Ceritasilat Novel Online

Naga Dari Selatan 15

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 15


pandangannya kearah gelanggang.
Ya, memang ke 18 jagoan itu sedang melakukan perintah
Hwat Siau untuk melihat jalannya pertempuran. Apabila
sudah tiba saatnya, mereka disuruh lekas2 memberitahukan
kepada Hwat Siau agar dapat menyulut sumbu dinamit.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 42 : PAHIT EMPEDU
Pada saat itu Ceng Bo sudah dipapah Ko Thay untuk
kembali ketempat duduknya. Lengannya kanan telah
dipatahkan oleh hantaman Ang Hwat. Betapapun lihaynya,
tetap dia tak kuat menahan rasa sakitnya. Kepalanya basah
kuyup dengan keringat. Tio Jiang sibuk tak keruan tak tahu
apa yang hendak diperbuat. Rasanya ia rela menggantikan
luka suhunya itu. Ko Thay memijat lengan itu dan
dapatkan bahwa bagian tulang yang remuk itu tak seberapa
besar, jadi masih ada harapan untuk sembuh lagi. Dia suruh
Tio Jiang cabut dua batang terali (jeruji) lankan dan
sepotong kayu papan. Lengan Ceng Bo yang patah itu
segera dipres dengan potongan papan itu, kemudian dibalut
dengan kain. Ceng Bo tahankan sakitnya, sepatahpun tak mengerang.
matanya memandang kearah 18 orang yang baru datang itu.
Diantara sekian banyak jagoan itu, hanya seorang yang
dikenalnya sebagai orang kelahiran Kwitang yang pernah
belajar silat digunung Ngo-tay-san. Orang itu mahir sekali
dalam ilmu senjata rahasia. Setelah habis pelajarannya, dia
segera menganas didaerah Kwiciu, tapi kena dikalahkannya. Sejak itu tak pernah dia bersua dengan
orang itu lagi. Ah, tak kira kalau kini dia sudah berhamba
pada pemerintah Ceng.
Orang yang dikenalnya, itu bernama Pui Hoan berjejuluk
Boan-thian-ce (bintang bertaburan dilangit). Saat itupun
tengah memandang Ceng Bo dengan sorot mata menggagah
(menantang). Rupanya dia belum lupa akan peristiwa 10
tahun yang lampau itu. Lain2 yang ke 17 orang itu sama
bertubuh kekar garang. Lebih2 siorang jangkung kurus yang
duduk dimuka sendiri itu. Pelipisnya agak menonjol, air
mukanya aneh entah dari cabang persilatan mana dia itu.
Se-konyong2 terdengarlah suara jeritan mengaduh dan
sesosok tubuh gemuk terbang melayang. Aha, kiranya
itulah tubuh Long Tek-san yang kena disengkelit kemudian
ditendang oleh Kui-ing-cu. Dalam waktu dan tempat seperti
itu, tetap Kui-ing-cu tak lupa akan kenakalannya. Ketika
tubuh Long Tek-san tadi melayang diatas ke 18 orang
jagoan itu, Kui-ing-cu segera gerakkan dua buah serangan
kosong dan entah bagaimana caranya tubuh Long Tek-san
berhenti dengan tiba2, lalu jatuh menimpa kebawah.
GAMBAR 78 Tahu2 Su-mo Long Tek-san telah mencelat kena disengkelit
Kui-ing-cu terus melayang ketempat duduk ke-18 jagoan yang
dibawa datang oleh Hwat Siau dan Swat Moay itu.
"Sahabat Long, berdirilah yang jejak!" serentak
berbangkitlah sikurus jangkung tadi seraya menyanggapi
tubuh Long Tek-san.
Merah padam selebar muka Long Tek-san yang lalu
mengambil tempat duduk. Melihat sukonya tak berani maju
lagi, Im Thian-kuipun lalu putar tubuhnya hendak angkat
kaki seribu. Tapi, Kui-ing-cu rupanyapun tak mau
mengejarnya, Malah hanya ber-teriak2 menyuruhnya lekas
lari. "Lari kencang, ayuh lekas lari yang kencang!" serunya.
---oodwkz0tahoo--Im Thian-kui tak peduli setan belang apa lagi. Dia
benar2 lari se-kencang2nya menurut anjuran musuhnya
tadi. Melihat adegan lucu itu, ke 18 jagoan tersebut sama
ter-bahak2. Menandakan bahwa mereka tak memandang
mata, lagi pada orang2 Ang Hun Kiong. Merahlah daun
telinga The Go. Tapi ketika melirik kearah Ang Hwat
didapatinya sang sucou itu masih menjublek diam ditengah
gelanggang, berhadapan pandang dengan Kang Siang Yan.
Walaupun nampaknya kedua tokoh tersebut berdiam
diri, tapi ternyata mereka itu tengah mengadu lwekang
dengan jalan saling lekatkan senjatanya masing2. Ketika
im-yang-pian membentur pedang kuan-wi-kiam tadi, cepat2
Ang Hwat salurkan lwekangnya untuk menyampok jatuh
senjata lawan. Tapi baru saja lwekang Ang Hwat menyalar
kearah im-yang-pian, siang2 Kang Siang Yan mengerti
maksud orang. Maka betapalah kejut Ang Hwat ketika
didapatinya saluran lwekangnya itu telah mendapat reaksi
hebat berupa sebuah dorongan lwekang yang kuat. Buru2
diapun segera "tancap gas penuh", mengerahkan seluruh
lwekangnya. Sejak berhasil memahamkan ilmu lwekang thay-im-lianseng, belum pernah Kang Sing Yan berjumpa dengan
musuh setangguh Ang Hwat ini. Memang karena urusan
Yan-chiu, ia telah "bentrok" dengan Tay Siang Siansu. Tapi
karena paderi itu sudah tak memikirkan akan gengsi dan
nama kosong, begitu "kortsluiting" (benturan aliran lestrik)
sebentar, paderi itu segera angkat kaki. Kini berhadapan
dengan Ang Hwat lainlah halnya. Seluruh kebiasannya
telah ditumplak habis, maka walaupun digelanggang situ
terjadi hiruk pikuk tak keruan, kedua seteru itu tetap tulikan
telinga butakan mata, seluruh perhatian dan semangatnya
ditujukan pada pergulatan seru itu.
Gaya Kang Siang Yan gemulai nampaknya, namun
mengandung kekuatan baja yang kokoh. Beberapa kali Ang
Hwat coba undang seluruh tenaganya untuk mendesaknya,
tapi selalu dibuyarkan oleh lawan. Sebaliknya untuk
melukai Ang Hwat pun sukar juga bagi Kang Siang Yan.
Hampir lebih dari setengah jam pergulatan itu berlangsung,
namun tetap sama kuatnya. Saking geramnya se-konyong2
Ang Hwat mengeluarkan suara menggerung laksana singa
mengaum, dahsyatnya bukan buatan. Tapi berbareng pada
saat itu, Kang Siang Yan pun melengking nyaring macam
jangkerik berbunyi. Suasana dalam ruangan itu pekak
dengan aum dan denging. Hanya saja jelas kedengaran
bahwa lengking suara Kang Siang Yan itu dapat menembus
pecah suara aum Ang Hwat.
Se-konyong2 lengan mereka menurun kebawah dan pada
lain saat tampak ada selingkar api merah dan segumpal
asap sama2 meluncur kebelakang. Tempat yang diinjak
mereka itu, tampak ada 4 buah telapak kaki sedalam 3 dim.
Lantai ruangan itu terbuat dari batu marmar hijau yang
kokoh, kalau toh sampai "amblong" sedemikian dalamnya,
mudahlah dibayangkan sampai ditingkat mana kepandaian
kedua tokoh besar itu. Sekalian orang sama leletkan lidah,
sedang ke 18 orang yang sikapnya amat congkak itu, diam2
juga tergetar hatinya.
Kini kedua tokoh itu saling berpandangan. Saking cemas
akan keselamatan isterinya, lupalah Ceng Bo akan sakitnya
tadi. Bek Lianpun sudah berulang kali hendak berdiri tapi
selalu dicegah The Go. Kini tak dapat lagi ia menahan
perasaan hatinya dan menjerit: "Mah !"
Adalah karena teriakan Bek Lian itu maka perhatian
Kang Siang Yan agak terganggu dan adalah karena sedikit
lubang itu, maka Ang Hwat sudah segera loncat
menerjangnya lagi. Tak peduli. bagaimana hebatnya bahaya
yang mengancam dihadapannya itu, namun Kang Siang
Yan masih perlukan "mencuri" kesempatan untuk berpaling
menengok puterinya. Serta dilihatnya Bek Lian tak kurang
suatu apa, barulah ia turunkan tubuhnya kebawah lalu
melejit kesamping untuk menghindar. Memang sedemikian
besarlah kasih seorang ibu terhadap anaknya.
Sekalipun ia dapat menghindar dari terjangan lawan,
namun karena tak dapat balas menyerang, berarti ia kalah
satu set. Tanpa memberi kesempatan lagi, Ang Hwat sudah
ayunkan im-yang-pian-nya untuk menutuk jalan darah sipeh-hiat. Jalan darah itu terletak dibawah mata. Dalam
gugupnya Kang Siang Yan segera menghantam pian itu.
Separoh bagian atas dari plan itu sebenarnya sangat lemas,
hanya karena kepandaian Ang Hwat maka ujung itu dapat
kencang lurus macam sebuah alat pit. Ujungnya dapat
ditolak kesamping oleh hantaman Kang Siang Yan tadi,
tapi pangkalnya cepat digerakkan Ang Hwat untuk
menusuk dada lawan. Jalan satu2nya bagi Kang Siang Yan
yalah menyelinap kebelakang musuh. la segera bergerak
dengan cepat sekali, tapi Ang Hwatpun tak kalah sebatnya.
Baru Kang Siang Yan lewat disisinya, kepala Ang Hun
Kiong itupun sudah memutar tubuhnya kebelakang.
Disitulah dia "cegat" lawan. Belum lagi Kang Siang Yan
dapat mengambil posisi kaki, atau dia sudah mencambuk
dengan im-yang-pian.
GAMBAR 79 Dengan gaya yang khas, Kang Siang Yan putar pedangnya
sedemikian dahsyatnya hingga Ang Hwat Cinjin dipaksa bertahan
melulu tak sempat menyerang lagi
Kang Siang Yan bukan jago sembarang jago. Untuk
menyambut hajaran pian musuh, ia gerakkan pedangnya
untuk membabat. Sekali ini Ang Hwat salah terka akan
kelihayan ilmu thay-im-lian-seng.
Dalam kesempurnaannya, ilmu itu dapat dikuasai penuh menurut
sekehendak hatinya. Biar Ang Hwat lihay, tapi tetap dia tak
dapat menyelamatkan im-yang-piannya lagi. Tring.........
kutunglah buku yang teratas dari pian itu terbabat kuan-wikiam. Begitu ujungnya terpapas, maka berhamburanlah berpuluh2 jarum halus menyambar keluar. Entah berapa
banyakkah batang2 jarum itu, tapi yang nyata saja sesaat itu
terdengarlah bunyi macam nyamuk men-denging2.
Teranglah jarum2 itu keluar dari lubang pangkal imyangpian tadi. Dan memangnya im-yang-pian itu diperlengkapi
dengan senjata rahasia jarum halus untuk menggempur para
akhli lwekang yang menjadi lawannya. Jarum2 yang halus
itu akan menyusup melalui jalan darah terus masuk
kejantung, Betapa lihaynya seorang akhli Iwekang, namun
menghadapi senjata yang sedemikian ganasnya itu, tak
urung akan binasa juga jiwanya.
Insyaf akan keganasan senjata itu, Kang Siang Yan
sampai kucurkan keringat dingin. Cepat2 la putar
pedangnya dengan gencar sembari berteriak dengan
murkanya: "Hai, imam siluman tua, tebal sekall kulit
mukamu" Dalam kedudukan sebagai ketua sebuah cabang
persilatan, memang tak selayaknya Ang Hwat gunakan
senjata rahasia macam begitu. Ya, walaupun hal itu terjadi
diluar kemauannya, tapi dengan memiliki senjata macam
begitu saja itu sudah berarti mengunjuk mentalitiet
peribadinya yang ganas. Maka merah padamlah selebar
muka kepala gereja Ang Hun Kiong seketika itu. Dari malu,
dia menjadi marah. Tanpa menyahut sepatah pun, dia
segera-putar pian untuk menghajar. Demikianlah kedua
tokoh itu kembali terlibat dalam pergumulan yang seru.
Mendengar ibunya memaki "imam siluman tua", Bek
Lian mengeluh dalam hati. Kedepannya, hubungannya
dengan The Go pastilah akan menemui kesukaran besar.
Bek Lian yang dibutakan oleh api asmara itu hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri.
"Engkoh Go, mamah dan sucou, telah bertempur
sedemikian serunya, rasanya urusan kita tentu kapiran,
maka lebih baik sedangnya mereka tengah bertempur, kita
tinggalkan tempat ini menuju kesalah sebuah pulau di Lamhay. Disana kita, dapat menuntut penghidupan yang aman
dan tenteram, ah......, betapakah bahagianya!" bisiknya
kepada sang kekasih yang ,manja' itu.
Sewaktu melihat sucounya terlibat dalam pertempuran
yang sangat lama, hati The Go dicengkeram oleh
kegelisahan. Atas pernyataan Bek Lian, tadi, dia hanya
mendengus "hem......" selaku jawaban. Tapi tiba2 terkilas
dalam benaknya suatu rencana yang jahat. Tadi sewaktu
Bek, Lian meneriaki ibunya, Kang Siang Yan segera
terdesak dibawah angin oleh sucounya. Ah, mengapa dia
tak suruh Bek Lian mencobanya lagi" Tapi kali ini jangan
sampai keblinger gagal lagi.
Otaknya bekerja. Dibayangkannya, kalau Kang Siang
Yan kalah, rombongan Ceng Bo tentu dapat diatasi.
Dengan begitu terbukalah kesempatan baginya menggabungkan diri pada rombongan Hwat Siau, untuk
menghadap Sip-ceng-ong Tolkun. Dengan memiliki
kepandaian bun dan bu (sastera dan ilmu silat), masakan
Tolkun takkan memandang mata kepadanya" Misalnya
saja, kalau dia tuturkan bagaimana dahulu dengan menuruti
usul rencananya (The Go) dapatlah Li Seng Tong
menduduki daerah, Kwiciu, tentu dia akan mendapat
pujian tinggi dari menteri Ceng itu.
Soal berpaling haluan, itu tiada sangkut pautnya dengan
dia. Coba jenderal itu tak berlaku begitu, pastilah saat ini
dia sudah mengenakan pakaian pembesar tinggi dari
kerajaan Ceng! Ah......., kalau mengingat itu, terkutuklah
jenderal she Li Itu!
Terkilas pula dalam lubuk kenangannya, bagaimana
dengan tindakannya secara radikal, ganas dan setempo
melewati garis2 perikemanusiaan dahulu itu, telah dapat
mengangkatnya ketempat kedudukan yang tinggi (dekat
dengan orang besar), maka mengapa sekarang tidak"
Bukantah ujar2 kuno mengatakan "kalau tidak ganas itu
bukan seorang lelaki?" Jika dia tak berlaku begitu,
bagaimana dia dapat melaksanakan pekerjaan besar dan
mencapal kedudukan tinggi "


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sampai pada puncak pertentangan batinnya, wajahnya
menampilkan hawa pembunuhan dan berserulah dia
menegas: "Apa katamu tadi?"
Mendengar penyahutan sedemikian kerasnya itu, Bek
Lian terkesiap. Tapi api asmara yang telah membakar
seluruh hati sanubarinya itu telah membuatnya buta..., buta
hati..., buta mata...., buta malu...., ya pendek kata lupa segala2nya. Tanpa malu didengar orang lagi, ia segera
mengulangi kata2nya tadi.
Wajah The Go mengerut kening dan mulutnya
mendengus deham "hem......" Diiringkan dengan seringaitawa kejam, melengkinglah mulutnya: "Perempuan hina,
siapa yang kesudian ber-senang2 hidup bersama kau"!"
Bek Lian tak percaya akan alat pendengarannya.
Wajahnya berobah seketika.
"Engkoh Go, apa katamu itu?" ia menegas.
Kembali The Go tertawa iblis, serunya: "Belum pernah
ada seorang gadis me-ngejar2 seorang lelaki macam kau
ini!" Suaranya sengaja diucapkan dengan keras hingga
sekalian orang diruangan situ sama mendengarnya. Kini
semua mata ditujukan kepada kedua orang muda itu.
"Engkoh Go, kau ini bagaimana" ....... Apakah kau tidak
cinta padaku?" seru Bek Lian dengan ter-bata2.
The Go tertawa gelak2, sahutnya: "Apakah kau tetap
bertebal kulit ?"
Saat itu Tio Jiang sudah dapat meraba apa yang telah
dipertengkarkan sang suci dengan kekasihnya itu. Darahnya
serasa berhenti berdenyut ketika hawa kemarahannya
menguap naik. GAMBAR 80 "Apa katamu, engkoh Go?" Bek Lian menegas karena nista
The Go itu. Mendadak gumpulan darah menyembur keluar dari
mulutnya. "The Go, kau ini bangsat!" teriaknya memaki. Dia tak
pandai bermain lidah, jadi hanya begitu saja caranya
memaki. Makian pertama meluncur, diapun sudah tak
dapat melanjutkan lagi makian berikutnya.
"Siaoko, apakah kau tahu artinya kata "bangsat" itu"
Bukalah telingamu lebar". Seorang lelaki yang galang
galung dengan wanita2 yang tak tahu malu itu pasti akan
ternoda namanya. Itulah dia yang pantas disebut 'bangsat'!"
Saking berkobarnya api kemarahan dalam hatinya,
dengan ter-huyung2 bangkitlah Bek Lian dari kursinya.
Dengan jari yang menggigil gemetaran, ia menuding The.
Go, mulutnya komat kamit tapi sampai sekian lama tak
dapat melancarkan kata2. Setelah sekian saat bibirnya
bergemeretukan, akhirnya dapatlah ia mengucap dengan
nada ter-putus2: ,,Kau ..... kau ...... sampaipun anak yang
kukandung ini ...... juga tak mau tahu lagi?"
Bek Lian telah dijelmakan sebagai seorang gadis jelita
yang dapat membuat sirik hati para bidadari. Sejak kecil ia,
dimanjakan dengan kasih sayang sang ayah. Adalah karena
sekali salah pilih menyintai seorang manusia berhati
serigala macam pemuda tampan The Go, achirnya ia harus
mengalami derita siksaan bathin yang sedemikian
mengenaskan itu. Sampai2 "rahasia" yang sebenarnya tak
pantas dikeluarkan itu, terdengar juga oleh sekian banyak
orang. Ia telah memetik buah yang ditanamnya
sendiri..........
Wajah Ceng Bo pucat lesi, sedang tangan Tio Jiang
menggigil gemetar. The Go tak kepalang tanggung.
Kembali 'dia tertawa sinis' serunya: "Nona Bek, kau dan
aku baru saja setengah tahunan berjumpa, tapi perutmu
sudah sedemikian besarnya, anak itu ......ha,..... ha!"
Dari ucapan itu jelaslah kiranya bahwa The Go tak
mengakui kandungan Bek Lian sebagai anaknya. Atau lebih
tegas lagi, dia menganggap Bek Lian itu serupa dengan
wanita lacur. Kalau achli pemikir menelurkan teori bahwa
dunia ini berputar, mungkin orang masih belum 100 persen
mempercayainya karena orang tak merasakan perputaran
bumi itu. Tapi bagi Bek Lian hal itu memang suatu
kenyataan. Bumi yang dipijaknya serasa ber-putari, alam
diaekelilingnya gelap gelita dan huak ........ segumpal darah
menyembur dari mulutnya dan orangnyapun lalu terhuyung
jatuh menelungkupi meja, wur...., wur..... tak henti2nya
mulutnya menyembur darah segar...............
Apa yang dipercakapkan oleh Bek Lian dan The Go tadi,
terdengar juga oleh Kang Slang Yan. Tapi karena dia
tengah bertempur mati2an dengan Ang Hwat, ia tak dapat
berbuat apa2. hanya dalam batinnya ia menetapkan
keputusan, bahwa setelah selesai pertempuran itu ia tentu
akan me-robek2 tulang belulang pemuda itu. Tapi Bek Lian
terus menerus muntah darah, ia tak dapat berdiam diri saja.
Setelah melancarkan sebuah gerak serangan kosong, segera
ia loncat menghampiri Bek Lian. Pikirnya kalau tak lekas2
ditolong, Bek Lian tentu putus jiwanya!
Tapi ternyata Ang Hwat tak mau kasih hati. Begitu Kang
Siang Yan hendak loncat menyingkir, dia segera gerakkan
piannya untuk menyabat punggungnya. Betapapun keinginan, Kang Siang Yan untuk lekas2 menolong Bek
Lian, namun terpaksa ia harus menghalau serangan maut
itu dulu. Secepat kilat ia berputar tubuh saegera ia
lancarkan 3 buah serangan pedang ber-turut2, sehingga Ang
Hwat terpaksa mundur beberapa tindak. Tapi tatkala ia
hendak berputar, lagi untuk menghampiri Bek Lian, pian
Ang Hwat cinjin sudah merangsangnya lagi. Pada saat itu
hati dan pikiran Kang Slang Yan hanya pada Bek Lian
seorang. Sedikitpun ia tak mempunyai semangat untuk
bertempur lagi. Adalah karena lawan tetap melibatnya,
terpaksa ia melayaninya dengan seru. Sekalipun begitu
kedahsyatan pedang dan pukulannya sudah tak sehebat
tadi. Melihat siasatnya berhasil, puaslah The Go. Tampak Bek
Lian muntah2 darah sedemikian rupa, dia tetap tertawa
dingin tak menghiraukan sama sekali. Oleh karena sekalian
orang tak mengerti duduk perkaranya, apalagi sedari
permulaan muncul digelangang situ mereka berdua (Bek
Lian dan The Go) tampaknya rukun ber-kasih2an, jadi
mereka hanya keheranan melihati saja. Berbeda dengan
Kui-ing-cu, Ih Liok dan lain2. Wajah mereka menampilkan
kemarahan dan bersikap hendak menghajar pemuda
bangsat itu. Tapi Ceng Bo yang berhati baja itu segera
memberi isyarat tangan mencegahnya disertai dengan
makian terhadap puterinya itu: "Biar ia, merasakan buah
perbuatannya sendiri!"
Hanya Tio Jiang yang tak dapat mengendalikan
kemarahannya lagi. Sembari loncat ketengah gelanggang,
dia meneriaki sumoaynya: "Siao Chiu, jangan lepaskan
bajingan Itu!"
Tadi para kawan2nya Ceng Bo sibuk menolongi siangjin
itu dan nengikuti jalannya pertempuran Kang Siang Yan
dengan Ang Hwat. Mereka tak tahu sama sekall kemana
gerangan lenyapnya sigenit Yan-chiu tadi. Kui-ing-cu dan
Ih Liok menyapukan matanya untuk mencari sigenit
kesekeliling gelanggang situ, tapi tiada ada. Dipanggilnya
ber-ulang2pun, tidak menyahut. Ai, kemana ia" Para
tokoh2 itu mulai gelisah.
Mungkin kegelisahan para cianpwe itu akan lebih besar
lagi kalau mengetahui bahwa pada saat dan detik itu Yanchiu menggelepar dibawah tanah tak ingat diri lagi!
Kala Tio Jiang memburu kearah The Go tadi, belum lagi
dia sampai kesana tiba2 tubuhnya tampak meregang kaku
lalu rubuh ketanah. Mulutnya ber-buih2 mengeluarkan
busa. "Arak yang dihidangkan kawanan anjing itu ada
racunnya!" se-konyong2 ada orang berteriak dengan nyaring
cemas. Oleh karena penulis hanya mempunyai sebuah Mata
pena, pada hal banyaknya kejadian2 yang berlangsung pada
waktu yang bersamaan itu, jadi terpaksa sekaligus tak dapat
memaparkan. Maka baiknya kita tinggalkan dulu suasana
hiruk pikuk yang terjadi digelanggang pertempuran akibat
rubuhnya Tio Jiang itu, Kini mari kami ajak pembaca
mengikuti keadaan Yan-chiu yang pingsan tak sadarkan-diri
itu dulu. ---oodwkz0tahoo--Pada waktu ia tersadar, didapatinya kaki dan tangannya
sudah dapat digerakkan. Sudah tentu ia heran dibuatnya.
Rupanya Kuan Hong dan Wan Gwat tahu apa yang
diherankan cicinya itu, maka buru2 mereka berebut
memberi keterangan: "Cici, ilmu penutuk jalan darah
dengan melalui tulang, karena kami berkelakuan baik,
sucou telah menurunkan barang dua buah kepada kami.
Ternyata ada gunanya juga ilmu itu!"
Kini baru jelaslah Yan-chiu mengapa kaki dan tangannya
saat itu dapat digerakkan. Buru2 ia menanyakan berapa
lamanya ia pingsan tadi. Kedua anak itu mengatakan hanya
sebentar saja. Yan-chiu duduk mengambil napas, Walaupun
dadanya agak terasa sakit, tapi tiada mengakibatkan suatu
apa. Itulah disebabkan karena ia dulu memakan biji kuning
mustika batu itu.
"Ayuh, kita lekas2 mencari mulut jalanan dibawah tanah
itu!" serunya seraya loncat bangun. Tapi berbareng pada,
saat itu, mulut pintu lubang disebelah atas sana menjadi
gelap pula dan pada lain- saat kedengaran orang berseru
memanggil: "Toa-supeh!"
Yan-chiu cepat menjemput terali besi serta memberi
isyarat mata, pada Kuan Hong dan Wan Gwat. Walaupun
masih kecil rupanya kedua imam anak2 itu cerdas juga.
Mereka menangkap maksud Yan-chiu.
"Toa-supeh berada disinilah!" serunya menyahuti.
Beberapa tosu yang berada diatas itu segerera turun
kebawah. Jelas diketahui Yan-chiu bahwa mereka
berjumlah 6 orang. la taksir dapat mengatasi mereka. Maka
belum lagi mereka menghampiri dekat, ia sudah
menerjangnya. Terowongan situ walaupun diberi lampu
penerangan, tapi tetap gelap remang2. Ketika tosu yang
berjalan dimuka sendiri melihat ada, angin menyambar, dia
kira kalau Ciang Tay-bing atau toa-supehnya, maka
buru2lah dia berseru: "Toa-supeh, ampun ......."
Belum sempat dia melanjutkan kata2nya minta ampun,
atau ujung terali besi Yan-chiu sudah menusuk dadanya.
Sekali dorong tubuhnya terjerembab kebelakang menjatuhi
ketiga kawannya yang berada dibelakangnya. Begitu ketiga
orang itu jatuh tumpang tindih, Kuan Hong dan Wan Gwat
segera menubruk untuk menutuk jalan darah mereka.
Sedang Yan-chiupun secepat kilat sudah menerjang lagi
kemuka dan mencekik leher kedua imam yang berjalan
paling belakang sendiri.
"Awas, kalau berani bercuit, nyawamu kucabut!"
Melihat bahwa toa-supehnya (Ciang Tay-bing) menggeletak ditanah dalam keadaan tiga perempat mati,
kedua orang itu copot nyalinya. Takut kalau dipergoki
orang lagi, Yanchiu seret kedua imam itu keujung dinding
sana lalu mulai mengorek keterangan: "Kalian ini siapakah
yang mengetahui adanya jalanan dibawah tanah yang
menembus ruangan pertempuran sana" Ayuh, katakan yang
benar, supaya badanmu tetap bernyawa!"
Salah seorang dari kedua imam itu yang janggutnya
sudah mulai putih, segera menyahut dengan ter-bata2:"
Sejak 10 tahun lamanya siao-to (aku) menjadi tosu di Ang
Hun Kiong sini, belum pernah mendengar akan hal itu!"
Sedang kawannya yang seorang menyatakan bahwa
kecuall terowongan disitu itu, tiada lain jalanan dibawah
tanah lagi. Saking gelisahnya, Yan-chiu banting2 kaki lalu
benturkan kepala kedua imam itu kedinding, hingga
pingsanlah mereka.
"Kalau benar jalanan itu tidak ada, dimanakah mereka
memasang dinamit itu ?" Yan-chiu ber-sungut seorang diri
seraya menghela napas.
Tapi baru ia mengucapkan kata2 itu, atau Kuan Hong
dan Wan Gwat segera berebut menanyakan: "Cici, apa
yang kau katakan tadi?"
"Ah, kau anak kecil tahu apa!" seru Yan-chiu dengan
uring2an. "Memang lain2 hal aku tak tahu, tapi apa itu yang kau
sebut 'dinamit' pernah aku mendengarnya," bantah Kuan
Hong dengan jebikan bibirnya.
Girang Yan-chiu tak terkata. Semangatnya segar lagi. Ia
menduga tentulah kedua to-thong itu menjadi murid
kesayangan Ang Hwat. siapa tahu mungkin mereka
mengetahui rahasia itu. Tapi pada lain saat, ia geleng2kan
kepala. Bukankah, kedua anak itu beberapa hari lamanya di
"gantung" dibawah tanah, bagaimana mereka tahu akan hal
Itu" Maka Yan-chiupun tak mau bertanya lagi.
"Cici, mengapa kau tak menanyakan lagi?" Kuan Hong
menegurnya dengan sibuk. Dengan menghela napas,
terpakaa Yan-chiu ceritakan juga tentang bencana yang
hendak dibawakan rombongan jagoan itu dengan rencananya memasang dinamit dibawah tanah. Mendengar
itu kedua anak itu saling berpandangan.


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cici, bukankah orang yang memasang dinamit itu
seorang yang bertubuh gemuk kate?"
"Entahlah!" sahut Yan-chiu. Tapi pada lain saat ia
memperoleh pikiran baru dan menyusuli pertanyaan:
"Apakah kalian mengetahuinya?"
"Kemaren ada dua orang, satu pendek gemuk dan yang
lain bertubuh tinggi besar, lewat dimuka kamar tutupan
kami dengan membawa sebuah bungkusan besar. Entah apa
yang dipercakapkan waktu itu, hanya antara lain mereka
mengatakan sekali meledak pasti akan habis seluruhnya.
Kami berduapun tak menaruh perhatian. Lewat sekian
lama baru kelihatan mereka lalu lagi dikamar situ, tapi
sudah tak membawa bungkusan lagi!"
"Hai, kiranya terowongan itu masih ada tembusannya
lagi" Ayuh kita lekas2 mencarinya!" seru Yan-chiu
kegirangan. Tapi sampai sekian saat, merabah kesini mengorek
kesana, tetap tak memperoleh apa2. Terowongan dibawah
tanah itu tetap merupakan sebuah lorong sepanjang 8
tombak. Kalau menurut keterangan Kuan Hong, kedua
orang itu kemaren lalu dimuka kamar tahanan, jadi nyata
kalau mulut jalanan rahasia tentu berada diujung lorong
terowongan Itu. Yan-chiu gunakan terali besi untuk menutuk2 dinding terowongan tapi tetap nihil hasilnya. Saking
gemasnya Yan-chiu banting terali besi itu kebawah;
tring......... "Hai, kiranya mulut jalanan rahasia itu berada dibawah
lantai. Celaka, tadi aku hanya mencarinya diatas dinding
saja!" serunya berjingkrak kegirangan.
Lantai itu tiada tampak ciri2 yang luar biasa. Yan-chiu
gunakan ujung terali untuk mengoreknya dan berhasil
menjungkit dua ubin warna hijau. Begitu ubin terangkat,
disitu terdapat sebuah tutupan besi dan dua buah kunci.
Yanchiu me-mutar2 kunci itu kekanan kiri lalu menarik dan
mendorongnya. Krek....., krek......, tiba2 terbukalah sebuah
lubang berbentuk pesegi, besarnya menyerupai mulut
terowongan dibawah perapian dupa itu.
Yan-chiu menghembuskan napas lega, lalu melambai
pada kedua anak itu diajak masuk. Didalam jalanan rahasia
dibawah tanah itu, gelapnnya bukan main. Lewat beberapa
saat kemudian, barulah mata, Yan-chiu agak biasa dengan
keadaan disitu. Ternyata lorong jalanan rahasia itu panjang
sekali. Mereka bertiga terus menyusur kemuka, namun
belum berhasil menemukan sumbu dinamit pun tak
mengetahui batas manakah yang tembus pada ruangan
pertempuran itu.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 43 : BERGENIT DENGAN
MAUT Tiba2 didengar diatas dinding jalanan rahasia ada suara
hiruk pikuk. Bermula Yan-chiu tertegun, tapi pada lain saat
berbalik menjadi girang, serunya: "Disinilah. Suara hiruk
pikuk itu tentu menandakan adanya orang2 yang berada
diruang pertempuran. Kita harus lekas2 berpencar untuk
mencari tempat dinamit itu!"
Baru saja ia mengucap begitu, tiba2 disebelah atas
terdengar suara orang tertawa mengekeh.
"Ai, keliru! Yang ketawa mengekeh itu tentulah Hwat
Siau dan isterinya. Kemungkinan besar mereka sudah akan
turun kebawah untuk menyulut dinamit. Kalau masih
belum berhasil menemukan, celaka sudah!" Yan-chiu
mengeluh sendirian.
Ia menyusur kemuka lagi. Belum beberapa jauh, diatas
langit jalanan itu kembali terdengar ada suara "duk...,
duk..... Lagi2pun Yan-chiu tertegun berhenti. Tiba2 terasa
ada getaran keras dan dari atas langit jalanan situ,
dindingnya sama berguguran. Yan-chiu makin sibuk tak
keruan. Sebaliknya dengan penuh keyakinan kedua tothong itu menyatakan bahwa diatasnya situlah ruangan
pertempuran itu.
"Itu tentulah sucou tengah unjuk kelihayannya,
menginjak hancur marmar lantai. Kalau tidak masakan bisa
kejadian begini!" kata mereka berdua.
Yan-chiu sependapat dengan dugaan kedua to-thong itu.
Baru ia hendak suruh mereka berpencar mencari, tiba2
terdengarlah kumandang orang ber-cakap2. Astaga, itulah
suara Hwat Siau dan Swat Moay yang mendatang.
"Koanjin, terang kalau kedua mulut jalanan dibawah
tanah ini dibuka orang. Bahkan disana tadi terdapat mayat2
bergelimpangan. Jangan2 rencana kita bocor ini!" seru yang
perempuan. ,,Niocu, ayangan kuatir. Siapa yang berani mencabut
kumis harimau, biarlah dia bertamasya keakherat sana!"
kata sileiaki. Dari kumandang suaranya, nyata mereka masih terpisah
jauh dari tempat Yan-chiu bertiga. Pada lain saat tampak
api dinyalakan. Rupanya kedua suami iateri itu sudah mulai
akan menyulut sumbu. Yan-chiu makin cemas seperti
dikejar setan. la mendongak dan hai, benda apakah yang
menonjol dilangitan dinding itu" Tanpa buang tempo lagi,
la segera loncat keatas dan menarik benda itu kebawah.
Ketika di-amat2inya, itulah salah seutas sumbu yang
menyambung keluar tempat Hwat Siau sana. Cepat ia
memijat sekuat2nya dan putuslah kabel sumbu itu.
"Hwat Siau Swat Moay, silahkan menyulut. Habis
menyulut kau tentu lari ter-birit2. Siapa tahu sampai
ditempat ini sumbunya sudah putus, jadi dinamit itu takkan
meledak, ha, ha!" Yan-chiu berkata seorang diri dengan gea
dan puas. Entah bagaimana, api yang menerangi tempat Hwat Siau
Itu tiba2 padam.
"Hai, mengapa kau padamkan api itu?" Hwat Siau
menegur isterinya.
"Kalau ada orang mengetahui rencana kita, dan siang2
memutuskan kabel dinamit itu, bukantah sia2 saja jerlh
payah kita ini" Rasanya kalau tak memeriksa tempat
dinamit itu, tak lega, hatiku. Diatas masih bertempur seru,
kalau menjenguk kesana, rasanya takkan terlambat!" sahut
Swat Moay. Hwat Siau puji ketelitian isterinya, serunya: "Benar,
benar! Kalau sampai terjadi begitu memang sia2 sajalah
segala jerih payah kita ini!"
Pada waktu kata2nya yang terakhir itu diucapkan,
suaranya sudah dekat sekali dengan tempat Yan-chiu yang
kelabakan setengah mati. Untuk melawan kedua iblis itu,
terang ia tak mampu ia ambil putusan nekad. Dijemputnya
dinamit itu, terus dibawanya lari kemuka. Kira2 empat lima
tombak jauhnya mereka bertiga berhenti sejenak. Tapi
pada, saat itu kumandang suitan Hwat Siau melengking
ditelinga mereka. Suitan itu aneh dan seram kedengarannya, hingga membuat bulu roma berdiri.
Menyusul dengan itu Hwat Siau segera menghamburkan
kata2nya yang mengguruh laksana guntur berbunyi: "Entah
ko-chiu (jago silat) manakah yang mengganggu-usik
pekerjaan kami berdua suami isteri ini". Seorang jantan tak
nanti berbuat secara menggelap, silahkan keluar!"
Saking gelinya disebut seorang ko-chiu, pecah mulut
Yan-chiu bercekikikan. Memang genit betul dara Lo-hu-san
Itu. Masa dalam keadaan sedemikian genting berbahaya itu
ia masih berani main2! Dan karena ketawa Itu, kini
ketahuanlah sudah tempat persembunyiannya. Tapi diluar
dugaan, kedua suami isteri itu tak berani gegabah
menyerbunya. Memang adat sepasang suami isteri itu berlainan. Silelaki
berangasan, tapi isterinya lebih cermat dan teliti. Kala
mereka tiba ditempat dinamit situ, Yan-chiu sudah
menyingkir kira2 5 tombak jauhnya dan bersembunyi
ditempat gelap. Demi melihat kabel (sumbu) putus dan
dinamitnya lenyap, Swat Moay mereka dugaan, bahwa
rencana pendinamitan itu dirahasiakan sekali, terbukti dari
kenyataan bahwa sekalipun Ang Hwat cinjin tak
diberitahukan hal itu. Kecuali ke 18 jagoan sebawahannya
itu, tiada setan lagi yang tahu. Kalau toh ternyata ada orang
yang tahu, dia tentunya seorang ko-chiu yang dapat
mencuri dengar rencana persiapannya. Menilik kepandaian
mereka (Hwat Siau - Swat Moay), orang yang dapat
mencuri dengar pembicaraan itu, tentulah seorang jago
yang berkepandaian tinggi.
Dengan purbasangka itulah maka lebih dulu Hwat Siau
telah mengajukan pertanyaannya tadi. Dengari terdengarnya suara ketawa Yan-chiu tadi, makin cenderunglah mereka akan dugaannya tadi. Setelah berhasil
menggondol dinamit dia memutuskan kabel, orang itu tetap
berada disitu tak mau melarikan diri, terang kalau bukan
seorang yang memiliki kepandaian ber-lebih2an, tentu tak
Bernyali sebesar itu. Saking gusarnya, Hwat Siau terus
hendak turun tangan tapi cepat dicegah sang isteri.
"Koanjin, janganlah kite sampai berkubur bangkai disini.
Ke 18 orang kita itu sudah turun gunung, kita terpencil
sendirian. Kalau ribut2, Ang Hwat tentu akan mengetahui
peristiwa dinamit ini. Kalau sampai demikian, kita pasti
tergencet hebat. Kasih aku yang memberesinyalah!"
Hwat Siau dapat dibikin mengerti. Dan dengan suara
nyaring melengking Swat Moay sudah kedengaran berseru:
"Kesaktian cunke (anda) itu, kami suami isteri berdua
sangat mengagumi sekali. Diempat penjuru lautan ini,
semuanya adalah saudara. Kalau cunke sudi membantu
urusan kami kali ini, budi ini tentu akan kami ukir sampai
mati !" Yan-chiupun tahu mengapa mereka tak menyerbunya
itu, sinakal dengan lega hati ia terus mundur lagi kesebelah
dalam. Dari Ceng Bo den Tay Siang Siansu, ia sudah
mewarisi ilmu mengentengi tubuh yang sempurna,
ketambahan setelah minum mustika batu itu, gerakannya
makin enteng dan lincah. Pengundurannya itu tadi,
sedikitpun tak menerbitkan soara apa2. Tapi iapun ternyata
hanya dapat beringsut sejauh 2 tombak saja, karena ketika
berpaling kesebelah dalam hatinya segera mengeluh cemas.
Kiranya sampal ditempat itu, jalanan dibawah tanah situ
sudah buntu. Disekeliling situ tiada jalan tembusan lagi. la,
andaikata ada, pada saat itu terang ia tak sempat
menyelidikinya. Kegelisahan Yan-chiu, sukar dilukiskan,
"Niocu, rupanya sahabat Itu tak mempedulikan kita!"
tiba2 kedengaran Hwat Siau berkata dengan iringan tertawa
sinis. Tapi rupanya sang isteri masih berputus asa, serunya:
"Kami berdua suami isteri yang bodoh ini, adalah Hwat
Siau dan Swat Moay dari Tiang-peksan. Oleh karena baru
pertama kali berkunjung kedaerah selatan, jadi tak faham
akan golongan orang gagah didaerah ini, sehingga dalam
perjalanan itu kita lalai untuk membuat kunjungan
kehormatan. Apabila bersalah terhadap saudara, mohon
saudara sudi memberi maaf se-besar2nya. Dengan tak
memberi jawaban suatu apa, apakah saudara benar2 tak
suka berkenalan dengan kami?"
Tu lihatlah! Bagaimana merendah Swat Moay dalam
kata2nya itu. Ia tetap jerikan Yan-chiu yang dikiranya
seorang jago sakti itu. Jadi kecemasannya tak lebih kurang
darl Yan-tihiu sendiri.
Memang dalam keputusan asa, Yan-chiu audah
membulatkan tekadnya. Kalau saja kedua orang itu berani
menerjang, ia sudahh siap untuk menyambutnya dengan
melemparkan dinamit itu. Sekalipun tidak meledak, tapi
sekurang2nya dinamit itu pasti akan pecah berantakan.
Biarkan ia seorang diri binasa, asal sekian banyak orang
gagah pejoang kemerdekaan itu tak sampai lebur.
Semangatnya me-nyala2 dan nyalinyapun besar. Mati
untuk perjoangan kemerdekaan negara, adalah mati sahid.
Walaupun jasadnya hancur lebur, tapi namanya tetap
bersemarak diagungkan sepanjang masa!.
Dan kalau dipikir lebih jauh, lambat atau laun, manusia
itu tentu akan mati, pendirian Yan-chiu makin teguh.
Orang menyohorkan suami isteri Hwat Siau-Swat Moay itu
sebagai jagoan silat yang sakti. Tapi apa yang dapat
dibanggakan oleh mereka berdua itu" Andaikata Yan-chiu
nanti binasa, bukantah ia akan lebih disanjung dan
diabadikan sebagai seorang Srikandi, jauh lebih terhormat
daripada Hwat Siau dan Swat Moay itu" Pandangan
terhadap nilai kedua suami isteri jagoan itu menurun
beberapa derajat. Maka atas ulangan pertanyaan Swat
Moay tadi, ia hanya menyambutnya dengan sebuah tertawa
dingin menghina.
Mendengar itu Hwat Siau dan Swat Moay terkesiap.
"Kalau benar2 cunke tak mau keluar, cayhe (aku) hendak
mohon pengajaran barang sejurus!"
Dalam istilah2 yang maksudnya menyelomoti orang
(menipu), ada salah satu yang berbunyi demikian
"mengobati kuda mati se-olah2 binatang itu seperti hidup".
Dan Yan-chiu yang teringat akan peribahasa itu, segera
mempraktekkannya. Dengan melengkingkan nada suaranya
setajam mungkin, berserulah ia "Hem......, siapa kalian
karena takut lalu menakuti orang itu, akupun sudah
mengetahuinya. Ah......., heran, mengapa Tolkun mengutus
sebangsa kantong nasi macam kalian berdua itu untuk
melakukan tugas sebesar ini!"


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keheranan kedua suami isteri makin men-jadi2. Dari
nada suaranya teranglah itu seorang wanita, tapi mengapa
sedemikian beraninya" Sewaktu berkunjung kedaerah
selatan situ, pernah dari salah seorang ke 18 jagoan itu
mereka mencari keterangan tentang tokoh2 dunia persilatan
didaerah selatan. Kesemuanya mengemukakan Kui-ing-cu,
Ang Hwat cinjin, Tay Siang Siansu dan Kang Siang Yan,
adalah empat datuk besar dari daerah situ. Lain2nya seperti
Ceng Bo siangjin, Sin-eng Ko Thay, Nyo Kong-lim dan
lain2, walaupun cukup kosen, tapi tak ber-lebih2an. Tapi
terhadap "tokoh" yang melengking nada suaranya dan yang
begitu bernyali besar untuk memanggil nama Tolkun tanpa
sebutan gelarnya, belum pernah mereka mendengarnya!
Dan ternyata mereka merasa jeri juga, tak berani gegabah
menyerbu. Sebelum mati berpantang ajal. Yan-chiu gunakan tepat
sekali ajaran pepatah itu. Ini disebabkan ia berada didalam
lorong jalanan rahasia, sehingga musuh dapat dikelabuinya.
Coba ditempat yang lebar, tak nanti ia dapat mempermainkan Hwat Siau dan Swat Moay yang memiliki
panca indera tajam itu.
Memang tempat itu membantu banyak kepada Yan-chiu.
Kumandang suara Hwat Sisu Swat Moay, telah bergulung
campur dengan kumandang nada suaranya (Yan-chiu),
apalagi sengaja ia buat nadanya itu sedemikian rupa.
"Kang Siang Yan kah?" kedua suami isteri itu bertukar
pandang seraya men-duga2 dalam hati. Tapi mengingat
bahwa tokoh itu masih berada diatas dan sedang terlibat
dalam pertempuran dengan Ang Hwat, tentu bukan dianya.
"Sukakah kiranya cunke memberitahukan nama dan
gelaran cunke yang mulia itu" Walaupun kepandaian kami
berdua memang cetek, tapi kalau benar2 cunke hendak
menghalangi pekerjaan ini, rasanya tak mudah jugalah!"
kembali Swat Moay berseru.
Yan-chiu mengambil keputusan, sedapat mungkin ia
hendak ulur waktu hingga mudah2an nanti terjadi suatu
perobahan yang tak terduga.
"Bangsa 'kantong nasi' macam kalian itu, hendak
melawan aku" Nyalimu sih besar juga berani datang
kedaerah Selatan sini, tapi ternyata hanya begitu macam
kepandaianmu, masakan Lamhay Hu Liong-poh saja kalian
sudah tak mengenalnya!"
Untuk mengaku seorang lelaki terang akan. ketahuan
karena ia bernada perempuan, maka cepat2 ia sembarangan
mengaku sebagai Hu Liong-poh, Itu tokoh wanita yang
menduduki mahkota tertinggi dalam dunia persilatan
daerah selatan. Benar juga, kedua suami isteri itu segera
tersentak kaget mendengarnya. Memang nama tokoh
wanita itu sangat berkumandang dikolong jagad, tapi
menurut kabar sudah lama meninggal. Apakah desas desus
itu bohong belaka" Tanpa terasa kedua suami isteri itu
berjajar bahu membahu, yalah sikap yang dilakukan apabila
mereka berhadapan dengan musuh yang tangguh.
Andaikata Yan-chiu tak ngoceh lagi, se-kurang2nya pastl
dalam sejam lamanya Hwat Siau dan Swat Moay tak berani
berkutik. Tapi entah bagaimana ia merasa kuatir sendiri
jangan2 lawan tak mempercayai keterangannya tadi, maka
pada lain saat ia segera beraeru. lagi: "Huh, sampaipun
anak murid dari beliau siorang tua itu saja kalian tak
mengetahui, masih mau mengagulkan diri begitu macam!"
"Melukis ular tapi diberi kaki", kata2 ini menyatakan
bahwa karena bermaksud hendak menyempurnakan
pekerjaannya, kalau tak dipikir masak2, sebaliknya bisa
malah merusak pekerjaan itu seluruhnya. Memang
pengetahuannya tentang tokoh2 persilatan, Yan-chiu masih
kurang. Sebaliknya walaupun Hwat Siau dan Swat Moay
itu selalu berdiam didaerah utara dan hanya sekali itu
datang kedaerah selatan, tapi mereka cukup faham bahwa
Hu Liong-poh itu tidak mempunyai barang seorang
muridpun juga. Pengakuan Yan-chiu segera terbuka
kedoknya. "Koanjin, dia bohong, Hu Liong-poh tak pernah
menerima murid!" bisik Swat Moay kepada suaminya.
"Benar, kita harus lekas2 turun tangan, kalau terlambat
tentu akan gagal!" sahut Hwat Siau.
Walaupun jaraknya dengan Yan-chiu hanya terpisah 3
tombak, tapi dengan kepandaian sakti yang dimilikinya itu,
mereka dapat bergerak tanpa dapat diketahui. Tahu2 Hwat
Siau sudah maju kemuka dan jelas kelihatan dimuka sana
tampak ada sesosok tubuh kecil langsing. Kini tahulah
mereka kalau diselomoti orang. Masih Yan-chiu tak merasa
akan perobahan posisi itu, maka masih juga ia enak2an
mengancam: "Mengapa kalian tak lekas2 tinggalkan tempat
ini" Menilik sesama kaum persilatan, janganlah hendaknya
sampai meretakkan perhubungan..........."
Belum sampai ia menyelesaikan kata2nya itu atau Hwat
Siau yang sudah jelas akan sandiwara itu, segera berkisar
maju dan mengirim hantaman.
GAMBAR 81 dan baru Yan Chiu hendak meneruskan sandiwaranya atau
mendadak Hwat Siau sudah menubruk maju terus melontarkan
serangan ganas Terik panas membara laksana hawa ditengah muaim
kemarau, adalah perasaan Yan-chiu kala dia menerima
hantaman itu. Memang ilmu lwekang yang diyakinkan
Hwat Siau itu adalah lwekang yan-hwat (api positip).
Lwekang itu dapat menyalurkan hawa sepanas api. Ilmu itu
adalah warisan dari seorang persilatan aneh dari jaman
Song, bernama Hwat Bu-hay (api tak mempan) yang tinggal
dipulau Bu-ti-to dilaut Pak-hay. Lwekang yang di yakinkan
itu berlawanan sifatnya dengan yang difahamkan oleh Swat
Moay. Apabila menghadapi musuh tangguh, selalu kedua
suami isteri itu bahu membahu
Saking tak tahannya dibakar lwekang itu, Yan-chiu
loncat mundur. Hwat Siau murka karena dipermainkan
tadi. Kini dengan beringas, dia loncat menerkam tangan
sinona. Karena tak dapat mundur lagi, Yan-chiu
menghindar kesamping. Tapi diaini ia segera rasakan hawa
dingin merangsang tubuhnya, hingga sampai menggigil
gemetar. Dalam sibuknya, segera ia loncat keatas untuk
menggelantung, kemudian loncat kebawah lagi. Dengan
jalan begitu, barulah ia dapat terlolos dari hantaman maut.
Dalam pada itu iapun segera siap untuk melemparkan
dinamit itu. Tapi saat itu Hwat Siau dan Swat Moay sudah
maju berbareng hingga ia, tak mempunyai kesempatan
sama sekali. Hanya pada lain kejab saja, atau Yan-chiu segera rasakan
lengannya seperti terjepit besi, sakitnya bukan olah2.
"Aii........." mulutnya melengking keluh, dan dinamit yang
dipegang itupun jatuh ketanah, dan cepat2 dipungut oleh
swat Moay. "Koanjin, putusan sumbunya, masih dapat disambung.
Kau jaga dia, biar aku yang memasangnya lagi!" seru Swat
Moay. Hwat Siau mengiakan dan lalu menepuk bahu Yan-chiu
siapa terus saja mendeprok ketanah tak dapat berkutik. Tapi
dalam keadaan itu, masih jelas ia, melihat kedua suami
isteri itu sibuk memasang dinamit dan menyambung
kabelnya lalu menyulutnya. Suara sumbu menyala mendesis2 dan mereka lalu mundur, terus lenyap dari situ.
Penderitaan Yan-chiu kala itu sukar dilukiskan. Matanya
melihat bahaya, namun badan tak berdaya. Seingatnya
saejak sebesar itu, baru pertama kali itu ia, mengalami
siksaan yang sedemikian hebatnya. Sis...., sis......, sis.....,
demikianlah sumbu itu terus merayap.
---oodwkz0tahoo--Baik kita tinggalkan dulu Yan-chiu yang tengah
menantikan maut itu dan mari kita tengok kembali
keruangan pertempuran sana. Seperti diketahui kala Tio
Jiang rubuh dengan mulut berbuih busa, sekalian orang
gagah sama menuduh bahwa arak yang dihidangkan orang
Ang Hun Kiong itu tentu ditaruhi racun. Saat itu suasana
hiruk pikuk bukan buatan.
"Manusia yang tak tahu malu, mengagungkan diri
sebagal datuk cabang persilatan, tapi tak tahunya
sedemikian licik dan keji perbuatannya, menaruh racun
dalam arak. Sungguh biadab!" sekalian orang2 gagah dalam
rombongan Ceng Bo ber-teriak2 dengan marah.
GAMBAR 82 Heran sekali Ceng Bo Siangjin ketika mendadak melihat Tio
Jiang menggeletak dengan mulut mengeluarkan busa dan
kemudian telah sadar sendiri, ia menjadi ragu2 apakah sang
murid itu mempunyai penyakit ayan "
Ang Hwat marah besar, tapi ketika melirik kearah Tio
Jiang dilihatnya memang pemuda itu dalam keadaan
pingsan tak ingat dan mulutnya mengeluarkan busa.
Diapun terperanjat, dan karena sedikit meleng itu, hampir2
ia kena digenjot Kang Siang Yan, cepat ia pusatkan
perhatiannya kembali menghadapi lawannya itu.
Dalam pada itu, karena sama mengira sudah keracunan,
beberapa orang diantaranya yang aseran terus ikut
mengerubut kearah Ang Hwat Cinjin dan The Go. Melihat
gelagat jelek, lekas2 The Go keluarkan Ceng-ong-sin dan
diabat-abitkan, hingga para pengeroyok itu terpaksa
mundur. "Berhenti semua!" se-konyong2 Ang Hwat Cinjin
membentak sambil melompat mundur.
Karena suara gertakan keras itu, semua orang menjadi
terpengaruh dan berhenti bertempur. Begitu pula Hang
Siang Yan ikut tertegun. Dan selagi Ang Hwat Cinjin
hendak menyangkal tak menaruh racun didalam arak, tiba2
terdengar seorang berkata dengan dingin:
"Bocah itu tentu terkena racun obat 'Sip-jit-tui-hun-tan'
milik kepala suku Biau, Kiat-bong-to, tiada sangkut-pautnya
dengan siapapun."
Waktu semua orang berpaling, kiranya yang bicara
adalah satu diantara 18 jago dimeja sana, yang
berperawakan liecil, orang kenal dia bernama Can Bik San,
berjuluk "Ngo-tok-lian-cu-piau" atau piau berantai panca
bisa, yaitu karena lima macam racun yang dibuat
merendam senjata rahasianya, saking jahat racun yang
dipakainya itu, asal lecet saja sasarannya, pasti jiwa akan
melayang. Sebab itu, nama Can Bik San dengan cepat
terkenal. Tapi karena kelakuannya yang tidak pandang
kawan atau lawan, maka ia terdesak dikediamannya dan
terpaksa menggabungkan diri pada pemerintah Ceng.
Kini melihat suasana kacau-balau, boleh jadi akan
merusak rencananya, maka cepat ia bersuara untuk
menghilangkan curiga semua orang.
Ketika semua orang memandang Tio Jiang, pemuda itu
ternyata sudah baikan, busanya sudah sedikit, wajahnya
mulai memerah. Dengan menahan sakit dilengannya, Ceng
Bo Siangjin mendekati muridnya itu dan memeriksa
pernapasannya, tapi urat nadi Tio Jiang berjalan biasa,
tampaknya bukan terkena racun. Karuan Ceng Bo sangat
heran, kalau pemuda ini tidak keracunan, lalu kenapa
mendadak roboh dengan mulut berbusa" Jangan2 punya
penyakit ayan! Selagi Ceng Bo ragu2, terdengar Tio Jiang sudah bisa
bersuara seperti orang baru bangun tidur. Ceng Bo pikir
dalam keadaan demikian, kalau pertarungan dilakukan
secara kerubutan, tentu takkan menguntungkan pihaknya,
apalagi pihak musuh masih ada dua jago yang belum turun
kalangan. Maka serunya: "Harap semua orang kembali
tempat duduknya masing2!"
Tapi baru selesai perkataannya, mendadak-terdengar
suara jeritan ngeri.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 44 : ANJING GILA
Kiranya ketika mendengar bentakan keras dari Ang
Hwat Cinjin tadi, Kang Siang Yan agak tertegun. Tapi
ternyata Ang Hwat tak menyerang, maka Kang Siang Yan
buru2 menghampiri Bek Lian. Tapi pada saat itu keadaan
Bek Lian sudah keliwat payah. Keguncangan yang,
dideritanya adalah sedemikian hebat, hingga kandungannya
turut bergerak keras. Sekali mulut menguap, segumpal
darah segar muntah keluar dan limbunglah ia antara sadar
tak sadar.......... Masih ia dapat mengenali wajah ibunya,
tapi karena tenaganya sudah habis, sepasang bibirnya yang
pucat seperti tak berdarah itu ber-gerak2, namun tak dapat
mengeluarkan sepatah katapun jua!
Melihat puteri biji matanya mengalami penderitaan yang
sedemikian sengsaranya, kemurkaan Kang Siang Yan
meluap. Ia deliki mata kearah The Go, dimana saat itu
justeru sedang memandang kearah Bek Lian dan Kang
Siang Yan. Pancaran mata Kang Siang Yan ternyata
sedemikian ber-api2, hingga jantung The Go serasa
berdebar keras.
"Bangsat, tak nanti kau terlepas dari tanganku!" pikir
Kang Siang Yan. la anggap jiwa Bek. Lian lebih utama
dahulu, maka segera ia salurkan lwekang untuk menjalankan perdarahan tubuh Bek Lian. Lewat beberapa
jurus kemudian, barulah Bek Lian kedengaran menangis.
"Sudah, nak, jangan menangis. Biar ibumu yang
membalaskan!" hibur Kang Siang Yan dengan rawan.
Mendengar itu The Go takut setengah mati. Kalau Kang
Siang Yan sampai turun tangan, habislah riwayatnya. Dari
segala macam siasat membela diri, angkat kaki adalah yang
paling selamat. Sebat sekali dia lalu hendak ngacir, tapi
ternyata Kang Siang Yan lebih sebat darinya. Hanya


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak tubuhnya berguncang sedikit, atau tahu2 wanita
gagah itu sudah berada disampingnya dan terus ulurkan
tangannya hendak mencengkeram. Cian-bin Long-kun The
Go coba hendak menangkis dengan ular ceng-ong-sin, tapi
cukup dengan dua buah jari saja Kang Siang Yan telah
dapat menjepit erat2 angsang ular itu, hingga tak dapat
berkutik lagi. Malah berbareng itu, lima buah jari tangan
kirinya mencengkeram bahu The Go, menekan bagian
tulang pi-peh-kun. Maka seketika itu The Go rasakan
kesakitan hebat dan mengeranglah dia dengan jeritan
seram. "Hem, kukira kau seorang jantan, berani berbuat berani
tanggung resiko, tak tahunya hanya bangsa 'kantong nasi',
belum mati sudah men-jerit2 ketakutan!" Kang Siang Yan
menyeringai. Wajah The Go berobah pucat lesi, butiran keringat
sebesar kacang hijau ber-ketesa turun dari dahinya.
Mukanya seperti orang dicekik setan tampaknya. Kang
Siang Yan sentuhkan lengannya ketangan The Go dan
kelima jari sianak muda yang mencekali ular itu segera
kendor. Tahu2 ceng-ong-sin sudah pindah ketangan Kang
Siang Yan. Karena angsangnya dipijat, ular itu tak dapat berkutik,
hanya lidahnya saja yang menjulur surut. Demi dirangsang
oleh kebenciannya terhadap "mantu"nya yang manis itu,
Kang Siang Yan acungkan ular ceng-ong-sin kemuka
The Go. Bau amis segera menyampok hidung The Go
ketika lidah ceng-ong-sin itu terpisah hanya setengah dim
dari kulit mukanya. Hilang semangat The Go dibuatnya
dan serentak merintih dia dengan ter-iba2: "Gakbo, ampun!
Siausay mengaku salah!"
GAMBAR 83 "Ampun, Gakbo (ibu mertua) :" teriak The Go ketika kena
dicengkeram Kang Siang Yan.
Terjentik sanubari Kang Siang Yan mendengar rintihan
sang "menantu" itu. Puterinya sudah terlanjur memilihnya
dan sudah pula mengandung, kalau dia dibunuh, berarti
juga Bek Lian nanti akan menjadi janda sebelum kawin.
Suatu hal yang memalukan sekali. Tanpa terasa tangan
wanita gagah itu disurutkan kebelakang untuk menarik ular
ceng-ong-ain. "Hong-moay, jangan kena diakali bangsat itu! Dia tak
boleh diberi hidup lagi!" kedengaran Ceng Bo siangjin
berseru demi dilihatnya sang isteri hendak membatalkan
rencana. Juga Thaysan-sim-tho Ih Liok berteriak keras2
untuk menganjuri, hingga membuat Kang Siang Yan
menjadi serba salah.
Dilain fihak, Ang Hwat cinjin gelisah sekali. Dia sangat
sayang anak muda itu melebihi dari semua murid2nya.
Namun hendak dia menolong, berarti akan mempercepat
kematian The Go, karena terang nanti Kang Siang Yan
tentu akan turun tangan lebih lekas. Jadi keadaan cinjin
itupun seperti 'sibisu makan getah' atau menderita tapi tak
dapat menyatakan. Maka sekalipun dia seorang jago lihay,
namun tak dapat berbuat apa2 untuk menolong muridnya.
Tiba2 terkilas dalam pikirannya sebuah siasat. Digenggamnya dua buah thi-lian-cu (senjata rahasia
berbentuk biji terate) dan wut...., wut....... melayanglah dua
buah thi-lian-cu, satu kearah kepala ular ceng-ong-sin dan
satu kelengan Kang Siang Yan!
Tokoh macam Ang Hwat sebenarnya tak perlu
menggunakan senjata rahasia lagi. Tapi karena keadaan
memaksa, terpaksa dia gunakan thi-lian-cu, suatu senjata
rahasia yang dikuasainya sejak dia masih muda. Dan kuatir
kalau dua buah thi-lian-cu tadi akan gagal, dia merogoh
kedalam saku dan menyusuli lagi dengan ber-puluh2 buah.
Tak kurang dari 30-an buah thi-lian-cu menabur kearah
Kang Siang Yan, laksana hujan tercurah dari langit,
suaranya meng-aum2 memecah angkasa.
Jaraknya dengan Kang Siang Yan hanya terpisah
setombak lebih, jadi persentasinya tentu mengenai. Kang
Siang Yan sedikitpun tak sayang akan ular ceng-ong-sin,
tapi ia tak sudi lengannya sampai terkena senjata rahasia
yang lihay itu. Ia cukup sadar thi-lian-cu merupakan suatu
senjata rahasia yang berbahaya, sekalipun orang memiliki
ilmu thiat-po-san (tak mempan senjata) namun sukarlah
rasanya untuk menahan serangan senjata tersebut yang
dilepas oleh seorang tokoh macam Ang Hwat cinjin.
Namun kalau hendak menghindar berarti memberi
kesempatan The Go lari, suatu hal yang tak dikehendaki
Kang Siang Yan. Tiba2 dalam keadaan yang serba sulit itu,
terdengarlah suara bergemerincing. Ah, kiranya Kui-ing-cu
telah bertindak dengan sebat.
Tokoh aneh itu tahu bahwa Ang Hwat hendak
membinasakan ceng-ong-sin agar The Go terhindar dari
pagutan maut. Tahu juga dia bahwa Kang Siang Yan tak
ambil mumet dengan ular sakti yang diperoleh susah payah
oleh oleh Sik Lo-sam, maka cepat dia ambil sebuah sendok
perak yang sekali dipijat menjadi patah macam sebuah
senjata rahasia, lalu ditimpukkan. Oleh karena dia lebih
dekat dengan Kang Siang Yan, maka sekalipun tak dapat
membikin jatuh tapi se-kurang2nya dapatlah kepingan
sendok itu membuat thi-lian-cu itu miring arah layangnya
dan jatuh kesamping!
Kalau tadi Kiang Siang Yan masih ragu2, kini dengan
adanya tindakan Ang Hwat itu, ia menjadi beringas. Sekali
mendorong, The Go segera terjerembab kedalam taburan
hujan thi-lian-cu. Ber-puluh2 thi-lian-cu menghujani tubuh
pemuda culas itu. Ceng Bo lega, tapi sebaliknya Bek Lian
masih merasa iba melihatnya. Ting..., ting...., ting...., berpuluh2 thi-lian-cu telah menghantam tubuh The Go, tapi
begitu kena semua senjata rahasia itu pada jatuh ketanah.
Sedikitpun anak muda itu tak kena apa2, malah terus
gunakan gerak hong-cu-may-cin, berosot kesamping terus
lari sipat kuping!
Kang Siang Yan terlongong karena kekebalan sang
"mantu" yang manis itu, hingga tak keburu menangkapnya.
Dan ketika ia tersadar hendak mengejar, Ang Hwat telah
menyambutnya dengan hantaman yang dahsyat. Dalam
beberapa kejab saja, keduanya telah saling berhantam
sampai 10 jurus, kemudian baru saling surut kebelakang.
Ang Hwat tertawa ter-kekeh2.
"Kang Siang Yan, kau juga seorang cianpwe, mengapa
memusuhi seorang anak" Kalau pinto tak keburu unjukkan
sedikit permainan, namamu tentu tercemar!"
Saking gusarnya Kang Siang Yan buang ceng-ong-sin,
serunya: "Imam tua Ang Hwat, kau ngoceh apa itu" Kalau
harini belum kucincang tulang belulang anak itu, jangan
harap aku tinggalkan tempat ini!"
Ang Hwat jebirkan bibirnya, menyeringai: "Kau hendak
tinggalkan tempat ini" Hem, rasanya harus memerlukan
idinku dahulu!"
Keduanya siap hendak bertempur lagi, rupanya kedua
fihak makin lebih ngotot dari tadi.
GAMBAR 84 Meski dibanting kelantai oleh Kang Siang Yan, tapi Ceng-ongsin bukan sembarangan ular, begitu menyentuh tanah, segera
badannya meringkuk sambil menjulurkan kepalanya keatas.
Melihat kesempatan itu, cepat Can Bik San melompat maju
hendak menangkapnya, tapi Kui-ing-cu tak mau ketinggalan,
segera iapun melayang maju terus menghantam.
Dilempar oleh orang macam Kang Siang Yan, apapun
tentu hancur. Tapi ceng-ong-sin bukan ular sembarang ular.
Binatang itu merupakan suatu benda ajaib yang jarang
terdapat didunia. Begitu jatuh ditanah terus melingkar dan
angkat kepalanya sembari menjulur2kan lidahnya, siap
menyerang orang yang hendak mengganggunya. Melihat
kesempatan sebagus itu, Ngo-tok-lian-cu-piau Can Biksan
segera tampil hendak menangkap. Tapi Kui-ing-cu dengan
sebatnya segera apungkan tubuhnya keatas. Belum
orangnya tiba ditanah, pukulannya sudah menderu datang.
Can Bik-san merasa ada suatu tenaga dahsyat
menekannya. Hendak dia menghindar tapi sudah tak
keburu. Tiga batang piauw kecil yang bergemerlapan cepat
dia timpukkan kelawan. Orang she Can itu biasa saja
ilmunya silat. Kepandaian yang diandalkan, hanyalah
ilmunya menyabit piau dengan kedua tangannya maju
berbareng. Piaunya itu berbentuk bulat panjang, mempunyai tiga buah ujung yang sangat tajam. Tapi karena
puncak ujungnya itu semuanya bundar, jadi sewaktu
melayang tak menerbitkan suara apa2.
Perhatian Kui-ing-cu dicurahkan untuk, mencegah orang
merampas ceng-ong-sin, maka sedikitpun dia tak mengira
kalau orang she Can itu sedemikian ganasnya. Dalam
gugupnya dia segera gunakan tenaga dalam untuk
menghindar kesamping, tapi hasilnya ternyata runyam.
Sebagaimana telah diketahui, karena menolong Sik Lo-sam
yang terkena hantaman Kang Siang Yan tempo hari, dia
telah kekurangan lwekang dan tenaga murni. Maka bukan
kepalang kagetnya demi diketahui bahwa gerakannya kini
tak segesit dahulu. Dua buah piau hanya terpisah beberapa
dim disisi tubuhnya, tapi nomor tiga yang terachir tepat
sekali menyusup kepahanya. Seketika dia rasakan bagian
anggauta tubuhnya mati-rasa. Cepat2 dia cabut piau
beracun itu, begitu tubuh menurun dia sapukan kaki dan
berbareng menangkap ceng-ong-sin. Menurunkan tubuh,
mengaitkan kaki, mencabut piau dan menangkap ular, 4
macam gerakan dia lakukan berbareng sekaligus.
Can Bik-san yang biasa saja ilmunya silat, mana dapat
bertahan diri atas kemarahan Kui-ing-cu itu. Krek......,
krek....... kedua kakinya patah tersapu gerakan Kui-ing-cu.
Syukur kawan2nya lekas maju menolong. Kedelapan belas
orang itu saling memberi isyarat mata. Yang tujuhbelas
segera keluar dari gereja Ang Hun Kiong itu, sementara
yang satu lalu memberitahu pada Hwat Siau dan Swat
Moay supaya lekas2 bertindak.
Pada saat itu perhatian Ang Hwat tengah dicurahkan
untuk menghadapi Kang Siang Yan, jadi dia tak
mempunyai keluangan untuk mengurusi orang2nya itu.
Sedang difihak Ceng Bo dan kawan2 sedikitpun tak
mengetahui akan adanya suatu rencana yang ganas itu.
Mereka mengira, orang2 itu membawa Can Bik-san keluar
untuk diobatinya. Ada beberapa orang yang mengetahui
kedahsyatan piau buatan orang2 suku Thiat-theng-biauw itu
segera menganjurkan supaya Kui-ing-cu potong saja bagian
daging yang terkena piau itu. Tapi piau buatan suku Biauw
itu sangatlah hebatnya.
Tadipun adanya Tio Jiang tak hujan tak angin
sekonyong2 menjadi seperti orang kalap tak sadarkan diri,
adalah terkena pengaruh racun dari pil cap-jit-tui-hun-tan
(merampas jiwa dalam 10 hari) buatan suku Thiatthengbiauw, ketika Tio Jiang minum teh yang dihidangkan
Kitbong-to digunungnya. Walaupun dengan gunakan
lwekang dia muntahkan lagi teh beracun itu, namun sisa
sedikit yang masuk kedalam perut cukup membuatn ya tak
sadar, begitu waktunya tiba. Tapi karena lwekangnya kini
maju pesat, maka dapatlah pengaruh obat racun yang hanya
sedikit itu, dipunahkan dan diapun segera ingat diri pula.
Sebaliknya racun piau Can Bik-san itu disebut "hongsinsan" (obat membikin gila). Walaupun dengan sebat
sekali Kui-ing-cu segera mencabutnya, namun racun
tersebut sudah keburu masuk kedalam pembuluh darah dan
naik keatas. Amputasi atau pemotongan sebagian anggauta
badan, hanya berguna terhadap racun biasa. Namun racun
buatan Kit-bong-to itu lain sifatnya. Sekalipun andaikata
paha Kui-ing-cu itu dipotong semua, akan sia2 jua.
Dan begitu racun merangsang, pikiran Kui-ing-cu sudah
limbang, jadi begitu ada orang mengajak bicara, biji
matanya membalik, sikapnya beringas. menakutkan,
sehingga kawan2nya sama terkesiap jeri. Sebaliknya The
Go bergendang paha, serunya: "Ho, orang itu terkena ngotok-lian-hoan-piau. Dia bakal seperti anjing gila, mana mau
dengar kata2mu " !"
Ceng Bo terperanjat dan deliki mata, sedang Thaysan
sin-tho Ih Liok segera memaki habis2an. "Mengapa si
Cianbin long-kun tetap sehat walafiat" Marilah kami
mundur dahulu."
Kiranya Ang Hwat telah memperhitungkan bahwa Kang
Siang Yan tentu akan membuat The Go sebagai umpan,
maka taburan thi-lian-cu tadi dia gunakan trick (permainan). Dalam jarak yang sudah diukurnya begitu
mengenai tubuh, puluhan thi-lian-cu itu hilang daya
kekuatannya dan jatuh berhamburan ketanah. Sedemikian
indah permainan kepala gereja Ang Hun Kiong itu, hingga
Kang Slang Yan sampai kena dikelabuhi dan lepaskan The
Go. Bermula The Go sudah paserah nasib, tapi serentak
terasa taburan thi-lian-cu itu sudah punah dayanya, tahulah
dia maksud sucounya itu. Dan sebagai orang yang cerdas,
dapatlah dia menggunakan kesempatan itu, se-bagus2nya.
Demikianlah rahasia kekebalan The Go.
Sekarang mari kita ikuti keadaan Kui-ing-cu lagi. Begitu
terkena penyakit anjing gila, Kui-ing-cu lupa daratan tak
kenal mana lawan maupun kawan. Sampaipun Kang Siang
Yan dan Ang Hwat sama alihkan pandangannya kepada
tokoh itu, siapa tampak matanya menjadi merah membara.


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kui-heng, kau bagaimana?" seru Ceng Bo, Ko Thay dan
si Bongkok dengan serempak. Namun Kui-ing-cu kembali
menggerung keras.
"Ang Hwat cinjin, mengapa sampai seorang buaya darat
macam Can Bik-san, kau ajak berserekat?" teriak Ceng Bo
Siangjin. Sekalipun Ang Hwat membantu pemerintah Ceng, tapi
dia seorang ketua dari sebuah aliran cabang persilatan, jadi
se-kurang2nya dia masih memegang kehormatan. persilatan. Tahu Kui-ing-cu belum apa2 sudah kena piau
beracun, diapun agak kurang enak. Berpaling kebelakang,
didapatinya hanya ada dua orang muridnya saja.
"Tek-san undanglah Ngo-tok-lian-cu-piau Can Bik-san
kemari!" katanya kepada Ji-mo Long Tek-san, siapa
mengiakan dan terus berlalu.
Pada saat Itu, se-konyong2 Kui-ing-cu loncat setombak
lebih tingginya. Diatas udara dia berjumpalitan dan begitu
menginjak tanah, kembali dia perdengarkan teriakan aneh
sampai dua kali. Sepasang matanya makin beringas merah.
Oleh karena tahu bagaimana kelihayan tokoh itu,
kawan2nya tak berani menghampiri, malah
sama menyingkir. Juga Ceng Bo cemas akan perobahan sahabatnya itu.
Oleh karena Can Bik-san belum muncul maka Ceng Bo
segera perintah kawan2n ya menyingkir saja. Begitulah
ketika dia memberi aba2, kawan2nya sama bubar dan
tinggalkan ruangan itu. Pun seorang tokoh2 macam Ang
Hwat dan Kang Siang Yan tak urung cemas juga. Kang
Siang Yan segera menggendong Bek Lian sedang Ang Hwat
pun lalu menarik tangan The Go untuk diajak berlalu.
Menurut anggapan orang banyak, hanya Tio Jiang
seorang yang paling akrab sekali hubungannya dengan Kuiing-cu. Tapi keadaan anak itu baru saja sembuh terkena
racun, jadi kasihan kalau sampai kena apa2. Dalam pada
itu, Kui-ing-cu makin men-jadi2 keadaannya. Sepasang
matanya ber-api2 dan se-konyong2 dia pentang kedua
lengannya. Lengan kanan masih tetap mencekali ceng-ongsin, sedang tangannya kiri menghantam dua kali pada
sebuah tiang sepemeluk lengan besarnya, Tiang besar itu
rompal bertebaran ke-mana2. Kui-ing-cu rupanya masih
penasaran dan digeragotinyalah tiang itu.
"Kui locianpwe, kau ini kena apa?" Tio Jiang yang
merasa kasihan segera bertanya.
Kui-ing-cu angkat kepalanya dan deliki mata pada Tio
Jiang sembari tertawa meringkik, sehingga Tio Jiang berdiri
bulu romanya. Kui-ing-cu undur selangkah. Kembali dia
tertawa meringkik dan tiba2..... bang....., bang....., bang.....,
tahu2 tiang itu didorongnya rubuh sehingga ujung rumah
itu ambruk sebagian. Orang2 yang sama menyingkir
disebelah luar ruangan itu, makin cemas.
"Coba tengok lagi, mengapa sdr. Can itu belum kemari!"
Ang Hwat banting2 kakinya seraya menyuruh Im Thiankui, siapa lalu pergi dengan lekas.
Sementara itu Ceng Bo yang terus menerus mengikuti
keadaan Kui-ing-cu, dapatkan bahwa tokoh itu kini
melekatkan pandangannya kepada Tio Jiang.
"Jiang-ji, kembalilah lekas, jangan cari bahaya!" serunya
memanggil sang murid. Tapi sudah terlambat. Membarengi
seruan Ceng Bo, Kui-ing-cu yang sudah lupa orang itu
segera menghantam dada sianak muda.
Tio Jiang tak berani menangkis, maka cepat dia
menghindar saja. Tapi walaupun gila, ternyata kepandaian
Kuiing-cu masih utuh. Secepat kilat diaa berputar, terus
mencengkeram dada Tio Jiang. Dalam gugupnya Tio Jiang
surutkan dadanya kebelakang. Benar badannya terhindar,
tapi bajunya kena tersambar robek. Robekan baju itu
digigit2 Kui-ing-cu, dikunyah lalu dimakannya dengan
lahap. Tio Jiang kucurkan keringat dingin. Kalau tadi dia
sampai kena tercengkeram, mungkin dia akan mengalami
nasib serupa seperti bajunya itu. Saking getar perasaannya,
cepat2 dia loncat dua tiga tombak keluar. Tapi Kui-ing-cu
sudah terlanjur mengawasinya. Melihat orang bergerak,
diapun segera membayangi, sehingga kini mereka saling
kejar2an. Selagi mengejar itu, Kui-ing-cu kerjakan kaki
tangannya. Tiang, meja, kursi, ya pendekn ya 10-an meja
perjamuan berikut semua kursinya, telah sungsang sumbal
habis diamuknya.
Sebenarnya Tio Jiang kalah cepat larinya dengan Kuiing-cu, tapi karena Kui-ing-cu menghajar meja kursi, jadi
sampai sekian lama dapatlah dia terhindar. Sebuah meja
dari kayu mahoni yang keras dan kokoh, sekali hantam
dapat dipecah menjadi dua belah oleh Kui-ing-cu. Sudah
tentu hati Tio Jiang kebat kebit dibuatnya. Puncak
kecemasannya memuncak, ketika Kui-ing-cu lepaskan
kepala ceng-ong-sin, hingga ular itu kini me-lingkar2. Tapi
rupanya Kui-ing-cu tak menghiraukan. Tio Jiang makin
gelisah, tapi pada saat itu Yan-chiu yang telah ditutuk jalan
darahnya dalam jalanan rahasia dibawah tanah, lebih2
cemas lagi perasaannya.
Kiranya begitu ketujuh belas orang2 pemerintah Ceng itu
mengundurkan diri mereka lalu melapor pada sepasang
suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay. Kedua orang ini
segera turun masuk diterowongan bawah tanah untuk
menyulut sumbu bahan peledak (dinamit). Karena kena
tertutuk jalan darahnya, Yan-chiu tak dapat menghalangi.
Pada saat Ceng Bo perintahkan kawan2nya keluar dari
ruangan itu, sumbu obat peledak tengah disulut Hwat Siau.
Benar tak berdaya, tapi pikiran Yan-chiu masih terang
dan dapat membayangkan bagaimana ngerinya nanti
apabila dinamit itu meledak. Hatinya berdoa agar sumbu itu
pelahan saja nyalanya, namun matanya melihat jelas
bagaimana api sumbu itu menjalar dengan cepat makin
lama makin dekat. Saking diterkam, ketakutan, ia sudah
layap2 antara sadar tak sadar.
Tiba2 ia mendengar suara "bang.............." yang keras
sekali, sehingga ia tersentak kaget. Suara atap dan tiang
gempar menggelegar, malah ada beberapa pecahan genting
yang jatuh menimpa badannya, sehingga buru2 ia menutup
mata menanti ajal. Tapi heran, setelah tebaran debu dan
pecahan atap itu sirap, suasananya masih tetap hening saja.
la rasakan dirinyapun tiada kurang suatu. apa. Lekas2 ia
membuka mata dan hai, kiranya sisa sumbu itu masih
antara 4 meter panjangnya.
Sudah tentu ia tak mengetahui bahwa suara gelegar yang
gempar itu berasal dari tiang yang dihantam rubuh oleh
Kui-ing-cu tadi. Guncangan itu membikin sumbu ikut
terpental, kini kira2 dua meter saja dari tempatnya. Sumbu
itu tetap menyala dengan cepatnya, sesenti demi sesenti
terus menjalar hingga kini hanya tinggal 2 meter. Pada lain
saat, tinggal 1? meter, satu meter, setengah meter.........
duk, duk, duk, demikian jantung Yan-chiu berdetak keras.
Suatu siksaan urat syaraf hebat yang belum pernah
dialaminya selama ini!
Tiba2 terdengar derap kaki orang mendatangi. Dua sosok
tubuh kecil ber-lari2an masuk, terus menghampiri Yan-chiu.
Yang satu mengangkat kepala dan yang satu menggotong
kaki, kedua anak itu membawa Yan-chiu menyusur
terowongan. Yan-chiu cepat mengenali mereka sebagai
Kwan Hong dan Wan Gwat, itu kedua to-thong (murid
imam) dart Ang Hun Kiong. Sudah tentu girangnya bukan
kepalang. Sewaktu masih sempat mengerlingkan mata,
dilihatnya sumbu itu sudah menyala sampai dipangkal
penghabisan. Asap ber-kepul2 mengiring suara desisan.
Kiranya kedua to-thong itu membawa Yan-chiu kemulut
jalanan keluar dari terowongan itu. Dalam kegirangannya,
Yan-chiu diam2 sesali kebodohan kedua anak itu. Bukantah
tak perlu jerih payah menggotong dan cukup menginjak saja
toh sumbu itu tentu padam. Sayang ia tak dapat berkutik
dan berbicara. Adalah ketika sudah berhasil dibawa keluar
dart terowongan rahasia itu, barulah kedengaran suara
ledakan yang maha dahsyat. Kedahsyatannya melebihi
letusan meriam tentara Ceng tempo hari. Sampaipun Yanchiu yang berbaring ditanah pada jarak yang cukup jauh,
ikut merasa berguncang keras.
Sirapnya ledakan dahsyat itu diausul dengan gulungan
asap yang memenuhi udara, kemudian gelegaran atap dan
dinding beserta alat2 perabotnya, muncrat hancur
beterbangan keempat penjuru. Saking takutnya, Kuan Hong
dan Wan Gwat sampai pucat lesi serta ter-longong2 sampai
sekian lama. "Oh, sedikit saja kami terlambat datang, cici ini tentu
takkan ketolongan," akhirnya setelah suasana hening lagi,
Kuan Hong baru kedengaran buka suara.
"Sekarang kita hendak kemana nih " Rasanya nasib kami
tergantung pada cici!" sahut Wan Gwat.
Disamping berterima kasih pada kedua anak itu, hati
Yan-chiu terasa sunyi rawan sekali. Bukantah satu2nya
orang yang dikasihi (Tio Jiang) ikut binasa bersama seluruh
rombongannya" Ditempat sebesar gereja Ang Hun Kiong
itu, hanya tinggal dirinya bertiga yang masih hidup. Adakah
hidup itu mash berarti baginya lagi" Air mata bercucuran
mengalir pada kedua belah pipinya ...............
Melihat keadaan Yan-chiu yang sedemikian itu, kedua
tothong itu segera menutuki tubuh Yan-chiu, pikirnya
coba2 hendak membuka jalan darahnya yang tertutuk itu.
Sebagai anak murid seorang akhli tutuk, kedua anak itupun
sedikit2 mengerti juga ilmu tutuk. Tapi habis sekujur badan
Yan-chiu ditutukinya, tetap mereka tak mengerti macam
ilmu apa yang digunakan untuk menutuk Yan-chiu itu.
Kiranya sepasang suami isteri Hwat Siau - Swat Moay
itu memiliki suatu ilmu tutukan yang luar biasa. Bukan saja
tutukan itu menggunakan tenaga dalam yang dapat
menembus urat2 dibawah tulang pun selain 36 urat nadi
besar dan 72 urat kecil, masih memahami pula 13 buah
jalan darah yang sukar dan aneh letaknya. Segala macam
ilmu tutukan Iainnya, tak dapat menolong. Sekalipun Ang
Hwat sendiri yang datang, rasanya tak mudah untuk
memberi pertolongan cepat2, apalagi kedua anak itu.
Urat Yan-chiu yang terkena tutukan itu yalah yang
disebut urat goh-si-hiat. Letaknya ditengah sela2 tulang
pundak. Sekali Hwat Siau menyentuh bahu Yan-chiu, maka
mengalirlah lwekangnya untuk menutup jalan darah yang
sukar letaknya itu. Jadi taruh kata orang mengerti adanya
ke 13 buah jalan darah istimewa itu, kalau Iwekangnya
kurang sempurna juga percuma sajalah. Itu saja tadi karena
buru2 hendak menyulut sumbu, Hwat Siau hanya menekan
pe-lahan2, coba tidak siang2 Yan-chiu pasti sudah
melayang jiwanya dengan seketika.
Dan karena kurang keras tekanannya itu, maka secara
kebetulan, saja dapatlah Kwan Hong dan Wan Gwat
menutuk lepas jalan darah pembisu, hingga seketika
berkaoklah Yan-chiu "ah.......", serunya dengan lega, karena
kini ia sudah dapat bicara lagi sekalipun kaki tangannya
masih belum dapat bergerak.
"Cici, bagaimana kami berdua ini?" kedua anak itu buru2
membungkuk kebawah dan bertanya.
Sebenarnya Yan-chiu kepingin menangis untuk melonggarkan kesesakan hatinya, karena ia sendiri tak tahu
apa yang harus dikerjakan. Tapi demi melihat wajah kedua
anak yang mohon perlindungan itu, seketika timbullah
semangatnya pula.
"Lebih dahulu angkutlah aku keruangan yang hancur
itu!" sahut Yan-chiu. Perintah mana, segera dikerjakan
dengan segera. Tapi baru masuk beberapa tindak
diterowongan itu tadi, ternyata hampir seluruh lorong disitu
terhalang oleh puing atap dan lantai. Syukurlah kedua anak
itu mengerti ilmu silat, jadi walaupun dengan susah payah
achirnya berhasillah mereka menyusuri lorong terowongan
yang berliku2 itu dan kini tiba disebuah jalan lurus datar.
Keadaan tempat itu hancur tak keruan, kutungan kayu
bekas kaki meja dan kursi berserakan disana sini.
"Cici, ini ruangan pertempuran tadi!" kata kedua anak
itu. Yan-chiu mengawasi keseluruh ruang situ, tapi untuk
keheranannya tiada terdapat barang sesosok mayat pun
juga. Yang tampak, kecuali puing dan kutungan kayu, ada
lagi sebuah lubang besar pada lantai. Hati Yan-chiu seperti
disayat melihat pemandangan yang merawankan itu.
Dalam anggapannya, dinamit itu maha dahayatnya,
sehingga mayat2 orang2 yang berada diruangan pertempuran itu sama hancur sirna menjadi abu semua.
"Adakah kalian tahu akan jalan, singkat turun kegunung.
Kita harus lekas2 turun dan atur rencana membalas dendam
sedalam lautan ini!" tanya Yan-chiu pada lain saat setelah ia
teringat kemungkinan kedua benggol kaki tangan pemerintah Ceng itu melakukan pengejaran:
"Ya, ada. Baik kita ambil jalan itu saja!" sahut Kuan
Hong dan Wan Gwat. Mereka lalu memanggul Yan-chiu
terus keluar dari pintu belakang gereja itu.


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pagar tembok gereja Ang Hun Kiong itu masih utuh
lierdiri dengan kokohnya. Bentuk pemandangan gereja itu
memang indah sekali. Tapi ah......, hanya beberapa hari saja
gereja itu telah meminta korban puluhan jiwa kaum gagah
persilatan. Malah suhu dan suhengnya sudah binasa.
Memikir sampai disini kembali Yan-t yhiu berduka sekali.
Jalan singkat itu ternyata naik turun tak rata, hingga
dengan susah payah kedua to-thong itu memanggul Yanchiu. Tiba dikaki gunung mataharipun sudah terbenam.
Kedua anak gereja itu segera lepas pakaian imam dan
berganti dengan pakaian biasa.
Menjelang tengah malam, lagi2 mereka harus memutari
sebuah gunung, hingga saking lelahnya napas kedua anak
itu memburu keras. Rasanya untuk keluar dari gunung Koto-san dan mencari penginapan dikota, sukarlah. Yang
nyata saja samar2 dari kejauhan sana ada sebidang tanah
pekuburan yang luas.
"Ayuh, kita beristirahat dikuburan sana! Ah, kalau aku
dapat bergerak tentu tak sampai membuat kalian begini
lelahnya!" kata Yan-chiu.
"Ai, janganlah cici mengatakan begitu. Kalau cici tak
menolong kami, siang2 kami tentu sudah mati!" sahut
Kwan Hong dan Wan Gwat sambil mengusap keringatnya.
Tiba dipekuburan luas itu, tampak ada sebuah kuburan
besar yang dikelilingi dengan puhun jati tua yang batangnya
hampir sepemeluk lengan besarnya. Dimuka kuburan itu
ada dua buah orang2an batu dan dua kuda batu. Tulisan
pada batu nisan itu sudah tak jelas karena dihapus hujan
clan angin berpuluh tahun. Hanya menilik bentuknya,
kuburan itu tentu kepunyaan bangsa pembesar tinggi atau
orang hartawan. Lantai dimuka dan dibelakang kuburan itu
sudah sama rusak, penuh ditumbuhi rumput alang2 setinggi
orang. Suasana disitu cukup menyeramkan, lebih2 kalau
puhun jati ber-derak2 ditiup angin malam dan burung hantu
menyanyi lagu kematian.
Karena masih kanak2, walaupun mengerti ilmu silat
namun Kuan Hong dan Wan Gwat tak terlepas dart rasa
takut. Melihat itu Yan-chiu mendampratnya: "Huh, kalian
kan sudah belajar ilmu silat mengapa masih bernyali seperti
tikus begitu" Ketika dahulu aku mulai naik Lo-hu-san,
usiaku masih lebih kecil dari kalian sekarang ini. Ya,
marilah kita berstirahat dahulu disini. Ya, bagaimana kalian
mengetahui kalau aku berada didalam terowongan dibawah
tanah !tu?"'
"Ada seorang engkoh menyuruh kami mencarimu disitu.
Karena tak kenal dia, aku tak mengatakan apa2 padanya
dan hanya mencarinya sendiri. Begitu masuk kedalam
terowongan, kami membaui asap mesiu maka buru2 kami
menyelamatkanmu lebih dadulu!" sahut Kuan Hong yang
rupanya lebih cekat bicara dari Wan Gwat.
"Siapakah orang itu?"
"Alisnya tebal, orangnya baik, dia menyebutmu
sumoay!" Kalau tubuh Yan-chiu dapat bergerak, mungkin saat itu
ia tentu akan lompat me-nari2, "Itulah suko Tio Jiang!"
serunya kegirangan.
"Kami tak kenal padanya, harap cici jangan sesalkan
kami!" Melihat sikap ke-kanak2an yang wajar dari kedua anak
itu, Yan-chiu tak tega mendamprat dan hanya menanyakan
dimana mereka menjumpai orang muda itu. Kuan Hong
dan Wan Gwat memberitahukan, bahwa pemuda Itu
berada diruang samping sebelah ruangan pertempuran itu.
"Mengapa dia berada disitu, apa dia tak turut berkelahi?"
Yan-chiu menegas dengan keheranan.
"Dia dan seluruh rombongannya semua tak berkelahi,
digelanggang pertempuran situ hanya terdapat seorang gila
karena terkena racun piau, tengah mengamuk sendirian.
Engkoh itu dan orang2 sama menyingkir disana dan
kebenaran telah berpapasan dengan kami, lalu menyuruh
kami mencarimu!" menerangkan Wan Gwat.
"Siapakah yang terkena piau beracun itu dan bagaimana
kejadiannya?" tanya Yan-chiu.
"Kami sendiri tak begitu jelas. Hanya kami mengetahui
sucou memanggil orang she Can, karena ada seorang jago
lihay terkena senjata piau. Selebihnya karena kami perlu
menolongmu lebih dahulu, maka kami tak mendengar apa2
lagi. Hanya sepatah kata dari sucou yang termakan dalam
hati kami yang peringatannya tentang 'obat peledak', dan
inilah yang mendorong kami lekas2 mencarimu"
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 45 : DI CENGKERAMAN IBLIS
Yan-chiu meminta keterangan yang lebih jelas lagi, tapi
ternyata kedua anak itu tak mengetahui apa2 pula. Hanya
satu hal yang mereka tahu pasti, bahwa dalam ruangan
pertempuran itu sudah bersih dengan orang2. Yan-chiu
menghela napas panjang, ujarnya: "Sudahlah, kalau capai
kalian boleh tidur. Aku sendirti tak dapat tidur!"
"Aaauh......... kami tak tidur, hendak menjaga cici!"
kedua anak itu menguap lebih dahulu sebelum berkata.
"Tolol, mengapa tak tidur" Apakah kita tak dapat naik
keatas pohon?" seru Kuan Hong kemudian.
Kedua anak itu segera memanjat sebatang pohon siong
dan mempersiapkan tempat pembaringan pada salah satu
dahannya. Kemudian mereka menaikkan Yan-chiu. Tempat
itu ditutupinya dengan daun2, lalu mereka sendiri juga
berbaring. Oleh karena capai dan kantuk, mereka bertiga
terus hendak tidur. Tapi tiba2 terdengar suara seseorang
memaki: "Keparat, siang2 aku sudah tahu kalau orang she
Can itu bukan barang baik. Lihat gerak geriknya, 'ekor
ayam' (dinamit) itu tentu akan rusak ditangannya! Kalau
para saudara ini tidak dibekali kaki panjang oleh orang tua,
tentu siang2 akan ikut serta dengan kawanan anjing itu
menghadap Giam-ong!"
Nada suaranya berlogat utara, kasar dan memakai
bahasa daerah. "Lo Lou, jangan kau menggerutu panjang pendek begitu,
ya" Kukira dalam urusan itu tentu terselip sesuatu rahasia,
jadi tidak se-mata2 karena urusan itu saja!" sahut yang
seorang. Sikasar tadi tertawa dingin, serunya: "Kau adalah
gudang pikiran lautan akal, sedang aku adalah seorang telur
tolol. Segala macam akal ini itu aku tak dapat mengerti!"
Hening beberapa jurus, lalu kedengaran lagi suara orang
berkata: "Lo Lou, kau jangan memotong ucapan orang
dulu. Aku yang tanya kau yang menjawab, mau tidak?"
"Baik, tanyalah!"
"Lo Lou, sebelum menakluk pada pemerintah Ceng, kita
adalah persaudaraan sehidup semati. Kalau ada apa2, sisute
tentu akan membantumu, kau percaya tidak ?"
"Sudah tentu percaya!"
"Sekalipun dunia persilatan memberi julukan pada siaote
sebagai Siau-bin-hou (si Rase bermuka tertawa), tapi hanya
terhadap orang lain. Kau harus mempercayai kata2ku ini,
itulah yang terutama!"
Yan-chiu sepertinya sudah pernah kenal akan suara
sikasar yang dipanggil Lo Lou atau Lou situa itu. Kalau tak
salah dialah orang yang menghadang ketika ia bersama Tio
Jiang pergi jalan2 hendak menyelidiki keadaan dalam Ang
Hun Kiong tempo hari. Ah, sayang kini badannya belum
dapat bergerak, jadi tak dapatlah ia menengok orang itu.
Kalau benar dianya, orang itu tentulah adalah dua dari 18
jago pemerintah Ceng yang dikirim kegereja Ang Hun
Kiong untuk membasmi para orang gagah itu. Tapi
mengapa begini malam mereka berada ditempat situ"
Sebelum Yan-chiu dapat memecahkan pertanyaannya
itu, kedengaran si Siau-bin-hou berkata pula: "Lo Lou,
kedua orang Itu aneh bentuknya, manusia bukan iblispun
tidak. Tentang ilmu kepandaiannya, entahlah. Tapi yang
terang saja sedangnya kita berdua belum pernah bertemu
muka dengannya, dia sudah tak mempercayai kita. Nah,
sudah jelas kau sekarang?"
"Hem, jadi mereka berani berbuat begitu?" sikasar Lo
Lou menegas. "Huh, bukan saja mereka hendak mengangkangi pahala,
pun berniat hendak mengambil sendiri kim-jong-giok-toh !"
Siau-bin-hou menambahi minyak kedalam api. Dan benar
juga terdengarlah suara hantaman yang dahsyat dan
menyusul ada sebatang pohon tumbang bergemuruh.
"Cici, sikasar itu sungguh bertenaga besar. Sekali hantam
dia dapat merobohkan sebatang pohon sebesar mulut
piring!" bisik Kuan Hong. Tapi cepat2 Yan-chiu
melarangnya mengeluarkan suara.
Pernah Yan-chiu mendengar mulut
Hwat Siau mengatakan 'kim-jong-giok-toh' atau usus emas perut
kumala. Kini tanpa sengaja mendengar Siau-bin-hou mengucapkan kata2 itu juga, teranglah dia itu komplotan
yang tergabung dalam 18 jago pemerintah Ceng. Si Lo Lou
itu mungkin adalah yang bernama Swe-pay-lat-au Lou
Ting. Hantamannya tadi adalah ilmu warisan keturunan
keluarga Lou yang disebut toa-swe-pay-chiu. Sedang si
Siau-bin-hou itu tentulah si Kui-ce-to-toan (setan licin kaya
muslihat) Song Hu-liau.
GAMBAR 85 Diam2 Yan-chiu dan kedua imam kecil itu mendengarkan
pembicaraan kedua orang dibawah pohon itu.
"Kedua yau-kuay (siluman) itu bernyali besar sekali.
Terus terang saja, kali ini turun kedaerah selatan kalau tidak
diperingatkan oleh pemerintah, tiada orang yang tunduk
kepada kedua manusia itu! Hem....., ketika nama kita
berdua saudara ini menggetarkan daerah Kwan-gua, kita
tak mendengarkan dulu siapa mereka itu. Untuk
melaksanakan urusan ini, mereka masih hijau!"
"Ah, sudah tentu mereka belum cukup bijak!" si Siau-binhou tertawa menyeringai, "kalau tiada alasan kuat, diapun
tak berani mencari perkara pada kita. Sedari kita turun
gunung, entah lewat berapa lama baru terdengar ledakan
dahsyat itu " Dalam pada waktu itu, apa saja yang
dikerjakan oleh kedua orang itu" Mengapa setelah ledakan
meletus, mereka tak kelihatan turun gunung" Malah
sebaliknya Ang Hwat siimam tua itu tampak ber-lari2an
turun dan mengamuk siapa yang dijumpainya?"
Mendengar itu Yan-chiu girang sekali. Kalau Ang Hwat
cinjin belum binasa, suhu dan rombongannya terang juga
tidak. "Ya...., ya....., benar!" kedengaran Lou Ting buka suara
lagi. "Mengapa siimam Ang Hwat mengamuk seperti kerbau
gila" Orang kita sudah terluka 7 atau 8 orang, tapi tetap
kedua manusia iblis itu belum muncul, melainkan gunakan
tanda rahasia menyuruh kita orang melarikan diri saja"
Bukantah ini menandakan bahwa mereka hendak meminjam tangan Ang Hwat untuk membasmi kita orang
ini, lalu mengangkangi sendirl semua pahala itu?" tanya
Siau-bin-hou panjang lebar. Tapi baru keduanya sedang
bertanya jawab itu, tiba2 terdengar seseorang berseru:
"Saudara Lou dan Song, kalian berada dimana?"
"Huh, sijahanam itu datang!" damprat Lou Ting dengan
murkanya. Tapi Siau-bin-hou lekas2 mencegahnya,
kemudian berseru keras2: "Kami disini!"
Dari derap kaki yang mendatangi, teranglah bukan
melainkan dua orang saja. Sedang yang bertanya tadi tak
salah lagi adalah Hwat Siau.
"Selain kami sepasang suami isteri, masih ada 8 saudara
lain yang berada disini Ang Hwat cinjin belum binasa,
entah bagaimana yang lain2nya. Kalau mereka sampai
terhindar dari maut, wah kita tentu turun harga. Bila
kembali kekota raja, kemungkinan besar kekuasaan yang
diberikan pada kita itu tentu akan dicabut kembali.
Kerajaan Lam Beng meskipun tergolong kecil, tapi mereka
menguasai kedua wilayah Kwiciu (Kwiesy, Kwitang).
Bagaimana kedudukan mereka, kita belum jelas. Sekali
keluar kita sudah menderita kerugian besar begini, sungguh
sukar dipertanggung jawabkan. Ngo-tok-lian-cu-piau Canheng sudah dibunuh Ang Hwat cinjin. Sebelumnya kami
sepasang suami isteri sudah memesannya supaya ber-hati2,
tapi ternyata dia gegabah melukai orang, jadi sudah
selayaknya menerima bagian macam itu!" kata Hwat Siau
dengan nada macam seorang pembesar memberi koreksi.
Ketika ke 18 jago lihay bersama sepasang suami isteri
Hwat Siau - Swat Moay hendak menuju kedaerah selatan,
mereka telah dipanggil oleh menteri besar raja muda Sipceng-ong Tolkun. Pangeran bangsa Boan yang memegang
kekuasaan besar dalam pemerintahan Ceng itu, sejak
mengetahui bahaya yang ditimbulkan oleh pembalikan diri
dari Li Seng-tong yang. menyebabkan kembalinya
kedaulatan Lam Beng diwilayah Kwiciu, dia buru2 kembali
kekota raja dan memanggil sepasang suami isteri Hwat Siau
Swat Moay untuk diserahi memimpin ke 18 jagoan.
Tugasnya, mengadakan gerakan subversif di Kwiciu dan
kedua kalinya untuk mencari harta karum 'kim-jong-gioktoh' (usus emas perut permata atau dalam arti kiasannya
sebuah harta karun besar).
Dihadapan Tolkun, ke 18 jagoan itu tak berani bercuit.
Tapi dalam perjalanan demi tampak tokoh Hwat Siau dan
Swat Moay Itu tiada memiliki sesuatu perbawa yang
mengesankan bahkan bentuk wajah tak sedap dipandang,


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sama kurang puas. Ke 18 jagoan itu, adalah orang2
liar, dari kalangan hek-to (aliran hitam), jadi gerak geriknya
kasar. Kedua suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay itu, sejak
mendapat warisan pelajaran ilmu sakti yang-hwat-kang (api
positip) dan im-cui-kang (air negatip) dari dua orang
kuayhiap, (pendekar aneh) kerajaan Song yang bernama
Hwat-bu-hay dan Cui-bu-hoa, mereka berdua lalu
memendam diri digunung Tiang-pek-san untuk meyakinlsan ilmu Itu. Walaupun dalam tahun2 terachir Itu
nama kedua suami isteri itu makin menjulang, tapi
bagaimana kepandaian mereka yang sesungguhnya, tiada
seorangpun yang pernah mengetahuinya. Apalagi dasarnya
mereka tak tahu akan tata kesopanan, dunia persilatan,
maka dengan memiliki ilmu kepandaian yang sakti itu,
sudah tentu mereka tak memandang mata pada ke 18
jagoan itu. Dan inilah yang manimbulkan reaksi ketidak
puasan dari ke 18 orang itu.
Dalam peristiwa menghancurkan gereja Ang Hun Kiong
Itu, kalau rencana tersebut berhasil, sudah terang tak ada
urusan apa2. Tapi keadaan berjalan tak sebagaimana yang
direncanakan. Begitu ledakan dinamit mengguntur, ke 18
jagoan itu menunggu kabar baik dari Hwat Siau dan Swat
Moay dibawah gunung. Tapi ternyata yang muncul adalah
Ang Hwat cinjin. Ke 18 jagoan itu telah dihamuk porak
poranda oleh ketua dari gereja Ang Hun Kiong itu, hingga
hampir separoh jumlahnya yang terluka dan binasa. Dan
ketika Hwat Siau - Swat Moay tiba, mereka tak ulur tangan
memberi bantuan, sebaliknya menyuruh mundur saja.
Suatu hal yang menimbulkan kemarahan pada jagoan2 itu.
Lou Ting yang paling berangasan adatnya, segera serentak
berbangkit dan tertawa mengejek.
Melihat bakal ada 'pertunjukan' hebat, Yan-chiu segera
suruh Kwan Hong dan Wan Gwat mengangkatkan
kepalanya agar ia dapat mengintip dari sela2 daun. Pada
saat itu tampak Lou Ting melolos sebatang tiok-ciat-kongpian (ruyung baja yang ber-buku2). Sedang Hwat Siau dan
Swat Moay masih tetap duduk bersila saling membelakangi
punggung. "Lou-heng mau apa itu?" tanya Hwat siau.
"Manusia Yang tak punya muka, siapa, yang sudi kau
panggil heng (engkoh) atau te (adik)" Segala apa hanya
mendengarkan ocehan setan bantal (perempuan) saja,
sungguh celaka!" damprat Lou Ting.
"Orang she Lou, bersihkanlah mulutmu itu!" seru Hwat
Siau dengan sindiran tajam.
Lou Ting maju selangkah seraya menantang: "Kalau
tidak bersih, kau mau apa" Biar kulabrak kakek moyangmu
18 turunan!"
Ucapan itu ditutup dengan hantaman pian kearah kepala
Hwat Siau. Tegas dilihat Yan-chiu, walaupun Lou Ting itu
seorang kasar berangasan, tapi ilmunya silat tidak lemah.
Hantamannya itu keras dan cepat sekali. Senjatanya itu
terbuat dari bahan baja murni dan hantamannya itu
sekaligus diserangkan pada kedua suami isteri itu.
Hwat Siau dan isterinya rupanya sudah merasa kalau ke
18 jagoan anak buahnya itu tak menyukai mereka. Tapi
kedua suami isteri itu cukup mengetahui bahwa ke 18
jagoan itu hanya pandai dalam ilmu silat saja, tapi buta
ilmu surat jadi tak punya siasat apa2. Beda dengan Hwat
Siau dan Swat Moay, kedua macam ilmu silat dan sastera,
semua dikuasal. Hal ini menambah besar rasa meremehkan
mereka kepada jagoan2 itu. Sip-ceng-ong Tolkun sangat
mengindahkan sekali kepada suami isteri itu, maka selain
ditugaskan memegang pimpinan atas diri ke 18 jagoan itu,
juga diserahi tugas menyiarkan berita tentang adanya harta
karun kim-jong-giok-toh itu.
Sepasang suami isteri itu cukup menyadari bahwa ke 18
jagoan itu sebenarnya tak ber-sungguh2 setia menghamba
pada pemerintah Ceng. Begitu harta karun itu dapat
diketemukan, tipis kemungkinan mereka mau berhamba
lagi. Oleh karena itu, kedua suami isteri Hwat Siau - Swat
Moay yudah ber-siap2 membuat rencana. Begitu dilihatnya
Lou Ting berdiri dengan beringas, diam2 kedua suami isteri
itu sudah kerahkan lwekangnya. Kala ruyung Lou Ting
melayang kearah kepala Hwat Siau - Swat Moay, diam2
Siau-bin-hou bersorak dalam hati, namun mulutnya tetap
ber-pura2 mencegah: "Apa2an itu Lo Lou" Ada apa2 kan
dapat dirunding?"
Demi melihat kedahsyatan ruyung Lou Ting yang
sedemikian mengejutkan, tahulah kedua suami isteri itu
bahwa permainan pian itu adalah warisan ilmu dari
keluarga Lou di Soasay. Buru2 keduanya menekan tanah
untuk beralih kesamping.
Lou Ting sudah terlanjur mengumbar amarah. Sekalipun
hantamannya pian Itu tak menemui sasarannya, namun dia
tak kuasa menahan gerak serangannya tadi. Pian itu terdiri
dari 9 buku (ruas), setiap buku 9 kati beratnya jadi
semuanya ada 81 kati beratnya. Bluk......., begitu ruyung
menghantam tanah, letikan api dari batu yang hancur sama
bertebaran keempat penjuru. Ketujuh orang kawannya,
begitu melihat Lou Ting kalap, ada beberapa kawannya
yang bersikap bendak ikut tampil membantu.
"Bagus, anjing bergigitan dengan anjing, biar mampus
semua!" Yan-chiu bersorak dalam hati. Tapi ketika dia
mengawasi kearah sana, ternyata pertempuran sudah mulai.
Kiranya sebelum para jagoan itu bergerak, sikasar Lou
Ting sudah mengamuk. Tadi serangan pertamanya dapat
dihindari dengan mudah oleh kedua suami iateri itu sambil
masih tetap duduk bersila. Dan kini karena tahu akan
kedahsyatan ilmu pian si Lou Ting yang tak boleh dibuat
main2 itu, sepasang suami Isteri itu segera memutar tubuh
masing. Yang satu dari sebelah kirl, yang lain dari sebelah
kanan, sama berbareng mengulurkan tangan untuk
menerkam tumit Lou Ting. Begitu sebat gerakan Hwat Siau
dan Swat Moay itu, hingga Lou Ting tak keburu berkelit
lagi. Yang dirasakan, seketika itu separoh tubuhnya terasa
dingin tapi yang separoh terasa panas. Dinginnya seperti es,
panasnya macam air mendidih. Benar lwekang Lou Ting
kurang sempurna, tapi gway-kang (tenaga luar) dimilikinya
dengan sempurna. Sekalipun demikian, tak urung dia harus
menjerit keras saking kesakitan. Jeritannya Itu makin lama
makin lemah sampai pada achirnya tiba2 dia berteriak:
"Siau-bin-hou, kedua iblis ini benar2 mempunyai ilmu
siluman!" Sedikitpun sikasar itu tak mengetahui bahwa Hwat Siau
dan Swat Moay telah melancarkan serangan lwekang
istimewa. Maka dalam sekejab saja, putuslah sudah ke 13
urat iatimewa dalam tubuhnya. Habis mengucap, kepalanya
segera terkulai kesamping dan ketika Hwat Siau Swat Moay
lepaskan tangannya, sikasar Lou Ting sudah tak bernyawa
lagi GAMBAR 86 Dengan gusar Lou Ting ayun ruyungnya keatas kepala Hwat
Siau, tapi sedikit mengegos Hwat Siau dapat menghindarkan
serangan itu. Kejadian itu telah menyirapkan darah ketujuh kawan2
jagoan lainnya. Bukan setahun dua, tapi sudah hampir lebih
dari 20 tahun lamanya nama Lou Ting menjagoi daerah
perairan sungai Hongho. Ilmu swe-pay-chiu warisan
keluarga Lou sangat ,dimalui orang. Diantara ke 8 jagoan
yang masih hidup Itu, Lou Ting tergolong salah seorang
yang terlihay, tapi ah, dalam hanya sejurus saja dia sudah
binasa ditangan suami isteri Hwat Siau Swat Moay.
Terpesona akan kejadian yang tak di-duga2 itu, kawanan
jagoan itu sama ter-longong2. Lewat beberapa jurus
kemudian baru terdengar siiblis Wanita Swat Moay tertawa
meringkik, lalu berkata dengan pe-lahan2: "Tujuan kita
datang kedaerah selatan ini, yalah untuk melaksanakan
perintah pemerintah Ceng. Barang siapa yang berhianat,
Lou Ting itu adalah contohnya. Sip-ceng-ong pernah
mengatakan, bila kim-jong-giok-toh sudah diketemukan,
kita semua akan turut merasakan kenikmatan. Walaupun
begitu gempar orang mengagungkan harta karun kim-jonggiok-toh itu, tapi kami berdua suami iateri tak kepingin atau
mempunyai maksud untuk menemaninya sendiri!"
Para jagoan itu hanya mengiakan saja. Sedang sirase
Song Hu-liu segera mengunjukkan kepandaiannya: "Huh,
itu sih salah Lo Lou sendiri yang mau cari sakit. Dia tak
menghiraukan nasehat kawan2. Harap, jiwi memaafkan!"
Mendengar itu Hwat Siau dan Swat Moay tampak lega,
serunya: "Adakah orang2 itu binasa semua, masih belum
diketahui jelas. Konon kabarnya mereka hendak membangun Thian Te Hwe lagi. Ini merupakan suatu hal
yang berbahaya, karena mereka sudah cukup mempunyai
pengalanqan dalam peperangan tempo hari. Rasanya
merekapun pasti sudah mendengar tentang kim-jong-gioktoh itu, jadi untuk membangun tentara yang kuat, mereka
tentu lebih dahulu mengalihkan perhatian untuk mencari
harta karun itu. Sebaliknya apabila tentara Ceng berhasil
masuk kedaerah Kwiciu lagi tentu akan mengalami
kesukaran besar dalam keuangan. Maka kalau sampai tak
dapat menemukan harta karun itu, pasti akan mengalami
kegagalan pula.
"Kita kini hanya berjumlah 9 orang. Tugas kita sekarang
yalah berpencar untuk menyelidiki harta karun itu sampal
dapat. Sip-ceng-ong pernah berkata, harta karun itu tak
ternilai jumlahnya, berupa zamrud pusaka permata, upeti
Yung dibawa oleh menteri Thio Wan pada jaman dahulu
tentu saja diantara kalian yang berhasil menemukannya,
kalian bertujuh akan mendapat seperseribu bagian dari
harta karun itu. Itu saja akan dapat kalian nikmati sampal
tujuh turunan, mengerti?"
Ketujuh jagoan itu kembali mengiakan. Yan-chiu
mengira kalau kim-jong-giok-toh itu tentu sebuah harta
pusaka, tapi mengapa sedangkan pemerintah Ceng
mengetahui tetapi ia sendiri tak pernah mendengarnya"
Juga Ceng Bo Siangjin tak pernah menceritakan hal itu.
Teringat ia akan kata2 Ki Cee-tiong tempo hari, bahwa
kesulitan utama untuk membangun Thian Te Hui yalah
soal keuangan. Kerajaan Lam Beng sudah sedemikian ciut
wilayahnya, rakyatnya miskin jadi sukar untuk diorganisir
suatu pertahanan yang kuat. Kalau benar ada harta karun
itu, ah bereslah persoalan itu. la, hanya berharap,
mudah2an suhu suko dan sekalian orang gagah pada
selamat, agar ia dapat menyampaikan berita yang
menggirangkan itu.
Pada lain saat ke 7 jagoan itu sudah sama minta diri.
Yang disitu hanya Hwat Siau dan Swat Moay. Kedengaran
Hwat Siau memangil "niocu" (isteriku), tapi, tiba2 dia
segera membentak kerasa: "Siapa Itu yang belum mau
angkat kaki" Kepingin meniru Lou Ting, ya?"
Kiranya oleh karena lwekang Yan-chiu lebih dalam, jadi
ia dapat menguasai pernapasannya. Tapi Kuan Hong dan
Wan Gwat tidak demikian. Napasnya berat, hingga dengan
cepatnya dapat ditangkap pendengaran Hwat Siau dan Swat
Moay yang tajam. Tadi karena banyak orang, masih belum
kentara. Tapi begitu keadaan sepi, segera dapat diketahul.
Hwat Siau mengira kalau diantara ke 7 jagoan itu ada yang
masih hendak main gila bersembunyi diatas pohon, sudah
tentu dia membentaknya dengan marah.
Tangan Kuan Hong dan Wan Gwat gemetar dan
terlepaslah tubuh Yan-chiu jatuh kebawah, bluk........
Disana Hwat Siaupun tak kurang herannya dan diapun
segera menghampiri lalu mencengkeram punggung sinona.
Jangan lagi kini Yan-chiu sudah tak dapat bergerak,
andaikata ia masih segar bugar, tetap tak nanti ia dapat
meronta dari cengkeraman besi dari manusia iblis itu. Jari
tengahnya telah menekan jalan darah leng-thay-hiat, cukup
dengan gunakan lwekang sedikit saja, habislah sudah
riwayat nona genit dart Lo-hu-san itu. Begitu cepat dan
cepat gerakan tokoh aneh itu. Suatu ilmu kepandaian yang
jarang dimiliki oleh kaum persilatan umumnya.
"Ah-thau, jadi kau masih hidup?" seru Hwat Siau dengan
keheranan demi dilihatnya siapakah nona itu. Yan-chiu
tahu bahwa kali ini ia tak nanti dapat lolos dari
cengkeraman maut. Namun sebelum ajal, biarlah ia puaskan dulu hatinya. "Dan kau sendiri mengapa tidak mampus
"!" serunya balas memperolok.
Saking gusarnya Hwat Siau terus hendak turunkan
tangan ganas, tapi buru2 dicegah isterinya: "Koajin, tahan
dulu. Jalan darah goh-ai-hiat budak perempuan ini masih
tertutuk, jadi terang diatas pohon tentu masih ada lain
orang yang menjatuhkannya!"
"Siapa yang diatas pohon ?" seru Hwat Siau sembari
mendongak. Kuan Hong dan Wan Gwat terbeliak kaget
dan berjatuhan kebawah. Tapi rupanya Hwat Sisu masih
belum puas melihat yang turun itu hanya dua orang anak.
Dia kira tentu masih ada orang lagi. "Kalau tak mau turun,
aku tentu gunakan kekerasan!" serunya dengan murka.
"Huh, sudah tiada orang lagi, jangan ketakutan seperti
melihat setan!" Yan-chiu memperolok dengan sebuah
tertawa dingin. Suatu hal yang sudah tentu tak dapat
diterima Hwat Siau dan wut....., wut....., daun pohon siong
yang runcing2 macam pohon cemara sama rontok
berhamburan ketanah. Wut....., wut...., wut...., wut....,
kembali Hwat Siau susuli lagi dengan 4 buah hantaman dan
dahan serta ranting pohon itu gugur semua, hingga pohon
itu berobah menjadi gundul. Kini baru Hwat Siau percaya
akan keterangan Yan-chiu.
"Hem, kau kerja apa disitu tadi ?" kini Hwat Siau alihkan


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhatiannya kepada Kuan Hong dan Wan Gwat,
kemudian bertanya kepada Yan-chiu. Tapi sebaliknya kini
Yan-chiu malah menjadi tenang.
"Bukalah dahulu jalan darahku ini!" kata sigadis.
"Cara bagaimana kau dapat terhindar dari ledakan
dinamit itu?" tanya Swat Moay.
"Ya......!, bukalah dahulu jalan darahku ini, atau biar
matipun aku tak mau mengatakan!" sahut Yan-chiu dengan
tegusnya. Oleh karena ingin lekas2 mengetahui kejadian
yang aneh itu, maka kedua suami isteri itu berbareng sama
Iekatkan jarinya kebahu Yan-chiu. Yan-chiu rasakan sakit
sekali, tapi sekarang ia dapat bergerak. Tapi oleh karena
lama menjadi kaku, maka agak lama baru ia dapat pulih
lagi. "Nah, katakanlah sekarang!" perintah Swat Moay.
Mata Yan-chiu tertumbuk akan kedua anak yang saling
berdampingan merapat dengan wajah ketakutan. Diam2
timbullaih rasa kasihannya, biarlah ia mati asal kedua anak
kecil itu hidup. "Luluskan dahulu sebuah permintaanku dan
nanti segera kuterangkan se-jelas2-nya!" katanya.
"Soal apa"!" bentak Hwat Siau dengan gusar.
"Lepaskan kedua anak ini!"
"Ya..!, pergi...., hayo pergi dari sini!" Hwat Siau
mengenyahkan Kuan Hong dan Wan Gwat. Bermula kedua
anak itu tak mau, tapi segera Yan-chiu mendesaknya seraya
berbisik: "Tunggulah aku ditempat yang kukatakan itu.
Kalau aku tak mati, aku tentu akan mencarimu disana!"
Dengan mengusap air matanya, kedua anak itu ayunkan
langkahnya yang berat. Berulang kali mereka berpaling
kebelakang untuk melihat kearah Yan-chiu. Setelah mereka
lenyap dari pemandangan, barulah Yan-chiu mulai
membuka suara: "Kalian tanyakan aku mengapa tak binasa
karena ledakan itu bukan" Nah, dengarlah: "tiada
seorangpun yang binasa karena ledakan itu !!!"
Sebenarnya ia sendiri tak mengetahul bagaimana
kejadiannya, tapi ia tahu kalau kedua suami isteri itu senang
mendengar mereka binasa semua. Maka untuk membikin
panas hati orang, sengaja dia tekankan keterangannya itu
dengan tandas. "Mengapa?" tanya Hwat Siau dengan keheranan.
"Aku yang memberitahukan mereka!" sahut Yan-chiu.
Swat Moay terkekeh. "Kau benar2 seorang budak yang
tangkas bicara. Kalau kau bisa bergerak, mengapa tak
menginjak padam sumbu itu saja"!"
Yan-chiu kalah alasan (logika), tapi ia pantang mundur,
sanggahnya: "Itu supaya kalian bergirang hati dahulu!"
Swat Moay mengkal tapi juga seperti di-kili2 hatinya.
"Habis siapa yang membuka jalan darahmu?"
Tanpa dipikir panjang lagi, ia segera menyahut; "Aku
sendiri yang membukanya", tiba2 ia tersadar akan
kekliruannya. Bukantah tadi ia jatuh dari pohon dalam
keadaan masih tertutuk" Maka buru2 ia susuli kata2: "Tapi
kemudian kututuk lagi!"
Hwat Siau tak mengerti kalau Yan-chiu memang sengaja
omong merambang (ngawur) oleh karena mengerti toh
bakal mati. Dia kira Yan-chiu itu seorang nona yang gila
dan suka ugal2an. Tapi Swat Moay yang ternyata lebih
cermat, dapat mengetahui maksud tujuan Yan-chiu,
katanya: "Ahthau, bagaimana kepandaian kami berdua,
rasanya kau sudah menyaksikan sendiri. Kalau kau tak
omong sejujurnya biar kau rasakan penderitaan, mati tidak
hidup tidak!"
Memang Yan-chiu pernah mendengar orang berkata
'lebih menderita daripada mati', tapi bagaimana rasanya
kesusahan derita itu, belum pernah ia mengalami, maka
dengan sekenanya saja ia menyahut: "Lekas bunuh saja aku
ini! Ah, entah bagaimana nasib suhu dan suko. Kalau
mereka sudah binasa, perlu apa aku hidup sendirian?"
Mendengar itu, barulah Swat Moay mengetahui bahwa
sebenarnya nona itu tak mengetahui tentang kejadian itu.
"Koanjin, budak ini tangkas sekali, ia faham daerah Kwiciu,
rasanya sangat leluasa untuk membawanya sebagai
pengunjuk jalan!"
"Niocu, kalau ia minggat, kan malah runyam!" sahut
Hwat Siau. Swat Moay meringkik, serunya: "Tutuk saja jalan
darahnya chit-jit-hiat, masa ia bisa lari?"
Hwat Siau juga terkekeh, sembari mengenakan jubah
merah. Hendak Yan-chiu menanyakan apa yang disebut
chit-jit-hiat. (jalan darah 7 hari) itu, tapi secepat kilat tangan
Swat Moay sudah mencengkeram dadanya hingga ia tak
sempat menghindar.
Seketika itu ketiaknya terasa kesemutan, tapi tak lama terus hilang.
"Ah-thau, ingat didalam perjalanan kita tentu bertemu
dengan macam2 keadaan, kalau kau tak dengar kata,
silahkan kau pergi sesuka hatimu. Chit-jit-hiat-mu sudah
kena kututuk, jika bukan aku yang membukanya, dalam 7
hari kemudian, sekujur tubuhmu pasti tegang regang, urat
nadi dan jalan darahmu putus semua, tapi kau tak sampai
binasa. Cukup ditempeli secarik kertas saja, tubuhnya serasa
lebih sakit dari diiris pisau. Kalau kau sanggup menerima
penderitaan itu, silahkan kau lari. Kalau tidak, kau harus
ikut pada kami barang kemanapun jua!" kata Swat Moay
dengan tawar. Tercekat hati Yan-chiu mendengar siksaan yang ngeri
itu. Ah...., inilah mungkin yang dinamakan "lebih sakit
daripada mati". Tapi masakan aku tak dapat mencari orang
yang sanggup menolong diriku itu" Yan-chiu berpikir keras
untuk menggali lubuk peringatannya.
"Ah-thau, dengarkanlah! Chit-jit-hiat itu tiada terdapat
dalam kitab pelajaran ilmu tutuk yang manapun juga.
Diseluruh kolong dunia ini, hanya kami berdua yang dapat
menutuk dan membukanya. Kalau kau pikir yang tidak2,
itu berarti mencari kematian sendlri.!" kata Swat Moay
yang rupanya tahu apa yang dipikirkan Yan-chiu itu.
Terjadi perbantahan dalam pikiran Yan-chiu sendiri.
KaIau ia merat paling banyak ia bermaksud hendak
menemul suhu dan sukonya untuk mengucapkan selamat
tinggal. Dan bukantah sampai saat itu sukonya Itu tetap
belum mengetahui isi hatinya, jadi suatu pengorbanan yang
sia2 saja namanya. Ah....., lebih baik ia mengikuti saja
barang kemana perginya kedua suami isteri itu, karena
bukantah mereka juga bermaksud akan menyelidiki tempat
harta karun itu"
Setelah menetapkan rencananya, lebih dahulu ia tertawa
Pendekar Setia 8 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 10

Cari Blog Ini