begini baik, akan tetapi
mengapa di belakang kebaikan ini terkandung sesuatu yang demikian jahat"
"Kenapa adikku di tawan" Apa salahnya" Ayoh, kaulepaskan, kalau tidak akan kulaporkan kepada
pembesar setempat!" katanya marah.
Leng Nio tertawa mengejek. "Jangan kau ngaco belo! Bhok-kongcu adalah putera raja muda, mana
segala macam pembesar bisa mengganggunya" Pendeknya, kau penuhi syarat itu atau ...... kau
takkan dapat berjumpa kembali dengan adikmu, malah jiwamu juga akan terancam."
"Tidak perduli dengan jiwaku! Asal adikku selamat. Di mana dia?"
"Kau terima syaratnya atau tidak?"
"Apa syaratnya, lekas kau beritahukan. Asalkan patut dan dapat kulakukan, tentu saja aku suka
bertukar dengan keselamatan adikku."
Yo Leng Nio berdiri dan dengan suara agak gemetar saking tegangnya, ia berkata. "Kau serahkan
surat wasiat Lie Cu Seng, dan kau akan segera kuantar ke tempat adikmu." Sambil berkata
demikian, sepasang matanya menatap tajam.
Han Sin melengak. Eh, kiranya ke situlah tujuannya" Heran dia, kenapa semua orang kang-ouw ini
tergila-gila kepada surat wasiat Lie Cu Seng dan agaknya berlumba-lumba untuk mendapatkannya"
Mau tak mau ia tertawa getir mendengar permintaan ini.
"Kenapa kau tertawa" Apakah kau lebih sayang surat itu dari pada keselamatan adikmu?" bentak
Yo Leng Nio penuh ancaman.
"Bukan begitu, aku hanya merasa geli kenapa semua orang begitu gila hendak mendapatkan surat
itu." "Berikan padaku demi keselamatan Bi Eng," kata Leng Nio penuh gairah karena ia mengharapkan
siasatnya ini berhasil.
Han Sin menggeleng kepalanya. "Tak mungkin, surat itu memang tadinya berada di tanganku, akan
tetapi sekarang telah hancur, sudah hilang."
"Bohong!"
"Kau tidak percaya, ya sudah. Memang tidak ada lagi padaku, sudah rusak dan hancur di dalam
jurang Can-tee-gak di Cin-ling-san."
Akan tetapi mana Leng Nio mau percaya" Surat wasiat yang dirindukan oleh semua tokoh kangouw,
mana bisa dirusak begitu saja" Ia mengerutkan keningnya yang berkulit halus, lalu berkata.
"Sudahlah, kau boleh istirahat. Kuberi waktu semalam ini. Besok kau harus dapat memberi
keputusan, lebih sayang surat atau lebih sayang adik."
Setelah berkata demikian ia tinggalkan pemuda itu seorang diri. Han Sin bingung sekali dan
akhirnya karena memang lelah, iapun pergi ke kamarnya dan memanggil Siauw-ong. Akan tetapi
monyet itu tidak muncul, agaknya pergi main-main terlalu jauh. Ia tahu bahwa Siauw-ong tentu
akan kembali sendiri, maka ia lalu membaringkan tubuh di atas tempat tidur yang empuk dalam
kamar itu. Ia putar-putar otak mencari jalan keluar terbaik menghadapi persoalan ini, namun sia-sia.
Memang surat wasiat itu sudah dia hancurkan sebagian dan yang sebagian pula dirobek-robek oleh
Thio Li Hoa, bagaimana dia bisa menyerahkan surat itu" Apakah ia harus membuat gambar baru
dari peta itu dan menyerahkannya kepada Leng Nio" Kalau hal ini ia lakukan, kemudian ternyata Bi
Eng tak dapat ia jumpai, siapa tahu orang-orang kang-ouw ini banyak sekali akal curangnya,
bukankah itu merupakan kerugian besar" Pula, ia seperti mendurhaka kepada mendiang ayahnya.
Surat wasiat itu memang haknya dan hak Bi Eng, bagaimana bisa diserahkan begitu saja kepada
orang lain"
Lewat sedikit tengah malam, ketika keadaan di seluruh gedung itu sunyi, sesosok bayangan yang
amat gesit membuka jendela kamar Han Sin dan memasuki kamar itu. Keadaan di dalam kamar
amat gelap akan tetapi agaknya bayangan itu sudah mengenal baik kamar itu, buktinya ia dapat
menyimpangi meja yang terpasang di dekat jendela. Orang lain tentu akan menabrak meja dalam
kegelapan itu. Bayangan itu mengeluarkan sebuah lilin kecil dan menyalakannya setelah
mendengarkan sebentar dan dari pernapasan yang lambat panjang tahu bahwa pemuda yang berada
di pembaringan sudah pulas betul.
Ia melihat baju luar Han Sin yang ditaruh di atas bangku. Cepat tangannya menggerayangi baju itu
dan memeriksa. Ketika mendapat kenyataan, ia lalu menaruh kembali baju itu dan menyingkap
kelambu melihat ke atas pembaringan. Tiba-tiba ia nampak terkejut sekali dan sekali tiup lilinnya
padam. Bayangan ini dengan tergesa-gesa dan kelihatan ketakutan melompat lagi ke jendela untuk
lari. Ternyata dia melihat cara tidur Han Sin yang amat aneh, yaitu dengan kepala di bawa kaki di atas,
berjungkir balik! Tentu saja melihat orang dalam keadaan seperti itu, ia terkejut bukan main dan
siapakah orangnya yang mau percaya bahwa pemuda itu berada dalam keadaan tidur pulas"
Memang sesungguhnya Han Sin tidur pulas. Tadi karena pikirannya agak bingung dan khawatir
memikirkan keadaan adiknya, pemuda ini lalu berlatih samadhi seperti biasa dengan berjungkir
balik sampai ia tertidur dalam keadaan demikian. Dalam keadaan seperti itu, pendengaran pemuda
ini tajam sekali, maka ia segera terbangun ketika mendengar suara perlahan di jendela, suara kaki
bayangan itu menyentuh daun jendela.
Tiba-tiba terdengar suara Siauw-ong cecowetan dan disusul suara bentakan perlahan. "Monyet sial,
minggat kau!" Itulah suara Leng Nio!
Han Sin turun dari pembaringan dan menyalakan lilin dan pada saat itu Siauw-ong melompat ke
dalam kamar itu, di kedua tangannya membawa sebuah sisir, sebuah cermin kecil, dan sebuah saput
atau alat penyapu muka kalau sedang dibedaki. Entah dari mana dia mendapatkan alat berhias
wanita ini. Melihat itu Han Sin menjadi geli dan membentak.
"Siauw-ong, dari mana kau dapatkan barang-barang ini" Ayoh, kembalikan kepada pemiliknya!"
Siauw-ong menjebikan bibirnya yang tebal, membuat gerakan seperti orang menyisir rambut
kepalanya lalu berbedak sambil bercermin. Benar-benar seperti seorang wanita sedang berhias! Mau
tak mau Han Sin tertawa geli dan menggebah monyet itu keluar dari kamarnya. Lalu tidur kembali,
diam-diam mendongkol kepada Leng Nio yang sudah terang tadi mencoba untuk menggeledahnya,
agaknya mencari surat wasiat Lie Cu Seng!
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin sudah mendengar suara ribut-ribut. Suara ini
adalah suara cecowetan Siauw-ong dan makian Yo Leng Nio. Ketika mendengar suara Siauw-ong,
seperti kalau sedang menantang berkelahi, Han Sin cepat memakai bajunya dan keluar dari
kamarnya terus menuju ke taman bunga dari mana suara ribut-ribut itu terdengar.
Betul saja, Siauw-ong sedang "cekcok" dengan Yo Leng Nio. Nona ini memaki-maki,"Monyet
sialan, kembalikan barang-barangku!"
Akan tetapi dengan suara "ngak-nguk, ngak-nguk!" Siauw-ong agaknya malah menantang dan
mempermainkan gadis itu.
"Setan, kau minta mampus!" Dan gadis itu dengan amat cepatnya lalu menyerang, memukul kepala
monyet itu. Namun mana bisa Siauw-ong dipukul begitu saja. Sambil menjebikan bibirnya yang
tebal, ia meloncat dengan elakan yang indah, lebih cepat dari pada serangan Leng Nio. Gadis itu
penasaran, lalu menyerang lagi, tapi luput lagi. Akhirnya saking marah dan penasaran, Leng Nio
menyerang sungguh-sungguh dengan gerakan ilmu silat, malah menggunakan jari tangannya untuk
menotok dan menusuk mata monyet itu.
Siauw-ong benar-benar hebat, sambil menyengir ia terus mengelak ke sana ke mari sehingga
tubuhnya berkelebatan di antara ke dua tangan Leng Nio yang melakukan pukulan bertubi-tubi. Dan
kini monyet itu bukan hanya sembarangan mengelak mendasarkan kegesitan yang wajar seekor
monyet. Kalau dia hanya mengandalkan kegesitan monyet biasa, tentu dia akan kena pukul oleh
gadis yang lihai itu. Akan tetapi Siauw-ong mengelak dengan jurus-jurus ilmu silat pula, ilmu silat
Liap-hong Sin-hoat yang tinggi. Langkah-langkah dan gerak tubuhnya teratur sehingga selalu Leng
Nio menghantam tempat kosong.
Han Sin merasa puas melihat Siauw-ong mempermainkan nona itu. Agaknya monyet ini tahu pula
akan usaha nona itu menggeledah kamarnya, pikir Han Sin. Maka sebagai pembalasan, Siauw-ong
juga memasuki kamar nona itu dan mencuri alat-alat berhias. Akan tetapi melihat Leng Nio makin
lama makin marah, ia merasa tidak enak juga. Betapapun juga, ia masih mengharapkan penjelasan
Rajawali Hitam 7 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Kisah Pedang Di Sungai Es 11

Cari Blog Ini