Ceritasilat Novel Online

Kesatria Baju Putih 2

Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Bagian 2


"Lho" Kenapa?" Tui Hun Lojin menatapnya heran. "Apa alasanmu tidak mau belajar ilmu silat?"
"Katanya..." sela Gouw Sian Eng. "Siapa yang memiliki ilmu silat pasti saling membunuh, maka
dia tidak mau belajar ilmu silat."
Tui Hun Lojin mengerutkan kening. "Cie Hiong, benarkah engkau mengatakan begitu?"
"Ya, kakek!" Tio Cie Hiong mengangguk dan menambahkan. "Siapa yang memiliki ilmu silat
tinggi, pasti mempunyai musuh sehingga akhirnya pasti saling membunuh. Karena itu, aku tidak
mau belajar ilmu silat."
Tui Hun Lojin manggut-manggut sambil menatapnya. Mendadak hatinya tersentak, ternyata is
melihat sepasang mata Tio Cie Hiong memancarkan sinar yang amat terang, otomatis membuat
orang tua itu terheran-heran. "Cie Hiong, pernah engkau belajar ilmu Iweekang?"
"Tidak pernah," sahut Tio Cie Hiong cepat. Ia terpaksa berdusta karena sesuai dengan pesan
Paman Tan bahwa ia harus merahasiakan hal itu.
"Heran!" gumam Tui Hun Lojin. "Sungguh mengherankan!"
"Kenapa kakek?" tanya Gouw Sian Eng heran.
"Tidak ada apa-apa," sahut Tui Hun Lojin sambil tersenyum. "Sian Eng, hari ini kakek akan
mengajarmu Tui Hun Kiam Hoat."
"Terima kasih, kakek!" ucap Gouw Sian Eng girang. Ia cepat-cepat mengambil dua batang
ranting, salah sebatang ranting itu diberikan kepada kakeknya.
Tui Hun Lojin menerima ranting itu sambil tersenyum, lalu memandang Gouw Sian Eng tajam
seraya berkata.
"Engkau harus memperhatikan dengan seksama, sebab Tui Hun Kiam Hoat sangat lihay, terdiri
dari tujuh jurus, yang setiap jurusnya mempunyai tiga perubahan. Oleh karena itu, di saat kakek
mengajarmu, haruslah diperhatikan dengan baik-baik."
"Ya, Kakek." Gouw Sian Eng mengangguk.
"Kakek, aku melanjutkan pekerjaanku ya!" ujar Tio Cie Hiong.
"Kakak Hiong!" sahut Gouw Sian Eng cepat. "Engkau tidak usah menyapu sekarang, nonton saja
aku belajar ilmu pedang."
"Tapi..."
"Sudahlah... Nanti aku akan membantumu menyapu."
"Baiklah kalau begitu...!" Tio Cie Hiong berdiri di situ, sedangkan Tui Hun Lojin tersenyumsenyum.
"Sian Eng! Perhatikan baik-baik!" Tui Hun Lojin mulai memainkan Tui Hun Kiam Hoat dengan
perlahan. Gouw Sian Eng memperhatikan baik-baik sedangkan Tio Cie Hiong hanya menonton saja. Tui
Hun Lojin terus mengulang memainkan ilmu pedang tersebut. Semula bergerak lamban, namun
kian lama kian bertambah cepat lalu berhenti.
"Bagaimana?" tanya Tui Hun Lojin pada Gouw Sian Eng. "Engkau ingat semua jurus-jurus itu?"
"Kakek!" Gouw Sian Eng menggelengkan kepala. "Bagaimana mungkin aku bisa mengingat
semua jurus itu" Lebih baik kakek ajarkan sejurus demi sejurus saja!"
"Baiklah." Tui Hun Lojin mengangguk, kemudian mengajar cucunya sejurus demi sejurus. Ketika
Tui Hun Lojin memainkan jurus-jurus ilmu pedang, Tio Cie Hiong sudah ingat semua jurus itu dalam
otaknya, itu tidak diketahui Tui Hun Lojin. Apabila orang tua itu tahu, tentunya tidak akan percaya.
Bagaimana mungkin hanya sekali pandang bisa mengingat semua jurus ilmu pedang itu"
Sementara Gouw Sian Eng sudah mulai mengikuti gerakan Tui Hun Lojin sejurus demi sejurus.
Hampir setengah hari barulah gadis itu menghafal semuanya. Ketika mulai berlatih, gerakannya
masih tampak kaku.
"Sian Eng!" Tui Hun Lojin tersenyum. "Engkau harus berlatih dengan tekun, sebab ilmu pedang
Tui Hun Kiam Hoat adalah ilmu andalan kakek dan ayahmu! ilmu pedang ini membuat kakek
terkenal, begitu pula ayahmu."
"Ya, kek." Gouw Sian Eng mengangguk dan terus berlatih.
Tui Hun Lojin menyaksikan latihan.cucunya dengan penuh perhatian. Ia sekali-sekali memberi
petunjuk apabila cucunya melakukan gerakan salah.
Tio Cie Hiong terus menonton, dan secara diam-diam membandingkan Hong Lui Kiam Hoat.
(llmu Pedang Angin Halilintar) dengan ilmu pedang tersebut. Tanpa disadarinya ia bisa tahu, mana
ilmu pedang yang lebih hebat diantara keduanya.
"Sian Eng, engkau berlatih sendiri saja, kakek mau ke dalam!" ujar Tui Hun Lojin, lalu
meninggalkan halaman itu.
"Kakak Hiong, bagaimana gerakanku" Apakah sudah dapat menyamai gerakan kakekku?" tanya
Gouw Sian Eng mendadak pada Tio Cie Hiong.
"Adik Eng!" jawab Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Gerakan rantingmu masih kaku sekali, lagi
pula banyak kesalahan yang kau lakukan ketika badanmu bergerak. Maka lain kali engkau harus
memperhatikan baik-baik gerakan kakekmu, pikiranmu harus dipusatkan untuk memperhatikan,
dan disaat memperhatikan, engkau tidak boleh memikirkan hal lain. Sebab akan memecahkan
perhatianmu, sehingga akan menyulitkanmu mempelajari ilmu pedang itu."
"Ya, kakak Hiong." Gouw Sian Eng mengangguk. "Aku pasti menuruti nasihatmu. Terimakasih!"
Seusai berkata demikian, Gouw Sian Eng mulai berlatih lagi. Bahkan Tio Cie Hiong yang
memberi petunjuk padanya. Gadis itu tidak merasa heran, karena is menganggap Tio Cie Hiong
jauh lebih pintar dari pada dirinya.
Sore ini ketika Tio Cie Hiong sedang menyapu di halaman depan, mendadak terdengarlah suara
tawa yang amat keras.
"Ha ha ha! Gouw Han Tiong, mana ayahmu" Aku pengemis tua ingin menemuinya, cepat suruh
dia keluar!"
"Paman pengemis! Silakan masuk!" Suara sahutan Gouw Han Tiong dari dalam.
"Kalau ayahmu tidak keluar, aku tidak akan masuk."
"Ha ha ha!" Terdengar kemudian suara Tui Hun Lojin balas tertawa. "Pengemis busuk, aku ada
disini menyambutmu, silakan masuk!"
"Terima kasih!"
Tampak sosok bayangan berkelebat ke dalam, sungguh cepat laksana kilat.
Namun Tio Cie Hiong yang sedang menyapu itu dapat melihat jelas orang yang berkelebat itu,
ternyata seorang pengemis tua.
"Ha ha ha!" Tui Hun Lojin tertawa terbahak-bahak. "Pengemis busuk, kok engkau belum
mampus?" "Ha ha ha!" Pengemis tua itu juga tertawa gelak. "Setan tua, engkau belum mengejar rohku,
bagaimana mungkin aku akan mampus?"
"Ha ha! Silakan duduk, pengemis busuk!" ucap Tui Hun Lojin.
"Terima kasih!" Pengemis tua itu duduk.
"Pengemis busuk, angin apa yang membawamu datang kemari?" tanya Tui Hun Lojin sambil
memandangnya. "Tentunya bukan angin lalu" sahut pengemis tua itu. "Aku datang ingin menanyakan satu hal
padamu." "Tentang hal apa?" Tui Hun Lojin heran. Begitu pula Cit Pou Tui Hun Gouw Han Tiong yang
duduk disisi ayahnya.
"Sepuluh tahun yang lampau, rimba persilatan telah digemparkan oleh Sebuah Kotak Pusaka...,
Kabarnya Hui Kiam Bu Tek (Pedang Terbang Tanpa Tanding) Tio It Seng memperoleh Kotak Pusaka
itu, tapi ia kemuadian bersama istrinya mati dikeroyok oleh orang Bu LIm termasuk kaum golongan
hitam dan Tujuh Partai Besar. Aku dengar engkau pun ambil bagian dalam pengeroyokan itu,
apakah benar?"
"Itu tidak benar. Tapi aku memang berada di Pek Yun Nia (Tebing Awan Putih) itu."
"Setan tua!" Pengemis tua menatapnya tajam. "Benarkah engkau tidak ikut mengeroyok Hui
Kiam Bu Tek-Tio It Seng dan Sin Pian Bijin-Lie Hui Hong?"
"Pengemis busuk!" Tui Hun Lojin menarik nafas panjang. "Engkau tidak percaya padaku?"
"Baik!" Pengemis tua itu manggut-manggut. "Aku percaya. Maukah engkau menuturkan tentang
kejadian itu?"
"Baiklah..." Tui Hun Lojin mengangguk sambil menghela napas panjang. "Pada waktu itu, aku
mendapat kabar bahwa Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng memperoleh Kotak Pusaka, sampai akhirnya
kemudian ia dikejar-kejar kaum golongan hitam dan tujuh partai besar. Karena itu, aku segera
berangkat ke Tebing Awan Putih. Aku tidak mengajak putraku, kebetulan dia sedang mengantar
barang. Ketika aku tiba di Tebing Awan Putih, aku menyaksikan pertempuran yang kacau balau.
Beberapa ketua partai dan para murid mereka menyerang kaum golongan hitam, namun kadangkadang
juga menyerang Hui Kiam Bu Tek dan Sin Pian Bijin. Tampak pula seorang gadis kecil
berdiri di pinggir tebing itu sambil menangis. Banyak kaum golongan hitam mati di ujung pedang
Hui Kiam Bu Tek, tapi ia sama sekali tidak membunuh para murid tujuh partai besar. Mendadak
muncul tiga sosok bayangan menyerang Hui Kiam Bu Tek dan Sin Pian Bijin. Itu sungguh di luar
dugaanku, karena tiga sosok bayangan itu adalah Tang Hai Lo Mo (Iblis Tua Laut Timur), Thian Mo
(Iblis Kahyangan) dan Te Mo (Iblis Neraka). Dapat kau tahu keahlian mereka bertiga, sekali mereka
menyerang Hui Kiam Bu Tek dan Sin Pian Bijin, dua orang itu langsung terdesak dan hanya
sebentar saja telah mati di tangan Bu Lim Sam Mo (Tiga Iblis Rimba Persilatan) itu, sedangkan
gadis kecil itu tergelincir ke dalam jurang. Setelah itu, Bu Lim Sam Mo melesat pergi entah
kemana..."
"Jadi benar Bu Lim Sam Mo muncul di Pek Yun Nia?" Pengemis tua mengerutkan kening. "Kalau
begitu, mereka bertiga yang memperoleh Kotak Pusaka itu?"
"Mungkin. Sebab Kotak Pusaka itu tidak berada di badan Hui Kiam Bu Tek maupun Sin Pian
Bijin." ujar Tui Hun Lojin dan menambahkan. "Aku bersama ketua partai Siauw Lim dan ketua partai
Bu Tong yang mengubur mayat mereka."
"Setan tua, hatimu cukup baik," ujar pengemis tua sambil menarik nafas panjang. "Aku tak
menyangka, mereka suami istri mati begitu mengenaskan."
"Pengemis busuk, kenapa engkau ingin tahu kejadian itu?" tanya Tui Hun Lojin mendadak.
"Setan tua, tentunya engkau tahu, Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng adalah teman baik putraku." sahut
pengemis tua memberitahukan. "Pada waktu itu, kami pihak Kay Pang juga ke sana, tapi... sudah
terlambat. Kami berusaha mencari gadis kecil itu, namun tidak ketemu. Oh ya, kalau tidak salah,
mereka pun mempunyai seorang putra. Tahukan engkau ke mana putra mereka itu?"
"Tidak terlihat putra mereka berada di situ" sahut Tui Hun Lojin sambil menarik nafas panjang.
"Pengemis busuk, aku ke sana dengan tujuan ingin menolong mereka, tapi mendadak muncul Bu
Lim Sam Mo..."
"Setan tua! Kenapa engkau ingin menolong mereka?" tanya pengemis tua heran. Sebetulnya
siapa pengemis tua ialah Sam Gan Sin Kay (Pengemis Sakti Mata Tiga), yaitu salah satu Bu Lim Ji
Khie (Dua Orang Aneh Rimba Persilatan), juga seorang tetua partai pengemis. Karena di tengahtengah
keningnya terdapat sebuah benjolan kecil, maka iamemperoleh julukan Sam Gan Sin Kay.
"Belasan tahun yang lampau, Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng pernah menolong putraku." Tui Hun
Lojin memberitahukan.
"Pada waktu itu, putraku di serang Hek Pek Siang Koay (Sepasang Siluman Hitam Putih). Kalau
Hui Kiam Bu Tek tidak muncul menolong putraku, tentunya putraku sudah mati di tangan Hek Pek
Siang Koay."
Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. "Pantas engkau ingin menolong Hui Kiam Bu Tek! Setan
tua, ada satu hal yang sangat membingungkan aku."
"Hal apa?" tanya Tui Hun Lojin.
"Padahal Bu Lim Sam Mo tidak ada hubungan satu sama lain, kenapa mereka bertiga bisa
muncul bersama di Tebing Awan Putih?"
"Aku pun tidak habis pikir tentang itu" sahut Tui Hun Lojin. "Kalau Kotak Pusaka itu jatuh di
tangan mereka, bukankah kepandaian mereka akan bertambah tinggi?"
"Memang." Sam Gan Sin Kay mengangguk. "Tapi sudah belasan tahun tak ada kabar berita
tentang mereka, mungkinkah mereka bertiga saling membunuh karena Kotak Pusaka itu?"
"Mudah-mudahan begitu!" ucap Tui Hun Lojin. "Kalau tidak, mereka bertiga pasti akan
menimbulkan bencana dalam rimba persilatan."
Sam Gan Sin Kay mengangguk. "Ohya, setan tua! Aku juga ingin menyampaikan sesuatu
kepadamu."
"Tentang apa?"
"Belum lama ini, dalam rimba persilatan telah muncul Pek Ih Mo Li (Iblis Wanita Baju Putih). Dia
seorang gadis yang berkepandaian tinggi sekali. Khususnya membunuh kaum golongan hitam, tapi
juga memusuhi tujuh partai besar, bahkan dia pun sering melukai para murid tujuh partai besar.
Aku curiga, jangan-jangan Pek Ih Mo Li itu putri almarhum Hui Kiam Bu Tek."
Tui Hun Lojin mengerutkan kening. "Tapi... anak gadis kecil itu tergelincir ke dalam jurang,
bagaimana mungkin bisa hidup?"
"Setan tua! Mudah-mudahan Pek Ih Mo Li itu putri almarhum Hui Kiam Bu Tek!" ujar Sam Gan
Sin Kay. "Aku telah mengutus beberapa murid Kay Pang yang handal untuk menyelidikinya.
"Alangkah baiknya Pek Ih Mo Li itu putri almarhum Hui Kiam Bu Tek. Jadi Hui Kiam Bu Tek
mempunyai keturunan."
"Tapi engkau harus berhati-hati! Mungkin Pek Ih Mo Li itu akan datang ke mari mencarimu."
"Itu tidak apa-apa. Sebaliknya aku malah merasa senang sekali." Tui Hun Lojin tersenyum.
"Kalau dia datang aku ingin bertanya padanya, apakah dia putri almarhum Hui Kiam Bu Tek atau
bukan ?" Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. Pada waktu bersamaan, muncullah Gouw Sian Eng. Anak
gadis itu memandang pengemis tua itu dengan mata terbelalak.
Sam Gan Sin Kay tercengang. "Siapa anak gadis kecil ini?"
"Paman Pengemis, ia putriku." Gouw Han Tiong memberitahukan.
Sam Gan Sin Kay tertawa. "Putrimu sudah begitu besar, kelihatannya secantik cucuku yang binal
itu." "Maksudmu putri Lim Peng Hang?" tanya Tui Hun Lojin.
"Benar!" Sam Gan Sin Kay tertawa sambil memandang Gouw Sian Eng.
"Sian Eng!" ujar Gouw Han Tiong. "Cepat beri salam pada kakek Pengemis!"
"Hormat Kakek Pengemis!" panggil Gouw Sian Eng sambil tersenyum, kemudian bertanya
mendadak. "Kakek Pengemis berkepandaian tinggi?"
"Kakek Pengemis berkepandaian tinggi sekali" sahut Gouw Han Tiong memberitahukan sambil
tersenyum. "Siapa yang lebih tinggi kepandaiannya, kakek atau kakek Pengemis?" tanya Gouw Sian Eng
mendadak. "Tentunya Kakek Pengemis." sahut Tui Hun Lojin sambil tertawa gelak.
"Kakek Pengemis adalah salah satu Bu Lim Ji Khie, bahkan juga tetua Partai Pengemis yang
sangat terkenal itu."
"Kalau begitu..." Gouw Sian Eng memandang Sam Gan Sin Kay. "Aku ingin belajar pada Kakek
Pengemis."
"Apa?" Sam Gan Sin Kay tertegun, kemudian menggaruk-garukkan kepala.
"Itu..."
"Pengemis busuk!" Tui Hun Lojin tertawa terbahak-bahak. "Tentunya engkau tidak begitu pelit
menurunkan sedikit kepandaianmu kepada cucuku kan?"
Sam Gan Sin Kay tertawa. "Apa boleh buat! Kalau aku tidak menurunkan sedikit kepandaianku
pada cucumu, sudah pasti aku kau katakan pelit."
"Terima kasih, Kakek Pengemis!" ucap Gouw Sian Eng girang.
"Ohya!" Sam Gan Sin Kay teringat sesuatu. "Aku tadi melihat seorang anak lelaki menyapu di
halaman, siapa anak lelaki itu?"
"Dia pembantu di sini." Gouw Han Tiong memberitahukan.
"Namanya Cie Hiong," sambung Gouw Sian Eng.
Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. "Sian Eng, panggil dia ke mari."
"Ya, Kakek Pengemis." Gouw Sian Eng segera berlari ke luar. Tak lama ia sudah kembali
bersama Tio Cie Hiong, lalu menunjuk Sam Gan Sin Kay seraya berkata pada Tio Cie Hiong. "Kakek
Pengemis itu ingin menemuimu."
"Kakek Pengemis!" panggil Tio Cie Hiong. "Ada urusan apa Kakek Pengemis memanggilku?"
Sam Gan Sin Kay tidak menyahut, melainkan terus menatap Tio Cie Hiong dengan penuh
perhatian. "Bukan main! Sungguh bukan main! Nak, siapa kedua orang tuamu?" tanyanya.
"Maaf Kakek Pengemis, aku tidak tahu kedua orang tuaku," jawab Tio Cie Hiong jujur.
"Kok begitu?" Sam Gan Sin Kay tertegun. "Lalu siapa yang membesarkanmu?"
"Seorang tua yang kupanggil paman" ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan, "Tapi paman itu
sudah meninggal."
"Nak!" Sam Gan Sin Kay menatapnya dalam-dalam. "Maukah engkau belajar ilmu silat" Kalau
engkau mau belajar ilmu silat, aku bersedia menjadi gurumu."
"Maaf, Kakek Pengemis! Aku tidak suka belajar ilmu silat." tolak Tio Cie Hiong.
"Ha ha ha!" Tui Hun Lojin tertawa gelak.
"Eh" Setan tua, kenapa engkau tertawa?" Sam Gan Sin Kay heran.
"Kalau ia mau belajar ilmu silat, sudah aku dulu jadi gurunya" jawab Tui Hun Lojin
memberitahukan.
"Sayang sekali!" Sam Gan Sin Kay menarik nafas panjang. "Padahal anak itu berbakat sekali,
bahkan memiliki tulang bagus."
"Benar." Tui Hun Lojin manggut-manggut. "Pengemis busuk! Perhatikanlah sepasang matanya!"
Sam Gan Sin Kay segera memperhatikan sepasang mata Tio Cie Hiong. Pengemis tua itu,
tampak terperanjat setelah memperhatikan sepasang mata Tio Cie Hiong, kemudian bergumam.
"Bukan main! Sepasang matanya bersinar begitu terang! Heran, itu pertanda dia pernah belajar
ilmu Iweekang." Seusai bergumam, Sam Gan Sin Kay pun bertanya. "Cie Hiong, pernahkah engkau
belajar ilmu lweekang?"
"Tidak pernah," sahut Tio Cie Hiong sesuai dengan pesan Paman Tan.
"Setan Tua!" Sam Gan Sin Kay memandang Tui Hun Lojin.
"Bukankah itu sungguh mengherankan?"
"Benar." Tui Hun Lojin manggut-manggut dan melanjutkan. "Seandainya dia mau belajar ilmu
silat, kelak pasti akan menjadi seorang pendekar besar."
"Yaah!" Sam Gan Sin Kay menarik nafas panjang. "Kita tidak berjodoh menjadi gurunya, entah
siapa yang berjodoh menjadi gurunya?"
"Mungkinkah It Seng ?"
"Padri keparat itu" Huh!" dengus Sam Gan Sin Kay.
"Setahuku, dia tidak mau menerima murid."
"Pengemis busuk, sungguh sayang sekali kita tidak bisa menjadi guru anak ini." Tui Hun Lojin
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kakek pengemis, kapan aku akan diajari ilmu silat?" tanya Gouw Sian Eng mendadak.
Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Esok pagi, aku pasti mengajarmu semacam ilmu pedang."
"Terima kasih, Kakek Pengemis!" ucap Gouw Sian Eng sambil tertawa gembira.
"Cie Hiong!" ujar Gouw Han Tiong. "Engkau boleh melanjutkan pekerjaanmu."
"Ya, Paman." Tio Cie Hiong mengangguk, lalu memberi hormat kepada mereka. Setelah itu
barulah ia berjalan keluar.
"Kakak Hiong! Aku akan bantumu menyapu!" seru Gouw Sian Eng sambil menyusulnya.
"Huaha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Kelihatannya cucumu itu suka sekali
pada anak lelaki itu."


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka masih kecil, hanya saja mereka ada kecocokan," sahut Tui Hun Lojin sambil tersenyum.
"Paman Pengemis, betulkah Paman Pengemis akan mengajar putriku semacam ilmu pedang?"
tanya Gouw Han Tiong mendadak.
"Tentu saja... Aku tidak pernah bohong," sahut Sam Gan Sin Kay.
"Pengemis busuk! Engkau akan mengajar ilmu pedang apa pada cucuku?" tanya Tui Hun Lojin
ingin mengetahuinya.
"Saat ini belum kupikirkan, tunggu esok pagi saja." jawab Sam Gan Sin Kay misterius.
"Pengemis busuk, janganlah engkau mengajar cucuku ilmu pedang cakar ayam, sebab akan
mempermalukan dirimu sendiri!" ujar Tui Hun Lojin sungguh-sungguh.
"Jangan khawatir!" sahut Sam Gan Sin Kay. "Pokoknya akan kuajar cucumu ilmu pedang yang
lihay, mungkin masih di atas tingkat Tui Hun Kiam Hoatmu."
"Kalau begitu..." Tui Hun Lojin tertawa lebar. "Aku mengucapkan terima kasih kepadamu."
"Kalau aku tidak merasa suka pada cucumu itu, belum tentu aku akan mengajarkan ilmu
pedang." ujar Sam Gan Sin Kay sungguh-sungguh. "Aku sering menggunakan tongkat bambu, jadi
ilmu pedang itu akan kuturunkan pada cucumu." "
Paman Pengemis, sebelumnya kuucapkan terimakasih!" ujar Gouw Han Tiong sambil menjura
memberi hormat pada Sam Gan Sin Kay.
Sam Gan Sin Kay manggut-manggut, kemudian menarik nafas panjang seraya bergumam.
"Sayang sekali, anak lelaki itu tidak mau belajar ilmu silat! Aku tidak mempunyai murid, namun dia
malah menolak menjadi muridku."
"Sama-sama!" Tui Hun Lojin tersenyum.
"Ohya! Kalau Pek Ih Mo Li itu datang mencarimu, tanyakan kepadanya apakah dia putri
almarhum Hui Kiam Bu Tek atau bukan"!" pesan Sam Gan Sin Kay pada Tui Hun Lojin.
"Itu sudah pasti." Tui Hun Lojin manggut-manggut.
"Aku dengar, tujuh partai besar akan bergabung melawan Pek Ih Mo Li." Sam Gan Sin Kay
memberitahukan. "Kalau dia putri almarhum Hui Kiam Bu Tek, aku harus turun tangan
mendamaikan mereka."
"Benar." Tui Hun Lojin mengangguk. "Jangan sampai terjadi banjir darah yang tiada artinya.
Sebab yang membunuh Hui Kiam Bu Tek dan istrinya adalah Bu Lim Sam Mo..."
"Tapi tujuh partai besar juga ikut mengeroyok mereka berdua kan?"
"Sulit dikatakan, sebab pada waktu itu pertempuran di Tebing Awan Putih tersebut sangat
kacau." "Setan tua, setahuku Hui Kiam Bu Tek mempunyai seorang putra. Tapi kok tiada kabar ceritanya
tentang putra Hui Kiam Bu Tek itu?"
"Mungkinkah ada orang membawanya pergi" ujar Tui Hun Lojin menduga. "Tapi... mungkin juga
telah terbunuh."
"Aaakh...!" Sam Gan Sin Kay menghela nafas. "Padahal Hui Kiam Bu Tek merupakan pendekar
yang selalu membela kebenaran, namun akhirnya malah mati bersama istrinya secara
mengenaskan."
"Pengemis busuk, bagaimana menurutmu mengenai Bu Lim Sam Mo" Apakah mereka telah mati
memperebutkan Kotak Pusaka itu, ataukah mereka bertiga sedang mempelajari ilmu silat yang ada
di dalam Kotak Pusaka itu?" tanya Tui Hun Lojin mendadak.
"Mudah-mudahan saja mereka bertiga sudah mati!" sahut Sam Gan Sin Kay. "Tapi kalau mereka
bertiga sedang mempelajari ilmu silat peninggalan Pak Kek Siang Ong itu, rimba persilatan bakal
celaka." "Benar." Tui Hun Lojin manggut-manggut. "Sebab sepertinya tiada seorang pun lagi yang
mampu melawan mereka."
"Sudah belasan tahun tiada kabar berita tentang mereka bertiga, mungkin mereka bertiga telah
mati," ujar Gouw Han Tiong.
"Itu yang kita harapkan. Tapi kalau tidak, entah apa pula yang akan terjadi?" Sam Gan Sin Kay
menggeleng-gelengkan kepala.
Esok paginya Ketika hari baru mulai terang, Tio Cie Hiong sudah menyapu di halaman tengah. Di
saat ia sedang menyapu, muncullah Gouw Sian Eng bersama Sam Gan Sin Kay.
"Kakak Hiong!" sahut Gouw Sian Eng. "
Adik Eng!" sahut Tio Cie Hiong, lalu memberi hormat pada Sam Gan Sin Kay. "Selamat pagi,
Kakek Pengemis!"
Sam Gan Sin Kay menatapnya sambil tersenyum lembut. "Kok masih pagi sudah menyapu?"
"Kakek pengemis!" ujar Tio Cie Hiong. "Lebih baik menyapu pagi dari pada siang, sebab kalau
menyapu siang, itu berarti aku malas, tidak mau bangun pagi."
Sam Gan Sin Kay tersenyum lagi.
"Kakak Hiong, jangan menyapu dulu!" ujar Gouw Sian Eng.
"Kakek pengemis akan mengajariku ilmu pedang, engkau lihat aku belajar ya.
"Tapi..."
"Engkau boleh melihat Sian Eng belajar, itu tidak apa-apa." ujar Sam Gan Sin Kay.
Tio Cie Hiong mengangguk. Sedangkan Gouw Sian Eng bertanya pada pengemis sakti.
"Kakek Pengemis mau mengajariku ilmu pedang apa?"
"Toat Beng Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pencabut Nyawa)." jawab Sam Gan Sin Kay menjelaskan.
"Engkau harus tahu, bahwa ilmu pedang ini sangat lihay, mungkin lebih lihay
dari pada ilmu pedang Tui Hun Liam Hoat (Ilmu Pedang Pengejar Roh), ilmu pedang andalan
kakekmu itu."
Gouw Sian Eng girang bukan main. "Kakek Pengemis, cepatlah ajari aku!"
"Tapi engkau harus belajar dengan tekun!" pesan Sam Gan Sin Kay. "Jangan mempermalukan
aku!" "Ya." Gouw Sian Eng mengangguk.
"Ilmu pedang tersebut di namai Toat Beng (Pencabut Nyawa), karena setiap jurusnya pasti
mematikan lawan. Kalau tidak terpaksa, janganlah engkau menggunakan ilmu
pedang tersebut untuk menyerang orang!" Sam Gan Sin Kay memberitahukan dengan wajah
serius. "Ya!" Gouw Sian Eng mengangguk lagi.
"Toat Beng Kiam Hoat terdiri dari sembilan jurus." Sam Gan Sin Kay menjelaskan. "Jurus
pertama adalah Pedang Menggetarkan Jagat, jurus kedua Ribuan Pedang Menyapu
Ombak, jurus ketiga Bayangan Pedang Meretakkan Bumi, jurus keempat dan jurus terakhir
paling lihay, yakni Laksaan Pedang Kembali Ke Asal."
Gouw Sian Eng mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah itu Sam Gan Sin Kay mulai
memainkan ilmu pedang tersebut. Tampak pedang di tangannya berkelebatan,
akhirnya badan Sam Gan Sin Kay tertutup oleh bayangan pedang itu, dan mendadak pengemis
sakti itu membentak keras.
"Laksaan Pedang Kembali Ke Asal!"
Tampak sinar pedang berkelebatan, lalu tiba-tiba meluncur ke arah sebuah pohon yang di situ.
"Cesss!" Pedangnya menembus pohon. Gouw Sian Eng terbelalak menyaksikan itu, kemudian
bertepuk tangan seraya berseru. "Kakek pengemis, sungguh hebat ilmu pedang itu!"
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Kalau tidak hebat, bagaimana mungkin akan
kuturunkan kepadamu?"
"Terima kasih, Kakek Pengemis!" ucap Gouw Sian Eng.
"Nah, sekarang engkau harus memperhatikan baik-baik!" pesan Sam Gan Sin Kay. "Akan
kuajarkan sejurus demi sejurus."
Sam Gan Sin Kay mulai mengajar Gouw Sian Eng sejurus demi sejurus, dan Gouw Sian Eng
belajar dengan sungguh-sungguh.
Sementara Tio Cie Hiong juga terus memperhatikan gerakan-gerakan pedang dan badan Sam
Gan Sin Kay. Beberapa hari kemudian, Gouw Sian Eng sudah dapat menguasai ilmu pedang tersebut, hanya
saja gerakannya masih kaku dan sering pula melakukan gerakan yang salah.
Ketika hari mulai gelap, Gouw Sian Eng datang di kamar Tio Cie Hiong, lalu menariknya ke luar.
"Eh?" Tio Cie Hiong tercengang. "Adik Eng, engkau mau membawaku kemana?"
"Kakak Hiong, temani aku berlatih ilmu pedang!" sahut Gouw Sian Eng sambil tersenyum.
Tio Cie Hiong juga tersenyum. "Ku kira ada urusan apa, tidak tahunya engkau menghendaki aku
menemanimu berlatih ilmu pedang!"
"Engkau tidak berkebaratan kan?"
"Tentu saja tidak."
Mereka berdua sudah sampai di halaman tengah. Tampak sebilah pedang di situ, tetapi Tio Cie
Hiong malah mengambil sebatang ranting, kemudian diberikan pada Gouw
Sian Eng. "Adik Eng, lebih baik engkau berlatih dengan ranting saja. Kalau menggunakan pedang, itu akan
membahayakan dirimu."
"Ya, kakak Hiong." Gouw Sian Eng mengangguk sambil menerima ranting itu. "Ohya, malam ini
kebetulan bulan purnama, jadi halaman ini cukup terang benderang."
Di saat mereka sedang bercakap-cakap, mendadak muncul Sam Gan Sin Kay. Tio Cie Hiong dan
Gouw Sian Eng tidak mengetahuinya. Sedangkan Pengemis Sakti Mata Tiga itu
tahu kalau Gouw Sian Eng ingin berlatih ilmu pedang yang diajarkannya. Ia ingin tahu
bagaimana kemajuan anak gadis itu, maka ia bersembunyi di balik pohon untuk mengintip.
"Kakak Hiong, aku mulai ya!" ujar Gouw Sian Eng.
Tio Cie Hiong mengangguk.
Gouw Sian Eng mulai memainkan Toat Beng Kiam Hoat. Tampak ranting ditangan gadis itu
berkelebatan. Tio Cie Hiong memperhatikan dengan seksama, sedangkan Sam Gan Sin Kay yang mengintip itu
manggut-manggut puas, karena Gouw Sian Eng sudah ada kemajuan.
"Hiyaaat!" Gouw Sian Eng berteriak keras, kemudian ranting itu meluncur ke arah sebuah
pohon. Itulah jurus Laksaan Pedang Kembali Ke Asal.
Taaak! ranting itu patah membentur batang pohon.
"Bagaimana Kakak Hiong?" tanya Gouw Sian Eng dengan wajah berseri. "Apakah aku sudah ada
kemajuan?"
"Memang ada" sahut Tio Cie Hiong, yang kemudian menggeleng-gelengkan kepala. "Namun
masih banyak kesalahan yang kau lakukan."
Gouw Sian Eng tersenyum. "Kalau begitu, Kakak Hiong harus memberi petunjuk padaku!"
Sam Gan Sin Kay yang mengintip itu terbelalak ketika mendengar apa yang dikatakan Tio Cie
Hiong. Sebab sedari tadi ia terus mengikuti semua gerakan Gouw Sian Eng,
tiada kesalahan yang dilihatnya, tapi Tio Cie Hiong justru mengatakan ada. Itu sungguh
mengherankan Pengemis Sakti Mata Tiga. Ia pun merasa geli, karena Gouw Sian Eng minta
petunjuk pada anak lelaki itu.
Perlu diketahui, Pan Yok Hian Thian Sin Kang adalah ilmu Iweekang yang amat langka, lagi pula
di dalam kitab tipis itu terdapat uraian-uraian mengenai pokok dasar
pukulan, tendangan, gerakan pedang dan lain sebagainya. Karena itu, secara tidak langsung Tio
Cie Hiong yang otaknya encer dapat melihat letak kesalahan-kesalahan
gerakan Gouw Sian Eng.
"Engkau telah melakukan sedikit kesalahan pada jurus Ribuan Pedang Menyapu Ombak." Tio Cie
Hiong memberitahu kan. "Ketika Kakek Pengemis memainkan jurus itu,
sabetan pedangnya agak turun naik. Tapi tadi gerakanmu tidak begitu, maka lain kali engkau
harus belajar lebih bersungguh-sungguh!"
"Ya." Gouw Sian Eng mengangguk.
Mulut Sam Gan Sin Kay ternganga lebar, sebab tadi ia sama sekali tidak memperhatikan tentang
itu, tapi Tio Cie Hiong dapat melihat kesalahan yang dilakukan Gouw Sian Eng.
"Dan juga..." tambah Tio Cie Hiong. "gerakan badanmu kurang cepat ketika mengeluarkan jurus
Bayangan Pedang Meretakkan Bumi, sehingga menyebabkan gerakan pedangmu
jadi lamban. Engkau harus tahu, jurus itu mengandalkan pada kecepatan untuk merobohkan
lawan. Kalau gerakanmu lamban, sebaliknya malah akan terserang lawan, engkau
harus ingat baik-baik itu, bukan hal itu sudah dijelaskan oleh kakek pengemis!"
"Ya." Gouw Sian Eng mengangguk, lalu terus mendengar dengan penuh perhatian.
"Gerakanmu sungguh menakjubkan ketika mengeluarkan jurus Laksaan Pedang Kembali Ke
Asal, hanya saja..." Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Apakah ada kesalahan yang kulakukan pada jurus terakhir itu?" tanya Gouw Sian Eng.
"Bukankah barusan engkau memuji gerakanku itu?"
"Tiada kesalahan yang engkau lakukan pada jurus itu, namun engkau telah melupakan satu
hal." "Hal apa?" tanya Gouw Sian Eng.
Sam Gan Sin Kay mendengarkan dengan penuh perhatian, sebab ia yakin gerakan Gouw Sian
Eng sudah sempurna sekali pada jurus terakhir itu. Tapi Tio Cie Hiong
mengatakannya telah melupakan satu hal, maka Pengemis Sakti Mata Tiga ingin tahu hal apa
yang telah dilupakan anak gadis itu.
"Sebelum meluncurkan ranting itu, engkau lupa menarik nafas untuk menghimpun tenagamu,
maka ranting itu patah membentur batang pohon." Tio Cie Hiong memberitahukan.
Mendengar itu, Sam Gan Sin Kay terkejut bukan main. Ia sama sekali tidak mengetahui akan hal
itu, tapi anak lelaki itu malah mengetahuinya.
"Kalau begitu..." Gouw Sian Eng tersenyum. "Aku akan mengulang dan melatih jurus Laksaan
Pedang Kembali Ke Asal itu yaaa...."
Gouw Sian Eng mulai bergerak melatih jurus tersebut, kemudian berteriak sambil menghimpun
Iweekangnya. Tampak ranting di tangannya meluncur ke arch sebuah pohon.
Taaak! Ranting itu tidak patah.
"Nah!" ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Kini engkau telah mahir menggunakan jurus itu,
sebab ranting itu tidak patah, dan percayalah batang pohon itu pasti lecet oleh ujung ranting itu."
Sam Gan Sin Kay terbelalak, dan segera menengok ke arah batang pohong itu. Memang benar
batang pohon itu telah lecet, membuat mulut Pengemis Sakti Mata Tiga
ternganga lebar.
"Kakak Hiong, bagaimana menurutmu mengenai Toat Beng Kiam Hoat ini?" tanya Gouw Sian
Eng mendadak. "Mengenai apa?" Tio Cie Hiong balik bertanya.
"Maksudku ilmu pedang itu terdapat kelemahan tidak?" sahut Gouw Sian Eng.
"Adik Eng!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku tak pernah belajar ilmu silat apa pun, bagaimana
mungkin aku mengetahuinya?"
"Aku yakin Kakak Hiong tahu, sebab Kakak Hiong sangat cerdas," ujar Gouw Sian Eng
mendesaknya. "Beritahukanlah!"
"Terus terang saja, ilmu pedang itu memang terdapat kelemahan." Tio Cie Hiong
memberitahukan.
Sam Gan Sin Kay tertegun, sebab ketika ia menggunakan ilmu pedangnya, selama itu tidak ada
seorang pun mampu mengalahkannya. Namun kini Tio Cie Hiong mengatakan
bahwa ilmu pedang itu terdapat kelemahan, itu sungguh membuatnya penasaran sekali.
"Kakak Hiong, di mana letak kelemahan itu?" tanya Gouw Sian Eng.
"Sulit kujelaskan..." Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Kakak Hiong!" Gouw Sian Eng membanting-banting kaki. "Kakak Hiong jahat, tidak mau
menjelaskan padaku!"
"Adik Eng..."
"Jelaskanlah!" desak Gouw Sian Eng.
Tio Cie Hiong mengerutkan kening, kemudian mengambil sebatang ranting dan diberikan kepada
anak gadis itu.
"Adik Eng!" ujar Tio Cie Hiong. "Sebetulnya tidak baik aku mencela ilmu pedang ini, sebab Kalau
Kakek Pengemis tahu, pasti akan tersinggung."
"Kakek Pengemis tidak berada di sini, engkau takut apa" Kalaupun Kakek Pengemis tahu, dia
pasti kagum padamu." ujar Gouw Sian Eng sambil tersenyum.
"Baiklah kalau begitu!" Tio Cie Hiong berdiri di hadapan gadis cilik itu. "Engkau boleh
menyerangku dengan jurus-jurus ilmu pedang itu. Kalau aku menyuruhmu berhenti, engkau harus
berhenti diam di tempat, jangan bergerak sama sekali."
"Ya." Gouw Sian Eng mengangguk.
Sam Gan Sin Kay yang bersembunyi itu memandang dengan mata tak berkedip. Ia ingin tahu
dengan cara bagaimana Tio Cie Hiong mengelak serangan-serangan Gouw Sian Eng.
"Kakak Hiong, bolehkan aku mulai menyerangmu?" tanya Gouw Sian Eng.
"Boleh." Tio Cie Hiong mengangguk.
Gouw Sian Eng langsung menggerakkan ranting yang dipegangnya menyerang Tio Cie Hiong.
Anak gadis itu menyerang dengan sungguh-sungguh, sehingga membuat Sam Gan Sin Kay terkejut
bukan main. Jurus Pedang Menggetarkan Jagat dikeluarkan untuk menyerang Tio Cie Hiong, sedangkan anak
lelaki itu masih berdiri diam di tempat.
Betapa terkejutnya Sam Gan Sin Kay, karena ujung ranting itu telah mengarah ke leher Tio Cie
Hiong. Ia ingin berteriak menyuruh Gouw Sian Eng berhenti, tapi begitu
hendak bertindak ia tercengang melihat Cie Hiong bergerak.
Ternyata Tio Cie Hiong sudah memiringkan kepalanya, kemudian maju selangkah sambil
menjulurkan tangannya yang kanan dan berseru. "Berhenti!"
Gouw Sian Eng langsung berhenti diam di tempat, sehingga mereka berdua seperti patung.
Mendadak wajah Sam Gan Sin Kay berubah pucat pias, karena ia melihat jari tangan Tio Cie
Hiong sudah mengarah ke dada Gouw Sian Eng.
"Adik Eng, perhatikanlah!" ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"Kakak Hiong..." Gouw Sian Eng tertawa gembira. "Engkau memang hebat sekali, begitu
gampang mengelak seranganku. Rantingku berada di sisi lehermu, sedangkan jari tanganmu
berada di dadaku. Itu berarti aku sudah tertotok olehmu."
"Nah! Engkau sudah melihat kelemahan jurus ini?" tanya Tio Cie Hiong.
"Belum." Gouw Sian Eng menggelengkan kepala.
"Begini adik Eng... di saat engkau menyerang dengan jurus ini, tangan kananmu jangan kau
angkat terlampau tinggi, dan ujung jari kakimu harus tetap menyentuh
tanah." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Tanganmu yang menggenggam ranting, juga jangan
terlampau diluruskan ke depan, harus ditekuk sedikit. Jadi apabila engkau bertemu lawan dia pasti
memiringkan kepalanya, sekaligus menyerang dadamu. Persis seperti gerakanku ini."
Gouw Sian Eng memperhatikan posisi Tio Cie Hiong, kemudian manggut-manggut.
"Aku harus bagaimana mengelak tanganmu?" tanyanya.
"Tarik kaki depanmu, dan sabetkan rantingmu ke kiri, leherku pasti tersabet rantingmu itu."
Gouw Sian Eng mengangguk. "Bagaimana kalau kita ulang lagi?"
"Baik." Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Engkau menyerangku dengan jurus itu, aku akan
mengelak dan menyerangmu dengan cara yang sama, namun engkau harus mengelak sesuai yang
kuberitahukan barusan!"
"Ya." Gouw Sian Eng mengangguk dan langsung menyerang Tio Cie Hiong dengan jurus
tersebut. Tio Cie Hiong memiringkan kepalanya, pada waktu bersamaan, Gouw Sian Eng menarik kakinya
yang di depan, sekaligus menyabetkan rantingnya ke kiri.


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Plak! Leher Tio Cie Hiong tersabet ranting itu.
"Kakak Hiong..." seru Gouw Sian Eng kaget. "Sakitkah lehermu?"
"Tidak apa-apa," sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
Sam Gan Sin Kay yang menyaksikan itu, nyaris jatuh pingsan seketika saking terkejutnya.
"Kakak Hiong! Aku sangat kagum padamu, berikan aku petunjuk lagi!" desak Gouw Sian Eng.
Bagian 4 Tio Cie Hiong mengangguk dan mulai memberi petunjuk lagi kepada anak gadis itu. Sedangkan
Sam Gan Sin Kay terus memperhatikan.
"Nah! Sekarang engkau sudah mengerti kan?" Tio Cie Hiong memandang Gouw Sian Eng sambil
tersenyum. "Terimakasih atas semua petunjuk Kakak Hiong!" ucap Gouw Sian Eng dan menatapnya dengan
mata berbinar-binar.
"Ohya! Beberapa hari lalu, aku mendapat sebatang bambu yang amat bagus di halaman
belakang sana, maka kubikin sebatang seruling." ujar Tio Cie Hiong melanjutkan.
"Kebetulan malam ini bulan purnama, aku akan meniup suling untuk mengiringi jurus-jurus ilmu
pedang itu."
"Bagus!" sorak Gouw Sian Eng sambil tertawa gembira.
Tio Cie Hiong mengeluarkan sebatang suling dari dalam bajunya, lalu memandang anak gadis itu
seraya berkata.
"Engkau boleh mulai berlatih, aku akan mengiringi dengan suara suling."
"Ya." Gouw Sian Eng mengangguk dan mulai menggerakkan ranting yang di tangannya.
Pada waktu bersamaan, terdengarlah alunan suara suling yang amat merdu. Tak seberapa lama
kemudian, Gouw Sian Eng kelihatan sudah terpengaruh oleh alunan suara suling. Gerakannya akan
bertambah cepat apabila suara suling itu bernada tinggi, akan berubah lamban apabila suara suling
itu bernada rendah.
Sam Gan Sin Kay terpesona dan terpukau oleh gerakan Gouw Sian Eng, bahkan tangannya pun
bergerak-gerak. Berselang sesaat, Pengemis Sakti Mata Tiga kelihatan tersentak kaget, ternyata ia
pun telah terpengaruh oleh suara suling itu. Kenapa bisa begitu" Tidak lain dikarenakan secara
otomatis Tio Cie Hiong mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang untuk meniup suling bambunya.
Betapa terkejutnya Sam Gan Sin Kay, sehingga keringat dinginnya mengucur. Padahal ia salah
seorang Bu Lim Ji Khie yang amat tersohor dalam rimba persilatan, tapi justru masih terpengaruh
oleh alunan suara suling bambu Tio Cie Hiong.
Tak seberapa lama kemudian, Tio Cie Hiong berhenti meniup sulingnya. Gouw Sian Eng pun
berhenti menggerakkan ranting di tangannya. Anak gadis itu tampak terengah-engah.
"Kakak Hiong, engkau pandai sekali meniup suling. Sejak kapan engkau belajar meniup suling?"
"Sejak aku masih kecil, ya... usia lima tahun-an lah." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Adik Eng,
sudah malam, engkau harus pergi tidur."
"Ya." Gouw Sian Eng mengangguk. "Kakak Hiong, esok pagi kita bertemu lagi..."
Tio Cie Hiong tersenyum, sedangkan anak gadis itu berjalan pergi. Setelah itu Tio Cie Hiong pun
kembali ke kamarnya.
Sam Gan Sin Kay masih tetap berada di balik pohon. Ia tidak habis pikir mengenai Tio Cie Hiong.
Walau sudah larut malam, Pengemis Sakti Mata Tiga masih tetap berdiri termangu-mangu di balik
pohon. Kemudian mendadak ia meloncat ke atas bangunan belakang. Setelah itu, dengan hati-hati
sekali ia membuka sedikit genteng di situ. Ternyata ia ingin mengintip Tio Cie Hiong.
Sam Gan Sin Kay melihat Tio Cie Hiong duduk di atas ranjang dengan mata terpejam. Di saat
bersamaan, mendadak Tio Cie Hiong membuka sepasang matanya, lalu mendongakkan kepala
memandang ke atas, tempat Sam Gan Sin Kay mengintip.
Sam Gan Sin Kay masih tetap berada di balik pohon. Ia tidak habis pikir mengenai Tio Cie Hiong.
Walau sudah larut malam, Pengemis Sakti Mata Tiga masih tetap berdiri termangu-mangu di balik
pohon. Kemudian mendadak ia meloncat ke atas bangunan belakang. Setelah itu, dengan hati-hati
sekali ia membuka sedikit genteng di situ. Ternyata ia ingin mengintip Tio Cie Hiong.
Sam Gan Sin Kay melihat Tio Cie Hiong duduk di atas ranjang dengan mata terpejam. Di saat
bersamaan, mendadak Tio Cie Hiong membuka sepasang matanya, lalu mendongakkan kepala
memandang ke atas, tempat Sam Gan Sin Kay mengintip.
Bukan main terkejutnya Pengemis tua itu. Segera ia menggerakan kepalanya kebelakang.
Apakah Tio Cie Hiong telah mendengar suara langkahnya" Pikir Sam Gan Sin Kay. Padahal tadi ia
telah menggunakan ilmu ginkang tingkat tinggi, bagaimana mungkin Tio Cie Hiong mendengar
suara langkahnya" Sam Gan Sin Kay sungguh tidak habis pikir, akhirnya dengan isi kepala penuh
kebingungan ia meninggalkan tempat itu.
Sam Gan Sin Kay berjalan mondar-mandir di ruang tengah, bahkan mulutnya terus bergumam.
"Heran! Sungguh mengherankan! Kenapa bisa begitu" Itu sungguh mengherankan sekali! Dia betulbetul
Sin Tong (Anak Sakti)..."
"Eh?" Mendadak muncul Tui Hun Lojin sambil memandangnya dengan mata terbelalak.
"Pengemis busuk! Masih pagi kok engkau sudah bangun" Engkau sedang gerak jalan ya" Dan
kenapa terus menerus bergumam seperti orang gila?"
"Setan tua!" sahut Sam Gan Sin Kay. "Mungkin aku sudah hampir gila gara-gara terus menerus
berpikir."
"Apa yang kau pikirkan?" Tui Hun Lojin tercengang.
"Sungguh luar biasa!" sahut Sam Gan Sin Kay bergumam lagi. "Dia betul-betul luar biasa,
sungguh merupakan anak sakti!"
"Siapa yang kau maksudkan Pengemis busuk?" tanya Tui Hun Lojin tertegun.
"Anak itu."
"Siapa?"
"Tio Cie Hiong."
"Lho" Kenapa dia?"
"Mari kita duduk, akan kuberitahukan!" ujar Sam Gan Sin Kay sambil duduk. Tui Hun Lojin pun
duduk dengan wajah penuh keheranan.
"Pengemis busuk! Sebetulnya apa gerangan yang telah terjadi?" tanya Tui Hun Lojin.
"Setan tua! Engkau sama sekali tidak tahu" Padahal di tempatmu ini telah muncul seorang anak
sakti." sahut Sam Gan Sin Kay.
"Pengemis busuk, jangan membingungkan aku, jelaskanlah!" ujar Tui Hun Lojin dengan kening
berkerut-kerut.
"Tio Cie Hiong itu anak sakti." sahut Sam Gan Sin Kay, lalu menutur kejadian semalam.
"Apa?" Tui Hun Lojin terbelalak. "Engkau tidak bohong?"
"Setan tua, pernah aku berbohong?"
"Anak itu..." Mulut Tui Hun Lojin ternganga lebar. "Be... benarkah itu?"
"Aku telah menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, bahkan suara suling itu dapat
mempengaruhi diriku pula."
"Kalau begitu, kita harus bertanya pada Sian Eng." ujar Tui Hun Lojin. Kebetulan Gouw Han
Tiong muncul menghampiri mereka, maka langsung saja Tui Hun Lojin berseru. "Han Tiong, cepat
panggil putrimu ke mari!"
"Ada apa, ayah?" Gouw Han Tiong heran. "Cepat panggil dia ke mari!" sahut Tui Hun Lojin.
"Ya." Gouw Han Tiong cepat-cepat ke dalam, dan tak lama ia sudah kembali bersama Gouw Sian
Eng. "Kakek panggil aku ya?" tanya anak gadis itu sambil mendekati Tui Hun Lojin.
"Cucuku..." Tui Hun Lojin menatapnya dalam-dalam. "Kakek dengar, engkau sering datang ke
kamar Cie Hiong. Benarkah itu?"
"Benar, Kek." Gouw Sian Eng mengangguk.
"Apa yang kalian perbuat di dalam kamar Cie Hiong?" tanya Tui Hun Lojin.
"Kami tidak berbuat apa-apa... Dia hanya mengajariku ilmu sastra." Gouw Sian Eng
memberitahukan.
"Apa?" Tui Hun Lojin terbelalak. "Dia... dia mengerti ilmu sastra?"
"Dia pandai sekali ilmu sastra." jawab Gouw Sian Eng sambil tersenyum. "Dia bilang sejak kecil
sudah belajar ilmu sastra."
"Apakah ia bisa ilmu silat?" tanya Sam Gan Sin Kay.
"Dia tidak berniat belajar ilmu silat, bagaimana mungkin dia bisa ilmu silat" Bukankah Kakek
ingin mengajarnya ilmu silat, tapi dia menolak?"
"Sian Eng!" Tui Hun Lojin menatapnya tajam. "Engkau tidak boleh membohongi kakek, harus
memberitahukan dengan jujur!"
"Aku tidak bohong, Kek!"
"Pernah dia memberi petunjuk kepadamu mengenai ilmu pedang Pengejar Roh yang kakek
ajarkan?" tanya Tui Hun Lojin mendadak.
"Pernah." Gouw Sian Eng mengangguk.
Thian Tek mengerutkan kening. "Apa katanya mengenai ilmu pedang itu?"
"Dia bilang terdapat kelemahan, maka aku mohon petunjuk padanya," jawab Gouw Sian Eng
jujur. "Han Tiong, berikan dia pedang!" ujar Tui Hun Lojin.
"Ya." Gouw Han Tiong segera memberikan sebilah pedang kepada putrinya, kemudian
memandang Tui Hun Lojin dengan penuh keheranan.
"Sian Eng! Perlihatkan Tui Hun Kiam Hoat pada kami!" ujar Tui Hun Lojin.
"Ya." Gouw Sian Eng mulai menggerakkan pedang itu, dan seketika tampak pedang itu
berkelebatan. Berselang beberapa saat kemudian, barulah Gouw Sian Eng berhenti dengan wajah berseri-seri.
Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong saling memandang setelah menyaksikannya, sebab ilmu pedang
itu telah mengalami perubahan yang di luar dugaan mereka, jauh lebih lihay dari ilmu pedang yang
aslinya. "Bagaimana?" tanya Sam Gan Sin Kay.
"Terdapat banyak perubahan," sahut Tui Hun Lojin.
"Berubah lihay atau berantakan?" tanya Sam Gan Sin Kay lagi.
"Bertambah lihay, itu sungguh diluar dugaan!" Tui Hun Lojin menarik nafas. Kemudian bertanya
pada Gouw Sian Eng. "Benarkah dia yang memberi petunjuk kepadamu?"
"Benar Kek." jawab Gouw Sian Eng dengan wajah berseri. "Karena Tui Hun Kiam Hoat terdapat
kelemahan, maka kakak Hiong menciptakan beberapa gerakan untuk menutup kelemahan itu."
"Dia... dia yang menciptakan gerakan-gerakan itu?" wajah Tui Hun Lojin tampak memucat
karena terkejut, begitu pula Gouw Han Tiong, putranya.
"Huaha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Semalam aku pun seperti kalian. Betul kan"
Dia anak sakti."
"Itu... bukan main!" gumam Tui Hun Lojin. "Aku... aku sendiri kiranya tidak mampu menciptakan
gerakan-gerakan seperti itu."
"Sama." sahut Sam Gan Sin Kay. "Dia pun mengisi beberapa gerakan dalam jurus-jurus Toat
Beng Kiam Hoat yang kuajarkan pada Sian Eng."
"Kakak Hiong memang pintar sekali," ujar Gouw Sian Eng dan menambahkan. "Dia pun pandai
sekali meniup suling."
"Aku sudah mendengar suara sulingnya." sahut Sam Gan Sin Kay.
"Setan tua!" ujar Sam Gan Sin Kay pada Tui Hun Lojin. "Kelak akan kujodohkan cucuku
dengannya."
"Kakek pengemis! Cucu kakek Pengemis anak perempuan ya?" tanya Gouw Sian Eng mendadak.
"Ya." sahut Sam Gan Sin Kay sambil tertawa gelak. "Cucuku itu harus menikah dengannya."
"Maksud Kakek Pengemis Kakak Hiong?" tanya Gouw Sian Eng lagi.
"Ya." Sam Gan Sin Kay mengangguk. Mendadak wajah Gouw Sian Eng berubah murung,
kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam. Itu tidak terlepas dari mata Tui Hun Lojin dan
Gouw Han Tiong, sehingga mereka berdua saling memandang. Namun Sam Gan Sin Kay tidak
mengetahuinya, sebaliknya malah terus tertawa gelak.
"Sian Eng panggilah Cie Hiong ke mari!" ujar Tui Hun Lojin.
"Ya." Gouw Sian Eng mengangguk lalu segera berlari ke luar.
"Kita harus bertanya pada Cie Hiong, agar kita tidak bingung memikirkannya," ujar Tui Hun
Lojin. "Benar!" Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. "Kita memang harus bertanya kepadanya." Gouw
Sian Eng sudah kembali bersama Tio Cie Hiong, dengan wajah berseri-seri, tak murung lagi.
"Kakek memanggilku ya?" tanya Tio Cie Hiong kepada Tui Hun Lojin.
"Cie Hiong!" Tui Hun Lojin menatapnya tajam. "Aku sudah tua, maka engkau tidak boleh
membohongiku."
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Cie Hiong, betulkah engkau tidak pernah belajar ilmu silat?" tanya Tui Hun Lojin.
"Betul, Kakek. Aku tidak bohong," jawab Tio Cie Hiong.
"Kalau engkau tidak pernah belajar ilmu silat, kenapa engkau bisa memberi petunjuk tentang
ilmu pedang kepada Sian Eng?" tanya Tui Hun Lojin lagi.
"Maaf, kakek!" jawab Tio Cie Hiong jujur. "Aku sendiri pun tidak tahu apa sebabnya, hanya saja
setelah aku menyaksikan latihan Adik Eng, semua gerakannya seakan sudah berada dalam otakku."
Tui Hun Lojin mengerutkan kening.
"Cie Hiong!" Sam Gan Sin Kay menatapnya tajam. "Kami berdua sudah tua dan sudah berbau
tanah, jadi engkau tidak boleh membohongi kami! Aku harap engkau berterus terang!"
"Dalam hal apa aku berbohong?" tanya Tio Cie Hiong kebingungan.
"Cie Hiong, aku telah menyaksikannya, engkau tidur dalam keadaan bersemadi, tentunya
engkau melatih semacam ilmu bukan?" sahut Sam Gan Sin Kay memberitahukan.
"Ooooh!" Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Jadi semalam yang berada di atap rumah adalah
Kakek Pengemis!" ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Aku malah mengira pencuri."
"Haaah...?" Sam Gan Sin Kay terkejut bukan main. "Engkau... engkau mendengar suara
langkahku?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Setan tua!" ujar Sam Gan Sin Kay pada Tui Hun Lojin. "Itu bukan main kan" Aku menggunakan
ginkang khasku, dalam rimba persilatan yang bisa mendengar suara langkahku dapat dihitung
dengan jari, tapi anak itu..."
"Betul-betul luar biasa!" Tui Hun Lojin juga terkejut. "Cie Hiong, kami berdua penasaran sekali.
Karena itu alangkah baiknya kalau engkau berterus terang."
"Kakek, aku harus berterus terang mengenai apa?" tanya Tio Cie Hiong sambil memandang Tui
Hun Lojin. "Pernahkah engkau belajar semacam ilmu silat atau ilmu yang lainnya?"tanya Tui Hun Lojin.
Tio Cie Hiong diam, memang tidak baik membohongi kedua orang tua itu, lagi pula mereka
berdua sangat baik terhadapnya. Pikir Tio Cie Hiong, akhirnya ia berterus terang juga.
"Ada seorang tua memberikan aku sebuah kitab tipis. Katanya kalau aku mempelajari kitab tipis
itu, tubuhku akan bertambah sehat. Karena itu, aku mempelajari cara bernapas dan menghimpun
tenaga dan yang lain-lainya sesuai yang tertera di dalam kitab itu." Tio Cie Hiong memberitahukan,
namun tetap merahasiakan nama kitab tipis itu, dan juga tidak menyebut Paman Tan yang di Puri
Angin Halilintar, sesuai dengan pesan Paman Tan.
"Engkau bersemadi menuruti petunjuk dalam kitab tipis itu?" tanya Sam Gan Sin Kay.
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Di mana kitab tipis itu?" tanya Tui Hun Lojin mendadak.
"Sudah dibakar oleh orang tua itu setelah aku menghafal isinya!" Tio Cie Hiong
memberitahukan.
Tui Hun Lojin manggut-manggut, kemudian bertanya lagi. "Sejak kapan engkau belajar meniup
suling?" "Sejak aku berumur lima tahun," jawab Tio Cie Hiong jujur.
"Pantas engkau begitu pandai meniup suling!" ujar Sam Gan Sin Kay sambil tertawa gelak dan
menambahkan, "Pikiranku terhanyut oleh suara sulingmu."
"Kakek Pengemis pernah mendengar aku meniup suling?" tanya Tio Cie Hiong.
"Ya." Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. "Semalam aku mengintip dari balik pohon, jadi aku
pun tahu engkau memberi petunjuk pada Sian Eng mengenai ilmu pedang itu."
"Kakek Pengemis, aku minta maaf!" ucap Tio Cie Hiong. "Karena aku telah lancang memberi
petunjuk kepada adik Eng, aku harap Kakek Pengemis jangan tersinggung."
"Ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak lagi. "Bagaimana mungkin aku akan tersinggung"
Sebaliknya aku malah merasa girang dan kagum padamu."
"Terimakasih, Kakek Pengemis!" ucap Tio Cie Hiong.
"Sejak Kakak Hiong bekerja di sini, aku sudah tahu dia sangat pintar," sela Gouw Sian Eng
dengan wajah cerah ceria. "Maka aku berani minta petunjuk kepadanya."
"Dasar anak kecil!" tegur Tui Hun Lojin sambil tersenyum.
Sementara Sam Gan Sin Kay terus menatap Tio Cie Hiong, mendadak timbul suatu niat dalam
hatinya, yakni ingin menurunkan beberapa jurus ilmu silat kepadanya, karena itu ia tertawa seraya
berkata. "Cie Hiong, aku akan memperlihatkan beberapa jurus ilmu tongkatku. Cobalah engkau lihat,
apakah ilmu tongkatku itu terdapat kelemahan?"
"Kakek Pengemis, aku... aku tidak berani." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.
"Kenapa tidak berani?" tanya Sam Gan Sin Kay tidak senang.
"Kakek Pengemis adalah Pengemis Sakti, bagaimana mungkin aku..."
"Itu tidak menjadi masalah," potong Sam Gan Sin Kay sambil bangkit berdiri, kemudian berjalan
ke tengah-tengah ruang itu. "Nah, engkau harus perhatikan dengan baik-baik, aku akan mulai."
Sam Gan Sin Kay mulai menggerakkan tongkat bambunya, dan seketika juga terdengar suara
menderu-deru. Gouw Sian Eng segera mundur, sedangkan Tio Cie Hiong masih tetap berdiri di
tempat memperhatikan gerakan-gerakan tongkat bambu itu.
Ketika Sam Gan Sin Kay menggerakkan tongkat bambunya, kening Tui Hun Lojin dan Gouw Han
Tiong tampak berkerut, sebab Sam Gan Sin Kay mengeluarkan Sam Ciat Kun Hoat (Tiga Jurus
Tongkat Maut). Itu adalah ilmu tongkat rahasia Sam Gan Sin Kay, termasuk Tah Kauw Kun Hoat
(Ilmu Tongkat Pemukul Anjing). Kedua ilmu tongkat tersebut hanya boleh diturunkan pada ketua
Kay Pang. Kalau tidak dalam keadaan bahaya, kedua ilmu tersebut tidak akan dikeluarkan. Oleh
karena itu, dapat dibayangkan betapa lihay dan hebatnya kedua ilmu tongkat itu.
Kini Sam Gan Sin Kay mengeluarkan salah satu dari ilmu tongkat rahasianya itu, tentunya amat
mengherankan Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong. Setahu mereka, dalam ilmu tongkat tersebut
sama sekali tidak terdapat kelemahan.
Sam Ciat Kun Hoat (Tiga Jurus Tongkat Maut) terdiri dari tiga jurus, yakni Membalikkan Langit
Memetik Bulan, Pelangi Di Ujung Langit dan jurus ketiga adalah Memecahkan Gunung
Memindahkan Laut.
Berselang sesaat, barulah Sam Gan Sin Kay berhenti. Ia tertawa sambil memandang Tio Cie
Hiong dan bertanya.
"Bagaimana" Apakah ilmu tongkat itu terdapat kelemahan?"
"Ilmu tongkat Kakek Pengemis sungguh lihay dan hebat," sahut Tio Cie Hiong serius. "Sama
sekali tiada kelemahannya. Hanya saia..."
"Kenapa?" tanya Sam Gan Sin Kay cepat.
"Ilmu tongkat Kakek Pengemis terdiri dari tiga jurus, yang setiap jurusnya memiliki keistimewaan
sendiri, terutama jurus ketiga itu, sungguh lihay bukan main," jawab Tio Cie Hiong dan
menambahkan, "Tapi... Kakek Pengemis bergerak agak ayal-ayalan, seakan meremehkan pihak


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang diserang, itu akan mencelakai diri Kakek Pengemis"
"Haah?" Sam Gan Sin Kay terbelalak, sebab apa yang dikatakan Tio Cie Hiong memang benar
adanya, sehingga sangat mengejutkannya, kemudian tertawa gelak. "Ha ha! Engkau memang anak
Sakti!" "Maafkanlah kelancanganku yang telah mengkritik Kakek Pengemis!" ucap Tio Cie Hiong.
"Engkau benar, aku telah berlaku ayal-ayalan dalam jurus-jurus itu." Sam Gan Sin Kay tertawa
lagi. "Ohya, setelah engkau menyaksikan ilmu Sam Ciat Kun Hoatku, apakah engkau dapat
memecahkannya?"
Sementara Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong terus saling memandang dengan wajah penuh
keheranan, karena ketika mereka berdua menyaksikan ilmu tongkat itu, sama sekali tidak melihat
gerakan yang ayal-ayalan. Namun, Tio Cie Hiong yang baru berusia empat belas dan tak pernah
belajar ilmu silat, malah dapat melihatnya, tentunya sangat mengejutkan mereka berdua.
"Kakek Pengemis!" sahut Tio Cie Hiong. "Bagaimana mungkin aku dapat memecahkan ilmu
tongkat itu?"
"Bukankah engkau dapat memecahkan ilmu pedang Pencabut Nyawa" Nah, tentunya engkau
pun dapat memecahkan ilmu tongkatku ini." ujar Sam Gan Sin Kay mendesak.
"Kakek Pengemis..." Tio Cie Hiong tampak ragu.
"Engkau jangan ragu, aku cuma ingin menguji kecerdasanmu" ujar Sam Gan Sin Kay mendesak.
"Tapi..." Tio Cie Hiong tetap ragu.
"Kakak Hiong!" sela Gouw Sian Eng. "Kakek Pengemis selalu berbangga diri karena ilmu
tongkatnya tak terkalahkan. Cobalah kau pecahkan ilmu tongkat itu, agar Kakek Pengemis tidak
berani berbangga diri lagi!"
"Sian Eng!" bentak Gouw Han Tiong. "Jangan kurang ajar!"
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Selama ini aku memang merasa bangga, karena
dalam rimba persilatan, tiada seorang pun yang dapat memecahkan ilmu tongkat Sam Ciat Kun
Hoat dan Tah Kauw Kun Hoat."
"Kakek Pengemis, tidak baik berbangga diri," ujar Tio Cie Hiong. "Itu akan menyebabkan diri kita
menjadi sombong, dan kesombongan itu akan meruntuhkan diri kita sendiri."
"Apa?" Sam Gan Sin Kay terbelalak. "Kalau begitu, engkau harus mencoba memecahkan ilmu
tongkatku, kalau tidak, aku tetap akan berbangga diri."
Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong saling memandang. Mereka berdua nyaris tertawa geli ketika
mendengar teguran yang dicetuskan Tio Cie Hiong.
"Ayoh Kakak Hiong, jangan mempermalukan aku" ujar Gouw Sian Eng mendadak. "Aku yakin
engkau pasti bisa memecahkan ilmu tongkat itu."
"Adik Eng, itu tidak baik," Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.
"Ayohlah!" desak Gouw Sian Eng. "Kalau engkau tidak mau mencoba memecahkan ilmu tongkat
itu, aku... aku benar-benar akan merasa malu."
"Adik Eng?" Tio Cie Hiong heran. "Kenapa engkau merasa malu?"
"Selama ini aku sangat kagum kepadamu, bahkan amat mempercayaimu pula. Maka kalau
engkau tidak mau mencoba memecahkan ilmu tongkat itu, aku... aku merasa kecewa sekali."
"Adik Eng..." Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
Gouw Han Tiong ingin menegur putrinya, namun Tui Hun Lojin memberi isyarat padanya, sebab
orang tua ini ingin tahu bagaimana cara Tio Cie Hiong memecahkan ilmu tongkat itu. Iapun
mengakui dalam hati, sama sekali tidak mampu memecahkan ilmu tongkat tersebut.
"Benar! Benar!" ujar Sam Gan Sin Kay sambil tertawa terbahak. "Kalau engkau tidak mau
mencoba memecahkan ilmu tongkatku, itu berarti telah mempermalukan Sian Eng."
"Baiklah... jika kakek pengemis memaksa." Tio Cie Hiong mengangguk. Tio Cie Hiong kemudian
memejamkan matanya. Sedangkan Sam Gan Sin Kay, Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong saling
memandang. Mereka bertiga tentu saja yakin, Tio Cie Hiong tidak dapat memecahkan ilmu tongkat
tersebut. Berselang sesaat, mendadak sepasang tangan Tio Cie Hiong bergerak-gerak. Sungguh
aneh gerakan sepasang tangannya itu, sehingga membuat Sam Gan Sin Kay, Tui Hun Lojin dan
Gouw Han Tiong bingung.
Ternyata dalam gerakan tangan itu, tercampur jurus-jurus ilmu pedang yang pernah dipelajari
Siau Eng dan juga jurus-jurus Sam Ciat Kun Hoat, tentunya sangat mengejutkan Sam Gan Sin Kay.
Tak seberapa lama kemudian, Tio Cie Hiong membuka matanya sambil bangkit berdiri, dan
segeralah Sam Gan Sin Kay bertanya.
"Bagaimana" Dapatkah engkau memecahkan ilmu tongkatku?"
"Dapat," sahut Tio Cie Hiong.
Sam Gan Sin Kay tertegun, lalu tertawa terbahak-bahak. "Kalau engkau dapat memecahkan ilmu
tongkatku, apa saja permintaanmu pasti kukabulkan."
"Aku tidak akan mengajukan permintaan apapun." Tio Cie Hiong tersenyum. "Sekarang aku
harap Kakek Pengemis memperlihatkan satu jurus ilmu tongkat itu, lalu aku pun akan
memperlihatkan gerakanku untuk memecahkan jurus itu."
"Baik." Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. Setelah itu ia pun langsung mengeluarkan jurus
Memecahkan Gunung Memindahkan Laut, yaitu jurus ketiga. Kenapa Sam Gan Sin Kay
mengeluarkan jurus ketiga" Tidak lain ingin membuat Tio Cie Hiong kacau pikirannya karena itu
adalah jurus yang paling kuat dan tiada kelemahan menurutnya.
"Nah, itulah salah satu jurus ilmu tongkatku, bagaimana cara engkau memecahkannya?"
Tio Cie Hiong segera menggerakkan sepasang kakinya berputar, kemudian sepasang tangannya
pun tampak bergerak ke samping kiri dan kanan, lalu berhenti.
"Dengan gerakan ini aku memecahkan jurus ilmu tongkat itu," ujar Tio Cie Hiong.
Sam Gan Sin Kay tidak menyahut, tapi wajahnya telah memucat bagaikan kertas putih. Karena
gerakan Tio Cie Hiong tadi memang tepat untuk memecahkan jurus ilmu tongkatnya itu. Betapa
terkejutnya Sam Gan Sin Kay menyaksikan itu. Sedangkan Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong cuma
saling memandang. Mereka berdua tidak melihat jelas jurus yang dikeluarkan Sam Gan Sin Kay,
maka tidak tahu gerakan Tio Cie Hiong dapat memecahkan jurus tersebut atau tidak".
"Pengemis busuk!" ujar Tui Hun Lojin. "Kenapa engkau seperti kehilangan sukma?"
"Setan tua!" sahut Sam Gan Sin Kay. "Itu... itu sungguh di luar dugaan sekali!"
"Gerakan yang amat sederhana itu dapat memecahkan jurus tongkatmu itu?" tanya Tui Hun
Lojin heran. "Benar." Sam Gan Sin Kay mengangguk. "Gerakan itu memang tampak sederhana sekali, namun
justru dapat memecahkan jurus tongkatku itu.
Tui Hun Lojin terbelalak.
"Cie Hiong!" Sam Gan Sin Kay memandang tajam dan kagum. "Aku akan memainkan sisa dua
jurus ilmu tongkat itu, cobalah kau pecahkan lagi!"
"Ya, Kakek Pengemis." Tio Cie Hiong mengangguk.
Sam Gan Sin Kay menarik nafas dalam-dalam, kemudian menggerakkan tongkat bambunya
secepat kilat, sehingga menyilaukan mata semua orang.
"Nah!" ujar Sam Gan Sin Kay setelah selesai memainkan jurusnya. "Cobalah kau pecahkan!"
Tio Cie Hiong mengangguk, lalu menggerakkan kaki dan tangannya. Menyaksikan gerakan itu,
wajah Sam Gan Sin Kay memucat lagi. Ternyata gerakan-gerakan Tio Cie Hiong dapat memecahkan
kedua jurus ilmu tongkat tersebut.
"Kakek Pengemis!" ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Gerakan-gerakanku itu dapat
memecahkan kedua jurus ilmu tongkat Kakek Pengemis bukan"."
"Cie Hiong..." Mulut Sam Gan Sin Kay ternganga lebar. "Kenapa engkau begitu luar biasa?"
"Kakek Pengemis..." Tio Cie Hiong menundukkan kepala, karena merasa tidak enak telah
memecahkan Sam Ciat Kun Hoat (Tiga Jurus i1mu Tongkat Maut) itu. Ia khawatir Sam Gan Sin Kay
akan tersinggung.
"Cie Hiong, aku harap engkau menjawab sejujurnya!" Sam Gan Sin Kay menatapnya dalamdalam.
"Seandainya aku langsung menyerangmu, bisakah engkau langsung memecahkan jurusjurus
ilmu tongkatku itu?"
"Tentu saja tidak bisa," jawab Tio Cie Hiong jujur.
"Kenapa?" tanya Sam Gan Sin Kay.
"Karena aku belum melihat jurus-jurus ilmu tongkat itu. Kecuali aku sudah lebih dulu untuk
menyaksikannya. Setelah itu, barulah aku bisa memecahkan ilmu tongkat itu," jawab Tio Cie Hiong
sungguh-sungguh. "Disamping itu juga semua gerakan itu hanya ada dalam pikiranku saja, jadi
kalau kakek pengemis langsung menyerang tentu saja aku tidak bisa menghindar."
"Cie Hiong, kenapa otakmu begitu luar biasa?" Sam Gan Sin Kay menatapnya dengan penuh
keheranan. "Kakek Pengemis, aku berterus terang saja. Di dalam kitab tipis yang telah kupelajari itu, juga
menguraikan banyak jenis-jenis dan bentuk-bentuk pukulan, tendangan, ilmu pedang dan lain
sebagainya. Maka setelah aku menyaksikan ilmu tongkat kakek pengemis, diotakku terbayang
gerakannya dan gerakan selanjutnya yang harus aku lakukan, maka aku bisa memecahkannya."
ujar Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Cie Hiong!" Sam Gan Sin Kay menatapnya seraya bertanya sungguh-sungguh. "Kalau aku
bertemu dengan orang yang menggunakan gerakan-gerakan sepertimu tadi, yang memecahkan
jurus-jurus tongkatku, lalu aku harus bagaimana?"
"Kakek Pengemis..." Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Aku..."
"Cie Hiong!" desak Sam Gan Sin Kay. "Anggaplah aku mohon petunjuk padamu!"
"Kakek Pengemis aku anak kecil, bagaimana mungkin berani memberi petunjuk kepada Kakek
Pengemis?" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala lagi.
"Anggaplah aku lebih kecil darimu, beres kan?" ujar Sam Gan Sin Kay terus mendesaknya untuk
memberikan petunjuk.
"Kalau begitu..." sela Gouw Sian Eng sambil tertawa geli. "Kakek
pengemis harus memanggil Kakak Hiong, Kakak besar!"
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa geli. "Itu tidak apa-apa."
"Sian Eng!" Gouw Han Tiong melototi putrinya. "Jangan kurang ajar!"
Gouw Sian Eng langsung diam dengan wajah merengut, sedangkan Tio Cie Hiong masih tetap
berdiri ragu di tempat.
"Ayohlah... Kakak besar!" desak Sam Gan Sin Kay. "Apakah aku perlu berlutut di hadapanmu?"
"Kakek Pengemis... jangan main-main, aku tentu saja akan membantu..." Tio Cie Hiong terkejut,
kemudian berkata, "Jurus pertama tongkat bambu itu jangan diangkat terlampau tinggi, dan kaki
kanan yang di depan harus ditekut sedikit. Apabila ada serangan balasan yang mendadak, maka
jurus itu bisa langsung berubah menjadi jurus ketiga, dan lawan pun tidak bisa berkutik."
"Oh?" Sam Gan Sin Kay segera bergerak sesuai dengan petunjuk Tio Cie Hiong, dan seketika itu
juga ia tertawa terbahak-bahak. "Secara langsung engkau telah memperbaiki jurus pertama ini.
Bagaimana dengan jurus kedua dan ketiga?"
Kembali Tio Cie Hiong menjelaskan, Sam Gan Sin Kay bergerak menuruti petunjuk Tio Cie Hiong,
sampai berulang-ulang bertanya dan di jelaskan oleh Tio Cie Hiong.
Setelah itu, ia menatap Tio Cie Hiong dengan mata terbeliak lebar.
"Saudara kecil! Perlukah aku memanggilmu guru?" tanyanya mendadak, bahkan ia sudah
memanggil Tio Cie Hiong sebagai saudara kecil pula.
"Kakek Pengemis, jangan bergurau!" Tio Cie Hiong tersenyum.
"Pengemis busuk!" ujar Tui Hun Lojin sambil tertawa. "Sam Ciat Kun Hoatmu itu apakah sudah
bertambah lihay dan hebat."
"Benar." Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. "Itu berkat petunjuk dari saudara kecil."
"Kakak Hiong!" ujar Gouw Sian Eng girang. "Engkau memang hebat, luar biasa sekali."
"Adik Eng, aku cuma anak biasa saja. Engkau tidak usah terus menerus memuji diriku," sahut
Tio Cie Hiong sambil tersenyum malu.
"Ohya!" Mendadak Gouw Sian Eng memandang Sam Gan Sin Kay. "Kakek Pengemis harus
menepati janji lho!"
"Janji apa?" Sam Gan Sin Kay heran.
"Tuh! Sudah lupa kan?" Gouw Sian Eng mengingatkannya. "Kakek Pengemis telah berjanji tadi,
kalau Kakak Hiong bisa memecahkan ilmu tongkat itu..."
"Oooh!" Sam Gan Sin Kay tertawa sambil manggut-manggut. "Cie Hiong, apa permintaanmu
kepadaku?"
"Aku tidak meminta apa pun," jawab Tio Cie Hiong.
"Biar bagaimana pun, engkau harus mengajukan sebuah permintaan kepadaku! Kalau tidak,
anak gadis itu pasti mengatakan aku tidak menepati janji."
"Tapi..."
"Kakak Hiong! Ajukan saja sebuah permintaan, itu tidak apa-apa." ujar Gouw Sian Eng sambil
tersenyum. "Itu..." Tio Cie Hiong berpikir sejenak, kemudian berkata pada Sam Gan Sin Kay. "Aku akan
mengajukan sebuah pertanyaan."
"Tanyalah!" sahut Sam Gan Sin Kay sambil tertawa "Jangankan hanya sebuah pertanyaan,
seratus pertanyaan pun pasti akan kujawab."
"Kakek Pengemis, aku ingin bertanya, tahukah Kakek Pengemis Ku Tok Lojin berada di mana?"
tanyata TO Cie Hiong mengajukan pertanyaan itu.
"Haah...!' Sam Gan Sin Kay tertegun. "Aku... aku tidak tahu. Kenapa engkau menanyakan dia?"
"Karena Ku Tok Lojin tahu siapa sebenarnya kedua orang tuaku." jawab Tio Cie Hiong
memberitahukan. "Sebelum pamanku meninggal, dia berpesan ke padaku harus mencari Ku Tok
Lojin di Heng San. Aku sudah datang ke sana, tapi dia tidak ada di sana. Kata penduduk di sana,
beberapa tahun yang lalu Ku Tok Lojin telah meninggalkan tempat itu."
"Ku Tok Lojin..." gumam Sam Gan Sin Kay, kemudian memandang Tui Hun Lojin. "Setan tua,
tahukah engkau di mana Ku Tok Lojin itu?"
"Tidak tahu." Tui Hun Lojin menggelengkan kepala. "Aku tidak pernah mendengar nama
tersebut."
"Cie Hiong!" Sam Gan Sin Kay menarik nafas. "Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu
sekarang."
"Tidak apa-apa." ujar Tio Cie Hiong.
"Tapi, aku akan berusaha mencarinya... tenang saja saudara-saudaraku banyak menyebar
dimana-mana."kata Sam Gan Sin Kay menambahkan lagi.
"Sian Eng!" ujar Tui Hun Lojin kepada cucunya. "Sekarang engkau boleh mengajak Cie Hiong
pergi." "Ya, Kakek." Gouw Sian Eng mengangguk, lalu mengajak Tio Cie Hiong pergi.
Tui Hun Lojin menarik nafas panjang setelah Gouw Sian Eng dan Tio Cie Hiong pergi.
"Setan tua!" Sam Gan Sin Kay tercengang. "Kenapa engkau menarik nafas" Apa yang terganjel
dalam hatimu?"
"Anak itu..." Tui Hun Lojin menggeleng-gelengkan kepala.
"Maksudmu Cie Hiong?" Sam Gan Sin Kay menatapnya.
"Ya." Tui Hun Lojin mengangguk. "Kenapa dia?" Sam Gan Sin Kay heran. "Dia betul-betul luar
biasa. Tapi..." Tui Hun Lojin menarik nafas sambil melanjutkan. "Apabila kelak dia berubah jahat,
celakalah rimba persilatan..."
"Setan tua!" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Kalau itu, aku berani jamin dia tidak
akan berubah jahat.
"Syukurlah kalau memang begitu!" ucap Tui Hun Lojin. "Ohya, dia tadi bilang kitab tipis.
Mungkinkah kitab tipis itu adalah kitab pusaka peninggalan Pak Kek Siang Ong di dalam kotak
pusaka yang jadi rebutan itu?"
"Tidak mungkin." Sam Gan Sin Kay menggelengkan kepala.
"Pengemis busuk, kenapa engkau mengatakan tidak mungkin?" Tui Hun Lojin menatapnya.
"Itu bagaimana mungkin?" sahut Sam Gan Sin Kay. "Kotak pusaka itu telah jatuh ke tangan Sam
Mo (Tiga Iblis), jadi aku berkesimpulan bahwa kitab tipis itu bukan kitab pusaka peninggalan Pak
Kek Siang Ong."
Tui Hun Lojin manggut-manggut. "Masuk akal juga..."
"Setan tua! Sudah belasan hari aku makan tidur di sini, sekarang aku Sudah mau pamit." ujar
Sam Gan Sin Kay sambil bangkit berdiri, lalu berpesan pula. "Apabila Pek Ih Mo Li (Wanita Iblis Baju
Putih) datang, aku harap engkau bersedia memberitahukan padaku!"
Tui Hun Lojin mengangguk.
Sam Gan Sin Kay berjalan ke luar, kemudian melesat pergi sambil tertawa gelak. Terdengar pula
suara seruannya yang parau.
"Sampai jumpa!"
Di dalam rimba itu, tampak sebuah bangunan tua mirip biara. Itulah markas pusat Partai
Pengemis. Di luar bangunan itu, tampak para pengemis duduk sambil bercakap-cakap. Mendadak
berkelebat sosok bayangan, yang ternyata Sam Gan Sin Kay.
"Tetua pulang! Tetua pulang!" sorak para pengemis itu dan memberi hormat.
Sam Gan Sin Kay manggut-manggut, sambil berjalan ke dalam bangunan itu. Seorang pengemis
berusia lima puluhan menghambur ke luar menyambutnya.
"Ayah!" panggil pengemis itu, yang tidak lain Lim Peng Hang, Si Tongkat Maut ketua Kay Pang.
"Peng Hang! Di mana Ceng Im si Binal itu?" tanya Sam Gan Sin Kay.
"Biasa." sahut Lim Peng Hang. "Entah keluyuran ke mana?"
"Dia benar-benar tidak betah di markas ini." Sam Gan Sin Kay menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian bergumam. "Sungguh luar biasa, itu betul-betul luar biasa sekali."
"Ayah..." Lim Peng Hang, ketua Kay Pang itu terheran-heran. "Apa yang luar biasa?"
"Anak lelaki itu," sahut Sam Gan Sin Kay.
"Anak lelaki yang mana?" tanya Lim Peng Hang.
"Peng Hang"!" Sam Gan Sin Kay tidak menyahut, melainkan balik bertanya. "Tahukan engkau,
kenapa engkau dijuluki si Tongkat Maut?"
"Karena ilmu tongkatku sangat lihay," jawab Lim Peng Hang dan menambahkan. "Ayah tahu
kan" Selama ini ilmu tongkat kita tak terkalahkan."
"Maksudmu Sam Ciat Kun Hoat dan Tah Kauw Kun Hoat kan?"
"Ya."
"Tapi..." Sam Gan Sin Kay menarik nafas panjang. "Ada seseorang yang dapat memecahkan
Sam Ciat Kun Hoat dengan gampang sekali."
"Apa?" Lim Peng Hang terperanjat. "Siapa orang itu" Lam Hai Sin Ceng (Padri Sakti Laut
Selatan) atau Kim Siauw Suseng (Sastrawan Suling Emas)?"
"Huh!" dengus Sam Gan Sin Kay. "Padri keparat dan Sastrawan sialan itu mana mampu
memecahkan kedua ilmu tongkat kita?"
"Kalau begitu, siapa orang itu?" tanya Lim Peng Hang dengan kening berkerut-kerut.
"Dia lah anak lelaki itu..." jawab Sam Gan Sin Kay dan sekaligus menutur tentang kejadian yang
menimpanya itu.
"Apa?" Lim Peng Hang terbelalak. "Itu... itu bagaimana mungkin" Anak lelaki baru berumur
empat belas tahun.... Ayah jangan bergurau...?""
"Pernahkah aku bergurau?" bentak Sam Gan Sin Kay. "Kalau engkau tidak percaya, sekarang
juga engkau boleh serang aku dengan Sam Ciat Kun Hoat!"
Lim Peng Hang tertegun, karena kurang percaya akan apa yang dikatakan ayahnya, maka ia pun
langsung menyerang ayahnya dengan jurus Membalikkan Langit Memetik Bulan.
Sam Gan Sin Kay segera bergerak, seketika itu juga Lim Peng Hang terpental jatuh.
"Ayah..." Bukan main terkejutnya Lim Peng Hang.
"Nah!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Anak lelaki itu memecahkan jurus ini dengan gerakan yang
kulakukan barusan. Coba engkau bayangkan, luar biasa tidak anak lelaki itu."


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lu... luar biasa." Mulut Lim Peng Hang ternganga lebar. "Apakah dia juga dapat memecahkan
dua jurus lainnya?"
"Ya." Sam Gan Sin Kay mengangguk dan memberitahukan. "Karena itu, aku pun minta petunjuk
kepadanya."
"Ayah minta petunjuk kepada anak lelaki itu?" Lim Peng Hang terbelalak.
"Benar. Sekarang seranglah aku lagi dengan kedua jurus itu, agar engkau tidak merasa
penasaran."
"Baik." Lim Peng Hang langsung menyerang dengan jurus Pelangi Di Ujung Langit.
Sam Gan Sin Kay bergerak, tahu-tahu tongkat bambu yang di tangan Lim Peng Hang telah
terpental. "Haaah?" Lim Peng Hang berdiri mematung di tempat.
"Ambit tongkat itu, dan serang aku lagi dengan jurus ketiga!" ujar Sam Gan Sin Kay.
Lim Peng Hang segera mengambil tongkat itu, kemudian menyerang Sam Gan Sin Kay dengan
jurus Memndahkan Gu nung Memindahkan Laut. Kali ini Lim Peng Hang menyerang dengan
sepenuh tenaga. Namun mendadak ia merasa pergelangan tangannya telah dicengkeram, bahkan
merasa ada sebuah telapak tangan melekat di dadanya. "Peng Hang! Kalau aku mengerahkan
tenaga dalam, bagaimana engkau?" tanya Sam Gan Sin Kay.
"Ayah..." Wajah Lim Peng Hang pucat pias. "Aku... aku pasti mati."
"Nah! Dapat engkau bayangkan, betapa luar biasanya anak lelaki itu, maka kusebut dia sebagai
anak sakti." ujar Sam Gan Sin Kay.
"Ayah, kalau begitu Sam Ciat Kun Hoat..."
"Jangan khawatir!" Sam Gan Sin Kay tersenyum. "Aku akan memperlihatkan Sam Ciat Kun Hoat
yang telah disempurnakan oleh anak sakti itu."
Sam Gan Sin Kay segera memainkan Sam Ciat Kun Hoat tersebut. Terbelalak Lim Peng Hang
menyaksikannya, bahkan mulutnya pun ternganga lebar.
"Ayah! Itu bukan main!" ujar Lim Peng Hang setelah Sam Gan Sin Kay berhenti.
"Sam Ciat Kun Hoat kita bertambah lihay sekali."
"Tidak salah." Sam Gan Sin Kay tertawa. "Peng Hang, aku ingin menjodohkan Ceng Im
dengannya kelak."
"Ayah!" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Urusan Jodoh lebih baik terserah pada
Ceng Im saja. Sebab... dia tidak bisa dipaksa."
"Kalau dia tidak dijodohkan dengan anak lelaki itu, betul-betul sayang sekali." Sam Gan Sin Kay
menghela nafas.
"Ohya, Peng Hang! Apakah sudah ada kabar tentang Pek Ih Mo Li?"
"Belum."
"Aku curiga dia adalah putri almarhum Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng."
"Ayah! Aku pun bercuriga begitu," ujar Lim Peng Hang dan menambahkan. "Ada suatu kabar
yang cukup mengejutkan."
"Kabar apa?"
"Tujuh partai besar bersepakat bergabung untuk melawan Pek Ih Mo Li, namun masih ditentang
oleh Hui Khong Taysu, ketua partai Siauw Lim dan It Hian Tojin ketua Bu Tong. Kedua ketua itu
mengatakan bahwa Pek Ih Mo Li hanya melukai murid-murid beberapa partai besar,jadi tujuh partai
besar tidak perlu bergabung untuk melawannya."
"Hm!" dengus Sam Gan Sin Kay. "Kepala keledai (Cacian bagi para Hweeshio) dan hidung
kerbau (Cacian untuk para pendeta Taosme) itu masih punya perasaan. Kalau tujuh partai
bergabung, maka kita pun harus turun tangan mendamaikan mereka, agar peristiwa di Tebing
Awan Putih belasan tahun lalu tidak terulang lagi!"
"Ya, Ayah." Lim Peng Hang mengangguk.
Walau sudah larut malam, namun masih tampak terang, sebab malam ini bulan bersinar dengan
terang sekali. Mendadak tampak sosok bayangan berkelebat memasuki halam Ekspedisi Harimau
Terbang, lalu berhenti. Salah seorang piauwsu (Pengawal Ekspedisi) melihatnya dan segera
menghampirinya.
"Maaf! Ada urusan apa Nona datang di tengah malam?" tanya piauwsu itu sambil memberi
hormat. "Aku mau bertemu Tui Hun Lojin, cepatlah engkau suruh dia keluar!" sahut pendatang itu, yang
ternyata seorang gadis berbaju putih.
"Tuan besar sudah tidur..."
"Cepat masuk ke dalam melapor!" bentak gadis berbaju putih.
Piauwsu merasa aneh tapi terus saja mengangguk, lalu segera masuk ke dalam untuk melapor
kepada Cit Pou Tui Hun-Gouw Han Tiong. Berselang sesaat, piauwsu itu sudah keluar bersama
Gouw Han Tiong.
"Ada urusan apa Nona ingin menemui ayahku?" tanyanya sambil menatap gadis itu.
"Ada urusan penting! Engkau pasti Cit Pou Tui Hun-Gouw Han Tiong, Cepat panggil ayahmu ke
mari!" sahut gadis itu dingin.
"Nona siapa?" Gouw Han Tiong tampak tidak senang.
"Engkau tidak perlu tahu aku siapa, pokoknya engkau harus segera masuk ke dalam panggil
ayahmu!" Gadis itu tertawa dingin.
"Kalau tidak, aku akan menerjang ke dalam!"
Gouw Han Tiong juga tertawa dingin. "Nona mampu menerjang ke dalam?"
"Kenapa tidak?" Gadis itu menghunus pedangnya. "Cepatlah engkau ambil pedang, aku tidak
akan menyerang orang yang tak bersenjata!"
"Beng Sam! Ambilkan pedangku!" Ujar Gouw Han Tiong pada piauwsu itu.
"Ya, Tuan." Piauwsu itu segera berlari ke dalam, tak lama ia sudah keluar dengan membawa
sebilah pedang, lalu diserahkannya kepada Gouw Han Tiong.
"Kini aku sudah bersenjata!" ujar Gouw Han Tiong kepada gadis itu sambil menghunus
pedangnya. "Nona boleh mulai menyerang!"
"Baik!" Gadis itu mengangguk, lalu dengan pedangnya mulai menyerang Gouw Han Tiong.
Sungguh aneh gerakan pedangnya, sehingga membuat Gouw Han Tiong tersentak. Cepat-cepatlah
is menangkis. Trang! Terdengar suara benturan pedang, dan seketika tampak bunga-bunga api berpijar.
Bukan main terkejutnya Gouw Han Tiong, karena ia merasa telapak tangannya yang menggenggam
pedang sakit sekali. Kini is baru tahu bahwa gadis itu berkepandaian amat tinggi.
"Hm!" dengus gadis itu dingin. "Cuma begitu saja kepandaian Cit Pou Tui Hun?"
Ucapan yang menyindir itu tentunya menggusarkan Gouw Han Tiong. Ia segera menghimpun
Iweekangnya seraya membentak.
"Lihat serangan!" Gouw Han Tiong menyerang gadis itu.
Ia mengeluarkan salah satu jurus dari Tui Hun Kiam Hoat (llmu Pedang Pengejar Roh). Itu lah
jurus Dalam Awan Menempur Naga.
Gadis itu tertawa panjang, badannya melesat kesamping. Pada waktu bersamaan, Gouw Han
Tiong menyerangnya lagi dengan jurus Menyapu Melintang Gunung Laut.
Bukan main dahsyatnya jurus tersebut, sebab mengandung tiga perubahan yang tak terduga.
Akan tetapi, mendadak gadis itu menggerakkan pedangnya membuat beberapa buah lingkaran.
Lingkaran-lingkaran begitu saja dapat mematahkan serangan Gouw Han Tiong.
Dapat dibayangkan, betapa terperanjatnya Gouw Han Tiong, karena gadis itu Dapat
mematahkan serangannya dengan gampang sekali.
"Hiyaaat!" Pekik Gouw Han Tiong sambii menyerangnya. Ia mengeluarkan jurus Bayangan
Pedang Memenuhi Langit, yaitu jurus yang paling lihay dari Tui Hun Kiam Hoat. Dalam tujuh
langkah, pihak lawan tidak akan terluput dari bayangan pedangnya.
Tapi mendadak badan gadis itu berputar-putar melesat ke atas. Seketika itu pula pedangnya
menciptakan puluhan lingkaran kecil.
Trang! Trang! Trang! Terdengar suara benturan nyaring, sekaligus terdengar pula uara jeritan
Gouw Han Tiong.
"Aaaakh...!" Ternyata bahunya telah berlumuran darah, dan pedangnya telah terpental entah ke
mana. "Kita tidak bermusuhan, maka aku tidak membunuhmu!" ujar gadis itu dingin. "Karena engkau
mengeluarkan jurus yang mematikan, aku pun terpaksa melukai bahumu!"
"Perempuan jahat! Kenapa engkau melukai ayahku?" Terdengar suara bentakan nyaring.
Ternyata Gouw Sian Eng telah muncul di situ, dan langsung menyerang gadis berbaju putih dengan
pedang mengeluarkan ilmu Pedang Pencabut Nyawa.
Gadis berbaju putih terperanjat menyaksikan serangan-serangan Gouw Sian Eng. Ia cepat-cepat
berkelit, tapi tidak balas menyerang.
"Perempuan jahat! Kenapa engkau datang melukai ayahku?" bentak Gouw Sian Eng dan terus
menyerang gadis berbaju putih.
Beberapa jurus kemudian, mendadak gadis berbaju putih menggerakkan pedangnya. Gerakan
pedang itu membuat Gouw Sian Eng terhuyung-huyung ke belakang, pedangnya pun terpental.
"Jangan lukai dia!" Terdengar suara bentakan nyaring, sehingga membuat telinga gadis berbaju
putih terasa sakit, dan segera membalikkan badannya.
Tio Cie Hiong sudah berdiri di situ dengan wajah gusar sambil menatap gadis berbaju putih.
Gadis itu tampak tertegun ketika menyaksikan tatapan yang tidak asing baginya itu.
"Engkau masih muda dan cantik, tapi kenapa hatimu begitu kejam?" tanya Tio Cie Hiong.
"Tengah malam datang melukai orang, sungguh keterlaluan!"
"Eh" Adik kecil..." Gadis itu menatapnya dengan kening berkerut.
"Engkau jahat sekali, malah masih ingin melukai gadis kecil itu! Percuma engkau berkepandaian
tinggi hanya untuk melukai orang!"
"Adik kecil!" Gadis berbaju putih tersenyum lembut. "Siapa engkau" Apakah engkau putra Gouw
Han Tiong?"
"Bukan!" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Aku bekerja di sini!"
"Kalau begitu, siapa orang tuamu?" tanya gadis itu lagi.
"Aku tidak punya orang tua!" sahut Tio Cie Hiong. "Sudahlah! Engkau tidak usah banyak
bertanya, cepatlah pergi!"
"Adik kecil, bolehkah aku tahu namamu?" Gadis berbaju putih menatapnya dalam-dalam.
"Aku..." Ketika Tio Cie Hiong ingin memberitahukan, mendadak terdengar suara bentakan keras.
Ternyata Tui Hun Lojin sudah muncul di situ, maka Tio Cie Hiong diam, tidak jadi memberitahukan
namanya pada gadis itu.
"Siapa engkau, Nona" Kenapa datang tengah malam dan melukai putraku?" Bentak Tui Hun
Lojin. "Apakah engkau Tui Hun Lojin?" tanya gadis itu dingin.
"Benar." Tui Hun Lojin menatap gadis itu tajam. "Siapa engkau" !"
"Pek Ih Mo Li (Wanita Iblis Baju Putih)!"
Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong terkejut. Kemudian Tui Hun Lojin manggut-manggut seraya
berkata. "Aku tahu apa sebabnya engkau datang ke mari."
"Engkau tahu?" Gadis berbaju putih itu ternyata Pek Ih Mo Li. Ia menatap Tui Hun Lojin tajam.
"Kalau sudah tahu, harap jelas kan peristiwa belasan tahun lampau di Tebing Awan Putih!"
"Pada waktu itu, aku memperoleh kabar bahwa Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng dan istrinya
dikeroyok kaum golongan hitam dan tujuh partai besar. Itu disebabkan Tio It Seng memperoleh
Kotak Pusaka. Ketika aku sampai di sana, telah terjadi pertempuran yang kacau balau."
"Jadi benar tujuh partai besar bergabung untuk membunuh Hui Kiam Bu Tek?" tanya Pek Ih Mo
Li dengan mata berapi-api.
"Sulit dikatakan." Tui Hun Lojin menarik nafas panjang. "Karena pada waktu itu, tujuh partai
besar itu juga menyerang kaum golongan hitam, namun mereka pun menyerang Hui Kiam Bu Tek
dan istrinya. Kalau Bu Lim Sam Mo tidak muncul, aku yakin Hui Kiam Bu Tek dan istrinya tidak akan
mati, dan putri mereka pun tidak akan tergelincir ke dalam jurang."
"Kalau begitu..." Sepasang mata Pek Ih Mo Li membara. "Bu Lim Sam Mo yang membunuh
mereka berdua?"
"Benar." Tui Hun Lojin manggut-manggut. "Kotak Pusaka itu pun dibawa pergi oleh mereka
bertiga, kemudian aku bersama ketua partai Siauw Lim dan ketua partai Bu Tong mengubur mayat
Hui Kiam Bu Tek dan istrinya."
"Engkau ke sana, apakah juga ingin merebut Kotak Pusaka itu?" tanya Pek Ih Mo Li mendadak.
"Sama sekali tidak." Tui Hun Lojin menggelengkan kepala. "Sebaliknya aku malah ingin
menolong Hui Kiam Bu Tek dan istrinya serta putri mereka."
Pek Ih Mo Li menatapnya heran. "Kenapa engkau berniat begitu?"
"Karena Hui Kiam Bu Tek pernah menolong putraku." Tui Hun Lojin memberitahukan.
Pek Ih Mo Li manggut-manggut.
"Nona!" Tui Hun Lojin memandangnya. "Apakah engkau putri almarhum Hui Kiam Bu Tek?"
"Nona!" Tui Hun Lojin memandangnya. "Apakah engkau putri almarhum Hui Kiam Bu Tek?"
Pek Ih Mo Li tidak menyahut. Ia menjura kepada Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong, lalu
mendadak melesat pergi.
"Ayah!" Gouw Sian Eng mendekati Tui Hun Lojin seraya berbisik. "Bagaimana menurut Ayah,
apakah Pek Ih Mo Li adalah putri almarhum Hui Kiam Bu Tek?"
"Kelihatannya tidak salah." sahut Tui Hun Lojin, kemudian berkata kepada Gouw Sian Eng dan
Tio Cie Hiong. "Kalian berdua boleh kembali ke kamar
masing-masing. Gouw Sian Eng dan Tio Cie Hiong mengangguk, lalu segera masuk ke kamar masing-masing.
"Hang Tiong!" ujar Tui Hun Lojin. "Aku harus segera berangkat ke markas pusat Kay Pang
menemui Sam Gan Sin Kay untuk memberitahukan tentang ini."
"Kapan Ayah akan berangkat ke sana?"
"Sekarang."
"Kok sekarang?"
"Lebih cepat lebih baik." Tui Hun Lojin langsung melesat pergi menggunakan ginkang.
Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan kepala sambil berjalan ke dalam rumah. Ia sama sekali
tidak menyangka, kalau kepandaian Pek Ih Mo Li begitu
tinggi, dapat merobohkannya hanya dalam beberapa jurus. Kalau Pek Ih Mo Li ingin
membunuhnya, saat ini ia mungkin telah jadi mayat.
Tui Hun Lojin telah sampai di markas Partai Pengemis. Sam Gan Sin Kay dan Lim Peng Hang Si
Tongkat Maut, ketua Kay Pang menyambut kedatangannya
dengan gembira.
Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Setan tua! Kok engkau mau merepotkan diri sendiri untuk ke
mari" Ada sesuatu yang penting?"
"Sesuai dengan pesanmu, pengemis busuk," sahut Tui Hun Lojin.
Sam Gan Sin Kay menatapnya. "Kalau begitu, duduk dulu!"
Tui Hun Lojin duduk, lalu menghela nafas seraya berkata memberitahukan.
"Semalam Pek Ih Mo Li telah datang di tempatku."
Sam Gan Sin Kay mengerutkan kening. "Engkau bertarung dengannya?"
"Tidak." Tui Hun Lojin menggelengkan kepala. "Putraku yang bertarung dengannya. Hanya
dalam beberapa jurus, putraku sudah roboh dengan bahu
terluka." "Dia menyerang putramu?" tanya Sam Gan Sin Kay terkejut. "Kepandaiannya begitu tinggi?"
"Dia tidak menyerang putraku, melainkan mereka bertanding. Kepandaiannya memang tinggi
sekali, itu sungguh di luar dugaan." Tui Hun Lojin menarik
nafas panjang. "Dia masih berbelas kasihan terhadap putraku, kalau tidak, putraku pasti sudah
mati." Kening Sam Gan Sin Kay berkerut-kerut.
"Paman! Apakah Pek Ih Mo Li itu putri almarhum Hui Kiam Bu Tek?" tanya Lim Peng Hang.
"Menurutku tidak salah," sahut Tui Hun Lojin. "Aku bertanya kepadanya, tapi dia tidak mau
memberitahukan. Aku yakin dia putri almarhum Hui Kiam Bu
Tek yang tergelincir ke dalam jurang itu."
"Heran!" gumam Sam Gan Sin Kay. "Kok kepandaiannya begitu tinggi" Murid siapa dia?"
"Kulihat bahwa ilmu pedangnya sangat aneh, pedangnya selalu menciptakan lingkaran," ujar Tui
Hun Lojin. "Apa?" Sam Gan Sin Kay tampak tertegun. "Pedangnya selalu menciptakan lingkaran?"
"Ya." Tui Hun Lojin mengangguk. "Pengemis busuk, engkau kenal ilmu pedang itu?"
"Itu... itu bagaimana mungkin?" gumam Sam Gan Sin Kay sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Maksudmu?" Tui Hun Lojin tercengang.
Bagian 5 "Sekitar lima puluh tahun lampau, dalam rimba persilatan telah muncul seorang Pendekar wanita
yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi. Aku
tertarik dan langsung mencarinya untuk bertanding," tutur Sam Gan Sin Kay. "Tapi aku malah
roboh di tangannya. Ternyata kepandaiannya setingkat
lebih tinggi dari kepadaianku!"
Tui Hun Lojin terbelalak. "Siapa Pendekar wanita itu?"
"Tiada seorang pun tahu namanya." Sam Gan Sin Kay menghela nafas sambil melanjutkan. "Dua
tahun kemudian, lihiap itu hilang dari rimba persilatan,
hingga kini tiada kabar beritanya."
"Apakah ilmu pedangnya selalu menciptakan lingkaran-lingkaran?" tanya Tui Hun Lojin.
"Ya." Sam Gan Sin Kay mengangguk. "Maka aku berkesimpulan bahwa Pek Ih Mo Li adalah
muridnya."
"Ayah!" sela Lim Peng Hang. "Kalau benar Pek Ih Mo Li adalah putri almarhum Hui Kiam Bu Tek,
kita harus membantunya."
Sam Gan Sin Kay manggut-manggut, kemudian berkata kepada Tui Hun Lojin. "Setan tua, kalau
tidak salah, tujuh partai besar akan bergabung untuk
melawannya. Apakah engkau berniat membantunya?"
"Apa?" Tui Hun Lojin terkejut sekali. "Tujuh partai besar akan bergabung untuk melawannya?"
"Ya." Sam Gan Sin Kay mengangguk. "Karena itu, aku ingin mendamaikan urusan itu agar
peristiwa belasan tahun lampau di Tebing Awan Putih tidak akan
terulang!"
"Kalau begitu, aku pun harus turut membantu dalam hal itu," ujar Tui Hun Lojin sungguhsungguh.
"Bagus!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Kita harus segera pergi mencari Pek Ih Mo Li."
"Ayah, perlukah aku ikut?" tanya Lim Peng Hang.
"Tidak perlu, masih banyak urusan lain yang harus engkau kerjakan," sahut Sam Gan Sin Kay,
lalu berkata kepada Tui Hun Lojin. "Setan tua, mari kita
pergi!... aku tahu tempat dimana para orang-orang tujuh partai berkumpul..."
Sam Gan Sin Kay langsung melesat pergi, dan Tui Hun Lojin pun mengikutinya.
Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala, lalu masuk ke dalam menuju ke halaman
belakang. Tampak Lim Ceng Im si pengemis dekil duduk melamun di
situ. "Ceng Im, kenapa engkau melamun di situ?" tanya Lim Peng Hang dan mendekatinya.
"Ayah!" Wajah Lim Ceng Im kelihatan muram. "Aku...."
"Sedang memikirkan anak lelaki itu ya?" tanya Lim Peng Hang.


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku...." Lim Ceng Im menundukkan kepala. "Nak!" Lim Peng Hang membelainya. "Engkau
masih kecil, tidak pantas memikirkan anak lelaki. Belum
waktunya lho!"
"Ayah! Dia... dia anak baik," ujar Lim Ceng Im. "Kini dia entah berada di mana?"
"Nak!" Lim Peng Hang tersenyum. "Engkau pasti bertemu dengannya kelak. Sekarang lebih baik
curahkanlah segenap perhatianmu pada ilmu silat, jangan
terus menerus memikirkan anak lelaki itu."
"Ayah! Bolehkah aku pergi seminggu saja?" tanya Lim Ceng Im mendadak.
"Tidak boleh" sahut Lim Peng Hang. "Bukankah ayah tadi sudah bilang, curahkan segenap
perhatianmu untuk berlatih, sebab kelak engkau harus
menggantikan kedudukanku."
"Ayah...." Lim Ceng Im membanting-bantingkan kaki.
"Nak!" Lim Peng Hang membelainya. "Kalau engkau sudah berhasil menguasai seluruh
kepandaianku, dan juga engkau sudah dewasa, ayah tidak akan
melarangmu kemana pun. Engkau mau pergi mencari anak lelaki itu juga terserah, namun
sekarang ini jangan."
"Ayah...." Wajah Lim Ceng Im bertambah muram.
Sam Gan Sin Kay dan Tui Hun Lojin berlari dengan sangat cepat dan telah memasuki sebuah
lembah. Begitu sampai di tempat, mereka melihat para ketua
tujuh partai besar, dan murid-murid masing-masing partai tengah mengepung seorang gadis
berbaju putih. "Pengemis busuk!" Tui Hun Lojin memberitahukan. "Gadis baju putih itu Pek Ih Mo Li!"
Sam Gan Sin Kay memandang sekilas gadis itu. tanpa menerunkan kecepatan larinya ia lalu
melesat ke hadapan Hui Khong Taysu, ketua partai Siauw Lim.
Hui Khong Taysu tersentak ketika melihat kemunculannya dan Tui Hun Lojin yang melesat ke
arah It Hian Tojin, ketua Partai Bu Tong.
"Pengemis bau! Kenapa engkau datang ke mari?"
"Hei! Hweeshio pikun! Kenapa engkau tidak membaca doa di Siauw Lim, tapi malah berada di
sini?" sahut Sam Gan Sin Kay sambil menatapnya.
"Pengemis bau, aku datang ke mari ingin mendamaikan urusan ini" ujar Hui Khong Taysu.
"Mendamaikan atau ingin mengeroyok Pek Ih Mo Li?" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak.
"Pengemis bau...." Wajah Hui Khong Taysu memerah. Ia tahu jelas sifat Sam Gan Sin Kay, yang
amat usil dan suka mencampuri urusan orang. "Omitohud!"
"Hweeshio pikun!" Sam Gan Sin Kay tertawa lagi. "Engkau selalu menyebut Omitohud, maka
harus pula selalu berdiri di atas kebenaran dan keadilan.
Kenapa engkau malah membawa Cap Pwee Lohan (Delapan Belas Arhat) ke mari untuk
mengepung Pek Ih Mo Li?"
"Pengemis bau! Pek Ih Mo Li telah melukai beberapa murid Siauw Lim yang meminta sedekah.
Aku bertanya padanya, tapi dia tidak mau memberi
penjelasan...."
"Karena itu, engkau menyuruh Cap Pwee Lohan mengurungnya?" tanya Sam Gan Sin Kay sinis.
"Tidak." sahut Hui Khong Taysu memberitahukan. "Cap Pwee Lohan dan beberapa murid Partai
Bu Tong sedang menjaga Pek Ih Mo Li agar tidak diserang
oleh ketua partai lain."
"Benarkah?" Sam Gan Sin Kay tertawa.
"Omitohud! Pengemis bau, engkau harus mempercayaiku." sahut Hui Khong Taysu sungguhsungguh.
Sementara Tui Hun Lojin pun menatap It Hian Tojin sambil tertawa-tawa.
"Tojin tua, apa kabar" Sudah belasan tahun kita tidak bertemu, tentunya engkau baik-baik saja
kan?" tanyanya kemudian.
"Terima kasih!" sahut It Hian Tojin. "Aku baik-baik saja. Setan tua, kenapa engkau datang
kemari bersama pengemis bau itu?"
"Ingin menyaksikan kalian mengeroyok Pek Ih Mo Li." ujar Tui Hun Lojin sambil tertawa
terbahak-bahak. "Tojin tua, engkau makin tua makin gagah
saja. Membawa beberapa murid kesayanganmu ke mari mengurung Pek Ih Mo Li, nama partai
Bu Tong pasti makin harum pula."
Wajah It Hian Tojin berubah tak sedap dipandang. "Setan tua, janganlah engkau menghina
Partai Bu Tong!"
"Aku tidak menghina, buktinya memang begitu. Bukankah murid-muridmu sedang mengurung
Pek Ih Mo Li?" sahut Tui Hun Lojin.
"Engkau harus tahu, Pek Ih Mo Li telah melukai beberapa murid Bu Tong." It Hian Tojin
memberitahukan.
"Itu pasti ada sebab musababnya," ujar Tui Hun Lojin. "Kenapa engkau tidak bertanya
kepadanya?"
"Aku sudah bertanya kepadanya, tapi dia tidak mau menjelaskannya," sahut It Hian Tojin.
"Karena itu, kalian semua ingin mengeroyoknya?" tanya Tui Hun Lojin sambil mengerutkan
kening. "Kalau dia berkeras tidak mau menjelaskan, itu apa boleh buat!" jawab It Hian Tojin dan
menambahkan. "Pek Ih Mo Li pun telah melukai para murid Hwa
San, Kun Lun, Go Bie, Khong Tong dan Swat San."
"Aku sudah tahu itu, maka aku dan Sam Gan Sin Kay datang ke mari," ujar Tui Hun Lojin sambil
menengok ke arah pengemis sakti itu.
"Huaha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak, kemudian mendadak melesat ke hadapan Pek
Ih Mo Li. "Engkau pasti putri almarhum Hui Kiam Bu Tek.
Ketahuilah, almarhum ayahmu adalah teman baik putraku, maka engkau jangan takut. Aku dan
Tui Hun Lojin pasti membantumu."
"Terimakasih, Lo cianpwee!" ucap Pek Ih Mo Li
"Hei! Kalian para ketua dengar baik-baik!" seru Sam Gan Sin Kay lantang. "Siapa berani
mengeroyok Pek Ih Mo Li, akan berhadapan denganku duluan!"
"Sam Gan Sin Kay! Kenapa engkau turut campur dalam urusan ini?" tanya Hui Liong Sin Kiam
(Pedang Sakti Naga Terbang) Tan Cun Kiat ketua Partai Hwa
San. "Engkau mau apa?" sahut Sam Gan Sin Kay.
"Cianpwee!" ujar Hui Liong Sin Kiam-Tan Cut Kiat memberitahukan. "Pek Ih Mo Li telah melukai
beberapa murid Hwa San."
"Dia pun telah melukai murid-murid Kun Lun," sambung Wie Hian Cinjin ketua partai Kun Lun.
"Murid kami pun telah dilukainya!" seru Ceng Sim Suthay ketua partai Go Bie, Beng Leng Hoatsu
ketua partai Khong Tong dan Pek Bie Lojin ketua
partai Swat San serentak.
"Kalian diam!" bentak Sam Gan Sin Kay dengan melotot.
Seketika juga para ketua itu diam. Sam Gan Sin Kay adalah salah seorang Bu Lim Ji Khie, juga
tetua Kay Pang. Kedudukannya sangat tinggi dalam rimba
persilatan, maka para ketua itu amat segan kepadanya.
"Pek Ih Mo Li!" Sam Gan Sin Kay menatapnya. "Maukah engkau menjelaskan, kenapa engkau
melukai para murid tujuh partai besar itu?"
"Karena Lo cianpwee yang bertanya, maka aku akan menjawabnya." sahut Pek Ih Mo Li.
"Bagus!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Nah, jelaskanlah agar para ketua itu tidak
penasaran!"
Pek Ih Mo Li mengangguk, lalu berkata dengan suara nyaring. "Beberapa Hweeshio Siauw Lim
meminta sedekah dengan cara paksa, maka kulukai mereka.
Beberapa murid partai besar lainnya, ingin melakukan perkosaan terhadap wanita baik-baik,
karena itu, aku pun melukai mereka. Kalau kalian para
ketua menghendaki bukti, sudah kutuliskan di dalam kitab."
Pek Ih Mo Li mengeluarkan sebuah kitab kecil, kemudian diserahkan kepada Sam Gan Sin Kay.
Pengemis sakti itu membaca sejenak kitab kecil itu, lalu
menggeleng-gelengkan kepala. Setelah itu diberikannya kitab itu kepada Hui Khong Taysu,
ketua Partai Siauw Lim.
"Bacalah sendiri, Hweeshio pikun!" kata pengemis sakti itu.
Hui Khong Taysu segera membacanya, sedangkan Sam Gan Sin Kay mendekati Pek Ih Mo Li.
"Benarkah engkau putri almarhum Hui Kiam Bu Tek?" tanya Sam Gan Sin Kay sambil
menatapnya. "Lo cianpwee!" Pek Ih Mo Li menjura memberi hormat. Ia pun memberi hormat kepada Tui Hun
Lojin. "Terima kasih Lo cianpwee, terimakasih Tui Hun
Lojin!" Mendadak Pek Ih Mo Li melesat pergi, Sam Gan Sin Kay ingin mengejarnya, tapi keburu dicegah
oleh Tui Hun Lojin.
"Eh?" Sam Gan Sin Kay melotot. "Kenapa engkau mencegahku?"
"Pengemis busuk, percuma engkau mengejarnya," sahut Tui Hun Lojin. "Yang jelas dia pasti
putri almarhum Hui Kiam Bu Tek."
Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. "Setan tua, mari kita pergi!"
Tui Hun Lojin mengangguk. Mereka berdua lalu melesat pergi tanpa menghiraukan tujuh partai
besar itu. Para ketua dan murid-muridnya hanya bisa melihat saja tanpa bisa berbuat lebih dari itu.
Pagi ini seusai menyapu, Tio Cie Hiong duduk di bawah pohon sambil melamun. Di saat
bersamaan, muncullah Gouw Sian Eng mendekatinya. "Kakak Hiong,
kenapa engkau melamun?"
"Adik Eng, aku...." Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Kakak Hiong!" Gouw Sian Eng duduk di sisinya. "Kenapa engkau pagi ini" Beritahukanlah
kepadaku!"
"Adik Eng, hingga saat ini aku masih belum tahu siapa kedua orang tuaku. Karena itu...." "Kakak
Hiong...." Wajah Gouw Sian Eng berubah murung.
"Engkau ingin pergi mencari Ku Tok Lojin?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Aku harus tahu siapa kedua orang tuaku."
"Kapan engkau berangkat?" tanya Gouw Sian Eng dengan mata berkaca-kaca.
"Hari ini," sahut Tio Cie Hiong singkat.
"Apa?" Gouw Sian Eng nyaris menangis seketika. "Engkau ingin berangkat hari ini?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Adik Eng, sudah setahun aku tinggal di sini, dan kini sudah
waktunya aku pergi mencari Ku Tok Lojin."
"Kalau begitu...." Air mata Gouw Sian Eng mulai meleleh. "Kita... kita akan berpisah?"
"Adik Eng!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Kita akan berjumpa lagi kelak, jadi engkau tidak usah
berduka." "KakaK Hiong...." Gouw Sian Eng terisakisak.
"Adik Eng, jangan menangis!" Tio Cie Hiong menggenggam tangannya. "Kelak aku pasti datang
menemui lagi."
"Kakak Hiong...." Gouw Sian Eng terus menerus terisak-isak.
Pada waktu bersamaan, muncul Gouw Han Tiong. Ia tercengang ketika melihat putrinya
menangis terisak-isak dengan air mata berderai-derai. "Eh" Sian
Eng! Kenapa engkau?"
"Ayah, Kakak Hiong... kakak Hiong..." sahut Gouw Sian Eng tersendat-sendat.
"Kenapa dia?" Gouw Han Tiong mengerutkan kening ketika melihat Tio Cie Hiong menggenggam
tangan putrinya.
"Kakak Hiong mau pergi."
"Apa?" Gouw Han Tiong tercengang. "Cie Hiong, engkau mau pergi ke mana?"
"Paman!" Tio Cie Hiong melepaskan genggamannya di tangan Gouw Sian Eng. "Aku ingin pergi
mencari Ku Tok Lojin."
"Itu bagaimana mungkin?" Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau tidak tahu
dia berada di mana, lalu bagaimana cara engkau mencarinya?"
"Aku akan mengembara dalam rimba persilatan mencari Ku Tok Lojin," jawab Tio Cie Hiong
telah mengambil keputusan. "Aku... aku harus tahu siapa
kedua orang tuaku."
"Kapan engkau akan berangkat?" tanya Gouw Han Tiong.
"Hari ini." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Cie Hiong...." Gouw Han Tiong menarik nafas. "Baiklah! Aku akan memberimu seribu tael
perak." "Tidak usah begitu banyak, Paman!" ujar Tio Cie Hiong menolak.
"Tidak... tidak...." Gouw Han Tiong tersenyum. "Dalam pengembaraan, engkau pasti
membutuhkan uang."
"Terima kasih, Paman!" ucap Tio Cie Hiong.
Gouw Han Tiong manggut-manggut, lalu masuk ke dalam. Sedangkan Gouw Sian Eng
memandang Tio Cie Hiong dengan air mata bercucuran.
"Kakak Hiong, kapan kita akan berjumpa kembali?" tanya Gouw Sian Eng terisak-isak.
"Setelah aku bertemu Ku Tok Lojin, aku pasti datang menemuimu," jawab Tio Cie Hiong.
"Sungguh?"
"Aku tidak akan membohongimu."
"Kakak Hiong...." Gouw Sian Eng menatapnya dalam-dalam dengan air mata berlinang-linang.
"Kapan pun aku pasti menunggumu."
Tio Cie Hiong telah meninggalkan Ekspedisi Harimau Terbang. Gouw Sian Eng mengantarnya
sampai di pinggir kota.
Setelah Tio Cie Hiong hilang dari pandangannya, barulah anak gadis itu pulang dengan mata
basah. Begitu sampai di dalam kamarnya, ia langsung
menghempaskan dirinya ke tempat tidur dan isak tangisnya pun meledak.
"Nak!" Gouw Han Tiong menghampirinya. "Kenapa engkau menangis?"
"Ayah...." Karena ditanya, maka isak tangis Gouw Sian Eng semakin menjadi. "Kakak Hiong telah
pergi...."
"Nak!" Gouw Han Tiong membelainya. "Engkau tidak usah berduka, kelak dia pasti datang
menengokmu. Percayalah!"
"Tapi...." Gouw Sian Eng menggeleng-gelengkan kepada. "Entah kapan dia akan datang, lagi
pula... belum tentu dia akan datang."
"Nak!" Gouw Han Tiong tersenyum. "Percayalah! Dia pasti datang menemuimu."
"Ayah!" Gouw Sian Eng memeluk Gouw Han Tiong erat-erat. Aku...."
"Ayah tahu...." Gouw Han Tiong manggutmanggut. "Engkau sangat suka kepadanya, bukan?"
"Dia sangat baik kepadaku, aku... aku...." Wajah Gouw Sian Eng kemerah-merahan.
"Dia anak lelaki yang baik, wajar kalau engkau menyukainya." Gouw Han Tiong tersenyum lagi.
"Ayah, aku... aku pasti menunggunya," ujar Gouw Sian
Eng dengan suara rendah. "Kalau dia tidak datang menemuiku, aku... aku ingin menjadi
biarawati saja."
"Apa"!" Gouw Han Tiong terperanjat. "Nak, engkau...."
"Ayah, aku mau menjadi isterinya. Tidak mau menikah dengan orang lain." ujar Gouw Sian Eng
sungguh-sungguh.
"Nak!" Gouw Han Tiong menghela nafas. "Engkau masih kecil, sedangkan itu urusan kelak,
maka jangan terlampau kau pikirkan! Mulai sekarang engkau
harus giat berlatih, agar kelak kalau bertemu dia, engkau sudah berkepandaian tinggi."
Gouw Sian Eng mengangguk.
Sementara Tio Cie Hiong terus melanjutkan perjalanan tanpa arah tujuan, terserah kepada
sepasang kakinya membawa dirinya ke mana. Selama berada di
Ekspedisi Harimau Terbang. Beberapa hari kemudian, Tio Cie Hiong memasuki sebuah lembah
yang sangat indah. Beberapa hari itu, ia selalu menolong
orang-orang miskin dan para pengemis. Setelah memasuki lembah itu, mendadak ia mendengar
suara suling yang amat merdu sekali. Segeralah ia menuju
ke arah suling itu Karena tertarik hatinya.
Tampak seorang lelaki berusia empat puluhan duduk di atas sebuah batu sambil meniup suling.
Sulingnya gemerlapan tertimpa sinar matahari.
Tio Cie Hiong terus berdiri di belakangnya dan mendengar suara suling itu dengan penuh
perhatian. Berselang sesaat barulah lelaki itu berhenti
meniup suling. "Bocah! Engkau tertarik kepada suara sulingku?" tanyanya tanpa menoleh.
"Ya," sahut Tio Cie Hiong dan bertanya. "Paman tahu kehadiranku di sini?"
"Bocah!" Lelaki itu tersenyum. "Walau aku sedang meniup suling, telingaku tetap bisa
menangkap suara apa pun yang ada di sekitar tempat ini."
Tio Cie Hiong terbelalak. "Kalau begitu, paman tidak begitu memusatkan perhatian untuk
meniup suling?"
"Aku tetap memusatkan perhatianku untuk meniup suling," sahut lelaki itu sambil membalikkan
badannya. Ketika melihat Tio Cie Hiong, lelaki itu
Tampak tertegun. "Namun sepasang telingaku tetap bisa menangkap suara apa pun di sekitar
tempat ini"
Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Kalau begitu, Iweekang Paman sudah tinggi sekali."
"Bocah!" Lelaki itu menatapnya dalam-dalam. "Engkau tahu tentang Iweekang, itu berarti
engkau pernah belajar ilmu silat, bukan?"
"Paman, aku tidak pernah belajar ilmu silat, hanya saja selalu melatih napas di setiap malam,"
ujar Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Kalau begitu, engkau pasti melatih semacam Iweekang. Iweekang apa yang engkau latih itu?"
tanya lelaki itu.
"Iweekang untuk menyehatkan tubuh," jawab Tio Cie Hiong.
Lelaki itu menatapnya lagi seraya bertanya, "Sebetulnya engkau siapa" Dari mana dan mau ke
mana?" "Aku Tio Cie Hiong," jawab Tio Cie Hiong. "Aku datang dari suatu tempat untuk mencari
seseorang."
"Siapa yang kau cari?"
"Ku Tok Lojin."
"Untuk apa engkau mencarinya?"
"Menanyakan siapa kedua orang tuaku."
"Jadi...." Lelaki itu menatapnya tajam. ".... engkau masih tidak tahu siapa kedua orang tuamu?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Ohya! Engkau tadi kelihatan begitu tertarik akan suara sulingku, apakah engkau bisa meniup
suling?" tanya lelaki itu mendadak.
"Sejak kecil aku sudah belajar meniup suling, tapi cuma meniup suling bambu, tidak pernah
meniup suling yang seperti milik Paman," jawab Tio Cie
Hiong jujur. "Ini suling emas," ujar lelaki itu sambil tersenyum, sekaligus memperkenalkan diri. "Aku Kim
Siauw Suseng (Sastrawan Suling Emas)."
Tio Cie Hiong cuma mengeluarkan suara 'Oh'. Ia mana tahu lelaki yang di hadapannya itu adalah


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bu Lim Ji Khie (Dua Orang Aneh Rimba Persilatan) yang
sangat tersohor itu.
"Pantas suara suling Paman sangat merdu!" ujar Tio Cie Hiong tertarik pada suling emas itu.
"Bocah!" Kim Siauw Suseng tersenyum. "Engkau ingin mencoba meniup suling emas ini?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
Kim Siauw Suseng menyerahkan suling emas itu. Tio Cie Hiong menerimanya dengan wajah
berseri. Setelah itu, ia mulai mencoba meniupnya, namun sama
sekali tidak mengeluarkan suara.
"Bocah!" Kim Siauw Suseng tertawa. "Tidak gampang meniup suling emasku ini... karena
hanya..." Kim Siauw Suseng berhenti tertawa karena melihat
pancaran mata Tio Cie Hiong yang bersinar-sinar itu.
Hati Tio Cie Hiong tentu saja penasaran. Ia segera duduk dan berkonsentrasi untuk meniup
Pedang Ular Mas 16 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Jodoh Rajawali 17

Cari Blog Ini