Ceritasilat Novel Online

Panji Tengkorak Darah 10

Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Bagian 10


"Aku.......!" sekonyong-konyong terdengar suara nyaring disusul dengan melesatnya sesosok bayangan ke tengah gelanggang.
Hadirin sekalian terkejut. Itulah pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay. Sekalipun dalam dunia persilatan nama partai Kaypang itu tak tinggi kedudukannya, tetapi termashyur sebagai partai yang jujur dan adil. Apalagi Thiat-ik Sin-kay adalah ketua angkatan terdahulu dari Kay-pang. Mereka yakin akan kesaksian ketua Kay-pang itu yang tentu tak bohong. Tetapi anehnya, soal masuknya Wajah seribu ke dalam Sin-bu-kiong itu tak banyak menimbulkan keheranan sekalian hadirin. Hal ini dikarenakan sebagian tokoh-tokoh yang hadir tak mempunyai dendam permusuhan dengan Sin-bu-kiong.
Wajah seribu tertawa, "Nah sekarang kau harus menjawab pertanyaanku tadi!"
Jenddot perak berseru dengan nyaring, "Sekalipun kebinasaan rombongan partai Ji-tok-kau itu karena perbuatan Raja kutu Coh Seng, tetapi kaulah yang menjadi biang keladinya. Coh Seng hanya menerima perintahmu saja. Adapun mengenai kedatanganku di Tiong-goan, memang mempunyai dua tujuan. Pertama, hendak mengikat persahabatan dengan kaum ksatria daerah Tiong-goan dan kedua, hendak membantu ksatria Tiong-goan membasmi dua benggolan yang mengancam keselamatan dunia persilatan...!"
"Siapakah yang kau maksudkan dengan dua benggolan itu?"
"Hek Gak dan Sin-bu-kiong"..!" sahut Jenggot perak. "Yang pertama adalah seorang durjana ganas. Sepal terjangnya pada enam puluh tahun berselang tak mudah dilupakan sekalian kaum persilatan. Kini dengan tipu daya, dia berhasil mengikat Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi. Membangun markasnya di gunung Tang-san dan bermaksud hendak menguasai dunia persilatan. Sedangkan Sin-bu-kiong pun lebih licik dan hina lagi. Dia memfitnah dan memalsukan panji Tengkorak darah agar kaum persilatan membenci Hun-tiong Sin-mo. Dengan memperoleh dukungan sekalian kaum persilatan, dia hendak membasmi Hun-tiong-san dan kemudian merajai dunia persilatan.
Apabila kedua durjana ini berhasil melaksanakan rencananya, kaum persilatan pasti akan melewati hari-hari yang menyedihkan!"
Mata Wajah seribu berkeliaraan ke empat penjuru. Ia tertawa senyaring-nyaringnya, "Apakah sekalian hadirin percaya pada ocehan si tua bangka ini?"
Para hadirin tak berani menjawab. Mereka takut menderita akibat yang tak di nginkan.
Seketika berobahlah muka si Wajah seribu, "Soal ini baiklah kita tangguhkan dahulu. Sekarang aku hendak bertanya padamu....." ia berhenti untuk tertawa, kemudian melanjutkan pertanyaannya, "Apakah kau mengundang Hun-tiong Sin-mo?"
Jenggot perak terkesiap, kemudian menyahut samar-samar, "Benar!"
"Apakah saat ini dia juga hadir?"
"Tentu saja!" sahut Jenggot perak.
Keterangan ketua Thiat-hiat-bun itu menimbulkan kegemparan dalam rapat. Sekalian orang saling pandang-memandang, tetapi mereka tak atahu yang manakah tokoh Hun-tiong Sin-mo itu.
Kecuali beberapa gelintir tokoh persilatan, boleh dikata kaum persilatan pada umumnya menganggap Hun-tiong Sin-mo itu sebagai tokoh dalam dongeng yang ajaib. taks eorangpun yang pernah melihat wajahnya.
Juga Wajah seribu tak henti-hentinya menyapukan mata ke empat penjuru. Serunya pula, "Kalau dia benar sudah hadir, mengapa tak diperkenalkan dengan sekalian hadirin?"
"Apa gunanya diperkenalkan" Apakah kau bersedia menempurnya sampai mati?" sahut Jenggot perak.
Wajah seribu berobah air mukanya. Pada lain saat ia tertawa congkak, serunya "Memang aku mempunyai maksud begitu!"
"Karena kau sendiri yang meminta, biarlah kukabulkan permintaannmu itu!" tiba-tiba terdngar lengking suara wanita.
Dan pada lain saat Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun melayang di hadapan Wajah seribu.
Terdengar seruan tertahan dari mulut Wajah seribu dan teriakan gemuruh dari para hadirin. Hampir mereka tak percaya bahwa momok yang begitu disohorkan karena keganasannya, ternyata hanya seorang wanita yang bertubuh langsing kecil.
Sesaat terbangun dari ketegunan. Wajah seribu menghambur tertawa nyaring, "Siapa kau" Anak perempuan dari Hun-tiong Sin-mo atau cucunya atau?"?"
"Aku inilah Hun-tiong Sin-mo!" bentak Cu Giok-bun.
Masih Wajah seribu tertawa gelak-gelak, "Aneh, siapakah yang tak tahu kalau Hun-tiong Sin-mo seorang lelaki tinggi besar" Mengapa kini berobah menjadi seorang wanita?""
Cu Giok-bun tertawa dingin, "Di hadapan sekalian ksatria dari seluruh penjuru, biarlah kusingkapkan rahasia ini. Hun-tiong Sin-mo Teng Ih-hui adalah mendiang guruku. Sebelum menutup mata, beliau telah menurunkan seluruh kepandaiannya padaku. Beliau meninggalkan pesan bahwa turun temurun, kaum Hun-tiong-san hanya boleh mempunyai seorang murid tunggal dan pewaris itu harus tetap memakai nama Hun-tiong Sin-mo, serta tinggal di gunung Hun-tiong san. Maka?"."
Sekalian orang gagah terlongong-longong mendengar keterangan itu. Mereka setengah tak percaya..
"Ngaco belo, keterangan itu sukar kupercaya!" teriak Wajah seribu.
"Kalau tak percaya, mengapa kau tak mencoba?" Cu Giok-bun tertawa dngin.
"Baik, memang aku ingin menguji kesaktian kaum Hun-tiong-san yang dishorkan itu!" Wajah seribu tertawa seraya bergeser maju. Ia tetap tak percaya yang dihadapannya itu adalah Hun-tiong Sin-mo. Maka iapun bersikap acuh tak acuh.
"Tetapi Hun-tiong-hu mempunyai sebuah peraturan. JIka bertempur dengan orang, tak pernah membiarkan orang itu hidup!"
"Asal kau mempunyai kemampuan begitu, matipun aku rela!" teriak Wajah seribu. Tiba-tiba ia menamparkan tangannya dan serentak dengan itu tubuhnya bergoyang dan pecah menjadi beberapa sosok bayangan.
Sekalian hadirin tercengang kaget.
"Baik, akan kupenuhi keinginanmu!" teriak Hun-tiong Sin-mo seraya menghantam. Yang dituju hanya sesosok bayangan saja. Padahal beberapa bayangan berhamburan menerjangnya, sehingga sekalian hadirin sama
mengucurkan keringat dingin.
Dess" terdengar bunyi mendesis dan beberapa sosok bayangan itupun lenyap. Cu Giok-bun dan Wajah seribu sama-sama tegak di tempat masing-masing. Tampaknya pertukaran pukulan itu berimbang kekuatannya.
Wajah Cu Giok-bun dingin membeku, serunya, " Enam puluh tahun lamanya, belum pernah peraturan Hun-tiong-hu dilanggar. Coba saja, apakah kau mampu melanggar peraturan itu!"
Kelima jarinya dipentang dan dicengkeramkan kepada lawan"
Wajah seribu baru saja mengadu pukulan dan sadarlah ia akan tenaga lawan. Meskipun pukulan lawannya tak membuatnya mundur, tetapi ia cukup tergetar hatinya.
Jelas tenaga pukulan lawan itu mengandung daya dorong yang luar biasa?"
Sebelum ia sempat menilai lebih jauh, cengkeraman jari Cu Giok-bun sudah merangsaknya. Tampaknya gerakan wanita itu biasa dan perlahan., tetapi sebenarnya Cu Giok-bun tengah melancarkan jurus yang sangat ganas.
Wajah seribu tak berani berayal, cepat ia hendak menangkis, tetapi ia terlambat. Ilmu yang paling diandalkan hanyalah Pek-pian-mo-ing, merobah diri menjadi seratus bayangan. Tetapi ia lupa bahwa lawan mahir juga dalam ilmu melihat langit mendengar bumi, maka Pek-pian-mo-ing tak berguna sama sekali.
Cu Giok-bun kali ini telah melancarkan serangan yang sangat telengas sekali. Jauh lebih hebat dari pukulan-pukulan yang dilepaskan Jenggot perak tadi.
Seketika Wajah seribu merasakan dadanya sakit sekali. Tak dapat ia bertahan lagi. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah dan sempoyongan hendak jatuh.
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun meloncat maju dan menyusuli pula dengan sebuah tamparan. Segumpal sinar merah menghambur, disusul dengan segulung asap.
Sebelum Wajah seribu sempat mengerang, ia sudah roboh di tanah menjadi sesosok tubuh yang telah hangus"..
Hun-tiong Sin-mo telah menggunakan ilmu pukulan Cek-koay-ciang yang dilampiri tenaga penuh. Pukulan pusaka Hun-tiong-hu yang tak pernah gagal selama enampuluh tahun.
Sebenarnya Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun sudah gemas dengan tingkah laku Wajah seribu yang telah membakar markas besar Tiam-jong-pay. Tetapi karena selama itu ayahnya yang menghadapiny, ia tak mau menyinggung perasaan ayahnya dan membiarkan sang ayah yang menyelesaikan.
Tetapi kini di hadapan ratusan ksatria dari seluruh penjuru, Wajah seribu berani meremehkan dirinya, benar-benar tak dapat diberi ampun lagi. Untuk menegakkan kewibawaan Hun-tiong-hu yang sudah enam puluh tahun merajai dunia persilatan, Cu Giok-bun terpaksa harus membunuh lawannya.
Pemandangan yang sengeri itu membuat sekalian hadirin serentak berdiri. Mereka terkejut melihat kesaktian Hun-tiong Sin-mo yang sedemikian hebatnya. Kini baru mereka terbuka matanya, bahwa Hun-tiong Sin-mo yang disohorkan itu ternyata memang tidak bernama kosong.
Jerit teriakan kaget-kaget ngeri, berkumandang memenuhi gelanggang pertempuran!
Bahkan Jenggot perak sendiripun tak urung terkesiap dalam hati. Ia tak menyangka kalau anak perempuannya itu memiliki ilmu pukulan yang sedemikian saktinya.
"Ayah tak mengira kalau Hun-tiong Sin-mo memiliki pukulan yang sedemikian saktinya....!"
(bersambung ke jilid 26)
Jilid 26 . Lam-yau dan Pak-koay
Kini barulah sekalian hadirin percaya bahwa wanita yang tegak di tengah gelanggang itu memang benar Hun-tiong Sin-mo.
Sekonyong-konyong terdengar serangkum gelak tawa yang riuh. Sekalian hadirin gempar. Sesaat kemudian tampak serombongan orang masuk. Yang mengantar adalah beberpa anak buah Thiat-hiat-bun dan Tiam-jong-pay.
Dan ternyata yang diantar adalah rombongan Sin-bu-kiong dan Hek Gak.
Berpuluh-puluh anak buah Sin-bu-kiong dan Hek Gak dengan dipimpin sendiri oelh ketuanya telah tiba!
Jelas bahwa kedua partai itu memang telah bersepakat untuk datang bersama-sama. Dan jelas pula, bahwa kedua partai itu telah bertekad hendak menghadapi Thiat-hiat-bun, Tiam-jong-pay dan Hun-tiong-hu.
Sesaat masuk di ruangan petemuan, ketua Hek Gak dan Sin-bu Te-kun segera memberi salam kepada hadirin.
"Karena ada urusan, kami datang terlambat. Harap sekalian saudara memaafkan!"
Ucapan itu mendapat sambutan gemuruh dari hadirin. Karena rata-rata mereka ngeri dan benci melihat keganasan Hun-tiong Sin-mo tadi.
Jenggot perak tertawa gelak-gelak, "Kami kira saudara berdua tak sudi datang. Apabila demikian, sebenarnya kami hendak mengunjungi istana kalian. Siapa tahu ternyata saudara sudi memenuhi undangan kami, sehingga kami tak perlu bersusah payah mengadakan perjalanan lagi!"
Marah benar Sin-bu Te-kun mendapat sambutan begitu. Serunya, "Menekan kaum persilatan, mengganas partai Ji-tok-kau dan merangkul momok Hun-tiong Sin-mo yang bergelimang darah. Hm, kedatanganku kemari adalah hendak membasmi kuman berbahaya dalam dunia persilatan!"
Jenggot perak melantang, "Memalsukan panji Tengkorak darah, memfitnah orang, membujuk kaum persilatan untuk mencapai tujuan menguasai dunia persilatan, itulah akal busukmu, hai setan laknat!"
"Percuma banyak bicara! Pepatah mengatakan, kalau menang menjadi raja, kalau kalah menjadi buronan. Lebih dulu lenyapkan merka saja....... " tukas ketua Hek Gak.
"Kau benar, saudara Kongsun..... " Sin-bu Te-kun cepat balas memutus omongan. Kemudian ia menuding pada Cu Giok-bun, "Hun-tiong Sin-mo Teng Ih-hui sudah mampus. Jika saudara Kongsun hendak membalas hinaan dulu, balaslah pada wanita itu!"
"Siapakah dia?" ketua Hek Gak terkesiap.
Sin-bu Te-kun tertawa, "Dia adalah murid pewaris Hun-tiong Sin-mo teng Ih-hui, atau anak perempuan ketua Thiat-hiat-bun!"
Tiba-tiba ketua Hek Gak tertawa mengekeh, "Heh,he, kiranya si tua Teng Ih-hui itu sudah mampus! "
"Kalau dapat membunuh perempuan itu juga sama artinya!" Sin-bu Te-kun tertawa dingin.
Ketua Hek Gak mendengus, "Tentu! Setelah membunuh, aku tetap hendak ke gunung Hun-tiong-san untuk
merangket mayat Teng Ih-hui sampai tiga ratus kali....." tiba-tiba ia menuding pada Cu Giok-bun dan berseru memberi perintah, "Lekas ringkus perempuan itu dan cincang dagingnya!"
Dua lelaki yang berdiri di belakang, yang satu Bok Sam-pi dan yang satu seorang tua bertubuh kurus, segera melesat maju.
Cu Giok-bun tertawa datar. Menghadapi Bok Sam-pi dan si tua kurus, ia berseru, "Jika kalian tak ingin cari mati, harap tinggalkan tempat ini saja!"
"Mah, hati-hatilah terhadap si gemuk. Dia adalah Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi"." buru-buru Siau-bun memberi peringatan kepada ibunya. "Dia diberi obat bius oleh ketua Hek Gak, hingga lupa ingatan.!"
"Aku sudah tahu, kau urus dirimu sendiri sajalah!" sahut Cu Giok-bun dengan dingin.
Bok Sam-pi tak mau bicara. Diam-diam ia mengerahkan lwekang dan tiba-tiba menghantam. Juga si tua kurus tak bicara. Sepuluh jarinya yang runcing macam cakar segera dicengkeramkan. Gerakan itu menimbulkan angin mendesis-desis. Suatu tanda bahwa ilmu orang kurus itu telah mencapai tingkat yang tinggi.
Cu Giok-bun hanya mendengus. Ia menggunakan telunjuk jari kiri dan pukulan tangan kanan untuk menangkis.
Sekaligus ia menyambut dua buah serangan dari tokoh-tokoh sakti.
Tiga tokoh sakti yang berilmu tinggi berbareng adu tenaga. Hadirin sekalian mengira bakal menyaksikan kejadian yang dahsyat. Tetapi alangkah terkejutnya mereka.
Ketika tenaga ketiga orang itu saling berbenturan, di luar dugaan sebagian besar kekeuatan tenaga itu buyar lenyap.
Tampaknya gerakan ketiga tokoh itu tidak menggunakan tenaga.
Tetapi dari wajah mereka bertiga yang berobah gelap, terlihat bahwa sebenarnya mereka sedang melakukan pertempuran yang dahsyat. Dibandingkan dengan adu pukulan yang mengeluarkan suara dahsyat, jauh lebih hebat beberapa kali.
Sebagian besar dari hadirin adalah jago-jago silat yang memiliki ilmu lwekang. Serentak mereka berdiri dan memperhatikan dengan seksama pada ketiga tokoh yang sedang adu kekuatan itu.
Sin-bu Te-kun mengekeh sinis, "Lu tua, kau pun jangan menjadi penonton saja. Aku telah mengundang dua sahabat untuk mengadu kepandaian dengan engkau!"
Jenggot perak tertawa, "Karena ada tamu agung, aku tentu akan melayani!"
Sin-bu Te-kun tertawa meloroh, lalu memberi isyarat kepada rombongannya. "Orang tua ini adalah ketua Thiat-hiat-bun. Jika kedua saudara suka, boleh bermain-main dengannya!"
Dua lelaki berwajah buruk seperti siluman, melangkah ke depan. Mereka memberi hormat kepada Jenggot perak,
"Sebenarnya hasrat kami dua bersaudara hendak mengukur kepandaian dengan Hun-tiong Sin-mo, demi membalas kematian Wajah seribu. tetapi karena Hun-tiong Sin-mo sudah ada lain saudara yang melayani, maka kami ingin bermain-main dengan saudara saja!"
Kedua orang perawakannya sama. Hanya yang satu berpakaian warna putih dan yang satu berwarna hitam. Sepasang mata mereka menonjol keluar, rambutnya terurai sampai ke bahu. Sepintas pandang mirip dengan setan.
Jenggot perak tertawa nyaring, serunya, "Lam-yau dan Pak-koay, sungguh beruntung dapat berjumpa dengan kalian!"
Memang kedua orang berwajah seram itu adalah Lam-yau (siluman selatan) dan Pak-koay (manusia aneh dari utara).
Jenggot perak maju selangkah, ujarnya, "Karena saudara berdua mendapat perintah dari Sin-bu Te-kun, silakan saja.
Aku tentu akan melayani dengan gembira!"
Merah wajah kedua orang itu. Serempak mereka melengking. "Ngaco! Cukup dengan mengenal kami berdua kakak beradik saja, masakah dapat diperintah orang!"
Sin-bu Te-kun tertawa nyaring, "Harap saudara jangan pedulikan ocehan yang memanaskan dari setan tua itu. Aku pasti membantu saudara!"
Lam-yau dan Pak-koay saling berpandangan. Pada lain saat merekapun segera menyerang berbareng.
Gaya serangan mereka aneh sekali. Yang satu membentuk jarinya seperti cakar baja. Yang lain tidak meyerang dengan jari atau tinju, tetapi dengan siku lengan. Keduanya mirip dengan orang tolol.
Jenggot perak tak berani memandang remeh. Ia duga mereka tentu menggunakan ilmu silat yang istimewa. Iapun serentak menggerakkan kedua tangannya menyambut kedua lawan.
Dar". terdengar getaran keras dan ketiga tokoh itu masing-masing mundur tiga-empat langkah. Jelas bahwa kekuatan mereka berimbang.
Lam-yau dan Pak-koay menggembor keras, lalu mengayunkan tubuh menerjang lagi. jenggot perakpun tak mau kalah hawa. Ia juga menggerung keras dan menyongsong.
Saat itu di gelanggang rapat Eng-hiong-tay-hwe telah terjadi dua kelompok pertempuran yang dahsyat. Hun-tiong Sin-mo dikeroyok Bok Sam-pi dan si tua kurus. Jenggot perakpun dikerubut Lam-yau dan Pak-koay. Pertempuran yang dilakukan oleh tokoh-tokoh itu, lain dari yang lain. Begitu dahsyat dan rapat sehingga sukar dipisah dan dibedakan satu dengan yang lain.
Kesempatan itu tak disia-siakan ketua Hek Gak. Ia segera menghampiri Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay, "Karena tak ada musuh, maka kaulah yang akan kuganyang!"
Kata-kata itu ditutup dengan sebuah pukulan dahsyat. Li Cu-liong tak berani berayal. Ia menyongsong dengan kedua tangannya.
Bum.... terdengar letupan keras dan Li Cu-liong terhuyung-huyung ke belakang. Hal itu jelas menunjukkan bahwa tenga ketua Tiam-jong-pay masih kalah jauh dibandingkan ketua Hek Gak!
Ketua Hek Gak tertawa mengekeh, "Ho, kantong nasi yang tak berguna, lekas serahkan jiwamu!"
Ia membarengi meloncat dengan sebuah pukulan. Pada saat Li Cu-liong terancam maut, sekonyong-konyong terdengar bentakan nyaring dan meluncurnya empat sosok tubuh, yang serentak menangkis pukulan ketua Hek Gak.
Keempat orang itu ternyata Thiat-hiat Su-kiat atau empat pahlawan Thiat-hiat-bun.
Betapapun saktinya ketua Hek Gak, namun ia tetap tak mampu menahan tenaga empat jago sakti dari Thiat-hiat-bun.
Seketika ketua Hek gak terhuyung-huyung ke belakang, hampir saja ia roboh.
Melihat itu empat orang su-cia dari Hek Gak pun tak tinggal diam. Mereka cepat melompat menerjang empat su-kiat dari Thiat-hiat-bun. Seketika suasana menjadi gaduh dengan pertempuran amuk-amukan.
Sin-bu Te-kun tertawa mengekeh pula. Sekali melambaikan tangan, terdengarlah tambur berbunyi menggemuruh.
Ternyata di dalam rombongannyapun terdapat beberapa tokoh yang memiliki Im-in sin-kang ( suara sakti). Delapan orang duduk sambil memukul tambur. Nadanya makin tinggi dan hati setiap orang yang berada di situ seperti dipalu....
Dara Pok Lian-ci yang sejak tadi terlongong-longong mengawasi ribut-ribut itu, tampak gelagapan. Buru-buru ia menjemput tambur kecil di belakang bahunya, lalu ditabuhnya.
Sekalipun hanya sebuah tambur kecil, tapi nadanya hebat sekali. Udara seolah-olah penuh dengan kumandang bunyi tambur dan bumi serasa bergetar-getar.
Kedelapan orang penabuh tambur dari rombongan Hek Gak tadi, segera menghentikan pukulannya. Mereka tak dapat menahan desakan bunyi tambur si dara.
Pertempuran secara massal segera terjadi. Ke tiga puluh enam Tian-kong, tujuh puluh dua Te-sat dari Thiat-hiat-bun segera terjun dalam gelanggang, disambut oleh jago-jago Hek Gak dan Sin-bu-kiong.
Sekonyong-konyong Sin-bu Te-kun memekik keras. Tubuhnya mencelat ke udara dan dengan gaya Jip-hau-kin-kau (
masuk ke laut menangkap naga), ia meluncur ke arah Bu-song dan Siau-bun.
"Cici Bun, lekas Tui-hong-kiongmu!" seru Bu-song kepada Siau-bun. Dan ia sendiri segera menaburkan tiga batang Hong-thau-kiong (passer berkepala burung Hong).
Siau-bun cepat melakukan seruan si dara. Serangkum passer Tui-hong-kiong ( passer pemburu angin) segera ditaburkan.
Sin-bu Te-kun hanya mengekeh tertawa, "Ho, budak perempuan, hari ini kalian tentu akan mati di tanganku!"
Tubuhnya bergetaran di udara, disusul oleh dering gemerincing dari passer Hong-thau-kiong dan Tui-hong-kiong yang berhamburan jatuh di tanah.
Medan pertempuran kacau seketika. Hadirin serempak bubar. Meja berantakan, hidangan tumpah ruah. Mereka menyingkir karena tak mau ikut bertempur.
Saat itu Bu-song dan Siau-bun pun terkesiap kaget.Untung saat itu pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay segera bertindak menolong. Ia loncat menghantam Sin-bu Te-kun.
Tetapi Sin-bu Te-kun bukan tokoh sembarnagan. Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay terpental sampai setombak lebih jauhnya. Bu-song dan Siau-bun pun meundur belasan langkah.
Sin-bu Te-kun makin merangsak. Ia melepaskan sebuah pukulan lagi kepada kedua nona itu.
Sekonyong-konyong di udara terdengar suara gemboran keras dan sesosok tubuh melayang. Di tengah udara orang itu melontarkan sebuah pukulan kepada Sin-bu Te-kun....
Reuni Sin-bu Te-kun terkejut.
Yang paling ditakuti ialah Thian-leng. tetapi yang menyerangnya itu seorang yang tak dikenal, maka iapun tak gentar.
Di ringi dengan gemboran keras, ia menamparnya.
Lwe-kang yang dimiliki oleh Sin-bu Te-kun sudah mencapai tingkat yang hebat. Jarang orang yang kuat menerima pukulannya. Apalagi pukulannya saat itu dilakukan dengan cepat dan keras. Kalau tak mati atau luka berat, tentulah korbannya akan mencelat beberapa langkah.
Tetapi orang itu hanya tertawa mengejek . Tidak menangkis pukulan, melainkan hanya menghindar dan tetap melayang ke samping.
Sin-bu Te-kun terkejut bukan kepalang. Ilmu pelajaran Im-hu-po-kip, mengutamakan kecepatan. Tak mungkin orang akan dapat menghindar. Tetapi bahwa orang itu dengan mudah dan leluasa dapat menghindar, benar-benar ia tak menyangkanya.
Siau-bun dan Bu-song pun terkejut. Mereka tak kenal siapa pendatang itu. Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay sebenarnya hendak menegur pendatang itu, tetapi tak jadi.
"Siapa kau?" bentak Sin-bu Te-kun.
"Masakah kau tak dapat menduga!" sahut orang itu dengan nyaring.
Sin-bu Te-kun terbeliak. Ia hendak menjawab, tetapi suasana pertempuran tiba-tiba berobah. Yang pertama meloncat mundur ialah Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun.
Tetapi setelah meloncat mundur, ia hendak menyerang lagi. Tiba-tiba ia bersangsi, berhenti dan berpaling.
Sebenarnya pertempuran antara Bok Sam-pi dan si tua kurus melawan Cu Giok-bun , masih berjalan seimbang.
Sebenarnya kedua pengeroyok itu kewalahan. Melihat Cu Giok-bun tiba-tiba mundur, merekapun mendapat kesempatan untuk memulangkan napas.
Wajah Jenggot perak pun berobah. Secepat kilat ia melontarkan tiga buah pukulan untuk mendesak mundur Lam-yau dan Pak-koay, lalu jago Thiat-hiat-bun itu mengenjot tubuhnya ke udara dan melayang ke samping pendatang itu.
Lam-yau dan Pak-koay terkesiap. Merekapun memandang kepada si pendatang dengan tercengang.
Pok Lian-ci juga menghentikan tamburnya. Rombongan penabur dari Sin-bu-kiong sudah tak kuat. Dara itupun tak mau mendesak.
Anak buah Thiat-hiat-bun, Hun-tiong-san,Tiam-jong-pay, Hek Gak dan Sin-bu-kiong yang bertempur, karena melihat pemimpinnya berhenti, merekapun ikut berhenti.
Kini seluruh mata ditujukan ke arah pendatang yang tak dikenal itu.
"Thiat-beng.......!" tiba-tiba Jenggot perak berseru perlahan. Nadanya rawan, mata berlinang-linang.
Memang orang itu adalah Pok Thiat-beng, si Pedang bebas. Juga Thiat-beng berkaca-kaca menyambut, "Gak-hu"."
"Nak, beberapa tahun ini........."
"Panjang sekali ceritanya, tetapi siau-say ( anak mantu ) memang bersalah".." tukas Thiat-beng.
Jenggot perak menggoyangkan tangan, "Sudahlah jangan mengungkit hal yang lampau. Asal kau sudah tak kurang suatu apapun, sudahlah".." ia berpaling memandang Cu Giok-bun. "Apakah kau tahu Giok-bun".."
"Ya, aku bersalah padanya, aku?"." Thiat-beng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Sin-bu Te-kun tiba-tiba mundur selangkah dan menukas. "Oh, kiranya kau Pedang bebas Pok Thiat-beng?"".!"
"Kau baru tahu sekarang?" Thiat-beng menertawakan.
Sin-bu Te-kun tertawa sinis. "Tahu atau tidak, tidak penting. Aku hanya merasa kasihan padamu!"
"Ki Pek-lam!" bentak Thiat-beng, "Aku tak kenal padamu. Bagaimana si Ma Hong-ing dapat menjadi gundikmu!"
Sin-bu Te-kun tertawa mengekeh. "Itulah yang kukatakan kasihan! Banyak sekali hal yang tak kau ketahui. Sekalipun kau merengek-rengek sampai mati, jangan harap kuberitahukan......." ia sejenak mengedipkan matanya dan menyambung pula, "Kasihan puluhan tahun kau telah menderita....."
"Tutup mulutmu!" bentak Thiat-beng.
"Oh, oh, apakah kata-kataku menyinggung hatimu?" Sin-bu Te-kun mengejek.
Thiat-beng mengerutkan kening, "Asal kau serahkan Ma hong-ing, aku takkan memusuhimu!"
"Seumur hidup aku tak pernah menerima tekanan orang. Bagaimanapun pribadi Ma Hong-ing, tetap ia adalah permaisuri Sin-bu-kiong. Mana dapat diserahkan padamu!"
"Oh, kalau begitu kau hendak bermusuhan denganku!"
"Bukan hanya musuh, tetapi kita harus memutuskan siapa yang harus mati dan hidup..... " ia maju selangkah, mendengus, "Pok tayhiap..., ayolah mulai!"
Thiat-beng tertawa dingin, "Bukan karena aku tak sudi bertempur denganmu, sebenarnya......."
Sin-bu Te-kun tertegun, serunya, "Bagaimana" Kecuali kau sudah menyadari bahwa percuma untuk melawan...."
Thiat-beng tertawa, "Aku kuatir sekali turun tangan nyawamu amblas. Padahal jiwamu hendak kuserahkan pada orang lain...."
"Pok Thiat-beng, jangan terlalu sombong!" bentak Sin-bu Te-kun dengan murka. Cepat ia menghantam dengan pukulan Hian-im-ciang.
Ilmu pukulan Hian-im-ciang sebenarnya tergolong Im-khi-han-sin-kang ( ilmu sakti lwekang dingin). Sin-bu Te-kun telah mempelajari isi kitab Im-hu-po-kip. Dan ia menggunakan tenaga penuh dalam pukulannya itu. Sekalipun tampaknya tidak begitu dahsyat, tetapi dayanya bukan kepalang. Sekaligus dapat meremukkan sepuluh jago sakti.
Seluas dua tombak, saat itu terbaur oleh oleh hawa dingin yang menusuk tulang, sehingga sekalian orang menggigil kedinginan.
Thiat-beng mengerutkan dahi. Ia tahu bahwa pukulan lawan sukar dihindari. Ia harus menangkisnya. Tetapi sebelum ia bertindak, tiba-tiba terdengar getaran keras dan Sin-bu Te-kun terhuyung-huyung sampai tujuh-delapan langkah jauhnya!
Kiranya serangkum tenaga kuat tiba-tiba meluncur dari udara dan membentur pukulan Sin-bu Te-kun. Itulah tenaga pukulan Hian-im-ciang yang hebat. Datangnya pukulan itu benar-benar tak terduga sama sekali. Sin-bu Te-kun tak mampu mendengarnya. Pada saat menghantam Thiat-beng, ia sudah memperhitungkan bahwa tentu takkan ada orang yang membantu lawan. Bahwa Jenggot perak yang berada di samping Thiat-beng pun tak nanti dapat mengimbangi kecepatan serangannya itu!.
Bukan hanya Sin-bu Te-kun saja, tetapi semua hadirinpun kaget. Mereka menjerit terkejut.
Sesosok bayangan biru meluncur turun dari udara dan tegak berdiri di tengah-tengah Sin-bu te-kun dan Thiat-beng.
Kang Thian-leng......
"Bu-beng-jin, memang telah kuduga tentu engkau!" teriak Sin-bu Te-kun dengan murka.
Thian-leng telah melayang dari jarak sepuluh tombak jauhnya. Tetapi ia dapat menghantam Sin-bu Te-kun sampai mundur beberapa langkah.
"Aku bukan Bu-beng-jin lagi!" sahut pemuda itu.
"Eh, apakah kau sekarang sudah mempunyai nama" Siapakah namamu?" ejek Sin-bu Te-kun.
"Pok Thian-leng!"
"Ha, ha, ha, !" Sin-bu Te-kun tertawa tergelak-gelak, "oh, kiranya begitu. Kau...."
"Memakai nama ayah angkatku, apakah salah?"
"Baik, taruh kata kau Pok Thian-leng, tetapi ayah bunda kandungmu..... "
"Setan tua, kau berani mengoceh tak keruan" Hari ini hendak kucincang tubuhmu sampai hancur-lenur!" bentak Thian-leng dengan bengis, walaupun diam-diam hatinya pedih. Karena apa yang dikatakan Sin-bu Te-kun itu memang nyata. Sampai saat itu ia belum mengetahui asal-usulnya.
Begitu pula Sin-bu Te-kun. Sebenarnya ia juga kebat-kebit, mendengar ancaman Thian-leng. Ia sadar bahwa kepandaiannya sekarang kalah dengan pemuda itu. Begitu pula situasi pertempuran tadi, tak menunjukkan keuntungan apapun bagi pihaknya.
"Rupanya kau mengandalkan ilmu pelajaran It Bi siangjin!" serunya.
"Begitulah!" sahut Thian-leng.
"Kalau begitu pukulanmu tadi"."
"Ya, benar! Itulah yang disebut Coan-hun-ciang (pukulan menembus awan). Dalam jarak sepuluh tombak dapat menghantam mati orang. Lain-lain ilmu mungkin kau tak pernah dengar!"
Sin-bu Te-kun terkesiap, tetapi cepat ia tertawa, "Jangan membual! Sekalipun ilmu pelajaran It Bi siangjin tinggi, tetapi belum tentu sesakti itu". dan juga paling-paling kau hanya mempelajari beberapa jurus permainan saja!"
"Hm, sejak dahulu kala siapakah yang dapat mencapai kesempurnaan?" Thian-leng tertawa mengejek.
"Ya, memang hanya It Bi siangjin seorang," Sin-bu Te-kun menghela napas.
Sejenak menyapu pandangan ke sekeliling medan perjamuan, berkatalah Thian-leng, "Aku tak sudi banyak bicara dengan kau. Pertaruhan seratus jurus kita dulu, masih kurang delapan jurus. Sekarang di hadapan para tokoh-tokoh persilatan, seharusnya kita selesaikan!"
Wajah Sin-bu Te-kun berobah, "Dahulu bukankah kaupun pernah meminta-minta supaya diundur, bukan?"
"Jika kau minta mundur, akupun tak keberatan!" sahut Thian-leng,"Tetapi sebutkanlah waktu dan tempatnya!"
Sin-bu Te-kun tertawa, "Baiklah, nanti sepuluh hari lagi kutunggu kedatanganmu di istana Sin-bu-kiong!"
"Dan menyelesaikan sisa delapan jurus itu?"
"Bukan hanya delapan jurus itu saja, juga segala macam kepandaianmu boleh kau keluarkan!" sahut Sin-bu Te-kun dengan garang.
Thian-leng tertawa mengejek, "Baik, kali ini kuampuni jiwamu!" ia melirik tajam kepada lawannya, serunya, "tetapi apakah lain-lain cianpwe mau memberi ampun kepadamu atau tidak, terserah saja, aku tak berani mencampuri!"
Jenggot perak memandang sejenak kepada Pok Thiat-beng, Cu Giok-bun dan lain-lain, lalu tertawa gelak-gelak,
"Dalam hal ini aku dapat memberi keputusan. Kita setuju sepuluh hari lagi ke Sin-bu-kiong, bahkan akupun bersedia menjadi saksi!"
Sekalian orang diam saja.
Thiat-beng dan Giok-bun diam-diam mengerti, bahwa ayah mereka tentu sudah mempunyai rencana.
Pertama supaya mereka segera terangkap sebagai suami isteri lagi. Kedua supaya lekas dapat mencari Ma Hong-ing.
Karena hanya dari si bujang wanita yang beracun lidahnya itu dapat diketahui duduk perkara yang sebenarnya.
Dan ketiga, soal Thian-leng dengan Siau-bun dan Bu-song harus segera diselesaikan juga.
Di antara sekalian orang, Bu-songlah yang mempunyai pikiran tersendiri. Setelah mendapat keterangan dari Jenggot perak bahwa Thian-leng mati di tanganBok Sam-pi, bencinya terhadap Bok Sam-pi meluap-luap. Bu-song memutuskan, apabila hun-tiong Sin-mo dapat membunuh Bok Sam-pi, ia hendak mencincang tubuh si gemuk itu.
Tetapi andaikata Hun-tiong Sin-mo kalah, BU-song bertekad hendak mengadu jiwa dengan Bok Sam-pi.
Di luar dugaan, Thian-leng telah muncul dengan tak kurang sesuatu apapun, bahkan dengan membawa kesaktian yang mengagumkan, Bu-song sampai terlongong-longong tak dapat berbicara.
Juga Siau-bun tak kurang girangnya. Hampir saja ia tak dapat mengendalikan diri untuk menghampiri pemuda itu.
Tetapi karena malu dengan sekian banyak orang, terpaksa ia hanya berdiam diri saja. Paling-paling ia mencuri kesempatan melirik pemuda itu.
"Kalau begitu aku pulang dulu!" dengan gaya garang Sin-bu Te-kun yang licin segera menggunakan kesempatan.
Jenggot perak tertawa, "Dari jauh-jauh saudara datang kemari, mengapa terburu-buru hendak pulang?"
Sin-bu Te-kun terbeliak, "Apakah kau hendak mengajukan acara lain lagi?"
Jenggot perak tertawa, "Jangan kuatir, sahabat! Sekali sudah kusetujui pengunduran sepuluh hari itu, tak nanti aku berobah pikiran...." ia berhenti sejenak lalu berkata pula, "meskipun medan perjamuan ini sudah morat-marit, tetapi dalam setengah jam saja dapat diatur rapih lagi. Mengapa saudara tak mau menghadiri perjamuan para ksatria ini?"
Kerut wajah Sin-bu Te-kun agak mengendor, ujarnya, "Terima ksih, tetapi lebih baik aku pulang saja!" tanpa menunggu sahutan orang lagi, segera ia melangkah pergi. Berhenti di depan ketua Hek Gak, ia menggunakan ilmu menyusup suara, "Situasi berobah begini, apakah saudara Kongsun masih mempunyai rencana lain?"
Tiang andalan ketua Hek Gak hanyalah Bok Sam-pi. tetapi ternyata walaupun bok Sam-pi maju bersama si tua kurus, tetap tak dapat mengalahkan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Diam-diam hati ketua Hek Gak sudah gentar. Apalagi Pok Thiat-beng dan Thian-leng berturut-turut muncul, nyali ketua Hek Gak semakin rontok.
Segera ia menyahut dengan ilmu menyusup suara, "Akupun sudah kehilangan paham, harap saudara Ki memberi petunjuk!"
"Saudara masih mempunyai dendam dari enam puluh tahun silam," Sin-bu Te-kun tertawa, "Nafsu besar tetapi nyali kecil. Jika mempunyai rencana untuk menguasai dunia persilatan, tak boleh kita takut menghadapi kesulitan!"
Merahlah muka ketua Hek Gak, serunya, "Bagaimanakah pendapat saudara Ki!"
"Terus terang, aku sudah mempunyai rencana untuk mati bersama-sama mereka!"
Mendengar itu ketua Hek Gak terbelalak, tetapi cepat ia menegas, "Bagaimanakah caranya?"
"Telah dapat kuundurkan pertempuran kita sampai sepuluh hari lagi dan tempatnyapun kupilih di Sin-bu-kiong. Lihat saja apakah mereka nanti dapat keluar dari Sin-bu-kiong dengan masih bernyawa!" sahut Sin-bu Te-kun dengan bangga.
"Apakah saudara bermaksud....."
"Harap saudara Kongsun jangan mendesak pertanyaan lagi. Maksudku hanya hendak membantu saudara membuka jalan hidup!"
"Terserah pada kebijaksanaan saudara saja!" buru-buru ketua Hek Gak menyambuti dengan nada setengah merintih kasihan.
Sin-bu Te-kun tersenyum, "Asal saudara Kongsun mau meluluskan sebuah syaratku, kutanggung Hek Gak tentu takkan hancur, bahkan akan dapat bangkit kembali untuk menegakkan keharuman nama di dunia persilatan!"
"Jangankan hanya satu. Sepuluh buah permintaanpun aku bersedia menyanggupi!"
sahut ketua Hek Gak.
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun berganti nada serius, "Asal saudara suka mengajak anak buah saudara berkumpul di Sin-bu-kiong, kutanggung harapanmu tentu terlaksana".," ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Asal kita bersatu, siapakah yang dapat menandingi" Harap saudara Kongsun memberi keputusan!"
Ketua Hek Gak mengerutkan wajah dan menjawab terbata-bata, "Ini..... sebagai ketua Hek Gak aku....."
Permintaan Sin-bu Te-kun itu berarti menyuruh ketua Hek Gak takluk pada Sin-bu Te-kun. Suatu hal yang terlampau berat bagi ketua Hek Gak.
"Bagaimana" Apakah saudara keberatan!" Sin-bu Te-kun mendesak.
"Ya, ya, setuju, setuju....." akhirnya dengan wajah meringis, ketua Hek Gak menyahut, "memang seharusnya kubantu kesulitan saudara dalam pertempuran di Sin-bu-kiong nanti!"
Sekalipun kedudukannya terpojok, namun ketua Hek Gak berusaha untuk menjaga gengsi dengan ulasan kata-kata garang.
Tiba-tiba wajah Sin-bu Te-kun mengerut gelap, ujarnya, "Mungkin saudara belum menangkap kata-kataku. Maksudku agar saudara menggabung pada Sin-bu-kiong atau jelasnya supaya Hek Gak masuk menjadi anak buah Sin-bu-kiong.
Segala apa harus menurut perintahku......" ia berhenti sejenak, katanya pula, "tetapi hendaknya saudara Kongsun jangan cemas. Kesemuanya ini hanya rencana sementara. Begitu sudah berhasil, dunia persilatan akan menjadi di bawah kekuasaan Hek Gak dan Sin-bu-kiong! Aku pasti tak akan..."
Walaupun di dalam hati benci sekali, namun ia tak berdaya dan terpaksa batuk-batuk, "Ya, ya , aku menurut saja!"
Percakapan yang dilakukan oleh kedua tokoh itu menggunakan ilmu menyusup suara, sehingga orang lain tak mendengar sama sekali. Tetapi karena memakan waktu lama, Thian-leng pun tak sabar lagi, bentaknya, "Kalau tetap tak lekas enyah, jangan menyesal kalau keputusanku berobah menjadi tak menguntungkan dirimu!"
Ia menutup peringannya dengan sebuah tamparan. terdengar deru angin menggelegar dan teriakan kaget dari para hadirin....
Kiranya tamparan yang ditujukan pada Sin-bu Te-kun itu itu tidak langsung ditujukan pada orangnya, melainkan ke sebelahnya.
Seketika tanah seluas dua meter di sisi Sin-bu Te-kun meranggas hangus. Sampai beberapa lama api baru padam.
Sekalian orang terkejut bukan kepalang.
Pukulan yang dapat membakar tanah...... Di dunia persilatan mungkin tak ada orang kedua yang memiliki ilmu pukulan semacam itu.
Sin-bu Te-kun mundur beberapa langkah. Wajahnya pucat seperti kertas. Beberapa saat baru ia dapat menenangkan hatinya. Dengan dengusan mengejek yang disengaja untuk menutupi ketakutannya, segera ia memutar diri dan melangkah pergi.
Tiba-tiba terdengar raung seperti singa. Sesosok tubuh gendut loncat ke muka Thian-leng.
Thian-leng terkesiap, serunya, "Locianpwe, apakah kau sudah sembuh?"
Kiranya yang tegak di hadapannya itu ialah Bok Sam-pi, tokoh linglung yang bertubuh gemuk.


Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Buyung, ayo kita bertanding sejurus lagi!" Bok Sam-pi menggerung. Walaupun linglung, namun ia masih ingat akan pertempuran di gunung Thay-heng-san tempo hari.
Karena belum memperdalam ilmu ajaran It Bi siangjin, Thian-leng lebih parah lukanya, walaupun begitu Bok Sam-pi pun harus beristirahat lebih dari sebulan untuk memulihkan lukanya.
"Bok cong-hou-hwat!" cepat-cepat ketua Hek Gak meneriaki.
"Ya, hamba di sini!" Bok Sam-pi tertegun.
"Sebelum mendapat perintahku, tak boleh bertindak sendiri , mengapa kau".."
"Dalam kedudukan sebagai guru dan murid, siapakah yang harus mendengar perintah?" di luar dugaan Bok Sam-pi marah.
Jago tua itu selama hidup jarang menderita kekalahan. Bencinya terhadap Thian-leng benar-benar merasuk tulang. Ia tak menghiraukan peringatan ketua Hek Gak lagi.
Ketua Hek Gak semakin gelisah. Ia tahu bahwa kalau Bok Sam-pi menempur Thian-leng, tentu akan kalah. Tiang andalan satu-satunya hanyalah pada Bok Sam-pi. Jika Bok Sam-pi sampai kenapa-napa, ia tentu akan kehilangan tiang andalannya.
"Locianpwe, apakah kau tak ingat pada cucumu Bok Ceng-ceng?" masih Thian-leng bersabar. Dia berusaha hendak menyadarkan ingatan jago tua itu. Mungkin dengan mengemukakan Ceng-ceng, Bok Sam-pi akan pulih
kesadarannya. Di luar dugaan, usaha Thian-leng itu malah menimbulkan kebalikan. Bok Sam-pi marah sekali dan membentak-bentak, "Siapa suruh kau mengatakan anak perempuan itu!" sekoyong-konyong ia menghantam.
Thian-leng tahu bahwa orang tua itu masih hilang ingatannya. Maka ia tak mau menandingi dan hanya menghindar ke samping saja.
Bok Sam-pi terkesiap. Ia kaget menyaksikan kegesitan si anak muda menghindar. Tubuh Thian-leng berputar-putar seperti angin dan tahu-tahu sudah beberapa meter di sebelah kirinya.
"Suhu!" kembali ketua Hek Gak meneriaki dengan cemas.
Tetapi Bok Sam-pi tetap tak mau menghiraukan dan membentak Thian-leng, "Buyung, mengapa kau tak berani menyambut pukulanku!"
"Locianpwe, aku tak bermusuhan denganmu. Mengapa locianpwe berkeras hendak membunuh aku?"
Sebenarnya Sin-bu Te-kun sudah melangkah pergi, tetapi begitu Bok Sam-pi menantang Thian-leng, ia menghentikan langkahnya dan mengikuti perkelahian itu.
Ketika melihat ketua Hek Gak gelisah, segera ia menghampirinya.
"Saudara Kongsun, apakah obat pembius sudah punah dayanya?" tegurnya dengan ilmu menyusup suara.
Ketua Hek Gak menggeleng, "Tak mungkin! Kekuatan obat itu dapat bertahan sampai petang hari!"
"Kalau begitu..... "
Antara suami isteri
"Dengan beberapa patah kata, aku dapat menguasainya!" seru Sin-bu Te-kun.
"Apakah saudara Ki bergurau?" ketua Hek Gak menegas girang.
Wajah Sin-bu Te-kun mengerut serius, "Masakah dalam saat seperti sekarang aku bergurau?"
"Kalau benar, aku taat dan ikhlas untuk menjadi orang bawahan sin-bu-kiong!"
Sin-bu Te-kun tertawa sinis. Tiba-tiba ia menggunakan ilmu menyusup suara kepada Bok Sam-pi, "Tahukah Bok locianpwe saat ini berada di tempat apa?"
Bok Sam-pi yang sebenarnya hendak melontarkan pukulan lagi, tiba-tiba tertegun mendengar kata-kata Sin-bu Tekun. Sesaat kemudian ia menyahut dengan ilmu menyusup suara juga, "Apa hubungannya dengan diriku?"
"Banyak sekali locianpwe," kata Sin-bu Te-kun, "perlukah kukatakan?"
"Katakanlah!"
"Kesatu, di hadapan sekian banyak jago-jago dari seluruh penjuru, kemarahan locianpwe untuk bertempur dengan seorang anak muda, dapat menurunkan derajat locianpwe. Kedua, pertempuran di gunung Thay-heng-san antara locianpwe dengan budak liar itu belum banyak yang tahu. Kalau sekarang locianpwe hendak mengulangi lagi, apakah tidak berarti memberitahukan orang-orang"
Ketiga, sepuluh hari lagi budak itu tentu akan datang ke Sin-bu-kiong, akan kuatur supaya cianpwe dapat mengahjarnya dan kusiapkan segala sesuatu agar budak itu jangan sampai lolos.
Dan keempat....."
Bok Sam-pi yang semula terlongong-longong, tiba-tiba tertawa mengekeh, serunya,"Benar! Benar! Kuterima usulmu...." kemudian ia berpaling kepada Thian-leng, "Budak, kuberi engkau hidup sepuluh hari lagi!"
Dan tanpa menghiraukan sahutan orang lagi, jago tua itu berputar dan terus melangkah pergi dengan kepala menengadah.
Thian-leng meringis. Sekalipun ia tak tahu apa yang dibicarakan antara Sin-bu Te-kun dan Bok Sam-pi tadi, tapi ia mempunyai dugaan bahwa Bok Sam-pi tentu kena ditipu. Diam-diam ia kasihan dengan locianpwe yang kehilangan pikirannya itu. Sayang ia belum dapat mempelajari ilmu pengobatan dari kitab It Bi siangjin, sehingga tak dapat menolong jago tua itu.
Bok Sam-pi tak menghiraukan semua orang. Dia terus melangkah keluar. Ketua Hek Gak segera memberi isyarat kepada anak buahnya. Seluruh rombogan Hek Gak pun segera mengikuti Bok Sam-pi. Sin-bu Te-kun, Lam-yau, Pak-koay, Bu-ciu su-seng dan rombongan Sin-bu-kiong pun segera angkat kaki.
Karena pemimpinnya tak memberi komando, anak buah Tiam-jong-pay dan Thiat-hiat-bun pun tak berani mencegah mereka.
Saat itu fajar mulai menyingsing. Hanya kurang lebih setengah jam lamanya, Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak datang dengan semangat menyala-nyala, tetapi pergi dengan nyali pecah. Sekalian hadirin menyaksikan kejadian itu, tetapi mereka tak berani bicara dengan mulut melainkan dalam hati. Ada sebagian besar yang masih menganggap bahwa pihak Sin-bu-kiong adalah bintang penolong, yang akan menyelamatkan dunia persilatan Tiong-goan dari kekejaman Hun-tiong Sin-mo dan Thiat-hiat-bun.
Kepergian jago-jago yang mereka harapkan kemenangannya itu, meninggalkan kegelisahan di kalangan hadirin.
Lebih-lebih ketiga cuncia dari Siau-lim-si dan rombongan ke sembilan partai. Mereka kenal Thian-leng. Mereka merasa telah membuat kesalahan pada pemuda itu, yaitu telah melemparkannya ke dalam sungai. Rasa takut segera mencengkam mereka. Biasanya anak muda tentu berdarah panas dan suka mendendam. Apabila pemuda itu akan menuntut balas, ah..... ngeri mereka membayangkan.
Tetapi apa yang terjadi, benar-benar di luar dugaan mereka. Thian-leng sama sekali tak menghiraukan rombongan sembilan partai. Tampaknya pemuda itu sudah lupa pada apa yang terjadi di selat Sing-sim-kiap dulu. Dia hanya sibuk berbicara dengan ketua Thiat-hiat-bun saja.
Yang lucu adalah kedua tokoh Im Yang song-sat. Semula kedua orang itu ikut Cu Siau-bun, tetapi ketika Thian-leng muncul, mereka segera terbirit-birit melarikan diri.
Sejenak melayangkan pandangan ke medan perjamuan, tertawalah Jenggot perak, serunya nyaring, "Berhubung ada sedikit keributan, maka sampai mengganggu medan perjamuan. Dalam hal ini kuharap saudara-saudara suka memaafkan!"
Pernyataan ketua Thiat-hiat-bun itu benar-benar melegakan dada hadirin. Mereka tersipu-sipu membalas hormat kepada tuan rumah. Keteganganpun menjadi agak reda.
"Li-ciangbun!" tiba-tiba Jenggot perak berseru kepada Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay.
(bersambung ke jilid 27)
Jilid 27 . Li Cu-liong buru-buru maju. "Apakah pesan gihu?"
Ketua Thiat-hiat-bun berkata dengan keren, "Medan pesta telah berobah menjadi medan pertempuran. Kegembiraan para tamu kita terganggu.... Entah makan waktu berapa lama untuk mengembalikan meja kursi yang telah morat-marit ini?"
"Setengah jam cukup!" sahut Li Cu-liong.
"Kalau begitu harap Li Ciangbun suka menyuruh orang untuk mengatur lagi!"
Li Cu-liong mengiyakan.
Jenggot perak menatap Thiat-beng dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Tiba-tiba ia berputar dan lalu berjalan menuju ke markas Tiam-jong-pay. Walaupun kebakaran tadi cukup besar, tetapi di dalam markas masih terdapat banyak ruangan yang masih utuh.
Jenggot perak tak menuju ke ruangan besar, tetapi ke belakang markas. Di situ terdapat sebuah hutan kecil, yang walaupun tak lebat, namun cukup sepi. Ketika berada di tengah hutan, ia berhenti. Tanpa memalingkan tubuh ia sudah tahu bahwa Pok Thiat-beng, Cu Giok-bun, Siau-bun, Bu-song serta si pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay mengikutinya.
"Thiat-beng.....!" serunya tanpa berpaling kepala.
"Gakhu, apakah selama ini kau baik-baik saja?" Thiat-beng tertegun menghela napas. Gakhu artinya ayah mertua.
"Ngaco, apakah aku tak sehat?" lengking si Jenggot perak.
Thiat-beng kemerah-merahan wajahnya.
Jenggot perak tertawa, "Anak tolol, mengapa seorang yang sudah berumur empat puluhan tahun masih seperti kanak-kanak. Apakah tak mau mengakui kesalahan yang dulu?"
Thiat-beng terdesak. Berpaling ke arah rombongan yang berada di situ, merahlah mukanya. Tetapi tanpa ragu-ragu ia segera menghampiri ke muka Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun.
"Giok-bun, dahulu.........akulah yang bersalah!" serunya dengan perlahan.
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun merah mukanya. Namun karena di hadapan anaknya dan beberapa orang lain, ia merasa malu.
"Tujuh belas tahun lamanya!" tiba-tiba dari mulutnya meluncur kata-kata sayu.
"Ya, ya, tujuh belas tahun?"" Thiat-beng menyambuti.
Keduanya tenggelam dalam kenangan. Salah paham pada tujuh belas tahun berselang, menimbulkan berbagai duka nestapa. Banyak sekali hal-hal yang telah terjadi selama tujuh belas tahun itu. Setelah berpisah selama tujuh belas tahun, kini mereka berjumpa pula. Lama, lama benar kedua suami isteri itu terbenam dalam lautan kenangan"..
Thiat-beng mengusap dua titik air mata yang mengucur di celah matanya. "Giok-bun, aku". berdosa padamu, aku?""
"Ah, kau tak bersalah. Semuanya itu, akulah yang paling bersalah".."
"Tidak!" Thiat-beng berkeras, "Kumaksudkan ".. sejak kutinggalkan engkau "."
"Teringat akan ibu dan anaknya?"
"Oh, kau sudah tahu?"
"Aku tak menyesalinya," kata Giok-bun. "Aku tahu waktu itu kau kesepian?"
"Bukan maksudku untuk menghianatimu, selama tujuh belasa tahun itu telah banyak mengalami perubahan, namun hatiku tidak sedikitpun berubah. Walaupun kepergianku membawa semua kemarahan, kegalauan dan bermaksud untuk mengasingkan diri karena kekecewan hati, ditambah aku beristeri lagi, tak pernah aku melupakan dirimu.
Sebenarnya aku berniat pulang, namun aku merasa takut kalau kau membenciku, maka ........."
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun menundukkan kepala penuh haru dan katanya, "Aku....pun begitu juga, tetapi tak sekeras hatimu. Andaikata kutahu tempat tinggalmu tentu........ akan segera kususul!"
Thiat-beng menatap isterinya dengan penuh kasih, "Giok-bun, maafkanlah aku, marilah kita susun kembali tali kasih kita dan membangun kembali mahligai rumah tangga kita yang telah berantakan. Marilah kita ..." Tiba-tiba pecahlah suara tangis. Ah, kiranya si dara Pok Lian-ci yang menggelendot pada batang pohon dan menangis tersedu-sedu.
Thiat-beng menghampirinya, "Ang-ko....."
Tetapi dara itu tetap menangis tak mau menghiraukan ayahnya. Hun-tiong Sin-mo yang ikut menghampiri tersenyum.
Ujarnya dengan ramah, "Nak, apakah kau tak suka mempunyai seorang ibu seperti aku?"
Tiba-tiba dara Lian-ci mengangkat kepala dan tangan berserabutan menolak, "Tidak, aku tak bermaksud begitu......"
Hun-tiong Sin-mo melangkah selangkah lagi dan memeluknya, "Nak, mengapa kau menangis?"
"Seharusnya dahulu ayah .......tak membohongi aku! Kuteringat akan mendiang ibuku!"
Hati Pok Thiat-beng seperti disayat. Dua butir air mata mengalir dari kelopaknya. Sampai lama mereka tak dapat berkata-kata.
Tiba-tiba Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun memecah kesunyian, "Siau-bun, mari kita pergi!"
"Pergi" Me...ngapa?" Siau-bun tergagap.
Thiat-beng pun terbelalak. Ia baru tahu bahwa gadis cantik yang berada di hadapannya itu adalah puterinya sendiri.
"Kau Siau-bun?" serunya gugup.
Tiba-tiba Siau-bun melengking menangis, "Yah, kau...... menyiksa mamah.."
Thiat-beng gelagapan. Ia berpaling kepada Hun-tiong Sin-mo, "Apakah karena Lian-ci, kau lantas mau pergi?"
Hun-tiong Sin-mo menggelengkan kepala, "Sebagian memang begitu, tetapi masih ada lagi lain hal yang memaksa aku harus pergi!"
"Bolehkah aku mengetahui?"
"Tahukah kau bahwa aku adalah ahli waris dari Hun-tiong Sin-mo?"
"Aku .... tahu!"
"Tahukah kau mengapa aku memakai she Cu?"
"Ini .... " Thiat-beng terkesiap sesaat, "aku tak tahu!"
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun menghela napas, ujarnya "Kalau diceritakan panjang sekali. Saat ini hanya dapat kututurkan secara singkat. Jika dahulu tak berjumpa dengan seorang penolong she Cu, mungkin kami ibu dan anak tentu sudah mati!"
"Eh, mengapa kau tak memberitahukan hal itu kepadaku" Apakah kau mendapat ayah angkat?" tiba-tiba Jenggot perak menyeletuk.
"Hubungannya tak sampai di situ saja!" sahut Cu Giok-bun dengan tegas.
"Lalu ...."
"Yah, kau hatus memaafkan. Orang tua she Cu itu telah melepas budi sebesar lautan kepadaku. Dia tak ubahnya seperti ayah kandungku sendiri. Kalau tak ada dia, tak mungkin aku bertemu dengan suhu. Tak menjadi ahli waris dari Hun-tiong-hu."
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, "Karena itu maka aku telah mengucapkan sumpah di hadapannya, akan merawatnya sampai mati dan mengganti she dengan she Cu, menganggapnya sebagai ayah kandung sendiri....."
"Hai, apakah dia bukan Tabib sakti Cu Thian-hoan?" celetuk Jenggot perak.
Cu Giok-bun mengerutkan alis, "Benar, memang dia."
"Dia .... adalah sahabatku juga! Sekarang ...... apakah dia tak kurang suatu apapun?"
Cu Giok-bun tertawa rawan, "Seorang yang banyak menolong jiwa manusia dan berbuat kebaikan, pada hari tuanya malah menderita penyakit...."
"Eh, apakah sakitnya?"
"Entahlah, aku tak tahu. Hanya kaki tangannya terasa lemas, tak bertenaga sama sekali. Bangun dan bergerak harus dibantu orang!"
"Di mana dia sekarang?"
"Di Hun-tiong-hu!"
Jenggot perak mengelus-elus jenggotnya, tertawa, "Nak, meskipun kau sudah berganti she Cu, aku tak menyalahkan.
Membalas budi adalah perbuatan yang mulia. Apalagi Cu Thian-hoan itu juga sahabatku sendiri."
Sejenak ia mengedarkan pandangan, lalu berkata pula, "Setelah urusan di sini selesai, mungkin aku hendak menjenguk ke Hun-tiong-san menyambangi si tua itu...."
"Kalau begitu, maaf, aku hendak pulang dulu!" kata Cu Giok-bun.
"Pulang ke Hung-tiong-san?"
"Ya, aku harus lekas-lekas menjenguk ayah angkatku itu,"sahut Cu Giok-bun, kemudian ia memandang Thiat-beng, ujarnya, "Tetapi nanti sepuluh hari lagi, aku hendak ke Sin-bu-kiong mencari budak hina Ma Hong-ing, agar apa yang terjadi dahulu menjadi terang semua!"
Thiat-beng hendak membuka mulut tetapi sukar bicara.
"Siau-bun, apakah kau tak ikut mamah?" tegur Cu Giok-bun kepada si dara. Lalu dipandangnya Thian-leng dengan tatapan tajam. Thian-leng tersipu-sipu menundukkan kepala. Banyak nian yang berkecamuk dalam hatinya, sehingga sesaat ia tak dapat berkata apa-apa.
Walaupun mulutnya mengiyakan tetapi berat sekali kaki Siau-bun bergerak. Juga wajah Jenggot perak tegang. Cu Giok-bun telah menceritakan kepadanya tentang hubungan Siau-bun dengan Thian-leng dan perjanjian hidup mereka.
Bahkan yang lebih lanjut, tentang hubungan yang sudah melampaui batas antara kedua anak muda itu. Siau-bun sudah tentu tak mau pergi.....
Yang agak mendingan adalah si dara Bu-song. Ia sudah mempunyai keyakinan bahwa Thian-leng telah mengikat pertunangan dengannya. Ia tak kuatir pemuda itu akan meninggalkannya lagi. Biarkan Siau-bun berusaha setengah mati untuk merebut, tentu tak mungkin dapat merobah ikatan itu. Sayang, ia tak tahu apa yang telah terjadi antara Siau-bun dengan pemuda tunangannya itu. Begitu pula hubungan Thian-leng dengan kedua taci beradik Ki, Bu-song sama sekali tak tahu.......
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun tak sabar lagi. Memang sebenarnya ia tak bermaksud sungguh-sungguh untuk mengajak putrinya pergi. Tetapi hal itu hanya siasat saja agar Thian-leng memberi reaksi. Siapa tahu, di luar dugaan Thian-leng tak memberi reaksi apapun dan Siau-bun pun enggan pergi. Suatu hal yang membuat Hun-tiong Sin-mo risih.
"Siau-bun, karena kau tak suka ikut, terpaksa aku akan pergi sendiri!" serunya sesaat kemudian.
Siau-bun tergopoh-gopoh menyusul, serunya dengan rawan, "Mah, silakan berjalan dulu, aku tentu akan menyusul!"
"Sesukamulah," kata Hun-tiong Sin-mo seraya melesat pergi.
Thiat-beng hendak mengucapkan sesuatu, tetapi mulutnya terasa berat. Suasana hening seketika. Hanya angin pagi yang berhembus menusuk kulit.
Lian-ci sudah berhenti menangis. Kedua kelopak matanya bendul. Sekonyong-konyong kesunyian itu tergetar oleh munculnya sesosok bayangan. Ah, ternyata Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay yang melapor kepada Jenggot perak bahwa medan perjamuan telah disiapkan lagi.
"Apakah hidangan sudah dikeluarkan," tanya Jenggot perak.
"Sudah!"
"Bagaimana sikap para tamu?"
"Ini ..."
"Bagaimana," tegur Jenggot perak.
"Tampaknya mereka diliputi oleh kecemasan. Apapun yang Gihu rencanakan rupanya mereka hanya menurut saja,"
jawab Li Cu-liong.
Jenggot perak melirik Bu-song, Thiat-beng dan lainnya. Ia paksakan tertawa, "Sebagai tuan rumah sudah tentu aku tak mau mengecewakan mereka..... silakan kalian bercakap-cakap, aku hendak melayani mereka!"
Thiat-beng mempersilakan ayah mertuanya. Walaupun memikirkan diri puterinya dan anak mantunya, namun terpaksa Jenggot perak harus menjamu para tamunya.
Kepergian Jenggot perak itu kembali meninggalkan kesepian. Siau-bun perlahan-lahan menghampiri Thian-leng, serunya lirih, "Engkoh Leng!"
Baru pertama kali itulah ia memanggil Thian-leng seperti itu. Walaupun sudah dibesarkan nyalinya, namun nadanya tetap bergetar juga.
Wajah Thian-leng agak berubah. Ia menyurut mundur dua langkah. Mulutnya bergerak-gerak tetapi tak dapat mengucapkan kata-kata.
Pok Thiat-beng pun mengerutkan dahi, serunya, "Siau-bun!"
Tahu Pok Thiat-beng itu ayahnya, tetapi karena sejak kecil ia tak pernah berkumpul, maka perasaannyapun seperti orang asing.
"Ayah hendak memesan apa?" serunya hambar.
Thiat-beng sedikit banyak dapat mengetahui hubungan kedua anak muda itu, serunya dengan tegang, "Thian-leng sekarang menjadi putera angkatku. Kalian harus berbahasa engkoh-adik!"
Dendam dan Kasih
"Berbahasa engkoh dan adik?" tiba-tiba Siau-bun tertawa acuh.
"Itulah sudah selayaknya!" sahut Thiat-beng.
Siau-bun tertawa manja, "Yah, tahukah kau siapa di antara kami berdua yang lebih tua" Kalau aku lebih tua beberapa hari, bagaimanakah harus memanggilnya?"
Thiat-beng tertegun. Ia tak menyangka bahwa puterinya ternyata seorang gadis yang pandai bicara.
"Sudah tentu ayahmu tahu. Panggillah ia engkoh!"
Tetapi Siau-bun seorang gadis yang berhati keras. Untuk menumpahkan kemengkalan, ia berseru dengan nada sinis,
"Oh, engkoh Leng, kuhaturkan selamat padamu."
"Adik ... Adik ...." Thian-leng tergagap-gagap.
"Apa yang hendak kau perintahkan?" Siau-bun tertawa dingin.
Merah seketika telinga Thian-leng, serunya, "Mana aku berani memberi perintah padamu, hanya .... ada sebuah hal yang perlu kuberitahukan padamu!"
"Katakanlah saja!"
Baru Thian-leng hendak berkata, Bu-song sudah mendahului, "Piauci, bolehkah aku bicara beberapa patah padamu?"
Siau-bun meliriknya, "Tentu, apa halangan bicara beberapa patah saja?"
Bu-song muramkan wajah, "Apakah kau tahu dia?". berhubungan dengan aku?"
Siau-bun tertawa dingin, "Mengapa tidak" Kakek telah menjodohkannya dengan kau, bukan?"
Wajah Bu-song merah, "Kalau sudah tahu ya sudah. Tetapi mengapa kau terus-menerus melihatnya saja?"
Seketika merahlah wajah Siau-bun, lengkingnya, "Ngaco! Jika tak memandang muka kakek, tentu sudah kutampar mulutmu!"
Dan bertengkarlah kedua dara itu dengan ngotot. Sekalian orang tak mengerti apa persoalan mereka.
"Berhenti!" tiba-tiba Thiat-beng membentak Bu-song yang hendak bicara. Nadanya menggeledek penuh wibawa.
Kedua dara itupun bungkam. Mereka saling berpandangan dengan mata melotot.
Thiat-beng mengerutkan dahi. Ditatapnya Siau-bun dengan tajam, "Apa katamu tadi?"
Siau-bun tertegun. Sahutnya dengan terbata-bata, "Mengapa ayah tak langsung menanyainya?" katanya seraya melirik pada Bu-song.
Si dara Bu-song merah pipinya dan menunduk.
Setelah memandang pada Thian-leng, Pok Thiat-beng pun menghamapiri Bu-song, serunya dengan tertawa,
"Bilanglah, putera-puteri persilatan pantang bersikap malu-malu!"
Bu-song menenangkan hatinya lalu mengangkat muka, "Belum lama ini atas kehendak kakek, aku telah"..
dijodohkan padanya!"
"Benarkah itu?" Thiat-beng terkejut.
"Silakan paman bertanya pada kakek!"
Thiat-beng menyurut mundur, keningnya agak mengerut dan mulutnya berkemak-kemik "Celaka! Celaka! Ini ...." ia berpaling kepada Thian-leng, serunya, "Benarkah itu?"
Thiat-beng membanting-banting kaki, "Mengapa tak kau katakan hal ini dari dulu?"
"Semula memang anak hendak menceritakan hal itu kepada gihu. Tetapi karena gihu melarang aku banyak bicara, jadi sampai sekarang belum ......"
Memang Thiat-beng teringat hal itu dan bahkan pernah memaksa pemuda itu menikah dengan Ki Seng-wan.
"Ah, aku yang salah, akulah yang mencelakai kalian ...." Akhirnya ia menghela napas.
"Paman, apa kesalahanmu" Ini,". apa artinya?" seru Bu-song dengan heran.
"Tahukah kau bahwa Thian-leng sudah menjadi calon suami orang?" seru Thiat-beng.
Bu-song mendesak kaget, "Apa?"
"Thian-leng sudah mempunyai isteri!"
"Benarkah ...?" Bu-song melengking kaget. Lebih kaget dari mendengar halilintar menyambar di tengah hari.
Tubuhnya gemetar hampir tak kuat berdiri lagi. Ia tekan keras supaya darahnya jangan meluap keluar dari mulut.
Juga Siau-bun gemetar. Wajahnya pucat seperti kertas. Kegoncangan hatinya tak kalah dengan Bu-song.
"Sudah tentu sungguh!" jawab Thiat-beng.
Bu-song segera mengalihkan matanya menatap Thian-leng, serunya kalap, "Kau .... terlalu...." dia tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi karena tersekat oleh tangis.
"Tak dapat menyalahkannya, akulah yang bersalah!" Thiat-beng menghela napas.
Bu-song mengusap air matanya, ujarnya, "Kalau begitu perkawinannya itu atas kehendak paman?"
"Be..... nar ...."
"Siapa isterinya?"
"Ki Seng-wan!"
"Ki Seng-wan" .... eh, puteri kedua dari Sin-bu-kiong?"
"Ya, tetapi mereka berdua taci beradik itu baik-baik, dan pula ..."
"Paman, aku ?"benci kau" tiba-tiba Bu-song menjerit.
Thiat-beng mengerutkan dahi tak bicara. Dia tak tahu peristiwa Thian-leng dengan Bu-song. Jika tahu tentu takkan dipaksanya Thian-leng menikah dengan Ki Seng-wan. Tetapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Bahwa Bu-song menyatakan kebenciannya, Thiat-beng tak dapat berbuat apa-apa. Ia mandah saja!
Sebenarnya Bu-song hendak menghambur kemarahannya, tetapi ketika melihat Thiat-beng terlongong-longong diam, kemarahannya pun menurun. Tiba-tiba ia memutar dan melesat pergi"..
"Bu-song, kembalilah!" Thiat-beng berseru kaget.
Tetapi dara itu tak mau mempedulikan, bahkan berteriak, "Aku takkan kembali selama-lamanya dan takkan menemui kalian lagi!"
Sembari berlari dara itu sudah menyelinap jauh. Thiat-beng termangu-mangu tak dapat berbuat apa-apa. Mau mengejar tak enak, tidak mengejarpun tak enak. Bagaimana ia harus bertanggung jawab kepada Jenggot perak apabila dara itu sampai kena apa-apa.
"Adik Song, tunggulah!" tiba-tiba Siau-bun berteriak.
Bu-song yang sudah jauh terpaksa berhenti. Sambil berpaling ia tertawa sinis, "Perlu apa kau hendak mencari aku"
Apakah kau hendak menuduh aku melarikannya?"
Sekejap saja Siau-bun telah tiba di hadapan dara itu, "Adik Song, sekarang kita harus bersatu padu!"
"Apa guna bersatu padu" Toh dia sudah menikah dengan orang lain!"
Siau-bun tertawa getir, "Lalu bagaimana kalau menurut pendapatmu?"
"Kita aduk-aduk sampai kacau balau baru kemudian mencukur rambuk masuk menjadi rahib!"
"Apakah cara itu tepat?" Siau-bun tertawa tawar.
"Lalu bagaimana pendapatmu?"
"Kalau tak dapat memperolehnya, jangan sampai orang lain bisa mendapatkannya!" sahut Siau-bun.
"Tetapi orang sudah mendapatkannya, nasi sudah menjadi bubur, apa daya kita?"
"Hancurkan mereka!" Siau-bun menjerit sengit.
"Hancurkan .....?" Bu-song mengerutkan dahi, lalu berseru, "Bagus, pikiranmu tepat!"
Siau-bun berseru gembira, "Suami isteri yang berantakan jauh lebih menderita dari kekasih yang patah hati!"
Tiba-tiba Bu-song mengerutkan kening, "Rencana sih bagus tapi bagaimana pelaksanaannya?"
"Eh, kau biasanya cerdik mengapa sekarang tak dapat memikirkan hal itu?" Siau-bun tertawa.
Bu-song agak kemerah-merahan mukanya. "Kalau kau hanya hendak mengolok-olok saja, lebih baik jangan mengganggu aku!"
Siau-bun tersenyum lalu membisik ke telinga Bu-song, wajah Bu-song segera berseri gembira. "Benar, siasatmu itu memang tepat. Kita memang bukan orang baik-baik. Jika tak suruh mereka merasakan pil pahit, hati kita tentu tak lega."
Siau-bun segera mengajak berangkat. Dalam beberapa loncatan, kedua gadis itu pun sudah lenyap.
Semula Thiat-beng mengira Siau-bun hendak menasehati Bu-song. Ia tak mengira kalau gadis itu malah mengajak lari.
"Thian-leng, lekas kejar!" serunya gelagapan.
"Gihu ... " baru Thian-leng hendak berkata. Thiat-beng sudah membentak, "Lekas kejar!"
Thian-leng segera loncat menyusul.
ooo000ooo Menjerat Kerbau
Bu-song dan Siau-bun tahu bahwa Thian-leng mengejar mereka, namun mereka pura-pura tak menghiraukan dan lari sekencang-kencangnya.
"Hai, kalian berhenti dulu," teriak Thian-leng.
"Piauci, rencana berhasil. Manusia lupa budi itu mengejar!" Bu-song berseru kepada Siau-bun dengan ilmu menyusup suara.
Siau-bun menyahut dengan ilmu menyusup suara juga, "Asal rencana pertama berhasil, kemungkinan besar kita tentu berhasil!"
Kedua gadis itu mempercepat larinya. Sebenarnya Thian-leng dapat menyusul tetapi ia tahu watak kedua gadis yang keras kepala itu. Maka ia sengaja memperlambat larinya. Dalam sekejap saja mereka sudah mencapai tiga-empat li jauhnya. Kedua gadis itu lari sekencangnya tanpa menghiraukan teriakan Thian-leng lagi.
Akhirnya Thian-leng tak tahan lagi. Sekali empos semangat, ia melesat mendahului kedua gadis itu dan menghadang mereka. "Harap kalian suka memandang mukaku.."
"Orang she Pok, hendak apa kau!" tukas Siau-bun.
"Kau hendak merintangi kami?" lengking Bu-song.
Thian-leng tertawa hambar. "Aku mempunyai kesukaran yang susah kukatakan, harap nona berdua suka memafkan
... sejak saat ini aku berjanji hendak memperlakukan kalian berdua sebagai adik kandung. Untung ...."
"Jangan banyak bicara, lekas menyingkir!" bentak Bu-song.
Siau-bun ikut menyeletuk, "Menempuh beribu kesulitan, sayang hanya bersua dengn orang yang tak bertanggung jawab. Adik song, mari kita ambil jalan lain saja!"
"Ya, ya, mari kita belok ke jalan ini!" sahut Bu-song seraya melesat ke jurusan lain.
Thian-leng cepat mengayunkan diri menghadang mereka lagi. "Harap nona berdua berpikir masak-masak, jangan hanya menuruti hawa marah....."
Tetapi kedua nona itu tidak menghiraukannya dan tetap berjalan maju. Thian-leng terpaksa melintangkan kedua tangannya. "Andaikata aku bersalah, harap nona suka ....."
"Eh, apakah kau hendak berkelahi?" teriak Siau-bun.
"Tidak!" buru-buru Thian-leng menyahut.
"Kalau tidak mengapa kau gerakkan kaki dan tanganmu?" teriak Bu-song.
Thian-leng tertawa meringis. "Eh, mengapa kalian begini pemarah?"
Kedua gadis itu tertawa dingin dan tetap melesat dari samping Thian-leng. Karena gugup, Thian-leng melintangkan lagi tangannya.
"Fui, laki dan perempuan tak boleh bersentuhan. Mengapa kau begitu tak tahu aturan?" bentak Siau-bun. Tiba-tiba ia mengayunkan tangannya...
Plak .... karena tak menduga, pipi Thian-leng kena tampar. Lima buah bekas jari-jari halus melekat di pipinya. Dan dari ujung mulutnya mengalir darah.
Bu-song tertegun. Ia tak menyangka Siau-bun bertindak demikian. Tetapi melihat keadaan Thian-leng yang meringis-ringsi, ia tertawa geli.
Thian-leng malu dan menyesal tetapi ia tak berani berkata apa-apa. Dilepasnya kedua nona itu dengan mata terlongong-longong. Setelah beberapa saat, barulah ia ayunkan langkah mengikuti mereka.
Ia tahu bahwa kedua nona itu tentu mendendam sekali kepadanya. Mereka rela berkorban segalanya. Maka dapat dimengerti bagaimana terpukulnya hati mereka ketika mendengar ia sudah menikah dengan lain nona. Melihat watak mereka, bukan mustahil mereka akan melakukan hal-hal yang sukar diduga. Dan andaikata terjadi sesuatu dengan mereka, bukan saja ia harus mempertanggung jawabkan kepada Jenggot perak dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, ia sendiri juga akan tersiksa seumur hidup.
( bersambung ke jilid 28)


Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jilid 28 . Kalau yang mengikuti dicengkeram kecemasan, yang di kuti sebaliknya malah riang gembira. Berjalan perlahan-lahan sambil bercakap-cakap. Bagaikan tingkah pemburu, mereka mengambil jalan di lereng gunung curam.
Thian-leng benar-benar tersiksa perasannya, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengikuti saja kurang lebih duapuluhan tombak di belakang mereka. Ketika matahari tenggelam, barulah kedua nona itu berhenti di sebuah kuil kecil.
"Cici, hari sudah malam, kita bermalam di kuil ini saja!" kata Bu-song.
Siau-bun mengangguk, "Baik, sehari suntuk perut kita tak terisi. Mari kita buat sate kelinci yang kutangkap di hutan tadi," sahut Siau-bun.
Sambil bercakap-cakap diseling tertawa-tawa, kedua nona itu membuat api dan membakar kelinci. Tampaknya mereka riang gembira. Thian-leng yang bersembunyi di balik sebuah batu yang berada sepuluhan tombak di luar kuil, hanya mengigit jari saja. Bau sate kelinci yang dibawa oleh angin malam, benar-benar mengelitik perutnya. Air liurnyapun beberapa kali terpaksa ditelannya.
Tetapi karena sikap kedua nona yang begitu dingin, ia tak berani menghampiri ke dalam kuil. Terpaksa ia mengawasi mereka di luar saja.
Menjelang tengah malam, tak terdengar lagi percakapan kedua nona. Rupanya mereka tidur nyenyak di dekat api unggun. Sebaliknya Thian-leng tak berani memejamkan mata karena kuatir kedua nona itu lenyap.
Tiba-tiba dari dalam kuil terdengar suara helaan napas. Thian-leng terkejut. Jelas itulah suara helaan napas Bu-song.
Benar-benar ia tak dapat mengendalikan diri lagi. Ia memberanikan diri menghampiri ke dalam kuil. Melangkah ke dalam ruangan kuil, barulah hatinya lega. Kedua nona itu tidur disamping api unggun.
"Adik Bun .... adik Song," Thian-leng membangunkan dengan perlahan-lahan.
Siau-bun menggeliat bangun, "Eh, orang she Pok, mengapa kau kemari lagi?"
"Apakah adik Song Sakit?" sahut Thian-leng.
Tiba-tiba dara itu mencelat bangun. "Aku sakit atau tidak, apa pedulimu," ia tengkurap lagi.
Thian-leng terkesiap, serunya, "Adik berdua ... mengapa kalian ini?"
Siau-bun tertawa tawar, "Apakah kau benar-benar menaruh perhatian kepada kami?"
"Biarlah langit dan bumi menjadi saksi isi hatiku. Mengapa kau tak dapat memaafkan aku?"
"Lalu mengapa kau....?"
Thian-leng menghela napas, "Mengapa bisa terjadi hal itu, ah ...."
Thian-leng masih menanyakan keadaan Bu-song.
"Jangan kuatir, dia hanya masuk angin karena mendongkol," jawab Siau-bun. Ia memberi minum dara itu sebutir pil.
Tak berapa lama dara itupun sudah dapat bangun. Tetapi ketika melihat Thian-leng ia segera melengos.
Sampai sekian saat Thian-leng terlongong-longong, baru ia dapat berkata, "Apakah kalian masih marah kepadaku?"
"Seumur hidup membencimu, takkan kulupakan selama-lamanya!" teriak Bu-song dengan marah.
"Sekarang jangan turut campur urusan kami lagi!" celetuk Siau-bun.
Thian-leng menghela napas, "Jika kalian tak mau pulang, akupun takut menemui Lu dan Cu cianpwe dan ikut saja pada kalian terus!"
Siau-bun tertawa mengikik, "Percuma kau ikut, toh takan kupedulikan..."
"Apakah kalian sungguh-sungguh membenci aku sedemikian rupa?" Thian-leng tertawa getir.
"Coba katakan apa maksudmu mengintil aku?" Siau-bun tertawa dingin.
"Untuk minta kalian pulang!"
"Boleh tetapi paling tidak harus memenuhi sebuah syarat!" kata Siau-bun.
"Jangankan hanya sebuah, tujuh-delapan bahkan sepuluh syarat pun aku sanggup memenuhi!" sahut Thian-leng serentak.
Siau-bun tertawa, "Ah, sebenarnya bukan syarat yang sukar. Hanya asal kau mau mengatakan dengan sejujurnya!"
"Ah, aku tak pernah bohong. Silakan adik Bun bertanya?"
Siau-bun memberi lirikan kepada Bu-song, ujarnya, "Apakah pernikahanmu dengan Ki Seng-wan itu keluar dari setulus hatimu?"
"Bukan, tetapi karena didesak oleh ayahmu!" sahut Thian-leng tegas.
"Kau tak cinta padanya?"
"Ini .... dia pernah menolong jiwaku dengan ilmu Hian-im-kiu-coan dan karena itu ia telah kehilangan kehormatannya, maka ......"
"Di mana ia sekarang?"
"Di rumah ayahmu di gunung Thay-heng-san!"
Siau-bun tertawa datar dan berpaling kepada Bu-song, "Adik, pertanyaanku sudah selesai."
Bu-song mendengus, serunya. "Eh, sampai berapa jauh telah kau pelajari ilmu dalam kitab It Bi siangjin itu?"
"Ah, belum seberapa," sahut Thian-leng.
"Apakah ada ilmu mengobati binatang beracun jenis Tok-jong!"
"Ada, tetapi aku belum sempat mempelajari."
"Hm, pertanyaankupun selesai .... itu ada sisa sate kelinci, silakan makan!"
"Aku tak lapar!"
"Kau takut sate itu beracun?" Bu-song delikkan mata.
"Ah, adik Song terlalu menghina!" kata Thian-leng terus menyambar paha kelinci dan dimakannya.
Tetapi begitu daging kelinci masuk ke dalam perut, perutnya seperti diaduk. Serangkum hawa memuakkan menghambur ke atas. Kepalanya serasa pusing dan bluk ..... jatuhlah ia tak sadarkan diri.
"Hola, taci, rencana kedua, berhasil!" Bu-song tertawa mengikik.
"Jangan lagi kedua, sampai habispun tentu berhasil!" sahut Siau-bun, "Mana ayam alasnya?"
Bu-song mengambil seekor ayam hutan dari meja. Kaki ayam itu di kat kencang. Siau-bun menyambut dengan gembira. Dirobeknya baju Thian-leng sedikit di bagian dada.
"Rencana ketiga mungkin tak berhasil!" tiba-tiba Bu-song berkata.
"Apa sebabnya?" Siau-bun heran.
"Jika aku, tentu tak mau kemari!"
Siau-bun tertawa,"Sayang wanita itu tak secerdas kau. Jika ia tak datang. Aku berani memberikan kepalaku kepadamu!"
"Apa yang hendak kau tulis?"
"Sederhana saja, lihatlah!" Siau-bun segera menusuk ayam hutan dan memotes kepalanya. Kemudian ia
menggunakan darah ayam itu untuk menulis di baju Thian-leng :
Kepada isteriku Seng-wan,
Aku terkena racun, jiwaku tak dapat tertolong.Entah siang entah malam tentu mati.
Harap lekas datang ke puncak Ceng-liong-ma gunung Tiam-jong-san di kuil gunung.
Thian-leng Di belakang baju itu ditulis pula kata-kata, "Penting!"
"Wanita hina itu jika menerima surat ini tentu segera datang dan tentu menangis sedih," kata Siau-bun.
"Ya,ya, kita lihat pertunjukan itu di sini. Kemudian kita cari akal lagi untuk menyiksanya lebih lanjut. Ah, cici benar-benar cerdik.... eh, tetapi bagaimana mengirimkan surat ini?"
"Dia sekarang adalah ketua Kay-pang. Anak buah partai Kay-pang banyak sekali. Asal kita mencari seorang anak buahnya, surat berdarah ini tentu segera disampaikan pada penerimanya...."
"Thay-heng-san jauh sekali. Taruh kata wanita itu segera berangkat paling tidak juga memakan waktu seminggu.
Dalam jangka waktu sekian lama apakah takkan terjadi sesuatu?" Bu-song menyatakan kekuatirannya.
"Setelah menerima surat ini, dia tentu segera berangkat dan menempuh perjalanan siang malam. Mungkin dalam waktu tiga-empat hari tentu tiba di gunung Thay-heng-san. Tentang terjadinya perobahan, memang sukar diduga.
Tetapi .........paling tidak pemuda ini tetap berada dalam tangan kita!"
"Benar, benar," Bu-song tertawa, " tetapi sampai berapa lama kekuatan obat tidur itu?"
"Jika orang biasa tentu tertidur selama sepuluh jam. Tetapi karena dia yang makan, mungkin hanya tahan dua jam saja."
Bu-song tertawa. Tiba-tiba ia mainkan jarinya menutuki seluruh tubuh Thian-leng, "Nah, begini dia tentu tak berdaya lagi. Biarlah dia bangun tak jadi soal!"
"Mengapa?"
"Seluruh jalan darah di tubuhnya telah kututuki, hanya kutinggalkan jalan darah pembisu. Nanti kalau bangun, dia hanya dapat mendengar dan bicara tetapi tak dapat bergerak ..."
"Mungkin tak semudah itu...." di luar dugaan Siau-bun membantah.
"Eh, mengapa?" Bu-song terkejut, "apakah ada orang yang hendak melindunginya?"
"Bukan begitu maksudku," Siaubun tertawa, "aku kuatir ilmu tutukanmu tak mempan kepadanya!"
Bu-song terkejut, "Ya, Ya, benar. Dia sudah mendapatkan pelajaran sakti dari It Bi siangjin. Mungkin dapat mengatasi tutukanku dengan mudah!"
Kedua nona itu menjadi bingung.
"Jika tak dapat melumpuhkan kepandaiannya atau memotong kedua kakinya, rasanya sukar untuk menguasai pemuda ini," akhirnya Bu-song berkata.
"Ah, tidak sampai begitu," Siau-bun menghibur, "meskipun kepandaiannya telah sempurna sehingga ia kebal di tutuk jalan darahnya, tetapi dia tentu tak berdaya apabila di kat dengan semacam tali istimewa. Misalnya tali dari urat ular atau ulat sutera dan sebagainya"."
"Tetapi benda itu sukar di dapat. Dan saat ini kita berada di tengah gunung yang terpencil. Kemana hendak kita cari?"
bantah Bu-song "Kalau kau dapat menyulap?"
"Menyulap?" Bu-song terkejut heran, "apakah kau sudah membawanya?"
Dari bajunya Siau-bun mengeluarkan dua kerat otot ular besar, serunya, "Telah lama kusimpan benda ini. Bukan karena khusus untuk menangkap pemuda ini, tetapi memang menjadi alat-alat yang kubekal. Ah, tak kira hari ini ada gunanya!"
"Memang banyak hal-hal yang tak terkira. Ayo, kita ikat saja dia!" seru Bu-song.
Dara itu segera menyambar tali dari Siau-bun, terus di katnya tubuh Thian-leng sekencang-kencangnya.
"Sekarang kita harus cari anggota Kay-pang untuk mengirimkan surat ini kepada perempuan hina itu ..." kata Siaubun.
"Aku yang menunggu di sini, silakan taci yang mencari!" kata Bu-song.
Setelah menyimpan robekan baju yang bertuliskan darah. Siau-bun segera pergi. Ia tak paham jalan di gunung situ apalagi di tengah malam. Hampir sejam lamanya baru ia dapat mencapai kaki gunung dan berhasil menemukan seorang anak buah Kay-pang.
Demi mendengar ketuanya sakit, pengemis itu pucat. Segera ia menyerahkan surat darah itu kepada kepalanya.
Siau-bunpun bergegas-gegas kembali ke gunung. Tiba di kuil, hari sudah hampir terang tanah. Thian-leng pun sudah terjaga tetapi matanya tetap meram dan terdiam. Kedua belah pipinya terdapat jalur bekas merah biru, mulutnyapun berdarah. Terang bahwa dia menerima beberapa tamparan dari Bu-song.
Siau-bun mengerutkan dahi, "Perempuan hina itu tentu beberapa hari baru dapat tiba kemari. Tak perlu buru-buru menyiksanya. Jika dia sampai mati, urusan malah menjadi .... "
"Dia pernah berjanji mengikat jodoh dengan aku. Sedang aku tak merasa kasihan sedikitpun kepadanya, mengapa kau berbalik hendak membelanya?" Bu-song melengking.
Siau-bun tertawa dingin, "Banyak sekala hal-hal di dunia yang di luar dugaan manusia. Memang hati manusia sukar diduga. Dia sudah berjanji menikah dengan kau, mengapa bisa jatuh di pelukan lain orang. Sejak ini mungkin ......"
Dada Bu-song berombak keras, "Tunggu kalau perempuan hina itu sudah datang, di hadapannya nanti tentu akan kubunuh lalu kucincang perempuan hina itu, barulah hatiku puas!"
"Apa katamu?" sekonyong-konyong Thian-leng membuka mata dan berteriak.
Bu-song terkesiap kaget. Katanya kemudian, "Aku tak bicara padamu, mengapa kau bertanya?"
Thian-leng menyahut, "Jika kalian membenci padaku, bunuhlah segera tetapi jangan memaki aku sebagai orang yang tak kenal budi. Ketahuilah ......" ia berhenti sejenak, lalu katanya pula, "Walaupun jagad raya tak terbatas luasnya, tetapi kekuasan Thian tiada batasnya. Janganlah nona berdua lekas berputus asa!"
"Apakah kau hendak menasehati kami?" bentak Bu-song dengan marah. Plak .... ia memberi sebuah tamparan lagi.
Pipi Thian-leng makin bengap. Pemuda itu tak dapat menahan kemarahannya lagi, "Akulah yang buta sehingga tak dapat mengetahui bahwa kalian ternyata begini buas!"
"Hm, kau toh sudah mendapat ilmu sakti dari It Bi siangjin, mengapa tak mampu melepaskan diri dari ikatan tali saja" Ayo, mari kita bertempur!"
Thian-leng benar-benar marah sekali. Ia mulai meronta-ronta, mengerahkan tenaganya.
"Hi, hi, hi ," Siau-bun tertawa, "tali itu walaupun tampaknya kecil tetapi tak mudah putus. Asal kau mampu memutuskannya, tak perlu bertempur lagi, aku dan adik Song segera akan bunuh diri!"
Thian-leng menghentikan usahanya. Memang tak perlu dinasehati, ia sudah mencoba kekuatan tali itu. Jika bukan tali dari urat ular, tentulah dari ulat Thian-jan yang jarang terdapat di dunia. Betapun saktinya tentu tak mungkin dapat memutuskan tali itu.
Ia menghela napas, serunya perlahan , "Bilanglah, apa maksud kalian ini?"
"Pada saatnya kau tentu tahu sendiri. Sekarang kau harus menderita beberapa hari dulu!" seru Bu-song.
"Adik Song, kasih tahu dong!" Siau-bun tertawa.
"Mengapa?"
"Adik Song, kau toh seorang cerdik, mengapa harus kuterangkan lagi" Dia toh saat ini menjadi tawanan kita, takut apa kita kasih tahu padanya?"
Bu-song bertepuk tangan, serunya, "Ya, ya, benar. Toh perempuan hina itu baru empat-lima hari lagi datang. Kita beritahukan dia agar dia bisa merenungkan!"
Hati Thian-leng seperti disayat, serunya "Bilanglah, sebenarnya ......"
Bu-song tertawa, "Biarlah kuberitahukan sekarang. Ki Seng-wan dalam empat-lima hari tentu datang kemari."
Thian-leng terkejut, "Bagaimana kau tahu?"
"Kamilah yang memanggilnya!" sahut Bu-song.
"Tak nanti dia menurut perintahmu, tentu takkan datang kemari," jawab Thian-leng.
"Jika ia tak datang, kau akan kubebaskan dan aku akan bunuh diri!" seru Bu-song.
"Apakah yang kalian rencanakan ini?"
"Oh, kau sungguh-sungguh tak mengerti?" Bu-song tertawa.
Dipandangnya baju Thian-leng yang robek dan bangkai ayam hutan, lalu tertawa mengikik, "Kami telah membuat surat palsu yang ditulis dengan darah ayam. Dan telah menyerahkan surat itu kepada anak buah Kay-pang supaya diantarkan ke Thay-heng-san. Dalam surat itu kukatakan bahwa kau tengah meregang nyawa karena keracunan dan minta perempuan hina itu segera datang...."
"Keji sekali!" damprat Thian-leng.
"Terhadap manusia rendah budi semacam kau, terpaksa harus dihadapi dengan siasat begitu. Tunggu saja pertunjukan yang lebih bagus bila perempuan hina itu sudah datang nanti.!"
Thian leng tak dapat berbuat apa-apa kecuali menghela napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa keganasan kedua nona itu disebabkan kekecewaan hatinya. Hati yang patah karena merasa dikhianati cintanya....
Diam-diam Siau-bun memperhatikan gerak-gerik pemuda itu. Ia tahu bahwa tindakannya terhadap pemuda itu terlalu ganas. Dan ia pedih sekali sebenarnya melakukan hal-hal yang di luar suara hatinya itu.
Haripun makin terang. Akhirnya Siau-bun menghela napas, "Adik Song aku lelah. Harap kau yang menjaga dulu."
Memang Siau-bun letih. Letih tenaga dan hati. Sekalipun saat itu ia mendapat kemenangan, tetapi hatinya rawan sekali. Tak beberapa lama iapun jatuh tertidur.
Setelah memberi tamparan beberapa kali, hati Bu-songpun longgar sekali. Karena mengingat kuil di situ sunyi senyap dan tak mungkin terjadi apa-apa, maka iapun mulai layap-layap tidur.
Tiba-tiba pada saat ia meram-meram ayam, serangkum angin dingin menghambur dari belakang. Ia terkejut dan cepat loncat bangun tetapi sudah terlambat. Angin itu merupakan angin tenaga tutukan jari yang tak bersuara. Pada saat ia hendak menggeliat bangun, jalan darah bagian Ciang-tay-hiat sudah terkena. Bluk..... iapun jatuh terkulai......
Tetapi suara itu cukup membangunkan Siau-bun. Jelas dilihatnya bahwa seorang manusia aneh yang bermuka hitam sekali dan berambut putih, berpakaian warna merah tengah menutuk roboh Bu-song. Dan kini orang itu tengah menyerangnya.
Kejut Siau-bun bukan kepalang. Walaupun tengah tidur, tetapi suara yang timbul dari jarak beberapa puluh tombak jauhnya, dapat diketahuinya. Anehnya, manusia aneh itu muncul tanpa suara sama sekali, dan cara-cara serangannyapun luar biasa. Kalau Bu-song tak roboh tentu dia tak mendengar suara apa-apa.
Cepat-cepat Siau-bun menggelinding di lantai sampai lima tombak jauhnya, sehingga ia dapat terhindar dari serangan si orang aneh.
"Lekas bukakan ikatanku. Kau bukan tandingan orang itu!" terdengar Thian-leng berseru kepadanya. Tetapi Siau-bun tak menghirauka. Ia tahu bahwa manusia aneh itu tentulah seorang tokoh yang sakti. Cepat ia taburkan passer Tui-hong-kiong. Kaki, perut dan tenggorokan orang itu sekaligus diserangnya.
Tring, tring tring ..... terdengar orang aneh itu mengekeh dan menangkis jatuh Tui-hong-kiong. Menyusul ia gerakkan tangan kirinya. Dari kelima jarinya terdengar angin mendesis-desis menyambar ke arah Siau-bun.
Siau-bun terkejut dan tergopoh-gopoh loncat menghindar. Hanya sedikit memakai tenaga kaki, orang aneh itu sudah melesat ke tengah-tengah Siau-bun dan Thian-leng.
Karena tak dapat berkutik, Thian-leng hanya mengawasi kejadian itu dengan mata melotot.
Siau-bun mencabut pedang. Tiga buah jurus ia lancarkan ke arah manusia aneh itu. Suaranya menderu-deru, sinarnya berkelebatan laksana kilat menyambar. Jurus itu dinamakan Toh beng sam-kiam atau Pedang pencabut nyawa. Sejak kecil Siau-bun sudah meyakinkannya, sehingga sudah mendarah daging.
Orang aneh itu tetap tak memakai senjata. Dengan kesepuluh jarinya yang runcing seperti cakar besi, ia menyambar pedang Siau-bun.
"Siluman, kau hendak cari mampus!" teriak Siau-bun. Ia percepat gerak permainannya. Segulung sinar perak berhamburan menyilaukan mata.
Orang aneh itu tetap tak berkisar. Matanya berapi-api membentak, "Serahkan!"
Hok Mo tongcu Tring...tring.... tahu-tahu pedang Siau-bun sudah berpindah ke tangan si orang aneh.
Kepandaian orang aneh itu benar-benar mengagumkan. Bukan hanya Siau-bun, Thian-leng pun yang masih terikat kaki dan tangannya juga tercengang-cengang.
"Budak perempuan, ayo keluarkan kepandaianmu lagi!" seru orang aneh itu seraya tertawa mengikik.
Siau-bun kaget dan marah sekali. Dengan berteriak kalap seperti orang gila, ia menaburkan tui-hong-kiong lagi.
"Eh, mainan anak kecil itu hendak kau pertunjukkan di hadapanku?" orang aneh itu tertawa gelak-gelak seraya menyapu dengan tangannya. Tring,..tring... tring... Tui-hong-kiong jatuh berhamburan.
"Silumankah engkau?" Siau-bun terlongong-longong kaget.
"Aku adalah naganya manusia, mengapa kau katakan siluman?" orang aneh
berbaju merah itu tertawa.
"Siapakah kau!" Siau-bun membentak.
"Aku adalah Hok Mo tongcu....pernahkah kau mendengarnya?"
"Apa itu" Siapa kenal dengan bangsa manusia tak ternama!"teriak Siau-bun.
Hok Mo tongcu atau kepala dari goa Hok-mo-tong, tertawa dingin, "Benar, aku memang bukan manusia ternama.
Tetapi banyak sudah tokoh-tokoh terkenal yang menyembah kakiku....." ia menyapu pandangannya kepada si nona, lalu berkata pula, "Jadi kau tak memandang mata kepadaku?"
Siau-bun membelalakkan matanya. Thian-leng masih terikat, sedang Bu-song sudah tertutuk jalan darahnya.
Menghadapi manusia setengah siluman yang berkepandaian sakti itu, ia benar-benar bingung.
"Oh, jadi kau menganggap dirimu sebagai tokoh nomor satu di dunia?" serunya sesaat kemudian.
Hok-mo-tong-cu tertegun sejenak, ujarnya, "Sekalipun bukan begitu, tetapi hampirlah!"
"Lalu apa maksud kedatanganmu kemari!"
Orang aneh itu kembali tertegun. Tiba-tiba ia membentak keras, "Budak perempuan, kau terlalu lancang!"
Siau-bun tak menghiraukan dan melanjutkan kata-katanya, "Kalau kau menganggap dirimu tokoh nomor satu di dunia, beranikah kau bertanding dengan jagoku" Cukup tiga jurus saja. Asal kau mampu menerima pukulannya, aku sedia menyerah padamu!"
"Siapa?" dengus Hok-mo-tong-cu.
"Dia!" Siau-bun menunjuk pada Thian-leng.
Wajah si orang aneh yang hitam seperti pantat kuali tampak berobah. Pada lain saat ia tertawa nyaring, "Dia seorang pemuda yang lemah, bagaimana aku sudi bertanding dengannya?"
"Jangan pakai alasan ini-itu. Pokoknya, kau berani atau tidak!" teriak Siau-bun.
Mata Hok-mo-tong-cu berkeliaran, serunya mengejek, "Jika dia sakti, mengapa diringkus orang sampai tak berkutik?"
Siau-bun hendak membikin panas hati orang aneh itu sehingga memberi kesempatan padanya untuk membuka ikatan Thian-leng. Tetapi ternyata walaupun tampaknya ketolol-tololan, orang aneh itu cerdik juga. Dia tak kena diakali.
Thian-leng tak kurang gelisahnya. Tetapi karena masih terikat. Ia tak dapat berbuat apa-apa.
Pada saat itu Bu-songpun sudah berusaha keras untuk menyalurkan tenaga dalamnya. Tetapi sampai detik itu ia belum berhasil membuka jalan darah yang tertutuk.
"Heh, heh, budak perempuan, kau tunduk padaku atau tidak ?" tiba-tiba manusia aneh itu tertawa mengekeh.
"Huh, siapa sudi mendengar ocehanmu..." dengus Siau-bun. Ia terus hendak mengulur waktu sambil mencari akal.
Orang aneh itu menatap Siau-bun tajam-tajam. Tiba-tiba ia tertawa mengikik, "Budak perempuan, aku hendak bertanya padamu. Asal kau mau menjawab sejujurnya, tentu takkan kubikin susah. Tetapi kalau berani membohong, awas"., kalian tentu akan kusiksa satu demi satu!"
"Bertanyalah!" seru Siau-bun.
Hok "motong-cu melirik Thian-leng, serunya, "Apakah dia benar Bu-beng-jin yang telah mendapat ilmu pelajaran dari It Bi siangjin itu?"
"Hm, kini kau mulai membuka kartu," kata Siau-bun. "Kalau benar bagaimana dan kalau bukan bagaimana pula?"
Hok-mo-tong-cu membentak, "Aku hanya minta kau menjawab sejujurnya. Jika kau banyak mulut, jangan sesalkan aku berlaku ganas. Tentu kuberi engkau sedikit hajaran.... lekas bilang, apakah dia benar Bu-beng-jin?"
"Benar!" Siau-bun terkejut.
Hok-mo-tong-cu tertawa puas. "Benda apapun di dunia ini, tak ada yang kuinginkan, kecuali satu ialah kitab pusaka peninggalan It Bi siangjin".." Ia berhenti sejenak lalu menyambung pula. "Apakah kitab itu berada padanya?"
"Mengapa kau tak tanya sendiri padanya?" balas Siau-bun.
Hok-mo-tong-cu tersenyum, "Kukira wanita mudah bicara terus terang".."
"Mungkin kau buta!" Siau-bun tertawa mengikik. "Jangankan aku memang tak tahu, sekalipun tahu, jangan kau harap dapat mencari keterangan dariku."
Hok mo-tong-cu marah, "Rupanya tulangmu keras sekali, budak! Jika tak kuberi hajaran tentu tak mau berkata terus terang!" tiba-tiba ia mencengkeram bahu Siau-bun.
Karena pedang dan senjata rahasianya tak berhasil, Siau-bun sudah putus asa. Dengan berteriak seperti orang gila ia menerjang manusia aneh itu. Tetapi ia terkejut sekali karena tahu-tahu tenaganya hilang. Yang dirasakan hanya angin dingin yang menghambur dari kelima jari Hok mo-tong-cu, tahu-tahu tenaganya terbawa hanyut. Dan yang lebih mengejutkan, jari-jari berhawa dingin dari Ho-mo-tong-cu itu langsung menusuknya.....
Siau-bun sudah kehilangan daya perlawanannya lagi. Ia mengerahkan tenaganya untuk bergulingan di tanah.
Keadaannya benar-benar pontang-panting.
Sebenarnya Hok-mo-tong-cu tak bermaksud sungguh-sungguh untuk melukainya. Tetapi ia sengaja menggembor keras dan melesat mendekati. Tangannya diangkat hendak dihantamkan.
"Berhenti!" teriak Thian-leng.
Hok-mo-tong-cu tertawa sinis. Ia menghentikan tinjunya, "Heh, heh, kau hendak mengaku."
Thian-leng berteriak, "Kau seorang tongcu, mengapa kau hendak menganiaya seorang anak perempuan," Apakah kau tak malu kepada dirimu?"
"Selamanya aku hanya mementingkan tujuan!" Hok-mo tong-cu tertawa.
"Manusia rendah!" damprat Thian-leng.
Menggunakan kesempatan mereka sedang berbicara, diam-diam Siau-bun beringsut ke dekat Thian-leng. Secepat kilat segera ia hendak membuka tali pengikat pemuda itu.
Tetapi hal itu tak dapat lepas dari mata Hok-mo-tong-cu. Dengan tertawa mengekeh, ia membalikkan tangannya.
Serangkum asap putih menyembur ke arah Siau-bun. Tuk ..... jalan darah Ciang-thay-hiat Siau-bun tertutuk.
Robohlah nona itu........
"Iblis tua, jangan melukainya!" teriak Thian-leng.
"Heh, heh, erat sekali hubungan kalian ini. Mereka berdua telah mengikatmu dan menyiksamu, tetapi kau masih begitu sayang kepada mereka, hm, jarang sekali ada orang semacam kau....." Hok mo-tong-cu tertawa mengejek.
Sejenak memandang kepada ketiga anak muda yang terbaring di tanah, momok itu kembali berseru, "Karena kau begitu sayang kepada mereka, baiklah hendak kusiksa mereka supaya kau dapat menikmati!"
Ia menutup kata-katanya dengan mencengkeram bahu Siau-bun. Karena jalan darahnya tertutuk, Siau-bun tak dapat berbuat apa-apa. Ia meramkan mata menerima nasib....
"Jangan menyiksanya, baik, akan kuberitahukan padamu!" teriak Thian-leng.
"Kau bawa?" Hok mo-tong-cu menghentikan tangannya.
"Tidak, tetapi aku dapat mengantarkan engkau!" sahut Thian-leng.
Hok-mo-tong-cu sangsi, "Tetapi ingat, jangan kau berani menipuku atau kalian bertiga tentu akan kusiksa sampai mati!"
"Bagaimana supaya kau bisa percaya?"
"Bersumpahlah!"
Tanpa ragu-ragu Thian-leng segera mengangkat sumpah berat.
"Dimana tempatnya?" Hok-mo-tong-cu tertawa puas.
"Sudah tentu berada di gunung Thay-heng-san!"
Hok-mo-tong-cu merenung sejenak, ujarnya. "Kalau siang malam menempuh perjalanan, lima hari baru sampai. Hm, tak apalah, karena kau sudah bersumpah, akibatnya kau tentu dapat membayangkan sendiri......"
Thian-leng tertawa, "Sekali meluluskan sudah tentu takkan bohong. Lekas lepaskan aku dan marilah kita berangkat!"
Iblis Hok-mo-tong-cu tertawa mengekeh, "Budak, enak sekali kau bicara. Sekali kulepas, habislah segala jerih payahku."
Ia mengeluarkan sehelai karung dari kain hitam, serunya, "Biarlah dalam beberapa hari aku memeras tenaga dan kaupun perlu menderita sedikit."
Habis berkata, ia terus menjinjing Thian-leng dan dimasukkan ke dalam karung, lalu dipanggulnya. Dalam keadaan begitu, tiada seorangpun yang mengira iblis itu tengah membawa karung berisi manusia.
Siau-bun dan Bu-song meskipun tak dapat berkutik, tetapi pikiran mereka masih tetap sadar. Mereka menyaksikan sendiri apa yang terjadi pada diri Thian-leng. Diam-diam timbul ah rasa sesal mereka.
Tiba-tiba Hok-mo-Tong-cu menghentikan langkah dan berputar. Ia mengambil dua butir pil merah, serunya, "Jika gagal mendapatkan kitab pusaka It Bi siangjin, aku akan kembali menyembelih kalian. Tetapi pulang pergi kesana, paling tidak tentu memakan waktu sepuluhan hari. Agar kalian jangan sampai mati kelaparan, kuberi masing-masing sebutir pil tahan lapar."
Ia menyusupkan pil itu ke mulut Siau-bun dan Bu-song.
"Kuil yang kalian pilih ini memang tepat sekali. Takkan ada orang yang datang kemari, takkan ada orang yang mengetahui kalian!"
Momok dari Hok-mo-tong itupun segera lenyap. Tak berapa lama haripun terang. Sinar matahari mulai merembes di celah-celah retakan dinding kuil, seolah berusaha menerobos masuk untuk membantu mengeringkan air mata yang membasahi pipi kedua dara itu.....
Siau-bun dan Bu-song membasuh muka mereka dengan kucuran air mata yang deras. Sampai lama mereka bungkam dibenam penyesalan.
"Taci, kita salah perhitungan!" kata Bu-song.
Siau-bun mendengus, "Bukan rencana kita yang salah, tetapi karena diganggu oleh kejadian yang tak terduga-duga!"
Bu-song menghela napas, "Bagaimanapun juga, kita mencelakai orang akhirnya mencelakai diri kita sendiri..."
"Kau menyesal?"
Bu-song tertegun, serunya, "Aku tak menyesal. Yang penting sekarang kita harus mencari akal bagaimana supaya jangan tersiksa begini!"
"Jangan takut!" kata Siau-bun, "dia hanya menutuk jalan darah kita. Beberapa saat lagi kita tentu dapat terlepas!"
Bu-song tersenyum tawar. "Ah, percuma. Ilmu tutuk iblis itu berbeda dengan yang lain. Kalau tak percaya kau boleh coba!"
Siau-bun diam-diam mengerahkan tenaganya. Tetapi sampai sepeminuman teh lamanya belum juga ia berhasil membuka jalan darahnya.
"Bagaimana?" Bu-song tertawa rawan, "rupanya kita harus menunggu ajal dengan perlahan!"
Siau-bun pun tertawa sedih, "Ah, belum tentu. Kita toh masih mempunyai waktu lima hari. Perempuan hina Ki-seng-wan itu tentu datang kemari"."
"Itu lebih celaka lagi, ia tentu akan membunuh kita!" seru Bu-song.
Siau-bun menghela napas. "Apa boleh buat kalau memang harus begitu!"
"Manusia berdaya, Thian yang berkuasa. Taci Bun. Aku tetap menganggap rencana kita ini gagal."
Siau-bun tak menyahut. Dan memang ia tak mempunyai bahan yang dapat dikatakan lagi. Adalah karena munculnya iblis Hok mo-tong itu maka rencananya gagal total, bahkan dirinya sendiripun celaka.
Kembali mereka berdiam diri.
Daerah gunung Ceng-liong-nia memang daerah terpencil, jarang didatangi manusia. Meskipun siang hari, tak tampak manusia atau binatang yang berkeliaran. Dan haripun berganti malam, berarti mereka telah tersiksa sehari.
Hari keduapun tak ada perobahan. Demikianpun ketiga dan keempat, hingga hari yang kelimapun tiba.
Menjelang magrib, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki orang berlari-lari mendatangi.
"Dia datang...." bisik Siau-bun.
"Tetapi agaknya bukan hanya seorang, apakah tidak ....." baru Bu-song berkata sampai di situ, sesosok bayangan warna ungu dan hijau menerobos ke dalam kuil. Ah, pendatang itu bukan lain Ki Gwat-wan dan Ki Seng-wan taci beradik.
Wajah mereka kumal penuh debu dan tampaknya letih sekali. Jelas bahwa mereka telah melakukan perjalanan jauh tanpa berhenti.
Begitu masuk ke dalam kuil, mereka terlongong-longong, Gwat-wan cepat menarik adiknya diajak keluar ke pintu lagi, serunya, "Adik, apa yang kukatakan ternyata benar. Pok siangkong mempunyai kepandaian yang sakti, mungkin dalam masa ini ia terhitung jago yang nomor satu. Tetapi mengapa bisa keracunan. Dan taruh kata keracunan, mengapa tidak diangkut pulang oleh anak buah Kay-pang" Melainkan hanya mengirim surat memanggil kau kemari.
Dan lagi, bukankah dia bersama gihu menuju gunung Tiam-jong-san" Sekarang mengapa gihu tak tampak?""..?"
Ki Seng-wan menghela napas, "Kita harus percaya apa yang nyata. Memang aku tak pernah berpikir begitu jauh?"".." ia melirik ke arah Bu-song dan Siau-bun lalu tertawa dingin. "Bangunlah! Karena kalian sudah berhasil menipu kami berdua kemari, ayo bangun dan bereskan perhitungan. Mengapa kalian pura-pura menggeletak di situ?"
Tetapi Siau-bun dan Bu-song tak menyahut dan tak bergerak. Suatu hal yang menimbulkan keheranan kedua taci beradik Ki itu.
"Apa kalian bisu?" tegur Ki Seng-wan.
Siau-bun dan Bu-song tetap membisu.
Walaupun marah tetapi diam-diam hati Ki Seng-wan lega juga. Ia tahu bahwa dirinya telah dijebak kedua dara itu.


Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi karena Thian-leng tak berada di situ, berarti tentu selamat. Bahwa pemuda itu terkena racun, tentu isapan jempol saja.
"Takkan kubenci kalian asal kalian mau mengatakan dia sekarang?" katanya kepada Siau-bun dan Bu-song.
Tetapi Gwat-wan cepat menarik adiknya, "Tak perlu tanya mereka, masakah kita tak mampu mencari sendiri?"
"Tetapi dunia begini luasnya, kemana kita harus mencari?" Seng-wan meragu.
Gwat-wan tertawa dingin, "Dia toh hadir dalam rapat Eng-hiong tay-hwe di gunung Tiam-jong-san. Kita kesana tentu dapat menemuinya. Paling tidak kita dapat bertanya pada orang!"
"Benar, benar. Ayo, kita kesana!" seru Seng-wan seraya terus hendak melangkah pergi.
"Tunggu!" tiba-tiba Siau-bun berseru, "tak nanti kalian bisa mencari di sana!"
Seng-wan menghentikan langkah, "Eh, mengapa" Apa dia sudah pergi?" ditatapnya kedua dara itu tajam-tajam.
"Hai, mengapa kalian terus-menerus berbaring di lantai saja?"
Bu-song mendengus, "Jika kami dapat bangun tentu tak mau membuang waktu bicara dengan engkau! Eh, coba kau tolong bukakan jalan darah Ciang-thay-hiat ini!"
Kini baru kedua taci beradik itu tahu akan keadaan kedua dara itu. Ki Seng-wan serentak hendak memberi bantuan.
"Tunggu dulu," tiba-tiba Gwat-wan mencegah, "mereka membencimu setengah mati. Mereka telah menipu supaya kau datang kemari. Jika kau tolong mereka, bukankah seperti melepas naga ke dalam lautan" Apakah kita berdua dapat hidup?"
Setelah merenung beberapa saat, berkatalah Ki Seng-wan, "Kita harus dapat memaafkan orang, jangan orang yang memaafkan kita. Bermusuhan atau bersahabat tergantung dari anggapan mereka sendiri!"
Tanpa menghiraukan peringatan tacinya, Seng-wan segera menghampiri kedua dara itu. Gwat-wan menghela napas seraya menggelengkan kepala. Ia tahu watak adiknya yang sukar dicegah.
Dua buah tamparan berhasil membuka jalan darah Bu-song dan Siau-bun.
"Apakah adik berdua tahu dimana dia sekarang?"
"Jika ingin menemuinya, harap ikut kami!" sahut Bu-song dingin. Terus ia hendak bangkit.
Ah....walaupun jalan darahnya sudah terbuka, tetapi tubuhnya masih tak dapat berkutik, seolah-olah seperti terikat oleh tali. Juga Siau-bun serupa keadaannya.
ooo000ooo Jilid 29 . Air susu dibalas air tuba
"Percuma," kata Ki Gwat-wan, "Ilmu tutukannya istimewa sekali. Kepandaian kita tak mampu membukanya. Lebih baik kita tinggalkan saja!"
Seng-wan menghela napas, "Bukan karena aku tak mau menolong kalian, tetapi benar-benar....." habis berkata ia terus mengikuti Gwat-wan pergi.
"Jangan terburu-buru," tiba-tiba Siau-bun berseru, "Tahukah kau kemana perginya" Dan tahukah kau bagaimana keadaannya sekarang?"
Seng-wan terhenti.
"Mungkin kaupun tak tahu!" ujarnya.
"Hm, kita tahu sejelas-jelasnya, tetapi tak semudah begini memberitahukan padamu!"
"Apa syaratnya?" tanya Seng-wan.
"Paling tidak kau harus berusaha membuka jalan darahku ini!" sahut Siau-bun.
Seng-wan mengerutkan dahi, "Kalau dapat membukanya tentu saat ini kalian sudah sembuh. Bukan karena tak mau membantu kalian, tetapi sesungguhnya aku tak mampu....."
"Aku ada akal!" seru Siau-bun.
"Lekas katakan! Asal aku mampu tentu tak menolak!" kata Seng-wan.
Sejenak Siau-bun berdiam diri, ujarnya, "Asal kau dapat membuka jalan darah kami berdua, tentu akan kuberitahukan dimana Thian-leng berada. Tetapi aku hendak bertanya padamu!"
"Silakan."
"Apa kau kenal Hok-mo-tong-cu?"
Seng-wan tertegun, "Tidak! Jangankan kenal, mendengar namanyapun belum pernah!"
Kata Siau-bun, "Dia mempunyai pukulan dan tutukan jari yang berhawa dingin. Dibanding dengan Sin-bu-Te-kun, Hok-mo-tong-cu lebih tinggi kepandaiannya....."
"Apakah kau berkata dengan sesungguhnya?" Seng-wan makin heran.
"Masakah aku berolok-olok!"
Seng-wan melirik kepada Gwat-wan, serunya, "Sin-bu Te-kun mendapat kesaktiannya dari kitab Im-hu-po-coan yang berinti tenaga Im-han (dingin). Kuingat dulu Sin-bu Te-kun pernah mengatakan bahwa dia hanya mendapat kitab Im hu-po-tong-cu....."
"Hai, benar!" teriak Siau-bun, "dengan begitu ilmu kepandaian kalian sesumber dengan iblis itu.... tentulah sedikit banyak Sin-bu Te-kun telah memberi kalian pelajaran-pelajaran dasar?"
"Tetapi hanya kulitnya saja!" sahut Seng-wan.
"Tak apa," kata Siau-bun, "Ini kuberitahu. Tiap hari tolong kau mengurut-urut jalan darahku yang tertutuk itu sampai tiga jam. Paling lama dalam tiga hari, betapapun hebatnya ilmu tutukan itu, tentu akan terbuka juga. Maukah kalian meluluskan permintaan ini?"
Seng-wan mengerutkan dahi, ujarnya, "Jika permintaanmu itu keluar dari hati setulusnya, aku mau. Tetapi kalau hanya siasat, aku ................"
"Adik, maukah kau mendengar nasehatku?" tiba-tiba Gwat-wan menyeletuk.
"Silakan, masakah aku tak mau mendengar?"
Gwat-wan menggeleng-gelengkan kepala, "Kedua budak perempuan ini, hatinya sekejam ular. Menolong mereka mungkin akan mendatangkan bahaya. Menurut hematku, lebih baik kita ...."
Siau-bun berteriak, "Walaupun kalian mempunyai hubungan kakak beradik, tetapi dengan kami adalah ipar. Jangan kau mengadu domba untuk meretakkan hubungan rumah tangga kami.... Ensoh," teriak Siau-bun kepada Seng-wan.
"Pok Thian-leng mengaku ayahku sebagai gihu dan ikut memakai she Pok. Dengan begitu kau adalah ensohku...!"
"Akupun saudara misan, jadi kau ensoh misanku. Apakah kau tega hendak meninggalkan tempat ini?" Bu-songpun ikut berseru.
Seng-wan memandang tacinya, "Karena ada jalan untuk menolong, aku harus berusaha melakukannya. Kalau tidak, bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan apabila bertemu dengan Thian-leng?"
Gwat-wan menghela napas dan tak berkata apa-apa lagi. Tak berani lagi ia berbicara. Ia lebih tua dari Seng-wan, tetapi karena Seng-wan sudah menikah dengan Thian-leng, iapun tak berani campur tangan menguasai adiknya lagi.
Ia tak dapat mencegah Seng-wan menolong Siau-bun dan Bu-song yang merupakan adik Thian-leng.
Seng-wan segera menghampiri Siau-bun, ujarnya, "Sekarang aku hendak mulai menggunakan ilmu Hian-im-chiu-hwat untuk mengurut jalan darahmu yang tertutuk itu. Tetapi kau sendiripun harus mengerahkan lwekangmu untuk membantu dari dalam!"
Siau-bun tersenyum kemenangan. Sambil melirik kepada Gwat-wan, ia segera mengucapkan terima kasih kepada Seng-wan. Dan mulailah Seng-wan melakukan pengurutan. Siau-bunpun mengerahkan lwekang untuk membantu menerobos jalan darahnya yang tertutuk itu.
Dengan bermuram durja, Gwat-wanpun terpaksa mengurut Bu-song. Setelah hampir tiga jam lamanya, barulah pengurutan dihentikan. Kedua kakak beradik itu mandi keringat, napasnya terengah-engah. Tiga jam mengurut, cukup menghabiskan tenaga.
"Bagaimana sekarang?" tanya Seng-wan.
Siau-bun tersenyum manis, "Boleh juga!"
"Bagus!" seru Seng-wan. "Tak perlu tunggu besok pagi, nanti saja akan kuurut lagi. Hanya harapanku, jangan kau
......mendendam!"
"Ah, enso, jangan mencurigai aku!" kata Siau-bun.
Ki Seng-wan tak menyahut. Ia memejamkan mata menjalankan pernapasan. Lewat lohor ia mendusin. "Taci, mari kita mengurut lagi!" katanya.
Gwat-wan tersenyum hambar, "Budak perempuan, kau benar-benar meletihkan aku!"
Namun sekalipun mulutnya bersungut, iapun segera mengurut Bu-song lagi. Kali ini pengurutan berjalan lebih payah.
Selang sejam kemudian, kedua taci beradik Ki itu sudah mandi keringat. Dua jam lagi haripun sudah malam. Di luar angin malam menderu-deru, menambah keseraman suasana.
Wajah kedua taci beradik itu pucat, kedua bahunyapun mulai gemetar. Jelas bahwa mereka telah menguras seluruh tenaga dalamnya. Hampir mendekati tiga jam, rupanya Seng-wan tak kuat. Mulutnya gemetar dan tubuhnya terjerembab roboh.
Pendekar Panji Sakti 22 Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto Pedang Pembunuh Naga 12

Cari Blog Ini