Ceritasilat Novel Online

Kehidupan Para Pendekar 5

Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen Bagian 5


"Hiaatt!!" serangan kakek Gu ke arah kepala dan pundak beberapa orang dielakkan dengan mudah dan tipis dengan hanya menarik kepala ke belakang dan memindahkan sedikit titik berat tubuh. Setelah dua orang lolos, kakek Gu masih berusaha untuk menyerang orang ketiga dan keempat. Kedua orang terakhir inilah yang sebenarnya merupakan tujuan kakek Gu. Seketika mereka melihat bahwa rekannya dengan cara sebegitu saja dapat mengelak, mereka menjadi tidak berwaspada, dan hal itu yang diharapkan oleh kakek Gu.
Dengan hanya memindahkan sedikit titik berat dan menarik kepala, membiarkan kaki depan mereka tidak berpindah, membiarkannya dalam jangkauan tumit cankul kakek Gu, si Zahnloserbauer. Dan "takk!!" serta "krakkk!!" dua buah kaki dari dua orang yang berbeda terkena tendangan cankul bergantian kanan dan kiri dan kakek Gu. Tendangan yang awalnya ditipukan untuk menyerang kepala dan pudak kedua orang tersebut, suatu tipuan yang telah dipertontonkan sebelumnya kepada kedua orang rekan mereka. Tipuan manis yang menghanyutkan. Tipuan yang meraih korbannya dengen telak.
Seruan Hek-Mo pun datang terlambat, "itu kaki.., awas....!!"
Kedua orang yang menjadi korban tampak sesegera mungkin bersalto ke belakang, menghindari adanya kemungkinan mendapat serangan dadakan susulan. Kedua rekan yang masih sehat pun tampak terkejut. Suatu serangan di luar perkiraan mereka. Serangan seorang pakar pertempuran, yang telah banyak mengalami pertarungan.
Napas memburu tampak pada wajah kakek Gu. Empat serangan dengan delapan variasi telah dilakukannya untuk menyerang Empat Begal Hutan. Dua untuk mengelabui dan dua untuk benar-benar menyerang.
Terpaku pada sesuatu yang telah "lazim" berlangsung merupakan salah satu kelemahan manusia. Dan hal-hal ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang mengetahui dan mengerti untuk menciptkan dinamika. Menghidari kebosanan. Dari sini bisa banyak yang dituai atau ditarik keuntungan. Dalam pertarungan juga demikian. Apabila musuh terus-menerus mengeluarkan jurus-jurus yang sama, kita akan terlena dan menjadi yakin bahwa musuh hanya memiliki gerakan-gerakan ini dan tidak lainnya. Demikian pula dengan Empat Begal Hutan yang dari segi umur masih belia apabila dibandingkan dengan kakek Gu atau pun dengan Su-Mo. Keterlenaan mereka harus dibayar dengan remuknya dua telapak kaki dari dua orang dari mereka.
"Bagaimana, Empat Begal Hutan" Masih ingin dilanjutkan?" tanya kakek Gu keren, tanpa ada nada sombong di suaranya yang sudah kembang-kempis. Ia tidak berusaha menutup-nutupi keuzuran usianya yang berarti staminanya juga telah turun jauh, terutama untuk pertarungan jangka panjang.
Keempat Begal Hutan tidak menjawab. Sebenarnya di dasar hati mereka, telah tumbuhi rasa malu bahwa mereka yang masih muda dan berempat tidak bisa menghadapi seorang yang telah tua. Seorang yang kelihatannya rapuh, bagai akan terbang ditiup angin belaka.
Sebelum satu dari empat orang itu menjawab, telah turun kata dari seorang Su-Mo, Hek-Mo, "Kakek Gu, cepat suruh pemuda itu keluar. Kami masih ingin menjajal ilmu iblisnya itu." Saat berkata masih bergidik Hek-Mo sesaat membayangkan saat Gu Yo atau Paras Tampan merapalkan ilmu "Jarum Terbang Debu Pasir" yang menyerangnya dan juga Pek-Mo. Keduanya mengalami luka yang cukup parah. Bagian tubuh pinggang ke bawah diterjang jarum-jarum halus yang terbuat dari debu dan pasir yang direkatkan oleh Tenaga Tanah dan dikirimkan dengan pukulan atau hempasan. Masih untung pemuda itu belum begitu berpengalaman, sehingga bagian tubuh mereka yang luka bukannlah bagian-bagian penting dari jalan darah yang ada. Jika tidak, sudah berada satu dua meter mereka di dalam tanah, bersemayam di sana selamanya.
Pertanyaan inilah yang tidak diharapkan oleh kakek Gu. Ia tahu atau dapat memperkirakan mengapa sedari tadi Su-Mo belum turun tangan. Mereka masih jerih akan adanya Gu Yo, dan menunggu terlebih dahulu sampai pemuda itu muncul. Mendengar pertanyaan itu, berputar keras otak kakek Gu. Ia harus mencari siasat untuk itu. Bukan hanya untuk menyelamatkan dirinya, tapi juga menyampaikan pesan yang tadinya masih ragu untuk dikatakan kepada Gu Yo. Tapi setelah lama berdiskusi dengan nenek Po, akhirnya diputuskan bahwa hal itu haruslah disampaikan. Untuk kebaikan Gu Yo sendiri, dalam rangka misinya.
Untuk itu kakek Gu berniat untuk mengadu jiwa, sementara ia melihat bahwa nenek Po tampak telah siap sedari tadi berkemak-kemik merapalkan sesuatu. Kakek Gu pun memantapkan niatnya. Ia menegakkan tubuhnya dan mengatur nafas lambat sampai tak terdengar. Lalu katanya keren, "Bagaimana jika kalian semua berdelapan sekarang maju serentak" Biar tak habis waktu kita."
*** Pemuda dan pemudi itu tampak lahap menyantap daging bakar yang disajikan dengan saus kacang dan kecap manis pekat. Sesekali terdengar suara dari dalam perut melalui leher sang pemuda. Menandakan bahwa makanan yang disantapnya membuat sang perut kenyang. Si pemudi tampak lebih santai dalam menyantap, tidak sepesat dan segarang sang pemuda.
Akhirnya makan malam itu pun usai. Keduanya tampak terduduk agak lemas. Lemas setelah perut diisi penuh. Juga lemas akibat hal-hal yang baru saja berlangsung.
"Kedai Daging Bakar pamam Yok Seng ini memang tiada tandingannya di kota Siaw Tionggoan," ucap pemuda itu sambil menyeka mulutnya dengan semacam kertas atau kain yang disediakan untuk itu.
"Iya, memang benar," sahut si gadis pendek mengiyakan.
Keduanya kemudian terdiam, masih terbayang peristiwa yang baru-baru saja terjadi di suatu tempat. Tempat kerja si gadis.
"Bagaimana bila pemuda itu kita tanyai sekarang?" usul sang pemuda.
"Boleh juga, tapi apa tidak mengganggu kerjanya?" balik tanya si gadis atas usul rekannya itu.
"Seharusnya sih jam-jam segini mereka telah beristirahat, akan tetapi lebih baik bila kutanyakan saja pada kepala pelayan di sana," katanya sambil bangkit dan menuju kepada seorang pelayan yang sedang bertugas mengawasi jalannya kegiatan di Kedai Daging Bakar pada hari itu.
Sebelum pemuda itu bertanya, sang pelayan kepala yang sedang duduk itu segera berdiri saat melihat pemuda itu menghampirinya, lalu sapanya, "Selamat malam, Inspektur San Cek Kong! Apa anda ingin memesan lagi?"
"Ah, tidak paman. Tadi sudah cukup. Lebih dari cukup. Sudah penuh lambung kami berdua," jawabnya ramah. "Saya hanya ingin bertanya, apa kami -- saya dan nona Sian Lin, boleh berbicang-bicang sedikit dengan Gu Yo, seorang yang bekerja di sini?"
"Maksud inspektur, Gu Yo yang baru mulai bekerja hari ini?" tanyanya. Gu Yo mendadak hari itu menjadi terkenal karena ia membawa suatu cerita menghebohkan saat ia kembali ke Kedang Daging Bakar, selepas kunjungannya ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To tadi sore.
Pemuda itu, yang dipanggil inspektur San Cek Kong mengangguk. Tapi kemudian ia menambahkan, "bila tidak mengganggu kerjanya, tentu saja. Atau perlu saya membawa surat resmi?"
"Ah, tidak perlu inspektur. Gu Yo dan yang lainnya pasti sedang beristirahat saat ini. Jam-jam segini sudah tidak ada lagi kegiatan yang kerap di dapur," jawab sang pelayan kepada sambil menggerak-gerakkan tangannya. "Sebentar akan saya panggilkan."
Tak lama kemudian pemuda yang ingin ditanyai oleh San Cek Kong dan Swee Sian Lin pun tiba di meja tempat kedua orang itu duduk.
"Ji-wi berdua memanggil saya?" tanyanya sopan. Ia telah mengenap nona Sian Lin, akan tetapi pemuda yang bersamanya baru dilihat saat itu. Ia tidak tahu bahwa ia dan San Cek Kong tadi berselisih jalan di dekat Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To. Karena keduanya tidak saling mengenal, maka saling tidak memperhatikan bahwa masing-masing sempat hampir bertubrukan tadi.
"Duduklah, Gu Yo!" sahut Sian Lin ramah.
Sementara San Cek Kong hanya menggangguk sambil tersenyum. Sebagai seorang paturan yang telah lama bertugas, ia memanfaatkan saat pertama bertemu dengan orang baru untuk menilainya. Membiarkan naluri alamiah seorang manusia untuk merasakan apa-apa yang bisa ditangkap. Hal ini perlu. Berdasarkan pengalamannya, bila orang telah kenal lama, naluri ini kadang-kadang menjadi tumpul karena teralihkan oleh kesan-kesan yang timbul dari cerita atau perkataan orang. Dan juga dari kesan yang ingin ditampilkan oleh orang itu sendiri. Atas dasar ini banyak kejahatan yang muncul dari teman dekat, saudara atau lainnya. Naluri mereka telah tertindas oleh kebiasaan bahwa orang-orang yang dekat dengan mereka adalah orang-orang "baik" yang tidak mungkin melakukan kejahatan. Padahal kadang sebaliknya. Orang yang paling baik, kadangkala memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan juga yang paling sempurna.
Setelah puas menilai dan mengira-ngira San Cek Kong pun kemudian memperkenalkan dirinya sebagai inspektur yang ingin berbincang-bincang dengan Gu Yo perihat peristiwa tadi siang yang terjadi di Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.
Gu Yu pun hanya mengangguk dan ia berdiam menunggu pertanyaan yang akan diajukan oleh inspektur San Cek Kong.
*** "Hek-Mo, engkau baik-baik saja?" tanya Huang-Mo atau si Setan Kuning kepada rekannya si Setan Hitam, yang baru saja dipeluk erat kepalanya dengan kedua telapak tangan kakek Gu yang meregang nyawa atas bacokan Hek-Mo.
"Tidak, aku... tidak apa-apa..!" katanya agak tak yakin. Dicarinya dengan padangan mata di mana rekan kakek Gu, nenek Po, berada. Tampak bahwa yang dicari lagi terduduk tenang akan tetapi tanpa tanda-tanda kehidupan. Melepas nyawa bersamaan dengan terbangnya nyawa kakek Gu.
Ucapan kakek Gu yang bagaikan menyiramkan minyak tanah kepada api kecil itu membuat Su-Mo bak kebakaran jenggot jadinya. Tanpa dikomando keempatnya turunkan tangan dan kakinya melengkapi barisan empat pengeroyok kakek Gu sebelumnya, Empat Begal Hutan.
Runyam jadinya. Melawan empat orang saja dari mereka kedudukan sudah seri bagi kakek Gu. Apalagi sekarang melawan delapan orang sekaligus. Akan tetapi niatan untuk menyampaikan pesan kepada Gu Yo membuatnya tenang. Alih-alih cemas, malah wajah kakek Gu menjadi lebih sumringah. Tersenyum-senyum dan tampak seakan-akan siap menerima apa-apa yang akan terjadi pada dirinya kelak, bahkan yang terburuk sekalipun.
Pertempuran mati-matian mempertahankan nyawa tak dapat dihindari. Kakek Gu harus bergerak ke sana dan kemari untuk menyelamatkan nyawanya yang tinggal selembar itu. Belum saatnya terbacok golok atau terpukul kepalan Su-Mo, atapun kena gebug pukulan dan tendangan Empat Begal Hutan. Ia masih perlu waktu untuk sesuatu.
Waktu. Satu hal itu yang kiranya agak sulit diharapnya sekarang, demi melihat kelebatan pukulan dan bacokan silih berganti di sekelilingnya. Hampir membuatnya tak bisa bernapas sebelum bergerak ke sana-ke sini, di antara hujan serangan.
Tiba-tiba tampak sekelebat bayangan nenek Po. Samar seperti asap. Ia menunjuk-nunjuk kepada Hek-Mo, anggota Su-Mo yang paling berangasan dan beremosi. Kakek Gu pun mengangguk. Ia mengerti bahwa pesan itu harus dialamatkan pada orang itu. Orang yang paling membencinya. Paling kesal padanya, sehingga paling mudah dirasuki.
Tanpe membuang waktu, kakek Gu mengempos tenaganya. Ia berusaha menghalau hujan pedang dan pukulan ke sana kemari, sehingga jalannya ke arah Hek-Mo terbuka. Lalu sebagai siasatnya agar Hek-Mo emosi, ia harus berkata-kata yang pedas. Untuk membuat lawannya itu tidak lagi waspada memelihara batinnya.
"Hei, Hek-Mo! Hanya sampai sini saja kepandaianmu?" ucap kakek Gu merendahkan. Walau ia sendiri sadar, berbicara sambil bertempur itu akan membahayakan dirinya sendiri. Tapi misinya harus dituntaskan, dan kelihatannya harus ditebus dengan nyawanya. Dan mungkin pula dengan nyawa nenek Po.
Mendengar itu, sontak Hek-Mo mendelikkan matanya dan mulutnya menggereng-gereng. Sudah tidak tahan lagi ia untuk berkata-kata. Gerengannya itu sudah melambangkan kekesalan hatinya akan kakek Gu. Dulu sekali dikalahkan dan saat ini pula kakek Gu masih tampak berdiri dengan gagah di tengah-tengah kepungan kedelapan orang itu. Hek-Mo menjadi marah. Adanya ketujuh rekannya membuat nyalinya sedikit berkembang. Ia pun maju mendekat sambil membantu rekan-rekannya menyerang kakek Gu semakin gencar.
"Hehehe, bagus datanglah Hek-Mo, biar kakiku bisa mampir lagi ditubuhmu!" ejek kakek Gu yang sudah kepayahan terpukul beberapa kali. Untuk saja belum ada bacokan golok yang bersarang di tubuhnya.
"Grrrrggghh!!" mengerang Hek-Mo sambil melompat membacok dua kali dengan dua goloknya. Umumnya ia tidak menggunakan dua golok, tapi hari ini entah kenapa ia mencoba menggunakan ilmu baru yang menggunakan satu golok di tangan kanan dan satu di tangan kiri dengan arah pegang yang berbeda. Satu ke atas satu ke bawah.
Suatu serangan yang berbahaya, tapi kakek Gu seakan-akan tidak memperhatikannya. Matanya tampak tertuju pada sebuah titik di antara kedua mata Hek-Mo. Dan ia pun melihat bahwa bayangan samar nenek Po juga telah siap di belakang Hek-Mo. Sekali lagi mengangguk kakek Gu pun bagai menyongsong sabetan atas ke bawah dan bawah ke atas dari Hek-Mo. Matanya tetap lekat ke titik yang tadi diperhatikannya.
"Cakkk!!! Crakkk!!" kedua golok itu mendarat dengan ganas di tubuh kakek Gu. Satu di pundah menuju dada dan satu di bawah ketiak menuju leher. Sabetan menyilang. Sabetan Serong Atas Bawah Dua Golok. Suatu jurus dari Hek-Mo, anggota paling berangasan dari Empat Setan (Su-Mo).
Saat Hek-Mo berpuas diri melihat darah yang mengalir pelan dari kedua tempat di mana kedua senjatanya bersarang, tiba-tiba ia menjerit ngeri. Bukan saja karena ternyata kakek Gu belum mati, selain kedua goloknya yang seakan-akan terjebit oleh dagingn dan tulang yang dibelahnya, tapi juga kedua tangan kakek Gu yang memegang kepalanya. Menyentuhkan kedua ibu jarinya pada titik di atas hidungnya. Suatu titik di atanara kedua mata. Serunpun energi hangat terasa mengalir masuk menggelapkan pandangannya. Telinganya bagai mendengar kakek Gu dan juga nenek Po bercakap-cakap kepadanya. Menceritakan banyak hal dari suatu jaman ke jaman lain. Dan bukan hanya itu, ia juga seakan-akan dapat melihat semua yang diceritakan kedua orang itu. Bermacam-macam keterangan masuk ke dalam kepalanya.
Lama semua itu dirasakan oleh Hek-Mo berlangsung, walaupun rekan-rekannya hanya melihat kurang dari sejurus dua, bahwa ia tampak termangu-mangu atas tekanan kedua jari jempol kakek Gu yang sudah bersimbah darah pada tengah-tengah kedua matanya, yang kemudian disusul dengan runtuhnya tubuh kakek Gu ke atas tanah setelah tak bernyawa lagi.
Bersamaan dengan itu kembalilah kesadaran Hek-Mo, sehingga ia bisa menjawab pertanyaan Huang-Mo.
"Mari kita pergi!" ajak Huang-Mo kepada rekan-rekannya. Ia sendiri tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi ia gembira bahwa Hek-Mo tidak tinggal nyawa di tangan kakek Gu. Walaupun berangasan Hek-Mo adalah sosok seorang yang setia. Dan itu amat disayangkan oleh Huang-Mo apabila rekannya itu sampai tewas dalam pertempuran yang baru saja berlangsung.
Dengan tak berkata-kata kedelapan orang itu pun pergi meninggalkan tempat itu. Membiarkan saja kedua orang tua yang telah menjadi jenasah tergeletak di sana. Satu tersungkur bersimbah darah dan satu terduduk damai.
Setelah sunyi dan tiada orang lagi di sana, tampak sekelebat bayangan putih tiba di sana. Seorang tua dengan pakaian berwarna putih yang sederhana, yang dihiasi dengan ramput putih panjang yang dibiarkannya tergerai. Setelah memandang sebentar dengan sorot mata yang sedih akan tetapi tenang, ia bergerak ringan bagaikan tak menapak, menggapai kedua sosok yang telah tiada bernyawa itu. Menentengnya dengan ringan dan membawanya pergi dari sana.
*** Tak terasa sudah seminggu Gu Yo bekerja di Kedai Daging Bakar milik Yok Seng. Kerjanya yang ulet dan rajin membuatnya disukai banyak orang. Ma She yang biasanya jarang berbicara, tampak banyak berbicara dan sering menyuruh-nyuruh Gu Yo serta juga mengajari berbagai hal. Ini mungkin karena pemuda itu mudah mudah diajari dan langsung bertanya apabila penjelasan yang diberikan Ma She tidak dimengertinya. Pada kebanyakan orang, biasanya hanya mengangguk-angguk walaupun sebenarnya tidak seratus persen mengerti. Barulah umumnya belakangan diketahui dari hasil kerjanya, bahwa sang pelaku tidak benar-benar mengerti apa yang ditugaskan. Tidak dengan Gu Yo, ia tidak mau melakukan pekerjaannya sebelum benar-benar mengerti. Dan sikap ini cocok dengan Ma She, sang kepala koki di tempat itu.
"Gu Yo...! Dimana kamu...?" tiba-tiba terdengar panggilan orang. Orang yang dicari tampak sedang menimba air dari sumur yang berada di belakang bangunan utama Kedai Dagin Bakar.
"Eh, engkau Ma Siang... Ada apa?" sapa Gu Yo saat melihat bahwa pemilik suara yang mencari-cari dirinya adalah Ma Siang, keponakan dari Ma She.
"Kamu tahu tidak, bahwa ada kasus baru lagi?" tanya Ma Siang dengan jenaka. Bukan buru-buru memberikan penjelasan, ia malah ingin membuat Gu Yo semakin penasaran.
"Tidak. Eh, kasus apa maksudmu?" tanya Gu Yo balik. Ia sebenarnya tidak terlalu berminat dengan gosip-gosip yang sering beredar di tengah-tengah para pegawai di tempatnya bekerja. Gosip-gosip yang kadang tidak jelas sumbernya. Tapi untuk sama sekali tidak tertarik, juga sulit. Paling tidak, cukuplah mendengar dan tidak menyebarkan lebih lanjut. Itung-itung sebagai hiburan.
"Itu kasus yang mirip kasus yang terjadi di Rumah Tato Ceng-Lion Hui-To..," jawab Ma Siang pendek sambil senyum-senyum saat melihat Gu Yo telah tumbuh minatnya untuk tahu lebih lanjut.
"Ada apa memangnya" Ceritakanlah Ma Siang..!" pinta Gu Yo. Tidak biasanya ia tertarik pada cerita-cerita yang beredar. Untuk kasus yang satu ini, tak dapat disangkal bahwa ia amat tertarik. Selain karena ada urusannya dengan nona Swee Sian Lin dan inspektur San Cek Kong, juga karena ada kaitannya dengan tujuannya datang ke kota Siaw Tionggoan ini. Tugas titipan mendiang gurunya.
Gembira Ma Siang melihat bahwa Gu Yo tertarik dengan kisahnya. Biasanya pemuda itu tampak tak acuh dan mendengar ceritanya sambil lalu saja. Kala ini berbunga-bunga hati dara itu, bahwa orang yang dikaguminya ingin mendengar ceritanya dengan antusias. Dengan gayanya yang khas kemudian Ma Siang pun menceritakan peristiwa yang terjadi di bagian lain kota Siaw Tionggoan itu, di mana orang menemukan tato segar lain yang masih meneteskan darah. Dan sama dengan keadaan sebelumnya, bahwa tidak diketahui apakah terdapat korban ataukah tidak, orang dari mana tato segar itu dikeletek.
Usai mendengar cerita Ma Siang, Gu Yo pun bergegas pergi. Ia merasa ada hal yang harus ditanyakannya kepada nona Siaw Sian Lin. Hal yang berkaitan dengan misinya dan juga kemunculan kembali tato-tato segar tersebut. Entah apa ada hubungan antara keduanya. Panggilan Ma Siang tidak dihiraukannya, yang tampak jengkel dan menjejak-jejakkan kakinya karena ditinggal sehabis bercerita panjang lebar.
*** "Manusia, sampai akhir pun tidak dapat melepaskan ketergantungannya. Jika tidak terhadap dua masalah utama: harta dan kekuasaan, pastilah pada janji-janji dan rahasia masa lalu," ucap seorang tua berambut panjang putih yang tampak baru saja membuat dua buah kuburan baru. Dua buah gundukan tanah baru tampak di hadapannya.
Dengan bagai tanpa tenaga ia mengambil dua buah batu sebesar kerbau dewasa, yang dicungkilnya dengan tongkat yang baru saja digunakannya untuk menggali dua buah kuburan itu. Dua buah batu besar tersebut terungkit dan kemudian terlempar, mendarat dengan debam berat pada suatu tempat di ujung masing-masing makam.
Lalu ia dengan masih menggunakan tongkat yang sama menggerak-gerakkan tongkatnya, dan angin bercuitan terdengar bersamaan dengan debu yang mengepul di sekitar salah satu batu penanda makam. Sederetan huruf yang membentuk kalimat telah dipahatkan di sana. Dari jarak dua tombak lebih. Tak menunggu lama kemudian ia "menulis" lagi untuk batu penanda makam satunya. Setelah selesai, bagaikan memang telah datang waktunya, tongkat yang digunakan itu pun meluruh menjadi serbuk-serbuk halus dari tangan orang itu. Menyebar ditiup angin.
"Gu Ming, Po Ting Hwa, semoga Sang Pencipta menerima jiwa kalian berdua dan tenteram di alam sana. Aku bakal menyusul tak lama lagi," ucapnya kepada kedua makam tersebut. Usai perkataan itu, orang tua berbusana putih berambut putih tergerai itu bergerak dengan ringan dan hilang menuju barat, ke arah di mana kota Siaw Tionggoan berada.
*** "Nona Sian Lin, ada seorang pemuda bernama Gu Yo yang mendesak ingin bertemu. Saya sudah bilang bahwa ia harus buat janji terlebih dahulu. Tapi katanya penting," ucap seorang pelayan wanita kepada seorang dara yang sedang bekerja di mejanya. Membalik-balik beberapa buah buku dan menuliskan sesuatu pada kertas-kertas di atas meja.
"Gu Yo" Baiklah, suruh saja ia masuk. Aku akan menemuinya. Antar ia ke Ruang Hijau!" ucap gadis itu saat mengenali nama yang disebutkan oleh pelayannya.
"Baik, nona!" ucap sang pelayan yang segera mohon diri untuk menjemput sang tamu dan mengantarkannya ke Ruang Hijau.
Ruang Hijau adalah ruang yang berada tidak di tengah-tengah Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To melainkan jauh di balakang. Sebuah ruang yang diperuntukkan bagi karya-karya yang berkaitan dengan orang yang namanya digunakan bagi rumah tato itu. Siapa lagi jika bukan Ceng-Lion Hui-To sendiri.
Ceng-Lion Hui-To sempat juga menjadi kejam dengan mengumpulkan tato-tato dari musuh-musuhnya para penjahat. Tato-tato itu disimpannya karena ia merasa sayang karya seni yang indah harus hilang dengan terbunuhnya sang penjahat. Akan tetapi lama kelamaan ia menyadari bahwa sesuatu yang indah akan tetapi bersumber dari hal atau orang yang tidak baik, tidaklah dapat dikatakan indah. Ketidakbaikan sumber suatu benda yang dikumpulkan kadang dapat menular kepada sang pengumpul. Dalam hal ini Ceng-Liong Hui-To menjadi tertulari untuk kerap mengumpulkan tato, membuatnya ketagihan untuk membunuh penjahat bertato. Baik yang kesalahannya sudah banyak dan menjadi buronan paturan, ataupun penjahat-penjahat muda, yang baru mulai meniti karir.
Kebiasaannya ini pun berlanjut, sampai suatu waktu seorang Eremit (petapa) menasehatinya, dan menyarankan untuk menghentikan hobinya itu. Jika ingin menegakkan keadilan, tegakkan saja tanpa ada embel-embel sesuatu yang akan diterima. Suatu tato dari sang penjahat dalam kasus ini. Di saat itulah Ceng-Liong Hui-To memutuskan untuk menghilang. Menyepi dan menyucikan hati dan pikirannya.
Di rumahnya itulah koleksi tato-tatonya ditemukan, yang kemudian oleh penjabat kota Siaw Tionggoan dijadikan Rumah Tato Ceng-Lion Hui-To. Untuk mengenang sang pahlawan. Sang pahlawan yang gundah hatinya karena dinodai oleh napsu mengumpulkan sesuatu. Sang pahlawan yang kemudian menghilang tak diketahui rimbanya.
Entah mengapa hari itu Sian Lin ingin melihat lagi koleksi-koleksi tato-tato kumpulan atau tepatnya kletekan Ceng-Liong Hui-To. Koleksi langka yang oleh sebagian orang dianggap bersejarah dan berharga. Koleksi yang yang salah satunya merupakan pasangan tato segar yang ditemukan di rumah itu beberapa hari yang lalu.
Lamunan gadis itu terhenti saat sebuah ketukan lembut terdengar pada pintu Ruang Hijau. Di sana tampak seorang pemuda. Gu Yo. Orang yang ingin menemuinya.
"Masuklah!" ucap sang dara pendek. Lalu ia kembali mengalihkan pandangannya kepada dua buah tato yang tampak terbingkai dengan indah di dinding di hadapannya. Tato sepadang burung merak, putih dan hitam. Disusun sedemikian rupa sehingga kedua burung tampak saling berhadapan satu sama lain. Dari kulit yang melatar belakangi kedua tato tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya berasal dari dua orang yang berbeda. Suatu kontras telah direncanakan. Tato burung merak berwarna hitam digoreskan di atas kulit manusia berwarna cerah, putih atau kuning. Sedang tato burung merak berwarna putih digoreskan di atas kulit manusia berwarna gelap, hitam atau coklat tua. Suatu estetika berdarah yang padu.
"Bukankah saat itu tato burung merak hitamnya berbeda?" tanya Gu Yo saat melihat kedua tato yang sedang dipandangi oleh gadis itu.
"Betul, saat itu kami hanya menampilkan separuh saja, agar cocok dengan tema di kanan dan kiri tato burung merak putih. Tak disangka bahwa ada orang yang menempelkan pasangannya yang masih berdarah," ucap gadis itu menghela napas. Menyesalkan insiden yang terjadi di tempat kerjanya itu.
"Oh, begitu!" sahut pemuda itu.
"Tahukah kamu, Gu Yo, bahwa syair mengenai kedua tato ini?" tanya sang gadis tiba-tiba, setelah kesunyian lama mengisi jeda antara perkataan keduanya.
"Syair untuk kedua tato ini?" tanya sang pemuda.
Sang gadis tidak menjawab melainkan melantunkan sebuah syair.
"Deru pun perlahan melembut.
Menghilang. Sunyi dan sepi.
Dan jiwa pun tenteram kembali.
Menghela napas.
Menghirup keheningan.
Mengekang nafsu.
Senyap. Lepas. Lega." Yang dilanjutkan oleh sang pemuda.
"Setelah semuanya berakhir.
Secarik kulit dicabik halus.
Darah menetes lembut.
Menegaskan guratan-guratan mistis.
Guratan di atas kulit nan indah.
Tato." "Hei, dari mana engkau tahu syair itu?" tanya Sian Lin kaget, melihat bahwa Gu Yo telah mengetahui akhir dari syair yang dilantunkannya itu.
"Dari buku-buku," jawab Gu Yo sederhana. "Di sana disebut memiliki judul 'Pembicaraan Angin'."
Sang gadis mengangguk membenarkan. "Betul, memang itu judulnya. Ternyata engkau memiliki juga pengetahuan di bidang ini."
Tampak rona malu merekah di wajah sang pemuda begitu mendengar pujian sang dara. "Tidak..., aku hanya senang membaca saja."
"Begitulah orang berilmu, merendahkan diri selalu," ucap gadis itu kemudian.
Suasana hening pun mengisi ruang di antara mereka.
"Tok-tok-tok!!" tiba-tiba suara ketukan cukup keras mengagetkan keduanya yang sedang dalam alam pikirannya masing-masing.
Pintu yang tidak tertutup menampilkan sosok inspektur San Cek Kong di tengah-tengahnya. Ia tampak tersenyum saat melihat Gu Yo dan Swee Sian Lin berada di tempat itu. Ucapnya lugas, "kebetulan Gu Yo juga ada di sini. Tak perlu aku repot-repot mengajak Sian Lin mencarimu di kedai paman Yok Seng di sana."
"Eh, ada apakah Cek Kong-koko" Ada perlu apa kita dengan Gu Yo sampai mencarinya?" tanya dara itu seusai mendengar ucapan inspektur Sang Cek Kong.
"Nanti kujelaskan, pertama-tama aku ingin dulu bertanya pada Gu Yo," ucapnya. "Apakah maksud kedatanganmu di sini adalah untuk menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa yang baru saja terjadi di bagian lain kota?"
Gu Yo hanya mengangguk mengiyakan, yang sudah tentu membuat wajah bingung Sian Lin semakin kentara terlihat.
San Cek Kong tampak puas mendengar jawaban itu. Lalu katanya, "jika demikian, marilah kalian ikut aku ke bagian selatan kota. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan."
Dengan penuh tanda tanya, terutama Sian Lin, keduanya pun mengikuti inspektur San Cek Kong ke suatu tempat di bagian selatan kota Siaw Tionggoan. Ke suatu tempat di mana suatu peristiwa baru saja terjadi hari itu.
*** Bagian 4.75 -- +dikit
"Cepat gali!" seru seseorang pada rekannya yang tampak sedang mencangkul-cangkul sesuatu dengan tangannya di dalam lubang di mana mereka berdua berada.
"Sabar!! Ini sudah cukup dalam, kita toh tidak mau merusah barang yang kita cari bukan?" jawab rekannya. Ia sedang meraba-raba apakah lubang yang mereka buat itu sudah cukup dalam sehingga hampir menyentuh barang yang terkuburkan di sana.
"Aha!!" seru orang kedua kemudian setelah hening beberapa saat dan hanya terdengar garukan-garukan pada tanah.
"Dapat?" tanya orang pertama.
"Ya, agak liat. Pasti kain pembungkusnya..," jawab rekannya itu.
"Kita congkel saja.., atau potong...," usul temannya.
Lalu keduanya mulai membersihkan tanah di bawah lubang di mana mereka berada dan mulai mencongkel-congkel kain liat yang melandasinya. Tak lama kemudian setelah mendapatkan pijakan, tongkat kayu yang mereka bawa diungkit sehingga lipatan-lipatan kain di bawahnya dapat terangkat. Bau busuk pun segera menyerbak memenuhi udara malam itu. Malam yang diterangi bulan purnama.
Setelah dibuka peti yang berada di bawah kaki mereka, sebuah peti mati yang belum lama ditanam, tampak di dalamnya sesosok tubuh seorang perempuan tua. Ia tampak tertidur dengan damai. Kedua tangannya dilipatkan di depan dadanya. Wajah seorang yang seakan-akan telah siap menerima hari kematiannya.
"Cepat cari bagian itu..!! Kita tak punya banyak waktu..," ucap salah seorang dari mereka.
Setalah memeriksa di bagian kedua tangan jasad itu, akhirnya mereka menemukan di salah satu lengan bagian atasnya sebuah tato. Tato dua buah naga yang sedang saling berbelit. Satu berwarna meran dan satu berwarna biru. Keduanya tampak jelas diukirkan di atas kulit pucat sang empunya.
"Tato kelompok Naga Merah dan Naga Biru...," terdengar ucapan salah seorang dari mereka.
Rekannya hanya mengiyakan mengangguk. Lalu tanpa menunggu perkataan, ia mengeluarkan pisau dari sakunya. Suatu pisau yang tajam. Sinar bulan yang memantul dari padanya mengisyaratkan kira-kira sudah berapa banyak darah atau sosok manusia yang disentuhnya. Dengan santai, seperti telah biasa, orang itu menyayat kulit di mana terdapat tato tersebut.
Tak ada darah tertumpah karena sang empunya tato telah lama bepulang. Tak lama selesailah pekerjaan itu. Sang penyayat mengangsurkan hasil kerjanya kepada rekannya, yang segera menyimpannya dalam lipatan sebuah kain yang telah dibubuhi bubuk dan cairan tertentu, agar kulit bertato itu awet dan tahan tidak membusuk. Untuk dioleh lebih lanjut tentunya.
"Cepat, masih ada satu lagi yang harus diselesaikan..," ucap rekannya sambil menyelipkan bungkusan kain tato tadi ke dalam tas di punggungnya.
Rekannya mengangguk. Tanpa menimbun kembali kubur yang telah dibuka itu, keduanya pun kembali sibuk bekerja menggali lubang lain di sebelahnya. Suatu makam baru pula, yang di dalamnya terdapat seseorang. Seseorang dengan tato sebuah naga hitam yang sedang menjaga mutiara. Tato dari kelompok Naga Hitam Penjaga Mutiara. Suatu tato yang umumnya diukirkan di punggung yang empunya.
*** "Inspektur San Cek Kong, ada laporan mengenai makam tanpa nama yang dibongkar!" ucap seorang paturan kepada paturan lain yang sedang tampak bekerja di mejanya.
"Hmm, di mana dan mengapa engkau beritakan kepadaku" Bukankah itu kerja dari bagian lain" Bagian ketertiban fasilitas umum?" tanya sang inspektur yang sedang menuliskan sesuatu pada buku di depannya.
"Betul, inspektur! Tapi bagian ketertiban fasilitas umum meminta saya untuk menyampaikan salinan dari kejadian itu kepada anda. Berkaitan dengan dugaan bahwa bagian jasad yang dirusak kemungkinan besar merupakan tato," jelas sang paturan pembawa berita.
Mendengar kata "tato", sontak San Cek Kong menjadi tertarik karena hal itulah yang sedang menjadi pikirannya sekarang. Kasus yang sedang ditanganinya.
"Terima kasih!" katanya sambil menerima salinan laporan tersebut. Dibolak-baliknya kumpulan kertas-kertas yang baru diperolehnya itu. Dibacanya dari depan ke belakang dan diulangnya lagi. Sambil tak lupa membuat di sana-sini catatan-catatan kecil.
"Hmmm, perlu ketemu Sian Lin lagi kiranya.., dia adalah pakar dalam bidang ini," gumamnya hampir tak terdengar.
*** "Ma Siang, kemarilah!" ucap seorang pada seorang dara yang tampak sedang mencuci sesuatu pada pancuran dekat sungai kecil di belakang bangunan itu.
"Ah, Gu Yo! Ada apa?" jawab gadis itu sambil segera meninggalkan pekerjaannya dan menghampiri pemuda yang memanggilnya.
"Eh, temani aku ya ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To! Tapi engkau yang mintakan ijin ke pada paman Ma She..," ucap pemuda itu.
"Lho, kalau apa urusannya sama aku?" tanya Ma Siang pura-pura tak tahu.
"Tolong ya...!" mohon Gu Yo. Ia tahu jika ia minta ijin langsung, kemungkinan besar tidak diberikan tanpa alasan yang jelas. Lain halnya jika Ma Siang. Ini disebabkan Ma Siang adalah keponakan dari Ma She, yang bahkan telah dianggap anak karena Ma She sendiri tidak berketurunan. Selain itu juga karena orang tua Ma Siang telah tiada. Begitu yang diceritakan orang-orang kepada Gu Yo.
"Tapi apa untungnya buatku" Kalau kamu pastilah, karena ingin melihat nona Sian Lin, kan?" ucap dara itu. Ada sedikit nada tersaingi dalam suaranya. Tersaingin dengan nama yang baru disebutnya itu.
"Huss! Tidak ada apa-apa, aku hanya ada urusan sedikit," ucap Gu Yo cepat. "Tolong ya?" mohonnya lagi.
"Baik, tapi artinya engkau hutang satu kali padaku. Dan suatu saat harus dibalas, gimana?" ucap gadis itu nakal. Kelihatannya ada sesuatu yang direncanakannya untuk "pembayaran" dari pertolongannya ini.
"Eh, baiklah. Tapi jangan aneh-aneh ya?" pinta Gu Yo. Ia sempat berpikir panjang karena terdesak dengan keinginannya untuk mencari tahu sesuatu. Biarlah nanti saja, toh Ma Siang kelihatannya tidak akan minta yang macam-macam. Apa sih yang dapat dimintanya dari seorang pemuda sepertinya yang tidak punya apa-apa.
Setelah tuntutannya diiyakan oleh Gu Yo lalu dengan segera Ma Siang berlalu dari sana sembari membawa pekerjaannya yang memang sudah hampir selesai saat pemuda itu memanggilnya. Tak lama kemudian tampak Ma Siang kembali dari bangunan itu. Wajahnya tampak cerita, menandakan bahwa ia telah memperoleh ijin dari pamannya.
"Ayo kita pergi!" ucapnya gembira. Ya, siapa yang tidak gembira mendapatkan kesempatan untuk berjalan-jalan di hari yang cerah ini. Apalagi apabila kesempatan itu akan dihabiskannya dengan pemuda yang dikaguminya, Gu Yo.
Lalu keduanya pun berlalu dari halaman belakang Kedai Daging Bakar. Dengan menggunakan beberapa jalan tikus yang terdapat di antara rumah-rumah bertingkat dua atau tiga, yang lebarnya hanya kira-kira dua meteran dan umumnya becek dan gelap, keduanya dapat dengan cepat tiba di jalan raya, di mana tak jauh dari sana terdapat Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To. Tempat yang ingin dituju oleh Gu Yo.
"Eh, tau dari mana engkau jalan-jalan seperti itu, Ma Siang?" tanya Gu Yo ingin tahu. Jika saja dulu ia tahu, pastilah ia menggunakan jalan-jalan itu. Lebih cepat ketimbang menggunakan jalan besar yang penuh orang dan kendaraan. Harus hati-hati dalam menyeberang dan menyusurinya.
"Aku tahu dari paman Ma She," jawab dara itu pendek. Terlihat ada yang tidak ingin diceritakannya, berkaitan dengan pengetahuannya mengenai jalan-jalan tikus itu.
Gu Yo tidak bertanya lagi, karena pertanyaan basa-basinya malah membuat suasana di antara mereka menjadi tidak enak. Ia pun kemudian lebih memilih diam sampai mereka tiba di depan Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.
*** Seorang berbusana putih dan ramput putih panjang digerai tampak memasuki Kedai Daging Bakar. Setelah duduk di suatu sudut ruangan, ia pun didatangi oleh seorang pelayan untuk ditanyai apa pesanannya.
"Gurame Bakar dan nasi, itu saja pesanan makanannya," ucapnya pendek.
"Minumnya teh?" tanya sang pelayan lagi.
Orang itu hanya mengangguk. Dan kemudian terdiam. Sang pelayan kemudian meninggalkannya untuk meneruskan pesanan itu ke dapur.
Di dapur dengan kesibukan yang biasa, tampak orang-orang berseliweran. Memasak, memindahkan bahan-bahan makanan. Dan juga meneriakkan pesanan-pesanan.
"Gurame Bakar satu porsi!" teriak seseorang.
Seorang koki yang sedang kebagian untuk memasak makanan itu agak terdiam. Tidak biasanya ada pesanan ikan di Kedai Dagin Bakar. Terutama pada musim-musim ini. Di mana ikan-ikan agak sulit untuk didapat sehingga mahal harganya. Oleh karena itu tidak semua orang bisa dengan mudah memasak ikan gurame bakar. Hanya koki-koki yang sudah cukup senior yang bisa. Termasuk Ma She sang koki kepala. Sang koki yang mendapat giliran pun menjadi ragu-ragu. Lebih baik ia menanyakan hal itu kepada atasannya, Ma She.
Tak lama kemudian ia kembali. Wajahnya cerah. Ma She memperbolehkannya memasak ikan gurame. Untuk itu ia harus terlebih dahulu membaca cara memasaknya. Diambilnya sebuah buku berwarna hitam dan kertas yang sudah dikotori bumbu masak di sana-sini. Tertulis di judulnya, "Bakaran Ikan". Dicarinya sehingga sampai pada suatu halaman dengan judul "Gurame Bakar".
Bahan: 1 ekor ikan gurame ukuran sedang-besar, 8 butir kemiri, 1 batang (2 sampai tiga ujung kuku) kunyit, 6 butir bawang merah, 3 siung bawang putih, 4 buah cabai rawit merah, garam secukupnya, merica secukupnya, 1 buah tomat kecil (diiris), dan akhirnya 2 buah jeruk nipis (lemon).
Cara Membuat: * Bersihkan ikan terlebih dahulu. Buang sisik dan isi perutnya tetapi hati-hati, sehingga ikan tetap utuh. Buat 2-3 guratan di setiap sisi badan ikan agar bumbu dapat masuk dan panas dapat masuk; * Lumuri ikan dengan garam dan merica secukupnya dan biarkan sekitar sepeminum teh agar bumbu dapat terlebih dahulu meresap; * Bakar ikan tersebut di atas bara api yang kecil sampai setengah matang. Jangan lupa untuk dibolak-balik lalu angkat; * Buat bumbu dengan menghaluskan bawang merah, bawang putih, cabai rawit, kemiri, kunyit, garam dan merica. Campur irisan tomat dan aduk sampai merata; * Lumuri bumbu ini sampai merata pada dua belah sisi ikan gurame yang setengah matang tadi. Kemudian bakar lagi ikan tersebut di atas bara api, sedang sampai matang dan sesekali oleskan dengan bumbu yang masih tersisa; * Hidangkan dengan menaburkan irisan cabai merah, irisan tomat dan jeruk nipis.
"Hmmm, tidak terlalu sulit rupanya..," gumamnya. Ia kemudian mengikuti petunjuk yang tertera dalam buku resep itu. Langkah per langkap diikutinya dengan teliti.
Tak lama kemudian harum semerbak ikan gurame bakar pun mengembang di udara. Menandakan bahwa ikan tersebut telah siap untuk dihidangkan.
Tiba-tiba datang Ma She menghampiri koki yang baru saja selesai membuat hidangan itu. Ia memeriksa dengan teliti apa-apa yang telah siap disajikan itu. Ia pun mengangguk puas. "Bagus!" pujinya.
Mengembang hidung sang koki mendengar pujian atasannya. "Terima kasih!" jawabnya pendek dan bangga.
Tapi sayangnya kebanggaanya itu tak berlangsung lama. Pelayan yang menyajikan pesanan itu kembali lagi dengan ikan gurame bakar itu. Pucat wajahnya. Tampaknya ia mendapat teguran dari pelanggan yang memesan masakan itu.
"Kata sang pemesan, Gurame Bakar tidak seperti ini," jelasnya.
Ma She sebagai seorang koki kepala, bertanggung jawab terhadap pekerjaan bawahannya. Dengan tenang ia memberi syarat agar koki yang memasak masakan itu untuk tenang. Sedangkan ia sendiri segera beranjak ke luar untuk menerima keluhan dari sang tamu.
Oleh pelayan tadi ia ditunjukkan meja tempat orang tua berambut putih dengan busana putih itu sedang duduk. Orang itu tampak sedang melamun sambil memandang keluar, melihat-lihat pemandangan di hadapannya.
"Maaf, tuan! Tuan tadi mengeluhkan cara memasak Gurame Bakar kami?" tanyanya sopan.
Orang itu tampak sedikit kaget karena terganggu lamunannya, "ah.., betul! Dan anda" Anda orang yang memasaknya?"
"Bukan, saya adalah koki kepala. Saya bertanggung jawab kepada pekerjaan anak buah saya," jelas Ma She sederhana.
Bagai berbicara sendiri orang itu kemudian menyerocos, menyebutkan bumbu-bumbu yang digunakan untuk memasask Gurame Bakar yang dikeluhkannya tadi. Juga cara memasaknya dan bagaimana seharusnya dibolak-balik dan api yang digunakan. Tidak boleh dikipasi tapi harus diputar-putarkan. Ma She yang adalah ahli memasak sampe melongo mendenger perkataan orang itu, yang menunjukkan bahwa orang itu adalah juga seorang ahli masak.
"Eh, anda...," katanya bingung.
"Ma She, Ma She...! Sudah begitu cepatkah ingatanmu memudar?" kata orang itu sambil tersenyum.
"Ceng..." kata-kata yang tidak sempat diselesaikannya karena orang itu mencegahnya menyebutkan nama aslinya.
"Panggil saja saya, Ceng Liok," ujar orang itu sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Tuan Ceng Liok!" jawab Ma She sambil sedikit menahan tawa, setelah tahu bahwa orang tersebut adalah kawannya dulu. Ceng-Liong Hui-To. Bisa gempar kota ini bila tahu bahwa orang yang dulu pernah dianggap pahlawan tiba-tiba ada lagi di sana.
"Maafkan kelakarku. Semoga yang tadi memasak tidak merasa tersinggung," ucapnya sungguh-sungguh.
"Ah, tidak perlu dipikirkan. Aku akan bilang, bahwa anda tuan Ceng Liok adalah guru masakku dulu. Biar ia tidak terlalu sedih," ucap Ma She sambil masih beusaha menahan tawa.
"Eh, Ma Siang apa kabarnya" Mana dia?" tanyanya sambil melirik ke kiri dan kanan, berharap dapat melihat sosok dara itu.
"Ia tidak ada. Sedang pergi bersama seorang pemuda. Kalau tidak salah ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To," kata Ma She sambil menekankan kata-kata terakhir dari ucapannya itu.
Orang itu hanya tersenyum sambil kemudian meminta agar ikan gurame bakar yang tadi ditolaknya disajikan kembali, sambil mengajak Ma She untuk menemani. Sekaligus berbincang-bincang. Ma She kembali ke dalam sebentar untuk memberitahukan hal itu kepada koki yang memasak tadi sambil juga menghiburnya, bahwa apa yang terjadi hanyalah kelakar saja. Kelakar dari guru masaknya.
Tak lama kemudian masakan yang tadi kembali dihidangkan. Lengkap dengan sayur-mayur tertentu. Kegemaran tuan Ceng Liok, yang sudah tentu telah amat dikenal baik oleh Ma She sebagai rekannya.
*** "Benar, itu adalah tato milik mereka..," sahut pemuda itu dengan tangan mengepalkan tinju dengan erat. Ma Siang yang berada di dekatnya tampak pula tegang dengan apa yang sedang mereka saksikan.
Di sana di dalam ruang tengah Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To, tampak sebuah bungkusan yang baru saja diantar oleh orang tidak dikenal. Diletakkan sedemikian rupa di dalam ruang itu tanpa sepengetahuan orang lain. Baru pada siang itu seorang mengatakan kepada nona Sian Lin bahwa ia menemukan ada paket untuk nona tersebut. Paket yang berisikan tato. Kali ini tidak lagi berdarah. Sudah diolah dengan bahan pengawet.
Dua buah tato. Satu menggambarkan dua buah naga sedang berbelit. Satu berwarna merah dan satu berwarna biru. Sebuah tato yang dulu dikenal sebagai ciri dari kelompok Naga Merah dan Naga biru. Sedangkan tato satunya lagi adalah sebuah naga berwarna hitam yang sedang tampak menjaga suatu bulatan putih di tengah. Suatu mutiara. Tato yang merupakan ciri kelompok Naga Hitam Penjaga Mutiara.
Usai kaget saat mendapati paket yang ditujukan pada dirinya itu, segera nona Swee Sian Lin menghubungi inspektur San Cek Kong yang langsung bagai terbang tiba di tempat itu. Bersamaan pula datang Gu Yo dan Ma Siang ke sana. Orang kedua terakhir ini datang kebetulan pada saat yang tepat. Atau boleh dikatakan kebetulan sekali.
Pertanyaan inspektur San Cek Kong yang diajukan kepada Gu Yo sebenarnya tidak terlalu sungguh-sungguh, karena ia ragu apa pemuda itu mengenal tato yang ada di dalam kotak itu. Tapi siapa nyana bahwa pemuda itu mengenalinya dan bahkan tahu atau pernah bersama dengan kedua orang pemilik tato itu. Diketahui bahwa kedua tato itu berasal dari orang yang berbeda, dari warna kulit yang tidak sama, yang mendasari kedua karya seni itu.
"Keduanya pernah merawatku saat luka parah," jelas Gu Yo. "Dan entah dari pembicaraan apa, tahu-tahu mereka menunjukkan tato yang mereka miliki." Dalam kalimat terkakhir ini, Gu Yo sedikit berbohong. Ia belum tahu apakah ada kaitan antara misinya dengan kejadian ini. Sebaiknya ia rahasiakan dulu apa-apa yang kelihatannya belum terkait. Begitu pikirnya.
"Baiklah, Gu Yo bilakah kau ada waktu?" tanya inspektur San Cek Kong. Ia tiba-tiba teringat akan jasad dua orang yang dirusak sebagian tubuhnya. Kulitnya dikletek. Ada kemungkinan bahwa tato ini berasal dari kedua orang tersebut. Untuk itu ada baiknya bila Gu Yo yang mengenal kedua tato itu bisa membuktikan bahwa kedua jasad itu adalah pemiliknya. Paling tidak bisa mengetahui siapa kedua jasad tanpa nama itu.
Gu Yo lalu menyatakan bahwa saat ini juga. Ia dan Ma Siang sudah diberi ijin untuk berwaktu luang sampai malam nanti. Mendengar itu, inspektur San Cek Kong kemudian mengajak keduanya untuk membantunya melakukan identifikasi dari jasad tanpa nama yang dirusak orang tersebut. Saat itu nona Sian Lin yang juga tertarik tidak bisa turut disebabkan beberapa janji dan kesibukannya.
Lalu pergilah mereka bertiga dituruti beberapa paturan ke lokasi tempat makam tanpa nama itu berada.
*** Bagian 4.8 -- akhir bagian Tato
*** Perayaan Musim Angin dan Air pun tiba. Semua orang bergembira dan menghiasi rumah-rumah mereka dengan lampion-lampion warna-warni. Dominannya adalah warna biru dan kelabu. Warna yang diyakini menjadi warna yang terdapat dalam angin dan air dan benda-benda yang bergerak akibat angin dan air, dan juga yang menyebabkan angin dan air bergerak. Suatu keyakinan kuno kota Siaw Tionggoan.
Sebenarnya perayaan Musim Angin dan Air adalah suatu perayaan musiman yang biasa dilakukan empat tahun sekali di kota tersebut. Tahun ini, setelah genap empat tahun dari perayaan terakhir, menjadi lebih semarak karena bersamaan dengan itu akan datang kunjungan dari pemerintah pusat. Suatu rombongan orang-orang penting yang ingin melihat-lihat perkembangan dan kemajuan kota Siaw Tionggoan.
Yok Seng, sang pemilik Kedai Daging Bakar tampak tersenyum puas. Tidak salah ia mempekerjakan Gu Yo. Pemuda itu benar-benar dapat diandalkan. Atas usul pemuda itu pula ia mengubah sana-sini dari kedainya agar tampak lebih menarik dan terlihat luas. Dengan harapan agar lebih banyak tamu yang berkunjung pada perayaan Musim Angin dan Air. Mendengar kabar bahwa akan datang kunjungan dari pemerintah pusat, satu rombongan besar, orang-orang dari kota dan desa sekitar kota Siaw Tionggoan pun jadi merasa tertarik. Jarang-jarang ada orang dari pusat tlatah Nusantara yang berkunjung ke kota tersebut. Akibatnya hampir semua penginapan telah dipesan atau didiami. Yang masih ingin melancong-lancong ke daerah-daerah lain telah memesan terlebih dahulu. Yang sudah ingin berada di kota tersebut, telah datang dan mendiami penginapan-penginapan yang ada. Benar-benar suasana yang meriah.
Di suatu lapangan agak ke tengah kota, telah dibangun suatu panggung megah. Luas dan indah. Di kiri-kanannya juga telah disiapkan tempat duduk, baik untuk tamu terhormat atau pun undangan biasa. Orang-orang yang tidak diundang dapat pula datang sebagai penontong. Hanya saja mereka harus berada pada jarak yang cukup jauh dari panggung. Pembatas berupa tombak yang ditancapkan dan dihubungkan satu sama lain dengan tali berhias warna biru dan kelabu telah dipasang mengelilingi area itu, sebagai batas terjauh penonton dapat mendekati panggung.
Seorang yang tidak kepalang gembiranya adalah Ma Siang. Ia benar-benar antusias dan gembira dalam menyambut perayaan Musim Angin dan Air kali itu. Ia pun mengharap-harap dapat melihat tamu-tamu yang berasal dari pusat. Orang-orang yang didengung-dengungkan dekat atau menjadi bagian dari penguasa negeri itu. Orang-orang yang "berbeda" dengan penduduk kota Siaw Tionggoan.
Hari itu Kedai Daging Bakar benar-benar panen rejeki. Tamu-tamu datang selalu silih berganti memenuhi tempat-tempat duduk yang ada, sampai bahkan ada yang harus terlebih dahulu menanti di pintu agar dapat mendapatkan meja. Agar yang menunggu ini sabar, umumnya mereka juga dihidangkan minum-minuman dan makanan kecil berupa abon kering. Suatu produk samping dari bakaran daging dan ikan. Jenis kemilan yang gurih dan lezat.
Siangnya Yok Seng mendapat laporan bahwa kios Kedai Daging Bakar yang dibuka di sekitar panggung di lapangan agak ke tengah kota telah habis terjual barang-barangnya. Dan salah seorang pegawainya kembali ke Kedai Daging Bakar untuk mengambil bahan-bahan baru. Hal ini sudah tentu tidak disia-siakan oleh Ma Siang. Dengan sedikit memohon pada pamannya Ma She agar ia dimintakan ijin kepada Yok Seng, akhirnya dapatlah ia pergi. Sudah tentu Gu Yo pun turut. Karena tanpa Gu Yo, tidaklah Ma Siang merasa hari itu cukup baginya. Ia benar-benar ingin menikmati hari itu bersama orang yang dikaguminya itu. Dengan berbekal gerobak penuh barang-barang dagangan berupa daging-daging bakar yang siap dijual, keduanya beranjak berangkat dari Kedai Daging Bakar menuju kois kedai yang terdapat di sekitar lapangan tersebut.
Panggung telah dibuka. Gemerlap warna-warni menghiasi sana dan sini. Tamu-tamu yang tampak anggun dan mewah tampak duduk di tempat-tempat khusus bagi kalangan mereka. Tamu-tamu biasa berdesak-desakkan di pinggir lapangan. Mepet sampai batasan berupa tombak-tombak dihiasi tali biru dan kelabu.
Untung bagi Gu Yo dan Ma Siang. Dikarenakan hubungan baik antara Yok Seng dan salah seorang pejabat kota itu, mereka mendapat kios yang dekat dengan tempat duduk khusus para tamu, orang-orang yang berasal dari pemerintah pusat. Walaupun situasi sedikit tidak nyaman dengan banyaknya penjaga, akan tetapi pandangan yang jelas ke arah panggung dan para penonton terhormat itu dimiliki oleh kedua muda-mudi ini.
Berbagai acara pun mengalir bagai tak henti-hentinya untuk menghibur para tamu dari pusat tersebut. Berbagai suguhan dan juga penganan berdatangan diantar oleh pelayan-pelayan yang menawan. Benar-benar suatu penghormatan yang diberikan oleh kota Siaw Tionggoan kepada para tamu-tamu khusus tersebut.
Untungnya tidak semua tamu dan tamu khusus diberi pelayanan istimewa atau senang dengan pelayanan tersebut. Sebagian dari mereka ada pula yang jemu dengan tata cara yang bertele-tele tersebut. Orang-orang ini lebih senang "berpetualang" sendiri. Menelusuri keramaian, membeli apa-apa yang mereka lihat menarik dan sudah tentu cicip sana dan sini. Dari golongan inilah para pedangan yang telah memiliki kios di sekitar panggung memperoleh keuntungan. Dan untung saja ada orang-orang yang seperti itu. Jika tidak ada dan hanya datang tamu-tamu yang maunya disuhugi saja, rugi besar para pedangan yang telah menyemut itu. Dan untungnya lagi, tamu-tamu "petualang" ini adalah dari golongan yang berkantong lebih tebal ketimbang rekan mereka yang "mengemis" hidangan-hidangan serta hadiah-hadiah. Mereka ini merasa bahwa uang mereka lebih berarti bila dibelanjakan untuk apa yang mereka inginkan dan tidak suka dipilihkan atau diberi begitu saja. Bisa jadi bila disuguhkan terus-menerus mereka merasa agak terhina karena tidak dibebaskan. Ya, aneh-aneh saja kelakukan orang-orang yang berkantong tebal.
Seorang pemuda tampan, agak tinggi dan kurus tampak berjalan dengan lagak yang sok dianggun-anggunkan. Dari pakaiannya yang mewah dan berwarna cerah menyolok serta beberapa rekannya yang bertubuh kekar-kekar dan tampak hormat kepadanya, dapat dipastikan bahwa ia adalah anak seorang dari romobongan dari pemerintah pusat. Dan kumpulan orang-orang kekar dan sangar yang menyertainya, pastilah dari rombongan para tukang pukul atau pengawalnya.
Ia tampak melihat-lihat dari satu kios ke kios yang lain. Mengamat-amati dan membanding-bandingkan barang yang satu dengan yang lain. Bila ia suka, langsung ia memberikan isyarat kepada seorang pembantunya agar barang itu dibeli. Pembantu tersebut bukan termasuk dalam barisan pengawal. Ia adalah seorang tua dengan kumis licin dan tipis. Tampang seorang yang cerdik dan juga licik.
Sudah tiga-empat kios yang diborongnya. Umumnya berupa hiasan-hiasan warna-warni yang khas dibuat untuk menyambut perayaan Musim Angin dan Air. Hiasan yang tidak ada di waktu lain, dan mungkin juga di tempat lain. Mungkin buat oleh-oleh bagi sanak saudaranya di kota nanti, agar ia juga bisa sedikit-sedikit pamer apa-apa yang ditemuinya di kota Siaw Tionggoan ini.
Gu Yo dan Ma Siang yang sedari tadi asik memperhatikan apa-apa yang sedang berlangsung tidak memperhatikan kedatangan pemuda "pemborong" tersebut dan gerombolannya. Mereka masih terpesona dengan pertunjukkan yang sedang dipertontonkan di panggung. Pertunjukkan ketangkasan dan sulap.
Tanpa terlebih dahulu memberi salam, seperti kebiasaan orang di kota Siaw Tionggoan, pemuda itu langsung saja masuk ke kios Kedai Daging Bakar untuk melihat-lihat. Para pengawalnya langsung mengambil posisi di sekeliling kios untuk melindunginya. Pembantu berkumis tipis dan licin tampak sudah setia di sisinya.
Sebetulnya pemuda tersebut tidak terlalu tertarik dengan kios tersebut, sampai ia melihat beberapa hiasan atau tepatnya daging bakar kering yang dibuat menyerupai berbagai hiasan. Suatu hiasan yang dapat dimakan. Hiasa yang dapat berupa ular dan berasal dari daging ular kering. Hiasan berbentuk ikan yang berasal dari kulit ikan yang alot dan telah kering. Hiasa berupa kepala kambing yang berasal dari dendeng kambing dan sebagainya. Kagum pemuda itu pada barang-barang yang belum pernah ditemuinya itu.
"Hai, penjual! Berapa harganya ini?" tanyanya sambil menunju pada sebua hiasan berbentuk kera yang sedang memegang pisang. Kera tersebut bukan berasal dari daging kera, tapi daging sapi yang dikeringkan. Dan pisangnya berupa benar-benar pisang asli yang telah dibakar dan dihias.
Gu Yo yang lebih dulu tersadar dari Ma Siang, segera menghampiri pemuda itu, "Kongcu, hiasan kera itu harganya dua puluh tigaan." Ucapan kongcu atau 'tuan muda' digunakannya setelah sekilas melihat gelagat kepongahan pemuda itu dan juga cara orang yang didekatnya membungkuk-bungkukan diri sambil memuji-muji hiasan pilihan pemuda itu.
"Harga yang bagus.., tak terlalu mahal, dan juga tidak terlalu muran! Pas!" katanya, seakan-akan ia mengetahui kapan harga suatu barang terlalu mahal atau murah dibandingkan dengan kualitasnya. "Ada bentuk lain selain yang ditampilkan di sini?"
Sebelum Gu Yo sempat menjawab, Ma Siang yang telah tersadar akan adanya tamu, segera ikut membantu, "Ada kongcu. Ada kepiting, kelelawar, kura-kura, laba-laba dan masih banyak lainnya. Ada bentuk khusus yang diminta?"
Tampak kagum yang tidak ditutup-tutupi dari pemuda itu terlihat jelas. Ia kagum bahwa ternyata daging kering dapat dibentuk macam-macam. Menjadikan hiasan-hiasan tersebut indah dan juga tetap layak untuk dimakan, walaupun mungkin menjadikannya sayang untuk disantap.
"Saya suka kuda.., ada bentuk kuda?" tanyanya kemudian. Pemuda itu, walaupun dari kalangan orang kaya, akan tetapi ia memiliki suatu kegemaran menunggang kuda. Ia lebih suka menunggang kudanya sendiri ketimbang duduk ke kereta yang dikemudikan oleh pembantu-pembantunya.
Gu Yo dan Ma Siang saling berpandangan. Ya, mereka punya, tapi hiasan berbentuk kuda itu agak besar dan sudah lama sekali menjadi simpanan di Kedai Daging Bakar. Hiasan pesanan seseorang tapi telah lima tahun tidak diambil-ambil. Untuk membuatnya saja perlu waktu hampir setahun, karena menirukan ukuran anak kuda yang sebesar kambing. Bisa dibayangkan berapa banyak daging kering yang dibutuhkan untuk itu. Sayangnya setelah beberapa lama waktu berlalu, pemesannya tak pernah terdengar lagi kabarnya. Dan untuk itu belum ada uang yang diberikan. Dengan berbekal rasa percaya saja Yok Seng sang pemilik Kedai Daging Bakar menerima dan membuat pesanan itu.
"Sebenarnya ada..," ujar Ma Siang pelan. Lalu diceritakannya perlihat hiasan kuda yang mereka punya. Ia telah dipesan oleh Yok Seng agar bila ada pembeli yang tertarik, dapat ditawarkan benda tersebut. Akan tetapi hanya untuk yang benar-benar tertarik dan tampak mampu saja. Hal ini dikarenakan harganya yang sudah pasti mahal, seribu lima ratus tigaan.
Mendengar hal itu tertariklah sang pemuda. Hiasan yang tersusun atas daging kering dan dibentuk menyerupai anak kuda dengan ukuran sebenarnya, benar-benar memukaunya. Walaupun demikian, harganya juga menjadikannya agak ragu-ragu. Ya, seribu lima ratus tigaan adalah hampir 7 bagian dari 10 bagian uang yang dimilikinya. Saat itu ia telah menghabiskannya 2 bagian. Masih cukup 8 bagiannya. Akan tetapi hal ini berarti ia tidak dapat membeli apa-apa lagi selain itu.
"Tidak bisa kurang harga itu?" tanyanya. Sambil menunggu jawaban ia tampak berbisik-bisik dengan pembantunya yang berkumis licin dan tipis. Sang pembantu tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Rupanya harga tersebut dirasanya tidak bijaksana untuk dihabiskan hanya untuk satu benda saja.
Ma Siang yang saat itu juga bercakap dengan Gu Yo, akhirnya memutuskan bahwa urusan harga lebih baik diputuskan oleh Yok Seng sendiri. Mereka tahu bahwa waktu yang telah lewat untuk hiasan dagin kering akan membuat harganya agak turun. Jadi mereka tidak bisa memutuskan sendiri berapa harga yang patut untuk barang tersebut. Akhirnya disepakati bahwa seorang dari pembantu kios Kedai Daging Bakar, bersama dengan seorang pengawal sang pemuda, pergi ke Kedai Daging Bakar untuk menjemput Yok Seng. Sementara itu Ma Siang dan Gu Yo melayani pemuda itu dan gerombolannya yang akhirnya juga menjadi lapar. Mereka pun memesan makanan, dan bukan hiasan daging kering, untuk mengisi lambung mereka yang sudah tak tahan tergoda aroma daging yang menari-nari di udara.
*** Seorang pemuda tampak berada di suatu ketinggian bukit. Jauh di selatan tempatnya berdiri tampak kota yang beru saja ditinggalkannya. Kota Siaw Tionggoan. Kota yang sedikit banyak memberikan kenangan kepadanya. Banyak peristiwa dalam dua minggu ia berada di sana. Dari peristiwa yang menyedihkan seperti harus membantu polisi untuk mengidentifikasi jenasah Gu Ming dan Po Ting Hwa, atau yang dikenalnya sebagai kakek Gu dan nenek Po, kedua orang yang telah menolongnya; sampai yang menggembirakan, seperti lakunya kuda daging kering Yok Seng sang pemilik Kedai Daging Bakar senilai seribu lima ratus tigaan. Selain itu terdapat pula peristiwa haru, yaitu bertemunya seorang ayah dengan anaknya yang telah lama dititipkan pada temannya. Siapa lagi kalau bukan Ceng-Liong Hui-To dengan Ma Siang. Ma Siang ternyata adalah anak sang Naga Hijau Pisau Terbang, yang memang dititipkannya pada sahabatnya Ma She. Ia merasa kegundahannya dalam hidup tidak baik bila ia membesarkan anaknya sendiri.
Setelah menghilang beberapa tahun, Ceng-Lion Hui-To atau yang sekarang minta dipanggil Ceng Liok, telah dapat menemukan dirinya sendiri dan bersemangat untuk hidup kembali. Oleh karena itu ia kembali ke kota Siaw Tionggoan untuk menjemput anaknya. Orang yang akan diajari ilmu-ilmunya. Orang yang akan menjadi satu-satunya pewarisnya.
Sebuah kejelasan itu muncul setelah terjadi pertarungan di panggung saat puncak perayaan Musim Angin dan Air digelar, yaitu adu ilmu silat. Saat seorang dari perwira dari pemerintah pusat berlaga dan telah banyak menang, naiklah delapan orang pengacau. Su-Mo dan Empat Begal Hutan. Mereka ingin memenangkan pertarungan itu, menawan para tamu dan secara politis menyatakan bahwa kota Siaw Tionggoan mulai saat itu adalah daerah kekuasaan mereka. Suatu keberanian yang muncul akibat kedekatan mereka dengan salah seorang pejabat kota itu dan juga di kota lain. Untung saja hal itu tidak terjadi. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya nasib kota Siaw Tionggoan apabila tamu-tamu dari pemerintah pusat ditawan dan diminta tebusan. Bisa hancur nama kota itu di depan mata pemimpin tlatah tersebut.
Atas kesigapan paturan yang dipimpin oleh inspektur San Cek Kong dan juga munculnya kembali Ceng-Liong Hui-To, kedelapan orang tersebut dapat ditanggulangi dan bahkan terluka parah. Gu Yo juga sempat berhadapan kembali dengan Hek-Mo dan menggunakan kembali jurus ampuhnya Jarum Terbang Debu Pasir yang membuat lawannya kali ini hampir putus napasnya. Untung saja masih ada satu dua napas dari Hek-Mo, jika tidak pesan yang disampaikan oleh kakek Gu dan nenek Po lewat hipnotis pada saat-saat akhir hidup mereka tidak bisa sampai kepada Gu Yo. Entah apa yang dibuat mereka berdua, saat tubuhnya terluka parah oleh jurus Jarum Terbang Debu Pasir, Hek-Mo bicara seperti orang melantur, menceritakan hal-hal yang hanya dapat dimengerti oleh Gu Yo yang sedang berdiri di hadapannya. Setelah bercerita Hek-Mo pun kemudian tumbang, yang disambut dengan sorak-sorai pada penonton dan juga pandanga kagum dari Ceng-Liong Hui-To, inspektur San Cek Kong dan juga Swee Sian Lin.
Berdasarkan keterangan dari mulut Hek-Mo, dapatlah Gu Yo mengetahui kepada siapa kitab yang diawali sajak "Pembicaraan Angin" itu harus diserahkan. Dan orang itu bukanlah orang yang perlu susah-susah dicarinya. Orang itu adalah Ma Siang, anak dari Ceng-Liong Hui-To dengan seorang wanita. Wanita inilah yang sebenarnya merupakan keturunan pemilik kitab tersebut. Akan tetapi dari hasil pengamatan guru Gu Yo, wanita ini telah memiliki keturunan dari Ceng-Lion Hui-To. Oleh karena itu cukuplah bila ia mencari keturunan dari orang itu, dan bukan dari wanita tersebut. Salah satu sebabnya adalah karena Ceng-Liong Hui-To lebih dikenal orang ketimbang wanita tersebut, sehingga diharapkan lebih mudah untuk ditemukan anak keturunannya.
Jadi apa sebenarnya isi dari kitab tersebut" Kitab yang dibawa Gu Yo dan akhirnya diserahkan kepada Ma Siang tersebut berisi suatu ilmu pemindahan tenaga dengan menggunakan tato yang dibuat khusus. Dengan cara ini apabila tato seseorang yang juga menunjukkan hawa apa yang dimilikinya dapat dipindahkan, maka hawa tersebut juga akan ikut berpindah. Ilmu ini kemudian disalahgunakan oleh beberapa orang yang tidak membaca kitab tersebut secara keseluruhan. Mereka mengira bahwa pemindahan tato dapat dilakukan dengan mengambil tatonya secara paksa, mengeleteknya. Sebenarnya tidak. Dalam bagian akhir dari kitab tersebut dijelaskan bahwa tato hawa yang sebenarnya muncul akibat hawa tenaga dalam telah sampai pada puncaknya dan bukan dibuat dengan merajahnya. Tidak seperti tato-tato pada umumnya. Dan tato inilah yang ampuh untuk dipindahkan. Sedangkan tato hasil rajahan, bila dipindahkan hanya akan memindahkan kulit belaka tanpa ada kelebihan apa-apa.
Kesesatan ini yang kemudian dipahami secara salah oleh dua orang dari Empat Begal Hutan. Dua orang yang menggali kuburan nenek Po dan kakek Gu dan mengganggu jenasah mereka dengan mengeletek tato-tatonya. Mereka berdua telah mencoba mengeletek tato-tato orang-orang yang ditemui dan tidak dapat memanfaatkannya. Untuk memancing keturunan dari Ceng-Liong Hui-To, yang mereka yakini tahu akan pemanfaatan tato-tato tersebut, mereka pun mengirimkan tato tersebut ke Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To dan juga ke kantor polisi. Hanya saja yang belum jelas karena keduanya sudah keburu tewas, adalah siapa dua orang yang telah juga dikletek tatonya. Kedua tato segar yang ditemukan oleh para paturan.
Perpisahannya dengan Ma Siang atau lebih tepatnya Ceng Siang, lebih berat dari sisi dara itu. Ia benar-benar merasa telah dekat dengan Gu Yo sehingga tidak ingin pemuda itu jauh darinya. Bagi dirinya sendir, ia masih harus mencari tunangannya Citra Wangi. Menanyakan kepastian hubungan mereka. Bila ternyata tidak seperti dulu yang telah diikrarkan, ada kemungkinan ia akan mencari kembali Ceng Siang. Mungkin.
Selain Ceng Siang, adalah Yok Seng yang merasa berat berpisah dengan Gu Yo. Ia bahkan akan mengaji pemuda itu lebih tinggi, bila ia masih mau bekerja padanya. Gu Yo hanya dapat tersenyum. Dan dijelaskannya kemudian bahwa kota Siaw Tionggoan hanya persinggahannya. Masih banyak tugas yang harus diselesaikannya. Menuntaskan utang-utang lama dari gurunya, si Maling Kitab.
Inspektur San Cek Kong dan Swee Sian Lin ternyata telah lama memendam rasa di antara mereka. Berhubung mereka telah sama-sama tidak memiliki orang tua, munculnya Ceng-Liok yang bisa dianggap sebagai pengganti orang tua, karena ia adalah saudara tua perguruan, sekalian mereka berdua meminta restunya. Karena tidak tahu setelah Ceng Liok kembali menghilang, kali ini dengan anaknya Ceng Siang, bisa jadi entah kapan ia akan muncul kembali.
"Syukurlah, satu tugas sudal selesai," kata pemuda itu sambil tersenyum. "Tugas baru kembali menjelang..," sambil berkata demikian ia melongok sedikit ke dalam tas yang ada disampirkan di pinggangnya. Di dalamnya terdapat suatu kitab lain. Kitab yang juga harus dicari pemiliknya atau tepatnya keturunan dari pemiliknya dan mengembalikannya. Agar tidak terlalu berat Gu Yo selalu menyembunyikan kitab-kitab tugasnya di beberapa tempat, sisanya masih di Gunung Hijau dan dijaga oleh para Troll. Satu per satu kitab-kitab itu akan dicoba untuk dikembalikannya kepada orang-orang yang berhak. Suatu pekerjaan yang entah sampai kapan baru selesai. Tapi yang penting ia mencoba untuk melaksanakan wasiat dari gurunya tersebut. Guru yang tidak pernah ditemuinya langsung, melainkan hanya melalui berita para Troll.
Setelah digenapkan tekad dan ditinggalkan kenangannya akan kota Siaw Tionggoan, pemuda itu pun membalikkan tubuhnya. Mengarah ke utara. Melaksanakan tugas berikutnya. Entah apa yang akan ditemuinya dalam perjalanan berikutnya ini.
Sang surya yang sudah agak condong ke barat pun kemudian tampak malu-malu ditutupi awan-awan yang bergerak-gerak cepat ditiup angin perbukitan di tempat itu, memandangi punggung pemuda yang berjalan menuju arah utara. Pemuda yang mengemban tugas yang berat. Tugas yang mungkin tidak bisa dituntaskannya seorang diri.
Bagian 5 -- Orang-orang Abadi
"Misun, coba tengok apa makam yang kita cari sudah tidak lagi dijaga!" ucap seorang berkulit putih pucat kepada rekannya seorang berkulit merah. Orang yang dipanggil Misun, yang berarti "saudara muda" dalam bahasa Sioux Lakota, itu berbegas bangkit dari duduknya. Tak lupa ia menggapai kapaknya yang tadinya ditancapkan di dekat kakinya.
Sepeninggal Misun, seorang berkata kepada yang tadi berbicara, "Angus, masih berapa lama kita perlu berada di tlatah ini. Selalu hujan dan basah. Membuatku selalu merasa kelembaban." Yang berbicara adalah seorang berkulit hitam legam dan berambut keriting, Dhoruba namanya. Nama yang dalam bahasa Swahili berarti "badai". Orang yang dipanggil Angus tampak sedikit berpikir sebelum menjawab. "Entahlah, Dhoruba. Aku tidak tahu. Lebih baik engkau tanyakan saja nona Siaw Liong."
"Bertanya kepada si Sesat Naga Kecil" Mending aku menjadi lembab dan basah daripada mendengar penjelasannya yang mumet itu," ucap Dhoruba sambil menunjukkan muka bergidik, seakan-akan wanita yang dipanggilnya Sesat Naga Kecil benar-benar menggiriskan hatinya.
Tak lama kemudian Misun pun kembali. Seperti biasa sikapnya, ia tak banyak bicara. Ia hanya mengisyaratkan dengan tangan bahwa tempat yang mereka tuju telah tidak lagi dijaga. Hal ini berarti bahwa malam ini mereka dapat menuntaskan tugas mereka dan mungkin esok hari pergi dari tempat itu. Melanjutkan perjalanan mereka jauh ke barat.
Malam yang dinanti pun tak lama tiba. Dengan hanya diterangi oleh bulan yang tertutup awan, ketiga orang tersebut, Angus McLeod, Dhoruba dan Misun, berjalan perlahan menuju suatu lahan terbuka di dalam Rimba Hijau. Di suatu tempat di mana belum lama ini tak jauh dari sana terjadi pertempuran berdarah dan di atasnya kemudian dibuat beberapa buah makam. Lima makam tepatnya.


Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angus, sebagai seorang yang memegang pimpinan kala Shia Siaw Liong tidak ada, dengan hati-hati berdiri di depan sebuah makam. Berkonsentrasi dan bernapas dengan teratur. Ia mencoba merasakan apa-apa yang mungkin bisa dirasakannya dari dalam makam tersebut. Hal yang sama diulanginya sampai semua makam telah dicoba. Belum ada petunjuk.
Beberapa hari sebelumnya, dengan yakin Shia Siaw Liong mengatakan bahwa salah seorang dari yang terbunuh itu adalah salah seorang dari mereka. Oleh karena itu mereka harus membawanya dari sana. Melatihnya dan menjadikannya siap untuk menjadi seperti mereka. Setelelah memberikan tugas itu, sang nona pun pergi mencari sesuatu di kota Luar Rimba Hijau. Barang-barang yang ada hubungannya dengan tugas kali ini.
"Sulit.. Aku belum bisa merasakannya. Mungkin kuburnya terlalu padat sehingga ia tidak sempat terjaga," ucap Angus seakan pada dirinya sendiri. Tiba-tiba ada semacam getaran di udara menyerang otaknya. Membuat kepalanya berdenyut-denyut. Hal yang sama dirasakan pula oleh kedua rekannya.
"Ya, ini dia. Tapi terlalu sulit untuk menemukan berasal dari makam yang mana," ucap Dhoruba.
Misun tampak berdiri di hadapan makam nomor dua dari tengah. Didekatkannya telinganya pada tanah. Wajahnya tampak berubah. Lalu dengan isyarat ia memberitahukan Angus dan Dhoruba apa yang didengarnya. Ketiganya kemudian langsung membongkar makam tersebut.
*** Pemuda itu hanya ingat saat sebuah sabit tajam dan panjang mengayun pelan dan menghujam punggungnya. Tembus sampai dada sehingga ia bisa melihat darahnya sendiri menghiasai senjata tersebut. Setelah itu dirasakannya dingin dan gelap. Lalu kesadarannya hilang.
Sesekali ia seperti tersadar dari mimpi tapi kembali ia dihadapkan pada ruang yang sempit dan juga basah. Bau tanah yang lembab juga menyengat. Ia tidak ingat bagaimana bisa berada di tempat seperti itu. Dan juga apa hubungannya dengan pertempuran yang lalu.
Sudah matikah ia" Inikah dunia yang dikunjungi orang setelah mati" Atau ia hanya berada di dalam kubur, akan tetapi tidak mati"
Jawaban tak kunjung datang, melainkan hanya kesadaran yang datang dan pergi. Setiap kali kesadaran muncul, rasa sakit yang menggila pun timbul menyertainya. Membuatnya ingin menjerit sekeras-kerasnya, tapi bagai tak ada suara yang keluar. Hal itu berlangsung berulang-ulang. Berkali-kali. Sampai akhirnya ia pun pasrah dan menjalaninya.
Pemuda itu, Gentong, kembali tersadar dan menjerit tampa suara. Keringat deras mengalir dan juga kejangnya otot-otot. Kesadaran kembali datang. Sebentar lagi, ya sebentar lagi kesadaran ini akan hilang kembali seperti sebelumnya. Seperti itu, berulang-ulang sejak pertempuran yang lalu.
Tiba-tiba telinganya menangkap adanya suara-suara di atasnya. Suara-suara orang menggali-gali. Suara-suara yang mendatangkan harapan baginya. Coba digerakkan tubuhnya, tapi tidak dapat. Kain yang ditutupkan dimukanya hanya memberikan kegelapan. Himpitan tanah di atasnya membuat napas yang kadang-kadang datang menjadi sesak dan mulai menghilangkan kesadarannya.
Suara-suara yang ada di atasnya membuatnya kembali terjaga. Ia berusaha sedapat mungkin untuk bernafas dengan rendah dan tidak sampai kehabisan napas seperti keadaan berulang-ulang sebelum kesadarannya hilang. Lambat-laun terdengar suara-suara tersebut semakin jelas dan keras.
Dalam bahasa yang tidak dimengertinya, terucap kata-kata yang menyatakan bahwa pengalian sebaiknya dihentikan. Mungkin karena sudah dekat dengan orang yang dikuburkan. Lebih baik dilakukan lanjut dengan tangan, agar tidak melukai orang yang dikubur itu.
Garukan-garukan tangan mulai terdengar. Perlahan tapi pasti membuat aliran darah Gentong semakin cepat, dan ini fatal akibatnya. Ia menjadi kembali sesak dan mulai kehilangan kesadaran. Gelap pun kembali menjelangnya. Kesadarannya pun hilang lagi. Tak dirasakannya saat ketiga orang yang menggali kuburnya, mengangkatnya dan memanggulnya pergi. Sambil tak lupa seorang dari mereka kembali merapikan kuburnya kembali, sehingga seakan-akan tidak ada apa-apa yang pernah terjadi di sana. Jejak-jejak akan segera menghilang ditelan hujan gerimis yang perlahan-lahan turun. Hujan yang seperti mengamini perbuatan ketiga orang tersebut.
Sesosok pasang mata tampak bersinar dalam kegelapan. Tinggi matanya tidak sampai sedada orang dewasa walaupun makhluk itu berdiri di balik semak-semak. Ia tidak berbuat apa-apa. Hanya memperhatikan apa yang baru saja terjadi di makam di lapangan rumput tersebut. Sejenak ia menunggu sampai langkah-langkah kaki ketiga orang tersebut tidak lagi terdengar, kemudian ia pun menghilang di balik rerimbunan.
*** Tiga orang tampak berjalan beriringan. Seorang tua dan dua orang muda-mudi. Yang tua berbadan tegap dan berbusana kain bermotif kasar yang berwarna sebelah kanan biru muda dan sebelah kiri hijau muda. Kulitnya berwarna sedikit kebiruan, seperti warna urat-urat darah orang yang kebiruan. Sedangkan sang gadis yang jelas terlihat dari sisik biru kehijauan tubuhnya dan rambutnya yang hitam keemasan, bahwa ia adalah seorang Undinen. Roh Air, begitu sebutan orang-orang kepada jenis makhluk tersebut. Seorang yang terakhir, sang pemuda, tampak biasa-biasa saja.
Ketiganya tampak berjalan perlahan dan tampak tak ada tujuan. Sesekali mereka berhenti dan menikmati pemandangan alam yang ada di hadapannya. Memang hari itu matahari bersinar tampak ditutupi awan dan angin sepoi-sepoi bertiup, menciptakan hari yang indah dan cerah.
"Paman Wananggo..," tiba-tiba Undinen yang bernama Xyra itu bertanya kepada orang yang tua, "ke mana kita akan mencari buah dan akar tersebut?"
Orang yang ditanya tidak langsung menjawab melainkan hanya tersenyum-senyum saja. Geli ia melihat kekhawatiran sang gadis kepada pemuda temannya itu. Orang lain pun sudah dapat memperkirakan bahwa terdapat "apa-apa" di antara kedua muda-mudi itu.
"Nak Xyra, sabarlah! Tak akan lari waktu dikejar. Kita masih punya waktu beberapa hari lagi, sebelum waktu bulan purnama tiba. Dan tempat yang kita tuju itu, besok siang akan kita capai," jawab orang tua itu sambil kembali tersenyum. Lalu tambahnya, "dan di sana kita butuh kemampuanmu sebagai seorang Undinen untuk menemukan buah dan akar dari tanaman tersebut."
Sang Undinen pun mengangguk mengiyakan. Menyatakan tanpa suara bahwa ia akan melakukan apa-apa yang perlu, asalkan orang yang dikasihinya itu dapat sembuh kembali.
"Sekarang mari kita nikmati dulu indahnya hari ini. Dan juga tidak lupa mengisi perut yang sudah berbunyi," ucap orang tua itu lagi. Biasanya Wananggo tidak banyak bicara, entah kenapa setelah bertemu dengan Xyra dan Lantang, ia merasa kerasan. Ia merasa kedua orang itu sebagai bagian dari dirinya. Sebagai keluarga. Ya, Wananggo tidak lagi memiliki keluarga. Istri dan anaknya telah meninggal karena sakit. Sejak saat itu ia menjadi murung dan tidak tentu hidupnya. Baru belakangan ini ia menyadari buat apa merusak dirinya sendiri dan pada saat itulah ia bertemu dengan Lantang dan Xyra, yang kebetulan juga memerlukan bantuan dirinya.
Tiba-tiba terdengar samar-samar suara deburan. Suara laksaan air yang dijatuhkan dari tempat yang tinggi. Air terjun.
"Nah itu tempat bermalam kita," ujar orang tua itu dengan gembira. Lalu diajaknya kedua orang itu untuk bergegas memacu langkahnya agar cepat mencapai tempat bermalam yang dimaksud.
Setelah mendaki sebuah bukit, tampak di baliknya sebuah pemandangan yang mengesankan. Sebuah sungai besar tampak mengalir menjauh dari arah mereka dan kemudian menghilang di horison. Jatuh ke bawah akibat tarikan bumi dan menimbulkan bunyi-bunyi deburan menggelegar. Sebuah air terjun yang megah.
"Itu namanya Air Jatuh," jelas Wananggo. "Dulu di sini terdapat banyak tempat pertapaan. Tapi semenjak Perguruan Atas Angin melebarkan kekuasaannya, para petapa tersebut disuruh pergi atau lebih tepat dipaksa pergi. Mereka menganggap daerah ini sebagai daerah kekuasaannya."
"Dan kita akan menyusup ke sana?" tanya Lantang ingin tahu.
"Ya, tentu!" jawab Wananggo. "Tumbuhan yang aku ceritakan itu tumbuh di salah satu pulau di bawah sana. Untuk itu kita perlu menyusup ke dalam wilayah Perguruan Atas Angin. Mau tidak mau, demi kesembuhanmu."
Kedua muda-mudi itu hanya mengangguk mengiyakan.
"Dan untuk itu, kita perlu tenaga dan konsentrasi. Sekarang lebih baik kita mencari tempat yang baik untuk bermalam. Isi perut dengan baik dan tidur," usulnya. "Besok pagi-pagi sekali kita mencari jalan masuk. Semoga kita mendapat kesempatan yang baik, besok siang telah tiba di pulau tersebut dan malamnya, saat bulan purnama, mengambil tumbuhan tersebut pada waktu khasiat akar dan buahnya sedang pada puncak-puncaknya."
Kembali kedua orang muda di hadapannya mengangguk setuju dan melakukan apa yang disarankan oleh orang tua tersebut.
*** "Bagaimana keadaannya?" tanya sebentuk suara merdu wanita.
"Masih 'mati', nona Siaw Liong," jawab seorang yang ada di hadapannya.
"Belum 'hidup' dia?" tanya wanita itu kembali.
"Belum. Apa mau dipaksa?" kembali orang yang tadi menjawab, mengajukan usul.
"Tidak, biarkan saja. Dulu juga, engkau Angus, perlu waktu dua hari aku menungguimu sampai kau benar-benar hidup. Engkau sempat mati-hidup-mati-hidup karena saat itu belum bisa menguasai peredaran hawa yang beru engkau peroleh itu," ucap wanita itu sambil tersenyum.
Orang yang diingatkan akan hal tersebut hanya tersenyum saja. Ya, ia ingat saat itu. Hawa dalam tubuhnya sangat kacau bergerak, sehingga ia terluka dalam dan kembali "mati".
"Mana Dhoruba dan Misun?" tanya wanita itu kemudian setelah sunyi sejenak di antara mereka.
"Misun seperti biasa sedang mengamati di atas pohon sana. Melihat ke segala arah. Dhoruba sedang mencari makan malam kita," jawab orang yang dipanggil Angus itu.
"Kita perlu bicara malam ini. Jumlah kita sudah cukup. Perjalan pulang bisa dilakukan..," katanya pelan. Ia menekankan nada suaranya pada kata-kata "perjalanan pulang", yang membuat Angus menjadi sedikit berdesir.
Ya, perjalan pulang. Selama ini adalah hal itu yang mereka cari. Dan untuk itu perlu lima orang dari mereka-yang-tak-bisa-mati untuk melakukannya. Sulit. Umumnya salah seorang dari mereka-yang-tak-bisa-mati, saling baku-hantam satu sama lain, memperebutkan kepala lawannya, untuk memperoleh tenaga, hawa dan pengetahuan yang telah tercukupi. Hal-hal yang sebenarnya dapat diperoleh bersama-sama apabila mereka berhasil "pulang" ke tempat asal mereka.
"Beritahu aku bila orang baru itu telah 'hidup'," berkata kembali sang wanita. Lalu ia pun berlalu dari sana.
Angus hanya mengangguk tanpa menjawab. Pikirannya sedikit melayang.
*** Bagian 5.1 -- Akhir Klan McLeod
"Jadi..?" tanya seorang wanita pesolek yang berjalan mondar mandir dalam ruangan itu. Kecantikannya yang aneh dan hasil bantuan pupur dan bedak serta ilmu awet muda membuatnya sedikit aneh. Tapi pasti tiada orang di luar ruangan itu yang berani menggugahnya. Ya, karena ia adalah salah seorang dari pimpinan Perguruan Kapak Ganda, Cermin Maut.
"Baiknya kita matangkan saja rencana untuk menyerbu Air Jatuh itu," ucap seorang dari mereka yang tampak sedang memain-mainkan sejenis senjata yang merupakan alat untuk menuai padi. Sejenis sabit besar. Ia memutar-mutarkan senjata itu ke sana-ke mari. Beberapa pelayan yang berdiri di pinggir ruangan tampak ngeri, takut-takut kepala mereka menjadi sasaran dari sabit tersebut. Tapi tampaknya Sabit Kematian tak ambil pusing. Kadang malah ia sengaja memutar sabitnya satu dua jari di atas kepala beberapa orang pelayan. Sudah satu orang yang semaput dan kencing di celana saking takutnya.
"Aku setuju..," sahut sebuah suara lain. Seorang dari mereka. Seorang yang tampak sedang menimang-nimang kukunya yang semakin kuning gelap warnanya. Warna yang menunjukkan tingkat ganas racun yang terdapat dalam kuku-kuku tangan tersebut.
"Baik jika begitu," jawab Cermin Maut kemudian, "kita hubungi anak-murid dari dua kota lainnya agar mereka dapat segera bersiap-siap."
Seorang dari murid mereka yang ikut rapat tersebut segera mengambil sejumlah perkamen kosong untuk ditulisi. Cermin Maut sebagai pimpinan yang mengurusi hal-hal kepemimpinan, tidak seperti dua orang saudara seperguruannya yang malas untuk hal selain pertarungan, mulai menuliskan pesan kepada pimpinan perguruan cabang Perguruan Kapak Ganda yang berada di Kota Lembah Batu Langit dan Kota Pinggiran Sungai Merah. Telah terdapat tiga perguruan besar di tiga kota, termasuk di Kota Paparan Karang Utara. Tiga perguruan di tiga kota yang terletak mengapit Kota Air Jatuh. Tempat perguruan lawan mereka berada, Perguruan Atas Angin.
Segera setelah surat itu selesai dituliskan para murid yang bertugas membawa pesan itu segera berangkat ke kota tujuannya masing-masing. Sementara murid-murid Perguruan Kapak Ganda di Kota Paparan Karang Utara tampak bersiap-siap untuk mengumpulkan senjata dan perlengkapan untuk menyerang Perguruan Atas Angin di Air Jatuh.
*** Pertempuran antara dua klan Orang-orang Dataran Tinggi di Skotlandia kerap terjadi. Antara yang jahat dan yang baik. Antara orang-orang petani yang hanya mempertahankan tanah pertanian mereka dan orang-orang yang gemar melakukan ekspansi, orang-orang yang malas untuk bercocok tanam dan lebih gemar mengucurkan darah untuk mengisi perut mereka.
Pertempuran kali ini pun amat serunya. Klan McLeod yang menjadi sasaran dari klan Darkyzp, suatu klan ekspansionis dan brutal. Sudah berpuluh-puluh tahun klan Darkyzp berusaha menundukkan klan McLeod tapi tak berhasil. Bukan hanya masalah perebutan wilayah dan juga hasil pertanian, akan tetapi lebih cenderung pada masalah politis. Jika saja klan Darkyzp dapat mengalahkan klan McLeod maka semangat klan-klan lain untuk melawan akan menjadi runtuh. Klan McLeod memang terkenal dengan semangatnya yang selalu memenangkan pertempuran dan tidak agresionis.
Akan tetapi kali ini mungkin tidak seberuntung kali-kali lain. Dengan mengontak orang-orang barbar liar, klan Darkyzp telah menjanjikan orang-orang barbar atas budak-budak laki-laki dan wanita dari klan McLeod yang dikalahkan. Suatu imbalan menggiurkan bagi bangsa yang juga senang berperang itu. Walaupun tidak ada permusuhan pribadi antara orang-orang barbar liar dan klan McLeod, akan tetapi sebagai bangsa bayaran, mereka tidak pernah menampik tawaran yang berharga. Jadilah mereka sekutu dari klan Darkyzp.
"Mereka datang!!" teriak seorang anak kecil dari atas pohon di sebuah bukit.
Ucapan itu langsung disahut-sahutkan oleh rekan dewasanya yang berjarak beberapa tombak dari sana dan seterusnya. Menggaung-gaungkan teriakan-teriakan ke seluruh daerah itu. Menandakan agar semua bersiap untuk bertempur. Tua-muda, lelaki dan perempuan. Mereka semua harus berjuang, karena jika kalah tidak ada ampung bagi mereka.
Seorang masuk ke dalam sebuah gubuk, "Angus, mereka datang."
"Hmm, benar seperti informasi yang kita terima. Berapa banyak?" tanyanya kembali.
"Tiga ratus ratus sampai lima ratus orang, setengahnya berkuda," jawab pembawa informasi tersebut.
"Dan orang-orang barbar liar ada di antara mereka?" tanya Angus kembali.
Yang ditanya hanya mengangguk saja. Cemas tampak dalam wajahnya.
"Baiklah, tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan. Apa boleh buat, kita harus berperang habis-habisan kali ini," ucapnya lelah. Ya, ia telah lelah beberapa pertempuran dalam beberapa bulan ini. Perlu ada pemerintahan yang sah di Skotlandia, atau bangsa lain akan masuk dan mengalahkan semua klan yang senang satu sama lain berperang sendiri-sendiri ini.
Angus bukan pemimpin klan McLeod. Ia hanya anak dari pemimpin yang lama. Ian McLeod, yang sedang terbaring sakit sejak pertempuran yang lalu. Mau tidak mau Angus harus sedikit berkontribusi akibat posisi ayahnya. Saudaranya Joseph lebih suka berperang di garis depan ketimbang memimpin dan berpikir strategi yang sulit-sulit. "Kamu saja yang memimpin," begitu katanya suatu saat.
Jadilah ia, Angus McLeod, pemimpin ad interim atau sementara, selama ayahnya belum sembuh.
Dengan segera mereka yang ada di sana mengangguk dan bergegas keluar. Mereka telah membicarakan strategi untuk berperang melawan klan Darkyzp kali ini. Strategi hantam kromo dan bergerilya berganti-ganti. Untuk itu tempat-tempat di bawah tanah telah dibuat agar mereka dapat sembunyi dan menyerang dengan cepat. Menjadikan desa mereka, tempat tinggal mereka sebagai medan perang sebenarnya. Tak ada jalan lain. Bangsa barbar liar amat tangguh dalam pertempuran satu lawan satu dan tempat terbuka. Panah klan Darkyzp juga amat berbahaya di lapangan. Lebih baik di desa mereka yang dilindungi oleh batu-batu dan pohon-pohon. Di sela-selanya mereka bisa bergerilya dan menyerang balik. Kondisi yang mirip dengan Padang Batu-batu.
Terompet dari tanduk pun ditiupkan. Semua siaga mengambil tempatnya masing-masing. Dari anak kecil sampai orang tua. Dari yg sehat sampai yang cacat. Semuanya bersemangat untuk berperang demi kebebasan mereka. Kebebasan untuk tetap hidup dan merdeka. Ya, mereka telah mendengar bahwa lawan-lawan bangsa barbar liar yang kalah akan dijadikan budak atau dijual. Dan mereka tidak menginginkan hal itu. Tidak ingin kalah.
Pertempuran pun bergelora. Pertempuran yang tidak seimbang. Dua kelompok besar orang-orang haus darah, klan Darkyzp dan bangsa barbar liar, lawan klan McLeod yang walaupun memiliki semangat dan kemampuan individu tinggi, tapi kalah dalam jumlah. Beberapa orang klan McLeod yang berani memancing dan rela mati pertama-tama, tampak menghadang gelombang serangan kedua kelompok haus darah tersebut. Satu persatu dari mereka mencium tanah dengan bersimbah darah, darah mereka sendiri, setelah mengajak satu dua orang lawan mereka menuju alam lain.
Waktu pun berjalan. Jumlah yang jatuh terus bertambah. Dengan adanya isyarat terompet tanduk, barisan terdepan pun berlarian, masuk ke dalam desa. Pintu gerbang pun ditutup.
"Ghrrrrrg..!!" ucap seorang pempimpin barbar liar, yang dikepalanya mengenakan tengkorak beruang.
"Cepat, jalan biarkan mereka lari!!" ucap yang lain, yang dikedua pundaknya mengenakan hiasan dua buah tengkorak bayi manusia, satu di kiri dan satu di kanan.
Gelombang penyerang pun beringsut maju. Tak terpikirkan oleh mereka adanya siasat dari klan McLeod yang menanti mereka. Dengan bekal pendobrak batang kayu, mereka memukul-mukulkan pintu gerbang. Memaksakannya untuk terbuka.
"Dukkkk!!!" gempuran pertama.
Orang-orang di belakang gerbang tersebut tampak menyusun-nyusun tombak-tombak berujung tajam yang diarahkan membentuk sudut. Sudut yang pas dengan dada kuda. Terlalu tinggi untuk dilompati akan tetapi terlalu rendah untuk dihindari.
"Dukkkk!!" gempuran kedua bergema.
Blokade tombak-tombak telah siap dipasang. Sebagian dari klan McLeod telah menyingkir. Hanya belasan yang tersisa untuk strategi ini. Pandangan penuh semangat dan kerelaan untuk mati tampak saling dilemparkan tanpa kata-kata. Kesetiaan dan penghormatan.
"Dukkkk!!! Kraakkkk!!" gempuran ketiga datang dan merupakan batas ketahanan dari pintu gerbang desa itu. Pintu pun terbuka dengan lebar.
Bagai air bah kuda-kuda para penyerang mengalir masuk. Orang-orang klan McLeod yang berjaga lansung menyerang dengan tombak dan panah untuk mengalihkan perhatian para penyerang dari blokade tombak yang dipasang.
Akibatnya telah diduga, sebagian dari mereka langsung tersungkur lengkap dengan kudanya dan menemui ajal bersamaan dengan berdebamnya tubuh mereka di atas tanah. Suatu hasil yang dinanti-nantikan oleh strategi ini untuk mengurangi jumlah musuh. Dua puluhan orang berhasil ditanahkan. Cukup untuk baik untuk blokade sekecil itu.
Di sela-sela batu dan rumah setelah masuk ke dalam desa melewati blokade pintu gerbang, para penyerang mulai membantai siapa saja yang ditemui. Sayangnya tidak banyak orang-orang klan McLeod yang ada, telah banyak dari mereka bersembunyi. Menanti untuk menyerang balik.
"Ada yang aneh," seru seorang dari klan Darkyzp. "Klan McLeod tidak sesedikit orang-orang yang telah mati tadi."
"Siapa yang tahu, mungkin sudah semua," ucap rekannya.
"Tidak mungkin. Bila sudah semua, tidak baik untuk perjanjian dengan mereka," katanya sambil melirik pada orang-orang barbar liar yang masih berkuda dan berlari kesana-kemari mencari-cari korban untuk ditangkap atau dibunuh.
Rekannya mengangguk. Lalu ia berlalu dan memerintahkan untuk mulai mencari dipelosok-pelosok desa. Dibalik-balik jerami dan sebagainya. Semua dibolak-balik, tapi hasilnya nihil. Klan McLeod yang tersisa seakan-akan hilang dari pandangan.
Beberapa orang barbar liar tampak gelisah dan marah dengan keadaan ini. Mereka mengharapkan hasil yang banyak dalam bentuk tawanan orang-orang McLeod yang kalah. Tapi apa yang mereka dapatkan. Tidak ada. Semua orang menghilang di dalam desa itu.
Suasana yang tidak nyaman itu berlangsung cukup lama, sampai beberapa orang dari mereka menjadi tidak sabar dan mulai melakukan pembakaran-pembakaran. Asap pun membumbung tinggi ke angkasa. Menghiasi hari yang cerah itu. Menorehkan kesedihan atas pembantaian yang sedang berlangsung.
Tiba-tiba, "Ceppp!! Cappp!!" sejumlah panah-panah menghambur pada tubuh-tubuh sang penyerang. Panah-panah yang datang dari arah pohon-pohon dan bukit-bukit batu di belakangnya.
"Grrrggghhh!! Di sana, di belakang desa!!" teriak seorang barbar liar. Ia yang luput dari serangan panah, tidak seperti rekannya yang telah hilang nyawanya, segera ia memacu kudanya. Kawan-kawannya yang lain segera mengikuti arah perginya orang tersebut.
Di sana, di tempat yang telah dipersiapkan tampak sisa-sisa dari klan McLeod berdiri. Di sela-sela batu-batu tampak mereka bersiaga. Tua dan muda. Pria dan wanita.
Mereka menunggu datangnya musuh yang berlari dan berkuda. Menunggu dengan harap-harap cemas, menunggu sampai saat-saat terakhir, agar musuh dapat kembali dikelabui sehingga masuk perangkap.
Dan kali ini pun kembali berhasil. Musuh yang tidak menyangka bahwa di hadapan mereka terdapat parit yang cukup lebar dan dalam, yang ditutupi oleh kayu-kayu dan ranting. Mereka tertipu dengan anggota klan McLeod yang berlari melewati perangkap tersebut. Ya, orang tersebut berlari di atas tongkat-tongkat kayu yang sengaja dibuat sehingg terlihat seolah-olah tidak terdapat perangkap di sana.
Akibatnya terjatuhlan sekitar belasan penunggang kuda dan penyerang yang berjalan kaki. Mati. Beberapa patah tulangnya dan lainnya terlempari tombak dan batu dari atas parit.
Setelah parit terkuak, mudah untuk dihindari. Sisa dari penyerang masih berjumlah cukup banyak. Dan sekarang pertempuran sebenarnya berlangsung.
Anggota klan McLeod berlari-lari di sela-sela batu-batu dan pohon. Menghindar dan menyerang balik. Cukup banyak jatuh korban di antara mereka dan juga penyerang. Darah pun mengalir deras memerahkan tanah-tanah di sekitar tempat itu.
Matahari pun tak tahan dan turun dari puncak tertingginya hari itu. Ia menangis melihat banyaknya darah yang tertumpah hanya akibat ambisi sedikit orang.
Teriakan-teriakan penambah semangat masih terdengar dari kedua belah pihak. Tapi bisa dipastikan bahwa klan McLeod tidak akan memperoleh kemenangan. Walaupun musuh sudah separuhnya habis, tapi mereka masih tiga kali lebih banyak dari anggota klan McLeod yang hidup. Jumlah yang tidak seimbang, ditambah dengan masih adanya kuda dan kekejaman mereka. Lain halnya dengan klan McLeod yang hanya mempertahankan hidup, walaupun mereka bersemangat tinggi, tapi lambat-laun dengan melihat semakin banyaknya keluarga mereka yang mati, semakin lemahlah semangat mereka. Tapi ada satu hal yang harus dihormati, bahwa mereka tidak rela ditangkap dan dijadikan budak. Mereka berjuang sampai titik darah penghabisan.
Hari itu menjadi hari yang paling gelap dalam sejarah klan McLeod.
*** Bagian 5.2 -- Menyusup ke Air Jatuh
Pemuda bertubuh subur dan besar itu akhirnya membuka matanya. Mula-mula apa yang tampak tidaklah terlalu jelas. Semua kabur dan berkabut. Lambat laun mulai jelas. Dan ia melihat kurang lebih beberapa orang yang sedang mengamati atau berada di sekelilingnya. Tiga-empat orang. Orang-orang yang berbeda satu sama lain.
Hal lain yang segera menggugahnya adalah rasa aneh dalam kepalanya, berdenyut-denyut tak beraturan. Berdenyut-denyut seakan-akan memberitahukan ada sesuatu yang baru, sesuatu yang kontak langsung dengan kepalanya. Perlahan-lahan ia memegangi kepalanya.
"Lihat, ia mulai merasakan 'kontak' di antara kita," ucap seorang yang berkulit hitam legam dan berambut keriting.
"Hmmm," hanya itu jawab temannya yang berkulit kemerahan di sebelahnya.
Seorang berkulit putih pucat tampak mendatanginya, memperhatikannya dari dekat. Lalu ia mengulurkan tangannya dan membantunya bangun. Jauh beberapa kaki darinya tampak seorang wanita yang melihatnya dan tersenyum. Entah apa maksud dari senyum itu.
"Well, what is your name?" tanya orang yang tadi membantunya bangun dalam suatu bahasa yang tidak dimengertinya.
"Apa" Apa maksudmu?" tanya pemuda itu. Ia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh orang yang berada di hadapannya tersebut.
"I think he speaks with a local language here. Is there someone knows that language?" tanya orang itu kepada rekan-rekannya.
"I try with other language," sahut seorang dari mereka. "Kumpel, verstehst du, was ich sage" Kannst du Deutsch sprechen?"
Kembali pemuda bertubuh subur dan besar itu menggeleng, menunjukkan bahwa ia tidak mengerti juga apa yang diucapkan oleh orang tersebut.
Sekarang giliran orang yang berkulit merah itu, "Watashi wa Misun desu. Anata wa donata desu ka?" Ia sambil berkata itu menunjuk pada dirinya sendiri dan kemudian pada pemuda itu.
Pemuda itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.
Lalu mereka bertiga memandang kepada orang keempat yang tampak sedang memperhatikan kejadian itu. Ia, sang wanita, lalu beranjak mendekati.
"Saya, Shia Siaw Liong. Dia Dhoruba, Misun dan Angus McLeod," katanya sambil menunjuk pada dirinya sendiri, orang hitam berambut keriting, orang berkulit merah dan orang berkulit pucat tadi.
"Saya Gentong," jawab pemuda itu. Kali ini ia mengerti apa yang diucapkan oleh wanita itu, walaupun bagi kupingnya masih kedengaran kaku untuk seorang pembicara menggunakan bahasa dari Tlatah Tengah ini.
Lalu dengan perlahan, gadis itu menjelaskan apa yang terjadi pada Gentong. Perlahan agar pemuda itu tidak kaget mengenai apa yang menantinya sekarang, setelah ia menjadi salah seorang dari mereka-yang-tak-bisa-mati. Penjelasan yang tenang dan pelan, serta dibawa oleh suara yang merdu itu, tak urung membuat warna wajah sang pemuda sempat berubah-ubah. Pucat, merah, lalu kembali pucat. Dan akhirnya tampak tegan.
"Sekarang, kami biarkan dulu engkau sendiri, perlahan-lahan untuk mencerna apa yang baru saja aku ceritakan," ucap wanita itu. Lalu ia memberi isyarat kepada ketiga rekannya untuk sedikit menjauh, memberikan kesempatan kepada pemuda yang baru saja "hidup kembali" itu waktu untuk merenung dan berpikir.
Gentong, sang pemuda, tampak sekali 'shock' dengan berita yang didengarnya. Ia telah mati dan dikuburkan. Dan sekarang bangkit lagi sebagai seorang mereka-yang-tak-bisa-mati. Suatu hal yang baru kali ini didengarnya. Tanpa terasa ia meraba dadanya, mencari-cari lubang tempat sabit yang digunakan Sabit Kematian keluar membawa darah dan dagingnya setelah terlebih dahulu masuk dari punggungnya. Suatu bacokan yang mengantarnya ke liang kubur.
*** Kesibukan-kesibukan tampak terlihat di suatu bagian dari Kota Lembah Batu Langit, Kota Pinggiran Sungai Merah dan Kota Paparan Karang Utara, tepatnya di bagian di mana cabang-cabang perguruan Kapak Ganda berada. Perlengkapan dan bahan-bahan tampak dikumpulkan di atas kereta-kereta yang ditarik oleh kuda. Bahan-bahan berupa makanan dan senjata. Perlengkapan seperti untuk melakukan perang. Ya, perang! Memang demikian halnya. Ketiga cabang perguruan silat tersebut, yang pusatnya berada di Kota Paparan Karang Utara memang sedang mengadakan persiapan untuk melakukan penyerbuan ke perguruan silat lawan mereka, Perguruan Atas Angin. Terdapat dendam kesumat antara kedua perguruan silat tersebut. Suatu hutang lama yang disebabkan oleh pertikaian sepele antar keduanya.
Kali terakhir Perguruan Atas Angin telah membantai habis Perguruan Kapak Ganda, yang saat itu baru memiliki satu cabang, yaitu di Kota Paparan Karang Utara. Hal yang tidak diketahui oleh Perguruan Atas Angin pada saat itu adalah kawan-kawan atau saudara perguruan ketua yang lama baru saja datang, selepas pembantaian terjadi. Mereka-mereka ini kemudian membangun kembali perguruan tersebut. Membuka cabang di dua kota lainnya, mengumpulkan banyak anak dan murid untuk membalaskan dendam rekan mereka yang dibunuh. Rekan mereka itu bernama Naga Geni, ketua Perguruan Kapak Ganda, yang dibunuh oleh Ki Jagad Hitam, yang saat itu adalah ketua Perguruan Atas Angin.
Sebenarnya ketua Perguruan Atas Angin saat ini, yaitu Tapak Kelam, sudah mendengar akan adanya desas-desus penyerbuan ke perguruan silatnya oleh perguruan lawan, tapi seperti biasa, orang yang merasa kuat meremehkan apa-apa yang dianggapnya tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Jadilah serangan Perguruan Kapak Ganda berhasil dengan baik. Mereka mengepung Perguruan Atas Angin dari tiga penjuru. Penjuru ke empat tidak perlu karena berbukit-bukit terjal dan tidak mungkin dilalui. Perguruan Atas Angin bagaikan mangsa yang tersudut di pinggir ruangan. Dari tiga arah telah datang penyerbu dan di belakangnya terdapat tembok tinggi yang menghalanginya untuk kabur. Tembok tinggi berupa bukit-bukit tinggi dihiasi air-air terjun. Air Jatuh.
*** "Jadi itu kisahmu, Gentong?" tanya Shia Siaw Liong pada pemuda subur dan besar itu, yang diiyakan dengan anggukan kepala oleh sang pemuda.
"Baiklah jika begitu, kami akan menolongmu membalaskan dendam guru dan saudara-saudaramu," ucap gadis itu lagi, "dan setelah itu engkau membantu kami menuntaskan misi kami."
Kembali pemuda mengangguk.
Sementara itu tiga orang yang lain tampak agak tegang. Ya, pertempuran. Mereka bukannya anti pertempuran. Pertempuran bisa dikatakan adalah sesuat yang telah ada dalam darah mereka. Mengalir bersama sari-sari makanan dan udara yang dibawa darah. Mengisi sela-sela kecil nadi dan urat dalam tubuh mereka. Menjadi mereka-yang-tak-bisa-mati adalah suatu keadaan yang senantiasa mendekatkan diri mereka pada pertentangan, bahkan pertempuran. Setidaknya pertentangan terhadap orang-orang yang menganggap mereka ini, orang-orang yang tak bisa mati, sebagai orang-orang yang tidak normal dan harus diajuhi. Harus disingkirkan.
Misun hanya menggumam pelan. Tandanya ia tidak keberatan. Dhoruba hanya tersenyum kecil. Sedangkan Angus McLeod tampak menghela napas, tapi tidak menyatakan keberatannya. Setelah melihat ini semua kemudian Shia Siaw Lion berkata, "Baiklah. Jika demikian telah diputuskan. Besok, pagi-pagi sekali, kita berangkat ke Kota Paparan Karang Utara. Kudengar-dengar di sanalah pusat Perguruan Kapak Ganda, tempat di mana orang yang membunuh guru dan saudara-saudara seperguruan Gentong berada."
Setelah itu kelimanya kemudian bersiap-siap untuk beristirahat. Misun masih mendekati Gentong, menanyakan senjata apa yang akan digunakannnya nanti, saat menyerang Perguruan Kapak Ganda. Gentong hanya menggelengkan kepala, menyatakan bahwa ia tidak pernah sebelumnya menggunakan senjata. Hanya kepalan tangan dan kaki yang biasa digunakan.
"Tidak efektif untuk menghadapi banyak anak-murid perguruan itu, jika dengan tangan kosong. Lebih baik engkau kuajari menggunakan kapak dan panah," usulnya.
"Baik, terima kasih!" ucap Gentong. Ya, ia sadar. Ia kemudian teringat pada pertempuran terakhir yang membawanya 'mati', bahwa dalam pertempuran, bukan pertandingan satu lawan satu, senjata memegang peranan penting. Dapat menghemat tenaga untuk mengurangi lawan dengan cepat.
"Dalam perjalanan ke sana, kira-kira kita butuh tiga hari, pasti engkau sudah bisa," kata Misun meyakinkan.
Gentong mengangguk mengiyakan.
Atas isyarat dari Shia Siaw Liong, api pun dimatikan dan mereka pun mulai tidur, untuk besok pagi-pagi sekali bangun dan pergi ke Kota Paparan Karang Utara.
*** "Paman Wananggo.., sudah pagi!" ucap Lantang sambil menggugah-gugah bahu seorang tua yang sedang tertidur meringkuk dengan enaknya. Dengkurnya yang teratur menunjukkan betapa pulas orang tua itu tidur.
"Eh.., ah.., apa" Sudah pagi?" jawabnya gelagapan. Tampak sebagian 'roh'-nya masih ada di alam mimpi.
"Iya, paman, lihat ke sana!" ucap Xyra sambil menunjuk ke arah timur. Langit sudah agak mulai terang di sana. Warna kuning keemasan dan sedikit merah agak mulai terlihat di ufuk tersebut.
"Cepat..!!" ucap orang tua itu. "Saat-saat ini biasanya penjagaan tidak ada. Orang-orang itu lengah pada saat-saat pagi seperti ini." Langsung segar orang tua itu. Bangkit dan bergeras membereskan perlengkapan tidur mereka yang tidak seberapa. Ia lalu mengajak muda-mudi yang menyertainya itu pergi ke suatu arah. Ke arah di mana air menghilang di pandangan mata, jatuh menjadi air terjun.
Di pinggir sungai yang menghilang ke bawah itu Wananggo tampak berbaring melihat-lihat, ia tidak mau sosoknya terlihat dari bawah oleh para penjaga di sana. Matanya mncari-cari ke sana dan kemari, tapi tak dilihatnya seorang pun.
"Aneh!!" gumamnya. Dia mengharapkan melihat satu dua orang penjaga yang pergi meninggalkan tempatnya untuk sarapan, agar ia yakin bahwa mereka benar-benar pergi dan tidak sembunyi.
"Tapi apa boleh buat, kita coba saja turun sekarang," ucapnya kepada kedua orang di belakangnya itu.
Dengan perlahan-lahan ketiganya mencari-cari pijakan di pinggir air terjun, di antara batu-batu yang menonjol, untuk turun ke bawah. Turun ke arah curahan air terjun itu diterima oleh sebuah danau kecil yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah pulau mungil.
"Hati-hati," ucap orang tua itu kepada muda-mudi tersebut. Ia sendiri kadang-kadang kesulitan pula memperoleh pijakan. Namun tak lama biasanya, setelah biasa mudah mereka melanjutkan satu langkah, ke langkah berikutnya.
"Tong!! Tong!!! Tong!!!" tiba-tiba terdengar gaung tabung logam besar dan berat yang dipukul berulang-ulang.
"Wah, kita ketahuan...!!" ucap orang tua itu. Segera ia menggapai kedua muda-mudi itu untuk mengikutinya bergeser masuk ke dalam rongga di belakan air terjun. Di sana ternyata terdapat cukup ruang untuk berlindung. Tertutupi oleh tirai air yang mengalir turun, membuahkan pemandangan yang aneh dan indah.
Sambil sesekali Wananggo melihat dari sudut tirai air itu, di mana ia menyaksikan beberapa orang dari pulau di tengah danau itu muncul dan menyeberangi pulau melalui jembatan kecil yang ada. Mereka tampak dipanggil oleh adanya isyarat itu menuju pusat perguruan.
"Aneh?" ucap orang tua itu lagi, "tadi kupikir kita ketahuan menyusup. Ternyata mereka ada masalah rupanya. Hehehehe, ini malah untung buat kita."
Kedua anak muda itu hanya memandangnya tanpa suara.
Setelah cukup memperhatikan dan tidak lagi terlihat orang, Wananggo pun mengisyaratkan agar mereka melanjutkan perjalanan menuruni tebing di pinggir air terjun itu. Keluar dari ruang di belakang tirai air dan kembali merambah ke bawah. Perlahan-lahan dan lebih tenang karena diyakini bahwa para penjaga telah pergi semua.
Perlahan-lahan melewati berbagai jenis dinding dan lapisan tanah yang kadang telah berlumut subur atas percikan air dari air terjun, akhirnya sampailah mereka di bawah, di suatu ruang sempit berbatu di kaki air terjun. Di depan mereka membentang danau kecil yang ditengahnya terdapat sebuah pulau. Pulau yang mungil dengan sebuah bangunan terbuat dari batu berwarna kelabu. Di sekitar bangunan tersebut tumbuh pohon-pohon buah dan bunga berwarna-warni.
Wananggo pun memberi isyarat agar mereka mengikutinya, menyelam dan berenang menuju pulau yang terlihat tersebut. Keduanya mengangguk mengiyakan. Ketiganya pun kemudian telah berada di dalam air yang jernih dan segar itu, berenang menyelam menghampiri pulau yang menjadi tujuan mereka.
*** Bagian 5.3 -- Pertempuran di Air Jatuh
Api tampak mengepul di belakang kelima orang yang berjalan dengan tenang tersebut. Di atas pintu gerbang suatu perguruan silat yang baru saja mereka tinggalkan itu terpampang sebuah nama, "Perguruan Kapak Ganda", yang papannya sudah miring, bekas digempur. Di belakang mereka tampak belasan orang terkapar tanpa napas dan denyut nadi. Mati.
Dhoruba tampak senang dengan penyerbuan itu. Senjatanya berupa parang yang membentuk sudut tumpul, mirip bumerang, tampak merah oleh darah. Misun seperti biasa tampak tanpa ekspresi, akan tetapi kapaknya yang juga berwarna merah dalam genggamannya telah bicara. Angus tampak agak menyesalkan peristiwa itu. Shia Siaw Liong yang ternyata bersenjatan sepasang pedang, yang diletakkan di punggungnya, tampak dingin.
Jika ada yang sedih dan bersemangat, itulah Gentong. Pemuda itu merasa sedikit puas karena ia telah berhasil membalaskan sebagian kematian dari guru dan saudara-saudara perguruannya dari Rimba dan Gunung Hijau. Tapi itu belum semua. Dedengkot dari kejadian dulu belum mendapatkan hukumannya. Ada tiga orang yang dicarinya, Mayat Pucat, Cermin Maut dan Sabit Kematian. Ketiga orang inilah yang memimpin penyerbuat ke tempatnya, membunuh guru dan saudara-saudara seperguruannya.
Sayangnya mereka tidak ada di tempat. Dari informasi yang bisa diberikan anggot perguruan silat tersebut, pada saat-saat akhir hidupnya, bahwa ketiga guru utama mereka sedang memimpin penyerbuan ke Perguruan Atas Angin yang terletak di kota Air jatuh. Mendengar itu, kelima orang itu segera berangkat pergi. Menuju ke arah yang sama untuk mencari ketiga orang guru tersebut.
"Mereka sudah pergi kemarin," ucap Misun, "kita tertinggal satu hari."
"Belum tentu," jawah Shia Siaw Liong, "perjalanan memang memakan waktu satu hari, tapi bisa saja penyerbuan itu tidak berhasil, sehingga mereka tidak langsung kembali. Menang atau kalah bisa berakibat lain. Masih ada kemungkinan kita bisa berjumpa dengan mereka di sana."
"Ada berapa jalan menuju ke Kota Air Jatuh dari kota ini?" tanya Dhoruba kemudian.
"Tak banyak," jawab Gentong, "hanya dua, yang satu adalah jalan yang juga tadi kita lewati yang berlanjut memutar dan yang lain yang langsung menuju ke sana."
"Mana yang terdekat?" tanya Shia Siaw Liong.
"Yang kedua," jawab Gentong.
"Baik, kita ambil yang kedua," jawab Shia Siaw Liong memutuskan. "Semoga tidak berselisih jalan dengan mereka."
Yang lain hanya mengangguk dan kemudian berbegas memacu langkah mereka, berjalan cepat.
*** "Mari.., mari, cepat-cepat," ucap orang tua itu kepada dua muda-mudi di belakangnya. Ketiganya bergegas berjalan mengendap-endap. Mereka berjalan memutar melewati beberapa pohon yang tumbuh di tepi pulau yang baru saja mereka capai melalui air itu. Baju mereka masih basah, tapi tidak terlalu mereka perhatikan.
Sepasang Pedang Iblis 20 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Pendekar Pemetik Harpa 30

Cari Blog Ini