Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pendekar Gunung Lawu
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Upload pertama : Buyankaba
Editor ulang : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
TIRAIKASIH WEBSITE
http://kangzusi.com/ http://dewikz.com
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebagaimana keadaan hampir semua gunung yang
terdapat di Pulau Jawa, Gunung Lawu pun terkenal akan keindahan pemandangan alamnya. Tawangmangu, Sarangan dengan telaganya yang luas, Cemara Semu, dan masih banyak pula tempat-tempat indah merupakan kebanggan Gunung Lawu. Para pelancong yang datang mengisirahatkan pikiran mereka yang penat dan panas karena terlampau banyak diperas di dalam kota, mendapat kenikmataan lahir batin jika telah berada di lereng Gunung Lawu. Tubuh mereka yang lelah terasa sehat segar karena hawa gunung yang sejuk seakan-akan membersihkan ruang dada seakan-akan
membersihkan ruang dada mereka yang kotor berdebu.
Pikiran yang biasanya selalu penuh dengan siasat dan tipu-tipu di dalam perjuangan mencari uang, halal maupun haram, menjadi tenang tentram jika mereka telah berada di Tawangmangu. Jika para pelancong itu menyewa kuda atau berjalan kaki dari Tawangmangu menuju ke Sarangan, di sepanjang jalan mereka akan menikmati tamasya alam yang indah mengagumkan. Kekuasaan Tuhan nampak nyata,
kebesaran hasil ciptaan Tuhan terbentang luas, bersih daripada hasil ciptaan manusia yang lebih banyak
mendatangkan pertengkaran dan kesulitan daripada
perdamaian dan kebahagiaan.
Seperti biasa pada suatu hari pagi-pagi sekali beberapa orang tukang kuda telah berkumpul sambil menuntun kuda masing-masing di depan Hotel "Permai" di Tawangmangu.
Mereka tahu benar bahwa dari sepagi itu belum waktunya bagi para pelancong keluar dari hotel. Orang- orang kota itu tak tahan hawa dingin dan mereka masih sayang
meninggalkan bantal guling dan kamar yang melindungi mereka sari embun pagi yang dingin meresap tulang. Karena yakin bahwa masih banyak waktu bagi mereka untuk menanti pelancong-pelancong itu keluar, para tukang kuda berkumpul mengelilingi pikulan Pak Danu yang penuh dimuati teh dan kopi panas, goreng ubi, dan beberapa macam makanan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gunung. Mereka mengopi sambil mengobrol, seperti biasa membicarakan pengalaman mereka dengan para pelancong di hari-hari yang lalu. Para pelancong orang kota tentu tak pernah menyangka bahwa bapak-bapak gunung yang sering mereka bicarakan dan cela karena kesederhanaan dan kebodohan mereka itu, kini sedang mempercakapkan dan menertawakan kebodohan dan kecanggungan orang-orang kota yang menganggap diri lebih pintar itu!
"Penyewaku kemarin yang punya mobil biru itu, sungguhpun kelihatan gagah berani, tetapi ketika kudanya naik bukit di pingir jurang, lalu gemetar ketakutan dan turun dari kuda, padahal kuda itu telah kutuntun. Ia rela berjalan kaki sehingga kudaku menganggur saja. Untung bagiku, kudaku tak sangat lelah," bercerita Pak Karyo.
"Penyewaku lebih lucu lagi. Ia berpakaian seperti cowboy..."
"Apa itu cowboy?" Tanya Sarju kepada Jiman, tukang kuda yang masih muda dan tidak berbaju di pagi sedingin itu.
"Engkau belum pernah melihat Cowboy" dulu ketika aku pergi ke pamanku di Solo, pernah aku menonton gambar hidup yang menggambarkan Cowboy-cowboy pandai naik kuda. Nah, ia berpakaian cowboy dan lagaknya seperti lagak yang kulihat di gambar hidup ketika mula-mula ia memiliki kudaku. Tapi, ketika meninggalkan Tawangmangu belum juga sampai di Cemara Sewu, ia terpaksa, membatalkan
maksudnya. Bahkan pulangnya ia berjalan kaki bersamaku."
"Mengapa?"
Jiman tertawa. "Jalannya pincang-pincang. Hampir aku tak dapat menahan tawaku. Engkau tahu mengapa ia pincang dan tak berani naik kuda pula" Pantatnya lecet! Baru juga naik kira-kira sejam, pantat cowboy kuda itu sudah lecet. Ha-ha!"
Suara ketawa Jiman disusul oleh kawan-kawannya sehingga serentak mereka tertawa gembira.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang aneh sekali penyewanya," berbicara Pak Kadar. "Ia seorang setengah tua, gerak-gerik dan tutur sapanya halus-halus. Ia naik kudaku perlahan-lahan, dan aku menuntunnya.
Ketika sampai di Cemara Sewu, ia minta beristirahat. Dan dikeluarkanlah bekalnya roti dengan isinya kuning-kuning entah apa namanya. Akupun lalu mengeluarkan ubi bakar yang kubawa dari rumah. Lalu apa yang terjadi" Ia minta aku bertukar makanan! Ia makan ubiku dengan lahap dan enaknya! Sungguh lucu sekali orang kota itu."
"Bagaimana rasa rotinya?" bertanya seorang kawan.
"Rasanya memang wangi, tanpa terlampau asin."
Demikinlah, ramai mereka membicarakan orang-orang kota dengan gembira, orang-orang kota dengan kelakuan yang mereka anggap ganjil. Jiman menggerutu mengapa orang-orang kota belum juga ada yang keluar dari Hotel.
Mereka tidak tahu bahwa seorang daripada para tamu yang tiba kemarin sore dengan otobis dari Solo, sejak ayam mulai berkokok tadi telah meninggalkan kamarnya. Ia adalah seorang pemuda tanggung, bertubuh kurus dan berpakaian celana panjang dan kemeja lengan panjang pula berwarna kuning gading. Ia datang seorang diri dan menuliskan namanya di buku hotel, Pamadi. Telah berjam-jam ia duduk di atas sebuah batu besar di atas bukit kecil. Bukit itu tak jauh letaknya dari hotel, ia hanya menggunakan waktu sepuluh menit untuk menyapanya. Bagaikan kena pesona dan lupa diri ia duduk seorang diri di tampat yang sunyi itu, berkawankan burung-burung yang berkicau bersahut-sahutan di atas pohon, menyaingi bunyi jengkrik dan kokok ayam jantan yang makin lama makin mengurang.
Ketika sinar matahari telah membayangkan fajar
menggantikan malam sehingga embun yang bergulung-gulung tak tampak sehitam tadi, kini agak keputih-putihan dan dapat ditembus pandangan mata, sngguhpun matahari sendiri masih bersembunyi tempat duduknya dan menuruni bukit dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebelah sana yang menuju ke jalan, dari mana ia langsung menuju ke hotelnya.
Beberapa orang tukang kuda mengelilinginya. "Sewa kuda, den?"
"Ini kuda baik, gus."
"Mari naik kuda saya, dan ia jinak seperti domba. "
Demikian mereka berebut menawarkan kuda, namun yang ditawari hanya menggelengkan kepala lalu duuk di atas sebuah daripada kursi-kursi yang disediakan di depan hotel.
Pamadi datang ke Tawangmangu baru sekali itu, dan bukan maksudnya untuk sengaja berpesiar atau mencari
kesenangan, sungguhpun setelah tiba di situ tiada putusnya ia mengagumi keindahan tamasya alam. Ia datang ke
Tawangmangu memenuhi dorongan sesuatu yang ganjil, seakan-akan ada sesuatu menggerakkan kehendaknya untuk segera pergi dan melihat Tawangmangu.
Pamadi adalah seorang pemuda yatim piatu. Ia sudah tak ingat sama sekali bagaimana rupa ayahnya. Tapi ia masih ingat bahwa ibunya aalah seorang wanita cantik dan bahwa semenjak berusia lima tahun ia ditinggal ibunya yang menyerahkannya ke dalam asuhan Asmara Taman Harapan, Tempat anak Yatim-piatu dirawat. Bertahun-tahun ia menderita kesedihan rindu kepada ibunya. Tapi lambat-laun perasaan sedih itu dapat juga diatasinya, bahkan kini ia hamper tak ingat bagaimana bayang-bayang suram belaka dalam ingat bahwa ibunya bernama Mintarsih.
Sepuluh tahun ia dirawat dan dididik di dalam Asrama itu, menjadi kesayangan semua pengasuh dan guru asrama itu karena sangat rajin, penurut dan pandai. Ia mendapat didikan seperti di sekolah dan disamping itu ada pendidikan pelajaran vak dan Pamadi memilih bagian mesin.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena tiada sanak keluarga, maka setamatnya pendidikan di Asrama itu, Pamadi tetap tinggal di situ dan bekerja membantu pekerjaan para pengasuh. Ia ikut mengajar dan mendidik anak-anak yatim piatu yang diasuh di situ.
Sambil mengenang nasibnya, Pamadi mendengarkan
percakapan para tukang kuda yang masih saja mengerumuni pikuan Pak danu.
"Mana Pak Wiro Jerangkong (tengkorak)" Mengapa ia dan kudanya belum kelihatan?" Pamadi heran mendengar ada orang yang bernama demikian ganjil dan serem, maka ia perhatikan percakapan mereka lebih lanjut.
"Mungkin Jim Dawuk (Jim berarti setan; Dawuk warna kelabu) mengamuk lagi," kata Pak Karyo tukang kuda yang tua.
"Akupun pernah dengar tentang Jim Dawuk mengamuk, bagaimanakah ceritanya, Pak Karyo?" Tanya Jiman, dan Pamadi makin tertarik hatinya.
Pak Karyo mengisap rokok kelobotnya (kelobot ialah nama kulit jagung dan dipakai orang penggulung rokok) dan mengejap-ngejapkan matanya, nampaknya senang sekali mendapat ketika untuk menceritaan sesuatu yang menarik.
Setahun atau lebih yang lalu, pada suatu senja ketika Pak Wiro Jerangkong sedang mencangkul kebun, nampak olenya seekor kuda berbulu dawuk berlari-lari bagikan gila. Ia segera mengejarnya karena menyangka bahwa kuda itu milik seorang tetangga yang terlepas dan kabur. Kuda itu menyepak dan menyeruduk sana-sini, menghancurkan pikulan Mangun yang penuh makanan, dan ketika akan ditangkap ia menyepak Bardiman hingga terpental berguling-guling, lalu memasuki warung Mas Darmo. Dan di situlah kuda setan itu tertangkap setelah merusak warung Mas Darmo dan melukai tiga orang lain."Pak Karyo berhenti sebentar untuk menyedot-nyedot rokoknya yang hamper padam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lalu bagaimana, Pak" mendesak Jiman.
"Memang kuda itu cocok untuk menjadi kuda Pak Wiro Jerangkong. Belum pernah aku melihat kuda seganjil Jim Dawuk atau orang seaneh Pak Jerangkong. Kuda itu tak mungkin dapat ditangkap. Galaknya bukan kepalang.
Dihampiri dari belakang, dia menyepak-nyepak, dari depan, ia menggigit-gigit. Akhirnya Pak Wiro Jerangkong tampil ke depan. Dihampirinya kuda itu dari depan dan ia membaca mantera. Entah mantera apa yang dikomat-kamitkan di bibirnya itu, hanya terdengar olehku ketika ia membuka manteranya yang berbunyi: "Hong, Nir Baya Sedya Rahayu!"
Dan... ajaib, kuda itu menjadi jinak dan menurut saja dipasangi kendali oleh Pak Jerangkong.
Ia berhenti pula. Semua orang, terhitng Pamadi yang kini telah mendekati mereka, sangat tertarik dan memandang wajah Pak Karyo seakan-akan tergantung pada bibirnya.
"Lalu bagaiamana?" pertanyaan ini diucapan oleh lebih banyak dari dua mulut.
"Yang aneh sekali, Pak Jerangkong mengakui kuda itu sebagai miliknya dan ia rela mengganti semua kerugian.
Kerugian Mangun, ongkos berobat Bardiman dan beberapa orang lain yang kena sepak dan juga kerugian Mas Darmo.
Sehingga rumah gubuknya, milik satu-satunya, dijual untuk membayar semua pengganti kerugian itu. Coba pikir, gila tidak orang itu."
"Kudanya aneh orangnya pun aneh. Mungkin kedua-duanya gila," mengomentar seorang pendekar.
"Eh, jangan berkata sembarangan. Mungkin kuda itu keturunan iblis, pernah kudengar kata orang Pak Jerangkong membakar dupa di depan kuda itu tiap malam jumat," berkata Jiman.
Pada data itu beberapa orang pelancong keluar dari hotel.
Segera sekalian tukang kuda berdiri dan menghampiri mereka,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dahulu-mendahului menawarkan kuda mereka. Tak lama kemudian habislah semua itu dituntun oleh masing-masing tukang kuda, seorang tukang kuda yang pergi paling akhir, tiba-tiba berseru, "He! Pak jerangkong, mengapa engkau terlambat datang?"
Pamadi segera memandang kearah tukang kuda itu
melambaikan tangan. Dari jalan yang menurun datang seorang tua sambil menuntun seekor kuda tinggi. Setelah mereka dekat, tampak oleh Pamadi betapa cocoknya kuda dengan penuntunnya itu. Kudanya berbulu abu-abu, namun terbayang sesuatu yang tidak terdapat pada muka kuda biasa.
Sesuatu yang mengerikan. Entah mulutnya yang selalu memperhatikan gigi karena bibir atasnya ditarik ke atas itu.
Entah sepasang matanya yang seperti mata manusia, mengandung gerak seakan-akan mengerti seperti pengertian orang itu, atau entah jambulnya yang tinggi melambai di antara kedua telinganya itu. Tubuhnya tinggi kurus, keempat kakinya panjang-panjang dan bagian bawah dari kakainya semua berbulu putih. Nyata bahwa kuda itu tidak mendapat perawatan cukup baik. Pamadi lalu mengalihkan perhatiannya kepada penuntun kuda yang tak kalah ganjilnya. Orangnya tinggi kurus seperti kudanya pula. Ia tak berbaju sehingga nampak tulang-tulang rusuknya. Kepalanya gundul dan berdaging sedikit juga pada mukanya, sehingga membuat mata dan pipinya mencengkung ke dalam. Demikianpun lengan tangannya tampak hanya tulang dan kulit belaka.
Pantas saja ia disebut Jerangkong. Seandainya celana hitam panjang yang menutupi kedua kakinya itu dilepaskan, tentu ia akan menyerupai tengkorak hidup benar-benar.
Ia menuntun kudanya perlahan-lahan menuju ke halaman depan Hotel "Permai" lalu mendekati tiga orang pelancong laki-laki yang tadi tidak kebagian kuda.
"Naik kuda, den?" Suaranya besar dan parau, tak bersemangat dan kedua matanya memandang acuh tak acuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiga orang tamu itu saling berbisik, kemudian dia antara mereka mendekati tukang kuda kurus itu.
"Engkaukah yang bernama Pak Jerangkong" Dan kuda setan ini kudamu yang disebut Jim Dawuk?" tanyanya.
"Barangkali Tuan mendengar obrolan orang-orang gila itu,"
jawabnya, "namaku Wiro Singo dan kuda ini Si Dawuk."
Ketiga orang itu berbisik-bisik pula dan seorang di antaranya berkata,
"Siapa orangnya mau naik kuda setan dan dikawani oleh seorang mayat hidup seperti dia" Hi! Berdiri bulu tengkukku!"
Perkataan yang bersifat olok-olok ini terdengar oleh Pamadi di dekat mereka. Tiba-tiba timbul rasa kasihan dalam hatinya kepada orang tua kurus itu, lalu segera dihampirinya Pak Wiro Singo.
"Pak, kudamu akan kusewa. Antarkan aku ke Cemara Sewu." Pak Singo memandangnya dengan matanya yang lebar dan dalam.
"Baik, den. Naiklah."
Pamadi hendak mencela sebuatan "den" itu, tapi tiba-tiba seorang yang berpakaian cowboy datang membalapkan kudanya menuju tempat mereka. Ia adalah seorang pemuda gagah dan melihat keadaan sepatu serta pakaiannya yang serba mewah itu, tahulah orang bahwa ia tentu akan orang kaya. Di belakangnya datang pula seorang lain menunggang kuda juga.
"Ah, den, jangan membalap saja. Kuda ini tak mungkin dapat lari secepat si Rimang. Saya kuatir engkau akan sesat jalan nanti."
Pemuda itu tertawa sobong, "Bukan salahku. Aku tidak biasa naik kuda merayap seperti keong!" Kemudian ketawanya makin keras ketika ia melihat Pak singo dan Si Dawuk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ha, ha! Lihatlah kuda jahanam itu, Alangkah kurus kering dan buruknya. Barangkali sudah sebulan tak kau beri makan, ya pak?" oloknya kepada Pak Wiro Singo.
"Biarlah, den. Ia masih marah karena kemarin ia terlempar dari punggung Si Dawuk. Bukan
salah Si Dawuk, salahnya sendiri karena ia sombong dan memukul Dawuk dengan
tongkatnya. Dawuk meloncat tinggi dan ia terpelanting."
"He! Pak Kurus! Tulikah engkau" Sudah kau beri makan kudamu yang kelaparan itu" Ha, ha!
Kutanggung kuda edan itu tak kuat lari lebih dari satu kilometer. Apalagi membalap. Kuda
kelaparan seperti tukangnya!" Agaknya pemuda itu masih marah mengingat halnya kemarin.
Sudah terpelanting jatuh, masih ditegur oleh Pak Singo karena memukul kudanya. Tapi
mendengar olok-olok itu Pak Singo diam saja.
"Mari den, kita berangkat," ajaknya kepada Pamadi. "Hari telah siang," Pamadi tidak asing
lagi duduk di punggung kuda. Di Asrama Taman Harapan ada dua ekor kuda penarik andong
(dokar) direktur yayasan, dan sejak memelihara dua ekor kuda itu, memandikan dan
memberinya makan. Maka sering pula ia naik kuda, bahkan tanpa pelana pun ia sanggup
membalapkan kuda yang ditungganginya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah mendengar ajakan Pak singo, iapaun segera meloncat ke atas pungung Dawuk dengan
sugapnya, lalu menjalankan kudanya dengan diiringi Pak Singo yang berjalan kaki di
sampingnya. "He, Pak Kurus! Beri makan dulu kudamu itu, nanti ia kelaparan. Eh, buyung! Hati-hati kalau
kuda itu lapar, engkau akan dimakannya! Ha,ha!"
Pamadi yang sejak tadi merasa kasihan kepada Pak Singo dan menahan marah mendengar
ejekan dan hinaan pemuda sombong itu, segera menahan kendali kudanya dan bertanya
kepada Pak singo,
Pak, bolehkan kudamu ini kupakai berpacu melawan dia?"
Pak singo memandangnya heran,
lalu tersenyum dan mengganguk, "Boleh tadi sudah kulihat, engkau pandai menunggang
kuda. Aku tidak khawatir!"
Pamadi lalu memutar kudanya dan menghampiri pemuda sombong yang masih duduk di atas
Si Rimang sambil tertawa menyengir.
"Sobat, engkau terlalu menghina orang!" tegur Pamadi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemuda itu melebarkan matanya, tak disangkanya bahwa Pamadi akan berani menegurnya.
"Eh, eh, si buyung ini... lihat... ha, ha! Seperti Citraksi naik kuda kepang!" Sekalian orang
tertawa melihat lagak nakal dan mendengar sindirannya yang lucu itu. Tapi banyak pula yang
tak senang dan merasa penasaran melihat
kesombongannya.
"Pakaianmu seperti cowboy, tentu engkau pandai naik kuda. Beranikah enkau berpacu
melawan aku?" Pamadi menantang, tak perdulikan sindirannya yang menghina itu.
"Melawan engkau" Di atas kudamu itu" Awas buyung, jangan-jangan engkau akan terbanting
mampus!" "Berani tidak?" Pamadi mendesak.
"Eh, jangan sombong, kawan. Apa taruhannya?"
"Aku bukan orang kaya, tapi... tunggu dulu...!" Pamadi meloncat turun dan lari ke kamarnya. Diambilnya seluruh miliknya, ialah tas pakaian berisi beberapa stel pakaian dan uang. "Nah," katanya, "Ini milikku semua. Ambillah kalau engkau dapat mengalahkan aku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pemuda itu menggerak-gerakkan hidungnya seakan-akan mencium sesuatu yang berbau busuk. "Aku tidak membutuhkan tas bobrok dengan isinya yang tak berharga itu.
Begini saja, kalau kau kalah, engkau harus menjadi penuntun kudaku dari sini ke Sarangan. Bagaimana?"
"Jadi!" Jawab Pamadi. "Dan kalau aku menang...?"
Pemuda itu tak menjawab, hanya tertawa masam. "Engkau tak mungkin menang," katanya.
"Bagaimana juga, harus berjanji dulu," mencela seorang daripada tiga pemuda pelancong yang tadi menolak tawaran Pak Singo. Mereka memperhatikan perdebatan itu dengan tertarik dan gembira.
"Aku tak ingin engkau menjadi penuntun kudaku," kata Pamadi, "karena tentu engkau takkan kuat berjalan kaki sejauh itu. Taruhanku begini, kalau aku menang, engkau harus minta maaf kepada Pak Wiro Singo, karena hinaanmu tadi dan mencium tangannya tanda hormat."
Pemuda itu memerah muakanya, memandang bergantiganti kepada Pamadi, Si Dawuk, dan Pak Singo dengan mata merah.
"Baik!" geramnya. Tiga orang pemuda pelancong itu dengan gembira, lalu mencari batas perlumbaan. Diputuskan bahwa mereka harus mulai dari depan hotel menuju ke selatan dan balik kembali setelah mengelilingi bukit kecil di belakang hotel.
Pamadi dan pemuda cowboy itu bersiap di atas kuda masing-masing dan setelah seorang pelayan hotel yang keluar pula menyaksikan pertandingan itu memberi tanda dengan kebutan saputangan, kedua pembalap itu melarikan kuda mereka. Pertama-tama Si Dawuk dengan segera melalui setengah putaran bukit. Pamadi mendekatkan kepalanya kearah telinga Si Dawuk berbisik, "Tolonglah Pak Jerangkong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Benar-benarkah engkau kalah olenya?" Ia tepuk-tepuk punggung Dawuk.
Seolah-olah mengerti akan maksud penunggangnya, Si Dawuk segera menggerakkan keempat kakinya dan membalap sekuat tenaga. Jambulnya mengacung ke atas bagaikan tiang bendera peperangan. Keempat kakinya tak menginjak bumi lagi agaknya. Pamadi memicingkan mata. Angin menderu-deru di kedua daun telinganya. Leher bajunya kemasukan angin hingga bajunya menggembung di punggungnya. Sebentar saja tersusullah cowboy itu dan tertinggal jauh sekali, Pamadi mencapai tempat semula dengan sambutan tampik sorak riuh gembira. Tapi Pamadi tidak memperhatikan itu semua, hanya memandang kearah Pak Jerangkong yang menatapnya
dengan wajah bangga.
Pemuda cowboy itu datang dan disambut sorakan dan tertawa ejekan. Mukanya merah paam.
"Hayo turun, dan bayar taruhanmu!" kata Pamadi, tapi lawannya itu hanya memandang benci, lalu mencambuk kudanya meninggalkan tempat itu, diiringi oleh kawannya yang mengantar tadi.
"Hei," tegur Pamadi, tapi Pak Jerangkong segera menghampirinya.
"Biarlah ia pergi, den. Mari kita berangkat saja."
"Namaku Pamadi, pak, dan tidak pakai segala macam raden."
"O, maaf... nak Pamadi," jawabnya tersenyum dan pemuda itu turut pula tersenyum.
Pamadi menyewa seekor kuda lain untuk Pak jerangkong dan mereka berangkat menuju
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cemara Sewu. Tas Pamadi yang kecil itu dibawa oleh Pak jerangkong. *** Indah sungguh pemandangan di sepanjang perjalanan. Pamadi merasa seakan-akan bermimpi. Dari atas tebing tinggi ia memandang ke bawah, di mana terbentag keindanhan alam hijau menguning menyedapkan mata, pikiran, dan jiwa. Suara burung-burung berkicau
menyedapkan telinga dan perasaan. Harum kembang mawar yang tumbuh di depi jurang-jurang, bau rumput-rumput hijau yang dihiasi air embun mengintan, dan bau bumi yang sedap itu memenuhi hidung dan kerongkongannya, masuk ke dada bersama-sama hawa udara yang segar, jernih dan sejuk.
Berkali-kali ia terhenti dan menanyaan keterangan kepada Pak Jerangkong tentang nama
sesuatu bukit dan dusun. Ketika mereka sampai ke sebuah tempat yang penuh dengan pohon liar dan alang-alang, Pamadi melihat sebuah dtempat jauh. Bukit itu berwarna lain daripada bukit-bukit lain yang mengelilingi tempat itu.
Warnanya kehitaman-hitaman, penuh pohon dan nampak menyeramkan.
"Itu bukit apa, pak ?" tanyanya.
"Yang menjulang ke atas itu disebut Pronggondani," Pak jerangkong menerangkan.
"Pringgodani kerajaan Gatutkaca?"
Pak jerangkong tersenyum mengganguk. "Begitulah kiraya."
"Tapi maksudku bukan yang tinggi itu, pak. Lihatlah bukit hitam di sebelah kiri itu. Nah, itu.
Apakah nama bukit itu?"
"Itu..., itu aku tidak tahu..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jawaban dan suara Pak Jerangkong membuat Pamadi tiba-tiba memalingkan muka
memandangnya. Dilihatnya wajah penuh keriput itu
menjadi pucat. Ia heran.
"Tidak tahu" Sungguh aneh, pak. Semua bukit engkau ketahui namanya, kecuali yang satu ini,
justru bukit ini yang teristimewa dari yang lain..."
"Marilah kita terus, den. Jangan membicarakan hal itu..."
pamadi makin heran tapi ia terpaksa
memajukan kudanya mengikuti kuda Pak jerangkong.
Setelah mereka memasuki hutan pohon cemara dan jati, Pak Jerangkong berkata,
"Maafkan aku, den. Tadi aku tidak berani membicarakan gunung itu karena masih kelihatan. Gunung itu adalah gunung tak bernama dan di situ terdapat hutan-hutan lebat. Tak seorangpun pernah naik ke sana."
"Mengapa, pak?"
"Karena mereka takut. Di sana ada sebuah gua angker yang disebut Gua Siluman. Lagipula tidak ada jalan menuju ke gunung itu karena dikelilingi jurang-jurang yang sangat curam dan tak mungkin dapat dilalui orang. Kata orang gunung itu sangat angkar, bahkan orang yang berani membicaraannya pada waktu gunung itu nampak di depan mata, berarti akan mendatangkan malapetaka."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam hatinya, Pamadi tak percaya akan tahyul ini, tapi ia sangat tertarik. Ia hendak bertanya lagi, tapi tiba-tiba Si Dawuk mengeluaran smua ringkikan yang keras dan ganjil.
Kuda itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya sehingga Pamadi hamper saja terpelanting. Pak Jerangkong nampak pucat, kudanya pun memberontak dan memekik-mekik.
"Salahmu, den..." bisiknya. "Celakalah kita..."
"Kenapa, pak...?"Tanya Pamadi, tengkunya terasa dingin.
"Penjaga gunung mencari mangsa..."
Belum sempat Pamadi menggunakan pikirannya untuk
memahami arti kata-kata ini, mendadak dari alang-alang di sebelah mereka terdengar suara gerengan hebat. Kuda Pak Jerangkong bagaikan peluru meriam meluncur maju melarikan diri dengan Pak Jerangkong seakan-akan bertiarap membujur di punggungnya.
Si Dawuk mengeluarkan teriakan ganjil pula, teriakannya sangat keras melebihi kerasanya suara gerengan tadi, dan Pamadi melihat kepala seekor harimau besar yang telah keluar dari alang-alang cepat menghilang ketika Dawuk meringkik.
Setelah meringkik sekali lagi, Si Dawuk lalu memutar tubuh dan terbang pergi, membawa Pamadi yang telah lemas ketakutan itu mendekam di atas punggungnya. Arah yang diambil oleh Si Dawuk menuju ke jalan yang dilalui tadi. Tapi makin lama makin cepatlah lari Si Dawuk, melompati jurang-jurang kecil sehingga membuat Pamadi gemetar ketakutan.
Pemuda itu merangkul leher kudanya dan mencengkeram rambut Si Dawuk sambil menutup kedua matanya. Berjam-jam Dawuk lari bagaikan terbang, lebih cepat daripada ketika berpacu dengan cowboy di depan hotel tadi.
beberapa jam itu seakan-akan berbulan-bulan bagi Pamadi.
Tubuhnya lelah dan lemas, kepalanya pening. Hampir ia tak kuat menahan lebih lama. Hanya keteguhan hatinya saja yang memungkinkan ia tidak terlepas dari punggung Dawuk. Ia tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tahu ke mana kuda itu menuju, dan ia hanya dapat
menyerahkan nasinya kepada jemaat kaki Dawuk yang bergerak tiada hentinya itu. Di dalam hatinya ia yakin bahwa sejam atau dua ja saja lagi dalam keadaan demikian, ia tentu akan menyerah. Kedua telapak tangannya telah terasa panas dan pedas dipakai mencekau bulu Dawuk dengan kerasnya, sedangkan tubuhnya diguncang-guncangkan demikian
hebatnya. Untung baginya, tiba-tiba ia merasa kuda itu memperlabat larinya dan akhirnya Si Dawuk hanya berjalan perlahan-lahan.
Pamadi membuka matanya. Pertama-tama ia memandang ke sekeliling. Tampak olehnya pohon-pohon besar dan bunga-bunga yang indah permai. Alangkah indahnya tempat itu.
Kemudian dipandangnya Si Dawuk. Mulut kuda itu terbuka mengeluarkan nafas bergulung-gulung di depan mukanya yang berpeluh. Matanya yang bersinar ganjil itu seakan-akan berseri-sri gembira. Tiba-tiba timbul rasa kasih yang besar dalam hati Pamadi kepada kuda itu. Dipeluknya Si Dawuk dengan mesra. Ia merasa bahwa kuda itulah kawan satu-satunya yang dapat diandalkan di tempat yang asing dan ganjil ini. Kembali ia memandang sekeliling. Cahaya matahari yang kini telah membubung tinggi menembus celah-celah daun pohon yang lebab dan rindang.
Tiba-tiba terdengar suara melengking. Suara itu sangat merdu, sayup-sayup sampai tertiup angin seakan-akan sinar matahari yang membawanya turun dari angkasa. Kemudian lengking itu menurun naik dan melangu. Lagu yang ganjil.
Pernah ia mendengar suling ditiup orang dalam lagu Jawa, lagu India, atau lagu Tionghoa. Tapi lengking ini bukan melaguka lagu yang pernah didengarnya. Bukan lagu Jawa, India ataupun Tionghua, namun terdapat kemiripan dengan ketiga-tiganya. Tak tahu ia lagu apakah itu, yang ia tahu pasti ialah bahwa lagu itu tentu lagu ketimuran. Ia yakin hal ini dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yakin pula bahwa alat yang berbunyi itu tentu suling atau semacam itu.
Si Dawuk mengeuarkan suara rintihan. Pamadi menengok dan melihat telinga kuda itu bergerak-gerak, lalu keempat kakinya bertindak maju menuju kearah suara suling. Pamadi mengikutinya dengan hati berdebar. Setelah melalui beberapa deretan mawar hitam yang lebat dan sedang berkembang dengan indahnya, mereka sampai pada sebuah lapangan di tengah-tengah lingkungan deretan mawar, lapangan bundar yang berumput hijau segar. Lapangan itu dilindungi oleh beberapa pohon kemuning di sekitarnya dam daun-daun pohon itu merupakan atap kuning kehijau-hijauan. Beberapa buah batu hitam yang besar dan berbentuk segi empat berada di tengah-tengah lapangan.
Di atas batu yang terbesar nampak duduk seorang tengah meniup sulingnya. Ia adalah seorang tua yang berwajah sehat. Tak sebuahpun guratan usia tua menghias kulit mukanya sehingga kalau saja tiada rambut, kumis dan jenggot yang putih bagaikan benang-benang perak halus itu, tentu muka itu lebih pantas menjadi muka seorag kanak-kanak.
Pakaiannya hanya kain putih bersih dibelit-belitkan ditubuhnya. Suling yang dipegang dan sedang ditiupnya itu berbentuk aneh, berwarna hitam mengkilat berbengkok-bengkok seperti tubuh ular dan ujungnya menyerupai kepala naga.
Ketika sampai kira-kira dua puluh lagkah jauhnya dari tempat orang tua itu, tiba-tiba Si Dawuk berhenti, dituruti oleh Pamadi. Kuda itu mengeluarkan suara ringkikan perlahan dan ketika Pamadi memandangnya, kuda itu ternyata telah menekuk kaki depan dan mendekam seakan-akan berlutut.
Pamadi merasa bulu tengkuknya berdiri dan dengan tak terasa ia pun menekuk lututnya dan berlutut dengan khidmat, tak berani memandang orang tua itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba suara lengking suling merendah danmakin perlahan sehingga akhirnya lenyap. Setelah suling berhenti terdengarlah lengking suara belalang dan jengkerik yang seakan-akan mengiringi lagu suling itu.
"Ha, ha, ha..." Orang tua itu tertawa, suaranya halus ringan, "Terpujilah Tuhan dan sekalian ciptaanNya. Engkau kembali, Dawuk" Dan membawa oleh-oleh untukku" Bagus, bagus..." Ia turun dari batu tempat duduknya dan menghampiri mereka. Tangan kanannya yang putih kemerah-merahan itu mengelus-elus jambul Si Dewuk.
"Berdirilah!" perintahnya dan Dawuk berdiri perlahan, mencium-cium tangan orang tua itu. Pada saat itu Pamadi mencium bau harum cendana.
"Dan engkau, anak, telah lama kuharap-harapkan perjumpaan ini. Siapa namamu, nak?"
Pamadi menyembah hormat. "Saya bernama Pamadi.
Dengan tak sengaja saya telah datang ke sini mengganggu tempat bapak yang suci ini. Mohon diampunkan kelancangan saya."
Orang tua itu tertawa. "Bagus, Pamadi. Kedatanganmu memang sudah kehandak Tuhan. Engkau suka menjadi
muridku?" Pamadi menyembah lagi dengan girang. "Tiada yang lebih saya sukai daripada menjadi murid bapak yang mulia."
Kembali orang tua itu tertawa gembira. "Bagus, bagus.
Nah, marilah Bantu aku mencangkul kebun sayurku di lereng gunung sebelah utara itu!"
Pamadi heran melihat tangan gurunya menunjuk ke sebuah bukit di utara yang nampaknya sangat jauh. Namun ia tak berkata apa-apa, hanya mengikuti kakek ajaib itu dengan patuh, mendaki bukit kecil menurun jurang, mengikuti kedua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kaki gurunya yang sangat ringan melangkah maju tak menghiraukan tubuhnya yang telah lelah.
*** Sembilan tahun telah lalu dengan cepatnya. Pamadi kini berusia dua puluh empat tahun. Tubuhnya tegap dan sehat wajahnya selalu bergembira seakan-akan mengeluarkan cahaya ganjil seperti yang nyata nampak dari wajah gurunya.
Selama sembilan tahun itu, Pamadi menerima latihan-latihan jasmani dan rohani yang luar biasa. Tercapai olehnya segala ilmu dan rahasia hidup. Segala macam kesaktian dan kedigdayaan telah diturunkan oleh kyai itu kepadanya. Ilmu pencak silat yang tinggi-tinggi dan belum pernah dilihatnya, ilmu gaib yang luar biasa, teruatama ilmu kebatinan yang mambuka mata batin dan kesadarannya membuat jiwanya tenang, pikirannya tentram dan pandangannya jernih. Ia kini bahkan pandai pula meniup suling buatannya sendiri dari kayu cendana. Pamadi merasa bahagia.
Pada suatu sore gurunya memanggilnya. Ia melihat
gurunya tengah duduk di atas batu di dalam gubug
samadhinya. Ia segera maju berlutut dan menyembah.
Sepasang mata yang dilindungi alis tebal memutih itu terbuka perlahan dan muutnya bersenyum.
"Pamadi, ingtkah engkau telah berapa lama engkau berada di sini?"
Pamadi memandang gurunya. "Kurang lebih sembilan tahun, bapak guru."
"Ya, sembilan tahun. Selama itu engkau telah mempelajari berbagai ilmu dan pengetahuan. Tahukah engkau apa maksudku mengajarkan sekaliannya itu kepadamu?"
"Agar saya dapat menjadi pembela keadilan dan kebenaran?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dengan dasar apa engkau menjadi pembela keadilan dan kebenaran?"
"Berdasarkan kewajiban sebagai manusia."
"Baik, Pamadi. Engkau masih ingat akan segala pelajaranmu. Yang terpenting dari semua palajaran itu adalah kesadaran jiwamu. Segala kesaktian dan kekuatan tubuhmu itu hanya di lahir saja dan akan lenyap kelak bersama-sama tubuhmu, tapi kesadaran jiwa takkan lebur bersama jasmani.
Dan inilah yang membahagiakan perasaan hatiku, nak. Jika di masa datang engkau menghadapi sesuatu yang tak
terpecahkan olehmu atau kepadaku dan sekalian ajaranku."
"Saya akan memperhatkan semua pesanmu yang suci, bapak guru."
"Nah, sekarang tibalah saatnya untuk aku memberitahukan perpisahan kita Pamadi."
Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Perpisahan?"
"Ya, nak. Diantara segala kewaspadaan yang kuajarkan kepadamu, hanya kewaspadaan melihat kejadian yang belum terjadi tak kuajarkan. Ini kusengaja, Pamadi, karena pegetahuan ini berbahaya dan dapat mempengaruhi batin dan jiwa. Soal-soal yang belum terjadi serahkan saja saja kepada Yang berkuasa, karena segala kehendakNya tentu terjadi, tak perduli engkau telah mengetahui sebelumnya atau tidak. Tapi menyerah buan berarti putus asa, nak. Di dalam
penyerahanmu akan semua akibat terakhir engkau harus berdaya, berikhtiar sekuat tenaga melalui saluran perbuatan benar. Muridku, sungguhpun engkau dank au tak dapat mati musnah namun pakaian kita yang berupa badan jasmani ini tentu kembali kepada asalnya. Akupun tak terkecuali. Badanku yang sudah tua ini akhirnya tentu mati dan musnah. Dan kini tibalah saatnya aku melepaskan tubuh tua ini, Pamadi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Alangkah sedihnya hati pemuda itu mendengar kata-kata ini, tapi ilmunya yan tinggi membuat ia dapat menahan derita matanyapun tidak bergerak menyatakan keharuan hatinya.
"Bagus, nak engkau telah pandai pula menguasai perasaan hatimu, sekarang dengarlah. Setelah aku pergi dari tubuh ini, engkau harus membakar gubug ini dan biarkan tubuhku terbakar pula di dalamnya. Kemudian turunlah dari bukit ini dan mulailah merantau untuk memenuhi tugas hidupmu."
Pamadi menyembah lagi dan berkata, "Baik guru."
Mengingat bahwa sat itu mungkin merupakan pertemuan terakhir dengan gurunya, tak tertahan hatinya untuk tidak mengajukan pertanyaan yan telah bertahun-tahun terpendam di hatinya.
"Maafkan saya, bapak guru, bolehkah saya bertanyakan sesuatu?"
Gurunya tersenyum. "Tanyalah, tak baik kalau kelak engkau terganggu oleh keragu-raguan."
"Sebenarnya, siapakah nama guru" Saya ingin benar mengetahui."
"Pamadi, apa artinya sebutan dan nama bagimu" apa bedanya kalau aku bernama atau tidak" Ingat, nama hanya sebutan orang, nak. Kita terlahir tak bernama. Tuhanpun tidak bernama."
"Benar, bapak guru, namun saya ingin sekali mengetrahui nama seorang yang paling kucinta, kuhormati dan kupuja."
"Sttt, jangan berkata bodoh."
"Maaf, bapak guru yang mulia, dahulu aku pernah medengar adanya seorang Tionghoa yang mencapai kesucian sehingga disebut dewa, namanya Tan Tik Siu Sian dan yang kabarnya bertapa di gunung ini. Bapak guru sendirikah orang itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ha,ha, Pamadi. Jangan menghubungkan aku dengan siapa juga. Apakah bedanya Tan Tik siu Sian dan aku" apakah bedanya engkau dengan aku" Sudahlah, kalau engkau masih penasaran, sebut saja aku Kyai Lawu."
"Terima kasih, guruku yang mulia."
"Nah, cukuplah kiranya nak, sudah terlampau lama aku menahan diri."
Pamadi menanti pesan selanjutnya, tapi tak terdengar apa-apa dari gurunya. Ketika ia memandang, ternyata Kyai Lawu sedang bersamadhi dengan sikap yang agung. Iapun tak berani mengganggu dan segera menyontoh gurunya,
bersamadhi pula. Dengan tak terasa semalam telah terlewat.
Tiba-tiba Pamadi telah tersadar dari samadhinya. Ia heran, belum pernah ia tersadar dengan demikian tiba-tiba. Seakan-akan masih berkumandang kata-kata gurunya di telinga.
"Selamat tinggal muridku, aku pergi. Si Dawuk kubawa."
Ia segera membuka mata memandang gurunya. Ternyata Kyai Lawu masih duduk diam bagaikan patung, tapi tidak adanya cahaya yang biasa memancar dari wajah gurunya membuat Pamadi setengah maklum apa yang terjadi. Ia mendekat dan mencium tangan gurunya. Dingin dan kaku.
Kyai Lawu telah menghembuskan napas terakhir dalam samadhinya.
Keharuan hati dan perasa Pamadi yang merasa sedih mendorong-dorongnya untuk menangis, tapi kekuatan hatinya dapat menenangkan pikirannya. Ia segera teringat akan pesan gurunya, dan berjalan keluar. Bintang-bintang masih menghias langit dengan indahnya, tapi hitam sang malam telah berganti cahaya kelabu suram dari subuh. Sebentar lagi tentu datang fajar. Ia hendak kadang Si Dawuk. Untuk membakar gubug itu ia perlu banyak rumput kering.
Ketika tiba di kanang, kembali penasarannya menhadapi ujian. Si Dawuk terbaring miring dan telah mati pula, dingin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kaku seperti hawa subuh. Ia teringat suara gurunya tadi, "Si Dawuk kubawa..."
Pamadi menghela napas, ia merasa sunyi dan ditinggalkan seorang diri. Tadinya hanya guru dan kuda itu yang ia miliki, kini dengan serentak kedua-duanya pergi. Ia tak mempunyai apa-apa lagi di dunia ini. Tapi ketika ia memandang ke atas dan nampak ribuan bintang berkelap-kelip kepadanya seakan-akan berkata "kita masih ada setia selamanya" iapun terhiburlah.
Ia lalu menghampiri bangkai kuda itu dan dengan
mudahnya ia pegang kedua kaki depan dan belakang, mengankatnya lalu memanggulnya menuju ke gubug.
Diletakkannya bangkau kuda ke dalam gubug, lalu ia mengumpulkan rumput kering dan menumpukkan di sekeliling gubug. Setelah semua alat pembakaran sederhana itu siap, sekali lagi ia memasuki gubug itu. Diambilnya suling cendana dan sebuah keris kecil buatan gurunya. Lalu dia berlutut di depan gurunya sambil berdongkak memandang. Gurunya masih duduk bersila seakan-akan belum mati. Wajahanya tenang dan terbayang senyum kesabaran di balik kumis dan jenggot putih itu. Kedua tangan memegang suling cendana berkepala naga dan terletak di atas pangkuan. Hanya ketetapan hati dan pikirannya yang telah terlatih bertahun-tahun itulah yang membuat Pamadi kuat menahan untuk tidak menangis tersedu-sedu mengeluarkan rasa terharu yang mendadak penuh di dadanya.
Sekali lagi diciumnya tangan gurunya dengan penuh khidmat, lalu ia pergi keluar setelah membelai-belai jambul Dawuk beberapa lama. Dengan menggunakan batu api
dicetuskannya titik api dan dibakarnya rumput-ruput kering yang bertumpuk mengelilingi gubug. Asap bergulung-gulung tinggi dan sebentar saja gubug itu telah tergulung nyala api yang kuning kemerahan. Tiba-tiba dari tengah-tengah api itu bergulung asap kehijau-hijauan yang bercahaya terang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membubung ke atas. Pamadi berdiri diam terpesona bagaikan patung dan tiba-tiba ia mendengar suara tiupan sayup-sayup keluar dari api yang bernyala-nyala itu. Ia memandang asap hijau terang itu sambil mendengarkan suara suling dengan penuh hormat. Ia kenal lagu itu. Ialah lagu "Perdamaian" yang sering dinyanyikan oleh tiupan suling gurunya.
Api makin mengecil dan asap hijau makin menyuram. Suara sulingpun perlahan-lahan menghilang. Pada waktu itu matahari telah naik dengan tak terasa. Haripun sianglah.
Dengan hati-hati Pamadi membongkar-bongkar tumpukan abu gubug untuk mencari abu mayat gurunya. Tapi sia-sia, ia tak dapat menemukannya. Bahkan abu Si Dawuk pun tak tampak. Ia makin kagum akan kegaiban dan kesaktian gurunya.
Setelah duduk bersamadhi menenterakan perasaannya yang agak terguncang menghadapi peristiwa itu, Pamadi lalu berjalan turun gunung dengan hanya membawa suling dan keris kecil yang kedua-duanya diselipkan di lipatan pakaiannya.
Ia tidak tahu harus menuju ke mana, maka ia hanya menurut saja ke mana kedua kakinya melangkah dan
membawa dirinya.
Setalah melalui beberapa buah bukit dan jurang, tibalah ia di sebuah jalan kecil. Ia lalu mengikuti jalan itu. Tindakan kakinya dipercepat.
Tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang berbicara di sebalah depan, karena di depannya jalan itu membelok, maka ia mempercepat tindakan kakinya tampak olehnya tiga orang laki-laki berjalan sambil memikul ubi. Mereka berjalan seakan-akan menari-nari untuk mengimbangi ayunan pikuan yang berat itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pamadi mengendurkan tindakannya. Ia tidak mau
menggunakan ilmunya berlari cepat agar tidak menimbulkan curiga, lalu berteriak,
"Saudara-saudara. Tunggulah sebentar!"
ketiga orang itu menengok, menurunkan pikulan dan memandangnya terheran-heran. Bahkan ketika Pamadi telah berdiri di depan mereka, merekapun tak mengeluarkan sepatah kata,
hanya memandang dengan mulut tenaganya.
"Selamat sore, saudara-saudara," salam Pamadi, tapi mereka tidak menjawab hanya ternganga
jua. "He, mengapa saudara-saudara memandang saja?"
Akhirnya seorang di antara mereka yang termuda berkata,
"Masya Allah! Saya kira saudara
bukan manusia."
"Mengapa engkau mengira demikian?"
"Pakaianmu ganjil, tak bersepatu. Tentu engkau bukan pelancong. Dari manakah saudara
datang?" bertanya seorang di antara mereka yang tertua.
Orang itu tertawa dan berhenti. Kawan-kawannya
menengok dan berhenti pula.
"Lihat, Man," katanya, "anak muda ini, yang berpakaian seaneh ini, mau mengantikan aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memikul!"Dua kawannya tertawa riuh.
"Ha, ha. Jangan-jangan akan patah tulang pundaknya,"
mengejak yang muda
"Jangan kuatir, kawan, aku sanggup untuk memikul semua ubi ini."
"Apa" Tiga pikul ini?"
"Ya."
"Eh, jangan berolok, kwan. Ubi ini sepikulnya tak kurang dari sekwintal!"
"Sungguhpun begitu, akan kupikul semua sampai ke Tawangmangu, asal saja..."
"Ya...?"
"Asal saja engkau suka menukar sarung dan kemeja itu dengan pakaian tidurku ini."
Mereka bertiga saling pandang dan yang tertua berkata, He, anak muda. Pakaianmu itu dari sutera halus. Untuk ditukar demikian saja dengan stelan
sarung kemeja itupun akan saya terima, karena pakaianmu tentu lebih mahal harganya. Tapi
jangan engkau berolok akan memikul semua ubi ini."
"Biarlah, pak. Jangan kuatir. Baiklah aku bertukar pakaian dulu." Sambil berdiri membelakangi mereka, Pamadi menukar pakaiannya dengan sarung dan kemeja itu. Setelah
memberikan gulungan pakaiannya sediri kepada pemikul tertua, ia segera mengikatkan ujung sarungnya ke pinggang dan enam keranjang ubi itu diikatnya menjai dua bagian, setelah memilih bamu pikulan yang terkuat, ia memikul semua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ubi itu tiga keranjang pula di belakang. Tiga orang itu tercengang keheranan, tapi dengan suara biasa Pamadi berkata, "Marilah, kawan-kawan, hari sudah hamper malam."
Dengan terheran-heran dan tak dapat berkata-kata, ketiga orang itu mengikuti Pamadi yang agak mempercepat jalannya, namun yang cukup membuat tiga orang itu berlari-larian dan akhirnya mereka berteriak-teriak karena tertinggal jauh.
Ketika beberapa jam kemudian ketiga orang pemikul itu memasuki desa Tawangmangu, mereka melihat enam
keranjang ubi mereka telah berderet rapi di pinggir jalan! Tapi pemuda yang menolong mereka telah tak nampak lagi.
"Heh, tentu ia setan," berkata yang termuda.
"Sst," mencela yang tua, "aku tahu Ia adalah yang mbaurekso (penjaga) gunung di sini. Dan aku beruntung telah mendapat pakaiannya."
Demikianlah, dikemudian hari pakaian Pamadi selalu nampak tergantung di dalam rumah Pak Karyo penjual ubi itu, tergantung rapid an dibungkus dengan sarung, dan pada tiap malam Jum"at dibakarlah kemenyan dan disajikan kembang rampai di bawahnya oleh Pak Karyo.
*** Hal pertama-tama yang dilakukan oleh Pamadi setelah tiba di Tawangmangu ialah mencari Singo Jerangkong. tapi ternyata keadaan di Tawangmangu telah banyak sekali berubah semenjak kepergiannya bertahun-tahun, karena tak seorangpun yang ditanyainya dapat memberitahu siapa dan di mana orang tua kurus kering itu. Akhirnya Pamadi mencari keterangan di antara para tukang kuda yang sudah tua dan dari mereka inilah ia mendengar bahwa orang yang dicarinya itu telah lama meninggal dunia!
Keharuan memenuhi batinnya Pamadi ketika ia datang berziarah ke makam Pak Wiro Singo yang dulu disebut orangTiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang Pak Jerangkong itu. Orang tua tinggi kurus yang ketika hidupnya seakan-akan diliputi rahasia itu kini telah teruruk tanah dan kembali ke asalnya. Hanya unggukan tanah yang ditumbuhi rumput alang-alang tak terurus itu saja masih mengigatkan orang hidup bahwa di bawahnya terdapat sisa-sisa orag yang bernama Pak Wiro dan dulupun pernah hidup.
Pamadi mendengar dari para tuang kuda bhwa unggukan tanah yang merupakan makam pak Jerangkong itu dianggap sangat angker dan jahat oleh para penduduk Tawangmangu hingga jalan kecil yang merupakan lorong gunung di dekat jarang sekali terpijak kaki manusia, kecuali kaki para pelancong asing yang tidak mengenal makamnya.
Di samping keharuan, ada pula perasaan iba di dalam kalbu Pamadi mendengar fitnah ini. Alangkah bodoh orang-orang itu dan betapa kasihan nasib Pak Wiro, bahkan sesudah matinyapun orang-orang masih menjauhkan diri darinya karena menganggapnya aneh dan jahat! Maka, malam itu, semalam suntuk Pamadi duduk bersila di depan makan Pak Wiro Singo, dan bersamadhi dengan penuh khidmat ambil menujukan segenap daya cipta dan semangatnya kepada mendiang Pak Jerangkong, memohon agar orang tua tinggi kurus telah wafat itu suka melepasakan napsu pensarannya.
Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pamadi sudah sibuk mebersihkan makam itu dan menancapkan sebatang dahan pohon Cempaka sebagai pengganti batu nisan yang telah tiada.
Ternyata usaha Pamadi ini berhasil baik di kemudian hari, karena beberapa tahun kemudian beragsur-angsur lenyaplah keangkeran makan itu dan orang-orang bahkan mulai menganggapnya makam keramat dan banyak orang datang menabur kembang memohon berkah!
Kemudian Pamadi melanjutkan perjalanan menuju ke Solo.
*** Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemuda manakah yang tidak tertarik hatinya akan
permainan pencak silat" Sungguhpun jarang yang bersabar hati untuk tekun dan rajin mempelajari, bahkan banyak pula yang tiada minat sama sekali untuk mepelajarinya, namun kiranya tidak ada pemuda yang tidak tertarik dan gembira melihat ilmu ini dimaikan orang. Karena sesungguhnya permaianan pencak silat adalah sebuah olah raga yang mengandung banyak unsur-unsur kebaikan. Selain merupakan olah raga yang baik, pencak silat merupakan juga semacam seni tari yang indah pula. Sedap dipandang mata dan menyehatkan tubuh. Selain itu, para peminatnya aan bertambah kewaspadaannya terhadap sesuatu, membikin ia menjadi tabah, berani dan bijaksana.
Namun, sebagaimana keadaan segala macam di mayapala ini, ada kebaikannya tentu ada pula keburukannya, sungguhpun baik ataupun buruk ini pada hakekatnya hanya tergantung kepada si penganggap masing-masing.
Demikianpun dengan permaianan pencak silat. Banyak orang yang baru dapat bermain silat sedikit saja, lalu menjadi sombong, adigang adigung adiguna, menganggap diri sendiri yang terkuat dan tiada lawan, lalu berlaku sewenang-wenang kepada mereka yang lebih lemah! Hukum satu-satunya yang dikenal orang-orang macam ini hanyalah hokum riba, siapa kuat ia menang!
Perkumpulan pencak silat "Garuda" di solo ketika mulai dibuka, mendapt sambutan ini dibentuk dan dipimpin oleh Raden Hamali, seorang ahli pencak dari Priangan, yakni daerah Parahyangan yang terkenal memiliki banyak putera-putera ahli pencak jagoan. Raden Hamali melatih anak-anak muda dengan biaya rendah dan ia terkenal ramah serta tiada putusnya memberi petuah-petuah kepada para muridnya disertai tindakan-tindakan bengis kepada tiap murid yang melangar disiplin. Peraturan-peratugan keras diadakan, di antaranya yang paling di utamakan: Tidak boleh berkelahi selama menjadi murid atau anggota perkupulan "Garuda"!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi sayang seribu sayang, dua tahun kemudian semenjak
"garuda" berdiri dan mendapat nama baik, tiba-tiba datanglah melapetaka yang mengubah nama baik perkumpulan itu menjadi sebuah nama yang ditakuti orang! Bagaimana asal mulanya"
Pada suatu malam terang bulan, seperti biasa Raden Hamali melatih para murid di halaman belakang rumahnya yang luas. Tiga orang murid berdiri di tengah-tengah halaman itu sambil bergerak-gerak dengan langkah teratur dan seluruh tubuh penuh terisi tenaga yang dikerahkan dengan penuh perhatian mengikuti gerakan Raden Hamali yang memberi contoh di depan mereka. Beberapa jurus kemudian, ketiga murid itu diganti oleh tiga orang murid lain dan latihan dimulai lagi dari semula. Demikianlah Raden Hamali dengan sabar dan rajin melatih murid-muridnya. Di sudut duduk tiga orang murid yang memukul gendang, kenong dan tambur. Suara gamelan yang mengiringi gerakan-gerakan itu riuh rendah teratur dalam susunan irama gagah. Orang-orang di kapung itu sudah biasa mendengar suara gamelan yang bagi mereka terdengar merdu karena sudah biasa.
Kemudian datang giliran murid-murid yang agak tinggi tingkatnya. Mereka ini disuruh pencak berpasangan, saling memperhatikan ketangkasan masing-masing. Kesalahan betapa kecilpun dalam melakukan serangan atau pembalasan, selalu menegur dan memberi petunjuk-petunjuk.
Tiba-tiba terdengar suara kaki berdebuk ketika seorang tinggi besar meloncat turun dari tembok bata yang mengeliligi halaman itu! Semua orang menengok, tak terkecuali pemukl gamelan hingga tiba-tiba saja gamelan menjadi diam.
Keadaan menjadi sunyi ketika orang itu beranjak maju dengan tindakan kaki gagah dan dada terangkat.
Raden hamali maklum bahwa ia berhadapan dengan
seorang cabang atas, karena caranya orang itu menurunkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kakinya ketika meloncat dari tembok tadi tampak tegap dan kuat. Segera ia menjura memberi hormat,
"selamat malam, saudara yang terhormat," katanya, tapi
"tamu" itu hanya mengangguk sombong.
Kemudian setelah menengok ke sana ke mari seakan-akan seorang panglima memriksa bariannya, ia menyerigai lebar.
Pada saat itu semua murid-murid Raden Hamali yang berjulah sebelas orang telah datang berkerumun di belakang gurunya.
Ha, ha. Sudah lama saya menengar nama Raden Hamali yang tersohor, guru pencak cabang atas yang tinggi ilmunya.
Kebetulan sekali malam ini saya dapat bertemu muka, bahkan melihat caranya mengajar pencak. Ha, ha!"suara itu besar dan keras serta mengandung penuh ejekan.
Raden Hamali yang berwatak sabar itu merendah, "Ah, berita itu berlebih-lebihan, saudara. Saya hanya mengerti sedikit ilmu pukulan."
"Hem, kalau hanya mengerti sedikit tentu tak berani mengajar."
Murid-murid Raden Hamali mulai panas mendengar kata-kata orang yang kurang ajar itu. Tamu tinggi besar itu agaknya melihat juga sikap mereka, maka ia bertanya,
"Siapakah di antara kalian yang paling tinggi tingkanya?"
Parlan, murid terkecil yang sangat bangga akan kepandaian Slamet, segera menunjuk Slamet sambil berkata, "Mas Slamet inilah yang paling pandai!"
Raden Hamali mengerling tajam hingga Parlan segera tutup mulutnya.
Tamu itu memandang slamet, seorang pemuda bertubuh tegap yang berdiri di sebelah kiri gurunya, "Pantas, pantas!
Nah, anak murid, maukah kau coba-coba bersilat melawan aku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Slamet sangat panas hatinya, tapi ia takut kepada gurunya, maka tanpa menjawab ia melirik kea rah gurunya. "Aku hanya akan main-main saja, gurumu pasti tidak keberatan," kata tamu itu lebih lanjut. Terpaksa Raden Hamali menganggukkan kepalanya kearah Slamet yang segera melangkah maju ke tengah halaman dengan tenang.
Tamu itu sungguhpun tubuhnya besar tapi mukanya kecil dan matanya bersinar taja. Ia berbaju lengan panjang tak berleher, dan sarung plekatnya diikatkan di pinggang.
Celananya hitam panjang sampai di bawah lutut. Melihat sikap Slamet, ia tersenym menyerigai pemuda itu.
"Nah, silakan menyerang, anak muda!" katanya dengan senyum sindir dan sikap acuh tak acuh. Slamet segera pasang kuda-kuda dan mulai melagkahkan kaki kea rah kanan sejauh dua tindak. Tamu itu bukannya ikut langkahnya, bahkan bertindak maju selangkah tanpa memasang kuda-kuda pertahanan. Slamet merasa dipandang rendah sekali, maka tak ragu-ragu pula ia bergerak cepat sekali melayangkan kepalan tangan kanan kearah iga lawan! Pukulan ini sebelum sampai ke sasaran segara ditarik mundur, diganti dengan pukulan kiri yang sebenarnya merupakan serangan
sesungguhnya. Pukulannya sangat keras dan cepat, dibarengi teriakan, "Heeitt!" Tangan kanan yang ditarik kini menjaga di bawah siku kiri.
Raden hamali puas melihat gerakan Slamet yang sempurna ini. Tapi alangkah terkejutnya ketika ia lihat tamu itu sama sekali tidak menangkis atau berkelit hingga pukulan slamet tepat mengenai dadanya. Terdengar suara "Bukk!" dan terdengar teriakan slamet mengaduh disusul dengan jeritan semua murid Raen Hamali, karena pada saat itu tangan kanan tamu melayang dan sebuah tamparan kerasa tepat mengenai pipi kiri slamet hingga berbunyi nyaring! Slamet terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap pipinya, dan ketika Raden Hamali memburu untuk menolongnya, ternyata pipi itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
telah menjadi biru dan dari mulut anak muda itu mengalir darah!
Bukan main marahnya Raden hamali ia maju mendekati tamunya dan mnuding "He, saudara maka berani bertindak sewenang-wenang di sini" apakah salah kami maka kau datang mengacau?"
"Ha, ha! Hamali! Muridmu kalah olehku karena ia masih dangkal
pengetahuannya. Dan ia bodoh karena kau kurang pandai memimpinnya! Setelah muridmu terpukul karena
kebodohanmu, mengapa sekarang marah padaku" Seharusnya kau sesalkan diri sendiri yang tidak becus mengajar murid!"
"Ha, sombong betul kau, kawan! Kau anggap bahwa kau seorang yang pandai" Sama sekali tidak hebat kalau sudah dapat mengalahkan seorang pemuda yang belum tahu apa-apa."
Tamu itu memandang tajam dan sinar matanya
memancarkan kekejaman. "Hamali! Jangan bertingkah.
Majulah kalau kau berani."
"Kita tidak pernah bermusuhan, tapi kau sengaja memancing-mancing dan menantang berkelahi. Sebenarnya siapakah kau dan ada keperluan apa kau atang ke sini?"
"aku tak pernah sembunyikan nama. Orang panggil aku Brojo dan tempatku di Kudus. Sengaja aku datang ke sini karena mendengar namamu, dengan maksud hendak berguru.
Tapi siapa sangaka bahwa namamu itu kosong belaka."
"Kalau kau anggap bahwa aku tidak pantas menjadi gurumu, sudahlah jangan berguru, akupun belum tentu suka mempunyai murid seperti aku!"
"Hm, hm, Hamali. Sekarang aku sudah pindah ke Solo dank arena aku ingin menjadi orang sini, maka mau tak mau aku harus mencoba kepandaianmu. Kalau kau tidak dapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengalahkan aku, jangan harap menjadi guru pencak silat di kota ini, mengerti!"
Merah juga telinga Raden Hamali yang sabar itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia menuju ke tengah halaman.
"Marilah, kalau kau hendak main-main," katanya.
Brojo meloncat ke halaman dan memasang kuda-kuda, Raden Hamali tahu bahwa lawannya itu adalah seorang ahli pencak Cimande. Ia bernapas lega, karena ia sendiri adalah ahli pencak cimande dan pernah mempelajari pencak cabang ini secara mendalam.
Brojo tiba-tiba menyerang sambil menggereng keras!
Kepalan tangan kanannya yang sebesar kelapa muda itu meninju kea rah leher Raden Hamali. Tapi guru silat yang telah berusia lima puluh tahun dan bertubuh kurus padat itu hanya miringkan sedikit tubuhnya sambil menyampok lengan lawan dengan kepretan tangan, berbareng sebelah tangan lain menyodok perut lawan bagian lambung kiri! Brojo ternyata selain bertenaga kuat juga cukup gesit, karena ia segera dapat menarik kembali kepalan tangan yang memukul angina dan gunakan tangan kiri menangkis sodokan Raden Hamali, kemudian mundur selangkah lalu mengayun kaki menandang!
Hamali cukup waspada lalu berkelit bahkan geserkan kaki mendekat dan gunakan tenaga tangan yang dimiringkan menghamtam leher Brojo. Juga pukulan ini dapat ditangkis oleh Brojo.
Demikianlah mereka saling serang, saling keluarkan pancingan-pancingan, umpan-umpan, dan gunaka seluruh kesigapan dan kehebatan mereka untuk menjatuhkan
lawannya, Brojo menang tenaga tapi ia kalah gesit. Beberapa kali pukulan Raden Hamali tepat mengenai badannya, tapi ia hanay mundur terhuyung-huyung beberapa tidak lalu maju pula menyerang dengan lebih nekad! Ternyata tubuh Brojo kuat sekali, maka Raden Hamali segera merobah siasat. Kini ia melancarkan pukulan-pukulan berbahaya dan memilih tempatTiraikasih Website http://kangzusi.com/
tempat lemah seperti lambung tenggorokan, ulu hati dna mata lawan. Ia gunakan pencak Cikalong yang terkenal cepat dan tak terduga gerak-geriknya.
Setalah berkelahi berpuluh-puluh jurus dengan hebat, akhirnya Brojo terdesak juga. Pada suatu saat, dalam keadaan terdesak sekali, kepalan kiri Raden Hamali menyambar kea rah lambungnya. Karena tiada ketika untuk berkelit, ia gunakan tangan kanan menangkis, tapi tak terduga sekali bahwa pukulan itu hanya umpan belaka, karena segera pukulan itu diganti dengan tangan kanan yang melayang kea rah ulu hatinya! Brojo melihat datangnya bahaya. Ulu hatinya pasti akan tertumbuk yang berarti bahaya besar baginya. Maka ia ambil keputusan untuk berlaku nekad... ia angkat kaki kanannya menendang ke arah bawah perut lawan.
Raden Hamali tak mau mengadu jiwa karena jika ia
teruskan pukulannya, belum tentu ia dapat melepasakan diri dari tendangan maut itu. Ia egera menarik kembali pukulannya, menggeser kaki ke kiri menghindari tendangan dan ketika kaki Brojo menyambar lewat, secepat kilat ia tangkap pergelangan kaki lawan dan menyetaknya ke atas sepenuh tenaga! Tak tertahan lagi tubuh Brojo yang tinggi besar itu bagaikan terapung ke atas terbawa angina puyuh dan terjengkang ke belakang, jatuh dengan suara berdebuk bagaikan buah nangka besar busuk terjatuh dari tangkainya.
Tubuhnya yang berat membuat jatuhnya itu semakin
hebat. Untuk beberapa detik ia tak dapat bangun, hanya mendengar sorakan murid-murid Raden Hamali dengan wajah merah karena malu. Akhirnya dapat juga ia merayap bangun lalu bertindak pergi terhuyung-huyung setelah mengeluarkan ancaman, "Hamali, awas akan datang pembalasanku!"
Pada keesokan harinya, tiba-tiab saja Raden hamali menutup tempat belajarnya. Ia tidak mau mengajar penak lagi, bahkan terus pindah ke Kartasura dan membeli sawah, menjadi petani. Hal ini ia lakukan bukan karena ia takut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepada pebalasan Brojo, tapi karena ia khawatir kalau-kalau keluarganya terbawa-bawa. Raden Hamali hidup dengan seorang isteri dan Patimah, gadis tunggalnya yang telah berusia delapan belas tahun.
Semenjak perkumpulan "Garuda" ditutup, di Sala lalu timbul nama "Garuda" pula, tapi dalam bentuk lain. Garuda yang terakhir ini adalah nama sebuah perkumpulan yang dikepalai oleh Brojo. Ia sengaja menggunakan nama ini untuk merusak nama perkumpulan Raden Hamali. Disana tidak aneh bahwa sebuah perkumpulan yang dikepalai oleh orang seperti Brojo itu mempunyai anggota-anggota yang terdiri dari buaya-buaya pula. Nama mereka sangat disegani dan ditakuti orang, bahkan fihak yang berkewajiban mulai ikut-ikut campur tangan, karena terjadinya kerusuhan dna kejahatan yang dilakukan oleh anggota-anggota perkumpulan itu. Hingga akhirnya Perkumpulan Garuda itu menjadi perkumpulan gelap yang bergerak secara rahasia.
Beberapa bulan telah berlalu semenjak Raden Hamali sekeluarga pindah ke Kartasura. Pada suatu malam, dengan naik andong, yakni dokar roda epat yang ditarik dua ekor kuda, bersama-sama dengan Patimah gadisnya, Raden Hamali menuju pulang ke rumahnya di Kartasura. Mereka berdua kembali dari mengunjungi pesta perkawinan seorang kenalan di Purwosari. Isternya tidak ikut karena merasa kurang enak badan.
Ketika kendaraan itu lewat di jalan raya yang agak gelap dan sepi, tiba-tiba di tenah jalan nampak berdiri tiga bayangan orang yag mengangkat tangan menyuruh kendaraan itu berhenti. Si kusir menghentikan andongnya. Raden Hamali menjuluran leher ke luar untuk melihat siapakah yang menyetop kendaraan mereka itu. Hatinya agak berdebar ketika cahaya dikenalnya. Wajah kejam menyerigai dan yang membentak kusir supaya turun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Raden hamali menghibur puternya yang menggigil
ketakutan mendengar suara kasar yang mengandung maksud tidak baik itu, lalu ia turn dengan tenang.
"Ha-ha! Hamali, telah sejak tadi kunanti kamu di sini."
"Saudara Brojo! Apakah maksudmu dengan menanti aku di sini"
Kalau ada perlu, datanglah ke rumah, aku akan
menerimamu dengan senang hati."
"hem, pengecut! Kau sudah maklum apa maksudku mencarimu" Jadi kalau di sini kau tidak berani, ya" Ketahuilah, aku datang menjumpaimu untuk menagih hutangmu!"
"Aku tidak merasa berhutang padamu."
"Tidak" Sudah lupa" Tidak ingtkah ketika kau mebuat aku malu dulu itu" Kau berhutang beberapa pukulan. Sekarang aku hendak membalas, ayuh, bersedialah!"
"Jadi maksudmu mengajak aku berkelahi" Di sini?"
"Habis, apa lagi" Tapi tidak seperti dulu, kawan. Kita harus mengambil langkah terakhir, bukan dengankepalan tapi dengan ini!" Brojo menutup kata-katanya dengan mencabut sebilah keris yang di malam gelap itu nampak hitam menyeramkan.
Raden Hamali hendak mejawab, tapi Brojo tak memberi kesempatan padanya, karena orang tinggi besar itu segera mengayun kerisnya ke arah perut Raden Hamali sambil mengeram. "Mampus kau!" Raden Hamali gesit dan mengelak sambil meloncat ke kiri. Iapun mulai marah, maka terdengar bunyi "sing!"dan kerisnya pun telah dicabutnya pula dari sarungnya.
"Kalau darah yang kau kehendaki, majulah, Brojo!" katanya dengan gagah karena sudah timbul sifat satrianya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus!" teriak Brojo yang segera menyerang kembali.
Serangan kearah dada ini ditangis hingga dua mata keris beradu menerbitkan suara nyaring dan memancaran bunga api. Ternyatalah bahwa kedua senjata itu sejata ampuh.
Setelah mundur dan berputar-putar mencari sasaran baik, tiba-tiba raden Hamali menusuk dada lawan dengan cepat.
Brojo tidak menangkis atau mengelak, bahkan ia membiarkan adaanya dan ketika ujung keris Raden Hamali membentur dada, tiba-tiba senjata itu melesat ke samping. Terkejut sekali Raden Hamali. Ia maklum bahwa lawannya telah
menggunakan Ilmu kekebalan "Si Landak", dan teringat pula ia bahwa kabarnya Brojo mempunyai guru bernama Kyai Bajul Putih yang terkenal sakti. Tentu buaya ini mendapat wejangan ilmu ini dari gurunya itu, pikiirnya. Mau tak mau ia menjadi gentar juga, tapi sebagai seorang pendekar tua
berpengalaman, Raden Hamali segera dapat menenangkan hatinya. Masih ada jalan baginya untuk melawan musuh kebal ini.
Brojo tertawa gelak-gelak. "ah, keras kulitku, bukan" Aku bukanlah brojo yang dulu itu, Hamali. Bersiaplah untuk mampus malam ini!" teriaknya yang dibarengi dengan tikaman kilat.
Raden Hamali harus mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya utuk melayani lawan yang kuat ini. Ia keluarkan seua kemahirannya memainkan senjata itu dan mengerahkan semua serangannya ke bagian lemah dan berbahaya. Sibuk juga Brojo ketika lawannya selalu menyerang bagian mata, tenggorokan, dan bawah perut, tempat-tempat yang bagi ilmu weduknya tidak berlaku dan menjadi pantangan!
Tiba-tiba seorang kawab Brojo yang semenjak tadi
menonton saja kini ikut menyerbu dengan sebuah pedang di tangan. Tentu saja kawan ini bukannya penjahat
semabarangan, tapi juga seorang ahli pencak, hingga kemudian Raden Hamali terdesak. Pada saat itu, Raden
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hamali mendengar pekik Patimah dari dalam andong. Cepat ia melompat kearah kendaraan, tapi dua musuhnya mengalang-halangi dan alagkah cemasnya ketika ia melihat bahwa penjahat yang seorang lagi turun dari andong sambil memondong gadisnya yang tampak lemah tak berdaya!
Kecemasan dan kemarahannya membuat ia berlaku nekat dan permainan pencaknya menjadi kacau karenanya.
Tiga tusukan keris telah hamper di kulitnya membuat bajunya yang putih menjadi compang-camping dan berwarna merah. Pada suatu saat, tanpa merasakan sakit karena luka-luka itu, Raden Hamali mengirim tusukan hebat kea rah tenggorokan Brojo dan ketika brojo mengelakkannya sambil meloncat mundur, Raden Hamali merendahkan tubuh untuk menghindari sebetan pedang lawan kedua, lalu dari bawah kaki menendang lambung lawan. Terdengar suara "ngek"
keluar dari rongga dada lawan itu yang segera terpelanting jatuh untuk bangun lagi. Tapi saat itu digunakan oleh Brojo untuk maju menubruk dan kerisnya menyabar dada Raden Hamali. Guru pencak tua ini masih berusaha menghindarkan dadanya dari tikaman, namun datangnya ujung keris terlampau cepat, dan pula ia sudah mulai lemah karena luka-lukanya, maka biarpun ia sudah mengelak, ujung keris Brojo masih dapat
menancap di bahu Raden Hamali! Berbareng dengan itu kaki Brojo menenang dada, hingga
Raden Hamali terlempar dan pingsan!
Brojo agaknya sudah mata gelap dan kemasukan iblis. Ia meloncat menghampiri tubuh Raden
Hamali yang sudah rebah terlentang tak berdaya itu, lalu dengan suara tertawa menyeramkan,
ia mengangkat kerisnya, dan diayunkan kea rah dada Raden Hamali!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi pada saat yang sangat berbahaya bagi jiwa huru silat tua itu, tiba-tiba tampak berkelebat
sesosok bayangan putih dan dengan gerakan cepat
bagakan kilat menyambar, bayangan itu
menggerakkan sebuah benda lemas ke arah keris Brojo yang terayun menuju dada Raden
Hamali. Brojo hanya merasakan ada sesuatu menahan tangan dan kerisnya dan matanya
menjadi gelap karena gerakan itu demikian cepat hingga mengaburkan matanya. Ketika ia
lihat, ternyata di depannya telah berdiri seorang pemuda berpakaian serba putih dan benda
yang dipakai menahan kerisnya itu tak lain hanyalah sehelai sarung! Ketika teringat akan
kerisnya, barulah Brojo tahu bahwa kerisnya itu telah terampas oleh pemuda ini dan kini
entah berada di mana! Selagi ia keheranan, pemuda itu yang tak lain ialah pemuda pendekar
kita, membuka Brojo lalu memberikan keris itu kepadanya sambil tersenyum!
"Inilah yang kau cari?" tanyanya perlahan.
Brojo sangat marah dipemainkan begini. "Bangsat kecil kau berani mempermainkan aku?"
Segera ia merampas kerisnya dan menyerang dengan buas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Brojo maklum bahwa ia menghadapi seorang ahli, maka segera ia memanggil-manggil
kawannaya yang tadi tertendang oleh Raden hamali dan yang kini telah apat bangun kembali.
Kawan itu memungut pedangnya dan mereka berdua
segera maju menyerang Pamadi yang
bertangan kosong. Tapi bersamaan dengan saat kedua lawan itu mengangkat tangan untuk
mengayun senjata, Pamadi maju dan menggunakan kedua tangannya merampas senjata
mereka. Gerakannya sangat cepat dan tenaganya luar biasa hingga dalam merampas senjata
itu ia bertindak seakan-akan seorang dewasa merampas barang mainan dari tangan dua orang
anak kecil! Kemudian degan sekali kepal, terdengar suara
"kresk, krek" dan kedua senjata itu
patah berkeping-keping! Brojo dan kawannya melihat dengan mata membelakak lebar-lebar
seakan-akan mereka melihat setan di tengah hari.
Kemudian bagaikan mendengar komando,
mereka mengambil langkah seribu gingga jatuh bangun di tempat gelap!
Pamadi segera menghampiri Raden Hamali yang masih rebah. Tapi Raden Hamali segera
menunjuk kea rah utara dan berkata lemah, "Lekas!
Lekas... tolong anakku, ia diculik
bajingan tadi... ke sana..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pamadi cepat berdiri dan sekali melompat bayangannya berkelebat kea rah yang ditunjuk oleh
orang tua itu. Tak lama kemudian ia mendengar suara wanita menjerit-jerit. Ia percepat
gerakannya dan di depan tampaklah olehnya seorang laki-laki memondong seorang gadis
muda sambil berlari. Tapi karena gadis itu meronta-ronta dan memukul-mukul kedua
tangannya, maka gerakan bangsat itu menjadi tertahan dan larinya tak dapat cepat. Tiba-tiba
bangsat itu merasa tulang pundaknya sakit sekali bagaikan hamper terlepas. Ternyata di gadis
Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah menggunakan giginya yang kuat untuk mengigit!
Terpaksa laki-laki itu melepasakan
pelukannya dan tubuh gadis itu terbanting ke atas tanah.
Sambil menyumpah-nyumpah, bangsat itu mengangkat
kepalan tangan untuk menampar, tapi
sebelum kepalan tangannya terayun, tiba-tiba sebuah tangan lain yang sangat kuat
menahannya dari belakang. Ia cepat berpaling. Ketika melihat bahwa yang menahan tangannya itu hanya seorang pemuda kurus dan tampak lemah, ia segera membalikkan tubuh dan mengayun kepalan memukul dada Pamadi. Tapi Pamadi hanya berdiri sambil tersenyum. Ketika kepalan yang besar itu menumbuk dada, terdengar si pemukul berteriak kesakitan! Ia memandang pemuda baju putih itu dengan mata terbelalak heran, tapi rasa sakit di tangannya makin menghebat hingga sambil merintih-rintih ia pegangi tangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kanannya dengan tangan kiri, lalu lari pontang-panting bagaikan dikejar setan.
Patimah membuka sepasang matanya yang lebar dan indah itu, memandang Pamadi dengan wajah takut. Ia sangka bahwa pemuda itu juga kawan penjahat itu. Pamadi
tersenyum ramah dna berkata,
"Jangan takut, nona. Saya diperintah oleh ayahmu untuk datang menolong."
patimah teringat ayahnya. "Ayah... ayah... , bagaimana dia?"
"Ayahmu mendapat luka, marilah kita ke sana."
Karena malam gelap dan jalan itu tidak rata, penuh pohon-pohon berduri hingga mereka hanya dapat berjalan dengan perlahan sekali, maka timbul kekhawatiran Pamadi kalau-kalau terlapau lama mereka sampai di tempat orang tua yang terluka itu. Karena ini, ia mengajukan usul kepada Patimah dengan suara lemah dan ragu-ragu, "Nona... maafkan saya jika usulku ini kau anggap luka dan kita harus segera sampai di sana, maka... jika nona tidak keberatan, marilah saya gendong supaya saya dapat berlari."
Gadis itu menahan tindakan kakinya dan hatinya berdebar.
Digendong" Oleh seorang pemuda yang tidak dikenalnya" Ah, ia malu. Tapi, bukankah tadi ia pun digendong dengan paksa oleh bagsat itu" Dan ayahnya... mungkin luka berat. Kemudian sambil mengigit bibir ia menatap wajah Pamadi dan menganggukkan kepala tanpa menjawab. Isarat ini sudah cukup bagi Pamadi yang lalu memondong Patimah. Lengan kiri memeluk punggung. Kemudian ia gunakan imunya dan berlari cepat sekali. Karena malu, Patimah hanya memejamkan kedua mata hingga ia tidak tahu bahwa pemuda yang
mengendongnya itu berlari dengan luar biasa cepatnya.
Patimah tiba-tiba merasa tubuhnya diturunkan dan ia membuka mata. Ketika melihat ayahnya rebah berlumur
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
darah, ia segera menubruknya sambil menangis. Pamadi menghiburnya dan segera mengangkat tubuh Raden Hamali ke dalam andong. Karena kusir andong telah pergi entah ke mana, terpaksa Pamadi menggantikan nya dan menjalankan andong itu kejurusan yang ditunjuk oleh Patimah. Ia tidak merasa Khawatir dengan luka yang diserita oleh Raden Hamali karena tadi sebelum berangkat, ia telah mengambil tanah liat untuk menutup luka-luka itu.
Setibanya di rumah Raden Hamali, mereka disambut oleh isteri Raden Hamali dengan cemas dan binggung. Tapi dengan kata-kata sopan Pamadi menghiburnya sambil mengangkat tubuh Raden Hamali ke dalam rumah. Kemudian, pemuda itu memberi nasihat-nasihat kepada Patimah bagaimana cara mengobati luka ayahnya, dan setelah melihat keadaan Raden Hamali sekali lagi, ia berpamit.
"Nanti dulu, den. Duduklah dulu dan minum dulu!" cegah ibu Hamali.
"Terima kasih, bu. Sudah jauh malam, lain kali saja mungkin kita dapat berjumpa lagi."
Patimah berdiri di ambang pintu kamar ayahnya sambil melayangkan padangan sayu. Kedua matanya berlinang air mata karena ia merasa terharu dan berterima kasih sekali.
Kalau tidak ada pemuda itu, bagaimana jadinya dengan dirinya"
"Sudah, dik. Saya permisi pulang..." Pamadi mengangguk hormat.
Patimah melangkah maju. "Tapi, mas, kau belum memperkenalkan diri... kami ingin tahu siapa penolong kami dan di mana tempat tinggalnya?"
Pamadi menjadi gugup dan segera menggeleng-gelengkan kepala. "Tak perlu, dik, hal itu tidak berarti, bukan pertolongan... sudahlah, ijinkan saya pergi..." Sekali lagi ia mengangguk dan segera melangkah ke luar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Patimah memburu ke luar, tapi di luar sudah tak tampak bayangan pemuda itu. Tiba-tiba saja ia merasa kecewa tapi ibunya memandangnya dengan heran karena orang tua itu juga ikut memburu ke pintu.
"Nak, tidak anehkah ini?"
"Apa yang aneh, bu?"
"Pemuda itu baru saja keluar, tapi tak nampak bayangannya."
Patimah menengok keluar kembali dan ia pun merasa aneh.
"Jangan-jangan ia bukan manusia, nak."
"Bukan manusia" Ah, tak mungkin, bu. Ia betul-betul manusia ketika mengendong aku tadi."
"Kau..." Digendong olehnya...?"
Tersipu-sipu Patimah segera menceritakan semua
pengalamannya tadi hingga ibu Hamali menjadi kagum.
"Oh, tentu ia seorang pengeran muda...," katanya menarik napas panjang. Tapi Patimah diam saja, lalu pergi ke kamar ayanya dan duduk di pinggir ranjang sambil termenung.
Ayahnya tidur dengan nyenyak.
Brojo mengadu kepada gurunya dengan menangis.
Gurunya adalah seorang tua yang disebut orang Kyai Bajul Putih dan terkenal sakti. Ia adalah murid tunggal dari Eyang Brewok, seorang pertapa suci yang bertapabrata di puncak Gunung Tengger. Ketika turun gunung, Kyai Bajul Putih mentaati pesan gurunya dan hidup menjalani drama-brata, yakni tenaganya menolong sesame hidup. Tapi ternyata pada suatu saat ia dikalahkan oleh setan yang berupa nafsunya sendiri, dan melakukan pantangan berat dengan
menggunakan aji guna sakti terhadap seorang wanita yang datang memohon obat padanya. Perbuatan biadab ini akhirnya pecah uga dan pandangan orang-orang padanya mulai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berubah. Karena merasa telah terlajur, pula karena dengan perbuatannya itu diperbudak kembali oleh nafsu, ia menjadi tersesat.
Kesaktian yang didapatnya dengan susah payah itu
dibelokkan kea rah perbuatan-perbuatan sesat, hingga ia ditakuti orang-orang yang diam-diam membencinya. Tapi banyak juga orang yang suka padanya, yakni orang-orang yang memang mempunyai keinginan kotor. Mereka ini datang padanya untuk minta bantuan sambil tak lupa membawa belak berupa uang maupun barang berharga.
Brojo adalah murid kesayangannya, karena orang ini tak sayang-sayang mengeluarkan banyak uang dan apa saja untuk memuaskan gurunya.
"Bapak guru," demikian tangis Brojo kepada gurunya,
"nama saya dan nama baik guru hancur luluh karena Hamali dan pembantunya pemuda yang mahir pencak itu. Balaskanlah sakit hati ini, bapak guru! Kalau tidak terbalas Hamali tentu mentertawakan kita, guru dan murid."
Kyai Bajul Putih tersenyum menyeringai. "Tenanglah, anakku, perkara membalas dendan itu mudah sekali, sama mudahnya dengan mebalikkan telapak tanganku. Apakah betul-betul kau sudah tidak sanggup mengalakannya dengan tenaga kasar" Bukankah kau sudah kuberi Aji Kedut Si Landak?"
"Hamali sendiri tidak kuat melawan saya, bapak guru, tapi pemuda itu sungguh kuat dan pandai. Keris saya dan pedang Hardo dipatahkan begitu saja dengan tangannya."
"Hm, memang berat melawan kalau ia sedemikian kuat.
Tapi, sebenarnya ada apakah maka si Hamali berani memusuhimu?" Tanya guru yang selalu membenarkan murid ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sebetulnya saya... saya cinta kepada anak gadisnya, bapak guru. Tapi Hamali menolak bahkan menghinaku. Karena itulah maka kami bermusuhan."
"Ho, ho, begitukah" Sekarang, apa yang kau ingin kuperbuat?"
"Kalau mungkin, singkirkan Hamali dari dunia ini dan datangkan Patimah anakku yang cantik itu padaku, bapak guru."
"Ha, ha! Mudah, mudah... tapi untukku sendiri, apa?"
"Apa saja yang bapak guru butuhkan, tentu aya aan Bantu mencarikan," Brojo menyanggupi.
"Ah, tidak, aku tidak butuh apa-apa muridku." Tapi Brojo maklum bahwa dibalik kata-kata ini tersembunyi suatu kehendak yang pasti akan dikemukakan bila usahanya berhasil.
"Bagaimanakah usahamu, bapak guru?"
Kyai Bajul Putih bermenung sejenak, lalu berbatuk-batuk kecil an berkata, "Tiga hari lagi kebetulan malam Jum"at Kliwon. Datanglah kau ke sini menyambut pergantianmu dan merayakan malam kematian musuhmu." Kata-kata ini diucapkan dengan suara pasti dan tetap hingga Brojo menghela napas lega. Segera ia berpamit untuk mengaso setelah meninggalkan uang beberapa puluh ringgit.
Tiga hari kemudian. Malam itu udara hanya diterangi oleh ribuan binatang dengan cahayanya yang suram. Malam Jum"at Kliwon yang ditakuti orang-orang, lebih-lebih mereka yang tebal tahyulnya. Dari tiap celah-celah bilik rumah mengepul asap kemenyan hingga di mana-mana orang mencium bau harum yang mendatangkan rasa seram itu. Tiada sedikitpun angin mengganggu ketenangan malam itu, hingga pohon-poon yang tinggi dan besar merupakan raksasa-raksasa hitam dan iblis-iblis bertangan panjang berdiri menanti datangnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mangsa. Dikatakan orang bahwa pada tiap malam Jum"at Kliwon, Ratu Iblis Batari Durga melepas pantangan bagi semua iblis dan siluman dan memperbolehkan mereka berkeliaran semalam penuh mencari mangsa di antara mausia-manusia yang lalai dan lalim. Maka para lelembut keluar dari tempat persembunyian masing-masing, kuburan-kuburan ditinggalkan penghuni-penghuninya, dan alam yang tadinya bersih itu dikotorkan oleh berbagai mahluk halus yang berpesta-pora menikmati hidangan manusia berupa asap kemenyan yang bagi mereka sangat lezat dan sedap itu! Suara burung hantu dan walangkekek ditambah nyanyian kutu-kutu walang ataga merupakan gamelan yang sengaja menghibur para dedemit itu, hingga jarang tampak manusia berani keluar pintu pada saat seperti itu.
Di rumah Raden Hamali terdengar isak tangis tertahan.
Tangis itu keluar dari pada ibu Hamali dan gadisnya yang duduk di pinggir pembaringan Raden Hamali.
Orang tua itu berbaring sambil kadang-kadang merintih.
Telah tiga hari ia menderita sakit dda hebat. Satu-satunua dokter di Solo yang memeriksa sakitnya hanya menggeleng kepala dan memberi obat, tapi sia-sia saja. Beberapa orang dukun telah dipanggil tapi semua menyatakan bahwa Raden Hamali terkena gangguan guna-guna yang jahat sekali.
Mereka juga tak dapat menolong. Raden Hamali hanya merasa dadanya seakan-akan terusuk-usuk dan sukar bernapas.
Pada malam Jum"at Kliwon itu, penyakitnya bertambah berat. Wajahnya membiru dan matanya terbalik. Dari mulutnya mengalir busa putih dan napasnya tinggal satu-satu!
Isterinya dan Patimah sudah habis harapan dan hanya dapat mengisak tangis.
"O, Patimah. Apakah dosa kita hingga Gusti Allah menghukum kita dengan penderitaan sehebat ini?" kata ini Hamali sambil merangkul anaknya. Patimah memperhebat tangisnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ibu... ibu... ini tentu perbuatan para buaya yang dulu..."
Ibunya teringat. "Semoga Gusti Allah Yang Agung mengutuk mereka! Ah... kalau saja datang penolong seperti dulu..."
Tiba-tiba Patimah tersentak bangun. Ia teringat akan pemuda naju putih itu. Mungkin ia bukan manusia, kata ibunya dulu. Benarkah" Kalau begitu, ia pasti dapat menolong kita jika ia dipanggil. Betapa tidak" Ia segera gabu dan lari ke belakang. Ibunya memandang heran tapi ia tidak mau meninggalkan suaminya yang agaknya telh mendekati sakaratul maut itu.
Patimah tergesa-gesa mengambil pedupaan dan
membawanya ke belakang. Ketika membuka pintu belakang, ia merasa bulu tengkuknya meremang, karena ia ingat bahwa malam itu adalah malam Jum"at kliwon yang terkenal keramat.
Tapi pada saat seperti itu ia tidak takut akan segala iblis dan setan, maka segera ia langsung ke luar dari pintu. Di tempat terbuka ia berjongkok dan membakar kemenyan yang tadi dibawanya. Ia tidak perduli akan lembab dan kotornya tanah yang telanjang itu, tapi duduk bersila memandang asap kemenyan yang mulai mengepul bergulung-gulung ke atas.
Seekor burung hantu melayang di atasnya,
menggerak-gerakkan sayap hingga berbunyi "plek, plek!" Tapi hal itu tidak menggoncangkan semangat Patimah yang tekun mengumpulkan pancainderanya serta menyatukan segala perasaan di tubuhnya itu untuk ditujukan ke arah satu, yakni kea rah banyangan Pamadi sambil mencipta kedatangan pemuda itu secepat mungkin. Daya cipta disertai permohonan yang penuh gairah dan rayu hingga dari sepasang matanya mengalir ke luar air mata, seakan-akan seorang anak kecil yang memenohon sesuatu dari orang tuanya sambil
merengek-rengek. Setengah jam lebih ia duduk bersila seperti patung, dan tiba-tiba saja kelebat bayangan putih yang merupakan diri seorang pemuda baju putih. Pemuda itu tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lain adalah Pamadi yang kini telah berdiri di belakang sambil berkata halus,
"Nona, masuklah ke dalam. Hawa sangat dingin di luar, nona."
Patimah bagaikan sadar dan ia tidak terkejut melihat pemuda itu karena semenjak tadi memang ia telah merasa bahwa pemuda itu telah berada di situ, demikian tekun dalam muja samadhinya.
Mengapa Pamadi dapat tiba-tiba datang ke situ"
Sebenarnya ia tadi sedang duduk Samadhi di rumah
penginapannya di Kampung Laweyan. Seperti biasa, tiap malam sebelum tidur ia bersamadhi dan ada kalanya sampai jauh malam. Malam itu karena malam Jum"at Kliwon itu sunyi sepi hingga sesuai sekali untuk bersamadhi dengan tenang, ia seakan-akan mati dalam hidup. Seluruh gua garba tertutup dan panca indera bagaikan mati, hingga semangat dan daya ciptanya membubung di angkasa mencari persatuan dengan asalnya. Tiba-tiba ia merasa sesuatu memanggil dan panggilan ini demikian kuatnya hingga ia sadar dari samadhinya. Ia mengumpulkan ingatan, lalu ke luar dari pintu kamarnya.
Kemudian ia menurutkan suara hatinya dan menggunakan ilmunya bergerak secepat angin menuju Kartasura. Betul saja, di belakang rumah Raden hamali ia dapatkan gadis Patimah sedang bermuja Samadhi dengan tekunnya. Ia mendengar pula tangis Ibu Hamali.
Pamadi mengikuti Patimah masuk ke kamar Raden Hamali.
Ibu Hamali heran memandang pemuda yang mengangguk dengan hormat kepadanya itu. Lalu ia megalihkan
pandangannya kepada Patimah engan penuh pertanyaan.
"Maaf, ibu. Saya kebetulan lewat di sini dan melihat adik ini menangis, maka saya lalu mampir."
Kemudian ia mendekati kamar Raden Hamali di mana orang tua itu terengar-engah. Pamadi memusatkan mata batinnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memandang. Dilihatnya awan hitam menyelubungi tubuh Raden Hamali. Ia menggunakan tangan kirinya meraba dada orang tua itu dan jari-jari tangannya yang halus bergerak di dada orang itu. Tiba-tiba sekujur tubuh Raden Hamali gemetar dan Pamadi berkata dengan suara tetap dan memerintah,
"Cepat, dik. Ambil air bening!" Patimah yang berdiri di dekatnya lari ke belakang dan sebentar kemudian membawa barang yang diminta pemuda itu.
Pamadi memandang air putih di cangkir itu, meniupnya tiga kali dan menggunakan tenaga batinnya yang dihirupkan melalui hawa dari dadanya kearah dada Raden Hamali. Lalu dengan perlahan ia membuka mulut si sakit dan meminumkan air itu.
Beberapa detik dengan sunyi Patimah dan ibunya
memandang tubuh Raden Hamali sambul menahan napas.
Tiba-tiba Raden Hamali menarik napas dalam tubuhnya bergerak-gerak. Matanya yang tadi mendelik ke atas kini tertutup dan perlahan-lahan kelopak matanya bergerak-gerak lalu terbuka. Agaknya ia terheran ketika melihat ketiga orang yang berdiri di situ. Ketika pandang matanya tertuju kepada Pamadi, ia segera menggerakkan tubuhnya dan bangun duduk. Tapi, tiba-tiba ia muntah dan dari mulutnya menyembur darah hitam.
Cepat-cepat Patimah menggunakan kain menyeka darah itu dan ibunya segera maju pula membantu Raden Hamali batuk-batuk dan setelah itu ia kelihatan sehat kembali, hanya tubuhnya masih sangat lemah.
"O... kau, nak... ," katanya kepada Pamadi. "Silakan duduk... maaf... bapak tak dapat menyambut sepantasnya...."
"Tidak apa, pak. Berbaringlah, aku masih lemah. Dik, buatlah bubur encer," katanya kepada Patimah yang segera menjalankan perintanya dengan patuh sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Raden Hamali berbaring dan sebentar kemudian ia
memejamkan mata. Agaknya penderitaan tadi membuatanya letih sekali.
"Bu, bapak diganggu orang. Tolong ambilkan mangkuk putih, adakah?"
"Ada, nak tunggu sebentar."Ibu Patimah masuk ke kamar lain dan keluar pula membawa mangkuk.
"Tolong isi dengan air putih, bu," kembali ibu Hamali melakukan permintaan Pamadi.
Pamadi menaruh mangkuk itu di atas pembaringan dekat kepala Raden Hamali dan berpesan, "Bu mangkuk ini jangan diganggu-ganggu. Tunggu saja sampai besok dan besok pagi barulah mangkuk ini boleh diangkat. Tapi jangan kaget kalau melihat isinya." Ibu Hamali mengangguk-angguk, kini sinar matanya memandang pemuda itu penuh hormat dan kagum, bagaikan mata seorang anak murid memandang gurunya.
Pamadi lalu naik ke tempat tidur dan duduk bersila di dekat Raden Hamali. Tiba-tiba tercium bau masakan hangus dari arah dapur. Ibu hamali segera menuju ke dapur di mana Patimah tadi masak bubur.
Mendadak Pamadi sadar dari samadhinya karena
mendengar ibu Hamali menjerit-je-jerit, "Ya, Gusti! Patimah!
Patimah...!! Kau ke mana?"
Pamadi meloncat kea rah dapur dan si situ ia melihat ibu Hamali berlari ke luar dan masuk lagi dengan wajah pucat dan binggung, sedangkan panci bubur di atas anglo mengepulkan asap berbau sangit! Pamadi yang bersikap tenang segera mengangkat dna menurunkan panci yang panas itu, kemudian ia bertanya, "Bu, mengapakah ibu berteriak-teriak?"
"Ya, Allah! Anakku... Patimah..."
"Tenanglah, bu. Ada apakah dengan anakmu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"O, Allah, nak! Entah mengapa si Patimah itu. Ketika aku masuk ke sini tadi, ia berdiri bengong di ambang pintu sambil memandang ke luar. Aku hendak menegurnya karena bubur telah hangus, tapi ia berpaling memandangku. Ya, Gusti, hampir aku pingsan melihat wajahnya. Pucat dan matanya seakan-akan mata orang mati! Lalu ia lari keluar, nak... ia lari keluar...!
Ibu Hamali yang sangat terganggu perasaannya itu hampir saja jatuh pingsan, tapi Pamadi segera memegang lengannya dan berkata dengan suara berpengaruh, "Tenang, ibu.
Ingatlah, ada saya di sini pembela ibu. Nah, sekarang masuklah ke kamar dan jaga suamimu. Perkara anakmu, serahkan saja kepada Tuhan dan saya akan mencarinya.
Jangan gelisah, anakmu pasti kembali dengan selamat."
Suara yang tenang dan berpengaruh itu benar merupakan benar-benar merupakan obat mujarab, karena ibu Hamali segera berkata, "Terima kasih, nak, terima kasih..." lalu ia berjalan masuk ke kamar suaminya.
Pamadi mengerutkan dahinya. "Hm, permaianan apa pula ini?" bisiknya dan ia meloncat ke luar. Tak lama ia mencari. Di jalan yang sunyi dan gelap itu tampak olehnya Patimah berjalan perlahan dengan tindakan kaki yang kuat, seakan-akan kaki itu dipaksa orang berjalan maju walaupun ia sebenarnya mimpi bergerak atau sebuah mayat hidup!
Pamadi sengaja lewat di depannya, tapi gadis itu seakan-akan tak melihatnya dan biji matanyapun tidak bergerak seperti lakunya biji mata orang hidup! Pemuda itu mengangguk-anggukan kepala lalu mengamat-amati gadis itu dari tempat agak jauh.
Ternyata Patimah berjalan menuju ke sebuah kampong yang agak jauh juga dari rumahnya sendiri dari rumahnya sendiri dan langsung gadis itu menhampiri sebuah rumah besar. Karena pntu depan rumah itu terbuka hingga tampak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
asap kemenyan tebal bergulung-gulung ke luar dari pintu, gadis itu dengan mudahnya memasuki rumah.
"Bagus, bagus! Kau datang, anak manis" Masuklah, masuklah pengantin lelaki telah menantimu!" Suara ini terdengar parau dan lembut, terdengar suara tertawa yang pasti akan dianggap orang suara hantu jika tidak keluar dari sebuah rumah orang.
Patimah memasuki sebuah kamar dalam rumah itu di mana telah menanti Brojo.
"Ha, ha, Patimah yang manis! Duduklah, dik..." Dan Patimah duduk di atas pembaringan yang berada di situ. Gadis itu kini memejamkan mata, tampaknya lelah sekali.
Rambutnya kusut dan kini kedua pipinya merah, hingga di bawah cahaya lampu minyak itu, ia nampak manis dan cantik sekali.
Brojo menggerakkan lengannya dan tangan kirinya hendak meraba gadis itu, tapi tiba-tiba ia merasa tangan kirinya bagaikan terpukul palu! Ia mengaduh kesaktian dna ketika dilihat, tangan itu berbekas biru dan yang memukulnya ternyata hanya sebutir bata merah yang tak lebih sebesar kacang hijau! Ia heran sekali, tapi ia anggap itu hanya kebetulan saja dan bahwa memang sejak siang tadi tangannya terpukul sesuatu yang tak dirasanya. Kembali ia gerakkan tangannya, kini yang kanan, tapi sebelum ia dapat menjamah lengan gadis yang hendak dipegangnya itu, kembali sebutir bata kecil memukul tanganya. Sekarang bahkan lebih sakit daripada tadi. Ia menjadi gemas. Apakah gadis ini punya ilmu"
Ataukah karena suci dan bersihnya, maka ada malaikat menjaganya" Tak mungkin! Kini ia menggunakan kedua lengannya hendak memeluk, tetapi kali ini ia berteriak kesakitan sambil meloncat mundur, karena sebutir bata yang sebesar ibu jari melayang dan membuat kepalanya bengkak!
"Bangsat mana yang berani menggangguku" Aku tidak takut, biar kau setan sekalipun!" teriaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebenarnya teriakan ini keras sekali, tapi tidak terdngar oleh yang tadi menyambut kedatangan Patimah dengan kata-kata seram itu. Ia adalah seorang tua yang duduk bersila menghadapi penuh kemenyan dan didekatnya kelihatan sebuah tengkorak kecil. Karena Kyai Bajul Putih, yakni orang tua itu, sedang mengerahkan seluruh tenaga batinnya yang bejat itu untuk merampas jiwa Raden Hamali, maka ia bagaikan orang tak sadar dan tak mendengar teriakan-teriakan Brojo.
Brojo berteriak-teriak, tapi tiada seorangpun menjawab teriakannya. Tetapi, tiap kali ia hendak menjamah Patimah, tentu ada bata kecil terbang menghantamnya! Akhirnya ia duduk bersila di kursi dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantra, karena ia hendak menggunakan ajinya kekebalan Si Landak! Setelah ajinya masuk ke tubuh terbukti dari rasa hangat panas di dadanya ia berdiri kembali dna menghampiri Patimah yang maih duduk memejamkan mata di atas pembaringan. Brojo mengambil keputusan berlaku nekad dan tidak perdulikan hujan bata kecil itu, karena pada pikirnya, kini ia sudah pasti takkan merasa pula hantaman bata kecil tak berarti itu.
Tapi kembali ia menjerit, karena tiba-tiba iamerasakan lengan kanannya sakit sekali dan ketika dilihat, ternyata ada sebuah paku kayu kecil. Biarpun hanya sepotong kayu yang rupanya dipatahkan dari reng di atas, tapi kayu itu demikian kuatnya hingga kini tertancap menusuk lengan tangannya yang telah dimasuki aji kekebalan. Ia cabut kayu itu dan darah mengucur dari lengannya.
Brojo mulai merasa takut. Lebih-lebih ketika ia menengok ke atas tampak olehnya sebuah lengan tangan bergantung dari lobang genteng. Takutnya menjadi-jadi ketika tangan itu kembali bergerak dan ia merasa lengan kirinya kembali sakit sekali dan tertancap oleh sepotong kayu kecil. Wajanya mulai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pucat, matanya liar hendak mencari jalan keluar, karena ia yakin bahwa itu tentu perbuatan iblis yang mengganggunya.
Berkali-kali tangan itu bergerak dan Brojo merasa seluruh tubuhnya tertusuk-tusuk kayu kecil. Ia mulai berteriak-teriak memanggil gurunya, tapi gurunya tidak mendengar
teriakannya. Ia lalu meloncat kea rah pintu, tapi alangkah terkejutnya ketika pintu yang tadinya tak terkunci itu kini lenyap dan diganti dengan dinding. Ia menengok ke sana ke mari mencari-cari, tapi ternyata kamar itu kini tak berpintu.
Pintunya telah lenyap entah ke mana.
Brojo berlari-lari mengelilingi kamar itu mencari-cari jalan keluar, bagaikan seekor tikus masuk jebakan. Rasa takutnya meningkat dan keringat dingin membasahi sekujur tubuh.
Ketika ia berhenti di tengah kamar dengan napas tersengal, ia menengok ke atas. Atangan itu telah lenyap dan kini terganti dengan wajah seorang yang agaknya memiliki mata bintang, karena matanya seakan-akan dua bunga api bercahaya menyilaukan dan memandangnya dengan tajam penuh
kemurkaan! Brojo tak dapat menahan goncangan hatinya dan dengan sekali berteriak terjerembab di atas lantai, pingsan!
Sebenarnya semua itu adalah perbuatan Pamadi yan
bersembunyi di atas genteng dan menggunakan ilmunya untuk memberi pengajaran kepada si keparat Brojo! Kini, melihat penjahat itu roboh pingsan, Pamadi turun dan masuk ke dalam kamar. Ia gunakan tenaga batinnya meniup ke muka Patimah, dan setelah mengusap muka yang halus itu dengan tangannya, Patimah sadar kembali. Gadis itu seakan-akan baru sadar dari mimpi, ia menengok ke kanan kiri dan memandang Pamadi dengan heran.
"Eh..., di mana aku ini?" Ia menengok ke bawah dna mendapatkan dirinya tengah duduk di atas sebuah ranjang.
Segera ia meloncat turun dengan malu dan gugup sekali.
Kemudian ia lihat Brojo tertelungkup pingsan di dalam kamar,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tubuhnya yang panjang itu rebah di lantai tak berkutik. Makin heranlah gadis itu.
"Mas... bagaimana aku bisa berada di sini" Rumah siapa ini dan bagaimana kita bisa datang ke sini?" Pertanyaan ini disertai pandangan sangsi dan curiga kepada Pamadi.
"Sabar, dik. Tak perlu bercerita sekarang. Ikutlah aku pulang ke rumah ibumu." Patimah hanya mengangguk dan mereka keluar dari kamar itu.
Setibanya di ruang depan, mereka melihat Kyai Bajul Putih masih duduk tepekur menghadapi asap kemenyan. Wajahnya yang penuh keriput nampak tegang sekali, urat-urat di muka dan leher menggembung dan sepasang matanya yang
dilindungi sepasang alis putih itu menatap tengkorak dengan setengah dikatupkan. Mulutnya komat-kamit membaca mantera. Mengerahkan seluruh tenaga bantinnya untuk mencapai maksudnya, yakni: mengirim tenaga maut untuk merampas jiwa Raden Hamali. Di atas batok tengkorak itu terdapat sebuah liln yang menyala terang. Kyai Bajul Putih merasa gemas sekali karena api lilin yang tadi telah menyuram, tiba-tiba menjadi terang kembali sedangkan senjata-senjata rahasia yang dikirim kearah tubuh Raden Hamali dan tampak berkelebat menyilaukan dari dalam batok kepala yang terletak di depannya, kini sudah hampir habis.
Mengapa kali ini usahanya tak berhasil" Semestinya api lilin itu telah padam dari tadi, dan padamnya api lilin berarti pula tewasnya kurban yang sedang diarah jiwanya!
Tiba-tba ia merasa ada tenaga besar menggoncangan imannya dan mau tidak mau ia sadar dari samadhinya yang bersungguh-sungguh. Ia merasa heran dan ketia mengangkat muka memandang, sepasang matanya terbentur sinar
sepasang mata yang tajam dan berpengaruh hingga hatinya berdebar. Ternyata Pamadi telah berdiri tak jauh dari situ dan tengah memandangnya dengan tenang. Patimah berdiri di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
belakang pemuda itu, tubuhnya gemetar ketakutan melihat pemandangan yang mengerikan itu.
Kyai Bajul Putih berdiri perlahan. Wajahnya mengeras dan pandangan matanya berubah kejam.
"Ya, Jagat Dewa Batara!" serunya marah. "Agaknya kaukah yang berani menghalang-halangi usahaku" Kau berani-berani masuk ke sini tanpa ijin dan gaknya kau telah mengganggu muridku?"
"Bukan saya yang mengganggu muridmu si Brojo, tapi si keparat itulah yang berlaku sesat dan hendak merusak pagar ayu. Dan sekarang tahulah saya, siapa yang berlaku begitu keji dalam usahanya membunuh seorang yang tak berdosa."
"Kurang ajar kau!"
"Pak Kyai," Pamadi melanjutkan kata-katanya dengan tenang, "bapak adalah seorang yang berilmu dan yang telah dianugrahi kekuatan batn dan kesaktian oleh Yang Maha Agung. Megapa kini bapak menggunaan kesaktian itu utnuk merusak" Insaflah, pa, saya kira tidak ada pelajaran mengganggu orang lain dalam segala imu yang telah kau pelajari."
Kyai Bajul Putih maju dua langkah dan tubunya yang kurus tinggi tampak gemetar menahan marah. Sepasang matanya memancarkan cahaya hebat ketika ia menggunakan
telunjuknya yang berkuku panjang menunjuk muka Pamadi,
"Ha, anak muda. Kau terlalu lancing mulut. Apakah kebisaanmu maka kau berani memberi nasihat kepada orang tua seperti aku" Hayo pergi dari sini dan tinggalkan gadis itu disini!"
Pamadi meggelankan kepala. "Tak mungkin, pa. anak ini harus kuantar pulang ke rumah orang tuanya."
"Kau berani membantah" He, kau anak manis, tidurlah dan masuk ke kamar tadi!" Sepasang matanya memandang kea
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
rah Patimah dan mata itu memancarkan tenaga yang
berpengaruh. Tiba-tiba Patmah merasa kepalanya pening dan mengatuntuk sekali. Hampir saja ia hilang ingatan alau tidak Pamadi buru-buru mengangkat tangan kirinya diluruskan ke depan kea rah gadis itu yang segera sadar kembali.
"Hem, kiranya kau mempunyai sedikit ilmu juga?"teriak Kyai Bajul Putih yang lalu menghadapi Pamadi. Kini ia angkat kedua lengan kea rah Pamadi dan berkata dengan suara keras hingga berkumandang di ruang itu, "Rebahlah kau!"
Tapi Pamadi berpeluk tangan dan memandangnya dengan tenang, di bibirnya terbayang senyum. Sungguhpun ia merasa pula tenaga batin orang tua itu mendorong-dorongnya untuk rubuh, tapi ia ternyata jauh lebih kuat.
"Tenaga yang telah menjadi hitam leyap kekuasaannya pak," katanya perlahan.
Kyai Bajul Putih merasa gemas sekali. Ia meloncat ke belakang bagaikan iblis dan memungut tengkorak yang berada di atas lantai. Setelah berkomat-kamit membaca mantera, ia lemparkan tengkorak itu ke atas. Sungguh ajaib tengkorak itu bagaikan bersayap dan terbang bagaikan seekor burung mengelilingi kamar. Patimah menjerit ketakutan, tapi Pamadi memegang lengannya menyuruh tenang. Tiba-tiba tengkorak itu menukik ke bawah dan dengan rahang terbuka meluncur ke arah leher Pamadi!
Pemuda Bajul Putih itu yang sejak tadi masih tersenyum dan mengikuti gerak-gerik tengkorak itu dengan sudut matanya bagaikan menonton suatu pertunjukan lucu, dengan tenang megangkat tangan kanannya dan menangkis
tengkorak yang menyabar itu sambil berkata keras, "Pergi dan musnah!" Tengkorak itu mengeluarkan suara ledakan dan terbanting pada dinding lalu pecah berantakan menjadi pecahan tulang-tulang kering!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kyai Bajul Putih terkejut dan matah. Segera ia berpeluk tangan dan matek ajinya Panglimunan. Patimah yang kini memegang lengan tagan Pamadi karena takutnya selalu melihat gerak-gerik kyai yang jahat itu. Tiba-tiba ia lihat tubuh kyai itu lenyap bagaian ditelan bumi. Ia heran sekali dan matanya mencari-cari, tapi betul-betul kyai itu telah menghilang tak berbekas. Tetapi Pamadi terdengar tertawa perlahan dan berkata sambil memandang kea rah pintu,
"Pak Kyai, kau hendak lari ke mana?" Ia menunjk dengan lari telunjuk kearah pintu dan Patimah makin heran karena kyai yang tadinya menghilang itu kini tampak pula sedang berjalan kearah pintu.
Kyai Bajul Putih menahan kakinya dan berpaling
memandang Pamadi dengan tajam.
Eh, anak muda. Kau yang telah memusnahkan ilmuku ini, siapakah namamu dan dari mana datangmu?"tanyanya marah.
"Panggillah saya Pamadi, Pak Kyai Bajul Putih,"jawab Pamadi.
"Eh, eh kau tahu namaku pula?"
"Namamu sudah cukup terkenal, Pak Kyai, terkenal karena kekejamanmu, sungguh sayang, seharusnya dan sepatutnya nama itu menjadi pujian tiap rakyat karena kau seorang pertapa yang tinggi ilmu dan sakti."
"Jangan sombong, anak muda. Aku belum kalah benar olehmu. Nah, terimalah ini!"Sambil berkata demiian Kyai Bajul Putih mengerahkan seluruh kesaktianya dan dengan berseru,
"Heeoh!"kedua lengannya diluruskan kea rah Pamadi dalam gerakan mendorong. Inilah Pukulan Gelap Sayuta yang hebat sekali kekuatannya dan orang biasa saja pasti takkan sanggup menahan, karena pukulan ini selan membawa tenaga yang dapat melukai tubuh, juga mendatangkan tenaga luar biasa yang bisa menggempur semangat dan batin yang terpukul.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat datangnya pukulan hebat ini, Pamadi cepat mendorong Patimah hingga gadis itu jatuh rebah ke samping, kemudian Pamadi meluruskan kedua lengannya pula dan mendorong kembali tenaga serangan Kyai Bajul Putih. Kyai yang sakti itu bagaia dihempaskan ombak besar, tubuhnya terlempar ke belakang lalu roboh. Mulutnya mengeluarkan rintihan perlahan dan dengan sukar sekali ia merayap bangun.
Tubuhya lemas lunglai karena ia menderita pukulan hebat.
Ternyata tenaga serangannya tadi dikebalikan oleh Pamadi hingga memakan tuanya sendiri.
"Anak muda,"katanya lemah, "sebelum maut mengambil nyawaku, aku takkan melupakan nama Pamadi dan pada suatu hari kita pasti akan berjumpa lagi untuk membuat perhitungan."
Pamadi sangat menyesal megapa sampai saat ini orang tua itu masih juga belum mau insaf dari kesesatannya. Sambil menarik napas panjang ia berkata perlahan. "Semua akibat ada sebabnya, Pak Kyai, dan kalau ada sebabnya, maka yang menjadi sebab adalah kau sendiri, bukan aku."
Setelah menatap wajah Pamadi sekali lagi, Kyai Bajul Putih berjalan keluar pintu dengan tindakan terseok-seok. Pamadi segera membangunkan Patimah yang masih rebah di atas lantai karena jatuh tadi dan tidak berani bangun karena terkejut dan takut. Kemudian Pamadi menghancurkan semua alat-alat pertenungan di ruangan itu, lalu mengajak Patimah pulang ke rumah Raden Hamali.
Kedatangan mereka disambut oleh Raden Hamali dan
isterinya. Raden hamali ternyata telah sembuh dan ketika ia melihat ke dalam mengkuk terisi air putih di dekat kepalanya, ia heran dan terkejut sekali, karena di dasar mangkuk itu terdapat tiga batang jarum yang kehitaman! Ia merasa sangat ngeri mengetahui betapa jarum-jarum itulah yang sedianya hendak menembus jatungnya dan merebut jiwanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah Patimah puas menangis alam pelukan ibunya Pamadi bermohon diri, karena waktu itu ternyata sudah hampir subuh. Biarpun fihak tuan rumah menaan keras, namun dengan alasan-alasan halus Pamadi tetap pergi meninggalkan mereka yang memandangnya dari luar pintu tanpa memberikan nama maupun tempat tinggalnya!
Di Kampung Manahan yang biasanya sunyi tenteram, pada pagi hari itu kira-kira jam sembilan, ramai dengan teriakan-teriakan orang yang lari kalang kabut "Amuk! Amuk!"
Mendengar teriakan dan melihat orang-orang lari ke sana ke mari tak tentu arah tujuan, hanya tampak semua orang berwajah pucat seakan-akan lari menjauhkan diri dari sesuatu yang berbahaya dan menakutkan, semua orang ikut menjadi bingung. Para ibu memeluk anaknya sedangkan si ayah buru-buru menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Yang aak tabah segera mengambil senjata tajam sedapatnya untuk berjaga diri dan keluar dari rumah dengan hati berdebar-debar. Orang-orang salng Tanya dengan mata memandang ke kanan kiri mencari-cari orang yang sedang megamuk itu.
Seorang muda yang rupanya tahu benar akan huru-hara itu bercerita cepat, "Pak Bei Tirto mengamuk! Ia memegang keris pusaka an menyerang siapa saja yang berada di dekatnya!"
"Di mana?" Tanya beberapa buah mulut berbareng.
"Itu di perempatan. Semua orang lari, tak seorangpun berani menghalang-halanginya," jawab pemuda itu.
"Mengapa ia mengamuk?" Tanya seorang.
"Entah. Hanya ia selalu, memaki-maki nama Pak Nata dan anaknya, katanya mereka itu serumah akan dibasmi habis!"
Tiba-tiba dari jurusan barat tampak beberapa orang lari tergesa-gesa engan wajah ketakutan. Orang-orang yang tengah bercakap-cakap tadi bagaikan mendapat komando
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
serentak ikut lari seakan-akan orang yang sedang mengamuk tadi telah berada di tumit kaki mereka!
Namun di antara sekian banyak orang yang ketakutan dan menjauhkan diri dari orang yang ditakutinya itu, tampak seorang pemuda berpakaian putih dengan wajah tenang tapi dengan langkah lebar menuju kea rah yang dijauhi orang-orang. Setelah ia tiba di jalan tikungan, kelihatanlah olenya apa yang menyebabkan orang-orang melarikan diri.
Pak Bei Tirto pada saat itu memang tampak sangat
menyeramkan danmembuat orang-orang yang bagaimana tabahnyapun pergi ketakutan. Pak Bei yang bertubuh tinggi besar seperti Bratasena itu berdiri sambil bertolak pinggang dengan tangan kiri. Tangan kanannya mengacung-acungkan sebilah keris liuk lima yang panjang. Kakinya terpentang dan tubuh atasnya telanjang memperlihatkan dada yang bidang dan tegap. Celananya hitam dan kain sarungnya diikatkan di pinggang seperti lakunya seorang ahli pencak. Biarpun ia sudah berusia kurang lebih lima puluh, namun masih nyata nampak kekuatan tubuhnya. Cambang bauknya yang kaku dan sinar matanya yang pada saat itu seakan-akan sedang menyala-nyala menambah-nambah seram wajahnya.
"Hayo, Natawirya si pengecut! Keluarlah kamu jika kamu memang laki-laki! Ajaklah anakmu si monyet itu biar kuijak-injak perutnya! Biarlah aku yang akan menghajarnya kalau kau orang tua hina tak dapat menghajarnya. Keluarlah kamu berdua, jangan maju seorang demi seorang, majulah kalian bersama agar lebih cepat kukirim kamu berdua ayah dan anak hina dina ke neraka!" demikian ia berteriak-teriak dengan suara parau, tangan kanan mengacung-acungkan keris dan tangan kiri mengayun-ayunkan tinju kearah sebuah rumah gedung yang tertutup pintunya.
Tiba-tiba pintu rumah terbuka dan dari dalam keluar seorang wanita setengah tua yang menghampiri Pak Bei Tirto dengan takut-takut. Setelah dekat ia memberi hormat dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkata lembut, "Den Bei, mohon diampunkan jika suami atau anak saya telah berlaku salah. Sebetulnya apakah yang menyebabkan Den Bei Marah-marah kepada kami?"
Wanita itu tak berani memandang wajah Pak Bei Tirto.
Orang yang sedang marah dan nekad ini agak bibang ketia didatangi seorang wanita. Tak ia sangka bahwa yang yang menyambutnya hanya seorang wanita lemah. Maka untuk seketika ia bingung juga, tapi nafau marahnya terlampau besar untuk dapat padam demikian saja. Dengan suara kasar ia menjawab.
"Suamimu yang tak tahu diri itu telah menghinaku.
Masakan di luar ia berani membuka mulut berkata bahwa puteriku Rini pasti akan menjadi mantunya! Anakku, Rini, akan dikawaini Harlan anakmu" Hm, tengoklah muka sendiri dan rabalah tulang punggung sendiri lebih dulu. Harlan itu orang apa, keturunan apa" Apakah yang diandalkan untuk
mengawini si Rini?"
Biarpun wanita itu takut-takut, tapi menjadi panas juga telinganya mendengar suami dan anaknya dihina orang, maka ia berkata agak keras dan mengandung suara kegemasan.
"Den, Bei! Kalau memang Den Bei tidak suka kepada kami, biarlah sampai sekian saja, mengapa Den Bei harus bersusah payah dengan ke sini dan marah-marah" Dan tentang anakku Harlan, kalau kiranya tidak cukup berharga bagi puterimu, biarlah akan kunasihati agar mencari jodoh yang lain aja. Perlu apa Den Bei marah-marah seperti ini?"
Kumis Den Bei Tirto seakan-akan berdiri. Kalau saja yang berdiri di depannya itu bukan seorang wanita, pasti ia sudah tak sabar pula menanti lebih lama untuk menyerangnya.
Kedua biji matanya berputar-putar hebat ketika ia berkata keras-keras,
"Mbakyu Nata! Kau orang perempuan jangan ikut-ikut.
Pergi saja dan sembunyi di dapur! kau tidak tahu, sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berapa kali aku tegaskan kepada suamimu supaya ia melarang anaknya yang kurang ajar itu mendekati puteriku. Tapi ternyata ia tidak memperdulikan dan anakmu si monyet itu malam tadi bahkan berani memasuki pekaranganku. Kali ini aku tak sudi memberi ampun. Suami dan anakmu itu harus mampus!"
Wanita itu menjadi pucat. Kakinya gemetar dan ia jatuh berlutut. "Den Bei, kalau memang betul terjadi hal itu, maka ampunlah suami dan anakku. Biarlah, aku yang akan menasehati mereka agar menurut dan patuh akan semua laranganmu."
"Tidak bisa, tidak mungkin! setidak-tidaknya aku harus memberi hajaran pukulan di kepala mereka itu dan apabila mereka mau menyatakan kapok, baru aku mau sudah."
Tiba-tiba pintu tumah terbuka lagi dan seorang pemuda tampak lari kearah wanita itu sambil berteriak, "Ibu, jangan merendahkan diri sendiri demikian rupa!" Dan di belakang anak muda itu berlari seorang laki-laki tua yang mengejar anaknya dan berteriak, "Harlan, jangan kau kesana!"
Harlan memeluk dan membangunkan ibunya sambil
memandang wajah Den Bei Tirto dengan marah. Ia berlata kepada ibunya, "Ibu, kami tidak bersalah apa-apa jangan demikian merendahkan diri, ibu. Biarlah Pak Bei marah kepada saya, tapi ibu jangan sampai dihina orang, saya tak tahan melihatnya."
Sementara itu Pak Nata sudah sampai di situ pula dengan napas terengah-engah, lalu berkata kepada Den Bei Tirto,
"Den Bei Tirto, biarlah kalau ada yang salah, aku sebagai orang tua minta maaf kepadamu. Janganlah kau tumpahkan marahmu kepada anakku atau isteriku. Karena kalau memang kami bersalah, akulah orangnya yang akan menanggung segala akibatnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tadi ketika melihat kedua orang yang dibencinya itu keluar dari rumah, kemarahan Den Bei Tirto sudah memuncak, tapi ia belum dapat berkata sesuatu, melihat kesibukan mereka masing-masing. Tapi kini, setelah Pak Nata menyapanya, timbul pula marahnya, maka ia menjawab.
Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus! Kalau begitu, biarlah kau saja yang kuhajar!"
Sambil berkata begitu, ia ayunkan kakinya menendang, hingga Pak Nata yang lemah terhuyung-huyung ke belakang. Harian melihat ayahnya di serang segera hendak membantu, tapi tiba-tiba kepalan tangan kiri Den Bei Tirto melayang ke arah dadanya. Harlan mengelak dan menangkis tangan itu dengan keras, tapi ia tidak mau balas memukul. Karena tangkisan itu, tubuh Den Bei Tirto menjadi miring, tapi ia segera ubah kedudukan kakinya dan sambil merendahkan tubuh, kaki kirinya melayang pula dengan cepatnya. Untung Harlan pernah pula belajar pencak, hingga matanya cukup gesit.
Untuk menghindarkan tendangan kilat itu, ia membuang diri ke samping kirinya hingga kembali serangan Den Bei Tirto gagal.
Den Bei Tirto merasa sangat gemas. Sambil memaki, "Anak bedebah," ia meloncat menerkam sambil mengayun kerisnya ke ulu hati anak muda itu. Harlan memiringkan badan dan memutar lengan kanannya, hendak menggunakan tangannya menekan penrgelangan tangan lawan dan merampas keris.
Tapi Den Bei Tirto bukanlah seorang lawan yang lemah. Ia terkenal sebagai cabang atas Kampung Manahan dan ketika ia masih muda, ia ditakuti orang karena kemahirannya main pencak. Ketika kerisnya tidak mengenai sasaran dan ia merasa pergelangan tangannya hendak diterkam oleh tangan lawan, ia segera memutar kerisnya le belakang lengan dan menggunakan siku lengannya menghamtam ke arah dada Harlan! Terdengar suara "buk!" dan Harlan terhuyung ke belakang. Pada saat itu Pak bei Tirto yang telah menjadi mata gelap segera menghajar dan menikam dengan kerisnya.
Terdengar ayah ibu Harlan menjerit ngeri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untung pada saat yang sangat berbahaya bagi jiwa Harlan itu, berkelebat sebuah bayangan putih, dan tahu-tahu, entah dari mana datangnya, seorang pemuda berbaju putih telah berdiri di antara Pak Bei Tirto dan Harlan. Orang tua yang sedang mengamuk itu untuk sejenak menjadi melongo dan terkejut, lalu memandang. Ternyata di depannya berdiri seorang pemuda tampan dengan wajah terang dan senyum di bibir.
"Bapak, sabarlah dan padamkanlah nafsu marahmu. Segala perkara dapat diamaikan," kata pemuda itu dengan halus.
Entah suara yang tenang itu ataukah sinar mata yang tajam dan manis itu yang seakan-akan merupakan air dingin mengguyur dada Pak Bei Tirtito yang sedang panas, tapi seketika itu juga Pak Bei Tirto telah ditinggalkan setengah bagian dari nafsu marahnya. Tetapi ketika matanya berputar memandang dan melihat bahwa kini telah banyak orang melihat mereka dari tempat jauh, ia menjadi malu kalau mundur. Ia khawatir disangka orang berjiwa ia takut kepada pemuda kurus lemah itu. Maka ia memandang wajah pemuda baju outih itu sambil membentak,
"Siapa kau" Berani betul mencampuri urusan orang lain.
Hayo mundur!"
"Tenanglah, bapak, jangan dilanjutkan hal yang tidak baik ini!" bantah pemuda itu yang tidak lain ialah Pamadi adanya.
"Apa" Kau handak membela mereka ini rupanya" Tak kenal aku siapa" Minggir kamu!" kata-katanya ini diiringi dengan tangan kiri melayang ke arah pundak Pamadi hendak mendorong pemuda itu ke samping. Tetapi, alagkah
terkejutnya ketika tangannya seakan-akan mendorong batu besar yang sedikitpun tidak bergerak. Bahkan lengannya seakan-akan terbentur pada sebuah tenaga kuat hingga terpental kembali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Eh, eh! Kau mau mencoba-coba cabang atas Manahan, ya?" Dengan marah Pak Dei Tirto memutar kerisnya ke belakang lengan dan menggunakan gagang keris dalam kepalannya memukul ke arah leher Pamadi. Pukulan ini keras sekali dengan diiringi teriakan "Heeitt!" Tapi dengan tenang Pamadi memiringkan tubuh dan kepalan itu menyambar lewat, hanya angin pukulannya saja membuat leher bajunya tertiup.
Pak Bei Tirto merasa makin gemas, masakan seorang jago kawakan seperti ia tak dapat dengan sekali pukul membuat pemuda lemah ini roboh mencium tanah. Karena terdorong tenaga pukulannya sendiri, tubuhnya terhuyung ke muka, lalu kedua kakinya meloncat sambil memutar tubuh, tahu-tahu kaki kanannya melayang naik mengarah perut Pamadi.
Pemuda itu dengan masih tersenyum mengelak sedikit sambil mengibaskan lengan kirinya ke arah pergelangan kaki lawan, sambil berkata, "Sabarlah, pak!"
Perguruan Sejati 5 Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Pendekar Latah 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama