Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Bagian 4
jangan masuk perangkap musuh, mereka meladeni kita begini adalah
memakai cara halus hendak membuat kita menyerah padanya kau jangan
163 percaya pada belas kasihan harimau dan senyuman serigala' Aku tertawa
terbahak-bahak oleh ucapan Malina ini, aku telah katakan padanya kau dan
aku walaupun sudah berpisah beberapa tahun, namun apakah kau tidak tahu
apa artinya kesedihan, di sini ada makanan, ada minuman, buat apa sungkansungkan,
jadi setan yang sudah kenyang lebih baik daripada setan kelaparan.
Karena aku membanyol ia tertawa, belakangan ia sendiri malahan makan lebih
banyak dan lebih bemapsu daripada aku," kata Mokhidi mengakhiri ceritanya.
"Nyo taihiap jangan kau dengar dia, aku mengerti dia adalah lelaki yang baik,
betul atau tidak?" sahut Malina sambil mendekat.
"Mokhidi," kata Hun-cong dengan sungguh-sungguh, "Kau beruntung sekali,
kau mempunyai nona yang begitu memperhatikan dirimu, adalah beribu kali
lebih baik daripada berpeluk cium padamu!"
"Mokhidi, aku pasti membalaskan sakit hatimu ini, aku akan menawan Coh
Ciau-lam dan akan kuserahkan padamu untuk balas dirangket masing-masing
empat puluh kali," katanya kemudian.
Sepanjang jalan mereka bertiga saling menceritakan keadaan masing-masing
selama berpisah, setelah berjalan lima enam hari, mereka telah memasuki
padang rumput yang luas dan sudah jauh sekali dari Ili.
Pada suatu hari, mereka sampai di suatu pos pemberhentian di padang rumput
itu, yakni tempat untuk menambali makanan kuda dan tempat penginapan
untuk orang lewat, m sekitar tempat pemberhentian itu ada warung-warung
makan yang menjual daging kuda dan arak. Mereka masuk ke sana untuk
minum, tiba-tiba mereka melihat ada tujuh delapan serdadu Boan sedang
makan di sana. Terdengar percakapan mereka, "Nikulo sesumbar kepandaiannya adalah
ajaran guru silat ternama dari Kwan-lwe, tetapi dalam perkelahian ternyata
sedikit pun tak berguna, ratusan orang kita telah dipukul morat-marit oleh
tiga orang saja, kalau kita yang tak berkepandaian ini tak usah dipersoalkan,
tetapi dia begitu saling gebrak sudah lantas melarikan diri?"
"Dia adalah Toh It-hang yang kita kejar, katanya adalah jagoan dari golongan
Bu-tong, di samping dia masih ada seorang pemuda yang katanya lebih lihai
lagi, ia adalah Nyo Hun-cong yang namanya telah menggetarkan seluruh
Sinkiang utara, aku tidak pernah kenal, apakah betul dia?" kata seorang yang
164 lain, "Aku percaya omongan Nikulo, hari itu dengan mata kepalaku sendiri aku
telah melihat orang she Nyo im menangkap dan melemparkan beberapa kapten
kita seperti elang mencengkeram ayam saja, aku kira kalau bukan Nyo Huncong,
orang lain pasti tak memiliki kepandaian yang begitu tinggi!"
Bercakap sampai di sini, sekilas serdadu yang berbicara ini tiba-tiba melihat
Nyo Hun-cong sedang minum di pojok-an sana, keruan ia terkejut dan gugup
sekali. "Lekas lari, lekas selamatkan jiwa!" teriaknya cepat.
Serdadu-serdadu yang lain menjadi bingung tak mengerti, di samping sana
Hun-cong dengan enaknya masih minum araknya terus dan tak mempedulikan
mereka. Serdadu-serdadu lain yang melihat kawannya berteriak ketakutan, segera ada
beberapa orang lain yang melihat Nyo Hun-cong, seketika suara teriakan
ketakutan bergemuruh dan berebut lari keluar.
Akan tetapi, tiba-tiba di tempat pemberhentian im muncul seorang nenek tua
yang mengadang di tengah jalan sambil mementangkan kedua tangannya, tanpa
ampun segera beberapa serdadu itu terpental kembali ke dalam warung arak
im, dua serdadu yang lain bermaksud menerobos di bawah bahu orang tetapi
sekali nenek im menggerakkan tangannya, dua serdadu itu sudah kena
tercengkeram olehnya dan segera terbanting mampus.
"Tidak boleh pergi!" bentak nenek im. "Lekas katakan, di mana Toh It-hang
berada dan kenapa kau mengejar dia?"
Tentu saja serdadu itu ketakutan bukan main, saking takutnya sehingga tak
mampu buka mulut lagi, akhirnya ada beberapa di antaranya dengan gemetar
mengatakan, "Ia telah ditolong oleh Nyo Hun-cong, pergi ke mana lagi kami
tidak mengetahuinya."
Kemudian nenek im dapat melihat Nyo Hun-cong sedang minum arak.
"Hm, kau juga ada di sini, kalau begitu tidak usah tanya pada mereka!"
ujarnya Habis im satu persatu serdadu-serdadu im telah dilempar keluar dan semua
terbanting mampus.
165 Menyaksikan kejadian luar biasa ini, pelahan-lahan Malina bertanya "Siapakah
nenek tua ini" Kenapa begitu bengis" Serdadu-serdadu ini toh tidak
bertempur dengan kita di medan perang, apa gunanya membunuh mereka
secara begitu keji!"
"Ia adalah Pek-hoat Mo-li, kau sekali-kali jangan bikin gusar padanya" Huncong
menerangkan dengan bisik-bisik.
Sementara itu Pek-hoat Mo-li telah mengulur tangannya hendak menjambret
Nyo Hun-cong, namun dengan enteng Hun-cong telah berkelit ke samping dan
terus memberi hormat.
"Pek-locianpwe, angin apakah yang telah meniup kau sampai di sini?" Hun-cong
lantas menyapanya.
"Aku tiada waktu untuk bercakap banyak denganmu," sahut Pek-hoat Mo-li,
"Lekas kau beritahu padaku, Toh It-hang telah pergi ke mana bukankah ia
bersama dengan seorang wanita?"
"Toh-susiok betul bersama dengan seorang nona ia bilang hendak mengantar
kembali nona im ke Kwan-lwe!" jawab Hun-cong.
"Hm! Aku tidak percaya omongannya im, dulu aku telah mengusir mereka
tetapi mereka tidak mau pergi, kini sebaliknya mereka mau pergi dengan
sendirinya?" kata Pek-hoat Mo-li dengan tertawa dingin.
Hun-cong menjadi bingung, ia tidak mengetahui seluk-beluk apa yang
dikatakannya ini.
"Nyo Hun-cong, kau bawa aku mencari mereka!" kata Pek-hoat Mo-li,
berbareng tangan bergerak ia hendak menjambret Nyo Hun-cong lagi.
Namun Nyo Hun-cong dengan cepat bisa mengegos, tangan Pek-hoat Mo-li
kembali menangkap angin.
"Pek-locianpwe, Tecu sesungguhnya tidak tahu ke mana perginya Toh-susiok,"
kata Nyo Hun-cong pula.
Dua kali hendak mencekal tak kena agaknya Pek-hoat Mo-li tercengang juga ia
agak kurang senang pula.
166 "Kepandaianmu ternyata maju pesat, terhadap orang muda dan tingkatan
bawah, sekali aku serang tak kena pasti tidak aku ulangi lagi, baikkah,
terhitung kau yang beruntung, bolehlah kau pergi, tanpa kau aku pun bisa
mencari dia" kata Pek-hoat Mo-li akhirnya.
Habis berkata Pek-hoat Mo-li pergi menuju ke barat, sedang Nyo Hun-cong
bersama Mokhidi dan Malina bertiga meneruskan perjalanan ke selatan,
sepanjang jalan Mokhidi masih merasa penasaran oleh sikap Pek-hoat Mo-li
tadi. "Pek-hoat Mo-li suka berlaku sangat bengis, perkataannya tidak bisa dibantah
orang lain, kali ini boleh dikata terhitung baik buat kita" kata Hun-cong.
Sedang untuk apa Pek-hoat Mo-li mencari Toh It-hang, itulah yang Hun-cong
sendiri tidak tahu. Setelah mereka berjalan tujuh delapan hari lagi, mereka
telah sampai di padang rumput Garsin, kegembiraan Hun-cong luar biasa
orang-orang Kazak yang hendak ia cari akhirnya telah diketemukan. Selagi ia
berpikir hendak membentuk kembali pasukan sal ^rela untuk melawan tentara
Boan, tiba-tiba Mokhidi menuding ke depan dan berkata dengan gembira
"Nah, sesudah lewat bukit ini, di muka sana adalah perkampungan kami."
Segera Hun-cong melarikan kudanya ke depan, setelah melalui bukit itu,
benar saja terlihat banyak perkemahan besar-kecil di sana sini, sementara itu
Mokhidi dan Malina lantas berteriak, "Kawan-kawan, kami telah kembali!"
Rakyat gembala yang ada dalam perkemahan segera membanjir keluar, suara
sorak sorai gemuruh berkumandang.
Dalam rombongan orang itu tiba-tiba terlihat satu selendang merah berkibar
tertiup angin, Nyo Hun-cong terperanjat, mendadak seorang wanita muda
telah menerobos ke luar di antara orang banyak dengan cepat dan berseru
memanggil, "Nyo Hun-cong, mengapa kau juga telah datang!"
Wanita muda ini bukan lain adalah Hui-ang-kin atau si Selendang Merah.
Demi melihat gadis ini, sesaat perasaan Nyo Hun-cong tercekat, tidak keruan
rasanya pahit, getir, manis, pedas dan kecut bercampur aduk, sesaat ia tak
dapat mengeluarkan eepatdh katapun.
167 Dalam pada itu dengan tersenyum simpul Hui-ang-kin telah menyapa pula
padanya tetapi yang disapa tidak buka suara.
Waktu itu memang Hun-cong seketika menjadi linglung, bayangan Nilan Minghui
telah berkelebat dalam hatinya tiba-tiba Hun-cong merasa seperti dirinya
berdosa. Dan saat ia hendak berkata sekonyong-konyong seorang tegap
berewokan telah muncul dari samping.
"Nyo Hun-cong sama sekali tidak gendeng?" kata orang itu, "Sedang kita
bertempur secara mati-matian, ia malah enak-enakan bersatu kereta dengan
wanita ayu dan mengantar putri Nilan Siu-kiat kembali ke kota Ili!"
"Tutup bacotmu!" bentak Hun-cong dengan sengit.
Muka Hui-ang-kin seketika berubah, tetapi ia lekas tenang kembali dan
menarik pergi Nyo Hun-cong dan Bing-lok, orang yang tinggi tegap dan
berewokan itu. "Kalau ada omongan sebaiknya dibicarakan nanti malam saja kini orang Kazak
sedang menyambut kedatangan pahlawan mereka kau malahan ribut-ribut di
sini!" kata Hui-ang-kin pada Bing-lok.
Sementara itu kepala suku Kazak di daerah selatan demi mendengar
kedatangan Nyo Hun-cong, telah berjingkrak kegirangan, ia seperti ketiban
rejeki, seperti kejatuhan mes-tika dari langit.
Nyo Hun-cong telah beberapa tahun ini membantu orang Kazak di daerah
utara orang Kazak yang berada di selatan dengan sendirinya pun sudah
mendengar. "Nyo-taihiap, kami telah mengharap siang dan malam, akhirnya terkabul juga
harapan itu atas kedatanganmu," kata kepala suku, "Beberapa hari yang lalu,
pahlawan wanita Hamaya telah datang kemari, ia juga telah menceritakan soal
dirimu, kalian berdua ternyata sudah saling kenal, itu sungguh sangat baik,
aku sedang berunding dengan Hamaya cara bagaimana memperkuat
perserikatan kita kini kau telah datang, kau tentu dapat lebih banyak
memberi saran kepada kami."
Mendengar percakapan ini, dari samping Bing-lok tertawa menyindir. Nyo
Hun-cong terpaksa menahan diri dengan penuh kedongkolan. Di samping
168 berbincang dengan kepala suku Kazak itu, ia pun menanyakan keadaan dan
pengalaman Hui-ang-kin sesudah berpisah.
Ternyata pada pertempuran besar di padang rumput im, semula suku-suku
bangsa daerah selatan mendapat keunggulan, belakangan bala bantuan
pasukan Boan telah datang secara besar-besaran, rakyat penggembala im tak
dapat menahan lagi dan berlari berpencar.
Seperti diketahui, Hui-ang-kin terluka oleh kebakaran api pada waktu
menyelidiki 'sumber air hitam', beruntung ia telah ditolong oleh keempat
pahlawan dan terus buron hingga ratusan li lebih baru bertemu kembali
dengan orang-orang Kazak di sini, sedang Bing-lok menyusul bersama kepalakepala
suku yang lain.
Ketika malam tiba kepala suku Kazak dan kepala-kepala suku di daerah
selatan lainnya mengadakan perjamuan untuk Nyo Hun-cong.
Selagi kepala suku Kazak memuji-muji Nyo Hun-cong, kepala suku Kedar,
Bing-lok, tiba-tiba berdiri dan berkata, "Mata kita perlu lebih awas dan
terang sedikit, jangan seorang pengecut dianggap orang gagah dan mata-mata
musuh dianggap pahlawan!"
"Apa maksudmu im," kata kepala suku Kazak heran dengan mata membelalak.
"Di waktu pertempuran besar im Nyo Hun-cong telah melarikan diri sendiri
dan membantu putri Nilan Siu-kiat membunuh dua orang pejuang bangsa
Kedar kami, sepanjang jalan ia bersatu kereta dengan putri musuh dan tinggal
di Ili sekian lamanya baru kembali ke sini," kata Bing-lok dengan tertawa
menyindir, "Aku ingin bertanya pada Hamaya Beng-cu dan para ketua dari
suku-suku, tindakan seperti Hun-cong ini sebenarnya mata-mata musuh atau
pahlawan?"
"Betulkah demikian?" tanya Hui-ang-kin segera pada Nyo Hun-cong.
Sebelum pemuda ini menjawab, terdengar kepala suku dari Tahsan berteriak,
"Siapa bilang Nyo Hun-cong adalah mata-mata musuh, sampai mati pun aku
tidak percaya!"
Namun Hun-cong sudah lantas berdiri dengan tenang, mukanya menghadap
pada Hui-ang-kin dan berkata, "Memang betul, putri Nilan Siu-kiat betul aku
yang telah menolong!"
169 Air muka Hui-ang-kin berubah keras mendengar pengakuan Hun-cong, seluruh
ruangan pun menjadi ribut.
"Akan tetapi, yang menolong Bing-lok pun adalah aku. Ada satu pasukan Boan
telah mengejar datang, tetapi akulah dan satu tokoh terkemuka dari kalangan
silat lain yang telah menghalau musuh, barulah dia bisa menyelamatkan diri!"
tutur Nyo hun-cong.
Muka Bing-lok menjadi merah padam.
"Aku tak akan terima budimu," teriaknya, "Lebih dulu kau telah menutuk aku,
kemudian kau pura-pura menolongku dan bertempur dengan serdadu Boan
itu." "Kalau begitu memang benar Nyo Hun-cong yang telah membantu kau
menahan kejaran pasukan Boan!" kata Hui-ang-kin.
Bing-lok tidak bisa menjawab, ia bungkam, tetapi Mokhidi telah berteriak,
"Kau tidak mau menerima budinya aku yang menerima budinya kami berdua
juga dia yang telah menolong, semua berkat Nyo-taihiap yang telah
menggempur mundur pasukan pengawal Nilan Siu-kiat dan melukai To Tok
baru kita bisa meloloskan diri!"
"Ya akupun tidak percaya kalau Nyo Hun-cong adalah mata-mata musuh,
tetapi mengapa kau telah menolong putri Nilan Siu-kiat?" tanya Hui-ang-kin
tiba-tiba. "Dan mengapa kau telah membantu dia membunuh dua orang pahlawan kami?"
Bing-lok menambahkan pertanyaan Hui-ang-kin.
Segera tertampak air muka Nyo Hun-cong berubah menjadi kereng dan
dengan suara keras ia balas bertanya pada Hui-ang-kin.
"Hamaya, kau adalah wanita, aku hendak bertanya padamu, jika seumpama kau
dipaksa dengan kekerasan oleh orang lain, kau melawan atau tidak" Nilan Siukiat
adalah musuh kita, tetapi putrinya belum pernah bermusuhan dengan
kita, orang bawahan Bing-lok hendak melanggar dia dan telah terbunuh
olehnya, mengapa kesalahan tersebut dipikulkan atas diriku."
"Dia adalah tawanan kami, mengapa tidak boleh diperbuat menurut kesukaan
kami?" jawab Bing-lok.
170 "Justru itulah aku tidak setuju mempermainkan tawanan tidak sebagai
manusia," sahut Nyo Hun-cong dengan lantang, "Seandainya orang kita yang
tertawan musuh, lalu wanitanya diperkosa, diperbudak sesukanya, apakah
kamu hendak meniru cara mereka?"
Kiranya kebiasaan menganggap tawanan adalah milik pihak yang mendapat
kemenangan itu sudah turun-temurun ribuan tahun di antara suku-suku
bangsa di Sinkiang, keruan perkataan Nyo Hun-cong telah membikin gempar
mereka, segera keadaan menjadi riuh, di sana-sini terdengar bisikan-bisikan
saling mempercakapkan soal ini.
"Lagi pula ia belum menjadi tawanan kamu, orangmu belum sempat turun
tangan sudah lantas terbunuh olehnya, waktu itu dia malahan masih dalam
keadaan sakit berat," kata Nyo Hun-cong pula dengan menyindir.
Muka Hui-ang-kin kelihatan muram, tetapi tenang, tiba-tiba ia menepuk
tangan meminta semua diam.
"Mengancam wanita dalam keadaan sakit, dosanya memang patut dihukum,"
ujar Hui-ang-kin. "Tetapi Nyo Hun-cong, sebaliknya aku hendak bertanya
kepadamu, cara bagaimana kau berkenalan dengan putri Nilan Siu-kiat dan
mengapa kau melindungi dia?"
"Menyesal, Hui-ang-kin, itu adalah urusan pribadiku," sahut Nyo Hun-cong
dengan suara rendah, "Cukup apabila ia bukan musuh kita, mengapa aku tidak
boleh bersahabat dengan dia."
"Terang dalam hatimu ada kepalsuan," bentak Bing-lok, "Nilan Siu-kiat adalah
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
musuh besar kita, sudah tentu putrinya juga bukan orang baik-baik, mana ada
orang bersahabat dengan putrinya tetapi bermusuhan dengan ayahnya. Nyo
Hun-cong, biarlah aku membuka kedokmu, aku lihat kau telah tergoda oleh
kecantikan putrinya dan secara diam-diam telah menjadi 'tamu halus'nya."
Sesaat itu hati Hui-ang-kin seperti teriris-iris, tetapi ia tidak buka suara,
sedapat mungkin ia menahan kepedihan perasaannya.
Sementara itu, semua orang telah berbisik-bisik pula, pandangan mereka
dalam hal membedakan orang baik atau busuk di antara pihak musuh,
kebanyakan kepala-kepala suku itu masih belum mempunyai pandangan.
171 "Ya, aku pun mengetahui tindakanku ini bakal menimbulkan kecurigaan," kata
Hun-cong pula dengan suara nyaring, sinar matanya mengerling seluruh
ruangan, "Tetapi cara bagaimana agar supaya kamu tidak curiga. Aku
mempunyai satu jalan, coba kalian setuju atau tidak?"
"Silakan berbicara!" kata kepala suku dari Tahsan.
"Begini, aku dengar anak kesayangan kepala suku Kazak telah ditawan oleh
Coh Ciau-lam dan sampai kini belum dilepas kembali, aku bersedia merebut
kembali anaknya dan menawan hidup-hidup Coh Ciau-lam serta akan kubawa
kemari!" kata Nyo Hun-cong.
Mendengar perkataan ini kepala suku Kazak matanya menjadi basah berkacakaca
saking terharunya.
"Nyo Hun-cong, aku toh tidak mencurigai dirimu, kau adalah talang punggung
kami, aku tidak ingin kau pergi menghadapi bahaya sendiri," kata kepala suku
itu dengan suara pelahan.
Tetapi Bing-lok ternyata berkata lain, "Siapa yang tidak mengetahui Coh
Ciau-lam adalah Sutemu," katanya, "Mana bisa kau pergi sendiri untuk
menghadapi bahaya, sudah jelas kau bersekongkol dengan dia, menyuruh kau
pergi sama saja dengan melepas harimau kembali ke gunung!"
Keruan amarah Nyo Hun-cong memuncak karena tuduhan orang yang tidaktidak
ini, kedua tangannya ditepuk dan segera akan bertindak, namun tibatiba
Hui-ang-kin telah bersuara mencegah.
"Kalian tentunya tidak akan mencurigai aku adalah mata-mata musuh bukan?"
kata Hui-ang-kin. "Nah, sekarang aku pergi bersama dia, jika tidak bisa
menangkap Coh Ciau-lam, kami pun tak akan kembali, aku jamin dengan
kepalaku bahwa Nyo Hun-cong bukan mata-mata musuh?"
Hui-ang-kin adalah Beng-cu atau ketua perserikatan dari suku-suku bangsa di
daerah selatan, begitu perkataannya diucapkan, seluruh ruangan menjadi
sunyi dan tidak seorang pun berani berdebat lagi.
Malam kedua, Hui-ang-kin dan Nyo Hun-cong telah berpakaian peranti jalan
malam dan bersama-sama berangkat menyelidiki benteng musuh yang menjadi
kedudukan Coh Ciau-lam yang letaknya berapa puluh li jauhnya.
172 Sepanjang jalan Hui-ang-kin hanya bersungut dan tidak berkata-kata,
beberapa kali Nyo Hun-cong hendak menerangkan mengenai Nilan Ming-hui,
tetapi Hui-ang-kin hanya menarik muka dan menyahut, "Itu kan urusan
pribadimu, aku tidak boleh ikut campur, apa gunanya menceritakan padaku!"
demikian ia berolok-olok.
"Hui-ang-kin," kata Hun-cong akhirnya, "Dengan hubunganmu dan aku, maka
aku berlaku begitu sungguh-sungguh, aku tidak ingin bicara di hadapan orangorang
itu bukan berarti tidak ingin membicarakan padamu, aku menganggap
kau sebagai saudaraku yang paling dekat, jika kau tidak menolak aku pun
bersedia menganggap kau sebagai "ji d.n i kandungku!"
"Betulkah itu" Aku tentu bersedia memanggilmi,- cna-gai kakak, cuma aku
kuatir jangan-jangan setelah kau melihat taci lantas melupakan adik," ucap
Hui-ang-kin dengan tertawa.
"Hui-ang-kin, biarlah aku mengatakan terus terang padamu, antara aku
dengan Nilan Ming-hui....."
Belum habis perkataannya, tiba-tiba Hui-ang-kin telah menyambung, "Tiada
hubungan yang istimewa, begitu bukan yang hendak kau katakan" Sudahlah,
kau tidak usah mencoba menerangkan lebih jauh lagi, biarlah kita menawan
Coh Ciau-lam lebih dulu."
Hati Nyo Hun-cong seperti tertasuk-tusuk dan tak tahan karenanya sama
sekali tidak ia duga bahwa Hui-ang-k;n bisa percaya antara dirinya dengan
Nilan Ming-hui tiada sesuatu huhungan istimewa padahal dirinya malah sudah
berhubungan suami istri dengan Ming-hui. Sebenarnya Hun-cong hendak
menjelaskan, tetapi demi melihat Hui-ang-kin begitu percaya pada dirinya
perkataan yang hendak diutarakan segera tertahan lagi.
Ia pikir, jika sekarang ia menerangkan apa yang terjadi, ia kuatir Hui-ang-kin
tidak tahan pukulan itu, sehingga tugas mereka bisa menjadi kacau dan urusan
menangkap Coh Ciau-lam akan gagal. Biarlah sesudah urusan beres semua baru
akan dijelaskan padanya.
Kedua orang mempunyai kemahiran ilmu meringankan tubuh yang tinggi itu,
belum habis percakapan mereka, benteng di mana Coh Ciau-lam berada sudah
terlihat di depan, sesudah mereka berjanji dengan tanda-tanda, mereka
173 lantas berbagi dua jurusan, satu arah selatan dan yang lain jurusan utara
serta bersama-sama melayang naik ke atas benteng itu.
Mereka berdua memang berilmu meringankan tubuh yang tinggi, mereka
melayang dari rumah ke rumah dengan cepat. Tak seberapa lama mereka
sudah sampai di gedung yang dituju. Baru Hui-ang-kin hendak melompat naik
ke atas rumah itu, tidak terduga ada sambaran angin yang keras berbareng
sesosok bayangan orang telah menubruk dari atas kepala Hui-ang-kin.
Sama sekali Hui-ang-kin tidak menduga akan serangan itu, maka hampir saja
terbacok, ia terkejut sekali, tidak sempat lagi melolos pedangnya, maka
dengan cepat ia menggunakan gerakan 'Se-hing-giau-hwa-hun', ia mencelat ke
belakang menghindarkan diri dari serangan itu.
Setelah mengawasi, baru ia tahu bahwa yang menerjangnya ternyata seorang
Hwesio tinggi besar, tangannya menggenggam golok.
Hui-ang-kin balas merangsek, maka segera terdengar "creng-creng", suara
beradunya senjata, antara pedang pendek Hui-ang-kin dan golok besar Hwesio
itu. Hwesio itu tidak berhasil membacok, sebaliknya lawannya berputar cepat
seperti kitiran, suara angin menyambar, dengan gerakan 'Kwai-bong-hwan-sin'
atau ular besar membalik tubuh, segera ia membabat pula ke pinggang Huiangkin. Hui-ang-kin menjadi gusar sekali, cambuknya bersuara, sekali
diayunkan, tangan Hwesio itu sudah terbelit oleh pecutnya dan dibarengi
dengan satu tarikan, tubuh Hwesio yang besar seperti kerbau telah terseret
maju. Ketika Hwesio itu hendak berteriak, bawah ketiaknya telah terkena tutukan,
kiranya Nyo Hun-cong dengan cepat telah memburu datang dan telah menutuk
jalan darahnya.
Hui-ang-kin masih hendak menusuk dengan pedangnya, tetapi tangannya
keburu dicekal oleh Nyo Hun-cong, "Nanti dulu!" kata pemuda titi, segera
pedangnya ditodongkan di belakang leher Hwesio itu.
"Apakah kau murid Thian-liong Siansu?" tanya Hun-cong pada Hwesio itu.
"Bagaimana jika betul?" sahut Hwesio itu dengan marah.
174 "Lima tahun yang lalu aku pernah diperintah oleh Suhu pergi menemui Thianliong
Siansu, jika dihitung kita masih sahabat," kata Nyo Hun-cong, "Aku
tidak akan mencelakai jiwamu, lekas katakan pada kami, kamar yang mana
tempat tinggal Ha-ciangkun?"
Thian-liong Siansu yang dikatakan Nyo Hun-cong itu adalah seorang Hwesio
atau Lama besar dari Tibet, ilmu silatnya cukup tinggi dan mempunyai corak
tersendiri, ia menciptakan seratus dua puluh enam rupa pukulan yang disebut
Thian-liong-cio-hoat, gerakan pedang dan goloknya pun terjelma dari pukulan
itu dan mempunyai keistimewaan tersendiri.
Thian-liong Siansu menerima murid di Tibet secara luas, ia dengar ilmu silat
dan ilmu pedang Hui-bing Siansu menjagoi dunia persilatan, ia lantas mengutus
orang dan menantang hendak menjajal ilmu Hui-bing Siansu, waktu itu Huncong
sedang akan menggabungkan diri dengan pasukan bangsa Kazak dan ada
urusan hendak pergi ke Tibet untuk menghubungi rakyat Tibet di sana dan
diajak bersama-sama melawan kekuasaan Boan-ciu. Hui-bing Siansu yang
sudah sungkan turun gunung lantas memerintahkan Nyo Hun-cong sekalian
mampir mengunjungi Thian-liong.
Sesudah Hun-cong dan Thian-liong Siansu saling berdebat tentang ilmu
pedang, ia baru mengerti walaupun Thian-liong-kiam-hoat mempunyai
keistimewaan tersendiri, tetapi masih banyak kelemahannya, karena ia masih
muda dan tak bisa berpikir panjang, ia telah mengutarakan apa yang
dipikirkannya im sehingga' Thian-liong Siansu merasa kurang senang, segera
dia menyuruh murid utamanya bertanding dengan Nyo Hun-cong, tetapi
muridnya im hanya bertahan beberapa jurus saja sudah dikalahkan oleh Huncong,
muridnya masih belum mau menerima begitu saja dan minta bertanding
lagi dengan tangan, tetapi juga tiada beberapa gebrakan sudah terkurung
pula oleh pukulan tangan Hun-cong dan tak mampu bergerak lebih jauh.
Walaupun Thian-liong Siansu angkuh dan tinggi hati, tetapi ia pun bisa melihat
dengan jelas, ia tahu kemahiran Hun-cong bahkan masih di atas dirinya
sendiri, tentu tak usah bertanya lagi tentang ilmu Hui-bing Siansu. Sesudah
im rasa keangkuhan dan kesombongannya lantas lenyap semua, sebaliknya
lantas mengusulkan berhubungan baik dan mengikat persahabatan yang kekal
dengan Nyo Hun-cong.
175 Tentang kejadian ini, murid-murid Thian-liong Siansu banyak yang
mengetahui, kala im, Hwesio besar berjubah merah ini tidak mengenali orang,
tetapi setelah mendengar cerita Hun-cong tadi ia terperanjat.
"Apakah kau adalah Nyo-taihiap?" tanyanya.
"Betul, aku adalah Nyo Hun-cong," sahut yang ditanya sambil menurunkan
pedang dan memulihkan tutukan tadi.
"Aku adalah orang yang didatangkan oleh Ha-ciangkun sebagai penjaga di sini,
tentu aku tidak bisa memberitahu padamu di mana ia berada, karena kau
adalah sahabat Suhu, biarlah aku tidak akan berteriak, jika kau tidak suka,
mau kau bunuh, boleh lekas bunuhlah aku!" kata Hwesio atau Lama itu.
Mendengar ucapan itu, diam-diam Hun-cong memuji Lama ini sebagai laki-laki
tulen. "Baiklah kalau begitu," katanya kemudian dengan tersenyum kepada Hui-angkin,
mereka lantas menggunakan gerakan 'Pek-ho-jiong-thian' atau burung
bangau menjulang ke langit, mereka melayang pergi lagi.
Hui-ang-kin melihat ruangan-ruangan begitu banyak dan rumah berjajar, ia
lantas bertanya kepada kawannya.
"Gedung-gedung begini banyak seperti ini, bagaimana kita bisa mencari?"
"Kau tak usah kuatir, aku ada akal," ujar Hun-cong, lantas ia mengeluarkan
belerang dari kantongnya dan membakar belerang tersebut serta dilemparkan
ke kandang kuda, api lantas berkobar dengan cepat, kuda-kuda ketakutan dan
menerjang keluar dari kandang, sementara im barisan pengawal musuh pun
sudah datang hendak menolong memadamkan api, keadaan menjadi panik.
Hun-cong dan Hui-ang-kin yang berpakaian malam hitam, dari atas wuwungan
rumah mereka bisa melihat dengan jelas sekali, mereka melihat ada satu
orang tegap bangsa Boan yang mengenakan jubah kebesaran dengan lagak dan
sikap yang kereng sedang memberi petunjuk dan menenteramkan mereka
supaya tidak ribut, agaknya ia bisa mengatur dengan baik.
"Aku kenal dengan orang ini yang bernama Ha-haptoh, dia adalah salah satu
panglima bawahan To Tok, panglima pemerintah Boan yang ada di Sinkiang
176 kecuali Nilan Siu-kiat, dia ini terhitung yang paling pandai, agaknya tidak
salah kelihatannya," kata Hun-cong.
Setelah itu ia menarik Hui-ang-kin, berbareng mereka melayang turun ke
bawah. Di bawah penerangan api obor, mereka telah dapat terlihat, segera di
bawah terjadi suara teriakan yang ribut.
Beberapa pengawal segera menerjang maju, yang pertama memakai sepasang
tameng berbentuk Pat-kwa, begitu berhadapan langsung menyerang dengan
gerakan 'Tok-pi-hwa-san' atau membelah gunung Hwa-san, ia telah membelah
dari atas kepala Hui-ang-kin.
Hui-ang-kin ayun cambuknya hendak memberi pukulan balasan, tidak tahunya
Nyo Hun-cong ternyata lebih cepat dari dia, dari samping pedangnya sudah
memotong, sinar pedangnya berkelebat tubuh pengawal itu seketika
terkurung menjadi dua. Di samping sana Hui-ang-kin pun dengan cepat
mengayun cambuknya, dan pengawal yang kedua sudah terlempar ke gundukan
api, sebelah pedangnya bergerak pula dan pengawal ketiga pun tertusuk
tembus. Ketiga pengawal itu sebenarnya adalah orang terkuat di kediaman Ciangkun
itu, kini tiada satu gebrakan satu persatu sudah tewas semua, pengawal
lainnya segera berlari bersebaran, walaupun bagaimana tenangnya Ha-haptoh
kini pun menjadi gugup.
"Anak kepala suku Kazak ada di mana, lekas lepaskan dia!" bentak Hun-cong
mengancam. Akan tetapi, pada saat itu juga, tiba-tiba di antara sinar api yang berkobar
itu berkelebat keluar satu orang.
"Nyo Hun-cong, inilah anak kepala suku Kazak itu, jika kau ada kemampuan,
rebutlah ini!" seru orang itu dengan gelak tertawa.
"Kau pengkhianat Coh Ciau-lam!" damprat Hui-ang-kin pada orang itu yang
ternyata bukan lain daripada Coh Ciau-lam.
Tanpa pikir lagi segera Hui-ang-kin mengayun cambuknya, tetapi Coh Ciau-lam
telah mendorong maju anak kepala suku Kazak itu, keruan Hui-ang-kin lekas
177 menarik kembali pecutnya, dalam pada itu anak tanggung yang baru berusia
belasan tahun itu sudah pucat ketakutan.
"Lepaskan dia, kalau tidak aku akan habisi jiwa Ciang-kunmu ini lebih dulu!"
bentak Nyo Hun-cong.
"Suheng," kata Coh Ciau-lam dengan cengar-cengir, "Kau tak usah marah, kau
lepaskan dulu Ha-ciangkun, nanti aku juga lepaskan anak ini."
Amarah Nyo Hun-cong bukan main, tiba-tiba ia berteriak keras, "Baik, kau
terima ini!" berbareng itu ia melemparkan tubuh Ha-haptoh ke arah Coh Ciaulam
seperti melempar bola, dengan tak terasa Coh Ciau-lam mengulurkan
kedua tangannya hendak menerima.
Tetapi pada saat itu juga, dengan satu suitan panjang, dengan cepat Hun-cong
telah menubruk ke arah Coh Ciau-lam, dengan satu gerak tipu 'Twi-jong-bonggwat'
atau membuka jendela memandang rembulan, dengan pukulannya ia
memaksa Coh Ciau-lam mundur ke samping, sedang tangan kirinya berbareng
menarik anak muda itu. Hui-ang-kin tidak tinggal diam, segera gadis ini
melompat maju menyambut anak muda itu, setelah Coh Ciau-lam melepaskan
Ha-haptoh, pedang 'Yu-liong-kiam'-nya segera dikeluarkan, dengan gerak tipu
'Kiam-ciam-in-soa' pedangnya segera ditusukkan ke belakang punggung Huiangkin. "Hm, masih berani kau berlaku ganas?" bentak Hun-cong, berbareng telah
menusukkan pedangnya ke pundak Coh Ciau-lam.
Dalam pada. itu, tiba-tiba Coh Ciau-lam berteriak, "Thian-bong Siansu, lekas
bantu aku!" Lalu dengan sekuat tenaga ia menangkis rangsekan Hun-cong.
"Hui-ang-kin, kau boleh pergi dulu, tunggu aku di luar benteng, setelah
kutangkap pengkhianat ini segera akan kususul!" seru Hun-cong.
Setelah Coh Ciau-lam berteriak tadi ternyata tidak ada sahutan, sebaliknya
serangan Hun-cong makin gencar saja, Coh Ciau-lam sudah tak berdaya
menangkis lebih lama lagi, dengan sekali lompatan ia bermaksud untuk
melarikan diri. Akan tetapi gerakan Nyo Hun-cong laksana kera yang gesit
sekali, tangan kirinya menutuk dan mengenai 'Sam-li-hiat', Coh Ciau-lam
hendak menghindar, tetapi sudah tak keburu lagi, walaupun tutukan im tidak
kena persis, tetapi salah satu bahunya sudah mati kaku.
178 Dengan sebelah tangannya, Hun-cong segera merebut pedang 'Yu-liong-kiam'
sambil membentak, "Ikut aku!" berbareng tiga jarinya telah memijat dengan
keras urat nadi tangan Coh Ciau-lam dan lantas ditarik meloncat ke atap
rumah. Para pengawal pada kaget terkesima, tiada satupun yang berani mengejar.
Tidak lama kenudian, Hun-cong sudah keluar dari benteng, tiba-tiba
terdengar di lapangan luas sana ada suara pertempuran yang ramai, setelah ia
perhatikan, ternyata Hui-ang-kin yang tangan kanannya menyeret anak kepala
suku Kazak dan hanya dengan cambuk di tangan kirinya sedang bertempur
dengan seru melawan seorang Hwesio.
Hwesio im menggunakan sebatang pedang, tindakannya menggeser menurut
aturan Pat-kwa dan sedang merang-sek Hui-ang-kin hingga gadis ini terpaksa
hanya bisa menangkis saja.
Demi nampak Hwesio ini, segera terdengar Coh Ciau-lam berteriak lagi,
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Thian-bong Siansu, Nyo Hun-cong berada di sini!"
Thian-bong Siansu adalah Sute Thian-bong Siansu, ilmu pedangnya juga
tinggi. Dahulu waktu mendengar Nyo Hun-cong telah mengalahkan Thian-liong,
hatinya tidak terima, ia ingin sekali mencari Hun-cong untuk diajak
bertanding, karena im ia telah ditarik kemari oleh Coh Ciau-lam, Ha-haptoh
melayani dia dengan hormat sekali.
8 Waktu Nyo Hun-cong dan Hui-ang-kin berdua melompat turun tadi, ia
sebenarnya sudah berada di situ, tetapi karena ia tidak kenal Nyo Hun-cong
dan hanya melihat seorang pemuda sedang bertempur melawan Coh Ciau-lam,
sedang seorang wanita muda telah menyeret seorang anak muda untuk kabur,
ia berpikir Coh Ciau-lam yang berkepandaian tinggi tentu tidak menjadi soal
melawan si pemuda, ditambah pula suara-suara orang yang ramai, hakikatnya
ia tidak mendengar apa yang Coh Ciau-lam teriakkan padanya tadi, tanpa pikir
lagi ia lantas mengejar Hui-ang-kin.
Ilmu meringankan tubuh Hui-ang-kin walaupun mempunyai keistimewaan
sendiri dan di atas Thian-bong, tetapi karena bertambah satu beban, yakni
membawa seorang anak, akhirnya terkejar olehnya dan telah bertempur
179 ratusan jurus, Hui-ang-kin yang hanya bisa menggunakan satu tangan saja,
ternyata berbalik terdesak di bawah angin.
Ketika mendadak Thian-bong Siansu melihat Ciau-lam diseret oleh Nyo Huncong
seperti orang menuntun kambing, ia menjadi terkejut sekali, ia lepaskan
Hui-ang-kin dan memapak Hun-cong dengan pedangnya.
Lebih dulu Nyo Hun-cong dengan tatakannya yang keras membuat Coh Ciaulam
tak bisa berkutik, dengan demikian, walaupun ia bisa melancarkan sendiri
tutukan itu, sedikitnya harus enam jam lagi.
"Kau ini apa bukan Suheng Coh Ciau-lam?" tanya Thian-bong segera dengan
terheran-heran.
"Coh Ciau-lam membaui 3 pemerintah Boan-jin menindas rakyat Sinkiang,
Tibet dan Mongolia, mengapa kau bersedia membantu yang jahat supaya
semakin jahat?" sahut Nyo Hun-cong cepat.
"Aku, Jut-keh-lang, tidak mengurusi segala tetek-be-ngek, hanya mendengar
dari Thian-liong Suheng, bahwa kau berani berdebat tentang ilmu pedang
dengan kami, itulah yang ingin kujajal!" kata Thian-bong lagi.
"Ya, waktu itu aku masih terlalu muda dan kurang mengerti," Nyo Hun-cong
menerangkan. "Sebenarnya Thian-liong Siansu mempunyai ilmu pedang dan
Cio-hoat yang hebat, kami orang muda mana bisa menyelami begitu saja."
"Kau mau memberi pelajaran, itulah yang kurasakan telah menghinakan kami!"
kata Thian-bong menjengek.
Hui-ang-kin menjadi jengkel melihat lagak dan perkataan Hwesio ini, kontan ia
pun balas menyindir, "Kau ingin dia memberi pelajaran padamu, sesungguhnya
kau jangan mencari susah sendiri!"
Thian-bong menjadi merah padam mukanya, ia menjadi gusa"- sekali dan
lantas berteriak, "Nyo Hun-cong, hati-hati, terimalah serangan ini!" belum
habis perkataannya, satu tusukan pedang segera menuju ke dada Nyo Huncong.
180 Hun-cong berkelit menurut gaya serangan orang, beruntun ia menghindari
tiga kali serangan pedang lawan.
"Mengapa kau tak melolos pedangmu?" bentak Thian-bong mendongkol.
"Wan-pwe tidak berani menggerakkan senjata di hadapan Cian-pwe," kata
Nyo Hun-cong dengan kedua tangannya diturunkan lurus ke lutut,
perkataannya kelihatan merendah, tetapi sebenarnya sebaliknya.
Thian-bong menjadi gusar, pedangnya beruntun me-rangsek lagi dengan cepat.
"Kau berani pandang enteng padaku," dampratnya lagi.
Nyo Hun-cong berkelit semaunya, ilmu pedang Thian-bong Siansu walaupun
lihai, toh sedikit pun tidak dapat melukainya.
"Mengapa kau harus sungkan-sungkan padanya," ujar Hui-ang-kin dari
samping, "Sebentar lagi jika ada pasukan Boan yang mengejar kemari
bukankah kita akan menjadi tambah repot."
Hun-cong pikir omongan itu ada betulnya juga, mendadak tubuhnya bergerak
cepat, kedua jarinya diulur mengarah pada kedua mata Thian-bong, keruan
Thian-bong terperanjat sekali, pedangnya ditarik untuk menangkis, tetapi
bahunya telah terpukul oleh Hun-cong, pedang panjangnya langsung jatuh ke
tanah. "Maaf," kata Hun-cong, lantas ia mengempit tubuh Coh Ciau-lam dan kabur
dengan cepat bersama Hui-ang-kin.
Maka kembalilah Thian-bong Siansu ke Tibet dengan hati penuh rasa dendam.
Sesudah Nyo Hun-cong dan Hui-ang-kin berangkat tadi, para kepala suku
lantas menyalakan lilin besar dan duduk berputar di dalam kemah, kebanyakan
kepala-kepala suku itu kuatir atas keselamatan Hui-ang-kin dan Nyo Huncong,
mana mereka mau pergi tidur, hanya Bing-lok seorang yang masih
berbisik-bisik dengan begundalnya ia malah kuatir Hun-cong yang telah pergi
itu akan kembali lagi.
Kepala-kepala suku itu bercakap-cakap sepanjang malam, tanpa terasa sudah
jauh malam, kepala suku Sinjia telah menguap.
181 "Kenapa begitu tak berguna," kata kepala suku Tahsan menggoda, "Malam ini
kita semua tidur, sedikitnya akan menunggu sampai besok pagi."
Kepala suku Kazak menyetujuinya, kemudian berkata, "Ya, tetapi dikuatirkan
sampai pagi nanti mereka masih belum kembali. Karena anakku y ari"; tak
berguna harus membikin Nyo-taihiap dan Hamaya pergi menghadapi bahaya,
aku sesungguhnya merasa tak enak sekali."
"Ya, serdadu Boan yang ribuan banyaknya berkumpul di suatu benteng kecil,
ditambah orang lihai seperti Coh Ciau-lam, mereka berdua hendak pergi
menolong dan menawan orang dengan masuk keluar benteng musuh sesukanya,
sesungguhnya adalah mimpi belaka," kata Bing-lok menyindir.
"Sebaliknya aku kuatir Nyo Hun-cong saat ini sudah bersekongkol dengan
Sutenya dan telah menahan Beng-cu kita."
Karena olok-olok ini kepala suku Tahsan memandang hina kepada Bing-lok, ia
menjadi sangat mendongkol, dan ketika ia hendak unjuk gigi, tiba-tiba pintu
kemah tersingkap dan Hui-ang-kin dengan tersenyum simpul telah melangkah
masuk. "Inilah putramu telah kembali, sedikit pun tak kurang sesuatu apa pun, kami
telah menyelesaikan tanggung jawab yang tadi diberikan kepada kami!"
katanya sambil mendorong anak muda im kepada kepala suku Kazak.
"Dan mana Nyo Hun-cong?" tanya Bing-lok dengan cepat ketika tidak melihat
Nyo Hun-cong. Namun dari luar kemah terdengar Nyo Hun-cong telah menyahut dan lantas
melangkah masuk, ia meletakkan Coh Ciau-lam di tengah kemah, selanjurnya ia
tertawa terbahak-bahak.
"Syukurlah aku tidak sampai membikin kalian kecewa, inilah Coh Ciau-lam yang
kalian kehendaki im!" katanya kemudian.
Dalam keadaan girang dan terharu kepala suku Kazak merangkul putranya, air
matanya mengalir deras, berulang-ulang ia menghaturkan terima kasih pada
Nyo Hun-cong. Kepala suku Tahsan pun tidak ketinggalan mengacungkan
jempolnya memuji, sedang Hui-ang-kin terlihat gembira. Hanya Bing-lok
sendiri yang mati kutu, ia tak bisa berkata apa-apa lagi.
182 "Keparat Coh Ciau-lam ini aku serahkan padamu," kata Hun-cong pada kepala
suku Kazak. Segera kepala suku im memerintahkan orangnya meringkus Coh Ciau-lam
dengan rantai besi, walaupun bagaimana tingginya kepandaian Coh Ciau-lam
kini ia tak akan bisa bergerak lagi. Menurut rencana, pada malam kedua nanti
sesudah mengumpulkan kepala-kepala suku lainnya, akan diadakan upacara
pembalasan sakit hati. Coh Ciau-lam akan dibuat sesajen sembahyang bagi
pejuang-pejuang yang telah menjadi korbannya.
Sesudah Nyo Hun-cong dan Hui-ang-kin melaksanakan tugas semalaman, kini
mereka pun sudah merasa lelah sekali, sesudah mereka minum sedikit susu
kuda lantas pergi mengaso.
Sebelum mereka berpamitan, diam-diam Hui-ang-kin berkata pada Nyo Huncong
dengan tersenyum, "Sampai ketemu, besok kita bicarakan dengan baik."
Nyo Hun-cong hanya manggut-manggut dengan masgul.
"Kenapa kau masih tidak bergembira?" kata Hui-ang-kin pula dengan tertawa,
"Kalau ada omongan apa-apa, besok bisa kau katakan dengan baik-baik, jika
kau ada permintaan apa-apa, akan kuhaluskan semuanya untukmu." Setelah
berkata begitu, kembali ia tertawa lagi.
Hui-ang-kin mengira bahwa besok Nyo Hun-cong pasti akan mengutarakan
semua isi hatinya, mengutarakan rasa cinta padanya, maka malam ini ia bahkan
sudah akan membayangkan akan bermimpi yang muluk-muluk.
Esok paginya Nyo Hun-cong telah dibangunkan oleh penjaga, katanya ada
orang yang mencarinya.
Nyo Hun-cong mengenakan pakaiannya dan bangun, sementara itu kepala suku
Kazak telah membawa masuk seorang lelaki setengah umur.
"Ha, Sin Liong-cu, kiranya adalah kau," panggil Nyo Hun-cong, "Bagaimana kau
bisa sampai di sini?"
Sin Liong-cu adalah murid Toh It-hang, ia sebenarnya adalah putra seorang
penggembala Kazak, setelah berguru pada Toh It-hang, ia telah belajar
dengan sungguh-sungguh dan tidak rnempedulikan segala persoalan di luar,
183 terhadap ilmu pedang dan pukulan dari golongannya, boleh dikatakan sudah
memperoleh seluruh ilmu dan kepandaian gurunya.
Sewaktu di Thian-san, ia dan Nyo Hun-cong serta Coh Ciau-lam sering
berkumpul bersama, hanya wataknya agak aneh, dengan Hun-cong ia tidak
begitu cocok, sebaliknya dengan Ciau-lam ia bisa lebih akur. Ketiga orang ini
sering merundingkan bersama soal ilmu silat dan saling memanggil sebagai
saudara. Sin Liong-cu dengan kepala suku Kazak sebenarnya memang kenal, kepala suku
itu sangat girang dan bangga sekali bahwa di antara sukunya terdapat
seorang yang menjadi murid salah satu jagoan dari Bu-tong-pay.
Setelah bertemu Nyo Hun-cong, dengan memutar biji matanya yang aneh Sin
Liong-cu lantas bertanya, "Bagaimana dengan guruku" Tahukah kau ke mana
perginya?"
"Mengapa beberapa hari ini aku selalu ditanya orang mengenai gurumu itu?"
sahut Hun-cong dengan tertawa, "Pek-hoat Mo-li bertanya soal gurumu
padaku, kini kau juga menanyakan gurumu padaku."
"Itulah karena aku juga telah bertemu Pek-hoat Mo-li si siluman tua itu, aku
kemudian kemari untuk menanyai kau," kata Sin Liong-cu lagi, "Aku bertanya
keadaan Suhu pada Pek-hoat Mo-li, tetapi dia malah telah memberiku satu
tendangan sehingga aku terjungkal, kemudian ia berkata pula dengan
menyindir, 'Kau boleh pergi dan bertanya kepada murid Hui-bing Siansu, Nyo
Hun-cong, siapa sudi mengurus Suhumu!'. Hm, dia mengatakan tidak
mengurus, tetapi ia telah memaksa Suhuku hingga tidak tahan berdiam lebih
lama lagi di Thian-san. Hm, jika dia berani mencelakai guruku, walaupun
kepandaianku rendah aku akan berlatih beberapa puluh tahun lagi untuk
menuntut balas."
"Kau tak usah kuatir, Pek-hoat Mo-li tak nanti akan mencelakai Suhumu," kata
Nyo Hun-cong tertawa. "Suhumu sebenarnya sudah bertemu juga denganku,
tetapi sedikit pun aku tidak mengetahui bagaimana keadaannya sekarang."
Lalu ia menceritakan dengan jelas apa yang terjadi pada saat bertemu dengan
Toh It-hang. 184 "Meski harus mengelilingi seluruh padang rumput ini, harus tetap kutemukan
Suhu," kata Sin Liong-cu dengan mata merah, "Sebab masih ada beberapa
jurus ilmu pedang yang belum aku pelajari, hanya sayang aku tidak
mendapatkan sebatang pedang yang bagus."
Sehabis berkata begitu ia lalu mengamat-amati kedua batang pedang yang
menggantung di pinggang Hun-cong.
"Sayang kedua pedang ini semua adalah pusaka guruku, kalau tidak, diberikan
padamu satu juga tidak menjadi soal," ujar Hun-cong dengan tertawa.
"Aku hanya merasa aneh mengapa kau membawa dua batang pedang, aku
bukannya menginginkan barangmu," kata Sin Liong-cu.
"Kedua pedang ini apakah masih belum kaukenali?" kata Hun-cong, "Yang satu
ini adalah pedangku Toan-giok-kiam', sedang yang lain adalah 'Yu-liong-kiam'
milik Coh Ciau-lam, sewaktu di Thian-san kau tentu sudah pernah melihatnya."
"Mengapa pedangnya bisa berada di tanganmu?" tanya Sin Liong-cu dengan
mengerling mata yang aneh.
"Suteku yang tak berguna ini telah menyerah pada tentara Boan dan banyak
berbuat kejahatan, sehingga aku telah menawannya," tutur Hun-cong dengan
wajah masgul. "Betul apa yang dikatakannya!" tiba-tiba kepala suku Kazak menyeletuk,
"Maka kini kami akan membikin upacara pembalasan sakit hati, harap kau
tinggal di sini dulu untuk menyaksikan keramaian."
"Ha, Suheng menawan Sute, ini sungguh suatu hal aneh di kalangan
persilatan!" kata Sin Liong-cu.
Pada saat im tiba-tiba Nyo Hun-cong teringat sesuatu.
"Kau masih akan kembali ke Thian-san, bukan?" tanyanya kemudian.
Sin Liong-cu memanggutkan kepalanya.
"Tentu aku akan kembali ke sana," sahurnya, "Aku a-kan pergi mencari Suhu
dulu, sesudah kuketemukan lantas kembali ke sana bersama dia, jika tidak
185 ketemu, aku pun akan kembali dulu sekaligus untuk berpamitan pada Hui-bing
Supek, baru kemudian kuakan pergi mencari dia lagi."
Karena itu Hun-cong lantas melepaskan pedang Ciau-lam, Yu-liong-kiam, dan
diserahkan kepada Sin Liong-cu.
"Ini adalah salah satu di antara pedang pusaka gunung kami," Hun-cong
berpesan padanya, "Barang ini tidak boleh terjatuh ke tangan orang lain, aku
sementara mengembara ke timur dan ke barat tanpa ada ketentuan mati atau
hidup, aku pun tidak tahu kapan baru bisa kembali ke Thian-san, juga tak tahu
kapan akan menemui ajal, aku hanya minta tolong kau suka menyerahkan
kembali pedang ini pada Suhuku, berbareng memintakan maaf padanya bahwa
Coh Ciau-lam telah melanggar larangan besar dari perguruan, aku tidak
keburu memberitahu pada Suhu, tetapi telah lebih dulu mengambil tindakan
sendiri." Sin Liong-cu menerima pedang pusaka itu, tangannya agak gemetaran.
Sementara im, di luar telah ada orang melapor lagi, kali ini adalah pesuruh
Hui-ang-kin yang berkata pada Nyo Hun-cong, "Nyo-taihiap dipersilakan
datang pada Hamaya Siocia."
Sebenarnya Sin Liong-cu pun berpikir hendak mohon diri, tetapi oleh kepala
suku Kazak itu ia ditahan terus.
"Kau telah lama meninggalkan kampung halaman kita, banyak urusan yang
sudah tak kaupahami lagi," katanya pada Sin Liong-cu, "Bangsa kita sedang
mendapat perlakuan sewenang-wenang dari orang lain, ada baiknya kalau kau
tinggal beberapa hari lagi untuk bercakap-cakap dengan keluarga kita di sini."
Maka Sin Liong-cu pun menyatakan setuju, sedang Hun-cong lantas keluar
menuju perkemahan Hui-ang-kin.
"Kau ada hubungan apakah dengan Hui-ang-kin Siocia?" tanya Sin Liong-cu
yang merasa heran.
"Hamaya Siocia adalah pahlawan wanita yang tersohor dari daerah selatan,
Hui-ang-kin, sungguh mereka merupakan pasangan yang setimpal," kata kepala
suku Kazak dengan tertawa, "Liong-cu, bagaimana kau sampai tidak mengenal
nama Hui-ang-kin yang telah tersohor im?"
186 Tetapi Sin Liong-cu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dalam usia dua-tiga belas tahun aku sudah naik gunung dan tinggal di Thiansan
sudah hampir dua puluh tahun lebih, bagaimana aku bisa mengetahui di
padang rumput sini telah muncul seorang pahlawan wanita?" katanya
kemudian. "Kabarnya dia adalah murid Pek-hoat Mo-li!" tutur kepala suku itu lagi.
"Pek-hoat Mo-li telah mengejar guruku, tetapi selamanya ia tak pernah
membawa serta muridnya, darimana aku bisa mengetahui dia itu Hui-ang-kin
atau Hui-pek-kin segala?" kata Sin Long-cu lagi dengan gemas. "Hm, murid
Pek-hoat Mo-li, aku kira dia pun bukan seorang yang baik."
Kepala suku Kazak berkerut kening demi mendengar perkataan Sin Liong-cu
ini. "Kau telah mencurahkan seluruh pikiranmu buat belajar, itulah hal yang bagus
sekali, tetapi terhadap urusan di luar sedikitpun kau tidak pernah bertanya
dan tidak mau tahu, hal itu nanti akan membikin susah dirimu sendiri,"
katanya, "Agaknya kau tidak bisa membedakan antara yang benar dan yang
salah, tidak jelas antara putih dan hitam, kau harus berlaku hati-hati dan
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jangan tertipu. Hui-ang-kin adalah ketua perserikatan suku-suku bangsa di
daerah selatan sini, ia bertempur melawan musuh dengan gagah berani, semua
orang memuji dia, bagaimana mungkin dia bisa menjadi orang yang busuk!"
Mendapat omelan ini Sin Liong-cu menjadi kurang senang, tetapi karena
kepala suku adalah orang yang lebih tua dan sangat dihormati, maka ia tidak
enak untuk mendebatnya.
Kebetulan waktu itu telah ada orang yang datang memanggil kepala suku,
maka orang tua ini lantas berkata lagi.
"Dalam dua hari ini aku repot sekali dengan berbagai macam urusan, kau toh
orang sendiri, kau boleh pergi melihat-lihat dan berbincang dengan saudarasaudara
kita di sini, aku terpaksa tidak menemanimu."
Sementara itu Nyo Hun-cong yang dipanggil Hui-ang-kin telah sampai di
perkemahannya, gadis ini mengajak Hun-cong sarapan pagi di tempatnya dan
kemudian menarik dia pergi jalan-jalan di padang rumput.
187 Suasana pagi di padang rumput sangat menarik, sinar matahari terang
benderang, rumput menghijau masih basah oleh embun pagi bagaikan butiran
mutiara, seperti seorang gadis yang habis bersolek dengan mukanya yang
berseri-seri sedang tersenyum, sungguh cantik dan molek sekali.
Perasaan Hui-ang-kin waktu itu sedang gembira, ia bersandar di bahu Huncong
sambil bernyanyi-nyanyi kecil, tetapi sebaliknya hati Nyo Hun-cong
bergolak seperti ombak mendampar, suara nyanyian yang merdu sama sekali
tidak ia dengarkan lagi.
Sesudah Hui-ang-kin menyanyikan beberapa buah lagu populer dari padang
rumput, ketika dilihatnya Nyo Hun-cong seperti sedang memikirkan sesuatu,
ia telah menarik tangannya.
"Hun-cong," tegurnya, "Katakanlah sekarang juga apa yang hendak kau
ucapkan, walaupun kita berkumpul belum begitu lama, tetapi hubungan kita
sudah sangat baik, betul tidak kata-kataku ini" Malam kemarin kau bilang
hendak menganggap aku sebagai adik kandung perempuanmu, kalau begitu,
perasaan sang kakak seharusnya biarlah adik juga ikut mengetahuinya, Huncong,
mungkin kau tidak tahu, bahwa sejak pertempuran yang gaduh di padang
rumput itu dan berpencar denganmu, aku telah merasa kesepian, hatiku selalu
terkenang padamu."
Tergetar hati Nyo Hun-cong, ia menggigit bibirnya dengan menahan perasaan.
"Hamaya, kau adalah adikku yang paling baik, selama hidup aku akan
menganggap kau sebagai adikku yang paling baik!" demikian sahurnya.
"Selain adik, apa sudah bukan apa-apa lagi?" tanya Hui-ang-kin mendesak
dengan senyum simpul.
"Ya, betul, hanya antara kakak dan adik saja," sahut Nyo Hun-cong
memanggut. Melihat pemuda ini berkata dengan sungguh-sungguh dan dari air mukanya
kelihatan ada perasaan yang aneh dan menderita, Hui-ang-kin terkejut sekali.
"Hun-cong, apa yang kau katakan" Apakah kau telah mempunyai seorang gadis
yang lain?" tanyanya cepat.
188 "Ya," jawab Nyo Hun-cong dengan memanggut kepala, "Sebelum bertemu
denganmu, aku telah bertemu dengan seorang gadis yang lain, ia adalah....."
"la adalah putri Nilan Siu-kiat, bukan?" Hui-ang-kin memotong dengan suara
agak gemetar. "Ya," jawab pula Nyo Hun-cong sambil menggigit bibir lebih kencang.
Karena jawaban ini, muka Hui-ang-kin seketika berubah muram seperti udara
yang tadinya terang mendadak tertutup oleh awan mendung, ia tidak berkata
lagi, ia coba menahan mengalirnya air mata, adatnya yang keras dan hati yang
halus dari seorang gadis yang untuk pertama kalinya terbakar oleh api asmara
telah bergolak dengan hebat. Sesaat itu pikirannya menjadi sangat kalut,
selama hidupnya tak pernah ia merasakan pukulan yang begitu hebat,
sekalipun musuhnya yang paling buas tidak mungkin membikin hancur hatinya
seperti apa yang ia terima dari Nyo Hun-cong sekarang ini. Akhirnya, lahirnya
harus meayerah kepada batinnya yang keras, ia menutup mukanya dan
meratap, "Hm, ternyata benar perkataan Bing-lok, kau sungguh telah
mencintai putri musuh!"
"Ya, memang betul, Hui-ang-kin, ia telah menjadi is-teriku," kata Hun-cong
pula dengan hati cemas.
"Nyo Hun-cong, kau telah berbuat salah!" seru Hui-ang-kin tiba-tiba.
Karena im, seluruh tubuh Nyo Hun-cong gemetar, tiba-tiba bayangan Nilan
Ming-hui muncul dalam ingatannya, gadis im begitu halus, begitu agung dan
begitu menggiurkan, Nilan Ming-hui serupa dengan rumput kecil yang ada di
padang rumput dan memerlukan perlindungannya.
"Tetapi Hui-ang-kin," kata Nyo Hun-cong kemudian dengan suara memprotes,
"Ia adalah seorang gadis yang baik dan berhati lembut, aku kira ia pun akan
menganggapmu sebagai tacinya. Sukalah kau pun menganggap dia sebagai
adikmu?" Namun sekonyong-konyong Hui-ang-kin membalikkan tubuh terus berlari
kembali menuju ke jalan ketika mereka datang tadi, air mata si gadis sudah
menetes turun. Ia tidak ingin Nyo Hun-cong melihat air matanya dan
mengetahui kelemahan perasaannya, walaupun Nyo Hun-cong adalah orang
yang paling ia cintai.
189 Perbuatan Hui-ang-kin yang tiba-tiba im telah membuat Nyo Hun-cong tidak
berdaya. Menarik tubuh gadis itu juga tidak enak, tidak menarik pun salah, ia
coba menenangkan semangatnya dan lantas berlari mengejar.
"Hui-ang-kin, adikku yang baik, harap tunggu dulu, tunggu dulu!" ia berteriak
memanggil. Akan tetapi Hui-ang-hin masih terus berlari sambil menangis. Pikiran Nyo
Hun-cong waktu im sudah kalut sekali dan hanya berlari mengikut di belakang
Hui-ang-kin secara tak sadar.
Pada saat itu juga, tiba-tiba dari depan sana telah menerjang datang
beberapa penunggang kuda dengan cepat dan berteriak dengan ramainya "Nyo
taihiap, Hui-ang-kin, apa belum tahukah kalian" Tidak usah kalian kembali ke
sana kejarlah ke jurusan barat daya Coh Ciau-lam dan Sin Liong-cu telah
kabur!" Mendengar teriakan yang ramai ini, Nyo Hun-cong terkejut sekali, pikirannya
segera tersadar dari kekusutan, secepat kilat ia mencemplak seekor kuda dan
lantas dipecut mengejar bagaikan terbang, di atas kuda ia masih sempat
berseru, "Hamaya bantulah aku, lekas kejar dan tangkap kembali pengkhianat
itu!" Hui-ang-kin diam saja tidak menyahut, tetapi ia pun segera mencemplak
seekor kuda dan ikut mengudak.
Di atas padang rumput yang luas terlihat empat penunggang kuda berkejaran
dengan cepat, sekejap saja yang lainnya sudah tertinggal jauh, Nyo Hun-cong
berjajar dengan kuda Hui-ang-kin, tetapi sama sekali Hui-ang-kin tidak
memandang diri pemuda ini.
Tidak lama kemudian, kedua penunggang kuda di depan sana sudah mulai
terlihat, kedua penunggang kuda tersebut adalah Sin Liong-cu dan Coh Ciaulam.
Hun-cong mengempitkan kedua kakinya dengan kencang di atas perut kuda
sehingga berlari lebih cepat lagi, ia berpaling dan berseru pada Hui-ang-kin.
"Sebentar lagi kau cegat Sin Liong-cu, tetapi jangan mencelakai jiwanya
sedangkan aku pergi menangkap Coh Ciau-lam," katanya.
190 Hui-ang-kin masih diam saja tidak menyahut. Sementara itu kuda Nyo Huncong
sudah berada di muka kelihatatanya segera sudah bisa mencapai kedua
penunggang kuda yang berada di depannya itu.
Tiba-tiba dari depan sana berlari dengan cepat dua orang penunggang kuda
lagi, belum sempat Nyo Hun-cong melihat jelas siapa kedua orang yang
mendatanginya im, tiba-tiba terdengar Sin Liong-cu berseru memanggil, "Susiokco,
bantulah menahan mereka mereka hendak mencelakai kami!"
Mendadak Nyo Hun-cong mengendalikan tali kudanya ketika itu kedua
penunggang kuda pun sudah datang mendekat, kedua penunggangnya ternyata
adalah dua orang Tosu atau imam, masing-masing tangannya memegang
sebatang pedang panjang yang mengkilap.
Ketika Nyo Hun-cong hendak berkata di belakangnya ternyata Hui-ang-kin
dengan cepat sudah menerobos datang.
"Kau pernah apanya Pek-hoat Mo-li?" bentak salah seorang Tosu tua yang
memakai tudung kuning dengan tiba-tiba Hui-aing-kin yang memang sedang
mendongkol pikirannya sejak tadi, tanpa menjawab lagi mendadak cambuknya
telah memecut. "Kamu mengapa menghalangi aku, kamu malahan berani menyebut nama guruku
dengan tidak hormat!" dampratnya dengan gusar.
Atas jawaban ini, kedua Tosu im saling pandang dan kemudian berteriak, "Ha
akhirnya ketemu juga biarlah Toa-ya membereskan kalian berdua siluman
kecil ini dulu baru kemudian pergi mencari gurunya!"
Habis berkata pedang mereka diacungkan, dari dua jurusan segera mereka
menyerang, sinar pedang bergemer-depan dengan cepat, serangannya
ternyata tipu pukulan yang berbahaya.
"Hai, ada perkara apa berbicaralah lebih dulu!" seru Hun-cong cepat sambil
menghindar dari serangan orang yang membabi buta.
"Siapa sudi berbicara dengan kau!" bentak pula Tosu itu.
Pedangnya terus menyerang dengan cepat dan beruntun tiga kali, ternyata
tipu serangannya adalah kiam-hoat yang paling lihai dari golongan Bu-tongKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
191 pay, walaupun Nyo Hun-cong dapat menduga asal usul mereka, tetapi
pertandingan antara jago silat, mati atau hidup hanya tergantung dalam
sekejap mata saja, maka ia tidak berani gegabah, ia harus mencurahkan
sepenuh perhatiannya untuk mengawasi setiap gerak gerik musuh.
Tiap serangan imam itu ternyata sangat lihai, sedang keuletannya lebih-lebih
selama hidup belum pernah dialami Nyo Hun-cong.
Terpaksa Nyo Hun-cong harus mengeluarkan 'Han-tho-kiam-hoat' yang
merupakan bagian dari Thian-san-kiam-hoat, serangan pedang pendeknya
begitu dilancarkan langsung sinar mengkilapnya berkilauan, sebatang pedang
segera menjelma seperti beberapa puluh batang, di waktu cepat, permainan
pedangnya seperti arus air yang mengombak ke angkasa dan sinar perak
beterbangan, beratus ribu bintik-bintik purih bersebaran turun!
Akan tetapi Tosu itu ternyata sangat lihai juga, pedangnya tidak cepat pula
tidak lambat, sinar pedangnya hanya melingkar seperti membentuk satu pagar
tembaga dan tembok besi di depan Nyo Hun-cong, ujung pedang Hun-cong
sampai di mana saja tentu terbentur balik oleh suatu kekuatan dalam yang
luar biasa besarnya, 'Han-tho-kiam-hoat' yang dimainkan selekasnya sudah
akan habis jurusnya, tetapi ia masih belum dapat mendesak mundur musuh.
Dalam kerepotannya Hun-cong masih mencoba memandang ke pihak Hui-angkin,
gadis ini kelihatan sudah kerepotan sampai rambutnya bersebaran tak
teratur, pecut panjangnya hanya berayun tak keruan dan pedangnya
berputar-putar tanpa tujuan, agaknya sudah tak tahan lebih lama lagi.
Hun-cong menjadi kuatir sekali, lekas ia mengeluarkan seluruh ilmu pedang
Thian-san yang paling lihai dan menyerang secepat kilat.
Melihat permainan Nyo Hun-cong yang hebat, Tosu itu bersuara dengan penuh
keheranan, akan tetapi ia tetap terus mempertahankan diri, pedangnya
menyambar naik turun, kadang-kadang malahan pedang Nyo Hun-cong
tertangkis ke samping, Nyo Hun-cong sudah mandi keringat, tetapi tetap
masih tidak dapat melepaskan diri.
Hun-cong yang telah menguasai Thian-san kiam-hoat sebenarnya sudah sulit
dicari tandingannya, ilmu pedangnya sungguh sangat lihai dan kalau
dibandingkan dengan ilmu pedang Tosu itu tentu jauh lebih bagus, tetapi kalau
192 soal keuletan sebaliknya ia masih kalah jauh, maka ia berbalik berada di
bawah angin. Sementara itu di lain pihak Hui-ang-kin sudah dalam keadaan lelah letih dan
kelihatannya segera akan menjadi pecundang, Hun-cong tidak berdaya, ketika
ia hendak menggunakan serangan yang paling lihai untuk mengadu jiwa dengan
Tosu tua itu, tiba-tiba Tosu tua ini sudah melompat keluar dari kalangan
pertempuran. "Berhenti, berhenti dulu!" teriaknya tiba-tiba.
Nyo Hun-cong menarik pedangnya dan dilintangkan di dadanya, ia melihat ke
jurusan Hui-ang-kin, kelihatan gadis ini sudah tersengal-sengal napasnya dan
juga sudah melompat keluar dari kalangan.
"Sute, kedua orang ini sudah kuketahui sedikit asal-usulnya!" kata Tosu tua
yang bertanding melawan Nyo Hun-cong im pada kawannya.
"Tidak salah, memang juga sudah kuketahui sedikit asal-usulnya, ia mempunyai
ilmu silat yang khas dan menandakan betul adalah ajaran Pek-hoat Mo-li,
mereka tidak membohongi kita, dan kalau sudah terang mereka adalah murid
Pek-hoat Mo-li, mengapa Suheng berhenti sampai di sini?" sahut Tosu yang
melawan Hui-ang-kin tadi.
Kemudian imam tua berhidung kuning im mendadak tertawa sambil mendongak
ke atas. "Sudah lama aku mendengar Thian-san-kiam-hoat tiada bandingannya di
kolong langit, kini terbukti memang tidak salah lagi. Hai, kau pernah apanya
Hui-bing Siansu?" tanyanya dengan suara nyaring.
Imam tua yang sudah mumpuni dengan ilmu pedangnya yang sudah terlatih
puluhan tahun lamanya dan adalah jagoan kelas satu dari Bu-tong-pay
ternyata harus bergebrak begitu lama dengan Nyo Hun-cong yang masih
begitu muda, jidatnya sendiri sampai berkeringat, tentu saja ia terperanjat
dan heran sekali.
"Hui-bing Siansu adalah guruku, maaf numpang tanya siapakah gelar suci
Locianpwe?" sahut Hun-cong kemudian dengan hormat.
193 "Kalau kau adalah murid Hui-bing, mengapa berbalik membela murid Pek-hoat
Mo-li?" bentak Tosu di sebelah sana dengan tiba-tiba.
"Aku tidak memandang pihak mana pun," jawab Nyo Hun-cong dengan lantang,
"Lienghiong ini adalah ketua dari perserikatan suku-suku bangsa di Sinkiang
selatan sini, ialah Hui-ang-kin Lienghiong yang namanya tersohor di seluruh
padang rumput, mengapa aku tidak boleh membantunya?"
"O, kiranya jagoan wanita ini adalah Hui-ang-kin, sungguh tidak nyana ia
adalah murid Pek-hoat Mo-li!" ujar Tosu tua im agak tercengang.
"Aku memang adalah murid Pek-hoat Mo-li, pahlawan-pahlawan yang berada di
daerah luar sini siapa yang tidak mengetahui?" sahut Hui-ang-kin dengan
lagak agak congkak, "Ada apa dengan guruku, ia adalah ahli pedang kelas satu
di kalangan persilatan, perbuatan memalukan apakah yang telah diperbuatnya
sehingga membuat para Locianpwe begitu gusar?"
"Lienghiong, maafkanlah kami!" kata Tosu tua tadi yang kini lagu suaranya
sudah berubah menjadi halus. "Perkara ini panjang ceritanya, aku sepatutnya
tidak ingin mengutuk nama gurumu di hadapanmu, tetapi kau masih terlalu
muda, banyak urusan yang belum kau ketahui, kau boleh pergi melawan
tentara Boan dan menjalankan tugasmu yang mulia, untuk ini kami tentu
membantu kau dan tidak nanti merintangi, hanya saja jika kau menuruti
perintah gurumu pergi menindas murid keponakanku, itulah yang kami tidak
bisa biarkan!"
"Kalau begitu, kiranya kedua Totiang adalah Susiok Toh-taihiap?" tanya Huncong
terperanjat. "Betul!" sahut kedua Tosu im dengan memanggut.
Jika diurutkan ternyata Nyo Hun-cong masih lebih rendah dua tingkat, maka
lekas ia memberi hormat pada kedua orang tua ini.
"Kami dengan Hui-bing semua adalah sahabat yang sudah turun-temurun,"
kata Tosu tua lagi, "Masing-masing mempunyai hubungan yang khusus, kami
menganggap gurumu dari tingkatan yang sama, tetapi karena ia menghormati
Sutit kami yang pernah mengetuai satu golongan persilatan, maka ia juga
menganggap kedudukannya setingkat, kalau kau hendak mengurutkan secara
adat, maka biarlah kau menyebut aku sebagai Susiok juga."
194 "Maafkanlah aku!" kata Nyo Hun-cong sambil memberi hormat lagi,
perasaannya pun penuh rasa heran, tetapi ia tak berani bertanya.
Kiranya kedua imam ini baru datang dari Su-jwan, maka mereka tidak
mengetahui seluk-beluk Hui-ang-kin. Sedang diri Toh It-hang asalnya adalah
dari kaum bangsawan, belakangan ia telah menjadi Ciang-bun atau ketua Butongpay, tapi di atasnya masih ada lagi empat orang Susiok atau paman guru,
kepandaian It-hang lebih rendah sedikit daripada Ji-susioknya yakni Tosu
yang bertanding dengan Nyo. Hun-cong tadi, yang bernama Oei-yap Tojin,
kepandaian Ji-susioknya ini jauh lebih tangguh daripada Susiok yang lain.
Yang bertanding dengan Hui-ang-kin tadi adalah Si-susiok yang bernama Pekciok
Tojin.
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mengenai diri Pek-hoat Mo-li, ia asalnya adalah seorang begal besar dari
daerah Su-jwan. Kedekatannya dengan Toh It-hang sebenarnya adalah
hubungan percintaan yang sudah dekat pada pernikahan, akan tetapi para
Susioknya menganggap Bu-tong-pay adalah salah satu aliran yang bersih
dalam kalangan persilatan. Toh It-hang adalah orang pilihan di dalam golongan
mereka dan baru saja menerima jabatan sebagai Ciang-bun atau ketua, maka
tidak pantas mendapatkan jodoh seorang begal perempuan.
Pada masa itu, soal perjodohan masih harus menurut kepada keputusan orang
tua, Toh It-hang yang sudah piatu dengan sendirinya harus menurut pada
perkataan para Susioknya, karena rintangan inilah yang telah membuatnya
sangat menderita dan penuh kemasgulan.
Sebenarnya, soalnya bukan sudah tak dapat diperbaiki lagi, tak terduga Pelchoat
Mo-li yang berwatak keras sekali, dengan amarahnya ia telah mengeluruk
ke Bu-tong-san dan bergebrak dengan Susiok Toh It-hang.
Waktu itu, Oei-yap Tojin dan Pek-ciok Tojin justru tidak berada di situ, Toh
It-hang masih mempunyai dua Susiok yang lain yaitu Ang-hun Tojin dan Jingsui
Tojin, merekalah yang telah mengerubuti Pek-hoat Mo-li beserta enam
murid mereka yang tertua.
Pek-hoat Mo-li yang sendirian melawan delapan jago dari Bu-tong-pay
ternyata telah dapat melukai Ang-hun Tojin, sebaliknya iapun terluka oleh
pedang Jing-sui Tojin, kedua pihak sama-sama ada yang mengalami luka, PekKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
195 hoat Mo-li yang telah patah hati dalam soal asmara mengerti tidak dapat
menetap terus di daerah Su-jwan lagi, maka jauh-jauh ia telah datang ke
Thian-san dan menyembunyikan diri di sana. Dan rambutnya dalam semalaman
telah berubah menjadi putih semua, maka orang lantas menyebut dirinya Pekhoat
Mo-li atau si iblis perempuan berambut putih.
Toh It-hang yang juga mengalami pukulan batin begitu hebat, ia pun menjadi
putus asa, tiba-tiba ia meninggalkan kewajibannya sebagai Ciang-bun dan
menyusul ke daerah perbatasan, tetapi Pek-hoat Mo-li yang telah salah paham
padanya di samping cinta juga benci, maka mereka susah diakurkan kembali.
Selama beberapa puluh tahun ini, kedua orang ini selalu dalam keadaan yang
bertentangan dan berlainan jurusan.
Belakangan bahkan Pek-hoat Mo-li mengira Toh It-hang telah bermain cinta
dengan murid perempuan Oei-yap Tojin yang bernama Ho Lok-hua dari
cemburu menjadi gusar dan hendak mengusir mereka keluar dari daerah
Sinkiang, Toh It-hang yang mengetahui watak Pek-hoat Mo-li yang cukup
ganas, ia menjadi kuatir Ho Lok-hua dicelakai maka cepat ia mengantar Ho
Lok-hua keluar dari daerah Sinkiang, tidak terduga Oei-yap Tojin yang entah
mendapat kabar dari mana, jauh-jauh ia telah datang menyusul.
Di waktu masih kecil Sin Liong-cu pernah bertemu sekali dengan Oei-yap
Tojin, dengan kedatangan mereka yang secara kebetulan ini justru telah
menghindarkan bahaya bagi diri Sin Liong-cu dan Coh Ciau-lam berdua.
Kembali tentang Hui-ang-kin, setelah mendengar perkataan Oei-yap Tojin
tadi, ia menjadi gusar.
"Hm, kamu masih berkata membantu aku melawan tentara Boan, tetapi matamata
musuh justru telah lolos karena kamu!" katanya sengit.
Keruan Oei-yap Tojin terperanjat sekali mendengar dampratan itu.
"Apa?" tanyanya cepat, "Sin Liong-cu adalah mata-mata musuh" Ah, mana
mungkin! Walaupun aku tidak berada di Thian-san, tetapi pernah juga
mendengar murid Toh It-hang ini selalu belajar dengan baik dan sungguhsungguh,
bagaimana ia bisa membantu pemerintah Boan-jing!"
196 "Sin-toako mungkin tidak, tetapi maafkan kalau Tecu harus berterus terang,
ia biasanya terlalu ceroboh, mungkin ia sudah kena hasutan Coh Ciau-lam dan
telah membebaskan dirinya yang telah kami tawan dan lantas kabur bersama!"
kata Nyo Hun-cong.
"Coh Ciau-lam yang mana?" tanya Oei-yap Tojin.
"Coh Ciau-lam adalah Tecu punya Sute yang tak berguna itu," sahut Hun-cong,
"Ia telah mengkhianati sumpah perguruan dan menyerah pada pihak Boan
untuk berbuat sewenang-wenang, kemarin malam telah tertangkap oleh Tecu,
tetapi paginya telah terlepas dan kini sudah melarikan diri!"
Karena keterangan ini lantas Oei-yap Tojin ketok-ketok batok kepala sendiri.
"Ya, ya, memang aku si tua bangka ini yang ceroboh!" katanya berulang-ulang,
"Baiklah begini saja, kalau kami ketemukan Toh It-hang, kami akan meminta
dia memberi ajaran dan hukuman yang setimpal pada Sin Liong-cu, sedang
mengenai Coh Ciau-lam, karena ia bukan orang golonganku, maka kami tidak
pantas mengurusi dia."
Sementara itu, Sin Liong-cu dan Coh Ciau-lam sudah pergi terlalu jauh,
hendak mengejar pun sudah tak keburu lagi, maka terpaksa Nyo Hun-cong dan
Hui-ang-kin berpamitan pada Oei-yap Tojin dan Pek-ciok Tojin kembali ke
perkemahan bangsa Kazak sana.
Sepanjang jalan Nyo Hun-cong mencoba mengajak Hui-ang-kin bercakapcakap,
tetapi Hui-ang-kin tidak menyahut dan tidak menggubris, karena tidak
tahan lagi Nyo Hun-cong telah mengalirkan air mata.
"Hui-ang-kin," kata Hun-cong dengan sungguh-sungguh, "Anggaplah aku telah
mengecewakan maksud baikmu, tetapi kita masih harus melawan tentara Boan
bersama!" Tidak diduganya, perkataannya itu makin menambah kegusaran Hui-ang-kin.
"Nyo Hun-cong," sahurnya dengan gemas, "Siapa yang memikirkan dirimu, kau
pandang aku Hui-ang-kin sebegitu rendah dan harus tetap mengikutimu" Hm!"
akhirnya ia menjengek.
197 Habis berkata beruntun ia memecut kudanya terus dilarikan kembali ke arah
datangnya tadi, Hun-cong tertegun dan tak berani buka suara lagi.
Setelah sampai di perkemahan, lebih dulu Nyo Hun-cong menemui kepala suku
Kazak dan meminta maaf, ia menceritakan pengalamannya.
"Cukuplah," kata kepala suku itu sambil tertawa, "Coh Ciau-lam dapat lolos,
hal ini walaupun sangat disayangkan, tetapi kalau kau tetap bersama kami,
apakah masih kuatir tidak dapat menangkap dia lagi" Pihak yang benar pasti
menang, Tuhan melindungi kita, musuh dan kaum pengkhianat pasti tidak akan
mendapat pengampunan, sekarang boleh kau pergi istirahat dulu!"
Dengan perasaan penuh kemasgulan, setelah kembali ke dalam kemah, Huncong
tidak pergi mencari Hui-ang-kin.
Pada besok paginya, kepada suku Kazak tiba-tiba menerobos datang padanya
dan berteriak, "Apakah artinya ini" Hui-ang-kin telah pergi dengan membawa
orang-orangnya!"
Pikiran Nyo Hun-cong tergoncang keras mendapat kabar yang tiba-tiba im.
"Ha" Ia telah pergi tadi malam?" tanyanya cepat. Kepala suku itu
mengangsurkan selembar kulit domba, di atasnya penuh tertulis huruf Vigor,
ternyata itulah surat yang Hui-ang-kin tinggalkan.
Hun-cong membaca surat itu, di situ tertulis :
Kami suku dari daerah selatan menghaturkan banyak terima kasih atas
kesediaan menampung kami.
Kini para pejuang kami yang tersebar telah terhimpun kembali dan sebagian
besar sudah kembali ke pangkalan, pejuang-pejuang kami yang berada di sini
mengambil keputusan untuk balik ke tempat lama dan menyusun kembali
ladang gembala yang baru dan belajar bersama untuk melawan pasukan Boan.
Dengan suku saudara, kami bersedia mengikat tali serikat yang kokoh untuk
kebaikan selama-lamanya.
-H a m a y a "Ia kembali ke sana untuk mengakhiri masa berjuang dan guna menyusun
kembali ladang peternakannya, sesungguhnya adalah urusan yang betul juga,"
kata Nyo Hun-cong dengan berat. "Di daerah selatan sini mereka hakikatnya
198 hanya tamu belaka tentu tidak dapat tinggal terlalu lama, tetapi mereka pergi
sedemikian cepat, adalah di luar dugaan juga, ia seharusnya menunggu
perundingan urusan yang maha besar selesai barulah berangkat."
Kepala suku Kazak terdiam tak bisa bicara, Nyo Hun-cong lebih kesal hatinya.
Tetapi situasi peperangan dalam keadaan yang genting, awan peperangan
sudah gelap, Coh Ciau-lam yang lolos itu telah kembali ke pangkalan pasukan
Boan-jing, begitu api peperangan berkobar. Nyo Hun-cong harus membantu
suku Kazak mengatur siasat, ia sesungguhnya tiada tempo lagi untuk
memikirkan urusan pribadinya.
Kalau Nyo Hun-cong berada dalam perkemahan di padang rumput Garsin
dengan perasaan tegang, maka di sana, di tempat berjarak ribuan li, Nilan
Ming-hui yang berada dalam istana jenderal pun sedang dalam keadaan
bingung. Sejak Nyo Hun-cong pergi, tubuhnya telah mengalami perubahan, ia selalu
merasa kurang tidur, baru bangun pagi, lewat sebentar sudah merasa kantuk
hendak tidur lagi, perutnya pun dirasakan sangat tidak enak, sering kali
muntah-muntah, begitu makan lantas muntah, bahkan dalam keadaan perut
kosong pun bisa memuntahkan air kecut.
Wajahnya yang cantik tiba-tiba berubah menjadi kumal dan timbul guratan,
bahkan timbul pula sedikit bintik-bintik hitam.
Makanannya pun aneh, dulu yang dia suka kini berbalik merasa bosan, tetapi
yang dulu tak disukai kini berbalik ingin mencoba, lebih-lebih ia suka makan
yang kecut-kecut, perangainya pun berubah suka marah-marah, berbeda jauh
dengan sebelumnya, ia sendiri pun merasa agak heran.
Ibunya biasanya memang jarang bertemu dengan dia pernah juga bertemu, ia
hanya mengira putrinya sedang sakit dan hendak memanggil tabib untuk
memeriksanya. Ming-hui hakikatnya tidak mengetahui dirinya sakit apa setelah kembali di
kamarnya ia hanya merasa sangat kesal dan marah-marah tanpa sebab, ia
obrak-abrik dan melemparkan barangnya bersebaran.
199 Babu inangnya yang mendengar ribut-ribut lalu masuk ke kamar untuk
bertanya. "Ibu hendak memanggil tabib buat memeriksa sakitku, entah sakit aneh
macam apa ini, sehari-hari hanya merasa mual saja tetapi toh tidak diketahui
sebab musababnya!" katanya pada babu itu.
Segera si babu itu menutup pintu kamar dan katanya pelahan pada Siocianya
"Siocia sebenarnya aku tidak akan omong, aku telah berpikir beberapa hari
ini, aku merasa lebih baik aku beritahukan saja pada Siocia kini keadaan telah
mendesak, lebih-lebih harus kukatakan sekarang. Siocia kau sekali-kali jangan
periksa tabib!"
Mendengar perkataan babunya itu Nilan Ming-hui terkejut sekali, ia
mengeluarkan suara keheranan.
"Naima apa yang kau katakan?" tanyanya pada babunya itu, "Apa yang kau
ketahui dan mengapa aku tidak boleh periksa pada tabib, boleh kau katakan
terus terang."
Naima nama babu itu, mengelus-elus rambut si gadis dan lalu berbisik di
pinggir kupingnya "Nak, kau telah mengandung!"
Bukan main terkejutnya Nilan Ming-hui sampai tak dapat mengeluarkan
separah kata pun, ia merasa tubuhnya lemas lunglai dan ambruk ke bawah, ia
bingung, entah senang atau sedih, getir atau gembira air matanya tidak
terasa telati mengalir keluar.
Dengan kedua tangan Nahw segera merangkul pundak Ming-hui.
"Anakku sayang, janganlah menangis, biarlah aku carikan daya upaya" kata
babu itu dengan menghela napas dan penuh rasa kasih sayang, "Tabib yang
diundang Hujin sekali-kali tidak boleh memeriksamu, besok sebaiknya kau
pergi jalan-jalan ke padang rumput, aku nanti yang akan menemui Hujin dan
menjelaskan bahwa kau hanya kurang enak badan saja dan tiada sakit apa-apa
kini sudah baik. Sebenarnya kalau Hujin mengetahui itu pun pantas, hanya
dikuatirkan Loya pun mengetahui, inilah yang berbahaya. To Tok sedang
menyuruh orang meminang dirimu, di lain pihak Hujin pun takut kepada Loya
jika sampai Loya tahu, meski kau tidak didamprat, pasti ibumu yang akan
didampratnya habis-habisan."
200 "Kalau begitu, kelak kalau anakku lahir bagaimana bisa mengelabui mereka?"
tanya Nilan Ming-hui.
Naima pun menghela napas pula.
"Siocia maafkan keberanianku untuk mengatakan hal ini secara berterus
terang, bagaimana kalau dihilangkan saja anak ini?" kata Naima.
"Kau..... kau maksudkan menggugurkan kandunganku?" tanya Ming-hui dengan
mata terpentang lebar.
Naima manggut-manggut agak menyesal.
Entah kekuatan yang datang darimana tiba-tiba Nilan Ming-hui melompat
bangun dan dengan suara yang begitu keras serta tabah ia berteriak.
"Tidak, tidak mungkin, aku tidak mau! Aku harus mempertahankan anak ini,
tidak peduli ia laki-laki atau perempuan, ia adalah anak yang kucintai!"
katanya. Sesaat itu, hatinya tiba-tiba penuh dengan kegembiraan, ia merasa jiwanya
dan jiwa Nyo Hun-cong telah terikat menjadi satu, apabila anak ini bisa lahir
dengan selamat, maka Nyo Hun-cong akan tetap hidup untuk selamanya di
sampingnya dan terus begitu sampai mereka berdua meninggal, tetapi jiwa
mereka masih akan bersambung terus, bersambung di atas jiwa anak mereka.
Ia mencintai Nyo Hun-cong dengan sepenuh hati, ia pun mencintai anak yang
belum lahir ini walaupun belum diketahui laki-laki atau perempuan.
"Aku sudah tidak lagi takut pada orang yang bernama Hui-ang-kin, jiwa Nyo
Hun-cong kini sudah hidup dalam tubuhku!" teriaknya pula mendadak.
"Hui-ang-kin siapakah maksudmu, Siocia?" tanya Nai-ma dengan heran.
Nilan Ming-hui hanya tersenyum, ia tidak menjawab. Sebaliknya Naima dalam
hati sangat kuatir, pikirnya dalam hati, "Sungguh anak yang tak mengerti
urusan dan masih begini nakal?"
Setelah ia merenung sejenak, pelahan babu ini lantas mendorong diri Nilan
Ming-hui. 201 "Siocia, marilah, aku telah mendapatkan satu akal, coba bagaimana menurut
pikiranmu?" katanya kemudian.
Nilan Ming-hui seperti tersadar dari mimpinya, dengan rasa malu-malu ia
bertanya, "Naima, akal apakah itu?"
"Siocia," kata Naima, "Bukankah kau sering pergi berburu" Nanti kalau sudah
hampir bulan kelima usia kandung-anmu, kau boleh membawa pasukan wanita
pergi berburu beberapa ratus li jauhnya di padang rumput sana, aku
mempunyai seorang Enso, janda yang tinggal di sana, keponakanku kini
bekerja dalam istana sini, dia itu orang yang agak dogol dan kau pun pernah
bertemu dengannya, aku akan menyuruhnya ikut pergi bersamamu, walaupun ia
agak dogol, tetapi sangat penurut."
Mendengar keterangan babu^/a itu, Nilan Ming-hui menjadi girang sekali.
"Naima, kau sungguh pintar sekali," katanya, "Kalau aku bilang mau pergi
berburu, itu memang tepat. Ya, aku lupa memberitahu padamu bahwa pertama
kali aku bertemu dengan ayah dia, waktu itu aku juga sedang berburu!"
"Dia, dia yang mana?" tanya Naima heran.
Tetapi baru ia akan buka suara untuk bertanya, segera pula ia mengerti
bahwa 'Dia' yang dimaksudkan adalah anak yang ada dalam kandungan
Siocianya, tanpa terasa ia tersenyum sendiri.
Sekejap saja telah lewat beberapa bulan, kandungan Nilan Ming-hui kini
sudah menginjak lima bulan. Justru waktu itu Nilan Siu-kiat telah pergi
bertempur ke tempat yang agak jauh, maka soal pergi berburu bagi Nilan
Ming-hui tentu menjadi lebih mudah lagi, cukup kalau ia memberitahu pada
ibunya dan lantas membawa belasan pengiring wanita serta anak dogol itu,
maka berangkatlah mereka ke padang rumput sana.
Demikianlah Nilan Ming-hui mendekam dalam perke-mahannya di padang
rumput untuk menunggu lahirnya sang bayi, tidak terasa telah lewat pula lebih
dari empat bulan.
Pada suatu hari, tiba-tiba Hujin atau ibunya telah menyuruh beberapa
serdadu wanita datang menemui Nilan Siocia dan membawa kabar yang
mengejutkan, katanya tiga hari yang lalu, pada malam yang gelap dan berangin
202 ribut, istana telah kedatangan seorang begal perempuan yang hendak mencari
Loya tetapi karena tidak bertemu, maka begal itu telah menawan seorang
pesuruh Siocia dan menanyakan keadaan sang Siocia.
Kepandaian penyamun wanita itu ternyata tinggi sekali, walaupun ia telah
dapat menerobos masuk ke dalam istana dan menawan seorang pesuruh kecil
Siocia, tetapi masih belum diketahui orang, baru sesudah pesuruh kecil im
dipaksa sampai menjerit, barulah jago-jago yang menjaga istana im memburu
datang. Akan tetapi penyamun wanita ini ternyata tidak gentar sedikit pun, dalam
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepungan begitu banyak guru-guru silat dari istana, seutas rambut pun tidak
terluka, ia pergi datang dengan bebas, waktu hendak pergi bahkan telah
melukai beberapa khau-thau (guru silat istana) pula.
Hujin yang sangat ketakutan meminta Siocia suka berhari-hari dan telah
mengundang Siocia supaya kembali ke istana saja untuk mempermudah
penjagaan terhadapnya.
Nilan Ming-hui yang tiduran di atas pembaringan setelah mendengarkan
cerita tadi, dalam hari ia mengerti tentu Hui-ang-kin yang telah datang
mencarinya, dengan tak terasa ia mengomel dengan gemas, "Sungguh seorang
penyamun perempuan yang ganas!"
Akan tetapi ia mengerti kepandaiannya jauh di bawah orang dan tidak dapat
menandingi Hui-ang-kin, walaupun pulang juga tak berguna, lagi pula setelah ia
menghitung harinya, waktu lahir bayinya pun hanya tinggal belasan hari ini
saja, bagaimana ia bisa pulang ke rumah"
Terpaksa ia hanya menyuruh keponakan Naima im untuk kembali dulu, ia
pesankan supaya menyampaikan pada ibunya bahwa ia baru dapat kembali
beberapa hari lagi.
Tempat persembunyian Nilan Ming-hui walaupun cukup rahasia, akan tetapi
tidak urung ia pun kuatir, ia takut Hui-ang-kin dapat menemukan dirinya, ia
pun tidak mengetahui apakah pesuruh kecil yang ditanya oleh Hui-ang-kin
dengan paksa itu sudah membocorkan tempat tinggalnya.
203 Tetapi segera ia menghibur dirinya sendiri, "Padang rumput yang sedemikian
luasnya, sekalipun ia telah sampai di padang rumput pun tak akan dapat
mengetahui di mana aku berada."
Ia memerintahkan pengawalnya yang kesemuanya serdadu wanita im untuk
berjaga siang malam bergiliran, ia sendiri walaupun tidak bebas lagi bergerak,
ikut berjaga-jaga dengan menaruh sekantongan anak panah kecil di ujung
tempat tidurnya, ia bersedia mengadu jiwa mati-matian dengan Hui-ang-kin,
apabila ia berani datang.
Malam ketiga, juga suatu malam yang gelap dan angin bertiup kencang.
Setelah lewat tengah malam, di padang rumput yang luas im tiba-tiba
berkumandang datang suara derapan telapak kaki kuda, belasan orang yang
berperawakan tegap menunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat.
Bahkan keponakan Naima tertangkap dan tampak terikat celentang di atas
kuda orang. Serdadu-serdadu wanita dapat melihat dengan jelas di bawah penerangan
obor, tidak terlihat seorang wanita pun di antaranya. Keempat pengawal Nilan
Ming-hui sesudah saling pandang dan memberi isyarat, segera dengan senjata
mereka menerjang belasan orang im yang kini sudah datang mendekat.
Serdadu-serdadu wanita ini semuanya telah dilatih sendiri oleh Nilan Minghui,
kepandaian mereka pun cukup baik, lebih-lebih keempat pengawal
pribadinya. Ilmu memanahnya lebih lihai lagi, sebelum begal-begal itu datang
mendekati perkemahan sudah terpanah jatuh beberapa orang.
Ternyata gerombolan orang-orang ini adalah begal kuda dari padang rumput,
diketuai oleh seorang yang bernama Ong-toasicu. Setengah bulan yang lalu ia
mendengar kabar ada serombongan wanita sedang berburu di padang rumput,
ia tidak tahu yang berburu itu adalah rombongan Nilan Siocia, ia hanya
mengira tentu anak gadis kepala suku dari mana, maka ia dengan membawa
belasan penunggang kuda memburu datang dari padang rumput Garsin dan
hendak membegal. Di tengah jalan mereka telah bertemu keponakan Naima
yang disuruh pulang dulu oleh Nilan Ming-hui, mereka sekaligus menangkapnya
dan memaksanya menunjukkan tempat perkemahannya.
Dalam pertempuran yang ribut itu, begal-begal kuda itu ternyata belum bisa
memperoleh keunggulan, Ong-toasicu menjadi gugup, tangan kirinya
204 mendorong keponakan Naima dan tangan kanan mengayunkan goloknya
membacok dengan sekuatnya. Serdadu-serdadu wanita yang ketakutan lantas
minggir dan memberi kesempatan padanya untuk menerobos masuk ke dalam
kemah. Nilan Ming-hui sudah siap dan duduk di atas kasur, begitu melihat Ongtoasicu
menerobos masuk, tangannya segera diayunkan dan segera pula
sebuah pisau melayang dengan kecepatan luar biasa, kulit kepala begal ini
segera terkelupas sebagian.
Ong-toasicu menggereng kesakitan, hingga tangannya sedikit kendor,
keponakan Naima lantas jatuh terguling di tanah, Ong-toasicu masih
merangsek dan membacok Nilan Ming-hui, tetapi Nilan Ming-hui telah
berguling ke bawah dan segera menyambitkan pula sebatang pisaunya,
"traang", suara beradunya senjata segera terdengar, golok Ong-toasicu telah
terpental lepas dari tangan, keruan ia tercengang.
Tetapi pada saat itu juga tiba-tiba Nilan Ming-hui berteriak kesakitan, ia
telah terlalu banyak menggunakan tenaga, perutnya terasa sakit sekali,
kepalanya pusing dan matanya berkunang-kunang, kaki tangannya pun lemas
tak bertenaga lagi.
"Nyo Hun-cong, O, Nyo Hun-cong, anakmu tak dapat diselamatkan lagi!"
serunya dengan merintih kesakitan.
Kala itu keponakan Naima sudah bangun, maka dengan mati-matian ia
menerjang Ong-toasicu, akan tetapi hanya beberapa gebrakan saja, kembali
ia rubuh oleh pukulan Ong-toasicu.
Berulang-ulang dengan tertawa menyeringai, Ong-toasicu maju lagi dan lantas
hendak mencengkeram diri Nilan Ming-hui, pada saat yang berbahaya itu
tiba-tiba dari luar kemah terdengar suara yang gaduh sekali, Ong-toasicu
yang belum sempat berpaling, belakang punggungnya seketika terasa
kesakitan sekali dan tubuhnya tahu-tahu sudah terangkat ke atas oleh orang.
9 Waktu Nilan Ming-hui membuka matanya dan memandang, ia melihat muka
Hui-ang-kin yang penuh dengan napsu membunuh, dengan cambuk di tangan
kirinya telah melilit tubuh Ong-toasicu dan tangan kanannya menuding pada
205 Nilan Ming-hui sambil membentak, "Hm. kiranya kau adalah orang yang
bernama Nilan Ming-hui" Mengapa begitu tak berguna, sungguh corak seorang
Siocia!" ia mengejek.
Sejak Hui-ang-kin berpisah dengan Nyo Hun-cong. ke-masgulannya belum juga
lenyap, seorang diri ia telah datang mengacau di istana jenderal Ili, walaupun
tidak mendapatkan Nilan Ming-hui, tetapi telah berhasil mencekal seorang
pesuruhnya dan memaksa orang mengaku, sesudah mendapatkan kabar Nilan
Ming-hui ia lantas menyusul ke padang rumput sini, justru ia telah bentrok
dengan begal ini, maka tanpa banyak bertanya lagi, Hui-ang-kin segera
memukul dan mengobrak-abrik begal-begal kuda itu dan juga serdaduserdadu
wanita itu pula, ia menerobos masuk ke dalam kemah dan hanya
dengan satu gerakan sudah dapat menangkap Ong-toasicu hidup-hidup serta
berniat hendak memberi sedikit kegetiran pada Nilan Ming-hui.
Akan tetapi Nilan Ming-hui hanya mengangkat kepala memandang Hui-ang-kin
dengan senyuman menghina, sepasang matanya memandang dengan sinar yang
tajam, sampai Hui-ang-kin sendiri merasa bergidik.
Namun Hui-ang-kin lantas menjadi gusar sekali, pecutnya digerakkan, tanpa
ampun lagi Ong-toasicu terbanting.
"Apa yang kau senyumkan?" dampratnya kemudian dengan bengis, "Jika kau
berani, bangunlah dan bertanding beberapa jurus dengan aku, tidak sudi aku
membunuh orang yang tidak melawan."
Tetapi Nilan Ming-hui hanya menjawab singkat, suaranya walaupun pelahan,
tetapi kedengarannya bagi Hui-ang-kin laksana geledek yang mendadak
menggelegar. Kata Nilan Ming-hui kemudian, "Kau hendak membunuhku, pasti sedikitpun aku
tak akan berkelit, hanya dapatkah kiranya kau menunggu setelah aku
melahirkan anak, baru kau turun tangan?"
"Apa" Kau akan melahirkan anak, anak siapa?" tanya Hui-ang-kin sambil
membentak. "Anak Nyo-taihiap dan aku!" sahut Nilan Ming-hui dengan senyuman bangga.
Ketika Hui-ang-kin mengamat-amati, memang betul perut Nilan Ming-hui
gendut besar, tanpa berkata-kata lagi Hui-ang-kin membalikkan badannya
206 terus tinggal pergi. Sementara ini di luar kemah begal-begal kuda dan
serdadu-serdadu wanita telah siap bertempur kembali, Ong-toasicu telah
berdiri kembali dari pojokan sana dan sudah menjemput goloknya pula.
Tiba-tiba Hui-ang-kin mengkerutkan kening, ia balik lagi dan membentak pada
Ong-toasicu. "Kau siapa" Untuk apa kau datang ke sini?" tanyanya.
Tadi Ong-toasicu sudah melihat Hui-ang-kin hendak membunuh Nilan Minghui,
ia mengira orang adalah penyamun yang segaris dengan dia, maka cepat ia
menerangkan. "Aku dari 'kelompok kuda bergolok' (sebutan gerombolan begal kuda yang
bekerja sendiri). Nona, kau dari golongan mana?" kata Ong-toasicu balik
bertanya, "Perempuan busuk ini sedang mengandung, menurut kebiasaan
biarlah kita tidak membunuhnya. Tampaknya ia adalah anak gadis kepala suku,
air minyaknya tentu cukup tebal, kita boleh merampok dia dan dibagi sama
rata. Nona, kau sendiri boleh terima satu bagian penuh, aku Ong-toasicu
paling gampang dalam urusan demikian ini."
"Ha, kiranya kau adalah begal kuda!" bentak Hui-ang-kin pula.
Perkataan "Ya" yang hendak diucapkan oleh Ong-toasicu belum sempat
dikeluarkan, pecut Hui-ang-kin secepat kilat sudah menyambar, batok
kepalanya segera hancur pecah, lalu Hui-ang-kin berjalan keluar kemah,
menyusul suara jeritan ngeri segera terdengar pula berulang-ulang, tidak
seberapa lama, dengan pakaian berlumuran darah di seluruh tubuhnya, Huiangkin telah kembali masuk lagi ke dalam kemah.
"Aku telah membunuh semua begal-begal kuda ini, kau boleh merawat anakmu
baik-baik," katanya pada Nilan Ming-hui dengan dingin.
Nilan Ming-hui terpaku sejenak, ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Sementara Hui-ang-kin telah menyimpan cambuknya dan meletakkan kembali
pedangnya, tiba-tiba ia berkata pula dengan suara yang agak pilu, "Aku akan
pergi, kalau kau bertemu Nyo Hun-cong katakanlah padanya selamanya aku
tidak akan mencari dia lagi."
207 Nilan Ming-hui.memanggutkan kepala dan ketika hendak berkata, mendadak
perutnya terasa sakit sekali seperti dipuntir, lekas ia memanggil pelayannya,
serdadu-serdadu wanita masuk dan mendorong keluar keponakan Naima.
Sebenarnya Hui-ang-kin bermaksud hendak pergi, namun seketika ia menjadi
tertegun dan berdiri di tempatnya. Tiba-tiba di dalam kemah berkumandang
suara tangisan bayi, anak Nyo Hun-cong telah lahir, serdadu-serdadu wanita
itu repot kian kemari membantu Nilan Ming-hui bebenah. Pelayan yang paling
dekat sudah menyediakan kain pembungkus dan lantas membalut seluruh
tubuh bayi. Muka Nilan Ming-hui penuh mengunjuk rasa kegirangan, ia merebahkan diri
dengan napas yang masih tersengal-sengal. "Laki-laki atau perempuan?"
tanyanya kemudian.
"Kionghi (selamat), Siocia, sama dengan kau!" sahut si pelayan itu.
"Ha, kiranya adalah seorang nona, baik juga, coba bawa sini, aku hendak
melihatnya," kata Nilan Ming-hui.
"Ia mirip sekali dengan Siocia!" kata si pelayan pula.
Maka dengan pelahan Nilan Ming-hui menepuk anak bayinya. "Tidak, lebih
mirip ayahnya," katanya, "Lihatlah, mulutnya ditutup rapat-rapat, kalau sudah
besar nanti pasti keras hati seperti ayahnya!"
Dalam pada itu si bayi menangis lagi.
"O, anak yang bernasib jelek, baru memuji mulutmu yang mungil kau sudah
menangis lagi!" kata Nilan Ming-hui sambil tertawa.
Nilan Ming-hui demikian penuh perhatian bermain dengan anaknya, ia sama
sekali tidak peduli pada Hui-ang-kin.
Di lain pihak Hui-ang-kin berdiri di situ dengan perasaan hati yang tak keruan,
ia tidak mengerti perasaan apakah yang dirasakan saat ini.
Pada saat lain mendadak ia mendekati Ming-hui, ia mengulurkan tangannya dan
berkata pada Nilan Ming-hui, "Bolehkah aku membopongnya?"
208 Nilan Ming-hui merasa sangsi sebentar, namun akhirnya ia menyerahkan juga
anaknya. Hui-ang-kin meletakkan bayi itu di sikunya dan memandangnya dengan teliti,
memang betul juga orok ini mirip dengan Nyo Hun-cong.
Entah mengapa tiba-tiba pada dirinya timbul semacam rasa sangat menyukai
anak ini, dalam hatinya timbul satu pikiran hendak membawa pergi bayi ini.
Sementara itu, seorang pelayan telah membawakan air masak yang setengah
hangat dan menyuapi bayi itu.
"Siocia, kau perlu belajar merawat anak bayi, merawat anak tidak dapat
disamakan bermain golok dan pedang, lebih susah dan repot!" kata pelayan
lain dengan tertawa.
Mendengar itu Hui-ang-kin diam-diam menertawakan diri sendiri yang
berpikir hendak membawa pergi bayi titi, ia menyerahkan kembali bayi kepada
Nilan Ming-hui, ia mengeluarkan pula serenteng mutiara dan diberikan
padanya. "Ini berasal dari lautan selatan, aku berikan pada bayi ini sebagai hadiah!"
katanya pada Nilan Ming-hui.
Mutiara dari lautan selatan di padang rumput adalah barang yang jarang
diketemukan. Nilan Ming-hui memandangnya sekejap, ia bukan heran dan
kagum pada mutiara itu, tetapi yang ia kagumkan kini adalah perangai Huiangkin. Tidak diduganya orang yang disebut iblis yang membunuh orang tanpa
berkedip seperti yang dikabarkan di kalangan tentara Boan ternyata
mempunyai perangai yang begitu halus.
Ia menerima mutiara itu dengan sinar mata terharu dan penuh mengandung
rasa terima kasih. Katanya kemudian dengan suara rendah, "Cici, aku akan
memberi nama 'Po-cu padanya, terima kasih atas kebaikanmu!"
Muka Hui-ang-kin menjadi masam, tiba-tiba ia berkata pula dengan dingin,
"Siapa Cirimu, aku adalah musuhmu, lewat beberapa tahun lagi, aku masih
209 ingin mencarimu untuk menentukan siapa yang lebih unggul, sebaiknya kau
tunggu saja!"
Tiba-tiba suara tangisan bayi berkumandang lagi, Hui-ang-kin pun lantas
berlalu di bawah pandangan serdadu-serdadu wanita ini yang terheran-heran
dan di tengah suara tangisan bayi.
Kembali pada Nyo Hun-cong yang juga sedang dalam keadaan gembira sekali
di padang rumput Garsin, ia telah membantu suku Kazak mengalahkan Coh
Ciau-lam dan telah dapat merebut benteng pertahanan pasukan Boan yang
berdekatan. Pada suatu hari, ketika ia bersama kepala suku yang tua ini sedang
menghitung kuda rampasan yang diperoleh dari menang perang, tiba-tiba ada
seorang bawahan datang melaporkan bahwa telah dapat menangkap seorang
asing, orang ini walaupun berdandan rakyat gembala, tetapi ketika ditanya
urusan penggembalaan sedikit pun tidak mengerti, setelah diancam akan
digebuki baru ia berteriak katanya hendak mencari Nyo-taihiap.
Hun-cong memerintahkan menggiring masuk orang ini, kemudian dilihatnya
orang ini adalah seorang anak dogol yang berusia di atas dua puluh tahun.
"Siapakah kau" Ada apa mencari aku?" tanya Hun-cong.
Tetapi sebelum menjawab orang ini memandang dulu ke sekelilingnya,
kemudian baru ia berkata dengan ragu-ragu dan dengan suara yang tak lancar.
"Nyo-taihiap, Nilan, Nilan....."
Serdadu-serdadu yang berada di samping demi mendengar perkataan "Nilan",
semuanya menjadi tercengang, akan tetapi kepala suku Kazak yang tua ini
sebaliknya telah tertawa.
"Nyo-taihiap mempunyai urusan silakan dibicarakan, kita tidak mengganggu
lagi!" katanya sambil membawa pergi semua serdadunya.
Diam-diam Nyo Hun-cong berterima kasih pada kepala suku tua ini yang
begitu menaruh kepercayaan atas dirinya. Kemudian ia membentak lagi pada
orang itu. 210 "Apakah kau adalah mata-mata musuh yang dikirim oleh Nilan Siu-kiat?"
"Bukan," jawab orang ini. "Aku adalah suruhan Nilan Siocia, Nilan Siocia
adalah gadis yang dibesarkan oleh bibiku."
"Oh! Nilan Siocia menyuruhmu membawa pesan bagiku?" tanya Nyo Hun-cong
pula. Orang ini memanggut dan mengeluarkan selembar kulit domba dari sakunya, ia
menyerahkan barang ini berbareng berkata, "Siocia telah melahirkan anak
perempuan yang mungil!"
Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyo Hun-cong terperanjat sekali, demi mendengar kabar ini, kedua tangannya
sampai bergemetaran, ia menyambut kulit domba ini dan dibaca, ternyata
memang betul adalah tulisan Nilan Ming-hui sendiri yang mengabarkan
lahirnya sang bayi.
Dalam surat dikabarkan lagi bahwa bayi ini karena lahirnya lebih dulu belasan
hari sebelum tiba bulannya, maka badannya agak lemah dan menguatirkan,
pada akhirnya diharapkan agar Nyo Hun-cong bisa pergi menyambangi dia
sekali lagi. Seketika itu Nyo Hun-cong terperanjat bercampur girang pula, rasa
girangnya jauh lebih besar melebihi rasa terkejutnya.
Sebelum ini, walaupun ia sangat mencintai Nilan Ming-hui, tetapi ia selalu
berpendapat bahwa perasaan itu tidak begitu kokoh, tetapi kini, ia merasa
dirinya dan Nilan Ming-hui sudah terjalin menjadi satu, rasa menyesalnya
kepada Hui-ang-kin lambat-laun pun lenyap.
Ia telah begitu mencintai anak yang belum pernah bertemu muka itu, ia ikut
berkuatir dengan kelemahan badannya, ia membayangkan bagaimana anak itu
menjerit dan menangis.
Setelah menyimpan surat kulit domba itu dengan cepat pula pikirannya pun
telah mengambil satu keputusan, ia akan menghadapi segala kemungkinan
bahaya untuk pergi menengok anaknya.
Waktu Nyo Hun-cong berangkat dari padang rumput Garsin menuju kota Ili,
sementara itu Nilan Ming-hui pun sudah kembali ke kota itu.
211 Nilan Ming-hui yang biasa berlatih silat, badannya sangat sehat, walaupun
baru melahirkan anak, tetapi lewat sebulan ia sudah pulih seperti biasa lagi.
Serdadu-serdadu wanita itu semua adalah pengawalnya, semua ikut menjaga
anaknya dengan baik, maka tiada satupun yang membocorkan rahasianya.
Setelah ia kembali ke istana, ia menyerahkan bayi itu pada Naima agar bila
diketahui ibunya dapat beralasan bayi itu adalah asuhan Naima.
Nilan Hujin yang melihat putrinya sudah kembali, di samping senang iapun
mengomeli. "Nak, mengapa sekali kau pergi sampai lebih setengah tahun lamanya,"
katanya sambil merangkul Ming-hui, "Sekalipun berburu adalah permainan
yang menyenangkan, tetapi toh jangan begitu lama, lihatlah rumahmu telah
dibikin onar orang semacam ini, ayahmu pun pergi bertempur di tempat yang
jauh, penyamun wanita itu begitu datang lantas mengobrak-abrik di sini,
orang-orang kita begitu banyak tetapi satu pun tak dapat menangkapnya,
sungguh aku ketakutan sekali, apabila kau ada di sini, tentu bisa memberi juga
sedikit ajaran pada penyamun wanita itu!"
Mendengar penuturan ibunya ini, Ming-hui hanya diam saja, ia tak berani
memberitaku pada ibunya bahwa penyamun wanita itu adalah Hui-ang-kin yang
namanya telah tersohor itu, ia lebih-lebih tak berani memberitahu bahwa
terhadap penyamun wanita itu ia memang membencinya tetapi juga menyukai
pula. Memang, sejak Hui-ang-kin membikin onar tempat persembunyiannya di
padang rumput dan telah membunuh habis begal-begal kuda, bahkan
menghadiahkan mutiara pada bayinya, pandangannya terhadap Hui-ang-kin
telah ada sedikit perubahan, tentu saja ia masih merasa benci, ia benci
karena Hui-ang-kin telah merebut sebagian hati Nyo Hun-cong, tetapi kini ia
sudah tak menganggap Hui-ang-kin sebagai musuh lagi. Hui-ang-kin dalam
pandangannya kini bukan lagi 'iblis perempuan', tetapi adalah seorang
pahlawan wanita yang berbudi luhur.
Nilan Hujin yang melihat putrinya seperti sedang merenung, ia merasa heran.
"Kenapa, nak" Ayahmu biasa suka memuji ilmu silatmu, apakah kau juga takut
pada penyamun wanita itu," tanyanya.
212 "Ibu," jawab Nilan Ming-hui dengan tersenyum getir, "Aku sudah mendengar
ceritanya dari pelayan, kepandaian penyamun wanita itu pun jarang ada
tandingannya, dikua-tirkan kepandaianku betul-betul bukan tandingannya."
Mendengar kata putrinya itu, Nilan Hudjin tertawa terbahak-bahak.
"Ternyata kaupun takut dia," katanya, "Beberapa hari yang lalu aku masih
kuatir penyamun wanita ini akan kembali lagi, akan tetapi kini sedikitpun aku
sudah tak perlu kuatir lagi."
"Kenapa" Apakah ayah telah mengundang pula jago-jago silat?" tanya Nilan
Ming-hui. "Bukan ayahmu yang telah mengundang." kata Nilan Hujin, "Melainkan Nikulo
yang mengundang mereka. Nikulo sebelumnya sudah rnemberitahu ayahmu,
maka ayahmu pun mengirim kabar dan menyuruh mereka sementara boleh
tinggal dalam istana sini."
"Kenapa" Bukan seorang saja, tetapi 'mereka', jadi ada beberapa orang?"
tanya Nilan Ming-hui.
"Aku dengar katanya dari golongan apa yang dinamakan 'Thian-liong-pay' dari
Tibet," Nilan Hudjin menerangkan, "Mereka dipimpin oleh seorang yang
disebut Thian-bong Siansu, semuanya telah datang delapan belas orang,
Nikulo mengatakan bahwa Kiamsut dari Thian-liong-pay adalah nomor satu di
daerah barat, tetapi jika dibandingkan dengan jago-jago jaman ini, gurunya
sendiri Ce Cin-kun terhitung paling tinggi, Hui-bing Siansu terhitung nomor
dua, sedang ketua Thian-liong-pay dari Tibet ini boleh menduduki nomor tiga!"
Mendengar cerita itu, dalam hati diam-diam Nilan Ming-hui merasa geli, ia
geli Nikulo ternyata sembarangan menyebut Ce Cin-kun dengan Kiamsutnya
yang belum pernah ia saksikan berada pada urutan nomor satu, tetapi kalau
melihat sedikit kepandaian Nikulo sendiri, bagaimanapun gurunya tak akan
bisa melebihi Hui-bing Siansu. Mengenai Cosu atau ketua Thian-liong-pay yang
bernama Thian-liong Siansu, ia pernah mendengar ceritanya dari Nyo Huncong
yang pernah seorang diri datang ke Tibet dan bertukar pendapat
mengenai ilmu pedang dengan Thian-liong Siansu dan telah dapat
menundukkan murid dari Thian-liong-pay. Maka pikirnya Thian-liong Siansu
213 saja tak dapat menandingi Nyo Hun-cong bagaimana bisa menduduki tempat
ketiga. Sementara itu, Nilan Hudjin telah melandjutkan pula ceritanya.
"Thian-liong-pay mempunyai delapan belas jago yang menerima undangan
Nikulo, katanya disebabkan oleh karena mempunyai dendam pada seorang
yang bernama Nyo Hun-cong. Aku pernah mendengar dari ayahmu sendiri,
katanya orang yang disebut Nyo Hun-cong ini adalah musuh besar kita."
Nilan Ming-hui mendadak seperti tertusuk, pikirnya dalam hati, "Ha, kiranya
mereka datang karena hendak membalas dendam. Thian-bong Siansu ini
adalah Sute Thian-liong Siansu, keahlian silatnya tentu tidak di bawah
Suhengnya, mungkin karena Thian-liong kurang enak maju ke muka sendiri
maka telah menyuruh Sutenya untuk mencoba kepandaian Nyo Hun-cong
walaupun tinggi, kalau bertanding satu lawan satu pasti tak akan kalah, tetapi
jika sendirian harus menghadapi delapan belas orang jago, dikuatirkan tidak
dapat menandingi."
Belum lama ini Ming-hui menyuruh keponakan Naima mengirim surat pada Nyo
Hun-cong dan mengharap pemuda ini diam-diam datang menyambangi dia di
Ili, kini mendapat kabar yang demikian ini, sebaliknya ia menjadi kuatir dan
mengharap Hun-cong jangan datang.
Akan tetapi akhirnya Nyo Hun-cong datang juga. Di padang rumput yang
sementara sudah aman tiada kejadian apa-apa, pemuda ini lantas berpamitan
pada kepala suku Kazak. dengan perjalanan siang dan malam ia lantas menuju
kota Ili. Hun-cong sudah mengenangkan Nilan Ming-hui, dan juga mengenangkan anak
perempuannya yang belum pernah ia lihat itu, ia bermaksud akan membawa
keluar Nilan Ming-hui ibu dan anak. Ia tak menghendaki anak perempuannya
dibesarkan dalam lingkungan keluarga jenderal Boan-cu.
Malam ini, kembali adalah satu malam yang gelap gulita dan angin meniup
santer. Hun-cong dengan mengandalkan ilmu mengentengkan tubuhnya yang
tinggi diam-diam telah memasuki kota Ili dan menyelundup masuk ke dalam
istana jenderal, sewaktu melayang masuk ia telah melihat ada beberapa
bayangan orang di atas genteng, tetapi ia tak ambil pusing, dengan
Kisah Pedang Di Sungai Es 18 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Istana Pulau Es 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama