Ceritasilat Novel Online

Naga Dari Selatan 14

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 14


kebesaran nama Ang-hun-kiong!"
Memang lihay kepandaian Kui-ing-cu, selihay itu pula
mulutnya. Sedang. Tio Jiang dan Yan-chiu sama
terlongong2 mengawasi pertunjukan istimewa itu. Kalau
tak menyaksikan sendiri, mungkin mereka tak mau percaya
bahwa didunia ini ternyata terdapat ilmu kepandaian
macam begitu. Memang apa yang dipertunjukkan Ang Hwat cinjin itu,
luar biasa sekali. Kalau orang meneguk arak itu sih biasa.
Tapi Ang Hwat telah meneguk arak yang bercampur
dengan keping pecahan cawan. Kalau dia tak memiliki :
ilmu lwekang yang tinggi, tentu mulutnya akan pecak
rowak terkena tajamnya pecahan keramik. Tapi Ang Hwat
telah memperhitungkan lebih dahulu. Begitu keping
pecahan itu masuk kemulut, dia tiup dengan tekanan
lwekang, hingga kepingan cawan itu menjadi hancur seperti
bubuk. Setelah arak ditelan, bubuk cawan itu disemburkan
keluar. Dia hanya tertawa dingin mendengar tetamu (Kuiing-cu) memujinya. Berpaling kearah Kui-ing,cu, dia
berseru: "Cunke telah menghaturkan hormat dengan
secawan arak, pinto haturkan terima kasih. Murid Ang-hunkiong dari tingkatan ke 3, juga akan mewakili pinto untuk
membalas hormat."
Habis berkata begitu, mulutnya berkicup kearah The Go.
tahu kalau sucounya itu menyuruhnya unjuk kepandaian.
Heran juga dia dibuatnya, mengapa dalam waktu dan
tempat begitu, orang masih hendak main hormat2an
dengan cawan arak " Terlebih heran pula mengapa
sucounya menyuruh dia yang keluar " Tapi walaupun
heran, dia terpaksa harus menurut perentah sucounya itu.
Dituangnya arak penuh2 kedalam sebuah cawan, tanpa
mengeluarkan tenaga apa2, diapun lemparkan cawan itu
kearah Kui-ing-cu. Tapi membarengi dengan itu, Ang Hwat
kedengaran batuk2 dan suatu tenaga dahsyat terasa
menyambar kearah cawan yang segera seperti berhenti
sejenak diatas udara. Ah, kiranya sang sucou diam2
memberi bantuan, agar Kui-ing-cu mendapat malu.
Kalau cawan arak itu dihaturkan pada Ceng Bo siangjin,
mungkin rencana Ang Hwat itu akan memberi hasil. Tapi
yang diarah itu adalah Kui-ing-cu, si Setan Tanpa Bayangan
yang cerdik tangkas itu. Dalam gelanggang segenting itu
Ang Hwat suruh The Go maju, dia sudah menduga tentu
ada udang dibalik batu. Setelah merenung sebentar dan
mendengar Ang Hwat batuk2, cepat dia sudah dapat
mencium bau. "Murid angkatan ketiga dari Ang-hun-kiong menghaturkan arak, murid angkatan kedua dari Cin-wankuan yang hendak meminumnya!" serunya sembari
memberi isyarat ekor mata kearah Yan-chiu dan lalu
menampar kearah cawan arak itu. Benar kala itu
lwekangnya tak sehebat Ang Hwat, tapi kalau Ang Hwat
mengeluarkan lwekang dengan berbatuk2, adalah dia
dengan sebuah tamparan biat-gong-ciang. Deru samberan
anginnya telah membuat arah cawan itu miring kesamping
jalannya. Juga Yan-chiu tak mengerti apa kemauan Kui-ing-cu
tadi. Tapi serta tampak cawan arak itu melayang
kearahnya, tahulah ia sudah. Sekali tangan menekan pada
sandaran kursi, tubuhnya melayang keatas menyongsong
datangnya cawan. Ia sudah mempunyai dasar latihan ilmu
mengentengi cukup baik dari Ceng Bo siangjin, kemudian
dapat mempelajari ilmu itu dari Tay Siang Siansu dan
masih pula meminum mustika batu yang menambah
kekuatan dan memperkokoh lwekang, maka bagaikan
seekor burung waled ia melayang-layang. Dilihatnya geraklayang dari cawan itu masih cukup keras jadi tentu belum
melayang kebawah.
Untuk mencoba bagaimana kwaliteit ilmu mengentengi
tubuhnya, ia mau unjuk demonstrasi. Selagi masih
melayang, ia injakkan kaki kanan keatas tapak kaki kiri dan
meminjam tenaga pijakan itu, tubuhnya segera lurus
menjulang keatas sampai 2 meter tingginya. Dari situ ia
menekuk tubuh membujur kemuka, dengan gunakan jurus
gan-lok-ping-sah (burung meriwis jatuh dipasir datar), ia
meluncur kemuka kesamping cawan itu, crup sekali hirup
habis isi cawan itu diminumnya. Tangannya diulur
menyambuti cawan yang kosong itu, begitu sang kaki
menginjak tanah, ia enjot tubuhnya melayang kembali
ketempat, duduknya semula.
Gerakan sinona tadi itu, sedikitpun tak mengeluarkan
suara. Ia melayang maju mundur bagaikan seorang bidadari
turun dari kahyangan saja. Sungguh indah sedap dipandang
mata nian gerak layang dara dari Lo-hu-san itu. Sampaipun
Kiang Siang Yan yang sejak tadi diam saja, kini tanpa
terasa mengeluarkan suara tertahan ditenggorokan, suatu
pujian secara diam2. Bek Lian segera membisiki beberapa
patah kata kedekat telinga ibunya. Melihat itu The Go
menduga, nona itu tentu mengiri akan kepandaian Yan chiu
yang secara begitu tiba2 telah maju pesat sekali.
"Lian-moay, itu kan hanya permainan anak2 saja,
apanya yang perlu dikagumi. Beberapa tahun lagi, kita
berdua tentu akan dapat melebihinya!" The Go menghibur.
Bek Lian puas. Tiba2 datanglah seorang tosu melapor: "Ma Cap-jit dari
Hoasan, cong-piauthau (pemimpin kantor pengantar
barang) Liok Toa piaukiok dari Hui-ciu, Liat-hwat-cian Tiat
Leng-koan serta Empat persaudaraan Li dari Haylam, telah
tiba kemari !"
Mendengar itu Ceng Bo ber-gegas bangun untuk
menyambut sahabat2 yang memang diundangnya itu.
"Celaka.!" seru Kui-ing-cu, tapi dalam pada itu tampak Ma
Capjit situkang tebang puhun dengan pikulannya sudah
melangkah masuk. Yang disebut Tiat Leng-koan bergelar
Liathwat-cian (panah api) itu adalah seorang yang bertubuh
gemuk pendek. Sedang keempat persaudaraan Li itu
mengenakan pakaian yang serba aneh, berasal dari
kepulauan Haylam, pandai menggunakan senjata, rahasia.
Ceng Bo mempersilahkan mereka duduk pada sebuah meja
yang sudah disiapkan lagi dengan hidangan lengkap.
Tak antara berapa lama, haripun malam. Karena Ang
Hwat masih tetap duduk menikmati arak, tahulah Ceng Bo
bahwa semalam-malaman nanti tentu tiada orang yang
tidur. Benar juga, perjamuan itu diteruskan sampai
keesokan hari malah tidak cukup hanya sehari semalam
saja, tapi berlangsung sampai 3 hari 3 malam tanpa
mengaso. Bek Lian dan Ang-hun su-mo tampaknya sudah
tak tahan lagi. Tapi orang2 yang lihay kepandaiannya, tetap
menghadiri perjamuan itu dengan ber-cakap2 sembari tertawa2. Pada hari ketiga, kembali datang lagi sepuluhan
sahabat2 persilatan yang diundang Ceng Bo. Kini ruangan
luas itu sudah penuh diisi dengan meja2 perjamuan, dan
hanya tinggal tempat, kosong seluas dua tombak pesegi
saja. Pada hari keempat, tiba2 Ang Hwat cinjin tampak
berbangkit. Setelah menyapukan pandangan matanya
kearah semua tetamunya, dia berkata kepada Ceng Bo
siangjin: "Siangjin, apakah sahabat2mu yang kau undang
itu sudah lengkap hadir semuanya?"
Ceng Bo dapatkan bahwa sahabat2 yang diundang itu
boleh dikata sebagian besar sudah datang, maka
menyahutlah dia: "Entah cinjin hendak memberi pesan apa,
fihak kami sudah hadir semua."
Ang Hwat mendengus. Ratusan mata ditujukan kearah
kepala gereja Ang-hun-kiong itu untuk mendengarkan apa
pembicaraannya.
Dalam perjamuan itu ternyata Ceng Bo telah berhasil
mengundang beberapa tokoh persilatan dari berbagai
daenzh. Jadi perjamuan itu merupakan suatu pertemuan
tokoh persilatan yang jarang terjadi. Maka berkatalah Ang
Hwat Cinjin kemudian : "Pertandingan silat pada, hari
pehcun ini, sebenarnya adalah antara murid angkatan ke 3
dari gereja ini lawan ketua kedua Thian Te Hui dan murid
dari Ceng Bo Siangjin Menantang bertanding ilmusilat,
sesungguhnya adalah suatu persoalan kecil. Tapi mengapa
Ceng Bo siangjin telah mengundang sekian banyak tokoh2
persilatan. datang kemari " Apakah maksudnya hendak
merobohkan pendirian gereja kami yang sudah ber-puluh2
tahun ini"
Ceng Bo dapat menduga kemana arah tujuan kata2 tuan
rumah itu, yalah hendak menimpahkan segala kesalahan
pada fihak tetamu, agar dalam pandangan kaum persilatan
menuduh Ceng Bo mempunyai maksud tertentu untuk
merebut gereja Ang-hun-kiong. Se-kali2 bukan berjuang
untuk kepentingan rakyat. Maka berdirilah Ceng Bo dari
kursinya dan berkata dengan nada berat: "Kedatangan kami
kegereja Ang-hun-kiong ini; pertama-tama hendak menyelesaikan dendam kesumat para pejoang rakyat
terhadap murid cinjin yalah The Go itu. Kedua, setelah
urusan ttu selesai, dalam pertemuan ini kami hendak
membangun lagi Thian Te Hwe untuk melanjutkan
perjuangan melawan penjajah Ceng. Soal itu tak
mempunyai hubungan dengan cinjin dan kini mari kita
kembali kepersoalan The Go. Biarlah para hadirin disini
sama mendengar jelas tentang kedosaannya. Diantara
sekian kejahatan yang dilakukan dalam dunia persilatan,
yang paling besar yalah sebagai orang Han dia telah sudi
ber-hamba menjadi budak penjajah Ceng dengan menyediakan diri sebagai penyuluh membawa tentara Ceng
masuk kewilayah Kwiciu. Dunia persilatan tak dapat
mengampuni adanya bebodoran macam begitu!"
Ceng Bo hanya mendamprat The Go, tapi dalam
pendengaran Ang Hwat, tiap patah kata dari siangjin itu
bagaikan duri tajam yang menusuk ulu hatinya. Sehabis
mendengarkan kata2 orang, mukanya yang sejelek itu telah
berobah makin menyeramkan. Dia tertawa dingin: "Begitu
gagah perwira siangjin ini menjual jiwa pada pemerintah
Beng, tidakkah itu juga berarti menjadi kaki tangan kerajaan
tersebut ?"
Ceng Bo mendongak tertawa keras, serunya: "Menentang penjajah Ceng, setiap orang Han mempunyai
kewajiban. Kalau kerajaan Beng betul2 memperhatikan
kepentingan rakyat, kamipun tak segan2 untuk menggabungkan diri. Walaupun tidak demikian, asal rakyat
berdiri dipihak kita, dan bersatu melawan penjajah, maka
kita takkan terpatahkan se-lama-2nya !"
Kata2 ber-api2 dari Ceng Bo siangjin itu disambut
dengan gelora tepukan sorak sorai dari para orang gagah.
Namun wajah Ceng Bo tetap tenang, tak mengunjuk
kesombongan. Kembali Ang Hwat menyambutnya dengan
sebuah tertawa dingin, kemudian berkata: "Kata'2 yang
tiada berguna, lebih baik jangan dikeluarkan. Silahkan
siangjin mengatakan, bagaimana urusan ini hendak
diselesaikan!"
Habis berkata, Ang Hwat segera duduk kembali
sebaliknya Ceng Bo merenung dalam2. Pikirnya, tiada
dengan kekerasan, persoalan ini takkan selesai. Namun
kalau menggunakan kekerasan, meskipun berjumlah
banyak tapi hanya sedikit sekali orang2 difihaknya yang
mempunyai kepandaian berarti. Sedangkan fihak tuan
rumah telah mendapat tambahan tenaga dua orang tokoh
sepasang suami-isteri Swat Moay dan Hwat Siau yang
chusus dikirim oleh pemerintah Ceng sebagai perintis untuk
masuk kewilayah Kwiciu lagi. Disamping itu masih ada lagi
kaki tangan pemerintah Ceng yang menurut Yan-chiu
sudah berkumpul digereja sau dengan menyaru sebagai
tosu. Kalau kawanan kaki tangan musuh itu mengunjukkan
diri, itu sih mudah diselami kekuatan mereka. Tapi yang
mencemaskan, sampai pada saat ini mereka masih
menyembunyikan diri, jadi sukar diduga gerak geriknya.
Ratusan mata telah ditujukan kearah diri siangjin itu,
siapa nampaknya belum dapat mengambil suatu keputusan
yang dirasa tepat. Dia cukup sadar, sekali salah jalan akan
hancur binasalah tiang sendi pejuang kemerdekaan itu
dibasmi oleh musuh. Pecahnya Thian Te Hwe, bobolnya ke
72 markas Hoasan, semua karena salah jalan. Kegagalan itu
harus merupakan pelajaran bagi perjuangan sekarang dan
kemudian hari. Lewat sejenak kemudian, achirnya barulah
Ceng Bo siangjin berkata: "Dalam pertempuran pada 4 hari
yang lalu, muridku dengan The Go masih belum ada
kesudahannya. Sebaiknya kedua orang itu bertempur lagi
sajalah!" Mendengar kata2 suhunya itu, Tio Jiang serentak
bangun, tapi Ang Hwat mencegahnya: "Tunggu dulu!"
Ketika semua hadirin tampak keheranan, barulah Ang
Hwat kedengaran berkata pula dengan pe-lahan2:


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana kalau menang dan bagaimana kalau kalah ?"
Kini Kui-ing-cu tak dapat bersabar lagi, serunya: "Kalau
The Go kalah, jangan harap The Go masih bernyawa lagi!
Kami setiap orang akan mengunyah dagingnya!"
"Kalau dia menang" !" tanya Ang Hwat dengan tetap
jumawa. "Terserah padamu!" sahut Kui-ing-cu.
"Baik! Go-ji, keluarlah ketengah gelanggang!" seru Ang
Hwat kepada The Go, siapa segera berbangkit dari tempat
duduknya. Itu waktu dia mengenakan pakaian mahasiswa
yang disulam indah sekali, ikat kepala yang bertaburkan
permata dan sepasang sepatu yang bagus. Wajahnya berseri
gemilang, matanya bagai sebuah bintang kejora, sikapnya
gagah ke-agung2an. Benar2 dia itu seorang pemuda yang
tampan dan gaya. Siapakah yang akan mengira, kalau dia
itu adalah seekor serigala yang berselimutkan kulit domba"
"Engkoh Go, hati2lah!" sepasang mata Bek Lian.
berkicup mesra merayu pesan.
"Suko, jangan lepaskan dia lagi!" juga disebelah sana
Yan-chiu menitipkan pesannya kepada sang suko. Tio Jiang
tahu bahwa pertempuran hari itu, beriklim genting penting.
Tujuh puluhan jiwa orang gagah dari dunia persilatan
dipertaruhkan kebahunya.
Kini kedua seteru besar itu, saling berhadapan muka
dengan muka. Mereka saling bertukar pandangan mata
yang tajam. Dalam pandangan seorang achli, walaupun
dandanan dan wajah The Go itu menyolok dan menarik
perhatian orang, namun tak dapat menandingi perbawa
kegagahan anak Lo-hu-san yang serba sederhana itu.
The Go melolos kuan-wi-kiam dan Tio Jiang mencabut
yap-kun-kiam. "Harap siap!" kata Tio Jiang. Dia tak pandai
bicara, apalagi memang tak ingin bicara banyak2. Begitu
gitu memperingatkan lawan, dia segera menusuk. Tring
.......... The Go menangkis dengan pedangnya yang
ditujukan kebagian gigir pedang lawan. Agaknya dia tak
memandang mata pada Tio Jiang. Kalau lain orang, tentu
akan sudah naik darah diperlakukan begitu. Tapi tidak
demikian dengan Tio Jiang. "Biar kau membawa tingkah
bagaimana, juga, harini aku harus mengalahkanmu!"
pikirnya. Dia cepat tarik pulang yap-kun-kiam, lalu diputar
menjadi sebuah lingkaran sinar, dan tiba2 ujungnya
menusuk ketenggorokan The Go.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 39 : MAUT MULAI MENGINTAI
The Go bersiul nyaring, pundaknya bergerak dan
tubuhnya berputar menghindar. Dia tidak mengetahui kala
itu Tio Jiang sudah memainkan To-hay-kiam-hwat, maka
sengaja dia masih main aksi. Tio Jiang telah mendapat
kemajuan besar dalam peyakinannya ilmupedang. Jurus
pertama tadi adalah "Tio ik cu hay". Jurus itu mempunyai 7
gerak serangan berisi dan 7 serangan kosong. Kesemuanya
itu telah difahami olehnya.
Memang sepintas pandang, ketujuh jurus dari ilmupedang To-hay-kiam-hwat itu, yang satu makin lihay
dari yang lain, Tapi dalam soal gerak perobahannya, adalah
kebalikannya, yalah jurus pertama adalah yang paling lihay
sendiri dari keenarn jurus lainnya. To-hay-kiam-hwat,
adanya dapat menjagoi dalam dunia perpedangan, adalah
disebabkan susunan runtutannya yang aneh dan dibalik itu.
Kalau ketujuh jurus itu dimainkan berulang kali, lawan
akan sukar menangkap intisari keindahannya. '
Karena pernah bertempur dengan Tio Jiang, The Go
menganggap dia cukup faham akan ilmupedang lawan. Dia
mengira kalau jurus pertama "Tio Ik cu hay" itu biasa saja,
tiada mempunyai keistimewaan apa2. Maka dalam
menghindar tadi, dia sengaja tempatkan dirinya hanya
seperempat meter dari ujung pedang lawan. Maksudnya dia
hendak unjuk demonstrasi kelincahannya. Tapi begitu Tio
Jiang balikkan tangan, dia segera dikaburkan oleh sinar
pedang Tio Jiang yang berkelebatan memenuhi segala
jurusan. Baru kini dia (The Go) gelagapan dan terus hendak
loncat keluar dari kalangan, tapi ternyata sudah terlambat.
Terpaksa dia menangkis dengan pedangnya. Tio Jiang cepat
robah gerakannya dalam jurus Boan-thian-kok-hay. Begitu
indah dan cepat pedang yap-kun-kiam itu seperti muncul
dari punggungnya, sehingga The Go tak menyangkanya
sama sekali, sret ........ tahu2 pundak The Go telah kesabet
sampai terluka satu senti dalamnya.
Baru 3 gebrak mereka bertempur dan The Go sudah
menderita luka. Sekalian hadirin sama bersorak girang,
sedang Ceng Bo sendiripun tak menyangkanya sama sekali.
Juga Tio Jiang sendiripun girang, namun wajahnya tetap
tenang. Begitu maju, dia kirim lagi sebuah serangan dalam
jurus "Cing Wi tiam hay". Tapi kini The Go tak mau
menderita lagi. Belum lawan menyerbu datang, dia sudah
pendakkan tubuh dan memainkan ilmupedang Chit-satkiam-hwat. Sebuah lingkaran sinar hijau, maju menyongsong. Dua2 sama merangsang hebat dan
trang........ belasan kali kuan-wi-kiam dan yap-kun-kiam itu
harus saling menguji ketajamannya. Nyata dalam, sekejap
waktu saja, keduanya telah bertempur tak kurang dari 20-an
jurus. Bagi orang yang masih dangkal ilmunya, tentu
mengira kalau kedua pemuda itu bertempur mati2an. Tetapi
sebaliknya Kui-ing-cu, Sin-eng Ko Thay timbul kecurigaannya. Juga Ceng Bo mendapat kesan bahwa ada
sesuatu yang tidak beres.
Diantara sekian banyak macam senjata, pedang adalah
yang paling sukar sendiri diyakinkan. Juga ilmu
permainannya paling kaya dengan gerak perobahan. Pada
umumnya, ilmupedang itu tentu berpokok pada "kelincahan" dan "ketangkasan". Kedua seteru itu
bertempur secara mati2an, jadi tentu saling menggunakan
seluruh kepandaian masing2. Ditilik dari nilai kepandaian
kedua anak muda itu, tak nanti mereka begitu sering
membenturkan pedang pada pedang musuh. Tapi oleh
karena mereka bertempur secara rapat, maka hanya sinar
dan bunyi benturan kedua pedang itu saja yang kelihatan,
dan bagaimana cara mereka menggunakan jurus masing2,
sukar dilihat. Memang dalam pandangan, pertempuran itu amat seru
sekali. Para hadirin sama menahan napas menyaksikannya.
Kira2 7 atau 8 puluh jurus kemudian, barulah keduanya
'tampak berpencar. Tampak wajah Tio Jiang agak terkejut
heran, sebaliknya The Go kelihatan tertawa iblis. Luka
dipundak kirinya sudah tak berdarah lagi, hanya separoh
dari leher bajunya berlumuran darah. Selang beberapa jenak
kemudian, Ti Jiang putar pedangnya lagi, maju menusuk.
Anehnya The Go sudah bergerak tak menurut permainan
ilmupedang lagi. Dia angkat pedangnya, menabas kebawah.
Tio Jiang tak menduga dan tak keburu pula untuk merobah
gerakannya, trang........... lagi2 kedua pedang mereka saling
beradu. Tio Jiang turunkan pedang kebawah, untuk membabat
paha lawan, tapi yang hendak dibabat itu cepat hadangkan
pedangnya kemudian mencongkel keatas, trang........
kembali sebuah benturan terjadi. Kini baru sekalian orang
menjadi jelas. Terdengarnya berulang kali adu benturan
senjata ketika kedua lawan itu bertempur rapat2 tadi,
tentulah dari perbuatan The Go yang rupanya sengaja
menjalankan siasat itu.
Kejadian itu mengherankan sekalian orang. Kalau siasat
The Go itu dimaksud untuk melelahkan tenaga Tio Jiang,
terang salah besar. Karena nyata2 kini lwekang Tio Jiang
setingkat lebih tinggi dari The Go. Tapi mengapa dia
berbuat begitu "
Dalam waktu orang2 sama mencari jawaban atas
dugaannya itu, kembali didalam gelanggang terdengar
belasan kali gemerontang dari suara senjata saling beradu.
Kini mau tak mau, Tio Jiang bercuriga juga. Lewat 20 jurus
kemudian, Tio Jiang mendapat pikiran. Terang kenyataaan
membuktikan bahwa kini dia menang kekuatan dari lawan,
mengapa tidak menurutkan saja siasat lawan. Adu ya adu,
tentu dia dapat memukul jatuh senjata lawan. Dengan
keputusan itu, dia tak mau menghindar lagi, tapi malah
menghantam senjata lawan. Me-lengking2 dering benturan
kedua pedang pusaka itu, sehingga membuat hati para
hadirin turut bergetar.
Kini Tio Jiang menusuk lagi dengan jurus Hay-li-longhuan dan kembali The Go hadangkan pedangnya untuk
menangkis. "Bagus!" seru Tio Jiang sembari kerahkan
lwekang kearah lengannya, lalu mengibas se-kuat2nya. Tapi
diluar dugaan, begitu saling melekat, secepat itu pula The
Go tarik pedangnya kebawah, hingga membuat Tio. Jiang
terhuyung. Syukur kini kepandaiannya bertambah pesat,
jadi walaupun dalam gugup masih dapat dia mempertahankan kakinya lalu kejarkan pedangnya kebawah untuk menindas pedang lawan. The Go yang
cerdik tak mau sia2-kan kesempatan sebagus itu. Tenaga
lawan tadi telah terbuang percuma dan kini baru mulai
menghimpun lagi, maka sebelum sempat mengerahkannya,
dia sudah mendahului menangkiskan pedang keatas sekuat2nya kemudian berbareng itu dia pakai dua buah jari
tangan kirinya untuk menutuk jalan darah ki-bun-hiat yang
terletak disebelah tetek lawan.
Bukan main terkejutnya Tio Jiang. Hendak menghindari
tutukan orang, terang tak keburu. Untunglah pada saat itu
pedang mereka sudah saling menempel, maka dia segera
kerahkan lwekangnya untuk menindas pedang lawan
sehingga The Go seketika itu rasakan lengannya kesemutan
nyeri sekali. Sudah tentu dengan sendirinya jari tangan
kirinya yang hendak dibuat menutuk tadi batal, berkat
tekanan yang diderita oleh tangan kanannya tadi. Kini dia
pentang kelima jari tangan kiri untuk mencengkeram siku
tangan Tio Jiang. Cengkeram itu luar biasa sekali gayanya.
Telunjuk, jari tengah dan jari manis tepat hendak mengarah
jalan darah yang-ko, yang-hwat dan yang-ti.
Karena sedang kerahkan lwekang untuk menindih
tangan orang, maka Tio Jiang tak mengira kalau lawan
akan berbuat begitu. Terpaksa dia gunakan tangan kiri
untuk menabas, tapi dengan sebatnya The Go tarik
lengannya kiri kebelakang. Kini sepasang tangan Tio Jiang
telah digunakan semua, jadi perhatiannyapun terpecah.
Lubang kesempatan itu, dipergunakan se-baik2nya oleh The
Go. Dia kerahkan seluruh Iwekang kearah pedangnya,
berbareng itu kakinya menendang.
Tio Jiang menghindar kesamping, sembari hantamkan
tangan kiri kedada orang. Tapi pada saat itu The Go
perhebat gerakannya pedang, hingga Tio Jiang rasakan
tangannya kanan kesemutan. Ketika dia hendak perkeras
lwekangnya untuk menindih lagi, tangan kiri lawan
menangkis tangan kirinya hendak dibuat menghantam dada
tadi, kemudian malah terus hendak menutuk jalan darah
cun-kwanhiat disikunya. Tio Jiang kibaskan sikunya, tapi
The Go berlaku nekad. Tak peduli separoh tubuhnya dapat
dihantam musuh, dia terus menyodokkan jarinya kemuka
dan berhasil juga akhirnya untuk menutuk siku lawan itu.
Seketika itu juga siku tangan kanan Tio Jiang serasa lunglai,
tanganpun kendor dan sekali sentak dapatlah The Go
membuat pedang lawan terpental keudara.
Tio Jiang terkejut sekali, cepat dia miringkan tubuh,
kelima jari tangan kanan mencengkeram dada orang,
sedang tangan kiripun menghantam tepat mengenai pundak
kanan The Go, aduh........ sekali The Go mengerang
kesakitan, tahu2 pedangnya kuan-wi-kiampun terpental
jatuh. Tio Jiang membarengi gerakkan kakinya untuk
menendang keluar pedang lawan itu. Sesosok bayangan
hitam melesat menyanggapi kuan-wi-kiam. Kiranya itulah
Kiang Siang Yan yang sudah tinggalkan tempat duduk
menyanggapi pedang kesayangannya. Sementara pedang
yap-kun-kiam tadipun dapat disambut oleh Sin-eng Ko
Thay. Kini kedua anak muda itu tak mencekal senjata lagi.
Rupanya pundak kanan The Go yang termakan hantaman
Tio Jiang tadi sakit sekali, sehingga tak dapat digerakkan.
Jadi turut nilai, Tio Jiang sudah menang. Namun wajah
The Go tak mengunjuk rasa jeri. Oleh karena pertempuran
itu besar sekali artinya, jadi kesudahan tadi belum berarti
berakhirnya pertempuran.
Tiba2 Bek Lian mengambil pedang kuan-wi-kiam dari
tangan Kiang Siang Yan dan berseru kepada The Go:


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkoh Go, maukah kau terima pedang ini lagi ?"
Mendengar itu Yan-chiupun tak mau kalah hawa. "Suko,
ini pedangmu, guratkanlah dua buah luka pada tubuh
manusia itu!" serunya. Tapi belum Tio Jiang menyatakan
apa2, dengan garang The Go sudah menyahuti tawaran Bek
Lian tadi: "Lian-moay, tak usah pakai pedang lagi. Karena
sudah terlepas, masa masih tak sungkan menggunakannya
lagi?" Mendengar itu, tiba2 Kui-ing-cu berseru tertahan:
"Celaka ! "
Yan-chiu cepat2 menanyakan dan Kui-ing-cupun segera
menyahut: "Bangsat itu mendesak dengan kata2, supaya
kedua fihak tak menggunakan pedang lagi. Entah dia
mempunyai simpanan apa yang lihay, maka begitu garang
sekali!" Teringat akan sesuatu, jantung Yan-chiu berdetak keras.
Serangkum hawa dingin menyelubungi dada sampai
keujung kakinya, wajahnyapun pucat lesi. Kui-ing-cu
menjadi heran. Siwsanya nona itu sangat lincah, tak kenal
takut. Mengapa kini tiba2 menjadi ketakutan sedemikian
rupa " Berpaling kearah gelanggang, dia dapati Tio Jiang
dan The Go masih saling tukar pandangan mata. Rupanya
mereka sedang menghembus napas, mengerahkan lwekang
masing2. The Go berusaha menyalurkan lwekang supaya
lengan kanannya dapat digerakkan lagi. Sedang Tio Jiang
tak henti2nya meng-gerak2kan siku tangannya untuk
membuka jalan darahnya yang kena tertutuk tadi.
"Siao-ah-thau, kau kenapa ?" tanya Kui-ing-cu berpaling
kearah Yan-chiu: "Kalau Kui-ing-cu tak menanyakan,
paling banyak Yan-chiu hanya berdiam diri saja. Tapi
begitu ditanya, tiba2 mata sigenit itu ber-kicup2 dan
mengucurkan dua tetes air mata. "Suko, aku telah
mencelakai dirimu.!" katanya sembari ter-isak2.
"Apa itu, lekas katakan. Mumpung masih ada tempo,
kita bisa cari daya!" desak Kui-ing-cu.
"Ceng-ong-sin! Ceng-ong-sin!"
Yan-chiu mengoceh
seperti orang gila. Mendengar itu, Ceng Bo siangjin dan
lain2nya sama terkesiap kaget. Benar juga ketika mereka
memandang kearah gelanggang, dilihatnya The Go sudah
mengeluarkan sepasang sarung tangan hitam.
"Siaoko, lekas lepaskan bajumu!" seru Kui-ing-cu dengan
gugup, Tio Jiang heran, tapi demi didengarnya suara Kuiing-cu tadi mengunjuk kecemasan, diapun menurut. Baru,
dia lepas baju, disana The Go sudah mengeluarkan sebuah
bumbung bambu. Sekali menyentil tutupnya, maka seekor
ular tiok-yap-ceng (hijau daun) sebesar jari tangan, segera
menjulurkan kepalanya keluar. Secepat kilat The Go segera
ulurkan tangan untuk mencengkeram ekor ular itu. Ular itu
menggeliat dan menjulurkan kepalanya keatas hendak
merangsang muka The Go, tapi dengan sebat sekali The
Go, kibaskan tangannya, sembari maju kemuka. Kibasan
itu tepat sekali, ular tak dapat menggigit mukanya tapipun
tak sampai remuk tulangnya (siular). Begitu terkibas
kemuka dan melihat Tio Jiang, ular itu segera hendak
memagut Tio Jiang, siapa dengan gugup menghindar.
Kini tahulah Tio Jiang mengapa Kui-ing-cu tadi
menyuruhnya membuka baju. Dalam tangan Tio Jiang,
baju lemas itu dapat merupakan suatu senjata lihay yang
apabila dikebutkan dapat mengeluarkan samberan angin
yang dahsyat. Kala itu suasana diperjamuan situ menjadi
hiruk pikuk. "Jahanam, sungguh keji sekali kau. Masakan
benda macam begitu hendak dijadikan alat membunuh
orang!" salah seorang yang berangasan kedengaran
memaki. Namun The Go tulikan telinga. Serangan pertama
tak memberi hasil, dia maju beberapa langkah kemudian
ter-huyung kesamping dan sekali loncat dia sudah berada
dibelakang Tio Jiang. Ceng-ong-sin dikibaskan supaya
menggigit tulang punggung orang, siapa karena tak keburu
berputar tubuh segera gunakan jurus hong-cu-may-ciu terhuyung2 kesamping. Kemudian dari situ, dengan gerakan
kaki soh-tong-thui, dia menyapu kaki lawan.
The Go tertawa mengejek. Ceng-ong-sin ditarik
kebawah. Sedikit saja Tio Jiang ayal, pahanya tentu akan
rowak. Ini disebabkan karena tubuh ular itu mempunyai
sisik tajam yang berbisa sekali. Kecuali diobati dengan
empedu dari ular itu sendiri, walaupun tabib semasyhur
Hwa To dari jaman Sam Kok hidup lagi, pun tak nanti
dapat menolong jiwa orang yang terluka.
Ternyata maksud keji The Go itu tak sampai mengenai
sasarannya. Tapi diapun tak mau berhenti sampai disitu
saja. Secepat kilat, dia kibaskan lagi ular itu kemuka.
Rupanya setelah di-obat-abitkan beberapa kali oleh The Go,
ular itu menjadi buas. Tanpa tunggu sampai tangan The Go
mendorongkannya kemuka, otomatis ular itu sudah
merangsang kemuka. Sebelum Tio Jiang sempat mengebutkan baju, ular itu sudah menggigit pada
celananya. Saking terkejutnya, Ceng Bo siangjin dan kawan2nya
serentak sama berbangkit. Malah Yan-chiu sudah menjerit
keras: "Jiang suko!" Sekali tangannya menekan meja, ia
segera melesat maju.
"Manusia iblis macam begitu, mana boleh dibiarkan
hidup didunia persilatan!" berbareng itu terdengar suara
makian dan se-konyong2 seorang gemuk pendek, loncat
kemuka dengan menghunus golok.
Kala itu Tio Jiang rasakan celana kakinya mengencang
dan bulu kakinya berdiri. Tapi dalam pada itu dia rasakan
daging betisnya masih tak merasa sakit, maka secepat kilat
dia menarik kuat2 kebelakang, wekkk........ celana kakinya
telah robek dowak2, namun untung betisnya tak sampai
termakan ular. Keringat dingin mengucur membasahi
tubuhnya. The Go heran dibuatnya mengapa lawan masih bisa
lolos. Tapi segera dia tahu sebabnya, yakni gigitan mulut
siular tadi tak sampai kebagian daging, hanya kurang
beberapa dim jaraknya. Sedang Yan-chiu serasa longgar
sekali dadanya dari himpitan sebuah batu besar, jantungnya
berdebar2 seperti hendak loncat keluar. Ia terkesiap diam,
termangu2 berdiri disitu. Tapi silelaki gemuk pendek tadi
maju terus dan datang2 lalu membacok The Go. Baru saja
goloknya diangkat, se-konyong2 ada segumpal asap merah
meluncur pesat sekali kearahnya. The Go dan Yan-chiu
yang kenal akan barang lihay, buru2 loncat menghindar.
Tidak demikian dengan sigemuk pendek tadi. Dia masih
enak2 berdiri ditempatnya, tapi pada lain saat, kedengaran
suara jeritan seram dan tubuh sipendek itu terhampar,
bum.......hanya sekali dia menggerang, terus diam tak
berkutik lagi. Kini sekalian hadirin sama mengetahui, bahwa
gumpalan asap, merah tadi, ternyata adalah tubuh Ang
Hwat cinjin yang melesat laksana sesosok bayangan.
Setelah cepat membanting sipendek, cinjin itu tegak dengan
tenangnya. Saat itu, dari salah sebuah kursi, tampak ada
seorang loncat kemuka gelanggang, lalu menubruk ketubuh
pendek yang sudah tak bernyawa itu, menangis tersedu
sedih. Kini baru tahulah Ceng Bo siangjin bahwa sigemuk
pendek itu adalah tokoh persilatan dari daerah Kwisay. Dia
bernama Yo Ngo-long yang bersama sutenya digelari orang
sebagai Chiu san song-kiat (sepasang orang gagah dari
gunung Chiu san). Yang menangisi jenazahnya itu, yalah
sang sute bernama Lau Hong.
Melihat kini Ang Hwat cinjin sudah turun kegelangang,
semua orang sama berdiri dari tempat duduknya.
Kedengaran cinjin itu tertawa dingin, katanya: "Satu lawan
satu, tak boleh ada lain orang yang membantu. Orang itu
telah merusak tata cara persilatan, apalagi hendak turun
tangan secara kejam, maka mati itupun sudah selayaknya!"
Yo Ngo-long dengan sebatang golok, bukannya tokoh
yang tak ternama. Dalam dunia perusahaan antar barang
(piau kiok), namanya sangat terkenal. Perbuatan Ang Hwat
yang sudah membunuhnya tadi, telah menerbitkan
kemarahan orang banyak. Tapi karena cinjin itu dapat
menindas kemarahan orang banyak dengan kata2nya yang
tajam, terpaksa sekalian orang tak dapat berbuat apa2
kecuali menahan diri.
Namun Lou Hong tak dapat bersabar. Tak peduli Ang
Hwat cinjin itu bagaimanapun lihaynya, tapi karena
suhengnya dibinasakan orang, dia kalap betul. "Ang Hwat
loto, orang she Lau hendak mengadu jiwa dengan kau !"
serunya sembari maju menyerang dengan sepasang poankoan-pit. Melihat itu sekalian orang gagah hendak mencegah tapi
sudah tak keburu.
Ang Hwat tenang2 saja berdiri ditempatnya. Begitu
sepasang pit Lau Hong tiba didadanya, Ang Hwat gerakkan
tangannya dan tahu2 sepasang pit kepunyaan lawan itu
sudah pindah ditangannya. Kalau Lou Hong mau sudah
dengan begitu saja tentulah takkan sampai mengalami hal2
yang mengenaskan. Tapi dia sudah terlanjur umbar
kemarahan, tekadnya sudah bulat untuk mengadu jiwa.
GAMBAR 71 Sungguh celaka bagi Lau Hong, bukannya Ang Hwat Cinjin
roboh kena pukulannya, sebaliknya ia sendiri yangi kena
disengkelit kelantai hingga terbanting mampus.
Dia ayunkan kepalan kanan untuk menjotos dada Ang
Hwat, bluk............ suaranya seperti memukul kayu lapuk,
dan lengan Lau Hong itu terkulai kebawah. Masih dia tak
mau sudah, tangannya kiri menyusul menampar muka Ang
Hwat. Kali ini Ang Hwat tak mau memberi ampun lagi.
Sekali sawut tangan orang, dia segera melontarkannya. Ada
beberapi orang gagah hendak maju menolongi, tapi sudah
kasip karena cara Ang Hwat menggerakkan tangannya tadi
sungguh istimewa. Lau Hong tergelapar jatuh dilantai, tiada
bernyawa lagi. Tulang belulangnya remuk.
"Siapa yang berani hendak membantu kedua orang yang
bertempur itu, akan mengalami nasib serupa dengan kedua
orang ini. Barangsiapa yang tidak terima, silahkan tampil
kemuka, pinto bersedia untuk menemani main2 beberapa
jurus!" Ang Hwat cinjin sumbar2 dengan suara nyaring.
Kumandang suara cinjin itu disambut dengan hening
diseluruh medan perjamuan itu. Setiap orang insyaf bukan
tandingan Ang Hwat, jadi sama berdiam diri. Hanya Ceng
Bo siangjin seorang diri yang berpendapat lain. Kalau saat
itu dia tak unjuk diri, kelak bagaimana dia hendak berjumpa
dengan orang2 persilatan" Terang dia bukan tandingannya
Ang Hwat, tapi dia tak boleh tinggal diam saja karena takut
mati. "Yang satu tadi karena salah hendak membantu orang
bertempur, harus dibinasakan. Tapi untuk orang yang
kedua, mengapa juga diperlakukan sedemikian kejamnya ?"
serentak dia berseru lantang.
Ang Hwat tertawa ter-kekeh2, sahutnya: "Siapa yang
suruh dia tak tahu diri, berani kurang adat pada pinto.
Apakah siangjin tidak puas ?"
Ang Hwat mempunyai perhitungan yang amat cermat.
Dia tahu walaupun bukan yang tergolong lihay sendiri, tapi
peribadi Ceng Bo itu mempunyai wibawa besar yang secara
otomatis menempatkan dirinya sebagai pemimpin dari para
orang gagah yang hadir disitu.
Mereka adalah anasir2 penentang pemerintah Ceng.
Kalau Ceng Bo dilenyapkan, persekutuan mereka tentu
goncang. Dan ini suatu pembuka jalan untuknya
memperoleh pahala dari pemerintah Ceng. Maka sengaja
dia pancing siangjin itu dalam suatu pertempuran.
Juga Ceng Bo tetap berpegang pada pendiriannya tadi.
Sekali enjot, dia melesat maju. Kui-ing-cu dan si Bongkok
insyaf bagaimana pentingnya peran Ceng Bo dalam
membangun Thian Te Hwe nanti. Kala Ceng Bo
menyatakan suaranya tadi, mereka sudah amat gelisah.
Mereka yakin, siangjin itu tentu berpantang mundur. Maka
begitu menampak Ceng Bo hendak bergerak maju, mereka
berdua segera hadangkan tangan hendak mencegah.
Namun rupanya Ceng Bo sudah bulad tekad, yap-kun-kiam
dikibaskan kekanan kiri untuk memapas kedua lengan
bajunya yang dipegangi oleh kedua tokoh tadi, lalu terus
loncat ketengah gelanggang.
Kui-ing-cu makin gugup. Dalam keadaan seperti saat itu,
dia tak mau main pegang aturan macam apa saja, lalu
loncat mengikuti Ceng Bo. Tapi se-konyong2 Ceng Bo
lintangkan pedangnya sembari berseru: "Siapapun tak boleh
ikut2an !"
Kui-ing-cu terkesiap, sedang Ceng Bo melanjutkan lagi
kata2nya: "Walaupun pertempuran saat ini bukan lagi
bersifat adu kepandaian menurut kebiasaan orang
persilatan, namun peraturan tetap peraturan, tak boleh
dilanggar. Harap sekalian sahabat turut menyaksikan saja,
jangan ikut camnur!"
Kui-ing-cu tak dapat berbuat apa2 lagi, melainkan
terpaksa duduk. Dia dan si Bongkok menganggap, siangjin
itu terlalu memegang teguh sifat ksatryaannya. Semua mata
dari yang hadir, ditujukan kearah Ceng Bo dan Ang Hwat.
Saat itu The Go sudah menyimpan ceng-ong-sin, sedang
Tio Jiangpun menyisih kepinggir. Sembari mencekal
pedangnya, Ceng Bo memberi hormat: "Cinjin, silahkanlah!"
"Harap siangjin mulai lebih dahulu," Ang Hwat pun
membalas hormat seraya menyilahkan. Suasana dalam
medan perjamuan itu menjadi genting. Semua orang tahu
bahwa Ceng Bo tentu kalah. Tio Jiang gelisah bukan main.
Dia memandang kearah Bek Lian, hatinya makin pedih


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

geram, karena suci itu hanya selalu memperhatikan The Go
saja, sedikitpun tak ambil mumet akan keselamatan
ayahnya. Malah ibunya (Kiang Siang Yan) yang walaupun
sorot matanya dingin, tapi mau juga mengawasi kearah
Ceng Bo. "Maaf!" seru Ceng Bo sembari maju menusuk. Ang Hwat
rangkapkan kedua tangan, lalu mendak kemuka hendak
menutuk jalan darah than-tiong-hiat lawan. Dengan cepat
Ceng Bo tarik pulang pedang dan mundur setindak.
Pedang diputar dalam bentuk lingkaran sinar dan dengan
jurus "Ceng Wi tiam hay", dia lancarkan serangan yang
kedua. Ang Hwat tetap tak mau menyingkir, sekali tangan
menghantam kemuka, serangkum angin menderu dahsyat
hingga seketika itu Ceng Bo rasakan tangannya kesemutan
dan pedangnya hampir saja terlepas. Buru2 dia kerahkan
tenaga untuk mencekalnya erat2, tapi ujung pedang
mencong arahnya.
Ang Hwat tak tahu kalau Ceng Bo baru saja hamburkan
lwekang untuk menolong Sik Lo-sam. Demi diketahui
kepandaian Ceng Bo hanya begitu saja, dia tertawa gelak2,
serunya: "Kukira Hay-te-kau itu sungguh2 lihay, kiranya
hanya sebuah kulit kosong saja!"
Karena pedangnya miring, dada Ceng Bo terancam
dengan tutukan jari lawan, maka terpaksa dia mundur lagi
beberapa tindak. "Hay-te-kau ternyata hanya bernama
kosong saja, tak lebih dari kekuatan sebuah jari tanganku
saja!" kembali Ang Hwat menghina lawan. Walaupun tahu
Ceng Bo diperlakukan begitu, namun sekalian orang tak
berani turun tangan. Lebih2 Tio Jiang, dia seperti semut
diatas kuali panas.
Mendapat angin, Ang Hwat tak mau sungkan lagi. Sekali
melesat, dia menerjang lagi. Tapi Ceng Bo segera
menyambutnya dengan 3 buah jurus permainan pedang,
Ang Hwat tak berani gegabah hantam kromo. Dia berhenti
sebentar untuk mengirim sebuah pukulan lwekang. Tapi
'dengan se bat sekali Ceng Bo teruskan lagi dengan 3 buah
serangan berantai. Tio Jiang tak mengerti letak kelihayan
dari ke 6 serangan berantai sang suhu itu. Juga diseluruh
medan perjamuan itu tak seorangpun yang tahu kecuali
Kiang Siang Yan seorang. Itulah salah suatu gerak
perobahan yang paling sakti dari ilmupedang To-hay-kiamhwat. Dari 3 dan 3, menjadi 7 dan 7. Kalau bukan Ang
Hwat cinjin, lain orang pasti sukar untuk menghindar dari
serangan itu. Mata Ang Hwat yang tajam segera mengetahui bahwa
lwekang lawan itu lemah sekali, maka dia melesat
kesamping orang dan menghantam. Tapi kali ini Ceng Bo
sudah bersiap. Begitu samberan pukulan lawan tiba, dia
cepat turunkan pedang terus menusuk. Ang Hwat
perdengarkan ketawa dingin, dan membalas dengan dua
buah hantaman lwekang lagi. Kedahsyatan pukulan itu,
ibarat dapat menghancurkan batu gunung. Seketika Ceng
Bo rasakan ada suatu tenaga gempuran maha dahsyat
menyerangnya. Goyah lah kuda2. kakinya kena tergempur,
lalu melejit kesamping.
Ang Hwat tak mau memberi hati, dia memburu maju
untuk menutuk dengan sebuah jarinya lagi. Untuk kesekian
kalinya, terpaksa Ceng Bo mundur pula.
(Oo-dwkz-kupay-oO)
BAGIAN 40 : BERSATU KEMBALI
Ang Hwat nekad tak mau tarik pulang jarinya. Kakinya
bahkan mengisar maju dan gerakkan tangan kiri
menghantam. Diburu oleh jari dan kepelan itu, Tieng Bo
terpaksa main mundur sembari bolang balingkan pedang
untuk melindungi diri. Ber-turut2 dia mundur sampai
belasan tindak, jadi hampir separoh dari gelanggang itu
habis sudah diputarinya.
GAMBAR 72 Sekali Ang Hwat Cinjin bergerak, cepat ia merangsang maju.
Tapi Ceng Bo Siangjin sempat putar pedangnya sambil
melangkah mundur.
"Entah bagaimana Hay-te-kau dapat memperoleh
kemasyhuran nama itu ya "!" kembali Ang Hwat mengejek
dengan tertawa.
Sudah sejak bergebrak tadi, Kui-ing-cu mendongkol
sekali atas sikap kepala gereja Ang Hun Kiong yang
sedemikian sombongnya itu. Kali ini, tiba2 pikirannya
tergugah. Buru2 dia melirik kearah Kang Siang Yan dan
dapatkan nyonyah itupun unjukkan wajah kurang puas.
"Semalam menjadi suami isteri, akan terkenang sampai
mati". Rupanya hal itupun berlaku pada Kang Siang Yan.
Walaupun ia dapat dikelabui The Go sehingga marah
terhadap suaminya (Ceng Bo) yang disangka memusuhi
Bek Lian dan The Go itu, namun kecintaan suami isteri tak
mudah dihapus begitu saja. Ah, masih ada setitik harapan,
demikian Kui-ing-cu mengasah otaknya.
Pada saat keadaan Ceng Bo makin payah dan gerakan
pedangnya makin lambat seperti tertindih tenaga berat,
Kuiing-cu segera bertindak.
"Ang Hwat cinjin, kata2mu itu benar, Hay-te-kau
memang hanya sebuah 'kantong nasi' saja!" serunya.
Mendengar itu, sekalian orang sama terbeliak kaget.
Sebaliknya diam2 Ang Hwat gembira. Dia mengira, belum
lagi dia jatuhkan Hay-te-kau, kini pikiran orang sudah
banyak berpaling haluan.
"Sudah tentu benar!" sahutnya.
Kui-ing-cu girang, pancingn ya sudah mulai termakan.
"Tapi aku tak habis mengerti, mengapa dahulu Tay Sian
Siansu pernah menderita kekalahan dari dia?" serunya pula.
Ang Hwat berkeputusan untuk menjelaskan pertanyaan
Kui-ing-cu pada saat dan tempat seperti waktu itu. Kalau
tidak, orang2 tentu masih menjunjung Ceng Bo dan tak
mengindahkan dianya. Kubu kekuatan anti penjajah Ceng,
bagaikan rumput liar yang sukar dibasmi habis. Benar
dengan terbasmi rombongan Ceng Bo, kekuatan gerakan itu
akan terpatahkan sebagian, tapi alangkah baiknya kalau
tenaga2 itu dapat digunakan lagi untuk kepentingan barisan
kontra perlawanan itu. Dan inilah kesempatan yang
sebagus2nya untuk memikat mereka, demikian pikir Ang
Hwat. Sembari terus mendesak Ceng Bo, dia tertawa menyahut:
"Itulah karena kelemahan Tay Siang Siansu sendiri."
"Sepasang ilmu pedang hoan-kang-kiam-hwat dan tohaykiam-hwat, telah menggetarkan dunia persilatan selama
lebih 30 tahun lamanya, masakan hanya bernama kosong
saja" Ada sebuah pameo dalam dunia persilatan: Hay-tekau - Kang Siang Yan, sepasang pedang malang melintang
didunia persilatan, hoan-kang (menjungkirkan sungai) to
hay (membalikkan laut) selama 30 tahun! Masakan kau tak
tahu akan hal itu ?" Kui-ing-cu tetap mengulur umpan.
Di-kili2 begitu, lupalah sesaat Ang Hwat bahwa Kang
Siang Yan berada disitu, mulutnya segera berlincah: "Apa
itu sih, Hay-te-kau Kang Siang Yan! He, he, dalam
pandangan pinto (aku), mereka 'kantong nasi' semua!"
Kui-ing-cu hampir berjingkrak karena girangnya. Benar
juga seketika itu bangkitlah Kang Siang Yan dengan
serentak. Wajahnya sudah menampil kemarahan hebat.
Kui-ing-cu tak mau sia2kan kesempatan itu. Dia siram lagi
api kemarahan Kang Siang Yan itu dengan minyak.
Sembari tertawa ter-kekeh2 dia berseru nyaring2: "Amboi!
Kiranya bukan hanya Hay-te-kau seorang yang jadi
'kantong nasi', Ha......, haaa......, sungguh penipuan nama
besar2an! Ucapan cinjin sedikitpun tak salah, aku
mengertilah sekarang!"
Hebat ilmu silatnya, aneh watak perangainya dan tajam
juga lidahnya. Itulah tokoh Kui-ing-cu. Tu lihat, Kang
Siang Yan sudah "terbakar" olehnya.
"Ang Hwat cinjin, coba kau perdatakan siapa yang disini
ini " seru Kang Siang Yan dengan sinis.
"Mah, kau ini bagaimana ?" buru2 Bek Lian
memperingatkan.
Juga The Go terkejut bukan alang kepalang dan cepat2
berseru : "Gak-bo !"
Kang Siang Yan anggap dirinya tak dibawah Ang Hwat.
Dihina terang2an dihadapan sekian banyak orang
persilatan, mana ia mau tinggal diam saja.
"Diam!" bentaknya kepada Bek Lian dan The Go,
sehingga kedua anak muda itu tak berani bercuit lagi.
Saat itu Ang Hwat seperti diguyur air dingin. Insyaflah
kini dia kalau kena dipermainkan oleh Kui-ing-cu hingga
bikin marah pada Kang Siang Yan. Dengan gengsinya
sebagai datuk persilatan yang dimalui orang, masakan dia
ada muka untuk menarik kembali kata2nya yang sudah
diucapkan dihadapan sekian banyak orang itu! Namun
dengan berbuat begitu, artinya dia membuka permusuhan
dengan wanita yang lihay itu. Dalam keadaan serba salah
itu, sesaat tak dapat dia menjawab pertanyaan Kang Siang
Yan tadi. "Astagfirullah! Jadi Kang Siang Yan dan Hay-te-kau itu
'kantong nasi' semua. Gila, baru sekarang aku mengetahui!"
Kui-ing-cu berseru tinggi-rendah dengan nada di buat2.
"Tutup mulutmu!" bentak Kang Siang Yan dengan
murkanya. Kui-ing-cu ber-kuik2 seperti babi hendak disembelih,
serun ya: "Oi...., oi....., mengapa....., kan bukan aku yang
mengatakan tapi Ang Hwat cinjin! Semua orang sampaipun
pintu yang gagu itu menjadi saksinya. Kalau tak berani
sama yang mengatakan, jangan tumpahkan kemarahan
padaku si 'kantong nasi' kecil lho!"
Pandai benar Kui-ing-cu ber-olok2, sehingga para hadirin
sama menekan perut saking gelinya. Api kemarahan Kang
Siang Yan berkobar sungguh. Maju dua langkah kemuka, ia
berseru: "Ang Hwat imam tua, mengapa kau begitu tak
memandang sebelah mata pada orang ?"
Keadaan Ang Hwat seperti seorang gagu yang makan
getah. Sakit, tapi sukar mengatakan. Kalau dia diam tak
menyahut, berarti akan kehilangan muka dan diam2
dianggap mengakui kesalahannya. Tapi pada lain saat,
timbullah ke-angkuhannya.
"Ya, memang benar mengatakan, lalu bagaimana?"
ujarnya dengan keras.
Sret......., tangan Kang Siang Yan sudah menyiapkan
pedang, serunya: "Bagus! Imam tua, biarlah kini kau
ketahui bagaimana tempo dahulu Tay Siang Siansu
menderita kekalahannya.
---oodwkz0tkupayoo--Sebuah sinar bianglala ber-kilap2 dari atas kebawah
melayang keulu punggung Ang Hwat. Salah sebuah jurus
dari ilmu pedang hoan-kang-kiam-hwat yang disebut pahong-oh-kang sudah dilancarkan oleh Kang Siang Yan. Dan
secara kebenaran sekali, ketika perhatian Ang Hwat
terpecah karena melayani percakapan tadi, Ceng Bo
lancarkan serangan pembalasan. Dan tepat dikala pedang
Kang Siang Yan menari dalam gerak pah-ong-oh-kang tadi,
Ceng Bopun bergerak dengan salah satu jurus ilmu pedang
to-hay-kiamhwat yang disebut thio-ik-cut-hay.
Sudah 10-an tahun lamanya sapasang pedang pit-isonghong-kiam itu tak muncul didunia ramai. Kini sekali
muncul, mereka bahu membahu bersatu kembali. Kang
Siang Yang kini memiliki ilmu lwekang sakti thay-im-lianseng. Sedang lwekang Ceng Bopun sudah banyak
kemajuannya, Maka gerak permainan sepasang pedang itu,
jauh lebih dahsyat dari 10 tahun yang lalu.
Ang Hwat hendak menghantam kemuka untuk
menghalau pedang yap-kun-kiam, tapi sesaat itu punggung
terasa. disambar hawa dingin, kuan-wi-kiam hanya terpaut
satu dim dari kulit punggungnya. Sudah tentu dia tak jadi
melancarkan hantamannya tadi itu. Syukurlah dia faham
akan segala ilmu silat berbagai aliran, tambahan pula
ilmunya mengentengi tubuh sangat sempurna. Dengan
gerak han-te-pat-jong, dia enjot kakinya loncat lurus sampai
setombak lebih tingginya. Kini dia tak berani bertempur
dengan tangan kosong lagi. Membarengi masih melayang
diudara, cepat cabut sebuah benda dari belakang
punggungnya. Benda itu berwarna hitam legam, sebesar
lengan orang, panjang hanya setengah meteran. Entah
benda apa itu. Melihat isterinya membantuinya, girang Ceng Bo sukar
dilukis. Kala Ang Hwat masih berada diudara, dia. segera
berseru dengan pelahan: "Hong-moay!"
Dipanggil begitu, terkenanglah sesaat Kang Siang Yan
akan kebahagiaan kehidupan suami isteri mereka pada 10
tahun berselang. Tapi hanya untuk beberapa kejab saja
kenangan bahagia itu dirasainya, karena pada saat itu Ang
Hwat sudah melayang turun dan menutuk bahunya dengan
benda hitamnya. Buru2 ia miring kesamping, lalu balas
menusuk. Tapi ternyata tutukan Ang Hwat itu hanya gertakan saja.
Begitu Kang Siang Yan menusuk, buru2 dia putar tubuhnya
untuk secepat kilat menutuk pada Ceng Bo. Sebenarnya
saat itu, demi dilihatnya sang isteri sudah bergerak dengan
jurus kedua, Ceng Bopun segera gerakkan pedangnya dalam
jurus hoan-thian-kok-hay. Jadi sepasang pedang itu,
menyerang berbareng. Ang Hwat memusatkan, serangannya kepada Ceng Bo, karena diketahuinya
kepandaian siangjin itu lebih rendah dari Kang Siang Yan.
Membarengi dengan sebuah hantaman tangan kiri, benda
hitam yang ternyata ber-buku2 (ros2an) se-konyong2
menjulur maju sendiri, hingga hampir saja Ceng Bo
termakan, kalau dia tak lekas2 menghindar. Tapi walaupun
demikian, tak urung gerakan kakinya menjadi kacau.
Sepasang ilmu pedang itu harus dimainkan dengan
gerakan kaki yang tepat. Sedikitpun tak boleh kacau atau
selisih. Sayang kepandaian Ceng Bo tak menyamai Kang
siang Yan tadipun gagal tak menemui sasarannya.
Ang Hwat getarkan tangannya dan wut...... benda hitam


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbuku itu lagi2 menjulur setengah meter panjangnya
menyerang Ceng Bo. Dalam keadaan terdesak itu, Ceng Bo
segera gunakan gerak thiat-pian-kio (jembatan gantung),
tubuhnya telentang membalik kebelakang. Hanya dua tiga
dim saja senjata Ang Hwat itu lewat diatas dada Ceng Bo.
Setelah bangun, Ceng Bo segera lancarkan ceng-wi-tianhay, yalah jurus ketiga dari to-hay-kiam-hwat. Dan tepat
pada waktunya; kebenaran juga Kang Siang Yanpun
lancarkan jurus yang ketiga pula. Ang Hwat terpaksa
gunakan jurus Kwan Kong melolos jubahnya, Ang Hwat
ber-putar2 menghindar. Anehnya senjatanya benda hitam
tadi, tahu2 menyurut sendiri pulang seperti sediakala
panjangnya. Oleh karena terpisah dekat sekali, jadi Kang Siang Yan
dan Ceng Bo dapat melihat tegas senjata aneh berbuku
milik Ang Hwat itu. Oleh karena ujung senjata itu agak
halus dari bukunya, maka tahulah suami isteri itu kalau
didalam senjata itu tentu dipasangi alat2 veer. Jadi sekali
menekan, ujungnya dapat menjulur keluar sendiri, bukan
hanya satu dua buku, bahkan sampai tujuh delapan buku.
Setiap buku panjangnya hampir setengah meter. Jadi dapat
dibayangkan betapa lihaynya senjata itu.
Kedua suami isteri itu saling mengicupkan ekor mata.
Tigapuluh tahun berselang ketika mereka baru turun
gunung untuk masuk kedunia persilatan, senantiasa mereka
bertempur bahu membahu. Didorong oleh darah muda,
mereka selalu bernapsu untuk menang, dan untuk mencapai
maksudnya itu mereka telah menetapkan kode dengan
kicupan ekor mata. Dalam setiap pertempuran, tak pernah
mereka lupa akan kode itu. Kini setelah 10 tahun berpisah,
pertama kali bersatu kembali mereka sudah menghadapi
seorang musuh tangguh macam Ang Hwat. Teringat akan
kode itu, mereka menjadi geli sendiri.
Ang Hwat ter-longong2, dikiranya mereka itu terlalu
keisengan saja bertingkah seperti anak2. Disamping itu
diapun menganggap orang terlalu memandang rendah
padanya, hingga kini dia berlaku sangat hati2 sekali.
Dengan gerak jongliong-jut-chiu (naga hijau menjulurkan
cakar), dia loncat lagi sampai 2 meter tingginya, lalu
memutar senjatanya tadi. Dirinya se-olah2 terbungkus
dalam lingkaran sinar, yang agak dekat tubuhnya sinarnya
hitam yang jauh dari dirinya, sinarnya ber-kilau2an.
Panjang senjatanya itu tak kurang dan 4 meteran. Yang pertama2 terdesak mundur yalah Ceng Bo siangjin, sedang
Kang Siang Yanpun tak berdaya untuk maju mendesak.
Kini baru terbukalah mata sekalian orang, betapa
lihaynya kepala gereja Ang Hun Kiong itu. Kang Siang Yan
- Ceng Bo siangjin, dua tokoh yang pernah menggemparkan
dunia persilatan, ternyata tak mudah untuk merebut
kemenangan. Tanpa terasa mereka sama leletkan lidah
mengagumi. Sedang diantara para peonton, adalah The Go yang
paling bangga gembira.
"Lian-moay, kau ketahui tidak " Senjata sucou itu disebut
im-yang-pian (ruyung im-yang). Separoh bagian muka yang
ber-kilau2an itu, terbuat dari besi murni, dapat kencang
dapat pula lemas. Dibawah kolong langit, tiada seorangpun
yang dapat tahan menghadapinya!"
Ucapan The Go itu tampaknya ditujukan pada Bek Lian,
tapi pada hakekatnya, supaya sekalian orang sama
mengetahui hal itu. Mulut Bek Lian hanya mengiakan saja,
namun hatinya terjadi pertentangan hebat. Ia b--erlainan hal
dengan sekalian orang itu. Sebenarnya ia tak mempunyai
hati sama sekali untuk berhamba pada pemerintah Ceng,
maupun untuk melawannya. la berharap ibunya menang,
tapi demikian tentu akan bermusuhan dengan gereja Ang
Hun Kiong yang berarti pula menyulitkan hubungannya
dengan The Go. Namun kalau mengharap kemenangan
difihak Ang Hwat, kecintaannya terhadap sang ibu masih
melekat dalam. Inilah faktor yang menjadi pertentangan
hati Bek Lian. Berat nian ia menimbangnya.
Sedang digelanggang sana, tampak Ang Hwat sudah.
mempunyai gambaran jelas akan kekuatan kedua lawann ya
itu. Ceng Bo terang tak selihay Kang Siang Yan. Yang
lemah harus digempur dulu, demikian dia tetapkan
rencana-nya. Tiba2 im-yang-pian berhenti berputar sejenak,
tapi siku kirinya menyodok Kang Siang Yan.
"Bagus!" seru Kang Siang Yan, siapapun tak mau
membabat dengan pedang tapi melancarkan hantaman
thay-imciang-nya yang hebat.
Tapi ternyata sodokan siku Ang Hwat tadi hanya gertak
kosong. Begitu hantaman Kang Siang Yan tiba, cepat2 dia
tarik lengannya untuk menghadang, kemudian meminjam
tenaga dorongan Kang Siang Yang yang hebat itu, dia
layangkan tubuhnya memburu pada Ceng Bo, wut.....,
wut....., wut......, im-yang-pian menjulur, sampai lima enam
meter panjang. Ujungnya. yang melengkung runcing itu
berhamburan memagut jalan darah i-hu-hiat, tham-tionghiat, ki-kwat-hiat, ki-bun-hiat, hun-cui-hiat, khi-hay-hiat,
semuanya jalan darah besar dibagian dada dan perut orang.
Antara i-hu-hiat dan khi-hay-hiat jaraknya antara setengah
meter, namun ujung pian itu dapat digerakkan sekaligus
untuk menutuknya. Dan yang lebih hebat lagi, tutukan itu
bukan saja digerakkan dengan tenaganya sendiri pun
didorong juga oleh hantaman Kang Siang Yan tadi.
Ceng Bo gugup dan putar pedangnya dengan seru untuk
melindungi dirinya. Tapi ternyata Ang Hwat sudah
memperhitungkan hal itu. Begitu lawan memutar pedang,
diapun segera melesat kesamping sembari gerakkan
tangannya. Wut......, ujung pian itu dapat melengkung
untuk memagut punggung Ceng Bo. Maka betapa
terperanjatnya Ceng Bo ketika baru saja dia mainkan
pedang atau pagutan ujung pian itu sudah menghilang
dengan tiba2. Pada lain saat dia rasakan punggungn ya ada
angin menyambar. Tahu bahwa musuh beralih menyerang
dari belakang, namun dia tak berdaya untuk secepat itu
memutar tubuhnya. Diam2 dia mengeluh.
Tapi syukur disana masih ada Kang Siang Yan. Tahu
sang suami terancam bahaya, ia segera bersuit nyaring,
macam hantu meringkik. Dengan gunakan ilmu mengentengi tubuh untuk mengisar kaki dalam ilmu sakti
thay-im-lianseng,
tanpa menggerakkan kaki, tahu2 tubuhnya sudah berkisar dibelakang Ceng Bo. Dengan Kutcu-tho-kang, salah sebuah jurus dari ilmu pedang hoankang-kiam-hwat, ia babat sepasang kaki Ang Hwat.
Dengan gemas Ang Hwat terpaksa batalkan tutukann ya
kearah punggung Ceng Bo tadi, karena harus loncat
menghindar dari babatan pedang. Dalam pada itu, Ceng
Bopun sudah sempat memutar tubuh dan terus lancarkan
serangan hay-li-long-hoan. Ini serasi dengan sabetan Kang
Siang Yan yang menggunakan jurus kut-cu-tho-kang tadi.
Yang satu membabat turun yang lain menyerang keatas.
Ang Hwat kebutkan lengan bajunya untuk menghalau
serangan Ceng Bo, kemudian lingkarkan im-yang-pian
untuk membuyarkan serangan Kang Siang Yan, sedang
kakinya segera dienjot loncat keluar dari kalangan
pertempuran. Bahwa dia dapat berbareng menangkis dua
macam serangan, serta lolos dari kepungan yang
sedemikian gencarnya, menandakan bagaimana tinggi
kepandaiannya itu. Para hadirin yang menyaksikannya,
sama mengucurkan keringat dingin.
Tio Jiang kepal2 tinjunya, sedang Yan-chiu membeliakkan matanya lebar2, mulutnya komat kamit
menggerutu sendirian. Tengah ia asyik memperhatikan
jalannya pertempuran itu, se-konyong2 bahunya terasa
ditepuk orang. Kala itu Ceng Bo dan Kang Siang Yan saling
bertukar pandangan, kembali mereka berdua saling main
mata. Yan-chiu menduga bahwa suhu dan subonya itu
tentu akan melancarkan serangan yang lebih dahsyat lagi.
Sudah tentu, ia curahkan seluruh pqrhatiannya untuk
menyaksikan. Mengira ada orang karena tak kelihatan lalu
menepuk bahunya, Yan-chiu tanpa menoleh kebelakang
lagi, terus menyisih kesamping. Tapi kembali disitu,
pahanya terasa dicubit orang.
Cubitan itu sakit juga, hingga sebagai seorang gadis,
gusarlah Yan-chiu karena malunya. Cepat2 dia berpaling
kebelakang dan hai, kiranya sikurang-ajar itu ternyata
seorang to-thong (imam anak2), sekira 12-an tahun
umurnya. Demi melihat wajah to-thong itu menyenangkan,
Yan-chiu tak jadi marah tapi lalu memberi isyarat supaya
anak itu jangan mengganggunya lagi. Tapi to-thong itu
segera menimpukkan segulung kertas kecil, terus memutar
tubuh berjalan pergi.
Yan-chiu yang cerdas segera mengerti bahwa anak itu
tentu mempunyai urusan penting tapi kuatir diketahui
orang, jadi berbuat begitu. Buru2 dijemputnya gulungan
kecil itu lalu dibukanya. Kiranya disitu terdapat beberapa
huruf yang berbunyi begini: "Cici, kami mendapat
kesulitan, lekas tolongi! - Hong."
Tiba2 teringat Yan-chiu bahwa sejak ia datang kegereja
Ang Hun Kiong yang terachir ini, ia tak berjumpa lagi,
dengan Kuan Hong dan Wan Gwat, kedua imam anak2
yang dikenalnya itu. Tanda tangan "Hong" itu, terang
adalah Kuan Hong. Apa yang dinyatakan "dalam kesulitan"
itu, tentulah karena menunjuki ia (Yan-chiu) akan jalan
dibawah tanah dari gereja Ang Hun Kiong itu, maka
sekarang mendapat hukuman berat.
Yan-chiu benar genit dan nakal, tapi ia, sudah mendapat
gemblengan pendidikan budi pekerti dari Ceng Bo siangjin,
jadi terhadap budi dan dendam, dapatlah ia menarik garis
yang tajam. Memandang kesebelah sana, ternyata to-thong
yang menimpukkan gulungan surat tadi masih berada tak
jauh dari, situ dan melambaikan tangan kepadanya.
Serentak berdirilah dia lalu menghampiri kesana.
Kala itu Ang Hwat cinjin sudah terlibat dalam
pertempuran dengan Kang Siang Yan - Ceng Bo lagi.
Semua, orang sama menahan napas dan mencurahkan
seluruh perhatiannya, jadi mereka tak menghiraukan gerak
gerik Yan-chiu lagi. To-thong itu berjalan kesebelah barat
dan. Yan-chiu tetap mengikutinya. Membiluk pada sebuah
ujung. dinding, barulah to-thong itu berhenti. Ternyata
disitu keadaannya sunyi dengan orang.
"Siao-totiang, apakah Kuan Hong dan Wan Gwat
berdua menyuruhmu mencari aku?" tegur Yan-chiu.
"Ya, jangan banyak bicara lagi, lekas ikut aku!" sahut tothong itu dengan suara pelahan. Demikianlah setelah. berbiluk2 beberapa tikungan, tibalah Yan-chiu pada sebuah,
ruangan yang tak dikenalnya. To-thong itu masuk kedalam
sebuah kamar, lalu mengambil seprangkat pakaian tosu
(imam) dan suruh Yan-chiu memakainya.
Dasar gadis nakal, Yan-chiu gembira sekali dengan
permainan itu. Pakaian itu segera dikenakan, rambutnya
disingkap keatas, lalu memakai kopiah gereja. Ai, benar2
mirip seorang tosu muda. To-thong itu cekikikan menahan
gelinya. Begitulah to-thong itu segera membawanya
berjalan lagi. Membiluk ketimur menikung kebarat,
beberapa orang penghuni gereja itu dijumpainya, tapi tiada
seorangpun yang curiga pada Yan-chiu. Akhirnya tibalah
mereka pada sebuah thian-keng (halaman didalam rumah)
yang tak seberapa besar. Ditengah thian-keng itu terdapat
sebuah perapian dupa terbuat dari tembaga. Ditilik
rupanya, alat itu sudah seribu tahun lebih umurnya.
Disamping perapian dupa itu tampak ada dua orang
hweshio bertubuh tinggi besar tengah duduk ber-cakap2
sambil menikmati arak.
To-thong itu segera menarik Yan-chiu kesamping.
"Cici, kau tadi melihat tidak " Kuan Hong dan Wan
Gwat berada dibawah perapian pedupaan itu tadi!"
katanya. "Bagaimana dibawah situ bisa dibuat menutup orang?"
tanya Yan-chiu.
"Karena disitu terdapat lubang terowongannya," sahut si
to-thong. Yan-chiu menjadi jelas. Ketika dilihatnya kedua penjaga
imam itu masih enak2an saja meneguk arak sehingga tak
tahu akan kedatangan orang, Yan-chiu segera mendapat
akal. Dicabutnya tusuk kondenya, lalu dijentikkan dengan
lwekang. Kedua imam itu sedang sama mengangkat
cawannya saling memberi toast (selamat), tahu2 jalan
darahnya suan-ki-kiat-telah kena ditutuk oleh tusuk konde.
Bluk....., bluk....., tubuh mereka sama menggelepar jatuh
dan araknya bergelimpangan membasahi lantai.
GAMBAR 73 Sekali Yan Chiu yang sudah menyamar sebagai Tosu,
mengayun tangannya, dua tusuk-kondenya melayang dan
robohlah kedua imam penjaga itu.
Sebat sekali Yan-chiu segera berlari menghampiri
perapian tembaga itu, terus ditarik se-kuat2nya. Tapi
hai......, raganya seluruh tenaga telah dikeluarkan namun
perapian itu sedikitpun tak berkisar. Ia melampaui kearah
to-thong tadi, siapa dengan memakai kain penutup muka,
ber-larian2 menuju kebelakang perapian itu, lalu menunjuk
pada telinga perapian yang sebelah kiri. Yan-chiu mengerti,
lalu mendorongnya. Benar juga perapian perdupaan itu
segera berkisar kesamping dan terbukalah sebuah lubang,
kira2 2 meter besarnya.


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan diikuti oleh Yan-chiu masuklah to-thong itu
kedalam. Ha, kiranya disitu merupakan sebuah jalanan
dibawah tanah, tingginya hampir setombak, dindingnya
terbuat daripada batu merah yang kokoh, penerangannya
cukup. Ketika tiba diujung jalan dan membiluk, tibalah
mereka pada sebuah pintu besar yang memakai terali besi.
Didalam terali besi itu, tampak Kuan Hong dan Wan Gwat
tengah digantung. Ketika melihat kedatangan Yan-chiu,
wajah kedua anak itu berseri girang lalu hendak berseru,
tapi ternyata tak dapat karena mulutnya tersumbat sebuah
bola besi. Melihat terali besi itu hanya sebesar jari tangan, Yanchiu menaksir kekuatannya. Dilekatkannya kedua tangannya pada dua buah terali. Lebih dahulu ia salurkan
lwekang ajaran suhunya (Ceng Bo), setelah tenaga dalam
itu beredar, barulah ia kerahkan lwekang ajaran Tay Siang
Siansu dan mementangnya ....... amboi, terali itu
melengkung bengkok menurutkan pentangan tangan.
Dengan kegirangan sekali, Yan-chiu segera menyusup
masuk, terus membuka tali borgolan kedua imam anak2 itu.
Serta merta Kuan Hong dan Wan Gwat jatuhkan diri
ditanah berlutut, sembari menghaturkan terima kasih
kepada Yan-chiu.
"Ai...., sudahlah, jangan banyak beradatan, ayuh kalian
lekas melarikan diri sana!" ujar sito-thong kecil tadi. Tapi
masih Kuan Hong dan Wan Gwat memandang kearah
Yan-chiu dengan sorot mata meminta pelindungan.
"Baiklah, kalian boleh lekas menuju ke Cin Wan Kuan di
Lo-hu-san. Kalau urusan disini sudah beres, aku tentu
kesana juga!" kata Yan-chiu.
Kembali kedua anak itu menghaturkan terima kasih nan
tak terhingga. Yan-chiu sendiripun girang bukan kepalang
karena telah berhasil menolongi orang. Begitulah mereka
berempat kembali menyusur lubang rahasia itu untuk
muncul keatas. Perapian dupa itu didorongnya menutup
lagi dan tanpa menghiraukan apakah kedua, imam yang
tertutuk tadi mati atau hidup, mereka lalu tinggalkan
tempat itu. ---oodwkz0kupayoo--Ketika tiba pada dua buah ruangan, tiba2 dari arah muka
sana terdengar ada orang berseru: "Chiu-yap, kau sembunyi
dimana " Tamu perlu pelayanan, jangan enak2 menghilang."
Kuan Hong dan Wan Gwat terkejut pucat wajahnya.
Buru2 mereka menyelinap bersembunyi kesamping. Yang
dipanggil "Chiu-yap", adalah to-thong kecil yang menjadi
penunjuk jalan Yan-chiu itu. Juga to-tong kecil itu pucat lesi
wajahnya dan hentikan langkahnya. Karena tak kenal
jalanan, Yan-chiupun ikut berhenti.
Pada lain saat muncullah seorang tosu, terus berseru
dengan garangnya: "Hai.....,kebetulan, ayuh lekas kalian
berdua kesana. Jangan sembarangan jalan2 ke-mana2, awas
bisa dihukum dibawah penjara tanah ya!"
Ketika tosu itu muncul tadi, Yan-chiu buru2 tundukkan
kepalanya. Syukurlah tosu itu tak mengamat-amatinya
dengan perdata. Sedang Chiu-yap karena ketakutan tak
dapat ber-kata2. Adalah Yan-chiu yang cerdas tangkas itu,
segera memberi penyahutan mengiakan.
"Ayuh, ikut padaku!" seru tosu itu sembari berjalan.
Jarak imam itu dengan Yan-chiu hanya satu meter. Andai
kata mau, mudahlah Yan-chiu untuk merobohkannya. Tapi
karena tadi imam itu mengatakan "sitetamu minta pelayan",
timbullah pertanyaan dalam hati Yan-chiu. Rombongan
suhunya sudah berada diatas dan malah sudah bertempur
dengan tuan rumah. Pernah suhunya mengatakan bahwa
pemerintah Ceng telah mengirim beberapa orang jagoannya
kelas satu ke Ang Hun Kiong. Ah, yang dimaksud "tetamu"
itu tentulah kawanan jagoan itu. Sampai saat suhunya
bertempur dengan Ang Hwat, jagoan2 itu masih belum
menampakkan diri, mengapa ia tak mau gunakan
kesempatan eebagus itu untuk menyelidiki keadaan mereka"
Cepat2 ia memberi isyarat lambaian tangan pada Chiuyap supaya jangan takut, namun anak itu tetap terkalang
lidahnya tak dapat berbicara. Setelah melalui dua buah
ruangan, tibalah mereka pada sederet gedung yang indah
buatannya, mirip dengan kediaman kaum hartawan.
"Jiwi cianpwe, to-thong yang akan melayani cianpwe
sudah datang!" seru sitosu itu sembari membungkuk.
Dari dalam rumah mewah itu, terdengar sebuah suara
melengking, menyahut: "Suruh mereka masuk kemari!"
Tiba2 tosu itu menabok kepala Yan-chiu, lalu
memesannya: "Baik2lah melayani, didalam situ adalah
Hwat Siau dan Swat Moay yang termasyhur. Sucou turun
gunung untuk menyambutnya sendiri!" .
Bukan kepalang mendongkolnya Yan-chiu ketika
mendapat persen tabokan itu. Tapi demi didengar nama
Hwat Siau dan Swat Moay, kejutnya bukan olah2. Terpaksa
dia tahankan amarahnya dan hanya deliki mata kearah tosu
itu. Tapi delikan matanya itu hampir saja menggagalkan
rencananya. "Siapa namamu, mengapa aku belum pernah melihatmu
?" tanya tosu itu karena curiga.
Yan-chiu seperti disengat kala. Tapi belum lagi ia
memperoleh kata2 untuk men yahut, dari dalam rumah
kembali terdengar suara lengkingan yang menusuk daun
telinga: "Lekas masuklah!"
Karena sang tetamu agung yang mendesaknya, barulah
tosu itu tak mau banyak bertanya lagi lalu menyuruh Yanchiu dan Chiu-yap masuk dengan lantas. Dengan napas
longgar, Yan-chiu segera menolak daun pintu masuk. Tapi
ketika mengawasi kedalam ruangan, matanya kembali
terbelalak. Kiranya alat perabot dalam gedung yang begitu
mewahnya itu, hanya sebuah balai2 saja. Dua orang tengah
duduk bersila diatas balai2 itu. Yang seorang kepalanya
lancip rambutnya keriwis2 (jarang). Kalau tiada memakai
sanggul, sepintas pandang orang tentu mengiranya seorang
lelaki. Ia mengenakan jubah warna hijau. Wajahnya juga
sangat aneh, putih ke-hijau2an warnanya, mirip dengan
sebuah mayat hidup. Sedang yang satunya seorang lelaki
bertubuh kurus, ya sedemikian kurusnya hingga tinggal
tulang terbungkus kulit sad ya. Dia han ya memakai celana
panjang saja, tubuhnya bagian atas tak memakal baju.
Tulang rusuknya menonjol-masuk
aneh bentuknya. Dadanya melesek, masuk, warna kulitnya sok2an, sok
merah sok kuning tak berketentuan. .
Ketika memasuki ruangan itu, Yan-chiu merasakan
suatu hawa yang panas. Tapi ketika dia berkisar kesamping
ternyata disitu terasa dingin, hingga hampir membuatnya
menggigil. Buru2 ia salurkan Iwekang untuk melindungi
diri: Chiu-yap yang berdiri diluar pintu, tak henti2nya
menggigil. Ketika Yan-chiu masuk, bermula kedua orang aneh itu
diam tak menghiraukan. Tapi kemudian tiba2 wajah
siorang lelaki itu mengunjuk keheranan.
"Murid Ang Hun Kiong angkatan keberapakah kau In!?"
tegurnya. Otak Yan-chiu bekerja keras. Kalau menyebut angkatannya keliwat tinggi, tentu akan menimbulkan
kecurigaan mereka. Maka dengan chidmatnya ia segera
menyahut: "Angkatan ketiga!"
Orang itu mendengus dan meng-amat2i Yan-chiu dengan
seksama, kemudian memandang kearah Chiu-yap. Tiba2
dia tertawa ter-loroh2, suaranya mirip dengan ayam betina
yang habis bertelur.
Yan-chiu tak tahu apa yang digelikan orang itu. Namun
ia rasakan bulu romanya sama berdiri. Seluruh ruangan
disitu serasa diliputi dengan suasana yang aneh. Diam2
Yan-chiu menduga jangan2 kedua orang inilah yang disebut
Hwat Siau dan Swat Moay itu. Tapi tak tahu ia, yang mana
Hwat Siau, yang mana Swat Moay itu. Selagi dia tengah
menimang2, ruangan itu makin lama makin panas rasanya.
Kiranya sembari ketawa itu, wajah siorang laki2 itu
makin merah warnanya. Hawa yang disemburkan dari
mulutnya itu menyerupai uap panas yang dimuntahkan lava
gunung berapi. Apa boleh buat Yan-chiu terpaksa kerahkan
lwekangnya untuk bertahan. Tapi dalam pada itu tahulah
kini ia, bahwa siorang laki2 itu tentu Hwat Siau adanya.
Pernah suhunya mengatakan, bahwa sepasang suami isteri
itu meyakinkan ilmu lwekang im-yang-cui-hwat-kang, yang
satu Iwekang cui (air) yang lain lwekang hwat (api).
Lihaynya tiada tertara.
Syukurlah tiba2 Hwat Siau hentikan ketawanya, Ialu
menatap kearah Yan-chiu, ujarnya: "Usiamu masih begitu
muda apalagi hanya murid angkatan ketiga dari gereja ini,
tapi kau memiliki lwekang yang begitu bagus. Apakah
sebelum menjadi murid disini kau sudah memiliki
kepandaian lain?"
Kini baru Yan-chiu tersadar bahwa pertahanannya
dengan lwekang tadi telah dapat diketahui orang. Kalau
dirinya sampai ketahuan, ah celaka. Dengan mengucurkan
keringat dingin, buru2 ia menyahut: "Ya, memang benar
begitu!" Sekalipun Hwat Siau bercuriga, namun mengingat
bahwa penjagaan gereja Ang Hun Kiong sedemikian
kokohnya hingga tak perlu dikuatirkan akan adanya musuh
menyelundup, maka diapun tak mau mengurus lebih
panjang. "Ambilkan dua baskom air!" serunya.
GAMBAR 74 Menyangka Yan Chiu sebagai imam pelayan, Hwat Siau dan
Swal Moay memerlntahkan dia mengambilkan baskom berisi air
guna melatih Lwekang mereka.
Yan-chiu lekas2 berlalu menghampiri Chiu-yap. Tak
berselang berapa lama anak itu datang dengan membawa
dua baskom air, terus disambuti Yan-chiu.
"Yang satu letakkan dihadapanku, yang lain dihadapannya!" kembali Hwat Siau memerintahnya.
Dalam kesempatan itu, Yan-chiu melirik kepada Swat
Moay, siapa tampak masih meramkan mata tiada ber-kata2.
tapi ketika baskom diletakkan dihadapannya, iapun segera
mengetahui lalu masukkan tangannya kanan kedalam air.
Hwat Siaupun berbuat serupa.
Tak berselang lama, kedengaran Hwat Siau menyuruh:
"Ambil baskom itu kesana dan baskom itu kemari!"
Yan-chiu tak mengerti apa maksudnya perpindahan
tempat itu, tapi ia pun mengerjakan juga. Tapi ketika
tangannya menyentuh air baskom dihadapannya Hwat
Siau, buru2 ia menarik pulang tangannya dan hampir saja
mulutnya menjerit kesakitan.
Kiranya air baskom Hwat Siau panasnya seperti air
mendidih, sedang air dibaskom Swat Moay tadi dinginnya
melebihi es. Sepanjang hidupnya, belum pernah Yan-chiu
menyaksikan ilmu kepandaian yang sedemikian ganasnya
itu. Tapi ia tetap belum jelas, bagaimana ilmu itu
dipergunakan untuk menyerang musuh.
Kedua suami isteri itu memasukkan tangannya masing2.
Air yang mendidih menjadi dingin dan yang dingin menjadi
mendidih. Ber-turut2 lima enam kali mereka saling tukar
secara begitu. "Latihan" itu berlangsung kira2 hanya
satengah jam saja.
"Bikin repot kau lagi ni. Coba panggilkan ke 18 orang itu
kemari dan setelah itu kau boleh beristirahat!" kembali
Hwat Siau memberi perintah.
Sungguh mati, Yan-chiu tak tahu apa yang dimaksudkan
dengan "ke 18 orang itu". Tapi dikarenakan ilmu
kepandaian sepasang suami isteri itu sedemikian saktinya,
iapun tak berani banyak cincong. Ketika menghampiri
Chiu-yap dilihatnya tubuh anak itu basah kuyup bersimpah
peluh (mandi keringat).
"Cici, ayuh kita lekas melarikan diri saja!" bisik anak itu
dengan nada gemetar.
"Mereka suruh kita panggilkan ke 18 orang, apa sih itu
?" sahut Yan-chiu. Tapi serta mulutnya mengucap begitu,
pikirannya terkilas sesuatu. Yang dimaksud dengan "ke 18
orang" itu, apa bukan ke 18 jagoan yang dibawa oleh kedua
suami isteri itu sendiri " Dengan memanggil kawanan
jagoan itu, terang kedua kepala jagoan itu hendak
mengadakan rundingan penting, yalah rencana untuk
membasmi para kaum gagah yang tergabung dalam
rombongan Ceng Bo siangjin. Ah...., kalau sedemikian
halnya, sungguh bukan suatu hal yang kecil artinya.
Biarpun nanti andaikata dirinya sampai kepergok mereka
dan menjadi korban, tak apalah. Pokok asal dapat
menyelamatkan bencana yang akan menimpa para pejoang
kemerdekaan itu. Juga dalam hal itu, rasanya lebih penting
daripada rencananya untuk menolong Koan Hong dan


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wan Gwat. Ya betapapun halnya, ia harus dapat "mencari"
dengar, rencana, mereka itu.
"Usah kau gelisah, bantulah aku untuk memanggilkan ke
18 orang itu. Ah...., urusan itu penting sekali, ayuh lekas
kesana!" Yan-chiu tambahkan lagi keterangannya, lalu ajak
anak itu cepat2 berlalu.
(Oodwkz-kupay-oO)
BAGIAN 41 : RENCANA KEJI
Dengan setengah menyeret Chiu-yap yang masih
dengkelen (gemetar kakinya) itu, Yan-chiu sampai didepan
gedung disebelah tempat ruangan Hwat Siau dan isterinya
tadi. Kiranya rumah itu kosong, maka Yan-chiu segera ajak
anak itu masuk dari jendela. Setelah menutup daun jendela,
ia lalu tempelkan telinganya pada dinding tembok yang
memisahkan ruangan itu dengan ruangan sebelah tempat
Hwat Siau - Swat Moay tadi. Ai, kiranya kedengaran juga
pada saat itu Hwat Siau tengah pasang omong dengan
isterinya. "Niocu, kali ini kalau kita dapat berhasil dengan usaha
yang luar biasa hebatnya ini, kaum persilatan diseluruh
jagad, tentu akan tunduk pada kita," kata Hwat Siau.
"Koanjin, kata2mu itu benar adanya. Tadi kudengar
laporan bahwa Ang Hwat cinjin sudah bertempur dengan
Hay-te-kau dan Kang Siang Yan. Biarkan mereka berkelahi
mati2an sendiri, kita tinggal enak2an memetik buahnya!"
sahut Swat Moay.
Niocu berarti nyonyah, digunakan oleh seorang lelaki
untuk menyebut isterinya. Dan "koajin" berarti suami,
bahasa sebutan yang diucapkan oleh seorang wanita kepada
suaminya: "Niocu, belum2 jangan banyak bicara dulu, kita harus
menjaga telinga diruangan sebelah ini!" kata Hwat Siau.
Yan-chiu seperti dipagut ular, tapi pada lain saat ia dapat
berlaku tenang lagi. Diam2 ia menyeringai urung, masa
manusia macam begitu masih berbicara dalam bahasa
halus. Se-konyong2 dari luar terdengar derap kaki orang
mendatangi menuju keruangan Hwat Siau. Dari suara
derap kaki, terang ada beberapa orang jumlahnya.
Hening sejenak.
"Bagaimana keadaaan diluar ?" tiba2 Hwat Siau
memecah kesunyian.
"Masih bertempur!" sahut suatu suara yang mengguntur
laksana genta. Hwat Siau mendengus, tanyanya pula: "Apakah segala
sesuatu sudah disiapkan diterowongan itu ?"
"Sudah beres semua. Tinggal sekali sulut, sumbunya
akan menjalar tepat kebawah ruangan yang dibuat
bertempur itu!" kembali siorang yang lantang suaranya itu
menyahut. Lagi Yan-chiu tersentak kaget, malah kali ini jawaban
atas terkaannya itu, disana kedengaran Hwat Siau tertawa
terkekeh2 macam iblis menangis, ujarnya: "Apabila
pekerjaan besar itu berhasil, Sip-ceng-ong tentu akan
memberi hadiah besar. Saudara2 sekalian boleh menikmati
hari tua dengan kesenangan dunia, maka harap sukalah
bekerja dengan hati2. Apakah tak perlu memeriksa sekali
lagi ?" "Ah, tak usahlah. Apabila cayhe (aku) yang memasang
obat peledak sampai setengah jalan macet, jangan panggil
aku si Hwat-yok-ong (raja dinamit) lagi!'' kata lain orang
yang rupanya penasaran karena Hwat Siau tak memandang
mata pada pekerjaannya.
Hwat Siau mengekeh lagi, ujarnya: "Harap cunke (anda)
jangan meradang dulu. Sebelum dapat menduduki wilayah
Kwiciu, hati Sip-ceng-ong tetap belum puas. Dia taruh
harapan besar pada Li Seng Tong, tapi tiada tahunya orang
itu mendadak sontak berpaling haluan. Sudah tentu
kedudukan Lam Beng kini agak kuat. Manusia penghianat
macam begitu harus dilenyapkan. Ang Hwat cinjin itu pun
jangan sampai tahu rencana kita ini. Nanti apabila saudara
melihat pertempuran keatas lagi, begitu mereka sudah bertele2, harap saudara2 lekas tinggalkan tempat ini dan
menunggu aku dikaki gunung. Biarlah kami yang menyulut
dinamit itu sendiri, biarkan mereka habis ludas semua tiada
seorangpun yang dapat lolos. Setelah itu, nanti kita lakukan
penyelidikan tempat harta karun kim-jiang-giok-toh itu!"
Keheranan Yan-chiu makin men-jadi2. la baru tahu
betapa ganasnya kaki tangan kaum penjajah Ceng itu.
Sampai pun Ang Hwat cinjin yang sudah jual tenaga untuk
mereka pun akan dibinasakan. Tentang harta karun kim
jiang-giok-toh itu, belum pernah la mendengarnya dari
siapapun juga. Ah, syukurlah ia "mencuri" percakapan
mereka, kalau tidak ai........ yang dimaksudkan dengan
terowongan dibawah tanah itu, tentulah lubang gua yang
berada dibawah perapian perdupaan itu. Ah, kalau ia tak
lekas2 bertindak, tentu hancur binasalah semua orang gagah
dan seluruh cindil abang gereja Ang Hun Kiong itu! Dan
yang penting baginya, sukonyapun akan turut sirna.
Yan-chiu tak mau berayal lagi. Setelah orang2 disebelah
kamar itu sama pergi, ia segera loncat keluar dari jendela.
Tapi sampai sekian lama mencari kesana-sini, tak dapat ia
tiba ditempat perapian tadi. Makin gugup ia, makin tak
dapat menemukan arah yang benar. Yan-chiu sudah mandi
keringat. Akhirnya diputuskan untuk mencari seseorang
guna menanyakan jalan.
Tengah ia men-cari2 orang, tiba2 disebelah muka sana
ada 3 sosok tubuh kecil, aha, kiranya mereka bertiga adalah
Kuan Hong, Wan Gwat dan Chiu-yap. Wajah ketiga anak
itu cemas sekali tampaknya dan baru agak lega ketika
melihat Yan-chiu.
"Cici, kita tak dapat lolos !" seru mereka.
"Sst...., jangan kesusu pergi dulu," sahut Yan-chiu
dengan berbisik, "kita masih mempunyai suatu tugas yang
maha penting. Dimanakah letak mulut jalanan dibawah
tanah itu " Apakah jalanan itu dapat menembus sampai
dibawah ruangan pertempuran itu ?"
Diluar dugaan ketiga imam anak2 itu sama menggeleng,
sahutnya: "Yang kami ketahui Yalah jalanan dibawah
tanah itu sepanjang 30-an meter, yalah yang kita masuki
tadi. Adakah jalanan itu bisa tembus sampai dibawah
ruangan pertempuran, kami tak mengetahuinya!"
Tiada lain jalan kecuali Yan-chiu ajak ketiga anak itu
untuk masuk kedalam jalanan terowongan dibawah
perapian perdupaan tadi. Kiranya disitu kedua imam tadi
masih mendelik tiada berkutik. Tapi ketika Yan-chiu
hendak masuk kedalam lubang terowongan, tiba2 dari balik
hiolo (tempat perdupaan) itu berkelebat dua sosok
bayangan. Masing2 terus menyerang dengan golok.
"Kura2 yang bernyali besar, berani melepaskan tawanan
penting!" mereka mendamprat.
Karena tak bersiaga hampir saja Yan-chiu termakan
golok. Untung Kuan Hong dan Wan Gwat cepat menarik
kedua kaki Yan-chiu untuk ditariknya keluar. Kiranya
kedua penyerangnya itu adalah dua tosu penjaga. Ketika
tiba gilirannya untuk menjaga, dilihatnya kedua kawannya
sudah tak berkutik lagi dan tempat perapian dupa itu
berkisar terbuka. Mereka menyusup masuk dan dapatkan
kedua tawanan Kuan Hong dan Wan Gwat sudah lenyap.
Buru2 mereka naik keatas dan justeru berpapasan pada
Yan-chiu Yang tengah hendak menyusup turun.
Walaupun kakinya ditarik keatas, tapi kepalanya masih
belum sempat keluar. Ketika golok, kedua tosu Itu
melayang Yan-chiu segera gunakan ilmu gong-chiu-tohpeh-jim (dengan tangan kosong merampas senjata) ajaran
Tay Siang Siansu. Tempo diadu dengan The Go, ia berhasil
merampas pedang kuan-wi-kiam dari tangan anak, muda
itu, karena mengandal ilmu tersebut. Itu saja si Cian-bin
Long-kun The Go, apalagi hanya kedua tosu saja. Sekali
gerak, dapatlah ia menyambar golok mereka dan begitu
menariknya, golok sudah terpental jatuh. Ketika ia susuli
mendorong, kedua tosu itu lantas menggelepar jatuh
mencium tanah. Kuan Hong dan Wan Gwat buru2
menubruknya dan menutuk jalan darah pelemas mereka
lalu diseretnya keluar.
"Bagus!" Yan-chiu tepuk2 memuji.
"Ah, cici sendiri yang lihay!" seru. kedua an Dinding dan
atap terowongan situ terbuat daripada bahan beton yang
dikapur putih; tiada terdapat sela2 lubang sedikitpun jua.
Saking mendongkolnya, Yan-chiu cabut kopiah imam-nya
dan tanggalkan jubah pertapaan yang dipakainya itu.
"Huh, jubah ini tebal dan berat, dalam hawa sepanas ini,
bagaimana kalian dapat tahan memakainya ?"
Ketiga anak itu tak mengerti mengapa cicinya itu marah2
Tapi mereka tak berani menanyakan. Ketika berempat
hendak menyusur keluar, tiba2 diatas (luar) sana ada orang
berseru: "Keempat binatang kecil itu berada didalam. Salah
seorang dari mereka sangat lihay, jangan2 mata2 musuh
yang menyelundup kemari. Lekas tutup mulut pintunya dan
lapor pada toa-supeh!"
"Ya, jangan kasih mereka lolos!" sahut dua orang
kawannya lagi. Tahulah Yan-chiu bahwa gerak geriknya telah kepergok
musuh. Biar bagaimana ia harus dapat menobros keluar
dari terowongan itu. Bukan karena sayang akan jiwanya
sendiri, tapi kuatir kalau tak dapat menggagalkan rencana
Hwat Shiu yang ganas itu. Ia segera berjongkok, lalu
dengan gerak han-te-pat-jong ia hendak loncat menobros
keatas. Tapi mendadak lubang terowongan itu tertutup.
Masih untung ia cepat2 berdaya untuk mencapai dasar
bagian bawah perapian itu untuk kemudian loncat turun
lagi kebawah. Coba tidak, tentu kepalanya akan terbentur
besi tempat perapian itu. Paling tidak ia tentu akan pusing
tujuh keliling.
GAMBAR 75 Karena tak menemukan jalan keluar dari terowongan dibawah
tanah itu, Yan Chiu dan ketiga iman kecil itu menjadi kelabakan
kian kemari. Setelah mengetahui tak dapat keluar dari mulut lubang
itu. Yan-chiu menanyakan pada ketiga anak itu adakah
terowongan dibawah tanah itu dapat dibobol tembus keluar.
Ketiga to-thong itu menggeleng dengan wajah kecemasau
dim mengatakan bahwa tempat api perdupaan itu beratnya
tak kurang 3 ribu kati. Yan-chiu gelisah seperti semut diatas
kuali panas. la berlari menghampiri kamar tutupan sana
untuk mencabut sebatang terali (jeruji) besi. Dengan benda
itu ia me-nusuk2 seluruh dinding terowongan hingga
guguran temboknya sama bertebaran ke-mana2. Melihat
kelakuan Yan-chiu sekalap itu, ketiga to-thong itu menjadi
ketakutan dan sembunyi lekas2 pada ujung dinding.
Setelah puas "mengamuk" itu, rupanya Yan-chiu
menjadi tenang dan duduk ditanah. Kini ia garuk2
kepalanya untuk mengasah otak. Diam2 ia memaki dirinya
sendiri yang sudah begitu gegabah masuk keterowongan
situ. Seharusnya setelah tak dapat menemukan jalanan
dibawah tanah itu, ia pergi saja memberi tahukan pada
suhunya. Mungkin dalam sekian banyak, orang itu, tentu
mempunyai bermacam pendaphat yang bagus. Kini ia
tersikap dalam terowongan itu seorang diri dengan ketiga
anak yang tak mempunyai kepandaian apa2. Saking
geramnya, kembali ia hendak "mengamuk" lagi. Tapi sekonyong2 mulut terowongan tadi terbuka dan disana
terdengar orang berseru: "Selain Kuan Hong Wan Gwat
dan Chiu-yap, masih ada siapa lagikah yang berada dalam
terowongan itu ?"
Mendengar nada suara itu, wajah ketiga to-thong
menjadi pucat lesi.
"Cici, itulah toa-supeh, habis sudah riwayat kita!" seru
mereka bertiga dengan penuh kecemasan.
Yang dimaksudkan dengan toa-supeh itu bukan lain
adalah Ciang Tay-bing, itu toa-mo (iblis pertama) dari
kawanan su-mo (4 iblis) gereja Ang Hun Kiong. Tak yakin
Yan-chiu, adakah ia sanggup menghadapi Tay-bing itu.
Hanya ia berharap agar Tay-bing itu masuk seorang diri.
Dengan tenaga 4 orang, mungkin juga ia dapat mengatasi
toa-mo itu. Maka ia memberi isyarat tangan agar ketiga tothong itu jangan membuka suara.
"Yang satu itu merupakan wajah baru, yang asing,
umurnya masih muda, mungkin dia orang baru dari gereja
ini !" kedengaran ada orang berkata, disebelah atas sana:
"Ngaco! Sudah lebih dari setahun ini kita tak
mendatangkan orang baru, mana bisa terdapat wajah asing
disini ?" bentak Ciang Tay-bing.
"Jangan2 Hwat siau yang membawanya!" orang itu
masih membantah.
"Dia hanya membawa 18 orang jagoan kelas satu dari
pemerintah Ceng, yaitu pasukan berani-mati-nya Tolkun
sendiri. Mana bisa ada yang berumur muda" Sudah, jangan
banyak bicara lagi, biar aku turun kebawah untuk
memeriksanya!" bentak Ciang Tay-bing untuk yang kedua
kalinya. Yan-chiu siap sedia. Begitu Tay-bing loncat turun, ia
segera enjot tubuhnya keatas atap dinding terowongan. la
jarinya pada sela2 kecil yang terdapat pada dinding atas dari
terowongan itu. Dengan berbuat begitu dapatlah ia
rapatkan tubuhnya lekat2 pada dinding atas itu.
Cara Itu tak ubah seperti ilmu bik-hou-yu-jiang (cicak
merayap didinding) yang sakti. Sebenarnya Yan-chiu tak
mengerti akan ilmu mengentengi tubuh yang sakti itu, tapi
sejak ia makan biji kuning mustika dalam batu tempo hari,
tubuhnya serasa enteng lincah macam burung waled saja.
Cukup dengan gunakan sedikit tenaga, dapatlah ia
merapat pada dinding atas tanpa kesukaran sedikitpun juga.
Ketika yang didapati hanya Kuan Hong, Wan Gwat dan
Chiu-yap bertiga siapa tengah menggigil ketakutan, Taybing segera menghardiknya: "Hem...., sungguh berani mati
benar kalian ini, hendak coba2 melarikan diri ya " Siapa
kawanmu yang seorang lagi tadi, ayuh lekas katakan!"
Chiu-yap adalah sahabat karibnya Kuan Hong dan Wan
Gwat. Cepat2 dia jatuhkan diri berlutut seraya menyahut
dengan menangis: "Kesemuanya ini adalah kesalahan tecu,


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiada sangkut pautnya dengan mereka berdua!"
Kiranya Chiu-yap itu adalah murid Ciang Tay-bing,
maka dia membahasakan dirinya sebagai te-cu (murid).
Mengingat hubungan antara guru dan murid, ia harap
suhunya itu akan menaruh belas kasihan. Tapi kali ini
ternyata Ciang Tay-bing marah benar2. Ini disebabkan dia
menaruh dugaan bahwa "siwajah baru yang asing" itu,
adalah mata2 musuh yang menyelundup kesitu.
"Lekas katakan, siapa dan dimana kawanmu yang
seorang itu!" bentaknya seraya angkat tangan hendak
menempeleng kepala Chiu-yap.
Ketika tampak Ciang Tay-bing seorang diri saja masuk,
Yan-chiu sudah lantas putar otak cara bagaimana ia dapat
sekali pukul bikin knock-out. Tiba2 ia teringat akan
jubahnya yang dibukanya itu tadi. Ya, dapatlah ia gunakan
benda Itu untuk alat senjata. Sepelahan mungkin ia segera
lolos jubah itu, tapi walaupun demikian tak urung terdengar
berkeresekan juga dan itu cukup membuat Ciang Tay-bing
dongakkan kepala untuk memandang keatas. Melihat
saatnya sudah tiba, Yan-chiu segera apungkan diri
melayang turun.
"Yang satu ada disinilah!" seru sigadis.
Cepat dan sebat Yan-chiu bertindak hingga Ciang Taybing tak keburu bersiap. Tahu2 kepalanya telah kena
terkerudung jubah itu. Dalam kejutnya Tay-bing segera
menghantam kalang kabut dan kasihan Ciu-yap, oleh
karena dia hendak maju menubruk jadi kena hantaman
yang dahsyat itu. Dengan mengeluarkan jeritan ngeri,
rubuhlah, anak itu tak bernyawa lagi........
Pilu hati Yan-chiu, tapi dalam keadaan segenting itu
terpaksa ia kuatkan hatinya, terus menyelinap kebelakang
Tay-bing. Setelah menjemput terali besi, ia segera menyapu
sekuat2nya dengan jurus "menyapu seribu lasykar".
Mendengar sambaran angin, hendak Tay-bing menghindar,
tapi oleh karena kepalanya dikerukup jubah jadi dia
gelagapan sendiri, bluk tulang betisnya remuk dan jatuhlah
dia terjerembab kemuka. Yan-chiu tak mau kepalang
tanggung. Dengan sebat ia menutuk jalan darah ci-tong-hiat
dipunggung orang itu. Huk......, hanya sekali iblis nomor
satu Ang Hun Kiong itu berkuik akan kemudian tak dapat
berkutik lagi. GAMBAR 76 Cepat sekali Yan Chiu kerudung jubahnya keatas kepalanya
Ciang Tay-bing hingga murid Ang Hwat Cinjin itu kerupukan
berusaha melepaskan diri.
Setelah dapat memberesi, kedengaran Yan-chiu mengambil napas, kemudian menarik lepas jubah dikepala
Taybing. "Coba lihat sekarang, siapakah yang satu itu!"
Ciang Tay-bing hanya deliki matanya tapi tak dapat
mengucap apa2. "Kau sayang jiwamu tidak ?" bentak Yan-chiu sembari
lekatkan ujung jeruji besi kedada orang, kalau sayang jiwa
begitu kubuka jalan darahmu kau harus menjawab setiap
pertanyaanku dengan jujur. Kalau kau sudah bosan hidup,
asal tanganku bergerak, dadamu tentu akan berhias sebuah
lubang!" Yan-chiu percaya sebagai murid pertama dari Ang Hwat,
orang she Ciang itu tentu tahu akan rahasia jalanan
dibawah itu. Tapi ia salah terka. Ciang Tay-bing itu
ternyata juga bukan bangsa yang takut mati. Tadi dia dapat
dirobohkan itu karena diserang secara begitu mendadak.
Dia mengangguk dan Yan-chiupun segera pakai ujung terali
besi untuk menutuk buka jalan darahnya. Tay-bing segera
salurkan lwekang, kecuali sakit nyeri pada bagian betisnya
dia rasakan tubuhnya tetap segar. Dengan lwekang dan
gwakangnya yang kokoh, lalu tulang patah itu tak
menjadikan soal. Walaupun ujung jeruji besi dilekatkan
didadanya, dia tak ambil pusing. Sekalipun begitu, dia
pura2 mengerang kesakitan, tapi dalam pada itu diam2 dia
salurkan lwekang kearah lengannya kiri, siap sedia
digunakan setiap waktu.
"Jalanan dibawah tanah dari Ang Hun Kiong yang dapat
tembus sampai dibawah gelanggang pertempuran itu
terletak dimana, ayuh lekas bilang!" Yan-chiu mulai ajukan
pertanyaan. Ciang Tay-bing menggeliat, tapi tetap enggan menyahut.
"Jangan bergerak!" bentak Yan-chiu sembari ajukan
iijung terali besi. Ciang Tay-bing insyaf bahwa lwekang
sinona itu cukup kuat, maka diapun tak mau sembarangan
bertindak. Kalau sekali pukul tak kena, tentu dia akan
mendapat siksaan yang lebih hebat lagi.
"Itu adalah rahasia gereja Ang Hun Kiong, sebenarnya
tak boleh sembarang memberitahukan orang. Tapi oleh
karena aku sudah jatuh dalam kekuasaanmu, bagaimana
lagi " Tapi siapakah nama nona ini ?" Ciang Tay-bing coba
merigulur waktu.
"Aku bernama Liau Yan-chiu, lekas bilangkan pintu
masuk jalanan itu!"
"Baiklah, kau dengarkan yang jelas. Keluar dari sini,
langsung melewati 3 buah ruangan, biluk kekiri, biluk
kekanan lagi, dari situ memiluk kekanan lagi, lalu mundur
kebelakang, lalu berputar kebarat..........."
Sengaja dia mengatakan dengan cepat, tapi Yan-chiu
mengira kalau karena ketakutan dia sudah mengatakan
dengan sebenarnya, maka didengarkannyalah dengan
penuh perhatian. Mulutnya tak henti2nya mengulang kata2
yang diucapkan Tay-bing itu. Makin lama Tay-bing makin
cepatkan keterangannya dan buyarlah perhatian Yan-chiu
terpikat kesitu. Merasa saatnya sudah tiba, Ciang Tay-bing
segera bertindak. Se-konyong2 tangannya kiri mendorong
terali besi lalu tangannya kanan membarengi dengan
hantaman kedada sinona.
Ciang Tay-bing telah gunakan seluruh sisa kekuatannya,
cepat dan sebat. Ketika Yan-chiu tersadar, ia sudah tak
keburu lagi untuk menghindar. Dalam gugupnya, dia
gerakkan tangannya yang mencekal terali besi tadi untuk
menghalau. Benar separoh bagian dapat dibuyarkan tapi yang
separoh lagi tetap bersarang kedadanya. Seketika itu
dadanya terasa sesak dan mulutnya memancarkan rasa
manis. Dalam murkanya, ia teruskan terali besinya itu
untuk menghantam rusuk (iga) Tay-bing hingga tulangnya
patah lagi beberapa biji, Tapi pada saat tangannya itu
menurun (karena habis menghantam), Tay-bingpun berhasil
menutuk jalan darahnya dibagian paha. Seketika itu tak
ampun lagi, mendeproklah Yan-chiu rubuh ketanah.
Sewaktu rubuh, mata dan kepala Yan-chiu ber-kunang2
tapi hatinya masih sadar dan memaksa dirinya untuk
berusaha membuka jalan darah yang tertutuk itu.
Pikirannya hanya satu harus lekas2 mendapatkan jalanan
dibawah tanah itu, atau kalau terlambat, habislah seluruh isi
penghuni Ang Hun Kiong.
Ciang Tay-bing adalah murid kepala dari Ang Hwat
cinjin, seorang akhli tutuk besar didunia persilatan.
Tututkannya tadi menggunakan ciong-chiu-hwat (tutukan
berat), yaitu tutukan jalan darah melalui tulang. Lewat
sekian saat, Yan-chiu baru dapat tersadar, namun serongga
dadanya terasa sesak sakit sekall. Ketika menoleh kearah
Tay-bing didapatinya orang itu lebih payah lagi lukanya.
Mukanya pucat seperti kertas, napasnya memburu. Kuan
Hong dan Wan Gwat menelungkupi, mayat Chiu-yap dan
menangis tersedu sedan. Yan-chiu tak dapat berbuat apa2
karena tak berkutik. Marah dan gelisah merangsang
benaknya dan ketika hawa perasaannya itu naik keatas
kepala, matanya serasa gelap dan pingsanlah ia tak
sadarkan diri. ---oodwkz0tahoo--Sekarang mari kita tengok keadaan diruang pertempuran
itu. Pertempuran makin menghebat dan ganas. Melihat,
dengan ilmupedang han-kang-kiam-hwat tak memberi hasil,
Kang Siang Yan segera berganti dengan ilmu thay-imlianseng. Begitu menjungkir-putarkan tangkai pedang,
tubuhnya segera merapat kedekat Ang Hwat, dari situ ia
terus lancarkan hantamannya yang tak bersuara itu.
Ang Hwat cukup kenal akan thay-im-ciang tersebut. Dia
insyaf sampai dimana kelihayan pukulan itu, maka cepat2
dia tekan im-yang-pian supaya menjulur panjang kemudian
dengan gerak po-gwat-siu-kwat (memeluk rembulan
menjaga keraton), dia gerak2an im-yang-pian untuk
melindungi tubuhnya. Kalau Kang Siang Yan nekad
teruskan hantamannya, jalan darah pada telapak tangannya
pasti akan tertutuk pian. Maka belum sampai tangannya
menghantam, tiba2 ia urungkan dan berganti dengan
serangan Kok-ho-jo-kiau (melintasi sungai menarik jembatan). Cepat dan hebatnya serangan itu telah membuat
Ang Hwat tak dapat menduganya lebih dahulu.
Tempo dahulu Lamhay
Ho Liong-poh dengan mengandal ilmu thay-im-lian-seng tersebut telah malang
melintang merajai seluruh wilayah Kwisay dan Kwitang,
sehingga suku bangsa Li yang tinggal dikepulauan Lam-hay
sama mengagungkannya
sebagai dewi malaekat. Keistimewaan dari ilmu lwekang itu, dapat digerakkan
sekehendak hati pada setiap saat dengan sedikitpun tak
mengeluarkan suara apa2. Betapapun tajam alat indera dari
seorang persilatan yang berkepandaian tinggi, namun
terhadap serangan yang tak mengeluarkan suara itu, mati
juga kutunya. Bahwa Kang Siang Yan dapat dengan tiba2 merobah
gerak serangannya, dari menyerang dada berganti
menyerang kaki, telah membuat datuk persilatan macam
Ang Hwat cinjin kesima juga. Dia segera miringkan kaki
kirinya lalu gunakan tangkai pian untuk membentur
serangan orang.
Melihat serangan kedua tak berhasil, tangan kiri Kang
Siang Yan yang masih mencekali pedang tadi segera dibuat
menusuk dengan gerak kang-sim-poh-lou (salah satu jurus
dari hoan-kang-kiam-hwat) Jurus2 yang berlangsung tadi,
dilakukanya dengan kesebatan yang luar biasa, sehingga
sudah sejak tadi Ceng Bo ketinggalan spoor. Ketika Kang
Siang Yan lancarkan serangan pedang yang terachir Itu
barulah Ceng Bo sempat untuk gerakkan yap-kun-kiam
menusuk punggung Ang Hwat. Hanya sayang dia bergerak
dengan jurus hay-lwe-sip-ciu sedang Kang Siang Yan tadi
dengan kang-sim-poh-lou, pasangan permainan yang tidak
serasi. Ang Hwat rasa sudah hampir sejam lamanya dia
bertempur tanpa berkesudahan. Kalau sampai tak dapat
menundukkan kedua suami isteri itu, dimata pemerintah
Ceng, namanya tentu akan jatuh harga. Maka andaikata
Ceng Bo tak menyerangnya, diapun tetap akan mencarinya.
Maka kebenaran sekali kini Ceng Bo maju menyerang lagi.
Merasa ada sambaran angin serangan senjata dari arah
belakang, se-konyong2 dia tarik sepasang lengannya
kebelakang, lebih dahulu yang kiri kemudian yang kanan.
Dua buah sikunya dibenturkan kebelakang tubuhnya.
Dalam pada itu lengan jubahnya mengibas kemuka untuk
menghalau pukulan thay-im-ciang dari Kang Siang Yan itu.
Dengan dua buah ciu-jui (benturan siku tangan) Itu
walaupun dia cukup tahu takkan mengenai tubuh Ceng Bo,
tapi tenaga lwekang yang disalurkan disitu tentu akan
memberi hasil. Tepat juga perhitungan itu. Seketika itu
Ceng Bo rasakan dadanya sesak terhimpit tenaga dahsyat.
Dalam keadaan seperti saat itu sudah tentu dia tak berani
adu lwekang dengan Ang Hwat, maka buru2 dia tarik
pulang pedangnya.
Ang Hwat mundur selangkah, sebelum Kang Siang Yan
mengejar dia sudah lancarkan 3 hantaman untuk
menahannya. Membarengi Kang Siang Yan mundur, dia
gerakkan lengannya. Im-yang-pian menjulur sampai 4 kali
panjangnya, tahu2 menutuk kearah Ceng Bo yang berada
disebelah belakang tadi. Kaget Ceng Bo bukan buatan,
hendak dia menghindar terang sudah tak keburu lagi. Jalan
satu2nya dia segera meniarap telentang kebawah dengan
gerak tiat-pian-kio, wut.......hanya beberapa centi saja ujung
pian itu menyambar diatas dadanya. Walaupun berbahaya,
namun Ceng Bo merasa longgar napasnya karena mengira
bahaya sudah lewat.
Tapi Ang Hwat bukan kepala gereja Ang Hun Kiong
yang menduduki salah satu mahkota cabang persilatan
didunia persilatan, kalau hanya begitu saja kepandaiannya.
Hampir 40 tahun lamanya dia benamkan diri dalam
peyakinan im-yang-pian itu, sehingga ruyung itu se-olah2
sudah menjadi salah satu anggauta badannya yang dapat
digerakkan menurut sesuka hatinya. Sekalipun saat itu dia
membelakangi Ceng Bo namun punggungnya bagaikan
mempunyai mata, dapat melihat tegas bagian2 jalan darah
musuh. Baru saja mulut Ceng Bo bernapas longgar, atau
tiba2 im-yang-pian itu sudah menjulur lagi satu buku (kira2
setengah meter) dan cukup dengan sedikit gerakan tangan,
ujung ruyung lemas itu sudah melengkung kebawah dan
menutuk jalan-darah hoa-kay-hiat didada Ceng Bo.
GAMBAR 77 Dengan tangkasnya Ang Hwat Cinjin menyabet kedepan,
menyusul menyikut kebelakang hingga terpaksa Kang Slang Yan


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkelit dan Ceng Bo Siangjin menyingkir mundur.
Hoa-kay-hiat, merupakan alat penutup bagi alat2 jeroan
dalam dada. Jangan lagi terkena tutukan seorang achli besar
macam Ang Hwat, sedang ditutuk oleh seorang persilatan
biasa saja, tentu sudah akan membuat siorang itu kalau
tidak binasa tentu terluka parah. Ceng Bopun cukup
menginsafi hal itu. Tapi apa daya, dia sudah tak kuasa
untuk menghindar lagi. Itulah disebabkan setelah bahaya
ancaman pian sudah lewat diatas dadanya, buru2 dia
hendak terus angkat tubuhnya bangun. Siapa tahu, im-yangpian telah dapat dimainkan secara begitu luar biasa. Jadi
ketika ujung ruyung itu melengkung hendak memagut,
justeru dada Ceng Bopun terangkat naik, maka tampaknya
seperti menyongsong.
Semua orang yang menyaksikan sama menahan napas
karena mengira Ceng Bo tentu akan tamat riwayatnya. Tapi
se-konyong2 dalam saat2 yang segenting itu terdengarlah
suara orang menggerung keras, lalu menyusul sebuah benda
hitam yang bentuknya panjang dan besar melayang kearah
im-yang-pian, trang .....begitu ujung im-yang-pian itu
terpental, benda hitam itupun jatuh menggedebuk ketanah.
Kala semua mata mengawasi, kiranya benda hitam
panjang itu adalah sebuah pikulan kayu bakar, sedang
siorang yang melontarkannya tadipun serentak juga sudah
tegak berdiri. Hai, kiranya si Ma Cap-jit yang bergelar
Hoasan kiau-cu (pencari kayu dari gunung Hoasan).
Sewaktu ujung ruyung terpental, dengan sebat Ceng Bopun
segera menggeliat loncat kesamping. Namun Ang Hwat
cepat goyangkan tangann ya dan ujung ruyung itu bagaikan
seekor ular, segera menerkam betis Ceng Bo. Sekali tarik,
buk.... menggeleparlah Ceng Bo jatuh ketanah.
Ceng Bo lekas2 hendak gunakan gerak "ikan lele
berjumpalitan" untuk loncat keudara. Tapi baru tubuh
melayang, Ang Hwat sudah mengirim sebuah hantaman.
Jurus serangan ber-tubi2 itu hanya berlangsung dalam
sekejab mata saja, hingga Kang Siang Yan yang menyurut
kebelakang karena diburu oleh hantamannya tadi, belum
sempat balas menyerang. Walaupun hanya 3 bagian tenaga
yang digunakan Ang Hwat dalam hantamannya itu, tapi
karena tubuh Ceng Bo sedang melayang diatas jadi dia tak
berdaya untuk menangkis, bluk .......... sekali ini benar2 dia
jatuh knock-out.
Gempar suara jatuhnya itu, namun tak sampai membuat
Ceng Bo luka dalam, kecuali apabila Ang Hwat segera
susuli lagi dengan sebuah hantaman fatal (mematikan) tentu
celakalah siangjin itu. Tapi mimpipun tidak, kalau begitu
jatuh ditanah, Ceng Bo secepat kilat sudah babatkan yapkun-kiam bret ............ jubah bagian bawah dari Ang Hwat
telah terpapas robek. Sayang karena terlambat sedikit, ujung
yap-kun-kiam itu tak berhasil mengenai daging kaki lawan.
Sekalipun begitu, hal itu cukup membuat Ang Hwat
gusar sekali. Dia anggap serangan itu sebagai suatu hinaan
besar. Dan pandangannya akan arti pertempuran itu makin
nyata kau atau aku yang binasa!
Sedang difihak Ceng Bo pun tak kurang beringasnya,
Tahu dirinya terancam, setelah membabat tadi terus susuli
lagi dengan serangan kedua. Tepat sesaat itu, Kang Siang
Yan-pun sudah mengirim serangan membalas. Ang Hwat
mengaum keras. Im-yang-pian tiba2 menyurut lagi hingga
tinggal setengah meter panjangnya, untuk menyongsong
pedang Kang Siang Yan itu. Bahwa pedang kuan-wi-kiam
milik wanita gagah itu adalah pedang pusaka yang dapat
memapas segala macam logam, diketahui juga oleh Ang
Hwat. Tapi cara tangkisannya tadi, memang tepat sekali,
tring..... ujung ruyung itu persis menutuk bilah pedang itu.
Dan dalam pada itu, sempat pula dia melancarkan
hantaman kearah Ceng Bo.
Kala itu Ceng Bo tengah merangsang maju menyerang,
jadi sukarlah kiranya untuk Menghindar, krek......, lengan
bahunya sebelah kanan terasa sakit sekali dan otomatis
terkulai kebawah sampaipun jarinya tak kuasa lagi untuk
mencekal yap-kun-kiam, tring....... jatuhlah pedang pusaka
itu ketanah. Melihat itu Kui-ing-cu segera enjot kakinya
melayang kemuka. Sedang difihak sana Su-mo Im Thiankui dan Sam-mo Long Tek-san juga menobros maju,
menyambut Kui-ing-cu. Dalam sekejab saja, ketiganya
sudah saling berhantam.
The Go yang sedari tadi mengawasi jalannya
pertempuran itu dengan seksama, segera tak mau mensia2kan kesempatan sebagus itu. Sekali tangan menekan
meja, tubuhnya melayang kemuka dan tangannya segera
hendak menjemput yap-kun-kiam. Tapi berbareng pada saat
itu, Ma Cap-jit pun tampil kegelanggang untuk menjemput
pikulannya. Sekali ayunkan pikulannya, bluk...... terpelantinglah The Go mencium tanah. Memang lihay
sekali ilmu permainan pikulan dari si Pencari Kayu Hoasan
Ma Cap-jit itu. Kalau si The Go meringis berkenalan
dengan lantai, adalah yap-kun-kiam sudah berada ditangan
Ma Cap-jit. The Go sapukan pandangan matanya keseluruh
gelanggang. Disana Kui-ing-cu masih bertempur rapat
dengan Im Thian-kui dan Long Tek-san, tapi sebelah pipi
dari orang she Long itu sudah begap matang biru. Rupanya
dia sudah terima "hadiah" dari Kui-ing-cu. Kang Siang Yan
dan Ang Hwat tertegun berhenti bertempur. Sedang
rombongan. Ceng Bo sudah sama serempak bangkit,
trang...., tring......, disana sini terdengar suara gemeroncang-gemerincing dari senjata dilolos. Untuk
melawan Ma Cap-jit, terus terang saja, dia sudah tobat
tujuh turunan kalau disuruh mencium tanah lagi. Jalan
satu2nya ialah lekas2 mengundang supaya Hwat Siau dan
Swat Moay serta ke 18 jagoan itu, keluar membantu.
Baru dia hendak bertindak, atau dari tengah ruangan
besar sana muncul beberapa belas orang. Walaupun
dandanan mereka seperti imam dari Ang Hun Kiong situ,
tapi mata The Go yang celi segera mengetahui bahwa
mereka itu bukan lain adalah rombongan jagoan yang
dibawa Hwat Siau. Begitu muncul disitu, mereka lalu sama
duduk dipinggir gelanggang. Buru2 The Go menghampirinya.
"Ah....., liatwi sudah datang, tentu hendak membantu
kami liwat dan Swat kedua cianpwe itu dimana?" ujarnya.
Seorang bertubuh kurus jangkung yang rupanya menjadi
kepala rombongan, segera menyahut dengan garang:
"Ai......., takut apa" Satu lawan satu atau secara keroyokan,
sama saja. Langit sudah akan roboh, siapa yang dapat
menyelamatkan diri " Mengapa ter-buru2 begitu macam ?"
The Go mendapat hidung panjang. Kalau pada hari2
biasa, dia tentu sudah marah. Tapi dikarenakan dia
memerlukan tenaga mereka, jadi terpaksa ditelannya saja
amarahnya itu. "Ah, memang, memang!" serunya ikut2an tertawa.
Hidung sikurus itu mendengus selaku jawaban, lalu alih
Durjana Dan Ksatria 2 Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Pendekar Sakti Suling Pualam 10

Cari Blog Ini