Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Bagian 4
"Katakanlah!" Sin-bu Te-kun terkesiap heran.
"Dewasa ini di unia persilatan telah terjadi pembunuhan, dan di mana-mana muncul ah Panji Tengkorak Darah. Tetapi kesemuanya itu palsu belaka ?" Thian-leng berhenti untuk memperhatikan wajah Sin-bu Te-kun, kemudian katanya pula: "Panji Tengkorak Darah itu sumbernya ialah dari istana Sin-bu-kiong ini. Kau bermaksud hendak membangkitkan kemarahan dunia persilatan terhadap diri Hun-tiong Sin-mo agar kau dapat mencapai tujuanmu menguasai dunia persilatan. Karena satu-satunya orang yang kau takuti ialah Hun-tiong Sin-mo. Jika dia lenyap, kau tentu mudah menguasai dunia persilatan dan malang-melintang di dunia. Tetapi kau salah ?"
Semula wajah Sin-bu Te-kun marah tetapi akhirnya tenang kembali, malah lalu berseri-seri. "Bagaimana salahnya,"
serunya. Thian-leng tertawa nyaring: "Andaikata Hun-tiong Sin-mo mati, tetapi masih ada lagi Thiat-hiat-bun "!
Sebenarnya Thian-leng belum kenal jelas pada Jenggot perak Lu Liang-ong, tetapi karena menyaksikan kepandaian dan perbawa jago berjenggot perak itu sedemikian hebatnya, maka ia mendapat kesimpulan bahwa partai Thiat-hiat-bun tentulah sebuah partai yang paling lihay sendiri.
Mendengar itu teganglah seketika kerut muka Sin-bu Te-kun. Mulutnya tergagap-gagap: "Thiat-hiat-bun " Thiat "
hiat " bun ?"
Thian-leng kembali tertawa gelak-gelak: "Dan andaikata Thiat-hiat-bun pun dapat kau lenyapkan, tetap masih ada sebuah benda yang akan menghancurkan kau. Lambat atau cepat, kelak kau pasti akan berlutut di hadapan benda itu
?" "Apa itu?" bentak Sin-bu Te-kun.
"Bu-lim-ceng-gi!" seru Thian-leng tak mau kalah nyaring. Bu-lim-ceng-gi artinya Demi kebenaran dunia persilatan.
"Bu " lim "ceng " gi ?" ulang Sin-bu Te-kun tersekat-sekat. Tiba-tiba ia tertawa sekeras-kerasnya.
Thian-leng tunggu sampai orang berhenti tertawa, baru berkata: "Sejak dahulu sampai sekarang, kecongkakan kesewenang-wenangan, kelicikan dan kejahatan, hanya dapat berjalan sementara waktu. Karena pada akhirnya kebenaranlah yang akan menang!"
*** Pertaruhan. "Budak, bukan saja kau bertulang dan berotak bagus, pun kau pandai berdebat, sungguh hebat!" Di luar dugaan Sinbu Te-kun malah memberi pujian. Hal itu mengejutkan Thian-leng yang bermaksud hendak membikin marah orang.
Diam-diam ia maki momok itu sebagai manusia yang licin dan bermuka tebal.
Terlintas dalam benak Thian-leng tentang kedudukannya pada saat itu. Ia berada dalam keadaan serba sukar. Tidak dapat mengalahkan lawan, tetapipun tak mampu lolos. Hanya ada dua pilihan baginya: Menyerah atau bunuh dri!
Diam-diam ia mempersiapkan diri, daripada malu jatuh di tangan musuh, lebih baik ia bunuh diri saja.
Perobahan air muka Thian-leng yang seolah-olah menahan gelombang kemarahan itu, tak luput dari perhatian Sin-bu Te-kun juga. Tiba-tiba ia berputar tubuh dan memandang Ni Jin-hiong dan anak buahnya.
Ni Jin-hiong dan sekalian anak buahnya pucat seketika. Mereka cukup kenal akan perangai tuannya itu. Betapa keganasan Sin-bu Te-kun telah diketahuinya. Maka heranlah mereka mengapa Te-kun begitu sabar terhadap pemuda yang berani memaki-makinya. Namun Ni Jin-hiong tak berani mengatakan apa-apa.
"Kalian keluar dulu dari halaman ini, sebelum mendapat perintah jangan masuk!" tiba-tiba Sin-bu Te-kun berseru.
Tanpa banyak bicara, Ni Jin-hiong pun segera mengajak anak buahnya keluar. Juga Thian-leng sendiripun tak kurang herannya. Namun karena sudah mantap, iapun tak acuh apa yang akan dilakukan oleh si momok. Ia besarkan nyalinya dengan tertawa dingin dan sikap congkak.
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun menghampiri. Dengan seri wajah yang ramah, ia berkata: "Lwekang-mu kuat dan ilmu pedangmu luar biasa. Menilik usiamu yang masih muda, tak mungkin hal itu mampu kau yakinkan kecuali kau memperoleh suatu rejeki yang luar biasa!"
"Mungkin!" sahut Thian-leng tawar.
"Apakah kau diterima murid oleh Oh-se Gong-mo?" Sin-bu Te-kun tersenyum.
"Tidak!"
Sin-bu Te-kun tertegun, ujarnya pula: "Oh-se Gong-mo pernah meyakinkan ilmu pukulan Lui-hwe-ciang di goa Toan-hun-tong. Dan jelas ilmu pukulanmu tadi ?"
"Tuanmu tak perlu bicara banyak dengan kau!" bentak Thian-leng.
Kembali Sin-bu Te-kun terkesiap. Namun secepat itu ia menghapus mukanya dengan tertawa: "Sejak mengangkat nama di dunia, belum pernah ada orang yang berani menghina diriku. Sejak berpuluh tahun baru kali ini yang pertama kalinya ?"
Ditatapnya wajah Thian-leng dengan tajam, lalu katanya pula: "Tetapi kupuji juga keberanianmu itu! Meskipun kau telah memperoleh rejeki luar biasa dan kepandaian yang kau miliki itu dapat digolongkan sebagai jago kelas satu, tetapi bagiku hal itu tetap tak berarti apa-apa!"
"Telah kukatakan, aku tak menghiraukan mati atau hidup. Kalah bertempur dan mati, sudah selayaknya. Momok tua, silahkan kau turun tangan!" Thian-leng menantang.
Sin-bu Te-kun geleng-gelengkan kepala: "Tidak, itu tidak adil!"
Thian-leng heran, namun ia tahu bahwa manusia licik yang ganas itu tentu menyembunyikan apa-apa dalam keramahannya. Segera ia berseru: "Bagaimana maksudmu?"
Sin-bu Te-kun tersenyum: "Baik kita mengadakan taruhan!"
"Taruhan bagaimana?"
"Akan kubuat sebuah lingkaran di tanah. Aku berada dalam lingkaran itu untuk menerima 100 jurus seranganmu!"
"Cara baru yang menarik!"
"Aku hanya bertahan, tak balas menyerang. Silahkan kau gunakan tinju, pedang, jari atau apa saja. Jangankan kau dapat melukai aku, cukup asal kau mampu membuat aku keluar dari lingkaran itu, kau menang!"
Mau tak mau Thian-leng leletkan lidah. Ia anggap hal itu tak mungkin. Pada lain saat, marahlah ia karena dirinya diremehkan sebagai anak kecil.
"Setan tua, katakan terus terang saja ilmu sulap apa yang hendak kau pertunjukkan di hadapanku!" bentaknya.
"Akan kutundukkan hati dan mulutmu!" bentak Sin-bu Te-kun marah, "berani tidak kau?"
Diam-diam Thian-leng menimbang. Sekalipun pertanyaan itu merendahkan dirinya, namun terhadap momok yang begitu jahat, perlu apa ia harus memegang peraturan persilatan lagi" Apalagi momok itu sendiri yang mengatakan.
"Karena kau yang menghendaki sendiri, baik kuterima!" sahutnya.
"Kita adakan perjanjian dulu," Sin-bu Te-kun tersenyum.
"Tuanmu tak punya perjanjian apa-apa. Terserah padamu saja!"
Kata Sin-bu Te-kun: "Kalau dalam 100 jurus kau dapat melukai atau mendesak aku keluar dari lingkaran, aku mengaku kalah dan segera membubarkan istana Sin-bu-kiong. Aku sendiripun akan bunuh diri di hadapanmu.
Puaskah kau?"
"Jangan-jangan kau nanti ingkar!" seru Thian-leng yang tak percaya akan ucapan itu.
"Tetapi kalau kau yang kalah, kau harus menyerahkan mati-hidupmu kepadaku. Entah apa yang akan kujatuhkan kepadamu, kau tak boleh membantah!" kata Sin-bu Te-kun lebih lanjut.
"Baik, kuterima!" serentak Thian-leng menyambut.
Sin-bu Te-kun tertawa meloroh: "Tetapi akupun seperti kau tadi, tak dapat mempercayai keteranganmu!"
Thian-leng terkesiap: "Apa syarat kepercayaanmu itu?"
Sin-bu Te-kun bergontaian melangkah, sejenak kemudian berseru seenaknya: "Hanya dengan sebuah cara ?"
"Cara bagaimana?"
"Bersumpah pada Thian!"
"Bersumpah pada Thian ?""
Thian-leng menatap tajam pada Sin-bu Te-kun. Ia bingung dibuatnya. Sebenarnya ia tak dapat percaya penuh pada momok itu, namun karena melihat kesungguhannya dan bahkan menurut sumpah, kecurigaannyapun mulai goyah. Ia coba merenungkan apa yang tersirat dalam maksud tuntutan itu. Kemudian tanpa ragu-ragu segera berseru:
"Tuanmu menerima tuntutanmu itu!"
Sin-bu Te-kun menyambut dengan gelak tertawa yang gembira. Tiba-tiba ia berteriak memanggil anak buahnya, Ni Jin-hiong muncul dengan dua lelaki baju biru: "Te-kun hendak memberi perintah apa?"
"Siapkan meja sembahyang!" seru Te-kun.
Jin-hiong melongo, tetapi terpaksa ia lakukan perintah juga. Tak lama meja sembahyangpun disiapkan. Setelah dupa disulut maka suasanapun berobah seram. Ni Jin-hiong pun disuruh keluar lagi, Sin-bu Te-kun segera mendahului berlutut di muka meja dan mengucapkan sumpah berat. Thian-leng heran melihatnya. Tiba-tiba Sin-bu Te-kun bangkit dan suruh Thian-leng juga mengucapkan sumpah. Terpaksa Thian-leng menurut juga.
Sesaat kemudian Sin-bu Te-kun menggurat sebuah lingkaran kecil di tanah, lalu melangkah masuk ke dalamnya, serunya: "Pertandingan boleh dimulai sekarang!"
Thian-leng menyeringai. "Kau sendiri yang mengusulkan pertandingan ini, jangan salahkan tuanmu berhati jahat!"
"Ha, ha," Sin-bu Te-kun tertawa menghina, "silahkan tumplak seluruh kepandaianmu, jangan sungkan-sungkan!"
"Baik, hati-hatilah!" seru Than-leng seraya menusuk lurus ke muka. Itulah jurus pertama dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam yang disebut Hong-jin-hun-yong. Tetapi tusukan itu digerakkan perlahan dan menggunakan 4 bagian tenaganya saja, karena ia hendak menjajaki tenaga lawannya.
Sin-bu Te-kun tegak dengan tenangnya. Begitu ujung pedang hampir menyentuh dada, tiba-tiba ia kempiskan dadanya. Ujung pedang tak dapat mengenai, tetapi tampaknya Sin-bu Te-kun seolah-olah seperti tak bergerak apa-apa. Momok itu tertawa sinis, serunya: "Satu!"
Thian-leng terbeliak. Cara penghindaran Sin-bu Te-kun itu sungguh enak sekali, walaupun sebenarnya amat berbahaya sekali. Karena ujung pedang hanya terpisah selembar rambut dari dada.
Tetapi Thian-leng tak gentar. Serangannya itu hanya percobaan untuk menjajaki tenaga lawan. Apalagi baru satu jurus, masih ada 99 jurus. Ia yakin tentu dapat sekurang-kurangnya melukai lawan.
Nok-hay-keng-liong atau Laut marah mengejutkan naga, jurus kedua dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam secepat kilat segera dilancarkan. Seketika tampak segulung sinar pedang seperti ombak besar, mendampar ke tubuh Sin-bu Te-kun. Dan tenaga yang digunakanpun ditambah menjadi sembilan bagian, sehingga menimbulkan deru angin yang dahsyat "
"Dua!" tiba-tiba terdengar Sin-bu Te-kun berseru hambar.
Kejut Thian-leng bukan kepalang. Segera ia tarik pulang pedangnya. Tak tahu ia bagaimana cara Sin-bu Te-kun menghindar tadi. Tetapi yang jelas momok itu masih tegak berdiri dengan tenang.
Thian-leng menggembor keras dan menyerang dengan jurus ketiga, Liu-hun-ci-thian atau Awan berarak menutup langit. Jurus ini merupakan yang teristimewa dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam. Seluas tiga tombak keliling, telah diliputi oleh gulungan sinar pedang. Sin-bu Te-kun pun seolah-olah tertelan dalam gulungan sinar pedang. Tetapi heran " gulungan sinar pedang yang tak dapat tertembus air hujan itu, sedikitpun tak dapat menyentuh secarik pakaian Sin-bu Te-kun!
"Tiga!" terdengar Sin-bu Te-kun berseru tawar.
Thian-leng pucat seketika. Mimpipun tidak ia, bahwa ternyata Sin-bu Te-kun itu seorang sakti yang luar biasa. Kedua kakinya tetap terpaku namun mampu menghindari gelombang sinar pedang yang sedemikian gencarnya.
Di lain pihak, Sin-bu Te-kun saat itu tampak berseri-seri memandang kepadanya. Sekonyong-konyong Thian-leng meraung. Laksana seekor harimau kelaparan, ia menerjang lawan.
Kali ini ia menyerang dengan kedua tangannya. Tangan kiri menghantam dengan pukulan Lui-hwe-sin-ciang dan tangan kanan menyerang dengan ilmu pedang Toh-beng-sam-kian. Tinju dan pedang serempak digunakan bersama.
Walaupun tubuh Sin-bu Te-kun itu terbuat dari daging baja dan tulang besi, namun tak mungkin ia dapat terhindar dari luka-luka.
"Empat!" tiba-tiba Sin-bu Te-kun berseru pula, ia tampak tegak di dalam lingkaran.
Sedikitpun kakinya tak berkisar "
Dapatkah Thian-leng memenangkan pertempuran ini"
(Bersambung jilid 5)
Jilid 5 . Ilmu melawan otak
Nyali Thian-leng turun dengan drastis. Jurus yang paling istimewa telah digunakan, namun tak dapat menyentuh secarik pakaianpun dari Sin-bu Te-kun. Iblis itu seakan-akan memiliki kesaktian dapat membuka langit menyusup bumi.
Suatu gambaran muram terlintas dalam benak Thian-leng. Kekalahan mulai membayang di mukanya, dan apakah hukuman yang akan dijatuhkan Sin-bu Te-kun kepadanya nanti..
Namun karena sudah mengucapkan sumpah, apapun hukuman itu, ia harus menerima dengan rela, dan untuk itu ia tak menyesal sedikitpun juga. Tetapi ada suatu hal yang menjadi pemikirannya. Dengan kesaktian itu, jelas bahwa Sin-bu Te-kun mudah sekali untuk membunuhnya. Mengapa ia perlu mengusulkan pertaruhan seganjil itu" Apakah yang tersembunyi di balik tindakan Sin-bu Te-kun yang aneh itu"
Tetapi ah, apa pedulinya dengan itu. Toh ia sudah mengambil keputusan. Apabila dalam jurus ke sembilan puluh sembilan nanti ia tetap gagal, segera ia hendak bunuh diri....
"Hai budak, masih ada sembilan puluh enam jurus lagi, mengapa tak lekas menyerang" tiba-tiba Thian-leng dikejutkan oleh tertawa mengejekdari Sin-bu Te-kun.
Tertawa itu membangkitkan kemarahan Thian-leng. Serentak ia menyerang lagi dengan pukulan dan pedang.
"Lima!" kembali terdengar Sin-bu Te-kun menghitung. Disusul lagi dengan seruan berturut-turut, "Enam ! ?". "Tujuh !
?""."Delapan ! ?".Sembilan ! ?"..Sepuluh ! "
Thian"-leng seperti orang kalap. Tinju dan pedang dilancarkan sederas-derasnya. Cepat sekali lima puluh jurus sudah berlangsung. Pukulannya memang sedahsyat gunung rubuh, dan tebasan pedangnya segencar hujan mencurah.
Namun Sin-bu Te-kun yang bertubuh pendek kurus itu tetap seperti bayangan saja. Jelas tampaknya ujung pedang sudah menusuk kena, tetapi entah bagaimana tiba-tiba meleset lagi ke samping. Kedua kaki momok itu seolah-olah berakar di tanah !
Thian-leng tersentak kaget demi mendengar Sin-bu te-kun menghitung sampai lima puluh jurus. Serempak ia menghentikan serangannya. Kini jelas seperti burung dara terbang di siang hari, bahwa ia akan kalah.
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, "Separoh dari seratus jurus telah selesai, ternyata harapanmu memang tipis sekali ! "
Thian-leng mengkal dan gusar sekali, gelisah dan gugup. Badannya terasa dijepit oleh dua buah batu karang yang membuatnya tak dapat bicara lagi. Tiba-tiba ia menyadari suatu kekeliruan. Serangan secara kilat memang hebat sekali. Tetapi ia tak dapat melihat bagaimana cara lawan menghindarkan diri. Masih ada kesempatan lima puluh jurus untuk mengganti siasat baru.
Keputusan itu dimulai dengan sebuah serangan perlahan menusuk ke dada lawan. Bahkan kali ini tidak menurut tata cara ilmu pedang lagi. toh Sin-bu Te-kun hanya membela diri dan tak boleh balas menyerang !
Perobahan siasat itu telah memberinya hasil seperti yang diharapkan. Pada saat ujung pedang menuju ke dada, tampak tubuh Sin-bu Te-kun bergeliatan dan pada saat itu mengeluarkan semacam tenaga lwekang lunak untuk mendorong ujung pedang ke samping, sehingga pedang itu lewat di sisinya dan orangnya berkisar ke samping!
Kini jelaslah bagi Thian-leng! Tadi karena ia menyerang secara cepat sehingga tak mengetahui gerak lawan. Kiranya kini ketahuanlah bahwa Sin-bu Te-kun bukan malaikat atau menggunakan ilmu sihir, melainkan menggunakan gerakan tubuh dan tenaga lwekang juga. Hanya gerakan dan lwekang itu memang tepat sekali digunakannya.
"Lima puluh satu". " seru Sin-bu Te-kun. ?" Hai budak, kau sungguh cerdik ! "
Thian-leng seolah-olah tak mendengar pujiannya, seluruh perhatiannya terpesona melihat keindahan jurus-jurus gerakan Sin-bu Te-kun yang luar biasa. Habis menyerang, diam-diam Thian-leng mencatatnya dalam hati.
Selanjutnya menyeranglah ia dengan perlahan-lahan. Baik memukul maupun menusukkan pedang, ia gunakan gerakan perlahan sekali. Begitu pula arah dan bagian tubuh lawan yang diserang, selalu diganti-ganti. Dengan demikian dapatlah ia mengetahui lebih banyak lagi tentang jurus-jurus Sin-bu te-kun yang ajaib.
Thian-leng tak menghiraukan lagi bahwa berturut-turut Sin-bu Te-kun terus menghitung dari lima puluh dua, limapuluh tiga , terus naik ".nalk" sehingga menjadi jurus ke sembilan puluh".
Thian-leng seakan-akan mabuk dan lupa segalanya. Seluruh pikirannya tertumpah mengikuti gerak-gerik Sin-bu Te kun yang aneh itu. Memang demikianlah orang yang mempelajari ilmu silat. Apabila menyaksikan suatu ilmu silat baru yang luar biasa anehnya, tentu akan tertarik perhatiannya. Dan Thian-leng pun seperti orang yang kena sihir! Ia lupa bahwa sepuluh jurus lagi akan selesailah pertandingan itu dengan membawa kekalahan baginya.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan lantang di tengah udara, "Budak tolol, masih tak berhenti?"
Sesosok bayangan kuning melesat dan tahu-tahu muncul ah seorang dara yang cantik sekali. Kemunculannya yang begitu mendadak dan cepat itu bukan saja mengejutkan Thian-leng, juga Sin-bu te-kun tercengang. Bagi Thian-leng merupakan suatu keuntungan karena saat itu tersadarlah ia dari pesonanya. Ia gelagapan. Ya, sepuluh jurus lagi dan ia harus bunuh diri karena menderita kekalahan!
Dipandangnya dara itu, amboi?". itulah dara yang dijumpainya di biara tempo hari. Ya, si dara baju kuning yang angkuh dan menjengkelkan! Dan serempak dengan itu, teringatlah Thian-leng pada wanita sakti Toan-jong-jin.
Kemanakah gerangan perginya wanita itu. Mengapa sampai sekian lama tak juga wanita itu unjuk diri"
Tiba-tiba ia berpaling ke arah gerombolan pohon. Ah, gerombol itu sunyi senyap saja. Hanya ada dua kemungkinan, Toan-jong-jin masih bersembunyi di situ tapi tak berani bergerak atau memang sudah pergi.
Si dara melirik Thian-leng dan tersenyum tawa.
"Bagus, dalam satu malam ini rupanya banyak tamu berkunjung. Entah bagaimana harus". "tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa. "Apakah kalian datang bersama?" tiba-tiba ia memebentak.
"Hm, siapa kenal padanya" Siapa datang bersamanya?" dengus dara itu.
Mendengar itu Thian-leng kerutkan alis. Ia mendongkol dengan sikap acuh tak acuh dara angkuh itu, namun diam-diam ia berterima kasih juga. Karena kemunculan dara itu telah membuatnya menyadari kenyataan yang dihadapi saat itu.
"Namamu?" seru Sin-bu Te-kun pula.
"Lu Bu-song ! " sahut si dara.
Sin-bu Te-kun kedipkan mata, serunya tersekat, "Lu Bu-song ".... Kau ini". "
"Kalau tak dapat mengingat, baik tutup saja mulutmu ! " lengking si dara.
Sin-bu Te-kun tersenyum, "Tetapi dari gerakan-gerakanmu datang kemari, tentulah kau seorang yang mempunyai nama besar juga, mungkin". " Sin-bu Te-kun sengaja tak mau melanjutkan kata-katanya dan segera mengganti dengan pertanyaan, "Katakan maksud kedatanganmu ! "
"Untuk menelanjangi akal bulusmu ! " seru si dara.
Sin-bu Te-kun marah, "Aku selalu bertindak dengan terang-teranga, mengapa"."
Ia tak dapat meneruskan kata-katanya karena terputus oleh ketawa Lu Bu-song yang nyaring dan panjang.
"Apa yang kau tertawakan " " tegur Sin-bu Te-kun.
Lu Bu-song berhenti tertawa dan menyahut, "Katakan saja apa rencanamu terhadap dirinya. " " Di kala mengucapkan kata-kata terakhir si dara kembali melirik ke arah Thian-leng. Setelah itu cepat-cepat berpaling ke muka lagi.
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, "Apakah kau dengan dia?" " "
"Aku hanya membicarakan persoalan, jangan banyak bicara yang tak berguna ! " bentak si dara.
Sin-bu Te-kun tertawa, "Dia berani masuk ke Sin-bu-kiong dan membunuh belasan penjaga. Menurut peraturan Sinbu-kiong, harus dijatuhi hukuman mati. Tetapi aku justru membebaskannya dari hukuman itu dan melainkan mengajaknya taruhan bertanding dalam seratus jurus. Itulah suatu kemurahan besar"."
Bu-song cebikan bibirnya, "Ucapan yang indah merdu, sayang keluar dari mulutmu ! Kecuali budak goblok itu, siapapun tentu tak percaya ! "
Thian-leng mendelik, mukanya merah padam.
"Menurutmu, bagaimanakah muslihatku itu " " Sin-bu Te-kun berseru marah.
Tangkas sekali dara baju kuning itu menjawab. "Sebelumnya kau sudah mengetahui sampai di mana tingkat kepandaiannya. Meskipun kuat, tapi tidak dahsyat. Meskipun aneh, tapi tidak sempurna. Dengan kepandaianmu, terang kau dapat mengalahkannya dalam seratus jurus. itulah maka kau lantas pura-pura jual kemurahan hati."
"Aku dapat membunuhnya dengan seketika, perlu apa harus mengatur tipu muslihat!"
"Justru di situlah letak rahasia muslihatmu!"
"Jelaskan!"
"Untuk menundukkan orang, harus menundukkan hatinya. Sekalipun kau tak dapat menundukkan hatinya, tapi kau akan membuatnya menyerah tanpa syarat, karena kau tahu dia tentu tak mau ingkar janji, seorang yang keras hati"."
"Aku tak mengerti omonganmu!"
"Melakukan sumpah, mengadakan pertandingan seratus jurus. Ya, entah apa saja yang kau usulkan dia tentu menerima, karena dia tak mau menjilat ludahnya. Apalagi selama pertandingan seratus jurus itu berlangsung, sengaja kau memberi pelajaran, sehingga dia makin jinak dalam cengkeramanmu ! "
"Perlu apa aku membutuhkannya?"
"Bakat bagus, sukar dicari. Mungkin kau hendak mengambilnya sebagai murid untuk menjadi pewarismu!"
Tiba-tiba Sin-bu te-kun tertawa keras. Lama kumandangnya bergema di seluruh istana.
"Salahkah bicaraku?" tegur Bu-song.
"Benar?".benar"." tiba-tiba Sin-bu Te-kun berhenti tertawa dan maju selangkah, kemudian tertawa sinis,
"kecerdasanmu menggembirakan hatiku. Akupun ingin sekalian memungutmu menjadi putri angkat!"
"Tak sudi!" dengus si dara.
Wajah Sin-bu Te-kun membesi seketika, serunya bengis. "Apa yang kuhendaki harus tercapai, kalau tidak, lebih baik kuhancurkan saja. Membiarkan seorang seperti kau hidup di dunia, berarti menanam bahaya di kemudian hari. Jika kau tak mau menjadi anak pungutku, lebih baik kuhancur-leburkan tubuhmu saja ! "
"Masakah kau berani!" lengking Bu-song.
"Masakah kau mampu bertanding dengan aku?" Sin-bu Te-kun marah.
Bu-song tertawa hina, "Mungkin aku tak menang, tetapi sekalipun bisa menang, akupun tak sudi mengotorkan tangan bertanding dengan manusia semacam kau?" " sejenak ia kedipkan mata, serunya pula, "Barangkali kau lupa namaku!"
Sin-bu Te-kun terkesiap, ujarnya, "Tidak, aku tak lupa, tetapi karena kau berani masuk ke istanaku, kalau kubunuhpun kakekmu yang tersayang itu juga tak dapat berbuat apa-apa terhadap aku"!"
Lu Bu-song tetap tertawa hina, "Kakekku seorang memang tak perlu kau takuti. Tetapi beliau adalah ketua dari sebuah perkumpulan besar. Dan saat ini beliau mengajak rombongan tokoh-tokoh sakti masuk ke Tionggoan.
Mungkin dalam waktu yang singkat akan menyelenggarakan suatu Eng-hiong-tay-hwee ( pertemuan besar para orang gagah), untuk menguji kepandaian dengan jago-jago persilatan dari daerah Tionggoan. Nah, hal itu besar sekali pengaruhnya terhadap kewibawaanmu.
Menjadi musuh atau menjadi kawan, tergantung pada tindakanmu?"" " ia berhenti sejenak, lalu berkata pula. " Jika berhasil mendapat dukungan partai Thiat-hiat-bun, tentu mudah sekali hendak menguasai dunia persilatan Tionggoan. Namun jika menempatkan Thiat-hiat-bun sebagai musuh, mungkin namamu akan hancur di dalam sampah.
Paling tidak kedua-duanya tentu sama menderita kerugian besar!"
Thian-leng tergetar hatinya. Kini baru ia tersadar kalau hampir saja masuk ke dalam perangkap Sin-bu Te-kun. Jika ia melaksanakan keputusannya untuk bunuh diri, bukankah akan sia-sia saja pengorbanannya itu"
Dan kini tahu juga ia bahwa orang tua jenggot perak yang menjadi ketua partai Thiat-hiat-bun itu ternyata kakek si dara baju kuning. Eh, mengapa dara itu juga menyelundup ke Sin-bu-kiong" Ia mempunyai rencana sendiri atau memang hanya hendak menolongnya"
Mengapa" Ya, Mengapa" Apakah dara itu?".."
Dan yang paling meresahkan hatinya ialah, bahwa penyaluran lwekang 18 tahun dari Oh-se Gong-mo dan ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam dari wanita Toan-jong-jin, ternyata tak dapat mengapa-apakan Sin-bu Te-kun. Taruh kata nanti ia dapat keluar dari Sin-bu-kiong, tetapi cita-citanya untuk melakukan pembalasan akan kabur selama-lamanya.
Tampak Sin-bu Te-kun mengerutkan alisnya, merenungkan ucapan si dara. Beberapa jenak kemudian tiba-tiba ia tertawa sinis, " Ha, budak perempuan, meskipun otakmu cerdas sekali, bicaramu sangat tajam, tetapi kali ini kau salah hitung!"
"Salah hitung!?" Bu-song terkesiap.
Sin-bu Te-kun tertawa keras, "Kakekmu itu menyayangi dirimu melebihi jiwanya sendiri. Segala permintaanmu tentu dituruti!"
"Boleh dikata begitulah!" sahut Bu-song.
Sin-bu te-kun makin gembira, "Kalau begitu akupun tak mau membunuh, tetapi juga tak akan melepaskanmu.
Hendak kukurung kau dalam istanaku sini"."
Bu-song tersentak kaget. Memang ia tak memperhitungkan kemungkinan itu.
Melihat perubahan wajah si dara, tertawalah Sin-bu te-kun, "Dengan barang tanggungan dirimu, masakah kukuatir kakekmu takkan menurut perintahku!"
Sejenak saja mengedipkan mata, Bu-song sudah mendapat ketenangannya lagi, serunya tawar, "Jika kemungkinan itu aku tak dapat memperhitungkan, aku benar-benar seorang goblok!"
"Andaikata dapat memikirkan, pun apa gunanya. Asal kau terkurung dalam istana ini, sekalipun kakekmu mempunyai tiga kepala dan enam lengan, juga tentu takkan berani main-main mempertaruhkan jiwamu !" Sin-bu Te-kun tertawa sinis.
"Untuk menghadapi kemungkinan itu, aku telah mengatur persiapan!" dengus Bu-song.
Sin-bu Te-kun tertegun, serunya, "Coba katakanlah ! "
Senaknya saja Bu-song berkata, "Pertama, jika kau berani menyerang aku, akupun segera memberikankan tanda".."
"Begitu kakekmu tiba, kau sudah menjadi tawananku!" Sin-bu Te-kun tertawa.
"Tentulah kau kenal pada Thiat-hiat Su-kiat dari Thiat-hiat-bun" " seru Bu-song.
Thiat-hiat Su-kiat artinya Empat tokoh gagah dari partai Thiat-hiat.
"Kalau tahu lalu bagaimana " " jawab Sin-bu Te-kun.
"Sedang aku yang masuk ke sini orang-orangmu tak mengetahui, apalagi Thia-hiat Su-kiat yang jauh lebih lihay dari aku, mungkin".."
Kali ini Sin-bu Te-kun terbeliak, serunya, "Kau maksudkan". "
"Thia-hiat Su-kiat datang bersama aku. Mereka menjaga keselamatanku secara diam-diam. Asal kau berani bertindak, merekapun tentu akan turun tangan!"
"Hm, Thiat-hiat Su-kiat mau menggertak aku?" tukas Sin-bu Te-kun.
"Mungkin tidak mampu. Tetapi sekurang-kurangnya mereka tentu melibat kau dalam pertempuran seru mengobrak-abrik istanamu. Selain itu?". " sejenak Bu-song kerlingkan ekor mata, katanya pula, "Kakekku akan memimpin rombongan tiga puluh enam Thian-kong dari tujuh puluh dua Te-sat ( nama-nama tingkatan tokoh-tokoh dalam Thiat-hiat-bun ) untuk mengurung istana Sin-bu-kiong.
Begitu di dalam istana timbul gerakan, mereka tentu segera menerjang masuk. Siapa tahu istanamu ini akan diratakan, paling tidak tentu akan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membangunnya lagi. Dan
kemungkinan juga akan meludaskan jiwamu sekali?"
Tampaknya Sin-bu Te-kun percaya akan ancaman si dara. Hatinya gelisah. Mengingat bahwa kedua anak muda itu toh mampu menyelundup dari penjagaan Sin-bu-kiong, Sin-bu Te-kun jengkel dan marah. Namun sebagai rase tua yang berpengalaman, ia tak mau menunjukkan kegentarannya. Segera ia berpaling dan berseru kepada Thian-leng,
"Pertandingan kita tadi, masih kurang sepuluh jurus. Ayo, lekas selesaikan, karena aku hendak segera membereskan budak perempuan itu"."
Sin-bu Te-kun melangkah ke dalam lingkaran dan tegak menunggu serangan. Hal itu menggelisahkan Thian-leng. Ia sudah melakukan sumpah dan menyatakan janji. Tak dapat ia menarik omongan lagi. Apalagi pertandingan sudah berjalan sembilan puluh jurus. Tetapi jika melanjutkan pertandingan, hasilnya sudah jelas.
Thian-leng seperti limbung, namun ia tetap maju menghampiri dan siap menyerang Sin-bu Te-kun lagi.
Bu-song mengikuti gerak-gerik pemuda itu. Setelah Thian-leng hendak menyerang, barulah ia berteriak, "Bu-beng-jin, apakah kau sungguh hendak jadi budaknya seumur hidup!"
Thian-leng tertegun serunya, "Janji sudah diucapkan, laksana kuda terlepas dari kendali. Bagaimana akibatnya, bukan soal. Aku hanya hendak melaksanakan janji!"
Bu-song mendengus, "Goblok, apakah kau tak dapat tak melanjutkan pertandingan itu?"
"Ini". ini"." kening Thian-leng mengerut.
Sin-bu Te-kun tertawa hina, "Hm, menolak melanjutkan pertandingan berarti ingkar janji."
"Sebagai putra persilatan, sudah tentu dia tak mau ingkar janji menolak pertandingan!" sahut Bu-song.
"Habis mengapa kau banyak mulut!" bentak Sin-bu Te-kun.
Bu-song tertawa dingin, "Aku hanya menganggap dia goblok sekali. Toh bisa saja dia minta pertandingan itu diundur!"
Thian-leng seperti orang tersadar dari mimpinya. Cepat ia menanggapi, "Benar, di dalam perjanjian tak disebut bahwa pertandingan itu harus selesai dalam saat itu juga. Maka sisa sepuluh jurus, lain hari saja kita lanjutkan. Tuanmu hendak pergi dulu!"
Jenggot kambing Sin-bu Te-kun menjengit , bentaknya, "Ngaco"..!" jubahnya mengembung, darahnya memancar keras. Ia marah sekali dan hendak menghantam Thian-leng.
"Eh, kau mau naik pitam " Lupa malu mau menyerang " " Bu-song menertawakan.
Gemetar tubuh Sin-bu Te-kun karena marahnya. " Ya, aku tak peduli bagaimana akibatnya, malam ini aku hendak membunuhmu budak !" Habis berkata segera ia mengangkat lengannya.
"Hai, jika urusan kecil tak dapat menahan hati, urusan besar tentu kapiran. Apakah kau benar-benar mau turun tangan tanpa pertimbangan lagi?"
Wajah Sin-bu Te-kun berobah seketika. Ia termangu-mangu.
Tiba-tiba terdengar tiga kali lengking genta bertalu. Seketika berserilah wajah Bu-song, serunya, "Nah, itulah kakekku sudah datang."
Seketika alis Sin-bu Te-kun mengerut cekung. Dengan mata berapi dibakar kemarahan dan kebencian dipandangnya si dara. Habis itu tanpa berkata apa-apa, ia terus melesat pergi.
Rupanya tiga kali lengking genta tadi merupakan pertandaan penting. Maka tanpa menghiraukan kedua anak muda itu, Sin-bu te-kun segera meninggalkan mereka.
Dengan muka tersipu-sipu malu, Thian-leng segera menghaturkan terima kasih, "Terima kasih, nona"."
ooo0000ooo Si dara merah Pipi Bu-song bersemu merah. Diliriknya pemuda itu dengan setengah menyesali, "Aku hanya secara kebetulan saja lewat di sini. Sekali-kali bukan sengaja datang untuk menolongmu..." tiba-tiba ia hentikan kata-katanya. Ia merasa makin memberi penjelasan makin ketahuan kalau ia memang datang memberi pertolongan.
Sebenarnya Thian-leng tak menaruh perhatian akan hal itu. Kini ia memandang ke arah gerumbul pohon tempat ia bersembunyi tadi. Cepat ia lari menghampiri. Ah, ternyata Toan-jong-jin tak berada di situ.
"Siapa yang kau cari?" tegur Bu-song.
"Tidak apa-apa?" eh kalau nona datang bersama rombongan, mengapa ?"?"
Cepat Bu-song gunakan ilmu menyusup suara menukasnya, "Apa yang kukatakan tadi hanya gertakan kosong saja.
Thia-hiat Su-kiat dan kakekku tidak tahu kepergianku!"
Thian-leng kerutkan dahinya, "Mengapa nona menempuh tempat yang berbahaya ini. Andaikan terjadi sesuatu?"
"Aku menuruti kesukaan hatiku, apa pedulimu!" Bu-song tertawa.
Thian-leng tertegun. Dara itu memang centil sekali, pintar mendamprat orang. Ujarnya, "Kalau begitu, momok itu tentu akan kemari lagi, lebih baik nona lekas tinggalkan tempat ini. Aku sudah terlanjur masuk ke sarang hantu, tak mau kupergi tanpa hasil. Sekurang-kurangnya hendak kutemui Te-it Ong-hui itu!"
Bu-song tertawa dingin, "Kalau kau tak pergi, perlu apa mengusir aku"." tiba-tiba ia merasa kelepasan omong lagi, mukanya merah. Diam-diam ia jengkel terhadap dirinya sendiri. Ia seorang dara yang centil, tetapi mengapa selalu limbung terhadap pemuda itu.
Syukur Thian-leng tak mengetahui hal itu. Ia mengerutkan sepasang alisnya, "Aku memikirkan kepentingan nona, karena kakek nona?"
Hampir Bu-song tak dapat menahan gelinya.
Jika tadi ia terlambat datang menelanjangi muslihat Sin-bu Te-kun, mungkin pemuda itu sudah menjadi seorang budak belian yang terbelenggu kemerdekaannya.
"Sekalipun aku dapat menerobos penjagaan Sin-bu-kiong yang kuat, tetapi untuk keluar tidaklah semudah itu.
Dikuatirkan momok itu sudah menyiapkan jago-jagonya untuk menutup semua jalan keluar!"
"Maksud nona, apakah?"?" Thian-leng mengerutkan kening.
"Lebih baik kutemui Te-it Ong-hui juga, mari kita bersama-sama mencarinya!" dengus Bu-song.
Thian-leng cukup kenal perangai si dara. Terpaksa ia menuruti saja. Tetapi baru beberapa langkah, kembali ia bersangsi. Gerumbul pohon cemara yang lebat dan gedung yang pintunya tertutup rapat itu, menurut Toan-jong-jin bukanlah wisma Ing-jun-wan, tetapi sebuah tempat yang berbahaya sekali. Thian-leng hentikan langkah, berdiri terlongong-longong!
"Bah, goblok, bagaimana kau?" Bu-song tak dapat menahan tertawanya lagi.
Sebenarnya jengkel juga Thian-leng selalu dimaki goblok itu. Namun karena mengingat budi terpaksa ia menahan sabar. Ujarnya, "Aku hendak mencari tempat kediaman Te-it Ong-hui, tetapi tak tahu yang mana!"
"Gedung dalam istana Sin-bu-kiong tak terhitung jumlahnya. Kamarnya ribuan buah. Sudah tentu sukar mencarinya, apalagi para penjaganya tentu tak akan membiarkan kau mencari satu persatu."
"Kalau demikian, bukankah".."
"Mumpung Sin-bu Te-kun menyambut tamu di luar, kita berusaha menerobos. Kalau tidak tentu sukar meloloskan diri!"
Thian-leng gelengkan kepala, "Sudah terlanjur masuk ke sini, tak dapat aku pergi dengan begitu saja!" Thian-leng mengucapkan kata-katanya dan lantas melangkah ke muka.
Bu-song deliki mata dan menggeram.
Jilid 6 . Namun terpaksa ia mengikuti juga. Mereka berjalan di sebuah lorong, tetapi belum setombak jauhnya, empat orang yang berjubah ungu menghalang dengan bentakan bengis.
Thian-leng mencekal pedang erat-erat, bentaknya, "Tahukah kau di mana wisma Ing-jun- wan?"
Salah seorang baju ungu itu tertawa hina, " Kami mendapat tugas untuk menjaga tempat ini. Sebelum Te-kun kembali, kalian tidak boleh pergi!"
"Eh, kalian hendak mencari mati?" Thian-leng berseru gusar. Ia kibatkan pedangnya, seketika berhamburanlah segulung sinar dingin.
Keempat penghadang itu memelihara jenggot putih yang menjulai ke dada. Matanya bersinar tajam. Baik usia dan dandanannya serupa dengan Ni Jin-hiong. Tiba-tiba mereka mencabut pedang. Gerakannya serempak dan tangkas sekali sehingga Thian-leng terkesiap.
Saat itu Bu-songpun tiba dengan dampratannya, "Goblok, mengapa tertegun?" ia taburkan tangannya, serunya,
"Keadaan sudah mendesak, mengapa tak menempur?"
Keempat pengawal baju ungu itu agak terkejut ketika diri mereka tertusuk jarum kepala burung Hong ( Hong-thau-kiong) . Mereka mundur selangkah. Tetapi jarum itu tidak beracun dan tidak mengenai jalan darah penting. Apalagi mereka berempat berkepandaian tinggi, dengan serentak jarum itu dicabutnya.
Sekalipun begitu, ilmu menebar jarum dari si dara cukup menggetarkan hati mereka. Saat itu Thian-lengpun tak mau berayal lagi. Ilmu pedang toh-beng-sam-kiam dan pukulan Lui-hwe-sin-ciang, segera dilancarkan dengan gencar !
Ilmu pedang ke empat pengawal baju ungu itu hebat juga. Apalagi mereka maju bersama, selang beberapa jurus, pertandingan tetap berimbang.
Bu-song marah bukan kepalang, dengan melengking nyaring ia menyerang dengan pedangnya. Seketika berobahlah jalannya pertempuran. Terdengar jeritan dari seorang pengawal baju ungu yang terpapas kutung sebelah tangannya!
Mendapat angin, thian-leng menggerung dan melepaskan tiga buah pukulan dan lima kali tebasan. Dengan bantuan Bu-song, sekejap saja mereka dapat mendesak mundur ketiga lawannya.
"Lekas lari!" seru Bu-song seraya menerobos keluar. Tetapi baru beberapa langkah, ia sudah didampar oleh tenaga dahsyat dan bentakan keras, sehingga kepalanya pusing. Hampir saja dara itu tak dapat mempertahankan keseimbangan dirinya.
Thian-leng yang menyusul tiba terkejut sekali. Ternyata yang menghadang kali ini adalah Ni Jin-hiong. Di Belakangnya tegak belasan anak buahnya dalam seragam warna ungu. Jelas mereka itu ialah rombongan jago-jago kelas satu dalam istana Sin-bu-kiong.
"Hm, apakah kalian hendak menghadang kami?" bentak Bu-song.
"Bukan hanya menghadang, tapi hendak mencincang kalian berdua?" sahut Ni Jin-jiong dengan bengis. Kemudian ia memebri perintah kepada anak buahnya, "Tangkap kedua budak itu hidup atau mati!"
Belasan jago-jago kelas satu itu mengiyakan. Serempak mereka menyerang. Thian-leng cepat menyrang Ni Jin-hiong.
Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena pernah menderita kerugian menghadapi ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam maka Ni Jin-hiong bertempur dengan hati-hati sekali, maka dapatlah Thian-leng mendesaknya mundur. Sambil menarik pulang serangan, Thianleng berseru pada Bu-song dengan ilmu menyusup suara, "Harap nona lekas lolos, biarlah aku yang menghadapi urusan di sini"."
"Goblok! Jangan banyak bicara kosong, curahkan perhatianmu sepenuhnya untuk menghadapi musuh!" tukas Bu-song juga dengan ilmu menyusup suara.
Thian-leng mengerutkan keningnya. Ia bertempur lagi dengan seru. Belasan jago-jago baju ungu itupun cepat menerjang. Kepandaian mereka memang hebat, apalagi jumlahnya banyak. Bu-song terkurung dan Thian-leng pun sibuk sekali.
Bu-song menggunakan taktik, sambil memainkan pedang, tangan kirinya tak henti-hentinya menaburkan jarum Hong-thau-kiong. Setiap batang jarum tentu mendapat hasil, tetapi karena jarum itu tak beracun dan hanya dapat menimbulkan luka kecil, maka belasan jago baju ungu itupun tidak menderita apa-apa. Mereka tetap melancarkan serangan bertubi-tubi. Tak berapa lama, jalannya pertempuranpun berubah lagi.
Ilmu pedang Bu-song tak sehebat ilmu pedang Thian-leng. Jarum Hong-thau-kiong pun telah dipakai habis.
Berhadapan dengan Ni Jin-hiong saja, Thian-leng sudah payah, apalagi menghadapi serangan serempak dari belasan jago-jago lihay. Sudah tentu makin payah lagi. Kedua anak muda itu berada dalam keadaan berbahaya, sewaktu-waktu tentu akan celaka.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan merah melayang tiba. Ketika masih berada di udara, orang itu menaburkan senjata rahasia. Seketika dua orang baju ungu terjungkal rubuh. Tiga orang lagi menderita luka parah dan terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang, lalu jatuh terduduk di tanah!
Hebat sekali. Rombongan pengawal baju ungu itu adalah jago-jago kelas satu dalam istana Sin-bu-kiong, bahwa sekali muncul, pendatang tak dikenal itu dapat merubuhkan lima orang baju ungu sungguh mengejutkan sekali. Ni Jin-hiong menjadi pucat dan terpaksa ia mundur serta menghentikan serangannnya.
Ketika pendatang itu sudah melayang tiba di tanah , sekalian orang semakin terbeliak kaget. Bukan dewa bukan lelaki gagah perkasa, melainkan hanya seorang dara yang cantik jelita, segar meriah dalam pakaian merah menyala.
Thian-leng terbelalak matanya. Ia seperti pernah melihat dara itu tapi entah di mana.
"Hai, siapa kau budak," teriak Ni Jin-hiong, "kau berani mengganas dalam istana Sin-bu-kiong" Hm, tidakkah kau mengetahui bahwa istana ini mudah dimasuki tapi sukar keluarnya?"
Si dara merah itu tertawa hina, "Kalau berani masuk tentu berani keluar!"
" Tetapi Sin-bu-kiong toh tak bermusuhan padamu, mengapa kau menggunakan senjata rahasia mengganas anak buah kami " "
Secepat kilat dara merah itu mencuri lirik ke arah Thian-leng dan Bu-song, lalu tertawa dingin, " Senjata rahasia milikku itu tanggung tak beracun, tetapi dapat menembus ke jantung dan menyebabkan orang mati seketika ! "
Ni Jin-hiong menggertek gigi, " Kalau tak dapat mencincang tubuhmu, aku segera akan bunuh diri di tempat ini !"
"Ih, mungkin kau tak mempunyai kemampuan melakukan hal itu," ejek si dara baju merah. Tiba-tiba menaburkan senjata rahasia jarum. Tetapi Ni Jin-hiong sudah siap. Ia mengerahkan lwekang untuk menutup seluruh jalan darahnya.
Tring " tring" terdengar dering jarum terbentur benda keras dan jatuh berhamburan ke tanah.
Si dara baju merah terbeliak kaget. Ia tak mengira bahwa kepala pengawal Sin-bu-kiong memiliki ilmu Thiat-poh-san ( ilmu baju besi) yang tak tembus jarum Tui-hong-kiong.
Selagi dara itu masih terkesima, tiba-tiba Ni Jin-hiong menerkam dengan jurus Jip-hay-kin-kau (masuk ke laut menangkap naga ). Marah sekali kepala pengawal Sin-bu-kiong itu , maka serangannyapun dilakukan dengan cepat dan dahsyat sekali.
Tiba-tiba terdengar lengking bentakan, "Berhenti!" Menyusul sesosok tubuh langsing melayang di udara.
Ketika orang itu tiba di tanah, kembali sekalian orang terbeliak matanya"..
Ternyata yang muncul itu ialah Te-it-ong-hui Hong-ing sendiri, di kuti oleh keempat dayangnya. Ni Jin-hiong dan belasan pengawal baju ungu itu segera menghaturkan hormatnya.
"Sudahlah, jangan banyak peradatan!" Ma Hong-ing melambaikan tangannya.
Ni Jin-hiong segera menggunakan ilmu menyusup suara, "Adik Ing, mengapa kau tak tahu gelagat" Mengapa kau mencampuri urusan ini. Kalau Te-kun sampai mengetahui hubungan kita berdua"."
Sahut Ma Hong-ing juga dengan ilmu menyusup suara, " Lain-lainnya boleh kau bunuh, tetapi dara baju merah ini jangan kau apa-apakan! "
" Wanita selalu lemah hati! Apakah kau tak takut membuat kapiran urusan besar?" masih Ni Jin-hiong menyanggah.
"Ni cong-houhwat!" bentak Ma Hong-ing dengan suara biasa. Tidak lagi menggunakan ilmu menyusup suara.
Sekalipun marah sekali, namun di hadapan para pengawal baju ungu terpaksa Ni Jin-hiong berlaku hormat kepada
"permaisuri" ini. Buru-buru ia mengiyakan.
"Dara baju merah itu hendak kubawa pergi"." Ma Hong-ing menuding pada Thian-leng dan Bu-song. "Mereka berdua terserah padamu hendak mengurusnya. Lain-lainnya harus segera melapor kepada Te-kun.!"
"Baik, hamba segera mengerjakan!" Ni Jin-hiong mengiyakan. Kemudian ia menggunakan ilmu menyusup suara,
"Hong-ing, kau gila! Jika Te-kun menyelidiki, bagaimana kau hendak menjawab. Jangan karena urusan kecil membikin kapiran urusan besar. Ada hubungan apa kau dengan budak perempuan ini hingga kau hendak
melindunginya!"
Ma hong-ing pun menyahut dengan ilmu suara, "Lain-lain urusan memang aku boleh berunding dengan kau. Tetapi urusan ini, janganlah kau bertanya. Jika takut urusan kita ketahuan Te-kun, bunuh saja budak laki itu. Lebih baik kalau dapat menemukan jejak kedua taci beradik Ki".. Entah bagaimana akibatnya, sekalipun harus mempertaruhkan jiwa di hadapan Te-kun, tetap aku harus menolong anak peremouan ini!"
Habis itu segera ia memberi anggukan kepada si dara baju merah," Ikutlah aku!"
"Kemana?" si dara baju merah tertawa dingin.
Ma Hong-ing tertegun. Buru-buru ia gunakan ilmu menyusup suara, "Hendak kutolong jiwamu dan mengantarkan engkau keluar dari istana ini! Lekas!"
Sudah tentu dara baju merah itu tertegun. Heran ia mengapa Te-it-ong-hui ini begitu baik hati kepadanya. Setelah merenung sejenak, segera ia memaberi isyarat mata kepada Thian-leng, serunya, "Mengapa tak ikut!"
Karena ingin bicara berdua dengan Ma Hong-ing untuk meminta penjelasan tentang asal-usul dirinya, maka Thian-lengpun segera meloncat mengikuti. Lu Bu-song juga segera menyusul. Tetapi secepat itu Ni Jin-hiong dan rombongan pengawal segera menghadang, "Tinggalkan jiwamu!"
Ni Jin-hiong memelopori. Ia mencengkeram dengan ke sepuluh jarinya. Thian-leng cepat menyabet siku lengannya.
Karena gentar akan ilmu pedang si anak muda, Ni Jin-hiong menarik kembali cengkeramannya dan berganti menusuk dengan sebuah jarinya. Seketika itu dada Thian-leng seperti dilanda lwekang yang berat. Cepat-cepat ia menagkisnya dengan pukulan Lui-hwe-sin-ciang.
Terjadi suatu benturan antara lwekang keras dan lwekang lunak. terdengar semacam suara mendesis, kedua macam lwekang itu hampir buyar kekuatannya. Thian-leng masih merasakan tubuhnya seperti terserap lwekang dingin sehingga ia menggigil dan terpaksa mundur selangkah.
Kedua pihak bergerak cepat sekali. Dua jurus serangan hanya berlangsung dlam sekejap mata saja. Celakanya, ketika Thian-leng terhuyung mundur, belasan pengawal baju ungu itupun segera mengepungnya.
Di lain pihak Lu Bu-song pun mendapat rintangan berat. Ia mainkan pedangnya dan berhasil mendesak dua pengawal baju ungu. Berbareng itu si dara berbalik dan menaburkan serangkum jarum Tui-hong-kiong ke arah Ni Jin-hiong.
Saat itu Ni Jin-hiong tengah memusatkan perhatiannyauntuk membinasakan Thian-leng. Serangan jarum dari belakang oleh si dara baju merah itu membuatnya sedikit lambat menangkis. Apalagi jarum si dara baju merah itu memang tak mengeluarkan suara. Betapapun Ni Jin-hiong berusaha hendak menghindar, namun tak urung pahanya tertusuk juga. Sebatang jarum telah menembus pahanya. Sakitnya bukan kepalang. Karena marahnya ia berkaok-kaok seperti kerbau. Dengan berputar tubuh, cepat ia menyerang si dara baju merah. Kacaulah jalannya pertempuran, acak-acakan tak keruan.
"Berhenti!" tiba-tiba Te-it Ong-hui Ma Hong-ing membentak nyaring.
Belasan pengawal baju ungu meloncat mundur. Ni Jin-hiong pun terpaksa mendengus dan mundur beberapa langkah.
"Apa kau sudah bosan hidup " " tatap Ma Hong-ing kepada si dara baju merah.
Dara itu tertawa ringan, "Belum tentu kalian dapat merenggut jiwaku!"
Ma Hong-ing membanting-banting kaki, "Ah, sungguh tak nyana, kaupun menirukan perangainya?"".sekalipun mempunyai tiga kepala enam lengan, belum tentu kau dapat keluar dari istana Sin-bu-kiong!"
Dara baju merah itu mengerutkan alisnya keheranan".Bukan saja tingkah laku Ma Hong-ing itu tak wajar, tetapi ucapannya"."tak nyana kaupun menirukan perangainya?". makin membuatnya tak mengerti. Siapakah perempuan yang dimaksudkan dengan "nya" itu" Dan perlu apa ia harus mengucapkan kata-kata semacam itu"
Tiba-tiba dari dalam gedung terdengar suara genta bertalu. Ma Hong-ing tegang wajahnya, buru-buru ia gunakan ilmu menyusup suara, "Budak perempuan, jika kau ingin hidup, lebih baik iktu aku tinggalkan tempat ini. Begitu Tekun datang bersama anak buahnya, tentu sudah terlambat"..!
Kutanggung tentu dapat mengantarkan engkau keluar. Kalau kau masih penasaran, di kemudian hari bolehlah kau kemari lagi ! "
Rupanya kali ini termakan dalam hari si dara baju merah. Sahutnya dengan ilmu menyusup suara, " Aku mau, tetapi pemuda she Kang itupun harus bersama-sama diantar keluar! "
Berobahlah wajah Ma Hong-ing sesaat. Diam-diam ia menghela napas, "Keparat apakah kau juga jatuh hati kepadanya".." ia merenung sejenak, lalu cepat menjawab, "Baik! Kuturuti permintaanmu!"
Wajah Ni Jin-hiong mengerut. Marah dan gelisah, mengkal dan cemas. Tetapi di hadapan rombongan pengawal anak buahnya, tak mau ia mengunjukkan reaksi apa-apa.
Rombongan baju ungu yang menjadi jago-jago kelas satu dalam istana Sin-bu-kiong itupun tercengang heran. Mereka saling berpandangan. Mereka menyaksikan sendiri keeratan hubungan Ong-hui dengan si dara baju merah. Aneh, mengapa Ong-hui tak membunuhnya tetapi kebalikannya malah hendak mengantarnya keluar" Hubungan apakah antara Ong-hui dengan dara itu" Namun kedudukan Ong-hui dalam Sin-bu-kiong hanyalh di bawah Sin-bu Te-kun.
Wanita itu merupakan orang kedua yang berpengaruh. Walaupun pengawal baju ungu itu tak keruan perasannya, namun mereka tak berani berbuat apa-apa.
"Serahkan ketiga budak itu kepadaku. Silakan kalian mundur semua!" tiba-tiba ma Hong-ing berseru keras kepada Ni Jin-hiong.
Ni Jin-hiong gelagapan".." Ini" hamba takut kepada Te-kun!" Buru-buru ia gunakan ilmu menyusup suara mendamprat, "Ma Hong-ing, apa kau benar-benar sudah gila " "
Wajah Ma Hong-ingpun menggelap beku, bentaknya,"Te-kun belum hadir, akulah yang berkuasa. Apa kau berani membangkang perintah Ong-hui?" Tetapi secepat itu juga ia segera menggunakan ilmu menyusup suara,"Barisan Bi-hun-tin di belakang wisma Ing-jun-wan, cukup untuk menahan kedua budak laki perempuan itu. Saat itu bolehlah kau menghancurkan mereka, aku tak perduli. Tetapi anak perempuan baju merah ini harus kuantar keluar istana!"
Dengan mengerutkan gigi, terpaksa Ni Jin-hiong mengiyakan. Belasan pengawal baju ungu itupun meloncat mundur dan menghilang dalam kegelapan.
"Kaupun mundur juga!" bentak Ma Hong-ing kepada Ni Jin-hiong. Lalu menyusuli kata-katanya dengan ilmu menyusup suara, "Hendak kubawa mereka melalui barisan Bi-hun-tin, pergilah kau mengatur persiapan dulu!"
"Harap Ong-hui berhati-hati, hamba mohon diri," buru-buru Ni Jin-hiong memberi hormat dan ngeloyor pergi.
Kini dalam halaman yang luas itu hanya tinggal empat orang saja. Tiba-tiba thian-leng melangkah menghampiri Ma Hong-ing.
"Mah".!" serunya lirih.
Ma Hong-ing terbeliak. Bu-song dan si dara baju merahpun terkesiap kaget! Tetapi pada lain saat wajah Ma hong-ing pun membeku! "Tentulah kau sudah tahu bahwa aku bukan ibu kandungmu!"
Thian-leng mengakui Ma Hong-ing sebagai ibunya karena percaya akan keterangn wanita sakti Toan-jong-jin. Tetapi sikap Ma Hong-ing yang sedemikian dingin membuatnya ngeri. Cepat-cepat Thian-leng menyusuli kata-katanya pula,
"Kutahu kau adalah ibu kandungku. Sekarang aku ingin tahu siapa ayahku dan sebab apa kau menetap di istana Sinbu-kiong menjadi istri Sin-bu Te-kun, mengapa".?"
"Aku tak butuh membohongimu! Aku tak butuh anak semacam engkau! Aku ingin mencacah-cacah tubuhmu agar puas penasaran hatiku!"
Hati Thian-leng seperti disayat-sayat. Dia tak berdaya mengetahui hal yang sebenarnya. Dan sesaat timbul ah kesangsiannya akan ucapan wanita Toan-jong-jin. Menilik sikap Ma Hong-ing itu tak menyerupai seorang ibu kandung.
"Kasih tahu aku hal yang sebenarnya!" teriak nya kalap.
Namun Ma Hong-ing hanya tertawa sinis, "Biarlah kau merasakan siksaan batin begitu. Selamanya tak sudi aku memberitahukan kepadamu!"
Thian-leng mengertek gigi, "Tetapi aku sudah mendengar dari seseorang!"
"Siapa?" Ma Hong-ing terbeliak.
"Toan-jong-jin!" sahut thian-leng. Ia tertegun. Tak tahu ia siapa nama sebenarnya dari wanita sakti yang menggunakan nama samaran Toan-jong-jin atau si Patah hati itu.
"Toan-jong-jin"." Ma Hong-ing tergugu. "Bagaimana wajah orang itu?"
"Seorang wanita tua yang sudah berambut putih!"
Kendor ketegangan di dahi Ma Hong-ing, ujarnya," Wanita tua". mungkin kau menjumpai seorang wanita edan!"
Si dara baju merah terkejut. Wajahnya sebentar pucat, sebentar merah. Jelas bahwa ia menderita goncangan hati.
"Sekalipun aku tak tahu nama beliau, tetapi rupanya ia mempunyai hubungan erat dengan beliau. Tentunya kau dapat menduga siapa orangnya!" seru Thian-leng.
"Apa hubunganku dengan dia?" Ma Hong-ing terkesiap.
"Beliau mengatakan bahwa kau pernah menjadi budaknya pada tujuh belas tahun yang lalu!"
Mendengar itu seketika pucatlah wajah Ma Hong-ing. Tubuhnya gemetar dan terhuyung mau rubuh. Mulutnya meracau, "Dia" Apakah dia hendak sungguh-sungguh menyelidiki urusan ini"! Kata-katanya itu diucapkan seperti orang mengoceh tak keruan sehingga si dara baju merah yang berada di dekatnyapun tak mengerti maksudnya.
"Benar, memang dia! Dan saat ini beliaupun sudah berada dalam istana ini!" seru Thian-leng.
Ma Hong-ing melonjak kaget, serunya,"Apa" Dia ". msauk ke dalam istana ini, dia". berada di mana?"
Thian-leng mengerutkan alisnya. Diam-diam ia merasa aneh mengapa mendadak Ma Hong-ing begitu tegang ketika mendengar kisah tentang Toan-jong-jin. Ah, tentu ada sesuatu yang terselip di antara kedua wanita itu!
"Entah beliau berada di mana, tetapi tentu masih berada di dalam istana ini". Beliau seorang wanita yang memiliki kepandaian sakti. Mau datang bisa datang seketika. Mau pergipun dapat lenyap seketika. Istana Sin-bu-kiong yang begini kecil mana mampu menghalanginya?"
Tiba-tiba Ma Hong-ing mendongak dan tertawa nyaring, "Baik, biarlah datang! Agar segala urusan dapat dibereskan!"
"R upanya kau mempunyai hubungan yang berbelit-belit dengan Toan-jong-jin itu".!" tiba-tiba si dara melengkingkan tawa ejekan kepada Ma Hong-ing.
"Aku tak kenal dengan segala macam Toan-jong-jin"! bentak Ma Hong-ing. Berpaling pula kepada Thian-leng berserulah ia dengan menggertek gigi. "Jangan coba memburuk-burukkan namaku. Masakah aku pernah menjadi budak orang. Lelucon yang edan".!"
"Habis mengapa kau perlu memelihara aku selama tujuh belas tahun" Mengapa kau tak mau memberitahukan nama ayah bundaku " Mengapa kau menjerumuskan aku supaya mati bersama Hun-tiong Sin-mo" Mengapa " " "
"Aku tak punya waktu ribut-ribut dengan kau"!" Ma Hong-ing membentak bengis.
"Lekas! Kalau ayal tentu terlambat!" Ma Hong-ing berseru kepada si dara baju merah. Tanpa menghiraukan reaksi Thian-leng dan si dara baju merah lagi, iapun terus mengayunkan langkah. Keempat bujangnya segera mengiringkan.
Si dara baju merah memberi anggukan kepada Thian-leng lalu mengikuti Ma Hong-ing. Sementara itu Bu-song yang masih terlongong-longong mendengari percakapan itu, begitu melihat Ma Hong-ing pergi, segera menggamit Thianleng, "Goblok ! Mengapa tak lekas mengikuti wanita itu. Jika Te-kun sampai muncul kemari, tentu sukarlah lolos.
Rupanya Ong-hui itu memang bersungguh hati hendak menolong si gadis baju merah itu tadi. Ayo , kita ikuti ! "
Thian-leng seperti tersadar dari mimpi. Cepat ia melesat.
Ma Hong-ing di ringi keempat dayangnya berjalan di sebelah muka, menyusur lorong yang berliku-liku.
Tetapi mereka berjalan perlahan dan setiap kali berhenti, seolah-olah kuatir ketahuan orang. Si dara baju merah mengikuti di belakangnya. Tiap-tiap kali ia berpaling ke belakang menengok Thian-leng dan Bu-song.
Karena pikirannya dipusatkan untuk mengungkap asal-usul dirinya, Thian-leng tak sempat memperhatikan diri si dara baju merah. Tetapi rasanya ia pernah kenal, tetapi entah di mana. Dia mengikuti di belakang si dara. Tiba-tiba timbul keinginannya bertanya, "Terima kasih atas bantuan nona tadi, entah nona".. "
"Apa yang hendak kau tanyakan?" tukas dara baju merah itu.
"Rasanya aku pernah kenal dengan nona, tetapi entah di mana?" kata Thian-leng.
"Benar?" dara itu mengulum tawa, "mengapa aku tak merasa?"
Thian-leng terpaksa menyeringai, "Mungkin aku yang lupa".!" Entah siapakah nama nona".."
"Cu Siau-bun"..!"
Thian-leng seperti disengat lebah, ulangnya,"Cu".Siau".bun"!"
"Apa kau sungguh kenal padaku?" dara baju merah itu melengking.
Thian-leng sejenak tertegun, lalu menggelengkan kepala, "Tidak! Hanya karena mendengar nama nona, maka teringatlah aku akan seorang sahabat. Sejak berpisah, aku belum tahu rimbanya?"!"
Thian-leng menghela napas panjang.
"Apakah kau teringat padanya?" Cu Siau-bun bertanya dengan nada bersemangat.
Thian-leng mengangguk, " Sudah tentu, dia banyak melepas budi padaku, dan lagi". "
"Dan lagi bagaimana?" tukas Cu Siau-bun.
Thian-leng menghela napas sebelum menyahut, "Dia pernah mengucap janji indah kepadaku. Dikuatirkan di dalam kehidupan sekarang hal itu sukar terlaksana, mungkin besok dalam penjelmaan yang akan datang!"
Wajah Cu Siau-bun berwarna merah, bisiknya, ? Mungkin dalam kehidupan sekarang hal itu bisa terlaksana. Apabila aku dapat mencari orang itu, apakah kau masih bersedia memenuhi janji itu" Bersama-sama mengasingkan diri dari dunia keramaian dan hidup tenang sampai di hari tua. " "
Sampai beberapa jenak Thian-leng tak menyahut. Dipandangnya dara itu lekat-lekat. Cu Siau-bun risih, buru-buru ia berpaling ke muka lagi.
"Di saat dan tempat seperti sekarang, mengapa nona mengemukakan hal itu?" tanya Thian-leng.
Cu Siau-bun menghela napas, ujarnya," Aku hanya menruh simpati kepada kalian. Tetapi mungkin aku dapat membantu kalian agar kalian dapat melaksanakan cita-cita kalian itu!"
Thian-leng menghela napas rawan. "Ah, mungkin dalam kehidupan sekarang hal itu sukar. Karena setiap saat jiwaku terancam maut, dan aku kuatir sahabatku itupun sudah". tiada di dunia lagi!"
Tiba-tiba Cu Siau-bun tertawa, "Mengapa karena aku maka kau lantas teringat padanya?"
"Karena nama nona sama dengan dia! Sahabatku itupun bernama Cu Siau-bun, dan lagi?" ia berhenti sejenak, "maaf, meskipun tubuhnya lemah dan sakitan, tetapi mirip sekali dengan nona". inilah sebabnya kukatakan aku seperti pernah kenal dengan nona!"
Cu Siau-bun merah mukanya. Ia menundukkan kepalanya dan tidak mengatakan apa-apa.
Pembicaraan kedua anak muda itu didengar jelas oleh Ma Hong-ing. Tetapi ia tak mau mencegah. Bu-song pun menangkap pembicaraan itu. Juga seperti Ma Hong-ing ia mengerutkan dahi.
Tiba-tiba Ma Hong-ing berhenti. Tibalah mereka di muka sebuah gedung. Meskipun kala itu sudah musim rontok, tetapi beberapa batang pohon dahlia masih menyiarkan bau yang harum. Pintu gedung yang bercat merah perlahan-lahan terbuka. Setelah melepaskan pandangan ke sekeliling penjuru, Ma Hong-ing pun segera melangkah masuk.
Keempat dayang dan anak-anak muda itupun mengikuti di belakangnya.
Gedung itu sebuah gedung bertingkat yang luas dan indah. Lampunya terang benderang, kain jendela warna warni.
Gedung itu adalah Ing-ju-wan (wisma menyambut musim semi) yang didiami oleh Te-it Ong-hui Ma Hong-ing.
Ma Hong-ing segera membisiki keempat dayangnya. Keempat dayang itupun segera menuju ke ruang belakang.
Thian-leng gelisah. Bukan karena menghadapi bahaya maut, bukan pula takut memikirkan bagaimana akibatnya nanti. Ia hanya merasa dadanya penuh sesak seolah-olah tertindih batu besar.
Sesaat kemudian tampak Ma Hong-ing bergegas ke arah Cu Siau-bun, "Dari belakang gedung kediamanku ini dapat menembus keluar. Sekarang tiada tempo lagi untuk menahan kalian lebih lama, segeralah kalian keluar dari istana ini.!"
Ma hong-ing segera mengitari sebuah loteng kecil lalu menuju ke bagian belakang. Setelah beberapa kali membelok, tibalah di sebuah lorong yang gelap. Rupanya lorong itu disanggah oleh tonggak-tonggak balok besar. Tonggak-tonggak itu dipenuhi semak-semak lebat sehingga pada malam hari makin tampak gelap.
Ma Hong-ing mempelopori di muka. Tiba-tiba Cu Siau-bun mendengus dingin, "Jangan cepat-cepat!"
Ma Hong-ing menghentikan langkahnya, "Mengapa?"
"Katakan terus terang, kau hendak mengatur perangkap apa " " Cu Siau-bun berseru bengis.
Mata Ma Hong-ing berkaca-kaca, katanya dnegan nada gemetar, "Nak, aku tak memasang perangkap apa-apa, kecuali hendak menolongmu keluar dari bahaya" " Dua butir air mata keluar dari mata Ma Hong-ing, buru-buru ia melengos ke samping.
Cu Siau-bun tergetar hatinya. Dari sinar matanya yang rawan, ia mendapat kesan bahwa air mata Ma Hong-ing itu sungguh-sungguh air mata kesedihan. Beberapa perkataan yang sedianya hendak dilontarkan kepada Ma hong-ing terpaksa tak jadi diucapkan.
Sebagai gantinya kini timbul ah berbagai macam perasaan heran. Betapapun ia membuat analisa, namun tetap tak memperoleh jawaban. betapapun kejam sikap Ma Hong-ing terhadap puteranya, namun mengapa wanita itu bersikap begitu sayang sekali kepadanya. Mengapa wanita itu mengucurkan air mata" Mengapa menyebutnya pula dengan kata-kata"anak?" Dan mengapa bertekad keras untuk menolong dirinya keluar dari Sin-bu-kiong" Ya , mengapa, mengapa".."
Berdenyut-denyut otak Cu Siau-bun merenungkan sikap dan tindakan Ma Hong-ing yang begitu aneh. Namun tak jua ia dapat menyingkap tabir teka-teki yang menyelimuti diri Ma Hong-ing.
Tiba-tiba pikirannya jauh melayang ke puncak lamunan yang ngeri. Ah, tidak, tidak ! Tak dapat ia mempunyai ikatan apa-apa dengan wanita yang ganas ini. Biar, biarlah ".. tak mau Cu Siau-bun menyelidiki rahasia apa yang terselip antara Ma Hong-ing dengan dirinya. Biarlah hal itu terpendam. Ngeri ia membayangkan andaikata Ma Hong-ing itu benar-benar mempunyai ikatan hubungan darah dengan dirinya!
Tiba-tiba ia menemukan suatu keputusan yang seram. Ya, tak ada jalan lain kecuali harus melenyapkan Ma Hong-ing.
Asal wanita itu mati, maka segala rahasia"-andaikan ada- biarlah turut lenyap selama-lamanya.
Saat itu tampak Ma Hong-ing membesut air matanya, kemudian berpaling ke arah Cu Siau-bun, "Nak, percayalah kepadaku. Jika lambat tentu sudah kasip."
Tetapi Cu Siau-bun sudah mempunyai keputusan. Sahutnya tertawa, "Apakah kau sungguh hendak menolong kami dari bahaya?"
"Perlukah aku bersumpah?" Ma Hong-ing berkata dengan nada berat.
"Hal itu tak perlu, hanya saja". " Cu Siau-bun sejenak kerlingkan pandangannya ke arah lorong gelap, katanya,"
Lorong segelap itu, masakah tak tada perkakas rahasianya?"
"Nak, kau memang terlalu curiga," Ma Hong-ing banting-banting kaki, " Di dalam istana Sin-bu-kiong terdapat lebih dari dua belas lorong yang segelap itu. Meskipun lorongnya berliku-liku dan sempit, tetapi dapat menembus keluar istana?". ", ia berhenti sejenak dan katanya pula, "Memang lorong itu dijaga oleh jago-jago tangguh, tetapi asal aku mengantar kalian sampai di pintu istana, tentulah kalian selamat"."
Cu Siau-bun tertawa dingin, "Sin-bu-kiong dapat dimasuki dari empat penjuru. Ketika kami masuk, kami tak menemukan rintangan apa-apa. Perlu apa kau harus memilih jalan gelap yang begini berbahaya?"
Wajah Ma Hong-ing mengerut gelap, "Memang Sin-bu-kiong bisa dimasuki, tetapi tak mungkin bisa keluar dari sini.
Te-kun sendiri yang mengatur perlengkapan istana ini. Tak peduli tokoh-tokoh silat yang bagaimana saktipun, sekali berani masuk ke sini, jangan harap dia dapat keluar lagi.!"
Cu Siau-bun merenung sejenak, ujarnya,"Baik, tolong kau tunjukkan jalannya!"
Ma Hong-ing menghela napas longgar. Segera ia memelopori jalan di muka. Lorong gelap itu memang penuh dengan lika-liku tikungan. Ada kalanya ke timur, adakalanya menikung ke barat dan setempo ke selatan , setempo ke utara.
Atap dari lorong itu penuh tertutup semak-semak lebat, sehingga sukar melihat langit.
Thian-leng dan Bu-song mengikuti di belakang. Berkat lwekangnya yang tinggi, sekalipun dalam malam gelap, mereka dapat melihat terang. Tetapi di dalam lorong yang rindang dengan semak-semak lebat itu, merekapun tak berdaya, hanya dapat melihat pada jarak beberapa meter saja.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. Di tempat sesempit itu, bentakan orang itu terdengar menggelegar sekali, Thian-leng terkejut dan cepat siap mencekal pedangnya.
Sesosok bayangan hitam melesat keluar dari sebuah sudut lorong. dengan pedang terhunus, orang itu menghadang di tengah jalan. bentaknya, "Siapa tengah malam berani melintasi Kian-koan" Apakah membawa perintah Te-kun?"
"Aku Ong-hui yang datang, perlu apa harus membawa perintah Te-kun" Apakah matamu buta?" Ma Hong-ing mendamprat.
Orang itu mengeluh dan buru-buru berlutut minta maaf. "Hamba tak tahu kalau Ong-hui yang datang ! " Kemudian ia bangkit dan berdiri dengan kepala menunduk.
Ma Hong-ing mendengus sambil melangkah masuk di kuti oleh rombongan anak muda itu. Orang itu tetap tak berani mengangkat kepala. Setelah rombongan Ong-hui lewat, barulah ia bersembunyi lagi.
Pada saat lewat di sisi pengawal itu, thian-leng memerhatikan wajah orang. Seorang tua berjubah ungu, mata bersinar-sinar tajam, pelipisnya menonjol, menandakan seorang ahli lwekang yang berilmu tinggi.
Kira-kira berjalan lima-enam puluh tombak jauhnya dan sudah melalui tiga pos penjagaan yang semuanya dapat dilalui Ma Hong-ing dengan mudah, tiba-tiba cu Siau-bun berhenti, serunya, "Masih berapa lama lagi kita harus menyusuri?"
Ma Hong-ing menghentikan langkah, "Cepat, paling lama dua puluhan tombak lagi sudah tiba di luar istana!"
"Apakah masih ada penjagaannya?"
"Tidak asal"." Ma Hong-ing bersangsi.
"Kalau begitu tolong lekas sedikit saja!" buru-buru Cu Siau-bun meminta.
Baru Ma Hong-ing pun berputar dan hendak melangkah, tiba-tiba Cu Siau-bun taburkan tangannya ke punggung Ma Hong-ing. Karena tak menduga, menjeritlah Ma Hong-ing dan rubuh di tanah".. !
Jilid 7 . Thian-leng dan Bu-song terkejut juga. Mereka tak menyangka bahwa Cu Siau-bun akan berbuat begitu. Mereka buru-buru menghampiri Ma Hong-ing.
Cu Siau-bun sendiri walaupun sudah memutuskan untuk membunuh Ma Hong-ing, tetapi dikala melontarkan jarum entah bagaimana hatinya keder, tangannya lemas sehingga agak mencong.
Sebelum Thian-leng dan Bu-song menolong, Ma Hong-ing sudah dapat berdiri sendiri. Meskipun punggungnya tertusuk tiga batang jarum hingga tembus sampai ke dada, tetapi karena tangan Cu Siau-bun mencong, maka tidak sampai mengenai jalan darah yang berbahaya.
Ma Hong-ing pucat seperti kertas, setelah terengah-engah sebentar, ia menatap Cu Siau-bun, "Kau....... sungguh ganas.......", tiba-tiba wajahnya berobah dan berkata pula tergagap, "tetapi tak dapat mempersalahkan engkau. Aku
...aku memang pantas mati dan seharusnya mati di tanganmu .......!" selanjutnya ia berbicara tak jelas sehingga Thian-leng dan Bu-song tak mendengar apa yang dikatakan itu.
Cu Siau-bun pun juga. Ia tak dapat berkata sepatahpun. Perasaan hatinya berkecamuk keras. Tak tahu ia apakah tindakannya itu benar atau salah. Ia hanya merasa mempunyai keharusan untuk membunuh wanita itu. Ia hanya menuruti suara hatinya, bahwa wanita itu tak boleh hidup bersama-sama di dunia!
Tetapi mengapa pada detik-detik ia melaksanakan keputusannya itu mendadak sontak tangannya lemas, hatinya goncang" Hal itu ia tak tahu, tak mengerti apa sebabnya!
Thian-leng menghela napas kecil, serunya tersekat, "Kau"..terluka?"
Tiba-tiba Ma Hong-ing membeliakkan matanya dan menyahut dingin, "Aku tidak mati! Tak usah kau tanyakan!"
Thian-leng terkesiap. Ia tercengang. Wanita di hadapannya itu, sungguh seorang wanita yang misterius. Kalau menurut Toan-jong-jin, Ma Hong-ing adalah ibu kandungnya. Tetapi mengapa wanita itu sedemikian dingin sikapnya.
Mengapa wanita itu menganggap dirinya seolah-olah sebagai musuh bebuyutan" Kapankah ia dapat menyingkap tabir yang menyelimuti dirinya" Thian-leng tercekam dalam kabut misterius yang makin gelap!
Ma Hong-ing mendekap dada menahan sakit. Tetapi wajahnya kembali membesi, dengusnya, "Ayo, jalan lagi".!"
Dengan terhuyung-huyung wanita itu melanjutkan perjalanan lagi. Diam-diam Cu Siau-bun menyesal. Tanpa bicara apa-apa, ia mengikuti.
Tak lama kemudian tibalah mereka di muka sebuah pintu besi yang menutup jalanan. Ma Hong-ing segera memijat sebuah alat yang berbentuk seperti gelang kecil. Terdengarlah bunyi berderak-derak dan terbukalah seketika sebuah pintu kecil. Pintu itu hanya cukup dimasuki seorang. Pun tidak bisa masuk dengan tegak, tetapi harus membungkuk.
"Sekeluarnya dari lorong berdinding besi ini kita bakal tiba di luar istana yang gelap pintunya!" kata Ma Hong-ing sambil mendahului jalan.
Kali Cu Siau-bun tak bersangsi. Ia terus mengikuti saja. Tetapi baru ia melangkah melalui pintu besi itu, tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang mengejutkan!
Habis melalui pintu besi, Ma Hong-ing segera berhenti menjaga di samping pintu. Karena mengira Ong-hui hendak melindungi sampai rombongan muda-mudi itu selamat melalui pintu besi, maka tanpa curiga apa-apa Cu Siau-bun pun segera ayunkan langkah.
Demikianlah Thian-leng dan Bu-songpun segera mengikuti tindakan dara baju merah itu. Begitu Cu Siau-bun sudah masuk, maka Thian-leng dan Bu-song pun melangkah maju ke pintu. Sekonyong-konyong Ma Hong-ing mengangkat tangannya menghantam kepada kedua muda-mudi itu.
Daarr". karena tak menyangka, Thian-leng dan Bu-song termakan pukulan Hian-im-ciang dari Ma Hong-ing dengan jitu. Tubuh kedua anak muda itu serasa dilanda oleh hawa dingin, darah merekapun bergolak sehingga terhuyung-huyung mundur beberapa langkah. Dan pada saat itu tiba-tiba pintu besi tertutup pula. Thian-leng dan Bu-song baru hendak berusaha memperbaiki keseimbangan tubuh, sekonyong-konyong tanah yang mereka injak itu amblas dan terceburlah mereka ke dalam sebuah lubang jebakan yang gelap".
Cu Siau-bun kaget sekali. Buru-buru ia hendak menerjang keluar untuk menolong Thian-leng, tapi sudah terlambat.
Pintu besi itu sudah tertutup. Ternyata pintu itu ditutup oleh dua orang penjaga.
Pada saat melontarkan pukulan, Ma Hong-ing memberi isyarat kepada kedua penjaga supaya segera menutup pintu".
Kini Ma Hong-ing mendekap dadanya yang terluka dengan kedua tangannya. Rupanya karena menggunakan banyak tenaga untuk memukul, maka lukanyapun goncang. Mulutnya gemetar dan tiba-tiba ia muntahkan segumpal darah segar!
"Apakah Ong-hui masih ada perintah?" kedua pengawal baju biru segera menanya.
Ma Hong-ing mengembalikan napasnya dulu. Ia paksakan untuk berdiri tegak, serunya. "Cabut pedang!"
Kedua pengawal saling berpandangan. Tampaknya mereka tekejut, tetapi tak berani membantah. Keduanya segera mencabut pedang masing-masing.
"Bunuh diri kalian sendiri!" Kembali Ma Hong-ing memberi perintah singkat.
Berobahlah wajah kedua pengawal itu. Mereka kembali berpandangan satu sama lain.
"Kalian berani membantah?" bentak Ma Hong-ing.
Kedua pengawal itu mengangkat kepala, serunya dengan gemetar, "Hamba merasa tak berdosa, mohon Ong-hui suka melimpahkan ampun!"
Ma Hong-ing mendengus, "Membunuh kalian mengapa harus membuktikan kesalahanmu".." berkilauan mata Ma Hong-ing memancarkan hawa pembunuhan, bentaknya, "Jika kesabaranku habis, mungkin kalian tak mempunyai kesempatan untuk melakukan perintah bunuh diri lagi!"
Wajah kedua pengawal itu pucat pasi. Namun tanpa ayal lagi mereka segera menusukkan pedang ke dadanya sendiri.
Terdengar dua sosok tubuh mengelepar jatuh ke tanah. Kedua pengawal itupun melayang jiwanya.
Ma Hong-ing terengah mengembalikan napasnya, lalu menunjuk ke muka, "Kita jalan lagi! Di sanalah pintu Kian-kwan yang gelap! Lewat pintu itu sudah di luar istana Sin-bu-kiong."
Tiba-tiba Cu Siau-bun mencabut pedang dan diancamkan ke dada Ma Hong-ing, bentaknya, "Lekas buka pintu besi itu!"
Dingin-dingin Ma Hong-ing menyahut, "Dibukapun tak ada gunanya. Anak itu sudah terjerumus ke dalam neraka di bawah tanah. Mungkin saat ini kedua budak itu sudah mati! Kalau masih hiduppun tentu sudah dibunuh penjaga di situ!"
"Perempuan siluman, mengapa kau begitu ganas?" saking geramnya geraham Cu Siau-bun sampai bercatrukan.
Sebaliknya Ma Hong-ing malah tenang sekali sahutnya, "Tidak kenapa-kenapa! Tak kuijinkan kau mencintai budak lelaki itu. Kecuali membunuhnya rasanya tiada cara lain lagi?""
Cu Siau-bun tiba-tiba memutar tubuhnya. Ia memukul dan menebas pintu besi itu. Tetapi betapapun ia habiskan tenaganya, pintu besi itu tak bergeming sedikitpun jua. Matanya yang mengembang air mata menyinarkan gelora pembunuhan yang menyala-nyala. Cepat ia berputar dan mengancamkan pedangnya ke dada Ma Hong-ing lagi, bentaknya, "Jika kau tak mau membuka pintu besi ini, segera akan kubunuh!"
Ma Hong-ing tak mau melawan. Ia memeramkan mata dan menantang, "Kalau mau membunuh, silakan ! Tetapi jangan harap kau dapat menyuruh aku membuka pintu itu?", ia berhenti sejenak untuk mengatur napasnya lagi, kemudian berseru pula, "Mungkin aku sudah diharuskan mati di tanganmu. Dan memang hanya mati di tanganmu baru tenteram hatiku".. "
Lagi-lagi Cu Siau-bun tekejut. Tampaknya wanita itu memang mempunyai hubungan rahasia dengan dirinya.
Membayangkan hal itu, ngerilah hatinya. Benaknya penuh lalu "lalang renungan?""Ah, lebih baik kubunuh saja!
Hanya kalau wanita ini mati, maka barulah rahasia itu terkubur selama-lamanya," Akhirnya keputusan untuk melenyapkan wanita itu timbul kuat kembali.
Sebenarnya ia tak tahu apakah rahasia terpendam itu. Hanya ia merasa bahwa hal itu tentu tak menguntungkan dirinya, "Bunuh, bunuhlah saja".!" demikian sang hati meronta-ronta mendesak sang pikiran yang masih ayal.
Tiba-tiba dengan sekuat tenaga, ia menusuk dada Ma Hong-ing sekuat-kuatnya. Dan Ma Hong-ingpun hanya memeramkan mata menyerahkan jiwanya".
Sekonyong-konyong pada detik ujung pedang menyentuh dada Ma Hong-ing, Cu Siau-bun merasa lengannya seperti ditarik oleh suatu tenaga kuat yang tak kelihatan. Terkejutnya bukan kepalang. Cepat-cepat ia berpaling ke belakang dan lemas lunglailah api pembunuhan yang membakar hatinya itu.
Entah kapan dan bagaimana caranya, tahu-tahu seorang wanita tua berambut putih dan wajahnya sudah keriput tampak tegak berdiri di belakangnya. Seperti seekor domba yang melihat induknya, maka Cu Siau-bunpun segera loncat menubruk ke dada wanita itu seraya menangis, "Mah"."
Wanita itu membelai rambut Cu Siau-bun. "Apakah kau menderita kesukaran nak?"
"Dia?" dia mungkin telah dicelakai mereka!" Cu Siau-bun tersedu-sedu.
"Dia".. dia siapa?"
"Kang Thian-leng?""," sahut Cu Siau-bun. "Mah kemanakah kau tadi" Mengapa tak membantu kami?"
Wanita itu mengerutkan dahi, "Sekarang belum saatnya aku menunjukkan diri. Aku hendak menyelidiki secara diam-diam, baru nanti turun tangan menyelesaikan seluruh persoalan"."
"Tetapi karena kau tak mengamat-amati kami, Kang Thian-lengpun mati"..", tenggorokannya tersekat isak tangisnya sehingga tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Kemudian ia menyusupkan kepalanya ke dada sang ibu dan meratap iba. "Kalau dia mati, akupun tak mau hidup lagi!"
"Nak, janganlah kau mengucapkan kata-kata yang melemahkan semangat hidupmu. Apalagi budak itu belum tentu terus begitu cepat mati".!"
"Bagaimana mamah tahu?"
"Lupakah kau bahwa aku mengerti juga tentang ilmu meramal ?"
"Apakah kau telah melihat nasibnya?"
Wanita itu paksakan tertawa, "Tak usah diramal lagi, jelas bahwa wajahnya tak memantulkan tanda kenaasan!"
Agak longgar hati Cu Siau-bun, namun ia tetap mendesak ibunya, "Kalau begitu baiklah kita lekas menolongnya!"
"Tak perlu, karena tentu sudah ada orang yang menolongnya!" wanita itu tersenyum.
"Aku tak percaya," Siau-bun menyengit, "mungkin saat ini dia sudah meninggal!"
"Percayalah omonganku, nak! Tadi aku telah berjumpa dengan seseorang!"
"Siapa?"
"Ka?"kekmu!"
"Kakek".?" Siau-bun tertegun, "Mengapa mamah tak pernah mengatakan sebelumnya" Apakah beliau sakti?" Ibunya tak suka banyak omong. Ia menghela napas perlahan.
"Mamah mempunyai alasan yang sukar diutarakan. Baiklah kau jangan banyak tanya lagi!"
"Apakah kakek yang menolongnya?"
"Tidak, tetapi aku dan kekekmu telah mempersiapkan rencana untuk menolongnya. Jangan kuatir!"
Siau-bun tertegun diam. Sekalipun hatinya belum longgar seluruhnya, tetapi terhadap ibunya ia menaruh kepercayaan besar. Ia percaya setiap patah kata dari ibunya seperti orang memuja dewa.
Ibunya seorang wanita yang keras tetapi mengasihinya dan terutama sang ibu itu tak pernah berbohong.
Sekalipun manja tetapi Siau-bun mengindahkan ibunya.
Wanita itu menghela napas. Tiba-tiba ia melangkah maju menghampiri Ma Hong-ing. Betaknya, "Apakah kau masih kenal padaku?"?"
ooo000oooo Sejak wanita itu muncul, Ma Hong-ing terlongong-longong berdiri di samping. Ditatapnya wanita tua itu dengan penuh perhatian. Diam-diam ia terkejut. Kalau tak salah ia seperti kenal siapa wanita itu. Namun tak dapat ia membuktikan dugaannya itu.
Baru setelah wanita itu membentaknya, Ma Hong-ing gelagapan, serunya, "Kau?"kau..ini?"!"
Wanita tua itu mendengus dingin. Tiba-tiba ia mengusap mukanya. Hai".. kulit mukanya bergulung seperti dikupas.
Ah".. , kiranya ia memakai kedok dari kulit orang. Dan hilangnya muka orang tua berwajah keriput itu, tampaklah wajahnya yang asli.
Seorang wanita yang cantik sekali. Walaupun usianya sudah mendekati tiga puluh enam-tiga puluh tujuh tahun, namun kecantikannya masih memancar gilang-gemilang".
Ma Hong-ing terbeliak kaget, serunya tergugu, "Ah, kiranya memang kau ".Cu Giok-bun!"
Wanita yang ternyata bernama Cu Giok-bun itu terpukau dalam badai perasaan yang melanda hatinya. Dia tegang, hatinya bergolak-golak!
"Tujuh belas tahun tak bertemu, ternyata kau masih dapat mengenali diriku," akhirnya meluncurlah kata-kata dari mulutnya.
"Jangankan tujuh belas tahun, tujuh puluh tahunpun aku tetap mengenalimu. Siang malam aku selalu terkenang padamu?"." Ma Hong-ing menjerit geram. "Ya, ingin sekali kumakan dagingmu, membeset kulitmu!" tiba-tiba Ma Hong-ing menjerit pula dengan kalap.
Cu Giok-bun mengerutkan alisnya, "Itulah sebabnya aku sengaja datang kemari! Mengapa kau membenci aku"
Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mengapa kau tak sayang menyuruh puteramu mati bersamaku?" sejenak ia menggerakkan matanya, kemudian melanjutkan berkata pula, "Ingatlah, bahwa kita pernah tinggal bersama selama delapan tahun. Hubungan kita selama itu cukup baik, aku tak pernah memperlakukan kau secara tak baik dan kaupun tak pernah mendendam padaku. Mengapa?".."
Kata-katanya terputus oleh derai tertawa Ma Hong-ing yang melengking panjang penuh kecongkakan.
"Mengapa" Karena hendak membalas sakit hati!" bentak Ma Hong-ing, "selama delapan tahun kusiksa diriku menjadi budakmu karena hendak mencari kesempatan membalas sakit hati. Sayang selama itu tak pernah kudapatkan kesempatan itu?"
"Sebelum menjadi pelayanku, kau toh belum kenal padaku" Mengapa kau mempunyai dendam sakit hati?" Cu Giok-bun mengerutkan dahi.
Kembali Ma Hong-ing tertawa menyombong.
"Mungkin kau memang lupa. Kau telah membunuh ratusan jiwa manusia, sudah tentu tak teringat akan peristiwa kecil itu".." seru Ma Hong-ing,"tetapi yang jelas, seluruh empat belas jiwa keluargaku, telah mati di tanganmu!"
Wajah Cu Giok-bun mengerut gelap, serunya sengit, "Meskipun sejak kecil aku sudah belajar silat, tetapi belum pernah membunuh seorang manusia. Apalagi ketika kau menjadi pelayanku, aku masih kecil, mana dapat membunuh orang!"
"Memang bukan tanganmu yang membunuh! " teriak Ma Hong-ing makin sengit, "tetapi ketahuilah bahwa "lidah itu lebih tajam daripada pedang". Mungkin keluargaku mati karena pengaruh lidahmu!"
Cu Giok-bun makin heran, serunya, "Aku sungguh tak ingat hal itu. Lebih baik segera jelaskan. Jika benar aku yang membunuh keluargamu, silakan kau melakukan pembalasan dendam sesukamu!"
Ma Hong-ing tertawa hina, "Aku tak suka bicara yang tak berguna! Saat ini aku jatuh di tanganmu, adalah nasibku yang jelek. Jika kau takut terancam bahaya di kemudian hari, lekas bunuh aku!"
Cu Giok-bun tertawa getir, "Telah kukatakan, tak tahu aku di mana letaknya permusuhan kita ini. Perlu apa aku harus membunuhmu?"" matanya berkilat-kilat dan nadanya berubah serius. "Aku ingin mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Apakah dendammu kepadaku itu " Mengapa kau mati-matian hendak mencari balas padaku" Mengapa kau tahu bahwa aku adalah Hun-tiong"., " tiba-tiba ia mengganti kata-katanya, "Tuduhanmu aku takut menerima pembalasanmu, sungguh menggelikan. Asal kau mau mengatakan sejujurnya, segera aku angkat kaki dari sini.
Silakan kau mengatur rencana pembalasanmu. Aku Cu Giok-bun setiap saat dan di manapun saja selalu bersedia menerima kedatanganmu!"
Lagi-lag Ma Hong-ing tertawa angkuh, "Karena tak dapat melakukan pembalasan, maka biarlah urusan yang kau ingin tahu itu menyiksa batinmu. Betapapun kau hendak bertanya, jangan harap aku sudi mengatakan !"
Alis yang melengkung indah di dahi Cu Giok-bun menjungkat ke atas. Bentaknya, "Aku tak mau membunuhmu, tetapi hendak menyuruhmu merasakan siksaan. Coba saja sampai berapa lama kau mampu bertahan"."
Tiba-tiba Cu Giok-bun mencengkeram bahu Ma Hong-ing. Ma Hong-ing tetap diam saja tak mau menghindar. Hanya tubuhnya bergoyang-goyang dan tiba-tiba ia muntah darah. Ia menjamah sebatang pohon kecil untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Dengan susah payah barulah ia dapat berdiri tegak pula.
Tangan Cu Giok-bun yang sudah diulur terpaksa ditarik kembali.
"Siau-bun , apakah kau melukainya". " " serunya kepada si dara baju merah.
Siau-bun mengangguk. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa kasihan kepada Ma Hong-ing. Timbul ah rasa simpatinya kepada wanita yang terluka itu.
"Mah, ampunilah dia!" serentak ia mintakan kebebasan kepada ibunya.
Cu Giok-bun merenung. Sejenak kemudian berseru bengis, "Kalau begitu terang Thian-leng adalah puteramu. Tetapi mengapa kau begitu tega menyuruhnya mati?"
"Mah, dia bukan putera wanita ini. Aku mempunyai beberapa bukti!" tiba-tiba Siau-bun menyeletuk.
"Siau-bun, jangan banyak mulut!" bentak Cu Giok-bun dengan suara tegang.
Sambil menahan rasa sakit, Ma Hong-ing kertak giginya memaksakan diri berseru, "Puteraku sendiri atau bukan , bukanlah urusanmu! "
Cu Giok-bun menghela napas longgar.
"Kalau begitu pemuda itu benar-benar anak kandungmu sendiri?" serunya.
Ma Hong-ing menengadahkan kepalanya dan tertawa congkak. Serunya, "Kalau benar, mau apa" "
Cu Giok-bun tertawa dingin, "Kalau begitu, pertanyaanku cukup sampai sekian saja. Apakah dendammu kepadaku itu tepat atau palsu, aku tak mau membunuhmu. Aku hendak menunggu kau datang untuk menuntut balas"."
"Siau-bun , mari kita pergi," ia berpaling dan ajak si dara baju merah.
"Pergi"..?" Siau-bun cebikan bibir, "Apakah tak dapat menolongnya dan membawanya keluar bersama?"
Cu Giok-bun berobah dingin wajahnya, "Nak, kau jangan terlalu manja. Mamah sudah mengatur".."
Kata-kata Cu Giok-bun terputus oleh munculnya tiga sosok bayangan yang melayang dari atas. Cu Siau-bun terkejut.
Ternyata yang datang itu ialah Ni Jin-hiong dengan kedua orang pengawal baju ungu. Ketiga orang itu sama menghunus pedang.
Ketika melihat seorang wanita cantik, Ni Jin-hiong terkesiap. Tetapi pada lain saat ia membentak," Siapa kau?".?"
Cu Giok-bun mendengus hina, "Kau tak layak bertanya!"
Ni Jin-hiong mengerutkan alis, berpaling kepada Ma Hong-ing, "Hai, apakah Ong-hui terluka?"
Ma Hong-ing tampak gugup, "Lepaskan mereka, kau ".. mengapa datang ". kemari?"
"Hamba mendapat perintah Te-kun, tak boleh melepaskan orang. Karena tugas, terpaksa hamba tak dapat meluluskan perintah Ong-hui," sahut Ni Jin-hiong. Habis itu ia mengumpulkan tenaga dan sekoyong-konyong menghantam.
Kedua pengawal baju ungupun , yang satu hendak menyerang punggung Cu Giok-bun, yang satu hendak menerjang Cu Siau-bun.
"Berhenti! Kalian bukan tandingannya!" tiba-tiba Ma Hong-ing membentak keras.
Ni Jin-hiong tertawa congkak, "Tak peduli dia orang bagaimana, sekali jatuh ke dalam tanganku, tentu tamat riwayatnya."
Di dalam tertawa itu, ia sudah mengerahkan lwekang ke tangannya. Dengan sekuat tenaga ia menghantam. Sebagai kepala penjaga istana Sin-bu-kiong, sudah tentu Ni Jin-hiong terpilih sebagai jago yang paling tinggi sendiri kepandaiannya. Ilmu pukulan lwekang dingin Hian-im-ciang telah diyakinkan dengan sempurna.
Ia tak kenal siapa wanita pertengahn umur yang cantik itu. Tetapi ia yakin wanita itu tentu tak kuat bertahan dalam tiga buah jurus serangannya. Bahkan mungkin sekali pukulan saja, wanita itu sudah mampus. Maka dengan keyakinan itulah ia tak menghiraukan peringatan Ma Hong-ing. Cu Giok-bun hanya tertawa dingin. Sikapnya acuh tak acuh.
Diam-diam Ni Jin-hiong terkesiap. Buru-buru ia melipatgandakan lwekang yang dilontarkan pada pukulannya itu.
Seketika berhamburan semacam hawa dingin-dingin seram.
Adalah ketika tenaga dingin itu menyambar ke muka Cu Giok-bun, barulah wanita itu menggerakkan tangan menyongsong ke muka. Berbareng dengan itu tangan kirinya dibalikkan ke belakang untuk menutuk kedua pengawal baju ungu yang menyerang dari belakang itu.
Seketika terdengar erang rintihan perlahan dan timbul ah beberapa peristiwa mengejutkan!
Sama sekali Ni Jin-hiong tak mengetahui ilmu pukulan apa dan tenaga apa yang dilancarkan si wanita itu, tetapi ia merasa suatu aliran hawa panas melanda semacam banjir lahar. Bukan saja lwekang dingin Hian-im-sicang sirna seketika, bahkan hawa panas itu masih menembus menyerang dadanya! Ia terkejut sekali.
Saat itu baru ia menginsyafi kalau berhadapan dengan seorang wanita sakti. Buru-buru ia hendak menghindar, tetapi sudah tak keburu lagi. Dadanya merasa di tampar taufan panas, darahnya bergolak dan tubuhnya serasa dibakar. Tak mampu lagi ia berdiri tegak. Tubuhnya terhuyung-huyung mundur sampai beberapa langkah. "Huak"." segumpal darah panas muntah dari mulutnya"..
Kedua pengawal baju ungu lebih mengenaskan lagi keadaannya. Keduanya hanya dapat mengerang perlahan sebentar, karena batok kepalanya keburu pecah. Otaknya berhamburan kemana-mana. Mereka rubuh menjadi setan tanpa kepala".
Ternyata sebelum pukulan mereka melayang, tutukan jari Cu Giok-bun tadi telah menghamburkan angin keras.
Sekeras palu besi yang menghantam kepala mereka. Betapapun kerasnya batok kepala, tetapi tetap hancur diadu dengan palu besi!
Sekali gerak Cu Giok-bun dapat melukai kepala penjaga Sin-bu-kiong dan membunuh dua orang pengawal, benar-benar menakjubkan. Wanita cantik itu tampak tegak berdiri, seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Tanpa menghiraukan bagaimana jadinya, Ni Jin-hiong segera memeramkan mata menyalurkan darahnya. Untung Cu Giok-bun tak mau berlaku ganas. Dipandangnya kepala penjaga istana Sin-bu-kiong itu dengan tertawa hina.
Beberapa kejap kemudian, Ni Jin-hiong merasakan darahnya sudah normal kembali. Begitu membuka mata ia segera berseru, "Terima kasih atas kemurahan hatimu tak mau menyerang lagi. Tetapi hinaan hari ini kelak pasti aku membalasnya. Harap tinggalkan namamu!"
Cu Giok-bun hanya perdengarkan tawa hina tak mau menyahut.
Tiba-tiba Ma Hong-ing menghela napas dan menyeletuk, "Dia adalah tokoh terkenal jaman ini, Hun-tiong Sin-mo!"
"Hun-tiong Sin-mo"..!" Ni Jin-hiong menjerit kaget. Ia terhuyung-huyung beberapa langkah lagi.
"Hun-tiong Sin-mo, mengapa dia"."
"Hari ini kuberi ampun kalian, tetapi?"." tiba-tiba Cu Giok-bun berseru bengis, "jika berani membocorkan rahasia ini, segera akan kuhancur leburkan tubuh kalian!"
Ni Jin-hiong seketika lemas lunglai macam balon kempes. Hampir saja ia putus jantungnya. Ia sadar bahwa cita-citanya untuk menuntut balas tentu hanya menjadi lamunan kosong belaka.
Kembali Cu Giok-bun perdengarkan tawa hina. Ia menarik Siau-bun,"Ayo, kita pergi!"
Walaupun segan, namun Siau-bun tak dapat membantah lagi. Sekali enjot tubuh, kedua ibu dan anak itu lenyap dari pandangan !
Ni Jin-hiong melirik ke arah kedua pengawal yang sudah menjadi mayat itu, mulutnya mengoceh seorang diri, "Hun-tiong Sin-mo".mengapa hanya seorang wanita yang begitu cantik". ?" Tiba-tiba ia berpaling ke arah Ma Hong-ing,
"Benarkah keteranganmu ini?"
Ma Hong-ing menyahut hambar, "Bukankah dulu pernah kukatakan padamu?"
Ni Jin-hiong mengerutkan alis, "Kau hanya mengatakan kalau mempunyai dendam permusuhan besar dengan Hun-tiong Sin-mo, tetapi tak pernah menerangkan bahwa Hun-tiong Sin-mo itu hanya seorang wanita, apalagi masih muda?""
Ia termenung sejenak, ujarnya pula, "Menurut cerita, Hun-tiong Sin-mo itu sudah berusia sembilan puluhan tahun dan lagi dia itu seorang lelaki. Adik Ing, bagaimanakah hal ini..."
Agak tak sabar Ma Hong-ing menjawab, "Hal itu sekarang enggan aku menceritakan. Apalagi sekalipun kuterangkan juga tak dapat sejelas-jelasnya." Ia tertawa rawan, serunya, "Apakah anak itu sudah kau bunuh?"
" Belum ?"."Ni Jin-hiong terkejut, "pada saat hendak kubunuh, tiba-tiba Te-kun mengirim perintah anak itu harus ditangkap hidup-hidup dan tak boleh dibunuh, maka".."
Seketika pucat pasilah wajah Ma Hong-ing, serunya gugup, "Di mana dia sekarang?"
"Di dalam penjara Cui-lo (penjara air). tetapi Te-kun telah menitahkan kedua Su-cia untuk melihatnya !"
"Celaka! Urusan kita tentu bakal ketahuan Te-kun?"" Ma Hong-ing menghela napas.
Mendengar itu pucatlah wajah Ni Jin-hiong, ia menggelengkan kepalanya, " Sekalipun budak itu tidak menceritakan urusan kita kepada Te-kun. Tetapi peristiwa malam ini, tentu sukar kita pertanggung jawabkan kepada Te-kun.
Menilik gelagat, dikuatirkan?" " ia tak melanjutkan kata-katanya melainkan menghela napas panjang.
"Kalau begitu kita harus mencari akal, masakah kita mandah saja menunggu hukuman Te-kun".." kata Ma Hong-ing.
Tiba-tiba mata Ni Jin-hiong berkilat, serunya, "Sekarang hanya ada sebuah akal. Kita tinggalkan istana ini!"
"Kau maksudkan melarikan diri?"
"Benar, kita lari sejauh-jauhnya. Tinggalkan segala dendam permusuhan, mencari tempat yang sunyi, jauh dari masyarakat ramai?""
"Mungkin tidak leluasa! Apalagi aku".."
"Adik Ing, kalau terlambat tentu kasip. Mungkin Te-kun akan keluar sendiri?" percayalah, adik Ing, marilah kita lewatkan sisa hidup kita".. "
Tiba-tiba kata-kata Ni Jin-hiong itu terputus oleh sebuah suara yang bernada dingin, "Siapa yang kau sebut adik Ing itu?"
****** Penjara Air Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing terkejut. Tubuh mereka menggigil gemetaran. Suara itu datangnya secara tiba-tiba sekali. Baru sekejap mata Ni Jin-hiong tadi berpaling ke belakang, tetapi tak melihat suatu apappun. Baru ia bicara dengan Ma Hong-ing tahu-tahu terdengarlah suara dari sampingnya. Ketika Ni Jin-hiong memandang dengan seksama, kejutnya bukan alang kepalang !
Seorang pendek kurus, berjenggot kambing dan mengenakan jubah warna merah, tengah berdiri tak jauh di sebelahnya!
Itulah Sin-bu Te-kun!
Mata Sin-bu Te-kun berkilat-kilat memancarkan api memandang kepada Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing.
Tiba-tiba ia membentak, "Mengapa tak menjawab pertanyaanku itu?"
Semangat Ni Jin-hiong serasa terbang, mukanya pucat seperti mayat. Serta merta ia berlutut dan meratap, "Hamba pantas dibunuh".!"
Ma Hong-ing pun wajahnya seputih kertas. Ia segera berlutut di hadapan Sin-bu Te-kun dan meratap tangis, "Hamba
". tersesat. Mohon demi mengingat kecintaan sebagai suami isteri, sukalah mengampuni jiwaku ! Selanjutnya aku?". "
Wajah Te-kun membesi, "Bukankah kalian hendak melarikan diri ke tempat jauh" Ayo, pergilah sekarang juga!"
Ni Jin-hiong yang masih berlutut tak henti-hentinya merintih-rintih, "Hamba memang harus mati?".!"
Ma Hong-ingpun segera memeluk kaki kanan Sin-bu te-kun dan menangis tersedu-sedu, meratap memohon ampun.
Sin-bu Te-kun sejenak menengadahkan kepala, serunya, "Dengan kesaktian yang merajai empat lautan, aku bermaksud hendak menguasai dunia persilatan. Tetapi tak terduga, peristiwa yang memalukan ini telah menimpa diriku" !"
Dipandangnya kedua lelaki perempuan itu. Serunya geram, "Yang satu permaisuri tersayang dari Te-kun, yang satu kepala penjaga istana Sin-bu-kiong yang paling kupercaya. Ah, ternyata mereka telah melakukan perbuatan zinah.
Kedua-duanya telah menghianati aku"."
Tiba-tiba ia menutup dampratannya itu dengan sebuah tendangan. Terdengar jeritan ngeri dari tubuh Ma Hong-ing yang terlempar di udara. Bum". ia jatuh dua tombak jauhnya, sejenak meronta lalu tak berkutik lagi".
Sin-bu Te-kun rupanya masih belum puas. Ia kibatkan dua buah jari tangannya, yang satu ke arah Ni Jin-hiong, yang satu pada Ma Hong-ing.
Ni Jin-hiong tak berani begerak. Ia mandah punggungnya ditutuk. Seketika ia merasakan tubuhnya kesemutan lalu terkapar di tanah!
"Bawa kedua anjing ini ke dalam penjara Si-lo. lain hari aku sendiri yang hendak memberi hukuman kepada mereka!"
Dua pengawal baju ungu segera tampil. Mereka mengangkut tubuh Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing menuju ke pintu besi. Pada lain saat, pintu besi itupun tertutup lagi.
Suasana di luar pintu besi kembali diselubungi oleh kesunyian. Mayat dari kedua pengawal baju biru yang disuruh bunuh diri oleh Ma Hong-ing dan dua pengawal baju ungu yang dibunuh oleh Cu Giok-bun masih malang melintang di tanah"..
Sekarang marilah kita ikuti Thian-leng dan Bu-song yang jatuh ke dalam liang jebakan itu.
Akibat pukulan Ma Hong-ing, kedua anak muda itu telah menderita luka yang tak ringan. Darah mereka serasa bergolak-golak. Untung lwekang mereka cukup kokoh.
Pada saat menerima pukulan, mereka segera mengerahkan tenaga untuk menahan, sehingga pukulan lwekang Ma Hong-ing yang mengandung racun Im-han (dingin) itu tak sampai menembus ke dalam tulang.
Lubang perangkap itu cukup dalam. Adalah karena lwekangnya buyar, Thian-leng tak dapat memusatkan pertahanan diri lagi. Ia coba kerahkan sisa tenaga untuk memusatkan ketenangan pikirannya ketika sang tubuh meluncur turun ke bawah.
Diam-diam ia menghitung jarak luncurannya itu. Kira-kira limapuluhan tombak, tiba-tiba kakinya menginjak tanah lunak, macam gundukan pasir. Sekalipun begitu, toh ia masih merasakan kepalanya pening sekali. Sampai beberapa saat ia tak dapat bangkit.
Api kebencian membakar hatinya. Tak mungkin Ma Hong-ing itu ibunya. Macan yang buaspun tak akan memakan anaknya. Ma Hong-ing ternyata lebih buas dari macan. Apalagi selama berkumpul tujuh belas tahun itu, seingatnya ia tak pernah berbuat salah terhadap ibunya itu. Ah, benarkah wanita itu ibunya"."
Tiba-tiba ia teringat kepada Bu-song. Bukankah tadi nona itu juga terkena pukulan Ma Hong-ing dan bersama-sama jatuh ke dalam lubang jebakan ini"
"Nona Lu?"," serentak berteriaklah ia memanggil.
Tiada suatu sahutan.
Thian-leng tergetar. Ia mengulangi lagi berteriak lebih keras, "Nona Lu! No"na..Lu..!"
Tetap tiada sahutan.
Mulailah Thian-leng memandang ke sekeliling tempatnya. Agaknya ia berada di dalam sebuah sumur besar yang dalam sekali. Di sekeliling penjuru tak tampak barang sepercik sinar. Gelap, gelap sekali di sekelilingnya.
Bahkan ketika memandang ke tangannya, tak dapat ia melihat jari tangannya sendiri".
Beberapa saat kemudian, lapat-lapat ia seperti mendengar suara napas orang merintih. Ia terkejut girang. Buru-buru ia paksakan diri merangkak menghampiri. Kira-kira setombak jauhnya, dilihatnya memang Bu-song adanya. Tetapi betapa terkejutnya ia ketika diperhatikannya tubuh nona itu mandi darah. Rupanya ia menderita luka yang lebih parah lagi. Ternyata tempat nona itu jatuh selain pasir juga terdapat kerikil yang tajam. Pinggang dan kaki nona itu pecah-pecah berdarah. Untung hanya luka luar, namun cukup membuatnya pingsan beberapa saat sehingga tak mendengar panggilan Thian-leng.
"Nona Lu!" kembali Thian-leng memanggilnya.
Bu-song berusaha untuk mengangkat kepalanya dan menyahut limbung. "Di manakah kita sekarang?"
"Dalam sebuah lubang jebakan yang berpuluh-puluh tombak dalamnya!"
"Ah, mungkin kita akan mati di sini, " Bu-song menghela napas. Thian-lengpun rawan hatinya. Meskipun tak takut mati, tetapi ia kecewa dengan kematian cara begitu.
Ia masih belum mengetahui asal-usul dirinya. Tugas yang diletakkan oleh beberapa tokoh kepadanya,belum terpenuhi. Kalau harus mati pada saat dan seperti itu, bagaimana ia tak kecewa"
Bayang-bayang dari Oh-se Gong-mo, Hun-tiong Sin-mo, Cu Siau-bun, Tui-hong Hui-mo, Sip uh-jong, kedua taci beradik Ki, mulai berlalu-lalang di benaknya. Mereka telah melimpahkan budi dan menitipkan harapan kepadanya agar membalaskan sakit hati terhadap Sin-bu Te-kun. Belum cita-cita itu terlaksana, kini ia sudah terjeblos dalam lubang jebakan maut. Dan yang mencelakainya ialah Ma Hong-ing!
Siapakah Ma Hong-ing itu sebenarnya"
Apakah wanita itu ibunya atau bukan".."
Jilid 8 . Kenangan Bayangan orang-orang itu lalu-lalang di benak Thian-leng. Kepada mereka ia mempunyai budi dan dendam yang belum lunas.
Akhirnya setelah hatinya tenteram, ia tersenyum kepada Bu-song, "Bagaimana luka nona?"
Bu-song tertawa getir, "Lukaku tak menguatirkan, tetapi yang penting bagaimana kita keluar dari tempat ini...?"
"Tak usah nona kuatir, "Thian-leng paksakan tertawa menghiburnya, "lebih baik kita beristirahat mengembalikan semangat dulu. Setelah itu baru kita berusaha!"
Bu-song mengiyakan, kemudian balas menanyakan luka pemuda itu, Thian-leng mengatakan tak berbahaya.
Biji mata Bu-song yang berkilau-kilau laksana bintang kejora menatap tajam pada Thian-leng, ujarnya,"Mungkin kau........masih mendongkol padaku?"
Thian-leng tertegun, "Eh, mengapa nona mengatakan begitu, mana aku berani...."
"Sewaktu di biara rusak, aku memang agak galak, tetapi......" tiba-tiba ia menghambur tertawa tak melanjutkan ucapannya lagi.
Thian-leng menyeringai. Untung karena gelap kerut wajahnya tak kelihatab Bu-song. Ia terbatuk-batuk sebentar, lalu menjawab, "Nona tak bersalah, memang aku sendiripun juga tidak benar!"
"Ih, kau ini kiranya...... seorang yang lemah lembut".."
Thian-leng tersipu-sipu . Buru-buru ia mengulang anjurannya agar nona itu suka mengumpulkan semangatnya.
"Tak perlu menyalurkan lwekang, nanti saja setelah berada di neraka kalian boleh melakukan hal itu!" tiba-tiba terdengar suara tertawa sinis.
Thian-leng terbeliak kaget! Walaupun tak tampak orangnya, tapi ia kenal suara ketawa itu sebagai suara Ni Jin-hiong.
Buru-buru Thian-leng kerahkan lwekangnya siap sedia. Tetapi ia menderita luka parah, geraknya agak ayal. Seketika ia rasakan punggungnya kesemutan dan tahu-tahu jalan darahnya kena tersambar angin tutukan jari Ni Jin-hiong.
Bu-songpun mengalami nasib serupa.
Pada lain saat Ni Jin-hiong muncul. Sambil menyambar pedang salah seorang pengikutnya, segera ia tebaskan kepada kedua anak muda itu.........
Sekonyong-konyong pada detik-detik maut hendak merenggut jiwa kedua anak muda itu, terdengarlah derap kaki bergegas mendatangi. Berbareng dengan itu terdengar suara bentakan nyaring, "Te-kun memberi perintah, semua orang yang menyelundup ke dalam istana harus ditangkap hidup-hidup, tak boleh dibunuh. Tawanan harus segera dijebloskan ke dalam penjara Cui-lo. Kedua penjaga Co-yu sucia diwajibkan mengawasi!"
Ni Jin-hiong terpaksa menarik pulang pedangnya dan banting-banting kaki. Namun ia tak berani membantah. Sesaat kemudian orang itu terdengar menyelinap pergi lagi.
"Jebloskan ke dalam penjara Cui-lo!" Ni Jin-hiong berseru dengan tak bersemangat.
Beberapa penjaga tampil menjerat Thian-leng dan Bu-song. Karena jalan darahnya tertutuk, Thian-leng tak dapat berbuat apa-apa. Lapat-lapat ia mendengar Ni Jin-hiong memberi perintah kepada salah seorang pengawal, "Aku hendak melapor pada Te-kun. Kalian harus hati-hati menyerahkan kedua tawanan ini kepada Co dan Yu kedua sucia!"
Pada lain saat Ni Jin-hiongpun lenyap. Tampak di sebelah muka terdapat sebuah pintu batu yang tertutup rapat. Di kedua sampingnya diterangi oleh empat batang lilin yang sebesar lengan anak kecil.
"Apakah yang kau bawa itu kedua tawanan tadi?" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras. Dua penjaga tua yang bertubuh kurus dan gemuk muncul dari kiri-kanan pintu.
Rombongan yang membawa Thian-leng dan Bu-song serempak menyahut, "Benar, atas perintah Te-kun, tawanan ini supaya diserahkan kepada su-cia berdua!"
Penjaga yang bertubuh gemuk dan kurus itu brseru, "Baik, jebloskan ke dalam!"
Terdengar suara berdrak-derak dan kedua daun pintu batu itupun perlahan-lahan terbuka. Di dalam pintu ternyata merupakan sebuah kubangan seluas sepuluh tombak, penuh digenangi air busuk. Baunya menusuk hidung. Di tengah kubangan terdapat beberapa tiang batu yang ujungnya diberi gelang baja besar.
Rombongan pengawal segera mengikat Thian-leng dan Bu-song. Kedua anak itu di kat pada gelang baja. Dengan demikian Thian-leng dan Bu-song dibenam dalam kubangan air itu sebatas dada. Kedua tangan mereka di kat pada tiang batu. Keadaannya tak berdaya sama sekali karena jalan darah mereka tertutuk".
Selesai mengikat, rombongan pengawal segera pergi dan pintu batupun tertutup pula. Kini di dalam penjara Cui-lo hanya tertinggal kedua anak muda itu. Lama sekali keduanya tak dapat bicara. Akhirnya Thian-lenglah yang mulai membuka mulut, "Nona Lu?"" lukamu".."
Bu-song tertawa getir, "Jiwapun belum tentu selamat, mengapa masih menyibuki luka!"
Pedih hati Thian-leng, katanya dengan rawan, "Mati tak kusayangkan, tetapi tak seharusnya kurembet nona".."
Bu-song menghela napas, "Aku tak sesalkan kau, biarlah kita serahkan pada nasib!"
Habis berkata dara itu pejamkan mata, Thian-lengpun ikut terbenam dalam renungan.
Sesaat sunyi senyap dalam penjara air. Dari berpuluh-puluh tonggak batu yang berada dalam kubangan air busuk itu, semua kosong kecuali terisi mereka berdua.
Dinding tembok penjara itu terbuat dari batu yang tebal, hanya bagian wuwungan atas diberi berpuluh lubang kecil untuk udara. Penjara air yang sekokoh itu masih dijaga pula oleh dua penjaga yang bertubuh gemuk dan kurus"..
Gelap makin gelap!
Perlahan-lahan Thian-leng mengedarkan pandangannya memandang sekeliling tempat itu. Diam-diam ia mengeluh.
Jangankan dirinya di kat pada tonggak batu, sekalipun dibebaskan tetap sukar sekali untuk lolos dari penjara air yang sedemikian kokohnya.
Kubangan air busuk sekali hawanya. Sedemikian busuk sampai membuat orang hampir muntah. Bu-song mengkertak gigi, dahinya mengerut dan tak henti-hentinya tubuhnya bergetar. Jelas dara itu tengah berjuang menahan derita kesakitan.
Melihat itu Thian-leng makin pedih, serunya, "Nona Lu".."
Bu-song menghela napas, menyahut perlahan, "Hmm?"" Thian-leng hendak menghibur dara itu, tetapi sesaat tak tahulah ia bagaimana hendak mengucapkan kata-katanya. Mulutnya bergerak-gerak, tetapi tak jelas apa yang dikatakan.
"Kau hendak berkata apa, mengapa tak jadi?" dengus Bu-song.
Kini Thian-leng yang menghela napas, "Semua adalah salahku, sehingga menyebabkan nona ikut menderita.
Aku....minta maaf!"
"Apakah cukup dengan permintaan maaf saja?" dengus Bu-song pula.
Thian-leng tertegun ujarnya, "Jika berhasil lolos dari neraka ini, kelak aku tentu akan membalas budi nona. tetapi jika tak beruntung mati di sini, biarlah dalam penjelmaan kelak kubalas budi nona!"
Mendengar ucapan itu lupalah sejenak Bu-song akan penderitaannya. Matanya berkilat-kilat menatap Thian-leng.
"Jika kita tidak mati, bagaimana kau hendak membalas budi padaku?"
Setitikpun Thian-leng tak menyangka bahwa si dara akan mengutarakan pertanyaan semacam itu. Ia tertawa rawan dan cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, "Yang penting sekarang kita harus berdaya mencari jalan lolos. Entah bagaimana dengan luka nona sekarang...?"
"Tidak, kau harus mengatakan hal itu. Setelah itu baru kita bicarakan lain-lainnya!" si dara bersikukuh.
Thian-leng kerutkan alis, "Jika beruntung tak mati di sini, apapun yang nona hendak perintahkan padaku, tentu aku sanggup melaksanakan, sekalipun harus terjun ke dalam lautan api !"
"Hanya begitu?" Bu-song agak kurang puas.
Diam-diam Thian-leng membatin. Anak perawan ini aneh sekali. Budi dibalas budi adalah sudah layak. Mengapa masih ngotot, apa yang dikehendaki lagi"
"Maaf, aku tak dapat memikirkan, bagaimana cara membalas budi yang memuaskan nona, hanya saja.......aaa, tak peduli nona akan menitahkan apapun, tentu kululuskan!"
Istana Pulau Es 15 Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Pendekar Panji Sakti 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama