Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 10
moyanglu 18 turunan ! "
Mendengar suara orang itu, The Go tampak gugup, lalu
bertanya kepada Tan It-ho: "Toako, apakah kau membawa
topeng muka?" Tan It-ho mengeluarkan sebuah topeng kulit
muka. Begitu dipakai, pemuda The Go yang tampan segera
menjadi seorang yang buruk rupa. Setelah itu, baru The Go
berani mendongak mengawasi kemuka dan tak kuat
menahan gelinya lagi. Orang lelaki kasar tadi mengawasinya sejenak, lalu memaki: "Bangsat, apanya
yang lucu?"
Tan It-ho hendak membalas, tapi secara diam2 dicegah
The Go, hingga membuat yang tersebut duluan heran.
Memang tindakan The Go itu beralasan, karena sikasar itu
bukan lain adalah Nyo Kong-lim, itu pemimpin dari ke 72
Cecu Hoa-san. Entah bagaimana dia bisa datang ketempat
itu. Brewok janggutnya tinggal separoh, mukanya pun
belang hitam putih, rambutnya yang sebelah kiripun
(separoh) sudah kelimis, sehingga kulit kepalanya tampak
jelas. Barang siapa melihatnya, jangan tanya tentu akan
kaku perutnya karena geli. Dari wajahnya, dia tengah
dirangsang kemurkaan. The Go tahu ilmu silat ketua Hoasan itu cukup tangguh, maka siapa yang berani
mempermainkannya" Ah, jangan2 Kang Siang Yan"!
Teringat akan nama Kang Siang Yan, The Go kucurkan
keringat dingin. Dia bergidik sendiri kala membayangkan
apabila rencananya keji itu sampai ketahuan Kang Siang
Yan, tentu mayatnya tiada tempat untuk mengubur lagi!
Tapi ah...., mana Kang Siang Yan sempat untuk memperolok2 orang kasar itu " Demikian karena sudah berganti
rupa, maka dengan tenangnya The Go duduk mengawasi.
Nyo Kong-lim kelihatan mengambil sebuah tempat
duduk, lalu bung...., bung...., bung...., tinjunya berlincahan
diatas meja dan mulutnya ber-kaok2: "Hayo, lekas
bawakan, arak dan daging "
Jongos yang tadinya sudah siat-siut matanya, minta
ditidurkan itu, begitu melihat kedatangan sikasar dan
sikapnya yang bengis itu, segera buyar rasa kantuknya. Tersipu2 dia membawakan barang pesanan itu.
Nyo Kong-lim usap2 kepalanya yang gundul separoh itu,
lalu meng-elus2 janggutnya yang tinggal separoh itu juga.
"Jahanam .....", tiba2 dia berhenti merenung sejenak lalu
melanjutkan lagi: "Jahanam, apakah bukan sibudak
perempuan itu yang main gila padaku?" Tapi sesaat lagi, dia
menyahut sendiri: "Tidak, tidak, budak itu bersama siaoko
pergi ke Sip-ban-tay-san, masakan dia bisa kemari
mengolok2kan aku " !"
Berkata begitu, wajahnya tampak agak tenang, kemudian
se-konyong2 dia tertawa ter-bahak2 sendiri, seperti orang
setengah gila. Baru separoh ketawa, dia lantas berhenti dan
berkata sendirian: "Rupanya budak itu galang-gulung rapat
dengan si siaoko, biar kutanyakan pada suhunya, bilakah
aku dapat minum arak kebahagiaannya (menikah) ?" Habis
berkata, dia kembali ter-bahak2 seorang diri.
Bermula The Go dan Tan It-ho anggap ketua Hoasan itu
tolol tapi menyenangkan. Tapi lama kelamaan didengarnya
suara ketawanya itu bukan seperti orang ketawa lagi,
melainkan menyerupai orang menangis. Ketika keduanya
mengawasi tajam2, mereka segera merasa kaget. Walaupun
Nyo Kong-lim masih tengah ketawa, tapi sepasang matanya
tampak mendelik, kaki tangannya ber-jingkrak2, sikapnya
kesakitan sekali.
Sebagai seorang murid dari Ang Hwat cinjin, tokoh besar
dalam ilmu menutuk jalan darah itu, mata The Go yang
tajam segera mendapat tahu bahwa dalam sekejab waktu
barusan tadi, sikasar itu telah ditutuk jalan darahnya oleh
seseorang. Justeru yang diarah adalah jalan darah 'tertawa'.
Maka walaupun terus menerus ketawa, tapi nada
ketawanya itu menyerupai orang merintih kesakitan.
The Go terkesiap. kaget. Didalam ruangan situ hanya
terdapat 4 orang. Dia berdua dengan It-ho terang tak
melakukan. Adakah sihweshio penidur itu seorang tokoh
persilatan yang bersembunyi " Tapi yang luar biasa,
mengapa Nyo Kong-lim sampai tak mengetahui kalau
dirinya dibokong orang, pada hal kaum persilatan mengenal
dia sebagai jago silat yang mahir ilmu lwekang. Sihweshio
itu masih tetap terkulai menggeros, mulutnya ngiler seperti
kelebuh benar2 di dalam pulau kapuk.
"Biar kau tahu rasa sekarang!" demikian diam2 The Go
girang menampak keadaan Nyo Kong-lim yang dibencinya
itu. Tapi baru dia mempunyai perasaan begitu se-konyong2
pinggangnya terasa lentuk, celaka...... secepat merasa
secepat itu pula dia empos semangatnya untuk kerahkan
tenaga perlawanan. Tapi sudah kasip, sekali mulutnya
pecah "ha...., ha..., hi..., hi...", terus menerus dia bergelak
ketawa tak berkeputusan juga. Tapi adalah karena
kelihayan pelajaran ilmu tutuk Ang Hwat cinjin, sehingga
walaupun tertawa, namun The Go masih dapat berdaya
untuk menyalurkan lwekang guna menindas rasa ketawanya itu. Tepat pada saat itu, Nyo Kong-limpun
sudah berhenti ketawa. Dengan melotot mata, dia mendelik
gusar kearahnya.
"Hiante, apakah kau juga kena bokongan orang ?" tanya
Tan It-ho ketika merasa keadaan yang tidak wajar itu.
Belum The Go menyahut, Nyo Kong-lim sudah
menggerung keras sembari menerjang datang. "Jahanam,
kiranya kau!" sembari memaki tangannya menghantam.
Ketika dirinya diketahui, The Go tak mau menangkis
serangan yang dahsyat itu. Sekali tangannya menekan meja,
tubuhnya segera melambung setombak keatas. Juga Tan Itho yang melihat gelagat jelek, segera mundur menyingkir.
"Bang..., bang....! karena orangnya sudah menyingkir,
maka meja itulah yang menjadi sasaran pukulan Nyo Konglim, sehingga hancur ber-keping2. Sikuasa hotel ketakutan
seperti melihat setan. Dia ber-ingsut2 lari keluar dan terkencing2 mendeprok ditanah.........
Melihat pukulannya menemui tempat kosong, Nyo
Kong-lim cepat mencabut ruyung sam-ciat-kun, yang terus
dikibaskan lempang kemuka kearah The Go dan Tan It-ho.
"Bangsat, kau berani mempermainkan loya, mengapa
sekarang takut berkelahi " Mari, kau rasakan ruyungku ini
sekali saja!" serunya sembari mengayunkan sam-ciat-kun
dalam gerak "heng soh cian kun" (menyapu ribuan lasykar).
Ujung ruyung bergeliatan, terpencar menutuk kedua orang
itu. Mendengar itu, tahulah The Go kalau sikasar itu
sebenarnya belum mengetahui siapakah dirinya itu. Nyo
Kong-lim itu kasar orangnya, seribu satu alasan dia tentu
tak mau menerima, maka lebih baik diladeni saja. Begitu
ruyung tiba, The Go mendak kebawah sembari menyingkir
kesamping, lalu secepat kilat dia julurkan kelima jarinya
untuk menerkam dada orang. Ternyata itulah. suatu
gerakan yang istimewa lihaynya. Kelima jari itu sebenarnya
dipencar untuk menutuk jalan darah orang masing2 pada
kiok-kwat, siangwan, ki-bun, tiong-wan dan kian-li, lima
tempat. "Lihay benar ilmu tutukanmu!" seru Nyo Kong-lim
sembari menarik pulang ruyung dan mundur 3 langkah
kebelakang. Tanpa disengaja, tubuhnya yang menyurut
kebelakang itu telah menatap kepala sihweshio, hai gila
betul rupanya hweshio itu. Disekitarnya terjadi ribut2,
malah kepalanya juga dibentur tubuh orang, tapi masa dia
masih enak2 tidur seperti babi mati. Hidungnya masih tetap
mendengkur keras seperti cerobong kapal.
Sebagai seorang persilatan yang sudah kenyang makan
asam garam, heran Nyo Kong-lim melihat ilmu tutukan
yang menyerangnya itu. Sepanjang pengetahuannya, ilmu
tutukan macam itu, hanya dimiliki oleh Ang Hwat cinjin
seorang saja. Oleh karena dia benci sekali kepada The Go,
jadi Ang Hwat cinjinpun turut2an dibencinya. "Anak jadah
(haram), kiranya kau masih sanak kadangnya Ang Hwat
sikeledai gundul itu ya!" serunya sembari kibaskan sam-ciatkun. Kini dia lancarkan serangan istimewa. Sembari
menghantamkan sam-ciat-kun tangannya kiripun ikut
menebas bahu Tan It-ho, blek...... It-ho yang tak ber-jaga2
itu termakan dulu. Sekali menjerit 'aduh...., mati', separoh
tubuhnya seperti mati-rasa. Melihat itu The Go sangat
gugup. Dia masih perlu dengan tenaga It-ho, sedapat
mungkin jangan sampai orang itu keburu kehilangan jiwa
dulu. "Tan-heng lekas lari sendiri, aku setuju rencanamu,
jangan sampai membikin kapiran !" serunya kepada It-ho.
Walaupun It-ho merasa aneh akan kejadian dalam
ruangan penginapan situ, namun dia, turut juga perentah
The Go itu. Begitu Nyo Kong-lim tengah sibuk menangkis
serangan The Go yang mengarah pinggangnya, It-ho cepat
menyelinap keluar meloloskan- diri.
Nyo Kong-lim terperanjat mendengar kata2 "jalankan
menurut rencana" dari The Go tadi. Walaupun dia tak tahu
apa maksudnya, namun karena nada suara The Go itu
seperti pernah dikenalnya, ia menjadi tersentak sejenak.
Keayalan ini, menyebabkan perutnya hampir dimakan
tutukan tangan The Go. "Keparat....., siapa kau ini ?"
serunya sembari sapukan sam-ciat-kun mundur selangkah.
Karena terpaksa tadi secara spontan The Go telah
mengucapkan kata2, hal mana telah menimbulkan
kecurigaan musuh terhadap dirinya. Musuh menegas,
sudah tentu dia tak mau bicara lagi. Dalam pada itu, dia
ambil putusan hendak lekas2 menyelesaikan pertempuran
itu. Karena kalau terlibat lama, ada kemungkinan
rombongan Ceng Bo siangjin akan keburu datang disitu.
Dengan kehilangan seorang tiang pengandal macam Li
Seng Tong, sudah tentu dia tak berdaya menghadapi
kawanan orang gagah itu. Cepat diambilnya sepasang
sumpit, menyelinap kebelakang Nyo Kong-lim lalu
menutuk dua buah jalan darah dipunggungnya.
"Ilmu tutukan yang bagus!" seru Nyo Kong-lim sembari
kibaskan sam-ciat-kun keatas. Sam-ciat-kun atau tongkat 3
ros (buku), merupakan 3 batang tongkat pendek yang
disambung2. Tapi dalam tangan Nyo Kong-lim senjata itu
merupakan senjata yang dapat digerakkan sesuka hatinya.
Sam-ciat-kun ber-putar2 melibat Iengan The Go. The Go
memuji ketua Hoasan itu yang walaupun kasar tapi ternyata
mempunyai kepandaian berisi. Tanpa berayal, dia enjot
kakinya untuk loncat menghindar, tapi tiba2 telapak
kakinya terasa kesemutan. Serupa dengan jalan darah
siauyau-hiat (tertawa) tadi, kini jalan darah hian-kia-hiat
pada telapak kakinyapun kenaa ditutuk orang.
Oleh karena terperanjat, The Go jadi menurun kebawah
dan berbareng pada saat itu, sam-ciat-kun menyapu datang.
Terpaksa dia gunakan gerak tiat-pian-kio (jembatan
gantung) lemparkan tubuhnya kebelakang, lalu menyusul
dengan ilmu mengentengi tubuh i-heng-huan-wi, dia
letikkan tubuhnya kesamping. Cara penghindaran itu
ternyata berhasil bagus sekali didalam menghadapi
serangan sam-ciat-kun yang dilancarkan dengan jurus2
istimewa yakni "bintang pagi menjulang balik" dan
diteruskan "air terjun memancar jatuh"
Untuk kegirangannya, setelah menghindar, telapak
kakinyapun sudah sembuh dari rasa kesemutan. Ini
disebabkan karena The Go memiliki lwekang ajaran Ang
Hwat cinjin yang luar biasa. Maka ketika serangan sam-ciatkut menyambar lagi, dia melintas maju lalu menutukkan
sumpit kearah jalan darah si-tiok-hiat. Tiba2 sihweshio
penidur tadi tampak bergerak pinggang, tangannya diangkat
keatas dengan jari2nya ditekuk kebelakang. Tampaknya
seperti orang ngolet (bergeliat), namun anehnya Nyo Konglim dan The Go berdua segera rasakan ada angin keras
menyambar kearah mereka.
Sebagai orang persilatan, Nyo Kong-lim dan The Go
segera sama terperanjat Terang oletan sihweshio itu
merupakan pukulan lwekang biat-gong-ciang. Mau tak mau
terpaksa keduanya sama mundur sampai 3 tindak.
"Aku hanya ingin tidur sekejab saja, mengapa kalian
ribut2 tak keruan itu" Huh, kurang ajar!" tiba2 sihweshio itu
mengangkat kepala berkata.
"Ho, kiranya kau! Hampir saja aku keliru memukul
orang yang tak bersalah!" seru Nyo Kong-lim dengan
murka, lalu menarikan sam-ciat-kun merangsang sihweshio.
Sebaliknya sihwesio tampaknya seperti tiada kejadian
suatu apa, enak2 saja dia beresi jubahnya yang kucal2 itu.
Amboi, deru tarian sam-ciat-kun yang begitu dahsyat,
baru sampai ditengah jalan tiba2 terkulai kebawah, hingga
hampir makan kakinya, sendiri. Sudah tentu The Go yang
mengawasi dengan perdata, menjadi terkejut tak terkira.
Terang tadi dilihatnya hweshio itu hanya mengangkat
tangannya keatas sedikit, mengapa Nyo Kong-lim yang
bertenaga seperti kerbau itu, tak kuat lagi mencekal samciat-kunnya". Jadi nyata sampai dimana kesaktian
sihweshio itu. Tapi seingatnya, tokoh persilatan manakah
yang memiliki kepandaian begitu itu" Rasanya tidak ada.
"Kepala gundul, aku tak mau hidup ber-sama2 dalam
satu dunia dengan kau!" seru Nyo Kong-lim sambil berjingkrak2 untuk menghindar dari serangan sam-ciat-kunnya
sendiri. Habis itu, dia lalu serangkan lagi senjatanya. Tapi
dengan langkah lenggang, hweshio itu lari keluar tak mau
menghiraukan. "Ada kau tiada aku, ada, aku tiada kau, sama dengan
ada rambut dikepalamu tiada rambut dikepalaku".
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau kupangkas lagi rambutmu yang tinggal separoh
itu, aku tentu dapat enak2 menikmati kaki-anjing
panggang!" serunya ketika berlari itu.
"Anjing kepala gundul, jadi kaulah yang memangkas
rambutku ini" Hampir saja kusalah duga kalau sibudak
perempuan itu!" seru Nyo Kong-lim sembari mengejar
keluar. Sembari sahut2an, kedua orang tersebut sudah jauh
dari rumah penginapan situ.
Melihat keduanya sudah berlalu, The Go legah hatinya.
Sedangkan sipelayan tadipun berani masuk kedalam lagi.
Ketika dia sedang mengomel panjang pendek karena meja
kursinya hancur, tiba2 diatas meja sihweshio tadi dilihatnya
ada setumpuk perak, sekira 5 tail beratnya. Wajah sipelayan
yang kecut tadi, seketika berobah riang lagi. Sedang The
Gopun lalu masuk kekamarnya.
Didalam kamar Bek Lian tidur dengan enak sekali.
Rupanya tengah menantikan kedatangan The Go, karena
lampunya masih menyala. Karena tak mau membuat
terkejut, The Go mendekati pe-lahan2, tapi rupanya Bek
Lian mengetahui lalu menggeliat kesamping, dan tidur lagi.
Demi melihat wajah Bek Lian, berdeburlah jantung The
Go. "Didunia ini tak kurang dengan wanita cantik. Hanya
dengan barter secara yang diusulkan Tan It-ho tadi, barulah
aku dapat memiliki pedang pusaka itu. Aku belum resmi
mengikat perkawinan dengannya, tapi sudah mempunyai
anak, ah kalau hal ini sampai diketahui orang, kemana
hendak kutaruh mukaku " Kalau tidak kejam itu bukan
lelaki! Persetan!" demikian pikiran jahat merangkum hati,
The Go. Dan saking kerasnya getaran hati, kakinya turun
dibanting, hal ini telah mengejutkan Bek Lian. "Engkoh
Go, tidurlah lekas, sudah jauh malam!" seru sinona.
Sebaliknya The Go yang sudah dirangsang racun kata2
Tan It-ho tadi segera suruh Bek Lian bangun. Dengan
alasan menghindar dari kejaran musuh yang hendak
melakukan pembalasan, malam itu juga The Go ajak Bek
Lian tinggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan
lagi. Kita tengok Nyo Kong-lim sisembrono itu. Ternyata dia
mengalami pengalaman seperti petang hari tadi lagi.
Dirinya dipermainkan oleh sihweshio, saking gusarnya dia
mengejar. Tapi biar dia kencangkan larinya sedang
sihweshio itu hanya enak2 saja tampaknya, namun tetap tak
dapat mencandaknya. Begitu dengan keadaan pada saat itu.
Setiba dihutan. yang sepi, Nyo Kong-lim kehabisan bensin.
"Anjing kepala gundul, kenapa kau tak pangkas sekali sisa
rambutku ini "'' makinya dengan keras.
Sihweshio tertawa cekikikan. "Aku bosan jadi hweshio,
hendak kembali lagi menjadi orang biasa. Tapi kalau belum
mencari pengganti kau, mana aku dapat lepaskan
kedudukanku ?" sahutnya.
"Tapi mengapa separoh kepalamu tak tumbuh rambutnya?" tanya Nyo Kong-lim.
"Kalau tumbuh, lalu bagaimana ?" sahut sihweshio.
Sikasar tertegun, heran dia mengapa didunia bisa terdapat,
kejadian begitu"
"Baik, kalau benar separoh bagian dari kepalamu itu bisa
keluar rambutnya, rambutku yang separoh ini biar kau
cukur sekali!" serunya dengan geram.
Sihweshio tertawa, ujarnya: "Sekali taytianghu (lelaki
sejati) mengeluarkan kata2........"
"Laksana kuda lari sukar diburu!" sambung Nyo Konglim serentak. Sihweshio kembali tertawa. Dia ulurkan tangannya
merabah keatas kepala dan se-konyong2 berseru: "Lihatlah!"
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 25 : BATU MUSTIKA
Waktu mengawasi, Nyo Kong-lim berjingkrak kaget.
Begitu diusap, separoh bagian dari kepala gundul sihweshio
itu, sudah tumbuh rambutnya. "Setan atau manusia kau ini
" Lekas katakan!" tanya Nyo Kong-lim dengan menjerit.
"Kau sudah berjanji bukan" Setelah kucukur rambutmu
baru nanti kuterangkan!" kata sihweshio.
Nyo Kong-lim adalah seorang lelaki yang tegas. "Bilang
hitam....... ya hitam, bilang putih....... ya putih. Sini,
cukurlah !"
Sihweshiopun tampaknya tak sungkan2an. Dengan
beringsut2 memakai sepatu rumput, dia menghampiri lantas
cekal kepala Nyo Kong-lim. Tapi sikasar itu segera marah2
: "Mau memangkas, mengapa mencabuti ?"
"Habis kalau tak mencekal kepala, bagaimana bisa
memangkas ?" sahut sihweshio.
Nyo Kong-lim bohwat tak dapat cari alasan lagi, kecuali
meringis. Sihweshio keluarkan pisau cukur dan srit....,
srit...., sekejab saja kepala sikasar menjadi kelimis. Terasa
silir, Nyo Kong-lim merabah kepala, hai...... lagi2 dia
meringis monyet. Rambucang dipegang dalam tangan kiri
sihweshio, lalu dilontarkan keatas di-iringi dengan tiupan
angin, ribuan lembar rambut itu bertebaran ke-mana2. Tapi
seperti disulap, tiba2 separoh bagian kepala sihweshio yang
masih gundul itu, tumbuh lagi rambutnya!
Bahna herannya Nyo Kong-lim segera berseru: "Bangsat
gundul,......" tapi tiba2 dia batalkan kata2nya itu. Makian,
itu tidak mengenai sihweshio tapi kena dia sendiri.
"Hweshio, kau ini sebenarnya manusia atau setan?" cepat
dia alihkan pertanyaannya.
"Bukan orang, bukan setanI" sahut sihweshio dengan
tertawa. Tiba2 Nyo Kong-lim tersentak kaget sendiri. Dia
teringat dalam dunia persilatan ada seorang tokoh luar biasa
yang bergelar Kui-ing-cu (bayangan setan). Wataknya
keliwat eksentrik, suka ber-olok2. "Adakah kau ini Kui-ingcu?" akhirnya dia bertanya.
Sihweshio bergelak-gelak,
sahutnya: "Benar,
aku memang si Kui-ing-cu yang kau suruh mencukur kelimis
kepalamu menjadi hweshio!"
Mendengar itu, diam2 Nyo Kong-lim rnengeluh: "Mati
aku" Petang tadi Nyo Kong-lim berpapasan dengan Tio Jiang
dan Yan-chiu yang hendak menuju kegunung Sip-ban-taysan. Tampak sikap kedua anak, itu begitu mesra, tanpa
tedeng aling2 lagi, dia segera bertanya: "Siao-a-thau (anak
perempuan kecil) dengan siaoko (engkoh kecil) begini
mesranya, apa sudah memilih hari baik ya?"
Bagi Nyo Kong-lim yang polos blak2an itu, apa yang
sang hati memikir mulutnya segera mengatakan. Tapi
dalam penerimaan Yan-tihiu yang genit lincah bicara itu,
sudah tentu tak mau mandah dibegitukan saja. "Toacecu,
mengapa kau tak mencari seorang wanita kawan bercumbu2an?"
"Setan! Mulutmu benar2 tipis, macam Kui-ing-cu. Tapi
biar Kui-ing-cu, kalau benar2 bermulut tipis, nanti pada
suatu hari aku tentu akan mencukur kelimis batok
kepalanya, biar dia menjadi bangsat gundul. Coba biar
kulihat, kau masih berani bermulut tipis lagi tidak!" kata
Nyo Kong-lim tertawa.
"Kalau aku tetap tipis mulut bagaimana?" menantang
Yan-chiu. "Juga kucukurl rambutmu, supaya menjadl nikoh (paderi
wanita) !" dengan cepat Nyo Kong-lim memberi keputusan.
Mereka bertiga, tertawa geli.
Celaka! Kui-ing-cu yang muncul perginya tak berketentuan itu, kebetulan pada saat itu berada ditempat
situ, tapi menyembunyikan diri. Apa yang diperolokkan
oleh Kong-lim, didengarnya semua. Dia tahu Nyo Konglim itu seorang kasar sembrono, tapipun seorang yang suka
bergurau. Maka diam2 diikutinya ketua Hoa-san itu. Untuk
meramaikan "permainannya", dia tutupi kepalanya dengan
semacam sarung kepala, hingga kepalanya gundul seperti
seorang hweshio. Selagi Nyo Kong-lim tidur disebuah
hutan, dicukurnya kepala dan janggut ketua Hoa-san itu.
Tapi, tidak semua, hanya separoh bagian. Jadi setelah
itu, Nyo Kong-lim hanya mempunyai sesisi rambut
disebelah kanan dan sesisi janggut disebelah kiri. Habis itu,
sengaja dia bangunkan sisembrono, kemudian dia sendiri
lalu ber-lari2 menuju kedalam rumah makan penginapan
tadi. Justeru pada saat itu, The Go dan Tan It-ho tengah
rnerundingkan rencananya. Tahu kalau kedua orang itu
juga kaum persilatan, Kui-ing-cupun hendak mempermainkannya. Dia pura2 tidur mendengkur dan
karena itu tanpa disengaja dia telah dapat mencuri dengar
apa yang dibicarakan oleh The Go dan Tan It-ho itu.
Ceng Bo siangjin bukan melainkan termasyhur karena
ilmu kepandalannya, tapi juga karena perilakunya yang
luhur budiman. Kaum persilatan sangat mengindahkan
akan peribadi siangjin itu. Kui-ing-cupun tak terkecuali.
Mendengar anak perempuan dari siangjin itu menghadapi
bahaya, dia menjadi sibuk. Pada saat itu juga sebenarnya
dia sudah hendak turun tangan, tapi telah dirusak oleh
kedatangan sisembrono Nyo Kong-lim. Segera dia robah
rencananya, lebih dulu mengocok sisembrono, baru nanti
memberesi kedua orang busuk itu. Pikirnya, masakan kedua
orang itu dapat lolos dari tangannya. Tapi siapa tahu,
karena terlibat oleh Nyo Kong-lim, rencananya kedua
betul2 menjadi kapiran.
Tapi hal itu termasuk dibagian belakang dari cerita ini.
Sekarang mari kita ikuti bagaimana sisembrono Nyo Konglim menghadapi Kui-ing-cu. Tahu dengan siapa dia
berhadapan, ketua Hoa-san itu tak berani memaki lagi. Tapi
sebaliknya Kui-ing-cu malah menagih, ujarnya: ,Bocah
gede, mengapa kau tak jadi memaki keledai gundul ?"
Nyo Kong-lim usap2 kepalanya yang kelimis, lalu
meringis: "Bagaimana aku ini, kalau nanti ketemu orang?"
"Jangan kuatir," sahut Kui-ing-cu sembari lolos
jubahnya, "pakailah ini, setengah atau satu tahun menjadi
hweshio apa keberatannya?"
Sisembrono terpaksa menurut lalu tukar2an pakaian
dengan Kui-ing-cu. Tapi oleh karena tubuhnya tinggi besar,
maka jubah itu hanya sampai kebatas lutut saja. Sudah
tentu hal ini makin mengocok perut siapa yang melihatnya.
"Bocah gede, siapakah panggilanmu ?" tanya Kui-ing-cu
setelah itu, "Aku yang kasar ini orang she Nyo nama Kong-lim,
orang menggelari Thiat-kim-kong (sibesi keras)!"
Mendengar nama itu, Kui-ing-cu agak terkesiap. Kaum
persilatan menyohorkan sisembrono itu seorang lelaki yang
perwira dan jujur. Diam2 diapun taruh perindahan dan
sesalkan perbuatannya tadi. Tapi karena olok2 tetap olok2
atau nasi sudah menjadi bubur, jadi sukar untuk menarik
kembali. Syukurlah, dia hanya mencukur rambut kepala
dan separoh rambut janggutnya serta tak keliwat merugikan
orang. Nyo-heng, tadi aku keliwat kurang adat, harap suka
maafkan!" Melihat perobahan sikap orang, Nyo Kong-lim pun sesali
dirinya sendiri. Kalau tadi dia tak begitu sembrono
mengoceh, tentu takkan mengalami pengalaman pahit
seperti itu. "Cianpwe mengapa begitu merendah!" sahutnya
ter-sipu2. Tu lihat! Baru beberapa detik yang lalu, keduanya masib
bersitegang leher pukul2an, kini sudah saling begitu
mengindahkan. Kui-ing-cu tertawa, ujarnya: ,Jangan Nyoheng merendah juga, tadi permainanmu ruyung, sudah
cukup sempurna. Keras dan dahsyat sudah cukup
memenuhi syarat, tapi dalam soal kelemasan dan
ketenangan masih kurang. Bagaimana pendapat Nyo heng
sendiri ?"
Nyo Kong-lim penasaran hatinya. Tapi terkilas pula lain
pikiran dalam hatinya, turut anggapan kaum persilatan ilmu
kepandaian dari Kui-ing-cu itu telah mencapai batas yang
sukar diukur. Dia sendiripun pernah mendengar bagaimana
dengan dibantu dari jauh oleh tokoh itu, Yan-chiu telah
berhasil mengalah ketiga tianglo dari Ci-hun-si. Dia merasa
bakatnya terbatas, jadi sukar untuk memperoleh kemajuan
lagi dalam ilmu lwekang, maka bukankah itu suatu
keberuntungan besar kalau dia sampai bisa mendapat
pengajaran beharga dari tokoh lihay itu" Dengan
kesimpulan itu, buru2 dia menyahut: "Kiranya sukalah
cianpwe memberi petunjuk yang berharga."
Habis berkata, dengan tanpa diminta lagi dia terus
menyerahkan sam-ciat-kun pada Kui-ing-cu, siapa tampak
tertawa saja dan berkata: "Orang katakan kau ini limbung,
tapi ternyata tidak!"
"Harap cianpwe jangan menertawakan!" kata Nyo Konglim dengan merah kemaIu2an. Tiba2 wajah Kui-ing cu
berobah sungguh2 dan berkata: "iImu sam-ciat-kun itu,
berasal dari pengajaran Cin Siok Po itu orang gagah no. 7
pada jaman ahala Tong. Orang hanya mengetahui kalau
Cin Siok Po itu hanya pandai menggunakan tombak, tapi
siapapun tak mengetahui kalau pada waktu dia belajar ilmu
silat, per-tama2 adalah belajar ilmu sam-ciat-kun ini. Ilmu
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
permainan itu, disebuat "sam liong toh cu" (3 naga berebut
mustika). Keindahannya terletak pada perbawa kekerasannya yang mengandung gaya kelemasan juga.
Sebatang sam-ciat-kun dapat dipergunakan menjadi 3
batang tongkat pendek. "Kau lihatlah!"
Nyo Kong-lim seperti orang mengimpi kala mendengarkan uraian itu. Diapun segera pasang mata
mengawasi betul2. Begitu Kui-ing-cu tegak, sam-ciat-kun itu
segera pe-lahan2 naik keatas, tampaknya lemah tak
bertenaga. Tapi sekali tangan Kui-ing-cu diturunkan, Nyo
Kong-lim terbelalak kesima. Biasanya kalau orang dapat
menggunakan dua batang kun dari sam-ciat-kun itu untuk
menyerang lawan, itu sudah tergolong lihay sekali. Tapi
gerakan Kui-ing-cu itu, dapat membuat batang kun yang
ditengah, bergerak menjulur juga. Kalau dijulurkan sampai
jauh, dapat mengundurkan 3 orang musuh. Kalau hanya
dekat saja dapat menyerang sekali gus 3 bagian tubuh
lawan. Kesaktiannya bukan alang kepalang.
Oleh karena Nyo Kong-lim sudah mempunyai dasar
kokoh dalam ilmu sam-ciat-kun itu, jadi sekali lihat, dia
dapat mencatatnya dalam hati. Habis itu, Kui-ing-cu
mainkan jurus kedua, begitulah dalam sesingkat waktu, 14
jurus telah dia mainkan semua. Setiap jurus mengandung
kesaktian2 yang sukar dilukis. Nyo Kong-lim juga seorang
yang gemar mati2an pada ilmu silat, maka apa yang
dipertunjukkan Kui-ing-cu itu telah membuatnya kegirangan setengah mati. Dia tumplek betul2 seluruh
perhatiannya untuk mengingat setiap gerak dari permainan
yang gayanya lain dari yang lain. Begitu selesai, dia terus
hendak meminta sam-ciat-kun itu guna berlatih satu kall,
'tapi tiba2 ada seseorang berteriak keras: "Kui-ing-cu,
berikan sam-ciat-kun itu, Sam-thay-ya mau berlatih
sebentar!"
Nyo Kong-lim terperanjat sekali. Dikiran ya kalau
mulutnya yang mengucap perkataan itu tanpa disadarinya.
Karena memang dalam kebatinan dia memikir hendak
mengatakan begitu. Tiba2 terdengar suara menderu dan
muncullah seorang tua kate. Rambut janggutnya, menjulai
panjang sampai ketanah, tangannya mencekal sehelai sabuk
hijau yang dijulur surutkan. Entah benda apa yang dibuat
main2 itu ! Tapi Kui-ing-cu segera "memberikan" sam-ciat-kun itu
kepada siorang kate dengan sebuah serangan sam-liong-tohcu jurus pertama, yakni yang disebut cu-kong-theng-yau
(sinar mustika menjulang keatas) "Sik Lo-sam, apa
hukumannya orang yang mencuri lihat pelajaran lain orang!" serunya.
Wut......, tiba2
tubuh sikate melambung keatas menghindar. "Kui-ing-cu, bilamanakah kau menerima murid seoranghweshio " Mengapa tak mengundang Sam-thay-ya ?" gelak
tertawa sikate membatu roboh. Wajah Nyo Kong-lim
merah padam, sebaliknya Kui-ing-cu tanpa menyahut
sepatahpun, lalu jolokkan sam-ciat-kun keatas.
"Celaka pantatku ! Kui-ing-cu, kalau kau tak hentikan
seranganmu, akan kulepas ceng-ong-sin untuk menggigitmu
!" Sik Lo-sam ber-kaok2 gugup. Dan ternyata ancamannya
itu berhasil. "Sik Lo-sam, dari mana kauperoleh ular sakti itu ?" seru
Kui-ing-cu sembari hentikan serangan.
Sik Lo-sam ter-kekeh2 girang, sahutnya: "Sudah tentu
Sam-thay-ya punya akal!"
"Katakan dulu, hukuman apa karena kau mencuri lihat
permainanku sam-ciat-kun tadi ?" tanya pula Kui-ing-cu.
Seperti telah diterangkan dibagian muka, sikate Sik Losam itu, sangat senang ilmu silat seperti jiwanya. Seperti
tempo dipulau kosong tempo hari, dia paksa Tio Jiang
mengajarkan ilmu pedang "to-hay-kiam-hwat." Kebetulan
tadi dia bersemburnyi disekitar situ dan dapat mencuri lihat
permainan sam-ciat-kun yang luar biasa dari Kui-ing-cu, hal
mana telah membuat girang aetengah mati. "Sam-thay-ya
tak dapat memikir, kau katakanlah !" sahutnya.
"Kalau suruh aku yang mengatakan, dikuatirkan kau tak
mau menuruti !" kata Kui-ing-cu pula. Tapi Sik Lo-sam itu
lebih linglung lagi dari Nyo Kong-lim. Dibikin panas oleh
Kui-ing-cu tanpa banyak pikir serentak dia berseru dengan
geram: "Siapa katakan Sam-thay-ya bermulut lancang
(palau) ?"
"Bagus, memang siapakah yang tak tahu kalau Sik Losam itu seorang lelaki sejati, bilang satu tetap satu. Kini
terimalah hukumanmu: serahkan ceng-ong-sin itu kepadaku!!!"
"Kentut !" menjerit Sik Lo-sam serentak.
"Ha...., ha...., benar tidak kalau kau ini seorang bermulut
lancang !" Kui-ing-cu menertawainya.
"Baik, mari ambillah!" Sik Lo-sam menjerit seraya
ayunkan tangan. Ditimpah cahaya rembulan, seutas sinar
hijau melayang kearah Kui-ing-cu. Orang aneh ini letakkan
sam-ciat-kun, lalu tegak berdiri memandang kemuka deagan
penuh perhatian. Sebelum sinar hijau itu melayang tiba, dia
sudah maju menyongsong untuk julurkan kelima jarinya
tangan kiri dan tali hijau itu segera terjepit, lalu melingkar2
dijari, tapi secepat itu tangannya kanan segera memijat
sebelah ujung tali itu. Tali itu ternyata adalah seekor ular
tiok-yap-ceng yang besarnya hanya sama dengan sebuah jari
tangan tapi panjangnya hampir dua meter !
Pada lazimnya ular tiok-yap-ceng itu hanya 7 atau 8 dim
panjangnya, itu saja kalau menggigit tentu membinasakan
orang. Tapi siraja tiok-yap-ceng itu begitu panjang,
kepalanya berbentuk segi tiga, lidahnya semerah darah, jadi
bagaimana ganasnya dapat di-kira2kan sendiri. Setelah
memereksa sejenak, berkatalah Kui-ing-cu: "Sik Lo-sam,
dengan meminta ceng-ong-sin darimu, kau tentu penasaran..."
"Sudah tentu penasaran !" tukas Sik Lo-sam dengan
kontan. Kui-ing-cu tertawa, ujarnya: "Tentu merugikan jerih
payahmu mencarinya!"
"Jangan pura2 jadi orang baik ! Setengah tahun yang
lalu, sebenarnya sudah dapat kutangkapnya, tapi telah
diganggu oleh sitengeng Tio Jiang. Coba kala itu aku sudah
berhasil menangkapnya, tentu tak kan kau hukum begini.
Biar kucari anak tengeng itu nanti!" sahut Sik Lo-sam.
Diam2 Kui-ing-cu mengeluh, kalau benar orang kate
limbung itu mencari Tio Jiang, anak itu tentu bukan
lawannya. "Kau sendiri yang bersalah, mengapa timpahkan
lain orang" Lekas fahamkan ilmu kun-hwat!" serunya.
Sik Lo-sam buru2 memungut sam-ciat-kun, lalu mulai
berlatih. Dari samping Kui-ing-cu memberi petunjuk mana2
yang kurang benar, hal mana membantu banyak bagi Nyo
Kong-lim juga untuk memahami ilmu permainan kun
tersebut. Haripun sudah terang tanah dan tiba2 teringat
Kui-ing-cu akan The Go, katanya: "Sik Lo-sam, ilmu kunhwat ini sangat sakti. Kau harus mencari tempat yang sunyi
untuk menyakinkannya lagi, baru dapat kau fahami benar2.
Hayo! lekas pergi sana!"
Sik Lo-sam yoing sangat linglung itu, mengira kalau
ucapan Kui-ing-cu itu sesungguhnya, maka sekali berseru
"Ha-ya, Sam-thay-ya akan pergi!", dia cepat angkat kaki.
Setelah itu, baru Kui-ing-cu memberitahukan kepada Nyo
Kong-lim tentang yang didengarnya dirumah penginapan
tadi. "Hai, kemarin ketika berjumpa dengan siaoko dan
siao-ahthau, merekapun mengatakan begitu. Hayo, kita
harus lekas2 cari si The Go!" seru Nyo Kong-lim dengan
kaget. Bergegas2 keduanya balik kerumah penginapan.
Siapa nyana, ketika ditanya sikuasa penginapan hanya au a-u tak dapat ber-kata2 demi nampak kedatangan kedua
orang itu. Ya, mengapa kini siorang tinggi besar (Nyo
Kong-lim) berobah menjadi hweshio, sebaliknya siorang
kurus (Kui-ing-cu) dari hweshio berganti menjadi orang
preman" Setelah pulih kejutnya, barulah sikuasa itu
menerangkan bahwa orang she The itu sudah meninggalkan
tempat itu. Kui-ing-cu dan Nyo Kong-lim melakukan
pengejaran sampai berpuluh li, tapi tak berhasil.
"Anak itu licin benar" akhirnya Kui-ing-cu terpaksa
mengakui. Nyo Kong-lim tuturkan juga bagaimana Thaysan sin-tho Ih Liok, Ceng Bo siangjin dan dia sendiri pernah
merasakan muslihat orany, she The itu. "Sayang, anak
muda yang secerdik itu, telah memilih jalan sesat!" Kui-ingcu memberi komentar. Nyo Kong-lim usulkan supaya
menuju kegunung Sip-ban-tay-san.
"Apakah Nyo-heng mengetahui tempat kediaman suku
Thiat-theng-biau itu?" tanya Kui-ing-cu. Atas pertanyaan itu
Nyo Kong-lim menerangkan, turut keterangan Tio Jiang,
suku Biau itu bertempat tinggal dipuncak Tok-ki-nia. Kuiing-cu terperanjat dan menegaskan.
"Ya, memang Tok-ki-nia, apakah cianpwe mengetahuinya?"
sahut Nyo Kong-lim. Kui-ing-cu menggeleng kepala, ujarnya: "Hanya pernah mendengar
cerita orang saja yang mengatakan bahwa Tok-ki-nia
(puncak tunggal) itu sebenarnya disebut Bu-ki-nia (tanpa
puncak). Tiada yang berani menghuni tempat itu. Jangan2
hal itu disebabkan karena disitu ditinggali suku Thiat-thengbiau itu !"
Nyo Kong-lim menyatakan tak jelas, lalu ulangi usulnya
supaya menuju kesana saja. Kui-ing-cu sayang akan
kecerdikan The Go. Mungkin kalau diinsyafkan anak muda
itu akan dapat kembali kejalan yang benar. Maka diapun
setuju. Ketika lewat disebuah hutan bambu, Kui-ing-cu
mengambil sebatang bambu untuk memasukkan ular cen
sin-ong kedalamnya. Setelah itu mereka lanjutkan
perjalanan lagi kegunung Sip-ban-tay-san.
Kini kita ikuti perjalanan Tio Jiang dan sumoaynya.
Ketika itu mereka berpapasan dengan Nyo Kong-lim, lalu
menceritakan peristiwa The Go. Setelah itu mereka
lanjutkan perjalanan lagi ke Sip-ban-tay-san, sedang Nyo
Kong-lim hendak mencari Ceng Bo.
Tak antara berapa lama kemudian, karena hari sudah
mulai gelap, bermula Yan-chiu mau mengajak cari rumah
penginapan, tapi Tio Jiang menolak karena harus lekas
sampai ditempat tujuan. "Apakah perut kita ini juga tak
perlu diisi ?" bantah Yan-chiu dengan mulut menjebir, Tio
Jiang lekas2 mengeluarkan dua potong roti kering dan
menyuruh Yan-chiu mendaharnya.
"Siapa suruh makan roti yang sedemikian kering dan
keras itu. Aku ingin dahar daging yang empuk lezat!" Yanchiu marah2. "Adikku yang baik setelah selesai urusan ini, nanti aku
tentu menemanimu makan. Karena urusan ini sangat
penting, kita harus lekas2 lanjutkan perjalanan ?"
Tio Jiang coba menjelaskan.
"Urusan apa yang kau anggap sedemikian penting itu ?"
"Siao Chiu, kau ini bagaimana " Lian suci kena
halangan, mengapa tak mau lekas2 menolong ?" seru Tio
Jiang sambil hentikan langkah. Dulu kalau didengarnya
sang suko menggigau nama "Lian suci", Yan-chiu hanya
anggap dia itu ter-gila2, pantas diketawai. Tapi kini serta ia
sendiri terjerat asmara kepada sang suko, sudah tentu
hatinya menjadi tertusuk. Tapi karena memang sifatnya
suka mengolok orang, maka iapun berlaga pilon, tanyanya :
"Halangan apa sih ?"
"The Go tentu setuju usul Tan It-ho untuk menyerahkan
Lian Suci kepada Kit-bong-to!" sahut Tio Jiang seraya
mem-banting2 kaki. Yan-chiu tetap mau menggodanya:
"Bagaimana kau tahu kalau The Go tentu menuruti usul
Tan It-ho" Taruh kata menurut, diapun tak nanti dapat
datang lebih dahulu dari kita! Dan andaikata mereka
ternyata telah mendahului kita pun Lian suci itu bukan
seorang anak kecil, masa menuruti saja segala kehendaknya?"
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dibombardeer oleh Yan-chiu, sesaat Tio Jiang melongo
karena tak dapat ber-kata2. "Tapi biar bagaimana juga,
kalau belum tiba di Tok-ki-nia, rasanya aku tak dapat
makan enak, tidur pulas!" akhirnya Tio Jiang meradang.
Tapi si genit tak ambil pusing, malah senang melihat
sukonya mulai uring2an itu. "Suko, dalam lubuk hati Lian
suci hanya di tempati oleh The Go seorang. Dimisalkan kau
berhasil menolong, iapun tak mau menjadi isterimu,
mengapa kau begitu ngotot ?"
Lagi2 Tio Jiang knock-out. Tapi sekilas berpikir, dia
segera menyahut: "Siao Chiu, omonganmu itu salah. Lian
suci adalah saudara seperguruan kita, apalagi puterinya
subo. Suhu telah melimpahkan budi sebesar gunung pada
kits, masa kita hanya berpeluk tangan saja " Kau sangka,
karena cinta saja maka aku begini ter-buru2 " Aku tak
bermaksud menikah padamu, tapi mengapa aku menolongmu didasar lembah tempo hari ?"
Kini giliran Yan-chiu yang terpukul kena, hatinya seperti
disiram es. "Suko, mengapa kau berkata sembarangan
begitu " Siapakah yang mempunyai hasrat menjadi isterimu
?" katanya. dengan wajah ke-merah2an. Karena Tio Jiang
mengatakan kata2nya yang menusuk tadi, terpaksa untuk
menutup malu, Yan-chiu juga balas mengejeknya,
walaupun itu berlawanan dengan suara hatinya. Tapi
setelah mengucap begitu, dia terdiam lalu berjalan lagi.
Sampai sekian besarnya, baru saat itu dia merasa
berkenalan dengan apa yang dikatakan 'derita kalbu'.
Tio Jiang terkejut, dia merasa tak mengatakan apa2 yang
kurang sedap didengar, mengapa sumoaynya marah begitu
" Ketika menyusul langkah sang sumoay, tampak pada
sepasang mata sigenit itu ber-linang2 air mata, tampaknya
seperti orang yang menderita. Pikir Tio Jiang, mengapa tadi
sangat menyakiti hatinya " Jangan2 apakah ...........apakah.......
Bagaimana tololnya seorang pemuda, tapi dalam
keadaan seperti itu, dapat juga Tio Jiang menarik
kesimpulan. "Adakah Siao Chiu itu diam2 menaruh hati padaku "
Kalau tidak, masa mendengar kata2ku 'tak bermaksud
menikahnya', dia lantas begitu murung tampaknya ?"
demikian sesaat Tio Jiang berpikir, tapi pada lain saat, dia
membantah sendiri: "Ah, tidak. Bagaimana bisa begitu "
Jangan2 dia sendiri yang melamun tak keruan, salah2 bisa
menerbitkan buah ketawaan !"
Dengan pikiran begitu, Tio Jiang tak terlalu menaruh
dihati terhadap kejadian itu. Ah, Tio Jiang, Tio Jiang,
mengapa kau tak mengerti hati seorang dara "
Saat itu Yan-chiu kencangkan larinya. Dua tetes air
mata, tak dapat dicegah mengalir dari kelopak matanya.
Diam2 ia bersyukur bahwa ketika didalam bio tadi dia tak
jadi membuka rahasia 'memalsu jadi Bek Lian'. Teranglah
sukonya itu tak menaruh hati padanya, kalau sampai
mengetahui rahasia itu, dia tentu akan gusar. Tanpa terasa
tangannya merogoh kedalam baju untuk meraba butir
mustika batu puayam (giok) yang pada malam itu Tio Jiang
memberikannya karena menganggap dirinya (Yan-chiu) itu
adalah Bek Lian sesungguhnya. Setelah meraba, ia menarik
napas panjang. Selama ber-tahun2 berkumpul dengan Yan-chiu diatas
gunung, sumoaynya itu adalah seorang gadis periang yang
lincah. Dimana Yan-chiu tampak, disitulah la tentu
membawakan tertawa. Maka betapa herannya ketika dilihat
sang sumoay itu mengucurkan air mata dan menghela
napas panjang. Tapi sedikitpun Tio Jiang tak menduga
kalau sang sumoay itu telah kucurkan air mata jeritan
kalbu! Singkatnya setelah beberapa hari menempuh perjalanan,
sampailah mereka dikaki gunung Sip-ban-tay-san.
Dinamakan Sip-ban-tay-san atau selaksa gunung, karena
pegunungan itu mempunyai puncak yang tak terhitung
jumlahnya, dihias dengan hutan belantara yang membujur
dari Kwitang sampai ke Kwisay.
Ketika mendongak mengawasi keatas, puncak2 dari
pegunungan itu sama menjulang dengan megah dan angker.
Dikaki gunung situ tiada perdesaan sama sekali, jadi masih
tetap belantara yang belum dihuni orang. Yang ada hanya
beberapa rumah kediaman pemburu, dengan didekatnya
ada sebuah saluran air kecil. Setelah memutari sekali
namun tak berhasil menemukan jalanan, berkatalah Tio
Jiang "Siao Chiu, mari kita tanya pada penduduk disini
saja!" Dalam beberapa hari ini, Yan-chiu telah mengambill
putusan untuk mengikis bibit asmara yang bersemi dalam
hatinya. Namun 'Amour vincit omnia' atau Cinta
menangkan segala', demikian kata sebuah peribahasa.
Jangan lagi hanya seorang Yan-chiu, sedangkan seorang
dewa atau maha wiku yang salehpun, masih sering sukar
untuk menangkis serangan panah asmara. Makin ingin
melupakan, makin keras sang hati meronta.
"Mengapa aku harus mengalami penderitaan, ini"
Terang dia hanya menyintai Lian suci, mengapa aku tak
dapat melupakannya?" demikian pertentangan yang
terdapat dalam hati Yan-chiu selama beberapa hari dalam
perjalanan itu. Oleh karena keras memikiri, dalam beberapa
hari ituu saja, tubuhnya bertambah kurus. Tio Jiang mau
menanyakan jalanan, hanya dijawab dengan tawar saja.
"Apakah didalam rumah ini ada penghuninya" Tolong
tanya sebentar!" seru Tio Jiang ketika sudah berdiri dimuka
pintu sebuah pondok. Seorang muncuI dari dalam pondok
itu. Setelah sekian jenak Mengawasi Tio Jiang, orang itu
menyahut: "Siaoko, kau hendak perlu apa?"
Melihat dandanan orang itu sebagai seorang pemburu,
Tio Jiang terangkan maksud keperluannya: "Tolong tanya,
apakah To k-ki-nia masih jauh dari sini?"
Orang yang memakai celana kulit macan tutul,
tangannya mencekal sepasang senjata garu untuk berburu
dan wajahnya jujur, tiba2 berobah wajahnya, sahutnya:
"Siaoko, apa kau hendak ber-olok2 dengan aku ?"
"Tidak!" serentak Tio Jiang menyahut ter-sipu2. Tapi
sipemburu hanya tertawa tawar, lalu merogoh keluar
selembar kulit kelinci untuk menggosok senjatanya. Tio
Jiang tertumbuk, fahamnya, tak tahu harus bagaimana.
Adakah penduduk disitu itu sedemikian koukati (egois)
wataknya, hingga sampai jalanan saja tak mau menunjukkan" Demikian pikir Tio Jiang. "Berhubung laoko
lama menetap disini, rasanya tentu mengetahui letak
puncak Tok-ki-nia itu, maka dapatkah sekiranya laoko
memberitahukan padaku ?" Tio Jiang terpaksa ulangi lagi
permintaannya. "Siaoko! Jika kau terus ngaco belo, aku tak mau sungkan
lagi," bentak sipemburu sambil deliki mata. Sampai disitu,
Yan-chiu tak kuat hatinya lagi. "Suka tidak memberitahukan jalan, itu terserah padamu. Jangan jual
gertak! Apa kau kira tiada lain, orang kecuali kau yang
dapat memberitahukan?" sahut Yan-chiu.
Sipemburtu tertawa dingin, sahutnya: "ya, memang
silahkan saja tanya pada lain rumah!"
Tengah mereka ribut2 itu, tiba2 dari dalam rumah
terdengar suara orang batuk2. "A-ji, siapa yang kau ajak
ribut2 itu?" menyusul suatu suara orang tua berseru.
Sipemburu yang ternyata bernama A-ji itu segera
menyahut: "Ayah ada dua orang hendak menanyakan Tok
........ " baru sampai disitu, tiba2 dia berhenti, tak mau
melanjutkan nama Tok-ki-nia itu selengkapnya.
Melihat gelagat itu, timbul kecurigaan Yan-chiu. Tapi ia
segera mendapat kesan lain, mungkin karena suku Thiattheng-biau itu keliwat ganas, maka rakyat setempat menjadi
ketakutan. Memang mana ia bisa mengetahui akan bom
waktu yang dipasang oleh Lim Ciong yang sudah sekarat
itu " Pada saat itu, dari dalam ruangan tengah, muncul
seorang tua dengan mencekal sebatang tongkat. Menurut
taksiran, dia sudah berumur 80-an tahun. "Ada apa dengan
kedua tetamu itu ?" tanyanya. Sipemburu muda
menyilahkan supaya orang tua itu, menanyakan sendiri.
"Lo-yacu (pak tua), mohon tanya dimanakah ke Tok-kinia itu.?" buru2 Tio Jiang maju menghampiri. Ternyata
pendengaran orang tua itu masih tajam, diapun tampaknya
terkesiap. "Apakah kalian ini sudah bosan mempunyai
nyawa ?" katanya balas bertanya.
"Lo-yacu, Iekaslah beritahukan, kami mempunyai
urusan penting!" menyela Yan-chiu dengan tak sabar. Mata
siorang tua menyapu sejenak kearah sinona, ujarnya: "Oh,
kiranya nona ini ahli dalam ilmu silat, 'tu pinggangnya
menyelip pedang. Tigapuluh tahun berselang, pernah aku
bertemu dengan seorang anak muda yang membawa
pedang, hebat nian kepandaiannya .............."
"Mengambil jalan dari mana, harap kau lekas katakan!"
tukas Yan-chiu demi mengira orang tua itu melantur tak
keruan. Tapi siorang tua itu tampak geleng2kan kepala,
tiada mau menyahut. Sebaliknya sipemburu muda tadi tak
kurang sengitnya segera menjawab: "Kalau kamu berkeras
hendak pergi, setelah melintasi gunung ini kemudian 17
buah puncak lagi, barulah kau sampai ke Tok .............. ah,
tapi kita pun hanya menurut keterangan orang saja, dan
belum pernah kesana sendiri."
Tio Jiang tak mau membuang tempo lagi. Begitu
mengucapkan terima kasih, dia terus ajak sumoaynya
berlalu. Masih terdengar siorang tua itu berkata sendiri kepada
anaknya itu: "Tempat itu, tiada seorang yang berani
mendatangi. Tigapuluh tahun yang lalu, anak muda yang
pergi kesana itu belum tampak kembali lagi !" Mau tak mau
Tio Jiang menanyakan pikiran sang sumoay, tapi nona
genit yang tak kenal takut itu hanya menyahut bahwa
mungkin penduduk disitu takut akan keganasan suku Thiattheng-biau. Begitulah dalam waktu tak lama saja, keduanya
sudah melintasi 5 buah puncak.
Kala. itu sudah tengah hari, untuk melepaskan lapar dan
dahaga. Mereka makan ransum kering dan minum air mata
air. Keadaan ditempat situ, lelap sekali. Sana-sini penuh
ditumbuhi dengann ber-macam2 puhun aneh yang
diramaikan oleh kicauan kawanan burung. Puncak yang
menjulang dihadapan mereka sana, tampak dibungkus
dengan kabut yang tebal, hingga memberi kesan yang
seram. "Siao Chiu, dalam menghadapi perjalanan
selanjutnya, kita harus hati2, kata Tio Jiang sehabis
mengawasi pemandangan dipuncak itu.
"Mati ada lebih baik!" sahut sinona.
Mendengar itu Tio Jiang terkesiap, tanyanya: "Sumoay,
mengapa kau berkata begitu?"
Tapi Yan-chiu ibarat orang yang sudah sunyi hatinya,
maka dengan segan ia menyahut: "Kalau tetap kukatakan
begitu, habis mau apa?"
Tio Jiang terbentur batu, cep kelakep tak bisa berkata
apa2. Demikianlah keduanya lalu melanjutkan perjalanannya lagi. Menurut perhitungan rnereka kini sudah
medaki 10 buah puncak dan haripun sudah gelap. Oleh
karena sangat berbahaya melakukan perjalanan malam,
terpaksa mereka mencari sebuah gua untuk ternpat
beristirahat. Setelah mencari ranting2 kayu untuk dijadikan
alas pembaringan, begitu menggeletak. Yan-chiu terus
menggeros. Melihat beberapa hari ini Yan-chiu selalu kurang senang,
Tio Jiang mengira kalau disebabkan setiap hari hanya
makan roti kering saja. Maka dia tak mau turut tidur,
melainkan hendak mencari beberapaa ekor binatang yang
hendak dibakarnya untuk Yan-chiu. Tak seberapa jauh dari
situ, dia berhasil menangkap dua ekor kelinci. Laksana
seorang pahlawan pulang membawa kemenangan, dia bergegas2 pulang. Tiba2 ketika sampai ditengah perjalanan
dilihatnya ada sebuah batu besar yang berbeda dengan
lain2nya. Batu itu tampaknya licin bersih, seperti dipangkas
orang. Dengan keheranan, dia maju menghampiri. Kiranya
batu itu empat pesegi bentuknya, penuh ditumbuhi pakis
(lumut). Karena tak ada lain2 keistimewaan pada batu itu,
maka Tio Jiang segera hendak berjalan lagi. Tapi selagi dia
memutar tubuh, tiba2 matanya tertumbuk akan sesuatu
yang aneh. Ternyata salah satu ujung batu tersebut yang
menempel pada gunung, berlainan dengan ketiga ujung'
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lainnya. Tampaknya seperti tak rata, macam pahatan huruf.
Maka dihampiri pula dan dari dekat memang bagian yang
legak-leguk itu mirip benar dengan huruf. Karena ditutupi
oleh pakis yang tumbuh tebal2 diatasnya, jadi tak kelihatan
jelas. Saking ketarik, Tio Jiang letakkan kelinci lalu mengusap2 pakis dan kiranya memang disitu tampak ada
duapuluh huruf yang berbunyi: "Biji kuning didalam batu,
seribu tahun kemudian boleh dimakan, benda itu jarang
terdapat, membuat tubuh enteng umur panjang, siapa yang
berjodoh pasti dapat menemukannya." Sedang pada bagian
bawah terdapat dua buah tanda tangan Tat Mo.
Bermula Tio Jiang tak mengerti apa yang disebut biji
kuning itu. Tapi demi dilihatnya tulisan itu ditulis dengan
guratan jari, dia sangat terperanjat. Suatu ilmu lwekang
yang belum pernah didengar seumur hidupnya. Dan ketika
melihat nama dari tanda tangan itu, dia berjingkrat kaget.
Teringat dia apa yang pernah dikatakan sang suhu. Tat Mo
Cuncia itu orang dari Thian-tiok (India) yang datang ke
Tiongkok pada ahala Tang Cin. Dia pernah menjadi paderi
digereja Kong-hau-si di Kwiciu, kemudian dengan gunakan
kepandaian ilmu mengentengi tubuh yang tinggi dia dapat
melintasi sungai menetap digereja Siao Lim Si Hokkian.
Sembilan tahun lamanya dia bertekun menghadapi tembok,
akhirnya berhasil memiliki suatu ilmu lwekang yang sakti.
Sejak itu, entah tiada ketahuan rimbanya. Adakah benar2
dia Pernah bertamasya kegunung Sip-ban-tay-san situ dan
tinggalkan tulisan itu"
Tanpa menghiraukan kelincinya lagi, Tio Jiang serentak
ber-lari2 kegua untuk mendapatkan Yan-chiu. "Siao Chiu,
lekas ikut aku, ada sebuah benda mustika!" serunya sambil
mlengguncang lengan sumoaynya. Tapi sinona itu hanya
sekali buka matanya dengan kurang senang, lalu tidur lagi.
Tio Jiang meng-guncang2kannya lagi. "Ada apa sih?"
tanyanya dengan acuh tak acuh. Tapi demi Tio Jiang
tuturkan apa yang dilihatnya tadi, Yan-chiu terbeliak kaget.
"Jadi diatasnya tertulis 'biji kuning dalam batu' ?"
tanyanya menegas. Tio Jiang mengiakan.
Dalam soal ilmu surat, Yan-chiu lebih pandai. Dia
banyak membaca buku2. "Dalam kitab Poa-bu-cu ada
tertulis, biji kuning dalam batu itu hanya terdapat didalam
batu besar. Kalau batu itu dipecah, maka akan tampak
sebuah benda merah ke-kuning2an, mirip dengan kuning
didalam telur. Kalau tak lekas2 disantap, benda itu akan
keras menjadi batu," akhirnya Yan-chiu berkata. Atas
pertanyaan sang suko tentang khasiat makan biji kuning itu,
Yanchiu menerangkan bahwa benda itu merupakan suatu
mustika yang jarang terdapat didunia. Barang siapa yang
menyantapnya akan bertambah panjang usianya serta
tubuhnya akan menjadi enteng sekali.
"Bagus, Siao Chiu, lekas mari ikut aku, biar kau yang
memakannya!" seru Tio Jiang dengan gembira. Melihat
kebaikan budi sang suko yang sedemikian besar itu,
tergeraklah hati Yan-chiu, pikirnya mengeluh: "Huh, tolol
lu. Apakah kau kira dengan memperoleh mustika itu hatiku
menjadi gembira" Hem....., hanya kalau kau ucapkan
sepatah kata 'aku cinta padamul kepadaku, barulah hatiku
benar2 menjadi gembira!"
Demi tiba disana, Yan-chiu menyatakan sukarnya untuk
memecah batu sebesar itu. Tio Jiang coba gunakan lwekang
untuk menghantam, namun batu itu sedikitpun tak
bergeming. "Percuma saja, kurasa diatas bumi ini hanya
ada sepasang pedang dari suhu dan subo yang dapat
digunakan untuk membelahnya. Ilmu lwekang yang
bagaimana lihaynya tetap tak dapat mengerjakannya,"
akhirnya Yan-chiu menyatakan pendapat. "Benar, kita,
harus cari suku Thiat-theng-biau itu, kalau si The Go belum
keburu datang, kita rebut juga pedang itu dari Kit-bong-to!"
kata Tio Jiang.
Begitulah kedua suko dan sumoay itu lalu kembali lagi
kedalam goanya.
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 26 : ORANG UTAN
Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan lagi.
Tetapi tiada seorang manusiapun yang mereka jumpai.
Puncak gunung yang didakinya itu, makin jauh makin
tinggi, maka menjelang petang hari mereka baru tiba
dipuncak yang ke 17. Mendongak keatas, tampak puncak
gunung yang ke 17 itu sangatlah tingginya. Tio Jiang heran
mengapa dipuncak situ, yang menurut anggapannya adalah
puncak Tok-ki-nia, tiada terdapat seorangpun juga.
"Hayo kita naik keatas!" seru Yan-chiu setelah
mengawasi sejenak.
Pada hari itu karena naik turun 7 buah gunung yang
tinggi2, keduanya merasa lelah sekali. Sampai dipuncak,
mereka makin lelah dan duduk disebuah batu karang besar.
Angin disitu meniup kencang, sehingga, keduanya merasa
agak kedinginan. "Mengapa tiada seorangpun disini, adalah
kita ini tersesat ?" lagi2 Yan-chiu menggerutu.
Tapi baru saja ia ucapkan kata2 itu, dari tengah lereng
gunung dibawah sana tiba2 terdengar semacam suara
ketawa aneh, menyeramkan sekali. Apalagi karena seat itu
sudah magrib, jadi suasananya makin menakutkan.
Mendengar itu otomatis Yan-chiu duduk merapat disisi
sang suko. Keduanya saling berpandangan, tapi tak berani
membuka mulut. Sesaat kemudian, suara aneh itu lenyap
dan suasana kembali sunyi lelap.
"Suko, suara manusiakah itu?" bisik Yan-chiu. Tio Jiang
yang pasang telinga mendengari, dapatkan kalau suara itu
nyaring dan bening sekali, bukan seperti suara orang. Tapi
dia sendiri tak mengetahui suara apakah itu. Sahutnya:
"Mungkin bukan suku Thiat-theng-biau, sumoay siapkanlah
pedangmu untuk menghadapi segala kemungkinan!"
Kedua anak muda itu kini siap dengan pedang ditangan.
Tak berapa lama kemudian, suara ketawa itu terdengar
lagi. Tapi kali ini suara itu ber-susun2 tak kurang dari 10
tempat munculnya. Kanan kiri, muka belakang sahut
menyahut. "Suko, kawanan orang itu hebat sekali ilmunya
mengentengi tubuh!" kata Yan-chiu. Tio Jiang mengiakan.
Sewaktu tukar bicara itu, mereka tak begitu merasa
ketakutan, maka mereka lalu sambung lagi dengan beberapa
pembicaraan. Lama kelamaan suara2 itu tak terasa
menakutkan kedengarannya. Oleh karena keliwat lelah,
Yan-chiu terus saja rebahkan diri. Tapi baru saja tubuhnya
merebah, tiba2 dilihatnya sekira 3 tombak terpisah dari
tempat situ, seperti tampak ada dua buah lentera hijau bergerak2 kian kemari, sehingga dengan serentak dia bangun
lagi dan menunjukkannya kepada sang suko.
Tio Jiang membungkuk kebawah dan terkejut jugalah ia.
"Sumoay, hati2lah!" bisiknya. Tapi tepat dia mengeluarkan
kata2 itu, se-konyong2 dari semak2 rumput disebelah sana
terdengar suara berisik dan berbareng itu tampak sesosok
bayangan hitam menonjol naik, lebih dari setombak
tingginya. Yan-chiu menjerit kaget dan susupkan kepalanya
kedada sang suko.
"Siao Chiu, jangan takut!" kata Tio Jiang sembari
mengawasi benda itu dengan perdata. Makhluk itu mirip
orang bukan orang, kera bukan kera. Rambutnya terurai
kacau balau, sepasang lengannya panjang hampir sampai
ditanah. Tiba2 Tio Jiang teringat akan sesuatu dan dengan
gugupnya segera berseru: "Siao Chiu, lekas lari! Itulah
orang utan, tentu bukan hanya seekor ini. Ah, makanya
sipemburu tadi tak berani menyebut nama Tok-ki-nia,
kiranya karena disini terdapat orang utan. Larilah lekas,
biar kuhadangnya dial"
Mendengar kata2 'orang utan' hati Yan-chiu makin
gelisah. Pernah didengarnya bahwa binatang ituu termasuk
binatang yang berotak terang, kulitnya keras, tenaganya
bukan kepalang. Mereka paling suka bergerombol, apabila
sudah menetap disebuah tempat, mereka tak mau pergi lagi.
Setiap gerombol tak kurang dari tiga sampai limapuluh ekor
banyaknya. Tenaga dua orang, terang tak dapat melawan.
Tapi kalau disuruh lari sendirian, biar bagaimana dia tak
mau. "Suko, kalau harus binasa, biarlah kita berdua
bersama2!!! sahut Yan-chiu sembari mainkan pedangnya.
Melihat sinar pedang, orang utan itu perdengarkan
ketawanya yang seram. Dengan pentang kedua lengannya
dia maju menubruk Yan-chiu. Saking besarnya tubuh,
tubrukan ituu sampai menerbitkan suara men-deru2. Tio
Jiang dan Yan-chiu lekas2 berpencar menghindar. Karena
tubrukannya kosong, makhluk itu mengaung keras. Tapi
karena tak dapat menguasai gerakannya, binatang itu
menyeruduk kemuka sampai beberapa tombak baru dapat
berhenti tegak lagi. Pada saat itu, Yan-chiu tarik tangan
sukonya untuk diajak bersembunyi diantara batu2 karang.
Melihat kedua anak muda itu lenyap secara tiba2,
kembali orang utan ituu mengaung keras. Menyusul dari
empat penjurupun segera terdengar kumandang suaranya.
Dan sesaat kemudian, dari tengah lamping gunung sanapun
terdengar suara macam begitu. Dari nada suaranya, jelas
kalau beberapa auman itu dari bawah menuju keatas.
Secepat kilat, tiga empat ekor orang utan menyusul datang.
Mereka tampak men-jerit, seperti laku orang yang tengah
berunding. Setelah itu, mereka pencar diri keempat penjuru,
mencabuti rumput dan puhun. Dari sikapnya se-olah2
hendak mencari jejak Tio Jiang dan Yan-chiu. Dahan
sebesar mangkok, dengan mudah dapat diputuskan.
Keparatlah bangsat Lim Ciong itu, dia telah menipu kita
datang kemari. Kalau sampai binasa, aku hendak menjadi
setan untuk mencekiknya mampus!" Yan-chiu meng gigit
giginya bahna gusar.
GAMBAR 51 Dalam keadaan kewalahan, tiba2 Tio Jiang merasa tubuhnya
dipegang sepasang tangan yang kuat, ia kaget ketika melihat
dihadapannya sudah berdiri seekor orang hutan raksasa.
"Celaka, jangan2 Nyo-toa-cecu itu nanti juga kesasar
kesini!" sahut Tio Jiang dengan berbisik. Tengah pikirannya
menimang begitu, se-konyong2 sinar hijau sebesar telur
ayam tadi menyorot kearah matanya. Kiranya tahu2 seekor
orang utan tampak berdiri dihadapannya. Dalam sibuknya,
Tio Jiang segera serangkan pedangnya dengan jurus ,Ho
Pek kuan hay", salah satu dari jurus ilmu pedang To-haykiam-hwat, maju menusuk. Begitu dekat sekali jaraknya
ketika itu, maka bagaimanapun juga lihaynya seorang
musuh, sukar kiranya untuk menghindar dari tusukan itu.
Juga orang utan itu, walaupun tergolong jenis binatang
yang bagus otaknya, namun binatang tetap binatang.
Bet....., demikian kedengaran semacam suara dan kedua
lentera tadi padam seketika. Kiranya tusukan Tio Jiang tadi
telah diarahkan kearah mata. Hasilnya, sebelah mata dari
orang utan itu telah kena tertusuk buta.
Melihat serangannya berhasil, Tio Jiang buru2 tarik Yanchiu untuk diajak bersembunyi kesamping. Tertusuk buta
matanya, saking kesakitan orang utan itu menjadi bluddruk
(darah tinggi alias gusar). Dua buah batu yang beratnya tak
kurang dari 1000 kati, dilemparkan oleh orang utan itu,
sembari mulutnya menggerung keras2. Disana segera susul
menyusul terdengar suara menyambut dann ber-gegas2 naik
keatas. Sudah tentu Tio Jiang dan Yan-chiu makin tak
berani bernapas lagi.
Siorang utan yang terbutakan matanya tadi, masih
mengamuk kalang kabut. Seekor orang utan kecil yang lari
paling muka dari kawanan orang utan yang datang
membantu itu, telah kena disamplok oleh gontaian
sepasang lengannya yang panjang itu, hingga terpental jatuh
sampai kebawah lagi. Sekawan orang utan segera
mengerumuni kawannya yang buta tadi. Mereka sama bercuwit2 dan bercoa2 seperti bicara tingkahnya. Dan
nyatanya, siorang utan yang buta tadi segera berhenti
menghantam kalang kabut. Dengan ber-ingsut2 dia
menghampiri sebatang puhun dan duduk dibawahnya.
Melihat kawanan orang utan itu, lupa Yan-chiu kalau ia
sedang dalam suasana yang berbahaya. "Suko, orang utan
itu menyerupai monyet. Kuat dan menyenangkan. Hayo,
kita tangkap seekor untuk dipelihara!" ujarnya. Tapi
sebaliknya sang suko malah membentaknya: "Siao Chiu,
jangan bicara keras2!"
Kini kawanan orang utan yang baru datang tadi, yang
jumlahnya antara 7 atau 9 ekor, segera mewakili pekerjaan
kawannya yang buta tadi. Mereka mencabuti puhun2 dan
membalikkan batu2, rupanya hendak mencari jejak kedua
anak muda itu. Tapi sampai sekian lama, Tio Jiang dan
Yan-chiu dapat lolos dari mereka. Ini berkat keduanya
menggunakan ilmunya mengentengi tubuh. Dan kedua
kalinya, kawanan orang utan itu mempunyai cacad yang
khas. Mata mereka hanya dapat digunakan memandang
kemuka, tak dapat kekanan kiri. Kalau hendak berpaling
kebelakang atau kekanan kiri, tubuhnya pun harus turut
diputar. Inilah keuntungan dari Tio Jiang berdua, mengapa
sampai sekian lama tak dapat diketemukan.
Tak antara berapa lama, salah seekor orang utan besar
dari kawanan bala bantuan tadi mengaung keras. Mungkin
karena tak menjumpai kedua anak muda tadi, mereka terus
hendak turun gunung lagi. Tio Jiang menghela napas lega.
Tapi kelegahan itu segera berganti dengan rasa kaget yang
tak terhingga, demi menoleh kesamping didapatinya Yanchiu tiada disitu. Mengawasi keseluruh penjuru, kira2
setombak jauhnya dari situ, Yan-chiu tengah mendekap
seekor anak orang utan kecil. Melihat itu Tio Jiang banting2
kaki. Mengapa dalam keadaan jiwanya sendiri masih belum
berketentuan, tapi mau memelihara seekor anak orang utan!
Rupanya anak orang utan itu tak mau, lalu loncat
setombak jauhnya. Dan Yan-chiu yang tak kenal bahaya,
memburunya. Sudah tentu Tio Jiang makin terkejut dan
terpaksa loncat memburu. Tadi sebenarnya orang utan itu
sudah hendak turun gunung lagi, tapi begitu mendengar
suara rintihan anaknya, mereka berpencar mencarinya lagi.
Berbareng dengan tersingkap awan yang menutupi
rembulan, maka suasana dipuncak situ menjadi seperti
siang terangnya. Segeraa mereka selihat seorang nona
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah mengejar seekor anak orang utan. Pecahlah aum dan
gerung yang hebat dan laksana barisan raksasa, kawanan
orang utan itu menyerbu.
Pada saat itu, baru Yan-chiu tersadar. Hendak ia lari
balik, tapi ia telah diputari oleh sekawan orang utan yang
saling bercekalan tangan seperti orang mengedangkan
lengan. Ber-puluh2 mata sebesar telur ayam yang memancar2 cahaya ke-hijau2an, diarahkan kepadanya. Benar
sejak dua bulan yang lalu ini, Yan-chiu mendapat kemajuan
pesat dalam kepandaiannya, tapi menghadapi kepungan
orang utan yang menyerupai hantu malam itu, hatinya
menjadi tercekat dan kakinya serasa lemas tak bertulang.
Pelahan tapi tentu, kawanan orang utan itu maju meng~
hampiri dan lingkungan kepungan mereka menjadi makin
sempit. Biasa dalam keadaan berbahaya, orang tentu timbul
dayanya. Demikian juga Yan-chiu. Setelah empos
semangat, dia enjot tubuhnya melambung sampai satu
tombak tingginya. Baru ia hendak berjumpalitan memblerosot keluar, tahu2 belasan ekor orang utan itu
loncat keatas juga, malah lebih tinggi dari sinona. Yan-chiu
mengeluh, segera, ia berdaya gunakan cian-kin-tui (tindihan
seribu kati) meluncur turun. Dan ternyata berhasil baik.
Sebagai bangsa monyet yang hidup dipegunungan, orang
utan itu hebat sekali kepandaiannya berloncat, jauh
melebihi dari akhli mengentengi tubuh. Tapi mereka tak
dapat menurun lekas2. Maka ketika Yan-chiu sudah
menginjak tanah, mereka masih melayang diatas. Yan-chiu
tak mau berayal, dengan. gunakan gerak "18 kali
bergelundungan ditanah", dia menggelundung setombak
jauhnya. Dan tepat ketika Yan-chiu sudah lolos dari
kepungan, Tio Jiangpun menghampiri datang.
Jika waktu itu, mereka terus lari, rasanya tentu akan
terhindar. Tapi dasar sigenit Yan-chiu seorang anak yang
nakal, maka demi dilihatnya sianak orang utan tadi berada
didekat situ, ia hendak memberi hajaran. "Binatang celaka!"
serunya sembari menghantam, buru2 Tio Jiang menarik
sang sumoay, tapi sudah terlambat. Berbareng dengann
jeritan binatang kecil itu, maka ada tiga empat ekor orang
utan memburu. Malah seekor yang dimuka sendiri, sudah
lantas lancarkan hantamannya kearah Yan-chiu.
Tio Jiang dan Yan-chiu segera menyambutnya masing2
dengan To-hay-kiam-hwat dan Hoan-kang-kiam-hwat.
Namun siorang utan itu deliki mata dan biarkan saja
lengannya dipapas, bluk..... celaka, tidak apa2, nyata kulit
mereka kebal sekali. Tio Jiang sebat sekali sudah mencari
lain sasaran dibagian pantat, namun binatang itu tak
menghiraukannya. Maju selangkah, kelima jari siorang utan
yang hampir satu meter panjangnya itu merangsang hendak
merebut pedang Tio Jiang. Dengan gugup, Tio Jiang surut
kebelakang sembari mengirim pukulan yang tepat mengenai
dada sibinatang. Benar kulit binatang itu tebal dan, keras,
namun karena Tio Jiang, memukul se-kuat2nya, tak urung
orang utan itu menggerung kesakitan. Tujuh atau, delapan
ekor kawannya segera memburu datang.
"Siao Chiu, jangan berpisah lagi!" Dalam keadaan
begitu, sudah tentu Yan-chiu tak berani membantah lagi..
Kini keduanya bahu membahu. Kawanan orang utan itu,
kembali mengepung seperti caranya tadi, saling bercekalan
tangan, sembari maju menghampiri. Tio Jiang menusuk
keperut salah seekor, siapa kedengaran menjerit kesakitan.
Kiranya perut adalah bagian yang lemah dari orang utan
itu.. Lubang kesempatan itu digunakan se-baik2nya oleh
Yan-chiu yang telah berhasil mendesak mundur pengepungnya. Tapi begitu serangannya agak kendor sedikit saja,
kawanan orang utan itu ber-teriak2 keras dan maju
mengepung lagi.
Sehari menempuh perjalanan yang begitu sukar, Tio
Jiang dan Yan-chiu sudah sangat letih. Baru mereka hendak
tidur, atau sudah dipaksa bertempur dengan kawanan orang
utan yang lihay. Maka setelah bertahan setengah jam saja,
keduanya sudah kehabisan tenaga. "Suko, dalam saat2
dimana kita tentu takkan dapat lolos dari bahaya ini, aku
hendak memberitahukan padamu suatu hal penting," tiba2
Yan-chiu mengelah napas. la hendak mencurahkan, isi
hatinya. "Siao Chiu jangan pikiran yang tidak2, hadapilah
musuh, dengan sekuat tenaga!" sahut Tio Jiang yang
pantang menyerah. Tapi diluar dugaan, begitu mendengarkan pembicaraan mereka, kawanan orang utan
itu menjerit keras dan, dari mengepung mereka berganti
menyerang. Karena dari delapan penjuru terdengar
samberan deru serbuan mereka, Tio Jiang dan Yan-chiu tak
dapat menghindar lagi. Dan yang lebih merepotkan Tio
Jiang, waktu itu Yan-chiu sudah tak mau melawan lagi.
Pedangnya dikulaikan dan orangnya menggelandot pada
Tio Jiang. Tio Jiang mengira kalau sumoaynya itu
ketakutan, jadi diapun tak tegah untuk memarahi atau
mendorongnya. Tiba2 ketika dalam saat2 dimana kawanan orang utan
itu sudah mengulurkan tangannya maut, mereka mundur
lagi kebelakang. Sesaat kemudian, maju lagi tapi pada
ketika sudah maju merapat dan hendak julurkan tangan,
mereka mundur lagi. Hal itu terjadi berulang kali. Tahulah
kini Tio Jiang dan Yan-chiu apa sebabnya. Disebabkan
karena tubuhnya sangat besar, maka begitu mereka maju
merapat, tubuhnya saling berbenturan tak dapat mendekati
korbannya. Sebenarnya cukup dua ekor saja yang maju,
tentu bereslah. Tapi dasar binatang, mereka, tak
mempunyai pikiran begitu. Yan-chiu timbul lagi nyalinya.
Untuk keuntungan kedua anak muda itu, keadaan
berobah lucu. Karena belasan kali maju mundur begitu,
kawanan orang utan itu marah sendiri, bukan marah
kepada sang korban tetapi kepada kawan2nya. Bluk....,
bluk...., bluk..., mereka berhantam sendiri, karena sama2
saling menyalahkan. Melihat kesempatan itu, Yan-chiu
lekas2 ajak sukonya lolos. Dengan ber-jengket2 supaya tak
menyolok, keduanya surut kebelakang dan begitu agak
jauh, mereka segera gunakan ilmu berlari cepat untuk lari
kebawah gunung. Oleh karena masih saling hantam2an
sendiri dengan dahsyatnya, kawanan orang utan itu tak
menghiraukan sang korban lagi. Sampaipun ketika Tio
Jiang dan sumoaynya sudah tiba di-tengah2 lamping
gunung, masih mereka mendengar suara gemuruh dari
kawanan orang utan yang berhantam diatas puncak itu.
Ketika hendak meneruskan turun gunung, Yan-chiu
berpaling kebelakang sebentar dan hai sianak orang utan itu
mengikutinya. Yan-chiu sudah tak berhasrat hendak
memeliharanya lagi, malah kini ia memberi persen dua
buah pukulan. Tio Jiang hendak mencegah, tapi sudah
kasip. Anak orang utan itu melengking kesakitan dan tahu2
muncullah seekor orang utan yang lebih besar lagi dari yang
dipuncak gunung tadi. Dua tiga kali berloncatan, orang
utan itu sudah menghadang dihadapan Tio Jiang dan
Yanchiu serta ayunkan kedua kakinya menendang. Tio
Jiang' menghindar kesamping, tapi tepat ada sebuah bafu
melayang jatuh menyerempet telinganya, sehingga rasanya
telinganya itu seperti pecah. Malah menyusul dengan itu,
dari atas berguguran beberapa batu. Namun siorang utan
tak menghiraukan hujan batu itu, dan tetap merangsang
maju. Tio Jiang dan Yan-chiu terpaksa memberi perlawanan.
Tapi setiap kali ujung pedang mereka menusuk kulit
sibinatang, rasanya seperti menusuk batu saja. Dalam
berapa jurus saja, tangan Yan-chiu sudah lemah lunglai,
pedangnyapun dapat direbut oleh siorang utan, krek.........
putuslah pedang itu. Yan-chiu nekat, kutungan tangkai
pedang yang masih dipegangi itu, ditimpukkan kearah mata
siorang utan, tapi dengan sebatnya binatang itu dapat
menyampoknya jatuh. Kini dengan ulurkan tangannya dia
maju menerkam ..........
Tio Jiang kaget dan terus berjibaku. Dengan sepasang
tangannya mencekal, dia tusuk bagian perut siorang utan.
Tapi sayang karena gugup, jadi tusukan itu tak tepat
mengenai bagian yang berbahaya, hanya kena dibagian
atasnya. Sekalipun perut binatang itu tak sampai bobol,
namun karena Tio Jiang menusuk se-kuat2nya, binatang
itupun menggerang kesakitan. Serentak dengan itu Tio
Jiang rasakan ada suatu tenaga pukulan-balik yang hebat
sekali. Buru2 dia berjumpalitan kebelakang. Dari situ dia
tarik sang sumoay untuk diajak lari. Oleh karena pedangnya
kutung separoh, yang sebagianpun dibuangnya sama sekali.
Tapi orang utan itu ternyata sebat dan tangkas sekali.
Cepat sekali dia sudah dapat menyusul kedua anak muda
kita. Karena tak mencekal senjata, Tio Jiang dan Yan-chiu
gunakan ilmu mengentengi tubuh berlincahan menghindar.
Tapi lama kelamaan, saking lelahnya gerakan loncat
mereka itu makin lambat, beberapa kali mereka hampir
kena diterkam siorang utan. Untuk menolong sang sumoay,
terpaksa berulang kali Tio Jiang menerjang bahaya, hingga
kini pakaiannya pun sudah robek dicakar siorang utan dan
pahanya pun luka terkena kuku, sakitnya jangan dikata.
Untuk beberapa saat, keduanya masih kuatkan hati
untuk bertahan. Sebaliknya orang utan itu makin lama
makin mengganas tandangnya. Sedang sianak orang utan
tadi ber-cuat-cuit mengawasi dipinggir, rupanya seperti bersorak2 kegirangan karena fihaknya menang.
"Bangsat kecil, hati2 kau nanti tentu kubeset kulitmu!"
maki sinona. Mendengar, itu Tio Jiang terpaksa
menyeringai mendelu sekali.
Sepuluh jurus kemudian, tiba2 orang utan itu tertawa.
aneh macam orang menjerit. Celaka, keluh Tio Jiang., Satu
saja sudah sedemikian berbahaya, kalau nanti kawan2nya
datang, tentu lebih2 lagi. Dia cepat mengirim sebuah
hantaman, kemudian loncat keatas untuk menutuk biji
mata. Tapi siorang utan itu hanya miringkan kepala, tetap
masih tertawa. Sekejab kemudian, disana sini terdengar,
ketawa macam begitu sahut menyahut. Nyata itulah
kawanan orang utan yang menyahuti dan menuju kesitu.
Tio Jiang cepat ambil putusan. Setelah melancarkan
sebuah hantaman, secepat itu dia sawut tubuh Yan-chiu
untuk dilemparkan keluar gelanggang. Jadi teranglah
maksudnya. Biar dia tetap menghadang siorang utan, asal
Yan-chiu bisa lolos. Tapi rencana itu telah gagal, bahkan
mengalami kerugian besar. Karena tenaganya habis,
lontaran yang dikiranya dapat melemparkan Yan-chiu
sampai dua tombak tingginya itu ternyata hanya mencapai
setombak kurang. Sekali tangan siorang utan menyambar
kedua kaki Yan-chiu segera dapat dicengkeramnya.
Dengan mencengkeram kaki sinona, orang utan itu
mendongak tertawa keras2. Saking terperanjatnya, Tio
Jiang, menjadi ter-longong2 dan tahu2 dia telah dirangkul
oleh, seekor orang utan lain. Begitu pelukan itu terasa
kencang, barulah Tio Jiang gelagapan namun tak berdaya
untuk meronta lagi. Dua buah lengan besar yang penuh
bulu, telah mengangkat tubuhnya keatas dibarengi dengan
suara ketawa keras. Buru2 Tio Jiang kerahkan lwekang
untuk bertahan dan hal ini meringankan juga kesakitannya.
Bukan menghiraukan dirinya yang terancam bahaya,
sebaliknya dia selalu cemaskan keselamatan sang sumoay.
"Siao Chiu, bagaimana kau."
Tapi ternyata Yan-chiupun kuatirkan keselamatan sang
suko. "Suko, kau bagaimana?" tanyanya juga. Jadi kedua
anak muda itu saling pikiran keselamatan kawannya,
bukan. dirinya sendiri. Hanya saja rasa kekuatiran mereka
itu, berbeda. Yan-chiu mencurahkan suara kalbunya,
sebaliknya, Tio Jiang hanya didorong oleh kecintaan
saudara seperguruan saja.
Kawanan orang utan lainnya sama tampak ber-jingkrak2
dan ber-teriak2. Rupanya seperti hendak merayakan
kemenangannya. Karena tangannya masih bebas, Yan-chiu
menghantam kalang kabut kearah kepala siorang utan itu,
tapi sedikitpun binatang itu tak berasa dan tetap, tertawa.
Karena tak mempunyai daya lain, Tio Jiang ikuti juga
cara Yan-chiu tadi. Baru. dia hendak kerahkan tenaga
untuk menendang, tiba2 telinganya mendengar semacam
suara halus yang melengking sekali. "Buyung dan budak,
jangan bergerak sembarangan!"
Girang Tio Jiang sukar dilukis. Itulah suara Kui-ing-cu,
ya tak salah lagi. Kiranya tokoh aneh itu bersama seorang
hweshio tampak bersembunyi dibalik sebuah batu besar.
Ketika Tio Jiang berpaling kearah sang sumoay, dilihatnya
sumoaynya pun sudah berhenti menghantam. Ah, tentu
iapun mendengar juga perintah orang aneh itu. Tapi kuatir
kalau belum mendengarnya, buru2 Tio Jiang menyerukan:
"Siao Chiu, jangan takut! Kui-ing-cu locianpwe dan seorang
hweshio datang menolong kita!"
"Tak usah kauberitahukan, akupun sudah tahu! Huh,
siapa yang kaukatakan hweshio itu! Dia kan Nyo-toa-cecu,
entah bilamana dia masuk menjadi hweshio", sahut
Yanchiu. Tio Jiang mengawasi dengan perdata, dan diapun
heran juga. Lagi2 pembicaraan itu menimbulkan reaksi pada
beberapa orang utan itu. Orang utan adalah sejenis binatang
yang cerdas otaknya. Biarpun belum pernah mendengarkan
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata2 orang, tapi dari nada kedua anak muda yang begitu
longgarnya, orang utan yang mencengkeram kaki Yan-chiu,
cepat berhenti ketawa. Sepasang lengannya dipentang
keluar, maksudnya hendak merobek tubuh shiona, siapa
coba kerahkan lwekang untuk bertahan, tapi kalah kuat.
"Locianpwe, lekas tolong jiwaku!" teriaknya ketakutan.
Sesuai dengan gelarannya Kui-ing-cu atau Bayangan Setan,
tahu2 bagaikan bayangan Kui-ing-cu sudah muncul keluar.
Dua titik bintang melayang kearah perut bagian bawah dari
sibinatang, dan aaaahhhh........ menjeritlah binatang itu,
terus berputar kebelakang untuk mencari penyerangnya.
Kita tahu siapakah tokoh Kui-ing-cu itu. Sekalipun kulit
binatang itu keras dan tebal, namun menerima timpukan
batu yang dilancarkan sekuat tenaga olehnya itu, biar
bagaimana binatang itu menderita kesakitan hebat juga.
Tapi sekalipun seorang tokoh persilatan yang berilmu
tinggi, namun terperanjat juga Kui-ing-cu menampak wajah
siorang utan yang sedemikian menyeramkan itu.
"Nyo-heng, terimalah ini!" serunya lebih dahulu
melemparkan bumbung bambu yang berisi ular ceng-ongsin kearah Nyo Kong-lim. Sekali tubuhnya menjulang
keatas, dia hantam dada siorang utan itu dengan sebuah
pukulan "tongcu-pay Hud" (anak menyembah Budha).
Jurus ini sebenarnya termasuk jurus biasa, sehingga setiap
orang yang belajar silat tentu dapat mengenalnya. Tapi
dimainkan Kui-ing-cu, perbawanya begitu dahsyat sekali.
Rupanya siorang utan itu tahu selatan juga. Melihat
kedahsyatan yang mengancam, dia mundur selangkah.
Namun Kui-ing-cu tetap membayanginya. Belum jurus
tongcu-payhud dilancarkan penuh, tubuhnya sudah ikut
maju merapat musuh dan robah serangannya menjadi
thian-li-san-hoa (bidadari menebarkan bunga), buk....,
buk...., buk.... siorang utan menjerit kesakitan karena
bawah perutnya kena terhantam, otomatis tangannya
menurun! (Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 27 : SI RAJA ULAR
Tubuh siorang utan ter-huyung2 tak dapat berdiri tegak.
Rupanya pekakas dalam tubuhnya terluka kena hantaman
Kui-ing-cu itu. Melihat kesempatan itu, Yan-chiu tak mau
men-sia2kan. Sekali meronta, ia enjot kakinya keatas lengan
siorang utan dan melayang lepas dari cengkeraman. Baru
kakinya menginjak tanah, ia segera terkejut bukan kepalang
melihat keadaan disekelilingnya situ.
Kiranya sewaktu rubuh hendak meregang jiwa tadi,
siorang utan yang terkena pukulan dahsyat Kui-ing-cu itu,
menggaum dengan kerasnya, hingga membuat terkejut
seluruh orang utan digunung situ. Entah berapa puluh ekor
jumlahnya, kini mereka sama berbaris rapat mengepung
beberapa manusia yang memusuhinya itu. Ada seekor
orang utan jenis betina yang segera rubuh menelungkupi
orang utan yang putus jiwanya sambil ngak-nguk.... ngaknguk.... me-ngiang2 dengan pilu sekali. Kala itu Tio Jiang
masih tetap dicengkeram oleh orang utan tadi, wajahnya
merah padam karena dia sedang kerahkan lwekang untuk
menahan cengkeraman maut itu. Melihat itu Yan-chiu
bertanya, pada Kui-ing-cu, siapapun tak mempunyai daya
apa2. "Siao Chiu, kau apungkan diri menyerang sepasang mata
dari binatang itu, untuk menolong siaoko. Pertama
gunakanlah jurus hong-hong-sam-tiam-thau lalu song-liongjongcu!" seru Kui-ing-cu kemudian.
"Bocah perempuan lihay, pelajaran dari Tay Siang
Siansu telah dapat dipelajarinya!" seru Kui-ing-cu memuji
ketika Yan-chiu enjot tubuhnya melakukan perintahnya
tadi. Buru2 dia membantunya dengan maju menyapu kaki
siorang utan. GAMBAR 52 Sekali meloncat, Yan-chiu hindarkan tubrukan binatang buas
itu, sementara itupun Kui-ing-cu cepat memburu maju buat
menolong. Yan-chiu turut nasehat Kui-ing-cu. Belum jurus honghong-sam-tiam-thau diserangkan tiba2 sudah terus diganti
dengan jurus song-liong-jong-cu. Dua buah jarinya
mengancam sepasang mata siorang utan, tapi telah meleset,
mengenai pelipis keningnya karena binatang itu miringkan
kepalanya menghindar. Diluar dugaan, tusukan jari yang
tetap menutuk jalan darah thay-yang-hiat itu, merupakan
tutukan fatal (maut). Siorang utan menggerung keras, dia
lepaskan salah satu tangan yang mencengkeram Tio Jiang
untuk dibuat menyawuti Yan-chiu, tapi sinona itu menekan
tangannya kearah badan siorang utan, meminjam tenaga
tekanan itu untuk loncat menghindar. Ketika siorang utan
hendak memburu, sapuan kaki Kui-ing-cupun sudah tiba.
Sapuan kaki yang bergaya jurus te-tong-thui (menyapu
ruangan bumi) adalah ilmu yang pertama kali dipelajari
Kui-ing-cu sewaktu dia baru mulai belajar silat. Peyakinannya selama ber-puluh2 tahun itu, telah mencapai
tingkat kesempurnaan yang tiada taranya lagi. Dalam
pertemuan kaum persilatan daerah Kwiciu yang diadakan
pada beberapa tahun berselang, pernah dia gunakan jurus
sapuan kaki untuk menendang patah 49 batang tonggak
bwe-hoa-cung. Adakah kaki siorang utan melebihi kerasnya
dari tonggak kayu, rasanya tentu tidak. Maka krek......,
sebelah kaki siorang utan telah tertendang putus, terhuyung2 terus rubuh ketanah. Begitu Tio Jiang meronta
lepas, dia susuli dengan sebuah hantaman yang dahsyat.
Kini tak ampun lagi, siorang utan itu jatuh terkulai ditanah.
"Suko, kita akan binasa berempat!" seru Yan-chiu ketika
menyongsong sukonya. Mendengar itu Kui-ing-cu tertawa
dingin, serunya: "Kita berempat harus bertahan dengan
saling merapat bahu, jangan kasih kesempatan pada mereka
mendekati kita!"
Perentah itu diturut. Kini mereka merapat satu sama
lain, masing2 menghadap kesatu arah mata angin ke utara
selatan barat timur. Yan-chiu tepat berdiri disebelah Nyo
Kong-lim. Ternyata keadaan yang sedemikian berbahayanya itu, tak mengurangkan rasa heran sinona
genit yang segera menanyakan Nyo Kong-lim mengapa
masuk menjadi hweshio itu. Sudah tentu yang ditanya
menjadi merah padam mukanya.
"Sumoay, awas!" tiba2 Tio Jiang berseru sembari
lancarkan sebuah pukulan pada seekor orang utan yang
hendak menerkam Yan-chiu. Melihat itu, kini Yan-chiu tak
berani usil mulut lagi. Seluruh perhatiannya ditumpahkan
kearah musuh. Kini keadaannya berlainan. Kawanan orang
Utan itu tak berani merapat dekat2 karena jeri akan pukulan
biat-gong-ciang dari Kui-ing-cu yang teramat dahsyatnya.
Dua jam berselang, haripun makin terang. Kalau kawanan
orang utan itu makin lama tetap beringas, adalah Kui-ing-cu
berempat menjadi kehabisan tenaga. Sepasang lengan
masing2 sudah terasa, lemah lunglai kesemutan.
Sejak keluar dari rumah perguruan, entah sudah
beberapa banyak kaum persilatan yang pernah dijatuhkan.
Tapi selama itu, belum pernah dia keluarkan tenaga
habis2an seperti ketika menghadapi kawanan orang utan
pada saat tersebut. Setengah jam kemudian, tampak
cakrawala menjadi terang benderang menyongsong kedatangan matahari. Waktu sempat menghitung jumlahnya, ternyata kawanan orang utan tak kurang dari
190 ekor jumlahnya. Kalau pukulan Kui-ing-cu agak lemah,
kawanan orang utan itu maju menghampiri dekat2. Malah
ada beberapa ekor yang berada dibarisan depan sendiri,
hampir dapat menyengkeram Yan-chiu. "Ah, binatang2 ini
sekalipun tokoh silat yang sakti, rupanya tetap tak dapat
menghadapinya. Siaoko, mengapa kau katakan pada bocah
besar (Nyo Kong-lim) kalau suku Thiat-theng-biau itu
tinggal ditempat ini?" tanya Kui-ing-cu dengan menghela
napas. "Yang mengatakan begitu adalah Hun-ou-tiap Lim
Ciong!" sahut Tio Jiang seraya lancarkan dua buah pukulan
kepada seekor orang utan yang hendak coba mendekati
rapat2. "Kalian berdua telah ditipu oleh bangsat itu! A-thau, kau
berotak cerdas, mengapa sampai kena ditipu orang?" kata
Kui-ing-cu. Tapi Yan-chiu tak banyak luang untuk
menyahut. Dengan mandi keringat, dia terus bertahan
dengan gigih. Kui-ing-cu cukup mengetahui, bahwa
sekalipun pada saat itu datang bantuan berupa tokoh silat
yang sakti, tapi rasanya tak nantl dapat menolong keadaan
mereka. Tapi sebagai seorang yang kenyang makan asam
garam, tak mau dia unjukkan perasaannya. Mati hidup tak
dipandangnya secara serious (sungguh2). Maka diapun tak
henti2nya gerakkan tangannya untuk melawan. Dalam
pada itu, dia memberitahukan Tio Jiang: "Sikate tolol Sik
Lo-sam ketika kurampas ularnya ceng-ong-sin, sebenarnya
akan menantang 3 bulan lagi yalah setelah dia dapat
memahami ajaranku ilmu sam-liong-toh-cu-kun-hwat. Tapi
ah......, siaoko, apakah kita masih bernapas pada waktu itu
?" Tio Jiang kagum kepada tokoh aneh itu. Dalam
menghadapi saat2 kematian, tokoh itu masih bergurau.
Diapun menaulad, sahutnya: "Pada 5 bulan yang lalu
ketika Sik locianpwe sedang menangkap ceng-sin-ong di Lohu-san, telah kukejutkan hingga gagal" sampai disini tiba2
Tio Jiang teringat akan sesuatu, serunya. "Kui locianpwe!"
"Ho, ho, sekejab lagi binasa ditangan kawanan binatang
itu, mungkin aku benar2 menjadi Kui (setan) locianpwe,
ini!" Kui-ing-cu tetap ber-olok2.
"Lo-cianpwe, jangan menertawakan dulu! Ketika dibiara
rusak kudengar sibangsat Lim Ciong menyebutkan nama
Tok-ki-nia, saat itu akupun rasanya teringat akan kata2
yang pernah diucapkan oleh Sik Loo-cianpwe. Pernah dia,
di Lo-hu-san kala itu, sayang tak berhasil menangkap ular
ceng-sin-ong, coba ya, dia hendak ajak aku pesiar ke Tokkinia. "Ya....!, kini aku ingatlah!" kata Tio Jiang. Adalah
karena ber-cakap2 itu, Tio Jiang agak lengah, wek.....lengan
bajunya telah kena dicakar robek oleh seekor orang utan,
sehingga lengannyapun mengucurkan darah karena turut
tergurat kuku. Buru2 Tio Jiang mendak kebawah, sedang
Kui-ing-cu lekas2 datang menghantam hingga binatang itu
ber-teriak2 kesakitan dan mundur.
"Apa kata Sik Lo-sam lagi?" tanyanya kepada Tio Jiang,
siapa menyatakan tidak ada lagi.
"Kui lo-cianpwe, bagaimana kepandaian Sik Lo-sam di
banding dengan kau ?" tiba2 Yan-chiu menimbrung. Kuiing-cu tengah meneliti maksud yang tersimbul dalam kata
Sik Lo-sam itu, ketika Yan-chiu bertanya begitu, tiba2 dia
tersadar. "Siao-ah-thau, rupanya Giam Ong locu (raja
akherat) tak mau menerima kita!" serunya.
Yan-chiu cerdas, tapi Kui-ing-cu lebih pintar lagi.
Meskipun ia tak tahu maksud yang sesungguhnya dari
kata2 Kui-ing-cu itu, namun ia percaya tokoh aneh itu tentu
sudah mempunyai apa2. Maka semangatnyapun timbul.
lagi, Beda dengan Nyo Kong-lim dan Tio Jiang yang kasar
tolol, yang masih minta keterangan lagi pada Kui-ing-cu.
Tapi dari pada menjawab, tokoh aneh itu segera merampas
bumbung bambu yang dicekal Nyo Kong-lim. Begitu
sumbatnya ditekan jari, lalu dilemparkan ketanah, sist......,
sist......, sist......, mendesis2-lah ceng-ong-sin keluar.
Tubuhnya yang hijau kemilau, bagaikan batang bambu
muda yang habis disiram hujan, segar bugar menyedapkan
mata. Siapakah orangnya yang menyangka kalau binatang
itu merupakan ular yang Maha beracun!
Begitu ceng-ong-sin atau Malaekat Raja Hijau keluar,
Kawanan orang utan yang berjumlah banyak itu, laksana
terkena sihir, sama porak poranda mundur. Malah begitu
siraja ular merayap berlingkaran, barisan orang utan yang
terdepan, sama menggigil.
"Siao-ceng-coa, lekas gigitlah siorang utan besar itu! Ha,
kiranya makhluk yang sebegitu besarnya, takut juga kepada
seekor ular kecil!" Yan-chiu berseru kegirangan. Tio Jiang
dan kedua tokoh itu pun sudah beristirahat, sama
menantikan perkembangan lebih jauh.
Setelah ber-putar2 beberapa kali, tiba2 ekor ular itu
menekan tanah dan kepala tegak berdiri keatas, lidahnya
menjulur mengeluarkan desisan. Barisan orang utan yang
berada paling depan sendiri tampak menekuk lutut duduk
seperti orang menjura tiada berani bergerak. Kepala siular
menjulur kemuka dan memagut leher seekor orang utan,
siapa lalu rubuh terjungkal. Setelah itu, siular memagut
lainnya. Anehnya, korban itu tak berani bergerak sama
sekali. Dalam sekejab saja, sudah ada lima enam ekor yang
rubuh. Kawanan orang utan yang lain, memandang
terIongong2 kearah keempat orang itu dengan sorot mata
minta dikasihani.
"Setiap benda atau apa saja didunia yang tergolong
pusaka, tentu mempunyai gaya kesaktian yang sedemikian
hebatnya. Tapi meskipun kawanan orang utan itu sangat
ganas, asal orang tak mengganggunya, merekapun tak
mengganggu, jadi tak apalah, lebih baik bebaskan mereka!"
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akhirnya Kui-ing-cu menghela napas. Kalau Nyo Kong-lim
dan Tio Jiang menyetujui, sebaliknya Yan-chiu mengajukan
syarat, katanya: "Untuk mengampuni mereka sih mudah,
tapi asal aku dapat membawa dua ekor untuk dipelihara! "
Dalam ber-kata2 itu , sudah ada 3 ekor orang utan lagi
yang digigit mati oleh ceng-ong-sin. Pada setiap luka gigitan
dileher mereka, tentu mengalirkan darah yang berwarna
hitam. Suatu pertanda bagaimana hebat bisa dari ular itu.
"Dengan memiliki ceng-ong-sin, masakan mereka tak
mau menurut. Kiranya Sik Lo-sam juga mempunyai
rencana untuk memelihara orang utan, makanya dia begitu
telaten mencari ceng-ong-sin!" kata Kui-ing-cu seraya
memburu maju dan, dengan suatu gerakan yang luar biasa
sebat sebatnya, dia ulurkan ketiga jari untuk memencet,
bagian telinga siular dan membareng itu tangannya kiripun
memijat bagian ekornya. Hanya beberapa kali ular itu
tampak menggeliat, lalu tak dapat berkutik.
Begitu sang momok sudah dibelenggu, hiruk pikuklah
kawanan orang utan itu berbangkit sembari berjingkrak
kegirangan. Kui-ing-cu suruh Yan-chiu pilih dua ekor orang
utan yang dikehendakinya. Tanpa diulang lagi, Yan-chiu
memilih dua ekor yang berbulu kelabu ke-putih2an.
"Binatang, lekas ikut pada nona itu. Kalau berani
membangkang, kawan2mu akan dihabiskan!" seru Kui-ingtiu. Anehnya, orang utan itu seperti mengerti maksud
perkataan orang. Mereka mengangguk dengan patuh. Yanchiu memberi nama "Toa-wi" (kelabu besar) kepada yang
lebih besar dan "Siaowi" kepada yang kecil.
"Toa-wi, siao-wi, lekas ikut aku" serunya sembari loncat
kebelakang. Benar juga, kedua ekor orang utan itu mengikutinya
dengan serta merta. Saking girangnya Yan-chiu berloncatan
menari. Kui-ing-cu bertigapun ketarik juga. Sekejab
kemudian, Thio Jiang mengajak lekas2 turun gunung.
"Entah bagaimanaa jadinya dengan Lian suci!" katanya.
"Uh...., lagi2 Lian suci!" seru Yan-chiu sambil jebikan
bibirnya. "Siao Chiu kau ini bagaimana" Kan kita sudah terlambat
sehari semalam ini!" tanya Tio Jiang keheranan. Tapi Yanchiu sendiri juga tak tahu sebabnya, mengapa ia kurang
senang mendengar sang suko menyebut nama sucinya.
Memang kata2 sukonya itu benar, namun ia tak mau
mengakui kesalahannya. Adalah Kui-ing-cu yang segera
tergelak2 ujarnya: "Jika melintasi gunung dan puncak2
yang tinggi, kalian bertiga, pasti menghamburkan tenaga
dalam. Sekali kurang hati2, bisa kesasar tiba ditempat yang
berbahaya. Lebih baik lekas jalankan semadhi, nanti 3 jam
kemudian baru boleh melanjutkan perjalanan lagi! Dan lagi
kita harus perlu menanyakan tempat kediaman suku Thiattheng-biau itu pada penduduk setempat."
Tio Jiang tak berani berayal. Dengan lekas dia mencari
sebuah batu besar untuk melakukan latihan bersemadi.
"Siaoko, kuucapkan selamat padamu!" se-konyong2 Kuiing-cu berkata, demi menyaksikan cara Tio Jiang
mengambil napas.
Tio Jiang hanya bersenyum saja. Tahu dia kalau tokoh
lihay itu tentu sudah mengetahui bahwa ilmunya lwekang
kini hebat sudah. Memang caranya dia menarik napas,
tiada sama dengan latihan lwekang yang kebanyakan. Nyo
Kong-lim yang belum mencapai kesempurnaan dalam ilmu
Iwekang, agak terganggu sedikit tapi akhirnya dia sudah
dapat menguasai tenaganya lagi. Begitu pula karena
memikirkan maksud dari pada kata2 Kui-ing-cu tadi,
hatinya kacau pikirannya me-layang2. Syukur akhirnya ia
dapat juga menguasai ketenangan semadhinya.
Melihat ketiga kawannya duduk melakukan gerakan
napas, Kui-ing-cu cari bumbung bambu tadi untuk
memasukkan ceng-sin-ong. Kui-ing-cu memikirkan bagaimana harus mengajar kedua orang utan muda itu agar
kelak disertai tenaganya yang maha kuat itu, dapat kedua
binatang itu menjadi pengawal yang kokoh kuat. Ah,
baiklah dia kuajarkan ilmu silat "silat siorang tolol" terdiri
dari 7 jurus. Setelah itu lalu dia melambai si Toa-wi supaya
datang kepadanya. Setelah mengucap beberapa patah, Kuiing-cu lalu mainkan jurus mondar-mandir. Kedua orang itu
meniru gerakannya. Memang kera atau monyet itu paling
gemar menaulad perbuatan orang.
Misalnya dahulu ada sebuah dongeng begini:
Adalah seorang penjual topi hendak kekota menjual
barang dagangannya. Dalam perjalanannya melalui sebuah
rimba, ada sekawanan kera ramai2 mengeroyok dagangannya. Setiap kera memakai sebuah topi, lalu sama
memanjat puhun. Sipenjual itu mendongkol dan meringis.
Tiba2 dia mendapat pikiran bahwa bangsa kera monyet itu
paling suka me-niru2 perbuatan orang. Maka sipenjual itu
mengambil topi yang dipakai diatas kepala, lalu dibanting
ketanah. Benar juga kawanan kera itu segera sama
membanting topinya kebawah dan dipungutilah lagi topi2
itu oleh sipenjual.
Orang utan itu juga sejenis bangsa monyet kera, jadi
merekapun tak ubahnya dengan kelakuan bangsa kera.
Dalam 3 jam kemudian, kedua orang utan piaraan Yanchiu itu sudah dapat mempelajari habis 7 jurus ilmu silat
"pukulan orang tolol".
"Dengan mempunyai pengawal dua ekor orang utan
yang dapat bersilat itu rasanya kita tak perlu kuatir lagi akan
pertempuran dihari Pehcun nanti!" kata Tio Jiang.
"Suko, kalau matamu menjadi merah (iri), yang satu
kuberikan padamu!" sahut Yan-chiu dengan tertawa. Tapi
dengan serentak Tio Jiang menolak, katanya: "Binatang
yang sedemikian buruknya, aku tak sudilah!"
"Hem....., tunggu saja beberapa, hari nanti. Kalau sudah
kubuatkan pakaian, orang utan itu tentu akan kusulap
menjadi seorang lelaki gagah!" Yan-chiu membantahnya.
Melihat Nyo Kong-lim juga sudah berdiri bangun, Kuiing-cu tertawa ter-bahak2, serunya: "Nyo-heng, a-thau itu
memakimu seperti binatang!"
Dengan terkejut sekali Yan-chiu berpaling. Memang
perawakan Nyo Kong-lim yang tinggi besar itu menyerupai
siorang utan. Teringat kata2nya tadi, iapun geli juga.
Sebaliknya ketua Hoa-san itu tak marah, malah turut
tertawa gelak2. Begitulah mereka berempat lalu turun
kekaki bukit. Tiba2 Tio Jiang menanyakan soal ,mustika
didalam batu" kepada Kui-ing-cu, siapa lalu menerangkan:
"Mustika dalam batu" itu jauh lebih hebat dari ular cengsin-ong. Siapa yang memakannya, badan ringan napas
panjang, besar khasiatnya. Kita dapat suruh Toa-wi dan
Siao-wi memanggulnya bergiliran. Hayo lekas kita kesana
jangan sampai kedahuluan orang lain. Kalau didapatkan
oleh orang jahat, bahayanya besar sekali!"
Walaupun Tio Jiang tak percaya ada lain orang yang
mengetahui batu itu, namun dia segera ber-gegas2 ajak
ketiga kawannya menuju kesana. "Itulah, hanya ........ "
belum Tio Jiang melanjutkan kata "30-an tombak jauhnya"
dia sudah berseru kaget: "Hai, mengapa ada orang?"
Mengikuti arah yang ditunjuk Tio Jiang, ketiga orang
itupun melihat jelas bahwa disamping batu besar itu ada
seorang lelaki tengah membacoki bagian yang disebutkan
Tio Jiang itu dengan sebilah pedang yang memancarkan
sinar ke-hijau2an. "Cian-bin long-kun The Go! Tentu Lian
suci sudah dijualnya, kalau tidak masa dia membawa
sebilah pedang pusaka macam begitu"!" Yan-chiu yang
melihat jelas lebih dahulu segera berteriak. Sebagai
jawaban, Tio Jiang sudah enjot tubuhnya kemuka. Tapi
karena jaraknya masih ada 30-an tombak, jadi sebelum dia
berhasil menyergap, The Go sudah mendengar jeritan si
Yan-chiu tadi. Dia membacok lebih gencar. Oleh karena
seperti membacok kayu saja, maka dalam beberapa kejab
saja batu itu sudah menjadi satu elo persegi besarnya. Cepat
The Go pegang batu itu lalu mengangkatnya, tapi tepat
pada saat itu Tio Jiangpun sudah tiba. "Cian-bin Long-kun,
jadi kau sudah menjual Lian suci untuk sebuah pedang"
Kau takkan dapat menginjak bumi persilatan lagi!" serunya.
Memang The Go menjalankan rencana Tan It-ho dan
ajak Bek Lian ke Thiat-nia, yang ternyata terletak disebelah
pinggir dari puncak Tok-ki-nia. Mereka tiba ditempat itu
kira2 setengah jam lebih dahulu dari tibanya Tio Jiang dan
Yan-chiu di Tok-ki-nia. Dikaki puncak Thian-nia situ
ternyata ada sebuah batu karang yang hitam warnanya.
Diatasnya penuh ditumbuhi dengan puhun rotan yang
berwarna hijau gelap.
"Engkoh Go, apakah disini Ko-to-san ?" tanya Bek Lian
yang tak mengetahui akan rencana keji dari kekasihnya itu.
The Go hanya menyeringai iblis. Syukur karena hari sudah
gelap, jadi Bek Lian tak mengetahui akan senyum iblis sang
kekasih. Tahunya, karena tak dijawab, ia menjadi heran
lalu menanyakan lagi: "Engkoh Go, dimanakah gereja Anghun-kiong itu" Apakah Ang Hwat cinjin tak mengetahui
kalau kau mau datang kemari ?"
Memang perangi Bek Lian itu sangat tinggi (sombong).
Kecuali The Go, ia tak mau memandang mata pada semua
orang. Sampaipun sucou (kakek guru) dari The Go, hanya
dipanggil begitu saja tanpa, sebutan menghormat. The Go
menjawab sekenanya saja, tapi dalam hati dia mengumpat
caci nona itu. Kalau sampai didengar sucou, mungkin
tubuhmu tak dapat dikubur nanti, demikian pikirnya.
Itulah mentaliteit seorang pemuda mata keranjang
macam The Go. Bukan sekali dua kali saja Bek Lian
menyebut nama Ang Hwat cinji tanpa memakai embel2
gelaran- nya, tapi dahulu The Go menganggap biasa saja
malah tetap sedap didengar. Tapi kini setelah rasa, cintanya
hilang, berganti dengan kebencian, dia anggap ucapan
sinona itu suatu kesalahan besar. Memang kalau sedang
menyinta, loyang dikatakan emas, akan dianggap loyang
kalau orang ysudah bosan atau benci.
Mendengar The Go memberi jawaban dengan nada yang
tawar, Bek Lian berhenti. "Engkoh Go, mengapa dalam
beberapa hari ini kau bersikap tawar terhadapku ?"
tanyanya. The Go merasa makin muak, sahutnya: "Lian-moay,
perlu apa ucapan macam begitu" Bagaimana kau katakan
aku bersikap tawar kepadamu ?"
"Tidak, engkoh Go, kau harus menerangkan yang jelas!"
desak Bek Lian demi mendengar kata2 The Go itu makin,
tak sedap. Sudah tentu The Go tak menghendaki
rencananya yang sudah 90 persen berhasil itu akan menjadi
terbengkalai oleh sebab2 kecil saja. Maka cepat dia member!
kan muka tertawa seraya maju merapat, lalu merayunya:
"Lian-moay,
jangan pikir yang tidak2, nanti menggannggu kesehatanmu ah!"
Julukannya adalah Cian-bin Long-kun atau Sianak
muda, berwajah seribu. Jadi pandai sekali bersandiwara.
Apalagi Bek Lian hanya ributi soal nada, ucapannya yang
tawar, maka dalam sedetik saja hatinya, pun dapat terebut
lagi. ,Engkoh Go, entah laki entah perempuan anak kita
nanti itu ya?", bisiknya seraya bersandar kepada sang
kekasih. "Kalau lelaki bagaimana, kalau perempuan bagaimana?"
kata The Go. Karena sudah berbadan dua, rasa keibuan
sudah menyelubungi hati Bek Lian. "Entahlah, aku
sendiripun tak tahu. Tapi aku mengharapkan seorang anak
lelaki yang menyerupai dirimu dan kunamakan Siao Go!"
ujarnya, Untuk menimbanginya agar jangan kentara,
sebaliknya The Go menjawab: "Tapi aku menghendaki
seorang anak perempuan saja yang menyamai kau dan
kunamakan Siao Lian !"
Bek Lian tertawa puas. la anggap The Go masih tetap
menyintainya. Walaupun sejak mengandung itu, tubuhnya
makin kurus, namun Bek Lian tetap cantik seperti bidadari
menjelma. The Go terkesiap memandangnya. Diam2 dia
bersangsi mengapa harus menurutkan rencana Tan It-ho
itu" Tapi setelah dipikir pula, mendapat 10 Bek Lian lebih
mudah dari sebatang pedang pusaka, dia segera pimpin
tangan Bek Lian untuk diajak meneruskan perjalanannya.
Begitu tiba dikaki puncak, se-konyong2 sebatang anak
panah. melayang kearahnya. The Go tahu bahwa panah
dari suku, Thiat-theng-biau itu dicelup racun, yang luar
biasa ganasnya, maka dia gunakan kipasnya untuk
menyampok seraya, berseru: "Akulah!"
Sebagai sambutan disana terdengar orang bicara
kak....kik-kuk...., kik-kuk...., entah berkata apa. Tapi pada
lain saat segera terdengar orang berseru: "Hiante (adik),
apakah kau yang datang ?"
The Go kenal, itu sebagai suara Tat It-ho, kakak
angkatnya. "Toako, kau sudah disitu" Apa kata Kit-bong-to ?"
serunya dengan kegirangan. Sesosok tubuh melesat dan
muncul dari balik sebuah batu.
"Bermula dia tak mau, tapi setelah kuomongi, dia mau
lihat dulu barangnya!" seru orang itu yang bukan lain Tat Itho adanya. "Ah, bereslah!" sahut The Go.
"Siapa Kit-bong-to " Apanya 'mau atau tidak' itu ?" tukas
Bek Lian. "Oh, It-ho-heng hendak meminjam suatu barang pada
Kit-bong-to, bukan urusan apa2," sahut The Go dengan
tertawa. Bek Lian tak mau menanyakan lagi, tapi, begitu ia
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengawasi kemuka, kagetlah ia. Dibelakang Tan It-ho
tampak tiga orang kata yang memakai pakaian rotan
macam keranjang warna hitam. Juga kulitnyapun, hitam,
jadi kalau malam tentu seperti bangsa setan tuyul. Cepat2
Bek Lian Menempel rapat2 pada, The Go.
"Lian-moay, usah takutlah. Kawanan orang liar itu,
adalah sahabat karib It-ho-heng. Nanti kita mengunjungi
kepala suku mereka. Kepala suku itu amat ramah tamah,
mungkin kita nanti akan diberi barang2 yang luar biasa!"
Buru2 The Go menghibur. Bek Lian tak bercuriga lagi,
hanya bertanya: "Jadi belum sampai ke Ang-hun-kiong?"
"Masih harus melintasi beberapa puncak lagi. Malam ini
kita terpaksa tak dapat mencapai kesana!" sahut The Go.
Tan It-ho lega hatinya, mengetahui diplomasi yang licin
dari saudaranya angkat itu, Untuk tak mem-buang2 waktu
dia segera2 ajak The Go naik kepuncak.
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 28 : ISTERI DI TUKARKAN
PEDANG Dengan diiring oleh ketiga orang Biau kate itu, The Go
bertiga mendaki keatas. Sampai ditengah perjalanan,
tampak pada tepi sebuah lapangan ada ber-puluh2 gua batu
besar dan kecil seperti di-jajar2 merupakan sebuah
lingkaran. Drum atau tambur, ramai ditabuh orang.
Rupanya suku Thiat-theng-biau itu tengah mengepung
sebuah api unggun sembari me-nari2.
Tan It-ho segera ajak The Go dan Bek Lian menuju
'kesalah sebuah gua yang paling besar. Gua itu berlainan
dengan gua lain2nya, mulut gua ditutupi dengan sebuah
kere' terbuat dari rotan besi hitam. Begitu tiba dimuka
pintu, Tan It-ho bicara dengan bahasa Biau dan dari dalam
segera terdengar suara, penyahutan. "Hayo, kita masuk!"
Tan It-ho, mengajak The Go.
Waktu masuk kedalam, ternyata disitu alat2nya serba
sederhana, hanya ada sebuah meja batu. Sedang.
dibawahnya tampak duduk seorang suku Biauw bertubuh
kate, tapi kepalanya besar. Sepasang matanya mendelik
beringas, buas dan menakutkan sekali. Begitu melihat ketiga
tetamunya, dia segera ber-kata2 dengan suara keras yang
me-lengking2 dipendengaran orang. Rupanya dia pandai
ilmu silat juga.
Tan It-ho silahkan The Go dan Bek Lian duduk ditanah.
Melihat wajah yang menakutkan dari kepala suku itu, Bek
Lian segera ajak The Go lekas2 berlalu. Tapi The Go
menghiburnya: "Kepala suku sudah begitu baik hati
menjamu, masa kita menolaknya" Kita terpaksa bermalam
disini." Karena tak curiga, Bek Lian menurut saja.
GAMBAR 53 "Jangan takut Lian-moay, sebentar lagi kau tentu akan biasa
dengan mereka," kata The Go dalam usahanya menjual" Bek
Lian. Sudah tentu kepala suku Biau itu lantas kesemsem oleh
kecantikan sigadis.
Orang Biau itu memang Kit-bong-to. Tan It-ho yang
lebih dahulu datang kesitu, sudah membicarakan hal itu
kepada-nya. Demi menampak Bek Lian, kepala suku itu
setuju sekali. Sudah tentu Tan It-ho sangat girang. "Karena
jauh2, datang kemari, hiante dan nona Bek tentu lelah.
Setelah minum arak, apakah tidak ingin beristirahat?"
tanyanya, sembari mengangsurkan dua% cawan kecil.
Bek Lian yang tak biasa minum arak, sudah tentu
menolak. Tapi The Go yang mengetahui kalau arak yang
disuguhkan kepada Bek Lian itu tentu berisi obat pembius
yang dapat membuat orang tak sadarkan diri sampai 3 hari,
buru2 mendesaknya: "Lian-moay, arak ini teramat manis
apalagi tak enaklah hati kita untuk menolak kebaikan tuan
rumah. Hayo, minumlah saja!"
Bek Lian menjilat sedikit, dan memang benar arak itu
semanis madu. Pikirnya, cawan yang begitu kecil masakan
dapat memabukkan. Dan sekali teguk ia keringkan isi
cawan itu. The Go dan Tan It-ho saling melihat dengan
wajah ber-seri2. Melihat Bek Lian sudah meminum obat
pembius, Kit-bong-to berbangkit untuk mengambil sebatang
pedang. Begitu dilolos dari sarungnya, pedang itu ber-sinar2
hijau kemilau. Melihat itu, Bek Lian terkesiap. Mengapa,
ya, mengapa, pedang itu serupa dengan pedang milik
ayahnya" Baru iaa hendak berbangkit melihati, kepalanya
serasa, pening sekali. Namun masih ia, paksakan diri untuk
berbangkit dan berseru: "Engko Go, badanku kurang enak!"
Tapi segera ia rasakan sekelilingnya ber-putar2 dan sekali ia
melihat suasana menjadi gelap, rubuhlah ia tak sadarkan
diri lagi. Cepat2 The Go hendak menghampiri untuk memeriksa
pernapasan hidungnya, tapi sret........... pedang pusaka itu
menusuk kearahnya. Sudah tentu dia gugup sekali
menghindar. "Kit-bong-to mengatakan, bahwa nona jelita itu sudah
menjadi miliknya. Kau tak boleh sembarangan menyentuhnya!" kata Tan It-ho.
Sebaliknya dari gusar atau menyesal, The Go malah
tertawa riang, sahutnya: "Toako, suruh dia serahkan
pedang itu !!! "
Begitu Tan It-ho menyampaikan permintaan The Go itu,
ternyata orang Biauw yang masih liar itu menjunjung
kepercayaan. Pedang dan sarungnya sekalian diberikan.
The Go dapatkan pedang itu aneh bentuknya. Badan
pedang itu yang separoh bentuknya bulat, sedang telinga
(palang tangkai) pun hanya sesisih saja. Datasnya terukir
dua buah huruf "Kuan-wi". Setelah tercapai idam2annya,
The Go ber-gegas2 minta diri, tapi Kit-bong-to mencegahnya, hingga kedua orang itu terpaksa bermalam
disitu. Besok pagi sore, baru mereka diidinkan pergi.
Ternyata Bek Lian sudah diangkut pergi kelain gua. Kepada
Tan It-ho, Kit-bong-to menyampaikan undangan: "Tiga
hari kemudian setelah sicantik itu tersadar, perkawinan
akan segera dilangsungkan. Harap kalian datang menyaksikan upacaranya."
Walaupun mengiakan, namun The Go dan Tan It-ho
takkan sudi datang kesitu lagi. Begitulah, dengan berlari,
keduanya turun kebawah gunung.
Setelah melintasi beberapa puncak, tibalah mereka
didekat batu besar yang berisi mustika tadi. Sebenarnya The
Go pun takkan mengetahui coba disitu tak ada bekas darah
kelinci yang ditangkap Tio Jiang. Sebagai seorang durjana,
sudah tentu The Go tak mau lewatkan begitu saja keanehan
itu. Menghampiri kedekatnya, diapun segera mengetahui
akan bagian batu yang pikisnya sudah dikupas habis oleh
Tio Jiang. Oleh karena mahir dalam ilmu sastera, maka
diapun pernah baca juga bagian kitab Pao-bu-cu yang
mengatakan begini: "Mustika dalam batu itu, sebenarnya
Pendekar Bodoh 9 Kuda Putih Karya Okt Pendekar Kelana 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama