Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Bagian 10
Sin Liong menjelaskan keadaan Siang Han secara wajar,
karena memang demikianlah yang diketahuinya dan yang
dibicarakannya dengan Siang Han menjelang perpisahan
terakhir mereka. Masih akan ada amanat gurunya yang akan disampaikan kepada Tek Hoat dalam pertemuan terakhirnya dengan Kiong Siang Han. Selebihnya, Sin Liong juga banyak memberi pesan terakhir kepada Tek Hoat, bahwa dia diakui sebagai murid juga oleh Sin Liong setelah menerima pelajaran Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut, dan bahkan
memperoleh warisan penguatan tenaga IM dalam
mematangkan penguasaan ilmunya.
Karena itu, Tek Hoat diharapkan untuk tetap menjaga
kegagahannya, mempertahankan sikap kependekaran dalam
petualangan dan dalam pergaulan di dunia persilatan. Dan bahwa tugas dan tanggungjawab Tek Hoat akan sangat besar dan berat pada waktu-waktu mendatang bersama dengan
kawan-kawan seangkatannya.
Demikianlah, akhirnya Tek Hoatpun kemudian turun
gunung dan dengan pesat menuju ke Markas Kay Pang
sebagaimana diminta dan diamanatkan oleh gurunya. Kondisi gurunya yang diceritakan Kiang Sin Liong membuatnya
bergegas menuju markas Kay Pang dan tidak memperdulikan keadaan sekitarnya. Betapapun, dia bukan hanya memandang Siang Han sebagai guru, tetapi selama belasan tahun sudah menganggapnya sebagai kakek sendiri. Orang tua yang sangat mengasihinya, mendidiknya penuh kasih dan memasrahkan
masa depan kay Pang ketangannya sebagai murid penutup
yang dilatih dengan sangat serius.
-0o~Marshall~DewiKZ~0oEpisode 18: Surat Dari Lembah Siau
Yau Kok "Haiiiit ?" plak, plak", sebuah seruan penuh semangat
terdengar dari mulut seorang anak dara. Dan setelah seruan tersebut, terdengar dua kali benturan yang cukup dahsyat yang membuat ketiga orang tersebut, baik anak dara yang berseru penuh semangat tadi, maupun kedua orang kakek-kakek yang bertempur dengannya terdorong mundur. Tapi,
bedanya, si anak dara tadi dengan cepat sudah berjumplitan dengan sangat ringan di udara dan kembali sudah
mengancam kedua kakek tua tadi dengan telapak tangan yang nampak jumlahnya luar biasa banyaknya.
Padahal, pada saat itu, kedua kakek tadi masih sedang
terdorong ke belakang, terutama si kakek tinggi besar, masih nampak goyah, tetapi kembali sudah harus menerima
gempuran dahsyat dari telapak tangan si gadis yang sudah menerpa tiba. Tetapi, yang luar biasa, telapak tangan yang laksana laksaan jumlahnya itu, dengan tiba-tiba bisa bergeser sasarannya ke kakek yang satu lagi yang sudah lebih siap.
Nampak jelas kalau sasaran serangannya di alihkan pada
saat-saat terakhir, dan toch semua dilakukan demikian cepat, ringan seringan kapas dan sudah menyudutkan kakek yang
satu lagi meski gerakannya juga teramat ringan seringan bayangan. Kembali terdengar benturan "plak", dan bayangan si kakek yang ringan tadi kembali tergempur mundur, tapi untung segera ditolong oleh kakek yang satunya lagi. Begitu terus menerus dan berulang-ulang. Sementara si gadis
membagi-bagikan pukulan telapak tangannya ke rah tiga
kakek yang melawannya dengan ilmu dan gerakan yang
sejenis, si gadis seenaknya berkelabat kesana kemari nyaris tanpa bobot.
Beberapa lama kemudian, tiba-tiba kembali terjadi
benturan, lebih keras dan lebih hebat akibatnya, tetapi si gadis kembali dengan pesat dan teramat ringan sudah kembali pada posisi menyerang dengan telapak tangan yang laksaan
banyaknya mengancam kedua kakek yang masih goyah
posisinya. Semakin jelas lama kelamaan kedua kakek tersebut nampaknya tidak bisa lagi mengimbangi, terutama kecepatan bergerak si gadis yang memang teramat pesat bagi mereka.
Kecepatan dan keringanannya seperti tidak bertumpu bumi lagi, bahkan gerakan-gerakan yang seperti dibatasi oleh gravitasi dalam meliuk-liuk, berputar, poksai dan melenturkan tubuh, seperti bukan lagi manusia. Sudut-sudut gerakan
seperti bisa diatasi anak dara itu, dan hal itu membuatnya sanggup menyerang dari banyak sudut dengan sangat cepat.
Bahkan dari sudut yang nampaknya mustahil dan tidak
terpikirkan sanggup untuk dilakukan secara manusiawi.
Apalagi, karena tenaga saktinya juga tidak olah-olah
kuatnya, yang bahkan sanggup mengimbangi kedua kakek
yang sedang bertempur dengannya dan bahkan mampu
mendesak mereka. Bahkan sesekali dia berani membentur
sekaligus dua orang kakek yang melawannya dan mampu
mengimbangi mereka dalam benturan tersebut. Keadaan yang cukup membayangkan betapa anak dara itu sungguh-sungguh memiliki kemampuan dan kesaktian yang sudah sangat luar biasa.
Di samping tempat bertempur ketiga orang itu, nampak
seorang kakek lain yang bahkan lebih tua dibandingkan ketiga kakek yang sedang bertempur melawan si gadis. Berkali-kali dia menarik nafas, kemudian mengangguk-angguk melihat
pertempuran tersebut yang luar biasa itu. Terutama karena dia menyaksikan betapa ilmu-ilmu yang diturunkannya
dimainkan dengan sangat indah dan mantap oleh keempat
orang itu, terutama si anak dara sakti itu. Dia sering menahan nafas ketika terjadi benturan dan menjadi kagum melihat kepesatan gerak si anak gadis yang diakuinya sudah semakin mendekati kemampuannya bergerak.
Pada akhirnya kemudian nampak terkembang senyuman
yang membayang di bibirnya. Orang tua ini, nampaknya
sangat senang dengan apa yang tengah dan sedang
disaksikannya, melihat pergerakan yang begitu cepat dan ringan, melihat kelabatan laksaan telapak tangan dan
menyaksikan akibat-akibat yang membuatnya tambah
tersenyum dan senang. Tetapi tiba-tiba dia berseru:
"Kalian bertiga gunakan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang
(Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan), Lan Ji gunakan Ban Hud Ciang pada jurus terakhirnya" Terdengar orang tua itu berseru. Dan serentak dengan itu, nampak si anak dara yang dipanggil Lan Jie, kembali menggerak-gerakkan kedua telapak tangannya, bahkan kemudian duduk bersila dengan kedua tangan mendorong kekiri dan kenan.
Dari gerakan tangan yang diakhiri gaya mendorong ke kiri dan kekanan, dengan gaya yang disebut "Selaksa Telapak Budha Membuka Pintu Angkasa Langit Utara dan Selatan", dan dari gerakannya nampak berkilat cahaya bagaikan api yang saking tajamnya berwarna biru sembilu yang sangat tajam.
Dan pada saat tersebut, kemudian tubuh yang bersila itu terlihat mencelat keangkasa. Sementara di pihak lain, ketiga kakek lawannya, nampak juga bergerak pesat dan cepat,
dengan tubuh yang kemudian mengeluarkan gelombang angin dan badai, bahkan selaput awan tipis nampak melindungi
kedua tubuh mereka. Pada saat itulah bayangan si gadis yang bersila datang menghantam dengan didahului kilatan cahaya biru menusuk yang datang diiringi laksaan telapak tangan yang berhamburan kekiri dan kekanan, dan kemudian
memusat kearah kedua kakek yang tubuhnya diselubungi
awan tipis dan angin badai disekitar mereka.
"Blaaaaar, duaaaaar, syuiiiiit,"
Bunyi-bunyi benda-benda tajam, keras dan kecepatan
tinggi terdengar begitu memekakkan telinga. Dan tidak lama kemudian nampak ketiganya sudah terpisah beberapa langkah dan dengan tubuh keempatnya nampak agak kelelahan dan
kepayahan. Nampak jelas ketiganya telah mengerahkan tenaga di luar kebiasaan mereka, tetapi juga nampaknya tenaga yang
dikeluarkan masih terukur dan masih bisa dikendalikan.
Ketiganya nampak kemudian menarik nafas dan tenggelam
sejenak dalam pemulihan kekuatan dengan si anak gadis yang dengan cepat mampu melakukannya lebih dahulu, kemudian
disusul ketiga kakek itu yang juga cepat memulihkan dirinya untuk selanjutnya duduk bersila dihadapan si orang tua yang tadinya menonton perkelahian itu. Kakek yang kemudian
memberi perintah terakhir yang mengakibatkan benturan
hebat di antara si anak gadis dengan ketiga kakek yang
dihadapinya. Demikian, berikut ketiga kakek lainnya setelah pulih kembali mendatangi si kakek renta tersebut dan
kemudian nampaknya terjadipercakapan serius antara kelima orang tersebut.
Para pembaca tentu sudah dengan cepat bisa menebak
siapa gerangan ketiga orang yang tadi melakukan
pertempuran dengan di saksikan seorang kakek tua lainnya.
Benar, mereka adalah para tokoh puncak Bu Tong Pay, yakni Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan bersama keempat anak
muridnya yang memang biasa berlatih bersama selama lebih 10 tahun terakhir ini. Kakek yang agak besar bernama Kwee Siang Le yang sudah berumur mendekati 70 tahunan, awalnya dia sudah menyepi di daerah Bu Tong San.
Tetapi diminta kembali bantuannya oleh gurunya untuk
membayangi dan menjaga Bu Tong Pay sambil mendidik adik perguruan mereka atau sumoy termuda mereka Liang Mei
Lan. Kakek yang kedua, adalah salah seorang murid terpandai Wie Tiong Lan bernama Sian Eng Cu Tayhiap Tong Li Koan, murid ketiga yang juga sangat terkenal di dunia persilatan.
Sian Eng Cu Tayhiap, juga diminta Wie Tioang Lan untuk
sementara berjaga di Bu Tong Pay dan mendidik Liang Mei Lan, selain mendidik anak murid Bu Tong Pay lainnya.
Dan orang ketiga, murid kedua dari Pek Sim Siansu adalah Jin Sim Tojin, seorang murid atau satu-satunya murid Wie Tiong Lan yang menjadi Pendeta Bu Tong Pay. Dan orang
kelima, adalah murid terakhir, sumoy termuda dari ketiga murid Wie Tiong Lan dengan usia yang terpaut jauh bernama Liang Mei Lan.
Kehadiran Liang Mei Lan yang begitu manja dan
menggemaskan bagi Kakek Siang Le dan Kakek Ton Li Koan
dan bahkan Jin Sim Tojin, membuat mereka sangat
menyayangi anak gadis yang bertumbuh dan besar ditangan mereka. Meskipun terhitung sumoy mereka, tetapi sebetulnya mereka mendidik dan membesarkan anak gadis tersebut
layaknya anak perempuan mereka. Atau bahkan cucu
perempuan mereka, dan justru karena itu, keduanya sangat memanjakan Liang Mei Lan.
Berbeda dengan Jin Sim Tojin Bouw Song Kun, murid
kedua Wie Tiong Lan yang menjadi Pendeta Bu Tong Pay yang agak bersikap tegas dan disiplin dengan anak ini. Jin Sim Tojin inilah yang diberi kepercayaan suhunya untuk mendidik sastra dan ilmu keagamaan kepada Liang Mei Lan, dan hanya kepada Jin Sim tojin inilah Liang Mei Lan berlaku sangat sungkan.
Selain karena memang Ji Suheng ini adalah orang beribadat, juga karena memang Jin Sim Tojin sudah memperhitungkan
harus bagaimana dia mendidik sumoynya yang diharapkan
mengharumkan nama Bu Tong Pay. Itulah sebabnya hanya
kepada Jin Sim Tojin inilah Mei Lan agak merasa sungkan dan tidak sedekat Toa Suheng dan Sam Suhengnya yang
mendidiknya seperti anak atau cucu sendiri.
Karena bahkan Wie Tiong Lan sendiri, memang
memperlakukan anak gadis ini sejak kecilnya bagaikan mestika yang begitu disayanginya. Semua perhatiannya seperti
tercurah untuk mendidik anak ini untuk menjadi pendekar wanita pilihan, dan karena itu dia sampai memanggil murid-muridnya untuk ikut mendidik anak ini. Sementara Mei Lan pada lahirnya menyebut Suhu dan Suheng kepada ketiga
orang tua ini, tetapi rasa kasih, hormat dan sayangnya, bahkan melebihi kedua orang tuanya.
Karena dengan merekalah dia bertumbuh dan besar, serta
bahkan dididik dan dilatih hingga saat ini. Bahkan oleh gurunya jugalah nyawanya diselamatkan dan seperti
direnggutkan kembali dari maut di sungai yang sedang banjir banding. Karena sayang itulah, maka disaat-saat tidak
berlatih, Mei Lan sering bermanja-manja terutama kepada Tong Li Koan yang nyaris sulit menolak permintaan anak
perempuan yang memang sudah dikasihinya sejak masih kecil itu. Bahkan semua rahasia ilmunya, juga sudah menjadi
pengetahuan bagi Mei Lan sejak masih dididik pada tahapan pertama sebelum sejenak turun gunung.
Karena didikan kakek itu jugalah, maka ilmu ginkang Mei Lan terasah dan terpupuk sangat baik. Kebanggaan kakek ini menjadi lengkap ketika dunia persilatan menghadiahi Mei Lan dengan julukan Sian Eng Niocu atau Sian Eng Li (Nona
Bayangan Dewa), berbeda sedikit dengan julukannya Sian Eng Cu. Bahkan untuk urusan ginkang saat ini sumoynya yang
dianggap anak angkatnya sudah melampauinya.
"Lan Ji, nampaknya Ban Hud Ciang sudah kaukuasai
dengan baik. Bahkan varian yang kau tambahkan juga malah membuat Ban Hud Ciang jadi lebih sempurna. Tanggung Kian Ti Hosiang sendiri bisa menjadi sangat terkejut dengannya"
"Semua karena bimbingan suhu semata" Mei Lan merendah
"Betapapun, Liong-i-Sinni, suhumu itu, juga sangat berjasa dengan membuka tabir rahasia peningkatan kemampuan
sinkangmu. Tanpa dia, mungkin lohu harus bekerja keras
selama 5 tahun untuk membentukmu seperti sekarang.
Nampaknya ginkangmu bahkan sudah melampaui suhengmu
(Sian Eng Cu) dan nampaknya tidak terpaut jauh dari suhumu Liong-i-Sinni. Bila ada yang perlu kau sempurnakan, adalah memasukkan unsur-unsur Ban Hud Ciang untuk
menyempurnakan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan). Sebab betapapun ilmu
itu menjadi pusaka andalan kita semua, ketiga suhengmupun sudah dalam tahap penyempurnaan penguasaannya.
Sementara Ilmu ginkang suhumu yang kedua, rasanya sudah sangat baik kau kuasai"
"Siang Le dan Li Koan, penguasaan kalian atas Ban Sian
Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan) sudah sangat kuat. Mungkin tidak kalian rasakan, tetapi dalam pengamatan lohu, kepandaian kalian sudah
meningkat sangat tajam dibandingkan 2-3 tahun sebelumnya.
Sayang Song Kun lebih memilih bertekun dalam Ilmu
Keagamaannya, tetapi itupun memang sangat penting.
Nampaknya kalian berduapun sudah siap untuk
menghadapi rumitnya masalah rimba persilatan dewasa ini.
Sementara biarlah Song Kun yang mengurusi kuil membantu Ciangbuncjin, juga lohu akan lebih banyak membayangi kuil ini sampai waktunya tiba. Li Koan, bagaimana keadaan dunia
persilatan yang terakhir ini?" Wie Tiong Lan memuji
penguasaan dan peningkatan ilmu kedua muridnya, suheng
Mei Lan, dan kemudian bertanya kondisi dunia persilatan yang terakhir. Karena biarpun mendidik murid-muridnya untuk
terakhir kali, kakek ini tidak jarang bercakap-cakap dengan murid2nya untuk mengetahui perkembangan terakhir dunia
persilatan. "Suhu, sejak awal tahun, para perusuh sudah kembali
menampakkan taring kejamnya. Sebagaimana dugaan suhu
sebelumnya, mereka memang mundur selangkah
mempersiapkan langkah maju lainnya. Setidaknya, 5 pendekar pedang dari Perguruan Pedang Utama sudah ikut terbantai dan nampaknya dilakukan dengan sejenis Ilmu Pedang Cepat.
Selebihnya bahkan Tiam Jong Pay juga sudah diserbu dan
mengalami nasib yang sama dengan Go Bie Pay. Sungguh
membuat banyak orang murka" Desis Li Koan.
"Hm, memang sudah kuduga, mereka hanya akan menarik
diri sementara akibat amukan anak-anak muda 3 tahun
berselang. Dan nampaknya, mereka kembali mengganas,
tentu dengan perhitungan yang lebih matang" Gumam Wie
Tiong Lan prihatin mengikuti keadaan terakhir.
"Benar suhu, bahkan jejak pembunuh anak murid Kay Pang
di Kang lam, menunjukkan bahwa Cui Beng Pat Ciang, ciri khas Ilmu Maha Durjana Hek-i-Mo Ong sudah muncul kembali"
Tambah Li Koan.
"Hm, dan bila Hek-i-Mo Ong muncul, bisa dipastikan Koai Tung Sin Kay juga akan muncul. Dan bila keduanya muncul, berarti Bouw Lek Couwsu dan Bouw Lim Couwsu juga akan
muncul. Sungguh runyam, sungguh runyam" Wie Tiong Lan
mendesah sambil mengenal masa lalu pertemuan dan
perjumpaannya dengan tokoh-tokoh berat itu.
"Suhu, apa maksudmu sebenarnya?" Apakah memang
orang-orang itu sebegitu menyeramkannya?" Mei Lan
bertanya dengan rasa penasaran yang dalam melihat gurunya seperti memberatkan dan khawatir dengan kehadiran tokoh-tokoh yang disebutkannya terakhir.
"Jika Mo Ong dan Sin Kay, kedua maha iblis ini muncul,
memang sungguh runyam. Sebagai perbandingan saja, sute
Hek-i-Mo Ong, Thian te Tok Ong, mampu bertanding hampir setanding dengan suhengmu Li Koan. Sedangkan Mo Ong dan Sin Kay, baru bisa ditaklukkan dan diikat perjanjian tidak turun gunung selama lebih 40 tahun, setelah bertarung melawan Kiong Siang Han dan Kiang Sin Liong sampai melewati ribuan jurus. Hal yang sama, juga terjadi ketika Bouw Lek Couwsu bertarung dengan Kian Ti Hosiang dan Bouw Lim Hwesio
bertarung dengan gurumu. Mereka, terpaut tidak terlalu jauh dari kami berempat, dan usia mereka sekarang paling ada sekitar 80an tahun" Jelas Wie Tiong Lan, sementara Li Koan nampak mengangguk-angguk karena dia pernah mendengar
cerita ini dan memang pernah bertempur dengan Thian te Tok Ong.
"Suhu, meskipun begitu, tapi tecu tidak takut menghadapi mereka" Mei Lan berkata dengan semangat. Betapapun dara mudanya mendengar adanya lawan tangguh sungguh
membangkitkan rasa ingin bertanding.
"Dengan bekal kalian saat ini, rasanya memang sudah
memadai menandingi mereka. Tetapi, pengalaman dan
kematangan mereka dalam bertempur, jauh melampauimu
muridku" Berkata Wie Tiong Lan kepada Mei Lan.
"Bekal Ilmu Silat Suhengmu Li Koan sekarang ini, kira-kira setanding dengan Bouw Lek Couwsu ketika bertanding dengan Kian Ti Hosiang lebih 40 tahun silam. Dan bisa kau bayangkan bila 40 tahun terakhir ini merekapun tekun menempa dirinya dan itu sudah pasti. Karena bila mereka tampil kembali, bisa kupastikan yang pertama mereka cari adalah kami berempat untukmenuntaskan rasa penasaran mereka pada masa lalu.
Karena itu, sebelum sebulan kedepan engkau turun gunung, maka harus kau latih dan sempurnakan Ban Hud Ciang
dengan varian Sin Kang Liang Gie dan ilmu pusaka gurumu Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa
Mendorong Bayangan). Sebelum lohu yakin benar, engkau
tetap tidak boleh turun gunung, karena untuk saat ini, baru ginkangmu yang tidak meragukan lohu" tambah Wie Tiong
Land an menekankan kalimat akhirnya dengan tegas.
"Baik suhu, tecu akan terus giat berlatih" Sahut Mei Lan tidak kalah bersemangatnya.
"Konsentrasikan untuk melebur Ban Hud Ciang dan "Yang
Kang" dengan "Im Kang" dengan menggunakan hawa Liang
Gie. Dan temukan bagaimana cara menyempurnakan lebih
jauh kedua ilmu itu" Pesan tambahan Wie Tiong Lan kepada Mei Lan.
"Li Koan dan Siang Le, kalian berdua memang sudah
meningkat tajam. Tetapi, selama beberapa bulan ini,
kalianpun perlu bersusah payah untuk lebih meningkatkan Ilmu, terutama penyempurnaan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan), karena dengan Ilmu itu kalian boleh tidak terlampau khawatir dengan Ilmu hitam dan bisa menahan lama Cui Beng Pat Ciang"
"Baik suhu" berbareng Li Koan dan Siang Le menyahut.
"Sementara engkau, Song Kun, sebaiknya mengikuti
dengan cermat perkembangan di kuil Bu Tong Pay kita"
"Baik guru", Jin Sin menjawab singkat.
"Bagaimana dengan kabar adanya kunjungan para
pendekar ke Bu Tong San" Tanya Wie Tiong Lan
"Ciangbunjin Sutit sudah menjanjikan untuk ikut turun
tangan membantu. Bahkan, kabarnya ada seorang tokoh
misterius, berkedok dan selalu turun tangan melawan
kelompok perusuh. Tokoh itu kabarnya lihay bukan main, dan nampaknya mahir menggunakan Giok Ceng Sinkang. Tecu
menduga Kiang Cun Le, tapi entahlah, sebab Kiang Hong
sudah lama menghilang dengan Ci Siong Sutit" Jelas Jin Sim Tojin.
"Hm, jika demikian nampaknya kau harus membantu
manusia berkedok itu li Koan. Biarlah kau menyempurnakan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa
Mendorong Bayangan) selama sebulan ini bersama lohu, dan sesudahnya engkau ikut turun gunung bersama Mei Lan.
Biarlah Siang Le yang membantu Song Kun dan anak murid Bu Tong Pay untuk menjaga Gunung kita"
Demikianlah selama sebulan penuh, Mei Lan kembali
menggembleng dirinya sesuai dengan ciri khas perguruannya dan berusaha keras memadukannya dengan Ban Hud Ciang.
Dan kemudian diapun berusaha keras untuk memadukan
kekuatan dan kehebatan ban Hud Ciang kedalam Ilmu
Pusakanya Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan). Wie Tiong Lan hanya sesekali
mengawasi dan secara dekat dan saksama memperhatikan
latihan Liang Mei Lan.
Sebab tidak mungkin dia berani mencuri tahu rahasia Ban Hud Ciang Siauw Lim Sie, karena hormatnya kepada Kian Ti Hosiang yang dia tahu juga tidak akan mengintip ilmu yang dititipkannya kepada Pendekar kembar dari Siauw Lim Sie itu.
Tetapi, betapapun dia merasa sangat tertarik, karena
kecerdikan Mei Lan dalam menyelipkan unsur kecepatan dan kelemasan kedalam Ilmu berbasis "Yang" Siauw Lim Sie
bernama Ban Hud Ciang. Dan efeknya, sungguh sangat
mengganggu konsentrasi mata dan konsentrasi indra perasa lainnya. Dan selama sebulan, dia menyaksikan betapa
pesatnya kemajuan Mei Lan yang dengan ketekunannya yang luar biasa dalam penyempurnaan kedua ilmu tersebut.
Selain itu, Wie Tiong Lan juga membantu kedua muridnya
yang lain dan malah lebih sering ketimbang menggodok Mei Lan selama sebulan terakhir, terutama membantu Li Koan
yang akan diutusnya turun gunung sebulan kedepan. Dia
bahkan ikut membantu penyaluran tenaga dan memperkuat
Sinkang, pengerahan kekuatan batin kedalam ilmu pamungkas mereka serta mengamati semua pergerakan dan perubahan
pergerakan ketika ilmu itu dimainkan. Keseriusan guru besar Bu Tong Pay ini menunjukkan hasil yang luar biasa, terutama karena begitu pesatnya kemajuan Li Koan dalam penguasaan ilmu terakhir yang diciptakannya.
Hal ini sangat menggirangkannya, karena dengan
kemajuan ini berarti dia merasa sudah cukup siap dan cukup percaya untuk melepas muridnya ini membantu dunia
persilatan Tionggoan yang sedang gonjang-ganjing.
Setidaknya dia berharap kehadiran Mei Lan dan Li Koan yang akan membawa symbol perlawanan Bu Tong Pay terhadap
kerusuhan yang sedang melanda. Sementara Siang Le dan
Song Kun akan menjaga kuil Bu Tong Pay, sementara dirinya sendiri akan memulai perjalanan menutup dirinya setelah tugas-tugasnya selesai.
Tapi, Wie Tiong Lan belum sempat mengutus baik Mei Lan
maupun Tong Li Koan turun gunung ketika Ciangbunjin Bu
Tong Pay dan Jin Sim Tojin meminta kesediaan Tong Li Koan untuk menemuinya suatu siang. Pesannya singkat, bahwa ada urusan penting di Kuil Bu Tong Pay dan minta kesediaan Sian Eng Cu Tayhiap untuk membantu penyelesaiannya. Karena
bahkan Ciangbunjin Bu Tong Pay tidak tahu bahwa di
gunungnya juga sudah ada Wie Tiong Lan, maka yang
diundang hanyalah Tong Li Koan.
Sementara Kwee Siang Le, sejak dulu tidak terlalu suka
dilibatkan dalam urusan menyangkut tata karma. Tetapi,
untuk membela Bu Tong Pay, dia rela menyerahkan jiwa
raganya, dan itu jugalah sebabnya Wie Tiong Lan selalu
meminta muridnya ini berada di Bu Tong San belakangan ini.
Karena itu, maka Li Koan kemudian meminta diri kepada
suhunya untuk memenuhi undangan dan panggilan
Ciangbunjin Bu Tong Pay guna merundingkan apa gerangan
yang dimaksudkan sangat penting itu. Dengan bertanya-tanya dalam hati, Li Koan kemudian mendatangi Kuil bu Tong Pay.
Ketika memasuki ruangan utama di kuil Bu Tong Pay pusat, Tong Li Koan melihat ternyata ada beberapa orang yang
menghadap Ciangbunjin Ci Hong Tojin dan nampaknya tamutamu dari jauh. Sesuai tata krama, Tong Li Koan memberi hormat kepada Ciangbunjin:
"Hormat kepada Ciangbunjin, adakah sesuatu yang sangat
penting yang membuatku diundang datang oleh Ciangbunjin?"
Tong Li Koan menghormat sambil bertanya.
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebelumnya, perkenalkan saudara-saudara ini berasal dari Siauw Yau Kok (Lembah bebas Merdeka), diutus langsung
oleh Bhe Thoa Kun, Pemimpin Benteng Keluarga Bhe di
lembah itu. Dan inilah murid ketiga dari Sucouw kami, Sian Eng Cu Tayhiap" Ciangbunjin Bu Tong Pay saling
memperkenalkan semuanya. Nampak Tong Li Koan
tercengang, karena untuk waktu yang lama dia tidak
mendengar apapun mengenai lembah itu, dan dia tahu betul bahwa gurunya memiliki hubungan khusus dengan Lembah
Bebas Merdeka yang jarang bergaul di dunia persilatan itu.
Karena itu dia berkata:
"Saudara-saudara, apakah kabar saudara Bhe Thoa Kun
baik-baik saja?" Terdengar seperti basa-basi, tetapi
sebenarnya maksudnya memang dalam. Karena Tong Li Koan
jelas kaget dengan kunjungan yang begitu mendadak dan
bahkan sudah lama tidak saling berhubungan. Ada apakah
tiba-tiba mereka mengunjungi Bu Tong Pay"
"Pemimpin Bhe baik-baik saja Tayhiap, tetapi beliau orang tua meminta kami menyampaikan sesuatu kepada Pek Sim
Siansu Wie Tiong Lan Loncianpwe" Berkata salah seorang dari ketiga utusan yang nampak bertindak sebagai pemimpin
kawan-kawannya.
Terdengar kemudian Ciangbunjin Bu Tong Pay menyela,
meski tetap dengan penuh kesabaran:
"Pinto sudah jelaskan kepada saudara-saudara ini Supek, bahwa Sucouw sudah lama tidak berdiam di gunung ini. Dan yang paling mungkin ditemui adalah murid-muridnya, yakni Jin Sim Tojin yang juga hadir mendampingi Ciangbunjin Bu Tong Pay dan Sian Eng Cu supek ini. Karena kebetulan para supek memang berada di lingkunganBu Tong San ini"
"Hm, benar saudara-saudara. Seadainya ada sesuatu yang
penting bagi suhu, mungkin bisa disampaikan kepada lohu.
Mudah-mudahan lohu bisa menyampaikannya kepada suhu
suatu saat nanti" Berkata Li Koan.
"Tapi keadaannya sangat mendesak Tayhiap" si pemimpin
mendesak. "Maksud saudara?" Li Koan bertanya penasaran.
"Pemimpin Bhe ingin mohon pertolongan Pek Sim Siansu,
karena ada ancaman dalam sebulan untuk diserbu oleh Thian Liong Pang yang sedang mengganas. Dan Pemimpin Bhe
hanya menitipkan sehelai surat ini saja, dan berkata bahwa mudah-mudahan Pek Sim Siansu berkenan membantu"
Berkata si Pemimpin sambil memperlihatkan surat dalam
amplop yang berasal dari Bhe Thoa Kun untuk disampaikan kepada guru mereka.
Tong Li Koan, Jin Sim Tojin dan bahkan Ci Hong
Ciangbunjin terkejut ketika mendengar bahwa maksud
kedatangan orang ternyata mohon bantuan kepada Pek Sim
Siansu. Lebih kaget lagi, karena yang mengancam untuk
menyerang adalah Thian Liong Pang yang sedang menjadi
momok menakutkan bagi banyak perguruan akhir-akhir ini.
Tapi, Tong Li Koan cepat menyadari dirinya, dan paham betul bahwa gurunya memang tidak akan mampu menolak
permintaan bantuan ini.
Pengetahuannya akan keadaan dan cerita pribadi guru
mereka, yang paling paham adalah Tong Li Koan. Karena
bahkan Jin Sim Tojin dan Kwee Siang Le kurang begitu
mengetahui cerita itu. Justru karena itu, maka Tong Li Koan berkata:
"Saudara, biarlah lohu akan menghantarkan surat itu
kepada suhu. Tapi, bisa lohu pastikan bahwa jika bukan suhu, pastilah akan ada utusan suhu yang akan membantu
Pemimpin Bhe"
"Benar, pinceng juga berani menjamin bahwa suhu pasti
akan membantu, meski mungkin akan mengirim murid atau
utusannya" tambah Jin Sim Tojin menjamin dan menguatkan.
"Baiklah Tayhiap dan losuhu, biarlah surat ini kami
serahkan kepada murid Pek Sim Siansu dan kami menunggu di Lembah" Si pemimpin kemudian menyerahkan surat itu.
Awalnya Tong Li Kuan meminta Jin Sim Tojin dengan berkata:
"Suheng, sebaiknya engkaulah yang menerima surat buat
suhu tersebut"
"Ach sute, bukankah kesempatan dan bahkan tenagamu
lebih dibutuhkan Pemimpin Bhe. Biarlah engkau yang
menerima surat itu dan berusaha menemukan Suhu" tolak Jin Sim Tojin. Keduanya bercakap seolah-olah tidak mengetahui dimana guru mereka berada. Dan memang seperti itu yang
disampaikan guru mereka kepada murid-muridnya.
"Baiklah suheng" Akhirnya Tong Li Koan yang menyambut
surat itu dan kemudian berkata:
"Biarlah dalam waktu dekat utusan Pek Sim Siansu Suhu
sudah akan dalam perjalanan menuju Lembah Bebas Merdeka.
Sampaikan salam suhu dan lohu serta murid-murid suhu
lainnya kepada Pemimpin Bhe".
Demikianlah siang itu juga, utusan dari Pemimpin Bhe
berpamitan kepada Ciangbunjin Bu Tong Pay dan kedua murid Pek Sim Siansu untuk segera kembali ke lembah. Dan pada saat itu juga, Tong Li Koan menyampaikan kepada
Ciangbunjin bahwa dia akan turun gunung untuk membantu
Pemimpin Bhe dan sekaligus akan ikut melawan perusuh Thian Liong Pang.
Suatu hal yang sebenarnya berat bagi Ciangbunjin, tetapi sekaligus menyenangkan hatinya, sebab dia pikir setelah orang dari Lembah Pualam Hijau turun tangan, seharusnya ada tokoh kuat dari Bu Tong Pay yang juga ikut terlibat. Dan, harus dia akui bahwa Tong Li Koan adalah yang paling tepat, hanya dia agak segan meminta sesepuh partainya untuk
melakukan tugas itu. Awalnya, dia ingin meminta tolong Jin Sim Tojin merembukkannya, tetapi justru permohonan
Pemimpin Bhe malah mempermudah rencananya. Dengan
cara demikian, maka janjinya bahwa Bu Tong Pay akan ikut memadamkan kerusuhan dunia persilatan kepada para tokoh rimba persilatan yang mendatanginya beberapa waktu
sebelumnya sudah bisa dipenuhi.
Dan siang itu, Tong Li Koan kemudian bersama Jin Sim
Tojin, Kwee Siang Le dan Liang Mei Lan menghadap Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan di kamar atau gua rahasia pertapaan Pek Sim Siansu. Karena sampai saat ini, memang hanya 4
murid Pek Sim Siansu ini sajalah yang tahu bahwa suhu
mereka bertapa dan menyepi justru di belakang gunung Bu Tong San yang dikeramatkan dan tidak boleh didatangi anak murid Bu Tong Pay dengan sembarangan. Lagi pula, anak
murid mana yang berani dan bisa menyusup tanpa ketahuan 5
tokoh sakti Bu Tong Pay ini"
Tong Li Koan dengan dibantu oleh Jin Sim Tojin kemudian menyampaikan berita permohonan bantuan pemimpin Bhe
kepada guru mereka. Berita yang kemudian disikapi dengan wajah berkerut dan prihatin. Dari semua muridnya, nampak yang mengetahui latar belakang dan hubungan guru mereka dengan lembah itu, hanyalah Tong Li Koan. Hubungan yang jarang ada orang di dunia persilatan yang tahu bahwa Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan punya hubungan kekerabatan dengan
Benteng Keluarga Bhe di Lembah Siau Yau Kok.
Hubungan yang memang tidak tersebar di dunia persilatan, dan hanya diketahui oleh Keluarga Bhe dan Wie Tiong Lan seorang. Hubungan yang juga untuk suatu saat terpaksa
dibukanya kepada muridnya, Tong Li Koan ketika ada sesuatu yang mendesak untuk diselesaikan di lembah itu beberapa puluh tahun berselang. Sekilas, bentuk dan memori hubungan tersebut melintas lagi dalam kenangan Wie Tiong Lan, tetapi tidak lama dan sama sekali tidak begitu merisaukannya lagi.
Toch ujung usia kehidupannya sudah membayang di depan
mata, mengapa masih harus terguncang oleh kejadian masa lalu"
-0o~Marshall~DewiKZ~0oSurat Dari Lembah Siau Yau Kok (2)
"Suhu, para utusan Pemimpin Bhe tiba-tiba datang dan
mohon bantuan suhu untuk mereka. Bahkan mereka
membawa sebuah surat untuk disampaikan kepada suhu" Li
Koan melaporkan sambil kemudian menyerahkan sepucuk
surat kepada Wie Tiong Lan. Meskipun sempat berkerut
wajahnya, tetapi Wie Tiong Lan sendiri nampak tidak begitu kaget, sepertinya orang tua ini telah memiliki firasat bahwa memang hal itu akan terjadi.
"Hm, hal itu sudah lohu duga. Dan untuk urusan itu,
rasanya Mei Lan sudah siap untuk turun gunung. Tugasmu
yang pertama Lan Ji, adalah membantu Benteng Keluarga Bhe atas nama gurumu. Sebelum engkau turun gunung 3 hari
kedepan, biarlah gurumu ini melihat perkembanganmu yang terakhir" Berkata Wie Tiong Lan.
"Suhu, Tecu siap menjalankan perintah dan membantu
Keluarga Bhe atas nama Suhu sendiri" berkata Mei Lan.
"Aku tahu Lan Ji, tetapi betapapun sebagai gurumu aku
perlu melihat perkembanganmu yang terakhir"
Sementara itu, ketiga kakek yang lain, memandang Mei Lan dengan terharu. Tak terasa, mereka akan kembali kehilangan rengekan manja si anak gadis yang kini bahkan
kepandaiannya sudah melampaui mereka. Tetapi
kemanjaannya masih tidak berkurang kepada suhengsuhengnya itu, kecuali terhadap Jin Sim Tojin yang memang berpegangan asas agama.
Sementara Sian Eng Cu, nampak seperti kembali akan
kehilangan anak atau cucu kesayangannya, setelah lebih dari 10 tahun membimbing dan mendidik anak itu dengan penuh
kasih sayang. Bahkan kembali mendidik dan berlatih bersama selama 2 tahun terakhir untuk menyempurnakan kepandaian masing-masing. Dan untuk tugas guru mereka, para murid ini akan kembali berpisah.
"Siang Le dan Jin Sim, lohu masih akan membuka pintu
untuk kalian menyempurnakan kepandaian hingga 6 bulan
kedepan. Setelah itu, lohu akan menutup diri, kecuali untuk urusan yang terlampau berat. Biarlah Siang Le yang
menemaniku disini dan membereskan banyak hal atas namaku setelah lohu menutup diri" Berkata Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan kepada murid-muridnya memberitahukan batas waktu
yang dimilikinya.
"Baik suhu" berbareng Siang Le dan Jin Sim Tojin.
"Baiklah, Lan Ji sebaiknya engkau mulai berkemas-kemas, karena malam hingga sebelum keberangkatanmu kita akan
bersama-sama melihat apa yang kamu capai pada saat "saat terakhir pertemuan kita sebagai guru dan murid" Berkata Pek Sim Siansu
"Baik suhu" dan setelah itu Mei Lan memberi hormat
kepada gurunya dan ketiga suhengnya untuk kemudian
mengundurkan diri.
"Jin Sim, urusan kita sudah selesai. Kembalilah ke Kuil, tetapi saat tertentu sebaiknya engkaupun meningkatkan
kemampuanmu, setidaknya sampai lohu memutuskan
menutup diri untuk selamanya"
"Siancai, baik suhu, terima kasih atas perhatianmu orang tua" Jin Sim Tojin kemudian juga menyembah dan pamit
kembali ke kuil.
"Siang Le, tinggalkan lohu bersama Li Koan, karena diapun harus segera turun gunung mengawasi sumoy kalian" Berkata Pek Sim Siansu setelah tinggal bertiga dengan Tong Li Koan dan Kwee Siang Le.
"Baik suhu" kemudian Siang Le juga keluar hingga dalam
kamar Samadhi Pek Sim Sian Su tinggal berdua dirinya dengan muridnya Sian Eng Cu Tayhiap Tong Li Koan. Waktu itu
nampak kemudian Wie Tiong Lan memanfaatkan waktu untuk
membaca surat yang dikirimkan kepadanya dari Pemimpin Bhe di Siau Yauw Kok. Dan tidak berapa lama kemudian, nampak dia menarik nafas panjang dan kemudian seperti memutuskan sesuatu dan baru kemudian berpaling ke arah Li Koan dan berkata:
"Li Koan, dari semua muridku, engkau yang paling
mengenalku. Bahkan engkau pula mengenal pengirim surat
ini, dan mengenal serta mengetahui hubungan gurumu
dengan Lembah itu"
"Maksud suhu?"
"Pengirim surat ini bukanlah Bhe Thoa Kun, tetapi Wie
Hong Lan, cucu adikku Wie Tiong Kun"
"Masa bisa begitu suhu?"
"Nampaknya kekerasan hati Bhe Thoa Kun masih belum
berubah. Meskipun dia merasa khawatir dengan serangan
Thian Liong Pang, tetapi dia bertekad menghadapinya sendiri.
Tetapi tentu tidak demikian dengan Wie Hong Lan cucuku itu"
"Tecu paham suhu. Pantaslah dari ketiga utusan itu, yang bicara hanya seorang dan nampaknya memang bukan
membawa diri sebagai utusan Keluarga Bhe, tapi diutus Hong Lan Sumoy" berkata Li Koan.
"Hong Lan, cucuku itu, memang meminta pertolonganku.
Dia memintaku untuk dengan cara halus mengunjunginya saat ini, sekaligus seakan-akan secara tak sengaja membantu
keluarga Bhe. Tetapi, ada yang lebih penting dari soal itu bagi Hong Lan" berkata Wie Tiong Lan terputus
"Apa maksudnya suhu?" bertanya Li Koan
"Ketika Bhe Thoa Kun melamar Hong Lan lebih 20 tahun
silam, lohu meminta sebuah syarat untuk dipenuhi Bhe Thoa Kun. Yakni, apabila anak mereka yang lelaki lebih dari
seorang, maka yang bungsu akan memakai She Wie,
melanjutkan keturunan Wie yang terputus ditanganku dan
Hong Lan. Dan Bhe Thoa Kun yang terpaut usianya 20
tahunan dengan Hong Lan menyetujuinya. Sekarang, mereka punya 4 orang anak, 3 yang termuda adalah laki-laki, dan anak yang bungsu diberi she Wie dengan nama Wie Liong
Kun. Anak itu sudah berusia hampir 5 tahun, dan Hong Lan ingin menyerahkannya kepadaku untuk dididik. Bahkan Bhe Thoa Kun juga sudah menyetujuinya"
"Tecu mengerti suhu. Apakah suhu menghendaki Tecu
untuk menjemput sute termuda tecu ke Lembah Siau Yauw
Kok?" bertanya Li Koan terharu. Karena, memang sejak muda dia yang paling dekat dengan suhunya, mengenal banyak
kepahitan masa lalu suhunya dan petualangan suhunya di
dunia persilatan. Tidak heran banyak hal pribadi dari Wie Tiong Lan diketahui oleh Li Koan.
Lebih dari itu, Li Koan memang dipungut murid oleh Wie
Tiong Lan sejak berusia muda, masih kanak-kanak dan
diselamatkan dari daerah yang menjadi medan pertempuran di utara sungai Yang ce. Karenanya, Li Koan sudah menganggap gurunya ini sebagai pengganti orang tuanya. Dan, gurunya ini, memang juga memperlakukannya sebagai anak, mendidiknya
sejak masa kanak-kanak dan membuatnya menjadi orang
terkenal dan mempunyai nama besar dalam dunia persilatan.
"Li Koan, kali ini lohu ingin menugaskanmu untuk
melakukan beberapa hal sekaligus" Berkata Wie Tiong Lan sambil menatap tajam muridnya.
"Tecu mendengarkan suhu"
Sambil menarik nafas berat, Wie Tiong Lan melanjutkan:
"Pertama, engkau membayangi sumoymu Mei Lan dalam
perjalanannya kali ini ke Benteng Keluarga Bhe.
Kepandaiannya memang sudah sangat dahsyat, bahkan sudah melampauimu. Tetapi sebagaimana engkau tahu dan kita tahu bersama, pengalamannya masih terlampau cetek. Akupun
tahu, engkau mengasihinya bagaikan anakmu sendiri, karena itu tugas ini paling tepat dilakukan olehmu"
"Ach, suhu bisa melihatnya. Benar suhu, rasanya karena
sejak kecil memomong dan mendidik anak itu, sulit sekali terpisah begitu lama dengannya" Jawab Li Koan terharu. Dan gurunya memandanginya dengan penuh pengertian. Karena
gurunya juga mengerti dan tahu kepahitan seperti apa yang pernah dialami muridnya ini, murid yang memiliki kesamaan masa lalu yang menyedihkan.
"Kemudian tugasmu yang kedua adalah menyelamatkan
dan membantu Keluarga Bhe secara tidak sengaja, tinggal bagaimana engkau mengaturnya dengan membayangi
sumoymu yang akan kutugaskan menengok cucuku itu. Dan
kemudian mengambil dan membawa Wie Liong Kun kemari.
Lohu masih ingin mendidiknya meski tidak akan lebih dari 5
tahun belaka, batas usiaku yang sudah bisa kurasakan. Dan setelah 5 tahun, kupercayakan cucuku kepadamu untuk
mendidik dan membesarkannya. Engkau sudah cukup tahu
apa yang akan kau kerjakan dalam hal ini"
"Baik suhu, pesanmu orang tua tentu tidakkan kusiasiakan" jawab Li Koan.
"Dan yang terakhir, dalam pengembaraanmu, engkau
melakukan serangan dan penyelidikan secara rahasia terhadap Thian Liong Pang, sambil membantu Mei Lan. Lohu ingin, ada anak murid Bu Tong Pay yang diketahui umum membantu
kesulitan kawan-kawan pendekar Tionggoan. Soal caranya, dengan kemampuan ginkangmu, malah bisa lebih bertindak
rahasia dibandingkan si kerudung hitam misterius dari Lembah Pualam Hijau"
"Baik suhu, tecu akan lakukan"
"Nah, selama 3 hari ini, engkau menempa dirimu
sebaik2nya. Lohu akan mendampingi sumoymu untuk terakhir kalinya. Setelah 3 hari sumoymu berangkat, 3 hari kemudian engkau menyusulnya. Dan 3 hari itu, akan lohu gunakan untuk menyempurnakanmu untuk yang terakhir kalinya. Biarlah
waktu yang terakhir kelak lohu gunakan untuk kedua
suhengmu dan calon muridmu nanti" Berkata lagi Wie Tiong Lan.
Li Koan sadar gurunya ingin segera menyendiri. Karena itu dia segera menyembah dan berkata:
"Baik suhu, perkenankan tecu mengundurkan diri. Semua
tugas suhu akan tecu lakukan sebaik-baiknya, biarlah 3 hari ini tecu juga menutup diri buat menggembleng diri sebelum
kembali ke dunia persilatan, dan 3 hari kemudian menemui suhu kembali"
-0o~Marshall~DewiKZ~o0Dan 3 hari kemudian, nampak bersimpuh dihadapan Wie
Tiong Lan murid bungsunya Liang Mei Lan yang sudah bersiap melakukan perjalanan. Nampak orang tua renta itu
mengulurkan tangannya mengusap dan membelai penuh kasih sayang kepala anak gadis itu yang tertunduk takjim. Setelah beberapa lama, kemudian Wie Tiong Lan berujar:
"Lan Jie, waktumu untuk berangkat segera tiba. Tidak ada lagi yang bisa lohu tambahkan sebagai bekal bagimu.
Pelajaran keagamaan dari suhengmu, menurutnya juga sudah lebih dari memadai. Sementara masalah Ilmu Silat, engkau kini menjadi ahli yang paling lihay di kalangan Bu Tong Pay.
Jikapun masih dibawahku, bukan berarti engkau tidak akan melampaui gurumu. Hanya masalah waktu dan pengalaman
yang engkau butuhkan. Engkau bahkan sudah jauh
meninggalkan ketiga suhengmu. Maka suhumu berpesan agar engkau tidak mempermalukan nama baik suhumu dan Bu
Tong Pay. Tegakkan kebenaran, berlaku adil, jangan
sembarang membunuh dan temukan kembali Pedang Bunga
Seruni sebagai tanda baktimu buat suhumu"
"Suhu, semua pesanmu orang tua pasti akan tecu taati.
Bahkan mencari bunga seruni, jikapun butuh waktu 100 tahun akan tecu lalui untuk menemukannya kembali. Tapi, kapankah tecu mendapatkan kesempatan menemui suhu kembali?"
Nampak Wie Tiong Lan tersenyum, penuh pengertian
dengan pertanyaan terakhir Mei Lan. Dan dengan lembut dia kembali membelai sayang kepala Mei Lan sambil berujar:
"Lan Jie, pertemuan kita hari ini, adalah pertemuan yang terakhir. Setelah keberangkatan suhengmu kelak, lohu akan menutup pintu Samadhi, dengan hanya akan melayani kedua suhengmu yang lain selama 6 bulan. Dan selebihnya usia
suhumu, akan digunakan untuk cucu buyutku yang akan
kalian jemput di Siauw Yau Kok. Jangan lagi memikirkan diri lohu, konsentrasikan untuk mengatasi badai dunia persilatan ini. Batas usia lohu sudah jelas, tidak akan melampaui 5 tahun kedepan, sedikit lebih panjang dibandingkan Kian Ti Hosiang dan Kiong Siang Han yang batasnya sudah dalam waktu dekat ini" Bergumam Wie Tiong Lan.
"Suhu, apakah dengan demikian Lan Ji tidak akan bisa
mengunjungi dan menemui suhu lagi untuk selanjutnya?" Mei Lan bertanya terperanjat begitu menyadari bahwa suhunya sudah akan menutup diri.
"Lan Jie, engkau sudah dewasa dan punya tanggungjawab
besar. Kerjakan semua dengan baik, itulah baktimu buat
gurumu. Sewaktu-waktu dalam batas waktu 5 tahun, engkau boleh menengok lohu, tetapi tidak lagi untuk membicarakan urusan dunia persilatan. Suhumu akan beristirahat
mempersiapkan menunggu hari-hari terakhir itu datang. Nach, sekarang, engkau boleh berangkat" berkata Wie Tiong Lan.
"Baiklah suhu" Mei Lan sujud menyembah, agak lama
bahkan kemudian terdengar isaknya tertahan saking
terharunya untuk kembali terpisah dengan kakek tua yang sangat disayanginya itu. Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan
tampak membiarkan muridnya melepas rasa harunya
beberapa saat, karena diapun agak tergetar perasaannya
melihat anak yang dididik keras lebih 10 tahun akan
ditugaskannya memasuki dunia Kang ouw yang sedang rusuh.
Tetapi perasaan terguncangnya tidak akan berlangsung lama, setelah beberapa saat, kemudian Wie Tiong Lan bergumam
lembut: "Lan Jie kuasai dirimu dan lakukan yang menjadi
kewajibanmu, lakukan atas nama kemanusiaan dan atas
kewajibanmu bagi dunia Persilatan dan Bu Tong Pay kita"
"Baik suhu, Lan Jie tidak akan mengecewakanmu orang
tua, Lan Jie mohon diri" Mei Lan nampak kemudian
mengeraskan hatinya, kemudian mencium tangan gurunya
dan dengan isak tertahan berkelabat keluar sambil dipandangi penuh haru oleh gurunya yang nampak sudah sangat tua itu.
Bahkan menurut Mei Lan jauh lebih tua dari waktu waktu
sebelumnya. Mei Lan juga berpamitan dengan Kwee Siang Le yang juga
melepasnya dengan penuh rasa haru. Kemudian juga tentu
berpamitan dengan Tong Li Koan yang dengan terpaksa
mengeraskan hatinya melepas anak gadis yang
diperlakukannya sebagai anak dan cucunya itu. Dan pada
akhirnya juga berpamitan kepada Jin Sim Tojin, Ji Suhengnya yang sekaligus gurunya dalam ilmu keagamaan, dan terakhir minta diri kepada Ciangbunjin Bu Tong Pay yang
memandangnya penuh kekaguman.
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan dengan penuh keyakinan, Sang Ciangbunjin
mengatakan bahwa telah tumbuh tunas baru Bu Tong Pay
yang akan banyak memberi warna dan bantuan bagi dunia
persilatan. Sang Ciangbunjin memang hanya mengenal Mei
Lan sebagai murid ketiga supeknya, Sin Ciang Tayhiap Kwee Siang Le, Sian Eng Cu Tayhiap Tong Li Koan dan Jin Sim Tojin.
Tidak pernah disangkanya, kalau anak gadis ini adalah murid penutup guru besarnya Wie Tiong Lan, yang bahkan menjadi murid yang paling ampuh dari Bu Tong Pay dewasa ini. Maka dimulai lagilah pengembaraan Naga Wanita yang telah harum dengan julukan SIAN ENG NIOCU atau SIAN ENG LI di dunia persilatan.
Julukan yang menjadi lebih pas setelah dia mewarisi
ginkang maha hebat Te-hun-thian (mendaki tangga langit) dari guru keduanya Liong-i-Sinni, si Padri Wanita Sakti berbaju hijau dari Timur. Petualangan yang lebih seru, lebih memikat dan lebih mempesona telah menantinya. Tetapi, gadis cantik ini tidak pernah menyadari bahwa 3 hari setelah
keberangkatannya, Sam Suhengnya, Tong Li Kuan juga
menyusulnya setelah selama 3 hari digembleng untuk terakhir kalinya oleh gurunya. Dalam waktu yang berdekatan Wie
Tiong Lan dan Bu Tong Pay melepas 2 pendekar utamanya
kedalam dunia persilatan. Hal ini dilakukan Wie Tiong Lan Pek Sim Siansu karena dia tidak melihat dan berfirasat jelek dengan keadaan terakhir dari Bu Tong Pay.
Bila ditempuh secara marathon dan berjalan siang malam, maka perjalanan ke Lembah Bebas Merdeka setidaknya
membutuhkan waktu 3 hari-3 malam. Tetapi, Mei Lan tentu tidak diburu waktu, karena kedatangannya ke Benteng
Keluarga Bhe dibuat seolah-olah tidak disengaja, sebuah kunjungan kekeluargaan. Karena itu, di menentukan sendiri waktunya, yang sedapat mungkin berada di seputar Lembah menjelang akhir bulan ketujuh, berarti masih ada waktu lebih 10 hari buatnya untuk melakukan perjalanan.
Sudah diperhitungkannya, dengan berkuda dan berjalan
santai dia akan tiba di seputar lembah pada sekitar 6-7 hari kedepan. Karena itu, Sian Eng Li Liang Mei Lan berjalan dengan tidak memaksakan diri, tetapi dilakukan sambil
menikmati keindahan alam disepanjang jalan yang dilaluinya.
Karena berjalan secara perlahan dan santai itulah, pada hari kelima perjalanannya, Tong Li Koan yang bertugas
mengawasinya sudah bisa menemukan jejaknya yang berada
tidak jauh didepannya, tidak sampai 1 hari perjalanan
kedepan. Terlebih, karena perjalanan Mei Lan terhitung menyolok
dan tidaklah dengan rahasia. Dia tidak menyembunyikan
identitasnya sebagai anak murid Bu Tong Pay, kecuali tidak pernah menyebutkan gurunya adalah Wie Tiong Lan. Dan
keadaan dunia persilatan yang kacau balau, sudah menjadi hukumnya pasti akan diikuti dengan mengganasnya kaum liok-lim.
Para rampok, begal di tempat-tempat sepi dan terasing
mengganas dengan bebasnya. Beberapa kali Liang Mei Lan
kebentrok dengan kaum ini, yang dengan keras dihajarnya, dan beberapa kelompok begal yang menemui dan
mengganggunya diberinya hajaran setimpal. Bahkan beberapa yang raja beganya terlalu ganas, dihukumnya dengan telak, dengan menghancurkan tulang pundak dan mengembalikan si raja begal menjadi manusia biasa yang tidak mampu lagi
bersilat. Karena itu, seminggu dalam perjalanannya di dunia Kang
Ouw, kabar gembira berhembus dengan munculnya Sian Eng
Li yang pernah memberi hajaran kepada perusuh Thian Liong Pang beberapa tahun silam. Secercah asa kembali
membubung, berharap semoga para pahlawan muda yang
mengundurkan Thian Liong Pang beberapa waktu lalu,
kembali tampil ke permukaan. Mereka menunggu Ceng-i-Koai Hiap, si Naga Jantan Hijau, yang kebetulan pada saat
bersamaan dengan munculnya Sian Eng Li, juga memulai
perjalanannya keluar dari Lembah Pualam Hijau untuk
mengembara dalam dunia persilatan.
Bahkan, keadaan menjadi lebih menggemparkan, karena
bersamaan dengan munculnya Sian Eng Li, beberapa
pembunuh berpakaian hitam dari Thian Liong Pang
diketemukan dalam jejak perjalanan Sian Eng Li dalam
keadaan terbunuh. Ada yang menghembuskan issue Sian Eng Li yang melakukannya sehingga menambah harum namanya,
tetapi ada beberapa saksi mata yang menyebutkan bahwa
seseorang berjubah kelabu dengan tutup kepala misterius, melakukannya dengan Ilmu-ilmu khas Bu Tong Pay. Kejadian tersebut menimbulkan spekulasi dan juga dugaan bahwa saat ini, baik Lembah Pualam Hijau maupun Bu Tong Pay sudah
turun tangan mengirimkan jago-jagonya untuk melawan Thian Liong Pang.
Sementara itu, Liang Mei Lan sendiri sudah tiba didaerah yang berdekatan dengan kawasan Lembah Siuaw Yau Kok.
Sebelum melanjutkan perjalanannya, kebetulan dia bertemu dengan sebuah dusun yang mengarah ke lembah tersebut,
meskipun masih terpisah kurang lebih 3 jam berkuda dengan Benteng Keluarga Bhe. Tetapi karena waktunya masih lebih kurang 2 hari lagi, maka dia memutuskan untuk berkunjung ke Lembah itu esok harinya, dan berniat menggunakan waktu
yang tersisa untuk menyelidiki keadaan disekitar lembah dan juga di dusun yang disinggahinya.
Sebab bila para penyerang akan melakukan penyerbuan,
agak sulit diperkirakan bila dilakukan tanpa beristirahat terlebih dahulu. Dengan pengertian itu, akhirnya Mei Lan memutuskan untuk tidak memasuki dusun pada siang hari,
tetapi mencari tempat istirahat justru di hutan di luar dusun sambil terus mengawasi jalur keluar masuk dusun Ki Ceng.
Dengan cara itu dia berharap bisa mendapatkan sedikit
petunjuk mengenai para penyerang yang mengancam itu.
Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, bukan perkara sulit bagi Mei Lan untuk beristirahat dengan kesiagaan tinggi bahkan disebuah pohon sekalipun. Karena dia berencana
untuk bekerja pada malam harinya, maka dia memutuskan
untuk beristirahat sejenak, mengumpulkan segenap tenaga dan juga semangatnya. Hal itu bisa dilakukannya di atas pohon, dengan menyembunyikan kudanya di balik semak dan rimbunan hutan. Mei Lan melakukan Samadhi dan pemulihan tenaganya sampai hampir 2 jam, dan sudah lebih dari cukup waktu tersebut untuk membuatnya bersemangat dan bugar
kembali. Sementara itu, matahari mulai condong ke barat tetapi dia tidak menemui tanda-tanda mencurigakan, terutama tidak
melihat adanya gerakan missal sejumlah orang yang
mencurigakan. Sebaliknya, dusun itu, meski lumayan ramai, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda adanya sejumlah orang penuh rahasia dengan misi tertentu. Mei Lan menjadi tidak sabaran dan merasa akan sia-sia melakukan tugas penjagaan dan pengintaian di tengah malam dan di hutan pula.
Memang tidak begitu mengherankan. Meskipun tersiar
kabar Benteng Keluarga Bhe menjadi sasaran Thian Liong
Pang pada akhir bulan ke-tujuh, tetapi sedikit sekali pendekar dunia persilatan yang tergerak menuju benteng keluarga Bhe.
Karena memang keluarga Bhe terhitung agak arogan dan tidak suka bergaul dengan dunia luar, bahkan terkesan tertutup.
Benar ada cukup banyak pengawal dan murid, mungkin
hampir mendekati 100 orang, tetapi para murid inipun, jarang yang berkelana dan membina hubungan baik dengan dunia
luar. Justru karena itu, dalam kesulitan benteng keluarga Bhe ini, relatif hanya anak murid Pek Sim Siansu yang bersimpati untuk datang membantu. Selebihnya, nyaris tidak ada simpati dari dunia persilatan untuk sekedar memberi bantuan bagi Benteng Keluarga Bhe ini.
Dan karena itu, dusun Ki Ceng yang terdekat dengan
Lembah Keluarga Bhe ini, justru tidak menunjukkan adanya para pendekar yang bersimpati untuk datang membela
Keluarga ini. Nampaknya dusun Ki Ceng seperti tiada sesuatu yang luar biasa, tidak menunjukkan gelagat yang
mencurigakan dan seperti tidak ada aktifitas rahasia. Bahkan semakin matahari doyong ke barat, semakin sepi desa
tersebut, dan semakin temaram cahaya di desa yang dikepung hutan lebat tersebut.
Kecuali beberapa warung arah dan rumah makan, nampak
pelita di rumah-rumah tidaklah terlampau besar cahayanya.
Ketika hari semakin gelap dan matahari benar-benar sudah tenggelam di ufuk barat, perlahan-lahan Mei Lan mencelat turun dari pepohonan. Nampaknya dia berkehendak untuk
menyelidiki langsung kedalam dusun Ki Ceng untuk memeriksa keadaan dusun yang tidak menunjukkan adanya aktifitas
diwaktu malam tersebut.
Begitu turun dan mulai melangkah, entah sejak kapan Mei Lan sudah berpakaian ringkas, khas seorang yang berjalan malam untuk menyelidiki sesuatu. Mei Lan nampak berjalan dan bertindak hati-hati untuk kemudian agak pesat ke dusun Ki Ceng melalui sisi Barat yang jauh lebih rimbun
pepohonannya. Tetapi, Mei Lan tidak langsung memasuki
dusun tersebut dari sisi barat, tetapi justru terlebih dahulu mengambil tindakan berhati-hati dengan mengitari dusun Ki Ceng.
Dan baru ketika kemudian dia tidak menemukan apa-apa
yang mencurigakannya selama 1 jam penyelidikannya
mengelilingi dusun tersebut, akhirnya Mei Lan mulai menuju ke hutan sebelah barat dusun. Karena dari sisi inilah dia berencana memasuki dusun. Malam waktu itu sudah semakin larut, mungkin sudah sekitar pukul 9 malam, dan warung
arakpun nampaknya tinggal 1 yang masih buka, dan tinggal disanalah nampak ada keramaian, itupun hanya 3-4 orang
saja. Tiba-tiba berkelabatlah tubuhnya, bagaikan bayangan
dengan pesat menyusup masuk ke dusun tersebut. Mulanya
dia mendekati warung arak untuk menguping pembicaraan 4
orang didalamnya, tetapi begitu mendengar pembicaraan
mereka yang ngolor ngidul mnengenai kesusahan mengurus
sawah dan kebun, dan pembicaraan remeh lainnya, Mei Lan kembali berkelabat. Kemudian dia mendekati sebuah
penginapan kecil, paling hanya memiliki kamar tidak lebih dari 10 buah, tetapi kamarnyapun rata-rata kosong dan tidak ada penghuninya.
Jelaslah, bahwa dusun ini tidak menunjukkan adanya
sebuah gerakan yang melandaskan operasinya dari Ki Ceng.
Hampir setengah malaman, bahkan sampai menjelang pukul
12 malam, Mei Lan menelusuri dusun ki Ceng dan tidak
menemukan satu hal apapun yang mencurigakan dalam dusun tersebut. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk
menghentikan penelitiannya, karena hampir semua sudut
sudah didatanginya, tetapi tiada tanda setitik apapun yang membuatnya berkhawatir bahwa dari dusun Ki Cenglah para perusuh akan melandaskan aktifitasnya.
Tetapi ketika Mei Lan sudah lelah dan memutuskan kembali ke hutan dimana dia meninggalkan kudanya untuk
beristirahat, tiba-tiba dia melihat sekitar 7 bayangan bergerak dengan sangat cepat. Tahu-tahu menghilang kedalam
beberapa rumah yang cukup baik dan bagus dibandingkan
kebanyakan rumah penduduk lainnya, dan nampaknya milik
orang kaya, dan beberapa saat kemudian beberapa diantara mereka seperti menenteng sesuatu.
Mei Lan segera sadar dan mengurungkan niatnya untuk
mengejar dan menghajar orang-orang tersebut. Sebaliknya, dibiarkannya mereka melakukan operasi pencurian, entahlah barang-barang apa yang dicuri, dan seperti dugaannya,
setelah ke tujuh orang itu menyelesaikan operasi mereka, nampak mereka berkumpul di sudut selatan dusun Ki Ceng.
Dan seperti membicarakan sesuatu yang tidak dimengerti Mei Lan, dan tak berapa lama kemudian bayangan hitam tersebut berkelabat ke luar dusun dari arah selatan.
Mei Lan tidak mau kehilangan buruan, dengan bekal
ginkangnya sekarang ini, terlalu mudah baginya membayangi orang-orang itu tanpa sedikitpun ketahuan dan tanpa
mengeluarkan suara sekalipun. Karena kemampuan
ginkangnya, telah memampukan Mei Lan bergerak membelah
angkasa, sementara kemampuan menyerap suara tubuhnya,
sudah sanggup dilakukannya dengan pemusatan konsentrasi ketika bergerak. Ketujuh bayangan hitam tadi terus bergerak tanpa menyadari bahwa mereka dikuntit sebuah bayangan
hitam lainnya yang dengan pesat bergerak-gerak melayang-layang seakan tidak menyentuh bumi.
Ada sekitar setengah jam ketujuh bayangan itu berlari-lari membelah hutan ke arah selatan, dan kemudian tiba disuatu tempat yang dari kejauhan memang tidak nampak sebagai
tempat berkumpulnya org-orang itu. Sebuah tempat
perkemahan, karena ada beberapa tenda dan kemah yang
dibangun, nampaknya secara darurat. Nampak ada sekitar 7
tenda besar, 5 tenda sedang dan sekitar 5 tenda kecil lainnya.
Sebuah tenda besar, nampaknya sanggup menampung sampai
20 orang, sementara tenda sedang paling banyak menampung 7-8 orang, sementara tenda kecil nampaknya menampung
bahan bahan makanan dan bekal kelompok orang ini.
Mei Lan segera menyadari bahwa dia sedang menyatroni
sarang macan. Dan besar kemungkinannya dari tempat inilah pihak Thian Liong Pang akan melakukan serangan ke benteng keluarga Bhe. Karena itu, semakin dia berhati-hati, dan dengan kemampuannya yang luar biasa, dia bisa menerobos mendekati tenda utama tempat dimana 7 bayangan tadi
kemudian masuk. Terdengar seseorang melapor:
"Hu-pangcu, Houw Ong, tiada tanda-tanda kehadiran para
pendekar yang mau membela Benteng Keluarga The hingga
malam ini. Penginapan kosong, dan sekitar dusun juga tiada jejak pendatang baru"
"Bagus, sudah kuduga. Benteng Bhe memang terlampau
sombong dan arogan, tetapi mereka lebih memilih kelompok putih daripada kita. Bila sampai besok tiada jawaban, maka 2
hari kedepan, kita menyerang pagi-pagi buta" Terdengar
suara yang rada aneh. Jelas suara ini dari seorang nenek, tetapi terdengar menggeram bagaikan suara harimau marah.
"Hm, apa sajakah yang kalian temui di dusun itu?" sebuah suara lain yang agak berat, berisi namun sangat lirih
terdengar. "Dusun itu terlalu miskin hu pangcu, hanya seadanya saja bagi Pang kita yang bisa kami temukan" seorang dari ke-7
bayangan hitam segera meletakkan semua barang curian
mereka dari dusun Ki Ceng. Dan memang tiada berarti
banyak, setidaknya hanya sebutir mutiara saja yang agak berharga dari barang-barang curian tersebut. Lalu terdengar orang yang dipanggil Hu-Pangcu berkata:
"Sudahlah, masukkan kedalam perbendaharaan kita. Kita
butuh banyak dukungan dana untuk kegiatan selanjutnya.
Betapapun kalian sudah berjasa banyak, kalian boleh
beristirahat"
Tak berapa lama kemudian ketujuh orang bayangan hitam
tadi berlalu dari tenda utama yang nampak terang benderang itu. Dan beberapa saat kemudian tidak terdengar suara
percakapan kecuali seperti ada seseorang yang membenahi barang curian untuk kemudian diamankan entah kemana oleh gerombolan orang orang yang berkemah itu. Baru ketika
suara-suara yang membenahi ruangan itu sirap, terdengar lagilah suara seseorang, agaknya yang dipanggil Hu Pangcu itu:
"Houw Ong, apakah engkau yakin bahwa tiada akan
bantuan bagi Benteng Keluarga Bhe?"
"Hu-Pangcu, Benteng keluarga Bhe, berbeda dengan
Keluarga Yu. Di keluarga Yu, pasti akan muncul banyak
bantuan, tetapi di Keluarga Bhe, jikapun ada, tidak akan banyak. Selain itu, kita sanggup mengalihkan perhatian dunia persilatan dari aksi yang lain" terdengar jawaban suara aneh tadi.
"Hm, bila perhitunganmu benar, dengan jumlah orang kita yang mendekati 150an, ditambah dengan tenagamu dan
muridmu, serta juga Pesolek-Rombeng Sakti Dari Selatan, sudah jauh dari memadai untuk menghadapi Benteng Bhe di Siau Yau Kok" Hu Pangcu berkata.
"Malah sudah jauh melampaui apa yang bisa ditampilkan
Benteng Bhe itu"
"Hm, mudah-mudahan demikian" mendengus Hu Pangcu.
Dan tiba-tiba dia mengibaskan sebuah tangannya, selarik sinar pukulan menembus pekatnya tenda dan terus menyerang
kesebuah arah tersembunyi. Dan tiba-tiba terdengar suara:
"Duaaaaaaar"
Pukulan jarak jauh Hu Pangcu memekakkan telinga dan
menghancurkan bebatuan yang berjarak cukup jauh dari
tenda induk tersebut. Tetapi, ketika Hu Pangcu mendatangi tempat yang dipukulnya dari jauh, dia sama sekali tidak menemukan apa-apa. Dan terdengar Hu Pangcu mendesis:
"Hm, seperti ada gerakan dan suara dari tempat ini
tadinya" "Ah, mana mungkin ada tokoh yang berani menyusup ke
tengah-tengah kita Hu Pangcu" berbisik Houw Ong, yang
nampak memang ternyata adalah seorang nenek-nenek tua.
"Semogalah demikian Houw Ong"
-0o~Marshall~DewiKZ~0oEpisode 19: Pertempuran di Siau Yau
Kok Pemimpin Benteng Keluarga Bhe dewasa ini adalah Bhe
Thoa Kun, yang mewarisi Benteng Keluarganya dari ayahnya yang bernama Bhe Kun. Ayahnya sendiri setelah menyerahkan Benteng Keluarga Bhe ini kepada Bhe Thoa Kun, sudah jarang menampakkan diri. Usianyapun saat ini sudah lebih dari 85
tahun, dan sudah lebih banyak beristirahat dan menyepi, terutama setelah istrinya meninggal 10 tahun berselang
karena sakit dan usia tua.
Kematian istrinya telah memadamkan semangat kakek ini,
kecuali melihat dan menghibur diri dengan cucu-cucunya. Bhe Kun sebenarnya memiliki 2 orang putera, tetapi putranya yang kedua, Bhe Houw Kun telah lama menetap di daerah Nan Cao, dekat Tibet karena menikah dengan seorang gadis disana, dan saat ini sudah mempunya usaha yang mapan disana.
Karenanya saat ini tinggal Bhe Thoa Kun seorang yang
menjadi sandaran dari Benteng keluarga Bhe ini.
Sementara Bhe Thoa Kun menikah di usia yang sudah
sungguh lanjut, yakni di usia 42 tahun. Dengan istrinya, Wie Hong Lan, perbedaan usianya hampir 20 tahunan, dan
pernikahan itu sendiri baru berlangsung setelah Bhe Kun menyepakati sebuah perjanjian dengan Wie Tiong Lan yang menjadi wali Wie Hong Lan sebagai satu-satunya keluarga terdekat.
Dan syukurlah, dari pernikahan itu lahir 4 anak, seorang anak perempuan anak kedua yang dinamai Bhe Bi Hwa, dan 3
anak lelaki yang masing-masing anak pertama bernama Bhe Kong, anak ketiga Bhe Houw dan anak keempat sesuai
perjanjian dengan Wie Tiong Lan dinamai Wie Liong Kun.
Anak tertua Bhe Kong saat ini sudah berusia 21 tahun,
berturut-turut anak kedua berusia 18 tahun, anak ketiga berusia 15 tahun dan anak bungsu Wie Liong Kun berusia
sekitar 5 tahunan. Semua anak-anak keluarga Bhe ini dididik langsung oleh ayah mereka, bahkan terkadang oleh kakek
mereka dalam ilmu silat.
Benteng Keluarga Bhe terkenal di dunia persilatan karena menguasai Ilmu-Ilmu yang sangat lihay, terutama yang
menggoncangkan dunia persilatan adalah ilmu khas mereka yakni Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga), dan Yan Cu Hui Kun (Imu SIlat Sakti Burung Walet). Sebagai Pemilik Benteng, sudah tentu Bhe Thoa Kun sudah menguasai dengan sempurna ketiga Ilmu Keluarganya ini, yakni Ilmu Permainan Sepasang Tongkat Naga serta 2
Ilmu tangan kosong yang tidak kurang lihaynya.
Sementara anak pertamanya, Bhe Kong, juga sudah
tumbuh menjadi calon pewaris Benteng Bhe dan bahkan
sudah nyaris menyamai ayahnya karena dibimbing langung
oleh kong-kongnya, pemilik Benteng Bhe sebelumnya. Karena tinggal mendidik cucu cucunya yang menjadi kesenangannya, maka wajar bila Bhe Kong dan juga Bhe Bi Hwa dan Bhe Houw tumbuh menjadi orang lihay. Terutama Bhe Kong yang
memiliki bakat baik, sama baiknya dengan adik bungsunya.
Hanya karena adik bungsu mereka memang akan dididik oleh Wie Tiong Lan, karena itu kakeknya di Benteng keluarga Bhe hanya mengajar dasar-dasar pergerakan Ilmu Silat.
Sementara Bhe Hujin sendiri, Wie Hong Lan, bukanlah
orang yang menyenangi Ilmu Silat, meskipun dia pernah
menerima beberapa pelajaran silat Bu Tong Pay dari paman kakeknya Wie Tiong Lan. Bhe Hujin sendiri, jauh lebih
menyukai pekerjaan rumahan dengan mendidik anak-anak
dan menyayangi mereka serta mengurus suaminya yang
sangat mencintainya meski terdapat perbedaan usia hampir 20
tahun diantara mereka.
Justru karena kecintaan akan suami dan anak-anaknya,
maka ketika mendengar ancaman terhadap Benteng Keluarga Bhe dari Thian Liong Pang yang didengarnya sangat kuat dan sadis, telah membuat Bhe Hujin nekad menulis surat kepada paman kakeknya yang diketahuinya sangat mengasihinya.
Paman kakeknya ini adalah satu-satunya keluarga yang
dimilikinya, yang sangat mengasihinya dan bahkan meminta salah seorang anaknya memakai She Wie.
Di dunia persilatan dewasa ini, terdapat 3 Benteng Keluarga terkenal, dan Benteng Keluarga Bhe merupakan salah satu dari ketiga Benteng Keluarga ternama itu. Benteng Keluarga Bhe terletak di sebuah lembah bernama Lembah Siau Yau Kok (Lembah bebas Merdeka), sebuah lembah yang agak misterius justru karena Pemilik Lembah yang jarang mau bergaul.
Karena itu, juga teramat jarang tokoh persilatan yang
menginjakkan kaki di daerah perbentengan keluarga ini. Kiri dan kanan lembah, adalah tebing-tebing yang tak terpanjat oleh manusia, sehingga pintu masuknya hanya mungkin dari depan dan belakang.
Di bagian belakang, juga tetap sulit didatangi, karena
terbentang barisan karang terjal yang menukik ke angkasa, bahkan bagaikan tombak bila dilihat dari angkasa raya.
Sehingga pintu masuk yang paling rasional dan paling
mungkin adalah pintu masuk lembah yang langsung
berhadapan dengan tembok yang sangat tebal, mungkin
setebal 3 meter dan memiliki post pengamatan di atas tembok tebal setinggi 4-5 meter dari permukaan tanah tersebut.
Tembok tebal itu terbentang sepanjang 20 meter dan
menutup secara mutlak akses masuk ke lembah.
Bukan sedikit tokoh dunia persilatan yang ditolak memasuki lembah, karena memang sifat eksentrik pemilik lembah sejak dahulu kala. Tembok itu langsung memisahkan hutan lebat dihadapannya dengan daerah hunian Benteng Keluarga Bhe, dan hanya ada sebuah jalan setapak kecil yang menerobos membelah hutan lebat di depan tembok yang biasa digunakan anak murid keluarga Bhe untuk mengangkut makanan atau
keperluan lain di luar benteng.
Dan pada siang itu, nampak sebuah pemandangan yang
tidak biasa dan aneh bagi penghuni benteng. Meskipun di tengah ancaman serangan, pemandangan tersebut tetap
terasa aneh, tidak biasa, dan bukan mendatangkan keseraman tetapi malah mendatangkan rasa lucu. Betapa tidak, seekor kuda yang ditunggangi mahluk cantik manis, dan bahkan
masih berusia remaja, belum sampai 2 tahun, nampak
menerobos jalan kecil atau jalan setapak yang membela hutan lebat di Lembah Siau Yau Kok.
Dan kuda itu, bukannya berlari, malah berjalan santai dan perlahan-lahan saja, sedangkan si gadis nampak duduk santai dan tidak merasa seram dan takut dengan keadaan hutan
yang senyap mengerikan itu. Keadaan ini menjadi aneh bagi mereka, sebab belum pernah mereka menyaksikan ada gadis cantik mungil seperti gadis ini, menunggang kuda dan berjalan santai di lebatnya hutan lembah yang seram dan sepi itu.
Tapi, anak gadis ini, selain cantik, juga nampaknya tidak pedulian dengan seramnya hutan, malah bagaikan lenggang-lenggok menggoda senyapnya hutan itu.
Otomatis, kejadian ini bagaikan sebuah hiburan bagi para penjaga benteng keluarga Bhe, betapa lucu dan aneh melihat seorang gadis mungil yang cantik mendatangi benteng
mereka. Bahkan suara anak gadis itu, yang tentunya adalah Mei Lan, ketika menyapa mereka minta dibukakan pintu
gerbang juga masih terkesan suara dan permintaan seorang kanak-kanak yang nakal dan menggemaskan.
"Para sicu dan saudara yang baik, apakah aku boleh
memasuki Lembah Siau Yau Kok?" bertanya Mei Lan dengan
gayanya yang agak kenes. Otomatis, semua mata terbelalak memandangnya, sebuah pemandangan ganjil dan belum
pernah terjadi.
"Nona, siapakah anda, dan dari manakah datangnya?"
seorang penjaga bertanya.
"Aku mewakili guruku, Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan dan
ingin menemui Bhe Hujin, Wie Hong Lan" berkata Mei Lan
tanpa menutupi identitas dirinya dan maksud kedatangannya.
Karena toch keluarga Bhe sudah tahu bahwa pada akhirnya anak bungsu mereka akan menjadi keturunan keluarga Wie
sesuai perjanjian pada masa lalu.
"Ach, yang benar nona manis. Pek Sim Siansu Wie Tiong
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lan sudah berusia ratusan tahun, masakan punya murid
bocah seusia kamu" si kepala penjaga malah menjadi ragu.
"Pokoknya, sampaikan saja kepada Bhe Hujin, dan lihat
apakah dia percaya atau tidak. Karena nonamu akan
membuktikan kepada Bhe Hujun bahwa nonamu adalah murid
suhu Pek Sim Siansu" Mei Lan masih dengan gayanya yang
kenes dan menantang.
Sejenak terjadi kebimbangan di hati para penjaga benteng keluarga Bhe tersebut. Tetapi akhirnya, diambil keputusan untuk menyampaikan berita ini kepada Bhe Thoa Kun dan Bhe Hujin untuk diputuskan, langkah apa yang sebaiknya diambil.
Karena itu, kemudian terdengar seseorang turun dari tembok penjagaan dan kemudian terdengar memasuki lembah untuk
melaporkan kejadian tersebut. Sedangkan si kepala penjaga setelah memandang sejenak dengan penuh keraguan kepada
Liang Mei Lan yang nampak mungil, cantik dan kenes itu
sudah berkata: "Nona, harap menunggu sebentar. Kami sedang dalam
keadaan sangat waspada, karena itu maafkan, lohu tidak bisa mengambil keputusan" Berkata si kepala penjaga. Ucapannya disambut dengan ketawa manis Liang Mei Lan, sambil
kemudian nampak seperti bermain-main dengan kudanya di
bawah tembok pembatas dengan hutan yang adalah juga
tembok memasuki Lembah Siau Yau Kok. Tidak terlihat
kegamangan, keraguan ataupun ketakutan diwajahnya yang
cantik mungil itu. Bagi para penjaga, keadaan Mei Lan juga tidak menghadirkan rasa seram dan curiga sedikitpun.
Tidak beberapa lama di atas benteng telah berdiri dengan gagah seorang tua dan seorang pemuda. Bisa dipastikan itulah Bhe Thoa Kun, pemilik Benteng Keluarga Bhe bersama anak tertuanya Bhe Kong. Sambil berdiri gagah, si orang tua
menatap takjub ke bawah, melihat seorang anak gadis yang mengakui berkunjung atas nama gurunya, Pek Sim Siansu.
Padahal, Pek Sim Siansu, setahunya hanya memiliki 3 orang murid, Sin Ciang Tayhiap, Jin Sim Tojin dan Sian Eng Cu Tayhiap. Dari mana datangnya murid yang masih bau kencur ini" Bagaimana pula meyakini anak ini benar muridnya Pek Sim Siansu" Bhe Thoa Kun jadi bingung. Tapi dikeraskannya hatinya dan berkata:
"Nona cilik, benarkah engkau murid Wie Tiong Lan, Pek Sim Siansu?"
"Apakah yang berbicara adalah Bhe Thoa Kun, pemilik
benteng?" Mei Lan balik bertanya tidak peduli akan
pertanyaan si pemilik Benteng yang nampak berdiri keren di atas bentengnya.
"Benar, lohu adalah orangnya. Dan nona sendiri sebernya siapakah, benarkah murid Wie Tiong Lan?"
"Bagaimana membuat Pemimpin Bhe percaya bahwa saya
adalah murid terakhir suhu Wie Tiong Lan dan bernama Liang Mei Lan?" Mei Lan malah berbalik bertanya.
Nampak Pemimpin Bhe berpikir sejenak, tetapi tidak lama kemudian terdengar dia berkata:
"Nona, Wie Tiong Lan terkenal sebagai salah seorang maha guru yang gaib dewasa ini. Tentunya nona mengerti bila lohu meragukanmu"
Liang Mei Lan percaya dengan kalimat yang diucapkan Bhe Thoa Kun, karena itu otaknya yang cerdik cepat bekerja. Dan dalam sekejap tiba-tiba otaknya yang nakal sudah
menemukan akal cemerlang, tiba-tiba badannya terbang ke arah tembok bagian atas, dan tidak tanggung-tanggung,
bersama tubuhnya juga melayang tubuh kudanya disertai
ringkikikan ngeri kudanya, dan dalam sekejap Liang Mei Lan sudah menghadapi Bhe Thoa Kun di atas tembok. Dengan
ringan dia bertanya dan berkata:
"Apakah Pemimpin Bhe melihat bahwa gerakanku tadi
adalah Sian Eng Coan In, ilmu ginkang kebanggaan suhu?"
Tapi Bhe Thoa Kun belum pulih dari keterkejutannya
melihat demonstrasi ginkang yang terlalu luar biasa. Diapun sanggup meloncat dari bawah ke atas tembok itu, tetapi
meloncat sambil duduk di atas pelana kuda dan kudapun
melayang ke atas, dia yakin yang mampu melakukannya
hanya bisa dihitung dengan jari tangan.
"Bagaimana pemimpin Bhe, apakah aku pantas menjadi
murid suhuku?" Mei Lan bertanya lagi melihat Bhe Thoa Kun masih tersengat keterkejutan, demikian juga anaknya Bhe Kong yang menatap Mei Lan bagaikan tidak mau berkedip lagi.
Masih terperanjat oleh pameran ginkang yang ditunjukkan oleh anak gadis yang mereka ragukan identitasnya itu.
Lagipula, gadis kecil yang cantik jelita begini, bagaimana bisa mampu melakukan loncatan yang begitu luar biasa dan
layaknya hanya sanggup dilakukan para cianpwe"
"Ach, ech, iya, iya, nona, lohu bisa melihat jika gerakan tadi merupakan andalan Pek Sim Siansu dan Sian Eng Cu Tayhiap.
Tapi, siapakah nama nona dan mengapa menjadi murid
Paman Kakekku?" bertanya Bhe Thoa Kun menjadi
menghormat kali ini.
"Ach ceritanya panjang Pemimpin Bhe. Aku bernama Liang
Mei Lan, diangkat dari aliran sungai yang banjir oleh suhu diusia 6 tahun dan dididik sebagai muridnya selama hampir 15
tahun terakhir ini, murid penutup suhu Pek Sim Siansu"
berkata Mei Lan.
"Ach, maafkan lohu bila menjadi kurang hormat terhadap
siocia, eh bibi guru. Jika begitu, mari kita masuk ke benteng, tentu Lan Moi akan senang menerima kunjungan bibi guru"
Kali ini pemilik benteng Bhe menjadi begitu menghormati Mei Lan. Karena memang dalam urut-urutan keluarga istrinya, maka Mei Lan akan menjadi bibi guru dari Bhe Thoa Kun. Tapi untunglah Mei Lan bukanlah orang kolot, dengan segera dia menegur dan berkata:
"Ach, pemimpin Bhe, biarlah memanggilku secara wajar,
dengan nama ataupu nona. Aku menjadi kurang leluasa
menjadi bibi guru dan bisa-bisa segera menjadi nenek guru pula" Ucapnya sambil melirik Bhe Kong yang mulai
menemukan keseimbangan dirinya.
"Ach benar Liang kouwnio, tapi perkenalkan ini anakku Bhe Kong, putra sulungku" Ujar Thoa Kun sambil memperkenalkan Bhe Kong yang tersipu-sipu memandang Mei Lan, dan
kemudian Bhe Thoa Kun mengundang Mei Lan memasuki
Benteng Keluarga Bhe. Dan didalam, kemudian diperkenalkan dengan Wie Hong Lan yang juga takjub melihat seorang "bibi guru" yang begitu muda, terlalu muda malah karena belum mencapai usia 20an. Tetapi, pesan dan ucapan-ucapan Mei Lan, jelas-jelas merupakan amanat dan kalimat yang hanya mungkin disampaikan Paman kakeknya, walinya yang
dihormatinya. Karena itu, tiada alasan untuk tidak mempercayai status Mei Lan sebagai murid terkecil dari Paman kakeknya Wie
Tiong Lan. Bahkan selanjutnya Mei Lan diperkenalkan dengan Bhe Bi Hwa adik perempuan Bhe Kong, juga dengan Bhe
Houw dan terakhir dengan Wie Liong Kun yang nampak
segagah kakak sulungnya Bhe Kong.
Demikianlah, siang itu juga, Liang Mei Lan dijamu oleh Bhe Thoa Kun sekeluarga dan mereka berbincang-bincang banyak hal. Sementara itu, semakin kentara bahwa Bhe Kong begitu mengagumi Mei Lan, sementara Mei Lan bersikap biasa saja terhadap anak muda itu. Sepanjang perjamuan itu, Bhe Kong terlihat berkali-kali melirik kearah Mei Lan, dan beberapa kali pandang matanya tidak fokus.
Beberapa kali dia memang tersenyum dan tertawa ketika
orang banyak tertawa, tetapi nampak jelas jika dia tidak tahu apa yang ditertawakan. Sebaliknya, Mei Lan yang luwes
bergaul, justru dengan riang menanggapi percakapan keluarga Bhe, sampai kemudian suatu saat secara hati-hati dia
mengatakan bahwa dia bertemu dengan segerombolan orang
yang nampaknya bermaksud kurang baik terhadap benteng
ini. Padahal, itu memang hanya taktiknya semata guna
mendengar lebih jelas apa yang sebetulnya mengancam
benteng tersebut. Hal ini juga dilakukan dengan sengaja untuk menutupi tindakan Wie Hong Lan dalam memohonkan
bantuan paman kakeknya guna menolong keluarga suaminya.
"Apa maksudmu Liang Kouwnio" wajah Bhe Thoa Kun
berubah menjadi lebih serius, sangat serius malah.
"Semalam aku memergoki 7 bayangan hitam yang
menjarah beberapa rumah di dusun Ki Ceng. Kemudian
ternyata mereka bermarkas di hutan lebat sebelah selatan dusun itu dan jumlah mereka nampaknya lebih 150 orang.
Sempat kuintai mereka dan mengatakan bila tidak segera ada kepastian, kita menyerang lusa pagi. Dan pemimpin mereka dipanggil dengan sebutan Hu Pangcu" demikian jelas Mei Lan.
"Benarkah informasi nona?" bertanya Bhe Thoa Kun
dengan wajah yang berubah semakin tegang.
"Tidak salah lagi, tapi bolehkah Pemimpin Bhe menjelaskan maksudnya dan apa yang sebenarnya terjadi?" bertanya Mei Lan meski dia sudah tahu selengkapnya. Tapi ini penting untuk menutupi sandiwara utusan Wie Hong Lan yang
menemui gurunya di Bu Tong San.
"Hm, baiklah Liang Kouwnio. Karena sebagiannya sudah
didengar, biarlah lohu tegaskan bahwa Benteng ini sedang dalam ancaman Thian Liong Pang. Mereka meminta lohu
menyerah dan menakluk dalam waktu sebulan, dan besok
adalah batas waktunya" Berkata Bhe Thoa Kun.
"Hm, lancang" bergumam Mei Lan.
"Benar nona, dan ijinkan lohu untuk mempersiapkan anak
murid dalam menghadapi ancaman ini" Berkata Bhe Thoa Kun seraya akan beranjak.
"Sebentar Pemimpin Bhe. Harap dicatat, bahwa di pihak
mereka terdapat Hu Pangcu yang sangat lihay, untungnya aku sempat menghindari serangan jarak jauhnya. Kemudian masih ada seorang yang disebut Houw Ong, juga nampaknya sangat lihay. Selain mereka berdua, masih ada murid Houw Ong dan Pesolek Rombeng Sakti Dari Selatan. Dan mereka akan datang bersama sekitar 150 anak buah mereka. Sebaiknya Pemimpin Bhe memikirkan siasat yang tepat menghadapi mereka dan
biarlah aku mencoba memberikan bantuan bagi Benteng
Keluarga Bhe atas nama guruku" Mei Lan berkata.
"Baik nona, betapapun nona adalah bagian keluarga istriku.
Bantuan nona kuterima, dan terima kasih atas informasi yang nona sampaikan ini. Akan sangat membantu benteng kami ini"
Bhe Thoa Kun kemudian berlalu bersama Bhe Kong untuk
mempersiapkan anak murid mereka.
Kesempatan Bhe Thoa Kun meninggalkan Mei Lan dengan
Hong Lan dimanfaatkan Bhe Hujin untuk banyak bertanya
mengenai Paman Kakeknya, Wie Tiong Lan. Dan Mei Lan
menceritakan keadaan gurunya, termasuk keadaan kesehatan yang makin mundur karena usia tua. Bahkan juga mengatakan waktu 5 tahun terakhir gurunya tinggal diperuntukkan bagi Wie Liong Kun yang akan melanjutkan garis keturunan
keluarga Wie dari jalurnya dan Hong Lan.
Karena itu, Mei Lan juga diperintahkan selain melindungi Benteng Keluarga Bhe, sekaligus juga setelah reda, diharuskan membawa Wie Liong Kun ke Bu Tong San. Bhe Hujin yang
sadar betul dengan bakat anaknya yang sudah disaksikannya, merasa sangat senang bila bisa menitipkan anaknya kepada Wie Tiong Lan, salah seorang Maha guru ilmu silat yang luar biasa pada jaman ini. Baru seorang Mei Lan saja, sudah
menimbulkan rasa bangga yang luar biasa, dan dia
membayangkan anaknya akan tumbuh menjadi pendekar
besar melebihi ayahnya.
Demikianlah, Bhe hujin menyepakati, bahkan
menyampaikan bahwa pengiriman Wie Liong Kun akan
dilakukan sesegera mungkin. Apalagi setelah menyadari batas usia Wie Tiong Lan, Bhe Hujin menyadari perlunya
mempercepat proses tersebut. Karena itu dia dengan segera mulai menyiapkan diri dan anaknya untuk memenuhi
permintaan Pek Sim Siansu, Wie Tiong Lan menjelang ajalnya.
Pada malam harinya, Mei Lan kemudian ditemui oleh Bhe
Thoa Kun dan keduanya membicarakan masalah gempuran
pada esok harinya. Sama sekali tidak nampak arogansi dimata Bhe Thoa Kun, mungkin karena dia berhadapan dengan
seorang yang kepandaiannya sudah disaksikan sangat luar biasa. Selain itu, dia sudah yakin bahwa Mei Lan adalah murid dari Kakek istrinya, sehingga bukan lagi dianggap orang luar.
Liang Mei Lan menegaskan bahwa dia akan melindungi
Benteng itu dengan taruhan nyawanya dan akan langsung
menantang Hu Pangcu yang menjadi pemimpin rombongan
itu. Hanya, Mei Lan meminta agar diperhatikan benar
kehadiran Houw Ong yang dipastikannya memiliki kesaktian yang tinggi. Nampaknya Thoa Kun memang sudah
menyiapkan strateginya, tetapi menghadapi Hu Pangcu dia memiliki kesulitan dan untungnya Mei Lan tanpa diminta
sudah menawarkan dirinya untuk menghadapi orang tersebut.
Selain membicarakan hal itu, Mei Lan juga mengingatkan
agar diperhatikan keselamatan anak-anak keluarga Bhe,
terutama Bhe Bi Hwa dan Wie Liong Kun. Dan rupanya sejak malam ini, Thoa Kun sudah mengungsikan mereka di sebuah kamar rahasia dalam keadaaan tertidur bersama Bhe Hujin.
Demikianlah, dengan cara itu Bhe Thoa Kun merasa jauh lebih lapang dalam mempersiapkan bentengnya menghadapi
serbuan para perusuh dari Thian Liong Pang.
Sementara Mei Lan, setelah bersamadhi selama kurang
lebih 4 jam, lepas tengah malam nampak sudah melesat ke wuwungan benteng. Dan tidak lama kemudian sudah berada
di benteng penjagaan dan memberi kekuatan dan dorongan
moril bagi para penjaga disana. Dengan ketajaman matanya dia mencoba menembus kepekatan dan lebatnya hutan, tetapi masih belum ada tanda-tanda pergerakan lawan. Bahkan
firasat kekuatan batinnya juga belum menunjukkan bahwa
lawan sudah mulai bergerak.
Tapi entah dikejauhan sana. Mei Lan tidak dapat
memastikan. Setelah berkeliling sekali lagi di kompleks perbentengan itu, Mei Lan kemudian kembali dan bersamadhi, beristirahat di kamarnya untuk bersiap dengan pertempuran besar esok harinya. Dia sangat yakin, firasatnya juga
menyebutkan demikian, bahwa para perusuh pasti akan
menyerang menjelang pagi. Sebagaimana dia mendengar
percakapan di perkemahan para penyerang itu. Karena itu, perlu dia menyiapkan diri sebaik-baiknya dalam menyambut serangan tersebut.
Sementara itu, di luar fajar nampaknya sudah akan
menyingsing. Tanda waktu setidaknya sudah menunjukkan
jam 5 menjelang pagi, tetapi keadaan di luar benteng keluarga Bhe masih tetap lengang. Masih tetap belum ada tanda-tanda akan terjadi sesuatu yang luar biasa. Tetapi, kali ini, mata tajam dan firasat yang semakin peka yang mulai terlatih baik dari Mei Lan sudah membisikkannya bahwa hutan yang lebat itu sedang bergerak-gerak dan sedang bergolak oleh amarah tertentu.
Karena itu, dibisikkannya kata-kata persiapan kepada
semua penjaga, dan diupayakan agar ketika musuh
menyerang, banyak yang bisa di lukai atau sebisanya
dikurangi jumlah musuh karena perimbangan yang ada tidak menguntungkan pihak Benteng Keluarga Bhe, kecuali
penguasaan medan pertempuran. Jumlah penyerang jelas
jauh lebih banyak, belum lagi tokoh sakti yang menyertai mereka. Sungguh harus dihadapi dengan kesungguhan dan
strategi yang tepat.
Penampilan Benteng keluarga Bhe dibuat seperti tiada
penjagaan apapun, dan mengesankan tidak siap diserang pagi itu. Karena hanya seorang atau 2 orang yang dilepaskan
berjalan-jalan meronda seperti biasanya, sementara para murid lainnya, sejak menjelang pukul 4 malam sudah
diperintahkan untuk rebah dan tiarap dengan tetap
memegang senjata, terutama anak panah dan senjata
bertempur jarak pendek.
Karenanya, ketika hari semakin terang, pihak Thian Liong Pang masih mengira Benteng Keluarga Bhe tidak menyangka mereka menyerbu di pagi hari. Karena, total hanya 5-6 orang yang nampak sepanjang 20 meter panjang benteng yang
memagari pintu masuk ke lembah. Dua orang diujung kiri
kanan, 1 orang di masing-masing sisi pintu dan menjaganya dan 2 orang yang berjalan di masing-masing sisi ke sudut-sudut benteng. Keadaan yang memang dikesankan seperti itu, bisa menjebak Thian Liong Pang karena mereka menyerang
dengan memandang enteng pihak lawan.
Dan akhirnya, tanda serangan datang juga, diawali dengan sebuah suitan yang sangat nyaring dan memekakkan telinga, kemudian nampak bayangan mengirimkan senjata rahasia ke arah penjaga yang berjaga di kedua sisi. Tidak membuang waktu, Mei Lan mengibaskan lengannya dan serangkum
tenaga lembut merontokkan piauw-piauw yang mengarah ke
parah penjaga yang berjaga di masing-masing sudut.
Sementara di sudut lainnya, Bhe Thoa Kun bertindak sama, merontokkan dan menghalau piauw yang diarahkan kepada
tiga anak muridnya yang berjaga. Mei Lan bahkan bertindak lebih sebat, pengirim piauw diserangnya dengan cara yang sama, tetapi sayang, karena orang itu juga cukup cerdik dan menghindari serangan Mei Lan. Tetapi, bersamaan dengan
mundurnya penyerang dengan senjata rahasia tersebut, tiba-tiba ratusan orang yang bersembunyi di hutan meluruk
datang. Di hadapan mereka nampak para pemimpin yang
berusaha untuk melindungi para penyerang dengan berusaha mendahului menyerang benteng dan menguasai bagian atas
benteng. Sayangnya, mereka tidak memperhitungkan kehadiran Mei
Lan yang berada di atas benteng dan mencegah masuknya
para penyerang pada tahapan awal pertempuran. Sesuai
strategi, maka musuh harus dikurangi sebanyak mungkin
sebelum membiarkan mereka masuk benteng. Dan itulah yang dilakukan Mei Lan, dan lebih beruntung lagi, karena ternyata yang menyerang belum termasuk Hu Pangcu yang masih
menahan diri untuk ikut menyerang, dan inilah kekeliruan para penyerang. Mereka gagal atau memang tidak peduli atas siapa siapa yang berada di benteng yang mereka tetapkan untuk diserang dan dihancurkan. Bahkan, merekapun tidak
menyertakan Hu Pangcu pada awal penyerbuan yang
membuat Mei Lan leluasa dalam membantu orang benteng
untuk mengurangi jumlah penyerang.
Ketika para pemimpin menerjang tiba, Mei Lan memilih
menyerang seorang nenek yang dilihatnya bergerak paling cepat bersama seorang nyonya berpakaian bagaikan harimau yang menyerang sisi kanan. Sementara di sisi kiri, Pesolek Rombeng Sakti dihadapi oleh Bhe Thoa Kun ayah beranak.
Ledakan hebat terdengar di sisi kanan, ketika serangan Houw Ong, si nenek raja harimau terbentur keras oleh serangan Pik Lek Ciang Mei Lan. Serangan itu memacetkan terjangan si nenek, sementara nyonya pertengahan umur berpakaian
loreng layaknya harimau, malah terpental jauh ke belakang dan nampaknya terluka berat.
Dan bersamaan dengan itu, Pesolek Rombeng Sakti juga
tertahan terobosan mereka oleh Bhe Thoa Kun dan Bhe Kong berdua. Ketika keempat orang itu terpental ke bawah, pada saat itu anak buah mereka, juga sudah berada dalam jarak tembak anak panah, dan meluncurlah komando Bhe Thoa
Kun, "SERAAAAAAAANG".
-0o~Marshall~DewiKZ~0oPertempuran di Siau Yau Kok (2)
Serentak anak murid Benteng Keluarga Bhe yang
mendekam di balik tembok bangkit dan meluncurlah puluhan anak panah silih berganti kearah para penyerang yang sudah berada di bawah tembok. Dalam waktu sekejap, sekurangnya 10 orang penyerang sudah tertembus anak panah, untungnya Houw Ong bergerak-gerak menghalau serangan anak panah
tersebut, jika tidak, tentunya akan jauh lebih banyak lagi korban yang jatuh.
Dan kebetulan hal itu disaksikan oleh Mei Lan, dia melirik sekali lagi ke arah Bhe Thoa Kun untuk mengulangi perintah memanah, dan ketika dilakukan dengan kecepatan tinggi dia melayang turun dan menyerang Houw Ong dengan hebat.
Kembali serangan dengan menggunakan Pik Lek Ciang
dilancarkannya kearah Houw Ong yang dengan segera
berkelit, tetapi akibatnya lebih banyak lagi anak buah mereka yang tertembus anak panah.
Sementara di tempat lain Pesolek Rombeng Saktipun
dihajar dengan piauw dari Bhe Thoa Kun dan Bhe Kong,
akibatnya mereka tidak mampu menghalau anak panah yang
menerjang anak buah mereka. Dalam dua kali serangan anak panah, setidaknya 30 penyerang tertembus panah, sebagian besar meninggal dan sebagian terluka tetapi praktis tidak mampu berkelahi lagi. Sementara di pihak Benteng Keluarga Bhe, bahkan yang terlukapun belum ada karena dipihak yang menguntungkan.
Disinilah letak kekeliruan penyerang yang memberi
keleluasaan kepada pihak lawan untuk mengurangi jumlah
mereka akibat memandang sebelah mata keampuan yang
tersimpan dalambenteng itu. Bahkan akibat kelalaian dengan tidak menyertakan Hu Pangcu, membuat mereka kehilangan
banyak anak buah dan kekuatan. Karena Houw Ong sendirian ternyata tidak sanggup menahan serangan Mei Lan, kekuatan tak terduga dalam benteng itu.
Pada saat itu, kembali Mei Lan melambaikan tangan agar
serangan dilakukan lagi, dan sesaat kemudian puluhan anak panah nampak kembali meluncur dari atas ke arah anak buah Thian Liong Pang. Tetapi kali ini, anehnya puluhan anak panah tersebut seperti membentur badai dan nampak berbelok arah dan tidak satupun para penyerang berhasil dilukai.
Dan Mei Lan tahu apa artinya. Sambil kembali tangannya
melambai ke arah Bhe Thoa Kun, sebuah serangan kilat
diarahkannya ke Houw Ong yang kembali menghindar, tetapi sebuah serangan dari Ban Hud Ciang yang disempurnakannya diarahkan ke sebuah gundukan semak-semak sambil berteriak dengan lengkingan yang luar biasa. Nampak serangkum hawa pukulan yang berkeredep kebiruan mengarah ke semak-semak tersebut, dan orang yang berada dibaliknya mau tidak mau harus menangkis atau berkelabat meinggalkan tempatnya.
Tetapi nampaknya dia memilih untuk mengukur kekuatan
penyerangnya, karena itu terdengar benturan yang luar biasa dahsyatnya:
"Blaaaaaar", bahkan rumput dan semak sekitarpun nampak
berguguran akibat benturan pukulan tersebut. Tetapi, tubuh Mei Lan yang sempat terdorong mundur, sudah dengan cepat kembali melayang dengan menimbulkan bayangan laksaaan
telapak tangan yang mengarah kepada orang yang menangkis pukulannya tadi.
Orang itupun dengan sigap segera menyiapkan dirinya
untuk memapaki pukulan yang perbawanya menggetarkan
hatinya, dan tidak menyangka ada orang selihay itu dalam benteng keluarga Bhe. Hatinya mencelos, karena dalam
tangkisannya tadi, terasa benar kalau tenaga lawan tidak berada di bawah kekuatannya. Apalagi, melihat kembali
hampir 20 orang anak buahnya tertembus anak panah lawan, dan nampaknya akan terus terjadi apabila dibiarkan terus keadaan tersebut.
Tetapi, pada saat Mei Lan melakukan serangan-serangan
ke arah Hu Pangcu yang memang lihay itu, Houw Ong dengan segera berkelabat keatas benteng, dan dari sanalah musibah mulai menimpa Benteng Bhe juga. Beberapa tangkisan dan
pukulannya dengan segera membawa korban yang tidak kecil diantara anak murid keluarga Bhe. Terlebih kemudian dari balik para penyerang berjubah hitam, tiba-tiba bermunculan barisan warna-warni yang memang diandalkan untuk
menggedor benteng keluarga Bhe ini.
Dan inilah juga kekeliruan kesekian kalinya dari para
penyerang. Keadaan dan medan di perkampungan keluarga
Bhe, berbeda dengan perkampungan lain. Medan disini
berbatu-batu dan tanah bertingkat-tingkat, hal yang membuat barisan warna-warni tidak bisa bertarung mengandalkan
keampuhan barisannya, tetapi hanya bisa mengandalkan
kemampuan silat anggotanya. Sedangkan kemampuan silat
mereka per anggota, terhitung tidak istimewa, mereka
menjadi sangat berbahaya bila bertarung dalam satu barisan.
Yang memiliki kemampuan lebih dan cukup tinggi, hanya
pemimpin masing-masing barisan.
Tetapi, begitu melihat medan pertempuran, sadarlah
mereka bahwa keadaan kurang menguntungkan, karena posisi berubah menjadi sama kuat. Tetapi apa boleh buat, serangan sudah terlanjur dilakukan dengan optimisme berlebihan,
seakan takkan ada perlawanan yang cukup dari lembah ini.
Ternyata kenyataan yang ditemukan, berbeda jauh dengan
yang kemudian mereka hadapi. Selain medannya tidak
bersahabat, juga ada tokoh lihay yang bahkan sanggup
menghadapi Hu Pangcu yang selama ini dianggap dan
menganggap dirinya tiada lawannya, kecuali Pangcu Thian Liong Pang.
Dalam posisi sama jumlah pasukan, di dataran yang lapang dan luas, maka penyerang pasti dengan mudah dan cepat
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan menerkam Benteng Keluarga Bhe. Tetapi, dengan kondisi saat ini, maka keunggulan penyerang berkurang banyak.
Paling mereka mengandalkan Houw Ong, dan ke-4 Pemimpin
Barisan Warna-Warni, serta Pesolek Rombeng Sakti. Apalagi, karena lebih 50an manusia berjubah hitam sudah terbantai di luar, pertandingan relatif menjadi berimbang.
Memang masih ada keuntungan karena Houw Ong
nampaknya bisa menekan Bhe Thoa Kun, sedangkan Pesolek
Rombeng Sakti dengan Hwe Tok Ciangnya hanya mampu
bertanding seimbang dengan Bhe Kong. Sedangkan pemimpin barisan warna-warni dikeroyok anak murid Bhe Thoa Kun
sehingga menimbulkan keseimbangan, meski sedikit
mengkhawatirkan keadaan Benteng keluarga Bhe. Meskipun
memang anak murid benteng Bhe bertarung habis-habisan
dan terbiasa dengan medan, tetapi apabila dilanjutkan
keadaannya cukup mengkhawatirkan juga.
Pertandingan semakin lama semakin seru, korban dikedua
pihak semakin lama semakin bertambah. Keadaan Bhe Thoa
Kun semakin lama semakin mengkhawatirkan, jatuh dibawah tekanan Houw Ong. Karena betapapun Houw Ong memang
adalah tokoh kaum sesat yang memang lihay, dia adalah Pek Bin Houw Ong. Kelihayannya sebenarnya bukan olah-olah, Bhe Thoa Kun sendiri sudah jatuh dalam kesukaran yang sulit ditanggulanginya. Bahkan beberapa bagian pakaian dan
kulitnya sudah terkena cakaran harimau yang dimainkan
dengan lincah dan akurat oleh si nenek.
Sedangkan anak buahnya, juga sebagian besar mulai
mengalami kelelahan akibat mengeroyok ke-4 pemimpin duta warna dan barisan warna-warni penyerang. Yang bertempur seimbang hanyalah Liang Mei Lan melawan Hu Pangcu dan
Bhe Kong yang menghadapi Pesolek Rombeng Sakti dengan
posisi sedikit lebih unggul. Jelas, pertarungan bila dilakukan dalam waktu yang lebih lama, keunggulan Houw Ong akan
menentukan hasil pertempuran. Dijatuhkannya Bhe Thoa Kun akan membuat keseimbangan hilang dan dikhawatirkan
banyak korban akan dijatuhkan si Houw Ong ini.
Dalam keadaan yang gawat bagi Benteng Keluarga Bhe,
tiba-tiba melayang dari bawah dan langsung terjun ke
pertempuran sesosok tubuh dengan jubah kelabu. Dia
langsung menyerang Pek Bin Houw Ong dan berbisik kepada Bhe Thoa Kun:
"Bhe Hengte, bantulah anakmu dan anak muridmu, biarkan
iblis ini menjadi lawanku"
Bhe Thoa Kun melihat bagaimana tangkisan si pendatang
berjubah kelabu ini mementalkan cakar harimau Houw Ong
dan segera percaya, bahwa si pendatang ini sanggup
menahan Houw Ong.
Dan benar saja, beberapa gerakan si pendatang segera
membuat Bhe Thoa Kun tersenyum. Tidak salah, itu adalah ilmu Bu Tong Pay, dan tidak perlu dicemaskannya orang
dengan gerakan selincah dan selihay itu dengan dasar Bu Tong Pay. Dia segera melirik medan, dan melihat anaknya bisa mengatasi Pesolek Rombeng Sakti, tetapi anak buahnya
kepayahan menghadapi 4 pemimpin duta warna.
Dengan segera dia berkelabat mendatangi mereka dan
tanpa tedeng aling-aling menyerang para pemimpin duta
tersebut. Anak murid Benteng keluarga Bhe yang mulai putus asa menjadi kembali bersemangat dan kembali dengan
dahsyat menggempur lawan ketika keempat lawan lihay kini dihadapi Ketua mereka. Bahkan dengan cepat keempat lawan tersebut sudah jatuh di bawah angin dan keteteran
menghadapi Bhe Thoa Kun yang sedang meluap
kemarahannya. Keadaan kembali bergeser, korban kembali berjatuhan dan semakin banyak di pihak Thian Liong Pang. Bahkan, meskipun harus terluka tangan kirinya, tetapi Bhe Kong nampak
sanggup mendaratkan tongkat besinya ke pinggang Pesolek Sakti dan membuatnya muntah darah. Dan belum sempat
pesolek sakti kembali memperbaiki posisinya yang terpukul, meskipun Rombeng Sakti mengincar tangan dan pundak
kanannya, dengan menggunakan Sin Coa Cun, dia menotok
mengundurkan serangan Rombeng Sakti dan sebuah sodokan
kedada Pesolek sakti tak terhindarkan lagi.
Pesolek sakti mendengus tertahan dan kemudian nampak
rebah tak berdaya, tak ketahuan mati hidupnya. Sementara itu, Rombeng Sakti yang melihat pasangannya roboh menjadi mata gelap, dengan kalap dia menyerang dengan segenap
kekuatan Hwe Tok Ciangnya. Tetapi hawa api beracunnya bisa dikelit dengan tangkasnya oleh Bhe Kong yang menggunakan Yan Cu Hui Kun dan dengan gesitnya balik mengancam kedua tangan Rombeng Sakti. Keduanya terus saling serang, tetapi karena serangan Rombeng Sakti sudah tidak teratur dan
cenderung nekad dan kalap, sementara Bhe Kong bersilat
dengan tenang, mantap dan kokoh, mengganti-ganti
serangannya dengan Sin Coa Kun dan Yan Cu Hui Kun,
akhirnya suatu saat mampu mematahkan serangan Rombeng
Sakti dengan melepaskan totokan maut yang dengan telak
mengenai jalan darah kematian Rombeng Sakti dibagian
kening sebelah kiri.
Tanpa mengeluh panjang Rombeng Sakti kemudian roboh
perlahan, terlentang dan seperti tak percaya menjumpai ajal di tangan anak muda ini. Kemenangan Bhe Kong semakin
memperbesar rasa percaya diri orang-orang Benteng Bhe yang terus mendesak dan menyerang para penyerang dari Thian
Liong Pang. Sementara itu, Pek Bin Houw Ong yang dihadapi si
pendatang yang bukan lain Sian Eng Cu Tayhiap segera
menyadari dengan siapa dia berkelahi. Tetapi, apabila dulu dia masih sanggup mengimbangi, jikapun kalah tidak terlalu jauh jaraknya, kini dia bahkan selalu terdesak. Adalah wajar, karena kemajuan Sian Eng Cu, terutama beberapa tahun
terakhir adalah karena kemurnian dasar Sinkang dan Ilmu Silat.
Sebaliknya, Pek Bin Houw Ong, selain mempelajari ilmu
sesat, juga sering membiarkan konsentrasinya buyar oleh banyak keinginan sesat lainnya. Tidaklah heran bila sekarang jurang perbedaan ilmu keduanya justru demikian lebar. Baik ginkang maupun sinkang, apalagi ilmu pukulan, dia sudah tertinggal dari Sian Eng Cu, dan hanya karena kasihan
terhadap nenek ini sajalah maka Sian Eng Cu menahan tangan mautnya terhadap pek Bin Houw Ong.
Keseimbangan pertarungan mereka semakin lama semakin
pincang, karena Houw Ong sudah kehilangan selera
berkelahinya. Selalu dalam desakan Sian Eng Cu membuatnya kalut, ditambah dengan memperhatikan medan yang makin
tidak menguntungkan. Bahkan, diapun melihat Hu Pangcu
dilawan secara ketat oleh seorang nona, sungguh tiada
harapan menaklukkan benteng keluarga Bhe ini. Kemenangan semakin lama dirasakannya semakin menjauh dan semakain
sulit diupayakan.
Sementara itu, dua diantara 4 pemimpin duta warna juga
sudah menggeletak tak berdaya terkena hantaman tangan
Bhe Thoa Kun. Dan di sisinya, berkelahi anak buahnya dengan penuh semangat dan semakin lama semakin mengurangi
jumlah penyerang mereka, meskipun jumlah korban di pihak keluarga Bhe juga sudah cukup banyak. Tetapi, pertempuran di dalam benteng nampaknya akan segera selesai, terutama setelah Houw Ong tertahan, Pesolek Rombeng Sakti keok dan sekarang Bhe Kong ikut membantu anak buah mereka
melawan para penyerang.
Tidak beberapa lama kemudian, kedua pemimpin duta
warna lainnya mengerang lirih dan terpukul jatuh, sementara jumlah penyerang juga terus menyusut, bahkan menyusul
jatuhnya para pemimpin duta warna, para anggota barisan duta warna juga menyusut dengan drastis. Tetapi, hebatnya, tiada seorangpun yang menyerah, tiada seorangpun yang
mengedorkan perlawanan meski semangat mereka sudah
kabur. Karena, jikapun selamat dari pertempuran ini, hukuman yang lebih berat malah menanti mereka di Thian Liong Pang.
Karena itu, tiada kata menyerah, dan dengan terpaksa dan berat hati, Bhe Thoa Kun dan Bhe Kong melanjutkan usaha untuk membasmi para penyerang sampai habis. Menjelang
tengah hari dan bahkan matahari mulai miring ke barat,
akhirnya pertempuran berhenti. Bahkan Houw Ong yang
sudah kewalahan menghadapi Sian Eng Cu, dibiarkan
meloloskan diri dengan membawa luka-luka dalam yang cukup parah.
Bagaimanakah keadaan Mei Lan" Keputusannya mengikat
Hu Pangcu dalam pertempuran memang tepat, meskipun dia
keliru menilai kemampuan Houw Ong. Untungnya, diluar
sepengetahuannya, Suhengnya Sian Eng Cu juga datang
ketempat ini membayanginya sehingga kehancuran Benteng
Keluarga Bhe bisa dihindari. Setelah menggempur Hu Pangcu dengan Ban Hud Ciang, Mei Lan dengan cepat dan pesat
sudah kembali menyusulkan pukulan-pukulan dari jurus yang sama.
Tetapi, kecepatannya yang menggiriskan itu yang membuat Hu Pangcu tertegun dan seakan susah mempercayai bahwa
dara mungil yang cantik ini mampu bergerak secepat itu.
Untungnya, diapun memiliki bekal yang luar biasa, dan dengan cepat bisa menemukan keseimbangan dan cara bagaimana
menghadapi Mei Lan. Benturan dan adu ilmu selanjutnya tak terhindarkan antara mereka, hal yang semakin lama semakin mengejutkan Hu Pangcu. Semakin dilawan semakin terasa
betapa besar kandungan ilmu sakti dalam diri dara muda yang nampak masih bau kencur itu.
Bagaimana tidak terkejut, lawannya adalah seorang anak
gadis remaja, tetapi bahkan kekuatan sinkangnya bukan olah-olah hebatnya, apalagi kecepatan dan ginkangnya. Kecepatan yang sungguh tak tertandingi leh kemampuannya sendiri.
Sungguh dia sadar takkan sanggup menandingi kecepatan
lawannya itu. Bahkan ketika bersilat dengan Ilmu Siang Ciang Hoan Thian " Sepasang Tangan Membalik Langit Mei Lan
tetap sanggup menandinginya. Pukulan-pukulan Thai Kek Sin Kun dan Pik lek Ciang digunakannya untuk menandingi dan mengimbangi Ilmu Pukulan Hu Pangcu yang membahana.
Keduanya tidak sanggup saling mengungguli dalam
penggunaan masing-masing ilmu tersebut, meskipun Hu
Pangcu menang matang dan latihan, tetapi kecepatan Mei Lan membuatnya sulit bernafas dan menarik keuntungan dari
kematangannya. Hu Pangcu menjadi semakin heran dan terkejut, karena
ketika meningkatkan penggunaan ilmunya dengan Hai Liong Kiang Sin Ciang (Ilmu Silat Tangan Sakti Menaklukan Naga Laut), toch tetap bisa dilayani dengan baik oleh Mei Lan yang bersilat dengan Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa).
Tidak nampak anak gadis itu terdesak dan jatuh di bawah angin, sebaliknya malah memberi serangan balasan yang
mampu membuatnya kerepotan dalam menghindar dan
menangkis. Berkali-kali tangannya menggapai, menerjang dan menotok seakan sudah akan menyentuh badan Mei Lan, tetapi dengan gerakan yang tak masuk di akal, masih tetap bisa dielakkan dan nyasar. Bahkan terus dibarengi dengan pukulan dan
sentilan balasan yang tidak kurang berbahayanya dan yang harus dielakkan atau ditangkis dengan sepenuh tenaga. Lama-kelamaan Hu Pangcu ini menjadi berkeringat dingin, baru menghadapi anak remaja semacam ini, selaku Hu Pangcu dia sudah kerepotan.
Apa kata kawan-kawannya" Apa kata Pangcu terhadap hasil kerjanya ini" Terlebih dia tidak mengetahui nasib anak
buahnya yang sudah meluruk masuk kedalam benteng
keluarga Bhe. Untuk melepaskan diri dari belitan anak ini bukan buatan sukarnya, karena dia tidak sama sekali unggul melawan anak ini. Sinkangnya dirasakannya tidak melebihi anak gadis ini, sementara ginkangnya jelas tertinggal. Satu-satunya kelebihan Hu Pangcu hanyalah pada pengalaman dan kematangan dalam latihan. Selebihnya, dia tidak berani
mengklaim memenangkan pertandingan atau setidaknya
berada diatas kemampuan Mei Lan.
Berpikir akan kegagalan yang membayang dimatanya, tibatiba dia mulai bersilat dengan gaya yang agak aneh. Inilah Ilmu ciptaannya bersama Pangcu thian Liong Pang yang
misterius itu, yakni Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam). Dengan ilmu tersebut beberapa kali dia semburkan keluar dengan menyertakan hawa keji yang
terkandung dalam pukulan Tok-hiat-coh-kut (Pukulan
Meracuni Darah Melepaskan Tulang). Hebat akibatnya, Mei Lan mengenal pukulan dan hawa beracun, dan untungnya
gurunya adalah seorang maha guru dunia persilatan
Tionggoan yang mengerti segala jenis Ilmu Pukulan sesat.
Dia membiarkan tubuhnya sedikit terbawa angin pukulan
lawan, dan pada saat melayang mundur itulah, dia
mengelilingi tubuhnya dengan hawa saktinya untuk mengusir hawa sesat Tok-hiat-coh-kut. Dan setelah merasa tiada
halangan, tubuhnya kembali mumbul ke atas dan dari atas tiba-tiba kedua tangannya berubah laksana laksaan telapak tangan dewa yang turun bagaikan hujan di bumi. Itulah gaya jurus pertama Ban Hud Ciang "Laksaan Tapak Budha
Menerjang Bumi", hanya bedanya di tangan Mei Lan bukan
hanya kerasnya hawa "yang" yang menonjol, tetapi juga
kelemasan dalam gerak dengan hawa "im" yang membuat
jurus-jurus Ban Hud Ciang menjadi sangat ampuh. Nampak
laksaaan telapak tangan seperti beradu cepat, beradu tepat dengan gerak tangan Hu Pangcu, dan sedetik kemudian
mereka berpisah.
Tetapi, dan disinilah keunggulan Mei Lan, dengan cepat dia meletik dengan cara mematahkan hukum gravitasi dan
kembali melesat dengan gaya "Laksaan Tapak Budha
Membayangi Udara", jurus Kedua dari Ban Hud Ciang. Hu
Pangcu terkesiap, dia belum siap benar, tetapi laksaan tapak Budha sudah kembali mengurung tubuhnya, dengan gopoh
dia mainkan gaya "Bumi merana, alam menggelepar",
tubuhnya seperti bergoyang-goyang mudah roboh, tetapi
dengan cepat kokoh kembali dan menyerang lawan dengan
kedua tangan kosongnya. Tetapi efeknya hanya menghalau
sementara Pukulan Ban Hud Ciang, karena dengan cara yang sama, jurus ketiga sudah kembali mengarah dirinya dengan gaya "Laksaan Tapak Budha laksana halilintar".
Tetapi, Hu Pangcu juga bukan orang sembarangan, terlebih Ilmu yang dimainkannya juga bukan ilmu sembarangan.
Hanya karena kecepatan mendesak dan memilih jurus yang
tepat yang membuatnya jatuh di bawah angin dan selalu
didesak Mei Lan dengan jurus-jurus berat. Tetapi, karena kecepatan dan ketepatan mengganti jurus, maka sampai jurus kedelapan dari Selaksa Tapak Budha, yakni ketika Mei Lan mainkan gaya "Tapak Budha Mendorong Awan", tidak terasa kembali terjadi benturan dahsyat antara keduanya.
Tapi posisi dan kedudukan Hu Pangcu yang tercecar
membuatnya dalam posisi kurang kuat dan kurang baik dalam adu tenaga. Dan dia sadar betul, bahwa Mei Lan pasti dengan cepat akan mematahkan tenaga luncurannya untuk kembali
menyerang, karena itu, dibiarkannya tubuhnya meluncur dan bahkan dari jauh dikerahkannya ilmunya yang terakhir Pek Pou Sin Kun (Pukulan Sakti Ratusan Langkah), juga jurus ciptaan bersama Pangcu thian Liong Pang.
Dan Mei Lan segera mengenali pukulan maut, dan dengan
merasa terpaksa dikerahkannya puncak penggunaan Ban Hud Ciang pada jurus ke-11 "Budha Merangkul Langit dan bumi"
dan dari kedua tangannya meluncur cahaya biru sembilu
menyambut lontaran tenaga sakti Hu Pangcu. Dan sekali lagi terdengar benturan dahsyat:
"Blaaaaaaar, dhuaaaaaar" batu-batu sekitar tubuh
keduanya beterbangan, bahkan rerumputan dan daun di
sekitar tubuh Mei Lan berguguran. Sementara itu, Hu Pangcu nampak memang sudah berniat untuk mengundurkan diri
setelah menemukan kenyataan betapa kuat dan betapa lihay lawan mudanya ini. Karena itu, dibiarkannya dirinya terbawa dorongan pukulan Mei Lan, tetapi masih sempat disaksikan Mei Lan bahwa di bibir bawah Hu Pangcu meleleh darah
segar. Nampaknya Hu Pangcu terluka, tetapi dia sendiripun tidak luput dari getaran terhadap tenaga sinkangnya. Karena itu, ketimbang mengejar Hu Pangcu, dipusatkannya pikiran,
apalagi setelah melihat suhengnya Sian Eng Cu mendatangi.
Dengan cepat dia bersila, berkonsentrasi dan mengedarkan tenaga saktinya keseluruh tubuh, bahkan mengusir hawa
racun yang sempat menyusup dan tidak berapa lama
kemudian pernafasannya terasa lega dan semangatnyapun
pulih kembali. Dan yang pertama dilihatnya ketika membuka mata adalah pandangan khawatir dan sayang dari suhengnya:
"Suheng, aku sudah tidak apa-apa. Bagaimana keadaan di
dalam" aku sempat melihat suheng berkelabat masuk, tetapi Hu Pangcu ini ternyata lihay luar biasa. Pantas suhu mati-matian mempersiapkan kita. Hebat, hebat benar Hu Pangcu itu" bisik Mei Lan, karena baru pertama kali ini dia
menghadapi lawan yang begitu sakti dan kuatnya. Bahkan
sanggup menggetarkan kekuatan sinkangnya dan
membuatnya harus melakukan samadhi mengusir hawa racun
dari tubuhnya yang sempat masuk melalui hawa pukulan Hu Pangcu.
"Sudahlah sumoy, bahaya telah lewat. Tiada seorangpun
kelompok perusuh yang bersedia menyerah, yang terakhir
hiduppun menenggak racun yang telah disiapkan, tiada jejak sekalipun yang bisa membawa kita ke markas mereka. Tapi keluarga Bhe sudah bebas dari bahaya" Sian Eng Cu
menghibur sumoynya dengan informasi keberhasilan
membantu benteng keluarga Bhe.
"Nona, sungguh mimpipun lohu tidak membayangkan
kepandaian nona begitu luar biasa. Sungguh keselamatan
keluarga Bhe adalah akibat bantuanmu yang tidak kecil, juga jasa Sian Eng Cu Tayhiap yang menarik nyawaku dari jurang kematian" Bhe Thoa Kun mendatangi dan menyampaikan
ucapan terima kasihnya. Sementara di dalam, puluhan murid yang tidak terluka sedang membenahi keadaan. Hampir 25
anak murid mati terbunuh, sementara sekitar 12 luka berat dan sisanya sekitar 15 lagi luka ringan. Artinya, lebih dari setengah jumlah anak murid keluarga Bhe menjadi korban dari penyerangan brutal ini.
Sementara itu, Bhe Kong juga mendatangi, kali ini
Hikmah Pedang Hijau 2 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Renjana Pendekar 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama