Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Bagian 13
Suara makin jelas, cahaya api juga tambah terang, jelas tujuan mereka menuju ke gua ini.
Sekilas Po-giok bimbang, namun sigap sekali ia sembunyikan mayat Gui-Put-tam di tempat gelap, sementara dirinya menyelinap ke belakang batu.
Cahaya api sudah menyorot ke dalam gua, dua laki-laki mengangkat tinggi obor di atas kepala, dengan langkah lebar mereka masuk, sekilas mereka celingukan lalu berseru bersama, "Betul, memang di sini tempatnya, gotong masuk."
Suara orang banyak mengiakan di luar, belasan laki-laki menggotong sebuah peti mati masuk ke dalam gua, peti mati itu masih baru, peliturnya mengkilap di bawah cahaya obor.
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam ... tidak salah, memang enam," demikian kata salah seorang pemikul peti mati itu, "syukur semua sudah kita angkut kemari. Mereka sudah mampus seluruhnya, sebaliknya kita harus menderita karenanya."
"Ah, kenapa kau bilang begitu," seorang temannya menanggapi, "dalam keadaan biasa, memangnya kamu setimpal memikul peti jenazah mereka."
"Betul," jengek laki-laki yang paling depan, "siang tadi orang-orang itu masih disanjung puji bagai pendekar atau ksatria, tapi sekarang semua sudah mampus. Orang hidup punya derajat tinggi dan rendah, setelah mati sama rata, meski waktu hidupnya dia seorang pendekar besar, setelah mati dia juga dikubur dalam liang lahat yang sama."
"Sudahlah, kenapa ribut," sela orang ketiga, "tugas kita masih banyak, mungkin masih belasan korban lagi yang harus kita gotong kemari.
Mendengar percakapan mereka, darah seperti mendidih di rongga dada Po-giok, ia maklum bahwa pertemuan di puncak Thai-san sudah mencapai taraf yang mencegangkan, terbukti dengan jatuhnya korban yang dikubur dalam gua ini. Diam-diam Po-giok amat menyesal bahwa orang banyak sudah pertaruhkan jiwa raga untuk memperebutkan "nomor wahid", sementara dirinya masih sembunyi dalam gua yang gelap ini.
Seorang laki-laki yang membawa obor mendadak tertawa lebar, katanya, "Tugas kita memang melelahkan, tapi banyak orang merasa iri terhadap kita."
"Apa yang mereka irikan?" tanya seorang lain, "kurasa hanya orang gila yang iri terhadap kerja berat ini."
"Coba dengar dan buka lebar matamu," kata laki-laki kekar pembawa obor itu, "betapa banyak orang kini berkumpul di puncak Thai-san, mereka berjejal di luar kalangan, paling hanya mendengar denting senjata beradu atau berkelebatnya sinar pedang dan golok, siapa bisa menonton dengan jelas seperti kita yang boleh hilir-mudik, keluar-masuk dengan bebas, meski dia seorang pendekar besar juga harus menyingkir memberi jalan kepada kita. Memangnya apa pula yang harus kita sesalkan dengan tugas yang membanggakan ini. Ayolah kawan-kawan, lekas selesaikan, pertandingan masih berlangsung dengan seru, sayang kalau tidak bisa menonton pertarungan sengit itu."
Beramai-ramai rombongan pemikul peti mati beranjak keluar.
Dengan enteng, mendadak Po-giok melompat keluar dari tempat gelap, sekali tangan kiri mengebas, pemikul yang berjalan di belakang tertutuk tiga hiat-to di tubuhnya, tanpa mengeluarkan suara laki-laki ini roboh, sigap sekali Po-giok meraih tubuhnya terus diseret mundur cepat ia belejeti bajunya dan dipakainya.
Betapa cekatan gerak-gerik Po-giok, tiada satu pun rombongan pemikul itu tahu bahwa seorang temannya dikerjai oleh Po-giok, bergegas mereka beranjak pergi sambil bersenda gurau.
Po-giok seret tubuh orang itu ke samping batu, tak jauh dari mayat Gui-Put-tam, sejenak dia memanjatkan doa, tanpa terasa air mata meleleh di pipi, bergegas ia beranjak keluar menyusul rombongan pemikul tadi.
Kira-kira seminuman teh perjalanan, dari kejauhan terdengar suara riuh rendah, sorak-sorai bercampur tepuk tangan, entah pendekar ternama dari mana yang telah mengalahkan 437
Koleksi Kang Zusi
lawannya. Makin dekat ke tempat tujuan, perasaan Po-giok seperti makin ciut, darah panasnya justru makin mendidih, kedua tangan mengepal lebih keras.
Ketika rombongan para pemikul ini tiba di atas gunung. Bulan purnama pun menghias cakrawala, sinar lampu dan obor terang benderang di tanah lapang yang berumput hijau seperti permadani.
Semangat Po-giok menyala, tapi kepala tunduk lebih rendah, meski mencampurkan diri dalam rombongan para pemikul itu, tapi dia tidak berani celingukan. Mereka turun dari punggung gunung, penonton di sebelah sini juga berjubel-jubel, melihat rombongan mereka, tanpa diminta mereka menyingkir memberi jalan.
Para pemikul itu saling memegang pundak, seperti barisan ular saja mereka menyelinap ke depan di tengah kerumunan orang banyak.
Po-giok ikut berdesakan di tengah rombongan itu dan terus maju ke depan. Hidungnya mengendus bau arak, bau keringat dan bau tembakau , sementara telinga mendengar pembicaraan orang banyak.
"Nah, lihat, Thian-siang-hwi-hoa (bunga berterbangan di angkasa) memang luar biasa, beruntun dia menang dua babak, padahal keringatnya belum keluar."
"Memangnya kenapa kalau sudah menang dua babak" Bukankah Thian-to Bwe-Kiam, Poa-Ce-sia, Siau-hoa-jio Be Cek-coan, Ciang-Jio-bin, Au-yang-thian-kiau dan lain-lain juga sudah menang dua babak."
"Ya, memang nasib mereka lagi baik, padahal Lu-Hun, Hi-Thoan-kah, Ing-Thi-ih kan belum unjuk diri, kalau mereka melawan beberapa orang ini, apa mereka mampu merebut kemenangan?"
"Bicara tentang orang-orang itu, aku jadi teringat kepada Pui-Po-giok ... He, saudara, pasanglah mata dan kupingmu kalau berjalan, jangan main desak saja. Hm, kalau tenaga kalian tidak diperlukan untuk menggotong mayat,umpama yang datang raja juga jangan harap kuberi jalan."
Di mana barisan ular rombongan pemikul itu lewat, penonton yang berdesakan itu menjadi ribut sama memaki dan berseloroh, suasana tambah ramai saja.
Sementara itu, beberapa laki-laki membawa ember, sedang mencuci noda darah di atas panggung, entah darah siapa yang berceceran di sana.
Tak jauh di pinggir kiri hui-tai (panggung pertandingan), terdapat sebuah meja bulat, enam atau tujuh orang duduk di belakang meja, rambut yang sudah ubanan, dengan wajah yang welas asih dan serius, siapa lagi dia kalau bukan Ting-lo-hu-jin.
Wajah nan merah bercahaya, dengan rambut putih tergelung rapi, di atas kepala, dia bukan lain adalah Bu-sia To-tiang. Bertubuh kurus kering seperti kayu hangus, tapi berwajah tenang seperti air bening, itulah It-bok Tai-su, sedang yang duduk di pinggir dengan berkerut alis seperti dirundung susah, jelas dia Ban Cu-liang.
Hanya sekilas Po-giok melirik ke situ lalu menoleh ke kanan. Di sebelah kanan hui-tai ternyata juga duduk beberapa orang.
Poa-Ce-sia yang bersikap wajar, selalu tertawa dan banyak omong. Au-yang-thian-kiau membusung dada dengan sikap yang kereng. Siau-hoa-jio Be Cek-coan bertubuh sedang kelihatan tangkas wajah pun berseri-seri. Bu-ceng Kong-cu Ciang-Jio-bin berpakaian necis, wajah putih bersih, alis tegak dan mata memandang ke atas, sikapnya congkak menyebalkan.
Sementara Thian-to (golok langit) Bwe-Kiam duduk menunduk, sibuk membersihkan golok sabitnya yang mengkilap itu, seolah-olah tidak ambil perhatian terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya.
Sementara Thian-siang-hui-hoa Ling-Peng-hi yang digembar-gemborkan bakal menduduki tempat pertama, kelihatan duduk prihatin, bukan saja tidak bersikap angkuh, bangga atau puas sebaliknya sinar matanya menunjuk perasaan yang resah.
438 Koleksi Kang Zusi
Beberapa orang yang lain kelihatan bersemangat, sorot mata mereka tetap menyala, jelas mereka orang gagah yang terkenal dan menjagoi
daerah masing-masing, sayang Po-giok tidak kenal mereka.
Setelah berada di belakang panggung, mereka mulai sibuk kerja lagi. Dari celah-celah tonggak panggung yang gede-gede itu, Po-giok lihat di depan panggung paling dekat juga duduk berkerumun banyak orang. Orang-orang ini tidak ikut bertanding, namun mereka adalah para pendekar dan orang gagah yang sudah ternama di kang-ouw, adalah logis kalau kehadiran mereka di sini memperoleh prioritas yang tidak mungkin diperoleh orang lain.
Majikan Kwi-kik-wan Ce Sing-siu, Ban-tiok-san-ceng Ceng-cu, istri Au-yang-thian-kiau, putri kesayangan Ting-lo-hu-jin Ting-si-siang-kiat juga berada dalam rombongan ini.
Bila Po-giok lanjutkan pandangannya ke arah kiri, ia lihat beberapa orang yang selama ini sudah amat dirindukan.
Perawakan Thi-wah yang tinggi besar dan kekar, seperti burung bangau berdiri di tengah kerumunan ayam, kehadirannya paling menyolok di antara orang banyak, tapi pada wajahnya tidak kelihatan sikap jenaka, riang dan kocak seperti biasanya, kedua alis yang tebal itu malah berkerut erat. Betapa rindunya terhadap sang "toa-ko" sedetik pun tidak terlupakan.
Kim Co-lim masih terus minum, tampaknya sudah beberapa hari dia tidak sadar, sikapnya loyo dan mukanya juga kurus. Kecuali mabuk dan mabuk, entah dengan cara apa supaya dapat melupakan musibah dan deritanya selama ini.
Melihat kedua orang ini, jantung Po-giok seperti hendak melompat ke luar, tanpa terasa mata berkaca-kaca.
Lebih jauh dia juga menemukan Bok Put-kut dan Ciok-Put-wi. Semula dia kira kedua orang ini sudah celaka, kini mendadak melihat mereka, betapa senang dan lega hatinya.
Namun wajah Bok Put-kut yang kelihatan kurus pucat dan lelah membuatnya terharu. Untung masih ada Ciok-Put-wi yang kukuh dan tenang selalu mendampinginya, kalau tidak, ingin rasanya dia lari ke sana dan memeluk Toa-su-pek yang baik dan welas asih ini serta menangis sepuas-puasnya dalam pelukannya.
Pada saat Po-giok terlongong itulah, suara Ting-lo-hu-jin yang berwibawa berkumandang di atas panggung. Hadirin seketika diam dan tenang.
"Sudah dua puluhan babak pertandingan diselesaikan, dalam sepuluh jurus sudah menentukan kalah menang, sungguh di luar dugaan, dari sini dapat kita simpulkan. bahwa kungfu para pemenang itu memang jauh lebih tinggi tarafnya.
Bahwa dalam kang-ouw bermunculan jago-jago kosen yang masih muda usia, sungguh aku sangat senang."
Kata-katanya berat dan jelas, lahirnya dia bilang senang, padahal perasaannya amat berat dan prihatin.
Setelah menghela napas, ia lanjutkan, "Kini sudah memasuki babak kedua, kuyakin pesertanya adalah pilihan dari sekian banyak jago yang paling kosen, pihak mana pun yang terluka atau gugur merupakan kehilangan kaum Bu-lim umumnya. Oleh karena itu kami anjurkan, pada waktu tanding nanti, masing-masing pihak harap dapat membatasi diri, cukup menentukan kalah menang saja, hal ini akan merupakan keuntungan kaum Bu-lim seluruhnya."
Komentar itu dilontarkan dengan suara lantang, dengan tulus dan luhur, namun jago-jago yang siap bertanding tetap sibuk membersihkan senjata masing-masing, yang termenung tetap termenung, yang tertunduk juga tidak mengangkat kepala, seolah-olah tiada seorang pun peduli nasihat itu.
Sekilas Ting-lo-hu-jin memandang sekeliling, lalu menghela napas panjang, "Baiklah, untuk menyingkat waktu, babak kedua kita lanjutkan. Untuk ronde pertama, yang akan tampil adalah Tin-thian-pi-lik Kho Tiu melawan Giok-bin-kiam-khek Sun Cau."
Tin-thian-pi-lik Kho-Tiu berperawakan tegap dan besar, sikapnya yang kereng menciutkan nyali orang, berpakaian ketat terbuat dari sutera, golok berpunggung tebal yang berat dan panjang 439
Koleksi Kang Zusi
seperti mainan kanak-kanak saja baginya.
Giok-bin-kiam-khek Sun-Cau berwajah putih kepucat-pucatan, kaki tangannya kelihatan halus, alisnya lentik matanya jeli. meski sikap dan wajahnya tampak gagah tapi tindak-tanduknya yang lembut lebih mirip orang perempuan.
Seolah-olah kedua orang itu sudah ditakdirkan untuk bermusuhan, yang satu keras dan yang lain lemas. Tapi kaum Bu-lim sama tahu bahwa kedua orang ini adalah sahabat kental.
Namun nasib mempertemukan mereka di atas hun-tai, hadirin tertarik, semua ingin tahu, apakah dua sahabat karib ini akan saling bunuh atau mau mengalah"
"Sun-heng, silakan memberi petunjuk." Kho Tiu buka suara dengan lantang.
Sun Cau tersenyum, "Kho-heng, mohon belas kasihanmu."
Belum habis bicara. Kaki kiri mendadak menyilang ke pinggir, pedang yang terangkat lurus di depan dada mendadak terayun ke depan.
Kelihatan jurus pedang ini ganas lagi cepat, padahal gerakan itu hanya merupakan pemberian hormat kepada Kho Tiu.
Kho Tiu menekan telapak tangan kiri ke bawah, begitu lengan bergerak golok pun terayun, gaya ini pun merupakan tanda hormat.
Mereka saling pandang sekejap lalu mengangguk bersama pula, setelah itu keduanya bergerak dengan lincah dan tangkas, sinar golok dan cahaya pedang berseliweran, turun-naik berputar memenuhi panggung.
Belasan jurus kemudian, hadirin sudah tahu bahwa kedua orang yang bertanding ini tiada maksud berebut kemenangan, gerak pedang dan serangan golok memang kelihaian keras dan lihai, tapi keduanya tidak sepenuh tenaga melontarkan serangan. Siapa bakal kalah dan menang pada ronde pertama di babak kedua ini seolah-olah sudah ada perjanjian. Bahwa mereka bertarung di atas lui-tai tidak lebih hanya untuk pamer kepandaian belaka.
Ilmu pedang Sun Can memang lihai, permainan golok Kho Tiu juga hebat. Tapi hadirin menjadi sebal menonton pertandingan yang tidak sungguh-sungguh ini, lama kelamaan pcnonton menjadi ribut, ada yang melengos dan bicara sendiri dengan kawan-kawan. Hanya Ting-lo-hujin saja yang
tampak manggut-manggut dengan tersenyum puas.
Sekonyong-konyong sinar pedang lembayung menggubat sinar golok. "Trang" pedang dan golok beradu dengan keras. Di tengah benturan keras itu pedang di tangan Sun Cau tampak mencelat ke udara.
Hadirin melengong, Kho Tiu sendiri juga kaget, sinar matanya tampak menyesal dan minta maaf, jelas dia tidak sengaja membuat malu Sun Cau di depan umum. Tapi gerak-gerik Sun Cau
cukup cekatan, reaksinya juga cepat, baru saja pedangnya terlepas, tiba-tiba tubuhnya melayang tinggi mengejar pedang, "crap," baru saja pedang menancap di belandar panggung, sekali raih lantas dicabutnya.
Tampak mukanya merah padam, bola matanya juga merah membara saking murka, karena malu ia menjadi gusar. Begitu pedang berada di tangan, di tengah udara ia jungkir balik, menukik turun dan menerjang ke arah Kho Tiu. Saking gusar Sun Cau melancarkan jurus paling ganas dari Loh-ing-kiam-hoat.
Kecuali menyesal Kho Tiu juga kaget menghadapi reaksi kawannya, maka ia berdiri kaku seperti tidak mampu bergerak.
Di tengah jeritan kaget para penonton, sinar pedang pun berkelebat, menyusul terdengar jeritan Kho Tiu yang mengerikan, darah pun berhamburan, Kho Tiu roboh mandi darah.
Pedang Sun Can menusuk leher kiri, tembus di ketiak kanan, sekali tusuk menamatkan jiwanya.
Penonton hanya melongo mengawasi musibah yang tidak terduga ini mereka yang duduk berjingkrak berdiri, yang berdiri ingin menyerbu ke atas panggung. Pedang masih menancap di 440
Koleksi Kang Zusi
tubuh Kho Tiu. Giok-bin-kiam-khek Sun Cau berdiri kaku di tempatnya, wajah yang pucat menjadi lebih putih.
darah sahabatnya muncrat membasahi pakaian dan selebar mukanya.
Suasana hening lelap.
Terdengar Kho Tiu merintih perlahan, napas berat dan makin lemah. Sekuatnya ia meronta,
"Aku ... tidak sengaja ...." suara yang gemetar mendadak putus. Riwayat hidupnya yang cemerlang selama ini berakhir begitu saja.
Mendadak Sun Cau mendongak sambil berloroh-loroh, "Bagus ... matilah semuanya..."
Di tengah loroh tawanya yang serak, mendadak pedang dicabutnya, sekali putar ujung pedang, sekuatnya ia tusuk tenggorokan sendiri.
Di belakang panggung, Po-giok angkat jenazah kedua orang ini ke dalam peti mati. Betapa duka dan haru hatinya saat itu, rasanya tidak tega menyaksikan lebih lanjut.
Tapi pertandingan tidak berhenti karena jatuhnya korban, darah masih terus mengalir. "Ronde kedua!" teriak Ting-lo-hu-jin dengan suara parau menahan sedih, "Kiu-lian-hoan Ci Gai melawan juragan peternakan. Thian-kiau Au-yang-tai-hiap."
Sebagai ketua sebuah aliran yang disegani, Au-yang-thian-kiau memang memiliki wibawa yang tidak dimiliki orang lain, dengan langkah tegap dan mantap dia beranjak ke atas panggung.
Sementara Kiu-lian-hoan Ci Gai sudah mendahului melompat tinggi hinggap di atas panggung gin-kang nya memang sudah lama terkenal, gerak-geriknya enteng dan cekatan, penonton menyambutnya dengan tepuk sorak riuh rendah.
Ci Gai sudah berdiri di atas panggung, menginjak noda darah di antara celah-celah panggung, mengawasi Au-yang-thian-kiau yang sedang berjalan ke atas panggung. Entah kenapa perasaannya mendadak mendelu, setiap langkah Au-yang-thian-kiau yang mantap itu ternyata menjadikan nyalinya menjadi ciut dan gentar.
"Ci-tai-hiap," sapa Au-yang-thian-kiau sambil menjura, "silakan mulai!"
Kebetulan Ci Gai berdiri menghadap rembulan yang memancarkan cahayanya, pandangannya kelihatan hampa, apa yang diucapkan Au-yang-thian-kiau seperti tidak terdengar olehnya.
Berkerut alis Au-yang-thian-kiau, katanya bersungut, "Ci-tai-hiap, apalagi yang kau tunggu, silakan menyerang lebih dulu."
Mendadak Ci Gai bergelak tawa, "Bergebrak maksudmu" Kenapa aku harus menyerangmu" Apa yang harus aku rebutkan denganmu" Memangnya kenapa kalau kalah" Bagaimana pula kalau menang ... "
Di tengah gelak tawanya, ia melangkah lebar dan turun panggung, melirik pun tidak kepada Auyang-thian-kiau.
Kaget lagi heran, Au-yang-thian-kiau melengong mengawasi punggung orang.
perlahan Ting-lo-hu-jin berdiri, dengan suara berat dia berseru, "Ronde kedua dimenangkan oleh Au-yang-tai-hiap."
Au-yang-thian-kiau berputar lalu melangkah turun, sikapnya tidak berubah, langkahnya tetap mantap, tapi entah perasaannya"
Suara Ting-lo-hu-jin yang bernada berat mencekam perasaan seluruh hadirin. "Ronde ketiga, Ce-sia melawan Ong-Liat-hwe!"
Cepat sekali Poa-Ce-sia dan Ong-Liat-hwe sudah berhadapan di atas panggung. Poa-Ce-sia sudah menang dua ronde, namun sikap dan semangatnya masih menyala, tangannya menggenggam Go-kau -kiam, cahaya pedang cemerlang seperti sinar matanya yang binar.
Hwe-lui-cu Ong-Liat-hwe tidak sesuai namanya yang "Liat-hwe" (bara api), wajahnya putih kaku seperti mayat, sikapnya dingin tidak mirip api yang membara. Senjatanya adalah sebatang ruyung lemas panjang dan hitam gelap. Ruyung itu dinamakan Lui-cu-sin-hwe-pia.
441 Koleksi Kang Zusi
Ruyung lemas milik Ong-Liat-hwe ini adalah salah satu dari ke-13 jenis senjata yang terkenal di dunia, konon ruyung panjang itu tersusun sebanyak tiga belas ruas yang mirip bambu, setiap ruas ruyung mempunyai keistimewaan luar biasa untuk merengut sukma dan mencopot jiwa musuh.
Dalam pertandingan ini, kecuali mengandalkan permainan Hwe-hun-cap-sah-pian yang lihai lagi aneh untuk merebut kemenangan, tidak mungkin ia mengembangkan keistimewaan Lui-cu-sin-hwe-pian andalannya itu.
Dalam pertemuan besar di puncak Thai-san ini sudah berulang kali diperingatkan oleh penyelenggara, semua peserta dilarang menggunakan senjata rahasia. Kehadiran Ting-lo-hujin, Ban Cu-liang dan para pendekar ternama lainnya adalah sebagai pengawas dan penegak keadilan, memberi keputusan akhir hasil pertandingan yang berlangsung.
Poa-Ce-sia tersenyum ramah, katanya sambil soja, "Sejak berpisah di Ce-sia, tanpa terasa tiga tahun sudah lalu. Apakah selama ini Ong-heng baik-baik saja?"
Membesi kaku muka Ong-Liat-hwe, katanya dingin, "Lui-tai ini dibuka untuk merebut kalah dan menang. Di sini bukan tempat mengobrol silakan memberi petunjuk."
Poa-Ce-sia tetap tersenyum. "Baiklah, boleh Ong-heng mulai lebih dulu."
Lalu ia mundur dua langkah, pedang terangkat di depan dada, tiga jari tangan kiri menekan ujung pedang, sebelum mulai gebrak dia unjuk hormat lebih dulu.
Tanpa bicara Ong-Liat-hwe mengayun miring ruyung panjangnya menyerang tenggorokan lawan.
Sikapnya sombong dan pongah, ternyata permainan ruyungnya memang lihai, jurus ini dinamakan Lui-hwe-jut-tang, gerakannya kelihatan biasa, namun sedahsyat geledek menggelegar. Tampak sinar hitam berkelebat disertai deru angin yang keras, ruyung panjang itu tahu-tahu sudah tiga senti di depan leher Poa-Ce-sia.
Poa-Ce-sia tidak bergeming, tanpa menggeser kaki, pedang mendadak menyendal ke depan, dengan menyerang dia mempertahankan diri. Di mana sinar hijau berkelebat, bahu Ong-Liat-hwe menjadi sasaran ujung pedang.
"Serangan bagus!" bentak Ong-Liat-hwe.
Bayangan gelap ruyung itu sesuai namanya, yaitu mega api yang mengurung bayangan tubuh Poa-Ce-sia, panggung pertandingan itu pun seperti terbungkus oleh bayang-bayang gelap yang membawa deru angin tajam. Penonton yang berada paling depan tersampuk angin keras menyayat.
Poa-Ce-sia tetap bersikap tenang dan mantap pedang bergerak lincah dan tangkas, menebas menusuk, menutuk atau menyolok, di mana sinar hijau bergerak, selincah ular sakti membendung rangsakan ruyung lawan.
Penonton bertepuk dan bersorak memberi semangat, begitu tegang pertarungan sengit ini sehingga seluruh perhatian tumplek ke arah panggung.
It-bok Tai-su bergumam, "Omitohud! Sian cai Go-kau -kiam yang bagus, Sejak Peng-si-heng-te meninggal beberapa tahun yang lalu, sudah lama aku tidak menyaksikan permainan Go-kau kiam-hoat selihai ini."
Ban Cu-liang ikut memberi komentar, "Yang lebih hebat adalah dengan sebatang pedang ganco itu dia mampu melancarkan serangan yang dilandasi tenaga murni, sungguh kepandaian yang harus dipuji."
Ting-lo-hu-jin juga menghela napas gegetun. "Kalau dia tidak menaruh belas kasihan, sejak tadi Ong-tai-hiap tentu sudah dikalahkan, Bukan saja kaum Bu-lim terlalu rendah menilai kekuatannya, dahulu aku pun teramat meremehkan dia. Kini baru kita melihat secara nyata, kalau dinilai permainan kungfu sejati, taraf kepandaian Poa-Ce-sia mungkin tidak lebih rendah dibanding Ling-Peng-hi, Bwe-Kiam dan lain-lain. Bila beberapa orang ini nanti turun ke gelanggang, betapa tegang pertarungan mereka tentu jauh di luar perkiraan orang banyak."
442 Koleksi Kang Zusi
"Pertemuan di puncak Thai-san ini adalah pertandingan antara singa dan harimau." demikian gumam It-bok Tai-su, "Menurut pendapatku, dari sekian hadirin yang ada di sini, bukan cuma beberapa orang itu saja yang belum menunjukkan kemampuannya yang hebat."
Sementara itu, muka Ong-Liat-hwe yang pucat dan kaku itu kini sudah bermandi keringat.
Walau permainan ruyungnya masih gencar dan dahsyat, tapi para ahli sudah melihat, dia hampir kehabisan tenaga, berapa lama dia kuat bertahan lagi"
"Ong-heng," ucap Poa-Ce-sia perlahan, "kalau setuju, bagaimana kalau kita akhiri pertarungan ini, supaya .... "
"Kentut!" hardik Ong-Liat-hwe gusar. Mendadak ia melompat tinggi ke udara, pergelangan tangan bergetar keras, di tengah bayangan ruyung hitamnya, tiga butir mutiara hitam mendadak melesat keluar.
"Awas, Hwe-lai-cu!" penonton yang bermata jeli berteriak kaget dan kuatir.
"Ong-tai-hiap," bentak Ting-lo-hu-jin, "dilarang menggunakan senjata rahasia."
Sayang peringatan itu terlambat. Mutiara hitam itu sudah berada di depan Poa-Ce-sia.
Poa-Ce-sia juga berjingkat kaget, secara refleks pedang bergerak hendak menyampuk mutiara itu.
"He, jangan disentuh!" Ban Cu-liang ikut berteriak memperingatkan.
Tapi tiga kali ledakan keras disertai percikan api sudah melanda panggung pertandingan. Api seketika menjilat tubuh Poa-Ce-sia. Saking kaget Poa-Ce-sia langsung menjatuhkan diri berguling di atas panggung.
"Lari ke mana?" bentak Ong-Liat-hwe memburu maju, berbaring ruyung terayun pula, mukanya beringas, matanya melotot, hasratnya ingin membunuh Poa-Ce-sia.
"Berhenti!" Ting-lo-hu-jin dan Ban Cu-liang berseru, serempak mereka melompat ke arah lui-tai. Sayang jarak mereka agak jauh, meski cepat gerakan mereka, jelas tak keburu mencegah perbuatan Ong-Liat-hwe yang melanggar peraturan.
Pada saat genting itulah, mendadak sesosok bayangan menerobos maju, hanya satu langkah ia bergerak, tahu-tahu sudah berada di depan panggung, sekali ulur tangan Poa-Ce-sia berhasil diraihnya dan luput dari hajaran ruyung musuh. Terlambat sedetik saja jiwa Poa-Ce-sia tentu sudah melayang.
Agaknya kepandaian laki-laki gede ini amat lihai, bukan hanya gin-kang nya tinggi, begitu telapak tangan menekan panggung, tubuhnya yang besar mendadak jumpalitan ke atas,
"blang", tahu-tahu seorang laki-laki besar sudah berdiri di atas panggung.
Di tengah jeritan kaget hadirin, Ong-Liat-hwe menyurut mundur dua langkah dengan kaget dan gusar.
Tinggi laki-laki ini delapan kaki, mukanya hitam legam. Ong-Liat-hwe hanya tahu laki-laki dogol ini datang bersama Ban Cu-liang dan Bok-Put-kut.
"Kerbau dungu," dampratnya gusar, "kamu juga ingin mampus di sini.
Gu-Thi-wah balas membentak, "He, bocah cilik. seorang eng-hiong pantang bermain licik.
Ayolah, boleh kau gunakan pecutmu menghajar tuan besarmu ini."
"Keparat," Ong-Liat-hwe mengumpat gusar, "kamu ingin mampus!"
Ruyung berputar tiga kali dan menyabet dengan dahsyat.
Gu Thi-wah berdiri tenang, tidak menyingkir atau berkelit, begitu ruyung datang ia ulur tangan menangkap ujungnya, sekali sendal ia rebut senjata lawan.
Mimpi pun Ong-Liat-hwe tidak menyangka ada orang mampu dan tahan menghadapi serangan ruyungnya dengan tangan kosong. Tidak terbayang pula olehnya bahwa orang ini memiliki 443
Koleksi Kang Zusi
tenaga besar, sekuatnya ia bertahan dan menarik ruyungnya, bukannya ruyung lepas, telapak tangan sendiri malah tergetar pecah berdarah.
Gu Thi-wah terbahak-bahak. Ingin aku lihat permainan setan apa yang ada di dalam ruyung keparat ini."
Hanya beberapa kali gulung dengan telapak tangan, ruyung besi beruas itu telah dibuatnya menjadi bundaran seperti gelang. Sudah tentu belasan butir Hwe-lui-cu yang ada di dalamnya berjatuhan.
Dalam pada itu, Ting-lo-hu-jin, Ban Cu-liang dan It-bok Tai-su sudah berada di atas panggung.
Menyaksikan betapa hebat kekuatan Gu Thi-wah, mereka tertegun.
"Wah, celaka!" Ban Cu-liang mendahului berteriak, sigap sekali dia sobek lengan baju terus mengebas ke sana. Dengan enteng sobekan lengan baju itu menggulung Hwe-lui-cu terus melayang ke sana meninggalkan panggung.
Bu-ceng-kong-cu Ciang-Jio-bin melompat maju, lengan bajunya yang panjang juga dikebaskan perlahan, sobekan lengan baju yang menggulung Hwe-lui-ciu seperti di dorong ke depan, terbang ke bawah jurang. Beberapa kejap kemudian berkumandanglah ledakan keras di bawah sana.
Melihat betapa hebat kekuatan telapak tangan Thi-wah, pucat dan ciut nyali Ong-Liat-hwe, saking takut cepat ia putar tubuh hendak melarikan diri. Tahu-tahu sebuah telapak tangan segede kipas mencengkeram pundaknya, sudah tentu ia tidak berani menangkis, sambil mendak kedua tangan berputar setengah lingkar terus menyodok ke lambung lawan. Dengan kelincahan gerak tubuh dia berusaha mengalahkan lawan yang dibekali kekuatan raksasa ini.
Di luar dugaan, cengkeraman Thi-wah itu hanya gertak sambel, sigap sekali ia melejit ke sana, tahu-tahu ia sudah berada di sebelah kiri Ong-Liat-hwe. Tangan kanan menyapu miring menyerang kedua lutut Ong-Liat-hwe.
Beberapa tahun ia ikut si orang tua Ciu Hong, meski hanya beberapa jurus saja ia belajar, tapi beberapa jurus pelajaran kungfu itu sudah apal dan mahir sekali, sudah tentu permainannya cukup hebat.
Tidak terbayang oleh Ong-Liat-hwe bahwa laki-laki segede Thi-wah ternyata dapat bergerak selincah kelinci, apalagi gerak tangan dan langkahnya pun luar biasa. Melihat tangan lawan menyapu tiba, lekas dia menahan tangan segede gada itu berbareng melompat mundur untuk lari.
Siapa tahu tangan kiri Thi-wah sudah siap menunggu, begitu ia mundur, Thi-wah membentak sekali, sekali raih ia tarik tubuh orang terus dikempit di bawah ketiak.
Sambil mengempit Ong-Liat-hwe, Gu Thi-wah melangkah turun ke bawah panggung. Sorak-sorai penonton seperti tidak didengar, perhatiannya tertuju kepada lawannya, "Bocah keparat, dengan akal licik kau celakai orang she Poa, lekas mohon ampun padanya."
Ting-lo-hu-jin saling pandang dengan It-bok Tai-su. Ban Cu-liang mengawasi perawakan Thi-wah yang tinggi besar itu, hatinya diliputi rasa senang dan haru.
Yang paling senang dan haru sudah tentu Pui-Po-giok, diam-diam ia saksikan saudara yang dicintainya ini telah memperlihatkan kemahirannya di depan umum. Mendengar sorak-sorai penonton, hatinya lebih senang dan lega daripada diri sendiri yang memperoleh pujian itu.
Tanpa terasa air mata berkaca-kaca di kelopak matanya.
Ketika suasana tenang kembali, sementara itu Siau-hoa-jio Be Cek-coan dan Bu-ceng Kong-cu Ciang-Jio-bin sudah berhadapan di atas panggung.
Be Cek-coan berbaju sutera dengan rambut digelung di atas kepala, wajahnya yang putih halus mirip batu jade yang indah. Ciang-Jio-bin juga berpakaian perlente, sikapnya gagah. Kedua orang ini lebih mirip peragawan yang lagi pamer pakaian dibanding tokoh silat yang siap berlaga di arena pertandingan.
"Apa betul kamu ingin bergebrak dengan aku?" mendadak Ciang-Jio-bin tanya dengan perlahan
"Sudah tentu betul!" sahut Be Cek-coan pendek.
444 Koleksi Kang Zusi
Senyum ejek berkelebat sekilas di ujung mulut Ciang-Jio-bin, "Mana mungkin kamu bisa bergebrak denganku" Kamu tidak takut ..."
Merah muka Be Cek-coan, tukasnya kasar, "Di atas lui-tai tidak perlu cerewet. Lihat serangan!"
Padahal waktu mulutnya mengucap "cerewet" tombak perak di tangannya sudah menyerang lebih dulu. Begitu ilmu tombak perak dilancarkan, bunga perak segera bertaburan di atas panggung.
Ciang-Jio-bin bersenjata kipas lempit tulang besi. Pendekar muda yang terkenal di daerahnya ini ternyata mampu memainkan kipasnya dengan tangkas banyak variasi. Kipas lempit itu bisa digunakan sebagai Boan-koan-pit untuk menutuk Hiat-to, juga dapat digunakan sebagai golok atau pedang. Sekaligus Ciang-Jio-bin memperlihatkan aneka ragam permainan kipasnya secara mahir, keji dan ganas.
Dengan tombak perak kemilau, Siau-hoa-jio putar senjatanya membentuk lingkaran sinar yang kukuh, lawan tidak diberi kesempatan untuk mendesak maju lebih dekat.
Sebaliknya dengan mengembangkan ketangkasan langkah dan permainan kipas, Ciang-Jio-bin terus merangsek dengan sengit. Ia tahu bila dirinya tidak mampu menyelinap ke tengah pertahanan lawan, bagaimana dirinya mampu mengalahkan lawan.
Perlu diketahui, dalam hal senjata, lebih panjang lebih kuat, lebih pendek lebih berbahaya.
Sejak jaman dahulu tombak dianggap sebagai kakek moyang berbagai macam senjata, merupakan senjata yang paling kuat dan tangguh dari segala jenisnya.
Sedang kipas lempit bertulang besi yang dimainkan Ciang-Jio-bin merupakan senjata terpendek yang paling berbahaya dengan jurus serangan lihai yang bervariasi. Betapa hebat kipas besi itu di tangannya, penonton menjadi tegang dan mengikuti pertempuran sengit ini dengan pesona.
Mendadak Be Cek-coan menghardik sekali, ujung tombak bergetar dengan tusukan berantun, ronce merah juga tampak bergoyang, bayangan berkembang beberapa kaki di seputar gelanggang,
padahal sasarannya adalah tenggorokan Ciang-Jio-bin.
Jurus "bunga langit bertaburan" ini adalah serangan terlihai dari Be-keh-jio-hoat yang terkenal itu.
Melihat ujung tombak menusuk tiba, Ciang-Jio-bin ternyata tidak berkelit atau menyingkir, matanya menatap ujung tombak, sementara kipas lempit di tangan ikut bergetar mengikuti gerakan ujung tombak lawan.
"Ting", mendadak ujung kipas menutul ujung tombak, dari sini terbukti perbedaan kekuatan pergelangan tangan kedua orang yang bertanding ini. Begitu tombak dan kipas beradu, meski tidak sampai terlepas, tapi tombak terpental ke atas.
Sejurus memperoleh angin Bu-ceng-kong-cu yang tidak kenal kasihan ini tidak memberi kesempatan lagi kepada lawan, tangan putar kipas hingga berkembang laksana segumpal mega mendadak menebas ke arah Be Cek-coan.
Be Cek-coan kaget, lekas dia mendak ke bawah sambil mengeret kepala, berusaha menyelamatkan diri. Tapi Ciang-Jio-bin sudah mendesak maju mana mungkin dapat menyelamatkan diri" "Ting", terdengar sekali lagi benturan, tusuk kundai yang menggelung rambut di atas kepalanya tergetar hancur.
Hadirin terbeliak kaget, semua menyangka Ciang-Jio-bin telah turun tangan keji. Bukan hanya merobohkan lawan, tapi sekaligus menebas putus lehernya.
Di luar dugaan. setelah berhasil membuat lawan mundur gelagapan, ia pun mundur beberapa kaki, kipas di tangan bergoyang perlahan, wajah seperti tertawa tidak tidak tertawa, dengan tajam ia mengawasi Be Cek-coan.
Rambut Be Cek-coan terlepas dan terurai. Saking kaget ia berdiri termangu, wajah sebentar pucat sebentar merah.
Seorang penonton mendadak berteriak, "Haya, Siau-hoa-jio ternyata betina!"
445 Koleksi Kang Zusi
Baru sadar para hadirin, "O, kiranya itulah rahasianya." demikian batin mereka.
Be Cek-coan malu lagi gusar, air mata berlinang-linang. Dengan ujung tombak ia tuding Ciang-Jio-bin, serunya gemas. "Bagus kau , sungguh tak nyana kau berani menghinaku, aku ... aku ...
benci..." Ciang-Jio-bin tertawa kalem, "Apa yang sudah aku lakukan terhadapmu" Kenapa kamu benci padaku. Aku hanya ingin supaya para kawan tahu, Siau-hoa-jio Be-tai-hiap sebetulnya seorang perempuan."
Be Cek-coan mengentak kaki, "Memangnya kenapa kalau perempuan" Memangnya perempuan bukan manusia" Laki perempuan kan sama saja, apa yang bisa dilakukan laki-laki. juga bisa dilakukan perempuan."
Ciang-Jio-bin menjengek. "Laki-laki boleh berkelana di kang-ouw. Apa perempuan bisa?"
"Kenapa tidak bisa" Siapa bilang tidak bisa?" bantah Be Cek-coan bertolak pinggang.
"Dalam hotel yang penuh sesak, lelaki boleh tidur campur dan berdesakan, apakah perempuan mau" Di daerah gersang yang tiada airnya, laki-laki bisa mandi bersama orang banyak, apakah perempuan ...."
"Kentut, kentut! Semua itu bukan alasan."
"Kalau itu bukan alasan, kalau laki dan perempuan sama, kenapa pula kau pinjam nama engkohmu, menyamar jadi lelaki terjun di gelanggang untuk berebut pahala?"
Be Cek-coan melengong, "Ini ... ini ..."
Karena kalah berdebat, air mata bercucuran kembali Be Cek-coan mengentak kaki. "Baiklah, kamu keparat busuk ini, aku ... akan ke rumahmu, menyampaikan hal ini kepada ibumu."
Habis bicara ia lompat mundur lalu lari meninggalkan gelanggang.
Di samping heran, hadirin juga geli mendengar percakapan mereka. Maka pecahlah gelak tawa orang banyak.
Ting-lo-hu-jin terbatuk-batuk, katanya sambil menahan geli, "Ronde keempat dimenangkan oleh Ciang-Jio-bin Ciang-tai-hiap. Ronde kelima akan berhadap Thian-to Bwe-Kiam dengan Kiling-tiap Pui Tiang-tang. Pui-tai-hiap."
Mendengar nama Thian-to Bwe-Kiam disebut, hadirin seketika menjadi hening. Nama besar dan disegani ini seolah-olah mengandung kekuatan iblis, seperti melambangkan golok kilat, membacok, darah muncrat dan jiwa melayang.
Kalau golok itu berkilauan, cepat, tegas dan tajam. Kampak itu justru berat, kuat dan kelihatan lambat serta kaku. Tapi sinar golok hanya berkelebat sekali, dua kali dan tiga kali. Lawan yang bersenjata kampak itu seketika roboh.
Tiada jeritan kaget, tanpa sorak pujian. Seluruh penonton terpesona oleh permainan golok Bwe-Kiam yang hebat, tidak kenal kasihan. Mereka lupa memberi tepuk sorak.
Dari kantung bajunya Bwe-Kiam mengeluarkan sapu tangan sutera, dengan kalem ia membersihkan darah ujung pedangnya. Sikapnya kaku, tenang dan wajar, tidak ada perubahan sedikit pun.
"Tiga jurus, hanya tiga jurus!" It-bok Tai-su bergumam. "Tiada satu jurus serangan disia-siakan. Pada saat menyerang dan membunuh musuh, dia tidak pernah membuang tenaga secara percuma."
"Ya, ilmu goloknya jelas bukan ajaran murni dari Tiong-goan." Ting-lo-hu-jin menanggapi.
"Ya. ilmu golok itu mungkin dari aliran Tang-ing (negeri Jepang sekarang). Di antara ilmu golok yang tersebar luas di negeri kita, umpama ada yang mengandung gerakan ganas dan kaku, sedikit banyak masih mengandung seni dan kenal kasihan. Ilmu goloknya justru lepas dari unsur seni, ilmu golok itu diciptakan khusus untuk membunuh orang. Walau ilmu golok itu amat 446
Koleksi Kang Zusi
hebat, tepat dan ganas, tapi hanya orang rendah saja yang mempelajarinya. Ilmu golok itu mengutamakan kekuatan dan manfaat, berguna untuk orang yang meyakinkan, umpama berhasil mencapai puncaknya, aku tetap memandangnya rendah."
"Em, permainan golok Bwe-tai-hiap itu mengingatkan aku akan seseorang," Ban Cu-liang menimbrung bicara.
"Siapa?" tanya Ting-lo-hu-jin.
Kalem suara Ban Cu-liang, "Tang-hai Pek-ih-jin (si baju putih dari lautan timur)."
Diam sebentar, akhirnya Ting-lo-hu-jin berkata, "Betul! Sepak terjang Bwe-tai-hiap memang agak
mirip Tang-hai Pek-ih-jin. Mungkin karena kedua orang ini berasal dari Tang-ing."
"kaum pesilat di Tang-ing mempunyai semangat baja untuk berkorban demi menegakkan kejayaan ilmu yang diyakinkan. Sebelum belajar ilmu, dia harus siap untuk mati, oleh karena itu membunuh orang dianggap sebagai hal yang layak."
Sementara itu jenazah sudah digotong turun, noda darah juga sudah dibersihkan.
"Ronde kelima dimenangkan oleh Bwe-tai-hiap," demikian Ting-lo-hu-jin tarik suara pula.
"Ronde keenam, inilah ronde terakhir babak kedua. Thian-siang-hwi-hoa Ling-Peng-hi ... "
sampai di sini berhenti, sikapnya rikuh dan serba salah.
Sambil tertawa dingin Ling-Peng-hi berdiri, dengan kalem ia melangkah ke depan panggung katanya dengan suara dingin, "Menurut hitungan peserta yang harus bertanding di babak kedua ini tinggal sebelas orang saja. Maka dalam ronde ketiga ini sebetulnya aku tidak memperoleh lawan, dan ini adalah keputusan hasil undian. Bukan aku sengaja ingin menarik keuntungan ...
tapi Hu-jin tadi bilang, aku harus turun gelanggang dengan seorang lawan. Mohon tanya siapakah lawanku" Dan dari mana?"
Ting-lo-hu-jin bimbang sejenak. lalu berkata dengan perlahan, "Apa yang diucapkan Ling-taihiap memang betul. Lawan Ling-tai-hiap pada ronde ini memang datang terlambat, tapi dia adalah seorang pendekar ternama. Karena suatu persoalan penting terpaksa dia terlambat tiba di sini."
Thian-siang-hwi-hoa Ling-Peng-hi tertawa dingin, "Aku tidak mengerti apa maksud perkataan Hu-jin ..." pandangannya menyapu ke arah hadirin, lalu melanjutkan. "Umpama betul lawanku seorang pendekar besar ternama, umpama karena suatu hal yang mendesak ia datang terlambat lalu bolehkah ia ikut bertanding tanpa mengikuti babak penyisihan. Yang pasti aku sudah dua kali bertanding, calon penantangku itu masih segar bugar. Kalau pertandingan harus diteruskan, bukankah melanggar aturan dan tata tertib pertandingan. Hu-jin sebagai ketua pelaksana yang mengatur dan menentukan aturan pertandingan itu, kenapa sekarang justru melanggarnya!"
Ting-Hu-jin menghela napas, "Memang hari aku akui bahwa hal ini melanggar aturan. Tapi aturan pertandingan itu sendiri kadang kala bisa diubah mengikuti perubahan keadaan, jadi bukan sengaja dilanggar."
"Nah, untuk itulah aku mohon petunjuk. Kenapa aturan pertandingan justru diubah karena orang itu" Apa yang diandalkan" Mohon Hu-jin menjelaskan."
"Karena apa yang dilakukan orang itu adalah untuk kepentingan seluruh kaum persilatan.
Apalagi tenaga yang telah ia keluarkan, pertempuran yang sudah dilakukan, pasti tidak lebih ringan dari pertandingan dua babak yang telah Ling-tai-hiap lakukan. Oleh karena itu, setelah kami rundingkan bersama It-bok Tai-su dan lain-lain kami memutuskan untuk melanggar aturan pertandingan," demikian penjelasan Ting-lo-hu-jin.
Ban Cu-liang. It-bok Tai-su dan lain-lain segera berdiri.
It-bok Tai-su berkata, "Dengan nama kebesaran kedudukan kita berenam, berani kami bertanggung jawab bahwa apa yang dikatakan Ting-lo-hu-jin barusan memang benar dan nanti boleh dibuktikan."
Betapa besar wibawa keenam pendekar ini, betapa besar pula bobot ucapan mereka. Hadirin 447
Koleksi Kang Zusi
yang tadi mulai ribut karena panitia pertandingan melanggar aturan sendiri, kini mulai tenang kembali.
Ling-Peng-hi menyapu pandang ke empat penjuru, dukungan penonton tidak sesuai yang diharapkan, terpaksa ia berkata dengan suara berat "Kalau demikian, aku mohon keterangan, siapakah orang ini" Apa pula yang telah dilakukan demi kepentingan Bu-lim?"
"Dia terlambat datang karena berada jauh. Tang-ing, mengejar dan menyelidiki kungfu riwayat hidup Tang-hai Pek-ih-jin. Setiba di bawah gunung, seorang diri ia mengganyang belasan orang jahat yang berkomplot hendak menghancurkan seluruh kaum persilatan yang hadir di puncak Thai-san ini. Selama satu jam lebih ia bertempur."
Belum habis Ting-lo-hu-jin menjelaskan, hadirin menjadi gempar dan berteriak-teriak.
"Apakah rahasia Pek-ih-jin berhasil diselidiki?"
"Siapakah komplotan orang jahat itu" Untuk apa mereka hendak menghancurkan kita semua?"
"Siapakah dia sebenarnya?"
Ting-lo-hu-jin tersenyum, setelah menentramkan suasana, ia melanjutkan, "Menyinggung nama orang ini, aku yakin hadirin banyak yang sudah tahu. Pertanyaan yang kalian ajukan, biarlah dia saja yang menjawabnya. Dia bukan lain adalah ..."
Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia sengaja merandek, setelah suara orang banyak mulai reda baru melanjutkan dengan perlahan, "Dia adalah Kong-sun Ang, Kong-sun-tai-hiap."
"Kong-sun Ang?" hadirin melengak, "Apakah Kong-sun-tai-hiap yang berjuluk Loan-si-jin-liong"
Senjata Thian-liong-gun-nya yang nomor satu dari seluruh jenis senjata luar biasa?"
Ting-lo-hu-jin menatap wajah Ling-Peng-hi, "Betul, kurasa Ling-tai-hiap juga sudah kenal namanya?"
Membesi wajah Ling-Peng-hi, jengeknya. "Kukira ia pun tahu siapa diriku."
Dengan tersenyum Ting-lo-hu-jin mengangguk, "Kalau demikian, entah Ling-tai-hiap mau bertanding dengannya?"
Mendadak Ling-Peng-hi mendongak dan terbahak-bahak. "Kenapa aku tidak mau bertanding dengannya" Memangnya aku takut padanya?"
Mendadak ia berhenti tertawa, suaranya berubah bengis, "Aku justru ingin membuat perhitungan dengan dia, biar nanti dibuktikan, Hong-hun-thian-liong-gun miliknya lebih lihai atau Boh-hun-thian-pit milikku lebih hebat?"
"Baiklah," Ting-lo-hu-jin manggut-manggut, "kami persilakan Kong-sun-tai-hiap ..."
Dari tengah penonton di sebelah kiri, mendadak melejit sesosok bayangan ke udara, bagai segumpal mega merah membara meluncur empat tombak jauhnya, langsung hinggap di atas panggung.
Betapa cepat gerak tubuh orang ini, penonton belum melihat jelas orangnya, tahu-tahu ia sudah berdiri di atas panggung. Rambutnya awut-awutan jambangnya kaku, seluruhnya berwarna merah api kecuali kedua biji matanya, seluruh kepalanya mirip segumpal api yang menyala.
Hadirin menjadi silau rasanya.
Baju di depan dadanya terbuka lebar, celana panjang dilempit tinggi, pakaiannya yang juga berwarna merah menjadi gelap karena keringat, lumpur dan minyak. Sepatu rumputnya juga berlepotan lumpur.
Walau pakaiannya tidak keruan, tapi sikap dan wibawa orang ini kelihatan garang. Tatapan matanya tajam berwibawa, seperti raja yang agung dan mulia.
Tangan kirinya memegang sebatang pentung panjang tiga kaki, agaknya tongkat yang biasa dibawa ke mana-mana, maka tongkat itu kelihatan mengkilat karena selalu di pegang.
Tangan kanannya menjinjing karung yang cukup besar dan berat, entah apa isinya, hadirin 448
Koleksi Kang Zusi
tiada yang bisa menebaknya. Dari karung besar itu meneteskan air di atas panggung yang sudah dibersihkan. Jelas itulah darah segar...
Kong-sun Ang angkat karung itu ke atas, serunya lantang, "Apakah hadirin ingin melihat apa yang aku bawa dalam karung ini?"
Sebelum hadirin memberi reaksi, Ling-Peng-hi sudah lompat ke atas panggung, "Tidak perlu kau pamer apa isi karung itu. Keluarkanlah Thian-liong-gun, hadapilah Tin-thian-pit-ku."
Kong-sun Ang meliriknya, "Agaknya tuan sudah tidak sabar lagi?"
"Betul" bengis suara Ling-Peng-hi. "sudah lama aku ingin menghajarmu"
"Baiklah." ucap Kong-sun Ang bergelak tawa. Karung ia taruh di pinggir panggung, pentung melintang di depan dada, bentaknya, "Ayolah mulai."
Ling ping-hi menatap pentung di tangan orang "kau berani melawan senjataku, mana senjatamu?"
"Inilah senjataku," sahut Kong-sun Ang mengangkat pentung di tangannya.
Ling-Peng-hi terkejut, hadirin melengak. Siapa pun tidak menyangka Thian-liong-gun yang diagulkan nomor satu dari berbagai jenis senjata di seluruh dunia itu ternyata hanya sebatang tongkat saja.
Ling-Peng-hi menatap tajam pentung di tangan Kong-sun Ang, berubah rona mukanya, dari kaget heran menjadi kecewa, akhirnya ia mendongak dan bergelak tawa.
"Menghadapi pertarungan di medan laga, apa pula yang kau tertawakan?" jengek Kong-sun Ang.
"Thian-liong-gun yang menggetarkan dunia ternyata hanya sebatang pentung pendek. Pentung pendek begitu ternyata diagulkan lebih tinggi dari Boh-hun-tin-thian-pit. Betapa aku orang she Ling tidak akan geli dan kecewa?"
Sesaat lamanya Kong-sun Ang diam, matanya menatap wajah orang. mendadak ia pun mendongak dan bergelak juga.
"Hm, apa yang kau tertawakan?" jengek Ling-Peng-hi.
"Ling-siau-ceng-cu terkenal di dunia sebagai pemuda serba bisa, ahli sastra pandai silat, berpengetahuan luas, ternyata punya mata tapi tidak bisa membedakan benda. Betapa hatiku takkan geli dan tertawa."
"Kenapa kamu berkata demikian?" semprot Ling-Peng-hi.
"Tuan berpengetahuan luas, tapi meremehkan pentung pendekku ini. Bukankah pengetahuanmu amat sempit dan picik?" demikian ejek Kong-sun Ang.
Ling-Peng-hi naik pitam, "Baiklah, ingin aku buktikan, apakah Thian-liong-gun mempunyai kehebatan seperti yang diagulkan orang."
Sengaja ia bicara dengan suara lambat sebelum selesai bicara Boh-hun-tin-thian-pit di tangannya sudah bergerak menaburkan cahaya perak.
Melihat gerak permulaan senjata Ling-Peng-hi, banyak penonton menarik napas, banyak orang maklum, biarpun Ling-Peng-hi bilang kecewa dan meremehkan pentung pendek itu, namun sebenarnya ia tidak berani memandang rendah senjata lawan.
Lima jurus kemudian, penonton justru amat kecewa melihat penampilan Kong-sun Ang, baru lima jurus bergebrak, kelihatan ia sudah terdesak di bawah angin. Thian-liong-gun sejurus pun belum mampu balas menyerang.
Begitu pertarungan dimulai, gerak-geriknya seperti terkekang oleh cahaya perak senjata lawan.
Apalagi permainannya jauh berbeda dengan perawakan dan sikapnya yang menakutkan orang.
Tapi sejauh mana penonton masih menunggu perkembangan lebih lanjut, sebab jurus apa yang 449
Koleksi Kang Zusi
dilancarkan oleh Kong-sun Ang, banyak penonton yang tidak tahu atau melihat jelas.
Gerakannya mirip ilmu pedang, tapi juga mirip ilmu golok. Seperti cangkokan dari ilmu ruyung, waktu menyerang jelas ia menggunakan jurus pedang, tapi di tengah jalan tiba-tiba berubah jurus golok, bila ia menarik senjatanya gayanya seperti permainan ruyung.
Serangan Ling-Peng-hi secepat kilat, di tengah taburan cahaya perak, penonton sukar menyaksikan perubahan senjatanya. Sebaliknya gerak-gerik Kong-sun Ang kaku dan lambat, jurus demi juru seperti berat dilancarkan. Penonton dapat mengikuti gerak-geriknya dengan jelas. Tapi tiada satu pun yang dapat meraba gerak perubahan permainannya.
Jurus-jurus yang dilancarkan Ling-Peng-hi mirip bunga di tengah kabut. Pantas juga kalau orang tidak mampu mengikuti permainannya. Lama kelamaan permainan potlot Ling-Peng-hi makin gencar dan sengit. Sebaliknya gerak pentung Kong-sun An makin lamban dan damai.
Ling-Peng-hi bergerak lincah dan tangkas, seluruh gelanggang seperti ingin dijelajahinya, segesit ikan berenang dalam air, hilir mudik kian kemari. Semula Kong-sun Ang masih ikut bergerak, kemudian ia malah diam tidak bergerak lagi.
Lama kelamaan penonton yang berkepandaian lebih tinggi dan berpandangan lebih tajam dapat melihat betapapun gencar dan sengit gempuran Ling-Peng-hi bila Kong-sun Ang melancarkan jurus
yang lamban dan mantap itu, rangsakan Ling-Peng-hi yang gencar itu lantas dipatahkan.
Hebatnya, sejurus serangan balasan saja dapat memunahkan enam-tujuh jurus serangan lawan.
It-bok Tai-su menghela napas gegetun, kata-kata "Kungfu Ling-si-cu memang cukup mengejutkan, tapi mirip orang minum arak yang dicampur air makin diminum makin tidak ada rasanya. Sebaliknya kungfu Kong-sun-si-cu ..."
Ting-lo-hu-jin tersenyum, "Selintas pandang kungfu Kong-sun-si-cu terasa berat dan getir, tapi seperti kita mengunyah kemari, makin lama rasanya makin gurih."
It-bok Tai-su tertawa lebar. "Ya, memang demikian. Dalam lima puluh jurus, Ling-si-cu pasti kewalahan."
Lima puluh jurus hampir tiba.
Mendadak Kong-sun Ang bergelak tawa, "Ling-Peng-hi, lemparkan senjatamu!"
Di tengah gelak panjangnya, Thian-liong-gun terayun balik.
Sementara itu, cahaya perak memenuhi angkasa sederas hujan lebat berhamburan turun. Jelas dua senjata itu akan beradu dengan keras, penonton menduga akan terdengar benturan yang memekak telinga, di luar dugaan tiada suara apa-apa, tapi cahaya perak yang bertaburan itu mendadak kuncup dan sirna.
Penonton terbelalak, ternyata Boh-hun-tin-thian-pit yang lincah dan bergerak penuh variasi itu, kini tertindih di bawah Thian-liong-gun. Mirip ular tertindih batu.
Ular, dapat bergerak tangkas dan lincah. Batu meski berat dan sederhana, tapi kalau ular ditindih batu, betapa pun ia meronta, jangan harap dapat membebaskan diri.
Air muka Ling-Peng-hi yang mandi keringat kelihatan serba runyam. Bola matanya merah darah, napasnya menderu berat.
Ting-lo-hu-jin segera berdiri, "Kalah-menang sudah ditentukan, harap Ling-tai-hiap berhenti."
Ling-Peng-hi menggeram gusar. "Siapa bilang sudah ada kalah dan menang ... Kena!"
Bertepatan dengan kata "kena", Boh-hun-tin-thian-pit di tangannya mendadak putus menjadi tujuh potong, dari setiap potongan potlot itu menghambur keluar cahaya menyilaukan.
Hamburan cahaya itu berbeda warna satu dengan yang lain, yaitu merah, kuning, hijau, coklat, biru, ungu dan jingga. Bukan saja warnanya menyolok, cahayanya juga menyilaukan mata.
Begitu tujuh macam warna cahaya itu berhamburan di atas panggung, penonton merasa silau seperti di tusuk jarum.
450 Koleksi Kang Zusi
Dalam sedetik itu penonton menduga tamatlah riwayat Kong-sun Ang. penonton yang bermata tajam menyaksikan, begitu potlot Ling-Peng-hi putus dan menghamburkan cahaya, tubuh Kongsun Ang yang tegap itu malah tersungkur ke depan.
Maklum seluruh kekuatannya ia salurkan di ujung pentung, pentung menindih ke bawah. Bila tenaga perlawanan di bawah mendadak lenyap, adalah logis kalau ia kehilangan keseimbangan badan. Dalam keadaan seperti itu, ia harus menghadapi hamburan cahaya lebat bagaimana ia dapat menyelamatkan diri.
Maka terdengarlah jeritan dari atas panggung. Sesosok bayangan orang terlempar dan jatuh ke tanah. Tapi bukan Kong-sun Ang yang menjerit, bukan ia yang ambruk.
Ternyata pada saat cahaya menyilaukan itu berhamburan, bukan mundur tapi Kong-sun Ang malah memapak ke depan dan menubruk ke bawah terus menerobos lewat selangkangan Ling-Peng-hi. Walau gerakannya itu merupakan aksi yang mudah dilakukan, tapi dalam keadaan bahaya dan mendesak seperti itu, kalau tidak punya keteguhan hati dan reaksinya kurang cepat, siapa berani menggunakan cara seperti itu untuk menyerempet bahaya.
Belum lenyap senyum puas di wajah Ling-Peng-hi, Kong-sun Ang sudah berada di bawah selangkangan. Itulah tempat kosong yang paling lemah di tubuh manusia. Musuh berhasil merebut posisi yang menguntungkan, betapa dirinya takkan kalah"
Betapa kejut Ling-Peng-hi, serasa terlipat sukmanya. Untuk berkelit atau menyingkir jelas tidak mungkin karena Thian-liong-gun di tangan Kong-sun Ang sudah terayun.
Tubuh Ling-Peng-hi terpukul mabur ke udara jatuh di bawah panggung. Kebetulan ia jatuh di depan Bok Put-kut dan Ciok-Put-wi.
Sigap sekali Kong-sun Ang melompat berdiri, bentaknya murka, "Ling-Peng-hi, kau sendiri cari mampus, jangan salahkan aku."
Bentakan itu menyadarkan penonton dan maklum apa yang telah terjadi. Padahal umum menganggap Ling-Peng-hi adalah calon "jago nomor satu" dalam pertandingan besar ini, ternyata
dalam babak semi final akhirnya ia gugur. Maka gegerlah para hadirin, pandangan mereka tertuju ke arah Kong-sun Ang yang bertolak pinggang di atas panggung.
Hanya Po-giok saja yang mengawasi. Ling-Peng-hi dari tempatnya. Sesaat kemudian ia mulai bergerak, lalu meronta dan merangkak ke depan Ciok-Put-wi. Rona wajahnya tampak kaget dan menderita, tapi juga kecewa, diliputi dendam dan benci.
Sorot matanya yang penuh kebencian melotot ke arah Ciok-Put-wi, bibirnya gemetar seperti ingin bicara, namun suara tidak keluar dari mulutnya. Mendadak tubuh mengejang lalu ambruk mencium tanah. Apa yang ingin ia ucapkan, selamanya akan menjadi rahasia dalam liang kubur.
Ciok-Put-wi juga terus menatapnya, air mukanya tidak berubah, tapi sorot matanya dingin tajam.
Dari bawah panggung Po-giok memandang ke sana, sikap kedua orang ini ia saksikan dengan jelas. Mendadak kedua alisnya terangkat, air muka juga menampilkan cahaya yang aneh.
Sementara itu suara Kong-sun Ang sedang berkumandang di puncak gunung.
"Tiga tahun yang lalu, untuk menyelidiki rahasia Tang-hai Pek-ih-jin, sengaja aku beli kapal dan berlayar ke lautan timur menuju ke Tang-ing-sam-to, tiga pulau di lautan timur yang sejak dahulu dinamakan pulau dewata."
"Menurut hikayat lama, Tang-ing-sam-to ditempati oleh keturunan bangsa Han kita yang sejak jaman Cin-si-ong berlayar ke sana untuk mencari obat dewa yang dapat memperpanjang usia manusia. Maka adat istiadat, tulisan dan bahasa penduduk kepulauan itu banyak mirip dengan Han kita. Sikap mereka juga hormat dan sopan terhadap bangsa kita yang berlayar ke sana.
"Hanya sifat dan perangai penduduk kepulauan itu jauh lebih keras kejam dan kasar dibanding kita. Sedikit tidak cocok omong, tidak segan-segan mereka berkelahi dengan mempertaruhkan jiwa.
451 Koleksi Kang Zusi
"Kungfu yang berkembang di pulau itu, asalnya juga dari bangsa kita, tapi setelah mengalami berbagai perubahan, kini sudah jauh berubah menjadi ganas. Ini jelas berhubungan dengan adat istiadat dan watak penduduk pulau itu.
"Senjata yang digunakan penduduk pulau itu adalah golok panjang melengkung (samurai), batang golok itu lurus tipis dan sempit, tajamnya luar biasa, seluruhnya terbuat dari baja murni.
Kekuatannya tidak di bawah golok bangsa kita.
"Ilmu golok yang digunakan di pulau itu sederhana dan tidak banyak variasi. Tapi aliran persilatan yang berkembang di pulau itu cukup banyak cukup dengan tiga-empat jurus ilmu golok yang lihai dan siapa pun boleh mendirikan aliran atau perguruan.
"Menurut apa yang aku ketahui, ada dua puluhan jenis aliran kungfu di sana, di antaranya hanya tiga atau empat yang paling menonjol dan disegani. Umpama Siau-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain di sini."
Meski Kong-sun Ang sedang mengobrol dan belum membicarakan pokok persoalannya, tapi apa yang dia kisahkan memang belum pernah diketahui orang. maka penonton menaruh perhatian.
Dengan suaranya yang lantang Kong-sun Ang, melanjutkan, "Waktu aku mendarat di pulau itu, keadaan serba asing bagiku, apalagi bahasa mereka tidak aku ketahui sama sekali. Dalam tahun permulaan, boleh dikatakan aku tidak memperoleh hasil apa-apa.
"Setahun setelah aku menjadi gelandangan, sedikit banyak aku sudah dapat berkomunikasi dengan penduduk. Aku mulai kenal aliran dan perguruan silat yang ada di sana.
"Lambat laun, penduduk pulau itu juga mulai tahu bahwa aku adalah pesilat yang datang dari Tiongkok. Mulailah mereka menaruh perhatian terhadap jurus permainan senjata yang aku gunakan.
"Maka cikal-bakal guru atau murid dari berbagai perguruan silat di sana banyak yang datang minta bertanding denganku. Betapa serius sikap mereka terhadap 'ilmu silat' kurasa cukup untuk kita jadikan cermin.
"Kedatanganku bukan untuk mencari musuh atau mengukur kepandaian, kalau tidak dipaksa dan terpaksa, aku tidak mau bergebrak, umpama harus bergebrak juga cukup mengukur kepandaian saja.
"Selama itu dapat aku selami ilmu silat mereka memang kalah jauh dibanding kemurnian kungfu yang berkembang luas di negeri kita. Tapi ketegasan dan kekejaman ilmu goloknya, bangsa kita jelas tidak dapat menandingi.
"Terutama ilmu golok Liu-sing-eng-hiong-tiang yang mengutamakan 'tenang mengatasi aksi, gerakan kemudian mendahului musuh'. Dalam hal ini kurasa amat serasi dengan aliran murni golongan lwe-keh bangsa kita.
Akhirnya aku ketahui, bahwa kungfu Tang-hai Pek-ih-jin ternyata tidak jauh berbeda dengan Liu-sing-eng-hiong-tiang. mungkin satu dengan yang lain berasal dari satu sumber. Maka aku mulai penyelidikanku dari sini, aku mencari tahu tentang asal usul dan riwayat Pek-ih-jin itu."
Sampai di sini Po-giok menaruh sepenuh perhatian, mendengarkan dengan seksama. Kong-sun Ang bercerita lebih lanjut, "Dalam suatu kesempatan aku berhasil menemui tiga tokoh besar yang paling disegani kalangan persilatan Tang-ing. Sejak pembicaraan panjang lebar itu, tidak sedikit manfaat yang aku peroleh di bidang ilmu silat. Dari mulut mereka pula berhasil aku korek keterangan tentang riwayat Tang-hai Pek-ih-jin."
Sampai di sini Kong-sun Ang berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Puluhan tahun yang lalu, di kalangan Bu-lim Tiong-goan pernah muncul seorang jenius, pengetahuannya amat luas. Tapi sebagai manusia biasa, betapapun pintar dan luas pengetahuannya, tetap ada batasnya.
Walaupun orang ini mahir mempelajari berbagai jenis ilmu, namun hasil yang dipelajari tiada satu pun yang mencapai taraf tinggi, ilmu yang diyakinkan tiada yang sempurna. Terutama dalam hal ilmu silat, walau ia mahir berbagai ilmu silat dari beberapa cabang. namun tiada satu pun yang berhasil diyakinkan sampai puncaknya.
"Kalau orang lain, dengan bekal yang dimilikinya itu, tentu sudah berkelana di kang-ouw. Tapi 452
Koleksi Kang Zusi
orang ini berambisi besar, cita-citanya setinggi langit kaum persilatan umumnya tidak terpandang olehnya, maka ia hanya mencari tokoh-tokoh kosen persilatan untuk diajak bertanding. Dengan bekal yang dimilikinya, sudah tentu setiap kali bertempur selalu kalah."
Kong-sun Ang menghela napas gegetun, air mukanya seperti merasa kasihan. "Setengah hidup orang ini hanya berkelana di kang-ouw, setelah usianya hampir setengah abad baru ia peroleh seorang keturunan. Orang ini sadar pengalaman hidupnya yang serba gagal itu amat mengecewakan, sudah tentu ia tidak berharap putranya kelak mengikuti jejaknya, maka ia bertekad mumpung dirinya masih mampu mendidik dan merawat putra tunggalnya, ia harus menggemblengnya menjadi seorang tunas muda yang luar biasa di Bu-lim.
"Padahal di Tiong-goan sudah tiada tempat berpijak baginya, maka ia membawa putranya yang masih kecil berlayar menuju ke Tang-ing. Sejak kecil putra kesayangannya itu digembleng dengan berbagai macam ramuan obat. Sejak anaknya mulai belajar jalan sudah harus belajar kungfu. Sedetik pun anaknya tidak boleh menghamburkan waktu. Jiwa raga dan semangat putranya harus dicurahkan untuk belajar dan dipersembahkan untuk ilmu silat.
"Maklum, orang ini serba bisa, menguasai intisari berbagai ilmu silat, hanya sayang ia tidak bisa tekun mempelajarinya satu per satu. Oleh karena itu meski taraf kemampuannya tidak berhasil mengangkat dirinya menjadi tokoh kosen, tapi pasti dia merupakan seorang guru teladan yang tiada bandingannya.
"Belum genap 10 tahun, di bawah gemblengannya, putra kesayangannya itu sudah memiliki lwe-kang yang sejajar dengan tokoh kelas wahid di Tang-ing. Pada usia 11 ia sudah mengembara kang-ouw. Dalam jangka 10 tahun ia sudah menghadapi seluruh jago silat berbagai aliran yang ada di kepulauan itu.
Bab ke-20 cersil Misteri Kapal Layar Pancawarna.
"Betapapun tinggi kepandaian yang dibekalnya, karena usianya masih kecil, bila berhadapan dengan jago yang benar-benar kosen, sudah tentu ia tetap dikalahkan. kaum pesilat di sana meski berwatak kejam dan suka bunuh, namun terhadap bocah yang lihai ini mereka tidak tega membunuhnya. Oleh karena itu, meski anak ini sering menderita kalah, namun belum menemui ajalnya.
"Dari setiap pengalaman tempur, dari kekalahan demi kekalahan yang dialaminya, bocah ini justru tergembleng lebih matang, lebih peka dan tajam. Masa anak yang indah bagi bocah lain justru ia lewatkan dalam kehidupan yang serba sengsara, boleh dikatakan setiap hari ia harus dihajar dan dihajar. Namun demikian, pengorbanannya itu berhasil memperoleh sukses yang besar, imbalan itu cukup setimpal dibanding seluruh pengorbanannya. Waktu ia berusia delapan belas, seluruh jago silat di Tang-ing sudah disapunya bersih, meski jago angkatan tua juga dikalahkan dalam beberapa gebrak saja.
"Tubuhnya sudah tergembleng laksana otot kawat tulang besi apalagi lwe-kang nya sudah punya dasar yang kuat, setelah latihan praktek selama belasan tahun, bekal kungfunya boleh dikata sudah merupakan kombinasi antara ilmu silat Tiong-kok dengan berbagai aliran ilmu silat yang ada di Jepang. Tiga tokoh utama yang berkuasa di sana seluruhnya sudah empat kali bertanding dengan dia mereka bilang setelah empat kali bertanding tingkat kepandaiannya sudah sukar diukur lagi."
Kong-sun Ang menelan ludah, lalu menarik napas panjang, "Dalam jangka sepuluh tahun itu, ayahnya meninggal. Kecuali 'kungfu' ia tidak punya apa-apa lagi, ayahnya mati, tapi ia tidak peduli dan tiada perhatian sama sekali. Bukan saja tubuhnya sudah tergembleng bagai baja, hati pun jadi dingin dan kaku bagai besi, tanpa perasaan dan tidak kenal kasihan atau duka lara.
"Setelah ia berusia dua puluh, sudah tiada tokoh silat di kepulauan itu yang mampu menandingi dia. Ia maklum bila dirinya menetap di sini, masa depannya akan makin suram kungfunya juga takkan memperoleh kemajuan...."
"Dan karena itu ia berlayar ke negeri kita?" hadirin bertanya.
453 Koleksi Kang Zusi
Kong-sun Ang geleng kepala dengan tertawa getir, "Kalau mau ia dapat datang waktu itu, tapi orang ini bukan anak sombong yang tidak tahu diri, ia tahu kungfunya sudah menyapu seluruh jago silat di Tang-ing, namun kemampuannya belum memadai untuk menjadi jago di negeri kita ini. Maka ia berlayar seorang diri ke arah timur menetap di sebuah pulau kecil yang kosong.
"Pulau kecil itu masih liar dan belum dijamah manusia. Di pulau itu terdapat sebuah empang, dalam empang itu terdapat banyak batu kecil berwarna hitam dan putih, bundar dan mengkilap mirip biji catur. Di pulau itu Pek-ih-jin menetap sepuluh tahun lamanya.
"Apa kerjanya sepuluh tahun di pulau itu?" hadirin bertanya pula.
"Tiada orang tahu apa kerjanya di sana. Tapi kaum Bu-lim umumnya suka usil, diam-diam ada yang mengintip gerak-geriknya. Ternyata di pulau itu ia mengabaikan kungfu yang diyakinkan selama ini. Dari pagi hingga petang duduk termenung menghadapi problem catur di depannya."
Hadirin heran dan bingung. Hanya Pui-Po-giok dan It-bok Tai-su berkerut kening, setelah terbatuk-batuk It-bok Tai-su berkata, "Kelihatannya ia mengabaikan latihan silat, padahal selama sepuluh tahun taraf kepandaiannya meningkat jauh lebih tinggi."
"Ya, memang demikian kenyataannya," ucap Kong-sun Ang menghela napas. "Menurut salah satu tokoh terkemuka di negeri itu, semula kungfunya memang tinggi, namun masih bisa dijajaki. Tapi setelah ia pulang dari pulau terpencil itu, betapa tinggi bekal kungfunya, orang sudah mampu mengukurnya. Tiga tokoh besar di itu, pernah mengajaknya bertanding, tapi sebelum melancarkan serangan mereka sudah mengaku kalah."
Hal ini disebabkan semangat, nalar dan keteguhan hatinya sudah bersatu-padu, senyawa dengan pedang di tangannya, sekujur badan seolah-olah terbungkus oleh hawa pedang, tiada lubang kelemahan untuk digempur. Hasigawa adalah cikal bakal ilmu pedang yang terkemuka dan disegani di sana. Tujuh jam lamanya mereka berhadapan saling tatap, namun tidak menemukan kelemahannya, maka ia tidak berani turun tangan.
"Akhirnya Hasigawa sendiri luluh semangat dan tekadnya. Sementara Pek-ih-jin masih berdiri tegak sekukuh gunung, tidak bergeming juga tidak terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya.
Tanpa bertempur Hasigawa mengaku kalah ...."
Kecuali kaget dan heran, hadirin merasa kagum juga.
"Setelah yakin akan bekal ilmunya yang tangguh Pek-ih-jin berkeputusan untuk hijrah ke Tionggoan. Ia pikir dengan kungfunya sekarang cukup untuk melampiaskan penasaran ayahnya dahulu. Ia yakin kemampuannya sudah tiada bandingan di dunia.
"Di luar dugaan, di Tiong-goan ada seorang Ci-ih-hou. Betapa kuat tulang dan otot Ci-ih-hou.
betapa berat dan gigih latihannya, mungkin tidak seberat dan setangguh Pek-ih-jin. Tapi jiwanya yang besar, dadanya yang lapang dan kebaikannya, Pek-ih-jin jelas bukan apa-apanya.
Padahal beberapa unsur penting ini juga merupakan syarat utama bagi seseorang jago silat untuk meyakinkan ilmu mencapai puncak yang paling tinggi. Oleh karena itu, meski dalam duel yang menentukan itu akhirnya Ci-ih-hou meninggal dunia, namun Pek-ih-jin harus mengaku kalah juga."
"Betul," It-bok Tai-su manggut-manggut, "kalau bukan karena kebesaran jiwanya, kebaikannya, ditambah pengetahuannya yang luas, umpama seseorang selama hidup meyakinkan ilmu juga tidak akan mencapai taraf ilmu pedang yang paling top. Karena bila ia tidak mampu melebur ilmu pedang ke dalam jiwanya, paling tinggi ia hanya mencapai taraf 'ahli pedang' saja. Padahal betapa besar perbedaan antara kedua pengertian ini."
Orang lain mungkin sulit mencerna makna uraian yang mendalam dari Kong-sun Ang ini. Tapi Po-giok mendengarkan dengan jelas dan seksama hati-hati dan penuh pengertian, ia mencerna 454
Koleksi Kang Zusi
dan merasakan betapa tinggi makna yang terkandung dalam uraian itu.
Kong-sun Ang berkata lebih lanjut. "Pek-ih-jin pulang dengan kekalahan, berita ini segera tersiar luas di Tang-ing. Mendengar berita ini, Hasigawa menjadi panik, takut dan bingung.
Maklum, ia sudah menyelami watak dan jiwa Pek-ih-jin. Dengan kekalahannya itu, maka sepak terjangnya jadi eksentrik, padahal tiada kaum silat di Tang-ing yang mampu mengendalikannya. Sebagai cikal bakal suatu aliran yang disegani, Hasigawa mengumpulkan tujuh belas ahli pedang dan membentuk satu barisan, bila Pek-ih-jin menunjukkan aksinya, maka barisan ini akan bertindak dengan segala akibatnya.
"Hasigawa berpendapat usahanya ini merupakan aturan dan semangat 'persilatan', Pek-ih-jin tergembleng dan 'jadi' pesilat di Tang-ing, adalah menjadi kewajiban kaum persilatan di Tang-ing untuk melenyapkan bila dirasa kehadirannya membahayakan jiwa orang lain.
"Di luar dugaan, setiba di Tang-ing, Pek-ih-jin yang dahulu pendiam dan menyendiri, kini berubah ramah, dan senang berkumpul dengan orang banyak. Bukan lagi menyembunyikan diri untuk meyakinkan ilmu silat, tapi ia malah membuka dasar dan berjualan di pasar. Kalau ada orang tanya tentang perjanjiannya dengan kaum Bu-lim di Tiong-goan tujuh tahun lagi, ia hanya geleng kepala dengan tersenyum ramah."
Riwayat hidup Pek-ih-jin merupakan legenda yang diliputi misteri, perubahan jiwa dan watak hidupnya justru lebih membuat orang heran, bingung dan tidak habis mengerti.
Berbeda-beda tanggapan hadirin setelah mendengar kisah Kong-sun Ang, ada yang geleng kepala, menghela napas panjang, ada juga yang bersorak gembira dan keplok kegirangan.
Namun It-bok Tai-su berkerut kening, gumam nya dengan nada rendah, "Menakutkan ...
sungguh menakutkan .... "
Dari samping Ban Cu-liang bertanya. "Dalam hal apa ia menakutkan?"
Tertekan suara It-bok Tai-su, "Kurasa Pek-ih-jin kini sudah setingkat lebih tinggi lagi daripada apa yang dicapainya dulu. Bukan lagi 'lahirnya' belajar dan memperdalam ilmu pedang. tapi kini lebih tepat dikatakan sudah menjadi jiwanya. Kurasa makna tertinggi bagi seorang ahli pedang tidak jauh bedanya dengan seorang murid Budha yang belajar mencapai kesempurnaan."
Ting-lo-hu-jin menghela napas, "Kalau benar demikian, setelah ia lulus dengan kemanunggalan-nya itu tentu kepandaiannya naik setingkat lebih tinggi lagi."
"Setahun yang lalu," demikian Kong-sun Ang melanjutkan kisahnya, "aku tidak berhasil menemukan jejak Pek-ih-in di pasar atau di mana pun. Ternyata jejaknya menghilang entah ke mana, baju yang biasa dipakainya masih tetap di tempatnya, seolah-olah ia minggat tanpa mengenakan pakaian secuilpun.
"Dari para pelaut dan pedagang yang pulang dari Tiongkok aku dengar adanya pertandingan besar yang diadakan di puncak Thai-san ini, Kurasa aku sudah cukup mencari tahu riwayat hidup Pek-ih-jin, maka bergegas aku berlayar pulang. Setiba di sini, baru kutahu bahwa pertemuan dibuka lebih dini daripada waktu yang sudah ditentukan.
"Di luar dugaan, ketika aku memburu datang ke Thai-san, di hutan di kaki gunung aku temukan segerombolan orang asing yang mencurigakan, maka diam-diam aku intip gerak-gerik mereka, ternyata mereka sedang memasang sumbu peledak dengan tujuan mencelakai kaum persilatan yang hadir di puncak ini."
"Hah, lalu bagaimana akhirnya" Apa yang sudah kau lakukan?" hadirin berteriak-teriak.
Kong-sun Ang bergelak tawa. "Sudah tentu aku tidak berpeluk tangan. Nah ini buktinya boleh 455
Koleksi Kang Zusi
hadirin periksa," lalu ia raih karung yang tadi ia taruh di pinggir panggung serta menuang isinya, ternyata isi karung itu adalah belasan batok kepala manusia, seluruhnya orang-orang asing yang sudah pernah dilihat Po-giok beberapa tahun yang lalu.
***** Peserta pertandingan yang masuk babak berikutnya, kini tinggal Kong-sun Ang, Bwe-Kiam, Ciang-Jio-bin, Au-yang-thian-kiau dan Poa-Ce-sia yang luka terbakar.
Kini perhatian hadirin tertuju ke arah panggung lagi. Mereka sudah tidak peduli apakah dinamit yang terpendam itu nanti bakal meledak atau tidak, yang pasti pertandingan ini tidak boleh diabaikan.
Dengan memegang daftar peserta, sesaat Ting-lo-hu-jin berdiri bimbang. Ia bingung bagaimana mengatur kelima peserta yang harus bertanding di "semi final" ini.
Tiba-tiba Poa-Ce-sia menghampiri dan bicara bisik-bisik. Semula Ting-lo-hu-jin tampak kaget dan heran, akhirnya ia tersenyum penuh pengertian, lalu mengangguk.
Maka terdengar suara Ting-lo-hu-jin lantang "Barusan Poa-Ce-sia Poa-tai-hiap menyatakan mengundurkan diri dari pertandingan selanjutnya...Oleh karena itu, kini tinggal empat orang yang memasuki babak semi final. Semoga ..."
Belum habis Ting-lo-hu-jin bicara, di tengah penonton mendadak berkumandang gelak tertawa aneh yang menusuk telinga, Terpaksa Ting-lo-hu-jin menahan sabar, menunggu gelak tawa itu berhenti. Tapi berhenti gelak tawa itu melainkan makin keras dan memekak telinga.
Dingin muka Ting-lo-hu-jin, bentaknya, "Siapa itu yang tertawa seperti itu, memangnya tidak puas dengan keputusan kami?"
Orang di tengah penonton itu masih bergelak tawa. "Pertemuan besar Thai-san apa, sungguh lucu dan menggelikan, kenapa aku tidak boleh tertawa."
Suaranya melengking tajam seperti jarum menusuk genderang telinga.
Ting-lo-hu-jin naik pitam, serunya, "Di kolong langit ini siapa berani bilang pertemuan Thai-san lucu dan menggelikan" Harap jelaskan, dalam hal apa pertemuan besar ini lucu dan menggelikan?"
Orang di tengah penonton itu berkata dengan, tertawa "Dengan kemampuan lima orang tadi akan memperebutkan 'jago nomor satu di dunia'" Haha, menurut pendapatku, kelima orang ini hanya setimpal merebut gelar 'badut nomor satu di dunia'."
Suasana yang semula sudah reda dan tentram mendadak menjadi ribut dan gempar oleh hasutan orang ini.
Au-yang-thian-kiau, Kong-sun Ang berempat menjadi gusar. Mereka merasa diremehkan dan dihina di muka umum. Siapa berani bicara begitu" Sungguh besar nyalinya!
Kong-sun Ang bertolak pinggang sambil membentak, "Tuan berani membual di depan umum, tentu mempunyai kepandaian yang luar biasa. Kenapa tidak keluar saja bertanding dengan kami para badut ini?"
"Ya, memang harus demikian!" terdengar sahutan suara melengking itu di tengah penonton.
Tak perlu mendesak orang, penonton sudah minggir dengan sendirinya memberi jalan, ribuan mata penonton tertuju ke sana, semua ingin tahu dan melihat siapa orang gila yang berani bermulut besar. Atau dia memang seorang gagah sejati!
456 Koleksi Kang Zusi
Tampak seorang berjalan santai di tengah penonton, perawakannya sedang berbaju hijau dengan topi kecil, wajahnya putih halus, alis lentik mata bening, tingkah dan tindak tanduknya lebih mirip orang perempuan.
Banyak hadirin yang bersorak dan bersiul, "Haya, orang sekecil ini, cukup satu jari saja Kongsun Ang mampu mendorongnya jatuh. Ternyata mulutnya sok usil, kurasa dia memang orang gila."
Dengan penuh perhatian Ting-lo-hu-jin mengawasi perawakan, langkah dan sikap orang ini, memperhatikan seluruh gerak-geriknya. Mendadak ia berkerut alis, katanya dengan nada rendah, "Orang ini pasti seorang perempuan."
It-bok Tai-su mengangguk, "Hu-jin bilang ia seorang perempuan, aku yakin tidak salah lagi.
Tapi belum pernah aku dengar, di Bu-lim ada perempuan yang punya nyali besar seperti dia."
"Tunas muda selalu muncul di kalangan kang-ouw," demikian ucap Ting-lo-hu-jin menghela napas "tidak perlu heran kalau kami tidak tahu asal-usulnya. Yang aku herankan, apakah ia tidak tahu asal-usul Bwe-tai-hiap dan Ciang-tai-hiap berempat" Memangnya ia tidak tahu betapa tinggi taraf kungfu mereka" Apakah mereka rela diam dan berpeluk tangan dihina di depan umum?"
"Perempuan ini tentu putri keluarga persilatan yang ternama dan sengaja mencari gara-gara untuk mengagulkan nama besar keluarganya. Di luar tahunya bahwa empat tokoh finalis itu semuanya berwatak keras, angkuh dan tidak mau mengalah kepada siapa pun."
Mendadak Ban Cu-liang menimbrung, "Bukan mustahil ia sudah tahu asal-usul dan taraf kepandaian keempat tokoh finalis itu. Mungkin juga ia tidak jeri menghadapi kungfu keempat orang ini. Lalu...lalu bagaimana baiknya?"
Mendadak Ting-lo-hu-jin membalik badan, katanya, "Apakah Ban-tai-hiap sudah tahu siapa dia sebetulnya?"
Ban Cu-liang geleng kepala sambil menghela napas, "Rasanya aku tahu siapa dia sebetulnya.
namun sukar aku jelaskan siapa dia sebenarnya."
Ting-lo-hu-jin dan It-bok Tai-su saling pandang tanpa bicara.
Dari sekian banyak hadirin yang paling kaget dan berubah air mukanya hanya Pui-Po-giok seorang. Ia sembunyi di belakang seorang lelaki yang bertubuh lebih besar dan tinggi, supaya orang berbaju hijau dengan topi kecil itu tidak melihat wajahnya.
Sementara itu, pemuda baju hijau dengan topi kecil itu sudah sampai di depan panggung.
Cahaya rembulan menyinari wajahnya yang pucat, bola matanya yang bening tajam laksana mata pisau. Sepintas orang banyak merasa orang ini misterius, dingin tapi cantik.
Kong-sun Ang, Au-yang-thian-kiau. Bwe-Kiam dan Ciang-Jio-bin seperti terkesima oleh wajah pucat dingin dan misterius ini.
Ting-lo-hu-jin merendahkan suara, katanya lembut, "Di panggung pertandingan yang sewaktu-waktu dapat mengancam jiwa sendiri, lebih baik nona jangan ikut campur."
Sikap pemuda baju hijau tenang dan wajar meski dipanggil "nona" oleh Ting-lo-hu-jin.
Malah dengan suara dingin ia berkata, "Kungfu Ciang-Jio-bin bergaya tapi tidak berisi, permainan Au-yang-thian-kiau juga hanya untuk menggertak orang, Thian-to Bwe-Kiam memang ganas, tapi kurang gesit dan tidak serasi. Dengan golok lengkungnya itu untuk 457
Koleksi Kang Zusi
membabat padi atau membabat rumput kurasa lebih tepat. Sementara Kong-sun Ang...hehe, walau kungfunya satu sumber dengan Pui-Po-giok, tapi berlatih sepuluh tahun lagi, taraf yang dapat dicapainya paling banyak cuma sepersepuluh dari yang dicapai Pui-Po-giok. Dengan kemampuan begini siapa setimpal menjadi nomor satu di Bu-lim."
Mendadak Kong-sun Ang membentak "He, apa kamu ini Pui-Po-giok?"
"Pui-Po-giok" .... " pemuda baju hijau menyeringai, "sebagai penggosok sepatuku pun ia tidak setimpal. Tapi kalau kalian berempat ingin menjadi penggosok sepatu Pui-Po-giok, aku yakin dia pun tidak mau."
"Hm, siapa kau sebenarnya?" hardik Kong-sun Ang menahan amarah.
"Aku" ... aku bukan siapa siapa, aku kemari hanya untuk memberi hajaran kepada kalian.
Jangan menutup pintu dan mengangkat diri menjadi raja, mengagulkan diri sebagai jago kosen nomor satu. Orang bisa rontok giginya karena geli"
Ciang-Jio-bin ikut membentak gusar, "Kalau tidak mengingat kamu ini betina, saat ini sudah...."
"Kalau betina memangnya kenapa?" pemuda baju hijau bertolak pinggang, "kau kira perempuan di dunia ini seperti Be-Cek-coan yang boleh dihina dan dipermainkan begitu."
Satu per satu ia tatap wajah empat orang di depannya, sikapnya makin pongah dan memandang rendah mereka, "Kalau saat ini aku menantang kalian satu per satu. kalian tentu akan bilang tadi aku belum mengeluarkan tenaga dan sengaja cari keuntungan."
Sampai di sini ia berhenti bicara, lengan bajunya mengebas perlahan, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas panggung, katanya sambil menggerakkan tangan, "Ayolah, kalian berempat maju bersama saja supaya menyingkat waktu dan menghemat tenagaku."
Bwe-Kiam, Au-yang Thian-kiau berempat menggerung gusar, serempak mereka memburu ke atas panggung. Tapi mereka adalah tokoh-tokoh besar yang disegani, di hadapan sekian banyak orang gagah, meski sedang marah, jelas mereka tidak akan turun tangan bersama. Sekilas mereka saling pandang, tanpa berjanji semuanya merandek dan segan turun tangan.
Kong-sun Ang buka suara lebih dulu, "Mohon kalian sudi mengalah, biar aku yang turun gelanggang lebih dulu."
"Biar Siau-te saja yang memberi hajaran kepadanya," Ciang-Jio-bin menimbrung.
"Aku juga tidak sabar lagi," Bwe-Kiam tidak mau mengalah, "kurasa ..."
Pada saat tiga orang ini bersitegang, Au-yang-thian-kiau bertindak lebih dulu, langsung ia melompat ke depan pemuda baju hijau, sepuluh jarinya terpentang bagai cakar dan mencengkeram ke dua pundak pemuda baju hijau.
Jurus silat yang dilancarkan Au-yang-thian-kiau tanpa kembangan juga tidak mengandung tipu keji, tapi lwe-kang nya memang hebat, dasarnya amat kuat dan sempurna latihannya, jarang ada tokoh silat yang dapat menandinginya.
Banyak anak murid keluarga persilatan yang mengirim putra-putrinya belajar di perguruan Thian-kiau di bawah bimbingannya. kaum persilatan sama tahu, murid didik Au-yang-thian-kiau pasti mempunyai pupuk dasar yang luar biasa. Adalah jamak kalau peternakan Thian-kiau amat terkenal, muridnya pun tersebar luas di berbagai pelosok dunia.
Sejurus demi sejurus Au-yang-thian-kiau melancarkan serangan secara teliti dan mantap.
Setiap jurus mengandung bobot yang berbeda, jelas dan bersih, tidak mengandung unsur-unsur jahat, juga tidak gegabah.
458 Koleksi Kang Zusi
Sebaliknya permainan silat pemuda baju hijau ini jauh berbeda kalau tidak mau dikata berlawanan dengan kungfu Au-yang-thian-kiau. Apa yang ditunjukkan pemuda baju hijau ini lebih tepat dilukiskan dengan "tinju kembang dan tendangan sulam"
Langkahnya ringan, gerak-geriknya tangkas lagi gesit, seluruh panggung hanya tampak bayangan kaki dan tinjunya. Betapa gemulai dan liuk tubuhnya seperti bidadari yang sedang menari saja. Hakikatnya pemuda ini seperti tidak bertanding silat, tapi lebih tepat sedang menari, penonton menjadi bingung dan melongo, lupa bersorak dan keplok.
Yang menakjubkan adalah antara ribuan penonton yang menyaksikan permainan si pemuda, termasuk It-bok Tai-su, Ting-lo-hu-jin dan para pendekar yang lain, tiada satu pun di antara mereka yang tahu dan membedakan jurus silat dari aliran mana.
Bayangan tinju dan tendangan kaki si pemuda memang bertaburan seperti bunga rontok dari pucuk pohon. Karena terselubung oleh bayangan inilah, penonton sukar mengikuti gerak-geriknya.
It-bok Tai-su menghela napas, "Sudah lima puluh tahun aku berkelana di kang-ouw, belum aku lihat ilmu pukulan selincah dan seindah ini. Belum pernah aku bertemu dengan gadis secerdik ini."
"Dari mana Tai-su tahu gadis ini cerdik" Mohon dijelaskan," demikian kata Ting-lo-hu-jin.
"Coba Hu-jin perhatikan, pukulannya seperti hanya menari tanpa isi, namun kalau mau diperhatikan, pemainannya sedikit pun tidak kalut, itu karena gerak perubahannya yang bervariasi tanpa batas. Untuk memainkan pukulan yang mengandung perubahan sebanyak itu, kalau ia tidak cerdik pandai, menyaksikan saja sudah pusing, apalagi mempelajarinya."
"Ai, semoga ia tidak tersesat oleh kepintarannya," Ting-lo-hu-jin menghela napas.
Pui-Po-giok mendengar jelas pembicaraan kedua orang ini. Ia merasa lega juga kuatir, maklum hanya ia yang tahu paling jelas tentang kepintaran Siau-kong-cu.
Pemuda baju hijau bertopi kecil itu memang samaran Siau-kong-cu.
Bahwa Siau-kong-cu mendadak muncul, turun gelanggang dan bertanding, Pui-Po-giok betul-betul kaget, heran dan bingung. Biasanya Ngo-hing-mo-kiong bertindak secara gelap dan licik, kenapa sekarang ia berani tampil di depan umum" Tapi hanya beberapa kejap saja Po-giok menelaah persoalan ini dan segera ia paham dan mengerti.
Dahulu Ngo-hing-mo-kiong selalu mengacau secara diam-diam, maksudnya supaya kaum persilatan berteka-teki, saling curiga dan bunuh membunuh. Tujuan utama sudah tentu supaya Pui-Po-giok menghadapi jalan buntu.
Dan yang pasti, mereka masih takut pihaknya akan menonjol dan menjadi paling besar di depan umum. Bila Pek-ih-jin datang lagi, maka pihak Ngo-hing-mo-kiong yang pertama harus menghadapinya.
Kalangan kang-ouw sudah kacau, korban sudah berjatuhan, tujuh murid besar sudah ada yang gugur dan terluka. Apakah Pek-ih-jin akan muncul kembali, masih merupakan tanda tanya. Dan yang paling penting adalah, mereka mengira Pui-Po-giok sudah tewas.
Pada saat dan situasi seperti sekarang, segala kekuatiran sudah tidak perlu ada. Lalu tunggu kapan lagi kalau sekarang mereka masih tidak menampakkan diri. Dalam situasi yang kalut ini, mereka akan mudah menguasai keadaan, kesempatan sebaik ini memangnya harus disia-siakan"
459 Koleksi Kang Zusi
Pandangan Po-giok berputar. Setelah terjadi keributan tadi, keadaan di sekeliling panggung sudah banyak berubah, kedudukan orang-orang yang tadi menonton paling depan juga banyak berubah dan tergeser.
Penonton yang terdepan tadi sama berpakaian ketat, baju mereka dari sutera dan perlente. Tapi penonton terdepan sekarang adalah orang-orang berbaju hitam dengan caping yang lebar dan ditarik rendah.
Terutama orang yang paling depan, meski caping bambu rendah menutup mukanya, tapi bola matanya yang bersinar merah seperti api membara, selalu melirik ke arah panggung. Po-giok melihat jelas bahwa orang ini bukan lain adalah Hwe-mo-sin. Sorot matanya yang mirip bara iblis itu, selama hidup tidak akan dilupakan oleh Po-giok.
Orang-orang Ngo-hing-mo-kiong akhirnya menyelundup juga ke Thai-san. Dengan munculnya orang-orang ini, apa yang bakal terjadi selanjutnya memang sukar diramalkan oleh Po-giok.
Tapi darah seperti bergolak di rongga dada, makin lama makin mendidih ...
Sampai sejauh ini Po-giok masih belum berani turun tangan. Soalnya ia tahu kaum silat di dunia sudah menganggap dirinya sebagai momok jahat yang tidak berperikemanusiaan.
Jika dirinya menampakkan diri, hadirin tentu gempar, pada saat hati sedang gusar dan penasaran, dihasut oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab lagi, bukan mustahil dirinya bisa hancur lebur oleh amukan orang banyak. Umpama dirinya memiliki kungfu setinggi langit juga tidak mungkin melawan keroyokan orang banyak, dirinya akan mati konyol, mati penasaran.
Oleh karena itu, meski darah mendidih di dada, terpaksa ia harus sabar dan sabar.
Dalam sekejap dilihatnya Siau-kong-cu telah melancarkan belasan jurus serangan.
Betapa rumit gerak perubahan serangannya, Au-yang-thian-kiau melayaninya dengan mantap, reaksinya selalu memunahkan aksi Siau-kong-cu yang bervariasi itu. Setiap jurus setiap tipu dipunahkan dengan jelas, bersih dan tegas.
Kedua mata Au-yang-thian-kiau setengah terpejam, sikap dan mimiknya mirip seorang hwesio yang lagi semedi, namun gerak tubuhnya tidak berhenti. Seluruh serangan telapak tangan maupun tendangan kaki yang membingungkan segencar bunga jatuh berhamburan itu seperti tidak dilihatnya sama sekali. Hanya telinga mendengar menentukan arah dan kedudukan, memunahkan serangan dan mematahkan jurus.
Jago kosen yang terkenal di Bu-lim ini bukan saja memiliki lwe-kang tangguh, pengalaman, pengetahuan dan bekal ilmu silatnya juga sudah mencapai taraf yang tinggi. Ia maklum bila dirinya melihat atau mengikuti permainan silat lawan yang mengaburkan pandangan, dirinya akan pusing dan dengan sendirinya, gerak-gerik sendiri akan terpengaruh dan kalut karenanya.
It-bok Tai-su manggut-manggut, katanya setelah menghela napas, "Sian cai, Sian cai! Au-yangsi-cu memang bukan tokoh yang mudah disesatkan. Betapapun lihai dan aneh permainan gadis pandai itu, kalau ingin mengalahkan dia kurasa amat sukar."
Penonton mulai bersorak pula mengikuti permainan Au-yang-thian-kiau, mereka berpihak dan memberi aplaus kepada jago tua yang kosen ini. Dari sorak-sorai dan tepuk tangan itu dapat disimpulkan bahwa murid didiknya yang sudah tersebar luas di Bu-lim itu tidak sedikit yang hadir di puncak Thai-san ini.
Po-giok menonton penuh perhatian, makin menyaksikan makin heran dan kaget.
Bukan kaget atau heran karena kungfu Au-yang-thian-kiau tangguh dan kuat. Tapi heran menyaksikan permainan Siau-kong-cu. Dalam hati ia membatin, "Mendadak Siau-kong-cu 460
Koleksi Kang Zusi
Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muncul di sini dan berani menantang empat finalis, kalau tidak membekal kepandaian khusus, mana berani ia bertingkah di sini" Padahal melawan Au-yang-thian-kiau seorang saja ia tidak mampu mengalahkan, dengan bekal kemampuannya yang tidak becus ini, mana mungkin pihak Ngo-hing-mo-kiong membiarkan dia berbuat onar" Bukan mustahil secara diam ia menyiapkan tipu muslihat untuk menjebak lawan?"
Maka dengan seksama ia perhatikan setiap gerak-gerik Siau-kong-cu.
Dirasakan sambil bergebrak badan Siau-kong-cu sengaja bergeser mundur ke tengah belakang panggung, tidak lagi mau berputar ke bagian depan. Sementara Au-yang-thian-kiau mendesak dengan ketat.
Maka ruang lingkup gerak-gerik kedua orang yang berhantam ini menjadi makin ciut. Lambat-laun jarak mereka lebih dekat dari tempat Po-giok sekarang berdiri. Maka setiap tipu dan setiap serangan kedua orang yang lagi bertarung ini dapat disaksikan lebih jelas oleh Po-giok.
Mendadak kaki Siau-kong-cu seperti terpeleset sehingga badan doyong dan langkah menjadi kacau, dengan sendirinya gerak tangan pun merandek, meski gangguan hanya sekejap dan Siau-kong-cu dapat memperbaiki posisi dalam sekejap. Tapi Au-yang-thian-kiau bukan jago silat biasa, meski kesempatan hanya sekejap saja tak disia-siakan. Dalam detik yang hampir sama, telapak tangan besi Au-yang-thian-kiau mendadak menyusup ke tengah bayangan tangan lawan yang merandek sekejap itu. Jelas pukulan itu tidak mungkin luput.
Penonton yang berada di bawah panggung pasti tidak melihat jelas detik-detik berbahaya ini.
Tapi dari sudut tempat Po-giok berdiri justru dapat menyaksikan dengan gamblang. Saking kaget, belum lagi ia menjerit "celaka". Siapa tahu mendadak tubuh Siau-kong-cu yang kecil itu mendadak menyelinap selincah ikan selicin belut ke belakang Au-yang-thian-kiau.
Meski menakjubkan gerakan gemulai tubuh Siau-kong-cu, tapi terasa agak dipaksakan juga.
Maklum, pada posisi yang tidak menguntungkan begitu, siapa pun sukar menghindar dan turun tangan.
Sudah tentu hal ini juga sudah diperhitungkan oleh Au-yang-thian-kiau, maka ia tidak terkejut atau heran. Di mana pinggang berputar dan lengan terayun ke belakang serta menepuk, namun serangan utama bukan pada telapak tangan melainkan adalah kebasan lengan bajunya yang membawa deru angin kencang.
Dalam keadaan kepepet seperti posisi Siau-kong-cu sekarang, meski tidak mungkin balas menyerang, siapa tahu dari lengan bajunya mendadak melesat keluar selarik benang perak, secara tepat dan telak menyelinap masuk ke dalam lengan baju Au-yang-thian-kiau yang mengebas ke depan.
Tubuh Au-yang-thian-kiau bergetar air mukanya berubah hebat, telapak tangan besinya tak mungkin ditepukkan lagi.
Pada kesempatan baik sedetik ini, badan Siau-kong-cu meliuk dan menghardik, "Pergilah!"
Sekali tangan yang putih halus menampar, sambil meraung keras Au-yang-thian-kiau terlempar jatuh.
Waktu benang perak tadi melesat keluar dari lengan baju Siau-kong-cu, perawakan Au-yang-thian-kiau yang tinggi besar, kebetulan menghalangi pandangan penonton. Apalagi sinar perak itu hanya berkelebat terus lenyap, maka para pendekar yang hadir juga tidak ada yang melihat.
Seolah-olah dalam posisi yang tidak mungkin melancarkan serangan, Siau-kong-cu balas menyerang. Betapa aneh dan hebat gerak tubuhnya, penonton yang tidak tahu adanya muslihat dalam pertarungan ini sudah tentu merasa kaget dan heran.
461 Koleksi Kang Zusi
Apalagi senjata rahasia yang melesat keluar dari lengan baju Siau-kong-cu hanya merupakan selarik air, begitu semprotan air itu masuk ke dalam lengan baju Au-yang-thian-kiau segera lenyap, bukan saja tangan tidak terluka, lengan baju pun tidak kurang suatu apa, umpama ada orang curiga juga tidak menduga bahwa Au-yang-thian-kiau terluka lebih dulu oleh senjata rahasia musuh. Kalau demikian halnya, memangnya siapa berani menuduh Siau-kong-cu berbuat curang"
Perbuatan jahat dan curang ini terjadi secara cepat dan direncanakan secara cermat sehingga tidak ada orang tahu akan akal busuk yang dilakukan Siau-kong-cu. Di luar dugaan, Pui-Po-giok yang tertimpa musibah itu kebetulan berada di belakang panggung dan menyaksikan seluruh kejadian ini dengan jelas, dengan sendirinya ia tahu dan maklum apa tujuan muslihat musuh.
Hadirin menjadi gempar, di tengah keributan tampak air muka Bwe-Kiam dan lain-lain menampilkan rasa kaget dan tidak percaya.
It-bok Tai-su bergumam, "Jurus bagus, tipu lihai. Mungkin mata tuaku ini sudah hampir buta, cara bagaimana gadis cilik itu melancarkan serangan kejinya tidak aku lihat dengan jelas."
Ting-lo-hu-jin menghela napas, "Aku merasakan jurus yang dilancarkan tadi seperti mengandung hawa iblis."
"Betul," It-bok Tai-su mengangguk, "Jurus seperti itu rasanya tidak mungkin dilancarkan manusia biasa."
Po-giok berdiri diam di tempatnya, hati kacau dan pikiran butek.
Di kolong langit ini, hanya dirinya saja yang tahu dan dapat membongkar muslihat Siau-kongcu tadi, apakah perlu dirinya tampil ke atas panggung menelanjangi kedoknya"
Dalam keadaan dan kondisi seperti ini, apakah dirinya boleh menampilkan diri" Apakah tega dirinya membongkar perbuatan keji gadis yang selama ini menjadi pujaan hatinya!
Sementara itu, beberapa orang telah menggotong pergi jenazah Au-yang-thian-kiau ke belakang.
Seorang yang berdiri tak jauh di samping Po-giok berkata sambil geleng kepala. "Sungguh lihai aku lihat dia hanya mengulap tangan sekali, Au-yang Thian-kiau yang gede dan gagah itu ternyata mampus seketika."
Maklum meski orang-orang ini juga berdiri di belakang panggung, tapi pandangan mereka teraling oleh tubuh Siau-kong-cu. Hanya posisi Po-giok yang kebetulan berada di sudut yang menguntungkan dapat melihat adanya sinar perak yang berkelebat tadi.
Siau-kong-cu tertawa puas dan bangga di atas panggung. "Tadi sudah kubilang, kalian maju bersama saja, kenapa harus menyerahkan jiwa satu per satu" Kong-sun Ang, Bwe-Kiam dan Ciang-Jio-bin ayolah kalian maju, tunggu apa lagi?"
Meski Siau-kong-cu bersikap takabur, namun tidak ada orang berani meremehkannya, Kongsun Ang, Bwe-Kiam dan Ciang-Jio-bin tidak berani berebut menampilkan diri.
"Lho, bagaimana?" ejek Siau-kong-cu. "apa kalian tidak berani maju?"
Ciang-Jio-bin dan Bwe-Kiam naik pitam, berbareng mereka melangkah maju. tapi seorang mendadak menarik lengan mereka.
Bwe-Kiam berkata dengan suara kaku, "Siapa pun di antara kita yang maju dulu kan sama saja."
462 Koleksi Kang Zusi
"Ya, betul." ucap Ciang-Jio-bin. "biar aku dulu yang turun tangan."
Kong-sun Ang tersenyum ramah, "Permainan silat orang ini aneh dan mengandung rahasia, banyak muslihatnya lagi. Di antara kita bertiga, pengalamanku paling luas dan aneka ragam pula permainanku, adalah pantas kalau kalian mengalah padaku."
Sekejap Bwe-Kiam saling pandang dengan Ciang-Jio-bin, mereka mundur menyingkir.
Kong-sun Ang lompat dari tengah kedua orang langsung menubruk ke depan Siau-kong-cu.
Thian-liong-gun di pinggangnya sudah dilolos, katanya dengan suara berat. "Tuan tidak keluarkan senjata?"
Siau-kong-cu tersenyum ejek, "Gebrak dengan orang seperti kalian, memangnya perlu pakai senjata?"
perlahan Kong-sun Ang menarik napas, "Kalau demikian ...."
"Ya. memang demikian." tukas Siau-kong-cu, "silakan serang, buat apa cerewet."
Sekali tubuh berkelebat, tahu-tahu ia sudah berada di belakang Kong-sun Ang. Sepuluh jari tangan mencengkeram hiat-to penting di punggungnya.
Betapa cepat gerak tubuhnya memang mirip setan atau dedemit.
Kong-sun Ang tidak putar badan, bila serangan tangan lawan sudah mengancam punggungnya, mendadak kaki melangkah lebar maju ke depan. Langkah ini sungguh tepat dan pas, cengkeraman Siau-kong-cu dengan sendirinya mengenai tempat kosong.
"Bagus," bentak Siau-kong-cu nyaring, "coba buktikan, kamu membalik badan tidak."
Tubuh mendesak maju ia tampar dengan dua tangan sekaligus.
Kong-sun Ang tetap tidak berpaling, kaki menginjak lagi setapak ke depan, serangan lawan luput lagi. Saat mana tubuhnya sudah berada di tepi panggung, maju lagi sudah tiada tempat berpijak untuknya.
Siau-kong-cu membentak. "Tidak mau berpaling, nah, serahkan jiwamu!"
Sambil membentak kesepuluh jarinya terangkap, dengan kekuatan kedua telapak tangan serempak ia menepuk ke depan.
Kong-sun Ang tetap tidak berpaling, ia maju lagi setapak lebih lebar. Keruan hadirin menjerit kaget dan kuatir, jelas Kong-sun Ang akan terjerumus jatuh ke bawah. Tak terduga pada saat gawat itu, dengan Thian-liong-gun pada tangannya menolak pinggir panggung. "tek", perawakan tubuhnya yang gede itu mendadak mencelat ke udara bersalto lewat kepala Siaukong-cu dan hinggap di belakangnya. Thian-liong-gun menciptakan deru angin kencang mengepruk kepala Siau-kong-cu.
Jeritan kaget dan kuatir para penonton mendadak berubah menjadi sorak gembira dan pujian.
Jalan mundur ke kanan-kiri dan belakang Siau-kong-cu sudah terhalang atau terkunci oleh bayangan pentung lawan, untuk menyelamatkan diri harus berkelit ke depan. Tampak tubuhnya memang menerobos ke depan, jelas ia akan jatuh ke bawah panggung.
Di luar dugaan, meski tubuh bagian atas sudah doyong ke depan, tapi kedua kaki seperti terpaku di panggung, tubuh kaku seperti menancap di pinggir panggung. Sudah tentu bayangan pentung Kong-sun Ang jadinya menyerang tempat kosong.
463 Koleksi Kang Zusi
Sedikit meliuk pinggang lalu menarik tubuh mendadak Siau-kong-cu berbalik di udara dan menerobos lewat bayangan pentung lawan yang menindih turun. Betapa lincah dan tangkas gerak tubuhnya, sungguh amat menakjubkan, lebih mempesona lagi adalah keindahan gerak tubuhnya sungguh amat menakjubkan semua penonton. Kalau tidak memiliki gin-kang yang sempurna, seorang tidak mungkin menunjukkan gerak tubuh seindah itu.
Sorak-sorai dan tepuk tangan hadirin tidak berhenti malah tambah gegap, bukan lagi menyoraki Kong-sun Ang, tapi memberi pujian kepada Siau-kong-cu yang memperlihatkan gin-kang yang hebat.
Kini kedua orang mengembangkan kegesitan tubuh dan ketangkasan gerak kaki, selincah kelinci segesit kijang, makin gerak makin cepat. Serang menyerang silih berganti, bentuk pertarungan mereka kini jelas berbeda lagi dibanding pertarungan Siau-kong-cu melawan Au-yang-thian-kiau tadi.
Tepuk sorak penonton terus berlangsung tanpa berhenti. Dari sekian babak pertarungan yang sudah berlangsung di puncak Thai-san ini, ronde yang ini boleh dikatakan yang paling seru, sengit dan menegangkan, paling mempesona dan menakjubkan pula.
Ting-lo-hu-jin menghela napas, "Aku kira kungfu yang diyakinkan Kong-sun-tai-hiap mengutamakan kekerasan, sungguh di luar dugaan bahwa Nuikang (tenaga lunak) yang dia yakinkan juga sudah mencapai taraf sehebat ini."
Apa yang dipujikan Ting-lo-hu-jin adalah yang dikagumi juga oleh penonton. Hadirin tidak menduga, perawakan Kong-sun Ang yang kekar dan kasar itu ternyata mampu melakukan gerak tubuh selincah dan seindah itu.
Deru angin Thian-liong-gun di tangan Kong-sun Ang makin kencang dan terasa mengiris kulit muka. Tekanan makin berat membuat gerak-gerik Siau-kong-cu tidak selincah dan segesit tadi.
Ting-lo-hu-jin menarik napas panjang, "Aku yakin Kong-sun-tai-hiap dapat mengalahkan lawannya."
"Kukira belum tentu," ujar It-bok Tai-su dengan muka serius.
Sesaat lamanya Ting-lo-hu-jin bungkam, akhirnya ia mengangguk, "Betul, memang belum tentu. Permainan nona ini kadang-kadang lihai seperti setan iblis, lawan sukar menduga dan tidak bisa meraba permainannya."
Dalam pada itu, Siau-kong-cu sudah mundur dan mundur lagi. Seolah-olah ia terdesak di bawah angin oleh rangsakan pentung Kong-sun Ang, terpaksa ia mundur ke satu sudut untuk mempertahankan diri.
Sinar mata Kong-sun Ang bagai kilat, wajahnya merah bersemangat, bertempur penuh gairah.
Kekuatan terpendam di tubuhnya sedang berkobar dan dikembangkan seluruhnya. Tampak setiap jurus permainannya amat rapi, mundur maju menyerang atau bertahan secara ketat.
Bukan saja serangan deras dan lihai, bertahan juga kukuh lawan jelas tidak mungkin balas menyerang, apa lagi menjatuhkan dirinya.
Kematian Au-yang-thian-kiau menjadi pelajaran dan cermin baginya. maka sedikit pun ia tidak berani lena atau gegabah. Tekadnya besar untuk mengalahkan pemuda baju hijau lawannya ini, ia pantang mundur atau kalah.
Ciang-Jio-bin menarik napas, "Kurasa tidak sampai sepuluh jurus lagi."
"Ya, paling banyak sepuluh jurus," tukas Bwe-Kiam.
Ting-lo-hu-jin dan It-bok Tai-su juga yakin bahwa pandangan mereka tidak keliru lagi. Maklum 464
Koleksi Kang Zusi
mereka tidak habis pikir dengan cara dan akal apa Siau-kong-cu mampu mengalahkan Kongsun Ang dalam satu gebrak saja.
Dalam posisi dan keadaan Siau-kong-cu sekarang, untuk mencapai kemenangan memang tidak mungkin dicapai dengan kepandaian ilmu silat yang wajar.
Berbeda dengan perasaan Pui-Po-giok, saat mana jantungnya seperti hendak meloncat keluar rongga dadanya saking tegang. Ia tahu senjata rahasia yang disembunyikan dalam lengan baju Siau-kong-cu bukan hanya sejenis, malah setiap jenis senjata rahasia yang dibawanya itu amat jahat dan khusus diciptakan untuk berbuat curang pada saat genting seperti ini.
Po-giok tahu, Siau-kong-cu sukar mengalahkan Kong-sun Ang, namun gadis ini cerdik pandai banyak muslihatnya lagi, ada golongan jahat mengendalikan dia. Betapapun ketat dan waspada Kong-sun Ang mempertahankan diri, kalau diserang secara gelap dengan senjata rahasia keji, pasti celaka jiwanya. Sebentar lagi jiwa Kong-sun Ang akan terengut oleh serangan ganasnya.
Tegakah Po-giok menyaksikan para ksatria yang berjiwa gagah perwira ini gugur oleh perbuatan jahat yang licik" Tegakah dia menyaksikan musibah ini terus berlangsung tanpa ada akhirnya"
Tapi dia sendiri sedang dalam kesulitan, dapatkah dia bertindak dan mencegah kejahatan ini"
Po-giok kuatir, bila dirinya turun tangan, Paling hanya mengorbankan jiwa sendiri. Perang batin bergolak dalam benaknya, hatinya menderita. Po-giok tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
Bulan purnama sudah doyong ke barat, tak lama lagi fajar akan menyingsing.
Cahaya rembulan kebetulan menyinari wajah Siau-kong-cu, mendadak Po-giok melihat sinar matanya mengandung kelicikan dan kekejaman. Ini pertanda bahwa ia sudah bertekad turun tangan keji. Mendadak telapak tangan kanan terayun keluar, jari-jari yang runcing panjang tertekuk mirip cakar. Seolah-olah ia sudah terdesak, maka dengan nekat ia berusaha merebut Thian-liong-gun yang mampu mengepruk hancur batu gunung dengan jari tangan yang halus.
Kong-sun Ang menghardik sekali, Thian-liong-gun terayun ke depan memapak tangan lawan, dengan memutar pergelangan tangan, Thian-liong-gun seperti sengaja diserahkan untuk dipegang oleh Siau-kong-cu.
Tangan Siau-kong-cu seperti terkena listrik, menjerit kaget ia tarik tangan ke dalam lengan baju.
Penonton terbelalak, tidak sedikit pula yang bersorak. Tangan Siau-kong-cu terluka oleh Thian-liong-gun, mana mungkin bisa menang" Bukankah tangan kanan merupakan kekuatan utama untuk bertempur!
Tapi Po-giok melihat dengan jelas tangan Siau-kong-cu tidak tersentuh oleh Thian-liong-gun, ia sengaja menjerit kaget untuk menarik tangan ke dalam lengan baju, supaya Kong-sun Ang tidak waspada dan tidak memperhatikan tangan kanannya lagi. Sementara senjata rahasia yang pencabut nyawa sudah siap disambitkan dengan tangan kanan dari balik lengan bajunya.
Cahaya rembulan seperti sengaja menyorot ke atas panggung.
Cepat Siau-kong-cu menyelinap ke belakang Kong-sun Ang. Dalam sekejap ini mendadak Po-giok lihat sinar perak berkelebat dalam lengan baju Siau-kong-cu. Senjata rahasia sudah siap disambitkan. Tangan Siau-kong-cu sudah terangkat ke atas.
Pada saat itulah, mendadak Pui-Po-giok menerobos ke atas panggung, gerakannya secepat panah. Begitu cepat ia bergerak, tahu-tahu sudah berdiri di tengah antara Siau-kong-cu dan Kong-sun Ang, kedua telapak tangannya bergerak ke kanan kiri.
465 Koleksi Kang Zusi
Kong-sun Ang baru ganti gerakan, entah kenapa pentung di tangannya mendadak ditangkap orang, menyusul dirasakan segulung tenaga lunak yang dahsyat dan tidak terbendung tersalur lewat pentungnya. Karena diterjang tenaga lunak yang hebat ini, tanpa kuasa tubuhnya gentayangan dan jatuh terduduk di panggung.
Siau-kong-cu yakin serangannya dapat merobohkan lawan. Mendadak ia rasakan lengan kirinya kaku kesemutan, lalu menjuntai lemas dan tak mampu bergerak. Menyusul tangan yang menggenggam lengan kirinya berkelebat di depan dada, hampir pada waktu yang sama, sikut kanan pun tercengkram sehingga lengan kanan juga lemas lunglai.
Dari lengan bajunya seperti ada suara mendesis yang perlahan, terasa pula semburan hawa panas yang keluar dari lengan bajunya. Semburan hawa panas itu tidak berbentuk, namun setelah suara mendesis tadi lenyap, papan panggung yang tebal di bawah kaki Siau-kong-cu terjilat api dan mengeluarkan asap biru. Betapa hebat daya bakar rahasia itu, jiwa sang korban tentu sukar diselamatkan bila tersambit.
Yang disemburkan dari lengan baju Siau-kong-cu adalah segulung bara asap. Umumnya bara asap berwarna merah, bila suhu panasnya sudah tinggi berubah menjadi hijau, namun bila nyala api sudah mencapai daya panas yang paling tinggi, warnanya tidak akan kelihatan lagi.
Senyuman Dewa Pedang 4 Kampung Setan Karya Khulung Hancurnya Sian Thian San 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama