Ceritasilat Novel Online

Kesatria Baju Putih 3

Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Bagian 3


suling itu, dan secara otomatis ia mengerahkan Pan Yok
Hian Thian Sin Kang. Seketika juga terdengar suara alunan suling yang amat merdu.
Kim Siauw Suseng terbelalak, karena sama sekali tidak menyangka kalau Tio Cie Hiong yang
masih kecil itu mampu meniup suling emasnya,
bahkan lama kelamaan ia pun terpengaruh oleh suaranya. Dapat dibayangkan, betapa
terkejutnya Kim Siauw Suseng, sehingga memandang Tio Cie Hiong
dengan mata terbelalak lebar.
Sekonyong-konyong terdengar suara siulan yang sangat nyaring, kemudian muncullah seorang
pengemis tua, yang tidak lain Sam Gan Sin Kay.
Tio Cie Hiong segera berhenti meniup suling emas itu. Begitu melihat Sam Gan Sin Kay, iapun
berseru. "Kakek Pengemis!"
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Cie Hiong, ternyata engkau yang meniup suling
emas itu! Semula aku mengira Kim Siauw Suseng."
"Pengemis bau! Apakah bocah ini cucumu?" tanya Kim Siauw Suseng.
"Sastrawan sialan! Dia bukan cucuku, tapi dia memanggilku kakek pengemis, itu membuatku
merasa bangga sekali" sahut Sam Gan Sin Kay.
"Lho" Kenapa?" Kim Siauw Suseng tercengang.
"Sastrawan sialan, engkau harus tahu, dia adalah Sin Tong (Anak Sakti)," ujar Sam Gan Sin Kay
memberitahukan.
"Anak Sakti?" Kim Siauw Suseng kebingungan.
"Engkau masih belum menyadari akan hal itu?" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak.
"Kalau dia anak biasa, bagaimana mungkin mampu meniup suling
emasmu?" "Iya, ya." Kim Siauw Suseng manggut-manggut. "Itu sungguh mengherankan!"
"Masih ada yang jauh lebih mengherankan," ujar Sam Gan Sin Kay. "Aku telah mengalaminya."
"Oh?" Kim Siauw Suseng menatap Tio Cie Hiong, kemudian menoleh pada Sam Gan Sin Kay
seraya berkata. "Pengemis bau, begitu melihat engkau, tanganku
merasa gatal."
"Sama-sama," sahut Sam Gan Sin Kay. "Tanganku pun sudah gatal."
"Kalau begitu, mari kita bertanding!" tantang Kim Siauw Suseng.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Sudah puluhan tahun kita pasti
bertanding begitu bertemu, maka tanganku langsung merasa
gatal." "Bagus!" Kim Siauw Suseng juga tertawa gelak. "Kalau begitu, mari kita mulai!"
Mereka berdua adalah Bu Lim Ji Khie, tapi kalau bertemu pasti bertanding. Sudah puluhan tahun
mereka bertanding, namun selama itu tiada seorang
yang menang maupun kalah. Mereka berdua selalu bertanding seri.
"Sastrawan sialan!" ujar Sam Gan Sin Kay memberitahukan. "Pertandingan kita hari ini akan
disaksikan anak lelaki itu."
"Tentu," sahut Kim Siauw Suseng.
"Cie Hiong!" ujar Sam Gan Sin Kay. "Engkau sebagai saksi, tentunya tidak akan keberatan kan?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk, lalu mengembalikan suling emas itu kepada Kim Siauw
Suseng. "Nah! Mari kita mulai!" seru Kim Siauw Suseng setelah menerima suling emasnya.
"Baik." Sam Gan Sin Kay mengangguk lalu langsung menyerangnya.
"Ha ha!" Kim Siauw Suseng tertawa gelak. "Tah Kauw Kun Hoatmu itu cuma mampu memukul
anjing, tidak bisa digunakan untuk memukulku."
Kim Siauw Suseng mulai berkelit, kemudian balas menyerang dengan ilmu andalannya.
Terjadilan pertarungan yang amat seru. Tio Cie Hiong memandang
dengan penuh perhatian.
Sam Gan Sin Kay mengeluarkan jurus-jurus yang paling lihay dari Tah Kauw Kun Hoat, sehingga
tongkat bambunya berkelebatan. Namun suling emas Kim
Siauw Suseng juga bergerak cepat. Tak terasa pertarungan mereka telah melewati belasan
jurus. "Hiyaat!" teriak Sam Gan Sin Kay mendadak, ternyata ia mulai menyerang Kim Siauw Suseng
dengan Sam Ciat Kun Hoat.
"Haaah...?" Kim Siauw Suseng tampak terkejut. Ia meloncat mundur secepat kilat dan
memandang Sam Gan Sin Kay dengan mata terbelalak. "Pengemis bau,
kulihat jurus Sam Ciat Kun Hoatmu ada kemajuan dibandingkan tahun lalu?"
"Sastrawan sialan! Tentu saja begitu...!!!" sahut Sam Gan Sin Kay sambil melirik Tio Cie Hiong,
setelah itu ia mulai menyerang Kim Siauw Suseng
lagi dengan jurus Pelangi Di Ujung Langit.
Kim Siauw Suseng terpaksa berkelit, tak mampu balas menyerang. Mendadak Sam Gan Sin Kay
berteriak keras, sekaligus menyerang Kim Siauw Suseng
dengan jurus Memecahkan Gunung Memindahkan Laut.
Bukan main terkejutnya Kim Siauw Suseng. Secepat kilat ia melesat ke atas, sekaligus berjungkir
balik ke belakang. Setelah sepasang kaki nya
menginjak tanah, barulah ia menarik nafas lega.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Bagaimana Sam Ciat Kun Hoatku
sekarang?"
"Jauh lebih lihay dari belasan tahun lampau," sahut Kim Siauw Suseng sejujurnya. "Tapi aku
belum kalah, mari kita bertanding lagi!"
"Tidak usah bertanding lagi!" sela Tio Cie Hiong mendadak.
"Kenapa?" Kim Siauw Suseng heran.
"Sebab Paman sudah kalah," sahut Tio Cie Hiong.
"Apa?" Kim Siauw Suseng mengerutkan kening. "Aku sudah kalah?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk dan memberitahukan. "Lengan baju Paman telah berlubang
tertusuk tongkat bambu Kakek Pengemis, maka Paman sudah
kalah." Kim Siauw Suseng segera menengok lengan bajunya. Memang benar lengan bajunya telah
berlubang. Sam Gan Sin Kay tertegun, ternyata ia sendiri sama
sekali tidak mengetahui akan hal itu.
"Aku... aku telah kalah" Aku telah kalah..." gumam Kim Siauw Suseng penasaran.
"Sastrawan sialan!" ujar Sam Gan Sin Kay jujur. "Aku tidak mengalahkanmu."
"Tapi lengan bajuku telah berlubang." Kim Siauw Suseng menghela nafas. "Aku tidak
menyangka Sam Ciat Kun Hoatmu bertambah lihay, sehingga dapat
mengalahkanku."
"Terus terang, yang mengalahkanmu adalah anak lelaki itu." Sam Gan Sin Kay menunjuk Tio Cie
Hiong. "Pengemis bau, apa maksudmu?" Kim Siauw Suseng mengerutkan kening.
"Begini..." sahut Sam Gan Sin Kay dan menutur tentang semua itu. Kim Siauw Suseng
mendengar dengan mulut ternganga lebar.
"Apa"! Jadi... anak lelaki itu yang menambahkan gerakan dalam Sam Ciat Kun Hoatmu?"
"Ya." Sam Gan Sin Kay mengangguk. "Kalau tidak, tak mungkin tongkat bambuku sampai saat
ini dapat melubangi lengan bajumu."
"Pantas engkau menyebutnya sebagai anak sakti!" Kim Siauw Suseng manggut-manggut. "Tidak
heran kalau dia juga mampu meniup suling emasku."
"Kini engkau sudah percaya bahwa dia anak sakti?" tanya Sam Gan Sin Kay sambil tersenyum.
"Ya." Kim Siauw Suseng mengangguk. "Pengemis bau, kita masih harus bertanding."
"Tentu," sahut Sam Gan Sin Kay. "Sebab engkau masih ingin memperdengarkan Toh Hun Mi Im
kan?" "Benar. Itulah pertandingan kita berikutnya," ujar Kim Siauw Suseng, lalu ia duduk bersila.
"Ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. Ia pun duduk bersila di hadapan Kim Siauw Suseng.
"Mulailah!"
Kim Siauw Suseng mulai meniup suling emasnya, dan seketika terdengarlah suara suling yang
sangat merdu. Ketika suara suling itu mulai meninggi, Sam
Gan Sin Kay menghimpun tenaga dalamnya, kemudian mengeluarkan siulan yang amat nyaring
dan panjang. Mereka berdua telah melupakan Tio Cie Hiong.
Ketika merasa telinganya seperti ditusuk-tusuk, Tio Cie Hiong segera duduk dan mengerahkan
Pan Yok Hian Thian Sin Kang. Barulah ia merasa
telinganya tidak seperti ditusuk-tusuk lagi. Ada satu hal yang tidak disadarinya, karena dengan
adanya suara suling dan suara siulan yang
mengandung Iweekang tingkat tinggi itu, secara tidak langsung akan melatih Iweekangnya
sendiri, sebab ia akan terus menerus mengerahkan Pan Yok
Hian Thian Sin Kang untuk menekan suara-suara itu, sehingga merupakan latihan yang sangat
bermanfaat bagi dirinya.
Sementara suara suling itu makin meninggi, begitu pula suara siulan. Ternyata Kim Siauw
Suseng dan Sam Gan Sin Kay mulai mengadu Iweekang melalui
suara suling dan siulan. Sedangkan Tio Cie Hiong terus mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin
Kang untuk menekan suara-suara itu.
Kim Siauw Suseng dan Sam Gan Sin Kay telah mengerahkan Iweekang masing-masing sampai
pada puncaknya. Siapa pun tidak berani berhenti lebih dulu,
sebab siapa yang berhenti lebih dulu akan terluka oleh Iweekang lawan.
Akan tetapi, apabila mereka terus mengadu Iweekang dengan cara demikian, akhirnya mereka
pasti akan mengalami luka dalam yang amat parah.
Wajah Kim Siauw Suseng dan Sam Gan Sin Kay telah pucat pias. Keringat dingin mereka pun
terus mengucur, kedua-duanya sudah berada dalam keadaan
kritis. Pada waktu bersamaan, terdengarlah suara siulan yang halus menekan suara suling dan suara
siulan Sam Gan Sin Kay, sehingga membuat Kim Siauw Suseng
berhenti meniup sulingnya, dan Sam Gan Sin Kay pun berhenti bersiul.
Ternyata tanpa sadar Tio Cie Hiong mengeluarkan suara siulan, yang secara tidak langsung
telah menolong Kim Siauw Suseng dan Sam Gan Sin Kay.
Setelah Kim Siauw Suseng berhenti meniup suling dan Sam Gan Sin Kay berhenti bersiul, Tio Cie
Hiong pun berhenti bersiul.
Kim Siauw Suseng dan Sam Gan Sin Kay, keduanya memandang Tio Cie Hiong, yang kebetulan
sedang membuka perlahan sepasang matanya. Betapa terkejutnya
Kim Siauw Suseng dan Sam Gan Sin Kay, karena mereka melihat mata Tio Cie Hiong
menyorotkan sinar begitu tajam dan terang.
Kim Siauw Suseng dan Sam Gan Sin Kay saling memandang, lalu bangkit berdiri menghampiri
Tio Cie Hiong yang masih duduk bersemadi.
"Kakek Pengemis, Paman!" panggil Tio Cie Hiong.
"Cie Hiong, engkau...." Sam Gan Sin Kay menatapnya dengan mata terbelalak lebar.
"Bocah! Engkau sungguh luar biasa sekali!" ujar Kim Siauw Suseng.
"Cie Hiong, aku ingin memeriksa nadi dan peredaran darah dalam tubuhmu," ujar Sam Gan Sin
Kay. "Memangnya kenapa, Kakek Pengemis?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Ingin mengetahui sesuatu," sahut Sam Gan Sin Kay sambil menjulurkan tangannya untuk
memegang pergelangan tangan Tio Cie Hiong,
kemudian mengerahkan Iweekang ke dalam tubuh anak itu. Maksud Sam Gan Sin Kay ingin
memeriksa bagian dalam Tio Cie Hiong.
Akan tetapi, mendadak Sam Gan Sin Kay tampak tersentak, karena merasa ada hawa hangat
dalam tubuh Tio Cie Hiong mendesak keluar Iweekangnya.
Pengemis sakti itu penasaran. la mengerahkan Iweekangnya lagi, tetapi hawa hangat itu pun
terus mendesaknya keluar. Itu sungguh mencengangkan Sam
Gan Sin Kay dan membuatnya semakin penasaran, sehingga ia menambah Iweekangnya lagi.
Tapi mendadak keningnya berkerut-kerut. Ia cepat-cepat berhenti mengerahkan Iweekangnya
dan sekaligus melepaskan tangan Tio Cie Hiong.
Ternyata ketika Sam Gan Sin Kay menambah Iweekangnya, seketika juga ia merasa
Iweekangnya tersedot, maka cepat-cepat ia berhenti mengerahkan
Iweekangnya. "Pengemis bau! Ada apa?" taya Kim Siauw Suseng.
"Aku...." Sam Gan Sin Kay menghela nafas. "Aku pun tidak tahu. Itu... itu sungguh
mengherankan, aku sama sekali tidak mengerti."
"Pengemis bau, apa gerangan yang terjadi?" Tanya Kim Siauw Suseng penasaran. Ia mengira
Sam Gan Sin Kay mempermainkannya.
"Sastrawan sialan! Cobalah engkau periksa sendiri..., agar engkau mengetahuinya!" sahut Sam
Gan Sin Kay. Kim Siauw Suseng segera memegang tangan Tio Cie Hiong sambil mengerahkan Iweekangnya.
Ia pun mengalami hal yang sama, karena itu ia cepat-cepat
melepaskan tangan Tio Cie Hiong.
"Kenapa bisa begitu?" gumamnya. "Anak ini memiliki Iweekang apa?"
"Sastrawan sialan!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Dia pernah memberitahukan kepadaku, bahwa
dia telah mempelajari semacam Iweekang dari sebuah kitab
tipis." "Iweekang apa itu?" tanya Kim Siauw Suseng.
"Dia sendiri pun tidak tahu," sahut Sam Gan Sin Kay.
"Pengemis bau, apa yang kau katakan memang tidak salah. Dia benar-benar anak sakti," ujar
Kim Siauw Suseng sambil memandang Tio Cie Hiong.
"Dia memang memiliki Iweekang yang begitu luar biasa, tapi dia masih belum bisa
mengendalikan sebagaimana mestinya." Sam Gan Sin Kay memberitahukan
dengan kening berkerut. "Sastrawan sialan, bisakah engkau memberi petunjuk kepadanya?"
Kim Siauw Suseng menggelengkan kepala, kemudian menghela nafas.
"Bagaimana engkau, pengemis bau?"
"Aaakh...!" Sam Gan Sin Kay juga menghela nafas. "Kita berdua adalah Bu Lim Ji Khie, tapi
justru tidak mampu memberi petunjuk kepadanya. Rasanya
nama Bu Lim Ji Khie harus dicoret dari rimba persilatan."
Kim Siauw Suseng menggeleng-gelengkan kepala. "Ohya, engkau tahu siapa kedua orang
tuanya?" "Tidak tahu," sahut Sam Gan Sin Kay dan menambahkan. "Dia pernah bilang ingin mencari Ku
Tok Lojin. Apakah engkau kenal Ku Tok Lojin?"
"Ku Tok Lojin...." Kim Siauw Suseng berpikir sejenak, kemudian menjawab sambil memandang
Tio Cie Hiong. "Dulu aku pernah bertemu dengannya.
Setahuku dia teman baik Tok Pie Sin Wan (Lutung Sakti Lengan Tunggal). Mungkin dia tahu Ku
Tok Lojin berada di mana."
"Paman! Di mana Tok Pie Sin Wan?" tanya Tio Cie Hiong.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa mendadak.
"Eh?" Kim Siauw Suseng menatapnya. "Pengemis bau, kenapa engkau tertawa" Apa yang lucu?"
"Paman! Di mana Tok Pie Sin Wan?" tanya Tio Cie Hiong.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa mendadak.
"Eh?" Kim Siauw Suseng menatapnya. "Pengemis bau, kenapa engkau tertawa" Apa yang lucu?"
"Cie Hiong, engkau memanggilnya paman?" Sam Gan Sin Kay memandangnya dan masih
tertawa. "Ya, memangnya kenapa?" tanya Tio Cie Hiong.
"Seharusnya engkau memanggilnya kakek." Sam Gan Sin Kay memberitahukan.
Tio Cie Hiong terbelalak. "Dia masih begitu muda, kok aku harus memanggilnya kakek?"
"Dia masih muda"... Hua Ha Ha Ha" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Dia memang kelihatan
muda, tapi usianya sudah delapan puluh lebih."
Tio Cie Hiong terperangah. "Kenapa bisa begitu?"
"Ketika dia berusia empat puluhan, tanpa sengaja memakan semacam buah ajaib, sehingga
membuat dirinya awet muda." Sam Gan Sin Kay memberitahukan.
"Ooooh!" Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Bocah!" Kim Siauw Suseng tersenyum. "Tidak apa-apa engkau memanggilku paman."
"Ya!" Tio Cie Hiong mengangguk. "paman, Tok Pie Sin Wan itu berada di mana" Aku mau pergi
mencarinya."
"Dia berada di Goa Angin Puyuh, di gunung Cing San." Kim Siauw Suseng memberitahukan.
"Dari sini engkau harus mengambil arah timur, beberapa hari
kemudian engkau pasti tiba di gunung itu."
"Terimakasih, Paman!" ucap Tio Cie Hiong.
"Cie Hiong!" Sam Gan Sin Kay menatapnya. "Jadi engkau meninggalkan Ekspedisi Harimau
Terbang cuma ingin mencari Ku Tok Lojin?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Bocah!" Mendadak Siauw Suseng menatapnya dalam-dalam. "Maukah engkau menjadi
muridku?" "Huaha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak.
"Sialan Kau !!! ...Pengemis bau! Kenapa tiap aku bicara engkau selalu tertawa?" tanya Kim
Siauw Suseng dengan kening berkerut.
"Aku pun pernah ingin mengangkatnya sebagai murid, tapi dia langsung menolak," sahut Sam
Gan Sin Kay. "Kenapa?" tanya Kim Siauw Suseng.
"Sebab dia tidak mau belajar ilmu silat." Sam Gan Sin Kay memberitahukan.
"Bocah!" Kim Siauw Suseng menatapnya heran. "Betulkah engkau tidak mau belajar ilmu silat?"
"Betul, Paman." Tio Cie Hiong mengangguk. "Tapi engkau belajar Iweekang"!" ujar Kim Siauw
Suseng. "Itu untuk menyehatkan tubuh saja." Tio Cie Hiong tersenyum.
"Sayang sekali!" gumam Kim Siauw Suseng. "Seandainya engkau mau belajar ilmu silat, kelak
engkau pasti menjadi seorang pendekar hebat."
"Benar-benar..." Sam Gan Sin Kay manggut-mangut.
"Kakek Pengemis, Paman! Aku mau pamit untuk melanjutkan perjalanan," ujar Tio Cie Hiong
sambil bangkit berdiri, lalu berjalan pergi. Sedangkan Sam
Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng hanya bisa saling memandang saja sambil menggelenggelengkan
kepala. Tio Cie Hiong terus melakukan perjalanan menuju arah timur. Ketika hari mulai senja, ia duduk
di bawah pohon, lalu mengeluarkan beberapa buah
bakpao yang dibelinya di sebuah kota kecil. Di saat ia baru mau makan, mendadak ia melihat
seorang pengemis muda yang dekil sedang berjalan sambil
menendang-nendang ini dan itu. Begitu melihat pengemis muda yang dekil itu, Tio Cie Hiong
langsung berseru sambil berlari menghampirinya.


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adik Im! Adik Im...."
Pengemis muda yang dekil itu menolehkan kepalanya. Begitu melihat Tio Cie Hiong, ia pun
terbelalak dengan mulut ternganga lebar.
"Kakak Hiong..." panggilnya.
"Adik Im!" Tio Cie Hiong menggenggam tangannya erat-erat.
"Kakak Hiong!" Pengemis muda yang dekil itu ternyata Lim Ceng Im. Ia memandang Tio Cie
Hiong dengan mata tak berkedip. "Engkau... engkau bertambah
tampan." "Engkau malah bertambah dekil dan bau," sahut Tio Cie Hiong sambil tertawa-tawa. "Adik Im,
sungguh tak terduga kita akan bertemu di sini, hanya
saja....."
"Kenapa?"
"Aku tidak telanjang mandi di sungai."
"Dasar....." Wajah Lim Ceng Im langsung memerah, kemudian menundukkan kepala dalamdalam.
"Adik Im!" Tio Cie Hiong menatapnya heran. "Kenapa setiap kali bertemu denganku engkau
pasti bersikap malu-malu?"
"Aku...."
"Adik Im! Mari kita duduk di bawah pohon saja!" ajak Tio Cie Hiong.
Lim Ceng Im mengangguk. Mereka berdua lalu duduk di bawah pohon. Tio Cie Hiong tampak
gembira sekali bertemu lagi dengan Lim Ceng Im. Ia
mengeluarkan bakpaonya dan dibagikan kepadanya.
"Adik Im, mari kita makan bakpao dulu!"
"Terimakasih, Kakak Hiong!" Lim Ceng Im menerima bakpao itu, kemudian memakannya sambil
tersenyum-senyum.
"Adik Im, kok engkau berada di sini?" tanya Tio Cie Hiong.
"Aku tidak betah tinggal di rumah, maka aku keluar berjalan-jalan sejenak," jawab Lim Ceng Im
sambil meliriknya. "Aku tak menduga sama sekali akan
bertemu denganmu di sini."
"Kenapa engkau tidak betah tinggal di rumah?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Karena ayahku selalu menyuruhku belajar ilmu silat, sedangkan aku...." Lim Ceng Im
menundukkan kepala.
"Adik Im, engkau harus menuruti perkataan ayahmu, tidak baik sering berkeluyuran di luar."
Ujar Tio Cie Hiong sambil memandangnya. "Eh"
Kok kelihatannya engkau agak kurusan" Engkau sakit ya?"
"Tidak." Lim Ceng Im menggelengkan kepala.
"Kakak Hiong, bagaimana keadaanmu selama ini?"
"Aku baik-baik saja," jawab Tio Cie Hiong memberitahukan. "Aku bekerja di Ekspedisi Harimau
Terbang." "Oooh!" Lim Ceng Im manggut-manggut. "Pemimpin Ekspedisi itu Cit Pou Tui Hun-Gouw Han
Tiong kan?"
"Benar." Tio Cie Hiong mengangguk. "Kok engkau tahu?"
"Ekspedisi itu sangat terkenal, tentu saja aku tahu." Tiba-tiba Lim Ceng Im menatapnya tajam.
"Ohya! Bukankah Gouw Han Tiong mempunyai seorang
putri?" "Betul. Namanya Gouw Sian Eng."
"Kalau tidak salah, dia merupakan anak gadis yang cantik sekali, bukan?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Dia memang cantik sekali, dan lemah lembut."
"Dia baik sekali terhadapmu?" tanya Lim Ceng Im dengan wajah agak berubah..
"Dia memang baik sekali terhadapku," jawab Tio Cie Hiong jujur.
"Engkau pun sangat baik terhadapnya?" tanya Lim Ceng Im bernada agak tidak senang.
"Karena dia baik, aku pun baik terhadapnya."
"Kakak Hiong!" Lim Ceng Im menatapnya tajam. "Pernahkah engkau mandi telanjang di
hadapannya?"
"Eeeh?" Tio Cie Hiong terbelalak. "Memangnya aku sudah gila?"
"Engkau kan hobby mandi telanjang...." Mendadak wajah Lim Ceng Im berubah kemerahmerahan.
"Itu karena aku mandi di sungai, lagi pula engkau pun tidak sengaja memunculkan diri." ujar Tio
Cie Hiong. "Di Ekspedisi Harimau Terbang, aku mandi
di dalam kamar mandi, tidak pernah mandi di sungai."
"Oooh!" Lim Ceng Im manggut-manggut, kemudian bertanya dengan suara rendah. "Engkau
suka pada anak gadis itu?"
"Suka sekali." Tio Cie Hiong mengangguk. Seketika juga wajah Lim Ceng Im berubah pucat.
"Ohya!" Tio Cie Hiong mengeluarkan sesuatu dari dalam
bajunya. "Lihat apa ini?"
"Itu kantong pemberianku," sahut Lim Ceng Im.
"Aku selalu menyimpannya baik-baik," ujar Tio Cie Hiong, lalu memasukkan lagi kantong kain itu
ke dalam bajunya.
"Kakak Hiong, apakah selama setahun ini, engkau sering memikirkan aku?" tanya Lim Ceng Im
dengan suara rendah.
"Sering." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Aku pun sering memikirkanmu, bahkan siang malam...."
"Ha ha!" Tio Cie Hiong tertawa mendadak. "Pantas badanmu menjadi kurus, tidak tahunya garagara
memikirkan aku siang malam!"
"Kakak Hiong...." Lim Ceng Im cemberut.
"Tuh! Cemberut lagi!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Adik Im, engkau lebih pantas menjadi anak
gadis." "Kenapa?"
"Engkau sering bersikap malu-malu dan suka cemberut, itulah ciri khas anak gadis."
"Tapi aku...."
"Aku tahu engkau anak lelaki seperti aku," potong Tio Cie Hiong. Tapi engkau justru...."
"Anak lelaki juga boleh bersikap malu-malu dan cemberut, tidak ada salahnya kan?" Lim Ceng
Im tersenyum. "Memang tidak ada salahnya, namun itu sepertinya jadi sedikit aneh." Tio Cie Hiong
menggelengkan kepala.
"Ohya, Kakak Hiong! Engkau mau ke mana?" tanya Lim Ceng Im mendadak mengalihkan
percakapan. "Aku mau pergi menemui Tok Pie Sin Wan," jawab Tio Cie Hiong memberitahukan. "Dia berada
di Goa Angin Puyuh di gunung Cing San."
"Siapa yang memberitahukanmu tentang Tok Pie Sin Wan?"
"Kim Siauw Suseng."
"Apa?" Lim Ceng Im terbelalak. "Engkau bertemu Kim Siauw Suseng itu?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Di Ekspedisi Harimau Terbang, aku pun bertemu kakek
pengemis sakti."
"Kakek pengemis sakti" Maksudmu Sam Gan Sin Kay?"
"Ya," sahut Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Di lembah itu aku pun bertemu kakek pengemis
sakti. Kemudian aku menyaksikan pertandingan yang sangat
seru sekali."
"Sam Gan Sin Kay bertanding dengan Kim Siauw Suseng?"
"Ya."
"Mereka pasti bertanding seri lagi."
"Benar, tapi Sam Gan Sin Kay berhasil melubangi lengan baju Kim Siauw Suseng dengan tongkat
bambunya."
"Oh, ya?" Lim Ceng Im tampak kurang percaya, sebab setahunya, Sam Gan Sin Kay dan Kim
Siauw Suseng selalu bertanding seri, bagaimana mungkin kali
ini Sam Gan Sin Kay bisa berhasil melubangi lengan baju Kim Siauw Suseng" Namun ia tidak
banyak bertanya lagi tentang itu, cuma menjelaskan. "Kakak
Hiong, Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng sangat tersohor dalam rimba persilatan, mereka
berdua adalah Bu Lim Ji Khie."
Tio Cie Hiong mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Rimba persilatan masa kini terdapat It Ceng, Ji Khie dan Sam Mo." Lanjut Lim Ceng Im
memberitahukan. "It Ceng adalah Lam Hai Sin Ceng (Padri Sakti
Laut Selatan), Ji Khie adalah Sam Gan Sin Kay (Pengemis Sakti Mata Tiga) dan Kim Siauw
Suseng (Sastrawan Suling Emas). Sam Mo (Tiga Iblis) adalah
Tang Hai Lo Mo (Iblis Tua Laut Timur), Thian Mo (Iblis Langit) dan Te Mo (Iblis Neraka) yang
sangat kejam."
"Siapa yang berkepandaian paling tinggi?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.
"Selama puluhan tahun, Ji Khie dan Sam Mo tidak pernah bertanding lagi dengan Lam Hai Sin
Ceng, sebab Lam Hai Sin Ceng selalu mengalah. Namun Ji
Khie pernah bertanding dengan Sam Mo, kepandaian mereka boleh dikatakan seimbang."
"Kalau begitu, Lam Hai Sin Ceng berkepandaian paling tinggi"!" ujar Tio Cie Hiong.
"Kenapa engkau mengatakan begitu?" Lim Ceng Im heran.
"Sebab Lam Hai Sin Ceng mau mengalah dan bersabar, maka aku yakin Lam Hai Sin Ceng
berkepandaian paling tinggi."
Lim Ceng Im manggut-manggut.
"Adik Im!" Tio Cie Hiong menatapnya seraya bertanya. "Kenapa engkau mau jadi pengemis?"
"Aku memang pengemis," sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum. "Sebab ayahku ketua Partai
Pengemis!"
"Ayahmu ketua Kay Pang?" Tio Cie Hiong terbelalak.
"Karena itu...." Lim Ceng Im menghela nafas. "Aku harus menjadi pengemis."
"Apakah tidak boleh berpakaian biasa?"
"Boleh. Tapi..... Lim Ceng Im menggelenggelengkan kepala. "Belum waktunya aku berpakaian
biasa." "Kenapa?" Tio Cie Hiong tercengang.
"Itu peraturan Kay Pang, maka aku harus menuruti peraturan itu," sahut Lim Ceng Im,
kemudian menatap Tio Cie Hiong dalam-dalam. "Ohya, engkau...
sering berduaan dengan anak gadis itu?"
"Maksudmu Gouw Sian Eng?"
"Ya."
"Tidak begitu sering, namun tiap malam hari, aku pasti mengajarinya ilmu sastra," ujar Tio Cie
Hiong jujur. "Bahkan aku pun sering melihat dia
berlatih."
"Wah! Asyik sekali dong!" Wajah Lim Ceng Im tampak berubah.
"Asyik bagaimana?" tanya Tio Cie Hiong.
"Itu berarti kalian sering berduaan. Bukankah asyik sekali?" sahut Lim Ceng Im sambil mencibir.
"Ya, bisa dibilang begitu... lagi pula dia yang sering minta petunjuk padaku." Tio Cie Hiong
memberitahukan.
"Anak gadis itu sering minta petunjuk kepadamu?" Lim Ceng Im mengerutkan kening. "Petunjuk
mengenai apa?"
"Ilmu pukulan dan ilmu pedang!"
"Apa?" Lim Ceng Im terbeliak. "Katanya engkau tidak pernah belajar ilmu silat, tapi bisa
memberi petunjuk padanya. Itu sungguh membingungkan!"
"Adik Im!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Terus terang, aku pernah belajar semacam Iweekang yang
menyehatkan tubuh dari sebuah kitab tipis. Di dalam
kitab tipis itu juga terdapat urai-uraian mengenai ilmu pukulan, pedang dan lain sebagainya."
Lim Ceng Im menatapnya dalam-dalam, kemudian tersenyum. "Kakak Hiong, tentunya engkau
juga tidak berkeberatan memberi petunjuk padaku kan?"
"Engkau anak ketua Kay Pang, bagaimana mungkin.... "
"Engkau sering memberi petunjuk kepada gadis itu, kenapa tidak mau memberi petunjuk
kepadaku?" tanya Lim Ceng Im tidak senang sambil cemberut.
"Eh?" Tio Cie Hiong tertawa kecil. "Engkau mulai cemberut lagi!"
"Kenapa engkau tidak mau memberi petunjuk kepadaku?"
"Ayahmu ketua Kay Pang, sudah pasti berkepandaian tinggi, maka aku mana berani memberi
petunjuk kepadamu?"
"Kakak Hiong, pokoknya engkau harus memberi petunjuk kepadaku." desak Lim Ceng Im,
kemudian ia mengambil sebatang ranting. "Kakak Hiong, aku akan
memperlihatkan Tah Kauw Kun Hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Anjing). Ilmu tongkat itu sangat
lihay dan hebat, merupakan ilmu tongkat andalan ayahku."
Tio Cie Hiong manggut-manggut sambil tersenyum, sedangkan Lim Ceng Im sudah mulai
memperlihatkan Tah Kauw Kun Hoat. Berselang beberapa saat, Lim
Ceng Im berhenti lalu memandang Tio Cie Hiong.
"Bagaimana, Kakak Hiong?" tanyanya sambil tersenyum. "Aku telah usai memperlihatkan tujuh
belas jurus Tah Kauw Kun Hoat."
"Memang lihay sekali," sahut Tio Cie Hiong. "Tujuh belas jurus Tah Kauw Kun Hoat itu bersifat
menyerang, tapi apabila bertarung dengan orang
berkepandaian tinggi, engkau justru akan celaka."
"Oh" Apa sebabnya?"
"Sebab dalam jurus-jurus itu terdapat celah yang dapat diserang, dan engkau tidak bisa
menangkis maupun berkelit, karena engkau terus menyerang,"
Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Oh, ya?" Lim Ceng Im kurang percaya. "Adik Im!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Jurus pertama
yang kau perlihatkan itu terdapat celah bagi pihak lawan
Bagian 6 untuk balas menyerang secara mendadak. Anggaplah aku lawanmu, engkau menyerangku
dengan jurus pertama, aku bergerak dengan cara demikian...." Tio
Cie Hiong menggerakkan kaki dan tangannya. "Nah! Bukankah kaki kananmu yang di depan
terkunci oleh kaki kananku, sedangkan tanganmu yang kanan
terkunci oleh tangan kiriku" Kalau aku menjulurkan sepasang tanganku, bukankah dadamu akan
terpukul?"
"Haaah?" Mendengar itu, Lim Ceng Im terkejut bukan main, sebab gerakan Tio Cie Hiong itu
dapat memecahkan jurus pertama Tah Kauw Kun Hoatnya.
"Jurus kedua... jurus ketujuh belas...." Tio Cie Hiong terus menjelaskan, sekaligus
memperlihatkan gerakannya.
Lim Ceng Im mendengarkan dan menyaksikan gerakan-gerakan itu dengan mata terbelalak.
"Kakak Hiong...," ujarnya kemudian sambil menatapnya kagum.
"Engkau kok begitu luar biasa" Padahal selama puluhan tahun ini, tiada seorang pun yang
mampu memecahkan Tah Kauw Kun Hoat. KUrasa engkau dapat
memperbaiki jurus-jurus Tah Kauw Kun Hoatku."
"Adik Im!" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Itu merupakan ilmu tongkat andalan
ayahmu, aku mana berani sembarangan memperbaikinya?"
"Itu urusan ayahku, ini urusanku," sahut Lim Ceng Im. "Kakak Hiong! Ayolah... Perbaiki jurusjurus
Tah Kauw Kun Hoatku."
"Adik Im...." Tio Cie Hiong memandangnya, lama sekali barulah ia mengangguk.
"Kakak Hiong, terimakasih!" ucap Lim Ceng Im dengan wajah berseri. Sedangkan Tio Cie Hiong
mulai memberi petunjuk kepadanya dengan menambah
beberapa gerakan dalam jurus-jurus Tah Kauw Kun Hoat.
"Adik Im!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Kini Tah Kauw Kun Hoatmu sudah lebih lihay lagi."
"Kakak Hiong...." Lim Ceng Im menatapnya takjub. "Kok engkau begitu luar biasa sih?"
Tio Cie Hiong tidak menyahut, melainkan cuma tersenyum-senyum. Berselang sesaat, barulah
berkata sungguh-sungguh.
"Adik Im, janganlah engkau takabur karena ilmu tongkat bertambah lihay, sebab takabur akan
membuatmu lupa daratan."
"Kakak Hiong, percayalah!" Lim Ceng Im tertawa kecil. "Aku tidak akan begitu."
"Syukurlah!" Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Ohya, Kakak Hiong!" Lim Ceng Im menatapnya dengan penuh harap. "Bolehkah aku
mengikutimu ke gunung Cing San?"
"Tidak boleh." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.
"Kenapa?" Lim Ceng Im cemberut.
"Tiada persetujuan dari ayahmu, engkau tidak boleh ikut aku ke gunung Cing San," sahut Tio
Cie Hiong. "Itu tidak apa-apa. Ayahku tidak akan tahu."
"Justru ayahmu tidak tahu, maka engkau tidak boleh ikut."
"Kakak Hiong...." Lim Ceng Im membanting-bantingkan kaki.
Pada waktu bersamaan, terdengarlah suara dehem dari kejauhan di belakang mereka. Begitu
mereka menoleh, tampak seorang pengemis telah berdiri di
situ. "Ayah...." Wajah Lim Ceng Im langsung berubah.
"Bagus! Bagus!" sahut pengemis itu, yang tidak lain Lim Peng Hang, Si Tongkat Maut ketua Kay
Pang. "Engkau mau minggat ya?"
"Ayah, aku tidak minggat." ujar Lim Ceng Im dengan wajah memerah. "Melainkan ingin ikut dia
ke gunung Ciang San."
"Tidak boleh." Lim Peng Hang menggelengkan kepala.
"Oooh!" Tiba-tiba Tio Cie Hiong teringat akan pengemis itu. "Ternyata Paman pengemis yang
waktu itu ya, kebetulan sekali."
"Apa yang kebetulan?" tanya Lim Peng Hang heran.
"Aku sudah mempunyai uang, kita bagi dua saja, ya,"sahut Tio Cie Hiong. "Jadi Paman tidak
usah menahan lapar."
"Eeeh?" Lim Peng Hang melotot. "Engkau berani menghinaku?"
"Paman!" Tio Cie Hiong tercengang. "Bukankah dua tahun lalu Paman pernah minta uang
kepadaku" Sekarang aku akan membagikan uangku kepada Paman, kok
Paman malah berkata begitu?"
"Bagus! Bagus!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Mana uangmu?"
Tio Cie Hiong mengeluarkan uangnya, kemudian dibagikannya kepada Lim Peng Hang. "Paman!"
ujar Tio Cie Hiong. "Tolong bagikan juga kepada pengemis
lain, agar mereka pun tidak kelaparan."
"Kalau begitu...." Lim Peng Hang tersenyum. "Uangmu harus dibagikan kepadaku lagi separuh,
sebab aku harus mewakilimu membagikan kepada pengemis
lain." "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Ayah kok begitu serakah?" tegur Lim Ceng Im.
"Siapa bilang ayah serakah?" Lim Peng Hang melotot. "Bukankah ayah harus membagikan lagi
kepada pengemis lain?"


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi dia masih harus melanjutkan perjalanan,dan membutuhkan uang," sahut Lim Ceng Im.
"Adik Im!" ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Itu tidak apa-apa, sebab sisa uang ini masih
cukup untukku."
"Benar! Benar!" Lim Peng Hang tertawa gelak, kemudian menarik Lim Ceng Im. "Terima kasih
ya, Mari kita pergi!" Tanpa basa-basi lagi.
"Tidak mau!" Lim Ceng Im tidak mau beranjak dari tempatnya.
"Adik Im!" ujar Tio Cie Hiong. "Tidak baik melawan orang tua, ikutlah ayahmu pulang!"
"Tapi... kita akan berpisah lagi." Wajah Lim Ceng Im tampak murung.
"Kita akan berjumpa kembali kelak, percayalah..." sahut Tio Cie Hiong.
"Kakak Hiong...." Mata Lim Ceng Im bersimbah air. "Sampai jumpa!"
"Sampai jumpa, Adik Im!" Tio Cie Hiong memandangnya sambil tersenyum lembut. Setelah Lim
Ceng Im dan ketua Kay Pang itu lenyap dari pandangannya,
barulah Tio Cie Hiong meninggalkan tempat itu melanjutkan perjalanannya ke gunung Cing San.
Begitu sampai di halaman markas, pusat Kay Pang. Lim Ceng Im membanting-bantingkan
kakinya, kemudian menggerutu.
"Ayah jahat! Setiap kali aku bertemu dia, ayah pasti menyuruhku pulang!"
"Nak!" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau masih kecil, tunggulah beberapa
tahun lagi, aku pasti melepaskanmu berkelana dalam rimba
persilatan."
"Aku hanya mau ikut dia ke gunung Cing San, tapi ayah melarangku. Aku... benci ayah!"
"Nak!" Lim Peng Hang menarik nafas. "Ayah setuju engkau bergaul dengannya, tapi harus
tunggu beberapa tahun lagi. Sekarang ini engkau harus giat
belajar." "Ayah!" Mendadak sepasang mata Lim Ceng Im berbinar-binar. "Kelak bolehkah aku selalu
bersamanya?"
"Tentu boleh." Lim Peng Hang mengangguk. "Tapi sekarang engkau harus menyerahkan
segenap perhatianmu belajar ilmu silat."
Wajah Lim Ceng Im berseri.
"Ohya! Apakah tujuh belas jurus Tah Kauw Kun Hoat yang kuajarkan kepadamu itu telah kau
kuasai?" tanya Lim Peng Hang mendadak.
"Ayah!" Lim Ceng Im tersenyum. "Aku sudah dapat menguasai semua jurus itu."
"Kalau begitu, coba perlihatkan pada ayah!" ujar Lim Peng Hang sambil menyerahkan tongkat
bambunya kepada Lim Ceng Im.
Lim Ceng Im mengangguk. Setelah menerima tongkat bambu itu, ia pun mulai bergerak, dan
seketika tongkat bambu itu berkelebatan laksana kilat.
Lim Peng Hang menyaksikannya dengan mata terbeliak lebar, sebab Tah Kauw Kun Hoat yang
diperlihatkan Lim Ceng Im agak berbeda, jauh lebih lihay
dari Tah Kauw Kun Hoat yang diajarkannya.
"Ceng Im!" Lim Peng Hang menatapnya dengan mata tak berkedip. "Tah Kauw Kun Hoat yang
kau perlihatkan itu kok agak lain?"
"Bagaimana menurut Ayah?" tanya Lim Ceng Im sambil tersenyum.
"Bertambah lihay," sahut Lim Peng Hang dan bertanya. "Lo cianpwee mana yang menambahkan
gerakan-gerakan itu?"
"Bukan lo cianpwee, melainkan siauw cianpwee," sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum geli.
"Maksudmu?" Lim Peng Hang terheran-heran. "Cianpwee kecil yang mana?"
"Itu... anak lelaki tuh!" Lim Ceng Im memberitahukan.
"Apa?" Mulut Lim Peng Hang ternganga lebar. "Dia... dia yang menambahkan gerakan-gerakan
itu dalam jurus Tah Kauw Kun Hoat?"
"Ya." Lim Ceng Im mengangguk. "Memang dia. Aku sendiri pun tidak habis pikir, kenapa dia
mampu menciptakan gerakan-gerakan untuk menyempurnakan Tah
Kauw Kun Hoat itu."
"Ceng Im! Siapa dia?"
"Namanya Tio Cie Hiong."
"Dia... dia anak sakti yang dimaksudkan kakekmu!" ujar Lim Peng Hang sambil menarik nafas
dalam-dalam. "Dia pula yang menyempurnakan Sam Ciat Kun
Hoat!" "Oh?" Mendengar ucapan itu, Lim Ceng Im semakin kagum pada Tio Cie Hiong. "Dia memang
sangat luar biasa sekali. Dia tidak mau belajar
ilmu silat, tapi justru mampu menciptakan gerakan-gerakan ilmu silat yang begitu lihay. Dia juga
memberitahukan, bahwa dia pernah belajar semacam
ilmu lweekang dari sebuah kitab tipis. Dalam kitab tipis itu juga terdapat berbagai uraian tentang
pukulan, pedang dan lain sebagainya."
"Nak!" Mendadak Lim Peng Hang tertawa.
"Kenapa Ayah tertawa?" Lim Ceng Im heran.
"Kakekmu bilang...." Lim Peng Hang menatapnya lagi dan tertawa lagi.
"Ayah kenapa sih?" Lim Ceng Im cemberut. "Misterius amat! Sebetulnya ada apa?"
"Kakekmu pernah bilang, dia akan menjodohkanmu dengan Tio Cie Hiong kelak." Lim Peng
Hang memberitahukan.
"Kakek jahat!" Wajah Lim Ceng Im langsung memerah.
"Ooo... Jadi engkau tidak suka dijodohkan dengan Tio Cie Hiong" Baiklah! Ayah akan
memberitahukan kepada kakekmu!"
"Ayah...." Kalutlah Lim Ceng Im. "Jangan begitu...."
"Maksudmu bersedia dijodohkan dengannya?" tanya Lim Peng Hang sambil tersenyum-senyum.
"Ayah...." Lim Ceng Im langsung berlari ke dalam.
Lim Peng Hang, ketua Kay Pang itu tertawa gelak sambil memandang punggung Lim Ceng Im,
lalu berjalan ke dalam dengan wajah berseri-seri.
Dua hari kemudian, Tio Cie Hiong telah tiba di sebuah desa kecil. Dari desa kecil dia dapat
melihat Gunung Cing San yang menjulang tinggi. Dia
bertanya kepada penduduk desa mengenai Suan Hong Tong (Gua Angin Puyuh) itu, agar tidak
tersesat di Gunung Cing San.
"Apa"!" Salah seorang penduduk desa yang berusia lanjut tampak terkejut. "Anak muda, engkau
mau ke Goa Angin Puyuh itu?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Aku ingin menemui seseorang di sana."
"Anak muda!" Orang tua berusia lanjut itu menggeleng-gelengkan kepala. "Lebih baik engkau
jangan ke sana!"
Dua hari kemudian, Tio Cie Hiong telah tiba di sebuah desa kecil. Dari desa kecil dia dapat
melihat Gunung Cing San yang menjulang tinggi. Dia
bertanya kepada penduduk desa mengenai Suan Hong Tong (Gua Angin Puyuh) itu, agar tidak
tersesat di Gunung Cing San.
"Apa"!" Salah seorang penduduk desa yang berusia lanjut tampak terkejut. "Anak muda, engkau
mau ke Goa Angin Puyuh itu?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Aku ingin menemui seseorang di sana."
"Anak muda!" Orang tua berusia lanjut itu menggeleng-gelengkan kepala. "Lebih baik engkau
jangan ke sana!"
"Kenapa, Paman tua?" Tio Cie Hiong tercengang.
"Sebab ada siluman di dalam goa itu. Tiga hari sekali kami harus membawa puluhan ekor ayam
ke sana. Kalau tidak, siluman itu pasti membunuh kami."
Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Paman tua, beritahukan saja kepadaku di mana goa itu!"
"Anak muda...." Orang tua berusia lanjut itu menggeleng-gelengkan kepala, tapi akhirnya
memberitahukan juga berada di mana Goa Angin Puyuh itu.
"Terimakasih, Paman tua!" ucap Tio Cie Hiong, lalu melanjutkan perjalanannya ke goa tersebut.
Setelah hari mulai malam, barulah Tio Cie Hiong sampai di depan goa itu. Tak lama kemudian
terdengar suara desiran di dalam goa.
"Cianpwee, aku ingin bertemu...!!" seru Tio Cie Hiong.
"Siapa engkau anak muda" Mau apa engkau ke mari?" Terdengar suara sahutan dari dalam goa.
"Namaku Tio Cie Hiong. Apakah cianpwee Tok Pie Sin Wan?" tanya Tio Cie Hiong.
Tiada suara sahutan, namun mendadak berkelebat sosok bayangan dari dalam goa. Seorang tua
berlengan satu, rambutnya awut-awutan berdiri di hadapan
Tio Cie Hiong, dan menatapnya tajam. "Siapa yang memberitahukan kepadamu bahwa aku Tok
Pie Sin Wan?" tanya orang tua itu.
"Kim Siauw Suseng." jawab Tio Cie Hiong.
Kening Tok Pie Sin Wan berkerut. "Kenapa dia memberitahukan tentang diriku?"
"Sebab cianpwee teman baik Ku Tok Lojin. Aku ingin bertanya kepada cianpwee di manakah Ku
Tok Lojin berada?"
"Ada hubungan apa engkau dengan Ku Tok Lojin?"
"Tiada hubungan apa-apa. Tapi..., Ku Tok Lojin tahu siapa kedua orang tuaku, maka aku harus
bertanya kepadanya."
Tok Pie Sin Wan menatapnya, kemudian mengajak Tio Cie Hiong masuk ke goa. "Mari ikut aku
ke dalam!"
Tio Cie Hiong mengangguk, lalu mengikuti Tok Pie Sin Wan ke dalam goa. Ruangan goa itu
cukup terang karena ada beberapa buah lampu minyak
bergantung di dinding goa. Di sana tampak pula belasan ekor ayam di dalam kurungan.
"Duduklah!" ujar Tok Pie Sin Wan.
"Terimakasih!" ucap Tio Cie Hiong lalu duduk di hadapannya.
"Anak muda!" Tok Pie Sin Wan menatapnya dalam-dalam. "Jadi engkau tidak tahu siapa kedua
orang tuamu?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Benarkah Ku Tok Lojin tahu siapa kedua orang tuamu?" tanya Tok Pie Sin Wan.
"Benar atau tidak, aku tidak tahu. Namun sebelum pamanku meninggal, dia berpesan kepadaku
harus menemui Ku Tok Lojin, karena Ku Tok Lojin akan
memberitahukan siapa kedua orang tuaku."
"Ooooh!" Tok Pie Sin Wan manggut-manggut. "Cianpwee, beritahukanlah padaku di mana Ku
Tok Lojin berada?" ujar Tio Cie Hiong penuh harap.
"Kalau begitu, engkau harus ke Gunung Heng San Lembah Kesepian, sebab dia tinggal di sana."
Tok Pie Lojin memberitahukan.
"Aku sudah ke sana, tapi Ku Tok Lojin telah meninggalkan lembah itu." ujar Tio Cie Hiong.
"Maka aku ke mari bertanya kepada Cianpwee."
Tok Pie Sin Wan menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau begitu, aku pun tidak tahu di mana dia
berada." "Bukankah Cianpwee teman baiknya?"
"Benar." Tok Pie Sin Wan mengangguk. "Maka aku tahu dia tinggal di lembah itu. Namun kalau
dia telah meninggalkan lembah itu, aku pun tidak bisa
tahu kemana dia pergi."
"Aaakh...!" keluh Tio Cie Hiong.
"Puluhan tahun lalu, kami memang merupakan teman akrab." Tok Pie Sin Wan memberitahukan.
"Tapi sejak isterinya meninggalkannya, sifatnya berubah
aneh dan Sering marah-marah, akhirnya kedua putrinya meninggalkannya. Sejak itulah dia
hidup kesepian."
"Cianpwee, siapa kedua putrinya?"
"Lie Hui Hong dan Lie Mei Hong. Kemudian Lio Hui Hong menikah dengan Hui Kiam Bu Tek-Tio
It Seng, namun Lie Mei Hong tiada kabar beritanya." ujar
Tok Pie Sin Wan dan menambahkan. "Sedangkan aku sudah hampir lima belas tahun tinggal di
dalam goa ini. Aaaakh...!"
"Cianpwee!" Tio Cie Hiong menatapnya heran. "Kenapa cianpwee menarik nafas panjang?"
"Selama lima belas tahun, aku sama sekali tidak berani keluar pada siang hari."
"Kenapa?"
"Lima belas tahun lampau, aku telah salah mempelajari semacam ilmu Iweekang, sehingga
membuat tubuhku tidak tahan akan sinar mata hari, rasanya
seperti terbakar." Tok Pie Sin Wan menghela nafas lagi. "Dan juga dua tiga hari sekali aku pasti
merasa dingin sekali, karena itu, aku sudah
menghisap darah ayam, anjing dan kelinci agar tidak merasa dingin."
"Pantas penduduk di desa itu harus menyediakan ayam untuk cianpwee, ternyata begitu!" ujar
Tio Cie Hiong dan menatapnya. "Cianpwee, betulkah
cianpwee akan membunuh mereka, kalau mereka tidak menyediakan ayam?"
"Tentu tidak." Tok Pie Sin Wan menggelengkan kepala. "Aku terpaksa mengancam mereka, agar
mereka mau menyediakan ayam untukku."
Tio Cie Hiong menarik nafas lega.
"Anak muda! Apakah engkau murid Kim Siauw Suseng?" tanya Tok Pie Sin Wan mendadak.
"Bukan."
"Kalau begitu, engkau murid siapa?"
"Aku bukan murid siapa-siapa." Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku tidak tertarik akan ilmu silat.
Kalau aku sudah berhasil mencari Ku Tok Lojin dan tahu
siapa kedua orang tuaku, aku malah akan tinggal di tempat yang sepi, Cianpwee, maaf! Aku
mohon berpamit!" ujar Tio Cie Hiong sambil bangkit
berdiri. "Lebih baik engkau berangkat esok pagi saja. Sekarang hari sudah malam." ujar Tok Pie Sin
Wan mengusulkan. "Engkau boleh tinggal di dalam goa ini."
"Terimakasih, Cianpwee!" Tio Cie Hiong duduk kembali.
"Anak muda, kalau engkau mau tidur sekarang, tidurlah di atas jerami itu agar engkau tidak
kedinginan!" ujar Tok Pie Sin Wan.
"Terima kasih, Cianpwee!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku cukup duduk bersemadi di sini saja!"
"Duduk bersemadi?" Tok Pie Sin Wan tampak tercengang. "Engkau bisa tidur dalam keadaan
bersemadi?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk, lalu memejamkan matanya dan mulai bersemadi.
Tok Pie Sin Wan memandangnya dengan mulut ternganga lebar. Tak seberapa lama kemudian,
Tio Cie Hiong kelihatan telah pulas dalam keadaan bersemadi.
Tok Pie Sin Wan terkejut bukan main, sebab Tio Cie Hiong bisa menarik nafasnya begitu dalam,
dan menghembuskannya begitu lama. Itu pertanda Tio Cie
Hiong telah memiliki semacam Iweekang yang amat tinggi.
Itu sungguh di luar dugaan Tok Pie Sin Wan. Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil bangkit
berdiri. "Cianpwee mau ke mana?" tanya Tio Cie Hiong sambil membuka matanya.
"Hah...?" Tok Pie Sin Wan tersentak, sebab tadi ia bangkit tanpa mengeluarkan suara sedikit
pun, tapi Tio Cie Hiong bisa mendengarnya walau dalam
keadaan tidur. Itu sungguh mengejutkannya.
"Cianpwee mau pergi tidur ya?" tanya Tio Cie Hiong.
Tok Pie Sin Wan tidak menjawab, namun malah balik bertanya sambil menatapnya dengan mata
terbeliak lebar.
"Engkau bisa mendengar suaraku dalam keadaan tidur?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Kenapa bisa begitu?" Tanya Top pie sin wan heran
"Entahlah" Jawab Tio Cie Hiong sambil tersenyum kemudian matanya kembali menutup dan
tertidur lagi. Esok harinya Ketika hari sudah terang, Tio Cie Hiong berpamit.
"Cianpwee, aku mohon diri!"
"Anak muda! Hati-hatilah engkau menjaga diri!" pesan Tok Pie Sin Wan.
"Ya, Cianpwee!" Tio Cie Hiong mengangguk, kemudian meninggalkan goa itu. Tok Pie Sin Wan
tidak berani mengantar keluar, karena takut akan sinar
matahari. Setelah meninggalkan Goa Angin Puyuh, Tio Cie Hiong melanjutkan perjalanan tanpa arah
tujuan. Beberapa hari kemudian, ia memasuki sebuah rimba yang
penuh pohon bambu.
Mendadak terdengar suara tawa yang sangat menyeramkan, maka Tio Cie Hiong segera
berhenti. Setelah suara tawa seram itu sirna, muncullah dua orang,
yang masing-masing berwajah hitam dan putih.
"Bocah, kemarilah dan katakan siapa namamu?" tanya orang berwajah hitam.
"Namaku Tio Cie Hiong," jawabnya dan bertanya. "Siapa Cianpwee berdua?"
"Kami adalah Hek Pek Siang Koay," sahut Siluman Putih sambil tertawa seram melengking.
"Kebetulan engkau ke mari, maka engkau harus menjadi pelayan
kami." "Maaf, Cianpwee!" sahut Tio Cie Hiong. "Aku tidak mau menjadi pelayan kalian."
"Harus mau!" bentak Hek Pek Siang Koay (Sepasang Siluman Hitam Putih) serentak.
"Maaf, Cianpwee...."
"Siluman Hitam, mari kita tangkap dia!" ujar Siluman Putih.
"Baik!" Siluman Hitam menangguk.
Kedua siluman itu langsung menangkap Tio Cie Hiong. Sepasang lengannya tercengkeram oleh
kedua siluman itu.
Akan tetapi, mendadak Tio Cie Hiong meronta, sehingga terlepas dari cengkeraman mereka, lalu
berlari kabur. "He he he!" Hek Pek Siang Koay tertawa terkekeh. "Bocah, engkau mau lari ke mana?" Kedua
siluman itu melesat ke hadapan Tio Cie Hiong, maka Tio Cie
Hiong terhadang.
"Bocah! Lebih baik engkau menjadi pelayan kami!" ujar Siluman Hitam. "Kalau engkau melawan,
kami pasti membunuhmu!"
Kedua siluman itu langsung menangkap Tio Cie Hiong. Sepasang lengannya tercengkeram oleh
kedua siluman itu.
Akan tetapi, mendadak Tio Cie Hiong meronta, sehingga terlepas dari cengkeraman mereka, lalu
berlari kabur. "He he he!" Hek Pek Siang Koay tertawa terkekeh. "Bocah, engkau mau lari ke mana?" Kedua
siluman itu melesat ke hadapan Tio Cie Hiong, maka Tio Cie Hiong terhadang.
"Bocah! Lebih baik engkau menjadi pelayan kami!" ujar Siluman Hitam. "Kalau engkau melawan,
kami pasti membunuhmu!"
"Cianpwee! Kita tidak bermusuhan, kenapa Cianpwee berniat membunuhKu?" tanya Tio Cie
Hiong dengan kening berkerut.
"Itu kalau engkau tidak mau menjadi pelayan kami!" sahut Siluman Putih.
"Bocah, kami memang membutuhkan seorang pelayan, kebetulan engkau ke mari, maka engkau
harus menjadi pelayan kami! Apabila engkau menolak, kami pasti membunuhmu"
"Cianpwee...." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.
"Engkau menolak?" bentak Siluman Hitam.
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siluman Putih! Dia tidak mau menurut, mari kita bunuh saja dia!" ujar Siluman Hitam.
"Ha ha ha!" Siluman Putih tertawa. "Itu sudah pasti!"
Tio Cie Hiong terkejut bukan main. Ia tidak tahu harus berbuat apa, sehingga berdiri mematung
di tempat. Sedangkan Hek Pek Siang Koay telah mengayunkan tangan mereka.
Buk! Buk! "Aaaakh...!" jerit Tio Cie Hiong. Dadanya telah terpukul dengan amat keras.
Tio Cie Hiong terkapar dalam keadaan pingsan, sedangkan Hek Pek Siang Koay tertawa
terkekeh-kekeh.
"Hek Pek Slang Koay!" Mendadak terdengar bentakan nyaring. "Kalian berdua begitu kejam,
maka hari ini kalian berdua harus mampus!"
Hek Pek Siang Koay terkejut. Sekonyong-konyong melayang turun sosok bayangan putih, yang
ternyata Pek ih Mo Li.
Siluman Hitam tertawa terkekeh-kekeh. "Ada wanita cantik datang!"
"Siluman Hitam, kita sungguh beruntung hari ini!" sahut Siluman Putih sambil menatap Pek Ih
Mo Li. "Dia begitu cantik, mari kita tangkap dia, lalu kita telanjangi agar kita bisa menyaksikan
tubuhnya yang indah itu!"
"Hek Pek Siang Koay" bentak Pek ih Mo Li gusar. "Ajal kalian hampir tiba, tapi kalian masih
berani berbicara kurang ajar!"
Siluman Hitam tertawa melengking. "Jangan galak-galak! Ohya, bagaimana kalau engkau
menjadi pelayan kami?"
"Hek Pek Siang Koay!" Mata Pek Ih Mo Li berapi-api. "Kalian berdua bersiap-siaplah untuk
mampus!" Siluman Hitam mengerutkan kening. "Siapa engkau" berani omong besar di hadapan kami?"
"Aku Pek Ih Mo Li!" sahutnya sepatah demi sepatah sambil menghunus pedangnya.
"Pek Ih Mo Li?" Hek Pek Siang Koay saling memandang. Ternyata mereka berdua tidak pernah
mendengar nama itu.
"He he he!" Siluman Putih tertawa terkekeh. "Siluman Hitam, mari kita bunuh dia!"
Siluman Hitam mengangguk, lalu dengan mendadak kedua siluman itu menyerang Pek Ih Mo Li.
Pek Ih Mo Li tertawa dingin sambil berkelit, kemudian menggerakkan pedangnya membentuk
beberapa buah lingkaran mengarah ke Hek Pek Siang Koay.
Bukan main terkejutnya Hek Pek Siang Koay. Secepat kilat mereka mengelak, sekaligus balas
menyerang lagi.
Sekonyong-konyong Pek Ih Mo Li melesat ke atas, dan berjungkir balik sambil menggerakkan
pedangnya membentuk puluhan lingkaran kecil.
"Aaaakh...!" jerit Hek Pek Siang Koay. Ternyata bahu mereka telah terluka oleh pedang Pek Ih
Mo Li sehingga mengucurkan darah.
Pek Ih Mo Li sudah melayang turun. Ia memandang Hek Pek Siang Koay dengan wajah dingin.
"Satu jurus lagi kalian berdua pasti mati di ujung pedangku!" bentak Pek Ih Mo Li.
Hek Pek Siang Koay segera mengeluarkan senjata masing-masing. Tadi mereka berdua
terlampau meremehkan lawan, maka hanya cuma menggunakan sepasang tangan kosong saja.
Oleh karena itu, bahu mereka terluka oleh pedang Pek ih Mo Li. Betapa gusarnya Hek Pek Siang
Koay. Setelah mengeluarkan senjata, mereka berdua langsung menyerang Pek Ih Mo Li. Terjadilah
pertempuran yang amat sengit dan dahsyat. Tampak kedua senjata Hek Pek Siang Koay
berkelebatan mengarah ke Pek Ih Mo Li. Akan tetapi pedang Pek Ih Mo Li mulai membentuk
lingkaran besar dan lingkaran kecil.
Beberapa jurus kemudian, terdengarlah suara jeritan Hek Pek Siang Koay yang menyayatkan
hati. "Aaaakh...! "Aaaakh...!"
Hek Pek Siang Koay terkapar dengan dada berlumuran darah. Ternyata dada mereka telah
tertembus pedang Pek Ih Mo Li, dan nyawa mereka pun melayang seketika.
Setelah membunuh Hek Pek Siang Koay, Pek Ih Mo Li mendekati Tio Cie Hiong yang dalam
keadaan pingsan.
Pek Ih Mo Li tertegun. Ia ingat pernah melihatnya di Ekspedisi Harimau Terbang. Betapa
terkejutnya Pek Ih Mo Li ketika menyaksikan wajahnya yang pucat pias. Ia segera membuka
bajunya. Tampak bekas dua telapak tangan kehijau-hijauan di dadanya. "Ngo Tok Ciang...."
Ia telah tahu, Siapa yang terkena pukulan Ngo Tok Ciang, dalam waktu beberapa jam kemudian
pasti mati. Itu sungguh membuat Pek Ih Mo Li kacau dan resah, sama sekali tidak tahu apa yang
harus dilakukannya. Pada waktu bersamaan, terdengarlah suara yang sangat halus.
"Omitohud!"
Pek Ih Mo Li terkejut bukan main dan segera menoleh. Dilihatnya seorang padri tua berwajah
pengasih dan berjenggot sebatas dada berdiri di situ. Begitu melihat padri tua itu, Pek Ih Mo Li
tersentak. "Apakah aku berhadapan dengan Lam Hai Sin Ceng?"
"Omitohud! Engkau tentu Pek Ih Mo Li," sahut padri tua. Memang tidak salah, padri tua itu
adalah Bu Lim It Ceng.
"Sin Ceng, tolonglah anak itu!" ujar Pek Ih Mo Li memohon.
"Engkau kenal dia?" tanya Lam Hai Sin Ceng. "Aku pernah melihatnya di Ekspedisi Harimau
Terbang." Pek Ih Mo Li memberitahukan. "Dia anak baik, maka aku mohon Sin Ceng sudi
menolongnya!"
"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng mendekati Tio Cie Hiong yang masih dalam keadaan pingsan.
Ketika melihat bekas sepasang telapak tangan di dada Tio Cie Hiong, kening padri tua berkerut.
"Ngo Tok Ciang!"
Lam Hai Sin Ceng membungkukkan badannya, lalu menjulurkan tangannya untuk menotok jalan
darah di dada Tio Cie Hiong, agar racun tidak menjalar ke jantung.
Akan tetapi, ketika jari tangannya menyentuh dada Tio Cie Hiong, padri tua itu tampak tertegun.
"Sin Ceng! Bagaimana" Apakah dia masih bisa ditolong?" tanya Pek- Ih Mo Li tegang.
"Omitohud! Ini sungguh di luar dugaan dan luar biasa sekali." sahut Lam Hai Sin Ceng.
"Kenapa, Sin Ceng?" Pek Ih Mo Li heran. "Anak ini telah memiliki semacam Iweekang yang amat
tinggi, maka jantungnya terlindung oleh Iweekang itu." Lam Hai Sin Ceng memberitahukan. "Tapi
dia tetap harus diobati."
"Sin Ceng bisa mengobatinya?"
"Tidak bisa. Namun ada satu orang bisa mengobatinya."
"Siapa orang itu?"
"Sok Beng Yok Ong, Hanya dia yang bisa memusnahkan racun Ngo Tok itu."
"Yok Ong itu tinggal di mana?"
"Di kaki Gunung Wu San." Lam Hai Sin Ceng memberitahukan. "Lembah Persik, engkau harus
segera membawa anak itu ke sana! Tapi...."
"Kenapa?"
"Sok Beng Yok Ong bersifat sangat aneh. Kalau dia tidak senang, jangan harap dia akan
mengobati orang."
"Bolehkah aku bilang Sin Ceng yang menyuruhku ke sana?" tanya Pek Ih Mo Li mendadak.
"Tidak boleh." Lam Hai Sin Ceng menggelengkan kepala.
"Kenapa?" Pek Ih Mo Li heran.
"Dia pasti tersinggung karena mengira engkau menggunakan namaku untuk menemukannya,
maka urusan akan runyam karenanya."
"Kalau begitu...." Pek Ih Mo Li mengerutkan kening.
"Apabila engkau bersungguh hati ingin menolong anak itu, tentunya Sok Beng Yok Ong pun
akan mengobatinya. Percayalah!" ujar Lam Hai Sin Ceng sambil tersenyum.
Pek Ih Mo Li mengangguk, lalu menggendong Tio Cie Hiong di punggungnya.
"Pek Ih Mo Li!" Lam Hai Sin Ceng menatapnya dalam-dalam seraya berkata, "Segala sesuatu
memang telah merupakan takdir, maka aku harap engkau berhati-hati dalam tiga tahun ini, sebab
menyangkut keselamatanmu."
Pek Ih Mo Li tersenyum. "Terimakasih atas pesan Sin Ceng. Kalau itu telah merupakan takdir,
berhati-hati pun akan terjadi."
"Omitohud!" ucap Lam Hai Sin Ceng, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Sin Ceng, sampai jumpa!" ucap Pek Ih Mo Li lalu melesat pergi.
"Pek Ih Mo Li, siapa gurumu?" tanya Lam Hai Sin Ceng dengan menggunakan Iweekang.
"Sin Ceng, guruku adalah Ciat Lun Sin Ni," sahut Pek Ih Mo Li.
"Omitohud!" ucap Lam Hai Sin Ceng lagi. Padri tua itu berdiri termangu-mangu di tempat,
bahkan kemudian juga menghela nafas dan bergumam. "Ciat Lun Sin Ni, ternyata Pek Ih Mo Li
adalah muridnya. Ciat Lun Sin Ni...."
Lembah itu penuh batu curam. Namun sungguh mengherankan, di dalamnya terdapat sebuah
bangunan yang sangat besar dan indah. Para kaum Bu Lim mengetahui bahwa itu Thian Mo Kiong.
Selama puluhan tahun, tiada seorang kaum Bu Lim pun yang berani mendatangi lembah itu. Sebab
siapa yang masuk ke lembah itu, pasti tidak bisa keluar dengan selamat.
Di ruang tengah Istana Thian Mo Kiong, tampak tiga orang tua duduk bersila mengelilingi meja
pendek. Di atas meja pendek itu terdapat sebuah kotak putih yang bergemerlapan. Sungguh indah
kotak itu! Siapa ketiga orang tua yang berwajah bengis dan kotak apa yang di atas meja pendek itu"
Ketiga orang tua itu adalah Bu Lim Sam Mo, sedangkan kotak putih yang bergemerlapan itu
adalah Kotak Pusaka yang diperebutkan pada kaum Bu Lim.
"Telah belasan tahun kita bertanding untuk memperoleh Kotak Pusaka ini, Namun selama itu
kita bertiga selalu bertanding seri," ujar Tang Hai Lo Mo "Itu berarti kita telah membuang waktu
dengan sia-sia!"
"Tang Hai Lo Mo!" sahut Thian Mo. "Kita bertiga membunuh Hui Kiam Bu Tek dan isterinya,
untuk memperoleh Kotak Pusaka ini. Tentunya kita bertiga harus bertanding pula, siapa yang
menang, dialah yang berhak memperoleh Kotak Pusaka ini."
"Tidak salah" sambung Te Mo dengan suara parau. "Kita harus terus bertanding hingga ada
yang menang!"
Lembah itu penuh batu curam. Namun sungguh mengherankan, di dalamnya terdapat sebuah
bangunan yang sangat besar dan indah. Para kaum Bu Lim
mengetahui bahwa itu Thian Mo Kiong. Selama puluhan tahun, tiada seorang kaum Bu Lim pun
yang berani mendatangi lembah itu. Sebab siapa yang masuk
ke lembah itu, pasti tidak bisa keluar dengan selamat.
Di ruang tengah Istana Thian Mo Kiong, tampak tiga orang tua duduk bersila mengelilingi meja
pendek. Di atas meja pendek itu terdapat sebuah kotak
putih yang bergemerlapan. Sungguh indah kotak itu!
Siapa ketiga orang tua yang berwajah bengis dan kotak apa yang di atas meja pendek itu"
Ketiga orang tua itu adalah Bu Lim Sam Mo, sedangkan kotak putih yang bergemerlapan itu
adalah Kotak Pusaka yang diperebutkan pada kaum Bu Lim.
"Telah belasan tahun kita bertanding untuk memperoleh Kotak Pusaka ini, Namun selama itu
kita bertiga selalu bertanding seri," ujar Tang Hai Lo Mo
"Itu berarti kita telah membuang waktu dengan sia-sia!"
"Tang Hai Lo Mo!" sahut Thian Mo. "Kita bertiga membunuh Hui Kiam Bu Tek dan isterinya,
untuk memperoleh Kotak Pusaka ini. Tentunya kita bertiga
harus bertanding pula, siapa yang menang, dialah yang berhak memperoleh Kotak Pusaka ini."
"Tidak salah" sambung Te Mo dengan suara parau. "Kita harus terus bertanding hingga ada
yang menang!"
"Kalau begitu, selamanya tiada seorang pun diantara kita yang akan memperoleh Kotak Pusaka
ini" ujar Tang Hai Lo Mo sambil menggeleng-geleng
kepala. "Kenapa?" tanya Thian Mo dan Te Mo serentak.
"Karena kepandaian kita seimbang, maka selamanya kita bertiga pasti bertanding seri" jawab
Tang Hai Lo Mo dan menambahkan. "Kita bertiga beruntung
telah memperoleh Kotak Pusaka peninggalan Pak Kek Siang Ong yang berisi kitab ilmu silatnya,
tapi kita justru telah membuang-buang waktu belasan
tahun." "Ha ha ha!" Thian Mo tertawa gelak. "Pada waktu itu kita turun tangan duluan. Kalau tidak, It
Ceng dan Ji Khie pasti menghalangi kita."
"It Ceng dan Ji Khie!" dengus Tang Hai Lo Mo dingin. "Kita bertiga pasti dapat mengalahkan
mereka." "Benar." Te Mo tertawa gelak.
"Tapi...." Thian Mo menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau kita terus bertanding dan selalu seri,
siapa diantara kita yang akan mempelajari ilmu silat
peninggalan Pak Kek Siang Ong?"
Tang Hai Lo Mo manggut-manggut. "Itulah yang kupikirkan dalam beberapa hari ini."
"Tang Hai Lo Mo! Bagaimana menurut pendapatmu setelah berpikir sekian lama?" tanya Thian
Mo. "Kita bertiga disebut Bu Lim Sam Mo, karena kita memiliki sifat yang sama. Oleh karena itu,
alangkah baiknya....." Tang Hai Lo Mo tidak
melanjutkan, melainkan memandang Thian Mo dan Te Mo.
"Engkau punya usul?" tanya Thian Mo dan Te Mo serentak.
"Ya." Tang Hai Lo Mo mengangguk.
"Kalau usulmu saling menguntungkan, tentu kami setuju," ujar Thian Mo sungguh-sungguh.
"Menurut pendapatku, alangkah baiknya kita bersatu mempelajari ilmu silat itu. Jadi kita tidak
usah menyia-nyiakan waktu lagi." Tang Hai Lo Mo
menatap mereka tajam.
Thian Mo dan Te Mo saling memandang. Kelihatannya mereka berdua sedang memikirkan usul
tersebut. Setelah itu barulah mereka mengangguk.
"Usul itu memang tepat, maka kami setuju," ujar Thian Mo.
"Bagus." Tang Hai Lo Mo tertawa gembira. "Setelah kita bertiga berhasil mempelajari ilmu silat
itu, kita bertiga pun harus tetap bergabung."
"Betul." Te Mo tertawa gelak. "Pada waktu itu, Bu Lim Sam Mo sudah pasti diatas It Ceng dan Ji
Khie." "Tidak salah." Te Mo tertawa terkekeh-kekeh. "Kita pasti dapat menguasai rimba persilatan.
Setelah kita merobohkan It Ceng dan Ji Khie, tujuh
partai besar dalam rimba persilatan pun harus menuruti perintah kita. Partai mana yang berani
membangkang, harus kita basmi."
"Itulah tujuanku, dan kini telah menjadi tujuan kita bersama." Tang Hai Lo Mo tertawa keras,
sehingga badannya bergoyang-goyang."Oleh karena itu,
setelah berhasil mempelajari ilmu silat peninggalkan Pak Kek Siang Ong, kita harus mendirikan
Sam Mo Kauw (Agama Tiga lblis). Kita undang semua
golongan hitam dan golongan sesat untuk bergabung, agar Sam Mo Kauw bertambah kuat.
Kalian berdua setuju?"
"Setuju" sahut Thian Mo dan Te Mo serentak sambil tertawa gembira.
"Nah! Sekarang mari kita buka Kotak Pusaka itu!" ujar Tang Hai Lo Mo.
Thian Mo dan Te Mo segera mendekati Kotak Pusaka, tapi Tang Hai Lo Mo justru mencegah
mereka. "Jangan mendekati Kotak Pusaka itu!"
"Kenapa?" Thian Mo dan Te Mo heran.
"Kita harus menjaga segala sesuatu!" Tang Hai Lo Mo memberitahukan. "Lebih baik kita buka
dari jarak jauh"
"Betul." Thian Mo dan Te Mo mengangguk. Mereka berdua segera melangkah ke belakang lalu
duduk kembali. "Kita menggunakan tenaga dalam membuka Kotak Pusaka itu, namun harus hati-hati," pesan
Tang Hai Lo Mo. "Jangan sampai merusak kitab yang ada di
dalamnya."
Thian Mo dan Te Mo manggut-manggut. Mereka bertiga lalu menghimpun Iweekang masingmasing.
"Mulai!" seru Tang Hai Lo Mo.
Seketika juga telapak tangan mereka di arahkan ke Kotak Pusaka yang berada di atas meja, dan
terdengarlah suara pletak. Kotak Pusaka itu terbuka,
dan sama sekali tidak ada senjata rahasia yang menyambar keluar. Bu Lim Sam Mo menarik
nafas lega, lalu bangkit berdiri sambil memandang ke dalam
Kotak Pusaka itu. Ternyata, Kotak Pusaka itu berisi tiga buah kitab.
Mereka bertiga segera melangkah maju, kemudian mengambil kitab-kitab tersebut.
"Pak Kek Sin Kang !" seru Tang Hai Lo Mo lalu tertawa gelak.
"Pak Kek Ciang Hoat !" Thian Mo memberitahukan dengan wajah berseri-seri.
"Pak Kek Kiam Hoat !" seru Te Mo lalu tertawa girang.
"Pertama-tama, kita bertiga harus mempelajari Pak Kek Sin Kang." ujar Tang Hai Lo Mo
sungguh-sungguh. "Setelah itu, barulah kita mempelajari ilmu
pukulan dan ilmu pedang."
"Benar." Thian Mo dan Te Mo manggut-manggut.
"Luar biasa!" seru Tang Hai Lo Mo setelah membaca sejenak kitab yang di tangannya. "Pak Kek
Sin Kang mengandung hawa dingin, bisa memukul mati
orang sekali pukul sampai beku !".
"Ha ha ha!" Thian Mo tertawa terbahak-bahak. "Kita bertiga pasti dapat merobohkan It Ceng
dan Ji Khie dengan ilmu Pak Kek Sin Kang."
"Benar." Tang Hai Lo Mo dan Te Mo juga tertawa gelak.
Lam Hai Sin Ceng duduk bersila di atas sebuah batu besar. Berselang beberapa saat, berkelebat
dua sosok bayangan ke hadapannya. Siapakah dua sosok
bayangan itu" Mereka ternyata Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng.
"Huaha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Hei! Padri keparat! Kenapa engkau
mengundang kami berdua ke mari" Apakah engkau mau mengajak kami
berunding?"
"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum. "Pengemis tua, sifatmu masih belum berubah!"
"Sifatku memang begini, bagaimana mungkin berubah?" sahut Sam Gan Sin Kay dan tertawa
gelak lagi. "Padri tua! Ada urusan apa engkau mengundang kami berdua ke mari?" tanya Kim Siauw
Suseng. "Sastrawan awet muda!" sahut Lam Hai Sin Ceng. "Tentunya ada sesuatu yang teramat
penting." "Padri tua!" Kim Siauw Suseng menatapnya tajam. "Bukankah engkau telah bersumpah tidak
mau mencampuri urusan apa pun lagi" Kok sekarang malah
bilang ada sesuatu yang teramat penting?"
"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng menghela nafas. "Kaum pertapa kalau tahu sesuatu yang
menyangkut keselamatan umat manusia, namun tidak mau
memberitahukan, itu adalah dosa!"
"Padri keparat! Apakah engkau mengetahui sesuatu yang menyangkut keselamatan rimba
persilatan?" tanya Sam Gan Sin Kay sambil menatapnya.
"Omitohud! Itu hanya merupakan suatu firasat belaka." jawab Lam Hai Sin Ceng "Tapi..


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepertinya akan terjadi."
"Padri tua!" Kim Siauw Suseng mengerutkan kening. "Engkau berfirasat apa?"
"Aku harap dalam tiga tahun ini kalian berdua harus memperdalam kepandaian masing-masing."
jawab Lam Hai Sin Ceng.
Sam Gan Sin Kay terbelalak. "Apakah agar kita bertiga bisa bertanding?"
"Bukan." Lam Hai Sin Ceng menggelengkan kepala "Aku menghendaki kalian berdua
memperdalam kepandaian masing-masing, karena kemungkinan besar tiga
tahun kemudian kalian berdua harus menghadapi Sam Mo."
"Apa?" Sam Gan Sin Kay tampak terkejut. "Tiga tahun kemudian aku dan Kim Siauw Suseng
harus menghadapi Sam Mo?"
"Ya." Lam Hai Sin Ceng mengangguk. "Aku berfirasat, tiga atau empat tahun lagi Sam Mo akan
menimbulkan bencana dalam rimba persilatan, jadi kalian
berdua harus menghadapinya."
"Hei! Padri keparat!" Sam Gan Sin Kay melotot. "Kami berdua menghadapi Sam Mo, lalu engkau
cuma menonton saja ?"
"Omitohud! Aku sudah tidak mau mencampuri urusan persilatan lagi." Lam Hai Sin Ceng
menghela nafas.
"Padri! Kenapa kami berdua harus memperdalam kepandaian kami?" tanya Kim Siauw Suseng
mendadak. "Karena...." Lam Hai Sin Ceng menghela nafas lagi. "Saat itu kalian berdua jika tidak
memperdalam kepandaian kalian masing-masing, sudah pasti
bukan lawan mereka."
Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng saling memandang, kemudian Sam Gan Sin Kay
berkata. "Sudah belasan tahun Sam Mo tiada kabar beritanya, belum
tentu mereka bisa mengalahkan kita?"
"Karena mereka bertiga telah berhasil mempelajari ilmu silat yang ada di dalam Kotak Pusaka
itu" ujar Lam Hai Sin Ceng.
"Kalau begitu...." Kim Siauw Suseng mengerutkan kening.
"Semua itu telah merupakan takdir, namun kalian berdua tetap harus berusaha memperdalam
kepandaian yang kalian miliki, agar masih dapat bertahan
bahkan harus pula mencari kesempatan untuk kabur. Kalau tidak, kalian berdua pasti akan mati
di tangan mereka."
"Padri keparat!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Tidak apa aku mati ditangan mereka, asal
tidak jadi seorang pengecut saja !" Sindirnya
"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum. "Aku bukannya ingin jadi pengecut, melainkan
percuma juga keberadaanku diantara kalian, sebab aku tidak
bisa berbuat apa-apa. Namun berdasarkan firasat dan ramalan di saat kalian berdua dalam
bahaya, pasti akan muncul dewa penolong."
"Muncul dewa penolong?" Kim Siauw Suseng melongo. "Tentunya penolong itu berkepandaian
lebih tinggi dari Sam Mo!"
"Penolong itu masih mampu melawan Sam Mo." sahut Lam Hai Sin Ceng.
"Padri keparat!" Sam Gan Sin Kay menatapnya. "Engkau jangan ngawur! Dalam rimba persilatan
sekarang ini, kepandaian siapa yang lebih tinggi dari
kita bertiga?"
"Untuk sekarang ini memang tidak ada, tapi kelak akan muncul seseorang yang berkepandaian
lebih tinggi dari kita." sahut Lam Hai Sin Ceng.
"Eeeh!" Tiba-tiba Kim Siauw Suseng teringat sesuatu. "Apakah dia?"
Sam Gan Sin Kay manggut-manggut, keduanya saling menatap sambil tersenyum.
"Kalian berdua harus mencari suatu tempat yang sepi untuk memperdalam kepandaian kalian,
jangan melalaikan itu!" pesan Lam Hai Sin Ceng, kemudian
mendadak melesat pergi.
"Padri keparat!" seru Sam Gan Sin Kay. Namun Lam Hai Sin Ceng sudah tidak kelihatan lagi.
Pengemis sakti itu menggeleng-gelengkan kepala, lalu
memandang Kim Siauw Suseng. "Sastrawan sialan! Kita harus bagaimana?"
"Aku yakin firasat padri tua itu tidak akan meleset, maka alangkah baiknya kita mencari tempat
yang sepi untuk memperdalam kepandaian kita."
"Sastrawan sialan!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Bagaimana kalau kita ke markas pusat Kay
Pang?" "Bukankah akan merepotkan putramu?"
"Tidak menjadi masalah." Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak. "Aku berani menjamin engkau
pasti akan betah di sana."
"Kalau begitu..." Kim Siauw Suseng berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Baiklah."
Bu Lim Ji Khie itu lalu melesat pergi menuju markas Kay Pang. Selama puluhan tahun, mereka
berdua bagaikan kucing dan anjing. Kalau mereka bertemu
pasti bertanding dan saling mencaci. Akan tetapi, kali ini mereka berdua tampak begitu akrab.
Lim Peng Hang, si Tongkat Maut, ketua Kay Pang terbelalak menyambut kedatangan Sam Gan
Sin Kay bersama Kim Siauw Suseng. Biasanya mereka berdua
pasti saling mencaci, namun kali ini keduanya malah muncul di markas Kay Pang sambil tertawatawa.
Hal itu tentunya sangat mencengangkan Lim Peng
Hang. "Ayah, Cianpwee!" panggil ketua Kay Pang.
"Lim Pangcu (Ketua Lim)!" Kim Siauw Suseng tertawa gelak. "Aku datang untuk makan dan tidur
selama beberapa tahun. Apakah engkau tidak
berkeberatan?"
"Tentu tidak," sahut Lim Peng Hang sambil tersenyum. "Sebaliknya aku malah merasa senang
sekali." "Bukankah engkau akan bersungut-sungut dalam hati?" ujar Kim Siauw Suseng sambil tertawa
gelak. "Sama sekali tidak, Cianpwee," sahut Lim Peng Hang sungguh-sungguh.
"Bagus!" Kim Siauw Suseng manggut-manggut.
"Silahkan duduk, Cianpwee!" ucap Lim Peng Hang.
"Peng Hang, cepat suruh seseorang menyediakan arak yang paling bagus!" ujar Sam Gan Sin
Kay. Lim Peng Hang segera menyuruh seseorang untuk mengambil arak istimewa, lalu duduk dengan
wajah penuh keheranan.
"Peng Hang!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Engkau merasa heran kenapa aku pulang bersama Kim
Siauw Suseng kan?"
"Ya, Ayah." Lim Peng Hang mengangguk. "Kami berdua telah menemui Lam Hai Sin Ceng..."
ujar Sam Gan Sin Kay memberitahukan tentang itu.
Lim Peng Hang mengerutkan kening.
"Sin Ceng itu berfirasat bahwa Sam Mo akan muncul dalam rimba persilatan kelak?"
Kim Siauw Suseng mengangguk. "Oleh karena itu, aku dan ayahmu harus memperdalam
kepandaian masing-masing."
"Pengemis bau, kapan kita akan mulai memperdalam kepandaian kita?" tanya Kim Siauw Suseng
serius. "Mulai besok." sahut Sam Gan Sin Kay. "Bagaimana?"
"Baik."Kim Siauw Suseng mengangguk. "Besok kita harus mulai...."
Bagian 7 Pek Ih Mo Li yang menggendong Tio Cie Hiong telah tiba di lembah Persik di Gunung Wu San.
"Yok Ong! Yok Ong!" serunya di depan gubuk Sok Beng Yok Ong, lalu menaruh Tio Cie Hiong
yang masih dalam keadaan pingsan.
Pintu gubuk itu terbuka. Tampak seorang tua berusia tujuh puluhan berjalan ke luar dengan
wajah penuh kegusaran.
"Hei! Gadis tak tahu diri! Kenapa engkau berteriak-teriak di depan gubukku?" bentaknya.
"Aku ingin menemui Sok Beng Yok Ong," sahut Pek Ih Mo Li.
"Akulah Sok Beng Yok Ong!" Orang tua itu melirik Tio Cie Hiong yang tergeletak di tanah.
"Ayoh, cepat pergi! Jangan menggangguku!"
"Yok Ong, tolonglah dia!" Pek Ih Mo Li menunjuk Tio Cie Hiong. "Dia terkena pukulan Ngo Tok
Ciang." "Ada urusan apa denganku?" dengus Sok Beng Yok Ong. "Ayoh, cepat bawa dia pergi!"
"Yok Ong, tolong obati dia! Kalau tidak, dia akan mati," ujar Pek Ih Mo Li memohon. "Apakah dia
adikmu?" "Bukan."
"Familimu?" "Juga bukan."
"Kalau begitu...." Sok Beng Yok Ong tertawa. "Kenapa kau bawa dia ke mari! Jangan-Jangan dia
kekasihmu!"
"Yok Ong!" Wajah Pek Ih Mo Li langsung berubah dingin. "Jangan omong sembarangan!"
"He he he!" Sok Beng Yok Ong tertawa terkekeh. "Kalau dia bukan kekasihmu, kenapa engkau
mau capek-capek membawa ke mari?"
"Aku kasihan padanya, maka kubawa dia ke mari," sahut Pek Ih Mo Li. "Yok Ong, tolonglah dia!"
"Adik bukan, famili bukan dan kekasih pun bukan! Sudahlahl Biar dia mati saja! Lagi pula aku
pun tidak punya waktu untuk menolongnya!" ujar Sok
Beng Yok Ong sambil membalikkan badannya.
"Yok Ong!" bentak Pek Ih Mo Li sambil melesat ke hadapannya. "Mau tidak menolongnya?"
"Tidak ada urusan denganku!" sahut Sok Beng Yok Ong sambil tersenyum dingin.
"Yok Ong, aku Pek Ih Mo Li. Kalau engkau tidak mau menolongnya...." Pek Ih Mo Li mulai
menghunus pedangnya.
"Yok Ong...." Mendadak Pek Ih Mo Li menghela nafas, kemudian menjatuhkan diri berlutut di
hadapan Sok Beng Yok Ong."Aku mohon, tolonglah dia!"
"Pek Ih Mo Li, engkau tiada hubungan apa-apa dengannya, kenapa engkau mau berlutut di
hadapanku bermohon agar aku bersedia menolongnya?" tanya Sok
Beng Yok Ong. "Yok Ong! Entah apa sebabnya aku merasa sangat kasihan kepadanya, dan merasa tidak tega
menyaksikan kematiannya," sahut Pek lh Mo Li dan
melanjutkan. "Yok Ong, tolonglah dia!"
"Baik!" Sok Beng Yok Ong manggut-manggut. "Tapi engkau harus memenuhi satu syaratku!"
"Apa syarat itu?"
Pek Ih Mo Li yang menggendong Tio Cie Hiong telah tiba di lembah Persik di Gunung Wu San.
"Yok Ong! Yok Ong!" serunya di depan gubuk Sok Beng Yok Ong, lalu menaruh Tio Cie Hiong
yang masih dalam keadaan pingsan.
Pintu gubuk itu terbuka. Tampak seorang tua berusia tujuh puluhan berjalan ke luar dengan
wajah penuh kegusaran.
"Hei! Gadis tak tahu diri! Kenapa engkau berteriak-teriak di depan gubukku?" bentaknya.
"Aku ingin menemui Sok Beng Yok Ong," sahut Pek Ih Mo Li.
"Akulah Sok Beng Yok Ong!" Orang tua itu melirik Tio Cie Hiong yang tergeletak di tanah.
"Ayoh, cepat pergi! Jangan menggangguku!"
"Yok Ong, tolonglah dia!" Pek Ih Mo Li menunjuk Tio Cie Hiong. "Dia terkena pukulan Ngo Tok
Ciang." "Ada urusan apa denganku?" dengus Sok Beng Yok Ong. "Ayoh, cepat bawa dia pergi!"
"Yok Ong, tolong obati dia! Kalau tidak, dia akan mati," ujar Pek Ih Mo Li memohon. "Apakah dia
adikmu?" "Bukan."
"Familimu?" "Juga bukan."
"Kalau begitu...." Sok Beng Yok Ong tertawa. "Kenapa kau bawa dia ke mari! Jangan-Jangan dia
kekasihmu!"
"Yok Ong!" Wajah Pek Ih Mo Li langsung berubah dingin. "Jangan omong sembarangan!"
"He he he!" Sok Beng Yok Ong tertawa terkekeh. "Kalau dia bukan kekasihmu, kenapa engkau
mau capek-capek membawa ke mari?"
"Aku kasihan padanya, maka kubawa dia ke mari," sahut Pek Ih Mo Li. "Yok Ong, tolonglah dia!"
"Adik bukan, famili bukan dan kekasih pun bukan! Sudahlahl Biar dia mati saja! Lagi pula aku
pun tidak punya waktu untuk menolongnya!" ujar Sok Beng Yok Ong sambil membalikkan
badannya. "Yok Ong!" bentak Pek Ih Mo Li sambil melesat ke hadapannya. "Mau tidak menolongnya?"
"Tidak ada urusan denganku!" sahut Sok Beng Yok Ong sambil tersenyum dingin.
"Yok Ong, aku Pek Ih Mo Li. Kalau engkau tidak mau menolongnya...." Pek Ih Mo Li mulai
menghunus pedangnya.
"Yok Ong...." Mendadak Pek Ih Mo Li menghela nafas, kemudian menjatuhkan diri berlutut di
hadapan Sok Beng Yok Ong."Aku mohon, tolonglah dia!"
"Pek Ih Mo Li, engkau tiada hubungan apa-apa dengannya, kenapa engkau mau berlutut di
hadapanku bermohon agar aku bersedia menolongnya?" tanya Sok Beng Yok Ong.
"Yok Ong! Entah apa sebabnya aku merasa sangat kasihan kepadanya, dan merasa tidak tega
menyaksikan kematiannya," sahut Pek lh Mo Li dan melanjutkan. "Yok Ong, tolonglah dia!"
"Baik!" Sok Beng Yok Ong manggut-manggut. "Tapi engkau harus memenuhi satu syaratku!"
"Apa syarat itu?"
"Engkau harus membenturkan kepalamu sembilan kali, barulah aku bersedia menolong anak
itu!" "Terima kasih, Yok Ong!" ucap Pek Ih Mo Li, kemudian membenturkan kepalanya ke tanah
sembilan kali. "Ha ha ha!" Sok Beng Yok Ong tertawa gelak. "Pek Ih Mo Li, bangunlah!"
Pek Ih Mo Li bangkit berdiri.
Sok Beng Yok Ong manggut-manggut seraya berkata. "Engkau bermohon dengan bersungguh
hati, maka aku menolong anak itu dengan bersungguh-sungguh pula."
"Terimakasih, Yok Ong!"
"Tapi setelah sembuh, dia harus membantuku di sini selama dua tahun. Bagaimana?"
"Aku setuju, namun entah bagaimana dengan dia?"
"Kalau engkau setuju, dia pun harus menurut." Sok Beng Yok Ong tersenyum. "Sebab engkau
yang membawanya ke mari, maka dia harus menurut."
"Baik! Aku setuju dia membantu di sini dua tahun," ujar Pek Ih Mo Li. "Yok Ong, terima kasih!"
Pek Ih Mo Li melesat pergi, Sok Beng Yok Ong termangu-mangu lalu kemudian bergumam. "Dia
dipanggil Pek Ih Mo Li, tapi hatinya malah begitu... ,Mo li apanya.?"?" Usai bergumam, Sok Beng
Yok Ong mendekati Tio Cie Hiong. Ia membungkukkan badannya, lalu memeriksa nadi dan denyut
jantung Tio Cie Hiong. "Eeeh" Kok bisa begini?"
Ternyata Sok Beng Yok Ong merasakan adanya hawa hangat melindungi jantung Tio Cie Hiong.
Oleh karena itu ia memeriksanya lagi.
"Wuah! Sungguh luar biasa! Ternyata dia tidak mati terkena pukulan Ngo Tok Ciang, karena
jantungnya terlindung oleh semacam Iwee kang yang mengandung hawa hangat.
Perlahan-lahan Tio Cie Hiong membuka matanya. Ia terheran-heran karena dirinya terbaring di
atas ranjang kayu di dalam sebuah kamar. Ia segera bangun dan di saat bersamaan, terdengarlah
suara seseorang.
"Engkau sudah sadar?"
Tio Cie Hiong memandang ke arah pintu. Tampak seorang tua berdiri di situ sambil tersenyum.
"Paman Tua, tempat ini... ?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Cobalah engkau ingat, apa yang telah terjadi atas dirimu!" sahut orang tua itu, yang tidak lain
Sok Beng Yok Ong.
"Aku hanya ingat. Ketika memasuki sebuah rimba, aku bertemu dua orang tua berwajah hitam
dan putih, kemudian mereka memukulku...."
"Mereka berdua adalah Hek Pek Siang Koay yang berhati kejam." Sok Beng Yok Ong
memberitahukan. "Dadamu terkena pukulan mereka yang mengandung racun. Engkau tidak mati
karena terlindung oleh hawa hangat yang ada di dalam tubuhmu."
"Kalau begitu, Paman Tua yang menyelamatkan nyawaku?" tanya Tio Cie Hiong.
"Pek Ih Mo Li yang menolongmu ke mari, dan aku yang menyelamatkan nyawamu," sahut Sok
Beng Yok Ong. "Pek Ih Mo Li ?" Tio Cie Hiong tercengang.
"Engkau mengenalnya?" Sok Beng Yok Ong menatapnya.
"Tidak kenal, tapi aku pernah bertemu dengannya di Ekspedisi Harimau Terbang," jawab Tio Cie
Hiong jujur. "Kalian tidak punya hubungan apa pun?"
"Tidak."
"Kalau begitu, Pek Ih Mo Li betul-betul berhati baik." Sok Beng Yok Ong manggut-manggut.
"Terimakasih, Paman telah menyelamatkan nyawaku." ucap Tio Cie Hiong.
"Engkau tidak perlu berterimakasih, sebab sebelum aku mengobatimu, aku telah mengajukan
sebuah syarat kepada Pek Ih Mo Li. Dia setuju maka engkau harus menurut."
"Aku pasti menurut."
"Tidak akan menyesal?"
"Paman Tua telah menyelamatkan nyawaku, bagaimana aku akan menyesal karena syarat itu"
Beritahukanlah! Apa syarat itu, aku pasti menurut!"
"Engkau harus membantuku di sini selama dua tahun, setelah itu, barulah engkau bebas."
Tio Cie Hiong mengangguk. "Terimakasih, Paman Tua!"
"Ha ha-Ha" Sok Beng Yok Ong tertawa gelak.
Sejak itu Tio Cie Hiong membantu Sok Beng Yok Ong meramu berbagai macam obat. Namun
ada satu hal yang tidak dimengerti Tio Cie Hiong. Kadang-kadang ada orang minta pertolongan
pada Sok Beng Yok Ong, namun dengan alasan tertentu Sok Beng Yok Ong menyuruh mereka
harus mengutungkan sebelah lengan atau sebelah kaki mereka. Hal itu sungguh membuat Tio Cie
Hiong tidak habis pikir. Kebetulan malam ini mereka berdua duduk beristirahat di depan rumah.
"Paman Tua, ada satu hal membuat aku tidak habis pikir," ujar Tio Cie Hiong.
"Mengenai hal apa?" tanya Sok Beng Yok Ong sambil menatapnya.
"Kenapa kadang-kadang Paman Tua menyuruh mereka mengutungkan sebelah lengan atau
sebelah kaki mereka?" sahut Tio Cie Hiong. "Alasan Paman Tua kalau mereka tidak mengutungkan
sebelah lengan atau sebelah kaki mereka, nyawa mereka tidak dapat tertolong. Padahal itu hanya
merupakan alasan yang dibuat-buat...."
"Benar." Sok Beng Yok Ong mengangguk sambil tersenyum.
"Paman Tua, kenapa harus begitu?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
"Cie Hiong! Tentunya engkau tahu, mereka adalah para penjahat yang berhati kejam. Aku
menyuruh mereka mengutungkan sebelah lengan atau sebelah kaki mereka, agar selanjutnya
mereka tidak bisa membunuh atau mencelakai orang lagi. Nah, engkau mengerti?"
Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Namun seharusnya tidak perlu begitu, cukup memberi
mereka nasehat saja."
"Memberi mereka nasehat?" Sok Beng Yok Ong tertawa gelak. "Engkau masih ingat kan" Hek
Pek Siang Koay pernah memukulmu. Kalau tidak muncul Pek Ih Mo Li yang kemudian membawamu
ke mari, apakah engkau masih bisa hidup?"


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tio Cie Hiong terdiam. Sok Beng Yok Ong menatapnya, dan tiba-tiba teringat sesuatu. "Ohya.
Cie Hiong! Kenapa engkau ingin mencari Ku Tok Lojin?" tanya Sok Beng Yok Ong heran.
"Ingin bertanya kepadanya tentang kedua orang tuaku," jawab Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Sebab dia tahu siapa kedua orang tuaku."
"Jadi...." Sok Beng Yok Ong menatapnya dalam-dalam. "Kini engkau masih belum tahu siapa
kedua orang tuamu?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk dengan wajah murung.
"Cie Hiong!" ujar Sok Beng Yok Ong. "Aku yakin, kedua orang tuamu pasti orang rimba
persilatan, sebab Ku Tok Lojin termasuk orang rimba persilatan yang cukup terkenal."
"Paman Tua kenal Ku Tok Lojin?" tanya Tio Cie Hiong girang.
"Tiga puluh tahun lalu, dia pernah ke mari minta semacam obat kepadaku. Tapi setelah itu, dia
tidak pernah datang lagi." Sok Beng Yok Ong memberitahukan.
'Paman Tua tidak tahu dia berada di mana?"
"Pada waktu itu, dia pernah bilang tinggal di Gunung Heng San, Lembah Kesepian."
"Aku sudah ke sana, namun dia telah meninggalkan lembah itu."
"Ku Tok Lojin...." Ucapan Sok Beng Yok Ong terputus, karena mendadak tampak sosok
bayangan berlari terhuyung-huyung ke tempat mereka, kemudian terkulai.
"Yok Ong! Tolong..." ujar orang itu lemah. Tio Cie Hiong segera mendekatinya. Ternyata
seorang lelaki berusia empat puluhan, bahunya berlumuran darah. Setelah itu Tio Cie Hiong cepatcepat
berlari ke dalam gubuk untuk mengambil obat.
Akan tetapi, mendadak muncul tiga orang berwajah seram. Maka Tio Cie Hiong berhenti. Ketiga
orang itu tertawa seram dan membentak.
"Yok Ong! Kami Oey San Sam Hiong (Tiga Orang Ganas Gunung Oey San)! Engkau dan anak itu
jangan coba-coba menolong orang ini!"
Tio Cie Hiong mengerutkan kening. Sok Beng Yok Ong cepat-cepat menariknya untuk diajak
menyingkir. Sedangkan Oey San Sam Hiong menghampiri lelaki yang terluka itu. Mereka bertiga tertawa
seram, lalu membacok lelaki itu.
"Paman Tua!" bisik Tio Cie Hiong. "Kita harus menolong lelaki itu."
"Diam!" sahut Sok Beng Yok Ong sambil memegang tangan Tio Cie Hiong erat-erat. Orang tua
itu khawatir Tio Cie Hiong akan mendekati Oey San Sam Hiong
"Ha ha ha!" ketiga orang itu tertawa, kemudian melesat pergi.
"Aaaakh.. " Sok Beng Yok Ong menghela nafas panjarg
Tio Cie Hiong segera berlari mendekati lelaki yang terbacok tidak karuan itu. Ternyata lelaki itu
telah mati. Tio Cie Hiong memandang mayat lelaki itu dengan mata terbelalak. Sungguh
mengenaskan kematian lelaki itu.
Berselang sesaat, barulah Tio Cie Hiong mengubur mayat itu di bawah sebuah pohon.
Sementara Sok Beng Yok Ong hanya berdiri mematung, lalu duduk sambil menatap Tio Cie Hiong
yang sedang mengubur mayat lelaki itu.
Seusai mengubur mayat lelaki itu, Tio Cie Hiong menghampiri Sok Beng Yok Ong, lalu duduk di
hadapannya. "Kenapa Paman Tua tidak mau menolong lelaki itu?" tanya Tio Cie Hiong.
"Kalau Oey San Sam Hiong tidak muncul, aku pasti menolongnya," sahut Sok Beng Yok Ong.
"Ketika mereka membacok laki-laki itu, kenapa Paman Tua diam saja?" Tio Cie Hiong
menatapnya. "Aku harus bagaimana kalau tidak diam?"
"Seharusnya Paman Tua berusaha menolongnya.
"Cie Hiong!" Sok Beng Yok Ong menggelenggelengkan kepala. "Oey San Sam Hiong memiliki
ilmu silat tinggi, bagaimana mungkin aku dapat menolong lelaki yang bernasib malang itu" Kalau
kita berusaha menolongnya, sama juga kita cari mati, sebab Oey San Sam Hiong berhati kejam
sekali." "Paman Tua...." Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Kita hanya menyaksikan kematian lelaki itu,
tanpa memberi sedikit pertolongan".
"Cie Hiong!" Sok Beng Yok Ong tersenyum getir. "Sejak kecil aku belajar tentang obat-obatan,
tujuanku ingin menolong orang. Tapi aku justru telah salah."
"Kenapa?" Tio Cie Hiong heran.
"Karena aku tidak belajar ilmu silat," sahut Sok Beng Yok Ong. "Kalau aku belajar ilmu silat,
bukankah tadi aku bisa menolongnya?"
Tio Cie Hiong diam. Sok Beng Yok Ong menatapnya, kemudian berkata sungguh-sungguh.
"Oleh karena itu, engkau harus belajar ilmu silat."
"Paman Tua, aku semakin ngeri menyaksikan kaum persilatan. Mereka terus-menerus saling
membunuh, maka membuatku semakin tidak mau belajar ilmu silat."
"Cie Hiong...." Sok Beng Yok Ong menggeleng-gelengkan kepala lalu menarik nafas panjang.
"Aaakh...!"
Sudah dua tahun Tio Cie Hiong membantu Sok Beng Yok Ong. Kini usianya sudah tujuh belas
tahun dan makin tampan pula. Selama dua tahun itu, Sok Beng Yok Ong sangat menyayanginya,
dan sekaligus mengajarnya tentang obat-obatan.
"Cie Hiong!" panggil Sok Beng Yok Ong.
"Ya, Paman Tua," sahut Tio Cie Hiong sambil menghampirinya.
"Cie Hiong!" Sok Beng Yok Ong menatapnya sambil tersenyum lembut. "Duduklah!"
Tio Cie Hiong duduk di hadapan Sok Beng Yok Ong. Ia merasa heran, kenapa hari ini Sok Beng
Yok Ong tampak begitu serius.
"Sudah dua tahun engkau membantuku di sini. Kenapa dua tahun lalu aku menghendakimu
membantuku?" ujar Sok Beng Yok Ong.
"Itu merupakan syarat Paman Tua," jawab Tio Cie Hiong. "Karena Paman Tua telah
menyelamatkan jiwaku."
"Sebetulnya itu bukan merupakan syarat." Sok Beng Yok Ong tersenyum. "Aku memang sengaja
menahanmu di sini dua tahun."
"Apa sebabnya?" Tio Cie Hiong heran. "Aku menghendakimu mengerti obat-obatan. Kini
tentunya engkau telah menguasai semuanya. Aku ingin sekali punya penerus" jawab Sok Beng Yok
Ong memberitahukan. "Jadi engkau pun bisa menolong orang seperti aku."
Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Terimakasih atas bimbingan Paman Tua selama ini!"
"Aku tahu, engkau telah memiliki semacam Iweekang menyehatkan tubuh. Akan tetapi, itu
masih belum cukup," ucap Sok Beng Yok Ong.
"Maksud Paman Tua?" Tio Cie Hiong kebingungan.
"Sebab Iweekangmu masih belum membuat tubuhmu kebal terhadap segala macam racun.
Karena itu, engkau harus makan buah Ling Che, agar tubuhmu kebal terhadap segala macam
racun." "Buah Ling Che?" Tio Cie Hiong melongo.
"Ya." Sok Beng Yok Ong mengangguk lalu menjelaskan. Buah itu buah langka, setiap lima ratus
tahun berbuah sekali. Pohon Ling Che hanya berdaun sembilan, maka disebut Kiu Yap Ling Che
(Ling Che Berdaun Sembilan). Setelah engkau makan buah itu, tubuhmu pasti kebal terhadap racun
apa pun." "Buah itu berada di mana?" tanya Tio Cie Hiong tertarik.
"Di puncak Gunung Thian San." Sok Beng Yok Ong memberitahukan. "Karena di dalam tubuhmu
mengalir semacam hawa hangat, maka engkau tidak perlu begitu khawatir terhadap hawa dingin di
puncak gunung itu."
"Tapi... untuk apa tubuhku harus kebal terhadap racun?" tanya Tio Cie Hiong sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kini engkau sudah mengerti tentang obat-obatan, tentunya engkau harus menolong orang,
maka tubuhmu sendiri harus sehat," sahut Sok Beng Yok Ong. "Jadi engkau harus makan buah itu".
Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Cie Hiong!" Sok Beng Yok Ong menatapnya. "Setelah engkau berhasil makan buah itu, aku
harap engkau mau datang nengokku."
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Cie Hiong!" Sok Beng Yok Ong menatapnya lembut. "Engkau boleh berangkat esok pagi, aku
akan menyiapkan bekalmu. Untuk mempersingkat waktu, engkau harus membeli seekor kuda."
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk lagi.
Tampak seekor kuda berlari kencang menuju gunung Thian San. Penunggangnya adalah
seorang pemuda yang amat tampan. Siapa pemuda itu" Dialah Tio Cie Hiong. Sungguh dingin hawa
tempat itu. Dia menengok ke sana ke mari, kemudian melompat tubuhnya dari kudanya.
"Kuda yang baik!" Tio Cie Hiong membelai kudanya. "Sepuluh hari lebih engkau mengikutiku,
dan kini saatnya engkau bebas. Terserah engkau mau ke mana."
Kuda itu meringkik, lalu berlari pergi. Tio Cie Hiong tersenyum, lalu mulailah mendaki Gunung
Thian San dengan berjalan kaki. Ia mendaki dengan hati-hati sekali, sebab harus melalui salju beku
dan batu-batu curam sangat berbahaya. Hawa pun semakin dingin, namun ia tidak kedinginan
karena hawa hangat di dalam tubuhnya.
Ketika ia hampir mencapai puncak, tampak sosok bayangan berjalan terpincang-pincang di
hadapannya. Tio Cie Hiong tercengang, kemudian mempercepat langkahnya mendekati sosok
bayangan itu. Setelah agak dekat, barulah ia melihat jelas bahwa sosok bayangan itu ternyata
seekor monyet berbulu putih.
Ketika Tio Cie Hiong sudah dekat dengannya, monyet itu berhenti lalu membalikkan badannya
dan menatap Tio Cie Hiong.
Tio Cie Hiong tidak tahu, bahwa monyet itu adalah monyet salju yang langka, yang berusia tiga
ratusan tahun. "Kauw heng (Saudara Monyet)!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku melihat engkau berjalan
terpincang-pincang, pasti kakimu terluka. Aku mengerti tentang pengobatan, bolehkah aku
memeriksa kakimu?"
Monyet itu diam, namun tetap menatap Tio Cie Hiong dengan tajam. Tio Cie Hiong tersenyum
lagi, lalu maju dua langkah.
Akan tetapi, mendadak monyet itu bergerak, tampak tubuhnya berkelebat dan dalam sekejap
telah menghilang dari hadapan Tio Cie Hiong. Betapa terkejutnya pemuda itu, sebab gerakan
monyet putih tersebut laksana kilat.
Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. Tiba-tiba ia mendengar suara cuit-cuitan di
belakangnya. Ia segera menoleh, ternyata monyet putih itu telah berdiri di situ.
"Kauw heng, gerakanmu sungguh cepat, membuatku kagum," ujar Tio Cie Hiong dan
menambahkan. "Tapi aku melihat engkau tadi ber jalan terpincang-pincang. Apakah kakimu
terluka?" Monyet putih menatap Tio Cie Hiong dengan mata tak berkedip, kemudian manggut-manggut
seakan mengerti apa yang ditanyakan pemuda itu.
"Kauw heng!" Tio Cie Hiong girang bukan main, sebab kelihatannya monyet itu mengerti bahasa
manusia. "Engkau mengerti apa yang kukatakan?"
Monyet putih manggut-manggut lagi, bahkan bercuit-cuitan.
Tio Cie Hiong tersenyum, dan perlahan-lahan ia mendekatinya. Monyet putih diam saja. Tio Cie
Hiong membungkukkan badannya seraya berkata. "Kauw heng! Mana kakimu yang terluka?"
Monyet putih segera mengangkat kaki kanannya. Tio Cie Hiong memperhatikannya. Ternyata
telapak kaki monyet itu membengkak memar dan kehitam-hitaman.
Tio Cie Hiong memeriksanya dengan teliti sekali. Berselang beberapa saat, ia manggut-manggut.
"Kauw heng, telapak kakimu tertusuk semacam duri beracun." ujar Tio Cie Hiong. "Engkau kuat
sekali dan punya daya tahan tubuh yang luar biasa, tidak mati meskipun tubuhmu terkena racun.
Monyet putih itu bercuit-cuit seakan mengatakan sesuatu, namun Tio Cie Hiong sama sekali
tidak mengerti.
"Engkau tidak usah cemas!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku bisa mengobati kakimu. Tapi engkau
harus tahan sakit sebentar, sebab aku harus membedah sedikit telapak kakimu, agar darah yang
mengandung racun mengalir ke luar."
Monyet putih menatap Tio Cie Hiong, kemudian manggut-manggut. Tio Cie Hiong sungguh tak
habis pikir, sebab monyet itu tinggal di puncak Gunung Thian San yang tidak terdapat seorang
manusia pun, namun monyet itu kok bisa mengerti bahasa manusia"
"Kauw heng, engkau harus duduk!" ujar Tio Cie Hiong.
Setelah monyet putih duduk, Tio Cie Hiong mengeluarkan sebilah belati perak, lalu membedah
sedikit telapak kaki monyet itu. Seketika juga dari telapak kaki monyet itu mengalir ke luar darah
hitam. Tio Cie Hiong memijit-mijit telapak kaki monyet putih, agar darah hitam itu terus mengalir.
Berselang sesaat, darah hitam itu telah berubah merah, barulah Tio Cie Hiong berhenti memijit
telapak kaki monyet itu.
Ia segera mengeluarkan semacam obat bubuk, kemudian ditaburkan di telapak kaki monyet
putih sekaligus membalutnya.
"Kauw heng!" ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Esok pagi telapak kakimu pasti sembuh."
Monyet putih bercuit-cuit, kelihatannya seperti mengucapkan terimakasih kepada Tio Cie Hiong.
Setelah itu, mendadak ia menarik tangannya.
"Eh?" Tio Cie Hiong tercengang. "Engkau ingin mengajakku ke mana?"
Monyet putih manggut-manggut.
"Baiklah! Engkau boleh mengajakku ke sana," ujar Tio Cie Hiong.
Monyet putih berjalan perlahan, dan Tio Cie Hiong mengikutinya dari belakang. Tak seberapa
lama kemudian mereka sampai di tebing yang tertutup oleh salju.
Tio Cie Hiong terheran-heran, kenapa monyet putih mengajaknya ke tebing itu.
Monyet putih bercuit-cuitan, lalu memutar sebuah batu, dan seketika terdengarlah suara
'Kreeek' Tio Cie Hiong terbelalak, karena melihat dinding tebing itu bergerak. Ternyata di situ terdapat
sebuah pintu rahasia.
Setelah pintu rahasia itu terbuka, monyet putih menarik Tio Cie Hiong ke dalam. Setelah
melangkah ke dalam, terbeliaklah Tio Cie Hiong karena tempat itu berupa sebuah goa yang sangat
besar dan tinggi. Ruangan goa itu terang benderang, karena pada dindingnya terdapat dua butir
mutiara sebesar telor ayam yang memancarkan sinar.
Monyet putih menutup kembali pintu goa itu, lalu mendekati Tio Cie Hiong sambil bercuit-cuit
dan menunjuk ke sudut kiri yang menonjol.
"Kauw heng! Apa maksudmu?"Tio Cie Hiong tidak mengerti.
Mendadak monyet putih meloncat ke hadapan tempat yang menonjol itu, kemudian berlutut di
situ. "Kauw heng!" Tio Cie Hiong tercengang. "Apakah itu makam majikanmu?"
Tio Cie Hiong terbelalak, karena melihat dinding tebing itu bergerak. Ternyata di situ terdapat
sebuah pintu rahasia.
Setelah pintu rahasia itu terbuka, monyet putih menarik Tio Cie Hiong ke dalam. Setelah
melangkah ke dalam, terbeliaklah Tio Cie Hiong karena tempat itu berupa sebuah goa yang sangat
besar dan tinggi. Ruangan goa itu terang benderang, karena pada dindingnya terdapat dua butir
mutiara sebesar telor ayam yang memancarkan sinar.
Monyet putih menutup kembali pintu goa itu, lalu mendekati Tio Cie Hiong sambil bercuit-cuit
dan menunjuk ke sudut kiri yang menonjol.
"Kauw heng! Apa maksudmu?"Tio Cie Hiong tidak mengerti.
Mendadak monyet putih meloncat ke hadapan tempat yang menonjol itu, kemudian berlutut di
situ. "Kauw heng!" Tio Cie Hiong tercengang. "Apakah itu makam majikanmu?"
Monyet putih itu manggut-manggut. Tio Cie Hiong segera mendekati makam itu, lalu berlutut.
Setelah monyet putih itu bangkit berdiri, barulah Tio Cie Hiong berdiri. Ada satu hal yang membuat
Tio Cie Hiong tidak habis pikir, yakni udara di luar dingin sekali, namun di dalam goa ini malah
terasa hangat. Tio Cie Hiong mulai menengok ke sana ke mari. Dilihatnya pada dinding sebelah kanan terukur
puluhan gambar manusia dengan berbagai macam gerakan aneh. Pada setiap gambar itu pun
terukir huruf-huruf Han kuno. Walau sejak kecil Tio Cie Hiong sudah belajar ilmu sastra, namun
sama sekali tidak mengerti huruf-huruf tersebut.
Monyet putih meloncat ke dalam tetapi tak lama sudah keluar lagi dengan membawa berbagai
buah-buahan, kemudian ditaruhnya di atas sebuah batu, lalu menarik tangan Tio Cie Hiong.
"Kauw heng!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Engkau menyimpan buah-buahan di dalam?"
Monyet putih manggut-manggut.
"Engkau menyuruhku makan buah-buahan itu?" tanya Tio Cie Hiong.
Monyet putih bercuit-cuit sambil manggut-manggut.
"Terimakasih, Kauw heng!" ucap pemuda itu sambil tersenyum. "Aku memang sudah lapar
sekali." Tio Cie Hiong mulai makan buah-buahan itu. Monyet putih itu pun ikut makan dengan asyiknya.
Seusai makan buah-buahan itu, mendadak monyet putih menarik Tio Cie Hiong mendekati sebuah
batu berbentuk bulat. Batu itu berwarna hijau mirip sebuah kaca tembus pandang. Kemudian
monyet putih menepuk batu itu.
"Kauw heng, engkau menyuruhku duduk diatas batu hijau itu?" tanya Tio Cie Hiong heran.
Monyet putih itu mengangguk.
"Kauw heng, apakah majikanmu sering duduk di atas batu itu?"
Monyet putih mengangguk lagi.
"Baik!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku akan duduk di atas batu itu."
Tio Cie Hiong naik ke atas, tapi segera meloncat turun dengan wajah penuh keheranan.
Ternyata batu itu dingin sekali. Mana tahan Tio Cie Hiong duduk di atasnya".
Ketika melihat Tio Cie Hiong meloncat turun, monyet putih mendorongnya.
"Kauw heng! Batu itu dingin sekali, bagaimana mungkin aku tahan duduk di atasnya?"
Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
Monyet putih bercuit-cuitan, bahkan tampak tidak senang.
Tio Cie Hiong tersenyum, kemudian naik ke atas batu itu lagi. Ia duduk bersemadi dan
mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang, maka hawa hangat dalam tubuhnya dapat melawan
hawa dingin yang menerobos ke dalam tubuhnya.
Akan tetapi, hanya sebenatar saja hawa hangat dalam tubuhnya tidak dapat menahan hawa
dingin itu, maka Tio Cie Hiong meloncat turun lagi.
Kali ini monyet putih tidak bercuit-cuitan lagi, melainkan menatapnya sambil manggut-manggut.
"Kauw heng! Aku tahu engkau menghendaki aku duduk bersemadi di atas batu hijau itu, tapi
engkau jangan terlampau mendesakku, sebab batu hijau itu dingin sekali."
Monyet putih mengangguk.
Tio Cie Hiong memandang monyet putih, dan tiba-tiba teringat sesuatu.
"Kauw heng, engkau tahu Kiu Yap Ling Che (Ling Che Berdaun Sembilan) tumbuh di mana?"
tanyanya segera.
Monyet putih diam seakan sedang berpikir, kemudian bercuit-cuitan.
"Engkau tahu Kiu Yap Ling Che itu tumbuh di mana?" tanya Tio Cie Hiong dan girang bukan
main. Monyet putih manggut-manggut.
"Kauw heng!" Tio Cie Hiong memberitahukan. "Aku ke mari justru ingin mencari Kiu Yap Ling


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Che, maka maukah engkau menunjukkan tempat Kiu Yap Ling Che itu?"
Monyet putih mengangguk.
"Kauw heng! Mari kita ke sana!" ujar Tio Cie Hiong girang.
Akan tetapi, monyet putih menggelengkan kepala. Hal itu sungguh mencengangkan Tio Cie
Hiong. "Engkau tidak mau mengajakku ke sana?"
Monyet putih segera meloncat ke arah pintu goa, lalu membukanya. Ternyata di luar telah gelap
sekali. Tio Cie Hiong tersenyum. "Sudah malam, maka engkau tidak mau mengajakku ke sana..."
Monyet putih manggut-manggut.
"Kalau begitu, besok pagi saja."
Monyet putih itu manggut-manggut lagi, kemudian menunjuk batu hijau.
"Engkau menyuruhku bersemadi lagi di atas batu hijau yang dingin itu?" tanya Tio Cie Hiong.
Monyet itu bercuit beberapa kali.
Bahu Tio Cie Hiong terangkat sedikit, lalu naik ke batu hijau itu dan duduk bersemadi. Akan
tetapi, berselang beberapa saat ia turun lagi, sebab tidak tahan akan hawa dingin batu itu. Ketika
turun, ia masih tampak menggigil.
Beberapa saat kemudian setelah tidak menggigil, Tio Cie Hiong naik lagi ke batu itu, lalu duduk
bersemadi. Namun berselang beberapa saat, ia terpaksa turun lagi, karena tidak menahan
dinginnya batu itu. Setelah beberapa kali mencoba barulah ia tidur di tempat lain
Monyet putih membuka pintu goa, ternyata hari sudah terang.
Tio Cie Hiong mendekatinya, lalu memandang kaki monyet putih seraya berkata.
"Kauw heng, coba kulihat telapak kakimu!"
Monyet putih segera duduk, sekaligus mengangkat kaki kanannya. Tio Cie Hiong membuka
pembalut di telapak kaki monyet itu. Ternyata luka itu telah sembuh.
"Kauw heng!" Tio Cie Hiong memberitahukan sambil tersenyum. "Telapak kakimu telah
sembuh." Monyet putih itu bercuit-cuit gembira, lalu berloncat-loncatan.
Tio Cie Hiong tertawa-tawa menyaksikannya. "Kauw heng! Mari kita ke tempat Kiu Yap Ling
Che!" katanya.
Monyet putih mengangguk, kemudian menarik tangan Tio Cie Hiong. Pemuda itu mengikutinya.
Tak seberapa lama kemudian, monyet putih telah membawa Tio Cie Hiong ke sebuah tebing yang
penuh salju. Monyet itu menunjuk ke bawah. Tio Cie Hiong segera memandang ke sana. Tampak sebuah
tumbuhan yang tumbuh di dinding tebing. Daunnya hanya sembilan helai, dan buahnya
bergemerlapan. Tidak salah, itulah Kiu Yap Ling Che. Namun Tio Cie Hiong tidak kelihatan gembira,
melainkan malah menarik nafas panjang. Itu dikarenakan dia tidak mungkin memperoleh buah Ling
Che, karena pohon buah itu tumbuh di dinding tebing yang amat licin.
"Kauw heng!" ujar Tio Cie Hiong sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak mampu
mengambil buah Ling Che. Tolong antar aku kembali ke goa saja!"
Monyet putih mengangguk, lalu menarik tangan Tio Cie Hiong. Ketika hampir sampai di goa itu,
mendadak monyet itu melesat pergi.
"Kauw heng! Engkau mau ke mana?" seru Tio Cie Hiong. Namun monyet itu sudah tidak tampak
lagi. Tio Cie Hiong melangkah ke dalam goa dengan kepala tertunduk. Ia bersusah payah ke puncak
Gunung Thian San ini, namun sia-sia karena tidak bisa mengambil buah Ling Che.
Ia duduk bersandar di dinding goa. Berselang beberapa saat kemudian, tampak sosok bayangan
putih melesat ke dalam. Ternyata monyet putih, tangannya membawa buah yang bergemerlapan.
"Haah?" Tio Cie Hiong terbelalak ketika melihat buah itu, sebab buah itu tak lain buah Ling Che.
"Kauw heng, engkau berhasil memetik buah Ling Che?"
Monyet putih mengangguk sambil menyodorkan buah tersebut ke mulut Tio Cie Hiong.
"Engkau menyuruhku makan buah ini?" tanya Tio Cie Hiong girang.
Monyet putih manggut-manggut. "Terimakasih, Kauw heng" ucap Tio Cie Hiong lalu menyantap
buah itu. Kemudian monyet putih itupun menariknya mendekati batu hijau yang dingin.
Tio Cie Hiong tersenyum. "Engkau menyuruhku bersemadi lagi di atas batu hijau itu?"
Monyet putih mengangguk. Tio Cie Hiong langsung mrnuju ke atas batu hijau itu, kemudian
duduk bersemadi. Hawa dingin batu hijau itu menerobos ke dalam tubuhnya, tapi mendadak Tio Cie
Hiong merasa ada hawa hangat bergejolak dalam tubuhnya. Ia segera memejamkan matanya
sambil mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang.
Hawa batu hijau itu semakin dingin, namun dalam sekujur badan Tio Cie Hiong mengalir hawa
hangat yang melawan hawa dingin itu.
Sementara monyet putih berdiri diam sambil memandang Tio Cie Hiong dan hanya sekali-sekali
bercuit. Entah berapa lama kemudian, barulah Tio Cie Hiong membuka matanya, dan ia girang sekali
karena tidak kedingingan lagi. Ia pun tidak menyadari satu hal, yakni Iweekangnya telah bertambah
tinggi karena makan buah Ling Che dan duduk bersemadi di atas batu hijau yang amat dingin itu,
merupakan suatu latihan yang sangat luar biasa bagi tubuhnya.
Ketika Tio Cie Hiong membuka matanya, monyet putih berjingkrak-jingkrakan kegirangan.
Setelah itu, dia menunjuk Tio Cie Hiong lalu menunjuk dirinya sendiri.
"Kauw heng! Engkau menyuruhku memperhatikanmu?" tanya Tio Cie Hiong heran, sementara
masih duduk di atas batu hijau.
Monyet putih mengangguk, kemudian sepasang kakinya mulai bergerak ke depan, ke belakang,
ke kiri dan ke kanan. Makin lama gerakannya makin cepat sehingga mata Tio Cie Hiong menjadi
silau karenanya.
Ia tidak bisa melihat jelas gerakan kaki monyet itu. Padahal ketika menyaksikan Bu Lim Ji Khie
bertanding, ia masih mampu melihat jelas semua gerakan jurus-jurus mereka. Akan tetapi, ia tidak
mampu melihat jelas gerakan-gerakan kaki monyet putih, sebab gerakan-gerakan kaki monyet itu
bukan main cepatnya.
Tio Cie Hiong tidak tahu, bahwa sebenarnya gerakan kaki monyet putih adalah gerakan Siu
Kiong San Tian. Berselang beberapa saat kemudian, barulah monyet putih berhenti menggerakkan
kakinya sambil bercuit-cuit.
"Kauw heng! Aku belum melihat jelas gerakanmu, coba diulang lagi!" ujar Tio Cie Hiong.
Monyet putih kembali menggerakkan kakinya, dan kali ini Tio Cie Hiong memperhatikan dengan
seksama. Ketika monyet itu berhenti, Tio Cie Hiong menyuruhnya mengulangi lagi.
Tio Cie Hiong mencurahkan segenap perhatiannya untuk memperhatikan gerakan-gerakan
monyet putih, maka kali ini barulah ia dapat melihat dengan jelas.
Monyet putih berhenti, dan Tio Cie Hiong tersenyum seraya berkata.
"Kauw heng, aku sudah melibat jelas gerakan-gerakanmu."
Monyet putih bercuit-cuit sambil melambai-lambaikan tangannya. Tio Cie Hiong tercengang
melihatnya. "Engkau menyuruhku meniru gerakan-gerakanmu itu?"
Monyet putih mengangguk.
"Baik!" Tio Cie Hiong turun dari batu hijau lalu mendekati monyet putih. Monyet putih bercuit
lagi. Tio Cie Hiong tersenyum dan mulai bergerak sesuai dengan gerakan-gerakan monyet putih.
Semula gerakannya agak lamban, namun makin lama makin cepat. Monyet putih bercuit-cuit
gembira, kemudian ikut bergerak, sehingga tampak dua sosok bayangan berkelebatan.
Suling Emas Dan Naga Siluman 9 Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Pendekar Kelana 5

Cari Blog Ini