Ceritasilat Novel Online

Kehidupan Para Pendekar 3

Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen Bagian 3


Angin pun berhembus pelan. Turut berduka atas pergi selamanya beberapa manusia penghuni Rimba Hijau. Beberapa diantaranya masih terlalu muda untuk berpulang.
Bagian 3 -- Yang Kembali dan Yang Tumbuh
Tertulis di atas secarik kertas terlipat-lipat itu kalimat-kalimat,
"Cari Seh Pratahu (Pratahu Tua) dan minta kesediaan Nah Pratahu (Pratahu Muda) untuk menyertai. Ramalan mereka kelihatannya menjadi kenyataan. Sayang terlambat untuk mencegahnya. Telah dilakukan hal-hal yang diusulkan. Hawa kembar mungkin bersatu."
Kesedihan tampak jelas di wajah pemuda itu. Kertas itu adalah pesan terakhir gurunya yang ditemukan oleh Coreng dan Moreng, kedua Manusia Tiga Kaki di balik jubahnya, saat akan memakamkan mereka. Ki Tapa gurunya dan keempat saudara-saudara seperguruannya di Rimba Hijau telah meninggalkan kehidupan di dunia ini. Kembali ke suatu tempat, untuk menanti bertemu dengan Sang Pencipta.
Didengarkannya dengan tabah penuturan Corang dan Moreng mengenai serangan yang dilakukan oleh orang-orang Perguruan Kapak Ganda yang dipimpin oleh tiga dedengkotnya, Cermin Maut, Sabit Kematian dan Mayat Pucat. Di luar sana, di Kota Luar Rimba Hijau mereka juga melakukan pekerjaan besar. Membantai hampir seluruh penghuni kota itu.
*** "Guru, saya tidak mengerti apa maksud dari ujar-ujar ini?" tanya seorang pemuda pada seorang tua yang duduk di balik meja kayu sederhana di depannya. Duduk di atas pembaringan yang terbuat dari kayu-kayu dan daun.
Orang yang dipanggil guru oleh pemuda itu tidak langsung menjawab, melainkan tampak berpikir sebentar untuk kemudian membungkuk dan menuliskan sesuatu dalam buku yang ada di pangkuannya.
Setelah menyelesaikan hasrat untuk menorehkan sesuatu dalam bukunya, ia meletakkan alat-alat tulisnya dan menengadah melihat pada sang pemuda, muridnya yang menanyakan sesuatu tadi.
"Ujar-ujar mana maksudmu?" tanyanya kemudian.
"Ini..," jawab pemuda itu sambil menunjuk sebuah buku yang tengah dibacanya. Sebuah buku tua dengan tulisan-tulisan yang aneh, bukan tulisan yang biasa dikenal di tanah di tempat mereka berdua bermukim.
"Hmmm....!" Tampak sang guru termenung sejenak, berkerut-kerut keningnya memikirkan kata-kata itu. Lalu ia pun bangkit dari pembaringannya. Berderit-derit ranjang itu berbunyi saat ia berlalu darinya.
Sang guru pun kemudian berjalan menghampiri sebuah perabotan yang berfungsi sebagai rak buku. Tempa ia menumpukkan kitab-kitab lainnya. Dipilih-pilihnya beberapa kitab yang berjejer di sana. Dibacanya satu per satu judul-judul di hadapannya. Sampai suatu saat ia berhenti, dan diambilnya sebuah buku bersampul merah tua yang tampak telah lama menghuni alam ini. Lusuh dan buram warnanya.
Lalu dibolak-baliknya buku bersampul merah tua tersebut, sampai ditemukannya suatu halaman. Raut mukanya berubah gembira. Telah ditemukan apa yang dicarinya. Beranjak ia kemudian ke arah meja kayu tempat sang murid sedang berada. Dihempaskannya buku itu ke atas meja. Debu-debu tampak sedikit beterbangan keluar dari buku tua tersebut. Kebiasaan menghempaskan buku yang mengandung sesuatu yang dicarinya dan telah ditumukan, memang benar-benar telah mendarah daging. Suatu perwujudan kegembiraan bisa menemukan suatu rujukan atau menandakan bahwa ingatannya masih jalan. Orang yang tidak mengerti tentu bisa merasa tersinggung atas sikap seperti itu.
Sang murid tampak tenang-tenang saja melihat kelakukan gurunya yang telah berulang-ulang kali disaksikannya itu.
"Ini, ada di sini.. apa yang engkau tanyakan tadi...," tunjuknya dengan bersemangat. Lalu lanjutnya sambil membacakan kalimat-kalimat yang ditemuinya, "... dapat disebut ruang, apabila ada yang dijadikan rujukan atau acuan. Dalam suatu kekosongan mutlak (tiada apa-apa dan siapa-siapa) tidak bisa didefinisikan ruang. Setidaknya harus ada dua (benda/hal) agar satu dapat dinyatakan terhadap yang lainnya. Rujukan menciptakan ruang .."
Sang guru membacakan beberapa kalimat yang dirasanya penting untuk diketahui oleh muridnya setelah ia kembali duduk di pembaringannya. Kemudian berlangsung diskusi dua arah antara guru dan muridnya tersebut. Percakapan mengenai arti dan makna ujar-ujar itu berlangsung cukup lama, sampai tiba-tiba terputuskan oleh suatu deru angin lemah dan berat. Samar-samar tapi jelas terdengar.
Bergegas sang guru beranjak dari tempatnya. Dibukanya pintu pondok di mana mereka berada. Ia berdiri di tengah-tengah pintu. Memastikan apa yang didengarnya barusan.
"Betul, itu suara air..," katanya gembira. "Mari kita jelang.. Kehidupan akan mulai muncul kembali.."
Masih tak mengerti sang murid pun mengikuti gurunya. Keluar menuju ke suatu arah dari pondokan mereka. Ke arah di mana di tengah-tengah gurun pasir tersebut, Gurun Besar, terdapat alur-alur batu-batu kecil di tengah-tengah lautan pasir yang membentang. Bekas sungai yang kering saat kemarau. Pada musim tersebut hanya danau tersebut yang tersisa. Lainnya kering. Binatang-binatang umumnya bermigrasi ke luar Gurun Besar untuk mencari tempat yang lebih subur dan banyak makanannya. Hanya sedikit hewan yang tidak bisa pindah jauh tetap bertahan dengan berlindung di balik batu-batu atau di dalam pasir.
Perlahan dengan mendesis pelan. Air mengalir pelan tapi pasti. Mengisi kembali jejak-jejaknya yang telah mengering. Jalur-jalur batu kecil tersebut bergulung-gulung terisi oleh air bercampur pasir yang mengalir. Memberikan kehidupan kembali di sepanjang alirannya. Suatu pemandangan yang indah. Rahmat yang tiada tara yang diberikan oleh Sang Pencipta.
Orang tua itu berdiri diam. Menikmati semua itu. Merasakan bagaimana hawa atau aura alam sekitarnya seakan-akan tergugah bangkit dengan munculnya aliran itu. Kehidupan renik-renik seakan-akan dibangunkan dari tidurnya. Dibebaskan dari tapanya. Diberitahu bahwa salah satu sumber kehidupan telah tiba kembali. Air.
Aliran itu mengalir cukup aneh. Hanya sedikit pecahannya yang menuju danau dekat pondokan kedua orang itu. Sisanya yang sebagian besar melaju terus menuju utara. Entah ke mana. Ke tengah-tengah Gurun Besar.
Tak terasa orang tua itu menitikkan air matanya. Terharu ia merasakan kedahsyatan alam dalam membangun kembali kehidupan. Benar-benar mengharukan hatinya.
Pemuda itu mau tak mau tergugah pula oleh suasana yang baru pertama kali ditemuinya itu. Ia pernah diceritakan oleh gurunya mengenai hal itu, akan tetapi baru kali ini ia mengalami sendiri. Umumnya peristiwa itu berulang setiap tahun. Akan tetapi sebelumnya ada saja keperluan gurunya yang harus dipenuhi, sehingga saat-saat aliran itu datang ia tidak berada di sana untuk menyaksikannya. Baru saat ini ia bisa melihatnya sendiri. Umumnya bila ia ada di sana, sungai itu telah ada atau sama sekali kering. Tidak seperti saat ini, terbentuk dari tiada menjadi ada.
Setelah lama aliran tersebut telah menghilang ujungnya di kejauhan. Di hadapan kedua orang itu terbentang sungai kecil yang dangkal dengan lebar dua tiga tombak akan tetapi membelah gurun itu dari selatan ke utara. Dari arah Gunung Berdanau Berpulau menuju ke tengah-tengah Gurun Besar. Ke suatu tempat di tengah sana.
"Sudah saatnya.., sudah saatnya..." orang tua itu seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri. Lalu ia menutup mata sebentar, seakan-akan mengheningkan cipta untuk bersyukur atas fenomena alam yang baru saja disaksikannya itu.
Hening. "Muridku..," panggil orang itu perlahan.
"Ya guru..," jawab sang murid hormat.
"Sudah saatnya aku ceritakan padamu tentang keluarga Pratahu. Keluarga orang-orang yang memiliki kemampuan untuk membaca masa depan, mendengarkan yang tak terdengar, mengendalikan sesuatu dengan pikiran, dan mencari tahu siapa-siapa anggota keluarganya..." Menarik napas sebentar orang tua itu. Kemudian lanjutnya, "cerita ini akan merupakan bekalmu nanti. Mencari paman dan sepupumu. Anggota keluarga Pratahu."
Kemudian diajaknya sang murid untuk beranjak dari sungai yang baru saja airnya mengalir kembali setelah melewati musim kering yang panjang. Dicarinya sebuah batu bundar besar datar yang di sisi-sisinya terdapat beberapa batu-batu bundar kecil. Lebih rendah dari batu pertama tersebut. Sembilan buah semuanya. Delapan yang kecil, mengelilingi satu yang besar. Tersusun secara alami, seakan-akan sebuah meja bundar dengan delapan buah bangkunya. Alami terbuat dari batu. Halus seakan-akan dikerjakan dengan tangan. Di sana-sini terdapat celah-celah yang ditumbuhi oleh lumut dan tumbuhan-tumbuhan perintis lainnya.
Orang tua itu kemudian duduk di salah satu bangku alam itu. Muridnya si anak muda duduk di sisinya. Di atas bangku alam yang lain. Siap mendengarkan kisah yang akan dibawakan oleh gurunya.
Sudah lama sejak beberapa ratus tahun yang lalu, di suatu tempat di Tanah Tongkat Ditanam Jadi Tanaman terdengar kabar akan adanya suatu keluarga yang pandai meramal. Melihat apa-apa yang akan terjadi di masa depan. Pratahu dikenal orang-orang. Keluarga tersebut umumnya tidak memiliki banyak orang dalam satu generasinya. Akibatnya keberadaan keluarga itu boleh dikatakan hampir-hampir seperti dongeng saja. Akan tetapi kadang-kadang terdapat peristiwa-peristiwa besar yang terjadi akibat adanya kisikan dari orang-orang yang berasal dari keluarga Pratahu ini.
Dalam satu jaman terdapat suatu kerajaan yang menguasai tanah ini. Kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang mengambil kekuasaan dari raja sebelumnya dengan cara paksa. Membentuk kerajaan baru dengan nama keluarganya sebagai nama era pemerintahan yang baru. Perebutan kekuasaan tersebut dilakukan dengan menuduh bahwa raja yang lama terlalu terlena dalam semangat nasionalis kerajaan sehingga menelantarkan rakyatnya. Raja yang lama hanya mengerjakan pembangunan-pembangunan menara gading. Pembangunan dengan tujuan agar dipuji oleh kerajaan tetangga Ingin dibilang pemerintahannya maju.
Dengan alasan ini raja yang baru, yang saat itu merupakan seorang senopati kepercayaan pula melakukan pembenaran atas tindakannya itu. Demi rakyat dan kerajaannya agar tidak terpuruk lebih dalam ke arah kekeliruan. Bersamaan dengan itu sang senopati pun menangkap belasan orang senopati-senopati utama yang rekannya sendiri, dan merupakan kawan-kawan dekat dan kepercayaan raja yang lama, untuk sama-sama dihabisi. Dituduh akan berkhianak kepada raja yang lama. Suatu kejadian yang sebenarnya pun sulit diterima oleh para rakyatnya.
Untunglah raja yang baru itu bersikap lebih baik. Rakyat dalam hal ini tidak dikorbankan. Hanya terjadi sedikit peristiwa berdarah dalam internal keprajuritan kerajaan. Korban dalam pihak tentara saja. Lain tidak. Kekuasaan pun berpindah dengan mulus.
Hanya saja orang-orang tidak tahu apa sebenarnya peristiwa di belakang itu. Sang senopati yang kemudian menjadi raja, mendapat kisikan dari salah seorang anggota keluarga Pratahu bahwa ia bisa menjadi penguasa, apabila melakukan gerakan pada saat yang tepat. Ia pun diberikan petunjuk-petunjuk tersirat dalam syair-syair. Dikarenakan bakatnya yang memang cerdas, sang senopati pun bisa memecahkan syair-syair tersebut dan memperolah apa yang diinginkannya.
Akan tetapi kemudian terbersit suatu pikiran gila yang umumnya menghinggapi orang dalam tampuk kekuasaannya. Sang raja yang baru itu merasa takut, jika anggota keluarga Pratahu mencari orang lain dan memberikan kisikan yang sama atau mirip seperti dirinya. Bisa jadi kekuasaan akan berpindah dari tangannya ke orang tersebut. Hal ini harus dicegah. Untuk itu ia memerintahkan untuk mencari seluruh keluarga Pratahu dan membunuhnya. Demi hanya untuk melanggengkan kekuasaannya.
Terjadilah bencana tersebut. Seluruh keluarga Pratahu hampir dibasmi. Hampir habis dan musnah dari muka bumi. Seorang yang berhasil selamat mengungsikan dirinya di gurun pasir, Gurun Besar. Bertahan di sana selama bertahun-tahun. Bersembunyai di gua-gua batu dalam pasir yang kadang-kadang muncul, kadang-kadang hilang tertelan pasir. Dengan cara itu ia bisa bertahan dan tidak didapati oleh tentara kerajaan.
Orang terakhir itu bernama Kas Pratahu (Pratahu Terakhir). Dengan adanya niatan raja untuk membasmi seluruh keluarganya, sulit baginya untuk melanjutkan keturunan. Akan tetapi tanpa keturunan ia tidak bisa mewariskan kemampuan keluarga Pratahu kepada orang-orang. Ramalannya tidak bisa dimanfaatkan.
Pada suatu malam, ia didatangi oleh roh-roh leluhurnya dan juga anggota keluarga Pratahu yang mati dibantai oleh para prajurit kerajaan atas perintah raja. Dalam mimpi tersebut ia diberi kisikan agar menjalankan ilmu leluhurnya yang sudah lama tidak digunakan. Keluarga Semesta. Ilmu itu membuka aliran keturunan keluarga Pratahu agar bakat dan ilmu mereka tidak lagi perlu diturunkan melalui pertalian darah, melainkan melalui pertalian aura atau hawa.
Setelah ilmu Keluarga Semesta itu dirapalkan, Kas Pratahu tinggal mengembara mencari "anaknya". Bisa berada di tanah ini, bisa pula di seberang pulau. Bisa berasal dari suku yang sama, bisa pula berbeda. Bisa anak laki-laki, bisa pula anak perempuan. Ia hanya harus berkelana, mencari-cari tanda-tanda yang menunjukkan seorang anak adalah anggota keluarga Pratahu. Keluarga yang ditunjukkan oleh ilmu Keluarga Semesta. Dengan cara ini Kas Pratahu tidak perlu lagi berkeluarga. Ia tinggal mencari anak yang dimaksud. Mendidiknya secara diam-diam bila anak itu masih berkeluarga. Bila telah yatim piatu lebih mudah, tinggal diambilnya sebagai murid.
Begitulah tiga ratusan tahun belakangan ini keluarga Pratahu berkembang satu persatu melalui cara ini. Sampai saat ini baru ada empat orang, Seh Pratahu dan Nah Pratahu serta dua orang lainnya.
Nah Pratahu sendiri ditemukan oleh Seh Pratahu sebagai anak yang baru saja ditinggal mati oleh kedua orang tuanya yang dibunuh oleh perampok. Anak itu kemudian terlunta-lunta di jalanan di sekitar sisa-sisa rumahnya yang telah hancur terbakar. Seperti seorang yang tidak lagi punya keinginan atau tahu apa yang akan dilakukannya dalam hidup ini. Sampai lewatnya Seh Pratahu.
Si orang tua itu kemudian menguburkan jasad orang-orang yang tergeletak di sekitar situ. Menggapai si anak dan menenangkannya. Pada saat itulah ia melihat tanda-tanda pada anak itu yang menyatakannya sebagai keturunan dari Pratahu. Keturunan akibat ilmu Keluarga Semesta.
Seh Pratahu kemudian mengangkat si anak yang kemudian diberi nama Nah Pratahu menjadi muridnya. Menurunkan ilmu-ilmunya. Melatihnya agar dapat menjadi penerusnya kelak.
Hari inilah baru kisah turun-temurun keluarga Pratahu dibeberkan oleh Seh Pratahu kepada Nah Pratahu. Dan bahwa akan menjadi kewajibannya kelak untuk mewariskan ilmunya pada orang-orang yang ditandai merupakan keturunan atau keluarga mereka.
"Jadi guru..., adalah ayahku dalam keluarga Pratahu..," ucap anak muda itu tersekat. Tak disangkanya bahwa ia masih dapat memiliki seorang ayah. Bukan ayah akibat pertalian darah, melainkan ayah karena pertalian aura atau hawa.
Mendengar pertanyaan penuh haru itu, Seh Pratahu hanya mengangguk. Terbersit pula rasa haru di dadanya. Ia kini punya seorang anak. Rahasia telah dibeberkan. Pemuda itu bukan lagi sekedar muridnya, melainkan anak dalam ilmu Keluarga Semesta.
Tak tahan dengan keharuannya dan juga rasa hormatnya pada sang orang tua, pemuda itu pun berlutuh. "Ayah....," ucapnya sambil bersujud.
"Anakku..," jawab sang ayah sambil turun menyambut sujud anaknya. Dielus-elusnya kepala sang anak dan kemudian dipeluknya. Dialirkan rasa sayangnya yang selama ini ditahan-tahannya. Lega rasanya setelah rahasia ini diberitakan.
"Ayah, jika dalam keluarga Pratahu aku adalah anakmu, mengapa baru saat ini ayak katakan dengan selama ini ayah menjaga jarak padaku sebagai guru..," tanya anaknya tak mengerti.
Sambil tersenyum sang ayah berkata, "tak mudah untuk melakukan hal itu, anakku. Engkau sudah memiliki orang tua saat aku temukan, walau mereka baru saja tiada saat itu. Sudah tentu telah terpatri dalam ingatanmu akan mereka. Perlu waktu agar engkau dapat menerimaku sebagai ayah dalam keluarga Pratahu." Lalu lanjutnya, "demikian pula dengan aku. Engkau pada awalnya adalah orang asing. Seorang anak yang aku temui dalam perantauan. Syukurnya rasa sayang ini dapat tumbuh, sehingga aku benar-benar dapat merasakan bahwa engkau adalah anakku dalam keluarga."
Rasa sayang dan cocok yang tidak dikatakan terpancar dari kedua sosok manusia itu. Kecocokan yang menandakan bahwa mereka bertalian aura dalam keluarga Pratahu.
*** Tak terasa waktu telah lama berlalu. Sudah hampir setahun lewat Telaga berdiam di rumah Walinggih. Di sana ia belajar ilmu-ilmu pedang yang dikenal sebagai ilmu Pedang Panjang, ilmu yang membuat Walinggih dikenal sebagai Hakim Haus Darah. Dikarenakan lihai dan juga kejam. Tapi itu dulu, sekarang ia tidak lagi kejam setelah memperoleh seorang murid dan juga seorang teman, Telaga.
Selain belajar ilmu Pedang Panjang dari Walinggih, Telaga juga belajar ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan dari Arasan dan putrinya, Sarini. Kedua orang itu adalah orang-orang pertama yang akrab dengannya di daerah di mana ia bermukin saat ini. Dan sebagai tambahan ia mendapat pula sedikit operan tenaga dalam dari Wananggo, kakak Walinggih saat ia bertemu dengan Telaga di Danau Genangan Batu.
Di Padang Batu-batu jauh lagi ke selatan dari kedua desa, Desa Batu Barat dan Desa Batu Timur, terdapat suatu ceruk atau jurang dalam yang di mana sebagian aliran sungai masuk ke dalamnya. Lubangnya amat lebar dengan di tengahnya terdapat lubang yang jauh lebih kecil yang dalam dan gelap. Tak bisa diduga berapa dalam dan jauhnya.
Akibat tercurahnya air ke dalam lubang yang dipinggirnya dihiasi batu-batu itu, terciptalah sedikit air terjun dengan ketinggian satu-dua tombak.
Pagi hari itu Walinggih dan muridnya Telaga berada di sana. Walinggih ingin menunjukkan sesuatu pada Telaga. Suatu fenomena alam yang membuatnya menciptakan suatu gerakan silat dalam rangkaian ilmu Pedang Panjangnya.
"Mari..!" Walinggih sambil menggapai Telaga. Ia melompak ringan dari satu batu ke batu lain. Tak lupa diberikan syarat agar Telaga tidak menimbulkan banyak suara, agar apa yang diamati tidak menjadi takut dan hilang.
Tak lama kemudian mereka tampak merebahkan dirinya di atas sebuah batu ceper hitam di pinggir air terjun yang ada di sana. Percikan-percikan air terasa menghujani mereka, membuat mau tak mau baju-baju mereka menjadi basah. Walaupun merasa aneh Telaga masih berdiam diri untuk mengikuti apa yang akan disaksikannya nanti.
Hening. Hanya terdengar deburan air-air yang berjatuhan akibat gaya tarik bumi menghantam batu-batu dan rekan-rekan sesama air dibawahnya.
Tiba-tiba tampak kilauan-kilauan di udara jauh di sana. Mengambang. Semakin lama semakin banyak sehingga membentuk kabut. Bukan uap air atau pun butiran air. Seperti makhluk hidup. Kadang padat di satu tempat kadang di tempat lain. Bergerak lambat memenuhi ruang di atas suatu batu dekat dengan air terjun. Di seberang dari tempat di mana Telaga dan Walinggih bersembunyi mengamati.
"Itu makanannya datang..," tunjuk Walinggih pada muridnya.
Telaga yang tidak mengerti berusaha memicingkan matanya agar dapat lebih jelas melihat. Tak disadarinya ia bergeser maju dengan kepala yang agak meninggi. Tidak lagi ingat bahwa ia dan gurunya harus bersembunyi untuk mengamati apa yang akan datang di seberang mereka.
"Huggg..!!" dengan cepat dan tiba-tiba Walinggih menekan punggung muridnya agar kembali bertiarap sembunyi, supaya apa yang mereka akan amati tidak terganggu. "Jangan ketahuan..!" ucapnya.
"Maaf, guru!" sahut Telaga lirih. Lupa apa yang telah dipesankan gurunya sebelumnya saking tertariknya dengan apa yang dilihatnya saat itu.
Gurunya kemudian memberi isyarat dengan tangan untuk kembali mengamati batu-batu yang ada di sana, yang dipisahkan oleh sungai yang jatuh di antara mereka dan batu-batu itu.
Setelah agak lama kilauan-kilauan di udara, yang ternyata ada serangga kecil-kecil yang memanfaatkan percikan-percikan air, beterbagangan, muncul makhluk hidup lain yang amat aneh. Belum pernah Telaga melihat sebelumnya. Semacam kadal seukuran setengah telapak tangan lebarnya, akan tetapi dengan panjang ekornya bisa satu sampai satu setengah kali panjang tubuhnya. Hal lain yang membuatnya terkagum-kagum adalah warna dari makhluk itu. Warna pelangi. Warna kemerahan berada di kepalanya berangsur-angsur berubah seperti pelangi sampai menjadi biru keunguan di ujung ekornya. Benar-benar indah. Kadal Pelangi (Agama agama). Mereka bergerak-berak, keluar dari sela-sela batu untuk mendaki batu mencapai permukaan yang dekat dengan serangga-serangga yang sedang menari-nari di udara.
"Apa itu guru..?" tanya Telaga, "kita ke sini hanya untuk menyaksikan itu..?"
"Ssst..!" jawab gurunya sambil kembali memberikan isyarat untuk kembali memperhatikan Kadal-kadal Pelangi itu.
Tak berapa lama berkumpul banyak kadal-kadat tersebut di atas batu yang di atasnya menari-nari serangga-serangga yang membentuk kabut keputihan saking banyaknya. Kemudian kadal-kadal itu mulai meloncat-loncat menggapai serangga-serangga yang beterbangan dengan moncongnya. Memangsanya. Rupanya saat itu adalah saat mereka melaksanakan kegiatan makan mereka.
Berpuluh-puluh Kadal Pelangi berlompat-lompatan dengan indah. Kadang ada yang sampai berjungkir balik. Anehnya mereka dapat dengan mudah kembali lagi ke posisi semula di atas batu tanpa terbalik. Dan juga bagi Kadal Pelangi yang kebetulan berada pada bebatuan yang tidak mendatar, melainkan miring, terjadi hal yang sama. Mereka melompat dan kemudian kembali lagi ke tempat kira-kira mereka awalnya berpijak. Entah bagaimana caranya, terlihat seakan-akan mereka memiliki magnit pada tempat pijakannya semula. Melombat ke atas dan kembali.
Setelah beberapa lama menyaksikan tingkah polah kadal-kadal tersebut, Walinggih pun beranjak pergi. Digugahnya bahu muridnya agar mengikutinya. Mereka pun meninggalkan dengan diam-diam kadal-kadal tersebut yang masih melompat-lompat memangsa serangga-serangga makanan mereka.
Keduanya kembali berloncatan dari batu ke batu meninggalkan ceruk atau jurang di mana terdapat air terjun tadi. Tak lama kemudian sampailah mereka di pelataran batu yang cukup luas. Di sekelilingnya masih tampak bebatuan menyemut dan meninggi. Suatu ciri khas tempat di daerah Padang Batu-batu.
Walinggih pun mengambil suatu batu menonjol di tengah pelataran itu untuk duduk. Tak lupa ia menyenderkan pedang panjang yang selalu dibawa-bawanya. Telaga pun mengikuti dengan mengambil tempat duduk di dekat gurunya. Di atas batu kecil yang lain.
"Bagaimana pendapatmu tengang Kadal-kadal Pelangi tadi?" pancing gurunya. Ia ingin menguji kepekaan muridnya atas apa yang baru saja mereka berdua saksikan.
"Indah," sahut Telaga pendek. Lalu lanjutnya, "tapi ada yang membingungkanku, guru."
"Apa itu?" tanya gurunya. Ia berharap muridnya dapat menarik pelajaran dari gerakan-gerakan Kadal Pelangi yang melompat-lompat memangsa serangga-serangga tadi.
"Gerakan mereka. Bagaimana caranya mereka bisa bergerak ke atas, kadang terbalik akan tetapi dapat kembali pada kedudukannya semula. Mantap dan kokok. Bahkan pada Kadal Pelangi yang berpijak di batu yang miring," terang Telaga.
Gurunya mengangguk-angguk. Puas ia melihat bahwa muridnya menangkap sesuatu fenomena yang baru saja mereka saksikan bersama. Alih-alih menerangkan dengan kata-kata Walinggih menarik keluar pedang panjangnya, berjalan menjauhi tempat mereka duduk dan mulai membuat suatu gerakan-gerakan pada daerah terbuka itu.
Pelan dan teratur, akan tetapi kemudian semakin lama gerakan-gerakannya menjadi semakin cepat dan liar. Dan pada suatu saat, setelah cukup mendapat kecepatan dan hawa, Walinggih melompat ke atas terbalik. Menyabetkan pedangnya ke suatu obyek khayalan di udara. Menyentakkannya kembali ke belakang. Dan berjungkir balik kembali. Mendarat dengan kakinya kembali, ke posisi semula di mana ia awalnya melompat. Dan tidak hanya itu, dengan memanfaatkan tolakan saat mendarat yang diolah oleh kakinya yang berfungsi seakan-akan sebagai pegas, ia kembali melompat pada arah yang berlawanan, menyabetkan pedangnya ke atas dan menghentak kembali untuk mendarat ke tempat ia tadi melompat. Gerakan-gerakan ini diulang-ulangnya beberapa kali, sempai hampir habis napasnya.
Akhirnya Walinggih pun berhenti. Berbutir-butir peluh nampak berjatuhan dari sekujur tubuhnya. Rupanya diperlukan pengeluaran tenaga yang cukup besar untuk mempraktekkan gerakan itu. Bagian dari ilmu Pedang Panjang.
Ternganga Telaga melihat demonstrasi itu. Gerakan-gerakanya yang mirip yang dilakukan oleh Kadal-kadal Pelangi tadi, saat mereka memangsa serangga-serangga yang memenuhi udara.
"Guru, barusan tadi..," tanya Telaga yang tidak bisa menyembunyikan kekagumannya atas gerakan gurunya tadi.
"Gerakan itu kunamai.. Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi," katanya jenaka. "Mirip dengan kelakuan-kelakuan kadal-kadal yang baru kita saksikan tadi."
"Kupikir, dalam ilmu Pedang Panjang, hanya Sabetan Tunggal Menuai Dua saja yang paling ampuh. Yang barusan guru tunjukkan, benar-benar lebih dari itu," ucap Telaga kagum.
"Sebenarnya juga tidak," jelas gurunya, "Sabetan Tunggal Menuai Dua bisa dibilang merupakan gerakan mendatar dari Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi yang geraknya hanya vertikal. Dengan tidak meredam laju saat melakukan satu serangan, akan tetapi memanfaatkannya. Membelokkannya pada arah yang berlawanan, sehingga dapat membingungkan lawan. Selain itu pengguna gerakan juga tidak harus mengeluarkan terlalu banyak tenaga untuk membelokkan gerakannya secara drastis, karena sebenarnya hanya memutarnya saja."
Mengangguk-angguk Telaga mendengarkan penjelasan yang diberikan oleh gurunya itu.
"Mari," kata gurunya yang tidak memberikan kesempatan muridnya untuk lebih bertanya-tanya. Bagi Walinggih praktek melakukan gerakan-gerakan lebih penting. Setelah bisa, baru perlu pemahaman teoritis. Tidak ada gunanya teori bila tidak bisa melakukan prakteknya. Teori ada untuk menyempurnakan praktek dan bukan sebaliknya.
Walinggih pun kemudian menjelaskan pada Telaga muridnya bagaimana Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi itu dilakukan. Pertama-tama dibutuhkan dulu gerakan awal untuk membangkitkan hawa dan juga kecepatan. Otot-otot manusia yang diciptakan tidak sama dengan otot-otot Kadal Pelangi, dapat menyebabkan kerusakan atau kram apabila dipaksakan mendadak untuk melakukan gerakan-gerakan tersebut. Untuk itu Walinggih telah menciptakan gerakan-gerakan pemanasan. Tapi jangan dikira gerakan pemanasan ini tidak berguna. Gerakan pemasanan itu selain untuk pelemasan dan penghimpunan hawa, juga berguna sebagai ilmu pertahanan diri. Membuat lawan menjadi bingung karena sifatnya yang pelan akan tetapi kemudian menjadi liar.
Dengan susah payah Telaga berusaha memahami gerakan-gerakan yang ditunjukkan oleh gurunya. Dicobanya menirukan dan melakukannya. Lambat-laun dirasakan ada posisi-posisi yang enak untuk diulang-ulang. Posisi-posisi ini membuatnya lebih mudah untuk mengingat-ingat gerakan-gerakan yang dilakukannya.
Mengangguk-angguk Walinggih bahwa Telaga telah dapat sedikitnya menyelami satu dari empat bagian ilmunya. Tinggal waktu yang diperlukan untuk mematangkan gerakan-gerakan tersebut.
Saat itu hari telah menjelang siang. Matahari telah tinggi di langit. Waktu untuk mencari makan. Umumnya orang-orang di daerah itu jika tidak mencari-cari sayur-sayuran di hutan, mereka menangkap binatang-binatang yang ada. Tidaklah bisa disebut hutan, karena tempat yang dimaksud masih didominasi oleh bebatuan dan hanya sedikit pohon-pohon yang tumbuh di atas batu-batu yang memayungi ruang di bawahnya, sehingga menjadi lebih teduh dan gelap.
Siang itu Walinggih berencana untuk pergi ke Danau Genangan Batu dan daerah sekitarnya untuk menangkap Keuyeup dan ikan Julung-julung untuk dibuat Peyek. Jika beruntung ikan Beunteur pun mungkin dapat diperolehnya. Ikan yang terakhir ini sering juga disebut sebagai ikan kepala timah karena di kepalanya ada bagian yang berwarna kelabu seperti warna timah pada umumnya.
Setelah berpesan agar Telaga kembali mengingat-ingat gerakan yang baru saja diajarkannya Walinggih pun berlalu dari situ. Telaga masih tampak berpikir keras untuk menuangkan ingatannya pada gerakan-gerakan yang baru saja ditunjukkan gurunya itu.
*** "Sudah cukup kelihatannya Tenaga Air yang engkau pelajari, nak Lantang," ucap Ki Sura, "sudah hampir tiga tahun engkau bersama kami di sini. Sudah waktunya pula kita berpisah."
Menghela napas Nyi Sura mendengar perkataan suaminya, teringat ia pada anaknya Telaga yang sedang merantau ke selatan. Entah kapan mereka dapat bersua kembali. Dan anak ini, Lantang yang seolah-olah sebagai pengganti Telaga, haruslah pula berpisah. Dan ini memang kehendak suaminya, agar ia dapat meluaskan pengalamannya dan juga sebagai pelaksanaan tugas dari gurunya, Rancana si Bayangan Menangis Tertawa agar mencari dirinya setelah tamat belajar di Pulau Tengah Danau di Gunung Berdanau Berpulau.
"Tapi guru berdua..," tak sanggup Lantang melanjutkan kata-katanya. Rasa sayang kedua orang tua itu yang ditunjukkan saat mereka mengajarkannya Tenaga Air benar-benar telah menorehkan hubungan yang lebih dari murid dan guru dalam hatinya. Berat rasanya apabila ia harus berpisah dengan mereka.
"Kami akan baik-baik saja, tak perlu engkau kuatir, nak Lantang," Ki Sura berusaha berkata arif, menekan rasa harunya yang muncul melihat keenganan sang anak untuk berpisah dari mereka. Mereka berdua telah menganggap Lantang sebagai anaknya sendiri. Adik dari Telaga.
"Kamu tahu 'kan, bahwa gurumu Rancana masih berupaya agar jalan darahmu dapat berjalan lancar kembali. Ia mencari orang yang dapat menyembuhkannya. Konon kabarnya berdiam seorang keturunan Petapa Seberang di timur sana. Rimba Hijau. Kemungkinan gurumu bertandang ke sana..," jelas Ki Sura.
"Siapa nama orang yang tinggal di Rimba Hijau itu, ki?" tanya Lantang. Ia belum pernah diceritakan gurunya bahwa ada tempat seperti Rimba Hijau itu di timur.
"Orang-orang menyebutnya Ki Tapa," Nyi Sura yang menyahut. "Kami dulu sekali pernah bertemu dengannya. Ia pernah menyembuhkan kami saat kami salah melatih Tenaga Air. Ilmu yang dikuasainya bersumber dari kitab Jalan Selaras dengan Alam Semesta. Sebetulnya tidak ada hubungan langsung dengan Tenaga Air selain pemanfaatan gerakan-gerakannya yang luwes seperti air mengalir. Selain itu ia juga memiliki Jurus Air. Jurus yang berisikan gerakan-gerakan yang memanfaatkan sifat-sifat air dalam gerakannya."
"Apakah Ki Tapa adalah saudara perguruan Ki dan Nyi Sura?" tanya Telaga, "melihat bahwa nama ilmunya sama-sama menggunakan kata 'Air'. Atau ada hubungan dengan guru Rancana, melihat ilmunya bersumber dari kitab yang sama."
"Engkau memang cerdas, nak Lantang," jawab Ki Sura gembira, "akan tetapi walaupun namanya sama-sama air, akan tetapi keduanya, Jurus Air dan Tenaga Air tidak berhubungan secara langsung. Entah di awal-awalnya. Kami berguru pada orang yang berbeda dan masing-masing diwujudkan pada praktek yang berbeda. Jurus air adalah suatu ilmu beladiri, sedangkan Tenaga Air hanyalah ilmu hawa atau tenaga dalam. Mengenai hubungan dengan gurumu, kami tidak tahu. Lebih baik engkau tanyakan sendiri padanya nanti bila bertemu."
Mereka kemudian terdiam sejenak.
"Saat itu kami bertiga, kami pernah mencoba apakah Tenaga Air dapat digunakan dalam Jurus Air, ternyata bisa. Tapi tidak untuk semua gerakan. Entah gerakannya yang tidak murnni ataupun tenagannya yang tidak murni. Karena buntu akhirnya kami pun tidak melanjutkannya," lanjut Nyi Sura saat melihat bahwa pandangan Lantang masih mengisyaratkan kelanjutan dari kisah itu.
"Lalu bagaimana Ki Tapa itu dapat menyembuhkan guru berdua, apabila ia tidak bisa Tenaga air?" tanya Lantang bingung.
"Memang ia tidak bisa Tenaga Air, akan tetapi dari gurunya ia memperoleh ilmu pengobatan yang pada dasarnya diambil dari pemanfaatan energi dari empat elemen, yaitu air, tanah, udara dan api. Dengan berbekal pengetahuan ini ia dapat mengobati luka dalam yang kami derita," terang Ki Sura.
Lantang mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan itu. Suatu hal yang menarik bahwa ada ilmu Tenaga Air dan juga Jurus Air. Akan tetapi keduanya tidak berkaitan secara langsung.
"Jadi bagaimana rencanamu, nak Telaga" Apa akan langsung menyusul gurumu ke Rimba Hijau atau hendak berputar dahulu menambah ilmu?" goda Nyi Sura. Di masa mudanya Ki dan Nyi Sura ini juga senang berpetualan merantau ke sana ke mari. Baru setelah seorang berilmu tinggi meminta mereka menjadi pewaris Tenaga Air, mereka berdiam diri di Gunung Berdanau Berpulau. Menunggu saat yang tepat untuk mewariskan ilmu-ilmu mereka. Dengan adanya Telaga anak mereka dan juga Lantang, sudah genap janji mereka bahwa ilmu Tenaga Air harus diwariskan kepada dua orang. Untuk menjaga apabila satu diantaranya meninggal terlebih dahulu, yang lain dapat menjaga dan mewariskannya pada orang yang bertulang dan berperangai baik.
"Janganlah kau goda nak Lantang ini," senyum suaminya, "biarlah ia berputar-putar dulu baru ke timur. Anak muda harus menimba ilmu dari menjalani kehidupan ini sendiri. Jangan kenyang hanya dengan petuah-petuah teoritis akan tetapi miskin pengalaman dan praktek."
Kedua orang tua itu pun kemudian tertawa hampir bersamaan. Lantang hanya tersenyum saja menyaksikan kelakuan kedua gurunya. Meskipun mereka telah sama-sama berusia lanjut, tapi gaya dan cara mereka bicara masih seperti orang-orang muda. Tidak terlalu terikat akan adat sopan-santun kebanyakan orang.
Ki dan Nyi Sura pun kemudian berpesan apa-apa yang harus diperhatikan telaga di rantau nanti. Jangan mencari-cari masalah, karena hal itu tidak baik. Selain itu pula ia belum dapat menggunakan tenaga dalamnya. Walaupun telah dilatih Tenaga Air oleh Ki dan Nyi Sura, dan juga Jalan Selaras dengan Alam Semesta oleh Rancana, Lantang hanya dapat menggunakan tenaga kasarnya dan tidak tenaga yang terhimpun di pusarnya. Ada suatu sebab, yang belum diketahui yang menghambat aliran hawa dalam tubuhnya. Selain itu Ki dan Nyi Sura, kedua gurunya pun berpesan agar jika bertemu dengan Telaga, menyampaikan rasa kangen dan sayang dari mereka.
Lantang mengangguk-angguk mengiyakan apa-apa yang dipesankan kepadanya. Ia akan pergi dari pulau itu keesokan paginya. Pagi-pagi sekali. Kepada kedua gurunya ia pamit saat itu juga karena mereka biasanya pada saat pagi-pagi seperti itu sedang tenggelam dalam samadinya, dan baru beranjat menjelang tiga perempat siang.
Hanya satu ganjalan yang masih ada ada di hati Lantang, yaitu Xyra. Xyra adalah seorang atau sesosok Undinen yang telah akrab dengan dirinya sejak semula ia datang ke tempat ini, Pulau Tengah Danau. Dengan bantuan Xyra Lantang dapat lebih cepat memahami Tenaga Air. Xyra sebagai makhluk yang termasuk dalam Roh-roh Air memiliki Tenaga Air dalam dirinya secara alamiah. Ia dapat dengan mudah membangkitkannya dan menunjukkannya pada Lantang, sehingga pemuda itu dapat merasakan dan mencoba untuk menirukannya, walau di dalam bawah sadar, mengingat ia tak mampu untuk mewujudkannya karena aliran darahnya masih tersumbat.
Ki dan Nyi Sura telah dapat menemukan suatu cara agar Lantang yang jalan darahnya tersumbat dapat masih mempelajari Tenaga Air, yaitu melalui mimpi. Dalam mimpi dapat dibangun jalan darah-jalan darah khayalan yang lancar dan dapat diatur sesuka hati. Dengan cara ini pengetahuan Lantang mengenai Tenaga Air dapat dilatih. Dewasa ini mungkin mirip dengan apa yang dikenal orang sebagai simulator.
Xyra pun berdasarkan kemampuan alamiahnya dapat berhubungan dengan Lantang melalui mimpi. Ia dapat menunjukkan bagaimana corak-corak aura dari Tenaga Air pada berbagai keadaan dan posisi. Dengan kerja sama ini, Lantang memperoleh kemajuan pesat akan pemahaman terhadap Tenaga Air. Lebih alami dibandingkan Ki dan Nyi Sura.
Dan sekarang Lantang hendak meninggalkan tempat ini. Sudah terasa berat untuk berpisah dengan kedua gurunya, Ki dan Nyi Sura. Terasa pula berat untuk berpisah dengan Xyra, sesosok yang boleh dikatakan teman main seumurnya di tempat itu. Ia tidak tahu bagaimana harus mengatakan hal ini kepadanya.
Perlahan ia berjalan mencoba untuk mencari-cari kata-kata yang bisa diucapkan pada Xyra bahwa kepergiannya ini bukanlah selamanya. Suatu saat ia mungkin kembali. Dan mereka dapat kembali bersua. Tapi sampai di ceruk di bawah Sungai Batu Hitam, tak satu pun kata-kata untuk perpisahan itu yang dapat ditemuinya. Lantang tak tahu apa yang harus dikatakannya pada Xyra, Undinen temannya mengenai kepergiannya itu.
Sesampainya di sana tak dijumpainya kawannya itu. Aneh. Biasanya pada waktu-waktu seperti ini Xyra pasti menantinya di sana. Untuk kemudian berlatih bersama-sama Tenaga Air sampai menjelang dini hari. Berlatih dalam mimpi Lantang.
Lantang pun berusaha memanggil-manggil, dikerahkannya suaranya. Tapi tidak ada sahutan. Akhirnya ia pun duduk terpekur. Biarlah pikirnya, ini pun lebih baik. Ia tidak harus menjelaskan hal yang sulit itu kepada Xyra. Mungkin nanti Ki dan Nyi Sura yang dapat menjelaskannya.
Setelah mantap dengan apa yang dipikirkannya Lantang pun mulai berkemas. Barang-barang miliknya tidak banyak, sehingga tidak dibutuhkan banyak waktu untuk mengumpulkannya. Setelah selesai hari pun telah menjelang senja. Ia pun beranjak kembali menemui Ki dan Nyi Sura untuk makan malam. Setelah itu ia akan menghabiskan waktunya untuk Mengheningkan Cipta dan tidur sampai besok pagi. Mempersiapkan fisik dan juga batinnya untuk perjalanan nanti.
*** "Anakku Nah, perhatikan apa yang bisa aku lakukan dengan benda-benda di atas meja ini!" ucap Seh Pratahu pada anaknya Nah Pratahu. Ia berkonsentrasi sebentar untuk kemudian menunjuk pada sebuah batu yang ada di hadapannya. Batu itu tambak bergerak sedikit, berputar. Lalu naik ke udara dan kemudian kembali menyentuh meja.
Setelah itu Seh Pratahu menunjukkan jarinya ke pada sebuah kertas yang terletak di atas meja itu, kertas itu bergerak-gerak seakan-akan tertiup angin, dan mendadak "wwwwrrrrt!" kertas itu pun terbakar. Terlonjak Nah Pratahu menyaksikan hal itu. Tak percaya dihampirinya kertas yang telah menjadi hitam itu. Remah-remah gosong tampak menghiasi tangannya.
Belum selesai dengan demonstrasinya, Seh Pratahu kemudian kembali menunjukkan jarinya kepada sebuah gelas yang berisi air, lama ia berupaya berkonsentrasi, sampai akhirnya dimintanya anaknya untuk menuangkan air dari dalam gelas itu keluar. Tidak berhasil. Alih-alih mengalir, air dalam gelas itu telah membeku semuanya. Menjadi es.
Kekaguman terpancar dari wajah Nah Pratahu menyaksikan kebisaan ayahnya dalam memanipulasi keadaan dari obyek-obyek di sekitarnya yang berkaitan dengan sifat empat elemen.
"Ini namanya Hawa Pikiran (telekinetik), dengan hanya berpikir engkau dapau melakukan sesuatu. Membuat api, membekukan air, mengangkat benda-benda dan bahkan bergerak cepat atau menghilang." Seh Pratahu kemudian menjelaskan hal-hal lain yang bisa dilakukan dengan menggunakan kekuatan otak atau pikiran.
"Tapi ayah.., apa bedanya dengan Hawa Tenaga Dalam -- yang juga bisa membuat orang berlari cepat dan memukulkan hawa dingin dan panas?" tanya anaknya ingin tahu. Dari buku-buku yang dibacanya, Nah Pratahu telah mengenal ilmu-ilmu yang dituliskan oleh para Pengujar Tua, ilmu-ilmu tenaga dalam dan bela diri yang amat ajaib bagi telinganya.
"Pada prinsipnya sama. Keduanya memanfaatkan energi dari empat unsur yang ada di alam, yaitu Unsur Air, Unsur Api, Unsur Angin dan Unsur Tanah," jelas sang Ayah, "hanya saja Hawa Pikiran tidak melatih otot-otot untuk mengerakkan energi-energi tersebut melainkan hanya pikiran. Lain dengan ilmu beladiri yang membangkitkan energi dari empat elemen dengan perantaraan hawa dari pusat. Suatu tandon sumber tenaga, kira-kira empat jari di bawah pusar."
Mengangguk-anguk Nah mendengarkan petuah dari Seh mengenai perbedaan dari Hawa Pikiran dan Hawa Tenaga Dalam. Dikatakan pula bawa Hawa Tenaga Dalam digerakkan pula oleh pikiran tapi hanya dalam perputarannya di dalam tubuh tidak diluarnya. Untuk mengeluarkannya dibutuhkan gerakan-gerakan tertentu. Lain dengan Hawa Pikiran yang tidak membutuhkan gerakan-gerakan tertentu untuk memanifestasikan energinya di luar tubuh.
Seh pun kemudian mengajari bagaimana Nah dapat mempelajari pengolahan Hawa Pikiran sehingga ia dapat memanfaatkan energi-energi dari empat elemen untuk memanipulasi benda-benda di sekitarnya.
Selain itu Seh mengajarkan pula apa yang disebut melihat Hawa Getaran (aura) yang ada atau dimiliki oleh setiap benda mati ataupun hidup. Hawa Getaran ini merupakan sifat alamiah dari benda-benda. Dengan mengetahui Hawa Getaran dari sesuatu kita bisa mengetahui sifat-sifatnya, tanpa perlu mendekati atau menyentuhnya. Informasi mengenai sifat-sifat ini telah dipancarkan melalui Hawa Getaran. Untuk manusia sifat-sifat ini meliputi pribadi dan keadaan emosinya. Dengan cara ini misalnya kita bisa tahu keadaan hati sesorang walaupun ia tidak mengetahuinya dari Hawa Getaran yang dipancarkannya.
Seh kemudian menceritakan bahwa manusia pada lahirnya memiliki kemampuan untuk melihat Hawa Getaran secara alamiah, akan tetapi semakin dewasa dengan semakin bergantungnya orang pada penglihatan akan benda-benda disekitarnya, semakin berkurang kemampuan mereka untuk melihat Hawa Getaran itu. Anak kecil adalah tingkatan awal di mana ia dapat melihat Hawa Getaran ini. Kadang orang tidak mengerti mengapa ada orang yang disukai oleh anak kecil akan tetapi ada orang yang dijauhi atau bila ia mendekat, maka anak kecil tersebut akan menangis. Hal ini dikarenakan anak kecil yang masih dapat melihat Hawa Getaran dari orang itu, tidak menyukai warnanya. Atau dengan kata lain Hawa Getaran orang tersebut tidak cocok atau menyakiti Hawa Getaran si anak, entah dengan sengaja atau tanpa sepengetahuan orang itu sendiri.
Pengujar-pengujar Tua yang dikenal sebagai orang-orang suci umumnya mempunyai Hawa Getaran yang gemilang dan berwarna emas. Sedangkan orang-orang yang kurang baik atau mengikuti hawa nafsunya umumnya memiliki Hawa Getaran yang kelam dan dingin menakutkan. Dengan melatih Hawa Getaran seseorang dapat menggunakannya untuk mengintimidasi orang lain. Ini biasa digunakan oleh petarung-petarung wahid yang bisa menang sebelum bertanding, karena lawannya telah keder duluan. Secara sadar atau tidak mereka telah menggunakan Hawa Getaran, walaupun mereka ataupun lawannya tidak bisa melihatnya sendiri melainkan hanya merasakan.
Dengan melatih mata untuk melihat warna-warna dari Hawa Getaran, pukulan-pukulan Hawa Tenaga Dalam dapat dilihat dan juga rambatan energi Hawa Pikiran. Kemampuan ini dapat dimanfaatkan sebagai suatu bentuk ilmu pertahanan diri.
"Lalu bagaima cara kita melatihnya, ayah?" tanya Nah amat tertarik. Ia baru kali ini mendengar apa yang disebut sebagai Hawa Getaran dan bagaimana cara melihatnya.
"Caranya tidak terlalu sulit, akan ayah ajarkan. Akan tetapi diperlukan kesabaran dan ketekunan untuk melatihnya," jawab Seh sambil tersenyum. Ia senang bahwa anaknya antusias terhadap apa-apa yang diajarkannya. Lalu lanjutnya, "Melihat Hawa Getaran bersama-sama dengan Hawa Pikiran merupakan ilmu wajib bagi keluarga Pratahu. Selain itu ada pula Hawa Berbicara dan Mendengar Terbalik. Akan tetapi untuk yang terakhir ayah tidak terlalu memahaminya. Pamanmu yang lebih banyak tahu. Hal ini akan ayah ceritakan belakangan."
Selanjutnya Seh pun menerangkan bagaimana cara untuk melatih Melihat Hawa Getaran. Ia menjelaskan mengapa anak kecil masih peka sehingga memiliki ilmu Melihat Hawa Getaran secara alamiah. Hal ini dikarenakan mereka belum manfaatkan matanya secara paksa sehingga ada bagian-bagiannya yang rusak. Berangsur-angsur dengan bertambahnya umur, merek mulai merusak matanya dengan memusatkan pandangan hanya pada hal-hal yang umumnya dapat dilihat. Hal-hal lain di luar itu, umumnya diabaikan oleh pikiran sehingga lambat-laun apabila terlihatpun tidak akan dilaporkan oleh otak.
"Orang yang telah dewasa sebenarnya lebih sulit untuk belajar Melihat Hawa Getaran dibandingkan anak kecil karena telah rusaknya lembaran halus (selaput retina) pada depan matanya," jelas Seh pada Nah. "Ada suatu cara yaitu dengan menggunanan Pandangan Samping (peripheral vision) di mana kita berusaha melihat Hawa Getaran dengan sudut mata kita."
Dijelaskan oleh Seh bahwa bagian lembaran halus pada pinggir mata umumnya tidak banyak dimanfaatkan, dengan demikian masih bisa dimanfaatkan untuk melatih Melihat Hawa Getaran. Ditunjukkan pula beberapa cara, antara lain dengan melihat dua buah lingkaran belah berbeda warna yang di antaranya terdapat titik di mana harus dilihat pada jarak tertentu. Apabila cukup berkonsentrasi maka akan terlihat bahwa kedua lingkaran belah tersebut seakan-akan bercahaya atau berpendar dengan warna-warna yang berbeda.
"Selain itu terdapat pula kelengkapan dari warna-warna yang ada," jelas Seh pada Nah, "artinya warna yang kita lihat biasa akan membangkitkan Hawa Getaran yang berbeda, boleh dikatakan pelangkapnya."
Lalu ditunjukkan oleh Seh suatu kitab yang ditulis oleh Pengujar Chalko (Tom Chalko) yang berasal dari pulau yang jauh di sana, yang "kamu tidak lihat" -- ose tra lia (Australia), nama yang dipetuturkan oleh pelaut-pelaut suatu bangsa pelaut. Dalam kitab tersebut dijelaskan padanan warna-warna, atau benda berwarna apa memberikan Hawa Getaran apa. Dituliskan di sana bahwa benda berwarna merah memberikan Hawa Getaran berwarna hijau-biru telur asin (turquoise atau cyan gelap), dan sebaliknya. Jingga (orange) memberikan Hawa Getaran biru dan sebaliknya. Kuning memerikan ungu (violet) dan sebaliknya serta hijau memberikan merah muda (pink) dan sebaliknya. Dituliskan pula bahwa warna-warna terang menunjukkan hal yang positif sedangkan gelap yang negatif, serta ditekankan bahwa warna putih menunjukkan gangguan kesehatan. Warna ini merupakan warna pilihan yang diyakini dilihat orang-orang pada seorang yang menjelang ajal pada jaman dahulu seperti tertuliskan dalam kitab-kitab lama.
"Nah sekarang latihlah, konsentrasi pada benda ini untuk melihat hawa getarannya. Juga ingat-ingat akan warna padanannya, ini penting untuk memisahkan apakah yang engkau lihat nanti adalah Hawa Getaran dari seseorang atau sesuatu atau hanya Hawa Getaran dari pakaian yang dipakai seseorang atau warna bendanya saja." Setelah berkata demikian Seh pun meninggalkan Nah dalam heningnya, yang mana masih berusaha untuk melatih ilmu Melihat Hawa Getaran. Suatu ilmu yang wajib dilatih oleh anggota keluarga Pratahu.
*** Di suatu pagi tampak seorang anak muda berbadan tegap tanpa baju dan hanya mengenakan celana coklat berlatih ilmu pedang. Pedang yang digunakan tak lazim panjangnya. Umumnya pedang memiliki panjang yang maksimal selengan penggunanya sehingga setiap saat bila dibutuhkan dapat ditarik dari sarungnya. Lain dengan pedang yang digunakan anak ini, jauh lebih panjang. Mungkin bisa sampai dua kali panjang pedang biasa. Dan tidak disarungkan, melainkan dibungkus begitu saja oleh kain sebagai sarungnya.
Anak muda tersebut tampak bergerak pelan, terlihat bahwa ia sedang mengingat-ingat gerakan yang sedang dilatihnya. Kadang ia hanya terdiam terlena dalam pembayangan gerakan yang pernah ditunjukkan gurunya. Bila dirasa cukup pembayangannya, ia pun melakukannya. Kadang ia bergerak cepat kadang lambat. Kadang teratur kadang liar. Gerakan-gerakan dari ilmu Pedang Panjang.
Telaga si anak muda tersebut sudah tampak berkeringat. Peluhnya berbutir-butir meluruh di sekujur tubuhnya saat ia berlatih. Napasnya pun mulai terengah-engah. Diaturnya kembali pernapasan sambil beristirahat. Ia masih gemas karena jurus terakhi yang diajarkan gurunya belum dapat dikuasai sepenuhnya. Akan dicobanya lagi gerakan itu setelah pulih tenaganya.
Selagi ia membayangkan gerakan-gerakan gurunya dan juga Kadal-kadal Pelangi yang sedang menari-narikan gerakannya saat memangsa serangga, terdengar suara batu kerikil yang dilangkahi orang di belakangnya. Belum sempat ia berputar untuk mencari tahu siapa gerangan sosok tersebut, sebuah batu telah melaju terbang ke arah dirinya. Menuju jalan darah penting ditubuhnya. Dengan indah alih-alih mengelak, Telaga pun menggerakan pedang panjangnya sehingga berfungsi sebagai tameng terhadap batu tersebut, dan "tingg!!" batu tersebut pun terpental. Tak jadi mencapai jalan darah di tubuhnya.
"Hei, siapa...!" belum selesai Telaga bertanya tentang apa maksud dan siap orang itu, sesosok bayangan telah menyerangnya gencar. Bertangan kosong. Tapi walaupun bertangan kosong jangan dikira serangan-serangannya lembek dan tidak berbahaya dibandingkan dengan serangan menggunakan senjata tajam. Sabetan tangan dan kakinya yang dilengkapi dengan Hawa Tenaga Dalam membuat serangan tersebut sama bahayanya dengan sabetan pisau atau golok.
Terpaksa Telaga pun mengelak, berkelit di sana-sini di antara ruang kosong yang tercipta dari serangan-serangan itu. Mundur dan mundur. Ia belum tahu siapa yang menyerangnya dan bukan sifatnya untuk langsung membalas menyerang, apalagi menggunakan pedang panjangnya. Untuk sementara ia akan bertahan dulu sambil mencari tahu maksud dari penyerangnya juga sekaligus melatih ilmu yang sedang dipelajarinya.
Dicobanya menyabetkan pedangnya secara mendatar untuk mengincar pinggang sang penyerang. Dalam gerakan ini pedang akan dilengkungkan ke atas untuk ditarik balik dalam rangka mengantisipasi lawan yang akan mengelakkan serangan pertama dengan melompat tinggi. Telaga telah gembira bahwa sang lawan tampak tidak waspada akan serangan yang dilakukan dirinya, dan ia pun telah memberi jarak agar pada saat yang tepat dapat menahan pedangnya agar tidak sampai melukai.
Tapi Telaga kecele, alih-alih melompat sosok tersebut malah bergerak maju dan menyerang leher dan kepalanya dengan telapak kakinya, beputar seakan-akan tidak mengindahkan serangan pada pinggangnya. Sebelum Telaga menyadari bahwa serangan itu hanyalah tipuan, sosok tersebut telah menarik balik kakinya sehingga ia jatuh ke atas tanah dan menyusup di bawah pedang panjang telaga yang lewat tipis di atas rambutnya.
"Deggg!!" sebuah serangan ringan menyambar pinggang Telaga. Pada jarak seperti itu, pedang panjang tidak ada gunanya. Lawan telah masuk ke dalam lingkaran yang lebih kecil dari ruang pedangnya. Tidak banyak gerakan yang dapat dilakukan sehingga Telaga pun mengalihkan tenaga ke pinggangnya untuk menahan serangan itu.
Dengan cepat sosok itu lalu menempel pada Telaga memegang pedangnya sedemian rupa sehingga Telaga tak mampu untuk memindahkan arah geraknya. Dengan tenaga penuh sosok tersebut menambah tenaga pada arah dorongan pedang semula sehingga gerakan Telaga menjadi berlipat ganda, sudah dihentikan. Akibatnya ia kehilangan nyaris keseimbangan. Hanya ada dua pilihan tetap mempertahankan pedang panjangnya yang tiba-tiba menjadi berat akibat dorongan lawan atau melepaskannya dan menyerang balik dengan menangkap lawan menggunakan ilmu Sabetan dan Tangkapan Lawan yang diajarkan oleh gurunya Arasan.
Telaga akhirnya memutuskan untuk melepaskan pedang panjangnya. Pedang tersebut melesat dengan kuat, masih menyimpan tenaga dorongan telaga dan lawannya. Dan "capp!!" menancap pada bebatuan tak tahu dari sana. Untung saja tidak ada manusia atau hewan yang berada di tempat tersebut.
Sekarang Telaga lebih leluasa menghadapi lawan yang selalu berusaha menyerangnya dari jarak dekat. Jarak yang hanya dapat dicapai dengan bertangan kosong. Perlahan Telaga telah dapat mengimbangi permainan dari lawannya itu.
Setelah lama-lama memperhatikan terlihat bahwa sosok itu agak kecil dibandingkan dengan dirinya. Berperawakan ramping dengan rambut yang digelung. Mungkin panjang rambutnya. Langkahnya ringan dengan muka yang disembunyikan oleh selendang yang dikenakannya. Lamat-lamat Telaga serasa mengenal sosok itu. Seperti pernah dilihat entah kapan dan di mana.
Saat ia sedang dalam lamunannya untuk menebak-nebak siapa gerangan sosok yang sedang menyerangnya itu, tak diduga sosok tersebut menggunakan salah satu gerakan yang agak sulit yaitu agak berjongkok kemudian menyerang kepala Telaga dengan jurus Menebang Kelapa yang diikuti satu tipu berkelit untuk mengunci kedua tangan Telaga dan diakhiri dengan jurus Berkelit Membanting Padi. Akibatnya sudah dapat diduga. Telaga terkunci, terseret arah gerakan lawannya dan terlempar ke atas tanah. Terbanting. "Deggg!!"
Terengah-engah sedikit sosok itu saat bergerak mundur. Rupanya cukup banyak tenaga yang dikeluarkannya untuk mengatasi Telaga. Lawan yang lebih besar tenaganya dari dirinya.
Saat itu tersadarlah Telaga, kecuali gurunya yang dapat melakukan gerakan itu di daerah ini hanya tinggal satu orang, Sarini putrinya. Lalu katanya, "Sarini, janganlah permainkan aku. Dalam ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan, tidaklah aku bisa menang melawanmu!"
Sosok itu tertawa geli mendengar ucapan Telaga. Senang rupanya ia dipuji sedemikian rupa. Tapi kemudian katanya, "Telaga jika sudah tahu siapa aku ayo coba kalahkan aku! Aku dengar dari paman Walinggih bahwa engkau baru diajari jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi. Ayo tunjukkan padaku!"
Mendongkol juga sedikit hati Telaga mendengar ucapan itu, rupanya Sarini ini memang hendak menggodanya. Gerakan yang baru saja dipelajarinya itu sudah hendak dicobanya pula. Darah mudanya pun sedikit bergolak, ia ingin melihat apakah gerakan itu dapat mengatai ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan dari Sarini.
Beranjaklah Telaga ke batu tempat di mana pedang panjangnya tadi tertancap. Ditariknya pelan sambil diingat-ingat lagi jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi yang diajarkan gurunya dan telah sedikit dipahami olehnya. Untuk menghadapi Sarini yang mengambil jarak tempur pendek, mungkin perlu perubahan-perubahan sedikit dalam pemanfaatan jurus itu.
Pertama-tama ia harus membuat gadis itu kalang kabut baru bisa mengeluarkan Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi yang tidak terduga dari atas untuk kembali menyerang posisi awal ia melompat. Jika langsung dikeluarkan Sarini mungkin dapat menebaknya.
Setelah memutuskan gerakan yang akan dilakukannya Telaga pun mulai menyerang Sarini. Awalnya hanya gerakan-gerakan sapuan mendatar dan miring. Ia ingin lebih dulu melihat bagaimana Sarini menanggapinya.
Sarini ternyata memiliki perasaan dan perhitungan yang tajam. Ia tidak banyak bergerak. Ia hanya membiarkan pedang panjang Telaga lewat satu dua jari dari tubuhnya. Tidak banyak ia bergerak, cukup mengelak tipis. Kagum juga Telaga melihat keberanian dan perhitungan yang tepat dari Sarini. Gadis ini benar-benar berhati harimau.
Karena lama tak membuahkan hasil, akhinya Telaga mulai meningkatkan kadar serangannya. Sekarang serangannya mulai gencar dan dibalas pula oleh Sarini dengan elakan-elakan yang lebih cepat. Masih belum menyerang. Kelihatannya Sarini masih mencari-cari celah untuk bertarung jarak dekat, agar ia bisa menangkap atau memukul bagian-bagian tubuh dari Telaga.
"Ayo keluarkan jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi!" pancing Sarini.
Mendengar ini Telaga pun tergerak untuk mengeluarkan jurus itu. Bukan hanya karena emosi juga karena ia tertarik bagaimana gadis itu bisa menangani serangannya. Setelah sedikit bergerak liar menyabet ke sana ke mari membuat hampir tidak ada ruang kosong di kiri-kanan Sarini, Telaga pun meloncat terbalik dan menyabetkan pedangnya ke arah Sarini. Sarini pun melompat mundur untuk mengelak. Tipis akan tetapi mengenai selendangnya sehingga wajahnya pun terbuka.
Saat Telaga tersenyum atas hasil yang didapatkannya dan ia menyentak balik untuk kembali ke posisi semula di mana ia melompat tadi, seperti gerakan-gerakan Kadal Pelangi, Sarini bergerak cepat. Sarini telah mengambil posisi rapat, di mana Telaga akan mendarat. Sedemikian rapat sehingga jarak itu tidak dapat dimasuki lagi oleh pedang panjang.
Kaget tersurat pada wajah Telaga melihat posisinya tidak lagi menguntungkan. Belum habis gaya tarikan pedang panjangnya, kembali Sarini telah menggapai kedua tangganya, menambah dorongan sehingga Telaga kembali terikut arus putaran tenaga Sarini. Dan dalam sekejap kembali jurus Berkelit Membanting Padi digunakan. Hasil yang mirip diperoleh, yaitu Telaga dan pedangnya terlempar mendatar di atas tanah. Terlentang.
"Hehehehe..!!" tiba-tiba terdengar kekeh seseorang dari sisi kedua orang yang sedang bertarung itu. "Nak Telaga, kena engkau diperdaya Sarini."
Orang itu ternyata adalah Arasan. Ia telah lama berada di sana. Ia dapat dengan jelas melihat bagaimana anaknya Sarini memberi pancingan pada Telaga sehingga pemuda itu mengeluarkan jurus Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi yang langsung direbut posisi awalnya untuk dihancurkan.
"Guru..!" sahut Telaga sambil cepat bangun dan menjura.
"Ayah!!" suara Sarini dengan manja. Tampak merah mukanya. Entah malu entah agak tak suka bahwa ayahnya tiba-tiba muncul di sana. "Aku pergi dulu!" sahut Sarini yang segera hilang dari sana. Meninggalkan Telaga yang masih agak-agak bingung atas kekalahannya.
Setelah mereka berdua berdiam agak lama, bertanyalah Arasan pada Telaga, "tahukah kamu mengapa engkau bisa kalah dari Sarini?"
Telaga menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia masih agak bingung mengapa jurus yang dirasakannya ampuh itu tidak terlalu berguna dalam menghadapi Sarini.
"Tahukan pula, bila itu tadi adalah Walinggih, apa yang akan dilakukannya menghadapai lawan yang bertangan kosong?" tanya Arasan kembali alih-alih menjelaskan jawaban dari pertanyaan pertamanya tadi.
Kembali Telaga menggelengkan kepalanya, "tak tahu guru. Mohon petunjuk!"
"Ilmu bela diri itu harus dipahami inti dan maksud gerakannya. Jurus-jurus tidak hanya digunakan karena dirasakan indah atau ampuh saja. Melainkan digunakan pada situasi yang cocok untuk memanfaatkannya," jelas Arasan.
"Maksud guru?" tanya Telaga menyakinkan ketidahtahuannya.
"Memang jurus yang diajarkan oleh Walinggih itu teramat ampuh, tapi hanya untuk jarak menengah dan jauh, tidak untuk jarak dekat. Perhatikan waktu gurumu dulu menghadapi keroyokan orang-orang itu. Ia selalu mengambil cukup jarak bagi pedangnya untuk bergerak. Jika ruang terlalu sempit engkau harus mundur atau pergi sehingga tetap cukup ruang untuk pedangmu." begitu jelas Arasan.
Mengangguk-angguk Telaga mendengarkan pendapat gurunya mengenai ilmu yang diturukan oleh gurunya yang lain.
"Sebenarnya, ada rahasia lain mengenai kemenangan Sarini..," kata Arasan kemudian, agak tidak enak kelihatannya ia hendak menyampaikan.
"Maksud paman?" tanya Telaga ingin tahu. Ia tidak mengerti apa yang dimaksud dengan rahasia itu.
"Tapi engkau harus berjanji dulu tidak menceritakannya kepada Sarini. Bisa kecewa ia nantinya," jawab Arasan.
Telaga mengiyakan. Ada apa pula ini sampai tidak boleh menceritakan pada Sarini mengenai hal ini.
"Sarini sebenarnya telah belajar pula belajar pada Walinggih," ucap Arasan sambil tersenyum saat melihat Telaga terkejut, "bahkan ia telah pula diajarkan tipu-tipu gerakan untuk memunahkan Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi. Itu sebabnya ia dapat dengan mudah mengalahkan mu, nak Telaga."
Telaga terngaga mendengar hal itu, perlahan-lahan wajahnya pun memerah. Lalu katanya, "tapi itu bukan alasan bahwa Sarini dapat mengalahkan saya, ia memang lebih jeli dalam menggunakan gerakan-gerakan dalam ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan." Tak bangga pula ia bahwa kekalahannya diakibatkan Sarini telah mempelajari ilmunya dan juga diajari oleh gurunya, Walinggih.
"Menurut saya, guru, tak peduli orang telah mengenal ilmu kita atau tidak, kalah ya kalah!" begitu jawab Telaga.
"Bagus bila engkau berpendapat begitu. Dan memang demikianlah. Semakin engkau sering bertarung dengan lawanmu, semakain kenal lawanmu akan gerakan-gerakan yang akan engkau lakukan. Istilahnya ilmumu semakin telanjang atau transparan. Jadi sebaiknya seorang pendekar memperkuat ilmu dan gerakan yang disertai efesiensi pemanfaatannya ketimbang ragam dan gerakan-gerakannya yang tak terduga," jelas Arasan.
Telaga pun mengangguk-angguk. Setuju atau pendapat gurunya.
Tak lama kemudian mereka pun berlalu. Kembali ke rumah di mana ternyata telah menanti Walinggih dan Sarini. Yang terakhir ini sedang menyiapkan makan malam bagi mereka berempat.
Di hadapan mereka tersaji apa yang disebut orang-orang di ujung suatu pulau besar Le Bu Peudah atau Bubur Pedas. Suatu makanan khas yang umumnya disajikan hanya pada menjelang matahari terbenam. Jenis makanan itu merupakan campuran dari bahan-bahan beras, kelapa parut dan rempah-rempah seperti kunyit, merica dan tunas pohon kala. Cara memasaknya adalah dengan memasukkannya semua dalam satu kuali dan mengaduknya cukup lama. Dimasak kira-kira hingga tiga jam.
Setelah membersihkan kaki dan tangan untuk mulai makan, Telaga dan Arasan pun duduk di sekitar semangkok besar Le Bu Peudah. Di samping mangkok tersebut masih pula ada buah-buahan dan umbi yang telah dibakar.
Arasan duduk di samping Telaga, yang kemudian diikuti oleh Walinggih dan Sarini. Jadi boleh dikatakan berhadap-hadapan Walinggih dan Arasan, juga Telaga dan Sarini yang masing-masing dipisahkan oleh perabot makan yang berisikan santapan makan malam mereka.
Setelah sebentar mengucap syukur kepada Sang Pencipta, mereka pun kemudian mulai makan. Dan tidak biasanya bahwa malam itu tidak terdengar celoteh renyah dari Sarini yang biasanya ditimpali oleh Telaga. Kedua orang tua yang sedang makan, Arasan dan Walinggih hanya saling bertukar pandang melihat kekakuan yang muncul di antara kedua anak muda yang duduk saling berseberangan itu.
Tiba-tiba Walinggih memberikan sedikit isyarat pada Arasan melalui kedipan matanya. Isyarat ini dilontarkan saat kedua anak muda sendang menunduk menyupa Le Bu Peudah-nya. Alih-alih melakukan apa yang diisyaratkan Walinggih, Arasan malah memberi isyarat balik agar Walinggih saja yang memberitahu kedua anak muda tersebut mengenai hal yang mereka telah bicarakan sebelumnya.
Karena berulang-ulang keduannya saling mengedip-kedipkan mata dan juga menggerak-gerakkan dagu menunjuk-nunjuk pada kedua muda-mudi itu, akhirnya gerakan ini pun dilihat keduanya. Keduanya pun tak dapat menahan tawa melihat kelakukan guru-guru mereka. Telaga hanya tersenyum, sedangkan Sarini sampai terkekeh kecil dan kemudian menutupi mulutnya agar makanan yang sedang dikunyahnya tidak tersembur keluar.
Menyadari bahwa isyarat-isyarat mereka telah dilihat kedua anak muda tersebut, Walinggih dan Arasan pun menghentikan aksi mereka. Terdiam, terlihat salah tingkah. Mirip-mirip orang yang sedang tertangkap basah sedang melakukan sesuatu yang salah.
"Ayah, ada apa sih?" tanya Sarini pada Arasan. Tak tahan dia menahan geli melihat ayah dan Walinggih saling bergerak aneh-aneh dengan memainkan dagu dan juga sebelah mata mereka.
"Eh.., itu tanya saja sama pamanmu Walinggih..," jawab Arasan sekenanya. Juga sekalian melemparkan tangguna jawab agar Walinggih yang menjelaskan tingkah laku aneh mereka.
"Lebih baik ayahmu saja yang menjelaskan, Sarini. Dia lebih pakar dari paman," jawab Walinggih merendah sambil kembali lempar tanggung jawab. Sekalian ia menambahkan Le Bu Peudah dalam mangkoknya. Sudah empat kali ia tambah. Seanak-akan perutnya tak berbatas dalam mengasup makanan kegemarannya itu.
Melihat kejenakaan yang muncul dari tingkah polah kedua orang itu, pecahlah tawa antara orang muda itu. Telaga tak lagi dapat menahan tawanya, dipegangnya perutnya yang sakit. Sedangkan Sarini masih berusaha menyembunyikan suara tawa yang barusan terceplos keluar. Diupayakan untuk menutup mulutnya. Sementara air mata geli tampak telah mengalir sedikit di sudut kedua matanya.
"Arasan, lihat..! Kita malah jadi bahan tertawaan mereka, tuh! Ini gara-gara kamu sih, tidak mau menjelaskan..," tuduh Walinggih jenaka. Setelah mempunyai murid Telaga dan berhubungan dengan keluarga Arasan dan Sarini, Walinggih keluar sifat aslinya yang ramah dan jenaka. Tidak lagi serang dan dingin saat masih menjadi Hakim Haus Darah.
"Eh, bukannya engkau Walinggih yang mulai. Seharusnya engkau saja yang bilang. Kan dari pihak yang pemuda!" jawab Arasan tak mau kalah.
Kata "pihak pemuda" tiba-tiba saja menghentikan tawa yang ditahan dari kedua muda-mudi itu. Tiba-tiba saja keduanya tertunduk malu dengan semburat merah di wajahnya. Jelaslah sudah apa yang ada di benak kedua orang tua itu dengan kata tersebut. Dan hanya satu yang mungkin. Perjodohan!!
Masih dalam rangka menggoda keduanya, Walinggih pun berubah gaya bicaranya. Menjadi keren dan serius. Lalu katanya, "Adik Arasan, saya Walinggih dengan rendah hati ingin menjodohkan murid saya yang bodoh ini, Telaga, sebagai pasangan dari anakmu yang cantik dan pandai memasak, Sarini. Semoga usul ini dipertimbangkan dan diterima...!"
Arasan pun tak mau kalah. Ia pun lalu membalas dengan merendah, "Kakak Walinggih, saya Arasan merasa amat beruntung bahwa putriku yang bodoh ini bisa mendapatkan perhatian dari muridmu yang gagah, rendah hati dan bersemangat itu. Akan tetapi perjodohan adalah urusan yang akan dijodohkan, sebaiknya engkau tanyakan saja langsung pada yang bersangkutan!"
Kedua muda-mudi itu benar-benar mati kutu. Mereka tidak bisa bicara apa-apa. Jika tadi semburat merah telah ada di wajah, saat ini telah menjalar ke leher dan telingah. Keduanya tampak mirip-mirip kepiting atau udang rebus.
Setelah hening sebentar diberikan oleh kedua orang tua itu kepada Sarini dan Telaga agar mereka dapat menguasai diri mereka kembali, berkatalah Arasan, "Nah, putriku Sarini. Bagaimana jawabanmu atas lamaran paman Walinggih?"
Memang suatu kebiasaan yang tidak lazim di jaman itu bahwa anak yang akan dijodohkan ditanyakan langsung pendapatnya. Umumnya kedua orang tua yang menerima pinangan perjodohan yang menentukan, dengan si anak tidak memiliki kemampuan untuk mengubah keputusan orang tuanya. Akan tetapi lain dengan keluarga Arasan. Mungkin dikarenakan mereka hanya tinggal berdua dan tidak memiliki saudara lain di sekitar situ dan juga Arasan memberikan kebebasan kepada anaknya untuk mengambil keputusannya sendiri. Karena ia sendiri yang akan nanti menjalani konsekuensi dari keputusannya itu.
Dengan wajah yang masih memerah dan tertunduk malu Sarini berkata, "ayah.., terserah ayah saja..! Saya masih harus membereskan perabot makan ini..!" Lalu dengan cepat ia berdiri dan membereskan perabot-perabot bekas mereka berempat makan malam itu dan berlalu dari ruang tengah itu, menuju ruangan di balik yang dipisahkan oleh sekat terbuat dari daun kelapa untuk mulai mencuci perabot-perabot makan malam.
Arasan tertawa melihat tindak-tanduk putrinya. Ia merasa bahwa putrinya menerima pinangan dari Walinggih untuk dijodohkan dengan Telaga. Sebagai seorang ayah yang dekat dengan anaknya, dapat ia merasakan itu. Biasanya Sarini akan menyatakan dengan tegas apabila ia tidak setuju akan sesuatu yang dikemukakan ayahnya.
"Hahahaha..!" berderai tawa Arasan yang kemudian diikuti oleh Walinggih. Mereke sama-sama senang bahwa urusan ini menjadi beres sesuai dengan hasil yang mereka perkirakan. Tak lupa mereka menepuk-nepuk punggung Telaga yang duduk di antara mereka, yang sedari tadi hanya tertunduk diam dan malu.
Setelah berhasil menenteramkan hatinya, berkatalah Telaga, "Maafkan perkataan saya ini, akan tetapi guru berdua ini sedari tadi sama sekali belum menanyakan pendapat saya..."
Kedua orang itu terdiam. Mereka teringat bahwa mereka sama sekali belum menanyakan pendapat murid mereka Telaga apakah mau dijodohkan dengan Sarini. Mereka sudah saja merasa yakin, karena siapa sih yang tidak mau dijodohkan dengan gadis semanis Sarini. Pandai masak pula.
Yang paling terkejut adalah Sarini, sampai terhenti kegiatannya mencuci mangkok yang digunakan itu mendengar perkataan Telaga. Ia di dalam hatinya telah lama menyukai Telaga, bahkan ayahnya pun mengetahui itu dari sikapnya yang kadang melamun saat Telaga tidak datang ke rumah mereka untuk berlatih ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan. Karena dipergoki oleh ayahnya, mengakulah ia akan hal itu.
Atas dasar pengakuan itu dan juga rasa sukanya pada muridnya, Arasan pun menghubungi Walinggih. Yang dihubungi merasa gembira pula. Kehilangan keluarga, anak dan istri, yang membuatnya sedih tiba-tiba terlupa. Tanpa pikir panjang Walinggih mengatakan bahwa pastilah muridnya bersedia dijodohkan dengan Sarini.
"Eh, apa maksudmu Telaga?" tanya Walinggih. "Kamu tidak suka dengan Sarini" Bodoh kamu!"
Bersemu merah wajah Telaga. Lalu ujarnya, "Saya.. suka guru.., tapi saya harus memberitahu kedua orang tua saya dulu.."
"Ah, kamu benar sekali! Sudah pikun orang tua ini..!" kata Walinggih sambil menepuk jidantnya sendiri. "Engkau masih ada orang tua di utara sana."
Sarini yang mendengarkan itu dari tempat mencuci piring merasa lega. Tadinya sempat perasaannya bergolak. Ia takut bila Telaga menolak atau bisa saja telah dijodohkan. Tak terasa bersemu merah kembali wajahnya mengingat bergolaknya perasaannya tadi.
"Hmm, gimana ini.." Padahal engkau ingin aku suruh pergi jauh ke selatan mencari orang-orang yang tinggal di perahu, di tengah laut. Mereka adalah orang-orang yang hidupnya benar-benar di atas air. Salah satu kemampuan mereka adalah bela diri dalam air. Bagus untuk engkau pelajari untuk melengkapi ilmu-ilmumu," begitu ujar Walinggih.
"Begini saja, kakak Walinggih, bila kakak tidak berkeberatan bagaimana bila kakak yang mengatakan kepada kedua orang tua Telaga di Gunung Berdanau Berpulau soal perjodohan ini. Saya tidak pada tempatnya karena saya adalah orang tua yang perempuan," usul Arasan.
"Hmm, boleh juga itu! Sudah lama aku tidak berjalan jauh ke mana-mana. Baiklah, aku akan ke utara mencari kedua orang tua Telaga untuk memberitahukan perjodohan ini. Moga-moga mereka setuju. Lalu kemudian kita bicarakan lagi kapan hari baiknya," jawab Walinggih.
Kedua orang tua itu akhinrya sepakat. Telaga yang berada di antara mereka tidak lagi menyanggah. Ia hanya bisa pasrah. Pasrah untuk dijodohkan pada Sarini, gadis yang diam-diam juga ia sukai.
Hari pun berlalu dengan cepat. Walinggih kembali berulang-ulang mengajarkan Telaga bagaimana jurus-jurus dalam ilmu Pedang Panjang-nya digunakan. Ia juga menyuruh Telaga untuk melatih kembali ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan dari Arasan. Kedua ilmu itu harus dipadukan agar pertahanan dan serangan menjadi mantap. Baik untuk jarak pendek ataupun menengah dan jauh. Dengan atau tanpa pedang panjang.
Dan anehnya setelah pembicaraan perjodohan itu, kedua muda-mudi malah menjadi agak asing satu sama lain. Tidak lagi bebas dan akrab seperti semula. Urusan perjodohan itu membuat mereka merasa sungkan satu sama lain. Kedua orang tua yang melihat hal itu membiarkannya saja. Nanti mereka juga akan kembali seperti semua, begitu pikir keduanya.
Akhirnya tibalah hari perpisahan itu. Telaga disuruh gurunya untuk menimba ilmu di selatan, jauh di lepas pantai. Di antara orang-orang yang tinggal di laut, Suku Pelaut. Orang-orang yang hanya sesekali ke darat untuk menukarkan kebutuhan hidup mereka. Sisa hidupnya benar-benar dihabiskan di atas air.
Telaga diberikan waktu sekitar tiga tahun untuk kembali ke Padang Batu-batu untuk melanjutkan perjodohannya. Sementar itu Walinggih akan pergi ke utara, ke Gunung Berdanau Berpulau untuk menceritakan soal perjodohan itu kepada kedua orang tua Telaga, Ki dan Nyi Sura. Atas usul Arasan, Sarini pun dibawa serta untuk sekaligus diperkenalkan. Baik sekali apabila ia bisa menjadi murid dari kedua Pelestari Tenaga Air. Sekalian mengenal calon mantu mereka. Sarini hanya dapat menunduk mengiyakan mendengar keputusan ayahnya. Terasa kuatir pula bila kedua orang tua Telaga tidak menyukai dirinya.
Kedua rombongan itu pun berpisah. Telaga ke arah selatan, sedangkan Sarini dan Walinggih ke arah utara. Berganti-ganti Arasan melihat kedua rombongan itu sampai hilang dari pandangan. Terasa sepi dunianya tanpa kehadiran orang-orang yang dekat dengannya. Tiba-tiba saja dirasakan umurnya bertambah beberapa tahun.
"Ada waktu berkumpul, ada pula waktu berpisah..," gumamnya, "tak ada yang kekal di dunia...," sambil melangkahkan kakinya kembali ke rumahnya.
*** Seorang pemuda tampak sedang berjalan seenaknya. Wajahnya bersih dan selalu dihiasi senyum. Badannya cukup berisi dengan perawakan tidak terlalu tinggi tapi proporsional sehingga membuatnya terlihat enak untuk diajak bicara. Perangainya yang riang menambah daya tariknya.
Pemuda itu tampak sedang melakukan perjalan seorang diri. Tak terlihat ada orang yang berjalan bersama atau mengikutinya. Untuk menghilangkan rasa sepi, ia pun bernyanyi-nyanyi kecil.
"Burung bersiul bersahut-sahutan,
matahari bersinar cerah,
kera-kera bermain di hutan,
bunga semerbak merekah.
Buat apa susah,
susah itu tak ada gunanya,
buat apa resah,


Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

resah itu juga tiada gunanya.
Tralala.., trilili.., haha.., hihi..
Nanana..., ninini..., dada.., didi.."
Lagu yang sering dinyanyikan gurunya saat sama-sama bepergian. Sudah bisa ditebak bahwa pemuda itu adalah Lantang. Ia baru saja turun dari Gunung Berdanau Berpulau. Seyogyanya ia harus mencari gurunya ke timur. Akan tetapi dari cerita-cerita orang yang didengarnya sambil lalu ia tertarik untuk sedikit berjalan ke selatan baru ke timur. Melewati kota-kota yang dibicarakan oleh orang-orang itu.
Ada kota D?sseldorf (kota Pinggir Sungai Menggelegar) yang dikatakan memiliki dua belas St?ndischen (Yang Berdiri) di Nordpark (Taman Utara) yang pada suatu waktu hilang sama sekali digondol entah oleh siapa. Selain itu ada pula Kota Batu-batu yang terletak di tepi Padang Batu-batu. Padang Batu-batu merupakan suatu hutan yang bukan ditumbuhi pepohonan akan tetapi batu-batu dari ukuran kecil sampai sebesar rumah.
Hal-hal tersebut menarik hatinya. Selama berdiam di Gunung Berdanau Berpulau, Lantang tidak pernah sekalipun turun gunung. Ini barulah pertama kalinya ia turun gunung saat mulai remaja. Suasana sudah banyak berubah dibandingkan dengan keadaan dulu saat ia ditemukan oleh gurunya dan diajak berdiam di gunung.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi-bunyi lucu dari perutnya. Mirip kukuruyuk seekor ayam jadi. Bunyi itu ternyata tanda-tanda bahwa perut yang punya telah minta untuk diisi. Diasupi penganan agar dapat menenteramkan lambung yang ada di dalamnya.
Lantang, pemuda itu, pun celingak-celinguk. Ia mencari-cari dengan matanya tempat yang enak untuk digunakan untuk makan siang. Samar-samar didengarnya gemericik air yang khas saat melewati batu-batu. Suatu bunyi yang sudah menjadi temannya sehari-hari saat menimba ilmu Tenaga Air di Gunung Berdanau Berpulau. Bergegas ia menuju pada sumber gemericik air itu. Sudah dibayangkan betapa enaknya melangsungkan makan siang di tepi sungai yang jernih dan segar dan ditemani dengan angin yang sepoi-sepoi menyejukkan pada siang yang panas ini.
Berjarak satu-dua tombak dari sungai jernih yang ditemukannya, dibentangkannya kain yang tadi dibawanya di pundak, yang berfungsi sebagai kantung perbekalan yang dibawanya. Dipilihnya suatu batu besar sebagai senderen untuk duduk. Saat baru turun gunung, ia telah dibekali oleh kedua gurunya sedikit uang dan juga makanan kering yang dapat tahan hingga seminggu. Di antaranya terdapat dendeng, manis-manisan dan bumbu-bumbu. Sebagai makanan utama masih ada ketan dan juga ubi kering yang siap disantap.
Tak perlu terlalu lama perut Lantang menunggu untuk diasup. Segera setelah kunyahan-kunyahan di mulut berlangsung, lambung pun mendapat giliran untuk disua oleh penganan itu. Nikmat rasanya. Sekujur tubuh serasa mendapatkan energi baru.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran seorang di depannya. Agak jauh di hadapannya, di bawah sebuah pohon yang rindang, tampak seorang tua sedang duduk memandangnya. Lantang yakin bahwa tadi tiada seorang pun di sana. Orang tua tersebut tampak sedang dalam posisi berjongkok. Memandangnya dengan tertarik, teruma terhadap penganan yang sedang disantapnya.
Ada sesuatu yang aneh dari orang tua itu, yaitu suasana warna kehijauan yang tampak. Agak kontras dengan batang pohon tempat ia menyandar yang jelas-jelas berwarna coklat tua. Lantang tidak bisa begitu melihat raut wajah orang itu, hanya dari warna rambut dan kerut-kerutan di wajahnya, diduganya bahwa itu adalah seorang yang sudah agak tua. Mungkin lebih tua dari kedua gurunya, Ki dan Nyi Sura. Juga guru pertamanya, Rancana si Bayangan Menangis Tertawa.
Terdengar tiba-tiba bunyi yang barusan membuat Lantang memutuskan untuk berhenti makan siang. Bunyi kukuruyuk. Kalau tadi bersumber dari perutnya, saat ini kelihatannya tidak lagi. Pasti dari orang itu. Mendengar ini mau tak mau Lantang pun tersenyum. Lalu ditawarkannya makanannya sambil mengangsurkan sekerat dendeng dan sepoton ubi.
"Ki sanak yang di sana, mau makan sama-sama saya?" tanyanya sopan, "hanya makanan sederhana..."
Belum habis Lantang mengucapkan kata-kata untuk menjelaskan apa yang bisa ia tawarkan, orang itu telah bergerak ke arahnya. Halus akan tetapi cepat. Amat cepat, sehingga dalam beberapa kejapan mata ia telah berada di hadapan Lantang. Mengambil makanan yang ditawarkan dan langsung menguyahnya perlahan-lahan. Serius, seakan-akan benar-benar menikmati rasa lezat yang muncul saat bagian-bagian yang dikunyahnya dibasahi oleh air liur.
Dalam jarak sedekat ini tampak lebih jelaslah raut wajah orang tua itu. Sebenarnya belumlah ia terlalu tua, melainkan wajah khas orang muda yang banyak dirundung masalah. Tua sebelum waktunya. Tua dikarbit permasalahan atau pikiran. Baju yang dikenakannya juga aneh. Bukan karena bahannya yang kasar, melainkan karena warnanya yang berbeda pada bagian kiri dan kanan. Sebelah hijau muda, mirip warna kulitnya dan sisanya biru muda. Suatu paduan busana yang belum pernah dilihat Lantang sebelumnya.
Tak berapa lama habislah sepotong ubi dan sekerat dendeng itu. Orang itu langsung beranjak ke arah sungai yang terdapat tak jauh dari sana. Setibanya di dekat air, alih-alih menjangkau air dengan telapak tangannya untuk diminum, orang itu malah menurunkan kepalanya untuk langsung meminum air sungai itu dengan mulutnya. Mirip dengan kelakukan hewan-hewan mamalia yang hidup di hutan. Setelah itu ia kembali memandang Lantang. Ada ungkapan terima kasih di matanya. Seakan-akan mengangguk, orang itu kemudian menghilang. Cepat. Tak bisa dirasakan. Mirip dengan cara ia datang tadi yang secara tiba-tiba.
Lantang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakukan orang tua itu. Tiba-tiba teringat ia pada Xyra, sahabatnya yang seorang Undinen. Warna-warna Undinenlah yang dilihatnya pada busana dan kulit orang tua itu. Lantang pun berniat untuk bertanya pada orang tua itu, apabila mereka bersua kembali.
Angin sepoi-sepoi dan juga perut yang telah terisi benar-benar paduan yang cocok untuk membuat mengantuk. Ditambah lagi dengan rasa letih yang telah menumpuk sejak perjalannya tadi pagi sedari turun dari gunung. Direbahkan badannya di samping batu yang dijadikannya tadi sebagai sandaran, setelah terlebih dahulu membereskan perbekalannya kembali ke dalam buntalan. Sebagai alas kepala digunakannya buntalan bekalnya tadi. Tak lama Lantang pun terlelap.
Dalam tidurnya, ia pun bermimpi.
Ia berdiri di pinggir sebuah pantai di mana di salah satu bagian di hadapannya tampak air sungai bersua dengan air laut. Sebuah muara. Di bagian muara yang melebar itu terdapat sebuah pulau. Khas pulau-pulau delta pada umumnya. Di sana di kejauhan Lantang melihat dua sosok orang sedang berhadapan. Keduanya berdiri setombak dua tombak lebih. Tidak terlihat dengan jelas dari tempatnya berdiri. Dari caranya mereka berdiri terlihat bahwa bukan suatu pembicaraan ramah-tamah.
Keduanya tiba-tiba bergerak cepat. Saling mengitari dan melemparkan pukulan dan tendangan. Tidak jelas alasannya. Setelah mereka bergerak terlihat bahwa salah satu sosok adalah seorang wanita. Hal ini terlihat dari bentuk tubuh dan juga rambutnya yang panjang. Sosok yang lain seperti seorang laki-laki tua. Selain itu terdapat persamaan di antara keduanya. Keduanya memancarkan seperti cahaya hijau muda. Bukan dari busana mereka, melainkan cenderung dari bagian-bagian tubuhnya.
"Happ! Deggg!!" tiba-tiba lelaki tua itu memasukkan tendangannya dan juga pukulannya pada sang wanita. Wanita itu terlempar mundur beberapa langkah. Tetapi tidak terjatuh. Melainkan melayang ringan bagai bulu yang tertiup angin. Melayang dan turun dengan halusnya di atas kedua kakinya. Kembali dalam posisi siap menyerang.
Lelaki itu setelah melepaskan serangannya terlihat seperti terhuyung. Membuang tenaganya dalam satu serangan. Akan tetapi alih-alih ia terhuyung gerakannya malah tambah kuat. Mengendap ke bumi. Mengalir seperti air.
Keduanya kembali berhadapan. Berdiri satu di depan lainnya. Menimbang-nimbang serangan apa yang akan dikeluarkan. Menilik dari serangan tadi, keduanya bersumber pada elemen alam yang sama. Air. Suatu cara pengaturan tenaga yang mengalir. Luwes. Menuju ke pusat bumi akan tetapi tidak kaku. Keras tetapi tidak getas. Lentur dan membaur. Air.
Lantang yang tadi melihat dari jauh, begitu tertariknya ia sehingga tak sadar ia telah berada di atas pulau delta itu. Entah bagaimana caranya. Sekarang ia hanya berada dua tiga tombak jauhnya dari kedua orang yang masih berdiri berhadapan itu.
Sekarang lebih jelas dilihatnya bagaimana sosok dan perawakan kedua orang itu. Kedua orang itu ternyata orang-orang yang telah dikenal dan pernah ditemuinya. Xyra sang Undinen dan pak tua yang tadi siang menerima pemberian bekalnya yang sederhana.
Tapi apa maksudny ini" Mengapa keduanya berseteru" Belum habis Lantang berpikir tentang apa-apa yang bisa menjadi sebab, keduanya telah kembali berlaga. Bergerak dengan halus dan cepat. Mencari-cari posisi yang lowong untuk melemparkan sekepal dua kepal pukulan.
Lantang yang dapat merasakan himpitan aura dingin dari keduanya menyadari bahwa pertarungan ini sungguh-sungguh. Keduanya ingin mengalahkan yang lain. Ia merasa bahwa ia harus mencegahnya. Mencegah pertarungan ini berlanjut, sebelum salah seorang dari mereka tersungkur di atas tanah.
Tanpa lebih jauh mempedulikan apakah tindakannya itu berbahaya atau tidak bagi keselamatan dirinya, Lantang langsung bergerka ke tengah. Maksud ingin menengahi. Hanya saja saatnya tidak tepat. Ia menyelak masuk saat kedua orang yang sedang bertempur itu sedang melepaskan masing-masing pukulan mereka.
"Deggg! Dess!!" keduanya pun terkejut melihat ada seorang di tengah-tengah mereka. Seorang yang malah menjadi sasaran pukulan keduanya. Selanjutnya gelap pandangan Lantang. Kesadarannya pun mulai perlahan-lahan menghilang.
Dirasakannya tubuhnya sakit-sakit saat ia mulai tersadar kembali. Keningnya pula dirasa berdenyut-denyut pusing. Secarik kain yang dibasahi meringankan sedikit rasa sakitnya. Terlihat seorang tampak meletakkan kain basah itu di keningnya. Sementara seorang lain tampak sedang memasak sesuatu. Sesuatu yang tercium lezat dari aromanya yang mengambang di udara.
Xyra. Pak Tua. Kedua orang yang ada di dalam mimpinya tadi tampak di hadapannya. Xyra tampak menguatirkan dirinya dengan sesekali menyeka keningnya. Sementara Pak Tua masih sibuk mengaduk-aduk kuali yang sedang dijerangnya di atas air.
Lantang berusaha untuk bangun. Tapi tak ada tenaga. Rasa sakit ditambah dengan kehilangan tenaga membuatnya tak dapat bangkit. Selain itu dengan isyarat tangannya Xyra mengatakan bahwa sebaiknya ia tetap dalam posisi berbaring. Akhirnya Lantang pun mengiyakan. Lagi pula tak ada yang dapat ia lakukan. Masih bingung dirinya mengenai apa yang baru terjadi. Apakah tadi itu benar-benar terjadi atau hanya mimpinya saja. Seingatnya ia tadi tertidur sehabis makan siang. Sehabis Pak Tua itu meninggalkan dirinya.
*** Paras Tampan hanya bisa menghela nafas menyaksikan desa tempat ia dilahirkan yang sekarang telah menjadi sebuah kota, Kota Luar Rimba Hijau, menjadi puing-puing. Hancur tak tersisa.
Saat ia tiba di sana asap dan api telah lama berlalu. Sebagian mayat-mayat telah dikuburkan, tapi belum semuanya. Sebagian besar penduduk entah mati atau mengungsi. Hanya yang tersisa berupaya untuk menguburkan. Semampunya, agar bau busuk mayat tidak mengudara dan menjadi sebab penyakit bagi yang masih hidup.
Paras Tampan tanpa banyak berucap langsung saja membantu para penduduk yang tersisa membenahi kota mereka. Beberapa orang tua yang ada masih mengenalinya. Para muda-muda merasakan wajahnya yang asing. Beberapa tahun di Rimba Hijau dan juga perkembangan kota yang pesat melahirkan penduduk-penduduk baru yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tidak terkecuali Kota Luar Rimba Hijau. Jadi masuk akal banyak orang-orang baru yang tidak mengenal dirinya. Hanya tua-tua yang tahu dan dulu hadir saat mereka mulai belajar ke Rimba Hijaulah tahu dan masih mengenal dirinya.
Setengah hari telah dihabiskan Paras Tampan untuk membongkar bagian-bagian rumah yang dibakar untuk mencari-cari apa ada mayat yang tersembunyi di bawahnya. Tak terasa ia akhirnya mencapai suatu bangunan yang cukup luas. pekarangan di dalamnya. Walaupun telah terbakar habis akan tetapi masih memperlihatkan bentuknya yang kokoh dan kaku. Suatu perguruan beladiri. Di dalamnya ia melihat tiruan dari portal Rimba Hijau lengkap dengan ukiran-ukiran di keempat sisinya. Juga lubang-lubang bendera atau panji-panji di atas keempat pinggirnya.
Siapa gerangan yang membangun tempat ini" Apakah.."
Pertanyaanya terjawab tak lama kemudian saat ia memasuki bangunan kayu yang sudah rusak sebagian dimakan api dan terbasahkan hujan itu.
Di salah satu dinding yang masih tersisa dari amukan api, ia melihat sebuah papan yang berisikan tulisan-tulisan nama-nama orang-orang yang terdaftar di perguruan beladiri itu. Dibacanya perlahan-lahan dari bawah ke atas.
Tiba-tiba perasaannya seperti tercekat. Ya, nama-nama yang tertulis di sana dikenalnya. Para pengajar di sana adalah rekan-rekannya yang tidak beruntung karena tidak diijinkan untuk mengikuti ujian akhir di Gunung Hijau. Mereka adalah orang-orang yang telah pulang ke Kota Luar Rimba Hijau.
Dan di sebelah kanan dari nama-nama itu tertulis pula nama-nama seperti Rintah, Misbaya, Gentong, dan lainnya. Orang-orang yang telah berhasil mengikuti ujian akhir di Gunung Hijau, akan tetapi telah menghadap kepada Sang Pencipta akibat ulah Perguruan Kapak Ganda. Tak terasa menetes sedikit air mata di ujung-ujung pelupuk mata Paras Tampan.
Sedih dan sunyi.
Saat ini hanya tinggal ia satu-satunya yang telah masih hidup dari turun gunung. Sebenarnya masih terdapat dua orang rekan putrinya, yaitu Kirani dan Rantih. Akan tetapi ia tidak tahu di mana keduanya berada. Coreng dan Moreng, kedua Manusia Tiga Kaki pun tidak tahu perihal mereka. Semoga saja mereka berdua masih hidup dan sehat.
Setelah cukup lama termenung, Paras Tampan pun mengambil papan daftar nama-nama murid-murid perguruan itu. Di bagian paling atas tertulis pula Ki Tapa. Guru mereka semua. Walaupun Ki Tapa tidak memperbolehkan Rimba Hijau dinamakan sebagai suatu perguruan beladiri, akan tetapi murid-muridnya yang tidak lulus ujian akhir dan membuka perguruan ini masih mempergunakan namanya sebagai guru besar. Sebagai suatu penghormatan saja.
Dengan menyematkan tali pada kedua ujung papan yang panjangnya sekitar tiga perempat tombak dengan lebar dua telapak tangan dirapatkan itu, Paras Tampan kemudian menggantungkan papan daftar nama itu di punggungnya. Ia akan membawa-bawa papan itu sebagai kenangan atas teman-temannya dan juga gurunya. Mereka yang telah menjadi korban pembantaian oleh Perguruan Kapak Ganda.
Saat keluar dari reruntuhan dan puing-puing perguruan itu, sesosok orang tua menyapanya.
"Nak.., nak Paras Tampan kan?" tanyanya sambil menyebutkan nama orang tua dan adiknya.
Paras Tampan hanya dapat mengangguk. Ia tadi telah terlebih dahulu mengunjungi makam kedua orang tua dan juga adiknya. Beruntung bahwa mereka telah dimakamkan dengan baik oleh orang-orang kota yang tersisa. Masih banyak korban yang belum ditemukan dan dimakamkan dengan baik.
"Bibi Antini.., bagaimana kabar Paman Baja..?" tanya Paras Tampan sekenanya. Ia tidah tahu harus berkata apa. Apapun yang ditanyakan pastilah akan membangkitkan kesedihan orang-orang di sekitar sini. Tak terkecuali sosok perempuan tua itu, Nyi Antini.
Nyi Antini hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Aku tidak tahu bagaimana kabarnya, nak Paras Tampan.. Saat terjadi pembumihangusan itu, ia dipaksa ikut oleh mereka, untuk membuka jalan di Rimba Hijau. Bibi masih selamat karena sempat disuruh olehnya untuk bersembunyi di dalam kolam ikan. Berendam semalaman."
Lalu diceritakannya bagaimana peristiwa yang dialami oleh Ki Baja dan Nyi Antini itu. Pada mulanya orang-orang Perguruan Kapak Ganda datang dengan baik-baik dan mencari orang-orang yang tahu mengenai penguni Rimba Hijau. Sudah pasti mereka adalah Ki Tampar dan Ki Gisang. Dengan alasan bahwa mereka membutuhkan pertemuan itu dikarenakan adanya suatu keperluan. Akan tetapi keperluan itu tidak mau mereka ungkapkan. Biar saja nanti dikatakan langsung pada para penghuni Rimba Hijau, begitu kata mereka seperti ditirukan Nyi Antini.
Ki Baja yang pernah mendengar mengenai Perguruan Kapak Ganda, menjadi curiga karena sepengetahuannya perguruan bela diri itu bukanlah suatu perguruan baik-baik. Mereka sering berbuat semena-mena hanya untuk mencapai tujuan mereka. Ia pun kuatir apabila terjadi sesuai dengan kota mereka. Langsung diceritakan hal itu kepada kepala desa Ki Surya. Akan tetapi hal itu tidak digubris. Melainkan mereka menyambut dengan ramah rombongan yang datang itu. Padahal mereka telah datang dengan persenjataan lengkap.
Masih merasa kuatir Ki Baja pun langsung pulang ke rumahnya. Disuruhnya istrinya, Nyi Antini untuk bersembunyi. Dan dikarenakan rumah mereka memang keci dan tidak ada tempat untuk bersembunyi, dimintannya istrinya untuk bersembunyi di kolam ikan. Berendam dengan menggunakan batang-batang rumput yang cukup besar agar dapat bernafas. Diperintahkannya untuk diam di sana sampai keesokan harinya. Patuh pada perintah suaminya, Nyi Antini pun melaksanakan hal itu. Akibatnya ia selamat, sedangkan suaminya hilang entah ke mana. Dari orang-orang yang hidup ia memperoleh keterangan bahwa Ki Baja termasuk orang-orang yang dibawa hidup-hidup oleh rombongan itu ke Rimba Hijau, untuk "dimintakan bantuan" membuka jalan.
Berendam semalaman bukanlah hal yang mudah, apalagi dengan seluruh tubuh barada di dalam air. Dingin dan basah. Belum lagi ia mendengar teriakan-teriakan yang menyayat hati dari orang-orang yang dibantai oleh Perguruan Kapak Ganda. Suara-suara minta ampun yang tidak digubris oleh sang eksekutor. Tangis dan rintihan pun membumbung langit meninggalkan kepedihan bagi yang masih hidup, yang luput dari peristiwa itu karena bisa bersembunyi atau tidak dianggap oleh para penyerang.
Tiba-tiba "byurr!!!", hampir menjerit Nyi Antini karena terdengar jeburan air dan sebuah benda terlempar dekat dengan dirinya. Sesosok mayat dengan luka di mana-mana. Memerah. Membuat air di kolam tersebut mulai berwarna. Menyebarkan amis darah. Hampir pingsan Nyi Antini menyaksikan itu. Hanya dengan menguatkan diri ia bisa bertahan hidup dengan tidak berteriak atau keluar dari tempat persembunyiannya.
Wajah Paras Tampan tampak membeku. Mengeras. Tangannya mengepal keras. Ia benar-benar tergores hatinya mendengar kekejaman dari para pembantai itu. Apalagi yang menceritakannya adalah orang yang cukup dengan dengannya. Nyi Antini. Sisa orang-orang yang terselamatkan dari peristiwa itu.
Sebentar Paras Tampan menunggu Nyi Antini yang melepaskan bebannya dengan bercerita. Terlihat akibat peristiwa yang mengerikan itu, Nyi Antini tampak bertahun-tahun menjadi lebih tua. Lebih tua dari umur sebenarnya. Sudah tentu diakibatkan oleh himpitan perasaannya yang timbul dari peristiwa itu.
"Maaf nak Paras Tampan, bukan maksud bibi untuk berkeluh kesah terhadapmu. Bibi kebetulan saja mendengar dari orang-orang tentang adanya seseorang yang datang membantu mencari dan juga menguburkan para korban di kota ini. Bibi pikir itu pastilah seorang dari kami yang kebetulan saat itu tidak berada di sini. Harap-harap itu Ki Baja...," tak dapat Nyi Antini meneruskan ucapannya.
Sedih Paras Tampan mendengar ucapan itu. Ia pun berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari keterangan mengenai bagaimana nasib Ki Baja untuk disampaikan pada Nyi Antini. Bertambah satu pula tugasnya, yang tadinya adalah hanya mengembalikan kitab-kitab yang dikumpulkan oleh Maling Kitab, dan juga mencari kabar Kirani dan Rantih.
"Ada satu hal lagi, nak Paras Tampan," Nyi Antini berhenti sebelum melanjutkan, "bibi tidak tahu apakah ini menggembirakanmu atau sebaliknya..."
"Katakanlah, bibi..! Tak ada lagi kiranya yang lebih buruk dari kenyataan saat ini di Kota Luar Rimba Hijau," ucap Paras Tampan sendu.
"Tunanganmu, Citra Wangi.., ia dan kedua orang tuanya telah lama pindah dari sini. Ke Kota Pinggiran Sungai Merah. Ki Rapih, Nyi Apik dan Citra Wangi tunanganmu selamat karena telah tidak tinggal di kota ini lagi. Sudah kira-kira dua tahun yang lalu mereka pindah..," jelas Nyi Antini.
Bergelora dada Paras Tampan mendengar hal itu. Ia sedari memasuki kota ini belum mencari keterangan mengenai Citra Wangi dan keluarganya. Kabar kedua orangtua dan adiknyalah yang pertama-tama ia cari. Setelah itu membantu penduduk untuk menguburkan orang-orang yang menjadi korban. Gembira ia mendengar kabar ini. Tapi terselip pula rasa yang aneh. Rasa bertanya-tanya atas kepindahan keluarga Citra Wangi ke Kota Pinggiran Sungai Merah.
Pikiran-pikiran berkecamuk dalam benaknya. Apakah mereka telah melupakan pertunangan antara putri mereka dengannya" Atau mereka tidak lupa, hanya saja pindah. Ia dan Citra Wangi yang telah berjanji untuk bertemu, memang tidak melaksanakan janji mereka saat ia menimba ilmu di dalam Rimba dan Gunung Hijau. Tidak mudah untuk melangsungkan pertemuan saat itu.
Melihat ekspresi Paras Tampan yang berubah-ubah, akhirnya Nyi Antini pun menambahkan, "Dari cerita para pedagang yang sering mampir ke kediaman Ki Rapih di Kota Pinggiran Sungai Merah, Citra Wangi masih sendiri. Belum menikah. Janganlah nak Paras Tampan kuatir.."
Sedikit merona wajah Paras Tampan mendengar komentar Nyi Antini. Tidak seharusnya ia berpikir hal itu di tengah musibah yang menimpa kotanya. Untuk menghilangkan jengahnya, ia pun berkata, "Bibi, apa yang bisa saya bantu" Apakah rumah bibi masih baik?"
Nyi Antini hanya menggeleng. Lalu diajaknya Paras Tampan untuk berjalan ke arah rumahnya yang tidak jauh dari sana.
*** Dua orang tampak sedang dalam perjalanan di antara batu-batu yang menjulang menghutan di Padang Batu-batu. Seorang dari pada mereka adalah laki-laki yang sudah terlihat tua dengan perawakan yang kekar dan busana sederhana. Sedangkan yang lain adalah seorang gadis muda dengan wajah yang manis. Rambutnya yang panjang diikatnya dengan rapih dan diselempangkan di samping dada kanannya. Pakaiannya ringkas tidak seperti kebanyakan pakaian mudi-mudi yang penuh dengan pernak-pernik dan warna-warna. Busananya berwarna cerah dengan hanya sebuah corak sulaman di dada kirinya. Gambar bunga berkelopak lima berwarna merah tua.
Kedua orang itu tampak gembira dalam melakukan perjalanan. Mereka berarah ke utara. Dari arah tengah Padang Batu-batu menuju ke Gunung Berdanau Berpulau. Langkah keduanya ringan dan mantap, menandakan bahwa mereka adalah orang-orang yang cukup mempunyai ilmu.
Entah mereka sadari atau tidak, tampak beberapa pasang mata sedang mengintai mereka sejak memasuki suatu kawasan. Kawasan di mana batu-batu yang menjulang tidak lagi berwarna abu-abu melainkan hijau kehitaman. Gelap ditumbuhi oleh jamur-jamur dan lumut yang tumbuh subur akibat diberi sesuatu. Racun.
Orang tua itu pun berkata kepada rekannya yang gadis muda, "Hati-hati. Kelihatannya kita memasuki daerah yang ada pemiliknya. Batu-batu ini terlihat tidak wajar." Sambil berkata demikian orang tua itu mencium-cium batu-batu yang berwarna hijau kehitaman dalam jarak sejengkal dari hidungnya.
"Hmmm..., racun hijau. Racun untuk menghitamkan batu-batuan dengan menggunakan lumut dan jamur. Juga menumbuhkan lumut khusus yang bisa menebarkan spora-sporanya ke udara," terang orang tua itu.
"Tapi apa bahayanya, guru" Kita toh sering menghirup spora dan serbuk sari tumbuh-tumbuhan saat bernafas. Begitu halnya pula sering meminum sperma ikan-ikan saat kita minum air dari sungai..," jawab sang gadis jenaka. Rupanya ia murid sang orang tua.
Tersenyum gurunya mendengar komentar muridnya. "Engkau benar, muridku. Tapi spora ini lain. Jenis ini bisa menyebabkan halusinasi sehingga engkau dapat bermimipi. Biasanya digunakan oleh rampok-rampok atau jagal yang akan menghadang rombongan. Dengan cara ini mereka tak perlu bekerja keras, karena yang akan dirampok sudah takut lebih dahulu. Berhalusinasi betapa sangar dan mengerikannya sang perampok."
Muridnya menggangguk-angguk mendengarkan penjelasan itu. "Ada penawarnya, guru?"
"Hehehe, tentu saja ada. Dan amat mudah. Dibalik lumut itu sendiri terdapat penawarnya." Lalu ia mengambil sejumlah lumut yang disebutnya akan menyebarkan spora ke udara, yang dapat membuat orang berhalusinasi apabila menghirupnya. Dibaliknya lembaran lumut itu sambil ditunjukkan butir-butir berwarna meran. "Ini, ambil dan remas-remas dengan jarimu. Borehkan sedikit di dekat lubang hidungmu. Ini akan menetralkan pengaruh spora-spora yang memabukkan tadi."
Muridnya pun melakukan hal yang dianjurkan oleh gurunya. Keduanya sekarang tampak agak lucu karena di bawah hidung mereka, di bagian di atas bibir yang terlihat cekung, terdapat warna-warna merah. Borehan dari butir-butir kemerahan dari bawah lembaran lumut tadi.
"Kalau penawarnya sedemikian mudah, buat apa ditanam di sini guru?" tanya gadis itu ingin tahu.
"Tidak semudah itu, muridku. Tidak semua orang tahu bahwa penawarnya berada dekat dengan sumber racunnya. Ada pengujar tua yang pernah berkata. Jangan cari jauh-jauh lawan suatu hal. Lihatlah di sekitarnya. Jika ada yang positif pasti ada yang negatif di sekitarnya. Itulah alam. Amat indah dan seimbang." Ia pun berhenti sebentar untuk kemudian melanjutkan lagi, "aku saja jika tidak diberitahu guruku tidak akan mengerti.."
Kata-katanya tidak diteruskan. Tangannya diletakkan di depan bibirnya, mengisyaratkan agar muridnya diam dan mendengarkan. Pendengaran mereka yang terlatih menangkap adanya gerakan-gerakan di balik batu-batu yang hijau menghitam ditumbuhi jamur-jamur itu.
Tiba-tiba di hadapan muncul tiga orang berpedang dan bertombak. Ketiganya langsung menghadang perjalan kedua orang itu. Mengisyaratkan niat yang terasa tidak baik. Saat kedua orang itu memutar badan hendak mundur ke arah semua mereka datang, tiga orang lain tampak muncul dari arah yang berlawanan. Sekarang semuanya enam orang. Mengepung dari kedua arah. Arah yang tersisa hanya diisi oleh batu-batu menjulang. Rupanya mereka telah memilih tempat yang strategis untuk melakukan pengepungan.
"Guru, bagaimana ini?" tanya sang murid.
Orang tua itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berusaha untuk menahan sabarnya. Jika kejadian ini terjadi dulu sekali sebelum ia bertemu dengan seseorang. Sudah pasti terjadi hal yang amat akan disayangkannya. Tetapi tidak saat ini. Ia telah berubah.
"Maaf, ki sanak sekalian, boleh saya tahu kenapa kalian menghalangi perjalan kami guru dan murid ini?" tanyanya sopan kepada orang-orang yang menghadangnya.
"Hehehe, kalian telah melalui wilayah kami. Batu Lumut Hitam. Maka sudah sepantasnya kalian tinggalkan bekal kalian," ucap salah seorang brewok dari mereka. Perawakannya yang besar menunjukkan kemampuan fisiknya dalam bertarung. Setidaknya mengayunkan golok besar yang disandangnya.
"Tapi kami tidak punya apa-apa yang bisa ditinggalkan. Hanya bekal makanan dan baju pengganti," ucap orang tua itu masih sabar.
"Jangan pura-pura orang tua! Siapa yang tidak bisa melihat bungkusan panjang yang ada di belakangmu itu. Pasti itu suatu yang berharga," bentak teman si brewok.
"Dan yang cantik ini, boleh juga ditinggal," ucap temannya yang berada di belakang yang disambut dengan haha-hihi teman-temannya.
Merah padam gadis muda itu mendengar ucapan yang ditujukan pada dirinya. Hanya isyarat gurunya saja yang masih membuatnya sabar. Akan tetapi hawa tenaga telah dialirkannya dari pusar menuju ke anggota-anggota tubuhnya. Siap untuk melontarkan sepukul dua pukul tendangan dan pukulan.
Gurunya pun tak ada melihat ada pilihan lain, lalu katanya lirih, "Engaku ambil tiga yang di depan, biar aku yang di belakang. Sisakan satu untuk penunjuk jalan."
Mengangguk muridnya mendengar usul gurunya. Memang orang-orang seperti ini tidak boleh diberi ampun.
Untuk sedikih memecah perhatian gurunya tampak membuka bungkusan panjang yang tadi disebut salah seorang dari mereka. Jika saja mereka tahu apa isi bungkusan itu, pasti mereka tidak akan memintanya. Dua buah pedang panjang. Sebuah untuk sang guru dan sebuah untuk sang murid.
Tak sabar melihat orang tua yang membuka bungkus itu perlahan-lahan, seakan-akan ia memiliki seluruh waktu di bumi itu, salah seorang penghadang menghardiknya, "Pak tua, cepat serahkan bungkusan itu. Jangan lama-lama. Tidak sabar diriku ini!"
"Meregang nyawa kok terburu-buru sekali sih?" ucap orang tua itu.
"Heh, apa maksudmu, orang tua?" tanya balik orang itu.
Dengan gerakan cepat orang tua itu membuka bungkus dari benda panjang yang ada di tangannya. Kain penutupnya ternyata memiliki mekanisme sedemikian rupa, jika talinya ditarik, kainnya langsung terbuk. Dengan lemas orang tua itu langsung mengambil salah satu isi dari bungkusan kain itu dan melemparkannya pada muridnya, yang langsung dengan sigap menangkapnya.
"Hey.., apa maksud kalian...?" belum selesai perkataan orang yang bertanya tersebut, kedua orang itu langsung dengan cepat bergerak. Menyerang. Mengayunkan barang yang tadinya terbungkus rapi tadi. Dua buah pedang panjang. Pedang yang lebih panjang dari pedang kebanyakan. Hampir dua kali panjang pedang biasa.
"Singg! Takkk!" pedang sang murid menghantam golok seorang penghadang. Bergetar tangan yang memegang golok tersebut. Tak disangkanya bahwa dara yang terlihat halus itu memiliki tenaga serangan yang sedemikian kuat. Sementara lawan si orang tua dikarenakan pengalamannya yang banyak dalam perampokan-perampokan sempat menghindar mundur atas dasar naluri belaka. Salah seorang dari mereka bertiga hampir saja kehilangan tangannya.
Melihat ini sadarlah orang-orang itu bahwa yang mereka hadang bukanlah mangsa yang biasa. Ini adalah orang-orang yang punya sedikit kepandaian. "Bagus! Ini bisa menjadi hiburan sebelum makan malam," kata seorang dari mereka. "Bunuh!! Jangan biarkan seorang pun hidup!"
Mendengar aba-aba itu kelima rekannya langsung mengambil posisi mengepung. Mengayun-ayunkan golok dan tombak mereka untuk menghabisi kedua orang itu. Sang guru dan muridnya.
Guru dan murid itu tampak beradu pungguh melihat ke arah lawan-lawannya. Lalu kata si orang tua, "Nah Sarini, ini kesempatanmu untuk mencoba ilmu pedang panjangmu." Tersenyum murid yang bernama Sarini itu. Ia telah melatih ilmu pedang panjang yang diturunkan dari gurunya, Walinggih. Biasanya ia hanya berlatih dengan gurunya atau batu-batu yang tidak bisa balas menyerang. Hari ini ia mendapatkan kesempatan untuk bertarung dengan sesama manusia. Bukan hanya itu, melainkan para perampok jahat, yang untuk membasminya tidak perlu sungkan-sungkan.
Kedua orang itu, Walinggih dan Sarini tampak bergerak hati-hati. Mereka menyadari bahwa orang-orang yang mereka hadapi ini tidak terlalu tinggi ilmu silatnya, akan tetapi mereka adalah orang-orang kasar yang sering merampok dan berbuat keji. Naluri mereka kadang lebih baik dari keahlian seoran ahli silat. Seperti seekor binatang buas yang memiliki kemampuan untuk menaklukkan mangsanya. Kemampuan alamiah seorang pemangsa. Bangsa Penghadang. Orang-orang penguasa dari daerah Batu Lumut Hitam.
*** Orang tua itu setelah menyendokkan sesuatu dari dalam panci yang sedang dijerangnya di atas air, mendatangi Lantang yang masih terbaring ditemani oleh Xyra. Lalu katanya, "Minumlah! Air rebusan akar-akaran ini akan membersihkan darahmu dan menyegarkan pikiranmu kembali. Sekarang jangan banyak pikiran dulu. Tenangkan dirimu. Biarkan sahabatmu yang Undinen itu merawatmu. Ia telah kupesankan caranya."
Mengangguk lemah Lantang mengiyakan. Xyra dengan cepat menerima mangkuk yang diangsurkan oleh orang tua itu. Ditiupnya sedikit. Dengan Tenaga Air ia bahkan dapat membekukan ramuan dalam mangkuk itu, tetapi tidak. Lantang membutuhkan ramuan yang suam-suam kuku. Tidak terlalu panas dan juga tidak dingin. Setelah yakin akan panasnya, perlahan ia menuangkan ramuan itu ke dalam mulut sang pemuda. Tampak kasih sayangnya dalam melakukan itu. Penuh dengan kelembutan.
Di seberang sana si orang tua tampak menghela napas menyaksikan itu. Teringat ia akan nasibnya yang tidak lama bersama dengan orang yang dicintainya. Dan ini dihadapannya tampak kasih sayang sesosok Undinen kepada seorang manusia. Ia tidak tahu apakah bentuk kasih itu dapat berlanjut. Bila tidak amat disayangkan, karena nasib anak muda itu dapat mengikuti perjalanan hidup dirinya yang tidak menyenangkan. Selain itu ditemui pula adanya keanehan pada diri pemuda itu. Keanehan yang berkaitan dengan peredaran hawa dalam tubuhnya.
Seruling Samber Nyawa 16 Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang Memanah Burung Rajawali 25

Cari Blog Ini