Ceritasilat Novel Online

Naga Dari Selatan 16

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 16


keras, baru kemudian mengejek: "Siapa yang bermaksud
akan lari" Bukantah hal itu berarti aku jeri padamu?"
Hwait Siau dan Swat Moay kalah bicara. Tapi oleh
karena perlu memakai tenaganya, apalagi yakin nona itu
tentutuk dapat melarikan diri, maka mereka lalu ajak Yanchiu berjalan. "Kemana?" tanya Yan-chiu. Kedua suami isteri itupun
tertegun. Mereka sendiripun tak tahu hendak ayunkan
langkahnya kemana. Harta karun kim-jong-giok-toh itu
hanya didengarnya dari mulut Ngo-tok-lian-cu-piau Can
Bik-san dan dari kabar yang tersiar dikalangan kaum
persilatan hekto daerah Kwitang. Jadi mereka berdua
sendiripun tak tahu jelas.
Kiranya ketika dahulu timbul kekacauan, maka Thio
Hian Tiong segera mamancing diair keruh. Pemimpin ini
segera kerahkan anak buahnya untuk mengganas dan
merampok. Dia sadar, bahwa seorang tokoh macam dia itu
andaikata sampai tergencet, rahayat pasti takkan mengampuninya. Maka siang2 dia sudah mempersiapkan
rencana. Diangkutinya semua barang2 berharga hasil
rampokannya selama bertahun2 itu ke Kwitang. Harta
karun itu disembunyikan secara rahasia sekali. Kalau
gerakannya itu sampai gagal, dia mundur ke Kwitang dan
dari situ dengan mengangkut seluruh harta kekayaannya,
hendak dia berlayar keluar negeri.
Walaupun betapa cermatnya Thio Hian Tiong menyembunyikan harta karun itu, namun tak urung bocor
juga hingga menimbulkan desas-desus tentang adanya kimjong-giok-toh itu dikalangan persilatan.
Pemerintah Ceng belum berapa lama menduduki
Tiongkok, jadi segala tata negara belum dapat berjalan
dengan lancar. Oleh karena achir tahun pemerintah Beng
itu terbit bencana alam dan paceklik, maka negara
menghadapi kesulitan besar dalam hal keuangan. Rakyat
sudah sedemikian miskinnya, jadi sukar untuk diperas
dengan pajak yang lebih berat lagi. Maka bertindaklah Sip
ceng-ong Tolkun, mengutus Hwat Siau dan Swat Moay
beserta ke 18 jagoan untuk menyeiidiki harta karun itu.
Memang, kalau benar desas-desus itu sungguh ada, siapa
saja yang menemukan baik pemerintah Ceng, atau Lam
Beng maupun Thian Te Hui, pasti akan merupakan
sumbangan yang tak kecil artinya. Maka tanpa menunggu
bagaimana hasil ledakan dinamit digereja Ang Hun Kiong
itu, Hwat Siau dan Swat Moay segera ber-gegas2 mulai
melakukan penyelidikan tempat harta itu.
"Budak perempuan, jangan usil. Kau tinggal tunggu
perintah saja, sekalipun mendaki gunung golok, kau harus
mengikuti. Masuk kedalam laut, kaupun harus ikut masuk.
Sudah, sejak ini kau tak boleh lancang bertanya lagi!"
Hwat'Siau membentaknya.
Tiba2 terdengar suara orang bersenanjung menghampiri
datang. Dari nada senanjungnya itu, terang ia itu seorang
perempuan. (Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 46 : DUKA MERANA
Tersirap darah Yan-chiu mendengar nada itu. Mengapa
orang itu bisa datang kemari " Kalau ia, tak kena apa2,
terang suhu dan sukonya tentu juga selamat. Hati Yan-chiu
serasa terang gembira. Benar juga ketika dekat, orang yang
bersenandung (nyanyi2 kecil) itu ternyata seorang
perempuan muda. Walaupun mengunjuk rasa kedukaan
sehingga pucat lesi wajahnya, namun tak mengurangkan
kecantikannya yang luar biasa itu.
Nada senanjung itu, sukar ditebak, entah melukiskan
kegirangan atau kesedihan. Begitu melihat ketiga orang
tersebut (Hwat Siau, Swat Moay, Yan-chiu) ia hanya
mengangkat kepala sambil mengerlingkan ekor mata,
sebentar, lalu bersenandung pula:
"Daun kuning tiada angin rontok sendiri, awan dimusim
rontok tiada hujan tapi mendung terus. Kalau dunia ini memang
ada percintaan sampai kaki nini, suka benci kasih hanya tinggal
kenangan, kemanakah hendak kucarinya!"
Hati Yan-chiu serasa tertikam. Ia memangnya seorang
nona yang berhati welas asih. Begitu dihidungnya
berkembang kempis, air matanya mengalir deras dan
mulutnya segera berseru dengan suara terharu: "Lian suci!".
Kiranya wanita muda itu bukan lain adalah Say-honghong Bek Lian. Sekalipun tak menyetujui akan keperibadian sucinya itu, namun dalam keadaan begitu, tak
tega ia untuk tak menegurnya. Yan-chiu tak mengetahui
bahwa sucinya itu telah dihianati cintanya oleh The Go.
Tapi yang nyata saja, sucinya itu kini begitu kurus kering
ibarat tulang terbungkus kulit. Sengaja ia, berseru keras2,
namun agaknya Bek Lian se-olah2 tak menghiraukan.
"Suka duka benci kasih hanya tinggal kenangan,
kemanakah hendak kucarinya" Suka duka benci kasih
hanya tinggal kenangan, kemanakah hendak kucarinya?"
demikian mulutnya berulang kali bersenanjung sembari
sang kaki melangkah kemuka.
Mendengar, Yan-chiu memanggil "suci" kepada gadis
itu, Hwat Siau dan Swat Maoy timbul kecurigaannya. Ya,
tak salah lagi kiranya, gadis itu adalah anak perempuan dari
Kang Siang Yan yang dijumpainya didalam gereja Ang
Hun Kiong kemaren dulu. Mengapa ia sekarang pura2
menjadi orang gila " Adakah hendak menarik perhatian
Kang Siang Yan supaya datang kesitu" Ah, rasanya nona
itu (Bek. Lian) tentu mengetahui apa yang terjadi dalam
gereja Ang Hun Kiong ketika dinamit meledak. Setelah
saling memberi isyarat mata, kedua suami isteri itu segera
lompat majau menghadang dimuka Bek Lian, serunya:
"Hai, berhenti dahulu !"
Bek Lian tertegun, lalu menghindar kesamping tanpa
menghiraukan Swat Moay, yang berdiri tepat dihadapannya. Swat Moay ulurkan tangannya untuk
menepuk pelahan2 dan itu saja sudah cukup untuk
membuat Bek Lian menggigil kedinginan.
"Aduh, dinginnya! Engkoh Go, nyalakan api untuk
memanasi pakaian. Nanti kita tinjau lagi tempat apakah
disini ini!" Bek Lian mengoceh sendiri.
Swat Moay makin heran. Pada hal saat itu Bek Lian
terkenang akan kejadian kala ia, bersama The Go
terombang-ambing ditengah lautan, kemudian terdampar
dipulau kosong. Disitu The Go segera nyalakan api dan
malam itu adalah untuk pertama kali ia serahkan diri pada
The Go. Sudah tentu kenangan itu tergurat dalam2 pada
lubuk ingatannya.
"Hai, kau pura2 gila ya?" kembali Swat Moay
membentaknya. Karena kerasnya bentakan itu, Bek Lian
terkesiap sampai beberapa saat. Pada lain saat tiba2 ia
menangis tersedu sedan.
"Ma, anakmu ini sungguh bernasib malang! Ayah
hendak membunuh aku!" serunya meratap tangis.
Hwat Siau menghampiri datang. Setelah memperhatikan
keadaan nona itu sesaat, dia berkata kepada isterinya:
"Niocu, nona ini gila karena patah asmara, sudahlah jangan
mempedulikannya!"
Yan-chiu mencekal lengan Bek Lian yang beberapa kall
di-guncang2kan seraya bertanya: "Lian suci, dimana suhu
dan Jiang suko " Ya, dimana sekarang mereka itu ?"
Namun Bek Lian se-olah2 tak mendengarnya, hanya
terus menangis saja. Akhirnya setelah sekian lama
menangis, se-konyong2 Bek Lian tertawa: "Ah, sudah tentu
aku ini menjadi milikmu sampai diakhir jaman!"
Yan-chiu kewalahan benar2. Tiba2 terdengarlah suatu
suara orang memanggil2. Walaupun agak lemah karena
jaraknya yang jauh, namun apa yang diteriakkannya itu
jelaslah sudah: "Lian-ji, kau berada dimana?"
Suara itu makin mendekati dan berobahlah wajah Swat
Moay seketika. "Koanjin, ayuh lekas pergi, itulah Kang Siang Yan!"
serunya kepada sang suami.
Tapi rupanya Hwat Siau tak memandang mata pada
Kang Siang Yan, sahutnya: "Takut apa sih?" .
"Bukannya takut, tapi pada saat ini lebih baik kita,
jangan cari perkara dengan orang itu dulu!" menerangkan
Swat Moay. Dan dalam beberapa detik pembicaraan itu
saja, suara Kang Siang Yan sudah makin mendekat. Buru2
Swat Moay tarik Yan-chiu untuk diajak sembunyi ditempat
yang gelap. Yang didengar hanya ucapan Kang Siang Yan
ketika menjumpai Bek Lian yakni "Ah Lian", karena pada
waktu itu Yan-chiu dapatkan dirinya sudah diseret jauh dari
tempat Bek Lian tadi.
Dalam cengkeraman sepasang suami isteri iblis itu, Yanchiu tak dapat lobs lagi. Setiap 6 hari, urat nadi Yan-chiu
yang tertutuk itu dibuka sekali, tapi hanya untuk beberapa
waktu saja, kemudian ditutuk lagi. Dengan begitu Yan-chiu
tetap berada dalam genggaman kedua iblis itu.
---oodwkz0tahoo--Demikianlah dengan singkat saja, musim rontok telah
berganti dengan musim semi atau berarti sudah berganti
tahun. Tahun itu merupakan tahun ke 5 dari pemerintahan
kaisar Sun Ti dari kerajaan Ceng, dan tahun ke 2 dari
kerajaan Lam Beng, yang dirajai oleh baginda Ing Lek.
Kala itu sudah menginjak bulan dua, sudah hampir 10
bulan lamanya Yan-chiu berada ber-sama2 kedua suami
isteri Hwat Siau dan Swat Moay. Selama dalam 10 bulan
itu, Yan-chiu sudah makin dewasa, perangai ke-kanak2an
makin berkurang. Ia tak suka banyak bicara lagi, satu2nya
harapan yalah supaya dapat berjumpa dengan suhu atau
orang2 gagah yang dikenalnya.
Baginda Ing Lek bersemayam dikota raja Siau Ging.
Hwat Siau dan isterinya sudah menjelajahi seluruh
pelosok propinsi Kwitang dan sebagian dari Kwisay, tapi
selama itu mereka tak berani datang ke Siau Ging, karena
kuatir kebentrok dengan para wi-su (bayangkari) istana dan
ketahuan kedoknya. Sebab hampir semua pelosok Kwiciu
sudah dikunjungi, akhirnya diputuskan untuk menyusup
kekota Ko-yau-koan yang termasuk dalam lingkungan Siau
Ging. Sedari Li Seng Tong berbalik haluan menakluk pada
kerajaan Beng, maka perlawanan terhadap pemerintah
Ceng timbul dari daerah timur dan utara. Dan untuk
sementara waktu, kerajaan Lam Beng agak aman. Maka
kota Ko-yau-koanpun ramai sekali. Begitu masuk kekota
itu, disitu terdapat dua buah jalan besar. Mereka bertiga
memilih salah sebuah. Tapi baru berjalan tak berapa lama,
tiba2 terdengar suara teriakan orang: "kereta pesakitan
datang, ayuh minggir...., minggir.....!" Menyusul dengan itu
gerobak2 dari 3 buah kereta beroda tiga yang didorong oleh
beberapa serdadu tampak mendatangi. Kepala dari
pesakitan2 itu menonjol keluar diatas lantai atap kereta.
Bermula Yan-chiu tak menghiraukan, karena mengira
pesakitan itu tentulah bangsa penjahat. Tapi ketika tanpa
disengaja matanya tertumbuk pada kepala salah seorang
pesakitan, seketika pucatlah wajahnya. Hendak ia berteriak,
tapi tenggorokannya serasa tersumbat suatu arang hingga
tak dapat mengeluarkan suara. Ia memburu maju, tapi baru
saja melangkah beberapa tindak, punggungnya sudah
dicengkeram kencang2 oleh Swat Moay (lihat gambar
diatas). "Hm, ah-thau, kau hendak melarikan diri?"
Dalam pada Yan-chiu me-ronta2 itu, kereta pesakitan
sudah berjalan jauh, hingga saking marahnya Yan-chiu
banting2 kaki berseru: "Kau bilang tidak takut aku
melarikan diri bukan " Tapi mengapa baru aku bergerak
sedikit saja kau sudah begitu ketakutan?"
Kata2 itu sengaja ia, ucapkan keras2, sehingga banyak
orang yang sama berhenti mengawasi. Hal mana membuat
kedua suami isteri itu gugup dan membentaknya: "Awas,
kui-ah-thau, kalau berani membangkang tentu akan segera
kubunuh!" Berlainan dengan sikapnya dahulu, kini Yan-chiu tak
mau sungkan lagi, dengan separoh meratap ia, meminta
kelonggaran: "Jiwi cianpwe, idinkanlah aku mengejar
kereta pesakitan itu tadi untuk berbicara beberapa patah
pada sipesakitan. Bukantah jalan darah ki-hiat-ku telah
kalian tutuk " Kalau dalam 5 hari tak kembali, aku pasti
mengalami siksaan hebat, masakan aku tak sayang akan
jiwaku?" "Apamu sipesakitan itu ?" tanya Swat Moay.
"Yang dua aku tak kenal, tapi yang satunya itu adalah
sukoku!" "Hem, kami ber-sama2 kesana!" Swat Moay mengerang.
Yan-chiu yakin bahwa kepala yang menonjol diatas
kereta pesakitan itu, adalah Tio Jiang. Dalam tahun yang
terakhir ini, bayangan Tio Jiang makin melekat dalam
sanubarinya, maka walaupun dalam keadaan rambut kusut
masai muka kotor, namun Yan-chiu masih tetap dapat
mengenalnya. Begitu permintaannya disetujui, ia lupa


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segala apa. Ditengah hari bolong, diantara sekian banyak
orang, ia segera gunakan ilmu berjalan cepat. Sekali
berloncatan macam burung walet (seriti), ia sudah
melampaui dua buah jalanan dan tampaklah kini ketiga
kereta pesakitan itu disebelah muka sana.
"Jiang suko, Jiang suko!" serunya sambil memburu
kemuka seraya terus menarik baju kedua serdadu yang
mendorong kereta itu. Seketika kedua serdadu itu
mendeprok ketanah seperti kehilangan tenaga.
"Jiang suko!" seru Yan-chiu seraya mendekap terali
kereta. Dari sepasang matanya, butir2 air menetes
bercucuran. Tio Jiangpun terkesiap mendengar seruan Yan-chiu itu,
hingga sampai beberapa saat dia ter-longong2. "Siao Chiu
dimanakah sekarang kita ini ?"
"Jiang suko, kenapa kau sampai begini" Bukantah ini
kota. Ko-yau-koan?" kata Yan-chiu dengan terharu dan
girang. Tio Jiang menghela napas. Baru dia hendak menyahut,
ketiga perwira yang mengiring kereta pesakitan itu sudah
menghampiri datang dengan beringas. Salah seorang cepat
melolos goloknya dan membentak: "Perempuan liar dari
mana ini, yang berani bicara dengan pesakitan " Kalau
dituduh hendak merampok pesakitan, kau tentu dihukum
tabas kepala!"
Mendengar. kini Tio Jiang disebut pesakitan negeri,
marah Yan-chiu bukan kepalang. Tanpa tunggu siperwira
habis bicara, ia sudah mendampratnya: "Fui, kentut busuk,
ayuh lekas enyah!" .
Siperwira terkesiap kaget. Mimpipun tidak dia kalau
sinona begitu katak (garang). Setelah tersadar, segera dia
julurkan goloknya kemuka dada Yan-chiu, seraya
mengancam: "Kalau kau berkeras kepala, tentu ku ........"
Belum lagi siperwira menyelesaikan kata2nya, Yan-chiu
sudah menyepit ujung golok dengan dua buah jari, lalu
disentakkan kebelakang. Perwira itu hanya seorang militer
yang bertubuh kokoh kekar, dalam hal ilmu silat sudah
tentu dia tak sepersepuluhnya kepandaian Yan-chiu.
Bluk...... bukan saja goloknya terlepas, orangnya pun turut
tertarik dan jatuh kemuka.
"Aku tak mau pergi. Ayuh, beri hormat padaku dengan 3
kali anggukan kepala?" seru Yan-chiu sembari tancapkan
batang golok ketengkuk siperwira. Serasa terbang semangat
siperwira dibuatnya, hingga tak dapat berkata apa2.
Dalam pada itu, kedua kawan perwira yang melihat
kejadian itu, segera ber-teriak2: "Pemberontak mengacau,
pemberontak mengacau!"
Dengan memutar golok, mereka maju menyerang,
tring....., tring....., Yan-chiu menangkis dengan goloknya
dan tangan kedua perwira itu merasa kesemutan. Sekali dua
Yan-chiu menggerakkan goloknya lagi, kedua golok lawan
sudah terlepas dan kedua perwira itupun terhuyung mundur
beberapa tindak.
"Kereta pesakitan dirampok......! Kereta pesakitan
dirampok......!" entah bagaimana serdadu2 pendorong
kereta itu sama2 berlarian seraya berteriak2. Dalam sekejab
saja, terjadilah kekacauan. Orang2 sama2 berserabutan lari,
toko2 sama2 menutup pintu hingga dalam waktu yang
singkat saja, jalanan yang semula hiruk pikuk itu kini
menjadi sunyi senyap. Yang masih tertampak hanya
beberapa gelintir orang yang bernyali besar serta Hwat Siau
dan Swat Moay yang berdiri dikejauhan.
Ko-yau-koan meskipun dekat dengan kediaman raja, tapi
tak lebih tak kurang dari sebuah kota kecil saja. Dalam
sekejab waktu saja, peristiwa Yan-chiu itu sudah tersiar
diseluruh kota.
"Siao, Chiu, jangan bikin onar!" Tio Jiang memberi
peringatan. Sedang kedua pesakitan yang lain itu, tinggal
diam saja. Yan-chiu tak habis mengerti, mengapa Tio Jiang tak
dapat keluar dari sebuah kereta yang terbuat dari pada
kayu. Maka segera ia tabaskan goloknya untuk menghancurkan terali kayu itu, tapi hai, goloknya telah
membentur besi logam. Kiranya terali (ruji) kereta itu
terbuat daripada besi baja dan ketika diperiksanya, terali itu
hanya satu dim besarnya.
Tiba2 terkilas dalam pikiran Yan-chiu, bahwa pada 10
bulan yang lalu ketika menolong Kuan Hong dan Wan
Gwat didalam gereja Ang Hun Kiong, ia telah dapat
mendorong terbuka terali besi. Cepat golok dibuangnya,
kemudian dicekalnya dua buah terali terus dingangakannya,
krek, krek, putuslah terali itu. Dengan ber-nyala2 segera ia
mematahkan terali2 besi kereta itu semua. Didapatinya
tangan dan kaki Tio Jiang diikat dengan rantai besi sebesar
jari. Siku dan pergelangan tangannya tampak bekas noda2
lecetan berdarah. Melihat itu hati Yan-chiu makin meluap.
"Jiang suko, siapa yang menyiksamu sedemikian rupa"
Bilanglah, tentu akan kucincang lebur orang itu!" Yan-chiu
menjerit seperti orang kalap.
Bahwa Tio Jiang itu seorang pesakitan penting, seluruh
kota situ sudah lama mengetahuinya. Jadi orang yang
hendak dicincang oleh Yan-chiu itu bukan lain adalah
baginda sendiri. Orang2 yang tadinya masih bernyali untuk
melihat ramai2 disitu, kini sudah sama ngacir bubar. Hwat
Siau dan Swat Moaypun segera mengumpat diujung jalan,
menantikan perkembangan selanjutnya.
Walaupun Yan-chiu sangat bernapsu menghujani
pertanyaan, namun Tio Jiang hanya menghela napas saja
tak menyahut. "Akupun tak tahu!" akhirnya dia memberi
keterangan. "Tio-heng, jangan takut mengatakan! Terhadap orang2
macam begitu, memang pantas dicincang seperti yang
dikatakan nona ini tadi!" tiba2 kedua pesakitan itu turut
bicara. Yan-chiu segera menghampiri kereta mereka untuk
membuka terali besi, begitu juga borgolan yang mengikat
kaki tangan mereka. Tapi ketika ia, hendak membuka
borgolan rantai Tio Jiang, anak muda itu sudah mendahului
gerakkan tangannya sendiri untuk mematahkan rantai
borgolannya. Tanpa menghiraukan rasa sungkan apa2 lagi, Yan-chiu
segera rubuhkan kepalanya kedada sang suko untuk
menangis ter-isak2. Biar bagaimana ia adalah seorang gadis
remaja. Tadi memang ia sangat garang sekali melabrak
serdadu dan perwira pengawal kereta pesakitan itu. Tapi
kini ia laksana seekor anak kambing yang jinak. Terkenang
akan penderitaannya selama 10 bulan ini, apalagi chit-jithiatnya masih tertutuk dan Tio Jiang menjadi pesakitan
negara. Nasib sial yang ber-turut2 menimpah pada diri
mereka itu, telah membuat Yan-chiu menangis tersedu
sedan. "Sudahlah, Siao Chiu, jangan menangis!" Tio Jiang
menghibur. "Bagaimana kau dapat lolos dari Ang Hun Kiong?"
Yan-chiu menyapu air matanya dan hendak memberi
penyahutan, tapi tiba2 terdengar derap kaki kuda
mendatangi. Pada lain saat, jalanan itu telah dikepung
dengan pasukan berkuda yang tak terhitung jumlahnya.
Empat orang buciang (panglima) dengan garang menobros
kemuka. Demi melihat ketiga pesakitan itu sudah terlepas,
mereka terbeliak kaget. Salah seorang dari mereka menusuk
Tio Jiang dengan tombak, tapi anak muda itu cepat
menghindar kesamping. Dalam murkanya, Yan-chiu
hendak menangkap tombak orang, tapi ternyata buciang itu
bukan seorang jago lemah. Tombak diputar laksana kitiran,
begitu diturunkan kebawah, lalu ditusukkan kepada sinona.
Yan-chiu tak mau unjuk kelemahan. Ia membungkuk
kebawah sambil merapat. maju. Disambarnya goloknya
yang terletak ditanah tadi, tangkai golok itu disodokkan
keperut kuda sibuciang tadi. Sudah tentu kuda itu
meringkik tersentak keatas dan membarengi dengan itu,
Yan-chiu segera memapas tombak sibuciang hingga kutung
menjadi dua. Kebenaran pula kutungan tombak itu tepat
melayang mengenai punggung sibuciang, aduh ......... ia
mengerang dan jatuh kebawah, lalu diinjak oleh Yan-chiu.
"Ayuh, siapa yang berani maju lagi?"
Ketiga huciang (bawahannya buciang) melihat pemimpinnya tertangkap, tak berani ambil tindakan keras.
Mereka hanya perintahkan anak buahnya untuk mengepung rapat2 tempat itu sambil ber-teriak2.
Entah sudah berapa kali Tio Jiang dan Yan-chiu
bertempur melawan kawanan tentara Ceng. Tapi kejadian
itu mengambil tempat dihutan, tidak seperti. saat itu
ditengah jalanan ramai apalagi pasukan Beng itu semua
berkuda. Kalau mereka sama menyerang rapat, kemungkinan besar bisa keinjak mati. Maka Yan-chiu
segera gunakan akal. Begitu ada seorang serdadu mau
menghampiri dekat, cepat2 ia jiwir telinga panglima tadi,
serunya: "Lekas suruh mereka mundur!"
Tapi ternyata panglima itu juga seorang jantan. Dalam
kota raja orang berani main rampas pesakitan ditengah hari
bolong, berani pula melawan tentara pemerintah, andaikata
pemberontak2 itu bisa melarikan diri, dia (buciang) pun
akan mendapat hukuman mati. Maka dengan kertek gigi,
dia tahan kesakitan tak mau menyahut.
Melihat itu Yan-chiu gelisah sendiri. "Jiang suko, ayuh
kita serbu!" akhirnya ia berseru. Tio Jiang ragu2
tampaknya, tapi Yan-chiu secepat kilat sudah mengambil
keputusan. "Terimalah panglima ini!" serunya seraya melempar
tubuh sibuciang kearah kawanan tentara Beng, Yan-chiu,
menyambar sebuah rantai besi, tangannya kiri mencekal
sebatang golok, serunya; "Tolol, kalau tak menyerbu, apa
mau tunggu kematian ?"
Tio Jiang tersadar, lalu menjemput sebatang rantai untuk
di-putar2. Tapi begitu mengetahui pemimpinnya tak kurang
apa2, ketiga huciang itu segera maju merapat. Pada jarak
dua tombak, mereka kedengaran berteriak keras2: "Serbu!"
Dari empat jurusan, kuda mendesak maju. Hiruk pikuk
kud2, meringkik, se-olah2 memecah bumi. Yan-chiu sibuk
sekali. Untung pada saat2 yang berbahaya itu, se-konyong',
terdengar dua buah suitan aneh. Menyusul dengan itu, dua
sosok bayangan, satu merah satu hitam, meluncur turun
dari atas wuwungan sebuah rumah. Bayangan merah
menghamperi Tio Jiang, bayangan hitam mendekati Yanchiu. Mereka ternyata adalah suami isteri Hwat Siau dan
Swat Moay. Tanpa berkata ba atau bu, Swat Moay segera
mengepit Yan-chiu dibawah ketiak, kemudian sekali enjot
kakinya, Swat Moay bawa Yan-chiu melayang keatas
wuwungan. Gerakannya bagai seekor burung waled.
Sebaliknya Hwat Siau yang hendak meniru perbuatan
isterinya, telah mengalami kesukaran terhadap Tio Jiang.
Begitu tangan Hwat Siau mengulur, Tio Jiang turunkan
bahunya lalu mengirim sebuah hantaman kemuka. Hwat
Siau tersentak kaget. Cengkeramannya luput, malah
berbalik didorong oleh tenaga dahsyat. Cepat dia robah
gerakannya, memutar tangan untuk merangsang bahu
sianak muda. Tapi dia tetap tak mau menghindar dari
sodokan Tio Jiang tadi, maka tangan Tio Jiangpun tepat
dapat mengenai sasarannya dan uh tangannya itu serasa
memegang api membara. Dalam pada dia terkejut, tahu2
bahunya sudah tercengkeram tangan Hwat Siau. Hendak
dia meronta, tapi sekali diputar tahu2 tubuhnya sudah
pindah diatas pundak Hwat Siau.
Tepat pada saat itu pasukan berkuda lawan sudah
merapat dekat. Hwat Siau perdengarkan suara ketawa
mengejek, sekali enjot sang kaki, dia melayang keatas
wuwungan rumah. Saking herannya, pasukan berkuda itu
ter-longong2 kesima. Untuk melampiaskan kemengkalannya,
mereka segera menghujani kedua pesakitan dengan tombak dan golok, hingga tubuh mereka
tercincang hancur.
Sampai kerajaan Beng berhijrah kedaerah selatan dan
berganti dengan nama Lam Beng (Beng Selatan), namun
adat kebiasaan buruk dari para pembesar sipil dan militer
masih melekat dalam2. Hanya membunuh dua orang
pesakitan yang tak berdaya, mereka menghaturkan laporan
keatas kalau pemberontak yang hendak merampas
pesakitan itu dapat dibunuh semua. Hal ini untuk menutupi
kelemahan mereka dan mengidamkan pahala dan hadiah.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 47 : MENGUNDANG HARIMAU
BUAS Sekarang marilah kita, ikuti perjalanan Hwat Siau dan
Swat Moay. Dengan mengepit kedua anak muda itu mereka


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuju keluar kota. Tiba ditepi sungai, karena sudah tiada
tentara yang, mengejar, mereka lepaskan Tio Jiang dan
Yan-chiu. Diam2 Yan-chiu merasa berterima kasih atas tindakan
suami isteri itu. Hal ini disebabkan kerinduannya pada sang
suko. Hampir setahun berpisah masa baru bertemu saja
sudah menghadapi bahaya maut. Sebaliknya Tio Jiang yang
jujur, menganggap bahwa kedua orang yang menolonginya
itu tentulah kaum cianpwe persilatan, maka tanpa ragu2 dia
segera haturkan terima kasih.
"Ah, sama2 kaum persilatan, mana tega berpeluk tangan
mengawasi hengtay (saudara) dicelakai kawanan serdadu"
Usah banyak peradatanlah!" sahut kedua suami isteri itu.
Jawaban itu, merupakan jawaban yang lazim diucapkan
oleh para orang gagah budiman. Tanpa menyelidiki dulu
siapakah kedua suami isteri itu, kembali Tio Jiang haturkan
terima kasih, serunya: "Bagaimana tak harus menghaturkan
terima kasih" Dari mana jiwi mengetahui berita
penangkapanku itu" Adakah jiwi ini datang dari Lo-husan
?" Menduga ada sesuatu, buru2 Swat Moay gunakan ilmu
thoan-im-jip-bi (menyusupkan suara) untuk bertanya
kepada Yan-chiu: "Siau-ah-thau, adalah dia itu kekasihmu"
Kami telah menolongmu tadi, sekarang harap kau jangan
buka suara apa2, nanti tentu kubuka jalan darahmu itu agar
kau dapat pergi dengan bebas, mau tidak?"
Oleh karena hati Yan-chiu hanya tertumpah pada diri
sang suko, iapun mengiakan dengan serta merta. Melihat
isyarat itu, baru Swat Moay memberi penyahutan pada Tio
Jiang: "Benar, kami baru saja datang dari Lo-hu-san. Eh,
mengapa siaoko dapat mengetahuinya?"
Yan-chiu terkesiap. Terang dia bersama kedua suami
isteri itu baru datang dari Lok-jiang keselatan sini (Kauyaukoan), tapi mengapa Swat Moay memberi keterangan
begitu" Ia taruh kecurigaan, tapi belum mengetahui
sebab2nya. "Ah, sungguh tak nyana kalian begitu lekas mengetahui
berita itu. Dengan dua orang saudara aku menuju ke Kauyau-koan, tapi belum sampai menghadap raja, sudah
ditangkap dan dijebloskan dalam tahanan, dianggap sebagai
pesakitan jahat. Turut keterangan sipir penjara, raja telah
mempersalahkan kami berserekat pada sisa anak buah Thio
Hian Tiong. Jadi kami digolongkan dengan kawanan
pemberontak. Ah, mereka tak mengetahui bagaimana
semangat perjoangan dan jiwa patriot dari saudara2 kita
itu!" Tio Jiang menghabisi keterangannya dengan menghela
napas panjang pendek.
Sebagai seorang benggolan dinas intelligence (rahasia)
pemerintah Ceng, walaupun keterangan itu tiada awal
mula, tapi Swat Moay segera dapat menarik kesimpulan
bahwa kini digunung Lo-hu-san sana telah siap berkumpul
para orang gagah yang bersedia untuk membantu pada
kerajaan Lam Beng. Tapi raja Ing Lek yang tidak
mempunyai kebijaksanaan itu, malah menganggap mereka
itu hendak memberontak, maka Tio Jiang yang ditugaskan
oleh kawan2nya menjadi utusan, telah dijebloskan dalam
penjara. Diam2 Swat Moay bersorak dalam hati. Kawanan orang
gagah yang hendak dibunuh dengan dinamit digereja Ang
Hun Kiong tetapi gagal itu, kini ternyata ditolak mentah2
oleh pemerintah Lam Beng. Ah, ini merupakan kesempatan
yang bagus untuk mengembangkan aksi subversifnya
(gerakan dibawah tanah). Apabila Tio Jiang pulang dan
mereka (Hwat Siau dan Swat Moay) menambahkan api,
sudah tentu para orang gagah itu akan ber-jingkrak2 marah.
Dan inilah suatu landasan yang subur-untuk mengadu
domba dan menghancurkan mereka.
"Ah, sungguh kurang ajar betul, sekarang saudara2 kita
itu tentu putus asa!" akhirnya Swat Moay berkata dengan
menghela napas, pura2 ikut bersedih.
"Ah, tidak! Ketika aku datang suhu pernah mengatakan,
bahwa sekalipun pemerintah Beng mengadakan aksi
perobahan haluan, kita tak boleh gugup dan cemas.
Masakan sebelum diadakan pemilihan untuk jabatan Toaah-ko (pemimpin pertama) dan ji-ah-ko (pemimpin kedua),
kita terus akan turun gunung begitu saja?" tanya Tio Jiang.
Kaget dan girang Swat Moay mendengarnya. Kaget,
karena dalam 10 bulan saja, kawanan orang gagah itu
sudah berhasil membangun lagi organisasi Thian Te Hui.
Dugaan ini didasarkan atas ucapan Tio Jiang tentang
pemilihan toa-ah-ko dan ji-ah-ko itu. Girang, karena
kebenaran sekali ia (Swat Moay) dapat mengetahui hal itu.
Dengan begitu sebelum organisasi itu berhasil dibentuk,
dapatlah mereka berdua (Hwat Siau dan Swat Moay)
menyusup kedalam untuk memecah belah.
"Oh, begitu. Kami berdua sebenarnya siap hendak
menuju ke Lo-hu-san. Ketika tiba disini dan mendengar
berita tentang pemerintah Beng menangkap 3 pemberontak,
yang kami duga salah seorang tentu -Tio-heng sendiri, maka
kami ber-gegas2 datang kemari untuk memberi pertolongan," buru2 Swat Moay menyahut dengan
mengikuti perobahan angin.
Sebagai seorang yang jujur, Tio Jiang tak menyangka
sesuatu dalam ucapan Swat Moay itu. Tidak demikian
dengan Yan-chiu yang saking herannya terus hendak
bertanya, tapi selalu dicegah dengan isyarat mata oleh Swat
Moay hingga terpaksa tak jadi. Biasanya otak sinona itu
cerdas, tapi pada saat itu ternyata belum dapat menginsyafi
betapa gawatnya urusan itu. Malah dia hanya buru2
menanyakan pada sukonya: "Suko turut katamu itu suhu,
Thaysan Sintho dan kawan2 semua tak ada yang binasa
bukan " Ai, aku telah tersiksa pikiran karena mengira kamu
sama binasa!"
"Kami semuapun mengira kalau kau yang sudah binasa!"
jawab Tio Jiang. Dengan ucapan itu, masing2 ternyata
saling perhatikan nasibnya satu sama lain. Tio Jiang minta
Yan-chiu menuturkan pengalamannya ketika berada
digereja Ang Hun Kiong itu. Tapi sebaliknya sinona,
meminta sukonya yang menceritakan pengalamannya lebih
dahulu. "Ayuh, kita teruskan perjalanan dulu!" sahut Tio Jiang,
siapa lalu memanggil sebuah perahu untuk menuju ke
Kwichiu terus kembali ke Lo-hu-san. Hwat Siau dan Swat
Moaypun tanpa ragu2 lagi ikut naik kedalam perahu itu.
Didalam perjalanan itu, barulah Tio Jiang tuturkan apa
yang telah dialaminya selama itu.
Kiranya dalam pertemuan dalam gereja Ang Hun Kioii
pada 10 bulan yang lampau itu, yalah pada saat Kui-ing-cu
berobah menjadi gila dan sekalian orang gagah rombongan
Ceng Bo sama menyingkir, jarak waktunya hanya terpaut
sedikit dengan ledakan dinamit itu. Itu waktu karena tak
tega melihat keadaan Kui-ing-cu, Tio Jiang segera
menghampiri dan hendak mengucap beberapa patah kata
pada tokoh itu. Tapi karena sudah kalap dan lupa segala2nya. Kui-ing-cu lalu mengejar anak muda itu, siapa
karena ketakutannya segera lari menuju keruangan
samping. Kui-ing-cu tetap mengudaknya, hingga sekalian
orang gagah yang menguatirkan keselamatan Tio Jiang ikut
memburu kesana. Dalam sekejap saja, berpuluh-puluh
orang gagah dalam rombongan Ceng Bo itu sama
meninggalkan ruangan pertempuran dan menuju kesamping. Kang Siang Yan dengan memimpin Bek Lian
pun ikut kesana. Tapi dalam pada itu, tak lepas2nya ia
memandang The Go dengan sorot mata beringas, hingga
membuat nyali pemuda culas itu serasa copot dan tak
berani berpisah dengan Ang Hwat cinjin.
Juga Ang Hwat yang melihat Can Bik-san tak kunjung
datang itu, merasa curiga dan ikut tinggalkan ruangan itu.
Tapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba2 terdengarlah
ledakan yang dahsyat dari arah belakangnya. Berbareng
lengan itu, atap wuwungan ruangan situ ambruk, lantainya
muncrat. Ledakan itu sedahsyat gunung meletus. Syukurlah, mereka sudah terpisah jauh, jadi meskipun
ketimpah pecahan atap dan dinding, namun tak sampai
membahayakan jiwanya.
Ang Hwat terbeliak kesima dan ter-longong2 sampai
beberapa jenak. Tapi Thaysan sin-tho Ih Liok sudah segera
berseru keras: "Ang Hwat cinjin, kau telah ditipu oleh siasat
yang keji dari pemerintah Ceng!"
Ang Hwat seperti disadarkan. Sekilas merenung, segera
dia menggerung keras. Dengan memimpin tangan The Go,
dia menobros keluar. Kang Siang Yan mengikutinya dari
belakang. Tapi oleh karena tak faham akan seluk beluk
jalanan dalam gereja itu, maka begitu tiba diluar, ia sudah
tak menampak lagi bayangan Ang Hwat dan The Go.
Ternyata Ang Hwat lari kebawah gunung Ko-to-san.
Disitu dia berjumpa dengan ke 18 jagoan yang tengah
menunggu kabar dari Hwat Siau dan isterinya. Melihat
mereka, murka Ang Hwat tak dapat ditahan lagi. Sekali
bergerak, dia lancarkan dua buah serangan sekali gus dan
hasilnya, seketika itu juga ada 4 orang jagoan lihay, telah
diterkamnya binasa. Rupanya kepala gereja Ang Hun
Kiong itu telah umbar kemarahannya benar". Dalam
beberapa kejab saja, dia sudah dapat melukai separoh lebih
dari ke 18 jagoan itu. Tujuh orang dari rombongan jagoan
itu yang ilmu kepandaiannya agak mendingan, walaupun
dengan ter-birit2 tapi dapat juga lari menyelamatkan
jiwanya. Habis mengamuk, Ang Hwat ter-mangu2 sampai
beberapa lama. Kini dia merasa rencananya itu, malah
mencelakai dirinya, seperti apa yang pepatah katakan
"barang siapa menggali lubang, dia pasti akan terperosok
sendiri". Bukan melainkan kehilangan pamor nama, pun
gereja yang berpuluh tahun dibangun itu, hanya dalam
sehari saja sudah rusak hancur. Kesedihan hatinya, sukar
dilukiskan. Dengan menghela napas dalam, dia ajak The
Go tinggalkan tempat itu.
Tak antara berapa lama ketua gereja Ang Hun Kiong itu
berlalu, dengan berserekat beberapa kawan akhirnya Ceng
Bo berhasil dapat menguasai Kui-ing-cu, siapa setelah dapat
ditutuk jalan darahnya lalu digotong turun gunung.
Untunglah karena tenaganya sudah banyak berkurang,
maka Kui-ing-cu tanpa banyak susah dapat ditundukkan.
Coba dia masih seperti dahulu, siapakah yang sanggup
melayaninya" Tiba dikaki gunung, dilihatnya disitu
berserakan beberapa mayat. Mereka mulai men-cari2, tapi
Can Bik-san tak dapat diketemukannya.
Rombongan orang gagah itu mulai gelisah. Ah, mengapa
tak menyelidiki mayat2 yang bergelimpangan itu" Mayat2
itu sama putus kaki tangannya dan hancur tulang
belulangnya. Terang mereka dibunuh oleh Ang Hwat cinjin.
Begitulah rombongan orang gagah itu mulai menyelidiki
mayat2 itu satu demi satu dan akhirnya berhasillah mereka
mendapat mayat Can Bik-san terserak dalam sebuah semak
belukar. Dari kantong baju orang she Can itu diketemukan
sebuah bungkusan hong-sin-san (obat pemunah sakit gila),
lalu diminumkan kedalam mulut Kui-ing-cu. Setelah
minum obat itu, mata Kui-ing-cu yang dulunya mendelik
dapat merapat kembali dan tidur dengan pulasnya.
Sejak peristiwa digereja Ang Hun Kiong itu, para orang
gagah sama menginsyafi bagaimana ganasnya tindakan
pemerintah Ceng itu untuk membasmi mereka. Akhirnya
diputuskan untuk membangunkan lagi perkumpulan Thian
Te Hui. Mereka berpencar untuk menghubungi sekalian
orang gagah dari pelbagai daerah dan menetapkan suatu
waktu pertemuan dipuncak Giok-li-nia gunung Lo-hu-san.
Sebelum Tio Jiang berangkat ke Siau Ging, digunung
Lo-hu-san sudah berkumpul ribuan orang gagah dari empat
penjuru. Disamping itu sejumlah besar para petani dan
rakyat dari wilayah Hokkian, Kwiciu dan lain2 tempat.
Mereka yang pernah mengalami siksaan dari keganasan
tentara Ceng, mereka yang lolos dari kepungan digunung
Hoasan, sama berduyun2 datang kegunung Lo-hu-san.
Jumlahnya tak kurang dari 7 sampai 8 ribu orang. Juga
Ceng Bo siangjin mengirim orang untuk berhubungan
dengan anak buah Thio Hian serta anak buah Giam-ong.
Dari koordinasi itu, dapatlah diterima lagi seribuan orang
lebih. Dengan mempunyai lasykar rakyat dan petani itu,
selain dapat menjaga perbatasan sebelah timur dari propinsi
Kwitang, dapat digunakan untuk pertahanan didaerah
Kangsay untuk bergabung dengan pasukan Li Seng Tong,
pun dapat digunakan untuk menghalau tentara Ceng yang
menduduki Hokkian. Sungguh suatu angkatan perang yang
cukup mempunyai dayaguna, karena semangat bertempur
mereka ber-nyala2.
Tapi satu hal yang menjadi kesulitan besar, yakni soal
ransum makanan bagi sekian banyak orang. Ada beberapa
saudara, misalnya Sin-eng Ko Thay dan beberapa orang
yang kaya, telah menjadi habis seluruh harta kekayaannya
untuk beli kuda dan alat2 pelengkapan perang, jadi soal
ransum itu tetap merupakan problim beban yang maha
berat. Oleh karena mereka hendak berjoang guna
kepentingan rakyat, jadi tak maulah mereka menjalankan
cara yang lazim digunakan oleh kaum perampok dan begal
dikalangan lioklim (kaum begal). Soal sulit itu telah
diperundingkan dan akhirnya diputuskan, mengirimkan
seorang utusan untuk menghadap pada kaisar Ing Lek


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikota raja Siau Ging. Mohon supaya pemerentah Beng
memberi bantuan ransum seperlunya, dan menyerahkan
tampuk pimpinan gerakan para patriot itu pada kerajaan
Beng. Asal dipergunakan untuk menghalau penjajah Ceng,
relalah sudah setiap orang gagah itu mengorbankan jiwa
raganya. Tio Jiang telah dipilih untuk melakukan tugas perutusan
itu. Selama setengah tahun ini bukan saja ilmu kepandaian
anak muda itu bertambah maju dengan pesatnya, tapi
semua orang sama mengindahkan akan watak perangainya
yang jujur luhur itu. Maka pilihan untuk menjalankan tugas
yang berat itu, jatuh kepadanya.
Namun mimpipun tidak, kalau pemerintah Beng telah
mencap "pemberontak" pada gerakan kaum patriot di Lohusan itu. Jumlahnya hampir 10 ribu orang, ah......,
bukantah gerakan macam Thio Hian Tiong akan timbul lagi
ini" Bukan ransum yang diterima tapi sebaliknya Tio Jiang
telah dijebluskan dalam penjara. Tio Jiang yang keliwat
jujur itu, pun tak mengerti apa sebabnya pemerintah Beng
menangkapnya itu. Coba tiada Yan-chiu yang menolonginya, dia pasti akan mati dengan penasaran!
Begitulah setelah habis mendengari kisah yang dibawakan Tio Jiang itu, Yan-chiu dan kedua suami isteri
itu mempunyai kesan lain. Yan-chiu tak puas2nya
memandang gerak gerik sukonya kala menceritakan
kisahnya itu. Dahaga kerinduannya selama hampir setahun
itu, rasanya masih belum terlepas puas. Sehingga lupalah ia
akan diri kedua suami isteri itu. Bukantah mereka berdua
itu merupakan benggolan kaki tangan pemerintah Ceng"
Urusan mendirikan lagi Thian Te Hui digunung Lo-hu-san
itu, seharusnya tak boleh dikatakan kepada orang lain
lebih2 pada kaki tangan musuh. Itu suatu rahasia besar
yang pantang diketahui oleh sembarang orang.
Hwat Siau dan Swat Moay telah menetapkan suatu
rencana untuk menghadapi kawanan orang gagah di Lo-husan itu. Apabila hal itu berhasil, pahala besar terbayang
dimatanya. Tio Jiang tak mengetahui siapakah sebenarnya kedua
suami isteri itu. Karena melepaskan kangennya kepada
Yan-chiu, tak putus2lah dia bercerita ini itu. Malam itu
Hwat Siau berunding dengan isterinya cara bagaimana
mereka dapat menyusup kedalam Lo-hu-san.
"Kecuali budak perempuan itu, lain orang tak kenal kita,
jadi tak sukarlah rasanya untuk menyusup kesana!" kata
Swat Moay. "Kalau begitu, lebih baik kita habisi jiwa budak itu saja."
"Lebih baik dua2nya sama sekali, karena kalau yang satu
masih hidup, mungkin membahayakan. Tapi jangan malam
ini, nanti setelah melalui Kwiciu, kita turun tangan, masa
mereka dapat lari kemana," ujar Swat Moay. Hwat Siau
menyetujui pikiran isterinya itu.
Keesokan harinya, perahu tiba disekitar perairan Samcui. Tukang perahu berlabuh untuk membeli ikan dan beras.
Melihat keindahan alam diperairan situ, Tio Jiang dan Yanchiu kepingin ber-jalan2. Tio Jiang loncat kedaratan dan
Yan-chiupun hendak mengikutinya tapi Swat Moay segera
berseru bengis: "Siao-ah-thau, jangan pergi ke-mana2!"
Yan-chiu tertegun dan tak berani membangkang. la
cukup menginsyafi, bahwa dengan jalan darahnya chit-jithiat masih ditutuk, apabila ia sampai membangkang, pasti
celaka akibatnya. la hanya berdiri pada buritan perahu
seraya memberi isyarat tangan supaya Tio Jiang kembali.
"Siao Chiu, mengapa kau tak naik kedaratan melihatlihat pemandangan sebentar?" seru Tio Jiang dengan
keheranan. "Aku tak kepingin pesiar Suko, kaupun jangan pergi,
temanilah aku disini saja!" sahut Yan-chiu dengan hati yang
getir. Tio Jiang cukup kenal bahwa sumoaynya itu seorang
nona yang doyan pesiar, tapi mengapa harini ia tak mau
naik kedaratan" Ah, jangan2 karena sudah makin dewasa,
kini perangainya agak berobah. Walaupun menaruh
kecurigaan, tapi mau juga dia kembali naik kedalam perahu
dan duduk disamping Yan-chiu. Banyak nian isi kalbu Yanchiu yang hendak dicurahkan, tapi entah bagaimana,
mulutnya serasa berat mengatakannya. Tio Jiangpun tak
dapat mencari bahan2 untuk pembicaraan, jadi keduanya
se-olah2 diam membisu saja.
Se-konyong2 terdengar ribut2 didaratan sana.
"Kau, kau mengapa begitu kurang ajar?" seru seorang tua
dengan suara ter-bata2. Pada lain saat, terdengar suara
orang ketawa lepas dan nyaring.
"Apanya yang kurang ajar" Pak tua, jangan ribut2 ya?"
Menyusul dengan itu, terdengar suara tubuh jatuh
ketanah. Rupanya itulah siorang tua tadi. Sementara itu,
dari semak pohon muncul keluar seorang pemuda sembari
tangannya menjinjing dua ekor ikan yang masih hidup.
Orang itu mengenakan pakaian warna biru dan ikat kepala
dari seorang mahasiswa. Melihat dia, hati Tio Jiang dan
Yan-chiu berdebur keras. Selama berjalan itu, orang muda
tersebut tak henti2-nya berpaling kebelakang. Benar juga,
ada seorang tua ter-huyung2 lari mengejarnya.
GAMBAR 87 Selagi Yan-chiu dan Tiu Jiang duduk termenung diburitan
perahu, tiba2 dari balik pohon sana muncul satu pemuda
sastrawan dengan menjinjing dua ekor ikan disebelah tangannya.
Ternyata pemuda itu bukan lain adalah The Go.
"Apakah tiada undang2 lagi, maka siang hari bolong
berani merampas milik orang"!" teriak orang tua itu.
Namun pemuda itu hanya ganda tertawa saja sembari
angkat sebelah kakinya siap untuk menendang pak tua itu.
Pada saat itu Tio Jiang sudah tak dapat mengendalikan
dirinya lagi. "The Go, kau berbuat apa disitu"!" bentaknya
dengan lantang.
Saking kagetnya, dua ekor ikan yang dipegangi orang
muda yang ternyata si The Go itu, terlepas jatuh. la buru2
berpaling kebelakang dan dapatkan Tio Jiang beserta
Yanchiu tengah berdiri diburitan perahu seraya memandangnya dengan sorot mata yang gusar. Celaka, satu
saja dia tak sanggup menghadapi apalagi kini dua orang
sekaligus hendak melabraknya. Secepat kilat dia mendapat
akal. Dirakupnya kedua ekor ikan tadi, lalu ditimpukkan
kearah Yan-chiu dan Tio Jiang, dan berbareng itu dia loncat
kebelakang hendak angkat kaki seribu.
Sudah tentu kalini Tio Jiang tak mau melepaskan
musuhnya itu. Setelah menangkis ikan yang melayang
kearahnya itu, dia segera enjot kakinya melayang kedaratan
seraya berseru: "Jangan lari!"
The Go berpaling kebelakang dan mengeluh. Mengapa
gerakan anak muda musuhnya (Tio Jiang) itu sedemikian
pesatnya" Teranglah itulah gerakan ilmu mengentengi
tubuh "i-seng-hoan-wi" yang lihay. Mana dia dapat
menandinginya" Hari itu sucounya (Ang Hwat cinjin) pergi,
mungkin dua tiga hari lagi baru kembali, jadi terang dia
harus menghadapi sendiri.
Kiranya sejak meninggalkan Ko-to-san, Ang Hwat
menyembunyikan diri ditempat situ. Benar ilmu kepandaian
The Go juga makin bertambah maju, tapi biar bagaimana
tetap masih kalah dengan Tio Jiang yang giat belajar itu.
Kemaren begitu Ang Hwat pergi, penyakit The Go segera
angot kembali, dia berkeliaran keluar dan terbitkan onar.
Celakanya, kali ini dia ketemu Tio Jiang, saingan lamanya.
Jalan satu2nya, yalah melarikan diri se-kuat2nya. Tapi
ketika dia menoleh kebelakang dan dapatkan Yan-chiu tak
turut mengejar masih tetap berdiri diburitan perahu, dia
menjadi keheranan dan tertegun berhenti. Dalam pada itu,
Tio Jiang sudah hampir mendatangi. The Go gelagapan dan
teruskan larinya lagi. Namun Tio Jiang ternyata jauh lebih
cepat dari dia, malah kini sudah ulurkan tangan untuk
menerkam. Tanpa menoleh lagi The Go kibaskan
tangannya kebelakang. Dengan jurus pia-yu-tong-thian
(masih ada dunia lain), dia tutuk jalan darah lo-kiong-hiat
ditelapak tangan Tio Jiang. Yang digunakan untuk
menutuk, yalah sebuah benda yang hitam warnanya.
GAMBAR 88 Ketika merasa Tio Jiang hendak mencengkeram dari belakang,
tanpa menoleh cepat The Go keluarkan ruyung nya terus
menyabet kebelakang.
Tio Jiang cepat mengenali benda hitam itu sebagai imyang-pian (pian-im-yang) kepunyaan Ang Hwat cinjin.
Sewaktu digereja Ang Hun Kiong pernah Tio Jiang melihat
pian istimewa Itu dapat didulur-surutkan sekehendak
sipemakai. Buru2 dia tarik pulang cengkeramannya tadi.
Benar juga, berbareng pada saat itu, plan itu se-konyong2
menjulur sampai setengah meter panjang keudara. Kalau
saja Tio Jiang tadi tak keburu menarik tangannya,
betapapun lihaynya tetap dia pasti akan menderita
kerugian. The Go cukup yakin bahwa jurusnya pia-yu-tong-thian
tadi, kaya dengan gerak perobahan. Sekalipun tak dapat
melukai Tio Jiang, tapi se-kurang2nya dapat juga untuk,
menghadang lawan. Dan setelah melancarkan serangan itu,
The Go segera lanjutkan berlari kemuka masuk kedalam
sebuah hutan. Ketika Tio Jiang mengejar, disitu ternyata
terdapat beberapa petak rumah yang sekelilingnya dipagari
dengan pohon bambu.
"Cian-bin Long-kun, main sembunyi macam tikus begitu,
bukan laku seorang jantan! Ayuh, keluar dan ikut aku ke
Lo-hu-san. Seorang laki2, berani berbuat tentu berani
menanggung resikonya, mengapa bersembunyi'?"
Tapi terhadap seorang macam The Go, sia2 sajalah
segala macam ucapan ksatrya yang kosong itu. Tahu kalau
Tio Jiang tentu mengejar, dia tak mau masuk kedalam
rumah sebaliknya lalu menyusup kesamping dan terus
loncat bersembunyi diatas sebatang pohon. Oleh karena
mengira dia bersembunyi dalam rumah, Tio Jiang
meneriakinya sampai berulang kali, namun tetap tiada
berjawab. Akhirnya Tio Jiang bermaksud hendak menobros
masuk kedalam rumah itu. Tapi tiba2 dari arah belakang
terdengar seseorang berseru dengan nada dingin: "Tio-heng,
perahu sudah akan berangkat, mengapa tak lekas2
kembali?" Tio Jiang terperanjat, Itulah suatu ilmu mengentengi
tubuh yang sakti hingga sama sekali dia tak mengetahui
kalau orang, itu sudah berada dibelakangnya. Ketika
berpaling kebelakang, ternyata Hwat Siau sudah berada
disitu. "Harap tunggu dahulu setelah kutangkap orang itu, baru
nanti naik keperahu!" kata Tio Jiang. Tapi ternyata Hwat
Siau bercuriga, jangan2 anak muda itu sudah mengetahui
rahasia mereka berdua, sehingga hendak meloloskan diri.
Maka dia segera mencari ke-mana'2 dan akhirnya sampai
ditempat situ. Diatas pohon, The Go dapat melihat jelas kedatangan
Hwat Siau itu. Rasanya dia pernah melihat tokoh itu
bersama isterinya. Tapi waktu mendengar Hwat Siau
memanggil "Tio-heng" pada Tio Jiang, herannya tak habis2.
Namun sebagai seorang durjana yang cerdas otaknya,
dalam waktu singkat saja dia dapat merabah persoalan itu.
"Tentu ada sebabnya, sampai tokoh pemerintah Ceng itu
berbuat begitu. Kemungkinan besar mereka telah dapat
mengetahui dari mulut Tio Jiang dan Yan-chiu bahwa
rombongan orang gagah dibawah pimpinan Ceng Bo
siangjin telah membentuk organisasi besar di Lo-hu-san.
Sucou (Ang Hwat) karena merasa dihianati itu, tak sudi lagi
berhubungan dengan pemerintah Ceng, tapi aku masih
bebas! Kedua suami isteri itu tentu memerlukan bantuan,
kalau aku dapat mengulurkan tanganku ......" berpikir
sampai disini dia menjadi kegirangan.
Dua kali sudah The Go menghambakan tenaganya
kepada pemerintah Ceng, tapi dua kali itu pula dia gagal
melaksanakan rencananya. Semestinya dia harus sudah
insyaf. Tapi sebaliknya begitu membaui jejak Hwat Siau
dan Swat Moay untuk menggempur rombongan orang
gagah, kembali dia meluap lagi nafsunya. Dari sini dapat
ditilik sampai dimana martabat orang muda yang gila
pangkat dan harta itu, hingga tak segan menjadi
penghianat, rela pula mengorbankan seorang isteri.
Setelah menetapkan rencananya, dia segera melorot
turun seraya berseru: "Orang she Tio, jangan bermulut
besar! The toaya ada disini!"
Melihat The Go muncul, Tio Jiang menduga keras kalau
pemuda saingannya itu bermaksud hendak mengikutinya
naik ke Lo-hu-san. Maka dengan gemas dia menyahut:
"Cianbin-long-kun, itu barulah laku seorang jantan!"
The Go memandangnya dengan menghina, kemudian
memberi hormat kepada Hwat Siau, ujarnya: "Cianpwe,
sudah lama kita tak berjumpa!"
Melihat munculnya sianak muda itu secara mendadak,
wajah Hwat Siau berobah seketika. Tapi The Go yang licin
segera dapat menebak pikiran orang, maka buru2 dia
berkata: "Sucouku sedang bepergian, disini hanya tinggal
aku seorang diri!"
Ucapan itu

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dimaksudkan untuk menenangkan kegelisahan Hwat Siau yang merasa telah kesalahan
terhadap fihak Ang Hun Kiong. Tapi Hwat Siau belum
dapat pulih ketenangannya. Syukurlah pada saat itu Swat
Moay dengan memimpin Yan-chiu tampak mendatangi.
Wanita itupun terbeliak, namun setelah mendengar kata2
The Go tadi, ia menjadi tenang kembali.
Baik Cian-bin Long-kun maupun kedua suami isteri
Hwat Siau Swat Moay itu adalah orang julik yang cerdas,
jadi cukup dengan bertukar sepatah dua patah perkataan
saja, masing2 sudah dapat menyelami maksudnya. Swat
Moay cukup mengetahui bahwa The Go benci tujuh
turunan pada rombongan Ceng Bo, maka kalau mereka
(Hwat Siau dan Swat Moay) bisa dapatkan bantuan dari
pemuda itu pastilah akan besar faedahnya. Cepat Swat
Moay memberi isyarat mata pada The Go, kemudian
mulutnya pura2 mendamprat: "Orang she The, kali ini kau
takkan lolos. Ayuh, ikut pada kita tidak"!"
The Go mengerti apa yang disandiwarakan oleh Swat
Moay, diapun tahu bahwa kedua suami fateri itu adalah
orang kepercayaan Sip-ceng-ong Tolkun yang memegang
kekuasaan besar dalam pemerintahan Ceng. Maka tanpa
banyak pikir lagi, dia segera tundukkan kepala pura2
menyesal dan patuh. Yan-chiu heran mengapa Swat Moay
membantu sukonya untuk menangkapkan The Go, namun
kenyataan memang begitu. Malah ketika sudah dibawa
kedalam perahu, The Go segera ulurkan kedua tangannya,
bertanya: "Tio-heng, apakah tanganku ini tak diikat?"
"Kita sekalian adalah orang2 persilatan, jadi tak
usahlah!" sahut Tio Jiang, pemuda yang jujur itu.
Yan-chiu pernah mengalami pil pahit dari The Go, ya
walaupun tak sebanyak dan sehebat seperti Tio Jiang,
namun ditinjau dari kelakuan anak muda itu (The Go) yang
begitu kejam membuang cinta kasih Bek Lian, ia percaya
penyerahan dirinya kali ini tentu tak sewajarnya. Disitu
tentu terselip sesuatu, tapi apa dan bagaimana Yan-chiu
belum dapat menyingkap. Maka iapun tinggal diam saja
dan hanya mengerahkan seluruh perhatiannya pada
perkembangan yang akan terjadi nanti.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 48 : PEMILIHAN UMUM
Mereka berlayar kearah barat dan menjelang tengah hari,
tibalah di Kwiciu. Kala itu, didalam kota Kwiciu sudah
sangat ramainya. Kuatir terbitkan hal2 yang tak diinginkan,
Swat Moay usul supaya mengambil jalan mengitari saja dan
tak usah masuk kota. Oleh karena kepingin buru2 tiba di
Lo-hu-san, Tio Jiangpun menyetujui. Begitu malamnya
setelah melintasi kota Keng-seng, mereka segera lanjutkan
perjalanan ke Lo-hu-san.
Malam itu rembulan remang, hawanya dingin dan angin
malam tak henti2nya mengantar bunyi burung kukukbeluk.
suatu suasana yang memberikan alamat kurang balk. Tio
Jiang dan Yan-chiu berjalan dimuka sedang kedua suami
isteri Hwat Siau dan Swat Moay mengikutinya dari
belakang. Diam2 Yan-chiu mencatat dalam hati bahwa The
Go sebenarnya mempunyai banyak sekali kesempatan
untuk melarikan diri, tapi nyatanya tidak mau, bahkan
senantiasa berada dekat Hwat Siau dan Swat Moay kasak
kusuk entah apa yang dirundingkannya,
Kini Yan-chiu sudah memastikan bahwa kepergian
ketiga orang ke Lo-hu-san itu, tentu tak bermaksud baik.
Tapi sayangnya, selama ini ia tak mempunyai kesempatan
untuk memberitahukan hal itu kepada sukonya. Dalam
kesempatan yang sebaik seperti pada saat Itu, ia harus
bertindak. Namun ia agak meragu, mengingat Swat Moay
tempo hari telah menolong jiwanya dari kepungan tentara
Lam Beng. Lama setelah merenung akhirnya ia ambil
ketetapan untuk mengatakan juga.
"Suko, kalau misalnya kau hanya hidup untuk 3 hari
saja, apa yang kau lakukan?" tanyanya.
Tio Jiang menghela napas. Setelah beberapa saat
berpikir, menyahutlah dia: "Apa yang hendak dikerjakan
itu, banyaklah kiranya! Ai......, Siao Chiu, perlu apa kau
tanyakan hal itu " "
Kini giliran Yan-chiu yang menghela napas, lalu berkata:
"Suko, andai kata ada seseorang yang menolong jiwamu,
bagaimana tindakanmu?"
"Tentu saja, kubalas budinya!"
"Tapi kalau penolongmu itu ternyata seorang jahat............ taruh kata saja semisal Cin-bin Long-kun, lalu
kau bagaimana ?"
"Kalau itu, lain halnya. Sudah beberapa kali dia
berhamba pada penjajah Ceng, merugikan kepentingan
rahayat. Soal budi perseorangan, itulah nomor dua. Jadi tak
dapat kita lepaskan orang Itu!"
Mendengar jawaban itu, Yan-chiu terperanjat. la
mengagumi sukonya itu. Diam2 ia membatin, jangan2
tindakannya terhadap kedua suami isteri selama ini, kurang
benar. Segera ia membuat suaranya serendah mungkin,
membisikinya: "Suko, jadi kalau menurut anggapanmu,
Hwat Siau dan Swat Moay kedua orang itu, walaupun telah
menolong jiwa kita namun juga tak boleh dibantu?"
"Siao Chiu, kau bicara apa itu?" menegas Tio Jiang
seraya tertawa karena rupanya dia tak mendengar jelas,
"lebih baik kita mati daripada mengatakan kalau kedua
orang itu menolong kita!"
Yan-chiu dongakkan kepala memandang lekat2 kearah
sukonya. Tio Jiang dapatkan dalam sorot mata sumoaynya
itu tiada lagi dari seorang anak perempuan kecil, tapi
pandangan mata seorang gadis dewasa. Tio Jiang kemalu2an dibuatnya.
"Suko, kau ini bagaimana" Kalau tempo terkepung
tentara. Beng di Siau Ging, kita tak dapat lolos, apa kau
lebih suka binasa daripada suruh kedua suami isteri itu
menolongmu?" tanya Yan-chiu pula.
"Binasa ditangan bangsa sendiri adalah jauh lebih utama
dari pada ditolongi oleh kaki tangan pemerintah Ceng!"
sahut Tio Jiang dengan tegas ringkas.
Tubuh Yan-chiu menggigil bergemetaran.
"Suko, ah, repotlah ini! Yang menolongi kita, memang
Hwat Siau dan Swat Moay!"
Hampir Tio Jiang tak mempercayai pendengarannya.
Serentak dia berdiri bertanya keras: "Siao Chiu, apa katamu
tadi ?" "Benar, yang menolongmu itu adalah Hwat Siau dan
Swat Moay!" tiba2 Hwat Siau mendahului menyahut. Dan
berbareng pada saat itu, Tio Jiang rasakan ada angin panas
menyambar disisinya dan tahu2 orang lelaki kurus yang
bermula dikiranya seorang cianpwe itu, kini sudah
menghadang disebelah muka. Dengan bercekak pinggang,
sikurus Itu menatap mereka (Tio Jiang dan Yan-chiu)
dengan tajam sekali.
Dalam gugupnya Tio Jiang berpaling kebelakang dan
disana siwanita kuruspun menyeringai iblis memandangnya. Jadi kini Tio Jiang dipegat dari muka
belakang oleh kedua suami isteri itu. Ah, jadi mereka itulah
Hwat Siau dan Swat Moay, itu sepasang suami isteri yang
menjadi orang kepercayaan pemerintah Ceng! Celaka, tadi
dia telah memberitahukan semua apa yang terjadi di Lo-husan. Keringat dingin membasahi tubuh Tio Jiang. Sedang
pada saat itu, terdengar The Go tertawa panjang. Darah Tio
Jiang serasa mendidih.
"Siao Chiu, tak nyana kau ... kau juga ikut pada
mereka!" dia damprat sang sumoay.
Yan-chiu tak dapat menyatakan kesukaran yang
dideritanya, maka dengan ter-isak2 ia menyahut: "Suko,
aku hanya belum mengatakan saja........... mereka melarang
aku berkata apa2. Setelah berjumpa denganmu, kegirangan
telah membuat aku lupa segala apa. Suko, dalam
pandanganmu hanya terdapat Lian suci seorang. Kau tak
memikirkan bagaimana aku......... memikirkan dirimu.
Ah........, toh aku hanya mempunyai waktu 3 hari untuk
hidup. Mati ber-sama2 kau, adalah suatu kebahagian!"
Walaupun tak mengerti persoalannya, namun kini
barulah Tio Jiang terbuka hatinya bahwa sumoaynya itu
telah menaruh hati padanya. Bukan sehari dua, melainkan
sudah lama sekali. Tapi oleh karena keadaan pada saat itu
sangat genting, burul dia berkata: "Siao Chiu, yang kita
hadapi ini bukan terbatas persoalan kita berdua. Kalau
ketiga orang Itu sampai ikut naik ke Giok-li-nia, entah akan
mendatangkan bahaya apa saja. Jerih susah setengah tahun,
tak boleh rusak dalam sehari saja. Ayuh, lekas kita
berjalan!"
Dengan menarik lengan Yan-chiu, dia menobros
kesebelah kiri. Tapi disitu Hwat Siau sudah menghadang.
Tio Jiang sudah menduga akan hal itu, maka dia surutkan
tubuhnya mendongak, lalu melayang datar keluar. Gerak
itu mengunjukkan suatu penguasaan ilmu lwekang yang
sempurna. Tapi Hwat Siau dan Swat Moay menyerang
berbareng. Swat Moay sudah siang2 menunggu dibelakang,
belum kaki Tio Jiang menginjak tanah, wanita jahat itu
sudah lepaskan hantaman.
Tio Jiang rasakan punggungnya terasa dingin, sebenarnya dapat dia menghindar kesamping, tapi sesaat
terkilas pada pikirannya untuk lolos dua orang terang tak
mungkin, maka lebih baik dia bertahan sendiri, tapi dapat
lemparkan sumoaynya keluar. Menilik kepandalan mengentengi tubuh dari sumoay itu, tentu akan dapat
melompat lima enam tombak jauhnya dan bisa melarikan
diri. Begitu mengambil keputusan, begitu dia hanya
miringkan tubuhnya sedikit untuk menyambut serangan
Swat Moay. Dan berbareng pada saat itu, dengan tangan
kanan dia samber tubuh Yan-chiu terus dilemparkan keatas
sampai setombak tingginya. Dan untuk menghadang
kemungkinan Swat Moay mengejar sang sumoay, dia
segera gunakan jurus tong-cu-pay-hud (anak memuja
Buddha), menghantam kedada siwanita seraya berseru
nyaring: "Siao Chiu, lekas naik keatas gunung memberitahukan suhu, jangan bikin kapiran urusan besar!"
Sewaktu melayang diatas, Yan-chiu masih belum
mengerti maksud
sukonya. Tapi serta Tio Jiang meneriakinya begitu, baru jelaslah ia. Tapi bagaimana ia
tega biarkan sukonya bertempur seorang diri melawan
Hwat Siau dan Swat Moay " Bukankah itu berarti
membiarkan dia mati" Dalam detik2 yang genting,
pilihannya jatuh pada diri Tio Jiang daripada rombongan
orang gagah yang berada di Lo-hu-san itu. Ah, memang
begitulah kalau hati sedang dicengkeram asmara. Ia melirik
kebawah dan dapatkan sukonya sedang menyerang Swat
Moay. "Tidak, kalau binasa biarlah ber-sama!" serunya.
Mulut mengucap, tubuh sudah berjumpalitan diudara.
Dengan gerak gan-lok-ping-sat (burung meliwis mendatar
turun dipasir, ia meluncur ketanah terus lancarkan
permainan ugo-hok-kun (ilmu silat 5 kelelawar). Dua buah
jurus yang istimewa dart permainan ilmu silat itu, yani jurus
song-hok-seng-hang (sepasang kelelawar berbaris sejajar)
dan ngo-hok-lim-bun (5 kelelawar tiba dipintu), ia
serangkan sekali gus.
Ngo-hok kun itu, kecuali harus disertai ilmu lwekang
pun yang penting harus dimainkan dengan ilmu kepandaian
mengentengi tubuh yang tinggi. Sedari makan mustika batu,
tubuh Yan-chiu selincah burung walet, jadi serangannya
tadipun laksana angin pesatnya.
Merasa hantaman Tio Jiang itu cukup kuat untuk
menghancurkan batu, Swat Moay menyurut kebelakang,
tapi tak disangkanya sama sekali kalau Yan-chiu meluncur
balik dan melancarkan dua buah serangan. Serangan
pertama song-hok-seng-hang dapat dihindari, tapi untuk
serangan yang kedua yani ngo-hok-lin-bun, tak dapat
wanita itu menyingkir lagi. Blak...., blak...., blak...., blak....,
blak...., 5 buah hantaman tepat jatuh diperut Swat Moay.
Benar lwekang Yan-chiu tak sehebat Swat Moay, namun
karena nona itu kalap hendak mengadu jiwa, jadi
pukulannya tadipun keras juga hingga membuat Swat Moay
meringis. Namun ia tak dapat memutar diri karena tengah
tumpahkan perhatiannya kepada Tio Jiang. Kini ia
rangkapkan sepasang tangan lalu mendorong kemuka
sianak muda. Jurus ini disebut thian-it-seng-cui (Alam


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertama kali mengadakan air), salah sebuah jurus yang
paling lihay dari ilmu im-cui-kang.
Mengetahui sumoaynya tak mau mendengarkan perintahnya dan berkeras untuk ber-sama2 mengadu jiwa,
bukannya terima kasih tapi sebaliknya Tio Jiang marah
sekali. "Siao Chiu, kalau kau tak lekas pergi, aku tak mau
mengaku sumoay lagi padamu!"
Tapi baru saja dia berteriak begitu, serangan thian-itseng-cui sudah tiba. Karena tak tahu akan kelihayan
serangan itu, dia buru2 surutkan kembali tangannya untuk
dibuat menangkis. Tapi begitu berbentur, segera tubuhnya
merasa kedinginan, celaka....... demikian dia mengeluh
terus dengan ter-sipu2 miringkan tubuhnya untuk gunakan
jurus hong-cu-may-ciu meloloskan diri. Tapi secepat kilat
Swat Moay susuli lagi dengan sebuah dorongan, hingga Tio
Jiang yang belum sempat menginjak bumi itu, merasti
punggungnya sangat dingin sekali. Masih dia berusaha
untuk menghuyung kemuka, tapi kepalanya serasa pening
mata ber-kunang2.
"Tio-heng, berdirilah yang jejak!" seru Hwat Siau
sembari tertawa keras.
Masih telinga Tio Jiang mendengar seruan itu, tapi
tubuh2nya ter-putar2 dan matanya berpudaran dan
bluk........ jatuhlah dia tak kabarkan diri lagi.
Yan-chiu terperanjat melihat sukonya dirubuhkan oleh
kedua suami isteri itu.
"Siao-ah-thau, berdamping dengan kekasih, kau puas
tidak?" Swat Moay tertawa menyeringai. Tapi Yan-chiu tak
menghiraukan hanya terus menubruk tubuh sukonya. la
menangis keras, tapi air matanya tak keluar, karena sudah
habis. Hwat Siau tak mau buang banyak waktu. Begitu tangan
diangkat, segera dia hendak menghantam kepala sinona.
Tapi tiba2 dia tersentak kaget, karena mendengar suara
tangisan bayi. Dan pada lain saat terdengar seorang wanita
membujuknya: "Jangan menangis, buyung! Biar nenek
mencarinya siapa yang mengganggu tidurmu ini, nanti
nenek usir mereka, sudah jangan menangis!"
Bujuk rayuan itu bernada kesayangan seorang nenek
terhadap cucu yang dikasihinya. Tapi Hwat Siau dan Swat
Moay sudah ketakutan setengah mati, "Ayuh, lekas pergi!"
Swat Moay bisiki suaminya. Sekali gerak, Hwat Siau sudah
meluncur setombak jauhnya. Tapi disitu ia berhenti sejenak
untuk kibaskan tangannya kearah Yan-chiu. Yan-chiu tak
bersiaga sama sekali, sesaat dia merasa seperti disamber
hawa panas hingga seketika ia tak dapat bernapas!
Swat Moay, Hwat Siau dan The Go bertiga secepat kilat
sudah lari menuju sebuah jalanan kecil. Dengan kepandaian
mengentengi tubuh yang sempurna, menjelang terang
tanah, mereka sudah masuk ke Lo-hu-san. Oleh karena
pernah mengunjungi Giok-li-nia, jadi The Go faham akan
jalanan disitu. Dia terkenang akan kunjungannya pertama
digunung situ bersama 4 orang kawannya serta pertemuannya yang pertama kali dengan Bek Lian.
Ketika matahari menjulang diufuk timur, mereka sudah
tak seberapa jalih dari Giok-li-nia. Dari kejauhan tampak
dipuncak itu terdapat barisan kemah ber-jajar2, dan hixuk
pikuk suara orang. The Go berhenti, katanya: "Kita harus
bekerja menurut rencana kita itu"
"Cian-bin Long-kun, kalau kali ini berhasil, nanti
dihadapan Sip-ceng-ong kami berdua tentu akan mengusulkan dirimu!" kata Swat Moay.
The Go pura2 merendah. Makin mendekati ketempat itu,
tampak the-Go makin beraksi seperti orang yang bersedih,
hingga membuat Hwat Siau geli.
"Niocu, kalau ada salah seorang dari mereka yang
mengenali kita, bukankah urusan akan menjadi runiam ?"
tanya Hwat Siau pada sang isteri.
"Hem, hal itu siang2 sudah kupikirkan," ujar Swat Moay
sembari mengeluarkan dua stel pakaian dari buntelannya.
ternyata pakaian itu pakaian biasa (orang preman). "Sejak
kita datang keselatan sini, belum pernah menampakkan
muka. Dengan berganti pakaian tak nanti ada orang yang
mengenali kita lagi!"
Benar juga setelah bersalin pakaian, keduanya menjadi
orang baru. Sekalipun orang yang pernah berjumpa, namun
dalam sesingkat waktu, sukarlah untuk mengenalinya.
Apalagi selama itu mereka telah bekerja dengan cermat
sekali. Ketika digereja Ang Hun Kiong, selain Ang Hwat
cinjin, keempat muridnya dan The Go serta Kang Siang
Yan dan Bek Lian, tiada seorang lain lagi yang pernah
melihatnya. Orang hanya mendengar namanya tapi belum
pernah melihat wajahnya.
Mereka segera membawa The Go lanjutkan perjalanan.
Terdengar suara petasan dipasang dengan gempar, pertanda
bahwa hari itu Thian Te Hui akan mengadakan pemilihan
pemimpin. Memang sebagian besar dari orang2 itu berasal
dari daerah Kwiciu. Turut naluri kebiasaan rakyat daerah
itu, setiap ada peristiwa besar, tentu membakar mercon
untuk meramaikan. Begitu tiba, dilihatnya banyak sekali
jumlahnya orang2 yang berkumpul disitu. Barisan kemah
walaupun kasar pembuatannya, namun ber-jajar2 secara
teratur sekali.
Sepasang suami isteri itu sudah menjelajahi kedua
propinsi Kwitang dan Kwisay. Tak sedikit jumlahnya
kemah tentara Beng yang dilihatnya. Kecuali orang
sebawahan Li Seng Tong yang agak lumayan, lain2nya itu
tak ubahnya seperti macam sarang burung saja. Tapi apa
yang dilihatnya dipuncak Giok-li-nia situ, sungguh
membuatnya kagum. Kalau mereka dibiarkan saja, kelak
pasti akan menjadi suatu bahaya besar bagi kedudukan
pemerintah Ceng. Sembari berjalan mereka bertiga tak
henti2nya memeriksa keadaan disekelilingnya. Tiba dikaki
gunung, segera mereka dihadang oleh para penjaga yang
menanyai maksud kedatangannya.
"Harap saudara melapor ke Giok-li-nia sana bahwa
persaudaraan Song dari Liau-tang, Song Hou dan Song Pa
datang mengunjuk hormat kemari beserta orang tawanan
Cian-bin Long-kun The Go!" seru Swat Moay dengan
sengaja membesarkan nada suaranya.
Nama Song Hou dan Song Pa, cukup termasyhur.
Walaupun mereka tinggal didaerah Liau-tang, namun
setiap kaum persilatan kenal akan namanya. Penjaga itu
juga bukan sembarang orang persilatan, jadi merekapun
menjadi girang atas kedatangan kedua tokoh lihay itu.
Buru2 disuruh seorang bawahannya untuk melapor keatas
gunung. Kala itu para tokoh2 terkemuka sedang bermusyawarah.
Antaranya terdapat Ceng Bo siangjin, Ki Ce-tiong, Kiau
To, Kui-ing-cu, Thaysan sin-tho Ih Liok, Sin-eng Ko Thay
dan lain2nya. Mendengar laporan tentang kedatangan
kedua saudara she Song itu, mereka sama bergirang.
Kegirangan mereka makin besar demi mendapat laporan
bahwa Cian-bin Long-kun The Go telah ditangkap oleh
kedua saudara Song Itu serta dibawanya kesitu juga.
Hanya sibongkok Ih Liok yang berpendapat lain, katanya
: "Kedua saudara Song itu tinggal diwilayah Liau-tang yang
jauh sekali. Daerah itu masih merupakan kantong kaki
tangan pemerintah Ceng. Untuk apa mereka datang
kemari?" "Mungkin karena mendengar induk gerakan kami ini
makin besar, mereka datang untuk membantu. Biar
bagaimana karena toh mereka jauh2 sudah perlukan
datang, sungkanlah kita untuk menolaknya!" kata Ceng Bo
siangjin. Dipikir sanggahan siangjin itu beralasan, Ih Liokpun ikut
turun gunung menyambutnya. Apa yang mereka jumpai
adalah dua orang lelaki kurus (Swat Moay juga menyamar
jadi orang lelaki), semangatnya ber-api2, pelipisnya agak
menonjol, pertanda lwekangnya mendalam. Dengan
mereka ikut seorang pemuda yang lemah berantai tak
bersemangat, bukan lain yalah Cian-bin Long-kun The Go !
Maju menghampiri kemuka, Ceng Bo ulurkan tangan
menjabat seraya memberi salam: "Cayhe adalah Ceng Bo,
apakah tuan2 berdua ini persaudaraan Song" Ah, sudah
lama cayhe sangat mengagumi nama jiwi!"
Hwat Siau menjabat tangan Ceng Bo dengan hangat
mesra, sahutnya: "Cayhe adalah Song Hou dan ini adikku
Song Pah. Mendengar siangjin dan lain2 saudara
membangunkan organisasi melawan Ceng membantu Beng,
kamti berdua sengaja jauh2 dari Liau-tang datang kemari
untuk menggabungkan diri. Disamping itu kami hendak
menyampaikan berita duka pada, siangjin serta menyerahkan orang ini untuk sesaji upacara penaikan
bendera!" Lebih dahulu Ceng Bo perkenalkan kedua saudara Song
itu kepada saudara2 lainnya. Tiba giliran Kui-ing-cu, sejak
tenaganya sudah pulih kembali dia pun kumat lagi
penyakitnya suka ugal2an, dia segera mengetahui bahwa
lwekang dari kedua persaudaraan Song itu luar biasa
coraknya serta teramat sempurnanya. Mungkin tidak
dibawah Ih Liok, Ko Thay dan Ceng Bo siangjin. Menilik
dalam pembicaraan kedua saudara Song itu selalu
membawa diri merendah, Kui-ing-cu tak menyangka jelek.
Namun sekalipun begitu, tetap ia ingin mencoba sampai
dimana tinggi rendahnya lwekang mereka itu.
Begitu berjabat tangan, dia segera meng-guncang2kannya
sampai 3 kali. Dalam pengguncangannya itu diam2 dia
salurkan lwekang, apabila lwekang lawan kurang dalam,
pasti akan tak tahan. Menjaga agar sang tetamu jangan
sampai mendapat malu, Kui-ing-cu hanya gunakan 3 bagian
dari tenaganya..
Hwat Siau bukan anak kemaren sore. Tahu sudah dia
akan maksud orang hendak mengujinya itu. Diam2 diapun
kerahkan lwekang, dengan tertawa tawar dia halau lwekang
Kui-ing-cu via guncangan tangan tadi. Kemudian seolah2
tak terjadi suatu apa, berkatalah dia dengan tertawa: "Hengtay (saudara) terlalu sungkan sekalilah!"
Sekalian orangpun tahu kalau Kui-ing-cu tengah menguji
kepandaian orang, maka mereka buru2 alihkan pembicaraan untuk melerainya. Perangai Hwat Siau bengis,
tapi dalam menghadapi urusan sepenting itu, dia terpaksa
mengendalikan diri. Ah, memang urusan didunia ini
seringkali terjadi karena kebetulan saja. Coba tadi Kui-ingcu salurkan lwekang ketelapak tangan untuk memijat,
sudah tentu Hwat Siau akan salurkan lwekang untuk
melawannya juga, dan ilmunya yang-hwat (api positip)
tentu akan ketahuan. Telapak tangannya pasti akan berobah
merah membara, dan walaupun Kui-ing-cu tak dapat
"menelanjangi" penyaruannya dengan seketika, namun sekurang2nya dapatlah dia menaruh curiga.
Kini bukan saja Kui-ing-cu tak dapat mengetahui
peribadi aseli dari Hwat Siau, pun sebaliknya dia malah
merasa dirinya agak "keterlaluan" memperlakukan tetamu.
Diam2 dia menyesal dan terkikislah kecurigaannya. Bagi
kaum persilatan, tidaklah banyak berlaku sungkan. Hanya
dengan beberapa patah kata perkenalan, mereka sudah
seperti sahabat lama. Ceng Bopun segera menanyakan
berita yang hepdak dibawakan Hwat Siau tadi. Kedua
suami isteri itu main aksi, katanya: "Urusan ini sungguh
lain dari yang lain, setelah bertemu dengan para thaubak
(kepala regu anak buah), baru dapat kami haturkan."
Ceng Bo tak mau mendesak, lalu ajak mereka berdua.
naik gunung. Tak antara berapa lama, kembali ada 3 atau 4
puluh orang be-ramai2 datang kegunung situ. Mereka terdiri dari para orang gagah yang baik nama maupun
kepandaiannya sudah terkenal didunia persilatan. Mereka
datang kesitu untuk menggabungkan diri. Diantara sekian
banyak orang baru, ada dua orang yang membuat Hwat
Siau dan Swat Moay terbeliak kaget. Juga kedua oorang
itupun tak. kurang kejutnya. Namun dalam beberapa detik
saja, mereka segera dapat menguasai diri dan berlaku seolah2 tidak terjadi suatu apa.
Ceng Bo perkenalkan mereka sama lain. Kiranya salah
satu dari kedua orang tadi yang bertubuh kate bernama Ciu
Sim-ih, bergelar sam-chun-ting (si Paku 3 dim). Sedang
yang satunya, pada mukanya terdapat sebuah tanda hitam
(tembong), bernama Hek-bin-sin Ho Gak atau si Malaekat
berwajah hitam. Hwat Siau dan Swat Moay tahu jelas
bahwa kedua orang itu adalah benggolan dinas rahasia dari
pemerintah Ceng. Mungkin karena mereka (Hwat Siau dan
Swat Moay) lama belum berhasil, maka Tolkun telah
mengirim kedua jagoan itu, dan dengan licinnya mereka
dapat menyelundup masuk ke Giok-li-nia. Dihadapan


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekian banyak orang, Hwat Siau dan isterinya hanya
mengucapkan tegur salam seperlunya saja.
Memang dalam phase pembentukan sebuah organisasi
yang beranggautakan sekian banyak orang itu, sukarlah
untuk menjaga kemungkinan perembesan pijat2 dalam
selimut (musuh dalam selimut). Maka yang perlu
diselesaikan lebih dahulu, ialah mengangkat seorang
pemimpin. Pada pemimpin itulah ditaruh
seluruh kekuasaan untuk memegang tampuk pimpinan, demi
kelancaran gerakan besar itu.
Pada lain saat, barulah Hwat Siau menjelaskan apa
berita yang dibawanya itu: "Ada seorang saudara, bernama
Tio Jiang, adakah dia itu anggauta perserekatan kita ini?"
"Itulah muridku. Bagaimana dia?" buru2 Ceng Bo
menyahut. "Ai, sayang, sayang!" seru Hwat Siau sembari geleng2
kepala. "Dia menuju ke Siau Ging, apakah ditengah jalan
mendapat bahaya?" tanya sibongkok Ih Liok. Lagi2 Hwat
Siau menggeleng kepala sebelum mend yawab.
"Dia tak mendapat bahaya suatu apa ditengah jalan.
Hanya setibanya dikota Siau Ging, terus ditangkap oleh
kaisar Ing Lek sebagai pemberontak, kemudian dihukum
penggal kepala! !
"Adakah hal itu benar"!" seru Ceng Bo dengan terbeliak.
"Mengapa kami berdua saudara harus berbohong
:"Kaisar Ing Lek menuduh kita ini tak ubahnya seperti
macam Thio Hian Tiong dan Li Seng Tong. Mengumpulkan anak buah dan kuda karena hendak
memberontak. Inilah 'keistimewaan' dari pemerintahan Siau
Ging, semua orang sudah maklum, jadi tak perlu
disangsikan lagi!"
Ucapan Hwat Siau itu termakan betul2 dalam hati
sekalian orang gagah. Memang dengan mengutus Tio Jiang
menghadap kaisar Ing Lek, mereka sudah menduga belum
tentu pemerintah Siau Ging menyetujuinya. Namun tidak
menduga, kalau sedemikian hebat kesudahannya. Suasana
menjadi panas dengan luapan kemarahan.
"Jahanam, ayuh kita serbu Siau Ging dan usir kaisar gila
itu. Apa sih kaisar itu, toa-ah-ko dari Thian Te Hui, itulah
yang pantas menjadi kaisar!" seru salah seorang.
"Keparat, kita ini dianggap sebagai Thio Hian Tiong"
Basmi saja raja begitu!" seru lagi yang lain. Juga Hekbin-sin
Ho Gak turut memaki dengan suara lantang: "Setan lanat,
apakah dunia ini sudah tiada ada kebenaran lagi"!"
Hati Ceng Bopun dirangsang kemurkaan hebat. Namun
dia cukup sadar, bahwa kalau dia umbar kemarahan
menurut kemauan mereka, paling banyak hanya dapat
memuaskan hati orang2 itu sad ya. Diantara sekian ban yak
orang, hanya Kui-ing-cu-lah yang dianggapnya paling lihay
sendiri kepandaiannya. Maka buru2 dia melirik kearah
tokoh itu, siapa ternyata tahu juga akan maksud imam
gagah itu. Segera tokoh yang aneh itu bersuit keras
bagaikan ringkikan naga. Seketika itu siraplah hiruk pikuk
suara dalam ruangan situ. Kini semua mata ditujukan
kearah Ceng Bo siangjin untuk menantikan apa yang
hendak diutarakannya itu.
Wajah Ceng Bo menampilkan kedudukan dan kemarahan, jadi untuk beberapa saat tak dapat dia
mengucap apa2. Tak tahu dia bagaimana hendak
memulaikan kata2-nya. Dia seorang yang berperibadi lurus
perwira. Tio Jiang adalah muridnya yang paling dikasihi.
Hubungan antara guru dan murid itu bagaikan ayah dengan
puteranya. Dibawah asuhannya. Tio Jiang telah menjadi
seorang patriot yang menyerahkan segenap jiwa raganya
untuk kepentingan negara dan rakyat bangsanya. Jadi
dalam perjoangan, boleh dianggap Tio Jiang itu sebagai
seorang kawan seperjoangan yang setia.
Berita kematian dari murid kesayangannya itu, telah
membuat hati Ceng Bo seperti disayat sembilu pedihnya.
Kalau menuruti kemauan sekalian kawan itu untuk
menyerbu Siau Ging, tentulah kaisar Ing Lek akan
memanggil Li Seng Tong untuk menghadapinya. Dengan
begitu, perbatasan daerah akan menjadi kosong. ini berarti
mengundang penjajah Ceng untuk menyerbunya. Setelah
merenung beberapa jurus, akhirnya imam itu berpendapat
bahwa sakit hati adalah urusan kecil, yang utama penting
adalah urusan negara.
"Harap saudara2 sekalian tenang. Dengan tindakan itu
terhadap kita, paling2 fihak kerajaan hanya bersalah karena
kurang bijaksana. Tapi demi untuk kepentingan negara, sekali2 tak boleh kita tinggalkan gi (kebenaran), Kesampingkan saja soal itu dan jangan diungkat lagi!" kata
Ceng Bo dengan tegas, walaupun hatinya hancur
mengenang nasib muridnya.
Pernyataan perwira itu mendapat sambutan baik dari
Thaysan sin-tho Ih Liok, Sin-eng Ko Thay dan lain" orang
gagah yang menjunjung keluhuran semangat cinta negeri.
Tapi reaksi lain timbul dari kawanan pijat's dalam selimut
itu yakni Hek-bin-sin Ho Gak dan Sam-chun-ting Ciu Sim-i.
Mereka salah terka siapakah Ceng Bo siangjin, imam
perwira yang berbudi luhur itu, yang mendahulukan
kepentingan nekara dari kepentingan peribadi. Menyelami
bahwa ada sementara orang gagah lainnya yang dapat diombang-ambingkan pendiriannya, majulah Hok Gok
kemuka dengan berseru keras: "Keliru! Kita kaum gagah
persilatan, selamanya tak mau mandah diperbuat sewenang2 oleh fihak pemerintah. Seorang pemuda ksatrya
macam saudara Tio Jiang itu telah dibinasakan secara
penasaran sekali oleh fihak kerajaan. Kalau suhu dari
saudara Tio Jiang itu tak mau membalaskan sakit hatinya,
kita kaum persilatan yang menjunjung semangat setiakawan, tak mau berpeluk tangan mengawasi saja!"
GAMBAR 89 Dengan licin Hek-bin-tui Ho Gak terus berseru menghasut:
"Tidak, kita sebagai orang persilatan tidak bisa antapkan seorang
pemuda perwira seperti saudara Tio Jiang dibinasakan begitu saja
oleh raja yang tak kenal gelagat itu, kita segera harus bertindak !"
Siapakah tokoh Hek-bin-sin Ho Gak dan Sam-chun-ting
Ciu Sam-i itu, sebenarnya sekalian orang2 gagah itu tak
mengetahui jelas. Tapi seruannya tadi, telah membangkit
rasa symphati dari sementara orang. Sikate Ciu sim-i
ternyata seorang yang lincah sekali. Diantara sekian ribu
orang, dia menyusup kesana sini untuk melakukan
provokasi. Suasana kembali menjadi gaduh. Berulang kali
Ceng Bo berseru menenangkan, tapi tak dapat menguasai
suasana riuh itu.
Memang perwatakan dari para orang gagah yang hampir
semuanya terdiri dari kaum persilatan itu. paling
menguta:nakan budi dan dendam. Setiap budi tentu dibalas,
dendam harus dihimpas. Segala apa didasarkan atas suara
hati, tak mau berfikir panjang tentang akibat dikemudian
harinya. Pemuda Tio Jiang memiliki kepandaian tinggi, tapi
rendah hati jadi dapat menawan simphati orang. Berita
kematiannya, telah membangkitkan kemarahan umum dan
ketekadan untuk menuntutkan balas. Pernyataan Ceng Bo
tadi terlalu kabur pada anggapan mereka. Ditambah minyak
oleh Ho Gak dan Ciu Sim-i, maka menyalalah semangat
dendam mereka. Untuk mengatasi keadaan, terpaksa Ceng Bo siangjin
bersuit keras. Tapi belum lagi dia sempat membuka suara,
Hwat Siau telah mendahului berseru nyaring: "Sukakah
sekalian saudara mendengar sedikit omonganku?"
Lwekang Hwat Siu sangat tinggi, jadi seruannya tadi
menggema laksana guntur. Dengan suitan Kui-ing-cu tadi,
walaupun berbeda nadanya, tapi setingkat hebatnya. Tapi
kalau dibanding dengan suitan Ceng Bo, terang lebih tinggi.
Sekalian orang sama terkesiap.
"Cayhe berdua saudara baru saja datang, seharusnya tak
boleh banyak bicara. Tapi mengingat ujar2 orang kuno
'kalau dua hati bersatu, emaspun dapat dibelah', kupikir
kedatangan kita semua kemari ini yalah untuk satu tujuan.
Tak boleh membawa mau sendiri. Kudengar hari ini
perserekatan kita Thian Te Hui hendak memilih pimpinan.
Turut pendapatku yang cupat, biarlah kita jangan
bertengkar dulu. Setelah terpilih ketua, segala sesuatu harus
menurut perintah pimpinan. Barang siapa yang membangkang, akan berlaku undang2 militer. Kalau kita
belum2 sudah berselisih pendapat, itu berarti mem-buang2
waktu saja. Nah, bagaimana pendapat saudara2 sekalian?"
Lihatlah betapa lihaynya Hwat Siau. Tak kecewalah dia
itu menjadi orang pilihan pemerintah Ceng, karena dia itu
memang seorang bun-bu-song-jwan (achli silat dan sastera).
Ucapannya itu kena benar, tiada seorangpun yang
membantah. Malah Kui-ing-cu dan Thaysan sin-tho Ih Liok
serempak berseru: "Benar, tepat sekali! Apabila Thian Te
Hui yang beranggauta puluhan ribu itu tiada pimpinan yang
tegas, bukankah akan menjadi semacam sarang tawon saja"
Oleh karena baru, orang gagah dari empat penjuru sudah
berkumpul semua digunung ini, sebaiknya Ki-heng dan
Kiau-heng lekas memulaikan upacara untuk memilih
ketua!" Dari tengah2 orang banyak, tampillah Ki Ce-tiong dan
Kiau To, itu toa-ah-ko dan ji-ah-ko dari Thian Te Hui
dahulu. Kepergian Kiau To dari gereja Ang Hun Kiong
untuk mencari suhunya (Tay Siang Siansu) ternyata tak
berhasil. Ketika mendengar kabar gereja itu dimusnakan
dinamit, dia ber-gegas2 menuju kesana. Tapi ditengah jalan
telah berpapasan dengan Ko Thay yang memberitahukan
tentang persiapan yang diadakan digunung Lo-hu-san. Dia
segera mengikut Ko Thay pergi kegunung tersebut.
Ki Ce-tiong dan Kiau To adalah pimpinan lama dari
Thian Te Hui, maka Kui-ing-cu menereaki mereka supaya
keluar. Dan ini tidak mendapat tentangan dari orang
banyak. Keduanya sama berbaju hitam, bercelana putih,
mengenakan ikat kepala sebagai seorang militer. Juga
sepatu mereka separoh hitam separoh putih. Itulah pakaian
seragam (uniform) dari Thian Te Hui.
Dari saku bajunya Ki Ce-tiong mengeluarkan 4 buah
thong-pay (piagam atau plaket dari tembaga) panjang 1
dim, lebar 2 dim. Tangan kanan kiri masing2 memegang 2
thong-pay, dan orangnya tegak berdiri dengan chidmat.
Kiau To menghamperi kearah seonggok tumpukan kayu
bakar yang sudah disiapkan disitu lebih dahulu. Setelah
nyalakan api, terus dilempar ketengah onggok kayu itu.
Terkena tiupan angin, kayu bakar itu segera berkobar.
Habis membakar, Kiau To lalu mundur kebelakang berdiri
disamping Ki Ce-tiong.
Suasana pada saat itu tampak khidmat sekali. Semua
orang sama menahan napas, tiada yang bicara sendiri.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 49 : LELATU YANG
BERBAHAYA Setengah jam kemudian api yang marong itu, menjadi
reda, dan kini tinggal setumpuk lelatu setinggi satu meter,
tapi masih mengeluarkan bunyi letikan. KI Ce-tiong maju
selangkah, berseru lantang: "Dengan gagalnya Thian Te
Hui yang lama, tampuk pimpinan ketua yang dijabat
olehku, orang she Ki ini, turut berakhir. Bahwasanya kini
atas dukungan para enghiong hohan dari seluruh penjuru
Thian Te Hui akan dibangun lagi, aku aiorang she Ki tak
mau terus mengangkangi kurai ketua Itu. Ho-pay (tanda
kekuasaan) dari keempat tampuk pimpinan pada saat ini
berada disini. Enghiong siapa sajapun yang nanti dipilih
menjadi ketua, silahkan mengambil ho-pay ini dari unggun
lelatu. Sejak itu, saudara2 anggauta Thian Te Hui, harus
taat dan tunduk pada perintah pimpinan, seperti kebaktian
seorang putera terhadap orang tuanya!"
Habis berkata itu, keempat thong-pay tadi terus
dilemparkan kedalam unggun lelatu. Walaupun api unggun
sudah reda, namun cukup panas untuk membakar thongpay tersebut. Ini bukan dimaksud untuk menyukarkan ketua
baru nanti, tapi sekedar upacara simbolis yang berfatwa
(bermakna): hendaknya tampuk pimpinan jangan jeri
menghadapi kesukaran. Tradisi lni dimulaikan sejak
pendirian Thian Te Hui pada masa kerajaan Beng sebelum
hijrah keselatan.
Dan menurut tradisi itu pula, begitu thong-pay dilempar
kedalam unggun lelatu, pemilihan ketua akan dapat
berjalan dengan cepat dan lancar. Oleh karena sebelumnya,


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang sudah mempunyai calon yang pantas diangkat. Tapi
dengan menyelundupnya Hwat Siau Swat Moay kedua
kepala jagoan pemerintah Ceng disitu, pemilihan berjalan
dengan seret kalau tak mau dikatakan agak kacau.
"Hay-te-kau Bek Ing seorang tokoh yang berkepandaian
tinggi dan berbudi luhur, selayaknya dia diangkat menjadi
toa-ah-ko Thian Te Hui!" tiba2 kedengaran Kisu To berseru
nyaring. Gemuruh riuh orang menyambut usul itu dengan
gembira. Melihat gelagat jelek, Swat Moay segera memberi
isyarat mata kepada Hek-bin-sin Ho Gak, siapa rupanya
mengerti. Tampil kemuka, Ho Gak segera berseru dengan
nyaring juga: "Rasanya ucapan Kiau-heng itu kurang tepat!
Bangunnya Thian Te Hui lagi kali ini, menghadapi tugas
yang maha berat. Sekalipun Ceng Bo siangjin namanya
cukup termasyhur dan budinya sangat luhur, tapi ada
beberapa hal yang masih kurang. Pertama, kepandaiannya
silat tidak cukup untuk menundukkan orang banyak.
Kedua, tidak berhasrat menuntut balas atas kematian sdr.
Tio Jiang. Adalah kita semua yang menganggap diri sebagai
orang gagah persilatan ini rela diperbuat se-mau2nya oleh
fihak pemerintah " Ketiga, dia masih termasuk seorang
pertapaan yang menurut keagamaan. Dengan dia menjadi
ketua, bukan kita sekalian ini akan menjadi imam nantinya"
Kukatakan, hal ini tidak tepat!"
Merah padam muka Kiau To karena gusarnya ada orang
menentang usulnya.
"Turut katamu, siapakah yang pantas menjadi toa-ahko?"
tanyanya dengan marah.
Menuding kearah Hwat Siau, Ho Gak serentak berseru:
"Kedua persaudaraan Song, namanya menggetarkan daerah
selatan sampai utara. Ilmunya silat menjagoi seluruh
gelanggang. Meskipun aku belum kenal, tapi telah lama
kudengar Song lotoa (Song Hou) itu seorang bun-busongcwan. Orang tawanan yang dibawanya itu. Cian-bin
Longkun The Go sibebodoran dunia persilatan, kalau
dibuat sesaji bendera, tentu akan lebih membangkitkan
semangat para saudara sekalian. Terhadap orang itu, Ceng
Bo siangjin sudah lama memaukannya, tapi sampai sekian
waktu masih belum dapat membekuknya. Pertanda bahwa
kepandaian kedua saudara Song itu jauh melebihi dari dia.
Jabatan toa-ah-ko, sudah pada tempatnya kalau diserahkan
pada Song lotoa!"
Diam2 Hwat Siau bergirang didalam hati, namun
terpaksa dia harus menyalakan kesungkanannya. "Cayhe
orang baru, mana boleh merebut kedudukan setinggi itu"
Kuharap sahabat itu suka menimbang lagi yang lebih
panjang!" Bluk......., serentak bangunlah Sam-chun-ting Ciu Sim-i,
terus berseru keras2: "Demi kepentingan negara dan
rahayat, mengapa main merendah diri" Dengan Song lotoa
menjadi toa-ah-ko, pasti akan memimpin kita sekalian
untuk menuntut balas pada raja Lam Beng, kemudian
melawan tentara Ceng, melaksanakan tugas bersama yang
mulia ini!"
Seketika itu, tidak sedikit jumlahnya orang yang
memberi persetujuan. Fihak Ko Thay, Ih Liok, Kui-ing-cu
dan kawan2 sedikitpun tak menyangka kalau bakal
menghadapi kejadian seperti hal itu. Untuk lain2 jabatan,
aih..... tak mengapa. Tapi kedudukan toa-ah-ko itu,
merupakan motor yang utama dan teramat gawat penting.
Karena ketika dipertengahan pemerintahan kaisar Ceng Tik
dari ahala Tay Beng, Thian Te Hui pernah mengalami
penghianatan dari dalam. Syukurlah waktu itu sam-ah-ko
dapat bertindak dengan tegas, membunuh biangkeladi
penghianatan itu serta menghukum berat gerombolannya.
Kedudukan toa-ah-ko, mempunyai kekuasaan yang mutlak.
Jadi apabila sampai jatuh ketangan orang yang-tak
bertanggung jawab, tentu akan rusak binasa akibatnya.
Sampaipun seorang tokoh macam Kui-ing-cu yang tinggi
ilmu kepandaiannya, tak berani memegang jabatan itu.
Hanya seorang tokoh macam Ceng Bo siangjin yang
mempunyai peribadi kuat. Dengan dia sebagai toa-ah-ko,
barulah Thian Te Hui mempunyai dayaguna (potensi)
untuk melawan penjajah Ceng. Penentangan dari fihak Ho
Gak dan Ciu Sim-i itu, harus ditindas.
Maka melantanglah suara sibongkok Ih Liok di-tengah2
permusyawaratan: "Berbicara tentang kepandaian silat,
sekalipun saudara Bek Ing tak sangat melebihi orang, tapi
kebesaran nama Hay-te-kau, cukup mengesankan. Tentang
dirinya itu seorang imam, apanya yang perlu dikuatirkan.
Andaikata yang jadi toa-ah-ko itu seorang piau-thau (kepala
perusahaan mengantar barang), adakah kita semua ini
lantas menjadi pegawai kantor piauhang" Pencalonan
Hayte-kau sebagai toa-ah-ko, rasanya tak perlu diperdebatkan lagi!"
"Dan barang siapa yang menentang, silahkan berhadapan dengan aku orang she Kiau ini!" Kiau To turut
menambahkan. "Hm, permainan anak2!" Hek-bin-sin Ho Gak menyahut
dengan sinis, "kalau toh tak boleh lain orang lagi selain
Hay-te-kau, perlu apa diadakan pemilihan" Kalau siang2
tahu begini, apa gunanya kita ribut2 naik kemari. Ayuh,
kita sama bubaran sendiri untuk ngeluruk ke Siau Ging
membereskan raja buta itu!"
Sesaat itu tidak sedikit jumlahnya orang yang serentak
mengiakan. Ceng Bo merasa tak enak, karena tersebab dirinya lalu
timbul pertengkaran. Memang sama sekali dia tak
mengetahui kalau Thian Te Hui sudah kemasukan pijat2
dalam selimut. Dia hanya mengira, kejadian itu timbul
karena perselisihan pendapat mengenai tokoh yang
dicalonkan. Memang kejadian itu sering terdapat dikalangan persilatan. Baginya yang penting adalah usaha
melawan penjajah Ceng. Soal dirinya duduk atau tidak
menjadi pemimpin, itu tak dipusingkan. Ini memang tegas
menjadi pendiriannya.
"Harap saudara2 jangan pergi dahulu! Nah, siapa lagi
yang hendak mengemukakan calonnya?" katanya dengan
ter-sipu2. Seketika itu juga lantas terdengar ada orang berseru:
"Kui-ing-cu! Kui-ingcu!"
Ceng Bo ulangi penawarannya kepada orang banyak
kalau masih ada lain calon lagi. Tapi setelah sampai dua
kali, tiada orang menyahut, barulah dia berkata: "Persoalan
ini mudah diputuskan. Baik diadakan pertandingan silat
untuk menentukannya, jadi perlu apa mesti ramai2?"
Kejut Kui-ing-cu bukan terhingga mendengar pernyataan
Ceng Bo itu. "Bek-heng, kau..........."
"Ing-cu-heng, kita harus bertindak menurut jalan yang
benar, atau kedudukan tanpa kewibawaan diindahkan
orang, apa gunanya!" tukas Ceng Bo akan pernyataan heran
Kui-ing-cu itu.
Kui-ing-cu terdiam diri. Pikirnya, kalau persoalan itu
terjadi antara dia dengan siangjin itu, ah mudahlah. Asal
dia pura2 mengalah sedikit, tentu beres. Tapi kini soalnya
menjadi gawat dengan munculnya "Song lotoa" itu. Dilihat
naga2nya, orang itu mempunyai lwekang yang lebih tinggi
dari Ceng Bo. Kalau benar Ceng Bo tak dapat
menandinginya, urusan pasti akan ber-larut2. Taruh kata
dia keluarkan seluruh kepandaiannya untuk memenangkan
kedua orang itu Ceng Bo dan Hwat Siau, bagaimana kalau
dia nanti dipilih menjadi toa-ah-ko" Pertama, dia tak
inginkan jabatan itu dan kedua kali karena memang dia
merasa kurang cakap untuk kedudukan itu.
Sebaliknya dilain fihak, Hwat Siau menyambut dengan
girang atas usul Ceng Bo itu. Diam2 dia telah siapkan
rencana. Se-kurang2nya, dalam pertandingan itu Ceng Bo
pasti takkan keluar sebagai pemenang. Tapi biar
bagaimana, diam2 dia taruh perindahan atas kejujuran
imam itu. "Cayhe tiada mempunyai pendapat apa2, tersilah
kepada saudara2 sekalian!" buru2 dia berkata.
Pikir punya pikir, orang2 itu tiada mendapat jalan lain
kecuali menyetujui usul Ceng Bo tadi. Mereka menyatakan
persetujuannya. Dalam pada itu, setelah memeras otak,
Kui-ing-cupun telah dapatkan suatu siasat. Ya, hanya
dengan begitulah nantinya Ceng Bo akan dapat diangkat
menjadi toa-ah-ko. Sekalipun rencana itu mengandung
resiko, tapi apa boleh buat. Rencananya itu adalah begin!
lebih dahulu dialah yang akan bertanding melawan Song
lotoa. Dia nanti pura2 kalah, tapi dalam pada itu hendak
dia "peras" tenaga orang she Song itu sampai habis, agar
apabila berhadapan dengan Ceng Bo, mudahlah imam itu
mengatasinya. Rencana itu memang cukup baik, tapi dia tak
memperhitungkan akan "pion kecil" yang dimainkan oleh
fihak lawan. Dan justeru pion atau hal kecil yang tak berart:
itulah yang akan merusakkan rencananya tadi. Memang
segala apa itu sering2 mengalami kegagalan dikarenakan
satu dua faktor kecil yang tak berarti. Dan kesalahan Kuiing-cupun terletak pada hal itu.
Setelah tetap dengan rencananya, berserulah Kui-ing-cu:
"Sahabat Song, ayuh kita main2 dulu barang beberapa
jurus, bertanding secara bun atau secara bu!"
Pertandingan "bun"
yakni masing2 mengunjuk demonstrasi kepandaian sendiri, mana, yang lebih hebat,
dialah yang menang. Sementara secara "bu" yalah secara
bertempur satu sama lain. Thaysan sin-tho Ih Liok bermula
heran mengapa Kui-ing-cu hendak turun kegelanggang
dahulu, tapi setelah direnungkan sejenak, tahulah dia apa
maksud tujuan tokoh itu. Juga dia anggap siasat Kui-ing-cu
itu cukup sempurna."
"Kita kan orang sendiri. Pertandingan bu, tentu
merenggangkan persahabatan jadi lebih baik secara bun
saja!" Ih Liok buru2 menyusuli.
Diam2 Kui-ing-cu girang mendengar usul Ih Liok itu.
Karena dalam pertandingan adu lwekang secara bun, paling
menghabiskan tenaga lwekang. Dan ini akan memberi
kesempatan baik untuk Ceng Bo mengambil kemenangan
nanti. Maka buru2 dia mengiakan.
Hwat Siau tak tahu kemana arah tujuan usul itu, tapi
isterinya yang ternyata lebih cerdik segera dapat mencium
bau. Buru2 ia berkata, kepada sang suami: "Koanjin,
Kuiing-cu itu tentu akan mengalah terhadapmu. Pertandingan bu itu lazimnya terdiri dari 3 babak: ilmu
mengentengi tubuh, ilmu main senjata dan ilmu lwekang.
Yang dua dimuka dia tentu mengalah, tapi untuk yang
penghabisan yalah mengadu lwekang, dia tentu akan
berjoang mati2an untuk mengalahkan kau. Sebaiknya
dalam bagian itu, kau mengalah saja. Dua kali menang,
sekali kalah, masih menang artinya. Kepandaian dari Ceng
Bo siangjin itu hanya biasa saja, jadi jangan sampai dia
mendapat kemenangan secara begitu murahnya!"
Kini baru terbukalah mata, Hwat Siau. Maju kemuka dia
memberi hormat kepada Kui-ing-cu, serunya: "Lama sudah
kudengar kebesaran nama cunke sebagai pendekar
terkemuka dari kedua propinsi Kwi. Sebenarnya aku tak
berani lancang mengunjukkan permainan jelek, tapi karena
sekalian saudara menghendakinya, apa boleh buat terpaksa
aku memberanikan diri. Dalam hal ini harap cunke suka
memberi pengunjukan!"
Begitu merendah ucapan itu dirangkai Hwat Siau,
namun Kui-ing-cu telah mengambil putusan untuk
memenangkan babak pertama Itu.
"Bagaimana kalau kita adu kepandaian mengentengi
tubuh dahulu?" tanyanya. Hwat Siau setuju.
Ditepi tanah datar Giok-li-nia situ terdapat sebuah bukit
setinggi 5 tombak. Bentuknya mirip dengan bung (bibit
bambu), dari bawah sampai atas merupakan karang yang
hanya ditumbuhi rotan, jadi tiada dapat dipijak kaki.
"Kita berlomba naik keatas puncak sana, coba saja siapa
yang akan mencapainya lebih dahulu!" kata Kui-ingcu.
Hwat Siau melirik keatas puncak dan mengiakan.
Diapun hendak memenangkan pertandingan babak pertama
itu. Mereka berdua sama mundur dan sekalian orang
banyakpun menyingkir kesamping. Sedang Kiau To segera
melolos jwan-pian, katanya: "Apabila kukebutkan jwanpian ini, jiwi boleh segera mulai!"
Setelah masing2 siap, Kiau To segera kebutkan
jwanpian, dan meluncurlah dua sosok tubuh keatas. Kuiing-cu jejakkan kaki dan tubuhnya lurus melambung keatas.
Pada lain saat dia julurkan tangan untuk menekan karang
dan dengan meminjam tenaga tekanan itu, lagi2 dia
melayang setombak tingginya.


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

GAMBAR 90 Sekali Kiau To memberi tanda maka meloncatlah Kui-ing-cu
melambung tinggi keatas. Hwat Siau pun tidak mau ketinggalan,
cepat iapun merayapi bukit karang itu dengan ilmu "bik-hou-yujiang" atau cecak merayap dinding, segera ia menyusul lawannya
dalam perlombaan itu.
Sebaliknya Hwat Siau menggunakan cara
lain. Menghamperi karang, dia gunakan kaki dan tangan untuk
merayap, dengan jurus bik-hou-yu-jiang (cicak merayap
dinding). Namun jangan dikira merayap asal merayap,
karena rayapan itu menggunakan ilmu yang sakti, hingga
dapatlah dia menyamai loncatan Kui-ing-cu tadi. Keduanya
berada setinggi dua tombak, dan nyata2 mereka sama
lihaynya. Kui-ing-cu empos semangat, kedua tangannya ditebaskan kekarang, hingga menimbulkan tenaga-balik
yang kuat. Dibarengi dengan gerak peh-ho-jong-thian
(burung ho menobros langit), dia melayang lagi sampai
hampir dua tombak. Dengan menancap gas itu, dapatlah
dia melampaui lawan sampai setengah meter jauhnya. Dan
gemuruh riuhlah sorak sorai orang2 yang menontonnya.
Tapi Hwat Siau tak mau kehilangan muka. Selagi
Kuiing-cu menebaskan tangan tadi, dia sudah merayap
dengan pesatnya, hingga hampir menyamai lawan. Puncak
sudah tinggal berapa meter saja. Dan Kui-ing-cupun segera
melakukan "pukulan" yang penghabisan. Dengan gerak
yancu-bwan-sim (burung waled membalik diri), dia
menjejakkan kaki dan tubuhnya seperti rocket meluncur
keatas. Ketika kakinya menginjak puncak yang runcing itu,
Hwat Siaupun sudah tengel2 naik, tapi sudah tak dapat
menempatkan lagi kakinya karena sudah diduduki oleh
lawan. Kui-ing-cu gerakkan kakinya untuk meluncur
kebawah, sembari tertawa: "Maaf"
Hwat Siau meringis tak dapat berbuat apa2 kecuali pura2
berlaku ksatrya, sahutnya: "Ah, ilmu mengentengi tubuh
cunke, benar2 sakti. Kalau terus melambung, tentu akan
mencapai angkasa. Aku merasa tunduk!"
Dalam pada mengucap kata2 itu, mata Hwat Siau
melirik kearali isterinya, seraya menggerutu dalam hati:
"Ah, niocu, niocu, kau suka memintari. hingga salah
menaksir orang!"
Babak pertama telah memberi kesudahan yang menguntungkan pada Kui-ing-cu. Ber-gegas2 si Bongkok
menyambut kedatangan Kui-ing-cu, seraya ber-bisik2: "Ingheng, ilmu kepandaian orang itu aneh benar, dikuatirkan
Bek-heng sukar untuk memenangkannya. Apakah tidak
lebih baik kau menangkan saja pertandingan ini, kemudian
nanti kau mengalah pada Bek-heng?"
"Akupun berpendapat begitu," Kui-ing-cu menghela
napas, "tapi peribadi Bek-heng rasanya kau sudah cukup
mengenal. Sekali dia sudah mengatakan mengadakan
pilihan dengan bertanding, tak nanti dia mau menerima
maksud orang untuk mengalah! Dan lagi orang2pun tentu
mengetahui, nantinya tetap mereka tak mau tunduk pada
Bek-heng. Ketaatan inilah yang justeru dibutuhkan untuk
mengendalikan sebuah perserekatan besar macam Thian Te
Hui lni!" Ih Liok dapat memahami. Babak kedua, yalah adu
kelihayan memainkan senjata. Setelah berunding dengan
isterinya, Hwat Siau dianjurkan harus memenangkannya.
Oleh karena kalau sampai kalah, Ceng Bo sianjin pasti
terpilih menjadi toa-ah-ko.
Hwat Siau segera pasang kuda2. Tangannya kiri sedikit
diangkat keatas. Sekalian mengira, orang itu tentu hendak
memainkan ilmu silat tangan kosong. Tapi diluar dugaan,
setelah beberapi kali membolak-balikkan tangan, tahu2
tangannya sudah mencekal sebuah gulungan benda merah.
Dan sekali lengannya digoyangkan, gulungan merah itu
segera bertebar menjadi selembar angkin (selendang)
panjang, lebarnya antara setengah dim.
Bermula orang2 sama mengira, angkin sutera merah itu
tentulah senjata istimewa dari tokoh itu. Tapi setelah
diawasinya dengan perdata, ternyata salah. Angkin itu
adalah angkin biasa yang mudah didapat dipasar atau toko.
Panjangnya ada 4 tombak. Tertiup angin, angkin itupun
berkibaran. Melihat keheranan orang, berkatalah Hwat
Siau: "Benda biasa, kepandaian biasa. Angkin ini tiada
sesuatu yang luar biasa, tapi biarlah kumainkan untuk
penambah kegembiraan saudara2 sekalian!"
Habis mengucap, lengannya bergoyang. Setelah bergoyang gantai laksana ombak mendampar, angkin itu
lalu lurus terkulai ketanah. Kemudian sekali berputar tubuh,
angkin itu menebar keatas dengan mengeluarkan auara
men-deru2. Itulah gerak ilmu pedang dan semua orangpun
sudah sama mengetahuinya. Tapi yang membuat orang
sama terperanjat, yalah dengan benda yang lemas sepanjang
4 tombak itu, dapatlah Hwat Siau menggunakannya
menjadi semacam senjata yang keras. Riuh rendah orang2
bertampik sorak.
Masih Hwat Siau hendak unjuk demonstrasi yang
mengherankan. Dia putar angin itu seru sekali hingga
merupakan sebuah lingkaran api, kemudian membungkus
dirinya didalam lingkaran itu. Saking serunya, tubuhnya seakan2 lenyap dibungkus lingkaran merah. Setelah beberapa
kali orang gempar memuji, barulah dia bersuit pelahan dan
tiba2 hilanglah lingkaran itu, sebagai gantinya tampak dia
berdiri tegak ditempat. Lingkaran angkin merah itu telah
ditarik dan disimpannya lagi dengan cepat sekali.
Sampaipun dalam mata seorang tokoh macam Kuiingcu, tetap tak dapat membayangkan cara bagaimana tadi
orang itu menyimpan angkinnya. Kini giliran Kui-ing-cu.
Dia mempertunjukkan ilmu pedang. Walaupun cukup
mempesonakan, namun tak sehebat dan seluar biasa
permainan Hwat Siau tadi. Secara sportif, dia mengaku
kalah. Menang satu, kalah satu, jadi serie. Babak ketiga
atau yang penghabisan yalah adu lwekang.
Teringat akan pasan sibongkok Ih Liok tadi, Kui-ing-cu
agak meragu. Kalau dia harus memenangkan, terang dia
bakal menjadi toa-ah-ko, suatu kedudukan yang tak diingini
apalagi memang tak cakap untuk menjabatnya. Namun
kalau mengalah, jangan2 lawan mengetahui dan tak mau
keluarkan tenaganya sungguhan. Ah....., baik dia gunakan
taktik begini, pada permulaan dia akan mengunjuk
kepandaian betul2 hingga lawan terpancing mengeluarkan
seluruh kebisaannya. Setelah itu pada detik2 terakhir,
barulah dia nanti mengalah.
Siasat ini lebih sempurna dan lebih maju dari rencananya
semula tadi. Tapi biar bagaimana, tetap dia tak mengira
kalau nanti masih terdapat kekurangan yang mutlak. Dia
usulkan suatu cara dan Hwat Siaupun menyetujui. Segera
dia suruh orang untuk menebang sebatang puhun setinggi
dua orang dan besarnya sepemeluk lengan orang. Cara
bertanding, setiap orang harus memelintir batang puhun itu
sampai patah. Barang siapa yang lebih dulu dapat
'memelintir sampai patah, dialah yang menang.
Ternyata puhun yang disiapkan itu lebih dari sepeluk
orang besarnya. Sekalipun digergaji, juga makan waktu
yang lama. Tadi belasan orang dengan gunakan kapak dan
beliung menabas puhun itu, namun tetap menggunakan
waktu lebih sejam lamanya baru dapat memenggalnya
putus. Sekalipun kedua tokoh itu nanti dapat memelintir
putus, namun tenaga lwekang mereka pasti habis
dibuatnya. Dan ini memang yang dikehendaki Kui-ing-cu
untuk memeras tenaga lawan.
Begitulah keduanya segera mulai bertanding. Yang satu
memelintir ujung sini, yang lain mengerjakan ujung sana.
Dalam pelintiran pertama, Kui-ing-cu telah dapat
merontokkan kulitnya. Dalam tiga kali memelintir, batang
puhun sudah memperlihatkan bekas telapak tangannya,
kira2 setengah dim dalamnya.
Sebaliknya Hwat Siau yang percaya akan omongan
isterinya bahwa lawan tentu mengalah, tetap enak2an saja
merabah2 batang itu. Tapi ketika melihat Kui-ing-cu sudah
sedemikian cepatnya, dia segera deliki mata kearah sang
isteri. Pesan isterinya dibuang dan dikerahkannya tenaga
yang-hwat-kang. Sepasang tangannya me-melintir2 dengan
cepatnya hingga dalam waktu singkat kemudian, barulah
dia dapat menyamai lawan.
Tampak gerakan lawan itu, Kui-ing-cu teramat
girangnya. Kini sengaja dia perlambat pelintirannya,
sekalipun begitu bubuk kayu atau rontokan kepingan kecil2
(tatal) tak hentitnya berguguran ketanah. Hwat Siau
sebaliknya ngotot benar. Sampaipun tubuhnya ikut
berputar-putar mengelilingi batang kayu itu.
GAMBAR 91 Dengan lwekang yang sama-sama hebatnya, Kui-ing-cu
berusaha menghabiskan tenaga Hwat Siau dalam perlombaan
memelintir batang pohon, sebelum cecunguk itu bertanding
melawan Ceng Bo Siangjin
Demikian kedua saingan itu, masing2 unjukkan
kepandaiannya yang mengagumkan. Tahu2 dua jam telah
berlalu. Karena keliwat gunakan tenaga, Hwat Siau sudah
keletihan. Gerakannya kinipun makin lambat, dahinya berketes2 mengucurkan peluh. Kui-ing-cu dapat mengetahui
hal itu. Tapi gerakannya malah lebih cepat. Jadi gambaran
itu telah mengunjuk tegas, bahwa lwekang Kui-ing-cu lebih
unggul. Memang Hwat Siau mempunyai kesulitan sendiri. Dia
tak berani keluarkan ilmunya lwekang yang terlihay yakni
sam-cay-liat-hwat-ciang. Dengan ilmu lwekang sakti itu,
begitu tangan bersentuhan dengan batang kayu, kayu itu
pasti akan terbakar menjadi arang, jadi mudah untuk
dipatahkan. Tapi kalau dia sampai mengeluarkan ilmu itu,
terang peribadinya akan diketahui lawan. Jadi hatinya
mulai resah. Demi tampak Kui-ing-cu makin cepat, dia
segera empos seluruh semangat, lalu mati2an mengitari
batang kayu itu seraya kerjakan tangannya dengan kuat2.
Lewat beberapa jurus kemudian terdengarlah suara "bluk",
putuslah ujung dari batang puhun itu. Sampai disini barulah
Hwat Siau berhenti untuk melihati lawannya. Kiranya
lewat beberapa detik kemudian barulah Kui-ing-cu dapat
mematahkan ujung yang satunya.
Hwat Siau seperti mendapat lotre girangnya. Tapi
mendadak tubuhnya serasa kosong lunglai, matanya
berkunang kabur. Buru2 dia salurkan semangatnya untuk
menenangkan diri. Betul perasaannya agak nyaman, tapi
kaki tangannya serasa lemah lunglai tak bertenaga.
Keadaan itu tak luput dari pandangan mata Kui-ing-cu yang
tajam. "Sahabat Song sungguh memiliki lwekang yang luar
biasa. Silahkan kini bertanding dengan Bek-heng untuk
memperebutkan kedudukan toa-ah-ko!" serunya dengan
gembira. Kini semua orang alihkan perhatiannya Nurseta Satria Karang Tirta 5 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Alap Alap Laut Kidul 6

Cari Blog Ini