Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 9

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


tak boleh dipandang ringan. Sebagai pute?ra tunggal Pak-thian-tok (Racun Utara), tentu saja senjata
rahasia itu mengandung racun yang amat jahat.
Adapun Hoa Hoa Cinjin yang melihat keadaan lawannya terdesak, cepat mem?perhebat
serangannya, malah iapun kini menggunakan jarum-jarum hijau diseling dengan pukulan-pukulan
Cheng-tok-ciang!
"Curang .... curang ....!" Berkali-kali Ciu-ong Mo-kai Tang Pok berseru sambil membuang diri ke
kanan kiri, namun percu?ma saja karena hujan serangan itu akhirnya membuat pundak kirinya
terkena jarum hijau yang dilepas dari jarak dekat oleh Hoa Hoa Cinjin.
Tang Pok menggigit bi?birnya menahan sakit. Seluruh lengan kirinya menjadi lumpuh oleh racun
jarum itu. Cepat ia menotok jalan darah di leher ki?ri dan mengerahkan tenaga untuk menahan
menjalarnya racun, ia memutar guci arak?nya dengan pukulan Ciu-san-cam-liong (Dewa Arak
Membunuh Naga), jurus ter?akhir yang paling dahsyat dari Liap-hong? Sin-hoat.
Guci arak itu berputar cepat se?kali mengarah kepala Hoa Hoa Cinjin dan terus menyerang Bhokkongcu
yang berada agak jauh. Dua orang ini kaget dan cepat meloncat mundur melihat dahsyatnya
se?rangan guci arak ini dan diam-diam Hoa Hoa Cinjin kagum sekali melihat kakek pengemis yang
sudah terluka oleh jarum hijaunya itu ternyata tidak roboh malah dapat melakukan serangan balasan
demiki?an hebatnya.
"Mo-kai, kau hebat ......!" Tak terasa lagi ia memuji sambil melompat mundur.
Tang Pok hanya tertawa bergelak, lalu tubuhnya melesat jauh, lari dari situ. Bhok-kongcu dengan
gemasnya menghujan?kan senjata rahasia ke arah pengemis itu. Akan tetapi jaraknya sudah terlalu
jauh dan dengan sekali mengibaskan ujung le?ngan baju kanannya, semua jarum itu da?pat
diruntuhkan. "Jangan-jangan dia nanti mengejar Tung-hai Siang-mo dan merampas murid?nya," kata Hoa Hoa
Cinjin. Bhok-kongcu menggeleng kepalanya. "Selain dia tidak berdaya menghadapi dua orang tua itu, juga
mereka diantar oleh sepasukan pengawal bersenjata yang sudah dipilih. Tak usah khawatir, paling
baik kita segera mengeluarkan pemuda she Cia itu."
Demikianlah, dengan bekerja siang malam, Bhok-kongcu akhirnya berhasil membongkar semua
batu-batu yang menu?tup terowongan dan seperti telah dicerita?kan di bagian depan, Bhok-kongcu
dan Hoa Hoa Cinjin menyerbu ke dalam, akan tetapi mereka berdua tidak mendapatkan apa-apa,
bahkan tidak melihat adanya Cia Han Sin yang sudah bersembunyi di dalam sumur!
Kita kembali kepada Han Sin. Seper?ti telah kita ikuti bersama, pemuda ini telah menggembleng
diri dalam terowongan, mempelajari ilmu silat tinggi Thian-?po-cin-keng. Tanpa ia sadari sendiri,
ia telah mewarisi ilmu yang hebat dan ber?kat latihan-latihannya, kini hawa sinkang di dalam
tubuhnya menjadi berlipat ganda kuatnya.
Setelah ia mendengar percakapan antara Bhok-kongcu dan Hoa Hoa Cinjin, dan mengerti bahwa
Bhok-kongcu sebenar?nya adalah Pangeran Mongol yang bercita-?cita merampas kembali negara
Tiongkok, jiwa patriotnya bergolak. Ia melihat an?caman hebat mengancam tanah air dan
bangsanya, yang tidak saja kini dicaplok oleh penjajah Mancu, malah terancam pula oleh orangorang
Mongol yang ingin men?jajah kembali.
Akan tetapi saat itu, perha?tiannya tertumpah pada nasib adiknya yang ia dengar telah terjatuh ke
dalam tangan pangeran Mongol, Bhok-kongcu itu. Maka dengan kemarahan ditahan-tahan, pemuda
ini lalu berjalan keluar dari tero?wongan, tidak jadi melarikan diri!
"Awas kalian kalau adikku diganggu .....!" gerutunya. Kesabaran manusia ada batasnya dan pemuda
ini yang biasanya amat sabar, saking seringnya diganggu dan setelah mendapat gemblengan di
dalam te?rowongan, dibangunkan semangatnya oleh Thai-lek-kwi Kui Lok, kini benar-benar
menjadi marah. Pada saat itu Bhok-kongcu dengan kecewa karena pekerjaan berat yang sudah dilakukan itu
ternyata tidak mendatangkan hasil yang amat diharapkan, yaitu kitab rahasia yang ia rindukan,
sedang mengatur orang-orangnya untuk mengangkuti harta pusaka yang banyak terdapat di dalam
guha. Pekerjaan ini dibantu oleh Thian-san Sam-?sian, Tok-gan Sin-kai, dan lain-lain jago?annya.
Tung-hai Siang-mo sudah pergi mengantar tiga orang nona ke kota raja, sedang Hoa Hoa Cinjin
sudah pergi melakukan pengejaran terhadap Cia Han Sin yang mereka sangka sudah kabur dari
dalam guha. 24. Rahasia Adik Kandung Perempuan
DAPAT dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka ketika tiba-tiba mereka melihat Han Sin
berjalan keluar dari dalam guha. Wajah pemuda ini merah sekali, sepasang matanya yang luar biasa
sinarnya itu menyapu semua orang, amat menyeramkan. Pakaiannya kumal dan compang camping,
rambutnya kusut tidak terpelihara. Akan tetapi sekali melihatnya, Bhok-kongcu segera
mengenalnya. Pangeran muda ini amat terkejut dan heran, akan tetapi ia segera dapat menekan
perasaannya dan dengan wajah tersenyum ia melangkah maju dan menyambut Han Sin dengan
suara ramah, "Ah, kiranya saudara Cia masih selamat. Syukur ...., syukur ......! Kami telah bersusah payah
berusaha menolongmu, membongkar semua batu untuk sebulan lebih lamanya." Akan tetapi Bhokkongcu
menghentikan langkahnya ketika melihat muka pemuda itu yang kelihatan mengancam dan
marah. "Di mana Bi Eng" Di mana adikku itu?" Pertanyaan ini keluar dari mulut Han Sin dengan nada
penuh ancaman dan sinar matanya berapi-api.
Dengan muka masih tersenyum ramah Bhok-kongcu menjawab, "Adikmu itu selamat dan berada di
kota raja menanti kedatanganmu. Saudara Cia, apakah kau sudah mendapatkan kitab rahasia itu?"
Diam-diam Han Sin terkejut. Bagaimana pemuda pangeran ini bisa tahu tentang kitab" la
menggeleng kepala. "Takkan kukatakan kepadamu, atau kepada siapapun juga. Kau bohong tentang
adikku. Kau telah menawannya. Ayoh lepaskan dia!"
Bhok-kongcu mendongkol sekali, akan tetapi masih dapat menahan kemarahannya. la tahu bahwa
Han Sin memiliki keberanian dan kekerasan hati luar biasa, maka harus dihadapi dengan lemahlembut.
"Saudaraku yang baik, seorang kuncu tak akan menjilat kembali ludah yang sudah
dikeluarkannya. Kau sudah berjanji padaku ........"
"Berjanji apa" Berjanji hendak membawamu ke tempat penyimpanan harta peninggalan pahlawan
Lie Cu Seng. Bukankah aku sudah membawamu ke sini" Ayoh, jangan banyak cakap, lekas
lepaskan adikku!"
Bhok-kongcu seorang cerdik. Melihat pemuda itu tidak mau bicara tentang kitab wasiat, ia menaruh
curiga bahwa kitab itu tentu telah ditemukan Han Sin. Maka ia lalu berkata manis,
"Saudara Cia, adikmu selamat di kota raja. Mudah saja melepaskan dia supaya berkumpul lagi
denganmu, akan tetapi kitab itu ...... kau harus berikan dulu kepadaku sebagai penukaran diri
adikmu. Bukankah ini adil?"
Kemarahan Han Sin meluap. Sepasang matanya seperti kilat menyambar ke arah wajah Bhokkongcu,
membuat kongcu itu surut dua langkah saking kagetnya. "Aku tidak mau lagi masuk
perangkapmu yang keji!'" seru Han Sin. "Aku tidak sudi berjanji apa-apa, tidak sudi menukar apaapa.
Adikku tidak bersalah, mengapa kau tawan" Ayoh keluarkan!" Dengan penuh kemarahan
pemuda ini melangkah maju menghampiri Bhok-kongcu.
Tentu saja Bhok-kongcu tidak takut menghadapi Han Sin yang dianggapnya seorang pemuda yang
hanya berani dan aneh, akan tetapi lemah. Pada saat itu terdengar suara tertawa mengejek dan
majulah tiga orang hwesio, menghadang Han Sin. Mereka ini adalah Thian-san Sam-sian, yaitu Gi
Ho Hosiang, Gi Hun Hosiang dan Gi Thai Hosiang. Yang tertawa adalah Gi Hun Hosiang, yang
sudah mencabut pedang dan tasbehnya.
"Ha-ha-ha, bocah she Cia. Apakah kau masih belum kapok dan minta disiksa lagi seperti dulu"
Ingin pinceng mencokel keluar kedua matamu yang seperti mata iblis itu!"
Melihat tiga orang hwesio yang menaruh dendam kepada keluarga Cia itu sudah maju, Bhokkongcu
berkata, "Jangan bunuh dia, tangkap saja!"
Adapun Han Sin ketika melihat tiga orang hwesio yang pernah menyiksanya ini, bangkit
kemarahannya. "Kalian ini setan-setan berwajah manusia berselimut pakaian pendeta. Kalian
mencemarkan agama dan mengotorkan dunia!" serunya marah sambil maju terus, sama sekali tidak
memperdulikan tiga orang itu.
Serentak tiga orang hwesio itu maju dan sesuai dengan perintah Bhok-kongcu, mereka tidak
menggunakan senjata, melainkan menggunakan tangan kosong untuk mencengkeram Han Sin.
Yang maju lebih adalah Gi Hun Hosiang yang menggunakan tangan kiri menampar kepala dan
tangan kanan mengcengkeram pundak.
Han Sin tidak perdulikan serangan itu, hanya menggerakkan tangan kiri mengibas ke depan dan
....... tubuh Gi Hun Hosiang terlempar sampai empat meter lebih, bergulingan dan mengaduh-aduh!
Gi Thai Hosiang dan Gi Ho Hosiang kaget dan marah sekali. Serentak mereka maju mengirim
serangan dahsyat.
Namun, dengan hanya satu kali menggerakkan kedua tangannya, kembali Han Sin membuat dua
orang kepala gundul itu terpelanting dan tak dapat bangun lagi. Ternyata Thian-san Sam-sian telah
roboh dengan tulang-tulang pundak patah-patah dan menderita luka dalam yang sekaligus
melenyapkan sebagian besar dari pada tenaga dan kepandaian mereka. Biarpun Han Sin tidak
membunuh mereka, namun selanjutnya tiga orang hwesio ini tidak dapat berbuat sewenang-wenang
lagi karena mereka telah menjadi penderita-penderita cacat di sebelah dalam dadanya!
Semua orang melongo melihat kejadian ini. Akan tetapi Tok-gan Sin-kai yang tidak kenal gelagat,
masih tidak percaya dan menganggap hal itu bisa terjadi karena kesembronoan dan kebodohan
Thian-san Sam-sian. Tanpa menanti perintah lagi ia meloncat maju dan menyerang dengan
tongkatnya. Tok-gan Sin-kai adalah sute dari Coa-tung Sin-kai, ilmu tongkatnya berbahaya dan
lihai sekali. Tentu saja Han Sin mengenal pengemis mata satu ini. Pernah dulu ia diberi hadiah Coa-kut-teng
(Paku Tulang Ular) oleh pengemis ini sampai ia menderita luka di pundaknya dan terkena racun. Ia
tahu bahwa di ujung tongkat pengemis mata satu itu terdapat alat senjata rahasia paku itu.
"Tua bangka keji, apa kau hendak menggunakan lagi paku-paku busukmu?" katanya sambil
tersenyum mengejek. Watak Han Sin benar-benar banyak berubah setelah ia "bertapa" selama
empat puluh hari di dalam guha. la kini menjadi jenaka, tidak pendiam lagi seperti dulu. Welas asih
terhadap sesama manusia memang sudah menjadi dasar wataknya, hanya sekarang ia tidak
menurutkan perasaan ini secara membuta. la bukan seorang yang bersemangat tahu lagi, ia bukan
seorang pemuda yang berjiwa lemah. Ia harus membasmi kejahatan!
Tok-gan Sin-kai yang memandang rendah pemuda ini, sudah melakukan gerakan pertama,
tongkatnya menyambar dan menusuk ke arah ulu hati Han Sin. Pemuda itu kelihatannya tidak
mengelak sama sekali, malah menanti sampai ujung tongkat mengenai kulitnya. Alangkah kagetnya
hati Tok-gan Sin-kai ketika ia merasa ujung tongkatnya meleset ketika mengenai kulit dada pemuda
itu, seakan-akan baja yang keras dan licin. Sebelum ia menarik kembali tongkatnya, Han Sin sudah
menyambar tongkat itu dan seperti mematahkan sebatang biting, ia patah-patahkan tongkat itu lalu
menjumput tujuh buah paku yang tersembunyi di pucuk tongkat.
"Makanlah paku-pakumu!" katanya sambil melemparkan paku-paku itu ke arah pemiliknya. Tokgan
Sin-kai kaget dan mencoba untuk mengelak, namun terlambat. Ia merasa sakit pada kedua
pundak, kedua siku, kedua lutut dan roboh terguling seketika itu juga. Ternyata di antara tujuh
batang paku, yang enam telah menancap di kedua pundak, kedua lengan dan kedua kaki membuat
urat-uratnya di tempat itu putus dan selanjutnya, seperti halnya Thian-san Sam-sian, pengemis mata
satu ini juga menjadi seorang tak berguna lagi, cacat selama hidupnya!
Gegerlah semua orang yang menyaksikan kejadian ini. Bhok-kongcu hampir tak dapat
mempercayai pandangan matanya sendiri. Sekilat pikiran melintas dalam benaknya. Tentu pemuda
Min-san itu sudah menemukan kitab wasiat! Akan tetapi mungkinkah hanya dalam puluhan hari
saja sudah dapat mewarisi isi kitab dan memiliki kepandaian sehebat itu" Wajahnya menjadi pucat
ketika ia melihat Han Sin dengan langkah tegap menghampirinya dan mulut pemuda itu terus
mendesak, "Di mana Bi Eng" Lepaskan dia!"
Bhok-kongcu bukanlah pemuda yang nekat mengandalkan kepandaian sendiri. Dia lebih
mengandalkan kecerdikannya. Melihat keadaan Han Sin, dia tidak mau berlaku sembrono, cepat ia
memberi perintah,
"Tangkap dia!".
Puluhan orang kaki tangannya yang tadinya bungkam dan tak bergerak saking herannya melihat
pemuda aneh itu merobohkan tiga orang tokoh besar secara demikian mudah, kini mendengar
perintah majikannya, serentak maju menyerang Han Sin. Pemuda ini makin mendongkol.
"Kalian semua bukan orang baik-baik!" tegurnya dan ketika kedua lengannya bergerak, orang-orang
yang mengeroyok roboh bergelimpangan. Betapapun marah hati Han Sin, pemuda ini masih tidak
tega untuk membunuh orang, maka ia membatasi tenaganya dan hanya merobohkan para
pengeroyoknya itu dengan mematahkan tulang-tulang mereka.
Keadaan menjadi ribut dan makin lama makin banyak orang roboh tumpang-tindih, membuat yang
lain menjadi jerih dan ragu-ragu untuk maju. Ketika akhirnya Han Sin terbebas dari pengeroyokan
dan tak seorangpun berani maju, ia mendapatkan bahwa Bhok-kongcu sudah tidak berada di tempat
itu lagi, kongcu yang cerdik itu ternyata telah kabur! Han Sin tidak mau perdulikan, Bhok-kongcu,
sebaliknya ia menyambar lengan seorang pengeroyok dan membentak,
"Ayoh katakan, di mana adanya nona Cia Bi Eng, adikku!" Pandang matanya yang tajam luar biasa
itu membuat, orang yang dipegangnya ketakutan setengah mati.
"Ampun, taihiap ........ nona itu dibawa oleh Tung-hai Siang-mo ke kota raja ......."
"Siapa yang menyuruh dan dibawa ke rumah siapa?"
"Bhok-kongcu yang memerintah dan ....... tentu saja dibawa ke rumah Bbok kongcu ......."
Han Sin melepaskan lengan orang, lalu pergi turun gunung tanpa banyak cakap lagi. Tujuannya
hanya satu, menolong adiknya di kota raja kemudian baru bersama adiknya melakukan perjuangan
bersama para patriot bangsa lainnya, mengusir kaum penjajah yang hendak mencengkeram tanah
air! **** Dengan melakukan perjalanan cepat tak kenal lelah Han Sin turun dari puncak Lu-liang-san sebelah
timur dan terus menuju ke timur, ke kota raja. Ia merasa tubuhnya amat ringan dan kuat, jauh sekali
bedanya dengan sebulan yang lalu. Bukan main girangnya karena ia maklum bahwa kesemuanya ini
adalah berkat ketekunannya mempelajari ilmu dari kitab Thian-po-cin-keng yang sudah ia bakar
ketika ia hendak keluar dari dalam guha. Kitab itu sudah dibakarnya karena ia maklum bahwa
banyak sekali tokoh kang-ouw menghendaki kitab itu, maka untuk mencegah keributan lebih lanjut,
ia membakar kitab itu sampai habis menjadi abu.
Ketika pemuda ini sedang melakukan perjalanan yang sukar melalui Pegunungan Tai-hang-san, di
lereng gunung yang amat sunyi dan indah pemandangannya, tiba-tiba ia mendengar suara orang dari
jauh. Hatinya tertarik, apa lagi ketika mendengar suara-suara itu seperti dua orang tengah berselisih.
Segera ia mengerahkan ginkang dan berlari ke arah suara itu. Makin dekat ia menjadi makin tertarik
karena mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah Hoa Hoa Cinjin! Cepat ia menyelinap dan
bersembunyi di belakang batu besar ketika sudah tiba dekat dan melihat benar-benar Hoa Hoa
Cinjin sedang bercekcok dengan seorang kakek bertopi lebar yang bertubuh jangkung kurus.
Kakek ini membawa sebuah pikulan yang ditaruhnya di tanah, pakaiannya sederhana, wajahnya
keren dan sepasang matanya bersinar-sinar. Namun mulutnya selalu tersenyum dan dari mulutnya
inilah nampak kesabaran dan kebaikan hatinya.
"Hoa Hoa Cinjin," terdengar kakek bertopi itu berkata, suaranya mengandung kehalusan dan
kesabaran, "dahulu kau menewaskan suteku Koai-sin-jiu Bhok Kim, aku diam saja karena itu
adalah urusan pribadi antara dia dan kau. Juga kau menyerang dan memukul murid keponakanku,
Ang-jiu Toanio, inipun masih kusabarkan karena mungkin sekali dia yang menyerangmu lebih dulu.
Dalam pertempuran, kalah menang bukan soal aneh dan sudah semestinya. Akan tetapi kau orang
tua sampai menghina yang muda, menghina muridku Phang Yan Bu, malah mengucapkan kata-kata
menantangku. Hemmm, tosu sombong, hal ini tidak bisa kudiamkan saja!"
Hoa Hoa Cinjin tertawa seram, melengking nyaring seperti suara setan. Kemudian ia berkata
mengejek, "Heh heh, tukang obat. Percuma saja kau berjuluk Yok-ong (Raja Obat). Ternyata kau
tidak mampu mengobati perempuan galak itu dan sekarang karena penasaran kau mencariku. Ha ha
ha! Kepandaianmu mengobati sudah kulihat, hanya kepandaianmu silat yang belum. Hendak pinto
lihat apakah sama rendahnya dengan kepandaianmu tentang pengobatan!"
Setelah berkata demikian, Hoa Hoa Cinjin bersiap untuk melakukan penyerangan. Kakek bertopi itu
yang bukan lain adalah Yok-ong Phoa Kok Tee, guru Yan Bu dan merupakan seorang tokoh yang
aneh dan jarang keluar di dunia kang?ouw, bersikap tetap sabar.
"Hoa Hoa Cin?jin, memang aku sengaja hendak mencoba kepandaianmu. Orang keji macam kau ini
kalau tidak dilenyapkan dari muka bumi, hanya akan menimbulkan bencana saja bagi orang baikbaik."
"Tukang obat sombong, kaulah yang akan mampus!" Hoa Hoa Cinjin mengakhiri seruannya dengan
sebuah serangan kilat. Pukulannya mengeluarkan hawa menyambar dahsyat dan melihat warna
lengannya itu yang bersemu hijau, tahulah Yok-ong Phoa Kok Tee bahwa lawannya itu telah
mempergunakan Cheng-tok-ciang (Tangan Racun Hijau) yang amat berbahaya.
Namun ia tidak menjadi gentar karenanya. Untuk menghadapi Cheng-tok-ciang lawan, ia lalu
menggunakan ilmu totoknya yang paling lihai, yaitu yang disebut It-yang-ci. Raja Obat ini sudah
melatih diri dengan ilmu ini puluhan tahun lamanya. Tidak saja totokan satu jari ini dapat
dipergunakan untuk mengobati orang-orang terluka dalam, akan tetapi juga dapat dipergunakan
dalam pertempuran sebagai ilmu yang dahsyat. Hawa totokannya saja cukup untuk merobohkan
orang, sehingga ilmu ini memang tepat untuk menghadapi Cheng-tok-ciang yang berbahaya.
Pertempuran berlangsung dengan hebat, keduanya mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian.
Diam-diam Hoa Hoa Cinjin kagum sekali melihat lawannya. Baru kali ini ia menghadapi lawan
yang amat tangguh, dan Ilmu Totok It-yang-ci yang sudah lama ia dengar itu, baru sekarang ia
buktikan kelihaiannya.
Di lain pihak, Phoa Kok Tee juga amat kagum. Pukulan-pukulan yang dilancarkan oleh Hoa Hoa
Cinjin mengandung tenaga mukjizat yang sukar ia lawan. Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya,
baru ia dapat mengimbangi saikong itu.
Sementara itu, di tempat sembunyinya Han Sin menonton pertempuran. Ingin ia muncul dan
membantu kakek bertopi. Ia maklum bahwa Hoa Hoa Cinjin jahat, akan tetapi ia tidak mengenal
kakek bertopi, bagaimana ia bisa membantu" Siapa tahu kakek bertopi itupun bukan manusia baikbaik"
Pada saat itu, pertempuran sudah mencapai puncaknya dan keduanya sudah mengeluarkan pukulanpukulan
maut yang kalau mengenai lawan tentu akan mendatangkan bencana hebat. Melihat ini,
Han Sin menjadi tidak tega juga. la tidak dapat mendiamkan saja dua orang berkepandaian tinggi
hendak saling bunuh. Dari sambaran-sambaran angin pukulan kedua fihak, sebagai seorang ahli dia
sudah tahu akan bahayanya pertempuran itu. Maka ia lalu melangkah keluar dari tempat
sembunyinya, langsung menghampiri tempat pertempuran dan membentang kedua lengan di
tengah-tengah antara mereka.
"Hoa Hoa Cinjin, di mana-mana kau hendak membunuh orang" Bagus!"
Hoa Hoa Cinjin dan Phoa Kok Tee kaget setengah mati ketika tiba-tiba mereka merasa tubuh
mereka terpental mundur, tertolak oleh tenaga dahsyat sekali namun tidak merupakan dorongan
yang berbahaya, hanya bertenaga kuat. Melihat bahwa yang datang adalah Han Sin, hampir Hoa
Hoa Cinjin melompat dan menangkapnya. Namun ia cerdik.
Menghadapi Phoa Kok Tee saja sukar baginya mencari kemenangan, apa lagi sekarang ada pemuda
aneh. Siapa tahu kalau-kalau pemuda aneh ini benar-benar telah memiliki kepandaian tinggi" Tibatiba
ia mendapat akal baik. Sebagai tokoh kang-ouw tentu si tukang obat juga ingin mendengar
tentang kitab rahasia Tat Mo Couwsu atau hendak mendapatkannya. Maka ia lalu menegur.
"Kiranya Cia Han Sin! Kau telah menipu kami, setelah memasuki guha kau membawa lari kitab
pusaka peninggalan Lie Cu Seng. Ayoh, kembalikan kitab itu!"


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Han Sin tertawa. "Kitab memang ada, akan tetapi bukan untuk manusia jahat. Sekarang sudah
kubakar, kukirim kembali kepada mendiang Tat Mo Couwsu. Kau mau apa?"
Melihat sikap pemuda ini menantang, Hoa Hoa Cinjin tertegun juga. Ia melirik Phoa Kok Tee,
menaksir-naksir apakah si Raja Obat itu akan membantu Han Sin kalau ia menyerang pemuda ini
dan menawannya.
"Yok-ong, pemuda ini merampas kitab pusaka, mari kita tangkap dia. Kita bagi bersama kitab itu,"
ia memancing. Yok-ong Phoa Kok Tee tersenyum mengejek. "Tosu jahat, kau kira semua orang sejahat dan
seserakah engkau" Tak sudi aku orang tua menghina orang muda."
Bukan main mendongkolnya hati Hoa Hoa Cinjin. Ia cemberut dan mengebutkan ujung lengan
bajunya. "Sudahlah, dasar kau tua bangka tak tahu diri. Biar lain kali kita lanjutkan pertempuran
kita." Ia lalu berkelebat dan pergi dari tempat itu.
Sementara itu, Phoa Kok Tee sudah amat tertarik ketika melihat munculnya pemuda ini. Ia hanya
menduga-duga karena iapun tidak bisa percaya begitu saja kalau pemuda ini tadi telah
mengeluarkan ilmunya untuk memisah. Masa sekali membentang lengan bisa membuat dia
terhuyung ke belakang"
"Jadi kau bernama Cia Han Sin" Kau putera mendiang Cia Sun?"
Han Sin bersikap waspada. Lagi-lagi orang mengenalnya, apakah juga hendak merampas kitab yang
sudah dibakarnya" Ia menjura. "Betul, locianpwe, aku bernama Cia Han Sin putera Cia Sun. Aku
mendengar tadi kau orang tua menyebut bahwa Phang Yan Bu adalah muridmu. Dia seorang yang
amat baik, sayang ibunya galak sekali ......."
Yok-ong tertawa. "Akupun mendengar namamu dari mereka."
Han Sin teringat akan peristiwa ketika anak dan ibu itu diserang Hoa Hoa Cinjin, maka ia segera
bertanya, "Bagaimana dengan keadaan nyonya tua itu" Apakah lukanya akibat pukulan Hoa Hoa
Cinjin sudah sembuh?"
Yok-ong menggeleng kepala. "Marilah kau ikut denganku. Ang-jiu Toanio tak tertolong lagi dan ia
berpesan kalau aku bertemu denganmu, supaya membawamu kepadanya."
"Memanggil aku" Ada apakah?"
"Entah, urusan penting katanya. Mengenai adikmu. Ayoh lekas, atau kau tidak mau memenuhi
permintaan orang yang sudah hampir mati?"
"Tentu saja aku mau!" Cepat Han Sin menjawab, apa lagi karena urusan itu mengenai diri adiknya.
Ada urusan apakah" Jangan-jangan Bi Eng tidak berada di kota raja, siapa tahu sudah berada
bersama Yan Bu!
Phoa Kok Tee cepat meloncat dan lari setelah menyambar pikulannya. Mula-mula ia berlari agak
lambat karena takut pemuda itu tertinggal. Akan tetapi, ia melihat Han Sin dengan mudah dapat
mengimbangi kecepatannya, maka ia lalu menambah kecepatan.
Ketika menoleh dan melihat Han Sin masih berada di dekatnya, kakek ini mulai terheran-heran dan
mengerahkan semua tenaga dan ginkangnya untuk berlari secepat terbang melalui jurang-jurang dan
bukit. Akan tetapi, ketika ia melirik, ia melihat pemuda itu dengan enaknya masih berada dekat di
belakangnya. Kagetlah Yok-ong dan mulai ia mengerti bahwa keturunan orang-orang gagah di Minsan
ini ternyata memiliki ilmu yang tinggi!
Dua orang itu berlari cepat sekali menuruni Bukit Tai-hang-san di sebelah timur dan beberapa jam
kemudian Phoa Kok Tee membawa Han Sin masuk ke dalam sebuah hutan kecil yang penuh bunga.
Di tengah hutan terdapat sebuah pondok bambu dan keadaan di situ amat indah. Tanaman daundaun
obat dan bunga-bunga memenuhi tempat itu, burung-burung berkicau di udara dan keadaan
yang sunyi dan menyenangkan ini benar-benar amat mengamankan hati.
Ketika mereka memasuki pintu pondok, Han Sin melihat Yan Bu duduk bertopang dagu,
nampaknya sedih benar. Pemuda ini mengangkat muka dan girang rnelihat gurunya datang bersama
Han Sin. Juga Han Sin girang dan segera menegurnya,
"Saudara yang baik, kau telah berlaku baik sekali kepadaku dan kepada adikku. Baru sekarang aku
sempat bertemu dan bercakap denganmu. Terima kasih atas semua kebaikanmu dahulu."
Yan Bu terpaksa mengusir kemuraman wajahnya dan menjawab sederhana, "Jangan berlaku
sungkan, saudara Cia. Ibu ingin sekali bertemu dan bicara denganmu. Kau sudah mau datang ini
saja menandakan kebaikan hatimu."
Phoa Kok Tee dan Yan Bu mengajak Han Sin memasuki sebuah kamar bersih di sebelah kiri dan di
atas sebuah pembaringan kelihatan Ang-jiu Toanio berbaring. Keadaannya payah dan lemah sekali,
wajahnya kurus dan pucat. Nyonya tua ini kehilangan kegarangannya dan sekarang dengan lemah ia
menoleh, memandang kepada Han Sin yang datang bersama Yan Bu dan Phoa Kok Tee. Untuk
sesaat sepasang matanya bersinar seperti orang mau marah, akan tetapi hanya sedetik dan lenyap
kembali sinar itu.
"Kau ...... kau putera Cia Sun ...." katanya perlahan.
Han Sin memberi hormat dan tidak tahu harus bicara apa. Maka ia hanya berkata perlahan,
"Menyesal sekali toanio dilukai orang jahat tanpa dapat menolong, kuharap saja toanio segera
sembuh kembali."
"Orang muda, sebelum aku mati .... aku hendak bertanya padamu. Siapakah gadis yang selalu kau
sebut sebagai adikmu itu" Yang bernama Cia Bi Eng itu?"
Han Sin tertegun, bingung oleh pertanyaan itu. "Apa maksudmu, toanio" Bi Eng adalah adik
kandungku."
Ang-jiu Toanio menggeleng-geleng kepalanya, nampak tidak sabar. "Bukan, sama sekali bukan.
Dia bukan adikmu, juga bukan anakku ...... Ahhhhh, apa yang terjadi dengan anakku ....?" Dan
nyonya itu menangis!
Han Sin merasa jantungnya berdebar. Ia mengerti bahwa diwaktu mudanya, nyonya ini mempunyai
urusan dengan orang tuanya, buktinya dahulu uwak Lui disaat kematiannya memperingatkan
kepadanya supaya berhati-hati terhadap orang yang bernama Ang-jiu Toanio!
"Toanio, apa maksudmu" Bi Eng itu adikku ......" jawabnya bingung.
"Katakan, apakah di dekat telinga adikmu itu ada tanda tahi lalat merah?"
Makin berdebar hati Han Sin. Juga dulu uwak Lui menyebut-nyebut tentang gadis bertahi lalat
merah dekat telinga dan gadis bertahi lalat di mata kaki kiri! Ia masih ingat akan pesan semua itu
baik-baik. "Tidak toanio, tidak ada tanda itu pada diri Bi Eng."
Ang-jiu Toanio menarik napas panjang. "Apa kataku, dia bukan anakku ...."
"Tentu saja bukan, toanio. Dia adikku, anak ayah dan ibuku ....."
"Bodoh! Kau tahu apa" Kau dengar baik-baik! Karena dulu tidak berhasil membalas dendam
terhadap ayahmu, aku lalu menukarkan anakku dengan anak ayah ibumu. Celakanya, anakku itu
kiranya sudah ditukar orang pula .... ah, celaka. Apa yang terjadi dengan anak perempuanku ......?"
Han Sin menjadi pucat. Jadi Bi Eng yang selama ini dianggap adiknya, orang satu-satunya di dunia
ini yang dicintainya, sebenarnya bukan adik kandungnya"
"Kalau begitu, di mana adikku yang telah kauculik itu?" tanyanya agak ketus karena ia merasa akan
perbuatan Ang-jiu Toanio yang dianggapnya keji itu.
"Dia telah dirampas seorang Mongol gundul yang memelihara harimau .... katanya hendak
dijadikan mangsa harimau .......!"
"Kau keji ......!"
Ang-jiu Toanio tersenyum lemah. "Pembalasan terhadap ayahmu. Perbuatan yang keliru. Susiok
telah menginsyafkanku. Banyak penderitaan kurasakan setelah itu, aku .... aku rindu kepadamu
anakku. Ah, kenapa kulakukan hal gila itu" Kemana sekarang anakku .......?"
Han Sin merasa kasihan sekali, akan tetapi juga hatinya sendiri tak karuan rasanya. Bi Eng bukan
adiknya! Bagaimana mungkin ini"
"Anak Cia Sun, adikmu itu, ada tahi lalat di kaki kirinya, dan anakku ..... anakku yang mungil .....
ada tanda merah di dekat telinga. Ah, anakku .... anakku .....!" Ang-jiu Toanio lalu menangis sedih
dan tak dapat bicara lagi.
Tiba-tiba wajah Han Sin menjadi merah dan sepasang matanya yang bersinar tajam itu
mengeluarkan cahaya kilat. Ia melangkah maju dan berkata, "Kalau begitu, kaulah orangnya yang
membunuh ayah bundaku, kemudian menukarkan anakmu dengan adikku!"
Mendengar ucapan ini, wajah Yan Bu menjadi pucat, akan tetapi Ang-jiu Toanio yang menangis,
sekarang mengangkat mukanya dan mendadak tertawa. "Hi hi hi, sayang sekali bukan aku! Ketika
malam itu aku datang ke kamarnya, dia dan isterinya sudah mati. Aku lalu menukarkan anak untuk
memberikan pembalasan terakhir, tapi .... tapi ..... ah, anakku ......!" Kembali nyonya ini menangis
dan kini mukanya membayangkan warna kehijauan.
Yok-ong Phoa Kok Tee melangkah maju melihat ini, lalu ia memegang nadi tangan Ang-jiu Toanio
yang kelihatan lemas, kemudian menggeleng kepalanya. "Saudara Cia, harap kau suka keluar. Dia
sudah terlalu lelah dan racun hijau makin menjalar, kasihanilah dia ....."
Yan Bu menahan isak dan menubruk kaki ibunya. Sebetulnya Han Sin masih ingin bertanya kepada
nyonya itu siapa pembunuh ayah bundanya, akan tetapi melihat keadaan Ang-jiu Toanio, ia tidak
tega mendesak lagi, lalu ia keluar dari kamar.
Ternyata Ang-jiu Toanio tidak dapat lama lagi bertahan. Beberapa jam kemudian nyonya ini
menarik napas terakhir dalam pelukan puteranya, Phang Yan Bu. Ketika Yok-ong dan Yan Bu
keluar dari kamar itu, ternyata Han Sin sudah tidak kelihatan bayangannya lagi. Pemuda ini sudah
lama pergi dari situ, sebelum Ang-jiu Toanio meninggal.
**** Thio-ciangkun, perwira she Thio yang mendapat kedudukan tinggi dalam pemerintahan Mancu,
marah-marah kepada dua orang puterinya. Pembesar ini merasa malu sekali ketika menerima dua
orang puterinya, Li Hoa dan Li Goat, yang diantar oleh Tung-hai Siang-mo sebagai utusan Bhokkongcu.
Setelah Tung-hai Siang-mo pergi membawa Bi Eng untuk menahan gadis ini di gedung
Bhok-kongcu, Thio-ciangkun lalu marah-marah kepada dua orang puterinya.
"Kalian ini benar-benar membikin malu orang tua!" bentak pembesar itu setelah puas memakimaki.
"Ayahmu dikenal sebagai seorang petugas yang setia, sekarang kau rusak namaku dengan
perbuatan-perbuatan yang tak tahu malu. Dengan menentang Bhok-kongcu dan membantu musuh,
bukankah berarti kalian ini menjadi pembantu para pemberontak" Hemm, anak-anak macam apa
kalian ini?"
Li Hoa dan Li Goat berdiri tegak di depan ayah mereka, sama sekali tidak takut. Memang dua orang
gadis ini semenjak kecil dimanja, maka mereka tidak takut biarpun ayah mereka marah besar.
Selain ini, memang mereka mempunyai pendirian sendiri dan kini dengan penuh semangat Li Hoa
menjawab, "Ayah, yang anak berdua tentang adalah orang-orang Mongol yang mengabdi kepada pemerintah
penjajah. Yang anak berdua bela adalah orang-orang Han yang tertindas!"
Merah wajah pembesar itu dan ia membanting kakinya. "Keparat, dengan lain kata kau hendak
memaki ayahmu yang membantu pemerintah baru" Setan, memang aku membantu pemerintah baru,
karena kuanggap pemerintah Mancu bijaksana. Kau tahu apa tentang pemerintahan" Ketika negara
berada di tangan bangsa Han sendiri, keadaan kacau balau, pertahanan lemah dan rakyat sengsara.
Lihat sekarang, perubahan terjadi dan kaisar yang bijaksana telah membangun pemerintahan yang
kuat dan sanggup membikin makmur rakyat. Beras siapa yang kau makan setiap hari dan pakaian
dari mana yang kalian pakai" Semua dari hasilku mengabdi kepada pemerintah baru. Dan sekarang
kau mencela ayahmu?"
Li Hoa menjadi pucat mukanya, matanya berkilat ketika ia menghadapi ayahnya dan berkata keras.
"Ayah! Bagaimana seorang Han bisa bicara seperti ayah" Bagi aku, lebih baik miskin dari pada
menjadi penjilat penjajah!"
"Enci Li Hoa berkata benar, ayah. Betapapun juga bangsa yang terjajah merupakan bangsa yang
rendah dan terhina. Di samping enci Hoa, akupun rela mengorbankan nyawa untuk membela tanah
air dari cengkeraman penjajah!" kata Li Goat, penuh semangat pula.
Kalau orang luar mendengarkan ucapan dua orang gadis ini, tentu mereka akan menjadi heran dan
tak percaya. Siapa bisa percaya ucapan-ucapan seperti itu keluar dari mulut dua orang puteri dari
Thio-ciangkun yang terkenal sebagai pembasmi kaum pemberontak, sebagai pembesar setia dari
pemerintah Mancu!
"Anak-anak setan .....!" Thio-ciangkun membanting cawan araknya sampai hancur di atas lantai.
Kemarahannya memuncak dan sudah gatal-gatal tangannya untuk menampar kedua orang anaknya
yang ia sayang itu. Pada saat itu, tiba-tiba dari pintu dalam terdengar suara wanita bersajak halus
merdu suaranya.
"Biarpun sangkar diselaput emas
Sangkar tetap mengurung!
Biarpun belenggu dihias mutiara
Belenggu tetap mengikat
Patahkan belenggu!
Hancurkan sangkar!
Biar darah rakyat bagai api membakar!
Biarpun belenggu mutiara
Biarpun sangkarnya emas
Enyahkan segera!
Kami ingin bebas!"
"Ibu .....!" Li Hoa dan Li Goat menoleh memandang seorang nyonya setengah tua keluar dari pintu
itu. Nyonya ini adalah nyonya Thio yang cantik dan lemah lembut, berwajah agak pucat namun
sepasang matanya memancarkan semangat berapi-api.
Thio-ciangkun yang tadinya marah-marah, menjadi reda. Ia cemberut dan menjatuhkan dirinya
duduk lagi di atas kursinya, lalu menarik napas panjang dan berkata perlahan. "Hemm, selalu kau
yang terlalu memanjakan mereka, yang menjadikan pikiran yang bukan-bukan dalam kepala mereka
yang kecil dan tak berotak. Sekarang, sajak apalagi yang kau ucapkan tadi?"
Nyonya itu tersenyum dan dari senyum ini dapat dengan jelas dilihat betapa cantik manisnya ketika
ia masih muda. Ia mengambil tempat duduk di samping suaminya, memandang penuh kasih kepada
kedua puterinya, lalu berkata kepada suaminya.
25. Pembersihan Pengkhianat Cin-ling-pai
"SUAMIKU, ucapan anak-anak kita tadi memang benar belaka. Coba kautanyakan kepada burungburung
dalam sangkar. Biarpun kau mengurungnya dalam sangkar emas yang indah dan mahal,
biarpun setiap hari kau memberinya makan minum secukupnya, biarpun setiap saat kau memujimujinya
dengan muka manis seperti yang dilakukan setiap penjajah kepada rakyat jajahannya, tetap
saja burung-burung di dalam sangkar itu ingin bebas merdeka. Demikian pula rakyat. Kemakmuran
duniawi yang bagaimana hebatpun yang bisa didatangkan oleh kaum penjajah kepada bangsa
terjajah, tetap saja tak dapat melenyapkan hasrat untuk merdeka. Apa sih enaknya dilolohi makanan
lezat, diselimuti pakaian mahal, oleh bangsa lain yang menginjak-injak tanah air dan bangsa" Anakanakmu
lebih benar ......." Nyonya itu lalu bernapas panjang, nampaknya sedih sekali.
"Habis kau mau suruh aku bagaimana" Suruh aku menyerahkan kepalaku untuk dipenggal sebagai
pemberontak" Apa kalian ibu dan anak sudah begitu ingin melihat aku mampus?" akhirnya Thiociangkun
berkata penuh kejengkelan. Ia merasa diperlakukan tidak adil oleh isteri dan anakanaknya.
la sudah bekerja keras, merebut pangkat, semua ini untuk menyenangkan anak-isterinya.
la tahu bahwa isterinya dahulu adalah puteri seorang patriot pengikut Lie Cu Seng dan tahu bahwa
isterinya adalah seorang gadis pejuang. Akan tetapi karena cinta, ia mengawininya juga dan
ternyata sekarang isterinya itu menurunkan semangat kepatriotan itu kepada dua orang anaknya!
"Tidak, ayah. Kami hanya ingin melihat ayah insyaf dan meninggalkan kedudukan ini,
meninggalkan pemerintah penjajah," kata Li Hoa dengan berani.
"Huh, bicara sih gampang. Ayoh masuk ke sana."
"Ayah ada satu hal lagi," kata Li Hoa. "Bhok-kongcu telah menawan seorang gadis bernama Cia Bi
Eng dan sekarang dia dibawa oleh dua orang iblis tadi ke gedung Bhok-kongcu. Dia itu kawan baik
kami, ayah. Penangkapan itupun bermaksud keji. Harap sudi menolongnya."
"Dia itu gadis pemberontak?" tanya Thio-ciangkun.
"Pemberontak atau bukan, melihat seorang gadis baik-baik dalam cengkeraman si keji Bhok, kau
harus berusaha menolongnya," kata nyonya Thio-ciangkun dengan suara tetap.
"Sudahlah, sudahlah akan kudayakan."
Percakapan ini ternyata telah menolong Bi Eng. Karena terdesak oleh isterinya yang amat
dicintainya dan yang selalu membela anak-anaknya, Thio-ciangkun lalu menemui seorang yang
amat dihormatnya, seorang pangeran yang selalu menjadi tempat ia bermohon, seorang yang
dianggapnya arif bijaksana dan karenanya membuat Thio-ciangkun rela menjadi abdi pemerintah
Mancu. Pangeran ini adalah putera kaisar dari seorang selir Bangsa Han. Namanya juga nama Han dan
berjuluk Pangeran Yong Tee. Pangeran ini paling pandai menyesuaikan diri dengan Bangsa Han,
malah tak sedikitpun ada tanda bahwa dia berdarah Mancu. Wajahnya tampan, seorang ahli sastera
dan nasehat-nasehatnya dalam pemerintahan banyak mendatangkan kemajuan dalam pekerjaan
ayahnya, Kaisar dari Mancu.
Kesukaan Pangeran Yong Tee adalah berdandan sebagai seorang rakyat kecil dan melakukan
perjalanan seorang diri, keluar masuk kampung dan mempelajari perikehidupan rakyat jelata.
Sesungguhnya kebaikan-kebaikan yang diperlihatkan oleh Pangeran Yong Tee inilah yang menarik
hati Thio-ciangkun, membuat perwira ini berkesan baik terhadap pemerintah Ceng yang dipimpin
oleh orang-orang Mancu itu.
Ketika Pangeran Yong Tee mendengar permohonan Thio-ciangkun untuk menolong seorang gadis
sahabat anak-anaknya yang ditawan oleh Bhok-kongcu, segera pangeran ini memenuhi
permintaannya. Dengan sepucuk surat pendek saja, para petugas di rumah gedung Bhok-kongcu tak
berani membantah dan segera mengirim Bi Eng ke istana Pangeran Yong Tee!
"Kalau Bhok-kongcu pulang, tentu terjadi hal-hal tidak enak antara dia dan aku," kata kemudian
Thio-ciangkun kepada dua orang puterinya. "Semua ini gara-gara kalian berdua. Maka lebih baik
kalian pergi kepada suhu kalian, jangan berada kota raja untuk sementara waktu agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak baik."
"Aku tidak mau pergi kepada suhu, ayah. Suhu juga hanya seorang kaki tangan Bhok-kongcu, tentu
suhu akan marah kepada kami. Kami akan pergi dari kota raja dan akan membantu para patriot yang
berusaha mengusir penjajah."
"Setan! Kau akan menjadi lawan ayahmu sendiri?"
"Bukan ayah yang kami lawan, melainkan penjajah!" Dengan kata-kata ini, Li Hoa dan adiknya, Li
Goat, lalu berpamit kepada ibu mereka dan pergi meninggalkan kota raja lagi. Memang dua orang
gadis ini jarang berada di kota raja. Kembalinya mereka ke situ hanya karena terpaksa dan tak
berdaya menghadapi Tung-hai Siang-mo yang mengawal mereka sebagai tahanan-tahanan. Juga
kalau dahulu dua orang gadis ini membantu ayah mereka, itu hanyalah ketika mereka masih muda
dan semangat yang sejak kecil ditanam dalam hati mereka oleh Nyonya Thio, belum berkobar
seperti sekarang setelah mereka banyak berhubungan dengan para patriot.
**** Kita kembali kepada Han Sin yang meninggalkan tempat kediaman Yok-ong Phoa Kok Tee.
Hatinya tidak karuan ketika mendengarkan pengakuan Ang-jiu Toanio. Bi Eng bukan adiknya!
Hebat kenyataan ini, membuat hatinya berdebar dan perasaannya penuh diliputi kedukaan. Adiknya
sendiri mempunyai tahi lalat di mata kaki, sedangkan puteri Ang-jiu Toanio mempunyai tahi lalat di
dekat telinga, tahi lalat merah.
Ah, di mana adanya adiknya yang sesungguhnya" Di mana pula puteri Ang-jiu Toanio dan
persoalan terbesar yang dihadapinya sekarang ialah siapa yang menukar anak Ang-jiu Toanio
dengan anak yang sekarang menjadi Bi Eng" Anak siapa" Mengapa bisa berada bersama dia" Siapa
yang menukar anak Ang-jiu Toanio dengan anak yang sekarang menjadi Bi Eng, adiknya yang
cantik manis, mungil lucu dan yang ia cinta dengan sepenuh hatinya itu" Semua pertanyaan ini
berputaran dalam otaknya ketika pemuda ini melanjutkan perjalanannya ke kota raja.


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betapapun juga, yang terpenting sekarang ialah bahwa dia harus menolong Bi Eng dari tangan
Bhok-kongcu. la harus tolong Bi Eng, tak perduli gadis itu adik kandungnya sendiri atau bukan! Dia
sayang Bi Eng, dia cinta gadis itu, orang satu-satunya di dunia yang dikasihinya. Adik sendiri atau
bukan, ia tetap mencinta Bi Eng. Tiba-tiba jantungnya berdebar aneh. Bagaimana kalau dia kelak
mengetahui bahwa mereka bukan saudara kandung" Bahwa mereka sebetulnya tidak ada sangkutan
kekeluargaan apa-apa"
"Tak perlu kuberi tahu kepadanya, tak perlu," demikian ia mengambil keputusan, khawatir kalaukalau
berita itu akan membuat Bi Eng berubah sikap kepadanya.
Karena ingin segera mencari Bi Eng di kota raja, dengan melakukan perjalanan cepat, Han Sin
turun gunung dan terus menuju ke timur. Beberapa hari kemudian ia telah tiba di sebelah barat
tembok kota, di sebuah dusun kecil yang ramai. Dari jauh ia mendengar suara ribut-ribut, tanda
bahwa di dalam dusun itu terjadi pertempuran.
la mempercepat langkahnya dan segera ia melihat seorang tosu setengah tua yang bertubuh tinggi
besar memimpin empat kawannya menghadapi dua orang tosu tua yang memimpin sepasukan
serdadu Mancu. Segera Han Sin mengenal bahwa lima orang tosu itu adalah tosu-tosu Cin-ling-pai,
yang memimpin adalah Hee Tojin, seorang di antara Cin-ling Sam-eng, sedangkan empat orang
kawannya adalah tosu-tosu Cin-ling-pai gelung tiga.
Adapun dua orang tosu tua yang memimpin sepasukan serdadu penjajah itu bukan lain adalah dua
orang pentolan Cin-ling-pai sendiri, yaitu It Cin Cu dan Ji Cin Cu! Tak jauh dari situ menggeletak
dua mayat manusia yang ternyata adalah Hap Tojin dan Tee Tojin, dua orang di antara Cin-ling
Sam-eng. "Hee-sute apakah kau tidak mau menyerah" Apakah kau tetap hendak membangkang terhadap
perintah suheng-suheng yang menjadi pengganti gurumu?"
Hee Tojin menjadi merah sekali mukanya, matanya melotot merah dan suaranya menggeledek
ketika ia membantah, setelah menoleh ke arah dua orang mayat yang membujur di situ. "Dua orang
suhengku yang sudah gugur ini jauh lebih mulia dari pada kalian, dua orang pengkhianat tak tahu
malu. Siapa sudi mengaku kalian sebagai pengganti suhu" Cih, mau bunuh boleh bunuh, siapa takut
mampus?" It Cin Cu biasanya paling suka kepada Hee Tojin, maka dengan suara sabar ia mencoba membujuk,
"Hee-sute, apa kau lupa akan hubungan kita sebagai saudara seperguruan" Insyaflah bahwa aku dan
Ji-suhengmu ini telah mengambil keputusan setelah memikirkannya masak-masak. Pemerintah baru
adalah bijaksana, dan demi keselamatan Cin-ling-pai, kau harus mengajak semua sute dan murid
untuk membangun kembali Cin-ling-pai dan menaluk kepada pemerintah. Hee-sute, jangan
membuat kami menjadi serba susah dan terpaksa turun tangan terhadapmu."
Hee Tojin mengangkat dada dan tongkat di tangannya tergetar. "Apakah kalian lupa akan ajaran
suhu" Seorang gagah, lebih baik mati berdiri dengan senjata di tangan dari pada hidup bertekuk
lutut di depan penjajah! Lebih baik kalian yang cepat-cepat insyaf bahwa amat memalukan bagi
seorang gagah untuk mengkhianati tanah air dan bangsa sendiri, amat rendah untuk membantu
penjajah. It Cin Cu dan Ji Cin Cu, di mana jiwa satria kalian" Sudi menjadi anjing-anjing penjilat?"
It Cin Cu marah sekali. "Setan bermulut busuk! Kaulah yang lupa akan ajaran-ajaran mendiang
suhu! Bukankah setiap murid sudah bersumpah untuk menjunjung semua perintah ketua Cin-lingpai"
Setelah suhu meninggal, pinto yang menjadi penggantinya. Pinto yang menjadi ketua Cin-lingpai.
Apakah kau masih hendak membangkang?" Berkata demikian, It Cin Cu mencabut pedangnya
dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
Hee Tojin memandang ragu. Dia memang seorang yang amat jujur dan setia, maka ucapan ini
benar-benar meragukan hatinya. Memang, menurut peraturan Cin-ling-pai, seorang murid harus
pertama-tama mentaati perintah ketua, biarpun harus berkorban nyawa untuk perintah itu.
Setelah Giok Thian Cin Cu meninggal dunia, memang tak dapat disangkal pula bahwa It Cin Cu
sebagai murid tertua yang menjadi penggantinya. Apa yang harus ia perbuat" Tiba-tiba dua orang di
antara tosu-tosu gelung tiga itu sudah menjatuhkan diri berlutut di depan It Cin Cu dan berkata,
"Teecu berdua tidak berani membantah perintah ketua."
Menyaksikan semua ini, bukan main mendongkolnya hati Han Sin. Pemuda ini teringat akan pesan
terakhir dari Giok Thian Cin Cu. Pesan itu selain menugaskan dia memimpin Cin-ling-pai, juga
mewariskan ilmu pedang dan terutama sekali pesan agar supaya dia bisa menjaga jangan sampai
Cin-ling-pai diselewengkan dan menjadi partai pengkhianat nusa bangsa!
Sekarang tiba saatnya. Sudah terang-terangan It Cin Cu dan Ji Cin Cu menjadi anjing penjilat
penjajah dan malah mencoba untuk membujuk sute-sutenya dan murid-murid Cin-ling-pai supaya
menaluk kepada pemerintah Mancu. Han Sin melompat keluar dari tempat sembunyinya dan
berkata nyaring,
"It Cin Cu, kau benar-benar murid Cin-ling-pai yang murtad dan seorang rakyat yang berkhianat!"
Semua orang menengok dan tercengang ketika mengenal siapa yang bicara ini. Han Sin sebaliknya
lalu menjura ke arah Hee Tojin dan berkata,
"Totiang patut dicontoh dan diberi hormat. Totiang benar-benar seorang gagah dan patriot yang
sejati." Ji Cin Cu dengan mulut tetap melengeh seperti dulu, menjadi marah sekali melihat Han Sin
bersikap dan berkata demikian. la melangkah maju dan membentak, "Eh, kau ini pengacau cilik,
mau apa?" Han Sin kini menghadapi dua orang tosu tua itu dan tersenyum mengejek. "Mendiang Giok Thian
Cin Cu memang berpemandangan tajam, agaknya beliau sudah menduga bahwa sepeninggal beliau,
akan ada murid-murid murtad seperti kalian. Karena itu beliau mengangkat aku sebagai
penggantinya untuk menyelamatkan Cin-ling-pai. Eh, para tosu Cin-ling-pai, aku Cia Han Sin
menjadi pelindung Cin-ling-pai dan ahli waris Giok Thian Cin Cu. Inilah buktinya!" Cepat
tangannya bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang tajam berkilau telah berada di tangannya.
"Im-yang-kiam......!" seru Hee To?jin dan bersama empat orang sutenya ia lalu berlutut. "Menanti
petunjuk pangcu (ketua)......."
"Kau telah mencuri Im-yang-kiam! Jangan bodoh, dia bohong. Dia mencuri pedang pusaka partai
kita!" kata It Cin Cu marah. Ucapan ini kembali membuat Hee Tojin dan kawan-kawannya menjadi
ragu-ragu. "Pedang memang bisa dicuri, akan tetapi ilmu silat tidak. Lihat, bukankah ini ilmu silat Cin-lingpai"
Aku telah mewarisinya dari suhu Giok Thian Cin Cu." Han Sin lalu menggerakkan pedangnya,
dengan cepat berturut-turut ia mainkan ilmu Silat Im-yang-kun dan Cin-ling-kun. Hee Tojin tentu
saja mengenal ilmu silat ini dan ia memandang kagum, keraguannya melenyap.
Juga It Cin Cu dan Ji Cin Cu kaget setengah mati. Bagaimana suhu mereka dapat menurunkan ilmu
silat dan pedang pada pemuda itu" Akan tetapi karena jelas bahwa pemuda ini hendak merusak
tugas mereka, It Cin Cu lalu berseru, "Kalau betul kau mewarisi ilmu dari suhu, coba kaukalahkan
pinto!" Berkata demikian, ia lalu menyerbu dengan pedang dan tongkatnya. Juga Ji Cin Cu yang
melihat betapa gangguan pemuda ini membahayakan kedudukannya, lalu menyerang pula.
"Curang.....!" Hee Tojin berseru. "Masa dua orang tua bangka mengeroyok seorang bocah?" Tentu
saja Hee Tojin yang tidak tahu bahwa Han Sin sudah memiliki ilmu tinggi, merasa kuatir akan
keselamatannya.
Akan tetapi Han Sin berseru, "It Cin Cu dan Ji Cin Cu, kalian benar-benar sudah buta. Kalau masih
tidak percaya, lihat dengan gerakan-gerakan apa aku sekarang menghadapi kalian." Setelah berkata
demikian, tanpa bergerak dari tempatnya berdiri dia menggerakkan pedang Im-yang-kiam secara
aneh dan tahu-tahu sinar pedang telah gemerlapan membentur dan menangkis serangan dua orang
tosu itu. Inilah ilmu pedang hebat yang ia warisi dari Giok Thian Cin Cu, yaitu Lo-hai Hui-kiam.
"Lo-hai Hui-kiam .....!" It Cin Cu dan Ji Cin Cu berseru kaget. Mereka hanya sedikit sekali tahu
tentang ilmu pedang aneh ini, akan tetapi melihat gerakan dan sinar pedang itu, tahulah mereka dan
hal ini benar-benar membuat keringat dingin mengucur dari jidat mereka.
Adapun Hee Tojin yang melihat gerakan ini dan mendengar bahwa pemuda itu malah mahir
bermain, pedang Lo-hai Hui-kiam yang menjadi ilmu ciptaan mendiang Giok Thian Cin Cu, makin
kagum dan yakin akan kebenaran pengakuan pemuda itu. Melihat betapa para kaki tangan dua tosu
itu, serdadu-serdadu Mancu maju hendak mengeroyok Han Sin, Hee Tojin lalu berseru nyaring dan
bersama sute-sutenya lalu menyerbu maju menyerang para serdadu musuh!
Pertempuran antara Han Sin menghadapi dua orang tosu tua itu berjalan sebentar saja. Dengan Lohai
Hui-kiam, dua orang tosu itu tidak berdaya. Sebelum mereka tahu bagaimana harus menghadapi
ilmu pedang yang bersinar seperti halilintar menyambar-nyambar itu, keduanya sudah roboh dengan
pundak terluka dan tak mampu bangun kembali.
Sementara itu, para serdadu Mancu itu mana kuat menghadapi Hee Tojin dan sute-sutenya, muridmurid
tingkat dua dan tiga dari Cin-ling-pai" Hampir berbareng dengan robohnya It Cin Cu, para
serdadu itupun roboh seorang demi seorang dan akhirnya tak seorangpun tertinggal hidup. Han Sin
mengeraskan hati dan berdiri di pinggiran melihat bagaimana Hee Tojin dengan pedangnya sendiri
membunuh It Cin Cu dan Ji Cin Cu.
Pemuda ini diam-diam menaruh kasihan dan tidak tega melihat pembunuhan, namun setelah hatinya
berkeras dan semangat kepatriotannya bangkit, ia dapat membenarkan pembunuhan itu. Memang,
orang-orang berjiwa pengkhianat seperti dua orang tosu tertua dari Cin-ling-pai itu, sudah
sepatutnya dibunuh, bahkan perlu sekali dilenyapkan dari muka bumi karena amat berbahaya bagi
keselamatan nusa bangsa.
Hee Tojin bersama empat orang sutenya lalu serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan Han
Sin. Hee Tojin berkata, "Kami berlima mengucapkan syukur bahwa mendiang suhu telah
mengangkat taihiap sebagai ahli waris. Mulai saat ini, kami semua murid Cin-ling-pai taat kepada
petunjuk taihiap."
Han Sin cepat melangkah maju dan mengangkat bangun lima orang tosu itu. Hebatnya bagi para
tosu itu, begitu pemuda ini menyentuh pundak mereka, otomatis mereka berdiri karena ada tenaga
luar biasa yang memaksa mereka bangun kembali!
"Cu-wi totiang jangan berlaku sungkan terhadap orang sendiri. Biarpun aku telah menjadi ahli waris
suhu Giok Thian Cin Cu, tidak seharusnya cu-wi mengangkatku setinggi itu. Tugas kita adalah
sama, yakni mempertahankan nusa bangsa dan menolongnya dari cengkeraman penjajah. Marilah
kita berjuang bersama. Karena sebetulnya aku hanya kebetulan menjadi murid suhu, tidak berhak
aku untuk mengaku menjadi orang Cin-ling-pai. Maka biarlah sekarang kuberikan pedang pusaka
ini kepada Hee Tojin dan selanjutnya kuharap Hee Tojin suka menggantikan mendiang suhu untuk
memimpin Cin-ling-pai. Aku hanya berdiri di luar sebagai pengawas dan pembantu belaka.
Kembali tentang perjuangan, kuharap Hee Tojin su?ka mengumpulkan semua murid Cin-ling-pai
dan memimpinnya untuk menentang pemerintahan Mancu. Sebaliknya totiang jangan menentang
secara terang-terangan karena fihak musuh amat kuat. Berjuanglah dengan sembunyi-sembunyi,
menyerang bagian-bagian yang terjaga lemah. Lebih baik lagi kalau totiang dan kawan-kawan
menggabungkan diri dengan para pejuang lain, di antaranya dapat kuperkenalkan Sin-yang Kaipang
yang dipimpin oleh pangcunya bernama Kui Kong yang amat patriotik. Kurasa semua anak
murid yang berada di bawah bimbingan Ciu-ong Mo-kai, pasti termasuk pejuang patriotik, dan
boleh dijadikan kawan seperjuangan."
Hee Tojin menerima pedang dengan ucapan terima kasih. Setelah memberi penjelasan itu, Han Sin
lalu minta supaya para tosu itu mengubur jenasah It Cin Cu dan Ji Cin Cu secara baik-baik, juga
kalau masih ada waktu mengubur pula jenasah para serdadu Mancu. Kemudian ia sendiri lalu
melanjutkan perjalanan, menuju ke kota raja.
Belum lama ia berjalan melalui jalan yang sunyi, di sebuah persimpangan tiga, dari sebelah kanan
datang seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana. Dari pakaiannya dapat diketahui
bahwa pemuda itu adalah seorang sasterawan miskin. Yang amat menarik perhatian Han Sin adalah
mata yang bersinar lembut serta senyum yang amat ramah dan manis pada bibir pemuda itu.
Pemuda itupun memandang kepadanya dengan tertarik, dan pada saat mereka bersua, pemuda itu
cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata ramah,
"Maafkan kelancanganku menegur saudara. Apakah saudara hendak pergi ke kota raja?"
Han Sin tersenyum dan balas memberi hormat. "Sudah jamak kalau bertemu di jalan saling
menegur. Memang tepat dugaanmu, aku hendak pergi ke kota raja. Tidak tahu loheng (saudara)
hendak ke manakah?"
Pemuda itu tertawa dan makin sukalah hati Han Sin terhadapnya. Dari suara ketawanya yang wajar
dan tarikan wajah yang tampan dan terang itu dapat ia menduga bahwa pemuda ini seorang yang
berwatak halus dan jujur. "Ucapan kuno menyatakan betapa senangnya bertemu dengan sahabat
lama, akan tetapi kiranya tidak kalah senangnya bertemu dengan seorang sahabat baru yang cocok!
Saudara yang baik, kebetulan sekali aku sendiripun akan ke kota raja. Apakah kau keberatan kalau
kita melakukan perjalanan bersama?"
Sebetulnya Han Sin ingin melakukan perjalanan secepatnya. Jika bersama pemuda ini, tentu saja tak
mungkin ia menggunakan ilmu lari cepat. Akan tetapi, untuk menolakpun ia tidak dapat, melihat
orang demikian ramah dan baik kepadanya. la tersenyum dan menjawab, "Tentu saja tidak
keberatan, malah senang sekali bertemu dengan loheng."
"Bagus ini namanya sekali bertemu sudah cocok!" Pemuda itu memegang tangan Han Sin yang
merasa betapa telapak tangan pemuda ini halus. "Saudara yang baik, aku she Yong bernama Tee,
dua puluh empat tahun usiaku dan masih membujang." Kata-katanya amat terbuka dan jujur,
menyenangkan hati Han Sin.
"Siauwte bernama Han Sin she Cia, dalam hal usia, lebih muda tiga empat tahun dari padamu."
Yong Tee tertawa lagi dengan girangnya sehingga sinar mata yang ganjil ketika ia mendengar nama
Han Sin menjadi tertutup dan tidak terlihat oleh Han Sin.
"Cia-lote, kau benar-benar menyenangkan. Melihat gerak-gerikmu, tentu kau pandai dalam hal
kesusasteraan, dan dalam perjalanan ini aku banyak mengharapkan petunjuk darimu."
"Ah, Yong-loheng terlalu merendah. Aku hanya seorang gunung, mana ada kepandaian" Sedikit
tulisan ceker ayam aku dapat, mana bisa dibandingan dengan kau orang kota" Akulah yang perlu
banyak mendapat petunjukmu, Yong-loheng."
Gembiralah dua orang pemuda itu, bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan melanjutkan perjalanan
perlahan-lahan. Tiba-tiba tampak debu mengepul dari depan dan sepasukan serdadu berkuda terdiri
dari tiga puluh orang lebih mendatangi cepat dari depan. "Minggir! Minggir kalau tidak mau diinjak
mampus!" teriak serdadu terdepan sambil mengayun cambuknya.
Han Sin sudah melompat ke pinggir, akan tetapi alangkah heran hatinya ketika ia melihat Yong Tee
tidak minggir malahan berdiri di tengah jalan sambil bertolak pinggang dan kedua matanya melotot.
"Yong-loheng, kau nanti celaka .....!" kata Han Sin, siap hendak menolong jika sahabat barunya ini
benar-benar akan diseruduk kuda.
Akan tetapi, tiba-tiba para penunggang kuda itu serentak menahan kendali kuda, membuat binatangbinatang
tunggangan itu berdiri di kaki belakang dan meringkik-ringkik. "Hai.....! Siapa berdiri di
tengah jalan menghalang dan mengacaukan barisan?" bentak suara para serdadu di sebelah
belakang. Serdadu-serdadu di depan tentu saja mengenal siapa adanya yang bukan lain adalah pangeran Yong
Tee yang suka melakukan perjalanan menyamar sebagai rakyat biasa. Tentu saja mereka tidak
berani menerjang putera junjungan mereka itu. Yong Tee marah sekali dan membentak, sikapnya
masih seperti seorang biasa,
"Begitukah sikapnya pasukan yang seharusnya menjaga keamanan" Seperti perampok-perampok
ganas" Hemmm, ingin aku mendengar apa yang akan dikatakan Thio-ciangkun tentang anak
buahnya ini!"
Seorang serdadu, agaknya pemimpin pasukan itu, buru-buru meloncat turun dari kudanya dan
memberi hormat kepada Yong Tee. la maklum akan watak pangeran ini dan ia tidak berani
membuka rahasia pangeran ini di depan Han Sin, maka katanya, "Kongcu yang mulia, harap sudi
maafkan kami. Karena kami tergesa-gesa hendak menuju ke dusun di depan, menjalankan perintah
Thio-ciangkun untuk menangkap tosu-tosu Cin-ling-pai yang memberontak, maka tadi kawankawan
minta kongcu minggir. Harap maafkan dan tidak menyampaikan hal ini kepada ciangkun."
Yong Tee dengan senyum mengejek mengibaskan lengan bajunya yang lebar. "Menjadi tentara
harus ramah-ramah terhadap rakyat, jangan mengagulkan diri dan memperlakukan rakyat dengan
kasar. Makin buruk sikap tentara terhadap rakyat, akan menjadi makin besarlah pemberontakanpemberontakan.
Segala kekuatan ada pada rakyat, dan negara baru boleh dikata kuat kalau rakyat
seluruhnya mendukungnya dan mencintainya. Dan kalian sebagai alat negara harus menjadi pelopor
agar rakyat menaruh cinta kepada negara. Awas, terhadap orang-orang yang kalian katakan
memberontak tadipun jangan berlaku sewenang-wenang. Kalau memang betul mereka
memberontak, harus ada buktinya dan setelah demikianpun jangan gampang-gampang membunuh
orang. Tawan saja agar diperiksa oleh Thio-ciangkun sendiri."
Pemimpin pasukan itu memberi hormat. Yong Tee lalu berjalan pergi menghampiri Han Sin dan
mengajak pemuda ini melanjutkan perjalanan. Setelah mereka lewat, barulah rombongan serdadu
itu menaiki kuda masing-masing dan melanjutkan perjalanan. Han Sin memandang kawan barunya
dengan amat kagum.
"Yong-loheng! Tak kusangka kau sedemikian berpengaruh sampai puluhan orang serdadu tunduk
kepadamu."
"Bukan, bukan aku yang berpengaruh, melainkan Thio-ciangkun. Aku kenal Thio-ciangkun yang
amat adil dan berdisiplin. Tentu saja mereka takut kalau-kalau aku mengadukan mereka kepada
Thio-ciangkun, maka mereka menjadi takut kepadaku. Ha ha, saudara Cia yang baik. Orang-orang
macam mereka itu yang kasar-kasar sewaktu-waktu memang perlu mendapat petunjuk dan teguran
keras." Han Sin mengangguk. "Kiranya selain pandai, kaupun mempunyai jiwa yang gagah, Yong-loheng."
"Ah, sudahlah Cia-lote. Kau membikin aku malu saja."
Dua orang itu berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. Makin lama makin akrab hubungan mereka
dan makin tertarik hati Han Sin. Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang secocok ini
dengan isi hatinya. Baik dalam persoalan filsafat, maupun kesusasteraan, bahkan dalam hal
pendirian orang-orang gagah, Yong Tee ternyata mempunyai pandangan yang amat cocok dengan
dia sendiri. Tidak heran apabila mereka sudah melakukan perjalanan sehari lamanya, hati Han Sin
demikian tunduk dan tertarik sehingga ia girang bukan main ketika Yong Tee mengusulkan untuk
bersumpah mengangkat saudara!
"Yong-loheng! Apakah dengan setulusnya hati kau mengusulkan pengangkatan saudara dengan
aku" Kau tidak tahu siapa aku. Aku adalah seorang pemuda miskin, yatim piatu, seorang dari
gunung yang bodoh. Jangan-jangan nanti kau ditertawai oleh orang-orang di kota kalau bersaudara
dengan aku!" Han Sin berkata karena dia memang benar-benar merasa kaget dan heran di samping
kegembiraan hatinya.
Yong Tee memegang pundaknya. "Kau terlalu merendah. Kau seorang jantan, seorang budiman.
Kau seorang kuncu! Kalau orang seperti kau tidak bisa disebut kuncu, tidak tahu lagi aku orang
macam apa yang layak disebut kuncu. Justeru karena kau yatim piatu, maka lebih keras lagi
keinginanku untuk menjadi saudaramu. Tentu saja kalau ....... kalau kau sudi."
"Tentu saja aku suka! Mempunyai seorang giheng (kakak angkat) seperti kau ......... ah, benar-benar
anugerah langit!"
Demikianlah, dalam sebuah kelenteng tua, dua orang pemuda ini lalu mengangkat sumpah, menjadi
saudara angkat yang saling setia. Yong Tee menjadi saudara tua dan Han Sin menjadi saudara
muda. Han Sin yang masih kurang pengalaman dan amat mudah tertarik oleh sikap yang baik, sama sekali
tak pernah mimpi bahwa orang yang ia jadikan saudara angkat ini adalah seorang pangeran, seorang
Putera Kaisar Mancu yang sekarang bertahta! Sama sekali tidak pernah menduga bahwa pangeran
ini telah menolong Bi Eng dari tangan Bhok-kongcu dan bahwa pangeran ini telah tahu banyak
sekali tentang dia dan sengaja mengangkat saudara untuk menariknya berdiri di pihak pemerintah
Mancu! "Adikku, setelah kita menjadi saudara, tentu kau tidak keberatan untuk mengatakan kepadaku apa


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keperluanmu datang ke kota raja dari tempat begitu jauh," pangeran itu bertanya ketika mereka
melanjutkan perjalanan.
"Aku akan mencari adikku Cia Bi Eng yang kabarnya tertawan oleh Bhok Kian Teng di kota raja,"
kata Han Sin terus terang dengan wajah muram karena ia menjadi gelisah kembali setelah teringat
akan Bi Eng. "Bhok Kian Teng" Kau mau ke sana" Dia itu orang berbahaya, banyak sekali kawannya yang
berilmu tinggi. Apa yang bisa kaulakukan terhadap Bhok Kian Teng?" tanya Yong Tee sambil
memandang tajam.
Han Sin mengepal tinju dengan gemas. "Aku tidak takut. Kalau benar Bi Eng ia tawan dan ia tak
mau membebaskan adikku, biarpun dia mempunyai banyak kaki tangan, aku tidak takut dan pasti
aku akan dapat menangkap dia!"
"Ah, kiranya kau memiliki kepandaian silat tinggi pula, adikku. Bagus, aku makin kagum
kepadamu. Akan tetapi, kau harus berhati-hati benar menghadapi mereka."
Melihat sikap Yong Tee yang agak takut-takut itu, Han Sin lalu berkata,
"Loheng, biarlah urusan ini aku sendiri yang membereskan. Katakan saja di mana kau tinggal di
kota raja, setelah urusan selesai tentu aku akan pergi mencarimu."
"Jangan kau memandang aku begitu lemah, adikku. Biarpun aku tidak dapat menggunakan
kepandaian silat untuk menghadapi mereka, namun aku bukan seorang pengecut. Kau boleh hadapi
mereka dan aku akan menantimu di luar."
Karena tenggelam dalam pikiran masing-masing, kedua orang pemuda ini melanjutkan perjalanan
memasuki kota tanpa banyak bercakap lagi. Diam-diam Yong Tee menjadi geli seorang diri. Bi Eng
sudah aman berada di dalam gedungnya dan selama ini, hubungannya dengan nona memang sudah
seperti kakak beradik saja. Sekarang tiba saatnya untuk menguji pemuda she Cia ini yang menurut
penyelidik-penyelidiknya adalah seorang pemuda aneh yang kelihatan lemah namun memiliki
kepandaian tinggi. Kalau betul demikian, tidak percuma dia mengangkat saudara dengan Han Sin!
**** 26. Amukan Di Istana Raja Muda
BHOK-KONGCU mencak-mencak ketika kembali dari Lu-liang-san ke rumahnya di kota raja
mendengar bahwa Bi Eng diminta oleh Pangeran Yong Tee. Ia mendongkol sekali, akan tetapi apa
yang dapat ia lakukan terhadap putera kaisar" Biarpun Yong Tee hanya putera dari selir, namun
tetap saja kedudukan pangeran itu jauh lebih tinggi dari padanya. Maka ia hanya dapat menyimpan
kemarahannya dan hal ini malah memperhebat nafsunya untuk menggulingkan pemerintah Mancu
dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar dari pemerintah baru yang ia idam-idamkan, yaitu
pemerintah Mongol, berdirinya kembali kerajaan Goan yang telah gugur.
Oleh karena itu ia segera mengutus orang-orangnya untuk memanggil para tokoh kang-ouw yang
dahulu sudah berkumpul di Lu-liang-san, dan makin giat mengumpulkan pembantu-pembantu baru
terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi dengan jalan mengobral harta bendanya yang cukup
banyak. Pada hari itu, di gedungnya sudah berkumpul banyak sekali orang kang-ouw. Di antara mereka
tentu saja hadir pula Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo, malah hadir pula Coa-tung Sin-kai, ketua
dari Coa-tung Kai-pang dari utara. Dengan adanya mereka ini, para tokoh lain tidak berani lagi
memperebutkan kedudukan orang terkuat, karena mereka tahu bahwa tingkat kepandaian Hoa Hoa
Cinjin adalah amat tinggi dan di antara mereka yang boleh dibandingkan dengan dia hanyalah
Tung-hai Siang-mo dan Coa-tung Sin-kai.
Di situ hadir pula Thio-ciangkun yang memberi laporan kepada Bhok-kongcu bahwa ketika
pasukan yang ia kirim pergi ke dusun di mana dikabarkan orang-orang Cin-ling-pai mengadakan
kerusuhan ternyata bahwa It Cin Cu dan Ji Cin Cu dan sepasukan pengiringnya telah tewas semua
oleh orang-orang Cin-ling-pai. Tentu saja berita ini membuat Bhok-kongcu menjadi makin
mendongkol sekali.
"Orang-orang Cin-ling-pai memberontak," katanya kepada semua kaki tangannya yang hadir di situ.
"Mulai sekarang kita harus berusaha untuk membasmi mereka, kalau tidak mereka akan merupakan
gangguan besar. Setelah siauwte mengadakan perjalanan, ternyata banyak orang-orang selatan
masih mempunyai sikap memberontak. Oleh karena itu, siauwte hendak merencanakan gerakan
pembersihan dan cu-wi (tuan-tuan sekalian) masing-masing akan mendapat tugas memimpin
pasukan untuk membasmi mereka itu. Semua perkumpulan dilarang, kecuali kalau ketua-ketuanya
sudah menyatakan hendak membantu pemerintah kita. Yang membantah boleh terus dibunuh dan
mulai sekarang, rakyat tidak diperkenankan lagi membawa senjata tajam. Siauwte akan minta
kepada kaisar untuk mengeluarkan maklumat ini sehingga apa yang kita kerjakan adalah menurut
peraturan yang sah dari junjungan kita."
Karena Bhok-kongcu hanya menjamu mereka dan membagi-bagikan hadiah serta tugas, diam-diam
Tung-hai Siang-mo dan Coa-tung Sin-kai merasa kecewa. Mengapa tidak disebut-sebut tentang
pemilihan jago nomor satu yang akan mendapat kedudukan istimewa"
Akhirnya karena tidak sabar, Ji Kong Sek berkata, "Bhok-kongcu, maafkan pertanyaanku ini. Aku
hanya menagih janji, bukankah dahulu kongcu sendiri yang berjanji tentang pemilihan tokoh nomor
satu untuk dipekerjakan di istana?"
Inilah yang dinanti-nanti oleh sebagian besar tamu di situ. Biarpun tidak mempunyai harapan untuk
merebut kedudukan jago nomor satu, sedikitnya mereka itu ingin sekali melihat perebutan
kedudukan itu dan menyaksikan pertandingan silat yang menarik.
Bhok-kongcu menggeleng kepalanya. "Hal itu menyesal sekali harus dibatalkan, ayah tidak
menyetujui."
Hoa Hoa Cinjin melirik tak puas. "Ah, jadi Bhok-ongya hendak bertugas kembali?" Pertanyaan ini
sama dengan sangkaan bahwa raja muda yang ditakuti itu hendak merampas sendiri kedudukan
koksu, dan memang kalau raja muda itu maju, siapa yang sanggup melawan Pak-thian-tok Bhok
Hong" Mendengar ini, semua orang yang hadir bungkam, tidak berani lagi membuka suara dan
semua mata memandang ke arah pintu yang menembus ke dalam, mencari-cari dan dengan pandang
mata bertanya di mana gerangan Pak-thian-tok yang dikabarkan sakit itu.
Kini Bhok-kongcu tersenyum. "Harap cu-wi jangan salah kira. Ayah sudah tua, sejak lama tidak
mau perduli lagi urusan dunia, mana beliau mau bercapek lelah dengan segala macam pekerjaan"
Bahkan sudah lama ayah telah pergi lagi merantau, entah ke mana karena itulah yang menjadi
kesukaannya. Akan tetapi, karena ayah sudah melarangku untuk mengadakan pemilihan jago nomor
satu di sini, terpaksa aku harus mentaati perintahnya. Ayoh cu-wi sekalian minum araknya. Hai,
pelayan, lekas ambil arak wangi dan isi semua cawan sampai penuh!"
Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang, "Bhok Kian Teng lekas kaubebaskan adikku,
Cia Bi Eng!" Suara ini nyaring sekali menusuk semua telinga orang yang hadir, bahkan mengatasi
semua suara gaduh dari puluhan orang itu sehingga serentak mereka menengok.
Keadaan menjadi sunyi sekali sehingga langkah Han Sin yang tenang itu seakan?akan terdengar
nyata. Memang Han Sin lah orangnya yang tadi berseru dari luar dan kini dengan tenang dan
pandang mata tajam, pemuda ini memasuki ruangan ini, langsung menghampiri Bhok-kongcu.
Para tamu yang tak pernah bertemu dengan Han Sin bertanya-tanya heran. Siapakah pemuda ini dan
apa maunya datang dengan sikap seperti itu" Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo dan
tokoh-tokoh yang tadinya ikut membantu pembongkaran batu-batu di gua rahasia di Bukit lebih
heran lagi kenapa pemuda itu begitu berani mengunjungi tempat ini"
Di samping keheranannya, juga mereka itu diam-diam girang sekali. Bhok-kongcu mencari-cari
pemuda ini, bukankah dia telah mendapatkan warisan kitab rahasia" Dicari ke mana-mana tidak
jumpa, eh sekarang tahu-tahu muncul atas kehendak sendiri!
Bhok-kongcu juga kaget sekali dan menjadi pucat. Akan tetapi pemuda ini tidak kehilangan akal
dan cepat dapat menenteramkan hatinya. la berdiri dan tersenyum. "Eh, kiranya saudara yang gagah
Cia Han Sin yang datang berkunjung. Silakan duduk dan minum arak dengan kami."
"Bhok Kian Teng, tak perlu lagi kau berputar lidah. Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi
denganmu, lekas kaubebaskan Bi Eng!" kata Han Sin sambil melangkah terus maju dengan sikap
mengancam. Sementara itu, ketika mendengar bahwa pemuda ini yang bernama Cia Han Sin, pemuda yang telah
membikin sutenya lumpuh, Coa-tung Sin-kai sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya.
Seperti diketahui, Tok-gan Sin-kai adalah sute dari Coa-tung Sin-kai dan dengan menggunakan
paku-paku rahasianya sendiri, Han Sin telah merobohkan pengemis mata satu itu.
"Keparat kiranya kau anak pemberontak she Cia!" Coa-tung Sin-kai meloncat dan sudah
menghadang di depan Han Sin.
"Awas, lo-enghiong, bocah ini lihai sekali, dia telah mewarisi kitab pelajaran Tat Mo Couwsu!"
kata Bhok-kongcu sambil duduk lagi. Pemuda bangsawan ini ternyata telah membakar hati ketua
pengemis itu dengan kata-kata ini.
"Ha, ha, ha, memang tidak baik saling gempur untuk menguji kepandaian. Biarlah bocah ini
menjadi semacam juru penguji!" kata Ji Kong Sek yang juga ingin sekali tahu sampai di mana
kepandaian ketua Coa-tung Kai-pang yang tersohor ini.
Sementara itu, tanpa memperdulikan ucapan-ucapan orang lain. Han Sin memandang kakek di
depannya. Kakek ini usianya sudah enam puluhan, tubuhnya jangkung kurus tangan kanannya
memegang sebatang tongkat ular kering yang lidahnya menjulur keluar dan amat runcing. Sikapnya
lemah lembut dan agung, akan tetapi sepasang mata yang berminyak itu menandakan bahwa kakek
ini masih belum terlepas dari pelukan nafsu duniawi.
"Tidak tahu siapa lo-enghiong dan kenapa mencampuri urusan pribadiku dengan Bhok Kian Teng?"
tanya Han Sin, sabar. Menuruti keinginan hatinya, tidak mau ia bertengkar dengan segala macam
orang tanpa ada sebab-sebabnya.
Ketika sinar matanya bentrok dengan sinar mata Han Sin, diam-diam kakek ini kaget bukan main.
Belum pernah selama hidupnya ia bertemu pandang dengan orang yang memiliki sinar mata seperti
ini. Diam-diam ia kagum dan melihat sikap halus Han Sin, ia merasa tidak enak kalau bersikap
terlalu kasar, apa lagi mengingat kedudukannya yang tinggi dan usianya yang jauh lebih tua.
"Orang muda, setelah kau tahu namaku, seharusnya kau cepat-cepat berlutut mohon maaf kepada
Bhok-kongcu atas sikapmu yang tidak semestinya ini. Kau berada di kota raja, di dalam rumah
Bhok kongcu, masa sikapmu seperti ini" Apa yang kauandalkan" Ketahuilah, aku adalah Coa-tung
Sin-kai dan kau bocah cilik sesungguhnya bukan lawanku ......"
Han Sin pernah diceritai oleh Li Hoa tentang gurunya maka tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan
guru Li Hoa dan Li Goat, juga ketua Coa-tung Kai-pang dan suheng dari Tok-gan Sin-kai. la
tersenyum dan menjawab. "Lo-enghiong, kalau kau masih mempunyai sedikit sifat gagah, tentu kau
tidak membenarkan Bhok Kian Teng menawan adik perempuanku yang tidak berdosa. Aku datang
bukan untuk berlaku kurang ajar, melainkan hendak minta dibebaskan adikku. Salahkah ini?"
"Hemmmmm, kau sombong. Agaknya kau memang berkepandaian dan kau sudah pula menghina
suteku. Tak dapat tidak, kalau kau tidak mau berlutut minta ampun, tongkatku akan memaksamu."
"Silakan!" tantang Han Sin tenang-tenang saja.
Coa-tung Sin-kai mulai marah, tapi ia masih ragu-ragu, malu untuk menyerang seorang muda yang
tak bersenjata. "Keluarkan senjatamu," katanya.
"Aku bukan tukang pukul, bukan tukang bunuh orang, mengapa harus bersenjata" Untuk menjaga
diri, Thian telah melengkapi anggauta tubuhku."
"Pemuda sombong, lihat serangan!" Coa-tung Sin-kai tak sabar lagi, tongkatnya menyambar cepat
ke arah jalan darah di pundak kiri Han Sin. Pemuda ini maklum dari sambaran tongkat bahwa
lawannya yang memiliki gerakan cepat dan tenaga dalam yang sempurna, maka ia tidak berani
main-main, dengan sigap ia miringkan tubuhnya mengelak.
Benar saja, baru saja dielakkan serangan pertama, serangan ke dua, tiga dan selanjutnya susulmenyusul
bagaikan hujan, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk balas
menyerang. Namun Han Sin tetap tenang, dengan Liap-hong-sin-hoat ia menghadapi semua
serangan kakek itu dan selalu dapat menghindarkan setiap desakan.
"He, pernah apa kau dengan Ciu-ong Mo-kai?" teriak Coa-tung Sin-kai dengan heran. Ketua
perkumpulan pengemis dari utara ini pernah bertanding melawan Tang Pok yang juga
menggunakan Liap-hong-sin-hoat maka ia segera mengenal ilmu silat yang tangguh ini, yang
membuat ia bertanding dengan Ciu-ong Mo-kai sampai hampir sehari penuh tanpa dapat merebut
kemenangan! "Ciu-ong Mo-kai Tang Pok adalah suhuku," jawab Han Sin masih tenang. Mendengar jawaban ini
Coa-tung Sin-kai lalu mendesak makin hebat. Masa aku tak dapat merobohkan murid Tang Pok,
pikirnya penasaran sekali. Akan tetapi ia kecelik karena Liap-hong-sin-hoat yang dimainkan oleh
pemuda ini benar-benar aneh dan luar biasa sekali.
Nampaknya pemuda itu hanya bergerak perlahan saja untuk menghadapi serangan-serangannya,
namun setiap pukulannya yang akan mampir di tubuh pemuda itu seperti menyeleweng sendiri,
seakan-akan kedua tangannya sudah tidak menuruti lagi kehendaknya! Hal ini sebetulnya bukan
karena kehebatan Liap-hong-sin-hoat, melainkan kehebatan hawa sinkang di tubuh Han Sin yang
sudah demikian kuatnya sehingga sanggup menolak hawa pukulan kakek itu dan membuat semua
pukulan meleset.
Han Sin mengerti orang yang sudah menjadi kaki tangan Bhok-kongcu bukanlah orang baik-baik.
Akan tetapi karena teringat bahwa lawannya ini adalah guru dari Li Hoa, ia merasa tidak enak juga
untuk merobohkan atau melukainya.
Setelah berkali-kali mengelak dan menggunakan hawa pukulan untuk menangkis semua serangan
lawan selama dua puluh jurus lebih, tiba-tiba Han Sin mengeluarkan suara bentakan keras sekali
sambil mengerahkan khikang. Coa-tung Sin-kai kaget dan terhuyung mundur. Han Sin mendesak,
tangannya bergerak dan di lain saat, tongkat ular itu sudah berhasil ia rampas. Sekali tekuk tongkat
itu mengeluarkan suara "pletakk!" dan patah menjadi tiga potong, lalu dilemparkannya ke atas
tanah. Bukan main kaget, heran, dan malunya Coa-tung Sin-kai. Dia yang menjadi ketua Coa-tung Kaipang,
yang datang-datang hendak ikut pula memperebutkan jago silat nomor satu, dalam
pertandingan dua puluh jurus lebih, malah boleh dibilang baru diserang satu jurus saja oleh seorang
pemuda hijau, telah kalah mutlak! Dengan muka merah seperti udang direbus ia lalu melangkah
mundur, tidak ada muka lagi untuk mencoba menempur Han Sin.
Terdengar suara ketawa mengejek dan dua bayangan orang berkelebat cepat, tahu-tahu Tung-hai
Siang-mo sudah berdiri di depan Han Sin. Pemuda ini mengenal sepasang iblis itu dan
kemarahannya memuncak. Sebelum mereka bergerak, ia menegur lebih dulu, "Aku datang hanya
untuk minta dibebaskannya adikku, aku hanya berurusan dengan orang she Bhok, kenapa segala
macam orang tua ikut campur?"
Hoa Hoa Cinjin tiba-tiba berkata dengan nada mengejek, "Dua orang tua bangka dari utara inipun
belum tentu bisa menangkan dia."
Mendengar ini, Ji Kong Sek dan Ji Kak Touw menjadi panas perutnya, Ji Kong Sek segera
mengeluarkan suara ketawanya yang menyeramkan, lalu tanpa banyak cakap lagi ia menubruk maju
dengan kedua tangan dipentang dengan jari-jari terbuka seperti seekor garuda menubruk. Ji Kak
Touw juga tidak mau tinggal diam, langsung menyerang bagian bawah tubuh Han Sin sambil
menggereng seperti ringkik kuda.
Han Sin mendongkol sekali melihat sikap orang-orang tua ini. Ia menggeser kakinya mundur dan
melihat bahwa serangan mereka itu malah lebih berbahaya dari pada serangan Coa-tung Sin-kai
tadi, ia lalu menggunakan Ilmu Silat Im-yang-kun untuk menghadapi dua orang iblis yang sifat
serangannya berlawanan ini. Hanya Im-yang-kun yang mengandung dua macam sifat dapat
menghadapi daya serangan mereka.
Terdengar suara "plak-plak!" keras sekali ketika sepasang lengan tangan Han Sin menangkisi
pukulan-pukulan kedua orang lawannya. Tung-hai Siang?mo setelah menyerang beberapa jurus dan
dapat ditangkis, saling pandang dengan heran.
"Bukankah itu Im-yang-kun dari Cin-?ling-pai. Bocah, Giok Thian Cin Cu itu apamu?" bentak Ji
Kak Touw. "Giok Thian Cin Cu itu adalah suhuku pula," jawab Han Sin tenang. Semua orang terkejut
mendengar ini. Yang lebih kaget adalah Bhok Kian Teng karena ia tidak mengerti bagaimana bocah
gunung itu ternyata adalah murid dari orang-orang pandai.
Pertempuran berjalan terus dan dengan hati gelisah Bhok-kongcu melihat bahwa juga Tung-hai
Siang-mo tidak banyak berdaya. Seperti mempermainkan anak-anak kecil, Han Sin berdiri tegak
dan hanya kedua tangannya bergerak-gerak ke depan, namun dua orang iblis itu sama sekali tidak
mampu mendekatinya.
"Cinjin, bocah ini berbahaya. Harap kau suka maju dan membantu untuk menangkapnya hidup atau
mati," kata Bhok-kongcu perlahan.
Namun ucapan yang perlahan ini masih dapat terdengar oleh Han Sin yang selalu memperhatikan
agar kongcu itu tidak melarikan diri. Pemuda ini mengeluarkan suara ketawa mengejek dan sekali
berkelebat ia telah meninggalkan lawannya dan tahu-tahu ia telah berada di depan Bhok-kongcu.
"Orang she Bhok, aku datang untuk minta adikku, kenapa kau bermaksud membunuhku" Di mana
Bi Eng?" Bhok-kongcu menjawab dengan sebuah serangan kilat, menggunakan kipasnya. Kipas ini tidak saja
ia pergunakan untuk menyerang jalan darah maut di leher Han Sin, malah sekaligus dari ujung kipas
keluar jarum-jarum beracun yang menyambar ke dada pemuda dari Min-san itu.
"Keji!" Han Sin yang bermata jeli dapat melihat ini. Tangannya mengibas, jarum-jarum runtuh dan
kipas itu dapat ia cengkeram. "Krak-krak!" Hancurlah kipas itu dilain saat kedua tangan Bhokkongcu
sudah dapat ia pegang dengan erat. "Lepaskan adikku!" Han Sin membentak lagi.
Akan tetapi tiba-tiba dari arah belakangnya menyambar hawa pukulan dahsyat berturut-turut. la
terpaksa melepaskan tangan Bhok-kongcu dan memutar tubuh sambil menangkis.
"Dukk!" Tubuh Hoa Hoa Cinjin terpental, demikian pula Tung-hai Siang-mo yang tadi bersamasama
mengirim serangan dari belakang. Hebat sekali tangkisan Han Sin tadi, sekaligus membuat
tiga orang kakek itu terpental.
"Kalian memang orang-orang jahat, perlu dihajar!" Timbul amarah dalam hati Han Sin dan pemuda
ini lalu mainkan Ilmu Silat Lo-hai Hui-kiam yang dahsyat. Kedua ujung jari telunjuknya menjadi
pengganti pedang namun dua buah jari tangan ini malah lebih berbahaya lagi karena da?pat
menotok jalan darah dari jarak jauh.
Sebentar saja Hoa Hoa Cinjin dan Tung?hai Siang-mo menjadi sangat repot menghadapi hujan
totokan ini. Coa-tung Sin-kai juga cepat melompat maju untuk membantu sehingga sesaat kemudian
Han Sin sudah dikeroyok oleh empat orang tokoh besar yang amat disegani orang kang-ouw.
Memang amat mengherankan kalau dilihat. Seorang pemuda yang masih amat muda belia, kini
dikeroyok oleh empat orang tokoh yang biasanya merupakan jago-jago yang berkedudukan tinggi,
bahkan yang dianggap merupakan calon-calon jago silat yang terpilih di kota raja! Dan tetap saja
mereka tak dapat berdaya banyak menghadapi Lo-hai Hui-kiam yang bukan dimainkan dengan
pedang, melainkan dengan dua buah jari tangan!
Baru tiga puluh jurus saja, dua buah jari tangan yang bergerak-gerak cepat sehingga kelihatannya
berubah menjadi puluhan banyaknya, serta yang amat berbahaya biarpun dipergunakan dari jauh,
tak dapat ditahan oleh Tung-hai Siang-mo yang sudah roboh terguling karena totokan, sedangkan
pada lain saat, Coa-tung Sin-kai juga terhuyung-huyung karena terserempet pundaknya oleh hawa
totokan dari jari tangan kanan Han Sin!
Hanya Hoa Hoa Cinjin yang kosen itulah yang masih dapat melawan, biarpun kini hanya
mempertahankan diri saja. Dari sini dapat diukur bahwa di antara empat orang tokoh itu, Hoa Hoa
Cinjin ternyata lebih kuat.
Bhok-kongcu gelisah sekali, mukanya pucat dan keringatnya mengucur. Ia menyesal sekali
mengapa ayahnya tidak berada di situ. Untuk menghadapi pemuda aneh itu kiranya hanya ayahnya
yang boleh diandalkan. Diam-diam ia lalu memberi isyarat kepada para pengawalnya yang lari
keluar dan tak lama kemudian, di luar istana itu terdengar derap kaki banyak orang. Kiranya
pengawal tadi memanggil pasukan dan kini di luar telah menjaga ratusan orang serdadu Ceng untuk


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangkap Han Sin!
"Cia Han Sin, kalau kau tidak menyerah, ratusan anak panah akan menghancurkan tubuhmu!" Tibatiba
Bhok-kongcu berseru ketika pasukannya sudah berbaris masuk dengan anak panah terpasang
pada busur setiap orang serdadu. Hoa Hoa Cinjin melompat mundur dan ketika Han Sin menoleh, ia
sudah ditodong oleh ratusan orang serdadu yang memegang busur dan anak panah.
Pemuda ini tertawa aneh, mengangkat dada menghadapi para serdadu sambil berkata pada Bhokkongcu,
"Hidup bukan punyaku mati bukan milikku, aku takut apa" Hidup mati tidak penasaran,
pokoknya aku berada di dalam kebenaran. Orang she Bhok, aku datang untuk minta kembali
adikku. Kau tidak menuruti permintaanku yang pantas, malah hendak membunuhku. Bunuhlah,
siapa takut?"
Bhok-kongcu memberi tanda dan para serdadu yang berada paling depan, segera melepas anak
panah menyambar secepat kilat, mendatangkan suara mengaung mengerikan, ke arah tubuh Han
Sin! Pemuda ini tenang-tenang saja, kedua tangannya digerakkan ke kanan kiri sambil mengerahkan
sinkang untuk mengebut dan menangkis. Runtuhlah semua anak panah itu, kecuali sebatang yang
menancap di ujung pundaknya dan keluarlah darah membasahi baju!
Betapapun hebat kepandaian Han Sin menghadapi hujan anak panah itu tetap saja ia terluka biarpun
luka itu amat ringan. Ia menjadi marah, diserbunya ke depan dan sekali tangan kakinya bergerak
enam orang serdadu roboh! Keadaan menjadi kalut sekali dan Han Sin sudah bersiap mengamuk
mati-matian dalam gedung Pangeran Mongol yang menyebut diri Bhok-kongcu itu.
Pada saat itu terdengar bentakan dari luar, bentakan halus berpengaruh,
"Tahan semua senjata!"
Hebat sekali pengaruh bentakan ini. Tidak hanya para serdadu itu serentak minggir dan berdiri
tegak memberi hormat, malah Bhok-kongcu sendiri berikut kaki tangannya, Hoa Hoa Cinjin dan
yang lain-lain, cepat membungkuk-bungkuk memberi hormat, kepada orang yang membentak tadi.
Han Sin menoleh dan kaget serta herannya bukan kepalang.
"Yong-giheng .......!" serunya, memandang dengan mata terbelalak.
Orang itu memang Pangeran Yong Tee. Ia tersenyum kepada Han Sin, lalu tanpa menghiraukan
yang lain ia menghadapi Bhok-kongcu dan berkata, "Saudara Cia ini adalah ..... saudara angkatku,
kalau ada persoalan boleh diselesaikan secara damai, tidak boleh sekali-kali menggunakan
kekerasan."
Han Sin melongo ketika melihat betapa Bhok-kongcu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut! "Mohon
paduka sudi mengampunkan. Hamba sama sekali tidak tahu bahwa ..... bahwa ...... saudara Cia ....."
"Bangunlah, cukup semua itu. Cuma saja lain kali, harap tidak melakukan pengeroyokan seperti
yang baru terjadi tadi. Benar-benar amat memalukan. Hemmmm, kulihat tidak banyak gunanya
orang-orangmu ........" Pangeran Yong Tee lalu menggandeng tangan Han Sin dan menariknya pergi
dari situ. "Adikku, mari kau ikut aku ke rumahku."
Sejak tadi Han Sin bengong terheran, sekarang ia ragu-ragu. Urusannya dengan Bhok-kongcu
belum selesai, ia belum dapat menemukan Bi Eng.
"Tapi ...... adikku Bi Eng ........" bantahnya bingung.
"Serahkan urusan ini kepadaku, tentu beres. Marilah!" Yong Tee mengajak. Biarpun masih sangsi,
Han Sin yang terpengaruh oleh kejadian aneh dan sikap kakak angkatnya yang nampaknya amat
berpengaruh itu, tidak membantah dan mengikuti Yong Tee keluar dari gedung Bhok-kongcu.
Akan tetapi, ketika melihat ke mana saudara angkatnya yang aneh itu membawanya masuk yaitu ke
sebuah gedung yang amat besar, seperti istana, jauh lebih mewah dan besar dari pada gedung
tempat tinggal Bhok-kongcu, Han Sin menjadi pucat dan melepaskan pegangan Yong Tee sambil
berkata, "Gi-heng ...... kau membawaku ke mana ini" Ke rumah siapa?"
Yong Tee tersenyum dan memegang lengan Han Sin lagi. "Ke rumah siapa lagi kalau bukan ke
rumahku" Ini rumah ibuku.
"Mari masuk ke dalam ......." Sementara itu, beberapa orang pelayan yang berada di luar sudah cepat
menyambut kedatangan Yong Tee sambil memberi hormat secara khidmat sekali.
"Gi-heng ...... kau ........ kau siapakah ......?" Han Sin bertanya gugup, sama sekali belum menyangka
bahwa saudara angkatnya adalah seorang pangeran! Akan tetapi Yong Tee tidak menjawab,
melainkan memberi perintah kepada orang-orangnya dengan ucapan, "Lekas beritahu Cia siocia
bahwa kakaknya, Cia-kongcu sudah datang!"
Tentu saja perintah yang cepat-cepat dilakukan oleh para pelayan ini membuat Han Sin kaget dan
girang luar biasa sampai ia melupakan pertanyaannya tadi. Dengan erat-erat ia genggam tangan
Yong Tee, matanya berseri dan hampir ia berteriak-teriak saking girangnya.
"Gi-heng, jadi ...... jadi adikku Bi Eng sudah berada di sini?""
Yong Tee mengangguk-angguk dengan senyum manis. "Bukankah tadi aku sudah bilang bahwa
urusan adikmu itu kauserahkan saja kepadaku tentu beres?" Digandengnya lengan Han Sin, diajak
memasuki rumah gedung besar itu. Sampai terbelalak mata Han Sin memandangi dan mengagumi
isi ruangan yang mereka masuki. Semuanya serba indah. Serba megah dan besar.
"Sin-ko ........!" Bi Eng berlari-lari dari dalam dan langsung menubruk dan memeluk leher Han Sin
sambil menangis.
Han Sin kembali membuka matanya lebar-lebar melihat Bi Eng berpakaian amat indah. Rambut
adiknya yang hitam panjang itu digelung semodel dengan gelung Li Hoa. Indah, cantik dan manis
adiknya ini. "Bi Eng......!" Iapun memeluk dan pada saat itu hatinya berdebar tidak karuan. Bi Eng ini bukan
adik kandungnya!
"Sin-ko, syukur kau selamat. Ah, betapa selama ini hatiku selalu gelisah dan berduka. Ternyata
Thian masih belum melupakan kita, Sin-ko. Thian telah menurunkan seorang penolong, yaitu
Pangeran Yong Tee yang bijaksana ini. Mari kita menghaturkan terima kasih kepadanya."
Begitu mendengar ucapan ini, Han Sin menjadi makin pucat dan ia melepaskan pelukan adiknya,
membalikkan tubuh memandang Yong Tee sambil berkata,
"Bi Eng! Apa katamu tali" Pangeran ....... pangeran siapa ..........?"
Bi Eng tersenyum di antara air matanya, air mata kegirangan. la memegang tangan Han Sin dan
dibimbingnya kakaknya untuk maju. Lalu Bi Eng menjatuhkan diri berlutut, mengajak Han Sin juga
berlutut. Akan tetapi Han Sin tidak mau berlutut, hanya berdiri menatap wajah Yong Tee dengan
pandang mata tajam.
"Cia-siocia, tak pernah aku mengijinkan orang berlutut kepadaku ......." tegur Yong Tee.
"Akan tetapi kali ini harap diberi kekecualian," jawab Bi Eng. "Hamba berdua kakak beradik harus
menghaturkan terima kasih kepada paduka yang mulia. Kalau tidak ada paduka, bagaimana kami
kakak beradik dapat saling bertemu .......?"
"Nona Bi Eng, jangan banyak sungkan. Ketahuilah, kita adalah keluarga sendiri. Kakakmu Han Sin
ini sekarang sudah menjadi adik angkatku, berarti kaupun adikku sendiri. Bangunlah."
Bi Eng berseru girang dan melompat bangun terus memeluk kakaknya.
"Sin-ko, betulkah itu" Kau menjadi saudara angkat ...... Pangeran?"
"Hush, adik Bi Eng, mulai sekarang tidak ada pangeran-pangeranan, kau boleh menyebutku Yongko
saja," kata pangeran itu sambil tersenyum ramah.
Akan tetapi Han Sin kembali melepaskan pelukan Bi Eng, matanya sejak tadi tidak berkedip
menatap wajah Yong Tee. Melihat sikap kakaknya seperti orang marah ini, Bi Eng melangkah
mundur dengan heran.
"Gi ...... gi-heng ...... jadi kau seorang pangeran Mancu" Kenapa kau tidak katakan hal ini
sebelumnya" Kau ...... kau telah menipuku!" kata Han Sin wajahnya pucat.
Yong Tee menaikkan alis matanya dengan senyum membayang di bibir. "Gite, kenapa kau bilang
begitu" Pangeran atau bukan, bukankah aku seorang manusia juga" Bukan kehendakku dilahirkan
sebagai seorang Pangeran Mancu, juga bukan kehendakmu dilahirkan sebagai seorang Han. Bagiku
tiada perbedaan."
"Kau menipuku! Bagaimana mungkin aku bersaudara dengan seorang pangeran dari kerajaan yang
menjajah tanah airku" Bagaimana mungkin aku bersaudara dengan ....... musuh-musuhku?"
"Bukan musuhmu, adikku. Kami keturunan Aisin-gioro dari Mancu bukan musuh, juga bukan orang
lain. Kami dan bangsa Han sebetulnya masih sebangsa, Bangsa Tiongkok yang besar. Kami
bermaksud untuk membikin Tiongkok menjadi negara yang besar, megah dan makmur. Kami tidak
memusuhi rakyat yang kami cinta. Adikku Cia Han Sin, semua orang menganggap kau sebagai
putera pemberontak, sebaliknya aku pribadi amat kagum kepada kakek dan ayahmu yang sudah
kudengar riwayatnya. Orang seperti kau inilah yang kami butuhkan untuk kami ajak bekerja sama
guna kemakmuran bangsa. Bukan orang-orang berwatak penjilat berhati palsu seperti ....... orang
she Bhok dan lain-lain itu. Mari, adikku, terimalah uluran tanganku ini."
Akan tetapi Han Sin melangkah mundur, tidak mau menjabat tangan kakak angkatnya. "Tidak!
Ucapan seorang penjajah selalu manis, manis di mulut pahit di hati. Dengan ucapan manis menipu
rakyat yang dijajahnya, menjanjikan kemakmuran bersama padahal maksudnya untuk kemakmuran
rakyat dan golongan sendiri. Tidak!"
"Adik Han Sin, kau menyedihkan hatiku. Aku bermaksud baik akan tetapi kau menerima salah.
Sekali lagi kujelaskan, kerajaan ayahku sama sekali tidak memusuhi rakyat, malah hendak
membangun negara Tiongkok demi kemakmuran kehidupan rakyat."
"Bohong! Mataku telah buta! Aaahhh, mataku telah buta. Kau .... kau yang selama ini kukira
seorang yang patriotik, kiranya malah Pangeran Mancu yang hendak kubasmi!" Ia mengepal tinju
dan memandang pangeran itu dengan mata penuh kebencian dan sikap mengancam.
Pangeran Yong Tee tersenyum masam. "Begitukah" Saudaraku yang baik, kalau memang sudah tak
dapat kuyakinkan hatimu, dan kau tetap menganggap kakak angkatmu ini sebagai musuh dan
penjahat besar, marilah, kau boleh bunuh aku."
"Memang sudah sepatutnya aku membunuh anak penjajah!" Han Sin sudah menggerakkan tangan
hendak memukul, akan tetapi melihat wajah pangeran itu dengan senyum tenang memandangnya,
sinar mata yang selama ini ia kagumi dan ia cinta sebagai saudara angkat, membuat tangannya
menjadi lemas kembali. Pada saat itu, Bi Eng melompat dan memegang tangannya.
"Sin-ko, kau kenapakah" Jangan berlaku yang tidak-tidak. Kau harus tahu bahwa Pangeran ... eh,
Yong-ko ini berbeda dengan sembarang orang dan sama sekali tidak bisa dianggap musuh. Kalau
bukan oleh pertolongannya yang mengambilku dari cengkeraman orang she Bhok itu, apa kaukira
kita akan masih dapat bertemu" Sin-ko, jangan kau memusuhi dia ini, apa lagi setelah kau dan dia
bersumpah mengangkat saudara. Sin-ko, aku tahu kau bukan membenci orangnya, melainkan
membenci karena dia keluarga kaisar yang menjajah. Akan tetapi apakah karena itu kita harus lupa
akan budi?"
Han Sin menoleh perlahan kepada adiknya dan Bi Eng terharu melihat betapa wajah kakaknya ini
pucat sekali dan dari kedua matanya menitik dua butir air mata. Belum pernah ia melihat kakaknya
menitikkan air mata dan kenyataan ini menandakan betapa pada saat itu batin Han Sin tersiksa
hebat. "Bi Eng ......," suara Han Sin lemah dan serak, "kau ...... kau bergantilah pakaian, pakaianmu sendiri
dan lekas kau menyusulku. Kutunggu di luar." Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda
ini sudah melesat keluar dari ruangan istana itu.
"Adik Han Sin ......!" Yong Tee berseru memanggil namun Han Sin tidak perduli, menengokpun
tidak. Dengan isak tertahan Bi Eng lalu lari ke dalam kamarnya, menanggalkan pakaian indah pemberian
Yong Tee, mengganti dengan pakaiannya sendiri, malah merobah bentuk gelungnya menjadi biasa
kembali. Setelah itu ia lalu berlari keluar. Di ruang depan ia melihat Yong Tee masih berdiri seperti
patung. Ia cepat menjura dengan hormat dan berkata perlahan,
"Pangeran .....eh, Yong-ko. Ampunkanlah kakakku Han Sin, dan ampunkan aku. Aku ..... aku
selamanya takkan melupakan budimu."
Yong Tee hanya mengangguk-angguk dengan senyum pahit. Dengan isak tertahan Bi Eng lalu
berlari keluar di mana Han Sin sudah menantinya. Tanpa banyak cakap lagi keduanya lalu berlarilari
pergi meninggalkan kota raja.
Yong Tee cepat dapat menenangkan hatinya. Ia lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah
beberapa orang pengawal istana. "Lekas kalian beritahu kepada para penjaga pintu gerbang supaya
pemuda dan pemudi yang baru keluar dari sini, jangan diganggu kalau keluar dari pintu gerbang.
Dan bawa dua ekor kuda terbagus dan kuat, bersama dua kantong uang emas ini berikan kepada
Han Sin dan Bi Eng itu disertai salamku. Cepat!"
Setelah utusannya pergi, Yong Tee menjatuhkan diri di atas kursi dan duduk seperti patung sampai
satu jam lebih lamanya. Berkali-kali ia menarik napas dan sinar matanya menjadi suram-muram.
Han Si dan Bi Eng menjadi heran ketika di pintu gerbang sebelah barat mereka dihadang oleh
pengawal-pengawal yang membawa dua ekor kuda. Seorang komandan pengawal berkata dengan
hormat, "Kami diutus oleh Pangeran Yong Tee untuk memberikan dua ekor kuda dan dua kantong emas ini
disertai salam beliau untuk kongcu dan siocia."
Bi Eng meramkan matanya untuk menahan keluarnya air mata, saking terharu menyaksikan
kebaikan terakhir dari pangeran itu. Namun Han Sin mengeraskan hatinya, dengan dagu mengeras
ia menolak pemberian itu sambil berkata kepada si komandan,
"Kembalikan kuda dan uang itu kepada Pangeran Yong Tee, katakan kami sudah cukup menerima
kebaikannya dan tidak mau mengganggu lagi." Kemudian pemuda ini menarik tangan Bi Eng dan
berlari cepat, keluar dari pintu gerbang kota raja.
Setelah berlari cepat sekali sambil menarik tangan Bi Eng sampai puluhan li jauhnya, akhirnya Han
Sin berhenti karena adiknya menangis. la melepaskan tangan Bi Eng, lalu memandang adiknya itu
dengan penuh kasih sayang.
"Kau kenapa, Bi Eng?"
Bi Eng makin tersedu-sedu, mengusapi air mata yang membanjir turun di kedua pipinya. "Sin-ko
....., aku girang sekali dapat bertemu kembali dan berkumpul kembali dengan kau. Tapi ..... tapi
sikapmu terhadap Pangeran Yong Tee .... benar mengecewakan hatiku. Dia begitu baik, dia telah
menolongku, malah .... malah kudengar tadi kau sudah mengangkat sumpah bersaudara dengan dia
....." Han Sin mengerutkan keningnya. "Adik Bi Eng, kau tidak tahu betapa hatiku sendiri hancur
menghadapi kenyataan ini. Aku suka kepada pribadi pangeran itu. Akan tetapi kau lihatlah
kenyataan. Orang-orang seperti Bhok-kongcu, Hoa Hoa Cinjin dan para pengkhianat bangsa yang
sudah kita jumpai, semua adalah anak buah pemerintah penjajah. Kau dan aku adalah keturunan
patriot, kita harus melanjutkan jejak perjuangan nenek moyang, yang luhur dan jaya. Kita harus
menggulung lengan baju bersama para pejuang rakyat lain menyelamatkan tanah air,
menghancurkan penjajah dan antek-anteknya. Tentang Pangeran Yong Tee itu andaikata benarbenar
dia itu berhati mulia, apakah kebaikan seorang saja akan melumpuhkan semangat perjuangan
kita" Apakah kebaikan seorang Yong Tee dapat membersihkan kejahatan penjajah dan kaki
tangannya yang menindas bangsa kita" Apakah karena kebaikan seorang Yong Tee, kau dan aku
harus masuk pula menjadi sekutunya, menjadi pengkhianat bangsa?"
Bi Eng menjadi pucat ketika ia memandang kakaknya. Tanpa disadari lagi, kepalanya yang cantik
itu menggeleng-geleng keras dan bibirnya yang pucat itu berkata, "Tidak! Sekali lagi tidak! Tentu
saja aku tidak sudi menjadi pengkhianat. Tapi ....,tapi ...., bagaimana aku akan tega memusuhi dia
yang begitu baik?" Dan gadis itu menangis lagi.
Han Sin menaruh tangannya di pundak Bi Eng. "Bukan hanya engkau, Eng-moi. Aku sendiripun
kiranya takkan sampai hati untuk memusuhi Yong-giheng, seorang yang kuanggap amat baik dan
malah sudah menjadi kakak angkatku. Eng-moi, marilah kita kembali dulu ke Min-san. Ketahuilah,
selama ini aku sudah mempelajari ilmu silat. Setelah semua pengalaman pahit getir selama kita
turun gunung, kita perlu beristirahat di Min-san, di sana kau boleh memperdalam ilmu silatmu,
kemudian baru kita akan berusaha menghubungi dan menggabungkan diri dengan para patriot."
Bi Eng mengangkat mukanya memandang kakaknya. "Aku sudah menduga bahwa akhirnya kau
akan menjadi seorang ahli silat, Sin-ko. Marilah kalau kau menghendaki kita pulang ke Min-san."
Sambil berjalan cepat di sepanjang perjalanan Han Sin menceritakan pengalaman-pengalamannya.
Bi Eng merasa kagum sekali, akan tetapi juga amat berduka ketika mendengar tentang Siauw-ong,
monyet peliharaan itu yang lenyap tanpa diketahui ke mana perginya. Ia sampai mencucurkan air
mata kalau mengingat Siauw-ong.
"Jangan bersedih, Eng-moi. Kelak aku akan membawamu turun gunung lagi dan kita cari Siauwong
di Lu-liang-san. Kukira dia berada di dalam hutan di gunung itu."
Terhiburlah hati Bi Eng dan kedua orang muda ini melanjutkan perjalanannya. Sikap Bi Eng
terhadap Han Sin masih biasa, manja dan penuh cinta kasih seorang adik. Sebaliknya, biarpun di
luarnya Han Sin masih bersikap biasa pula, namun di dalam hatinya timbul bermacam-macam
perasaan. Gadis ini bukan adik kandungnya! Seorang gadis anak orang lain, yang sama sekali tidak
dikenalnya! Sinar mata dalam pandangnya terhadap Bi Eng berubah, membuat jantungnya kadangkadang
berdetak aneh dan.cinta kasihnya terhadap Bi Eng juga mulai berubah. Biarlah pikirnya,
kelak akan kubongkar rahasia gadis ini, akan kucari siapa sebetulnya orang tuanya. Dengan pikiran
ini, Han Sin dapat menenteramkan hati dan bersikap biasa. Pemandangan di sepanjang perjalanan
nampak terang dan indah setelah kakak beradik ini berkumpul kembali, hati penuh rasa bahagia dan
tenteram. **** 27. Cinta Kasih Pangeran Yong-tee
"KELIRU, adik Eng "..! Kembali kau tidak curahkan perhatianmu ke dalam gerakan ini."
Gadis cantik jelita itu berhenti bersilat, menarik napas panjang lalu duduk di atas bangku dalam
taman bunga itu. Kembali ia menarik napas panjang dan menggunakan sehelai saputangan sutera
hijau menghapus peluh dari leher dan pipinya yang kemerah-merahan. Bibirnya menjadi merah
sekali karena pergerakan-pergerakan tadi, merah membasah, segar seperti buah masak. Sayang mata
yang jeli itu kini membayangkan rasa duka.
Si pemuda yang melatih ilmu silat, berdiri bengong. Bagaikan terkena hikmat luar biasa, ia berdiri
terpesona menatap wajah si gadis yang tertimpa sinar matahari pagi, wajah yang pada saat itu
demikian elok dan jelita seperti wajah bidadari.
Si gadis menengok, bertemu pandang. Cepat si pemuda menundukkan kepalanya.
"Eh, Sin-ko (kakak Sin)! Apa-apaan kau berdiri seperti patung di situ" Kau tentu kecewa, ya"
Memang otakku bebal, gerakan Heng-pai Kwan-im (Memuja Kwan Im Dengan Tangan Miring)
tadi bagiku amat sukar, Sin-ko."
Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Sin, sudah dapat menenteramkan hatinya. Ia mengangkat
muka, memandang kepada Bi Eng tenang-tenang. Keningnya agak berkerut.
"Bi Eng, adikku. Sebetulnya tidak ada barang sukar di dunia ini. Tergantung seluruhnya dari pada
besar kecilnya kemauan kita. Gerakan kaki dan tanganmu sudah tepat, pengaturan tenaga dan napas
juga sudah cocok sebagaimana mestinya. Akan tetapi, sayang sekali perhatianmu kurang tercurah
dalam gerakan itu. Ketahuilah, adikku. Seperti juga dalam mengerjakan sesuatu, di dalam ilmu
silatpun harus dipergunakan pencurahan pikiran ditujukan bulat-bulat kepada gerakan yang
dilakukan (konsentrasi). Karena hanya dengan konsentrasi ini, kita akan dapat melihat setiap
perubahan gerakan lawan dan dapat mengatur perkembangan gerakan kita sendiri."
Bi Eng tertawa. Gadis ini memang riang gembira sifatnya. Biarpun tadi matanya membayangkan
kedukaan, namun sekarang begitu giginya yang putih berderet rapi itu terlihat dalam ketawanya,
lenyaplah segala awan mendung. Cahaya matahari seakan-akan menjadi lebih gemilang. Dengan
lagak manja Bi Eng menyambar tangan Han Sin dan menariknya duduk di sampingnya, di atas
bangku. "Duduklah, Sin-ko, jadi enak kita mengobrol. Kau berdiri marah-marah seperti seorang guru yang
galak terhadap muridnya yang tolol!"
Mau tidak mau Han Sin tertawa juga. Kegembiraan Bi Eng selalu menjadi sinar dalam pondok
mereka, menjadi cahaya terang dalam kesunyian di puncak Gunung Min-san, menjadi cahaya yang


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu bersinar-sinar di dalam lubuk hatinya!
"Eh, Sin-ko. Kau ini sekarang seperti dewa saja. Bagaimana kau bisa menyelami pikiranku"
Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku tidak mencurahkan seluruh perhatian dan pikiran ke dalam
gerakan tadi padahal menurut kau sendiri, kaki tangan, tenaga dan napas yang kupergunakan sudah
tepat!" "Pandang matamu yang membuka rahasiamu, Eng-moi."
"Pandang mataku" Ada apanya sih yang aneh?" Gadis itu menengok menatap wajah kakaknya.
Muka mereka berdekatan, hati Han Sin kembali berdebar-debar aneh. Cepat-cepat ia memalingkan
muka. "Pandang matamu membayangkan sesuatu yang menyatakan bahwa di dalam pikiranmu kau
mengkhawatirkan sesuatu, membuat kau gelisah dan tak dapat mencurahkan seluruh perhatian ke
Senyuman Dewa Pedang 3 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Hati Budha Tangan Berbisa 14

Cari Blog Ini