Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 5
lari. Tapi baru beberapa tindak, se-konyong2 dia memutar
tubuhnya lagi, serunya: "Salah, asal bisa menemukan Kiang
Siang Yan, Hay-te-kau tentu mau mengajari aku ilmu
pedang. Ah, tak boleh lari...... , tak boleh lari...... !" Dan
"wut .....", dia loncat kesamping Bek Lian.
Geli Bek Lian melihat siorang tua kate yang linglung itu,
maka kini diapun tak takut lagi, malah ter-tawa2. Melihat
dirinya diketawai, Sik Lo-sam tanya pada The Go:
"Buyung, adakah aku ini sungguh2 tak berjanggut ?"
Merasa tadi salah faham, kini The Go menyahut kalau
orang tua itu berjanggut. Tapi mendadak sontak, siorang
tua itu men-jerit2 dengan marahnya: "Kau berani
mempermainkan Sam-thay-ya buyung?" Dan "wut.....",
begitu meluncur tahu2 dia hendak mencengkeram dengan
tangan kanannya. Tapi anehnya tangan kanan itu walaupun
menjulur tapi tetap kaku, sebaliknya tangannya kiri sudah
nampak disiapkan.
The Go tahu bahwa serangan tangan kanan orang aneh
itu hanya kosong, maka jika dia keburu menghindar tentu
akan dicengkeram oleh tangan kiri orang. Maka dengan
gerakan yang tak mirip dengan ilmu silat, dia buang diri
kesamping. Benar jiiga cengkeram Sik Lo-sam tadi telah
menemui tempat kosong, sementara The Go seperti tingkah
orang mabuk, lalu ter-huyung2 bangkit kembali.
"Ang Hwat cinjin ! Bagus, buyung, kau pernah apa
dengan Ang Hwat cinjin ?" tanya Sik Lo-sam demi melihat
gerakan The Go tadi adalah dari jurus "Hong-cu-may-ciu"
atau sigila menjual arak.
"Hopwe adalah cucu murid dari Ang Hwat cinjin," sahut
The Go dengan hormat sekali.
"Hai, mengapa kau tak menjura padaku " Meskipun Ang
Hwat cinjin pernah mengajari ilmu silat padaku, tapi
akupun juga memberi pelajaran padanya. Jadi terhitung aku
ini suhumu, hayo mengapa tak mengangguk pada Samthay-ya ?"
Sampai disini tak kuasa lagi Bek Lian menahan
gelaknya, saking gelinya ia tertawa ter-kial2. Sik Lo-sam
penasaran, matanya terbolak-balik. The Go cukup mengerti,
kalau orang tua kate itu memang linglung, jadi tak dapat
diajak bicara genah, maka dia lalu menerangkan : "Samthaya, ia bukan Kian Siang Yan, tetapi puterinya."
Rupanya Sik Lo-sam agak sadar, sampai sekian saat dia
diam saja. Kemudian tanyanya: "Buyung, mengapa kau
datang kepulau kosong ini ?"
The Go tahu tak usah banyak ini itu dengan orang
linglung itu, karena kalau salah lidah, dia tentu dihujani
pertanyaan yang tak putus2nya.
Maka dengan sembarangan saja, dia menerangkan secara
ringkas. Dan benar juga Sik Lo-sam mau mempercayainya.
"Sam-thay-ya bagaimana bisa datang kemari ?" kini The
Go yang balas bertanya.
"Kau berani memandang rendah pada Sam-thay-ya ?"
kembali silinglung angot penyakitnya.
"Apa kau naik perahu ?" buru2 The Go menyusuli
pertanyaan. Sik Lo-sam tertawa, sahutnya: "Perahu sih hanya
mencuri sebuah, tapi aku berenang tadi, hanya saja perahu
itu juga kubawa kemari."
The Go girang, karena kalau Sik Lo-sam bisa berenang
kesitu, terang pulau itu tak jauh dari daratan besar. Kalau
benar siorang tua membawa perahu, mudahlah untuk
kembali kedaratan sana. "Sam-thay-ya dari mana kau mulai
terjun ?" tanyanya.
"Huh, masih bertanya " Di Kwiciu diadakan luitay besar,
apa kau tak tahu ?"
Muka The Go merah, sahutnya: "Tahu."
"Dalam keramaian begitu, mana bisa Sik Lo-sam tak
turut melihat " Thian Te Hui kalah, Sam-thay-ya tentu
membantunya. Kalau Thian Te Hui menang, Sam-thay-ya
akan bantu fihak Ci-hun-si."
Diam2 The Go leletkan lidahnya. Dengan ilmunya itu,
terang kalau mau, orang tua aneh itu tentu dapat mengacau
luitay. "Tapi, cialat, Sam-thay-ya temaha tidur, terlambat
sehari. Malam itu kesana luitay sudah beristirahat. Besok
paginya luitay baru dimulai lagi. Tapi Sam-thay-ya tidur,
seperti orang mati lagi. Pikir Sam-thay-ya, tidur itu
pengacau besar, jangan tidur saja. Tapi makin benci tidur,
makin kepingin tidur, sehingga lima enam hari selalu
ketinggalan spor (kereta api) saja! Entah bagaimana, orang2
sudah tak berhantam diluitay, suasananya menjadi kacau.
Sam-thay-ya tak mau mumet2 dengan orang2 banyak itu,
mencuri sebuah perahu, lalu berenang kemari. Aneh,
sepanjang jalan, bertemu dengan beberapa orang yang
kepalanya berkuncir, seperti orang perempuan. Sam-thay-ya
senang sekali melihatnya, lalu membetot beberapa buah.
Tapi rupanya orang2 itu sudah beberapa hari tak keramas,
baunya apek sekali, lalu Sam-thay-ya lemparkan kuncir2
itu." The Go tahu sekalipun orang tua itu linglung, tapi apa
yang diceritakan tadi tentu sungguh. Jadi nyata tentara
Ceng sudah menyerang Kwiciu, maka luitay itu lantas
tutup. Tapi siapakah yang memimpin tentara Ceng itu,
karena toh dia sendiri berada ditengah lautan " Keinginan
The Go untuk lekas2 balik ke Kwiciu, makin besar. "Samthayya, dimanakah perahu itu ?" tanyanya.
"Turut sama Sam-thay-ya yo, perahu baik2 tertambat
disana," kata Sik Lo-sam dan "tok.... , tok.... " seperti katak,
dia melompat kemuka. The Go ajak Bek Lian mengikuti
siorang tua aneh itu. Ketika sampai dipesisir, ternyata disitu
tampak ada sebuah perahu. Maju lagi beberapa tindak, Bek
Lian cepat melihat ada seseorang tengkurap dipesisir.
Tubuhnya sebentar diangkat sebentar diturunkan, seperti
orang yang baru saja datang dengan berenang, sehingga
kehabisan tenaga.
"Engkoh Go, ada lagi seorang lain disana itu," seru Bek
Lian kepada The Go. Orang itu mengangkat pelan2
kepalanya, dan tiba2 berseru: "Suci!"
Bek Lian terkejut sekali, serunya: "Sute, mengapa kau
disini ?" Sembari lari menghampiri. Sebagai saudara
seperguruan, sudah tentu setelah lama tak berjumpa, Bek
Lian ingin sekali menanyakan kabarnya Yan-chiu.
Tapi The Go menjadi cemburu. Teringat dia ketika di
Giok-li-nia tempo hari, Tio Jiang sikapnya begitu
memperhatikan sekali kepada Bek Lian, terang kalau diam2
tentu menyintai. Benar sijuwita itu telah menyerahkan
seluruh hatinya kepadanya, tapi kini dengan adanya Tio
Jiang, dia bersangsi. Cepat dia ulurkan tangannya untuk
menjambret Bek Lian, seraya berkata dengan dingin sekali:
"Pe-lahan2 saja berjalan, perlu apa harus begitu kesusu !"
Bermula Bek Lian tak mengerti mengapa sang kekasih
menariknya, tapi demi nampak perobahan muka sianak
muda itu, tahulah ia apa sebabnya. "Engkoh tolol, aku kan
sudah menjadi kepunyaanmu!"
The Go merasa tadi dia sudah keterlaluan, maka diapun
segera tertawa. Dalam keayalan itu, Sik Lo-sam sudah
menghampiri kemuka Tio Jiang. ,He, buyung, kaulah
kiranya!" serunya dengan suara yang aneh.
Belum Tio Jiang menyahut, The Go dan Bek Lian sudah
tiba. Tio Jiang pe-lahan2 mengangkat kepalanya, lalu
berseru: "Sam-thay-ya!"
Sik Lo-sam tertawa girang. Tapi Tio Jiang tak
menghiraukannya lagi, serta berkata kepada Bek Lian
:"Lian-ci, kemana saja kau beberapa hari ini " Dan suhu"
Hari itu...... malam...... ", tangannya lalu merabah kedalam
baju. Peniti kupu2an kepunyaan Bek Lian masih berada disitu, katanya lagi :"Malam itu aku tidur kepat, sampai
keesokan harinya baru bangun. Yan-chiu mengatakan kau
ber-sama suhu berangkat kedalam kota, tapi mengapa
sampai beberapa hari ?"
Bek Lian tak tahu mengapa dalam keadaan sepayah itu,
begitu melihat dirinya, Tio Jiang timbul lagi semangatnya.
Ia tak tahu kalau Yan-chiu main gila. Yang diketahuinya
ketika pergi dengan sang ayah itu, sutenya itu masih terluka
parah. "Sute, apa lukamu sudah baik ?" tanyanya.
Melihat sang suci kini begitu memperhatikan dirinya,
tangan Tio Jiang terus menerus me-mijat2 peniti kupu.
"Sejak Lian suci mengikat janji padaku, sikapnya betul2
sudah berobah," pikirnya, lalu berbangkit sembari melolos
sarung pedang yang terselip dipinggang, untuk menuang air
didalamnya. "Lukaku sudah hampir sembuh. Tapi karena
ber-gegas2 terjun keair, sehari penuh berenang, maka
punggungku terasa sakit lemas !"
"Mengapa lari kelaut " Apa kau dikalahkan diluitay dan
di-kejar2 musuh " Sungguh tak ada aturan begitu!" tanya
Bek Lian. Tio Jiang membeliakkan matanya, balas bertanya:
"Lianci, apa kau tak tahu kalau tentara Ceng sudah masuk
ke Kwiciu " Kiau susiok memimpin ratusan saudara2 Thian
Te Hui untuk menyerang kekota. Aku dan Yan-chiu ikut
serta. Tapi tentara Ceng keliwat banyak jumlahnya, hingga
kami terkurung. Setelah bertempur mati2an sampai sehari
semalam, baru bisa lolos, ah rasanya tulang2ku seperti
copot!" Mengira kalau sang suci itu sudah menjadi orangnya,
maka Tio Jiang kini bisa bicara dengan lancar, tak kaku
seperti dahulu. The Go bergirang, karena apa yang
diduganya itu tak salah. "Siaoko, bilamana tentara Ceng itu
masuk. ke Kwiciu, siapa yang memimpinnya, tahukah kau
?" tanyanya seraya maju selangkah.
Sejak menampak The Go, Tio Jiang sudah tak senang,
maka dia hanya menggerendeng "hem" saja tak mau
menyahut, sebaliknya lalu berbisik tanya kepada Bek Lian
lagi: "Lian-ci, mengapa kau bisa ber-sama2 dengan dia"
Apa dia tak menghinamu ?"
Bek Lian jengkel. Baru saja omong genah, kini sutenya
itu keluar ketololannya lagi. "Sute!" bentaknya.
Tio Jiang tak mengerti mengapa sucinya berlaku begitu.
Dia melirik kepada The Go, siapa ternyata memandang
dengan sikap mengejek pada Bek Lian. Tio Jiang tahan
sabarnya dan melainkan berkata lagi kepada Bek Lian:
"Lian-ci, mari kita lekas mencari suhu, kau pergi bersama
suhu, dimanakah suhu sekarang " Kalau tak dapat mencari
suhu, asal ketemu susiokpun boleh juga!" Habis berkata
begitu dia segera menghampiri Bek Lian lalu menarik
tangannya. Biasanya Tio Jiang tak bernyali untuk unjuk "kegagahan" begitu, maka karena tak mengira, Bek Lian
sudah kena dicekal tangannya. Dengan wajah ke-merah2an,
ia membentak: "Sute, kau.......", belum kata2nya itu selesai,
atau ia segera menampak ada sesosok bayangan berkelebat,
dan tahu2 Tio Jiang menghindar kesamping, trang....... dia
sudah siap pula, dengan pedangnya.
Pedang itu tangkainya bertotolan, milik Ceng Bo
siangjin. Ketika memberikan pedang pusaka itu, suhunya
berkata : "Nampaknya kau ini seperti orang tolol tapi sebenarnya
tidak, melainkan karena terlalu polos saja. Walaupun
pedang hitam badannya penuh dengan terotolan tahi karat,
tapi tajamnya bukan kepalang." Maksud dari ucapan sang
suhu itu juga mengandung arti, supaya Tio Jiang jangan
puas dengan apa yang didapatnya.
Ketika Tio Jiang dengan yakin sekali mencekal lengan
Bek Lian, dia sudah tak menghiraukan kalau disitu masih
ada Sik Lo-sam dan The Go. The Go yang sudah
mempunyai dendaman hati dengan Tio Jiang itu, sudah
tentu menjadi murka melihat perbuatannya terhadap sang
juwita. Dengan sebat dia loncat menutukkan kipasnya
kearah jalan darah ko-bong-hiat orang. Jalan darah kongbong-hiat itu termasuk salah satu jalan darah kematian.
Barang siapa kena tertutuk jalan darahnya disitu, tentu akan
meninggal. Memang The Go sudah benci sekali, hingga
hendak membinasakan Tio Jiang.
Tapi dalam beberapa hari selama ikut bertempuran
melawan tentara Ceng itu, Tio Jiang tambah banyak
pengalamannya, makin sempurna juga latihannya dalam
ilmu pedang to-hay-kiam-hwat. Begitu merasa ada angin
menyambar dari belakang, cepat dia menyingkir kesamping
sambil mempersiapkan pedang. "Cian-bin Long-kun,
mengapa mau membokong orang ?" dampratnya.
The Go tebarkan kipasnya untuk dibuat kipas2, belum
lagi mulutnya menjawab dampratan orang, atau Sik Lo-sam
sudah kedengaran mengoceh sendirian: "Hm, buyung itu
terlalu jahat, masa sekali turun tangan sudah mau menutuk
jalan darah ko-bong-hiat ?"
Tio Jiang terperanjat. Pedangnya dibolang-balingkan
sebentar, lalu bertanya: "Sam-thay-ya, apa katamu ?"
Sik Lo-sam delikkan matanya, menyahut: "Buyung,
bocah yang itu tadi hendak menutuk jalan darah ko-bonghiatmu. Cara kau menghindar bagus sekali! Lebih baik
ajarkan padaku saja !"
Dalam kesusunya, tadi Tio Jiang menjorok kesamping,
pedang terlepas. Tapi dengan sebat sekali, tangannya
membalik untuk menyawut pedang itu lagi. Itulah yang
disebut jurus "hay lwe sip ciu" (10 benua dalam laut),
termasuk jurus yang ke. 7 dari ilmu pedang to-hay-kiamhwat. Sebagai orang yang gemar ilmu silat seperti
nyawanya sendiri, sudah tentu Sik Lo-sam dapat mengenal
"barang baik", maka dia telah ajukan permintaan itu.
Sebaliknya Tio Jiang tengah delikkan mata kepada The Go.
Tio Jiang murka sekali. Sekalipun terhadap musuh, tapi
tak seharusnya berbuat seganas tadi. Pikirnya, karena
bersama-sama orang itu, tentu Bek Lian dihinanya. Sayang
penyakitnya kumat lagi, makin marah makin tak dapat
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata2. Sampai sekian saat, baru dia dapat mengucap :
"Cian-bin Long-kun, kau...... kau..... "
"Aku bagaimana ?" tanya The Go dengan tertawa
mengejek, seraya menghampiri maju. Dia perhitungkan,
sejak pertemuannya dengan anak muda itu baru lima enam
hari ini, ternyata anak itu telah menderita luka parah, dan
dalam pertempuran melawan tentara Ceng juga lari
pontang-panting, terang kalau kepandaiannya masih sama
seperti kala dijumpainya di Giok-li-nia itu. Kini keduanya
sudah blak-blakan, saling bermusuhan. Daripada timbulkan
bahaya dikemudian hari, lebih baik sekarang ini ditumpas
saja. Maka ketika jaraknya sudah diperhitungkan tentu
berhasil, dia miringkan tubuh dan secepat kilat kipasnya
dijulur-surutkan 3 kali. Membarengi tangannya kiri
menghantam pelan, kipas ditangan kanan tadi ditutukkan
kearah kepala orang untuk mengarah jalan darah thay-yanghiat. Sewaktu orang mendekati tadi, Tio Jiang sudah mengira
tentu akan diserang, maka siang2 dia sudah bersiap,
melangkah maju, maka kebetulan sekali hantaman tangan
kiri The Go tadi telah dapat dihindarinya. Begitu dilihatnya
orang sudah bergerak menyerang, Tio Jiang gunakan jurus
hay-li-long-hoan (puteri laut memain gelang), pedangnya
dijungkat keatas. Kelihatannya jurus itu biasa saja, tapi
ternyata telah dapat menghadang serangan lawan.
Memang serangan kipas The Go itu, hanyalah gertakan
kosong. Begitu orang hanya bermaksud melindungi muka
atau kepalanya, atau mengegos kesamping, tentu akan
terkena perangkapnya. Dalam gerak perobahan selanjutnya,
musuh tentu tak bisa menghindar lagi.
Tapi telah diterangkan diatas bahwa selama ikut
bertempur melawan tentara Ceng itu, ilmu pedang Tio
Jiang tambah maju sekali. Benar dia terluka hantaman
thiat-sat-ciang dari To Ceng hweshio, tapi setelah diminumi
4 butir pil sam-kong-tan, lukanya tak berbahaya lagi. Dia
lebih jelas lagi akan arti dua kalimat yang menjadi pokok
ilmu pedang to-hay-kiam-hwat itu, yakni: "Alun kecil
gelombang besar, masih jauh tampaknya pelahan begitu
dekat tentu cepat". Memang ombak laut yang mendampar
ketepi itu, kalau masih jauh, tampaknya pe-lahan2
mengalun, tapi begitu sudah dekat lagi bergemuruh dan
mendampar dengan cepatnya. Letak rahasia ilmupedang tohay-kiam-hwat, adalah disitu. Jadi serupa dengan ilmu
pedang Bu-kek-kiam yang berdasarkan atas "dengan
ketenangan mengatasi gerakan", atau "dua tail menahan
ribuan kati".
Tahu bahwa ilmu permainan 'Hong-cu-may-ciu' (orang
gila menjual arak) itu penuh perobahan yang lihay, Tio
Jiang tak berlaku lengah. Tangan kiri untuk melindungi
dada, lalu pedang ditangan kanan digerakkan dalam jurus
"hay li long hoan" tadi. Dengan jurus itu, The Go mati kutu
tak dapat menyerang dan terpaksa mundur selangkah. Kini
Tio Jiang yang balas menyerang dengan jurus hay lwe sip
ciu (10 benua dalam laut ).
Melihat kedahsyatan pedang sianak muda, The Go tak
berani menyambuti. Dia pendakkan tubuh, niatnya hendak
menyusup kesamping. Tapi untuk kekagetannya, ujung
pedang lawan seperti tetap membayangi saja. Diam2
hatinya menjadi keder, demi teringat akan kesaktian ilmu
pedang Hay-te-kau Bek Ing itu. Karena tempo hari belum
pernah menyaksikannya, maka The Go menduga anak itu
tentu baru saja mempelajari jurus tadi. Diapun tak berani
berayal, begitu dilihatnya empat jurusan diliputi oleh
samberan pedang, dia terus main mundur sampai beberapa
tindak jauhnya.
Pertempuran melawan tentara Ceng itu, ternyata
merupakan latihan praktek yang berharga bagi Tio Jiang.
Entah sudah berapa banyak jiwa tentara Ceng yang
melayang di, ujung to-hay-kiam-hwat itu. Maka diam2 dia
merasa kagum juga terhadap The Go, demi dalam gebrak
pertama. tadi dapat menghindar dengan jalan mundurkan
langkah. Tapi mana dia mau memberi hati lagi. Mulai dari
jurus. "Thio Ik memasak laut" sampai "Ho Peh
memandang laut", usul menyusul dia merangsak lawan,
sehingga binggunglah lawan dibuatnya. Baru mundur
begini, atau ujung pedang sudah mengancam datang,
mundur kesitu, disana sudah menanti babatan pedang.
Buru2 orang she The itu tenangkan pikirannya dan tumplak
seluruh kepandaiannya. Sekalipun dapat menghindar dari
setiap serangan, namun keadaannyapun sudah tak keruan,
montang-manting keripuhan. Untunglah Bek Lian segera
berseru mencegah sang sutee, siapa walaupun tak mengerti
maksud sang suci, namun menurut juga.
"Lian-moay, ilmu pedang sutemu itu, jauh lebih menang
dari kau !" kata The Go dengan napas ter-engah2.
Bek Lianpun mengenal kalau sang sute itu telah dapat
mempelajari habis seluruh permainan To-hay-kiam-hwat,.
Kembali wataknya ingin menang-dewek timbul, katanya :
"Sute, mengapa jurus "Ho Peh kuan hay" tadi boleh di buat
menggertak dulu baru menyerang yang sesungguhnya,
sehingga memancarkan 7 buah sinar pedang ?"
"Lian-ci, mari kita cari suhu, nanti ditengah perjalanan
kuajarkan jurus itu padamu," kata Tio Jiang.
Bek Lian heran atas perobahan sikap sute yang biasanya
begitu celingus, mengapa kini begitu "gagah" itu. Tanpa
banyak pikir lagi, dia menyemprot: "Kau suka mengajarkan
tidak, itu terserah. Tapi siapa kesudian kau ajak mencari
suhu " Aku akan tetap berdamping dengan engkoh Go."
Tio Jiang seperti disambar petir, sehingga hampir tak
mempercayai apa yang didengarnya itu. "Lian-ci, apa
katamu itu ?" tanyanya menegas.
Belum Bek Lian menjawab, The Go sudah menghamperi
dan menggandeng tangan sinona. Dengan melirikkan
pandangan matanya yang menghina pada Tio Jiang, dia
berkata kepada Bek Lian : "Lian-moay, buat apa dekat2
dengan anak itu" Hayo, kita ke Kwiciu sana!"
"Baiklah !" sahut sinona dengan tertawa riang. Dan
tanpa menghiraukan kedua orang yang masih berada disitu,
mereka berdua segera lari menuju kepantai dimana perahu
itu ditambatkan.
Tio Jiang seperti orang bermimpi. Bukantah, malam itu
Bek Lian telah memberi tanda pengikat padanya " Mengapa
kini begitu mesranya terhadap The Go dan membalikkan
muka padanya " Bermula dia kuatir kalau sedang bermimpi,
maka dicubitnyalah lengannya, tapi dia menjerit sendiri
karena kesakitan. Terang kalau dia masih berjaga.
Tetapi....... mengapa terjadi keanehan begitu " Tanda
matanya saja masih disini, mengapa orangnya sudah
membelakangi " Saking tak dapat memecahkan soal yang
aneh itu, Tio Jiang ter-longong2 seperti patung. Hatinya.
begitu mendelu sekali, semangatnya patah dan lukanya
terkena thiat-sat-ciang itu kembali terasa sakit sekali. Setiup
angin laut telah menusuk kedalam lukanya itu, ngilu dan
nyeri. Tadi waktu datang kepulau itu, sebenarnya dia sudah
kehabisan tenaga karena hampir setengah harian berenang
melintasi laut. Hanya karena melihat Bek. Lian saja, maka
timbullah semangatnya baru. Namun hal itu terlalu
dipaksakan sekali. Kegoncangan menyaksikan Bek Lian lari
bersama The Go itu, telah menusuk sekali sanubarinya,
membanting hancur seluruh impiannya. Sesaat terasa
mulutnya anyir, matanya berkunang2, setelah menggigil
sebentar, matanya menjadi gelap dan, "bluk........." jatuhlah
dia tak sadarkan diri.
Karena sampai sekian detik, tak mendengar suara Tio
Jiang, Bek Lian menoleh kebelakang, dan demi dilihatnya
sang sute rubuh ditanah, ia merandek.
"Lian-moay, lekaslah ! tak lekas2, mungkin kita nanti
alami impian yang buruk lagi!" cepat2 The Go menyerukan.
Bek Lian kuatir kalau tak dapat berkumpul dengan The
Go, maka setelah menghela napas, ia tak memikirkan sang
sute lagi. "Anak perempuan, jangan pergi !" tiba2 Sik Lo-sam
berseru. The Go terperanjat, sembari mencekal tangan sinona
kencang2, dia bertanya: "Sam-thay-ya, ada urusan apa ?"
"Hay-te-kau suruh aku carikan Kiang Siang Yan, kalau
ketemu baru dia nanti ajarkan aku ilmu pedang. Kalau kini
aku berhasil menemukan anak perempuannya, masa dia tak
mau mengajarkan 3 jurus saja " Anak, berhenti, ikut aku
mendapatkan Hay-te-kau !"
Sik Lo-sam itu seorang linglung yang blak2an. Apa yang
sang hati mau, mulutnya segera men yatakan. The Go
mengeluh. Terhadap orang aneh Itu hanya bisa dilawan
dengan akal, se-kali2 tak boleh dengan kekerasan. Sembari
percepat langkahnya, The Go mengajukan sebuah
pertanyaan : "Sam-thay-ya, anak perempuan dari Kiang
Siang Yan itu, pernah apa dengan Hay-te-kau, mengapa
kau tak dapat memikir ?"
Benar juga, Sik Lo-sam termenung memikirkan
pertanyaan itu. Dan pada saat itu The Go beserta Bek Lian
audah jauh dari. situ. Dan begitu tiba ditempat tambatan
perahu lalu cepat2 mengayuhnya. Baru ketika melihat
kedua anak muda itu melarikan perahunya, Sik Lo-sam
menjadi kelabakan. "Hai, budak kecil, berani mempermainkan Sam-thay-ya ya ?" serunya sembari
wut.......... loncat setombak lebih jauhnya dan tak antara
lama sudah sampai kepinggir laut. Tapi dengan memasang
layar, The Go serta Bek Lian sudah jauh dari pesisir situ.
Saking marahnya, Sik Lo-sam ber-jingkrak2 seperti orang
kebakaran jenggot. Dia berloncat kian kemari dipesisir situ.
Mulutnya meng-hembus2, sehingga............
rambut janggutnya yang mend yulai panjang itu, sama tegak lenc
ang. Bahkan alisnyapun mend yigrak semua. Tangannya
me-nari2 tak keruan sehingga puhun dan batu karang yang
berada didekatnya menjadi hancur beterbangan. Setelah
melampiaskan kemarahannya, tiba2 dia bertereak keras:
"Ya, buyung itulah yang merusak urusanku !" Habis itu, dia
terus berloncatan menghampiri Tio Jiang.
"Buyung, kau berani merusak urusan besar Sam-thay-ya,
lekas bangun, bertempur dengan Sam-thay-ya sampai 300
jurus !" serunya dengan suara mengguntur. Tapi bagaimana
dahsyatnya tereakan Sik-Lo-sam itu. Tio Jiang yang terluka
hati dan tubuhnya itu, tetap belum siuman.
"Hi" Matikah ?" akhirnya Sik Lo-sam menyatakan
keheranannya. Dia tunggu lagi sampai beberapa saat dan
sekonyong2 wut ........ dia loncat menyingkir, lalu bertereak
: "Manusia mana yang tak bermuka itu, berani membokong
buyung ini " Lekas keluar !" Di ulangi tereakan itu sampai
dua kali, tapi setelah tak mendengar balasan dan melihat
seorangpun keluar, dia membungkuk kebawah untuk
membau napas Tio Jiang. "Ha, buyung ini pura2 mati!"
Tapi ketika mengawasi wajah Tio Jiang, dia terkejut lagi.
Meskipun linglung, tapi dalam hal ilmu silat, dia
termasuk tokoh kelas utama. Sepuluh tahun yang lalu,
pernah bertempur dengan Hay-te-kau, siapa tak bisa berbuat
banyak terhadapnya. Tahu wajah Tio Jiang begitu lesu, dia
mengerti anak itu luka berat. Waktu memereksa getaran
urat nadi jim dan tok, rupanya sudah berhenti mendenyut.
Sedang jantungnyapun sudah lemah berdetak. Cepat dia
memondongnya seraya berkata: "Buyung, kau terluka,
kalau sudah kusembuhkan, maukah kau mengajari aku
ilmu pedang ?"
Ketika dipondong itu, kepala Tio Diang terkulai
kebawah, dan ini diartikan oleh si Sik Lo-sam itu sebagai
tanda mengiakan. Dia girang sekali. Brett, baju Tio Jiang
dirobeknya dan jatuhlah sebuah peniti kupu2. Dijemputnya
benda itu. "Huh, buyung yang tak tahu malu, masa mencuri
perhiasan anak perempuan," serunya terus membuang
peniti itu. Dia letakkan lagi tubuh Tio Jiang ketanah, lalu
dia sendiri duduk bersila, kedua tangannya dilekatkan pada
bagian ulu hati dan punggung sianak itu.
Setelah mendapat pengobatan
secara penyaluran lwekang itu, barulah Tio Jiang tersadar. Ingatannya masih
lemah, tapi yang selalu ter-bayang2 dalam ingatannya itu
hanyalah Bek Lian seorang sad ya. Sesaat, dia
membayangkan kalau sudah mend yadi suami isteri dengan
Bek Lian serta bersama2 berkelana menjalan dharma
kebaikan didunia persilatan. Pada lain saat lagi, dia seperti
menampak Bek Lian sudah menjadi isteri The Go, dan
sikapnya seperti tak kenal padanya. Karena selalu
memilirkan hal itu saja, dadanya serasa makin sesak.
Segumpal darah panas, serasa matt muntah keluar.
Tenggorokan berasa gatal, sehingga tak kuat lagi untuk
menahan muntah. Dia membuka matanya sedikit, Atau
Sik-Lo-sam sudah membentaknya: "Tahan jangan sampai
muntahkan darah.!"
Tio Jiang tak berani membangkang, buru2 dia tenangkan
pikirannya untuk menahan se-dapat2nya. Tapi pada
matanya yang separoh meram separoh terbuka itu, samar2
dia melihat Bek Lian tengah bergandengan tangan The Go
dipesisir sana. Hatinya pedih sekali, dan naiklah gumpalan
darah itu ketenggorokan. Saking sudah tak tahan lagi,
mulutnya sudah akan terbuka untuk muntah.
"Tahankan!" bentak lagi Sik Lo-sam kedekat telinganya.
Tio Jiang menurut dan bertahan se-kuat2nya. Tapi sang
kemauan tak kuasa menahan meluapnya sang darah.
Gumpalan darah, naik keatas, sehingga ketika memandang
kearah Sik Lo-sam sepasang mata Tio Jiang ke-merah2an
warnanya.
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Buyung, sayang. Menolong jiwa adalah yang penting.
Kelak jangan membikin jengkel Sam-thay-ya lagi," seru Sik
Lo-sam sembari menghela napas, dan terus menarik
tangannya yang dilekatkan dipunggung Tio Jiang tadi.
Karena dilekati kedua tangan Sik Lo-sam itu, maka Tio
Jiang dapat menahan sehingga gumpalan darah panas itu
tak cepat2 naik. Begitu tangan Sih Loo-sam lepaskan
tangannya, Tio Jiang kedengaran menguak "huk," terus
hendak muntah. Ini berbahaya sekali. Asal gumpalan darah
panas itu muntah keluar, peyakinan lwekang selama 6
tahun, akan hilang musna dan orangnya akan menjadi
lemah. Kalau hendak mengulangi belajar lagi, lebih susah
dari orang yang dilekatkan pada punggung Tio Jiang tadi
dilepaskan, dengan sebat sekali dia pakai jari tengah untuk
menekan jalan darah thian-tho-hiat ditenggorokan sianak.
Jalan darah itu termasuk salah satu pintu terpenting dari
seluruh jalan darah dalam tubuh. Kini Tio Jiang merasa
longgar dadanya, tapi dalam pada itu kepalanya menoleh
kesamping. Justeru matanya terbentur peniti kupu2 milik
Bek Lian yang dilempar ketanah oleh Sik Lo-sam tadi.
Terang benda itu bukan palsu dan benar pemberian Bek
Lian. Kalau sucinya itu terpaksa mengikuti The Go tentu
ada apa2nya. Memikir sampai disitu, kembali tenggorokan
terdengar mengauk "kuk" lagi. Kalau tadi buakan itu
menyentak keatas, kini turun kebawah tenggorokan. Tapi
untungnya, darah tetap tak termuntahkan keluar.
Kini Tio Jiang sudah banyak baik. Mengawasi kearah
Sik Lo-sam dia berbisik menghaturkan terima kasih : "Samthay-ya, banyak terima kasih atas budi pertolonganmu."
"Buyung, ajarkan ilmu pedang pada Sam-thay-ya," alis
Sik Lo-sam turun naik disungging oleh mulutnya yang
bergelak tawa. Tio Jiang melengak. Buru2 dia hendak berbangkit
memberi hormat. Tapi ketika sudah berdiri dan hendak
putar kepalanya kemuka lagi, hai ........ tak dapat. Rasanya
tulang lehernya sudah kaku, tak bisa digerakkan lagi.
---oodw0tahoo--BAGIAN 8 : SI TENGENG
Bukan kepalang kaget Tio Jiang. Se-kuat2-nya dia
hendak memutar sang kepala, namun tetap masih berpaling
kesamping saja. Karena tadi dia berpaling kesamping
mengawasi peniti kupu2 itu, jadi sebelah pipinya bagian
bawah hampir menempel dipundak dan tak dapat diputar
lagi. "Sam-thay-ya !" serunya dengan gugup, karena
mengira siorang tua aneh itu tengah mempermainkannya.
Tapi wut, Sik Lo-sam loncat menyingkir, serunya:
"Buyung, jangan sesalkan aku. Tadi kalau aku tak menutuk
jalan darahmu thian-tho-hiat, kau tentu sudah binasa. Kini
meskipun kau menjadi pemuda tengeng, tapi nyawamu
masih ada, mengapa susah hati ?"
Mendengar dirinya bakal menjadi seorang tengeng yang
tak sedap dipandang, buru2 Tio Jiang berseru : "Sam-thayya, kau bisa menuntuk mengapa tak mampu mengembalikan?"
Sik Lo-sam menggeleng kepala. Tio Jiang seperti putus
asa, berdiam diri.
"Buyung, kepala tengeng apa halangannya ?" tanya Sik
Lo-sam. Kesedihan Tio Jiang sukar dilukiskan. Kalau Bek
Lian nanti makin tak sudi padanya, itu sih dapat
dimengerti. Tapi dengan cacadnya tengeng itu, kelak tentu dia tak
dapat belajar silat lagi. Memikir sampai disini, pecahlah
tangis Tio Jiang tersedu-sedan.
GAMBAR 25 Ketika tahu2 kepala berubah menjadi tengeng, Tio Jiang
bingung dan gugup, akhirnya la menangis ter-guguk2.
Melihat sianak muda menangis, Sik Lo-sam menjadi
seperti semut diatas kuali panas. Tangannya sebentar
menampar2 kepala, sebentar2 meng-usap2 matanya.
Setelah sekian saat, tiba2 dia berseru :"Buyung, lukamu
masih belum sembuh betul, kalau terus menangis, tentu
membahayakan jiwamu."
Hati Tio Jiang tergetar. Teringat ia akan pesan suhunya,
bahwa mati dan mati itu ada dua. Mati yang sepele seperti
rontoknya bulu angsa, dengan mati berharga seperti
megahnya gunung Thaysan. Kalau karena tengeng, dia
kepingin mati, bukankah itu sama halnya dengan mati
sepele seperti rontokannya bulu angsa" Kini tentara, Ceng
sudah menduduki Kwiciu. Tunggu nanti kalau lukanya
sudah sembuh betul, dia hendak adu jiwa dengan pasukan
asing itu. Kematian itu, rasanya jauh lebih berharga. Setelah
hatinya tetap, dia tak mau menangis lagi.
Melihat omongannya diturut, Sik Lo-sam sangat girang.
Diambilkannya pedang yang jatuh ditanah itu, lalu berkata
kepada Tio Jiang: "Buyung, kau tadi sudah menyanggupi,
lekas ajarkan aku ilmu pedang!"
Tio Jiang terkesiap. Bilakah dia memberi kesanggupan
itu" Tapi serta terkilas dalam pikirannya, jangan lagi hanya
ilmu pedang nyawanya sendiripun belum ketentuan kalau
bisa selamat, maka apa jeleknya kalau mengajarinya jurus
pertama dari ilmu pedang to-hay-kiam-hwat yakni "Thio Ik
cu hay" (Thio Ik membakar lautan). Setelah melakukan
gerak jurus itu beberapa kali, Sik Lo-sam kegirangan,
karena menganggap jurus itu betul lihay sekali. "Buyung,
kau ajari aku ilmu pedang, apa aku harus menyebutmu
suhu" Salah, kau ini hendak mempermainkan Sam-thay-ya.
Pantasnya aku juga harus mengajari sebuah ilmu silat
padamu, kau minta padaku pelajaran apa" Harus dijelaskan
dulu, meskipun kita saling mengajari, kau tetap menjadi
muridku!" Pikir Tio Jiang, toh dia sudah bulat tekadnya untuk mati
sahid, maka makin tambah ilmu kepandaian lagi makin
baik. Teringat dia, ketika menyaksikan Kiau susiok
bertempur lawan The Go di Giok-li-nia tempo hari, Sik Losam itu telah dapat mengatakan jurus ilmu tutukan "orang
gila menjual arak" dari The Go, maka tanpa ragu2, dia
membuka mulut: "Sam-thay-ya, aku mau belajar jurus tipu
Hong-cu-may-ciu !"
"Aduh mak!" tiba2 Sik Lo-sam menjerit kaget, "sewaktu
Ang Hwat cinjin menurunkan pelajaran itu padaku, aku
telah memukul tanganku selaku sumpah, tak boleh
mengajarkan pada lain orang!"
Apa boleh buat, Tio Jiang menurut saja apa yang hendak
diajarkan siorang tua aneh itu, tapi tiba2 Sik Lo-sam itu
menampar kepalanya sendiri, berseru: "Tak apa, kalau Ang
Hwat cinjin menegur, jawab saja kalau Sam-thay-ya lupa
peristiwa sumpah menabok tangan itu, boleh dah!"
Meskipun hatinya berduka, namun melihat cara siorang
tua linglung itu mengoceh sendirian begitu lucu, tak urung
Tio Jiang tertawa geli juga. Begitulah ringkasnya saja, Tio
Jiang dan Sik Lo-sam sudah hampir dua bulan lamanya
tinggal dipulau kosong itu. Dalam dua bulan itu, setiap 10
hari sekali, Tio Jiang tentu menurunkan satu jurus dari ilmu
pedang to-hay-kiam-hwat. Saking ketariknya, Sik Lo-sam
pun menurunkan seluruh ilmunya yang beraneka ragam itu
kepada Tio Jiang. Akhirnya luka Tio Jiangpun sembuh
sama sekali. Untuk itu Sik Lo-sam teramat girang-nya.
Malah saking kegirangannya me-luap2, dia turunkan juga
ilmu sakti "cap-sah-sik-heng-kang-sim-coat" atau 13 cara
untuk menyalurkan tenaga dalam dengan kekuatan hati.
Ilmu tersebut adalah sebuah ilmu lwekang yang sakti
sekali. Pokoknya adalah begini: "dengan hati menyalurkan
hawa, empos semangat masuk ketulang, dengan hawa
menggerakkan tubuh, tentu leluasa menurut kemauan hati.
Menjalankan hawa, seperti kiu-kiok-t yu (mutiara 9
lekukan), tentu takkan terhalang. Bergerak laksana baja
putih, tiada benda yang tak dapat dihancurkan. Tenang
laksana gunung, bergerak seperti sungai bengawan."
GAMBAR 26 Selama dua bulan tinggal dlpulau karang itu setiap hari Tio
Jiang saling, barter" llmu silat dengan Sik Lo-sam.
Semasa masih kecil, ternyata Sik Lo-sam itu seorang
anak yang berbakat jelek. Tapi pada suatu hari secara tak
disengaja, dia telah membantu kerepotan seorang lihay,
siapa untuk membalas terima kasihnya telah menurunkan
ilmu lwekang "cap-sah-sik-heng-kang-sim-coat" yang sakti
itu. Hampir separoh dari hidupnya, Sik Lo-sam telah
gunakan untuk meyakinkan ilmu itu, barulah dia, berhasil.
Beda halnya dengan Tio Jiang yang berbakat bagus, apalagi
sudah digembleng oleh Ceng Bo siangjin. Begitu
mendengarkan, wejangan ilmu sakti, itu, hampir separoh
bagian dia sudah jelas. Sehingga waktu dipraktekkan,
seluruh tenaga dan tulang2nya bebas lepas, tepat seperti
yang dimaksudkan, dalam salah satu kalimatnya "menyalurkan hawa seperti "kiu-kiok-cu" Sudah tentu
bukan alang-girangnya Tio Jiang. Selama dua bulan itu, dia
telah belajar ber-macam2 ilmusilat yang aneh2 dan sakti,
sehingga kelihayannya bertambah pesat sekali.
Pada hari itu, Tio Jiang sedang mengajarkan jurus ke-7
dari to-hay-kiam-hwat yakni jurus hay-lwe-sip-ciu (10 benua
dalam laut ). Dengan pe-lahan2 dia menjelaskan jurus itu
kepada Sik Lo-sam. Setelah itu, dia kembali lanjutkan
pekerjaannya membuat rakit yang telah dimulainya sejak
dua bulan yang lalu. Kebetulan hari itu, rakit tersebut sudah
selesai. "Sam-thay-ya, aku hendak menuju ke Kwiciu, kau
ikut tidak ?" tanyanya.
Sik Lo-sam yang tengah asyik meyakinkan jurus hay-lwesip-ciu yang baru dipelajarinya itu, menjadi marah, serunya:
"Buyung, kau mau pergi lekas pergi sana, jangan
mengganggu Sam-thay-ya berlatih silat!"
Selama berkumpul dalam dua bulan itu, Tio Jiang sudah
kenal betul akan watak perangai siorang tua aneh itu. Maka
dengan tertawa, dia segera luncurkan rakitnya kedalam laut
dan tak berapa lama kemudian, sudah ter-apung2 ditengah
laut. Sewaktu terapung-apung seorang diri ditengah laut itu,
pikiran Tio Jiang dilamun oleh pelbagai kenangan. Benar
kini kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dulu, tapi kini
dirinya telah menjadi seorang pemuda tengeng, ia menghela
napas sedih. Apakah sucinya akan dapat menyintainya lagi"
Ingin benar dia lekas sampai di Kwiciu, namun rakit itu
sedemikian pelannya. Apa boleh buat, untuk mengisi
kekosongan waktu, dia tenang diri berlatih ilmu "cap-sahsik-heng-kang-sim-coat" yang baru dipelajarinya itu. Sampai
setengah harian dia berada dalam keadaan begitu, lewat
tengah hari samar2 seperti terdengar suara mengaung yang
lemah. Tapi ketika dia membuka mata, ternyata tak ada
apa2, kecuali laut yang lepas. Tapi karena kini dia seorang
tengeng, maka dia terpaksa harus berputar tubuh kalau
hendak melihat kesebelah samping dan belakang. Benar
juga ketika berputar kesebelah belakang, tampak jauh
disebelah muka sana ada sebuah perahu kecil berjalan laju
sekali. Tio Jiang terperanjat dan girang. Terperanjat melihat
kecepatan luar biasa dari sampan kecil itu. Girang karena
kalau dia bisa menggabungkan diri, tentu akan dapat
mencapai daratan dengan lekas.
GAMBAR 27 Sedang Tio Jiang ter-menung2 sendirian diatas rakit, tiba2
dilihatnya jauh dibelakang sana ada sebuah perahu sedang
meluncur datang dengan pesatnya.
Tio Jiang segera berteriak se-kuat2-nya. Tapi begitu
suaranya keluar, dia segera menjadi kaget sendiri, karena
teriakannya itu hampir menyerupai guntur dahsyatnya.
Kiranya tanpa disadari, kini lwekangnya bertambah maju
sekali. Sudah tentu orang2 dari perahu kecil itu dapat
mendengarnya, dan makin cepat menghampiri. Ketika
dekat, salah seorang dari perahu itu tampak melontarkan
sebuah tali yang ujungnya diberi jangkar kecil kearah rakit
Tio Jiang. "Adakah saudara ini hendak menghadiri undangan rapat
?" tanya orang itu.
Tio Jiang melengak, sahutnya: "Tidak !"
Dari perahu itu loncat 3 orang kerakit Tio Jiang. Salah
seorang setelah mengawasi Tio Jiang dan berkata: "Bukan,
Ceng Bo sianjin hanya mengundang para enghiong dan
hohan dari seluruh penjuru, mana bisa mengundang
seorang anak tengeng begini !"
Hati Tio Jiang sakit sekali, ketika disebut anak tengeng
itu. Tapi demi didengarnya sang suhu mengirim undangan
pada seluruh orang gagah, dia girang sekali, tanyanya:
"Sam-wi toako (engkoh bertiga), Ceng Bo siangjin adalah
guruku. Dimanakah beliau sekarang ini, harap suka
membawa aku kesana."
Ketiga orang itu mengawasi sampai sekian lama kepada
Tio Jiang. "Siaoko, mengapa kau bisa ngelantur begitu ?"
kata salah seorang dengan tertawa.
Tio Jiang tidak pernah berbohong, maka merahlah
selebar wajahnya demi dituduh begitu, sehingga tak dapat
berkata apa2. "Ceng Bo siangjin mempunyai murid, itu belum pernah
terdengar. Tapi kalau dia mempunyai dua tiga orang
gundik, itu memang nyata!" kata yang seorang lagi.
"Mengapa kau berani menghina suhuku ?" bentak Tio
Jiang dengan marahnya.
"Siaoko, apakah kau ini benar muridnya Ceng Bo
siangjin ?" kata siorang tadi dengan masih bergelak tawa.
"Benar !"
"Mengapa kau tak tahu suhumu mempunyai gundik ?"
tanya orang itu.
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sudah tentu Tio Jiang tak percaya. Suhunya seorang
lelaki yang berpambek luhur, masakan dia mau berbuat hal
begitu" "Apakah saudara tahu untuk maksud apa suhu
mengundang para orang gagah itu ?"
Menyahutlah ketiga orang itu dengan berbareng :
"Tentara Ceng sudah menduduki Kwitang. Bahwa masih
ada setengah orang2 didunia persilatan yang tak kenal
selatan hendak mengadakan perlawanan itu, kan berarti
hanya ibarat 'telur diadu dengan batu' saja. Maka Ceng Bo
siangjin mengirim undangan pada sekalian hohan untuk
menganjurkan supaya mereka jangan mengadakan gerakan
yang sia2 itu. "
Tio Jiang ter-longong2 mendengarinya. ,Ah, tidak, tidak,
mana suhu mau berbuat begitu?" katanya pada lain saat.
Terkilas dalam ingatannya, bahwa baik dalam ucapan
maupun dalam perbuatan, suhunya itu bukan tergolong
orang yang sudi melakukan hal yang merosotkan moral itu.
"Dimanakah pertemuan itu akan diadakan?" tanyanya pula.
"Apa" Kau mengaku sebagai muridnya, tapi mengapa
tak tahu" Ha, Ha!" sahut mereka bertiga.
Tio Jiang tak ambil mumet disangka me-ngaku2 murid
Ceng Bo siangjin itu. Dia ulangi lagi pertanyaan tentang
tempat pertemuan itu. Maka menyahutlah ketiga orang itu :
"Kami bertiga ini ditugaskan untuk menyambut tetamu
yang naik perahu. Jika siaoko benar2 ingin mengunjungi
pertemuan itu, mari ikut pada kami menuju kepulau Bansan-to disana itu. Tapi sesampainya disana, siaoko jangan
mengatakan ini itu. Ceng Bo siangjin adalah seorang tokoh
silat kenamaan, mana bisa dia mempunyai seorang anak
murid yang tengeng" Jangan sampai membuat dia gusar,
awas bisa dikemplang mati nanti !"
Tio Jiang makin curiga., Mengapa Ceng Bo siangjin
yang dikatakan oleh ketiga orang itu, jauh bedanya dengan
Ceng Bo siangjin yang menjadi suhunya" Ah, biar dia ikut
ke pulau Ban-san-to itu, guna menyaksikan sendiri.
Begitulah dia lalu berpindah keatas perahu. Benar juga tak
berapa lama, mereka menghampiri kesekelompok pulau2.
Salah seorang dari ketiga orang tadi meniup terompet
terbuat dari keong laut, dan dari arah muka sana
terdengarlah penyahutan bunyi macam begitu juga.
Tahu gelagatnya mencurigakan, Tio Jiang ber-siap2
dengan pedangnya. Tatkala perahu mendekat pantai,
kiranya yang disebut Ban-san-to atau pulau selaksa gunung
itu, yalah pulau yang separoh terdiri dari gunung dan
separoh daratan. Karena letaknya dilaut selatan, jadi
meskipun kala itu dalam musim dingin, namun didaerah
situ tanam2an masih tetap menghijau. Ketika hampir
berlabuh kepantai, tiba2 dari salah satu muara tampak
keluar sebuah perahu. Orang yang berdiri diburitan perahu
itu kedengaran berseru :
"Siapakah yang datang ini kali?"
"Hanya seorang anak muda yang mengaku murid Ceng
Bo siangjin," sahut ketiga orang tadi, lalu serentak tertawa
gelak2. Tapi Tio Jiang tak menghiraukan. Jauh disebelah
depan sana, dilihatnya banyak sudah orang berkumpul
disebuah tanah lapang.
"Rasanya sudah tak ada orang yang datang lagi. Tadi
Toa cecu (pemimpin) dari gunung Hoasan yakni Nyo Kong
Lim baru saja datang. Rupanya dia tak puas dengan
siangjin, maka sudah membawa beberapa kawan2nya
kemari," kata orang yang baru datang itu. Dan ketiga orang
tadipun mengiakan.
Sebaliknya Tio Jiang terkejut mendengar hal itu.
Teringat ia bahwa sering kali suhunya me-muji2 Nyo
Konglim itu sebagai seorang persilatan yang berpambek
perwira, semestinya kedua orang itu akan merasa girang
dapat bertemu, masakan bisa bentrok. Ah, lupa dia,
bukankah tadi ketiga orang itu mengatakan bahwa, Ceng
Bo siangjin hendak mencegah supaya orang2 persilatan
jangan melanjutkan perlawanannya kepada, pemerintah
Ceng Sudah tentu dalam hal ini, Nyo Kong-lim pasti akan
menentangnya. Selama berjalan dan berpikir itu, tahu2 sampai dia
ketempat berkumpulnya orang banyak itu. Ternyata orang2
gagah yang berkumpul disitu, tak dikenalnya semua. Pada 3
deret bangku pat-sian yang berada disebelah timur sana,
semua sudah penuh diduduki orang. Salah seorang dari
mereka itu, tinggi besar badannya. Kalau bicara, orang itu
suaranya seperti genta dipalu. Orang2 yang disekitarnya
tampak sangat menghormat sekali padanya. Selain 3 buah
meja pat-sian besar itu, orang2 lainnya sama duduk
dibawah tanah. Tio Jiang memilih tempat kosong lalu ikut
duduk dibawah. Tapi se-konyong2 dia berbangkit lagi, demi
dilihatnya pada saat itu Ceng Bo siangjin berjalan
mendatangi dari balik gunung.
Tio Jiang anak yang berwatak polos jujur. Hampir 3
bulan tak berjumpa dengar sang suhu, dia sangat rindu, itu
nampak sang suhu, terus saja mulutnya hendak berseru
memanggil. Tapi tiba2 dia mempunyai pikiran lain dan
terpaksa bersabar diri, demi tampak pemandangan yang
aneh. Kiranya begitu Ceng Bo siangjin muncul, dibelakangnya mengikut 2 orang wanita muda, yang
berparas cantik. Dilihat dandananya, wanita muda itu juga
seperti orang persilatan. Yang satu disebelah kanan, yang
lain disebelah kiri, keduanya seperti menggelandotkan,
tubuhnya pada Ceng Bo dengan sikap yang aleman, sekali,
namun Ceng Bo tak marah sebaliknya malah memegangi
pinggang keduanya.
Tio Jiang hampir tak percaya pada apa yang dilihatnya
itu. Enam tahun lamanya dia berguru pada siangjin itu, baik
sikap maupun bicaranya, siangjin itu sangat correct (tepat),
dapat menjaga harga diri. Sungguh tak mengira dia, kalau
siangjin itu berlaku begitu, gila2an, bercanda dengan orang
perempuann dihadapan umum, apalagi dihadapan sekian
banyak tokoh2 persilatan !
GAMBAR 28 Mendadak siorang tinggi besar tadi berdiri dengan kerennya
dan menegur Ceng Bo Siangjin.
Ternyata bukan melainkan Tio Jiang seorang yang
mempunyai perasaan begitu. Semua orang yang hadir disitu
sarna ber-bisik2 satu sama lain. Dalam hati mereka sama
sangsi mengapa, Ceng Bo siangjin yang namanya begitu
termasyhur ternyata, seorang yang bermoral serendah itu.
Malah siorang gagah bertubuh tinggi besar tadi, segera
berbangkit dari tempat duduknya dengan kurang senang.
Karena orang itu mengenakan pakaian warna hitam, maka
begitu berdiri se-olah2 merupakan sebuah menara tinggi,
sehingga orang! sama terkesiap. Namun sikap Ceng Bo
siangjin itu tetap tenang2 saja. Dengan membawa sikapnya
seperti tadi, dia menuju meja pat-sian itu dan mengambil
tempat duduk disitu.
Begitu Ceng Bo siangjin sudah duduk, maka terdengarlah siorang gagah tadi berseru keras: "Siangjin,
apakah maksud tujuan dari undangan pertemuan paraa
hohan harini" 72 orang saudara2 dari Hoasan hadir disini
untuk bersedia mendengarkannya! Siangjin kiranya tentu
sudah mengetahui bagaimana nasibnya ribuan saudara2
Thian Te Hui yang telah dihancurkan oleh tentara penjajah
itu. Adakah siangjin bermaksud hendak mengadakan,
perserekatan dengan seluruh enghiong dunia persilatan
guna melakukan pembalasan ?"
Mendengar itu, semangat Tio Jiang me-nyala2 lagi.
Teringat dia bagaimana nasib Kiau To, Ki Ce-tiong dan
Yan-chiu yang tiada kabar beritanya itu. Li Seng Tong
dengan 30.000 tentara Ceng telah mengurung gunung
Gwat-siu-san, Setelah mengadakan perlawanan sehari
semalam, barulah dia (Tio Jiang) dapat membuka jalan
lolos. Kiranya peristiwa itu telah diketahui oleh seluruh
orang persilatan. Tiada korban yang jatuh sia2, Thian Te
Hui pecah sebagai ratna dimedan bhakti.
Maka pada saat itu, ingin sekali dia lekas2 mendengarkan bagaimana penyahutan dari sang suhu yang
sudah berobah perangainya itu. Habis mengajukan
pertanyaan, orang gagah itu lalu berdiri dengan dada
berkembang-kempis karena menahan kemarahannya.
"Nyo-toa-cecu," Ceng Bo siangjin menyahut dengan
bergelak tawa, tolong tanya mengapa ribuan saudara2
Thian Te Hui tiada bernyawa lagi" Mengapa toa-ah-ko Ki
Ce-tiong dan ji-ah-ko Kiau To tiada berkubur mayatnya lagi
?" Tanpa menunggu sedetikpun, siorang gagah itu cepat
menyahuti dengan suaranya yang mengguntur: "Seorang
taytianghu (laki2 sejati), mengapa jerikan soal mati hidup"!
Benar dengan toa dan ji-ah-ko dari Thian Te Hui aku, Nyo
Kong-lim, belum pernah berkenalan, namun aku sungguh2
kagum pada mereka!"
Ceng Bo siangjin menyeringai, ujarnya dengan sinis:
"Jadi Nyo-toa-cecu juga siap hendak menyuruh 72 saudara
dari Hoasan bernasib seperti Thian Te Hui?"
Kini tahulah Tio Jiang bahwa orang tinggi besar itu
adalah Toa-cecu atau pemimpin besar dari ke 72 Cecu
(kepala begal) gunung Hoasan. Dibalik ituu dia merasa
heran atas jawaban sang suhu itu. Mengapa kini sikap
suhunya itu berbalik 100 derajat"
Bukannya dia mengobarkan semangat perjoangan pemimpin besar
perserekatan begal dari gunung Hoasan itu, sebaliknya
memadamkan api perjoangan mereka. Aneh, sungguh
aneh...... Setelah sampai sekian saat Nyo Kong-lim diam saja,
Ceng Bo siangjin bergelak tawa, ujarnya: "Toa-cecu,
apakah tahu alam ini mempunyai hukum" Dengan telur
hendak memukul batu, hanya seperti anai-anai (laron)
menghantarkan jiwa kedalam api! Kiranya lebih baik
dengarkan nasehat pinto, bekerjalah pada kerajaan Tay
Ceng!" Bukan olah2 kaget Tio Jiang mendengar mulut sang
suhu mengucapkan kata2 itu, saking tak kuat menahan
perasaannya, tanpa disadari dia berbangkit seraya mengeluh
keras : "ai........ " sehingga semua orang terkejut dan sama,
mengawasi kearahnya. Ceng Bo siangjin jua memalingkan
mukanya, seraya berkata dengan nada menghina: "Ho,
siaoko itu rupanya berani membangkangkah?"
Tio Jiang makin men-jadi2 terperanjatnya. Mengapa
sang suhu menyebutnya siaoko (engkoh kecil) " Adalah
karena kejujuran Tio Jiang yang selalu ingat akan budi
kebaikan suhunya, sehingga dia tak mempunyai kecurigaan
apa2 kecuali, perasaan mengindahkan. Mengapa suhu
berbuat begitu, tentu ada sebabnya. Mungkin dia hendak
menyuruh aku mempelopori setuju akan anjurannya itu,
hingga nanti semua hohan pun ikut2an setuju. Biar
bagaimana juga, budi suhunya itu adalah sedalam lautan,
rasanya seluruh pengabdian hidupku saja masih belum
cukup untuk membalas budi suhunya itu, pikir Tio Jiang.
Dan sehabis mantep berpikir, segera dia melangkah maju
seraya berseru: "Suhu!"
Lagi2 suasana, persidangan itu menjadi gempar. Ceng
Bo siangjin sendiripun menjadi melengak, tapi pada lain
saat dia sudah dapat menguasai perasaannya. "Duduklah,
tunggu sehabis kuselesai berunding dengan Toa-the-cu Nyo
Kong-lim" Tio Jiang tak berani membantah, dan lalu duduk dimeja
pat-sian situ. Karena kepala tengeng, maka ketika
tubuhnya, mengambil tempat duduk, kepalanya bukan
menghadap kemuka melainkan kesamping. Baru dia
hendak mengalih tubuhnya, tiba2 dilihatnya disebelah
samping situ berkelebat sesosok bayangan orang. Dilihat
dari dandanannya, orang itu seperti Cian-bin Long-kun The
Go. Karena kini lehernya kaku melekat pada pundaknya,
jadi tak leluasa diputar2. Begitu dia memutar tubuhnya agar
kepalanya menghadap kearah tadi, ternyata bayangan orang
itu sudah lenyap.
---oodw0tahoo--BAGIAN 9 : RAPAT PARA ORANG
GAGAH Tio Jiang ragu2 atas penglihatannya tadi, tapi gerak
orang itu memang teramat sebat sekali. Memikir the Go,
dia teringat akan Bek Lian. Cepat dia hendak lantas
berbangkit mencari keterangan, tapi pada lain saat dia
tersentak diam, demi teringat dirinya kini menjadi seorang
tengeng. Adakah nanti Bek Lian sudi melihatnya" Ah, lebih
baik dia sabarkan diri menunggu sang suhu. Bila nanti sang
suhu sudah dapat mengusahakan pertolongan, barulah dia
nanti ada muka untuk bertemu dengan sang suci itu. Kalau
pikiran Tio Jiang itu hanya penuh dengan persoalan Bek
Lian, adalah disana kedengaran Nyo Kong-lim berkata:
"Ceng Bo siangjin, Hay-te-kau! Dunia persilatan
mengagungkan namamu sebagai seorang lelaki sejati.
Berapa buIan yang lalu, orang katakan kau masih
berserekat dengan Thian Te Hui menentang tentara Ceng.
72 Cecu dari Hoasan, berminat untuk berserekat dengan
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thian Te Hui. Kalau kini kau sudah berobah menjadi
bangsa babi dan anjing, mengapa tak lekas2 memelihara
buntut dibelakang kepala itu?"
Bermula Tio Jiang sangat ketarik dengan ucapan perwira
dari ketua perserekatan Hoasan itu, tapi serta pada
klimaksnya orang me-maki2 suhunya yang dianggapnya
sebagai ayahnya sendiri itu, berobahlah wajah Tio Jiang.
Dengan sigapnya serentak dia berbangkit menuding Nyo
Kong-lim: "Kau....., kau...... mengapa memaki orang " !"
Nyo Kong-lim berpaling, dengan sepasang alis mengerut
naik turun, berkatalah dia dengan mengejek: "Kalau sang
guru kencing berdiri, tentu muridnya kencing berlari! Tak
peduli setan belang mana, asal berani menyerahkan tanah
air kita kepada penjajah, aku tentu akan mencaci makinya!"
Ucapan ketua Hoasan yang tegas dan perwira itu,
mendapat sambutan gegap gempita dari para hadirin.
"Bagus, makian tepat! Harus dimaki begitu!" tereak mereka
dengan me-luap2.
Tapi ada juga segolongan kecil yang jebikan bibir,
mengejek: "Hem, manusia yang tak tahu mati!"
Ada juga yang menyambungi: "Garang dibibir saja,
apanya sih yang dibuat bangga!"
Dan kini suasana pertemuan itu kacau dengan suara2
yang pecah menjadi dua aliran. Ceng Bo kerutkan jidatnya.
Begitu mendorong sisihkan kedua wanita yang dandanannya seperti perempuan rendah itu, dia segera
bangkit. "Ai....., siangjin, mengapa mengeluarkan tanduk?"
seru kedua wanita muda itu dengan aleman sekali.
Mengkirik bulu roma Tio Jiang mendengar tingkah laku
yang memuakkan dari kedua wanita muda itu. Ah,
mengapa sang suhu kini menjadi begitu lupa diri" Namun
hanya sedetik saja pikiran itu terkilas dalam hati Tio Jiang,
karena biar bagaimana juga, dia tetap mengindahkan dan
menjunjung tinggi sang suhu yang telah menanam budi
setinggi gunung itu.
Ternyata begitu Hay-te-kau yang menggeletar namanya
diangkasa persilatan itu berdiri, maka sunyi siraplah
suasana. Hanya Nyo Kong-lim beserta rombongannya saja
yang kedengaran masih ter-tawa2 kecil yang sinis. Begitu
berdiri, Ceng Bo siangjin hantamkan tangannya keatas meja
pat-sian, brak........ dan tembuslah meja itu dengan sebuah
lubang. Hadirin makin diam jeri. Setelah menyapukan
pandangan matanya keseluruh hadirin, barulah Ceng Bo
siangjin menatap kearah Nyo Kong-lim tadi, ujarnya: "Toacecu, pinto se-mata2 hanya memikirkan akan nasib
saudara2 dikalangan persilatan. Kalau Toa-cecu hendak
menggunakan ke 72 cecu Hoa-san itu guna mencari
kebesaran nama sendiri, pintolah orang pertama, yang
takkan mengijinkan!"
Nyo Kong-lim itu adalah seorang kasar. Sejak kecilnya,
dia bertenaga besar dan suka belajar silat. Akhir masa
pemerintahan Beng itu korup sekali, sehingga nasib rakyat
sangat sengsara. Itu waktu karena hendak membela rakyat
sedesanya yang tertindas, dia telah membunuh seorang tuan
tanah. Setelah itu, dia merat dari kampung halamannya dan
mendirikan perserekatan begal haguna digunung Hoa-san.
Digunung Hoa-san situ sebenarnya sudah ada 72 orang
Cecu. Namun karena melihat sikap dan perangai Nyo
Kong-lim itu gagah perwira, mereka mengangkatnya
menjadi toa-cecu atau pemimpin besar dari para Cecu.
Tatkala mendengar ucapan Ceng Bo siangjin itu, karena
sesaat tak dapat mencari bantahan yang tepat, dia hanya
men-dengus2kan hidungnya seperti kerbau marah. Terang
siangjin itu hendak mendesaknya dalam, suatu pertandingan pibu (adu silat). Benar selama ini orang
persilatan mengagungkan nama siangjin itu, namun dia
sendiri belum pernah menyaksikan sampai dimana
kelihayan siangjin itu. Bahwasanya kini ternyata sangjin itu
tak lebih tak kurang hanya seorang bangsa penjilat, dia tak
mau menhiraukan soal etiket lagi. ,Sudahlah, aku tak mau
banyak bicara dengan, seorang hidung kerbau macam kau
ini. Kalau hendak memaksa orang, lebih dahulu harus
dapat menangkan senjataku sam-ciat-kun ini!"
Habis berkata itu, tangannya merogoh kepinggang dan
"trang", sebatang sam-ciat-kun (toya yang bersambung tiga)
sudah siap ditangannya. Begitu dikebaskan, sam-ciatkun itu
dapat lempeng seperti sebatang alat tulis pit, ujungnya
menutuk Ceng Bo siangjin.
Sam-ciat-kun itu terbuat dari baja murni yang berwarna
hitam kemilau. Setiap batang, ada satu meter panjangnya,
berat seluruhnya ada 60-an kati. Senjata itu dinamakan juga
"sam sat to beng kun" (toya tiga malaekat elmaut).
Mengetahui bahwa tentu akan terbit pertempuran seru,
maka para hadirin segera ber-ingsut2 mundur bebrapa
tindak. Dan dengan kesadaran, kini orang2 itu terpecah
menjadi dua rombongan. Yang menyokong Nyo Kong-lim
untuk melanjutkan perlawanan terhadap tentara Ceng,
sama berkumpul dibelakang pemimpin Hoa-san itu. Sedang
sebagian kecil yang menyokong Ceng Bo siangjin, segera
berkerumun dibelakang siangjin itu.
Sebaliknya Tio Jiang yang agak kebingungan. Tapi demi
dilihatnya Ceng Bo siangjin seperti kesima saja menghadapi
ancaman sam-ciat-kun Nyo Kong-lim itu, serentak
pikirannya tetap. Sebagai seorang murid, tak pantas dia
membiarkan suhunya dihina orang. Tentang faham
pendirian, itu soal lain. Yakin akan kemajuan yang
diperolehnya selama, dua bulan galang-gulung dengan Sik
Lo-sam itu, dia harus bertindak cepat. Maka sekali enjot
sang kaki, dia melesat maju menengahi.
"Toa-cecu, wanpwe hendak mohon bebrapa jurus
pelajaran darimu!" katanya, sembari melolos, pedang.
Begitu dilihatnya anak muda tengeng tadi sudah
menyanggapi kehadapannya, Ceng Bo siangjin lalu duduk
kembali. Sedangkan begitu mencabut pedang, Tio Jiang
segera bergerak dengan jurus "Thio Ik cu hay". Ujung
pedang dijuruskan kebawah, begitu orangnya berkelebat
maju, ujung pedang itu diguratkan keatas untuk memotong
janggut orang. Atas serangan itu, Nyo Kong-lim tarik samciat-kunnya kebawah untuk menutup serangan orang.
Setelah itu dia sembari mundur selangkah, sembari berseru
keras: "Siaoko, kau hendak membela suhumu, itulah sikap
perwira. Tapi mengapa kau tersesat memilih seorang guru
macam begitu ?"
Tio Jiang tertegun. Memang ucapan orang itu tepat.
Kalau dulu2-nya Ceng Bo siangjin itu orang macam begitu,
tak nanti dia sudi berguru padanya. Tapi biasanya siangjin
itu tidak demikian. Entah mengapa harini mendadak sontak
suhunya bisa berlaku begitu" Ah....., tentu ada sesuatu yang
memaksanya begitu, pikir Tio Jiang, siapa lebih banyak
terpengaruh dari budi kecintaan terhadap sang suhu
daripada kenyataan yang dihadapi pada saat itu. "Toa-cecu,
silahkan kau memberi pelajaran beberapa jurus!", serunya
seraya maju. Begitu tubuhnya menurun, dia terus
mengayun2kan pedangnya dalam jurus boan-thian-kok-hay.
Melihat gerakan pedang dari sianak tengeng itu tak
sembarangan, Nyo Kong-lim tak berani berayal. Sebenarnya dia tak bermaksud hendak bertempur dengan
anak tengeng itu, namun kalau tak menundukkan anak itu
lebih dahulu, sukarlah rasanya untuk mengajak berunding
Ceng Bo siangjin. Juga misalnya orang lain yang
mempunyai kedudukan seperti dia, yakni sebagai pemimpin
dari ke 72 Cecu gunung Hoasan, biar bagaimana tentu tak
sudi merosotkan diri untuk melayani seorang bocah tengeng
yang tak ternama itu. Tapi dasar seorang kasar, jadi tak
dapatlah orang she Nyo itu berpikir sampai sekian jauh.
Begitu ujung pedang menyerang datang, diapun segera
menyambut dengan sam-ciat-kunnya.
Melihat cara berkelahi orang itu mengandung maksud
meremehkan dirinya, Tio Jiang marah. Belum seluruh
gerakan dari jurus pertama tadi dikeluarkan, atau dia tiba2
mendakkan tubuh lagi. Pedang di miringkan kesamping, di
kembangkan menjadi ratusan titik sinar. Itulah gerak dari
jurus ilmu pedang hay-siang-tiau-go (mengail ikan besar
dilaut). Dan belum lagi kelebat lingkaran sinar pedang itu
lenyap, atau secepat kilat pedang sudah mengancam muka
dan kepala orang.
Duapuluh tahun lamanya Nyo Kong-lim meyakinkan
permainan sam-ciat-kun itu. Dalam gebrak pertama tadi,
tampaknya dia hanya sembarangan saja menangkis. Tapi
pada hakekatnya, gerakannya itu mengandung gerak
merampas senjata lawan. Asal ujung tongkat yang ketiga
menempel senjata orang, maka tongkat yang kedua akan
melambung menghantam lawan, sehingga karena tak
menduga, lawan pasti akan lepaskan senjatanya. Jurus itu
disebut "ci bwe koan hay" alingkan alis untuk melihat
matahari. Tapi gerak perobahan Tio Jiang tadi, sungguh
diluar dugaannya, sehingga tanpa terasa dia berseru memuji
: "Bagus!"
Tio Jiang terkesiap atas pujian orang. Dan tepat pada
saat itu Nyo Kong-lim sudah sapukan sam-ciat-kunnya
keperut orang. Tadi Tio Jiang baru gerakkan separoh dari
jurus hay-siang-tiau-go, atau sapuan lawan sudah tiba.
Maka dalam gugupnya tak dapat jalan mengindar, dia
buang tubuhnya jatuh kesamping, wut ...... sam-ciat-kun
tepat menyambar diatas tubuhnya. Tio Jiang bangkit, tapi
kembali dia jatuh lagi 3 langkah kemuka, seperti dia itu
sudah tak kuasa berdiri jejak. Tapi anehnya, pedangnya
susul menyusul menyerang lawan sampai 3 kali.
Melihat cara menjatuhkan diri dari sianak tengeng tadi,
bermula Nyo Kong-lim sudah termangu. Dan setelah
melihat lagi cara jatuh sianak muda yang aneh itu,
bertereaklah pemimpin Hoasan itu dengan kagumnya:
"Bocah lihay, bisa ilmu istimewa dari Ang Hwat cinjin!"
Sekali Nyo Kong-Iim bertereak begitu, maka seluruh
hadirin menjadi gempar! Sedang yang bertereak sendiripun
buru2 putar sam-ciat-kun hingga merupakan sebuah
lingkaran sinar hitam, sedangkan orangnya menyerang
maju. Cara berkelahi begitu, Tio Jiang belum pernah
mendengar atau melihatnya. Ketika dia hendak gunakan
lubang kesempatan untuk maju menyerang, sam-ciat-kun
itu berubah menjadi semacam perisai sehingga Tio Jiang
terdesak mundur beberapa langkah. Dalam gugupnya Tio
Jiang kembali gunakan jurus Hong-cu-may-ciu (sigila
menjual arak) pikirnya hendak menyelinap kebelakang
lawan. Tentunya Kong-lim tahu akan maksud orang, tapi
ternyata dia malah memperlambat serangannya se-olah2
memberi kesempatan pada orang untuk melakukan
rencananya. Tapi ketika Tio Jiang sudah berada dibelakang
orang, tiba2 kedengaran suara orang mengeluh heran
"iih.....". Itulah suara Cian-bin Long-kun The Go, hingga
Tio Jiang berayal dari memutar tubuh untuk melihatnya.
Tapi dalam keayalan itu, Kong-lim sudah berputar tubuh
seraya menghantamkan samciat-kun, trang......beradulah
pedang dengan sam-ciat-kun, disusul dengan geseran kaki
tersurut 3 tindak kebelakang. Baik Kong-lim maupun Tio
Jiang, sama2 terpental. Tio Jiang rasakan tangannya kanan
kesemutan, begitu pula Kong-lim, siapa yakin hantamannya
itu tentu dapat memukul lepas senjata lawan, tapi
sebaliknya malah menderita kesakitan itu. Orang she Nyo
yang bertenaga kuat sekali itu, belum pernah mengalami
kerugian macam begitu. Dengan ke-heran2an kagum dia
mengawasi sianak muda, yang walaupun tengeng ternyata
lihay sekali kepandaiannya. Sebagai seorang yang jujur,
mau tak mau dia berseru memuji: "Bagus!"
Kini keduanya berhadapan muka lagi. Hanya saja
karena, tengeng, jadi tubuh Tio Jiaiig menghadap
kesamping, sikapnya lucu juga. Kini mata semua hadirin
terbuka. Tak lagi mereka berani memandang sebelah mata
pada anak tengeng itu. "Toacecu, turutlah suhuku........."
sebenarnya, Tio Jiang bermaksud menasehati toa-cecu itu
supaya menurut nasehat Ceng Bo, tapi demi teringat bahwa
maksud suhunya itu yalah menyuruh orang jangan
melawan pemerintah Ceng, dia tak mau teruskan kata2nya
dan merobahnya dengan permintaan berkelahi, serunya:
"Toacecu, silahkan memulai lagi!"
Tapi Nyo Kong-lim, yang senang akan sikap sianak
muda yang polos itu, mengalah: "Siaoko, kau saja yang
mulai dulu, agar jangan dikatakan aku yang tua hendak
menindas yang muda!"
Dalam kebatinan, Tio Jiangpun anggap lawannya itu
seorang laki2 sejati. Hanya karena membela sang suhu,
terpaksa dia harus bentrok dengannya. "Maaf!" serunya
sembari, melangkah maju dua tindak dan sret...... memapas
bahu orang. Atas serangan, itu Nyo Kong-lim mendak
kebawah, lalu balas menyerang. Demikianlah keduanya
segera bertempur lagi.
Tio Jiang tetap gunakan ilmu pedang to-hay-kiam-hwat.
Pada 4 jurusan dan 8 penjuru, sinar pedang mengurung
Nyo Kong-lim dengan gencarnya, sehingga para hadirin
menjadi terkesiap kaget. Pikir mereka, kalau muridnya saja
sudah sedemikiann lihaynya, apalagi gurunya. Kini mereka,
tunduk betul2 atas kesaktian Ceng Bo siangjin. Sedang si
Ceng Bo siangjin itu sendiri, bermula terperanjat sekali
melihat Tio Jiang unjukkan permainan to-hay-kiam-hwat.
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi demi dilihatnya semua mata hadirin tertuju
kepadanya. dengan sikap mengagumi, cepat sekali dia
unjuk muka berseri. Sedang kedua wanita muda tadipun tak
putus2nya berseru me-muji2, hingga orang2 yang sedikit
saja masih mempunyai perasaan halus, tentu akan
mengerutkan alisnya.
Sebenarnya Nyo Kong-lim itu juga seorang jago kelas
berat. Hanya karena sejak menjadi Toa-cecu digunung Hoasan dia jarang keluar berkelana lagi, jadi orang persilatan
hanya mendengar namanya tapi belum pernah menyaksikan kepandaiannya. Dia timpali permainan
pedang Tio Jiang dengan gerakan sam-ciat-kun yang seru
sekali. Sedang dalam pada itu, tubuhnya yang tinggi besar
itu berlincah2an dengan gesitnya. Saking cepatnya
pertempuran itu, dalam sekejab saja, 20 jurus sudah
berlangsung, namun masih tetap seri saja.
"Toako, mengapa membuang2 tempo untuk melayani
anak tengeng itu ?" kedengaran beberapa Cecu yang duduk
dimeja pat-sian itu ramai2 menganjurkan.
Bermula karena sayang akan kegagahan Tio Jiang, Nya
Kong-lim tak mau keluarkan seluruh kebiasaannya. Nanti
kalau sudah kehabisan tenaga, biarlah anak muda itu
mundur sendiri. Tapi ternyata anak muda itu makin lama
malah makin bersemangat. Maka demi mendengar anjuran
saudara2nya itu, sembari mengiakan, Kong-lim segera
perhebat sam-ciat-kunnya.
To-hay-kiam-hwat
benar merupakan, ilmu pedang yang luar biasa indahnya, tapi
karena Tio Jiang masih belum sempurna, jadi dalam
beberapa jurus kemudian, dia tampak terdesak. Kini dia
hanya dapat menangkis, tapi tak mampu membalas
serangan. Pada saat itu dengan gunakan jurus hay-li-long-hoan
(puteri laut memain gelang), dengan susahnya Tio Jiang
menangkis serangan heng-soh-cian-kun (menyapu ribuan
serdadu) dari Nyo Kong-lim. Nyo Kong-lim tak mau
sia2kan kesempatan itu. Tiba2 sam-ciat-kun dilempangkan
seperti pit untuk menutuk jalan darah siang-jiok-hiat
dipinggang sianak muda. Tapi ketika melihat sianak muda
itu rupanya tak dapat menghindar lagi, karena sayang akan
bakatnya, maka Nyo Kong-lim agak tarik sedikit tangannya
kebelakang, asal menutuk kena saja, sudahlah, jangan
sampai membahayakan jiwa orang. Tapi diluar dugaan,
tubuh Tio Jiang terhuyung dan jatuh menengadah
kebelakang, seperti macam gerak tiat-pian-kio, maka
serangan sam-ciat-kun tadipun hanya melayang diatas
tubuhnya saja. Karena tadi sudah dikendorkan, begitu
luput, cepat sekali Nyo Kong-lim, menarik balik sam-ciatkunnya. Tapi berbareng pada saat itu, seperti macam orang
gila Tio Jiang menubruk lawan dengan membolangbalingkan pedangnya.
Melihat itu, sudah tentu Nyo Kong-lim tertegun heran.
Terang itu bukan gerakan ilmu silat. Jangan2 karena kalap,
sianak muda itu lalu membabi buta hendak mengadu dliwa,
Maka diapun tak mau melayani dengan kekerasan,
melainkan mundur 3 tindak. Tapi ternyata Tio Jiang tetap
mengejarnya dengan mengobat-abitkan pedangnya keatas.
To-hay-kiam hwat sudah sakti, ditambah pula dengan
gerakan Tio Jiang yang serba aneh itu, telah membuat Nyo
Kong-lim kebingungan serta terpaksa main mundur lagi.
Dengan begitu, kini Tio Jianglah yang memegang inisiatip
penyerangan. Maju lagi kemuka, dia kirim tebasan kemuka
dan bahu orang.
Dua kali Nyo Kong-lim terdesak mundur tadi, sudah
membuat gempar para penonton. Masa seorang pemimpin
darl ke 72 Cecu gagah itu sampai kena didesak mundur oleh
seorang pemuda tengeng yang tak ternama. Maka kini Nyo
Kong-lim. mulai unjuk gigi. Begitu serangann pedang tiba,
sam-ciat-kun segera menyambutnya seperti seekor ular
keluar dari guanya. Ujung toya membabit keatas, disusul
dengan sodokan kemuka, ujung kedua menonjol maju
untuk menutuk jalan darah lwe-kwan-hiat disiku tangan
orang. Jadi sekali gerak, dua serangan Indah dan sebatnya
bukan kepalang. Benar juga pengaruh serangan Tio Jiang
menjadi lambat. Buru2 dia tarik pedangnya, tapi orangnya.
tak mau mundur melainkan meraba maju. Hal mana telah
membuat Nyo Kong-lim kaget, serunya: "Mau kepingin
mati?"' Tapi ternyata Tio Jiang bukan merabu maju, melainkan
dengan se-konyong2 miring kesamping, terus menyelinap
kebelakang orang. Tanpa memutar kebelakang lagi, Nyo
Kong-lim mainkan sam-ciat-kun dalam jurus giok-tay-wiyau (sabuk kumala melibat pinggang). Setelah sam-ciat-kun
ber-putar2 baru orangnya membalik, kebelakang, tapi
ternyata sianak muda sembari melorot turun sudah
menyusup kesamping lagi. Dan dari situ dengan gerak "Ho
Peh koan-hay," dia menusuk pinggang orang.
Gerakan itu sungguh membingungkan Nyo Kong-lim
yang belum tahu dimana posisi lawan, atau dari sebelah
kanannya ada angin menyamber kepinggag. Dalam
gugupnya dia menyapu sembari berputar kesamping. Tapi
bagaikan bayangan, sianak muda, itu tetap mengintil
sembari guratkan ujung pedangnya, bret kolor celana
pemimpin Hoasan itu tergurat putus. Hal mana sudah tentu
membuatnya gusar sekali. Cepat diaa kebas pedang lawan
dengan sam-ciat-kunnya, dan berbareng dengan memutar
tubuh dia ulurkan tangannya kiri untuk merebut senjata
sianak muda. Dikebas sam-ciat-kun tadi, tangan Tio Jiang
sudah kesemutan lagi rasanya, dan tahu2 ada sebuah
tangan besar yang penuh bulu hendak mencengkeram
mukanya, ter-sipu2 dia melangkah mundur. Tapi astaga,
begitu terdengar suara orang tinggi besar itu ketawa,
pedangnya sudah pindah tangan.
Senjata dapat direbut lawan, sudah cukup berbicara
kalah atau menang. Dengan merah padam mukanya, Tio
Jiang berdiri menjubelek. Tapi berbareng dengan itu
terdengarlah riuh rendah gelak tawa dari para hadirin. Nyo
Kong-lim lemparkan pedang sianak muda, tapi dalam pada
itu kedua gundik Ceng Bo siangjin itu menjerit-jerit: "Ai.....,
ai....., mampus aku! Orang tinggi besar itu masa didepan
orang banyak, meloloskan celananya"!"
Nyo Kong-lim terperanjat mengawasi celananya, aduh
mati aku......karena kolornya putus digurat sianak muda,
celananya kedodoran dan pahanya yang penuh bulu itu
tampak bulat2 kelihatan oleh orang banyak, sehingga
menimbulkan buah tertawaan mereka. Dengan geram kemalu2-an, buru2 Nyo Kong-lim beresi tali celananya itu,
kemudian tantang lagi pada Tio Jiang: "Anak muda,
ambillah pedangmu dan hayo bertempur lagi!"
GAMBAR 29 Disusul dengan terpental pedangnya Tio Jiang, tahu2 celana
Nyo Kong-lim kedodoran hingga kelihatan kedua pahanya yang
penuh bulu. Menurut nilai pertandingan itu, terang Nyo Kong-lim
lebih unggul. Sebagai orang jujur macam Tio Jiang, sedikit
itu ya sedikit, kalah ya kalah. Apa yang dipikir dalam
hatinya, mulutnyapun mengatakan begitu. Senjatanya
terebut lawan, secara sportief dia mengaku kalah. Biar sang
suhu saja yang menghadapinya.
"Toa-cecu, banyak terima kasih atas pengajaranmu tadi.
Hopwe mengaku kalah dan menghaturkan hormat," kata
Tio Jiang sembari menjura. Setelah itu dia memungut
pedangnya, lalu hendak mundur.
Nyo Kong-lim terperanjat dan kagum atas kejujuran
sianak muda itu. Seketika timbullah perasaannya senang
akan dia, ujarnya: "Siaoko, sayang seorang anak laki
perwira seperti kau ini, keliru memilih guru yang sesat!"
Mendengar suhunya dimaki lagi, Tio Jiang putar
tubuhnya untuk melototi mata pada orang she Nyo itu.
Tiba2 serasa dilihat ada sesosok bayangan berkelebat
disamping Ceng Bo siangjin. Sayang kepalanya tengeng,
jadi gerakannya tak leluasa. Ketika dia putar tubuhnya
untuk mengawasi adakah orang itu si The Go, ternyata
bayangan itu sudah lenyap lagi. Karena sudah 3 kali ini Tio
Jiang merasa, yakin kalau bayangan ituu adalah si The Go,
kini dia mulai curiga. Tapi tatkala dia hendak mencarinya,
tiba2 kedengaran Ceng Bo, siangjin berkata: "Jiang-ji,
terhadap sibangsat tadi, mengapa kau tak mau menempur
sekuat tenaga?"
Tio Jiang melengak lagi. Baru dua bulan dia tak
berjumpa dengan suhunya mengapa kini sang suhu berobah
sedemikian galaknya. Enam tahun lamanya, belum pernah
dia mendengar suhunya memaki bangsat. Tapi karena di
sesali oleh sang suhu, diapun hanya mengaku salah saja.
"Murid memang bersalah!" serunya, lalu menuding pada
Nyo Kong-lim: "Toa-cecu, aku masih hendak minta
pelajaran lagi padamu!"
Habis berkata, terus saja dia melangkah maju, menusuk
kedada Nyo Kong-lime Belum orang she Nyo itu bergerak
menangkis, atau tiba2 dari tengah2 lapangan muncullah
seseorang dengan seruannya yang keras: "Siaoko, tahan!"
Melihat orang itu, bukan kepalang kaget Tio Jiang,
sampai2 pedang yang dicekalnya itu hampir terlepas.
Bermula dia tak percaya kepada matanya. Tapi serta
diawasi dengan perdata, memang tak salah lagilah dianya.
Mukanya kotor, punggung menonjol keatas, ya sidia, Hwat
Ji tojin atau sibongkok yang menjadi pelayan biara Cin
Wan Si digunung Lo-hou-san! Pertama, mengapa dia turut
hadir dalam pertemuan para orang gagah ini" Kedua,
dahulu gagu tuli mengapa mendadak sontak kini bisa
bicara" ,Suhu berobah aneh, sigagu bisa bicara, aneh,
adakah aku ini sedang bermimpi tanya Tio Jiang seorang
diri. Karena bingung memikirkan dia menjublek disitu
sampai sekian saat.
Si Bongkok unjukkan muka-setan pada Tio Jiang, lalu
menuding kearah Ceng Bo, serunya: "Ceng Bo siangjin, kau
maukan agar saudara2 dalam dunia persilatan itu berhamba pada tentara Ceng saja, bukan ?"
Bening dan nyaring nada suara si Bongkok itu, suatu
tanda bagaimana tinggi ilmunya lwekang. Tapi karena si
Bongkok itu memakai dialect (logat) utara, jadi orang2
sama kurang jelas. Sebaliknya Tio Jiang kembali
terperanjat. Ingin sekali dia mendengar bagaimana
penyahutan suhunya itu.
Bermula kaget juga Ceng Bo melihat munculnya si
Bongkok, tapi dengan cepat dia segera dapat menyahut:
"Memang pinto mempunyai maksud begitu."
Si Bongkok kelihatan maju beberapa tindak kemuka, lalu
bertanya dengan suara keras: "Maksudmu sendiri atau atas
perentah dari Li Seng Tong congpeng tentara Ceng itu?"
Karena pertanyaan itu diucapkan pe-lahan2, maka
semua orang sama mendengar jelas, dan mereka merasa
heran bagaimana seorang bongkok yang tak mempunyai
tanda2 keistimewaan suatu apa, berani begitu garang
menanyai seorang tokoh macam Ceng Bo siangjin. Siangjin
ini tertawa tawar, lalu berbangkit me-ngebut2kan lengan
bajunya. Dengan wajah cemas, dia menyahut: "Pinto hanya
memikirkan keselamatan saudara2 seperjoangan saja. Mau,
tidaknya, terserah pada masing2. Kalau saudara2 ingin
mengadu telur dengan batu, silahkan cari kematian sana !"
Atas penyahutan itu, rombongan Nyo Kong-lim menjadi
panas hati. Ada beberapa orang yang tak kuat menahan
kemarahannya lagi, segera berteriak: "Bagaimana kau
merasa pasti kalau kita semua ini bukan lawan pemerintah
Ceng?" Ceng Bo siangjin hendak menyahut, tapi si Bongkok
maju lagi selangkah seraya me-lambai2kan tangannya
kepada hadirin supaya jangan gaduh. Setelah itu, dia
mengajukan pertanyaan lagi: "Ceng Bo siangjin, apakah
kau mengenal aku si Bongkok ini?"
Bermula Tio Jiang menganggap pertanyaan si Bongkok
itu edan. Masakan suhunya tak kenal padanya" Tapi
ternyata, setelah bersangsi sebentar, kedengaran suhunya itu
berkata : "Banyak tahun yang lalu, pinto pernah bertemu
dengan cunke (anda), tapi lupalah siapakah gelaran cunke
ini?" Tio Jiang seperti rasakan otaknya terbalik. Sebaliknya si
Bongkok itu segera mendongak keatas tertawa keras.
Bening dan nyaring nada ketawanya itu, hingga kalau tak
melihat orangnya, tentu orang takkan percaya kalau suara
sebagus itu ternyata keluar dari mulut seorang bongkok.
"Benar, 10 tahun yang lalu kau memang pernah bertemu
dengan aku disebuah pondok dikaki gunung Lo-hou-san!
Ha, ha.............! 10 tahun, lamanya terpaksa aku bertapa
menjadi orang gagu, baru hari ini dapat mencari keterangan
yang jelas! Kau masih berani jual lagak disini, tak takut
kalau Kiang Siang Yan akan mencarimu ?"
Pucat lesi wajah Ceng Bo siangjin seketika itu. Berpaling
kebelakang dia segera ber-kaok2 ketakutan: "Cian-bin
Long-kun........! Cian-bin Long-kun.........!"
Sebenarnya saat itu seharusnya Tio Jiang sudah
mengetahui duduk perkara mengenai diri "suhunya" itu.
Tapi dasar dia itu sedang buta cinta, jadi waktu mendengar
Cian-bin Long-kun dipanggil, diapun ikut2an berseru:
"Cian-bin Long-kun, mana Lian suci ?"
Karena kedua 'orang itu ber-teriak2 tak keruan, hadirin
menjadi panik. Sebaliknya Nyo Kong-lim yang menampak
si Bongkok itu hanya bersenyum mengawasi saja, segera
maju menghampiri, tanyanya: "Bukankah cunke ini seperti
yang diagungkan oleh orang persilatan sebagai Thay-san
sin-tho Ih Liok ?"
"Benar, siapakah gelaran yang mulia dari Toa-cecu ini,
Ih Liok lama nian mengaguminya!" sahut Ih Liok seraya
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengangguk. Sebagai orang yang berwatak blak-blakan, seketika
berserulah Nyo Kong-lim dengan girangnya: "Ih thocu, 72
Cecu dari Hoa-san, hendak mohon kau menjadi Toa-cecu !"
Sebenarnya Thay-san sin-tho atau si Bongkok sakti dari
gunung Thay-san itu hanya berkelana didaerah utara dan
selatan dan Sungai Kuning saja, jarang dia berkunjung ke
Kwitang dan Kwisay. Tapi ilmu "tho kang" (tenaga punuk),
sangat termasyur diseluruh penjuru. Melihat walaupun Nyo
Kong-lim itu orangnya tinggi besar namun hatinya masih
seperti anak kecil, tertawa si Bongkok, ujarnya : "Mengapa
Toa-cecu mengucap begitu !" Kemudian menuding pada
Ceng Bo siangjin, dia berkata lagi :"Tunggu dulu sehabis Ih
Liok beresi bangsat itu!" Dan sambil berkata Itu, dia maju
menghampiri Ceng Bo siangjin.
Ber-ulang2 mengaoki Cian-bin Long-kun tetap orang itu
tak muncul, Ceng Bo itu sudah kelabakan. Kini demi
dilihatnya Thay-san sin-tho yang lihay Itu menghampirinya,
dengan ketakutan dia putar tubuhnya ter-birit2 lari. Tapi
dengan sebat sekali, Ih Liok melesat maju dengan kelima
jarinya dipentang. Melihat itu Tio Jiang cemas. Sekali enjot,
dia melesat kebelakang si Bongkok. "Thocu, jangan kurang
ajar!" serunya sembari menusuk kebahu kanan orang.
Sebenarnya Ih Liok hendak menangkap orang yang
mengaku menjadi Ceng Bo siangjin itu, guna ditanyai
keterangan tentang peristiwa 10 tahun yang lalu itu beserta
hilangnya sebuah pedang pusaka. Tapi serentak Tio Jiang
hendak menusuknya, tahulah dia kalau anak itu tetap
menyangka si Ceng Bo tetiron itu sebagai suhunya. Dia
kenal watak anak itu, maka tak dapat mempersalahkannya.
Tapi untuk memberi penjelasan, terang memakan waktu.
Maka sembari pendakkan badan, dia menyeruduk Tio Jiang
dengan punuknya, Tio Jiang terperanjat, masa daging
punuk hendak diadu dengan ujung pedang. Cepat2 dia
hendak tarik pedangnya itu, tapi tahu2 tangan si Bongkok
sudah membalik kebelakang dan menyawut tangannya.
Selcali dipijat, aduh mak, bukan kepalang sakit tangan Tio
Jiang dibuatnya, sehingga trang.......... pedangnya terlepas
jatuh. Saking terkesiap melihat kesaktian si Bongkok itu,
Tio Jiang ter-longong2! disitu. Kini barulah si Bongkok
berpaling kebelakang, ujarnya dengan ketawa: "Siaoko,
jangan cemas, nanti saja-pasti kujelaskan padamu!"
"Suhu........" belum Tio Jiang melanjutkan kata2nya,
atau tiba2 dia berseru kaget: ,Ai........., kemana, suhu tadi ?"
Kiranya selagi kedua orang itu berayal, si Ceng Bo
tetiron sudah menghilang ketikungan balik gunung.
"Ho, hendak lari kau"!" seru si Bongkok sembari enjot
tubuhnya mengejar. Tapi baru memburu sampai ditengah,
tiba2 terdengar suara sorak sorai bergemuruh dan
muncullah sejumlah besar orang2 yang memakai kuncir.
Terang itulah tentara, Ceng. Dalam sekejap mata, mendesing2lah ribuan anak panah terbang diudara, menghujani
rombongan orang gagah yang berada ditanah lapangan situ.
Yang paling celaka, adalah Thay-san sin-tho. Karena
berada dimuka sendiri, dia seperti dihujani dengan anak
panah. Syukur ilmu silatnya tinggi. Selagi melayang
ditengah udara, begitu didengar ada suara mendesing, dia
cepat meluncur turun. Begitu punggungnya yang bongkok
itu mengenai tanah, sembari, berjumpalitan, dia sudah
menyawut dua batang anak panah yang lalu digunakan
untuk melindungi tubuhnya hingga tak sampai terluka.
Mulut menyumpah serapah Ceng Bo tetiron sebagai
penghianat yang keji, sekalian orang gagah itu segera putar
senjatanya untuk menangkis hujan anak panah, sembari
mundur. Ada beberapa orang yang tadinya menyokong usul
Ceng Bo tetiron, karena memangnya mereka itu adalah kaki
tangan pemerintah Ceng yang menyelundup kedalam
rombongan orang gagah, sudah ber-kaok2: "Ceng Bo
siangjin, mengapa kawan2 sendiri kau binasakan ?" Tapi
belum ucapan itu selesai, sudah ada beberapa orang yang
rubuh ........... terkena panah.
GAMBAR 30 Mendadak Tio Jiang dan Nyo Kong-lim dihujani anak panah
meyusul serombongan tentara Ceng yang berkuncir sudah datang
menyerbu. Tio Jiang yang hanya memikiri diri Bek Lian, bermula
hendak mengejar jejak The Go, tapi hujan anak panah yang
lebat itu, telah merintanginya. Terpaksa dia putar
pedangnya untuk melindungi diri sembari melangkah maju.
Tapi barisan pemanah musuh itu, kuat dan gapah sekali.
Tidak semakin reda, sebaliknya hujan anak panah itu makin
deras seperti hujan dicurahkan dari langit. Sudah beberapa
kali Tio Jiang hampir terkena.
Saat itu rombongan orang gagah lainnya sembari
menangkis sembari mundur ketepi pantai. Jadi yang masih
tinggal, hanya Thay-san sin-tho dan Tio Jiang.
"Suhu, suhu! Lian suci berada dengan Cian-bin
Longkun, ha!" teriak Tio Jiang sembari menangkis.
Mendengar itu terpaksa si Bongkok mundur kedekat sianak
muda itu, ujarnya: "Siaoko, 3 bulan tak berjumpa,
kepandaianmu maju pesat sekali!"
"Thocu, kau bukan orang baik. Mengapa dalam 6 tahun
kau pura2 gagu?" tanya Tio Jiang, yang sudah biasa bercanda dengan si Bongkok itu. Tapi pada lain ketika teringat
bahwa dengan kesaktiannya tadi, terang si Bongkok itu juga
seorang cianpwe dalam persilatan, maka dia kemalu2-an
sendiri, karena merasa tak pantas memanggil begitu
"Siaoko ceritanya panjang sekali. Nanti saja setelah
mengundurkan rombongan tentara Ceng itu dan menangkap Ceng Bo siangjin, baru kujelaskan padamu,"
sahut si Bongkok dengan tertawa sembari menangkis
serangkan anak panah.
Mendengar suhunya hendak ditangkap, kembali Tio
Jiang tertegun. Dan karena gerakan tangannya agak
terlambat, sebatang anak panah menyambar didekat sisi
telinganya, sehingga dia berjingkrak kaget. "Thocu
(bongkok), enam tahun suhu memperlakukan baik2,
mengapa kau hendak menangkapnya?"
"Ho, jadi kau masih menganggap imam tua tadi sebagai
suhumu?" tanya si Bongkok tertawa.
Terkilas dalam pikiran Tio Jiang bagaimana aneh sekali
sikap suhunya tadi. Tapi biar bagaimana juga, dia merasaa
berhutang budi besar pada suhunya itu. To-hay-kiam-hwat
yang sedemikian saktinya, sedang puterinya sendiri tak
diajari, sebaliknya diturunkan padanya. Adakah dia sampai
hati untuk membaliki muka kepada suhu yang berbudi itu"
Nyo Kong-lim tadipun mendamprat habis2an pada
suhunya. Jadi terang suhunya pasti tak dapat melawan
dikerubuti oleh sekian tokoh2 lihay nanti. Memikir sampai
disitu, ujung pedang dimiringkan dan sret ........ memapas
bahu si Bongkok, serunya: "Kalau hendak menangkap
suhu, harus kalahkan dulu aku!" Tapi berbareng pada saat
itu, dua batang anak panah menyambar disisinya. Malah
yang sebatang telah menyusup bajunya hingga robek.
Waktu dipuncak Giok-li-nia dahulu, 'sering si Bongkok
itu' menyaksikan Tio Jiang berlatih ilmu pedang. Jadi
tahulah kalau serangan sianak muda itu disebut jurus "ching
wi kiam hwat", maka dengan tenangnya dia pakai anak
panah untuk membuat lingkaran sinar, guna menghalau
serangan itu. Tapi kini Tio Jiang sudah mempelajari habis
dan mengerti keindahan sari ilmu pedang to-hay-kiam-hwat
itu. Begitu dilihatnya si Bongkok pakai sebatang anak
panah untuk menangkis, dia segera geser sedikit kesamping
pedangnya, dap tiba2 ujungnya ditusukkan kemuka.
Ih Liok tak menyangka sama sekali akan gerakan yang
luar biasa dari sianak muda itu. Dengan gugupnya, dia
cepat memutar tubuhnya kebelakang, terus menyingkir dua
tindak, baru dia dapat menghindar. Tapi tak urung sebatang
anak panahnya tadi, sudah kena terpapas kutung oleh
pedang Tio Jiang. Namun Thay-san sin-tho adalah tokoh
kenamaan, begitu membuang kutungan anak panah itu,
,segera dia sudah dapat mencari gantinya lagi. "Siaoko,
kenapa kau ini" serunya dengan geli.
Tapi berbareng dengan itu, tiba2 dari arah belakang sana
terdengar suara tambur riuh rendah dipukul orang, dan
tereakan gegap gempita dari rombongan orang gagah tadi.
Lekas2 Tio Jiang berpaling dan menampak dimulut muara
sana muncul ber-puluh2 perahu kecil yang penuh membawa
barisan pemanah. Malah sudah di lancarkan serangan anak
panah yang gencar. Jadi kini rombongan orang gagah itu
dijepit dari muka belakang. Saking marahnya, Nyo Konglim kedengaran ber-tereak2 seperti kebakaran janggut:
"Hay-te-kau, orang mengagungkan kau ini sebagai lelaki
sejati, tak tahunya tak nempil dengan binatang berekor
macam babi dan anjing saja!"
Sembari ber-tereak2 begitu, Nyo Kong-lim putar samciat-kunnya dengan dahsyat maju menyerbu maju. Tadi
saja demi diketahui tentara Ceng sudah mengatur stelling
bayhok (barisan pendam) dibelakang gunung, pemimpin
Hoa-san itu sudah murka. Tapi setelah berunding dengan
saudara2-nya para Cecu, diputuskan mundur kembali dulu
ke Hoa-san, Disana hendak menyusun kekuatan, guna meI
kukan perang total dengan musuh itu. Tapi demi kini
diketahuinya musuh telah mengurungnya dengan rapat, dia
teramat gusar. Dengan memutar sam-ciat-kun laksana kitiran, dia
mengamuk seperti banteng ketaton. Ber-puluh2 batang anak
panah yang menuju kepadanya, segera tersinglap berhamburan terbentur sam-ciat-kun. Tak berapa lama
kemudian, pemimpin Hoa-san itu makin mendekati kearah
Thay-san sin-tho dan Tio Jiang sana. Sembari berjuang
mati2-an, mulut pendekar gunung Hoa-san itu tak henti2nya mengumpat caci Ceng Bo siangjin.
Mendengar makian Toa-cecu Nyo Kong-lim, Tio Jiang
makin marah. Sembari teruskan serangannya kepada Thaysan sin-tho Ih Liok, dia bentak Nyo Kong-lim: ,Toa-cecu
kau memaki siapa?"
Nyo Kong-lim berasal dari keluarga pasaran (rendah),
jadi soal "me-maki2" sudah menjadi darah dagingnya.
Apalagi pada, saat itu, dia sedang gusar sekali, maka tak
peduli setan belang lagi, dia, segera menyahut seribu satu
makian: "Ceng Bo siangjin, makanya orang2 persilatan
sama mengatakan kalau isterimu minggat. Karena menilik
perbuatanmu macam babi anjing itu, kalau yang menjadi
isteri tak main gila dengan lain lelaki, sungguh dunia ini
tidak adil. Hayo, unjukkan cecongornya untuk mengetahui
siapa lelaki siapa perempuan. Apakah kau kira permainan
kanak2 ini akan dapat menangkap Nyo toaya-mu ini?"
Tio Jiang teringat akan sumaoynya, Yan-chiu. Kalau
sumoay itu ada disitu tentu akan dapat me-retour makian
itu kepada sipengirim. Tapi ah..., sumoay itu tiada kabar
beritanya, kemungkinan besar lebih banyak celaka daripada
selamat. Maka kini dia tumpahkan kejengkelannya itu
kepada Nyo Kong-lim. Begitu tarik pulang serangannya, dia
cepat beralih menyerang Nyo Kong-lim.
Seorang-kasar macam Nyo Kong-lim mana mau
memikir ini itu. Tanpa banyak bicara lagi, dia segera
sambut serangan anak muda itu. Demikianlah dalam
sekejab saja keduanya segera terlibat dalam pertempuran
yang seru. Ber-kali2 Thay-san sin-tho menereakinya supaya
berhenti, namun kedua orang itu sudah seperti orang kalap.
Tiba2 dari atas gunung sana kedengaran seseorang
ketawa gembira sekali: "Ha......, ha......, anjing berkelahi
dengan anjing, saling gigit menggigit mati2an. Biarlah.....,
biarlah......, toh nanti keduanya akan mati dalam hujan
panah!" Tio Jiang rasanya kenal sekali akan suara orang itu.
Cepat sekali dia putar separoh tubuhnya mengawasi keatas.
Ya, benar, itu dia si Cian-bin Long-kun The Go! Tapi
karena dia mendongak begitu, wut.........., sam-ciat-kun
Nyo Kong-lim sudah menyambar datang. "Cian-bin Longkun, mana Lian suci?" tereak Tio Jiang tanpa pedulikan
Nyo Kong-lim lagi.
"Toa-cecu, tahan!" tiba2 Thaysan sin-tho yang sedari tadi
mengawasi akan jalannya pertempuran itu, kedengaran
berseru. Atas seruan itu, Nyo Kong-lim tersadar. Memang anak
itu seorang anak jujur setia, tak boleh dicelakai. Maka
buru2 dia sentakkan tangannya kebelakang. Tapi biar
bagaimana juga, serangannya dalam jurus "Sun Bu
patahkan kaki" itu, dilancarkan dengan se-kuat2-nya, maka
walaupun dia berhasil juga untuk menarik balik dengan
tiba2 itu, namun tak urung dia terjorok kebelakang. Justeru
pada saat itu salah satu dari hujan anak panah yang masih
deras itu, telah menyambar pundaknya, sehingga pemimpin
Hoa-san itu ber-kaok2 mengaduh kesakitan, dan mulutnya
segera menghamburkan makian: "Keparat, anggaplah
kalian anjing, tapi aku tetap akan menghajarmu, anjing!"
Yang dimaki itu bukan Tio Jiang, melainkan The Go.
Dan ber-sama2 Thay-san sin-tho, kini dia menyerbu keatas.
Sebaliknya Tio Jiang yang sudah - dibutakan cinta kepada
Bek Lian itu, kembali ulangi pertanyaannya tadi, serunya:
"Cian-bin Long-kun, Lian suci kau bawa kemana, hayo
bilang tidak ?"
The Go dengan enak saja ber-kipas2, seraya menyahut
dengan tertawa, mengejek: "Hem.........., menjadi sute tak
tahu kemana perginya sang suci, masa tanya pada lain
orang" Siaoko, kurasa kau tak menanyakan sucimu, tapi
menanyakan orang yang kau cintai bukan" Ha....., ha.....,
sewaktu kau sakit, orang yang kau cintai itu pergi tanpa
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pamit. Bukankah ini berarti menyintai orang yang tak cinta"
Ho, ngenas, kasihan!"
Ucapan itu telah menusuk betul2 keulu hati Tio Jiang.
Lupa dia kalau saat itu, masih ditengah hujan panah.
Pedang terkulai kebawah, orangnya menjublek berdiri
seperti patung. Hujan anak panah yang masih berseliweran
dikanan kirinya itu, tak diacuhkan sama sekali.
Mata The Go yang tajam dapat mengetahui keadaan
saingannya itu. Pikirannya jahat timbul. Dia ambil busur
dan anak panah dari seorang serdadu Ceng yang berada
didekatnya. Busur dipentangnya lebar2, sekali lepas maka
menderulah sebatang anak panah kearah tenggorokan Tio
Jiang. Anak ini tengah merenungkan ucapan si Cian-bin
Long-kun itu tadi. Memang rasanya kata2 itu tepat.
Buktinya, Bek Lian telah lari bersama. The Go ketika dia
pingsan dipulau kosong tempo hari. Tapi heran, kalau Bek
Lian benar tak menyinta, mengapa malam itu ia
memberikan tanda, mata peniti kupu2 padanya" Justeru dia
melamun sampai disitu, anak panah tadi sudah terpaut
hanya 2 meteran jauhnya. Kalau dia mau menghindar,
rasanya masih bisa. Tapi seperti orang linglung, dia malah
merogoh kedalam baju, Perlunya untuk merabah peniti
kupu2. Dan begitu tangannya menyentuh benda itu, hatinya
serasa terhibur. Namun pada detik itu, anak panah telah
menyambar tiba, tepat mengenai tenggorokannya, sret
........... darah muncrat keluar, dan barulah dia tersadar.
Secepat kilat, dia tangkap tangkai anak panah itu.
Untunglah dia lekas2 bisa berbuat begitu, karena terang tadi
The Go telah gunakan seluruh kekuatannya untuk
memanah. Tak boleh tidak, panah itu tentu akan menembus
batang leher Tio Jiang. Maka meskipun tangan Tio Jiang
keburu mencekalnya, tak urung setengah dim dari ujung
panah itu telah menyusup kedalam tenggorokan. Sakitnya
sampai menusuk ke-ulu hati. Dan begitu tubuhnya
terhuyung, kembali betisnya termakan sebatang anak panah
lagi. Tempo hari Yan-chiu memberikan peniti kupu2 milik
Bek Lian itu kepada Tio Jiang, se-mata2 adalah untuk
memper-olok2-nya saja. Jadi bukan untuk mencelakai
sukonya itu. Maka kalau saat itu ia menyaksikan buah
perbuatannya yang dipikul oleh Tio Jiang itu, ia pasti, akan
mengucurkan air mata. Tapi bagaimanaa lagi, nasi sudah
menjadi bubur. GAMBAR 31 Selagi Tio Jiang ter-menung2 dilanum, cinta meradadak The
Go lepaskan anak panah dan tepat menancap ditenggorokan
pemuda itu. Balik menutur keadaan Tio Jiang, dalam pikirannya
yang sudah limbung akibat luka ditenggorokannya itu, tiba2
dia beringas pula. Biar bagaimanaa dia harus cari orang she
The itu untuk menanyakan dimana sang suci itu. Ini perlu,
sebab dia ingin mendengar keterangan dari mulut orang
yang dicintai itu sendiri, bagai manakah sejatinya
pikirannya itu. Yang perlu, dia hendak bertanya, mengapa
malam itu Bek Lian sanggup untuk menjadi isterinya"
"Cinta menangkan segala", demikian kata orang. Dan ini
rupanya berlaku jugaa bagi Tio Jiang. Tenggorokan adalah
bagian yang berbahaya dari tubuh manusia. Ini sudah
terpanah, begitu pula betisnya. Andaikata lain orang pasti
siang2 sudah rubuh. Tapi karena mempunyai kekuatan
batin Yang keras, Tio Jiang malah beringas. Dengan putar
pedangnya, dia menerjang maju. Benar anak panah tadi
sudah dicabutnya, tapi karena dia bergerak, maka darahpun
mengalir seperti menganak sungai. Kini Tio Jiang bukan
seperti manusia lagi macamnya, melainkan seperti manusia
darah. Begitu menghampiri kedekat Thay-san sin-tho dan
Nyo Kong-lim, kedua orang ini menjadi berdiingkrak kaget.
"Siaoko, kau kenapa itu ?" tanya mereka serentak.
Tio Jiang memutar kepalanya, dengan bengis dia deliki
mata kepada mereka Tapi begitu mulutnya hendak
berkata2, se-konyong2 dia kesima, serunya dalam hati:
"Hai" Leherku! Mengapa dapat diputar?" Dia coba lagi
untuk menoleh kekanan kiri dan ternyata mudah sekali,
tidak tengeng kaku lagi. Dalam kegirangannya, dia
unjukkan ketawa pada kedua orang tadi.
Biasanya orang ketawa itu tentu sedap dipandang. Tapi
tidak dengan Tio Jiang. Karena dia sudah berobah menjadi
manusia-darah, begitu ketawa, malah membikin takut
orang. "Kau ini orang mati atau orang hidup?" seru Nyo Konglim. Tio Jiang tak sahuti pertanyaan orang. Pikirannya
dikliputi rasa girang, karena bukankah nanti Bek Lian
takkan mencelahnya sebagai orang tengeng" Tapi dalam
pada itu, dia juga merasa heran. Mengapa dengan
terpanahnya tenggorokannya itu, malahan dapat memulihkan tengengnya" Bukankah tempo hari Sik Lo-sam
mengatakan, tiada obatnya lagi" Kiranya dia memang tak
mengetahui, bahwa untuk menyelamatkan jiwanya, Sik Losam terpaksa gunakan ciong-chiu-hwat (ilmu tutuk berat)
untuk menutup jalan darahnya. Sebenarnya walaupun
dikatakan tutukan tangan berat, tapi seharusnya tak boleh
seratus persen digunakan. Tapi karena kurang faham, jadi
Sik Lo-sam telah pakai seluruh tenaga untuk menutuknya,
hingga akibatnya dia menjadi tengeng. Sudah begitu orang
tua kate itu masih malu mengatakan kalau dia tak bisa
memulihkan kembali, maka mengatakan kalau tiada
obatnya lagi. "Siaoko, ini sambutlah dan poleskan pada tenggorokanmu!"
seru. Thay-san sin-tho seraya melemparkan sebuah bungkusan kertas. Sibongkok ini tahu
bahwa sekalipun Tio Jiang mandi darah, tapi lukanya tak
berbahaya. Kini ketiga orang itu sudah berhasil menyerbu sampai
kekaki gunung. Barisan pemanah tentara Ceng itu
bertempat diatas batu2 besar. Maka begitu ketiga orang tadi
sudah mencapai kaki gunung dimana banyak terdapat
batu2, mereka tak bisa berbuat apa2 lagi. Sekalipun masih
menghujani anak panah, tapi percuma saja. Juga hujan
panah dari jurusan laut tadi, karena sudah terpisah pada
jarak jauh, pun tak sampai disitu.
Entah sudah berapa kali Tio Jiang pakai obat kepunyaan
si Bongkok itu. Ketika masih digunung dahulu, setiap kali
tertusuk duri atau jatuh, begitu pakai obat itu, tentu sembuh
dengan lantas. Maka meskipun masih mendendam karena
orang hendak menangkap suhunya, namun Tio Jiang
sambuti obat itu dan dipakainya untuk mengobati
tenggorokan dan betisnya yang kena panah itu. Kemudian
diangsurkannya kepada Nyo Kong-lim yang terluka
pundaknya itu. Mereka bertiga adalah orang2 yang berwatak sama, suka
blak2an tanpa tedeng aling2. Baru beberapa menit tadi
mereka saling bertempur, kini sudah baik dan akur kembali.
"Sayang, siaoko. Kau sesungguhnya seorang lelaki utama,
mengapa memperoleh seorang guru yang begitu?" kata Nyo
Kong-lim sembari mengobati lukanya.
Kembali Tio Jiang kerutkan alisnya, namun mulutnya
tak dapat berkata apa2. Tiba2 dia teringat bahwa tempatnya
situ adalah dikaki gunung, jadi kalau membiluk sedikit,
tentu akan bisa berjumpa dengan suhunya. Tanpa banyak
pikir lagi, dia lantas berseru keras2: "Suhu, suhu!"
Baru dua kali dia bertereak, tenggorokannya berasa sakit
lagi. Maka dia tak mau lagi bertereak, melainkan hendak
lanjutkan penyerbuannya lagi. Tapi tiba2 si The Go yang
berada dipuncak gunung sana menjerit kaget. Sudah tentu
Tio Jiang berpaling kebelakang untuk mengetahui apa yang
terjadi. Hai, tentara Ceng yang berada ditepi laut sana,
tampak kacau balau keadaannya. Dalam kekacauan itu
tampak ada seorang dalam sebuah perahu, mengamuk
laksana banteng ketaton. Setiap arah tangan menghantam,
terdengarlah jeritan orang. Setiap kaki menendang,
terdengarlah orang mengerang. Dan demi didengarnya Tio
Jiang berseru memanggil tadi, orang itu segera berseru:
,Jiang-ji, mengapa kau juga berada disini ?"
Tio Jiang mengawasi pula dengan seksama. Orang itu
mengenakan jubah pertapaan, Gerak terjangnya bebas
lepas. Sekian ratus tentara Ceng itu dianggapnya seperti
rumput saja. Ah............, siapa, lagi imam gagah itu kalau,
bukan gurunya yang teramat dicintai itu! Diam2 dia
bergirang hati dan mengira dugaannya tadi tepat, yakni
mengapa sang suhu sengaja menganjurkan para orang
gagah supaya takluk kepada fihak Ceng, yalah karena,
disebabkan sesuatu hal, Buktinya kini suhunya itu kembali
sudah mengamuk tentara Ceng lagi. Saking girangnya, dia
deliki mata pada Nyo Kong-lim. "Toa-cecu, orang
bagaimanakah suhuku itu, seharusnya kau sudah tahu
sekarang."
Toa-cecu dari Hoasan itu ter-longong2 melihat keanehan
itu. Dilihatnya belasan perahu tentara Ceng itu dalam
sekejab saja sudah disapu bersih oleh Ceng Bo siangjin.
Sebagai seorang yang polos, cepat dia mengakui
kesalahannya. Untuk menyahut pertanyaan Tao Jiang, dia
segera menampar mukanya sendiri, plak.........! ,Manusia
edan..........!" serunya memaki diri sendiri.
Tio Jiang geli, tapi Nyo Kong-lim itu sudah lari
menghampiri kearah Ceng Bo, seraya bertereak-tereak:
"Hay-tekau, 72 saudara Cecu dari Hoa-san, tetap akan
minta kau menjadi pemimpin kami!"
Bermula para orang gagah itu terkesiap melihat
munculnya Ceng Bo, tapi demi diketahui sepak terjang
siangjin itu membasmi tentara Ceng, mereka bersorak
kegirangan. Ber-bondong2 mereka datang mengerumuni
imam yang gagah perkasa itu. Kawanan orang yang tadi
pro menakluk pada pemerintah Ceng, juga menjadi heran
atas kejadian itu. Tapi Ceng Bo tak mengacuhkan mereka.
Langsung dia memapaki Nyo Kong-lim, serunya sembari
memberi hormat: "Adakah saudara ini Nyo Toa-cecu dari
ke 72 cecu Hoa-san " "
Sudah tentu sikasar itu melengak. "Hay-te-kau, kau
pandai juga bersandiwara!" sahutnya dengan ter-gelak2.
Ceng Bo siangjinpun heran. Tapi karena menganggap
orang she Nyo itu seorang kasar yang blak2an, maka
diapun tak marah. Tapi ketika hendak berkata lagi, sekonyong2 dari balik gunung muncul seseorang yang sambil
bertepuk tangan segera mengeluh keras: "Ah......, sayang!
Terlambat sedikit saja, mereka sudah lolos!"
Itulah sibongkok Thay-san sin-tho Ih Liok. Tapi begitu
melihatnya, Ceng Bo siangjin tampak kerutkan alisnya.
Wajahnya nampak kurang senang. Sebaliknya Nyo Konglim segera memanggil sibongkok: "Tho-cu, lekas kemari!"
Sibongkok segera menghampiri. Tapi tatkala lewat
disamping Tio Jiang, dia segera seret tangan si anak muda
itu. Karena ber-tahun2 sibongkok itu mengelabuhi Tio Jiang,
dengan ber-pura2 sebagai orang gagu, Ceng Bo tak
menyukai sibongkok, maka diapun tak mau menyapanya,
melainkan bertanya kepada muridnya: "Jiang-ji, mengapa
kau berada disini" Dimana Ki dan Kiau-susiok berdua" Dan
mana Siao Chiu?"
"Suhu, apa kau tak mengetahui bahwa, Li Seng-Tong
sudah menduduki Kwiciu. Setelah membunuh kaisar Siau
Bu, dia mengirim 300 ribu tentara untuk mengurung Gwatsiu-san. Saudara Thian Te Hui boleh dikata telah binasa!"
Wajah Ceng Bo tampak berobah keren, serunya:
"Mengapa kau takut mati melarikan diri ?"
Saking takutnya, Tio Jiang ter-sipu2 jatuhkan diri
berlutut. Sedang disana demi menyaksikan peribadi Ceng
Bo siangjin yang sedemikian perwiranya itu, Nyo Kong-lim
lalu unjukkan, jempol tangannya, berseru memuji: "Hebat!"
"Murid berhasil menerjang kepungan musuh dan bisa
lolos. Ki dan Kiau susiok diserang cerai berai oleh musuh.
Sedang sumoay yang bermula, selalu berdampingan dengan
murid, karena gelombang serangan serdadu musuh yang
sedemikian banyaknya itu, maka terpencarlah kita semua
...... entah kemana," Tio Jiang memberi keterangan.
Kemudian tuturkan juga pengalamannya selama itu.
Karena dia tak dapat berbohong, maka tentang bagaimana
dirinya terluka, bagamana dia hendak mengadu jiwa,
bagaimana, dia tukar menukar ilmu dengan Sik Lo-sam,
Kemudian bagaimana dia sampai di pulau Ban-san-to.
Setelah itu dia menyerahkan diri rela menerima, hukuman
apapun yang hendak dijatuhkan sang suhu, karena dengan
menurunkan ilmu pedang to-hay-kiam hwat kepada Sik Losam itu, dia telah menyalahi peraturan perguruan.
Memang setelah mendengar penuturan muridnya itu,
wajah Ceng Bo tampak berobah bengis, kemudian pada lain
saat kedengaran dia berkata: "Menurut peraturan kaum
kita, sekalipun saudara seperguruan, tak diperbolehkan
untuk mencuri lihat latihan lain saudara seperguruan
................"
Belum dia menghabiskan keputusannya itu, sikasar Nyo
Kong-lim terus saja mengibaskan sam-ciat-kun seraya
berseru keras: "Hay-te-kau, kalau kau hendak menghukum
anak itu, sungguh tak mempunyai liang-sim (hati bajik)!"
"Apa maksud Toa-cecu berkata begitu?" tanya Ceng Bo
dengan heran. Tanpa tedeng aling2 lagi, Nyo Kong-lim segera
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuturkan apa yang terjadi barusan tadi. Bagaimana
karena membela, sang suhu, anak itu telah bertempur
dengan dia. Keterangan Nyo Kong-lim itu dibenarkan oleh
para orang gagah. Ceng Bo siangjin tergerak hatinya. Tapi
dia adalah seorang yang dapat membedakan mana soal
peribadi dan mana soal hukum. Dengan menghela napas,
dia berkata: "Bangunlah, setelah urusan segera selesai,
kupertimbangkan lagi. Kini kuberi! kesempatan padamu,
mendirikan jasa untuk menebus dosa! "
Tio Jiang menghaturkan terima kasih. "Hay-te-kau,
sandiwara yang kau bawakan tadi, sungguh bagus!" kembali
Nyo Kong-lim bergelak tertawa. Ceng Bo siangjin tetap tak
mengerti, mengapa seorang lelaki gagah begitu, omongannya tak keruan. Tapi tiba2 Thay-san sin-tho turut
campur bicara: "Ceng Bo siangjin, dengarkanlah penjelasanku. Memang urusan itu panjang nian untuk
diceritakan. Mengapa aku si Bongkok ini sampai ber-tahun2
menjadi orang bisu adalah karena untuk menyelidiki urusan
itu, syukur kini sudah dapat kubikin terang. Ceng Bo
siangjin, kau benar2 seorang lelaki berpambek perwira
sekali, bukan orang yang takut mati!"
Ceng Bo siangjin kerutkan alisnya, menegas: "Apa
maksudmu ?"
"Siangjin, apakah kau pernah mendengar bahwa didunia
persilatan terdapat seorang yang bernama Tan It-ho?" tanya
si Bongkok pula.
"Rasanya sudah, bukankah yang gelarannya 'Yau-sinban-pian' (Gerak robah selaksa) itu ?" ujar Ceng Bo.
Atas itu Thay-san sin-tho mengiakan, katanya pula :
"orang itu pandai sekali bermake-up (menyaru) dengan
topeng kulit muka, lagi pintar meniru nada suara orang.
Ilmu silatnya sih biasa saja, tapi dengan mengandalkan
kedua macam kepandaiannya itu, dia banyak melakukan
perbuatan2 jahat. Tadi diapun muncul disini, menyaru
menjadi dirimu, menganjurkan supaya para saudara kaum
persilatan tunduk saja pada pemerentah. Ceng!"
Bukan saja Ceng Bo, pun sekalian orang2 yang hadir
disitu terperanjat bukan kepalang. "Masakan kepandaiannya tadi sedemikian hebat hingga dapat
mengelabuhi orang banyak ?" kata Ceng Bo.
"Tadi sih dia gagal, tapi pada 10 tahun yang lalu, karena
disewa oleh orang dia telah berhasil dengan bagus sekali
memainkan peranannya dikaki gunung Lo-hou-san. Dia
dapat menipu sehingga dapat mencerai beraikan 'Kau'
(Hay-te-kau) dan 'Yan' (Kiang Siang Yan), serta melarikan
sebatang pedang pusaka !" menerangkan si Bongkok.
Hati Ceng Bo tergerak, maju selangkah dia menegas:
"Bagaimana kau tahu" !"
"Kata Sik Lo-sam bahwa saat itu aku berada ditempat
kejadian itu, memang aku menyaksikan dengan mata
kepala sendiri!" sahut Thay-san-sin-tho.
Tiba2 Ceng Bo siangjin bertereak keras2, sehingga
sekalian orang sama berd ingkrak kaget. "Dimana manusia
itu ?" tanyanya.
Tapi si Bongkok kedengaran menghela napas, jawabnya:
"Karena ayal sedikit saja, dia sudah lolos dengan perahu.
Tapi terang dia bersama Cian-bin Long-kun. Kalau kita
dapat mengejar Cian-bin Long-kun itu, bangsat itu tentu
takkan dapat Lari!"
Ceng Bo tampak berdiam diri. Pikirannya jauh melayang
akan peristiwa 10 tahun yang lalu, serta siwanita berambut
panjang yang dijumpainya dilaut itu. Samar2 dia serasa
terang akan duduk perkaranya.
Melihat ditinggal bicara sendiri, sikasar Nyo Kong-lim.
muring2. "Hay-te-kau, mengapa tak lekas2 pergi ke Hoasan" Sekalian saudara sudah menunggumu!" serunya.
Mendengar itu, Ceng Bo, agak gelagapan. Urusan peribadi
pada 10 tahun itu, tinggalkan dulu saja. Urusan negara
lebih penting. Baik, mari kita berangkat ke Hoa-san!"
Hati Budha Tangan Berbisa 16 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Pedang Dan Kitab Suci 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama