Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana Bagian 8
Pelabuhan Jayakarta ini terletak di muara sungai Ciliwung. Itulah sebabnya, hingga kini, perdagangan Pajajaran hanya sebatas di pedalaman saja. Negri Sunda ini sudah tak memiliki wilayah pesisir lagi.
Sekarang, sungai Ciliwung hanya digunakan sebagai pelayaran ekonomi lokal saja. Kendati aliran sungai yang berair jernih ini masih lancar mengalir sampai muara, namun pedagang Pajajaran tidak melakukan perdagangan hingga muara.
Purbajaya sebenarnya tak begitu banyak diberi bekal penjelasan. Mengapa dia diperintah melakukan penyusupan ke Pakuan dengan jalan disuruh bekerja sebagaipuhawang(akhli kelautan), sementara kehidupan kebaharian di Pajajaran tidak berkembang seperti masa lalu.
Namun pertanyaannya ini segera terjawab ketika dirinya dijemput seseorang di tepian sungai.
Ini bukan pertemuan tak sengaja sebab jelas-jelas Purbajaya telah dijemput orang.
Di tepian sungai Ciliwung ini Purbajaya dijemput seorang "tukang perahu".
"Nama saya Jongjo. Saya anak buah Ki Jaya Perbangsa ... " kata lelaki bertubuh gempal berusia sekitar limapuluh-tahunan.
Purbajaya menyeberangi sungai Ciliwung dengan perlahan sebab "tukang perahu" terus mengajaknya bercerita.
"Ki Jaya Perbangsa ... Saya belum kenal dia," gumam Purbajaya. Seingatnya, Raden Yudakara tidak memberitakan perihal keberadaan orang ini.
"Nanti kau akan dihubungi beliau. Namun demikian, boleh aku terangkan sedikit," kata Ki Jongjo."Ki Jaya Perbangsa adalah pejabat di Pakuan, namun punya hubungan erat dengan penguasa Sagaraherang," lanjut Ki Jongjo lagi.
"Ki Sunda Sembawa?"
"Boleh dikata, Ki Jaya Perbangsa adalah tangan kanan Ki Sunda Sembawa," ujar Ki Jongjo, membuat Purbajaya bingung. Ia bingung, apa benar Raden Yudakara mengutus dirinya agar bergabung dengan kaki-tangan Ki Sunda Sembawa sementara itu Purbajaya sendiri pun sudah tahu kalau Raden Yudakara secara diam-diam tak mengaku sebagai anak-buah Ki Sunda Sembawa.
"Saya akan dibawa ke kediaman Ki Jaya Perbangsa?" tanya Purbajaya lagi.
"Tidak. Kau akan diantar ke puri Yogascitra," jawab Ki Jongjo.
"Memang itu yang telah diatur," kata Purbajaya.
"Engkau memang cocok memasuki lingkungan itu," kata lagi Ki Jongjo mengayuh pelan.
"Tapi saya sangsi bisa diterima di puri itu, Paman. Kehidupan kebaharian tak jalan semenjak semua pelabuhan penting milik Pajajaran dikuasai Carbon. Bagaimana mungkin Ki Yogascitra menerima pegawai baru dalam bidang kelautan sementara lapangan di bidang itu kerja tak ada," kata Purbajaya.
"Kau salah mengira. Sang Prabu Ratu Sakti penguasa Pakuan kini malah punya ambisi besar dalam upaya mengembalikan ke besaran di lautan. Pajak semakin berat dan anggaran militer ditingkatkan. Itu karena Raja punya cita-cita besar. Kaum puhawang tetap diperlukan untuk menghadapi dan mempersiapkan ke arah itu," kata Ki Jongjo memberikan penjelasan sehingga Purbajaya mengangguk-angguk dibuatnya.
"Ayo cepat mendarat. Sebelum tiba dijawikhita(benteng kota luar) kita jangan sampai kemalaman sebab kalau begitu, gerbang akan ditutup," kata Ki Jongjo lagi sambil mengayuh sampan cepat-cepat.
Sesudah sampai di tepi, Purbajaya cepat meloncat ke darat. Begitu pun Ki Jongjo, setelah menambatkan perahunya, dia pun ikut meloncat ke darat.
"Terus menuju arah barat," kata ki Jongjo sambil melangkah di depan.
Menurut Ki Jongjo, pertahanandayo (kota) Pakuan sangat kuat. Sebelum bisa memasuki wilayah istana, akan melewati dulu dua lapisan benteng. Satu bernama jawi khita, sebuah rentangan benteng yang melindungi kota luar, dan satunya lagi bernamadalem khita (benteng kota dalam), yaitu sebuah rentangan benteng yang melindungi pusat kota, di mana kaum bangsawan, raja beserta kerabat dan seluruh keluarganya tinggal. Tidak sembarang orang bisa memasuki wilayah dalem khita kecuali orang-orang tertentu.
Memang amat beruntung Purbajaya dijemput sejak awal. Dengan begitu tidak akan susah-payah memasuki wilayah istana. Hanya yang Purbajaya heran, mengapa yang menjemputnya adalah kaki-tangan Ki Sunda Sembawa" Mengapa tidak langsung kaki-tangan Raden Yudakara saja" Atau sebetulnya Purbajaya tidak perlu pusing sendiri memikirkan hal ini sebab di antara keduanya sama-sama memiliki tujuan yang sama yaitu meruntuhkan Pajajaran.
Purbajaya memasuki wilayah jawi khita tanpa melalui kesulitan yang berarti. Ketika dia diperiksa di gerbang, Purbajaya memperlihatkan surat daun nipah dari Kandagalante Subangwara yang ditujukan kepada Ki Yogascitra. Penjaga selain tidak mempersulit dirinya juga bersikap segan dan amat menghormatinya.
"Malam ini engkau bermalam di rumahku dan esok pagi baru kuantar ke puri Yogascitra," kata Ki Jongjo. Purbajaya hanya mengiyakan apa yang baik menurut orang itu.
Di rumah panggung beratap ijuk yang agak terpencil dari rumah-rumah lainnya karena letaknya di pojok kampung, Ki Jongjo hidup seorang diri. Ia dikenal di sana sebagai tukang perahu yang memberikan pelayanan kepada para pedagang yang mengangkut hasil bumi dari pedalaman. Menurutnya, dia dulu datang dari wilayah kerajaan kecil bernama Tanjungbarat, berada di tepian sungai Cisadane atau di tepian jalan besar yang bila diteruskan ke arah barat akan menuju wilayah Banten.
Tanjungbarat ini pun merupakan daerah transisi. Masih dikuasai Pajajaran namun pengaruh Banten sudah mulai terasa di sana. Masyarakatnya sudah banyak yang memiliki agama baru. Jadi kalau Ki Jongjo kini bekerja untuk kepentingan kelompok yang ingin menjatuhkan Pakuan, Purbajaya tidak merasa heran.
"Pajajaran memang harus dihancurkan," kilahnya mengepal tinju.
Purbajaya hanya menatap saja.
"Penguasa Pakuan yang kini memerintah tidak seperti para pendahulunya. Sang Prabu Ratu Sakti ini selalu menekan kehidupan rakyat dan bertindak kejam. Wilayah-wilayah yang tidak mau membayarseba (pajak) diperangi sehingga rakyatnya menderita," tutur lagi Ki Jongjo.
Kata Ki Jongjo, di wilayah Pajajaran kini sudah sulit melihat orang tersenyum cerah. Tak ada kebahagiaan, tak ada masa depan.
"Kalau kau datang lebih awal, maka engkau tidak akan menyaksikan keramaian pesta tradisi bernamaKuwerabakti ," kata Ki Jongjo seraya menyodorkan singkong rebus dan air jahe panas kepada Purbajaya. Purbajaya yang perutnya kosong sejak pagi, makan singkong dengan lahapnya. Malah sebentar kemudian makanan hangat itu sudah habis.
"Apakah Kuwerabakti itu, Paman?" tanya Purbajaya sesudah minum air jahe.
"Itu adalah pesta tradisi tahunan. Setiap tahun seluruh rakyat dari semua negri bawahan Pajajaran datang ke Pakuan mengirim seba tahunan seusai panen. Maka pada perayaan Kuwerabakti seharusnya terjadi keramaian yang sangat sebab pada hari itu Pakuan banjir kekayaan hasil bumi, mulai dari ternak hingga kapas atau bahkan palawija dan hasil buah-buahan. Ratusan bahkan ribuandongdang (tempat pikulan berisi hasil bumi) akan berbaris menuju alun-alunjawi khita . Usungan padi akan diangkut keleuit salawe jajar (lumbung padi duapuluh lima baris). Betapa banyaknya lumbung itu sebab tiap barisnya terdiri dari duapuluh lima buah lumbung padi pula. Dulu lumbung itu terisi semua kini sudah tidak lagi," kilah Ki Jongjo.
"Apakah masyarakat sudah tidak menyukai pesta Kuwerabakti lagi, Paman?" tanya Purbajaya.
"Bukan begitu. Ambarahayat masih menghargai dan merindukan pesta Kuwerabakti. Namun yang mereka inginkan, pesta bukan lahir dari paksaan dan tekanan melainkan dari kegembiraan serta rasa syukur mereka karena keberhasilan dalam bertani. Sekarang hasil pertanian kian berkurang. Rakyat tak tenang dalam mengolah tanah karena selain banyak diganggu peperangan juga ditekan oleh peraturan pajak yang kian tinggi dan banyak macam-ragamnya," ujar Ki Jongjo.
"Jadi kalau pun sekarang-sekarang ini masih terdapat pesta Kuwerabakti, pengorbanan mereka tidak dilakukan sambil senyum kerelaan melainkan karena keterpaksaan belaka. Betapa menderita orang disuruh berpesta di saat hati risau dan kepercayaan berkurang karena dipaksa dan ditekan," lanjut Ki Jongjo lagi membuat Purbajaya termenung-menung ikut kecewa melihat situasi Negri Pajajaran ini.
"Penguasa di Pakuan menganggap, wilayah timur Pajajaran yang amat berdekatan dengan kekuasaan Carbon, dianggap wilayah rawan. Setiap saat bisa tergoda untuk memindahkan kesetiaannya kepada penguasa agama baru. Untuk itulah maka urusan pajak di wilayah timur memerlukan petugas khusus. Kalau wilayah-wilayah lain pajak diantar sendiri ke pusat kota, maka untuk wilayah timur disusul sendiri olehmuhara (petugas penagih pajak).Ini karena Raja tak mempercayai kalau negri-negri kecil di wilayah timur mau datang sendiri mengirimkan pajak ke Pakuan. Itulah yang membuat negri-negri di wilayah timur geram dan bersepakat mengadakan perlawanan. Kau datang dari wilayah timur, salah satunya adalah memberikan bantuan dalam urusan ini, Purba ... " kata Ki Jongjo panjang-lebar.
Purbajaya menguap beberapa kali pertanda kantuknya sudah datang menyerang. Lagi pula dia sudah jemu mendengar tujuan-tujuan perlawanan kepada penguasa Pakuan ini. Untung Ki Jongjo memaklumi kalau pemuda ini sudah sejak pagi melakukan perjalanan berat. Purbajaya disuruhnya beristirahat di sebuah kamar khusus berdipan.
Purbajaya langsung merebahkan diri di atas dipan yang sudah disediakan. Matanya segera dipejamkan.
Namun kendati lelah dan ngantuk, Purbajaya bukan akan segera tidur. Yang sebenarnya ingin dia lakukan adalah berbaring sambil mencoba mendengarkan suara berkeresekan di atas atap rumah. Purbajaya sadar sejak tadi kalau pembicaraan dengan Ki Jongjo sedang diintip orang. Dia yakin sekali, suara berkeresekan di atas atap rumah bukanlah sekadar suara ranting pohon, melainkan suara gerakan tubuh orang yang lagi mengintip.
Ki Jongjo mungkin tak menyadarinya sebab tidak mendengar suara itu. Buktinya, orang tua gempal itu sudah terdengar dengkurnya.
Purbajaya merasa bersyukur Ki Jongjo sudah tertidur pulas. Ini hanya punya arti dia bebas melakukan penyelidikan kepada pengintip itu.
Purbajaya terus menunggu saat yang tepat. Dia mencoba menahan kantuknya ketika suara berkeresekan kembali hilang dan suasana sunyi untuk waktu yang cukup lama.
Dan Purbajaya hampir saja terlelap tidur ketika pada suatu saat suara berkeresekan muncul kembali.
Purbajaya sudah sejak tadi memadamkan pelita minyak kelapa sehingga di dalam ruangan kamarnya suasana gelap gulita. Dengan demikian, bila dia membuat gerakan, maka si pengintip tidak bisa mengawasinya.
Dan ketika untuk ke sekian kalinya terdengar lagi suara ganjil di atap rumah, Purbajaya segera melayangkan pukulan jarak jauh ke atas. Bersamaan dengan itu, Purbajaya pun melesat ke langit-langit dan tubuhnya langsung menerobos ke atap. Namun ketika Purbajaya berhasil membobol atap, yang dicari sudah hilang entah ke mana. Purbajaya celingukan ke bawah. Ternyata di pekarangan ada bayangan melesat. Maka Purbajaya pun langsung meloncat dan mengejar orang misterius itu.
Sebentar kemudian, terjadilah kejar-mengejar di malam gelap dan sunyi ini.
Purbajaya merasa kalau tingkat kepandaian orang itu berada di bawahnya. Buktinya, kecepatan berlari orang itu bisa dia atasi. Semakin lama jarak mereka semakin dekat hingga pada suatu saat bisa terkejar sama sekali.
Namun di tempat agak lapang, orang yang dikejar tak berusaha lari. Malah sebaliknya seperti menunggunya sambil bertolak pinggang dan sepasang kaki terpentang lebar.
Maka sebentar kemudian, terjadilah pertempuran kecil.
Purbajaya tak sanggup melihat wajah orang ini. Selain suasana malam demikian gelap, juga nampaknya wajah orang itu ditutupi semacam cadar dari mulai hidung hingga dagunya.
Siapakah orang ini" Purbajaya belum bisa menduganya. Namun bila orang ini menggunakan topeng, pertanda dia tak mau dikenali wajahnya, atau bisa juga orang itu merasa kalau Purbajaya sudah mengenali sebelumnya.
Purbajaya pun tidak bisa menduga, mengapa orang ini coba mengintai rumah Ki Jongjo. Siapakah yang sebenarnya tengah dia intai" Ki Jongjo ataukah dia sendiri" Untuk mengetahui hal ini tak ada jalan selain berupaya menangkap orang ini.
Dan Purbajaya merasa yakin kalau dia bakal bisa menangkap orang misterius ini. Dalam pertarungan yang baru berlangsung beberapa jurus ini, Purbajaya terbukti bisa mendesak lawan. Purbajaya memperhitungkan kalau dalam beberapa jurus mendatang dia sudah bisa melumpuhkan lawan.
Namun ketika dia hampir berhasil mengalahkan lawan dengan cara akan memukul ulu hati orang itu, tiba-tiba dari berbagai arah bermunculan beberapa orang yang sama-sama memakai cadar hitam dan langsung melancarkan serangan kepada Purbajaya.
Sesudah kedatangan lawan-lawan baru yang jumlahnya lebih dari lima orang, kini situasi jadi berbalik, giliran Purbajaya yang didesak habis-habisan. Hanya dalam satu dua jurus saja, tubuh Purbajaya jatuh terjengkang kena tohokan seorang penyerang yang menjotos ulu hatinya. Dan ketika dia akan segera bangkit, serangan lain pun datang bertubi sehingga tubuh Purbajaya bergulingan. Perlawanan pemuda ini bahkan berhenti sama-sekali ketika beberapa senjata tajam sudah ditodongkan ke leher dan dadanya. Purbajaya tak bisa berkutik.
"Berdiri! Ayo ikut kami!" teriak seseorang.
Purbajaya tetap tak bisa mengenali siapa mereka. Maka satu-satunya cara adalah dengan ikut kehendak mereka. Dengan demikian Purbajaya akan tahu ke mana dia akan dibawa.
Purbajaya berdiri namun dengan perasaan tenang. Dia tahu, orang-orang ini tak berniat mencelakakan dirinya kecuali hanya ingin menangkapnya saja. Namun demikian Purbajaya pun mendapatkan betapa hati-hati dan penuh rahasia tindak-tanduk mereka. Ketika Purbajaya diiringkan oleh mereka, sepasang matanya ditutup ikatan kain.
Purbajaya belum hapal seluk-beluk Kota Pakuan, sehingga ketika dibawa dalam keadaan mata tertutup, dia tak bisa menduga dibawa ke mana. Hanya yang dia rasakan, setelah berjalan beberapa lama, tubuhnya dibawa meloncati benteng tinggi hampir setinggi tigadepa (satu depa kurang lebih 1,698 meter). Hatinya berdebar tegang. Dia menduga kalau dirinya dibawa ke wilayah dalem khita.
Mungkinkah dia dibawa ke wilayah benteng kota dalam, wilayah di mana penghuninya adalah para bangsawan, pejabat dan kerabat istana" Kalau benar begitu, orang-orang yang menculiknya ini untuk siapakah bekerja"
Sulit untuk diduga. Yang jelas orang-orang ini tidak akan membawanya kepada pejabat bernama Ki Jaya Perbangsa sebab bila mereka anak buah Ki Jaya Perbangsa, rasanya tidak perlu memperlakukan Purbajaya seperti itu.
Sesudah memasuki benteng, Purbajaya tidak langsung dibawa pergi, melainkan diseretnya hingga mepet di dinding benteng. Berjalan lagi beberapa puluh depa, untuk kemudian berhenti dan sembunyi lagi. Amat memperjelas dugaan bahwa gerakan mereka dalam upaya menyeret Purbajaya dilakukan penuh rahasia.
Sesudah berjalan lagi beberapa saat, akhirnya Purbajaya merasa kalau dirinya dibawa memasuki sebuah puri milik orang penting di Pakuan. Ini telah dia rasakan saat terdengar derit pintu gerbang besar dibuka orang dan beberapa orang penjaga menyuruh rombongan agar masuk halaman dengan cepat.
Berjalan lagi beberapa puluh langkah di atas jalan berbalay. Belok kiri, belok kanan, naik ke sebuah anak tangga batu, kemudian berjalan di atas lantai kayu. Sesudah itu, Purbajaya dipaksa duduk di atas sebuah bangku.
Purbajaya harus menunggu beberapa saat sampai pada akhirnya didengarnya sebuah langkah kaki berat yang mendekatinya.
"Coba buka penutup matanya," kata orang yang barusan mendekat pada Purbajaya.
Penutup mata yang membalut wajah Purbajaya segera dibuka orang.
Purbajaya mengucak-ucak sepasang matanya karena pandangannya terasa kabur. Namun matanya yang sulit melihat sekitarnya. Bukan saja karena terlalu lama ditutup, tapi juga karena di mana ruangan dia berada suasananya hanya remang-renang saja kalau tak dikatakan gelap.
Ada bayangan seseorang yang berdiri di hadapannya. Wajahnya tidak bisa dikenal dengan baik, yang jelas bentuk tubuhnya terlihat agak gemuk dengan perut terlihat buncit. Purbajaya tidak akan menduga-duga siapa orang ini sebab jelas tak akan bisa. Paling-paling dia berharap kalau belakangan nanti dia bisa mengetahuinya.
"Betulkah tadi senja kau bersama Ki Jongjo?" tanya orang gempal itu bertanya dengan suara parau.
Untuk sementara Purbajaya diam membisu.
"Jawablah, anak muda!"
Purbajaya masih juga terdiam.
Plak! Orang lain yang berdiri di samping si penanya menampar pipi Purbajaya.
"Engkau tidak sopan menolak permintaan Juragan!" desis orang itu marah.
"Bagaimana mau jawab, saya tak tahu siapa kalian ini," jawab Purbajaya seraya mengusap-usap pipinya yang terasa pedas.
"Kau tak perlu tahu. Yang jelas, Juragan adalah orang penting di Pakuan ini. Cepat ayo jawab!"
"Ya!"
"Ya apa?"
"Tadi tanya apa?" Purbajaya seperti mempermainkan.
Plak! Kembali tamparan mendarat di pipi Purbajaya.
"Jawab yang benar!"
"Ya, saya tadi bersama Ki Jongjo!"
"Kau sengaja dijemput olehnya?"
Betul ... "
"Kau anak buah Ki Sunda Sembawa?"
Purbajaya diam.
"Jawab!"
"Bukan ... "
Plak! "Mengapa saya kau tampar terus, padahal saya sudah jawab apa yang kalian minta!" Purbajaya jengjel juga pipinya terus jadi bulan-bulanan tangan orang.
"Karena kau tak menjawab dengan benar!"
"Apanya yang tak benar?"
"Kau dijemput Ki Jongjo tapi tak mengaku kalau kau anak buah Ki Sunda Sembawa!"
"Mustinya saya menjawab bagaimana?"
"Seharusnya kau anak buah Ki Sunda Sembawa, atau paling sedikit kau punya hubungan kepada orang itu."
"Ya ... sesukamulah!"
"Maksudmu apa?"
"Kalau kau inginkan begitu, ya aku jawab begitu saja. Bolehlah, aku ini anak buah Ki Sunda Sembawa!"
Orang itu terlihat melayangkan kembali tamparannya. Namun kali ini Purbajaya mendahuluinya dengan cepat. Dan "plak!" giliran orang itu yang kena tampar bahkan tubuhnya sampai terjengkang karena tak menduga Purbajaya akan balik menyerang. Namun baru saja Purbajaya menurunkan tangannya, serangan ke padanya berhamburan dari sana-sini. Maka sebentar saja terdengar suara bakbikbuk karena Purbajaya dihujani bogem mentah. Dan akhirnya tubuh Purbajaya terlontar membentur dinding kayu.
Purbajaya hampir dikeroyok lagi kalau saja lelaki gempal itu tidak melarangnya. Serentak semua orang menghentikan gerakannya.
"Biarkan dia bicara benar," kata lelaki itu.
Purbajaya disuruh berdiri lagi dan dia kembali dihujani pertanyaan serupa.
"Saya memang bukan anak buah Ki Sunda Sembawa. Hanya saya tak tahu, mengapa Ki Jongjo jemput saya ... " jawab Purbajaya sebenar-benarnya.
"Kalau begitu, siapa yang mengutusmu ke sini?"
Purbajaya berpikir, jawaban mana yang akan diberikan yang sekiranya dia tak dihadiahi bogem mentah lagi. Kalau dia bilang diutus Carbon, apakah akan menguntungkan dirinya atau tidak" Dan bagaimana halnya kalau dia akui sebagai utusan Raden Yudakara saja"
"Saya datang dari wilayah Tanjungpura ... " akhirnya Purbajaya memilih jalan tengah saja.
"Dari Tanjungpura" Siapa yang mengutusmu?"
"Ki Jayasena ... " Purbajaya berspekulasi.
"Coba kau sebutkan tujuan Ki Jayasena mengutusmu, anak muda!"
"Bekerja di puri Yogascitra ..." Purbajaya menjawab pelan.
"Kalau begitu, anak muda ini orang sendiri. Mengapa tidak kau katakan sejak awal?" lelaki gempal menepuk-nepuk pundak Purbajaya sambil terkekeh-kekeh.
"Saya musti hati-hati berhadapan dengan orang yang tak saya kenal," kata Purbajaya sedikit menguji kalau-kalau orang itu akhirnya mau buka rahasia siapa dirinya.
"Ya, kau orang sendiri sebab kau adalah utusan Raden Yudakara," kata lelaki itu masih menepuk-nepuk pundak Purbajaya. Purbajaya kecewa karena orang itu tidak mengatakan siapa dirinya.
"Kau hampir saja terperosok ke tangan Ki Jaya Perbangsa. Harap kau hati-hati, jangan sampai terpengaruh oleh orang-orang Ki Sunda Sembawa," kata lelaki gempal berperut buncit itu."Tapi kendati begitu, kau harus tetap memiliki hubungan dengan Ki Jaya Perbangsa. Kau harus meneliti dan selidiki keberadaan orang itu dan sejauh mana memiliki hubungan dengan Ki Sunda Sembawa," kata orang itu.
Purbajaya puyeng menyimaknya.
"Ayo, antarkan kembali dia ke tempat semula!" kata orang itu lagi.
Dan tanpa diberi kesempatan lebih lanjut, Purbajaya kembali ditutup matanya. Dia dikembalikan ke tempat semula dengan mata gelap karena penutup yang ketat. Baru saja tiba di sebuah tempat, bagian belakang kepalanya terasa nyeri karena dipukul orang.
Purbajaya meloso dan tak sadarkan diri untuk beberapa saat.
*** Dia siuman dari pingsannya ketika hari sudah siang, itu pun karena banyak orang membangunkannya.
"Hai,Ki Silah (saudara), mengapa kau tidur di tengah jalan seperti ini" Minggirlah, sebentar lagi akan banyak roda pedati yang lewat," tutur seseorang keheranan.
Purbajaya bangkit dan celingukan karena dirinya telah jadi tontonan orang banyak. Belakang kepalanya masih dirasakan berdenyut-denyut karena pukulan para penculiknya.
Ketika Purbajaya bangkit, kebetulan Ki Jongjo pun datang ke tempat itu. Tanpa banyak bicara, Purbajaya ditolong berdiri dan kemudian segera diajak berlalu dari tempat itu.
Sesampainya di rumah, Purbajaya ditanyai perihal kejadian semalam. Tentu saja Purbajaya tak berani mengemukakan hal yang sebenarnya. Kalau perkataan para penculik bisa dipercaya, maka majikan Ki Jongjo harus diperhatikan secara khusus.
Dari hasil pengetahuan tadi malam ada sesuatu yang tersirat, betapa sebetulnya kelompok yang ingin menjatuhkan Pajajaran bertebaran di mana-mana dan masing-masing saling bediri sendiri. Raden Yudakara yang selintas seperti menjadi bagian kecil dari pergerakan yang dipimpin oleh Ki Sunda Sembawa, nyatanya malah menjalin hubungan tersendiri dengan pejabat di Pakuan dan sama sekali terpisah dari Ki Sunda Sembawa.
Para penculiknya tadi malam mungkin menempatkan dirinya sebagai sekutu Raden Yudakara. Ini terbukti sesudah Purbajaya punya hubungan dengan Raden Yudakara, maka Purbajaya dianggap "orang sendiri" dan dilepas kembali.
"Kau pun tahu Paman, kalau tadi malam kita diintip orang tak dikenal. Maka saya kejar dia. Tapi kepandaian orang ini sungguh hebat. Dalam sebuah pertempuran kecil saya terdesak dan kalah. Mungkin saya dipukul dan tak sadarkan diri sampai saatnya pagi menjelang," kata Purbajaya menyembunyikan sebagian penemuannya.
Mendengar penjelasan ini, Ki Jongjo termangu-mangu.
"Kira-kira, siapakah orang atau kelompok itu, Paman?" Purbajaya balik bertanya kalau-kalau Ki Jongjo mengenalnya.
"Mana aku tahu. Sementara maksud dia melakukan pengintaian pun aku tak tahu," Ki Jongjo masih termangu-mangu.
Purbajaya menatap orang tua setengah baya ini walau selintas. Sebetulnya dia ingin mengorek keterangan dari Ki Jongjo. Namun nampaknya dia pun seperti bersikap hati-hati dan menyembunyikan sesuatu juga.
"Saya khawatir, kehadiran saya sudah diketahui orang-orang Pakuan ... " gumam Purbajaya.
"Tidak mungkin. Perjalananmu sebenarnya tidak akan dihadang oleh orang-orang Pakuan. Apalagi engkau berbekal surat dari Ki Subangwara yang kepercayaan Ki Yogascitra. Yang aku khawatirkan ... Ah, mungkin tidak begitu. Sudah pagi, seharusnya kau segera berkemas untuk memasuki puri Yogascitra," kata Ki Jongjo tidak melanjutkan obrolan semula dan menggantinya dengan yang ada kaitannya dengan tugas penyusupan.
"Mungkin tidak hari ini, Paman ... " keluh Purbajaya memijit kepalanya di bagian belakang.
"Mengapa?"
"Kepalaku sedikit luka dan rasanya tubuh ini tak enak. Bagaimana kalau malam ini saya diberi kesempatan istirahat lagi di sini?"
Ki Jongjo termenung sebentar namun kemudian menyetujuinya.
Dan malam ini kembali Purbajaya bermalam di ruma Ki Jongjo. Namun persis seperti yang diharapkan di dalam hatinya, malam-malam Ki Jongjo keluar rumah setelah mendapatkan Purbajaya "mendengkur"
Ke mana Ki Jongjo pergi" Itulah yang ingin dia ketahui.
Purbajaya menguntit Ki Jongjo yang secara diam-diam memasuki wilayah dalem khita dengan jalan loncat ke atas benteng.
Siapa yang Ki Jongjo akan hubungi, Purbajaya belum tahu. Namuin demikian, dia punya dugaan kalau Ki Jongjo pasti akan menghubungi majikannya. Siapa lagi kalau bukan Ki Jaya Perbangsa.
Ketika memasuki sebuah halaman puri, Ki Jongjo tidak mengalami gangguan berarti sebab penjaga sudah kenal dirinya. Hanya Purbajaya saja mungkin yang kesulitan untuk masuk. Dia musti mencari bagian benteng yang tidak begitu ketat penjagaannya.
Kebetulan ada sebuah pohon sawo yang berdiri di sisi benteng. Maka Purbajaya meloncati benteng melalui dahan pohon itu.
Dari atas benteng dilihatnya Ki Jongjo tengah tergopoh-gopoh menuju sebuah bangunan rumah panggung yang besar dan artistik.
Purbajaya lihat kiri-kanan untuk memastikan bahwa ke tempat itu tak ada penjaga lewat. Setelah dirasanya sepi, Purbajaya baru memberanikan meloncat turun untuk kemudian terus berloncatan menghampiri rumah yang dituju Ki Jongjo.
Dengan amat hati-hati Purbajaya mengerahkan tenaga dalamnya menotolkan ujung jari kaki dan tubuhnya melambung ke udara, kemudian menclok tepat di tepian atap sirap. Purbajaya musti hati-hati agar gerakannya tidak menimbulkan suara barang sedikit pun agar penghuni rumah tak curiga.
Dan Purbajaya berhasil mencuri lihat apa yang tengah berlangsung di dalam rumah. Melalui genting sirap yang dia korek sehingga sedikit berlubang sudutnya, Purbajaya melihat Ki Jongjo tengah menghadap kepada seorang lelaki usia sekitar empatpuluhan yang berwajah gagah berkumis tipis. Purbajaya menduga, inilah Ki Jaya Perbangsa bangsawan Pakuan.
"Jadi, begitu Juragan. Malam tadi Purbajaya diculik sekelompok orang. Namun ketika anak muda itu kembali, dia tak berterus-terang memaparkan pengalamannya. Rasanya ada yang dia sembunyikan. Saya malah khawatir, pemuda itu bocorkan rahasia ini kepada pihak lain," kata Ki Jongjo menghormat sekali.
Purbajaya terkejut, ternyata Ki Jogjo telah menduga kalau dirinya tak mengatakan hal sebenarnya mengenai pengalaman malam kemarin.
"Kau katakan apa kepada anak muda itu ketika baru kau jemput kemarin sore di tepian sungai Cihaliwung, Jongjo?" tanya Ki Jaya Perbangsa.
"Saya katakan kalau dia dijemput oleh Juragan," jawab Ki Jongjo pendek.
"Bagaimana tanggapannya?"
"Dia tidak menanggapi hal-hal penting, Juragan. Dengan mudahnya dia menuruti kemauan saya."
"Seharusnya memang begitu. Anak muda bernama Purbajaya itu sejauh ini tidak mengetahui hubungan yang sebenarnya antara Raden Yudakara dan Ki Sunda Sembawa. Mungkin dia menyangka kalau Ki Sunda Sembawa tetap menganggap Raden Yudakara sebagai pengikut setianya. Tidak. Kalau perjuangan Ki Sunda Sembawa berhasil, Raden Yudakara yang sok tahu itu akan segera disingkirkan," kata Ki Jaya Perbangsa sambil menempelkan telapak tangannya ke lehernya sendiri. Ini hanya diartikan oleh Purbajaya kalau Raden Yudakara kelak akan dibunuh kelompok Ki Sunda Sembawa.
"Tapi ... "
"Tapi apa, Juragan?"
"Peristiwa tadi malam yang dialami anak itu, kira-kira apa, ya" Kalau benar dia diculik kelompok tertentu, siapakah kira-kira penculiknya?" tanya Ki Jaya Perbangsa heran.
"Tidakkah itu kelompok Ki Bagus Seta?" tanya Ki Jongjo.
Namun Ki Jaya Perbangsa belum menanggapi perkiraan ini.
"Ataukah Bangsawan Soka?" tanya lagi Ki Jongjo.
Bab 19 "Aku belum bisa menduga-duga secara tepat. Namun demikian, pejabat-pejabat itu memang perlu kita waspadai. Di lingkungan istana, banyak kelompok yang ingin memanfaatkan Carbon dalam menjatuhkan penguasa Pakuan. Sementara satu-satunya orang yang memiliki hubungan dengan Carbon hanyalah Si Purbajaya. Maka siapa pun yang menguasai anak itu, berarti menguasai Carbon. Maka jagalah anak itu jangan sampai bisa dipengaruhi oleh pihak-pihak lain," kata Ki Jaya Perbangsa amat mengejutkan Purbajaya yang tengah mencuri dengar di atas atap sirap.
"Apakah majikan kita Ki Banaspati telah mengetahui perihal keberadaan anak ini, Juragan?" tanya Ki Jongjo.
"Ya, beliau sudah mengetahuinya kendati Ki Banaspati belum pernah bertemu muka dengan pemuda itu. Itulah sebabnya, Purbajaya dibiarkan memasuki puri Yogascitra. Pengetahuan mengenai Pakuan sebenarnya ada di puri itu. Kalau Purbajaya bisa memasuki puri itu dan jadi kepercayaan penguasa puri, maka rahasia kekuatan Pakuan akan bisa kita pegang dengan mudah," kata lagi Ki Jaya Perbangsa semakin mengejutkan hati Purbajaya.
"Bila benar anak itu bisa kita kuasai, Juragan ... " tukas Ki Jongjo.
"Memang benar. Jadi itulah sebabnya, tugasmu berat, Jongjo. Kau harus bisa menguasai anak itu dengan baik. Kendati kelak Purbajaya tinggal di puri, namun kau harus tetap bisa menghubunginya. Jaga, agar anak itu tidak menyebrang ke pihak lawan ... "
"Akan saya emban tugas ini dengan baik, Juragan. Namun bagaimana kalau ternyata Purbajaya tidak bisa kita tangani dengan baik?"
"Misalnya apa?"
"Misalnya dia menyebrang dan dipengaruhi lawan?"
"Bunuhlah anak itu!"
"Bunuh?"
"Benar."
"Bagaimana kita bisa memanfaatkan Carbon kelak?"
"Artinya kita tak akan memanfaatkan Carbon. Namun bukan berarti Carbon tak bermanfaat buat kita. Tokh pihak lawan pun sebenarnya sama ingin memanfaatkan kekuatan Carbon dalam melumpuhkan Pakuan. Mereka akan saling gebuk kemudian kelak, kelompok kitalah sebagai pemenangnya," ujar Ki Jaya Perbangsa terkekeh-kekeh dan amat menyebalkan hati Purbajaya.
Secara hati-hati, Purbajaya melorot turun dari atap rumah ini. Dan serta-merta meninggalkan puri ini untuk mendahului kembali ke rumah Ki Jongjo.
Ketika orang tua setengah baya itu pulang belakangan, Purbajaya sudah memperdengarkan "dengkur"nya.
*** NAMUN sambil berbaring begini, pikiran Purbajaya terus berkecamuk.
Sesampainya di Pakuan ini, semakin bertambah pula pengetahuannya. Hanya dalam sehari-semalam ini saja, Purbajaya sudah mendapatkan kenyataan, betapa kacau-balaunya suasana di pusat kekuasaan Pajajaran ini. Negri yang usianya sudah ratusan tahun sejak berdirinya Kerajaan Sunda (Sang Maharaja Tarusbawa, 669-723 Masehi), sampai kemudian terkenal sebagai negri besar bernama Pajajaran (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521 Masehi) ini, sekarang sepertinya akan semakin turun pamor setelah dirajai oleh Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551 Masehi).
Pemberontakan terjadi di mana-mana, di antara pejabatnya terjadi saling curiga-mencurigai bahkan berlomba ingin menjatuhkan Raja. Musuh Pajajaran bahkan bukan berada jauh di barat atau di timur, namun malah ada di sekitar pusat kekuasaan.
Menyimak perbincangan Ki Jongjo dan Ki Jaya Perbangsa, hanya menyiratakan betapadayo (ibu kota) sudah dikepung oleh kelompok-kelompok yang ingin memberontak kepada penguasa. Ada berapa kelompokkah itu, sulit menghitungnya sebab Purbajaya belum tahu secara persis. Yang jelas, beberapa pejabat Pakuan telah disebut-sebut oleh Ki Jaya Perbangsa sebagai kelompok yang ingin menjatuhkan penguasa, seperti Ki Bagus Seta dan Bangsawan Soka, misalnya.
Ki Jongjo tempo hari mengatakan kepada Purbajaya kalau Ki Jaya Perbangsa adalah anak buahnya Ki Sunda Sembawa. Namun belakangan dari percakapan mereka sendiri ketika diintip Purbajaya, terbukti Ki Jaya Perbangsa sebenarnya menginduk kepada Ki Banaspati.
Dari pengetahuan-pengetahuan ini amat menjelaskan bahwa bahaya yang mengancam Pakuan bukan semata datang dari Raden Yudakara belaka. Kegiatan pemuda bangsawan ini memang mengarah kepada pemberontakan juga, namun ini hanyalah secuil dari macam-macam bahaya yang akan menerjang Pakuan.
Ki Banaspati, siapa pulakah dia" Di wilayah Sagaraherang, Ki Sunda Sembawa bilang kalau dirinya dibantu oleh Ki Banaspati. Kalau ingat ini, Purbajaya jadi ketawa masam. Ternyata Ki Sunda Sembawa hanya punya kebanggaan semu. Disangkanya semua orang berdiri di belakangnya, padahal yang terjadi sesungguhnya tidak. Barangkali Ki Sunda Sembawa hanya akan dimanfaatkan oleh siapa saja, baik oleh Ki Banaspati maupun oleh Raden Yudakara. Dan bagaimana pula peranan Ki Bagus Seta atau Bangsawan Soka"
Purbajaya pusing memikirkannya. Banyak kelompok ingin melawan penguasa Pakuan tapi masing-masing berjalan sendiri-sendiri karena punya ambisi berbeda. Celakanya, siapa kawan siapa lawan segalanya serba tak jelas. Ambil contoh Ki Sunda Sembawa atau tokoh yang menculiknya kemarin malam. Keduanya sama-sama mengklaim kalau Raden Yudakara adalah anak buah mereka, padahal Purbajaya pun telah mengetahui kalau pemuda aneh itu sebenarnya berdiri sendiri.
Kalau pun dia selalu mengaku sebagai "bawahan"siapa saja, itu barangkali hanya untuk mendompleng kekuatan saja. Persis seperti pemuda itu mendompleng kepada jalan pikiran beberapa pejabat Carbon yang memperlihatkan garis keras dalam menghadapi Pajajaran.
Dan berbicara mengenai dompleng-mendompleng, Purbajaya menjadi terkejut dan merasa sebal juga. Bagaimana tak begitu.
Ternyata tanpa sepengetahuan Purbajaya, dirinya telah dijadikan ajang rebutan kelompok pemberontak ini. Mereka ingin Purbajaya bekerja kepada pihaknya sebab dengan menguasai Purbajaya mereka menyangka bakal bisa menguasai Carbon pula. Ini jalan pikiran gila dan berlebihan. Namun gila atau tidak mereka, nyatanya kedudukan Purbajaya di Pakuan semakin terjepit dan dihimpit oleh berbagai kepentingan ambisi. Ini tentu membahayakan.
Tadinya Purbajaya menyangka, dengan tidak beraninya Raden Yudakara memasuki wilayahdayo hatinya agak sedikit plong sebab Raden Yudakara tak bisa menekan dirinya secara langsung dan terus-terusan. Namun belakangan sesudah tiba di Pakuan, ternyata yang menekan dirinya kini bukan hanya seorang saja seperti manakala dia dikuasai Raden Yudakara. Ini amat menyebalkan dan membahayakan.
Bukan saja berbahaya terhadap dirinya, namun juga amat membahayakan kedudukan Carbon sendiri. Bila Carbon lengah dan terjebak ke dalam jalan pikiran kelompok-kelompok ini, maka misi Carbon yang menginginkan Pajajaran masuk menjadi bagian Carbon tanpa kekerasan apalagi banjir darah, bisa gagal total karena ulah para petualang politik baik yang berada di luar Pajajaran mau pun yang berada di dalam Negri Pajajaran sendiri.
Purbajaya jadi capek memikirkan ini semua. Dengan demikian, akan terus terseret arus secara berlarut-larut. Ya, dia pusing memikirkan hal ini. Perjalanannya jadi semakin jauh dan semakin tak berketentuan. Padahal ketika di Tanjungpura beberapa hari silam, dia masih dibuai cinta-kasih dan berahi panas dari tubuh molek Nyimas Wulan. Purbajaya berjanji akan menikahi gadis itu.
Dia memang tidak mencintai gadis itu. Namun cinta dan tak cinta tak ada hubungannya dengan perkawinan. Tak berarti kalau mencintai maka seseorang bisa sukses menginjak jenjang perkawinan. Namun juga sebaliknya, tak cinta bukan berarti tak perlu pernikahan. Bagaimana boleh, sementara gadis Tanjungpura itu telah menyerahkan segalanya tapi Purbajaya menampik pernikahan. Tidak. Itu pengecut dan tak berjiwa ksatria. Mungkin juga kejam dan keji. Karena itu, Purbajaya harus tetap menikahi gadis itu.
Tapi ingat ini, hati Purbajaya malah jadi mengeluh. Dia tak bisa kembali ke Tanjungpura sebelum tugasnya selesai. Kalau tugas tak diselesaikan, Raden Yudakara pasti akan menghukumnya.
Namun sampai kapan pula tugasnya akan selesai" Lantas kalau keadaan kian berlarut-larut juga, sampai kapan Nyimas Wulan masih bisa menunggunya" Sementara gadis itu dijegal kebosanan dalam penantian, di sekelilingnya banyak srigala mengganggunya. Purbajaya tahu, betapa Ki Jayasena yang bangkotan dan gemar kawin-cerai ini menaruh minat kepada Nyimas Wulan.
Belum lagi gangguan dari "srigala" lain berwajah Raden Yudakara. Pemuda ini pandai merayu dan mudah mempengaruhi orang. Dan ingat ini Purbajaya pun semakin mengeluh. Dia khawatir peristiwa buruk yang mengelilingi nasib percintaannya akan kembali mengganggunya lagi.
*** ESOK paginya Purbajaya diantar secara tergesa-gesa oleh Ki Jongjo untuk menemui Ki Yogascitra. Mengapa tergesa-gesa, Purbajaya sendiri pun tak tahu. Namun yang paling tepat dugaan, barangkali Ki Jongjo khawatir, peristiwa penyerangan dari kelompok lain akan terulang kembali.
"Banyak orang tak benar di sini. Agar kau tak terperosok, kau harus sering berhubungan denganku dan jangan percaya kepada omongan orang lain," tutur Ki Jongjo. Purbajaya hanya mengiyakan saja.
"Tapi, tinggal di puri Yogascitra engkau akan aman. Memang benar, penghuni puri itu selalu bersikap hati-hati. Namun mereka amat menjunjung tinggi kejujuran. Orang jujur mudah percayai siapa pun. Itulah sebabnya kau aman di sana," kata Ki Jongjo memberi tahu sifat-sifat calon majikan Purbajaya.Dan akhirnya Purbajaya dibawa memasuki sebuah kompleks puri yang amat indah dan megah. Puri itu pun demikian bersih dan rapih. Ada beberapa bangunan di sana. Setiap bangunan yang terdiri dari rumah kayu dan berbentuk panggung diberi atap genting sirap yang hitam mengkilap. Setiap rumah dikelilingi halaman rumput hijau dan taman dengan bunga-bunga indah tumbuh di sana-sini secara teratur.
Ada beberapa sangkar burung di beberapa tempat. Banyak burung hias berloncatan di dahan-dahan buatan yang berada di dalam sangkar. Anehnya, sangkar yang luas itu tidak diberi pintu. Atau pintu memang ada namun tidak tertutup rapat, sehingga dengan demikian, burung-burung itu bebas keluar-masuk sangkar. Kalau mau terbang jauh dan tak akan kembali, sebenarnya burung-burung itu bebas melakukannya. Namun nyatanya, binatang berbulu indah itu semuanya tidak mau meninggalkan tempat itu.
Ada beberapa yang terbang mengelilingi halaman, namun beberapa saat kemudian sudah kembali ke dalam sangkar dan mematuki berbagai jenis makanan yang ditempatkan di dalam sangkar. Burung-burung itu nampaknya tak menganggap sangkar sebuah tempat pembunuh kebebasan, melainkan dianggapnya sebuah rumah dan tempat mencari kehidupan sebab di dalam sangkar makanan bertebaran.
Purbajaya menyukai tempat ini, sepertinya penghuninya memiliki hati yang bebas pula. Ini terlihat dari gambaran beberapa patung yang berdiri di sana. Ada patung kayu menggambarkan orang sedang giat bekerja namun dengan wajah ceria. Ada pula patung yang menggambarkan kaum perempuan sedang menenun tapi sambil bersenda-gurau.
Mereka bekerja dengan kebebasan dan kegembiraan. Kalau patung diukir menggambarkan kegembiraan, maka mudah diduga kalau pembuatnya bekerja dengan hati yang suka-cita tanpa paksaan. Kalau orang di dalam puri bekerja dengan penuh kegembiraan, mengapa di luar tembok istana, orang-orang bekerja penuh kegelisahan"
Purbajaya dengan mudahnya menuduh, bahwa para bangsawan ini kerjanya hanya senang-senang saja tanpa memikirkan kesulitan yang tengah diderita masyarakat di luar tembok istana. Ini aneh, padahal Purbajaya menerima khabar kalau Ki Yogascitra ini adalah pejabat jujur dan menjunjung harga diri bangsanya. Purbajaya berkesimpulan, kalau orang yang disebut jujur saja sudah demikian, apalagi pejabat yang sudah jelas-jelas hidupnya tidak memikirkan rakyat.
Namun entahlah. Kejujuran dan kebaikan satu dua orang pejabat saja memang tidak berarti apa-apa untuk kebesaran sebuah negri bila kebanyakan pejabatnya bekerja tidak benar.
Purbajaya dan Ki Jongjo harus melewati sebuah gerbang pemeriksaan. Dan dua orang penjaga memang memeriksa mereka namun mereka memeriksa dengan ramah dan sopan. Ini di luar "kebiasaan" sebab pengalaman yang sudah-sudah hanya membuktikan bahwa yang namanya petugas keamanan negara biasanya terkesan angker dan kaku bahkan terlihat tegas dan kasar, seolah-olah tugas mereka begitu amat penting dan setiap kehadiran orang asing perlu dicurigai.
Ki Jongjo tidak mengalami kesulitan yang sulit dan berbelit. Purbajaya bahkan apalagi. Ketika pemuda itu diperkenalkan sebagai seorangpuhawang (akhli kelautan), para penjaga terkesan kagum dan amat menghormatinya.
"Juragan Yogascitra amat menghargai orang pandai, tentu beliau senang menerima kehadiranmu," kata penjaga sambil mempersilakan Ki Jongjo dan Purbajaya memasuki sebuah paseban.
Ki Jongjo dan Purbajaya duduk bersila di atas lantai kayu yang mengkilap licin sehingga saking licinnya hampir-hampir bisa digunakan untuk berkaca.
Purbajaya pun melihat, atap sirap di atas, disangga oleh tiang-tiang kayu palem berukir indah. Kalaupaseban (tempat pertemuan) begitu indah, apalagi rumah kediaman pemiliknya, begitu pikir Purbajaya.
Namun ditunggu cukup lama, tuan rumah yang dinanti tak juga kunjung menemui mereka. Sesudah terasa penat menunggu, baru terlihat ada yang datang. Mungkin seorangbadega (pelayan) sebab datang secara tergopoh-gopoh dan ketika melangkah, tubuhnya sengaja dibungkuk-bungkukkan sebagai tanda hormat.
"Ada apa, Paman?" tanya Purbajaya heran.
"Bagaimana, ya ..." Badega terlihat gugup.
"Katakan ada apa?" desak Purbajaya lagi.
"Juragan terserang sakit amat mendadak. Terlihat amat mengkhawatirkan," suara badega semakin panik dan gagap.
"Sakit mendadak?" gumam Purbajaya heran.
"Benar. Padahal belum lama beliau tengah sarapan pagi. Secara tiba-tiba wajahnya membiru, pernapasannya seperti tersekat, kemudian muntah-muntah dan pingsan," tutur badega lagi menceritakan peristiwa yang dialami tuannya.
"Coba saya beri kesempatan untuk menengok dan memeriksa," kata Purbajaya. Namun sang badega terlihat ragu-ragu.
"Saya sedikit mengerti obat-obatan," ujar Purbajaya sungguh-sungguh karena wajah orang itu penuh kesangsian.
Badega berpikir sebentar, kemudian, "Kalau begitu, bolehlah ..." akhirnya.
Kemudian Ki Jongjo dan Purbajaya dibawanya ke sebuah bangunan besar yang dikatakan badega sebagai rumah kediaman pemilik puri.
Benar saja, di dalam rumah terlihat sedikit kepanikan. Para badega lainnya terlihat hilir-mudik, melakukan tugas seraya memperlihatkan wajah yang tegang dan khawatir.
"Harap beri izin masuk, tamu ini ahli pengobatan," kata badega yang mengantar Purbajaya masuk. Sementara Ki Jongjo tetap tinggal di luar rumah.
Maka masuklah Purbajaya ke sebuah kamar. Di dalam, terlihat seorang lelaki tua usia enampuluhan terbaring dengan tubuh kejang-kejang, dikerumuni beberapa orang pria dan wanita. Mereka semua memang tengah merawat lelaki tua itu namun seperti tidak tahu musti berbuat apa.
"Maaf, saya akan mencoba memeriksanya," Purbajaya berinisiatif.
Yang tak berkepentingan disuruhnya keluar, maka di sana tinggallah dua orang muda, lelaki dan wanita. Purbajaya hanya menduga, dua orang muda itu tentu kerabat lelaki terbaring yang diduga Purbajaya sebagai Ki Yogascitra, pemilik puri dan pejabat istana Pakuan.
Purbajaya mula-mula memeriksa denyut nadi di tangan. Terasa denyut nadi itu cepat, kencang serta tidak teratur, menandakan bahwa aliran darah orang tua itu tidak teratur. Di bagian lainnya, aliran darah malah seperti tersumbat karena mengental dan membiru.
"Dia terkena racun ..." kata Purbajaya dalam hatinya.
Karena tidak terlihat luka di luar, Purbajaya merasa yakin kalau racun yang memasuki tubuh Ki Yogascitra terjadi melalui makanan.
"Tolong perintahkan pembantu agar menumbuk bawang putih sebanyak-banyaknya, peras airnya dan bawa ke sini," kata Purbajaya sibuk namun bersikap tenang.
Tidak berapa lama kemudian, apa yang diminta Purbajaya pun sudah bisa disediakan. Maka Purbajaya mencoba menyuapkan air perasan bawang putih ke mulut Ki Yogascitra. Tentu saja sulit, apalagi rasa air perasaan bawang putih sungguh pedas dan pengar. Namun Purbajaya coba memaksa agar orang tua itu mau meminumnya sedikit demi sedikit.
"Kalau cairan ini habis, harap berikan air garam yang dicampur gula aren sebanyak-banyaknya," kata Purbajaya lagi sambil menyuruh pembantu agar segera menyiapkannya.
Selang beberapa saat, tubuh Ki Yogascitra sudah tidak kejang-kejang lagi. Begitu pun wajahnya sudah terlihat tidak membiru lagi. Hanya menandakan bahwa racun sudah bisa diusir dari aliran darah. Sekarang pejabat tua itu terlihat pulas dalam tidurnya.
"Terima kasih adikku, kau amat baik telah menolong ayahanda dari penyakit yang amat mendadak ini," kata seorang pemuda tampan yang ditaksir usianya sekitar delapanbelas tahun. Sementara di sampingnya duduk seorang gadis usia enambelas tahun. Dia tersenyum manis dan wajahnya penuh rasa terima kasih kepada Purbajaya.
Purbajaya terpana. Sejak tadi memang dia tahu di ruangan itu duduk bersimpuh seorang gadis. Tapi Purbajaya tidak menyangka barang secuil kalau di samping ada pemuda yang amat tampannya juga terdapat seorang gadis yang sulit diukur kecantikannya. Dada Purbajaya berdebar dan serasa hampir berhenti.
Mengapa adapohaci (bidadari) turun dari langit tanpa memberi tahu. Bidadari" Ouw, kalaulah Purbajaya pernah bertemu bidadari, maka kecantikan bidadari tidak bisa mengimbangi keelokan paras wajah gadis itu. Nyimas Waningyun mungkin cantik, begitu pun Nyimas Yuning Purnama atau pun Nyimas Wulan. Namun dibandingkan dengan kecantikan gadis yang kini duduk bersimpuh di hadapannya dan tersenyum sejuk menawan seraya menatapnya, semuanya tidak berarti.
Kecantikan dan keelokan seluruh gadis yang telah dia kagumi digabung menjadi satu, masih tetap tidak bisa mengalahkan kecantikan gadis puri Yogascitra ini. Purbajaya menghela napas namun sambil memuji nama Tuhan, betapa Tuhan demikian berkuasa dan bermurah hati menurunkan wajah demikian elok kepada yang bernama wanita. Purbajaya menunduk dibuatnya.
"Perkenalkan, saya bernama Banyak Angga dan adikku ini adalah Nyimas Banyak Inten," kata pemuda itu membuat Purbajaya malu dan terkejut karena sejak tadi sebenarnya pemuda itu memperhatikan dirinya yang tengah terbengong-bengong menatap paras gadis cantik itu.
Purbajaya tersipu dan memerah wajahnya karena malu dipergoki oleh pemuda itu.
"Nama saya Purbajaya. Saya datang dari wilayah Tanjungpura untuk melamar pekerjaan sebagaipuhawang (akhli kebahariaan), sesuai dengan bidang yang ditangani Juragan Yogascitra," kata Purbajaya masih tersipu saking malunya.
Wajah Purbajaya tertunduk bukan karena dipaksa oleh kepura-puraan, melainkan karena segan dan hormat kepada pemuda tampan ini. Dia hormat bukan karena kedua orang muda anak pejabat, melainkan merasa hormat karena anak-anak pejabat itu demikian ramah dan sopan ke padanya.
"Tapi saya sungguh amat menyinggung perasaan kalian. Saya bertamu di saat yang tidak tepat," ujar Purbajaya merendah.
"Tidak, tidak mengganggu. Bahkan kami berdua merasa bersyukur, di saat gawat menimpa ayahanda, kami kedatangan seorang akhli pengobatan. Kami heran, ayahanda begitu mendadak terserang penyakit aneh. Kalau ayahanda tidak menderita sakit begitu, beliau sebenarnya tidak sulit menerima kehadiran tamu," kata Banyak Angga tetap ramah dan sopan.
Purbajaya hampir saja mengatakan kalau Ki Yogascitra menderita sakit karena keracunan oleh makanan. Namun hal ini diurungkannya. Dia tak mau sembarangan berkata, takut ada seseorang yang ditekan atau dicurigai mereka. Purbajaya yakin, memang ada seseorang menaruh racun dengan niat membunuh pejabat tua itu. Para pekerja dan pembantu di puri inikah" Kalau benar begitu, pejabat ini pasti punya musuh yang berniat melenyapkannya. Purbajaya akan menyelidiki namun secara diam-diam saja.
"Saya ingin mengatur jenis makanan yang hari ini boleh atau tidak boleh dimakan oleh Juragan." kata Purbajaya."Jadi kalau diizinkan, saya ingin mengunjungi dapur. Dan mohon pula sisa makanan yang tadi pagi dimakan Juragan, diberikan pada saya," kata lagi Purbajaya.
Dengan senang hati, baik Banyak Angga mau pun Nyimas Banyak Inten mengangguk mengiyakan.
Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penganan pagi yang dimakan Ki Yogascitra diperiksa Purbajaya. Sejumput makanan sisa dilemparkan ke sudut berumput yang didapat banyak semut. Semut biasanya akan menghampiri makanan, namun kali ini malah menjauh. Hanya menandakan semut bercuriga kepada makanan itu.
Purbajaya yakin, kalau makanan itu diberikan kepada binatang anjing atau kucing dan ayam, mereka pasti akan mati kena racun.
Sekarang tugas Purbajaya adalah meneliti secara diam-diam, siapa yang menaruh makanan beracun ini. Kalau memang merupakan musuh Ki Yogascitra, maka Purbajaya ingin tahu, berada di pihak mana musuh itu.
Yang pertama kali musti diselidiki tentu saja juru masaknya. Namun juru masak di sana seorang perempuan tua yang sudah puluhan tahun mengabdi di puri itu. Susah untuk dicurigai berlaku jahat kepada tuannya. Yang dua orang adalah petugas pengantar makanan. Juga sama-sama perempuan tua dan sudah mengabdi amat lama. Tugasnya pun sama sejak dulu sebagai pengantar makanan.
"Tapi makanan pagi ini, Ki Bonen yang antar ..." kata petugas dapur.
"Siapa Ki Bonen?" tanya Purbajaya.
"Dia petugas di sini juga, hanya tidak mengurus makanan. Kebetulan saja dia menghadap Juragan karena tadi malam Juragan ingin mengatakan sesuatu," kata petugas dapur. "Ada apa sih sebenarnya?" tanyanya heran karena Purbajaya banyak bertanya.
"Tidak. Saya ini juru obat. Selama Juragan sakit, saya ingin mengatur jenis makanan yang cocok untuk beliau," jawab Purbajaya untuk menepis kecurigaan pegawai puri.
Namun secara diam-diam pula, Purbajaya meneliti. Hanya saja penyelidikan hampir buntu sebab Ki Bonen waktu itu juga menyerahkan makanan kepada Nyimas Banyak Inten. Jadi, siapa di antara mereka yang menaruh racun" Ki Bonen jelas tak punya waktu untuk melakukan hal itu.
"Hai, Direja ke mana?" tanya Ki Bonen sambil menoleh ke sana ke mari.
"Cari siapa?" tanya Purbajaya heran.
"Ki Direja. Den Banyak Angga ingin titip surat untuk Nyimas Layang Kingkin," jawab Ki Bonen.
Purbajaya walau selintas ada melihat seorang lelaki yang tergesa-gesa meninggalkan tempat itu tadi pagi. Tidakkah dia yang bernama Ki Direja" Tapi, mengapa orang itu pergi tergesa-gesa"
"Apakah Ki Direja bekerja di sini?" tanya Purbajaya.
"Tidak. Dia pegawai di puri Ki Bagus Seta."
"Ki Bagus Seta?"
"Beliau pejabat di Pakuan juga. Punya anak gadis cantik bernama Nyimas Layang Kingkin. Den Banyak Angga menaruh hati pada gadis cantik itu dan kerapkali melayangkan surat daun lontar melalui perantara," kata Ki Bonen.
"Apakah Ki Direja yang jadi perantaranya?"
"Tidak selalu. Namun dia cukup sering juga ke sini sebab Nyimas Layang Kingkin pun sering mengirimkan surat untuk Den Angga. Ki Direja tadi pagi pun dipanggil Nyimas Banyak Inten sebab Den Angga menitipkan surat melalui adiknya pula," kata Ki Bonen."Penganan untuk Juragan Yogas sementara ditinggal di meja sebab Nyimas ambil dulu surat," kata Ki Bonen.
"Kau lihat penganan buat Juragan ditinggal dulu di atas meja?" Purbajaya mengerutkan dahi.
"Ya. Ada yang aneh?"
"Ah ... Tidak! Tapi saya ingin tahu apa penganan untuk Juragan tidak kemasukan debu, misalnya?"
"Saya rasa tidak. Begitu Ki Direja datang, Nyimas hanya pergi sebentar dan balik lagi membawa surat. Penganan langsung dibawa masuk," kata lagi Ki Bonen.
Purbajaya termangu-mangu.
"Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa. Seperti tadi katakan, saya hanya ingin pastikan kalau makanan itu tidak kena debu ketika ditinggal di atas meja."
"Ah, pegawai kami mencintai kebersihan. Di rumah Juragan tidak pernah ada debu menempel," ujar Ki Bonen seperti tersinggung karena ucapan Purbajaya.
"Maafkan, saya hanya ingin agar makanan yang diberikan kepada Juragan benar-benar terpilih dan terjamin kesehatannya," kata Purbajaya ketika melihat Ki Bonen agak mengerutkan dahi.
Dan setelah Purbajaya bicara seperti itu, baru kerut-merut itu hilang.
Ki Bonen berlalu. Dan giliran Purbajaya yang mengerutkan dahi. Dia merasa ada hal-hal mencurigakan yang terdapat pada diri Ki Direja. Untuk itu Purbajaya harus menyelidikinya.
Purbajaya berjalan kembali menuju tempat di mana Banyak Angga dan Nyimas Banyak Inten berada. Banyak Angga dengan hati tulus mengucapkan terima kasih atas susah-payah yang diperlihatkan Purbajaya dalam membantu kesembuhan ayahandanya.
"Saya berjanji akan menolong membantumu sehingga ayahanda tidak ragu-ragu dalam menerima kehadiranmu, adikku," kata Banyak Angga sungguh-sungguh.
"Inten jangan diam saja, kau cepat haturkan terima kasih padanya," Banyak Angga menyikut lengan adiknya yang sejak tadi hanya senyum-senyum saja.
"Terima kasih, ayahanda telah kau sembuhkan, saudara Purba ..." kata Nyimas Banyak Inten pelan namun terdengar merdu. Purbajaya menganga melihat gerakan mulut mungil merah merona gadis itu. Dan karena ditatap sedemikian rupa maka wajah Nyimas Banyak Inten bersemu merah dan cepat-cepat menunduk.
"Saya tidak melakukan apa-apa, tak patut rasanya ucapan terima kasih ini... " Purbajaya berkata gagap karena hatinya masih kacau-balau dikoyak-koyak penglihatan mulut mungil itu.
"Tidak. Engkau amat berjasa kepada kami. Kalau tak ada engkau, bagaimana pula nasib ayahanda," kata lagi Banyak Angga tetap memuji Purbajaya setulus hati.
Sejenak Purbajaya bimbang. Sebenarnya dia ingin katakan kalau Ki Yogascitra telah diracuni orang dan Purbajaya mencurigai Ki Direja. Namun sudah barang tentu, penemuannya ini tidak bisa dia katakan kepada mereka. Banyak Angga nampaknya amat menginginkan hubungan baik dengan keluarga Ki Bagus Seta.
Purbajaya tahu, betapa Banyak Angga sebenarnya menginginkan kehadiran Nyimas Layang Kingkin di hatinya. Itulah sebabnya, Purbajaya tidak bisa mengganggu perasaan pemuda itu kalau dia katakan betapa pegawai dari puri Bagus Seta telah berupaya meracuni ayahandanya."Di sekeliling kita banyak hal-hal bermanfaat namun juga tak kurang-kurang yang membahayakan diri kita sendiri, makanan misalnya ..." kata Purbajaya menyiratkan satu hal yang entah dimengerti entah tidak oleh Banyak Angga dan adiknya. Yang jelas, baik Banyak Angga mau pun Nyimas Banyak Inten terlihat menganggukkan kepalanya.
"Saya ingin mohon diri. Ki Jongjo, mari kita pulang ..." kata Purbajaya seraya menengok ke arah ki Jongjo yang sejak tadi tidak berbicara sepatah pun kecuali menyaksikan tingkah Purbajaya.
"Bukankah engkau akan melamar pekerjaan kepada ayahanda?" tanya banyak Angga kecewa kaena Purbajaya berniat mohon diri.
"Tentu, namun tidak hari ini di saat ayahandamu mengalami gangguan," jawab Purbajaya.
"Lekaslah datang lagi ke sini, kau pasti aku bantu menghadap ayahanda," kata lagi Banyak Angga sungguh-sungguh.
"Terima kasih. Saya pasti segera mengunjungimu," jawab Purbajaya menunduk. Untuk kemudian tergopoh-gopoh mengundurkan diri dari tempat itu manakala dadanya berdebar keras karena beradu pandang dengan mata Nyimas Banyak Inten.
*** "KAU nampaknya amat memperhatikan keselamatan jiwa pejabat tua itu, Purba. Hati-hati, jangan terlalu mencampur-adukkan perasaan pribadi dalam urusan ini," Ki Jongjo memperingatkan Purbajaya ketika sudah tiba di rumah.
"Saya tidak terlalu bermain dengan perasaan," jawab Purbajaya mencoba mengelak dari tudingan ini.
"Kau mati-matian menyelamatkan jiwa Yogascitra," Ki Jongjo tetap penasaran.
Purbajaya menatap tajam kepada Ki Jongjo. Terkesan sekali sepertinya Ki Jongjo menginginkan jiwa Ki Yogascitra tidak tertolong.
"Kita harus punya kesepakatan pendapat. Carbon menugaskan saya bekerja pada pejabatpuhawang (pejabat urusan kebaharian). Supaya bisa diterima dengan baik, maka saya harus cari jasa," Purbajaya berkilah.
"Bagus kalau begitu. Tapi sekali lagi aku ingatkan, kita tidak berusaha keras agar pejabat tua itu selamat. Tujuan kita bukan menjaga keselamatan keluarga itu. Bahkan pada suatu waktu, mungkin kita ditugaskan melenyapkan nyawa mereka sebab dalam upaya merebut kekuasaan Pakuan, mereka adalah tulang punggung negara. Pakuan susah direbut selama keluarga Yogascitra masih ada," kata Ki Jongjo memperingatkan.
Purbajaya menatap tajam ke arah Ki Jongjo. Dalam satu dua hari bersamanya, sudah terlihat betapa sebenarnya orang ini bukanlah rakyat biasa dan apalagi hanya sekadar tukang perahu seperti pertama kali bertemu. Mungkin di kalangan pemberontak, Ki Jongjo termasuk orang penting juga.
Dan benar juga dugaannya. Sebab malam harinya, tanpa diminta Ki Jongjo pun bercerita perihal dirinya.
Menurutnya, dulu dia adalah prajurit setia di istana. Namun puluhan tahun mengabdi, hidupnya tak pernah baik. Dia tak suka mendekat-dekatkan diri kepada atasan, tidak pernah menjilat tidak pula sengaja mencari-cari jasa. Yang dia kerjakan hanyalah melaksanakan tugas dengan baik. Namun kenyataannya, kedekatan kepada atasan dan bangsawan ternyata amat mempengaruhi kedudukan seseorang.
Siapa yang bisa dekat, bisa menjilat dan bisa memuji-muji atasan, maka dialah yang bisa menerima kemudahan di istana. Banyak teman seangkatan yang posisinya kini lebih enak ketimbang dia. Bahkan karirnya sebagai prajurit banyak terlampaui oleh prajurit yang lebih muda.
"Aku sakit hati, kesetiaanku kalah oleh kelompok penjilat," gumam Ki Jongjo.
"Mungkin yang menerima pangkat tinggi hanya yang diketahui memiliki kepandaian tertentu saja, Ki Jongjo ... " berkata Purbajaya. Dan ucapan Purbajaya ini sepertinya menambah kepedihan orang tua itu. Terlihat dia tertunduk dengan wajah keruh.
"Ku akui, memang kepandaian berpikirku, bahkan kepandaian lahiriahku masih di bawah mereka. Tapi apakah kesetiaanku tidak mereka hargai, Purba" Sekarang terbukti, tanpa kesetiaan dan kejujuran, negara sebentar lagi akan runtuh." kata Ki Jongjo.
Malamnya Purbajaya jadi susah tidur. Ucapan-ucapan Ki Jongjo terus terngiang. Memang benar, negara amat membutuhkan orang pandai. Namun apalah kepandaian seseorang tanpa disertai kejujuran dan kesetiaan. Oleh adanya penghargaan yang timpang, maka marabahaya semakin menggebu bagi sebuah kehidupan. Buktinya, Ki Jongjo yang mengaku jujur dan setia, manakala merasa usaha-usahanya tidak dihargai, maka dia berbalik menjadi orang yang akan merugikan negara.
Purbajaya merenung. Jadi sebaiknya musti bagaimanakah orang bertindak" Hanya memiliki kejujuran dan kesetiaan saja tanpa punya kepandaian ternyata tidak dihargai. Punya kepandaian tapi tak setia dan tak jujur malah membahayakan. Mungkin yang benar adalah memiliki kesempurnaan dalam segalanya. Ya, pandai ya, jujur. Itulah mungkin keinginan manusia, segalanya serba sempurna. Bukan tak ada.
Tapi hal seperti itu susah dicari. Apa yang dimiliki manusia serba tak sempurna. Itulah mungkin yang membuat keadaan dunia tidak pernah sepi dari permasalahan. Mungkin satu-satunya hal yang bisa menekan permasalahan adalah bila manusia bisa meluruskan tujuan hidupnya. Untuk apakah kita punya kepandaian" Untuk apa pula kita punya kejujuran dan kesetiaan" Untuk dihargai dan dibalas oleh kebaikan orang" Mungkin di sanalah titik kesalahannya.
Orang pandai mengabdikan kepandaiannya untuk kepentingan orang banyak selama orang banyak menghargai dan membalas kebaikannya. Lantas kalau merasa tak dihargai maka dia tidak akan mengabdikan kepandaiannya untuk kepentingan umum. Demikian pun orang yang hendak memberikan kejujuran dan kesetiaannya, mereka pilih-pilih dulu, apakah kejujuran dan kesetiannya bakal menerima balasan setimpal" Lalu, kalau sekiranya tidak akan dihargai, maka lebih baik tidak setia dan tidak jujur saja.
Inilah mungkin kesalahan yang dilakukan Ki Jongjo. Kesetiaan dan kejujuran terhadap negara dia berikan hanya karena mengharapkan balasan dari negara. Setelah ternyata tidak menerima balasan, maka selain tidak lagi memberikan kejujuran dan kesetiaannya, Ki Jongjo pun berbalik menjadi orang yang merongrong negara.
Dia keliru karena mengartikan kesetiaan dan kejujuran sebagai sesuatu yang akan "dijual" kepada orang lain, lantas kalau tak "dibeli" maka tak usah diberikan. Kesetiaan dan kejujuran tak lebih hanya dijadikan sebagai ajang untuk meminta dan bukan untuk memberi.
Purbajaya susah memejamkan mata. Berbagai lamunan datang dan pergi silih berganti. Kini muncul pula bayangan gadis dari puri Yogascitra. Wajah cantik gadis itu terus melekat di benaknya. Nyimas Banyak Inten rupanya bukan saja memiliki kecantikan wajah namun juga cantik dalam perilaku.
Kalau Nyimas Waningyun putri keluarga Pangeran Arya Damar pejabat Carbon, terlihat periang dan terkadang bermulut bawel pandai bicara, adalah Nyimas Banyak Inten yang pendiam dan tak sembarangan mengeluarkan perkataan. Kalau Nyimas Yuning Purnama putri keluarga Ki Bagus Sura dari Sumedanglarang selalu berwajah sayu dan hanya sedikit sekali memiliki senyum, adalah Nyimas Banyak Inten yang pandai mengulum senyum.
Ya, Nyimas Banyak Inten tidak seperti Nyimas Waningyun, tidak persis dengan Nyimas Yuning Purnama yang pendiam, atau bahkan jauh bedanya dengan Nyimas Wulan dari Tanjungpura yang cinta berahinya panas membara dan sekarang telah dia calonkan sebagai istrinya. Nyimas Banyak Inten tidak bisa dibandingkan dengan ketiga orang gadis itu.
Memang sama-sama cantik, namun kecantikan Nyimas Banyak Inten adalah gabungan dari seluruh banyak kecantikan. Kalau parapohaci (bidadari) saja hanya memiliki kecantikan sebagai seorang bidadari, maka Nyimas Banyak Inten adalah gabungan kecantikan makhluk kayangan dan makhluk dunia bernama wanita.
Nyimas Banyak Inten, entah di mana posisinya, yang jelas telah memiliki kedudukan khusus di hati Purbajaya. Kedudukan khusus"
Purbajaya menggetok kepalanya sendiri. Enaknya. Baru satu kali bertemu saja sudah mabuk kepayang. Lantas, mau dike-manakan kedudukan Nyimas Wulan gadis Tanjungpura itu"
Dan ingat ini, Purbajaya jadi mengeluh. Untuk kedua kalinya dia getok kepalanya sendiri. Mungkin begitulah lelaki, gombal, brengsek dan mudah tergoda wajah cantik.
Purbajaya menyesal, dia mudah digoda cumbu-rayu asmara. Padahal dia sadar, terhadap Nyimas Wulan dia tidak punya perasaan cinta. Tapi dasar lelaki, digoda dan dirayu wanita cantik, maka runtuh pula imannya. Dasar lelaki! Dasar lelaki" Mengapa semua lelaki disalahkan" Kemarin dulu, lelaki jahat yang mudah mengganggu wanita adalah Raden Yudakara dan Ki Jayasena. Sekarang ditambah dirinya.
Jadi kalaulah mau memaki lelaki, makilah mereka berdua dan yang ketiga tentu dirinya sendiri. Belum tentu lelaki lain sebrengsek dia dalam memandang dan memperlakukan kaum wanita. Dan berpikir seperti ini, Purbajaya kembali mengeluh. Iman yang ada di dalam dirinya ternyata masih labil. Dia mudah terpesona melihat wajah cantik seorang wanita.
Hatinya memang tidak bisa mungkir kalau sekarang semangatnya terbetot bayangan gadis bernama Nyimas Banyak Inten. Dia cantik. Dia manis. Dia berwajah anggun.
Tidak menantang namun juga tidak bersifat "kikir" dalam memperlihatkan wajah cantiknya. Lelaki berpikiran normal tentu akan tertarik kepada gadis itu. Mungkin itu pulakah yang menyebabkan Purbajaya mati-matian menolong nyawa Ki Yogascitra dari bahaya racun" Kini untuk ketiga kalinya dia getok lagi kepalanya. Tadi dia menyalahkan sikap Ki Jongjo yang melakukan kebaikan karena ingin dibalas kebaikan pula. Sekarang giliran dia sendiri yang melakukan pertolongan karena memiliki dasar pamrih. Sialan!
Tapi mungkin benar mungkin tidak. Purbajaya mau menolong nyawa Ki Yogascitra mungkin dasarna karena melihat anak gadisnya yang begitu aduhai. Tapi mungkin juga dia menolong orang karena tugas kemanusiaan semata. Taruhlah di puri itu tidak ada gadis cantik, apakah Purbajaya akan menolak melakukan pertolongan" Tidak. Ini bukan kebiasaannya. Dan hati Purbajaya merasa menang karena memang dia sendiri yang mengusahakan agar dirinyalah yang menang dalam mengeluarkan pendapat seperti itu.
Dia benar-benar melakukan pertolongan kepada Ki Yogascitra karena dasar kemanusiaan semata. Dan dengan demikian, sebenarnya dia telah berbohong kepada Ki J cantik gadis itu terus melekat di benaknya. Nyimas Banyak Inten rupanya bukan saja memiliki kecantikan wajah namun jugaongjo. Ki Jongjo menginginkan agar Purbajaya di puri itu jangan melakukan sesuatu berdasarkan perasaan. Dan dia mengangguk mengiyakan, padahal di relung hatinya dia membantahnya sendiri. Tidak. Dia menolong Ki Yoagascitra karena berdasarkan perasaan.
Maka ditambah oleh kehadiran Nyimas Banyak Inten, semakin lengkap pulalah perasaan Purbajaya bermain di sana. Namun demikian, alasan politik pun tetap tak dia ingkari. Dia masuk ke puri itu adalah sebagai penyelundup, sesuai seperti apa yang diinginkan Carbon. Dengan berbuat jasa kepada Ki Yogascitra, maka telah melicinkan usahanya dalam menyelundup ke Pakuan.
Ya, bagaimana pun, dia adalah mata-mata Carbon. Bukan pula bekerja untuk kepentingan Raden Yudakara. Purbajaya harus berani mengembalikan posisinya ke arah yang benar, yaitu bekerja untuk Carbon.
"Namun bisakah ini kulakukan dengan baik?" pikirnya dalam hati.
Sekarang malam sudah menjelang. Ki Jongjo sudah terlihat pulas dan terdengar dengkurnya. Maka Purbajaya kembali menyelinap dari rumah ini untuk untuk kedua kalinya. Kali ini dia ingin menyelidik kediaman Ki Bagus Seta. Kalau Ki Direja datang dari puri Bagus Seta, maka ada kemungkinan penghuni puri itu terlibat rencana pembunuhan terhadap Ki Yogascitra. Mengapa mereka akan membunuh pejabat Pakuan yang jujur itu, itulah sebabnya Purbajaya tertarik untuk menyelidikinya.
Tadi siang pegawai puri Yogascitra telah menunjukkan di mana letak puri Bagus Seta. Maka di malam itu, tanpa mengalami kesulitan dia telah bisa menemukan kompleks puri itu. Yang susah justru memikirkan usaha untuk memasukinya. Puri itu dijaga dengan amat ketat. Bukan saja gerbang depan dijaga empat orang prajurit, bahkan pada saat-saat tertentu, secara rutin benteng puri dijaga pasukan yang berpatroli mengelilingi benteng dari ujung ke ujung.
Purbajaya harus menunggu sekian waktu agar penjaga lewat dulu. Setiap pasukan patroli lewat, setiap itu pula Purbajaya meneliti. Sesudah beberapa kali diteliti, Purbajaya mendapatkan kesimpulan, penjaga patroli akan kembali lewat ke tempat itu pada setiap hitungan ke limapuluh. Itu berarti untuk mencoba memasuki wilayah benteng puri dalam, Purbajaya hanya memiliki waktu selama limapuluh hitungan.
Penjaga yang tengah patroli sudah lewat kembali. Maka sambil hatinya tetap menghitung, Purbajaya meloncat-loncat untuk mendekati tepi benteng. Pada hitungan ke empatpuluh, Purbajaya baru berhasil mendekati sisi benteng. Hanya sepuluh hitungan lagi dan Purbajaya harus bisa meloncati benteng.
Purbajaya segera menghimpun tenaga dalamnya. Sesudah itu, ujung kakinya menotol tanah. Hup, Purbajaya berhasil meloncat ke atas benteng. Baru saja bernapas, pasukan patroli telah kembali lewat.
Sekarang Purbajaya meneliti suasana di dalam benteng. Terlihat lengang. Bahkan beberapa bangunan besar telah memadamkan cahaya lampunya. Namun demikian, ada satu bangunan yang terlihat masih benderang. Maka Purbajaya memutuskan untuk mendekati ruangan itu.
Purbajaya meloncat-loncat dengan menggunakan ilmunapak-sancang agar langkah kakinya tidak didengar orang. Ketika sudah tiba di tempat yang dituju, Purbajaya kembali meloncati bibir benteng yang ada di dekat ruangan. Dari atas benteng dia meloncat ke bibir atap sirap.
Purbajaya secara hati-hati menguakkan ujung atap sirap. Maka terlihatlah di ruangan dalam dua orang tengah bersila saling berhadapan. Cahaya yang masuk hanya remang-remang saja sebab di ruangan dalam, pelita tidak dipasang. Rupanya dua orang itu tidak menyukai cahaya dalam melakukan percakapannya. Namun demikian, Purbajaya masih bisa saksikan, paling tidak bentuk tubuh dua orang itu.
Yang seorang berbadan tegap, seorang lagi tubuhnya agak gemuk dengan perut sedikit buncit. Melihat postur si buncit, Purbajaya jadi teringat peristiwa menculikan atas dirinya. Waktu itu di sebuah ruangan remang-remang dia ditanyai seorang lelaki berbadan gempal dan berperut buncit. Purbajaya berdebar hatinya. Dia merasa yakin kalau yang memeriksa dia waktu itu adalah orang yang kini tengah berada di ruangan itu.
Purbajaya segera menyimak percakapan di antara mereka. isinya amat mendebarkannya.
"Maksudmu, Si Yogascitra kau racuni?" tanya lelaki bertubuh gempal berperut buncit.
"Ya, tapi sayang dia lolos dari maut, Soka ... "
"Maksudmu, kau akan bunuh Si Yogascitra, Seta?"
Tidak terdengar jawaban.
"Si Yogascitra itu pejabat yang terlalu jujur. Orang jujur akan membahayakan. Aku tak mau akhir-akhirnya dia akan membahayakan gerakan kita," jawab lelaki yang pasti Ki Bagus Seta, pemilik puri ini."Aku khawatir, lambat-laun dia akan dekat dan dipercaya Raja. Kalau sudah demikian, maka kitalah yang terancam," katanya lagi.
"Mustahil dia bisa dekat dengan Sang Prabu. Kau kan tahu, Si Yogascitra berani bersilang pendapat dengan Raja, sementara itu kita pun tahu pula penguasa Pakuan ini kesenangannya disanjung dan dipuji serta amat tabu menerima kritik. Asalkan kita sanggup menyenangkan hati Raja, aku yakin, kitalah kelak yang akan bisa mempengaruhi dan mengendalikan kebijakan Raja," kata lawan bercakapnya yang Purbajaya mulai menduga, orang itu adalah tokoh Pakuan bernama Bangsawan Soka.
"Aku pun punya keyakinan seperti itu. Tapi akan lebih aman bila pejabat sejujur Si Yogascitra kita lenyapkan saja," jawab Ki Bagus Seta.
"Anak tirimu bernama Suji Angkara amat tergila-gila kepada Nyimas Banyak Inten, mengapa tidak kau gunakan saja perangkat ini" Kau akan lebih baik berbesan saja agar kelak Ki Yogascitra menjadi mitra kerjamu," Bangsawan Soka memberi usul. Hanya dijawab oleh Ki Bagus Seta dengan dengusan.
"Ah, hanya urusan anak kecil semata. Asalkan tak ada yang tahu bahwa Si Yogascitra dienyahkan olehku, maka semuanya akan beres. Dengan kematian ayahandanya, maka Banyak Inten dan kakaknya akan dekat dengan kita. Mereka akan memilih kita sebagai pelindungnya. Yang aku pusingkan, tugas yang diemban Ki Direja telah digagalkan oleh seorang anak muda. Anak itu dibawa Ki Jongjo memasuki puri Yogascitra ... "
"Hm ... anak muda itu utusan Raden Yudakara dari Carbon. Memang rencananya disusupkan ke puri itu," jawab Bangsawan Soka. "Yang aku risaukan, ternyata Ki Jaya Perbangsa pun sudah tahu perihal kedatangan pemuda itu. Kelompok ini rupanya ingin menguasai anak muda itu. Makanya jauh hari Ki Jongjo sudah menguasai anak muda Carbon itu."
Bab 20 (Tamat) "Kau maksudkan, anak muda itu tengah diperebutkan?"
"Tanyakan sendiri kepada Ki Banaspati kakak seperguruanmu, mengapa dia ikut memperebutkan utusan dari Carbon?" Bangsawan Soka balik bertanya.
"Hhhh .... Aku pusing dengan tindak-tanduk kakak seperguruanku ini," dengus Ki Bagus Seta.
"Aku bahkan sudah lama curiga kalau Ki Banaspati sebenarnya memiliki tujuan-tujuan tertentu pula," gumam Bangsawan Soka.
Mereka berdiam diri beberapa lama sampai pada saatnya, Bangsawan Soka mohon diri dari tempat itu.
Purbajaya pun sedianya akan segera meninggalkan tempat itu ketika secara tiba-tiba terlihat beberapa cahaya berkeredepan dari pisau-pisau terbang yang dilemparkan oleh Ki Bagus Seta dari bawah dan diarahkan menyerang dirinya.
Purbajaya amat terkejut. Dengan adanya serangan ini hanya membuktikan bahwa secara sadar Ki Bagus Seta mengetahui kalau dirinya diintai orang. Saking cepatnya pisau-pisau ini melesat, Purbajaya tak sempat menghindar atau pun menangkis.
Dia pasrah sebab telah menduga tubuhnya akan menjadi santapan empuk serangan pisau-pisau terbang ini.
Namun sungguh aneh, ketika matanya sudah terpejam, serangan pisau tak pernah datang. Ke mana larinya senjata yang tadi beterbangan itu"
Purbajaya segera membuka matanya. Ternyata di sampingnya sudah terlihat seorang lelaki yang diketahui sebagai Ki Rangga Guna. Di kedua belah tangannya, pisau-pisau itu telah digenggam orang tua itu.
"Cepat loncat sana!" Ki Rangga Guna mendesis seraya mendorong tubuh Purbajaya.
Sementara itu di ruangan di mana Ki Bagus Seta melepas serangan, sudah terdengar ribut-ribut. Purbajaya menduga kalau para prajurit serta pengawal Ki Bagus Seta sudah diberitahu perihal hadirnya penyelundup ke wilayahnya.
"Ayo lari!" ajak Ki Rangga Guna.
"Ke mana?"
"Kita menuju wilayah Tajur Agung!"
"Tajur Agung?" tanya Purbajaya sambil melesat mengikuti ke mana Ki Rangga Guna berlari.
Purbajaya ingin mengimbangi larinya orang tua itu. Namun yang diimbangi ternyata memiliki ilmu kepandaian lari yang demikian hebat. Kendati Purbajaya berusaha sekuat tenaga, kecepatan lari Ki Rangga Guna tak bisa diimbangi. Belakangan baru dia bisa menyusul setelah Ki Rangga Guna menurunkan tingkat kepandaian larinya.
"Tajur Agung adalah taman buah-buahan milik keluarga istana. Tidak sembarang orang bisa keluyuran ke tempat itu. Oleh sebab itulah kita sembunyi di sana," kata Ki Rangga Guna menerangkan di tengah jalan.
"Apakah yakin kita tidak akan diketahui mereka?" tanya Purbajaya sedikit ngosngosan.
"Tentu mereka akan tahu. Tapi paling tidak, tidak akan semua prajurit mengejar kita, kecuali orang-orang tertentu yang diberi izin masuk," jawab Ki Rangga Guna sambil tetap berlari dan diikuti oleh Purbajaya dengan susah-payah.
Namun demikian, Purbajaya masih berpikir untuk memuji orang ini, betapa di saat yang tepat Ki Rangga Guna bisa menyelamatkan nyawanya. Apakah selama ini Ki Rangga Guna terus mengikutinya"
"Ayo percepat larimu, di belakang, mereka tengah menyusul kita," kata Ki Rangga Guna mengingatkan.
Purbajaya berlari cepat. Namun ketika tiba di daerah agak lapang, Ki Rangga Guna malah berhenti dan bertindak seolah-olah sengaja menanti para pengejarnya.
"Kau sembunyi di sana!" Ki Rangga Guna memerintah.
"Sembunyi"
"Ya, kau harus sembunyi dari pandangan mereka."
Purbajaya mulanya kecewa sebab seperti tak dipercaya untuk ikut menghadapi musuh. Tapi kemudian dia mengerti. Ki Rangga Guna berkata benar kalau dirinya jangan diketahui sebagai penyusup ke puri Bagus Seta, sebab kalau tak begitu, kedudukannya di Pakuan akan terancam oleh kelompok ini.
Ketika para pengejar sudah terlihat gerakannya, Purbajaya segera mencari tempat sembunyi. Kebetulan di sekitar tempat itu ada banyak gundukan tanaman bunga yang daunnya amat rimbun.
Tidak begitu lama kemudian, rombongan pengejar pun segera tiba. Terlihat ada belasan perwira yang langsung mengepung Ki Rangga Guna.
"Hah" Dia Rangga Guna si pemberontak! Tangkap dia!" teriak salah seorang dari mereka. Maka setelah menerima perintah ini, Ki Rangga Guna dikepung rapat. Dan sebentar kemudian terjadilah pertempuran sengit, satu orang melawan belasan perwira Pakuan yang dikenal tangguh.
Pertempuran demikian hebat. Mereka bertarung dengan kecepatan tinggi sehingga gerakan mereka susah diikuti pandangan mata. Sabetan-sabetan pedang dan golok bergulung-gulung menutupi tubuh Ki Rangga Guna dan suaranya bergaung-gaung seperti ribuan gasing diputar berbarengan.
Belasan perwira ini rata-rata memiliki kepandaian hebat. Namun penampilan Ki Rangga Guna kendati hanya melawan seorang diri tidak kalah hebatnya. Sedikit pun dia tidak terlihat terdesak. Gerakan dan perlawanannya malah terlihat amat gemilang. Walau pun digulung belasan senjata tajam namun tubuhnya sedikit pun tidak pernah tersentuh ujung-ujung senjata yang amat runcing itu.
Jangankan bisaa disentuh, bahkan hanya sekadar mendekati saja sudah tak bisa. Tubuh Ki Rangga Guna sepertinya dibentengi lapisan baja yang kuat, sehingga hujan serangan senjata tajam hanya terbatas tiba di benteng baja itu saja.
Ki Rangga Guna sigap dalam menangkis dan sigap pula dalam mengelak. Tubuhnya pun berloncatan ke sana ke mari membuat para pengepungnya sibuk ke sana ke mari pula. Dan pertempuran sengit ini berlangsung cukup lama sebab yang menyerang tak bisa menembus sebaliknya yang diserang tak bisa balik menyerang.
Atau, Purbajaya dari tempat sembunyinya bisa meneliti, sebetulnya Ki Rangga Guna bukan tak bisa melakukan serangan, melainkan sepertinya dia tidak mau melakukannya. Ki Rangga Guna jelas tidak mau mencelakakan lawan-lawannya.
Sampai tiba pada suatu saat, ke tempat itu hadir pula seorang pengejar lain. Dan Purbajaya berdegup jantungnya sebab yang datang adalah Ki Bagus Seta.
Purbajaya gelisah. Melawan belasan perwira saja sudah sedemikian sibuknya, apalagi bila ditambah oleh kehadiran Ki Bagus Seta yang diketahui Purbajaya berilmu tinggi pula. Sebagai bukti, serangan pisau terbang orang itu amat hebat dan susah dihindarkan. Kalau sampai dengan sekarang nasib Purbajaya masih baik, itu karena pertolongan Ki Rangga Guna saja.
Purbajaya mengeluh, Ki Rangga Guna pasti akan mengalami kesulitan karena dia sejauh ini tidak mau mencederai lawan-lawannya. Jadi kalau selama ini dia masih selamat, itu karena secara kebetulan dia bisa mengungguli lawan-lawannya. Kalau sekarang belasan perwira dibantu Ki Bagus Seta, barangkali Ki Rangga Guna akan kalah, kecuali dia mengubah sikap untuk tidak memberi angin kepada belasan perwira.
Namun belakangan Purbajaya jadi malu sendiri telah menganggap bodoh Ki Rangga Guna. Buktinya, setelah melihat kehadiran Ki Bagus Seta, Ki Rangga Guna segera meningkatkan kebolehannya. Orang tua itu segera menghimpun tenaga dan melakukan gerakan-gerakan hebat. Maka hanya dalam waktu yang singkat terdengar jerit-jerit kesakitan ketika tubuh belasan perwira terlontar ke sana ke mari dan jatuh berdebuk tak sadarkan diri.
Tewaskah mereka" Purbajaya tak percaya Ki Rangga Guna berlaku kejam. Dia ingat kembali peristiwa di wilayah Sagaraherang ketika Raden Yudakara dipukul roboh. Tubuh pemuda itu terlontar dan berdebuk jauh ke depan terkena pukulan jarak jauh oleh Ki Rangga Guna. Namun anehnya, tubuh Raden Yudakara sedikit pun tidak mengalami luka. Purbajaya mengira, Ki Rangga Guna kali ini hanya membuat lawan menjadi pingsan saja namun tak mengakibatkan mereka tewas.
Ki Rangga Guna sengaja mempercepat perlawanan terhadap belasan perwira karena ingin menghadapi Ki Bagus seta secara khusus.
Purbajaya melihat keadaan dengan hati tegang. Dia menduga kalau sebentar lagi akan terjadi pertarungan yang lebih hebat dari pertarungan yang tadi.
Dua-duanya terlihat saling berhadapan dari jarak sekitar sepuluhdepa dan tangan-tangan mereka meregang tegang.
"Rangga, engkau ini adik seperguruanku. Namun mengapa kerjamu hanya mengganggguku saja?" tanya Ki Bagus Seta dengan suara dingin dan amat mengejutkan hati Purbajaya. Mereka berdua kakak-adik seperguruan"
"Saya hanya ingin agar engkau tetap melangkah di jalan yang diinginkan Ki Guru Darma ... " kata Ki Rangga Guna menatap tajam ke arah Ki Bagus Seta. Ki Bagus Seta melangkah setindak dan Ki Rangga Guna segera mundur satu tindak.
"Hahaha! Engkau selalu tak mempercayaiku, Rangga!"
"Saya hanya ingin mengingatkan engkau saja, Kakak ..."
"Sudahlah, engkau pulanglah dan rawat Ki Guru," kata Ki Bagus Seta.
"Tidak. Ki Guru malah menugaskan saya agar menjagamu, Kak ..."
"Sombong. Dengarkan dungu, aku ingin menolongmu juga. Selama ini aku jadi pejabat negara, namun selama ini pula kau dikejar-kejar pemerintah. Engkau harus malu itu. Dan jangan pula kau permalukan diriku. Betapa orang-orang akan bilang, yang satu jadi pejabat satunya jadi pembangkang. Apakah engkau tidak malu, adik?" tanya Ki Bagus Seta namun dengan nada mengejek.
"Seseorang menjadi terhormat tidak karena telah menjadi pejabat, demikian pun sebaliknya. Orang yang dituding pembangkang belum tentu menjadi orang terhina," jawab Ki Bagus Seta dengan nada datar.
"Dungu !" desis Ki Bagus Seta gemas."Jaga sifatmu, jangan kecewakan Ki Guru," lanjutnya.
"Justru ucapan itu yang ingin saya berikan padamu, Kakak," timpal Ki Rangga Guna. Dan rupanya jawaban Ki Rangga Guna ini telah membuat Ki Bagus Seta merasa marah.
Buktinya tubuh Ki Bagus Seta melesat menghambur ke depan. Ki Rangga Guna tidak tinggal diam. Dia pun segera melesat ke depan dengan kecepatan sulit dilihat pandangan mata. Maka dua tubuh berkelebat saling menghambur. Namun keduanya tidak saling bertemu di tengah jalan, melainkan hanya saling berpapasan saja. Gerakannya amat cepat dan hanya membentuk kelebatan saja. Tahu-tahu keduanya sudah berpindah tempat. Tempat di mana tadi Ki Rangga Guna berdiri telah ditempati Ki Bagus Seta, demikian pun sebaliknya. Keduanya masih saling bertatap muka namun dengan tubuh limbung.
Dan sebelum keduanya berdiri tegak, Ki Bagus Seta membuat gerakan aneh. Mula-mula tubuhnya membungkuk dan doyong seperti tubuhnya hampir menyentuh tanah, persis gerakan kodok yang akan meloncat ke depan. Namun bukan loncatan yang dia lakukan, melainkan lontaran pukulan jarak jauh. Gerakan angin pukulan menimbulkan suara berciutan dan dedaunan rontok jatuh ke tanah seperti ditiup badai.
Rupanya Ki Rangga Guna sadar kalau ini merupakan sebuah serangan amat berbahaya. Buktinya, orang tua ini segera melakukan gerakan yang sama dan melakukan serangan pukulan jarak jauh pula. Maka suara angin berciutan berubah menjadi gelegar petir yang menimbulkan bunga api berpijar di angkasa. Dua buah pohon di sekitar tempat itu tumbang karena batangnya hancur berantakan.
Purbajaya terlambat menutup sepasang lubang telinganya. Dan manakala dia periksa, terasa ada lelehan darah segar dari lubang telinganya itu. Purbajaya terkena pengaruh adu pukulan yang dilakukan mereka. Matanya berkunang-kunang dan kepalanya terasa pusing.
Untuk beberapa lama Purbajaya hanya bisa memejamkan mata karena dirinya terasa menderita. Namun kemudian secara perlahan dia memandang ke sekeliling. Hampir semua dedaunan di pohon-pohon durian di tempat itu pada rontok seperti hari itu secara tiba-tiba musim kering tengah melanda daerah itu. Di tengah tanah lapang, dua orang masih terlihat berdiri dan tetap berjauhan. Hanya saja, kaki Ki Rangga Guna terlihat melesak ke tanah sampai sebatas betis, sementara Ki Bagus Seta berdiri limbung dan seluruh pakaiannya koyak-koyak seperti secara mendadak dikoyak kuku-kuku macan.
"Kau akan mati, Rangga ..."
"Ya ... Kalau pertarungan ini dilanjutkan, kita berdua akan segera mati," jawab pula Ki Rangga Guna.
Dua orang itu saling pandang dalam kebisuan. Sampai pada suatu saat, Ki Bagus Seta meninggalkan tempat itu dengan langkah gontai.
Sesudah Ki Bagus Seta berlalu, Purbajaya mulai berani muncul dan meloncat dengan sedikit limbung karena kepalanya pening. Dia harus menolong Ki Rangga Guna yang diduganya mengalami luka yang parah.
Dan benar saja, ketika diperiksa, dari mulut, hidung, telinga bahkan dari sepasang mata Ki Rangga Guna, terlihat ada darah menetes-netes keluar.
"Ki Rangga, anda terluka parah ... " kata Purbajaya khawatir sekali.
"Rupanya itu pula yang dialami Ki Bagus Seta ... " desis Ki Rangga Guna dengan sedikit menahan rasa sakit.
"Mari kita tinggalkan tempat ini ..." ajak Ki Rangga Guna.
"Mereka bagaimana?" Purbajaya melihat ke sekeliling di mana terlihat tubuh belasan perwira Pakuan bergeletakan.
"Mereka hanya pingsan. Sebentar kemudian pasti akan siuman kembali," jawab Ki Rangga Guna yakin.
Ki Rangga Guna akan melangkah namun terlihat limbung. Maka Purbajaya serta-merta memondongnya.
"Bawalah aku ke Pulo Parakan Baranangsiang... " kata Ki Rangga Guna seraya menunjukkan arahnya.
Yang dimaksud dengan tempat itu adalah sebuah gugusan pulau kecil di tengah sungai Ciliwung yang terletak di sekitarjawi khita (benteng luar kota) sebelah timur.
Purbajaya musti mencari perahu untuk mengangkut Ki Rangga Guna menyeberangi sungai. Dan ketika sampai di tempai itu Purbajaya melihat ada sebuah pasanggrahan indah di sana.
*** YANG dimaksud Pulo Parakan Baranangsiang adalah sebuah delta atau gugusan pulau kecil terletak di tengah aliran sungai Cihaliwung. Mungkin delta itu tadinya terbentuk oleh lumpur-lumpur yang dibawa dari wilayah hulu sungai dan lama kelamaan menumpuk membentuk sebuah gugusan.
Karena di tengah gugusan pulau itu terdapat sebuah pasanggrahan, mudah diduga kalau tempat itu sebetulnya merupakan sebuah tempat peristirahatan.
Memang itu yang diterangkan oleh Ki Rangga Guna. Bila siang hari dan cuaca baik, maka tempat ini merupakan sebuah tempat dengan panorama amat indah. Ki Rangga Guna mengatakan kalau tempat ini merupakan sebuah peristirahatan bagi keluarga raja beserta kerabatnya.
Setiap tahun suka diadakan acara bernamamunday . Munday adalah upacara memanen ikan sungai Ciliwung. Dilakukan oleh seluruh ambarahayat untuk dimakan bersama-sama dengan raja dan kerabatnya dalam sebuah pesta makan ikan. Raja dan kerabatnya makan ikan sungai Cihaliwung di pasanggrahan itulah.
Tapi malam itu di Pulo Parakan Baranangsiang suasana amat sepi. Kalau di saat siang amat cocok digunakan sebagai tempat bersantai, maka di malam yang gelap dan dingin ini amat cocok digunakan sebagai tempat sembunyi.
Ki Rangga Guna membawa Purbajaya ke tempat itu agar bebas dari kejaran lawan namun juga digunakan sebagai tempat istirahat karena tubuh orang tua itu menderita cukup parah.
"Saya akan mencoba mengobatimu, Ki Rangga ... " kata Purbajaya membuka pakaian orang tua itu.
Dan Purbajaya tanpa sungkan mengeluarkan tenaga dalamnya. Telapak tangannya dia kerahkan menekan punggung Ki Rangga Guna agar aliran darah orang tua itu mengalir lancar.
"Aliran tenaga dalammu kurang kuat, siapakah gurumu, anak muda"' tanya Ki Rangga Guna tiba-tiba. Sudah barang tentu Purbajaya tersinggung dengan pertanyaan ini. Sepertinya Ki Rangga Guna melecehkan kemampuannya.
"Kedunguan seorang murid tidak lantas merupakan gambaran kelemahan yang menjadi gurunya, Ki Rangga ... " jawab Purbajaya sedikit ketus, membuat Ki Rangga Guna tersenyum kecil.
"Aku hanya tanya, siapakah gurumu?"
"Guruku bernama Ki Jayaratu!" jawab Purbajaya tegas untuk memberikan kesan betapa gurunya sebenarnya seorang yang hebat.
"Hm ... Kepandaian Ki Jayaratu sebenarnya tak berada jauh dengan guruku, anak muda. Dua orang itu dulunya musuh besar dan kerapkali melakukan pertempuran. Namun yang satu dan yang lainnya tidak pernah saling mengalahkan. Hanya saja gurumu punya kelemahan, terlalu memberikan kebebasan kepada muridnya untuk melakukan banyak pilihan. Sementara Ki Darma guruku selalu tegas dalam menentukan pilihan. Yang menjadi muridnya harus sepandai gurunya. Tapi ... "
"Tapi apa, Ki Rangga?"
"Ki Darma banyak membagikan ilmunya. Tadinya dengan harapan agar ilmunya bisa berguna bagi keberadaan negri. Namun kenyataannya ... "
"Murid-murid Ki Darma ada yang membelokkan ilmunya untuk kepentingan yang tidak baik," potong Purbajaya.
"Begitulah, anak muda. Murid-murid Ki Darma semuanya berilmu tinggi. Namun semakin tinggi ilmu semakin berbahaya bila tidak dijalankan dengan baik," Ki Rangga Guna mengeluh ketika membicarakan hal ini.
"Saya pun bukan murid yang baik, Ki Rangga," potong Purbajaya untuk menghibur orang tua itu."Saya akui, Ki Jayaratu kurang keras mendidik murid. Beliau terlalu memberikan kebebasan. Saya adalah muridnya. Namun saya kurang menyukai hal-hal keras, jadinya saya malas dalam berlatih ilmu kewiraan," lanjutnya menghela napas.
"Jalan keselamatan di dunia bukan terletak pada ilmu kewiraan, melainkan pada sikap dan perilaku keseharian, anak muda," jawab Ki Rangga Guna yang sebentar-sebentar mengatur pernapasannya.
"Ya, namun tetap saja saya ini murid yang buruk yang tak bisa menjaga nama baik guru ... " keluh Purbajaya.
"Ucapanmu menyindir kami, anak muda. Dan juga amat menguatkan kata-kataku, betapa sebetulnya ilmu kewiraan tidak menjamin bisa menjaga nama baik guru. Kau lihatlah Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati kalau sudah kenal dia, mereka jadi pejabat negri namun tujuannya bukan untuk mengabdi, melainkan hanya untuk mencari keuntungan pribadi. Belakangan aku ketahui mereka akan melakukan perlawanan kepada penguasa."
"Apakah itu sebagai pembelaan terhadap gurunya sendiri yang dikejar-kejar dan dituding pengkhianat?" potong Purbajaya.
"Hati-hati dengan bicaramu, anak muda. Ki Guru Darma adalah pengabdi kepada negri namun bukan pengabdi bagi penguasa. Penguasa memang tidak menyenangi Ki Darma karena guruku tidak menyanjung penguasa. Namun demikian tidak lantas guruku ingin mengkhianati negara. Ki Darma benci pemberontakan dan pengkhianatan," kata Ki Rangga Guna sungguh-sungguh."Dan Ki Guru Darma sungguh amat menyesali apa yang dilakukan Ki Bagus seta serta Ki Banaspati," tutur Ki Rangga Guna lagi.
"Karena Ki Bagus Seta serta Ki Banaspati jadi pejabat negara?"
"Bukan karena itu. Ki Guru Darma tidak membenci pejabat. Namun kalau mau jadi pejabat, maka jadilah pejabat pengabdi dan bukan jadi pejabat peminta. Jabatan adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan dan bukan sesuatu yang musti disyukuri. Tindakan Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati semakin jauh dari harapan Ki Guru Darma sebab mereka menjadikan jabatan sebagai sesuatu untuk digunakan sebagai perangkat dalam mencari peluang keuntungan. Itu Ki Guru Darma tak suka."
Purbajaya menerimanya sambil termangu-mangu. Sedemikian menjelimetnya suasana di Pakuan ini. Ada tokoh baik, ada tokoh jahat namun semuanya saling terikat oleh kekerabatan.
Purbajaya teringat, Ki Banaspati adalah pejabatmuhara (pejabat penarik pajak) bagi wilayah timur Pajajaran namun diketahui bekerja sama dengan Ki Sunda Sembawa dalam upaya melakukan pemberontakan. Sekarang, secara terpisah, Ki Bagus Seta pun sama melakukan upaya untuk menjatuhkan raja. Di pusat pemerintahan, dia punya mitra-kerja namun juga melakukan pekerjaan dan tujuan sendiri-sendiri. Dengan demikian, Pakuan telah dikepung oleh banyak kelompok yang masing-masing punya niat yang sama yaitu menjatuhkan raja dan merebut kekuasaan.
"Ini menyakitkan. Mungkin hanya padamu saja aku katakan, betapa hancur perasaan kami melihat anak-murid Ki Darma ada yang melakukan kejahatan politik. Untuk itulah aku hanya bisa berjuang melawan saudara seperguruanku secara diam-diam saja. Aku tak mau semua orang menjadi tahu kalau anak-murid Ki Darma melakukan pengkhianatan kepada negara. Sebab kalau telanjur diketahui, maka tudingan bahwa Ki Darma tokoh pemberontak akan sepertinya mendekati kebenaran. Gurunya pengkhianat, muridnya pemberontak. Seperti pas rasanya ... " gumam Ki Rangga Guna dengan memelas.
"Tugasmu mulia namun amat berat. Kau musti berhadapan dengan saudara seperguruanmu sendiri, Ki Rangga ... " Purbajaya ikut memelas.
"Benar, amat menyedihkan. Namun baik Ki Guru Darma mau pun aku sendiri, sudah putuskan untuk melawan siapa pun juga yang berniat menghancur-luluhkan Pajajaran," kata Ki Rangga Guna pasti.
"Termasuk akan melawan saya, Ki Rangga?" tanya Purbajaya ragu.
"Kalau kau keluar dari pijakan yang telah ditetapkan Sang Susuhunan Jati dalam memperlakukan Pajajaran, maka kau pun akan behadapan denganku sebagai musuh," jawab pula Ki Rangga Guna tegas."Ingat, pengetahuanku hanya menyebutkan bahwa Carbon tidak akan menghancurkan Pajajaran, melainkan akan lebih memperkuat tatanan negara Pajajaran yang sudah besar ini dengan pijakan tatanan kehidupan agama baru. Itu saja dan aku setuju dengan itu."
"Kalau begitu, tolonglah saya Ki Rangga, jauhkan saya dengan kelompok-kelompok petualang yang akan mengganggu dan mempengaruhi saya agar saya membelokkan tujuan mulia ini ..." Purbajaya mendesak dengan suara sungguh-sungguh. Dia berpikir, perjalanan hidupnya di Pakuan ini hanya bisa berjalan dengan baik bila dijaga oleh orang yang berjuang untuk kebaikan.
"Aku bisa bantu engkau agar bisa memenuhi tugas beratmu tanpa diganggu oleh kelompok-kelompok petualang. Hanya saja ada gangguan paling berat yang susah dibantu dan hanya engkau sendirian yang harus memeranginya," ujar Ki Rangga Guna.
"Musuh apakah itu, Ki Rangga?"
"Ya, itulah musuh yang ada di dalam hatimu sendiri. Sudah aku katakan, semua orang harus berperang dengan ambisinya. Kalau ambisi sudah mengendalikan peranan dalam hidup ini, maka berbagai tujuan murni sudah tak akan berarti lagi," kata Ki Rangga Guna sungguh-sungguh.
"Ambisi ... Sekecil apa pun, Ki Rangga?" tanya Purbajaya berdebar.
"Ya, ambisi sekecil apa pun," jawab Ki Rangga Guna tandas.
Demi mendengar ucapan Ki Rangga Guna ini, Purbajaya mengeluh. Tempo hari, orang tua itu sendiri yang mengatakan kalau yang namanya ambisi memang sulit dilawan. Sekarang, Ki Rangga Guna sendiri yang mengatakan kalau ambisi yang ada dalam hatinya musti dilawan dengan keras kalau masih menginginkan tugasnya dikerjakan secara murni.
Purbajaya hanya bisa duduk termangu memikirkannya.
"Memang sungguh tepat kau disusupkan ke puri Yogascitra. Namun demikian, justru di sanalah engkau akan menerima kepedihan yang sangat sebagai manusia, anak muda. Di tempat itu, kepura-pura akan dilawan oleh kejujuran. Kau datang ke sana sebagai penyusup pasti akan menjadi orang yang penuh pura-pura, padahal penghuni puri adalah orang-orang yang menghargai kejujuran dan kesetiaan. Mereka adalah kelompok yang tidak pernah bercuriga dan menganggap buruk kepada orang lain. Hal inilah yang akan membuatmu pedih karena rasa kemanusiaanmu akan terkoyak-koyak oleh kepura-puraan yang kau jalankan. Hatimu selamanya akan saling berbenturan sendiri," tutur Ki Rangga Guna.
Dan setelah kenyang menerima wejangan serta petuah, akhirnya Purbajaya disuruh meninggalkan tempat itu. Ki Rangga Guna menginginkan agar Purbajaya segera kembali ke rumah Ki Jongjo agar orang tua itu tidak curiga atas kepergian Purbajaya. Ki Rangga Guna sendiri akan berusaha mengobati lukanya di Pulo Parakan Baranangsiang sebelum fajar menjelang.
Purbajaya menghormat takzim sebelum meninggalkan tempat itu. Dan sebelum dia benar-benar pergi, Ki Rangga Guna masih memberinya peringatan ulangan.
"Hati-hatilah akan ambisi hatimu anak muda ... " kata Ki Rangga Guna.
Purbajaya tak kuasa menjawabnya. Sebab berbareng dengan itu suasana puri Yogascitra mendahului membayang di benaknya. Di sana ada Ki Yogascitra yang jujur dan amat mencintai negrinya. Di sana ada Banyak Angga yang baik hati ramah dan santun dan jangan lupa, di sana pun ada Nyimas Banyak Inten yang cantik yang amat membuat hati Purbajaya selalu berdebar. Purbajaya bergidik, tidakkah hal-hal ini yang akan membuat dirinya goncang serta tak bisa menahan gejolak hatinya sehingga tujuannya sebagai penyusup terganggu total"
Sambil mendayung sampan kembali menuju daratan, hati Purbajaya tak habis-habisnya mengeluh. Dia merasa bimbang dalam menghadapi kesemuanya ini. Di puri Yogascitra pasti akan menghadapi lawan yang lebih tangguh dari musuh apa pun. Dan itulah yang namanya cinta. Cinta susah dihalau dan amat membuatnya pedih.
*** PENUTUP Sampai di sini, berakhirlah kisah petualangan Purbajaya. Tentu saja, selama berada di Pakuan, pemuda ini semakin terbenam ke dalam kemelut berkepanjangan yang melibatkan kehidupan politik dan intrik pribadi dan itu semua telah dikisahkan dalam episodeSenja Jatuh di Pajajaran yang telah dimuat harian ini beberapa waktu silam.
Sekadar mengingatkan kembali. Di Pakuan ini Purbajaya memang berhasil menjadi utusan Carbon yang baik namun gagal dalam melawan hasrat hatinya. Di puri Yogascitra dia tidak bisa menepis perasaan cintanya terhadap Nyimas Banyak Inten. Dan karena kemelut cintanya ini, Purbajaya akhirnya tewas mengenaskan ketika nekad berusaha akan membunuh Sang Prabu Ratu Sakti karena raja yang penuh ambisi tapi berjiwa romantis ini telah meminta Nyimas Banyak Inten sebagai selir terkasih.
Peristiwa kematian Purbajaya ini sudah barang tentu amat mengecewakan semua orang, termasuk pula Ki Rangga Guna yang selama itu tidak habis-habisnya memperingatkan pemuda itu agar sanggup melawan musuh di dalam hatinya sendiri.
Ki Sunda Sembawa berhasil memenuhi ambisi pribadinya dalam menyerang Pakuan. Namun demikian, dia gagal mencapai cita-cita merebut negri sebab dalam pertempuran mati-hidup di Bukit Badigul, Ki Sunda Sembawa tewas di tangan para perwira Pakuan yang tangguh (baca episodeSenja Jatuh di Pajajaran ).
Sementara itu, selang beberapa tahun kemudian, giliran Raden Yudakaralah yang membawa pasukan pemberontak untuk menyerang Pakuan. Namun sama seperti pamannya, dia pun mengalami nasib naas, tewas dalam peristiwa penyerbuan itu (baca episodeKunanti di Gerbang Pakuan )
Namun demikian, pemberontakan demi pemberontakan datang silih berganti mendera Pajajaran dan sejauh itu masih bisa ditepis oleh orang-orang yang masih memberikan kesetiaan penuh kepada negara seperti yang dilakukan kelompok Ki Yogascitra misalnya. Hanya saja, peperangan yang kerapkali terjadi telah menyebabkan kekuatan negri yang berusia ratusan tahun itu kondisinya kian melemah jua. Pajajaran semakin terpuruk ketika pasukan dari Banten untuk ke dua kalinya melakukan penyerbuan ke Pakuan pada tahun 1567 Masehi. (baca episodeKunanti di Gerbang Pakuan ).
Ketika kau dikalahkan
maka hatimu sakit penuh dendam
namun ketika kau menang
kegembiraan tidak sempurna
sebab yang kau kalahkan
hatinya pun sakit penuh dendam
maka berbahagialah
orang yang mencapai kemenangan
tanpa mengalahkan
dia tidak menyakiti
namun juga tidak disakiti TAMAT Bandung Juni 1996
Pendekar Kembar 1 Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen Pendekar Super Sakti 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama