Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Bagian 3
menerobos lewat di bawah perut kuda, segera ia telah balik kembali di atas
kudanya. Kedua panah yang dilepaskan ternyata luput semua.
"Orang sendiri!" seru Hui-ang-kin tiba-tiba.
Waktu Hun-cong menegas, barulah ia mengenali mereka itu adalah empat jago
dari suku Sinjia yang semalam bertanding dengan Hui-ang-kin.
Cepat laksana angin keempat jago penunggang kuda itu segera sudah
menerjang datang.
"Kami sudah terkurung oleh musuh, kalian lekas ikut bersama kami menerobos
keluar!" teriak mereka.
Salah seorang dari keempat jago itu segera menarik Hui-ang-kin ke atas
kudanya dan segera menerjang keluar ke sana lagi.
Nyo Hun-cong dan Asta cepat melompat naik ke kuda yang tadi mereka rebut
dan segera ikut menerjang, tetapi mereka sudah telanjur terpotong pula oleh
tentara Boan. Hun-cong lihat keempat penunggang kuda itu sudah berkumpul kembali dengan
suku mereka yang berjumlah dua ratus orang lebih. Walaupun di belakang ada
yang mengejar, tapi ada banyak harapan untuk bisa lolos, maka ia bersama
Asta segera melakukan perlawanan dan bertempur mati-matian.
Tidak seberapa lama, Asta terluka dan lantas tertawan oleh tentara Boan.
Hun-cong sendiri pun tidak urung terluka pundaknya.
Sesaat kemudian ia mendengar suara jeritan ngeri korban pertempuran di
sana-sini, agaknya kepala-kepala suku sudah datang dengan bala bantuannya.
Sementara itu terdengar suara orang memanggil tanpa henti-hentinya,
"Hamaya engkau ada di mana?" Kiranya mereka masih belum tahu kalau Huiangkin sudah ditolong keempat orang penunggang tadi, maka mereka masih
terus mencarinya.
110 Kepala Suku Tahsan, Pahla, dari jauh sudah melihat Nyo Hun-cong, akan
tetapi tidak dapat mendekat karena terhadang oleh serdadu Boan.
Kala itu, pertempuran di padang rumput berlangsung dalam keadaan gaduh.
Dalam pada itu Hun-cong melihat di tengah pasukan Boan berkibar bendera
pengenal Nilan Ciangkun, pikirnya, "Eh, kiranya orang ini juga sudah datang!"
Baru ia berpikir, mendadak pundaknya terkena bacokan lagi.
Lekas Nyo Hun-cong balik menyerang, telapak tangannya telah membikin
roboh beberapa orang, pedang pendeknya terus melindungi tubuhnya.
Pertempuran yang gaduh makin memuncak, suara pertempuran makin hebat,
suara jeritan ngeri saling bunuh membunuh pun makin mengerikan.
Sekonyong-konyong kedudukan tentara Boan menjadi kacau, berpuluh ribu
serdadunya mendadak mundur dengan cepat seperti arus air.
Dalam keadaan demikian walaupun Nyo Hun-cong memiliki kepandaian yang
luar biasa, tapi berada di tengah-tengah lautan manusia, tak dapat ia menahan
banjirnya arus manusia itu, terpaksa ia pun ikut terbawa mundur.
Saat im para serdadu Boan hanya ingat lekas melarikan diri, mereka sudah
tak peduli lagi bahwa di antara pasukannya sendiri masih tersembunyi seorang
musuh. Serdadu-serdadu yang mundur serupa datangnya ombak yang beruntun
mendampar, malahan tiada seorang pun yang mencoba mengurung atau hendak
menghantam Nyo Hun-cong.
Dalam pertempuran yang gaduh itu, kuda Nyo Hun-cong telah roboh binasa
terkena panah, sekuatnya ia melompat bangun, dengan lengannya yang kuat ia
dapat menyambar beberapa serdadu musuh, tetapi ia masih tidak mampu
keluar dari kepungan, masih terus terbawa arus pasukan yang sedang mundur
karena kalah itu, tubuhnya tak terasa harus ikut berlari tanpa bisa menguasai
diri lagi. 111 Dalam keadaan begitu, tiba-tiba di antara pasukan Boan muncul seorang yang
berteriak kepada kawan-kawannya, "Bala bantuan kita selekasnya akan
datang, dilarang mundur, yang melanggar akan dihukum mati!"
Akan tetapi seketika mana bisa terhenti, ada beberapa serdadu yang
bermaksud berhenti, namun mereka jadi tergencet dan terbawa lari lagi oleh
datangnya pasukan yang mundur dari depan.
Nyo Hun-cong mengeluh bakal celaka dan terpaksa berlari, tiba-tiba ia
melihat bendera tanda kebesaran Nilan Ciangkun berkibar di samping sana.
Tertampak Nilan Siu-kiat yang naik seekor kuda bagus dengan dikawal rapat
sedang membentak dan berteriak-teriak.
Dalam keadaan sedemikian ributnya, sudah tentu orang tidak mengerti apa
yang diteriakkannya.
Tiba-tiba Nilan Siu-kiat dapat melihat wajah Nyo Hun-cong juga, ia terkejut.
Kudanya segera dibelokkan dan menerjang ke arah Hun-cong, beberapa
serdadu segera rubuh diterjangnya. Waktu tangannya diayunkan maka
beberapa anak panah bagaikan kilat sudah menyambar ke muka Hun-cong.
Hun-cong yang terdesak di antara rombongan orang yang berjubel-jubel im
tidak bisa berkelit, ia coba mengegos sebisanya tetapi tidak urung bahunya
sudah terkena satu anak panah.
Nyo Hun-cong masih bisa menenangkan pikiran dan mengumpulkan tenaganya,
kedua tangannya segera meraih dua orang serdadu Boan terdekat terus
dilemparkan ke arah Nilan Siu-kiat.
Keruan kuda Nilan Siu-kiat terperanjat dan membeda! menerjang ke samping,
pengawal Nilan Siu-kiat berduyung-duyung mengikuti panglimanya, tetapi Nyo
Hun-cong sendiri tetap terbawa mundur oleh arus pasukan yang kalah.
Sebentar saja bendera tanda kebesaran pun makin mendekat dan tinggal
berjarak dua tiga puluh depa.
Lewat sebentar pula, Hun-cong merasakan bahunya pegal kaku, ia berpikir,
"Apakah tadi terkena panah beracun?"
112 Dalam keadaan yang ribut ia sempat merogoh sakunya dan mengeluarkan
sebutir 'Pik-ling-tan', pil itu pun segera ditelannya. Meskipun begitu ia masih
merasa dadanya mual dan kedua kakinya pun mulai lemas.
Pada saat itu, jika umpama ia lengah sedikit saja pasti akan mati terinjakinjak
oleh pasukan yang sedang mendesak mundur itu.
"Aku tak boleh mati, saudara-saudara dari bangsa Kazak belum aku temukan.
Aku tak boleh mati!" begitu teriaknya dalam hati.
Tekadnya itu seperti mendatangkan satu kekuatan besar pada dirinya, ia
segera berlari lebih kencang lagi.
Pasukan yang mundur itu mulai tersebar, mulai terpencar menjadi kelompokkelompok
yang berusaha melarikan diri, arus manusia yang menekan segera
terasa berkurang.
Hun-cong mengambil kesempatan itu untuk melepaskan diri, ia terus berlari
menuju ke tempat yang tidak banyak orangnya, la lari dan lari terus. Ia tak
tahu sudah berlari berapa lama, tiba-tiba ia melihat di depan ada satu bidang
tanah cekung, di dalamnya seperti ada suara orang dan kuda. Apakah ada juga
pasukan yang bersembunyi di sini?" demikian pikirnya.
Tetapi kala itu Nyo Hun-cong sudah tidak dapat berpikir lebih banyak lagi, ia
meloncat ke dalamnya, dan ketika ia hendak melompat naik ke atas bukit di
atasnya, sekonyong-konyong kedua kakinya menjadi lemas, tulang-tulang
seperti hendak retak, baru saja ia melompat beberapa tindak ia sudah
terjatuh lagi. Namun Hun-cong masih belum pingsan, ia masih mengerti itu adalah karena
terlalu banyak menggunakan tenaga, maka badannya tak tahan. Ditambah pula
terluka oleh panah beracun, otot dagingnya menjadi kaku, ia merangkak naik
ke tengah beberapa batu cadas yang mengelilinginya dan duduk bersila, ia
telan lagi sebutir Pik-ling-tan.
Pik-ling-tan ini berguna sekali untuk luka dalam dan juga bisa menghilangkan
racun, hanya kalau habis menelan harus duduk tenang.
Tadi Nyo Hun-cong berlari dengan kencang, sebenarnya sangat bahaya,
beruntung dia punya tenaga dalam cukup tinggi, dengan memaksakan diri ia
113 menahan serangan racun sehingga tidak sampai menyebar, maka tidak begitu
berbahaya baginya.
Kini setelah semangat dan tenaganya habis, tentu tak boleh bergerak
semannya lagi. Setelah Nyo Hun-cong duduk, dengan pedang pendeknya ia mengiris bahunya
yang terluka, ia menekan dan memijit dengan jarinya, segera darah hitam
kental mengalir keluar, setelah mengalir kira-kira secangkir baru menyusul
keluar darah merah.
"Jahat sekali!" kata Hun-cong dalam hati sambil membungkus lukanya dengan
sobekan bajunya.
Saat ini darah yang terkena racun sudah keluar, tetapi tenaga dan
semangatnya belum pulih. Hun-cong bersemedi sebentar, ia mencoba
menyembuhkan diri dengan Khi-kang.
"Tolonglah aku, Thian! Janganlah ada orang lain yang datang!" doanya dalam
hati. Dengan tenang Nyo Hun-cong duduk mengumpulkan tenaga dan melancarkan
aliran darah, terhadap urusan disekitarnya seakan-akan tidak mau tahu dan
juga tidak mau melihat.
Entah sudah lewat berapa lama, ia merasa tenaganya sudah pulih dan
perutnya panas, ia mengerti sudah tidak berbahaya lagi barulah kemudian ia
berdiri. Ia memandang sekelilingnya, keadaan sudah jauh malam, angin meniup silir
semilir, di sekitar lembah gunung ini sunyi senyap, satu bayangan orang pun
tidak ada, kedua pihak pasukan masing-masing entah sudah berada di mana.
Nyo Hun-cong coba menggerakkan otot miangnya, ia merasa selain tenaga
agak kurang sedikit, lain-lainnya sudah pulih seperti biasa.
Tiba-tiba ia teringat tadi waktu ia melompat ke dalam cekungan tanah,
seperti ada suara orang dan kuda. Entah apakah masih berada dalam cekungan
tanah" Kawan atau lawan, ini perlu dilihat terlebih jelas.
114 Maka ia lantas mencabut pedangnya dan melompat naik ke atas bukit sana, ia
melihat lembah di bawah bukit itu, rumput alang-alang panjangnya melebihi
tinggi orang dewasa, di antara tumpukan rumput sana ada sebuah kereta yang
tampaknya sudah rusak.
Nyo Hun-cong coba mendengarkan, ia tengkurap ke tanah, tiba-tiba ia
mendengar suara orang yang sudah pernah dikenalnya.
"Jangan kau coba-coba mendekati aku!" terdengar suara bentakan.
Ketika dipertegas lagi Nyo Hun-cong menjadi terperanjat sekali. Bukankah ini
suara Nilan Ming-hui"
Lekas Hun-cong melompat keluar. Ia lihat di samping kereta rusak itu ada dua
orang laki-laki yang berbadan tegap sedang menggertak seorang wanita muda
yang ada di atas kereta.
Pikir Hun-cong, "Ilmu silat Nilan Ming-hui pun tidak terlalu rendah, mengapa
ia bisa diancam oleh orang, apakah seperti aku, karena ia terluka?"
la menjadi sangsi, terdengar pula seorang di antara mereka telah berteriak
lagi, "Kau nona kecil ini, sungguh tidak tahu kebaikan dan keburukan, kau
sudah menjadi tawanan kami, kau harus menuruti kemauanku, kami tidak
hendak membunuhmu dan juga tidak ingin memukulmu, mengapa kau masih
berteriak-teriak?"
"Hm, siapa berani coba-coba mendekatiku segera akan kuberi sekali tusukan,"
demikian Nilan Ming-hui mengancam. "Kamu jangan kira aku tak dapat
bergerak, jika kamu berani mendekat, lihat saja kalau aku tak membunuh
kamu!" Tetapi kedua orang itu telah bergelak ketawa.
"Sungguh tidak nyana, seorang nona kecil seperti kau ini berani omong begitu
besar," kata mereka.
Saat itulah Nyo Hun-cong melompat keluar dengan tiba-tiba.
Semula kedua orang itu agak kaget, tetapi mereka segera maju untuk
mencegat Hun-cong.
115 "Siapa kau?" bentak mereka berbareng.
Nyo Hun-cong lihat mereka berdua ini berdandan seperti suku bangsa Uigor
dan badan mereka masih berlepotan darah.
"Kalian dari kelompok suku mana" Kenalkah pada Hui-ang-kin?" Hun-cong
balas bertanya.
Kedua orang itu agak terperanjat demi melihat cara berpakaian Nyo Huncong.
"Apakah kau pengikut Hui-ang-kin?" tanya mereka lagi dan dijawab Hun-cong
dengan mengangguk-angguk.
"Kami adalah dari suku Kedar, aku tahu Hui-ang-kin telah menjadi Beng-cu
dari daerah selatan, cuma tempo hari kelompok kami belum ikut berkumpul di
sana," tutur orang yang menjadi pimpinannya itu.
"Kalau kalian semua adalah pejuang dari daerah selatan sini, maka kita adalah
kawan sendiri, lepaskanlah nona ini!" kata Nyo Hun-cong.
Sementara im Nilan Ming-hui telah mengenali siapakah pemuda yang sedang
berbicara membela dirinya ini.
Segera ia berseru pula kepada Nyo Hun-cong dalam bahasa Han.
"Nyo-taihiap! Usirlah kedua orang ini," katanya.
Sudah tentu kedua orang itu tak mengerti apa yang dikatakan im, mereka
lantas bertanya kepada Nyo Hun-cong.
"Bagaimana" Apakah kau kenal dia! Kau adalah kawan panglima Boan?" tegur
mereka. Tetapi Nyo Hun-cong geleng-geleng kepala.
"Aku adalah kawan Hui-ang-kin, juga sahabat nona ini, kalian jangan menahan
dia!" sahurnya.
Orang yang menjadi kepala tadi tiba-tiba tertawa menyindir.
116 "Kau menakut-nakuti aku dengan nama Hui-ang-kin" Hm, kau mengerti aturan
atau tidak?" katanya, "Ia adalah tawanan kami, sekalipun Hui-ang-kin yang
datang sendiri pun ia tak bisa menyuruh kami melepaskan dia. Hm, agaknya
kau juga telah suka padanya bukan" Terus-terang aku juga menginginkan dia
menjadi istriku, sedang saudara ini menginginkan kereta dan senjatanya, kau
datang belakangan, maka tiada bagianmu!"
Nyo Hun-cong terkejut mendengarnya.
Tiba-tiba ia teringat bahwa rakyat gembala di padang rumput, dulu sering
karena berebut tanah menggembala dan sumber air lantas saling bertempur,
menurut peraturan pada suku bangsa itu, apabila ada lawan yang tertawan,
maka ia dipaksa membudak pada yang menang, siapa yang menangkap tawanan
im terserah pada keputusannya.
Belakangan setelah tentara Boan-jing datang, persatuan di antara suku-suku
bangsa agak bertambah erat, soal saling bunuh sudah jauh berkurang, tetapi
hanya soal tawanan masih belum ada pembatalan yang jelas.
Kini kedua orang ini mengemukakan peraturan yang sudah turun-temurun itu,
sesaat Nyo Hun-cong berbalik menjadi bingung dan tak bisa menjawab.
"Nyo Hun-cong, mengapa kau tidak bantu aku mengusir mereka?" teriak Nilan
Ming-hui, "Apakah kau hendak mempedayai aku bersama mereka?"
"Ada aku di sini, mereka tidak dapat mencelakaimu, kau tak usah takut!" seru
Hun-cong. Tetapi belum habis perkataannya, kedua orang im sudah hendak menubruk ke
atas kereta. Dengan cepat Hun-cong mengulurkan kedua tangannya, dengan enteng dia
tarik mereka turun kembali.
"Apa maumu?" bentak kedua orang itu dengan gusar dan berbareng membacok
dengan goloknya.
Nyo Hun-cong kembali mengulurkan tangannya dan menjepit dengan kedua
jarinya, segera sisi belakang golok sudah terjepit, orang im dengan sekuat
tenaga hendak menarik kembali senjatanya, tetapi tetap saja tidak berhasil.
117 "Nanti dulu," kata Hun-cong, "Sebaiknya kalian memandang diriku dan
melepaskan dia, akan kuberi kalian masing-masing sepuluh ekor kuda."
"Kau ini siapa, mengapa harus melihat mukamu?" bentak orang yang satunya
lagi. "Aku datang dari sebelah utara, namaku Nyo Hun-cong, apakah kamu tidak
pernah mendengarnya?" kata Nyo Hun-cong dengan tersenyum.
Nyo Hun-cong mengira setelah mereka mendengar namanya, sedikitnya akan
memberi muka padanya, tidak terduga setelah kedua orang itu agak
terperanjat, mereka bahkan terus bergelak tertawa.
"Kau betul-betul adalah Nyo Hun-cong?" tanya yang seorang, "Nyo Hun-cong
telah membantu orang Kazak bertempur selama beberapa tahun, lebih-lebih
ia harus tahu aturan, jika soal benar dan salah pun tidak bisa membedakan,
buat apa lagi kami berperang?"
"Kau telah menyaru sebagai orang yang bernama Nyo Hun-cong?" bentak
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang yang lain lagi, "Nyo Hun-cong mana bisa datang ke sini seorang diri"
Aku melihat kau begitu rapat dengan puteri panglima Boan ini, bahasa yang
dipakai entah bahasa Han atau Boan-ciu, terang kau adalah sahabat lamanya.
Hm, kau tentu adalah mata-mata musuh!"
Nyo Hun-cong menjadi gusar dan gugup, ia mengerti peraturan tentang
tawanan di padang rumput memang buruk sekali, sejak lama Nyo Hun-cong
sudah berpikir hendak mencari jalan membantu mereka menghilangkan
kebiasaan jelek itu, akan tetapi sesuatu kebiasaan umumnya tidaklah gampang
dirombak begitu saja dalam waktu singkat, lagi pula ia sedang disibukkan
dengan perlawanan pada tentara Boan, maka hingga kini ia masih belum
sempat mengemukakannya, kini bila hendak menerangkan pada kedua orang
ini, seketika pun kiranya takkan bisa bikin mereka mengerti.
Selagi Nyo Hun-cong tertegun, tiba-tiba mereka meronta melepaskan
tangannya terus menubruk pula ke arah Nilan Ming-hui.
Dalam keadaan tak terduga itu, Hun-cong terpaksa mengambil dua potong
kerikil dan lantas ditimpukkan.
118 Keruan kedua orang itu mengeluarkan suara jeritan, "Aduhh", mereka sudah
tertimpuk kena siku kakinya tempat hiat-to atau jalan darah, mereka terus
berlutut tanpa bisa berkutik lagi.
Dan selagi Hun-cong hendak maju, tiba-tiba terdengar dua suara jeritan
ngeri, kedua orang tegap itu sudah bergelimpangan di tanah, darahnya
muncrat membasahi tanah.
Ternyata waktu Nilan Ming-hui melihat kedua orang ini menubruk maju dan
Nyo Hun-cong ternyata tidak mencegah, ia menjadi gusar sekali, maka dengan
cepat ia tim-pukkan dua buah pisaunya.
Kedua orang itu telah tertutuk hiat-tonya oleh Nyo Hun-cong, sudah tentu
tidak dapat berkelit lagi, maka semua tertusuk tepat pada hulu hatinya oleh
pisau terbang itu.
Kejadian itu berlangsung secepat kilat, karenanya Hun-cong menjadi
tercengang sejenak tetapi ia segera mendekati si gadis.
"Ming-hui, mengapa kau begitu ringan tangan?" demikian tegurnya.
Tetapi Nilan Ming-hui sudah menangis tersedu-sedu.
"Kiranya hatimu adalah begitu, orang lain hendak merampas aku untuk dinodai,
kau bukannya membela tetapi malah menyalahkan aku!" teriaknya.
Hari Hun-cong menjadi lemah oleh tangis dan ratapan Ming-hui. Pikirnya, dia
menjaga diri, aku memang tak bisa menyalahkan dia.
Maka ia lantas naik ke atas kereta, ia mengusap air mata si nona dengan
lengan bajunya.
Ia lihat rambut Ming-hui kusut bertebaran dan mukanya penuh kotoran
darah. "Apakah kau terluka?" tanyanya.
Saat itu, Nilan Ming-hui seperti telah bertemu dengan sanak keluarganya,
tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya ke bahu Nyo Hun-cong sambil menangis
tersedu. 119 "Ya, aku terluka, pundakku panas kaku rasanya, lekas kau periksa, apakah
sudah terkena senjata rahasia beracun?" sahutnya kemudian.
Dalam keadaan begitu, Nyo Hun-cong tidak bisa tinggal diam, ia lantas
mengusap kering noda darah di muka si gadis.
"Kau telah membunuh orang sampai terciprat begitu banyak darah," sahurnya.
"Ya, aku kan harus menyelamatkan jiwaku, kalau aku tidak membunuh, tentu
akulah yang akan dibunuh. Mengapa kau masih belum memeriksa lukaku, aku
telah terkena senjata rahasia perempuan setan itu," kata Nilan Ming-hui
menerangkan. Hati Nyo Hun-cong saat itu ruwet sekali, ia ragu-ragu, ia mengerti orang yang
dibunuh Nilan Ming-hui pasti adalah pejuang-pejuang dari rakyat gembala,
apakah ini bukan berarti gadis ini adalah musuhnya"
Tetapi ia pernah menolong jiwanya, lagi pula orang yang ada di hadapannya
sekarang ini adalah gadis yang harus dikasihani. Namun bila ia berpikir pula,
dalam keadaan perang yang gaduh seperti ini susah menanggung bahwa orang
tidak akan membunuh, karenanya ia hanya bisa menghela napas panjang.
"Apakah kau datang bertempur membantu ayahmu?" tanyanya kemudian.
"Maukah kau merawat aku lebih dulu" Kau sedikit pun tidak sayang padaku,
sebentar kalau racun menjalar aku tentu bisa mampus," sahut Ming-hui.
Hun-cong menurut, segera ia memeriksa lukanya, tetapi ia tidak melihat ada
darah, ia menggunakan pedang pendeknya untuk merobek sedikit baju di
pundak orang, maka terlihat pundaknya sudah hitam bengkak.
"Ha, ternyata betul kau telah terkena jarum beracun!" serunya kaget.
Ia lekas keluarkan dua butir pil Pik-ling-tan dan menyuruh Ming-hui lekas
menelan. "Dapatkah kau menahan sakit?" ia bertanya lagi.
"Apa?" tanya Nilan Ming-hui dengan tidak mengerti.
120 "Jarum beracun ini harus diambil dengan batu sembe-rani, tetapi di sini tidak
ada benda itu, maka kalau hendak mengobati harus dicabut dahulu," kata Nyo
Hun-cong. "Kau boleh mencabutnya, aku sanggup menahan sakit," sahut Nilan Ming-hui.
Maka dengan tangan kirinya, Hun-cong menahan pundak orang. Karena
jaraknya terlalu dekat, segera tercium bau wangi yang merangsang hidung,
tempat di mana tangannya memegang adalah daging yang empuk menarik, ini
adalah untuk pertama kalinya Nyo Hun-cong dekat dengan perempuan. Keruan
hatinya tergoncang, ia lekas membelah sedikit kulit dagingnya, setelah
menemukan jarum beracun im, ia jepit dengan jarinya lantas dicabut,
beruntun ia mencabut tiga jarum perak, ia memijit pula darah yang beracun
supaya keluar dan membungkus lukanya dengan sobekan baju.
"Kau boleh tiduran dulu," ujar Hun-cong kemudian. Tetapi ia menjadi terkejut
demi menegasi ketiga jarum ini.
Senjata rahasia beracun yang kecil sekali ini kalau bukan orang yang Lwekangnya
sudah sempurna betul tidak mungkin bisa menggunakannya,
sebenarnya siapakah gerangan penyerangnya ini"
Selagi ia hendak bertanya, tiba-tiba Nilan Ming-hui sudah bicara sendiri.
"Sebenarnya aku mengikuti ayah pindah bersama pasukannya dan bermaksud
kembali ke kota Ili, tetapi di tengah jalan kami melihat ada tanda api," begitu
ia menerangkan, "Ayahku membawa tentaranya lantas memburu ke sini,
karenanya aku juga harus ikut kemari. Tak terduga begitu sampai di sini,
segera mengalami pertempuran yang gaduh itu, aku bertemu dengan empat
orang penunggang kuda, aku berhasil membunuh dua di antara mereka, tetapi
di antara mereka terdapat seorang perempuan, ia telah menggerakkan
tangannya sekali dan aku lantas terluka olehnya!"
Mendengar penuturan ini, air muka Nyo Hun-cong tiba-tiba berubah.
"Hui-ang-kin!" serunya tiba-tiba.
"Hui-ang-kin?" tanpa tertahan Nilan Ming-hui pun ikut berteriak.
"Kau kenal dia?" tanyanya lagi. "Toako, balaskanlah dendamku ini!"
121 Sementara itu sambil berkata dengan manja, kepalanya sudah diletakkan di
pangkuan Nyo Hun-cong. Panggilan yang tadinya 'Taihiap' kini pun sudah
berubah menjadi Toako atau kakak, dengan setengah gusar dan setengah
aleman ia mengucapkan kata-katanya tadi.
Tetapi Nyo Hun-cong menyahut dengan rasa sedih dalam hati, kemudian
dengan pelahan ia bangunkan orang.
"Ming-hui dendam ini tidak bisa dibalas lagi!" katanya dengan rasa haru.
"Kenapa?" tanya Ming-hui sambil menarik muka, lalu katanya lebih lanjut. "Oh,
mengertilah aku, Toako tentu telah mencintai perempuan setan dari padang
rumput itu!"
Tiba-tiba Hun-cong memegang kencang kedua pundak orang, kedua matanya
menatap tajam. "Ming-hui, apa yang kita bicarakan ini adalah sungguh-sungguh," katanya
dengan suara yang berat dan kereng, "Coba katakan, manusia macam apakah
Hui-ang-kin ini dalam pandanganmu" Apakah ia adalah iblis perempuan"
Apakah musuhmu" Jika dia tidak melukaimu dengan jarum beracunnya, apakah
kau juga benci padanya?"
"Apakah karena ia bermusuhan dengan bangsamu" Atau karena ayahmu sering
menyebut dia setan, iblis, dan menyuruhmu membenci dia, bukankah begitu?"
tanya Hun-cong lagi.
Sekaligus Hun-cong telah mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan itu,
perasaannya penuh dengan kemendongkolan tetapi juga terharu, ia
menantikan jawaban si gadis.
Akan tetapi Nilan Ming-hui begitu molek, begitu cantik, Nyo Hun-cong yang
berdiri di sampingnya seperti merasakan kehangatan, tetapi karena
perkataan orang tadi yang seperti membawa bayangan gelap, membikin ia
merasa dingin pula.
Pada waktu itu, hatinya telah ada satu keputusan, jika Ming-hui berdiri di
pihak ayahnya dan membenci Hui-ang-kin karena dia ini adalah pahlawan
wanita dari padang rumput, maka gadis ini adalah musuhnya pula dan ia akan
membunuhnya, atau sedikitnya tidak akan gubris dia lagi.
122 Justru keputusan yang tersebut belakangan itulah yang membikin ia terharu,
sampai suaranya menjadi gemetar.
Di lain pihak Nilan Ming-hui memandang Nyo Hun-cong dengan heran, ia tidak
mengetahui apa yang terkandung dalam pikiran Nyo Hun-cong, ia hanya
merasakan keadaan yang serius, ia paham perkataan Nyo Hun-cong sudah di
luar persoalan asmara. Perkataannya bukan lagi seperti perkataan terhadap
kekasih lagi, tetapi perkataannya seperti telah dipersembahkan bagi suatu
perjuangan yang suci.
Jiwa Hui-ang-kin begitu juga, oleh karena itu persahabatan di antara mereka
begitu erat dan tak bisa putus.
Karena itulah Nilan Ming-hui merasakan semacam kesedihan yang aneh.
"Dengarkanlah omonganku ini," katanya kemudian dengan suara rendah, "Aku
benci peperangan, kau juga pernah berkata padaku demikian, bukan" Ya,
walaupun kita benci perang, tetapi justru peranglah yang membawa kita
terlibat ke dalamnya, kalau ada perkataan nasib, maka ini adalah nasib kita
yang sudah ditakdirkan."
"Aku tidak kenal Hui-ang-kin, tetapi sejak aku datang ke padang rumput sini,
aku lantas sering mendengar orang menyebut namanya. Ya, memang tidak
salah perkataanmu, ayahku, bangsaku, semua mengatakan dia adalah
perempuan setan, setan yang membunuh manusia tanpa berkedip, membunuh
orang seperti membabat rumput, terhadap dia aku pun timbul rasa takut."
"Tetapi aku juga tak percaya seluruh perkataan ayah, aku mengerti, waktu
kami masuk ke sini pun telah membunuh orang tidak sedikit. Ya, tetapi ini toh
adalah peperangan, kami membunuh mereka, dan mereka membunuh kami,
kami menamakan Hui-ang-kin setan iblis, siapa tahu dia pun menamakan ayah
setan iblis?"
"Kadang aku malah berpikir, seorang nona muda seperti Hui-ang-kin,
menunggang kuda perang dan berlari kian kemari di padang rumput, ia
dihormati bangsanya, tetapi dikutuk oleh orang kami, tidak peduli bagaimana
pun ia tetap adalah seorang pahlawan."
"Terus terang saja, secara diam-diam aku pun pernah mengagumi dia!"
123 "Aku tidak kenal Hui-ang-kin, tetapi sampai pada waktu aku terluka oleh
jarum beracunnya, aku telah menerka, perempuan yang pandai silat itu tentu
adalah Hui-ang-kin. Ya, di waktu jarum beracunnya membuat aku kesakitan,
maka aku membenci dia, benci karena gerak tangannya begitu keji."
"Selain itu, aku masih ada persoalan lain pula yang membuat kubenci dia,
sudahlah, Toako, aku tidak akan berkata lagi, aku tahu kau adalah sahabatnya
yang paling baik."
Sehabis berkata begitu tiba-tiba Nilan Ming-hui menjadi malu dan
menundukkan kepala, matanya seperti ada sinar yang menggetarkan hati
orang. Nyo Hun-cong menghela napas lega. Ia tahu, Nilan Ming-hui masih tetap benci
pada Hui-ang-kin, tetapi benci ini jauh lebih enteng dibanding dengan benci
yang ia kuaurkan im, bencinya ini tidak serupa dengan benci ayahnya.
Perkataannya ada yang samar, ia memandang posisi perang di antara kedua
pihak adalah sama, 'Ini toh adalah perang, kita membunuh mereka, mereka
juga membunuh kita', seakan-akan dalam hal ini tidak ada soal putih dan
hitam atau salah dan benar, ini adalah tidak betul, tidak betul!
Dalam hati Hun-cong dengan tegas ia ingin mengatakan, 'tidak betul!'. Banyak
perkataan yang hendak dia ucapkan padanya, agar gadis ini bisa membedakan
antara yang salah dan yang benar. Tetapi ia tahu, pengertian ini tidak begitu
saja dapat diterima oleh Ming-hui.
Di samping im, ia merasa di antara orang Boan-ciu terdapat seorang wanita
seperti dia ini sudah merupakan satu keistimewaan, di dalam perasaan mereka
seperti juga ada tempat yang sama, ada semacam perasaan yang aneh, aneh
sebab dengan anak musuh bisa ada persamaan perasaan.
Tanpa terasa Nyo Hun-cong telah mengusap-usap rambut Nilan Ming-Hui.
"Ming-hui," katanya kemudian pelahan-lahan, "Aku tidak menyalahkan kau lagi,
dan kau juga jangan membenci Hui-ang-kin pula, kau terluka oleh jarumnya
dan anggap dia terlalu ganas, tetapi apakah kau tahu, aku pun terluka oleh
panah beracun dan hampir tewas?"
124 "Kau suruh aku membalaskan dendammu, tapi apa pula yang akan kauperbuat
untuk membalaskan dendamku?" tanya Hun-cong pada aldiirnya.
Nilan Ming-hui menjadi heran oleh kata-kata ini.
"Memang kepandaianku dibandingkan kau masih terpaut jauh," sahutnya
kemudian. "Tetapi bagaimana kau bisa tahu aku tidak bisa membalaskan dendammu"
Beritahu aku, siapa yang melukaimu dengan panah beracun."
"Ayahmu!" sahut Nyo Hun-cong dengan dingin.
Mendengar itu, seketika Ming-hui seperti disambar petir, mukanya sekejap
saja berubah menjadi pucat sekali, ia melompat bangun, tetapi segera roboh
lagi dengan lemas.
Namun Nyo Hun-cong sudah memegangnya. "Kenapa kau?" tanyanya.
Tetapi Nilan Ming-hui telah memejamkan matanya, ia merasa sedih sekali,
"Sekarang kau tentu benci sekali padaku," katanya kemudian dengan pilu.
"Mengapa aku benci padamu, kau toh bukan ayahmu!" sahut Hun-cong.
Tetapi Ming-hui masih belum bisa memahami perasaannya, hatinya laksana
gelombang ombak yang bergolak.
Ya, sejak ia bertemu Nyo Hun-cong, ia telah tertarik oleh semangat
kepahlawanannya, setelah berpisah, dalam hatinya lantas seperti bertambah
sesuatu, tetapi juga seperti berkurang sesuatu.
Hanya dalam mimpi mereka beberapa kali bertemu, tak terduga kini si
pemuda ini betul-betul telah berada di sampingnya, malahan ia telah rebah di
pangkuannya. Akan tetapi saat itu ia merasakan bahwa jarak antara dia dan Hun-cong
begitu dekat, tetapi juga begitu jauh!
"Ia adalah milik Hui-ang-kin dan bukan milikku!" pikiran semacam ini terus
bergolak dalam hatinya dan seperti jarum yang tajam sedang menusuk-nusuk,
sakitnya melebihi jarum Hui-ang-kin yang berbisa tadi.
125 Tiba-tiba Hun-cong melihat Ming-hui seperti bunga yang layu, mukanya makin
pucat dan napasnya makin sesak.
Lekas ia pegang nadinya, ia merasakan denyutannya cepat luar biasa, ia lihat
kulit mukanya kaku kejang, dalam hati ia menjadi heran, "Aku telah mencabut
jarum beracun tadi, tetapi mengapa sakitnya berbalik begini berat dan
berbahaya?"
Seketika timbul semacam firasat pada Nyo Hun-cong seakan-akan merasa
ketakutan, ia ambil lagi dua butir pil Pik-ling-tan yang terbuat dari teratai
Thian-san itu untuk di-telankan pada Ming-hui.
"Kau boleh istirahatlah, jangan kau kuatir, akan kubawa kau keluar dari sini!"
katanya pelahan.
Semalaman Nilan Ming-hui terus menerus bermimpi buruk, ia terus mengigau,
kadang bahkan menangis dan terjaga dari tidurnya, dan berteriak, "Toako,
jangan benci diriku!"
Tetapi Nyo Hun-cong juga terus menghibur dia, "Aku tidak benci padamu!"
Namun Ming-hui masih tetap mengigau begitu.
Malam telah lewat, siang hari telah tiba kembali.
Di angkasa gurun penuh dengan gumpalan awan putih yang indah karena
sorotan sinar matahari.
Nyo Hun-cong yang berjaga semalam, badannya terasa letih, tetapi ada orang
sakit yang memerlukan penjagaannya, semacam rasa kewajiban menguatkan
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirinya, ia harus membawa gadis ini keluar dari bukit ini.
Di lembah yang sunyi ini tidak ada obat-obatan dan juga tiada makanan, kalau
tinggal di sini terus tentu hanya menantikan Kematian belaka.
Jika dibawa keluar, bila bertemu pasukan Boan, ia akan menyerahkan Ming-hui
dan ia sendiri bisa lantas melarikan diri, sebaliknya bila bertemu pejuang
penggembala, dengan pengaruhnya ia masih dapat menyelamatkan diri Minghui.
126 Maka setelah Hun-cong memperbaiki kereta rusak itu, ia letakkan Nilan Minghui
di atasnya, lalu dengan pelahan-lahan ia mendorong kereta keluar dari
lembah gunung itu.
Di padang rumput di mana-mana hanya terlihat mayat yang bergelimpangan, di
udara penuh dengan gerombolan elang-elang lapar yang menyergap ke bawah
untuk memakan bangkai manusia.
Ada elang raksasa yang kedua sayapnya bila dipentang lebarnya beberapa
depa, kalau sedang menyambar turun dari atas membawa angin yang
mengeluarkan suara keras, sungguh keadaannya sangat mengerikan.
Waktu itu di padang rumput seorang manusia hidup pun tidak terlihat, yang
tertampak hanya beberapa ekor kuda yang tak bermajikan sedang berlari
kian kemari tanpa tujuan.
Nyo Hun-cong bergidik, ia komat-kamit bergumam sendiri, "Perang, perang!
Bilakah tidak ada perang lagi!"
Kemudian Hun-cong menangkap dua ekor kuda tak bertuan im dan lantas
dipasang di keretanya, ia mencari lagi sedikit makanan dan ditaruh di atas
kereta dan segera dengan keretanya berjalan menuju selatan.
Sepanjang jalan pun hanya mayat belaka, pasukan kedua belah pihak yang
bertempur kemarin, kini entah telah sampai di mana.
Pelahan-lahan, mayat-mayat mulai sedikit, tetapi manusia hidup masih tetap
belum bisa dijumpainya.
Sementara itu sakit Nilan Ming-hui makin lama ternyata makin berat, suhu
badannya panas dan tidak hentinya mengigau, napasnya pun makin lemah.
Padang rumput yang luas seaka" akan tiada ujungnya.
Malam kemarin begitu banyak orang berada di padang rumput kini telah
lenyap, Nyo Hun-cong mendorong kereta dan berjalan terus di padang luas, ia
merasa anehnya kesunyian. Sedang sakit Nilan Ming-hui membuat ia semakin
kuatir. 127 Sang surya yang terbit dari arah timur lambat-laun sudah hampir terbenam
ke barat lagi. Kedua pipi Nilan Ming-hui merah membara, jantung Hun-cong berdebar
melihat wajah yang begitu menggiurkan.
Tetapi kekuatirannya itu hanya 'sinar yang membalik', hanya kemolekan im
sudah di tepi jurang kematian.
Kini Hun-cong tidak kikuk lagi tentang laki perempuan, dengan pelahan ia
membuka baju Ming-hui dan memijit-mijit untuk melancarkan jalan darahnya.
Hun-cong pernah mempelajari cara mengobati dengan jarum, tetapi ia tidak
membekal jarum, terpaksa dengan jarinya ia memijit di antara urat nadi
tempat-tempat yang perlu.
Sebentar kemudian pelahan-lahan Nilan Ming-hui telah mulai sadar kembali.
"Toako," tiba-tiba ia bertanya, "Aku tahu aku bakal mati, maukah kau katakan
padaku dengan sesungguhnya, sedikitpun jangan membohongi aku, maukah
kau?" "Bicaralah, aku pasti akan menjawab dengan sejujurnya!" sahut Hun-cong.
Tetapi muka Nilan Ming-hui lantas menjadi merah jengah sampai di lehernya,
ia bicara dengan suara lirih.
"Toako," bisiknya kemudian, "Katakanlah.....katakanlah dengan sesungguhnya,
apakah kau cinta padaku?"
Seketika tergoncang hati Nyo Hun-cong, jantungnya berdebar-debar,
terhadap orang sakit yang begitu berat, apakah ia harus mengecewakannya,
dalam keadaan demikian ia sesungguhnya tidak bisa mengatasi perasaannya
sendiri lagi. Ia merangkul Nilan Ming-hui dengan erat dan berbisik di tepi
telinganya, "Ya, Ming-hui, dengan sesungguhnya aku cinta padamu."
Aneh bin ajaib, seumpama bunga yang sudah kering layu dapat tiba-tiba segar
dan hidup kembali.
128 Perkataan Nyo Hun-cong tadi ternyata melebihi kemanjuran Pik-ling-tan,
Nilan Ming-hui merasa seperti ada sesuatu yang hangat mengalir di seluruh
tubuhnya. Hun-cong merasa tangannya dipegang Ming-hui, tiba-tiba gadis ini telah
bertenaga kembali, pelahan-lahan, ia bisa duduk dan ambruk lagi di pangkuan
Nyo Hun-cong, mulutnya merapat berdekatan dengan muka Nyo Hun-cong.
Hati pemudi yang sedang terbakar pun menempel lekat di hati Nyo Hun-cong.
Senja di padang rumput hawa sedikit mulai dingin, tetapi hati Hun-cong
sebaliknya terasa panas luar biasa, ya, panas sekali.
Tanpa sadar Hun-cong merangkul Ming-hui juga, bermacam perasaan aneh dan
kusut seperti kuda liar yang berlari dan juga seperti gelombang ombak yang
mendampar lubuk hatinya, ruwet tetapi juga mengharukan.
Dalam keadaan demikian tidak bisa dikatakan bahwa sedikit pun tiada
perasaan menyesal dalam hati Nyo Hun-cong. Sekilas ia ingat juga kepada
Hui-ang-kin. Hui-ang-kin atau si Selendang Merah, hati gadis ini begitu tulus, suara
tawanya begitu nyaring seperti bunyi ke-lenengan unta di padang rumput.
Ia ingat juga kala bersembayang pada malam itu, bersama Hui-ang-kin mereka
berlarian dan bercakap sepanjang malam, gadis ini begitu lincah dan begitu
bebas pula. Malam itu Hui-ang-kin samar-samar pun sudah mengutarakan isi
hatinya yang sesungguhnya, tetapi ia seperti menolak perasaan orang, ia tidak
membukakan pintu untuknya.
Walaupun sejak pertama kali bertemu dengan Hui-ang-kin ia sudah
menganggapnya sebagai keluarga yang paling dekat dan rapat, perasaan
hatinya ini boleh dikata jauh di atas perasaannya terhadap Nilan Ming-hui
sekarang ini. Tetapi rasa menyesal ini sekejap saja sudah lenyap.
Nyo Hun-cong adalah seorang Enghiong, ksatria, seorang pahlawan, hati
pahlawan menyuruh dia tidak boleh menyesal, menepati perkataan sendiri, itu
sudah menjadi kebiasaannya, apalagi gadis yang ada dalam pelukannya
sekarang ini begitu tulus cintanya.
129 Ia merasa Hui-ang-kin seperti dia, harus kuat menderita segala macam
pukulan, termasuk pukulan batin.
Sebaliknya Nilan Ming-hui dalam pandangannya seperti sekuntum bunga yang
halus lemah, walaupun ia bisa bersilat, tetapi dia begitu bersih, begitu halus
dan masih kekanak-kanakan yang memerlukan perlindungannya untuk pelahanlahan
menuntun dia menuju ke pihak sendiri.
Demikianlah dengan mesra Nyo Hun-cong dan Nilan Ming-hui saling rangkul
dengan kencang, mereka telah tenggelam dalam suasana asmara yang
memabukkan. Lewat beberapa lama, mereka baru sadar kembali terkaget oleh suara
kelenengan kuda yang ramai.
Nyo Hun-cong mengangkat kepala, terlihat olehnya dari jauh telah datang
beberapa puluh penunggang kuda.
Sebentar saja mereka sudah sampai di depannya, salah seorang yang
mengepalai lantas tertawa menyindir.
"Hai apakah kau yang bernama Nyo Hun-cong?" segera orang itu menegur,
"Mengapa kau merampas tawanan kami dan juga telah membunuh kawan
kami?" 6 Lekas Hun-cong melepaskan pelukannya atas Nilan Ming-hui dan cepat
melompat keluar dari kereta.
"Nyo Hun-cong, pengkhianat, rasakan golokku ini!" segera pula seorang yang
berbadan tegap berewok berteriak sambil membacok tanpa menunggu orang
buka suara. Tetapi dengan cepat Nyo Hin-cong menghindarkan ba-cokannya.
"Nanti dulu, kau ini siapa?" tanya Hun-cong dengan mendongkol, "Aku Nyo
Hun-cong adalah seorang laki-laki sejati, masa mau kaucemarkan dengan
perkataanmu yang kotor itu, kapan aku berkhianat, sedikit pun aku tiada salah
130 terhadapmu, jika kau tidak bisa menjelaskan, aku pun akan menyeret kau
untuk diadukan pada Hui-ang-kin!"
Orang yang tegap berewokan itu mengeluarkan ejekan.
"Hm, Hui-ang-kin, kau hanya tahu menggunakan Hui-ang-kin sebagai jimat
pelindungmu! Tetapi aku hendak tanya padamu, mengapa kau membunuh
pejuang kami dan melindungi musuh serta merebut tawan anku, sekarang kau
malah berani berlagak" Apakah hal tersebut tidak bisa disebut sebagai
pengkhianat?"
Mendengar dampratan orang, muka Nyo Hun-cong menjadi merah padam
karena gusarnya.
"Kapan aku membunuh pejuangmu dan melindungi musuh?" ia membentak, "Aku
telah bertempur beberapa tahun di daerah utara, kini aku datang pula ke
daerah selatan sini dan bertempur di pihak kalian, jika aku hendak berkhianat
mengapa harus bersusah payah menyeberangi gurun luas ini?"
"Baik, coba aku tanya padamu," kata orang im lagi, "Siapakah orang yang
berada di dalam kereta im" Dua orang yang telah kau bunuh di lembah gunung
sana im siapa" Bukti-bukti telah jelas, apakah aku yang memfitnah kamu."
Hun-cong terperanjat mendengarnya, batinnya, "Celaka, kesalah-pahaman ini
kini sudah makin meluas lagi."
Ketika ia hendak menerangkan, orang tadi sudah berkata pula. "Tahukah kau
siapakah aku ini" Aku adalah Bing-lok, kepala suku Kedar, dua orang yang
telah kau bunuh im adalah pejuang yang paling kuat dari bawahanku. Nah
sekarang orang yang di dalam keretamu im adalah tawan-anku!"
Ternyata kedua orang yang terkena pisau di dadanya dan terbunuh oleh Nilan
Ming-hui kemarin malam im, yang seorang seketika im masih belum tewas,
dalam keadaan yang payah ia masih merasa penasaran, ia ingin menulis nama
musuh di atas tanah, tetapi ia tidak mengetahui namanya, dalam keadaan
ceroboh dan saatnya yang terakhir, ia telah menulis dengan darahnya di atas
tanah tiga huruf nama Nyo Hun-cong.
131 Waktu im malam gelap, Hun-cong juga sedang sibuk merawat luka Nilan Minghui,
ia tidak memperhatikan bahwa orang yang telah dekat ajalnya im masih
bisa meninggalkan suatu fitnahan kotor.
Kedar adalah suku bangsa yang suka berkelahi dan pemberani, mereka
mempunyai suatu adat kuno turun menurun, apabila bertempur dengan musuh
dan mereka tidak bisa melawan serta terluka, jika kenal siapa musuh itu,
sebelum ajalnya tentu menuliskan nama musuhnya dengan darah, harapannya
supaya bisa diketahui oleh bangsanya dan membalaskan sakit hatinya.
Pada waktu terjadi pertempuran yang gaduh sekali di padang rumput im,
terlebih dulu pihak suku-suku bangsa selatan Sinkiang yang unggul,
belakangan bala bantuan pasukan Boan telah datang, waktu itu Nyo Hun-cong
telah melompat masuk ke cekungan gunung, suku-suku bangsa selatan Sinkiang
berbalik terkepung, mereka dengan mati-matian menerobos kepungan dan
mengalami kerugian yang tidak sedikit, itu pula sebabnya mengapa Hun-cong
berjalan satu hari masih tidak menemukan manusia hidup satupun.
Pasukan Boan selanjutnya mundur kembali ke kota Ili dan pejuang-pejuang
dari suku bangsa itu juga telah terpecah dan terpencar di gurun pasir yang
luas itu. Ketika pertempuran ribut itu terjadi, kepala suku Kedar, Bing-lok, dengan
pejuang mereka tergencet di suatu sudut, pasukan induk musuh yang
mengejar pihak lawan malah tidak sempat menghabiskan mereka dan akhirnya
mereka beruntung bisa meloloskan diri.
Mereka mencari anggota sukunya di mana-mana, ketika sampai di lembah
gunung itu mereka telah menemukan mayat kedua orang pejuang suku mereka
dan di atas tanah ada tulisan tersebut.
Waktu itu Bing-lok terperanjat sekali, ia tahu nama Nyo Hun-cong yang
termasyhur di daerah utara, tetapi ia masih belum mengetahui tingkah laku
Nyo Hun-cong pribadi, ia pun tidak mengetahui bahwa nama Hui-ang-kin di
daerah selatan. Ia mengira Nyo Hun-cong sama seperti Coh Ciau-lam, hanya
seorang 'pembantu' saja yang karena ilmu pedangnya yang mengagumkan
telah membuat namanya tersohor.
132 Sementara ini iapun mendengar Nyo Hun-cong adalah Suheng Coh Ciau-lam,
kala Coh Ciau-lam menggabungkan diri pada pahlawan tua Danu, nama yang
selalu ia agungkan pun pakai nama Nyo Hun-cong.
Ia pun mengetahui tentang pengkhianatan Coh Ciau-lam, ia mengira Nyo Huncong
akan mengikuti jejak Sutenya, Coh Ciau-lam, dan datang ke daerah
selatan hendak mencelakai dan menipu mereka. Oleh karena itu, maka ia telah
membawa pengikutnya yang berjumlah tiga puluh orang lebih mengikuti
perjalanan Nyo Hun-cong.
Nyo Hun-cong yang karena harus merawat Nilan Ming-hui dengan baik, ia
tidak dapat melarikan keretanya dengan cepat, maka telah terkejar oleh
mereka. Begitulah ketika Nyo Hun-cong merasa serba sulit, tiba-tiba Nilan Ming-hui
telah menyingkap kerai kereta dan menongolkan mukanya.
"Kamu jangan memfitnah dia, kedua orang itu akulah yang membunuh!"
serunya. Nilan Ming-hui yang sudah merasakan hangatnya asmara, seperti ikan
mendapatkan air, walaupun dalam keadaan sakit, matanya ternyata masih
begitu jeli dan air mukanya terang.
Ia memang wanita cantik suku Kijin dari Boan-ciu, ketika tiba-tiba ia
menunjukkan dirinya di padang rumput yang luas itu keruan saja seakan-akan
pelangi yang menghiasi angkasa dengan aneka warnanya di waktu senja.
Seketika Bing-lok merasa seperti ada cahaya yang menyilaukan, pandangan
matanya kabur, ia lekas menenangkan pikirannya.
"Apa, apa yang kau katakan?" ia bertanya pula dengan membentak.
"Kamu masih belum jelas" Kedua orang itu adalah nonamu yang
membunuhnya!" Nilan Ming-hui menegaskan.
Pada saat itu pula tiba-tiba Bing-lok telah melihat dua huruf 'Nilan' yang
tersulam di kerai kereta itu, ia terperanjat dan juga senang.
133 Semula ia mengira di dalam kereta itu hanya keluarga orang biasa saja dari
panglima Boan, kini setelah melihat keadaan yang sebenarnya itu segera ia
teringat bahwa ia sudah lama mendengar panglima Boan, Nilan Siu-kiat,
jenderal dari kota lli, jenderal itu mempunyai seorang anak gadis yang cantik
dan mempunyai kepandaian rangkap yang sempurna, yakni ilmu silat dan ilmu
surat, inikah orangnya"
"Baik juga kalau kau yang membunuh, bukan kau yang membunuh pun baik,
juga, kau kini hanya tawananku, maka lekas ikut aku kembali ke sana!" kata
Bing-lok dengan tertawa sambil mengayunkan cambuknya.
Namun Nilan Ming-hui tertawa mengejek.
"Hm, barangkali kau pun ingin ikut kedua kawanmu itu pergi menemui Giam-loong
(raja akhirat)" mereka berdua juga mengatakan hendak menawan aku
baru terkena pisau terbangku!" ancamnya.
Tetapi Bing-lok tidak mempedulikan ancaman si gadis, ia memberi tanda pada
bawahannya untuk maju menyergap.
"Tidak boleh!" tiba-tiba Nyo Hun-cong berteriak menghadang di depan.
"Mengapa tidak boleh?" bentak Bing-lok dibarengi satu kali pecutan.
Tetapi sekali Nyo Hun-cong menggerakkan tangannya, ia telah merebut
cambuk musuh dan segera dibikin patah menjadi dua potong.
"Untuk apa kau bertempur?" bentaknya kemudian.
Melihat kedua mata Nyo Hun-cong mendelik dan kelihatan gagah perkasa,
seketika Bing-lok menjadi jeri dan tidak berani maju mendesak.
"Sebenarnya kau bertempur untuk siapa?" ia balik bertanya.
"Aku telah bertempur melawan tentara Boan tidak kurang dari ratusan kali di
daerah utara dan selatan, tetapi menggelikan sekali, ternyata kau bertempur
untuk siapa masih belum mengetahui!" sahut Hun-cong.
"Nyo Hun-cong, kaukira dengan membantu bertempur bagi kami, kau lantas
boleh mengacau semanmu" Kami pun sudah bertempur sekian tahun, siapa
134 yang tidak tahu tujuannya adalah hendak mengusir bandit Boan," kata seorang
bawahan Bing-lok dengan gusar.
"Benar!" seru pula Nyo Hun-cong, "Tetapi apa gunanya hendak mengusir pergi
orang Boan" Apakah bukan karena mereka tidak menganggap kita sebagai
manusia, merampas peternakan kita, memperkosa wanita kita dan memperbudak
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rakyat kita" Kini kau hendak menangkap wanita ini buat tawananmu,
bukankah juga hendak menodai dia dan tidak menganggap dia sebagai manusia,
dan hendak mem-perbudaknya" Kamu tidak menginginkan musuh berbuat
demikian, kini mengapa kamu sendiri yang hendak berbuat demikian ini?"
Perkataan dan pertanyaan yang beruntun itu ternyata membikin orang-orang
Bing-lok menjadi bungkam, mereka tidak bisa menjawab.
"Dia adalah musuh kami, dia telah membunuh dua orang saudara kami,
mengapa kami tidak boleh menangkap dia sebagai tawanan?" bentak Bing-lok
pula dengan penasaran.
"Yang berperang melawan kalian adalah tentara Boan-ciu dan bukan dia!"
sahut Hun-cong lagi, "Di medan pertempuran kami membunuh orang Boan yang
bersenjata, makin banyak membunuhnya makin baik, tetapi sekarang di sini
kalian hendak mengerubuti seorang gadis yang bertangan kosong, apakah
kalian tidak merasa malu" Ia telah membunuh kedua orangmu adalah karena
mereka telah mengancam keselamatan dirinya, terpaksa dia harus membela
diri. Aku mau berkata, yang salah bukan dia, tetapi adalah pihakmu sendiri!"
Orang-orang Bing-lok semua mengetahui Nyo Hun-cong adalah pahlawan yang
menghadapi tentara Boan dengan gagah berani, walaupun Bing-lok mencurigai
dia berkhianat dan membawa bawahannya mengejar kemari, tetapi sebelum
mereka mendapatkan bukti-bukti yang nyata, bagaimana pun mereka masih
mempunyai rasa hormat pada diri Nyo Hun-cong.
Ketika im Nyo Hun-cong dengan spontan telah melontarkan perkataan tadi,
tampaknya seperti ada benarnya juga, tetapi soal memperbudak tawanan
adalah adat turun temurun di padang rumput sejak ribuan tahun yang lalu,
kebiasaan ini sudah meresap di batin tiap orang, maka seperti Nyo Hun-cong,
ia hanya bisa berdebat dengan menggunakan akal sehat saja
135 Sebaliknya Bing-lok adalah orang yang sombong dan tinggi hati, ia pun pernah
tertarik pada Hui-ang-kin, hanya Hui-ang-kin yang tidak menggubris padanya.
Waktu pemilihan Beng-cu atau ketua perserikatan ia tidak ikut datang,
pertama karena ada ganjalan hati tersebut, kedua karena dia tidak mau
tunduk pada Hui-ang-kin.
Begitulah maka sehabis Nyo Hun-cong berkata, lalu ia memandang Nilan Minghui
pula. "Nyo Hun-cong," tiba-tiba Bing-lok membentak pula, "Aku hendak bertanya
mengapa kau melindungi dia, kau bilang kau bukan pengkhianat dan adalah
pahlawan besar, kenapa pahlawan besar kita ini hendak melindungi dan
bertindak sebagai kusir untuk anak gadis musuh kita. Hahaha! Lucu sekali
bukan?" Kegusaran Nyo Hun-cong memuncak karena ejekan ini, sampai tubuhnya
gemetar. "Saudara-saudara," seru Bing-lok pula, "Lihatlah kalian, inilah jejak sang
pahlawan besar Nyo Hun-cong. Tahukah karian siapa perempuan ini" Dia
adalah anak gadis Ili Ciangkun Nilan Siu-kiat. Hm, Nyo Hun-cong, kalau kau
bukan telah bersekongkol dengan mereka, mengapa mau terus melindungi
dirinya, orang lain bertempur mati-matian, tetapi kau malah mengiring kereta
anak gadis Nilan Siu-kiat."
"Saudara-saudara! Tangkap dan ikat mereka berdua!" perintah Bing-lok pada
bawahannya. Perkataan Bing-lok seperti minyak disiramkan di atas api, bawahannya
ternyata dapat dihasut dan segera menjadi kalap, golok dan tombak lantas
digerakkan dan mengepung maju.
Sementara im Nilan Ming-hui telah siap dengan pisau terbangnya, tapi Nyo
Hun-cong telah mencegahnya. "Jangan!" teriaknya.
Namun sudah terlambat, pisau Nilan Ming-hui yang pertama sudah melayang,
sinar putih yang gemerlap langsung menuju dada Bing-lok dengan tepat.
136 Syukur secepat kilat Hun-cong keburu melesat terus menjepit pisau itu
dengan jarinya, pisau itu hanya kurang tiga inci di depan dada Bing-lok.
Dalam keadaan gugup, Bing-lok telah membacok juga dengan goloknya, lekas
Hun-cong menunduk dan menerobos lewat di bawah tajamnya golok musuh.
"Ming-hui, lekas kau sembunyi di dalam kereta," seru Hun-cong pada Nilan
Ming-hui. Karena diteriaki begitu oleh Nyo Hun-cong, pisau Nilan Ming-hui tidak
dilemparkan lagi, namun dia belum mau masuk ke dalam kereta, ia ingin
menonton cara Nyo Hun-cong berkelahi.
Sementara itu, Bing-lok mana mau menerima begitu saja, goloknya telah
membacok pula, anak buahnya pun mengembut maju, bahkan telah membagi
tujuh.atau delapan
orang pula memburu ke sana untuk menangkap Nilan Ming-hui.
Melihat gelagat sudah runyam, dalam hati Nyo Hun-cong diam-diam mengeluh,
"Celaka, urusan ini tidak dapat diselesaikan begitu saja!"
Kemudian ia putar tubuhnya yang gesit dan cepat, ia menerobos kian kemari
di bawah sinar tajam golok dan tombak, tangan menutuk dan kaki melayang,
dalam sekejap saja lebih dari tiga puluh orang itu semuanya termasuk Binglok
sendiri telah ditutuk jalan darahnya. Ada yang sedang hendak menubruk
ke muka, ada pula yang berlagak mengangkat golok hendak membacok, tetapi
semua ternyata tidak bisa bergerak, semuanya seperti terpaku di tempatnya
masing-masing. Nilan Ming-hui yang melihat keadaan begitu menjadi geli, ia tertawa cekikikan
di atas keretanya, tetapi Nyo Hun-cong berbalik merasakan kegetiran yang
susah diucapkan, ini sungguh kesalah-pahaman yang berat dan kini ditambah
pula lebih dalam lagi, ia tidak berani membayangkan bagaimana kesudahannya
nanti. Dalam pada itu, tiba-tiba terdengar Nilan Ming-hui berseru girang, "Pasukan
Boan telah datang!"
Lekas Nyo Hun-cong melompat naik ke atas kereta, betul saja ia melihat dari
jauh debu mengepul, lekas ia melompat turun lagi.
137 "Kalian lekas lari!" serunya pada Bing-lok, "Pasukan Boan dengan kekuatan
cukup besar telah datang kemari, biarlah kutinggal di sini untuk mencegah
kedatangan mereka!"
Habis berkata begitu, segera ia seperti kupu-kupu yang menari menerobos
kian kemari di antara orang-orang itu dan sebentar saja orang-orang itu
sudah pulih kembali seperti semula, mereka sudah bisa bergerak lagi.
"Tetapi aku tidak mau menerima budimu!" kata Bing-lok dengan sengit.
Habis ini ia segera melompat ke atas kudanya dan pergi bersama orangorangnya.
Nyo Hun-cong lantas melolos pedang pendeknya, ia siap begitu pasukan Boan
itu datang mendekat, setelah menenangkan diri, ia sendiri segera menerobos
pergi mencari Hui-ang-kin buat menerangkan apa yang sebenarnya telah
terjadi. Selagi ia berpikir, rombongan pasukan Boan itu telah mendekat pula.
Di depan berlari dua orang, semula Nyo Hun-cong masih mengira tentu dua
opsir tentara Boan, tetapi setelah ditegasi dari dekat, baru ia tahu, serdadu
Boan sedang melepaskan panah di belakangnya, dan kedua orang ini
mengayunkan pedangnya membabat datangnya panah itu, kadang-kadang
mereka membalikkan badan untuk bertempur sebentar dan kemudian lari lagi.
Pasukan Boan itu semakin dekat, kini Nyo Hun-cong sudah bisa melihat jelas,
kedua orang ini adalah laki-laki dan perempuan, yang laki berusia antara tiga
puluhan lebih dan berdandan seperti sastrawan, ilmu silatnya tinggi sekali.
Sedang yang perempuan antara dua puluhan tahun, gerakannya pun tidak
lemah. Tiba-tiba hati Nyo Hun-cong menjadi girang sekali.
Yang wanita memang dia tidak kenal, tetapi yang lelaki itu adalah sahabat
baiknya sendiri.
Lelaki itu adalah jago ternama dari Bu-tong-pay yang bernama Toh It-hang.
138 Menurut keterangan gurunya, Toh It-hang pun gemas akan keadaan di daerah
dataran tengah, maka jauh-jauh telah menyingkir ke tempat yang sepi di
daerah perbatasan ini.
Suhunya pun mengatakan bahwa Toh It-hang mempunyai Lwe-kang yang sudah
mencapai tingkat sempurna, walaupun umurnya sudah dekat enam puluh tahun,
tetapi kalau dilihat masih seperti tiga puluh tahun lebih.
Waktu Hun-cong masih berada di Thian-san, sudah beberapa kali bertemu
dengan dia, Toh It-hang tidak menganggap dirinya lebih tua dari Nyo Huncong
dan berkeras hendak bergaul sebagai saudara saja.
Tentu saja Hun-cong tidak mau menerima. Belakangan baru ia tahu bahwa
sebenarnya semula Toh It-hang hendak mengangkat guru pada Hui-bing
Siansu. Hui-bing Siansu menganggap orang sejak lama sudah menjadi jago
atau ketua dari salah satu cabang tersendiri, yakni Bu-tong-pay, maka tidak
mau menerima pengangkatan im.
Karena im juga, hubungan antara Toh It-hang dengan Hui-bing Siansu
terbatas di tengah-tengah sahabat dan guru, di lain pihak Toh It-hang
dengan Nyo Hun-cong pun terjalin di antara hubungan serupa itu.
Kini demi melihat Toh It-hang dikejar oleh tentara Boan, segera Nyo Huncong
mengayunkan pedangnya dan maju memapaknya.
Ketika im Toh It-hang pun sudah mengenali Hun-cong.
"Laute (saudaraku), kau bersama dia menandingi empat 'kelinci' yang di
belakang im, aku sendiri akan membuat kocar-kacir serdadu Boan yang lain,"
katanya pada Hun-cong.
Habis itu ia lantas membalik badan dan menerjang ke arah musuh.
Nyo Hun-cong mengangkat kepalanya melihat pasukan Boan di sana, pasukan
itu dipimpin oleh empat orang opsir.
Yang mengepalai ternyata adalah orang yang bernama Nikulo, yang dulu
bersama Coh Ciau-lam mengerubuti dirinya di gurun pasir itu. Pada saat im
tiba-tiba terdengar suara seman dari belakang yang dikenal sebagai suara
Nilan Ming-hui, dan lantas terlihat air muka Nikulo ada tanda-tanda curiga.
139 Nyo Hun-cong tidak sempat bertanya lagi, ia melangkah maju terus melayang
ke depan, pedangnya mengikuti gerakan tubuhnya, sinar hijau segera menusuk
ke dada Nikulo.
Tetapi Nikulo keburu menangkis dengan senjata Song-bun-co secepat angin,
"krek", suara senjata kawan Nikulo sendiri terbabat putus.
Menyusul ia memberi satu tamparan telapak tangan, segera seorang opsir
musuh yang lain terpental pula beberapa depa.
Orang ketiga, kawan Nikulo memakai senjata tombak panjang yang beratnya
tujuh puluh dua kati, dengan kuat ia menyongkel dengan tombaknya dan
berbareng menusuk pula.
Tetapi Nyo Hun-cong sempat menghindari ujung tombak itu, tangan kirinya
diulurkan dan segera membetot tombak musuh.
"Roboh!" teriaknya.
Tidak diduga bahwa opsir Boan im adalah orang kuat ternama dalam pasukan
Boan, walaupun ia tergopoh-gopoh karena terbetot oleh Nyo Hun-cong, akan
tetapi ia belum jatuh dan masih coba mempertahankan tarikan musuh.
Nikulo yang melihat begitu, cepat mengambil kesempatan yang baik ini,
senjata Song-bun-co telah digerakkan mengarah bagian bawah Hun-cong dan
berbareng tangan kirinya menghantam pundak sebelah kanan Hun-cong
dengan sekuat tenaganya.
Tiba-tiba dengan suara keras Nyo Hun-cong membentak. Tombak panjang
yang ia betot tadi mendadak didorong ke depan. Opsir yang masih
mempertahankan betotan Hun-cong tidak tahan lagi, ia menjerit dan
tangannya berdarah, ia segera terpental pula beberapa depa jauhnya dan
pingsan. Dengan kecepatan yang luar biasa, Nyo Hun-cong membalik tubuh dan senjata
Song-bun-co musuh segera terlempar ke udara karena sampukannya.
Sampukan Hun-cong ternyata tidak hanya sampai di situ saja, tapi juga telah
mengenai tubuh musuhnya, yaitu Nikulo.
140 Di daerah Kwan-lwe, Nikulo yang terkenal dengan tangan besinya ini ternyata
tidak tahan oleh kekuatan tangan Nyo Hun-cong yang hebat itu, badannya
sampai mencelat tinggi beberapa depa ke atas seperti layang-layang putus
benangnya. Beruntung ilmu kepandaiannya sudah mempunyai dasar yang tinggi, ia
berjumpalitan satu kali dan turun kembali di antara pasukannya yang kacau
itu, segera pula ia angkat langkah seribu alias kabur.
Sementara itu. Toh It-hang dan wanita muda tadi dengan pedang mereka
telah mengamuk dan menerjang pasukan Boan, pedang mereka diobat-abitkan
ke sana kemari, maka terdengarlah suara jeritan yang mengerikan.
Keadaan dengan cepat kembali sunyi, di sana-sini hanya terdapat mayatmayat
serdadu musuh yang bergelimpangan dan banyak pula yang terluka atau
lari. Pasukan musuh dengan cepat telah bubar seperti awan tersapu angin.
"Hun-cong," sapa Toh It-hang kemudian, "Tidak nyana kepandaianmu telah
maju begitu pesat."
"Tetapi aku masih mengharap petunjuk Susiok," jawab Nyo Hun-cong.
Toh It-hang kemudian melihat Nilan Ming-hui berada di atas kereta, ia agak
terheran-heran.
Nyo Hun-cong kuatir orang akan salah mengerti, maka ia lekas memberi tahu.
"Ia seorang diri telah terpencar dari rombongannya dan terlunta-lunta di
padang pasir, aku berpikir hendak mengantarkannya pulang," katanya.
"Itu adalah pantas," ujar Toh It-hang, "Sungguh kebetulan sekali, kau
mengantar orang, aku pun sedang mengantar orang."
Setelah berbicara begitu Toh It-hang lantas memperkenalkan wanita muda
tadi. "Dia ini adalah anak gadis Susiokku, namanya Ho Lok-hua," katanya, "Aku
hendak mengantar dia pulang ke pedalaman sana, lain hari jika kau bertemu
dia, kuharap kau suka membantu dia."
141 Selesai bicara ia berpamitan dan segera berpisah dengan Nyo Hun-cong.
Hun-cong melihat air muka Toh It-hang seperti menunjukkan rasa sedih,
apalagi hubungan antara mereka sebenarnya sangat kental, dalam keadaan
biasa, tentu tidak berpamitan secara tergesa-gesa begitu, sekalipun dalam
keadaan yang kalut juga pasti akan berbincang-bincang mengenai keadaan
masing-masing selama ini.
Akan tetapi kini, bahkan nama Suhunya saja tidak ditanya sudah buru-buru
berpisah, ini sungguh aneh sekali.
Ia tak mengerti orang pandai seperti Toh It-hang masih mempunyai urusan
yang membuat ia begitu kuatir.
Agaknya Hun-cong tidak tahu bahwa sekali ini Toh It-hang tergesa-gesa
meneruskan perjalanan adalah karena kuatir Pek-hoat Mo-li akan mencari dia
untuk bikin perhitungan.
Begitulah, kemudian setelah Nyo Hun-cong dan Nilan Ming-hui berjalan
beberapa hari lagi, mereka telah sampai di luar kota Ili (ibukota Sinkiang).
Sementara im, kesehatan Ming-hui sudah pulih, kembali ia menata rambut dan
tersenyum pada Nyo Hun-cong.
"Kau tentu kurang enak jika masuk ke kota," katanya kemudian, "Sebaiknya
nanti kalau sudah malam baru kau dan aku kembali ke sana, kereta ini kita
buang saja."
Perasaan Hun-cong kini terasa sangat berat, laksana tertindih barang yang
antap, iapun merasa sedih karena harus berpisah. Karenanya ia jadi
termangu-mangu, sesudah agak lama baru ia bisa bersuara.
"Biar kau pulang saja ke sana sendiri, aku akan pergi, harap kaujaga dirimu
baik-baik," katanya kemudian.
Akan tetapi Nilan Ming-hui dengan cepat sudah menahannya sambil
menggenggam tangan Hun-cong.
"Tidak, kau jangan pergi, aku tidak perkenankan kau pergi," katanya dengan
tertawa, "Kau harus menemani aku pulang, jangan kau takut, istana di mana
kami tinggal sangat besar, sehingga kau tidak bisa kepergok ayahku. Aku
punya seorang babu tua, ia baik sekali terhadapku, ia tinggal di suatu tempat
142 di sudut timur istana im yang terdiri tiga rumah. Ya, terpaksa harus sedikit
merendahkan dirimu, nanti kubawa kau menemui dia, dan minta dia mengaku
kau sebagai keponakannya, sementara itu kau jangan sembarangan bergerak,
tanggung tiada orang yang bisa mengenalimu."
Tetapi Nyo Hun-cong telah menggeleng kepalanya.
"Tidak mungkin," katanya, "Aku akan pergi mencari orang-orang Kazak saja."
"Dan masih ada lagi, Hui-ang-kin, bukan?" sambung Nilan Ming-hui dengan
suara berat. "Betul," sahut Nyo Hun-cong dengan serius. "Mengapa aku tidak boleh
mencari dia, aku hendak mengetahui keadaan mereka dan suku-suku bangsa di
daerah selatan sana setelah habis bertempur?"
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nilan Ming-hui tertawa pula sambil meleletkan lidahnya.
"Haya, Tuanku, hanya satu perkataanku saja lantas membuat kaumarah
bukan?" ia menggoda, "Siapa yang bilang kau tidak boleh pergi mencari Huiangkin. Cuma menurut pendapatku, sehabis pertempuran besar im, di gurun
pasir yang luas apakah begitu gampang mencarinya" Lebih baik sementara kau
tinggal di sini dulu, sumber berita ayahku sangat luas dan cepat, dari semua
tempat ada berita yang dikirimkan padanya, tentu ia bisa tahu suku-suku
bangsa di daerah selatan im berada di mana, aku nanti akan mencari kabar
bagimu, jika kau telah mengetahui di mana Hui-ang-kin berada, baru kau pergi
mencari dia, kan belum terlambat!"
Nyo Hun-cong terdiam, ia pikir perkataan Ming-hui memang betul juga,
kesempatan ini boleh sekalian aku gunakan buat mencari tahu keadaan musuh.
Malam im betul-betul Nilan Ming-hui telah membawa Hun-cong pulang ke
dalam istana ayahnya secara diam-diam. Setelah bertemu dengan babunya, ia
menerangkan apa maksudnya, babu itu menjadi ketakutan sekali begitu
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Tetapi babu im sangat sayang pada Ming-hui seperti anak kandung sendiri, ia
tidak dapat menolak permohonan Nilan Ming-hui, akhirnya ia luluskan juga
permintaannya. 143 Cuma saja babu itu pun minta syarat-syarat, di antaranya adalah Nyo Huncong
tidak boleh bergerak di luar tiga ruangan rumah im.
Nyo Hun-cong pun menyanggupi syarat im.
Besoknya pagi-pagi sekali, secara diam-diam Nilan Ming-hui telah keluar pula,
ke luar kota sana dan pulang dengan membawa keretanya. Setelah ia menemui
ayahnya, ia pura-pura berkata bahwa ia telah dapat melarikan diri dari
pertempuran im.
Nilan Siu-kiat mengetahui anak gadisnya cukup pandai dalam ilmu silat, maka
ia pun tidak curiga apa-apa.
Dengan begitu, sekejap saja telah lewat setengah bulan pula.
Nilan Ming-hui belum mendapat kabar tentang tempat Hui-ang-kin dengan
orang-orangnya, satu soal lain yang datangnya mendadak telah menindih
perasaannya seperti tertindih gunung.
Tekanan batin yang sangat menyakitkan dan meruwetkan pikirannya itu adalah
seperti pada waktu ia sendiri mencurigai Nyo Hun-cong telah mencintai Huiangkin, tekanan batin yang berat ini bagaimana pun tidak bisa dihilangkan
begitu saja. Dulu yang membuat tekanan batinnya adalah bayangan Hui-ang-kin, tetapi kini
adalah seorang tamu yang ada dalam istana ayahnya.
Belasan hari sesudah dia pulang ke rumah, istana jenderal im telah
kedatangan seorang tamu dari jauh.
Tamu ini bernama To Tok, usianya tahun ini baru dua puluh lima, tetapi dalam
usia semuda im ia sudah menjabat pangkat Ting-wan-ciangkun, pangkatnya ini
lebih tinggi daripada ayahnya.
Tidak hanya im saja, ia masih terhitung putra bangsawan dari keluarga
kerajaan yang menjadi kesayangan raja, semua ini tidak dapat ditandingi oleh
Nilan Siu-kiat.
To Tok yang dapat berpangkat tinggi dalam usia muda, sama sekali bukan
karena ayahnya yang bangsawan, tetapi karena ia sendiri memang seorang
144 lelaki yang perkasa di antara orang-orang Kijin dari bangsa Boan, sejak kecil
ia suka ilmu silat, memanah, ilmu pedang dan menunggang kuda, dalam
kalangan kaum muda setingkatannya, ia terhitung kelas satu di antara tentara
Ki-jin. Tiga tahun yang lalu, ia mengikuti maharaja menjajah ke barat, dan telah
mengamankan daerah-daerah di sana, sehingga namanya segera tersebar
harum di seluruh negeri, semua pejabat kerajaan siapa yang tidak mengagumi
dirinya. Usianya masih muda dan ia masih belum mengikat diri dengan gadis mana pun,
banyak kaum bangsawan dan pejabat tinggi yang hilir mudik datang hendak
merangkap jodoh dengan dia, akan tetapi ia mempunyai pandangan dan pilihan
yang terlalu tinggi, satu pun belum ia pandang cocok untuk menjadi
pasangannya. Bakal istri idealnya jelas selain harus cantik laksana bidadari, harus pula
pandai ilmu silat dan ilmu surat.
Tapi gadis yang sempurna begitu harus dicari di mana"
Sejak To Tok berumur tujuh atau delapan belas tahun sudah banyak yang
hendak merundingkan perjodohannya, tetapi sekejap saja tanpa terasa kini ia
sudah menginjak usia dua puluh lima tahun.
Di jaman permulaan dinasti Boan, lelaki yang sudah berusia dua puluh lima
tahun tetapi masih belum mendapatkan jodoh, yang menjadi orang tua
biasanya lantas menjadi kuatir.
Ayahnya, Ok Jin-ong atau pangeran Ok, waktu mendapat tahu bahwa jenderal
dari Ili, Nilan Siu-kiat mempunyai seorang anak gadis berparas cantik molek,
di antara bangsa Kijin boleh dikata tiada bandingannya. Lebih jauh ia
mendapat tahu gadis im baru berumur mendekati dua puluh tahun dan juga
masih belum dapat jodoh.
Tadinya karena Nilan Ming-hui masih kecil, sementara im Nilan Siu-kiat
sendiri kian kemari menjalankan tugas di daerah perbatasan sana, maka ayah
To Tok tidak memperhatikan gadis itu, tapi kini setelah ingat, ia merasa
selain gadis ini kiranya tiada yang lebih setimpal pula.
145 Kemudian setelah ayah-bunda To Tok membicarakannya dengan To Tok
sendiri, pangeran ini pun sudah mendengar nama Nilan Ming-hui, bahkan
paman seperguruannya, Nikulo, bertugas pula di bawah Nilan Siu-kiat, waktu
To Tok masih bertempur di daerah barat sana, Nikulo pernah jauh-jauh
datang dari Sinkiang menemui dia dan membicarakan diri Nilan Ming-hui,
Nikulo telah memuji setinggi langit gadis itu. Katanya gadis ini tidak hanya
cantik laksana bidadari, tetapi soal ilmu silat pun jauh di atas jago-jago
bangsa Boan umumnya.
Malahan dengan tertawa ia pernah berkata, "Ciangkun, menurut
penglihatanku, bisa jadi ilmu silatnya masih di atasmu!"
Keruan saja hati To Tok tergerak, tetapi karena belum melihat dengan mata
kepala sendiri, ia masih belum puas dan percaya penuh.
Karenanya, waktu ayah-bundanya membicarakan dengan dia, ia lantas bilang,
"'Biarlah jangan bicara soal jodoh dulu, tunggu aku pergi ke Sinkiang
melihatnya sendiri."
Kebetulan waktu itu suku-suku bangsa di daerah Sinkiang dengan gigih
bangkit melawan pasukan Boan, Nilan Siu-kiat yang mengepalai tentara di
kota Ili, walaupun mendapat beberapa kemenangan, tetapi masih tidak
berdaya menindas kekuatan perlawanan rakyat gembala dari Sinkiang itu.
To Tok lantas mengajukan dirinya berkeliling ke Sinkiang, sudah tentu kaisar
girang sekali dan segera menitahkan dia sebagai utusan raja dan pergi
memeriksa situasi militer di Sinkiang, bahkan raja bilang padanya, "Kau
adalah seorang ahli militer kelas satu di antara bangsa Boan kita, kau
berangkatlah ke sana dan memberi sedikit saran pada Nilan Siu-kiat."
Ternyata raja tidak mengetahui bahwa kepergian To Tok ke Sinkiang
mempunyai maksud tujuan lain.
Setelah To Tok tiba di kota Ili dan tinggal di dalam istana jenderal, selain
menjadi tamu agung Nilan Siu-kiat, sementara itu ia pun menjadi atasannya
karena To Tok datang sebagai utusan raja.
Keruan saja Nilan Siu-kiat sangat memuji dia.
Nikulo yang mengetahui maksud kedatangan To Tok yang menjadi keponakan
seperguruannya, diam-diam ia telah memberitahu pada Nilan Siu-kiat.
146 "Ciangkun, kuucapkan selamat, pangeran muda kita masih belum mengikat
jodoh, dengan Siocia kita mereka sungguh merupakan pasangan yang
setimpal," katanya pada Nilan Siu-kiat.
Mendengar itu hati Nilan Siu-kiat tergoncang keras, ia terkejut dan juga
bergirang. "Bagaimana aku berani mengharapkan," sahutnya sambil tersenyum.
"Asal Ciangkun setuju saja, soal ini pasti akan jadi, hal lain-lain aku berani
tanggung," kata Nikulo pula, "Walaupun ia adalah orang yang agung, tetapi
kalau diurut ia masih keponakan seperguruanku, jika aku yang bicara pasti
urusan ini akan beres."
Sebenarnya Nikulo sudah mengetahui maksud tujuan kedatangan To Tok,
tentu saja tiada halangannya ia mendahului menjadi perantaranya.
"Ok Jin-ong jauh-jauh berada di Pakkia (Beijing), masakah kita yang berada
di tempat yang sepi terpencil begini mendadak bisa membicarakan soal
perjodohan dengan dia?" ujar Nilan Siu-kiat pula.
"Tentu juga tidak perlu begitu tergesa-gesa," kata Nikulo. "Biarlah mereka
saling bertemu muka dulu, aku tanggung keponakanku im begitu tiba kembali
di kota raja, pangeran tua tentu segera akan mengutus orangnya ke sini untuk
melamar." Sementara im Nilan Ming-hui walaupun mengetahui adanya seorang utusan
raja yang bernama To Tok telah datang meninjau, tetapi semula ia tidak
menaruh sesuatu pikiran dalam hatinya.
Pada suatu hari, ayahnya telah memanggil dan mengajaknya pergi bermain ke
taman bunga di belakang istana, ayah anak berdua berjalan sampai di ruangan
berlatih silat, tiba-tiba Nilan Siu-kiat dengan tertawa berkata pada gadisnya,
"Anakku, mari kita coba berlatih memanah."
"Wah, kiranya ayah akan menjajal aku," sahut Ming-hui, "Baiklah, berlomba
pun boleh, hanya saja jika aku yang menang, apakah yang ayah akan hadiahkan
padaku?" "Aku akan memberimu hadiah barang yang paling bagus, supaya selama
hidupmu terbenam dalam kejayaan dan kebahagiaan," jawab Nilan Siu-kiat.
147 "Ayah, kau omong tak keruan, mana ada barang yang begitu bagus, aku tidak
mengharapkan," kata Ming-hui, "Jika aku menang, cukup ayah menghadiahkan
aku kulit banteng yang ayah dapatkan dari berburu."
"Hanya selembar kulit banteng terhitung apa" Baiklah kita berlomba!" kata
Nilan Siu-kiat akhirnya.
Lalu ia mementang busur panahnya, tiga anak panah beruntun telah dia
bidikan dan segera kena pada tanda merah di depan sana yang berjarak kirakira
seratus tombak, lalu ia memanah dengan membalik mbuhnya, tiga anak
panah segera menancap pula di tengah tanda merah, kemudian ia lemparkan
busurnya dan tertawa panjang.
"Anakku, lihatlah, ayahmu masih belum begitu tua, bukan?" katanya
"Ayah tentu masih belum tua" sahut Nilan Ming-hui seraya tersenyum, "Ilmu
memanah ayah bagus betul, tetapi anakmu kiranya juga tidak memalukan,
lihatlah aku!"
Habis berkata begitu, satu anak panahnya telah menyambar ke angkasa
menyusul ia bidikan satu anak panah yang lain, anak panah pertama yang baru
turun telah terkena persis oleh anak panah kedua dua anak panah yang saling
bentur segera naik pula ke atas dan kemudian jatuh semua.
Nilan Ming-hui seakan-akan tidak memanah dengan sungguh-sungguh, tetapi
tangannya tidak henti-hentinya bergerak, berturut-turut ia lepaskan enam
anak panah, tiap-tiap anak panah membentur anak panah yang lebih dulu
dilepaskan. "Ilmu memanah yang mengagumkan," tiba-tiba terdengar suara pujian orang
menyelingi suara tertawa Nilan Ming-hui, lalu dari belakang semak-semak
sana terlihat muncul dua orang lelaki, yang seorang adalah Nikulo sedang yang
lain adalah To Tok.
Waktu Nilan Ming-hui melihat Nikulo, mendadak ia teringat tempo hari waktu
berada dalam satu kereta bersama Nyo Hun-cong dan telah dipergoki olehnya
walaupun tidak mengetahui apakah waktu im orang melihat jelas dirinya atau
tidak, tetapi air mukanya lantas berubah.
148 Nilan Siu-kiat lantas memegang tangan anak gadisnya dan hendak
memperkenalkannya pada To Tok, di luar dugaan tiba-tiba Ming-hui meronta
melepaskan tangannya dan berlari pergi.
"Sungguh tidak tahu aturan, harap pangeran jangan marah," kata Nilan Siukiat
pada To Tok sambil mengomel pada putrinya, "Anak perempuan tidak
tahu adat dan memalukan, ia tidak mengetahui kau adalah pangeran, ia
memang takut bertemu dengan orang asing."
Padahal Nilan Ming-hui yang sudah biasa kian kemari di padang rumput luas
itu, mana bisa disamakan seperti bangsa Han yang terlalu kokoh dalam adat
pergaulan laki-laki dan perempuan, hanya Nilan Siu-kiat sendiri yang sengaja
mengolok-olok anak gadisnya seperti Siocia bangsa Han saja.
Sementara itu, demi melihat Nilan Ming-hui, semangat To Tok sudah terbang
ke awang-awang, ia tidak menduga di jagad ini betul-betul ada perempuan
secantik bidadari, bahkan mempunyai keahlian silat yang begitu tinggi, dalam
keadaan kesengsem terpesona pada hakikatnya ia tidak mendengarkan apa
yang Nilan Siu-kiat katakan padanya tadi.
Sementara itu setelah Nilan Ming-hui lari balik ke rumah babu inangnya,
diam-diam ia telah menceritakan pengalamannya itu kepada Nyo Hun-cong.
"Aku telah bertemu dengan orang yang dipanggil To Tok, dia masih sangat
muda seperti dirimu," demikian tuturnya.
"Hah! Jahanam ini, dengan maksud apa dia datang di daerah Sinkiang sini?"
kata Hun-cong dengan gemas, "Apakah ia datang ke sini buat menjagal pula
rakyat-rakyat gembala" Hm, aku pasti akan menusuk dia hingga tembus!"
"Aduh! Begitu kejamnya," kata Nilan Ming-hui dengan meleletkan lidahnya.
Tapi Hun-cong diam saja dengan wajah yang marah.
Karena itu Nilan Ming-hui lantas memeluk tubuhnya dan menggoyanggoyangnya.
"Baiklah tidak usah menyebut dia lagi, kau jangan marah. Ya, berceritalah
padaku hal lain saja, maukah?" godanya.
149 Hun-cong tertawa karena banyolan Nilan Ming-hui.
"Adalah berbahaya sekali kau berada di sini, kau masih banyak tugas lain yang
agung, tidaklah menguntungkan jika sekarang kau mengajak To Tok berkelahi,
sekalipun sepuluh To Tok juga tidak dapat dibandingkan kau seorang,
dengarlah kataku dan jangan kau berbuat hal-hal yang begitu bodoh!" katanya
kemudian pada Hun-cong.
Hati Hun-cong menjadi dingin kembali, ia merasakan hangatnya kasih sayang
dari seorang gadis.
Kasih sayang begini ini tidak ia dapatkan dari Hui-ang-kin. Hui-ang-kin masih
punya kekurangan dasar kehalusannya sebagai seorang gadis, ia masih belum
paham bagaimana harus mengutarakan perasaannya yang halus itu.
Tiba-tiba, semacam perasaan beruntung telah mengalir masuk lubuk hati Nyo
Hun-cong bagaikan aliran listrik, ia peluk tubuh Ming-hui dengan kencang,
pipinya digosokkan pelahan-lahan ke pipi Ming-hui, napasnya rada memburu
tapi sepatah kata pun tak sanggup diucapkannya.
Ia hanya berpikir, "Perkataan Ming-hui memang betul. Aku akan
mengumpulkan orang-orang Kazak lagi untuk mengusir tentara Boan,
berperang tidak bisa mengandalkan hasil dari pembunuhan satu-dua orang
panglima musuh saja lantas segalanya bisa beres!"
Besoknya, hari kedua, seperti biasa Ming-hui pergi memberi selamat pagi
pada ayahnya. Begitu melihat gadisnya ini Nilan Siu-kiat lantas bertanya dengan muka
berseri-seri. "Anakku, berapakah umurmu tahun ini?" demikian tanya orang tua ini.
"Ayah kok begitu pelupa, umur gadisnya sendiri saja tidak ingat lagi, sudah
sembilan belas tahun, bukan?" jawab Nilan Ming-hui dengan mendekap
mulurnya yang mungil.
Atas jawaban gadisnya ini Nilan Siu-kiat tertawa terbahak-bahak.
150 "O, ya sudah sembilan belas tahun, ayahmu ini sungguh celaka, mempunyai
gadis yang sudah berumur sembilan belas tahun masih belum mencarikan
mertua baginya!" katanya lagi.
"Ayah, janganlah kau menggoda diriku," ucap Ming-hui dengan air muka
berubah. "Ming-hui, kau tak usah malu-malu," ujar Nilan Siu-kiat lagi sambil mengeluselus
rambut gadisnya "Ayahmu sesungguhnya sudah menemukan jodoh yang
setimpal bagimu, sekalipun mimpi kau pasti tak pernah menyangkanya!"
Keruan Ming-hui terperanjat, ia membuka matanya lebar-lebar karena
kagetnya tetapi Nilan Siu-kial masih berbicara terus.
"Coba kau terka siapakah dia itu, ia bukan lain adalah To Tok, jika kau
menjadi jodohnya, dengan sendirinya kau bakal menjadi permaisurinya!"
Begitulah Nilan Siu-kiat berkata sambil memandang gadisnya dengan
tersenyum girang, sebaliknya Nilan Ming-hui tiba-tiba berteriak, "Aku tidak
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mau kawin!" berbareng air matanya segera turun deras bagaikan hujan.
Nilan Siu-kiat heran dan terperanjat sekali.
"Orang semacam ini tidak kau kawini, lalu siapa lagi yang inemdak kaupilih?"
tanyanya dengan suara keras, "Selain prJ*a mahkota yang ada sekarang ini,
siapa lagi orang yang bisa membandingi dia" Kau ini, baiknya jangan terus
berlaku seperti anak-anak saja!"
Tetapi mendadak Nilan Ming-hui menutup mukanya dan menangis tersedusedu.
"Aku tidak mau kawin dan juga tidak kepingin menjadi permaisuri segala,"
sahutnya kemudian dengan suara serak.
Sudah tentu Nilan Siu-kiat menjadi marah, ia berjingkrak, berulang-ulang ia
membanting kakinya.
Sementara itu, tiba-tiba dari luar kamar sana terdengar suara Nikulo yang
melapor hendak bertemu.
151 Nilan Siu-kiat memberi tanda dengan tangannya dan berkata pada gadisnya
"Baiklah, kau kembali ke kamarmu dan berpikir dulu, nanti kusuruh ibumu
bicara denganmu."
Agaknya sedikitpun ia tidak mengerti hubungan Ming-hui dengan Nyo Huncong,
malahan ia mengira gadisnya sengaja malu-malu kucing.
Dan sejak itulah, beberapa hari beruntun ibu Ming-hui terus mendekati
gadisnya omong sana dan bujuk sini, tetapi ternyata Ming-hui masih tetap
bandel dan hanya menangis saja.
"Coba kau pikirkan," kata ibunya. "Aku dan ayahmu hanya mempunyai seorang
anak perempuan, di hari tua nanti pun mengharap bisa mendapatkan sandaran!
Kau adalah Ki-jin, sedangkan To Tok adalah anak tunggal dari Ok Jin-ong yang
dalam usia begitu muda sudah mendapatkan pahala begitu besar, apakah dari
kalangan bangsawan bisa kau dapatkan orang kedua seperti dia?"
"Sementara itu, ia pun merupakan atasan ayahmu, jika kau tidak mengawuti
dia coba pikirkan, apa ayahmu bisa mendapat kebaikan! Ming-hui, apakah kau
hendak bikin susah ayah-bundamu" Kau biasanya begitu berbakti, tetapi
mengapa sekali ini kau begini bandel, toh ayah dan ibu semua menginginkan
kau bahagia!" kata ibunya mengakhiri.
Ming-hui mendengarkan petuah sang ibu yang panjang lebar ini, ia merasa
seperti sambaran petir di atas kepalanya dan dia hanya terpaku hingga lama
tak dapat mengeluarkan sepatah kata ibunya hanya menghela napas dan lantas
tinggal pergi. Setelah ibunya pergi pikiran Nilan Ming-hui segera tenggelam
seperti gelombang ombak di tengah samudera yang tiada hentinya bergolak.
Ia sangat mencintai Nyo Hun-cong, tetapi Nyo Hun-cong adalah musuh besar
pula dari ayahnya dan juga bangsanya jika ia dan Hun-cong terus saling cinta
secara membuta begitu, bagaimanakah akibatnya Mereka sebenarnya tidak
mungkin menjadi pasangan, apalagi seperti sekarang ini Nyo Hun-cong
sembunyi di dekat dirinya tidak lebih hanya untuk sementara saja sekitarnya
penuh musuh yang ingin mencelakainya walaupun Hun-cong mempunyai
kepandaian setinggi langit, kalau hanya seorang diri terkurung di antara
tentara musuh yang banyak tentunya sangat berbahaya sekali. Jika dirinya
ingin mendapat kesudahan yang baik, jalan satu-satunya dirinya ikut pergi
bersama Nyo Hun-cong dan ikut memanggul senjata melawan kedua orang tua
dan bangsanya. 152 Akan tetapi, ini adalah tidak mungkin, ia adalah gadis tunggal dari ayahbundanya
melawan orang tua itu sungguh tidak pernah ia bayangkan, ia
mencintai Nyo Hun-cong, tapi ia pun mencintai kedua orang tuanya. Ia tidak
tahu harus mengorbankan siapa di antara mereka ia terus berpikir selama
sehari semalam.
Beruntun hingga beberapa hari Nyo Hun-cong tidak melihat Nilan Ming-hui
datang menemui dirinya ia sendiri merasa heran, malam ini ia termenung di
dalam kamarnya tiba-tiba Ming-hui muncul. Beberapa hari tidak bertemu,
ternyata gadis ini sudah banyak kurus, matanya merah bengkak, keruan Huncong
menjadi kaget, lekas ia bertanya.
Akan tetapi tanpa menjawab Nilan Ming-hui telah menjatuhkan dirinya ke
dalam pelukan Nyo Hun-cong dan menciumnya berulang-ulang dengan mesra ia
memeluk dengan sangat erat.
"Ming-hui, soal apakah yang membuat kau begini, katakanlah pada orang yang
paling mencintaimu dan jangan terus bungkam," kata Hun-cong sambil
mengelus rambut si gadis dengan suara penuh kasih sayang.
"Sungguhkah kau mencintai aku, mati atau hidup tidak bakal berubah
cintamu?" tanya Nilan Ming-hui tiba-tiba.
"Apakah perlu aku rogoh dan menunjukkan hatiku?" sahut Nyo Hun-cong.
Karena jawaban ini, di luar dugaan mendadak Ming-hui berseru, "Jika kau
betul-betul mencintai aku, baiklah, kuharap kau segera meninggalkan diriku!"
"Apa katamu?" tanya Hun-cong dengan kaget.
"Ya biarlah aku yang akan menerima segala penderitaan, aku tidak
menginginkan kau menghadapi bahaya di sini!" kata Ming-hui dengan menangis.
"Ming-hui, mengapa kau berkata begitu," ujar Hun-cong, "Aku pasti akan
melindungi dirimu sekuat tenagaku, apakah kau mengira aku tak mampu
membela dirimu" Kalau tidak, marilah kaupergi denganku, padang rumput yang
demikian luas, apakah kau masih kuatir tidak bisa mendapatkan tempat untuk
berteduh?"
153 Tetapi dengan pelahan-lahan Ming-hui melepaskan genggaman tangannya "Kita
tidak mungkin menjadi suami-isteri, tidak mungkin!" ratapnya pula.
"Mengapa tidak mungkin?" seru Hun-cong sambil melompat, ia seperti terkena
sekali cambukan, hatinya terpukul.
"Sudahlah tak usah kau tanya lagi! Kita telah ditakdirkan tidak bisa
berkumpul menjadi satu. Ya siapa yang menyuruh kau adalah bangsa Han?"
kata Ming-hui pula.
Mendengar itu, muka Nyo Hun-cong berubah, teringat olehnya dia ini adalah
anak gadis musuhnya sekilas hati sanubarinya seperti sedang menegur
padanya "Hai! Nyo Hun-cong, sadarlah, bukankah memang begitu. Bagaimana
kau bisa terus tergoda oleh gadis musuh."
Hatinya ternyata tidak dapat memahami perasaan yang lemah dari Nilan
Ming-hui. Setelah pemuda ini tahu bahwa Ming-hui tidak bersedia ikut dengan
dirinya, hatinya terasa seperti teriris-iris oleh senjata tajam, ia menjadi
salah sangka bahwa Ming-hui masih tetap berdiri di pihak ayahnya.
Begitulah, maka selagi Nyo Hun-cong hendak mendorong pergi Nilan Ming-hui,
tetapi demi melihat mukanya yang penuh air mata, tangannya lantas dilepas
lagi. Saat lain Nilan Ming-hui telah memeluk dirinya pula dengan kencang.
"Sebelum kita berpisah, aku mohon kau jangan gusar dan jangan memarahi
diriku," serunya dengan suara serak.
"Ming-hui, aku selamanya tak akan menyesali dirimu!" kata Hun-cong pasti
dengan menghela napas.
"Ya, aku tahu kau mencurigai diriku, tetapi percayalah, untuk menghilangkan
kecurigaanmu im, aku bersedia menyerahkan segala milikku padamu, walaupun
kita tidak dapat menjadi suami-istri, tetapi aku tetap masih menjadi istrimu,"
kata Ming-hui. "Ming-hui, janganlah kau berkata demikian!" ujar Hun-cong dengan perasaan
hancur. Akan tetapi sesaat im, bibirnya sudah terkancing oleh bibir Nilan Ming-hui
yang halus lemas sampai ia hampir tak dapat bernapas.
154 Pelahan-lahan, ia lupa diri, ia telah merasakan sesuatu kebahagiaan untuk
pertama kali dalam kehidupannya, tetapi merupakan pula penderitaan bagi
kehidupan selanjutnya.
Sewaktu Hun-cong sadar kembali, Nilan Ming-hui sudah tak terlihat, dalam
kamar hanya tinggal keadaan yang kosong dan gelap. Hun-cong menghela napas
dan berkata dalam hati, "Aku harus pergi sekarang juga!"
7 Selagi ia akan bebenah buntalannya untuk berangkat, tiba-tiba jendelanya
dibuka orang, menyusul telah melompat masuk seorang lelaki.
"Nyo Hun-cong, kau harus pergi sekarang juga!" bentak orang im yang
ternyata bukan lain daripada Nikulo.
Nyo Hun-cong melompat bangun, "Nikulo, apa kaucari mampus!" bentaknya
pula. "Aku bukan tandinganmu, itu aku cukup tahu," kata Nikulo, "Tetapi jika aku
takut dibunuh olehmu tentu tak nanti aku datang kemari. Sudah lama aku
mengetahui kau berada di sini, kau telah mencintai Siocia kami, bukan?"
"Kau tak perlu urus!" sahut Hun-cong dengan gusar.
"Hm, kauanggap dirimu seorang pahlawan, tetapi aku melihat dirimu
sedikitpun tiada tanda-tanda kepahlawanan!" kata Nikulo menyindir.
Mendengar sindiran im, Nyo Hun-cong mendelik matanya.
"Di manakah letak kesalahanku, coba katakan!" teriaknya sengit.
"Jika kau sungguh-sungguh mencintai Nilan Ming-hui Siocia, mengapa kau
tidak memikirkan dirinya," kata Nikulo, "Tahukah kau bahwa dia sudah
mempunyai orang dalam hatinya, jika bukan tahun ini tentu tahun depan ia
sudah akan menikah, suaminya beribu kali lipat lebih baik daripada dirimu,
mengapa kau masih terus menggoda dia dan membikin dia menderita!"
"Siapa bakal suaminya?" tanya Nyo Hun-cong dengan membentak.
155 "Taiciangkun To Tok!" jawab Nikulo.
Baru habis perkataannya, mendadak ia menjerit sekali, ternyata ia sudah
roboh di atas tanah, Nyo Hun-cong bergerak secepat kilat, ia tutuk 'Nuimoahiat' Nikulo. Tempo hari sewaktu Nikulo mengejar Toh It-hang di padang rumput, pernah
ia memergoki Nyo Hun-cong berbarengan dengan Nilan Ming-hui, waktu itu
meski Nilan Ming-hui dengan cepat telah bersembunyi dalam kereta, akan
tetapi dengan jelas Nikulo sudah dapat melihat orangnya, kejadian ini terus ia
simpan dalam hati. Beberapa hari ini waktu ia berbincang dengan Nilan Siukiat
dan mengetahui Nilan Ming-hui tidak mau mengawini To Tok. Nilan Siukiat
juga berkali-kali menghela napas, walaupun tidak terus terang
diceritakan, tetapi Nikulo sudah menduga tentu ada sebab-sebabnya. Setelah
ia pikir, ia mendapatkan satu akal, maka malan-malam ia datang menemui Nyo
Hun-cong dan hendak membuat pemuda ini pergi dengan perkataannya.
Demikianlah, maka sesudah Nyo Hun-cong menutuk roboh Nikulo, hatinya
masih merasa gusar dan juga tertusuk, ia mestinya sudah hendak angkat kaki,
tetapi karena omongan orang tadi, pikiran lain segera timbul dalam hatinya,
"Coba aku lihat-lihat ke dalam istana sana, toh aku memang hendak
menyelidiki keadaan musuh."
Ia segera melayang keluar jendela, dalam keadaan gusar dan benci,
hakikatnya ia sudah tidak memikirkan bahaya bagi jiwanya lagi.
Tidak lama kemudian, di istana jenderal telah kedatangan tetamu yang tak
diundang, dengan mendekam di atas atap ruangan tengah dan sedang
mengintip ke bawah, orang ini adalah Nyo Hun-cong.
Kebetulan di ruang pendopo itu sedang duduk bercakap-cakap antara Nilan
Siu-kiat dan To Tok, Nyo Hun-cong telah siap dan berjaga-jaga, ia memegang
kencang pedangnya, ia pikir mereka tentu sedang mempersoalkan perjodohan
Nilan Ming-hui, biarlah aku mendengarkan apa yang mereka percakapkan,
walaupun aku harus tewas di padang pasir sini, sedikitnya aku akan memberi
sekali tusukan lebih dulu pada jahanam To Tok ini.
156 Tengah ia berpikir, terdengar Nilan Siu-kiat lagi berkata, "Khim-ce-tajin
(paduka tuan utusan), biarlah kita giring kedua orang Hwe itu untuk diperiksa,
bagaimana?"
Mendengar percakapan ini Hun-cong menjadi heran, "Aneh, ternyata mereka
bukan sedang mempersoalkan perjodohan, melainkan sedang merembuk orang
Hwe apa yang kurang jelas!"
Ia tak tahu bahwa soal perjodohan Ming-hui harryi berjalan di belakang layar
saja, menunggu ayah To Tok yang jauh berada di kota raja, menurut
kebiasaan atau adat isi-adat kaum bangsawan, untuk mencari putri pangeran
bukan soal sederhana, tentu tidak mungkin diselesaikan begitu saja oleh To
Tok sendiri. Kali ini mereka berkumpul, yang diurus justru betul-betul adalah
urusan 'dinas' dan sedang akan buka sidang memeriksa orang Kazak yang
tertawan. Maka setelah perintah Nilan Siu-kiat dilaksanakan, tidak lama kemudian
barisan pengawal menggiring masuk seorang lelaki dan seorang perempuan.
Begitu melihat kedua orang ini, darah Nyo Hun-cong seketika membara,
ternyata yang lelaki itu adalah adik angkatnya sendiri, Mokhidi.
Sejak terpencar karena serangan angin topan di gurun Taklamakan, Hun-cong
tak pernah bertemu pula dengan Mokhidi. Waktu sedang mencari 'sumber air
hitam', ia telah bertemu dengan adik angkat yang lain, Asta, tetapi Asta pun
tidak mengetahui mati hidup Mokhidi, tidak diduga kini malahan bertemu di
dalam istana jenderal sini, bahkan di samping Mokhidi masih ada pula seorang
nona bangsa Kazak yang cantik.
Mokhidi dan nona itu J;borgol dengan rantai yang besar sementara Nilan Siukiat
telah membentak menyuruh mereka berlutut, tetapi ternyata mereka
berkepala batu, mereka malah melengos dengan angkuh.
"Orang gagah!" puji To Tok dengan mengacungkan jempolnya, "Kau orangorang
Kazak kini berkumpul di mana, bicaralah padaku, aku m ~"ghargai lelaki
yang gagah, maka aku berjanji padamu boleh kcn pergi menawarkan
penaklukan bagi mereka, sedikitpun aku tidak akan mencelakai bangsamu!"
"Siapa percaya dengan omongan bangsa Boan-ciu!" sahut Mokhidi dengan
gusar dan berani.
157 "Hm, arak suguhan tidak diterima, tetapi minta arak dendaan, baik, seret dia
dan segera rangket!" bentak Nilan Siu-kiat dengan gusar.
Akan tetapi belum habis suara perkataannya, tiba-tiba terdengar suara
bentakan keras. Nyo Hun-cong telah melayang turun dari atas genting,
pedangnya laksana sambaran kilat, dengan cepat telah menusuk muka To Tok.
Ketika To Tok melihat Nyo Hun-cong mendadak melompat turun dari atas dan
sinar pedangnya menyambar menusuk mukanya, ia berteriak sekali dan
berbareng angkat sebuah kursi di sampingnya terus ditangkiskan.
Maka terdengarlah suara berantakan, kursi itu telah terbelah menjadi dua,
To Tok segera memukul pula dengan kepalannya, akan tetapi Hun-cong tidak
gampang terkena, pada saat lain sebelah kakinya telah melayang, seketika musuli
terjungkal menyusul pedangnya hendak ditusukkan pula.
Akan tetapi tiba-tiba ia melihat Nilan Siu-kiat dengan tidak mempedulikan
jiwanya sendiri telah merangkul tubuh To Tok sambil mendelik padanya.
"Tidak kuperkenankan kau mencelakai ayahku!" demikian tiba-tiba perkataan
yang pernah diucapkan oleh Nilan Ming-hui mendadak berkumandang di
telinganya. Karena itulah Nyo Hun-cong merandek dan terlambat sedikit, sementara im
Nilan Siu-kiat dengan masih merangkul To Tok telah menggelinding pergi
sejauh beberapa depa, barisan pengawal pun lantas datang mengurung.
Nyo Hun-cong menjadi gusar sekali, ia membentak dengan suara menggeledek,
"Yang merintangi aku mati!" segera pula pedangnya menusuk dan telapak
tangannya membelah, sekejap saja ia telah dapat menewaskan lima orang,
dengan satu lompatan, pedangnya segera diayun beruntun, rantai yang
memborgol diri Mokhidi dan nona im lantas putus menjadi dua.
"Dapatkah kalian naik ke atas rumah?" tanyanya.
Perempuan muda itu memanggut.
"Ayo, pergi!" ajaknya, lalu ia mengadang di belakang dengan pedangnya, ia
melindungi kawan-kawannya dan melompat ke atas atap rumah, sementara im
anak panah dari bawah telah berhamburan laksana hujan.
158 Hun-cong melepaskan baju luarnya, ia menggunakan tenaga dalamnya, bajunya
dikebutkan naik turun, anak panah yang tersapu oleh baju panjang im lantas
berserakan tak keruan, tidak lama mereka bertiga sudah lepas dari bahaya
dan telah berada di luar istana.
Sewaktu Nyo Hun-cong mengenakan bajunya kembali, ternyata baju im masih
baik-baik saja, satu lubang kecil pun tiada.
"Nyo-taihiap sungguh luar biasa!" Mokhidi memuji.
Hun-cong hanya tersenyum saja, segera ia membawa mereka melalui jalan
kecil dan keluar dari kota.
Setelah berada di luar kota, Mokhidi berkata pada perempuan muda tadi,
"Inilah orang yang selalu aku bicarakan padamu im, Nyo-toako, Nyo Hun-cong
Taihiap!" Maka tanpa ayal wanita muda im segera memberi hormat.
"Ia adalah nona- yang selalu kukatakan padamu itu, namanya Malina," kata
Mokhidi sambil memperkenalkan wanita muda im pada Nyo Hun-cong.
Malina adalah sahabat baik Mokhidi sejak masih kanak-kanak, mereka sering
perg, berburu bersama, belakangan ia ikut keluarganya pindah ke aaerah
selatan, karena im hubungan mereka pun terputus, tetapi Mokhidi masih
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selalu merindukan gadis ini. Asta suka menggoda mereka berdua, maka begitu
Hun-cong mendengar gadis ini ialah Malina, ia lantas mengerti apa artinya.
Tentang kisah Mokhidi sejak serangan topan itu sederhana saja, pada hari
terjadinya angin ribut, akhirnya ia bertemu serombongan saudagar yang akan
menuju ke selatan, justru di antara mereka terdapat pula keluarga Malina,
maka Mokhidi lantas menggabungkan diri bersama mereka dan telah bertemu
kembali dengan Malina.
Waktu itu di perkampungan mereka sedang diadakan perayaan dan permainan
'domba nakal', kaum muda menunggang kuda saling berkejaran, ada juga yang
mengajak Malina, tetapi ia selalu menolak, sedang ia merasa kesepian,
kebetulan Mokhidi telah tiba, keruan gadis im kegirangan dan bersorak.
Segera pula Malina memohon pada kakaknya untuk menyediakan seekor kuda
bagi Mokhidi, dan tanpa bertanya bagaimana keadaannya sesudah berpisah,
mereka bersama pergi bermain 'domba nakal'. Begitu pemuda-pemuda lain
159 mengetahui bahwa mereka adalah kekasih lama yang bertemu kembali,
semuanya ikut bergembira juga.
Begitulah setelah Hun-cong mendengar cerita itu, ia lantas memberi selamat
juga pada mereka.
Ketika berbicara tentang tempat berkumpulnya orang Kazak di daerah
selatan, ternyata jarak dengan tempat di mana Hui-ang-kin menetap tidak
lebih dari tiga ratus li, hanya saja karena di padang rumput yang luas, sedang
bangsa gembala yang kian kemari berpindah tiada menentu, maka saling tidak
mengetahui. Bangsa Kazak adalah bangsa yang baru berpindah ke daerah
selatan, kecuali rombongan keluarga Malina masih ada pula beberapa
kelompok lainnya.
Lalu Nyo Hun-cong bertanya pula bagaimana sampai mereka bisa tertawan,
mendengar pertanyaan ini muka Mokhidi segera berubah menjadi gemas.
"Nyo-taihiap," katanya kemudian, "Kau baik dalam segalanya, hanya satu hal
saja yang tidak baik!"
"Apa yang tidak baik?" tanya Nyo Hun-cong dengan heran.
"Kaupunya seorang Sute yang busuk, mengapa kau tidak memberi ajaran
padanya?" sahut Mokhidi sengit.
"Ya, itu memang kesalahanku!" kata Hun-cong, "Tetapi aku pun belum lama ini
baru tahu ia telah berubah begitu busuk. Kenapa, ada soal apa lagi antara
kamu dengan Coh Ciau-lam?"
"Justru dialah yang telah menawan kami dari padang rumput Garsin dan terus
digusur ke kota Ili," sahut Mokhidi pula.
"Apakah dia yang telah menggiring kau ke sini?" tanya Hun-cong, "Kalau
begitu tentu ia kini masih berada di Ili, biarlah aku kembali ke sana untuk
menangkap dia!"
"Bukan dia yang datang sendiri, kini ia sendiri malah sedang repot," tutur
Mokhidi, "Ia sedang berangkat pergi bersama satu pasukan tentara untuk
menduduki satu benteng antara tiga puluh li di padang rumput Garsin dan
terus mengincar gerak-gerik kami. Ia telah mengirim satu orang datang pada
160 kami dan meminta orang Kazak harus bekerja dan memberi rangsum padanya,
sudah tentu kami tidak mau dihina. Kepala suku kami telah mengusir pergi
utusan itu, tetapi mendadak pada malam buta ia telah datang sendirian dan
menawan pergi anak kepala suku kami sebagai jaminan. Sungguhpun demikian,
kepala suku kami tetap membandel dan tak menggubris padanya, tetapi
bagaimanapun juga kasih sayang ayah anak yang dahm tidak bisa diabaikan,
maka diam-diam ia telah menyuruh kami pergi menyelidiki."
"Ya, memang, kau dan Asta termasuk orang yang pating perkasa di antara
bangsa Kazak, kau telah sampai di daerah selatan sini tentu saja ia
menugaskan kamu, aku kira kepala suku tentu ingin kau diam-diam merebut
kembali anaknya, bukan?" ujar Nyo Hun-cong.
"Ya, memang betul!" sahut Mokhidi, "Ia tidak mengetahui kepandaian silatku
sebenarnya masih jauh dibandingkan Coh Ciau-lam. Akan tetapi, aku tentu tak
dapat menolak perintah itu, bukan" Walaupun aku tidak dapat menandingi Coh
Ciau-lam, tetapi kau tentu sudah tahu bahwa kami bangsa Kazak selamanya
tidak pernah takut pada musuh yang lebih tangguh, aku toh tidak bisa
membuang muka bangsaku dan mengatakan bahwa aku tidak berani pergi
bukan" Lagi pula aku juga tidak takut padanya, kupikir jika bertemu dia paling
banyak hanya mati, buat aku itu bukan masalah. Sementara itu supaya ia
mengetahui bahwa di antara bangsa Kazak kami juga ada pahlawan yang tak
gentar mati, ia telah menyerang kami waktu tengah malam, kami pun sanggup
memberikan perlawanan!"
"Bagus, kau tidak malu melakukannya sebagai saudaraku!" puji Hun-cong
sambil mengacungkan jempolnya atas keberanian dan jiwa pahlawan orang.
Ia memuji Mokhidi dengan sungguh-sungguh, bahkan diam-diam ia sendiri
merasa malu. Mokhidi dan Malina adalah kekasih yang sudah lama baru
bertemu kembali, baru berkumpul beberapa hari, Mokhidi sudah rela
mempertaruhkan jiwanya untuk mempertahankan keagungan nama bangsa
Kazak, perkataannya begitu tegas, sedikitpun tanpa sangsi, seperti hal itu
sudah sepantasnya demi keadilan.
Ia juga percaya dirinya sendiri, jika dalam keadaan mendesak, ia pun dapat
memandang kematian seperti kembali ke asalnya saja, akan tetapi kini ia
ternyata tidak dapat memutuskan perasaannya terhadap anak gadis musuhnya
itu. 161 "Terus terang saja, Toako, aku sebenarnya juga tak tega meninggalkan
Malina," kata Mokhidi pula, "Sebelum aku berangkat telah kukatakan padanya
bahwa kepergianku kali ini tiada harapan hidup, karena pihak musuh jauh lebih
lihai dari diriku, aku telah katakan padanya, sesudah aku mati, agar menjaga
diri baik-baik dan jangan mengenangkan diriku, di antara bangsa kita masih
banyak pemuda perkasa, janganlah berbuat bodoh, harus memilih satu yang
baik di antaranya dan kawinlah dengan dia serta boleh berikan namaku untuk
nama anaknya yang pertama, dengan begitu aku sudah cukup puas."
"Tak tahunya nona bodoh ini malahan mengalirkan air mata," Mokhidi menutur
lebih jauh, "Tetapi lekas pula ia menyusut kering air matanya dan dengan
nekat hendak pergi bersama aku, aku tidak memperkenankan, ia lantas akan
bunuh diri di hadapanku, ia telah berkata pula bahwa aku memandang enteng
pada wanita, katanya lelaki bisa pergi mengapa wanita tidak dapat pergi. Aku
katakan pada Malina, aku tahu dia juga mengerti ilmu silat, tetapi hendak
berterus terang padanya, sekalipun ditambah dirinya juga masih bukan
tandingan musuh! Tetapi Malina sedikitpun tidak mau mengerti, ia berkata
dengan tertawa, jika mau mati biarlah mati bersama, dengan begitu biar
musuh tahu juga bahwa wanita bangsa Kazak pun mempunyai pahlawan yang
tidak boleh dibuat permainan! Ia berbicara demikian serius dianggapnya mati
bersamaku adalah hal yang tidak perlu dipikirkan lagi!"
Nyo Hun-cong terharu sekali mendengar cerita ini, matanya telah basah
mengembeng air mata.
"Nona Malina kau hebat sekali!" katanya kemudian dengan tersenyum.
Lalu ia teringat pada Nilan Ming-hui, Ming-hui tidak bersedia meninggalkan
ayahnya dan ikut dia. Menghadapi Malina, perasaannya kagum dan juga girang
serta getir pula, ia kagum dan girang bagi diri Mokhidi yang bisa mendapatkan
gadis yang begitu baik dan getir untuk dirinya sendiri.
"Nyo-taihiap, kau jangan percaya omongannya," kata Malina tersenyum,
"Urusan kecil ini tidak berharga dibuat cerita, ia telah menambah dan
membumbui seperti perbuatan yang seharusnya dilakukan itu adalah hal-hal
yang luar biasa, sungguh menjemukan!"
Hun-cong menepuk-nepuk pundak Mokhidi.
162 "Saudaraku yang baik," katanya, "Ceritamu sangat menarik, ceritakanlah
terus. Malina kelihatannya mengomeli-mu, tetapi sesungguhnya ia sangat
menyayangi kau, apa yang ia perbuat memang hal yang luar biasa dan kau sedikitpun
tidak membesar-besarkan."
"Wah, Nyo-taihiap, kau malahan menyokongnya, tentu akan makin membuat
dia lebih besar kepala lagi!" kata Malina.
"Kemudian aku dan nona Malina malam-malam lantas mengunjungi benteng Coh
Ciau-lam," sambung Mokhidi, "Akan tetapi belum kami ketemukan anak kepala
suku, kami telah kepergok lebih dulu oleh Coh Ciau-lam. Coh Ciau-lam sudah
kenal padaku, maka kami berdua bertempur mati-matian. Sungguh kurang ajar
sekali, jika dia membunuh kami tentu sudah beres, justru ia hanya mengurung
kami dengan pedangnya, kami tidak bisa melukai dia, sedang pedangnya hanya
berkelebat ke sana-sini sekitar kami sambil berseru agar kami menyerah,
sudah tentu kami marah sekati, dengan tak memikirkan jiwa lagi kami telah
menubruk ujung pedangnya, entah mengapa segera kami merasa lemas tak
berdaya terus roboh ke tanah.
"Kamu telah kena ditutuk," kata Nyo Hun-cong.
"Aku pun pernah mendengar kau cerita ilmu menutuk ini, tetapi tak tahu kalau
begitu lihai!" kata Mokhidi pula. "Setelah ia menawan kami, ia lantas berkata,
bagus sekali Mokhidi, sudah lama aku tahu kau adalah pahlawan yang gagah
dari bangsa Kazak dan tangan kanan Nyo Hun-cong, baiklah, aku harus
memberimu sedikit kegetiran, supaya kau tahu. Malina juga dikenal orang
sebagai nona yang paling berani dari wanita Kazak, musuh selalu menyebut
demikian padanya. Lantas Coh Ciau-lam merangket kami masing-masing dua
puluh kali, kami sudah tak bisa bergerak lagi karena pukulan-pukulan' itu,
kemudian ia baru memerintahkan orang menggiring kami ke kota Ili sini dan
diserahkan kepada orang yang disebutnya Nilan-ciangkun."
"Setelah kami berada di Ili," sambung Mokhidi lebih lanjut, "Lantas kami di
penjara dalam istana Ciangkun, orang-orang di situ sedikit ramah kepada
kami, setiap hari ada ikan dan arak, kami pikir paling banyak hanya mati,
tidaklah rugi kalau makan sepuasnya. Malina yang melihat selera makanku
begitu malah berkuatir atas diriku, katanya 'Hai, Mokhidi, kau perlu hatihati,
Kisah Bangsa Petualang 1 Kitab Pusaka Karya Tjan Id Bunga Ceplok Ungu 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama