Ceritasilat Novel Online

Nona Berbunga Hijau 3

Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


mengetahui ini, dengan tertawa kecil ia menyingkap rambut dan membetulkan lagi.
"Kau tahu apa yang terjadi dengan diriku kalau sampai aku terjatuh ke dalam tangan kadal-kadal itu" Lebih ganas lagi mereka!"
Wang Sin tadinya tidak mau melayani gadis ini berbicara, hatinya sudah tak senang dan marah menyaksikan gadis ini begitu ganas dan kejam. Akan tetapi suara gadis ini menimbulkan ingin tahunya.
"Bagaimana?" tanyanya singkat.
Suara Ci Ying berubah dingin ketika menjawab. "Hemm, kalau mereka tidak kubunuh dan sampai aku dapat tertawan, mereka itu bertiga, mungkin dengan konco-konconya yang lebih banyak lagi, akan mempermainkan diriku sampai mereka merasa bosan, kalau sudah bosan mereka akan menjual diriku kepada siapa juga yang berani membayar. Huh!"
Merah muka Wang Sin dan kembali ia bergidik. Sebagai seorang gadis, bagaimana Ci Ying bisa bicara tentang hal ini demikian terang-terangan terdengarnya tanpa malu-malu. Ia makin tak puas.
Angin ribut masih terus mengamuk sehingga kedua orang muda itu belum berani bangun, masih bertiarap di atas rumput. Sampai lama mereka diam saja. Kemudian Wang Sin yang mengetahui keadaan gadis itu mengajukan pertanyaan.
"Ci Ying, dulu kau pergi membawa anak kecil itu, di mana sekarang?"
Gadis itu menghela napas. "Kau maksudkan Wang Tui" Ah, dia telah mati."
"Mati?" Suara Wang Sin mengandung iba, "Bagaimana dia sampai mati?"
"Aku ditangkap anjing-anjing hina dan anak itu hanyut terus dalam perahu. Bagaimana lagi kalau tidak mati?"
Wang Sin dapat menduga apa yang terjadi kemudian. "Lalu kau ditolong oleh orang yang menjadi gurumu, bukan" Orang macam apakah gurumu itu Ci Ying.
"Orang macam apa" Guruku adalah Cheng Hoa Suthai, ratu dari Heng-toan-san. Siapa tidak mengenalnya?" kata Ci Ying bangga. Wang Sin diam saja, ia anggap ucapan gadis ini sombong.
Mana ada ratu di Heng-toan-san"
"Kanda Wang Sin, masih ingatkah kau ketika dahulu kau suka bernyanyi untukku ketika kau menggembala domba-domba" Sekarang angin ribut masih mengganas, tidak dapat kita duduk dengan enak. Supaya tidak membosankan dan mengusir hawa dingin, maukah kau bernyanyi untukku seperti dulu lagi?"
72 Hati Wang Sin sebetulnya sudah dingin, akan tetapi ia merasa tidak enak juga kalau ia bersikap terlalu kaku kepada bekas tunangannya ini. Apalagi bau rumput di bawa mukanya dan keadaan di situ mengingatkan dia akan penghidupan masa lalu, lalu membuka mulut bernyanyi.
Nyanyian yang merupakan keluhan para budak yang hidupnya tertindas. Suaranya keras dan nyaring. Nyanyian ini membangkitkan kembali semangatnya dan membuat ia merasa lebih dekat dengan Ci Ying malah menghidupkan lagi cinta kasih terhadap gadis itu.
"Wahai, Himalaya yang tinggi.
Ahoi, Yalu-cangpo yang panjang.
Dapatkah kalian memberi jawaban"
Kedua tanganku kuat bekerja berat.
Tapi tiada seperseratus hasilnya.
Menjadi bagianku!
Aku punya mulut.
Tak dapat mengeluarkan suara hati.
Telingaku disusur tuli.
Mataku disusur buta.
Aku punya nyawa.
Tak lebih berharga seekor domba!
Wahai, Himalaya sembunyikan aku
dipuncak-puncakmu!
Ahoi, Yalu-cangpo, lenyapkan aku
di muaramu!"
Setelah selesai bernyanyi, Wang Sin melihat gadis itu telah merebahkan kepala di atas dadanya sambil memeluknya. Ia makin terharu dan mengira bahwa gadis itu tentu menangis. Di dalam gelap itu mana ia tahu bahwa Ci Ying sama sekali tidak menangis malah tersenyum" Agaknya bagi gadis ini yang sudah menjadi keras hati, tidak ada lagi watak untuk menangis. Karena terharu dan mengingat akan nasib gadis yang sudah yatim piatu dan tidak mempunyai
seorangpun di dunia yang dapat memikirkannya kecuali dia sendiri, Wang Sin mengelus-elus kepala Ci Ying, cinta kasih yang lama terpendam sekarang timbul kembali.
"Ci Ying, jangan berduka, jangan kau menangis. Aku kan sudah berada di sampingmu?" katanya perlahan.
Ci Ying tidak menjawab, agaknya memperhatikan sesuatu. Tiba-tiba terdengar suara berbisik, sama sekali di dalam suara ini tidak ada tanda-tanda bekas menangis. "Kanda Wang Sin, tahukah kau bahwa telah datang banyak orang?"
"Aku tahu. Tadi sebelum datang angin ribut aku mendengar suara kaki orang dan kuda."
"Kita telah dikurung oleh belasan orang."
Wang Sin terkejut dan tubuhnya bergerak hendak bangun. Angin ribut telah mereda. Akan tetapi Ci Ying menahannya untuk rebah terus.
"Perlu apa ribut-ribut " Kita perlu mengaso, lebih baik kita tidur dulu. Di dalam gelap mereka takkan menyerang. Andaikata menyerang juga, dengan kepandaian kita berdua, apa yang kita takuti" Kau lihat, besok terang tanah aku akan menghajar mereka dan kita merampas dua ekor kuda." Gadis itu tertawa perlahan.
73 Terpaksa Wang Sin rebah kembali, akan tetapi dia tidak bisa tidur. Musuh mengepung, jumlah mereka belasan orang, Inilah berbahaya! Bagaimana Ci Ying bisa enak-enak tidur" Ia bangun duduk dan melihat gadis itu benar-benar sudah pulas dengan kepala rebah di pangkuannya.
Napas gadis itu perlahan dan rata, tanda sudah pulas. Dia sendiri tidak dapat tidur dan duduk diam melakukan siulan (samadhi) seperti yang ia pelajari dari gurunya untuk mengumpulkan semangat dan tenaga.
Menjelang pagi ia sudah dapat melihat bayangan-bayangan orang dan benar seperti ucapan Ci Ying malam tadi, ada belasan orang yang berdiri merupakan pagar mengurung mereka. Dia menghitung. Enam belas orang dan di tangan tiap orang terlihat golok besar. Tiga orang yang malam tadi dibunuh Ci Ying sudah tidak kelihatan mayatnya lagi. Mungkin diambil oleh kawankawannya.
Agak jauh dari situ tampak segerombolan kuda diikat pada pohon. Dia tidak dapat melihat jelas muka belasan orang itu, hanya dari bayangan mereka ia tahu bahwa mereka semua adalah lakilaki yang bertubuh tinggi besar.
Sementara itu, enam belas orang yang mengurung ketika melihat gadis tidur pulas dengan kepala di pangkuan seorang pemuda, mengeluarkan seruan marah. Mereka mulai bergerak maju dan mengurung makin rapat.
Wang Sin melihat ini menjadi khawatir. Ia hendak menurunkan kepala Ci Ying dari atas pangkuannya agar ia dapat melompat berdiri untuk menghadapi keroyokan mereka itu. Akan tetapi hebatnya ketika ia mengangkat kepala gadis itu, ternyata tidak bergeming. Kepala itu terasa amat berat olehnya dan tak dapat didorong turun.
"Ci Ying..... Ci Ying...... bangunlah! Mereka mulai mengancam......!" katanya di dekat telinga gadis itu.
Gadis itu mengeluarkan suara lirih, menggeliat dan mengangkat dua lengannya ke atas. Dengan belakang tangan kiri ia menutupi mulutnya yang menguap kecil. "Ai ihhh, enaknya aku tidur......."
katanya lirih, matanya disipitkan dan mulutnya tersenyum. Bertahun-tahun baru kali ini aku tidur nyenyak." Ia lalu mengulur tangannya mengusap dagu Wang Sin yang licin.
Wang Sin menjadi kaget dan jengah sendiri. Bagaimana gadis ini begitu tak tahu malu, di depan banyak orang asing membelai-belainya" Perlahan ia mendorong tangan gadis itu dan berkata. "Ci Ying, orang-orang mulai mengurung rapat dan hendak menyerang. Kita harus siap sedia!"
Akan tetapi gadis itu malah meramkan matanya kembali lalu berkata sambil tersenyum. "Sepagi ini sudah banyak kadal berkeliaran, sungguh menjemukan!"
Ketika tiga orang malam tadi terbunuh, keadaan hanya remang-remang, maka semua orang itu tidak melihat jelas bagaimana kawan-kawan mereka terbunuh dan siapa di antara dua orang muda itu yang membunuh. Sekarang mendengar gadis itu memaki kadal kepada mereka, tentu saja mereka menjadi marah sekali.
Seorang di antara mereka, yang berkumis panjang, mengangkat golok dan berseru memberi komando. "Tangkap yang betina, bikin mampus yang jantan!"
74 Wang Sin mendongkol sekali. Sikap dan kata-kata semua orang itu seakan-akan sedang
mengurung dua ekor atau sepasang binatang hutan saja. Ia kembali hendak melompat, akan tetapi tetap saja ia tidak kuat menurunkan kepala Ci Ying yang masih meramkan mata sambil tersenyum manis.
Pada saat itu, belasan orang itu sudah mendesak maju dan di antara mereka sudah mengangkat golok hendak menyerang. Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dan kedua tangan Ci Ying bergerak. Sinar perak berkelebat dan tahu-tahu terdengar jerit-jerit kesakitan.
Lalu empat orang di antara para penyerbu itu roboh terjengkang, berkelonjotan dan diam tak bergerak lagi. Ternyata di tenggorokan mereka sudah menancap sebatang jarum perak.
Selagi semua pengeroyok tertegun, Ci Ying sudah melompat bangun sambil tertawa mencabut sabuk suteranya.
"Kanda Wang Sin, kau lihat baik-baik ujung sabukku!" kata Ci Ying tertawa dan tiba-tiba sinar merah berkelebat ke depan. Tahu-tahu ujung sabuknya yang kanan kiri sudah menyerang. Dua orang yang diserang mencoba untuk menyabet sabuk itu dengan golok mereka. Akan tetapi gerakan sabuk ini terlalu cepat bagi mereka sehingga yang nampak hanya sinarnya. Sabetan golok mereka meleset dan tanpa dapat dicegah lagi, kedua ujung sabuk itu telah menotok jalan darah di dekat leher.
"Auukkk!" Dua orang itu melepaskan golok dan memuntahkan darah segar, tubuh mereka
terguling dan napas mereka empas-empis.
Kagetnya para penyerang itu bukan kepalang. Dalam dua kali gerakan saja berkuranglah mereka dengan enam orang anggauta. Si Kumis Panjang tahu bahwa wanita cantik di depannya ini bukan sembarangan orang maka sambil melintangkan golok ia berseru menahan kawankawannya jangan maju, kemudian ia merangkapkan kedua tangannya ke dada sambil
menghadapi Ci Ying dan bertanya.
"Nona muda yang gagah siapakah dan dari partai mana" Harap sudi memberi tahu agar kami tidak salah tangan menyerang orang segolongan!"
Ci Ying mengeluarkan suara mengejek, "Apa matamu buta dan kau tidak melihat ini?" Ia menunjuk ke arah kepala sendiri di mana terdapat sebuah penghias rambut terbuat dari perak dan batu permata hijau, merupakan setangkai bunga berwarna hijau.
Terdengar seruan-seruan kaget dan si kumis panjang itupun pucat. "Cheng-hoa-pai ....!"
Memang Cheng Hoa Suthai, guru Ci Ying, adalah pendiri dari partai yang ia beri nama Chenghoa-pai (Partai Bunga Hijau) yang ia ambil dari namanya. Tak seorangpun sebetulnya
mengetahui siapa nama asli Cheng Hoa Suthai.
Ia mendapat panggilan Cheng Hoa Suthai adalah karena rambutnya selalu dihias bunga hijau, biarpun ia sudah menjadi seorang pendeta. Karena banyak pengikut dan anak muridnya, maka ia mendirikan Cheng-hoa-pai yang berkedudukan di Heng-toan-san.
Cheng-hoa-pai ini terkenal sekali di dunia kang-ouw, anak-anak murid Cheng-hoa-pai adalah wanita-wanita yang selalu berwatak ganas dan berilmu tinggi, maka nama partai itu ditakuti orang. Apalagi oleh para penjahat karena biarpun ganas dan kejam, harus pula diakui bahwa 75
yang dimusuhi oleh Cheng-hoa-pai memang sebagian besar adalah penjahat-penjahat. Hal ini bukan berarti bahwa partai ini, adalah partai bersih.
Bagi Cheng-hoa-pai, tidak ada istilah baik maupun buruk, pendeknya yang menghalangi dan menentang, mereka ganyang semua, baik maupun buruk. Adanya nama ini ditakuti sebagian besar oleh kalangan penjahat, mudah pula dimengerti, Cheng-hoa-pai adalah perkumpulan wanita dan banyak di antaranya yang cantik-cantik, tentu saja membuat orang-orang jahat suka datang mengganggu. Maka banyaklah orang jahat yang sudah menjadi korban keganasan
Cheng-hoa-pai. Demikianlah, tidak mengherankan apabila si kumis panjang itupun menjadi pucat ketika mengenal bunga hijau di rambut Ci Ying. Akan tetapi ia kelihatan bersangsi. Dia sudah banyak mendengar tentang Cheng-hoa-pai.
Anak-anak murid atau anggauta-anggauta Cheng-hoa-pai biasanya mempunyai hiasan kembang hijau yang hidup dan yang memakai kembang hijau dari batu kumala hanyalah Cheng Hoa Suthai sendiri dan beberapa orang anak murid yang bertingkat tinggi, yang sudah berusia tua. Masa gadis remaja ini sudah memakai kembang tiruan" Jangan-jangan gadis ini hanya mendapatkan di jalan lalu dipakai dan dipergunakan untuk menggertak.
"Nona..... nona dari Cheng-hoa-pai ...." Akan tetapi......" Ia menggagap.
Ci Ying belum lama turun gunung. Ia tahu bahwa orang belum mengenalnya, maka menjadi sangsi dan mengira dia membohong. Sambil tertawa sabuk merahnya bergerak, meluncur ke depan, ke arah si kumis panjang. Orang ini kaget sekali dan melangkah mundur, namun tiba-tiba golok di tangannya terbetot secara tiba-tiba sehingga terlepas dari pegangannya. Ia melihat ujung sabuk merah yang membetot goloknya itu membawa goloknya terbang.
Sekali menggerakkan tangan gadis itu membuat golokanya terlempar ke udara, kemudian
gerakan kedua menggetarkan ujung sabuk yang menyambar ke arah golok ditengah-tengah.
"Krakk!" Golok itu patah menjadi dua kena dipecut oleh sabuk.
"Hebat ....!" seru si kumis panjang. Ia sudah mendengar akan kelihaian Cheng Hoa Suthai bermain kebutan atau hudtim, dan permainan sabuk inipun menunjukkan bahwa gadis ini luar biasa lihainya. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh kawankawannya, yang kesemuanya dengan dia tinggal sepuluh orang itu.
"Siauwjin (hamba yang rendah) mempunyai mata tapi tidak melihat Gunung Thaisan di depan mata. Hamba sekonco telah membikin marah lihiap (pendekar wanita), mohon lihiap sudi memberi ampun." Kata si kumis panjang dengan muka ketakutan.
Kembali Ci Ying mengeluarkan suara menghina dari hidungnya. "Hemmm, sebelum dihajar mana kalian bisa melihat orang. Kalian sudah kurang ajar, sekarang aku mau membunuh kalian semua.
Kalian mau apa?" Sambil berkata demikian, nona ini melangkah maju, sikapnya mengancam.
"Ampun, lihiap.... ampun....!" Suara minta ampun dari sepuluh orang ini riuh rendah. Benarbenar hebat dan mengherankan sekali. Sepuluh orang ini adalah bangsa kasar yang biasanya
tidak takut pada setan sekalipun, dapat membunuh orang tanpa berkedip, dapat menyiksa orang sampai mati sambil tertawa-tawa. Akan tetapi menghadapi Ci Ying mereka minta ampun.
76 Melihat ini Ci Ying kelihatan gembira sekali. "Hi-hi-hi-hi, aku mau bunuh kalian. Akan kubeset kulit dadamu seorang demi seorang, kucabut jantungmu untuk diberikan kepada srigala-srigala liar. Hi-hi-hi!"
Seperti ayam-ayam makan padi di tanah, sepuluh orang itu mengangguk-anggukkan kepala sampai jidat mereka berdarah membentur batu, minta ampun dengan suara mohon dikasihani.
Wang Sin melompat bangun. "Ci Ying kauampunkan mereka!" Suaranya keren, ia menahan
kemarahannya karena tidak tahan melihat sikap Ci Ying yang amat ganas itu.
Ci Ying menengok kepadanya dan wajah yang tadinya keren itu berubah lembut. "Kau
menghendaki demikian kanda Wang Sin" Baiklah, aku ampuni jiwa sepuluh ekor kadal ini, akan tetapi aku tidak bisa mengampuni matanya yang tidak melihat orang." Ia memutar tubuh dan membentak. "Bekas-bekas bangkai! Hayo kalian copot mata kirimu dan berikan kepadaku. Baru aku mau ampuni kalian!"
10. Hwesio Murtad dari Tibet.
Wang Sin hendak mencegah, akan tetapi terlambat. Sepuluh orang itu terlalu girang kalau hanya menerima hukuman seperti itu, dianggap amat ringan. Dengan cepat mereka hampir berbareng menggunakan telunjuk menusuk mata kiri masing-masing, mencokelnya keluar dan bergantiganti menyerahkan biji mata mereka itu kepada Ci Ying. Gadis ini sambil tertawa-tawa menerima sepuluh buah biji mata itu dan memasukkannya ke dalam kantong jarum rahasia.
"Kalian boleh pergi. Bawa pergi bangkai-bangkai yang bau ini dan tinggalkan dua kuda terbaik lengkap dengan perbekalan jalan!"
Sepuluh orang itu sambil menggunakan tangan kiri menutupi mata kiri yang sudah bolong dan mengalirkan darah, tergesa-gesa pergi dari situ membawa mayat sembilan orang dan
meninggalkan dua ekor kuda besar yang paling baik. Sebelum pergi, tidak lupa mereka menjura menghaturkan terima kasih kepada Ci Ying.
Hebat pemandangan ini. Wang Sin sampai merasa betapa kedua kakinya menggigil. Orang lain boleh takut setengah mampus kepada Ci Ying, akan tetapi dia tidak. Dalam pandangannya, gadis itu masih tetap Ci Ying yang dahulu, tunangannya yang lincah jenaka. Mengapa sekarang berubah begini"
"Ci Ying, kau benar-benar mengerikan. Untuk apa kau simpan sepuluh mata itu?" tanyanya, suaranya masih gemetar.
Ci Ying tertawa, lalu mengambil sebotol minyak dari sakunya. Dengan muka tersenyum ia menuang isi botol ke dalam kantong sehingga sepuluh buah mata itu terendam minyak yang berwarna merah.
"Kau tidak tahu. Dengan obat ini kesepuluh buah mata itu menjadi keras seperti gundu-gundu beling yang indah. Selain indah untuk permainan, juga berguna untuk dijadikan senjata am-gi (senjata gelap). Bukankah lebih bagus dari segala macam pelor besi " Hi-hi-hi!"
"Kau terlalu ganas, Ci Ying, terlalu kejam kepada mereka....."
"Mereka orang-orang jahat!"
77 "Biarpun begitu, cukup kau mengancam dan menakuti mereka, agar mereka mengubah hidup menjadi orang-orang baik."
"Heh, tidak ada orang baik di dunia ini, semuanya jahat. Yang baik hanya kita, eh, kanda Wang Sin, yang tidak hanya kau dan aku!" Inilah "filsafat" yang selalu diajarkan oleh Cheng Hoa Suthai ketua Cheng-hoa-pai. Semua anggota Cheng-hoa-pai menganggap bahwa di dunia ini hanya sendiri yang baik. Orang-orang lain semua jahat, karena harus dimusuhi, dibasmi dan kalau perlu dibunuh.
Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan mereka. Sekarang perjalanan dapat dilakukan dengan cepat karena mereka sudah mendapatkan dua ekor kuda yang baik dan yang sudah
sering kali dipergunakan orang menjelajah daerah pegunungan itu. Mula-mula Wang Sin berpikir bahwa nanti kalau dia dan Ci Ying sudah berhasil membunuh Yang Nam, ia akan menjauhkan diri dari gadis ini, untuk kembali ke Kun-lun, mencari isterinya.
Akan tetapi makin lama melakukan perjalanan dengan Ci Ying, makin tahulah ia akan sifat gadis ini dan hatinya menjadi terharu. Ci Ying sebetulnya masih seperti dulu, lincah jenaka. Hanya saja, ada pengaruh aneh yang meliputi diri gadis ini dan pengaruh ini seperti penyakit dan kadangkadang datang kadang-kadang pergi. Kalau lagi waras, gadis ini tiada bedanya dengan Ci Ying tunangannya dulu. Akan tetapi kalau "kumat", wah, benar mengerikan. Watak lincah jenaka berubah menjadi dingin keras, kehalusan berubah kekasaran, seorang dewi berubah menjadi seorang siluman betina.
Ia dapat menduga bahwa ini tentu akibat dari pelajarannya, akibat dari hubungannya dengan Cheng-hoa-pai dan diam-diam ia menaruh kasihan. Akan tetapi dalam keadaan bagaimanapun juga, sedang waras atau sedang gila, gadis itu tetap baik kepadanya dan selalu menunjukkan cinta kasih yang amat besar. Bagaimana ia tega untuk meninggalkan gadis ini"
Dalam hal ilmu silat, ia kalah jauh. Ia mengerti bahwa hal ini bukan sekali-kali karena ia kalah rajin belajar, melainkan karena orang yang menggembleng diri Ci Ying memiliki kesaktian luar biasa, memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada guru-gurunya di Kun-lun-pai. Diamdiam ia sering bergidik kalau memikirkan bagaimana hebatnya kepandaian dari Cheng Hoa Suthai orang yang menjadi guru Ci Ying, yang menjadi ketua Cheng-hoa-pai di Heng-toan-san
Hari masih pagi sekali ketika dua orang muda ini sudah tiba di luar kota Lasha. Dari jauh sudah nampak bangunan-bangunan yang tinggi dan megah. Mereka menjadi kagum dan terpesona.
Sampai lama mereka menghentikan kuda dan memandang ke depan, merasa seperti mimpi.
Sudah semenjak kecil mereka mendengar hebatnya pemandangan di kota Lasha. Kota tempat tinggal para dewa.
****** Pada masa itu, Tibet masih diperintah oleh seorang raja. Akan tetapi, biarpun Tibet merupakan kerajaan, namun sebetulnya yang berkuasa adalah para pendeta Lama. Mereka ini besar sekali pengaruhnya dan tidak ada keputusan raja dikeluarkan tanpa lebih dulu minta persetujuan dari para pendeta-pendeta kepala.
Sudah terkenal sampai ke daratan Tiongkok bahwa di Lasha ini adalah kedungnya ilmu-ilmu yang aneh dan bahwa para pendeta Tibet ini banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kabarnya Tat Mo Couwsu banyak meninggalkan kitab-kitab yang tinggi luar biasa di daerah ini yang menjadi kedungnya agama Buddha.
78 Tempat inilah merupakan "stasiun", tempat agama Buddha menyeberang dari India ke Tiongkok, maka tidak mengherankan apabila di situ terdapat banyak sekali pendeta-pendeta yang pandai.
Raja yang masih muda seakan-akan hanya boneka di tangan para pendeta kepala.
Sudah jamak di dunia ini bahwa segala keadaan adalah dwipura. Ada tinggi ada rendah, ada besar ada kecil, ada baik ada buruk. Bukan hanya jamak, memang sudah seharusnya demikian menurut hukum Im-Yang. Tidak ada Im, mana bisa ada Yang" Tidak ada sebutan tinggi, mana bisa muncul sebutan rendah"
Kalau manusia tidak mengenal apa itu artinya buruk, mana bisa mengenal pula artinya baik" Dua sifat bertentangan, Im dan Yang inilah yang menghidupkan sesuatu yang menjadi sumber dari pada pengertian kita sehingga timbullah pengertian untuk mengenal, membedakan, dan
karenanya panca indera kita dapat dipergunakan.
Demikian pula kehidupan di kalangan para pendeta Lama. Sungguhpun mereka itu semenjak kecil dijejali ajaran-ajaran agama yang selalu mengutamakan kebaikan melulu, namun dasar manusia ada yang baik tentu ada yang buruk. Kalau semua manusia baik, dunia tidak sekacau sekarang ini, tentu berubah menjadi taman sorgaloka.
Bukan hanya terdapat perbedaan-perbedaan, malah di antara pendeta-pendeta yang sudah tinggi tingkatnya, timbul bermacam aliran. Memang banyak terdapat pendeta-pendeta Lama yang betul-betul penganut agama yang amat saleh, beribadat dan taat sehingga merupakan orang-orang alim yang menyucikan diri.
Akan tetapi, tidak kurang-kurang pula banyaknya yang tersesat, menyeleweng dari ajaran agama atau lebih tegas menyelewengkan agama menjadi ilmu-ilmu setan atau ilmu-ilmu hitam. Malah banyak diantaranya yang begitu rendah sampai mau menjadi penjilat-penjilat para bangsawan untuk dapat mengecap kenikmatan duniawi sepuas-puasnya dan sekenyang-kenyangnya.
Seperti telah diketahui, putera tuan tanah Yang Can di Loka, yaitu Yang Nam, setelah menikah dengan puteri seorang berpangkat di Lasha, dia mendapat kedudukan pangkat yang lumayan. Di Lasha pada waktu itu, seperti di kota-kota besar lain di negara yang belum sempurna
keadaannya, kemuliaan seseorang ditentukan oleh pangkat dan hartanya. Kalau ia berpangkat, apa pula berharta, mulialah dia. Besarlah pengaruh dan kekuasaannya.
Yang Nam adalah putera tuan tanah yang kaya raya, maka dengan menggunakan hartanya,
amat mudah baginya untuk menarik bantuan para pendeta Lama yang silau matanya oleh emas untuk menjadi pelindungnya. Malah ia berhasil pula mempengaruhi Thu Bi Tan, seorang di antara
"empat besar" yaitu empat orang guru besar di antara pendeta Lama yang dianggap paling pandai dan paling tinggi kedudukannya.
Memang banyak di antara para hwesio yang menyeleweng, akan tetapi selama ini, empat orang guru besar itu tetap dapat menjaga kesucian diri. Hanya setelah Yang Nam pindah ke Lasha dan diam-diam mengadakan perhubungan dengan Thu Bi Tan, hwesio kepala ini akhirnya kena
dipengaruhi dan merupakan pelindung Yang Nam. Makin besarlah kekuasaan Yang Nam setelah semua orang mengetahui bahwa orang muda ini adalah "sahabat baik" Thu Bi Tan yang ditakuti orang.
Ketika Yang Nam mendengar tentang kejadian di Loka, di mana ayahnya dan antek-anteknya tewas oleh Ci Ying dan Wang Sin, ia terkejut setengah mati. Sambil berlutut ia menangis di depan Thu Bi Tan Hwesio, menceritakan malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya di Loka.
Sebetulnya, Yang Nam lebih banyak merasa takut dari pada berduka, karena ia maklum bahwa 79
tentu dua orang bekas budak itu akan mengetahui bahwa ia telah pindah ke Lasha dan
mencarinya untuk membalas dendam.
"Sudahlah, Taijin, jangan berduka. Mati hidup bukan milik raga kita dan ayahmu sudah mati biarlah ia mendapat tempat yang tenteram. Adapun dua orang pemberontak itu, biar mereka berkepala tiga berlengan enam, ada pinceng yang akan menangkapnya agar kau dapat
menghukumnya," kata Thu Bi Tan menghibur.
Akan tetapi ketika mendengar dari para hwesio yang dapat melarikan diri dari Loka ke Lasha betapa banyak pula pendeta dikepalai Thouw Tan Hwesio terbinasa di Loka, Thu Bi Tan Hwesio menjadi marah sekali. Tidak hanya dia seorang yang marah, malah tiga orang pendeta kepala yang lain diam-diam merasa tak senang.
Mereka dapat mengerti kalau ada budak yang memberontak dan membunuh tuan tanah, akan tetapi membunuh pendeta-pendeta, itulah keterlaluan, pikir mereka. Tentu saja para pendeta kepala kerjanya hanya bersembahyang di dalam kelenteng ini tidak tahu akan sepak terjang murid-murid mereka yang menyeleweng itu.
Biasanya tiga orang pendeta kepala yang lain, adalah orang-orang yang beribadat dan tidak mudah marah, akan tetapi kali ini mereka tidak membantah ketika Thu Bi Tan Hwesio memberi tugas kepada seorang murid kepala yang bernama Ga Lung Hwesio untuk membawa beberapa orang saudara dan melakukan pengejaran serta menangkap dua orang muda yang telah
mengamuk di Loka itu.
Ga Lung Hwesio adalah seorang pendeta gemuk yang berilmu tinggi. Kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada Thouw Tan Hwesio dan dia merupakan murid nomor satu Thu Bi Tan Hwesio, Peribahasa "guru kencing berdiri murid kencing berlari" terbukti kebenarannya di sini.
Karena Thu Bi Tan Hwesio menjadi "sahabat" Yang Nam, tentu saja murid-murid ini bukan hanya sekedar bersahabat, malah boleh dibilang dia menjadi antek pembesar muda itu.
Kalau di Loka Yang Nam dahulu mengandalkan Thouw Tan Hwesio, maka di Lasha ia mempunyai Ga Lung Hwesio sebagai pengawal pribadinya. Maka terdengar perintah guru besar ini kepada muridnya. Diam-diam Yang Nam lalu cepat menghujani Ga Lung Hwesio dan empat orang
sutenya dengan hadiah-hadiah dan janji-janji muluk sambil dibisiki supaya kalau sukar menangkap hidup, dua orang muda yang mengamuk di Loka itu "dibereskan" saja yang artinya dibunuh.
Demikianlah, Wang Sin dan Ci Ying yang telah tiba di luar kota Lasha, tiba-tiba melihat lima orang hwesio datang dengan langkah lebar dan cepat. Melihat gerakan kaki lima orang hwesio yang amat ringan ini, diam-diam Wang Sin dan Ci Ying terkejut dan dapat menduga bahwa yang datang ini adalah orang-orang dengan kepandaian tinggi.
"Kanda Wang Sin, kita telah disambut. Tapi jangan takut, aku akan menghadapi mereka!" kata Ci Ying, sikapnya memandang rendah sekali.
"Ci Ying, musuh kita hanya Yang Nam. Jangan mencari gara-gara dengan para hwesio di sini."
Wang Sin memperingatkan akan tetapi gadis itu tersenyum mengejek.
Lima orang hwesio itu bukan lain adalah Ga Lung Hwesio yang memimpin empat orang sutenya.
Baru saja hendak berangkat mencari dua orang muda yang mengamuk di Loka, mereka sudah mendengar laporan mata-mata di luar tembok kota bahwa yang mereka cari sudah datang.
"Bagus," kata Ga Lung Hwesio, anjing-anjing sudah datang tinggal menggebuk saja!"
80 Lalu bersama empat orang sutenya, ia berlari keluar kota untuk menghadang Wang dan Ci Ying.
Melihat bahwa pasangan muda mudi itu benar-benar masih amat mudah, Ga Lung Hwesio
menjadi heran sekali. Masa Thouw Tan Hwesio sampai kalah oleh dua orang muda ini"
"Apakah kalian yang bernama Wang Sin dan Ci Ying, dua orang bekas budak yang menimbulkan huru-hara di Loka?" tanya Ga Lung Hwesio sambil mengangkat muka dengan sikap angkuh.
Dengan tenang Wang Sin menjawab. "Betul." Akan tetapi Ci Ying tertawa dan menyambung,
"Hwesio cebol, kalau nonamu yang membikin huru-hara di Loka, kau mau apa?"
Ga Lung Hwesio adalah seorang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Mendengar makian ini ia dapat menindas perasaan marahnya dan ia hanya tersenyum.
"Orang-orang muda suka besar kepala, mengira di dunia ini tidak ada yang bisa mengalahkan mereka. Ah, anak-anak yang masih hijau, lekas kalian turun dan berlutut. Pincengan tidak akan menggunakan kekerasan, hanya akan menggiring kalian ke kota di mana kalian akan dihadili."
"Hwesio sialan, siapa sudi dengar omonganmu yang busuk" Menyingkirlah biar kami lanjutkan perjalanan!" bentak Ci Ying, tangan kirinya bergerak dan lima benda bundar mengkilap menyambar ke arah jalan darah berbahaya di tubuh Ga Lung Hwesio dan adik-adik
seperguruannya. Itulah serangan gelap yang amat cepat dan sukar dikelit. Akan tetapi dengan tenang lima orang hwesio itu menggerakkan tangan dan lima buah benda bundar itu sudah dapat mereka tangkap dengan telapak tangan.
Ga Lung Hwesio melihat benda itu dengan keningnya berkerut. Dengan tongkatnya yang kecil panjang, tongkat terbuat dari sebangsa bambu kuning, ia mencongkel tanah di depannya kakinya, melempar benda itu ke dalam tanah dan menguruknya lagi dengan ujung tongkat.
Sambil mengeluarkan seruan kaget, empat hwesio yang lain juga mengikuti perbuatan ini, lalu kelimanya mengucapkan doa-doa pendek sambil merangkap kedua tangan ke depan dada.
Kemudian Ga Lung Hwesio membuka matanya, memandang Ci Ying sambil membentak.
"Bocah keji! Dari mana kau mendapatkan mata manusia itu?"
"Orang-orang telah dengan suka rela. menyumbangkan sebelah matanya kepadaku, semua ada sepuluh biji. Sekarang kalian lima orang hwesio sinting membuang lima biji, harus ditukar dengan sebelah mata kalian?" jawab Ci Ying sambil mendelikkan matanya.
Dua orang hwesio mengeluarkan seruan keras, tak dapat menahan kemarahannya. Serentak mereka melompat ke depan, seorang menubruk Ci Ying dan yang seorang lagi menubruk Wang Sin untuk menyeret dua orang muda itu turun dari kuda. Sambaran mereka ini hebat sekali, tangan kanan mencengkeram ke arah pundak dan tangan kiri dihantamkan kepada punggung kuda.
Wang Sin yang merasai datangnya angin pukulan yang amat keras, kaget bukan main. Ia
melompat ke arah lain sambil menggulingkan tubuh, hampir saja ia roboh terguling kalau tidak lekas-lekas ia menggunakan tangannya mendorong tanah, sehingga ia dapat berdiri tegak lagi.
Adapun Ci Ying sambil mengeluarkan suara nyaring, dengan ringan sekali tubuhnya melompat dari atas kuda menghindarkan cengkeraman, akan tetapi tidak seperti Wang Sin, sambil 81
melompat sabuk merahnya meluncur ke arah leher lawan merupakan serangan balasan yang sekali gus mengarah urat kematian.
Terdengar suara keras ketika tangan kiri dua orang hwesio itu mengenai punggung kuda. Dua ekor binatang itu meringkik hebat, melompat jauh dan berlari keras. Akan tetapi baru beberapa belas meter mereka lari, sekali lagi mereka meringkik dan terguling roboh berkelonjotan terus mati. Kiranya hajaran tangan kiri dua orang hwesio tadi telah meremukkan isi perut mereka.
Adapun hwesio yang menyerang Ci Ying, ketika melihat datangnya ujung sabuk mengarah jalan darah di lehernya, kembali mengeluarkan seruan keras, tangan kanannya yang luput
mencengkeram tadi ditarik untuk menangkap ujung sabuk dan merampasnya. Akan tetapi, Ci Ying lihai sekali.
Sekali sendal ujung sabuknya melejit dan lolos dari cengkeraman malah dapat memecut lengan hwesio itu yang cepat mundur dengan seruan kaget. Kulit lengannya itu pecah dan biarpun tak mendatangkan luka berbahaya tetap saja terasa amat sakit.
Di lain saat Ci Ying sudah tertawa ha-ha-ha-hi-hi sambil mengobat-abitkan sabuknya. "Mari, mari, cucuku gundul, mari kalau hendak menerima hajaran nenekmu!" katanya.
Dua orang hwesio itu memuncak kemarahannya. Dengan geram mereka mengeluarkan senjata mereka, sebuah toya yang besar dan berat. Langsung mereka menerjang maju, seorang
menyerang Wang Sin yang kedua menyerang Ci Ying. Wang Sin sudah menarik pedangnya dan segera ia bertempur dengan hwesio itu.
Diam-diam ia mengeluh karena selain toya lawannya amat kuat tidak terpatahkan pedang mustikanya, juga tenaga lawannya ini besar sekali, membuat telapak tangannya sakit-sakit tiap kali senjatanya menangkis toya. Ia segera mengeluarkan semua kepandaiannya, mainkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang amat cepat. Benar juga, setelah ia menggunakan kecepatannya, ia dapat mengimbangi lawan.
Di lain pihak, sambil tertawa-tawa mengejek, Ci Ying melayani dan mempermainkan hwesio kedua. Toya adalah sebuah senjata yang kaku dan keras, maka menghadapi senjata sabuk yang amat lemas dan digerakkan dengan amat cepat secara aneh, hwesio itu segera terdesak hebat.
Harus diakui bahwa dalam hal tenaga dalam, Ci Ying masih tidak mampu menangkan hwesio ini yang sudah memiliki pengalaman dan latihan puluhan tahun. Akan tetapi Ci Ying mewarisi ilmu silat yang aneh dan ganas. Setiap pukulan merupakan tangan maut yang mengarah jalan darahjalan darah yang paling berbahaya, tidak mengherankan apablia hwesio lawannya menjadi
bingung dan kacau permainan toyanya.
"Hi-hi-hi, hwesio bau. Orang macam kau biar ada sepuluh, mana bisa melawan aku" Koncokoncomu itu apa jerih menghadapi aku" Biar mereka maju bersama!" tantangnya, sombong
dalam kemenangannya.
Melihat seorang saudaranya menghadapi Wang Sin sudah cukup dan dapat mendesak, hwesiohwesio itu tidak mau membantu. Akan tetapi melihat saudaranya yang terdesak oleh Ci Ying
mereka gelisah.
Akan tetapi Ga Lung Hwesio dan empat orang adik seperguruannya ini adalah hwesio-hwesio berkedudukan tinggi di Tibet, mana mereka sudi mengeroyok " Hanya setelah mendengar
82 tantangan Ci Ying, seorang di antara mereka menjadi panas hati dan mendapatkan kesempatan selagi lawan menantang, ia segera melompat maju memutar tongkatnya.
"Bocah ganas, lihat toya!" serunya sambil menyerang dengan hebat.
Ci Ying diam-diam sudah siap sedia. Melihat hwesio itu maju, ia tertawa dan sekali tangan kirinya bergerak kembali lima biji mata yang masih berada di kantongnya, ia sambitkan kepada hwesio itu, mengarah lima jalan darah di tubuhnya. Jarak antara mereka hanya tiga empat meter, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan mendesak ini.
"Makan ini!" seru Ci Ying. Sebetulnya, menurut sopan santun dunia persilatan, menyerang secara menggelap merupakan pantangan besar. Oleh karena itu, setiap kali hendak membuka serangan, orang selalu membentak dan setiap kali menggunakan senjata rahasia, selalu didahului dengan seruan agar lawan bersiap sedia. Akan tetapi Ci Ying yang licik sekali berseru setelah senjata rahasianya menyambar lawan.
Bukan main kagetnya hwesio ini. Hwesio pertama yang tahu kawannya diserang secara
menggelap, hendak mencegah dengan mengirim serangan ke arah kepala Ci Ying, akan tetapi ia terlambat. Lima buah benda itu sudah dilontarkan dan dengan cekatan Ci Ying sudah dapat mengelak dari serangannya.
Hwesio yang menghadapi ancaman maut dari lima butir biji mata itu, melempar diri ke belakang untuk menghindarkan serangan, akan tetapi dua butir biji mata yang menyambar lutut kiri dan bawah pusarnya sukar dikelit dan agaknya ia akan segera mendapat celaka.
Pada saat itu terdengar bentakan keras dan sebatang tongkat kecil panjang meluncur memapak dua butir biji mata itu sehingga terdengar suara "tak-tak" dan biji mata itu terlempar ke pinggir, tidak mengenai sasaran. Itulah tongkat dari Ga Lung Hwesio yang dilontarkan untuk menangkis.
Hwesio yang baru saja terbebas dari bahaya maut, melompat bangun dengan muka pucat.
Keringat dingin membasahi jidatnya. Ia bersyukur bahwa suhengnya sudah bergerak cepat dan dapat menyelamatkan nyawanya.
Ia memungut tongkat itu dan menyerahkan kepada Ga Lung Hwesio dengan sinar mata terima kasih. Kemudian ia menerjang Ci Ying, memaki. "Setan licik, kau benar-benar ganas dan pantas menjadi penghuni neraka!"
Hi-hi-hi, hwesio bau. Suruh kawanmu yang dua lagi maju. Itu hwesio cebol mana berani?"
Ga Lung Hwesio hanya tersenyum biarpun hatinya mendongkol sekali dimaki oleh gadis itu. Akan tetapi sutenya seorang lagi marah lalu memutar toya dan menyerbu sehingga di lain saat Ci Ying sudah dikeroyok tiga. Tentu saja Ci Ying menjadi repot sekali.
Melawan seorang hwesio saja, ia dapat mengimbangi dan menang di atas angin hanya karena ia mengandalkan kecepatannya pada hal ia kalah tenaga. Apalagi sekarang dikeroyok tiga. Lebihlebih lagi kegelisahannya ketika melihat Wang Sin sudah repot sekali dan dalam jurus berikutnya Wang Sin terkena serampangan kakinya. Ia mencoba untuk melompat, akan tetapi kurang cepat dan tulang keringnya terkena hajaran toya sampai patah tulangnya.
83 Orang muda itu mengeluh dan melompat jauh menggunakan satu kakinya yang belum terluka.
Hwesio itu hendak mengejar, akan tetapi Ci Ying keburu melompat jauh menghadang di depan Wang Sin sambil berseru.
"He, hwesio tengik! Kawanku sudah terluka dan kalah, kau masih mendesak terus, apakah tua bangkotan tidak malu menghina yang muda?"
Mendengar ucapan ini, hwesio itu melengak dan otomatis ia bergerak mundur. Tentu saja, sebagai seorang yang berkedudukan tinggi ia pantang sekali dianggap "yang tua menghina yang muda", ia ragu-ragu dan menengok ke arah Ga Lung Hwesio sambil menanti keputusan.
"Bocah ganas, apakah setelah kawanmu terluka kau masih tidak mau menyerah?" tanya Ga Lung Hwesio.
Ci Ying cerdik sekali, akan tetapi ia maklum bahwa kali ini ia tidak berdaya. Maka ia sengaja hendak mengulur waktu dan tidak mau menyerah secara mentah-mentah. "Hwesio cebol, siapa sudi menyerah" Kawanku terluka, akan tetapi, aku belum kalah, kau tahu?"
"Kalau begitu, kami akan merobohkan kau lebih dulu!" seru hwesio yang tadi hampir menjadi korban senjata rahasia dan ia melompat maju dengan serangannya, diikuti dua orang kawannya.
Mereka bertiga yang tadi mengeroyoknya hendak cepat-cepat mengalahkan Ci Ying, maka begitu menerjang mereka menggunakan tongkat mereka mainkan jurus yang paling ampuh.
Ci Ying cepat mengelak sambil mengebut dengan sabuknya, "Cih, tak tahu malu! Tiga monyet bangkotan mengeroyok seorang nona muda. Mana di dunia kang-ouw ada macam aturan itu"
Tebal muka!"
Tiga orang hwesio itu menjadi bohwat (tak berdaya). Mereka merasa malu sekali dan terpaksa mereka menahan senjata mereka.
"Kau sendiri yang tadi menantang minta dikeroyok!" seorang di antara mereka mencoba untuk membentak.
"Celaka, aku bicara main-main, kiranya kalian kakek-kakek tua begitu tidak tahu malu menggunakan kesempatan orang muda main-main lalu mengeroyok sungguh-sungguh."
Ci Ying memang sejak dulu berwatak lincah jenaka dan pandai bicara. Sekarang menghadapi ancaman pihak yang lebih kuat, keganasannya bersembunyi dan muncul ah sifat-sifatnya dahulu yang cerdik.
Melihat tiga orang sutenya nampak bengong, Ga Lung Hwesio tertawa sambil memukulmukulkan tongkatnya ke atas tanah. "Sute sekalian mundurlah. Biar pinceng menghadapinya
seorang lawan seorang."
Ci Ying melihat akalnya berhasil membuat ia tidak akan dikeroyok lagi. Apa pula yang maju adalah hwesio cebol gemuk ini. Yang lain-lain boleh lihai, akan tetapi si cebol gemuk ini mana bisa main silat dengan baik"
Ia cepat menghampiri Ga Lung Hwesio dan menyerang dengan serentak. "Bagus! Siapa kalah dalam pertempuran ini berarti haknya kalah dan harus mundur. Janji orang gagah tak dapat ditarik kembali!"
84 Para hwesio itu melengak. Siapa yang berjanji" Benar-benar seorang bocah yang licik sekali, lihai ilmu silat dan mulutnya. Akan tetapi Ga Lung Hwesio yang sudah melihat ilmu silat Ci Ying, tanpa ragu-ragu lagi berkata, "Baiklah, siapa kalah berarti pihaknya kalah. Majulah!"
Ci Ying tidak berlaku seji (sungkan) lagi. Sabuknya menyerang cepat, mengarah jalan darah yang-goat-hiat dan kin-ceng-hiat. Anehnya Ga Lung Hwesio tidak mengelak mundur, bahkan melangkah setindak dan menyodokkan tongkatnya ke arah leher nona itu. Gerakan tongkatnya yang kecil panjang itu cepat bukan main, tahu-tahu sudah mengancam leher Ci Ying.
Gadis ini terkejut. Kalau dia melanjutkan serangannya, sebelum ujung-ujung sabuknya mengenai tubuh lawan, lebih dulu ia akan "dimakan" tongkat. Terpaksa ia mengelak sambil menggerakkan sabuknya lagi, sekali gus menotok ke arah iga dan pergelangan tangan Ga Lung Hwesio.
Gerakannya indah dan cepat lagi ganas, membuat hwesio pendek gemuk itu mengeluarkan
seruan memuji. Akan tetapi secepat-cepatnya Ci Ying, ia masih kalah cepat oleh hwesio murid kepala Tibet itu.
Tongkat sudah diputar lagi, sekali gus menangkis dua ujung sabuk. Ci Ying menggetarkan sabuknya hendak membelit tongkat, namun lawannya sudah menarik kembali tongkatnya dan di lain saat ia sudah berjongkok dan dua kali ujung tongkatnya menusuk sambungan lutut kedua kaki Ci Ying.
Gadis itu berseru kesakitan dan roboh terguling. "Ikat gadis liar ini!" seru Ga Lung Hwesio kepada seorang sutenya. Akan tetapi sesosok bayangan berkelebat dan Wang Sin sudah berdiri dengan sebelah kaki pincang.
Orang muda ini menghadang dengan sikap gagah, pedang melintang di dada sambil berseru.
"Jangan kurang ajar! Siapa berani mengganggu Ci Ying akan menjadi makanan pedangku!"
11. Pembalasan Para Pendeta Lama.
Ga Lung Hwesio tertawa dan tongkatnya digerakkan, Wang Sin menangkis dengan pedangnya, mengerahkan tenaganya.
"Tranggg....!" Pedangnya terlepas dan terlempar jauh dengan cepat, meluncur merupakan sinar kebiruan dan dia sendiri segera roboh ketika tongkat hwesio pendek itu menotok pundaknya.
Selagi lima orang hwesio itu kegirangan karena melihat dua orang muda yang mengamuk sudah tertawan, tiba-tiba mereka kaget karena sinar biru dari pedang Wang Sin yang terlempar tadi terhenti di tengah jalan dan tahu-tahu sudah disambar oleh tangan seorang wanita yang berusia lima puluh tahun lebih.
Wanita ini berpakaian serba putih seperti seorang pendeta, tangan kirinya memegang kebutan merah dan tangan kanan memegang seuntai tasbeh. Tasbeh inilah yang tadi diputar dan
"menangkap" pedang yang sedang terbang itu.
Ga Lung Hwesio dan empat orang sutenya melihat wanita ini menjadi kaget karena di rambut kepala wanita ini terdapat sekuntum bunga hijau yang mengeluarkan sinar gemilang. Mereka teringat akan bunga hijau yang menghias kepala Ci Ying dan tahulah mereka siapa orangnya yang telah datang ini.
85

Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi Ga Lung Hwesio pura-pura tidak mengenalnya dan segera menjura dengan hormat.
Sebagai seorang hwesio, melihat pendeta dari aliran agama lain, ia berlaku hormat.
"Omitohud...... ada saudara datang tidak keburu menyambut karena gangguan anak-anak muda.
Harap toyu sudi memaafkan pinceng berlima."
Nenek itu mengeluarkan suara dingin sambil memandang tajam. "Hwesio-hwesio bangkotan menindas orang-orang muda, sungguh tak tahu malu!"
"Suthai, bikin mampus mereka. Mereka telah menghina muridmu!" kata Ci Ying yang girang sekali melihat kedatangan nenek itu yang bukan lain adalah gurunya, Cheng Hoa Suthai ketua dari Cheng-hoa-pai di Heng-toan-san.
Ga Lung Hwesio dan sute-sutenya sudah mendengar kehebatan nenek tua Cheng-hoa-pai ini, akan tetapi karena belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, mereka tidak takut. Adalah karena mendengar ucapan Ci Ying tadi mereka menjadi khawatir sekali kalau-kalau nenek itu terlalu memihak murid sendiri, maka Ga Lung Hwesio cepat menjawab.
"Kiranya Cianpwe adalah ketua dari Cheng-hoa-pai yang ternama. Harap cianpwe suka
mempertimbangkan urusan ini. Semua adalah kesalahan muridmu sendiri yang telah membunuh sute Thouw Tan Hwesio dan banyak pendeta-pendeta lain. Dia memberontak di Loka dan......."
"Ci Ying, kenapa kau membunuh keledai-keledai gundul di Tibet?" tanya Cheng Hoa Suthai kepada muridnya. Pertanyaan ini terdengar keren, akan tetapi dengan menggunakan sebutan
"keledai gundul" berarti dia telah memaki para hwesio di Tibet yang agaknya tak di ndahkan olehnya.
Ci Ying sudah mengenal baik watak gurunya. Nenek ini amat ganas dan kejam hatinya, akan membunuh setiap orang tanpa berkejap mata. Akan tetapi dia amat pantang untuk menodai nama baik Cheng-hoa-pai dan berlaku keras kepada murid-muridnya. Setiap orang murid harus menjunjung tinggi nama baiknya Cheng-hoa-pai. Siapa melanggar berarti mati. Maka dengan suara tetap ia menjawab.
"Suthai telah mengerti bahwa teecu pergi hendak membalas sakit hati kepada tuan tanah di Loka yang telah menyiksa teecu dan semua budak, malah sudah membunuh ayah. Manusia binatang macam tuan tanah itu sudah sepatutnya dibasmi, bukan?"
Cheng Hoa Suthai mengangguk-angguk sambil melirik tajam ke arah lima orang hwesio itu.
"Memang lebih dari patut dibasmi sekeluarganya berikut antek-anteknya!"
Ci Ying tersenyum. "Nah, teecu hanya berhasil membunuh tuan tanah yang tua berikut antekanteknya di Loka, sedangkan yang muda sudah pindah ke Lasha, para pendeta bangkotan palsu
di Loka membantu tuan tanah, kiranya bangkotan ini yang berkepala gundul berpakaian pendeta, juga menjadi kaki tangan mereka. Mereka inipun pantas dibasmi!"
Terkejut hati Ga Lung Hwesio mendengar ini dan melihat wajah Cheng Hoa Suthai berubah keras, mereka siap sedia.
"Pantas....... pantas sekali dibasmi. Eh, hwesio-hwesio Tibet yang tahu malu, perbuatan kalian membantu tuan-tuan tanah jahat benar-benar tidak cocok dengan kedudukan kalian. Apakah Su Thai Losu (Empat Guru Besar Tua) di Lasha akan membiarkan saja penyelewengan kalian?"
86 Mendengar sebutan ini, Ga Lung Hwesio dan sute-sutenya dengan girang dapat menduga bahwa nenek yang lihai ini masih gentar terhadap guru-guru besar mereka, maka Ga Lung Hwesio segera menjawab.
"Cianpwe, pinceng dan sute-suteku ini adalah murid-murid Su Thai Losu, malah guru-guru pinceng yang menitahkan pinceng menangkap dua orang pemberontak ini. Harap Cianpwe
ketahui bahwa dosa mereka ini besar sekali tidak saja mengacau malah merendahkan nama besar guru-guru kami. Pinceng berjanji akan membawa dua orang muda ini supaya menerima pengadilan di Lasha."
"Hwesio bau! Kau tidak melihat aku, ya" Kau kira aku takut kepada empat keledai tua di Lasha"
Rebahlah kau!" Cepat sekali gerakan tangan Cheng hs, tahu-tahu pedang biru sudah melayang ke arah Ga Lung Hwesio sedangkan tasbeh dan kebutannya bergerak ke arah empat orang
hwesio yang lain.
Ga Lung Hwesio adalah seorang hwesio yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Melihat sinar biru menyambar dadanya, ia menangkis dengan tongkat. Terdengar suara keras dan bunga api berhamburan, akan tetapi pedang itu sudah dapat ditangkisnya sehingga menyeleweng dan menancap sampai ke gagangnya di atas tanah. Sedangkan dia sendiri mundur tiga langkah dengan kedua tangan merasa tergetar hebat.
Wajahnya menjadi pucat, apalagi ketika ia melihat betapa empat sutenya berturut-turut terjungkal, tak dapat menahan serangan Cheng Hoa Suthai. Dua orang yang terpukul tasbeh patah-patah tulang iganya sedangkan yang dua orang lagi terkena sambaran kebutan, terlepas sambungan tulang pundaknya.
Ga Lung Hwesio terkejut sekali. Keempat orang sutenya itu sudah memiliki kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi sekali serang saja Cheng Hoa Suthai sudah dapat merobohkan mereka.
Dari sini saja sudah dapat dibayangkan betapa lihainya nenek ini.
Akan tetapi karena marah sekali, Ga Lung Hwesio menjadi nekad. Ia memutar tongkatnya lalu menyerbu sambil mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan semua tenaganya.
Sebagai seorang berkedudukan tinggi, yaitu menjadi ketua partai, Cheng Hoa Suthai memiliki keangkuhan. Terhadap orang-orang yang tingkatnya lebih rendah, dia tidak mau terlalu mendesak. Sekali turun tangan ia harus berhasil dan tidak sudi mengulangi lagi. Kalau Ga Lung Hwesio tidak menyerangnya, dia tentu mengampuni hwesio ini karena tadi ia sudah menyerang hwesio ini dengan lontaran pedang Wang Sin dan hwesio itu sudah dapat menyelamatkan diri.
Akan tetapi sekarang Ga Lung Hwesio menyerangnya, maka bangkitlah kemarahannya. Begitu melihat tongkat Ga Lung Hwesio menyambarnya, kebutan di tangan kiri bergerak menggulung ujung tongkat. Ga Lung Hwesio adalah seorang yang sudah banyak pengalamannya bertempur.
Melihat senjatanya kena terlibat, ia mengerahkan tenaga untuk membetot akan tetapi tongkat itu seakan-akan telah tertanam buluh kebutan menjadi akar-akarnya, tak dapat ditarik kembali.
Dan pada saat itu tiba-tiba Cheng Hoa Suthai mengendurkan kebutannya, sehingga oleh tenaga yang dilepas tiba-tiba ini, Ga Lung Hwesio hampir terjengkang ke belakang. Di saat itu bayangan putih berkelebatan, ialah tasbeh di tangan kanan Cheng Hoa Suthai yang menyambar ke arah kepalanya.
"Celaka......!" seru Ga Lung Hwesio sambil melepaskan tongkatnya dan menjatuhkan diri kebelakang.
87 "Melihat muka Su Thai Losu, aku mau mengampuni jiwa anjingmu!" terdengar ketua Cheng-hoapai itu berkata dengan suara dingin, gerakan tasbehnya diturunkan dan sebagai pengganti kepala hanya pundak Ga Lung Hwesio saja yang "dimakan" tasbeh, "Krakkk!" patahlah pundak kiri hwesio itu yang menjerit kesakitan terus roboh tak berdaya lagi.
Cheng Hoa Suthai menghampiri muridnya dan menotok lutut untuk membebaskan totokan
tongkat Ga Lung Hwesio tadi. Ci Ying segera melompat dan berlutut di depan gurunya, girang bukan main.
"Siapa pemuda yang membantumu itu?" tanya Cheng Hoa Suthai, menunjuk ke arah Wang Sin.
Dengan muka merah akan tetapi dengan suara nyaring, Ci Ying mengaku terus terang. "Suthai, dia itulah Wang Sin tunanganku yang pernah teecu tuturkan kepada suthai dulu."
Cheng Hoa Suthai mengangguk-angguk. "Kita pergi dari sini. Ajak tunanganmu itu bersama."
"Tetapi Suthai, teecu belum berhasil membunuh Yang Nam, tuan tanah muda yang paling kurang ajar di dunia ini...." bantah Ci Ying.
"Jangan membantah! Dengan kepandaianmu menghadapi ke lima ekor anjing ini saja tidak bisa menang apalagi menghadapi Su Thai Losu" Jangan mimpi. Pulang!"
Ci Ying tidak berani membantah. Kalau gurunya saja gentar menghadapi pendeta-pendeta kepala di Lasha, dia sendiri bisa berbuat apakah" Tanpa banyak cakap lagi ia lalu menghampiri Wang Sin dan memondong tubuh tunangannya itu, lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Di lain saat gurunya telah berkelebatan di sampingnya dan nenek ini agaknya tidak tega melihat muridnya harus memondong laki-laki yang tentu berat, maka diulurnya tangannya dan tiba-tiba Ci Ying merasa tubuhnya ringan sekali dan kakinya bergerak maju seperti terbang.
Yang paling tidak enak hatinya adalah Wang Sin. Karena sebelah kakinya pincang dan tulangnya patah, ia terpaksa harus dipondong oleh Ci Ying. Ia mengeluh perlahan dan hal ini dikira oleh Ci Ying karena sakit di kakinya. Murid ini lalu minta gurunya berhenti untuk memeriksa luka di kaki Wang Sin.
"Hemmm, tulangnya patah," kata Cheng Hoa Suthai. Tanpa banyak cakap lagi nenek ini lalu menyambung tulang patah itu dan memberi obat, dan lenyaplah rasa nyeri, diam-diam Wang Sin makin berterima kasih kepada Ci Ying dan gurunya.
Tanpa bantuan Ci Ying di Loka saja, dia dan isterinya sudah gagal dan besar kemungkinan akan berkorban nyawa dan tadi untuk kedua kalinya, tanpa ada Cheng Hoa Suthai kiranya tak dapat disangsikan lagi ia akan tewas di tangan hwesio Tibet. Makin tidak enak hatinya karena tahu bahwa makin sukarlah ia melepaskan diri dari ikatan Ci Ying.
****** Enam belas tahun kemudian .............................
Pegunungan Kun-lun merupakan barisan gunung yang panjang dan luas sekali. Di puncak ini tersebar tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang banyak, akan tetapi yang merupakan pusat dari pada partai persilatan Kun-lun-pai berada di puncak paling timur yang menjadi sumber atau mata air 88
dari sungai Cin-sa dan puncak ini yang menjadi tapal batas antara pegunungan Kun-lun dan Bayangkara.
Di pusat ruangan ini pula duduk guru besar dari partai Kun-lun-pai bernama To Gi Couwsu yang sudah sangat tua. Sudah belasan tahun tosu tua ini tidak menguruskan lagi keramaian dunia dan hanya bertapa di puncak gunung. Murid-murid dan cucu-cucu muridnya cukup banyak untuk mengurus semua kewajiban dan menjaga nama baik Kun-lun-pai sehingga partai persilatan ini mempunyai nama besar yang amat harum di dunia kang-ouw, ditakuti orang jahat disegani orang gagah.
Tidak seperti biasanya pada hari itu di dalam markas besar Kun-lun-pai, di ruangan lian-bu-thia (ruang belajar silat) nampak tosu-tosu kepala berkumpul, duduk di kursi-kursi yang diatur memutari ruangan itu. Para anak murid lain berdiri di belakang, menonton sambil memanjangkan leher agar dapat melihat lebih jelas ke tengah ruangan.
Di kursi kepala duduk To Gi Couwsu yang sudah amat tua, duduknya tegak dan di tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang tak pernah berpisah dari badannya. Tosu ini sudah begitu tua sehingga untuk berjalan saja ia harus dibantu oleh tongkatnya.
Di tengah ruangan itu terdengar angin mendesir-desir dan berkelebatannya bayangan putih yang meloncat ke sana ke mari. Itulah hawa pukulan yang dahsyat, menandakan bahwa di ruangan itu ada seorang yang sedang bermain silat dengan hebatnya.
Ketika bayangan itu berhenti bersilat, baru dapat dilihat bahwa dia adalah seorang gadis muda berusia kurang lebih enam belas tahun, berpakaian serba putih, berwajah cantik berkulit putih.
Pakaian gadis ini sederhana sekali, akan tetapi hal ini malah menonjolkan kecantikannya yang wajar.
Setelah ia berhenti bersilat, para tosu kepala ruangan itu mengangguk-angguk dan
mengeluarkan suara pujian.
"Sumoi benar-benar telah mencapai kemajuan yang pesat," kata mereka. Akan tetapi To Gi Couwsu menggeleng-gelengkan kepalanya nampak tidak puas.
"Bi Hong, coba kau mainkan ilmu pedangmu biar dinilai oleh para suhengmu," kata To Gi Couwsu, suaranya perlahan dan lambat seperti orang lelah.
Bi Hong, gadis cantik itu, memberi hormat kepada gurunya lalu menjurus kepada para tosu yang duduk mengitari tempat itu, belasan orang banyaknya. "Suheng sekalian harap jangan
mentertawakan permainan pedang siauwmoi yang masih buruk," katanya.
Di lain saat tangan kanannya bergerak dan tampak sinar kuning emas berkelebat, disusul oleh gulungan sinar pedang yang ternyata telah dimainkan dengan amat dahsyatnya. Apalagi yang dimainkan adalah sebuah pedang pusaka dari Kun-lun-pai, yaitu Kim-Hui-Kiam (Pedang Emas Terbang) yang dihadiahkan oleh To Gi Couwsu kepada muridnya ini, cepat dan dahsyat sampai tubuh gadis itu lenyap terbungkus gulungan sinar pedang yang kuning emas.
Para anak murid Kun-lun-pai yang masih belum tinggi tingkatnya, yang menonton di belakang sambil berdiri, menjadi kabur pandangannya dan mereka memuji dengan penuh kekaguman dan kebanggaan. Bukankah gadis itu murid Kun-lun-pai yang patut mereka banggakan"
89 Setelah mainkan jurus-jurus yang sulit, tiba-tiba gadis itu berseru, "Suhu, teecu mohon di jinkan menggerakkan jurus terakhir!"
To Gi Couwsu menganggukkan kepalanya dan tahu-tahu sinar pedang itu melesat keluar
ruangan, melampaui kepala para anak murid Kun-lun-pai yang berdiri di luar. Semua orang mengikuti sinar pedang ini dan melihat betapa dengan gerakan amat indah, gadis itu telah mainkan jurus terakhir dari Kun-lun Kiam-hoat yang disebut Hui-kiam-kan-goat (Pedang Terbang Mengejar Bulan), jurus yang amat sukar dimainkan karena banyak orang harus memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah tinggi dan kesempurnaan menggerakkan pedang.
Ketika semua orang sedang ternganga kagum, gadis itu sudah turun kembali dan di tangan kirinya ia memegang seekor burung yang kedua sayapnya telah ia sabet putus dengan
pedangnya. Burung gereja itu tadi sedang terbang dan burung inilah yang menjadi sasaran jurus Hui-kiam-kan-goat tadi sehingga putus kedua sayapnya. Burung itu kini mencicit di atas telapak tangan kiri Bi Hong, tidak dapat terbang lagi.
Semua tosu kepala yang duduk di situ kembali memuji.
"Siancai..... hebat ilmu pedang sumoi."
Akan tetapi lagi-lagi To Gi Couwsu, guru kepala Kun-lun-pai, menggeleng-gelengkan kepalanya dan tanpa berkata apa-apa ia menggapai kepada Bi Hong supaya mendekat. Setelah gadis itu menghampirinya, tosu ini lalu mengambil burung gereja dari tangan gadis itu, mengelus-elusnya penuh kasih sayang, dan memeriksa kedua sayap yang sudah tidak berbulu lagi.
"Kau harus bersabar tiga puluh hari lebih, menanti sayapmu tumbuh, burung......." katanya perlahan lalu memasukkan burung yang tak bersayap itu ke dalam kantong bajunya yang lebar.
"Bi Hong, apa yang kauperlihatkan tadi indah dilihat, akan tetapi belum ketahuan bagaimana kalau menghadapi lawan. Coba kau minta twa-suhengmu untuk menguji," kata pula To Gi
Couwsu dengan suaranya yang perlahan dan tenang.
Gadis itu nampak gembira sekali. Cepat ia menghampiri seorang tosu, murid paling tua di Kunlun-pai, berusia lima puluh tahun lebih. Di antara semua murid To Gi Couwsu, yaitu para tosu di Kun-lun-pai, dia inilah yang paling tinggi ilmu silatnya, juga paling alim dan selalu mengutamakan kebajikan dan berwatak sabar sekali seperti gurunya.
Gadis itu menjura kepada tosu ini dan berkata sambil tersenyum. "Twa-suheng, di antara para suheng, hanya kau yang selalu menolak untuk menguji kebodohan siauwmoi. Sekarang atas perintah suhu, siauwmoi harap twa-suheng tidak berlaku pelit lagi."
Lee Kek Tosu menarik napas panjang lalu berdiri dari tempat duduknya. "Suhu yang memerintah siapapun tak boleh menolak. Siauwmoi, kepandaianmu tinggi, darahmu panas, pinto seorang tua lemah mana bisa menangkan kau?"
Bi Hong tertawa dan dengan sikap yang manja ia menarik tangan tosu itu ke tengah ruangan, diikuti senyum para tosu lain. Setelah sampai di tengah ruangan itu, Bi Hong berkata. "Suheng yang baik, harap kau menaruh kasihan kepadaku dan jangan menurunkan tangan besi."
Gadis itu pintar sekali. Ia maklum bahwa di antara semua tosu yang menjadi suhengnya, twasuheng ini adalah orang yang paling pandai, maka ia sengaja hendak menjajal kepandaiannya
90 sendiri dengan tangan kosong dan kemudian baru menggunakan pedang. Sebelum tosu itu
menjawab, ia sudah menerjang maju sambil berkata, "Twa-suheng, awas, siauwmoi mulai
menyerang!"
Bi Hong yang maklum akan kelihaian twa-suhengnya, tidak mau membuang waktu dengan jurusjurus biasa, melainkan segera menyerang dengan jurus-jurus yang paling lihai dari Kun-lun
Ciang-hoat. Mula-mula ia membuka serangannya dengan gerak tipu Kong-ciak-khai-peng (Merak Membuka Sayap) lalu diteruskan dengan Pai-bun-twi-san (Atur Pintu Tolak Gunung). Gerakannya cepat dan bertenaga sekali ketika tangan kanannya mendorong ke arah dada twa-suhengnya.
"Bagus!" Lee Kek Tosu memuji ketika merasa betapa sambaran angin dorongan ini amat kuat tanda lweekang dari adik seperguruannya sudah mencapai tingkat tinggi. Dengan sigapnya ia miringkan tubuh, tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan serangan Totui-kim-ciang (Merobohkan Lonceng Emas), disabetkan dengan jari tangan miring ke arah leher gadis itu.
Bi Hong cepat mengelak dan mengebutkan tangan kirinya. Ia merasai betapa pukulan tangan twa-suhengnya amat berat membuat tangannya tergetar. Tahulah ia bahwa dalam hal tenaga lweekang, ia masih kalah jauh. Maka ia lalu menggunakan kelincahan tubuhnya menerjang dengan mempercepat gerakannya.
Namun dengan tenang sekali tosu itu menghadapinya dan demikianlah, dalam serang menyerang selama belasan jurus kelihatan perbedaan antara mereka. Si tosu bersikap tenang, gerak geriknya lambat tapi mantap dan bertenaga penuh. Sebaliknya Bi Hong bergerak cepat sekali sehingga ia dapat mengimbangi twa-suhengnya dan menutup kekurangannya dalam kekalahan tenaga lweekang.
Makin lama gerakan Bi Hong makin cepat, pukulan-pukulannya makin berbahaya dan setelah berlangsung empat puluh jurus lebih, gadis ini sudah bukan main-main atau berlatih lagi melainkan menyerang dengan sungguh-sungguh. Di lain pihak, tosu itu masih tenang saja dan selalu menjaga agar jangan sampai ia kesalahan tangan melukai sumoinya.
"Cukup, ganti dengan pedang," terdengar To Gi Couwsu berkata. Keduanya melompat mundur, wajah Bi Hong merah sekali namun suhengnya masih biasa saja. Gadis ini diam-diam merasa penasaran bagaimana setelah menyerang sehebat-hebatnya ia masih belum dapat mendesak suhengnya yang berlaku lambat-lambatan itu. Harus ia akui bahwa dalam ilmu silat tangan kosong suhengnya itu terlalu tangguh baginya. Ia boleh dibilang sudah jauh di bawah angin dan kini ia hendak menebus kekalahannya dengan pedang.
"Suhu sudah memerintahkan, mari keluarkan pedangmu, suheng," katanya sambil menghunus Kim-hui-kiam.
Si tosu tua tertawa. "Sudah kukatakan tadi, sumoi. Kau lihai dan darahmu panas, mana pinto bisa mengatasimu?" Ucapan ini sabar sekali kedengarannya dan dengan gerakan lambat tosu ini mencabut sebatang pedang dari balik bajunya.
Pedang ini biasa saja kelihatannya, malah tidak bersinar dan kelihatan kotor. Logam yang dijadikan pedang ini kelihatan seperti batu saja. Namun Bi Hong sudah tahu bahwa pedang twasuhengnya
itu adalah pedang pusaka yang tidak kalah ampuhnya dari Kim-hui-kiam dan disebut
Toan-kang-kiam (Pedang pemotong baja).
"Twa-suheng, lihat pedang!" bentak Bi Hong dan pedangnya meluncur cepat ke arah
tenggorokan orang. Tosu itu menangkis, terdengar suara nyaring dibarengi bunga api
91 berhamburan. Di lain saat keduanya sudah sudah bertempur hebat. Seperti juga tadi, gerakangerakan Bi Hong lincah dan teguh penjagaannya.
Biarpun demikian, diam-diam Lee Kek Tosu terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang sumoinya ini benar-benar hebat dan sudah mewarisi dari ilmu pedang Kun-lun-pai. Harus ia akui bahwa biarpun dengan lweekangnya ia dapat menahan, namun untuk menjatuhkan
sumoinya ini bukanlah soal mudah lagi baginya.
Setelah lewat seratus jurus, ia melompat mundur, menghela napas panjang dan berkata,
"Hebat.... hebat sekali kiam-hoatmu, sumoi. Pinto merasa girang sekali dan bangga."
Juga semua tosu memuji gadis ini yang cepat menjura sambil berkata. Twa-suheng terlalu mengalah. Semua yang siauwmoi dapatkan ini semata-semata berkat kemurahan hati suhu yang mulia dan para suheng yang berbudi."
To Gi Couwsu menggerak-gerakan tongkatnya di atas lantai. Bi Hong, twa-suhengmu berkali-kali mengingatkan kepadamu, apakah kau masih tidak sadar?"
Bi Hong terkejut, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya. "Suhu, teecu mohon penjelasan."
"Eh, bocah bodoh. Suhengmu berkali-kali mengatakan darahmu panas, itulah peringatan yang harus kau ingat betul. Kalau kau tidak terlalu panas darah, kalau kau ingat akan pelajaran lweekang dan menekan perasaan, dapat berlaku tenang seperti suhengmu, kau malah lebih kuat dari pada twa-suhengmu. Menghadapi lawan ringan kau dapat berlaku sesukamu menurut
perasaan, akan tetapi sekali berhadapan dengan lawan berat, darah panasmu akan merugikan gerakan-gerakanmu. Kenapa kau begitu bernafsu dalam gerakan-gerakanmu?"
Tiba-tiba Bi Hong menangis. "Maaf, suhu. Teecu terlalu bernafsu karena selalu teringat akan musuh-musuh besar yang belum terbalas. Teecu ingin segera turun gunung untuk membalas sakit hati, ingin membasmi orang-orang yang telah membunuh Kong-kong dan membikin ibu mati karena duka."
To Gi Couwsu menarik napas panjang, terbayanglah semua peristiwa enam belas tahun yang lalu. Peristiwa yang membuat tosu tua ini terpaksa menerima lagi seorang murid, padahal tadinya sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri karena terlalu tua.
Gadis itu Wang Bi Hong, bukan lain adalah puteri dari Ong Hui. Seperti telah diceritakan di bagian depan setelah bersama suaminya menyerbu ke Loka dan bertemu dengan Ci Ying yang membencinya.
Ong Hui mengalah dan pergi meninggalkan suaminya, kembali ke rumah ayahnya di Kun-lun-san.
Sambil menangis sedih, ia menuturkan semua pengalamannya kepada ayahnya dan supeknya, Cin Kek Tosu. Ayahnya menghela napas panjang.
"Hui-ji, semua ini kesalahanku. Sudah tahu Wang Sin mempunyai seorang tunangan, aku
setengah memaksanya untuk menjadi mantuku. Biarlah, aku akan mencari dia dan tentu dia bisa menerima usulku untuk disamping tunangannya itu, mempunyai isteri kedua."
"Tidak usah, ayah. Enci Ci Ying tidak rela melihat dia mempunyai isteri lain," kata Ong Hui sambil menyusut air matanya.
92 Cin Kek Tosu membanting kakinya, "Kurang ajar anak itu! Mana bisa dia menyia-nyiakan isterinya yang sudah hampir mempunyai anak" Pinto yang akan menghajarnya, kalau kelak dia tidak mau kembali kepadamu."
Demikianlah, Ong Hui melewatkan hari-hari yang sunyi di atas gunung dengan hati selalu mengandung kedukaan hebat. Beberapa bulan kemudian ia melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Wang Bi Hong. Semenjak melahirkan anak, tubuhnya menjadi lemah dan
sering kali sakit. Ini semua disebabkan oleh penderitaan batinnya yang amat berat.
Beberapa bulan kemudian, terjadilah serbuan hebat ke gunung itu. Ga Lung Hwesio dan empat orang sutenya, dikawani oleh Thu Bi Tan Hwesio sendiri yang berilmu tinggi menyerbu ke situ.
Hwesio-hwesio Tibet ini datang untuk membalas dendam atas kematian Thouw Tan Hwesio dan karena mereka tahu bahwa Wang Sin adalah murid Cin Kek Tosu. Mereka lalu mencari ke
gunung itu dan terjadilah pertempuran hebat antara hwesio-hwesio Tibet itu melawan Cin Kek Tosu yang dibantu oleh sutenya, Ong Bu Khai, ayahnya Ong Hui.
Ong Bu Khai dan Cin Kek Tosu adalah jago-jago Kun-lun-san yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, Cin Kek Tosu sudah amat tua dan pula enam orang lawannya adalah hwesio-hwesio Tibet yang berilmu tinggi, maka keduanya tidak dapat menandingi mereka. Biarpun melakukan
perlawanan mati-matian dan dengan gagah, akhirnya dua orang jago tua ini tewas di tangan Thu Bi Tan dan keponakan-keponakan muridnya.
Untung bagi Ong Hui yang sakit-sakitan ia terlalu lemah untuk melakukan perlawanan. Andaikata dia tidak sedang sakit, tentu nyonya muda ini tidak akan melihat saja ayah dan supeknya menghadapi para penyerbu itu dan tentu iapun akan mengalami nasib serupa, tewas di tangan para hwesio Tibet. Karena tubuhnya lemah, ia tidak membantah ketika ayahnya menyuruh dia melarikan diri bersama puterinya yang baru berusia beberapa bulan itu.
Sambil menangis sedih, nyonya muda ini membawa anaknya melarikan diri naik seekor keledai.
Tujuannya adalah puncak Kun-lun di mana berdiri pusat Kun-lun-pai, tempat tinggal susiokcouwnya, yaitu To Gi Couwsu yang masih terhitung supek dari ayahnya.
12. Barisan Ngo-heng-tin Pendeta Lama
Baru tiga empat jam ia melarikan keledainya, ia mendengar suara teriakan-teriakan dari belakang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat enam orang hwesio itu berlari-lari cepat sekali melakukan pengejaran.
"Bunuh dia! Dialah isteri Wang Sin si pemberontak. Bunuh saja anaknya!" demikian teriakan Ga Lung Hwesio dan jarak antara dia dan para pengejarnya makin dekat.
Ong Hui adalah puteri seorang pendekar. Dia tidak takut mati, juga tidak jerih menghadapi lawan betapa kuatpun. Apabila lawan yang sudah membunuh ayahnya. Hanya ia mengkhawatirkan
nasib puteranya yang baru berusia empat bulan itu. Terpaksa Ong Hui mencambuk keledainya dan membalapkan binatang itu.
Usahanya sia-sia belaka. Para pengejarnya sudah datang dekat sekali. Empat buah kaki keledai itu tidak dapat berlari lebih cepat dari pada enam orang hwesio yang berilmu tinggi.
"Perempuan busuk, kau hendak lari ke mana?" bentak Ga Lung Hwesio.
93 Tahu bahwa ia tidak akan dapat lolos, timbullah kegagahan Ong Hui. Nyonya muda ini melompat turun, menghunus pedangnya. Dengan anak dipondongan tangan kiri dan pedangnya di tangan kanan, ia menanti dengan sikap gagah. Mukanya pucat akan tetapi sepasang matanya
memancarkan sinar berapi.
"Keledai-keledai gundul keji! Majulah, hari ini nyonya besarmu akan mengadu nyawa dengan kalian!" bentaknya nyaring.
Ga Lung Hwesio tertawa bergelak. Seorang sutenya lalu menerjang maju sambil memutar
toyanya. Toya baja itu berat dan diayun dengan tenaga besar. Dalam sekali sambar saja pedang Ong Hui tentu akan dipukul patah atau jatuh. Karena tidak dapat mengelak, nyonya muda itu terpaksa mengerahkan tenaga dan mengangkat pedang menangkis.
"Traaaaanngg.....!!"
Aneh bin ajaib! Bukan pedang di tangan Ong Hui yang patah atau terpental, sebaliknya nyonya muda ini tidak merasakan kehebatan tenaga lawan dan malah si hwesio yang memekik kaget, toyanya terlepas dari tangannya dan telapak tangannya berdarah karena kulitnya terbeset.
Semua hwesio melengak terheran-heran. Hwesio itupun penasaran dan dengan tangan kosong ia menubruk maju, mengerahkan tenaga dan menggunakan ilmu Kim-na-jiu untuk merampas
pedang orang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan mengancam ke arah bocah
digendongan Ong Hui.
"Celaka!" jerit nyonya itu yang tidak kuasa melindungi puterinya. Akan tetapi kembali terjadi keanehan yang langka. Sebelum kedua tangan hwesio itu mengenai sasaran, tiba-tiba kedua lututnya lemas dan ia jatuh berlutut di depan Ong Hui.
Ia hendak menggerakkan tubuh atasnya, akan tetapi kembali kedua pundaknya terasa lemas seperti tertotok dan mau tak mau ia membungkukkan tubuh, benar-benar kini berlutut dan menyembah.
Ga Lung Hwesio melangkah maju dan menepuk punggung sutenya itu sambil mengurut tulang belakang. Baru sutenya itu dapat bangun berdiri dan melompat ke belakang dengan mata terbelalak heran dan takut. Sementara itu, hwesio kedua melompat maju lagi, di kuti dua orang hwesio lain dan segera Ong Hui diserang oleh tiga orang hwesio kosen itu dari tiga jurusan.
Ong Hui sendiri masih terheran-heran melihat hwesio yang menyerangnya tadi tiba-tiba roboh. Ia menduga tentu ada orang sakti membantunya, akan tetapi dari mana, siapa dan bagaimana" Ia tidak ada waktu lagi untuk menyelidiki melihat tiga orang hwesio menyerangnya dengan hebat.
Ia cepat memutar pedangnya melindungi diri dan anaknya. Kembali terdengar suara nyaring tiga kali ketika pedangnya menangkis, terlempar tiga batang toya dan seperti juga tadi, tiga batang toya itu terlempar dan di lain saat angin besar dari arah belakang Ong Hui yang membuat tiga orang hwesio itu terjengkang roboh dan babak bundas(luka-luka). Empat orang sute Ga Lung Hwesio itu telah mendapat hajaran tidak berani maju lagi.
Ga Lung Hwesio berseru keras. "Perempuan rendah! Ilmu siluman apa yang kau keluarkan?" Ia menyangka bahwa robohnya empat orang sutenya itu adalah karena Ong Hui mempergunakan ilmu siluman, karena kalau menggunakan ilmu silat saja tidak mungkin wanita muda ini dapat 94
merobohkan empat orang sutenya. Ia lalu membaca mantera berkemak-kemik lalu membentak dengan disertai tenaga dalamnya yang amat hebat. "Berlututlah engkau!"
Ilmu yang dikeluarkan oleh Ga Lung Hwesio ini adalah ilmu "mentaklukkan semangat". Lweekang yang disertai ilmu hitam ini memang luar biasa dan semacam tenaga luar biasa memaksanya dari dalam untuk segera menjatuhkan diri berlutut di depan Ga Lung Hwesio yang bertubuh pendek gemuk dan mengangkat tongkat bambu kuning itu ke atas dengan sikap agung.
Tiba-tiba nyonya muda merasa ada hawa hangat meresap ditubuhnya dan seketika itu lenyaplah semua perasaan yang hendak memaksa ia berlutut. Sebaliknya Ga Lung Hwesio menggigil kedua kakinya. Ia mengerahkan tenaga dan membentak lebih keras. "Berlutut!"
Celaka baginya. Makin kerasnya ia mengerahkan tenaga menyuruh orang berlutut, makin keras tak tertahan lagi ia menguasai kedua kakinya dan mendadak ia menjatuhkan diri berlutut di depan Ong Hui sambil mengangguk-anggukan kepalanya yang gundul.
Ia merasa terkejut dan heran sekali. Mengapa ilmunya itu malah menguasai dirinya sendiri" Dia mencoba untuk menahan diri, namun tidak berhasil. Terdengar suara ketawa perlahan
dibelakangnya dan tongkat di tangan Thu Bi Tan mencongkel pantatnya membuat tubuhnya melayang ke atas dan dapat berdiri lagi.
Marahlah Ga Lung Hwesio. "Iblis betina, mampuslah!" Tongkat bambu kuning di tangannya menyambar. Ong Hui melompat mundur karena merasa betapa hebatnya serangan ini.
Tiba-tiba Ga Lung Hwesio menghentikan serangannya dan terhuyung mundur karena semacam hawa pukulan datang dari belakang nyonya muda itu menyambar dadanya. Ia sudah
mengerahkan lweekang dengan muka pucat saking kagetnya.
Sementara itu sabil tertawa bergelak, Thu Bi Tan melompat jauh, tahu-tahu tiba di dekat sebuah batu besar yang berada di belakang Ong Hui. Tongkatnya diayun menghantam batu sambil berseru. "Siluman, keluarlah kau!"
Terdengar suara keras dan batu itu pecah berhamburan. Demikian hebatnya pukulan Thu Bi Tan yang menandakan bahwa ilmu kepandaian dan tenaganya bukan main hebatnya. Selenyapnya debu batu yang terpukul hancur, muncullah dari balik batu itu seorang kakek tinggi kurus yang rambut, jenggotnya panjang putih, sikapnya agung lagi tenang.
Di sampingnya berdiri seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun. Bocah ini bermuka tampan dan bermata tajam. Melihat Ong Hui didesak Ga Lung Hwesio, bocah itu berlari-larian dengan beberapa loncatan saja ia sudah tiba di dekat Ong Hui.
"Bibi, larilah lekas dengan keledai, jangan layani orang-orang jahat ini!"
Sambil berkata demikian, ia menghadang di depan Ong Hui untuk mencegah Ga Lung Hwesio mendesak terus. Ong Hui ragu-ragu akan tetapi mengingat akan keselamatan anaknya, lalu melompat ke atas keledainya dan membalapkan keledai itu sambil berseru. "Terima kasih atas pertolongan Locianpwe!"
Melihat Ong Hui hendak melarikan diri, tanpa memperdulikan bocah yang menghadang di
depannya, Ga Lung Hwesio membentak sambil mengejar. "Perempuan hina, kau hendak lari ke mana?"
95 Akan tetapi bocah itu dengan gerakan yang amat ringan sudah melompat di depannya,
mementangkan kedua tangan dan berseru.
"Orang jahat, mau apa kau mengejar?"
Baru sekarang Ga Lung Hwesio memperhatikan bocah ini. Usianya paling banyak tujuh tahun, pakaiannya sederhana dari kain kasar. Tidak ada apa-apa yang istimewa pada bocah ini kecuali sinar matanya yang tajam dan sepasang alisnya yang hitam panjang.
"Setan cilik, minggirlah!" Tongkatnya menyambar untuk menghantam bocah itu ke samping.
Akan tetapi dengan amat mudah bocah itu mengelak dan tongkatnya mengenai tempat kosong.
Ga Lung Hwesio terkejut dan marah. Kalau saja ia tidak ingin mengejar Ong Hui, tentu ia mengirim serangan lagi. Melihat bocah itu sudah mengelak ke samping, ia lalu melompat dan mengejar terus.
Alangkah heran, kaget dan marahnya ketika tiba-tiba ia melihat bocah itu sudah berada di depannya lagi menghadang dan mencegah ia mengejar terus.
"Anak setan, apa kau ingin mampus?" bentaknya.
"Hidup bukan kau yang menghidupkan, matipun mana bisa kau yang mematikan?" jawab bocah itu sambil tersenyum simpul. Ga Lung Hwesio tertegun sejenak. Ucapan seperti itu benar-benar tidak pantas keluar dari mulut seorang bocah berumur tujuh tahun.
Akan tetapi kemarahannya masih kalah oleh keinginannya mengejar Ong Hui, maka tanpa
memperdulikan bocah itu, ia menggerakkan kaki melompati bocah di depannya. Tentu saja bagi orang sepandai dia, melompati atas kepala bocah itu adalah mudah sekali.
Akan tetapi kali ini ia kecele. Bocah itupun melompat ke atas dan ketika kedua tangannya di ayun, dua batu menyambar ke arah jalan darah di kedua pundak hwesio itu.
Ga Lung Hwesio kaget dan marah sekali, akan tetapi mana ia memandang mata seorang bocah"
Tangan kirinya digerakkan menyampok dua butir batu dan tubuhnya terus bergerak maju dengan tangan kanan mencengkeram dada bocah itu untuk menangkap dan melemparkan bocah itu ke samping agar ia dapat terus mengejar Ong Hui.
"Hayaaaa, hwesio palsu lihai sekali!" Dengan lucu bocah itu membanting diri ke belakang, berpoksai tiga kali dan turun ke atas tanah, masih menghadapi hwesio itu dan menghadang.
Ga Lung Hwesio adalah seorang hwesio yang kedudukannya tinggi sekali di Tibet. Di ibukota Lasha, jangankan penduduk biasa, bahkan tuan tanah dan pembesar menaruh hormat
kepadanya. Sekarang ia digoda dan dipermainkan seorang bocah tentu saja amarahnya naik ke ubun-ubunnya dan ia menggertak giginya.
"Kau benar-benar bosan hidup!" bentaknya dan tiba-tiba ia harus mengelak karena ada debu berhamburan di depan mukanya, debu dari tanah dan pasir yang tengah disambitkan oleh bocah itu kepadanya. Celakanya, setelah mengelak lagi-lagi ada hujan batu kecil dan pasir dicampur debu mengebul menyerang muka. Untuk sambitan ini tentu saja Ga Lung Hwesio tidak takut, akan tetapi kalau sampai mukanya terkena hujan debu, tentu mata hidung, mulut, dan
telinganya terancam bahaya kemasukkan debu kotor.
96 Saking marahnya, Ga Lung Hwesio lupa akan kedudukannya sebagai seorang tokoh besar dan ia mulai mengamuk, menyerang bocah itu dengan tongkatnya bukan hanya serangan gertakan lagi, melainkan serangan maut dengan maksud membunuh. Akan tetapi ternyata bocah itu lincah sekali gerakan-gerakannya.
Bagaikan seekor burung walet saja layaknya ia "terbang" di antara sambaran tongkat sambil mulutnya tiada hentinya berseru. "Hwesio palsu! Hwesio jahat!" dan sebagainya, membuat Ga Lung Hwesio menjadi makin marah dan lupalah ia akan Ong Hui yang sekarang sudah kabur jauh sampai tidak kelihatan lagi.
Sementara itu, Thu Bi Tan Hwesio yang tadi sudah dapat menduga bahwa Ong Hui dibantu orang pandai yang bersembunyi di belakang batu, telah memukul hancur batu besar itu sehingga kelihatan bocah itu bersama seorang kakek tinggi kurus berjenggot panjang dan putih. Sudah banyak Thu Bi Tan mengenal orang-orang kang-ouw di daerah Kun-lun, akan tetapi kakek tua ini belum pernah dilihatnya. Namun sebagai seorang tokoh utama di Tibet, ia tidak mau berlaku sembrono. Ia mengawasi kakek itu lalu berkata.
"To-yu siapakah dan pernah apa dengan perempuan Kun-lun-pai yang kami kejar?" Pertanyaan yang dikeluarkan dengan bahasa Han yang kaku ini adalah pertanyaan yang biasa dipergunakan orang berkedudukan tinggi, singkat akan tetapi sudah mencakup semua persoalan antara mereka.
Kalau tosu tua itu mengaku masih ada hubungan, maka otomatis tosu inipun musuh-musuh para hwesio Lama. Kalau bukan apa-apa, berarti tosu itu melanggar peraturan kang-ouw, mencampuri urusan orang lain.
Kakek itu tersenyum ramah, "Hwesio, wanita muda itu dan anak kecil yang digendongnya adalah saudaraku, juga kau dan kawan-kawanmu adalah saudaraku."
Thu Bi Tan Hwesio melengak mendengar jawaban yang aneh ini. Selagi ia hendak membentak minta penjelasan, kakek itu lalu mengucapkan kata-kata bersyair,
"Di empat penjuru samudra semua adalah saudara!"
Kemudian ia memandang Thu Bi Tan Hwesio dan melanjutkan kata-katanya. "Sebagai saudara aku berkewajiban untuk membantu yang lemah, mengingatkan yang sesat, wajib menolong yang lemah tertindas, memberantas yang menindas."
Thu Bi Tan Hwesio juga seorang tokoh agama maka ia mengerti akan maksud kata-kata ini. Dia tertawa menyindir lalu berkata keras, "Tosu sombong! Sekali bertemu bagaimana kau tahu mana yang benar mana yang keliru" Apa kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa" Pinceng adalah Thu Bi Tan, seorang di antara Su Thai Losu di Lasha. Apa kau sengaja mengandalkan kepandaian dan berani menentang Su Thai Losu?"
Nama Su Thai Losu di Tibet dan daerah Kun-lun terkenal sekali dan selama ini tidak pernah ada orang berani menentangnya. Dengan memperkenalkan diri, Thu Bi Tan ingin menggebah pergi tosu ini supaya jangan banyak rewel lagi agar dia dan para keponakan muridnya dapat
melanjutkan pengejaran terhadap Ong Hui.
97 Akan tetapi dengan masih tenang-tenang saja, kakek itu menjawab, "Tidak ada persoalan berani atau tidak dan siapa menentang siapa tidak, yang ada hanya menolong yang lemah dan
memberantas yang menindas."
Marahlah Thu Bi Tan. Tongkat kecil panjang ia keluarkan dan tangannya gemetar menahan nafsu. "Kakek tua, beritahukan namamu sebelum pinceng turun tangan."
"Apa artinya nama" Diberitahukan juga kau tidak akan mengenalku. Aku tidak terkenal seperti Su Thai Losu. Thu Bi Tan, aku tidak ingin berkelahi. Lebih baik kau dan lima orang kawanmu dengan damai kembali ke Lasha, biarkan perempuan lemah dan anaknya itu pergi dengan aman."
"Tosu siluman, enak saja kau bicara. Keluarkan senjatamu!"
Kini sikap kakek tua itu keren sekali dan ia pandang Thu Bi Tan Hwesio seperti seorang guru memandang muridnya. "Senjata hanyalah alat penyambung tangan dan dipergunakan untuk
melindungi diri, bukan untuk menindas sesamanya. Kalau ada bahaya mengancam diri, barulah senjata dikeluarkan."
Ucapan ini biarpun dapat diartikan menegur Thu Bi Tan Hwesio yang menggunakan kepandaian dan senjata untuk menindas orang lain akan tetapi juga bersikap mengejek, menyatakan bahwa menghadapi Thu Bi Tan tanpa senjatapun kakek itu merasa tidak berbahaya.
"Kakek tua bangka, siapapun adanya engkau, hari ini pasti tubuhmu hancur seperti batu itu!"
bentak Thu Bi Tan yang menjadi makin marah karena sikap kakek itu yang ia anggap amat sombong dan tidak memandang sebelah matapun kepadanya. Ia dapat menduga, bahwa kalau seorang bisa bersikap demikian tenang dan sombong tak kenal takut, sudah tentu memiliki kepandaian tinggi, maka paling perlu menghantamnya sehingga tewas agar tidak rewel-rewel lagi.
Dengan gerakan perlahan ia menghantam. Tongkatnya kelihatannya bergerak lambat ke arah dada kakek itu, akan tetapi sebetulnya apa yang kelihatan ini adalah sebaliknya dari pada kenyataannya.
Seorang ahli lweekeh seperti dia ini, memang di dalam serangannya terkandung unsur "kosong berisi" atau "lemah kuat", kelihatan lemah dan perlahan akan tetapi sebetulnya luar biasa kuatnya. Dengan kekuatannya seperti inilah maka tongkat kayu bisa menghancurkan batu, dan pukulan yang kelihatan perlahan dapat merusak bagian dalam tanpa merusak bagian luar.
Kakek itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak, hanya berdiri diam acuh tak acuh, seakan-akan tidak tahu bahwa dirinya sedang diserang, bahkan diancam serangan maut yang sekali kena akan mengakibatkan kematiannya. Thu Bi Tan bukan seorang biasa, dia tokoh besar dan tentu saja dia tidak sudi membunuh seorang lemah yang tidak melawan sama sekali.
Melihat kakek ini tidak mengelak dan tidak menangkis, hatinya terguncang dan otomatis ia menarik kembali tenaganya sehingga tongkat itu kini bergerak cepat sekali akan tetapi tidak mengandung tenaga lweekang sehingga apabila mengenai dada kakek itu hanya akan membuat kakek itu terguling roboh tanpa menderita luka hebat.
"Werrrr......!" Tongkat menyambar cepat sampai tidak kelihatan bayangannya. Kakek tetap tidak bergerak tapi ..... alangkah herannya hati Thu Bi Tan ketika tongkatnya itu mengenai angin, sama sekali tidak menyentuh tubuh orang tua itu.
98 Padahal menurut penglihatannya, kakek itu sama sekali tidak mengelak dan sekarangpun masih berdiri di tempat yang tadi tanpa mengubah kedudukan kaki, masih tersenyum ramah
memandangnya. "Setankah dia......?"" ia berpikir dengan penasaran lalu menghantam lagi, kali ini lebih cepat dan lebih keras daripada tadi, masih belum mengisi gerakannya dengan tenaga lweekang. Sekali lagi luput serangan itu tanpa lawannya berpindah tempat.
Karena Thu Bi Tan sekarang menyerang sambil memasang mata ia melihat betapa serangannya tadi digagalkan oleh gerakan kakek itu dengan amat cepat dan halus, yaitu menyedot bagian tubuh yang yang terserang sehingga legok dan tongkat itu tidak menyentuh kulit. Ia kaget sekali.
Sedemikian tingginya lweekang kakek ini sehingga semua bagian tubuhnya seakan-akan
bermata" Ia menjadi penasaran karena terang-terangan kakek itu tidak memandang sebelah mata kepadanya sehingga menghadapi dua serangannya seperti seorang guru menghadapi
serangan murid.
"Bagus! Coba tahan serangan ini!" bentaknya dan kini tongkatnya diputar tiga kali di atas kepala, lalu langsung dipakai membabat tubuh lawannya bagian tengah. Tak mungkin dapat mengelak tanpa memindahkan kaki, pikirnya. Akan tetapi sekali lagi pukulannya mengenai angin dan tibatiba tubuh kakek itu lenyap dari depan matanya. Setelah tongkatnya menyambar lewat, tubuh kakek itu kelihatan lagi, masih berdiri tersenyum seperti tadi.
Thu Bi Tan kaget setengah mati. Ia dapat menduga bahwa tanpa mengubah kedudukan kaki, kakek tua ini telah membuang diri ke belakang tanpa menggeser kaki sehingga tubuhnya telentang di atas tanah, akan tetapi hanya sebentar saja karena begitu tongkat lewat, ia sudah menarik kembali tubuhnya dan berdiri tegak. Inilah perbuatan yang benar-benar hebat dan sukar dilakukan biarpun oleh seorang ahli yang amat ulung.
"Mengalah hanya bertingkat tiga," kata kakek tua itu masih tersenyum, "pertama berdasarkan kesabaran, ke dua berdasarkan anggapan bahwa orang telah mendesak karena terburu nafsu, dan ke tiga berdasarkan anggapan bahwa orang melakukan karena kebodohannya.
Kalau sudah mencapai tingkat ke empat, berarti orang itu memang berwatak jahat dan suka mencelakakan sesamanya. Hwesio, sekali lagi kuperingatkan kau dan kawan-kawanmu, pergilah dengan damai."
Pada saat itu bocah berusia tujuh tahun tadi masih digempur hebat oleh Ga Lung Hwesio. Hwesio ini sudah marah sekali, mencak-mencak dan memaki-maki karena sampai puluhan jurus belum juga ia berhasil merobohkan bocah itu, belum berhasil tongkatnya mengenai tubuh si bocah.
Benar-benar hal ini merupakan hal yang amat menakjubkan sampai empat orang sutenya berdiri melongo saking herannya.
Bocah itu lebih gesit daripada seekor monyet dan biarpun tubuhnya kadang-kadang terbawa oleh hawa pukulan Ga Lung Hwesio yang mengandung tenaga lweekang, namun tetap saja selalu dapat menghindarkan diri. Yang aneh adalah gerakan kaki bocah itu yang diatur sedemikian sempurna merupakan langkah-langkah kedudukan bintang di langit.
"Eh, eh, bukan aku yang pintar melainkan kau yang goblok tidak dapat mengenaiku. Kenapa marah?" balas bocah itu tertawa-tawa ketika Ga Lung Hwesio mulai memaki-maki.
99 Ga Lung Hwesio segera sadar. Dia seorang ahli silat tinggi dan sekarang tahulah ia bahwa kegagalannya itu sebagian besar karena kesalahannya sendiri. Dia terlalu bernafsu dan menganggap lawannya hanya seorang bocah.
Padahal sekarang kenyataannya bahwa biarpun masih cilik, bocah ini sudah mengetahui dasardasar ilmu silat tinggi dan memiliki kedudukan kaki yang amat teratur. Biarpun menghadapi
bocah, ia harus menggunakan taktik pertempuran, bukan membabi buta seperti tadi. Ia mulai mengurangi serangannya dan maju dengan tongkat dan tangan kiri, menyerang dengan mantap dan kuat.
"Suhu, susah teecu kalau begini ...." bocah itu melompat ke kiri menghindarkan sambaran tongkat dan membuang diri ke belakang ketika pundaknya hampir kena dicengkeram oleh Ga Lung Hwesio.
Pada saat itu kakek tua tadi menoleh dan dengan sabar kakek itu menjemput sebatang ranting yang menggeletak di dekat kakinya. Dilontarkan ranting itu ke arah bocah tadi sambil berseru,
"Sun-ji, sambutlah!"
Bocah itu biarpun sudah menjauhkan diri ke belakang, begitu melihat sambaran ranting ke arahnya, cepat mengulur tangan menangkap ujung ranting. Hebat tenaga sambaran ranting ini karena begitu terpegang, bocah itu terbang terbawa oleh ranting melayang-layang lalu membelok dan kembali kepada si kakek.
"Duduk di punggungku!" kata kakek itu dan bocah tadi dengan gembira lalu menjambret pundak si tua dan duduk nongkrong di punggung, kepalanya dengan wajah yang berseri mengintai dari balik pundak ke depan. Benar-benar dia seperti seekor monyet kecil yang nakal. Hidungnya dicungar-cungirkan kepada Thu Bi Tan dengan lagak mengejek sekali.
"Hwesio tua, apa kau sudah makan?" tanyanya tiba-tiba.


Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thu Bi Tan yang sedang terheran-heran dan kagum menyaksikan kepandaian kakek yang luar biasa ketika "mengambil" muridnya tadi, mendengar pertanyaan tiba-tiba ini, tanpa disadarinya lagi menjawab.
"Apa..... belum ..... belum makan."
Bocah itu memperlihatkan muka menaruh kasihan, lalu menyodorkan sepotong kue kering dari sakunya. "Nah, kau makanlah." Tapi tiba-tiba ia menarik kembali kuenya dan berkata cepatcepat.
"Eh, maaf aku lupa. Kue ini mengandung minyak babi. Nih, sayang hanya tinggal tiga helai dan sudah agak kering."
Ia menyodorkan ranting yang masih dipegangnya. Di ujung ranting itu terdapat tiga helai daun yang sudah hampir kering.
Thu Bi Tan menjadi merah mukanya. Bocah itu secara memutar telah memakinya. Para hwesio memang biasanya tidak makan daging dan selalu makan sayur-sayuran, maka selalu dimaki keledai. Sekarang bocah itu menawarkan daun, sama saja dengan memaki keledai. Akan tetapi karena ia maklum bahwa lawannya amat lihai, ia segera membentak lima orang murid
keponakannya. "Kurung dengan Ngo-heng-tin!"
100 Ga Lung Hwesio dan sute-sutenya tadipun melongo menyaksikan kepandaian kakek yang mereka anggap mengeluarkan ilmu siluman itu. Sekarang mendengar bentakan Thu Bi Tan, mereka cepat melompat maju sambil memegang toya masing-masing. Dengan teratur lima orang ini lalu mengurung dan di lain saat sudah membentuk barisan Ngo-heng-tin.
Maju seorang saja mereka ini mungkin tidak berarti bagi lawan, akan tetapi sekali maju bersama dalam bentuk barisan yang disebut Ngo-heng-tin, biarpun lawan memiliki kepandaian tinggi, tidak mudah mengalahkan mereka.
Dengan terbentuknya barisan ini, tidak saja tenaga mereka tergabung menjadi satu sehingga lima kali lebih kuat, juga mereka seperti seorang sakti yang mempunyai lima macam kedudukan, lima macam tenaga, dan lima macam keampuhan. Disamping Ngo-heng-tin ini, di situ masih ada lagi Thu Bi Tan yang sudah merupakan seorang lawan sakti yang tidak boleh dipandang ringan.
Tapi kakek tua itu kelihatannya masih tenang saja, malah berkata kepada bocah di
gendongannya. "Yalu Sun, berlatih kau, lawanlah enam orang hwesio ini."
Bocah itu nampak gembira. "Baik, suhu. Hei, liok-wi losuhu, majulah!" Sambil berkata demikian ia menggerak-gerakkan ranting di tangannya.
Thu Bi Tan tercengang. Orang terlalu memandang rendah kepadanya karena dia yang
berkedudukan tinggi sudi melawan seorang bocah" "Binasakan saja kakek dan bocah ini, mereka terlampau memandang rendah dan menghina kita!" serunya kepada lima orang murid
keponakannya. Ngo-heng-tin bergerak mengitari kakek itu yang berdiri tegak sambil menggendong bocah itu.
"Perhatikan gerakan mereka, rasakan bagaimana aku mengambil kedudukan dan buka mata
telinga dengarkan jurus-jurus yang kau mainkan," dengan suara tenang sekali kakek itu memberitahukan kepada bocah di gendongannya.
"Baik, suhu," jawab bocah itu dengan gembira dan wajah berseri.
Barisan Ngo-heng-tin bergerak-gerak makin lama makin cepat mengitari tubuh kakek itu. Tibatiba Ga Lung Hwesio yang menjadi pemimpin Tin (barisan) ini berseru dalam bahasa Tibet
memberi perintah kepada sute-sutenya. Dua orang yang ketika itu kedudukannya di depan dan di belakang si kakek, serentak mengayun toya melakukan serangan, yang di depan menghantam kepala dan yang di belakang menyerampang kaki. Serangan atas bawah ini cepat, kuat dan berbahaya sekali.
"Pek-in-ci-tiam (Awan Putih Keluarkan Kilat)" seru kakek itu sambil melompat ke atas sehingga serampangan toya dari belakang yang mengarah kakinya mengenai angin, sedangkan bocah itu yang mendapat petunjuk gurunya lalu menggunakan ranting kayu seperti pedang digerakkan ke atas menangkis datangnya toya ke arah kepalanya.
Melihat bocah itu menangkis toyanya menggunakan ranting kecil, hwesio yang menyerangnya menjadi girang dan cepat mengempos semangatnya. Ia tidak ragu-ragu lagi bahwa toyanya tentu akan mematahkan ranting terus menghancurkan kepala orang, karena mana ada seorang bocah kecil dapat menangkis tongkatnya dengan ranting?"
101 13. Cucu Sungai Yalu-cangpo
Akan tetapi kesudahannya membuat ia berteriak kesakitan dan melompat mundur dengan kaget karena telapak tangannya sakit-sakit ketika toyanya tertangkis oleh ranting itu. Tentu saja bocah ini menjadi lihai karena secara diam-diam kakek yang menggendongnya menyalurkan hawa sinkang ke dalam tubuh bocah itu dan disalurkan ke arah tangan yang memegang ranting........
Ternyata kakek itu hanya "meminjam" tangan muridnya untuk menangkis pukulan tadi. Ga Lung Hwesio melihat kegagalan serangan pertama lalu berteriak lagi memberi aba-aba. Mendengar aba-aba ini empat orang hwesio serentak memutar toya dan barisan ini menyerang kalang kabut dan secara bertubi-tubi. Dari lima jurusan datanglah hujan toya ke arah kakek dan muridnya ini.
"Hui-po-lui-hong (Air Tumpah Terbang, Bianglala Melengkung), Im-mo-sam-bu (Payung Awan Tiga Kali Menari). Hui-in-toan-san (Awan Terbang Memutus Gunung)!" Kakek itu berloncatan ke sana ke mari pula sambil memberi perintah muridnya.
Dengan penuh ketekunan dan perhatian, bocah itu secara otomatis mainkan rantingnya menurut petunjuk suhunya dan....... semua serangan toya dapat ditangkis dan dipunahkan oleh jurusjurus yang ia mainkan itu.
Ga Lung Hwesio mendesak terus bersama empat orang kawannya. Gerakan kakek itu halus
seperti tidak bergerak, tetapi selalu dapat mengisi tempat kosong dan ranting di tangan si bocah itupun selalu dapat mengusir bahaya yang datang mengancam. Lima puluh jurus lebih tin ini mengurung tanpa dapat melukai guru dan murid itu karena penjagaan ranting amat kuat.
Tiba-tiba kakek itu berkata. "Yalu Sun, sekarang kita membalas. Awas! Sian-jin-hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan)! Sian-jin-sia-ciok (Dewa Memanah batu)! Ka-tin-liok-liong (Menunggangi Enam Ekor Naga)!"
Hebat sekali ranting di tangan bocah itu. Selain ranting membuat gerakan menyerang, barisan itu kalang kabut dan kacau balau. Ga Lung Hwesio masih berseru ke sana sini untuk menjaga agar barisan tidak kacau, namun tetap saja serangan-serangan bocah yang digendong oleh si kakek membuat mereka terdesak hebat.
Melihat ini, Thu Bi Tan yang tadinya merasa terheran-heran kini menjadi marah bukan main.
Sambil mengeluarkan seruan keras ia menerjang maju dan menyerang dengan tongkatnya.
Bocah itu terkejut sekali karena seruan yang merupakan pekik dahsyat ini membuat tubuhnya bergoyang-goyang dan kedua tangannya tergetar. Itulah pekik yang dikerahkan dengan
lweekang tinggi dan dia sendiri yang belum memiliki tenaga lweekang cukup kuat terpengaruh oleh pekik ini.
Gurunya mengulur tangan dan menepuk punggungnya sehingga pengaruh itu lenyap kembali akan tetapi ranting yang dipegangnya sudah berpindah ke tangan gurunya. Kini kakek itu sendiri yang menggerakkan ranting menangkis serangan tongkat Thu Bi Tan.
Terdengar suara keras, ranting patah akan tetapi tongkat itupun terlepas dari tangan Thu Bi Tan.
Kakek tua itu tertawa nyaring lalu berkata. "Yalu Sun, sudah cukup berlatih, mari kita pergi!"
Tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu kakek itu sudah melompat jauh sekali, seperti terbang saja.
Tiga empat lompatan lagi dan kakek itu lenyap bayangannya, meninggalkan enam orang hwesio yang berdiri bengong.
102 "Sudahlah...... sudahlah......!" Thu Bi Tan Hwesio membanting-banting kaki sambil menghela napas berulang-ulang. "Benar kata mendiang suhu bahwa di timur banyak sekali orang Han yang sakti. Tidak perlu kita mengejar bocah murid Kun-lun-pai itu.
Dengan hati penuh penasaran enam orang hwesio itu lalu kembali ke barat. Enam orang murid kepala itu tidak membantah karena hati mereka juga sudah gentar menghadapi kakek tua dan bocah yang aneh sekali itu.
Demikianlah, dengan selamat Ong Hui membawa anak perempuannya ke puncak Kun-lun untuk mengungsi ke Kun-lun-pai dan melaporkan malapetaka yang menimpa ayah dan supeknya
kepada To Gi Couwsu ketua Kun-lun-pai. Ia sama sekali tidak tahu. siapa kakek dan bocah yang telah menolongnya dari tangan enam orang hwesio dari Lasha itu.
Sambil menangis ia melaporkan keadaannya kepada para tokoh Kun-lun-pai. Karena kejadian itu merupakan pukulan hebat bagi Kun-lun-pai, yaitu tewasnya Cin Kek Tosu yang menjadi murid keponakan To Gi Couwsu sendiri, maka para murid Kun-lun-pai memberanikan diri melaporkan hal ini kepada To Gi Couwsu yang sudah mengasingkan diri di dalam kamarnya.
Tosu tua itu menarik napas panjang, "Siancai...... para hwesio di Tibet benar-benar masih tidak dapat mengekang nafsu duniawi, Cin Kek tewas dalam kebenaran, biarlah tak usah dipikirkan lagi."
Ketika ia mendengar penuturan Ong Hui tentang kakek dan bocah yang menolongnya, wajah kakek ini berseri. "Ah, kiranya twa-suheng (kakak seperguruan tertua) masih hidup dan masih suka main-main. Heran sekali mengapa dalam usia tua dia masih ada kesempatan menerima murid?"
Kakek ini memandang bayi dalam pondongan Ong Hui, kembali ia menghela napas panjang.
"Bocah ini telah mengalami penasaran, sebelum lahir ditinggalkan ayah, sesudah lahir dikejarkejar maut. Twa-suheng telah mengambil murid dihari tua, kenapa aku tidak meniru" Biarlah
bocah ini kelak mewarisi ilmu di Kun-lun."
Kedukaan hati Ong Hui membuat tubuhnya tidak kuat menahan derita. Suaminya terpisah
darinya, ayahnya terbunuh dan hal ini membuat ia begitu berduka sampai tak kuat ia menahan.
Baru saja Bi Hong berusia satu tahun, nyonya muda ini meninggal dunia di Kun-lun-san.
Bi Hong dirawat oleh para tosu dan menjadi kesayangan semua tosu di situ. Malah To Gi Couwsu sendiri amat menaruh kasihan dan menyayanginya sehingga guru besar ini kemudian berkenan menurunkan kepandaiannya, melatih dan memberi pimpinan kepada Bi Hong.
Demikianlah, enam belas tahun kemudian, Bi Hong telah menjadi seorang nona yang berjiwa sederhana, berwatak riang jenaka, dan mewarisi ilmu kepandaian tinggi dari Kun-lun-pai.
****** Kita kembali ke puncak Kun-lun-san di mana Bi Hong baru saja diuji ilmu kepandaiannya oleh para tosu. Kemudian gadis itu menangis karena teringat akan musuh-musuh besarnya, hwesiohwesio di Lasha yang telah membunuh kongkongnya dan supekcouwnya, malah yang sudah
membuat ibunya sampai mati dalam usia muda karena berduka. Mendengar gadis itu keras sekali kehendaknya hendak turun gunung dan mencari musuh besar menuntut balas. To Gi Couwsu menghela napas.
103 "Balas membalas, bunuh membunuh, ahh...... dunia suram-muram penuh hawa kebencian. Bi Hong, kau bicara tentang membalas dendam, tahukah engkau siapa yang telah membunuh
kong-kongmu dan yang menyerbu ke tempat tinggal supek-couw mu?"
"Menurut keterangan yang teecu kumpulkan dari para suheng yang mendengar cerita mendiang ibu, yang menyerbu adalah Thu Bi Tan Hwesio bersama Ga Lung Hwesio dan empat orang
hwesio lain dari Lasha."
"Jadi kau hendak mencari enam orang hwesio itu.
"Betul suhu. Setidaknya teecu harus dapat membalas dendam kepada Thu Bi Tan Hwesio dan Ga Lung Hwesio, karena mereka itu yang memimpin penyerbuan?"
"Bi Hong, tahukah kau siapa ayahmu?"
Ditanya begini, muka gadis itu berubah. Dia menggigit bibir menahan gelora hatinya lalu mengangguk menjawab, "Teecu mendengar dari para suheng bahwa dahulu ibu pernah
menyatakan siapa adanya ayah teecu. Ayah adalah suheng ibu sendiri, murid supek-couw bernama Wang Sin."
"Anak, kau tidak tahu banyak. Ketahuilah urusan permusuhan dengan hwesio Tibet sebetulnya adalah urusan ayahmu. Ibumu hanya terbawa-bawa dan karena ayah ibumu sudah membunuh
beberapa orang hwesio Tibet, maka hwesio-hwesio dari Lasha itu membunuh kong-kong dan supek-couwmu.
Pinto tidak keberatan kau membalas dendam kong-kongmu, akan tetapi agar tidak terjadi urusan permusuhan sampai terlalu mendalam, dan untuk mengetahui duduk perkaranya urusan yang berbelit-belit ini, sebelum membalas lebih dulu kau carilah ayahmu itu. Segala sepak terjang harus didasarkan atas keadilan, tidak boleh membabi buta menurutkan nafsu membenci dan dendam."
Bi Hong mengangkat mukanya. "Suhu, ke manakah teecu harus mencari ayah" Yang teecu
ketahui hanya berita tidak jelas bahwa....... bahwa ayah sudah meninggalkan ibu......." suaranya berubah perlahan, wajahnya nampak berduka dan penasaran. Sejak kecil, sejak mendengar bahwa ayahnya meninggalkan ibunya, diam-diam anak ini membenci atau setidaknya tidak suka kepada ayahnya.
"Ayahmu seorang Tibet, ke mana lagi mencari dia kalau tidak ke barat" Dahulu ayahmu tinggal di desa Loka, kau bisa mencarinya di sana atau di sekitarnya."
Bi Hong girang. Ia memberi hormat lalu berkata, "Kalau begitu, harap suhu mengijinkan teecu pergi sekarang juga."
Tosu tua itu mengangguk-angguk. "Pergilah Bi Hong, Hanya pesanku, hati-hatilah kau. Hwesio di Lasha adalah orang-orang sakti dan tidak boleh dipandang ringan."
"Teecu akan memperhatikan semua nasehat suhu." Setelah memberi hormat lagi kepada suhu dan suhengnya, nona ini lalu pergi ke kamarnya untuk membawa perbekalan.
104 Para tosu di Kun-lun diliputi suasana sunyi. Semua tosu di situ menyayangi gadis itu dan mereka tahu bahwa sepergi gadis itu dari puncak, tempat itu akan menjadi sunyi bagi mereka. To Gi Couwsu sendiri merasa kehilangan ini.
Semenjak Bi Hong masih kecil, dia melatih anak itu dan menyayanginya seperti cucu sendiri.
Tosu ini maklum bahwa kepergian gadis itu akan menempuh bahaya yang tidak kecil dan masih diragukan apakah dia yang sudah amat tua akan dapat bertemu kembali dengan Bi Hong.
"Lee Kek, jangan tegakan hatimu. Kau kawanilah sumoimu itu pergi mencari ayahnya ke barat!"
Bukan main girangnya hati Lee Kek Tosu murid kepala Kun-lun-pai itu. Ia cepat berlutut dan berkata, "Suhu, teecu akan menjaga sumoi dengan segenap jiwa raga teecu." Ia lalu
mengundurkan diri menyusul sumoinya.
Tak lama kemudian, dua orang itu, seorang tosu tua dan seorang gadis muda belia turun dari puncak di kuti pandang mata puluhan orang tosu. Beberapa kali Bi Hong menengok dan
melambaikan tangan. Semua tosu di situ, suheng-suhengnya, baginya seperti paman-paman sendiri, maka iapun merasa terharu harus meninggalkan puncak yang sudah dialami selama belasan tahun itu.
****** Kiranya tidak sukar untuk diduga siapa adanya kakek tua aneh dan bocah nakal yang telah menolong Ong Hui belasan tahun yang lalu itu. Bocah itu bukan lain adalah Wang Tui yang sudah berganti nama menjadi Yalu Sun. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Wang Tui, bayi cucu nenek lumpuh yang kehilangan kedua orang tuanya karena kekejaman tuan tanah di Loka, akhirnya dibawa lari oleh Ci Ying.
Akan tetapi bayi itu berpisah dari Ci Ying dan hanyut terbawa perahu. Tentu akan habis riwayat bayi itu kalau saja ia tidak ditolong oleh seorang kakek sakti yang kemudian menjadi gurunya.
Kakek itu sebetulnya adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah mengasingkan diri puluhan tahun lamanya. Ia malah masih pernah kakak seperguruan dari To Gi Couwsu, pada saat itu merupakan orang terutama di Kun-lun memiliki kepandaian yang luar biasa sekali.
Orang-orang sudah tidak mengenalnya lagi dan dia hanya disebut Pek-kong Kiam-sian (Dewa Pedang Sinar Putih). Adapun Wang Tui, bocah itu, tentu saja tidak diketahui namanya dan oleh Pek-kong Kiam-sian diberi nama Yalu Sun (cucu sungai Yalu-cangpo), sesuai dengan
keadaannya, ditemukan di atas perahu yang berada di sungai Yalu-cangpo.
Selama dua puluh tahun lebih, Pek-kong Kiam-sian yang dahulunya bernama Tok Tek Cinjin, menurunkan ilmu kepandaiannya kepada muridnya ini, yang ternyata amat cerdik dan berbakat.
Bakatnya ini sudah dibuktikan ketika dalam usia tujuh tahun dia sudah dapat menghadapi Ga Lung Hwesio mengandalkan kelincahan tubuhnya.
Dengan amat tekun Wang Tui atau Yalu Sun, (lebih baik kita menyebutnya Yalu Sun karena bocah itu sendiri tidak tahu bahwa ia bernama Wang Tui) belajar ilmu dan akhirnya ia berhasil mewarisi ilmu kepandaian suhunya. Melihat muridnya telah tamat dan tidak ada apa-apa lagi yang dapat ia ajarkan, Pek-kong Kiam-sian lalu berpisah dari muridnya.
105 "Muridku, ada saat berkumpul harus ada saat berpisah. Kau sudah tamat belajar, kepandaianmu sudah tak kalah olehku hanya tinggal mematangkan dalam latihan saja. Sekarang tugasku selesai, kau boleh pergi kemana sesukamu."
Yalu Sun berlutut dan menangis. "Suhu, mohon kasihan. Teecu tidak sanggup meninggalkan suhu. Biarlah teecu merawat suhu yang sudah tua, teecu tidak tega meninggalkan suhu seorang diri dalam usia tua."
"Anak bodoh, berapa lama kau hendak mengeram dirimu di sampingku" Kalau umurku masih panjang, apakah kau hendak mengawaniku sampai kau menjadi seorang tua pula" Usiamu kini sudah dua puluh dua tahun, sudah lebih dari dewasa untuk hidup sendiri mencari pengalaman."
"Suhu adalah satu-satunya orang di dunia ini yang teecu kenal, suhu adalah guruku juga pengganti orang tuaku. Bagaimana teecu tega untuk berpisah selagi suhu sudah amat tua?"
"Heh, apa kau masih banyak bantahan" Tidak terpisah sekarang, tentu akan datang saatnya berpisah. Mana ada manusia hidup kekal di dunia ini" Kau seorang manusia, tentu dahulu ada yang melahirkan kau, tentu ada ayah dan ibumu. Sudah menjadi kewajibanmu setelah kau sekarang memiliki kekuatan dan kepandaian, kau mencari ayah ibumu itu. Aku sendiri tidak tahu siapa mereka, akan tetapi karena kau mempunyai darah Tibet, tidak salah lagi orang tuamu tentulah tinggal di barat. Berangkatlah ke Lasha dan di sana kau boleh mencari-cari keterangan tentang ayah bundamu itu. Pekerjaan ini tidaklah mudah, Sun-ji, karena aku sendiri tidak tahu siapa mereka itu dan siapakah kau ini sebenarnya. Nah, berangkatlah dan berhati-hatilah. Aku sendiri hendak merantau, mencari tempat yang cocok untuk melewati hari tua dengan aman dan damai."
Terbangun semangat Yalu Sun ketika gurunya bicara tentang orang tuanya. Memang semenjak kecil ia amat rindu untuk mengetahui dan mencari ayah bundanya yang sama sekali tidak dikenalnya, tidak diketahui pula namanya. Ia berlutut lagi untuk menghaturkan terima kasih atas pimpinan yang penuh cinta kasih selama dua puluh tahun lebih dari suhunya.
Akan tetapi sebelum ia mengucap sesuatu, berkelebat bayangan putih dan kakek itu sudah lenyap dari depannya. Hanya sebatang pedang terletak di depan Yalu Sun sebagai pengganti kakek itu. Yalu Sun menghela napas dan mengambil pedang itu.
"Suhu benar-benar mengharuskan aku turun gunung, pedang Pek-kong-kiam ditinggalkan
untukku. Kalau aku tidak dapat mencari orang tuaku sampai berhasil bukankah sia-sia saja pengharapan suhu?"
Tak lama kemudian pemuda inipun meninggalkan puncak itu mulai dengan perjalanannya ke barat. Yalu Sun berusia dua puluh satu tahun atau dua puluh dua tahun, tubuhnya tegap, wajahnya berseri matanya kocak tanda wataknya periang. Pakaiannya sederhana sekali dan pedang Pek-kong-kiam tergantung di pinggang kiri. Dengan ilmu meringankan tubuh, ia berlari cepat sekali.
****** Sungguh merupakan hal yang amat kebetulan bahwa waktu Yalu Sun turun gunung, hanya
sebulan yang lalu Bi Hong juga meninggalkan Kun-lun-pai menuju ke barat. Marilah kita mengikuti perjalanan Bi Hong yang juga melakukan perjalanan cepat dan hanya terpisah dua-tiga ratus lie saja dari Yalu Sun.
106 Dengan penuh semangat, gadis itu bersama twa-suhengnya, yaitu Lee Kek Tosu, melakukan perjalanan ke barat. Menurut keterangan yang mereka dapatkan di tengah perjalanan, dusaun Loka berada di lembah sungai Yalu-cangpo dan ke dusun inilah mereka menuju.
Pada suatu sore ketika mereka tiba di luar sebuah hutan kecil, mereka mendengar suara laki-laki yang amat nyaring memaki-maki dan suara ketawa perlahan. Lee Kek Tosu terkejut mendengar suara ketawa ini yang menunjukkan bahwa orangnya tentulah seorang ahli lweekang yang berkepandaian tinggi.
Agaknya orang sedang bertengkar di dalam hutan. Mari kita lihat, twa-suheng," kata Bi Hong.
"Marilah, akan tetapi di tempat asing ini harap kau suka bersabar dan jangan mencampuri urusan orang lain," tosu itu memperingatkan sumoinya.
Sambil beridap mereka menghampiri tempat itu dan bersembunyi di balik pohon-pohon. Ternyata bahwa suara ribut-ribut itu datang dari tengah hutan dan di situ mereka melihat seorang pemuda sedang berdiri berhadapan dengan dua orang hwesio Tibet.
Pemuda ini masih muda sekali, paling banyak berusia enam belas atau tujuh belas tahun, akan tetapi tubuhnya tegap dan kelihatan amat kuat, wajahnya membayangkan kegagahan dan
dipunggungnya tampak sebatang pedang panjang. Pemuda ini sedang marah-marah dan sambil membanting kaki ia berseru.
"Hwesio-hwesio bau! Sudah kukatakan namuku Kalisang dan aku bertanya baik-baik kepada kalian tentang kota Lasha. Mengapa sebaliknya kalian tidak tahu malu bertanya-tanya tentang keluargaku" Minggirlah, aku Kalisang tidak sudi bicara lagi denganmu."
Bi Hong yang mengintai dari balik pohon menjadi heran sekali. Pemuda tegap itu berpakaian seperti orang Han, akan tetapi air muka dan bahasanya membayangkan bahwa dia adalah
Petualang Asmara 10 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Pendekar Pemetik Harpa 3

Cari Blog Ini