Ceritasilat Novel Online

Naga Dari Selatan 11

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 11


memang ada. Berada didalam batu besar, yang selalu
lembab tak pernah kering. Begitu batu itu dipecah, maka
didalamnya akan ada sebuah benda yang macamnya seperti
telur kuning. Harus lekas2 diminum, kalau tidak, akan
mengeras seperti batu."
Juga diketahuinya akan khasiat benda itu bagi orang
yang telah meminumnya. Banyak nian orang persilatan
yang mengiler akan benda itu, tetapi tiada seorangpun yang
berani mengimpikan untuk memperolehnya. Bahwa kini
dirinya telah berhasil mendapatkan penemuan itu,
bukankah itu suatu karunia Allah" Demikian pikir The Go
sembari ter-menung2 disitu. Tan It-ho menjadi heran,
serunya: "Hiante, mengapa terus berada disitu saja?"
Masih The Go me-nimang2. Syukur dia sudah berhasil
memiliki sebatang pedang pusaka, kalau tidak mana dia
dapat mengambil pusaka yang berada didalam batu sebesar
itu" Agaknya, segala jalan telah dibuka untuknya. Tapi, hai
bagaimana dengan Tan It-ho yang selalu membuntuti
kemana perginya itu" Terkilas dalam ingatannya, bahwa
peristiwa dirinya dengan Bek Lian dan Kit-bong-to itu,
hanya Tan It-ho seorang yang mengetahuinya. Tiga hari
kemudian apabila Bek Lian tersedar, ia tentu tak sudi
diperisteri Kit-bong-to. Berurusan dengan seorang liar ganas
macam Kit-bong-to, Bek Lian tentu akan kehilangan
jiwanya. Ini berarti suatu penuduh atau saksi yang kuat,
telah lenyap. Tapi masih ada seorang saksi lagi, yakni Tan
It-ho. Bukankah dia bakal merupakan bahaya besar
terhadap dirinya dikemudian hari"
Adanya Bek Lian sampai jatuh hati, adalah karena
menampak wajah The Go itu sangat cakap. Memang benar,
Cian-bin Long-kun The Go itu seorang pemuda yang
cerdik, tampan dan gagah. Tapi sayang, hatinya berlawanan
dengan wajahnya: licik, culas dan ganas. Asal yang
menguntungkan dirinya, apapun dia sanggup melakukan.
Kini keputusan telah dijatuhkan. "Toa-ko, kemarilah,
memang disini terdapat sesuatu yang luar biasal"
Tan It-ho menghampiri, bermula dengan wajah ber-seri
girang, tapi pada lain saat, dia segera mengeluh dalam hati.
"Hiante, aku tak mau benda itu. Hiante boleh
memakannya semua!" serunya dengan gugup.
"Ah......., mengapa berkata begitu ?" The Go tertawa.
Semula Tan It-ho merasa lega mendengar nada ucapan The
Go, namun dia tetap mau menyingkir saja. Tapi baru
tubuhnya berputar, tiba2 matanya disilaukan oleh sebuah
sinar hijau kemilau. Sinar yang hijau kemilau itu ternyata
adalah sinar pedang Kuan-wi, tanpa disangka ......... tahu2
sudah menembus tenggorokan Tan it-ho.
GAMBAR 54 Mendadak sinar hijau berkilau dan tembuslah tenggorokan
Tan It-ho oleh pedangnya The Go yang keji. Begitu pedang itu
ditarik, kaki The Go berbareng diayunkan kemuka, dan
...........bum ..... tubuh Tan it-ho terhampar sampai setombak lebih
jauhnya. Tan it-ho adalah seorang durjana yang licik sekali, tapi
tokh dia harus mati ditangan durjana lainnya juga. Dan
yang paling tragis, dia yang merencanakan sehingga The
Go, berhasil memiliki pedang pusaka itu, tapi dia pula yang
merasakan buah dari perbuatan keji itu. Memang tepat apa
yang dikatakan oleh sebuah peribahasa: "Barang siapa yang
memasang lubang jebakan, dia sendiri tentu akan
terperosok kedalamnya."
Habis menyelesaikan saudaranya angkat, dia mencoba
ketajaman pedang Kuan-wi dan hai......, kiranya batu itu
dapat dipapas dengan mudahnya. Dengan 3 kali bacokan,
dia papas empat ujung dari batu itu. Tapi ketika dia mulai
hendak membelah, disebelah sana kedengaran jeritan Yanchiu, memberitahukan kepada Tio Jiang tadi. Malah untuk
kekagetannya, Kui-ing-cu dan Nyo Kong-limpun ikut serta.
Cepat2 dia kerjakan pedangnya. Berkat ketajaman pedang
kuan-wi, dalam beberapa, detik saja batu itu hanya tinggal
satu elo pesegi besar, tapi pada saat itu Tio Jiangpun keburu
sudah datang. Saking gugupnya, The Go segera bawa batu
itu bersama melarikan diri.
Tio Jiang juga tak kurang gugupnya. Celaka, kalau,
mustika. itu sampai termakan The Go, dia tentu laksana
harimau tumbuh sayap, makin ke-liwat2 ganasnya. Apalagi
didorong oleh kemarahannya bahwa Bek Lian tentu sudah
ditukar dengan pedang pusaka yang dicekal siorang muda
itu, maka sekali enjot sang kaki Tio Jiang maju
menerjangnya. Tapi si The Go sudah mendahuluinya lari.
Selagi dia mengejar dari sisihnya terasa ada angin menderu.
Ketika diperdatakan, kiranya itulah Kui-ing-cu yang hendak
mendahuluinya. Sudah tentu hatinya, sangat legah.
Sebaliknya ketika The Go berpaling kebelakang,
kagetnya bukan kepalang. Dia masih membawa batu besar
yang tak kurang dari seratus kati beratnya. Kalau kali ini
tertangkap musuh, jiwanya tentu melayang. Tiba2
dilihatnya mayat Tan It-ho membujur ditengah jalan. Cepat
mayat itu disongkeInya dengan kaki, terus dilemparkan
kearah Kui-ing-cu.
Kali ini Kui-ing-cu yang cerdik, terpaksa mengakui
kelicinan The Go.
Pertama Kui-ing-cu mengira, kalau The Go, itu hanya
seorang diri. Kedua disebabkan hari malam, jadi tak dapat melihat
dengan jelas. Maka tubuh Tan It-ho yang melayang itu dikiranya
adalah si The Go yang akan menyerangnya.
"Bagus!" seru Kui-ing-cu sembari menyingkir kesamping.
Sekali berputar dia kirim sebuah hantaman, bluk...... dada
The Go kena terhantam tepat sekali, sehingga pekakasnya
dalam menjadi porak poranda terhampar ditanah. Tapi Kuiing-cu segera menjadi curiga. Masa orang diam saja
dipukul, tiada menghindar tiada menangkis. Maka
dipereksanya tubuh itu dan
"Hai, ini Tan It-ho bukan The Go!" tiba2 Tio Jiang yang
itu saat sudah datang mendahuyui bertereak.
Kui-ing-cu terbelalak. Dengan banting2 kaki, dia
menggeram: "Hem, mana bisa dia lolos dari tanganku"
Hayo, kita berpencar mencarinya!"
Tio Jiang, Yan-chiu dan Nyo Kong-lim segera turut
perentah itu. Mereka berempat mengadakan penyelidikan yang teliti
sekali diempat penjuru. Namun bagaimana juga, pegunungan Sip-ban-tay-san itu sangatlah liar, rumputnya
hampir setinggi orang, apalagi diwaktu malam, jadi
sukarlah untuk mencarinya. Hampir dua jam lamanya,
mereka tak memperoleh hasil suatu apa. Terpaksa mereka
balik ketempatnya semula lagi. "Sungguh ku tak nyana,
dikolong langit ini masih ada orang yang sedemikian
cerdiknya," kata Kui-ing-cu, suatu pengakuan yang betul2
keluar dari setulus hatinya.
Karena tiada daya untuk menemukan jejak The Go,
terpaksa mereka hendak mencari penduduk disitu, guna
minta keterangan tempat kediaman suku Thiat-theng-biau
itu. Tapi ketika berjalan baru beberapa puluh tindak, kedua
ekor orang utan itu mendadak berhenti, hidungnya
berkembang kempis. "Hai, mengapa kamu berdua tak mau
jalan?" seru Yan-chiu terus hendak memukul kedua
binatang itu. Mendengar itu, pikiran Kui-ing-cu bekerja. Alat pembau
dari binatang itu tentu jauh lebih tajam dari manusia. Biar
bagaimana The Go tentu takkan dapat menyingkir jauh dari
situ. Hanya karena suasana tempat itu yang sangat lebat,
jadi mereka tak dapat menemukan. Tapi rasanya kedua
orang utan itu tentu dapat mencium bau orang buronan
tersebut. "Bukankah kamu mencium bau orang" Dimana dia?"
ujar Kui-ing-cu.
Seperti mengerti ucapan orang, Toa-wi dan Siao-wi
segera lari kemuka. Hanya sebentar saja kedua binatang itu
mencabuti semak2 puhun, atau dibalik sebelah sana tampak
sebuah mulut goa kecil. Kui-ing-cu yakin kedua orang utan
itu tentu sudah dapat mencium jejak The Go.
"Jaga mulut goa ini, jangan sampai orang itu lolos!"
serunya pula kepada kedua binatang.
Tio Jiang, Yan-chiu dan Nyo Kong-lim sangat benci
sehali kepada The Go. Sudah tentu mereka bertiga menjadi
kegirangan sekali. Tapi ketika mereka hendak berpencar,
tiba2 didengarnya Toa-wi menggerung kesakitan seraya
mundur dengan lengannya kanan berlumuran darah.
Berbareng itu, tampak seorang mahasiswa tengah melesat
keluar sembari bolang balingkan pedang.
Bertemu dengan musuh lama, merah mata Tio Jiang,
"Tahan!" serunya dengan gusar seraya memungut dua
buah batu kecil terus ditimpukkan kemuka. Mahasiswa
yang bukan lain adalah si The Go menangkis dengan
pedangnya, tring, tring, kedua batu itu tersampok jatuh.
Tapi karena keayalannya sedikit untuk menangkis itu, maka
Kui-ing-cu sudah menghadang dibelakangnya. The Go
sapukan pandangan mata keempat jurusan. Tiba2 dia
tertawa keras2 sambil menyarungkan pedangnya. Sikapnya
berobah tenang sekali.
"Bajingan, kau ketawa apa" !" bentak Yan-chiu dengan
marahnya. Namun The Go tetap ketawa tak mau
menghiraukan, malah kedua tangannya digendong dipunggung, seperti orang tengah ber-jalan2 mencari angin
saja. Melihat The Go tak menyahut, Yan-chiu bertindak
sebagai hakim dengan membeber panjang lebar tentang
kejahatan dan kedosaan orang itu. Dengan bakat lidahnya
yang tajam disertai kebenciannya kepada orang itu, maka
Yan-chiu dapat menelanjangi habis2an si Cian-bin Longkun yang dipersamakan martabatnya sebagai babi dan
anjing yang hina dina. Namun wajah The Go tetap tak
berobah, hanya mengulum senyum mengawasi saja. Begitu
Yan-chiu sudah puas memaki, barulah dengan tenangnya
dia bertanya: "Lalu nona hendak berbuat apa kepada aku orang she
The?" Yan-chiu tertegun. Tak kira ia kalau orang muda itu
sedemikian tebal kulit mukanya. "Bunuh mati sampah
masyarakat macam kau ini!"
The Go tertawa gelak2, matanya ber-kilat2 melirik
kearah empat orang itu. "Silahkan nona turun tangan!"
sahutnya dengan tenang. Sepasang tangannya pun tetap
masih digendong dipunggung, seperti orang yang sudah
ikhlas menyerahkan nyawa.
Yan-chiu sudah gerakkan tangan hendak menghantam,
tapi demi tampak The Go diam saja, ia tertegun bentaknya:
"Bangsat, kenapa kau tak mau menangkis ?" The Go
ketawa, sahutnya: "Bukankah nona tahu kalau sepasang
tangan itu sukar melawan delapan tangan, bukan" Aku
hanya, seorang, fihakmu ada 4 masih ditambah dengan dua
ekor orang utan itu. Perlu apa aku harus lakukan kerjaan
yang sia2" Lebih baik lekaslah bunuh orang she The ini,
agar jangan sampai ditertawai kaum persilatan nanti!"
Yan-chiu tak dapat berkutik dengan tangkisan mulut
yang tajam, itu. Sebaliknya Kui-ing-cu segera bertanya:
"Dimana kau sembunyikan mustika batu itu ?"
Cukup diketahui oleh The Go bahwa diantara keempat
orang itu, hanya Kui-ing-cu ini yang paling lihay sendiri.
Mendengar pertanyaan itu, pura2 dia bersikap kaget.
"Hai, jadi mustika batu itu kepunyaan lo-cianpwe ?"
tanyanya. Kui-ing-cupun terbungkam dengan mulut si The
Go, siapa kedengaran berkata lagi dengan tertawa:
"Testamen Tat Mo Cuncia yang mengatakan 'barang siapa
berjodoh dialah yang menemukan' itu bohong belaka.
Kiranya siapa yang lebih kuat, dialah yang berhak
mendapatkan!"
Tu lihat ketajaman lidah Cian-bin Long-kun. Orang
mengira dia sungguh2 meng-olok2 Tat Mo Cuncia, tapi
maksud yang sebenarnya dia menuduh Kui-ing-cu berempat
itu sudah mengandalkan kekuatannya berjumlah banyak,
hendak merampas hak orang lain. Lagi2 Kui-ing-cu
terkancing mulutnya.
"Kalian berempat, mengapa tak lekas2 maju mengeroyok
aku?" tanyanya pula dengan sinis. The Go faham, bahwa
musuhnya berempat itu adalah orang2 persilatan yang
menjunjung kesusilaan adat persilatan sengaja dia keluar
kata2 itu, supaya mereka janggan mengeroyok, tapi satu
lawan satu saja.
"Orang she The, jangan berlagak, biarlah aku seorang
yang menjadi wakil!" tiba2 Tio Jiang yang jujur, berseru.
Pernyataan itu diluar persangkaan The Go, maka ia pun tak
mau sia2kan ketika yang baik itu lagi, tanyanya "Siaoko,
apakah ucapanmu itu boleh dipercaya?"'
"Tentu!" sahut Tio Jiang dengan kontan, tapi berbareng
dengan itu Kui-ing-cu sudah memperingatnya: "Siaoko,
jangan kena perangkapnya!" Tapi peringatan Kui-ing-cu itu
sudah kalah dulu dengan janjinya tadi, apalagi disana The
Go sudah menjurah dengan menghaturkan kemenangannya: "Sam-wi, dengarlah. Pada saat ini aku
orang she The hendak bertempur satu lawan satu dengan
murid Ceng Bo siangjin, mati hidup terserah pada nasib,
masing2 tak boleh penasaran!"


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan ucapannya itu The Go hendak desak Kui-ing-cu,
Nyo Kong-lim dan Yan-chiu jangan menghalangi
pertandingan itu. Yan-chiu deliki mata pada sang suko,
yang dianggapnya, keliwat sembrono hingga termakan tipu
musuh. Tapi Tio Jiang tak menghiraukan. Biar bagaimana,
dia hendak mengadu jiwa pada orang yang sangat
dibencinya itu.
Tio Jiang tak mau buang banyak tempo. Begitu sepasang
tangan dirangkapkan kedada, dia segera lancarkan pukulan
pertama. The Go menghindar kesamping, tangan kiri
mendorong maju sedang tangan kanan melolos pedang
Kuan-wi. Dengan gerak heng-soh-cian-kun, menyapu
ribuan lasykar, dia babat pinggang orang. Karena
kepolosannya, Tio Jiang tak mengira kalau begita bergebrak
musuh terus hendak gunakan senjata. Karena jaraknya
begitu dekat, sudah tentu dia tak keburu menghindar.
Pinggangnya serasa nyeri, ketika tangannya meraba kiranya
berlumuran kena darah. Ter-sipu2 dia mundur 3 langkah
untuk memereksa lukanya. Pinggang itu terluka antara 3
inci dalamnya, syukur hanya terluka luar saja.
Dengan mata menyala-nyala, Nyo Kong-lim bertiga
mengawasi Tio Jiang. Tapi mereka tak dapat berbuat apa2,
karena didesak oleh kata2 The Go yang tajam. Melihat
serangannya pertama berhasil, The Go tak mau memberi
hati. Bergerak maju, dia menusuk keulu hati. Dengan
tahankan kesakitannya, Tio Jiang beralih kesamping seraya
ayunkan sepasang tangan, yang kanan memukul batok
kepala dengan tok-biat-Huasan, yang kiri dengan gerak
siao-kin-na-chiu mencengkeram siku tangan kanan musuh.
The Go tertawa, tiba2 dia rubuhkan diri kesamping untuk
menusuk perut lawan.
Tio Jiang kenal jurus itu sebagai "menarik penampan
mengambil poci" dari ilmusilat hong-cu-may-ciu. Setelah
mempelajari ilmusilat itu, Tio Jiang bertekun mempelajari
sari2 keindahannya, maka diapun tak gentar menghadapi
serangan macam begitu. Bukannya menghindar, dia
berbalik malah gunakan ilmu, tendangan wan-yang-lianhoan, menendang keatas.
Selagi The Go bersorak dalam hati melihat lawan diam
saja, tiba2 sepasang kaki melayang kedadanya. Benar kalau
dia teruskan tusukannya, lawan pasti akan terjungkal, tapi
sendiripun akan, pecah kepalanya, Sudah tentu dia tak
mau. Tangan ditarik kebelakang, terus diganti dengan jurus
it-ho-jong-thian (burung ho menobros langit) untuk
membabat kaki lawan. Sambil bertahan, menyerang.
Demikian kegunaan jurus yang lihay itu.
Dia lihay, tapi iImu tendangan, musuh lebih lihay lagi.
Tendangan tadi hanya kosong, begitu musuh robah
serangan, diapun menghadapinya dengan lain gaya. Setelah
dengan cian-kin-tui (tindihan seribu kati) tubuhnya
menurun, lalu dilanjutkan dengan ko-chiu-poa-kin (puhun
tua melingkar akar) menyapu kaki lawan, bluk........
terjungkallah The Go dengan telak sekali. Bahkan lukanya,
lebih sakit dari luka pinggang Tio Jiang tadi. Memang tadi
dia hanya, tumpahkan perhatiannya kearah gerakan sang
pedang, jadi per-tahanan kaki kosong, ini dapat dimasuki
Tio Jiang secara tepat sekali.
Tapi sesaat itu Tio Jiang rasakan lukanya gatal, tapi tidak
sakit. Tapi dia tak mempunyai banyak waktu untuk
memereksanya, karena kala itu The Go sudah siap
menghadapi lagi. Pertempuran kali ini makin seru dalam
tempo yang cepat. Sekejab saja sudah berlangsung belasan
jurus. Jurus2 'an' dilancarkan oleh masing2 fihak, jurus
berbahaya semua. Malah ada beberapa kali, kedua seteru
itu se-olah2 hendak mati bersama.
Serangan Tio Jiang makin lama makin dahsyat. Ilmu
1wekangnya kini sudah melebihi The Go, jadi sekalipun
orang she The itu membekal pedang pusaka, namun dia tak
dapat berbuat banyak. Tapi lewat beberapa saat lagi, hati
Tio Jiang terasa bingung, tenaganya berkurang. Melihat
The Go hendak menyapu kakinya, dia malah menurunkan
tubuh se-olah2 hendak mendekati maju. Justeru dia lewat
disisi Yan-chiu siapa kedengaran berseru keras: "Suko,
mengapa, luka dipinggangmu itu darahnya berwarna
hitam?" Tio Jiang terkesiap dan berbareng rasa gatalpun
menyerang hebat. Habis melancarkan pukulan, tenaganya
terasa habis. The Go biarkan pundaknya dihantam, tapi
diapun berhasil menusuk pundak lawan.
"Bangsat, mengapa kaupolesi racun pada senjatamu?"
damprat Tio Jiang sembari surut kebelakang. Apa" Baru
kemaren saja senjata ini kuterima, bagaimana aku dapat
memberinya racun" Jiwamu tak dapat ditolong, jangan
penasaranlah!" sahut The Go.
Juga Kui-ing-cu melihat keanehan luka Tio Jiang. Demi
tampak Tio Jiang tertusuk lagi, cepat sekali dia sudah
ulurkan tangan untuk mencengkeram tangan The Go.
Sekali pijat, The Go rasakan lengannya kesemutan dan
pedangnyapun jatuh ketanah. "Ha...., ha...., memang telah
kukatakan tadi, orang gagah itu paling susah menghadapi
keroyokan!" The Go berbalik ketawa dengan tak gentar.
"Cuh....." Kui-ing-cu menyemburkan ludahnya kearah
The Go. "Kau anggap dirimu itu orang gagah dari mana?"
The Go miringkan kepala untuk menghindar, tapi tak
keburu. Mukanya serasa panas membara, nyerinya bukan
alang kepalang. Benar dugaannya tadi, tokoh ini jauh lebih
sakti dari Ceng Bo siangjin. Untuk menghadapinya harus
gunakan diplomasi lidah yang tajam. ,Bukantah tadi
engkoh Tio itu sendiri yang mengatakan hendak bertepur
satu lawan satu. Kalau sememangnya dia rendah
kepandaian, memangapa aku yang dipersalahkan?"
Kui-ing-cu kendorkan cengkeramannya dan sekali
dorong, The Go terlempar jatuh sampai setombak lebih
jauhnya. Setelah itu dia injak pedang Kuan-wi tadi, dia
mengancam: "Hai, anak muda jangan lari! Lekas ambilkan
obat pemunah bisa!"
Ketika memereksa luka Tio Jiang, didapatinya sang
daging sudah merekah, penuh digenangi dengan air hitam,
Cepat2 Kui-ing-cu tutup jalan darah ditiga bagian. Tio Jiang
rubuh ditanah tak dapat berkutik. Hati Yan-chiu serasa
hancur, sambil memereksa luka itu ia menyesali sang suko:
"Mengapa kau begitu gegabah" Kalau kita berempat maju,
masa The Go akan dapat berkutik. Andaikata hendak
berkelahi satu lawan satu, toh juga harus Kui lo-cianpwe
yang maju. Kau tangan kosong, diia mempunyai pedang
pusaka, kan sangat berbahaya sekali!"
Tio Jiang diam saja dilleyleri Sang sumoay itu. Karena
dia merasa salah tadi sudah keliwat sembrono. Ya,
maklumlah karena dia sangat benci sekali kepada orang she
The All. Pada saat itu, kaki dan tangannya kiri serasa matirasa, jadi diet tak menghiraukannya.
"Siao-ah-thau, sudahlah. Karena siaoko sendiri yang
menghendaki, jadi kalau harus binasa itupun sudah layak,
tak perlu kau sesalkan!" kata Kui-ing-cu
Mendengar Kui-ing-cu mengucap begitu, Yan-chiu
terbeliak matanya tak dapat ber-kata2 lagi. Sebaliknya
disebelah sana, The Go yang juga dapat mendengarnya,
segera menimbrung: ,Memang para cianpwe dalam dunia
persilatan itu selalu menjunjung kepercayaan dan janji.
Nah, aku yang rendahpun hendak minta diri."
Habis mengucap, dia terus hendakk angkat kaki, tapi
dilarang oleh Kui-ing-cu.
"Aneh, bukankah kita sudah janji" Bukankah telah
dijanjikan terlebih dahulu ?" tanya The Go pura2 heran.
"Benar, memang yang telah dijanjikan tadi yalah fihak
kita takkan maju 4 orang sekaligus, tapi tidak dijanjikan
tentang adanya kedua ekor orang utan itu, bukan?" sahut
Kui-ing-cu bergelak tawa.
The Go melirik kearah binatang yang dimaksud itu
Bersoraklah dia didalam hati. Yang besar tadi, telah
termakan tusukan pedangnya. Disebabkan, karena tubuhnya kuat, jadi binatang itu masih dapat bertahan. Tapi
saat bekerjanya racun itu, rasanya tak lama lagi. Masih
seekor yang kecil, kiranya mudah diatasi. "Jadi binatang
itupun mau coba2 juga?" tanyanya dengan sinis.
"Hm.....," Kui-ing-cu perdengarkan dengus hidung
karena geramnya, "yang besar sudah kena tusukanmu, tak
usah berkelahi. Cukup kau melawan yang kecil saja!" Habis
itu dia lalu memberi aba2 pada Siao-wi, sikecil: "Siao-wi,
robeklah orang itu!"
Melihat kakaknya terluka, Siao-wi marah. Begitu
menerima perintah Kui-ing-cu dia terus melangkah dan
menghantam. Tapi baru sampai ditengah jalan, dirobah
menjadi sebuah tamparan kearah kepala. Itulah jurus
pertama dari ilmusilat ,Mondar mandir". Sudah tentu
hilang semangat The Go dibuatnya. Karena pedang kuanwi masih diinjak oleh Kui-ing-cu, jadi terpaksa dia
menghindar kesamping.
Diluar dugaannya, walaupun tubuh orang utan itu
keliwat besar, tapi gerakannya tetap lincah tangkas melebihi
orang. Serangan pertama luput, serangan kedua sudah
menyusul. Dua belah tangannya yang besar dipentang
untuk berbareng menghantam The Go. The Go keheran2an, masakan orang utan dapat bersilat. Cepat dia
rogoh keluar kipas terus maju menurun untuk menutuk
jalan darah ki-hay-hiat dirusuk sibinatang.
Kalau Siao-wi belum mempelajari ilmusilat "Ih-jin-kun"
(Silat si Tolol), mungkin kala itu dia akan sudah dapat
ditutuk. Ilmusilat itu terdiri dari 7 jurus yang dapat
digunakan untuk bertahan dan menyerang. Jurus kedua tak
kena, jurus ketiga sudah menyusul lagi, kini menjotos
kepala lawan. Sebelum The Go sempat melancarkan
tutukannya, belakang kepalanya terasa ada angin menyambar. Saking kagetnya, dia menyelinap masuk disela2 kaki sibinatang untuk memberosot lari kebelakang.
Kemudian disitu, dia memutar diri dan menutuk jalan
darah wi-liong-hiat.
Biar bagaimana, Siao-wi itu tetap seekor binatang. Begitu
serangannya ketiga tak mengenai, diapun heran mengapa
musuh tak kelihatan disebelah muka. Tapi secara otomatis,
diapun mainkan juga jurus yang keempat dan ini sudah
tentu memberi keuntungan pada The Go. Sekali
menghantam dan menusuk, dapatlah The Go mencapai
tujuannya..........
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 29 : KALAH DAN MENANG
Kalau lwekang The Go tangguh, tutukan dan pukulan itu
tentu akan sudah dapat menyelesaikan Siao-wi. Tapi
nyatanya tidak, karena Siao-wi hanya menderita kesakitan
hebat dan mengaum keras dengan geramnya. Begitu
memutar, dia terus main terkam. Sakit tadi telah
menyebabkan ke 7 jurus ilmusilat "Ih-jin-kun" hilang dari
ingatannya. Gerakannya kini tidak menyerupai lmusilat lagi
dan karena itu dalam beberapa saat saja, ia telah menerima
lagi beberapa hantaman. Adalah karena kulitnya keras, jadi
kesemuanya itu tak dihiraukan.
Pada fihak The Gopun tak kurang gelisahnya. Terang
tadi dia sudah berhasil menutuk jalan darah wi-liong-hiat,
tapi mengapa binatang itu tak kurang suatu apa. Melirik
kearah Kui-ing-cu didapatinya tokoh lihay itu masih
menginjak pedang kuan-wi. Ah, rasanya pedang itu sukar
kembali ketangannya, mengapa tak kabur saja " Mustika
batu itu sudah dia sembunyikan dalam suatu tempat yang
tak nanti diketemukan oleh keempat orang itu. Setelah
rencana ditetapkan, dia mengolok Tio Jiang: "Engkoh Tio,
lewat dua hari lagi Lian sucimu akan melangsungkan
perkawinan dengan kepala suku Thiat-theng-biau si Kitbong-to. Apa kau tak ingatan datang meminum arakkebahagiaannya ?"
"Dimana tempat kediaman suku Biau itu ?" tanya Tio
Jiang tersentak kaget.
"Disamping dari Tok-ki-nia, pada puncak yang ketiga,
terdapat sebuah batu yang bercat hitam tiada tumbuhan
rumput sama sekali, itulah ........tempatnya !"
Mendengar itu Tio Jiang terus serentak akan berangkat,
tapi ditertawai Kui-ing-cu: "Usah begitu kesusu, kan masih
ada 2 hari. Biarkan anak itu mati konyol lebih dahulu."
"Rasanya tak mudah!" kedengaran The Go menyeringai,
lalu menghantam pula pada Siao-wi sampai mundur, baru,
berkata lagi: "yang nyata, racun pedang itu sudah bekerja,
dikuatirkan meskipun obat pemunah ada tapi sudah, kasip!"
Perang urat syaraf si The Go itu, memaksa Kui-ing-cu,
harus memperhatikan Tio Jiang. Daging pada bagian
lukanya itu memang sudah berwarna hitam, benar seperti
yang dikatakan si The Go. "Bangsat, kau harus turut serta
ke Thiat-nia sana, kemudian setelah balik kemari lalu
bertempur lagi dengan Siao-wi. Coba kumau tahu, kau mati
lelah, tidak nanti!" seru Kui-ing-cu.
The Go menginsyafi bahwa untuk lolos, tak semudah
seperti yang direncanakan. Satu2nya harapan yalah
mengulur, waktu, mudah2an nanti terjadi perobahan yang
tak terduga. "Janji adalah janji! Pergi ya pergi, perlu apa
harus kuatir!" sahutnya.
Kui-ing-cu tak mengira sama sekali kalau si The Go
berani memberi penyahutan begitu, mengartikan ucapannya
(Kui-ing-cu) tadi suatu janji. Sebagai seorang cianpwe,
diapun tak mau kalah hawa. Disuruhnya Siao-wi berhenti,
dan

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggendong Toa-wi, sedang Nyo Kong-lim memanggul Tio Jiang. Sekali menjentik dengan ujung kaki,
maka pedang kuan-wi segera disongsongnya dan mulutnya
memerintah: "Berikan sarungnya!"
Tanpa ragu2 The Go lemparkan sarung itu kepada Kuiing-cu, siapa setelah memasukkan pedang kedalamnya lalu
menyerahkan pada Yan-chiu: "Jaga baik2, jangan sampai
kena diselomoti oleh bangsat itu!"
"Apa dia bisa?" bantah Yan-chiu.
"Ah......, jangan pandang rendah dia!" bentak Kui-ingcu. Mendengar itu, The Go tertawa, ujarnya: "Terima kasih,
locianpwe begitu menghargakan pada orang she The ini!"
"Hm .......," Kui-ing-cu mendengus, lalu menggusur The
Go dan, menyuruhnya berjalan, menuju kepuncak Thiat-nia
tempat kediaman suku Thiat-theng-biau.
Menjelang terang tanah, sampailah mereka kesana.
Ternyata suku Thiat-theng-biau itu mengasingkan diri
dengan, dunia luar. Orang asing dilarang kesana. Hampir
tiba disarang mereka, kelima orang itu sudah disambut
dengan 3 batang anak panah beracun. Syukur Nyo Konglim yang berjalan paling depan dapat menghalaunya.
Menyusul dengan itu, 3 orang Biau muncul, Melihat The
Go datang lagi dengan membawa seorang gadis (Yan-chiu),
mereka menjadi hiruk pikuk sendiri. Oleh karena kelima
orang itu tak mengerti bahasa mereka, jadi digunakan
bahasa isyarat tangan, yang maksudnya mereka hendak
mengunjungi kepala suku. Rupanya ketiga orang Biau itu
mengerti, lalu membawa mereka naik kepuncak.
Ketika tiba dipertengahan lamping gunung yang ternyata
menjadi tempat kediaman suku Thiat-theng-biau,
terdengarlah genderang ramai dibunyikan. Beratus-ratus
orang Thiat-theng-biau tengah mengelilingi sebuah tonggak,
pada tonggak mana diikat seseorang. Ada 4 orang Biau,
tengah main lempar2an tombak disisi orang itu. Begitu
dekat sekali tombak2 itu berseliweran disisi siorang, hingga
orang yang melihatnya tentu akan mengucurkan keringat
dingin. Kira2 4 meter jauhnya dari tonggak itu, duduk
seorang Biau yang tubuhnya juga kate, tapi kepalanya
besar. Dia tengah berteriak2 dengan kerasnya.
Melihat wajah orang yang diikat itu, Tio Jiang terus saja
berteriak: "Lian suci!" Orang itu rupanya mendengar dan
dongakkan kepala. Hai, memang Bek Lianlah adanya!
Mengapa ia sudah tersadar, padahal, obat bius Kit-bongto yang terkenal manjur itu, akan dapat menidurkan orang
sampai 3 hari" Kiranya obat itu hanya tepat kemanjurannya
apabila digunakan terhadap orang biasa. Terhadap orang
yang mengerti lwekang macam Bek Lian, dalam dua hari
saja, yakni pada hari kedua tengah malam, ia sudah
tersadar. Ini disebabkan ketika merasa limbung, cepat2 ia
kerahkan lwekang untuk menahan.
Sebaliknya hal itu malah membuat Kit-bong-to
kegirangan. Seketika itu juga dia hendak melangsungkan
pernikahan. Sudah terang, Bek Lian menolaknya. Dalam
perkelahian, Kit-bong-to kena ditampar dua kali, saking
gusarnya dia bersuit keras. Dalam sekejab saja, ratusan
orang Biau segera datang. Sudah tentu Bek Lian kalah dan
lalu diikat pada sebatang tonggak. Kit-bong-to perintahkan
4 orang untuk main lempar tombak. Bermula jaraknya 2
meteran dari Bek Lian, tapi lama2 makin dekat. Ketika
kelima orang tadi datang, jarak itu hanya tinggal berapa
dim saja. Hanya sekali Kui-ing-cu enjot tubuhnya kedekat tonggak
dan empat batang tombak itu sudah terpegang ditangannya.
Kit-bong-to serentak berbangkit dengan marahnya, tapi
serta dilihatnya dibelakang tetamu pengacaunya ada dua
ekor orang utan, dia duduk kembali. Suku Thiat-theng-biau
bertetangga dengan "kerajaan" orang utan, jadi tahu
bagaimana kelihayan orang utan itu. Melihat ada setitik
harapan, Kui-ing-cu pondong Tio Jiang kemuka kepala
suku itu. Sembari menunjukkan lukanya, dia gunakan
bahasa isyarat meminta obat.
Rupanya Kit-bong-to mengerti, dia tundukkan kepala
memeriksa. Setelah mengucap beberapa patah kata, dia lalu
berbangkit pergi. Kui-ing-cu cemas, kalau kepala suku itu
tak mau memberi obat, celakalah anak itu. Tangkap
penjahat, harus tangkap kepalanya, demikian pikirnya. Dia
memburu sembari gunakan siao-kin-na-chiu
untuk menangkap siku tangan Kit-bong-to. Tapi karena bagian
tubuh itu dibungkus dengan rotan besi, terkaman Kui-ing-cu
itu tak dapat menekan uratnya. Malah sekali gerakkan
tangan, Kit-bong-to balas menghantam.
"Ho, kau berani memukul ?" damprat Kui-ing-cu
menarikk se-kuat2nya, hingga Kit-bong-to terbanting jatuh.
Kui-ing-cu loncat menghampiri untuk menariknya bangun
sembari mempelintir tangannya kebelakang. "Ambilkan
obat!" Ternyata Kit-bong-to itu se-dikit2 juga mengerti bahasa
Han. "Hohan, ampunilah jiwaku!" dia meratap.
Kui-ing-cu tertawa dingin serunya: "Siapa maukan....... "
baru sampai disini, tiba2 terdengar jeritan melengking,
seperti suara Yan-chiu. Kiranya tadi karena hendak buru2
menolong Bek Lian, dia sudah lepaskan The Go. Kala itu
dengan sebatnya, The Go segera menyerang Yan-chiu,
siapa karena sedang memperhatikan sang suci, jadi sudah
tak keburu menghindar. Mukanya tertampar dan tahu2
pinggannya ditarik, sekali hantam tali pengikat sarung
pedang kuan-wi putus, dan pedang itu dengan cepatnya
sudah beralih ditangan The Go.
Saking gusarnya Yan-chiu sampai pucat pilas. Ia kirim
dua hantaman, tapi terpaksa tak berani meneruskan karena,
The Go tangkis dengan pedang pusaka. Nyo-kong-lim
menggendong Tio Jiang, sedang Siao-wi memanggul Toawi, jadi mereka sama tak berdaya. Kui-ing-cu sembari
menangkap tangan Kit-bong-to terus hendak loncat
memburu, tapi dihadang oleh kawanan orang Biau yang
sama mengepungnya. Mereka hiruk pikuk berisik sekali.
Beberapa kali Kuiing-cu hendak menobros, selalu gagal.
Selama berpuluh tahun berkelana didunia persilatan,
baru pertamakali itu Kui-ing-cu menjadi gelisah. ,Kit-bongto, lekas suruh orang2mu mundur!"
Kit-bong-to sombong dan ganas. Dipelintir oleh Kui-ingcu, dia sangat gusar sekali. Lebih baik mati bersama
daripada menyerah. Maka setelah bertereak beberapa kali,
kawanan orang Biau itu bukannya bubar, malah makin
mengepung rapat2 pada keempat orang itu. Ada beberapa
yang men-julur2kan tombak, se-olah2 hendak menyerang.
Sampai pada saat itu, Kui-ing-cu benar2 habis kesabarannya. Bang...., bang....... sebuah batu yang berada
disebelah situ menjadi hancur. Kui-ing-cu gunakan seluruh
kekuatannya untuk menghantam dan betapapun kerasnya
batu itu, akhirnya porak lebur bertebaran. Walaupun
orang2 Thiat-theng-biau itu masih liar, tapi menghadapi
kejadian sedahsyat itu, mereka terperanjat jeri juga. Setelah
ber-tereak2 secara aneh, tampaknya kepungan mereka
menjadi agak kendor.
"Lekas suruh orangmu ambil obat penawar racun, tentu
kuampuni jiwamu. Kalau tidak, masa kepalamu sekeras
batu itu?" Kui-ing-cu mengancam. Baru kini Kit-bong-to
mengerti maksud kedatangan tetamunya itu. Daripada
jiwanya, terancam, dia lekas suruh orangnya mengambilkan
obat itu. Sewaktu Kui-ing-cu mengawasi kedalam rombongan
suku Biau itu, The Go sudah tak kelihatan bayangannya
lagi. Dia banting2 kaki, karena sekali ini sukarlah untuk
membekuk anak muda yang licin itu. Yan-chiu tetap
cemberut, tapi pada lain saat ia tertawa, katanya: "Kita
pergi tunggui dia ketempat tadi, masakan dia tak datang
mengambil mustika batu itu lagi?"
"Mungkin kalau lain orang, tentu berbuat begitu. Tapi
Masakan The Go tak dapat memperhitungkan kalau kita,
tentu datang menungguinya disitu"! Jangan buang tenaga
sia2!" ujar Kui-ing-cu.
Yan-chiu tak dapat membantah kecuali memaki kalang
kabut pada The Go. Tak antara berapa lama obat telah
diambilkan. Setelah diminumkan, Tio Jiang dan Tao-wi
menjadi sembuh. Kit-bong-to pun lepaskan Bek Lian.
Sampai detik itu, nona itu tetap belum mengetahui
keculasan The Go. "Engkoh Go" Tadi dia masih disini,
mengapa tak kelihatan.?" tanyanya.
Yan-chiu tertawa dingin menyahut "Mana engkoh
Gomu berani bertemu kau lagi" Dia tukarkan dirimu
dengan pokiam dari orang liar sini, mengapa kau masih tak
tahu" "
Bek Lian terkesiap. Memang selama dalam perjalanan
itu sikap The Go tak sewajarnya. Tapi pada lain saat, ia
tentang sendiri kecurigannya itu
"Siao Chiu, jangan omong sembarangan. Biar kamu
membencinya, tapi aku tidak !"
Melihat sikap Bek Lian yang keras kepala begitu, Kuiing-cu dan Nyo Kong-lim geleng2 kepala. Kui-ing-cu paling
benci terhadap orang yang bertingkah begitu, maka dia
dongakkan kepala tak melihatnya lagi. Tio Jiang coba
menyadarkan, katanya dengan nada ber-sungguh2 : "Lian
suci, jika kau tetap mempercayai bangsat itu, celakalah
dirimu!" "Jangan ngoceh tak keruan! Sewaktu hidup, aku menjadi
orangnya. Kalau binasa, pun aku akan menjadi setannya.
Mengapa kau larang aku memperhatikan dia" Mamah
bilang, siapa saja yang mencegah hubungan kami berdua
itu, dialah musuhnya!" sahut Bek Lian dengan murka.
Kui-ing-cu terpaksa terkejut juga. Menilik perangai yang
aneh dari Kang Siang Yan, tentu ia benar2 mengeluarkan
pernyataan begitu. Apalagi nyonya itu keliwat menyayangi
puterinya, serta terpengaruh oleh rupa dan sikap baik yang
dibawakan oleh The Go.
"Siaoko," kata Kui-ing-cu kepada Tio Jiang dengan
menghela napas, "kewajiban kita untuk menolong orang
sudah selesai. Kini mari kita cari suhumu saja. Pertemuan
hari pehcun sudah tinggal 10 hari lagi!"
Nyo Kong-lim setuju, karena dia benci juga kepada, Bek
Lian yang kepala batu itu. Sebaliknya dengan Tio Jiang,
yang meminta sang suci supaya ikut rombongannya.
"Siapa sudi turut pada rombonganmu" Aku dapat
mencari jalan sendiri!" serunya sembari membalik tubuh
terus turun kebawah. Mata Kit-bong-to beringas hendak
mencegahnya, tapi tak berani. Kui-ing-cu kedengaran
menghela napas, serunya seorang diri: "Kalau memang
sejak lahir jahat, itu dapat dimaafkan. Tapi kalau kejahatan
itu timbul dari perbuatannya sendiri, tak pantas hidup
didunia ini!"
Itulah kata2 Kui-ing-cu ketika dia berjumpa dengan The
Go dan Bek Lian dihutan. Mendengar itu hati Yan-chiu
tergerak, tanyanya: "Bagaimana dapat dikatakan timbul
dari perbuatannya sendiri itu?"
Kui-ing-cu tak menyahut. Diam2 Yan-chiu mengacai
perbuatannya sendiri. Ia mencintai sang suko, tapi tak
berani menyatakan terang2an, hingga sang suko tak
mengerti, akibatnya ia menderita sendiri. Adakah itu pantas
digolongkan pada ucapan kedua dari Kui-ing-cu tadi"
Dalam berpikir begitu, dia mendongak mengawasi Tio
Jiang. Demi tampak apa yang dilakukan sang suko pada
saat itu, hatinya tawar lagi. Kiranya saat itu Tio Jiang
tengah memandang kebawah, memaku pandangan matanya
kearah bayangan Bek Lian. Sepintas pandang, tampaknya
memang Tio Jiang masih lekatkan hatinya kepada sang
suci, seperti yang diduga oleh Yan-chiu. Tapi sebenarnya
tidak demikian. Kalau dia mengawasi itu, hanyalah karena
kuatir akan keselamatan sang suci, bukan sebagai kecintaan
tapi sebagai saudara seperguruan.
Oleh, karena sifatnya yang polos, dia sudah begitu
berduka karena Bek Lian masih gelap pikirannya. Sejak
ketika dikaki Hoasan dia melihat Bek Lian dan The Go
begitu mesranya, dia sudah tersadar bahwa cinta itu tak
boleh dipaksa, Sikap Bek Lian beberapa, detik tadi, makin
memperkokoh keinsyafannya. Teringat bagaimana selama
itu dia begitu, ter-gila2, dia geli sendiri. Tapi hal itu tak
diketahui Yan-chiu, siapa masih menyangka dia tetap
menyintai sang suci.
Begitulah mereka berempat segera tinggalkan puncak
Thiat-nia situ. Turut perhitungan kala itu sudah tanggal 20,
bulan 4, jadi tinggal setengah bulan lagi dengan waktu
pertemuan hari pehcun itu. Sebenarnya pertemuan atau
tantangan berkelahi itu, dibuat antara The Go dengan Kiao
To. Tapi dalam setengah tahun ini, perkembangan menjadi
lebih bih luas, hinggaa banyaklah kaum persilatan yang
hendak mencari The Go. Dalam hal itu sudah tentu fihak
Ang Hwat cinjin akan bertempur mati2an untuk menjaga
gengsi. Oleh karena itu selama dalam perjalanan, Kui-ingcu
memberi gemblengan terus pada ketiga orang itu.
"Siao-ah-thau, apakah kau mengerti apa "yang disebut
daIam ilmu perang yang kosong itu berisi, yang berisi itu


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kosong" ?" tiba2 Kui-ing-cu menanyai Yan-chiu. Pikiran
nona, itu tengah penuh sesak dihimpit oleh ber-macam2
lamunan, maka sembarang saja ia menyahut: "Sudah tentu
tahu!" "Bagus," seru Kui-ing-cu bertepuk tangan, "kita duga
The Go tentu tak sebodoh itu untuk kembali mengambil
mustika batu, maka kita putuskan tak pergi kesana. Tapi dia
memperhitungkan tindakan kita itu, jadi dia tentu datang
kesana, benar tidak?"
"Benar!" sahut Yan-chiu tanpa berpikir lagi. Malah Nyo
Kong-lim serentak sudah menggembor. "Kita kesana lekas"'
Kala itu mereka sudah tiba dekat tempat pertempuran
kemarin malam. Maka mereka cepat membiluk ketimur
menuju kesana untuk me-lihat2. "Toa-wi, Siao-wi
periksalah apa bangsat itu tadi bersembunyi disini?" tanya
Yan-chiu kepada kedua piaraannya. Toa-wi yang baru
sembuh, pikirannya masih belum terang. Tapi Siao-wi
segera membau beberapa, kali mencari kesekeliling tempat
situ, tapi tak dapat menemukan suatu apa.
Kui-ing-cu tampak berpikir. "Orangnya tidak ada, batu
mustikanya tentu masih ada. Hayo kita berpencar
mencarinya," katanya.
"Tapi keadaan gunung sini penuh dengan bermacam
batu, kemana kita harus mencari" Lebih baik saja dia disini
sampai beberapa hari, masa dia takkan datang ?" Yan-chiu
membantah. Tapi Nyo Kong-lim segera deliki mata.
"Andaikata dia tak datang, apa kau akan menungguinya
sampai setahun dua tahun?" tanyanya. Oleh karena hati
Yan-chiu sedang dilamun keresahan, jadi seenaknya saja
dia membalas: "Setahun dua tahun, takut apa ?"
Nyo Kong-lim yang kasar polos, sebaliknya malah
memuji sambil tunjukkan ibu jarinya: "Nona kecil, kau
sungguh hebat. Baik, aku temani kau menungguinya disini!"
"Toacecu, tadi aku hanya bergurau saja, masa betul2
mau menungguinya sampai begitu lama?" Yan-chiu
sungkan sendiri dan menyusuli kata2nya. Sudah tentu Nyo
Kong-lim yang polos itu tak mengerti sikap sinona, lalu
menggerutu: "Siao-ah-thau, mengapa kau menjadi belut"
Masa bicara bolak balik begitu ?"
Yan-chiu hanya ganda tertawa saja. Akhirnya keempat
orang itu sependapat tak usah lama2 menunggui disitu.
Oleh karena jejak Ceng Bo itu tak berketentuan tempatnya,
maka diputuskan mereka akan berpencar mencarinya. Baru
saja mereka hendak angkat kaki, tiba2 dari kejauhan
terdengar suara melengking tajam, hingga membuat jantung
orang berdebur keras. Suara itu makin lama makin dekat
dan tampak sebuah bayangan berkelebat. Namun sesaat
bayangan itu terlihat, secepat itu juga ada serangkum angin
keras menyambar datang. Saking kagetnya, keempat orang
itu cepat2 menghindar. Hanya Kui-ing-cu yang sempat pula
melancarkan sebuah hantaman. Begitu dirasai kekuatannya
berimbang, tahulah ia dengan segera, siapakah yang datang
itu. Baru dia hendak membuka mulut, atau sudah
kedengaran suara pukulan keras melancar. Berbareng itu,
Toa-wi dan Siao-wi mengaum keras.
Kiranya sipendatang itu begitu tiba sudah melancarkan 6
buah pukulan tanpa bersuara. Kalau keempat orang tadi
dapat lekas2 menyingkir, adalah kedua ekor orang utan itu
yang termakan, hingga ter-huyung2 mundur. Orang yang
muncul itu, rambutnya terurai jatuh diatas pundak dan
bukan lain memang Kang Siang Yan adanya.
Melihat subonya, Tio Jiang dan Yan-chiu ter-Sipu2
hendak memberi hormat, tapi Kui-ing-cu yang melihat
gelagat jelek, buru2 menyerukan kedua anak muda itu
supaya berhati2. Memang jitu rabahan Kui-ing-cu itu! Baru
kedua anak muda tadi berjongkok kui memberi hormat,
dengan tertawa seram Kang Siang Yan ayunkan sepasang
tangannya. Kanan untuk Tio Jiang, kiri kepada Yan-chiu.
Yanchiu dengan tangkas sudah enjot tubuh loncat keatas.
Sebaliknya Tio Jiang yang kurang waspada, begitu
tubuhnya hendak berjongkok sudah ditendang oleh Kui-ingcu sampai terpental setombak jauhnya. Ini lebih enak bagi
Tio Jiang daripada menerima hantaman Sang Subo, Sudah
tentu pukulan Kang Siang Yan itu jatuh ditempat kosong.
Ia tertawa meringkik, ujarnya: "Kiu-ing-cu yang jempol,
mengapa kau seorang cianpwe yang terhormat, lakukan
juga perbuatan yang sedemikian rendahnya" Siapa lagi,
tentu kau yang menjadi biang keladinya. Hari ini thay-imciang hendak mengunjungi padamu!"
"Kang Siang Yan, apa yang kau ocehkan itu?" balas Kuiing-cu. Dia duga disitu tentu terselip apa2 yang kurang
beres. Tapi belum mengucap habis, pukulan tanpa-suara
dari Kiang Siang Yan yang hebat itu sudah menghantarnnya.
Karena sudah pernah merasakan kedahsyatan ilmu pukulan itu, Kui-ing-cu tak berani
menyambut dan melainkan mundur sampai beberapa
tindak, lalu balas mengirim hantaman. Itulah ilmu pukulan
lwekang sakti juga yang disebut biat-gong-ciang. Kiang
Siang Yan tak berani adu kekerasan. Dengan melengking
tajam dan rambutnya sama tegak berdiri, ia menurun
kebawah lalu menyelinap beberapa tombak. Dari situ
kembali ia mengirim sebuah hantaman kearah dada orang.
"Kiang Siang Yan, kau sungguh tak tahu aturan!" seru
Kui-ing-cu sembari menyingkir dari serangan orang. Tapi
Kiang Siang Yan sudah susuli lagi dua buah serangan
berbareng dari tangan kanan dan kiri. Kelihayan dari
serangannya itu, setiap hantaman itu tidak mengeluarkan
suara apa2, gerak perobahannya sangat cepat sekali,
sehingga orang tak sempat bernapas.
Kui-ing-cu juga seorang tokoh yang sudah tergolong
dalam tingkat cianpwe. Tapi toh dalam menghadapi
serangan yang luar biasa itu, dia kelabakan juga. Terpaksa
dia enjot kakinya melambung keatas sampai 5 tombak
tingginya. Tapi ternyata
Kiang Siang Yan tetap membayangi kemana perginya. Lawan loncat keudara,
iapun menyusuInya. Tapi kedudukan Kui-ing-cu yang
berada disebelah atas lebih menguntungkan. Wut......,
sebuah hantaman dilancarkan turun. Kiang Siang Yan tak
dapat berkelit, terpaksa dia kibaskan tangannya kanan
menangkis. Begitu kedua tangan saling berbentur, keduanya
sama berjumpalitan. Secepat kaki menginjak bumi,
keduanya sama2 berputar tubuh dengan sigap sekali. Kini
kedua tokoh yang lihay itu saling berhadapan.
Mereka berdua adalah tokoh persilatan terkemuka pada
jaman itu. Dalam sekejab mata, tadi mereka sudah
bergebrak dalam 3 jurus, semua terdiri dari jurus2 yang
berbahaya dan istimewa. Sudah tentu Nyo Kong-lim tahu
diri. Tak berani dia turut campur karena merasa
kepandaiannya terpaut jauh sekali.
"Kui-ing-cu, harini aku hendak membasmi suatu racun
dunia, mengapa kau katakan tak tahu aturan" Terhadap
kawanan bangsat yang begitu keji macam kalian ini, perlu
apa harus pakai aturan ini itu ?" Kiang Siang Yan
mendamprat tajam.
"Siapa yang kau namakan kawanan bangsat keji itu"
Anak menantumu yang bagus itulah tepatnya!" Kui-ing-cu
marah2. Rambut Kiang Siang Yan menjigrak, bentaknya:
"Jangan ngoceh yang tidak2, kau mengapakan Lian-ji Itu?"
"Siapa yang tahu" Jangan2 sudah menghadap Giam-ong,
juga mungkin!" sahut yang ditanya. Bukan tak ada
sebabnya Kiang Siang Yan mencari rombongan Kui-ing-cu
itu. Ia bukan seorang wanita yang suka bergurau,
sebaliknya Kui ing-cu adalah tokoh yang gemar ber-olok2.
Maka olok2 Kui ing-cu itu telah dianggap sesungguhnya
oleh Kiang Siang Yan. "Kalau begitu, kalian harus
mengganti jiwa. Kamu berempat tiada seorangpun yang
boleh pergi!" mulutnya mengancam bengis, sedang
tubuhnyapun sudah lantas melesat rnenerjang Nyo Konglim bertiga. Begitu cepat serangan itu dilancarkan, sehingga
ketiga orangytu talc sempat menghindar dan tahu2 kena
tertutuk rubuh. Dan tak kurang sebatnya pula, Kiang Siang
Yan sudah lancarkan pukulan thay-im-ciang kepada Kuiing-cu. Gerakan yang sedemikian tangkas dan hebat itu,
sungguh sukar dicari bandingannya. Mungkin Lam-hay Hu
Liong Bo pada jamannya, tak sedemikian Iihaynya.
Belum Kui-ing-cu hilang kagetnya karena tak dapat
menolong ketiga kawannya yang tertutuk rubuh itu, atau
dia sendiri sudah terima serangan yang dahsyat. Terpaksa
dia gunakan tangkisan istimewa. Begitu menangkis,
berbareng tangannya yang satu menghantam, gerakan itu
waktunya sama. Tapi lawanpun berbuat sama. Serangan
pertayma tadi disusul dengan kedua. Blak.......dua buah
pukulan saling berbentur dengan hebatnya. Dua buah jari
Kiang Siang Yan bengkok kesamping hendak menutuk
jalan darah yang-ko dan yang-ti lawan. Sebaliknya kelima
jari Kui-ing-cu dikatupkan menjadi tinju. Begitu diturunkan
untuk menghindar tutukan, lalu diteruskan menjotos dada
orang. Kiang Siang Yan tak berani menangkis dan tak
sempat pula menghindar. Terpaksa ia tarik pulang kedua
tangan untuk mengacip lengan lawan. Sudah tentu Kui-ingcu tak mau membiarkan tangannya diperbuat begitu. Sekali
enjot kaki, dia loncat mundur. Demikianlah dalam sekejab
waktu saja, kedua seteru itu mulai lagi merapat maju. Dan 4
jurus kembali sudah dilancarkan.
Dalam pertempuran selanjutnya, Kui-ing-cu harus
mengakui kelihayan wanita gagah itu. Thay-im-ciang
dilancarkan ber-tubi2 bagaikan hujan mencurah, hingga
sukar dibedakan mana yang isi mana yang kosong. Kui-ingcu terpaksa harus tumplek perhatian untuk menjaga bagian
tubuhnya yang berbahaya. Tak jarang selama dalam
pertempuran itu keduanya harus adu benturan, dan setiap
kali Kui-ing-cu selalu mendapat kesan bahwa tenaga lembek
dari Iwekang musuh itu hebat sekali. "Kelemahan dapat
menundukkan kekerasan," demikian dalil yang berlaku
dalam ilmu lwekang. Kiang Siang Yan dapat menguasai
sari kelemahan lwekang itu, pertanda kalau lwekangnya
sudah mencapai tingkat kesempurnaan yang teratas. Sayang
adatnyapun berobah sedemikian eksentriknya. Selama
kedua tokoh itu bertempur dengan Serunya, ketiga orang
yang ditutuk tadipun telah dapat pulih lagi.
Yang pertama mendapat kepulihannya adalah Tio Jiang,
siapa lalu menolongi Nyo Kong-lim dan Yan-chiu. Setelah
itu dia menghampiri kedua tokoh yang sedang asyik
bertempur. "Suko, kau hendak mengapa?" tanya Yan-thiu.
Tapi Tio Jiang tak mau menyahut. Menghampiri kesisi
gelanggang, dia berseru. "Subo, sukalah dengarkan
omongan ku sebentar."
Kiang Siang Yan tengah pusatkan perhatiannya
menempur Kui-ing-cu. Demi melihat kedatangan Tio Jiang,
dia terperanjat juga. Diam2 ia merasa heran, mengapa
begitu cepat anak itu telah mendapat kepulihannya. Benar
tutukannia tadi tidak berat, tapi toh cukup membuat orang
lemas sampai berapa jam, Jangan2 anak itu memiliki
kepandaian istimewa, sekarang, demikian pikirnya.
Memang sejak mempelajari ilmu thay-im-lian-seng, ia
berobah menjadi seorang yang banyak curiga. Oleh karena
pikirannya hendak mencari tahu, gerakannya terpengaruh
menjadi lambat. Wut....., hampir saja ia termakan pukulan
Kui-ingicu, untung ia masih bisa, loncat meloloskan diri,
walaupun dengan susah payah.
Kini Kiang Siang Yan tak mau menghampiri Kui-ing-cu
lagi, sebaliknya, menyongsong kedatangan Tio Jiang,
Karena tak mengandung maksud jahat, jadi Tio Jiangpun
tak jeri. Diam2 ia, mengetahui kalau anak itu telah
memiliki dasar ilmu lwekang yang kokoh, ini terbukti dari
pancaran matanya yang ber-api2, heran ia dibuatnya karena
terang yang pasti saja, tentu bukan Hay-te-kau atau
suaminya itu yang mengajari, sebab setahunya sang suami
itu tak memiliki lwekang macam begitu.
"Apakah kepandaianmu sekarang ini, suhumu yang
mengajarkan?" tanyanya dengan dingin.
Terhadap sang suhu, Ceng Bo siangjin, Tio Jiang telah
mengabadikan hormat dan ketaatannya. Tanpa ragu2 lagi
dia menyahut: "sudah barang tentu, subo.......... "
"Hem....., didalam rumah keluarga In, mana ada
pelajaran lwekang jahat macam kepunyaanmu itu!" tukas
Kiang Slang Yan serentak. Kiranya pelajaran dari Hay-tekau itu adalah warisan dari keluarga In, ialah ayah Kiang
Siang Yan. Sebenarnya kepandaian itu merupakan warisan
keluarga In, tak pernah diturunkan pada orang luar. Tapi
karena ayah Kiang Slang Yan mengetahui Hay-te-kau itu
seorang pemuda yang berbakat bagus dan lurus hati, maka
dia telah diterima menjadi murid. Jadi Kiang Siang Yan
cukup mengetahui jelas akan hal itu.
Tio Jiang ter-longong2 tak dapat menjawab. Syukur Kuiing-cu keburu menolongnya dengan berseru: "Kiang Siang
Yan, jangan bicara yang tidak2. Mengapa tidak hujan tidak
angin kau cari perkara pada kami?"
"Jawab! Kau kemanakan Lian-ji itu" Kalau tak memberi
keterangan jelas, jangan harap kalian berempat ini dapat


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bernyawa lagi!," bentak Kiang Siang Yan dengan murka.
Sampai pada saat itu, Yan-chiu tak kuat bersabar lagi, terus
saja ia hamburkan kemengkalannya: "Wah, kata2 yang
besar!" Tio Jiang kaget dan buru2 hendak memberi isyarat
dengan ekor mata, tapi sudah terlambat.
"Budak hina, kalau tak percaya cobalah!" Kiang Siang
Yan sudah kedengaran berseru, sepasang matanya beringas
menatap anak itu. Yan-chiu terperanjat sekali. la tadi
hanya, mengomong sendirian, tak mengira kalau sampai
didengar sang subo. Saking kagetnya, ia mundur beberapa
tindak. Sememangnya terhadap anak itu, Kiang Siang Yan
masih mempunyai rekening kemarahan yang belum
dihimpaskan. Yalah ketika tempo hari telah diselomoti oleh
Kui-ing-cu hingga sampai menurunkan ilmupedang Hoankang-kiamhwat. Itu waktu ia telah menghajarnya, tapi
keburu dapat ditolong oleh Tay Siang Siansu. Maka taruh
kata tidak karena urusan Bek Lian, pun kalau berjumpa
dengan Yan-chiu, ia tentu masih hendak menghukumnya.
Sebenarnya Yan-chiu tadipun hanya sekedar untuk
melampiaskan kemengkalannya saja, se-kali2 tidak bermaksud hendak menghina subonya. Tapi, justeru hal itu
telah kebetulan sekali bagi Kiang Siang Yan. Yan-chiu
mundur, ia maju. "Budak hina, diantara 4 orang ini, kaulah
yang lehih dulu binasa!" serunya sambil maju mengulurkan
tangan mencengkeram lengan sinona.
Dalam gugupnya, Yan-chiu enjot tubuh melejit lolos.
Selama 3 bulan berada, dengan Tay Siang Siansu, berkat
kecerdikannya, sigenit telah berhasil mengeruk banyak
sekali ilmu lwekang hweshio itu. Ilmu lwekang yang
dipelajari Siansu itu mendasarkan pada ketenangan dan
konsentrasi (pemusatan) pikiran. Sembarang saat dia dapat
menggunakan menurut sekehendak hatinya. Dapat mematahkan segala kekuatan, dapat menggempur segala,
kekerasan. Digunakan untuk ilmu mengentengi tubuh,
tubuhnya dapat bergerak kemana, sang hati maukan. Itu
kalau sudah mencapai tingkat kesempurnaan yang
terpuncak. Tay Siang Siansu sendiripun masih belum
mencapai tingkatan itu. Apalagi Yan-chiu yang hanya
mencukil sepintas lalu saja. Tapi oleh karena, Kiang Siang
Yan keliwat memandang rendah anak jadi serangannya tadi
telah dapat dihindari oleh sigenit.
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 30 : PUNGGUNG DAN TUMIT
"Bagus, tak heran makanya kalian berani menjual Lianji. Kiranya hanya karena mengandalkan barang satu dua
macam, kepandaian begitu!" damprat Kiang Siang Yan
dengan meradang. Sekali tubuhnya, bergerak, dia meluncur
dipermukaan tanah (kami gunakan istilah "meluncur")
karena ia tidak meloncat melainkan meluncur seperti orang
main ski. Tanah disitu naik turun tak rata, namun ia tetap
dapat meluncur seperti ditanah rata, Jadi ia tak gunakan
ilinu mengentengi tubuh tapi ilmu lwekang tingkat tinggi.
Begitu tiba, ia ulurkan tangan mentengkeram, berbareng itu
tangannya kiri menampar punggung Yan-chiu.
Hendak Yan-chiu lari, tapi tiba2 punggungnya sakit. la
tahu kali ini tentu celaka, Masa kelihatannya diserang dari
muka, kok punggungnya yang terasa nyeri" Sampai disini
baru ia tahu berapa jauh selisih kepandaiannya dengan sang
subo itu. Dari pada lari tentu akan lebih menderita
kesakitan lagi, lebih baik ia menjorok jatuh kemuka saja.
Kini pergelangan tangannya kena dicengkeram oleh sang
subo yang sementara itupun sudah angkat sebelah
tangannya untuk menampar kepala sigenit.
Tio Jiang seperti semut diatas wajan panas. Hendak
menolong, tak keburu. Syukur pada detik2 yang berbahaya
itu, Kui-ing-cu berseru : "Tahan !"
"Kau hendak memasang perangkap apa lagi " Setelah
mereka satu per satu mati, baru paling belakang giliranmu!"
sahut Kiang Siang Yan sembari berpaling. .
"Kiang Siang Yan, kalau kami katakan tempat
beradanya anak perempuan kesayanganmu itu, lalu
bagaimana ?" seru Kui-ing-cu. Menilik ucapan Kang Siang
Yan "menjual Lian-ji" tadi, tahulah Kui-ing-cu bahwa disitu
tentu terselip kesalahan faham. Dia menduga keras, tentu
lagi2 The Go yang menyelomoti nyonya aneh itu.
"Hem, itu harus tunggu sampai kuketemukan Lian-ji dan
menanyainya jelas baru bisa memberi keputusan. Tapi
kutahu sudah, kalau tipu muslihat itu tentu budak hina
yang mengaturnya, maka biar sekarang kuberinya sedikit
rasa!" sahut Kiang Siang Yan.
"Sayang kecerdasanmu itu menjadi suatu kelimbungan,
karena mudah dikelabuhi orang!" Kui-ing-cu menghela
napas. "Apa " Dikelabuhi orang ?" tanya Kiang Siang Yan
makin marah. "Coba jawablah, bagaimana kau bisa tahu kalau kami
berada disini ?" tanya Kui-ing-cu.
"Cian-bin Long-kun The Go yang mengatakan !"
Mendengar disebutnya nama orang itu, Tio Jiang dan
Nyo Kong-lim berbareng sama menggerung keras.
Sebaliknya karena dugaannya benar, Kui-ing-cu tertawa
gelak2, ujarnya ; "Anak itu memang lihay. Dia tahu kalau
kami tentu berada disini. Karena dia sendiri takut datang,
maka dia telah menipu kau supaya kemari !"
Perangai yang eksentrik dari wanita itu angot lagi.
Dikatakan limbung lalu diejek kena diakali orang,
rambutnya sama menjigrak. "Mulutmu berminyak lidahmu
benar2 licin! Bagaimana aku bisa diakali orang?"
Kui-ing-cu tetap berjenaka dan menyabut: "Jangan
meradang dulu, dengarkanlah penjelasanku!"
Ringkas jelas Kui-ing-cu tuturkan segala yang telah
terjadi. Bagaimana The Go telah tukarkan Bek Lian dengan
pedang Kuan-wi yang ternyata berada ditangan kepala suku
Thiat-theng-biau, telah dibentangkan se-jelas2nya. Akhirnya
dia memperteguhkan keterangan itu: "Kalau kau tak
percaya, mustika batu itu masih berada disini, mayat Tan Itho juga masih terhampar disini. Apakah itu tidak bisa
dibuat bukti teguh?"
"Tapi mengapa, Cian-bin Long-kun mengatakan padaku
bahwa kalian telah menukarkan Lian-ji dengan dua ekor
orang utan itu ?" tanya Kiang Siang Yan dengan setengah
kurang percaya.
"Siapa yang suruh kau mempercayai omongan manusia
itu"!" tiba2 tanpa sengaja Yan-chiu telah kelepasan
menyeletuk. "Jadi suruh aku mempercayai omonganmu saja, ya?"
Kiang Siang Yan mendampratnya dengan tajam, hingga
Yan-chiu yang pernah merasa bersalah pada subonya itu,
menjadi bungkam dalam seribu bahasa.
"Subo, biar kucarinya sampai ketemu mustika batu itu,
rasanya kau baru percaya!" kata Tio Jiang sembari terus
pergi. Ternyata Kiang Siang Yan setuju. "Baik, kalau kau
dapatkan mustika batu itu, baru aku dapat mempercayaimu. Aku tak percaya orang she The itu
mempunyai nyali begitu besar berani menipu aku. Dia kata
hendak pulang ke Ko-to-san untuk mengundang Ang Hwat
cin-jin menolongi Bek Lian!"
Kui-ing-cu tertawa, serunya: "Tu, bukti kebohongannya!
Kalau benar dia bermaksud hendak menolong anak
kesayanganmu, begitu berjumpa dengan kau, bukankah
sudah lebih dari cukup" Mengapa dia harus perlu ke Ko-tosan ?" Kiang Siang Yan terbungkam, mengakui logika (nalar)
itu. Cengkeramnya pun setengah dikendor, walaupun
begitu tetap Yan-chiu masih meringis kesakitan serunya:
"Subo, Tio suko sudah pergi mencari bukti, harap
kendorkan tangankulah!"
Kiang Siang Yan mendorong, dan Yan-chiu ter-huyung2
beberapa tindak kemuka. Setelah bebas, nona genit itu tak
berani buka mulut lagi. Begitulah mereka berempat kini
menantikan kedatangan Tio Jiang. Tapi sampai setengah
jam lamanya, belum juga anak itu kelihatan datang. Kala
itu rembulan memancarkan cahayanya yang gilang
gemilang. Suasana disitu, sunyi senyap sekali. Andaikata
Tio Jiang mencabuti rumput atau semak2, tentu terdengar
juga suaranya. Tapi mengapa tidak sama sekali" "Biar
kususulnya!" Nyo Kong-lim yang tak sabaran segera
berseru, terus ayunkan kakinya kearah jalan yang ditempuh
Tio Jiang tadi, yaitu menuju tempat persembunyian. The
Go semalam. Pegunungan Sip-ban-tay-san situ, jarang dijelajahi
manusia, rumput2nya hampir setinggi orang. Seperginya
Nyo Kong-lim, kini yang tertinggal hanya Kui-ing-cu, Yanchiu, Kiang Siang Yan dan Toa-wi. Siao-wi rupanya berada
diluar mencari angin.
Sampai sekian lama, Nyo Kong-limpun tak muncul
datang. Kiang Siang Yan mulai terbit kecurigaannya. Tak
henti2nya ia tertawa sinis. Yan-chiu segera menghampiri
kedekat Kui-ing-cu, lalu berkata keras2 seorang diri: "Tio
suko dan Nyo toako, adalah orang2 yang dapat dipercaya
Mereka tentu akan mencari benda itu sampai ketemu. Oleh
karena harus mencari diseluruh gunung yang masih
belantara ini, jadi memerlukan tempo panjang. Kalau orang
menduga jelek, itulah salah!"
Untuk menandakan kalau ia bicara pada dirinya sendiri,
sigenit itu tak memandang pada siapa2 tapi tundukkan
kepala. Sekalipun begitu, sengaja dia lantangkan suaranya
agar Kiang Siang Yan dapat mendengarinya. Melihat
kecerdikan nona itu, Kui-ing-cu ganda tertawa. "Jangan
kalian berdua kegirangan dulu! Kalau mereka berdua tak
kembali, kamulah yang mengganti!" ujar Kiang Siang Yan
dengan bengis. Adalah selama tadi, Kui-ing-cu selalu membawa sikap
mengalah. Tapi oleh karena Siang Yan makin sombong
seolah2 memandang dirinya (Kui-ing-cu) sebagai makanan
empuk, sudah tentu lama2 dia marah juga, serunya: "Kiang
Siang Yan, aku masih ada urusan tak sempat menemanimu.
Kita tetapkan saja satu hari, untuk mengundang para orang
gagah dalam dunia persilatan menyaksikan. Kita boleh adu
segala macam kepandaian, untuk mengetahui siapa yang
sebenarnya lebih unggul. Main bersombong mulut, apa
gunanya " "Mau adu apa lagi ?" Kiang Siang Yan tertawa dingin.
"Mengapa tidak ?" sahut Kui-ing-cu.
Kiang Siang Yan menuding pundak lawan, serunya:
"Gila, pundakmu itu pernah berkenalan dengan tangan
siapa ?" "Siapa yang merampas barang ditanganmu"!" balas Kuiing-cu. Demikianlah kedua tokoh itu, sahut menyahut
saling tak mau mengalah. Sampai diklimaksnya, Kiang
Siang Yan menantang: "Kalau mau adu kepandaian,
sekarangpun boleh, mengapa harus tunggu lain waktu"
Apakah karena kau hendak cari guru lagi ?"
"Baik, kepingin sekali aku menerima pengajaran ilmu
thay-im-kang dari Lam-hay Hu Liong Po!" sahut Kui-ingcu.
Dengan ucapan itu, Kui-ing-cu se-olah2 hendak mengatakan bahwa sebenarnya kepandaian Kiang Siang
Yan itu biasa saja. Adalah karena kebetulan, maka ia telah
berhasil mempelajari ilmu kepandaian dari wanita gagah
Lam-hay itu. Sebaliknya jangan lagi siapa gurunya orang
tak mengetahui, sedang siapakah nama sebenarnya dari
tokoh Kui-ing-cu sendiri, tiada manusia yang tahu. Karena
tak dapat balas menyemprot, Kiang Siang Yan menjadi
marah-marah. "Baik, silahkan memulai dulu" serunya
dengan sungkan, tapi ia sendiri terus pasang kuda2.
Sampai disitu, terpaksa Kui-ing-cu tak dapat melihat
jalan lagi kecuali harus berkelahi. Tiba2 dari arah muka
sana tampak berkelebat sesosok bayangan. Buru2 dia
berseru: "Engkoh Tio, kaukah?"
Sret......, seorang loncat datang dan bluk......... tahu2
menghantam pantat Toa-wi, hingga binatang itu menggerang kesakitan lalu berputar kebelakang menerjangnya. Tapi orang itu lincah sekali, sret......., dia
loncat menghindar untuk menjotos dada Siao-wi, bluk!
Binatang inipun surut kebelakang, sebaliknya orang itu
tertawa gelak2, serunya: "Kui-ing-cu, kutahu setelah
mendapatkan ceng-ong-sin, kau tentu datang kemari. Kau
suruh aku berlatih sam-ciat-kun-hwat selarna 3 bulan itu,
bukankah karena hendak menipu aku ?"


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu bukan lain adalah siorang tua kate yang
limbung, Sik Lo-sam.
"Sik Lo-sam, sini, sini, kuperkenalkan pada ini Kiang
Siang Yan yang namanya begitu cemerlang itu!" buru2 Kuiing-cu berseru.
"Sudah tahu!" sahut orang tua aneh itu.
Sedangkan Yan-chiu yang mengetahui hari sudah terang
tanah, lalu berkata: "Hai, mengapa kedua orang itu belum
kunjung datang" Biar kususulnya!"
"Tidak! Kau juga mau ngacir bukan?" bentak Kiang
Siang Yan. la menduga dirinya hendak diselomoti.
"Siao Chiu, jangan pergi, jangan biarkan orang tak
memandang mata pada kita!" Kui-ing-cu menasehati, lalu
berkata kepada Sik Lo-sam: "Sik Lo-sam, ilmu permainan
sam-ciat-kun-hwat itu masih kurang satu jurus, kau
kepingin belajar tidak ?"
"Sudah tentu ingin sekali!" sahut Sik Lo-sam berjingkrak
sembari lolos sam-ciat-kun dari pinggangnya, terus
dikibaskan kebelakang. Justeru tepat pada saat itu Toa-wi
dan Siao-wi hendak membalas kesakitannya tadi, hingga
kedua binatang itu terpaksa loncat-mundur lagi. "Ajarkanlah!" teriak silimbung.
"Itu sih mudah, tapi kau lebih dulu harus mengerjakan
satu kali!" sahut Kui-ing-cu.
"Lekas katakan!" seru Sik Lo-sam, tak sabaran.
"Seorang hweshio yang bertubuh tinggi besar dan
seorang anak muda tadi pergi kesekeliling gunung ini
mencari sesuatu benda, tapi sampai sekarang belum
kembali. Coba kau cari mereka!" kata Kui-ing-cu. Kali ini
Sik Lo-sam keluar kecerdikannya, dia deliki mata
membantah: "Mengapa kau sendiri tak mencarinya" Tentu
akan menipu aku lagi ya?"
"Sik Lo-sam, ada satu orang yang melarang kita pergi,
karena kuatir kita lolos!" menyelutuk Yan-chiu.
"Ho, siapa orangnya yang bernyali besar itu " Biar dia
rasakan gebukanku ini seru Sik Lo-sam sembari mainkan
sam-ciat-kun dalam jurus cu-kong- theng-yau, salah satu
jurus dari permainan sam-liong-toh-cu."
Kui-ing-cu mendapat akal. Tadi sebenarnya dia hendak
suruh sikate limbung itu mencari Tio Jiang dan Nyo Konglim, tapi rupanya kini bisa digunakan untuk menghadang
Kiang Siang Yan, jadi dapat menghemat tenaga dari pada
dia sendiri harus bertempur. Dia cukup tahu, Sik Losam
meskipun seorang limbung, tapi ilmunya silat tidak lemah.
Andai kata kalah, silimbung itu tentu masih bisa
meloloskan diri tak sampai kena apa2. "Kau suruh dia
makan gebukanmu" Hem, jangan2 kau sendiri yang harus
menelan 10 kali pukulannya!" dia mulai memasukkan
minyak tanah (membikin panas hati orang).
"Edan, suruh dia kemari coba2!" ternyata Sik Lo-sam
mulai terbakar hatinya.
Kui-ing-cu menunjuk pada Kiang Siang Yan, serunya:
"Itulah!"
Sret......, sekali Sik Lo-sam loncat, tanpa banyak
cingcong lagi dia kemplang kepala Kiang Siang Yan, siapa
karena tak mengira orang begitu ugal2an hendak
menggemplangnya, sudah menjadi gusar sekali: "Telur
busuk macam kau, mau jual lagak?"
Sik Lo-sam melayang turun, melancarkan serangan lagi,
serunya "Aku telur busuk ini, tidak mau jual lagak apa2,
melainkan mau suruh kau rasakan tongkatku satu kali saja!"
GAMBAR 55 Karena diadu dombakan oleh Kui-ing-cu, tanpa pikir Sik Losam terus sabetkan toyanya sambil membentak: "Rasakan
senjataku ini!"
Kiang Siang Yan mendongkol, tapi geli juga. la loncat
menghindar. Tapi Sik Lo-sam mengejarnya dengan sebuah
serangan lagi kearah pinggang. Melihat kedua orang itu
sudah bertempur, lekas2 Kui-ing-cu menarik Yan-chiu
diajak pergi. "Kita cari dulu kedua orang itu, biarkan
mereka bertempur disini, nanti kita lihat lagi!"
Yan-chiu tertawa riang atas kecerdikan Kui-ing-cu itu.
Sebaliknya Kiang Siang Yan sangat mendongkol. Beberapa
kali ia hendak cari kesempatan hendak mengejar, tapi selalu
diganggu oleh sam-ciat-kun sikate. Malah saking gencarnya
permainan sam-ciat-kun itu, Kiang Siang Yan sam pai
terkepung tak dapat lolos. "Budak hina, lain kali janganlah
sampai bertemu dengan aku. Kalau sampai berjumpa lagi,
kau tentu mengalami penderitaan hebat!" satu2nya jalan ia
hanya dapat mendamprat.
Walaupun tahu kalau Kiang Siang Yan itu subonya, tapi
oleh karena selama ini ia selalu mendapat siksaan, maka
iapun hendak balas menyahuti, tapi dicegah oleh Kui-ingcu. Terpaksa Yan-chiu batalkan kata2nya, dan segera ajak
kedua binatang piaraannya untuk mengikut.
Melihat orang tangkapannya pergi, kini Kiang Siang Yan
tumpahkan kemarahannya pada Sik Loo-sam. Sebaliknya,
silimbung pun tak mau mengerti. Sam-ciat-kun dimainkan
terlebih gencar lagi, sembari mulutnya tak putus2nya
berseru: ,Rasakan tongkatku ini satu kali saja dan kau boleh
pergi!" seenaknya saja si limbung itu mengucap. Dia tak
mau memikirkan bahwa ilmunya Iwekang sangat jempol,
apalagi sam-ciat-kun itu terbuat dari besi pilihan, sudah
tentu tiada seorangpun yang sudi disuruh mandah digebuk
satu kali. Karena biar satu kali, tapi cukup meremukkan
tulang belulang, malah salah2 bisa kabur jiwanya.
Kiang Siang yan lepaskan pikirannya untuk mengejar
kedua orang yang diduga tentu sudah jauh. Kini ia hendak
menghajar sikakek yang limbung itu. Membarengi tangan
kiri dibalik, tangannya kanan menghantam datangnya samciat-kun, trang...... terpentallah sam-ciat-kun itu. Adakah
Sik Loo-sam kurang hebat lwekangnya" Adakah samciatkun kurang keras bahannya" Adakah lwekang Kiang Siang
Yan tak terlawan"
Bukan begitu. Sebenarnya seperti yang telah kami
paparkan tadi, barang siapa kena terhantam sam-ciat-kun
Sik Lo-sam, tentu akan remuk tulangnya. Hal ini tak
terkecuali juga bagi Kiang Siang Yan yang cukup
menginsyafi hal itu. Maka ketika ia sambut serangan itu, ia
gunakan siasat meminjam tenaga. Begitu sam-ciat-kun
datang, lekas2 ia turunkan tangannya menghindar, lalu
secepat kilat menghantam. Jadi yang membentur sam-ciatkun itu adalah samberan lwekangnya, bukan tangannya.
Hanya orang yang sudah menguasai ilmusilat tinggi, berani
mengambil resiko yang sedemikian berbahayanya. Karena
gusar sekali, Kiang Siang Yan baru lancarkan serangan
maut itu. Kini kita ikuti reaksi Sik Lo-sam. Begitu sam-ciat-kun
terpental balik hendak menghantam dadanya sendiri, kaget
silimbung itu tak terkira. Syukur dia memiliki ber-macam2
cabang ilmusilat. Buru2 dia miringkan tubuh, lalu
menghuyungkan diri kesamping dengan jurus hong-cu-mayciunya Ang Hwat cinjin. Berbareng dengan itu, sam-ciatkun dikebutkan lempang kemuka untuk menutuk jalan
darah te-ki-hiat dibetis Kiang Siang Yan.
Juga Kiang Siang Yan tak kurang kagumnya melihat
permainan yang luar biasa dari musuhnya itu. Cepat2 ia
menghindar. Kini dia dapat menilai kepandaian orang.
Lawan kaya dengan variasi permainan yang luar biasa, tapi
kalah tinggi lwekangnya dengan dia. la memutuskan, harus
adu kekerasan. Kalau tidak, tentu entah kapan pertandingan itu akan berakhir. Maka, setelah menghindar,
tubuhnya menurun, kelima jarinya diulur untuk merebut
sam-ciat-kun. Namun ilmu permainan hong-cu-may-ciu itu kaya
dengan gerak perobahan, Sik Lo-sam dapat meyakinkannya
lebih sempurna dari The Go maupun Tio Jiang. Kala Kiang
Siang Yan menurunkan tubuhnya, dia sudah loncat keatas
untuk menghantam batok kepala. Luput menangkap, Kiang
Siang Yan makin marah. la menjerit se-keras2nya sehingga
memekakkan telinga Sik Lo-sam, siapa menjadi terkesiap
sejenak. "Satu kali saja, cukuplah. Kalau tidak aku tentu
ditertawai Kui-ing-cu nanti!" serunya sembari masih
teruskan rangsangannya.
Dia tidak mengetahui sama sekali, bahwa dengan
jeritannya tadi, Kiang Siang Yan sudah mengeluarkan Yseng" salah satu jurus yang paling lihay sendiri dari
ilmupukulan Iwekang thay-im-lian-seng. Sesaat itu Sik Losam merasa ada angin berseliweran disisi tubuhnya, dia kira
kalau Kiang Siang Yan yang menyelinap, tapi kiranya
wanita itu masih tampak disebelah muka. Tanpa banyak
pikir lagi, dia segera menyapu dengan sam-ciat-kun. Terang
serangannya itu tepat mengenai sasaran, tapi hai kemana
wanita itu tadi" Dia menghantam angin, tapi berbareng
pada saat itu punggungnya, dirasakan sakit sekali.
Suatu hawa dingin, menyerang masuk kedalam
tulangnya. Celaka, dia mengeluh dalam hati terus buru2 kerahkan
lwekang untuk menutup jalan darahnya. Berputar
kebelakang, disana dilihatnya sepasang mata Kiang Siang
Yan tampak memancarkan sorot ke-hijau2an, menyeramkan sekali.
Benar Sik Lo-sam itu pikirannya limbung. Tapi dalam
soal ilmu silat, dia cukup lihay. Walaupun lekas2 dia
salurkan Iwekang untik mrnahan rasa sakit pada bagian
tubuh yang kena, hantaman tadi, namun sesaat itu separoh
tubuhnya seperti direndam dalam es, dingin, dingin.........
sekali. Sampaipun ketika berkelahi, giginya bergemeretukan
karena menggigil.
Tahu dia bagaimana lihaynya lawan. Tapi oleh karena
limbungnya, dia tak merasa kalau ditipu Kui-ing-cu, bahkan
mengakui kebenaran ucapan Kui-ing-cu, serunya: "Aya,
lihay nian wanita ini. Kui-ing-cu benar. Aku tak dapat
menggebukmu, malah aku telah makan tinjumu satu kali,
masih ada 9 kali lagi. Kau masih lanjutkan tidak?"
(Oo-dwkz-TAH-oO)
BAGIAN 31 : YAN CHIU BERJUDI
Melihat wajah Sik Lo-sam sudah ke-hijau2an tapi
mulutnya masih mengoceh tak keruan, Kiang Siang Yan
tak mau menghiraukannya lagi, berputar diri terus ayunkan
langkah, Ternyata ilmu lwekang "cap ji si hang kang sim
ciat" yang dimiliki Sik Lo-sam itu dipelajarinya dari seorang
sakti yang luar biasa. Separoh tubuh bagian kiri meskipun
sudah mati-rasa, tapi yang sebelah kanan masih dapat
digunakan. Dia mendongkol orang tinggalkan begitu saja.
"Hai, rasakan dulu gebukanku satu kali!" serunya
sembari maju menyapu. Tapi karena lukanya berat, jadi
tenaganyapun berkurang. Karena tak menduga orang masih
bisa bergerak, Kiang Siang Yan sudah terkena tumit
kakinya. Saking sakitnya, ia mendumprah jatuh terduduk, dua
buah tulangnya kena disabet patah. Sehabis menghantam,
Sik Lo-sam puas, ia mundur beberapa tindak. Tapi disitu
dia tak kuat lagi, dia terduduk ditanah dan napasnya
memburu keras. Sejak keluar dikalangan persilatan, Kiang Siang Yan
selalu bahu membahu dengan sang suami. Selama itu,
belum pernah ia mendapat luka. Baru pertama kali ini ia
rasakan bagaimana rasanya kalau tulang patah namun hal
itu tak terlalu dihiraukan karena, hanya luka luar. Sekalipun
begitu, ia harus beristirahat juga untuk sementara waktu.
Bermula ia kuatir jangan2 nanti orang tua kate itu jual
cerita diluaran kalau berhasil melukai Kiang Siang Yan.
Tapi serta dilihatnya silimbung itu duduk bersila meramkan
mata, tahulah ia kalau orang itu telah termakan thay-imciang. Dengan kepandaian yang dipunyai orang itu, terang
dia takkan dapat sembuh. Soalnya hanya tinggal tunggu
saat baik saja. Yakin kalau orang limbung itu bakal binasa,
Kiang Siang Yan terus hendak menghantam lagi tapi tiba2
Sik Lo-sam membuka mata berseru : "Kiang Siang Yan !
Lihay nian pukulanmu itu. Apa suka memberikan pelajaran
itu padaku ?"
Kiang Siang Yan tertegun. Tangannya yang siap diayun
itu, diturunkan lagi. Membunuh seorang limbung macam
begitu, takkan ada faedahnya. la hanya urut2 tumitnya yang
patah tadi, setelah itu lalu loncat menghilang. Sedang saat
Sik Lo-sam rasakan hawa dingin itu mulai menyerang
separoh tubuhnya yang kanan. Hingga sampaipun
membuka mata, dia tak berani karena sedang bergulat keras
untuk salurkan lwekang menahan.
--oodwkz0tahoo-Kita tinggalkan dulu Sik Lo-sam untuk mengikuti
perjalanan Kui-ing-cu dan Yan-chiu. Membiluk dibalik
sebuah batu besar, tiba disebuah semak rumpucang hampir
menyamai orang tingginya, mereka tertegun. Kiranya
dihadapan mereka terbentang sebuah rawa2 besar. Airnya
yang ke-hitam2an memberi kesan akan dalamnya yang
sukar diduga. Mereka menduga, Tio Jiang dan Nyo Konglim pasti takkan melintasi rawa itu, jadi tentunya melanda
(menasak) semak rumput itu. Tapi mengapa disitu tiada
kelihatan bayangan mereka " Sebaliknya mereka berdua
masih lapat2 mendengar berisik suara pertempuran antara
Sik Lo-sam dan Kiang Siang Yan.
"Huh, apa ada setan penunggunya sini ?" tanya Yanchiu.

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi sebaliknya Kui-ing-cu yang menduga tentu terjadi
suatu hal yang luar biasa, membantahnya. "Habis Tio suko
dan Nyo cecu lari kemana" Mustika Watu itu berada
dimana?" tanya Yan-chiu.
Kui-ing-cu melakukan pemeriksaan yang teliti disekeliling tempat situ. Waktu itu dilihatnya tegas2 The Go
lari kearah semak2 rumput, situ. "Siapa tahu jangan2 The
Go lemparkan mustika itu kedalam rawa"!" katanya.
Yan-chiu menunjang pernyataan itu. Tapi sebaliknya
Kui-ing-cu nyatakan keheranannya: "Kalau begitu apa
mungkin silimbung berdua itu menduga juga begitu, Ialu
terjun kedalam rawa?"
Kembali Yan-chiu mengiakan, tapi berselang sejenak dia
membantah sendiri: "Tidak, locianpwe. Kalau mereka
terjun kedalam rawa, ini saat tentu sudah muncul keatas.
Kalau tidak, tentu mendapat kecelakaan disitu!"
Kui-ing-cupun mencemaskan kemungkinan itu. Namun
dia hiburi nona itu. ,Jangan kuatir, mungkin kedua orang
itu benar2 hendak gunakan kesempatan untuk lolos dari
ancaman Kiang Siang Yan saja!"
Tapi Yan-chiu yang cerdas dapat mengetahui, isi hati
Kui-ing-cu yang sebenarnya. Tanpa terasa air matanya
membanjir turun. Tidak mungkin. Tio suko bukan orang
macam begitu. Tentu dirawa ini ada siluman atau
binatangnya ganas yang telah menyeret suko kedalam. "Ah,
aku telah mencelakainya!" ujarnya dengan ter-isak2.
Kui-ing-cu menanyakan maksud ucapan sinona, siapa
tanpa malu2 lagi segera menerangkan: "Selama dalam
perjalanan, aku senantiasa marah2 padanya karena dia tak
mengerti kalau aku suka padanya. Adalah karena mulutku
mengomelinya, sampai dia berhasil menemukan mustika
batu itu. Kalau sekarang dia mengalami kecelakaan hingga
mayatnya pun hilang, bukankah aku yang menyebabkannya?"
Bermula Kui-ing-cu hanya ganda tertawa mendengari.
Tapi begitu mulut sigenit mengatakan mayatnya hilang
lenyap, diapun terkesiap. Dia sayang akan sifat2 anak muda
itu serta bakatnya yang bagus. Dikemudian hari, anak itu
tentu menjadi seorang gagah yang luhur. Sampai sekian
saat, dia ter-longong2 tak dapat ber-kata2.
Melihat Kui-ing-cu kesima, Yan-chiu makin berduka.
Ter-bayang2 ia, akan kejujuran dan kebaikan sukonya itu.
Entah sudah berapa banyak, ia memper-olok2 sukonya itu,
sampaipun sudah berani juga membuat lelucon "tukar
cincin palsu". Ia merasa berdosa, dengan seribu satu
penyesalan yang tak terhingga. Air matanya makin
mengucur deras bagaikan air sumber. Sembari mewek2, ia
menyatakan hendak menebus dosa "Kalau benar Tio suko
binasa, aku bersumpah, akan menjadi paderi, tak mau
menikah seumur hidup!"
Hendak Kui-ing-cu menertawakan sigenicang masih
bersifat seperti anak kecil itu. Tapi demi dilihatnya betul2
sigenit itu sangat berduka sekali, dia tak jadi ketawa.
Sampai sekian saat, baru kedengaran dia menghela napas,
ujarnya menghibur: "Siao Chiu, sudah jangan menangis.
Taruh kata Tio sukomu, benar binasa, kau tangisipun tiada
berguna. Tapi kalau dia belum binasa, bukankah sia2 saja
air matamu itu?"
Yan-chiu ternyata mau menurut. Tapi sesaat kemudian
ia menangis lagi, katanya: "Kalau Tio suko binasa, aku
akan menangis terus!"
"Tio suko dan Nyo-cecu bukan orang yang lemah, mana
mereka begitu gampang menyerahkan jiwanya " Bukan
mustahil saat ini dia bersembunyi disuatu tempat!" ujar Kuiing-cu lalu berteriak keras2 sampai beberapa kali. Namun
tiada berbalas. Disekeliling tempat situ hening ditelan
kelelapan abadi.
Mendadak Kui-ing-cu terkejut, mengapa tiada mendengar suara pertempuran kedua tokoh tadi" Menduga
mereka tentu sudah pergi, ia lantas menyelidiki lagi seluruh
tempat semak2 rumput itu. Yan-chiu hanya mengikuti saja
seperti orang yang kehilangan semangat. Tiba2 didekat
rawa, dilihatnya air disitu berwarna hijau gelap hingga
sepintas pandang seperti hitam. Kui-ing-cu pungut sebuah,
batu untuk dilemparkan kedalam air, blung........ seketika
timbul busa, batu itu tenggelam kedalam dasar rawa yang
sukar diketahui dalamnya itu. Melihacan-chiu masih terus
menerus menangis, Kui-ing-cu menanyainya kalau2 ia
pandai berenang. Yan-chiu menyahut tidak dapat.
GAMBAR 56 "Sudahlah, Siao Chiu, jangan menangis, bila sibuyung Tio
Jiang sudah mati, percuma kau menangisinya, jika belum mati,
tangismu juga sia2 ujar Kui-ing-cu.
"Sang Suhu bergelar Hay-te-kau, masa sang murid takut
air" Malu ah!" Kui-ing-cu menghela napas.
Yan-chiu tertawa, tapi pada lain kali ia segera cemberut
mengangkut awan kesedihan lagi, serunya: "Orang sedang
susah, masa cianpwe malah membanyol begitu!"
"Siao Chiu, aku mempunyai firasat kalau Sukom tidak
mati. Dia tentu disebabkan sesuatu hal, lalu menyingkir.
Lebih baik kita cari suhumu untuk ber-sama2 menuju ke
Ko-to-san yang tinggal 10 hari saja waktunya!" akhirnya
Kui-ing-cu menyatakan pikirannya. Apa boleh buat, Yanchiu terpaksa menurut.
Baru keluar dari tempat situ, Kui-ing-cu segera dapati Sik
Lo-sam duduk bersila dengan wajah tegang dan tubuh
bergemetaran. Rambut janggutnya turut bergoncangan.
"Astaga! Aku telah mencelakainya!" seru Kui-ing-cu
sembari menghampiri. "Sik Lo-sam kau bagaimana?"
tanyanya. Kala itu Sik Lo-sam tengah berjoang mati2an kerahkan
lwekang untuk menahan hawa maut-dingin itu. Satu2nya
harapan, supaya Kui-ing-cu datang kesitu. Bukan karena
mengharapkan pertolongan, tapi karena hendak menyampaikan suatu omongan yang penting.
"Kui-ing-cu," serunya kegirangan demi mendengar orang
yang dinantikan tiba, "wanita itu benar lihay, tapi ia telah
menerima gebukanku satu kali ditumitnya, Dengan pincang
sebelah kaki, ia ngacir pergi, lucu, lucu!"
Kui-ing-cu menghela napas penyesalan. Dia hanya berolok2 supaya mereka bertempur untuk sementara, Tahu
sudah dia kalau Sik Lo-sam itu bukan lawannya, Kiang
Siang Yan, tapi ternyata orang, limbung tu tak kenal bahaya
malah terus menerus membayanginya "kena satu kali
gebukanmu, tapi kau sendiri?" tanyanya.
Sik Lo-sam ulurkan lengan kanannya, sembari kibas2kan
dia menunjuk kearah bahu kirinya. "Pundakmu ini
termakan pukulannya, lihay benar!" ujarnya.
Kui-ing-cu terperanjat, buru2 dia pinjat jalan darah lengthay-hiat dipunggung silimbung. Jalan darah itu tembus
dihati. Begitu tangannya memijat, dirasakan debur jantung
Sik Lo-sam sangat lemah, sebelah kakinya sudah kaku. Dia
sangsi adakah kepandaian cukup untuk menolong orang,
tapi biar bagaimana dia harus memberi pertolongan sekuat
usahanya. Benar Kui-ing-cu itu seorang tokoh yang suka ber-olok2,
malah kadang membohongi orang. Tapi sebenarnya dia
bukan seorang jahat. Dia ambil putusan, akan menyelamatkan jiwa Sik Lo-sam. Dengan menyalurkan
lwekang, dia pijat jalan darah leng-thay-hiat itu, hingga
seketika Sik Lo-sam menjerit kesakitan: "Kui-ing-cu, jangan
menyiksa begitu. Mati biar mati, takut apa" Jangan bikin
badanku panas dingin begini, nanti belum menghadap
Giam-lo, aku sudah teler2!"
Mendengar itu Kui-ing-cu makin terharu. Dia menyesal
mengapa mencelakai seorang limbung yang sedemikian
putih hatinya. Makin teguh niatnya hendak menebus
kesalahannya, ujarnya: "Sik Lo-sam, kalau lwekang kita,
berdua dipersatukan masa tak dapat menghalau thay-imciang. Jangan bicara lagi, kerahkan lwekangmu menolak!"
Sik Lo-sam menurut. Berkatalah Kui-ing-cu kepada Yanchiu: "Siao Chiu, aku hendak menolong Sik Lo-sam,
sebelum setengah bulan, terpaksa, aku tak dapat ke-mana2.
Kalau kau mau menemani disini, boleh. Tapi kalau kau
hendak menuju ke gereja Ang-hun-kiong untuk menghadiri
pertempuran itu pun silahkan!" katanya dengan menghela
napas, lalu melanjutkan kata2nya: "Setengah, bulan
kemudian, luka Sik Lo-sam tentu sembuh. Walaupun
tenaga lwekang kita berdua tak sampai habis, tapi juga akan
tinggal separoh saja. Tinggalkan Toa-wi dan Siao-wi
padaku dan kau bawalah ceng-ong-sin untuk melindungi
dirimu, setuju tidak ?"
Yan-chiu mengatakan ia takut ular. Kui-ing-cu menertawainya: "Takut apa! Pijat angsangnya, tentu
menurut. Tapi ingat, jangan se-kali2 sampai kena tertusuk
sisik kulitnya yang tajam. Ceng-ong-sin merupakan ular
berbisa yang nomor satu didunia. Menghadapi lawan
tangguh, kalau kau kewalahan, lepaskan binatang itu, tentu
menang tahu?"
Yan-chiu masih mengandung setitik harapan kalau2 Tio
Sukonya masih hidup dan bersembunyi dilain tempat.
Kalau sedemikian halnya, nanti di gereja Ang-hun-kiong,
tentu ada harapan bisa menjumpainya. Maka ia segera
menyambuti lumbung bambu yang terisi ular ceng-ong-sin.
Kui-ingcu pesan kalau dapat, supaya dalam perjalanan
nanti Yanchiu cari katak untuk memberi makan pada ular
itu. Tapi Sik Lo-sam buru2 menyelutuk: "Ceng-ong-sin
paling gemar dengan kutu bambu, beri saja makanan itu!"
Sebagai seorang anak perempuan sudah tentu Yan-chiu
ngeri dengan bangsa kutu. Ia tanyakan bagaimana cara
untuk mencari kutu bambu itu, Sik Lo-sam hendak
memberi keterangan, tapi karena hawa dingin merangsang
keras, terpaksa dia tutup mulut. Kui-ing-cu memberi
pesanan macam2 pada nona itu, katanya: "Kalau ditengah
jalan tak menemui halangan, nanti setiba di Ko-to-san tentu
belum jatuh hari pehcun. Tunggulah dibawah gunung,
jangan naik sendirian. Ditengah perjalananpun jangan cari
onar, tahu ?"
Tokoh itu mempunyai persamaan perangai dengann
sigenit. Dia anggap Yan-chiu tak ubahnya seperti anak
perempuannya sendiri. Begitulah menerima pesanan akan
beberapa hal, Yan-chiu segera minta diri.
--oodwkz0tahoo-Menjelang tengah hari, ia sudah jauh dari pegunungan
Sip-ban-taysan. Sorenya ia, sudah tiba di Ko-ciu-hu gedung
thay-siu (bupati) yang terletak dikota, Bo-bing-koan.
Didaerah situ merupakan dataran subur. Didalam kota
amat ramai, sana-sini rumah makan menghias sepanjang
jalan. Oleh karena perutnya me-ronta2 menagih janji, buru2
Yan-chiu menghampiri kesebuah rumah makan. Melihat
ada tetamu datang, buru2 sipemilik menyambutnya dengan
hormat. Hal mana sebaliknya telah membuacan-tihiu
tertegun. Kiranya selama dalam perjalanan dengan sukonya tempo
hari, ia tak membelkal uang sepeserpun juga. Tapi oleh
karena selama itu, Tio Jiang yang mengurus makan
tidurnya, jadi ia tak usah sibuk2. Tapi kini berlainan halnya.
Adakah sipemilik rumah makan mau tak dibayar" Maka
kakinya yang sudah melangkah diambang pintu itu, segera
disurutkan keluar lagi. Sipemilik menjadi heran dan
mengawasi dengan tak mengerti. "Aku salah masuk!" kata
Yan-chiu ter-sipu2 merah padam mukanya.
"Nona, papan merk yang tergantung dimuka rumah ini
cukup besar, masakan. kau tak melihatnya?" tanya sipemilik
dengan mendongkol.
"Habis kalau memang salah masuk, apa tidak boleh"!"
Yan-chiu menyahut dengan ketus. Melihat sifat kekanak2an sigenit itu, pemilik rumah makan bergelak2.
Bermula Yan-chiu hendak memberi hajaran, tapi teringat
akan pesan Kui-ing-cu supaya jangan terbitkan onar, ia
hanya deliki sipemilik itu lalu ngeloyor pergi.
Sekeluarnya dijalanan, Yan-chiu uring2an. Dimisalkan
hendak "pinjam" uang-nya hartawan kejam, juga harus
menanti sampai malam hari. Namun untuk menunggu
sampai waktu itu, perutnya sudah keroncongan. Perutnya
berkerucukan, sehingga orang2 yang berselisih jalan seolah2 dapat mendengarkan. Buru2 ia menuju kesebelah
gang kecil untuk menjauhkan diri dari bau masakan rumah
makan yang bisa, menerbitkan air liur. Tapi perutnya tetap
berontak. Teringat ia akan pembilangan orang bahwa perut
kosong dapat ditahan kalau ikat pinggang dikencangkan. la
lakukan itu, sembari tak henti2nya menelan ludah. Sudah
dua hari satu malam ini ia tak makan apa2. Selama itu
karena mengandal pada lwekangnya, masih dapat ia


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertahan. Tapi pada saat itu, benar2 ia tak kuasa lagi. Selagi
bingung seorang diri, tiba2 dari dalam sebuah gedung yang
besar mewah, terdengar suara gelak ketawa orang.
"Aku kalah!" kedengaran suara orang mengeluh dengan
putus asa dan pada lain saat ada dua orang tampak keluar.
Yan-chiu menanyai orang itu: "Tolong tanya, apa kerja
orang2 didalam itu?"
Kedua orang itu rupanya kalah main (judi). Sampaipun
pakaiannya hampir berindil. Dengan uring2an mereka
menumpahkan kemarahannya: "Ada apa" Kepa....... " baru
hendak memaki, mereka mendongak. Ketika melihacang
bertanya itu seorang nona cantik, mereka cengar-cengir
menyahut: "Disitu tempat judi, apa nona mau kesitu ?"
Yan-chiu anggap orang yang membuka rumah perjudian
itu tentu bukan orang baik2. Untuk memberi hajaran pada
mereka, juga sudah sepantasnya. "Ya, aku kepingin lihat2!"
sahutnya. Kedua orang itu menjadi kegirangan. Bahwa seorang
nona masuk kerumah perjudian, adalah suatu hal yang
langka. Meskipun kalah, mereka berdua ingin mengikuti
juga. Mereka lalu tawarkan sebagai pengantar.
Memasuki pintu, terdapat sebuah halaman kecil yang
ditanami bunga dan sebatang puhun delima yang sudah
berbunga. Dibelakang halaman itu terdapat sebuah ruangan
besar. Kira2 ada 2 atau 30-an orang tengah berkerumun
disitu. Seorang lelaki tengah memainkan dua buah
mangkok, sembari ber-seru2: "Mulai lagi! Mulai lagi! Siapa
mau kaya, lekas pasang!"
Melihat cecongor orang itu, Yan-chiu sudah benci.
Sebaliknya kedua pengantarnya tadi buru2 ingin melihat
keramaian seorang nona main judi, maka begitu masuk
mereka lalu berseru: "Oey Bi-long, daganganmu bakal laris,
ada pembeli besar!"
Orang2 disitu sama heran, mereka kira kedua orang yang
habis2an itu bertemu dengan seorang tuan uang. Tapi
sewaktu melihacang diantar itu hanya seorang nona kecil
dari 16-an tahun umurnya, ada yang meludah dengan
jemunya, seraya memaki: "Lo Sam, Lo Su, mengapa kau
dah kalap membawa seorang budak perempuan kemari"
Kalah ya sudahlah, mengapa cari lain korban ?"
Melihat semua mata ditujukan kepadapya, Yan-ciu sikap
seperti penjudi ulung, iapun turut2an berseru: "Oey Bi-long,
daganganmu laris benar!"
Kembali ruangan itu gempar dengan gelak tertawa, Yanchiu tak ambil mumet, ia menghampiri meja, pertaruhan,
Disitu terdapat banyak tumpukan uang perak dan beberapa
barang berharga. Anggauta2 Thian Te Hui terdiri dari
beberapa macam golongan, dari orang gagah sampai kaum
penjudi. Pernah didengarnya dari mulut mereka, rumah
judi itu ada dua macam. Yang hanya memakai taruhan
uang dan yang pakai taruhan barang. Rupanya rumah judi
disitu itu tergolong yang kedua, yakni boleh majukan
barang perhiasan sampaipun pakaian untuk taruhan.
Teringat akan batu giok (pualam) pemberian Tio Jiang
tempo hari, ia segera merogohnya keluar dan diterimakan
pada Oey Bi-long siapa telah memeriksa sejenak lalu
memberi harga 5 perak. Karena hadiah itu pemberian sang
suko yang dicintainya, Yan-chiu. tak mau menjuaInya.
Akhirnya benda itu hanya digadai untuk 5 chi. Oey Bi-Iong
lepaskan benda itu dari atas, dan borkerontanganlah
mustika itu diatas meja. "Setan, hati2 kau, kalau sampai
memecahkannya!" seru Yan-chiu. Namun si Bi-long itu
hanya sapukan ekor mata mengejek.
Sebagai seorang penjudi ulung, Oey Bi-long tahu akan
adanya suatu pepatah yang berlaku dikalangan persilatan,
yakni "3 jangan". Jangan menghina kaum wanita, jangan
mempermainkan kaum pertapaan dan jangan main2 pada
kaum Oey Poan. Yang dimaksudkan dengan Oey Poan
ialah orang2 yang tubuhnya lemah kurus, tapi mempunyai
kepandaian tinggi. Kalau seorang kaum wanita berani
keluyuran diluaran, tentulah ia memiliki kepandaian yang
lihay. Oey Bi Long mainkan gundu (macam kelereng kecil)
yang segera ditutup dengan mangkok. Ketika dibuka,
ternyata, dua buah gundu terletak pada nomor 2 dan yang
sebuah pada nomor 1. Orang2 yang taruhkan uangnya pada
tanda besar" segera diambil oleh sang bandar. Melihat
dirinya kalah, Yan-chiu marah2 serunya: ,Mustikaku itu tak
boleh kau, ambiI, jangan bergerak!"
"Nona, sekalipun barang milik raja, kalau sudah
dipertaruhkan kalah, juga tak boleh diambil kembali !" Oey
Bi long menyeringai. Yan-chiu kalah suara, Tiba2 la
memperoleh akal. Diambilnya bumbung tempat ular yang
menggantung dipunggung, katanya: "Didalam bumbung ini
terdapat mustika hidup yang lebih berharga, aku hendak
mempertaruhkannya dengan harga besar!"
"Benda apa aku harus melihatnya dulu !" kata Oey Bilong. "Jangan, kau tentu takut nanti!" sahucan-chiu.
"takut apa sih " !"
"Baik," akhirnya Yan-chiu menjentik sumbat bambu.
Melihat hawa terang, ceng-ong-sin segera merayap
keluar. Yan-chiu pijak angsangnya, saking sakitnya ular itu
segera menyabet dengan sang ekor hingga bambu
tempatnya tadi mencelat, tepat jatuh diatas kepala seorang
gundul. "Aduh mak....! Mati aku.....!" orang itu menjerit.
Tapi orang2 tak mempedulikan dia, melainkan mengawasi
ular yang dicekal sinona dengan terperanjat, "Nona jangan
bergurau. Aku membuka rumah perjudian bukan membuka
rumah pergurauan!" kata Oey Bi-long dengan wajah
berobah. "Siapa Yang main2 padamu" Serapa harga ular ini,
katakan!" sahucan-chiu sambil deliki mata. Baru Oey-Bilong hendak membantah lagi, tiba2 ada seorang Yang
berwajah buruk maju mendekati dan bertanya: "Nona, apa
kau hendak jual ular itu ?"
Tampak wajah orang itu, diam2 Yan-chiu geli. Masa
didunia terdapat orang yang berwjah sedemikian jeleknya.
Tapi oleh karena orang itu menanyakan harga, iapun
seegera Menjadi girang, sahutnya: "Sebenarnya tidak ada
ingatan akan kujual, hanya hendak kubuat taruan main
seharga 500 tail perak!"
Diluar dugaan, orang itu menerima. "Oey Bi-long,
jadilah. Kalau kau menang ular itu menjadi milikku, Kalau
kalah, aku yang membayar 500 perak encer!"
Tapi Oey Bi-long bersangsi, karena dia belum kenal
orang itu, siapa rupanya tahu akan perasaan orang,
katanya: "Kau kuatir jangan2 aku tak punya uang bukan ?"
orang itu tertawa. "Inilah!" serunya sembari mengeluarkan
sebuah kim-goan-po (kepingan emas) kira 20 tail lebih
beratnya. Sepotong keping emas saja sudah berharga 25 tail
keping perak, jadi kim-goan-po itu berharga 500 tail perak.
Heran Oey Bi-long makin menjadi. Ada seorang nona
datang berjudi, ada pula seorang bermuka jelek yang punya
banyak uang. Yan-chiu tak mau banyak bicara lagi, terus pasangkan
uangnya dihuruf "toa" (besar). Dan klutuk2 setelah
mengocok sebentar, Oey Bi-long lalu buka mangkoknya.
Satu dinomor 5, satu pada nomor 6 dan satu pada nomor 3,
jadi sama sekali 14 mata, tepat tiocok dengan huruf "Toa" !
"Mana berikan kim-goan-po itu!" seru Yan-chiu
kegirangan. Simuka jelek memberikan sembari bertanya
pula kalau2 nona itu maeih mau bertaruh lagi. Pikir punya
pikir Yan-chiu terpikat. Kalau kalah, paling banyak kimgoan-po tadi kembali pada yang empunya. Tapi jika
menang, berarti la, mendapat dua kim-goan-po. Yan-chiu
mengiakan, tapi simuka jelek itu mengajukan syarat.
"Kalau kalah, kau harus menyerahkan ular itu padaku !"
katanya. Yan-chiu tahu kalau ceng-ong-sin itu merupakan sebuah
mustika ular. Kawanan orang utan yang begitu ganas, takut
kepada ular itu. Andaikata tadi kalah, iapun tak bersedia,
menyerahkan ular itu. "Tidak main lagi !" sahutnya
menggeleng. Simuka jelek tak dapat berbuat apa2. Para penjudi lain
yang melihat ia memperoleh kemenangan sedemikian
besar, sama mengerumuni sigenit. Malah sikepala gundul
yang kepalanya tertimpa bambu tempat ular tadi segera
merengek : "Nona, lihatlah! Karena ularmu menyabet, maka
bambunya telah mengenai kepalaku, aduh sakitnya !"
Yan-chiu menerima bambu itu lalu memasukkan cengsin-ong. Diberinya orang itu sekeping perak hancur. "Kalau
kau biarkan kepalamu terketuk bambu ini sampai 3 kali,
akan kuberimu 50 tail perak!" sigenit hendak ber-olok2.
Bukan main girangnya orang yang gundul itu. Dengan serta
merta dia pasang kepalanya. "Ketuklah!" katanya.
Yan-chiu tertawa cekikikan. Ketika masih berada di Lohu-san, ia tak mengerti sampai dimana pengaruhnya uang
itu pada manusia. Maka tadi ia anggap masa orang mau
diketuk kepalanya sampai 3 kali dengan hanya diberi 50 tail
perak. Pada hal 50 tail perak, merupakan jumlah yang besar
bagi kaum penjudi ditempat itu. Tuk...., tuk...., tuk..., habis
mengetuk 3 kali, la lalu tukarkan uangnya pada oey Bi-long,
kemudian memberikan 50 tail perak pada sigundul.
"Siapa lagi yang mau " 3 ketukan, 50 tail!"' seru sinona
yang tak mengerti harganya uang. Maka berebut-rebutanlah
para penjudi itu menawarkan kepalanya. Sibuk juga Yanchiu meng-gerak2kan tangannya mengetuk. Selagi permainan itu berjalan dengan riangnya, tiba2 simuka jelek
tadi berseru: "Nona, tahan dulu!"
"Mengapa " Perakku cukup banyak!" sahucan-chiu.
Simuka jelek tertawa dingin, ujarnya: "Coba nona hitung,
sudah mengetuk berapa kepala " !"
Ketika Yan-chiu menghitung, ia berseru kaget. Kiranya
ia sudah mengetuk 12 kepala orang, pada hal perak hanya
500 tail, terang tak mencukupi. Kalau hendak mengurangi
jumlah hadiahnya, dia sungkan. Kalau ia bingung terdiam,
adalah orang2 yang kepalanya sudah diketuk tadi sama
hiruk pikuk karena mengetahui uang sinona tak cukup.
"Ribut2 apa " Nonamu mau main lagi!" bentak Yan-chiu
dengan gusar. Yang 450 tail dibagikan pada 9 orang,
sisanya dua orang masih diutang 100 tail, sama mengawasi
Yan-chiu dengan mata lebar. Simuka jelek terus saja
mengeluarkan kim-goan-po lagi, katanya: "Nona mau
pegang "toa" atau "siao"
"Yang besar !" sahucan-chiu seraya meletakkan
bumbung bambu pada bagian toa (besar). Melihat peristiwa
yang aneh itu, Oey Bi-long tak mau ladeni lain orang lagi
melainkan khusus untuk kedua orang itu saja. Setelah
mengocok 3 kali, tiba2 dia berseru: "Buka!" Lagi2 jumlahnya 11, jadi Yan-chiu menang pula! Hai.....,
adakah benar2 Yan-chiu sedang tangan naik (mujur dalam
perjudian)" Bukan demikian. Soalnya, kalau sinona yang
menang, Oey Bi-long tentu dapat persen uang. Tapi kalau
simuka jelek yang menang, dia tak dapat apa2. Maka
sewaktu mengopyok tadi, dia telah gunakan siasat. Bagi
seorang bandar, kepandaian untuk menentukan kalah
menang itu, menjadi darah daging (kebiasaan).
"Manakah uangmu itu !" seru Yan-chiu dengan girang
sekali. Tapi kali ini simuka jelek itu menggebrak meja
mendamprat: "Oey Bi-long, besar nyalimu berani main
curang!" "Tuan kalah, lebih baik angkat kaki saja, jangan sampai
ditertawai orang!" sahut Oey Bi-long dengan ketus. Simuka
jelek itu tampak gusar sekali, tapi pada lain saat tenang
kembali, katsnya: "Tadi tidak terpakai, ganti lain orang
yang memainkan.!!"
Sudah tentu Yan-chiu marah, dampratnya: "Bangsat,
kau mau main gila ya ?" Plak....., ia memukul meja judi,
hingga sekeping perak hancur, melesek masuk didalam
meja. Melihat itu penjudi lainnya sama terkejut. Yang nyalinya
kecil, siang2 Sudah angkat kaki. Juga Oey Bi-long sendiri
terbeliak matanya. Tapi simuka jelek sebaliknya malah
loncat keatas meja. Kini tegas dilihat oleh Yan-chiu bahwa
didalam baju simuka jelek itu ada benda menonjol, terang
tentu senjata tajam. Kalau bukan pedang tentu golok. Jadi
dia tentu orang persilatan juga!
Begitu berada diatas meja, simuka jelek lalu ulurkan
tangannya menerkam Oey Bi-long, siapa ternyata juga
mengerti sedikit ilmu silat lantas hendak menyingkir. Tapi
ternyata gerakan simuka jelek itu tangkas sekali. Baru Oey
Bi-long gerakkan tubuhnya, dia sudah maju memburu dan
dapat menerkam dengan tepatnya. Oey Bi-long rasakan
bahunya seperti dijepit jepitan besi. Saking kesakitannya,
jidatnya sampai mengucurkan keringat ber-ketes2 turun
membasahi pakaiannya.
"Mengapa kalian diam saja tak lekas2 panggil suhu !"
Oey Bi-long menereaki orangnya seraya berusaha sekuat2nya untuk meronta. Melihat kekacauan itu Yan-chiu
tak ambil peduli. Yang penting dia segera ambil kim-goanpo, memberikan 100 tail perak pada kedua orang tadi (yang
diketuk kepalanya), lalu menggerombol pada orang banyak
yang tengah melihat keributan itu. Makin Oey Bi-long
meronta, makin simuka jelek itu perkeras cengkeramannya
sembari memaki: "Bangsat busuk!"
Baru suara itu diucapkan, Yan-chiu terkejut dan segera
berseru keras: "Hai, The Go, kau juga berada disini ?"
Mendengar itu simuka jelek teramat kaget, lalu merobah
nadanya: "Nona, kau panggil siapa " jangan pergi dulu, kita
main lagi sampai habis!"
Terang tadi Yan-chiu mendengar nada suara The Go,


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka ia segera mencari keeekeliling tempat situ, namun tak
menjumpainya. Apaboleh buat ia terpaksa kembali
ketempatnya tadi lagi. Saat itu kedengaran simuka jelek
masih me-maki2 dengan nada melengking: "Oey Bi-long,
berani benar kau main gila dihadapan tuan besarmu ini.
Kau masih sayang kulitmu yang kuning pucat itu tidak ?"
Mendengar makian sang lucu itu, Yan-chiu tertawa geli.
Tapi dalam pada itu dari luar pintu terdengar suara orang
menggerung dengan keras ya: "Siapa yang berani mengacau
disini" Apa sudah sediakan peti mati hingga tak jeri pada
nama yang menggetarkan dari Cui-kim-liong (naga emas
mabuk ) ini !"
Yan-chiu mengawasi orang yang sumbar2 itu. Seorang
lelaki gemuk, perutnya gendut, melangkah masuk kedalam
ruangan situ. Baru dia muncul, orang banyak segera
berseru: "Simuka jelek itu tentu diremuk tulangnya oleh
Cui-kim-liong!"
Tapi berbareng dengan dugaan orang banyak itu, tiba2
terdengar suara mengaduh keras dan sesosok tubuh gemuk
dilemparkan keluar. Bluk..., rupanya keras yuga jatuhnya,
hingga sigemuk itu tak hentinya mengerang. Menyusul
dengan itu, sesoeok bayangan berkelebat. Simuka jelek tadi
dengan menjinjing Oey Bi-long, loncat keluar. "Semua
orang tak boleh meninggalkan tempat ini ! Biar menjadi
saksi. Oey Bi-long, jawablah tadi kau bermain curang tidak
?" kata simuka jelek.
Mengetahui suhunya, Cui-kim-liong, dihajar jatuh
bangun, Oey Bi-long insyaf kalau hari itu ketemu dengan
jago yang lihay. Tapi untuk mengakui tuduhan simuka jelek
tadi, terang dia tak mau. Karena begitu mengaku bermain
curang, orang tentu tak mau datang kerumah penjudian
yang diusahakannya itu. Maka biar menderita kesakitan,
dia tetap menggigit gigi tak mau mengaku.
Dalam pada itu, Yan-chiu me-nimang2. Kalau si Bi-long
mengaku curang, ia sendiri juga kena akibatnya harus
mengembalikan kim-goan-po tadi. Di-pikir2 lari adalah
yang paling selamat. Begitu keputusan diambil, ia segera
menyelinap pergi diantara orang banyak. Menyusur gang
kecil, sampailah ia dijalan besar. Kini dengan mengantongi
uang, sikapnya berlainan. Untuk menuruti nafsu kemengkalannya, ia kembali lagi ketempat rumah makan,
dimana ia pernah diejek oleh si pemilik karena tak
membawa uang tadi.
"Nona, lihatlah yang benar, jangan kesalahan masuk lagi
!" kata sipemilik demi melihat kedatangan Yan-chiu.
Yan-chiu hanya mendengus, sahutnya dengan adem:
"Suruh orangmu menyediakan meja yang bersih !"
"Begitu saja kan sudah cukup," sahut sipemilik. Tapi
Yan-chiu segera deliki matanya membentak: "Bagaimana ?"
Trang......, kim-goan-po dibanting diatas meja. Saking
kagetnya sipemilik rumah makan sampai berjingkrak.
Seketika itu juga wajahnya berganti raut, dari kecut menjadi
ber-seri2 girang. "Harap nona suka tunggu sebentar!"
serunya dengan ter-sipu2, sembari memanggil pelayan
untuk meladeni Yan-chiu.
Setelah menumpahkan kemengkalan hatinya tadi, Yanchiu menjadi puas. Kim-goan-po dikantongi lagi, lalu ikut
pada sipelayan. la dipersilahkan duduk disebuah tempacang
bersih. "Jangan banyak cakap, lekas bawa daftar makanan
kemari!" aerunya,
"Bakpao daging anjing, nona suka dahar tidak?" tanya
sipelayan. "Suka saja! Bakpao daging orangpun juga makan!"
sahucan-chiu. Siao-ji, sipelayan itu terbelalak matanya. Diam2 dia
membatin, rupanya sih cantik tapi mengapa nona itu bicara
tak keruan. Sekalipun berpikir begitu, pela yan itu tak
berani bercuit.
Tak berapa lama, Siao-ji membawa penampan besar bakpao daging anjing. Kata orang "kalau lapar segala apapun
enak". Bagaikan macan menerkam korbannya, Yan-chiu
segera menyapu bersih bakpao itu. Kini dia betul kenyang.
Diam2 dia mendongkol melihat sikap sipemilik rumah
makan tadi. Melihat berkilaunya uang, sipemilik itu
berminyak matanya, pertanda bagaimana rakus hatinya itu.
Oleh karena kebetulan senggang, Yan-chiu hendak memberi
pengsajaran pada orang itu. Otaknya bekerja untuk mencari
akal. "Jongos!" akhirnya ia berseru memanggil Siao-ji.
Kedatangan Yan-chiu kerumah makan situ, telah
menarik perhatiaan orang. Pertama ia keluarkan kim-goanpo, setelah duduk lalu ber-kaok2 keras dan makan bakpao,
mulutnya berkecap-kecup dengan kerasnya. Sipemilik telah
memesan pada Siao-ji supaya melayani baik2 pada nona
itu. Mendengar panggilan Yan-chiu, sipelayan segera tersipu2 menghampiri : "Nona hendak suruh apa ?"
"Suruh sipemilik kemari !" kata Yan-chiu. Oleh karena
sejak tadi sipemilik selalu taruh perhatian pada sinona,
maka dengan serentak dia menyahut: "Nona ada pesanan
apa memanggil aku ?" katanya sembari menghampiri.
"Apa namanya rumah makanmu ini " Apakah yang
terbesar dikota ini ?" tanya Yan-chiu.
"Diseluruh Ko-ciu-hu sini, tak nanti dapat dicari yang
melebihi dari rumah makanku ini," sahut sipemilik sambil
meng-urut2 janggut.
"Jadi tentunya kau bersedia segala macam masakan,
bukan ?" "Sudah tentu ! Kecuali limpa2 naga atau hati burung
hong, kami bersedia lengkap. Entah apa yang nona hehdak
kehendaki " Untuk satu orang, atau mau mengadakan
pesta" Yan-chiu tertawa cekikikan, ujarnya : "Aku hendak
pesan, masakan telur Ho-pau-tan (mata sapi), Telur itu
harus dipilihkan yang ulam !"
"Ah, itu urusan kecil," sahut sipemilik.
"Jangan omong besar dulu. Telur bungkus itu kau iris
separoh. Separoh kumakan separoh kutinggalkan. Hanya
saja, Dua2nya harus tetap ada kuning telornya, Kalau
sampai kurang mencocoki seleraku, kau harus ganti
kerugian satu tail perak. Tapi jika mencocoki, nanti kuberi
persen 2 tail perak setiap orang!"
Mendengar pesanan istimewa itu, sipemilik terkesiap
kaget. Telur mata sapi itu, kalau dipotong, (karena setengah
matang) kuningnya tentu turut mengalir. Melihat sipemilik
rumah makan diam saja, Yan-chiu meradang: "Bagaimana
" Tadi kau telah buka suara kecuali limpa2 naga dan hati
burung hong, rumah makanmu itu serba lengkap
persiapannya. Masakan hanya telur mata sapi saja kau tak
mampu " Rumah makan apa ini " Hayo, lekas turunkan
papan namanya !"
Melihacan-tihiu seorang nona muda itu membawa
sekian banyak uang, sipemilik mengira kalau dia sedang
berhadapan dengan puteri seorang pembesar tinggi. Kala
itu, suasana negara sedang dalam kekalutan. Tentara Ceng
baru masuk Kwiciu sudah berhenti, disebabkan Li Seng
Tong berpaling haluan, jadi daerah Kwisay tak sampai
mengalami gangguan apa2. Adalah pembesar2 Beng itu
sendiri yang tak tahu diri. Sedangn ya negara tengah
menghadapi bencana, mereka masih berpesta pora
menikmati kesenangan.
Memeras rahayat guna mengisi kantongnya dewek.
Anak2 didaerah situ sama ber-main2 sebuah pameo : "Baru
si Biru pergi, si Hijau datang. Kasihanlah...... sang padi,
kasihanlah....... sang padi!"
"Sihijau" diartikan tentara pecundang kerajaan Beng.
Sedang sibiru, dimaksudkan tentara yeng. "Padi" arti
kiasan bagi rahayat jelata.
Karena anggapannya tadi, sipemilik rumah makan
makin tak berani menyalahi Yan-chiu. Kuatir kalau
mendapat hukuman berat, dia segera perintahkan juru
Pendekar Kelana 11 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Pedang Tanpa Perasaan 2

Cari Blog Ini