Ceritasilat Novel Online

Pahlawan Harapan 4

Pahlawan Harapan Karya Tang Fei Bagian 4


mana tadi ia berputar. Kalau dalam keadaan biasa biar jago
yang bagaimana gagah dan berani, pasti akan kaget dan
mengeluarkan keringat dingin. Tapi lain dengan Djie Hai, ia
sudah mengambil keputusan mati, dari itu sedikit juga tak
merasa kaget atau gentar. Dengan lincah tubuhnya
171 berputar lagi menimbulkan desiran angin dan cepat sekali
sudah sampai di sebelah kanan tubuh musuh. Lengan
kanannya sekalian ditikamkan ke perut Louw Eng. Tapi
Louw Eng terlalu kawakan. kakinya terangkat, belati di
tangan Djie Hai dibuatnya terbang sejauh sepuluh tumbak
dan jatuh ke dalam danau. Serangan serangan ini dilakukan
seperti kilat, membuat orarg luar tak sempat membantu.
Djie Hai sudah kehilangan senjatanya,
Louw Eng sedikitpun tak memberi hati, wajah mukanya
yang adem itu menunjukkan senyum iblisnya, pedangnya
menodong dada Djie Hai.
"Ong Djie Hai, kau kata ibumu sudah meninggal, katamu
itu benar atau tidak?" Djie Hai tidak mau menjawab.
Sebaliknya Gwat Hee menjawab, dengan maksud
memencarkan perhatian Louw Eng : "Benar tidaknya,
memang kenapa?"
''Kalau masih hidup, aku akan mengutus orang untuk
merawatnya!"
"Kau ingin menemuinya, itu mudah! Asal saja dadamu
kulubangi pisau barang sebuah!" kata Gwat Hee.
Dengan tak berkisar sedikit juga, pedang itu tetap
mengancam dada Djie Hai. Ia ber kata dengan dingin :
"Kiranya ia sudah meninggal!" Tiba tiba ia membentak
"Sebelum meninggal apa yang dikatakannya tentang aku
kepada kamu! Ia meninggalkan pesan apa" Lekas katakan
kalau tidak pedang ini akan membereskan nyawamu dulu!"
Djie Hai tetap tak menjawab, sebaliknya kakinya bergerak
mundur. Ia mundur setindak, Louw Eng mengikuti maju
setindak Didesaknya Djie Hai ke tepi danau. Tjiu Piau ingin
melepaskan mutiara beracunnya, diam diam Gwat Hee
mengutik nya. "Tunggu dulu. mutiaramu tak boleh
sembarang dilepas, lebih baik kita hadapinya asal saja."
Dari itu ia berkata lagi ;
"Inginkah kau ketahui apa yang dikatakan ibuku kepada
kami" Kata kata ini boleh kuberi tahu kepadamu, tapi tak
boleh didengar telinga lain, Titahkanlah Si Macan Tutul dan
172 Hweesio gemuk itu berlalu!" Louw Eng berkepandaian tinggi
keberanian nya lebih dari cukup, lebih lebih menghadapi
bocah bocah ini yang tidak di pandang sebelah matanya.
Pokoknya asal dapat mendengar apa yang dikatakan ibu
Gwat Hee itu. "Bok heng, Tong Leng heng, kuminta kalian menjauhkan
diri agak jauh.''
"Harus pergi ke kaki bukit ..sana!" kata Gwat Hee.
"Turutlah kata katanya." kata Louw Eng meminta pada
dua kawannya. Waktu ini Djie Hai sudah terdesak sampai di pinggir
danau sekali. Sedangkan pedang Louw Eng masih tetap
berada di dadanya. Ia tahu Kiam Hoat dari Low Eng
kelihatannya lambat, tapi sebenarnya cepat dan ganas.
Kalau ia bergerak untuk menghindarkan pedang itu, pasti
tubuhnya mendapat celaka. Dari itu dia diam dengan
mencurahkan perhatian guna mencari ketika. Perkataan
adiknya dengan Louw Eng sama sekali tidak masuk dalam
telinganya. Waktu sudah berlalu sebentar. Bayangan Tjng
Leng dan Bok Tiat Djin sudah tak ada. Louw Eng perlahan
lahan menggerakkan ujung pedang dan berkata: "Lekas
katakan! Ibumu meninggalkan kata kata apa?"
Djie Hat tetap nembungkem, perhatiannya dicurahkan
memperhatikan gerak gerik Louw Eng.
"Ibu berkata, agar kami pergi ke Oey San urtuK mem
bereskan sakit hati selama delapan belas tahun dari
mendiang ayah kami." jawab Gwat Hee dari samping.
"Sakit hati apa! Bukankah aku sudah membalasnya,
untuk kematian dari ayahmu itu." seru Louw Eng.
"Tapi ibuku tidak percaya kejadian ada demikian mudah.
Kami dititahkan untuk mencari seseorang yang mengetahui
peristiwa dan kejadian ini, guna mengetahuinya. Agar
kejadian Oey San yang sebenarnya dapat kami dengar
dengan sebenar-benar nya." Mendengar ini Louw Eng
menjadi kaget, dalam hidupnya, ia paling takut ada orang
173 mengetahui hal Oey San itu. Mungkinkah orang itu tahu
sampai ke detail-detail nya"
"Orang itu siapa?"
"Untuk apa kau tahu?" jawab Gwat Hee Perlahan-lahan
Louw Eng memutari pedangnya, matanya yang dingin
menyapu wajah Djie Hai. "Kalau kau tak beritahu kakakmu
ini segera kusembelih!"
Gwat Hee sambil bicara sambil berjalan perlahan lahan
ke belakang tubuh Louw Eng. "Orang itu siapa, hanya
kakakku yang tahu, bila kau celakakan dia tak mungkin ada
yang dapat memberi tahu Jagi kepadamu."
Belum Louw Eng menjawab, Gwat Hee sudah mengedipi
Tjiu Piau, minta bantuan, ia sendiri mengerahkan tenaganya, begitu loncat sudah sampai di belakang Louw Eng
"Jaga pukulan!" seru Gwat Hee. "Awas Tok Tju!" kata Tjiu Piau membarengi kata-kata Gwat Hee. Dua butir mutiara
terbang dengan pesat, satu mengarah kaki kanan, satu lagi
dengan pada tangan lawan yang memegang pedang.
Dua mutiara ini merintangi jalan maju nya Louw Eng
pada Djie Hai. Asal saja ia maju setengah langkah, atau
mengulur kan tangannya setengah senti. Menta menta
harus merasakan Bwee Hoa Tok Tju itu Inilah cara melepas
senjata rahasia keluarga Tjiu yang antik. Tapi Louw Eng
sudah cukup memakan garam di dunia KangOuw. Begitu
mendengar suara senjata rahasia itu, sudah tahu ke mana
tujuannya, sebenarnya akan dilukainya, dulu Djie Hai, tapi
terpaksa ia harus menarik tangannya untuk menghindarkan
diri dari bencana.
Berbareng dengan ini Gwat Hee menyerang dengan salah
satu jurus lihai dari bukit berantai yang dinamai Keng Tjiok
Tjuan in (lereng gunung ambruk menembus mega). Pukulan
datang seperti batu besar menindih menyergap batok
kepala Louw Eng. Tanpa bergerak Louw Eng mengerahkan
tenaganya untuk menahan. Siapa tahu Gwat Hee mengubah
tangannya menjadi terbuka jerijinva, sehingga pukulan
menjadi kosong. Suatu tenaga menyedot ke belakang
174 memaksa Louw Eng mundur juga ke belakang setindak.
Menggunakan ketika ini Djie Hai sudah memiringkan
tubuhnya, kedua kakinya menotol bumi, dan mencelat
sejauh dua tumbak. Sehingga dirinya terlepas dari bahaya.
Kedudukan tiga orang menjadi segi tiga berlainan sudut.
Ketika baik dilewati Louw Eng. Sedangkan ketiga orang
serentak mengurung dan mengeroyoknya. Harapan mereka
ialah jangan sampai Tong Leng dan Hek Pau datang sudah
dapat melukai Louw Eng dan dapat naik perahu melarikan
diri. Dalam waktu yang sempit ini ketiga orang ini mempunyai
jalan pikiran sendiri sendiri. Djie Hai berpikir : "Kami bertiga bersatu melawan Louw Eng, walaupun dalam waktu singkat
tak bisa kalah. Tapi di sana masih ada dua lawan kuat yang
belum datang lagi. Begitu mereka datang, kami akan
menerima nasib buruk! Waktu tak banyak lagi, bagaimana
caranya dapat dengan lekas mengalahkan Louw Eng" Pikir
pikir hanya ada satu jalan, biar aku menentang maut
membuat perlawanan yang menentukan. Asal saja Louw
Eng kena ku lukai sedikit saja. aku Djie Hai matipun tidak
mengapa, sebab adikku Tjiu Piau heng tee dapat
meloloskan diri."
Sebaliknya Gwat Hee berpikir : "Dalam suasana demikian
untuk meloloskan diri berbareng, agaknya tidak ada
kemungkinan. Mengandalkan keentengan tubuhku aku
dapat molos ke dekat musuh, sekuat tenaga kupeluk dia,
aku tak kuatir menjadi mati, sebab dengan jalan ini
kakakku dan kak Tjiu Piau dapat ketika untuk melukainya,
dan dapat melarikan diri demikian juga Tjiu Piau
mempunyai pikiran yang hampir serupa. Pikirnya:
"Mengandalkan ilmu leluhur yang dapat melepas senjata
rahasia yang dapat seratus kali lepas seratus kali kena
sasaran, akan kukorbankan jiwaku asal saja Louw Eng kena
mutiaraku. Dengan jalan ini dua kakak beradik 0.jg
berkesempatan untuk melarikan diri." Beginilah buah
pikiran ketiga orang ini, semua berhasrat mengorbankan
dirinya demi keselamatan yang lain. Dalam waktu yang
hampir bersamaan dengan dulu mendahului mereka
175 melakukan serangan maut, sehingga suasana pertempuran
betul betul mengerikan dan bertambah dahsyat!
Louw Eng memutari pedangnya, sinar pedang
berkeredepan menusuk mata. Tiga pemuda yang tak kenal
mati mengasgsak dan mengurung dengan sengit serta
berkelebat diantara sinar pedang. Akan tetapi tak
seorangpun yang berhasil mendekati tubuh Louw Eng lima
enam jurus sudah berlalu. Louw Eng berhasil mendesak
ketiga orang ini ke tepi danau. Djie Hai mundur sampai di
pinggir perahu, hatinya bergerak waktu melihat pendayung
yang besar itu, diangkatnya dan dihajarkan ke Louw Eng
dengan kegemasan yang memuncak.
Pembaca harus ingat, pedang yang di pegang Louw Eng
dapat memotong besi seperti tahu. Begitu pengayuh
datang, disambutnya dengan pedangnya tanpa berkelit lagi.
Dengan sekali tabas pengayuh besi itu tinggal separu. Djie
Hai bertubi tubi menyerang dengan kecepatan lebih dari
angin. Louw Eng secepat kilat memapasi setiap serangan
pengayuh itu dibuatnya tinggal beberapa dim saja dari
pegangan. Dalam kesibukan melayani Djie Hai, tak di
ketahui lagi Gwat Hee sudah berhasil mendekati di
belakangnya. Gwat Hee mencabut pisau belatinya, dengan setakar
tenaganya belati itu di tikamkan ke punggung Louw Eng,
serangan Gwat Hee ini dilakukan dalam keadaan mati dan
hidup, sehingga tikaman ini hanya dapat disebut jurus
antara mati dan hidup. Dalam bahaya yang besar ini Louw
Eng menyodokkan pedangnya yang terangkat tinggi ke
belakang, dengan satu papasan, senjata Gwat Hee sudah
dibuat patah ujungnya. Tapi Gwat Hee tidak mundur,
sebaliknya menubruk tubuhnya. Dengan kedua tangan dan
kakinya Louw Eng dipeluknya. "Kak! Lekas serang!" seru Gwat Hee. Belum suaranya habis, menyusul terdengar
teriakan yang mengeneskan darinya. Kaki tangannya
menjadi kendur, tubuhnya merosot jatuh dari punggung
Louw Eng, mukanya menjadi pucat pasi, dari mulutnya
menyembur darah segar membanjir. '
176 Kiranya waktu ia berhasil menggemblok di punggung
Louw Eng, hal ini di luar perkiraan lawan sendiri. Berbareng
dengan ini Djie Hai menggunakan waktu orang tak berdaya
dengan pukulannya. Dengan tangan kirinya Louw Eng
menyambut serangan dengan keras, tangan kanannya
menancapkan pedangnya ke tanah. Dengan tangan kosong
dipukulnya dadanya sendiri dengan keras!!?"" Jurus ini
adalah jurus yang luar biasa gaibnya, memukul diri sendiri,
tapi tak melukai diri sendiri, sebaliknya tenaga pukulannya
itu menembusi punggungnya dan menggempur dada Gwat
Hee, demikian lah Gwat Hee menjerit dan lantas pingsan
tak sadar diri.
Begitu Gwat Hee jatuh Djie Hai pun kena ditendang.
Kiranya sebelum itu Djie Hai sudah memungut belati Gwat
Hee yang putus ujungnya dan menancapkan ke tangan
lawan. Louw Eng menghadapi dua orang ini hampir hampir
menderita kerugian hatinya dikeras kan. bukan saja lengan
kirinya tidak di tarik mundur bahkan disodokkannya ke
depan, Djie Hai menusukkan belati kutung rcya ke pangkal
lengan musuh dengan berhasil. Tapi jeriji lawan sudah
mengenai jalan darah di dadanya, Djie Hai kaku dan mati
kutu. Berikutnya kaki kirinya terangkat naik, tubuh Djie Hai
dikirim ke tengah danau dan jatuh masuk ke air.
Dalam waktu sekejap mata, dua saudara Ong satu luka
parah satu kecebur ke air.
Sedangkan Louw Eng hanya menderita sedikit luka.
Sedari tadi Tjiu Piau tidak dapat turun tangan untuk
membantu, kini baru ia berseru: "Awas Bwee Hoa TokTju!"
Louw Eng buru buru menoleh, tapi tak menampak
seseorang sesudah ditelitikan kiranya Tjiu Piau merebahkan
diri. Tubuhnya bergelindingan mendatang. Inilah ilmu Bwee
Hoa Tok Tju gelombang ketiga yang terdiri dari tujuh jurus
melepas senjata sambil berbaring. Cara ini pernah
dipergunakan Tjiu Piau di Ban Liu Tjung dengan berhasil
baik. Ia tak tahu pada masa yang silam Louw Eng pernah
dihajar ayahnya dengan jurus ini, sehingga Louw Eng agak
segan dan jeri menghadapi ilmu ini. Kini ia melihat lagi ilmu
177 ini, tak terasa lagi ia mundur dua tindak ke belakang. Tiba tiba Tjiu Piau mencelat bangun setumbak lebih sambil
berseru "awas," tujuh delapan butir batu mengapit sebutir mutiara yang berkilat serentak terhambur menghantam
datang. Louw Eng sangat takut pada mutiara itu, dari itu
hanya mutiara itu saja yang diperhatikan dan dikelit,
sehingga batu kecil itu telak mengenainya.
Belum Louw Eng berdiri dengan tetap, kembali beberapa
batu yang mengiringi sebuah mutiara emas menyambar
datang. Kali ini serangan datang dari bawah, sebab Tjiu
Piau begitu hinggap di bumi lantas bergulingan lagi dan
melepis senjata, serangan ini demikian cermat dan teliti,
kalau orang yang berkepandaian biasa jangan harap dapat
meloloskan diri dari bahaya maut ini.
Tapi Louw Eng orang dari golongan apa, kalau saja ia tak
takut pada Bwee Hoa Tok batu batu itu jangan harap dapat
mengenai tubuhnya! Mutiara yang pertama dapat diegos
lewat, kini yang kedua kembali datang. Hebat
kepandaiannya, tubuhnya dikakukan seperti mayat dan
dijatuhkan ke belakang dengan tegaknya, tak ubahnya
seperti gedebong pisang runtuh! Sekali jatuh ini semua
serangan lewat tak mengenainya. Hal yang lebih


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengherankan tubuh itu kembali bangun lebih cepat dari
pada jatuhnya, seolah-olah bola karet yang membal!
Kini Tjiu Piau hanya mempunyai satu lagi mutiara emas
itu. Kalau yang sebutir ini melesat lagi...meleset --ya
tinggal menunggu ajal saja. Ia berguling lagi di tanah, tak
jauh dari tubuhnya tampak tubuh Gwat Hee yang mandi
darah, mukanya pucat tak bergerak gerak. Pikirannya
mengingat pula Djie Hai yang jatuh ke air. Entah bagaimana
Jadinya, pikirnya kebanyakan Djie Hai celaka saja. Sebab
inilah darahnya menjadi bergolak, dan bertekad bulat untuk
mengadu jiwa. Memikir sampai di sini tubuhnya tidak
bergulingan lagi. Sebaliknya lantas berdiri, tangannya
dikepalkan dan diserangnya Louw Eng.
Bicara mengenai kepandaian silat Tjiu Piau hanya biasa
saja. Saat ini dia berpikir: "Biar bagaimana Louw Eng harus 178
merasakan mutiaraku. Caranya yang terbaik menjalankan
dengan jurus nekad!" Diserangnya musuh dengan silat
kampungan yang ia bisa. Melihat ini Louw Eng terbahak
bahak tubuhnya sedikitpun tidak bergerak, hanya
bergoyang sedikit. Semua serangan Tjiu Piau jatuh ke
tempat kosong. Ia membentangkan kedua tangannya
sambil mengejek: "Mana mutiaramu, habis yah?" tangannya itu dirapatkan untuk menjepit Tjiu Piau.
Tjiu Piau pun tidak mengegos bararg sedikit! Serangan
datarg dibarengi dengan serudukannya seperti kambing
gunung yang sudah gila. Tangannya membantu menyerang
ke dua mata Louw Eng. Tjiu Piau sadar dengan nyeruduk
akibatnya bisa mencelakakan dirinya sendiri, tapi tangannya
sudah mengepel sebutir Bwee Hoa Tok Tju yang terakhir,
dengan harapan bisa melukai lawan.
Baru tangannya sampai di depan mata lawan sejauh satu
dim, suatu perasaan sakit dengan tiba tiba saja menyerang
sampai di hati. Kiraiya Louw Eng mengubah tangannya satu
ke bawah sstu ke atas, tiba - tiba dirapatkan. Tak ampun
lagi tangan Tjiu Piau kena digencet. "Krekkk" suara yang mengilukan terdengar, sebab sekaligus kedua lengan Tjiu
Piau sudah kena dipatahkan! Sakit ini membuat Tjiu Piau
merasakan dunia terbalik, hampir-hampir pingsan
dibuatnya. Tapi dalam beberapa saat. ia masih dapat
bertahan, entah dari mana datangnya tenaga, sekuat
mungkin ditahan sakitnya. Tenaga yang penghabisan itu
digunakan untuk melepaskan senjata rahasianya. Untung
kedua tangannya yang sudah menjadi kaku seperti kayu itu
masih mendengar kata. Dicentilkannya mutiara yang
semenggah-menggahnya itu. Begitu mutiara itu terlepas, ia
sendiri segera jatuh pingsan.
Louw Eng tak mengira akan terjadi hal ini. tambahan
jaraknya terlalu dekat, tak ampun lagi mutiara itu mengenai
dadanya. Kekagetan Louw Eng seperti dijilat setan, ketenangannya
hilang seketika, tubuhnya mundur - mundur terus beberapa
tindak mutiara itu dicabutnya dengan tangan kanannya.
179 Baru saja tangan itu mau mengenai duri-duri mutiara itu,
kesadarannya segera datang, bahwa benda itu tak boleh
dipegang tangan. Buru buru ditariknya kembali tangan itu.
Srettt---sebilah pedang terhunus, pikirnya akan diobati
lukanya itu seperti waktu ia mengobati Peng San Hek Pau.
Baru saja pedang itu terhunus, kembali ia membengong
diri. Sebab mutiara itu bersarang di dada! Peng San Hek
Pau jerijinya dapat dipapas kutung. Tapi dada ini tak boleh
diliangi atau dipotong sebagian. Bagaimana baiknya"
Kekalutan pikirannya melewati batas, sampai satu hal
yang sedari siang siang di pikirnya tak masuk ke otaknya.
Yakni mengambil obat pemunah dari tubuh musuh. Sesudah
bengong setengah harian, otaknya baru mengingat ini.
Dihampirinya Tjiu Piau sambil dibentak: "Lekas keluarkan
obat pemunah! lekassss!" Pedangnya berkelebatan di depan
mata lawan. Tapi Tjiu Piau sedikitnya tidak bergerak-gerak
atau berkata-kata. Louw Eng baru ingat bahwa pemuda ini
sudah luka dan pingsan. Tak banyak ribut lagi ia nongkrong
di depan tubuh Tjiu Piau sambil merogohi saku orang. Saat
ini tubuh nya sudah merasakan pening yang sangat sedangkan dadanya sudah merasakan sedikit kaku.
Ia mempunyai pengetahuan umum di dunia Kang Ouw ini
dengan baik. Ia tahu obat pemunah ini berada pada pemilik
senjata itu, dari itu digeledahnya Tjiu Piau Tapi sesudah
kodok sana rogo sini tak diketemukan obat itu. Akhirnya
dengan susah payah obat pemunah ini diketemukan juga di
lapisan kulit rusa sarung tangan lawan. Sebuah bungkusan
kecil berisi pel-pel kecil terdapat di sana, ia berjingkrak
kegirangan, dengari cara yang tergesa gesa dibukanya obat
itu. Sayang obat itu dibungkus berlapis lapis, baru
membuka sampai lapis ketiga, pening nya sudah terlebih
dahulu memingsankan otaknya. Tubuhnya menjolor kaku.
Kita tengok lagi Peng San Hek Pau dan Tong Leng
Hweesio yang pergi ke kaki gunung, sesampai di sana
melihat suatu pemandangan alam yang demikian indahTak terasa lagi mereka menikmati dengan penuh
kegembiraan. Lama kemudian mereka baru ingat kembali
180 pada kawannya. Kaki nya melangkah perlahan dan ayal
ayalan sambil bercakap cakap sepanjang jalan.
Mereka kaget waktu mendekati bekas tempat
perkelahian. Seolah olah tidak terlihat bayangan orang
hidup di tepi danau. Louw Ens, Tjiu Piau, Oag Gwat Hee
malang melintang terhantar di sana merupakan mayat.
Sedangkan bayangan Ong Djie Hai tak tampak ada di sana.
Mereka merasa kuatir dan curiga, dihampirinya tergesa
gesa terlihat di tangan Louw Eng memegang bungkusan
obat, obat itu seolah olah mau dimasukkan ke dalam mulut,
tapi keburu kaku dan pingsan.
Peng San Hek Pau memeriksa denyutan jantung kawannya itu. Nyatanya masih berdetak dengan lemah sekali,
lekas-lekas di buka obat itu, ia tak tahu aturan obat itu,
dicomotnya dengan tangan dan dimasukkan ke mulut Louw
Eng dan diberinya minum air danau.
"Mari kita periksa bocah-bocah Ini mati atau belum.
Kalau belum sebaiknya kita sadarkan mereka." Kedua orang
itu masing masing memeriksa Tjiu Piau dan Gwat Hee Peng
San Hek Pau memberikan obat buatannya sendiri Thai Ie
Ngo Houw San. Ke dua orang itu layap-layap sadar daripingsannya sesudah berobat itu. Peng San Hek Pau lekas
lekas bertanya pada Tjiu Piau bagai mana caranya
menggunakan obat pemunahnya. Tjiu Piau tertawa dingin
seraya berkata : "Tak halangan untuk kuberitahu kepadamu
Setiap yang terkena Bwee Toa Tok Tju pasti akan tiga kali
pingsan dan tiga kali sadar, sesudah itu baru mati. Setiap ia
sadar dari pingsannya berikanlah sembilan butir untuk
ditelannya. Tapi untuk sekali ini jiwa Louw Eng tak dapat
tertolong!"
"Kau jangan main gila. nanti kupatahkan kakimu!"
bentak Tong Leng Hweesio. Tjiu Piau tidak menjawab.
Sebaliknya mendengar Louw Eng bersuara dengan nada
yang lemah sekali! : "Tanyakan apa sebab nya aku tak
dapat baik." Kiranya ia sudah siuman.
Tjiu Piau melihat Louw Eng siuman, segera diejeknya.
181 "Alasannya mudah saja. Mutiaraku sudah tambah
semacam racun lagi! Sedangkan obat pemunah tak ada
padaku!" Mendengar ini tak tertahan kekagetan mereka, sehingga
mukanya pada berubah macam. Louw Eng napasnya sudah
sengal sengal, agaknya sudah akan pingsan kembali. Bok
Tiat Djin lekas lekas memberikan obat "Apa gunanya dikasih
obat itu!" tanya Tong Leng.
"Sebaiknya kita punahkan racun Bwee Hot Tok Tju
keluarga Tjiu dahulu, yang lain lihat kemudian, jawab Bok
Tiat Djin. "Mutiara itu mengandung racun apa pula" Lekas
katakan!" Tjiu Piau mengenakkan gigi menahan sakit yang bukan
alang kepalang itu. Sebisa bisa ditahannya sakit itu, ia tak
mau meratap atau merintih! Ia ingat apa yang dikatakan
Tjen Tjen kepadanya, bahwa racun dari Tan djie yang
dipelihara itu bukan main jahatnya. Racun itu akan
bekerja perlahan lahan menyiksa orang. Obat pemunahnya
hanya dipunya Tjen Tjen sendiri, sampaipun ayahnya ,
gurunya tidak mengetahui adanya hal ini!
Inilah pembalasan alam agar Louw Eng ying biasa
melakukan kejahatan merasakan ular berbisa ciptaan
anaknya sendiri! Kini tak halangan hal ini diberi tahu
mereka, sesudah diketahui mereka pasti tak berdaya dan
tak bisa berbuat apa-api, sebaliknya mereka akan
bertambih gelisah. Memikir sampai di sini tak tahan untuk
tersenyum. "Racun ini bukan kepunyaan orang lain, ialah kepunyaan
Louw Tjen Tjen Mintalah kepadanya!"
Dua orang bengong mendengar kata-kata ini. Bak Tiat
Djin melihat Louw Eng. sebentar biru sebentar pucat
kemudian merah membara, agaknya ribuan bisa dan racun
tengah tergumul di dalam tubuhnya, pemandangan ini
menipiskan untuk mengharapkan ia bisa hidup. Biar
bagaimana Bok Tiat Djin mempunyai hubungan baik dengan
Louw Eng sepuluh tahun lebih. Mereka sama sama membagi
182 keuntungan, sama sama pula menikmati segala senang dan
duka. Pokoknya mereka kerja sama bahu membahu dan
saling tolong. Tapi kiri kawan yang baik ini dalam beberapa
saat lagi akan meninggalkannya, kedukaan dan kesedihan
hatinya menyesak di jiwa raganya. Lebih-lebih mengingat
bagaimana kawan ini menolong jiwanya dari racun ini
dengan mengutungkan jerijinya, sedangkan ia tak berdaya
untuk balas menolong Louw Eng Kalau tidak pasti jiwanya
siang-siang melayang, mengingat ini ini keringat dinginnya
membasahi tubunnya dengan deras!
Sesudah menunggu beberapa lama. Louw Eug kembali
siuman untuk kedua kali. Bok Tiat Djin memberi tahu,
bahwa obat pemunah dari Tjian Tok Tjoa (ular seribu racun)
berada pada Tjen Tjen. Mendengar ini matanya terbeliak
putih, dengan sekuat tenaga memaksakan diri untuk bicara:
"Menyesal aku tak pernah meminta barang sedikit untuk
menjaga diri." Hatinya gelisah dan pingsan lagi. Bok Tiat
Djin buru - buru memberikan obat lagi. Tak kira begitu obat
ini termakan oleh Louw Eng. tubuhnya berubah menjadi
dingin napasnya semakin payah. Kiranya obat ini tak boleh
terlalu banyak dimakan, sebab bisa merusak Goan Kie
(tenaga asli) sesudah kena racun sedikit banyak kehilangan
juga ilmu tenaganya. Kesatu disebabkan racun itu terlalu
lihai, kedua meminum obat terlalu banyak. Tak heran
rupanya berubah seperti orang yang menderita sakit sudah
lama. Waktu ia siuman untuk ketiga kalinya wajahnya dihiasi
senyuman yang spesifik dan misterius dari pribadinya. "Bok
heng, Tong Leng heng, aku minta kau menjauhkan diri
sebentar, aku mempunyai kata kata yang penting untuk
dikatakan kepada dua bocah ini."
Bok Tiat Djin merasa heran, ia berkata sambil
menasehati: "Louw heng. Kau harus istirahat untuk
memulihkan napasmu, tak boleh banyak bicara." Louw Eig
meraba denyutan jantungnya sendiri.
"Aku mempunyai kira - kira, harap jangan kuatir."
mereka terpaksa melulusinya. Tapi kali ini mereka tidak
183 pergi jauh jauh, mereka waspada untuk melihat sesuatu
pergerakan. Louw Eng berkata pada Tjiu Piau dan Gwat Hee: "Tit-djie,
Tit-lie mungkin aku segera akan berpulang ke rahmatullah.
Orang hidup harus mati, dari itu aku terima kematian ini
dengan baik. Sekali-kali aku tak menyalahkan kalian. Tapi
aku mengharapkan benar, sebelum aku mati dengarkanlah
sepatah kataku ..." Napasnya sengal sengal dan istirahat
sebentar. Ong Gwat Hee dan Tjiu Piau mengedipkan matanja,
masing masing berpikir : "Bangsat ini sudah mulai lagi."
Kedua kaki Tjiu Piau tidak menderita luka, ia duduk bangun,
Gwat Hee juga duduk sambil menguatkan tubuh. Kedua
orang itu sambil menyandar kan punggung ke punggung
masing masing duduk bersama sama. Karenanya mereka
masing masing merasakan kehangatan tubuh kawannya.
Dalam suasana celaka demikian mereka terlebih lebih lagi
akrabnya. Sayang dalam alam yang demikian romantis ini.
terjadi perkelahian saling bunuh membunuh, sungguh tak
mengena sekali. Kini kedua orang masing-masing men
derita luka berat, juga berada dalam tangan musuh, mereka
tak berdaya untuk berontak guna melawan. Begitupun baik,
mereka agaknya akan bergirang sekali mengakhiri jiwa
remajanya itu dalam suasana yang sangat manis ini. Kedua
orang ini mempunyai pendapat yang begitu. Tak heran
mereka menyandarkan tubuhnya masing - masing semakin
erat. dari hal ini hatinya merasakan sesuatu hiburan yang
tak ternilai harganya!
Louw Eng melihati kedua orang itu, sesudah menarik
napas, kembali ia berkata: "Orang yang akan mati.
perkataannya selalu lebih baik dari masa hidupnya. Kalian
sudah tak percaya perkataanku, tapi dengarilah beberapa
patah sebelum aku mati. Kalian dengar' dan dengar jangan
gusar jangan panas, dengarlah! Sakit hati di Oey San
selama delapan belas tahun itu tak dapat dibalasnya atau
diberesinya. Sebab apa .... karena yang membunuh Tjiu
Tjian Kin adalah Ong Tie Gwan! Adapun keributan ini terjadi
di sebabkan mereka kena diadu domba oleh Wan Tie No-184 Kalian dua keluarga adalah bermusuhan, Wan Tie No-"
juga musuh dari kalian. Kalau mau membalas sakit hati
kuberikan petunjuk yang baik.Kapan waktu ada orang yang
meminta pedang Liong dan Hong dariku, orang itu pasti
mempunyai hubungan yang erat dengan Win Tie No---"
napasnya kembali sesak, ia mengaso lagi.
Sebenarnya Tjiu Piau dan Gwat Hee sudah mengambil
keputusan untuk tak mau percayai perkataan itu., Siapa
kira perkataan Louw Eng yang sengal sengal Ini meng
gerakkan kedua hati anak muda ini. Perkataan orang yang


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mati tentu baik ada nya. Mereka setengah percaya
dan setengah curiga mendengarkan ceritera ini.
Louw Eng berkata pula : "Wan Tie No itu demikian
kurang ajar, kami empat saudara kena diadu dombakan. Ia
binasa di targanku. itu seharusnya. Tapi--- tapi ia masih
mempunyai orang yang terdekat...untuk mencari balas
kepada kalian. Kalian harus hati hati. Aku...aku agaknya tak
. . . tak dapat hidup lagi, kalian boleh percaya boleh
tidak...atas kata kata ini. Pokoknya...aku...bicara, dan
dengan...ini batiku...menjadi tenteram...kalian berdua..."
kata katanya belum habis kembali ia pingsan. Mukanya
yang pucat berubah menjadi abu-abu, tak ubahnya seperti
wajah orang mati. Kelihatannya racun dari Bwee Hoa Tok
Tju sudah dipunahkan, tapi bisa Tjian Tok Tjoa sudah
masuk ke hati. Tjiu Piau melihat musuh itu masih ingin bicara pada
tarikan napas yang demikian lemah itu. Hatinya tergerak,
tak terasa lagi beberapa bagian dari perkataan itu sudah
dipercayai hatinya. Saat ini punggungnya merasakan
tubuhnya tak bersandaran, agaknya Gwat Hee tak
menyandar lagi padanya., ia berbalik untuk melihat empat
mata-bentrok, dari sinarnya seolah olah menunjukkan
kecurigaan masing masing.
Louw Eng melirik memandang suasana ini dengan girang
pikirnya tak cuma cuma aku berkata. Saat ini Bok Tiat Djin
menghampiri datang, ia membuka mulut untuk berkatakata tapi napasnya terlalu lemah, akhirnya tak berkata
185 kata. Lama kemudian, dengan tenaga yang semenggah menggalinya terlontarlah kata katanya itu dengan keras,
seperti orang membekasi "Kasihlah mereka berlalu!"
Tubuhnya segera pingsan lagi Bok Tiat Djin buru buru
memeriksa jalan pernapasannya, dengan wajah putus asa.
digeleng gelengkan kepalanya. Napasnya sudah hilang,
tubuhnya kaku dan jengkar. tapi wajahnya masih
tersenyum. Tjiu Piau dan Gwat Hee merasakan senyum dari
orang mati itu sangat menakutkan sekali, senyum itu
demikian aneh dan berbisa, membuat orang jemu
melihatnya, ditambah dengan wajahnya yang sudah
menjadi matang biru. tak ubahnya seperti setan gaib
menjelma di dunia. Kedua orang ingin memalingkan
mukanya tidak melihat, tapi ingin melihatnya juga. Karena
inilah hatinya tidak tenang.
Sebab apa Louw Eng sampai matinya masih tertawa" Ia
biasa melakukan kejahatan dan meracuni kehidupan orang.
Waktu ia sadar akan menghadap pada Giam Lo Ong,
otaknya mau tak mau harus merenungkan hal ikhwal dari
kehidupan yang dialaminya. Bahkan disebabkan ia kuatir
akan diomongi orang nanti, atau memikiri nasib anaknya
yang akan ditinggalkan itu. Otak itu mempunyai satu
pikiran jahat: "Aku mengharap dengan kematianku,
keluarga Tjiu, Ong, Tju saling bunuh membunuh juga,
mengharapkan mereka bisa saling hantam dengan orang
nya Wan Tie No."
Tak heran ia mengucapkan kata katanya tadi serius dan
mengarang ceritera burung Kedua anak muda itu masih
muda dan kurang Pengalaman Melihat ia akan mati tapi
masih berdaya untuk mengeluarkan kata kata itu tak terasa
lagi kewaspadaan mereka menjadi kendur sebagian,
perkataan ini memakan di otaknya dan mengeruhkan
pikiran mereka. Louw Eng melihatnya hal ini. hatinya
berpikir. "Lihat! biar aku sudah meninggal, tapi kata kataku tidak mati. kalian masih dijiwai Louw Eng. Sehingga kalian
akan bunuh membunuh tak karuan, berkat kebodohan
kalian!" Sebenarnya hati orang memang tidak serupa, ada orang
186 merasakan melakukan kejahatan sangat menyesal dan
memalukan, sehingga hatinya tidak tenang selama hidup
nya. Tapi Louw Eng manusia yang berlainan dari segala
orang. Sudah tahu jiwanya akan melayang, pikirannya masih
saja jahat. dengan provokasinya ingin memancing satu
perkelahian diantara mereka, memikiri ini hatinya menjadi
senang, dari itu ia mati sambil membawa senyum.
Bok Tiat Djin dan Tong Leng membentak Tjiu Piau:
"Obatmu apakah benar atau palsu" Lekas katakan kalau
tidak hati-hati dengan paha anjingmu!"
"Lihat saja wajah mukanya, kalau tidak meminum
obatku, tidak mungkin wajahnya berwarna agak merah.
Kini ia mati disebabkan racun dari anak kandungnya sendiri.
Hal ini tak boleh menyalahkan aku." jawab Tjiu Piau
membela diri. Bok Tiat Djin tak dapat berkata apa-apa, lebih lebih
sebelum mati Louw Eng meminta melepaskan mereka.
Dalam rencana keji dan busuk ia mengakui Louw Eng
sangat pandai, dari itu ia berbuat demikian tentu
mengandung maksud pula, dari itu ia berkata: "Tong Leng
heng, mari kita cari tempat yang baik untuk tempat Louw
toako ber istirahat selama lamanya. Bocah bocah ini biar
mati atau hidup kita tinggalkan di sini." mendengar ini Gwat Hee dan Tjiu Piau merasa gembira di balik duka.
Tong Leng memanggul jenazah dari Louw Eng, Bok Tiat
Djin mengiringi dari belakang, mereka jalan pergi, makin
lama makin jauh.
Tjiu Piau merasakan sangat haus sekali, dengan sekuat
tenaga ia menghampiri tepi danau, dengan kedua tangan
nya yang sakit disendoknya air danau. Tapi tangan itu tak
mendengar perintah lagi! Terpaksa ia berlutut sambil
memonyongkan mulutnya untuk menghirup be berapa
teguk air untuk menghilangkan rasa dahaganya.
Memang manusia merasakan air menjadi harum dan
nyaman sewaktu dahaga, tapi waktu biasa air ini kurang
187 harganya Tjiu Piau merasakan tubuhnya agak segar berkat
beberapa tegukan air danau ini. Saat inilah telinganya
mendengar suara "bluk" ia menoleh dan dilihatnya Gwat
Hee tengah meronta dan melawan sakit ingin berdiri, tapi
disebabkan lukanya yang keras, sekujur badannya tak
bertenaga, tak heran begitu berdiri tubuhnya lantas jatuh
lagi. "Kau ingin minumkah?" Gwat Hee mengangguk. "Tunggu sebentar kusendokkan untukmu." Tangannya mencoba
memungut kulit kerang yang terdapat di situ, tapi baru saja
tangannya bergerak sedikit, sakitnya itu menyerang ulu
hati, ia baru sadar tangan itu sudah patah, ia berdiri dengan
menyedihkan. "Tanganmu tak dapat digerakkan, kemarilah dan
pondonglah aku." Tjiu Piau menghampiri gadis itu
menguatkan diri untuk berdiri dan memegang leher sang
jaka. Baru saja Tjiu Piau melangkah setindak, Gwat Hee
sudah tak tahan lagi. la merosot jatuh. Dengan gusar ia
berkata: "Louw Eng si gila itu sungguh jahat, tangan nya
yang keji itu membuat nyawaku tinggal sebagian!"
Tjiu Piau, bulak balik pikir hanya ada satu daya. "Kau.
naiklah di punggungku, nanti kugendong sampai kau dapat
minum!" sang gadis merasakan syukur alhamdulillah. Ia
melirik dengan puas atas ketulusan hati nya pemuda itu.
Dengan lembah lembut ia berkata; "Tjiu Piau ko kau
sendiri menderita luka, mana dapat kau lakukan itu."
"Tak menjadi soal lukaku adalah luka luar, asal jangan
dipegang lukaku saja. Lekaslah!" Ia membungkukkan
tubuhnya. Gwat Hee berdaya sekuat tenaga menggemblok
di punggungnya tangan itu hati-hati memegang dada sang
pemuda itu. Sesudah itu Tjiu Piau baru berdiri, tapi
kepalanya merasakan banyak sekali bintang-bintang kecil
yang berhamburan, dengan pertahanan jiwanya yang kuat
ia melangkah menuju ke tepi danau. Kira kira baru jalan
beberapa langkah, merasakan di depan matanya, gelap, tak
kuat lagi ia bertahan, kedua orang itu jatuh berbareng
dengan napas memburu. Cukuplah, tiga tindak lagi aku
188 sudah dapat ke tepi danau itu," kata Gwat Hee. Benar saja
ia maju mengangsrot angsrot. dan berhasil meminum
beberapa teguk air itu. Ia tersenyum girang sambil
berkata: "Aku sudah baikkan, demi air ini."
Alam cerah, sinar surya memancarkan ribuan sinarnya
seperti benang emas menerangi jagat. Danau itu dikelilingi
rumput-rumput halus menghijau, dilengkapi dengan
berjenis jenis bunga mekar, keadaan sangat sunyi dan
tenang, apa yang terdengar hanya kicauan burung dan
suara angin. Alam yang indah ini memabukkan setiap yang
melihatnya. "Sayang sekali pemandangan alam yang
demikian mentakjubkan ini, tidak dinikmati orang." kata
Gwat Hee. Kata kata ini diucapkan sekedar menghilangkan
kedukaan dan penderitaan mereka.
"Gwat Hee Moy moy, kau tentu mendengar patah demi
patah perkataan Louw Eng bukan?" "Semua kudengar
semua sudah kupikir, kau sendiri bagaimana?"
"Aku tak mengetahui apa yang dikatakan itu benar atau
tidak.-" "Tiga kali ia sudah menceriterakan peristiwa Oey San,
tapi satu sama lain sangat berlainan sekali."
"Orang sesudah mati tak mengetahui apa-apa lagi,
segala urusan sudah tak ada hubungannya lagi dengan dia.
Mungkin kali ini omongannya itu benar adanya."
"Louw Eng itu adalah binatang yang berwajah manusia.
Dari mulutnya itu hanya dapat mengeluarkan kata kata
binatang pula!"
Kedua orang itu berdiam sejenak sambil berpikir.
"Hal ini bukan sengaja kukemukakan atau meyakinkan
kau, ini hanya buah pikiranku saja. Aku sadar hal ini tidak
dapat merusak hubungan kita. Seandainya hal ini benar
benar terjadi juga tidak mengapa, yang lalu biarlah ia
berlalu. Kita masih muda pikiran kita masih jernih dan tak
mungkin disebabkan kesalahan orang tua kita,
189 mengakibatkan permusuhan di antara kita. Sebaliknya kita
harus menjadi terlebih baik pula untuk membenarkan
kesalahan yang sudah diperbuat orang tua kita. Betul tidak"
Coba kau pikir!"
Gwat Hee tak memikir sang jaka bisa me ngeiuarkan
pendapat yang demikian. Hatinya merasa gembira
mendengar perkataan itu. Tapi sengaja ia berkata: "Ya
seharusnya musti demikian, tapi biar bagaimana orang tua
kita tetap bermusuhan. Dari itu biar bagaimana kita mana
dapat menjadi sahabat?"
"Kenapa tak bisa?" tanya Tjiu Piau.
"Kalau benar benar ayahku telah membunuh ayahmu
bagaimana?"
"Kalau demikian inilah kesalahan mereka, untuk kita
hanya berpikir pada kebenaran sekali tidak memikiri
kesalahan. Dengan cara ini kita pasti akan menjadi baik dan
rukun, betul tidak?"
Gwat Hee sangat girang mendengar ini, sampaipun rasa
sakitnya kurang sebagian.
"Katakanlah sudahkah kita berpedoman pada kebenaran
dan menjauhkan kesalahan?"
"Kini masih belum terang, hal ini baru dapat diketahui
dengan jelas kalau kita sudah mendaki Oey San. Di situlah
kita baru dapat memastikan benar tidaknya perkataan Louw
Eng. Tapi biar bagaimana Juga pasti tidak salah, coba kau
katakan benar atau tidak?"
Mendengar ini muka Gwat Hee yang pucat menyinarkan
juga perasaan girangnya. "Aku pun sependapat denganmu,"
katanya sambil menunjukkan perasaan kuatir. "Kakakku
mungkin tidak mengalami hal yang tidak diingin ya"
Mungkin hanya hanyut entah 'ke mana?"
Kekuatiran Tjiu Piau pun tidak terhingga. Tapi sebegitu
lama tidak berani mengatakannya. Kini mendengar itu
dengan sabar ia menghibur: "Allah maha adil. orang baik
selalu dilindunginya, kuharap ia tak kurang suatu apa."
190 Gwat Hee dengan sinar mata sayu mengawasi air danau.
"Kini aku merasakan heran sekali. Bukankah waktu
kakakku kecebui segera tidak terdengar apa apa lagi.
Kepalanya sedikitpun tidak muncul lagi, menteriakpun tidak
heran?" Belum Tjiu Piau menjawab, ia sudah melanjutkan
perkataannya. "Tjiu Piau ko kau lihat, benda apa yang
terbang mendatang itu?" Tjiu Piau dongak mengawasi,
dilihatnya sebuah titik hitam dengan kecepatan yang luar
biasa terbang mendatang, semakin lama semakin besar,
dalam sekejap saja seekor burung raksasa terbang lewat di
atas kepala mereka. Di punggung burung itu menggemblok
burung kakak tua. Tjiu Piau berkata dengan cemas: "Tjen
Tjen pasti berada tidak berjauhan dengan kita!"
"Kita harus menyingkir!" kata Gwat Hee.
"Baik. lekaslah kau naik di punggungku lagi!" Gwat Hee menurut.
Dua orang ini tolong menolong untuk menyelamatkan
jiwanya, baru saja mereka sampai di kaki bukit. Tiba tiba
dilihatnya dua bayangan orang berlari mendatang dengan
pesat, sambil lari mereka sambil berteriak teriak. Waktu
ditegasi kedua orang itu bukan orang lain. ialah Tong Leng
dan Bok Tiat Djin. Tjiu Piau dan Gwat Hee merasa tak
mengerti, kenapa dua binatang ini kembali datang.Mereka
melihat dan mengawasi dengan penuh perhatian ;
"Tjiu Piau ko, kau lihat, benda apa yang merayap di
muka Bok Tiat Djin ! ! " " ?" Tjiu Piau pun sudah melihat, di tanah itu menggeleser sebuah benda yang menyerupai
orang. Berkelok kelok dan bergeliat geliat jalan merayap
dengan cepat, sampai Tong Leng dan Bok Tiat Djin yang
berkepandaian tinggi tak mudah untuk mengejarnya.
"Itu adalah seekor ular ajaib!" kata Tjiu Piau. Gwat Hee
tidak berkata-kata! Hati-hati dilihatnya benda itu, kemudian
wajahnya menjadi kaget dan heran: "Mari, lekas lekas kita
menyingkir, benda itu bukannya ular, tapi Louw Eng!"
Mendengar itu Tjiu Piau menjadi kaget sekali. Waktu
dilihatnya benda itu sudah datang mendekat, dan dapat
191 dilihat dengan tegas, benar saja benda itu adalah Louw Eng,
yang menggeleser berjalan seperti ular. Tak terasa lagi bulu
roma kedua orang ini pada berdiri.
Jilid 7

Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tjiu Piau pernah mendengar perkataan Tjen Tjen siapa
yang kena bisa Tjian Tok Tjoa akan disiksa pergi datang,
baru akan mati Tapi ia tak mengetahui bagaimana siksaan
itu berjalan, baru sekarang dilihatnya. Perut Louw Eng
mundur maju manggeleser seperti ular. Tapi kulit orang
mana dapat dibanding dengan kulit ular! Pergesekan antara
kulit dan tanah ini, membuat darah mengalir! Kelihatannya
sangat menderita sekali, bagian perutnya sudah besot dan
berdarah, lidahnya terjulur ke luar sambil mendongakkan
kepalanya. Di dalam tubuhnya seperti bekerja sesuatu
racun yang mengakibatkan tubuhnya berjalan dengan
melata. Pembaca tentu bertanya bukankah Louw Eng sudah mati
Ya memang sudah mati. tapi mati mati ular. sebab kena
bisa ular. Kenyataannya bukan mati benar benar ! !
"Mari kita bersembunyi di sana!"
Seru Tjiu Piau. Gwat Hee melihat sekeliling hanya terdiri
dari air danau dan kaki bukit yang rendah. Walaupun
terdapat beberapa pohon, tapi bukan tempat yang baik
untuk menghindarkan diri dari ular itu. Ia terbenam diam,
tak berdaya. Louw Eng sudah tidak berjauhan lagi dengan
mereka, kira-kira sejauh seratus tindak lagi. Bok Tiat Djin
dan Tong Leng memburunya sambil berteriak-teriak "Louw
heng, Louw heng, istirahatlah kau sangat lelah."
Habis berkata tubuhnya membungkuk untuk menangkap
teman itu. Siapa tahu tubuh Louw Eng seperti ular mulutnya
terbuka lebar dengan tiba tiba memagut. Bok Tiat Djin
sangat terkejut, buru buru ia mencelat mundur menghindarkan bahaya. Serangan tak berhenti sampai di situ.
kembali ia menggeleser seperti ular. dengan kecepatan kilat
kembali menerjang kedua orang itu. Sekali ini mengagetkan
192 kedua orang itu sampai kabur. Mereka berlari lari sampai
jauh juga. "Sekarang aku mempunyai akal, bukanlah perahu yang
kita naiki masih berada di sana" Sekarang hanya perlu kita
lekas lekas saja ke sana." Tjiu Piau membenarkan pendapat
Gwat Hee, langkahnya diperbesar menuju ke tepi danau.
Pengayuh perahu itu sudah rusak dan tak berguna lagi.
Andai kata ada pengayuh juga tak ala gunanya, sebab
tangan Tjiu Piau sudah luka. Kedua orang itu sudah naik ke
perahu, mereka kembali duduk termenung, sama sekali
tidak' mempunyai akal lagi. Gwat Hee mengayuh-ngayuhkan tangannya, perahu hanya berderak sedikit. Ia tertawa
lemas "Andai kata Tjian Tok Tjoa bisa berenang kita pasti
berbahaya." Tjiu Piau tidak mengerti, Gwat Hee
menjelaskan, "Kalau Tjian Tok Tjoa berasal ular air,
bukankah sama dengan bisa berenang, kalau Louw Eng
mengejar kita, pasti dia juga dapat berenang seperti ular
air!" "Lihatlah! benda apa di sana!" seru Tjiu Piau. Gwat Hee menoleh tampak di tempat jauh, mendatang sebuah perahu
dengan pesatnya. Di atas perahu beterbangan berkeliling
burung raksasa itu. Gwat Hee berkata: "Wah Louw Tjen
Tjen pasti datang, bukan?" Tjiu Piau menjawab dengan
lemas: "Bocah itu berkepandaian tinggi, sebaliknya kita
tengah menderita luka, pasti tak dapat menandingi!"
Perahu mendekat, seorang gadis duduk di situ tak
bergerak gerak. Dilihat dari rupanya dapat dipastikan itulah
Tjen Tjen. "Adik Gwat Hee lebih baik kita mendarat, atau
duduk di sini?" tanya Tjiu Piau.
"Kau dengar di kaki bukit terdengar suara berderak
sepatu, pasti ada orang datang!" Dalam waktu sekejap
tampak Tong Leng, Bok Tiat Djin Kembali mengejar Louw
Eng yang sudah merupakan ular.
Perahu kecil itu sudah tinggal beberapa meter saja dari
darat. Sedangkan orang-orang yang di darat itu sudab
sampai di tepi danau. Ong dan Tjiu diam tidak bergerak
menantikan perubahan. Saat ini kedua mata Louw Eng
193 merah membara, menatap wajah anaknya, yang
mengherankan Tjen Tjen sedikit juga tidak bergerak masih
tetap duduk di sana, seperti tidak meladeni.
Bok Tiat Djin tiba, begitu melihat murid muridnya, lantas
membuka mulut dengan penuh kegirangan: "Tjen Tjen,
Tjen Tjen, tepat sekali kau datang, menolong ayahmu,
bukan?" Ia tidak menjawab, melihat ini sang guru merasa
aneh, tubuhnya mencelat ke perahu yang didudukinya.
Tjen Tjen masih tetap tidak bergerak, hanya matanya
saja menatap ayahnya dengan perasaan sedih, air matanya
mengalir seperti rantai mutiara. Di balik sana Gwat Hee
mengerti Tjen Tjen pasti kena ditotok orang berilmu.
Begitu sampai di perahu. Bok Tiat Djin segera menarik
tangan Tjen Tjen. Pada saat inilah dari belakang tubuh Tjen
Tjen berkelebat sesosok tubuh orang. Kiranya di belakang
tubuhnya ada orang yang bersembunyi. Orang ini berambut
putih, tidak lain tidak bukan dari Hoa San Kie Sau.
Gwat Hee kegirangan bukan buatan, pikir saja orang
dalam keadaan terjepit, dan tak berdaya mendapat satu
harapan yang demikian memastikan. Sehingga lupa pada
sakitnya, ia berteriak-teriak kegirangan: "Suhu! Suhu!"
Baru saja teriakannya dua kali, hampir-hampir tak dapat
bernapas lagi. Pikirnya gurunya sudah datang, segala Tong
Leng dan Hek Pau Tju sudah tak perlu ditakuti lagi.
Hoa San Kie Sau sambil membaringkan dirinya melihat
keadaan ini. Dengan senyumannya yang welas asih ia
berkata: "Masih beruntung aku dapat menemukan kalian."
Sambil berkata, tangannya dipakai menangkap tangan Bok
Tiat Djin. Hal ini di luar perkiraan lawan, tangannya buru
buru ditarik kembali, hampir saja kena dipegang. Ia mundur
ke belakang, tapi di belakang mana ada tempat pula" Tak
ampun lagi tubuhnya kecebur ke danau !
Tidak kira kejatuhannya ke dalam air ini,
menguntungkannya. Ia dapat berenang, begitu sampai di
air, segera ia menyelam, begitu muncul kepalanya sudah
berada di dekat perahu yang dinaiki Gwat Hee dan Tjiu
194 Piau. Ia bukan anak kemarin dulu, akalnya banyak. Dalam
waktu sebentar saja akalnya ' kembali bekerja. Didekatinya
pinggir perahu, tubuhnya diangkat naik ke udara, belum
kakinya menempel papan perahu, tangan kanannya sudah
mendahului menotok kepala anak-anak muda itu. Tjiu Piau
dan Gwat Hee menderita luka, dengan sendirinya tidak
dapat melawan. Bok Tiat Djin tertawa dengan girang: "Orang she Nio
Serangan dari biji caturmu memang berbahaya sekali, tapi
sekarang kau tidak akan mendapat untung. Kita adalah
orang yang mengerti urusan, hal ini tidak perlu banyak
diceriterakan. Sekarang aku menanyamu, set ini
bagaimana" Mau diteruskan atau mau remis (seri) kau
boleh pilih!"
Bok Tiat Djin begitu melihat ke luarnya Hoa San Kie Sau,
sudah mengerti apa yang dikehendakinya. Yakni
menggunakan Tjen Tjen sebagai jaminan untuk meminta
orang. Karenanya dengan segera ia pun pergi mendekati
perahu Tjiu Piau- Menggunakan dua jiwa ini untuk
menjamin keselamatan muridnya. Misalkan Hoa San Kie
Sau berani bergerak mencelakakan jiwa Tjen Tjen. Tjiu dan
Ongpun akan di bereskan, dengan ini dua pion tukar satu,
tetap untung. Hoa San Kie Sau diam sebentar, kemudian dibukanya
jalan darah bicara dari Tjen Tjen. "Ayahmu kenapa"
Katakanlah!" Kiranya ia sudah melihat Louw Eng yang
memandang puterinya dengan penuh harapan. Dan melihat
wajah Tjen Tjen yang gelisah melibat ayahnya, Saat itu tak
sempat untuknya menjawab pertanyaan Kie Sau. Ia
menangis sambil berkata. "Ayah, kenapa kau bisa terkena
bisa Tjian Tok Tjoa" Yah, katakanlah!" Louw Eng tak dapat
bicara, hanya mengelel-elelkan lidahnya saja. Bok Tiat Djiu
memelintir tangan Tjiu Piau sambil berkata. "Karena tidak
hati-hati kena dilukai anak celaka ini!" Tjiu Piau merasakan sakit bukan main, tapi tetap dunn tak mengeluarkan
rintihan atau suara.
Hoa San Kie Sau mengerti sudah, apa yang dikehendaki
195 lawan. Baru mulutnya ingin berkata. Kembali Bok Tiat Djin
sudah mendahului berkata : "Hoa San Kie Sau, sudah kau
pikir masak-masakkah" Biji catur ku ada di tanganmu
sebaliknya anak catur mu berada dalam kekuasaanku.
Pikirlah mau melawan terus atau seri" Terkecuali ini jiwa
beberapa orang ini berada dalam keputusanmu, lekaslah
kau tetapkan pilihanmu." Ia mengetahui watak yang welas
asih dari Hoa San Kie Sau, sengaja meletakkan mati
hidupnya jiwa orang orang ini atas pundak Kie Sau. Hal
meminta obat pemunah pada Tjen Tjen tidak dikemukakan
dulu. Sebab kalau hal ini dikatakan berarti jiwa Louw Eng
turut pula berada di tangan Kie Sau. Sama dengan menjadi
biji kemenangan pula untuk Kie Sau!
Hoa San Kie Sau tak mengira, bahwa Tjiu Piau dan Gwat
Hee akan menderita luka demikian macam. Dengan
sebentar saja ia kena ditindih Bok Tiat Djin. melihat
keadaan demikian, benar benar tak berketika untuk
mengembangkan permainannya. Tengok kiri kanan tak
terlihat Ong Djie Hai. Kakakmu ke mana?" tanyanya kepada
Ong Gwat Hee. Dengan sedih dan gusar Gwat Hee
menjawab: "Kecebur ditendang Louw Eng." Mendengar ini
perasaan sang guru menjadi gusar, kedua matanya
mengeluarkan sinar yang berapi api, dipelototinya Louw Eng
sambil dibentak: "Bagus! Kiranya kau sudah membuka
hutang baru."
Bok Tiat Djin kembali berkata. "Kie Sau! Percaturan ini
bagaimana akan diselesaikannya" Aku tak kebanyakan
waktu untuk menantikan kau terlalu lama! Kau lihat
matahari itu, bilamana sudah bergeser agak ke barat, kau
masih belum menentukan mau seri atau diteruskan
Selewatnya waktu itu, jangan sesalkan aku tak
berperikemanusiaan." Habis berkata, lengannya bekerja
menggelepak tubuhnya Gwat Hee, gadis ini menahan
sakitnya, sedikitpun tidak bersuara. Hoa San Kie Sau
tertawa dingin. "Hek Pau Tjuyang baik, lepaskanlah orang
orang itu!" lalu Tangannya sendiri bergerak membebaskan
Tjen-Tjen dari totokan, tangan satunya lagi tetapi
memeganginya, tak memberi kesempatan untuknya
196 melarikan diri! Saat ini Ong Gwat Hee baru berseru. "Suhu
ia mempunyai obat pemunah, jangan lepaskan dia!"
Mendengar ini Bok Tiat Djin lekas lekas mencekal Tjiu Piau
dan Gwat Hee dengan erat. "Kau menahan obatnya, aku tak
melepaskan orang-orang ini!"
Hoa San Kie Sau tertawa mendengar ini.
"Hek Piau Tju, kau jangan kuaur, kalau kata Lohu lepas
pasti lepas! Walaupun kini Louw Eng dapat tertolong dengan
obat pemunah ini. tapi pada suatu hari pasti jiwanya tak
terlepas lagi dari hukuman alam. Baiklah sekarang kau dan
aku masing-masing mencelat dua tumbak ke beiakang
untuk saling menukar orang!"
Bok Tiat Djin ingin lekas menolong sang kawan dari itu
tidak memikir untuk berbuat licik. Tjiu Piau dan Gwat Hee
dibebaskan dari totokan sesudah itu tubuhnya sendiri
mundur ke belakang. Tjen Tjen pun dibebaskan. Begitu
bebas ia mencelat seperti seekor burung kecil menuju pada
tubuh ayahnya dengan keras leher Louw Eng dipukulnya.
Sesuai dengan cara mematikan ular harus tujuh senti meter
di belakang kepalanya.
Sekujur badan Louw Eng segera menjadi lemas, seperti
tak bertulang ia bertiarap di muka bumi. Tjen Tjen segera
mengobatinya. Gwat Hee melihat Louw Eng tertolong,
hatinya panas seperti dibakar. Sambil mengenakkan giginya
ia berkata: "Menyesal aku tak dapat mengadu jiwaku
dengannya, kalau tidak aku tak mengijinkan bangsat ini
dapat hidup terus!" Hoa San Kie Sau mencelat ke perahu
mereka. Ia berkata sambil menghibur:
"Gwat Hee kau jangan gelisah, rawatlah dirimu dulu baru
kita berusaha lagi. Kulihat wajahmu demikian pucat, apakah
kau menderita luka?" Gwat Hee menuturkan kejadian tadi
pada Kie Sau. Tjiu Piau pun diperkenalkan kepada orang
berilmu ini. Hoa San Kie Sau memeriksa keadaan luka dua
orang ini. "Oh. tidak apa apa. semua dapat diobati, tapi
tidak dengan lekas lekas. Sesudah sembuh dapat tidaknya
kepandaian kalian seperti sediakala, semua tergantung
kepada kerajinan berlatih."
197 Ketika orang melihat Louw Eng sudah minum obat,
tubuhnya tertidur dengan nyenyak, wajah mukanyapun
kembali seperti biasa. Tong Leng menggendongnya.
Beberapa orang ini berlalu. Burung garuda itu pun
mengikuti Tjen Tjen dengan terbang perlahan lahan.
Kie Sau berkata: "Anak perempuan itu sungguh
mengherankan. Melihat binatang apapun segera suka,
binatang binatang itu pun sangat mendengar katanya.
Garuda itu didapatinya di tengah perjalanan, dengan
mudahnya dijinakkan. Aku dapat mencari kalian berkat
petunjuk dari Garuda itu" Tjiu Piau mendengar ini menjadi
heran, pertama kali berjumpa dengannya, dia memelihara
ular. kedua kali berjumpa, melihat ia memelihara kakak tua,
kali ini bertemu lagi ia sudah mempunyai burung Garuda.
Louw Eng dan kawan kawan sudah pergi jauh.
Kie Sau berkata: "Kitapun harus mencari tempat yang
sunyi dan sepi untuk merawat luka yang kamu derita."
"Sekeliling danau ini adalah tempat yang sunyi dan
nyaman, sebaiknya kita kayuh perahu perlahan lahan untuk
mencarinya." jawab Gwat Hee. Perahu dikayuh jalan dengan
pengayuh yang dibawa Kie Sau. Jalan punya jalan, akhirnya
mereka melihat sedikit benda terapung di permukaan air.
Melihat itu hatinya Gwat Hee sepontan bercekat. Ia berseru:
"Suhu kayuhlah perahu kita ke sana!"
Waktu perahu sampai di tempat benda itu, kiranya
adalah carikan dan sobekan dari kain kasar. Sekali lagi
Gwat Hee berseru dengan kaget. "Suhu, Tjiu Piau ko, kau
lihat, bukan kah ini sobekan baju dari kakakku?"
Hoa San Kie Sau mengambil kain itu dengan
pengayuhnya. ditelitinya dengan hati hati tengah ia ragu


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ragu. Gwat Hee sudah berkata lagi. "Suhu kau lihat, di sana ada lagi sobekan baju itu!"
Ketiga orang buru buru ke sana. di dapatinya lagi
sobekan kain yang serupa. Memang ini tak dapat diragukan
lagi. bahwa kain itu adalah baju Djie Hai yang kena sobek.
Waktu dilihat ke tempat yang lebih jauh kembali dapat
198 dilihat dari sobekan baju itu yang mengapung di permukaan
air. Mereka terus mengangkati potongan potongan kain itu,
sedangkan Gwat Hee menempel nempelkan menjadi satu,
kain kain itu sudah merupakan baju atas dari Djie Hai. Gwat
Hee tak tahan lagi ia menangis. "Kakak, kakak apa yang
terjadi pada kau?"
Hoa Sm Kie Sau berpikir sebentar, hatinya sudah
mempunyai tekanan. Pasti ada orang yang menunjukkan
jalan untuk mereka mencari Djie Hai. Kalau demikian Djie
Hai belum meninggal, tapi tidak di ketahui jatuh di tangan
siapa. Perahu di kayuh bertambah pesat, apa baik apa
tidak, tidak dihiraukan. Mereka dengan gagah dan berani
mengikuti kain kain itu terus maju ke depan.
Kala ini tak ada alunan riak memecah, air. Air bening
jernih laksana kaca, dari itu racikan kain tak terpencar,
berbaris sangat rata seperti diatur menuju ke sebuah pulau
terpencil jauh di muka.
Kie Sau dengan hati hati mendekati, perahunya menuju
pulau itu, kira kira tinggal beberapa tumbak lagi segera
akan sampai, tapi tiba tiba perahu itu dihentikan dan
berputar mengelilingi pulau tersebut itu tak menunjuKkan
suatu gerakan yang mencurigai, demikian juga tak terlihat
manusia barang serotongpun. Kecurigaan timbul di hati
mereka, tak berani mereka datang mendekat atau
mendarat. Suatu kebiasaan untuk orang Kangouw tidak
berani sembarangan memasuki daerah yang belum
dikenalnya. Lebih lebih tempat yang tidak ke lihatan ada
apa apanya, sangat pantang untuk sembarangan dimasuki.
Sebabnya sering-sering terjadi tempat yang demikian itu
tak ubahnya merupakan perangkap perangkap yang
berbahaya, sedikit saja tidak hati-hati bisa jatuh dalam
tangan musuh. Hoa San Kie Sau berpikir, kalau ia sendiri yang masuk
masih tidak menjadi soal, andai kata menemui sesuatu
yang tidak baik, masih sanggup mengatasinya dengan
kepandaian ilmunya. Tapi di sampingnya terdapat dua
orang yang menderita luka, bukan saja tidak dapat
199 membantunya bahkan sebaliknya merupakan beban saja.
Untuk meninggalkan Tjiu Piau dan Gwat Hee di perahu,
hatinya tidak mengijinkan.
Tengah dalam bimbang tak berkeputusan, tiba tiba di
permukaan air tampak satu riak gelombang kecil yang
bulat, menyusul sebuah kepala orang timbul dari dalam air.
Hoa San Kie Sou tak mengenal orang itu, baru saja mau
memberi hormat, Gwat Hee sudah mendahului dengan
seruan kagetnya. Tak tahunya orang itu adalah Lu Shi Heng
Tee yang tertua yakni Lu Tie. Ia tertawa dengan gembira,
sekali kali tak merunjukkan sikap bermusuhan.
"Saudara saudara apakah kalian tengah mencari saudara
Djie Hai?" tanyanya dengan ramah tamah.
"Benar," jawab Gwat Hee.
"Lu Toa ko, apakah kau menemuinyakah?"
Lu Tie berdiri di air sambil tertawa.
"Lihat, aku melihatnya dengan baik diair maupun di api!"
kata Lu Tie. Gwat Hee adalah orang yang pintar mendengar
kata-kata ini otaknya segera mengingat kejadian
bagaimana matinya api yang mengurung mereka itu dalam
gelagah. Hatinya memastikan bahwa penolong ini pasti
adalah orang-orang dari Bu Beng To.
"Pagi ini kami dapat menyelamatkan diri dan api pasti
disebabkan pertolongan dari tuan tuan. Betul tidak" Ong To
Tju kini berada di mana" Dapatkah kami menemuinya untuk
menghaturkan terima kasih kami" Mengenai kakakku
dapatkah tuan menunjukkan jalan untuk menemuinya?"
kata Gwat Hee dengan tergesa gesa.
"Terus terang kukatakan bahwa yang menolong kalian di
dalam api adaiah Ong To Tju. Ia menarik gelagah dari
dalam air, sehingga kalian mendapat jalan ke luar. Aku
tidak membantu apa apa. hanya bantu mendorong perahu
saja dari bawah. Tapi kalian harus tahu. Ong To Tju tidak
seperti dulu lagi, ia tidak mau lagi campur tangan untuk
mengurus sesuatu hal yang tidak bersangkutan. Kalian
200 ditolong, sekedar tidak tega saja melihat kalian mati secara
cuma-cuma. Kemudian kalian bertempur di atas pulau
dengan Louw Eng, pada itu Djie Hai kena ditendang ke
dalam danau, sekali lagi Ong To Tju menolongnya. Dari itu
kakakmu tidak kurang suatu apa. harap jangan kuatir."
Gwat Hee baru tahu bahwa racikan kain itu sengaja
disobek kakaknya, untuk menunjukkan jalan. Dapat
dikatakan caranya ini tidak sia-sia dilakukan. Dengan penuh
kegirangan ia berkata.
"Lu Toa ko, tolonglah kami untuk menemui kakakku--Ah, aku lupa tidak memperkenalkan kalian. Ini adalah
guruku yang bernama Hoa San Kie Sau." Lu Tie
menganggukkan kepalanya memberi hormat, sesudah itu ia
berkata pula sambil tersenyum.
"Kini aku tidak mengetahui di mana kakakmu berada."
"Kenapa?"tanya Gwat Hee tersesa gesa.
"Sesudah kakakmu kena ditendang Louw Eng. pahanya
menderita sedikit luka. Benar jaka itu tidak berbahaya, tapi
agak susah juga untuknya berjalan. Sesudah ia beristirahat
sebentar, segera mendesak kami untuk melulusinya
menemui kalian."
Gwat Hee dan Tjiu Piau merasa terharu mendengar
kebaikan dan kecintaan Djie Hai terhadap mereka. Lu Tie
melanjutkan lagi kata katanya: "'Kami menasehatkannya
untuk tidak pergi. Tapi biar bagaimana juga ia hendak
melihat kalian, kalau tidak melihat katanya hatinya tidak
tenang dan penasaran. Hal ini menyukarkan OJg To Tju,
kalian harus tahu To Tju tidak mau campur tangan dalam
urusan Ini. Akhirnya sesudah mengambil keputusan.
diantarnya kakakmu mendarat lagi di pulau, dan
dibiarkannya kakakmu berdaya sendiri untuk mencari
kalian. Kini ia pergi ke mana aku sekali-kali tidak
mengetahuinya. Kalau kalian ingin mencarinya pergilah ke
tempat sana." Habis berkata tanganrya menunjukkan arah
kepada Gwat Hee dan Tjiu Piau. Sedangkan tubuhnya
segera silam ke dalam air. Lu Tie mempunyai kepandaian di
201 air yang luar biasa. Sedikit riakpun tidak tampak, entah ke
mana ia berenang. Atas kepandaiannya di air ini membuat
Hoa San Kie Sau menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
memuji di dalam hati.
Menurut arah yang diberikan ketiga orang merapatkan
perahunya di pantai. Di atas pasir tegas kelihatan tapak tapak kaki, tapak ini ada dua. satu meninggalkan bekas
yang berat, satu ringan, terang ini pasti menggunakan
tongkat untuk membantunya jalan. Ketiga orang ini
mengikuti jejak kaki itu. Dalam pada ini Gwat Hee
menderita luka. demikian juga Tjiu Piau.
Benar dia dipayang oleh Hoa San Kie Sau tapi mereka
tidak dapat berjalan dengan cepat. Sesudah mengikuti agak
lama juga atas jejak jejak kaki itu. sampailah mereka di
sebuah batu besar. Mereka memeriksa batu besar itu
dengan hati hati. Ong Gwat Hee menjumpai sebuah huruf
Ong di atas batu. Mungkin Djie Hai yang menulisnya dengan
menggunakan ilmu dalamnya, sehingga huruf itu seperti
terukir di atas batu itu. Hal ini membuat Gwat Hee girang.
Ia mengambil kesimpulan bahwa kakaknya masih tetap
tidak kehilangan ilmunya. Dicarinya lagi jejak kaki itu,
sekali ini terkecuali dari satu tapak yang dalam, dan satu
yang ringan terdapat tambahan uang kecil yang bulat. Gwat
Hee tidak mengetahui tanda dari apa bulatan itu. Hoa San
Kie Sau menotolkan tongkatnya ke tanah, tanda bulat
segera terlihat seperti tanda yang mereka lihat.
"Kakakmu disebabkan luka, sehingga menggunakan
cabang pohon sebagai tongkat." kata Hoa San Kie Sau.
Mereka berjalan lagi, keadaan tempat semakin sunyi dan
sepi, sebaliknya pohon-pohon semakin banyak. Tanpa
dirasa lagi mereka sudah tiba di tempal yang banyak
belukar lebat, sehingga jejak kaki menjadi kacau dan tak
dapat diikuti lagi. Kie Sau menotolkan kakinya, ke bumi,
tubuhnya mencelat ke atas pohon. Di pandangnya ke empat
penjuru, tapi tidak tampak seerangpun dan tidak terlibat
gerakan gerakan yang mencurigai. Sesudah lama barulah ia
melihat lagi bekas kaki orang di tempat yang agak jauh.
Ketiga orang ini buru buru menghampiri tempat tempat itu.
202 Terlihatlah di rumput itu tiga sampai empat telapak kaki
orang. Hal ini pasti bukan telapak kaki dari satu orang. Hal
ini nyata dan tegas kelihatannya. Pasti adalah jejak kaki
kaki dari Louw Eng dan kawan kawannya yang lewat di sini,
Djie Hai melihat ini segera bersembunyi. Selanjutnya
bagaimana, tak dapat dikira kira lagi, ketiga orang ini
mengikuti jejak kaki berjalan, tapi tapak kaki Djie Hai sekali
kali tidak teriihat. Sesudah mereka melewati beberapa
sungai kecil. Perjalanan mereka terhalang oleh sebuah
sungai yang besar. Sesudah sungai ini diseberangi mereka,
jejak jejak kaki itu hilang tidak berbekas.
Melihat keadaan ini Kie Sau sadar usaha untuk menemui
Djie Hai kandas sama sekali Sementara itu ia membujuk
kerisauan Gwat Hee dan mengajaknya pergi ke sebuah kota
kecil untuk mengatur rencana jangka panjang dengan
tenang. Luka Gwat Hee tidak ringan, Kie Sau menolongnya
sambil membetulkan dan mengatur perjalanan darahnya,
selain itu ia memberikan juga obat untuk dimakan,
sehingga lukanya Gwat Hee agak baikan. Gwat Hee
diberinya pula petunjuk untuk bersemedi guna mengobati
lukanya, di samping; itu untuk memperdalam ilmunya.
Tjiu Piau menderita di luar, tapi untuk sementara waktu
tidak dapat dengan segera diobati. Lukanya itu berat juga,
karena kedua tangannya menderita patah tulang, tulang
tulang itu sudah salah sambung, tambahan di tempat
patahan itu tulang-tulang sudah menjadi hancur.
Kemungkinan untuk disambung sudah tak ada lagi. Hoa San
Kie Sau berikhtiar mencari tabib di sekitar tempat itu. Tapi
tak seorangpun berani mengobati, mereka mengatakan
kenapa tidak siang siang datang berobat. Sekarang lukanya
sudah demikian macam, sudah tak tertolong lagi. Hal ini
membuat Tjiu Piau gelisah, ditambah penderitaan sakitnya
berturut turut beberapa hari, sehingga tubuhnya kian hari
kian menjadi kurus.
Pada suatu hari Tjiu Piau merasa kesal, untuk
menghilangkan kekesalan hatinya ia pergi berjalan jalan ke
203 luar kota kecil itu. Saat itu masih pagi, sinar surya
menerangi keadaan pohon pohon yang menghijau di sekitar
pandangan mata. Tjiu Piau beristirahat di bawah sebuah
pohon yang rindang. Pikirannya terbang jauh melayang
memikiri kejadian kejadian yang dialaminya semenjak
meninggalkan rumahnya. Kini tangannya sudah menjadi
patah, sejak ini ia merasa kepandaian tunggal Bwee Hoa
Tok Tju sudah tak dapat dipakai lagi. Apakah ilmu ini akan
sirna dengan begini saja, pikirnya. Mengingat ini hatinya
merasakan kedukaan yang hebat.
Tiba tiba seekor kelinci berlari-lari mendekati Tjiu Piau
yang tengah memikiri nasibnya. Kelinci itu membuka
matanya menatap dia. Kemudian kelinci itu lari secepat
cepatnya waktu melihat Tj u Piau bergerak. Dalam waktu
sekejap saja sudah tidak kelihatan lagi mata ekornya.
Kelinci itu membangkitkan perasaan iri Tjiu Piau, hatinya
berpikir. Andai kata aku tak menderita luka. segala Kelinci
yang bagaimana lircah pun pasti tidak dapat menandingi
kegesitanku. Asal hatiku ingin menangkapnya cukup dengan
menggoyangkan tangan untuk melepaskan beberapa butir
batu, matanya dapat kubutakan, kakinya dapat
kupincangkan, dalam keadaan demikian aku dapat
menangkapnya dengan mudah sekali. Memikir sampai di
sini kerisauannya bertambah - tambah, dengan gusar
kakinya diangkat untuk menendang segala batu - batu yang
berada di situ. Sungguh kebetulan sekali salah satu batu
yang disepak itu melayang ke udara dengan kerasnya. Dan
mengenai seekor burung gereja yang sedang terbang.
Burung itu tanpa mengeluarkan bunyi lagi segera jatuh ke
bawah ! Melihat kejadian yang serba kebenaran ini membuat hati
Tjiu Piau menjadi senang. Ia berjalan mendekati burung itu,
sambil membungkukkan badan, digigitnya burung itu
dengan mulutnya, diletakkan di dengkulnya untuk diperiksa.
Benar saja burung itu mati karena batu yang disepaknya
tadi. Hatinya sepontan mempunyai pendapat yang baik,
sehingga hatinya yang gelisah dan risau itu hilang tersapu
bersih. Mukanya bercahaya dan berseri-seri, sedangkan
204 kakinya loncat loncatan kegirangan, sehingga rasa nyeri di
tangannya menjadi hilang, Ia meloncat ke barat dan
mencelat ke timur sambil menendangi batu batu yang
berserakan di situ. Dalam waktu sekejap kolar-kolar kecil
itu beterbangan di udara dengan serabutan!
"Tanganku sudah patah, tapi kakiku masih baik. Orang
lain menggunakan tangan untuk melepaskan senjata
rahasia,kenapa aku tidak memakai kakiku untuk
melepaskan senjata rahasia?" Pikir Tjiu Piau di dalam hati.
Tjiu Piau kembali menendangi batu dengan
serampangan. Kian lama kian beraturan larinya batu batu
yang kena ditendang itu. Dalam girangnya Tjiu Piau
bertekad untuk melepas senjata rahasia dengan Kedua
kakinya. Beruntun beberapa hari Tjiu Piau mempelajari
seorang diri ilmu ini. Alhasil batu betul itu dapat dilepaskan
oleh kakinya sekehendak hatinya. Tambahan kegesitan
yang sudah dimilikinya memang baik. Tak heran dalam


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu setengah bulan pelajaran itu dipelajarinya dengan
memuaskan. Kini Tjiu Piau mempelajari cara lain pula. Kaki
kirinya terangkat menendang batu perlahan-lahan, kaki
kanannya menyusul terangkat menyepakkan lagi batu itu
yang belum turun ke tanah. Batu itu kena ditendang
merapung ke udara dengan cepatnya dan keras melebihi
lontaran tangan, sehingga sekali tendang ini membuat hal
yang di luar dugaan!
Tjiu Piau melibat batu itu dapat,ditendangnya demikian
tinggi membuat hatinya girang betul, dicobanya berkali kali
sampai puas. Batu-batu itu dapat ditendangnya tinggi atau
rendah, cepat atau lambat, sekehendak hatinya, sehingga
pelajaran ini agak dapat dikuasai dengan matang. Kala itu
senja mendatang, burung beratus-ratus pulang
kesarangnya. Tjiu Piau mengawasi seekor gagak hitam yang
terbang mendatang.
Katakan lambat tapi cepat, gagak itu bercoet sekali dan
jatuh dan udara ke muka bumi. Tjiu Piau kegirangan,
beruntun kakinya terangkat untuk melepaskan batu-batu
guna menghantam dua gagak yang tengah hinggap di atas
205 sebatang pohon yang tidak berjauhan dari tubuhnya.
Seekor kena dihajar sayap kanannya sampai tak dapat
terbang, gagak itu bergelapakan dan jatuh perlahan-lahan.
Gagak yang sudah terbang dan hinggap di sebatang pohon
yang sangat rimbun daunnya. Tiba tiba batu Tjiu Piau
menghajar dengan kerasnya. Tiba tiba "waaa" mendatang
suara aneh, agaknya batu itu mengenai sesuatu, dari pohon
itu mendadak jatuh turun sebuah benda yang hitam.
Sesudah ditegasi baru tahu benda itu adalah orang.
Tjiu Piau kaget melihat hal ini, pikirnya ia sudah
membuat onar. Lekas lekas ia lari untuk menyanggapi
tubuh orang, sayang hal ini tidak dapat dilakukan, karena
tangannya yang patah itu tidak bertenaga dan tidak dapat
digerakkan. Tengah ia bingung dan gelisah, orang itu
beruntun berjungkiran dari atas pohon yang tingginya lima
enam depa itu dengan tak gugup sedikit juga. perlahan
lahan kakinya tiba di muka bumi tanpa menerbitkan suara.
Orang ini dengan baik berdiri mengawasi Tjiu Piau,
mukanya sedikit juga tidak marah, napasnya juga tidak
memburu, sambil menepak nepak pantatnya ia berkata.
"Siau ko, aku sedikit juga tidak melakukan hal yang
menyakiti hatimu, kenapa tidak hujan tidak angin kau
menyerang aku?"
Orang ini memakai baju yang banyak tambalan, tapi
tercuci demikian bersih seperti pengemis tapi bukan. Di
pinggangnya terdapat sehelai kain yang panjang dililit lilit
entah apa yang disimpan di dalamnya. Sedangkan
pengawakannya sangat kate, mukanya merah bersinar,
kepalanya sudah agak rontok rambutnya, di janggutnya
terdapat jenggot yang sudah putih. Usianya lebih kurang
enam puluhan, tapi wajahnya seperti anak anak saja.
Tjiu Piau mendengar kata kata orang, seolah olah tidak
mengandung maksud jahat, dari itu ia maju ke depan
sambil menghaturkan maaf. "Lo Tia tia (orang tua yang
terhormat) harap jangan gusar, barusan aku tidak
mengetahui kau berada di atas pohon, apakah batuku
membuat kau luka?"
206 Orang tua itu tertawa dengan terbahak bahak sambil
berkata ; "Melukakan aku" Kau ingin melukakan aku" Ha--ha " , ha Jika kau bisa melukakan aku, di dalam dunia
yang lebar ini kau dapat malang melintang sesuka hati!"
Kata katanya ini sangat terkebur, ia tertawa lagi dengan
tiba tiba berhenti lagi. Diawasinya Tjiu Piau dengan tajam
kembali ia berkata :
"Hei! Tanganmu itu kenapa" Patahkah?"
Dengan hormat sekali Tjiu Piau berkata: "Lo Tia tia sekali
lihat sudah mengetahui, tanganku memang kena
dipatahkan orang."
Orang tua itu melangkahkan kakinya menghampiri Tjiu
Piau, tangan Tjin Piau diperiksanya dengan teliti, dengan
perlahan ia berkata:
"Patah sampai demikian macam! Kalau tidak kuobati
siapa pula yang dapat mengobatinya?"
Tiba tiba suaranya berubah menjadi keras.
"Mari! Ikut padaku!" ia berlalu tanpa menoleh lagi.
Tjiu Piau menjadi sangsi, hatinya berpikir turut atau
jangan. Sebaliknya orang tua itu terus saja jalan tanpa menolehnoleh lagi. Tjiu Piau menjadi ragu ragu pergi atau tidaknya
tergantung kepada dirinya sendiri. Tjiu Piau tidak bisa
dengan segera mengambil keputusan. Akibat dari
pengalamannya semenjak ia meninggalkan rumah dan
terjun ke dalam masyarakat bebas, mengakibatkan hatinya
tidak gampang percaya kepada mulut orang Tapi orang tua
ini menunjukkan gerak geriK yang tidak mercurigakan,
bahkan dari lagunya saja sudah membuat orang merasa
sayang dan percaya, tanpa terasa lagi iapun melangkahkan
kakinya menyusul orang tua itu.
Sesudah berjalan dua tiga lie, di depan mata tampak
sebuah desa yang terdiri dari tujuh delapan perumahan
gubuk yang terpencil-pencil. Penghuni rumah itu agaknya
tengah pergi ke ladang mereka, di rumah tertinggal kanak
207 kanak yang tengah bermain main. Orang tua itu tiba tiba
menangkap dua ekor ayam jago dengan berhasil, sesudah
itu kembali melangkahkan kakinya dengan cepat. Tjiu Piau
mengikuti terus.
Orang tua itu berkata kepala Tjiu Piau tanpa menoleh :
'Kau jangan ikut dulu ! Kau harus menggunakan ilmu
menyepak batu dulu guna menghajar kira kira dua puluh
burung yang besar untuk ditinggalkan di sini hitung hitung
sebagai gantinya dari dua ekor ayam jago ini . . . sesudah
beres, segera kau pergi ke puncak gunung yang terletak di
sebelah tenggara, di mana ada pohon pohon liu itu di situ
aku berada."
Sambil bicara orang tua itu terus saja berjalan. Begitu
kata katanya habis tubuhnya sudah berada-kira-kira dua
tiga puluh tumbak dari tempat ia bicara Tapi suaranya itu
masih tetap tegas terdengar. seolah olah orangnya tidak
bergerak ke mana-mana.
Tjiu Piau menjalankan pesanan dari orang tua
itu.Kakinya terangkat bekerja dalam sekejap saja beberapa
ekor burung yang terbang lewat di atas kepalanya telah
menjadi korban batu batunya yang terlepas dari kakinya. Ia
berdiam kira kira setengah jam lamanya, burung burungpun
sudah didapat dua puluh ekor tepat.
Tanpa membilang apa apa burung burung itu diletakkan
di depan rumah pak tani di situ, sedangkan ia sendiri buru
buru berlalu ke arah tenggara menyusul orang tua aneh
tadi. Belum berapa lama Tjiu Piau berjalan Sampailah ia di
sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Walaupun demikian
bukit ini penuh ditumbuhi pohon pohon yang lebat. Tjiu Piau
menyedot napas segar, kemudian membentangkan ilmu
mengentengkan badannya untuk sampai di puncaknya bukit
itu. Dari tempat atas ini ia dapat melihat kesebelah bawah
dengan tegas, benar saja di sebelah bawah terdapat pohon
liu yang gemelai ditiup angin. Sesampainya Tjiu Piau di
bawah pohon, matanya segera menampak dua ekor ayam
jago itu diikat orang tua itu di atas dahan pohon liu,
208 sedangkan orang tuanya sendiri terdapat di bawah ponon
liu tengah tidur menggeros dengan nyenyaknya. Tjiu Piau
duduk di samping tubuh si orang tua tanpa berani
mengganggu untuk membangunkannya.
Orang tua itu tidur kurang lebih satu jam penuh.
Sedangkan mataharipun sudah turun ke arah barat dan
terbenam di balik gunung, pada saat inilah orang tua itu
baru bangun dari tidurnya.
Ia tertawa sambil berkata pada Tjiu Piau: "Kau bisa
menyayur tidak" '
"Aku hanya bisa menyalahkan api untuk menanak nasi."
'Sudahlah sudah. Yang pasti aku harus masak untuk kau
makan, betul tidak" Pikir saja lenganmu mana bisa
bergerak untuk menyalakan api" Mari, mari. Hari ini aku
harus mengobati lenganmu itu dulu sesudah itu baru
mengundangmu makan," kata orang tua itu dengan jenaka.
"Dengan cara apa Lo Tiat tiat ingin mengobati aku?"
tanya Tjiu Piau dengan heran.
Orang tua itu tidak menjawab, sebaliknya ia bertanya
kembali pada Tjiu Piau.
"Kau dapat menahan sakitkah?"
"Aku dapat!"
"Kalau bisa baik sekali, tapi aku juga tidak berniat
membuat kau merasa saKit."
Habis bicara tangannya memijit - mijit tubuh Tjiu Piau,
entah di sebelah mana ia menotok jalan darah Tjiu Piau.
membuat Tjiu Piau merasakan seKujur badannya menjadi
kaku dan hilang perasaan sakitnya. Orang tua itu
mengeluarkan sebilah pisau kecil, daging Tjiu Piau segera
dibeleknya. tulangnya dikerik sedang tulang tulang kecil
sebagai hancuran dari luka itu dibuangnya.
Kemudian dengan cepat dan sebet sekali dilekatkannya
cabang pohon liu yang sudah diraut bersih dibanjuri darah
jengger ayam jago. Di tempat bekas dipotong dibubuhi obat
209 bubuk yang terakhir dilekatkannya kayu dari sebelah luar.
Tidak sampai setengah jam lamanya kedua tangan Tjiu Piau
itu sudah selesai dioperasi. Pembaca yang budiman,
ketahuilah inilah cara pengobatan cara Tionghoa yang luar
biasa untuk menyambung tulang yang patah.
Sesudah selesai orang tua itu mengobati Tjiu Piau,
diambilnya ayam jago yang sudah selesai dipakai itu, tubuh
ayam itu di bungkus dengan tanah liat. sesudah itu segera
dibumbui (dibakar alam abu yang panas). Masakan ini
dinamai ayam tambus. Berkat kepandaian makan mereka,
dalam sekejap saja ayam itu sudah tinggal tulangnya.
Dengan suara bengis ditegurnya Tjiu Piau ; "Lekas kau
ceriterakan siapa yang membuat lenganmu menjadi patah!
Jika harus patah, aku akan mematahkan lagi lenganmu itu!"
Gentakan dari orang tua itu membuat hati Tjiu Piau
merasa gentar dan takut. Ia tak dapat menjawab dengan
segera, hatinya risau tidak keruan sedangkan mulutnya
kemak kemik tak bersuara. Hal ini rupanya sudah diketahui
orang tua itu, dengan tersenyum lucu ia berkata pada Tjiu
Piau: "Kau tentu tengah berpikir untuk bagaimana mengatakannya kepadaku. Tapi awas, kau mendusta sedikit saja
aku dapat tahu. Dalam jaman ini yang dapat membuat luka
semacam ini hanya beberapa orang saja, kau tidak
mengatakan juga aku dapat mengira - ngiranya beberapa
bagian. Lekas katakan!"
"Lo Tia-tia,, aku...aku dilukai oleh seorang jahat. Orang
jahat itu bernama..." jawab Tjiu Piau dengan gugup.
"Orang jahat macam apa?" potong orang tua itu.
Pertanyaan orang tua itu membuat Tjiu Piau terdiam
sejenak, sesudah ia berpikir sebentar baru dapat
menjawab: "Orang jahat ini adalah budaknya bangsa
Tjeng." "Pikiranku tidak salah, tentu si Jarang Ketawa yang
melakukan betul tidak?" tanya orang tua itu sambil tertawa.
Selanjutnya orang tua ini kemak kemiK melanjutkan kata
210 katanya, kata kata ini seperti diucapkan untuk diri sendiri.,
agaknya untuk Tjiu Piau juga. "Lukamu ini menghancurkan
tulang sampai hebat. Di tempat lukanya hanya tertinggal
sedikit tanda cacat yang ringan. Ini menandakan
penyerangan dari golongan kelas dua. Misalkan ilmu kelas
satu. pasti tidak mematahkan dan menghancurkan tulang di
sebelah bawah daging yang dipukul, sebaliknya tenaganya
dikirim melalui sumsum terus menyerang persendian
sehingga sendi sendi pada putus. Dengan cara ini orang itu
sukar tertolong lagi. Masa sekarang yang bisa melukakan
kamu semacam ini orangnya dapat dihitung dengan jeriji.
Diantaranya orang yang dapat dihitung ini, Louw Eng
termasuk yang sewenang wenang menggunakan ilmunya.
Di dunia Kang Ouw ia membuat entah berapa banyak onar.
. ." Orang tua ini tidak melanjutkan kata katanya tiba tiba berkata keras sesudah berhenti sejenak.
"Louw Eng adalah manusia yang jahatnya luar biasa,
nyatanya ia sudah melukakan kamu kenapa kau dapat
meloloskan diri, lekas kau tuturkan!"
Sesudah Tjiu Piau mendengar kata kata orang tua itu.
Timbul rasa percaya dan hormat kepada orang tua itu. Ia
sadar bahwa orarg tua ini adalah golongan tinggi dalam
dunia persilatan, ketika ini juga ia sudah mengambil
ketetapan untuk tidak berdusta. Ia berkata dengan hormat
sekali. "Kata-kata Lo Tia. tia benar sekali. Misalkan Siauw pwee
tidak mempunyai mutiara beracun, saat ini pasti tubuhku ini
sudah tinggal tulang belulang yang putih."
Mendengar ini orang tua itu agaknya girang sekan,
alisnya terangkat sedikit Ia berkata sambil memperhatikan
Tjtu Piau. "Ah. kiranya kau adalah puteranya Tjiu Tjian Kin"
Yang dipanggil dipanggil Tjiu--!
'Siau pwee dipanggil Tjiu Piau." sambung Tjiu Piau.
"Ha--- ha---- ha betul---- betul, daya ingatku sungguh
tak kuat sebentar saja lupa semuannya.Tjiu Piau mau tidak
mau merasa heran di dalam hatinya. Entah bagaimana
211 orang tua ini mengetahuinya seorang dari golongan tidak
ternama. Bahkan seperti mengenal namanya juga.
Kemudian orang tua ini jadi ramah tamah seolah-olah
seorang ayah terhadap anaknya.
"Coba ke sini untuk kuperiksa sekali lagi lukamu." Tjiu Piau mengasongkan lengannya. Orang tua itu dengan hati
hati sekali memeriksa lengan itu.
"Baik, lenganmu sudah baik, asal saja kau dapat
merawatnya dengan baik, dalam waktu empat puluh
sembilan hari cabang liu ini akan menjadi seperti tulang,


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga lengan ini tak ubahnya seperti lengan yang
diberikan orang tuamu. Kini kau boleh pulang, dan kembali
lagi esok hari pada waktu yang sama untuk menemui aku."
Habis berkata segera membentangkan langkahnya,
dalam sekejap saja tubuhnya sudah berada dalam jarak
sepuluh tumbak lebih. Tjiu Piau mengawasi punggung orang
tua itu sambil bengong terlongong longong. Ia seperti
merasakan mimpi.
Agak malam Tjiu Piau baru sampai di penginapannya.
Hoa San Kie Sau dan Gwat Hee sudah merasa cemas
menantikannya. Takut kalau-kalau Tjiu Piau mengalami
sesuatu yang di luar dugaan. Hati mereka baru lapang
sesudah melihat Tjiu Piau kembali dengan tidak kurang
sesuatu apa. Hoa San Kie Sau melihat wajah Tjiu Piau yang penuh
dugaan senyuman. Dilihat juga lengannya yang sudah
diobati. Mau tak mau merasa heran.
"Lukamu bagaimana" Siapa yang mengobati! Janganjangan kau kena diperdayakan orang!" kata Hoa San Kie
Sau penuh curiga.
Tjiu Piau dengan jujur menceritakan apa yang dialami
barusan. Kie Sau begitu mendengar orang tua dan pohon,
kegirangannya sudah tak dapat ditahan. Begitu Tjiu Piau
habis menuturkan ia segera bertanya:
"Apakah kau tidak melihat ia membawa burung-burung
212 yang indah?"
"Tidak," jawab Tjiu Piau singkat.
"Tapi biar bagaimana juga dan tak dapat diragukan lagi
orang mi pasti Yauw Tjian pwee adanya. Orang tua ini kalau
mau memberi sedikit petunjuk-petunjuk kepadamu bukan
main baiknya." Sesudah ia beipikir sejenak segera berkata
pada Gwat Hee : "Lekas kau pergi turun ke kota, selidikilah apakah di daerah sini mengeluarkan burung-burung yang
indah" Pilihlah burung yang tercantik, berapa yang diminta
pedagang itu bayar saja, belilah barang seekor dua.
Lekaslah!" Gwat Hee tidak mengetahui maksud Kie Sau.
Sebelumnya ia tak pernah melihat gurunya menyuruh
melakukan hal yang otak-otakan ini. Pasti ada sesuatu yang
menjadi sebab. Tak banyak pikir lagi segera membawa uang untuk
membeli burung.
Seperginya Gwat Hee, Kie Sau kembali berkata kepada
Tjiu Piau: "Kali ini sungguh mujur sekali. Orang tua itu
adalah salah seorang dari tiga orang berilmu yang paling
tinggi pada jaman ini. Kau berjumpa dengannya, kau
terhindar dari cacat. Lebih-lebih kalau ia mau memberikan
sedikit petunjuk kepadamu, ilmunya itu dapat kau
pergunakan seumur hidup tanpa habis habis. Esok kau pasti
berjumpa lagi dengannya, ingatlah kata-kataku jangan
buang ketika secara percuma." Tjiu Piau mendengar
petunjuk-petunjuk dari Kie Sau. Di samping itu ia tidak
membuang ketika begitu saja, ditanyainya tiga orang
berilmu untuk masa ini. Orang tua-tua itupun mengatakan
golongan dari orang berilmu kelas dua dapat dihitung
dengan jeriji. Hoa San Kie Sau mengetahui benar soal dunia
Kang Ouw ini seperti menghitung jarinya sendiri. Ketika itu
juga ia menerangkan kepada Tjiu Piau: "Orang tua itu she
Yauw usianya sudah mendekati delapan puluh tabun tapi
adalah yang termuda dari tiga besar sekarang ini. Akan
ilmunya sama terkenalnya dengan yang dua orang lagi.
Adapun kepandaiannya yang khusus yakni dapat mengobati
segala luka luar dalam. Pokoknya dalam hal ini sukar
213 mencari orang keduanya. Seorang lagi adalah Hek Liong Lo
Kuay, kini usianya delapan puluh tahun, orang ini berada di
Kwan Tong di sungai Amur (Hek Liong Tjiang) ilmunya
sangat gaib dari itu ia mendapat julukan Hek Liong Lo Kuay
(Naga hitam yang gaib). Yang ketiga adalah seorang
pendekar wanita yang sangat terkenal, yakni Pang Kim
Hong yang berhasil mengalahkan Peng San Pai. Kini usianya
sudah lebih dari delapan puluh tahun. Sepuluh tahun
belakangan ini namanya jarang terdengar lagi. Adapun
kepandaiannya yang khusus ialah dapat membedakan
segala obat-obatan, dan dapat tahu kasiat dan cara
menggunakaunya. Dari itu orang-orang Kang Ouw percaya,
ia masih dalam keadaan sehat."
Sesudah diam seketika Kie Sau melanjutkan lagi
penerangannya kepada Tjiu Piau: "Mengenai orang dari
tingkatan kelas dua sukar untuk dikatakan. Sebab setiap
saat banyak golongan muda merendengkan namanya
dengan golongan tua. Tentu saja sesudah pertemuan Oey
San di sana bisa diketahui." Tengah mereka asyik bicara,
Ong Gwat Hee sudah kembali dari pasar burung.
"Soe-hoe, Soe hoe aku sudah dapat membeli seekor
burung yang mungil dan cantik. Coba tebak berapa duit
kubeli. Lima puluh tail perak!" Tangannya terangkat naik
menjinjing sangkar burung yang baru dibelinya itu. Burung
itu kira Kira sebesar burung gelatik besarnya.
Burung itu demikian mungilnya, warnanya ungu mulus,
kelihatannya seperti permaisuri yang agung saja. la
mengelapak-gelapak di dalam dengan sangat lincah dan
lucu, membangkitkan rasa sayang dau cinta. Tiba-tiba
paruhnya terbuka memperdengarkan nada mengalun halus
dan bening. Suaranya tidak seperti burung kecil saja.
"Soe hoe coba katakan bagus tidak burung ini" Mahal
tidak?" "Mengenai burung atau kembang aku tidak mengetahui
sebab bukan ahlinya. Dari itu jelek baiknya aku sama sekali
tidak tahu. Pokoknya asal bagus dilihat, dan harganya
termahal pasti bagus."
214 "Aku memutari kota ini untuk mencari burung. sungguh
aneh burung burung di daerah sini banyak sekali, bagus
bagus dan mungil-mungil. Pasarnyapun besar. Sesudah
kupilih pilih, kudapati ini yang paling bagus dari yang lain
harganyapun paling mahal." tambah Gwat Hee dengan
bangga. "Ini baik," jawao Kie Sau. Gwat Hee girang dapat pujian dari gurunya. Tapi masih tidak tahu gurunya mengandung
maksud apa dengan burung ini. Dari itu tak tahan lagi untuk
tidak bertanya.
Hoa- San Kie San menjawab: "Kalian tidak tahu, bahwa
Yauw Lo Tjian pwee dalam hidupnya ini mempunyai hobby
yang unik. Yakni suka mengumpuli segala macam burung
yang aneh dan bagus. Kini ia menampakkan diri di kota ini,
mungkin daerah ini menarik perhatiannya, disebabkan
menghasilkan banyak burung yang indah dan jarang
terdapat di tempat lain. Kalau tidak demikian apa yang
dilakukannya diam di atas pohon."
Gwat Hee sangat cerdik dengan keterangan ini sudah
bisa menerka beberapa bagian dari maksud gurunya.
"Aku sudah tahu maksud Soe hoe yakni menyuruhku
untuk membeli burung yang indah ini untuk diberikan
kepada Youw Lo Tjian pwee bukan?"
Hoa San Kie Sau terbahak bahak tertawa sambil berkata:
"Bocah, kau sungguh pandai, tapi kau hanya mengetahui
sebagian kecil saja akan maksudku. Kau harus tahu, kalau
di daerah .ini menghasilkan burung yang demikian banyak
dan bagus, sudah pasti penduduk adalah ahli ahli burung.
Yoaw Lo Tjian pwee, mempunyai kepandaian yang jarang
dimiliki orang. Tapi untuk mendapatkan burung yang indah,
ia harus datang ke sini. Dalam waktu singkat pasti tidak
bisa mendapatkan burung burung itu. Kalau ia ingin juga
mendapatkan burung yang baik mau tak mau harus datang
kepada tukang burung yang ahli. Karenanya aku menyuruh
kau untuk membeli burung yang luar biasa ini, untuk
diperlihatkan kepadanya Sesudah ia melihat pasti hatinya
215 akan tertarik dan tidak terburu buru meninggalkan tempat
ini. Mengenai ini aku mempunyai daya yang cukup baik.
Bilamana tidak, sekali ia jalan, dicari ke mana juga sukar
untuk mendapatkan dirinya kembali."
"Soe hoe akalmu memang cukup baik, tapi kau harus
pikir apakah Yauw Lo Tjian pwee tidak dapat pergi ke pasar
untuk membelinya?" tanya Gwat Hee.
"Hal ini kau tidak perlu kuatir, sebab orang tua ini mempunyai adat yang anti membeli burung yang sudah ada di
sangkar!" Habis bicara Kie Sau menitahkan Gwat Hee harus begini
begitu. Gwat Hee manggut manggut sambil tersenyum geli.
Kie Saupun memesan wanti - wanti kepada Tjiu Piau agar
tidak melewatkan waktu yang baik, untuk minta pengajaran
dari orang tua itu. Selanjutnya pada keesokan harinya, Tjiu
Piau menepati janji untuk datang ketempat di mana
kemarin ia berpisah dengan orang tua itu. Saat ini baru ia
memperhatikan bahwa tempat ini penuh dengan pohon
pohon yang lebat, di samping itu terdengar pula banyak
suara burung berkicau memenuhi telinga dengan merdunya.
Burung burung itu beterbangan dengan bebasnya.
Disebabkan terlalu banyak sukar untuk membedakan
jenisnya. Sesaat kemudian sudah berlalu. Tjiu Piau masih
belum menampak orang tua itu, ia duduk duduk di bawah
pohon untuk menantikannya. Tak lama kemudian
terdengar suara tertawa secara tiba tiba dari atas pohon,
suara itu menunjukkan kegirangan yang luar biasa. Waktu
Tjiu Piau dongak tampak orang tua itu sudah ada di atas
pohon entah sejak kapan ia berada di situ. Tubuhnya itu
seperti daun tua yang gugur melayang turun perlahan
lahan, sedangkan tangannya me-megang seekor burung
berwarna yang indah sekali. Burung itu tidak henti
hentinya diawasi dengan penuh kegirangan yang melimpahlimpah. Tjiu Piau buru buru maju ke muka dengan penuh
hormat. "Eh, apakah kau yang kusuruh datang ke sini".....Eh ya
betul betul. Coba kau lihat itu apa?"
216 Tjiu Piau melihat ke sekeliling itu dengan penuh
perhatian tapi tidak menampak sesuatu.
"Kau lihat tidak, lihat tidak?" Mulutnya berkata, matanya tetap mengawasi burung yang baru ditangkapnya itu.
Sesungguhnya Tjiu Piau tidak melihat sesuatu yang
dimaksud itu. Dengan gugup ia bertanya: "Mohon petunjuk
dari Tjian pwee, bahwa aku sesungguhnya tidak melihat apa
yang aneh."
Orang tua itu tetap mengawasi burungnya, mulutnya
terbuka: "Masih belum melihatkah" Yang kumaksud adalah
tumpukan batu di tanah itu!"
Memang sebenarnya di tanah itu entah kapan sudah
terdapat batu batu yang bertumpukan.
"Maksudku menitahkan kau datang kesini, tidak lain dari
pada ingin menitahkan kau memindahkan batu batu itu dari
sana ke sini!"
Tjiu Piau agak merasa susah, hatinya berpikir,
"Lenganku baru baik, mana bisa digunakan untuk
mengangkat' yang berat berat. Sedangkan orang tua inipun
sudah mengatakan harus hati hati melawatnya selama
empat puluh sembilan hari. Kenapa kini aku disuruhnya
memindahkan batu batu ini" Mungkinkah Yauw Lo Tjian
pwee ini sedang bergurau saja" Dengan lambat-lambatan
Tjiu Piau menindak ke tumpukan batu batu itu dengan
harapan orang tua itu membatalkan akan titahnya.
Sesampainya Tjiu Piau di depan batu, dengan terpaksa
badannya dibungkukkan sedangkan lengannya sudah ke
luar untuk mengangkat batu batu itu. Pada saat inilah
terdengar suara orang tua itu dengan keras: "Tidak boleh
mempergunakan tangan!" Tjiu Piau buru buru berdiri
dengan tegak tanpa mengetahui maksud dari Yauw Lo Tjian
jiwee itu. Orang tua ini melihat Tjiu Piau tidak bergerak
gerak baru ia mengangkat sedikit kepalanya sedangkan
matanya mengedip ngedip.
217 "Budak tolol ke mana kepandaian kau kemarin, lekas
gunakan kakimu tendangi batu batu itu!"
Tjiu Piau baru sadar bahwa kepandaiannya menendang
batu batu itu sudah diketahui orang tua ini. Hal ini
membuatnya merasa malu, tapi dengan cepat hatinya ingat
kata kata dari Kie Sau, dari itu kesempatan ini tidak disia
siakan begitu, maka ditendanginya batu batu itu menurut
petunjuk orang tua itu.
Sesudah Tjiu Piau membidik dengan tepat, mulailah
kakinya beruntun runtun terangkat naik. Satu, dua, tiga
semua batu-batu beterbangan dan jatuh pada suatu tempat
yang tidak berjauhan satu sama lain. Orang tua itu tetap
tidak mengangkat Kepalanya, ia tetap asyik mengusap usap
burungnya itu. Tapi mulutnya berKata :
"Lambat sekali, terlalu lambat. Agak cepatlah kau angkat
kakimu itu."
Tjiu Piau menurut sekali demi sekali kakinya diangkat
terlebih cepat dari semula. Sebab ini batu batu itu tidak
berapa tepat lagi jatuh di suatu tempat. Ada yang kejauhan,
ada yang tak sampai, ada yang ke samping kanan ada yang
ke samping kiri. Sebaliknya orang tua itu tidak
memperdulikan hal ini, mulutnya mengoceh memburu buru
orang, semngga Tjiu Piau tidak sempat untuk menarik
napas. Dengan susah payah batu batu itu akhirnya dapat
juga di tendang habis. Makanya sudah merah napasnya
empas empis. Batu batu itu hanya sedikit saja yang jadi
tumpukan, selebihnya berserakan ke mana mana.
Sesudah Tjiu Piau selesai melakukan titahnya orang tua
itu baru berdiri mengawasi sambil berkata:
"Indah betul! Ilmu menendang mu ini sungguh luar biasa
dan menyenangkan. Aku sudah hidup puluhan tahun tapi
belum pernah mendengar adanya ilmu semacam yang kau
miliki ini. Eh anak tolol, baik-baiklah kau pelajari ilmu ini.
Tiap hari kau harus datang ke sini untuk menendang batu
batu ini pulang pergi. Dalam waktu setengah tahun atau
setahun ilmu ini besar manfaatnya bagimu."
218 Tanpa menoleh lagi ia pergi meninggalkan Tjiu Piau
seorang diri. Sesudah mendengar keterangan orang tua itu,
hati Tjiu Piau menjadi lapang. Ia tahu ilmunya ini


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelumnya belum pernah dipelajari orang. Baru saja
hatinya ingin minta pengajaran terlebih lanjut orang tua itu
sudah berlalu tanpa pamitan. Terkecuali dari itu orang tua
ini tidak meninggalkan pesan untuk ia datang kembali. Tjiu
Piau ingin mengejar orang tua itu, tapi tahu hal ini akan sia
sia belaka. Tiba tiba terdengar suara kicauan burung yang luar biasa
merdu. Orang tua yang pergi itu menghentikan kakinya.
Suara burung ini demikian menarik sekali, membuat si
pendengar menjadi senang dan menghilangkan segala
kerisauan di dalam hati. Tjiu Piau kenal suara burung ini.
yakni suara burung yang dapat dibeli Gwat Hee di pasar.
Tiba tioa entah dari mana Gwat Hee lari ke luar sambil
membawa burungnya. Dengan girang ia berkata pada
burungnya: "Nyanyi lagi! Burung yang manis ayo nyanyi
lagi untuk kami dengar!" Burung itu membuka lagi paruh
untuk memperdengarkan suaranya yang luar biasa
merdunya itu. Kali ini suaranya sangat panjang, semakin
menyanyi semakin tinggi alunan suaranya itu demikian
lembut dan bening. Suara itu bergema dan terus naik ke
atas untuk hilang dibawa gelombang udara ke atas awan.
Tiba tiba ada suara seseorang berkata: "Burung yang indah
dan bagus, benar benar seekor burung yang jarang
didapat!" Kiranya orang tua itu mendengar bunyi burung itu, sudah
datang kembali. Entah kapan ia sudah berdiri di hadapan
Gwat Hee dengan perhatian penuh terhadap suara burung
itu. Orang tua itu segera bertanya pada Gwat Hee: "Hei, Siau
ko dari mana kau dapat burung ini" Mau tidak tukar dengan
burungku" Kau lihat burungku ini warnanya demikian
menarik, kucing, merah, hijau, dan putih serta hitam.
Pokoknya segala warna yang tndah dimiliki semua."
219 Gwat Hee sengaja mengerutkan keningnya.
"Siapa yang kepengenan burungmu itu" Burung yang
semacam kau ini dalam seharian dapat kutangkap dua belas
ekor! tapi dalam dua belas ekor itu tidak mungkin dapat
diketemukan sehelai bulunya yang berwarna ungu semacam
burungku ini. Coba kau perhatikan burungku ini demikian
mulus warnanya sedikit juga tidak tercampur warna lain,
Sudah pernahkah kau melihat burung semacam ini?"
"Aku sudah melihat banyak dan banyak sekali burung,
tapi terus terang aku kata kan bahwa burung seperti ini
belum pernah kulihat. Aku senang pada burung ini! Kalau
kau tidak mau menukarnya tidak menjadi apa. asal saja kau
mau mengajak aku untuk pergi menangkapnya, bukankan
baik?" Gwat Hee berlaga kaget.
"Hemm, kau sudah tua mana bisa turut denganku untuk
pergi menangkap burung" Ini bukan main main hal ini baru
dapat dilakukan kalau mempunyai kepandaian. Kau pasti
tidak bisa sebab sudah tua "
"Siau ko kau jangan menganggapku tua lantas
memastikan tidak bisa Terus terang kukatakan aku masih
sanggup mengikuti kau ke mana saja. biar jauh tidak
menjadi soal, lekaslah ajak aku pergi. Terkecuali itu aku
dapat meluluskan apa yang kau kehendaki " Mendengar ini
bukan main girangnya Gwat Hee.
"Apakah kata katamu itu dipercaya?" tanya Gwat Hee
pura pura. "Tentu saja," jawab orang tua itu tergesa-gesa.
'Sebaiknya kita bicara sekali lagi agar lebih terang
bukan" Begini, kalau aku dapat menangkap seekor burung
semacam ini untukmu, kau harus memberikan sesuatu
barang kepadaku. Akupun tidak bermaksud untuk meminta
sesuatu barang yang aneh atau yang sukar pokoknya asal
yang terdapat di tubuhmu, baik tidak?"
Orang tua itu mengedip ngedipkan matanya mulutnya
220 tidak henti hentinya mengucapkan : "Baik, baik dengan ini
kita tetapkan janji kita ini."
Tiba tiba Gwat Hee malas malasan.
"Tapi sekarang hari sudah hampir malam," katanya.
"Malam malampun tidak menjadi soal, apa yang kau
takuti!" tanya orang tua itu dengan gelisah.
"Biar bagaimana juga tidak bisa, aku takut. Aku bisa
dipukuli orang tuaku" Habis berkata wajahnya mendadak
menunjukkan rasa girang.
"Begini baik tidak" Yakni esok hari kau datang lagi ke sini sebelum senja.. Kini aku mau pulang." Seiring dengan
habisnya kata kata, tubuhnya segera berbalik berlalu.
Burungnya disuruhnya menyanyi lagi dengan sengaja,
sehingga orang tua itu semakin tertarik hatinya.
Kiranya Gwat Hee melakukan hal ini tidak lain dari pada
menurut akalannya Hoa San Kie Siu. Dengan cara ini mau
tak mau orang tua itu dapat ditahannya untuk beberapa
hari oleh mereka tanpa merasa Orang tua mengejar pada
Gwat Hee sambil berteriak- "Aku menurut katamu, hari
esok aku datang menunggumu di sini sebelum senja."
Orang iua itu mengawasi burung yang baru ditangkapnya
itu. Ia merasa burungnya itu sudah tidak beberapa menarik
lagi, dari itu tangannya segera berserak, burung itu dapat
kembali kemerdekaannya.
Malam ini Gwat Hee dan Tjiu Piau pulang ke
pondokannya dengan hati girang. Sesuatu pengalamannya
diberi tahu pada Hoa San Kie Sau. Mendengar ini bukan
main girang hati Hoa San Kie Sau. Ia tersenyum sambil
berkata: "Kalian sangat beruntung sekali, dengan mudahnya
dapat ketika untuk berkenalan dengan Yauw Lo Tjian pwee
itu. A Piau mendapat petunjuk dari Yauw Lo Tjian pwee
untuk melatih kakinya menendang batu. Ilmu kaki ini harus
kau pelajari baik-baik, jangan menyia nyiakan petunjuk
petunjuk yang berharga dari Tjian pwee ini. belajaran ini
221 dihari kemudian sangat baik dikembangkan. Sebaliknya
burung Gwat Hee menyebabkan orang tua itu tertambat
hatinya, hal ini sungguh baik sekali. Asal saja kau dapat
bergaul dengan orang tua Itu beberapa hari, tidak kuatir
orang tua iiu tidak memberikan petunjuk-petunjuk yang
berharga untukmu."
"Aku sudah berjanji untuk memberikan burung
kepadanya ia akan memberikan sesuatu yang kupinta.
Dengan sendirinya aku akan minta sedikit ilmunya itu untuk
di turunkan kepadaku," kata Gwat Hee dengan girang.
"Gwat djie, hal ini mungkin menyukarkar orang tua itu,
kau harus tahu ia menpunyai tabiat yang aneh yakni
enggan menurunkan pelajarannya kepada orang lain, juga
tidak mau mendirikan suatu cabang perguruan, dari itu
tentu ia tidak mau menerima murid. Dari dulu hingga
sekarang belum pernah kudengar oang tua ini mempunyai
seorang muridpun," kata Kie Sau menjelaskan
"Aku hanya mendapatkan sejurus dua dari ilmunya,
sama sekali tidak menginginkan untuk minta banyak
banyak." "Meski setengah juruspun, pendeknya asal ia
memberikan pelajaran artinya menjadi muridnya."
Gwat Hee menjadi kesal "Kalau begini jadinya, walaupun
aku memberikan burung ini, tentu ia tidak mau memberikan
pelajaran kepadaku tapi kenapa ia mau memberikan
pelajaran menendang batu kepada Piau Koko "
"Orang tua ini anehnya justru di sini. Ia enggan untuk
memberikan pelajarannya kepada orang lain, tapi kalau ia
melihat sesuatu ilmu yang baru didapat orang, ia akan
terlebih giat untuk menganjurkan orang berlatih. Dengan
jalan ini ia tidak menurunkan kepandaiannya kepada orang
lain tapi hanya membantu orang lain menjadi pandai
Semakin rajin orang belajar semakin giat dia memberi
petunjuk, sehingga orang itu akan dididiknya lebih dari
seorang Soe tjou (kakek guru) terhadap muridnya. Sebab
itu dengan cara ini ia selalu dapat menghindarkan diri dari
222 sebutan Soe hoe. PokoKnva perbatikanlah segala kata
katanya. Asal kalian ingin mempelajari sedikit sesuatu
darinya, perhatikanlah akan tabiatnya ini."
Gwat Hee dan Tjiu Piau sesudah mendengar ini hatinya
mulai berpikir untuk bagaimana menghadapi orang tua itu
agar mau memberikan petunjuk-petunjuk pada mereka.
Gwat Hee adalah anak yang pandai dalam waktu sebentar
saja sesuatu sudah Terpikir dalam hatinya. Tapi hal ini tidak
perlu diterangkan di sini, lihat saja apa yang akan dilakukan
anak anak muda ini di depan Yauw Lo Tjian pwee.
Tjiu Piau mengingat benar pesan dari Hoa San Kie Sau,
karenanya tekadnya semakin bulat untuk mendapatkan
petunjuk dari orang tua itu, Tjiu Piau bertabiat jujur dan
rajin belajar, karenanya ia dapat melatih diri dengan tekun
dan ulet. Tambahan pelajarannya itu memberikan
kegembiraan besar, sehingga tak bosannya ia mengulang
dan memperdalam terus akan ilmunya yang baru didapat
itu. Batu batu bertumpukan itu ditendanginya pergi datang
tanpa jera jeranya. Tendangannya semakin lama semakin
cepat, terkejut dari itu bidikannya juga kian tepat dari
sasaran. Tak heran batu batu yang di tendang itu bisa
berkumpul menjadi satu tumpukan baru yang teratur, tak
ubahnya seperti dipindahkan menggunakan tangan saja.
Hasil ini membuat Tjiu Piau bersemangat. maka
dicobanya batu batu itu untuk ditendang terlebih jauh pula.
Kedua kakinya silih berganti menendangi batu batu ia
dengan cepat dan lincah. Batu batu beterbangan seperti
walang sangit mendekati sinar api. Tendang dan terus
tendang ini melupakan Tjiu Piau pada waktu Matahari sudah
naik tinggi sekali. Tjiu Piau beristirahat sebentar, kemudian
melanjutkan lagi latihannya sampai surya agak condong ke
barat belum berhenti. Tjiu Piau lupa pada waktu orang tua
itu pulang. Tiba-tiba sebuah bayangan abu abu entah dan mana
terbang mendatang, tepat sekali merintangi jalannya batu
batu yang di tendang. Tjiu Piau terkejut, takut kalau kalau
223 batunya melukakan orang. Buru buru Kakinya berhenti
menendang, tapi beberapa buah batu sudah terbang pergi
dan mengenai tubuh orang itu dengan telak sekali. Orang
itu jatuh ke muka bumi dengan malu ia merayap bangun,
kepaianya digeleng gelengkan engkau, mulutnya berkata:
"Masih payah belum cukup!" Kala ditegasi orang ini bukan siapa siapa terkecuali orang tua itu.
Tjiu Piau segera memberi hormat: "Lo Tia-tia harap
jangan gusar, sebenarnya Siau pwee sudah melihat kau
turun. Tapi menyesal sekali kakiku tidak dapat ditahan,
sehingga beberapa butir batu mengenai tubuh Lo Tia tia."
Mendengar ini orang tua itu tertawa besar:
"Ini menyatakan kepandaianmu masih payah sekali."
Orang tua itu perlahan lahan mendekat datang, mulutnya
tetap mengoceh. "Masih payah, masih payah!"
"Aku mengatakan ilmu kau itu masih payah. Kau lihat
dan kan harus tahu, dengan batu-batu ini kau harus
menghajar mata orang, ulu hati atau urat urat nadi yang
berbahaya, misalkan kena paling banter hanya melecetkan
kulit saja. Ini namanya kurang dahsyat! Katamu sudah
melihat akan tubuhku, tapi tidak keburu menarik kakimu ini
namanya tidak gesit. Memberhentikan kaki tidak cepat,
dengan sendirinya mengangkat kaki lebih lambat pula.
Tidak tepat, tidak dahsyat, tidak cepat apa gunanya
kepandaian semacam ini."
"Payah! Bangpak!" Orang tua ini sambil bicara tercampur ketawa. Tapi dengan tiba-tiba suaranya menjadi keren;
"Siau ko kau harus ingat, pelajarilah membidik secara tepat dulu baru menggempur secara dahsyat, kemudian melatih
kecepatan. Sekali-kali jangan belajar secara serampangan.
Kau harus dapat membidik seekor lalat dengan tepat seperti
membidik seekor kerbau yang besar. Untuk memperdahsyat
gaya serangan, kau harus dapat memutuskan sehelai
rumput dari jarak seratus tindak. Kecepatan harus melebihi
gaya pendengaran orang, sampai orang itu belum
mendengar suara batumu tapi sudah merasakan terlebih
224 dahulu batu itu!" Selesai bicara langkahnya laju ke muka.
Hanya terdengar suara perlahan keluar dari mulutnya:
"Sungguh satu ide yang baik sekali."
Jilid 8 Melepas senjata rahasia memakai kaki, hal ini
sebenarnya sudah harus terpikir sejak dulu. tetapi kenapa
tidak ada seseorang yang memikirinya"
Habis bicara kaki tangannya memeta seperti orang
menari tarian rakyat, maka batu-batu itu beterbangan kena
kakinya. Agaknya ia tertarik benar dengan ilmu melepas
senjata rahasia dengan kaki ini.
Sesudah orang tua itu berjalan agak jauh, dengan tenang
Tjiu Piau mengaji dan merenungkan kata-kata orang tua
itu, Tjiu Piau mengambil kesimpulan bahwa kata-kata dan
petunjuk petunjuk dari orang tua itu bermanfaat sekali.
Baru saja kakinya akan terangkat untuk melanjutkan
latihannya, terlihat Gwat Hee berlari-lari sambil membawa
sangkar burungnya.
Begitu melihat Gwat Hee orang tua itu merasa girang
sekali. "Ah, kau datang juga. Lekas kasih tahu di mana kita
dapat menangkap burung semacam ini. Yu lekas-lekas kita
pergi menangkapnya."
Sebaliknya Gwat Hee tetap ayal-ayalan.
"Jangan tergesa gesa, sebelum kau turut aku pergi
menangkap burung, kau harus mempelajari beberapa
macam ilmu. Kemudian baru dapat berhasil menangkap
burung-burung semacam ini."
"Pelajaran apa yang harus dipelajari" Jangan yang
berabe ya?"
"Kalau takut berabe pasti kau tidak dapat
menangkapnya. Mari, mari ikut padaku!" Gwat Hee lari ke
225 dalam pohon pohonan yang lebat, orang tua itu mengikuti
dari belakang. Tjiu Piau melihat Gwat Hee dan orang tua itu pergi ke


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam pohon yang lebat hatinya tidak tertarik untuk
mengetahui. Ia terus saja berlatih dengan ilmunya itu. Gwat
Hee mengajak orang tua itu sampai ke sebatang pohon
yang besar sekali, mengeluarkan ilmunya untuk dilihat
orang. Dengan pura pura merasa kaget dibanguninya orang
tua itu. "Kau tidak bisa memanjat, baiklah! Lihat dan perhatikan
caraku memanjat!"
Dengan cepat Gwat Hee memeluk batang pohon
Tubuhnya mengangsrot angsrot naik ke atas. Lengan dan
kakinya silih berganti dikendorkan, sedangkan tubuhnya
semakin lama semakin tinggi. Dalam sekejap saja . ia sudah
sampai setinggi empat lima tambak, Gwat Hee sedari kecil
biasa melakukan permainan anak laKi laki. Tak heran ilmu
naik ke pohonpun sangat mahir, tambahan ia sudah
mempunyai ilmu dalam yang baik, tubuhrya kecil dan
lincah. Karenanya cara naik pohon ini berlainan dengan
orang biasa. Orang tua itu sedari tadi menganggap Gwat
Hee tidak lebih tidak kurang sebagai bocah yang masih
ingusan, siapa kira ilmu memanjatnya demikian cepat dan
ringan, sehingga tidak menggoyangkan sehelai daun yang
halus daii pohon cemara itu.
Orang tua ini merasa heran, matanya terbuka lebar lebar
untuk mengawasi orang menaik ini.
"Kau turun. Lekas turun. Perlihatkanlah sekali lagi
kepadaku ilmu memanjat ini!"
Dengan cara yang sama Gwat Hee merosot turun secara
cepat. Dengan tersenyum bangga ia berkata:
"Apa kau merasa tunduk dengan ilmuku ini" Aku masih
mempunyai ilmu yang bisa mengejutkan orang, kau lihat!"
Segera ia lari ke bawah pohon, dengan satu kali enjotan
badannya sudah berada di atas pohon, jika dibanding
dengan ilmu yang pertama lebih cepat sepuluh kali tikel.
226 Tubuhnya kelihatan sebentar merapat dengan batang pohon
sebentar lagi molos diantara. cabang pohon. Dalam sekejap
mata tubuhnya sudah berada di puncak pohon. Orang tua
itu kegirangan, dan tidak hentinya mengucapkan "bagus."
Orang tua itu sadar bahwa anak muda ini bukan orang
sembarangan, tapi ia tidak sempat untuk memikirkan ini,
karena hatinya lebih banyak tertarik dengan ilmu Gwat Hee
naik ke atas pohon.
"Ilmunya ini walaupun tidak memadai ilmu mencelat dari
golongan kelas utama, tapi mempunyai keistimewaan
sendiri Ilmu mencelatku paling tinggi hanya lima enam
tumbak. Misalkan ketemu pohon yang terlalu tinggi tidak
dapat sekaligus sampai ke atas, kalau mau menginjak
cabangnya yang kecil dengan sendirinya ranting ranting itu
tidak kuat untuk diinjak. Waktu itu, ilmu bocah ini lebih
cepat lagi, dapat dihitung semacam kepandaian yang luar
biasa," pikir hatinya.
Gwat Hee sudah tarun kembali, waktu di lihatnya orang
tua itu berdiri terbengong-bengong. Ia mengurungkan
untuk bertanya tentang ilmunya ini baik atau tidak. Orang
tua itu masih terbenam terus dari lamunannya setengah
jam lebih, sedangkan Gwat Hee berdiri di sampingnya tanpa
berani mengeluarkan sepatah kata.
Senyum gembira perlahan lahan menghiasi bibir orang
tua itu. Mulutnya terbuka dibantu dengan gerakan gerakan
tangannya ia ngoceh sendiri: "Sungguh suatu pendapat
yang bagus sekali, bagusss sekali. Sayang waktu dulu aku
tak dapat memikirnya. Ah! Kenapa dulu iku tidak dapat
memikirnya!! ! " Matanya melirik pada Gwat Hee. "Siau ko kau turutlah padasu!" Mereka segera pergi ke dalam
pepohonan yang rimbun sekali.
Mereka hilir mudik di dalam hutan itu selama setengah
jam lebih, akhirnya orang tua itu berhenti di bawah pohon
yang besar sekali. Pohon itu lebih kurang tiga pelukan
orang dewasa tingginya kurang lebih lima puluh depa.
"Kau lihat." kata orang tua itu kepada Gwat Hee.
227 "Di sini ada sebatang, di sebelah sana ada pula sebatang.
Dua pohon demikian tingginya. Apakah kau sanggup untut
memanjatnya?"
Gwat Hee menghitung di dalam hatinya, bahwa jarak
antara pohon yang pertama dengan pohon yang kedua
sejauh lima enam tumbak,
"Ya, akan kucoba," kata Gwat Hee dengan sungguh
sungguh. Dengan ilmunya yang serupa tadi Gwat Hee sudah
mulai memanjat, dalam waktu singkat tubuhnya sudah di
tempat yang tinggi. Tak lama kemudian Gwat Hee sudah
kembali lagi di bumi dengan tidak Kurang suatu apa. Orang
tua itu tetap memandang ke atas. seolah olah tidak melihat
gerakan turun dari Gwat Hwee. Hanya mulutnya kemak
kemik berkata. "Lambat sekali, kenapa kru tidak
mempertunjukkan ilmu kenandaianmu yang sejati?"
"Ya, aku hanya dapat memanjat dengan kecepatan
demikian. Dapatkah kau memanjat terlebih cepat dariku
untuk diperlihatkan kepadaku?"
Terang-terang kau mempunyai ilmu yang baik, kenapa
tidak kau perlihatkan kepadaku?"
Biar bagaimana Gwat Hee adalah anak gadis yang pndai,
kata-kata orang tua itu membuat hatinya gugup. Hatinya
berpikir.... "Aku sudah memperlihatkan segala
kemampuanku yang terbaik, tapi masih dikatakan aku
belum mengeluarkan ilmu yang sejati. Bukankah dengan
kata ini ia mengatakan aku bodjie (tolol )?"Mulutnya ingin
mengeluarkan beberapa patah kata, tapi semuanya kandas
di tepi bibirnya.
"Kau ingin aku memperlihatkan ilmu yang lebih baik"
Katakanlah yang bagaimana, aku sendiri merasakan tidak
mempunyai cara lain yang terlebih baik dari ilmuku yang
tadi itu "
"Waktu kau mengundurkan lengan dan mengangsrot ke
atas kenapa tidak kau tenaga itu ditambah dengan
Bagus Sajiwo 5 Pendekar Naga Mas Karya Yen To Suling Emas Dan Naga Siluman 10

Cari Blog Ini