Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Bagian 12
meskipun dia juga sanggup mengimbangi Thian te Sam Kwi
dengan ilmunya Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa) digabungkan dengan ginkang Sian Eng Coan-in. Bolak-balik Thian te Sam Kwi menggabung-gabungkan Kiam Ciang, Siang Tok Swa dalam menghadapi Sian Eng Cu, tetapi tetap sulit mendesak tokoh sakti ini yang bergerak bagaikan bayangan dewa yang tidak tertangkap.
Nampaknya sebentar lagi, Thian te Sam Kwi akan
mengeluarkan ilmu puncaknya, yakni Ha Mo Kang yang sudah mereka sempurnakan selama 2 tahun terakhir ini. Mereka
bahkan sudah melengkapi penggunaan ilmu itu dengan
senjata rahasia untuk mengatasi lawan yang menyerang dari atas. Hal itu mereka pelajari setelah digebuk oleh Liong-i-Sinni melalui ginkang tingkat tingginya. Dan pelajaran itu
membekas di hati mereka sehingga mereka mencari cara
untuk mengatasi kekurangan mereka ketika diserang tokoh hebat lain dari atas. Ditemukanlah cara itu dengan
menyiapkan senjata rahasia yang akan memaksa orang
bertempur horizontal, saling berhadap hadapan. Karena
dengan berhadap hadapan, maka kekuatan Ha Mo Kang akan
menentukan. Sementara itu, Hu Pangcu pertama yang bertanding penuh
semangat dan ingin mengalahkan Mei Lan, nampak bertempur penuh percaya diri. Kiang Ceng Liong sampai kaget melihat kemampuan orang ini, yang baginya malah masih setingkat di atas Hu Pangcu ketiga. Tetapi, kembali Ceng Liong menjadi kagum, karena ginkang istimewa Mei Lan dan penggunaan
ilmu-ilmu Bu Tong Pay yang mirip Sian Eng Cu sungguh luar biasa.
Meskipun dia tidak mengkhawatirkan Mei Lan, tetapi entah kenapa melihat Mei Lan bertempur dia merasa tidak enak, dan sangat berkhawatir. Padahal dia paham, jarak dia dengan Mei Lan malah tidak banyak selisihnya, tidak terlampau jauh. Dia sendiri merasa heran dan aneh dengan dirinya bila
berhadapan dengan Mei Lan, kadang merindukannya bila
jauh, tetapi ketika dekat, justru dia kehilangan kata-kata untuk diucapkan. Terlebih dia terbeban sangat dengan
menghilangnya Giok Hong yang diyakininya bersama Kim Ciam Sin Kay sudah terlanjur berbuat lebih akibat racun
perangsang. Diantara semua pertempuran, maka pertempuran inilah yang paling seru karena dimainkan oleh dua tokoh dengan kepandaian yang nyaris seimbang, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ceng Liong juga sadar,
bahwa dibutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan
pertempuran yang maha hebat ini.
Ketika memalingkan wajahnya kearah pertempuran yang
lain, dia berkerut karena melihat gabungan kekuatan Yu Siang Ki dan Yu Siang Bun, meski mampu menghalau banyak
serangan Pek Bin Houw Ong, tetapi tak sanggup mendesak
datuk itu lebih jauh. Bahkan beberapa kali serangan datuk itu membuat kedua pengeroyoknya kelabakan, meski tidak
berlangsung terlalu lama. Ceng Liongpun tidak berani
menyimpulkan siapa yang akan memenangkan pertarungan,
karena ketiganya adalah orang yang sudah matang dan
kenyang pengalaman bertanding.
Mungkin daya tahan yang akan mempengaruhi siapa yang
akan memenangkan pertempuran tersebut. Yang pasti,
pertempuran inipun akan sangat menyita waktu seperti arena pertempuran yang lain, juga nampak akan makan waktu yang sangat panjang untuk diselesaikan. Hanya Ceng Liong
bersedih karena akan semakin banyak korban meninggal yang akan diakibatkan oleh pertempuran yang makan banyak waktu tersebut. Pertempuran saat ini saja sudah meminta korban yang tidak sedikit, apalagi bila berlangsung lebih lama lagi.
Bisa dipastikan korban akan terus dan terus bertambah.
Arena pertempuran terakhir menggirangkan Ceng Liong.
Anak muda yang menjadi Bengcu ini menjadi takjub melihat Giok Lian. Gadis ini mirip benar dengan Giok Hong yang dulu pernah bahu membahu dengan dirinya membantu Kay Pang di daerah Pakkhia. Tetapi, meskipun ilmu keduanya sama, tetapi gerakan, kemantapan, kematangan dan dorongan tenaga sakti gadis ini sudah jauh meninggalkan Giok Hong. Apalagi, lebih 2
tahun terakhir ini, dalam kedukaan karena menghilangnya Giok Hong yang bersama Giok Lioan dipersiapkannya,
Siangkoan Bun Ouw telah mencurahkan segenap waktunya
untuk mematangkan Giok Lian.
Bukan itu saja, diapun menurunkan Ilmu Rahasianya yang
terakhir, yakni Sam Koai Sian Sin Ciang (Tangan Sakti 3 Dewa Aneh) yang hanya terdiri dari 3 jurus, yakni gerakan "Tangan Sakti Dewa Bulan", "Tangan Sakti Dewa Matahari" dan
"Tangan Sakti Dewa Bulan dan Matahari". Ilmu-ilmu yang
sebenarnya hanya diturunkan kepada Ketua Bengkauw, justru diturunkannya kepada cucu perempuannya yang memang
sangat berbakat ini, sehingga di lingkungan Beng Kauw, selain Siangkoan Tek Kauwcu Beng Kau saat ini, maka Giok Lian
menjadi orang kedua yang menguasainya. Bahkan menjelang ajalnya, himpunan tenaga Sinkang Bulan dan Matahari yang dilatihnya nyaris ratusan tahun itu juga diturunkan untuk
"memasak" dan "menggodok" tenaga Jit Goat Sinkang Giok
Lian. Itulah sebabnya kemampuan dan kepandaian Giok Lian yang hadir di Perguruan Keluarga Yu untuk mencari Ceng
Liong sudah luar biasa lihainya.
Bahkan menjelang ajal, Kakek tua tersebut berpesan agar Giok Lian mengikuti pertemuan adu kepandaian melawan
jagoan Tionggoan 3 tahun kedepan mendampingi ayahnya.
Baru setelah pesan tersebut, Siangkoan Bun Ouw
memberitahukan bahwa sebenarnya dia sudah menderita
kelumpuhan sejak 20 tahun berselang, dan pada saat itulah dia kemudian berkonsentrasi menyempurnakan Sam Koai Sian Sin Ciang dengan menyarikan kehebatan In Liong Kiam Sut dan Koai Liong Sin Ciang.
Tetapi, selain membekal ilmu-ilmu dari kakeknya tersebut, Giok Lian juga membekal Ilmu-ilmu dari nenek buyutnya yang sangat sadis yang dipelajarinya secara diam-diam dengan kakaknya Giok Hong. Yakni ilmu Toat Beng ci dan Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan
Tulang). Kedua Ilmu itu, justru pada akhirnya dia sisipkan juga dalam Sam Koai Sian Sin Ciang dengan sepengetahuan kakek yang membimbingnya, tetapi kakek itu kemudian memutuskan
"memasak" dan "menggodok" sinkang Giok Lian dan
mengorbankan dirinya, karena melihat "hawa sesat" dalam tubuh dan sinkang Giok Lian bisa membawanya kearah
kematian. Akhirnya mati-matian dia meningkatkan kemampuan Jit
Goat Sin Kang dan kemudian mengarahkan hawa sinkang Giok Lan untuk mengusir hawa sesatnya dan meminta Giok Lian
tidak lagi mempelajari hawa sinkang mengikuti Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang).
Giok Lian masih bisa mengerahkan jurus tersebut, tetapi sudah dengan tenaga Jit Goat Sinkang yang malah akibatnya menjadi lebih mengerikan dan lebih hebat. Demi
menyelamatkan Ilmu Giok Lian dengan terpaksa sesepuh
Bengkauw ini mengorbankan dirinya, menguras habis
himpunan sinkangnya dengan memindahkannya ke pusar Giok Lian dan kemudian melatihnya membangkitkan dan
menggunakannya. Giok Lian memang selamat, tetapi kakek
buyutnya itu harus melepas nyawa untuk menyelamatkannya, sekaligus menjadikannya teramat lihay bahkan selihay
ayahnya. Selama ini, memang hanya dikenal Siangkoan Tek sebagai jago terlihay Bengkauw, terutama karena ayahnya Siangkoan Bun Ouw sudah tidak aktif dan menyembunyikan
diri. Dengan kehadiran dan kesaktiannya kini, bahkan Giok Lian sudah sanggup merendengi kemampuan ayahnya,
bahkan meninggalkan kemampuan hu Kawcu Bengkau yang
juga biasanya memiliki kemampuan luar biasa.
-0o~Marshall~DewiKZ~0oMelawan Hu Hoat Thian Liong Pang (2)
Dan anak gadis yang dilatih habis-habisan oleh tokoh
puncak Bengkauw saat inilah yang dihadapi See Thian Coa Ong yang dengan sgera menjadi keripuhan. Padahal, dia
sudah menciptakan dan menyempurnakan Ilmu Barunya,
yakni Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Pemutus Otot dan
Pelepas Tulang), mirip Ilmu sesatnya Giok Lian. Tetapi, Giok Lian mengalami kesulitan karena dia ingin menaklukkan kakek tua ini hidup hidup untuk ditanyai masalah Giok Hong,
kakaknya yang sehati dengan dirinya dan yang sangat
dicintainya. Karena usahanya itu, maka dia nampak mengalami
kesulitan untuk menaklukkan kakek sakti ini. Terlebih karena memang ilmu terakhir See Thian Coa Ong juga sungguh luar biasa ganasnya. Selain sangat beracun, juga memang sangat keras dan bertenaga. Untungnya, Giok Lian sudah memiliki bekal yang cukup untuk melawan datuk sesat yang satu ini.
Ceng Liong segera sadar, bahwa secara umum arena
pertempuran bisa dimenangkan pihaknya. Dan ketika Ceng
Liong melakukan penelitian dan pengamatan ke arena,
rupanya Bouw Lim Couwsu juga melakukan hal yang sama.
Dan lebih banyak dahinya berkernyit kesal dan marah
ketimbang tersenyum, karena dia melihat keseimbangan dan kemenangan yang dijaminkan Hu Pangcu ternyata berbalik
karena terlampau percaya diri. Mereka tidak melakukan
penilaian kekuatan lawan lebih dahulu tetapi langsung
menyerang. Mungkin karena cara ini berhasil ketika mereka menyerang Tiam Jong Pay dan Go Bie Pay, tetapi nampaknya akan
mengalami kegagalan disini seperti di Benteng Keluarga Bhe.
Berpikir demikian, maka satu-satunya cara dan jalan adalah dengan secepatnya mengalahkan Bengcu yang nampak masih
muda itu. Meskipun dia sendiri sebetulnya tidak punya
keyakinan. Dengan mengalahkan bengcu muda ini dan
kemudian membantu kawan-kawan yang lain, akan
memampukan mereka untuk menuntaskan kerjaan di keluarga Yu ini. Kembali dia mengedarkan pandangan sekali lagi
kesemua arena, tetapi tiba-tiba dia terkejut mendengar jeritan tertahan yang keluar dari mulut See Thian Coa Ong:
"Aaaaaaach" jeritan itu disertai terpentalnya tubuh See Thian Coa Ong ke arah hutan jalan masuk. Dan tidak
menunggu serangan Giok Lian, tubuh tua itu nampak
kemudian meloncat setelah muntah darah ke arah hutan
masuk yang dipenuhi barisan gaib keluarga Yu tersebut. Giok Lian terkejut melihat kelicikan lawan dan berusaha mengejar, tetapi tidak cukup lama dia kembali ke arena karena dia kurang mengerti ilmu barisan, sementara Coa Ong nampaknya sedikit menguasai ilmu barisan tersebut sehingga bisa
meloloskan diri dari tempat tersebut meskipun dalam keadaan terluka.
Jatuh dan kalahnya, bahkan larinya See Thian Coa Ong
membuat Bouw Lim Couwsu mempercepat serangannya
kearah Ceng Liong. Begitu menyerang dia langsung
menggunakan Hong Ping Ciang yang membadai, arus dan
jumlah pukulan yang luar biasa banyaknya mengarah ke Ceng Liong. Tetapi, anak muda inipun bukanlah ayam sayur yang mudah diserang dan digertak. Dengan tangkas dia
menyambut rangkaian serangan tersebut dan bersilat dengan Soan Hong Sin Ciang. Ceng Liong merasa bahwa Ilmu itu yang cocok menimpali Hong Ping Ciang yang datang membadai.
Benar juga, terdengar berkali-kali mereka beradu tenaga
"plak, plak, plak", dan Ceng Liong tidak tahu lagi berapa kali mereka beradu tenaga saling menangkis dan memukul.
Yang pasti, nampaknya keduanya tidak merasa
berhalangan dalam melakukan tukar pukulan dan
mengerahkan tenaga di tangan untuk saling membentur dan menjajaki. Dan seperti dugaan Bouw Lim Couwsu, anak ini bukanlah anak sembarangan, terbukti semua pukulan dari
Ilmu andalan perguruan mereka dapat digagalkan Ceng Liong tanpa menderita kerugian sedikitpun. Bahkan Ceng Liongpun tidak ragu untuk menghadapi ilmu totokan Tam ci sin thong yang sudah dikenalnya melalui pendekar kembar Siauw Lim Sie, dan juga menambahkan unsur Toa Hong Kiam Sut melalui hawa pedang ditangannya untuk menangkal gabungan Hong
Ping Ciang dengan Tam ci sin thong. Akhirnya pertempuran merekapun melengkapi pertempuran seru di Perguruan
Keluarga Yu, mereka bergerak pesat dengan pukulan-pukulan berat yang melambari pergerakannya.
Sementara itu, pertempuran lain sudah mulai menunjukkan tanda berakhir. Kecuali pertandingan antara Pek Bin Houw Ong yang berlangsung imbang dengan Yu Siang Ki dan Yu
Siang Bun dan Liang Mei Lan melawan Hu Pangcu pertama
dan Tibet Sin Mo Ong melawan si manusia berkerudung,
arena lainnya boleh dikata mulai menunjukkan keunggulan pihak keluarga Yu. Setelah See Thian Coa Ong melarikan diri, maka Thian te Sam Kwi yang menghadapi Sian Eng Cu yang
sudah menjadi lebih lihay itu menjadi lebih kerepotan.
Mereka sudah mulai mainkan Ha Mo Kang, tetapi Sian Eng
Cu juga sudah membekal ilmu dahsyat lainnya, dan dia
mengimbangi mereka dengan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang
(Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan). Dengan ilmu itu, dia tetap menguasai mereka bertiga dengan
kecepatannya, dan daya pengaruh ilmu itu mampu menutup
kehebatan Ha Mo Kang yang seolah-olah macet menghadapi
Sian Eng Cu. Karena itu, perlahan mereka terus terdesak, terus mengalami tekanan Sian Eng Cu seperti pertarungan mereka tempo dulu. Dan, sebelum mengalami kejadian yang lebih memalukan, mereka bertiga nampak sudah sepakat
untuk pergi menyusul See Thian Coa Ong.
Mereka murka, karena katanya Perguruan Yu tidak ada
apa-apanya, ternyata bahkan See Thian Coa Ong juga
terpukul pergi, dan tokoh lainnya juga terlibat kesulitan. Maka sambil melirik, ketiganya kemudian bersatu hati, memusatkan kekuatan Ha Mo Kang dan secara serempak menyerang Sian
Eng Cu dari tiga arah. Tapi Sian Eng Cu juga tidak melulu membiarkan dirinya menghindar, kali ini dia mendorongkan tangannya dengan kekuatan penuh menghadapi ketiga
lawannya dalam jurus Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan).
Sian Eng Cu tergetar mundur dan nampaknya nafasnya
menyesak beberapa saat karena goncangan dalam dirinya,
tetapi ketiga Iblis Bumi terlempar hebat dan sepertinya mereka sengaja melakukan itu. Karena mereka sudah
berencana kabur, dan dengan muntah darah, seperti juga See Thian Coa Ong, mereka kemudian kabur melalui jalan masuk tadi. Tapi kaburnya Thian te Sam Kwi, ternyata juga sudah dengan cepat diiringi oleh Pek Bin Houw Ong yang sekali lagi merat dari arena karena melihat keadaan semakin tidak
menguntungkan. Dengan melakukan serangan mendesak
kedua bersaudara Yu, iblis ini kemudian merat menyusul
ketiga Setan Bumi yang lari duluan. Lebih untung Houw Ong, karena selain kelelahan, dia tidak menderita kerugian
sedikitpun. Pertempuran sudah boleh dikatakan usai, karena anak buah para penyerang juga sudah mulai dikuasai Ko Ji dan maling sakti. Jumlah mereka sudah berkurang drastis, sementara Barisan 6 Pedang juga sudah sekian lama mendesak Barisan Warna-Warni, bahkan sudah melukai beberapa anggota
Barisan Warna-warni tersebut. Tetapi ketiga pertandingan utama, masih nampak alot, yakni antara manusia berkerudung melawan Tibet Sin Mo, Liang Mei Lan menghadapi Hu Pangcu Pertama dan Ceng Liong yang baru mulai bergebrak dengan Bouw Lim Couwsu.
Keadaan yang sudah jelas membayangkan kegagalan ini,
bukan tidak disadari oleh Hu Pangcu Ketiga yang menjadi pemimpin operasi. Tetapi, dia sedang dililit kesulitan
menghadapi manusia berkerudung yang ternyata tidak berada di bawah kepandaiannya, dan disisi lain dia melihat Hu Pangcu pertama dan suhengnya, juga menghadapi lawan yang
sepadan. Karena itu, dikeraskannya hatinya untuk menghadapi lawannya kali ini, sebab kemenangan hanya mungkin didapat dengan mengalahkan lawan selihay ini. Sayangnya, lawannya bukan lawan sembarangan, tetapi seorang tokoh kawakan dari Lembah Pualam hijau. Seorang tokoh yang terang-terangan menentang Thian Liong Pang dan yang saat ini bisa
mengimbangi semua ilmunya, bahkan lebih sering
mendesaknya. Tidak ada jurusnya yang sanggup memberikan keuntungan
yang memadai baginya, bahkan menggunakan Hong Ping
Ciang dan Tam ci Sin Thong, juga sanggup dihadapi manusia berkerudung itu dengan sangat baiknya. Bahkan belakangan, pada saat dia merasa tenaga sinkangnya sudah mulai
merosot, lawannya justru bertambah kokoh. Ketika akhirnya dia memutuskan menggunakan Ilmu Pukulan Udara Kosong
yang sudah dilatih dengan racun beberapa waktu terakhir ini, itupun karena dia tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi, dia bertambah kaget, karena lawan juga mempunyai ilmu yang
sanggup menahan pukulannya itu.
Si manusia berkerudung nampak bergerak dengan Ilmu
ampuh lainnya dari Lembah Pualam Hijau, Khong in Lo Thian dan bergerak-gerak aneh dengan langkah kaki Sian Jin Ci Lou.
Inilah pertandingan puncak antara keduanya, gemuruh angin pukulan menyebar kemana-mana, tetapi langkah-langkah
aneh dan deburan gemuruh pukulan manusia berkerudung
sanggup membendung pukulan udara kosong beracun. Udara
dan langit seperti terhalang kabut racun yang sangat
berbahaya, dan bahkan ketika seseorang tersentuh, tubuhnya langsung menggeliat-geliat keracunan dan mati tidak lama kemudian.
Pada arena yang lain, Liang Mei Lan juga sedang
bertempur pada puncak kemampuannya menghadapi Hu
Pangcu pertama ini. Semua Ilmu juga sudah dikerahkan
menghadapi badai kepandaian yang luar biasa hebatnya dari Hu Pangcu. Terutama, karena Hu Pangcu ini adalah seorang yang sangat cerdas, dia telah mempelajari kehebatan Mei Lan dalam pertandingan pertama yang membuatnya jatuh di
bawah angin. Karena itu, dia sekarang jauh lebih siap
menghadapi Mei Lan.
Tetapi, kesiapannya toch tidak mampu membuatnya lebih
unggul, karena meskipun dia sudah menguras semua
kemampuan perbendaharaan Ilmunya, dia masih tetap belum sanggup menekan dan menempatkan Mei Lan dibawah
pengaruh dan tekanannya. Pada pertempuran mereka yang
terakhir, dia sudah sempat mengerahkan Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam), untuk mendesak Mei Lan yang memainkan Ban Hud Ciang, dan menyerang dengan
pukulan Pek Pou Sin Kun (Pukulan Sakti Ratusan Langkah) sebelum melarikan diri.
Sayangnya, masih ada sebuah ilmu yang sedang
diyakinkannya dengan Ketua atau Pangcu Thian Liong Pang yang tidak boleh dikeluarkan agar tidak memancing
kemarahan lebih besar dan membuka jejak mereka keluar.
Ketika dia kembali menyerang dalam gaya "Membongkar Bumi meratakan alam", dia bergetar karena harus bertemu dengan kecepatan dan kekuatan Telapak Budha dari Ban Hud Ciang.
Mereka kembali bertempur seru dalam kedua Ilmu tersebut, tetapi nampaknya malah Mei Lan yang sanggup mendesak Hu Pangcu tersebut karena kemampuan bergeraknya yang luar
biasa. Dalam pada itu, Hu Pangcu Pertama dan Ketiga nampaknya
sudah sadar bahwa mereka tidak akan mampu memenangkan
pertarungan. Jagoan utama mereka, juga nampaknya hanya
mampu bertanding seimbang dengan Bengcu yang masih
muda itu. Karena itu, Hu Pangcu Pertama sudah mengirimkan bisikan agar mereka pergi dengan menggunakan Barisan
Warna-warni sebagai perisai akhir yang akan dikorbankan. Hal tersebut segera di yakan oleh Hu Pangcu Ketiga yang juga sudah merasa sangat kerepotan.
Tetapi nampaknya tanpa jawaban dari Bouw Lim Couwsu
yang merasa sangat malu harus meninggalkan arena
menghadapi seorang anak bau pupuk, pikirnya. Tetapi
persetujuan Hu Pangcu Ketiga sebagai pemimpin operasi
sudah lebih dari cukup. Karena itu, dengan segera dia bersiul, sebuah siulan rahasia yang diperuntukkan bagi Barisan Warna-Warni. Dan memang, dengan segera barisan itu bergerak
sangat tertib, tetap membaur dalam barisan, tetapi tidak lagi meladeni Barisan 6 Pedang yang terus mengejar mereka.
Tetapi karena tetap dalam barisan, dan nampaknya
membentuk benteng yang hebat, selain itu tidak banyak orang yang menyadari, akhirnya ketika terdengar dua benturan
berturut-turut, 2 tubuh tiba-tiba melayang ketengah Barisan warna-warni.
Dari barisan itu, pertama mereka menggempur Barisan 6
Pedang yang dengan cepat mengatur diri dan keseimbangan, sehingga tidak bisa didesak oleh Barisan Warna-warni dan kedua pendatang hebat lainnya. Tetapi, langkah 2 orang tadi, hanya langkah selipan, karena dengan cepat, mereka
kemudian berkelabat mundur ke mulut lembah tanpa ada
yang menyadari dan mencegah. Dan dibawah perlindungan
barisan warna-warni yang nampaknya sengaja dikorbankan, kedua tokoh itu kemudian berkelabat lenyap. Barisan warna-warni yang selesai melakukan tugasnya kemudian membuyar, hanya menyisakan beberapa orang yang mencapai pintu
keluar lembah, selebihnya tewas di tangan Barisan 6 Pedang yang memburu dan melawan mereka.
Pertempuran selesai, karena nampaknya bahkan Ma Hoan
dan Ciam Goan yang terluka sudah membunuh diri bersama
kawanan mereka lainnya yang terluka dan terakhir ditemukan bunuh diri dengan racun. Tetapi pertempuran yang lain, yang terakhir justru masih belum berakhir. Ceng Liong sudah
menawarkan kepada Lhama tua yang sakti itu untuk
menyerah, tetapi ditolak dengan marah oleh Bouw Lim
Couwsu. Bahkan dalam kemarahannya, dia kemudian
menghentikan serangannya dan berkata:
"Bengcu, pinto menantangmu untuk bertanding seorang
lawan seorang. Bila pinto kalah, maka pinto akan menyerah.
Tetapi bila pinto menang, maka harus diperkenankan
meninggalkan lembah ini" Hebat tantangannya, tantangan
kepada seorang bengcu Tionggoan, tentu sulit dielakkan. Dan baik Sian Eng Cu maupun si manusia berkerudung sadar,
bahwa Bouw Lim Couwsu memanfaatkan celah ini. Karena
akan sangat memalukan bila seorang Tionggoan Bengcu
menolak tantangan bertanding. Ceng Liong juga menyadari kecerdikan Bouw Lim Couwsu, karena itu dengan keren
akhirnya dia berkata:
"Bouw Lim Suhu, sepantasnya sebagai pihak penyerang
engkau tidak diberikan pengampunan yang sangat
menyenangkan bagimu. Tetapi, pantang Bengcu di Tionggoan menampik tantanganmu. Baiklah, mari kita tentukan dalam Ilmu Kepandaian" tantangan itu diterima Ceng Liong. Tetapi kalimat itu membuat Sian Eng Cu mengangguk-anggukkan
kepala, puas terhadap kegagahan Bengcu, demikian juga si orang berkerudung nampak sangat puas, meski membayang
sedikit kekhawatiran.
Setelah tantangannya diterima, kembali Bouw Lim Couwsu
membuka serangan. Kali ini, getaran tenaga saktinya sungguh luar biasa, sesekali nampak Ceng Liong merasa betapa
semakin berat serangan dan luncuran tenaga sakti Bouw Lim Hwesio. Bouw Lim Couwsu dan Bouw Lek Couwsu, meski
mengikuti jalan sesat, tetapi memiliki dasar aliran Ilmu Budha yang murni. Sementara Tibet Sin Mo Ong, sudah berani
mencampurkan kepandaiannya dengan Ilmu Sesat dan
kehilangan kemurniannya, meski Ilmu Silatnya maju pesat, tetapi kekuatan sinkangnya mandek.
Itu sebabnya, Bouw Lim Couwsu ini, malah lebih berbahaya dalam perang tanding dibandingkan sutenya yang sudah lari meninggalkannya. Sadar bahwa kepandaiannya menentukan
nasibnya, Bouw Lim Couwsu yang kawakan mengeluarkan
tantangan adu kepandaian. Dan kembali tersaji sebuah arena pertandingan dengan Ilmu dan Jurus yang jarang ditampilkan dalam dunia persilatan. Meski berdasar Ilmu Budha, tetapi Bouw Lim Couwsu bergaya silat Tibet, sehingga memiliki
perbedaan dengan yang berkembang di Tionggoan yang
berdasarkan aliran Siauw Lim Sie.
Hentakan-hentakan tenaga sakti Bouw Lim Couwsu
semakin membahana, bahkan mulai dimainkan dengan jurus
Kong Jiu Cam Liong dan Tam Ci Sin Thong, sehingga baikan tutukan tangannya maupun angin pukulannya membawa
suara mencicit dan bahana tenaga yang luar biasa. Sementara itu, Ceng Liong memutuskan memainkan Soan Hong Sin Ciang yang telah disempurnakan dengan versi Tek Hoat, tetapi
menjadi lebih efektif. Bahkan si manusia berkerudung dan barisan 6 pedang yang memahami Ilmu itu, berdecak kagum ketika dimainkan oleh Ceng Liong.
Terlebih ketika Ceng Liong memasukkan unsur pedang dari Toa Hong Kiam Sut yang menjadi padanan Soan Hong Sin
Ciang. Adu pukulan dan hawa totokan lawan hawa pedang
membuat udara sekitar menjadi sangat berbahaya bagi tokoh silat sembarangan. Bahkan hawa dan perbawa "sihir" yang semakin mengental dari Soan Hong Sin Ciang membuat tubuh Ceng Liong menjadi bagaikan asap yang melayang kesana
kemari membawa bahana badai dan angin keras dari
tubuhnya. Tetapi begitupun, Bouw Lim Couwsu adalah
seorang tokoh lihay, tokoh kawakan yang hanya sempat
dikalahkan seorang Wie Tiong Lan pada masa lalu.
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan kepandaiannya tentunya tidaklah mandeg, dan
karenanya perbawa yang dihasilkan Ceng Liong tidak berarti banyak baginya. Sebaliknya, desingan-desingan totokan dan deburan pukulannya, juga mendatangkan hawa yang
mengerikan bagi Ceng Liong yang tidak boleh lengah dan
membiarkan dirinya terlibas oleh pukulan yang bakal
menyulitkannya itu. Untungnya, Ceng Liong sendiri sudah sanggup mengerahkan hawa khikang pelindung badan,
sehingga totokan-totokan Bouw Lim Couwsu tidak mampu
menembus kebadannya. Keadaan ini membuat Bouw Lim
Couwsu menjadi sangat kaget dan kagum atas kehebatan
Bengcu ini. Perlahan namun pasti, tumbuh rasa hormatnya kepada anak muda yang mampu membuatnya bertarung ketat
dengan mengerahkan segenap kekuatannya.
Penonton yang menyaksikan pertandingan memiliki reaksi
dan tanggapan berbeda-beda. Bahkan Giok Lian yang baru
pertama kali bertemu Ceng Liong memandang kagum, tidak
disangkanya selain Tek Hoat, masih ada seorang pemuda lain yang begitu lihay. Bahkan setelah kepandaiannya meningkat tajam, diapun kurang yakin apakah sanggup mengalahkan
Bouw Lim Couwsu yang sangat digdaya itu. Tetapi Ceng
Liong, nampaknya sanggup menandingi tokoh tua yang sangat lihay ini, baik sinkangnya maupun ketenangannya, dan
nampaknya sangat percaya diri. Sementara Mei Lan, juga
memandang dengan wajah penuh perhatian dan sulit
menyembunyikan kegelisahannya melihat pertandingan maut antara Ceng Liong dengan Bouw Lin Couwsu.
Dia tidak menyadari jika kegelisahannya tertangkap oleh Sian Eng Cu yang tersenyum melihatnya dan memandang
pertarungan dengan tenang. Ketenangan dan keyakinan Ceng Liong membuatnya yakin, bahwa anak muda itu menyimpan
bekal kemampuan yang sulit dibayangkannya. Bahkan
gurunya sendiri, Wie Tiong Lan pernah mengatakan
kepadanya, bahwa tunas keluarga Kiang kali ini sungguh
istimewa. Pujian gurunya ternyata memang tidaklah kosong.
Harus diakuinya, anak ini bahkan masih sedikit lebih berisi dibandingkan sumoynya.
Yang juga agak terperangah adalah keluarga Yu, mereka
tidak menyangka kalau cucu keponakan ataupun keponakan
mereka ini sungguh demikian lihay dan saktinya. Mereka
memandang dengan penuh rasa kagum dan haru karena
dibela oleh keluarga mereka sendiri, meski keluarga luar.
Sedangkan si manusia berkerudung hitam, meski memandang kagum, tapi seperti juga Mei Lan menyimpan rasa khawatir atas pertandingan tersebut. Betapapun, mereka merasa terkait erat dan punya rasa memiliki terhadap si anak muda yang sedang menyabung nyawanya itu.
Sementara itu, Bouw Lim Couwsu kembali memainkan
kombinasi ilmu yang berbeda. Kali ini dia memainkan kembali Hong Pin Ciang dengan padanan Sin Liong Coan In Sin Ciang, yang berat di ginkang dan kecepatan. Karena itu, tubuhnya berkelabat-kelabat mengejar Ceng Liong dengan pukulan-pukulan sakti, bahkan seperti bisa menyusup kebalik-balik awan yang menyembunyikan tubuh Ceng Liong. Tetapi kali ini, setelah puas menguji semua perbendaharaan Ilmu
keluarganya, Ceng Liong tiba-tiba meledakkan tangannya
dengan sebuah tangkisan dari ilmu petir. Itulah Ilmu Halilintar Jurus pertama, "Halilintar Membelah Angkasa" yang dengan segera mematahkan Jurus Hong Pin Ciang yang dipadukan
dengan Sin Liong Coan In Sin Ciang yang mengejarnya
diudara. Ledakkan pekak tersebut membuat Bouw Lim Couwsu tergetar oleh hawa panas yang luar biasa yang menyerang tubuhnya.
Tetapi hanya sejenak, karena kembali dia melakukan
serangan dengan jurus yang sama, tetapi dengan gaya
gerakan kaki Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas
Rumput), dia mumbul keatas dan sekali lagi menyerang
dengan jurus pertama yang memang tepat menangkal
pukulan Hong Ping Ciang yang dilakukan dalam kecepatan di udara. Kembali Bouw Lim Couwsu tergetar oleh udara panas, dan dengan segera dia mulai mengganti kembali jurus
permainannya. Kali ini dia mulai memasuki tahapan Ilmu perguruannya
yang lebih berat Thian cik-sian Kun Hoat (Silat sakti dewa menggetarkan langit), yang bahkan Tibet Sin Mo Ong, belum cukup sempurna meyakinkannya karena keburu bersama
mereka lari ke Tionggoan. Ilmu ini adalah Ilmu andalannya bersama Bow Lek Couwsu, selain ilmu baru yang mereka
ciptakan belakangan bertiga, yakni Pek Pouw Sin Kun, sebuah Ilmu Pukulan Jarah Jauh. Nampak kakek sakti ini memusatkan perhatiannya dan dengan berteriak nyaris dia mulai kembali menyerang, didahului dengan angin pukulan yang luar biasa beratnya, bagaikan guguran gunung.
Tapi, Ceng Liong mengenal pukulan berat, dan diapun
sudah sedang menggunakan Ilmu beratnya, Pek Lek Sin Jiu salah satu Ilmu andalan dan kebanggaan Kiong Siang Han.
Kali ini dia memapak dengan menggunakan jurus Kedua,
"Halilintar Menerjang Angin", dan dengan segera selarik angin panas diiringi ledakan halilintar menyambar kearah serangan Bouw Lim Couwsu dan sekali lagi terdnegar benturan keras:
"dhuuuuaaaaaar" kali ini lebih memekakkan telinga
sekitarnya, bahkan tokoh sekelas Yu Siang Ki harus mundur 2-3 langkah kebelakang.
Sementara itu, kedua petarung nampak masing-masing
terdorong 2 langkah kebelakang, dan keduanya nampak
sedang menyiapkan jurus selanjutnya. Kedua kaki Bouw Lim Couwsu nampak membentang lebar, kedua tangannya
disilangkan didepan dada dan kemudian kembali didorongkan kedepan, sementara Ceng Liong yang merasa tidak terhalang apa-apa dengan benturan tadi, meningkatkan jurus
Halilintarnya memasuki jurus Ketiga "Halilintar Menghujam Bumi", dimana dengan 2-3 langkah persiapan dia tiba-tiba melesat keatas dan dari atas sepasang tangannya terayun kearah Bouw Lim Couwsu menyambut sampokan dan
dorongan tangannya.
Kali ini, benturannya terdengar jadi lebih memekakkan
telinga dan beberapa tokoh mulai menyalurkan tenaganya
menjaga telinga dan hati masing-masing untuk tidak dikuasai hawa mujijat kedua pukulan mereka yang bertarung.
Sementara itu, Ceng Liong yang sudah mengudara,
tertahan daya turunnya oleh benturan dengan kekuatan Bouw Lim Couwsu dan memang itu adalah ketika yang tepat untuk menyiapkan jurus keempat Halilintar Bartalu-talu di Udara.
Pada saat daya luncurnya tertahan, tubuhnya menggeliat
dengan ginkang Jouw Sang Hui Teng dan kembali mencelat
keudara dan memukul bergantian dengan kedua tangan
kearah Bouw Lim Couwsu, dan terdengarlah dentumandentuman dan ledakan halilintar yang terjadi berkali-kali, membuat Bouw Lim Couwsu tergopoh-gopoh menghindar
kesana kemari karena belum siap dengan jurus berikutnya.
Melihat keuntungan dipihaknya, Ceng Liong segera mengejar Bouw Lim dan mencecarnya dengan jurus kelima Halilintar Membelah Awan Menghajar Mentari yang diringi dengan
ginkangnya memburu Bouw Lim Couwsu, yang akhirnya
dengan terpaksa memapak Ceng Liong.
"Dhuuuuuaaaar" dan kali ini Bouw Lim Couwsu terdorong
sampai lima langkah ke belakang, sementara Ceng Liong
hanya terdorong 3 langkah. Tetapi, dia kembali sudah bersiap dan kembali mencelat keudara dan siap melontarkan jurus keenam Badai Petir Membelah Langit. Sejak Jurus keenam ini, beberapa perubahan yang dahsyat sudah dilakukan oleh Ceng Liong, karena mulai jurus ini, dia mulai menekan kekuatan suara secara fisik, tetapi memasukkan unsur "im" yang
mengoyak konsentrasi lawan.
Maka meskipun Bouw Lim sempat menemukan kembali
keseimbangannya dan bersiap dengan gaya jurus "Pukulan
dewa-dewa mengguncang alam raya", tetapi pada saat itu dia justru heran, tidak terdengar lagi ledakan memekakkan
telinga. Tetapi beberapa pukulan yang dilontarkan diudara, justru menyerang langsung "telinga batinnya" dan merusak konsentrasi karena dia tidak bersiap menerima jenis pukulan yang demikian. Dan disinilah titik balik pertarungan ini, meskipun keduanya memiliki keseimbangan dalam Sinkang
dan keuletan, tetapi pecahnya konsentrasi meskipun hanya sekejap sudah menjadi modal penting untuk menentukan
kemenangan. Bouw Lim Couwsu memang masih sempat menangkis jurus
keenam, meskipun tidak lagi dengan sepenuh kekuatan
biasanya karena terganggu oleh getaran yang menyusup ke batinnya. Dan akibatnya dia kembali terdorong lebih jauh sampai 7 langkah dengan dada sesak, meski belum terluka dalam. Sementara itu, Ceng Liong telah menyiapkan jurus ketujuh Sejuta Halilitar Merontokkan Mega, yang malah
semakin berat dibandingkan jurus sebelumnya. Belum sempat Bouw Lim Couwsu bersiap, terjangan dengan jurus Halilintar Perontok Mega sudah kembali menyusup menyerang
konsentrasinya, dan untung karena kelihayannya dia masih sempat menemukan dirinya, meskipun sedikit terlambat.
Dan karena itu, dia tidak dalam kesiagaan penuh menerima terjangan jurus ketujuh, dan sekali ini dia jatuh terduduk menangkis serangan jurus ketujuh Pukulan Halilitar yang menerjang telinga batin dan konsentrasinya. Dari sudut
bibirnya mengalir darah merah, dan nampaknya sekali ini Bouw Lim Couwsu terluka. Sulit baginya untuk
menyembunyikan fakta bahwa dia terluka ditangan anak muda ini, karena dari bibrnya merembes darah tanda dia terluka dalam.
Melihat Bouw Lim Couwsu terluka, Ceng Liong menjadi
tidak sampai hati. Hatinya menjadi iba ditengah pandangan tegang banyak orang yang sebagiannya menginginkan dia
mengirimkan serangan terakhir, tetapi sebagian lagi
berkhawatir apakah Bengcu mereka tidak memiliki
kegagahan" Dan ternyata, Ceng Liong memang memilih untuk tidak melanjutkan dengan serangan jurus terakhir. Dia sendiri ngeri membayangkan harus menyerang dengan jurus
pamungkas, yang bahkan oleh Kiong Siang Han disebutkan
terlampau merusak dan sangat berbahaya.
Sementara itu, nampak Bouw Lim Couwsu sendiri sejenak
menarik nafas dan mengobati dirinya, dan karena lukanya tidak begitu parah, sejenak kemudian dia bangkit berdiri dan memandang Ceng Liong dengan muka tidak percaya. Tetapi
tidak lama kemudian kesombongan seperti lenyap dari
wajahnya berganti kesedihan yang dalam. Puncak
kesombongan atas kemampuannya dirubuhkan oleh seorang
anak muda, sulit dipercayainya, tetapi tetap sebuah
kenyataan. Akhirnya dia bergumam:
"Pinto sudah kalah, terserah Bengcu mau melakukan
apapun terhadapku"
Tetapi Kiang Ceng Liong bukan seorang buas. Diapun
sadar, bahwa semangat orang tua ini sudah padam seketika setelah kalah dan terluka ditangannya, karena itu, dengan lembut dia berkata:
"Tidak ada hukuman buat Bouw Lim Suhu. Hanya, selaku
Bengcu, aku meminta Bouw Lim Couwsu suka menarik diri
dari kekisruhan di Tionggoan kali ini".
"Anak muda, engkau akan menyesal bila tidak menghukum
pinto" Bouw Lim Couwsu berkeras. Sebenarnya bukan
berkeras, tetapi merasa malu dan terharu oleh pengampunan Ceng Liong. Dia bersuara setelah tertegun beberapa lama, sangat lama malah.
"Apakah ada gunanya bagiku bila membunuh Couwsu atau
memenjarakan Couwsu" Tidak ada gunanya. Tetapi ada
gunanya bagi rimba persilatan Tionggoan apabila Couwsu
suka berjanji tidak akan ikut dalam kekisruhan kali ini" tegas Ceng Liong.
Beberapa saat kemudian nampak rona wajah Bouw Lim
Couwsu berubah-ubah, kadang sedih, marah, kecewa, gemas, tetapi lama kelamaan akhirnya seperti kehilangan cahaya.
Pada akhirnya dia berkata:
"Baiklah Kiang Bengcu, engkau masih sangat muda tetapi
sangat pintar dan bijaksana. Biarlah Bouw Lim Couwsu
mengundurkan diri dari rumitnya dunia persilatan, itulah janji pinto. Selanjutnya biarlah pinto mencari tempat menyucikan diri. Dan terima kasih atas kemurahanmu yang menerangi hati pinto" seraya mengucapkan hal itu, Bouw Lim Couwsu bahkan menghormat dengan takzim kepada Kiang Ceng Liong yang
menjadi rikuh dan kemudian Bouw Lim berjalan ke mulut
lembah. Tapi dari mulut lembah terdengar suara:
"Sejak hari ini, biarlah terkubur nama Bouw Lim Couwsu.
Kiang Bengcu, semoga selalu bijaksana karena lawan-lawan yang mengintai kalian bahkan masih lebih hebat dari pinto".
Tapi begitu suara itu menghilang, tiba-tiba Kiang Ceng
Liong duduk bersila, wajahnya nampak memerah karena
terlampau besar mengeluarkan dan menghamburkan tenaga
"yang", padahal dalam hal penggunaan tenaga "yang" dia
masih belum sekuat Tek Hoat. Untungnya dia menerima
gemblengan dan bantuan Kiong Siang Han, yang nyaris
dikurasnya keluar ketika membentur Bouw Lim Couwsu.
Adalah dua orang yang dengan cepat berreaksi melihat
keadaan Ceng Liong:
"Liong koko, engkau kenapakah?" Liang Mei Lan dengan
cepat sudah melompat mendekati Ceng Liong yang sudah
dengan cepat bersila lupa diri untuk mengatur kembali tenaga saktinya. Bersamaan dengan Mei Lan, sebuah suara dengan cepat juga mendekati Ceng Liong:
"Liong Jie, apakah engkau terluka?" Bahkan tangannya
dengan cepat menempel di punggung Ceng Liong, tetapi
ditarik kembali ketika merasa punggung Ceng Liong begitu panas membara. Seketika dia menjerit:
"Ach, mengapa begini" dia memandang Kiang Ceng Liong
dengan penuh tanda tanya dan keheranan.
"Kiang hengte, ada apakah gerangan?" Sian Eng Cu sudah
datang mendekati dan sepertinya sedikit mengenal si orang berkerudung.
"Sian Eng Cu cianpwe, Paman Yu Siang Ki, maafkan masih
belum leluasa bagiku untuk melepas kerudung dan capingku.
Keluarga kami menyebabkan banyak kesengsaraan, biarlah
setelah semua jelas, kami sekeluarga akan meminta maaf
untuk semua keadaan yang tidak mengenakkan ini. Dan Nona, siapakah engkau" Apakah engkau murid terakhir yang
terhormat Pek Sim Siansu?" bertanya si manusia berkerudung.
"Benar locianpwe, tecu murid terakhir suhu Pek Sim Siansu dan suheng Sian Eng Cu dan juga murid Liong-i-Sinni" Mei Lan memperkenalkan diri.
"Ach, orang sendiri. Baiklah, biarlah Liong Jie kutitipkan kepada Sian Eng Cu dan Nona serta Paman semua. Dia
sedang meleburkan tenaga sakti "im" dan "yang" yang
terguncang tadi, sebentar lagi dia sadar. Paman, aku mohon diri" dan belum sempat ada yang menahan kepergian si
kerudung hitam, tiba-tiba orangnya sudah jauh mencelat ke pintu masuk lembah dan kemudian lenyap. Si manusia
berkerudung seperti belum ingin memperkenalkan dirinya, bahkan kepada Ceng Liong sekalipun. Karena itulah dia tidak menunggu sampai Ceng Liong sadar dari peleburan hawa
saktinya. Sebentar kemudian Ceng Liong benar-benar sadar, tetapi
diapun tahu, bahwa untuk menenangkan gejolak sinkangnya, dia butuh waktu sehari atau dua hari agar kekuatan
singkangnya bisa melebur dan bahkan bisa memetik
keuntungan dari benturan-benturan kekuatan dengan Bouw
Lim Couwsu. Bahkan hal yang sama juga dialami Mei Lan,
setelah dua kali berbenturan dengan Hu Pangcu, dia merasa ada sesuatu yang harus dia tenangkan dengan tenaga
saktinya. Selain itu, dia merasa ingin berbicara banyak dengan Kiang Ceng Liong, karena itu dia memutuskan untuk tinggal
sebentar. Sementara Sian Eng Cu yang mengemban tugas
gurunya, sudah berpamitan esok harinya dan melanjutkan
pekerjaannya mengganggu Thian Liong Pang. Yang pasti, dia sudah tahu siapa tokoh lain yang mengganggu Thian Liong Pang, meskipun dia masih belum mengerti dengan kalimat
"keluarga kami telah menyebabkan banyak kesengsaraan, dan biarlah setelah semua jelas, kami akan meminta maaf".
Sebuah kalimat yang sulit ditafsirkannya untuk saat ini.
Selain Mei Lan, Giok Lian juga memutuskan untuk tinggal, karena dia ingin menemukan jejak kakaknya dengan berbicara banyak bersama Ceng Liong. Apalagi, dari lubuk hatinya dia menyimpan kekaguman terhadap Ceng Liong, seperti juga
terhadap Tek Hoat. Tetapi, terhadap Ceng Liong, dia melihat bahwa nampaknya Mei Lan sudah beberapa langkah menang
didepannya, karena itu dia menahan diri terhadap rasa
kagumnya itu. Demikianlah, selama 2 hari, baik Mei Lan
maupun Ceng Liong kemudian banyak bekerja keras untuk
menarik keuntungan dari beberapa benturan hebat yang
mereka alami akhir-akhir ini.
Dan tanpa mereka sadari, kekuatan sinkang mereka justru mengalami kemajuan yang cukup berarti. Seadainya diadu lagi dengan Bouw Lim Couwsu, Ceng Liong pasti sudah akan
menang seusap dalam hal Sinkang akibat Samadhi dan
pemusatan kekuatannya selama 2 hari. Dia berhasil
meleburkan kembali semua kekuatan yang menerpa dan
keluar dari tubuhnya, dan meningkatkan penguasaannya atas tenaga sakti tersebut. Hal yang sama juga dialami oleh Mei Lan selama 2 hari terakhir.
Sementara itu, segera setelah pertempuran usai, sebelum beristirahat, Ceng Liong telah memerintahkan anak murid Kay Pang untuk ikut membantu pembersihan mayat di Keluarga
Yu. Dan keesokan harinya dia mengucapkan terima kasih
kepada Liauw Cu Si dan Kay Pang di Lok Yang, dan melepas mereka kembali ke Lok Yang. Hubungan Kay Pang di Lok Yang dengan keluarga Yu menjadi semakin baik setelah kejadian tersebut. Sementara Yu Siang Ki juga mengucapkan terima kasih kepada semua orang, kepada Sian Eng Cu, Maling Sakti, Giok Lian dan Mei Lan.
Dia menahan semua orang untuk menjamu sambil
beristirahat, tetapi Sian Eng Cu telah berkeras untuk
berangkat setelah beberapa lamanya berbicara dengan
sumoynya. Bahkan menggoda sumoinya untuk atas nama
sumoynya menjadi comblang bagi perjodohannya dengan
Ceng Liong. Guyon yang dibalas dengan mata terbelalak dan pura-pura marah dari Mei Lan, tetapi dengan gaya khasnya sebagai Suheng dan Orang tua, Sian Eng Cu mengingatkan
Mei Lan akan usianya (padahal 18-19 tahun masih sangat
muda saat ini, tapi sudah cukup umur dimasa itu). Dan juga memberi tahu bahwa matanya tidak buta akan perasaan Mei Lan, juga bukan tidak mengenal watak dan prilaku gadis itu.
Hal yang pada akhirnya dengan malu-malu diakui oleh Sian Eng Cu, meski Mei Lan menyatakan tetap penasaran dengan kepandaian Ceng liong. Tapi Sian Eng Cu mengingatkan,
bahwa anak muda itu menyimpan sebuah kekuatan yang
mengerikan, dan bahkan sudah pernah disinggung suhu
mereka, Wie Tiong Lan.
Kejadian dan pertempuran di Benteng Keluarga Bhe dan
Perkampungan Keluarga Yu, yang nyaris bersamaan dengan
penyerangan ke Cin Ling Pay menimbulkan reaksi balik yang luar biasa. Pertempuran di Benteng Keluarga Bhe, sudah
sebuah peringatan bagi Thian Liong Pang bahwa perlawanan besar sedang dilakukan. Terlebih setelah pertarungan lebih besar dan lebih seru di Perkampungan Keluarga Yu. Pukulan telak yang diberikan melalui perlawanan di dua tempat itu menghapuskan kebanggaan bisa mencaplok Cin Ling Pay dan membunuh beberapa tokoh pedang Tionggoan.
Selain itu, mulai muncul optimisme dunia persilatan
Tionggoan bahwa perlawanan akan segera dilakukan oleh
para pendekar Tionggoan. Gerakan-gerakan yang dilakukan Bu Tong Pay, Kay Pang dan Lembah Pualam Hijau telah
melahirkan optimisme tersebut. Terlebih dengan tampilnya Bengcu atau Duta Agung baru dari Lembah Pualam Hijau yang konon luar biasa saktinya, meski masih sangat muda.
Pertempuran di keluarga Yu kembali melambungkan namanama Naga muda, Ceng-i-Koai Hiap yang kini menjadi Bengcu, Sian Eng Niocu dan juga Siangkoan Giok Lian si Dewi berhati Besi. Nampaknya bentrokan besar sebentar lagi akan terjadi, dengan berterang atau dengan serangan menggelap.
Setidaknya, pukulan berat bagi Thian Liong Pang mengirimkan sinyal bahwa, dunia persilatan Tionggoan tidaklah mudah ditaklukkan oleh Thian Liong Pang.
-0o~Marshall~DewiKZ~0oEpisode 22: Upacara Duka di Siauw Lim
Sie Siang itu, sosok anak muda gagah sedang mendaki Gunung
Heng San. Nampaknya anak muda yang gagah dengan wajah
selalu tersenyum itu sudah mengenal betul jalanan sekitar gunung Heng San. Terbukti dia tidak harus berhenti untuk memilih jalan, tetapi dengan pasti mengarah kesebuah tempat yang nampak dikenalinya. Dia nampak agak tergesa, karena memang seperti itulah yang dipesankan gurunya.
Tidak boleh terlambat seharianpun untuk tiba di Heng San, karena pertemuan mereka nantinya adalah pertemuan
terakhir. Dan sudah tentu, dan pasti, anak muda itu mengenal jalanan di Heng San, karena disanalah selama lebih dari 10
tahun dia menghabiskan waktu untuk melatih diri dalam ilmu Silat. Di Heng Sanlah gurunya menempa dia habis-habisan dan menjadikan dia anak muda yang sakti, pilih tanding.
Anak muda ini, Liang Tek Hoat, atau yang sudah menerima julukan Sie yang si cao, sebagaimana diketahui, dititipkan oleh gurunya, Kiong Siang Han untuk berlatih dengan Kiang Sin Liong. Bukan karena gurunya kurang sakti, tetapi memang untuk menyempurnakan ilmu silat muridnya, Kiong Siang Han terpaksa menitipkan muridnya ini kepada Kiang Sin Liong.
Sementara dia sendiri mengerjakan beberapa hal terakhir dalam hidupnya.
Bersama Kiang Sin Liong, Kian Ti Hosiang dan Wie Tiong
Lan, mereka sudah mengetahui dan menyadari, bahwa usia
mereka sudah mendekati akhir. Bahkan, Kiong Siang Han
sudah mengetahui batas akhir kehidupannya, setidaknya
mendekati tahu, hari apa yang akan membuat mereka
berpisah dari kehidupan manusia. Dan kematangan serta
kesempurnaan tenaga dalamnya, membuat Kiong Siang Han
tidaklah rewel dan nelangsa menghadapi akhir hidupnya.
Sebaliknya, malah nampak sangat tenang dan sangat siap
menyambutnya. Dan, dengan menitipkan Tek Hoat, kakek sakti ini
sebetulnya sedang mempersiapkan hari terakhirnya.
Mempersiapkan tempat istirahatnya dan mempersiapkan anak murid lainnya di Kay Pang. Karena selain Tek Hoat, dia masih belum merasa rela untuk meninggalkan murid-muridnya yang lain, Sai Cu Lo Kay dan yang terutama menyempurnakan Kay Pang Cap It ho Han. Dan untuk urusan itulah kemudian Kiong Siang Han meluangkan waktu-waktu terakhirnya. Dan selama kurang lebih 6 bulan terakhir ini, Kiong Siang Han
mempersiapkan hal-hal terakhir tersebut sampai benar-benar dianggapnya tuntas.
Mempersiapkan gua bertapanya sebagai peristirahatan
terakhir, menatanya dan membuat tempat tersebut seakan
akan ditempatinya sebagaimana kehidupan keseharian
biasanya. Dan, menunjukkan bakti terakhir bagi Pang yang dibesarkan dan membesarkan namanya, yakni Kay Pang,
sebuah perkumpulan terbesar di Tionggoan dewasa ini. Dan masih tetap terbesar dalam jumlah anggota dan anak murid yang mencapai ribuan jumlahnya dan tersebar di segenap
pelosok negeri.
Hari ini, adalah tepat 6 bulan yang dijanjikan Siang Han dan diperintahkannya kepada Tek Hoat untuk tepat pada hari ini berada di Heng San, di gunung belakang tempat dimana markas besar Kay Pang berada. Dan karena sudah diwanti-wanti gurunya, dan juga dikuatkan Kiang Sin Liong yang
dititipi gurunya untuk melatihnya, maka Tek Hoat tidak
berayal. Dengan kecepatan penuh dia melesat dan menuju ke Heng
San, dan ketika memasuki Heng San, dia menempuh separuh jalan menuju Markas Kay Pang baru kemudian berbelok ke
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hutan rimbun, memasuki area belakang Gunung Heng San dan kemudian tiba di tempat yang biasanya digunakan gurunya untuk bertapa dan melatih dirinya. Pemandangan sekitar gua itu memang indah, yakni menampak bagian gunung Heng San yang memisahkannya dengan markas besar Kay Pang dan
sebelahnya lagi merupakan hamparan menghijau sejauh mata memandang. Dan, yang penting, gua ini terpisah dan sulit ditemukan oleh siapapun jika tidak dikehendaki untuk melihat gua tersebut.
Belum lagi kakinya melangkah masuk, sebuah suara sudah
menyambutnya: "Masuklah muridku. Mari, waktu kita tidak lama lagi"
Tek Hoat tidak berayal dan segera memasuki gua tempat
bertapa gurunya, dan juga tempat tinggalnya selama belasan tahun berlatih ilmu Silat. Dan Tek Hoat segera berlutut dihadapan orang tua itu, yang dimata Tek Hoat nampak
demikian agung dan dengan sinar mata yang agak lain, tapi sulit dijelaskan.
"Tecu menghadap suhu. Bagaimanakah keadaan suhu,
baik-baikkah?"
"Baik-baik saja muridku. Tapi, biarlah kita tidak
mempercakapkan masalah kesehatanku. Biarkan aku
menyelesaikan tugas-tugas terakhir sebelum maut
menjemputku" ringan saja Kakek Sakti Kiong Siang Han
membicarakan masalah mati hidupnya. Padahal Tek Hoat
menjadi terperanjat dan tercekat dengan ucapannya itu. Tapi, orang tua itu terus melanjutkan:
"Aku memintamu datang, karena batas usiaku sudah tiba
muridku. Selama 6 bulan terakhir, gurumu ini telah melakukan gemblengan terakhir untuk Kay Pang Cap It Ho Han, serta juga suhengmu Sai Cu Lo Kay. Selain suhengmu dan engkau muridku, tidak ada yang tahu kalau usiaku sudah tiba pada batasnya. Tetapi, masih kubutuhkan menilik keadaanmu untuk terakhir kalinya, sambil memberi tugas khusus buatmu
menjelang perpisahan kita yang terakhir. Karena itu, biarlah kita memulai satu demi satu"
Nampak Kakek renta itu menghirup nafas, sangat tenang
dia nampaknya. Setelah menarik nafas dan memandangi
muridnya yang menjadi tegang mendengar batas usianya
sudah tiba, tiba-tiba kakek itu berujar:
"Muridku, mari, mulailah engkau menunjukkan tingkat
kemajuanmu untuk yang terakhir kalinya. Suhengmu, sudah melakukannya semalam, demikian juga Kaypang Cap It Ho
Han. Biarlah gurumu menilaimu untuk yang terakhir kalinya, sejauh mana Sin Liong mendidik engkau selama 6 bulan
terkahir ini di tempat pertapaannya"
"Baik guru" Jawab Tek Hoat mantap, meskipun hatinya
teriris-iris mendengar gurunya akan berpisah untuk selamanya dengan mereka.
Dan, Tek Hoat kemudian memainkan kembali semua Ilmu
Silat yang diwarisinya dari gurunya. Baik ilmu-ilmu pusaka Kay Pang, seperti Hang liong Sip Pat Ciang, Tah Kauw Pang,
kemudian Pek Lek Sin jiu bahkan kemudian juga memainkan Sin kun hoat Lek yang nampak sudah bisa dimainkannya
dengan sempurna, nyaris tanpa cacat. Bahkan, Tek Hoat
kemudian memainkan Soan hong Sin Ciang dan lebih hebat
lagi dipadukan dengan Toa Hong Kiam Sut dan menghadirkan hawa menusuk yang sangat tajam.
Semua permainanannya itu mengagumkan gurunya,
bahkan pada puncak pengerahan kekuatan sinkangnya,
nampaknya Tek Hoat sudah sanggup menghimpun hawa
khikang pelindung badan. Hawa pelindung badan itu semakin lama semakin tebal dan tentu semakin sulit hawa itu disusupi oleh kekuatan senjata tajam, bahkan juga hawa pukulan tokoh kelas satu lainnya. Hanya tokoh-tokoh utama dan tersembunyi yang akan mampu menembusi kekuatan khikang Tek Hoat.
Yang bila ditambah lagi dengan khasiat darah ular sakti yang nampaknya sudah melebur habis dengan kekuatan
sinkangnya, maka kekuatan khikang pada puncaknya bukan
hanya membuat Tek Hoat kebal racun, tetapi bahkan kebal senjata. Dan bila dikerahkan sepenuhnya, diapun mampu
mengalirkan hawa sangat panas dan mempengaruhi medan
pertempuran. Dengan jurus-jurus Hang Liong Sip Pat Ciang saja, sudah sangat sulit menemukan lawan baginya. Kini, bahkan anak muda ceria ini, bahkan sudah dilengkapi dengan ilmu-ilmu mujijat lainnya, yang membuatnya menjadi semakin lengkap dan semakin berbahaya. Hawa sinkang yang dirangsang
kemajuannya oleh ular mujijat dan kemudian bahkan
disempurnakan oleh perpaduan dengan hawa im yang
disalurkan dan dilatihkan oleh Kiang Sin Liong, membuat anak ini menjadi semakin berbahaya.
Ilmunya meningkat sangat tajam, bahkan meningkat
sangat jauh dibandingkan dengan 2,5 tahun sebelumnya.
Gurunya nampak menarik nafas puas melihat permainan Tek Hoat, terutama melihat bahwa Tek Hoat sudah berhasil
membentuk hawa pelindung badan yang ampuh. Dan bila
dilatih lebih jauh, maka selain senjata tajam, senjata ilmu pukulanpun akan sangat sulit menembusnya. Selebihnya
bahkan ilmu-ilmu mujijat yang dikuasainya sudah semakin matang, termasuk Sin kun Hoat Lek.
Juga memainkan Soan hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam
Sut dengan sangat mahir, bahkan dengan varian yang menjadi lebih berbahaya ketimbang aslinya. Bahkan, untuk jurus Pek Lek Sin Jiu, Tek Hoatpun sudah sanggup memainkan Ilmu itu dengan perbawa yang sangat mengerikan. Masih lebih masak dibandingkan Ceng Liong, terutama pada perbawa fisiknya karena memang landasan tenaganya adalah "yang" dengan
daya rusak yang snagat mengerikan itu.
Setelah bersilat dengan semua Ilmu tersebut, akhirnya Tek Hoat kemudian mengendorkan permainannya dan tidak lama
kemudian berhenti. Meskipun demikian, tidak nampak Tek
Hoat mengalami kelelahan, sebaliknya nampaknya dia biasa-biasa saja. Padahal, barusan dia mengerahkan banyak sekali kekuatan sinkang dan ginkangnya pada saat melakukan
latihan didepan gurunya. Setelah berhenti, Tek Hoat kemudian kembali datang dan berlutut di hadapan kakek sakti gurunya tersebut;
"Hm, Tek Hoat muridku, Ilmumu sudah memadai dan
sudah mendekati kemampuan Ceng Liong ketika terakhir kita berjumpa dengannya. Kemampuanmu masih akan terus
meningkat mengingat perpaduan tenaga "im" dan "yang" akan terus merangsangmu berlatih dan terus berlatih untuk
membaurkannya. Paduan itu, bahkan akan bisa lebih
mempunyai variasi dan lebih luas dibandingkan dengan
kekuatan "sinkang perjaka" yang dilatih gurumu. Karena itu, jangan berhenti berlatih dan jangan juga terlalu memaksakan diri. Karena usiamu memungkinkan perkembangan tersebut
terjadi secara alamiah dan semakin memperkuatmu. Latihlah terus penguasaan kekuatan perpaduan tenaga sinkang
tersebut, semakin berlatih akan semakin matang dan masak engkau menguasai tenaga perpaduan tersebut"
"Ach, semuanya karena budi baik suhu belaka"
"Tetapi, tanpa usahamu sendiri, maka tidak akan bermakna yang dikerjakan gurumu ini. Untungnya kamu ulet, cerdas dan berkemauan keras. Makanya, kamu bisa sesukses saat ini".
"Tapi, apakah menurut suhu masih ada yang harus tecu
tingkatkan pada hari-hari mendatang ini?"
"Tentu saja. Biarkan gurumu ini memperkuat engkau pada
beberapa hari terakhir ini, meningkatkan pengetahuan dan pengendalianmu atas hawa khikang dan juga
menyempurnakan penggunaan Sin kun Hoat Lek. Gerakangerakannya sudah kamu pahami, bahkan dengan rahasia
penggunaannya. Bila tenaga "yang" ditambah, maka fondasi Ilmu perguruan kita akan semakin matang dalam tubuhmu.
Kamu perlu tahu, sebagian tenaga suhumu sudah dikuras
melatih susiokmu yang akan menjaga markas Kaypang
bersama Ciangbunjin. Beberapa hari ini, engkau harus
bertekun menyempurnakan dirimu, sebelum engkau mewakili gurumu berkunjung ke Siauw Lim Sie"
"Tapi, Suhu, bagaimana dengan kesehatanmu?" Bukankah
suhu juga sudah berada dalam betas usia yang akan menyita tenaga bila terus melatih tecu?"
"Justru batas usia tersebut berusaha kuperpanjang
beberapa hari, hanya untuk menyempurnakanmu. Engkau
akan berhadapan dengan musuh besar gurumu suatu saat,
entah Kim-i-Mo Ong, atau entah juga pendekar-pendekar
Thian Tok, Bengkauw dan Lam Hay. Ilmumu saat ini memang sudah memadai menandingi mereka, tetapi engkau bersama
Ceng Liong dan kawanmu yang lain harus mempertahankan
wibawa dunia persilatan Tionggoan. Jadi, mau tak mau
gurumu mesti melakukannya"
Demikianlah, selama 3 hari berturut-turut, Tek Hoat
digembleng lagi oleh gurunya. Bahkan gurunya tidak banyak bicara, tetapi lebih banyak bekerja, memperkuat sinkangnya, meluruskan dan menyempurnakan penggunaan tenaga dan
menyalurkan hawa "yang" bagi tek Hoat. Sebetulnya Tek Hoat tidak sampai hati melihat keadaan gurunya yang sudah tua renta dan masih sangat sibuk mengurusi dan melatihnya tidak kenal lelah. Tetapi, menyadari bahwa dia memang harus
mempertahankan kehormatan perguruannya, juga dunia
persilatan Tionggoan, membuat Tek Hoat mengeraskan hati melewati 3 hari penuh dalam bimbingan terakhir gurunya.
Dan, sungguh tidak sedikit kemajuannya selama 3 hari
berturut-turut digembleng habis oleh gurunya, bahkan
sinkangnya juga seakan-akan "dimasak" dan "dimatangkan"
oleh gurunya sebagai persiapan terakhir. Dan, masa 3 hari itupun akhirnya selesai, diiringi oleh rasa puas gurunya ketika melihatnya bersilat pada malam hari ketiga itu. Puas melihat hasil didikannya bersilat, dan terutama juga puas karena murid terakhirnya ini menunjukkan watak dan pribadi yang tidak mengecewakan. Bahkan sudah bebruat banyak bagi
Kaypang meskipun usianya masih sangat muda belia.
"Sudah cukup, dan rasanya, meskipun Ceng Liong memiliki sedikit kelebihan, tetapi untuk mengalahkan engkau, sudah sulit dicari orangnya saat ini" gumam gurunya pada akhir mereka berlatih bersama. Anehnya meskipun gurunya
membandingkannya dengan Ceng Liong, tetapi tiada
tersimpan satupun rasa iri dihatinya. Karena, baginya Ceng Liong bahkan sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri, selain diapun merasa menyayangi Ceng Liong yang hidup anak itu pernah diselematkannya. Dan, dia sendiripun memang merasa kagum akan ketenangan, wibawa dan kehebatan Ceng Liong.
"Baiklah, engkau kembali melatih hawa sinkangmu menurut latihan peleburan hawa sepanjang malam ini. Besok
pagi-pagi, gurumu akan menyampaikan pesan pesan terakhir untukmu bersama suhengmu"
"Baik suhu" Tek Hoatpun berlalu, dan baru terasa betapa lelah dan letihnya setelah melakukan latihan habis-habisan selama 3 hari penuh.
-0o~Marshall~DewiKZ~0o"Suhu, bagaimana bisa begitu" suara si Anak muda
terdengar penasaran, sebentuk protes atas pernyataan orang tua yang duduk dihadapan mereka. Disamping anak muda itu, adalah seorang tua bernama Sai Cu Lo Kay, Liu yok Siong, murid pertama Kiu Ci Sin Kay Kiong Siang Han, sementara dihadapan mereka berdua duduklah guru besar Kaypang yang sangat terkenal itu.
"Sudah kuputuskan murid-muridku. Hari ini adalah batas
usiaku, tidak akan melewati tengah hari ini. Karena itu, kalian berdua kupanggil untuk menerima pesan agar jangan
siapapun tahu, selain kalian berdua, bahwa aku orang tua sudah tidak hidup didunia ini lagi"
"Suhu, betapapun engkau orang tua adalah tokoh besar
Kaypang, bahkan tokoh besar Tionggoan. Bagaimana mungkin Kaypang tidak diberi kesempatan untuk menghormati suhu di ujung usia suhu yang mulia" suara Sai Cu Lo Kay meskipun dihalus-haluskan tetap terdengar seperti raungan singa. Keras, pekak dan menusuk telinga.
"Suheng benar suhu, bagaimanapun berilah kesepatan bagi Pangcu Kaypang dan bagi kami murid-muird suhu untuk
memberi penghormatan terakhir" kejar Tek Hoat membantu
toa suhengnya. "Murid-muridku, aku tidak menginginkannya. Biarlah
tempat istirahatku yang terakhir adalah tempat bertapaku, tempatku melatih kalian berdua pada akhir hidupku.
Lepaskanlah gurumu dengan lapang, jangan dibebani dengan penghormatan sia-sia. Gurumu ingin agar tempat ini tetap tenang dan senyap seperti sekarang. Lagipula, tokoh dan anggota Kaypang sudah lama mengerti dan mengira bila
gurumu sudah tiada"
Tek Hoat dan Sai Cu Lo Kay masih tetap berdebat panjang, tetapi Kiong Siang Han sudah kukuh untuk tidak menyiarkan kabar kematiannya. Bahkan tidak menghendaki adanya acara besar-besaran sebagai penghormatan Kaypang bagi dirinya.
"Apalagi, dengan mendengar kabar kematianku, maka
bukan tidak mungkin Thian Liong Pang malah mengusik kita.
Bukannya takut, tetapi jika keadaan aman-aman saja, maka gurumu akan memikirkannya" demikian alasan terakhir Kiong Siang Han menutup pembicaraan soal penghormatan bagi
kematiannya. "Selanjutnya, dengarkanlah pesan-pesan terakhir lohu bagi kalian berdua masing-masing: Yok Siong, engkau sebagai
murid tertuaku kutugaskan untuk membantu Pangcu menjaga markas besar kita. Bersama kalian sudah kutugaskan Kay
Pang Cap it Ho Han, yang juga adalah murid-murid terakhir meski untuk latihan barisan khusus Kay Pang. Tek Hoat tidak kutugaskan di markas, karena dia memiliki tugasnya sendiri, justru di luar markas kita. Engkau tidak harus ikut dalam urusan sehari-hari Kay Pang, tetapi mengawasi markas kita sebagaimana yang dilakukan gurumu dan engkau sendiri
selama beberapa tahun terakhir ini. Bekalmu sudah lebih dari cukup untuk melakukannya. Sebagai murid tertuaku, biarlah engkau yang memegang Kiu Ci Kim Pay ini" sambil Siang han menyerahkan tanda pengenal khususnya yang dihadiahkan
musyawarah kaum pengemis ketika dia mengundurkan diri
sebagai Pangcu Kaypang puluhan tahun sebelumnya. Bersama tanda itu, juga secarik kertas surat diserahkan maha guru Kaypang ini.
"Dengan tanda ini, engkau memiliki kekuasaan untuk
mencampuri urusan Kaypang bila sangat mendesak.
Gunakanlah tanda ini dan kembalikan kepada pangcu generasi berikutnya setelah badai dunia persilatan ini mereda. Engkau berhak menentukan dimana akan tinggal dan melakukan apa setelah kemelut ini berakhir. Dan kertas itu, adalah tugasmu yang terakhir setelah kemelut usai, lakukan menurut isi surat tersebut. Boleh engkau baca saat ini, tetapi simpan rapat sampai suatu saat surat itu akan sangat dibutuhkan"
"Baik guru, tecu mengerti"
"Dan engkau Tek Hoat, gurumu menugaskanmu untuk ikut
serta dalam upaya memadamkan teror bagi dunia persilatan Tionggoan ini. Generasi kalian adalah harapan satu-satunya bagi dunia persilatan, jadi bertindaklah tegas dan menurut aturan. Adil dan menghormati kawan dan lawan, dan
menghukum mereka yang bersalah. Selain itu, engkau harus mewakiliku dalam pertemuan pendekar Tionggoan dengan
jago-jago Thian Tok, Lam Hay dan Bengkauw pada 3 tahun
kedepan. Dan selain itu, engkau kutugaskan untuk
menyampaikan pesan terakhirku kepada ji suhengmu Ciu Sian Sin Kay. Menurut mata batinku, Ji Suhengmu itu masih hidup di dunia ini dan sangat mungkin dia bertemu denganmu dalam pengembaraanmu. Sampaikanlah pesan dan titipan terakhir suhumu kepada dia" Sambil sang guru menyerahkan sebuah
bungkusan kecil, dalamnya nampak sebuah kitab kecil.
"Baik guru" Tek Hoat menyambut bungkusan kecil itu dan
menyimpannya dengan perasaan tak menentu. Gurunya,
memang benar-benar manusia aneh. Membicarakan masalah
kematian seperti masalah remeh lainnya saja, dan seenaknya menyuruh murid-muridnya melalukan sesuatu seakan tiada
kesedihan untuk melepasnya pergi. Tetapi, baik Tek Hoat maupun yok Sing tidak sanggup mengatakan apapun juga
kepada orang tua yang mereka kasihi dan hormati itu. Karena orang tua itu, berlaku seakan meninggalkan dunia seperti akan berpelesir saja.
"Nach, murid-muridku, semua yang mungkin dan bisa
kulakukan sudah kulakukan bagi Kaypang, bagi murid-muridku dan bagi dunia persilatan Tionggoan. Kalian harus
melepaskanku dengan lapang, dan kepergianku juga hanya
disaksikan murid-muridku. Semua kebesaran dan
penghormatan yang kalian maksud, tidak lagi menarik bagi gurumu ini. Lebih bermakna meninggalkan kalian dengan
melihat tekad kalian untuk berlaku yang terbaik bagi Pang kita dan dunia persilatan Tionggoan. Jika ada yang ingin kalian sampaikan pada kali terakhir ini, silahkan disampaikan. Tetapi, setelah itu gurumu meminta kalian keluar dan mengerahkan tenaga untuk meruntuhkan tebing didepan goa ini dan biarlah gurumu kemudian beristirahat selamanya dalam ruangan gua ini. Nah, Tek Hoat, apa yang ingin engkau sampaikan bagi gurumu buat yang terakhir kalinya?"
"Suhu, apakah tecu tidak lagi diperkenankan menghadap
engkau orang tua dihari hari mendatang" Tek Hoat
mengucapkannya dengan nada mengharu biru
"Anakku, untuk selanjutnya engkau tidak lagi menghadap
suhumu, tetapi menyambangi makam suhumu disekitar
tempat ini" ucap sang guru.
"Dan engkau Yok Siong?"
"Suhu, perkenankan tecu menyepi disekitar goa ini setelah kemelut dunia persilatan berakhir"
"Baik muridku, permintaanmu kukabulkan. Sekarang,
biarlah kalian berdua keluar. Waktuku rasanya juga sudah habis"
Selesai berkata demikian, Kiong Siang Han kemudian
nampak mengatur samadhinya, nampak sangat tenang dan
dihadapan kedua muridnya. Begitu seterusnya, sampai sekian lama, dan baru kemudian kedua murid itu sadar, kalimat
gurunya tadi adalah kalimat terakhir. Kalimat yang
menandakan berpulangnya seorang tokoh besar, legenda
terbesar Kaypang, seorang guru besar yang dihormat bukan hanya oleh anggota Kaypang, tapi bahkan oleh dunia
persilatan Tionggoan. Kepergian seorang tokoh besar dalam kesederhanaan dengan hanya ditunggui kedua orang
muridnya. "Suhu, biarlah tecu berjanji akan mempertaruhkan
kehormatan tecu untuk melaksanakan semua tugas yang
engkau orang tua embankan. Tanpa engkau tecu bukanlah
siapa-siapa, biarlah semua pesanmu orang tua, tecu lakukan tanpa membantah" Tek Hoat menyampaikan janjinya didepan jenasah suhunya dan kemudian perlahan-lahan beranjak
keluar gua setelah sekian lama memandangi dengan rasa haru jenasah gurunya yang pergi dengan tenang. Langkahnya
diikuti Sai Cu Lo Kay yang juga terharu mengiringi kepergian orang tua yang sangat dihormatinya. Seakan mengerti dengan kesedihan kedua orang murid yang ditinggal gurunya, di atas sana, sang mentari juga tidak memancarkan sinarnya dengan garang. Tetapi, sinarnya nampak kelabu, nampak muram,
semuram perasaan kedua anak murid yang ditinggalkan
gurunya itu. Dan, pada akhirnya, memenuhi permintaan terakhir guru
mereka, kedua murid itu nampak melepaskan masing-masing sebuah pukulan kearah tebing batu diatas gua peristirahatan guru mereka. Dan, kehebatan tenaga dalam mereka yang
tidak olah-olah, menggetarkan tebing itu, dan sebentar saja runtuhlah bebatuan besar yang menimpa gua dibawahnya dan menutupi untuk selama-lamanya gua tempat bersemadi
seorang guru besar dunia persilatan yang berpulang dalam kesederhanaan. Berpulang hanya dengan diiringi dan
ditunggui kedua muridnya, bahkan yang menolak upacara
kebesaran, sebesar nama yang pernah dipupuknya selama
masa hidupnya. Dan kini, dalam tebing itu, tersembunyi tubuh tua itu, tubuh renta yang banyak melakukan hal hal besar semasa hidupnya.
Manusia, betapapun hebatnya, betapapun saktinya,
betapapun baiknya, tetaplah manusia. Pada akhir
kehidupannya, tetap yang tertinggal adalah tubuh yang tidak kekal, tubuh yang akan diurai oleh alam untuk kembali
keharibaan alam semesta. Manusia, betapun hebatnya tetap akan tunduk oleh kekuasaan alam, karena belum ada manusia yang sanggup melawan takdir kehidupan, takdir usia dan
takdir lainnya yang digariskan untuk dilewatinya. Kepergian tokoh besar, Kiong Siang Han, tidaklah menggegerkan dunia persilatan, karena memang tidak dikehendakinya. Padahal, bila dia mau, Kaypang memiliki kesanggupan berlebihan untuk mendatangkan tokoh besar manapun di seluruh pelosok
persilatan Tionggoan. Bila diundang, atau tanpa diundangpun tokoh-tokoh gaib pasti akan muncul, demikian juga tokoh besar dunia persilatan lainnya. Tetapi, itu tidak dikehendaki sang guru besar yang luar biasa ini.
Kehormatan, prestasi, nama besar, pahala besar,
kesalehan, atau apapun namanya, tidak akan pernah
menghalangi jemputan maut bernama kematian. Sehebat
apapun kehormatan yang dipupuk seseorang dalam hidupnya tidaklah berkemampuan menunda sehari saja kematian
seseorang" Seharum apapun prestasi yang dicapai, sebesar dan seharum apapun nama seseorang, tidaklah menambahi
sedetikpun lama bernafas ketika kematian menjelang. Bahkan kesalehan seseorang, pun tidaklah menambah sehastapun
jalan kehidupan orang bersangkutan. Karena manusia,
tetaplah manusia yang fana, yang memiliki batas akhir
kehidupannya dan pada akhirnya harus kembali kealam yang memberikan kehidupan kepadanya. Tubuh itu, akan kembali menjadi tanah, diurai kembali oleh alam, dan dimanakah
kehebatan manusia atas alam jika sudah demikian" Manusia boleh mengutak-atik alam semaunya semasa hidupnya, tetapi alam pada akhirnya yang akan menerimanya kembali
keharibaannya sebesar apapun kerusakan yang disebabkannya selama hidup terhadap alam semesta.
Ketika dan manakala manusia manunggal dengan alam,
maka pada saat itu sebetulnya banyak dimensi kehidupan
yang lain yang ditemukan. Manusia berasal dan akan kembali kealam. Itu hukumnya, dan belum ada fakta yang menolak
kenyataan ini. Nafas kehidupan, makanan, cara beradaptasi, semua adalah kreasi alam yang kemudian dimodifikasi
manusia dalam hubungan antar manusia. Tetapi, di atas
semuanya, tidak ada suatupun yang mesti dikatakan
"terlepas" dari alam sama sekali. Karena semuanya
merupakan imitasi atau modifikasi dari apa yang ada dan tersedia dalam alam semesta. Adalah sebuah hikmah dan
karunia apabila harmonisasi manusia dan alam bisa terwujud.
Saat dimana manusia menyadari dirinya sebagai bahagian
alam semesta dan mengambil tindakan yang pantas dan
bermakna bagi kehidupannya dan serentak bagi alam
semesta. Dan bila itu bisa ditemukan, maka kematian
bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan "..!!
-0o~Marshall~DewiKZ~0oUpacara Duka di Siauw Lim Sie (2)
Sementara Tek Hoat dan Sai Cu Lo Kay berkabung karena
kematian gurunya, bahkan Tek Hoat besimpuh dan tidur di sekitar kuburan gurunya selama seminggu, di Siauw lim Sie seorang tokoh besar lainnya juga sedang menyongsong akhir kehidupannya. Kian Ti Hosiang. Sebagaimana Kiong Siang
Han, guru besar Siauw Lim Sie inipun menghabiskan waktu-waktu terakhirnya bersama kedua murid kembarnya, murid
penutupnya. Terlebih, karena kedua murid kembar ini, juga akan
ditugasi atas namanya untuk menertibkan dunia persilatan dan melandaskan masa depan Siauw Lim Sie dan kebesarannya di atas masa depan keduanya. Karena itu, tidak tanggung-tanggung guru besar ini mendidik, melatih dan
mempersiapkan kedua anak ini. Terlebih mendekati ajalnya, yang sebagaimana Siang Han, juga Kian Ti Hosiang sudah
mengerti dan tahu belaka, sampai dimana batas usianya.
Karena itu, seperti juga Kiong Siang Han, Kian Ti Hosiang memanfaatkan waktu tersisa untuk menyempurnakan Ilmu
kedua murid utamanya ini.
Pertemuan 10 tahunan yang terakhir telah menunjukkan
banyak kemungkinan baginya untuk bagaimana
mengembangkan dan melengkapi kedua muridnya ini.
Dibandingkan dengan ke-3 guru besar lainnya, Kian Ti Hosiang tidak kekurangan ilmu hebat dalam menggembleng murid-muridnya. Tetapi, justru karena itu, dia harus menetapkan dan memilih mana yang paling tepat bagi murid-muridnya sesuai dengan kondisi masing-masing murid tersebut. Dia sudah bisa membandingkan muridnya dengan anak muda lainnya, dan
mendapatkan gambaran kekurangan dan kelebihan muridnya.
Dan dengan cara itulah dia akan dan bahkan kemudian
mengembangkan, melatih dan mendidik mereka untuk
meningkatkan dan menyempurnakan kepandaian mereka. Baik bagi Souw Kwi Beng, maupun bagi Souw Kwi Song yang
berbeda karakter dan bahkan sudah dibuka kemungkinan lebih luas dalam penyempurnaan Ilmu mereka melalui pertukaran dengan Wie Tiong Lan. Pertukaran yang memungkinkan
kemungkinan yang lebih luas dan lebih luwes bagi semua
untuk meningkatkan dan menyempurnakan kepandaian
masing-masing. Terlebih, karena kemungkinan itu, sanggup melambungkan penguasaan anak-anak muda tersebut dalam
penghimpunan dan pengendalian tenaga sinkang masingmasing yang dengan sengaja memang ditingkatkan dengan
obat-obatan dan benda mujijat lainnya.
Ilmu-ilmu Siauw Lim Sie memang lebih kokoh dibandingkan Ilmu Kiang Sin Liong, Kiong Siang Han dan Wie Tiong Lan.
Namun kalah indah dan kalah variasi dibandingkan ilmu
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lembah Pualam Hijau, kalah garang dari Kay Pang dan kalah luwes dari Bu Tong Pay. Namun kemurnian Ilmu Silat memang harus dirujuk dan dicari ke Siauw Lim Sie, dan dengan dasar itulah Kian Ti Hosiang kemudian memperkuat dan
menyempurnakan ilmu kedua muridnya. Sebagaimana Mei Lan menerima warisan tenaga "yang" dan penggunaan Ban Hud
Ciang guna memupuk tenaga "yang" tersebut, kedua murid
kembar inipun memperoleh warisan tenaga "im" dan
pengendalian hawa model Liang Gie Sim Hwat Bu Tong Pay
dan dilatihkan dengan Thai Kek Sin Kun oleh Wie Tiong Lan.
Kondisi Wie Tiong Lan dan Kian Ti Hosiang memang lebih
dilematis, karena Ilmu yang mereka pertukarkan adalah
pusaka perguruan. Karena itu, ketiga anak muda itu, diminta berjanji dulu untuk tidak mempergunakan dan menurunkan
Ilmu tersebut bagi orang yang menjadi murid Siauw Lim Sie di pihak pendekar kembar atau Bu Tong Pay di pihak Mei Lan.
Dengan kata lain, ilmu yang dipertukarkan hanyalah
diperuntukkan bagi ketiga anak muda tersebut dan tidak untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka. Keputusan ini diambil setelah melalui perembukan yang dalam, dan khusus dilakukan untuk mempercepat kesempurnaan latihan anak-muda anak muda tersebut. Terutama, karena mereka juga
dipersiapkan untuk menghadapi badai dunia persilatan
Tionggoan. Ketika mendalami kembali kepandaian murid-muridnya,
Kian Ti Hosiang mendapati, bahwa terdapat kemungkinan
yang luar biasa yang dimungkinkan bagi kedua muridnya.
Yakni dengan mengembangkan hawa khikang mujijat yang
dimiliki Siauw Lim Pay, yang baru bisa didalaminya dalam diskusi mendalam dengan Wie Tiong Lan. Ilmu tersebut
adalah Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas
Yang Tidak Bisa Rusak) yang baginya sudah mencapai titik kesempurnaan. Penguasaan hawa khikang ini membuatnya
kebal senjata tajam dan bahkan kebal racun, bahkan bisa mencapai radius 5 hingga 10 meter.
Kian Ti Hosiang sendiri sudah mencapai titik kesempurnaan dalam penguasaan ilmu mujijat Siauw Lim Sie yang tidak
pernah bisa dikuasai oleh generasi murid Siauw Lim Sie
selama lebih 300 tahun terakhir. Secara mujijat, hawa khikang yang luar biasa ini malah terpupuk oleh murid kembar ini ketika menggodok diri mereka dengan penggabungan hawa
"yang" dan "im". Penggerakan kekuatan sinkang yang luar biasa ini, yang bahkan penyaluran hawa tersebut terbantu oleh arus Liang Gie Sim hwat, secara perlahan memupuk ilmu mujijat Siauw Lim Sie ini. Terutama ketika dalam puncak pengerahan ilmu Tay Lo Kim Kong Ciang dan Tay Lo Kim Kong Kiam yang mulai disempurnakan dengan pengerahan hawa
"im" yang diterima mereka dari Wie Tiong Lan.
Kian Ti Hosiang sendiri tidak bermimpi sebelumnya bahwa kedua muridnya ini akan mampu memupuk hawa khikang
tersebut sejak dini. Karena, dirinya sendiri baru mampu mengembangkan dan menyempurnakannya ketika banyak
berdiskusi dengan Wie Tiong Lan 50 tahun sebelumnya.
Capaian murid-muridnya betapapun merupakan keuntungan
luar biasa dan sangat menyenangkan padri tua ini. Dan dia tidak menyangka kalau peleburan hawa itu memiliki
kemungkinan yang lebih banyak dari yang mereka ber-4 tokoh gaib itu bayangkan.
Hari-hari terakhir, saat Kian Ti Hosiang menyadari bahwa saatnya semakin dekat, dengan gembira ditemukannya bahwa kedua muridnya sudah mampu menguasai hampir setengah
bagian Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas
Yang Tidak Bisa Rusak). Dengan Ilmu itu, mereka sudah
mampu bereaksi untuk menolak racun, meski belum otomatis.
Tapi kepekaan tubuh terhadap racun sudah sangat tinggi.
Dan, pengerahan kekuatan hawa khikang ini, sudah sanggup menahan tusukan dan tebasan senjata tajam dari tokoh
tingkat satu dunia persilatan.
Bahkan kedua muridnya sudah sanggup memainkan Thai
Kek Sin Kiam dan Thai Kek Sin Kun secara sempurna dan
memberi efek bantuan yang sangat besar dalam menguasai
ilmu khikang mujijat Siauw Lim Sie tersebut. Justru itulah keuntungan terbesar kedua pendekar kembar, selain
memperoleh tambahan jurus sakti lain dalam penggabungan penggunaan Thai kek Sin kun dan Thai kek Sin Kiam. Dengan gembira Kian Ti Hosiang melihat bahwa tinggal masalah waktu bagi kedua muridnya untuk mencapai tingkat yang jauh lebih sempurna lagi. Dan itu tinggal masalah ketekunan dalam
berlatih dan penghimpunan tenaga sinkang yang lebih tinggi dan sempurna lagi. Yang pasti, semua ilmu mujijat yang
dilatihkannya kepada muridnya, termasuk jurus maut terakhir ciptaannya Pek-in Tai-hong-ciang (Pukulan Tangan Awan Putih Angin Taufan) sudah bisa diserap dan dilatih secara baik oleh kedua murid penutupnya.
Dengan kedua muridnya sudah menguasai ilmu khikang
mujijat Siauw Lim Sie meski belum sempurna, Kian Ti Hosiang sudah merasa aman dan tenang untuk meninggalkan
muridnya dan bahkan Siauw Lim Sie. Kedua muridnya sudah nyaris tanpa tanding di lingkaran Siauw Li Sie, bahkan
dibandingkan dengan Ciangbunjin Siauw Lim Sie di Siong San dan di Poh Thian sekalipun.
"Murid-muridku, nampaknya tugas suhumu sudah berakhir.
Karena kalian berdua sudah sanggup secara sempurna
menyerap dan menyempurnakan Ilmu yang diajarkan gurumu.
Lebih dari itu, pelajaran keagamaan kalian juga tidak lagi cetek. Sebetulnya, gurumu tidak ingin mengikat kalian dengan Siauw Lim Sie, dan membiarkan kalian memutuskannya kelak, tetapi keadaan dunia persilatan membuat mau tidak mau
kalian mesti berjuang di bawah panji Siauw Lim Sie. Lebih dari itu, semua ilmu kalian, selain hadiah Pek Sim Siansu adalah murni ajaran asli Siauw Lim Sie. Karena itu, kebesaran Siauw Lim Sie mau tidak mau adalah tanggungjawab kalian berdua juga" Kian Ti Hosiang yang anehnya wajahnya malah
"mentereng" dan segar itu, berhenti sejenak guna memberi pesan terakhir bagi kedua muridnya yang nampak duduk
menghadapnya dengan khusuk.
"Usia suhumu sudah tidak panjang lagi, bahkan tinggal
dihitung dengan jari tangan. Bahkan nampaknya, Kiong
Pangcu, sudah terlebih dahulu meninggalkan dunia ini. Dan sebentar lagi giliran suhumu"
"Suhu, apa maksud perkataanmu, apakah?" Kwi Song
menyela dengan perasaan kaget dan terenyuh.
"Song Jie, setiap manusia memiliki batas akhir
kehidupannya. Tidakkah engkau melihat betapa gurumu telah teramat jauh melintasi jalan kehidupan ini?"
"Tapi suhu, engkau orang tua khan masih nampak segar"
"Nampak segar bukan berarti tidak akan melewati batas itu bukan?"
Kedua murid itupun terdiam dengan perasaan tak menentu.
Sudah tiba saat mereka akan bepisah dengan gurunya yang sangat berbudi, satu-satunya orang tua yang mereka kasihi dan mereka miliki sampai saat ini. Siapa yang tidak tersentak menghadapi hal tersebut?"
"Nah, karena itu, kuatkanlah hatimu dan dengarkanlah
pesan-pesan terakhir gurumu. Bila mata batinku tidak keliru, dalam waktu sangat dekat kalian berdua akan bertemu dan menghadapi seorang tokoh besar yang bahkan kepandaiannya masih diatas kalian berdua. Dia atau mereka, adalah bagian dari persoalan gurumu pada masa lalu, yang sayangnya harus kalian hadapi dan selesaikan. Dan ingatlah, tokoh-tokoh semacam itulah yang akan kalian hadapi dalam
menenteramkan dunia persilatan dari badai pembunuhan yang sangat mengerikan ini. Garis alam telah menunjuk generasi kalian dan bukan generasi gurumu lagi. Dan, memang,
masing-masing generasi memiliki tugas dan
tanggungjawabnya sendiri-sendiri" Sampai disini Kian Ti Hosiang nampak kembali berdiam diri sejenak. Dan ketika itu dimanfaatkan Kwi Song untuk bertanya,
"Apakah tecu berdua sudah layak memikul tugas berat itu suhu?"
"Selama 2 tahun terakhir ini gurumu telah menyiapkan
kalian dan sudah memuaskan perasaan hatiku, terlebih setelah kalian membekal juga Ilmu Baju Emas yang mujijat itu. Hal itu membuatku rela dan siap meninggalkan dunia ini. Bicara
kepandaian, yang mampu mengimbangi kalian sudah sangat
terbatas. Meskipun demikian, diperlukan latihan lebih tekun dan pengalaman yang lebih luas untuk dengan leluasa
menggunakan dan menguasai kepandaian-kepandaian
tersebut" "Bagaimana jika dibandingkan dengan Thian Suheng di Poh Thian suhu?" Kwi Beng turut bertanya.
"Suheng kalian itu, memiliki bakat tidak di bawah kalian.
Suhumu percaya, diapun mengalami kemajuan hebat setelah bertemu kalian berdua. Tetapi, dengan penguasaan ilmu-ilmu terakhir, rasanya suhengmupun tidak lagi mampu
mengimbangi kalian", jawab Kian Ti Hosiang, untuk kemudian melanjutkan
"Beng Jie, suhengmu di Poh Thian nampaknya penujui
dirimu untuk menggantikannya di Poh Thian. Tetapi,
semuanya biar tergantung keputusan dan perjalanan
hidupmu. Untuk saat ini, belum tepat bagimu mencukur
rambutmu, terlebih hanya karena pesan dan perintah gurumu.
Menjadi pendeta Siauw Lim Sie, harus karena "panggilan" hati dan hidupmu, bukan karena paksaan dan perintah orang lain.
Tetapi engkau Song Jie, nampaknya engkau tidak berjodoh menjadi Pendeta Siauw Lim Sie, karena itu engkau kutugaskan dan kuterima sebagai murid preman Siauw Lim Sie. Tetapi, semua aturan Siauw Lim Sie tetap akan mengikatmu,
dimanapun dan kapanpun. Dalam urusan-urusan mendesak,
maka engkau wajib membela Siauw Lim Sie dan wajib
memberitahukan Ciangbunjin bila ingin menerima murid dan menurunkan Ilmu Pusaka Siauw Lim Sie".
"Baik suhu"
"Dan, selain tugas berat untuk menangani badai dunia
persilatan, kalian berdua juga mewakili gurumu dalam
pertemuan antara Pendekar Tionggoan melawan Pendekar
dari Bengkauw, Lam Hay Bun dan Thian Tok. Kalian mewakili suhumu untuk datang dalam pertemuan itu 3 tahun
mendatang dan bergabung dengan anak murid Kiong Pangcu, Kiang Bengcu dan Pek Sim Siansu. Pertemuan itu sudah
berulang kali kujelaskan kepada kalian, jadi seharusnya sudah dipahami. Terutama menghadapi lawan dari Thian Tok,
nampaknya kalian mesti sangat awas, karena ajaran aslinya tidak jauh berbeda dengan Siauw Lim Sie. Sementara
Bengkauw dan Lam Hay nampaknya sudah pernah kalian
saksikan kehebatan mereka. Nah, hari ini adalah hari terakhir gurumu, setelah selesai pertemuan kita ini, kalian sampaikan kepada Ciangbunjin bahwa gurumu tidak menginginkan
penghormatan berlebihan, lakukan seadanya bersama
keluarga besar Siauw Lim Sie dengan tidak berlebihan
melepas kepergian gurumu. Tetapi, semua memang akan
terserah kepada Ciangbunjin. Mengenai hal itu dan status kalian berdua, sudah suhumu persiapkan. Beng Jie, engkau menyerahkan surat ini kepada Ciangbunjin" Kian Ti Hosiang kemudian berhenti bicara dan menyerahkan sebuah surat
tertutup untuk disampaikan kepada Siauw Lim Sie
Ciangbunjin. "Baik suhu, tecu akan melakukan permintaan suhu" Kwi
Beng bicara dengan suara begetar sambil menerima surat dari gurunya. Siapa pula yang tidak tergetar perasaannya
mendengar orang yang dikasihinya akan "pergi", dan
berbicara masalah kepergian itu demikian datar dan bahkan demikian lancar, seakan bukan sebuah peristiwa penting.
Tetapi, manusia sepuh seperti Kian Ti Hosiang,
sebagaimana juga Kiong Siang Han, manusia yang telah
"tahu" batas usianya, membicarakan kematian sama dengan membicarakan perjalanan lebih lanjut dari apa yang
dinamakan "kehidupan". Keadaan Kwi Song, tidak jauh
berbeda dengan keadaan kakak kembarnya, sangat terenyuh dan kehilangan kemampuan berkelakarnya. Tidak mampu
bicara banyak karena gurunya yang banyak bicara dan terlihat sangat menikmati perjalanan baru yang akan dilakukannya.
Dan waktu itu, lebih mengejutkan lagi adalah hari ini, dan pertemuan saat itu adalah pertemuan terakhir. Siapa tidak tersentak, siapa tidak terguncang"
"Nach, murid-muridku, pesanku untuk kalian berdua sudah selesai. Pesan lain, untuk bagaimana berlaku sebagai manusia dan sebagai pendekar Siauw Lim Sie, sudah kalian resapi lama. Ingatlah sekali lagi, diatas langit masih ada langit, kepandaian kalian jangan membuat kalian tekebur. Jangan merasa lebih hebat dari yang lain, tapi gunakan untuk
kepentingan umat persilatan. Suhumu percaya penuh dengan kalian berdua, dan Ciangbunjin akan gurumu titipi pesan dan wewenang untuk mengawasi kalian berdua. Bila salah satu dari kalian berdua menyeleweng dari kebenaran, maka tanda kehadiran suhumu akan digunakan untuk mengekangnya. Tapi gurumu percaya, kalian tidak dan bukan manusia yang
gampang disesatkan. Sebagai persiapan terakhir, marilah kalian mendekat, meski kalian belum cukup menandingi
pendatang itu, tetapi biarlah bekal terakhir ini mampu
membuatnya berpikir untuk bertindak lebih jauh. Duduklah mendekatiku, tetapi setelah selesai, segera tinggalkan tempat ini dan laporkan keadaan gurumu kepada Ciangbunjin" Kian Ti Hosiang kemudian memanggil mendekat kedua muridnya, dan tangan kanannya terulur kepunggung Kwi Beng, sementara
tangan kirinya ke punggung Kwi Song. Keduanya memang
diminta untuk membelakanginya.
Dan tidak lama kemudian segulung arus yang tidak
terkatakan mengalir ke pusat penguasaan sinkang kedua
pendekar kembar ini. Sambil terdengar bisikan Kian Ti
Hosiang, "Tenaga ini, jangan dulu dibaurkan kedalam proses
pembauran tenaga mengikuti aliran Liang Gie atau proses pembauran dari Jawadwipa. Gunakan untuk menghadapi si
pendatang dalam waktu dekat ini, baru kemudian lakukan
sebagaimana biasanya"
Proses tersebut berlangsung selama kurang lebih 1 jam,
proses pemindahan kekuatan sinkang secara instant, yang akan membuat si penyalur tenaga akan mengalami kerugian luar biasa dan akan sangat menguntungkan yang disaluri
tenaga tersebut. Dan nampaknya, Kian Ti Hosiang yang
mengerti bahwa batas umurnya sudah tiba, memang sudah
merencanakannya sejak lama. Bahkan semakin bulat tekadnya itu setelah mata batinnya membisikkan sesuatu yang perlu ditangani oleh kedua muridnya dalam waktu dekat ini. Itulah sebabnya Kian Ti Hosiang memutuskan memperkuat kedua
muridnya dengan cara ini, sekaligus juga mempercepat proses
"kepergiannya". Dan memang, setelah sejam lebih dia
melakukan proses transfer tersebut, kedua tangannya merosot dan terkulai dari punggung kedua muridnya. Tetapi, masih sanggup dia bersedekap dalam posisi duduk bersamadhi, dan kemudian berbisik kepada kedua muridnya:
"Sudah selesai, dan ingatlah semua pesanku untuk kalian berdua. Keluarlah, dan mulai lakukan tugasmu" Itulah bisikan
"hidup" terakhir yang pernah didengar kedua pendekar
kembar itu dari gurunya. Karena setelah itu, tidak nampak lagi cahaya kehidupan dari wajah dan tubuh pendekar gaib dari Siauw Lim Sie ini. Kwi Beng dan Kwi Song berlutut lama, sangat lama didepan jasad gurunya, atau pengganti orang tua yang mendidik dengan penuh hati, penuh kasih dan bahkan merenggut hidup mereka dari malaikat elmaut. Kepada orang tua inilah bakti mereka sebagai bukan hanya murid, tetapi bahkan sebagai anak mereka tunjukkan. Tetapi, mereka tidak lagi menangis, tetapi membulatkan tekad untuk tidak
mempermalukan orang tua saleh yang membimbing mereka
dengan keras dan penuh kasih.
Setelah sanggup membenahi diri dan perasaan mereka,
baru kemudian keduanya bangkit berdiri untuk kemudian
memberitahu Ciangbunjin Siauw Lim Sie. Hari ini, berselang mungkin 10 hari dari kepergian Kiong Siang Han, dunia
persilatan Tionggoan kembali melepas salah satu tokoh yang dibanggakannya. Seorang tokoh besar yang memimpin Siauw Lim Sie dalam kesalehannya dan banyak membantu dunia
persilatan Tionggoan semasa hidupnya. Siauw Lim Sie selama 100 tahun terakhir, nyaris identik dengan kebesaran guru besar yang saleh dan maha sakti ini. Jarang bahkan murid Siauw Lim Sie sendiri mengerti dan mampu menjajaki sampai dimana kesaktian tokoh ini. Tokoh yang kini telah berpulang KIAN TI HOSIANG.
-0o~Marshall~DewiKZ~o0Tetapi, Ciangbunjin Siauw Lim Sie sangatlah berbeda
dengan Pangcu Kaypang. Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang
diberitahu kematian Kian Ti Hosiang. Dengan segera dia
mengadakan rapat dengan para sesepuh Siauw Lim Sie, dan semua sepakat untuk menghormati jenasah guru besar
mereka melalui penghormatan besar sesuai sistem yang
berlaku di Siauw Lim Sie. Dengan kata lain, pesan Kian Ti Hosiang untuk diperabukan secara sederhana justru diabaikan.
Bahkan, pada hari itu juga, pesan dan undangan bagi semua tokoh dunia persilatan, termasuk perguruan besar langsung dilayangkan.
Kian Ti Hosiang adalah Guru Buesar, maha Guru terakhir
yang dimiliki kuil ini, masakan tidak dilakukan penghormatan besar baginya" Wajar bila kuil Siauw Lim Sie
memperlakukannya secara istimewa, karena namanya sangat harum dimata baik kawan maupun lawan. Bahkan dia menjadi salah satu tiang dan tonggak kebanggaan Tionggoan pada
masa lalu. Tidak ada yang bisa dan mampu membenarkan
pesan Kian Ti Hosiang, termasuk juga kedua murid
kembarnya, bahwa upacara sederhana yang lebih baik. Semua sesepuh partai memutuskan dan sepakat untuk mengadakan
penghormatan besar-besaran yang terakhir untuk melepas
guru besar ini.
Dan, nyaris tidak mungkin ada perguruan besar maupun
kecil yang sanggup dan mampu menolak undangan Siauw Lim Sie. Semuanya, mulai dari Perguruan ternama semisal Lembah Pualam Hijau, Bu Tong Pay, Kaypang yang juga sedang berduka tetapi tidak disebarluaskan, Cin Ling Pay dan Go Bi Pay yang sedang hancur juga malah mengirim utusan, Thian San Pay, Kun Lun Pay dan semua perguruan besar sudah
memutuskan datang. Juga Benteng Keluarga Bhe,
Perkampungan keluarga Yu, serta perguruan terkenal lain juga bersiap mengirimkan utusan. Bahkan pendekar-pendekar
utama dan kelas satupun sudah meluruk datang untuk
memberikan penghormatan terakhir bagi Kian Ti Hosiang.
Sungguh sebuah peristiwa besar yang diputuskan dan
disiapkan Siauw Lim Sie bagi Kian Ti Hosiang, sesuatu yang nampaknya sudah diduga Kian Ti Hosiang. Sebagai mantan
Ciangbunjin Siauw Lim Sie dia mengerti tradisi Kuil itu menghormati tokohnya. Karena yang bisa memutuskan jenis upacara bukanlah yang bersangkutan, tetapi pimpinan Siauw Lim Sie bersama dengan sesepuh dan tetua partai. Dan
kebetulan Kian Ti Hosiang adalah tokoh yang dituakan dan bahkan menjadi symbol kebangkitan dan kebanggaan Siauw
Lim Sie puluhan tahun terakhir ini.
Malam itu adalah malam kedua jasad Kian Ti Hosiang
disemayamkan di sebuah ruangan khusus di Siauw Lim Sie.
Ruangan jasad itu dijaga oleh beberapa pendeta Siauw Lim Sie, tetapi didalamnya di sisi kiri dan kanan peti jasad nampak bersimpuh kedua murid Kian Ti Hosiang, Souw Kwi Song dan Souw Kwi Beng. Mereka nampak bersimpuh terus dan
beristirahat juga nampaknya secara bergantian dengan
melakukan Samadhi. Karena itu, siapapun tokoh atau orang yang berkehendak masuk, pastilah akan dengan mudah
diketahui oleh salah satu dari kedua anak muda ini.
Tetapi, sungguh luar biasa, tengah malam itu tanpa angin tanpa hujan dan tanpa diketahui kedua anak muda itu, justru sudah berdiri 2 orang kakek tua yang semua rambut mereka sudah memutih. Siapa lagi kedua orang tua luar biasa yang sanggup melakukannya jika bukan Wie Tiong Lan Pek Sim
Siansu dan Kiong Sin Liong dari Lembah Pualam Hijau"
Sudah tentu, baik Kwi Beng maupun Kwi Song maklum
belaka siapa kedua orang tua itu. Malah mereka menyambut kedua orang tua sakti itu dengan penghormatan dan
mengucapkan kata-kata terima kasih atas nama Siauw Lim Sie dan guru mereka. Seterusnya mereka membiarkan kedua
orang tua itu melakukan penghormatan terakhir dengan wajah yang tidak mengesankan apa apa, selain kelembutan yang
terpancar dari wajah mereka. Seterusnya, Kiang Sin Liong yang memberi penghormatan lebih dahulu kemudian berujar setelah berdiri didepan jasad itu:
"Engkau telah menyelesaikan tugasmu Kian Ti Hosiang.
Kedua anak muridmu telah menunjukkan buah kerjamu, dan
Siauw Lim Sie telah memancarkan sinar kerja kerasmu"
kemudian dia memandang kedua anak muda kembar itu dan
berkata: "Lohu bisa melihat, kalian berdua sudah lebih dari cukup untuk mewakili guru kalian. Kionghi ". dan selamat tinggal"
dan tubuh itupun raib dari pandangan kedua anak muda itu bagaikan lenyap begitu saja. Begitupun ketika Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan melakukan upacara yang sama dan pujian yang sama untuk rekan seangkatan yang mendahuluinya. Bahkan
terhadap kedua akak beradik itu, dia hanya berguman:
"Tanpa mencoba, hanya melalui sinar mata kalian berdua, lohu yakin kalian sudah berhasil. Berjagalah, akan ada yang berusaha mengganggu, tetapi nampaknya Kian Ti si Pendeta Saleh itu sudah menyiapkan kalian" Dan sebagaimana
datangnya, begitu juga perginya kakek sakti ini, seperti juga Kiang Sin Liong. Mereka berdualah yang menjadi tamu pelayat pertama yang memberi penghormatan terakhir buat Kian Ti Hosiang, dan kedua pendekar kembar itu maklum, bahwa
kehadiran mereka memang tidak untuk diberitahukan kepada siapapun. Karena itu, merekapun tidak pernah memberitahu siapa saja, kecuali Ciangbunjin Siauw Lim Sie perihal
kedatangan mereka.
"Siancai siancai, ternyata mereka para pendekar ajaib
Tionggoan masih saling berhubungan. Sungguh kurang sopan punco tidak menjumpai dan menghormati kedatangan kedua
orang tua luar biasa itu" sesal Ciangbunjin ketika diberitahu Kwi Beng perihal kedatangan Kiang Sin Liong dan Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan. Ciangbunjin tahu belaka reputasi dan kehebatan kedua orang tua yang angkat nama bersama Kian Ti Hosiang, karenanya diapun merasa menyesal tidak sempat menemui kedua orang tua itu. Meskipun begitu, dia maklum bahwa tokoh sekaliber kedua orang tua itu, memang pastilah tidak lagi ingin publikasi atau pamer dan memilih untuk melayat sobat mereka dengan cara mereka sendiri. Tetapi, Kwi Beng kemudian menambahkan:
"Ciangbunjin, kedua orang tua itu juga mengingatkan
bahwa akan ada pengganggu jasad suhu dan memerintahkan
jiwi tecu untuk berjaga-jaga"
"Siancai siancai, memang bukan tidak mungkin. Biarlah
nanti malam punco juga akan ikut berjaga sejenak di tempat ini. Dan sebaiknya kalian berdua juga benar, meningkatkan kewaspadaan" ucap Ciangbunjin dan kemudian berlalu untuk mengatur banyak hal.
Dan sepanjang siang hingga menjelang malam, lebih
banyak lagi kemudian para pelayat yang datang memberi
penghormatan terakhir. Gunung Siong San secara tiba-tiba menjadi sangat ramai pengunjung meski dengan wajah
muram melepas kepergian tokoh besar Tionggoan itu. Bahkan menjelang sore hari ketiga kematian Kian Ti Hosiang, tiba-tiba muncul kabar dari bawah gunung bahwa Bengcu Dunia
Persilatan Tionggoan berkenan melayat. Dan, belum lagi
persiapan menyambut kedatangan bengcu dilakukan, duta
perdamaian 1 dan 6 sudah melesat tiba di depan Kuil Siauw Lim Sie. Dan berturut-turut tidak lama kemudian menyusul 4
duta perdamaian yang lain.
Ke-6 Duta Perdamaian ini selalu harus mendampingi
Bengcu ketika melakukan perjalanan dalam dunia persilatan.
Dan beberapa saat kemudian nampak 3 sosok tubuh melesat dating dan kemudian berhenti di depan Kuil Siauw Lim Sie.
Ternyata, Kiang Ceng Liong mengadakan perjalanan ke Siong San bersama Liang Mei Lan dan Siangkoan Giok Hong.
Nampaknya mereka disambut langsung oleh Ciangbunjin
Siauw Lim Sie dan yang kemudian menyapa mereka lebih
dahulu: "Siancai siancai, selamat datang di Siauw Lim Sie Kiang Bengcu. Dan, siapa pula kedua nona ini?"
"Tecu Liang Mei Lan mewakili suhu Pek Sim Siansu datang melayat suhu Kian Ti Hosiang"
"Tecu, Siangkoan Giok Lian, mewakili Bengkauw Kawcu
memberi penghormatan terakhir bagi suhu Kian Ti Hosiang"
"Siancai siancai, benar-benar alpa. Punco kedatangan
tamu-tamu agung mewakili perguruan dan perkumpulan
besar. Baik, mari Kiang bengcu, Liang Kouwnio dan Siangkoan Kouwnio" Sang Ciangbunjin yang didampingi beberapa tokoh Siauw Lim Sie kemudian mengundang mereka ke ruang jasad Kian Ti Hosiang dan memberi penghormatan bagi guru besar itu. Tetapi, karena kondisi, Kiang Ceng Liong tidak sempat bercakap dengan Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song yang
gembira melihat kedatangan mereka bertiga. Untuk
menghormati rombongan Bengcu Tionggoan, Ciangbunjin
menyiapkan ruangan istirahat khusus bagi ketiga tamu
terhormat tersebut.
Berturut-turut, sore hari itu juga menyusul datang tamu-tamu dari perguruan besar. Ciangbunjin Bu Tong Pay datang dengan ditemani Jin Sim Todjin dan bahkan Sian Eng Cu
Tayhiap dan beberapa anak murid Bu Tong Pay juga ikut
mengawal dan menyertainya. Sudah tentu rombongan ini
disambut dengan penuh kehormatan dan ucapan terima kasih dari Ciangbunjin Siauw Lim Pay. Bahkan sore itu, masih juga bermunculan utusan dari Tiam Jong Pay yang diwakili Wakil Ciangbunjin, kemudian juga menyusul Ciangbunjin Kun Lun Pay dan beberapa tokoh kenamaan rimba persilatan. Sore
menjelang malam, jumlah pelayat di Siong San bertambah
secara drastis dan membuat penjagaan di Gunung itu
bertambah ketat. Bahkan Ciangbunjin Siauw Lim Sie sendiri tidak sempat beristirahat dan selalu bersiaga, sambil tentu menerima tamu yang datang melayat.
Para pelayat baru berhenti berdatangan ketika matahari
sudah terbenam, dan bahkan ruangan tempat persemayaman
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jasad Kian Ti Hosiang ditutup menjelang jam 9 malam. Tetapi, baik kedua pendekar kembar maupun Siauw Lim Sie
Ciangbunjin masih tetap dalam siaga penuh. Pesan Kian Ti Hosiang dan peringatan kedua guru besar yang melayat
malam sebelumnya, juga telah membuat mereka menjadi
dalam keadaan siaga penuh. Sementara itu, Kiang Ceng Liong yang beristirahat di kamar tamu, ruang yang sama yang
pernah digunakan ayahnya, Kiang Hong, nampak sedang
bersamadhi menghimpun kembali semangat dan tenaganya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Liang Mei Lan dan
Siangkoan Giok Lian. Beberapa hari mereka menempuh
perjalanan siang dan malam ke gunung Siong San ini setelah menerima kabar kematian Kian Ti Hosiang. Dan malam ini, adalah malam pertama mereka bisa menikmati istirahat secara penuh dan bahkan membebaskan mereka dari mengejar
sesuatu kearah gunung Siong San.
Tetapi menjelang tengah malam, perasaan Ceng Liong
seperti tergugah. Firasat dan instingnya memang mengalami kemajuan yang luar biasa kahir-akhir ini, terutama sejak melatih ilmu batin tingkat tinggi dan dilontarkan melalui mata dibawah arahan Kian Ti Hosiang dan gurunya. Dengan cepat dia sadar dan memusatkan perhatiannya, dan dengan cepat dia juga sadar bahwa akan ada "pendatang" di kuil ini pada tengah malam nanti.
Dan, menilik suasana, maka kedatangan tamu aneh ini
nampaknya akan terjadi sebentar lagi. Hanya, karena
maksudnya kurang jelas, maka Ceng Liong menjadi terjaga dan waspada, meskipun dia tahu bahwa gunung Siong San ini adalah sarangnya Naga dan harimau. Gudangnya Ilmu Silat Tionggoan dan apalagi di ruangan jasad disemayamkan, dia tahu dijaga dua anak muda sakti binaan langsung Kian Ti Hosiang.
Tetapi, godaan dan ketukan pada firasat dan mata batinnya cukup kuat. Dan menurut gurunya, hal itu menandakan bahwa sesuatu atau seseorang yang akan datang berarti sangat
hebat. Meski pesan itu sangat halus dan dalam gelombang perasaan yang tidak berbentuk fisik, tetapi peringatan yang disampaikannya bisa membuat orang gelisah. Menyadari hal itu, Ceng liong kemudian berinisiatif untuk bangun dan
kemudian mengenakan pakaian ringkas. Dan kebetulan
ruangan jasad disemayamkan tidaklah jauh dari tempat dia menginap dan beristirahat. Karena itu dengan langkah ringan, dia kemudian mendekati pintu ruangan yang dijaga beberapa pendeta Siauw Lim Sie itu. Dia bahkan disapa lebih dahulu oleh Pendeta yang berjaga itu:
"Selamat malam Bengcu, adakah sesuatu yang penting
yang perlu kami Bantu?"
"Terima kasih suhu, bisakah aku bertemu sebentar dengan kedua sahabatku Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song
didalam" nampaknya sesuatu yang penting akan terjadi"
jawab Ceng Liong.
"Mari, silahkan bengcu. Kebetulan, Ciangbunjin juga sedang menemani kedua Susiok didalam"
Begitu memasuki ruangan, Ceng Liong terkesiap ketika
melihat keempat orang yang berada didalam ruangan sedang dalam keadaan siaga. Tetapi, ketegangan cair ketika kemudian Siauw Lim Sie Ciangbunjin melihat Ceng Liong yang masuk dan menyapanya dengan ramah:
"Siancai siancai, Kiang Bengcu, ada apakah gerangan
malam-malam begini masih belum istirahat"
"Losuhu, dan kedua sahabat Souw, entah mengapa aku
mendapatkan firasat kurang enak terkait dengan jenasah
losuhu Kian Ti Hosiang. Getarannya agak kuat dan
membuatku merasa ingin memperingatkan Ciangbunjin dan
kedua sahabat Souw" bisik Ceng Liong lirih dan mengejutkan Ciangbunjin. Semuda ini tetapi telah memiliki kepekaan bathin yang tinggi, sungguh luar biasa. Tanpa disadarinya,
kekagumannya atas Ceng Liong meningkat lebih dari sekedar melihatnya sebagai Bengcu.
"Ceng Liong, sebetulnya gurumu dan juga Pek Sim Siansu
locianpwe telah memperingatkan kami semalam sebelum
engkau datang" Kwi Song menjawab ramah.
"Ach, Kwi Song, dia orang tua juga sudah datang?"
"Benar, bahkan bersama Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan"
jawab Kwi Song "Dan, tokoh seperti apakah yang mereka orang tua
maksudkan akan datang?"
"Entahlah, tetapi menurut suhu, orang itu bahkan sangatlah sakti dan digdaya. Suhu berpesan menjelang ajalnya" kali ini Kwi Beng yang menjelaskan.
"Hm, luar biasa jika demikian. Ciangbunjin suhu, dan
saudara Kwi beng dan Kwi Song, jika diperkenankan, bolehkah siauwte juga menemani kalian dalam menyambut tamu agung tersebut?" Ceng Liong bertanya.
"Siancai siancai, didampingi Kiang Bengcu tentu membuat kami menjadi lebih merasa tenang. Silahkan Kiang bengcu"
Siauw Lim Sie Ciangbunjin malah senang dengan pengajuan diri Ceng Liong. Dan akhirnya, mereka berlimapun kemudian melakukan Samadhi di seputar peti jenasah Kian Ti Hosiang, menunggu kedatangan tokoh hebat yang diperingatkan para tokoh besar itu. Tapi, siapakah mereka yang gerangan datang itu"
-0o~Marshall~DewiKZ~o0Tengah malampun lewatlah sudah. Suasana menjadi
semakin menegangkan, terutama dalam ruangan jenasah itu.
Bahkan cenderung semakin menyeramkan, karena
penerangan sangat temaram atau minim cahaya, sementara
bau dupa juga cukup menusuk. Di luar kuilpun tidak terdengar apa-apa selain semilir angin yang berhembus, tidak terdengar sama sekali adanya suara-suara asing lain yang mencurigakan selain suara alam.
Tetapi, ketengangan dan kesunyian itu, justru menjadi
semakin mencurigakan. Terlebih, 5 orang yang berada dalam ruangan itu, sontak seperti diserang oleh sebuah kekuatan hitam yang tidak terlihat. Sebuah kekuatan yang pasti
terlontar dari jarak tertentu dan nampaknya dikhususkan untuk menyerang ruangan persemayaman jenasah ini. Tetapi, kelima orang dalam ruangan itu bukanlah manusia-manusia biasa, tidak. Sebaliknya malah. Mereka sudah berjaga sejak tadi, sudah sangat siaga dengan keadaan yang sunyi
mencekam tersebut. Karena itu, serangan ilmu yang mencoba merusak konsentrasi mereka dan membuat mereka tertidur
bisa dengan muda ditangkis. Satu-satunya yang terganggu, hanya orang kelima, seorang pendeta yang dipanggil
menemani Ciangbunjin di ruangan itu.
-0o~Marshall~DewiKZ~0oUpacara Duka di Siauw Lim Sie (3)
Dan tiba-tiba sebuah getaran suara berpengaruh berbisik dan mengalun di ruangan itu, dan membuyarkan kekuatan
hitam yang menyerang:
"Bersiaplah ". nampaknya mereka sudah datang"
Suara Ceng Liong itu memang perlahan saja, mengaung
dan mengambang, tetapi telah membantu pendeta disamping Ciangbunjin yang nampak agak terganggu dengan serangan
tersebut. Dan bahkan Ciangbunjin Siauw Lim Sie sendiri
sampai kagum oleh alunan suara mengambang yang
dikeluarkan Ceng Liong mengimbangi serangan ilmu tersebut.
Dan, seusai suara Ceng Liong sirna, tahu-tahu di dalam
ruangan itu sudah bertambah dengan dua orang manusia
dengan dandanan yang nyaris sama " dandanan pendeta,
hanya pendeta dari Tibet yang terkenal dengan nama Lhama Tibet. Bahkan sebuah suara lirih yang hanya terdengar semua orang dalam ruangan itu segera terdengar:
"Selamat bertemu kembali Kiang Bengcu. Maaf, lohu harus menyelesaikan sebuah kewajiban lain buat toa suhengku,
untuk kemudian menyelesaikan kewajibanku kepadamu"
Kiang Ceng Liong memandang wajah para pendatang, dan
segera maklum ternyata salah seorang pendatang adalah
Bouw Lim Couwsu yang dikalahkannya secara tipis di
Perkampungan Keluarga Yu daerah Lok Yang. Dan jika
kawannya yang datang adalah toa suhengnya, berarti
pendatang yang satu lagi tentunya adalah Bouw Lek Couwsu.
Dan terkaan Ceng Liong sama sekali tidak salah. Orang itu, Bouw Lek Couwsu, berperawakan tinggi besar dan nampak
menyeramkan dengan dandanan Lhama Tibet. Dia kemudian
berjalan menuju peti mati setelah hanya mengerling Ceng Liong dan tokoh lain yang duduk dalam ruangan tersebut.
Kemudian terdengar suaranya, yang juga hanya
berkuamandang dalam ruangan itu:
"Hm, Kian Ti Hosiang, setelah engkau mengikat kami
selama 40 tahun, masakan engkau pergi begitu saja" sungguh tidak adil" dan tokoh berperawakan besar ini terus berjalan kearah peti mati.
"Siancai siancai, tahan langkahmu saudara ". Jangan
mendekat lagi, tolong hormati jenasah guru besar kami" Siauw Lim Sie Ciangbunjin berujar lirih, memperingatkan Bouw Lek Couwsu.
Tetapi tokoh besar itu masih tetap melangkah 3 langkah
kedepan, menjadi dekat ke peti mati dan kemudian berdiri.
Dia sama sekali tidak lagi melirik orang lain dalam ruangan tersebut dan memusatkan perhatiannya kearah peti mati.
Sementara itu, Kwi Song dan Kwi Beng sendiri sudah lebih dari siap siaga ketika Bouw Lek Couwsu terus melangkah. Bahkan masih tetap siaga ketika tokoh itu sudah berhenti melangkah.
Terdengar kembali Bouw Lek Couwsu berkata:
"Sudah cukup 40 tahun kami mengekang diri, tapi setelah kami siap menemuimu engkau malah pergi. Bagaimana
pertanggungjawabanmu atas janji memberi kami waktu
berusaha lagi setelah 40 tahun?" nampak dia seperti
menyesali kematian Kian Ti Hosiang.
"Tapi, sudahlah, bila memang engkau sudah menutup
mata, biarlah kuiringi dengan ucapan selamat jalan buatmu"
nampak Bouw Lek Couwsu kemudian seperti menjura, tetapi tidak dengan menghormat karena tiba-tiba meluncur sebuah hawa pukulan tak berujud dari kedua tangannya yang menjura itu. Itulah sebuah pukulan sakti yang dinamakan Pukulan Udara Kosong, yang bisa meluberkan apa yang dalam peti
namun tidak merusak petinya sendiri.
Tetapi, disekitar Bouw Lek Couwsu adalah orang-orang
sakti yang memiliki kepekaan dan mata awas. Kwi Beng dan Kwi Song dengan cepat menangkap gelagat kurang baik itu, dan dengan cepat kedua tangan mereka sudah meluncurkan
hawa pukulan menangkis serangan Bouw Lek Couwsu. Dan
benturanpun tidak bisa dihindarkan lagi, tapi hanya terdengar suara seperti desisan ketika benturan itu terjadi. Akibatnya, Bouw Lek Couwsu tertahan keinginannya dan sedikit
menggoyahkan kedudukannya, sementara kedua anak muda
itu tidak mengalami apapun. Gabungan tenaga mereka
nampaknya cukup memadai untuk memapak serangan gelap
Bouw Lek Couwsu kearah peti mati. Dan benturan itu telah membuka mata Bouw Lek Couwsu, karena tenaga benturan
tadi jelas-jelas adalah ciri khas ilmu Siauw Lim Sie. Dan, dia, tentu saja mengenal dan mengerti keampuhan ilmu yang
dikerahkan dengan daya topang tanaga Kim kong ciang
tersebut. "Hm, tidak tahu malu. Suhu sudah almarhum, dan engkau
masih juga ingin mengganggunya. Dimasa hidupnya engkau
bahkan menunjukkan diripun tidak, tapi setelah beliau
meninggal, baru engkau berani datang dan berniat merusak jasadnya" Kwi Song menegur si penyerang.
"Ah, rupanya si pendeta tua itu meninggalkan
kepandaiannya kepadamu anak muda?"
"Benar, kami berdua adalah murid-murid suhu Kian Ti
Hosiang, dan tidak akan kami biarkan siapapun yang berniat mengganggu Siauw Lim Sie dan apalagi mengganggu jasad
suhu. Engkau orang tua, lebih baik kembali saja dan jangan mengganggu" Kwi Beng menimpali.
"Kembali" hahahaha, setelah menunggu 40 tahun untuk
menandingi kembali gurumu, dan engkau menyuruh aku
kembali begitu saja?" Bouw Lek Couwsu nampak geli dengan perkataan Kwi Beng dan melanjutkan,
"Lohu harus menunjukkan hasil latihan lohu untuk melawan pendeta tua itu. Entah melawan Ciangbunjin Siauw Lim Sie, ataupun melawan siapa saja dihadapan jenasah Kian Ti
Hosiang, baru akupun puas" semakin jelas maksud
kedatangan Bouw Lek Couwsu.
"Siancai-siancai, Bouw Lek Couwsu, sebagai orang
beribadat, harusnya engkau sadar, bahwa saat ini adalah saat berkabung bagi kuil kami. Bisakah engkau meninggalkan
ruangan ini terlebih dahulu dan nanti mengurus masalahmu kelak?" Ciangbunjin Siauw Lim Siepun menimpali.
"Ciangbunjin, lohu tidak akan pergi sebelum memberi
persen sebuah pukulan kepada pendeta tua itu. Atau sebelum menunjukkan bahwa aku bisa mengalahkannya dengan ilmuku seandainya pendeta itu masih hidup" Bouw Lek tetap
Kisah Para Pendekar Pulau Es 16 Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8 Jurus Lingkaran Dewa 2 Karya Pahlawan Pendekar Panji Sakti 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama