Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Bagian 5
menaiki kuda terbaik.
"Sri Maharaja Balaputradewa biasanya di waktu-waktu
tertentu memang memanggil beberapa orang untuk
menghadapnya," ujar Dapunta Cahyadawasuna. "Biasanya mereka itu adalah Pu Chra Dayana, Panglima Samudra Jara
Sinya, Panglima Bhumi Cangga tayu, dan Pemimpin Kelompok
Rahasia Wangseya, Wantra Santra. Aku sendiri baru dilibatkan dalam pertemuan ini belum lama."
Lalu, sekilas Dapunta Cahyadawasuna menjelaskan
keadaan pertemuan itu, undak-undakan yang ada, juga
beberapa kebiasaan kerajaan yang ada di dalam lingkungan
kedatuan. Sepanjang penjelasan ini, Tunggasamudra dan
Sangda Alin hanya mendengarkan tanpa menyahut.
Sekali waktu, saat Dapunta Cahyadawasuna tak lagi
mengajak keduanya bicara, Tunggasamudra yang
menunggang kuda di sebelah Sangda Alin berucap pelan.
"Maafkan aku, saat kemarin itu," ujarnya pelan setelah sebelumnya beberapa kali melirik kepada perempuan bercadar
itu'. Akan tetapi, Sangda Alin yang sejak tadi diam dan terus
memandang lurus ke depan hanya meliriknya sekilas sambil
berujar datar, "Itu bukan salahmu. Kau tak periu minta maaf."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah itu tak ada percakapan lagi. Saat keduanya tiba di
Kedatuan Telaga Batu, Dapunta Cahyadawasuna segera
bergegas masuk ke dalam kedatuan. Untuk sementara,
Tunggasamudra dan Sangda Alin dibiarkan menunggu di luar.
Awalnya keduanya menunggu di pelataran kedatuan.
Namun, karena kediaman membuat keduanya bosan, mereka
pun tanpa bicara segera keluar ke halaman kedatuan.
Di bawah sebuah pohon besar keduanya menunggu dalam
diam. Pohon ini merupakan pohon beringin, yang besar
batangnya mencapai hingga satu tombak lebih. Daun-daunnya
begitu rimbun. Kicauan burung terdengar riuh. Saat tengah
terdiam di situlah tiba-tiba Tunggasamudra dan Sangda Alin
dikejutkan oleh gerakan di atas pohon itu. Namun, sebelum
keduanya menengadah, seorang pemuda dengan ikat kepala
putih, melompat turun dari sana. "
'Jadi, kaliankah pandaya itu?" ia tersenyum dengan ramah.
Lelaki muda itu tak lain adalah Kara Baday. Sejak tadi,
bersama Panglima Samudra Jara Sinya, ia telah datang paling
awal di kedatuan ini. Karena merasa akan menunggu lama, ia
kemudian memutuskan untuk bersantai di atas pohon beringin
ini. Dengan rumput yang masih digigit di bibirnya, didekatinya
Tunggasamudra. "Waw, pedangmu sampai tiga bilah," ia mengamati
punggung Tunggasamudra dari atas hingga ke bawah. "Kau
pastilah sangat sakti
Ia tersenyum nakal. "Namun, maaf saja, gayamu dengan
mengikat ketiga pedang di punggung seperti itu, sungguh
mengingatkanku kepada... ehem, pada penjual pedang!" ia kemudian tertawa lepas.
Tunggasamudra tak bereaksi apa-apa, selain melirik Kara
Baday lebih tajam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maaf, maaf, jangan marah, Kawan, aku sekadar
bercanda," ia menepuk-nepuk punggung Tunggasamudra
dengan gaya akrab.
Tunggasamudra sedikit menepisnya dengan halus. "Kau
terlalu ramali," ujarnya. "Ingat, kita belum saling mengenal
"Benar, benar. Kau benar," Kara Baday menepuk
keningnya. "Aku Kara Baday. Dulu aku adalah pemimpin ...
Bajak Laut Semenanjung Karang."
Tunggasamudra hanya mengangguk kecil menerima
perkenalan itu.
"Hmmm, kau tak pernah mendengar nama itu?" tanya Kara Baday tampak sedikit heran.
"Aku datang dari jauh," balas Tunggasamudra. "Walau berasal dari sini, tetapi aku pergi cukup lamajauh ke utara."
Kara Baday mengangguk-angguk, "Pantas kau tak
mengenalnya. Dulu di muara besar ini, nama Bajak Laut
Semenanjung Karang sangat terkenal
"Terkenal sebagai penjahat!" Sangda Alin, yang sedari tadi diam, memotong ucapan Kara Baday dengan cepat.
Dari balik cadarnya, tcriihat samar guratan senyum sinis di
bibirnya. "Hmmm, kau salah, Nona. Kami sama sekali bukan
penjahat," Kara Baday segera mendekati Sangda Alin.
"Penjahat itu biasanya... menutupi wajahnya, seperti dirimu ini!"
Sangda Alin tak menggubrisnya.
Kara Baday memutari tubuhnya, "Aku jadi heran, mengapa
kau menutupi wajahmu" Sepertinya kau tampak jelita. Atau ...
aku yang salah" Kau ... begitu buruknya?"
Kara Baday tersenyum di dekat wajari Sangda Alin.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangda Alin segera mengangkat pedangnya, 'Jangan
bertingkah macam-macam atau kau
Kara Baday hanya tertawa dan segera mundur beberapa
langkah ke belakang.
"Temanmu ini lebih galak dari kelihatannya," ujarnya sambil kembali mendekati Tunggasamudra. Ia tak lagi mendekati
Sangda Alin. Sebagai panglima muda baru, ia sadar kalau
harus bisa mengerem tingkah lakunya. Kalau seseorang tak
bisa menerima cara bercandanya, bahkan sampai hendak
mencabut pedang segala, sepertinya ia harus menjaga jarak!
"Oya," ia menoleh kembali kepada Tunggasamudra, "aku lupa menanyakan namamu."
"Panggil aku Tungga! Namaku Tunggasamudra."
"Dan, ia?" Kara Baday menunjuk kepada Sangda Alin
dengan gerakan dagunya.
"Kau bisa langsung menanyakan kepadanya," ujar
Tunggasamudra. Kara Baday menatap Sangda Alin sesaat, tetapi Sangda Alin
malah melengos darinya.
"Kau lihat" Ia tak mungkin menyebutkan namanya,"
ujarnya. Sesaat Tunggasamudra merasa ragu, menjawab
pertanyaan itu atau tidak. Sangda Alin jelas sekali terlihat tak ingin berurusan dengan pemuda ini, maka ia pun akhirnya
menjawab, "Nanti akhirnya kau juga akan mengetahuinya."
Kara Baday bersungut-sungut, "Huh, kalian ternyata
memang pasangan yang cocok."
Akan tetapi, pembicaraan ini seketika terhenti ketika
ketiganya melihat derap kuda melaju kencang ke arah
kedatuan. Seseorang penunggang terdepan, yang
menggunakan jubah hitam, kemudian melompat tinggi dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
atas kuda ke pelataran kedatuan. Gerakannya begitu ringan,
benar-benar tak menimbulkan suara saat menjejak tanah.
Sekilas ia melirik kepada Tunggasamudra dan lainnya.
Pandangannya begitu tajam dan sangat dingin. Benar-benar
menaburkan aura kelam dan begitu saja mengingatkan pada
sajak-sajak kematian.
Di belakang lelaki berjubah itu, seakan mengikuti
gerakannya, tiga orang lainnya yang berpakaian serbahitam
dengan penutup wajah, juga melompat menyusul ke arah
pelataran kedatuan.
Saat itulah Tunggasamudra bangkit. Namun, Kara Baday
menahannya, "Mereka bukan penjahat," ujarnya.
"Siapa mereka?" ia bertanya sambil terus mengikuti gerakan keempat orang itu.
"Merekalah yang dinamakan Kelompok Wangseya," jawab Kara Baday
"Kelompok Wangseya?"
Kara Baday mengangguk, "Itu nama kelompok rahasia
kerajaan."
Tunggasamudra menarik napas, "Pantas wajah mereka
ditutupi...."
Kara Baday tertawa sambil melirik kepada Sangda Alin.
"Rasanya temanmu itu cocok menjadi anggota mereka,"
ujarnya asal. Sangda Alin tak menanggapinya. Tanpa ada yang tahu, di
dalam hati, Sangda Alin begitu tertegun melihat kedatangan
tadi. Terutama saat lelaki berjubah itu menatap ke arah
mereka. Sungguh, sepertinya ia sudah begitu mengenal wajah
itu ... entah kapan ... entah di mana ....
Dan, suara Kara Baday kembali membuatnya menoleh,
"Kelompok Wangseya adalah yang terpenting di kerajaan ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Konon semua informasi kepada Sri Maharaja berasal dari
mereka -ooo0dw0ooo- Di dalam kedatuan, Sri Maharaja Balaputradewa tengah
bicara dengan keempat orang kepercayaannya dengan nada
pelan. Sesaat yang lalu Panglima Samudra Jara Sinya baru saja
mengutarakan rencananya tentang penyerangan ke Minanga
Tamwa. "Hamba pikir kita tak bisa menunggu teriaki lama lagi,"
ujarnya. "Telah tiga purnama kita mendiaminya. Saat inilah hamba rasa kita harus bergerak menyerangnya. Selama ini
pasukan hamba telah mengisi perairan Muara Jambi dan
Pasukan Bhumi Cangga Tayu telah ada di pos-pos di sebelah
selatan Batanghari. Hamba pikir sudah waktunya kita
menyerang dari dua arah, darat dan sungai!"
Sri Maharaja Balaputradewa terdiam. Sesaat ia mencoba
menimbang-nimbang. Ditatapnya secara bergantian Pu Chra
Dayana, Dapunta Cahyadawasuna dan Wantra Santra yang
baru saja hadir, seakan meminta pertimbangan.
"Menurut kalian, bagaimana sebaiknya?" tanyanya.
Dapunta Cahyadawasuna yang kemudian membungkuk,
mencoba untuk menjawabnya. Sesaat ia terdiam dulu untuk
mengambil napas. Dipandanginya keempat rekannya yang
lain. Sejak tadi menyimak, ia tahu bila semua yang hadir telah setuju dengan rencana penyerangan ini. Namun, tidak
baginya. Maka, ia pun kembali membungkukkan tubuhnya. "Menurut
hamba," suaranya terdengar ragu-ragu, bagaimanapun ia
merupakan sosok baru di antara semua yang hadir,
"sebaiknya kita melakukan pendekatan baik-baik terhadap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Minanga Tamwa. Sudah hamba pelajari bahwa Panglima
Tambu Karen adalah sosok yang berjasa bagi kerajaan.
Mungkin kita bisa mencari tahu apa yang membuatnya kecewa
hingga dirinya melakukan pembelotan ini."
Namun, ucapan panjang ini segera dibalas oleh suara
Panglima Samudra Jara Sinya, "Dapunta Cahyadawasuna,
sekadar untuk Dapunta ketahui, bahwa aku dan Panglima
Cangga Tayu telah mengenal Panglima Tambu Karen dengan
sangat baik. Kekecewaan bukanlah sebuah alasan untuk
melegalkan sebuah pemberontakan. Hamba yakin Panglima
Tambu Karen tahu sekali tentang itu. Maka, bila ia tetap
melakukan pemberontakan, ia juga sangat tahu bahwa
hukumannya hanyalah satu ... kematian!"
"Apa yang dikatakan Panglima Jara Sinya, benar, Dapunta,"
tambah Panglima Bhumi Cangga Tayu. "Lepas dari hamba
mengenalnya dengan baik atau tidak, hamba pikir alasan
Tambu Karen hanya satu, gelar dapunta saja tak cukup
baginya. Ia ingin lebih dari itu ... menjadi raja!"
Dapunta Cahyadawasuna mengangguk lemah, "Namun,
hamba pikir, tak ada keuntungannya kita berperang sendiri.
Akan banyak pasukan di kedua belah pihak yang akan gugur
sia-sia "Gugur demi Sriwijaya adalah kebanggaan bagi mereka,
Dapunta!" balas Panglima Bhumi Cangga Tayu.
"Hamba tahu, hamba tahu," ujar Dapunta Cahyadawasuna sambil menatap Sri Maharaja Balaputradewa. "Namun, tak ada salahnya kita mencoba membujuknya teriebih dahulu, bukan"
Sama sekali tak ada salahnya. Itu hanya akan memakan
beberapa hari saja
Sri Maharaja Balaputradewa mengangkat tangannya.
"Kupikir yang diucapkan Dapunta Cahyadawasuna benar,"
ujarnya sambil menyapukan pandangannya. "Kita usahakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terlebih dahulu upaya damai. Itu sama sekali tak akan
merugikan kita ...."
Dapunta Cahyadawasuna membungkuk dalam-dalam.
"Untuk itu," ujarnya lagi, "izinkan hamba datang ke kedatuan mereka di Minanga Tamwa untuk bicara kepada mereka...."
-ooo0dw0ooo- Matahari yang telah condong masih belum tampak dari
balik gugusan awan ketika pertemuan itu akhirnya selesai.
Saat itulah Panglima Samudra Jara Sinya mendekati Dapunta
Cahyadawasuna yang baru saja hendak menaiki kudanya.
"Dapunta Cahyadawasuna," ujarnya menahan gerakan
Dapunta Cahyadawasuna. "Kupikir rencanamu mendatangi
mereka akan sia-sia belaka. Tiga purnama ini kita menutup
akses mereka di sebelah selatan. Ini tentunya sudah membuat
mereka sangat membenci kita. Belum lagi gerakan pasukan
kita yang terus semakin mendekati mereka. Bisakah
kaubayangkan kebencian mereka terhadap kita?"
Dapunta Cahyadawasuna hanya mencoba tersenyum, "Aku
bisa merasakannya."
"Maka itulah, usahamu mendekati mereka hanya akan siasia." Dapunta Cahyadawasuna menarik napas panjang,
"Kalaupun pada akhirnya ini sia-sia, tak ada salahnya aku mengupayakan terlebih dahulu, bukan?"
Panglima Samudra Jara Sinya hanya bisa menggelengkan
kepalanya dengan lemah. Saat itu baru disadarinya kehadiran
Tunggasamudra dan Sangda Alin yang ada di belakang
Dapunta Cahyadawasuna.
"Apakah dua orang yang ada di belakangmu itu adalah
pandaya yang terpilih?" tanyanya kemudian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dapunta Cahyadawasuna mengangguk, "Ya, benar."
Panglima Samudra Jara Sinya tersenyum, "Seharusnya kau
mengenalkannya dulu kepada kami semua tadi, Dapunta."
Dapunta Cahyadawasuna mengangguk, "Aku tahu. Pu Chra
Dayana sudah mengatakannya kepadaku. Namun, pertemuan
kita tadi benar-benar tak menyisakan waktu untuk itu. Aku
merasa tak enak
"Ali, jangan merasa tak enak. Pertemuan ini memang
sangat mendesak," Panglima Samudra Jara Sinya berjalan
sedikit ke tepi. Di situ dipetiknya dua helai rumput panjang.
Lalu, sambil menimang-nimang kedua lembar rumput itu, ia
kembali tersenyum kepada Tunggasamudra dan Sangda Alin
yang telah siap menaiki kudanya.
"Maaf, mengganggu kalian sebentar," ujarnya. "Sebenarnya aku ingin sekali menjamu kalian, tetapidan ucapan itu benar-benar tak dilanjutkannya. Tangan Panglima Samudra Jara
Sinya tiba-tiba sudah bergerak cepat, melayangkan dua helai
rumput itu ....
Wuuuuuuuuuush....
Wuuuuuuuuuush ....
Seketika dua batang rumput itu melayang dengan tajam ke
arah Tunggasamudra dan Sangda Alin dengan kecepatan luar
biasa.
Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sangda Alin segera mengibaskan kain bajunya sehingga
membuat rumput itu terpental dan membalik arah. Sedangkan
Tunggasamudra segera menahan dengan telapak tangannya
hingga rumput itu terhenti sebelum benar-benar mengenai
tubuhnya. Panglima Samudra Jara Sinya tertawa, "Hahaha, kalian
benar-benar luar biasa." Ia menoleh kepada Dapunta
Cahyadawasuna, "Tadi aku hanyjf ingin melihat kelihaian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka. Dan, ternyata pilihanmu sungguh tepat, Dapunta." Ia menoleh lagi kepada Tunggasamudra dan Sangda Alin, "Aku berharap nantinya kalian bergabung bersamaku ...."
Lalu, setelah mengucapkan kata-kata itu, Panglima
Samudra Jara Sinya segera menyilakan rombongan Dapunta
Cahyadawasuna pergi.
"Panglima," Luwantrasima, putranya yang sejak tadi berdiri di belakangnya segera mendekatinya. "Kupikir... mereka tadi tak cukup istimewa."
Panglima Samudra Jara Sinya tak menyahut. Sampai
beberapa saat ia masih memandangi iring-iringan itu. "Tak cukup istimewa katamu?" ia melirik sekilas putranya itu. "Kau harus lebih teliti mengamatinya! Pandaya perempuan itu
mungkin tak terlalu istimewa, tetapi pandaya laki-laki itu, ialah yang sangat istimewa. Aku sama sekali tidak berbasa-basi bila benar-benar menginginkannya bergabung denganku."
Lalu, Panglima Samudra Jara Sinya segera beranjak pergi
diikuti dengan rombongannya.
Sesaat Luwantrasima hanya terdiam saja. Ia masih saja tak
mengerti. Ia melihat gerakan tadi dan merasa itu hanya
gerakan biasa saja.
Maka perlahan, Luwantrasima pun mendekati tempat di
mana Tunggasamudra dan Sangda Alin menahan dua rumput
tadi. Di tempat Sangda Alin berdiri, ia melihat potongan
rumput itu telah patah menjadi beberapa bagian-bagian kecil.
Ini sama sekali tak istimewa. Dirinya pun bila diserang dalam posisi seperti tadi akan melakukan hal yang sama seperti ini.
Terlebih saat ia berada di tempat Tunggasamudra berdiri
tadi. Ini benar-benar membuatnya mengerutkan kening tak
mengerti. Sungguh, tak ada apa pun yang istimewa di sini.
Rumput itu masih saja tergeletak di atas tanah. Tanpa
terpotong dan tanpa perubahan yang berarti!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sungguh, Luwantrasima benar-benar tak mengerti apa
yang telah diucapkan ayahnya tadi. Keingintahuannya
akhirnya membuat dirinya mengulurkan tangannya menyentuh
rumput itu. Namunbegitu tangannya menyentuh rumput itu
sedikit saja, secara mengejutkan rumput itu tiba-tiba hancur.
Rumput itu hancur begitu saja menjadi butiran-butiran yang
teramat kecil, yang segera tersapu oleh angin dan menyatu
dengan udara ....
-ooo0dw0ooo- 25 Tiga Qawan Racun untuk
Dapunta Cahyadawasuna
Dan, para penyair pada masa itu menceritakan tentang
kesejukan angin yang bertiup di sepanjang Batanghari.
Mereka menulisnya ....
kupastikan kalian akan terbuai
terbuai pada desirannya yang menerpa tubuh kalian
lembut dan begitu menenteramkan....
Itu memang bukan sesuatu yang berlebihan. Dapunta
Cahyadawasuna yang sejak tadi berdiri seorang diri di
anjungan sambau begitu menikmati ketenteraman itu. Ia
memejamkan matanya, membiarkan semilir angin membelai
wajahnya. Pikirannya yang semula tampak begitu berat, kini
seakan terasa menjadi lebih ringan.
Dapunta Cahyadawasuna dengan hanya sebuah sambau
bertiang dua layar dan sejumlah pasukan kecil, memang telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melakukan perjalanan membelah Batanghari dari arah Pantai
Timur. Sejak pertemuan di hari itu, ia memang segera menuju
Minanga Tamwa. Perjalanan terasa lebih mudah karena Datu Muara Jambi
telah berhasil ditundukkan sebelumnya. Benteng di tepi sungai telah dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Sriwijaya. Ini yang
membuat keadaan sepanjang perjalanan menjadi lebih aman.
Beberapa sambau Sriwijaya tampak memenuhi Batanghari di
titik-titik tertentu.
Dalam perjalanan ini, Dapunta Cahyadawasuna ditemani
oleh Tunggasamudra dan Sangda Alin. Walau perjalanan laut
dengan sambau bukanlah perjalanan pertamanya, tetapi ini
ternyata merupakan perjalanan laut pertama yang dilakukan
oleh Tunggasamudra dan Sangda Alin.
"Bagaimana keadaanmu, Tungga?" tanya Dapunta
Cahyadawasuna menengok kepada Tunggasmudra yang
berdiri di belakangnya. Saat keluar dari muara besar,
Tunggasamudra memang terlihat sedikit mabuk laut. Namun,
sekarang tampaknya ia telah bisa menguasai dirinya.
"Semuanya baik-baik saja, Dapunta," ujarnya sambil tak lepas melirik Sangda Alin.
"Baguslah. Kau cepat beradaptasi," Dapunta
Cahyadawasuna kemudian melangkah ke belakang. "Dan, kau bagaimana, Sangda Alin?" tanyanya ketika tiba di sisi Sangda Alin. "Hamba tak apa-apa, Dapunta," jawabnya. Dapunta Cahyadawasuna mengangguk-angguk, "Syukurlah bila
semuanya baik. Ini memang perjalanan yang mendadak
sekali. Benar-benar tanpa rencana
Dapunta Cahyadawasuna kembali memandang ke arah
depan, "Namun, aku memang harus melakukan ini. Bila tidak, perang besar akan terjadi. Nanti, akan banyak nyawa
terbuang sia-sia. Jadiaku memang harus segera melakukan
ini!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunggasamudra dan Sangda Alin tak menyahut. Keduanya
telah tahu apa yang akan dilakukan Dapunta Cahyadawasuna.
Sebelum perjalanan ini dimulai, Dapunta Cahyadawasuna telah
menceritakan niatnya untuk mengusahakan upaya damai
dengan Minanga Tamwa.
Keduanya sama sekali tak tahu bahwa ini juga sedikit
banyak menjadi ajang pembuktian bagi Dapunta
Cahyadawasuna. Semua tahu, sekian lama ia tinggal di
kedatuan di Telaga Batu, ia tak pernah diberikan kesempatan
melakukan hal-hal besar, kecuali pada pemilihan pandaya itu
saja. Lepas dari itu, ia masih lebih sering berperan sebagai pendengar atau sebagai pelatih meditasi bagi Sri Maharaja
Balaputradewa. Di tengah perjalanan, seorang prajurit tiba-tiba datang
mendekat. "Dapunta, kita akan memasuki wilayah Minanga
Tamwa," ujarnya.
Dapunta Cahyadawasuna mengangguk. "Suruh semua
bersiap!" ujarnya sambil kembali ke depan.
Maka, tak berapa lama kemudian, gerakan sambau-nya
terasa memelan dan bertambah halus. Suara kecipak
dayungnya sama sekali tak lagi terdengar. Lalu, perlahanlahan setelah melewati kelokan, sebuah perahu besar,
seukuran sambau Sriwijaya, telah tampak di tengah sungai.
Dapunta Cahyadawasuna segera memerintahkan untuk
menghentikan sambau-nya.
"Biarkan aku turun ke sana dengan menggunakan perahu
kecil," ujarnya. Namun, prajurit yang ada di sampingnya itu tak langsung bergerak. Wajahnya tampak ragu.
"Cepat, siapkan perahunya!" suara Dapunta
Cahyadawasuna terdengar tegas, membuatnya segera berlalu
dari situ. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak seberapa lama, Dapunta Cahyadawasuna,
Tunggasamudra, dan Sangda Alin ditemani tak lebih lima
orang prajurit dan empat orang pendayung segera meluncur
ke arah perahu Minanga Tamwa itu.
"Dapunta," seorang prajurit membungkuk kepada Dapunta Cahyadawasuna, "hamba pikir ini terlalu berisiko."
"Ia tak akan melakukan apa-apa terhadap kita," ujar Dapunta Cahyadawasuna. "Kita tak bersenjata!"
Maka, ketika perahu itu mendekat, seorang prajurit
menggerak-gerakkan bendera putih, tanda bahwa kedatangan
ini dengan maksud damai.
Dari arah perahu, Dapunta Cahyadawasuna mulai dapat
melihat seseorang berkepala gundul dengan jubah panglima,
berdiri di ujung anjungan.
"Katakan aku ingin bicara kepada panglima mereka!" ujar Dapunta Cahyadawasuna kepada salah satu prajuritnya.
Prajurit itu mengangguk. Segera ia menuju ke ujung depan
perahu dan berteriak" "Dapunta Cahyadawasuna dari Telaga Batu ingin bicara dengan yang terhormat Panglima Minanga
Tamwa!" Sesaat tak ada jawaban. Dapunta Cahyadawasuna dan
orang-orang di atas perahu kecil itu menunggu dalam ayunan
ombak. "Apa mereka ... akan menanggapinya, Dapunta?"
Tunggasamudra mencoba bertanya.
Dapunta Cahyadawasuna terdiam sesaat, "Kita lihat saja!"
Dan, tak perlu menunggu lama, pertanyaan itu terjawab
dengan dilemparnya tangga tali dari atas perahu. Lalu,
seorang prajurit dari atas perahu berteriak, "Hanya tiga orang di antara kalian yang diizinkan naik!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dapunta Cahyadawasuna memutuskan cepat. "Biar kau dan
Sangda Alin yang menemaniku," ujarnya sambil menunjuk
kepada Tunggasamudra.
Seorang prajuritnya tampak hendak memprotes kepu-tusan
itu. Namun, ia hanya bisa terdiam, tak berani.
Ketiganya segera saja menaiki tangga tali itu. Sampai di
atas, puluhan prajurit telah mengelilingi mereka dengan
senjata lengkap. Seorang lelaki berkepala gundul, berjubah
panglima, duduk dengan sikap santai di atas sebuah kursi
kayu. "Apa yang mau kaukatakan kepadaku, Dapunta?" ujarnya dengan nada sambil lalu.
Dapunta Cahyadawasuna maju perlahan, "Aku ingin bicara
dengan Panglima Tambu Karen."
Panglima berkepala gundul itu tersenyum. "Memangnya
siapa kalian" Mau bertemu dengan Dapunta Hyang?" ia telah menyebut Panglima Tambu Karen dengan sebutan tertinggi:
Dapunta Hyang. Dapunta Cahyadawasuna maju ke depan satu langkah,
"Aku Dapunta Cahyadawasuna, utusan langsung dari Sri
Maharaja Balaputradewa."
Panglima berkepala gundul itu mengamati Dapunta
Cahyadawasuna lebih detail.
"Tampaknya Telaga Batu terlalu menganggap remeh kami,"
ujarnya. "Aku bahkan belum pernah mendengar namamu."
Dapunta Cahyadawasuna terdiam, "Dulu aku adalah
penguasa Datu Talang Bantas."
Panglima berkepala gundul itu hanya tersenyum
mendengar ucapan Dapunta Cahyadawasuna.
"Kumohon izinkan aku menemui Panglima Tambu Karen
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Panglima berkepala gundul itu mulai bangkit dari kursinya,
"Kau pastinya tahu, semua kendali di sini, akulah yang
memegangnya. Apa yang mau kaukatakan kepada Dapunta
Hyang, katakan saja kepadaku. Nanti aku yang akan
menyampaikannya kepada Dapunta Hyang...."
Dapunta Cahyadawasuna terdiam sejenak. Tampak jelas
bahwa panglima di depannya ini tak akan memberi waktu
baginya bertemu dengan Panglima Tambu Karen.
Dapunta Cahyadawasuna pun akhirnya hanya bisa
menghela napas panjang. Tampaknya ia tak punya pilihan
lain. "Kami ingin berdamai dengan Minanga Tamwa," ujarnya akhirnya.
Panglima berkepala gundul itu tersenyum sambil
mengangguk-angguk, "Pesan yang bagus. Pesan yang sangat bagus," ia menyapu pandangan kepada semua prajuritnya.
"Setelah menutup perairan kami, kemudian mendatangkan
ribuan pasukan di sekitar kami, kalian ... ingin berdamai?"
Panglima itu tersenyum sinis. "Namun, tentu saja aku pasti akan menyampaikan pesanmu itu, Dapunta," ujarnya
kemudian dengan wajah sinis. "Namun tentunya ada
syarat yang harus kaulakukan agar aku mau
menyampaikannya!"
Dapunta Cahyadawasuna tertegun, "Apa syaratmu?"
tanyanya. "Mudah saja," panglima berkepala gundul itu tersenyum sinis. "Aku ingin kau meminum tiga cawan pemberianku.
Anggap saja ini sebagai cawan penyambutanku untukmu,"
senyum sinisnya kembali terlihat. "Dan, bila kau bisa bertahan setelah meminumnya, aku pasti akan menyampaikan pesanmu
tadi!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Panglima berkepala gundul itu mengangkat satu
tangannya, memberi tanda kepada prajuritnya. Dan, tak lama
kemudian seorang prajurit dengan langkah tergopoh-gopoh,
mendekat sambil membawa sebuah nampan berisi tiga cawan
air. "Dapunta," Tunggasamudra, yang sedari tadi berdiri di belakang Dapunta Cahyadawasuna, maju selangkah. Namun,
Dapunta Cahyadawasuna hanya menggerakkan tangannya,
meminta Tunggasamudra tenang.
"Itu racun," desis Tunggasamudra.
"Ya, aku tahu," ucap Dapunta Cahyadawasuna sambil
mengangguk lemah. "Namun, apa aku punya pilihan lain" Aku toh hanya perlu menahannya setelah meminumnya, bukan?"
Tunggasamudra menelan ludah, "Kita... tak periu
menurutinya!"
Dapunta Cahyadawasuna tersenyum tipis, "Sudahlah,
anggap saja ini sekadar perjamuan darinya. Nanti bila terjadi apa-apa denganku, bawa saja aku pulang! Ingatlah untuk
tidak bertindak gegabah!"
Lalu, Dapunta Cahyadawasuna segera melangkah maju,
mendekati tiga cawan itu. Di bawah pandangan sinis panglima
berkepala botak itu, ia mulai mengangkat sebuah cawan.
'Aku harap, kau bisa menepati janjimu," ujarnya sebelum meneguk cawan itu hingga habis.
Panglima berkepala gundul itu semakin tersenyum.
Tak ada reaksi apa pun yang terjadi pada tubuh Dapunta
Cahyadawasuna. Ia pun segera mengambil cawan kedua dan
meminumnya dengan cepat hingga habis. Dan, tetap tak ada
sesuatu pun terjadi!
Dapunta Cahyadawasuna menarik napas panjang. Kembali
diambilnya cawan ketiga. Namun kali ini, ketika ia baru saja
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akan meneguk cawan terakhir itu, sesuatu tiba-tiba terasa
menyentak jantungnya. Tubuh Dapunta Cahyadawasuna
langsung terhuyung.
"Dapunta!" Tunggasamudra dan Sangda Alin segera maju mendekat. Namun, Dapunta Cahyadawasuna mencoba
menahannya, dengan mengangkat cawan di tangannya.
Lalu, dengan gerakan yang tampak terlihat gemetar, ia
kembali mendekatkan cawan ketiga itu ke mulutnya dan
segera meneguk minuman itu hingga habis.
Dapunta Cahyadawasuna mencoba tersenyum kepada
panglima berkepala botak itu. Namun, sesuatu tiba-tiba
kembali menyentak tubuhnya. Sekali, dua kali, hingga
beberapa kali. Tanpa sadar, tangannya sudah menyentuh
dadanya dan meremasnya. Kesakitan kemudian tak bisa lagi
disembunyikan dari wajahnya. Matanya tiba-tiba membuka
lebar dan kakinya mendadak tak lagi bisa menahan tubuhnya
.... "Dapunta!" Tunggasamudra bergerak cepat, menangkap tubuh yang terkulai itu.
Panglima berkepala gundul itu hanya tertawa kecil sambil
menggeleng-geleng kepalanya, "Bawa ia pergi!" ujarnya dengan nada ringan. "Lain kali, suruh Jara Sinya sendiri yang langsung datang kepadaku!"
-ooo0dw0ooo- Perahu itu meluncur kembali ke arah sambau. Suasana
panik segera terasa ketika tubuh Dapunta Cahyadawasuna
Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulai diangkat ke dalam sambau.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya seorang prajurit.
Akan tetapi, tak ada yang menjawab kekhawatiran itu.
Tunggasamudra dan Sangda Alin memeriksa tubuh Dapunta
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cahyadawasuna yang kini tampak begitu pucat. Dari bibirnya
dan tenggorokannya terlihat warna biru yang samar.
Napasnya pun telah nyaris hilang, hanya nadinya yang terasa
bergerak begitu halus ....
"Ia terkena tiga macam racun," ujar Tunggasamudra
setelah beberapa saat mengalirkan tenaga dalamnya.
Sangda Alin mengangguk, "Dapunta terkena racun dari bisa ular...."
Semua yang ada terkejut. Saat itu racun dari bisa ular
masih jarang sekali digunakan. Biasanya racun-racun yang ada masih sebatas menggunakan daun-daunan atau sebangsa
jamur. Maka dari itulah, ucapan Sangda Alin langsung
membuat semuanya terdiam. Para prajurit Dapunta
Cahyadawasuna mendekat.
"Apa Dapunta bisa disembuhkan?" tanyanya. Sangda Alin terdiam, sekilas diliriknya Tunggasamudra yang juga masih
terpekur. Keduanya tahu, racun dari bisa ular begitu sulit
disembuhkan. Hanya tabib-tabib ternama saja yang bisa
menyembuhkannya.
Sangda Alin menatap miris tubuh Dapunta Cahyadawasuna
yang semakin tampak biru. Ia akhirnya hanya bisa menarik
napas panjang, "Dapunta ... tak mungkin disembuhkan lagi...,"
ujarnya pelan. Para prajurit Dapunta Cahyadawasuna tercekat. Kepala
mereka menggeleng-geleng tak percaya.
"Aku masih tak habis pikir ... mengapa Dapunta mau
melakukan ini," ujar salah seorang prajurit tak mengerti.
"Dapunta seakan hanya datang untuk membunuh dirinya...."
Tunggasamudra tertegun mendengar ucapan itu. Namun,
dengan gerakan perlahan ia menggeleng, "Dapunta
Cahyadawasuna punya tujuan sendiri," ujarnya pelan. "Ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
benar-benar tak ingin perang ini terjadi. Maka itulah, ia
mungkin bermaksud ... bermaksud mengorbankan dirinya
Semuanya terdiam mendengar ucapan itu. Ini sangat
mengejutkan. Selama ini reputasi Dapunta Cahyadawasuna
memanglah belum begitu dikenal. Ia baru dua puluh purnama
ini berada di Kedatuan Telaga Batu. Tak banyak cerita
tentangnya, selain kisah datunya yang dulu tertelan debu dan kisah keajaibannya bisa bertahan selama tiga belas hari dalam sebuah gua.
Angin laut kemudian berembus kencang membuat sambau
bergoyang-goyang sejenak. Prajurit dengan pangkat tertinggi
di sambau itu segera memerintahkan untuk memindahkan
tubuh Dapunta Cahyadawasuan ke dalam ruangan. Saat itulah
tiba-tiba semuanya dikejutkan dengan suara batuk yang
pelan. Tunggasamudra segera merangsek ke depan. Disentuhnya
tubuh Dapunta Cahyadawasuna perlahan. Lalu, tanpa banyak
ucap lagi, kembali dialirkan tenaga dalamnya melalui telapak tangannya ke punggung Dapunta Cahyadawasuna.
Sesaat semuanya hanya bisa menunggu. Awalnya tak ada
apa pun yang terjadi. Namun, Sangda Alin mulai merasakan
hawa panas yang samar di sekitar tubuh Tunggasamudra dan
Dapunta Cahyadawasuna.
Dan, tak lama kemudian, tubuh Dapunta Cahyadawasuna
terlihat mulai bergerak-gerak. Terutama di bagian alis
matanya. Napasnya yang semula redup tiba-tiba mulai kembali
ada. Semuanya memandang dengan tak percaya. Tak ada yang
bicara ketika itu. Semuanya hanya menunggu. Semakin lama
suara napas itu semakin terdengar teratur. Seiring munculnya keringat berwarna hitam di seluruh pori-pori Dapunta
Cahyadawasuna, yang berbau sangat menusuk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Racunnya ... keluar dari pori-pori desis Sangda Alin tak percaya. Ia memandangi Tunggasamudra dengan tak
mengerti- Walau ia sadar kemampuan Tunggasamudra jauh
berada di atasnya, tetapi ia sama sekali tak mengira bila
tenaga dalam lelaki pendiam di sebelahnya ini begitu luar
biasa. Mengeluarkan racun bisa ular melalui pori-pori"
Sungguh, ini luar biasa. Ia belum pernah melihat kejadian
seperti ini, bahkan mendengarnya sekalipun.
Akan tetapi, kini Sangda Alin melihatnya begitu nyata.
Keringat hitam berbau menusuk itu terus mengalir tanpa
henti, membasahi seluruh tubuh Dapunta Cahyadawasuna
hingga seorang prajurit kemudian segera berinisiatif
menyekanya berkali-kali dengan selembar kain.
Sekian lama keadaan ini berlangsung hingga akhirnya
Tunggasamudra pun menarik tangannya dari punggung
Dapunta Cahyadawasuna. Kelelahan begitu terlihat di
wajahnya. "Kau menyelamatkan Dapunta desis Sangda Alin tak
percaya. Akan tetapi, Tunggasamudra menggeleng lemah. "Tidak,
aku tak melakukan apa-apa yang berarti," ujarnya sambil memandangi tubuh Dapunta Cahyadawasuna lekat-lekat.
"Namun tubuh Dapunta sendiri ... yang menolak racun itu Dan, seiring ucapan itu, mata Dapunta Cahyadawasuna
tiba-tiba mulai terbuka, seakan ia terjaga dari tidur
panjangnya. Belum sempat ia melakukan apa-apa, ia
kemudian terbatuk-batuk panjang hingga membuatnya
muntah dan mengeluarkan cairan hitam dari mulutnya ....
"Dapunta, kau tak apa-apa?" Tunggasamudra mendekat.
Dapunta Cahyadawasuna hanya memandang semua orang
yang berdiri mengelilinginya. "Berapa lama ... aku tak
sadarkan diri?" tanyanya dengan suara pelan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Cukup lama, Dapunta," ujar Tunggasamudra.
"Dapunta telah meminum racun dari bisa ular," tambah seorang prajuritnya.
Mata Dapunta Cahyadawasuna menerawang. Ia kembali
mengingat kejadian sebelumnya. Panglima berkepala gundul
itu ... tiga cawan racun itu ... lalu sentakan-sentakan
menyakitkan di tubuhnya....
Dapunta Cahyadawasuna menggelengkan kepalanya
berkali-kali. "Kukira ... aku bisa menahannya ...," desisnya pelan. "Ya, menahannya ...."
Lalu, kilasan masa kecilnya tiba-tiba menyeruak di
ingatannya ....
Peristiwa itu terjadi pada hari kematian ayahnya, waktu ia
baru berusia sepuluh tahun. Waktu itu ia baru saja memasuki
ruangan tempat biasanya ayahandanya berbaring. Tiga orang
pu ayahnya memandang dirinya begitu lekat. Salah seorang
yang paling disukainya, Pu Mula Suma, kemudian dengan
langkah ragu mendekatinya
"Kemarilah, Putraraja Cahyadawasuna," ia berjongkok di dekatnya.
Lalu, ia pun mendekat dengan ragu. "Minumlah air ini," ujar Pu Mula Suma lagi. "Mungkin suatu saat bermanfaat bagimu Dan, ia hanya bisa menuruti perintah itu tanpa banyak
tanya. Diminumnya air yang ada dalam cawan itu hingga habis
tak tersisa. Ia masih ingat rasa pahit yang membuatnya ingin muntah. Rasa teramat pahit yang belum pernah dirasakan
sebelumnya. Namun, Pu Mula Suma hanya tersenyum sambil
berujar berkali-kali, "Hanya pahit, hanya pahit, Putraraja pasti bisa menahannya ...."
Lalu, setelah cairan itu mengalir di tubuhnya, ia merasakan
kedinginan menyergapnya. Membuat selubung udara yang
berbeda di sekitar tubuhnya. Seakan-akan air yang tersebar di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seluruh tubuhnya tiba-tiba telah membeku. Saat itulah ia
mendadak merasa begitu menggigil.
Pu Mula Suma dan dua pu yang lain saling berpandangan
dengan tak mengerti. Namun, sesaat kemudian rasa dingin itu
berangsur menghilang dari tubuhnya. Rasa hangat kemudian
menggantikannya, berputar-putar di perutnya, membuat
dirinya begitu merasa nyaman ....
Sejak hari itu tubuhnya terasa lain. Seperti ada sesuatu,
yang entah apa, dan tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.
Dan, sejak hari itu tak ada satu penyakit pun yang bisa hadir pada tubuhnya. Itulah yang dulu membuatnya dapat bertahan
hidup saat terperangkap di dalam gua. Saat itu ia hanya perlu bermeditasi mengalirkan energinya ke seluruh tubuhnya dan
tubuhnya seakan menghangat dan terus menghangat....
-ooo0dw0ooo- Untuk sementara, sambau Dapunta Cahyadawasuna
kembali ke Telaga Batu.
Berita tentang tiga cawan racun yang diminum Dapunta
Cahyadawasuna menyebar dengan cepat. Bahkan, sebelum
kedatangan Dapunta Cahyadawasuna ke Telaga Batu,
beberapa prajurit sudah membicarakan itu di pos-pos istirahat mereka.
"Dapunta Cahyadawasuna bukanlah orang biasa," ujar seorang prajurit di sela-sela tugasnya. "Semenjak aku
mendengar ia dapat selamat dari dalam gua itu, aku sudah
merasa ia bukanlah orang biasa
Temannya hanya mengangguk saja, "Itulah mungkin yang
membuat Sri Maharaja memanggilnya ke Telaga Batu," ujar prajurit itu lagi. "Sri Maharaja tampaknya juga merasakan keistimewaan ini!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, di dalam kedatuan tak ada yang membahas
soal keistimewaan itu. Walau Dapunta Cahyadawasuna telah
menceritakan semua yang dialaminya kepada Sri Maharaja
Balaputradewa dan tiga orang lainnya, Panglima Samudra Jara
Sinya, Panglima Bhumi Cangga Tayu, dan Pu Chra
Dayana, semuanya tak ada yang membahas tentang
lolosnya dirinya dari ancaman kematian tiga racun itu.
"Maafkan kelalaian hamba," Dapunta Cahyadawasuna
hanya bisa membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Ia kini
telah tampak begitu biasa, sama sekali tak ada tanda-tanda
bahwa beberapa hari yang lalu ia nyaris mati karena racun!
Panglima Samudra Jara Sinya membungkuk meminta waktu
untuk bicara, "Sebelumnya maafkan hamba, Sri Maharaja.
Namun, sungguh, Dapunta Cahyadawasuna terlalu naif,"
ujarnya. "Amatilah gerakan mereka dan gerakan kita sendiri.
Sungguh, tak mungkin kita menghentikan perang saat ini!
Apalagi hanya dengan berhasil menahan racun yang mereka
berikan. Sungguh, menurut hamba... itu adalah pertaruhan
yang... bodoh."
Semuanya terkejut dengan ucapan terakhir itu. Walau
diucapkan dengan nada datar tanpa ekspresi berlebihan,
ucapan itu sangat menohok Dapunta Cahyadawasuna.
Akan tetapi, Dapunta Cahyadawasuna hanya bisa kembali
membungkukkan badannya, "Aku menganggap dirinya adalah
seorang panglima terhormat. Tentu saja, bila aku bisa
menahannya, ia akan menepati janjinya!"
"Dengar, Dapunta Cahyadawasuna!" ujar Panglima
Samudra Jara Sinya lagi, kali ini terasa lebih tajam. "Bukan maksudku untuk kasar, tetapi ini sudah menyangkut persoalan
yang lebih besar lagi daripada sekadar itu. Ini juga telah
menyangkut kewibawaan Sriwijaya. Apa kau tak bisa
memahami sampai di situ?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebelum Dapunta Cahyadawasuna menjawab, Panglima
Samudra Jara Sinya berpaling kepada Sri Maharaja
Balaputradewa, "Sri Maharaja, kita sudah memberi
kesempatan kepada Dapunta Cahyadawasuna untuk
mengupayakan perdamaian. Namun, hamba pikir itu tak
berhasil. Kini giliran hamba dan Panglima Cangga Tayu yang
bertindak ...."
-ooo0dw0ooo- 26 Sosok di Balik Cadar
Malam menjelang larut saat tubuh-tubuh itu keluar dari I
lKedatuan Telaga Batu. Tunggasamudra yang sejak tadi
menunggu baru saja akan mengeluarkan kudanya untuk
kembali menuju kediaman Dapunta Cahyadawasuna ketika
Kara Baday menghalangi langkahnya.
^'Aku telah mendengar selentingan cerita itu," ujarnya.
"Tampaknya Dapunta Cahyadawasuna memang bukan orang
sembarangan."
Tunggasamudra mengangguk pelan. "Tentunya.be-gitu,"
ujarnya sambil mengikatkan tali kekang kudanya. "Tak ada orang yang bisa menahan racun bisa ular seperti itu."
Kara Baday mengangguk-angguk, "Namun, lepas dari
semua itu, kupikir pertaruhan yang dilakukan Dapunta
Cahyadawasuna tetaplah ... pertaruhan yang konyol!"
Tunggasamudra tersenyum tipis, "Aku tak berpikir seperti itu," ujarnya. "Kalau Dapunta bisa menahannya saat itu, tentunya panglima itu tak bisa mengingkari janjinya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kara Baday tertawa, "Hahaha, kau tampaknya sudah
termakan ucapannya...."
Tunggasamudra menyahut, "Kupikir, usaha Dapunta
Cahyadawasuna untuk menaklukkan Kedatuan Minanga
Tamwa tanpa menimbulkan korban perlu kita hargai bukan?"
Kara Baday makin tergelak. "Kau ini," ia menepuk-nepuk punggung Tunggasamudra. "Aku suka pendapatmu. Sungguh!
Walau kadang menurutku peperangan adalah satu-satunya
penyelesaian masalah seperti ini, tetapi aku suka seseorang
berpendapat lain!"
Kali ini Tunggasamudra tak membantah.
'Apa sekarang engkau akan menuju kediaman Dapunta
Cahyadawasuna?" tanya Kara Baday sejurus kemudian.
Tunggasamudra mengangguk.
"Bagaimana kalau kita berbincang-bincang dulu," ajak Kara Baday. "Tentunya berhari-hari di lautan membuatmu jenuh, bukan" Ada sebuah tempat makan yang dapat menyediakan
makanan enak hingga larut malam seperti ini. Di sana mereka
juga menjual minuman."
Tunggasamudra memandang ragu. Sejak tadi sebenarnya
Dapunta Cahyadawasuna sudah menyuruhnya pulang terlebih
dahulu untuk istirahat. Namun, ia menolaknya. Sangda Alin
sendiri saat itu sudah pulang terlebih dahulu untuk
beristirahat. "Ayolah," Kara Baday merangkul pundaknya. "Sekali waktu tak ada salahnya untuk bersantai."
Tunggasamudra akhirnya mengangguk juga.
Keduanya lalu menuju ke selatan dengan menunggang
kuda perlahan-lahan. Saat itu malam telah terasa pekat.
Hanya iringan suara serangga malam yang menemani
keduanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tempat makan yang diceritakan Kara Baday ternyata
tidaklah begitu jauh dari Kedatuan Telaga Batu. Bentuknya
seperti rumah biasa yang banyak tersebar di seluruh Telaga
Batu. Ketika Kara Baday mengetuknya, pemiliknya langsung
mempersilakan keduanya duduk di ruangan depan yang telah
digelari tikar jerami di setiap sudutnya. "Siapkan makanan yang paling enak," ujar Kara Baday.
"Juga minumannya."
Keduanya lalu duduk di tikar jerami yang sudah disiapkan.
"Kalau siang hari, di sini cukup ramai," ujar Kara Baday kepada Tunggasamudra. "Ini merupakan tempat makan para
prajurit. Kalau para pu ataupun dapunta biasanya di tempat
yang ada di seberang sana," ia menunjuk ke luar, entah ke mana tepatnya.
Tak berapa lama, lelaki pemilik rumah itu mengantarkan
dua ruas bambu berisi minuman keras.
"Ayo, minumlah," Kara Baday menyodorkan satu cangkir bambu kepada Tunggasamudra.
"Maaf, aku tak biasa," tolak Tunggasamudra. Kara Baday tertawa, "Kau ini, seperti biksu saja!" Tunggasamudra tak menyahut. Mendengar kata biksu diucapkan, sejenak
pikirannya melayang kepada sosok Biksu Wang Hou, yang
selama ini telah menjadi gurunya. Sebenarnya sejak dulu,
Biksu Wang tak pernah sekalipun melarangnya melakukan apa
pun, termasuk minum minuman keras. Ia hanya
Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyimpulkan saja bahwa minum minuman keras bukanlah
sesuatu yang baik karena Biksu Wang sendiri tak pernah
melakukannya. "Kadang tindakanmu mengejutkanku, Tungga," ujar Kara Baday lagi. "Aku jadi ingin tahu tentang dirimu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunggasamudra menarik napas panjang. "Tak ada yang
istimewa padaku, Kara," ujarnya. "Namun, tak apa bila kau ingin tahu. Aku lahir di sebuah perdatuan kecil, yang suatu
ketika ditenggelamkan banjir. Waktu itu hanya aku yang
selamat, sedang yang lain, termasuk kakek dan orangtuaku
tak ada yang selamat
Tunggasamudra melanjutkan, "Aku kemudian diselamatkan
oleh orang-orang dari datu lain. Namun, hanya berselang
beberapa tahun saja datu keduaku pun hancur luluh karena
perampok. Sejak itu aku mengikuti seorang pendeta Buddha
mengembara ke arah utara ...."
"Wah, itu luar biasa, Tungga," ujar Kara Baday. "Selamat dari bencana hingga dua kali bukan takdir hidup orang biasa!"
Tunggasamudra tersenyum. Saat itu pemilik rumah itu
sudah kembali keluar dengan membawa beberapa makanan.
Ayam bakar dan nasi yang masih mengepul. Semuanya
terhidang di atas selembar daun pisang.
"Mengapa kau tadi tersenyum?" tanya Kara Baday. "Aku serius dengan ucapanku."
"Tidak, tidak!" ujar Tunggasamudra cepat. "Selama ini aku merasa bahwa selamat dari dua bencana itu hanyalah hal
biasa. Namun, kata kakekku, hal yang luar biasa adalah ...," ia berhenti sebentar dan menyodorkan pundaknya ke wajah Kara
Baday, "Aku lahir dengan tiga tangan dan inilah bekas tangan ketigaku!"
Kara Baday menyentuhnya, "Aah, kisah hidupmu benarbenar tak biasa, Tungga," ia menggeleng tak percaya. "Pantas kau selalu membawa tiga bilah pedang ...."
Tunggasamudra tertawa kecil, "Kalau soal itu, hanya
kebetulan saja, Kara," ia mulai menyantap makanannya. "Kau sendiribagaimana kisah hidupmu sebelum sampai " di sini"
Terakhir yang kuingat kau bercerita bahwa dirimu adalah
bajak laut?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kara Baday mengangguk mantap. "Ya, bukan sekadar bajak
laut biasa, Tungga," ujarnya dengan nada tinggi. "Namun, Bajak Laut Semenanjung Karang. Itu adalah nama bajak laut
paling berani di sepanjang muara besar. Kami tidak merampok
perahu-perahu kecil. Kami hanya merampok perahu-perahu
para saudagar kaya dan jugaia mendekatkan wajahnya
kepada wajah Tunggasamudra, "sambau-sambau Sriwijaya...,"
desisnya. Sekilas Tunggasamudra terkejut.
Lalu, secara singkat Kara Baday menceritakan asal-muasal
mengapa ia membenci Sriwijaya ketika itu. Ia menceritakan
saat ayahandanya Dapunta Abdibawasepa difitnah oleh
Sriwijaya dan harus berpindah-pindah tempat untuk bertahan
hidup. Ia juga menceritakan tentang Pulau Karang, tempatnya
bersembunyi selama ini, juga saat kedatangan Panglima
Samudra Jara Sinya ke pulau itu ....
"Dan, setelah membuktikan dengan menghancurkan lima
bajak laut di Pantai Barat, kini jadilah aku Panglima Muda
Sriwijayaujar Kara Baday mengakhiri ceritanya.
Tunggasamudra mengangguk-angguk, "Tampaknya kau
menikmati posisimu sekarang."
"Tentu saja, Tungga," ujar Kara Baday cepat. "Belasan tahun kami selalu bersembunyi, baru sekarang aku merasa
bebas. Sungguh ... ini membuatku lega ...."
Akan tetapi, setelah mengucapkan kalimat itu Kara Baday
menarik napas panjang. "Namun, jujur saja, kadang aku
merindukan kembali ke Pulau Karang...," matanya sedikit menerawang. Sekilas sosok Aulan Rema dibiarkannya muncul
di angannya. "Di sana ... orang-orang sepertinya selalu menunggu kepulanganku ... terutama ia
Kening Tunggasamudra berkerut, "Ia?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kara Baday segera tersadar. Ia segera menutupinya
dengan tertawa lebih keras. "Ya, ia! Ia!" ia menepuk-nepuk pundak Tunggasamudra. "Ah, apa yang sudah kuucapkan ini.
Ayo, kita makan dulu saja. Tak enak rasanya terus berbincang dan menelantarkan makanan ini...." Tunggasamudra
mengangguk pelan. Akan tetapi, baru beberapa suap, di
tengah kunyahan-nya, Kara Baday kembali berpaling kepada
Tunggasamudra, "Aku heran, baru bertemu denganmu
beberapa kali saja, aku seperti merasa sudah mengenalmu
sangat lama ...."
-ooo0dw0ooo- Sementara itu, di kediaman Dapunta Cahyadawasuna,
Sangda Alin tengah berbaring di pembaringannya.
Sebuah ketukan halus pada pintu kamarnya membuatnya
secara refleks memakai kembali cadarnya dan mengambil
pedangnya. "Sangda Alin," suara Dapunta Cahyadawasuna terdengar,
"kau belum terlelap?"
Sangda Alin segera keluar dari kamarnya.
"Dapunta.."
"Aku melihat ruanganmu masih benderang, kupikir kau
pastinya belum terlelap ...."
"Hamba hanya sedang berpikir, Dapunta."
"Sebaiknya kita bicara di sana," Dapunta Cahyadawasuna menunjuk sebuah taman kecil di mana terdapat sebuah kolam
dan beberapa tempat duduk panjang.
Sangda Alin mengangguk. Keduanya lalu berjalan ke arah
taman itu. Saat ini, malam sebenarnya sudah sangat larut.
Bulan mulai bersembunyi di balik ranting-ranting. Di kejauhan suara lolongan serigala terdengar putus-putus.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tampaknya Tunggasamudra belum kembali," ujar Dapunta Cahyadawasuna sambil duduk. "Kulihat terakhir kali ia tengah berbincang dengan seorang panglima muda bawahan Jara
Sinya...."
Dalam hati Sangda Alin bisa menebak siapa panglima muda
itu. Namun, ia tak berucap apa-apa.
Dapunta Cahyadawasuna kemudian menarik napas
panjang, "Kejadian hari ini benar-benar berat."
"Hamba juga bisa merasakannya, Dapunta," ujar Sangda Alin.
"Terlebih, Panglima Samudra Jara Sinya tampaknya tak
terlalu suka dengan tindakanku ini...."
Sangda Alin tak menyahut. Namun, dalam hati, ia bisa
memahami ketidaksukaan Panglima Samudra Jara Sinya.
"Memikirkan itu, aku sampai tak bisa memejamkan
mataku...," keluh Dapunta Cahyadawasuna. Sekilas ditatapnya Sangda Alin yang masih dengan cadarnya. Dulu saat pemilihan
pandaya di tanah lapang itu, Dapunta Cahyadawasuna sempat
melihat wajah Sangda Alin tanpa cadar. Ia bahkan juga
melihat rajah kupu-kupu di pipi kiri Sangda Alin. Walau hal itu hanya beberapa saat saja, tetapi ia bisa melihat kejelitaannya.
Tanpa sadar Sangda Alin merasakan tatapan Dapunta
Cahyadawasuna kepadanya. Ini tiba-tiba saja membuatnya
terdiam. Keheningan yang semula ada, semakin menyeruak di
antara keduanya ....
"Sangda," tiba-tiba suara pelan Dapunta Cahyadawasuna memecah keheningan, "mengapa kau masih saja menutupi
wajahmu?" "HambaSangda Alin tak bisa langsung menjawabnya.
Sedikit ia merasa bingung dengan arah pembicaraan ini, tetapi ia segera menguasai keadaan, "Hamba harus menutupnya,
Dapunta. Karena ini ... merupakan pesan dari guru hamba
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dapunta Cahyadawasuna mengangguk mencoba mengerti,
tetapi tatapannya semakin terasa lekat. Ini tentu saja
membuat Sangda Alin menjadi salah tingkah. Ia mencoba
memalingkan wajahnya, tetapi itu terasa aneh. Maka, ia pun
hanya menunduk saja.
Sebenarnya diam-diam, ia tak bisa memungkiri kewibawaan
yang ada pada lelaki di depannya ini. Hanya beberapa hari
berada di sisinya, ia bisa merasakan kebijaksanaan dari segala tindakan sosok ini. Tanpa bisa ditahannya lagi, tiba-tiba saja, jantung Sangda Alin terasa lebih cepat berdetak.
Ia semakin terpaku dalam diamnya. Sedikit hatinya
bertanya, mengapa bisa seperti ini" Apakah ... hatinya telah tergugah"
Dan, di tengah kecamuk di hatinya, tiba-tiba dirasakannya
tangan Dapunta Cahyadawasuna terangkat dan mengarah ke
wajahnya. Ia tak bisa melakukan apa-apa lagi selain
membiarkan jantungnya semakin berdebar kencang.
"Maafkan aku," ujar Dapunta Cahyadawasuna perlahan.
"Sebenarnya ... kau tak harus menutupi wajahmu," tiba-tiba tangannya sudah melepaskan ikatan yang ada di belakang
kepala Sangda Alin. Hingga kain hitam itu pun terlepas
perlahan .... "Seperti bulan yang indah juga tak pernah menutupi
wajahnya," ujar Dapunta Cahyadawasuna lagi.
Sangda Alin hanya bisa terdiam. Entah mengapa, sebagai
perempuan yang biasa bersikap keras, ia tak bereaksi apa-apa diperlakukan seperti ini. Sungguh, ini membuatnya tak
mengerti. Apakah ia sudah begitu terpesona oleh sosok di
depannya ini" Karena ketampanan wajahnya, kewibawaannya,
kesopanannya, dan tindak-tanduknya selama ini"
Sangda Alin sama sekali tak bisa menjawab pertanyaan itu.
Maka, dengan gerakan ragu, ia hanya bisa mengangkat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepalanya perlahan. Dikuatkan hatinya untuk membalas
tatapan Dapunta Cahyadawasuna....
"Kau tahu, Sangda," ujar Dapunta Cahyadawasuna pelan sesaat setelah mereka bertatapan. "Mungkin ini terasa
berlebihan. Namun, sungguh, aku sendiri tak mengerti
mengapa demikian. Namun, saat racun dalam tiga cawan itu
hampir mematikan aku, rasanya ... hanya bayang wajahmu
yang teringat olehku ...."
-ooo0dw0ooo- Setelah itu, Sangda Alin benar-benar tak bisa lagi
memejamkan matanya. Bayang-bayang wajah Dapunta
Cahyadawasuna terus mengganggu benaknya. Terutama
suaranya .... Seperti bulan yang indah juga tak pernah menutupi
wajahnya .... Namun, saat racun dalam tiga cawan itu hampir mematikan
aku, rasanya hanya... bayang wajahmu yang teringat olehku
.... Tanpa sadar Sangda Alin tersenyum. Namun, begini
menyadarinya, cepat-cepat ia menahan gerakan bibirnya itu
Telah begitu lama ia tak tersenyum. Sudah begitu lama ia
hidup dalam wajah kerasnya.
Saat itulah tiba-tiba dirasakannya sesuatu bergeretak di
atas kamarnya. Sangda Alin terkesiap sambil menengadahkan kepalanya.
Seorang penyusupkah di atas sana" Ia berpikir sebentar
sambil menyambar cadar dan pedangnya. Lalu, dengan
gerakan cepat, ia keluar dari ruangannya. Di atas bubungan
kamarnya, terlihat olehnya seorang berpakaian hitam tengah
berjalan mengendap-endap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa banyak pikir, Sangda Alin segera melompat
melayang ke arah itu. Langsung dikeluarkannya pedangnya
mengarah kepada sosok berpakaian gelap itu.
Akan tetapi, sosok itu telah menyadari kehadirannya.
Segera saja dengan gesit ia melompat menjauh. Hanya
dengan beberapa langkah ringan saja, ia sudah melayang
menghindar. Akan tetapi, Sangda Alin tetap melanjutkan serangannya.
Wuuush .... Wuuush ....
Sosok berpakaian hitam itu semakin menjauh. Kembali
dengan beberapa lompatan lebar, ia melampaui tembok
kedatuan dan segera keluar dari gerbang kediaman Dapunta
Cahyadawasuna. "Mau lari ke mana kau?" Sangda Alin berusaha terus mengejar.
Kali ini sosok berpakaian hitam itu melompat ke tanah.
Setelah itu, dengan sesekali melompat jauh, ia terus berlari kencang meninggalkan Sangda Alin. Namun, Sangda Alin
bukanlah pendekar kemarin sore. Lompatannya segera
menyusul dengan sangat ringan hingga ia bisa merapatkan
jarak. Hanya beberapa saat saja, dapat terlihat bahwa ilmu
meringankan tubuh Sangda Alin jauh di atas sosok berpakaian
hitam itu. Tak heran bila tak lama kemudian ia sudah bisa
menyusul sosok itu dan melakukan serangan pertamanya.
Sosok berpakaian hitam itu mencoba menghindar. Namun,
serangan Sangda Alin telah menjebaknya. Pedang itu
mengarah ke arah lehernya begitu cepat.
Melihat posisinya benar-benar tak menguntungkan, sosok
berpakaian hitam itu segera membuang tubuhnya menjauh ke
belakang sambil berteriak, "TUNGGUUU!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangda Alin tertegun. Serangannya yang menghujan urung
dilanjutkannya. Entah mengapa, ia seperti mengenal suara itu.
"Siapa kau?" tanyanya dengan tubuh tetap siaga.
Suaranya, walau bernada keras, tetap terdengar sedikit ragu.
Sosok itu melepas kain yang menutupi wajahnya. "Ini aku,"
ujarnya. Akan tetapi, wajah itu tak langsung bisa terlihat. Awan
hitam seakan menutupi seluruh wajahnya untuk beberapa
saat. Ini membuat Sangda Alin kemudian maju satu langkah
dengan ragu seiring sinar bulan yang menyeruak.
"Ini aku, Agiriya," suara itu kembali terdengar bersamaan dengan terlihatnya sesosok lelaki yang berdiri menatap
Sangda Alin dengan ragu.
Sangda Alin terkesiap. Napasnya seakan terhenti. Sebutan
nama "Agiriya" yang diucapkan lelaki itu benar-benar membuatnya seakan teriempar ke masa lalunya.
Dengan suara ragu, ia pun mendesis tak percaya, "Kau ...
Magra Sekta Kini awan hitam telah benar-benar menepi. Kedua sosok itu
berdiri mematung di bawah bulan yang bercahaya begitu
terang. Tanpa melepaskan tatapan, keduanya masih saling tak
percaya.... "Selama ini aku mencarimu, Agiriya," Magra Sekta berkata dengan suara gemetar. "Sejak hari itu, saat kaujatuh di jurang itu, aku ... terus mencarimu
"Kau ... bisa selamat dari kejaran itu?" tanya Sangda Alin tak percaya.
"Mereka melukaiku, tetapi aku bisa bertahan," perlahan Magra Sekta menyentuh perutnya tempat bekas babatan golok
seorang berpakaian hitam kala itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa yang kini kaulakukan, Agiriya?" tanya Magra Sekta sejurus kemudian.
Sangda Alin tersenyum. Kini ia berpaling menatap ke
kegelapan, "Kau tak perlu menanyakan itu, Magra!"
"Ya, aku tak perlu," ujar Magra Sekta mengulang ucapan itu dengan nada pelan. "Namun, aku bisa menebaknya. Saat kudengar seseorang muncul dengan cadar hitam di wajahnya
dan juga merajah wajahnya dengan gambar kupu-kupu, aku
sudah menduga itu dirimu. Namun, melihat kemampuanmu
yang begitu maju pesat, aku sempat ragu. Maka, aku pun
terus mengamati dirimu. Selama ini, aku memang tak pernah
bisa melihatnya dengan jelas. Namun, sekali waktu aku
mendapati dirimu ada di antara kupu-kupu yang beterbangan.
Sejak itulah, aku yakin bahwa sosok itu adalah dirimu ...."
Sangda Alin tersenyum dengan tatapan tak percaya,
'Akhirnya... kupu-kupu juga yang menunjukkan diriku," ia berdesis pelan, tak percaya. "Agiriya... Agiriya ... sepertinya sudah begitu lama tak kudengar nama itu dilafalkan
Magra Sekta maju beberapa langkah, "Apa kau berencana
membalas dendam, Agiriya?"
Sangda Alin tertawa, "Mengapa kau bertanya seperti itu?"
"Kau... tak harus melakukannya, Agiriya!" ujar Magra Sekta pelan.
"Setelah yang mereka lakukan kepada keluargaku, kepada
Guru Kuya Jadran, serta kepada teman-teman kita di
Panggrang Muara Gunung, apa aku harus tetap berdiam diri?"
Sangda Alin balik bertanya.
Magra Sekta sama sekali tak bisa membalas ucapan itu.
"Seharusnya kau juga ikut bersamaku, Magra," ujar Sangda Alin dingin. "Namun, tampaknya kau memilih melupakan itu, bukan" Lari, seperti biasanya" Lari, seperti saat itu?" Sangda Alin berucap tajam. "Sungguh, kau benar-benar... pengecut!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Magra Sekta memandang Sangda Alin dengan tak percaya.
Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku... pengecut?" desisnya nyaris tak terdengar. "Saat itu, aku ... aku hanya ingin ... menyelamatkanmu ...."
Sangda Alin tak langsung bereaksi. "Sudahlah, kupikir kini kita berada di dua jalan yang berbeda. Sudah sepatutnya kita mengakhiri kisah masa lalu kita," ujarnya dingin.
Lalu, ia segera membalikkan tubuhnya, "Kini, pergilah kau, Magra!" ujarnya. "Dan, jangan temui aku lagi!"
Sangda Alin pun mulai beranjak pergi.
Sesaat Magra Sekta akan berucap sesuatu. Namun,
bibirnya terasa kelu. Maka, ia pun hanya diam dan terus
mengikuti gerakan Sangda Alin yang semakin menjauh. Ia
berharap Sangda Alin berpaling kepadanya, walau sekali saja.
Namun, sampai bayangan itu menghilang di ujungjalan itu,
Sangda Alin sama sekali tak berpaling ....
-ooo0dw0ooo- Sangda Alin berjalan menjauh.
Sekilas kejadian itu kembali teringat olehnya. Waktu itu ia
masih menjadi sosok Agiriya, belum memakai nama Sangda
Alin. Dan, semua bermula ketika Magra Sekta mengajaknya
pergi ke dalam hutan untuk melihat ribuan kupu-kupu. Dan,
ternyata kepulangannya dari tempat itu hanyalah untuk
menyaksikan kehancuran bagi Panggrang Muara Gunung.
Sosok-sosok berbaju hitam kemudian mengejar keduanya
hingga akhirnya ia pun jatuh ke dalam jurang itu ....
Ya, ia jatuh! Dan, seharusnya ia mati saat itu. Tubuhnya terhempas ke
dalam jurang yang begitu dalam, mengenai dahan-dahan
pohon-pohon, yang membuat luka di sekujur tubuhnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun, daun-daun dan ranting-ranting itulah yang
sebenarnya menahan kejatuhannya. Mengurungkan
kematiannya. Akan tetapi, ia tak bisa bergerak lagi ketika itu. Rasa perih terasa di sekujur tubuhnya, begitu menyiksanya. Ditambah
kegelapan yang tak tertembus matanya, semua itu benarbenar menyempurnakan ketakutannya.
Begitu lama ia terbaring dalam posisi diam seperti itu.
Semakin lama rasa perih dan rasa takut semakin kuat dan
bercampur dengan rasa haus di tenggorokannya. Ia berulang
kali menyangka dirinya akan mati, maka ia biarkan dirinya
untuk benar-benar mati. Terutama saat didengarnya langkahlangkah berat mendekatinya. Perasaannya yang mulai
setengah sadar hanya bisa menerima dengan pasrah. Ia
menyangka itu adalah langkah kaki seekor harimau.
Akan tetapi, belum sempat ia membuktikan itu, ia sudah
tak sadarkan diri. Entah sampai kapan. Ia sama sekali tak
tahu. Yang ia tahu hanyalah ketika terbangun tubuhnya telah
dalam posisi duduk, dengan kehangatan di sekujur tubuhnya.
Ia sama sekali tak bisa mengira-ngira di mana dirinya kini
berada. Semuanya tampak gelap dan bau apek yang begitu
tajam menusuk hidungnya.
Tiba-tiba sebuah suara terdengar. Seperti suara seretan
kaki di tanah dan juga suara ketukan kayu yang teratur
menekan tanah. Ia tertegun. Siapakah itu" Dan, ia tak perlu menunggu
lama untuk tahu jawabannya. Dari asal suara muncul setitik
cahaya menerangi tempatnya berada.
Ia hanya bisa menelan ludah. Cahaya itu semakin lama
semakin dekat hingga akhirnya ia benar-benar bisa melihat
sosok yang datang di depannya .... Sosok itu adalah seorang
perempuan tua dengan baju dari daun-daunan. Wajahnya
tampak begitu kotor dengan rambut memutih seluruhnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau murid Kuya Jadran?" suara seraknya memecah
kesunyian. "Akuia hanya bisa menelan ludah. Baru disadarinya kalau kerongkongannya terasa begitu sakit.
"Ia menerima murid perempuan juga?" tanya perempuan tua itu lagi.
Agiriya mengangguk. "Hanya beberapa," ujarnya.
"Apa ia ... mencoba merayumu?"
Ia tertegun dengan pertanyaan itu. Namun, cepat ia
menggeleng tegas, "Tidak, Guru Kuya Jadran tak akan
melakukan itu. Ia hanya menghabiskan waktu bermeditasi
setiap harinya Perempuan itu menatapnya dengan tak percaya.
"Ia sama sekali... tak merayumu?"
Kembali dirinya menggeleng tegas, "Sekali lagi kukatakan, Guru Kuya Jadran tak mungkin melakukan itu!"
Perempuan itu terdiam. Sambil menerawangkan matanya,
ia kembali menyeret kakinya menjauhi dirinya.
"Apa ... kau yang menyelamatkan aku?" tanyanya setelah terdiam beberapa saat.
Perempuan tua itu hanya terkekeh pelan.
"Siapa kau?" kembali ia bertanya.
Akan tetapi, lagi-lagi perempuan tua itu hanya terkekeh
panjang. Tak pernah ada jawaban yang keluar dari bibirnya.
Ia seakan menganggap semua pertanyaannya hanya gelitik
angin di telinganya.
Ia benar-benar tak pernah tahu siapa perempuan ini.
Sebenarnya dua puluh tahun yang lalu, perempuan ini
merupakan pendekar yang cukup terkenal di Bhumi Sriwijaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namanya Sangda Alin. Bersama. Kuya Jadran, keduanya
merupakan sepasang pendekar suami istri yang cukup
disegani hingga dunia persilatan kemudian menjuluki
keduanya dengan sebutan Sepasang Bangau Terbang.
Keduanyalah yang awalnya mendirikan Panggrang Muara
Gunung hingga terkenal dan begitu harum. Murid mereka
datang dari berbagai penjuru. Sampai suatu kali, keduanya
menerima seorang, murid perempuan yang begitu jelita.
Namanya Sanggi Raju.
Dan, dari sinilah masalah besar itu bermula. Kuya Jadran
kemudian jatuh cinta kepada muridnya. Dan, cintanya
ternyata berbalas hingga akhirnya Sangda Alin pun
mengetahuinya. Ia segera mengusir muridnya. Namun, itu
sama sekali tak membuat hubungan Kuya Jadran dan Sanggi
Raju berakhir. Dalam kemarahannya yang memuncak, Sangda Alin
kemudian membunuh Sanggi Raju. Sebenarnya, ia juga nyaris
membunuh Kuya Jadran. Namun, Kuya Jadran sama sekali tak
pernah membalas semua serangannya. Ia hanya membiarkan
dirinya terus menerima pukulan-pukulannya. Hingga enam
pukulan mautnya bersarang di tubuh lelaki itu.
Dan, lelaki itu hanya bisa tertunduk, "Kau cukup memberiku satu pukulan lagi, Sangda, satu pukulan lagiKuya Jadran
berujar dengan tubuh penuh darah. "Kumohon, selesaikanlah.
Namun, sebelum kau melakukannya, aku ingin meminta maaf
kepadamu. Aku tak bisa menjaga perasaanku kepadamu.
Aku... begitu mencintainya... sungguhLalu, lelaki itu menangis.
Sangda Alin hanya bisa terdiam kaku. Ia baru saja akan
melepaskan pukulannya. Namun, tangisan suaminya itu begitu
mengejutkannya, juga ucapan terakhirnya. Ia tak pernah
menemukan suaminya seperti itu sebelumnya. Ia lelaki yang
datar, tak bergejolak, bagaimana mungkin ia bisa mencintai
perempuan seperti ini" Dan, mengungkapkannya seperti itu
pula" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lalu, keraguan memerangkap hati Sangda Alin. Pelan-pelan
ia pun mengurungkan pukulannya.
Kuya Jadran terpuruk, "Maafkan aku, Sangda, maafkan aku aku sudah berusaha untuk mengekang perasaanku, tetapi aku
... selalu tak mampu
Sangda Alin terdiam. Sesaat masih dipandanginya suaminya
dengan tatapan tak percaya. Hatinya semakin hancur, bukan
hanya karena pengkhianatan ini, tetapi karena baru
disadarinya bila selama ini... suaminya tak pernah
mencintainya seperti ia mencintai perempuan itu ....
Maka, ia pun kemudian pergi menjauh. Kuya Jadran hanya
bisa melihat tubuhnya hilang di kegelapan hutan di utara
Panggrang Muara Gunung. Sejak hari itu, tak ada lagi yang
pernah melihat keberadaannya ....
Dan, untuk mengubur kisah ini, Kuya Jadran kemudian
melarang seluruh muridnya untuk pergi ke arah itu ....
-ooo0dw0ooo- Saat itu, Agiriya tak tahu sudah berapa lama ia tinggal di
jurang ini. Namun, ketika kondisinya membaik, perempuan tua
itu segera menyuruhnya pergi.
"Di sana, ada bukit yang dapat kau daki," ujarnya sambil menunjuk arah selatan. "Pergilah!"
Agiriya berlutut dalam-dalam. Dengan suara tercekat ia
mengucapkan terima kasih. Ia tahu selama ini perempuan ini
tak bersikap baik kepadanya, tetapi perempuan ini pun tak
bersikap jahat kepadanya.
Maka, ketika ia bangkit dengan ragu, hanya beberapa
langkah berselang, ia sudah kembali berpaling.
"Sebelum aku pergi, aku ingin tahu siapa nama, Nenek?"
tanyanya dengan suara pelan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perempuan itu tertawa, "Namaku" Apa itu penting
buatmu?" "Kau sudah menyelamatkan aku. Apalagi yang bisa kuingat selain nama Nenek nanti?"
Perempuan tua itu kembali tertawa.
"Kau tak harus mengingatku!" ujarnya. "Tetapi, kupikir tak ada salahnya kau tahu siapa aku. Aku adalah ... Sangda Alin."
Selepas ucapan itu, Agiriya kembali membungkuk dalam,
"Sekali lagi, kuucapkan terima kasih. Namamu tak akan
kulupakan____"
Lalu, Agiriya pun pergi dari jurang itu. Seperti yang
dikatakan perempuan tua itu, tepi jurang di sebelah selatan
bisa didaki. Hanya dalam beberapa saat kemudian Agiriya
sudah kembali di mulut jurang.
Sampai di sini, ia masih tak menyadari bahwa di saat ia tak
sadarkan diri beberapa hari ini, perempuan tua itu telah
mengalirkan semua energi murni kepadanya. Ternyata selama
bertahun-tahun mengasingkan diri, perempuan tua itu telah
mengembangkan ilmu yang sangat luar biasa. Hanya dengan
telapak tangannya saja, ia bisa memindahkan energi ke tubuh
seseorang, dan ia telah lakukan itu untuk Agiriya!
Maka itulah, di saat tengah berjalan dengan pelan, di
antara kesunyian padang rumput yang setengah mengering di
tepi hutan, Agiriya tiba-tiba mulai merasakan tubuhnya yang
begitu ringan. Awalnya ia menepis itu. Namun, ketika ia
mencoba berkonsentrasi, ia merasakan tangannya seakan
berdengung. Makin lama, makin terasa.
Agiriya terpana. Ia kembali berkonsentrasi lebih dalam.
Perlahan-lahan mulai dirasakan aliran energi itu. Ia mencoba mengikuti getaran yang mengalir di seluruh tubuhnya. Dan,
saat itulah energi di dalam tubuhnya tiba-tiba terasa
bergelora. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Saat itu ia tengah berada di tengah hamparan rumput liar
dengan desiran angin yang terasa berhenti. Lalu, mulai
digerakkan dengan pelan tangannya, seakan ia mengibas.
Dan, tanpa diduga, rumput-rumput yang semula berdiri diam,
tiba-tiba bergerak searah gerakan tangannya.
Agiriya memandang tak percaya.
Kembali ia mencoba menggerakkan tenaga dalamnya ke
arah yang berlainan. Dan, rumput-rumput itu pun secara
mengejutkan kembali mengikuti arah gerakannya.
Mata Agiriya semakin terbelalak. Dipandangnya tangannya
dengan tatapan tak percaya. Detik itu juga ia sudah berteriak panjang dan tertawa kegirangan.
Lalu, hanya dengan satu gerakan saja, ia dapat melayang
begitu ringan. Ia melompat ke hamparan rumput-rumput itu
dan berlari dengan tumpuan rumput-rumput yang
bergoyang.... Sejak itulah, seiring penyelidikannya terhadap pembunuh
keluarganya dan orang-orang di Panggrang Muara Gunung, ia
merajah wajahnya dengan gambar kupu-kupu. Kemudian, ia
mengganti namanya dengan nama Sangda Alin ....
Setelah itu semua, bersamaan dengan saat pemilihan
pandaya, ia pun segera pergi ke Telaga Batu ....
-ooo0dw0ooo- 27 Panglima Yang Hampir
Sepanjang Hdup Memendam
Ambisinya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa hari berselang, kembali diadakan pertemuan di
Telaga Batu. Rencana penyerangan ke Minanga Tamwa
tampaknya semakin dipikirkan dengan serius. Kali ini tak
hanya empat tokoh penting yang datang, tetapi juga meliputi
beberapa petinggi di bawahnya.
Di luar, seperti biasa, Tunggasamudra dan Kara Baday
tengah menunggu di bawah pohon.
"Ini menyebalkan," ujar Kara Baday. "Aku lebih senang bepergian ke mana pun, daripada harus menunggu seperti
ini." "Kau banyak mengeluh," komentar Tunggasamudra.
"Aku tidak mengeluh," ujar Kara Baday cepat. "Namun, kau yang terlalu diam."
Tunggasamudra tersenyum.
"Eh, tetapi ke mana perempuan judes itu?" Kara Baday membuang pandangannya. "Apa ia tengah memakan cabai
agar kejudesannya bisa terus terjaga?"
Tunggasamudra hanya tersenyum mendengar ucapan itu.
"Tadi kulihat ia ada di dekat taman itu," ujarnya.
Kara Baday tersenyum, "Tampaknya kau
memperhatikannya, ya?" ia menyenggol tangan
Tunggasamudra dengan sikunya.
Tunggasamudra tersenyum menghindar. Ini membuat Kara
Baday tertawa senang.
Lalu, tiba-tiba ia berdiri. "Aku akan menemuinya," ujarnya.
"Mau apa kau?"
"Sekadar menyapanya," ujar Kara Baday sambil memainkan matanya dengan nakal. "Walau bagaimanapun, kita ini teman
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperjuangan, bukan" Nanti bila kita benar-benar menyerang
Minanga Tamwa, kita pasti akan saling bantu?"
Lalu, Kara Baday segera menghampiri taman yang ada di
samping kedatuan itu. Di situ dilihatnya Sangda Alin tengah
duduk memperhatikan kolam yang berisi puluhan ikan mas.
"Sedang apa kau?" tanya Kara Baday dengan gaya akrab.
Ia tiba-tiba sudah ikut melongokkan kepalanya ke dalam
kolam. Sangda Alin langsung mendengus. Segera ia bangkit dan
melangkah menjauh dari Kara Baday. Namun, Kara Baday
malah mengikuti langkahnya.
"Kau tahu," ujarnya dengan senyum nakal, "kau ini sebenarnya sangat jelita. Tentunya bila tidak memakai cadar
Sangda Alin tak menanggapinya.
"Melihatmu memakai cadar itu, aku bisa membayangkan
banyaknya ... bopeng di wajahmu," ujar Kara Baday dengan nada datar. "Pastilah dulu jerawatmu besar-besar...."
Mata Sangda Alin seketika membesar. Namun, Kara Baday
hanya tersenyum dengan tampang tak berdosa.
'Jangan marah begitu, aku hanya bercanda," ujar Kara
Baday. "Oya, maukah kau kuberi tahu sebuah rahasia?"
Sangda Alin tak menanggapi. Ia terus berjalan seakan
Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menganggap Kara Baday tak ada di sebelahnya.
"Ini tentang rahasia Pendekar Tiga Pedang itu," ujar Kara Baday lagi. "Sepertinya ... ia menyukaimu
Sangda Alin terdiam. Kali ini, di posisinya berdiri, ia dapat melihat dari jauh sosok Tunggasamudra yang tengah duduk di
bawah pohon besar tak jauh darinya.
Ucapan Kara Baday sedikit mengganggunya. Initam-pak
sangat berlebihan. Bukankah keduanya kerap lebih memilih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diam, tak melakukan pembicaraan apa pun bila tengah
bersama" Memang sesekali ia pernah mendapati
Tunggasamudra tengah menatapnya, tetapi itu saat tak ada
orang lain selain mereka berdua.
"Sebagai temannya, kau seharusnya tak mengatakan itu!"
ujar Sangda Alin terpancing.
"Aku ingin membantunya!" ujar Kara Baday cepat. "Kau tahu, setiap ada di sebelahmu, ia selalu... tampak salah
tingkah Kara Baday tertawa. "Nah, sekarang, karena kau sudah
tahu rahasia itu," ujar Kara Baday lagi, "Kau harus menjaganya!"
Sangda Alin tak menggubrisnya. Pemuda di depannya ini
terlihat semakin menyebalkan. Bagaimana mungkin ia
menjaga Tunggasamudra" Ia tahu sekali kemampuan pemuda
itu jauh berada di atasnya. Dengan tak mengeluarkan seluruh
kemampuannya saja, ia bisa membuat dirinya kalah.
Akan tetapi, di tengah berpikir seperti itu tiba-tiba sesosok tubuh muncul tak jauh darinya. Melompat dari seekor kuda
yang membawanya dengan terburu-buru dan langsung
melayang menuju pelataran kedatuan.
Ialah Wantra Santra, sosok yang selalu menaburkan aura
kelam dan mengingatkan pada sajak-sajak kematian ....
Seperti biasa, kedatangannya diikuti oleh ketiga orang
pengawalnya. "Huh, orang itu selalu muncul terlambat," Kara Baday tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.
Sangda Alin tak menyahut. Tanpa Kara Baday tahu, hatinya
tiba-tiba bergejolak.
Sejak pertama kali pertemuannya kala itu, hatinya terus
bertanya-tanya sendiri. Dan, ingatannya ternyata dapat meTiraikasih Website http://kangzusi.com/
rajutkan untuknya. Seperti sebuah tabir yang perlahan mulai
terbuka, perlahan, perlahan, perlahan, dan kemudian
semuanya semakin jelas dan semakin jelas ....
Sangda Alin ingat lelaki itu! Ya, ia begitu ingat.
Lelaki berjubah hitam itu pernah datang menjumpai
ayahnya di Datu Muara Jambi. Ia ingat, cukup lama lelaki itu bicara dengan ayahnya. Sampai di sini, ia seharusnya tak akan terlalu mengingat kejadian ini. Begitu banyak tamu yang
menjumpai ayahnya setiap harinya. Ia tak akan mengingatnya
satu per satu. Namun, yang membuatnya kembali dapat
mengingatnya adalah ... saat kepulangan lelaki ini.
Saat itulah, ayahnya tampak begitu marah!
Sangda Alin mencoba kembali mengingat-ingat kejadian itu.
Namun, ia tak bisa benar-benar mengingatnya. Ia sama sekali
tak bisa mengingat apa yang dibicarakan orang itu dengan
ayahnya. Hanya saja ia masih begitu ingat kemarahan
ayahnya seperti apa yang terngiang selepas lelaki itu pergi....
"Manusia penjilat, tak tahu malu!"
Dan, sepertinya kemarahan yang begitu meluap itu telah
menjadi kunci baginya. Perlahan Sangda Alin mulai
menerjemahkannya. Seakan sebuah teka-teki yang
terpecahkan satu demi satu, ia mulai menyibak tirai hitam
yang menutupi kejadian masa itu.
Lelaki yang begitu dipercaya oleh Sri Maharaja
Balaputradewa ... dan pertengkaran pribadi dengan
ayahnya.... Sungguh ia mulai melihat hubungan antarkeduanya.
Bukankah ini seperti sebuah kombinasi yang baik untuk
memfitnah dan mencelakakan ayahnya"
"Hey, kau tak mendengar ucapanku?" suara Kara Baday menyentaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangda Alin berpaling, "Benarkah tugas Kelompok Rahasia Wangseya adalah mengamati sebuah datu, lalu memutuskan
apakah datu itu akan berkhianat atau tidak?"
Kara Baday terdiam, "Ya, tentu saja itu tugas Wangseya
Sangda Alin menarik napas panjang. Kini semuanya seakan
jelas sudah. Ia telah bisa menghubungkan semuanya.
Lalu, Sangda Alin pun segera beranjak dari situ. "Sangda!
Hoi, mengapa kau?" Kara Baday hanya bisa memanggil tak
mengerti. Akan tetapi, Sangda Alin tak lagi menggubrisnya ....
-ooo0dw0ooo- Hampir tiga tahun yang lalu, 5 tahun sebelum Perang
Merah terjadi, wilayah barat bergejolak. Saat itu beberapa
datu mencoba membebaskan diri dari Sriwijaya. Di tengah
keadaan seperti itulah, kemudian Panglima Bhumi Tambu
Karen, yang saat itu masih sangat muda, diutus untuk
mengamankan datu-datu itu.
Dengan pasukan tak lebih dari satu laksa ia berangkat.
Tanpa ada bantuan dari pasukan samudra, karena wilayah
pemberontakan terletak jauh dari perairan, serta tanpa ada
bantuan dari datu-datu yang masih setia, Panglima Tambu
Karen dapat menundukkan seluruh wilayah barat dalam
peperangan tak lebih dari tujuh hari.
Saat itu ia masih tergolong sangat muda, tetapi
kesaktiannya sudah cukup luar biasa. Satu gerakannya dalam
peperangan adalah nyawa musuh yang melayang. Tak heran,
sampai sekarang telah ribuan nyawa diakhiri langsung dengan
tangannya. Dulu, Panglima Samudra Jara Sinya berhubungan cukup
dekat dengan Panglima Tambu Karen. Keduanya berkenalan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
selagi muda dan muncul dalam masa pergolakan di Bhumi
Sriwijaya. Di waktu-waktu tertentu keduanya akan berbincang hingga
larut malam. Mereka saling bertukar jurus dan
mempertunjukkannya satu sama lain. Sebagai panglima yang
lebih berpengalaman, Panglima Tambu Karen tak segan
memberikan masukan-masukan terhadap jurus-jurus Panglima
Samudra Jara Sinya. Dan, Panglima Samudra Jara Sinya akan
dengan besar hati menerimanya, seakan keduanya adalah dua
orang sahabat yang telah lama tak bertemu. Namun, awalnya
hubungan keduanya tidaklah sedekat itu. Panglima Tambu
Karen sendiri adalah sosok yang cukup pendiam. Ia lebih suka merenung dan memikirkan segala sesuatu. Namun, dalam
pertemuan pertama mereka, suasananya langsung menjadi
cair. Ini karena Panglima Samudra Jara Sinya sangat hafal
akan kesukaan Panglima Tambu Karen yang pandai
berdendang dan berpantun.
Saat itu Panglima Samudra Jara Sinya secara tiba-tiba
membacakan pantunnya....
Air mengalir dari hulu Bergulung-gulung membawa rakit
Pedang tombak sisihkan/ah dulu Agar dapat berbincang dekat
Sungguh, itu merupakan pantun yang begitu saja terluncur
dari mulutnya. Namun, akibatnya cukup luar biasa. Panglima
Tambu Karen langsung terbahak-bahak dengan senangnya.
Panglima Samudra Jara Sinya tak pernah tahu apakah
pantun yang diucapkannya benar atau salah. Namun, yang
pasti sejak saat itu keduanya dapat duduk dengan akrab
hingga waktu lama.
Kini berjarak ribuan tombak, keduanya tengah memandang
bulan yang sama, dengan ingatan yang hampir sama!
Akan tetapi, nostalgia indah masa lalu seakan tertepis
dengan mudah. Di Minanga Tamwa, Panglima Tambu Karen
tak lagi mengingat pantun-pantun yang pernah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dilantunkannya dengan Panglima Samudra Jara Sinya. Ia kini
hanya terdiam, di antara para pu yang berdiri mengelilinginya.
"Ini memang tak bisa kita hindari lagi," ujar Panglima Tambu Karen. "Aku sudah sangat mengenal mereka. Aku tahu apa yang akan mereka lakukan
Ia berdiri. Wajahnya yang keras tampak tanpa raut ragu.
Lalu, mendadak ia melirik kepada salah satu panglimanya.
"Apakah ... utusan kita telah sampai di Datu Singkep,"
tanyanya. Panglima itu mengangguk, "Sudah, Dapunta Hyang."
Panglima Tajnbu Karen, yang kini telah dipanggil dengan
sebutan dapunta hyang mengangguk senang, "Bagus, inilah saatnya ia membantu aku ...."
Diam-diam Panglima Tambu Karen tersenyum tipis. Kini
tampaknya ia harus mulai mengeluarkan kunci-kunci
kemenangan yang telah lama dipersiapkannya. Dan, salah
satunya adalah Datu Singkep!
Datu yang ada di wilayah Pantai Barat ini menguasai
perairan Batang Tigo dan Batanghari yang ada di Pantai Barat.
Telah hampir dua puluh tahun ini ia membina hubungan baik
dengan Dapunta Kangga Kiya, penguasa Datu Singkep,
bahkan di satu generasi sebelumnya. Ia kerap mendatangi
dapunta itu, membawakannya barang-barang mewah, dan
mencoba mendengarkan segala keluhannya, seperti layaknya
sahabat. Maka itulah, ia tahu sekali kebencian dapunta itu pada
pemerintahan Sriwijaya di Telaga Batu. Puluhan tahun
perairannya dikuasai bajak laut. Ia sudah berkali-kali meminta pertolongan pada Sriwijaya, tetapi semuanya seakan tak
pernah ada jawaban. Pertolongan itu baru saja didapatnya
beberapa bulan yang lalu. Itu pun Sriwijaya hanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengirimkan panglima muda baru, yang merupakan bekas
bajak laut! Panglima Tambu Karen menyadari betul keinginan Datu
Singkep untuk lepas dari Sriwijaya. Maka itulah, kini ia yang akan menjawab keinginan itu. Datu Singkep tak perlu
berperang membantunya. Tak perlu. Ia hanya cukup
membantunya sedikit saja, dengan menutup perairan
Batanghari di sebelah barat. Hanya itu. Dan, ia akan
menjanjikan kemerdekaan kepada datu itu!
"Dengan menutup perairan Batanghari di sebelah barat,
pasukan Sriwijaya hanya akan memiliki kesempatan
menyerang Minanga Tamwa dari depan," pikiran Panglima
Tambu Karen berkilat. "Dan, menjalani peperangan dari
depan, sungguh, membuatku sangat siap!"
-ooo0dw0ooo- Jauh dari Minanga Tamwa, di kediaman Panglima Jara
Sinya,Luwantrasima, putra sulung sang panglima, baru saja
mendekati Kara Baday.
"Panglima memanggilmu," ujarnya dengan nada dingin.
Walau berusaha bersikap biasa, Kara Baday dapat melihat
ketidaksukaan putra Panglima Samudra Jara Sinya ini
kepadanya. Namun, ia mencoba tak ambil pusing dan terus
bersikap biasa.
Sejak bergabung menjadi panglima di Telaga Batu ini, ia
sudah menghadapi sikap permusuhan. Tak hanya dari kedua
putra Panglima Samudra Jara Sinya saja, tetapi juga beberapa panglima muda. Namun, ia mencoba memahami itu. Walau
bagaimanapun ia pernah membunuh salah satu rekan mereka,
Panglima Sru Suja. Jadi, wajar bila mereka tak menyukai
kehadirannya. Terlebih, gelar panglima muda yang kini
disandangnya terasa begitu cepat diberikan bila dibanding
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang lainnya. Maka itulah, Kara Baday tak terlalu menyimpan
dalam hati perlakuan itu.
Kini ia tengah melangkah sendirian ke dalam ruangan
tempat Panglima Samudra Jara Sinya tengah menulis sebuah
surat. Ia menunggunya, berusaha tak mengganggu.
"Ah, kau sudah datang, Panglima Kara Baday," ujar
Panglima Samudra Jara Sinya tanpa menghentikan
gerakannya menulis. "Ada yang harus kubicarakan
denganmu."
Kara Baday menunggu beberapa saat hingga Panglima
Samudra Jara Sinya meletakkan bulu angsa yang digunakan
untuk menulis itu di atas meja.
Ia tiba-tiba menatap tajam kepada Kara Baday. "Bersiaplah untuk peperangan besar pertamamu," ujarnya.
Ia dijuluki Pembantai Para Panglimd Ia merupakan satu dari
keturunan Wangsa Sailendra yang memiliki nama terbesar. Ia
juga disebut penjaga atau pelindung semesta. Cerita-cerita
tentangnya telah banyak dikisahkan dari mulut ke mulut, juga dalam prasasti-prasasti yang ada.
Ia selalu berada di barisan paling depan dalam semua
peperangan. Dengan kuda terbaiknya, ia akan berteriak
menggelegar di langit untuk mengawali penyerangan terhadap
lawan-lawannya.
Keberadaannya begitu mencolok, walau saat berperang
terbuka ia selalu menutupi wajahnya dengan topeng dan
pelindung dari baja. Pcdang-tombaknya yang besar selalu
akan tampak penuh darah.
Ia yang kemudian akan memilih panglima musuh yang
tertinggi, mendekatinya, membuat pertarungan, dan
memenggal kepalanya!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ialah Daranindra Rakai Panunggalan, kakek Sri Maharaja
Balaputradewa. Ialah yang dipuja oleh seluruh keturunan Wangsa
Sailendra. Dan, selalu dijadikan contoh kebesaran Wangsa
Sailendra. Maka, tak heran saat pernikahan Pramodawardhani
dan Jatiningrat sudah ada di ambang waktu, beberapa di
antaranya berteriak atas namanya!
-ooo0dw0ooo- 28 Penyerangan Pertama
Ia dijuluki Pembantai Para Panglimd Ia merupakan satu dari
keturunan Wangsa Sailendra yang memiliki nama terbesar. Ia
juga disebut penjaga atau pelindung semesta. Cerita-cerita
tentangnya telah banyak dikisahkan dari mulut ke mulut, juga dalam prasasti-prasasti yang ada.
Ia selalu berada di barisan paling depan dalam semua
peperangan. Dengan kuda terbaiknya, ia akan berteriak
menggelegar di langit untuk mengawali penyerangan terhadap
lawan-lawannya.
Keberadaannya begitu mencolok, walau saat berperang
terbuka ia selalu menutupi wajahnya dengan topeng dan
pelindung dari baja. Pcdang-tombaknya yang besar selalu
akan tampak penuh darah.
Ia yang kemudian akan memilih panglima musuh yang
tertinggi, mendekatinya, membuat pertarungan, dan
memenggal kepalanya!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ialah Daranindra Rakai Panunggalan, kakek Sri Maharaja
Balaputradewa. Ialah yang dipuja oleh seluruh keturunan Wangsa
Sailendra. Dan, selalu dijadikan contoh kebesaran Wangsa
Sailendra. Maka, tak heran saat pernikahan Pramodawardhani
dan Jatiningrat sudah ada di ambang waktu, beberapa di
antaranya berteriak atas namanya!
"Tak akan kurelakan tanah ini lepas dari Wangsa Sailendra!"
Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan, teriakan itu seakan menjadi bola liar yang
menghantam dada para keturunan Wangsa Sailendra yang
lain. Hati mereka tiba-tiba mengentak dan bergelora.
Ya, saat itulah terlihat jelas bila Jatiningrat tidaklah
mendapat restu dari sebagian penerus Wangsa Sailendra!
Sebagai sosok keturunan Wangsa Sanjaya, ia tak diharapkan
memimpin Bhumi Sriwijaya, walau bersanding dengan seorang
keturunan Wangsa Sailendra sekalipun!
Dan, saat itulah, seakan ada yang mengarahkannya, semua
mata tiba-tiba berpaling kepada Balaputradewa yang tengah
duduk diam dalam pikirannya.
Seorang sanak keluarga yang tertua kemudian bergerak
menghampirinya. Dan, tanpa bisa dirinya menolak, ia segera
memaklumat, "Kau sebagai salah satu putra terkuat Samaragrawira haruslah melanjutkan kebesaran wangsa kita!"
-ooo0dw0ooo- Langit cerah, terlalu cerah. Tak ada apa-apa selain awan
putih. Seekor elang yang melayang terlihat begitu jelas
membelah langit. Terus terbang dengan kepakannya dan
menukik untuk mendarat di tangan seorang prajurit yang telah melapisi tangannya dengan sepotong kain.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia membuka dan membacanya. Lalu, segera berlari menuju
tenda utama yang ada di bagian belakang perkemahan ini dan
menyerahkannya langsung kepada Panglima Bhumi Cangga
Tayu. Ini merupakan surat dari Kelompok Rahasia Wangseya.
Isinya singkat, hanya dua kalimat.
Perhatikan Datu Singkep.' Ada pergerakan api ke sana!
Panglima Bhumi Cangga Tayu terdiam. Dibacanya berkalikali kalimat itu.
Pesannya sangat jelas. Kelompok Wangseya sama sekali
tak memakai kata sandi yang rumit. Ia hanya mengganti kata
musuh dengan api. Dan, itu langsung bisa diartikan dengan
Minanga Tamwa! Panglima Bhumi Cangga Tayu terdiam sesaat.
Dipandanginya deretan kemah-kemah prajuritnya yang
memenuhi hutan bambu ini. Kini ia memang tengah bersama
lebih dari satu laksa pasukannya merangsek ke utara. Tidak
dalam satu kesatuan penuh memang, tetapi dibaginya dalam
beberapa kelompok yang menyebar dalam jarak yang tak
terlalu jauh. Ia sendiri kini tengah bersama tak lebih dari tiga ratus
pasukan, yang terdiri dari lima puluh pasukan gajah, beserta ratusan pasukan kuda dan pasukan tombak. Ini merupakan
pasukan yang ada dalam posisi terdekat dengan Batanghari.
Bila semuanya lancar, hanya dalam hitungan hari saja,
pasukan ini akan segera tiba di Batanghari.
Akan tetapi, surat dari Wangseya membuat Panglima
Bhumi Cangga Tayu terdiam beberapa lama.
Datu Singkep sebenarnya terletak cukup jauh dari
Batanghari. Namun, sejak dulu merekalah yang menguasai
perairan di sebelah barat. Beberapa datu di sekitar itu awalnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
adalah bagian dari daerahnya sebelum akhirnya tunduk pada
Sriwijaya. Sampai sekarang, Panglima Bhumi Cangga Tayu tak pernah
tahu kedekatan antara Minanga Tamwa dengan Singkep.
Namun, secara logika ia dapat menghubung-hubungkan
semua ini dengan jelas.
"Mahilir," tiba-tiba ia memanggil seorang panglima mudanya. "Kaubawalah beberapa pasukan menuju Kedatuan
Singkep. Aku ingin kau tiba di waktu yang paling cepat untuk membawakan pesan bagi Dapunta Kangga Kiya, penguasa
Singkep.. -ooo0dw0ooo- Beberapa hari kemudian, Pasukan Bhumi Cangga Tayu
perlahan-lahan mulai kembali merangsek ke utara. Batanghari
sudah mulai terlihat berkelokan di depan mereka.
"Panglima," Panglima Mudaja Srabu mendekat. "Apa kita tak berjalan terlalu lambat?" tanyanya sedikit heran melihat pergerakan pasukan yang tak seperti biasanya.
"Tidak," Panglima Cangga Tayu menjawab. "Kita memang harus melambatkan perjalanan kita. Selain untuk menunggu
armada samudra memasuki perairan ini, aku juga tengah ...
menunggu sesuatu!"
Panglima Mudaja Srabu terdiam.
Tiba-tiba seorang anggota pasukannya mendekat,
"Panglima ada seorang berkuda mendekat. Tampaknya ia
pasukan dari Panglima Samudra Jara Sinya."
Kening Panglima Bhumi Cangga Tayu berkerut. Bila
Panglima Samudra Jara Sinya sampai mengutus langsung
prajuritnya, berarti ia telah sampai di Muara Jambi. Namun,
mengapa ia tak menggunakan merpati, seperti biasanya"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka, dengan gerakan terburu, Panglima Bhumi Cangga
Tayu segera menghentikan kudanya dan berbalik ke arah
belakang. Panglima Mudaja Srabu mengikutinya.
"Panglima," prajurit yang baru tiba itu segera
membungkuk. "Hamba membawa pesan dari Panglima Jara
Sinya," ujarnya.
"Apa itu?"
"Panglima Samudra Jara Sinya mendapat informasi bila ada kemungkinan besar Datu Singkep akan menghalangi jalan
Pasukan Bhumi di Batanghari
Panglima Bhumi Cangga Tayu terdiam. Pesan ini sangat
mirip dengan pesan yang dikirim Wantra Santra beberapa hari
berselang. Memang untuk mendekati Minanga Tamwa
pasukannya haruslah menyeberangi Batanghari. Dan, itu akan
terasa sulit bila perahu-perahu Datu Singkep menghalanginya
di perairan itu.
"Panglima," Panglima Mudaja Srabu mendekat. "Apa yang harus kita lakukan?"
Panglima Bhumi Cangga Tayu tak langsung menjawab. Ia
malah membuang pandangannya ke arah barat laut.
"Kita ... hanya bisa menunggu," ujarnya pelan. "Ya, menunggu....
-ooo0dw0ooo- Samudra seakan ikut bergelora."
Bunyi genderang terdengar bertalu-talu, seakan sebagai
tanda gelora para awak di dalamnya. Puluhan sambau
Sriwijaya membelah lautan dengan kecepatan penuh. Kilauan
airnya memercik ke mana-mana. Dalam tiga gelombang
sambau-sambau itu melaju. Sambau terdepan, yang memiliki
bentuk terbesar dan bertiang lima layar, adalah sambau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Panglima Samu-drajara Sinya. Setelah itu berderet sambau
para panglima muda yang masing-masing diikuti oleh puluhan
sambau lainnya.
Saat ini adalah purnama ketiga sejak Minanga Tamwa
melepaskan diri dari Sriwijaya. Waktu yang begitu pendek,
tetapi sudah cukup bagi Sriwijaya memusatkan seluruh
kekuatannya menuju Minanga Tamwa.
Ketika pelayaran baru bermula dari muara besar, posisi
sambau-sambau ini berbaris lurus. Namun, saat mulai
memasuki hilir Batanghari, keadaannya terbagi menjadi dua
bagian. Sambau-sambau di bawah para panglima muda ini
tampaknya berbentuk sama, tetapi sebenarnya bila
diperhatikan lebih saksama pada bagian ujung sambau dan
panjinya tampak ada sedikit perbedaan. Perbedaan ini hanya
akan diketahui oleh pasukan Sriwijaya, sebagai tanda apa
yang diangkut sambau-sambau ini di dalamnya, apakah
pasukan panah, atau pasukan darat.
Yang bisa disamakan antara semuanya adalah jumlah
jendela di pinggir dinding sambau. Di situlah pelontar panah berukuran besar, berderet siap melontarkan panahnya. Alat
pelontar panah sendiri sebenarnya digunakan untuk
menghancurkan perahu musuh saat dalam pertarungan jarak
dekat. Namun, saat digunakan untuk menyerang terbuka di
darat, biasanya alat pelontar panah ini berfungsi juga sebagai penghancur benteng musuh.
Sementara itu, di daratan Pasukan Bhumi Cangga Tayu
yang akhirnya membuat tempat peristirahatan tak jauh dari
Batanghari, masih tampak menunggu. Tak ada lagi derapderap kuda dan langkah-langkah kaki yang berderap maju,
yang menimbulkan getaran hingga dapat dirasakan sampai
ratusan tombak di depannya. Yang ada hanyalah hiruk-pikuk
kecil orang-orang yang menunggu!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tak ada tanda-tanda dari perahu-perahu Datu Singkep!"
ujar Panglima Mudaja Srabu.
Panglima Bhumi Cangga Tayu tak bereaksi. Tanpa sadar ia
kembali memalingkan wajahnya ke arah barat laut, seakan
tengah menanti sesuatu.
Panglima Mudaja Srabu segera menyadari, "Panglima,
sebenarnya apa yang sedang Panglima tunggu?"
Dan, jawabannya adalah debu yang mengangkasa di
kejauhan! "Tampaknya itu yang kutunggu," seru Panglima Bhumi Cangga Tayu.
Seekor kuda kemudian terlihat bergerak dengan cepat. Di
atasnya Panglima Muda Mahilir tampak duduk dan memacu
kudanya. Panglima Bhumi Cangga Tayu segera saja
menyambutnya. "Bagaimana, Mahilir?" tanyanya.
Panglima Muda Mahilir dengan wajah lelah dan pakaian
penuh debu segera melompat dari kudanya, "Sudah hamba
sampaikan pesan panglima"
"Lalu, apa jawabannya?"
"Mereka memilih ... tidak terlibat dengan peperangan ini."
Mendengar jawaban itu, Panglima Bhumi Cangga Tayu
segera saja tertawa. Ini tentu saja membuat Panglima Muda
Ja Srabu tak mengerti
"Panglima,'.' tanyanya ingin tahu, "sebenarnya apa pesan yang panglima tuliskan?"
"Ah, aku hanya menuliskan pesan yang sangat sederhana,"
jawab Panglima Bhumi Cangga Tayu. "Aku akan langsung
membelokkan pasukanku ke Singkep, bila ia berniat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membantu Minanga Tamwa! Hanya itu saja, hahaha ia
kembali tertawa.
"Tak kusangka, Dapunta Kangga Kiya secepat ini
mengambil keputusan," ia masih tertawa. "Kadang sebuah ancaman memang menjadi senjata yang paling mematikan!"
Maka, di hari itu juga, Pasukan Bhumi di bawah kendali
Panglima Bhumi Cangga Tayu mulai menyeberangi Batanghari
untuk terus merangsek ke utara, menuju Minanga Tamwa!
Sungguh, siapa pun yang melihat pasukan ini, akan dapat
segera menebak pertempuran besar seperti apa yang akan
segera terjadi!
-ooo0dw0ooo- Pergerakan ribuan pasukan itu ternyata begitu teramati
oleh Minanga Tamwa. Tak heran memang, hampir di segala
penjuru, Panglima Tambu Karen telah menyebarkan ratusan
mata-mata untuk mengawasi semuanya. Terlebih di daerah
Batanghari! Akan tetapi, ketika berita itu sampai di telinga. Panglima
Tambu Karen, tetap saja amarahnya memuncak. Ia
menggebrak meja di dekatnya hingga hancur berkepingkeping. "Pengecut Singkep!" teriaknya menggelegar.
"Tunggu saja kau!" ancam Panglima Tambu Karen dengan tangan terkepal. "Nanti, bila aku selesai dengan serangan ini, tanahmu yang pertama kali kumusnahkan!"
Lalu, ia terdiam. Beberapa pelayannya yang bertugas
menggerakkan kipas kain di atas kepalanya segera mencoba
lebih cepat bergerak, seakan-akan ingin menguapkan amarah
itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan, memang tak berapa lama, raut marah Panglima
Tambu Karen periahan mulai berubah. Wajahnya kembali
melunak seperti sedia kala saat berita itu belum didengarnya.
Ia memang tak harus semarah ini. Bukankah hal semacam
ini sudah terpikir juga sebelumnya" Maka itulah, ia telah
menyiapkan beberapa rencana sekaligus untuk mengantisipasi
peperangan ini.
Dan, pertolongan Datu Singkep hanyalah sebuah
rencananya yang pertama!
-ooo0dw0ooo- Ketika sambau-sambau dari muara besar tiba di Muara
Jambi, beberapa sambau lainnya yang telah menunggu di
pelabuhan Muara Jambi segera bergabung dalam iring-iringan
itu sehingga iringan sambau Sriwijaya ini tampak semakin
besar. Panglima Samudra Jara Sinya berada di sambau terbesar
yang ada di posisi paling depan. Dari situlah genderang
berbunyi paling keras, mengontrol gerakan semua sambau
yang ada. Di sambau lainnya, delapan dari tiga belas panglima muda
armada Sriwijaya berada dalam posisi lebih di belakang,
termasuk sambau Dapunta Cahyadawasuna. Ia bersama
Tunggasamudra dan Sangda Alin membawa tak kurang dari
dua ratus pasukan dan diikuti tak kurang dari lima sambau
yang lebih kecil di belakangnya.
'Akan ada banyak kematian hari ini," gumam Dapunta
Cahyadawasuna. Tunggasamudra yang berdiri di samping Dapunta
Cahyadawasuna menoleh sekilas, demikian juga dengan
Sangda Alin. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku tak menyangka Telaga Batu mengerahkan sedemikian
banyak pasukan," ujar Dapunta Cahyadawasuna lagi.
"Panglima Tambu Karen di Minanga Tamwa mungkin
memanglah lawan yang berat," ujar Tunggasamudra diikuti dengan anggukan kepala Sangda Alin.
"Atau, peperangan ini memang ingin segera diakhiri,"
tambah Sangda Alin. "Agar tak banyak korban yang
berjatuhan ..."
Dapunta Cahyadawasuna tersenyum sambil menatap
Sangda Alin. "Ya, aku harap demikian, Sangdaujarnya, tanpa melepas tatapannya.
Sejenak Tunggasamudra melihat keduanya bertatapan
beberapa saat. Entah mengapa ia merasa tatapan ini tampak
lebih lama dari biasanya. Namun, Tunggasamudra tak
berkomentar apa-apa. Ekor matanya telah melihat seorang
prajurit yang ada di sambau utama tengah memberikan tanda
pada sambau di belakangnya, yang kemudian segera diikuti
oleh sambau-sambau itu, ke sambau-sambau lapis berikutnya.
Begitu seterusnya.
Lalu, sebuah sambau maju ke depan, menyeruak dengan
gerakan lebih cepat dari sambau lainnya hingga melewati
sambau utama di mana Panglima Samudra Jara Sinya berada.
Dari atas anjungan, tampak Kara Baday berdiri dengan
gagah. Wajahnya yang memantulkan sinar matahari tampak
bersih dan rambutnya yang panjang terikat kain putih
dibiarkan bebas berkibaran diterpa angin. Sementara itu, di
bawah anjungan, anak buahnya bersorak-sorai dengan riuh
tak habis-habisnya.
Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu kapal Kara Baday," dari jauh Tunggasanmudra terus memperhatikan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dapunta Cahyadawasuna yangjuga tak lepas
memperhatikan semua gerakan itu mengangguk, "Tampaknya
... mereka akan memancing terlebih dahulu," desisnya.
-ooo0dw0ooo- Di anjungan sambau, Kara Baday berteriak keras, "Wahai, Saudara-saudaraku," sambil menyapu semua pasukannya
dengan senyum lebar. "Hari ini adalah pertempuran terbesar pertama kita. Kuingin kalian semua melakukannya dengan
sepenuh hati, untuk kejayaan kalian sendiri, juga untuk
kejayaan Sriwijaya!"
Lalu, suara bergemuruh segera menyambut ucapan itu.
Beberapa di antaranya bahkan mengepalkan tinjunya atau
mengangkat pedangnya.
Kara Baday tersenyum melihat ini semua. Tanpa ia sadari,
seorang di antara semua yang ada di situ tampak hanya
terdiam memperhatikan dirinya. Ketika akhirnya Kara Baday
turun dari anjungan, ia segera mendekatinya.
"Kara," Paman Kumbi Jata menarik lengan Kara Baday untuk menepi ke tempat yang lebih sepi. "Mengapa hanya kita yang berada paling depan?" suara bisikannya terdengar sedikit panik. Beberapa hari setelah perintah Panglima Samudra Jara
Sinya kepada Kara Baday untuk menjadi pasukan utama,
sebenarnya Kara Baday sudah menceritakan perihal ini
kepadanya. Namun, waktu itu Paman Kumbi Jata tidak berpikir
bahwa hanya sambau mereka saja yang akan maju ke depan
sendirian. Ini tentu saja terasa janggal. Bagaimana mungkin
kerajaan sebesar Sriwijaya hanya menyerang dengan satu
sambau saja"
Akan tetapi, Kara Baday hanya tersenyum lebar
menanggapi kekhawatiran Paman Kumbi Jata.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tentu saja hanya kita, Paman," ujarnya. "Bukankah kita yang terkuat dibanding yang lain?"
Paman Kumbi Jata terdiam. Ucapan Kara Baday benarbenar mengejutkannya.
"Akan tetapi, Kara," Paman Kumbi Jata tercekat. "Bukankah ini sepertiia tak melanjutkan ucapannya.
Kening Kara Baday sedikit berkerut, "Seperti apa, Paman?"
"Seperti mengumpankan kita, Kara," Paman Kumbi Jata.
"Bukankah kita sudah mendengar berita kekalahan tiga
panglima muda sebelumnya" Sambau mereka bahkan hancur
sebelum melewati rintangan pertama
"Paman," Kara Baday menyentuh pundak Paman Kumbi
Jata, tetap berusaha menenangkannya. "Tentu saja ini tak bisa disamakan dengan kejadian itu. Waktu itu tentulah ketiga panglima muda itu belum siap akan pemberontakan Muara
Jambi. Namun, tidak sekarang. Kita sudah tahu siapa yang
akan kita serang ...."
"Akan tetapi...," Paman Kumbi Jata masih tampak ragu.
"Paman, tenanglah!" Kara Baday kembali menepuk
punggung Paman Kumbi Jata. "Di antara semua panglima
muda yang ada, kitalah yang terbaik. Bukankah kita pernah
mengalahkan satu di antara mereka" Maka itulah, Panglima
Samudra Jara Sinya hanya mengirimkan kita. Ini tentu saja
sudah kupersiapkan dengan baik, Paman. Bukankah Paman
melihat sendiri apa yang sudah kita siapkan?"
Kali ini Paman Kumbi Jata tak menyahut.
"Semuanya sudah kupikirkan masak-masak, Paman. Bila
kemungkinan terburuk kita tak berhasil, tentunya Panglima
Samudra Jara Sinya akan segera membantu kita, bukan?"
Paman Kumbi Jata tetap terdiam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekarang ini aku hanya tinggal meminta waktu untuk
membuktikan kemampuan kita," Kara Baday menatap tajam
ke arah depan. "Kalau kita berhasil melewati ini, kita akan menjadi orang paling penting dalam armada perang Kerajaan
Sriwijaya...."
Paman Kumbi Jata tetap tak menyahut. Dicobanya
menerima apa yang diucapkan Kara Baday. Dan, ini perlahanlahan membuat sinar matanya mulai melunak. Walau
pikirannya masih tampak sedikit ragu, tetapi akhirnya ia
menganggukkan kepalanya perlahan.
"Ya, kupikir, semua hasil yang besar, memang perlu
pengorbanan yang besar juga," gumamnya. Lalu, ia sudah
menepuk punggung Kara Baday. "Kau memang pengambil
kepu-tusan yang berani, Kara. Sungguh, ini mengingatkanku
kepada ayahmu. Dan, aku bangga bisa berada bersamamu
...." -ooo0dw0ooo- Sambau Kara Baday semakin mendekati Minanga Tamwa.
Gerakannya memelan. Hanya beberapa kelokan lagi tibalah
sambau itu ke wilayah Minanga Tamwa. Di belakangnya,
sambau-sambau lainnya tampak berderet diam. Tak ada lagi
bunyi genderang perang. Semuanya membelah sungai tanpa
suara. Akan tetapi, di saat itulah seorang prajurit yang berdiri di pucuk tiang layar berteriak kencang, "Sungai mengecil! Sungai mengecil!"
Kening Kara Baday dan Paman Kumbi Jata segera berkerut,
tak mengerti. "Apa maksudnya?" guman Kara Baday.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, Paman Kumbi Jata tak menjawab, la segera
berlari ke anjungan. Kara Baday hanya bisa mengikutinya dari belakang.
Dari atas anjungan, segera di buangnya pandangan ke
depan. Keterkejutanlah yang kemudian ada di wajahnya. Di
depan sambau mereka kini terlihat lebar sungai tiba-tiba
semakin menyempit dan menyempit hingga membuat lebar
Batanghari menjadi hanya sepanahnya saja.
Sungguh, ini cukup mencengangkan. Sungai sepanjang
ratusan tombak ini, kini tepiannya tampak memiliki keadaan
tanah yang tak lagi alami, jelas sekali bila keadaannya sengaja diuruk dengan tanah yang baru.
'Ada apa ini, Paman?" Kara Baday menatap tak mengerti.
"Aku belum pernah kemari," gumam Paman Kumbi Jata.
"Namun, setahuku Batanghari tak sesempit ini...."
"Apa kita akan tetap melewatinya?" tanya Kara Baday.
Paman Kumbi Jata tak langsung menjawab, ia menoleh
kepada Kara Baday, "Ini sangat berisiko, tepian sungai itu seakan sengaja dibuat...."
Kara Baday mengamati sesaat, baik tepian yang ada di
sebelah kiri maupun yang ada di sebelah kanan. Ia juga
mengamati hutan-hutan yang ada di sebelah tepian itu.
"Namun tampaknya tidak, Paman," akhirnya ia mencoba menyimpulkan. "Tepian ini hanya tampak seperti dibuat, tetapi keadaannya memang seperti itu. Tanaman-tanaman
sepertinya tumbuh di sana." Kara Baday menunjuk. "Paman lihat, tanaman bakau tumbuh dengan lebatnya di sepanjang
tepiannya "Dan, kalau kita amati lagi, di ujung sana tampak ada kayu-kayu gelondongan yang tersebar di tepian sungai. Kupikir
urukan tanah ini dibuat untuk memudahkan pengangkutan
kayu-kayu itu ke daratan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Akan tetapiapakah sepanjang itu?"
"Bila kayu-kayu yang diangkat begitu banyak, mengapa
tidak?" Paman Kumbi Jata tak bisa lagi membantah. Dibuangnya
pandangannya ke depan.
"Sebaiknya, kita mengirim satu perahu mengamatinya,"
ujarnya masih belum yakin.
Kara Baday mengangguk setuju. Segera ia menurunkan
jangkar kapal. Lalu setelah memberi tanda untuk menunggu
pada sambau-sambau di belakangnya, mulai diturunkannya
sebuah perahu kecil dari atas sambau-nya.. Perahu ini hanya
tiga tombak saja panjangnya. Tak lebih dari sepuluh orang
untuk mengisinya. Biasanya setiap sambau memang memuat
hingga dua sampai dua belas perahu kecil untuk
penyelamatan atau untuk memasuki pantai-pantai tanpa
dermaga. Perahu itu segera diisi dengan lima orang prajurit dan
segera meluncur ke depan.
Kara Baday menunggu. Matanya tak lepas memperhatikan
perahu itu bergerak perlahan memasuki tepian sungai yang
menyempit itu. Mereka mengamati dengan saksama. Bahkan,
satu orang di antaranya menyempatkan memegang tanamantanaman bakau yang banyak di tepian.
Tak berapa lama, perahu itu pun kembali.
"Tak ada sesuatu pun yang mencurigakan," ujar salah seorang prajurit ketika sampai di hadapan Kara Baday.
Kara Baday mengangguk. Ia langsung menoleh kepada
Paman Kumbi Jata, "Kupikir waktunya kita maju ke depan, bukan?"
Dengan wajah yang masih tampak ragu, Paman Kumbi Jata
hanya mengangguk pelan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jangkar pun kembali diangkat. Tak lama kemudian, sambau
pun sudah kembali bergerak pelan ke depan. Ia mulai
melewati tepian sungai yang makin menyempit dan
menyempit. "Tentu tak mungkin bila ini buatan!" ujar Kara Baday sambil tersenyum. "Ini terlalu panjang. Bisa mencapai seratus
tombak. Akan butuh waktu bertahun-tahun untuk
menguruknya!"
Sampai beberapa saat sambau bergerak, tak ada sesuatu
pun yang terjadi.
Paman Kumbi Jata menyempatkan melihat ke arah
belakang, "Tampaknya sambau lainnya tak bergerak maju,"
ujarnya. , Kara Baday membuang pandangannya ke belakang,
"Mereka menunggu kita," desisnya.
Beberapa saat sambau meluncur tanpa gangguan apa pun.
Jalur menyempit itu, walau tak terlalu terlihat, seperti sebuah lorong yang semakin lama semakin menyempit. Hingga
akhirnya sambau pun melewati jalur tersempit. Kara Baday
segera berteriak lantang, "Kirimkan tanda, semuanya aman di sini," ujarnya.
Seorang prajuritnya segera berlari ke atas anjungan untuk
memberi tanda. Namun, sambau-sambau yang menunggu di
kejauhan, tetap sama sekali tak tampak bergerak.
"Mengapa mereka belum bergerak juga?" tanya Paman
Kumbi Jata. Kara Baday mengangkat bahu, "Mungkin mereka
menunggu kita sampai di ujung sungai yang menyempit ini?"
Maka, sambau pun kembali bergerak sendiri meninggalkan
sambau-sambau lainnya semakin jauh. Tak berapa lama lagi,
tepian sungai yang menyempit itu tampaknya akan berakhir.
Tinggal satu kelokan lagi. Setelah itu, Kara Baday akan dapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melihat perahu-perahu musuh yang telah berderet di
kejauhan. "Itulah Minanga Tamwa," Paman Kumbi Jata sudah
menunjuk ke sana.
Kara Baday baru akan berujar, tetapi saat itulah ekor
matanya melihat ratusan gelondongan kayu-kayu yang semula
tersebar diam, tiba-tiba bergerak. Beberapa di antaranya
bahkan langsung meluncur mengarah pada sambau dari
semua penjuru! DHUM! DHUUUMH! Sambau terasa oleng menerima hantaman dari kayu-kayu
gelondongan itu. Bila bukan merupakan perahu terbaik,
pastilah sambau ini telah terbalik pada serangan itu. Namun, tetap saja beberapa prajurit yang tengah berada di tepi
sambau harus menjadi korban dengan jatuh ke dalam sungai.
Saat itulah Kara Baday mulai melihat bayang-bayang orang
muncul di tepi sungai dan juga dari balik semak-semak dan
pepohonan di kejauhan. Mereka tampak menarik sebuah tali,
yang ternyata diikatkan pada gelondongan kayu-kayu itu.
Sungguh, Kara Baday sangat terkejut. Namun, belum
selesai keterkejutan itu, ratusan panah tiba-tiba seakan
muncul dari arah langit. Semua mengarah pada sambau-nya.
Wuush .... Wuuush .... Wuuush .... "Ada serangaaan!" akhirnya ia berteriak. Namun, teriakan itu terasa terlambat. Beberapa anak buahnya yang berdiri di
tengah sambau tak lagi bisa menghindar. Anak panah seketika
saja menembus tubuh mereka.
Kara Baday kembali berteriak, "Siapkan perisai! PERISAIII!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seketika kekalutan muncul di atas sambau. Paman Kumbi
Jata segera melompat mengambil sebuah perisai dan
melemparkannya kepada Kara Baday.
"BERTAHAAAN!" ia berteriak. Teriakannya sangat keras hingga terdengar di kejauhan. Seiring dengan itu, seorang
prajurit penabuh genderang segera menalukan nada-nada
cepat, sebagai tanda peperangan!
Perisai-perisai yang sudah disiapkan segera digunakan
untuk bertahan. Perisai yang terbuat dari kayu rotan yang
dipilin melingkar ini sengaja dibuat lebih besar, guna menutupi dua tubuh sekaligus. Seorang untuk pemegang perisai dan
orang kedua untuk mempersiapkan panah balasan.
Berbeda dari kekalutan di situ, di kejauhan sambau-sambau
Sriwijaya lainnya masih terus terdiam, menahan gerakannya.
Sama sekali tak ada tanda-tanda sambau-sambau itu akan
bergerak. Maka tak heran, bila kejadian seperti yang menimpa sambau tiga panglima muda beberapa purnama lalu di Muara
Jambi, seakan kembali terulang. '
Metode serangannya benar-benar nyaris sama. Selesai
dengan hujanan panah-panah itu, beberapa orang tampak
berlari ke tepian tanah urukan itu dan langsung melempar
sesuatu yang menimbulkan asap putih.
Daun upas beracun!
"BERTAHAAAN! SEMUANYA BERTAHAAAN!" Kara Baday
berteriak lantang. Namun, beberapa lemparan daun upas itu
segera jatuh tepat di atas sambau-nya, membuat keadaan
sambau seketika dipenuhi dengan asap putih.
Akan tetapi, keadaan seperti ini sudah diperkirakan oleh
Kara Baday! Maka itulah, masih dalam suasana panik seperti
itu, Kara Badai kembali berteriak, "GUNAKAN KAIN BASAH
KALIAN!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebelum keberangkatannya, Kara Baday memang sudah
memerintahkan seluruh anak buahnya untuk menyiapkan kain
basah di dekat mereka. Serangan pada sambau tiga panglima
muda ketika itu memberitahukan kemungkinan sambau-nya
akan diserang dengan serangan serupa. Maka itulah, tak
berapa lama saja, ia dan anak buahnya sudah mengeluarkan
selembar kain basah dan mengikatnya menutupi hidung
masing-masing. Kain basah memang dapat menetralisasi asap dari racun
daun upas. Maka itulah, tak banyak korban yang terjatuh
karena serangan ini. Namun, sebelum Kara Baday bernapas
lega, tiba-tiba dari arah langit kembali meluncur panah-panah berujung api.
Keadaan yang semula tampak terkendali, kembali menjadi
kacau. Beberapa panah segera menancap di tubuh kapal,
menyisakan api yang terus menyala. Bersamaan dengan itu,
tanpa terlihat dengan jelas, dari beberapa titik di tepian sungai yang menyempit itu, tanah yang semula tampak teruruk itu
tiba-tiba terbuka begitu saja, memunculkan orang-orang
dengan pelontar-pelontar panahnya. Pelontar panah yang tak
jauh berbeda dengan yang biasa digunakan pasukan
Sriwijaya. Kara Baday menelan ludah. Kini tahulah ia mengapa sungai
ini menyempit. Ini memanglah disengaja karena pelontar
panah memang memiliki jangkauan serang yang lebih pendek!
Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kara Baday berteriak geram. Namun, anak panah pelontar
itu sudah meluncur ke arah sambau-nya.. Beberapa langsung
mengenai dengan telak. Walau tak sampai menembus badan
sambau, tetapi panah-panah raksasa yang ujungnya telah
diberi api itu langsung dapat melukai dan membakar sambau.
Tak pelak lagi, api tiba-tiba sudah memenuhi sambau.
Sungguh, ini sama sekali tak diduga oleh Kara Baday. Pada
saat itu, penggunaan panah api dalam pelontar panah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memang belumlah lazim digunakan. Maka itulah, ia sama
sekali tidak mempersiapkan serangan ini.
Pasukannya yang telah terkoordinasi dengan baik seketika
menjadi semakin kacau. Beberapa prajurit yang terbakar
langsung memilih menceburkan tubuhnya ke sungai. Suasana
benar-benar tak lagi bisa terkendali. Apalagi saat layar sambau mulai terbakar hebat, juga bagian buritan!
"BERTAHAN!" BERTAHAAAN!" Kara Baday masih mencoba berteriak.
Paman Kumbi Jata yang menyadari dirinya ada di dekatnya
segera melompat mendekat. "Kita tak akan bertahan terus seperti ini!" ujarnya dengan mata tetap siaga. "Segeralah minta bantuan!"
Kara Baday terdiam sesaat. Sebenarnya, keadaan sambau
ini masih terlihat dari kejauhan. Seharusnya, Panglima
Samudra Jara Sinya bisa membaca keadaan ini dengan jelas.
"Cepat minta bantuan!" seru Paman Kumbi Jata lagi.
Kara Baday tersentak. Tanpa membuang waktu lagi, segera
saja ia berteriak kencang, "MINTA BANTUAN!"
Seorang prajurit dengan langkah tergopoh segera saja
berlari menuju dek sambau tertinggi. Dengan tubuh dikelilingi api, ia segera mengibarkan bendera sebagai tanda meminta
bantuan. Dari kejauhan, di salah satu sambau yang masih tampak
diam itu, Tunggasamudra menatap waswas.
"Dapunta, mengapa kita belum bergerak?" tanyanya.
Dapunta Cahyadawasuna tak menjawab. Ia melirik sambau
utama di mana Panglima Samudra Jara Sinya berada. Namun,
sama sekali tak ada tanda-tanda sambau itu akan bergerak.
Ia pun hanya menggeleng pelan kepada Tunggasamudra.
Perjodohan Busur Kumala 7 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Pendekar Sadis 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama