Ceritasilat Novel Online

Menjenguk Cakrawala 4

Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Bagian 4


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
naik ke pendapa dan duduk melingkar di atas tikar pandan yang putih.
"Ki Sanak," berkata Ki Jagabaya kemudian, "apakah aku harus memberikan lebih banyak keterangan untuk mencegah kalian memasuki hutan itu?"
Ki Wiradadi yang kemudian nampak menjadi bersungguh-sungguh. Katanya, "Ki Jagabaya, sebenarnyalah sejak aku memasuki padukuhan ini, terasa satu suasana yang lain.
Bahkan di beberapa padukuhan sebelumnyapun hal itu mulai terasa. Di kademangan sebelah, suasana seperti itu masih belum nampak, kecuali di satu dua padukuhan terakhir.
Keadaan itu sangat menarik perhatianku. Aku belum pernah menjumpai padukuhan yang dicengkam suasana seperti ini, seakan-akan diselimuti oleh kabut yang muram. Orang-orang padukuhan ini, dan beberapa padukuhan sebelumnya, rasa-rasanya tidak ingin berhubungan dengan orang-orang yang datang dari luar padukuhannya."
"Itu hanya perasaan Ki Sanak saja," berkata Ki Jagabaya.
"Tidak ada perasaan semacam itu di padukuhan ini. Penduduk padukuhan ini, termasuk padukuhan-padukuhan lain di kademangan ini adalah penduduk yang ramah."
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, "Ki Jagabaya, apakah tanggapanku salah" Bahkan di halaman inipun telah terjadi suasana seperti di seluruh padukuhan. Penuh kecurigaan dan kecemasan. Di tempat lain, atau katakanlah pada umumnya, jika diketahui ada tamu yang datang, maka biasanya tamu itu akan disambut baik, meskipun seandainya timbul persoalan. Apalagi mereka yang belum dikenal, akan segera ditemui dan dipersilahkan duduk.
Tetapi di rumah ini yang aku jumpai ternyata lain. Isi rumah ini sudah tahu bahwa ada tamu yang memasuki regol
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
halaman. Tetapi justru penghuni rumah ini seakan-akan bersembunyi. Baru kemudian, setelah aku memukul
kentongan, Ki Jagabaya datang menyambut kami."
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku mempunyai banyak pekerjaan, Ki Sanak. Aku tidak dapat menerima setiap tamuku, apalagi yang belum aku kenal."
"Siapapun dapat menerima kami, Ki Jagabaya. Tetapi penghuni rumah ini seakan-akan justru telah bersembunyi.
Satu penerimaan yang tidak wajar," berkata Ki Wiradadi.
"Bukan maksud kami mencela sikap ini Ki Jagabaya. Mungkin sikap itu adalah sikap kebanyakan penghuni padukuhan ini, tetapi kami kurang mengerti kenapa Ki Jagabaya bersikap seperti itu, sebagaimana sikap padukuhan ini terhadap orang yang datang dari luar," berkata Ki Wiradadi.
Ki Jagabaya menjadi tegang. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Karena Ki Jagabaya masih tetap diam, Ki Wiradadi berkata selanjutnya, "Ki Jagabaya, sebenarnyalah aku akan memasuki Hutan Jatimalang. Aku sudah mempersiapkan alat-alat berburu yang paling baik yang aku miliki. Aku memang harus berterima kasih kepada Ki Jagabaya yang telah
memperingatkan kami. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, kami adalah pemburu yang berpengalaman menjelajahi hutan.
Menghadapi binatang buas dan binatang berbisa apapun juga.
Ki Jagabaya, kami mempunyai sejenis minyak yang dapat kami usapkan di kulit kami, sehingga binatang berbisa jenis apapun tidak akan menggigit atau menyengat kami."
Tiba-tiba saja Ki Jagabaya menggeram. Sesuatu agaknya telah bergejolak di dalam hatinya. Pada saat ia tidak dapat lagi http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menahan diri, maka iapun berkata menghentak-hentak,
"Bukan hanya binatang buas dan binatang berbisa."
Ki Wiradadi mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Jika bukan sekedar binatang jenis apapun, lalu apa?"
Wajah Ki Jagabaya menjadi merah. Sorot matanya
memancarkan gejolak di dalam dadanya. Namun kemudian kepalanya menunduk dalam-dalam.
Ketiga orang yang mengawalnya itupun termangu-mangu.
Namun nampaknya merekapun menjadi gelisah.
Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana termangu-mangu pula untuk beberapa saat. Mereka merasakan betapa sesuatu tengah bergejolak di hati Ki Jagabaya itu. Namun Ki Wiradadi yang berpengalaman, tidak tergesa-gesa mendesaknya. Ia menunggu, sehingga Ki Jagabaya sempat mengendapkan perasaannya itu.
Baru kemudian Ki Jagabaya berkata, "Ki Sanak, aku tidak dapat membantah lagi, bahwa apa yang Ki Sanak katakan semuanya memang benar. Orang-orang padukuhan ini, dan bahkan setiap keluarga, termasuk keluargaku, selalu mencurigai orang lain yang datang memasuki padukuhan ini, karena selama ini kami telah mengalami satu tekanan yang sangat berat yang sampai saat ini belum teratasi."
"Apa yang telah terjadi, Ki Sanak?" bertanya Ki Wiradadi.
"Itu adalah persoalan kami. Kami tidak perlu
memberitahukan kepada orang lain karena hal itu hanya akan menjadi bencana saja bagi kademangan ini," jawab Ki Jagabaya.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukan maksud kami menumbuhkan kesulitan yang
semakin besar di kademangan ini. Namun jika Ki Jagabaya dapat memberitahukan persoalannya, maka agaknya kami akan dapat menempatkan diri kami. Karena sebenarnyalah bahwa kami semula memang tidak mempunyai kepentingan apapun dengan kademangan ini, selain sekedar lewat dalam perjalanan kami menuju ke Hutan Jatimalang," berkata Ki Wiradadi.
Ki Jagabaya termangu-mangu. Di luar sadarnya ia berpaling kepada ketiga orang pengawalnya. Namun ketiga orang pengawalnya itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Mereka sama sekali tidak mengerti, sikap yang manakah yang paling baik ditempuh oleh Ki Jagabaya pada saat seperti itu.
Mereka memang tidak terbiasa menghadapi orang yang mampu menekan perasaan mereka sehingga mereka harus berterus terang seperti pemburu itu.
"Ki Sanak," berkata Ki Jagabaya selanjutnya, "kademangan ini adalah kademangan yang malang. Adalah di luar kuasa kami untuk mengatasi kesulitan yang timbul beberapa tahun terakhir ini."
"Apakah yang terjadi?" bertanya Ki Wiradadi. "Sudah dua tiga kali kau mengucapkan pertanyaan itu."
"Aku tidak ingin memperburuk keadaan," jawab Ki
Jagabaya. "Kami berjanji untuk mengerti. Dan bukan kebiasaan kami untuk memperberat penderitaan seseorang. Apalagi kalian telah berbuat baik terhadap kami dengan berusaha mencegah kami memasuki hutan itu," berkata Ki Wiradadi.
Ki Jagabaya masih saja ragu-ragu. Namun di dalam hatinya telah tumbuh kepercayaan kepada ketiga orang yang
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengaku pemburu itu. Bahkan ia berharap, jika ia berterus terang maka hendaknya ketiga orang pemburu itu
mengurungkan niatnya untuk memasuki hutan itu. Sebab apabila mereka benar-benar berniat memasuki hutan itu, Ki Jagabayapun akan dapat dituduh berbuat salah tidak mencegah sekelompok pemburu memasuki hutan itu.
Karena itu, maka katanya, "Baiklah, Ki Sanak. Aku akan berterus terang. Namun dengan demikian aku berharap Ki Sanak tidak meneruskan niat Ki Sanak memasuki hutan itu."
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Sementara itu Ki
Jagabaya berkata selanjutnya, "Ki Sanak, di hutan itu terdapat sekelompok orang yang tidak mau berhubungan dengan orang lain dalam keadaan apapun. Jika mereka terpaksa
berhubungan, tentu dalam keadaan yang sangat khusus."
"Maksud Ki Jagabaya dengan sangat khusus?" bertanya Ki Wiradadi.
"Karena terpaksa sekali. Misalnya jika mereka memerlukan garam. Jika mereka memerlukan kebutuhan hidup mereka sehari-hari," berkata Ki Jagabaya.
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima kasih atas keterangan Ki Sanak. Tetapi jika hanya demikian, kenapa hal itu telah membuat kademangan ini bersikap aneh?"
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki Sanak terlalu banyak ingin tahu."
"Persoalannya belum masuk ke dalam penalaran kami,"
jawab Ki Wiradadi.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya pula, "Ki Sanak, tempat ini adalah jalur jalan yang dipergunakan oleh sekelompok orang itu untuk berhubungan dengan sekelompok http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lain yang menyediakan segala kebutuhan dari kelompok yang ada di dalam hutan itu. Namun tidak mustahil bahwa kadang-kadang kademangan kami ini mengalami kesulitan karenanya.
Kami, penghuni kademangan ini tidak boleh tahu apa yang setiap kali dibawa oleh sekelompok orang yang lewat padukuhan dan bahkan kademangan ini."
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya, "Apa sebabnya" Apakah yang dibawa oleh sekelompok orang itu akan berkurang jika kalian mengetahuinya?"
"Kami tidak tahu," jawab Ki Jagabaya. "Tetapi sekelompok orang itu hampir sama garangnya dengan sekelompok orang yang ada di dalam hutan. Kadang-kadang kami tidak mengerti apakah kesalahan kami, namun tiba-tiba saja sekelompok orang itu marah kepada kami."
"Lalu apa yang mereka lakukan jika mereka marah?"
bertanya Ki Wiradadi.
"Kami harus membayar denda," jawab Ki Jagabaya.
"Kadang-kadang uang. Tetapi kami pernah dua kali harus membayar denda yang sangat mahal. Jika kami menolak, maka seluruh isi kademangan ini akan ditumpas."
"Denda apakah itu?" bertanya Ki Wiradadi.
"Kami harus membayar dengan menyerahkan setiap kali dari kedua denda yang sangat mahal itu seorang gadis," jawab Ki Jagabaya.
"Seorang gadis?" bertanya Ki Wiradadi dengan tegang.
"Ya," jawab Ki Jagabaya.
"Jadi Ki Jagabaya, atau katakanlah kademangan ini pernah menyerahkan dua orang gadis?" desak Ki Wiradadi.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Seorang hampir dua tahun yang lalu. Sedang yang seorang baru beberapa bulan berselang," jawab Ki Jagabaya.
Wajah Ki Wiradadi menjadi tegang. Demikian pula
Manggada dan Laksana. Bahkan hampir di luar sadarnya Manggada bertanya, "Apakah Ki Jagabaya mengetahui, untuk apa gadis-gadis itu?"
Ki Jagabaya menggeleng.
"Jadi Ki Jagabaya menyerahkan juga gadis-gadis itu?"
bertanya Ki Wiradadi.
"Jika tidak, maka kademangan kami telah menjadi abu.
Para penghuninya telah menjadi tanah sekarang ini dan kademangan ini tidak akan pernah ada lagi," jawab Ki Jagabaya.
"Kenapa kalian tidak melawan?" bertanya Ki Wiradadi.
"Melawan?" bertanya Ki Jagabaya.
"Ya, melawan. Bukankah ada banyak laki-laki di
kademangan ini?" bertanya Ki Wiradadi pula.
"Jika kami melawan, maka nasib seisi kademangan ini akan justru menjadi semakin buruk. Kekuatan apa yang dapat kami pergunakan untuk melawan" Bukan hanya dua orang gadis yang akan hilang. Tetapi sama nasibnya sebagaimana kami tidak menyerahkan gadis-gadis," berkata Ki Jagabaya.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Mereka yang datang ke kademangan itu dengan sikap seorang pemburu itu telah mendapat bahan yang jelas tentang dua kelompok orang yang telah menakut-nakuti kademangan itu. Sekelompok orang yang biasa mengorbankan gadis-gadis itu dan sekelompok orang yang, menjadi alatnya untuk mendapatkan gadis-gadis.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Agaknya kedua kelompok itu merupakan kelompok yang mirip. Yang mengorbankan gadis-gadis itu tentu sekelompok orang yang mengikuti aliran yang sesat. Sementara kelompok yang lain adalah sekelompok orang-orang yang tamak, yang tanpa menghiraukan penderitaan orang lain dan tanpa mengenal perikemanusiaan telah berusaha mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang beraliran sesat.
"Sedangkan orang-orang beraliran sesat itu tentu
mendapatkan uang dengan cara yang tidak sepantasnya pula,"
berkata Ki Wiradadi di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, maka Ki Wiradadi itupun telah berkata, "Ki Jagabaya, agaknya kami menjadi jelas duduk persoalannya. Ki Jagabaya telah menghadapi kekuatan yang menurut perhitungan kademangan itu tidak terlawan. Karena itu, maka Ki Jagabaya merasa perlu untuk memenuhi segala tuntutan mereka, meskipun itu ternyata sangat mahal harganya. Menyerahkan gadis-gadis."
"Karena itu, Ki Sanak," berkata Ki Jagabaya, "jangan menambah penderitaan kami. Jangan kau teruskan perjalanan kalian, karena hal itu hanya akan membuat mereka marah.
Yang akan menjadi sasaran adalah kademangan ini."
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Tetapi iapun bertanya,
"Tetapi apakah sekelompok orang itu memang menghuni Hutan Jatimalang?"
"Sebenarnya tidak. Tetapi mereka sering berada di hutan itu, apalagi jika mereka dalam kesepakatan serah terima atas kebutuhan mereka," jawab Ki Jagabaya.
"Jika mereka tidak berada di hutan itu?" bertanya Ki Wiradadi.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami tidak tahu. Tetapi menurut pendengaran kami, mereka berada di kaki gunung," jawab Ki Jagabaya.
"Ki Jagabaya," tiba-tiba seorang di antara pengawalnya itu menegurnya.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Hatiku telah tidak mampu memuat lagi. Aku tidak tahu, kenapa aku mempercayai ketiga orang-pemburu itu."
"Baiklah, Ki Jagabaya," berkata Ki Wiradadi. "Jika demikian justru aku akan memasuki hutan itu."
"Aku sudah mencoba untuk mencegah," berkata Ki
Jagabaya. "Juga demi keselamatan kami."
"Katakan bahwa kami tidak melalui jalan kademangan ini jika mereka marah karena kehadiran kami," jawab Ki Wiradadi,
"agar kami bukan menjadi bencana ketiga bagi kalian. Tetapi kamipun tidak dapat dicegah."
Ki Jagabaya termangu-mangu. Namun ia benar-benar tidak dapat mencegah ketiga orang pemburu itu yang berniat benar-benar untuk memasuki hutan itu. Nampaknya ketiga orang pemburu itu benar-benar akan menjadi bencana ketiga jika Ki Jagabaya akan menahan mereka.
Karena itu, maka Ki Jagabaya yang sudah tidak tahu lagi apa yang sebaiknya dilakukan, akhirnya menyerah pada keadaan. Ketiga orang-orangnya yang garang, dan beberapa orang lain yang ada di halaman, adalah orang-orangnya yang paling dipercaya. Tetapi menurut penilaian Ki Jagabaya, mereka tidak akan dapat menghentikan ketiga orang pemburu itu tanpa jatuh korban. Bahkan mungkin terlalu banyak dibandingkan dengan jumlah orang yang tinggal.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun agaknya orang-orangnyapun nampak lebih sesuai dengan keputusan Ki Jagabaya, membiarkan ketiga orang itu berjalan terus. Bahkan ketiga orang kepercayaan Ki Jagabaya itu berpendapat hampir sama di dalam dirinya, "Biar saja orang itu ditelan hutan yang garang dan isinya yang menggetarkan jantung itu. Agaknya itu lebih baik daripada harus mencegah pemburu-pemburu itu dengan kekerasan.
Agaknya mereka juga orang-orang berilmu, sebagaimana orang-orang yang sering memaksakan kehendaknya di
padukuhan, bahkan di kademangan ini. Bahkan ketiganya sama sekali tidak mengganggu kami. Sikapnya jauh lebih baik dan sama sekali berbeda dengan orang-orang yang pernah menimbulkan bencana di padukuhan ini."
Karena itulah, ketika ketiganya kemudian berniat
meneruskan perjalanan, mereka sama sekali tidak berusaha menahan perjalanan mereka.
Demikianlah, ketiga orang itu telah turun dari pendapa.
Mereka melihat beberapa orang yang bersembunyi di balik perdu. Tetapi karena tidak terjadi apa-apa, maka merekapun tidak berbuat apa-apa.
"Kami tidak perlu singgah di rumah Ki Bekel," berkata Ki Wiradadi. "Mohon Ki Jagabaya menyampaikan kepadanya, bahwa kami telah menempuh perjalanan ini. Barangkali Ki Jagabayapun dapat berbicara dengan Ki Bekel dan orang-orang di padukuhan ini, apa yang akan kalian katakan tentang kami jika orang-orang itu bertanya kepada kalian, karena kami telah hadir di Hutan Jatimalang. Apakah kalian akan ingkar, atau kalian akan mengatakan alasan lain, terserah kepada kalian."
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menjawab. Meskipun demikian ia mempunyai kesan, bahwa http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ketiga orang itu bukan orang yang berniat berbuat jahat.
Meskipun Ki Jagabaya juga tidak yakin, bahwa mereka bukan sekedar pergi berburu ke Hutan Jatimalang. Namun terbersit di hatinya bahwa hendaknya orang-orang itu akan membawa perubahan di kademangannya, yang sudah bertahun-tahun dibayangi oleh kegelisahan dan ketakutan.
Ketiga orang pengawal Ki Jagabaya itu ternyata mempunyai kesan yang sama dengan Ki Jagabaya. Bahkan seorang di antara mereka berkata, "Apakah mereka memang dikirim oleh Yang Maha Agung untuk memperbaiki keadaan kita?"
Ki Jagabaya tidak menjawab. Namun orang yang lain justru menyahut, "Atau sebaliknya" Jika kedatangan mereka menimbulkan kemarahan orang-orang yang ada di hutan itu, bukankah itu berarti bencana yang lebih besar bagi kita?"
Seorang lagi di antara mereka menyahut, "Kita sudah tidak mempunyai hak apa-apa lagi untuk bersikap. Kita tinggal menerima apa yang akan terjadi."
Yang lainpun kemudian terdiam. Sementara itu Ki Jagabaya berkata, "Aku akan pergi ke rumah Ki Bekel."
Dalam pada itu, Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana telah menyusuri jalan bulak di luar padukuhan itu. Nampaknya kademangan yang meliputi padukuhan itu adalah kademangan yang cukup besar. Namun tidak lebih dari sebuah kademangan yang mati.
"Kasihan," berkata Ki Wiradadi.
"Orang-orangnya hidup dalam kecemasan dan ketakutan.
Bukan untuk satu dua hari atau bulan, tetapi berbilang tahun,"
desis Laksana. http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya," sahut Manggada. "Itulah yang telah membentuk mereka menjadi orang-orang aneh. Curiga, cemas, ketakutan dan hampir tidak berani berhubungan dengan orang lain di luar padukuhan mereka."
"Pada suatu saat, mereka akan mengalami kesulitan yang tidak tertahankan. Sebagaimana mulai tercermin pada diri Ki Jagabaya yang tidak lagi mampu menahan desakan di dalam dadanya," berkata Ki Wiradadi.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun
mereka tidak menyahut. Perhatian mereka tertuju pada sebuah padukuhan kecil di hadapan mereka.
"Apakah kita akan bermalam di padukuhan seperti itu?"
bertanya Laksana.
Ki Wiradadi menggeleng. Katanya, "Sebaiknya tidak.
Kehadiran kita akan membuat mereka semalam suntuk
dibayangi oleh ketakutan yang sangat. Apalagi padukuhan kecil seperti itu."
"Jadi?" bertanya Laksana.
"Kita akan bermalam di perjalanan," jawab Ki Wiradadi. "Di pategalan di pinggir hutan itu atau dimana saja."
Laksana tidak menyahut lagi. Agaknya memang lebih baik demikian untuk menjaga agar mereka tidak menggelisahkan orang sepadukuhan.
Ketika mereka bertiga memasuki padukuhan kecil itu, maka suasana terasa semakin mencengkam. Orang-orang yang sempat melihat ketiga orang itu lewat dari kejauhan, mereka segera berusaha untuk berlindung atau memasuki regol halaman terdekat, atau memasuki jalan-jalan sempit dan berkelok menghilang.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Wiradadi memberikan isyarat kepada kedua orang anak-anak muda itu untuk berjalan terus. Mereka sama sekali tidak akan berhenti di padukuhan itu. Bahkan ketika mereka lewat di depan sebuah bangunan yang mereka perkirakan banjar padukuhan, mereka sama sekali tidak menjumpai seorangpun.
Laksana yang sempat menjengukkan kepalanya memang
melihat halaman banjar itu sepi.
Demikianlah maka mereka bertiga segera melanjutkan perjalanan. Ternyata padukuhan itu adalah padukuhan terakhir. Demikian mereka keluar dari padukuhan itu, maka mereka melihat bulak yang panjang. Di ujung bulak itu terdapat sebuah padang perdu yang luas, yang
menghubungkan bulak itu dengan ujung hutan yang terkenal.
Hutan Jatimalang.
Ketiga orang itu termangu-mangu. Mereka tidak dapat memasuki hutan langsung pada saat itu. Sebentar lagi malam akan turun. Sementara itu mereka belum mengenal medan yang akan mereka lalui. Apalagi mereka menyadari, bahwa mereka sama sekali bukan pemburu-pemburu yang
berpengalaman sebagaimana mereka katakan. Meskipun Ki Wiradadi memang mempunyai sedikit pengalaman perburuan, tetapi tentu tidak akan cukup memadai sebagai bekal memasuki Hutan Jatimalang di malam hari.
Manggada dan Laksana memang belum berpengalaman.
Meskipun mereka pernah menempa diri sebaik-baiknya, tetapi mereka sama sekali belum pernah dengan sengaja pergi berburu. Bersama guru mereka, kedua anak muda itu
memang pernah memasuki hutan yang lebat. Tetapi sama sekali bukan untuk berburu. Mereka memasuki hutan dalam rangka menempa kekuatan wadag mereka. Menyusup di
antara pepohonan yang roboh, akar-akar yang liar dan pepohonan yang merambat dan berduri. Namun sekali-sekali http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meloncati dahan-dahan patah, memanjat pepohonan,
bergantungan pada sulur yang kuat untuk berayun dan meloncati rawa-rawa yang menyimpan buaya sekalipun.
Namun demikian, latihan-latihan menjelajahi hutan itu akan dapat membantu mereka mengenali dan menguasai medan yang lebat. Bahkan Hutan Jatimalang sekalipun.
Tetapi tentu tidak di malam hari.
Karena itu, ketiga orang anak muda itupun telah berusaha untuk mendapatkan tempat bermalam. Langit nampak bersih.
Agaknya di malam yang segera akan datang, hujan tidak akan turun, meskipun kadang-kadang yang terjadi tidak seperti yang diharapkan.
"Kita akan bermalam di padang perdu itu," berkata Ki Wiradadi. Namun kemudian, "Tetapi jangan sampai kitalah yang diburu harimau, tetapi kitalah yang akan menjadi pemburu."
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun
bagaimanapun juga mereka harus berpikir, bahwa yang akan mereka lakukan adalah satu tugas yang berbahaya. Mungkin mereka akan dapat mengalami garangnya binatang buas, tetapi yang tidak dapat mereka perhitungkan adalah kekuatan orang-orang liar yang berilmu sesat itu. Yang menganggap bahwa kesetiaan mereka terhadap sumber kekuatan mereka akan dapat memberikan apa saja yang mereka inginkan.
Meskipun mereka harus memberikan pengorbanan yang
sangat mahal. Seorang gadis dengan syarat tertentu.
Ketiga orang itu ternyata mencapai batas tanah yang digarap oleh orang-orang padukuhan sebelum senja turun.
Matahari masih nampak di langit, meskipun sudah menjadi sangat rendah. Dengan demikian ketiga orang itu sempat http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengenali lingkungan itu. Bahkan mereka masih sempat memilih beberapa tempat yang paling baik mereka
pergunakan untuk bermalam. Namun di padang perdu itu tidak banyak didapati pohon-pohon yang agak besar. Baru beberapa ratus langkah lagi, setelah mendekati batas hutan, terdapat pohon-pohon yang lebih besar.
Tetapi tempaan lahir dan batin atas ketiga orang itu telah membuat ketiga orang itu tidak gentar. Justru setelah mereka mendapat tempat yang paling baik, maka mereka sempat melihat-lihat beberapa puluh langkah di sekitar mereka.
Ternyata tidak ada yang menarik perhatian, selain jalur jalan setapak yang menuju ke Hutan Jatimalang.
"Menilik buasnya hutan itu dengan segala jenis isinya, jalan setapak ini tentu bukan jalan orang yang mempunyai kebiasaan mencari kayu," berkata Ki Wiradadi
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Manggada berkata, "Tentu bukan. Besok kita akan melihat, jalan ini akan menuju ke arah mana. Jalan kecil ini bukan jalan yang disebut oleh para tawanan itu."
"Pengenalanmu sangat tajam," berkata Ki Wiradadi. "Tetapi pepohonan itu memberikan petunjuk bahwa kita tidak salah jalan."
"Ya. Pohon, sungai, gumuk kecil, dan arah," desis
Manggada. Yang lain mengangguk-angguk. Namun nampaknya tidak ada lagi yang mereka persoalkan, sementara itu langitpun menjadi buram dan malam mulai turun.
Di malam hari, ketiga orang itu sulit untuk dapat tidur nyenyak meskipun mereka telah membagi waktu. Di kejauhan http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
selalu terdengar suara binatang buas. Bahkan tengkuk mereka sempat meremang ketika mereka mendengar suara anjing hutan, jenis binatang yang hidup berkelompok dan sangat berbahaya. Dalam kelompok, anjing hutan dapat lebih berbahaya dari seekor harimau yang besar.
Adalah di luar sadar ketika mereka memperhatikan
beberapa batang pohon yang meskipun tidak terlalu besar, yang akan dapat menjadi tempat untuk menyelamatkan diri apabila sekelompok anjing hutan datang kepada mereka.
Ketiga orang itu merasa beruntung bahwa arah angin tidak menuju ke hutan. Tetapi justru dari arah hutan itu. Sehingga dengan demikian, bau keringat mereka tidak dibawa
berhembus ke hidung binatang-binatang buas. Meskipun pada dasarnya binatang buas selalu menghindari manusia, tapi dalam keadaan tertentu binatang buas akan dapat menyerang seseorang.
Ketiga orang itu tidak segera dapat tidur. Ki Wiradadi lalu bertanya, "Siapakah yang lahir tepat pada saat matahari terbenam?"
"Kenapa?" bertanya Manggada.
"Seorang yang demikian disebut julung macan. Orang yang lahir di saat matahari terbenam adalah orang yang dicari oleh harimau untuk menjadi mangsanya," berkata Ki Wiradadi.
"Benar begitu?" bertanya Manggada.
"Kau lahir di saat matahari terbenam?" bertanya Ki Wiradadi.
Manggada menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku lahir hampir tengah malam."
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Wiradadi tersenyum. Katanya, "Sukurlah. Bagaimana dengan kau?"
Laksana yang sedang menguap tidak segera menjawab.
Namun kemudian katanya, "Bagaimana jika lahir tepat pada saat matahari terbit?"
"Julung kembang. Seekor harimau hanya akan mencium baunya. Tetapi akan menyingkir dan tidak akan
menerkamnya," jawab Ki Wiradadi. "Apakah kau lahir tepat di saat matahari terbit?"
"Tidak," jawab Laksana. "Aku lahir beberapa saat menjelang matahari terbit. Hampir dini hari."
"O," Ki Wiradadi mengangguk-angguk. "Tidak ada di antara kita yang julung macan."
"Ki Wiradadi lahir di saat yang bagaimana?" bertanya Manggada.
"Aku lahir di saat matahari mencapai puncaknya," jawab Ki Wiradadi sambil tertawa pendek.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun Laksana masih juga bertanya, "Ki Wiradadi percaya kepada sebutan julung macan dan julung kembang itu, serta hubungannya dengan seekor harimau?"
"Kalau sebutan itu sendiri, aku tidak berkeberatan. Tetapi sudah tentu tidak ada hubungannya sama sekali dengan seekor harimau," jawabnya.
Manggada mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk.
Ketiga orang itupun kemudian saling berdiam diri. Ketika mereka mendengar aum seekor harimau, mereka berdebar-debar. Tetapi ternyata suara itu tidak menjadi semakin dekat.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita harus beristirahat," berkata Ki Wiradadi. Lalu, "Silakan kalian tidur. Bukankah aku mendapat giliran pertama. Jika kalian tidak segera tidur, maka akan datang giliran kedua bagi salah seorang di antara kalian, sehingga kesempatan untuk tidur menjadi semakin sempit."
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Namun mereka
memang berusaha untuk tidur. Mereka sama sekali tidak menaruh kecurigaan kepada Ki Wiradadi yang sedang mencari anak gadisnya.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian kedua anak muda itu tertidur juga. Sementara Ki Wiradadi berjaga-jaga. Untuk menghindarkan diri dari perasaan kantuk, Ki Wiradadi melangkah hilir mudik di dekat anak-anak muda itu sedang tidur.
Adalah sangat mengejutkannya ketika seekor ular hitam merambat menyilang di kaki Manggada yang sedang tidur nyenyak. Dengan berdebar-debar ia memperhatikan ular itu.
Jika dengan tidak sengaja Manggada bergerak dalam tidurnya, maka ular itu akan dapat menggigitnya.
Untunglah bahwa Manggada sama sekali tidak bergerak sehingga ular itu melewatinya dan hilang di dalam semak-semak.
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Keringat dingin telah membasahi punggungnya.
Ketika datang giliran kedua bagi mereka bertiga, maka Ki Wiradadi telah membangunkan Manggada. Sebelum Ki
Wiradadi tidur, ia sempat memberitahukan tentang ular hitam itu.
Manggada mengangguk-angguk. Terasa jantungnya
berdebar semakin cepat.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Berhati-hatilah," pesan Ki Wiradadi.
Ketika Ki Wiradadi kemudian berbaring, maka Manggada telah menyiapkan busur dan anak panahnya. Ia akan dapat membunuh ular itu dengan memanah arah kepalanya dan mengenainya.
Tetapi malam itu tidak terjadi sesuatu atas ketiga orang itu.
Laksana yang mendapat tugas terakhir, menunggui mereka sampai matahari mulai membayang.
Demikianlah, di saat matahari terbit, mereka telah meneruskan perjalanan. Namun mereka benar-benar
mempergunakan busur dan anak pernah untuk menangkap seekor binatang buruan, justru ketika mereka belum memasuki hutan yang lebat. Ketika mereka menemukan sebuah mata air, maka mereka telah menunggu sejenak dengan penuh kesabaran, sehingga seekor kijang datang untuk minum.
"Kita harus makan sebelum memasuki hutan itu," desis Ki Wiradadi.


Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah, akhirnya mereka benar-benar telah memasuki hutan itu. Seperti petunjuk dari orang-orang yang tertawan, akhirnya mereka menemukan pintu gerbang dari hutan yang lebat dan garang. Sepasang pohon raksasa yang tumbuh berjarak sekitar sepuluh langkah. Pohon jati yang umurnya telah beratus tahun.
"Kita memasuki hutan itu," desis Ki Wiradadi. "Kita akan menyusup di antara kedua batang pohon jati raksasa itu."
Demikianlah, dengan sangat berhati-hati mereka berjalan di antara kedua batang pohon jati raksasa itu. Mereka memang mendapatkan semacam jalan sempit di antara lebatnya http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pepohonan hutan. Jalan sempit yang menghunjam, menusuk langsung ke jantung Hutan Jatimalang.
Beberapa saat mereka bertiga menjadi ragu-ragu. Ki Wiradadi sempat berdesis, "Apakah kita akan memasuki hutan ini lewat jalan yang disebut oleh para tawanan itu" Bukankah dengan demikian kita akan sampai ke tempat mereka bertemu dan membuat perjanjian dengan orang-orang beraliran sesat itu?"
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian Manggada berkata, "Kita akan menempuh jalan sempit ini.
Setelah kita mendekati tempat itu, yang ciri-cirinya tentu akan kita kenali, maka kita akan menentukan sikap lagi."
"Aku sependapat," berkata Laksana. "Jalan ini masih cukup panjang."
"Namun kita tidak boleh kehilangan sikap berhati-hati.
Meskipun masih cukup jauh, tetapi ada beberapa jenis bahaya yang mengancam kita. Bahkan mungkin kita akan masuk ke dalam perangkap meskipun pada dasarnya aku percaya kepada keterangan para tawanan itu," sahut Ki Wiradadi.
Kedua anak muda itupun mengangguk-angguk. Dengan
anak panah siap pada busurnya, masing-masing berjalan di sepanjang jalan sempit itu. Sekali-sekali mereka mengenali ciri-ciri yang pernah disebutkan oleh para tawanan, yang sebelumnya pernah memasuki hutan itu. Bahkan mungkin tidak hanya satu dua kali.
Ketiga orang itu kadang-kadang memang harus berhenti barang sejenak, jika mereka melihat sesuatu yang agak asing bagi mereka yang jarang sekali memasuki hutan-hutan lebat, meskipun mereka mempunyai pengetahuan yang cukup untuk sebuah perburuan.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka kadang-kadang dikejutkan oleh segerombolan kera yang bergayutan di dahan-dahan pepohonan, yang
nampaknya sedang menempuh satu perjalanan bersama-sama dari satu tempat ke tempat yang lain yang mungkin
menyimpan makanan cukup bagi mereka.
Namun kadang-kadang merekapun harus mengagumi
beberapa jenis burung yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Ketiga orang itu memang sudah pernah mengenali lebatnya hutan belantara, meskipun dengan tujuan lain. Sehingga dengan demikian, mereka bertiga tidak begitu canggung berada di Hutan Jatimalang.
Meskipun demikian, isi hutan-hutan belantara memang berbeda-beda.
Ketika mereka menyusuri jalan sempit itu semakin dalam, mereka mulai menemukan sesuatu yang menarik perhatian.
Mereka menemukan bumbung bambu yang dibuat sebagai alat untuk minum. Bahkan juga tempurung kelapa yang
nampaknya memang dibuat sebagai alat minum, sebagaimana bumbung-bumbung bambu itu.
Ki Wiradadi dan kedua orang anak muda yang
menyertainya itu, telah mengamati alat-alat minum itu.
Bahkan merekapun sempat mengamati lingkungan yang lebih luas lagi, di sekitar tempat mereka menemukan alat untuk minum itu.
Mereka bertigapun kemudian mengambil satu kesimpulan, bahwa tempat itu menjadi tempat sekelompok orang yang membawa gadis-gadis untuk beristirahat.
"Kenapa di tempat ini?" bertanya Manggada.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Tetapi iapun juga
berdesis, "Ya, kenapa di tempat ini" Apakah di tempat ini ada yang menarik, atau sesuatu yang tidak terdapat di tempat lain?"
Beberapa saat mereka bertiga termangu-mangu. Namun kemudian mereka mulai memperhatikan keadaan tempat itu dengan jangkauan yang lebih jauh.
Ketika Manggada meloncat ke atas sebatang pohon yang rebah, maka ia mulai memperhatikan suara yang lamat-lamat didengarnya.
"Air," desisnya.
Karena itu, maka iapun berkata kepada Ki Wiradadi dan Laksana, bahwa tidak jauh dari tempat itu tentu terdapat sebuah sungai kecil.
Ketiganyapun kemudian telah berdiri pula di atas sebatang pohon kayu yang besar, yang roboh tersandar pada batang-batang kayu lain. Sementara pepohonan yang lebih kecil justru ikut menjadi roboh karenanya.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya
sungai itulah yang membuat mereka berhenti di tempat ini, yang selanjutnya menjadi tempat pemberhentian yang tetap.
Nampaknya satu dua alat minum mereka tercecer atau mereka anggap sudah tidak terpakai lagi, sehingga tertinggal di tempat itu."
Yang lain mengangguk-angguk. Namun Manggadapun
kemudian berkata, "Marilah kita lihat."
Dengan menjinjing busur, agar dapat lebih cepat
dipergunakan jika perlu, daripada disangkurkan di bahu, ketiga http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang itu dengan hati-hati bergeser ke arah sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah hutan.
Meskipun suaranya sudah terdengar, namun ternyata
mereka masih harus berjalan beberapa lama, menyusup batang-batang kayu yang roboh, meloncati rerumputan berduri dan menyibak gerumbul-gerumbul perdu. Sekali-sekali mereka terhenti oleh sulitnya jalan yang mereka tempuh.
Agaknya mereka memerlukan waktu untuk mendekati sungai yang sudah mereka dengar gemericik airnya itu.
Tetapi tiba-tiba saja mereka telah sampai pada sebuah jalan setapak yang nampaknya merupakan jalan, yang meskipun tidak terlalu sering, tetapi sekali-sekali dilalui oleh kaki-kaki manusia. Bukan sekedar kaki binatang.
"Kita dapat mengikuti jalan setapak ini," desis Manggada.
"Ya," sahut Laksana, "mudah-mudahan kita dapat
menemukan sesuatu."
"Setidak-tidaknya petunjuk tentang sesuatu," desis Ki Wiradadi.
Dengan tetap berhati-hati, ketiganya berjalan menyelusuri jalan setapak yang ternyata sangat licin itu. Lumut tumbuh menutupi hampir seluruh jalan setapak itu. Bahkan di beberapa bagian jalan itu justru telah tertutup dengan genangan air meskipun tidak di musim hujan.
"Berhati-hatilah terhadap jenis-jenis ular air yang senang hidup di genangan air seperti itu," berkata Ki Wiradadi.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Merekapun
sudah diperkenalkan oleh guru mereka, bahwa kehidupan di daerah yang basah diwarnai dengan beberapa jenis ular.
Ketika mereka lewat di dekat rawa-rawa yang berair lebih http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
banyak, mereka berhenti sejenak untuk melihat jenis binatang yang bergerak-gerak di dalam air.
"Buaya," desis Manggada.
"Terlalu kecil," sahut Laksana. "Sejenis biawak yang besar."
Ki Wiradadilah yang menyahut, "Tidak. Bukan biawak.
Memang buaya. Tetapi buaya-buaya kerdil. Justru jenis buaya yang berbahaya. Buaya-buaya kerdil yang berwarna kehijauan itu hidup dalam kelompok-kelompok. Sekali seekor binatang digigit oleh salah satu dari buaya itu dan menitikkan darah, maka dalam sekejap binatang itu sudah tidak akan nampak lagi tertimbun oleh sekelompok buaya kerdil. Kemudian yang tertinggal adalah sekedar kerangkanya saja."
Laksana mengangguk-angguk. Ketika ia menjadi semakin jelas memperhatikan binatang yang ada di dalam rawa-rawa itu, maka iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya.
Memang buaya. Buaya dari jenis yang kecil."
Namun bulu-bulu tengkuknya meremang ketika ia
membayangkan seekor binatang buas yang tinggal
kerangkanya saja.
"Bagaimana dengan seekor harimau?" tiba-tiba saja
Laksana bertanya.
"Ya. Seekor harimau yang terperosok ke dalam rawa-rawa itu akan menjadi mangsa buaya-buaya kerdil itu. Jika seekor buaya menggigit kakinya dan berdarah, maka akibatnya akan sangat pahit bagi binatang itu. Bahkan jika harimau itu membalas menggigit buaya kerdil itu, maka darah buaya itu sendiri akan menjerat harimau itu ke dalam maut," jawab Ki Wiradadi. Lalu katanya pula, "Apalagi seekor rusa, kijang atau banteng sekalipun."
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Laksana mengangguk-angguk.
"Marilah," tiba-tiba Manggada mendesak. "Aku menjadi ngeri untuk berlama-lama disini. Jika kaki kita diterkam dan digigitnya, maka kitapun akan habis di rawa-rawa ini."
Sejenak kemudian mereka telah meninggalkan rawa-rawa itu. Mereka telah mencapai tepi sebuah sungai yang tidak begitu deras airnya. Tetapi nampak sebuah kedung yang cukup luas di tikungan.
Ternyata bahwa air sungai itu cukup jernih. Di lereng yang menurun terdapat sebuah tangga yang nampaknya dibuat oleh seseorang. Tidak terlalu tinggi.
Tetapi ketiga orang itu tidak menuruni lereng tanggul itu.
Mereka berdiri saja di atas tanggul sambil melihat betapa jernihnya air sungai itu, sehingga dasarnya dapat kelihatan.
Ikan-ikan yang hilir mudik dari berbagai jenispun nampak dengan jelas.
"Nampaknya kita berada di tempat yang benar. Marilah, kita ikuti kembali jalan setapak itu. Mungkin akan dapat menunjukkan kepada kita, kemana kita akan pergi
selanjutnya," berkata Ki Wiradadi.
Ketiga orang itupun telah melangkah kembali sepanjang jalan setapak itu. Mereka mengikuti jalur itu sehingga mereka sampai ke tempat yang agak lapang di tengah-tengah lebatnya hutan itu.
"Kita sampai ke tempat yang kita cari," berkata Ki Wiradadi.
Kedua orang anak muda yang menyertainya mengangguk-angguk.
Manggadapun berkata, "Ciri-cirinya sesuai benar dengan keterangan orang-orang yang tertawan itu."
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi kita tidak menemukan apa-apa disini," desis Laksana.
"Memang tidak," sahut Ki Wiradadi. "Tetapi di sinilah gadis-gadis itu diserahkan kepada orang-orang yang beraliran sesat itu."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tetapi saat-saat penyerahan itu jarang sekali terjadi. Mungkin sebulan sekali di hari-hari yang tidak diketahui.
"Lalu apa yang kita dapatkan disini?" bertanya Laksana.
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan
sungguh-sungguh mereka mengamati tempat itu. Beberapa buah batu besar, perapian dan beberapa pertanda yang menjelaskan bahwa tempat itu memang sering dikunjungi orang.
"Orang-orang yang membawa gadis yang akan dijual itu agaknya sering berhenti di tempat yang kita amati sebelum kita menemukan jalur ke sungai. Mereka berhenti di tempat itu untuk menunggu saat-saat penyerahan," Ki Wiradadi
menjelaskan perhitungannya.
"Ya," Manggada mengangguk-angguk. "Agaknya
penyerahan itu hanya dilakukan di hari-hari tertentu."
Ketiga orang itu menjadi semakin yakin akan penemuan mereka. Karena itu, dengan anak panah siap pada tali busur mereka sehingga setiap saat segera dapat dilepaskan, ketiga orang itu mengamati tempat itu dengan seksama.
Manggada terkejut ketika di balik gerumbul yang rimbun diketemukan sosok kerangka manusia yang tertindih kekayuan silang-melintang, sehingga sulit untuk dapat mengambilnya.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah mungkin seseorang yang tertimpa batang-batang pepohonan yang roboh?" desis Manggada.
Ki Wiradadi dan Laksana yang kemudian melihat pula kerangka itu, mencoba untuk mengurainya. Namun mereka sependapat bahwa orang itu tertindih kekayuan sehingga mayatnya tidak diseret oleh binatang buas dari tempat itu.
Namun menurut pengamatan Ki Wiradadi, yang memiliki pengetahuan dan pengalaman cukup luas, ia menduga bahwa yang telah mati itu adalah seorang perempuan.
"Kenapa seorang perempuan?" bertanya Laksana.
Ki Wiradadi menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak tahu."
"Apakah Ki Wiradadi dapat menduga, berapa lama kerangka itu terbaring di situ?" bertanya Manggada.
Ki Wiradadi termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Aku tidak tahu pasti. Tetapi menilik tulang-tulang itu, mungkin kerangka itu sudah terbaring di tempat itu kira-kira sejak setahun yang lalu."
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun sudah pasti bagi mereka, bahwa sosok kerangka itu tentu bukan anak perempuan Ki Wiradadi, karena anak itu belum terlalu lama diambil dari rumahnya.
Namun menitik tempat itu, maka ketiga orang itupun menjadi semakin yakin, bahwa orang-orang yang mengambil gadis-gadis itu adalah orang-orang yang tidak lagi hidup sewajarnya sebagai orang-orang yang beradab.
"Kita akan menelusuri jalan menuju ke tempat mereka,"
berkata Ki Wiradadi.
"Kita tidak tahu berapa lama kita akan sampai ke tempat mereka," desis Manggada.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya, kita tidak mengerti seberapa jauh jalan yang akan kita tempuh. Tetapi kita harus memperhitungkan kemungkinan di tengah-tengah hutan ini," desis Laksana.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Namun iapun berkata,
"Apakah kalian belum pernah mendapat petunjuk bagaimana kita bermalam di dalam hutan yang lebat seperti ini?"
"Kami pernah mempelajarinya," jawab Manggada. "Bahkan kami telah melakukannya beberapa kali."
"Apa yang kalian lakukan?" bertanya Ki Wiradadi.
"Memanjat pepohonan," jawab Manggada dan Laksana
hampir berbareng.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Karena itu katanya, "Jika demikian, bukankah kita tidak akan mengalami kesulitan?"
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi lebih senang bermalam di luar hutan daripada di dalam hutan ini."
"Jika terpaksa?" bertanya Ki Wiradadi.
"Apa boleh buat," jawab Laksana.
"Baiklah," berkata Ki Wiradadi. "Jika demikian, kita akan menelusuri jalan ini. Kita akan sampai ke satu tempat yang barangkali merupakan tempat yang sangat berbahaya."
"Jika jalan itu yang harus kita tempuh, maka kita akan menempuhnya," berkata Laksana.
Demikianlah, maka mereka bertiga telah bersiap menempuh satu perjalanan yang berbahaya. Jalan yang sebelumnya tidak mereka dapatkan gambaran sama sekali, karena yang
diceriterakan oleh para tawanan hanya sampai ke tempat mereka menyerahkan gadis-gadis di tengah hutan yang lebat itu. Selebihnya tidak seorangpun yang mengetahuinya.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Wiradadi dengan busur yang siap dipergunakan berjalan paling depan sambil mengikuti jejak. Di belakangnya Laksana dan yang paling belakang adalah Manggada.
Ketiganya benar-benar siap melakukan apa saja untuk menembus lebatnya hutan, dan mendekati tempat orang-orang yang beraliran sesat itu.
Namun jalan itu memang terlalu rumit. Kadang-kadang mereka seakan-akan telah kehilangan jalur.
-oo0dw0oo- JILID 04 NAMUN, ternyata ketiga orang itu adalah orang-orang yang berhati tabah. Mereka tidak cepat kehilangan akal atau menjadi putus asa. Kadang-kadang mereka memang hampir tidak berpengharapan. Tetapi karena ketekunan mereka, maka akhirnya mereka menemukan kembali jalur jalan yang harus mereka lalui.
Tetapi dengan demikian, mereka tidak dapat memaksa diri untuk berjalan dengan cepat agar mereka segera keluar dari hutan itu. Mereka telah terlanjur ada di dalam lebatnya hutan, yang seakan-akan seperti jalan kusut dan sulit untuk dicari ujung pangkalnya.
Karena itu, bagaimanapun juga mereka berusaha, mereka tidak dapat mencapai tepi hutan itu sebelum matahari terbenam. Bahkan sebelum matahari itu merendah, terasa keadaan di dalam hutan telah menjadi gelap, sehingga mereka tidak mungkin lagi untuk meneruskan perjalanan. Mereka tidak http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dapat lagi menemukan jejak yang dapat menuntun mereka menuju ke arah yang benar.
"Kita terjebak di sini untuk semalam," desis Laksana.
Ki Wiradadi tersenyum. Katanya, "Ya. Satu ujian bagi kita, apakah kita memang dapat melakukannya, bermalam di lebatnya hutan."
"Ya," sahut Laksana. "Jika kita gagal menempuh ujian kali ini, maka kita tidak akan pernah dapat mengulanginya lagi."
"Bukan satu kesulitan bagi kita," berkata Manggada.
Laksana tertawa. Tetapi mereka memang tidak dapat
memilih. Mereka harus bermalam di hutan itu.
Demikianlah, tapi mereka masih mampu mengamati
pepohonan yang seakan-akan tumbuh berdesakan itu, dan memilih pohon yang paling baik bagi mereka. Mereka tidak perlu menemukan tiga batang pohon. Tetapi mereka akan berada pada cabang-cabang pohon dari sebatang pohon yang cukup besar.
Akhirnya mereka menemukan juga sebatang pohon yang tidak terlalu besar, tetapi juga bukan sekedar sebatang pohon perdu.
"Kita harus berhati-hati," berkata Ki Wiradadi. "Memang ada kemungkinan kita terhempas jatuh."
Demikian mereka memanjat dan menemukan tempat yang mereka anggap baik, maka gelappun telah turun. Meskipun dari celah-celah dedaunan mereka masih melihat cahaya matahari yang lemah di bibir mega, namun cahaya itu sudah tidak mampu lagi menembus dedaunan dan menerangi perut hutan yang lebat itu.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun ketiga orang itu menyadari, bahwa malam tentu akan menjadi sangat panjang.
Sebenarnyalah bahwa di malam yang sangat panjang itu, mereka bertiga hampir tidak tidur dalam arti yang sebenarnya.
Sekali-sekali terasa tubuh merasa bagaikan akan kehilangan keseimbangan.
Namun ternyata mereka bertiga cukup terlatih, sehingga mereka tidak terjatuh dari dahan sebatang kayu yang cukup tinggi.
Sementara itu, merekapun selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan. Di samping berjenis-jenis serangga yang beracun, merekapun harus berhati-hati menghadapi ular-ular berbisa yang merayap di pepohonan, seperti ular gadung.
Meskipun bisanya tidak setajam bisa ular hitam atau ular bandotan, namun ular gadung akan dapat membunuh juga jika terlambat mendapat penawarnya.
Di samping binatang-binatang [hal. 7, paragraf 2: ?""] pun akan sangat berbahaya bagi mereka. Jenis harimau hitam yang mempunyai kebiasaan berkeliaran di cabang-cabang pepohonan.
Lewat tengah malam, mereka bertiga memasang anak
panah pada busur mereka dan siap dilepaskan ketika mereka mendengar dengus harimau di bawah pohon itu. Bahkan kemudian harimau itu tidak sekedar mendengus, tetapi mengaum keras sekali. Tetapi ketiga orang yang memanjat pohon itu tidak sempat melihat harimau itu di dalam kegelapan.
Ternyata harimau itu tinggal beberapa lama di bawah pohon itu. Agaknya binatang itu telah mencium bau yang lain dari yang pernah diciumnya setiap hari, sehingga agaknya http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
harimau itu ingin mengetahui, jenis makhluk apakah yang ada di atas pohon itu.
Tetapi ternyata harimau itu tidak telaten menunggu. Karena harimau itu bukan sejenis harimau hitam yang sering memanjat pepohonan, maka akhirnya harimau itu telah melangkah pergi.
Namun naluri ketiga orang itu meskipun tidak melihat, tetapi dapat mengetahui bahwa di bawah mereka telah berkeliaran beberapa jenis binatang buas. Bulu tengkuk mereka sempat meremang ketika mereka mendengar
bagaikan angin yang menderu gemeresak di bawah
pepohonan. Ternyata sekelompok anjing hutan berlari-larian sambil sekali-sekali menggonggong dengan garangnya.
Betapapun panjangnya malam, tetapi akhirnya mereka melihat cahaya pagi yang mulai bersinar. Bayangan warna kekuningan memancar di atas pepohonan. Namun kemudian mulai menyusup di antara dedaunan dan jatuh di atas tanah yang lembab.
Ketika Ki Wiradadi mengajak mereka turun, Laksana masih sambil memejamkan matanya berkata, "Aku baru akan mulai tidur."
"Tidur saja di bawah," berkata Ki Wiradadi. Lalu katanya,
"Kami berdua akan menungguimu sampai kau tidak merasa kantuk lagi."
Laksana menggeliat. Ia tidak berkata apapun lagi ketika Ki Wiradadi dan Manggada sudah mulai turun.
Laksanapun kemudian menyilangkan busurnya di
punggung. Iapun kemudian telah menelusur pula turun, sebagaimana kedua orang yang lain.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa saat mereka mulai membenahi diri. Perut mereka memang mulai merasa lapar. Tetapi mereka harus bertahan untuk beberapa lama.
Sambil menelusuri jalan keluar dari hutan itu, mereka bertiga sempat pula berburu. Ternyata mereka bertiga telah berlomba untuk mendapatkan seekor binatang buruan dari jenis apapun.
"Kita mempunyai kesempatan beberapa lama. Jika cahaya matahari itu membuat bayangan badan kita sama sepanjang tubuh kita yang sebenarnya, maka kita harus sudah ada di sini. Mendapat atau tidak mendapat buruan," berkata Ki Wiradadi. Lalu katanya, "Jangan tersesat. Kita masing-masing dapat bersuit dengan mulut kita."
Ketiganya kemudian mencoba untuk bersuit dengan mulut dan jari-jari tangan mereka. Baru kemudian, mereka telah meninggalkan tempat itu untuk berburu, agar mereka tidak menjadi kelaparan.
Dengan hati-hati mereka menuju ke tempat yang berbeda.
Laksana yang kebetulan mengarah ke sebuah mata air kecil, duduk saja di atas sebuah batu sambil mempersiapkan sebuah anak panah di busurnya.
Pagi itu ternyata angin tidak bertiup. Dengan demikian maka Laksana mempunyai banyak harapan.
Beberapa saat lamanya, tidak seekor binatangpun nampak minum di mata air kecil itu. Ketika ia melihat langit, rupa-rupanya hari telah menjadi semakin kering. Sekali ia sempat memandang sorot matahari yang jatuh di sebelah mata air itu.
Menilik sudut jatuhnya sinar matahari, maka waktunya tinggal sedikit.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Biar saja," berkata Laksana di dalam hatinya. "Tentu salah seorang dari antara Ki Wiradadi dan Manggada akan
mendapatkan seekor binatang buruan. Jika tidak, maka kami bertiga akan bersama-sama kelaparan."
[Hal. 9, paragraf 3: ?""] melihat seekor kijang yang dengan hati-hati mendekati mata air itu.
Dengan sangat berhati-hati pula Laksana mempersiapkan dirinya. Ternyata latihan-latihan yang pernah dilakukan berarti pula saat itu. Laksana berhasil mengurangi suara sentuhan kakinya pada dedaunan kering, sehingga kijang itu tidak terkejut karenanya.
Ternyata kijang itu memang bernasib buruk. Anak panah Laksana telah mengakhiri hidupnya di saat kijang itu sedang minum di mata air kecil di dalam hutan yang lebat itu.
Pada saat yang telah disepakati, Laksana kembali ke tempat yang sudah ditentukan dengan seekor binatang buruan.
Ternyata Manggada dan Ki Wiradadi tidak berhasil
mendapatkan seekor binatang buruannya. Ketika Laksana menjatuhkan binatang buruannya di hadapan Ki Wiradadi dan Manggada sambil mengangkat dadanya, maka Manggada
tersenyum sambil berkata, "Kau memang luar biasa."
"Aku kekurangan waktu. Aku menemukan seekor rusa.
Tetapi aku harus mengikutinya untuk waktu yang lama jika aku ingin mendapatkannya. Karena itu, aku biarkan saja rusa itu pergi," berkata Ki Wiradadi.
"Aku bertemu dengan seekor harimau," berkata Manggada.
"Rasa-rasanya aku memang tidak ingin makan daging harimau yang panas itu."
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi sambil mengangkat wajahnya, Laksana berkata,
"Apapun alasan kalian, tetapi ternyata akulah yang menang kali ini."
"Ya," jawab Ki Wiradadi. "Kita akan mengulitinya dan memanggangnya di luar hutan."
"Di luar hutan" Apakah hutan ini sudah tidak terlalu panjang lagi?" bertanya Laksana.
"Aku kira tidak," berkata Ki Wiradadi.
Laksana termangu-mangu. Tetapi Manggada ternyata
sependapat. Katanya, "Hutan ini terlalu lebat untuk memanggang binatang buruan. Sepercik api akan dapat mendatangkan bencana."
"Tetapi bantu aku membawa hasil buruan ini," berkata Laksana.
Manggadalah yang sambil tertawa berkata, "Marilah. Aku akan membantumu. Aku juga memerlukan daging kijang itu."
Ternyata hutan itu memang sudah tidak terlalu tebal lagi.
Beberapa saat kemudian, mereka mulai melihat cahaya terang, bukan saja dengan menengadahkan wajah mereka dan memandang ke langit, tapi di hadapan mereka, dari celah-celah pepohonan.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian mereka benar-benar telah keluar dari hutan. Demikian mereka berdiri di sebuah padang perdu di pinggir hutan itu, maka rasa-rasanya nafas merekapun menjadi lebih longgar. Pandangan mereka menjadi semakin luas.
Namun merekapun melihat bahwa di hadapan mereka
berdiri dengan garangnya Gunung Lawu.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketiga orang itu menyadari, bahwa perjalanan selanjutnya adalah memanjat Gunung Lawu untuk menemukan sarang dari orang-orang yang berkepercayaan sesat itu.
Ki Wiradadi yang memiliki pengalaman paling luas di antara mereka, dengan panggraitanya, seakan-akan telah melihat bahwa bahaya akan datang setiap saat. Karena itu, iapun kemudian memperingatkan kepada anak-anak muda itu agar lebih berhati-hati.
"Tetapi kita akan berhenti di sini untuk memanggang hasil buruan kita," berkata Laksana.
Ki Wiradadi mengangguk. Mereka tidak akan mendapatkan tempat yang lebih baik untuk memanggang hasil buruan mereka.
Karena itu, maka beberapa saat kemudian ketiga orang itu telah menyiapkan perapian. Dengan batu api mereka telah membuat api. Emput dari gelugut aren yang kemudian dihembuskan pada rerumputan kering.
Manggada telah mencari beberapa potong kayu kering, beberapa buah dahan dan ranting yang terjatuh dari pohonnya karena ketuaannya atau karena tiupan angin yang keras, atau di saat hujan yang dibarengi dengan angin prahara.
Beberapa saat kemudian, asappun telah mengepul tinggi.
Ketiganya mulai memanasi hasil buruan mereka di atas api.
Meskipun Manggada dan Laksana belum pernah benar-benar menjadi seorang pemburu, tetapi mereka pernah melakukan latihan tinggal di dalam hutan. Mereka telah berlatih untuk hidup tanpa membawa bekal apapun, menyusup ke dalam hutan yang lebat. Namun mereka tetap bertahan hidup. Dan http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam keadaan tertentu, mereka tidak kehilangan kekuatan dan kemampuan mereka jika harus menghadapi bahaya.
Sebenarnya ketiga orang itu memang telah merasa lapar.
Karena itu, demikian hasil buruan mereka masak, merekapun segera telah menikmatinya.
Namun dalam pada itu, Ki Wiradadi tiba-tiba saja
memperingatkan kedua orang anak muda yang bersamanya itu, "Rasa-rasanya ada sesuatu yang kurang wajar."
Manggada dan Laksana adalah anak-anak muda yang
terlatih dengan baik. Meskipun mereka belum merasakan sesuatu, tetapi mereka menyadari bahwa kemungkinan yang tidak mereka kehendaki akan dapat terjadi. Asap dari perapian yang telah mereka buat agaknya memang dapat memancing perhatian orang lain.
Ketika mereka bertiga sudah merasa cukup, maka mereka telah memadamkan api yang mereka buat. Sementara itu, sisa makan mereka masih tetap terpanggang di bekas perapian yang masih hangat itu.
Agaknya makanan yang telah mereka makan itu mampu
membuat tubuh mereka bertiga menjadi bertambah segar.
Darah mereka telah mengalir dengan wajar. Kaki mereka tidak lagi terasa lemah.


Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika mereka kemudian merasa cukup lama beristirahat, setelah makan dengan kenyang, mereka mulai melangkah lagi ke arah bukit yang berdiri dengan garang di hadapan mereka.
Beruntunglah mereka, ketika mereka menemukan sebuah pancuran alam yang meskipun kecil, namun mengalir air jernih sekali, sehingga mereka bertiga tidak segan untuk minum air dari pancuran di antara bebatuan di sebuah lereng yang tidak begitu tinggi.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gunung Lawu memang masih jauh. Tetapi sudah mulai
terasa jalan mendaki. Gumuk-gumuk kecil di antara padang perdu, berserakan di mana-mana.
Mereka bertiga menyusuri jalan setapak berbatu padas.
Namun mereka yakin bahwa jalan yang mereka lalui adalah jalan yang menghubungkan Hutan Jatimalang dengan lereng Gunung Lawu dari arah barat.
Namun sekali lagi, panggraita Ki Wiradadi telah
memperingatkan mereka, bahwa sesuatu dapat terjadi di luar dugaan mereka.
"Berhati-hatilah. Medannya sangat asing bagi kita. Banyak hal yang tidak kita ketahui disini," berkata Ki Wiradadi.
Manggada dan Laksana memaklumi. Karena itu, mereka mempersiapkan diri. Namun justru karena itu, mereka tidak mempersiapkan busur dan anak panah. Jika mereka terkejut karena sesuatu hal, maka akan dapat terjadi bencana, sebelum mereka pasti dengan siapa mereka berhadapan.
Karena mereka yakin, bahwa mereka tidak sedang berhadapan dengan binatang buas.
Beberapa saat mereka menyusuri jalan setapak. Di hadapan mereka terbentang padang perdu agak luas. Namun jauh di seberang padang perdu, masih nampak gerumbul-gerumbul hijau lainnya.
"Apakah itu sebuah padukuhan?" bertanya Laksana.
Manggada menggeleng. Bahkan sambil berpaling kepada Ki Wiradadi, iapun bertanya, "Apakah itu sebuah padukuhan?"
"Memang mungkin," jawab Ki Wiradadi, "tetapi tentu dengan penghuni yang khusus. Di padukuhan terakhir sebelum kita memasuki Hutan Jatimalang, kita sudah melihat http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ketidak-wajaran antara para penghuninya. Jika demikian, tentu para penghuni padukuhan itu termasuk orang-orang yang aneh pula."
Tetapi Manggada yang mengerutkan keningnya berkata,
"Rasa-rasanya daerah ini belum dibuka, meskipun
kemungkinan untuk itu ada. Di sini banyak terdapat sumber-sumber air yang dapat mengaliri tanah yang memungkinkan untuk dijadikan sawah atau setidak-tidaknya pategalan.
Sementara tanah masih belum terlalu miring. Tetapi nampaknya jarak yang panjang antara Hutan Jatimalang dan Gunung Lawu itu belum banyak menarik perhatian. Karena itu, nampaknya yang kita lihat bukan sebuah padukuhan. Tetapi sebuah hutan kecil yang memanjang. Tetapi di belakang hutan kecil itu, aku yakin, masih terbentang hutan liar yang lebat.
Tetapi berbeda dengan Hutan Jatimalang, hutan di lereng itu adalah hutan pegunungan, dengan jenis-jenis binatang pegunungan pula."
"Apa bedanya?" bertanya Laksana.
"Jenis binatangnya agaknya tidak banyak berbeda," jawab Manggada.
Laksana mengangguk-angguk. Sementara perasaan Ki
Wiradadi menjadi semakin terganggu oleh kegelisahan yang mendebarkan.
Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan kelompok pepohonan hijau yang mereka perbincangkan, Ki Wiradadi tiba-tiba saja memberi isyarat kepada kedua orang anak muda itu. Dengan serta-merta mereka bertigapun berhenti.
"Hati-hati. Aku melihat seseorang di balik bebatuan,"
berkata Ki Wiradadi.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manggada dan Laksanapun telah bersiap. Mereka bertiga berdiri pada jarak yang tidak terlalu dekat.
Demikian ketiga orang itu berhenti, beberapa orang telah muncul dari balik bebatuan. Dalam waktu dekat, ketiga orang itu segera mengetahui, bahwa lima orang telah mengepung mereka. Menilik sikap dan ujudnya, mereka tentu orang-orang yang sangat garang.
Ketiga orang itu berdiri termangu-mangu. Namun mereka memang harus menyesuaikan diri dengan kelima orang itu, sehingga mereka menghadapi ke tiga arah.
Orang yang nampaknya memimpin kelima orang itu
melangkah lebih dekat di hadapan Ki Wiradadi sambil bertanya, "Siapakah kalian bertiga, Ki Sanak?"
Ki Wiradadi, orang tertua di antara ketiga orang itu menjawab, "Kami sedang berburu, Ki Sanak."
"Berburu kemana" Hutan yang lebat telah kalian lampaui?"
berkata orang itu.
"Ya," sahut Ki Wiradadi. "Tiba-tiba saja kami terdorong oleh satu keinginan untuk melihat apa yang terdapat di antara Hutan Jatimalang dan Gunung Lawu. Ternyata terbentang tanah, yang menurut pengamatan kami, cukup subur, tetapi tidak mendapat perhatian dari orang-orang di seberang Hutan Jatimalang, sehingga tanah ini belum digarap. Di sini masih terbentang hutan perdu yang luas. Sementara itu, kita melihat banyak aliran air yang nampaknya mengalir di sepanjang tahun."
"Ki Sanak," berkata orang itu, "aku minta Ki Sanak tidak meneruskan perjalanan. Kami masih mempunyai kemauan baik atas Ki Sanak. Karena itu, kami peringatkan agar Ki Sanak kembali saja dan berburu di Hutan Jatimalang."
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa?" bertanya Ki Wiradadi. "Lihat, lereng Gunung Lawu itu sangat menarik. Tentu masih banyak binatang buas terdapat di hutan itu. Selain hutan itu sendiri, lereng yang panjang ini juga menarik perhatian. Lereng yang panjang ini akan dapat menjadi daerah pertanian yang subur dan memberikan banyak kemungkinan di hari depan."
"Sudahlah," berkata orang itu, "jangan berpikir tentang hal-hal yang tidak berarti. Jangan dikira daerah ini belum disentuh tangan. Karena itu, kami harap kalian meninggalkan tempat ini dan tidak kembali untuk seterusnya."
"Kenapa?" bertanya Ki Wiradadi.
"Ki Sanak," berkata orang itu, "tidak ada orang yang dapat keluar dari daerah ini dengan selamat. Tetapi aku masih memberi kesempatan kepadamu untuk hidup."
"Aku tidak mengerti," sahut Ki Wiradadi. "Apakah ada orang yang berhak berbuat sebagaimana kau lakukan?"
"Aku dan kawan-kawanku telah berada di tempat ini sejak waktu yang lama," berkata orang itu.
"Tetapi tidak untuk berbuat seperti itu," berkata Ki Wiradadi.
"Cukup," orang itu telah membentak. "Aku tidak
mempunyai banyak waktu. Selagi aku berada di tempat ini, aku minta kau meninggalkan tempat ini. Kau harus merasa beruntung bahwa asap perapianmu telah memanggil kami, sehingga kami datang menemui kalian sebelum kalian sampai ke tempat itu."
"Ke tempat yang mana yang kau maksud?" bertanya Ki Wiradadi.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Persetan," geram orang itu. "Jika kau benar-benar melewati batas, maka hanya gema namamu saja yang akan keluar dari lingkungan ini."
"Ki Sanak," berkata Ki Wiradadi, "sebaiknya kau tidak usah mencampuri persoalan kami. Kami ingin naik ke hutan di lereng Gunung Lawu. Kami tidak akan mengganggu kalian.
Dan sebaiknya kalian juga jangan mengganggu kami."
"Jangan banyak bicara lagi," potong orang itu. "Turun kembali, atau kalian akan menjadi mayat di sini."
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Berkatalah terus terang, Ki Sanak. Jika nalarku dapat menangkap maksudmu, maka aku tentu akan melakukannya.
Tetapi jika kau hanya sekedar membentak-bentak, maka kami tidak akan bersedia melakukannya. Kami adalah pemburu-pemburu yang terbiasa masuk keluar hutan, menghadang bahaya dan menempuh lingkungan yang paling rumit,
sekalipun menantang maut."
Orang itu justru menjadi semakin marah. Dengan wajah garang ia berkata, "Apalagi yang harus aku katakan" Pergi dari tempat ini, atau kalian akan mati disini."
Ki Wiradadi mengangguk-angguk sambil berkata, "Tentu ada sesuatu yang kalian rahasiakan. Tidak boleh ada orang lain mengetahuinya. Justru karena kau menyebut batas, maka kami menjadi ingin tahu tentang batas itu. Karena itu, jangan halangi kami pergi kemanapun, bahkan ke batas yang kau sebutkan itu."
"Persetan," geram orang itu. "Agaknya kalian bertiga benar-benar ingin mati. Kalian ternyata telah melakukan satu kesalahan yang berbahaya. Kalian mengira bahwa seorang pemburu yang terbiasa masuk keluar hutan, yang terbiasa http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menghadang bahaya serta menantang maut, tentu orang-orang yang memiliki kemampuan tidak ada duanya. Kau telah salah menilai kemampuan seseorang sebagaimana liar dan garangnya seekor binatang."
"Setidak-tidaknya, wadagku telah terlatih," jawab Ki Wiradadi. "Karena itu dengan dukungan ilmu sekedarnya saja, maka kemampuanku tentu sudah sangat berarti untuk
mempertahankan hidupku."
"Bagus," geram orang itu. "Jika demikian, kalian memang harus dibunuh. Tidak ada cara lain yang dapat kami lakukan untuk mencegah niat kalian naik lebih tinggi lagi di kaki Gunung Lawu ini."
"Kami telah siap mempertahankan hidup kami. Tetapi jika untuk mempertahankan hidup kami harus membunuh orang lain, apa boleh buat," geram Ki Wiradadi.
Kelima orang itupun bergerak serentak ketika mereka melihat isyarat tangan pemimpin mereka. Mereka mendekati ketiga orang itu dari lima arah yang berbeda. Pemimpin mereka berhadapan dengan Ki Wiradadi, sementara keempat orang yang lain berhadapan dengan dua orang anak muda yang sedang menanjak dewasa.
Ki Wiradadipun segera bersiap. Tetapi ia tidak mau terganggu oleh busur dan anak panah di dalam endong yang berat. Demikian pula Manggada dan Laksana. Mereka berdua meletakkan busur dan anak panah yang memberati gerak mereka.
"Tidak ada pilihan lain bagi kita," berkata pemimpin kelima orang itu kepada kawan-kawannya. "Mereka harus
dimusnahkan. Jika mereka tetap hidup, mereka tentu masih http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saja berniat melihat daerah ini, dan barangkali mereka akan menjadi bahaya terbesar bagi kita untuk selanjutnya."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka mulai bergerak dan siap untuk bertempur.
Manggada dan Laksana mengambil jarak. Masing-masing harus menghadapi dua orang lawan. Karena anak-anak muda itu belum tahu tataran kemampuan lawan, mereka benar-benar harus mempersiapkan diri menghadapinya.
Ki Wiradadi justru menjadi cemas. Nampaknya kelima orang itu ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu.
Mereka mengira bahwa kedua anak muda itu akan dapat lebih cepat diselesaikan. Kemudian mereka berlima akan dengan mudah membunuh Ki Wiradadi.
Tetapi Ki Wiradadi tidak mendapat kesempatan untuk banyak berpikir. Pemimpin dari kelima orang yang
mengepungnya itu tiba-tiba saja meloncat menyerangnya.
Ki Wiradadi dengan cepat mengelakkan serangan itu.
Namun dengan demikian, Ki Wiradadi dapat menangkap kesan tingkat kemampuan lawannya. Sambaran angin serangannya itu terasa bagaikan menampar kulitnya.
Dengan demikian, Ki Wiradadi mempersiapkan segenap kemampuannya. Ia tidak dapat meningkatkan ilmunya selapis demi selapis. Jika demikian, ia tentu akan terlambat. Apalagi Ki Wiradadi masih harus menjajagi kemampuan lawannya yang sebenarnya.
Karena itulah Ki Wiradadipun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghadapi pemimpin dari sekelompok orang yang tidak dikenalnya itu.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manggada dan Laksanapun telah bersiap sepenuhnya.
Kemudian mereka telah memanasi darah yang mengalir di dalam tubuh mereka. Keduanya sama sekali tidak gentar meskipun mereka masing-masing harus berhadapan dengan dua orang.
Bahkan Laksana yang tidak sabar, telah meloncat
mendahului lawannya. Serangannya datang bagaikan arus banjir bandang. Beruntun terhadap salah seorang lawannya.
Ternyata serangan Laksana itu mengejutkan. Dengan
jantung yang berdebaran, lawannya yang mendapat serangan beruntun itu harus berloncatan menghindar. Bahkan
nampaknya Laksana tidak ingin melepaskannya. Dengan cepat pula ia memburunya dengan serangan-serangan yang seakan-akan tidak terbendung. Pada serangan pertamanya yang mengejutkan itu, ternyata Laksana dapat langsung mengenai tubuh lawannya beberapa kali, sehingga terdengar keluhan tertahan.
Lawannya yang seorang benar-benar menjadi kesakitan tanpa kesempatan untuk membalas.
Namun kawannya dengan segenap kemampuannya
berusaha menyusul dan membantunya. Dengan garang,
bahkan sambil berteriak keras, lawannya yang seorang telah menyerangnya pula.
Laksana menyadari bahaya yang datang. Karena itu ia terpaksa melepaskan lawannya untuk menghadapi lawan yang baru datang. Tanpa ragu-ragu, Laksana membentur serangan lawannya itu dengan mengerahkan sepenuh kekuatan.
Ternyata lawannya benar-benar telah terkejut. Ia sama sekali tidak mengira bahwa anak muda itu dengan serta-merta http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
telah membentur kekuatannya. Apalagi ternyata anak muda itu memiliki kekuatan yang sangat besar.
Laksana memang terdorong surut selangkah. Tetapi
lawannya yang menyerang dengan sepenuh tenaganya itu, seakan-akan telah membentur batu padas di lereng bukit.
Karena itu ia terlempar beberapa langkah surut. Dan bahkan untuk memperbaiki keseimbangannya, orang itu justru telah menjatuhkan diri, berguling sekali dan kemudian melenting berdiri.
Jantungnya memang agak terasa bergetar semakin cepat.
Namun ia harus menenangkan dirinya menghadapi lawannya yang masih sangat muda itu. Sementara kawannya yang seorang lagi, telah berusaha memperbaiki keadaannya.
Tetapi Laksana memang tidak memberinya kesempatan.
Demikian lawannya yang seorang sedang berusaha
memperbaiki keseimbangannya, Laksana telah menyerang lawannya yang seorang lagi dengan cepatnya.
Ternyata kecepatan gerak dan keputusan yang diambil dengan tiba-tiba oleh Laksana sempat membingungkan kedua lawannya. Ternyata Laksana seakan-akan tidak memberi kesempatan kepada mereka berdua, untuk pada satu saat, bekerja bersama melawannya.
Sementara itu, Manggada telah mempergunakan cara yang lain untuk melawan kedua orang lawannya. Ia bergerak lebih tenang dari Laksana. Manggada tidak meloncat-loncat menyerang kedua lawannya berganti-ganti, tetapi Manggada lebih banyak menunggu. Ia berdiri tegak dengan kaki renggang, Kemudian lututnya mulai ditekuk sehingga Manggada telah berdiri merendah. Kedua tangannya bersilang di dadanya.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan hati-hati Manggada menghadapi kedua lawannya dengan ketajaman penglihatan serta kemampuannya.
Meskipun ia memilih bertempur melawan kedua lawannya bersama-sama, tetapi ternyata bahwa anak muda itu cukup tangkas untuk melakukannya. Dengan cepat ia meloncat menghindar dan sekaligus menyerang. Menggeliat dan kemudian merendah. Namun ketika tubuhnya berputar, maka kakinya terayun mendatar menyambar ke arah salah seorang lawannya.
Ternyata kedua lawannya tidak dengan mudah dapat
menundukkannya. Bahkan semakin lama anak muda itu rasa-rasanya menjadi semakin cepat bergerak, dan tenaganyapun menjadi besar.
Karena itu, kedua lawannya menjadi semakin sulit untuk menghadapinya. Anak muda itu bagaikan tidak berjejak di atas tanah. Sekali ia meloncat kesana, kemudian melenting kemari.
Menghindari serangan-serangan yang kadang-kadang datang bersamaan, namun kemudian justru Manggadalah yang telah menyerang dengan garangnya.
Selagi kedua anak muda itu bertempur dengan sengitnya, maka Ki Wiradadipun harus mengerahkan kemampuannya pula. Ternyata pemimpin kelompok orang-orang yang
mencegatnya itu memiliki kemampuan yang tinggi. Dengan garangnya orang itu menyerangnya dengan tangan dan kakinya berganti-ganti.
Namun Ki Wiradadi tidak kalah garangnya. Ia telah
mengerahkan kemampuannya pula, sehingga dengan mantap ia telah mampu mengimbangi ilmu lawannya.
Kedua orang itu bertempur lebih lamban dari anak-anak muda yang harus melawan masing-masing dua orang itu. Ki Wiradadi dan lawannya ternyata lebih banyak berusaha http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menahan diri untuk tidak dengan serta-merta menghabiskan tenaga mereka, meskipun mereka telah sampai pada tataran kemampuan tertinggi mereka.
Namun mereka ternyata bertempur lebih mantap. Keduanya berusaha untuk memperhitungkan segala langkah mereka, karena keduanya memiliki pengalaman yang cukup luas.
Yang bertempur dengan keras adalah justru Laksana. Ia benar-benar tidak memberi kesempatan kepada lawan-lawannya. Setiap kesempatan dipergunakannya sebaik-baiknya. Laksana lebih senang bertempur melawan kedua lawannya seorang demi seorang. Meskipun pada saat-saat yang gawat, ketika kedua lawannya mendapat kesempatan bersama-sama menyerangnya, Laksana masih juga mampu mengatasinya.
Bahkan Laksana masih sempat berkata kepada diri sendiri,
"Untunglah aku telah makan daging cukup banyak. Jika belum, maka aku akan cepat menjadi lemah menghadapi kedua orang gila ini."
Dalam pada itu, Ki Wiradadi yang semula mencemaskan anak-anak muda yang harus melawan masing-masing dua orang itu, ternyata setiap kali sempat mengamati apa yang telah terjadi. Ki Wiradadi tidak lagi merasa terlalu cemas. Ia melihat apa yang dapat dilakukan oleh kedua orang anak muda itu, sehingga dengan demikian, ia sempat memusatkan perhatiannya kepada lawannya.
Dengan demikian maka pertempuranpun menjadi semakin sengit. Semua orang yang terlibat dalam pertempuran itupun telah menggenggam senjata. Nampaknya kelima orang itu benar-benar ingin membunuh Ki Wiradadi dan kedua orang anak muda itu.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan teriakan-teriakan nyaring lawan Ki Wiradadi itu telah mengacu-acukan senjatanya. Memutar dan menebas mendatar. Namun Ki Wiradadi telah mempergunakan senjata pula untuk mengatasi kegarangan lawannya.
Laksana dan Manggadapun telah mengerahkan
kemampuannya pula. Dengan senjata di tangan, maka lawan mereka menjadi semakin garang pula. Dua orang bagi setiap anak muda itu memang merupakan lawan yang berat. Tetapi Laksana dan Manggada tidak menjadi gentar. Bahkan
keduanya seakan-akan telah didorong untuk mengerahkan segenap kemampuannya menghadapi pendadaran yang berat.
Pendadaran yang mempertaruhkan bukan saja kemungkinan untuk diakui tataran kemampuannya, tetapi juga
mempertaruhkan nyawanya.
Seperti lawan Ki Wiradadi, maka keempat lawan Manggada dan Laksanapun sama sekali tidak mengekang diri. Merekapun benar-benar ingin membunuh kedua anak muda itu. Sehingga karena itu, maka senjata-senjata merekapun telah langsung mengarah ke tempat-tempat yang paling berbahaya di tubuh anak-anak muda itu.
Ternyata bahwa senjata kedua lawannya telah sempat membuat Laksana mengalami kesulitan. Ketika kedua orang lawannya menjadi semakin kasar dan semakin garang, maka Laksana memang merasa terdesak.
Kedua lawannya tidak saja bertempur dengan kakinya, dengan tangannya dan senjata di genggamannya, tetapi kedua lawannya juga bertempur dengan mulutnya. Mereka berteriak-teriak kasar dan mengumpat-umpat dengan kata-kata kotor, sehingga telinga Laksana rasa-rasanya bagaikan dipanggang di atas api.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam kekalutan pemusatan nalar budinya karena teriakan-teriakan yang kotor itu, maka tiba-tiba saja terasa sentuhan di lengan Laksana. Ternyata ia kurang cepat mengelakkan serangan lawannya di saat ia menangkis ujung senjata lawannya yang seorang lagi.
Laksana yang menyadari lengannya terluka, telah meloncat mengambil jarak dari kedua lawannya. Ketika ia meraba lengannya yang menjadi pedih itu, maka iapun telah menggeram. Terasa di telapak tangannya, darahnya yang hangat memang sudah menitik dari lukanya itu.
Anak muda itu menjadi sangat marah. Luka di lengannya membuatnya bagaikan banteng yang terluka.
Sejenak kemudian, maka iapun telah meloncat menyerang.
Senjatanya berputaran dengan garangnya melibat lawannya berganti-ganti.
Tetapi kedua lawannyapun yang telah melihat Laksana terluka berusaha untuk semakin menekannya. Keduanya telah bergerak semakin cepat. Dengan mengerahkan sisa tenaga yang ada pada mereka, maka mereka ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Laksana yang masih belum banyak berpengalaman itu
ternyata memang telah terpancing oleh tatagerak lawannya.
Anak muda itu melayani kedua lawannya yang bergerak dengan langkah-langkah panjang. Sementara lengannya masih saja menitikkan darah, bahkan semakin banyak ia bergerak, darah itu seakan-akan bagaikan ditekan dari urat nadinya.
Laksana yang marah itu ternyata hampir melupakan pesan gurunya. Dalam kemarahan yang tidak terkendali, maka Laksana seakan-akan tidak mempergunakan perhitungan lagi.
Ia sama sekali tidak berusaha menghemat tenaganya.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kedua lawannya meskipun mengakui kemampuan anak
muda itu, tetapi ternyata mereka memiliki pengalaman yang lebih luas. Selebihnya mereka sama sekali tidak lagi memperhitungkan harga diri sehingga mereka telah bertempur dengan licik.
Kemarahan dan kemarahan yang tertimbun di dalam dada Laksana telah membuat nalarnya menjadi kabur. Bahkan ia benar-benar tidak lagi mampu menilai unsur-unsur geraknya sendiri.
Manggada yang melihat keadaan Laksana menjadi cemas.
Tetapi ia tidak sempat berbuat sesuatu, karena ia sendiri harus memusatkan segenap kemampuannya untuk melawan dua orang lawannya yang tidak kalah garang dan kasarnya dari kedua lawan Laksana.
Manggada sendiri telah terloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak, ketika sekali lagi ia melihat ujung senjata lawannya mengenai pundak Laksana.
Laksana memang berteriak untuk melontarkan ungkapan kemarahannya. Tetapi teriakannya itu sama sekali tidak menolongnya. Apalagi kedua lawannya juga berteriak-teriak lebih keras dan bahkan lebih kasar dan dengan kata-kata kotor.
Ki Wiradadi yang baru saja mapan, telah merasa terganggu pula perhatiannya oleh keadaan Laksana. Iapun melihat bahwa Laksana telah terluka di lengan dan di pundaknya.
Apalagi lawannya nampaknya dengan sengaja memberinya kesempatan untuk melihat luka Laksana. Bahkan katanya,
"Sebentar lagi kawanmu yang muda itu akan mati. Sejenak kemudian yang seorang lagi akan mati juga. Kau memang http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
agaknya akan mati terakhir. Namun justru setelah kau melihat kedua orang kawanmu terbaring menjadi mayat disini."
Ki Wiradadi menggeram. Iapun telah meningkatkan
kemampuannya. Tetapi Ki Wiradadi yang juga cukup
berpengalaman itu tidak mau membiarkan dirinya hanyut dalam arus perasaannya.
Karena itu, meskipun Ki Wiradadi juga mengerahkan kemampuannya dan berusaha menekan lawannya, namun Ki Wiradadi tidak terlepas dari nalar budinya.
Tetapi memang sulit bagi Ki Wiradadi untuk dapat dengan cepat menghabisi lawannya, meskipun ia sudah
menghentakkan kemampuannya. Seakan-akan lawannya
memang dipersiapkan untuk melawannya dalam tataran ilmu yang seimbang.
Laksana nampaknya memang menjadi semakin garang oleh kemarahan yang menghentak-hentak di dalam dadanya.
Tetapi kemarahannya itu justru telah menimbulkan kecemasan bagi Manggada dan Ki Wiradadi.
Dalam keadaan yang terdesak, Manggada yang tidak
kehilangan akal telah mengambil keputusan yang berat.
Bahkan ia memerlukan waktu untuk menentukan, apakah ia akan melakukannya atau tidak. Namun jika ia tidak
melakukannya, maka keadaan Laksana akan menjadi semakin parah. Darahnya akan semakin banyak mengalir sehingga tubuhnya akan menjadi semakin lemah, sehingga mungkin ia akan terlambat.
Karena itu, maka Manggada harus segera menjatuhkan pilihan. Agaknya nalarnya masih jauh lebih bening dari Laksana yang terluka itu.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa boleh buat. Agaknya Laksana justru telah lupa mempergunakannya," berkata Manggada.
Dalam keadaan yang terpaksa, karena tidak ada pilihan lain yang dapat dipergunakannya untuk menolong Laksana, maka Manggada telah menarik dua buah pisau kecilnya. Dengan tangkasnya Manggada telah melemparkan kedua pisaunya itu berurutan demikian cepatnya ke arah kedua lawannya yang berdiri di tempat yang berbeda.
Ketika Manggada memindahkan senjata ke tangan kirinya, kedua lawannya memang sudah menjadi curiga. Namun
mereka tidak mempunyai kesempatan. Begitu cepatnya Manggada menarik sebilah pisau dan melemparkannya ke dada seorang lawannya, kemudian berbalik sambil
merendahkan diri, pisau kedua telah terlempar pula ke dada lawannya yang lain.
Terdengar kedua orang itu berteriak berurutan. Seorang di antaranya sempat berteriak dengan umpatan kotor. Namun pisau kecil itu telah dilemparkan dengan sekuat tenaga didorong pula dengan kekuatan cadangan di dalam diri Manggada. Karena itu maka pisau-pisau kecil itu telah menghunjam seakan-akan sampai ke tangkainya.
Tidak ada kesempatan untuk mengelak, apalagi kedua orang itu tidak menduga sama sekali. Merekapun tidak sempat menyadari bahwa ujung pisau-pisau kecil itu ternyata telah menggapai jantung mereka dan membunuh mereka.
Manggada tidak sempat mengamati kedua orang lawannya itu. Iapun segera meloncat mendekati arena pertempuran antara Laksana dan kedua orang lawannya.
Ternyata Laksana yang terpancing oleh lawannya dengan gerak-gerak yang panjang dan cepat, serta darah yang http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengalir dari kedua lukanya, kekuatannya mulai menjadi susut.
Namun kehadiran Manggada telah merubah sama sekali keseimbangan dalam arena pertempuran itu. Dengan cepat Manggada berhasil mengikat seorang di antara lawan Laksana dalam pertempuran melawannya, sehingga dengan demikian maka Laksana tinggal menghadapi seorang lawan saja.
Meskipun kekuatan dan kemampuan Laksana mulai susut, namun menghadapi seorang saja dari kedua lawannya, kekuatan dan kemampuannya masih jauh memadai. Apalagi ketika Manggada sempat memperingatkan, "Pergunakan otakmu."
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi senjatanyapun kemudian telah bergetar menghadapi seorang saja dari kedua lawannya.
"Kau telah terluka," geram lawannya yang menjadi bimbang karena ia harus menghadapinya sendiri.
"Lukaku tidak berarti apa-apa," jawab Laksana. "Tetapi aku tidak ingin membunuhmu dengan cepat dengan melontarkan pisau-pisau kecilku. Oleh kemarahan yang menghentak di dadaku aku justru terlupa mempergunakannya, karena aku tidak terbiasa membawanya. Sekarang aku ingin
membunuhmu dengan senjataku ini."
Orang itu memang menjadi cemas. Tetapi ia masih
berusaha untuk membesarkan hatinya. Bahkan ia tertawa sambil berkata, "Tenagamu sebentar lagi akan habis terhisap sejalan dengan darahmu yang menjadi kering."
Laksana tidak menjawab lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang dengan garangnya. Senjatanya
berputaran dengan cepat sekali. Namun ia sudah mulai http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mencoba mempergunakan penalarannya kembali. Sehingga dengan demikian, maka ia tidak lagi menjadi kehilangan langkah.
Meskipun demikian, darah yang mengalir dari lukanya memang telah mengganggu perasaannya. Namun ia tidak mau mati di ujung senjata lawannya.
Manggada tidak lagi ingin membunuh lawannya yang
diambilnya dari Laksana. Namun demikian, ternyata lawannya itupun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk berusaha membunuhnya.
Laksana yang sudah terluka itu masih mampu
menggerakkan senjatanya dengan garang, sehingga lawannya benar-benar tidak mendapat tempat di arena. Tetapi justru karena itu, maka dengan putus asa lawannya telah bertempur membabi buta. Dengan teriakan-teriakan dan umpatan-umpatan kotor, ia menyerang Laksana seperti badai.
Namun dengan demikian geraknya menjadi kacau.
Perhitungannya kabur dan kegelisahannya menjadikannya bingung menghadapi kecepatan gerak Laksana. Dan pada suatu saat, senjata Laksana yang marah itu telah menyambar dadanya. Sebuah goresan panjang menyilang di dadanya, sehingga lawan Laksana terlempar beberapa langkah surut.
Ketika ia berusaha berdiri tegak, tubuhnya nampak gemetar.
Betapapun ia berusaha untuk tetap menggenggam senjatanya, namun akhirnya senjata itu jatuh. Bahkan perlahan-lahan orang itupun terjatuh pada lututnya.
Bagaimanapun juga ia bertahan, namun akhirnya tubuhnya terkulai di tanah. Darah mengalir tanpa terbendung dari lukanya yang dalam.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Laksana berdiri termangu-mangu. Sejenak ia mengawasi lawannya yang terbaring diam. Nampaknya lawan itu memang tidak akan mungkin bangkit lagi untuk melawannya.
Bersamaan dengan itu, ia mendengar teriakan Manggada,
"Obati lukamu, cepat. Sebelum darahmu semakin banyak mengalir dan mempengaruhi tenagamu."
Laksana bagaikan terbangun dari sebuah mimpi. Iapun segera mengambil tempat untuk melihat lukanya. Namun karena letak lukanya, maka ia memang agak mengalami kesulitan.
Sementara Manggada tidak memerlukan waktu terlalu lama.
Dengan cepat Manggada dapat segera mendesak, dan bahkan menguasai ruang gerak lawannya.
Tetapi ketika senjatanya telah menggores kulit lawannya, justru lawannya menjadi kian liar. Seperti seekor harimau terluka, ia berusaha menerkam dengan tanpa
memperhitungkan kemungkinan yang dapat dilakukan
lawannya. Semula Manggada masih sempat menghindar dan berusaha menahan lawannya dengan putaran senjatanya. Tetapi lawannya itu seakan-akan benar-benar telah kehilangan nalar budinya. Dengan garangnya ia meloncat menerkam Manggada dengan ujung senjatanya.
Manggada ternyata terpengaruh juga oleh sikap lawannya.
Bahkan terasa seolah-olah bulu kuduknya meremang.
Tetapi di luar sadarnya, ketika lawannya menerkam, Manggada sempat mengelak. Tetapi lawannya telah
memburunya. Satu ayunan mendatar yang cepat dan kuat sekali telah menyambar ke arah leher Manggada. Namun http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manggada sempat merendah, sekaligus menjulurkan
senjatanya menembus langsung ke lambung.
Terdengar orang itu berteriak nyaring. Selangkah ia bergeser mundur. Manggada masih menggenggam tangkai senjatanya yang telah terlepas dari tubuh lawannya.
Tidak ada lagi yang dapat dilakukan lawan Manggada.
Rasa-rasanya semuanya menjadi gelap. Bahkan iapun
kemudian jatuh tertelungkup.
Pada saat yang bersamaan, lawan Ki Wiradadi pun menjadi putus asa. Tetapi ia tidak membunuh dirinya sebagaimana kawan-kawannya. Ia masih sempat berpikir, bahwa ia harus lolos dari maut untuk menyampaikan kepada pemimpinnya, bahwa ada tiga pemburu yang naik ke lereng gunung, setelah menyeberangi Hutan Jatimalang.
Karena itu, selagi perhatian Manggada tertuju kepada lawannya yang jatuh terbaring di tanah, sementara Laksana sedang memperhatikannya pula, lawan Ki Wiradadi berusaha melenting jauh dan dengan serta-merta berusaha melarikan diri dari arena.


Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Wiradadi tidak mempunyai kesempatan untuk
mengejarnya. Orang itu telah mendahuluinya beberapa langkah. Dengan cepat Ki Wiradadi menyadari, bahwa jika salah seorang di antara orang-orang itu terlepas dari pengawasan mereka, maka orang itu tentu akan menjadi sangat berbahaya.
Karena itu, Ki Wiradadi tidak sempat membuat perhitungan yang rumit. Ketika ia menyadari bahwa ia tidak akan dapat mengejar lawannya itu, maka tiba-tiba saja ia telah mencabut sebuah dari pisau-pisau kecilnya dan dengan sepenuh http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kekuatan dilemparkannya kepada lawannya yang melarikan diri itu.
Terdengar orang itu mengaduh. Dengan langkahnya dan terhuyung-huyung sambil berputar. Dengan suara bergetar ia berkata sambil menunjuk ke arah Ki Wiradadi, "Kau licik. Kau tusuk punggungku selagi aku membelakangimu."
Ki Wiradadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Kau akan melarikan diri."
Orang itu memandang Ki Wiradadi dengan mata yang
menyala. Tubuhnya yang tidak dapat mempertahankan
keseimbangan mulai berguncang-guncang. Namun ia masih berkata, "Panembahan akan menghukummu dengan hukuman yang paling getir."
"Panembahan siapa?" bertanya Ki Wiradadi.
"Panembahan Lebdagati. Seorang panembahan yang tuntas ing kawruh. Menguasai segala macam ilmu lahir dan batin."
Suaranya semakin bergetar dan tubuhnya tidak lagi mampu bertahan. Bahkan sejenak kemudian orang itupun telah jatuh tertelungkup dengan sebilah pisau terhunjam di punggungnya.
Ki Wiradadi melangkah perlahan-lahan mendekatinya.
Diamatinya orang yang telah tidak bernyawa lagi itu. Tetapi ia sadar, bahwa langkah yang diambilnya itu telah
diperhitungkannya sejak semula, bahwa mungkin sekali akan terjadi. Jika ia menyeberangi Hutan Jatimalang untuk melacak anak gadisnya yang hilang, maka ia akan terpaksa memasuki dunia kekerasan. Membunuh atau dibunuh. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Jika ia tidak berbuat apa-apa, maka pembunuhan-pembunuhan masih akan berlangsung terus.
Bahkan gadis-gadis yang dikorbankan untuk sebuah
kepercayaan yang sesat akan terus berlanjut.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manggada yang telah kehilangan lawannya, telah
membantu Laksana mengobati luka-lukanya, sehingga
darahnya menjadi pampat.
Ketika Ki Wiradadi kemudian mendekatinya, Manggada berdesis, "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Diamatinya luka Laksana di pundak dan lengannya.
"Untunglah luka itu tidak terlalu dalam dan tidak beracun,"
desis Ki Wiradadi.
"Ya," sahut Laksana. "Nampaknya memang tidak begitu berpengaruh."
"Tetapi kau tidak boleh terlalu banyak bergerak," berkata Ki Wiradadi kemudian. "Darahmu akan terlalu banyak mengalir.
Sementara itu kita masih akan menempuh perjalanan yang lebih berbahaya. Kau dengar, orang itu telah menyebut nama Panembahan Lebdagati, yang katanya seorang panembahan yang berilmu tinggi lahir dan batin?"
Laksana mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa lukanya tentu akan mengganggunya jika luka itu tidak dapat diatasi dengan obat yang dibawanya.
Karena itulah, maka Laksana tidak mempunyai pilihan lain kecuali beristirahat untuk beberapa saat.
"Kita masih mempunyai tugas," berkata Manggada. "Kita harus mengubur mayat-mayat itu agar tidak menjadi makanan burung-burung buas atau binatang liar dari hutan itu."
Ki Wiradadi kemudian berdesis, "Biarlah Laksana
beristirahat lebih dahulu."
Bertiga mereka kemudian duduk bersandar batu padas di bawah sebatang pohon yang rimbun, setelah mereka
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memungut kembali busur-busur mereka. Sementara itu Ki Wiradadi berkata, "Kita tidak dapat membayangkan, siapa dan seberapa tinggi kemampuan orang yang disebut Panembahan Lebdagati itu."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Tentu tidak seperti orang-orang yang telah mereka kalahkan itu. Bahkan mungkin panembahan itu akan dapat menghancurkan mereka bertiga sekaligus.
Sambil memandangi dedaunan yang bergerak-gerak
digoyang angin, Manggada berkata hampir kepada diri sendiri,
"Satu tantangan yang harus diatasi. Tetapi kita tidak dapat membiarkan upacara sesat itu dibiarkan saja."
"Tetapi bukannya tanpa perhitungan," berkata Ki Wiradadi.
"Aku memang merasa wajib untuk mengambil anakku. Dan jika mungkin, gadis-gadis yang masih ada. Tetapi aku harus memikirkan cara yang terbaik untuk melakukannya. Kalian masih terlalu muda untuk melakukan tugas yang sangat berat ini. Kemungkinan yang paling pahit dapat terjadi."
"Mati?" desis Laksana.
"Kalian masih terlalu muda untuk mengalaminya. Masih panjang kemungkinan yang dapat terjadi atas kalian. Karena itu aku harus memikirkannya apakah sudah sepantasnya aku membawa kalian menempuh bahaya yang demikian besarnya.
Pada langkah pertama ini, aku telah menyesal bahwa kalian terlibat ke dalamnya. Untunglah bahwa kalian memiliki bekal yang cukup tinggi, sehingga kalian dapat lolos dari maut.
Bahkan tanpa kalian, akupun tidak akan dapat meninggalkan tempat ini, karena aku tentu sudah terbaring mati. Merekalah yang akan berdiri sambil mengamati mayatku," berkata Ki Wiradadi.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan berkata begitu, Ki Wiradadi," berkata Manggada.
"Bukan salah Ki Wiradadi bahwa kami berada di sini. Kami sudah menyatakan kesediaan kami untuk membantu Ki
Wiradadi menyelamatkan anak gadis Ki Wiradadi. Tetapi yang lebih penting lagi, menghancurkan kepercayaan yang sesat itu."
"Seperti yang sudah aku katakan, kita bukannya tidak berperhitungan," sahut Ki Wiradadi. Namun kemudian dengan serta-merta ia berkata selanjutnya, "Bukan maksudku menolak uluran tangan kalian. Aku merasa sangat berterima kasih.
Bahkan seandainya hanya sampai sekian pun, aku sudah merasa berhutang budi kepada kalian. Tetapi yang justru aku pikirkan adalah keselamatan kalian untuk selanjutnya. Jika terjadi sesuatu atas kalian berdua, atau salah seorang di antara kalian, aku akan merasa bersalah."
Tetapi Manggada menggelengkan kepalanya. Katanya, "Ini adalah pilihan kami sendiri, Ki Wiradadi. Jangan menyalahkan diri jika terjadi sesuatu atas kami. Hanya dengan mengabdikan diri pada kemanusiaan, maka ilmu yang selama ini kami pelajari akan berarti."
Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah berusaha memberikan peringatan kepada anak-anak muda itu.
Tetapi kedua orang anak muda itu nampaknya sudah
bertekad bulat untuk meneruskan perjalanan, apapun yang akan terjadi kemudian.
Namun bagaimanapun juga, kehadiran kedua orang anak muda itu telah menjadi beban bagi Ki Wiradadi, meskipun ia sangat memerlukannya.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah menyeberangi Hutan Jatimalang, bersama kedua anak muda itu, Ki Wiradadi baru melihat ancaman yang sebenarnya.
Meskipun mereka dapat mengalahkan hambatan pertama, tapi menurut perhitungan Ki Wiradadi, hambatan demi hambatan akan mereka hadapi lagi. Bahkan akhirnya mereka akan sampai pada orang yang bernama Lebdagati.
Karena itu, bagaimanapun juga ia wajib mengatakannya.
"Anak-anak muda, puncak dari perjalanan ini tentu akan membawa kita kepada orang yang bernama Panembahan
Lebdagati. Tentu orang yang mumpuni segala macam kawruh lahir dan batin, meskipun agaknya ia berpijak pada ilmu sesat."
"Ya. Tetapi apa boleh buat," desis Manggada.
"Aku tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi atas kalian," desis Ki Wiradadi.
Namun sebelum anak-anak muda itu menjawab, tiba-tiba terdengar suara, "Kau benar, Ki Sanak. Ilmunya sangat tinggi, seakan-akan menjangkau langit."
Ketiganya terkejut. Ketika mereka berpaling ke arah suara itu, dilihatnya seorang tua berjanggut putih melangkah terbungkuk-bungkuk dari balik sebongkah batu besar.
Kemudian dengan tenangnya duduk di atas batu di hadapan batu besar itu.
Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar. Apakah orang tua itu yang disebut Panembahan Lebdagati"
Sejenak ketiga orang itu termangu-mangu. Namun rasa-rasanya jantung mereka berdenyut semakin cepat.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Baru sejenak kemudian Ki Wiradadi melangkah maju sambil bertanya, "Siapakah kau, Ki Sanak" Apakah kau orang yang disebut Panembahan Lebdagati?"
Orang itu seakan-akan tidak mendengar pertanyaan Ki Wiradadi. Bahkan iapun berkata, "Aku melihat bagaimana kalian bertiga membunuh orang-orang dari Padepokan Lebdagati."
"Kami membunuh bukannya tanpa sebab," jawab Ki
Wiradadi. "Aku mengerti. Kalian membunuh karena kalian tidak mau diusir begitu saja dari lingkungan yang menurut Panembahan Lebdagati adalah lingkungan kekuasaannya. Hutan Jatimalang, lereng Gunung Lawu adalah daerah yang dikuasai
panembahan itu."
"Daerah yang begitu luas?" bertanya Ki Wiradadi. "Jarak antara Jatimalang dan puncak Gunung Lawu adalah terlalu luas untuk satu padepokan."
"Tetapi daerah yang sudah digarap belum terlalu banyak.
Daerah seluas ini terdiri dari padang rumput, hutan perdu dan hutan pegunungan yang lebat. Daerah berbatu-batu dan padang ilalang. Hanya beberapa bagian dari daerah seluas ini dapat dijadikan tanah persawahan dan pategalan," jawab orang tua itu.
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Tetapi iapun bertanya,
"Ki Sanak belum memberikan jawaban, siapakah Ki Sanak sebenarnya."
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kemudian berkata, "Kalian, apalagi anak-anak muda itu, telah memasuki daerah yang sangat berbahaya. Yang terjadi http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
barulah sebuah perkenalan. Kalian akan segera menjumpai kesulitan yang lebih besar."
"Katakan, apakah kau yang disebut Panembahan
Lebdagati?" desak Manggada.
Orang itu masih belum langsung menjawab. Tetapi ia berkata, "Jalan ini adalah jalan induk menuju ke padepokan itu. Padepokan itu sendiri masih jauh. Tetapi di beberapa tempat, cantrik mereka menggarap sawah yang tersebar.
Beternak dan membuat kolam ikan. Jarang sekali orang-orang padepokan ini keluar lingkungan mereka. Maksudku, jarang sekali orang-orang dari daerah ini melintasi Hutan Jatimalang dan berhubungan dengan orang luar."
"Kecuali saat mereka mengambil gadis-gadis," potong Laksana.
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Sementara Laksana berkata selanjutnya, "Ki Wiradadi telah kehilangan anak gadisnya. Ia datang kemari bersama kami berdua untuk mengambil gadisnya itu kembali. Menurut pendengaran kami, gadis-gadis itu akan dikorbankan di saat bulan purnama penuh. Nah, sebelum purnama penuh itu datang beberapa hari lagi, kembalikan gadis itu."
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Jadi kalian datang untuk mengambil seorang gadis?"
"Ya. Anak Ki Wiradadi ini. Sebagai seorang ayah, maka ia akan menempuh bahaya yang bagaimanapun besarnya.
Sedangkan kami berdua, yang, mengetahui persoalannya, tidak dapat tinggal diam. Kami berdua sudah bertekad untuk membantunya."
Tetapi orang tua itu menggeleng. Katanya, "Sulit bagi kalian untuk dapat membebaskan gadis yang sudah ada di tangan http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Panembahan Lebdagati, sebab Panembahan Lebdagati
mempunyai banyak pengikut. Meskipun beberapa orang di antara mereka tidak lebih dari orang-orang yang telah terbunuh, tetapi jumlahnya terlalu banyak, dan beberapa orang mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Apalagi
Panembahan Lebdagati itu sendiri."
"Ada yang kau lupa, Ki Sanak," berkata Manggada.
"Betapapun tinggi ilmu seseorang, namun ia masih tetap di bawah kuasa Yang Maha Agung. Jika orang berilmu tinggi itu telah menempuh jalan sesat, maka akan datang murka Yang Maha Agung itu atasnya. Karena itu, kami tidak gentar. Jika kami terbunuh di tempat orang-orang berilmu sesat, maka kematian kami bukannya sia-sia. Kami telah menunjukkan kepada orang-orang itu bahwa kepercayaannya mendapat tantangan, sehingga akhirnya pada suatu saat orang itu akan langsung berhadapan dengan lantaran kuasa Yang Maha Agung sendiri."
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Agaknya kau mempunyai lambaran kepercayaan yang
kokoh." "Aku yakin akan sumber hidupku. Aku percaya akan
tanganNya yang adil dan kuasa tanpa batas," sahut
Manggada. "Meskipun kami bukan orang-orang berilmu, tetapi kuasaNya akan mungkin mempergunakan ujung panahku
untuk menyelesaikan kegiatannya yang sesat." Manggada berhenti sejenak, namun tiba-tiba ia bertanya menghentak,
"Kaukah Panembahan Lebdagati yang sesat itu?"
Akhirnya orang itu menggeleng. Katanya, "Bukan. Bukan akulah orang yang kau cari."
"Jadi siapakah kau?" bertanya Manggada mendesak.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya puncak Gunung Lawu yang kebiruan. Masih jauh, meskipun mereka sudah berada di lereng.
"Sebut namamu atau gelarmu, Ki Sanak," Ki Wiradadipun telah mendesaknya pula.
Orang itu akhirnya berkata, "Orang memanggilku Ki Ajar Pangukan."
"Pangukan?" ulang Laksana.
Orang itu mengangguk. Namun tiba-tiba Laksana berkata,
"Jadi kau adalah orang Panembahan Lebdagati yang
mendapat tugas untuk mengamati jalan menuju ke
padepokannya?"
"Kenapa kau menganggap begitu?" bertanya orang tua itu.
"Namamu Pangukan. Orang yang sering mengamati
sesuatu," jawab Laksana.
Orang itu tersenyum. Katanya, "Ketika aku menggantikan kedudukan guruku, aku disebut Ajar Pangukan. Aku tidak berpikir begitu jauh mengenai arti namaku itu dengan baik."
Orang itu berhenti sejenak, namun tiba-tiba iapun berkata,
"Tetapi mungkin kau benar, anak muda. Tugasku memang mengamati, melihat-lihat sebagaimana aku lakukan sekarang."
"Jadi kau mengakui bahwa kau salah seorang murid
Panembahan Lebdagati?" bertanya Laksana.
Orang itu tersenyum. Katanya, "Kau masih terlalu muda.
Hati-hatilah. Kau harus mencoba mengendalikan diri menghadapi persoalan-persoalan yang berat."
"Kau belum menjawab," desak Laksana.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudah berkali-kali aku katakan. Aku bukan Panembahan Lebdagati, juga bukan muridnya, atau orangnya, atau orang yang pernah berhubungan dengan panembahan itu," jawab Ki Ajar Pangukan. "Aku justru sedang mengamati tingkah laku orang-orang dari daerah ini. Sudah beberapa bulan aku berada di sini."
"O," Ki Wiradadilah yang bergeser. Nada suaranya berubah.
"Apakah kau berkata sebenarnya?"
"Ya. Aku berkata sebenarnya," jawab orang itu. "Jika aku pengikut Panembahan Lebdagati, atau bahkan Lebdagati itu sendiri, maka aku tentu akan dengan serta-merta membunuh kalian."
Ki Wiradadi mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Laksana yang tersinggung berkata, "Kau kira kami adalah kelinci-kelinci yang tidak berarti apa-apa" Kau lihat, kami telah membunuh orang-orang Panembahan Lebdagati."
"Sudahlah, anak muda," berkata orang itu. "Kita jangan terlalu lama di sini. Kita tidak boleh ketahuan orang-orang Panembahan Lebdagati. Setelah beberapa bulan aku disini, aku menjadi semakin mengenali lingkungan ini. Termasuk Panembahan Lebdagati itu sendiri. Namun aku tidak boleh diketahui oleh mereka. Jika demikian, maka usahaku akan sia-sia."
"Jadi apa yang sebaiknya kita lakukan?" bertanya Ki Wiradadi.
"Ikuti aku setelah kalian mengubur orang-orang yang terbunuh itu," berkata Ki Ajar Pangukan.
"Kau ingin menjebak kami?" berkata Laksana.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Ajar itu tertawa. Katanya, "Kau terlalu curiga, anak muda. Tetapi baiklah, aku mengerti. Karena itu, biarlah aku tunjukkan kepadamu, bahwa aku tidak akan mencelakakanmu.
Jika aku ingin melakukannya, aku dapat melakukannya dengan mudah."
Laksana termangu-mangu. Namun iapun kemudian melihat orang tua itu bangkit berdiri, dan seperti terbang, ia meloncat mundur ke atas sebuah batu yang besar.
"Perhatikanlah. Aku akan membantu kalian mengubur
orang-orang yang telah kau bunuh itu," berkata orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Pangukan itu.
Ketiga orang itupun termangu-mangu. Namun mereka
memang bergeser surut ketika mereka melihat orang tua yang berdiri di atas batu itu bersikap.
Beberapa saat kemudian, orang tua itu menggerakkan tangannya. Dengan satu hentakan, dari telapak tangannya terlontar kekuatan yang sangat besar.
Tanah beberapa langkah di depannya tiba-tiba saja
bagaikan meledak. Demikian terjadi setiap orang itu menggerakkan tangannya sampai lima kali. Baru kemudian orang itu berhenti setelah di hadapannya berjajar lima buah lubang yang cukup lebar dan dalam.
"Nah," berkata orang itu kemudian, "kau dapat
menguburkan kelima sosok mayat itu tanpa mengalami kesulitan menggali lubang. Cepat lakukan sebelum orang-orang dari Padepokan Lebdagati melihat kita."
Ki Wiradadi dan kedua orang anak muda itu bagaikan dicengkam oleh pesona yang tidak disadari. Merekapun dengan cepat telah mengangkat sosok-sosok mayat yang berserakan, dan memasukannya ke dalam lubang.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi kalianlah yang harus menimbuninya," berkata orang tua itu. "Aku sudah menggalinya."
Keringat membasahi seluruh tubuh mereka. Sementara itu Laksana bukan saja menitikkan keringat, tetapi menitikkan darah pula.
Namun orang tua itu kemudian berkata, "Nanti aku akan mengobati lukamu."
"Tetapi di manakah rumah Ki Sanak?" bertanya Ki Wiradadi.
"Mari. Ikut sajalah. Kau akan tahu," berkata orang itu.
Ketiga orang itu tidak membantah lagi. Mereka menyadari, seandainya orang itu ingin membunuh mereka bertiga, maka orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Pangukan itu memang tidak akan banyak mengalami kesulitan.
Beberapa saat kemudian mereka telah meninggalkan jalur jalan menuju ke padepokan yang dihuni orang-orang yang berilmu sesat. Mereka meniti jalan-jalan setapak. Bahkan kadang-kadang mereka berloncatan di antara batu-batu padas. Menyusup batang-batang perdu dan melingkari lereng-lereng rendah.
Ketika mereka sampai ke sebuah sungai, mereka mengikuti arusnya beberapa ratus tonggak. Baru kemudian mereka menyeberang dan naik di lereng sebelah.
"Kita kemana?" bertanya Manggada.
"Aku mempersilahkan kalian singgah di padepokanku,"
berkata orang itu.
"Padepokanmu juga di kaki Gunung ini?" bertanya Laksana.
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Tetapi letaknya memang agak jauh," jawab orang itu.
Lalu iapun bertanya kepada Laksana, "Nampaknya kau sudah terlalu letih. Aku mengerti, luka-lukamu masih saja berdarah."
"Tidak," jawab Laksana. "Tetapi lukaku memang berdarah lagi."
"Kita dapat beristirahat sebentar. Kita sudah berada di tempat yang agak jauh dari daerah pengawasan Panembahan Lebdagati," berkata Ki Ajar Pangukan itu.
"Aku tidak ingin beristirahat," berkata Laksana.
"Aku hanya ingin memampatkan darahmu saja," jawab Ki Ajar.
"Baiklah," akhirnya Ki Wiradadi yang menyahut. "Agaknya lukamu memang perlu diobati lagi."
"Bukankah aku masih mempunyai obat yang cukup?"
berkata Laksana.
"Karena itu, sebaiknya obat itu dipergunakan," sahut Ki Ajar.
Laksana tidak membantah legi. Mereka kemudian
beristirahat di bawah rimbunnya sebatang pohon. Sementara itu di hadapan mereka terbentang lereng pegunungan yang tidak pernah digarap tangan. Padang perdu yang liar.
Beberapa buah batu besar yang berserakan. Namun agak jauh di hadapan mereka, terdapat hutan pegunungan yang hijau.
"Tanah ini belum sempat disentuh," berkata Ki Ajar Pangukan. "Berbeda dengan daerah di sekitar padepokan dan anak-anak padepokan Panembahan Lebdagati. Di sana air sudah dimanfaatkan sebaik-baiknya, sehingga di beberapa bagian nampak sawah yang subur."
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun tiba-tiba Manggada teringat akan kepentingan mereka datang ke tempat itu. Karena itu ia berkata, "Ki Ajar, kedatangan kami ke tempat ini bukannya sekedar bertamasya di lereng pegunungan. Kami telah bertekad untuk mengambil anak perempuan Ki Wiradadi yang telah diserahkan kepada orang-orang berilmu sesat itu."
"Aku mengerti," jawab Ki Ajar.
"Jadi bagaimana" Kau sengaja membelokkan arah
perjalanan kami?" bertanya Laksana.
"Ya. Aku memang sengaja membawa kalian keluar dari jalan kematian. Jika kalian aku biarkan menempuh perjalanan yang kalian rencanakan, maka sebelum kalian tahu apakah anak perempuan itu benar-benar ada di sini, kalian sudah akan mati lebih dahulu," berkata Ki Ajar.
"Tetapi bagaimana dengan anak itu?" bertanya Ki Wiradadi.
"Kita memang harus berbuat sesuatu sebelum bulan
purnama beberapa hari lagi. Tetapi tidak dengan membunuh diri," berkata Ki Ajar Pangukan.
"Tetapi dengan cara apa?" desak Laksana.
Ki Ajar tertawa. Katanya, "Kau mengingatkan aku kepada seorang pahlawan yang gugur beberapa bulan lalu di lereng gunung ini pula. Ia datang untuk mencari anaknya. Bahkan ia sendiri saja dengan membawa segerobag senjata. Seperti kalian. Pedang, busur dan anak panah, pisau-pisau belati dan tombak, bindi, trisula, nanggala dan barangkali bajra." Orang itu berhenti sejenak. Lalu katanya, "Tetapi semua itu tidak akan berarti apa-apa. Jumlah pengikut Panembahan Lebdagati cukup banyak."
http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manggada, Laksana dan Ki Wiradadi menundukkan
kepalanya. Mereka melihat bagaimana orang tua itu
mengangkat tangannya dan kemudian melontarkan ilmunya membuat lima buah lubang yang cukup untuk mengubur lima sosok mayat. Dengan demikian mereka dapat membayangkan betapa besar kemampuan ilmu orang itu dibandingkan dengan mereka bertiga. Dibandingkan dengan anak panah dan busur mereka. Dibandingkan dengan pedang dan pisau-pisau kecil mereka.
Karena ketiga orang itu tidak menyahut, Ki Ajar pun berkata, "Lihat lagi luka itu. Obati lagi jika perlu."
Manggadalah yang kemudian melihat lagi luka saudara sepupunya. Ia memang merasa perlu untuk menaburkan lagi obat pada luka Laksana.
Dalam pada itu, Ki Ajar berkata lagi, "Padepokanku tidak berisi apa-apa. Berbeda dengan padepokan Ki Lebdagati yang dihuni banyak pengikutnya. Aku tinggal di padepokanku sendiri."
"Sendiri?" bertanya Ki Wiradadi.
Ki Ajar Pangukan tertawa. Katanya dengan nada rendah,
"Ya, sendiri saja. Jika aku tinggal bersama beberapa orang, maka kehadiranku di sini akan segera diketahui oleh Sang Panembahan."
Ketiganya tidak menyahut. Mereka kemudian meneruskan perjalanan. Padang perdu itu semakin lama memang menjadi semakin banyak ditumbuhi pepohonan yang cukup besar.
Pohon mindi, pakis hutan dan beberapa jenis pohon berduri.
Ilalangpun tumbuh semakin tinggi.
Beberapa saat kemudian mereka melintasi sebuah parit yang berair bening. Namun mereka mendengar tidak jauh dari http://ebook-dewikz.com/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tempat itu terdapat sebuah gerojogan. Agaknya air parit itu sampai ke lereng yang agak terjal.
Ki Ajar agaknya mengetahui bahwa ketiga orang itu sedang memperhatikan suara gerojogan. Katanya, "Kita memang akan pergi ke gerojogan itu."
Ki Wiradadi termangu-mangu. Namun Ki Ajar berkata,
"Marilah. Kita teruskan perjalanan kita. Sebelum senja kita harus sudah sampai."
Memanah Burung Rajawali 20 Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Kisah Si Pedang Terbang 3

Cari Blog Ini