Ceritasilat Novel Online

Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 6

Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Bagian 6


"Mari, mari, lebih baik kita berbincang-bincang lebih santai sambil menikmati suguhan teh panas di pagi hari" Pangeran Liang mengundang setelah anaknya saling berkenalan dengan Beng San Siang Eng.
"Siapa gerangan tokoh Bu Tong yang mendidik nona?"
Phouw Kui Siang bertanya sambil menyeruput teh panas yang disuguhkan.
"Suhu yang mengajar tecu ada dua, yang pertama suhu Sin Ciang Tayhiap Kwee Siang Le dan yang kedua suhu Sian Eng Cu Tong Li Koan" Jawab Mei Lan yang memang selain sengaja ingin berkenalan juga ingin bertanya banyak hal kepada kedua tokoh ini.
Dan Mei Lan tidak berdusta, karena memang baik SIang Le maupun Li Koan adalah termasuk mereka yang mengajarnya, meskipun dia diangkat sebagai murid oleh Wie Tiong Lan
langsung, murid penutup. Dan otomatis menjadi sumoy kedua ornag yang namanya dia sebut sebagai suhunya kepada Beng San Siang Eng.
"Hm, kabarnya Sin Ciang Tayhiap Kwee Siang sudah
mengundurkan diri. Dan menjadi muridnya, bahkan sekaligus murid Sian Eng Cu Tayhiap Tong Li Koan, sungguh merupakan rejeki besar buat nona" Bin Ham berkata. Dia sudah tentu kenal betul dengan 2 tokoh besar asal Bu Tong Pay itu.
"Ach, tecu yang masih muda mana sanggup merendengi
kedua suhu yang begitu sakti" Mei Lan merendah.
"Hahahaha, anak ini kecil-kecil sudah pandai meniru
ayahnya untuk merendahkan kemampuan sendiri" Demikian
Phouw Kui Siang memuji.
"Locianpwe, anak kan memang harus belajar dari orang
tuanya" Mei Lan membalas jenaka. Membuat semua tertawa, bahkan Pangeran Liang juga tertawa melihat anaknya bisa bergaul akrab dengan tamu-tamunya. Pada dasarnya Beng
San Siang Eng memang sudah mengagumi nona ini, yang dari langkah kakinya yang begitu ringan menandakan tingginya kepandaian nona itu.
Apalagi, ternyata si nona adalah murid dari 2 tokoh
kenamaan dari Bu Tong Pay, bahkan tokoh puncak Bu Tong
Pay dewasa ini. Keduanya sudah bisa membayangkan
ketangguhan nona muda ini. Tentu karena yakin tidak akan memalukan perguruan, maka nona muda ini sudah diijinkan turun gunung.
Percakapan kemudian mengalir lancar dan akrab, bahkan
aturan percakapan adalah aturan dunia Kang Ouw bukanlah tata kesopanan istana atau kebangsawanan. Semuanya
mungkin karena Pangeran Liang tidak begitu kolot bahkan sangat luwes bergaul dengan para pendekar.
Sementara anaknya Mei Lan, malah tumbuh dalam tata
krama dunia persilatan. Mei Lan banyak bercerita keadaan dan perkembangan terakhir Bu Tong Pay, tentu dengan
menyembunyikan jejak suhunya, Wie Tiong Lan. Dia berharap sebenarnya untuk memperoleh setitik informasi mengenai Kiok Hwa Kiam, Pedang Pusaka gurunya.
Tetapi nampaknya harapannya sia-sia, karena Beng San
Siang Eng tidak memiliki informasi apapun mengenai pedang itu. Malah menyarankan untuk menemui Kay Pang yang
terkenal sanggup mengendus informasi rahasia sekalipun.
Selanjutnya Phouw Kui Siang maupun Li Bin Ham
memaparkan keadaan dunia persilatan, tentang bagaimana
keadaan Lembah Pualam Hijau terakhir yang terkesan
menutup diri. Tentang Kiang Hong Bengcu yang menghilang sejak 5-6 tahun berselang, juga Ciu Sian Sin Kay dari Kay Pang, Kong Hian Hwesio dari Siauw Lim Sie dan Ci Siong Tojin dari Bu Tong Pay yang juga secara bersama-sama dalam
perjalanan ke Lam Hay Bun tiba-tiba menghilang, dan tidak ketahuan jejaknya hingga saat ini.
Termasuk juga konflik di tubuh Kay Pang yang malah telah memecah belah Kay Pang menjadi Kay Pang sekte Selatan dan Kay Pang sekte Utara dengan menggunakan nama Hek-i-Kay
Pang. Juga termasuk Go Bie Pay yang porak poranda dan
bahkan puluhan pintu perguruan yang ditaklukkan dan nyaris bangkrut alias tutup pintu perguruan. Bahkan menghilang dan terbunuhnya banyak pendekar kelas satu dunia persilatan juga dibahas keduanya.
"Lohu sangat yakin, apabila Kiang Bengcu tidak selekasnya tampil bersama tokoh-tokoh Siauw Lim Sie, Sin Ciang Tayhiap dan Sian Eng Cu Tayhiap dari Bu Tong, Ciu Sian Sin Kay dan Sai Cu Lo Kay dari Kaypang, maka dalam waktu dekat dunia persilatan benar-benar porak poranda. Bahkan, nampaknya para Ciangbunjin partai besar juga harus turun tangan" Jelas Kui Siang yang nampak benar sangat penasaran dengan
kondisi dunia persilatan.
"Menurut informasi, bahkan Beng Kauw dan Lam Hay Bun
juga sudah mulai memperlihatkan kehadirannya di Tionggoan"
Pangeran Liang menyela dan ingin mendengar penjelasan dan pertimbangan tamunya.
"Benar. Karena dalam kerusuhan dan kelompok perusuh
itu, membawa symbol-simbol Lam Hay Bun. Nampaknya pihak Lam Hay Bun ingin menyelidiki hal ini, karena beberapa kali terjadi bentrokan kecil antara mereka. Sementara Bengkauw nampaknya mengutus anak-anak muridnya yang muda untuk
menyelidiki keadaan" jelas Bin Ham.
"Tetapi ada hal yang kini menjadi lebih mengkhawatirkan"
Kui Siang nampak menarik nafas panjang, seakan sangat sulit mengutarakannya keluar.
"Maksud Locianpwe?" Mei Lan bertanya
"Nampaknya, jejak-jejak para datuk dunia hitam mengarah keberkumpulnya mereka dengan para perusuh itu. Bahkan
belakangan, kelompok perusuh itu, tidak lagi menggunakan atau memalsukan dirinya dengan memfitnah Lam Hay Bun,
tetapi sudah tampil dengan Pang baru, yakni Thian Liong Pang"
"Tapi siapakah para datuk dunia hitam itu" Dan siapa pula yang punya kemampuan begitu besar untuk menarik mereka?"
Pangeran Liang bertanya dengan penasaran.
-0o~Marshall~DewiKZ~0oDatuk Kaum Sesat
Phouw Kui Siang dan Lim Bin Ham nampak sama-sama
prihatin, karena mereka sudah lama menyelidiki keadaan yang sudah sangat semrawut ini. Tetapi hasilnya malah semakin mengkhawatirkan, sementara keadaan sebenarnya masih sulit mereka paparkan. Tapi Kui Siang kemudian berkata,
"Sampai sekarang ini, yang bertindak atas nama Thian
Liong Pang paling-paling adalah anak buahnya. Atau yang tertinggi paling tingkatan Tancu dan setingkat di atasnya.
Padahal, sangat mungkin merekapun hanyalah tingkatan 2
atau 3 di Pang misterius itu. Sementara tokoh-tokoh kelas satu dan kelas utamanya masih belum juga ada yang munculkan
diri. Bisa dibayangkan betapa hebatnya tokoh terpenting dari Pang misterius ini, bila baru tokoh tingkat 2 dan 3 saja sudah bisa mengaduk-aduk dunia persilatan ini"
"Tapi locianpwe, masih mungkinkah ada tokoh sedemikian
hebat yang mampu menggerakkan datuk dunia hitam untuk
bahkan bekerja baginya?" Bertanya Liang Mei Lan.
"Itulah yang mengherankan lohu, tokoh semacam apakah
yang memiliki kekuatan sehebat itu?" Atau, masih adakah tokoh tersembunyi yang lohu tidak kenal tetapi sanggup
mengerjakan hal sebrutal ini?" Kui Siang menarik nafas
panjang. "Menurut pengamatan kami, yang sudah bergerak
berterang adalah Tho te Kong (Malaikat Bumi) yang masih terhitung murid dari seorang datuk besar yang terpaksa
bersembunyi di masa keemasan Kiang Cun Le Bengcu dari
Lembah Pualam Hijau. Nama datuk hitam yang sangat kejam ini adalah Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi), yang biasanya berpoperasi di daerah sebelah Utara. Datuk ini paling sudah berusia 70 tahunan, dan jika dia sampai unjuk diri, pasti karena sudah memiliki pegangan" Sambung Li Bin Ham
"Datuk besar itu" apakah benar dia masih hidup?"
Pangeran Liang bertasnya penasaran.
"Kemungkinan besar dia masih hidup. Tetapi, dia belum
ketahuan jejaknya dan belum lagi munculkan diri. Yang justru sudah munculkan diri meski hanya sangat sekilas adalah See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat), dia sempat munculkan diri di daerah Pakkhia menurut informasi kawan-kawan Kay Pang" Tambah Li Bin Ham.
"Dan celakanya Pangeran, apabila See Thian Coa Ong
sudah munculkan diri, biasanya teman-teman datuk itu, yakni Pekbin Houw-ong (Raja Harimau Muka Putih), Liok-te Sam-kwi (Tiga Iblis Bumi) dan tentu juga nantinya Thian te Tok Ong akan munculkan diri. Dan bila mereka muncul berbareng,
menjadi pertanyaan, siapakah yang membuat ambisi mereka tergerak lagi, dan memiliki kekuatan yang demikian besar untuk menggerakkan orang-orang ini" Jelas Kui Siang yang jelas-jelas membayangkan kengeriannya apabila tokoh-tokoh sesat yang disebutkannya benar bergerak.
"Membayangkan seorang See Thian Coa Ong yang memiliki
kemampuan yang begitu dahsyat sudah sangat mengerikan.
Bahkan seorang Kiang Cun Le, butuh waktu lama untuk
menjatuhkannya, apalagi ditambah Nenek sakti pemelihara Harimau, Pek Bin Houw Ong dan Liok te Sam Kwi yang jika berkelahi selalu maju bareng itu. Sungguh mengerikan. Dan akan tambah lengkap kengerian itu, apabila Thian te Tok Ong juga tampil. Sudah racunnya tidak terlawan, kemampuan
silatnya juga kudengar hanya sedikit saja dibawah Cun Le.
Dan setelah mereka menyembunyikan diri hampir 30 tahun, kini mereka tampil lagi, bisa dibayangkan kehebatan orangorang itu".
Liang Mei Lan menjadi sangat penasaran dan dengan wajah berkerut kemudian berkata:
"Locianpwe, demikian menakutkankah tokoh-tokoh dunia
hitam itu?"
"Nona, sebagai gambaran saja, Gurumu, Sian Eng Cu
Tayhiappun hanya sanggup bertarung seimbang dengan Thian te Tok Ong. Dan masih belum tentu apakah bisa menang
bertarung melawan raja-raja iblis lainnya. Dan masih untung, karena Suheng Thian Te Tok Ong, yakni Kim-i-Mo-ong (Raja Iblis Jubah Emas) si raja diraja maha iblis pada jamannya terikat perjanjian dengan Kiong Siang Han. Pada masa
mudanya, dia sudah sanggup bertarung ketat dengan Kiong Locianpwe, tokoh gaib rimba persilatan dewasa ini, yang membuat Kim I Mo Ong terikat janji dan tidak ketahuan
dimana Kiong Locianpwe menyekapnya. Bila diapun tampil, bisa dibayangkan betapa runyamnya dunia persilatan ini"
Jawab Kui Siang, dan Liang Mei Lan menjadi terdiam.
Dia jadi bisa membayangkan tokoh macam apakah yang
digambarkan oleh Phang Kui Lok dan Lim Bin Ham. Bila
dulupun sudah seimbang dengan salah seorang suhengnya,
maka bisa dibayangkan kemampuannya sekitar 30 tahun
kemudian, tentulah sudah sangat hebat.
"Dan berita paling akhir, bahkan sedang terjadi beberapa pertemuan dan nampaknya perjanjian antara beberapa tokoh Lhama yang memberontak di Tibet dengan pihak Thian Liong Pay. Bahkan juga, beberapa pendekar pedang dari Tang ni (Jepang) yang terkenal dengan ilmu jinsut (Ninja), juga sedang dalam proses negosiasi seperti ini.
Padahal, ilmu pedang Tang ni terkenal cepat, kejam dan
sangat telengas, dan terkenal dengan jurus "sekali tebas kepala melayang" Tambah Bin Ham.
"Sehebat apapun mereka, tecu merasa berkewajiban untuk
melawan mereka pada saat mereka mengganggu ketentraman
banyak orang" Mei Lan mendesis dengan gagah. Tetapi jika Phouw Kui Siang dan Lim Bin Ham melirik kagum dan
mengerti dengan gelora jiwa kependekaran Mei Lan, adalah ayahnya yang memandang dengan penuh kekhawatiran.
Wajar, apalagi karena Mei Lan baru sehari berkumpul kembali dengan keluarganya, dengan ayahnya, ibunya dan adiknya, dan bahkan belum bertemu dengan toakonya (kakak
tertuanya). "Lan ji, apa maksudmu" Pangeran Liang bertanya mendesis
"Untuk maksud membela ketentraman dunia persilatan dan
membantu yang lemah, maka suhu mengangkatku menjadi
muridnya" jawab Mei Lan tegas. Pangeran Liang maklum siapa maksud "suhu" dalam penegasan Mei Lan, beda dengan Beng San Siang Eng yang menduga orang lain.
Tapi betapapun khawatirnya dan betapapun cemasnya,
Pangeran Liang yang lama bergaul dengan kalangan pendekar segera maklum bahwa dia takkan sanggup menekan dan
melarang anaknya. Apalagi anak perempuannya ini nampak
sudah memiliki kesaktian yang tinggi.
Yang tidak disangkanya adalah, bahkan kesaktiannya sudah melebihi 2 tokoh utama yang bercakap dengannya hari itu.
"Hahahaha, Sian Eng Cu Tayhiap dan Sin Ciang Tayhiap
memang tidak keliru memilihmu menjadi pewaris mereka" Bin Ham memandang kagum akan semangat dan keberanian Mei
Lan. Percakapan selanjutnya tetap menarik bagi Mei Lan,
terutama ketika kedua tokoh besar tersebut mengulas
kekuatan rimba persilatan yang beraliran putih. Dan anehnya keduanya bersikap agak pesimistis, terutama karena melihat kenyataan betapa Kiang Hong menghilang sudah 5 tahunan, kemudian Cun Le juga sudah menghilang, dan tokoh-tokoh
besar dan tokoh utama Kay Pang, Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay lebih banyak berdiam diri.
Bahkan, terkesan lebih mengutamakan menjaga gunung
dan perkumpulan masing-masing untuk tidak terhancurkan.
Nampaknya, ketokohan Lembah Pualam Hijau yang terbiasa
bertindak atas nama dan untuk keselamatan rimba persilatan sangatlah dibutuhkan, bahkan jikalau perlu mengundan semua tokoh sakti yang dimaksud untuk bersatu melawan para
pengacau rimba persilatan.
Sayangnya, ketokohan itu lenyap seiring tidak ketahuannya kemana Kiang Hong dan rombongannya berada saat ini.
Pertemuan selanjutnya tidak lagi diikuti oleh Mei Lan yang lebih meminta diri bertemu dan bercakap dengan adik
perempuan dan ibunya. Terutama karena dia melihat tidak ada lagi informasi lain yang dibutuhkannya dari pertemuan tersebut.
Dia kemudian mohon diri, dan pertemuan antara ketiga
orang tua itu terus berlangsung sampai makan siang dan
sorenya Beng San Siang Eng minta diri. Tidaklah sedikit informasi baru yang dipaparkan oleh kedua pendekar
pasangan dari Beng San itu.
-0o~Marshall~DewiKZ~o0Liang Mei Lan tinggal bersama orang tuanya selama lebih dari 2 minggu dan menghabiskan waktunya untuk menikmati suasana kota raja Hang Chouw. Selain tentu bercengkerama dengan keluarganya, terutama adik perempuannya Mei Lin
yang sudah berusia hamper 12 tahun.
Dia juga kemudian bahkan bertemu dengan kakak
sulungnya Liang Tek Hu, yang seperti biasa nampak diam dan berwibawa. Tetapi, Tek Hu juga sangat terharu dan
meneteskan air mata melihat adik perempuan yang sudah
dianggap hilang tiba-tiba muncul kembali.
Meskipun dia merasa kurang senang seperti juga ibunya,
karena ternyata Mei Lan lebih memilih kehidupan Kang Ouw.
Tetapi betapapun sebagai kakak laki-laki tertua, dia merasa sangat bahagia bertemu kembali dengan salah seorang
adiknya. Bahkan dia kemudian meminta Liang Mei Lan dan
Liang Mei Lin untuk menetap selama 1-2 hari di istana tempat Tek Hu berkantor.
Dan hal itu sangat mungkin, karena mereka bertiga adalah keluarga dalam Kerajaan, masih Bangsawan yang berkasta
sangat tinggi. Dan selama itu jugalah kemudian ketiga kakak beradik itu bertukar cerita, terutama Tek Hu mendengarkan cerita pengembaraan dan pengalaman Mei Lan.
Mei Lan merasa sangat-sangat terharu. Kakaknya yang
biasanya pendiam dan tidak banyak bicara, ternyata
menunjukkan kasih sayang yang luar biasa terhadapnya.
Bahkan sampai meneteskan air mata gembira ketika bertemu dengannya kembali. Tetapi, dengan berat hati ia menolak ketika diminta kakaknya untuk kembali ke kehidupan di Istana.
"Tidak Toako, hidupku diselematkan guruku. Bahkan
guruku yang budiman mengajarku bagaikan orang tua sendiri.
Setidaknya, aku harus membalas budinya dalam kehidupanku ini" demikian Mei Lan menolak halus permintaan kakaknya yang tampaknya dititipkan ibu mereka.
"Aku mengerti Lan Moi, setidaknya engkau memikirkan juga keluargamu, ibu, ayah dan saudara-saudaramu" bujuk Tek Hu
"Tentu toako, tidak mungkin itu tidak kulakukan"
Mei Lan memang menceritakan semua pengalamannya,
pengalaman berguru, pengalaman dengan Tek Hoat kakaknya dan bahkan semua yang dialaminya, kecuali masalah detail gurunya. Mei Lan berharap, dengan demikian kakaknya
mengerti bahwa hidupnya memang sudah menentukan
pilihan, meski belum tentu tidak bisa berobah lagi.
Suatu hal yang pasti, godaan terbesar bagi Mei Lan justru adalah mengembara dan membaktikan ilmunya, selain
memang dia mengemban tugas khusus dari gurunya. Pedang
Bunga Seruni lebih cocok untuk seorang perempuan, karena itu pedang itu diwariskan kepada Liang Mei Lan.
Dan menurut gurunya pedang itu sangat cocok bahkan
sangat meningkatkan kemampuan dan perbawa Liang Gie
Kiam Hoat. Tugas dan kepercayaan gurunya inilah yang
membuat Mei Lan yang sangat mengasihi dan menghormati
guru yang sudah tua renta.
Terlebih sang guru inilah yang menyelamatkan nyawanya.
Dan itulah yang membuat Mei Lan untuk berkeras
melanjutkan perjalanannya.
Pangeran Liang kemudian meminta ijin dan waktu bertemu
dengan Baginda Raja. Sebagai adik tiri Kaisar, sudah tentu Pangeran Liang bisa leluasa mengajukan permintaan itu.
Terlebih, karena Pangeran Liang pernah mengajukan
permohonan bagi Kerajaan untuk ikut mencari Liang mei Lan dan Liang Tek Hoat.
Karena itu, keinginannya bertemu adalah untuk
memperkenalkan Mei Lan dan sekaligus untuk memberitahu
bahwa anaknya itu sudah kembali. Mei Lan yang sebenarnya merasa tidak ingin melakukannya, dengan terpaksa harus juga menjalani prosesi kebangsawanan. Yang lebih menyiksanya adalah, tata krama dalam istana yang begitu kaku, termasuk untuk dirinya.
Sebagai putra Pangeran dan keluarga dekat istana, dia
harus berpakaian yang menurutnya sangat menyiksa. Bahkan untuk berjalanpun dia harus belajar cukup lama, lebih lama dibandingkan belajar dasar ilmu silat dan jauh lebih menyiksa, pikirnya. Tapi demi ayah dan demi keluarganya dia tetap harus melakukannya.
Baik belajar mengenakan pakaian putrid bangsawan yang
sangat ruwet, maupun kemudian belajar berjalan sesuai
dengan busana dan kepantasan seorang putri, dan juga
belajar tata karma dan sopan santun dalam berbicara di
lingkungan istana. "Sungguh menjemukan" piker si Gadis.
Demikianlah, akhirnya Liang Mei Lan akhirnya bertemu
dengan Kaisar yang didampingi oleh Putra Mahkota, tentunya di Istana Kaisar. Mei Lan yang harus berpakaian kebesaran seorang putri istana nampak berkali-kali meringis, akan tetapi sebaliknya, bibirnya harus selalu menampilkan senyum dalam tata karma istana.
Dia menyembah Kaisar dan Putra Mahkota dan
mendengarkan laporan ayahnya untuk kemudian
memperkenalkannya kepada Kaisar dan Pangeran Mahkota.
Tetapi Kaisar, ketika mendengar bahwa Mei Lan sudah
menjadi seorang pendekar wanita didikan Bu Tong Pay,
menjadi sangat girang. Bahkan dia mengajukan dua orang
perwira untuk menguji Mei Lan, dan yang tentu bukanlah
lawan Mei Lan. Dengan mudah keduanya dijatuhkan, dan bahkan ketika
Perwira yang paling tangguhpun yang dihadapkan, hanya
sanggup bertahan 5 jurus. Demikian juga ketika Kepala
Pasukan Pengawal Raja yang terkenal dengan nama Kim-i-wi, dihadapkan dengan Mei Lan, si gadis mampu menandinginya.
Bahkan juga sanggup mengimbangi pelatih Kim-i-wi ini sampai puluhan atau ratusan jurus tanpa kalah.
Kaisar dan Pangeran atau Putra Mahkota menjadi sangat
senang melihat ada kerabat mereka yang demikian saktinya.
Bahkan Putra Mahkota nampak berbisik kepada ayahanda
kaisar, dan terdengar sang Kaisar berkata:
"LIang Mei Lan, benarkah engkau belajar Ilmu Silat di Bu Tong Pay?"
"Benar yang mulia, suhu yang berbudi adalah tokoh Bu
Tong Pay" demikian Mei Lan menjawab dengan hormat dalam tata krama dan aturan Istana.
"Hm, bahkan Kepala Pengawal Istana Raja yang paling
tangguhpun masih belum mampu mengalahkanmu. Biarlah
kuanugrahi engkau dengan menjadi salah satu anggota
kehormatan Pasukan pengawal Raja. Engkau bebas memasuki istana dengan tanda pengenal tersebut" Nampak sang Raja yang memutuskan penganugerahan itu mengangguk-angguk
senang dengan keputusannya.
"Yang Mulia, terima kasih atas anugerah bagi Lan Ji, tapi apakah dia sudah layak mendapatkannya?" Pangeran Liang
kaget dengan anugerah tersebut. Sudah tentu dia senang, tapi dia ingin menegaskan pendengarannya
"Sudah tentu- sudah tentu. Bahkan Pangeran Mahkota
yang senang dengan Tokoh Sakti juga menyetujui dan bahkan mengusulkan" Jawab Kaisar masih dengan senyum.
Demikianlah kemudian Mei Lan dianugerahi medali
kehormatan yang sekaligus tanda pengenal bahwa dia adalah salah satu anggota kehormatan "Pengawal Keselamatan Raja".
Dengan medali itu, Mei Lan bisa dengan bebas memasuki
istana dan dimanapun Mei Lan berada, bila Raja berada
didekatnya, maka tugas utamanya adalah menjaga
keselamatan Rajanya.
Sebuah anugerah yang luar biasa, dan terlebih sang Raja memang sudah mengenal adiknya Pangeran Liang yang
mencintai kerajaannya dan sangat loyal kepadanya. Bahkan sang Raja bukan tidak tahu bahwa Perdana Menteri begitu tidak menyukai Pangeran Liang, tetapi Pengaran Liang sudah berkali-kali membuktikan kesetiaan dan pengabdiannya
kepada Kaisar. Dan anugerah yang dipilihnya kali ini membuktikan bahwa dia mempercayai Pangeran Liang dan juga menyukai putri Mei Lan.
Akhirnya Mei Lan kembali mengarungi kehidupan dalam
istana, tetapi itupun dilaluinya dengan berat hati. Pangeran Liang yang bermata tajam bukannya tidak mengetahuinya.
Tetapi diapun ingin menegaskan kepada Mei Lan bahwa
betapapun dia adalah Putri Istana, anak seorang pangeran dan keturunan Bangsawan.
Dan setelah 2 minggu berlalu, akhirnya Pangeran Liang
memanggil putrinya dan berbicara dari hati ke hati. Anak ini, memang sejak dulu lebih dekat ke ayahnya, Pangeran Liang.
Percakapan itu yang melahirkan saling pengertian antara keduanya, bahkan Pangeran Liang jadi lebih mengerti pilihan hidup putrinya yang sudah 9 tahun mengarunginya.
Terlebih, karena menurut putrinya, nyawanya diselamatkan dari sungai oleh gurunya yang mengasuhnya baik bu (Ilmu SIlat) maupun bun (Sastra) dengan baiknya. Bahkan juga
bertindak bagaikan orang tua sendiri. Karena itu, setelah menyelami jiwa anaknya, Pangeran Liang kemudian lega dan rela melepas anaknya untuk menjalankan tugas dari gurunya mencari Pedang Bunga Seruni. Sekaligus juga harus
menyampaikan pesan agar Liang Tek Hoat kakaknya pulang
sejenak bertemu orang tuanya.
-0o~Marshall~DewiKZ~0oEpisode 11: Dimanakah Kim Ciam Sin
Kay " Ceng I Koai Hiap
"Thian jie, sudah saatnya engkau turun gunung. Bahkan
sudah saatnya engkau mencari Kim Ciam Sin Kay. Karena saat ini, dialah satu-satunya orang yang menguasai pengobatan dengan jarum emas untuk memulihkan ingatanmu.
Tetapi, ingatlah, setahun kemudian kita bertemu di tebing pertemuan 10 tahunan itu. Besok pagi adalah saat yang tepat buatmu turun gunung. Tidak usah berpamitan kepadaku,
karena malam ini aku akan menutup diri guna bersemadi"


Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian seorang tua yang sudah sangat renta, usianya
ditaksir sudah lebih 100 tahun, dan dihadapannya bersimpuh seorang pemuda gagah yang setidaknya berusia 18 tahunan.
Anak itu dipanggil Thian jie, karena hanya nama itu yang diketahuinya dan selain itu dia sering memegangi gelangnya dan juga berdesis-desis "jangan melawan, ikuti arus air, biarkan pikiran kosong, pasrah terhadap alam". Selebihnya, nama, orang tua, tempat tinggal, dan lainnya sama sekali tidak diingat anak itu.
"Baik guru, selain mencari Kiam Cim Sin Kay dan pergi ke Tebing Peringatan 10 tahunan, ada lagikah yang harus tecu lakukan?"
"Setelah bertemu Kiam Cim Sin Kay, berikan dia suratku ini, tapi jangan sekali-kali kamu membukanya. Biarlah Kiam Cim Sin Kay yang membacakannya buatmu setelah engkau
sembuh. Dan setelah dia menyembuhkanmu, kamu akan tahu
dengan sendirinya apa yang akan dan harus kamu lakukan"
berkata si orang tua.
"Baik suhu"
"Nah, sekarang sebaiknya engkau bersiap. Malam nanti,
sebelum aku menutup diri selama beberapa bulan, kamu boleh datang menjumpaiku"
Siapakah kedua orang ini" Mudah ditebak, inilah Kiang Sin Liong, salah seorang Pendekar Legendaris dan ternama dari Lembah Pualam Hijau. Pendekar besar yang pernah
menggetarkan dunia persilatan dengan mengalahkan tokohtokoh sakti mandraguna yang menantang para pendekar
Tionggoan puluhan tahun silam.
Tetapi kini, dia hanyalah seorang tua yang sudah renta
benar-benar. Sudah mendekati atau malah melewati usia 100
tahunan. Karena memang, siapakah yang dapat mengalahkan batas usia" Sementara anak yang dihadapannya adalah Kiang Ceng Liong
Anak yang masih cucu buyutnya langsung, anak dari Kiang Hong, yang ironisnya sedang kehilangan ingatannya ketika terjatuh dari air terjun di belakang Lembah Pualam Hijau.
Yang diketahui anak itu hanyalah, namanya Thian Jie, yang juga sebenarnya pemberian dari Liang Tek Hoat dan Liang Mei Lan.
Tetapi dengan nama itulah anak itu kemudian menyebut
dirinya, dan karena memang tiada lain lagi yang diketahui anak itu. Karena itu, maka Kakek Kiang Sin Liongpun
kemudian memanggilnya dengan nama itu, Thian Jie.
Tetapi, sudah sejak menolong Thian Jie, Kiang Sin Liong menyadari banyak keanehan atas anak ini. Pertama, tenaga sakti yang berpusat di tan tian, pusar anak ini sebagai sumber tenaga sakti, jelas-jelas adalah "Giok Ceng Sin Kang".
Tenaga Dalam Giok Ceng Sin Kang ini nampaknya sudah
dilatih lebih kurang 40 tahunan. Kemudian, di pundak anak itu, terdapa ukiran tato pengenal Keluarga Lembah Pualam Hijau. Karena itu, Kiang Sin Liong yakin bahwa anak ini pastilah salah seorang cucunya.
Cucu buyutnya. Yang ketiga, anak ini tidak mengenal diri dan keluarganya, hanya menyebutkan nama Thian Jie dan
selalu berdesis "jangan melawan, ikuti arus air, biarkan pikiran kosong, pasrah terhadap alam". Dan yang keempat, anak ini membekal sebuah gelang yang agak gemuk, nampak tidak
berharga, tetapi selalu diusap dan dijaga seperti menjaga keselamatan diri sendiri.
Terakhir, Kiang Sin Liong terpana dengan tatapan mata
yang sungguh bersinar aneh, memancarkan wibawa yang sulit ditebak. Dia sendiri tidak mengerti apa artinya dan apa penyebabnya. Tetapi suatu hal, nampaknya anak ini bakal akan sangat berbahaya bila mempelajari Ilmu Kebatinan tanpa bimbingan yang tepat. Kekuatan matanya akan sangat
berbahaya bila dikembangkan.
Kiang Sin Liong tidak terlampau memaksa dan mendesak
thian Jie untuk mencari tahu keadaannya. Yang pasti anak ini adalah keturunannya, tidak salah lagi. Tato Giok Ceng, Tenaga Sinkang Giok Ceng tidak akan mungkin meleset lagi.
Selain itu, yang mampu menghadiahi anak ini tenaga
latihan Giok Ceng sebanyak itu, menurut penilaiannya hanya ada 2 orang, jika bukan Cun Le tentunya In Hong. Pernah sekali dia berkeinginan mengobati Thian Jie dengan kekuatan sinkangnya, tetapi akibatnya malah mengejutkan, tatap wajah Thian Jie menjadi beringas dan baru normal 3 hari kemudian.
Setelah itu dia tidak pernah mencoba lagi, dan sadar hanya Kiam Cim Sin Kay atau guru Kim Ciam Sin Kai jika masih hidup yang mampu mengobati Thian Jie, cucu buyutnya ini. Biarlah semua berjalan dan berlangsung sesuai dengan takdir masing-masing, demikian keputusan kakek Kiang Sin Liong.
Karena itu, sejak upayanya yang gagal itu, Kiang Sin Liong memutuskan untuk berkonsentrasi mendidik anak muda ini
saja, biar mampu mengendalikan sinking Giok Ceng dan
mewarisi Ilmu kepandaian keluarganya dari Lembah Pualam Hijau.
Dibandingkan Wie Tiong Lan, Kiong Siang Han dan Kian Ti Hwesio, pekerjaan Kiang Sin Liong terbilang jauh lebih ringan.
Thian Jie sudah memiliki sumber tenaga sakti dan bahkan hawa sakti yang luar biasa dalam pusarnya. Hawa sakti itu bergerak-gerak liar karena belum sanggup dikendalikannya.
Dan menjadi tugasnyalah untuk memampukan Thian Jie
perlahan mengendalikan tenaga itu melalui pengaturan
pernafasan. Hampir 2 tahun dibutuhkan Sin Liong untuk
membuat Thian Jie sanggup sendirian mengendalikan hawa
sakti tersebut, dan selama itu juga, Thian Jie lebih banyak berlatih teori Ilmu Silat dibandingkan bergerak dengan Ilmu Silat.
Hal ini disebabkan, tanpa kemampuan mengendalikan
tenaga, maka hawa sakti yang dimilikinya berlimpah, bisa menyerang jantungnya atau memecahkan beberapa jalan
darahnya. Karena itulah, Thian Jie dilatih bergerak-gerak mengikuti irama pernafasannya.
Untungnya, dasar Ilmu Silat Thian Jie memang adalah
dasar Lembah Pualam Hijau, karenanya tidak membuat Kiang Sin Liong khawatir dengan dasar Ilmu Silatnya. Meskipun kehilangan ingatan, tetapi Ilmu Silat dan gerakan-gerakannya masih dapat dilakukan oleh Thian Jie.
Baru pada tahun ketiga Thian Jie mulai mampu
mengendalikan hawa saktinya yang luar biasa itu. Meski, dia belum sanggup meleburkannya dengan kekuatan yang sempat dihimpunnya selama beberapa tahun berbaring di
pembaringan Giok Ceng di Lembah Pualam Hijau.
Tetapi pada tahun ketiga, dia mulai mempraktekkan teori-teori Ilmu Silat yang diturunkan gurunya. Sampai memasuki tahun kelima, dimana dia akhirnya sanggup dengan baik
mengendalikan hawa sakti dan meleburkannya dengan tenaga sakti yang sudah dilatihnya.
Sejak tahun kelima itulah Thian Jie mulai melatih Giok Ceng Cap Cha Sin Kun, Giok Ceng Kiam Hoat, Soan Hong Sin Ciang ciptaan Sin Liong, serta Toa Hong Kiam Sut. Ilmu-ilmu yang bisa diserap dengan cepat oleh Thian Jie. Bahkan pada akhir tahun keenam, dia sudah bisa memainkannya dengan sangat baik karena dorongan tenaga yang luar biasa dimilikinya.
Ilmu-ilmu silat keluarganya memang baru bisa dimanikan
secara sempurna apabila kekuatan tenaga dalam sebagai
penopangnya sudah memadai. Sementara saat itu, Thian Jie memiliki tenaga dalam yang sudah lebih dari memadai.
Pada tahun kelima, Kiang Sin Liong menyaksikan keanehan lain dalam diri Thian Jie. Yakni ketika dengan pandangan matanya, dia bisa menjinakkan seekor harimau yang
kelaparan. Ban bahkan kemudian bisa memerintahkan
harimau tersebut untuk tidur.
Ketika ditanyakan, Thian Jie hanya menjawab kasihan
melihat harimau yang kelaparan dan karena itu entah
bagaimana dia ingin harimau itu tidur. Dan Kakek sakti itu sendiri kaget setengah mati, karena harimau tersebut
memang benar-benar tertidur pulas, dan bahkan selanjutnya menjadi peliharaan Thian Jie dan diberi nama panggilan Houw Jie.
Sejak itulah Kiang Sin Liong memutuskan untuk membuka
rahasia ilmu I-hu-to-hoat (hypnotism), yang juga sangat dekat kaitannya dengan Ilmu Sihir. Hal ini dikarenakan dia melihat Thian Jie sangat tenang, berwibawa dan tidak seperti anak-anak lain seusianya.
Meskipun hanya dasar-dasarnya, tetapi karena kekuatan
mata Thian Jie sendiri sudah hebat, sementara tenaga
saktinya juga sungguh luar biasa, membuatnya mampu
menguasai ilmu I-hun-to-hoat (hipnotis) itu dengan hasil diluar dugaan Kiang Sin Liong.
Baru pada tahun ketujuh sampai seterusnya Kiang Sin
Liong melatih Thian Jie dengan ilmu gerak ginkang ciptaannya Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput) dan Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih
Memanggil Matahari).
Ilmu-ilmu ini adalah ilmu yang terakhir diciptakannya, dan yang juga sama dengan peyakinan Kiong Siang Han, yang
memadukan unsur lemas dan unsur keras. Unsur keras
digambarkan dengan memanggil matahari, sebuah unsur
keras dari Pek Lek Sin Jiu, sementara awan putih adalah unsur kelemasan dalam ilmu mereka di Lembah Pualam Hijau.
Ilmu inipun mirip-mirip dengan ciptaan Kiong Siang Han, hanya berbeda landasan utamanya. Ilmu yang sebenarnya
sangat berat ini, bahkan dalam upaya untuk
menyempurnakannya mustahil dilakukan dalam waktu yang
pendek. Sama sulitnya dengan mencapai kesempurnaan
dalam ilmu mujijat aliran keras Pek Lek Sin Jiu, dimana hanya Kiong Siang Han sendiri yang mampu memainkannya dengan
sempurna sampai saat ini.
Tetapi masalah kesempurnaan dalam berlatih ilmu,
memang tidak mungkin dalam waktu yang singkat. Karena itu, Kiang Sin Liong menyerahkan pada peruntungan serta kerja keras, keuletan dan bakat Thian Jie untuk melakukannya.
Terutama untuk ilmu yang terakhir, Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari), Kiang Sin Liong mendidik Thain Jie dengan sangat berhati-hati. Karena unsur kekuatan sihir sudah dimiliki Thian Jie, sementara Ilmu tersebut dimaksudkan bukan hanya untuk
melawan kekuatan sihir, tetapi juga sekaligus mendatangkan perbawa sihir.
Karena itu, Kakek Kiang Sin Liong tidak menghendaki anak ini tersesat. Terlebih karena kekuatan hawa sakti Thian Jie yang sudah sedemikian tingginya warisan dari kakeknya. Itu juga sebabnya maka berkali-kali dia menanamkan
pengetahuan budi pekerti dan pendalaman kemampuan batin untuk melawan godaan sesat dalam diri anak ini. Pelajaran lain yang sangat penting bagi anak ini.
Karena bahkan Kakek Kiang Sin Liongpun terkadang
bergidik ngeri melihat tatapan mata anak ini. Tatapan yang nampak memang berhawa aneh dan dia sendiri tidak mengerti apa sebabnya. Mungkin hanya seorang Kim Ciam Sin Kay yang bisa membantu menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dan dialami anak ini.
Anak yang hanya tahu sejarah hidupnya sejak diselamatkan Tek Hoat dan Mei Lan. Dan sama sekali telah melupakan
bagian kehidupan lainnya yang tersisa dan yang malah
terpenting. Yang terpenting, bahwa anak ini sudah tersiapkan secara lahir dan batin untuk memasuki pergolakan dunia
persilatan. -0o~Marshall~DewiKZ~0oBerdasarkan informasi yang disampaikan gurunya, maka
Thian Jie kemudian mengambil arah ke sungai Yang Ce.
Karena di daerah kerajaan Cin, khususnya sekitar Pakkhia, untuk yang terakhir kalinya Kiam Cim Sin Kay terlihat. Bahkan kabar dan isue di dunia persilatan menyebutkan bahwa
Pangcu Kay Pang itu telah tertawan oleh musuh.
Isue ini kemudian dikuatkan oleh munculnya organisasi
atau perkumpulan Pengemis baru, yang menamakan dirinya
Hek-i-Kay Pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) tidak
lama setelah menghilangnya Pangcu Kay Pang Kam Ciam Sin Kay.
Bahkan diduga kuat, kemunculan Perkumpulan Kay Pang
yang baru, erat hubungannya dengan menghilangnya Pangcu Kay Pang. Hek-i-Kay Pang sendiri dipimpin oleh seorang
pengemis sakti bernama Hek Tung Sin Kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam) yang selain memiliki kesaktian tinggi dalam ilmu silat, juga memiliki kemampuan menjinakkan ular yang cukup lihay.
Hek Tung Sin Kay inilah yang memelopori penggembosan
dan pemberontakan kelompok pengemis di daerah kerajaan
Cin. Dan kemudian, tokoh ini pulalah yang memelopori
pendirian Pang baru bagi kaum pengemis, terpisah dari Kay Pang pusat.
Karena informasi ini, maka Thian Jie kemudian memilih
arah ke sungai Yang ce. Di perjalanan, dalam kondisi dunia persilatan yang awut-awutan, berkali-kali Thian Jie dikerjai oleh perompak dan kaum liok lim (kaum penjahat dan
perampok). Tetapi, anak muda sakti ini selalu dapat menghindari atau melawan gangguan itu, bahkan dengan tidak pernah mau
membunuh lawan-lawannya. Selama hampir 2 bulan
perjalanannya, namanya bahkan jauh lebih cepat tersebar kemana-mana dibanding langkah kakinya.
Di dunia persilatan mulai tersiar kabar adanya atau
munculnya pendekar muda yang mereka namai sendiri Ceng-i-Koai Hiap (Pendekar Aneh Berbaju Hijau). Entah kenapa,
memang sejak menanjak remaja, Thian Jie lebih menyenangi warna hijau.
Dan karena itu rata-rata jubah yang dia minta dibuatkan atau dibelikan gurunya, pastilah berwarna hijau. Dan hingga dia turun gunungpun, jubah dan pakaian yang dikenakannya hampir selalu berwarna hijau. Karena pakaian yang
dibekalnyapun nyaris semua berwarna hijau.
Suatu hari, lebih sebulan atau hampir 2 bulan sejak turun gunung, Thian Jie memasuki sebuah rumah makan di Kota
Kong Goan, sebuah Kota besar di Propinsi Se-cuan. Maklum, selain melakukan perjalanan jauh, sudah sejak pagi perutnya belum lagi terisi.
Karena itu, menjelang senja Thian Jie memutuskan untuk
memasuki sebuah restoran yang ternyata suasananya sudah cukup ramai. Pemandnagan yang biasa bila mulai memasuki musim dingin. Sebetulnya, tiada satupun hal yang aneh dalam diri Thian Jie.
Potongannyapun bahkan tidak menunjukkan bahwa dia
membekal barang berharga dalam tubuhnya. Meskipun,
memang ada bekal yang cukup berharga yang diberikan
gurunya untuk digunakan dalam perjalanan, yakni sebutir mutiara yang menurut gurunya bisa berharga 200 tail perak.
Lebih dari cukup untuk melakukan perjalanan selama 1
tahun di dunia persilatan. Selebihnya, bahkan membekal
pedangpun Thian Jie malah tidak. Selain kedua kaki dan
tangannya, gelang perak yang agak gembung dan cenderung tidak berharga. Dilirik orangpun malah tidak.
Jikapun dilirik, orang malah heran, anak muda segagah ini tetapi berperhiasan yang biasa saja, tidak seberwibawa
tampangnya. Orangpun mungkin sukar menduga, anak muda
inilah yang dinamai Ceng-i-Koai Hiap yang agak-agak masyhur akhir akhir ini.
-0o~Marshall~DewiKZ~0oChit cay sin tho
Tetapi, sebutir mutiara yang cukup berharga itu, ternyata bisa tercium oleh seorang yang memang berprofesi mencium dan mencuri barang seperti itu. Apalagi bagi penciuman
seorang seterkenal Chit cay sin tho (Maling sakti 7 jari) Ouw Seng.
Saking mahirnya dalam mencuri, Ouw Seng, yang kadang
sekali bisa dikenali orang karena kemampuan ginkangnya
yang sangat tinggi, diberi julukan berjari 7. Padahal jari tangannya normal-normal saja, kedua tangan masing-masing memiliki 5 jari, komplet, tidak lebih dan tidak kurang.
Kelebihan 2 jari sebetulnya adalah julukan yang diberikan karena bila mencuri, maling sakti ini nyaris tidak ketahuan kapan dan bagaimana beroperasinya. Seperti juga ketika dia mendongkel dan memindahkan mutiara dari saku Thian Jie, yang nampaknya tidak atau tanpa sepengetahuan yang
empunya. Dan dalam waktu yang singkat sudah bersarang di sakunya dan dianggap sebagai miliknya sendiri. Dan seperti tidak terjadi apa-apa, si Maling sakti kembali berlaku wajar seperti biasanya.
Ouw Seng, paling berusia sekitar 35 tahun, lebih kurang demikian. Berbadan langsing. Cukup langsing dan karenanya dia akan sangat pesat bila berlari dan bergerak secepat kilat apabila dibutuhkan. Maling Sakti ini, sebenarnya bukanlah maling iseng, sebaliknya, justru hanya orang-orang tertentu saja yang dijadikannya sasaran.
Akan menjadi kebanggaan tersendiri bila bisa mencuri atau menjadikan orang terkenal sebagai korbannya. Seperti juga kali ini, dia sudah bisa mengenali, bahwa sasarannya adalah seorang muda yang baru mulai menjejakkan jejaknya di dunia Kang Ouw.
Namanya sudah mendahului orangnya masuk ke kota ini,
yakni Ceng-i-Koai Hiap. Sekali pandang, Maling Sakti sudah bisa mengenali Thian Jie, bahkan bisa mengenali sebuah
barang yang lumayan berharga di saku pendekar aneh baju hijau tersebut. Naluri dan keinginan serta hasrat mencurinya dengan segera terbangkitkan. Meski bukan untuk barang yang sangat berharga sekalipun.
Maka pencurian yang dilakukannya, sebenarnya bukan
karena kekurangan uang. Tetapi lebih karena ingin
mengetahui apakah dia bisa mencuri dari orang hebat yang digembar-gemborkan orang sebagai pendekar muda aneh itu.
Ouw Seng, si Maling Sakti, berada di restoran itu sambil makan dan minum sepuasnya sampai hari menjadi gelap.
Seperti sudah diatur saja, Maling Sakti kemudian keluar dari restoran setelah membayar semua rekeningnya. Dan keluar dari restoran hampir bersamaan dengan Thian Jie yang
untungnya memang masih memiliki cukup bekal uang.
Dengan tanpa curiga, maling sakti terus berjalan menyusuri jalan, terus dan terus hingga memasuki daerah yang sudah agak sepi dan sunyi. Disaat itulah tiba-tiba sebuah desingan terdengar jelas ditelinganya, dan dihadapannya kini ada sebuah benda yang merupakan tanda pengenal.
Benda itu adalah "thian liong", tanda pengenal dari Thian Liong Pang. Mereka yang menerima tanda itu, sebagaimana sudah diketahui Maling Sakti diberikan 2 pilihan, "takluk" atau
"mati". Seketika itu juga, Maling Sakti berkeringat dingin, wajahnya berubah pucat pasi.
Pada saat dia berpikir untuk menggunakan kepandaian
khasnya, yakni "berlari dengan ginkangnya yang istimewa yang dinamakannya Sin-to hoan eng (Maling sakti Menukar bayangan), tiba-tiba dia merasa bahwa dirinya sudah
terkepung. Dihadapannya berdiri seorang dengan bersedekab badan, sementara di 4 penjuru lainnya dia menyaksikan
masing-masing dijaga seseorang dengan tubuh berselubung jubah hitam. Seketika dia sadar apa artinya.
"Thian Liong Pay menawarkan "kerjasama" atau
"dibinasakan". Dengan mengutus duta barisan hitam, maka Maling Sakti terhitung tokoh yang disegani" Manusia yang bersedekab dihadapannya terdengar berkata dengan suara
dingin menusuk.
"Tapi sayang, Maling Sakti selalu bekerja sendiri, dan tidak pernah bekerja untuk orang lain" Meskipun kepepet, tetapi Maling sakti tetap menunjukkan kegagahannya.
"Hm, jadi pilihanmu adalah dibinasakan. Apa benar?"
terdengar nada suara menegaskan dari si orang dihadapan Maling Sakti.
"Soal binasa atau tidak, bukanlah urusanmu" Maling Sakti berkata dengan sikap menjadi sangat waspada.
"Sudah kau pikirkan sebaik2nya?" membujuk si orang
berkerudung hitam.
"Bahkan sudah kupikirkan sejak 10 tahun lampau, pada
saat kalian mulai mengganas" Maling Sakti menegaskan.
Sungguh berani. Karena memang sudah banyak persilatan
yang mati terbunuh karena menolak ajakan Thian Liong Pang ini.
"Baik " anak-anak, habisi" Si pemimpin yang berdiri gagah bersedekab badan memberi perintah. Dan tidak dalam
hitungan detik, keempat pembunuh sudah melesat dengan
pesatnya mengirim serangan bertubi-tubi dan mematikan
kesemua area mematikan di tubuh Maling Sakti.
Tetapi, tidak percuma Ouw Seng menerima gelar Maling
Sakti dengan kepandaian Ginkang yang istimewa. Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan kepadanya dielakkan dengan manis, semakin cepat serangan kearahnya, semakin cepat
juga dia bergerak. Sayangnya, semua jalan keluarnya sudah ditutup oleh ke-4 orang penyerangnya, dan bahkan masih
juga diawasi secara ketat oleh si pemimpin.
Chit cay sin tho (Maling sakti 7 jari), memang terkenal karena ilmu ginkangnya, dan apabila dia terlepas dan mulai melarikan diri, maka sangat sedikit tokoh silat yang mampu menyandaknya. Nampaknya, keistimewaan maling ini dikenal dengan baik oleh para penyerangnya.
Karena itu, semua jalan yang mungkin meloloskan Maling
Sakti dijaga dengan demikian ketatnya. Haruslah diketahui, bahwa meskipun Ilmu Ginkangnya istimewa, tetapi Ilmu
Pukulan dan Tenaga Sakti Maling Sakti tidaklah cukup
istimewa. Dia memang sangat tekun dengan Ginkang, tetapi tidak
dengan Ilmu Pukulan dan Sinkang. Karena itu, meskipun
mampu bergerak lincah dan melompat kesana kemari tetapi serangan balasannya tidak berarti.
Bahkan kemudian lama kelamaan gaya dan cara
bergeraknya mulai tercium lawannya yang memang terlatih sebagai pembunuh, baik bekerja perorangan maupun
berkelompok. Dengan segera Maling Sakti jatuh dalam
kesulitan, diterjang dari 4 arah oleh kelompok pembunuh Thian Liong Pang.
Perlahan tapi pasti, hanya gerak menghindar yang bisa
dilakukannya, dan semakin pasti bahwa tidak lama lagi dia akan jatuh dibinasakan. Benar saja, ketika suatu saat dia sanggup menghindari dua serangan, pukulan maupun
tendangan dua lawannya, dia nampaknya akan terkena
serangan mematikan yang mengarah ke punggungnya.
Sudah tidak ada jalan lain, dan Maling Saktipun sudah
pasrah. Dan dia ingin mati sebagai orang gagah yang
berjuang sampai saat terakhir. Tetapi, memang belum takdir kematian mendatangi si Maling Sakti ini. Pada saat dia tidak berdaya lagi untuk menghindari serangan di belakangnya, dan malah sudah pasrah, tiba-tiba terdengar dengus tertahan penyerangnya:
"Dess, "..ngekk" Bukannya punggungnya yang kena
hantam, justru tangan yang memukulnya yang tertangkis dan disusul dengan sodokan di ulu hatinya yang membuatnya
mendengus berat dan terkapar di tanah.
Di samping si Maling Sakti, kini berdiri dengan gagah
seorang Pemuda yang masih remaja berpakaian warna hijau.
Tidak perlu dikatakan lagi rasa terima kasih dan rasa malu di hati si Maling Sakti.
"Orang muda, terima kasih atas bantuanmu" desisnya
tertahan. "Masih belum selesai. Inikah rupanya gerombolan yang
mengganas di rimba persilatan", sungguh-sungguh cayhe
ingin belajar kenal keganasan mereka" ujarnya dengan tatap mata menusuk yang tidak sanggup dilawan si pemimpin para pembunuh.
"Anak muda, siapakah engkau yang begitu bernyali
melawan Thian Liong Pang?" si pemimpin nampak berang
melihat usaha mereka yang sudah nyaris berhasil digagalkan.
"Siapa aku bukan soal. Tetapi melawan Thian Liong Pang, siapa mesti takut" Dan menolong orang, adalah kewajibanku.
Kewajiban jugalah yang membuatku menurunkan tangan
keras atas mereka yang mengacau banyak orang" Sambil
berkata demikian, dengan cepat Thian Jie menggerakkan
tangannya menyerang tiga orang pembunuh yang tersisa.
Terdengar beberapa kali benturan, dan dalam 2-3 jurus
belaka, ketiga orang yang tersisa juga tergeletak dengan luka-luka yang cukup parah. Gerakan Thian Jie dari Ilmu Pukulan Ceng Giok Cap Sha Kun Hoat memang sangat cepat, telak dan terlampau lihay bagi ketiga orang tersebut.
Tinggal sang pemimpin yang kini memandang takjub dan
tidak sanggup bicara apa-apa menyaksikan hanya dengan 2-3
jurus gerakan saja, para pembunuh andalannya tergeletak tak tentu nasib. Meskipun dia melihat anak buahnya tidak mati, tetapi yang jelas mereka sudah terluka dan sulit melakukan pengeroyokan lagi.
"Anak muda siapakah engkau?" tanya si pemimpin keder,
jelas dari nada suara yang bergetar.
"Aku?", namaku Thian Jie, hanya itu yang kutahu. Nah,
engkaupun harus segera bersiap" Tetapi belum habis Thian Jie bicara, sebuah bom asap tiba-tiba disambitkan sang
pemimpin. Dan ketika kemudian jarak pandang mulai kembali membaik, sang pemimpin sudah tidak kelihatan lagi, hanya sempat terdengar kalimat ancamannya:
"Anak muda, ingat, engkau telah mengikat tali permusuhan dengan Thian Liong Pang"
Dan ketika Thian Jie memalingkan pandangan ke arah para pembunuh yang terluka, tidak lagi ditemukannya sisa yang masih hidup.
"Sungguh keji, si pemimpin masih sempat menghadiahkan
jarum kematian bagi pembunuh-pembunuhnya yang gagal" Si Maling Sakti bergumam.
"Sayang, aku tidak sempat mencegah kekejaman mereka"
Thian Jie menyesali kealpaannya, meskipun bertambah juga pengalamannya menghadapi cara kerja para penjahat.
Kealpaannya menyebabkan ke-4 pembunuh yang sudah
terluka bisa mati terbunuh.
"Anak muda, biarlah aku mengucapkan terima kasih atas
bantuanmu" Maling Sakti menyampaikan ucapan terima
kasihnya. "Mana " mana, bantuan yang sebenarnya tidak perlu"


Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian Jie merendah. "Hanya, bila saudara tidak keberatan, sudilah mengembalikan barangku yang sempat terambil tadi"
tambahnya. Wajah Maling Sakti bagaikan kepiting rebus, tetapi
untunglah hari sudah malam, sehingga tiada yang
menyaksikan bagaimana lucu, keki dan malunya si Maling
Sakti. Tetapi sekaligus juga terharu, sudah kecurian malah masih ringan tangan dalam membantunya menghadapi
pembunuhan yang nyaris menelan nyawanya.
"Orang muda, sungguh aku kagum terhadapmu. Maafkan,
naluri malingku memang telah salah penujui saudara muda.
Sudah begitu, saudara masih berkenan membantuku. Maafkan aku" Maling Sakti dengan malu, keki sekaligus terharu
mengucapkan terima kasih dan membuat pengakuan.
"Seandainya sifat gagahmu tidak ditunjukkan melawan
mereka, maka akulah yang akan menghajar kalian semua.
Untungnya saudara seorang yang gagah dan aku percaya,
bukan maksudmu memperkaya diri dengan mencuri barangku"
Thian Jie berkata.
"Sungguh gagah, sungguh gagah. Anak muda, nampaknya
julukanmu yang mengharum akhir-akhir ini tidak salah. Biarlah aku minta maaf untuk kesengajaanku mengujimu. Baru sekali ini Maling Sakti jatuh merek karena salah pilih sasaran"
"Tapi, anak muda, bolehkah aku mengenali dan
mengetahui namamu?"
"Thian Jie, hanya itu yang kutahu" Thian Jie menjawab
singkat tapi hangat bersahabat.
"Baiklah anak muda, sejak saat ini Chit cay sin tho (Maling sakti 7 jari) berhutang nyawa dan budi sedalam lautan.
Apapun yang saudara perintahkan akan kulakukan dengan
sepenuh hati" Maling Sakti berkata.
"Tidak usah seberat itu, sudah jauh lebih baik kita
bersahabat" Thian Jie menjadi tidak enak.
"Tidak, sudah ikrarku sebagai Maling Sakti. Orang pertama yang tahu aku mencuri darinya dan malah menolongku dari kematian. Biarlah kuabdikan hidupku buat Thian Jie, itu keputusanku" Maling Sakti berkeras.
"Saudara, mengapa menjadi seberat dan seserius itu" Thian Jie juga menjadi tidak enak.
"Thian Jie, apa yang harus kulakukan saat ini bagimu?"
Maling Sakti bertanya.
Dan Thian Jie yang sedang mencari jejak Kiam Cim Sin Kay, justru melihat bahwa menugaskan Maling Sakti mencari jejak, justru bisa menolongnya dari 2 kesulitan. Kesulitan mencari jejak Kiam Cim Sin Kay, dan kesulitan menghadapi Maling Sakti yang berkeras mau mengabdi kepadanya. Akhirnya
diapun memutuskan dan berkata:
"Baiklah Sin tho, aku meminta bantuanmu untuk melacak
keberadaan Kim Ciam Sin Kay Pangcu Kaypang, yang kabar
terakhir menghilang di sekitar Pakkhia 5 tahun berselang. Aku dalam perjalanan kesana, paling lama 2-3 minggu lagi sudah berada di Pakkhia"
"Baik, Maling Sakti bertugas" Selesai berkata demikian, Maling Sakti berkelabat meningalkan Thian Jie mendahului ke Pakkhia. Ginkangnya memang istimewa, dalam sekejab sudah berlari jauh meninggalkan Thian Jie yang berdecak kagum melihat kecepatan lari si Maling
-0o~Marshall~DewiKZ~o0Tidak ada halangan berarti yang ditemui Thian Jie dalam perjalanannya menuju Pakkhia (Peking). Memang ada
beberapa kali para pembunuh Thian Liong Pang berusaha
memegat dan menyerangnya, tetapi sampai keluar dari
Propinsi Se cuan, semua hadangan itu tidak mampu
mencederainya. Tetapi memasuki daerah utara Sungai Yang Ce, serangan
tersebut tidak terjadi lagi. Bahkan menjelang akhir bulan ketiga setelah turun gunung, dia sudah berada di kota Raja Kerajaan Chin di Pakkhia. Dia sengaja memilih menginap di sebuah Penginapan yang ramai dan terkenal, yakni di Sing Long Kek-can (penginapan Sing Long). Di tengah keramaian, kehadirannya tentulah tidaklah mencolok.
Karena itu, hari-hari pertama berada di Kota Raja tersebut, Thian Jie banyak menghabiskannya dengan berpesiar
menikmati suasana Kota Raja. Sembari juga menyelidiki
keadaan Kay Pang yang dilihatnya dimana-mana banyak
anggota pengemis. Hanya dia tidak yakin, apakah mereka
mengenal Kim Ciam Sin Kay. Atau malah dia tidak tahu,
apakah pengemis tersebut anggota Hek-i-Kay Pang atau
bukan. Hari kedua menjelang senja ketika Thian Jie kembali ke
kamarnya, dia menemukan di atas mejanya sudah ada sebuah kertas surat yang dikirimkan orang dengan tulisan:
Hati-hati, semua sepak terjangmu di bawah pengawasan
orang. Malam nanti, di sebuah kuil kosong, sebelah barat kota
Surat itu tanpa tanda pengenal, tetapi Thian Jie segera yakin bahwa pengirimnya pasti Maling Sakti. Dan apabila Maling Sakti mengirimkan surat dengan cara demikian, berarti ada hal-hal yang sangat rahasia dan mendesak yang perlu diketahuinya.
Sejauh ini, hanya Maling Sakti yang tahu keberadaannya di Pakkhia, jadi hampir pasti bahwa surat itu dari si Maling Sakti.
Karena pikiran tersebut, Thian Jie kemudian makan malam secepatnya dan segera bersiap menuju ke sebelah barat kota.
Tetapi, karena peringatan surat bahwa ada yang selalu
mengawasinya, maka sedapat mungkin Thian Jie berhati-hati dan berupaya agar tiada orang yang melihatnya.
Tetapi, sungguh tidak terbayangkan Thian Jie kalau
jaringan mata-mata yang membayanginya ternyata demikian ketat. Meskipun dia lolos dari pengawasan orang-orang di penginapan Sing Long, tetapi dia tidak lepas dari pengawasan lapis berikutnya.
Lebih tidak disangkanya lagi, kalau malam itu memang
sudah direncanakan untuk membekuknya sebagaimana pesan
yang diterima dari Se Cuan. Karena itu, ketika kemudian jejak Thian Jie ditemukan lagi, maka pengerahan kekuatan untuk membekuknya segera dilanjutkan lagi.
Tidak kurang dari 50 puluhan orang baik dari Thian Liong Pay dan terutama barisan pembunuhnya sampai para anggota Hek-i-Kay Pang dikerahkan. Bahkan juga dikerahkan bersama beberapa tokoh yang dianggap sanggup dan mampu
mengalahkan dan membekuk hidup atau mati Ceng-i-KoaiHiap. Pendeknya, pendekar muda ini harus dibekuk karena berani melawan dan menggagalkan serangan dan aktifitas Thian
Liong Pang. -0o~Marshall~DewiKZ~0oMenuju Pakkhia Tidak mengherankan, begitu Thian Jie menapakkan kaki di luar tembok kota sebelah barat, dia justru mendarat di
dataran yang ternyata sudah dikepung begitu banyak orang.
Dan manakala Thian Jie belum begitu menyadari keadaan
sekelilingnya, sebuah suara yang berat telah
menyongsongnya:
"Hm, selamat datang Ceng-i-Koai Hiap. Masih sangat muda, tetapi telah menimbulkan kegemparan di Se Cuan. Tapi
sayangnya, Pakkhia bukanlah Se cuan" Seorang yang nampak bertindak sebagai pemimpin menyambut Thian Jie.
"Hm, siapakah gerangan kalian" Tanya Thian Jie setelah
mampu menguasai dirinya dari kekagetan sejenak.
"Apakah siapa kami penting bagimu?" si pemimpin
menjengek dingin
"Tidak penting, karena nampaknya bisa diduga kalian pasti gerombolan pengacau Thian Liong Pang. Tidak salah lagi"
Thian Jie juga makin pandai melayani basa-basi dan saling memojokkan gaya orang persilatan.
"Hahahaha, hanya benar setengahnya anak muda. Tetapi
kebenaran yang setengah lagi sebaiknya ditanyakan kepada Giam Lo Ong" Bersamaan dengan kalimat itu, si pemimpin
mengibaskan tangan dan memerintahkan anak buahnya untuk menyerang Thian Jie.
Tapi mana sanggup penyerang-penyerang ini membereskan
naga sakti seperti Thian Jie" Meskipun masih kurang matang latihan dan masih kurang pengalaman, tetapi kelincahan dan ginkang serta bahkan ilmu silat yang dimiliki, masih teramat jauh dibandingkan barisan pembunuh ini.
Meskipun demikian, diantara para pembunuh ini, ada
sekitar 8 orang yang menjadi kekuatan utamanya. Dan
kedelapan orang inilah yang menghindarkan banyak kawan
mereka dari desakan maut Thian Jie yang bersilat dengan jurus Giok Ceng Cap Sha Kun Hoat.
Tetapi musuh yang mengerubutinya terhitung banyak.
Karena itu, dengan terpaksa Thian Jie mulai mengisi
pukulannya dengan tenaga saktinya. Dan beberapa saat
kemudian mulai jatuh korban di pihak penyerang, meski tidak berakhir dengan kematian.
Tubuh anak muda ini bergerak-gerak bagai naga sakti,
cepat dan kokoh. Tetapi kerubutan itu tidak dengan sendirinya menjadi lebih longgar, dan nampaknya akan makan waktu
cukup panjang bagi Thian Jie untuk memecah pengerubutan itu.
Karena berpikir demikian, selain juga melihat bahwa kedua pemimpin penyerbu ini nampaknya jauh lebih lihay, maka
Thian Jie kemudian menambah tenaga dan kecepatannya.
Dalam beberapa gerakan dan jurus kemudian, kembali 5
orang lawan terjungkal dan tidak bisa melanjutkan
pertarungan lagi.
Melihat pengepungan agak melonggar dengan jatuhnya
lima orang lagi, Thian Jie tidak menunggu sampai
pengerubutan mengetat lagi. Sebaliknya, dengan
menggunakan jurus ke-sembilan dari ilmu keluarganya itu,
"Pualam Hijau menyapu lembah" segera merangsek maju.
Kedua tangannya bekerja dengan cepat melontarkan
pukulan-pukulan lemas yang menyebabkan lawan terpental
bila terkena, terluka meski tidak mematikan. Akibatnya, 3
orang lawan kembali terpukul jatuh, dan Thian Jie tidak mau berayal, kembali kedua tangannya bekerja dan mendorong
dengan jurus "Membersihkan Gunung menggunting awan" dan diikuti dengan terjangan dari atas, kemudian menyusul 3
orang lagi lawan terpukul jatuh.
Sementara itu, kedua pemimpin penyerang yakni Hek-bin
Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) Louw Tek Ciang, yang juga menjadi Tancu Thian Liong Pang di Pakkhia dan Hu-Tancu
(wakil kepala cabang) Twa-to Kwi-ong (Raja Setan Golok
Besar), Ca Bun Kim terbelalak melihat kelihayan si anak muda.
Hanya dalam waktu singkat, kurang dari 20 jurus, sudah
lebih dari 10 orang anak buahnya yang terpukul luka-luka.
Meskipun belum ada satupun dari 8 pasukan pembunuh utama yang terluka, tetapi nampak jelas bahwa pengerubutan itu tidaklah akan membawa hasil yang memuaskan.
"Sungguh telah salah menilai kekuatan lawan" berpikir Hek Bin Thian Sin Pakkhia Thian Liong Pang tancu. Kalau tidak segera dihentikan dan ditahan, anak muda ini akan membuat dan melukai lebih banyak orang.
"Sayang karena memandang enteng lawan, tokoh-tokoh
besar Thian Liong Pang yang berada di Pakkhia tidak
diturunkan" desis Tancu Pakkhia ini menyesali kealpaan
pihaknya. Tapi, sementara sang Tancu berayal menilai situasi,
pukulan dan tendangan Thian Jie sudah kembali memakan
korban. Beberapa orang kembali menjadi korban dan
tergeletak luka tidak bisa ikut melakukan penyerangan lagi.
Dan otomatis jumlah penyerang lambat namun pasti selalu berkurang.
Melihat hal itu, seperti sudah saling mengerti, baik Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) Louw Tek Ciang maupun
Twa-to Kwi-ong (Raja Setan Golok Besar), Ca Bun Kim diam-diam melangkah mendekati pertempuran. Thian Jie
nampaknya tidak menyadari bahaya, karena memang masih
belum cukup berpengalaman menghadapi tipu licik dari dunia hitam.
Dia terus bersilat menggunakan Giok Ceng Cap Sha Sin Kun dan terus menepuk, memukul dan menendang yang dalam
waktu sekian lama sudah hampir 20 orang lawannya yang
tersungkur terluka. Sementara itu Hek Bin Thian Sin dan Twa-to Kwi Ong sudah semakin mendekat, tetapi karena ruang
untuk menyerang nyaris tidak ada dan terhalang oleh banyak anak buah yang menyerang, sulit bagi mereka menemukan
ketika untuk melancarkan serangan bokongan.
Sebaliknya, setiap pukulan dan serangan Thian Jie selalu berhasil mementalkan sekurangnya salah seorang lawannya untuk tidak sanggup bertarung lagi.
Setelah lawannya berkurang banyak, ruang disekitar Thian Jie juga semakin lebar karena yang mengerubuti sudah
banyak berkurang, nampaknya sudah lebih 30 orang, maka
semakin jarang Thian Jie mampu menjatuhkan
pengeroyoknya. Terlebih karena 8 orang pasukan penyerang,
berkepandaian cukup tinggi dan menyerangnya dari seluruh penjuru dan terkadang membantu salah seorang
pengeroyoknya dari kesulitan. Tetapi, sementara itu, Louw Tek Cian dan Ca Bun Kim, tetap menemukan kesulitan untuk melakukan serangan bokongan.
Tetapi yang pasti, mereka sudah sangat siap dipinggir
arena pertempuran, dan semakin lama mereka semakin takjub dengan kepandaian target yang harus mereka selesaikan.
Sungguh di luar perkiraan, dan laporan dari Se cuan
nampaknya kurang lengkap menggambarkan orang yang
harus mereka habisi ini.
Di arena pertempuran, Thian Jie nampaknya
memanfaatkan pertempuran ini untuk mematangkan dan
menguras habis penguasaannya atas jurus-jurus sakti
keluarganya. Sejak awal dia terus dan terus menggunakan jurus-jurus sakti dari Giok Ceng Cap Sha Sin Kun (13 jurus sakti Pualam Hijau) dan terus menggedor penyeroyokan para pembunuh yang mengerubutinya.
Dan perlahan namun pasti korban ditangannya terus
bertambah, bahkan sudah tinggal beberapa orang
pengeroyoknya yang belum dijhatuhkannya. Selain 8 orang pembunuh yang berkerudung hitam sebagaimana yang
mengejar-ngejarnya sejak di Se cuan, tinggal beberapa lagi.
Dan akhirnya, untuk mempercepat pertarungan guna
menemui Maling Sakti, tiba-tiba Thian Jie merubah jurus dan ilmu serangannya. Kali ini dia menggunakan Soan Hong Sin Ciang Hoat (Silat Sakti Angin Badai), sebuah ilmu yang
mengandalkan kecepatan dan membawa perbawa yang
sangat mengejutkan.
Bersamaan dengan itu, nampak kedua tangan Thian Jie
bagaikan baling-baling yang bergerak silang menyilang
dengan cepat dan kemudian secepat kilat pula dia mencelat kekiri dan kekanan mengejar, khususnya 8 pembunuh
berkerudung hitam. Semua pengeroyoknya tergetar ngeri
karena dari seputar tubuh Thian Jie seperti mengeluarkan bunyi dan arus angin badai yang menerpa mereka. Dan arus badai itu menyerang mereka tiada hentinya.
Sebetulnya tidak ada angin dan badai yang sebenarnya,
bahwa arus serangan kilat dan membadai dari Thian Jie
memang nyata. Tetapi angin puyuh dan badai yang
mengancam menerbangkan pengeroyoknya adalah efek dari
kekuatan "batin" atau kekuatan "sihir" yang terkandung dalam serangan tersebut.
Jurus ini memang bertujuan mempengaruhi pikiran dan
mental bertanding lawan melalui efek angin puyuh dan angin badai yang menerpa penyerangnya. Perubahan jurus serangan tersebut menyentak para pengeroyoknya. Bahkan ke-8
penyerangnya tidak bisa berbuat apa-apa, 2 diantaranya
dengan cepat tertotok jatuh bersama dengan 5 orang lagi pengeroyok lainnya.
Dalam waktu singkat dengan menggunakan Soan Hong Sin
Ciang Hoat, Thian Jie mampu mengurangi secara drastis
jumlah pengeroyoknya. Bahkan ketika menggunakan jurus ke-2, "Angin Puyuh Membelah Bumi", kembali 2 diantara 8
pembunuh rebah tertutuk sementara sisa pengeroyok lainnya juga sudah tak sanggup berdiri lagi.
Pada saat arena berkurang drastis itulah tiba-tiba secara bersamaan dua serangan berat dari Louw Tek Ciang dan Ca Bun Kim datang secepat kilat dari arah punggung Thian Jie.
Bersamaan dengan itu, juga dari 4 arah, datang serangan dari 4 pembunuh berkerudung hitam yang masih tersisa.
Thian Jie yang tidak menyadari bahaya dari belakang,
dengan segera kembali bersilat dan memapak ke-4 penyerang berkerudung hitam sambil melepas jurus "angin badai
menghempaskan gunung" dimana kedua tangannya bagaikan
menjadi 8 buah dan bergerak memapas dan mendorong kea
rah 4 orang penyerangnya. Tetapi pada saat yang sama,
serangan golok Ca Bun Kim dan serangan tangan beracun
Louw Tek Ciang sudah menyambar punggungnya.
Dan nampaknya Thian Jie akan tersambar kedua pukulan
berbahaya tersebut, tetapi untungnya pada saat yang sangat gawat tersebut meluncur sesosok tubuh dari luar kalangan dalam kecepatan yang sangat tinggi:
"Tring, blar ?" duk". duk".duk".. duk" nyaris tidak dapat diikuti pandangan mata, serangan Tek Ciang dan Ca Bun Kim telah ditangkis dan dipentalkan oleh seorang pendatang
misterius. Bahkan tangkisan yang mementalkan mereka
membuat mereka sadar bahwa pendatang tersebut orang
yang sangat lihay dan kini berdiri keren dihadapan mereka berdua.
Dan melihat kenyataan ini, dengan saling lirik dan pandang keduanya segera yakin bahwa tidak ada harapan
menyelesaikan tugas malam ini, dan segera keduanya merat.
Sementara itu, Thian Jie dalam waktu bersamaan sudah
menyelesaikan pertarungannya. Benturan terakhir
dimanfaatkannya untuk menutuk keempat lawannya yang
terakhir, dan dia segera menyadari bahwa seseorang telah membantunya menangkis serangan bokongan yang baru
diketahuinya pada saat yang sudah sangat gawat tadi.
Terdengar si pendatang yang juga sangat misterius,
menutupi wajah dengan caping yang sangat lebar dan bahkan juga menutupi wajahnya dengan sepotong kain berwarna
hijau: "Liong Jie, Pakkhia menjadi salah satu sarang utama Thian Liong Pay di daerah utara ini. Hati-hati dan selalu waspada"
Selesai dengan kalimat itu, si pendatang misterius kemudian berkelabat menghilang. Tidak sempat Thian Jie bertanya
sesuatu dan berterima kasih, dan tidak mungkin juga
mengejar karena si pendatang misterius sudah berkelabat menghilang. Tetapi masih sempat terdengar suara lirih:
"Jangan buang waktu menanyai orang-orang itu, tidak akan ada yang bisa kau dapatkan dari mereka. Organisasi ini sangat rahasia, anggotanyapun tidak tahu dimana dan siapa
pemimpin utamanya" Suara tersebut meski lirih dan terasa empuk dan lembut di telinga Thian Jie. Bahkan terkandung kasih saying yang dalam terhadapnya dalam suara itu.
Tetapi yang terpenting, suara itu juga membuatnya
tersentak. Jika dia sampai diserang, bukan tidak mungkin Maling Sakti juga mengalami hal yang sama. Karena itu,
dengan kecepatan bagaikan kilat dia bergerak kearah hutan mencari sebuah kuil kosong sebagaimana ditinggalkan pesan dalam surat dikamarnya.
Setelah lebih kurang setengah jam mengubek-ubek hutan,
akhirnya dia menemukan kuil yang dimaksudkan oleh maling sakti. Tapi sayang, seperti dugaannya, dia datang terlambat.
Di halaman kuil banyak terdapat pengeroyok yang sama
dengan yang baru saja dilawannya.
Bahkan juga terdapat 4 pembunuh berkerudung hitam,
yang tidak seorangpun dikenalnya. Tapi, ada juga satu dua mayat pengemis dan nampaknya anggota Kay Pang diantara
mereka yang menjadi korban pertempuran di kuil kosong
tersebut. Dengan cepat Thian Jie berkelabat kedalam kuil,
pemandangan yang sama juga ditemukannya disana. Hanya,
kali ini beberapa mayat saja yang ditemukannya. Tetapi
selebihnya, kuil kosong itu benar-benar telah kosong, yang ada dan tersisa hanyalah mayat-mayat belaka.
Setelah memeriksa demikian banyak mayat, mengelilingi
kuil kosong yang memang sudah kosong itu, Thian Jie berdiri mematung, nampak berpikir keras. Nampaknya Maling Sakti tidak menjadi korban dari pertempuran yang terjadi di kuil kosong ini.
Tetapi, Maling Sakti sendirian, tidaklah mungkin
mengakibatkan korban kematian sebanyak ini, karena Ilmu Silat Maling Sakti tidaklah sanggup menyebabkan kematian para penyerbu sebanyak ini. Ada dua kemungkinan yang
dipikirkan Thian Jie: Pertama, pemberi kabarnya adalah orang lain dan bukan Maling Sakti. Dan Kedua, pemberi kabar benar Maling Sakti dan ada seseorang atau mungkin lebih yang
membantu Maling Sakti melawan para pembunuh ini.
Dilihat dari korban-korban yang bergelimpangan, Thian Jie yakin dengan kesimpulan dan analisisnya yang kedua. Hanya, pertanyaan sekarang dimana Maling Sakti dan siapa yang
membantunya" Hanya satu dugaan yang berdasarkan fakta ".
Kay Pang. Tapi, inilah yang membingungkan, bukankah Kay Pang di wilayah kerajaan Cin malah menentang Kay Pang
dibawah Kim Ciam Sin Kay"
Tengah Thian Jie termenung kebingungan memikirkan halhal aneh yang ditemuinya tiba-tiba berdesing sebuah benda, tetapi nampaknya tidak diarahkan kepadanya. Dan benar saja, sebuah panah kecil yang dibatangnya diikatkan sebuah kertas tepat terpancang di batang pohon samping Thian Jie.
Setelah mengalami banyak kesulitan akhir-akhir ini, Thian Jie sudah semakin menyadari bahaya dunia Kang Ouw, dan
sudah semakin berhati-hati dalam bertindak. Dicungkilnya anak panah tersebut lepas dari batang pohon dan
dipastikannya tidak ada jebakan dan racun yang melumuri panah dan kertas. Sebuah tulisan singkat terdapat dalam kertas itu, dan nampaknya ditujukan padanya:
Ikuti tanda di bawah ini, Maling Sakti bersama kami


Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SAHABAT Di bawah tulisan tersebut nampak tanda panah bersilang.
Dan bagi Thian Jie, tanpa kata "SAHABAT" dalam surat itu, bahkan tanda "MUSUH" sekalipun, tetap akan didatanginya.
Karena betapapun, dia yang meminta Maling Sakti
mengerjakan sesuatu untuknya. Karena itu, tak ayal lagi Thian Jie kemudian beranjak dan berjalan dengan dipandu oleh
tanda panah bersilang yang nampaknya dimaksudkan untuk
menuntunnya kesebuah tempat.
Tanda panah bersilang itu nampaknya menjauhi kota,
tetapi kemudian memotong hutan dan seperti mengitari kota kearah sebelah utara pintu masuk kota. Berbelok-belok, dan akhirnya tiba disebuah bukit yang agak lebat hutannya.
Thian Jie memasuki hutan tersebut sesuai petunjuk anak
panah bersilang, dan akhirnya tiba disebuah lembah yang agak lapang. Petunjuk tersebut berakhir disana, tetapi tiada seorangpun yang nampak oleh Thian Jie dan tiada tanda-tanda bahwa tempat itu ada yang tinggal atau ditinggali orang.
Tetapi di tengah-tengah ketermanguan Thian Jie,
telinganya yang tajam menangkap adanya sebuah gerak yang sangat halus, terlalu halus malah disamping kirinya. Dan gerak itu pastilah seseorang dengan ginkang yang telah terlatih baik, karena itu Thian Jie segera berseru:
Duel Dua Naga Sakti
"Sahabat yang bersembunyi, silahkan unjuk diri" Serunya sambil kemudian berpaling dan menghadap kesamping kirinya.
Dan benar saja, disamping sebelah kirinya telah berdiri dengan gagah sosok tubuh berpakaian biru, tetapi wajahnya dengan tubuh yang kokoh meski sedikit lebih ramping
dibandingkan Thian Jie.
Wajahnya nampak terang dan simpatik, tetapi yang
membuat terkesima Thian Jie adalah, wajah itu seperti
dikenalnya. Agaknya cukup akrab dengannya. Tetapi orang berwajah simpatik tersebut kemudian berkata:
"Harus dipastikan apakah orang bermaksud jahat atau baik.
Saudara bersiaplah" Seru si pemuda berwajah terang simpatik yang kemudian segera membuka serangan kearah Thian Jie.
"Eh, apa maksud saudara?" Thian Jie bertanya sambil
mengelakkan serangan si pemuda berbaju biru itu.
"Maksudnya, harus diuji dulu apakah saudara bisa
mendatangkan bencana bagi kami atau tidak" Sahut si
pemuda yang kemudian melanjutkan serangannya kearah
kepala dan dada Thian Jie. Malah serangan tersebut menjadi bertambah pesat dan cepat.
Menghadapi serangan semacam itu, mau tidak mau Thian
Jie juga harus berkonsentrasi, apalagi karena nampaknya penyerangnya berkepandaian tidak rendah. Setelah berkelit dari serangan pertama, Thian Jie bermaksud menjajal
kekuatan lawan, dan kedua serangan si pemuda berbaju biru kena ditangkis:
"plak ". plak", keduanya terkejut dan sangat terperanjat serta nampak saling mengagumi lawan. Sekilas kekuatan
keduanya nampak berimbang, bahkan gerakan tubuh juga
masing-masing menunjukkan kegesitan yang sangat
mengagumkan. Keadaan dan kemampuan lawan benar-benar
menggetarkan masing-masing, dan juga mendatangkan rasa
kagum. Tetapi sebagaimana penyakit ahli silat, juga
mendatangkan rasa penasaran untuk terus mencoba dan
menjajagi. Setelah berkali-kali keduanya berbenturan tangan dan
mempertunjukkan kegesitan tubuh dengan jurus-jurus umum, tiba-tiba si pemuda berbaju biru mengganti serangannya.
Nampaknya mulai menggunakan ilmu-ilmu dan gerakan yang
lebih keras dan sambil berteriak bagaikan Naga yang sedang marah untuk menyerang, si pemuda kemudian menerjang
kearah Thian Jie.
Sebuah serangan yang keras dan tajam, bahkan angin
pukulannyapun sudah terasa meski masih jauh dari tubuh
Thian Jie. "Ilmu yang hebat" pikir Thian Jie, dan diapun menjadi girang karena seperti mendapat lawan latih tanding yang sepadan. Dengan cepat dia mengerahkan tenaga
iweekang Giok Cengnya dan memapak serangan tangan dan
kaki si Pemuda baju biru.
Tetapi dia segera mendapatkan kenyataan bahwa isi
serangan dan tenaga si pemuda seperti berlipat kali lebih dari yang sebelumnya. Jauh berbeda dengan benturan-benturan
awal, dan tentu akan sangat malu bila namanya runtuh
ditangan anak muda itu.
Nampaknya karena perbawa Ilmu yang dikembangkan si
pemuda. Untuk memunahkan tenaga serangan lawan, Thian
Jie membiarkan dirinya terpental, sambil kemudian dalam posisi melayang dia menyiapkan meningkatkan kekuatan
Sinkang keluarganya Giok Ceng Sin Kang dan mulai
mengembangkan jurus Giok Ceng Cap Sha Sin Kun.
Kali ini, serangan si pemuda yang nampaknya
mengerahkan Hang liong Sip Pat Ciang yang sudah terlatih baik, disambut oleh Ilmu yang memang sepadan dengannya.
Maka kembali kedua Ilmu Pusaka itu diadu, dan kali ini oleh generasi termuda dari dua pintu perguruan yang dianggap keramat saat ini di dunia persilatan.
"Plak ?" plak, haiiit" kembali terjadi benturan antara
kedua anak muda itu. Kali ini nampak bahwa Thian Jie sedikit lebih unggul dibanding lawannya, tetapi keunggulan itu segera lenyap, karena variasi dan kemampuan beradaptasi dengan jurus-jurus serangan nampak lebih kaya dikembangkan oleh si pemuda baju biru.
Dan nampaknya keduanya mengetahui kelebihan masingmasing, apalagi dari unsur gerakan dan ginkang, keduanya nampak sekali berimbang. Sama-sama gesit, sama-sama ulet dan sama-sama lincah dalam menyerang, menghindar
maupun menangkis.
Pertarungan tersebut berlangsung terus, bahkan sampai
keduanya selesai menggunakan ilmu pukulan masing-masing.
Bahkan mereka sampai tidak menyadari bahwa disekeliling mereka kini berkumpul banyak orang yang berdiri mengagumi pertarungan yang sungguh seru dan menarik ini.
Terlebih, jurus-jurus yang dikeluarkan adalah jurus pilihan yang jarang nongol di dunia persilatan. Jurus-jurus dari orangorang sakti yang dianggap dewa dan dituakan di dunia
persilatan akhir-akhir ini.
Sementara penonton termangu-mangu, dan menjadi
tersentak ketika tiba-tiba terdengar ledakan bak petir.
Kerasnya bukan buatan dan menyakitkan telinga. Ternyata, si pemuda baju biru sudah mengeluarkan Ilmu Pusaka lain dari pintu perguruannya, Pek Lek Sin Jiu dan bergerak dengan jurus "Petir Memenuhi Angkasa".
Luar biasa, sampai-sampai Thian Jie harus mengerahkan
dan meningkatkan kekuatan singkangnya baru bisa mengatasi efek mengerikan Pek Lek Sin Jiu. Tetapi sesaat kemudian, diapun bergerak dan merubah jurus serangannya dengan
Soan Hong Sin Ciang Hoat.
Dia bergerak secepat angin, dan kemudian mengalirlah
arus badai dari tubuhnya dan mulai terasa menyentuh si
pemuda baju biru yang membuatnya semakin kagum dan
penasaran. Keadaan sekitar arena pertandingan menjadi
sangat mengerikan, perbawanya jauh lebih mengerikan
dibandingkan kedua ilmu pertama.
Meski kehebatan Ilmu Pertama juga tidak kurang indah dan dahsyatnya, tetapi Ilmu terakhir ini memang memiliki daya serang langsung ke mental orang. Jadinya terkesan lebih mengerikan dan lebih dahsyat. Para penonton bahkan harus mundur beberapa langkah, dan bahkan terus mundur lagi
ketika ledakan kedua dari si pemuda baju biru malah tambah memekakkan telinga.
Tambahan lagi, angin menderu deru dan suara seperti
angin puyuh dan badai membuat suasana tambah mengerikan dari waktu kewaktu. Gerakan secepat kilat dengan deru badai yang dihasilkannya ditimpali oleh ledakan-ledakan petir yang menyambar-nyambar saling silang dan silih berganti.
Sementara badai dan angin puyuh bertiup-tiup dan
menerbangkan apa saja yang berada disekitar keduanya, juga ledakan petir yang menyebabkan benda sekitar menjadi
gosong. Otomatis para penonton tambah menjauh dan
menjauh menghindari arena yang bisa membuat mereka yang masih berilmu cetek terluka.
Tetapi sementara itu, Thian Jie maupun si pemuda baju
baru sadar bahwa meski ilmu yang dikerahkan sangat
mengerikan, tetapi keduanya menahan tenaga untuk tidak
saling melukai. Keduanya sadar, bahwa pertandingan tersebut meski dengan ilmu-ilmu pusaka dan memiliki perbawa
mengerikan, tetapi lebih mirip latih tanding.
Apalagi, nampaknya si pemuda berbaju biru seperti sudah mengenal lawannya, dan Thian Jie sendiri seperti lupa-lupa ingat. Itulah sebabnya keduanya percaya akan lawan masing-masing, entah bagaimana, dan dengan bebas
mengembangkan kemampuan demi kemampuan dalam batas
yang masih bisa dikuasai masing-masing.
Setelah puas mengembangkan kedua ilmu pusaka masingmasing, keduanya bahkan kemudian juga mencoba jurus yang lain. Si pemuda baju biru, yang bisa ditebak pembaca
bernama Liang Tek Hoat atau si "Si-yang-sie-cao (matahari bersinar cerah)" murid penutup Kiong Siang Han mulai
mengembangkan Ilmunya lebih jauh ditunjang oleh Ilmu
ginkangnya Tian-liong-kia-ka" (naga langit menggerakkan kakinya).
Sementara untuk menandingi keangkeran Ilmu tersebut
Thian Jie memainkan gabungan Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut, dengan menjadikan tangan kiri sebagai
pedang. Bahkan untuk meningkatkan kelincahannya, Thian Jie juga mainkan ilmu ginkangnya Ilmu Jouw-sang-hui-teng
(Terbang Di Atas Rumput). Bila Tek Hoat nampak bergerak ringan dan lincah bagaikan Naga yang menerobos kekiri dan kekanan disertai sepakan dan terjangan yang membahayakan, maka Thian Jie bergerak-gerak pesat bagaikan bayangan dan jarang menginjak tanah.
Tetapi akibatnya, semua petir dan guntur dari Tek Hoat
dan erangan serta kibasan ekor sang Naga bisa ditepis dan dihindari. Sebaliknya, tenaga serangan angin dan badai, bahkan hawa pedang dari tangan kiri Thian Jie, tidak henti-hentinya mengancam Tek Hoat.
Menyaksikan pertarungan dengan kedua jurus ampuh yang
diciptakan 2 cianpwe gaib masa kini, sungguh
mencengangkan. Bahkan rumput-rumput sekitar arena
beterbangan terbawa angin puyuh yang diciptakan Thian Jie, sementara tanah dan bebatuan berlobangan ditimpah Pek Lek Sin Jiu yang beberapa kali dimasukkan untuk menyerang
Thian Jie oleh Tek Hoat.
Ledakan kilat, halilitar dan angin puyuh nampak sudah
menyatu, hingga mirip dengan kejadian alam sebenarnya dan memekakkan telinga dan mengecutkan hati mereka yang tidak memiliki kesaktian cukup dan kekuatan batin yang memadai.
Bila dengan Pek Lek Sin Jiu saja telinga sudah mtergetar sakit, apalagi kini dengan menggunakan Sin Liong Cap Pik Ciang (Delapan Belas Pukulan Naga Sakti).
Unsur Pek Lek Sin Jiu yang dimasukkan dalam jurus ini
memang masih dominan, tetapi sudah ditunjang dengan unsur penggunaan Hang liong Sip Pat Ciang. Karena itu, erangan Naga juga berkali-kali terdengar didorong keluar melalui mulut Tek Hoat.
Sementara untuk menandinginya, tangan Thian Jie menjadi bagaikan pedang yang berkesiutan tajam dan melenyapkan
perbawa halilintar dalam hujan dan badai yang diakibatkan oleh gerak tubuh dan tangannya. Benar-benar pertarungan antara 2 Naga Muda yang sangat sakti, dan membuat mata
para penonton terbelalak kagum disuguhi pertarungan yang sangat jarang bisa disaksikan.
Dalam keadaan bertanding yang seru semacam ini, tibatiba terdengar Tek Hoat berbisik: "Thian Jie, mari kita mencoba kemampuan ilmu kita yang terakhir", sambil berkata demikian tiba-tiba Tek Hoat bergerak secara aneh. Dia bersilat biasa saja, tetapi bagi penonton Tek Hoat seperti berubah menjadi Naga Sakti dan berjumlah demikian banyak, berlari, mengibas dan mengeluarkan letikan kilat yang berbahaya.
Itulah Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti). Menyadari bahaya karena perbawa yang luar biasa itu, tiba tiba Thian Jie menyedekapkan tangan kiri ke dada, dan tangan kanan ke
atas kepala dengan jari-jari terbuka. Inilah Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil
Matahari), tubuhnya tiba-tiba mencelat-celat bagaikan awan putih dan menari-nari mengitari puluhan naga sakti yang diciptakan gerakan Tek Hoat. Bahkan, kilat dan halilintar, juga menyengat keluar dari awan tersebut.
Tetapi, Thian Jie segera sadar, bahwa keduanya ternyata belum cukup matang dalam Ilmu tersebut, dan kesalahan
sedikit saja akan membahayakn nyawa keduanya. Benar,
bahwa keduanya mampu membuat semua orang disekeliling
mereka terperangah, tetapi kekuatan pukulan dan penguasaan atau pengendalian sepenuhnya atas ilmu tersebut, belum
sanggup mereka lakukan.
Dan nampaknya, hal tersebut juga disadari Tek Hoat, tetapi seperti juga Thian Jie, nampaknya sukar baginya untuk
melepas kendali atas penggunaan ilmu gaib tersebut. Keadaan ini jelas sangat berbahaya, karena bila benturan keras terjadi, mau tidak mau keduanya harus dalam keadaan pengerahan
tenaga yang seimbang.
Dan hasilnya, bisa dipastikan keduanya bakal terluka berat, dan pasti butuh waktu panjang untuk memulihkannya. Tetapi, bila pengerahan tenaga tidak seimbang, salah satunya sangat mungkin terluka parah dan bahkan jatuh binasa.
Nampaknya baik Thian Jie maupun Tek Hoat lama
kelamaan menyadari bahaya tersebut. Tanpa mereka sadari, tenaga iweekang yang mereka pergunakan meningkat secara otomatis seiring dengan penggunaan jurus-jurus gaib dari Ilmu tersebut.
Dan nampak jelas, keduanya sudah sulit mengendalikan diri karena ancaman bahaya sangatlah besar. Baru kemudian Tek Hoat menyesal mengapa memulai menggunakan Ilmu
perguruan yang gaib ini sementara penguasaannya belum
matang benar. Hal yang sama juga dirasakan oleh Thian Jie, meski bahaya baginya tidak sebesar Tek Hoat. Segera nyata, bila kekuatan Iweekang Thian Jie, masih seusap diatas Tek Hoat, meski kekuatan Tek Hoat dan keuletan tenaganya, juga luar biasa.
Dalam kondisi berbahaya tersebut, Thian Jie teringat
dengan Ilmu I Hun to hoat, sejenis ilmu hipnotist yang dibuka rahasianya oleh gurunya. Dia berusaha sekuat tenaganya, dengan mengerahkan segenap kekuatan iweekangnya untuk
menahan diri dalam penyaluran sinkang melalui pukulannya dan kemudian disalurkannya kekuatannya juga kematanya
sambil menunggu saat yang tepat guna memandang mata Tek Hoat.
Tetapi kesempatan semacam itu sungguh sulit didapat,
karena tubuh Tek Hoat dikelilingi oleh kabut awan dan ledakan petir akibat lontaran ilmu keduanya. Apa boleh buat, tak ada jalan lain selain membentur dinding perbawa sihir kedua ilmu.
Thian Jie akhirnya memutuskan untuk bergerak cepat guna menyelamatkan kondisi dan keadaan keduanya, tiba-tiba
Thian Jie berteriak lirih tetapi menggetarkan, kedua tangannya digerakkan secepat kilat dalam ilmu gerak Soan Hong Sin Ciang sambil kemudian melontarkan pukulan kilat keras
kearah dinding tersebut. Untungnya, meski sulit menguasai Ilmu tersebut sepenuhnya, tetapi Tek Hoat sudah mengenal Thian Jie, meski Thian Jie belum lagi menyadari lawannya adalah Tek Hoat.
Karena itu, benturan yang disengaja oleh Thian Jie segera menembus dan membentur tenaga halilintar Tek Hoat, dan
akhirnya keduanya terpental mundur. Sebelum Tek Hoat
kembali bergerak, karena masih dalam perbawa Ilmu tersebut, Thian Jie sudah membentak dengan segenap kekuatannya:
"Tahan", serunya dengan suara penuh wibawa.
Sungguh Thian Jie tidak bermimpi bahwa mengerahkan
Ilmu hipnotis dengan kekuatannya yang besar memiliki
pengaruh yang begini besar. Dengan segera Tek Hoat yang menatap matanya tajam nampak tertahan sejenak, sekilas
seperti bingung, tetapi karena tubuhnya penuh hawa sakti, keadaan itu hanya sekitar 2-3 detik semata.
Dia melepas seluruh kekuatannya dan perlahan tertunduk
meskipun hanya untuk sejenak. Tetapi, keadaan yang hanya sesaat itu, sekaligus menyadarkannya akan sesuatu. Bahkan sudah cukup untuk masing-masing melonggarkan penguasaan atas Ilmu yang memiliki perbawa menakutkan tersebut.
Sebenarnya, baik Tek Hoat maupun Thian Jie sudah
memperoleh penjelasan guru mereka masing-masing, bahwa
perbawa menakutkan yang dibawa ilmu masing-masing, akan disebut sempurna bila hanya menguasai "mental" orang yang diserang.
Dan bila diinginkan, bisa memperluas arena penguasaan
sesuai kehendak hati dan itu baru mungkin dilakukan apabila penguasaan ilmu tersebut sudah mencapai titik tertinggi, sehingga bukannya ilmu buat menakut-nakuti orang.
Tetapi, keduanya sadar, bahwa justru ilmu itulah yang
menguasai mereka, sehingga sulit menahan diri
melontarkannya sampai pada tingkat tertinggi. Meskipun
menysali keadaan mereka, tetapi keduanya sudah mempelajari kondisi berbahaya bila mengeluarkan Ilmu yang belum mereka kuasai dengan sempurna itu.
Tek Hoat kemudian dengan segera menguasai dirinya.
Diapun nampak sangat letih dengan benturan kekuatan dan terutama pengerahan tenaga sinkang dan tenaga batin yang luar biasa. Tetapi anak ini memang tidak menyesal dipanggil SI Matahari Bersinar Cerah.
Dengan cepat senyum kembali menghiasi bibirnya meski
letih, dia kemudian menyapa:
"Thian Jie, selamat berjumpa. Sudah lupa lagikah engkau denganku?"
Thian Jie mungkin bisa melupakan Tek Hoat, tetapi sulit melupakan kejenakaan dan wajah simpatik yang selalu
nampak di wajah Tek Hoat yang membuatnya memperoleh
julukan Sie Yang Sie Cao. Karena itu, dengan gembira Thian Jie kemudian berseru:
"Ach, kamu tentu Tek Hoat .... hahahaha, tidak salah lagi, Liang Tek Hoat. Ach, tapi mengapa engkau juga menjadi
sehebat ini?" Thian Jie mengerutkan keningnya meski tetap dengan wajah gembira kemudian merangkul Liang Tek Hoat.
"Hahahaha, Thian Jie " Thian Jie. Sungai itu memang
sudah kuduga tidak punya kuasa menamatkan hidupmu" Tek
Hoat bercanda sambil balas merangkul Thian Jie yang
diselematkannya dari sungai.
"Tapi, bagaimana caranya engkau terlepas dari keganasan sungai itu Tek Hoat?" Thian Jie bertanya. Tapi Tek Hoat kemudian berbisik mengingatkannya:
"Biarlah nanti kita bicarakan urusan tersebut. Banyak hal yang harus segera kita kerjakan".
"Hm, kau benar Tek Hoat. Mari kau perkenalkan aku
dengan sahabat-sahabat kita yang gagah-gagah ini"
Yang pertama maju kedepan adalah Maling Sakti. Tapi si
Maling nampak masih sedang terluka, meski tidak sangat
parah. Maling Sakti ini menjadi semakin ngeri dan takjub memandang Thian Jie setelah melihat pertarungan yang
sangat luar biasa dengan Tek Hoat.
Selain Maling Sakti, nampak juga Pengemis Tawa Gila Hu
Pangcu Kay Pang yang dibelakang mereka nampak banyak
sekali tokoh-tokoh pengemis yang menyertai. Setelah
berkenalan dengan semua tokoh Kay Pang yang berada di
tempat tersebut, akhirnya semua sepakat untuk
membicarakan banyak hal di markas darurat Kay Pang yang ternyata terpendam di balik Lembah yang nampak tidak
berpenghuni itu.
Terutama Pengemis Tawa Gila, yang juga menjadi sangat
kagum dengan Thian Jie. Sejak tadi dia sudah sadar, bahwa pemuda aneh ini pastilah dari Lembah Pualam Hijau, karena bergerak dan ilmu silatnya jelas dari Lembah itu.
-0o~Marshall~DewiKZ~o0Episode 12: Hek-i-Kay Pang (1)
Siang itu, seorang gadis cantik nampak sedang berjalan
memasuki Kota Raja Pakkhia sambil menikmati dan
memandang kesana kemari.
Tentulah baru pertama kali gadis cantik ini memasuki kota raja Pakkhia ini, terbukti dengan seringnya dia memandang kagum kesana-kemari. Gadis cantik ini sebetulnya bukanlah gadis sembarangan, karena gadis ini bernama Liang Mei Lan, putri seorang Pangeran di Kerajaan Sung Selatan. Gadis yang bahkan sudah diberi kepercayaan Kaisar Sung untuk menjadi salah satu pengawal Raja yang terpercaya.
Gadis ini kembali melanjutkan perjalanan setelah tinggal lebih dari 2 minggu di rumah orang tuanya. Kali ini, tugasnya adalah mencari jejak kakaknya dan sekaligus mencari
informasi mengenai Pedang suhunya, Kiok Hwa Kiam yang
masih belum ada kabar beritanya. Setelah bercakap banyak dengan Beng San Siang Eng dan juga dalam perjalanannya
banyak mendapatkan informasi, maka Mei Lan kemudian
memutuskan menuju Pakkhia. Dia bahkan yakin kakaknya
berada di daerah tersebut.
Gadis cantik di tengah kota yang ramai, sudah tentu akan mengundang banyak perhatian. Dan sudah barang tentu, Mei Lan sadar bahwa sudah ada beberapa gerakan mencurigakan yang mengikuti dan mengawasinya kemana saja dia pergi.
Selaku gadis terlatih, hal-hal yang dluar kewajaran dapat ditangkap baik dengan intuisi dan naluri maupun dengan
kemampuan menafsirkan keadaan sekitar.
Tetapi dasar gadis pemberani, Mei Lan justru tidaklah
begitu memperhatikannya. Yang justru rada gelisah adalah salah seorang pengawasnya, yang dari jauh mencermati
gerak-gerik gadis yang dirasa sangat mirip dengan seseorang yang dihormatinya. Pengintip dan pengintai Mei Lan saat ini, memang terdiri dari beberapa kelompok yang berbeda
kepentingannya. Para pengintip itupun berbeda-beda
motivasinya. Ada yang memperhatikan karena kagum atas
kecantikannya, tetapi ada pula yang bukan karena daya tarik fisik Mei Lan.
Ada pengintai dari kelompok Hek -i-Kay Pang dan ada yang dari kelompok Kay Pang sendiri, selain juga disatu sudut nampak Maling Sakti terus dengan ringan mengikuti jejak nona ini. Sudah tentu, kelompok-kelompok pengintai ini
memiliki kepentinan berbeda. Maling Sakti dan kelompok Kay Pang menjadi penasaran dan mengikuti terus Mei Lan karena melihat kesamaan fisik antara Mei Lan dan Tek Hoat.
Para anggota Kay Pang dan Maling Sakti yang belum begitu mengenal Tek Hoat menjadi bertanya-tanya, siapakah
gerangan gadis yang begitu mungil, manis dan cantik ini"
Apalagi Maling Sakti segera mengenal dan mengetahui bahwa gadis cantik ini nampaknya bukan orang sembarangan.
Dari ketenangan si gadis dalam melangkah serta ringanya langkah kaki si gadis sudah memberi isyarat bahwa gadis ini bukan orang sembarangan. Dan menilai seperti ini, sungguh merupakan keahlian Maling Sakti yang jarang ditandingi tokoh lain di dunia persilatan.
Akhirnya, si Gadis cantik nampak memasuki sebuah rumah
makan yang siang itu cukup ramai. Waktu memang sudah
cukup siang dan tentunya sudah merupakan saat yang tepat untuk mengisi perut. Masuknya Mei Lan ke Rumah Makan,
ternyata diikuti Maling Romantis dan nampaknya juga
beberapa orang dari kelompok Kay Pang berbaju hitam.
Mei Lan mengambil meja di sebuah sudut yang memiliki
latar pemandangan kearah keramaian kota, sementara Maling Sakti berada di sebuah meja di sedikit agak ke tengah dan memudahkannya untuk terus mengawasi Mei Lan. Sementara
para Pengemis Baju Hitam nampak rada penasaran karena
tidak lagi memperoleh meja kosong untuk ikut makan siang sambil mengawasi Mei Lan.
Tetapi anak buah para Pengemis Baju Hitam nampak tetap
terus memelototi dan mengawasi rumah makan tersebut.
Mereka seperti memiliki target khusus dan harus dipenuhi dengan terus menerus memelototi rumah makan itu. Bahkan pertukaran info melalui kurir diantara mereka membuat posisi dan kondisi seakan berada di tangan mereka.
Sementara itu, didepan si Maling Sakti duduk nampak
samping dimata Maling Sakti adalah seorang pria yang
nampak terlampau ramping sebagai pemuda dan wajah yang
juga terlalu tampan sebagai seorang laki-laki. Sekali pandang, mata lihay Maling Sakti segera sadar bahwa didepannya
adalah seorang pemudi atau gadis yang sedang menyamar.
Tetapi yang mengagetkan Maling Sakti adalah, sinar
matanya yang menyambar sangat tajam, dan bahkan gerakgeriknya ketika mematahkan batang sumpit tanpa bersuara dan menjadikannya potongan-potongan kecil nampak sangat ringan tetapi khas seorang berilmu. Maling Sakti segera sadar, bahwa didepannya atau dalam warung makan itu ada 2 Naga Betina yang nampaknya sangat sakti.


Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satunya adalah Naga Betina yang menyamar, sedang yang
lainnya nampak santai-santai saja menikmati makanan, meski pandang mata kagum tumplek ke dirinya. Seakan wanita-wanita lain dalam Rumah Makan tersebut seperti bintang yang hilang cahaya ketemu matahari.
Diam-diam Maling Sakti tertegun, mengapa begitu banyak
orang muda yang berkepandaian begitu tinggi" Dia sudah
mengenal Tek Hoat dan Thian Jie dengan kepandaian mereka yang begitu menggiriskan. Terlebih Thian Jie yang memiliki perbawa yang mengesankannya, bahkan cenderung
menghormat dengan berlebihan. Dan kini, kembali dia
bertemu 2 tokoh muda sakti, anak gadis pula, yang
nampaknya bukan orang sembarangan.
Dimanapun dan kapanpun, pasti akan ada laki-laki iseng
yang suka tak tahu diri cari perkara. Apalagi memang sering, yang diusili lelaki ceriwis dan tak tahu diri pastilah cantik jelita, dan mereka yang usil akan semakin berani apabila si gadis cantik lemah lembut dan tak sanggup memberi perlawanan.
Dan memang, perempuan-perempuan di tempat demikian,
mau tidak mau harus melayani tamu dengan hormat, bahkan dengan mengorbankan gengsi dan harga diri bila perlu.
Menjadi lebih berani dan nekad lagi, apabila beberapa cangkir arak telah mengaliri darah pria ceriwis. Dan itulah yang dilakukan beberapa pria disudut lain yang dengan larak-lirik genit memandang kearah Mei Lan yang sedang makan.
Kemudian mereka berbisik-bisik seperti sedang berunding harga atau entah apa. Yang pasti, focus percakapan mereka agaknya memang tertuju kepada Mei Lan yang dalam hatinya tersenyum-senyum. Dan tiba-tiba salah seorang dari mereka yang berkumis tikus dan berpakaian cukup indah, nampak
berdiri dan melangkah penuh keyakinan kearah meja Mei Lan.
"Nona yang cantik, kita seperti pernah bertemu, tapi
dimana yach?" dengan gaya menyebalkan. Sangat
menyebakan malah. Tetapi, Mei Lan sama sekali tidak
berpaling dan menggubrisnya. Sudah biasa dia diperjalanan diusili orang, dan pengalamannya, dengan didiamkan saja pasti akan jera dengan sendirinya. Karena itu, dengan lahap dilanjutkannya makan siangnya tanpa sedikitpun menggubris si pengganggu.
Bahkan melirik si pengganggu usil itupun Mei Lan tidak.
Sebaliknya, malah seperti terkesan acuh-tak acuh dan seperti merasa tidak terganggu saja.
"Ach, jika tidak salah kita pernah bertemu di rumah
perjamuan Bhok Kongcu. Ingatkah Nona?" Si kumis tikus terus merayu. Meskipun bagi telinga Mei Lan, suara itu bukan suara rayuan, tetapi suara tembereng yang sangat memuakkan dan tidak enak di telinga.
"Dan memang, Nona menjadi pusat perhatian karena
begitu anggun dan memikat. Apakah Nona sudah lupa?" si
kumis tikus terus melancarkan rayuan tanpa menghiraukan orang.
Mei Lan tidak bergeming, menolehpun tidak. Tetapi terus melanjutkan makannya yang nampaknya sebentar lagi selesai.
"Apakah Nona tidak bersedia memberi muka bagi kenalan
lama?" Si kumis tikus terus berburu dan memburu.
"Lagi pula di siang terik ini, duduk dan makan sendirian kan sayang, seperti tidak menghormati cerahnya suasana hari"
"Phuiiih, uh, terlalu pedas" Mei Lan seperti menggerutu, tetapi kuah-kuah makanannya seperti tidak sengaja mengenai muka dan badan si kumis tikus. Dan sebelum si kumis tikus bicara, Mei Lan sudah berseru:
"Pelayan, tolong dibawakan air minum. Kuah ini agaknya
terlalu pedas" Panggil Mei Lan sambil pura-pura mengipasi mulutnya yang nampak seperti kemerahan menahan pedas.
Tetapi sementara itu, si Kumis Tikus sedang diketawai oleh kawan-kawannya karena muka dan sebagian bajunya jadi
berlepotan kuah yang tak sengaja tersembur dari piring di depan Mei Lan. Sementara itu, nampak si Pemuda yang
menyamar dan Maling Sakti menahan ketawa, karena
nampaknya dia mengerti cara yang digunakan Mei Lan untuk menggebah si pengganggu.
Tetapi sayang, si muka tikus ternyata tidak tahu diri. Dia masih tetap ngotot untuk merayu dan melanjutkan usahanya yang menyebalkan itu. Tetapi, memang kemudian terdengar nada suaranya berubah menjadi kaku tanda dia mengalami
sebuah sentakan yang tentu memang tidak menyenangkan.
Apalagi karena dia kemudian menjadi bahan tertawaan dan bahan ejekan teman-temannya:
"Nona, pakaianku telah dikotori kuah dari piring nona,
begitu juga wajahku. Tolonglah dibersihkan biar perhubungan kita tetap terpelihara dangan baik" Nekad, mungkin karena malu diketawai kawan-kawannya, disamping sudah termakan oleh "air kata-kata" (Arak).
Tetapi, kembali Mei Lan tidak bergeming, dan bahkan
kembali melanjutkan makan yang tidak lama kemudian
memang selesai. Tetapi dalam hati, Mei Lan sendiri merasa puas telah memberi hajaran dengan mempermalukan laki-laki yang memang nampak tidak tahu malu dan sengaja
mengganggunya. "Ach, sudah lama tidak makan sekenyang dan sepuas ini di siang yang indah" Mei Lan bergumam sambil kemudian
berbenah membersihkan yang perlu dibersihkan termasuk
mulutnya. Dia minum air minum yang telah disediakan, dan dengan gaya seperti tidak terjadi apa-apa.
"Nona, apakah engkau tidak mendengar kata-kataku?" Si
kumis tikus makin penasaran dan nadanya mulai berubah
setelah melihat dia sama sekali tidak digubris. Tapi Mei Lan justru sengaja melanjutkan aktivitasnya tanpa sekalipun menggubris orang yang semakin kayak kebakaran jenggot.
Jangankan menggubris, melirik dan melihat ke arah si kumis tikus yang semakin tidak genahpun tidak.
"Hm, tak sangka ada gadis manis sekasar dan sesombong
engkau" Kali ini si Kumis Tikus menjadi naik darah. "Enak saja perempuan ini, di kota ini siapa yang tidak menghormat
melihatku" pikir si kumis tikus. Ditambah dengan pengaruh arak dan kesombongannya yang tersinggung dengan cara dan gaya orang yang tidak memperdulikanya, maka
kehormatannya menjadi tersinggung.
Karena itu, tiba-tiba si kumis tikus mengulurkan tangannya hendak menyentuh pundak Mei Lan dengan cara yang sangat tidak sopan, atau malah dengan cara yang kurang ajar.
Tetapi, tiba-tiba terdengar suara "Braaaaak", tubuh besar si Kumis Tikus tiba-tiba terjengkang ke belakang tanpa bisa ditahan lagi.
Bahkan si kumis tikuspun tidak mengerti bagaimana
caranya tiba-tiba dia kehilangan keseimbangan dan
terjengkang ke belakang. Entah bagaimana, tak seorangpun tahu, kecuali nampaknya Maling Sakti dan si Pemuda yang menyamar. Keduanya melihat dengan jelas bagaimana dengan cepat dan tepat, kaki kiri Mei Lan bergerak sedikit, sedikit saja.
Dan tenaga dorong dari gerakan kaki itu, sudah cukup
menghilangkan keseimbanga si kumis tikus yang setengah
mabuk untuk seterusnya terjengkang ke belakang, tanpa tahu apa sebabnya. Kecuali, dari kakinya yang kesemutan dan
seperti mendorongnya ke belakang dan terjengkang.
Sungguh mengenaskan. Sungguh belum pernah si kumis
tikus mengalami kejadian memalukan dan kehilangan muka
separah ini. Yang lebih menyakitkan, tiba-tiba terdengar suara ngakak, bekakakan, di belakangnya, dan tentu suara kawan-kawannya yang menertawakannya. Mereka berpikir, si kumis tikus sudah kehilangan keseimbangan dan kesadarannya
sampai kemudian terjengkang kebelakang.
Agaknya merekapun tidak sadar apabila Mei Lan yang
membuat si kumis tikus terjengkang. Gadis secantik dan
semungil Mei Lan, mana mungkin sanggup mendorong dan
menjengkangkan si kumis tikus ke belakang. Karena itu,
mereka malah menertawakan si kumis tikus dan
memandangnya sebagai orang tak becus.
Segitu saja bisa membuatnya sampai terjengkang
kebelakang dan tidak bisa menguasai dirinya. Situasi itu tambah membuat wajah si kumis tikus menjadi merah
membara. Marah, kesal, malu dan kehilangan muka
membuatnya menjadi bukan saja kikuk dan malu, tetapi juga menjadi marah besar.
"Hahahaha, Kui Kongcu, bukan ikan yang didapat, tetapi
malah kecebur ke sungai" seorang kawan si kumis tikus yang ternyata dipanggil atau bernama Kui Kongcu menyindir.
Tetapi, si muka tikus Kui Kongcu, menjadi semakin heran, bagaimana bisa dia terjengkang.
Dan dia mulai curiga terhadap Mei Lan, tapi apa mungkin nona semungil dan semanis ini mampu melakkannya"
Lagipula, bagaimana caranya melakukannya". Karena itu,
dengan muka masam, marah dan kebingungan dia
memandang galak kearah Mei Lan yang tetap tidak
menggubrisnya dan kemudian melangkah ke tempat duduknya sambil berkata, "Aku menyerah, silahkan kalian saja yang menyunting bunga indah itu", Sambil berkata demikian dia duduk di kursinya dan selamat dari kejadian yang lebih
memalukan. Tetapi kejadian yang lebih memalukan, kemudian dialami
oleh temannya yang lain, yang dipanggil Bhok Kongcu.
Pemuda yang berperawakan sedikit lebih pendek dari si kumis tikus dan nampak bahkan malah lebih ceriwis dan lebih tidak tahu malu. Atau mungkin, siapa memang yang tidak menjadi tidak tahu malu setelah menenggak arak dalam takaran yang berlebihan" Dengan langkah penuh percaya diri, tegap dan dada membusung, dia mendatangi Mei Lan yang mulai gusar karena ternyata dipergunjingkan kawanan yang menyebalkan ini:
"Nona yang cantik, bolehkah kita berkenalan" Aku bersedia mengantar nona berkeliling kota Pakkhia sambil menikmati keindahan kota ini. Itupun bila nona bersedia" Tetapi Mei Lan, seperti juga sebelumnya tetap diam, tidak bergeming dan tidak menggubris si pengganggu.
"Mari nona, perkenalkan, namaku Bhok Kongcu. Kita bisa
menikmati keindahan Pakkhia di sore hari" terus membujuk dengan gayanya yang memuakkan. Keadaan yang kemudian
rupanya membuat Mei Lan sudah mulai gusar, dan
mempertimbangkan memberi hajaran kumpulan anak muda
bangor ini. Karenanya, terdengar dia berkicau:
"Sayang, kota yang indah, rumah makan yang enak, tapi
banyak sekali lalat lalat tak berguna merusak suasana"
"Tapi memang lalat-lalat kan banyak terdapat dimana-mana nona, di Pakkhia, tentu juga banyak" Bhok Kongcu belum
sadar dipermainkan. Belum sadar bahwa dia dan kawankawannya sudah dianggap dan disamakan sebagai lalat yang mengganggu.
"Ya, lalat-lalat seperti kalian, pemuda bangor tak punya kerjaan benar-benar merusak keindahan Pakkhia" berkata Mei Lan tanpa berpaling memandang Bhok Kongcu. Karuan dan
segera wajah Bhok Kongcu menjadi merah padam, bahkan
kawan-kawannyapun menjadi tersinggung disebut lalat-lalat tak berguna yang mengotori kota Pakkhia.
Bukan itu saja, si kumis tikus yang tadinya sangat kepincut, juga menjadi merah padam saking malu dan marahnya, sama dengan Bhok Kongcu yang menjadi murka dan keki.
"Nona, mulutmu terlalu tajam dan lancang. Aku
memintamu untuk mohon maaf kepada kami semua dan
meralat kata-katamu yang sangat menghina itu, jika tidak .."
"Jika tidak apa", kau mau mengganggu seorang gadis di
rumah makan?" potong Mei Lan sebelum Bhok Kongcu
menyelesaikan kalimatnya.
"Dan apakah kalian punya kemampuan selain hanya lalatlalat tak berguna yang bisa diusir dengan mengepakkan
tangan?" Hebat makian Mei Lan, bahkan kawan-kawan Bhok
Kongcupun mengerang marah. Tapi Bhok Kongcu yang
terdekat dan yang paling mungkin lebih cepat, serta
nampaknya punya sedikit bekal, telah mendahului dengan
mendorong punggung Mei Lan dan menyerang.
Tetapi, seperti yang diucapkan Mei Lan, dengan hanya
mengibaskan tangannya dalam jurus "Mengibas Gelombang
Angin" dari Bu Tong Pay, tiba-tiba Bhok Kongcu terlempar kearah kawan-kawannya. Sungguh mudah, atau terlalu mudah malah. Bahkan 2 orang yang mencoba menyanggah Bhok
Kongcu, juga ikut-ikutan terjengkang oleh tenaga kibasan Mei Lan yang memang sengaja telah memutuskan memberi
hajaran kepada kelompok anak muda yang suka mengganggu
gadis itu. Tapi sayang, lalat-lalat tak berguna, demikian Mei Lan
mengibaratkan kelompok pemuda bangor ini, tidak cukup
cepat tanggap. Lagipula, karena memang mereka sudah
terpengaruh oleh banyaknya arak yang mereka minum.
Sebaliknya, dua dari mereka yang tidak terjengkang sudah maju mengirim pukulan kearah Mei Lan. Karena tidak cepat sadar dengan kebobrokan mereka, Mei Lan memutuskan
memberi hajaran lebih, karena itu kedua penyerang kali ini mengalami nasib yang lebih buruk.
Mereka kembali terjengkang oleh kibasan lengan baju Mei Lan dan bahkan terlempar lebih jauh dibanding Bhok Kongcu.
Untunglah bukan maksud Mei Lan untuk melukai mereka
dengan parah dan sekedar memberi mereka hajaran setmpal.
Segera setelah mereka terjengkang dan menimpa meja kursi di belakang Mei Lan, gadis itu kemudian berdiri diiringi pandangan kagum dan senang dari si pemuda yang
menyamar karena gadis itu memberi hajaran kepada para
pemuda bangor yang sombong itu.
"Sungguh lalat-lalat yang memuakkan dan menjemukan.
Pakkhia sungguh malang memiliki kalian yang tidak berguna"
Mei Lan berkata untuk kemudian membayar, termasuk biaya kerugian yang diakibatkan para pemuda bangor itu dan
seterusnya berjalan ke luar rumah makan dengan tidak lagi melirik kelompok anak muda bangor yang memuakkan itu.
Tapi, begitu melangkah ke luar, Mei Lan sudah dihadang
oleh belasan Pengemis Berpakaian Hitam penuh tambaltambalan. Bahkan salah seorang pemimpin dari belasan
pengemis itu kemudian menegur:
"Nona, sungguh berani engkau mengganggu Bhok Kongcu
dan Kui Kongcu berenam. Hayo, masuk dan minta maaf
kepada mereka" Si Pengemis berkata dengan muka dan sikap mengancam. Tetapi bukannya takut, Mei Lan malah
tersenyum manis sambil bertanya,
"Apakah kalian juga ingin menerima gebukan serupa
dengan mereka?" ingin dilemparkan dan terjengkang untuk kemudian malu ditontoni orang banyak yang berlalu lalang?"
"Nona, apakah engkau berpikir kemampuanmu sudah
demikian hebat hingga tidak memandang kami sebelah
matapun" si pemimpin para pengemis mendesis gusar.
Betapapun dia merasa memiliki bekal cukup untuk hanya
meringkuk seorang gadis kecil yang nampaknya membekal
kepandaian yang memadai itu. Terang dia tersinggung.
Apalagi, dia harus mengelus dan membela anak-anak muda
yang ayah mereka adalah donator bagi perkumpulan mereka, dan dibalas dengan perlindungan dan keamanan.
"Ach, bukankah aku sedang memandang kalian sekarang?"
memandang pengemis baju hitam yang sedang membela para
pemuda berandalan tak tahu malu. Atau, jangan-jangan,
kalian adalah anjing tukang pukul peliharaan pemuda pemuda bangoran itu?" Hebat makian Mei Lan meskipun diucapkan
sambil tersenyum-senyum manis dan mengesankan bahwa
Mei Lan sama sekali tidak takut dan jelas takkan mengikuti permintaan si pengemis.
Pemimpin para pengemis baju hitam itu naik pitam, tapi
lebih murka lagi anak buahnya. Tanpa dapat ditahan lagi, mereka kemudian bergerak mengepung dan bahkan
menerjang Mei Lan yang mereka duga berilmu cukup. Sayang dugaan mereka hanya benar sedikit. Yang benar, bekal ilmu Mei Lan lebih dari cukup untuk menghajar para pemuda dalam Rumah Makan dan juga jauh mencukupi menghajar pengemis
baju hitam itu.
Karenanya, seperti melenggang-lenggok semata, Mei Lan
berkelit kesana kemari, dan dalam lima enam gerakan
berikutnya, tangannya ikut bergerak dan tahu-tahu, 3 orang pengemis mengaduh kesakitan. Tiba-tiba, dengan langkah
kaki aneh, Mei Lan kembali mengirimkan 3 pukulan yang
menghajar 3 pengemis lainnya. Untungnya, Mei Lan tidak
berhasrat melukai berat para pengemis itu, karena itu
pukulannya hanya berisi tenaga hempasan yang membuat
pengemis2 itu bertumbangan.
Dan sekejap kemudian, tinggal si pemimpin yang masih
berdiri, sementara sisanya mengaduh-aduh dan merintih
kesakitan karena tulang yang keseleo atau otot terkilir. Baru sekarang mereka memandang takjub dan kaget, karena
ternyata anak gadis yang cantik mungil dan mereka duga
gampang dibekuk ini, ternyata membekal kepandaian yang
lihay. Para pemuda dalam rumah makan makin takut dan terkejut
melihat kehebatan Mei Lan, dan otomatis hasrat mereka untuk mengganggu lenyap seketika. Bahkan mereka kemudian
bersyukur karena hanya mendapatkan hajaran ringan dan
tidak sampai membuat mereka bercacat.
"Hm, Nona, anda sungguh hebat. Tapi, tunggulah
pembalasan Hek-i-Kay Pang" Si pemimpin para pengemis
mendengus dan memerintahkan anak buahnya untuk berlalu.
Berlalunya para pengganggu, membuat selera Mei Lan untuk melanjutkan perjalanan menikmati kota menjadi sirna dan buyar.
Kejadian itu membuatnya merubah tujuan dan dengan
cepat dia memalingkan wajah mencari sebuah penginapan.
Untungnya masih tersedia cukup tempat dan kamar di
Penginapan terbaik di Pakkhia, Penginapan Sing Long Kek Can. Karena memang penginapan ini sehari-harinya selalu ramai dan padat, dan memang disenangi banyak pengunjung yang datang berkunjung atau berpesiar melihat lihat Kota Raja Pakkhia.
Karena itu, di penginapan ini selalu terdapat banyak jenis manusia, baik para pelancong biasa dari luar kota, bahkan juga para kaum pedagang yang melintas, juga pejabat dari daerah yang punya urusan di Kota Raja, sampai ke kaum
persilatan. Tidak heran bila penginapan ini selalu ramai dan jarang sekali punya kamar kosong.
Mei Lan memperoleh sebuah kamar di lantai 3. Dan begitu memasuki kamar dia langsung membersihkan diri dan berniat untuk segera mengaso atau istirahat sejenak melepas lelah.
Tetapi, baru saja dia membersihkan tubuh dan berniat
istirahat, dia melihat sehelai lembar kertas yang nampak seperti baru ditimpukkan masuk kekamarnya dengan tulisan: Hek-i-Kay Pang menunggu nona Di Hutan sebelah timur
pintu gerbang kota menjelang malam. Jika berani menghina, harus berani bertanggungjawab.
Mei Lan tidak menyangka urusan akan ditarik memanjang
dari sekedar memberi hajaran para pemuda bangoran,
pemuda hidung belang yang suka mengganggu anak gadis
yang kebetulan cantik. Tapi persetan, pikirnya, toch menjelang malam masih cukup panjang, masih cukup waktu untuk
beristirahat memulihkan tenaga, memulihkan kondisi badan yang baru melakukan perjalanan cukup jauh. Memangnya
siapa takut dengan Hek-i-Kay Pang" pikir Mei Lan, dan dengan begitu saja diapun beristirahat. Jika dia mengenal Hek-i-Kay Pang lebih jauh, bukannya takut, Mei Lan malah akan merasa senang, karena bgisa berurusan dengan sempalan Kay Pang ini.
-0o~Marshall~DewiKZ~o0Adakah sesuatu yang mengkhawatirkan atau menakutkan
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 18 Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja 11

Cari Blog Ini