Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Bagian 2
Akal sehat mendapat kemenangan dalam diri Datuk, la pun
menyusun jari lalu memberi hormat Kini Dja Lubuk dan Erwin juga memberi hormat dengan cara yang sama. Kedua orang kawakan Minang itu kian kagum. Sudah banyak pengalaman mereka di dalam pertempuran. Di berbagai medan laga. Yang sengaja diatur sebagai tempat mengukur kekuatan antar pendekar-pendekar daerah atau di tempat-tempat yang oleh keadaan terpaksa dijadikan medan laga.
Yang begitu hanya terjadi kalau dua orang atau kelompok yang bermusuhan tiba-tiba bertemu dan sama-sama hendak
memperlihatkan keunggulan masing-masing. Datuk dan Koto sudah banyak sekali berhadapan dengan lawan. Secara persahabatan guna menambah pengalaman masing-masing, sekaligus menilai siapa yang lebih unggul. Berkali-kali pula sudah bertarung dengan kelompok yang memang bermusuhan dengan mereka. Tidak selalu mereka menang. Dan kalau kalah, mereka mendapat perlakuan yang amat menjatuhkan martabat mereka. Senjata mesti
diserahkan, begitu pula destar yang merupakan mahkota di kepala tiap pesilat.
"Kami mohon maaf, telah bersikap tidak sopan terhadap Tuan-tuan yang seharusnya kami perlakukan sebagai tamu," kata Datuk.
Kesadaran dan sportivitasnya masih boleh dipuji.
"Kesalahpahaman biasa terjadi di antara orang-orang yang belum saling kenal," kata Dja Lubuk yang berubah kembali jadi manusia.
"Lagi pula Tuan-tuan hanya menjaga agar negeri Tuan-tuan jangan sampai dinodai oleh pendatang-pendatang yang hendak merusak!"
Kata-kata Dja Lubuk kian menambah rasa malu pada Koto dan Datuk. Belum pernah mereka bertemu dengan makhluk-makhluk yang mempunyai hati serendah ini.
"Sudikah Tuan-tuan menerima kami sebagai murid" Kami ini
orang-orang kasar yang masih harus banyak belajar. Belajar adat dan belajar ilmu!" kata Datuk. Tetapi sebagai biasa, Dja Lubuk menolak dengan mengatakan, bahwa ia bukan guru. la dan anaknya hanya petualang-petualang yang bernasib malang.
"Apakah yang Tuan-tuan tuntut dari kami" Kami wajib membayar hutang." Datuk dan Koto menyangka, bahwa sekurang-kurangnya Dja Lubuk akan meminta destar dan pisau yang selalu terselip di pinggang. Yang sudah biasa dibasahi oleh darah lawan-lawan mereka yang ditundukkan. Mungkin meminta supaya mereka
menanggalkan seluruh pakaian. Hanya boleh bercelana dalam saja.
Supaya semua orang tahu, apa yang telah terjadi atas diri mereka.
"Tak ada yang kami pinta. Kami bersyukur, di antara kita tidak sampai terjadi pertikaian yang berkepanjangan. Betapa sayang, kalau sampai ada di antara kita yang harus berpisah dengan nyawa.
Kami hanya mohon ijin untuk diperkenankan meneruskan
perjalanan kami!" kata Dja Lubuk.
Mendengar ini kedua pendekar yang malu, bingung dan amat
terharu itu secara bersamaan menyalam Dja Lubuk dan anaknya.
"Tuan, limpahkanlah sedikit sifat mulia yang ada pada diri Tuan-tuan, supaya kami mulai kini dijauhkan dari kesombongan dan keangkuhan!" kata Datuk dan Koto.
Dja Lubuk memegang tangan anaknya. Datuk dan Koto terkejut heran, karena keduanya mendadak hilang dari pandangan.
Sesungguhnya mereka hanya pergi meneruskan perjalanan.
"Kau harus menemui Mei Lan, anakku. Kau telah berjanji kepadanya," kata Dja Lubuk. "Dia tidak akan tentram sebelum melihat kau kembali."
0odwo0 DELAPAN LENYAPNYA Dja Lubuk dan anaknya, bukan hanya
mengherankan, tetapi sangat mengecewakan Datuk dan Koto. Sikap para tamu yang begitu lembut dan pemaaf terhadap mereka yang mulanya sangat sombong, kasar dan angkuh telah membuat kedua pendekar itu merasa sangat berhutang budi. Bukan hanya nyawa mereka dibiarkan utuh menunggui diri, tetapi secara langsung mereka mendapat pelajaran bagaimana sebaiknya sifat dan
kelakuan insan-insan yang kesemuanya sama-sama hamba Allah di permukaan bumi ini.
"Kita harus menemukan beliau-beliau Koto," kata Datuk,
"walaupun kita terpaksa keluar dari daerah ini. Tidak selesai kalau kita tidak mendapat tanggapan. Kita tadi mohon limpahan sifat-sifat yang baik. Beliau pasti akan memenuhinya, tetapi tentu tidak dengan cara semudah itu!"
Tiap manusia, siapa pun dia ada kelebihan dan ada pula
kekurangannya. Begitulah Koto dan Datuk yang seperguruan pada seorang guru yang dikenal sakti di daerah Bukit Apit punya pula beberapa ilmu yang tidak semua orang pandai memiliki.
Sambil menengadahkan kedua belah tangannya dan menyebut
nama gurunya "Inyiek Jambang," Koto membaca mantera sambil mengikutkan gerak kaki sesuai kehendak kaki itu sendiri.
"Beliau-beliau tidak kelihatan, tetapi masih ada di sekitar sini.
Setidak-tidaknya belum jauh. Kau cium?" tanya Datuk yang juga membaca mantera seperti rekannya. Memang benar, sebagaimana ketika baru tiba tadi mereka mencium bau harimau, kini pun mereka mencium bau itu kembali. Dan kehebatan mereka mencium
diimbangi oleh hadirnya kembali Dja Lubuk dan Erwin sambil bertanya:
"Kupuji ketajaman hidung Tuan-tuan. Tetapi mengapa Tuan-tuan begitu ingin bertemu kembali dengan kami?"
Sesuai adat, kedua pendekar terkenal kawakan itu mengatur sembah sambil berkata: "Kami tadi telah berlaku kurang ajar. Tetapi Inyiek sangat ber-murah hati, begitu juga anak Inyiek. Bolehkah kami mengetahui nama Inyiek yang mulia?"
Dja Lubuk juga mengatur jari tanda membalas hormat.
Jawabnya: "Jangan sebut aku dengan yang mulia. Sebab aku dan keturunanku semua bukan orang mulia. Kami hanya dusun tak bermakna dengan nasib serupa ini pula!"
"Maafkan kami Inyiek. Bagi kami kemuliaan seseorang tidaklah selalu terletak pada keturunan, melainkan dan terutama pada sifatnya. Sifat-sifat itu ada pada Inyiek dan sukar didapat pada kebanyakan orang yang dianggap mulia karena darah dan
keturunan!" kata Datuk.
Dja Lubuk tertawa. dia bisa menerima tafsir kata mulia para pendekar Minang itu. Dalam hati ia bersyukur, bahwa orang-orang ini tidak terlalu buruk. Yang mau melihat dan mengakui kesalahan atau kesilapan masih termasuk orang baik dan mungkin akan menjadi orang yang sangat baik di kelak kemudian hari.
"Apa yang dapat kulakukan untuk Tuan-tuan?" tanya Dja Lubuk.
"Berilah kami ijin mengikuti perjalanan Inyiek selama tujuh hari.
Limpahkan apa yang boleh disedekahkan kepada kami yang masih amat bodoh ini!" kata Datuk merendah.
"Mengikuti aku, walaupun hanya sehari berarti berjalan dengan makhluk yang sudah mati!" sahut Dja Lubuk. Kedua pasilek itu tampak tak percaya.
"Cuma ditakdirkan aku sewaktu-waktu bangkit kembali. Bukan untuk menyusahkan orang," dan tanpa ditanya Dja Lubuk menerangkan lagi: "Untuk anakku ini. Yang dalam hidupnya selalu dilanda badai, walaupun ia selalu berusaha mengelakkannya. Itulah yang dinamakan nasib. Tapi jangan kalian pikir anakku ini pun sudah pernah mati pula, la hampir sama dengan Tuan-tuan!"
"Maksud Inyiek, kalau kami boleh batanyo?" kata Koto.
"Dia tidak sesempurna kalian!" "Kami jadi semakin tidak paham.
Sudilah Inyiek menjelaskan," pinta Datuk.
"Tak penting. Kalian manusia sempurna. Anakku tidak. Kalian telah melihat aku tadi," kata Dja Lubuk. Tanpa dia memandang ke
bumi. Terharu. Kedua pendekar itu kira-kira mengerti, walaupun belum yakin betul, apakah tafsiran mereka benar.
Dan mereka tidak berani bertanya lagi mengenai Errwin. Akan tidak sopan. Bisa melukai hati orang-orang budiman itu.
Tetapi Koto beralih ke hal lain. "Kami yang masih bodoh akan bahagia sekali kalau boleh mengetahui nama Inyiek. Untuk kami sebut manakala kami terjepit!" Dia berterus terang, walaupun Dja Lubuk sama sekali tidak pernah menggambarkan bahwa ia akan sudi membantu kalau dibutuhkan.
"Tuan bijak bersari. Seperti semua cendekiawan Minang. Bijak-bijak dalam berkata, bijaksana dalam berbuat!" kata Dja Lubuk, sementara Erwin sejak tadi hanya mendengarkan. Diam-diam dia belajar mengenai sifat pendekar daerah ini. Yang bisa beringas, tetapi juga bisa memulihkan keadaan kembali.
"Kami tidak bijak Inyiek. Kalau kami bijaksana tidak akan terjadi sengketa yang seharusnya tidak pernah ada. Itulah bukti bahwa kami masih bodoh. Ceroboh dalam kata, ceroboh pula dalam
perbuatan!"
Dja Lubuk menyebutkan namanya. Juga nama anaknya yang
amat sederhana itu. Pendekar-pendekar Minang itu pun
menyebutkan nama. Datuk nan Budiman dan Bahar Sutan
Mangkuto. Ketika Koto dan Datuk mengatakan siapa guru mereka. Dja
Lubuk mengangguk-anggukkan kepala sambil menerangkan, bahwa dia selalu mendengar nama besar yang terkenal sampai ke
Mandailing itu. "Beliau orang saleh," kata Dja Lubuk. "Tak pernah mencederai sesamanya. Nyamuk yang menggigit dihalaunya dengan hembusan. Tidak sampai hati beliau membunuh!"
Apa yang dikatakan Dja Lubuk memang benar. Begitulah sifat-sifat Inyiek Jambang yang sudah tiada, ?tetapi selalu jadi sebutan.
Secara gaib dan tidak sesuai dengan hukum logika biasa, mendadak berdirilah di sana seorang berpostur tinggi, janggut putih panjang dengan misai lebat melengkung ke bawah, sama dengan misai Dja
Lubuk. Pipinya agak cekung matanya tidak garang tetapi
memancarkan sinar yang membuat manusia biasa tak mampu
menentangnya, la berbaju teluk belanga putih dengan celana model pesilat berwarna hitam, kain sarung Bugis tersilang dari bahu kanan ke pinggul kiri. Di kepalanya yang kenal dengan pisau cukur kalau agak panjang sebuah songkok model Aceh yang hanya tampak
ujungnya karena dibalut pula dengan sebuah handuk besar yang selalu putih bersih dan tanpa setitik noda pun.
Dja Lubuk dan Erwin sendiri yang punya begitu banyak ilmu pun tak bebas dari rasa terkejut. Dja Lubuk dan Inyiek Jambang berpandangan, sama-sama tersenyum dan bersalaman. Dua insan yang telah meninggal berjumpa seperti dua orang biasa yang masih hidup normal. Tetapi di antara keduanya toh ada perbedaan yang tidak sedikit, namun tak terlihat oleh mata kasar. Kalau Inyiek Jambang merasakan tangan yang tak ubahnya tangan manusia
hidup, dapat dipegang, dapat diraba maka yang demikian tidak dirasa oleh Dja Lubuk, la melihat dan menjabat tangan guru sakti Bukit Apit itu, tetapi tidak merasa apa-apa.
"Memang kita tak sama Dja Lubuk. Tetapi hati kita tak berbeda.
Dja Lubuk bangkit dalam ujud seperti dulu karena ananda yang amat dicintai. Aku tidak dapat seperti itu. Tetapi ada satu hal yang tak berbeda. Aku pun mencintai tiap hamba Allah. Ingin kedamaian dan ketentraman di antara semua manusia. Tetapi keinginan kita tidak akan tercapai ama manusia masih mempunyai hati sirik, serakah dan tidak sudi menerima kebenaran!" kata Inyiek Jambang.
Lama mereka berbeka-beka, tentang dunia yang fana dan dunia lain yang baqa. Inyiek Jambang juga berkata, bahwa Erwin banyak menderita rli dalam hidupnya, masih banyak lagi tantangan yang menghadangnya. Tetapi Erwin telah dan masih akan banyak
menyelamatkan manusia, la meletakkan tangannya di atas kepala Erwin. Terasa dingin. Memang lain dengan elusan tangan ayahnya.
Lalu kepada Dja Lubuk ia meminta agar suka memberi sesuatu, apa saja, untuk kedua muridnya Datuk dan Koto. Pelajaran yang diberikan Dja Lubuk dengan kata-kata dan cara menghadapi mereka
telah merubah mereka jadi orang-orang yang tidak lagi akan seburuk tadinya. Merasa setaraf dengan guru besar sakti itu Dja Lubuk menerima.
Erwin mencium tangan Inyiek Jambang, walaupun ia tidak
merasa menyentuh sesuatu dan memohon sesuatu yang dapat
dikaruniakan kepadanya.
"Kau sudah mempunyai banyak Nak," kata Inyiek. "Sebenarnya tak ada yang luar biasa padaku untuk diturunkan kepadamu, walaupun aku suka sekali untuk memenuhi keinginanmu. Tetapi aku mempunyai ini sekedar untuk kenang-kenangan bahwa kau
kupandang sebagai cucuku. Cucu orang tua yang pernah ada di tanah Minang ini," lalu Inyiek Jambang memberi Erwin sebuah tasbih.
la mengucapkan selamat jalan kepada Dja Lubuk dan Erwin
dengan permohonan untuk bersedia disertai oleh kedua muridnya.
Lalu berjalanlah kedua manusia harimau dan kedua pendekar itu.
"Kami akan ke Palembang," kata Dja Lubuk yang menambahkan bahwa ia tidak akan turut sampai ke kota itu. Mengantar Erwin ke perbatasan.
"Ijinkanlah kami turut Tuan," pinta Datuk dan Mangkuto.
Dja Lubuk mengangguk dengan menerangkan, bahwa mereka
hanya akan berjalan kaki dan itu cukup jauh. Tetapi kedua pendekar itu, walaupun heran mendengar, tetap mau ikut. Sekaligus apakah mereka dapat menyamai Dja Lubuk dan anaknya ataukah nanti manusia harimau Mandailing itu akan memperlihatkan hal-hal baru yang belum dapat mereka ramalkan.
Mereka mengambil jalan pintas sehingga dalam tempo tidak lama tiba di Solok lalu menuju Sawah Lunto. Dalam perjalanan di daerah yang cukup banyak binatang buasnya inilah, Koto dan Datuk mempersaksikan apa yang belum mereka lihat. Beberapa kali mereka bertemu dengan harimau dewasa yang besar yang
mengejutkan dan mengecilkan semangat Koto dan Datuk, karena
mereka tidak dipersiapkan guru untuk menghadapi harimau,
walaupun mereka punya kepandaian pencak dan silat yang sangat tinggi. Anehnya tidak ada satu pun dari harimau itu yang
menunjukkan amarah apalagi tanda-tanda mau menerkam. Mereka menyingkir, memberi jalan kepada Dja Lubuk yang jalan di depan.
Ada di antaranya yang sujud memberi hormat.
Dalam hati Koto dan Datuk timbul keinginan amat besar untuk nanti mohon diberi ilmu penunduk harimau kepada Dja Lubuk atau anaknya Erwin. Tetapi tatkala pikiran itu timbul, mendadak mereka semua mendengar geram seekor harimau. Hanya geramnya, sang raja rimba tidak menampakkan diri.
Mereka semua yakin, bahwa tidak akan terjadi suatu apa pun, karena dua orang yang ditakuti harimau telah memperlihatkan kelebihan mereka. Dja Lubuk dan Erwin sendiri pun tidak kuatir.
Juga tidak ada firasat.
Tetapi tiba-tiba harimau itu menggeram lebih keras, entah apa maksudnya. Melawan kekuatan Dja Lubuk yang gaib atau meminta supaya mereka jangan melewati kawasannya. Tetapi mereka hanya mau lalu, tidak punya niat lain.
Tiba-tiba harimau yang hampir sebesar lembu dewasa itu
memperlihatkan diri. Belum pernah Dja Lubuk dan Erwin apalagi kedua kawan mereka melihat raja hutan sebesar itu.
la tidak tunduk oleh tatapan Dja Lubuk. Di situ manusia harimau itu mengetahui, bahwa harimau ini bukan harimau biasa. Bahkan barangkali bukan piaraan seseorang. Untuk pertama kali selama riwayat hidup dan setelah matinya Dja Lubuk merasa apa pun yang dihadapinya ini, punya sesuatu di dalam dirinya yang membuat dia merasa kuat kuasa dan tidak mau tunduk kepada siapa pun yang punya kekuatan melemahkan semangat perlawanannya.
"Kami hanya menumpang lewat, mengambil jalan pintas," kata Dja Lubuk, seperti biasanya lembut karena tidak ingin mencari lawan. Harimau itu mendengus keras. Matanya tetap memandang lurus ke mata Dja Lubuk, sehingga orang asal Tapanuli itu kian
menyadari bahwa ia berhadapan dengan harimau yang ingin
bertarung. Mau menguji kekuatan sampai dimana benarkah
kehebatan orang Mandailing yang berani masuk kawasannya itu.
Yang sudah menundukkan dua pendekar dan bersahabat dengan Inyiek Jambang. Dia belum dikalahkan dan dia tidak sebersahabat Inyiek Jambang.
Mendadak harimau sangat besar itu bergerak ke arah kanan, melewati Dja Lubuk yang berdiri tenang di tempatnya. Kini raja rimba itu menghadapi dua pendekar bersama Erwin. Mungkin ia mau memilih lawan yang tidak sekeras Dja Lubuk dulu. la menatap Erwin yang juga menujukan matanya ke si harimau. Tetapi ia segera merasa, bahwa sinar si punya kawasan lebih kuat. Harimau itu bersiap-siap untuk menerkam. Koto dan Datuk tidak dapat melawan rasa cemas. Jelas yang seekor atau yang satu ini lain. Menantang.
Harimau melompat seakan-akan hendak menerkam Erwin, tetapi di udara ia merubah sasaran, menuju Datuk, yang mungkin
diketahuinya tidak punya kekuatan khusus terhadap dirinya. Tetapi mata Erwin secepat kilat menangkap rubah gerakan, la
menghadang, melindungi Datuk, sehingga harimau yang lihay itu terbentur pada pukulan Erwin. Raja rimba itu tidak terpental. Erwin lah yang terjangkang ke belakang. Hanya bisa cepat mengelakkan kuku-kuku sang raja dengan menggerakkan tubuhnya ke arah kiri.
Terkaman yang meleset ini membuat si raja hutan kian marah, la menyerang lagi, kali ini Koto yang dijadikan sasaran. Pendekar itu terpekik, tetapi ia masih luput dari maut. Juga karena Erwin cepat mengambil tindakan, la menangkap kaki harimau yang sedang menerkam ke arah Koto. Kaki itu dipelintir dan ditarik Erwin sekuat tenaga, membuat binatang ganas dan sangat kuat itu menggeram karena menjadi kian marah. Dja Lubuk hanya memperhatikan. Mau melihat sampai dimana kemampuan anaknya. Kekuatan makhluk-makhluk perkasa selalu dicoba oleh yang merasa lebih kuat.
0odwo0 SEMBILAN DJA LUBUK berpikir, siapakah kiranya yang punya harimau ini.
Ataukah dia seseorang yang oleh suatu sumpah atau kutukan menjadi harimau penuh di luar kemauannya. Apakah dia ini pun nanti akan berbalik punya sikap bersahabat seperti Datuk dan Koto yang pada mulanya menyerang dia dan anaknya, karena dianggap punya keberanian masuk ke kawasan mereka tanpa minta ijin mereka terlebih dahulu" Tetapi Datuk dan Koto akhirnya jadi sahabat karena mereka tak kuasa melawan Dja Lubuk dan Erwin.
Apakah ia dan anaknya dapat mengalahkan penguasa daerah ini"
Belum tentu. Bukan saja belum tentu dapat dikalahkan.
Kemungkinan mereka tidak akan keluar dari tempat ini juga ada.
Tak ada yang punya kekuatan tak terbatas di dunia ini, siapa atau apa pun. Sebab, yang mempunyai tenaga tanpa ada batasnya hanya DIA Yang Satu.
Harimau itu marah sekali. Dia pasti telah selalu bertarung dengan sesamanya untuk menentukan siapa yang raja. Boleh jadi pula dengan orang-orang gagah yang berani melanggar kekuasaannya.
Ataukah dia kadang-kadang masuk kampung untuk mengadu
tenaga dengan yang dinamakan jago harimau-harimau pilihan punya kebiasaan mengintip orang berlatih atau berguru silat.
Melihat cara dan gaya mereka menyerang serta mengelakkannya.
Harimau yang pintar sangat mengetahui, bahwa kalau ia sampai berhadapan dengan pandai silat kawakan, maka ia benar-benar harus punya ilmu pula. Mereka tahu, bahwa pandai silek yang punya semangat tinggi, tidak mudah dikalahkan. Mereka bisa meletihkan harimau dengan kepintarannya mengelakkan serangan. Kalau
harimau letih kian marah, maka serangannya sudah tidak teratur lagi. Jika sudah sampai begitu, maka terbukalah kesempatan bagi si pendekar untuk membunuhnya dengan pisau yang tak pernah
tertinggal di rumah atau di gelanggang. Jantungnya akan tembus atau sepanjang perutnya akan robek. Kalau sampai begitu, maka betapa besar pun kekuatannya, ia akan tewas. Kematian harimau besar oleh keunggulan seorang anak manusia akan menjatuhkan citra raja rimba. Akan berkurang rasa segan manusia kepada mereka.
Selama dia berhadapan dengan lawan, belum pernah mengalami kakinya ditarik dari bawah ketika dia sedang melayang di udara.
Karena tarikan ini jadi bertentangan dengan arah lompatnya maka terasa sakit. Apalagi dipelintir pula. Tahulah ia bahwa lawannya ini, meskipun kelihatan masih sangat muda mempunyai sesuatu yang jarang dimiliki oleh pendekar lain. Dan ini harus benar-benar diperhitungkan oleh sang harimau yang mau menjaga martabat bangsa dan kawasannya.
Dia yang rupanya bisa menahan diri, dia tidak langsung
menerjang lagi. la pergi beberapa meter jauhnya dari manusia-manusia itu. Dia berdiri di sana menghadapi Erwin, karena hanya dia yang menahan dan menyerang. Yang lainnya tidak
dimasukkannya dalam perhitungan. Diam-diam dia juga kagum pada sikap mereka. Ada empat orang, tetapi hanya satu yang bertarung. Yang lain tidak mengeroyok. Padahal mata tajamnya melihat jelas bahwa yang tua itu punya Umu dan yang dua orang lainnya pasti pendekar Minang. Itu mudah dikenalnya, karena sedaerah atau katakanlah senegeri.
Dja Lubuk dan Erwin juga tahu, bahwa harimau itu sedang
berpikir dan berhitung, cara apa yang terbaik dilakukannya. Mundur berarti pengecut. Meneruskan perkelahian tidak boleh sembarangan. Yang dihadapi jelas bukan lawan yang mudah mengalah bahkan mungkin tidak mudah atau tidak dapat dikalahkan. Karena badannya luar biasa besar, sehingga menjadi yang amat dihormati bangsanya di kerajaannya itu, ia merasa wajib mempertahankan martabatnya, la harus mampu mengalahkan para pendatang itu. Dia tahu resiko-nya. Mungkin harimau itu pun berharap supaya orang-orang mengambil langkah mundur lalu meneruskan perjalanan.
Dalam hal demikian barangkali ia akan membiarkan. Dia tidak kalah, malah sudah memaksa mereka pergi.
Celakanya, Erwin tidak mau berspekulasi. Khawatir harimau itu malah jadi menyangka mereka takut. Harimau senang menerkam orang takut. Dari cara harimau itu menyerang, dapat diketahui bahwa dia sangat mengenal orang yang paling lemah
mempertahankannya. Makanya dia memilih Datuk dan Koto.
Memang dia bukan harimau biasa. Dia pasti punya kelebihan dari harimau lain. Apakah dia berasal dari manusia atau memang harimau liar, yang pasti dia banyak isi.
Erwin meminta Datuk dan Koto menyingkir ke belakang ayahnya.
Dan kedua orang itu menurut, karena itulah yang terbaik.
"Kami hanya mau menumpang lalu Rajo Ba-lang, tetapi kalau Rajo tidak mengijinkan, silakanlah membinasakan kami," kata Erwin.
Mungkin harimau itu mengerti apa yang dimaksud Erwin yang sambil berkata mengambil sikap untuk menyambut serangan.
Si harimau masih berdiri saja, seperti ragu-ragu, atau
menimbulkan kesan pada lawannya bahwa dia ragu-ragu. Supaya lawannya agak lengah. Menerkam musuh yang lengah jauh lebih mudah dari yang sedang bersiap siaga.
"Aku menunggu, kalau itu yang Rajo ingini," kata Erwin. Kini menantang.
Harimau itu mengeram, rupanya dia menahan emosi. Supaya
jangan menerkam dulu. Menanti kesempatan yang agak baik. Dan untuk itu dia berpikir.
Pelan-pelan harimau itu membalik, seperti hendak pergi. Dan Erwin juga menyangka bahwa dia lebih suka memilih jalan damai.
Seperti Datuk dan Koto di Panorama tadi.
Tetapi pada detik-detik berikut, raja rimba itu mendadak
berputar, merendahkan badan lalu melompat ke arah Erwin. Yang memang tidak menyangka harimau punya akal selicik itu. Dia belum pernah menemukan lawan seperti ini. Dja Lubuk dan kedua
pendekar Minang juga kaget, karena mereka pun menyangka,
bahwa harimau itu tidak ingin meneruskan pertarungan.
Erwin melempar diri ke kiri, tak urung kaki depan kanan hewan itu sempat juga menampar ke arah dirinya. Erwin yang tadi sudah mengenal cara menyerang si perkasa hutan sempat pula
menangkap kaki kanan itu di atas kuku, pasti pergelangan kakinya
itu. Sekali dia pelintir, sehingga binatang itu hilang keseimbangan.
Dengan tenaga dalam Erwin menolakkan binatang itu sehingga terhempas berdebab ke bumi. Dja Lubuk menarik napas lega dan bangga. "Hebat kau anakku," gumamnya. "Sudah melebihi aku."
Sang raja hutan bangkit dengan hati penuh amarah dan
dendam, tetapi sekaligus tambah menyadari bahwa dia berhadapan dengan lawan yang sangat tangguh. Yang benar-benar di luar perhitungannya. Sekali lagi, tanpa diduga oleh Erwin dan Dja Lubuk, harimau itu melangkah ke arah lain lalu melompat ke tubuh Koto yang berdiri di belakang Dja Lubuk. Tetapi sekali lagi ia kecewa, karena Dja Lubuk segera menarik Koto sehingga si raja rimba menerkam tempat kosong. Koto gemetar, begitu pula Datuk. Kedua orang ini lebih takjub, karena si harimau dengan sengaja mencari mangsa yang diyakininya dapat dibinasakan. Kedua pesilek itu kini menganggap bahwa harimau yang seekor ini pun bukan harimau biasa. Jangan-jangan seperti Dja Lubuk yang sudah mereka
saksikan sendiri bagaimana dia dari manusia biasa berubah jadi harimau berwajah manusia. Tetapi di samping rasa takut, mereka juga masih punya harga diri. Bagaimanapun mereka pendekar yang punya nama cukup tenar. Akan sangat memalukan, kalau hanya berlindung pada Dja Lubuk dan Erwin. Mereka harus melawan, walaupun harus ditebus dengan nyawa. Rasa malu dan harga diri inilah yang membuat kedua murid Inyiek Jambang sekarang
mengambil sikap untuk membela diri. Si raja hutan melihat. Kedua pendekar senegerinya itu telah bersiap dengan jarak satu meter di antara masing-masing. Kedua-duanya pula memegang pisau,
tandanya punya hasrat untuk merobek dada atau perut si harimau kalau terbuka kesempatan untuk itu.
Lain yang terpikir oleh Dja Lubuk dan Erwin. Karena kedua orang itu dipercayakan Inyiek Jambang kepada mereka untuk turut sama berjalan, mereka tidak mau sampai terjadi sesuatu atas diri Datuk dan Koto.
Bagi si harimau, membinasakan seorang raja pun rupanya sudah akan lumayan daripada ia mungkin tewas tanpa menimbulkan
cedera. "Bunuh Koto, bunuh," teriak Datuk ketika harimau itu mengambil ancang-ancang lalu melompat menuju Datuk, yang cepat
merendahkan diri sementara Koto menusuk dan menarik pisaunya ke samping tubuh si harimau. Harimau itu menggeram keras, tetapi luka itu tidak cukup dalam untuk mengurangi tenaganya. Itu sudah suatu prestasi bagus dan menambah semangat Koto. Datuk juga besar hati karena ia dapat mengelakkan serangan si harimau. Kalau kaki binatang dengan kukunya yang sangat tajam dan kuat sampai dapat merobek muka atau bahunya maka dia akan binasa, setidak-tidaknya cacat untuk seumur hidup.
Datuk dan Koto cepat mengambil posisi menghadapi sang
harimau kembali, sebab tahu bahwa mereka kini yang jadi sasaran amarah. Raja rimba itu pasti bertekad untuk membunuh mereka, la tidak segera menyerang, khawatir akan terjadi seperti tadi lagi.
Meleset, malah ia yang terluka. la mengendurkan otot-ototnya berjalan setengah lingkaran. Datuk dan Koto menyesuaikan gerak langkah mereka dengan si raja rimba. Dja Lubuk dan Erwin mundur untuk memberi ruang gerak kepada kedua pendekar yang telah melonjak semangatnya itu. Demi kehormatan dan terutama demi keselamatan.
Pada waktu itu pula terjadi keanehan, sekurang-kurangnya bagi Koto dan Datuk. Di sana sini telah berdiri harimau-harimau yang tentu baru datang. Dan mereka hanya memandangi, mungkin
dengan perasaan tegang. Entah mengharapkan kemenangan si raja entah mendoakan kematiannya, kalau ia raja yang tidak disukai. Di dunia manusia dan hewan sama saja. Yang jahat dan serakah dibenci, diharapkan lekas mampus. Yang disayangi dan dihormati hanya yang adil dan punya timbang rasa terhadap yang tidak sekuat dia.
Setelah mendapat posisi yang baik harimau itu berdiri tenang dulu, memandang sabar ke depan dan juga ke sekitarnya sehingga jelas baginya, bahwa anggota masyarakat daerahnya sedang
menonton. Dia yang tahu dirinya disukai atau tidak, juga menyadari
apa yang diharapkan oleh harimau-harimau lain itu. Mereka semua akan tambah takut dan tunduk kepadanya kalau dia keluar sebagai pemenang, tetapi ia akan dipencilkan dan diejek kalau kalah dalam pertarungan.
Ketika dia bersiap untuk menerkam, Erwin pun sudah mengubah tempatnya berdiri, bersiap siaga. Ketika raja rimba yang amat marah itu melompat ke arah Koto, ia pun turut melompat.
Kecepatannya melebihi si harimau, la memagutkan tangannya erat-erat ke leher raja hutan itu, ketika ia masih di udara, sehingga Koto sempat mengelak dan bahkan merunduk menikamkan pisaunya ke perut si harimau. Untung tikaman itu tidak mengenai kaki Erwin yang kedua-duanya menjepit perut si harimau dengan kuat, supaya ia jangan sampai dilemparkan oleh binatang yang tidak menyangka akan dapat serangan secara itu. Kedua tangan Erwin dicekikkan dengan seluruh tenaga ditambah tenaga dalam.
Ketika tiba di tanah harimau itu mengerahkan segenap tenaga untuk membebaskan diri, tetapi tidak berhasil. Cekikkan Erwin membuat harimau itu mulai sulit bernapas, tambah sesak karena cekikan itu mengencang terus.
Datuk dan Koto mau datang membantu, tetapi Dja Lubuk
melarang. "Tidak adil kalau dia dikeroyok. Biar mereka selesaikan berdua!"
kata si manusia harimau tenang. Harimau-harimau yang jadi penonton kelihatan tegang melihat adegan yang belum pernah mereka saksikan. Mereka pasti selalu melihat pertarungan antar sesama harimau yang saling bermusuhan atau berebut betina, pun mungkin pernah melihat bangsanya bertempur dengan manusia.
Yang dibekali ilmu atau yang tidak berdaya sama sekali. Tetapi belum pernah melihat seorang manusia melompati harimau yang sedang menerkam lalu mencekik lehernya sehingga raja yang terkenal sangat kuat itu melemah.
Inilah pertama kali Erwin mengeluarkan seluruh kekuatan
tersembunyi yang ada, yang hanya pada saat seperti itu pula baru dapat dikerahkan. Harimau itu masih berdaya upaya membebaskan
diri. Dengusnya pun sudah melemah, kemudian dia tak melawan. Di waktu itu Erwin bukan mengetatkan cekikan, tetapi malah
melonggarkannya. Datuk dan Koto datang dengan pisau terhunus, tetapi Dja Lubuk melarang. Jangan membunuh penguasa yang
sudah tidak berdaya itu. Si harimau pun tahu rupanya bahwa lawannya itu tidak menghendaki nyawanya. Dengan begitu dia pun sadar, bahwa ia masih hidup karena diperkenankan hidup. Mungkin di dalam hati ia malah minta ditewaskan saja karena malu pada masyarakat sebangsanya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya.
Yang amat mencengangkan Datuk dan Koto adalah tindakan
Erwin selanjutnya, la memberi minum binatang itu dari botol berisi air putih yang dibawanya untuk persediaan di jalan. Dja Lubuk senang memandangi sikap anaknya yang sama dengan dia, penuh kasih sayang kepada tiap makhluk yang dikarunia nyawa oleh Tuhan. Yang memberi hak hidup bagi tiap insan dan makhluk.
Setelah Erwin dan Dja Lubuk mengelus-elus kepala si raja rimba yang dikalahkan. Datuk dan Koto turut berbuat sama, walaupun belum mengerti benar, mengapa binatang yang begitu ganas dan terang-terangan hendak membunuh mereka masih diberi
kesempatan untuk hidup. Dan dengan begitu punya kesempatan lagi untuk melakukan pembunuhan terhadap orang-orang tiada berdosa.
Di Sawahlunto mereka mendapat cerita dari seorang yang sudah sangat lanjut usia, bahwa memang di sana ada seekor harimau luar biasa besar, yang selalu murka, la sangat membenci manusia, karena dia pun asalnya manusia yang jadi harimau karena
perbuatan manusia juga. Namanya dulu si Kalek.
0odwo0 SEPULUH SEMASA hidupnya si Kalek ini seorang pesilat dan pendekar terkenal juga di daerah Sawahlunto sampai ke Solok dan Sijunjung.
Tetapi dia hanya seorang miskin. Sudah sejak kecilnya begitu.
Bahkan turun-temurun. Yang diketahui orang, sejak kakeknya memang mereka keturunan orang miskin. Dari dulu anak beranak hanya berkuli di ladang, sawah atau kebun orang. Mereka rajin, tetapi penghasilan mereka hanya cukup untuk makan dan
barangkali setahun sekali ganti pakaian baru. Kakeknya juga pesilat, juga terkenal ke daerah sekitar, la bahkan guru, tetapi tidak menentukan bayaran bagi yang belajar padanya. Yang belajar pun hanya anak-anak tidak mampu. Sesekali memberinya beras atau sedikit uang. Dan kakek si Kalek sudah puas dengan keadaan begitu. Ada orang yang menasihatkan dia untuk ke luar daerah, menjadi guru, tetapi ia tidak mau meninggalkan kampung
halamannya" "Saya lahir di sini, akan berkubur di sini juga,"
jawabnya dan ia memenuhi janji, la meninggal di kampung tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, dikuburkan di sana. Menjadi buah bibir masyarakat beberapa waktu lamanya, bahwa Pak Ipin tutup mata dengan tenang sambil tersenyum. Sampai sudah dimandikan dan akan dikafani ia tetap tersenyum. Seolah-olah ia puas hidup dan puas meninggalkan dunia ini. Barangkali pun bukan sekedar seolah-olah, tetapi sebenar-benarnya puas. la terima dunia sebagaimana adanya, dan orang yang dapat berhati lapang begitu pastilah merasakan kepuasan. Dan orang semacam itu pastilah pula merasa bahagia.
Pak Ipin meninggalkan tiga orang anak, ketiga-tiganya laki-laki.
Yang tertua dan kedua jadi orang surau, yang ketiga, Binur mengikuti jejak ayahnya, jadi pesilat. Seperti ayahnya, ia dan istrinya juga hidup dari berkuli dan pemberian beberapa murid yang sangat tidak seberapa jumlahnya, la pun rajin bekerja, merasa hidup hanya pas-pasan. Orang pun menasihatinya untuk meninggalkan kampung, merantau. Mengadu untung di negeri orang. Dengan bekal kepintaran lumayan dalam ilmu persilatan ia bisa mencari pekerjaan sebagai centeng atau sebagai guru silat. Di luar kampungnya sendiri, mungkin ia akan diambil sebagai guru oleh keluarga mampu yang tidak mengetahui bahwa ia turun-temurun miskin. Masih banyak orang yang menilai kepintaran si miskin seimbang dengan kemiskinannya, sehingga sulit mendapat
kemajuan dan perbaikan nasib.
Tetapi sama halnya dengan Pak Ipin orang muda yang berpikiran sangat sederhana dan bahkan kolot ini pun tidak mau beranjak dari kampung.halamannya. Diapun mungkin sangat keliru mempunyai prinsip "di sini dilahirkan, maka di sini juga aku akan dikuburkan."
Dari hanya berdua dengan istrinya, Binur pun setelah beberapa tahun dikaru nia anak. Seperti semufakat, dengan ayahnya ia juga mendapat tiga orang anak, hanya saja tidak ketiga-tiganya laki-laki.
Yang tertua perempuan yang dua lainnya laki-laki. Yang bungsu diberi nama si Kalek dan dialah yang belajar silat pada ayahnya.
Ternyata ia mempunyai bakat yang baik sekali. Lompatnya bisa sejauh lompat harimau, berbaliknya secepat itu pula. Namanya segera terkenal, lebih terkenal daripada ayah dan kakeknya. Daerah yang dijangkau namanya lebih luas daripada yang pernah dicapai kakeknya, I pin, dan ayahnya, Binur. la selalu diundang untuk memperlihatkan ketangkasannya di tempat-tempat orang
mengadakan pesta perkawinan, khitanan atau upacara adat.
Beberapa perkumpulan silat di luar kampungnya mengundang dia untuk adu kemahiran. Beberapa kali ia memperoleh kemenangan.
Kalau orang-orang yang berjiwa sportif kagum dan senang atas kemenangan Kalek, karena mengangkat nama kampungnya, maka tidaklah demikian halnya dengan anak-anak orang kaya atau kalangan atas yang mempunyai hati khisit dan dengki. Mereka menganggap tidak layak orang semiskin si Kalek mendapat
kemenangan. Tidak sesuai dengan derajatnya. Si miskin harus kalah. Itulah yang layak bagi mereka. Dan yang kaya atau anak orang bernama harus senang. Seolah-olah itulah hukum yang adil dan harus berlaku.
Diam-diam beberapa orang, termasuk orang tua yang anaknya kalah, merasa tidak senang dengan si Kalek. Dalam usianya yang baru dua puluh empat tahun ia sudah pernah diundang ke
Mamnjau, sudah mengembara sampai ke Lubuk Sikaping. Sudah ke Bonjol dan Rao. Malahan sudah pernah dua kali ke Tapanuli. Yang sekali ke Gunungtua dan yang lainnya ke Kota Nopan. Di sana pun
ia memperoleh kemenangan, sehingga namanya kian tenar.
Mungkin dia belum berhadapan dengan yang dinamakan si Dja Bopong yang terkenal sampai ke Aceh karena silat harimaunya.
Barangkali dia belum berkenalan dengan Ayam Kinantan Padangbo-lak yang dengan tangan kosong dapat menebas putus leher seorang perampok yang mengganas ke kampungnya. Tetapi bagaimanapun ia tentu diuji orang dengan bukan yang sembarangan. Dan ia berhasil keluar sebagai pemenang, la membawa banyak hadiah sehingga Kalek dan saudara-saudaranya dapat membeli pakaian yang baik dan mampu memperbaiki gubuk mereka yang sudah
hampir roboh. Beberapa penduduk yang semula meremehkan si Kalek, kini
mengubah sikap. Sudah jelas ia mengangkat nama kampung, maka selayaknyalah ia dihargai. Mereka adalah orang-orang yang mau mengakui kenyataan dan mengubah cara yang tidak benar selama ini. Tetapi tidak semua orang mau mengakui kenyataan. Orang-orang sirik tetap saja sirik, bahkan bertambah benci kepada Kalek.
Mereka memikirkan cara bagaimana menyingkirkan orang yang menusuk mata mereka itu. Betapa gila dan jahat! Orang yang hanya se si Kalek, yang menang bertanding silat tanpa merugikan siapa pun hendak dibinasakan. Mereka tidak tahan melihat orang yang biasa miskin ini tidak bergubuk miring lagi. Mereka sakit hati melihat kedua orang kakaknya bisa berganti baju dan kain yang lumayan.
Kalek tahu, bahwa ia di benci dan bahwa ada orang-orang yang hendak meniadakannya dari kampung itu. Jalan yang paling aman baginya ia pindah dari sana, kalau ia tidak mau dipindahkan orang-orang berhati jahat itu ke dunia lain, dari mana ia tidak akan pernah kembali.
Semula orang-orang busuk ini menyewa pesilat kampung lain untuk menyergap si Kalek, tetapi sudah tiga kali gagal. Ketika ketahuan, bahwa ada orang luar masuk kampung dan mencoba
membunuh si Kalek, maka si penyergap berkata, bahwa ia hanya hendak mencoba sampai di mana kekuatan orang hebat itu.
Ternyata benar ia handalan. Dengan begitu saja, perkara jadi
selesai. Suatu kali tiga orang kuat kampung, bersekongkol mengeroyok si Kalek. Tiga lawan satu mustahil mereka akan kalah. Tetapi kemustahilan itu yang justru terjadi. Kalek dengan matanya yang tajam, walaupun dalam gelap, sempat mengenali mereka. Yang seorang bernama si Buyung Bagak, anak seorang Datuk yang
terkenal kaya sejak nenek moyangnya. Dia memang punya
kepandaian lumayan ditambah dengan mulut besar dan sikap
sombong. Ini juga bisa jadi modal dalam menghadapi orang tak punya. Walaupun kebolehannya melebihi diri si orang kaya. Kedua orang kawan Buyung Bagak juga pesilat-pesilat pemberani. Kalek tahu bahwa mereka ini bukan sekedar mau mengganggu. Mereka mau membunuhnya. Supaya Kalek yang menyakitkan mata mereka itu, tinggal nama. Besok orang akan menanam tubuhnya yang sudah binasa dan sukar dikenali.
"Kalek, akhirnya basuo juo. Kini baru ang ba-suo lawan nan sabananyo!" bentak si Buyung Ba-gak. Harapannya bahwa si Kalek akan gemetaran, tidak berhasil. Si Kalek sudah lama tahu bahwa pada suatu saat orang ini akan menyergapnya. Dia sendiri berpikir bahwa yang begitu tidak perlu terjadi. Dia terlalu tidak ada arti untuk disingkirkan dengan cara yang begitu keji. Dia tahu diri, sadar bahwa dia miskin dan tak pernah berani mengada-ada.
"Jangan Tuk," kata Kalek dalam bahasa Minang, walaupun orang itu bukan Datuk, hanya anak seorang Datuk. "Saya terlalu kecil untuk jadi lawan Datuk nan Bagak," katanya merendahkan diri guna menghindari perkelahian.
"Jangan menyindir, monyet. Kau hendak mengatakan, bahwa aku terlalu kecil untuk jadi lawanmu. Begitu maksudmu. Jangan berpura-pura!"
Bersamaan dengan itu Buyung Bagak melompat dengan satu
terjangan yang dengan mudah dielakkan oleh Kalek, sehingga si garang hanya menendang tempat kosong. Kedua kawannya
menanti aba-aba untuk turut ambil bagian.
"lyo hebat ang, Lek," kata Buyung, sudah berhadapan lagi dengan Kalek.
"Saya mohon, saya tidak mau berkelahi dengan Datuk!" pinta Kalek. Dalam hati si Buyung merasa senang dipanggil Datuk, namun dia tetap mau membinasakan orang kecil yang dianggapnya orang berlebih di kampungnya itu. Orang seperti si Kalek tidak boleh tinggal di sana. Lain halnya kalau dia hanya kuli atau penarik pedati.
Tetapi si Kalek ini, menurut Buyung memang macam-macam. Mau bersilat segala! Itu kan bukan untuk orang semacam dia.
Sekali lagi Kalek mengatakan, bahwa ia tidak mau berhadapan dengan Buyung Bagak, tetapi anak orang kaya yang sangat
sombong itu berkata, "Kau takut" Aku ingin melihat darahmu menyiram bumi ini Kalek. Dia pasti akan jadi lebih subur. Dan aku tak rela kau turut menguras beras kampung ini."
Buyung Bagak memberi aba-aba, tetapi Kalek yang tajam mata dan telinga, sejak tadi sudah tahu bahwa ada dua orang lagi yang hendak membunuhnya. Tiga lawan satu, bukan suatu perkelahian yang seimbang. Tetapi kalau sudah tidak dapat dielakkan, orang mesti mempertaruhkan nyawanya kalau tidak mau mati dengan embel-embel konyol.
Udin dan Itam serentak menyerang, tetapi Kalek mengelak
dengan gaya yang begitu rapinya sehingga kedua penyerang itu nyaris bertubrukan. Buyung Bagak mencabut pisau belatinya, la ingin pertarungan ini segera selesai. Dan cara yang paling singkat tentulah dengan menusuk jantung Kalek dengan pisau yang sudah pernah ditanam selama tujuh Jumat. Menurut orang pandai yang menjam-pi dan menanamnya, tergores saja sudah akan
Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menimbulkan luka yang tidak akan bisa disembuhkan. Akan
membusuk dan akhirnya berulat.
Pertempuran sudah agak kacau. Sesekali tendangan Itam makan rusuk si Udin. Pada satu kali tusukan Itam dengan dua jari sekeras besi malah masuk tepat di bawah bahu Buyung Bagak. ia berteriak kesakitan. Kalau jari itu berisi pasti akan menembus dan
meninggalkan dua lubang seperti dilanggar peluru. "Calieklah
kawan," hardik si Buyung. Maksudnya supaya si Itam melihat kawan, jangan sembarang tusuk.
"Indak sangajo Tuan," sahut Itam, takut oleh salah tusuk itu.
Melawan tiga orang tidak mudah, tetapi tiga orang menyerang satu orang juga tidak mudah. Apalagi pandai silat yang telah mempunyai banyak pengalaman. Walaupun serangan dengan niat bulat untuk membunuh baru sekali ini dialaminya.
Kalek menganggap, bahwa yang harus lebih dahulu dirubuhkan adalah kedua orang bayaran Buyung Bagak, yang bagaimanapun lebih suka selamat daripada jadi korban. Mereka tidak punya kebenci-m sebesar yang dipunyai Buyung terhadap diri Kalek.
Mereka pun mau membantu Buyung karena diyakinkan, bahwa
mereka bertiga pasti dengan mudah dapat membinasakan orang kecil ini. Dan tidak ikan ada perkara. "Itu dijamin," kata Buyung yang merasa dapat turut menghitam-putihkan kampung itu seperti ayahnya.
Dengan tenang sehingga terarah Kalek menyerang ke dua kawan Buyung yang lebih banyak bermodal keberanian daripada
kepintaran. Beberapa tendangan dan pukulan Kalek tepat mengenai sasaran. Perut, dada, leher dan kepala. Juga rusuk tidak luput dari tendangan keras. Buyung juga mengetahui, bahwa Kalek
mengutamakan serangan kepada kedua orang bayarannya dan
mengapa dia bermuslihat begitu. Dan dugaannya memang tepat.
Karena tak lama kemudian yang seorang telah berteriak terus terang bahwa dia tidak mau kehilangan nyawanya. Yang lainnya juga tidak mampu bertahan lama. Padahal kedua-duanya, sama dengan Buyung Bagak, juga sudah mempergunakan pisau hendak membunuh lawan yang masih saja bertangan kosong itu. Tidak satu pun sambaran atau tusukan pisau mereka yang memakan Kalek.
Pada suatu kesempatan hampir senjata makan tuan. Kalek berteriak supaya orang-orang bayarannya jangan lari, tetapi tidak dihiraukan.
Kini tinggal Buyung Bagak sendiri. Mau lari juga karena
keyakinan tidak tersua dalam kenyataan, masih punya rasa malu.
Dalam bertarung dengan hati bimbang itulah Kalek menangkap pergelangan-nya yang sedang menghunus pisau. Dengan teknik tinggi ia membuat ujung pisau itu berbalik kepada pemegang dan pada saat berikutnya mata pisau menggores lengannya, langsung mengucurkan darah. Buyung pucat dan takut. Bukan oleh rasa sakit tetapi oleh ingatan bahwa luka yang disebabkan pisau itu tidak dapat disembuhkan. Akan membusuk dan berulat.
"Lain kali kita jumpa lagi," kata Buyung Bagak lalu lari. Kalek tidak mengejar. Apa yang terjadi seharusnya cukup untuk jadi pelajaran bagi ketiga orang penyerangnya itu. Meskipun tidak sampai cedera, Kalek merasa sangat tidak tentram. Kehadirannya di kampung itu pasti tidak akan tenang lagi. Buyung Bagak akan penasaran sebelum membinasakan dia. Walau begitu ia bertahan.
Dengan dalih luka dalam suatu pertandingan persahabatan.
Datuk nan Diateh mengobati luka maknya Buyung Bagak. Dia pun tahu, bahwa luka itu oleh percobaannya membunuh Kalek. Orang yang terus ketakutan itu merasa heran, dalam tempo tiga hari lukanya sudah kering. Bukan karena pengobatan yang hebat, tetapi karena pisau itu sama sekali tidak punya kekuatan untuk
menimbulkan luka seperti yang dikatakan si penjampi dan
penanamnya selama tujuh Jumat.
Kali ini Buyung tidak mau gagal, la menemui pesihir yang akan dapat membinasakan Kalek untuk selama-lamanya. Mau
bagaimanapun boleh. Kata orang, pesihir itu sangat luar biasa.
Sudah banyak buktinya. Buyung Bagak bersiul-siul karena orang kecil yang menjadi duri di mata dan pikirannya itu akan binasa.
0odwo0 SEBELAS ORANG setengah baya bertubuh kerempeng itu jangan
diremehkan. Sebab dialah Sutan Imbalo, orang terkenal dan ditakuti yang konon bertempat tinggal di Kamang Bukittinggi, Kabupaten Agam. Meskipun beralamat di kampung yang pernah sa-ngat
terkenal dengan durian tebal berwarna ke-emasan yang tak mudah dilupakan oleh penggemarnya, namun tidak mudah orang
menemukannya di sana. Ketidakpastian di mana dia sebenarnya selalu makan dan tidur membuat dia lebih terkenal lagi sebagai manusia misterius dengan kepintaran amat tinggi dalam ilmu sihir yang konon dipelajarinya di Tibet, la memang pernah tinggal di kawasan itu, kemudian hijrah ke Nepal dengan serdadu Gurkha-nya yang amat mahir mempergunakan kukri, pisau tebal membungkuk yang dapat mengenai sasaran dari jarak berpuluh meter. Tepat di jantung. Si pandai sihir ini juga jadi ahli batu-batuan dengan segala macam cerita mengenai khasiat atau sialnya. Kalau ia duduk di antara para pedagang batu-batuan Nepai yang berjejer di kaki lima Penang, Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok dan juga di kota-kota besar Indonesia, maka sungguh susah membedakannya dari mereka yang rata-rata punya wajah khas intara Cina dan Birma.
Buyung Bagak menyampaikan maksudnya tanpa banyak variasi, la ingin agar orang, yang katanya tak tahu diri di kampungnya itu, bernama si Kalek, dihukum supaya ia tahu adat.
"Jangan dimatikan," pinta Buyung seolah-olah orang yang selalu punya rasa kasihan terhadap sesamanya.
"Hah, tidak dilenyapkan" Orang yang banyak lagak dan tidak disukai lebih baik dibuang saja dari dunia ini," kata Sutan Imbalo.
"Jangan Sutan, kasihan. Dia pun memperoleh nyawanya dari Tuhan, sama dengan kita. Tak baik membunuh sesama manusia!"
"Tuan terlalu pemurah. Pernahkah dia dulu berjasa pada Tuan makanya tidak sampai hati melenyapkan dia?"
"Tidak, kepantangan saya menerima jasa dari orang semacam dia."
Setelah berpikir sebentar. Sutan Imbalo bertanya, hendak
diapakan si Kalek yang tidak tahu adat ini.
"Diubah saja menjadi binatang! Saya dengar Tuan sanggup melakukannya. Saya rasa itu pantas bagi dia. Tidak cukup penting
untuk dibunuh!"
"Hmm, mau dihukum berkepanjangan" Itu perkara kecil! Kata Tuan hendak diubah jadi binatang. Boleh. Bukan kerja berat.
Bahkan lebih mudah daripada membunuh. Dijadikan cacing" Atau ular" Atau kita jadikan babi?"
Si Buyung Bagak berpikir. Betapa hebatnya orang ini. Bisa mengubah manusia jadi binatang apa saja.
"Atau kita jadikan anjing supaya dia melolong sepanjang malam.
Lebih-lebih di waktu bulan penuh," tanya Sutan Imbalo.
"Kalau dijadikan anjing, penduduk akan dihantui bunyi lolongannya. Selalu takut dan susah tidur. Paling kasihan anak-anak.
Tak akan berani keluar rumah. Saya ingin dia dijadikan harimau!"
kata Buyung Bagak.
Sutan Imbalo merasa aneh. Dijadikan harimau" Bukankah itu lebih berbahaya, katanya kepada anak Datuk nan Diateh.
"Mungkin tetapi saya senang kalau sampai dapat melihat dia jadi harimau. Apalagi kalau dia dapat bicara seperti manusia," kata Buyung Bagak. Dia membayangkan, bagaimana akan senangnya
berhadapan dengan si Kalek yang mungkin akan minta-minta
ampun supaya dijadikan manusia kembali. Dan dia akan
mengatakan, bahwa si Kalek harus bersyukur, masih diberi
kesempatan untuk hidup. Dan tak usahlah macam-macam lagi, mau jadi manusia segala. Dia lebih pantas jadi harimau daripada manusia. Untuk diburu dan ditembak, lalu kulitnya yang diisi akan dipajang di ruang tamu rumahnya di kota. Oh, betapa akan
senangnya dia. "Kalau memang itu yang akan membuat Tuan merasa senang, saya akan melakukannya. Tetapi sebagai harimau tentulah dia akan merupakan binatang buas yang berbahaya. Dia akan ingin makan daging segar!"
"Itu kan soal mudah. Dia bisa menangkap babi hutan atau rusa kalau cukup cepat larinya!" kata Buyung Bagak.
"Tetapi bisa juga manusia!" kata Sutan Imbalo.
"Itu terserah dia. Tetapi dia tidak akan mendapat aku. Setelah ia jadi harimau, aku akan selalu membawa bedil untuk membunuhnya tanpa perkara. Itu akan merupakan suatu kesenangan tersendiri yang barangkali tidak pernah dirasakan orang lain. Membunuh harimau yang manusia!"
Meskipun Sutan Imbalo selalu menerima macam-macam order
dari orang yang hendak merubuhkan lawannya, namun keinginan manusia yang seorang ini terasa aneh, menyimpang! Ini orang sinting yang sadis, pikirnya. Tetapi dia menyanggupi dan ia akan melaksanakannya. Apa pun kelak yang akan terjadi, bukan lagi menjadi tanggung jawabnya.
Segala persyaratan dipenuhi oleh Buyung Bagak. Termasuk bayi yang tak boleh berumur lebih daripada tiga puluh tiga hari.
Walaupun diterangkan oleh tukang sihir bahwa bayi itu, sesuai ketentuan, harus dibinasakan, la upah orang menculik seorang bayi.
Bagi si Buyung Bagak tidak ada syarat yang terlalu berat untuk dipenuhi, asal saja si Kalek bisa menjadi harimau.
"Bila ia akan jadi si Balang?" tanya Buyung ketika semua persyaratan sudah diadakannya.
"Dalam tempo tujuh hari, dihitung dari malam nanti," jawab Imbalo.
0odwo0 Sejak malam itu memang benarlah si Kalek yang pendekar miskin itu selalu merasa gelisah. Selalu kepanasan dan sulit tidur, padahal kampungnya itu punya hawa dingin, terutama pada malam hari.
Terasa olehnya bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Teringat oleh si Kalek, bahwa apa yang dirasakannya itu mungkin buatan orang jahil. Tetapi ia tidak punya cukup biaya untuk minta bantuan dukun yang dalam hal-hal berat selalu meminta imbalan yang besar.
Meskipun belum tentu berhasil.
Tingkah lakunya sedikit demi sedikit pun berubah. Pada malam ke empat terkena perbuatan sihir Sutan Imbalo ia mulai menggeram geram. Terasa olehnya ketidakwajaran ini, tetapi ia tak kuasa mencegahnya, la bahkan teringat kepada Buyung Bagak yang
disangkanya mungkin mempergunakan pandai sihir atau sekurang-kurangnya dukun besar berilmu hitam. Karena pengeroyokannya tidak berhasil.
Sementara si Kalek tak tentram dan kian khawatir merasakan perubahan pada dirinya. Buyung Bagak yang mengetahui seluruh perkembangan dari mata-matanya, menantikan hari ketujuh dengan rasa tak sabar. Akhirnya ia akan menang dengan cara yang sangat gemilang. Baginya hari terasa berlalu begitu lambat.
Pada malam ketujuh penyihiran, si Kalek bukan lagi hanya
menggeram-geram, tetapi sudah mulai mencakar-cakar, la terus mundar-mandir bagaikan harimau di dalam kandang.
Menjelang subuh ia tak kuasa menahan dorongan hatinya, la melompat dari jendela, berlari menuju hutan. Sampai di pinggir hutan dirinya gemetar dan ia melihat perubahan yang amat
menyedihkan dan menakutkan, la menjadi harimau. Pikirannya masih bekerja seperti manusia, la menangis sambil berguling-guling.
Tetapi hanya itulah yang dapat dilakukannya, la tak mampu mengubah kenyataan, bahwa dia sudah bukan lagi si Kalek yang pendekar miskin. Kini ia sudah jadi si Kalek yang harimau.
Tempatnya bernaung sudah bukan lagi gubuknya yang sudah
tidak miring untuk melindungi dirinya dari panas dan hujan, la sudah jadi penghuni hutan, sama halnya dengan babi, ular, rusa, gajah dan satwa lainnya. Tempatnya bergolek sudah berubah dari Tikar pandan butut menjadi tanah dingin yang keras gersang atau lembab dingin.
Beberapa hari dan malam ia menangisi nasib. Mengapa atas
dirinya yang hanya orang miskin dan tak pernah menyusahkan orang lain harus ditim pahkan kejahatan yang menyebabkan derita semacam ini"
Bersamaan dengan derita yang tak terhalau itu proses atas tiap makhluk bernyawa berjalan terus atas dirinya. Perut yang sudah sekian hari tak mendapat isi merasa lapar. Datanglah kebutuhan mendesak untuk makan. Dan kini ia ingin makan daging segar, walaupun ia masih dapat mengingat bahwa biasanya ia makan nasi, kadang-kadang hanya dengan sepotong cabe dan sejemput garam ber kuahkan air panas.
Mulailah si Kalek harimau bergerak mencari makan. Dan yang berhasil diterkamnya adalah seekor anak babi hutan yang sedang sakit. Masih disadarinya, bahwa ia tidak boleh makan babi. Haram hukumnya. Tetapi kemudian pikirannya ber balik
Itu dulu. Tatkala dia masih manusia! Bukankah dia kini sudah bukan manusia lagi. Dia hanya seekor harimau. Tidak punya pantangan. Masih terlintas pula rasa kasihan. Tetapi rasa yang biasa dimiliki oleh manusia normal ini pun lenyap, dikalahkan oleh keinginan untuk hidup. Sepotong demi sepotong mangsanya itu berpindah tempat ke perutnya.
Memang dia ingin hidup. Harus hidup, kalau ia tidak mau
menerima hasil oleh kejahatan manusia dengan pasrah seterusnya.
Meskipun sudah berubah wujud dan golongan dari manusia ke hewan buas, ia masih mampu dan berkepanjangan mempunyai
dendam yang kian hari kian membara. Si Kalek miskin sudah bukan lagi makhluk berhati lembut, la telah menjadi pembenci yang ingin mencari kedamaian lagi melalui suatu pembalasan yang setimpal.
Itulah makanya ia selalu mengintai kesempatan bila kiranya si Buyung Bagak lalu di daerah kawasannya untuk memburu babi, sebab ia termasuk orang yang suka melakukan perburuan. Entah guna olahraga, entah karena adanya nafsu membunuh yang
bergolak di dalam dadanya, la akan menerkamnya, walaupun
mereka sedang beramai-ramai dan besar kemungkinan ia akan tewas oleh peluru dan tombak mereka. Untuk itu kadang-kadang "
pada malam hari" ia sampai masuk kampung sehingga dihebohkan masyarakat bahwa kini sudah ada Inyiek Balang yang berani memasuki kawasan penduduk. Agar tiap orang berhati-hati. Dan
membunuhnya pada kesempatan pertama. Suatu ketidakadilan bagi penghuni rimba. Bagi mereka ada batas pemukiman. Tetapi bagi manusia tidak. Mereka boleh masuk ke hutan semau dan seberani hati.
Kadang-kadang sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Mengambil kayu, bahkan menebas hutan semau-maunya. Mencari binatang buruan. Babi hutan ka-ena mereka merusak ladang dan tanaman penduduk. Mencari rusa untuk dijadikan santapan. Untuk itu manusia masuk ke kampung-kampung para a. Dalam istilah negara bertetangga dinamakan melanggar perbatasan. Yang bisa
menimbulkan tembak-menembak, bahkan perang antar bangsa.
Sebenarnya yang dicari si Kalek hanya satu sa-ia. Buyung Bagak.
Lain tiada. Tetapi masyarakat tentu tidak tahu tujuan harimau besar ini. Kalaupun tahu, paling-paling mereka saling tanya mengapa ia mencari Buyung Bagak. Apa sebab dan asal mulanya. Namun, si harimau akan tetap dibunuh, n orang kampung akan sengaja
menantikan dia untuk lebih cepat dibinasakan.
Karena kunjungan hewan itu kian sering kelihatan dan penduduk semakin khawatir, maka dipasang perangkap di pinggir hutan.
Dengan umpan tentunya. Kambing. Kasihan hewan piaraan lemah ini. Ditakdirkan untuk dipelihara, dibesarkan, disembelih atau diumpankan kepada harimau.
Tetapi perangkap tidak pernah mengena. Harimau cerdik rupanya si pelanggar batas itu.
Pernah Buyung Bagak beberapa kali berburu. Dan tampak oleh si Kalek, tetapi tidak terbuka ke patan baik untuk menerkam dan membunuhnya, la bukan takut kehilangan nyawa. Itu resiko. Tetapi ia tidak mau kehilangan nyawa tanpa membunuh Buyung Bagak.
Kematiannya akan menutup ua kesempatan membalas sakit hati.
Itulah yang sangat tidak dikehendakinya.
Pernah pula ia ditembak oleh rombongan Buyung, tetapi tidak kena. la yakin, bahwa yang menembak itu orang yang membuatnya jadi binatang. Bagaimana pun marah dan sakitnya hati, si Kalek
masih harus menahan emosi yang meluap.
Buyung Bagak memang ingin membunuh harimau yang
diyakininya si Kalek. Dalam mimpi ia pernah menembak harimau itu sampai tewas. Lalu dikuliti dan kemudian diopzet (diawetkan dengan mengganti isi perut), diletakkan di gedung mereka di kota Padang.
Dia akan memberi nama harimau hasil tembakannya itu si Kalek.
Didukung oleh mimpi itu Buyung Bagak yakin, bahwa pada suatu saat ia pasti akan merubuhkan binatang itu dengan peluru yang dimuntahkan senapannya.
Tetapi bukan hanya Buyung yang punya keyakinan. Si Kalek pun punya niat yang sama. Kalau Buyung sudah dirubuhkannya, ia rela mati. Tak sabar lagi menanti D-day, hari si Kalek menerkam dan mencabut nyawa Buyung Bagak, maka pada suatu malam hujan
gerimis ia kembali mendekati kampung, la sangat berhati-hati.
Bukan tak mungkin penembak sedang bersembunyi menantikan
kedatangannya. Kalau ia kelihatan dan tewas ditembak, maka buyarlah semua maksud dan selama-lamanya dia tidak akan dapat memaafkan dirinya.
Dia mengendap-endap. Pasang mata dan telinga. Telapaknya
yang besar tak terdengar menginjak bumi. Khas kemampuan
harimau, yang tidak dipunyai oleh manusia. Akhirnya ia sampai ke dekat rumah Buyung Bagak. Bersembunyi di balik serumpun tebu.
Hari baru jam 9. Mungkin Buyung belum pulang atau akan pergi ke rumah pacarnya.
0odwo0 DUABELAS LAMA si Kalek bersembunyi di sana. Setelah ia hendak kembali ke hutan untuk menanti lagi pada malam besoknya, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar langkah-langkah yang kian lama kian
mendekat. Tidak sia-sia, pikirnya, la bersiap. Tetapi setelah kian dekat, ia melihat bahwa yang datang itu bukan si Buyung Bagak, melainkan ayah dan ibunya. Baru pulang dari pesta perkawinan.
Bukan mereka sasarannya, walaupun punya hubungan darah
langsung dengan Buyung. Kedua suami istri itu naik tangga dan masuk rumah tanpa diganggu. Dan si Kalek menunggu lagi, karena menurut perhitungannya orang yang dinantikan tentu akan datang.
Anak muda biasanya tidak buru-buru meninggalkan pesta, dimana banyak gadis-gadis berkumpul. Sekurang-kurangnya untuk cuci mata.
Akhirnya, menjelang pukul 12, yang dinantikan datang juga.
Si Kalek harimau bersiap. Kira-kira duapuluh meter dari
rumahnya mendadak Buyung Bagak berhenti, la memandang ke
sekeliling. Tidak biasanya dia begitu. Rupanya ada semacam perasaan tidak enak. la ragu-ragu. Si Kalek menjadi tegang. Apakah Buyung akan memanggil-manggil orang tua atau tetangga karena merasa cemas tanpa sebab yang nyata" Mungkin ada dorongan untuk itu, tetapi ia merasa malu. Pada mereka dan pada diri sendiri.
Bukankah ia terkenal bagak dan ditakuti orang sekampung"
Buyung melangkah lagi. Kini lebih cepat, ingin lekas sampai di rumah. Si Kalek mengangkat tubuh bergerak cepat tanpa suara, la menerkam Buyung tepat di kuduk, taring-taringnya yang tajam langsung ditanamkan ke leher mangsanya. Oleh berat badan si harimau. Buyung tersungkur dan karena kagetnya tak mampu
berteriak. Si Kalek memperkuat gigitannya dengan sepenuh tenaga rahangnya dan ia tidak melepaskan Buyung sampai ia yakin, bahwa musuhnya itu sudah mati, atau sekurang-kurangnya sekarat.
Kemudian ia membalik tubuh yang sudah kehilangan segala tenaga, dipandanginya. Mungkin berhasrat untuk mengoyak dadanya lalu mengeluarkan isinya. Setelah itu merusak mukanya.
Tetapi Kalek tidak melakukannya. Mungkin sisa-sisa kehalusan sifat yang ada pada dirinya tidak mengijinkan. Bukankah ia menghendaki kematian Buyung yang dengan kekuatan uangnya
telah membuatnya jadi harimau" Kini si Bagak sudah mati,
bukankah sudah cukup" Tetapi ada suatu maksud yang telah
direncanakannya yang dianggapnya perlu dilaksanakan, la
menggigit bahu kanan anak Datuk itu lalu menyeretnya sampai ke
tangga rumahnya. Setiba di tangga, Kalek tidak lantas kembali ke hutan yang menjadi tempat tinggalnya, la menyandarkan tubuh mayat itu, membetulkan letak kedua kakinya. Puas hatinya. Uang memang selalu berkuasa, tetapi tidak untuk selamanya. Karena uang hanya benda mati. Tidak mempunyai sifat abadi. Si Kalek belum selesai dengan pekerjaannya, la menggeram-geram
memberitahu kehadirannya. Setelah yakin, bahwa orang tua Buyung tentu mendengar, begitu pula tetangga dekat si Kalek menjauh.
Bersembunyi lagi. Rupanya ia mau melihat lanjutan hasil
pembalasannya. Dan dia melihat jendela rumah Datuk terkuak sedikit. Tandanya orang sudah bangun. Begitu juga jendela rumah Sutan Malano.
Datuk nan Diateh dengan istrinya merasa cemas. Tidak pelak lagi, pasti ada harimau masuk kampung dan berada dekat sekali dengan rumah mereka. Bukan kedatangan harimau yang mereka cemaskan, tetapi si Buyung, anak mereka yang belum pulang dari menghadiri pesta perkawinan. Dan dia tentu akan pulang.
Kecemasan meningkat jadi rasa takut. Datuk tidak mau
mempertaruhkan nasib Buyung Bagak. Sehebat-hebatnya dia
bersilat, kalau diterkam harimau pasti ia akan binasa. Bukan hanya itu, mungkin akan diseret si raja hutan ke rimba untuk disantap bersenang-senang.
Datuk membuka jendela dan berteriak memanggil tetangga
terdekat. Dilihatnya jendela rumah Sutan Malano terbuka dan melemparkan caha ya terang menembus kegelapan malam yang
mence kam. "Sutan," teriak Datuk. Yang dipanggil menya hut. Karena tahu apa maksud panggilan itu, sebelum ditanya ia lebih dulu menjawab:
"Kami pun mendengar. Rasanya dekat benar!"
"Si Buyung belum pulang," kata Datuk. Sutan alano turut cemas, karena di antara mereka masih ada hubungan keluarga. Datuk mengajak Sutan bersama-sama ke tempat orang yang mengadakan keramaian memeriahkan perkawinan. Dalam dialog melalui jendela, mereka semufakat untuk sama-sama turun rumah dengan
membawa obor. Harimau takut pada api.
"Hati-hatilah Da," pesan istri Datuk yang semakin bingung.
"Harimau lapar selalu ganas. Belum tentu takut pada obor!"
Datuk menenangkan hati istrinya dengan mengatakan, bahwa ia tidak pergi seorang diri. Ada Sutan Malano yang tentu akan ditemani oleh anaknya Sayuti, sahabat dekat dan sebaya dengan Buyung Bagak.
Pintu dibuka, tetapi begitu sampai di anak tangga bawah, Datuk menjerit-jerit diiringi ledakan tangis dengan menyebut-nyebut nama anaknya. Istrinya terkejut dan sebelum sampai melihat dia sudah tahu apa yang terjadi. Pasti anak mereka. Begitu melihat Buyung tersandar di anak tangga bawah perempuan malang itu menjerit histeris lalu tidak sadarkan diri. Sutan Malano pun sudah tiba, disusul oleh tetangga-tetangga lain.
Kampung itu jadi gempar. Dan kejadian mengerikan yang sangat aneh itu jadi pembicaraan. Ada yang berbisik-bisik, tetapi ada pula yang berterus-terang.
Ada yang menduga, bahwa Buyung diserang di tempat lain,
tetapi masih mampu membawa tubuhnya sampai ke rumahnya.
Malah ada yang menyangka, bahwa si harimau tak kuat menghadapi kehebatan silat Buyung Bagak, sehingga ia melarikan diri tanpa mencapai maksud yang sebenarnya, yaitu menyeret mangsanya untuk dimakan di hutan. Mayat diangkat ke rumah.
Beberapa orang dengan bersenjatakan parang, tombak dan obor mengikuti jejak harimau yang dimulai dari tangga rumah. Ketika panik tadi mereka tidak sampai melihat jejak-jejak itu yang sebenarnya kelihatan jelas, karena pada siang harinya turun hujan dan tanah becek. Karena selain jejak, juga kelihatan jelas dua bekas lain di antara jejak-jejak itu, mereka dapat menarik kesimpulan bahwa penerkaman terjadi di tempat lain tetapi si raja hutan menyeret tubuh Buyung di antara kaki kiri dan kanannya sampai ke tangga rumah. Kini bulu kuduk mereka berdiri, tetapi bersamaan dengan itu juga mendapat keyakinan, bahwa harimau itu hanya
menghendaki orang tertentu dan bukan pula harimau biasa.
Harimau biasa tidak akan membawa mayat korbannya sampai ke tangga tempat kediamannya. Tetapi mereka tidak menyebut-nyebut si Kalek, karena kejahatan itu sangat dirahasiakan oleh Buyung dan ayahnya. Penduduk menyangka, bahwa Kalek diam-diam
meninggalkan kampung mencari selamat. Datuk pun tidak berani menyebut-nyebut kemungkinan bahwa yang menyerang itu
barangkali si Kalek yang sudah disihir jadi harimau, karena segenap penduduk akan membenci dan menjauhi dirinya. Perbuatan itu sangat keji, terkutuk dan sangat ganas. Hanya beberapa orang menduga, bahwa harimau yang datang dan membunuh Buyung
Bagak tentulah harimau yang pernah dilukai Buyung tatkala berburu dan binatang itu datang membalas sakit hatinya. Itulah makanya dipesankan kepada pemburu untuk tidak menembak harimau yang tidak mengancam keselamatannya, karena lazimnya binatang buas itu tidak akan menyerang manusia yang tidak mengusik diri serta keluarganya. Dan kalau pemburu menembak harimau harus sampai mati. Namun begitu masih ada satu bahaya. Kalau yang mati ditembak seekor jantan dan yang betina tahu siapa yang
menembak, maka betina ini akan melakukan pembalasan kalau terbuka kesempatan untuk itu. Begitu juga sebaliknya.
Datuk nan Diateh yakin bahwa yang membunuh anaknya si
Kalek. la menyesal telah berbuat sejahat itu terhadap orang yang diketahuinya tidak punya kesalahan apa pun, bahkan mengangkat nama kampungnya oleh kemahirannya bersilat. Tetapi kematian anak tunggalnya itu juga membangkitkan dendam terhadap harimau buatan penyihir yang disewanya, la meminta orang sekampung dan penduduk dari kampung-kampung yang berdekatan untuk memburu pembunuh anaknya. Oleh rasa segan kepada Datuk, banyak juga yang mematuhinya sebagian dengan hati berat dan takut. Kuatir harimau itu marah pula kepada mereka, karena mencampuri urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Ada yang sengaja pergi dengan berbagai alasan, supaya jangan terlibat. Si Kalek yang punya insting bahwa ia pasti akan diburu untuk dibunuh, sengaja pula pindah dulu ke hutan lain sampai keadaan reda kembali.
Setelah beberapa kali berbu-ru tanpa hasil, orang kampung tak bersedia lagi. Mereka memberi alasan, bahwa mungkin yang
menyerang itu harimau jadi-jadian, jadi tidak di hutan tempatnya.
Datuk yang yakin, bahwa harimau itu tak lain daripada si Kalek, pergi ke Padang menghubungi pemburu profesional. Yang biasa memburu harimau untuk mendapat kulitnya guna diperdagangkan.
Tak kurang dari lima pemburu menyediakan diri. Apalagi dengan bayaran cukup tinggi yang dijanjikan Datuk. Tiap pemburu diberi upah dan kepada yang menewaskan si pembunuh manusia akan
diberi pula hadiah tambahan yang melebihi harga seekor harimau.
Beberapa pawang juga ambil bagian, walaupun mereka tahu bahwa harimau itu tidak akan dapat ditangkap melalui jerat atau perangkap kalau ia memang bukan harimau biasa. Dan sebenarnya mereka tahu, bahwa yang dikehendaki ini bukan harimau biasa. Turut serta mereka hanya nasib-nasiban, kalau-kalau ilmu mereka melebihi kepandaian dan akal si harimau.
Di tempat yang baru pun si Kalek tidak merasa aman lagi. Dan karena tahu nyawanya sangat terancam oleh orang-orang yang mengejar uang, maka ia tidak punya pilihan lain daripada
membunuh mereka. Seorang pawang dan dua pemburu diterkam
dan dikoyak-koyaknya. Setelah itu pemburu bayaran pun tidak bersedia lagi. Tetapi si Kalek tetap curiga pada manusia yang masuk ke kawasannya. Itulah sebabnya keempat orang yang datang dari Bukittinggi itu dihadang dan diserang oleh si Kalek. Pakaian Datuk dan Sutan Mangkuto yang serba hitam dan sangat dikenal oleh si Kalek sebagai pakaian pendekar telah sangat menimbulkan
kecurigaan di hati harimau. Dia menilai bahwa yang terjahat di permukaan bumi ini manusia. Walaupun manusia Iuga yang
terpintar dan terbaik.
Orang tua yang menceritakan riwayat harimau asal manusia
kepada Dja Lubuk, Erwin dan kedua pesilat dari Minang itu mengungkapkan, bahwa si Kalek tidak bekerja setengah-setengah.
Masih ada satu lagi yang harus dibinasakannya, yaitu pesihir yang menerima tugas dan upah dari Buyung Bagak. Tanpa adanya pesihir itu, biar pun si Bagak mempunyai segunung uang, si Kalek tidak
akan berubah Iddi harimau. Dalam hal ini uang dan kekuatan tidak dapat dipisahkan.
Orang tidak tahu bagaimana kejadiannya. Tetapi pada suatu pagi masyarakat kampung Sianok, Bukittinggi telah menemukan mayat yang pasti diterkam lalu dicabik-cabik harimau di jalanan kampung itu, padahal tempat itu tidak pernah dimasuki harimau. Penduduk merasa lebih aneh lagi karena ternyata si harimau mengeluarkan jantung dan otak mangsanya lalu meletakkannya kira-kira lima meter dari mayat. Orang tahu, bahwa yang mati itu pesihir dari desa Kamang.
0odwo0 Mendengar kisah harimau yang baru mereka lumpuhkan itu, Dja Lubuk dan Erwin termenung, sementara bagi Datuk dan Koto cerita itu hanya merupakan cerita aneh penuh kehebatan yang amat menarik. Mungkin keharuan Dja Lubuk dan anaknya disebabkan keadaan diri mereka yang tidak normal. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pengungkap kisah, mereka mohon diri.
Belum jauh melangkah, Dja Lubuk berkata kepada anaknya,
bahwa ia bermaksud kembali ke hutan mencari harimau yang
mereka kalahkan tadi. la menganjurkan anaknya untuk meneruskan perjalanan ke Palembang, tetapi Erwin pun rupanya ingin kembali, la mengusulkan kepada ayahnya agar ia saja yang kembali mencari si Kalek, sementara ayahnya lebih baik kembali ke Tapanuli.
Ternyata ayah dan anak punya maksud sama, kedua-duanya
hendak mencari Kalek. Kedua pendekar Minang yang dianjurkan untuk kembali saja ke Bukittinggi, karena mereka masih mau masuk hutan lagi, juga menyatakan ingin ikut. Rupanya mereka
menyesuaikan diri dengan Dja Lubuk dan Erwin yang diharap akan menurunkan beberapa kepandaian kepada mereka.
"Kami yang melukainya, kami mau mohon maaf," kata Datuk yang dapat menebak apa sebab Dja Lubuk dan anaknya mau
kembali mencari harimau yang berasal dari manusia itu.
Tidak terlalu mudah mencari si Kalek yang luka, la tentu
bersembunyi. Tetapi akhirnya ketemu juga. Harimau itu tidak menyangka, bahwa keempat orang itu akan kembali. Apakah mau menyelesaikan dirinya yang baru luka" Sampai ia mati, karena harimau luka sangat berbahaya" Tetapi ia heran ketika melihat Dja Lubuk dan ketiga orang lainnya memberi hormat dengan menyusun jari. Wajah mereka kelihatan terharu. Kalaulah si Kalek bisa bicara, tentu ia akan bertanya.
Dja Lubuk yang mulai berkata lembut: "Kami kembali untuk mohon maaf. Kami telah mendengar semua dari Angku Sati.
Sebenarnya engkau lengan aku dan Erwin, punya nasib buruk yang sama," kata Dja Lubuk dengan suara lembut sambil mendekati si Kalek yang terbaring karena sakit, la memegang kaki kemudian mengelus kepala si Kalek dongan airmata membasahi pipi. Si Kalek yang mengerti seluruh kata-kata Dja Lubuk pun tak kuasa liigi menahan airmata yang sudah sejak tadi hendak terlepas dari bendungannya. Erwin menyertai belaian Ayahnya terhadap si Kalek.
0odwo0 TIGABELAS PERLAHAN-LAHAN tampang harimau yang tadinya ganas itu
berubah. Memperlihatkan kesedihan. Jelas sekali, walaupun ia harimau, la memandangi mereka seakan-akan mengucapkan teri-makasih, karena ada manusia-manusia yang mengerti dan
bersimpati kepada nasibnya. Kemudian tampak tenaganya kian berkurang, tubuhnya melemas dan muka sedih itu mengesankan kepasrahan. Seperti orang yang akan menyudahi hidupnya. Dan memang benarlah si Kalek akan mati, sebagaimana tiap makhluk bernyawa pada saatnya akan mati. Mungkin di dalam hati ia amat sedih dan menyesal, karena ia tak mampu menyatakan terima kasih dengan kata-kata yang dimengerti oleh orang-orang itu. Mungkin juga ia ingin mohon maaf, karena ia telah salah sangka
menganggap mereka sebagai musuh. Walaupun kesalahdugaan itu semata-mata akibat nasib buruk dan pengalaman pahit yang
menimpanya bertubi-tubi.
"Kau hendak pergi, Kalek?" tanya Dja Lubuk
y(ing sangat paham akan gelagat itu. "Pergilah dengan tenang.
Semua kita akan pergi."
Mengerti akan perasaan Dja Lubuk dan tahu ipa yang akan
terjadi, air mata Kalek semakin deras mengalir, seperti hendak dihabiskan semua, sebab setelah ini dia tidak akan menangis lagi.
Erwin membaca surat Yasin, napas si Kalek mengendur, ia
mengatupkan mata. Bukan hanya Erwin, kedua pendekar Minang itu pun tak kuasa menahan air mata, dapat merasakan kesedihan harimau yang manusia itu. Bersamaan dengan kepergi-an
nyawanya, tubuh harimau itu secara perlahan berubah menjadi manusia kembali. Ketika tubuh telah berubah sempurna, nyawa pun telah tiada. Si Kalek tak sempat berkata-kata.
Mereka semua takjub, terlebih lebih Datuk dan Koto. Selama ini mereka hanya pernah mendengar cerita. Kini mereka saksikan dengan mata sendiri. Suatu kenyataan yang tidak dapat dimengerti, tetapi juga tidak dapat dibantah.
Keempat orang itu berunding. Ada satu kesamaan, yaitu mayat itu harus dikuburkan.
"Bagaimana yang baik?" tanya Dja Lubuk. "Kita kuburkan di sini?"
Datuk dan Koto tidak menjawab, tetapi Erwin berpendapat
bahwa sebaiknya mayat itu diantarkan ke keluarganya. Agar mereka tahu kematian si Kalek dan mereka yang menguburkan mayatnya.
Walaupun akan timbul tanda tanya yang tak terjawab, tetapi mereka pasti akan mendapat semacam kelegaan, bahwa Kalek telah meninggal. Dan bukan mati tanpa tentu rimbanya.
Mereka tunggu hari malam diselingi dengan bacaan doa, agar dosa-dosa si Kalek diampuni dan rohnya diterima di yaumil mahsyar.
Pada malam hari mereka usung mayat si Kalek, diletakkan
dengan khidmat di surau kampung kediamannya. Pada waktu sholat
subuh orang sudah akan mengetahuinya.
Setelah itu, kedua manusia harimau dan kedua pendekar
meneruskan perjalanan. Kini tidak lagi berjalan kaki. Mereka naik bis yang hampir penuh oleh penumpang. Setelah jalan beberapa kilo, seorang penumpang berkata, "Ada yang lain di dalam bis ini."
Semua penumpang memandang dan menunggu kelanjutan katakatanya. Rupanya dia orang berisi. Dja Lubuk dan anaknya saling pandang, seolah-olah mengatakan, bahwa mereka harus bersiap.
Seorang penumpang lain, yang tertarik tetapi tak mengerti apa maksud orang tadi dengan kalimatnya bertanya apakah yang lain itu. Penumpang lain yang umumnya orang Minang tak bertanya.
Mereka hanya tahu, bahwa yang berkata itu tentunya seorang pintar sehingga mengetahui ada yang "lain". Yang "lain" itu bica macam-macam. Bisa palasiek (semacam kuntilanak pengisap darah
terutama darah bayi dan kanak-kanak), bisa cindaku, yaitu harimau jadi-jadian seperti ayah Sabrina yang dikeroyok orang di
kampungnya, bisa juga seorang pencopet yang tercium oleh orang pandai itu.
Pertanyaan tidak dijawab. Datuk dan Koto tahu, bahwa yang dimaksud orang sekampungnya atau sedaerahnya itu tentulah mereka, terutama sekali Dja Lubuk dan anaknya. Merasa
tersinggung oleh un\uk pandai orang orang tadi maka Datuk berkata, "Kalau ada yang tidak berkenan di hati Angku, turun sajalah di sini!"
Bagi yang mula-mula buka suara dan kemudian ternyata bergelar Angku Pasaman, tanggapan Datuk jelas merupakan tantangan. Dan ia lalu menyangka, bahwa orang inilah yang rupanya "lain" itu. Dia salah seorang di antara empat penumpang yang baru naik.
Penumpang-penumpang lain mulai gelisah. Si orang pandai
ditantang oleh orang yang merasa tersinggung. Mereka pun lalu menyangka bahwa Datuklah orang yang "lain" itu. Kalau bukan dia, mengapa pula dia harus merasa tersinggung dan menanggapi, pikir mereka. Dja Lubuk dan Erwin diam saja. Dalam hati mereka
merasa'senang kepada kawan yang menganggap penghinaan
kepada teman juga penghinaan kepada dirinya. Itu salah satu dari pertanda kawan sejati.
Angku Pasaman pun bukan orang yang membiarkan tantangan
berlalu tanpa reaksi, la penganut setia pepatah orang Sumatera Barat "Kato baja-wab, gayung basambuik" maka ia menantang balik
'Saya orang biasa, yang lain itulah yang seharusnya turun, sebab bukan di dalam bis ini tempatnya," lalu katanya kepada pengemudi
"Pir, berhenti sebentar. Ada yang mau turun hendak masuk ke rimba!" Jelas Angku Pasaman sudah tahu, bahwa yang
dimaksudkannya dengan "lain" itu adalah harimau l?di jadian. Itu yang dikenal di sana. Manusia harimau boleh dikata jarang sekali disebut, karena memang hanya ada beberapa di daerah Minang.
Datuk yang tadi sudah menanggapi jadi tambah panas. Terang yang dimaksud orang usil itu Dja Lubuk atau anaknya, yang tidak menanggapi, karena mampu menahan diri. Sesudah Angku
Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pasaman menyebut rimba pun mereka diam saja.
Supir menghentikan bis, suasana kian mencekam. Para
penumpang biasa tidak berani buka mulut. Mereka semua
ketakutan, entah apa yang akan terjadi. Dua orang sudah saling menantang didengar orang banyak. Apa hanya sampai di kata-kata saja" Bagi yang punya harga diri akan sangat memalukan.
Datuk berdiri, bukan untuk langsung turun, te-tapi menarik tangan Angku Pasaman sambil berka-ta, "Tuan tentunya orang bagak, mari kita coba!"
Orang yang ditarik, bertahan tidak mau turun. Dja Lubuk
menyuruh Datuk duduk, yang dipatuhi tanpa tanya. Semua orang, termasuk Angku Pasaman menyangka, bahwa orang tua berambut dan berjanggut serta bermisai putih itu tentulah ayah orang yang menantang. Dja Lubuk memalingkan pandang kepada Angku
Pasaman, sehingga mata mereka bertemu. Hati orang itu
bergoncang, matanya tak kuat bertatapan dengan Dja Lubuk, la tunduk, menimbulkan rasa heran sekaligus mengetahui bahwa orang tua itu bukan orang sembarangan.
Berkata Dja Lubuk kepada supir bis "Bung supir, suruh kenekmu menurunkan kopor hitam Angku ini. Beliau ingin turun di sini saja."
Membangkitkan kagum semua penumpang, Angku Pasaman
tanpa menjawab barang sepatah kata pun, bangkit lalu turun. Kenek menurunkan kopornya. Betul kopor itu berwarna hitam, membuat semua orang tambah heran. Sudah pasti orang itu bukan mau turun di sini, di tengah rimba yang terkenal menyimpan banyak harimau dan gajah.
Tetapi ia turun tanpa protes.
Setiba di bawah, Angku Pasaman berdiri terbo-doh-bodoh, mulai diselapi perasaan takut, karena ia bukan pawang harimau walaupun banyak kepandaian. Dan dia sadar, bahwa orang tua yang
mengatakan dia mau turun di situ jauh lebih hebat dari dirinya.
"Jalan, bung supir," pinta Dja Lubuk. Bis itu bergerak.
Tetapi setelah lebih kurang dua puluh meter, Dja Lubuk meminta supir supaya berhenti lagi. Semua orang heran, apa pula lagi yang akan dilakukan orang yang pasti punya kekuatan luar biasa ini.
Dja Lubuk turun, tak ada seorangpun yang berani bertanya. Juga Erwin tidak. Setiba di bawah, Dja Lubuk memandang ke arah Angku Pasaman yang berdiri kebingungan, tak tahu akan berbuat apa. Dja Lubuk memanggil dengan tangannya. Orang yang turun bukan atas kemauan sendiri tadi, datang. Berdiri di hadapan Dja Lubuk seperti orang bisu.
"Naiklah," kata Dja Lubuk. Dan orang itu naik tanpa kata.
la duduk kembali di tempatnya tadi, dipandangi semua
penumpang, tetapi tak seorangpun mengajukan pertanyaan. Mereka sudah paham. Bahwa ilmunya ditundukkan oleh orang tua yang impaknya hanya manusia sederhana saja.
Atas permintaan Dja Lubuk, bis berjalan lagi. Supir dan kenek pun tahu, bahwa bersama mereka rida seorang manusia yang
pandai luar biasa. Dia pasti punya ilmu penunduk (pitunduek).
Sampai di Sungai Dareh, keempat penumpang dari Sawahlunto itu turun, walaupun sebenarnya bukan itu tempat yang dituju.
"Mengapa kita turun di sini Amang?" tanya Erwin.
"Kasihan penumpang-penumpang bis itu. Selagi kita masih ada di sana mereka tercekam dan tak dapat berkata-kata. Dengan cara ini kita membebaskan mereka," kata Dja Lubuk.
Datuk dan Koto seperti bermimpi. Rasa heran dan kagum sejak di Panorama Bukittinggi sampai pertarungan dengan harimau yang ternyata berasal dari manusia, kembalinya mereka mendapatkan si Kalek sampai mengantarkan mayatnya, kini bertambah lagi dengan rasa hormat, karena orang ajaib yang luar biasa tangguh itu ternyata punya hati yang penuh kemanusiaan. Dibenarkannya Angku Pasaman naik kembali ke bis setelah disuruhnya turun hanya melalui kekuatan pandangan matanya, membuat Datuk dan Koto menduga, bahwa inilah yang boleh dinamakan mahaguru.
Ketegasannya disertai oleh kemanusiaan yang amat tinggi terhadap siapa saja. Termasuk terhadap orang yang menghina atau hendak membinasakannya. Sangat jarang manusia punya kebolehan dan budi seperti Dja Lubuk. Kedua pendekar itu kini merasa bahwa diri mereka belum apa-apa, baik dalam hal tenaga dan ketangkasan maupun dalam budi pekerti.
Di sungai Dareh Dja Lubuk mengatakan, bahwa ia hendak
kembali ke Tapanuli karena merasa terpanggil. Mungkin
kehadirannya di negeri yang masih belum dijamah pembangunan itu amat diperlukan. Datuk dan Koto menangis sampai terisak-isak.
Selama hidup mereka belum pernah mengenal orang sehebat dan selembut Dja Lubuk, walaupun selain dia, tentu masih ada manusia-manusia yang tak kalah pintar dan baik hati. Tetapi mereka bukan manusia harimau yang sewaktu-waktu bangkit dari kuburannya.
0odwo0 Erwin menasehati kedua pesilat Minang itu untuk kembali saja ke Bukittinggi, sampai nanti keadaan membuat mereka bertemu lagi.
Tetapi Datuk dan Koto sangat memohon supaya boleh turut ke tempat tujuan Erwin. Guna lebih banyak melihat dan dengan begitu lebih banyak belajar, kata mereka.
"Dalam perjalanan dari Bukittinggi kemari saja kami sudah menyaksikan sendiri, bahkan turut mendapat pengalaman yang amat berharga. Ayah abang dan abang jelas merupakan guru yang dapat memberi banyak pelajaran."
Erwin menyerah, lalu ketiga orang itu berangkat menuju
Palembang. Erwin akan langsung ke rumah Mei Lan, mohon maaf kepadanya dan menjelaskan seluruh peristiwa yang telah terjadi, la sangat berharap gadis itu dalam keadaan sehat-sehat, karena di dalam segala ketegangan yang secara beruntung dilaluinya ia tidak lupa kepada gadis Tionghoa itu. Dan selama hari-hari terakhir pikirannya diganggu kecemasan yang tidak jelas sebab
musababnya. Apakah Mei Lan ditimpa penyakitnya kembali"
Dalam perjalanan menuju Lubuklinggau, Erwin .?'lalu termenung.
Jelas bagi Datuk dan Koto bahwa sahabat mereka itu memikirkan sesuatu yang cukup berat. Rupanya orang sehebat dia pun bisa tak berdaya terhadap godaan kenangan atau kecemasan.
"Apa yang Abang pikirkan?" tanya Datuk yang duduk di sampingnya. Meskipun ia lebih tua beberapa tahun, tetapi untuk menghormati Erwin, ia memanggilnya dengan abang. Sebutan Tuan atau engku akan kaku dan pasti merupakan hambatan dalam
hubungan yang diharap akan lebih akrab. Panggilan "guru" tentu tidak disukai oleh orang hebat yang amat bersahaja itu.
"Datuk memperhatikan" Memang banyak yang kupikirkan dan kadang-kadang aku cemas tanpa mengetahui apa sebabnya.
Biasanya pertanda akan adanya sahabat atau keluarga yang ditimpa musibah. Aku masih berpendapat, bahwa sebaiknya kalian tidak usah turut ke Palembang. Di Lubukling-gau kita berpisah,
bagaimana pikiran Datuk?" tanya Erwin.
"Walaupun baru beberapa hari, tetapi telah banyak yang kami alami. Kami akan mengantar Abang sampai ke Palembang. Kalau
ada yang menghadang, ijinkan kami turut menghadapi! Kalau kami harus mati, kami ikhlas dengan sepenuh hati!" kata Datuk dan ia berkata yang sebenarnya.
"Baiklah, kalau sudah begitu keinginan hati Datuk dan Koto."
Hujan lebat menyambut ketibaan mereka di Lubuklinggau.
Mereka menyewa satu kamar untuk bertiga di penginapan sangat sederhana. Erwin masih punya sedikit uang. Bayar di muka, karena mereka bertiga hanya punya buntelan kecil. Bagi penanggung jawab penginapan dinilai sebagai tamu yang tidak bonafide. Ini bangsanya yang lari malam tanpa membayar.
Apa mau dikata, pada malam itu penginapan jadi heboh oleh ributnya orang tamu yang pedagang. Dia kecurian uang dan
perhiasan. Dan apa boleh buat lagi, Erwin dan kawan-kawannya dicurigai sebagai pelaku.
0odwo0 EMPATBELAS KETIGA sahabat itu merasa dihina. Mereka memang tidak punya apa-apa. Berjalan jauh tanpa perbekalan. Tetapi seumur hidup mereka belum pernah mengambil hak orang lain. Apalagi dengan memasuki kamar dan mencuri.
Seorang berbadan tegap yang bertugas sebagai penjaga
keamanan penginapan sangat sederhana itu mendatangi Erwin dan kedua kawannya dan mengajaknya masuk kamar.
Dia menerangkan, bahwa persoalan itu tidak perlu diperbesar apalagi dihebohkan. Hanya membuat malu, katanya. Dia
mengatakan, agar barang-barang yang dicuri itu dikembalikan saja dan tidak akan dibuat perkara apa pun.
Erwin tidak bereaksi. Dengan begitu ia berusaha sekuat-kuatnya menenangkan diri. la melihat bahwa Koto dan Datuk bukan hanya merasa amat malu karena dihina, tetapi sudah sukar menahan
amarah mereka. Mereka masih berhasil mengekang diri, karena diberi isyarat oleh Erwin agar bersabar.
"Kami mau bersumpah dengan cara apa pun, bahwa kami tidak tahu menahu dengan pencurian itu," kata Erwin.
"Di jaman ini sumpah tidak lagi menjamin suatu kebenaran," kata Dirham yang bertanggung jawab atas keamanan tamu di
penginapan itu. Kata-kata itu memang benar, tetapi di masyarakat yang penuh dengan berbagai jenis penjahat ini, masih cukup banyak manusia yang takut akan kutukan sumpah. Kalau mereka ini sampai berani bersumpah tandanya mereka telah berkata benar.
"Kalian tidak keberatan kami geledah kamar ni dan diri kalian?"
tanya Dirham. Berharap bahwa penggeledahan itu akan
menghapuskan tuduhan terhadap diri mereka, maka Erwin setuju, walaupun panas hatinya kian meningkat.
Dirham memanggil dua orang kawan untuk memeriksa kamar
yang ditempati oleh ketiga tamu yang tidak punya kopor dan amat sedikit uang. Semuanya dibulak-balik, sehingga isi kamar yang tidak seberapa itu jadi porak-poranda. Tidak ketemu a apa. Meskipun malu, ketiga sahabat itu merasa agak lega. Kini lepaslah mereka dari tuduhan. Tetapi kelegaan itu hanya beberapa saat. Yang kehilangan segera berkata, bahwa ketiga orang itu tentu telah menyembunyikannya di lain tempat. Mereka tentu tidak terlalu bodoh untuk menyimpan batang berharga dan uang curian itu di dalam kamar. Sebab mereka pun tahu bahwa kamar mereka akan digeledah.
Mendengar tuduhan itu Erwin tidak merasa perlu lagi menahan diri yang sudah amat sulit dikendalikan, la melompat ke arah penuduh itu, be gitu cepat dan di luar dugaan, sehingga Tamsir, si pedagang yang kecurian dan punya mulut ceroboh itu, tidak sempat mengelak agak selangkah pun. Satu tamparan keras menghantam pipinya, membuat ia terjajar, tetapi tidak sampai jatuh. Dirham bertindak karena merasa kewajibannya melindungi Tamsir. Sudah kecurian, dipukul pula. Dirham melayangkan tinjunya dengan sepenuh tenaga ke muka Erwin. Malang baginya, tidak mengena,
karena ditepiskan oleh si manusia harimau dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya bersarang ke rusuk di petugas
keamanan. Kalau tinju Dirham yang besar mengenai sasaran, pasti muka Erwin akan pecah, tetapi kini dialah yang terbungkuk sambil memegang rusuknya yang terkena sodokan tangan Erwin. Padahal pukulan Erwin hanya mempergunakan tiga puluh persen dari tenaga biasa.
"Bunuh!" teriak Tamsir yang merasa sangat dihina oleh orang miskin itu, dengan keyakinan bahwa beberapa belas orang yang berkerumun di situ tentu akan membantai Erwin dengan kedua kawannya, yang kelihatan bersiap-siap untuk menyambut segala kemungkinan. Tetapi tak ada seorangpun yang memberi respons.
Pukulan Erwin terhadap Tamsir dan Dirham membuat mereka
berpikir untuk melibatkan diri.
"Apalagi kalian semua, pengecut!" hardik Dirham yang kini dendam kepada Erwin. Si bangsat gelandangan itu berani
meletakkan tangan atas dirinya. Betul-betul cari mati. Sambil berkata begitu Dirham melompat lagi dengan tindakan diarahkan ke dada Erwin. Tidak lagi sekuat tadi, karena rusuknya masih terasa sakit. Sekali lagi Erwin menepiskan pukulan itu dan sekali lagi pula tangannya masuk ke rusuk Dirham. Kalau tadi menerpa rusuk kanan, kini yang sebelah kiri.
Sementara itu beberapa orang Polisi di bawah pimpinan Kapten Kahar Nasution yang rupanya di-beritahu melalui telepon tentang adanya pencurian dan keonaran di penginapan itu telah tiba di sana.
"Itu dia pencurinya. Pak Kapten," kata Dirham yang mengenal perwira Polisi itu. "Orangnya sedang kalap!"
Kapten Kahar memperhatikan Erwin, memandang dari atas ke
bawah. Dia juga melihat ke araA Koto dan Datuk.
Tamsir menceritakan apa yang terjadi. Dirham menyatakan
keyakinannya bahwa yang pantas dicurigai hanya Erwin dengan kedua kawannya.
"Bagaimana itu Saudara Erwin?" tanya Nasution yang tenangtenang saja karena tidak terpengaruh oleh tuduhan.
"Kalau orang yang tidak punya apa-apa pantas dituduh jadi pencuri karena ada orang yang kehi angan, pantaslah kami dituduh.
Karena kami memang tidak punya apa-apa. Perjalanan kami dari Bukittinggi sebagian dilakukan dengan jalan kaki," jawab Erwin tenang.
"Saya datang kemari hanya menjalankan tugas. Boleh saya bertanya tanpa menyinggung perasaan Saudara?" tanya Kapten Kahar, la lalu bertanya, pakah tuduhan Tamsir dan Dirham benar.
Erwin menyangkal. Seumur hidupnya tidak pernah mencuri dan dia tidak akan pernah jadi pencuri.
"Pasti dia dan kedua kawannya itu yang mencuri Pak Kapten,"
kata Dirham. "Kalau kena cara nya mereka pasti mengaku,"
tambahnya. "Tidak ada cara yang akan membuat saya mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan," kata Erwin.
Kahar yang tetap tenang tetapi mengikuti semua kata-kata yang menuduh dan dituduh berkata: "Baiklah, yang kehilangan dan Saudara Dirham begitu pula para tersangka ikut dengan saya ke Kantor Polisi untuk memberi keterangan." Kahar yang tidak suka dengan suasana tegang bertanya dari mana asal Erwin dan
kedu?'kawannya.
"Saya dari Mandailing dan kedua sahabat saya ini kenalan baru di Bukittinggi, ingin turut ke Palembang. Mungkin oleh perasaan asal daerah yang sama, Kahar bertanya, siapa orang tua Erwin.
"Ayah saya sudah tidak ada. IMama beliau Dja Lubuk f" jawab Erwin.
Jawaban benar dan sederhana itu rupanya membuat Kapten
Kahar Nasution agak terkejut. Dia pernah mendengar cerita yang seperti dongeng tentang Dja Lubuk dengan anaknya Erwin. Dia dengar juga tentang seorang laki-laki bernama Erwin di dalam kematian hartawan Husni yang dibinasa-kan oleh harimau di luar
kota Muara Bungo. Apakah benar ini orangnya" Bukan tak mungkin dia ! hanya mengaku-ngaku anak Dja Lubuk dengan ha- i rapan orang takut kepadanya karena nama Dja Lubuk cukup disegani oleh mereka yang mengenal kisahnya. Ketika Kapten Polisi Kahar berpikir bahwa mungkin orang ini hanya omong kosong, mendadak
terdengar suara harimau di penginapan itu. Semua orang terkejut, juga Kapten Kahar. Tetapi ia segera paham, bahwa orang yang disangka mencuri itu berkata benar. Yang mengaum itu Dja Lubuk, ayah Erwin yang selalu hadir dimana anaknya terjepit. Kapten Kahar tidak akan mundur dalam menjalankan tugas, tetapi dia akan berhati-hati. Dia tahu tentang beberapa anggota Polisi yang tewas di Jakarta.
"Kapten," kata Erwin. "Sebelum Kapten membawa kami ke Kantor Polisi, saya punya usul. Yang jadi masalah pencurian dan siapa yang mencuri. Bagaimana kalau Kapten perintahkan agar semua orang yang menginap di hotel ini dan semua petugasnya berkumpul. Siapa tahu. Kapten akan mendapat pencurinya di sini.
Barangkali kawan-kawan saya, barangkali saya. Tetapi barangkali juga orang lain yang ada di antara kita!"
"Saya rasa tidak perlu Pak Kapten," kata Dirham. "Sudah pasti mereka. Usulnya itu hanya suatu muslihat licik untuk mengibuli Pak Kapten dan kita semua!"
"Saya tidak percaya kepada mereka, tetapi usulnya itu bukan usul yang pasti tak berguna. Kalau dia licik, akan kita ketahui juga kelicikannya!" kata Kapten Nasution dan ia memerintahkan bawahannya untuk mengumpulkan semua tamu dan petugas
penginapan. Setelah semua berkumpul, pihak penegak hukum
secara singkat menceritakan apa yang mereka sudah ketahui.
Seorang tamu kemalingan dan tiga tamu lainnya disangka menjadi pencurinya, karena mereka tidak memiliki apa-apa. Menyangka saja bukan merupakan kekuatan untuk menahan seseorang, apalagi membawanya ke pengadilan.
"Bapak kan tahu caranya, bagaimana membuat maling mengakui perbuatannya," kata Dirham. Tamsir menguatkan. Kedua orang ini
ingin Erwin dihajar sampai rusak, karena kedua-duanya sudah mendapat pelajaran dari si manusia harimau itu. Se kali lagi terdengar auman harimau di dalam penginapan itu. Dekat dan jelas sekali. Orang tambah takut dan gelisah.
"Apa itu Pak Kapten. Seperti suara nenek be-lang," kata Tamsir.
Mereka semua berkata serupa, Kapten Kahar pun mengatakan, bahwa ia juga mendengar.
Kemudian perwira Polisi itu berkata lagi "Barangkali harimau keramat. Saya pernah mendengar bahwa di sekitar sini memang ada harimau aneh. la datang kalau ada kejadian yang tidak baik.
Tetapi dia tidak mengganggu manusia yang tidak berdosa. Saya ingin bertanya kepada kalian "Saya mau mencari jalan tengah.
Kalau benar tak mungkin orang lain yang mencuri, saya akan bawa ketiga orang ini. Tetapi kalau misalnya bukan mereka yang mencuri, saya harap pencuri yang sebenarnya berbaik hati untuk mengaku.
Saya rasa yang kehilangan akan puas kalau barang dan uangnya dikembalikan. Bagaimana Saudara Tamsir!" Kapten Polisi Kahar berkata begitu, karena ia tidak ingin jatuh korban karena amarah Dja Lubuk, la yakin, bahwa Erwin ini benar anak Dja Lubuk.
Perasaannya itu pasti tidak keliru, begitu pikirnya walaupun ia tidak memperlihatkannya.
Ketika tidak ada seorang pun yang mengaku, Erwin mohon ijin untuk bicara.
"Saya punya pisau yang dapat menunjukkan siapa yang mencuri, kalau dia ada di antara kita," kata Erwin. "Sudah tentu, kalau Kapten percaya, bahwa di belahan bumi ini masih ada kekuatan gaib tersimpan di dalam berbagai tempat. Termasuk di dalam diri manusia, hewan dan benda mati." Kapten Kahar semakin percaya, bahwa inilah dia orangnya yang bernama Erwin, yang manusia harimau seperti ayahnya. Yang mengaum tadi tentu ayahnya, la pernah mendengar cerita yang seperti dongeng, bahwa Dja Lubuk akan bangkit dari makamnya kalau anaknya dalam bahaya.
"Bagaimana Tuan-tuan, tak ada ruginya kita lihat pisau orang yang Tuan-tuan tuduh ini. Apakah benar punya kemampuan
menunjukkan siapa yang sebenarnya melakukan pencurian!" kata Kapten Kahar Nasution.
"Ah, itu hanya sulap atau sihir yang akan menipu pandangan mata kita!" kata Dirham yang belum puas menghina Erwin.
"Kalau begitu kita tonton sulapnya itu," kata Kahar sambil bertanya kepada Erwin. "Apakah kami harus membayar?"
"Kami bukan tukang bikin pertunjukan Kapten!" jawab Erwin singkat.
Kapten Kahar memerintahkan anak buahnya supaya membuat
semua orang duduk membentuk lingkaran. Walaupun Dirham dan Tamsir serta seinlah orang keberatan, mereka terpaksa menurut perintah para penegak hukum itu. Kalau engkar bisa dianggap takut.
Dan takut, tanda bersalah.
Erwin duduk di tengah-tengah, sementara kedua sahabatnya
turut membuat lingkaran bersama hadirin yang lainnya. Datuk dan Koto semakin hormat kepada Erwin yang rupanya masih menyimpan banyak kepandaian. Betapa enaknya, kalau mereka mempunyai kepintaran semacam anak muda itu.
Pedang Asmara 11 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Pukulan Naga Sakti 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama